PPh OP

51
1 BAB I SUBJEK PPh ORANG PRIBADI PENGANTAR Untuk dapat memahami Pajak Penghasilan Orang Pribadi secara mudah, sebaiknya kita lebih dahulu mempelajari siapa saja yang dikenakan PPh (subjek pajak) serta jenis penghasilan apa saja yang dikenakan PPh (objek pajak). Pemahaman kedua hal tersebut penting karena tidak semua orang di Indonesia dikenakan PPh dan tidak semua jenis penghasilan dikenakan PPh. SUBJEK PAJAK Subjek Pajak adalah orang atau badan yang dituju oleh UU untuk dikenakan pajak (Pasal 1 UU PPh). Pajak Penghasilan adalah pajak subjektif sehingga untuk dapat mengenakan PPh yang pertama kali dilihat adalah kondisi subjeknya, apakah termasuk subjek pajak dalam negeri, subjek pajak luar negeri atau bukan subjek pajak. Kemudian subjek pajak tersebut dilihat apakah memiliki penghasilan atau tidak. Subjek Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan disebut Wajib Pajak. Setelah itu baru dilihat apakah penghasilan yang diterima tersebut merupakan objek pajak yang dikenakan PPh Final pajak ataupun bukan objek. Subjek Pajak Orang Pribadi ada 2 yaitu subjek pajak orang pribadi dalam negeri dan subjek pajak orang pribadi luar negeri (Pasal 2 UU PPh). Kejelasan status seseorang, apakah ia termasuk subjek pajak dalam negeri atau luar negeri, menjadi penting karena subjek pajak dalam negeri dikenakan struktur tarif pajak yang berbeda dengan subjek pajak luar negeri. A. Subjek Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri Subjek Pajak Dalam Negeri juga ada 2 yaitu Orang Pribadi dan warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak atas warisan tersebut. 1. Orang Pribadi Orang pribadi dianggap Subjek Pajak Dalam Negeri bila bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Contoh : Joko lahir dan tinggal selama hidupnya di Indonesia maka ia adalah Subjek Pajak Dalam Negeri. Mr. Smith bolak-balik Indonesia-Amerika selama 1 tahun tapi lebih lama berada di Indonesia (183 hari lebih), maka Mr. Smith juga merupakan Subjek Pajak Dalam Negeri. Mr. David Wang mulai bekerja di Indonesia bulan Desember 2009 tapi berniat untuk menetap di Indonesia, maka untuk tahun pajak 2009Mr. David Wang dianggap sudah Subjek Pajak Dalam Negeri dan dikenakan pajak dengan tarif PPh Dalam Negeri (Pasal 17 UU PPh). 2. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak Warisan dianggap sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri dengan mengikuti status pewaris, dimana pemenuhan kewajiban pajaknya digantikan oleh warisan tersebut. Selanjutnya bila warisan tersebut telah dibagi, maka kewajiban pajaknya beralih kepada ahli waris. Apabila warisan tersebut ditinggalkan oleh Wajib Pribadi Orang Pribadi Luar Negeri yang tidak menjalankan usaha melalui BUT maka warisan tersebut tidak dianggap sebagai subjek pajak pengganti. (Penjelasan Pasal 3 UU PPh).

description

Perpajakan

Transcript of PPh OP

Page 1: PPh OP

1

BAB I SUBJEK PPh ORANG PRIBADI

PENGANTAR

Untuk dapat memahami Pajak Penghasilan Orang Pribadi secara mudah, sebaiknya kita lebih

dahulu mempelajari siapa saja yang dikenakan PPh (subjek pajak) serta jenis penghasilan apa saja

yang dikenakan PPh (objek pajak). Pemahaman kedua hal tersebut penting karena tidak semua

orang di Indonesia dikenakan PPh dan tidak semua jenis penghasilan dikenakan PPh.

SUBJEK PAJAK

Subjek Pajak adalah orang atau badan yang dituju oleh UU untuk dikenakan pajak (Pasal 1 UU

PPh). Pajak Penghasilan adalah pajak subjektif sehingga untuk dapat mengenakan PPh yang

pertama kali dilihat adalah kondisi subjeknya, apakah termasuk subjek pajak dalam negeri, subjek

pajak luar negeri atau bukan subjek pajak. Kemudian subjek pajak tersebut dilihat apakah memiliki

penghasilan atau tidak. Subjek Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan disebut Wajib

Pajak. Setelah itu baru dilihat apakah penghasilan yang diterima tersebut merupakan objek pajak

yang dikenakan PPh Final pajak ataupun bukan objek.

Subjek Pajak Orang Pribadi ada 2 yaitu subjek pajak orang pribadi dalam negeri dan subjek

pajak orang pribadi luar negeri (Pasal 2 UU PPh). Kejelasan status seseorang, apakah ia termasuk

subjek pajak dalam negeri atau luar negeri, menjadi penting karena subjek pajak dalam negeri

dikenakan struktur tarif pajak yang berbeda dengan subjek pajak luar negeri.

A. Subjek Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri

Subjek Pajak Dalam Negeri juga ada 2 yaitu Orang Pribadi dan warisan yang belum terbagi

sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak atas warisan tersebut.

1. Orang Pribadi

Orang pribadi dianggap Subjek Pajak Dalam Negeri bila bertempat tinggal di Indonesia atau

berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau berada di

Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

Contoh :

Joko lahir dan tinggal selama hidupnya di Indonesia maka ia adalah Subjek Pajak Dalam

Negeri.

Mr. Smith bolak-balik Indonesia-Amerika selama 1 tahun tapi lebih lama berada di

Indonesia (183 hari lebih), maka Mr. Smith juga merupakan Subjek Pajak Dalam Negeri.

Mr. David Wang mulai bekerja di Indonesia bulan Desember 2009 tapi berniat untuk

menetap di Indonesia, maka untuk tahun pajak 2009Mr. David Wang dianggap sudah

Subjek Pajak Dalam Negeri dan dikenakan pajak dengan tarif PPh Dalam Negeri (Pasal 17

UU PPh).

2. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak Warisan

dianggap sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri dengan mengikuti status pewaris, dimana

pemenuhan kewajiban pajaknya digantikan oleh warisan tersebut. Selanjutnya bila warisan

tersebut telah dibagi, maka kewajiban pajaknya beralih kepada ahli waris. Apabila warisan

tersebut ditinggalkan oleh Wajib Pribadi Orang Pribadi Luar Negeri yang tidak menjalankan

usaha melalui BUT maka warisan tersebut tidak dianggap sebagai subjek pajak pengganti.

(Penjelasan Pasal 3 UU PPh).

Page 2: PPh OP

Pajak Penghasilan Orang Pribadi

2

Contoh :

Tuan Amir, seorang wajib pajak dalam negeri, meninggal dan mewariskan “UD Maju” kepada

para ahli warisnya. Tetapi proses pembagian warisan berlangsung lama. Selama belum

ditentukan siapa pewaris “UD Maju” kewajiban pajak Tuan Amir dilaksanakan oleh “UD

Maju”. Perhitungan PPh atas warisan ini tidak dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak

(PTKP). Setelah jelas pembagian harta “UD Maju”, pajak atas laba “UD Maju” dikenakan atas

nama pewarisnya.

B. Subjek Pajak Orang Pribadi Luar Negeri

Subjek Pajak Orang Pribadi Luar Negeri adalah orang pribadi yang tidak bertempat

tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12

bulan, tapi memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Contoh 1 :

Mr. Black tidak pernah ke Indonesia tapi membeli saham PT Astra International di BEJ

melalui brokernya di New York. Bila PT Astra International membagi deviden kepada Mr.

Black deviden tersebut akan tetap dipotong pajak dan dikenakan tarif PPh luar negeri ( Pasal

26).

Contoh 2 :

Mr. Toh bekerja di Indonesia selama 2 bulan (expatriat). Karena Mr. Toh tinggal di

Indonesia kurang dari 183 hari maka atas gaji Mr. Toh tidak dipotong PPh Pasal 21 tetapi

PPh Pasal 26. (asumsi negara domisili Mr. Toh tidak memiliki Tax Treaty dengan Indonesia).

Subjek Pajak Orang Pribadi Luar Negeri dapat memperoleh penghasilan dari Indonesia

dengan cara menanam modal seperti Mr. Black atau dengan bekerja di Indonesia seperti Mr.

Toh diatas. Cara lain adalah dengan berusaha di Indonesia atas nama Pribadi (bukan atas

nama suatu perusahaan di LN). Apabila Orang Pribadi Luar Negeri memiliki usaha di

Indonesia dengan nama pribadi lebih dari 183 hari maka usaha tersebut akan berstatus

sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT). BUT tersebut akan dikenakan pajak seperti Wajib Pajak

Dalam Negeri.

Contoh 3 :

Mr. Tan berdomisili di Singapura tetapi membuka jasa konsultan di Indonesia berupa

kantor cabang maka Mr. Tan dapat diartikan sebagai BUT Orang Pribadi yang menjalankan

usaha di Indonesia tetapi tidak bertempat tinggal di Indonesia.

Batasan 183 hari adalah batasan waktu (time test) yang digunakan untuk memutuskan status

wajib pajak jika antara Indonesia dan Negara asal WP LN belum ada tax treaty. Bila antara

Indonesia dan Negara asal WP LN sudah ada tax treaty maka batasan waktu yang digunakan

didasarkan ketetapan dalam tax treaty.

Contoh 4 :

Indonesia dan Swedia sudah memiliki tax treaty yang menyebutkan bahwa time test

untuk pengenaan PPh atas pekerjaan bebas perorangan adalah 90 hari. Jadi khusus untuk

warga Negara Swedia jika memiliki usaha bebas di Indonesia kurang dari 90 hari adalah

wajib pajak Luar Negeri sedangkan jika melebihi 90 hari adalah wajib pajak Dalam Negeri.

Dari sudut pemenuhan kewajiban perpajakan, perbedaan antara Subjek Pajak Dalam Negeri

dan Luar Negeri sebagai berikut:

Kewajiban Perpajakan

Subjek Pajak

Dalam Negeri

Subjek Pajak

Luar Negeri

Negara Sumber Peng- hasilan yang

dikenakan Pajak

Penghasilan dari

Indonesia dan dari luar Indonesia (World Wide Income)

Penghasilan yang bersala dari Indonesia saja (asas sumber

Page 3: PPh OP

3

Dasar Pengenaa Pajak Dikenakan PPh

berdasarkan penghasilan netto dengan tarif umum

Dikenakan Pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif sepadan

Tarif Pajak PPh Pasal 17 Tarif PPh Pasal 26 jika belum ada Tax treaty atau sesuai dengan tax treaty jika sudah ada

Kewajiban penyampaian SPT

Wajib menyampaikan SPT Tahunan

Tidak wajib

Orang-Orang Yang Dikecualikan Sebagai Subjek PPh Orang Pribadi:

Terdapat beberapa orang yang walaupun tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam 1

tahun tetapi tidak dianggap sebagai subjek pajak sehingga tidak dikenakan pajak (Pasal 3 UU PPh)

a. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara

asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan

bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan WNI dan di Indonesia tidak

menerima atau memperoleh penghasilan lain di Indonesia, serta negara yang bersangkutan

memberikan perlakuan timbal balik. Contoh para duta besar, konsulat, atase beserta

keluarganya;

b. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri

Keuangan dengan syarat bukan WNI dan tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan

atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia. Contoh Staf Perwakilan

UNESCO, UNICEF dan organisasi internasional lain yang tercantum dalam KMK

No.574/KMK.04/2000 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri

Keuangan nomor: 166/PMK.011/2012

Orang-orang diatas tidak memenuhi kewajiban pajak subjektif dan karenanya tidak menjadi

wajib pajak.

SAAT TIMBUL DAN BERAKHIRNYA KEWAJIBAN PAJAK SUBJEKTIF

Kewajiban pajak subjektif akan timbul serta berakhir karena keadaan-keadaan dibawah ini.

Pada saat kewajiban pajak subjektif mulai timbul, barulah seseorang dapat dikenakan pajak. Jika

kewajiban pajak subjektif sudah berakhir maka ia tidak dapat dikenakan pajak.

A. Subjek Pajak Dalam Negeri

1. Orang Pribadi

Dimulai saat orang pribadi tersebut dilahirkan, berada atau berniat untuk bertempat

tinggal di Indonesia;

Contoh :

Mr. Green menandatangani kontrak bekerja di Indonesiaselama 1 (satu) tahun.

Maka pada saat penandatanganan kontrak tensebut Mr. Green dianggap sudah berniat

untuk bertempat tinggal di Indonesia dan sudah merupakan Subjek Pajak Dalam

Negeri.

Berakhir pada saat orang pribadi tersebut meninggal dunia atau meninggalkan

Indonesia untuk selama-lamanya. Contoh : Belum genap 1(satu) tahun bekerja di

Indonesia Mr. Green sudah meninggal, maka kewajiban pajak subjektifnya berakhir.

2. Warisan

Dimulai saat warisan yang belum terbagi itu timbul dan berakhir pada saat warisan

tersebut selesai dibagikan kepada ahli waris.

Contoh :

Tuan Amir, meninggal dan mewariskan ” UD Maju” kepada para ahli warisnya.

Pada saat meninggal itulah “UD Maju” menjadi subjek pajak. Setelah “UD Maju” habis

Page 4: PPh OP

Pajak Penghasilan Orang Pribadi

4

dibagi kepada ahli waris Tuan Amir, saat itulah kewajiban pajak subjektif “UD Maju”

berakhir.

B. Subjek Pajak Luar Negeri

1. Subjek Pajak Luar Negeri yang memperoleh penghasilan dengan bekerja pada

perusahaan atau berinvestasi di Indonesia.

Kewajiban pajak subyektifnya dimulai pada saat orang pribadi tersebut memperoleh

atau menerima penghasilan di Indonesia; Berakhir pada saat orang pribadi tersebut

tidak lagi memperoleh atau menerima penghasilan di Indonesia.

Contoh :

Mr.Black menjual saham PT Astra Internasional kepada pihak lain. Saat

sahamnya tersebut terjual ia bukan lagi Wajib Pajak Luar Negeri.

Mr Toh tidak lagi bekerja di Indonesia, maka saat itu ia bukan lagi Wajib Pajak

Luar Negeri.

2. Subjek Pajak Luar Negeri yang memperoleh penghasilan di Indonesia dengan membuka

usaha (menjalankan BUT)

Kewajiban pajak subyektifnya dimulai pada orang pribadi tersebut menjalankan usaha

atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia; Berakhir pada saat orang pribadi

tersebut tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

Contoh :

Mr. Tan menutup usaha jasa konsultan atas nama pribadinya di Indonesia. Saat itu ia

bukan lagi Wajib Pajak Luar Negeri.

Apabila kewajiban pajak subjektif orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di

Indonesia hanya meliputi sebagian Tahun Pajak, maka bagian Tahun Pajak tersebut

menggantikan Tahun Pajak.

Contoh :

Mr. Green mulai bekerja di Indonesia pada awal April 2009 (Tahun Pajak 2009). Walaupun

bekerja tidak satu tahun penuh tetapi bagian Tahun Pajak 2009 (April - Desember 2009)

tersebut dianggap Tahun Pajak 2009.

SUBJEK PAJAK YANG MEMILIKI HUBUNGAN ISTIMEWA

Terdapat subjek pajak-subjek pajak orang pribadi yang dianggap memiliki hubungan

istimewa satu sama lain. Hubungan istimewa tersebut timbul jika Subjek Pajak Orang Pribadi

memiliki hubungan keluarga baik sedarah ataupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau

ke samping satu derajat (pasal 18 ayat (4) UU PPh). Yang dimaksud dengan orang-orang yang

memiliki hubungan istimewa adalah keluarga baik sedarah ataupun semenda dalam garis

keturunan lurus dan atau ke samping satu derajat yaitu :

- hubungan sedarah;

ayah, ibu, dan anak (garis keturunan lurus satu derajat)

saudara kandung atau saudara tiri (garis keturunan ke samping satu derajat).

- hubungan keluarga semenda;

mertua dan anak tiri (garis keturunan lurus satu derajat)

kakak ipar atau adik ipar (garis keturunan ke samping).

Status hubungan istimewa diatas akan berpengaruh pada 2 hal yaitu :

a. penggabungan penghasilan anak yang belum dewasa dengan penghasilan orang tuanya. Pasal

8 ayat (4) UU PPh mendefinisikan anak yang belum dewasa sebagai anak yang berumur

kurang dari 18 tahun dan belum menikah;

Page 5: PPh OP

5

b. keuntungan atas jual beli aktiva tetap diantara orang pribadi yang memiliki hubungan

istimewa dihitung dengan cara mengurangkan harga pasar wajar aktiva tersebut dengan nilai

bukunya (Pasal 10 (A)). Harga Pasar disini adalah nilai yang seharusnya diterima dalam

transaksi normal (arm-length transaction).

Page 6: PPh OP

Pajak Penghasilan Orang Pribadi

6

BAB II

OBJEK PPh ORANG PRIBADI

OBJEK PAJAK

Setelah kita memahami siapa saja yang dikenakan PPh, selanjutnya harus dipahami apa saja yang dikenakan PPh. Kedua syarat ini, syarat subjek dan syarat objek harus terpenuhi agar WP dapat dikenakan PPh. Subjek pajak akan menjadi wajib pajak jika ia memiliki penghasilan yang merupakan objek pajak.

Objek PPh Orang Pribadi adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh oleh Orang Pribadi, baik yang berasal dari Indonesia atau dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.Dalam pasal 4 ayat (1) UU PPh ditegaskan contoh tambahan kemampuan ekonomis, yang dapat dikelompokkan menjadi 4 macam yaitu :

A. Penghasilan dari pekerjaan. 1. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau

diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang;

2. hadiah dari pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.

B. Penghasilan dari usaha atau pekerjaaan bebas 1. laba usaha;

2. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.

C. Penghasilan dari modal (investasi) 1. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk :

a. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;

b. keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota;

c. keuntungan pengalihan harta dalam likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha; atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;

d. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjangtidak ada hubungandengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan

e. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;

2. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang; 3. deviden, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan

asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian laba sisa hasil usaha koperasi; 4. royalti atau imbalan atas penggunaan hak

5. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.

Page 7: PPh OP

7

D. Penghasilan lain-lain 1. hadiah dari undian. 2. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya; 3. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala; 4. keuntungan karena pembebasan utang kecuali sampai jumlah tertentu yang ditetapkan

dengan Peraturan Pemerintah; 5. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing; 6. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum Dikenakan pajak. 7. penghasilan dari usaha berbasis syariah 8. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam UU yang mengatur mengenai KUP 9. surplus Bank Indonesia Dari penegasan bahwa tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajakmerupakan objek pajak dapat disimpulkan bahwa semua penghasilan adalah objek pajak kecuali ditetapkan sebaliknya. Dalam pasal 4 ayat (2) ditentukan bahwa jenis-jenis penghasilan tertentu pajaknya ditetapkan secara final sehingga semua jenis penghasilan di Indonesia dapat di golongkan menjadi 3 macam yaitu : 1. Penghasilan yang merupakan Objek Pajak yang dipotong PPh Final(Pasal 4 ayat (2)); 2. Penghasilan yang merupakan Objek Pajak PPh tidak bersifat final(Pasal 4 ayat (1)); 3. Penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak(Pasal 4 ayat (3)).

OBJEK PAJAK YANG DIKENAKAN PPh FINAL PPh yang bersifat final artinya PPh yang dipotong atau dibayar sendiri dari suatu penghasilan

yang pada akhir tahun tidak akan diperhitungkan sebagai pembayaran pajak dimuka (kredit pajak). Karena PPh yang dipotong tersebut tidak lagi diperhitungkan sebagai pembayaran pajak dimuka (kredit pajak) maka pada akhir tahun penghasilan yang dipotong PPh Final juga tidak lagi dihitung ulang PPh-nya (tidak lagi diperhitungkan di SPT Tahunan) Contoh:

Tn. Sunaryo memiliki gedung bernama “MENARA” dan menyewakan gedung tersebut ke pihak lain. PT BINA ARTHA menyewa salah satu ruangan di gedung MENARA. Karena penghasilan sewa ruangan ditetapkan sebagai penghasilan yang dikenakan PPh Final sebesar 10% maka pada saat membayar uang sewa, PT BINA ARTHA membayar uang sewa sebesar 90% dan menyerahkan bukti potong PPh Final 10%. Oleh Tn. Sunaryo, penghasilan sewa ruangan tersebut tidak lagi diperhitungkan dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi. Selain itu potongan pajak final atas sewa ruangan juga tidak lagi diperhitungkan sebagai kredit pajak pada SPT Tahunan.

Karena kekhasan karakteristik pengenaan PPh final seperti diatas maka WP yang memiliki penghasilan final harus memisahkan pencatatan penghasilan-penghasilan yang dikenakan PPh Final dari penghasilan-penghasilan yang dikenakan PPh biasa (PPh non final). Konsekuensi lain dari pengenaan PPh Final atas suatu penghasilan adalah harus dipisahkan juga biaya-biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk mendapatkan penghasilan yang dikenakan PPh Final. Biaya-biaya tersebut tidak boleh dimasukkan sebagai pengurang penghasilan dalam menghitung PPh terutang pada akhir tahun di SPT Tahunan PPh Orang Pribadi.

Contoh:

Untuk membuat kontrak sewa ruangan sebagaimana contoh diatas, Tn. Sunaryo membayar biaya notaris sebesar Rp. 5.000.000,-. Karena biaya notaris tersebut digunakan untuk mendapatkan penghasilan yang dipotong PPh final maka biaya notaris tersebut tidak boleh diperhitungkan lagi dalam PPh akhir tahun dalam SPT Tahunan. Dengan prinsip tidak adanya penghitungan ulang PPh atas penghasilan yang dikenakan PPh final maka bagi WP yang seluruh penghasilannya dikenakan PPh Final, pada akhir tahun cukup menuliskan kata” NIHIL” pada kolom-kolom SPT SPT Tahunan. Formulir SPT yang perlu diisi hanyalah formulir data-data PPh final (Form 1770-III SPT 1770 bagi WP Orang Pribadi atau Induk hal ke-2 SPT 1770 S).

Contoh:

Page 8: PPh OP

Pajak Penghasilan Orang Pribadi

8

Tuan Teguh memiliki usaha jasa konstruksi dengan sertifikasi usaha kecil dari GAPENSI. Setiap tender yang dia menangkan tidak lebih dari 1 miliar rupiah. Atas setiap penghasilan dari jasa konstruksi tersebut telah dipotong PPh Final. Apabila Tuan Teguh tidak memiliki penghasilan lain dan semua penghasilan berasal dari jasa konstruksi yang telah dikenakan PPh final maka tidak perlu lagi menghitung ulang PPh terutang dalam SPT Tahunan dan SPT Tahunan-nya cukup diisi “NIHIL”.

Peraturan Pemerintah No.46 tahun 2013 jo PMK-107/PMK.11/2013 mengatur mengenai Objek

Pajak baru yang dikenakan PPh Final Pasal 4(2) dengan tarif 1% yakni Orang Pribadi atau Badan yang menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari usaha sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000,00 (empat miliar delapan ratus juta) dalam 1 (satu) tahun pajak.

Adapun penghasilan dari usaha sehubungan dengan pekerjaan bebas meliputi:

a. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;

b. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;

c. olahragawan; d. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator; e. pengarang, peneliti, dan penerjemah;. f. agen iklan; g. pengawas atau pengelola proyek; h. perantara; i. petugas penjaja barang dagangan; j. agen asuransi; dan k. distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan langsung

(direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.

Selain itu Tidak termasuk Wajib Pajak yang dikenakan PPh Final adalah orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya yang menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang baik yang menetap maupun tidak menetap dan menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum juga tidak termasuk wajib pajak yang dikenakan PPh Final yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan. Begitu juga dengan WP Badan, Tidak termasuk Wajib Pajak yang dikenakan PPh Final yakni

a. WP Badan Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; b. atau Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara

komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Contoh: Agus Hidayat menjalankan usaha bengkel reparasi motor sekaligus menjual suku cadangnya.

Agus Hidayat yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak tahun 2009 memiliki 2 (dua) buah bengkel yang berada di wilayah yang berbeda, yakni bengkel A terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) X dan bengkel B terdaftar di KPP Y. Berdasarkan pencatatannya selama tahun 2013 masing-masing bengkel tersebut memiliki peredaran bruto sebagai berikut:

Peredaran bruto bengkel A = Rp 100.000.000,00 Peredaran bruto bengkel B = Rp 150.000.000,00 Peredaran bruto yang dijadikan dasar penentuan tarif PPh yang bersifat final adalah jumlah

peredaran bruto bengkel A dan bengkel B yakni sebesar Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).

Page 9: PPh OP

9

Karena total peredaran bruto selama tahun 2013 kurang dari Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) maka atas penghasilan dari usaha yang diterima oleh Agus Hidayat pada tahun 2014 dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 1% (satu persen) dari peredaran bruto.

Misalkan pada bulan Januari 2014, Agus Hidayat memperoleh peredaran bruto dari bengkel

A sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan dari bengkel B sebesar Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), maka paling lambat pada tanggal 17 Februari 2014 (karena tanggal 15 Februari jatuh pada hari Sabtu), Agus Hidayat wajib menyetorkan PPh yang bersifat final sebesar: a. Bengkel A

PPh = 1% x Rp 10.000.000,00 = Rp 100.000,00 (dilaporkan ke KPP X) B. Bengkel B PPh = 1% x Rp 15.000.000,00 = Rp 150.000,00 (dilaporkan ke KPP Y)

Adapun jenis-jenis penghasilan yang dikenakan PPh Final beserta tarif dan Dasar Hukumnya secara lengkap dapat dilihat dibawah ini :

Daftar Penghasilan WP Orang Pribadi Yang Dikenakan PPh Final

NO OBJEK PAJAK TARIF DASAR HUKUM

Penghasilan yang diterima oleh WP OP atau Badan dengan peredarab bruto tidak lebih dari 4,8,00.000.

1% dari Bturo 1 (satu bulan)q PP.46 Th 2013 PMK-107/PMK.11/13

1

Penghasilan yang diterima/diperoleh WP OP dari transaksi penjualan saham di bursa efek: - untuk semua transaksi semua saham - untuk transaksi penjualan saham sendiri

0,1% x Ph Bruto (0,1% x PPh Bruto) + (0,5% x nilai saham pada saat IPO)

PP No. 41/1994 jo. PP No. 14/1997 jo. KMK-282/KMK.04/1997 SE-06/Pj.04/1997 jo. PMK-256/PMK.03/2009

2 Penghasilan WPOP berupa hadiah undian 25% X Ph Bruto PP No. 132/2000

3 Penghasilan bunga deposito yang diterima WPOP, termasuk simpanan pada bank DN yang memiliki cabang di LN

20% x Ph Bruto PP No. 131/2000 KMK-51/KMK.04/2000

4 Penghasilan bunga tabungan, jasa, giro, dan diskonto SBI 20% x Ph Bruto

5 Penghasilan WPOP dari sewa tanah dan/atau bangunan 10 % x Ph Bruto PP No. 5/2002 jo.

6 Penghasilan yang diterima oleh WPOP dari investor atas penyerahan bangunan dengan kontrak BUT

5% x Nilai tertinggi dari nilai pasar dan NJOP

KMK-284/KMK.04/1995 jo. PMK.257/PMK.03/2009

7 Penghasilan WPOP yang melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah/bangunan

5% x Nilai tertinggi dari nilai pengalihan dan NJOP

PP No. 48/1994 jo. PP No. 27/1996 jo. PP No. 79/1999 jo. KMK-392/KMK.04/1996 SE-04/PJ.33/1996 jo. PMK-243/PMK.03/2009

Page 10: PPh OP

Pajak Penghasilan Orang Pribadi

10

8

Penghasilan yang diterima/diperoleh WP OP atau Badan berupa bunga atau diskonto obligasi yang dijual di bursa efek :

- Diterima WP DN - Diterima WP LN

20% x Ph Bruto 20 % x Ph Bruto

PP No. 139/2000 KMK-558/KMK.04/2000 PP No. 6/2002 jo. PMK-258/PMK.04/2009

9 Penghasilan WPOP berupa selisih lebih karena revaluasi aktiva tetap

10% x selisih dari nilai appraisal dan NSBF

KMK-486/KMK.03/2002

10

Penghasilan yang diterima/diperoleh WPOP DN sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan tertentu berupa :

- Uang tebusan pensiun & THT yang dibayar sekaligus

- Uang Pesangon

5 % x s.d 50 juta 15 % x (>50 juta s.d 250 juta) 25 % x (>250 juta s.d 500 juta) 30% x (>500 juta)

PP No. 149/2000 jo. PMK-252/PMK.03/2009

11 Penghasilan yang diterima oleh OP dengan status WPLN berupa imbalan atas pekerjaan, jasa atau kegiatan

20 % x Ph Bruto

Pasal 26 UU PPh jo. KEP-545/Pj./2000 jo. PMK-252/PMK.03/2009

12

Penghasilan yang diterima oleh pejabat negara, PNS, TNI/Polri dan pensiunan berupa honorarium dan imbalan lainnya yang dibebankan kepada keuangan negara atau keuangan daerah, kecuali pegawai golongan II/d ke bawah

15% x Ph Bruto

PP No. 45/1994 jo. KMK-636/KMK.04/1994 PER-15/Pj./2006 jo. PMK-252/PMK.03/2009

13 Penghasilan WP OP berupa bunga simpanan anggota koperasi

15% x Ph Bruto Pasal 23 ayat (1) UU PPh KMK-522/KMK.04/1998

14

Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia yang diterima WP LN selain BUT di Indonesia dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di LN

20 % x perkiraan penghasilan bruto

PPh Pasal 26

PENGHASILAN YANG BUKAN OBJEK PAJAK

Penghasilan yang bukan objek pajak adalah penghasilan yang tidak dikenakan PPh. Jadi pada

saat menerima penghasilan yang bukan objek PPh, penerima penghasilan tersebut tidak dipotong

PPh. Pemberi penghasilan tersebut tidak boleh memotong PPh dan pada akhir tahun penghasilan

tersebut tidak dihitung ulang PPh-nya dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi.

Contoh:

Tn. A memperoleh penghasilan dari berupa bagian laba tahun 2009 CV. ABC sebesar Rp.

23.000.000,00. Dalam struktur kepengurusan CV tersebut Tn. A merupakan sekutu tidak aktif. Oleh

karena penghasilan tersebut berasal dari bagian laba CV, maka berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf i

bukan merupakan objek pajak.

Karakteristik penghasilan yang bukan objek PPh diatas mengandung konsekuensi yang hampir

sama dengan penghasilan yang dikenakan PPh final. WP yang memiliki penghasilan yang bukan

objek PPh harus memisahkan pencatatan penghasilan-penghasilan yang bukan objek PPh dari

penghasilan-penghasilan yang dikenakan PPh biasa. (PPh Non final). Demikian juga halnya dengan

biaya-biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk mendapatan penghasilan yang bukan objek PPh.

Biaya-biaya tersebut tidak boleh dimasukkan sebagai pengurang penghasilan dalam menghitung

PPh terutang pada akhir tahun di SPT Tahunan.

Adapun jenis-jenis penghasilan yang bukan merupakan objek pajak berdasarkan Pasal 4 ayat

(3) dapat dikelompokkan menjadi beberapa kriteria/alasan yaitu :

A. Alasan Pengalihan Titik Pemajakan

Penghasilan yang tidak menjadi objek pajak karena alasan pengalihan titik pemajakan adalah

1. a. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau

lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang

diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang

sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh

lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang

Page 11: PPh OP

11

diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan

atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan

b. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus

satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan,

koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang

ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan,

sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau

penguasaan diantara pihak-pihak yang bersangkutan;.

2. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau

diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau

Pemerintah;

Penghasilan-penghasilan di atas bukan merupakan objek pajak karena titik pemajakan

atas penghasilan tersebut bukan pada pihak yang menerima tetapi pada pihak yang

memberikan penghasilan. Pihak yang menyerahkan penghasilan dikenakan pajak dengan

cara tidak dapat membiayakan pengeluaran tersebut. Dengan demikian pajak atas

sumbangan, bantuan dan penggantian dalam bentuk natura dikenakan bukan pada pihak

yang menerima sumbangan, bantuan atau natura tetapi pada pihak yang memberikan

penghasilan tersebut.

B. Alasan Pengalihan Saat Pemajakan

Penghasilan yang tidak menjadi objek pajak karena alasan pengalihan saat pemajakan

adalah pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan

asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi

beasiswa

Pajak atas pembayaran asuransi sebagaimana disebutkan di atas dialihkan saat

pengenaannya, tidak pada saat menerima klaim tetapi pada saat membayar premi dengan

cara premi yang dibayar oleh pemberi kerja digabung dalam penghasilan gaji karyawan.

C. Alasan Penegasan Standar Akuntansi

Penghasilan yang tidak menjadi objek pajak karena alasan penegasan standar akuntasi

adalah :

1. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau

sebagai pengganti penyertaan modal;

2. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang

modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan

kongsi.

D. Alasan Perdata

Penghasilan yang tidak menjadi objek pajak karena alasan perdata adalah warisan;

KASUS

SUBJEK DAN OBJEK PPh OP

A. Kasus Wajib Pajak Orang Pribadi Karyawan

1. Tn Adam bekerja di PT X. Pada bulan Maret 2007 ia memasuki usia pensiun sehingga

gaji yang diterima hanya bulan Januari sampai Maret 2009 sebesar Rp. 15 juta. Akhir

Maret 2009 ia menerima pesangon sebesar Rp. 300 juta. Mulai bulan April 2009 dan

seterusnya ia menerima pensiun setiap bulan sebesar Rp. 2 juta, total tahun 2009

adalah 9 bulan = 18 juta. Uang pesangon sebesar Rp. 300 juta digunakan sebagai

berikut:

1). Rp.100 juta dibelikan ruko dan langsung disewakan mulai bulan April 2007 sebesar

Rp.1 juta per bulan

Page 12: PPh OP

Pajak Penghasilan Orang Pribadi

12

2). Rp.100 juta digunakan untuk modal CV yang ia dirikan bulan April 2009

3). Rp.100 juta didepositokan dengan bunga 1 juta/bulan selama 9 bulan = 9 juta

Sebagai Persero aktif di CV, Tn Adam mendapat gaji sebesar Rp. 1 juta/bulan selama

9 bulan = Rp. 9 juta. Untuk menambah modalnya di CV, Tn Adam telah menjual

mobilnya dan mendapat untung Rp.10 juta.

Pertanyaan:

Sebutkan penghasilan yang diterima Tn Adam tahun 2007. Bagaimana perlakuan pajak atas

penghasilan-penghasilan tersebut

Jawab:

No. Jenis penghasilan Jumlah

Penghasilan

Perlakuan Pajaknya

1. Gaji bulan Januari-Maret Rp. 15 jt PPh non final

2. Uang Pensiun bulan April-Desember Rp. 18 jt PPh non final

3. Pesangon Rp. 300 jt PPh final

4. Hasil sewa ruko Rp. 10 jt PPh final

5. Bunga deposito Rp. 9 jt PPh final

6. Gaji dari CV Rp. 9 jt Bukan objek pajak

7. Keuntungan jual mobil Rp. 10 jt PPh non final

Jawab:

· Tidak perlu lapor setiap bulan karena berstatus karyawan (KMK-535/KMK.04/2000)

· Cukup Lapor SPT Tahunan 1770S

· Menghitung pajak dengan menjumlahkan penghasilan gaji dan penghasilan lainya.

B. Kasus Wajib Pajak Orang Pribadi dengan Pekerjaan Bebas

dr. Herman adalah dokter spesialis anak. Ia bekerja sebagai PNS di RSUD Koja. Pada sore hari ia berpraktek di klinik Husada dengan pendapatan berupa honorarium. Selain itu pada malam hari ia berpraktek di rumahnya. Ia sudah memiliki NPWP. Hal-hal apa saja yang harus dilakukan oleh dr. Herman agar ia terhindar dari sanksi-sanksi perpajakan

Jawab:

· Harus lapor SPT masa pasal 25 setiap bulan karena ia memiliki penghasilan dari

pekerjaan bebas;

· Mengisi SPT Tahunan PPh Orang Pribadi 1770;

· Menghitung pajak dengan norma perhitungan penghasilan netto untuk hasil praktek di

rumah (KMK-536/KMK.04/2000) atau dengan pembukuan.

· Menggabungkan hasil perhitungan penghasilan netto tersebut di atas dengan

penghasilan gaji dari RSUD dan honorarium dari klinik husodo.

2. Tn. Amir adalah Direktur Utama PT XYZ. Baru-baru ini direksi dan pemegang saham

PT XYZ dihimbau oleh kantor pajak untuk ber-NPWP.

Tn. Amir merasa bahwa selama ini setiap bulan gajinya sudah dipotong pajak, sehingga

ia bertanya kepada Anda, apakah konsekuensi setelah ia memiliki NPWP ?

Page 13: PPh OP

13

BAB III

PEMBUKUAN

Wajib Pajak diharuskan membayar pajak berdasarkan transaksi atau kegiatan yang dilakukannya. Wajib Pajak harus membuktikan kepada aparat pajak (dalam pemeriksaan) bahwa kegiatan pembayaran pajak atau dasar pembayaran pajak sudah sesuai dengan aturan perpajakan. OIeh karena itu, untuk mendokumentasikan kegiatan Wajib Pajak tersebut, Wajib Pajak harus mengadakan pembukuan atau pencatatan. Wajib Pajak badan wajib melakukan pembukuansedang Wajib Pajak orang pribadi dengan kriteria tertentu diperbolehkan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto. Kegiatan pembukuan sesuai dengan Pasal 28 UU KUP:

a. Pembukuan mencerminkan kegiatan usaha secara wajar keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya;

b. Wajib pembukuan (badan) dan boleh melakukan pencatatan (orang pribadi pengusaha); c. Perkiraan minimal Asset, Liabilities, Equity, Revenue, dan Expenses serta Sales and Purchases

sebagai dasar untuk menghitung PPh terutang; d. Pembukuan secara taat asas; e. Stelsel kas atau stelsel aktual; f. Menggunakan huruf Latin, angka Arab, mata uang rupiah dan disusun dengan bahasa

Indonesia atau dalam bahasa asing yang diijinkan Menteri Keuangan (penggunaan mata uang selain rupiah dan bahasa asing harus izin dengan Menteri Keuangan yang dalam praktiknya didelegasikan Kepada Dirjen Pajak);

g. Pembukuan disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di tempat kedudukan Wajib Pajak Badan.

PEMBUKUAN ELEKTRONIK / ONLINE

Wajib Pajak yang melakukan pembukuan secara elektronik atau program aplikasi online wajib menyimpan softcopy di Indonesia selama 10 tahun.

P E N C A T A T A N Mulai 1 Januari 2001, Wajib Pajak dituntut untuk melakukan pencatatan penghasilan yang

diterima selama 1 (satu) tahun (personal accounting). Kewajiban pencatatan ini tidak hanya sebatas terhadap Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha, namun juga Wajib Pajak orang pribadi karyawan. Pencatatan ini memang menjadi keharusan dikarenakan dalam SPT PPh Orang Pribadi (1770-S/1770) diwajibkan adanya pencantuman harta dan kewajiban, sehingga pencatatan menjadi penting karena menjadi sumber data yang digunakan.

a. Pencatatan wajib dilakukan oleh WP Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (Pasal 14 UU PPh jo. PMK-01/PMK.03/2007) dan WP Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

b. Pencatatan peredaran dan/atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto oleh Wajib Pajak orang pribadi meliputi seluruh peredaran dan/atau penerimaan dan/atau penghasilan bruto yang telah diterima secara tunai.

c. Pencatatan harus dibuat dalam suatu Tahun Pajak, yaitu jangka waktu 1 (satu) tahun kalender mulai tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember.

d. Pencatatan harus dibuat secara kronologis dan sistematis berdasarkan urutan tanggal diterimanya peredaran dan/atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto.

e. Pencatatan dilakukan dengan menggunakan mata uang Rupiah sebesar nilai yang sebenarnya terjadi dan disusun dalam bahasa Indonesia.

Page 14: PPh OP

Pajak Penghasilan Orang Pribadi

14

f. Pencatatan harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan yang sebenarnya serta didukung dengan dokumen yang menjadi dasar pencatatan.

g. Catatan dan dokumen yang menjadi dasar pencatatan harus disimpan ditempat tinggal Wajib Pajak dan/atau tempat kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas dilakukan selama 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak berakhirnya Tahun Pajak (Per 4/PJ/2009).

NORMA PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO

Norma Penghitungan Penghasilan Neto yaitu pedoman untuk menentukan penghasilan neto Wajib Pajak, karena Wajib Pajak tersebut tidak wajib melakukan pembukuan. Wajib Pajak yang boleh menggunakan norma penghitungan adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut

a. peredaran bruto dalam satu tahun kurang dari Rp 1.800.000.000,00; b. memberitahukan Kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama dari

tahun buku; c. menyelenggarakan pencatatan; d. dalam hal Wajib Pajak tersebut tidak menyampaikan pemberitahuan kepada Dirjen Pajak

seperti tersebut di atas, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan; e. Wajib Pajak tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pencatatan atau pembukuan

atau tidak memperlihatkan pencatatan atau pembukuan atau bukti-bukti pendukungnya, maka penghasilan netonya dihitung berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Norma Penghitungan penghasilan neto ada dalam PMKP-01/PMK.03/2007

Contoh: Ali merupakan dokter yang praktek di rumah dengan jumlah penghasilan bruto dari tanggal 1 Januari - 31 Desember berjumlah Rp 1.000.000.000,00. Penghitungan penghasilan netonya adalah : 30% X Rp 1.000.000.000,00 = Rp 300.000.000,00. Berarti penghasilan neto Ali sebesar Rp 300.000.000,00

PEMBUKUAN DALAM BAHASA ASING DAN MATA UANG SELAIN RUPIAH MENURUT PMK NOMOR 196/PMK.03/2007 sebagaimana diperbaharui dengan PMK NOMOR 24/PMK.011/2012 jo Per 11/PJ/2010

Wajib Pajak yang dapat menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa asing dan mata uang selain rupiah adalah :

a. Wajib Pajak dalam rangka penanaman modal asing; b. Wajib Pajak dalam rangka kontrak karya pertambangan selain pertambangan minyak dan gas

bumi; c. Wajib Pajak dalam rangka kontrak kerja sama bagi hasil pertambangan minyak dan gas bumi; d. Bentuk Usaha Tetap ; e. Wajib Pajak yang mendaftrarkan emisi sahamnya baik sebagian maupun seluruhnya di bursa

efek luar negeri ; f. Kontrak Investasi Kolektif (KIK) yang menerbitkan reksadana dalam denominasi satuan mata

uang Dollar Amerika Serikat dan telah memperoleh Surat Pemebritahuan Efektif Pernyataan Pendaftaran dari Badan Pengawas Pasar Modal –Lemabaga keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pasar modal;

g. Wajib Pajak yang berafiliasi dengan perusahaan induk di luar negeri. h. Bahasa asing yang digunakan yaitu bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika

Serikat.

1. Pada awal tahun buku :

Penyelenggaraan pembukuan dengan menggunakan satuan mata uang mata uang Dollar Amerika Serikat untuk pertama kali dilakukan dengan bertitik tolak dari Neraca akhir tahun buku sebelumnya (dalam satuan mata uang Rupiah) yang dikonversikan ke satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs:

Page 15: PPh OP

15

a. Untuk harga perolehan harta berwujud dan/atau harta tidak berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat perolehan harta;

b. Untuk akuamulasi penyusutan dan/atau amoortisasi harta sebagaimana dimaksud pada huruf (a) menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat perolehan harta tersebut;

c. Untuk harta lainya dan kewajiban menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun buku sebelumnya , berdasarkan sistem pembukuan yang dianut yang dilakukan secara taat asas;

d. Apabila terjadi revaluasi aktiva tetap, disamping menggunakan nilai historis, atas nilai selisih lebih dikonversi ke dalam satuan mata uang dollar Amerika serikat dengan menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada saat dilakukannya revaluasi;

e. Untuk laba ditahan atau sisa kerugian dalam satuan mata uang Rupiah dari tahun – tahun sebelumnya, dikonversi ke dalam satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun buku sebelumnya, yakni kurs tengah Bank Indonesia, berdasarkan sistem pembukuan yang dianut yang dilakukan secara taat asas;

f. Untuk modal saham dan ekuitas lainnya menggunakan kurs yang sebenarnya berlakunya pada saat terjadinya transaksi;

g. Jika terdapat selisih laba atau rugi sebagai akibat konversi dari satuan mata uang Rupiah ke satuan mata uang Dollar Amerika Serikat huruf a – e, maka selisih laba atau rugi tersebut dibebankan pada rekening laba ditahan.

2. Dalam tahun berjalan :

a. Untuk transaksi yang dilakukan dengan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, pembukuannya dicatat sesuai dengan dokumen transaksi;

b. Transaksi dalam maupun luar negeri yang menggunakan satuan mata uang selain Dollar Amerika Serikat, dikonversi ke satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs yang sebenarnya berlaku ada saat terjadinya transaksi :

i. Apabila dari dokumen transaksi diketahui kurs yang berlaku,maka kurs yang dipakai adalah kurs yang diketahui dari transasksi tersebut;

ii. Apabila dari dokumen transaksi tidak diketahui kurs yang berlaku, maka kurs yang dipakai adalah kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku, berdasarkan sistem pembukuan yang dianut secara taat asas.

Tata Cara penyelenggaraan pembukuan

1. Penyelenggaraan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat oleh Wajib Pajak harus terlebih dahulu mendapat izin tertulis dari Menteri Keuangan, kecuali bagi Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Karya atau Wajib Pajak dalam rangka Kontraktor Kontrak Kerja Sama.

2. Izin tertulis tersebut dapat diperoleh Wajib Pajak dengan mengajukan surat permohonan kepada KPP, paling lambat 3 (tiga) bulan :

a. Sebelum tahun buku yang diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amaerika Serikat tsb dimulai;

b. Sejak tanggal pendirian bagi WP baru untuk bagian tahun pajak atau tahun pajak pertama 3. Kepala Kantor Wilayah atas nama Menteri Keuangan memberikan keputusan atas permohonan

paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan dari WP secara lengkap 4. Bila dianggap telah lewat dan kepala Kantor Wilayah belum me

mberikan keputusan agar permohonan dianggap diterima dan Kepala Kantor untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat.

5. Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Karya atau WP Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang sejak pendiriannya menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis ke KPP tempat WP terdaftar paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal pendirian.

6. Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Karya atau Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang akan menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan

Page 16: PPh OP

Pajak Penghasilan Orang Pribadi

16

mata uang Dollar Amerika Serikat, wajib menyampaiakan pemberitahuan secara tertulis ke KPP tempat WP terdaftar paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum tahun buku yang diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat tsb dimulai.

Bagi WP yang diizinkan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, berlaku ketentuan konversi ke satuan mata uang Dollar Amerika Serikat sbb :

1. Besarnya PPh Pasal 25 untuk Tahun Pajak pertama penyelenggaraan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat adalah sebesar PPh Pasal 25 dalam satuan mata uang Rupiah yang dikonversikan dengan menggunakan kurs tengah BI yang berlaku :

2. Pembayaran PPh Pasal 25 dan Pasal 29 serta PPh Final yang dibayar sendiri oleh WP yang memperoleh izin untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, dapat dilakukan dalam satuan mata uang Rupiah.

3. Dalam hal pembayaran pajak tsb diatas dilakukan dalam satuan mata uang Rupiah, WP harus mengkonversikan pembayaran dalam satuan mata uang Rupiah tsb ke satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs yang ditetapkan dalam KMK yang berlaku pada tanggal pembayaran.

WP yang diizinkan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, wajib menyampaikan SPT PPh WP Pajak Badan beserta lampirannya dalam bahasa Indonesia kecuali lampiran berupa laporan keuangan, dan menggunakan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat.

Wajib Pajak yang tidak dapat izin atau masih menunggu keputusan Izin pemakain pembukuan Bahasa inggris masih wajib mengunakan pembukuan bahasa indonesia. Pembukuan mengunakan bahasa inggris berlaku mulai dari awal tahun akuntansi dan sampai dengan 5 (lima) tahun sampai izin tersebut di cabut.

Kerugian fiskal tahun sebelumnya yang masih mengunakan bahasa Indonesia dikompensasikan kedalam satuan mata uang dollar dengan menggunakan pembukuan bahasa indonesia. Pembukuan menggunakan bahasa inggris berlaku mulai dari awal tahun akuntansi dan sampai dengan 5 (lima) tahun sampai izin tersebut dicabut.

Kerugian fiskal tahun sebelumnya yang masih menggunakan bahasa Indonesia dikompensasikan kedalam satuan ma ta uang dollar dengan menggunakan kurs tengah BI yang berlaku pada saat kerugian fiskal tersebut terjadi.

Pencabutan izin pembukuan dengan bahasa asing dapat dilakukan oleh WP dengan syarat a. disampaikan dengan tertulis kepada DJP WP terdaftar paling lama 3 (tiga) bulan sebelum

tahun buku berakhir. b. mengungkapkan alasan pencabutan (sebenarnya) c. Berakhirnya waktu penggunaan izin penggunaan pembukuan bahsa asing

PEMINDAHBUKUAN Dasar hukum Pemindahbukuan (Pbk) adalah Keputusan Menteri Keuangan No.

88/KMK.04/1991 jo. Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-965/PJ.9/1991 jo. Surat Edaran Dirjen Pajak No SE-26/PJ.9/1991. Hingga berlakunya UU 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan aturan tentang Pemindahbukuan belum ada perubahan sehingga dalam hal-hal tertentu terutama berkaitan dengan istilah tersebut harus dipahami dalam istiah yang baru (SKPPP: Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak sekarang menjadi SKPLB (Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar).

Dasar dilakukannya Pemindahbukuan :

a. Adanya kelebihan pembayaran pajak yang besarnya dinyatakan dalam SKKPP (baca : SKPLB). Dalam hal Wajib Pajak mengalami hal tersebut maka atas kelebihan pembayaran pajak tersebut tidak langsung direstitusi tetapi oleh Dirjen Pajak akan dipindah bukukan ke utang-utang pajak yang ada terlebih dahulu, baik PPh, PPN, maupun pajak lainya.

Page 17: PPh OP

17

b. Telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang yang besarnya dinyatakan dalam SKKPP. (Baca : SKPKB)

c. Karena adanya surat Keputusan lainnya yang menyebabkan timbulnya kelebihan pembayaran pajak, yaitu antara lain Surat Keputusan Keberatan/Banding yang mengakibatkan kelebihan pembayaran pajak.

d. Adanya pembayaran yang lebih besar dari pajak terutang dalam suatu ketetapan pajak yang mengakibatkan kelebihan pembayaran pajak.

e. Adanya pemberian bunga terhadap Wajib Pajak akibat keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.

f. Adanya kesalahan dalam mengisi SSP, baik yang menyangkut Wajib Pajak sendiri maupun Wajib Pajak lain.

g. Adanya pemecahan setoran pajak yang berasal dari SSP menjadi beberapa jenis pajak atau setoran dari beberapa Wajib Pajak.

Syarat Formal :

a. Diajukan Kepada Kepala KPP yang berwenang melaksanakan pemindahbukuan.

b. Diajukan secara tertulis dengan melampirkan

1. Asli SSP yang akan dipindah bukukan.

2. Asli PIB dalam hal Pbk dilakukan untuk pembayaran PPh Pasal 22 Impor atau PPN impor

3. Daftar Nominatif Wajib Pajak yang menerima Pbk untuk pemecahan SSP oleh Bendaharawan/Pemotong/Pemungut.

4. Fotokopi SPT Masa/Tahunan yang setorannya diajukan Pbk beserta pembetulannya.

5. Bukti Potong asli PPh Pasal 23 dan surat pernyataan tidak pernah membuat bukti potong PPh Pasal 23 dalam hal bukti potong tersebut belum pernah dibuat.

6. Alasan pengajuan Pbk secara jelas disertai bukti-bukti pendukung lain yang diperlukan.

c. Dalam hal nama dan pemegang asli SSP (yang mengajukan Pbk) tidak sama dengan nama dan NPWP yang tercantum dalam SSP, maka pada permohonan disamping harus menyertakan lampiran pada angka 1 sampai dengan 6 juga harus menyertakan surat pernyataan dari Wajib Pajak yang nama dan NPWP-nya tercantum dalam SSP bahwa SSP tersebut sebenarnya bukan pembayaran pajak untuk kepentingan sendiri dan tidak keberatan dipindah bukukan kepada Wajib Pajak yang mengajukan Pbk.

Pemrosesan Permohonan Pemindahbukuan Oleh KPP

Setelah menerima permohonan pemindah bukuan KPP akan melakukan hal-hal sebagai berikut :

a. Memiliki perlengkapan permohonan misalnya SSP asli, bukti potong asli, PIB asli, surat pernyataan dari Wajib Pajak yang namanya tertera dan daftar nominatif bila Wajib Pajak memohon pemecahan SSP

b. Mengkonfirmasi keabsahan pembayaran yang akan dipindahbukukan ke bank persepsi atau MPN.

c. Memastikan bahwa pembayaran pajak yang akan dipindah bukukan belum digunakan sebagai kridit pajak di SPT manapun

Contoh 1 : 1. PT Bank TaxSys (NPWP 02.000.222.4-003-000) melakukan pembayaran untuk pajak

simpanan/deposito/giro dengan kode MAP/KJS 411124-104 (PPh Pasal 23 untuk jasa) Rp 10.000.000. Seharusnya pembayaran menggunakan kode MAP/KJS 411128-404 (Pembayaran untuk PPh Pasal 4 (2) pajak simpanan/deposito/giro).

2. Atas kesalahan tersebut PT Bank TaxSys (NPWP 02.000.222.4-003-000) dapat mengajukan pemindah bukuan kepada KPP tempat PT Bank TaxSys terdaftar, dengan dilampiri SSP Asli lembar ke-1.

Page 18: PPh OP

Pajak Penghasilan Orang Pribadi

18

3. Untuk memudahkan proses pemindah bukuan dari KPP maka disarankan setiap pembayaran pajak hanya dibayarkan kepada bank persepsi atau kantor pos yang sudah on line dengan sistem MPN.

Contoh 2 :

1. PT Bank TaxSys (NPWP 02.000.222.4-003.000) melakukan pembayaran PPh Pasal 23 untuk jasa dengan kode MAP/KJS 411124 -104 Rp 10.000.000. Namun pembayaran keliru dengan NPWP PT Bina Artha (NPWP 01.209.324.4-001.000). PT Bank TaxSys terdaftar di KPP Jakarta Pulogadung sedang PT Bina Artha terdaftar di KPP Jakarta Matraman.

2. Atas kesalahan tersebut PT Bank TaxSys (NPWP 02.000.222.4-003-000) dapat mengajukan pemindahbukuan kepada KPP Jakarta Pulogadung, dengan dilampiri SSP Asli lembar ke-1. Nanti KPP Jakarta Pulogadung akan meneruskan ke KPP Jakarta Matraman atau

3. Pengajuan pemindah bukuan dilakukan oleh PT Bina Artha ke KPP Jakarta Matraman. Ketentuan mengenai pemindahbukuan mengatur yang berhak untuk mengajukan pemindah bukuan adalah kantor pelayanan pajak yang mengarsipkan SSP lembar ke-2. Dalam kasus ini arsip SSP lembar ke-2 ada di KPP Jakarta Matraman.

Page 19: PPh OP

19

BAB IV

CARA MENGHITUNG PPh PENGANTAR

Pada Bab II kita telah memahami siapa saja yang dikenakan PPh, siapa yang tidak dikenakan PPh, penghasilan apa saja yang dikenakan dan yang tidak dikenakan pajak. Pemahaman yang baik tentang subjek dan objek PPh akan mengantarkan kita kepada pemahaman bagaimana cara menghitung PPh terutang. NORMA PENGHITUNGAN PENGHASILAN

Pada prinsipnya setiap Wajib Pajak diwajibkan menyelenggarakan pembukuan, namun perlu disadari bahwa tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan. OIeh karena itu, untuk memudahkan penghitungan penghasilan netto, Wajib Pajak tertentu diperkenankan menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Netto yaitu Wajib Pajak yang peredaran bruto selama setahun kurang dari 4,8 miliar (Pasal 14 ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 2008).

Namun demikian perlu diingat kembali bahwa atas penghasilan yang tidak melebihi 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta) yang diperoleh oleh OP dan Badan adalah merupakan onbjek PPh Final 4(2), Oleh karena itu Norma Penghitungan penghasilan netto saat ini hanya relevan untuk transaksi Orang Pribadi yang melakukan pekerjaan bebas saja, yang tidak termasuk penghasilan yang dipotong PPh Pasal 4(2) Final, Contoh penggunaan Norma Perhitungan Penghasilan :

Tn Amir membuka toko keperluan rumah tangga (toko kelontong). Omzet setahun Rp.500.000.000,00. Besarnya norma untuk jenis usaha toko kelontong di Jakarta adalah 30 %. Berarti laba bersih (penghasilan neto) Tn Amir adalah Rp. 150.000.000,- dari Rp. 500.000.000,00 X 30 %.

Jawab: Normapenghasilan netto ini tidak berlaku untuk tn.Amir karena usaha toko klontong pak

amir adalah objekj Final PPh Pasal 4(2).

Contoh Kasus: dr. Almo, bertempat tinggai di Bogor dan profesi utamanya adalah dokter Rumah Sakit PMI. dr. Almo juga mendapatkan bunga dan suatu perusahaan di Singapura sebesar Rp. 10.000.000,- dan bunga dari perusahaan di Indonesia dengan jumlah sama yaitu Rp.10.000.000,- Selain itu istrinya, Salma, adalah wirausaha yang memiliki sebuah toko pakaian dengan peredaran usaha selama tahun 2009 sebesar Rp.43.200.000,-. Selain itu dalam tahun 2009 dr. Almo juga menjual salah satu mobilnya dan dari penjualan mobil tersebut dr.Almo memperoleh keuntungan sebesar Rp. 15.000.000,00 Rincian penerimaan selama tahun 2009 : a. penghasilan neto gaji dokter di RS. Bogor Rp 50.000.000 b. penerimaan bunga dari perusahaan di Singapura Rp. 10.000.000 c. penerimaan bunga dari perusahaan di Indonesia Rp. 10.000.000 d. peredaran usaha dari usaha istri yaitu toko pakaian di Bogor Rp 43.200.000 e. keuntungan penjualan mobil Rp. 15.000.000 Jawab 1 Penghasilan neto dihitung sebagai berikut : a. penghasilan neto gaji dokter di RS. Bogor Rp 50.000.000 b. penerimaan bunga dari perusahaan di Singapura Rp 10.000.000 c. penerimaan bunga dari perusahaan di Indonesia Rp 10.000.000 d. usaha istri toko pakaian di Bogor

Page 20: PPh OP

Pajak Penghasilan Orang Pribadi

20

(Norma =20 %) 20 % xRp.43.200.000 Rp 8.640.000 e. keuntungan penjualan mobil Rp 15.000.000 Jumlah Penghasilan Neto Rp 93.640.000

Jawab 2 PP.46 mulai berlaku sejak 1 Juli 2013, dengan berlakunya peraturan ini maka penghasilan netto dr.Almo dihitung sebagai berikut: penghasilan neto gaji dokter di RS. Bogor Rp 50.000.000 b. penerimaan bunga dari perusahaan di Singapura Rp 10.000.000 c. penerimaan bunga dari perusahaan di Indonesia Rp 10.000.000 e. keuntungan penjualan mobil Rp 15.000.000 Jumlah Penghasilan Neto Rp 85.000.000

Penghasilan dari usaha toko pakaian adalah penghasuilan PPh Final 4 (2) dipotong sebesar 1% = 1% x Rp.43.200.000 = Rp.432.000,

PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP) Khusus bagi WP Orang Pribadi, untuk mendapatkan Penghasilan Kena Pajak harus

dikurangkan dulu dari Penghasilan Neto suatu Penghasilan Tidak Kena Pajak. Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak disesuaikan dengan keadaan keluarga menurut ketentuan Pasal 6 ayat (3)dan pasal (7) UU PPh. Penerapan PTKP ditentukan oleh keadaan pada waktu awal tahun pajak yang dilaporkan (1 Januari 2009) sehingga awal tahun tersebut sebagai dasar CUT OFF dengan periode pajak berikutnya. Berdasarkan UU PPh No 36 tahun 2009 mulai tahun pajak 2009 besarnya penghasilan tidak kena pajak yang diperbolehkan adalah sebagai berikut: a. Rp 15.840.000,00 untuk Wajib Pajak. Statusnya “TK/jumlah tanggungan” b. Rp 1.320.000,00 tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin. Statusnya “K/jumlah tanggungan” c. Rp 15.840.000,00 tambahan untuk seorang istri (hanya seorang istri), apabila

penghasilannya digabungkan dengan penghasilan suami, dalam hal istri : c.1 bukan karyawati, tetapi mempunyai penghasilan dari usaha/pekerjaan bebas yang

tidak ada hubungannya dengan usaha/pekerjaan bebas suami, anak/anak angkat yang belum dewasa.

c.2 karyawati pada pemberi kerja yang bukan sebagai Pemotong Pajak c.3 bekerja sebagai karyawati pada lebih dan 1 (satu) pemberi kerja.

Apabila penghasilan istri digabung statusnya menjadi “K/I/jumlah tanggungan” d. Rp 1.320.000,00 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah (ayah, ibu dan anak

kandung) dan semenda (mertua dan anak tiri) dalam garis keturunan lurus , serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak tiga orang untuk setiap keluarga.

e. Warisan yang belum terbagi sebagai Wajib Pajak menggantikan yang berhak tidak memperoleh pengurangan Penghasilan Tidak Kena Pajak.

Namun mulai tahun 2013 PTKP kembali berubah, melalui Peraturan Menteri Keuangan No

162/PMK.011/2012 (PMK-162/PMK.011/2012) besarnya penghasilan tidak kena pajak yang diperbolehkan menjadi: a. Rp24.300.000,00 untuk Wajib Pajak. Statusnya “TK/jumlah tanggungan” b. Rp2.025.000,00 tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin. Statusnya “K/jumlah tanggungan” c. Rp 24.300.000,00 tambahan untuk seorang istri (hanya seorang istri), apabila

penghasilannya digabungkan dengan penghasilan suami, dalam hal istri : c.1 bukan karyawati, tetapi mempunyai penghasilan dari usaha/pekerjaan bebas yang

tidak ada hubungannya dengan usaha/pekerjaan bebas suami, anak/anak angkat yang belum dewasa.

c.2 karyawati pada pemberi kerja yang bukan sebagai Pemotong Pajak c.3 bekerja sebagai karyawati pada lebih dan 1 (satu) pemberi kerja.

Page 21: PPh OP

21

Apabila penghasilan istri digabung statusnya menjadi “K/I/jumlah tanggungan” d. Rp 2.025.000,00 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah (ayah, ibu dan anak

kandung) dan semenda (mertua dan anak tiri) dalam garis keturunan lurus , serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak tiga orang untuk setiap keluarga.

e. Warisan yang belum terbagi sebagai Wajib Pajak menggantikan yang berhak tidak memperoleh pengurangan Penghasilan Tidak Kena Pajak.

Daftar lengkap PTKP menurut susunan keluarga adalah :

Status Jumlah PTKP (Rp)

(2009)

Jumlah PTKP (Rp)

(2013)

Status Jumlah PTKP (Rp)

(2009)

Jumlah PTKP (Rp)

(2013)

TK/0 15.840.000 24.300.000 K/2 19.800.000 30.375.000

TK/1 17.160.000 26.325.000 K/3 21.120.000 32.400.000

TK/2 18.480.000 28.350.000 K/I/0 33.000.000 50.625.000

TK/3 19.800.000 30.375.000 K/I/1 34.320.000 52.650.000

K/0 17.160.000 26.325.000 K/I/2 35.640.000 54.675.000

K/1 18.480.000 28.350.000 K/I/3 36.960.000 56.700.000

f. PTKP untuk Wajib Pajak yang melakukan pisah harta adalah sebesar PTKP masing-masing.

Namun status kawin dan tanggungan diikutkan pada suami sebagai kepala keluarga.

Contoh Kasus: Melanjutkan contoh kasus dr. Almo, ia memiliki daftar keluarga yang menjadi tanggungan sebagai berikut:

No Nama Tgl Lahir Hubungan Keluarga Pekerjaan

1. Salma 11 Agustus 1980 Istri Wirausaha

2. Setyani 22 Mei 1990 Anak Kandung Mahasiswa

3. Prakoso 05 September 1991 Anak Kandung Mahasiswa

4. Fitri 13 September 1992 Anak Tiri Mahasiswa

5. Waluyo 15 Februari 1985 Adik Ipar Karyawan

6. Bpk Jati 30 Desember 1947 Bapak Mertua -

7. Puspita 29 Maret 1990 Keponakan Mahasiswa

Dari daftar keluarga diatas terlihat bahwa status keluarga dr. Almo adalah K/I/3 karena dr. Almo sudah menikah, istrinya adalah wirausaha serta memiliki keluarga yang dapat ditanggung sebanyak 4 orang (2 anak kandung, anak tiri dan mertua). Tapi karena maksimal tanggungan adalah 3 orang maka statusnya adalah K/I/3. Dengan demikian penghasilan kena pajak dr. Almo dihitung sebagai berikut

2009 2013 Penghasilan Neto Rp 93.640.000 Rp 93.640.000 PTKP (K/I/3) Rp 36.960.000 Rp 56.700.000 Penghasilan Kena Pajak Rp 56.680.000 Rp 36.940.000

PENGHITUNGAN PPh TERUTANG PPhterutang dihitung dengan prinsip mengurangkan penghasilan yang merupakan Objek PPh

dengan biaya-biaya yang diperkenankan oleh UU Pajak. Hal terpenting yang perlu dikuasai adalah pembukuan atau sistem akuntansi yang diterapkan oleh perusahaan. Berdasarkan Laporan Keuangan Komersial kemudian dihitung besarnya laba/rugi fiskal dengan melakukan “Rekonsiliasi Fiskal”.

PPh Terutang = (Penghasilan Neto - PTKP ) x Tarif

Page 22: PPh OP

Pajak Penghasilan Orang Pribadi

22

Tarif yang digunakan adalah tarif Pasal 17 UU PPh, yaitu :

Lapisan Penghasilan Tarif

Rp 0 - Rp. 50.000.000 5 % (lima persen)

> Rp 50.000.000 - Rp. 250.000.000 15 % (lima belas persen)

> Rp 250.000.000 - Rp. 500.000.000 25 % (dua puluh lima persen)

> Rp 500.000.000 30 % (tiga puluh persen)

Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dilakukan dengan cara pembulatan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh.

Penghitungan PPh akhir tahun (PPh 29), dilakukan dengan mengurangkan PPh terutang dengan kredit pajak yang telah dibayar oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan, baik melalui pembayaran sendiri maupun melalui pemotongan/pemungutan pihak lain. Kredit Pajak PPh adalah: a Yang dibayar sendiri - angsuran PPh Pasal 25 ayat (1) - angsuran PPh Pasal 25 ayat (7) (WP OP Pengusaha Tertentu) - Surat Tagihan Pajak (pokok pajaknya saja) b. Pemotongan/Pemungutan pihak lain

- PPh Pasal 21, berupa bukti potong PPh 21 atau form 1721-A1 Kredit Pajak PPh Pasal 21 berasal dari pemotongan pajak atas penghasilan dari

pekerjaan, kegiatan, dan penghargaan yang diterima oleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri

- PPh Pasal 22, berupa bukti potong PPh 22 atau dokumen lainnya Kredit Pajak PPh Pasal 22 berasal pemotongan karena pengadaan barang kepada

pemungut PPh, impor barang dan penjualan barang-barang tertentu - PPh Pasal 23, berupa bukti potong PPh 23 Kredit Pajak PPh Pasal 23 berasal dari pemotongan atas penghasilan berupa sewa,

deviden, royalti, bunga. - PPh Pasal 24, lewat perhitungan (lihat contoh kasus) Kredit pajak yang berasal dari pembayaran PPh (atau sejenisnya) yang dilakukan di

luar negeri. Contoh Kasus: Melanjutkan perhitungan PPh dr. Almo misalnya selama tahun 2009 atas gajinya ia sudah dipotong PPh 21 sebesar Rp. 1.950.000,-, membayar angsuran PPh pasal 25 sebesar Rp. 15.000,- perbulan atau Rp.180.000,- setahun. Atas penghasilan bunga dari perusahaan di Singapura ia sudah dipotong pajak PPh Pasal 24 atas bunga sebesar Rp. 2.000.000 (dirupiahkan) atas penghasilan LN sebesar Rp.10.000.000 (dirupiahkan) sedangkan atas penghasilan bunga dari perusahaan di Indonesia ia sudah dipotong PPh 23 atas bunga sebesar Rp.1.500.000,- Perhitungan PPh yang harus dibayar pada akhir tahun adalah sebagai berikut : 2009 2013 Penghasilan Kena Pajak Rp 56.680.000,- Rp 36.940.000 PPh Terutang : 5 % x Rp. 50.000.000,- Rp. 2.500.000,- Rp 1.847.000 15 % x Rp. 6.680.000,- Rp. 1.002.000,- Jumlah PPh terutang Rp. 3.502.000,- Rp 1.847.000 Pajak yang dipotong pihak lain - PPh pasal 21 Rp. 1.950.000,- - PPh pasal 23 Rp. 1.500.000,- - PPh pasal 24 maks Rp. 624.138,- Rp. 4.074.138,- Rp. 4.074.138,- PPh yang harus dibayar sendiri (Rp. 572.138,-) (Rp. 2.227.138,-) Kredit Pajak yang dibayar sendiri - PPh pasal 25 (Rp. 15.000,- per bulan) Rp. 180.000,- Rp. 180.000,-

Page 23: PPh OP

23

PPh Lebih Bayar (PPh pasal 29) (Rp. 752.138,-) (Rp. 2.047.138,-) Keterangan perhitungan PPh Pasal 24 : Maks PPh 24 yang dapat dikreditkan = Penghasilan di LN x PPh Terutang

PKP = Rp. 10.000.000 x Rp. 3.620.000 Rp. 58.000.000 = Rp. 624.138 (Bandingkan dengan PPh yang sebenarnya dipotong sebesar Rp. 2.000.000)

Page 24: PPh OP

Pajak Penghasilan Orang Pribadi

24

BAB V

PENGGABUNGAN PENGHASILAN PENGANTAR

Pada Bab IV telah dicontohkan kasus dr. Almo yang memiliki berbagai jenis sumber penghasilan, baik yang diperoleh sendiri maupun didapat oleh istrinya. Dalam praktek di lapangan, Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan suatu usaha terkadang memiliki beberapa sumber penghasilan yang harus digabungkan menjadi satu dalam SPT Tahunan. Sumber penghasilan tersebut dapat berasal dari luar maupun dalam negeri. Perlakuan penggabungan penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak Dalam Negeri menganut prinsip World Wide Income yaitu prinsip pengakuan penghasilan dimana penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak harus digabung dengan penghasilan dalam negeri.

Sistem pengenaan pajak berdasarkan UU PPh menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenakan pajak dan pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga. Namun dalam hal-hal tertentu pemenuhan kewajiban pajak tersebut dilakukan secara terpisah, misalnya dalam hal suami dan istri hidup berpisah.

Berdasarkan Pasal 8 UU PPh, jika Wajib Pajak Orang Pribadi menerima atau memperoleh penghasilan dari berbagai macam jenis usaha dan kegiatan di Indonesia, maka atas penghasilan yang diterimanya tersebut wajib digabungkan untuk menghitung PPh yang terutang dalam satu tahun pajak. Tetapi acapkali penghasilan dari suatu keluarga berasal juga dari penghasilan istri bahkan anak-anak dalam keluarga tersebut, sehingga timbul pertanyaan bagaimana perlakuan perpajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh istri atau anak-anak dalam suatu keluarga.

PENGGABUNGAN PENGHASILAN MENURUT HUKUM PERDATA Di bawah ini dikutipkan penjelasan Prof. Subekti tentang dasar hukum penggabungan penghasilan menurut hukum perdata dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata. Penggabungan Penghasilan suami istri Sejak mulai perkawinan akan terjadi suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan istri, jikalau tidak diadakan perjanjian apapun. Percampuran kekayaan adalah mengenai seluruh aktiva dan passiva baik yang dibawa oleh masing-masing pihak kedalam perkawinan maupun yang akan diperoleh dikemudian hari selama perkawinan. Kekayaan bersama itu oleh undang-undang dinamakan gemeenschap. Hak mengurus kekayaan bersama (gemeenschap) berada ditangan suami. Gemeenschap itu berakhir dengan berakhirnya perkawinan yaitu : a) dengan meninggal dunianya salah satu pihak, b) dengan perceraian c) dengan perkawinan baru sang isteri, setelah ia mendapat izin hakim, yaitu suami sepuluh

tahun lamanya tanpa diketahui alamatnya. Juga karena : d) diadakan “pemisahan kekayaan” Perjanjian pisah harta harus diadakan sebelumnya penikahan ditutup dan harus diletakan

dalam suatu akte notaris. e) perpisahan meja dan tempat tidur. Bagi sepasang suami isteri yang tidak dapat hidup bersama tetapi menurut kepercayaan agama atau keinsyafaannya sendiri tidak mungkin melakukan perceraian oleh undang-undang diberikan kemungkinan untuk meminta suatu “perpisahan meja dan tempat tidur”. Untuk meminta perpisahan meja dan tempat tidur harus juga ada alasan yang sah, misalnya perbuatan yang melewati batas (biutensporigheden) Perpisahan meja dan tempat tidur membawa akibat isteri dibebaskan dari kewajiban untuk tinggal bersama dan dengan sendirinya membawa pemisahan

Page 25: PPh OP

25

kekayaan. Apabila 5 (lima) tahun telah lewat dan tidak dapat perdamaian kembali, masing-masing pihak dapat meminta kepada hakim supaya diputuskan perceraian. Penggabungan Penghasilan anak yang belum dewasa Seorang anak yang sah sampai pada waktu ia mencapai usia dewasa atau kawin, berada dibawah kekuasaan orang tuanya (ouderlijke macht), selama kedua orang tua itu terikat dalam hubungan perkawinan. Orang tua mempunyai ’vruchtgenot’ atas benda atau kekayaan anaknya yang belum dewasa, yaitu mereka berhak untuk menikmati hasil dari benda atau kekayaan si anak. Dari peraturan ini dikecualikan kekayaan yang diperoleh si anak sendiri dari pekerjaan dan kerajinannya sendiri.

PERLAKUAN PPh ATAS PENGGABUNGAN USAHA Penggabungan penghasilan dilakukan apabila: a. Terdapat anak yang belum dewasa yang memiliki penghasilan (belum berumur 18 tahun

dan belum menikah berdasarkan penjelasan Pasal 8 UU PPh). Penghasilan anak tersebut digabungkan dengan penghasilan orangtuanya.

b. Istri memiliki Penghasilan dari usaha Berdasarkan prinsip keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis maka seluruh penghasilan atau kerugian dari wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau bagian pajak, begitu pula kerugiannya yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya yang belum dikompensasikan dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya (Pasal 8 ayat 1 UU PPh). Contoh (kasusnya adalah kasus dr. Almo pada Bab IV) : dr. Almo, seorang dokter di Rumah Sakit PMI Bogor. Disamping itu dr. Almo juga mendapatkan bunga dari suatu perusahaan di Singapura serta bunga dari perusahaan Indonesia. Selain itu istrinya adalah wirausaha yang memiliki sebuah toko pakaian (tidak menyelenggarakan pembukuan). Semua penghasilan dr. Almo beserta istrinya wajib digabungkan untuk menghitung PPh terutang dalam satu SPT Tahunan. Prinsip satu kesatuan ekonomis diatas berpengaruh juga terhadap besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Apabila penghasilan anggota keluarganya digabung maka status PTKP suami bertambah sebesar (Rp 24.300.000 – tahun 2013) menjadi K/I/.... (jumlah tanggungan).

c. Istri mendapatkan gaji lebih dari 1 pemberi kerja Berdasarkan pasal 8 ayat 1 penghasilan istri yang semata-mata dari 1 pemberi kerja danpenghasilan tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak ada hubungan dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lain, tidak digabung dengan penghasilan suami. Tafsiran dari aturan tersebut berarti jika istri memiliki penghasilan lebih dari 1 pemberi kerja maka penghasilan tersebut harus digabung dengan penghasilan suami. Contoh kasus : Nyonya Sar, status istri Tn Hamid, bekerja sebagai direktur di 3 perusahaan konstruksi. Tn. Hamid SH, seorang Notaris, memiliki NPWP dan akan mengisi SPT Tahunan PPh Orang Pribadi. Karena Ny. Sari mendapatkan gaji lebih dari 1 pemberi kerja dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungan dengan usaha atau pekerjaan bebas suami, maka penghasilan Ny. Sari harus digabung dengan penghasilan Tn. Hamid SH dalam SPT Tahunan.

Penggabungan penghasilan tersebut tidak berlaku apabila: a. Penghasilan istri semata-mata diterima atau diperoleh dan 1 pemberi kerja yang telah

dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21 UU PPh dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.

Contoh : Bila dalam kasus dr. Almo, Salma, istri dr. Almo adalah seorang pegawai yang menerima penghasilan dari 1 pemberi kerja maka gaji Salma tidak digabungkan dalam SPT dr. Almo. PTKP untuk perhitungan pajak dr. Almo menjadi K/3 sebesar Rp. 32.400.000,- sedangkan PTKP Salma untuk penghitungan pemotongan PPh 21-nya adalah TK/0 sebesar Rp. 24.300.000,-. Jadi, untuk penghitungan pajak, status wanita yang bekerja adalah TK/0 walaupun dalam kenyataannya dia sudah menikah serta memiliki beberapa anak. Hal tersebut terjadi karena PTKP untuk status kawin serta tanggungan sudah diperhitungkan dalam PTKP suaminya.

Page 26: PPh OP

Pajak Penghasilan Orang Pribadi

26

b. Penghasilan suami-istri dikenakan pajak secara terpisah Kadangkala terdapat suami istri yang yang menghendaki pemisahan harta (pasal 8 ayat 2 dan

3 UU PPh). Alasan pemisahan harta ada 3 macam yaitu :

1. Suami istri hidup bersama tetapi mengadakan perjanjian pisah harta (PH) dan penghasilan.

2. Suami istri tersebut telah hidup berpisah (HB) berdasarkan putusan hakim 3. Dikehendaki oleh istri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban

perpajakannya sendiri. Penghitungan pajak untuk kedua hal diatas sebagai berikut : 1. Pisah Harta (PH)

Jika suami-istri mengadakan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan maka besarnya pajak dikenakan pada masing-masing suami-istri sebesar perbandingan penghasilan neto mereka.

Contoh : Pak Hartawan mengadakan perjanjian pisah harta dengan istrinya, Ny. Hartawati.

Penghasilan kena pajak jika penghasilan keduanya digabung sebesar Rp. 50.000.000,- terdiri dari penghasilan kena pajak Pak Hartawan Rp 30.000.000,- dan penghasilan kena pajak Ny. Hartawati sebesar Rp 20.000.000. Misalnya pajak yang ditanggung keduanya Rp. 3.750.000 maka perhitungan pajak masing-masing sebagai berikut:

PPh Pak Hartawan = (30.000.000/ 50.000.000) x 3.750.000 = Rp. 2.250.000,00 PPh Ny. Hartawati = (20.000.000/ 50.000.000) x 3.750.000 = Rp. 1.500.000,00 Keduanya menyampaikan SPT tersendiri. 2. Hidup Berpisah (HB) Jika suami istri hidup berpisah maka penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan

pengenaan pajaknya dilakukan sendiri-sendiri. Contoh : Tn. Dedi telah berpisah dengan istrinya, Ny. Etinah. Penghasilan Neto Tn. Dedi sebesar Rp. 100

juta sedangkan penghasilan neto Ny. Etinah Rp. 30 juta. Keluarga tersebut memiliki 3 orang anak. Penghasilan Kena Pajak masing-masing dihitung sebagai berikut:

Penghasilan Kena Pajak Tn. Dedi = Penghasilan Neto - PTKP = Rp. 100.000.000 - Rp. 19.800.000 = Rp. 80.200.000

PTKP Tn. Dedi adalah PTKP diri pribadi ditambah PTKP 3 orang anak = Rp. 24.300.000 + (3 x Rp. 2.025.000) = Rp. 30.375.000. Penghasilan Kena Pajak Ny. Etinah = Penghasilan Neto - PTKP

= Rp. 30.000.000 - Rp. 24.300.000 = Rp. 5.700.000

Perbedaan antara 2 keadaan di atas terletak pada penghitungan Penghasilan Kena Pajak. Bila pisah harta, Penghasilan Kena Pajak dihitung bersama-sama (status PTKP 1 macam) sedangkan bila hidup berpisah, Penghasilan Kena Pajak dihitung sendiri-sendiri (status PTKP sendiri-sendiri)

Page 27: PPh OP

27

BAB VI

ANGSURAN PPh 25 DALAM TAHUN BERJALAN

PENGANTAR Hal pokok yang yang harus difahami sebelum menghitung angsuran PPh Pasal 25 adalah harus diketahui terlebih dahulu ketntuan berikut: a. Terhadap Orang pribadi yang memperoleh penghasilan dari usaha yang peredaran usahanya

dalam satu tahun tidak melebihi Rp4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta), maka atas penghasilan tersebut dikenakan PPh Final 4(2). Sehingga pada akhir tahun SPT 1770 nya NIHIL. Dan tidak ada angsuran PPh Pasal 25.

Pembayaran angsuran pajak dalam tahun berjalan dikenal dengan pembayaran PPh Pasal 25 yang diatur dalam PMK-255/PMK.03/2008 jo PMK 208/PMK.03/2009. Angsuran pembayaran pajak ini nantinya akan diperhitungkan dengan PPh terutang pada akhir tahun didalam SPT Tahunan. Tapi bagaimanakah cara menentukan besarnya PPh pasal 25 yang harus dibayar setiap bulan? Bab ini mencoba menguraikan cara umum menghitung PPh pasal 25, variasi­variasi penghitungan PPh Pasal 25 serta keadaan-keadaan tertentu yang menyebabkan variasi tersebut. CARA UMUM MENGHITUNG PPh PASAL 25 Dalam menentukan besarnya PPh pasal 25 setiap bulan, pajak mengasumsikan kondisi usaha wajib pajak di tahun depan minimal sama dengan kondisi usaha tahun sekarang. Dengan asumsi tersebut pajak menggangap besarnya PPh yang harus dibayar sendiri ditahun depan besarnya juga sama dengan jumlah PPh yang dibayar sendiri di tahun sekarang. Untuk memudahkan pemahaman, kita gunakan kasus berikut: Perhitungan PPh tahun 2009: PPh terutang tahun 2009 Rp. 3.620.000,- Kredit Pajak yang dipotong pihak lain Rp. 0,- PPh yang harus dibayar sendiri dalam tahun 2009Rp. 3.620.000,- Kredit Pajak yang dibayar sendiri - PPh pasal 25 (Rp. 15.000,- per bulan) Rp. 180.000,- - Total kredit pajak Rp. 180.000,- PPh Kurang Bayar (Pasal 29) Rp. 3.440.000,-

Dengan dasar asumsi bahwa PPh yang harus dibayar sendiri di tahun depan harus sama dengan PPh yang dibayar sendiri tahun sekarang maka besarnya PPh pasal 25 tahun 2009 setiap bulan sebesar = PPh yang harus dibayar sendiri dalam tahun 2009 = Rp. 3.620.000,-

12 12 = Rp. 301.667 VARIASI PENGHITUNGAN PPh PASAL 25

Terdapat beberapa keadaan tertentu yang menyebabkan variasi penghitungan PPh Pasal 25. Variasi tersebut diatur dalam pasal 25 ayat (4), ayat (6), ayat (7) dan ayat (9) jo. Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep-537/PJ./2000. Keadaan tersebut adalah : A. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur.

Berdasarkan asumsi kondisi usaha wajib pajak di tahun depan sama dengan kondisi usaha tahun sekarang maka dalam menghitung PPh pasal 25 tahun berikutnya, bila Wajib Pajak menerima penghasilan yang tidak teratur dalam tahun sekarang, penghasilan yang tidak teratur tersebut tidak ikut diperhitungkan dalam menghitung PPh pasal 25 tahun

Page 28: PPh OP

Pajak Penghasilan Orang Pribadi

28

berikutnya. Alasannya adalah penghasilan tidak teratur tersebut dianggap tidak akan terjadi lagi di tahun mendatang (Pasal 3 Kep-537/PJ./2000) Yang termasuk penghasilan tidak teratur adalah keuntungan selisih kurs dari utang/piutang dalam mata uang asing ( pokok utang piutangnya saja dan digabung antara keuntungan selisih kurs dan kerugian selisih kurs) serta keuntungan dari pengalihan harta (capital gain) sepanjang bukan merupakan penghasilan dari kegiatan usaha pokok, serta penghasilan lainnya yang bersifat insidentil. Contoh Kasus: Dalam kasus dr. Almo selama tahun 2009 rincian penghasilannya sebagai berikut: a. penghasilan neto gaji dokter di RS. Bogor Rp. 50.000.000,- b. penerimaan bunga dari perusahaan di Singapura Rp. 10.000.000,- c. penerimaan bunga dari perusahaan di Indonesia Rp. 10.000.000,- d. usaha istri toko pakaian di Bogor (Norma = 20 %) 20 % xRp.43.200.000 Rp. 8.640.000,- e. keuntungan penjualan mobil Rp. 15.000.000,- Jumlah Penghasilan Neto Rp. 93.640.000,-

Karena dalam penghasilan dr. Almo selama tahun 2009 terdapat penghasilan yang

tidak teratur yaitu keuntungan penjualan mobil sebesar Rp. 15.000.000,- maka besarnya PPh pasal 25 untuk tahun 2009 harus dihitung ulang dengan meniadakan unsur penghasilan tidak teratur, menjadi sebagai berikut Penghasilan Neto seluruhnya Rp. 93.640.000,- Penghasilan Neto tidak teratur Rp. 15.000.000,- Penghasilan Neto teratur Rp. 78.640.000,- Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/I/3) Rp. 36.960.000,- Penghasilan Kena Pajak Rp. 41.680.000,- PPh terutang 5 % x Rp. 43.000.000 Rp. 2.084.000,- Pajak yang dipotong pihak lain : - PPh pasal 21 Rp. 1.950.000.- - PPh pasal 23 Rp. 1.500.000,- - PPh pasal 24 maks.(dihitung ulang) Rp. 500.000,- - Total Pajak yang dipotong pihak lain Rp. 3.950.000,-

Kredit Pajak yang dibayar sendiri - PPh pasal 25 (Rp. 15.000,- per bulan) Rp. 180.000,- - Total kredit pajak dibayar sendiri Rp. 180.000,- PPh Lebih Bayar (PPh pasal 29) (Rp. 2.046.000,-) Besarnya PPh pasal 25 tahun 2009 setiap bulan sebesar: PPh yang harus dibayar sendiri dalam tahun 2009 = Rp. 1.800.000,- 12 12 = Rp. 150.000,- (Bandingkan dengan besarnya angsuran PPh pasal 25 sebesar Rp.180.000,- jika ikut memperhitungkan penghasilan tidak teratur) Karena penghitungan diatas merupakan variasi dari cara umum menghitung PPh pasal 25 maka dr.Almo harus menjelaskan perhitungan diatas dalam lampiran tersendiri, dan menyampaikannya sebagai lampiran SPT Tahunan.

Apabila dihitung dengan menerapkan PTK terabaru tahun 2013, menjadi sebagai berikut Penghasilan Neto seluruhnya Rp. 93.640.000,- Penghasilan Neto tidak teratur Rp. 15.000.000,- Penghasilan Neto teratur Rp. 78.640.000,- Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/I/3) Rp. 56.700.000,- Penghasilan Kena Pajak Rp. 21.940.000,- PPh terutang 5 % x Rp. 43.000.000 Rp. 1.090.000,- Pajak yang dipotong pihak lain : - PPh pasal 21 Rp. 1.950.000.- - PPh pasal 23 Rp. 1.500.000,- - PPh pasal 24 maks.(dihitung ulang) Rp. 500.000,-

Page 29: PPh OP

29

- Total Pajak yang dipotong pihak lain Rp. 3.950.000,- Kredit Pajak yang dibayar sendiri

- PPh pasal 25 (Rp. 15.000,- per bulan) Rp. 180.000,- - Total kredit pajak dibayar sendiri Rp. 180.000,- PPh Lebih Bayar (PPh pasal 29) (Rp. 3.040.000,-) Besarnya PPh pasal 25 tahun 2009 setiap bulan sebesar: PPh yang harus dibayar sendiri dalam tahun 2009 = Rp. 1.090.000,- 12 12 = Rp. 90.800,-

B. SPT Tahunan PPh disampaikan lewat batas waktu Apabila SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang laIu disampaikan Wajib Pajak setelah lewat batas waktu yang ditentukan, maka besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan mulai batas waktu penyampaian SPT Tahunan sampai dengan bulan sebelum disampaikannya SPT Tahunan tersebut adalah sama dengan besarnya Pajak Penghasilan bulan terakhir tahun pajak yang lalu dan bersifat sementara (Pasal 4 Kep-537/PJ./2000). Setelah Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan, besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan tersebut dan berlaku surut mulai bulan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan. Contoh kasus : Tn. Amir wajib menyampaikan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi tahun pajak 2009 paling lambat tanggal 31 Maret 2009. Angsuran PPh pasal 25 masa Januari dan Februari 2009 sama dengan angsuran tahun sebelumnya, misalnya sebesar Rp. 100.000,- . Seharusnya mulai masa Maret 2009 Tn. Amir membayar PPh pasal 25 dengan jumlah sesuai dengan perhitungan yang baru, misalnya sebesar Rp. 150.000,-. Apabila Tn. Amir terlambat menyampaikan SPT Tahunan, misalnya baru disampaikan pada bulan Juni 2009 maka besarnya angsuran PPh pasal 25 untuk Januari-Mei sama seperti tahun sebelumnya yaitu Rp. 100.000,-. Selisih kekurangan angsuran sebesar Rp. 50.000 akan ditagih dengan Surat Tagihan Pajak.

C. Wajib Pajak menerima Ketetapan Pajak untuk Tahun Pajak yang Lalu Bila dalam tahun berjalan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak untuk tahun yang lalu maka besarnya angsuran PPh dihitung berdasarkan Surat Ketetapan Pajak tersebut. Perubahan angsuran mulai berlaku bulan berikutnya setelah diterbitkannya SKP (pasal 25 ayat 4 UU PPh) Contoh kasus : Bila dr. Almo pada bulan September tahun 2009 menerima SKPKB PPh Orang Pribadi tahun 2009 yang menyatakan bahwa besarnya angsuran PPh 25 berdasarkan SKP tersebut adalah Rp. 200.000,- maka mulai bulan September 2009 angsuran PPh pasal 25 yang harus dibayar adalah Rp.200.000,-. Perhitungan angsuran sebesar Rp. NIHIL,- tidak lagi berlaku karena dr. Almo telah menerima SKP.

D. Wajib Pajak diberikan Perpanjangan Jangka Waktu Penyampaian SPT WP Orang Pribadi dapat mengajukan permohonan perpanjangan penyampaian SPT dengan menggunakan Formulir 1770-Y (formulir khusus perpanjangan SPT PPh Orang Pribadi). Besarnya PPh 25 untuk bulan-bulan mulai batas waktu penyampaian SPT Tahunan sampai dengan bulan disampaikannya SPT 1770 adalah sebesar PPh pasal 25 yang dihitung dalam SPT 1770-Y (pasal 5 Kep-537/PJ/2000). Setelah Wajib Pajak menyampaikan SPT 1770 besarnya PPh Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan SPT 1770 tersebut dan berlaku surut mulai bulan batas waktu penyampaian SPT Tahunan.

E. Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT yang mengakibatkan angsuran menjadi lebih besar WP dapat membetulkan SPT Tahunan dengan cara menyampaikan SPT Tahunan yang dituliskan kata “PEMBETULAN” pada halaman depan SPT. Dalam hal WP membetulkan sendiri SPT Tahunan, besarnya PPh Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan SPT Pembetulan

Page 30: PPh OP

Pajak Penghasilan Orang Pribadi

30

tersebut dan berlaku surut mulai bulan batas waktu penyampaian SPT Tahunan (pasal 6 KEP-537/PJ/2000).

F. Terjadi perubahan usaha atau kegiatan Wajib Pajak Apabila sesudah 3 (tiga) bulan atau Iebih berjalannya suatu tahun pajak, Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa PPh yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut kurang dari 75% (tujuh puluh lima persen) dari PPh yang terutang yang menjadi dasar penghitungan besarnya PPh Pasal 25, WP dapat mengajukan permohonan pengurangan PPh Pasal 25 secara tertulis kepada Kepala KPP. Permohonan tersebut harus disertai dengan penghitungan besarnya PPh 25 berdasarkan perkiraan penghasilan yang akan diterima dan besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa. Sebaliknya bila dalam tahun pajak berjalan WP mengalami peningkatan usaha dan diperkirakan PPh yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut Iebih dari 150% (seratus lima puluh persen) dari PPh tahun sebelumnya, besarnya PPh pasal 25 harus dihitung kembali (Pasal 7 KEP-537/PJ/2000).

Page 31: PPh OP

31

FISKAL LUAR NEGERI (FLN)

Mulai Tahun 2009 telah di keluarkan PER 53/PJ/2009 jo Per 1/PJ/2009 jo Per 14/PJ/2009 tentang tata cara pembayaran Fiskal Luar Negeri bagi wajib pajak dalam negeri yang akan bepergian ke luar negeri, yaitu sebagai berikut : 1. Untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak memiliki NPWP dan telah berusia

21 (dua puluh satu) tahun atau lebih yang akan berpergiaan ke luar negeri wajib membayar FLN. Besarnya FLN yang wajib dibayar adalah : a. Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) untuk bepergian ke luar negeri

dengan menggunakan pesawat udara. b. Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk bepergian ke luar negeri dengan

menggunakan angkutan laut. 2. Termasuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada no 1 adalah isteri

atau suami, anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada no 1 dan diakui oleh Wajib Pajak tersebut berdasarkan dokumen pendukung dan hukum yang berlaku.

Pengecualian dari kewajiban pembayaran FLN oleh orang pribadi yang akan bepergiaan ke luar negeri dilakukan dengan cara sebagai berikut : 1. Untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang memiliki NPWP dan telah berusia 21

(dua puluh satu) tahun atau lebih diberikan melalui pengecekan validasi oleh UPFLN Direktorat Jenderal Pajak yang bertugas di bandar udara atau pelabuhan laut keberangkatan luar negeri sepanjang NPWP tersebut terdaftar, sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari sebelum keberangkatan.

2. Untuk wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP sendiri, dibErikan melalui pengecekan validasi NPWP Wajib Pajak yang memberikan tanggungan sepenuhnya dan : a. Fotokopi Kartu Keluarga; dan/atau b. Surat pernyataan menanggung sepenuhnya orang tua yang tidak terdaftar dalam

Kartu Keluarga oleh orang pribadi yang memiliki NPWP 3. Diberikan secara langsung untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang berusia kurang dari 21 (dua

puluh satu) tahun. 4. diberikan bagi WP OP yang bepergian ke luar negeri dilakukan secara otomatif untuk WP OP

tertentu dengna cara menerbitkan Surat Keterangan Bebas Fiskal Luar Negeri (SKBFLN). 5. WP OP yang berusia kurang dari 21 tahun 6. Orang asing yang berada di Indonesia kurang dari 183 hari dalam 12 bulan 7. Pejabat Perwajilan Diplomatik 8. Pejabat Perwajilan Organisasi Internasional 9. WNI yang memiliki dokumen resmi penduduk negara lain 10. Jamaah Haji 11. Pelintas batas jalan darat 12. Tenaga Kerja Indonesia dengan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN).

Yang bebas SKBFLN adalah:

Mahasiswa asing dengan rekomendasi perguruan tinggi. Orang asing yang melakukan penelitian Tenaga kerja asing di pulau Batam, Bintan dan Karimun Penyandang cacat atau orang sakit yang akan berobat ke luar negeri atas biaya

organisasi sosial termasuk seorang pendamping Anggota misi kesenian, kebudayaan, olah raga dan keagamaan Program pertukaran mahasiswa dan pelajar Tenaga Kerja Indonesia selain KTKLN.

Pengkreditan Fiskal Luar Negeri

FLN dapat dibayar dengan 2 cara yaitu dibayar sendiri atau dibayar oleh perusahaan. a. FLN dibayar sendiri

Page 32: PPh OP

Pajak Penghasilan Orang Pribadi

32

Dalam hal FLN dibayar sendiri, Orang Pribadi yang bersangkutan sebaiknya mencantumkan NPWP-nya. Dengan demikian FLN tersebut dapat dikreditkan dengan PPh terutang pada SPT Tahunan. Selain FLN yang dibayar sendiri, FLN yang dibayar oleh anggota keluarga sedarah atau semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, juga termasuk pembayaran FLN yang dapat dikreditkan. Apabila Orang Pribadi tersebut tidak mencantumkan NPWP-nya maka pembayaran FLN tersebut tidak dapat dijadikan pembayaran kredit pajak tahun berjalan.

b. FLN yang dibayar perusahaan Dalam hal FLN dibayar dengan uang perusahaan, Orang Pribadi yang bersangkutan sebaiknya mencantumkan identitas pribadinya serta identitas dan NPWP perusahaannya. Dengan demikian FLN tersebut dapat dikreditkan dengan PPh terutang perusahaan pada SPT Tahunan. Kepergian ke luar negeri tersebut harus dalam rangka dinas perusahaan dan hanya untuk diri karyawan (tidak termasuk istri/keluarga) Terdapat pengaturan khusus atas FLN yang dibayarkan oleh pegawai perusahaan-perusahaan yang dikenakan Pajak Perseroan tahun 1925 dan Pajak Bunga Deposito dan Royalti tahun 1970. Contohnya adalah perusahaan Kontraktor Production Sharing (KPS) Pertamina yang kontraknya ditandatangi sebelum tahun 1983 dan dalam kontrak dinyatakan tunduk pada UU PPs (Pajak Perseroan) yang berlaku pada saat kontrak ditandatangani. Bagi perusahaan KPS tersebut, FLN yang telah dibayarkan kepada pegawai merupakan penghasilan sekaligus kredit PPh pasal 21 bagi karyawan. Sedangkan bagi perusahaan merupakan biaya.

Page 33: PPh OP

33

BAB VII

WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI PENGUSAHA TERTENTU

PENGANTAR

Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 (UU PPh), Wajib Pajak orang pribadi

pengusaha tertentu adalah orang pribadi yang memiliki 1 (satu) atau lebih tempat usaha. Sedangkan menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008 jo PMK 208/PMK.03/2009, Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu adalah orang pribadi yang memiliki tempat usaha lebih dari satu, atau memiliki tempat usaha yang berbeda alamat dengan domisili.

Jika kita kaji lebih mendalam terhadap isi dari kedua ketentuan ini, sebenarnya tidak ada yang bertentangan antara kedua aturan tersebut. Dalam UU PPh, ditegaskan bahwa yang dimaksud sebagai Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu adalah orang pribadi yang memiliki 1 (satu) atau lebih tempat usaha, artinya orang pribadi pengusaha tertentu ini dapat hanya memiliki 1 (satu) tempat usaha ataupun lebih dari 1 (satu) tempat usaha/beberapa tempat usaha. Jadi Wajib Pajak orang pribadi yang hanya memiliki 1 (satu) tempat usahapun dapat dikategorikan sebagai Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu.

Namun jika kita baca lebih lanjut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008, maka terdapat kalimat bahwa Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu dapat juga berupa orang pribadi yang memiliki tempat usaha yang berbeda alamat dengan domisili. Artinya bahwa orang pribadi yang memiliki tempat usaha (walaupun hanya satu saja) yang lokasi/alamatnya berbeda dengan alamat tempa tinggalnya/domisili).

Berdasarkan kedua aturan tersebut, definisi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha di bidang perdagangan grosir dan /atau eceran barang-barang konsumsi melalui tempat usaha/gerai (outlet) yang tersebar di beberapa lokasi, tidak termasuk perdagangan kendaraan bermotor dan restoran.

WP OP yang memenuhi kriteria sebagai WPOP Pengusaha Tertentu wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP bagi setiap tempat usaha/gerai (outlet) di KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat usaha/gerai (outlet) tersebut (KPP lokasi) dan di KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib Pajak (KPP Domisili). Ketentuan ini juga berlaku dalam hal tempat usaha/gerai (outlet) dan tempat tinggal Wajib Pajak yang bersangkutan berada dalam wilayah kerja KPP yang sama. PPh PASAL 25 WP ORANG PRIBADI PENGUSAHA TERTENTU

Apabila Wajib Pajak Orang Pribadi memiliki toko yang menjual barang konsumsi selain kendaraan bermotor dan restoran yang tersebar di beberapa lokasi (tidak dalam satu KPP) maka ia digolongkan sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu. Khusus untuk WP OP Pengusaha Tertentu ini, besarnya angsuran PPh pasal 25 dihitung dengan aturan khusus. Wajib Pajak di atas wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP bagi setiap toko di setiap KPP yang wilayah kerjanya meliputi toko-toko tersebut. Besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk WP OP pengusaha Terentu, ditetapkan sebesar 0,75% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat usaha tertentu (PMK-255/PMK.03/2008 jo PMK 208/PMK.03/2009). Contoh: Tuan A memiliki toko pakaian yang tersebar di beberapa mall yaitu di wilayah Senen, Kebayoran Baru, dan Grogol Jakarta. Pada awalnya Tuan A memiliki NPWP di KPP Jakarta Senen mengingat tempat tinggalnya di daerah Senen (KPP Domosili). Karena Tuan A memenuhi karakteristik

Page 34: PPh OP

Pajak Penghasilan Orang Pribadi

34

sebagai WP pengusaha tertentu maka Tuan A boleh mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP cabang di setiap KPP tempat tokonya (KPP Lokasi)yaitu di KPP Kebayoran Baru dan KPP Jakarta Grogol Petamburan. Angsuran PPh pasal 25 Tuan A adalah sebesar 0,75% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing toko dan dibayar dengan SPT Masa khusus dilampiri lembar ke-3 SSP dan disampaikan ke setiap KPP tempat toko-tokonya terdaftar.

Apabila penghasilan Tuan A hanya dari usaha tokonya saja maka angsuran PPh Pasal 25 sebesar 0,75% bersifat final. Penghasilan maupun laba usaha setiap tokonya tidak perlu dihitung ulang PPh­nya. Tuan A hanya perlu menyampaikan SPT Tahunan dengan melampirkan daftar omzet dan pembayaran PPh Pasal 25 dari masing-masing toko ke KPP Jakarta Senen ( KPP Domisili). Tetapi bila Tuan A memiliki penghasilan lain yang tidak final selain dari hasil usaha tokonya maka angsuran PPh pasal 25 sebesar 0,75% bersifat tidak final sehingga masih perlu menghitung ulang PPh-nya pada akhir tahun di SPT Tahunan. Contoh kasus :

Tuan B memiliki toko material yang tersebar di beberapa wilayah yaitu Senen, Kebayoran Baru, dan Grogol. Tuan B telah memenuhi karakteristik sebagai WP OP Pengusaha Tertentu dan angsuran PPh pasal 25 Tuan B adalah sebesar 0,75% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing dari setiap tokonya. Selain itu Tn B memiliki juga usaha sewa/rental mobil disetiap tempat tersebut. Karena Tn B memiliki penghasilan lain yang tidak final disetiap gerai (outlet) maka angsuran PPh pasal 25 sebesar 0,75% setiap bulan menjadi tidak final dan dalam SPT Tahunan dicantumkan sebagai kredit pajak Pasal 25 ayat (7) UU PPh. Dengan demikian maka besarnya angsuran PPh pasal 25 untuk WP OP Pengusaha Tertentu dimungkinkan untuk berfluktuasi setiap bulannya sesuai dengan fluktuasi omzet. Pengawasan atas besarnya angsuran PPh 25 tersebut dikaitkan dengan jumlah omzet yang dilaporkan setiap bulannya dalam SPT Masa PPN. Sebagaimana diketahui, Wajib Pajak Orang Pribadi yang diperbolehkan menghitung PPh dengan norma dapat pula menghitung PPN-nya dengan menggunakan norma (prosentase tertentu dikalikan pajak keluaran sama dengan pajak masukan) dan pelaporannya menggunakan SPT Masa PPN 1111DM. PENGHAPUSAN STATUS WP ORANG PRIBADI PENGUSAHA TERTENTU

Berdasarkan butir 3 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-14/PJ.41/2002 tanggal 25 Juli 2002 tentang Pelaksanaan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-171/PJ./2002 tentang Pelaksanaan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 25 Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu, diatur masalah penghapusan status WP Orang Pribadi Pengusaha Tertentu sebagai berikut : a. Dalam hal Wajib Pajak Orang Pribadi yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Tertentu

menyatakan semata-mata memiliki satu tempat usaha/gerai (outlet), maka Kantor Pelayanan Pajak Domisili berdasarkan hasil pemeriksaan/penelitian memberitahukan hasil pengukuhan Wajib Pajak yang bersangkutan di Kantor Pelayanan Pajak Lokasi.

b. Dalam hal pengukuhan sebagai Wajib Pajak Orang Pnibadi Pengusaha Tertentu di KPP Lokasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a belum dicabut, tetap diperlakukan sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu

Dengan demikian WP OP yang karena keputusan KPP ditetapkan sebagai WP OP Pengusaha Tertentu padahal sesungguhnya tidak menyandang status WP OP Pengusaha Tertentu, tetap harus menyandang status tersebut sampai KPP yang bersangkutan mencabut pengukuhannya.

PERHITUNGAN PPh AKHIR TAHUN WP OP PENGUSAHA TERTENTU

Besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk WP OP cerdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berskala adalah sebesar PPh yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut laporan keuangan berkala terakhir yang disetahunkan dikurangi dengan pemotongan dan pemungutan PPh Pasal 22 dan Pasal 23 serta Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri untuk tahun pajak yang lalu dibagi 12 (dua belas) (Pasal 5 PMK-255/PMK.03/2008jo PMK 208/PMK.03/2009).

Page 35: PPh OP

35

Angsuran PPh Pasal 25 ayat (7) sebesar 0,75 %dilaporkan dengan 2 cara : 1. Bila Pasal 25 ayat (7) bersifat final maka dilaporkan pada Formulir 1770-Ill (Formulir

Penghasilan Yang Telah Dikenakan Pajak Bersifat Final, dikenakan pajak tersendiri, penghasilan Pengusaha Tertentu serta penghasilan yang tidak termasuk Objek Pajak)

2. Bila Pasal 25 ayat (7) bersifat tidak final maka dilaporkan pada Formulir 1770 Induk kolom Kredit Pajak yang dibayar sendiri.

Page 36: PPh OP

Pajak Penghasilan Orang Pribadi

36

BAB VIII

SURAT PEMBERITAHUAN PPH

ORANG PRIBADI KEWAJIBAN MENYAMPAIKAN SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI

Wajib Pajak Orang Pribadi setiap tahun harus melaporkan penghasilannya yang diperoleh selama satu tahun tersebut. Penghasilan yang dilaporkan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis Wajib Pajak yang berupa uang dan berupa barang sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UU KUP. Seandainya ada penghasilan neto yang belum dilaporkan dalam tahun sebelumnya maka dapat dilaporkan dengan mengadakan pembetulan atas SPT yang telah dilaporkan. Yang wajib menyampaikan SPT Tahunan adalah : a. Wajib Pajak Orang Pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan dari kegiatan usaha

dan/atau pekerjaan bebas; b. Wajib Pajak Orang Pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan dari modal dan

lain­lain; c. Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar penghasilan sehubungan

dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan dan/atau yang memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan lebih dari satu pemberi kerja;

d. Kuasa warisan yang belum terbagi; e. Pejabat negara, PNS, anggota ABRI dan pegawai BUMN/BUMD sesuai dengan Keputusan

Presiden No. 33 tahun 1996; f. Warga negara Indonesia yang bekerja pada perwakilan negara asing dan perwakilan

organisasi internasional; g. Orang asing yang berada di Indonesia Iebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau

orang yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;

h. Masing-masing suami istri yang dikenakan Pajak Penghasilan secara terpisah dalam hal : - suami istri telah hidup berpisah; - dikehendaki secara tertulis oleh suami istri berdasarkan perjanjian pemisahan harta

dan penghasilan (dalam hal ini suami istri wajib memiliki NPWP i. Warga Negara Indonesia yang mempunyai penghasilan dari satu pemberi kerja dengan

penghasilan bruto tidak melebihi dari Rp 30 juta setahun Undang-undang PPh No 36 Tahun 2009 mengharuskan karyawan pemerintah dan swasta yang penghasilannya di atas PTKP wajib mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Sebagai konsekuensinya karena mereka memiliki NPWP harus melaporkan penghasilannya dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi (KMK 537/KMK.04/2000). DIKECUALIKAN DARI KEWAJIBAN MENYAMPAIKAN SPT Orang pribadi yang tidak diwajibkan menyampaikan SPT adalah (KMK-183/KMK.03/2007) a. Orang Pribadi yang memperoleh penghasilan neto usaha yang tidak melebihi jumlah

penghasilan tidak kena pajak (Dikecualikan dari SPT pasal 25 dan SPT tahunan); b. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan kegiatan usaha atau tidak melakukan

pekerjaan bebas (Dikecualikan dari SPT pasal 25). JENIS SURAT PEMBERITAHUAN PPh ORANG PRIBADI Sesuai dengan KEP-394/PJ./2002 jo. KEP-185/PJ./2003, jo. KEP-141/PJ./2004, jo. KEP-139/PJ./2005, jo. KEP-104/PJ./2006 tentang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan, Orang Pribadi dan PPh Pasal 21. Bahwa untuk SPT Tahunan PPh Orang Pribadi sejak Tahun Pajak 2002 sampai dengan Tahun Pajak 2006 ada dua jenis yaitu:

Page 37: PPh OP

37

a. SPT 1770 : SPT ini diperuntukan bagi wajib pajak Orang Pribadi yang menjalankan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas.

b. SPT 1770 S : SPT ini diperuntukan bagi wajib pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas.

Sejak Tahun 2007 ada 1 (satu) jenis SPT lagi yaitu: c. SPT 1770 SS : Bagi orang pribadi yang sumber penghasilannya hanya dari satu pemberi

kerja termasuk pensiunan dengan jumlah penghasilan bruto dari pekerjaan tersebut tidak melebihi Rp60.000.000 setahun dan tidak terdapat penghasilan lainnya kecuali penghasilan dari bunga bank dan bunga koperasi.

ISI SPT TAHUNAN

SPT 1770

No. Kode Formulir Nama Formulir

Keterangan

1. 1770 Induk SPT SPT Tahunan PPh WP OP

2. 1770-I Halaman 1

Lampiran I Perhitungan penghasilan bagi wajib pajak yang melakukan pembukuan.

Halaman 2 Perhitungan penghasilan neto bagi wajib pajak yang menggunakan norma penghitungan penghasilan neto, memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, memperoleh penghasilan dari investai.

3. 1770-II Lampiran II Daftar pemotongan dan pemungutan PPh oleh pihak lain, PPh ditanggung pemerintah, penghasilan neto dan pajak atas penghasilan yang dibayar/dipotong/terutang di luar negeri.

4. 1770-III Lampiran III Penghasilan lain yang telah dikenakan pajak bersifat final, dikenakan pajak tersendiri, dan penghasilan yang bukan termasuk objek pajak.

5. 1770-IV Lampiran IV Daftar harta dan daftar kewajiban

ISI SPT TAHUNAN

SPT 1770 S

No. Nama Formulir

Keterangan

1. Induk SPT SPT Tahunan PPh WP OP

2. Lampiran I Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, penghasilan neto dalam negeri lainnya, daftar pemotongan /pemungutan PPh oleh pihak lain dan PPh yang ditanggung pemerintah

3. Lampiran II Daftar harta dan daftar kewajiban

ISI SPT TAHUNAN

SPT 1770 SS No. Nama Formulir Keterangan

1. Induk SPT SPT Tahunan PPh OP serta daftar harta dan daftar kewajiban/utang

Petunjuk pengisian SPT Tahunan untuk WP OP yang mempunyai penghasilan dari satu pemberi kerja : - WP wajib mengisi dan menyampaikan SPT Tahunan dengan benar, lengkap, jelas dan

menandatanganinya - WP melampirkan formulir 1721-A1 atau formulir 1721-A2 sebagai satu kesatuan yang tidak

terpisahkan dari SPT 1770SS

Page 38: PPh OP

Pajak Penghasilan Orang Pribadi

38

- WP yang dapat menggunakan formulir ini WP OP yang tidak melakukan pekerjaan bebas baik karyawan swasta atau PNS yang menerima penghasilan hanya dari satu pemberi kerja dengan jumlah penghasilan bruto tidak lebih dari Rp 60 juta dalam setahun dan tidak mempunyai penghasilan lain kecuali bunga bank/bunga koperasi

- WP harus mengambil sendiri formulir SPT Tahunan dan menyampaikannya paling lambat 3 bulan setelah tahun pajak berakhir

- Apabila SPT Tahunan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan atau dalam batas waktu perpanjangan SPT Tahunan , dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 100.000.00,-

- Setiap orang yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPT Tahunan atau menyampaikan SPT Tahunan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada negara, dipidana dengan kurungan paling lama 1 tahun dan/denda paling tinggi 2 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar

- Setiap orang yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPT Tahunan atau menyampaikan SPT Tahunan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugian pada negara, dipidana dengan kurungan paling lama 6 tahun dan/ denda paling tinggi 4 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar

Page 39: PPh OP

39

B E N T U K F OR M UL IR D A N C O N TO H P E N GI S I A N

S P T TA H U N A N P P h W A J I B P A JA K O RA N G P R I B AD I

Contoh I (Pengisian 1770SS):

Pengisian SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi yang memilki sumber penghasilan hanya

dari satu pemberi kerja dan bukan dari usaha atau pekerjaan bebas, serta tidak melebihi Rp60.000.000

(enam puluh juta) setahun.

Sofyan Adi bekerja di PT Maju Jaya yang beralamat di Jakarta Selatan (NPWP: 01.855.081.4.013.000),

selama setahun memperoleh gaji sebesar Rp58.000.000. berikut informasi lengkapnya: Data

Nama: Ery Munandar, NPWP: 04.444.555.6.013.000, Pekerjaan: Karyawan Swasta, Alamat: Jl. Monginsidi No.500 Jakarta

No. Telp/Fax: 021-44444444 , Status: Belum menikah (TK/0), Tanggungan: -

Identitas Pemberi Kerja dan Penerima Penghasilan

Perhitungan PPh Pasal 21 sebagaimana Per-31 /PJ/2012, *Pemberi kerja wajib memberikan Formulir 1721 A-1 sebagai bukti pemotongan PPh 21 tahun 2013.

Page 40: PPh OP

Pajak Penghasilan Orang Pribadi

40

Keterangan tambahan:

Jumlah keseluruhan harta yang dimiliki Sofyan Adi adalah Rp270.000.000,- dan jumlah keseluruhan

kewajiban/utang adalah Rp 30.000.000,-. Sofyan Adi tidak memiliki sumber penghasilan lainnya

kecuali dari bunga tabungan.

Berdasarkan data dari 1721-A1 dan keterangan di atas, maka formulir SPT Tahunan PPh yang

digunakan adalah formulir 1770 SS, dengan cara pengisian seperti disamping ini. (KLU harus diisi

sesuai dengan Surat Keterangan Terdaftar). Lampiran yang harus disertakan pada SPT Tahunan PPh

Wajib Pajak Orang Pribadi (formulir 1770SS) adalah formulir 1721 A1

Identitas Wajib Pajak, diisi sesuai dengan NPWP

Tanda tangan dan pastikan dilapor sebelum tanggal 31 Maret,denda terlambat lapor Rp100.000

Page 41: PPh OP

41

Tahun pajak 2013 Direktorat Jendral Pajak menerbitkan peraturan tarbaru yakni PER-26/PJ/2013

yang merupakan perubahan atas PER-34/PJ/2010 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan

Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi.

Formulir 1770 SS diubah sebagaimana berikut:

Page 42: PPh OP

Pajak Penghasilan Orang Pribadi

42

Contoh II (1770 S) :

Pengisian SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi yang memiliki sumber penghasilan dari satu

pemberi kerja atau lebih dan bukan dari usaha atau pekerjaan bebas.

Nama : Yazid Kafi

NPWP : 25.193.665.4-010.000

Alamat : Jl. Tegal Rotan No. 9 Jakarta Selatan

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kementrian Z

Jabatan/NIP : Kabid Pelayanan/070707123

Pangkat/Gol. : Pembina/IV.a

Status : Menikah dan memiliki 3 orang anak (tanggungan) (K/3)

Keterangan Penghasilan

Yazid Kafi menerima penghasilan selama tahun 2013 dari pekerjaannya sebagai Pegawai Negeri Sipil

sebesar Rp60.000.000,-. Berdasarkan Bukti Potong PPh 21 diperoleh penghasilan sebagai berikut:

Penghasilan Bruto 75.000.000

Pengurang 6.000.000

Penghasilan Netto 68.400.000

PPh 21 di potong 1.800.000

Keterangan Tambahan:

Yazid Kafi menerima penghasilan bruto sebagai PNS selama tahun 2013sebesar Rp75.000.000. Selain

itu juga menerima penghasilan berupa :

1. Uang sewa rumah sebesar Rp50.000.000,- dan sudah disetor sendiri ke bank persepsi, PPh Pasal 4

ayat (2) atas penghasilan sewa tanah dan/atau bangunan sebesar 10% atau Rp5.000.000,-;

2. Keuntungan penjualan lukisan sebesar Rp50.000.000,- Yazid Kafi membeli lukisan tersebut

dengan harga Rp7.500.000,- dan kemudian menjualnya dengan harga Rp57.500.000,-

3. Dari honorarium sebagai Tim Penyusun Materi Pembahasan Rancangan Undang-Undang di

Dep.Z sebesar Rp3.000.000,- dan bendahara telah melakukan pemotongan PPh Final sesuai

ketentuan yaitu 15%. (Bukti Pemotongan PPh 21 Final Nomor : BP-21/PPh 21/FINAL/2013

Tanggal 23 November 2013);

4. Dari honorarium sebagai Pembicara Ahli Acara Bimbingan Teknis Keuangan di Depdiknas

sebesar Rp3.500.000,- dan bendahara telah melakukan pemotongan PPh Final sesuai ketentuan

yaitu 15%. (Bukti Pemotongan PPh 21 Final Nomor : BP-111/PPh 21/FINAL/2013 Tanggal 1

Agustus 2013);

5. Dari honorarium sebagai narasumber Seminar di Lembaga Info Keuangan sebesar Rp2.500.000,-

dan telah melakukan pemotongan PPh 21 sesuai ketentuan Pasal 17. (Bukti Pemotongan PPh 21

Non Final Nomor :BP21-10/X/2013 Tanggal 28-10-2013);

6. Bunga deposito setahun Rp40.000.000,-

7. Yazid Kafi memiliki istri yang bernama Emami bekerja pada Bank BTN cabang Trunojoyo sebagai

Kepala Cabang (NPWP Emami : 25.193.665.4-010.001) dengan penghasilan bruto setahun (2013)

Rp135.000.000,-

Berdasarkan data-data tersebut, maka Yazid Kafi harus menggunakan formulir SPT Tahunan PPh

jenis 1770 S. Adapun kertas kerja perhitungan sebagai berikut;

Page 43: PPh OP

43

Angsuran PPh Pasal 25 hanya memperhitungkan penghasilan yang sifatnya teratur.

1. Kertas Kerja Perhitungan

2. SPT Formulir 1770S

Penghasilan istri tidak boleh digabung karena istri memperoleh penghasilan hanya dari 1 pemberi kerja dan telah dipotong PPh Pasal 21 oleh Bank BTN

Penghasilan yang diperhitungkan adalah penghasilan tidak Final

PTKP terbaru berlaku mulai tahun pajak 2013, untuk diri sendiri Rp24.300.000. status kawin dan 1 tanggungan masing-masing Rp2.025.000

Tarif Progresif pasal 17 UU PPh

Page 44: PPh OP

Pajak Penghasilan Orang Pribadi

44

Penghasilan sebagai Pegawai Negeri

Identitas Wajib Pajak

Penghasilan netto honor dan lukisan

PTKP terbaru berlaku mulai tahun pajak 2013, untuk diri sendiri Rp24.300.000. status kawin dan 1 tanggungan masing-masing Rp2.025.000

PPh yang harus disetor ke Bank Persepsi dengan Surat Setoran Pajak, sebelum SPT disampaikan. Terlambat setor dikenakan sanksi bunga 2% perbulan max 24 bulan

Tanda tangan dan pastikan dilapor sebelum tanggal 31 Maret,denda terlambat lapor Rp100.000

Jangan lupa silang berkas yang dilampirkan

Page 45: PPh OP

45

Data Harta dan Kewajiban:

1. Rumah 200 M2 Jl.T Rotan yang ditempati dibeli tahun 1998 dengan harga Rp580.000.000,-

Penjualan lukisan

Honorarium seminar

Warisan Rumah

Pajak yang telah dipotong

Page 46: PPh OP

Pajak Penghasilan Orang Pribadi

46

2. Mobil Toyota dibeli tahun 2009 dengan Harga Perolehan Rp295.000.000,-

3. Perhiasan dibeli tahun 2005 dengan harga Rp10.500.000,-

4. Deposito di Bank BPD DKI semenjak tahun 2005 sejumlah Rp500.000.000,-

5. Pinjaman dari BNI Griya tahun 2011 sebesar Rp300.000.000,- dengan posisi pinjaman (termasuk bunga) di

akhir tahun 2013sejumlah Rp240.000.000,-

6. Rumah Warisan Orang Tua yang diberikan tahun 2013(150m2 Jl Budi) dengan harga Rp500.000.000,-

Page 47: PPh OP

47

Page 48: PPh OP

Pajak Penghasilan Orang Pribadi

48

Page 49: PPh OP

49

Page 50: PPh OP

Pajak Penghasilan Orang Pribadi

50

Page 51: PPh OP

51

C a r a P e l u n a sa n / P e m b a y a r a n P P h

Apabila Wajib Pajak dalam menghitung PPh dalam SPT Tahunan PPh-nya ternyata terdapat kurang bayar, maka PPh yang harus dilunasi tersebut disetor ke bank persepsi atau kantor pos dengan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak (SSP). Contoh bentuk formulir SSP dapat dilihat pada contoh di atas. Batas waktu penyetoran PPh yang harus dibayar lagi (PPh Pasal 29) adalah sebelum penyampaian SPT Tahunan PPh tersebut. P e n y a mp a i a n S P T Ta h u n a n P P h d a n S a n k s i P e r p a j a k a n Apabila SPT Tahunan untuk Orang Pribadi telah diisi dengan jelas, lengkap dan benar, maka Wajib Pajak wajib menyampaikannya ke KPP melalui Drop Box yang tersedia di tempat-tempat tertentu paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak atau paling lama tanggal 31 Maret. Namun demikian, untuk menghindari antrian, Wajib Pajak dihimbau untuk segera menyampaikan SPT Tahunan PPh sebelum batas akhir waktu penyampaian tersebut. SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang pribadi yang telah disampaikan Wajib Pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak, wajib mendapat perlindungan kerahasiaan atas segala sesuatu informasi yang terdapat dalam SPT Tahunan PPh tersebut. Kerahasiaan Wajib Pajak antara lain : Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan dokumen lainnya yang dilaporkan oleh Wajib Pajak; Data dari pihak ketiga yang bersifat rahasia; Dokumen atau rahasia Wajib Pajak lainnya sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku.

Namun demikian dalam rangka penyidikan, penuntutan atau dalam rangka kerjasama dengan instansi pemerintah lainnya, keterangan atau bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak dapat diberikan atau diperlihatkan kepada pihak tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Apabila SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang pribadi terlambat disampaikan oleh Wajib Pajak, akan dikenakan denda Rp100.000,-. Apabila SPT Tahunan PPh tersebut terdapat kekurangan pembayaran pajak dan terlambat disetorkan, maka dikenakan sanksi bunga 2% setiap bulan dari pajak yang terlambat disetorkan tersebut. Bagi Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPT Tahunan atau sengaja mengisi SPT Tahunan tidak benar yang mengakibatkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Berikut langkah-langkah Wajib Pajak dari pengambilan sampai penyampaian SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi.

Sumber: Kantor Pusat DJP www.pajak.go.id

Cara memperoleh SPT :

Download di www.pajak.go.id

KPP/KP2KP

Pojok Pajak

Mobil Pajak Keliling

Tanda Terima

Penyampaian SPT

Disampaikan ke

Bayar Ke