Portofolio Kasus Bedah Retensio Urin-wilma

22
PORTOFOLIO KASUS BEDAH Nama Peserta : dr. Wilma Venia Rahmat Nama Wahana : RSUD Padang Panjang Topik : Kasus Kegawatdaruratan Tanggal (Kasus) :14 Juni 2013 Nama Pasien : Tn. HB No RM : 909601 Tanggal Presentasi : 15 Agustus 2013 Nama Pendamping : dr. Endayani Tempat Presentasi : Ruang Konfrens RSUD Padang Panjang Objektif Presentasi : - Keilmuan - Diagnostik Bahan Bahasan : Kasus Cara Membahas : Presentasi dan diskusi

Transcript of Portofolio Kasus Bedah Retensio Urin-wilma

Page 1: Portofolio Kasus Bedah Retensio Urin-wilma

PORTOFOLIO KASUS BEDAH

Nama Peserta : dr. Wilma Venia Rahmat

Nama Wahana : RSUD Padang Panjang

Topik : Kasus Kegawatdaruratan

Tanggal (Kasus) :14 Juni 2013

Nama Pasien : Tn. HB

No RM : 909601

Tanggal Presentasi : 15 Agustus 2013

Nama Pendamping : dr. Endayani

Tempat Presentasi : Ruang Konfrens RSUD Padang Panjang

Objektif Presentasi : - Keilmuan

- Diagnostik

Bahan Bahasan : Kasus

Cara Membahas : Presentasi dan diskusi

Page 2: Portofolio Kasus Bedah Retensio Urin-wilma

Retensio Urine ec BPH

A. Retensio Urine

Retensi urine merupakan kedaruratan yang harus mendapatkan pertolongan/tindakan

segera, karena retensi urine total yang berlangsung beberapa hari dapat mengakibatkan

urosepsis yang dapat berakhir dengan kematian. Dalam hal seseorang tidak bisa kencing,

harus dibedakan antara retensi urine dan anuria. Retensi urine adalah tidak dapatnya/sukarnya

urine keluar dari vesika urinaria, sedangkan anuria adalah terhentinya produksi urine akibat

gangguan di bagian proksimal vesika urinaria.

Berbagai penyebab retensi urine:

a. Lemahnya daya peras otot detrusor, biasanya akibat kelainan neurologik, setinggi

sakral II-IV.

b. Meningginya tahanan perifer, bisa dari orificium urethrae internum sampai

praeputium.

1. Kongenital: fimosis, katup posterior.

2. Infeksi: sistitis, prostatitis, urethritis.

3. Trauma

4. Striktur.

5. Batu saluran kemih.

6. Tumor.

Tanda dan Gejala

1. Kencing tidak lampias, sukar, nyeri, pancaran kecil dan lemah, menetes sampai tidak

bisa kencing.

2. Riwayat trauma infeksi saluran kemih.

3. Nyeri spontan/tekan/ketok daerah suprasimfisis.

4. Mungkin disertai pula dengan tanda penyebab:

- Pembesaran prostat.

- Teraba benda keras sepanjang uretra.

- Fimosis.

5. Pemeriksaan pembantu untuk memastikan diagnosis:

- Kateterisasi.

- Pungsi vesika urinaria.

Page 3: Portofolio Kasus Bedah Retensio Urin-wilma

Penatalaksanaan

Prinsipnya ialah:

1. Mengeluarkan urine secepatnya

2. Memperbaiki keadaan umum; ingat kemungkinan infeksi, urosepsis, gangguan

keseimbangan cairan.

3. Pengobatan kausal.

Urine dikeluarkan secepatnya dengan jalan:

1. Kateterisasi; biasanya dicoba dari no. 18-20F untuk dewasa; bila tidak dapat masuk,

gunakan ukuran yang lebih kecil.

Bila pada saat memasukkan kateter, kateter terhenti, ada beberapa kemungkinan:

- Salah jalan (false route); biasanya akan keluar darah; sering terjadi pada

pengunaan kateter yang terlalu kecil

- Spasme m. sphincter urethrae internus; dapat diatasi dengan tekanan sedang dan

kontinyu.

- Batu uretra; biasanya dapat diraba dari luar; bila batu terletak proksimal dapat

didorong ke vesika urinaria, bila distal, coba keluarkan dengan pinset

- Striktur

2. Bila kateterisasi gagal, gunakan busi filiform.

3. Bila busi filiform tidak tersedia atau gagal, lakukan pungsi vesika urinaria atau

sistosomi.

Pada pungsi vesika urinaria, cukup tusukkan jarum yang cukup besar sedekat

mungkin pada pinggir atas simfisis pubis miring ke atas. Berikan pula antibiotik.

Setelah keadaan umum membaik, dapat dicoba kembali kateterisasi.

4. Pengobatan kausal beberapa penyebab retensi urine.

- Fimosis : sirkumsisi

- Infeksi : antibiotik yang sesuai

- Trauma : sesuai lokasi yang trauma

- Striktur:

Konservatif: businasi teratur setiap minggu, kemudian dua minggu sekali, sebulan

sekali dan seterusnya sampai setahun sekali seumur hidup, hanya berhasil pada

striktur yang pendek dan kecil.

Operatif: reseksi bagian striktur, lalu dilakukan anastomosis end to end cara ini

tidak dapat dilakukan bila daerah striktur > 1cm.

Page 4: Portofolio Kasus Bedah Retensio Urin-wilma

5. Batu saluran kemih: operatif

6. Neurologik: coba fisioterapi

7. Tumor prostat

Hipertrofi prostat: pada rectal toucher akan teraba pembesaran prostat yang kenyal

dan licin dan tidak nyeri. Indikasi operasi timbul bila terdapat urine sisa > 50 mL.

Macam-macam operasi:

- Transurethral resection

- Prostatektomi terbuka: transvesikal, retropubik ekstravesikal, transperineal

- Cryosurgery

8. Karsinoma prostat: pada rectal toucher teraba prostat yang membesar dengan indurasi

pada satu/beberapa tempat, keras, tidak nyeri. Pengobatan merupakan kombinasi dari:

- Prostatektomi

- Estrogen

- Orkidektomi subkapsular.

B. BPH

Benign Prostat Hyperplasi (BPH) adalah suatu keadaan dimana kelenjar periuretral

prostat mengalami hiperplasia yang akan mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan

menjadi simpai bedah.

Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan sebelum

usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang lambat dari lahir

sampai pubertas, waktu itu ada peningkatan cepat dalam ukuran, yang kontinyu sampai usia

akhir 30-an. Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami perubahan hiperplasi.

Prevalensi yang pasti di Indonesia belum diketahui tetapi berdasarkan kepustakaan

luar negeri diperkirakan semenjak umur 50 tahun 20%-30% penderita akan memerlukan

pengobatan untuk prostat hiperplasia. Yang jelas prevalensi sangat tergantung pada golongan

umur. Sebenarnya perubahan-perubahan ke arah terjadinya pembesaran prostat sudah dimulai

sejak dini, dimulai pada perubahan-perubahan mikroskopoik yang kemudian bermanifestasi

menjadi kelainan makroskopik (kelenjar membesar) dan kemudian baru manifes dengan

gejala klinik.

Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat

ditemukan pada usia 30 – 40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang akan

terjadi perubahan patologi anatomi. Pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50%,

Page 5: Portofolio Kasus Bedah Retensio Urin-wilma

dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut diatas akan

menyebabkan gejala dan tanda klinik.

Etiologi dan Faktor Resiko

Etiologi BPH belum diketahui secara pasti namun faktor risiko umur dan hormon

androgen diduga berperan penting. Perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada

usia 30-40 tahun. Ada beberapa teori yang menjelaskan penyebab terjadinya hiperplasi

prostat ini, yaitu:

Teori dehidrotestosteron (DHT)

Teori Hormon

Faktor interaksi stroma dan epitel

Teori Sel Stem

Gambar 1. Benign Prostat Hyperplasia

Patofisiologi

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan uretra prostatika dan menghambat

aliran urin. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat

mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu.

Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa

hipertofi otot detrusor. Perubahan struktur buli-buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai

keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract syptoms (LUTS) yang

dahulu dikenal dengan gejala prostatismus. Obstruksi yang disebabkan oleh hiperplasia

prostat benigna tidak hanya disebabkan oleh adanya masa prostat yang menyumbat uretra

posterior, tetapi juga disebabkan oleh tonus otot polos yang ada pada stroma prostat, kapsul

Page 6: Portofolio Kasus Bedah Retensio Urin-wilma

prostat, dan otot polos pada leher buli-buli. Otot polos itu dipersarafi oleh serabut simpatis

yang berasal dari nervus pudendus.

Pada BPH terjadi peningkatan rasio stroma terhadap epitel. Kalau pada prostat normal

rasio stroma dibanding dengan epitel adalah 2:1, pada BPH rasionya meningkat menjadi 4:1

dan hal ini menyebabkan pada BPH terjadi peningkatan otot polos prostat dibandingkan

dengan prostat normal. Dalam hal ini masa prostat yang menyebabkan obstruksi komponen

statik sedangkan tonus otot polos yang merupakan komponen dinamik sebagai penyebab

obstruksi prostat.

Manifestasi Klinis

Pada BPH biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi

terjadi karena destrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup

lama sehingga kontraksi terputus. Gejala dan tanda obstruksi tersebut antara lain :

- Perubahan ukuran dan pancaran air kemih

- Interupsi pancaran/miksi terputus (intermitency)

- Menetes pada akhir miksi (terminal dribling)

- Harus menunggu pada permulaan miksi (hesistency)

- Rasa belum puas sehabis miksi

Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau

pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada kandung kemih, sehingga vesika sering

berkontraksi meskipun belum penuh. Gejala dan tanda tersebut antra lain :

- Nokturia

- Frekuensi miksi bertambah (frequency)

- Miksi sulit ditahan (urgency)

- Nyeri saat miksi (disuria)

Diagnosis

Diagnosis BPH dapat ditegakkan berdasarkan atas berbagai pemeriksaan awal dan

pemeriksaan tambahan. Jika fasilitas tersedia, pemeriksaan awal harus dilakukan oleh setiap

dokter yang menangani pasien BPH, sedangkan pemeriksaan tambahan yang bersifat

penunjang dikerjakan jika ada indikasi untuk melakukan pemeriksaan itu.

Anamnesis

Page 7: Portofolio Kasus Bedah Retensio Urin-wilma

Pemeriksaan awal terhadap pasien BPH adalah melakukan anamnesis atau wawancara

yang cermat guna mendapatkan data tentang riwayat penyakit yang dideritanya. Anamnesis

itu meliputi:

Keluhan yang dirasakan dan seberapa lama keluhan itu telah mengganggu

Riwayat penyakit lain dan penyakit pada saluran urogenitalia (pernah mengalami

cedera, infeksi, atau pembedahan)

Riwayat kesehatan secara umum dan keadaan fungsi seksual

Obat-obatan yang saat ini dikonsumsi yang dapat menimbulkan keluhan miksi

Tingkat kebugaran pasien yang mungkin diperlukan untuk tindakan pembedahan.

Salah satu pemandu yang tepat untuk mengarahkan dan menentukan adanya gejala

obstruksi akibat pembesaran prostat adalah International Prostate Symptom Score (IPSS).

WHO dan AUA telah mengembangkan dan mensahkan prostate symptom score yang telah

distandarisasi. Skor ini berguna untuk menilai dan memantau keadaan pasien BPH. Analisis

gejala ini terdiri atas 7 pertanyaan yang masing-masing memiliki nilai 0 hingga 5 dengan

total maksimum 35. Kuesioner IPSS dibagikan kepada pasien dan diharapkan pasien mengisi

sendiri tiap-tiap pertanyaan. Keadaan pasien BPH dapat digolongkan berdasarkan skor yang

diperoleh adalah sebagai berikut.

Skor 0-7: bergejala ringan

Skor 8-19: bergejala sedang

Skor 20-35: bergejala berat.

Selain 7 pertanyaan di atas, di dalam daftar pertanyaan IPSS terdapat satu pertanyaan

tunggal mengenai kualitas hidup (quality of life atau QoL) yang juga terdiri atas 7

kemungkinan jawaban.

Pemeriksaan fisik

Colok dubur atau digital rectal examina-tion (DRE) merupakan pemeriksaan yang

penting pada pasien BPH, disamping pemeriksaan fisik pada regio suprapubik untuk mencari

kemungkinan adanya distensi buli-buli. Dari pemeriksaan colok dubur ini dapat diperkirakan

adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu

tanda dari keganasan prostat. Mengukur volume prostat dengan DRE cenderung

underestimate daripada pengukuran dengan metode lain, sehingga jika prostat teraba besar,

hampir pasti bahwa ukuran sebenarnya memang besar. Kecurigaan suatu keganasan pada

pemeriksaan colok dubur, ternyata hanya 26-34% yang positif kanker prostat pada

pemeriksaan biopsi. Sensitifitas pemeriksaan ini dalam menentukan adanya karsinoma prostat

Page 8: Portofolio Kasus Bedah Retensio Urin-wilma

sebesar 33%. Perlu dinilai keadaan neurologis, status mental pasien secara umum dan fungsi

neuromuskuler ekstremitas bawah. Disamping itu pada DRE diperhatikan pula tonus sfingter

ani dan refleks bulbokavernosus yang dapat menunjukkan adanya kelainan pada busur refleks

di daerah sakral.

Pemeriksaan Penunjang

Radiologis

a) Foto Rontgen dan IVP

b) Ultrasonografi

Pemeriksaan Penunjang Lainnya

a) Urinalisis

b) Faal Ginjal

c) PSA

- 40-49 tahun: 0-2,5 ng/ml

- 50-59 tahun:0-3,5 ng/ml

- 60-69 tahun:0-4,5 ng/ml

- 70-79 tahun: 0-6,5 ng/ml

d) Uroflometri

e) Pemeriksaan Residual Urin

Residual urin atau post voiding residual urin (PVR) adalah sisa urin yang tertinggal di

dalam buli-buli setelah miksi. Jumlah residual urin ini pada orang normal adalah 0,09-

2,24 mL dengan rata-rata 0,53 mL.

Penatalaksanaan

Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup pasien.Terapi

yang dilakukan tergantung pada derajat keluhan, keadaan pasien, maupun kondisi obyektif

kesehatan pasien yang diakibatkan oleh penyakitnya. Pilihannya adalah mulai dari: (1) tanpa

terapi (watchful waiting), (2) medikamentosa, dan (3) terapi intervensi. Di Indonesia,

tindakan Transurethral Resection of the prostate (TURP) masih merupakan pengobatan

terpilih untuk pasien BPH.

a. Watchful waiting

Watchful waiting artinya pasien tidak mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangan

penyakitnya keadaannya tetap diawasi oleh dokter. Pilihan tanpa terapi ini ditujukan

Page 9: Portofolio Kasus Bedah Retensio Urin-wilma

untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah, yaitu keluhan ringan yang tidak

menggangu aktivitas sehari-hari. Pada watchful waiting ini, pasien tidak mendapatkan

terapi apapun dan hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat

memperburuk keluhannya, misalnya (1) jangan banyak minum dan mengkonsumsi

kopi atau alkohol setelah makan malam, (2) kurangi konsumsi makanan atau minuman

yang menyebabkan iritasi pada buli-buli (kopi atau cokelat), (3) batasi penggunaan

obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin,(4) jangan menahan kencing

terlalu lama. Setiap 6 bulan, pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya dan

diperiksa tentang perubahan keluhan yang dirasakan, IPSS, pemeriksaan laju pancaran

urin, maupun volume residual urin. Jika keluhan miksi bertambah jelek daripada

sebelumnya, mungkin perlu difikirkan untuk memilih terapi yang lain.

b. Medikamentosa

Jenis obat yang digunakan adalah:

1. Antagonis adrenergik reseptor α yang dapat berupa:

- preparat non selektif: fenoksibenzamin

- preparat selektif masa kerja pendek:prazosin, afluzosin, dan indoramin

- preparat selektif dengan masa kerja lama:doksazosin, dan terazosin,

2. Inhibitor 5 α redukstase, yaitu finasteride dandutasteride

c. Terapi intervensi

1. Pembedahan

2. Laser Prostatektomi

Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita BPH yang dibiarkan tanpa

pengobatan adalah 1) trabekulasi, yaitu terjadi penebalan serat-serat detrusor akibat tekanan

intravesika yang selalu tinggi akibat obstruksi, 2) sakulasi, yaitu mukosa buli-buli menerobos

di antara serat-serat detrusor, 3) divertikel, bila sakulasi menjadi besar. Komplikasi lain

adalah pembentukan batu vesika akibat selalu terdapat sisa urin setelah buang air kecil,

sehingga terjadi pengendapan batu. Bila tekanan intravesika yang selalu tinggi tersebut

diteruskan ke ureter dan ginjal, akan terjadi hidroureter dan hidronefrosis yang akan

mengakibatkan penurunan fungsi ginjal.

Prognosis

Page 10: Portofolio Kasus Bedah Retensio Urin-wilma

Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada tiap individu

walaupun gejalanya cenderung meningkat. Namun BPH yang tidak segera ditindak memiliki

prognosis yang buruk karena dapat berkembang menjadi karsinoma prostat. BPH yang telah

diterapi juga menunjukkan berbagai efek samping yang cukup merugikan bagi penderita.

DAFTAR PUSTAKA

Page 11: Portofolio Kasus Bedah Retensio Urin-wilma

1. De Jong W, Sjamsuhidajat R. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC; 2005.

2. Prostate Gland Anatomy and Physiology. Diunduh dari http://training.anatomy.com.

pada tanggal 20 Juni 2013

3. Umbas, R. Patofisiologi dan Patogenesis Pembesaran Prostat Jinak. Jakarta: Yayasan

penerbit IDI; 1995. h 1-5.

4. Rahardjo, J. Prostat Hipertropi. Kumpulan Ilmu Bedah. Jakarta: Bina rupa aksara ;

1996. h 161-70.

5. Mansjoer, A, Suprahaita, Wardhani. Pembesaran Prostat Jinak. Dalam Kapita Selekta

Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius; 2000. h 329

6. Purwadianto A, Sampurna B. Kedaruratan Medik Pedoman Pelaksanaan Praktis.

Retensi Urine. Jakarta: Binarupa Aksara; 2013. H 157-62

Page 12: Portofolio Kasus Bedah Retensio Urin-wilma

BORANG STATUS PORTOFOLIO KEGAWATDARURATAN

No. ID dan Nama Peserta dr. Wilma Venia Rahmat

No. ID dan Nama Wahana RSUD Kota Padang Panjang

Topik Retensio Urine ec BPH

Tanggal (kasus) 14 Juni 2013

Nama Pasien Tn. HB No. RM 909601

Tanggal Presentasi 15 Agustus 2013 Pendamping dr. Endayani

Tempat Presentasi Ruang Konfrens RSUD Kota Padang Panjang

Objektif Presentasi

□ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran □ Tinjauan Pustaka

□ Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa

□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □ Lansia □ Bumil

□ Deskripsi Pasien laki-laki, usia 74 tahun, nyeri perut bagian bawah sejak 4 jam SMRS

□ Tujuan Penatalaksanaan retensio urine yang disebabkan oleh BPH

Bahan

Bahasan□ Tinjauan Pustaka □ Riset

□ Kasus□ Audit

Cara

Membahas □ Diskusi □ Presentasi dan Diskusi □ E-mail □ Pos

Data Pasien Nama : Tn. HB No. Registrasi : 909601

Nama RS : RSUD Kota Padang Panjang Telp : Terdaftar sejak :

Data Utama untuk Bahan Diskusi :

1. Diagnosis / Gambaran Klinis : Retensio urine ec susp. BPH

2. Riwayat Pengobatan : Pasien belum pernah berobat sebelumnya.

3. Riwayat Kesehatan / Penyakit : Pasien tidak pernah menderita penyakit seperti ini

sebelumnya.

4. Riwayat Keluarga : Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini

5. Riwayat Pekerjaan : -

6. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik : Tinggal bersama istri dan 1 orang anak, rumah

permanen. Pasien sudah tidak bekerja lagi.

7. Lain-lain : -

Hasil Pembelajaran :

Page 13: Portofolio Kasus Bedah Retensio Urin-wilma

1. Diagnosis BPH

2. Tatalaksana awal pasien Retensio Urine ec BPH

3. Edukasi mengenai faktor resiko terjadinya Retensio urin

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio

1. Subjektif :

Nyeri perut bagian bawah sejak 4 jam yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Awalnya pasien

merasa ingin buang air kecil, namun tidak bisa berkemih. Pasien belum buang air kecil sejak tadi

pagi. Terakhir buang air kecil tadi malam.

Keluhan sulit buang air kecil sudah dirasakan pasien sejak 4 bulan yang lalu. Pasien merasakan

bahwa BAK nya tidak tuntas, harus mengedan, kadang menetes, dan pasien harus sering bolak

balik kamar mandi karena BAK sulit dikeluarkan. Tidur malam hari sering terganggu karena

pasien sering BAK.

Riwayat kencing berpasir tidak ada.

Riwayat kencing berdarah seperti air cucian daging tidak ada.

Riwayat trauma tidak ada.

Demam tidak ada.

Mual dan muntah tidak ada.

Buang air besar tidak ada kelainan.

Pasien belum pernah mengobati keluhan sebelumnya.

2. Objektif :

a. Vital sign

- KU : sakit sedang

- Kesadaran : CMC

- Tekanan darah : 130/70 mmHg

- Frekuensi nadi : 90 x/menit

- Frekuensi nafas : 18 x/menit

- Suhu : 36.70 C

b. Status Generalis

- Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

- Leher : JVP 5-2 cm H20. Tidak ada pembesaran KGB.

- Thorax

Page 14: Portofolio Kasus Bedah Retensio Urin-wilma

Jantung: I : iktus tidak terlihat

Pa : iktus teraba pada RIC V 1 jari medial LMCS

Pr : batas jantung normal

A : bunyi jantung murni, irama reguler, bising (-).

Paru : I : simetris kiri = kanan

Pa : fremitus kiri = kanan

Pr : sonor

A : vesikuler, ronkhi (-), wheezing (-)

Abdomen: I : tidak membuncit

Pa: hepar dan lien tidak teraba.

Pr: timpani

A : bising usus (+) normal

Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik

c. Status Lokalis

Regio Lumbal: I : Ramping pinggang +/+

Pa : ballottement -/-, nyeri ketok CVA -/-, nyeri tekan sudut

murphy -/-

Regio Suprapubik: I : Blast Menonjol

Pa: Teraba penuh, fluktuasi (+), nyeri (+)

Pr: Pekak

d. Rectal Toucher

Anus : Tenang

Sfingter : Baik

Mukosa : Licin

Ampula : Kosong. Teraba prostat menonjol, batas atas tidak teraba, konsistensi kenyal,

permukaan rata, nodul (-), nyeri tekan (-)

Handscoen : feses (+), darah (-), lendir (-)

e. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan darah rutin :

- Hb : 14,8 gr/dl

- Leukosit : 12.760/mm3

- Ht : 42,7%

- Trombosit : 197.000/mm3

Urinalisa :

Page 15: Portofolio Kasus Bedah Retensio Urin-wilma

- Makroskopis : warna kuning

- Mikroskopis : Eritrosit : (-)

Leukosit : 1-2/lpb

Epitel : (+)

3. Assessment :

Telah dilaporkan kasus seorang laki-laki berusia 74 tahun masuk IGD RSUD Padang

Panjang pada tanggal 14 Juni 2013 dengan diagnosis kerja Retensio Urine ec BPH. Diagnosis

ditegakkan dari anamnesis didapatkan nyeri pada perut bagian bawah sejak 4 jam sebelum

masuk rumah sakit, rasa ingin berkemih tapi tidak bisa mengeluarkan kencing, terakhir buang air

kecil tadi malam. Sejak 4 bulan yang lalu pasien merasakan bahwa BAK nya tidak tuntas, harus

mengedan, kadang menetes, dan pasien harus sering bolak balik kamar mandi bahkan pada

malam hari karena BAK sulit dikeluarkan.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda – tanda vital dan pemeriksaan sistemik normal.

Ditemukan vesika urinaria teraba penuh dan pada pemeriksaan rectal toucher didapatkan

adanya pembesaran prostat dengan konsistensi kenyal, permukaan rata, tidak ada nyeri tekan.

Dari pemeriksaan darah rutin, ditemukan leukositosis (12.760/mm3)

4. Plan :

Diagnosis: retensio urin ec BPH

Pengobatan:

- Mengeluarkan urin dengan memasang foley catheter

- Hytrin tablet 1 x 1 mg (malam)

- Ciprofloxacin tablet 2 x 500 mg

Pendidikan: Menjelaskan tentang faktor risiko penyakit dan tatalaksana kepada pasien.

Rujukan: Pada pasien ini dianjurkan untuk dirujuk ke dokter Spesialis Bedah untuk pemeriksaan

USG untuk mengetahui ukuran prostat dan apakah sudah terjadi kerusakan lanjut pada ginjal