POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN ...
Transcript of POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN ...
POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN
PIOPNEUMOTORAKS DI RSUP H.ADAM MALIK MEDAN
TESIS
MEI SARAH PANE
NIM : 157041080
PROGRAM STUDI MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK
DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
Universitas Sumatera Utara
POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN
PIOPNEUMOTORAKS DI RSUP H.ADAM MALIK MEDAN
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister
Kedokteran Paru dalam Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik
Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
MEI SARAH PANE
NIM : 157041080
PROGRAM STUDI MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK
DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
Universitas Sumatera Utara
i
PERNYATAAN ORISINALITAS
Dengan ini penulis menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat
untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinis, Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri.
Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian
tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah penulis
cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika
penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ternyata diketemukan seluruh atau sebagian tesis
ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian
tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang
penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku.
Medan, Agustus 2019
Penulis,
dr. Mei Sarah Pane
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
iv
PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS
Telah diuji dan ditetapkan di : Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara.
Tanggal : 8 Agustus 2019
Program Magister Kedokteran Klinik
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Panitia Penguji Tesis
Ketua Program Studi : Dr. dr. Rodiah R. Lubis, M.Ked(Oph), Sp.M(K)
Sekretaris Program Studi : Dr. dr. Mohd. Rhiza Z. Tala, M.Ked(OG), Sp.OG
Penguji : Dr. dr. Pandiaman Pandia, M.Ked(Paru), Sp.P(K)
Dr. dr. Amira P. Tarigan, M.Ked(Paru), Sp.P(K)
dr. Parluhutan Siagian, M.Ked(Paru), Sp.P(K)
Universitas Sumatera Utara
v
TESIS
PROGRAM STUDI MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK
DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Penelitian : Pola Kuman dan Uji Kepekaan Kuman pada Pasien
Piopneumotoraks di RSUP H Adam Malik Medan
Nama : Mei Sarah Pane
Fakultas : Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Program Studi : Program Studi Magister Kedokteran Klinik Departemen
Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Lokasi
Penelitian
: RSUP H. Adam Malik Medan
Pembimbing I : Dr.dr. Fajrinur Syarani, M.Ked(Paru), Sp.P(K)
Pembimbing II : dr. Widirahardjo, Sp.P(K)
Pembimbing III : Dr. Putri Chairani Eyanoer, MSEpid, PhD
Pembimbing IV : dr. Rina Yunita, Sp.MK
Universitas Sumatera Utara
vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TESIS UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan
di bawah ini:
Nama : Mei Sarah Pane
NIM : 157041080
Program Studi : Magister Kedokteran Klinik, Departemen Pulmonologi
dan Kedoteran Respirasi
Fakultas : Fakultas Kedokteran
Jenis Karya : Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive
Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
Pola Kuman dan Uji Kepekaan Kuman pada Pasien Piopneumotoraks di RSUP
H.Adam Malik Medan. Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan
Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Sumatera Utara berhak
menyimpan, mengalih media/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data
(database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak
Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Dibuat di : FK-USU, Medan.
Pada tanggal : 8 Agustus 2019
Yang menyatakan
(dr. Mei Sarah Pane)
Universitas Sumatera Utara
vii
POLA KUMAN DAN UJI KEPEKAAN KUMAN PADA PASIEN
PIOPNEUMOTORAKS DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
ABSTRAK
Latar Belakang: Piopneumotoraks merupakan penyebab kesakitan dan kematian
yang signifikan. Mengetahui jenis kuman penyebab piopneumotoraks dan
memberikan antibiotik yang tepat sesegera mungkin merupakan hal yang sangat
membantu dalam penatalaksanaan piopneumotoraks disamping drainase rongga
pleura. Sayangnya, pemeriksaan kultur dan uji kepekaan antibiotik memerlukan
waktu yang cukup lama, sementara pemberian antibiotik tidak dapat ditunda.
Untuk itu diperlukan data pola kuman dan uji kepekaan antibiotik dari kuman
penyebab piopneumotoraks. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pola
kuman dan uji kepekaan kuman pada pasien piopneumotoraks
Metode: Penelitian ini merupakan studi deskriptif observasional yg dilakukan
dengan menelaah data rekam medik pasien penderita piopneumotoraks yang
dirawat di Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi RSUP H Adam
Malik Medan mulai Januari 2016. Data pola kuman dan uji kepekaan didapat dari
laporan hasil kultur di laboratorum mikrobiologi RSUP H Adam Malik Medan.
Hasil: Sebanyak 102 pasien dilibatkan sebagai subjek dalam studi ini, yang terdiri
atas 78.4% laki laki dan 21.6% perempuan. Kultur cairan pleura didapati
pertumbuhan bakteri pada 88 (86.3%) pasien, yang terdiri dari 77 (75.5%) pasien
bakteri tunggal, dan 11 (10.8%) pasien bakteri multipel, sementara pada 14
(13.7%) pasien tidak dijumpai pertumbuhan bakteri. Pemeriksaan hapusan BTA
dijumpai positif hanya pada 16 (15.7%) pasien saja. Bakteri yang paling dominan
adalah Klebsiella sp (21.1%), Citrobacter freundii (17.9%) dan Serratia sp
(12.6%). Antibiotik dengan tingkat sensitivitas paling tinggi adalah Amikacin
(80%), Meropenem (64.2%), dan Cefoperazone-Sulbactam (46.3%), sementara
antibiotik dengan tingkat sensitivitas terendah adalah Ceftriaxone (7.4%),
Cefotaxime (4.2%) dan Ampicilin (3.2%).
Kesimpulan: Bakteri yang paling banyak menjadi etiologi piopneumotoraks
adalah Klebsiella sp, Citrobacter freundii dan Serratia sp, dan antibiotik dengan
tingkat sensitivitas yang tertinggi adalah Amikacin, Meropenem dan
Cefoperazone-Sulbactam
Kata Kunci: piopneumotoraks, kultur bakteri, uji kepekaan
Universitas Sumatera Utara
viii
BACTERIAL PATTERN AND DRUGS-SENSITIVITY TEST ON
PATIENTS WITH PIOPNEUMOTHORAX AT H. ADAM MALIK
GENERAL HOSPITAL, MEDAN
ABSTRACT
Background: Piopneumothorax is a cause of pain and death significantly.
Knowing the bacteria types that cause piopneumothorax and giving the right
antibiotics as soon as possible is a very helpful thing in the management of
piopneumothorax in addition to the drainage of the pleural cavity. Unfortunately,
examination of cultures and antibiotic sensitivity testing takes a long time, while
giving antibiotics can not be delayed. For this reason we need bacterial pattern
data and antibiotic sensitivity tests from germ that cause piopneumothorax. The
aim of this study was to determine the bacterial pattern and drugs sensitivity test
in piopneumothorax patients.
Methods: Descriptive observasional study conducted by examining the medical
record data of patients with piopneumothorax who were treated at H. Adam Malik
General Hospital from January 2016. Data on bacterial patterns and sensitivity
tests were obtained from culture reports in the microbiology laboratory.
Results: 102 patients were consisting of 78.4% men and 21.6% women. Pleural
fluid culture found bacteria growth in 88 (86.3%) patients, consisting of 77
(75.5%) single bacterial patients, and 11 (10.8%) patients with multiple bacteria,
while in 14 (13.7%) patients no bacterial growth was found. AFB smear
examination was found to be positive only in 16 (15.7%) patients. The most
dominant bacteria were Klebsiella sp (21.1%), Citrobacter freundii (17.9%) and
Serratia sp (12.6%). Antibiotics with the highest sensitivity level were Amikacin
(80%), Meropenem (64.2%), and Cefoperazone-Sulbactam (46.3%), while
antibiotics with the lowest sensitivity level were Ceftriaxone (7.4%), Cefotaxime
(4.2%) and Ampicilin (3.2 %).
Conclusion: The most common bacteria as the etiology of piopneumothorax are
Klebsiella sp, Citrobacter freundii and Serratia sp, and the highest antibiotic
sensitivity levels are Amikacin, Meropenem and Cefoperazone-Sulbactam.
Keywords: Piopneumothorax, bacterial culture, drugs-sensitivity test
Universitas Sumatera Utara
ix
KATA PENGANTAR/ UCAPAN TERIMA KASIH
Bismillahirrahmanirrahim,
Dengan mengucapkan syukur kepada ALLAH SWT, karena atas berkat
dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tulisan akhir ini yang berjudul “Pola
Kuman dan Uji Kepekaan Kuman pada Pasien Piopneumotoraks di RSUP
H.Adam Malik Medan”.
Tulisan ini merupakan persyaratan dalam penyelesaian pendidikan
keahlian di Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKSU/SMF Paru
RSUP H Adam Malik Medan. Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan
penelitian ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan dan pengarahan dari
berbagai pihak baik dari guru-guru yang penulis hormati, teman sejawat di
Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK USU, paramedis dan non
medis serta dorongan dari pihak keluarga. Pada kesempatan ini penulis
menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
Dr. dr. Pandiaman Pandia, M.Ked(Paru), Sp.P(K), sebagai Ketua
Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK USU/SMF Paru RSUP H
Adam Malik Medan, yang tiada henti-hentinya memberikan bimbingan Ilmu
Pengetahuan, arahan, petunjuk serta nasehat dalam cara berpikir, bersikap dan
berperilaku yang baik selama masa pendidikan, yang mana hal tersebut sangat
berguna di masa yang akan datang.
Dr. dr. Amira P. Tarigan. Sinaga, M.Ked(Paru), Sp.P(K) sebagai Ketua
Program Studi di Departemen Pulmonolgi dan Kedokteran Respirasi FK USU/
SMF Paru RSUP H Adam Malik Medan dan sekaligus sebagai pembimbing
utama dalam penelitian saya ini yang telah banyak memberikan bantuan,
dorongan, bimbingan, pengarahan dan masukan bagi penulis hingga dapat
menyelesaikan seluruh rangkaian pendidikan di bidang Magister Kedokteran
Klinik.
Universitas Sumatera Utara
x
Dr. dr. Bintang Y.M. Sinaga, M.Ked(Paru), Sp.P(K) sebagai koordinator
penelitian ilmiah di Departemen Pulmonolgi dan Kedokteran Respirasi FK USU/
SMF Paru RSUP H Adam Malik Medan dan sekaligus sebagai pembimbing
utama dalam penelitian saya ini yang telah banyak memberikan bantuan,
dorongan, bimbingan, pengarahan dan masukan dalam rangka penyusunan dan
penyempurnaan tulisan ini.
Dr. dr. Fajrinur Syarani, M.Ked(Paru), Sp.P(K), sebagai pembimbing
akademik dan pembimbing tesis saya ini yang telah banyak memberikan penulis
bantuan, masukan, arahan dan terutama motivasi kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan tulisan ini.
dr. Widirahardjo, Sp.P(K), sebagai pembimbing kedua tesis saya ini yang
telah banyak memberikan penulis bantuan, masukan, arahan dan terutama
motivasi kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tulisan ini.
dr. Putri Chairani Eyanoer, MS.Epid, PhD sebagai pembimbing statistik
yang telah begitubanyak membantu dan membuka wawasan penulis dalam bidang
statistik dan dengan penuh kesabaran memberi bimbingan sehingga penulis dapat
menyelesaikan tulisan ini.
dr. Rina Yunita, Sp.MK, sebagai pembimbing keempat tesis saya ini yang
telah banyak memberikan penulis bantuan, masukan, arahan dan terutama
motivasi kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tulisan ini.
Penghargaan dan rasa terimakasih juga tak lupa penulis sampaikan kepada
yang terhormat Prof. dr. H. Luhur Soeroso, Sp.P(K), Prof. dr. H. Tamsil
Syafiuddin, Sp.P(K), dr. H. Hilaluddin Sembiring, DTM&H, Sp.P(K), dr.
Widirahardjo, Sp.P(K), Dr. dr. Fajrinur Syarani, M.Ked(Paru), Sp.P(K), Dr. dr.
Pandiaman Pandia, M.Ked(Paru), Sp.P(K), Dr. dr. Noni N. Soeroso,
M.Ked(Paru), Sp.P(K), dr. Setia Putra Tarigan, Sp.P(K), dr. Syamsul Bihar,
M.Ked(Paru), Sp.P(K), dr. Ade Rahmaini, M.Ked(Paru), Sp.P, dr. Netty Y.
Damanik, Sp.P, dr. Ucok Martin, Sp.P, dr. Nuryunita Nainggolan, Sp.P(K), yang
telah banyak memberikan bantuan, bimbingan, masukan dan pengarahan selama
menjalani pendidikan.
Universitas Sumatera Utara
xi
Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada yang
terhormat Dekan Fakultas Kedokteran USU Medan dan Direktur RSUP H. Adam
Malik Medan yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan kepada penulis
dalam melaksanakan dan menyelesaikan penelitian ini.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada teman sejawat peserta Program
Pendidikan Dokter Spesialis Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi khususnya
teman seangkatan, pegawai tata usaha, perawat/petugas poliklinik, ruang rawat
inap, instalasi perawatan intensif, instalasi gawat darurat RSUP H Adam Malik
atas bantuan dan kerja sama yang baik selama menjalani masa pendidikan.
Dengan rasa hormat dan terima kasih yang tiada terbalas penulis
sampaikan kepada Ayahanda H. Armen Tua Pane dan Ibunda Hj. Sumaria Lubis
yang telah membesarkan, mendidik dan mendukung seluruh proses pendidikan
penulis, serta suami tercinta M. Ali Sahbudin, SE, ketiga anakku ananda Habib
Husein Harahap, Rafanul Hakim Harahap dan Putra Qori Ahnaf, beserta keluarga
besar saya yang memberi dorongan semangat serta doa yang tak henti sehingga
penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini. Tiada kata yang dapat diucapkan
selain ungkapan rasa terima kasih dan penghargaan atas segala yang telah
Ayahanda dan Ibunda, suamiku, anakku beserta keluarga besarku yang diberikan
selama ini.
Akhirnya pada kesempatan ini perkenankan penulis menyampaikan
permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas segala kekurangan, kekhilafan dan
kesalahan yang pernah diperbuat selama ini. Semoga ilmu, keterampilan dan
pembinaan kepribadian yang penulis dapatkan selama ini dapat bermanfaat bagi
agama, nusa dan bangsa.
Medan, Agustus 2019
Penulis,
dr. Mei Sarah Pane
Universitas Sumatera Utara
xii
DAFTAR ISI
PERNYATAAN ORISINALITAS .......................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... ii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS........................................................... iv
LEMBAR TESIS ...................................................................................................... v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TESIS ...................................... vi
ABSTRAK ................................................................................................................ vii
ABSTRACT ............................................................................................................... viii
KATA PENGANTAR/UCAPAN TERIMA KASIH............................................. ix
DAFTAR ISI ............................................................................................................. xii
DAFTAR TABEL..................................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ xvi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ xvii
DAFTAR SINGKATAN .......................................................................................... xviii
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ----------------------------------------------------------------------------------- 1
1.2 Perumusan Masalah ---------------------------------------------------------------------------- 3
1.3 Tujuan Penelitian -------------------------------------------------------------------------------- 3
1.3.1 Tujuan Umum --------------------------------------------------------------------------- 3
1.3.2 Tujuan Khusus --------------------------------------------------------------------------- 3
1.4 Manfaat Penelitian ------------------------------------------------------------------------------ 3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Piopneumothoraks ------------------------------------------------------------------------------ 5
2.1.1 Definisi Piopneumothoraks ----------------------------------------------------------- 5
2.1.2 Klasifikasi Piopneumothoraks -------------------------------------------------------- 5
2.1.3 Etiologi Piopneumotoraks ------------------------------------------------------------- 8
2.1.4 Patogenesis Piopneumothoraks ------------------------------------------------------- 8
2.1.5 Epidemiologi Piopneumothoraks ---------------------------------------------------- 9
2.1.6 Diagnosis Piopneumothoraks ------------------------------------------------------- 10
Universitas Sumatera Utara
xiii
2.1.7 Penatalaksanaan Piopneumothoraks ----------------------------------------------- 14
2.1.8 Prognosis Piopneumothoraks ------------------------------------------------------- 14
2.2 Empiema ---------------------------------------------------------------------------------------- 15
2.2.1 Defenisi Empiema -------------------------------------------------------------------- 15
2.2.2 Patogenesis Empiema ----------------------------------------------------------------- 15
2.3 Bakteriologi ------------------------------------------------------------------------------------ 17
2.4 Terapi Antibiotik ------------------------------------------------------------------------------ 19
2.5 Uji Kepekaan Kuman ------------------------------------------------------------------------- 22
2.6 Kerangka Teori --------------------------------------------------------------------------------- 25
2.7 Hipotesis Penelitian ---------------------------------------------------------------------------- 26
2.8 Kerangka Konsep ------------------------------------------------------------------------------ 26
BAB 3. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian -------------------------------------------------------------------------------- 27
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian -------------------------------------------------------------- 27
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ------------------------------------------------------------ 27
3.3.1 Populasi ---------------------------------------------------------------------------------- 27
3.3.2 Sampel ----------------------------------------------------------------------------------- 27
3.3.3 Teknik Pengambilan Sampel dan Besar Sampel -------------------------------- 28
3.4 Variabel Penelitian ---------------------------------------------------------------------------- 28
3.5 Pengumpulan Data ---------------------------------------------------------------------------- 28
3.5.1 Persiapan Pengumpulan Data -------------------------------------------------------- 28
3.5.2 Pengolahan Data ----------------------------------------------------------------------- 29
3.6 Defenisi Operasional ------------------------------------------------------------------------- 29
3.7 Kerangka Kerja Penelitian ------------------------------------------------------------------ 31
3.8 Jadwal Penelitian ------------------------------------------------------------------------------ 31
3.9 Perkiraan Biaya Penelitian ------------------------------------------------------------------ 32
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian --------------------------------------------------------------------------------- 33
4.1.1 Karakteristik Demografis Subjek Penelitian -------------------------------------- 33
4.1.2 Karakteristik Klinis dan Mikrobiologis Subjek Penelitian --------------------- 34
Universitas Sumatera Utara
xiv
4.1.3 Pola Kuman pada Penderita Piopneumotoraks ----------------------------------- 36
4.1.4 Hubungan Karakteristik Klinis dengan Pola Kuman ---------------------------- 39
4.1.5 Hasil Uji Sensitivitas Antibiotik Berdasarkan Jenis Kuman ------------------- 40
4.2 Pembahasan ------------------------------------------------------------------------------------- 43
4.2.1 Karakteristik Demografis Subjek Penelitian -------------------------------------- 43
4.2.2 Karakteristik Klinis dan Mikrobiologis Subjek Penelitian --------------------- 46
4.2.3 Pola Kuman pada Pasien Piopneumotoraks--------------------------------------- 48
4.2.4 Hasil Uji Sensitivitas Antibiotik Berdasarkan Jenis Kuman ------------------- 51
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan -------------------------------------------------------------------------------------- 54
5.2 Saran --------------------------------------------------------------------------------------------- 54
DAFTAR PUSTAKA ----------------------------------------------------------------------------- 56
LAMPIRAN --------------------------------------------------------------------------------------- 59
Universitas Sumatera Utara
xv
DAFTAR TABEL
Tabel Judul Halaman
2.1 Pembagian Tingkatan Efusi Parapneumonia dan Empiema
dan Skema Terapi .................................................................. ......... ....... 16
2.2 Perbedaan Bakteriologis Sebagai Pedoman Terapi Antibiotik
Empiris .................................................................................. ................ 17
2.3 Regimen Pemberian Antibiotik pada Infeksi Pleura dengan
Kultur Negatif ........................................................................ ................ 22
3.1 Definisi Operasional .............................................................. ................ 29
3.2 Jadwal Penelitian ................................................................... ................ 31
4.1 Karakteristik Demografis Subjek Penelitian ......................... ................ 33
4.2 Karakteristik Klinis dan Mikrobiologis Subjek Penelitian .... ................ 35
4.3 Pola Kuman pada Pasien Piopneumotoraks yang Dirawat
di RSUP HAM ....................................................................... ................ 37
4.4 Jenis Bakteri pada Pasien Piopneumotoraks yang Dirawat
di RSUP HAM ....................................................................... ................ 37
4.5 Hubungan Karakteristik Klinis dengan Jumlah Kuman ........ ................ 39
4.6 Hubungan Karakteristik Klinis dengan Pewarnaan Gram..... ................ 40
4.7 Persentase Sensitivitas Antibiotik pada Masing-Masing
Bakteri ................................................................................... ................ 40
Universitas Sumatera Utara
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar Judul Halaman
2.1 Foto Thoraks PA Laki-laki 18 Tahun dengan
Hidropneumothoraks Kanan Luas Disertai dengan
Bronkiektasis Kistik Bilateral Berat ...................................... ................ 11
2.2 Gambaran M Mode pada Pneumothoraks ............................. ................ 12
2.3 CT Scan Thoraks Menunjukkan Piopneumothoraks Kiri pada
Pasien dengan Pneumonia Bilateral dan ARDS .................... ................ 13
2.4 Kerangka Teori Penelitian ..................................................... ................ 25
2.5 Kerangka Konsep Penelitian ................................................. ................ 26
3.1 Kerangka Kerja Penelitian ..................................................... ................ 31
4.1 Diagram Batang Sensitivitas Antibiotik ................................ ................ 43
Universitas Sumatera Utara
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Judul Halaman
Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup ...................................................................... 59
Lampiran 2 Persetujuan Komite Etik (Ethical Clearance) .................................. 61
Lampiran 3 Data Sampel Penelitian .................................................................... 62
Lampiran 4 Hasil Analisis Data ........................................................................... 65
Universitas Sumatera Utara
xviii
DAFTAR SINGKATAN
PSP = Pneumothoraks Spontan Primer
PSS = Pneumothoraks Spontan Sekunder
LAM = Lymphangioleiomyomatosis
WSD = Water Seal Drainage
PPOK = Penyakit Paru Obstruktif Kronik
ARDS = Acute Respiratory Distress Syndrome
PABA = Para Amino Benzoic Acid
PBP = Protein Pengikat Penisilin
RNA = Ribonucleic Acid
MIC = Minimal Inhibitory Concentration
LDH = Laktat Dehydrogenase
PMN = Polimorfonuklear
AIDS = Acquired Immunodeficiency Syndrome
RM = Rekam Medik
ICD-10 = International Classification of Disease and Related Health Problem 10
BTA = Basil Tahan Asam
DM = Diabetes Melitus
CHF = Congestif Heart Failure
MRSA = Methycillin Resistant Staphylococcus Aureus
MDRO = Multi Drugs Resistant Organism
GFM = Gas Forming Microorganism
BPF = Bronkopleural Fistula
Universitas Sumatera Utara
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Piopneumotoraks didefenisikan sebagai kumpulan nanah dan udara dalam
rongga pleura. Piopneumotoraks ini sendiri dapat terlokalisasi (berkapsul) atau
melibatkan seluruh rongga pleura (Gupta et al., 2013). Biasanya piopneumotoraks
ini terjadi akibat timbulnya bronkopleural fistel spontan yang terjadi karena
pneumonia atau abses paru (Jagelavicius et al., 2015). Meskipun jarang,
pneumothoraks, empiema dan piopneumotoraks merupakan komplikasi dari TB
paru dan merupakan penyebab kesakitan dan kematian yang signifikan. Biasanya,
komplikasi ini terjadi akibat rupturnya nodus parenkim atau kavitas kedalam
rongga pleura. Pada kebanyakan pasien TB paru, bronkopleural fistel dan atau
pleura kutaneus fistel merupakan manifestasi yang umum (Kartaloglu et al.,
2006)
Secara epidemiologi, insiden piopneumotoraks bervariasi di setiap negara,
seperti India, insidens piopneumotoraks umumnya terjadi pada kelompok usia
muda yang disebabkan oleh tuberkulosis. Menurut penelitian yang dilakukan Anil
Gupta dkk, dari 50 pasien, 19 pasien terdapat pada kelompok usia 21-30 tahun,
sedangkan 13 pasien berada dalam kelompok umur 11-20 tahun. Sedangkan
menurut penelitian yang dilakukan oleh Kamat, dari 100 pasien, 29 kasus terdapat
pada usia dibawah 24 tahun dan 58 kasus berusia antara 25- 44 tahun (Gupta et
al., 2013).
Mengetahui jenis kuman penyebab piopneumotoraks dan memberikan
antibiotik yang tepat merupakan salah satu hal yang sangat membantu dalam
penatalaksanaan piopneumotoraks disamping drainase yang baik dari rongga
pleura. Untuk mengetahui jenis kuman tersebut dapat dilakukan dengan cara
pewarnaan langsung ataupun dengan mengkultur cairan piopneumotoraks
tersebut. Untuk mengetahui antibiotik yang tepat untuk kuman penyebab
piopneumotoraks tersebut, dilakukan pemeriksaan uji kepekaan kuman.
Universitas Sumatera Utara
2
Semua pemeriksaan ini memerlukan waktu yang cukup lama sementara
pemberian antibiotik tidak dapat ditunda menunggu hasil pemeriksaan tersebut.
Disinilah kita memerlukan pola kuman penyebab piopneumotoraks dan uji
kepekaan kuman terhadap antibiotik agar antibiotik yang kita berikan lebih tepat.
Disamping itu dari pola kuman tersebut dapat dibuat suatu hubungan antara
penyakit yang mendasari dan kuman yang didapat.
Pada penelitian prospektif yang dilakukan Setia Putra pada Januari 2007
sampai dengan Juni 2007 di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan,
dijumpai hasil paling banyak etiologi empiema disebabkan pneumonia (50%)
kemudian diikuti TB paru (39,3%) dan tumor paru (7,1%). Bakteri aerob yang
paling banyak adalah Staphylococcus aureus, Streptococcus haemolyticus dan
Streptococcus pneumoniae. Juga dijumpai bakteri anaerob Clostridium
perfringens dari kultur cairan pleura tersebut (Tarigan, 1997).
Pada penelitian yang dilakukan Anil Gupta dkk pada tahun 2010 sampai
dengan 2013 di Rumah Sakit Umum di Ahmedabad, dijumpai etiologi terbanyak
untuk piopneumotoraks adalah TB paru (92%), diikuti oleh pneumonia (6%) dan
amuba (2%). Sedangkan jenis mikroorganisme penyebab piopneumotoraks
tersering adalah pseudomonas (22%), diikuti oleh Staphylococcus Aureus (16%)
dan E Coli (12%). Sedangkan sebanyak 46 % hasil kultur tidak ditemukan jenis
mikroorganismenya (Gupta et al., 2013).
Dari paparan diatas terdapat perbedaan antara pola kuman
piopneumotoraks dengan empiema. Karena berbeda dengan empiema,
piopneumotoraks terjadi akibat adanya hubungan antara airway dengan rongga
pleura sehingga mikroorganisme dari saluran napas atas bisa masuk ke rongga
pleura. Hal ini menyebabkan pola kuman yang berbeda dengan empiema,
sehingga akan berbeda pula dalam hal pengobatannya. Hal inilah yang menjadi
latar belakang penulis untuk meneliti mengenai pola kuman dan uji kepekaan
kuman pada pasien piopneumotoraks di RSUP H. Adam Malik Medan.
Universitas Sumatera Utara
3
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut, maka dapat dirumuskan
masalah yaitu bagaimana pola kuman dan uji kepekaan kuman pada pasien
piopneumotoraks di RSUP H. Adam Malik Medan.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui pola kuman dan uji kepekaan kuman pada pasien
piopneumotoraks di RSUP H. Adam Malik Medan.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui distribusi frekuensi berdasarkan karakteristik demografis
pasien piopneumotoraks di RSUP H. Adam Malik Medan
2. Mengetahui distribusi frekuensi berdasarkan karakteristik klinis dan
mikrobiologis pada pasien piopneumotoraks di RSUP H. Adam Malik
Medan
3. Mengetahui distribusi frekuensi berdasarkan pola kuman pasien
piopneumotoraks di RSUP H. Adam Malik Medan
4. Mengetahui hubungan antara karakteristik klinis pasien dengan pola
kuman pada pasien piopneumotoraks di RSUP H.Adam Malik Medan.
5. Mengetahui hasil uji kepekaan kuman terhadap antibiotik pada pasien
piopneumotoraks di RSUP H.Adam Malik Medan.
6. Mengetahui hasil uji kepekaan kuman terhadap antibiotik berdasarkan
jenis kuman pada pasien piopneumotoraks di RSUP H.Adam Malik
Medan.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Manfaat bagi peneliti, diharapkan dapat menambah wawasan penulis
dan sebagai pembelajaran mengenai pola kuman dan uji kepekaan
kuman pada pasien piopneumotoraks.
Universitas Sumatera Utara
4
2. Manfaat bagi institusi, diharapkan dari hasil penelitian ini dapat
diketahui gambaran pola kuman pada pasien piopneumotoraks dan uji
kepekaan kuman terhadap antibiotik, di RSUP H. Adam Malik Medan
yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk pemberian antibiotika
secara empirik sebelum hasil pemeriksaan yang sessungguhnya
didapatkan.
3. Manfaat bagi penelitian, diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan
perbandingan untuk penelitian di masa yang akan datang.
Universitas Sumatera Utara
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Piopneumotoraks
2.1.1 Definisi Piopneumotoraks
Piopneumotoraks didefenisikan sebagai kumpulan nanah dan udara dalam
rongga pleura. Piopneumotoraks ini sendiri dapat terlokalisasi (berkapsul) atau
melibatkan seluruh rongga pleura. Piopneumotoraks diakibatkan oleh infeksi,
yang mana infeksinya ini berasal dari mikroorganisme yang membentuk gas atau
dari robekan septik jaringan paru atau esofagus kearah rongga pleura. Kebanyakan
jenis kuman yang sering terdapat adalah Mycobacterium tuberculosis,
Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae dan Escherichia coli (Gupta et
al., 2013; Light, 2013).
2.1.2 Klasifikasi Piopneumotoraks
Piopneumotoraks merupakan bagian dari pneumotoraks. Pneumotoraks
dapat dikelompokkan berdasarkan atas kejadian, luas kolaps paru, dan jenis fistel
yang terjadi.
Berdasarkan kejadiannya, pneumotoraks digolongkan ke dalam:
a. Pneumotoraks spontan,
Yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba. Pneumotoraks tipe ini
dapat diklasifikasikan kedalam dua jenis, yaitu:
1. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi secara
tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya atau tanpa penyakit dasar yang jelas.
2. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi dengan
didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki sebelumnya.
(Widirahardjo, 2017)
b. Pneumotoraks artifisial dan
c. Pneumotoraks traumatik
Yaitu terjadi akibat adanya suatu trauma, baik trauma penetrasi maupun
bukan, yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada maupun paru.
Universitas Sumatera Utara
6
1. Pneumotoraks traumatik iatrogenik
Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat komplikasi dari tindakan medis.
Pneumotoraks tipe ini dapat diklasifikasikan kedalam dua jenis, yaitu:
a) Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental
Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan medis karena kesalahan/
komplikasi tindakan tersebut, misalnya pada tindakan parasintesis dada,
biopsi pleura, biopsi transbronkhial, biopsi/ aspirasi paru perkutaneus,
kanulasi vena sentral, barotrauma (ventilasi mekanik) (Widirahardjo,
2017).
b) Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial
Yaitu pneumotoraks yang sengaja dilakukan dengan cara mengisi udara
kedalam rongga melalui jarum dengan suatu alat Maxwell box. Biasanya
untuk terapi tuberkulosis (sebelum era antibiotik) atau untuk menilai
permukaan paru (Widirahardjo, 2017).
2. Pneumotoraks traumatik non iatrogenik
Yaitu terjadi karena luka lecet karena kecelakaan, misalnya luka lecet pada
dinding dada baik terbuka maupun tertutup, barotrauma (Widirahardjo,
2017).
Menurut luasnya paru yang mengalami kolaps, maka pneumotoraks dapat
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
a. Pneumotoraks parsialis
Yaitu pneumotoraks yang menekan pada sebagian kecil paru (<50%
volume paru).
b. Pneumotoraks totalis
Yaitu pneumotoraks yang mengenai sebagian besar paru (>50% volume
paru).
Menurut jenis fistelnya, Pneumotoraks tipe ini dapat diklasifikasikan
kedalam tiga jenis, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
7
a. Pneumotoraks Tertutup (simple pneumotoraks)
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada
dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di
dalam rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah
menjadi negatif karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi
tersebut paru belum mengalami re-ekspansi, sehingga masih ada rongga pleura,
meskipun tekanan di dalamnya sudah kembali negatif. Pada waktu terjadi
gerakan pernapasan, tekanan udara di rongga pleura tetap negatif
(Widirahardjo, 2017) .
b. Pneumotoraks Terbuka (open pneumotoraks)
Yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga pleura
dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar, atau terdapat luka
terbuka pada dada. Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama dengan
tekanan udara luar. Pada pneumotoraks terbuka tekanan intrapleura sekitar nol.
Perubahan tekanan ini sesuai dengan perubahan tekanan yang disebabkan oleh
gerakan pernapasan. Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada
waktu ekspirasi tekanan menjadi positif. Selain itu, pada saat inspirasi
mediastinum dalam keadaan normal, tetapi pada saat ekspirasi mediastinum
bergeser ke arah sisi dinding dada yang terluka (sucking wound)
(Widirahardjo, 2017).
c. Pneumotoraks ventil (tension pneumotoraks)
Yaitu pneumotoraks dengan tekana intrapleura yang positif dan makin
lama makin bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis yang bersifat
ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus serta
percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel yang
terbuka. Waktu ekspirasi udara di dalam rongga pleura tidak dapat keluar.
Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura makin lama makin tinggi dan
melebihi tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul dalam rongga pleura ini
dapat menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal napas (Widirahardjo,
2017).
Universitas Sumatera Utara
8
2.1.3 Etiologi Piopneumotoraks
Pneumotoraks spontan primer (PSP), yang didefinisikan sebagai
pneumotoraks tanpa penyakit paru-paru yang mendasari, terutama terjadi pada
pria muda dan kurus. Hal ini biasanya disebabkan oleh rupturnya pleura blebs
atau bullae (Chen et al., 2008).
Pneumotoraks spontan sekunder (PSS) biasanya terjadi dengan penyakit
paru yang mendasarinya, seperti PPOK sebanyak 70 persen dari kasus. Penyakit
paru lain yang dapat meningkatkan resiko terjadinya pneumothoraks adalah
tuberkulosis, pneumonia nekrotik, pneumocystis carini, kanker paru, sarkoma
yang mengenai paru, sarkoidosis, endometriosis, kistik fibrosis, asma persisten
berat, idiopathic pulmonary fibrosis, artritis rheumatoid, ankylosing spondilitis,
polymyositis dan dermatomyositis, sklerosis multipel, sindrom marfan dan
sindrom ehlers-danlos, histiositosis X dan lymphangioleiomyomatosis (LAM)
(Zarogoulidis et al., 2014).
2.1.4 Patogenesis Piopneumotoraks
Rongga pleura dalam keadaan normal tidak dijumpai udara. Bila ada
hubungan antara atmosfir dengan rongga pleura oleh sebab apapun, maka udara
akan masuk ke rongga pleura yang mengakibatkan terjadinya pneumotoraks.
Hubungan ini bisa akibat bocornya pleura visceralis atau robeknya dinding dada
yang menembus pleura parietal (Widirahardjo, 2017).
Patogenesis yang tepat dari Pneumotoraks Spontan Primer tidak diketahui.
Penyebab utamanya adalah terjadinya hubungan yang spontan antara ruang
alveolar dan pleura. Kebanyakan penulis percaya bahwa ruptur spontan dari bleb
subpleural, atau bulla, adalah penyebab Pneumotoraks Spontan Primer. Meskipun
mayoritas pasien Pneumotoraks Spontan Primer, termasuk anak-anak, adanya
blebs atau bullae saat ini (biasanya di bagian atas/ apeks paru-paru), tidak jelas
seberapa sering lesi ini sebenarnya menjadi tempat kebocoran udara. Hanya
sejumlah kecil blebs yang pecah pada saat thoracoscopy atau pembedahan,
sedangkan pada kasus yang tersisa lesi lain ada, sering disebut sebagai porositas
pleura, area sel mesothelial yang terganggu pada pleura viseral, digantikan oleh
Universitas Sumatera Utara
9
lapisan elastofibrotik inflamasi dengan porositas meningkat, memungkinkan
kebocoran udara ke ruang pleura. Fenomena terakhir dapat menjelaskan tingkat
kekambuhan yang tinggi hingga 20% dari bullektomy saja (tanpa pleurodesis
terkait) sebagai terapi. Perkembangan blebs, bullae dan daerah porositas pleura
dapat dikaitkan dengan berbagai faktor, termasuk radang saluran napas bagian
bawah, faktor keturunan, kelainan anatomi percabangan bronkus, fisiognomi
ektomorfik dengan tekanan intrapleural yang lebih negatif dan iskemia apikal
pada apeks, indeks massa tubuh rendah dan pembatasan kalori, dan jaringan ikat
abnormal (Noppen & Keukeleire, 2008).
Bronkopleural fistula (BPF) adalah saluran antara bronkus utama, lobus,
atau bronkus segmental dan ruang pleura. Bronkopleural fistula biasanya
ditemukan karena peningkatan risiko nekrosis iskemik atau kumpulan sekresi
yang mengarah ke pertumbuhan berlebih bakteri dan kolonisasi termasuk bakteri
tuberkulosis. Fistula bronkopleural menyebabkan piopneumotoraks sehingga,
pada saat drainase empiema, tidak hanya nanah tetapi juga udara keluar melalui
selang dada (Salik & Abramowitz, 2019).
2.1.5 Epidemiologi Piopneumotoraks
Pneumotoraks spontan primer tetap merupakan masalah kesehatan yang
signifikan, dengan angka kejadian sekitar 18-28 per 100.000 penduduk pada laki-
laki dan sekitar 1,2-6,0 per 100.000 penduduk pada wanita. Angka kejadian
pneumotoraks spontan sekunder sekitar 6,3 per 100.000 penduduk pada laki-laki
dan sekitar 2,0 per 100.000 penduduk pada wanita, dengan angka kejadian yang
bervariasi dari waktu ke waktu, misalnya selama Pneumocystis Carinii terkait
AIDS yang terjadi pada tahun 1980an dan 1990an. Angka kematian akibat
pneumothoraks spontan bisa tinggi, terutama pada subjek yang berusia tua dan
orang orang dengan pneumothoraks spontan sekunder. Jalannya pneumotoraks
spontan tetap tidak dapat diprediksi, dengan tingkat kekambuhan berkisar 25-54%
(Tschopp et al., 2015).
Universitas Sumatera Utara
10
2.1.6 Diagnosis Piopneumotoraks
Dari anamnesis dapat ditemui sulit bernapas yang timbul mendadak
dengan disertai nyeri dada yang terkadang dirasakan menjalar ke bahu dan dapat
disertai batuk. Perlu ditanyakan adanya penyakit paru atau pleura lain yang
mendasari pneumotoraks, dan menyingkirkan adanya penyakit jantung. Gejalanya
bisa berupa nyeri dada tajam yang timbul secara tiba-tiba dan semakin nyeri jika
penderita menarik napas dalam atau terbatuk. Sesak napas, dada terasa sempit,
warna kulit menjadi kebiruan akibat kekurangan oksigen (Widirahardjo, 2017).
Sesak napas makin lama makin hebat akibat pengempisan paru yang
terkena dan gangguan pengembangan paru yang sehat. Penderita dapat mengalami
kegagalan pernapasan akut, terutama bila penyakit yang mendasari timbulnya
pneumotoraks adalah asma atau penyakit paru obstruktif menahun. Batuk pada
umumnya tidak produktif, terutama pada pneumotoraks spontan idiopatik.
Keluhan lain yang dapat dijumpai tergantung pada kelainan yang mendasari
timbulnya pneumotoraks (Monaghan and Swan, 2008).
Penderita dapat mengalami kegelisahan, berkeringat dingin, sianosis, dan
syok. Dapat ditemukan hipotensi, nadi lebih dari 140 kali per menit, akral dingin,
serta pelebaran pembuluh darah vena leher dan dada. Tekanan dalam rongga
pleura yang tinggi dan pendorongan mediastinum beserta isinya ke arah sisi yang
sehat akan mengganggu aliran balik darah vena ke dalam jantung, sehingga curah
jantung menurun dan menyebabkan syok kardial. Perlu diingat bahwa syok juga
dapat disebabkan oleh perdarahan masif di dalam rongga pleura (Monaghan and
Swan, 2008).
Pada pemeriksaan fisik toraks ditemukan:
Inspeksi: dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper ekspansi
dinding dada). Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya
tertinggal, trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat, deviasi trakea,
ruang intercostal melebar.
Palpasi: pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar,
iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat. Fremitus suara melemah
atau menghilang pada sisi yang sakit.
Universitas Sumatera Utara
11
Perkusi: suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak
menggetar, batas jantung terdorong kearah toraks yang sehat, apabila
tekanan intrapleural tinggi, pada tingkat yang berat terdapat gangguan
respirasi/ sianosis, gangguan vaskuler/ syok.
Auskultasi: pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai
menghilang, suara vocal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni
negatif (Widirahadjo, 2017).
Pemeriksaan penunjang :
1. Foto toraks
Radiografi toraks tetap merupakan pemeriksaan standar pada pasien
dengan dugaan pneumothoraks spontan primer dan dapat dikombinasikan dengan
foto toraks lateral dalam kasus yang sulit. Gambaran pleural line dan tidak
adanya gambaran corakan paru menunjukkan adanya pneumotoraks (Tschopp,
2015).
Gambar 2.1 Foto toraks PA laki-laki 18 tahun dengan hidropneumotoraks kanan
luas disertai dengan bronkiektasis kistik bilateral berat.
Universitas Sumatera Utara
12
2. USG Thoraks
Dalam dekade terakhir, usg paru merupakan teknik yang sensitif dalam
evaluasi penyakit pernapasan, dan telah digunakan rutin dalam mendiagnosis
pneumotoraks pada trauma dan pasien sakit kritis (Tschopp, 2014). Temuan
utama untuk mendiagnosis pneumotoraks adalah tidak adanya sliding sign. Jika
tidak dijumpai sliding sign, dilihat lung point, yang merupakan suatu tanda
spesifik pneumotoraks untuk dapat mengkonfirmasi diagnosis. Lung point dapat
ditemukan di anterior ketika pneumotoraks kecil, dan di lateral jika
pneumotoraksnya besar. Evaluasi sliding sign harus dikonfirmasikan dengan
menggunakan m-mode. Pada pneumotoraks, pola granular parenkim paru hilang
dan garis horizontal linier terlihat di seluruh layar. Pola m-mode pneumotoraks
sering disebut stratosfer atau tanda barcode (Burguette, 2015).
Gambar 2.2 Gambaran M mode pada pneumotoraks
3. CT scan Thoraks
Frekuensi penggunaan CT scan thoraks meningkat pada pasien dengan
pneumotoraks. CT scan thoraks dperlukan untuk mendiagnosis pneumotoraks
pada pasien kritis ketika foto thoraks posisi tegak atau dekubitus tidak mungkin
dilakukan. CT scan juga dapat membantu dalam memprediksi tingkat
kekambuhan pada pasien (Burguette, 2015).
Universitas Sumatera Utara
13
Gambar 2.3 CT Scan thoraks menunjukkan piopneumotoraks kiri pada pasien
dengan pneumonia bilateral dan ARDS.
4. Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemia
meskipun pada kebanyakan pasien sering tidak diperlukan (Widirahardjo, 2017).
5. Punksi Pleura
Punksi pleura adalah tindakan memasukkan jarum untuk mengeluarkan
cairan dari rongga pleura. Adapun tujuan dari tindakan punksi pleura adalah untuk
membuktikan ada tidaknya cairan di rongga pleura, mengambil bahan
pemeriksaan (mikrobiologi dan sitologi) untuk efusi pleura dan
hidropneumotoraks yang belum diketahui penyebabnya serta untuk mengeluarkan
cairan/ udara untuk mengurangi keluhan sesak.
Prosedur tindakan punksi pleura adalah sebagai berikut:
1. Pasien dipersiapkan dengan posisi duduk atau setengah duduk, sisi yang
sakit menghadap dokter yang akan melakukan punksi.
2. Beri tanda daerah yang akan dipunksi berdasarkan pemeriksaan fisik (daerah
yang paling redup pada perkusi dan vesikuler mlemah pada auskultasi) dan
bantuan foto toraks/ USG. Tempat insersi jarum adalah satu interkosta
dibawah batas redup, pada ruang interkosta di tepi atas kosta sesuai lokasi
cairan, pada linea aksilaris anterior/ linea midaksilaris/ aksilaris posterior.
Hindari tepi bawah kosta karena didaerah tersebut terdapat arteri, vena, dan
saraf.
Universitas Sumatera Utara
14
3. Gunakan sarung tangan steril. Desinfeksi daerah yang telah diberi tanda
dengan cara memutar kasa yang telah diberi betadin, kemudian diulangi
dengan alkohol 70% dari titik pusat tanda, memutar dan melebar ke arah luar,
pasang duk steril dengan lubang pada tempat yang akan diaspirasi.
4. Anestesi daerah yang telah ditandai dengan lidokain 2% dimulai dari
subkutis, lalu tegak lurus ke arah pleura (lakukan tepat didaerah sela iga),
keluarkan lidokain perlahan hingga terasa jarum menembus pleura. Pastikan
tidak ada perdarahan.
5. Jika jarum telah menembus ke rongga pleura, kemudian dilakukan aspirasi
beberapa cairan pleura.
6. Bila jumlah cairan yang dibutuhkan untuk diagnostik telah cukup, tarik jarum
dengan cepat dengan arah tegak lurus pada saat ekspirasi dan bekas luka
tusukan segera ditutup dengan kasa betadin, tetapi jika bertujuan terapeutik
maka pada lokasi yang sama dapat segera dilakukan pengeluaran cairan/
udara (Mohammad, 2017).
2.1.7 Penatalaksanaan Piopneumotoraks
Setelah diagnosis ditegakkan, maka harus segera dilakukan tindakan untuk
menyelamatkan nyawa penderita. Pemasangan selang dada disertai pemberian
antibiotik yang adekuat harus segera dilakukan untuk mengeluarkan udara dan
cairan dalam rongga pleura. Di India piopneumotoraks yang terjadi dengan
didasari riwayat penyakit paru sebelumnya diobati dengan beberapa obat
antimikroba dan pemasangan selang dada atau lewat operasi (Gupta et al., 2013).
2.1.8 Prognosis Piopneumotoraks
Prognosis pneumotoraks dipengaruhi oleh kecepatan penanganan dan
kelainan yang mendasari timbulnya pneumotoraks. Hampir semua penderita dapat
diselamatkan jika penanganan dapat dilakukan secara dini. Sekitar separuh kasus
pneumotoraks spontan akan mengalami kekambuhan. Tidak ditemukan
komplikasi jangka panjang setelah tindakan penanganan yang berhasil (Dural et
al., 2010).
Universitas Sumatera Utara
15
2.2 Empiema
2.2.1 Definisi Empiema
Empiema dapat didefenisikan sebagai pus atau nanah di rongga pleura.
Weese mendefinisikan empiema sebagai cairan dengan karakteristik berat jenis
>1,018, jumlah leukosit > 500/mm3
atau kadar protein > 2,5 gr/dl. Vianna
mendefinisikan empiema sebagai cairan pleura dengan kultur bakteri positif atau
jumlah leukosit > 1500/mm3
dengan kadar protein > 3 gr/dl (Light, 2013).
2.2.2 Patogenesis Empiema
Perkembangan empiema yang berhubungan dengan pneumonia adalah
proses yang progresif dan diklasifikasi dibagi menjadi 3 tahap yaitu:
1. Tahap 1 disebut juga stadium eksudatif atau stadium akut, yang terjadi
pada hari-hari pertama saat efusi. Inflamasi pleura menyebabkan
peningkatan permeabilitas dan terjadi penimbunan cairan pleura namun
masih sedikit. Cairan pleura mengalir bebas dan dikarakterisasi dengan
jumlah sel darah putih yang rendah dan enzim laktat dehydrogenase
(LDH) yang rendah serta glukosa dan pH yang normal. Pemberian
antibiotik yang sesuai akan mempercepat perbaikan sehingga
pemasangan selang dada tidak perlu dilakukan.
2. Tahap 2 disebut juga dengan tahap fibropurulen yang ditandai dengan
inflamasi pleura yang meluas dan bertambahnya kekentalan dan
kekeruhan cairan. Cairan dapat berisi banyak leukosit polimorfonuklear,
bakteri, debris selular. pH cairan pleura dan glukosa menjadi rendah
sedangkan LDH meningkat. Akumulasi protein dan fibrin disertai
pembentukan membran fibrin, yang membentuk bagian atau lokulasi
dalam ruang pleura. Pada tahap ini penanganan tidak cukup hanya
dengan antibiotik tetapi memerlukan tindakan lain seperti torakostomi
dan pemasangan selang dada
3. Tahap 3 disebut juga tahap organisasi. Bila penanganan kurang baik,
penyakit akan berlanjut memasuki tahap akhir yaitu tahap organization.
Universitas Sumatera Utara
16
Pada tahap ini fibroblast akan berkembang ke eksudat dari permukaan
pleura visceralis dan parietalis membentuk membran yang tidak elastis
yang dinamakan pleural peel. Pleural peel akan menyelubungi paru dan
menghalangi paru untuk mengembang. Pada tahap ini eksudat sangat
kental dan bila penanganan tetap tidak baik, penyakit dapat berlanjut
menjadi empiema nesesitas akibat cairan pleura mengalir sendiri menuju
ke dinding toraks atau sebaliknya terjadi bronkopleural fistel akibat
cairan pleura mengalir menuju paru sehingga menimbulkan
piopneumotoraks. Secara lebih rinci, Light membagi cairan efusi
parapneumonik dan empiema ini menjadi 7 tingkatan berdasarkan
radiologis, analisa cairan, pewarnaan gram maupun kultur cairan (Light,
2013).
Tabel 2.1 Pembagian tingkatan efusi parapneumonia dan empiema dan skema
terapi (Light RW, 2013)
Kelas 1
Nonsignificant pleural effusion
Kecil, < 10 mm pada foto toraks posisi
dekubitus
Tidak diperlukan torakosintesis
Kelas 2
Typical parapneumonic pleural
effusion
10 mm. Glukosa >40 mg/dl, pH >7,2.
LDH < 3x batas atas normal. Pewarnaan
gram dan kultur negatif
Antibiotik saja
Kelas 3
Borderline complicated pleural
effusion
7< pH <7,2, dan/ atau LDH >3x batas
atas normal, glukosa > 40 mg/dl,
pewarnaan gram dan kultur negatif
Antibiotik dan torakosintesis berulang
Kelas 4
Simple complicated pleural
effusion
pH<7 dan/ atau glukosa <40mg/ dl atau
pewarnaan gram positif atau kultur
positif, tidak loculated, tidak pus
Tube thoracostomy ditambah antibiotik
Universitas Sumatera Utara
17
Tabel 2.1 Pembagian tingkatan efusi parapneumonia dan empiema dan skema
terapi (Light RW, 2013) (lanjutan)
Kelas 5
Complex complicated pleural
effusion
pH,7 dan/ atau glukosa <40mg/dl atau
pewarnaan gram positif atau kultur
positif, multiloculated
Tube toracostomy ditambah fibrinolitik
Kelas 6
Simple empyema
Pus/ nanah, cairan bebas bergerak
Tube toracostomy, bisa dilakukan
dekortikasi
Kelas 7
Complex empyema
Pus/ nanah, multiloculated
Tube toracostomy, bisa ditambah
fibrinolitik. Sering diperlukan tindakan
bronkoskopi dan dekortikasi.
2.3 Bakteriologi
Isolasi patogen berbeda antara pasien dengan infeksi pleura komunitas
atau didapat di rumah sakit dan etiologi iatrogenik, contohnya setelah
pembedahan toraks.
Tabel 2.2 Perbedaan bakteriologis menolong sebagai pedoman terapi antibiotik
empiris (Davies, 2010)
Organisme
Pneumonia komuniti Streptococcus spp (52%)
S milleri
S pneumonia
S intermedius
Staphylococcus aureus (11%)
Bakteri aerob gram negatif (9%)
Enterobacteriaceae
Escherichia coli
Universitas Sumatera Utara
18
Tabel 2.2 Perbedaan bakteriologis menolong sebagai pedoman terapi antibiotik
empiris (Davies, 2010) (lanjutan)
Pneumonia komuniti Anaerobes (20%)
Fusobacterium spp
Bacteroides spp
Peptostreptococcus spp
Mixed
Pneumonia nosocomial Staphylococcus
Meticillin resisten S aureus/MRSA
(25%)
S aureus (10%)
Bakteri aerob gram negatif (17%)
E coli
Pseudomonas aeruginosa
Klebsiella spp
Hasil kultur cairan empiema dari 33 pasien di Rumah Sakit Dr. Moewardi
pada tahun 2009 sampai dengan 2011 didapatkan 7 jenis kuman dengan urutan
terbanyak berturut-turut adalah Pseudomonas aeruginosa (15,2%), Enterobacter
cloacae (6,1%), Klebsiella pneumonia (3%), Acinetobacter spp (3%), Escherichia
coli (3%), Salmonella spp (3%) dan Serratia Marcessens (3%) (Surjanto, 2013).
Banyaknya bakteri anaerob yang didapat dari kultur sangat tergantung
pada cara mengkultur bakteri tersebut yang sangat berbeda dengan cara
mengkultur bakteri aerob. Cara pengambilan dan transport spesimen juga harus
dilakukan dengan benar bebas oksigen disamping media yang digunakan juga
berbeda dengan yang biasa dipakai untuk bakteri aerob. Cara pengambilan dan
transport spesimen juga harus dilakukan dengan benar bebas oksigen disamping
media yang digunakan juga berbeda dengan yang biasa dipakai untuk bakteri
aerob. Perlu juga dilihat populasi pasien yang diteliti. Pada populasi dengan
banyaknya pasien usia tua, aspirasi sering terjadi dan menjadi penyebab dari
pneumonia.
Universitas Sumatera Utara
19
Bakteri yang paling banyak dijumpai pada aspirasi adalah bakteri anaerob karena
bakteri anaerob banyak terdapat di rongga mulut. Pada pasien usia muda biasanya
banyak dijumpai Streptococcus pneumoniae dan pada anak umumnya dijumpai
Haemophylus Influenzae (Light, 2013).
2.4 Terapi Antibiotik
Antibiotik yang pertama kali ditemukan yaitu quinine untuk malaria dan
emetine untuk amubiasis yang ditemukan pada abad ke-17. Kemudian pada tahun
1929 ditemukan Penicilin, tahun 1935 ditemukan Sulfonamides, kemudian diikuti
penemuan Streptomycin, Tetracycline, Chloramphenicol, dan banyak lagi
antibiotik yang baru. Mekanisme kerja antibiotik dibagi kepada 4 jenis, yaitu:
1. Menginhibisi sintesis dinding sel. Yang termasuk jenis ini yaitu
Bacitracin, Cephalosporins, Cycloserine, Penicillins, Ristocetin,
Vancomycin.
2. Menginhibisi fungsi membrane sel. Yang termasuk jenis ini yaitu:
Amphotericin B, Colistin, Nystatin, Polymixyns.
3. Menginhibisi sintesis protein. Yang termasuk jenis ini yaitu:
Chloramphenicol, Erythromycins, Lincomycins, Tetracyclins, golongan
aminoglycosides seperti Amikasin, Gentamicin, Kanamycin, Neomycins,
Streptomycins, Tobramycins.
4. Menginhibisi sintesis dari asam nukleat. Yang termasuk jenis ini yaitu:
Nalidic acid, Novobiocin, Pyrimethamine, Sulfonamides, Trimethoprim,
Rifampisin (Jawetz, 2014).
Resistensi terhadap antimikroba/ antibiotik dapat terjadi melalui 5 mekanisme:
1. Mikroorganisme menghasilkan enzim yang merusak obat aktif. Contoh
Stafilokok yang resisten terhadap penisilin G menghasilkan suatu
lactamase β yang merusak obat. Lactamase β lain dihasilkan oleh batang
gram-negatif. Bakteri gram negatif yang resisten terhadap aminoglikosida
(berkat plasmid tertentu) menghasilkan enzim pengadenilisasi,
pemfosforilasi, atau pengasetilisasi yang menghancurkan obat.
Universitas Sumatera Utara
20
2. Mikroorganisme mengubah permeabilitas mereka terhadap obat. Contoh:
Tetrasiklin terkumpul dalam bakteri yang sensitif, tetapi tidak dalam
bakteri yang resisten. Resistensi terhadap polimiksin juga disebabkan oleh
perubahan dalam permeabilitas obat. Streptococcus memiliki sawar
permeabilitas alami terhadap aminoglikosida. Adanya sawar alami tersebut
dapat diatasi secara parsial dengan menambahkan obat yang aktif terhadap
dinding sel secara bersamaan, misalnya suatu penisilin. Reistensi terhadap
amikasin dan terhadap beberapa aminoglikosida lain mungkin disebabkan
oleh tidak permeabelnya membrane bakteri terhadap obat, tampaknya
akibat suatu perubahan pada membrane luar yang mengganggu
transportasi aktif ke dalam sel.
3. Mikroorganisme membentuk suatu target struktural yang telah
dimodifikasi untuk obat. Contoh : Organisme resisten eritromisin memiliki
suatu reseptor yang termodifikasi pada subunit 50S ribosom, sebagai hasil
dari metilasi RNA ribosomal 23S. Resistensi terhadap sebagian penisilin
dan sefalosporin mungkin merupakan akibat hilangnya atau
termodifikasinys PBP. Resistensi penisilin pada Streptococcus pneumonia
dan enterokok disebabkan oleh modifikasi PBP.
4. Mikroorganisme mengembangkan suatu jalur metabolik termodifikasi
yang memintas reaksi yang dihambat oleh obat. Contohnya : beberapa
bakteri resisten sulfonamide tidak memerlukan PABA ekstrasel, tetapi
seperti sel mamalia, dapat menggunakan asam folat yang telah jadi.
5. Mikroorganisme membentuk suatu enzim termodifikasi yang masih dapat
melakukan fungsi metaboliknya, tetapi jauh lebih tidak dipengaruhi oleh
obat. Contohnya : pada bakteri resisten trimethoprim, dihydrofolic acid
reductase dihambat secara jauh lebih tidak efisien dibandingkan pada
bakteri yang sensitif terhadap trimethoprim.
Resistensi mikroorganisme ini terhadap antibiotik bisa didapat secara
genetik atau non genetik (Jawetz, 2014). Antibiotik harus diberikan kepada semua
pasien dengan infeksi pleura dan jika mungkin harus didasarkan pada kultur
cairan pleura dan uji sensitivitas.
Universitas Sumatera Utara
21
Faktor lainnya yang dapat mempengaruhi pilihan antibiotik adalah kemampuan
dari antibiotik menembus rongga pleura dan adanya gangguan ginjal dan hati
(Ahmed, 2010).
Pemilihan antibiotik yang tepat baru bisa dilakukan setelah hasil
pemeriksaan tes kepekaan didapatkan. Sebelum hasil itu didapat, pedoman untuk
memberikan antibiotik yang tepat bisa didasarkan penyebab dari empiema
tersebut. Bila empiema disebabkan oleh pneumonia komuniti yang kuman
penyebabnya biasanya bakteri gram positif, dianjurkan pemberian antibiotik jenis
fluoroquinolone saja seperti levofloxacin, sparfloxacin, atau greparfloxacin. Bila
keadaan lebih berat dapat dikombinasi dengan cefotaxime atau ceftriaxone atau
dengan betalaktam dan betalaktam inhibitor seperti ampicillin/ sulbactam.
Ticarcillin/ clavulanate, piperacillin/ tazobactam. Pilihan lain dapat diberikan
betalaktam dan betalaktam inhibitor saja atau bila keadaan lebih berat dapat
dikombinasi dengan macrolide seperti erythromycin, azithromycin, atau
clarithromycin selain dengan fluoroquinolone. Bila diduga kuman penyebabnya
adalah bakteri anaerob, dianjurkan pemberian fluoroquinolone kombinasi dengan
clindamycin atau metronidazole atau betalaktam dan betalaktamase inhibitor
(Light, 2013).
Bila empiema disebabkan pneumonia nosokomial yang didapat di rumah
sakit, kuman penyebabnya biasanya enterik gram negatif seperti Pseudomonas
Aeruginosa atau oleh bakteri gram positif seperti Staphylococcus aureus (Light,
2013).
Universitas Sumatera Utara
22
Tabel 2.3 Regimen pemberian antibiotik pada infeksi pleura dengan
kultur negatif (Davies, 2003)
Sumber
Infeksi
Pengobatan antibiotik intravena Pengobatan antibiotik oral
komuniti Cefuroxime 1,5 gr, 3x/hari, iv
+ Metronidazole 400mg,
3x/hari oral atau 500 mg,3x/
hari iv
Benzyl penicillin 1,2 gr,
4x/hari, iv + Ciprofloxacin
400mg, 2x/hari, iv
Meropenem 1 gr, 3x/hari, iv
+ Metronoidazole 400 mg,
3x/hari, oral atau 500 mg,
3x/hari, iv
Amoxycillin 1 gr, 3x/hari +
Clavulanic acid 125 mg, 3x/
hari
Amoxycillin 1 gr, 3x/hari +
Metronidazole 400 mg,
3x/hari
Clindamycin 300 mg,
4x/hari
Rumah sakit Piperacillin + Tazobactam 4,5
gr, 4x/hari, iv
Ceftazidime 2 gr, 3x/hari, iv
Meropenem 1 gr, 3x/hari, iv +
Metronidazole 400 mg,
3x/hari, oral atau 500 mg,
3x/hari, iv
Tidak tersedia
2.5 Uji Kepekaan Kuman
Pada prinsipnya tes kepekaan terhadap antimikroba adalah penentuan
terhadap bakteri penyebab penyakit yang kemungkinan menunjukkan resistensi
terhadap suatu antimikroba atau kemampuan suatu antimikroba untuk
menghambat pertumbuhan bakteri yang tumbuh in vitro, sehingga dapat dipilih
sebagai antimikroba yang berpotensi untuk pengobatan (Jawetz, 2014).
Universitas Sumatera Utara
23
Uji kepekaan antimikroba (antimikrobial susceptibility testing) dilakukan
pada isolat mikroba yang didapatkan dari spesimen pasien untuk mendapatkan
agen antimikroba yang tepat untuk mengobati penyakit infeksi yang disebabkan
oleh mikroba tersebut (Endriani, 2007).
Terdapat beberapa prinsip dasar pemeriksaan uji kepekaan terhadap
antimikroba, antara lain:
1. Merupakan metode yang langsung mengukur aktivitas satu atau lebih
antimikroba terhadap inokulum bakteri.
2. Merupakan metode yang secara langsung mendeteksi keberadaan mekanisme
resistensi spesifik pada inokulum bakteri.
3. Merupakan metode khusus untuk mengukur interaksi antara mikroba dan
antimikroba (Ani, 2015).
Kemampuan antimikroba dalam melawan bakteri dapat diukur
menggunakan metode yang biasa dilakukan yaitu:
1. Metode dilusi
Metode dilusi terdiri dari dua teknik pengerjaan, yaitu teknik dilusi
perbenihan cair dan teknik dilusi agar yang bertujuan untuk penentuan
aktivitas antimikroba secara kuantitaf, antimikroba dilarutkan kedalam media
agar atau kaldu, yang kemudian ditanami bakteri yang akan dites. Setelah
diinkubasi semalam, konsentrasi terendah yang dapat menghambat
pertumbuhan bakteri disebut dengan MIC (Minimal Inhibitory
Concentration). Nilai MIC dapat pula dibandingkan dengan konsentrasi obat
yang didapat di serum dan cairan tubuh lainnya untuk mendapatkan perkiraan
respon klinik (Jawetz, 2014).
2. Metode difusi
Cakram kertas, yang telah dibubuhkan sejumlah tertentu antimikroba,
ditempatkan pada media yang telah ditanami organisme yang akan diuji
secara merata. Tingginya konsentrasi dari antimikroba ditentukan oleh difusi
dari cakram dan pertumbuhan organisme uji dihambat penyebarannya
sepanjang difusi antimikroba (terbentuk zona jernih disekitar cakram),
sehingga bakteri tersebut merupakan bakteri sensitif terhadap antimikroba.
Universitas Sumatera Utara
24
Ada hubungan persamaan yang hampir linear (berbanding lurus) antara log
MIC, seperti yang diukur oleh metode dilusi dan diameter zona daya hambat
pada metode difusi (Koneman, 2006).
Hasil dari tes kepekaan, mikroorganisme diklasifikasikan ke dalam dua
atau lebih kategori. Sistem yang sederhana menentukan dua kategori, yaitu
sensitif dan resisten. Meskipun klasifikasi tersebut memberikan banyak
keuntungan untuk kepentingan statistik dan epidemiologi, bagi klinisi merupakan
ukuran yang terlalu kasar untuk digunakan. Dengan demikian hasil dengan tiga
klasifikasi yang biasa digunakan (sensitif, intermediet, dan resisten) seperti pada
metode Kirby-Bauer (Jawetz, 2014).
Ukuran zona jernih tergantung kepada kecepatan difusi antimikroba,
derajat sensitifitas mikroorganisme, dan kecepatan pertumbuhan bakteri. Zona
hambat cakram antimikroba pada metode difusi berbanding terbalik dengan MIC.
Semakin luas zona hambat, maka semakin kecil konsentrasi daya hambat
minimum MIC. Untuk derajat kategori bakteri dibandingkan terhadap diameter
zona hambat yang berbeda-beda setiap antimikroba, sehingga dapat ditentukan
kategori resisten, intermediate atau sensitif terhadap antimikroba uji (Koneman,
2006).
Universitas Sumatera Utara
25
2.6 Kerangka Teori
Gambar 2.4 Kerangka Teori Penelitian
Bronkopleural fistel
Masuknya bakteri ke rongga pleura
(Menghasilkan gas di rongga pleura)
Akumulasi cairan di rongga pleura
Paru kolaps
Piopneumotoraks
Analisa c pleura Sitologi c pleura Mikrobiologi c pleura
Destruksi pleura visceral
Infeksi di Parenkim Paru
Universitas Sumatera Utara
26
2.7 Hipotesis Penelitian
Pola kuman dan uji kepekaan kuman pada piopneumotoraks dapat
digunakan sebagai alat bantu diagnostik dan terapeutik pada piopneumotoraks.
2.8 Kerangka Konsep
Kerangka konsep pada penelitian ini:
Variabel bebas Variabel terikat
Gambar 2.5 Kerangka Konsep Penelitian
Pola kuman pada pasien
piopneumotoraks
Piopneumotoraks Uji kepekaan kuman pada
pasien piopneumotoraks
Universitas Sumatera Utara
27
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan suatu penelitian retrospektif jenis Deskriptif
observasional dengan desain cross sectional.
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Departemen Pulmonologi dan Kedokteran
Respirasi FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan dengan mengambil data dari
rekam medik mulai tahun 2016 sampai dengan Desember 2018.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita piopneumotoraks,
sedangkan yang menjadi populasi terjangkau adalah seluruh penderita
piopneumotoraks yang dirawat inap di RSUP H. Adam Malik Medan.
3.3.2 Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi, tetapi
tidak termasuk dalam kriteria eksklusi. Jumlah sampel yang digunakan dalam
penelitian ini sebanyak 102 orang.
Adapun kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian ini adalah:
a. Kriteria Inklusi
1. Penderita piopneumotoraks yang ditemukan pus pada cairan pleuranya saat
torakosentesis atau penderita piopneumotoraks dimana leukosit cairan
pleuranya ≥ 1500.
2. Penderita piopneumotoraks yang telah diketahui penyakit yang
mendasarinya (underlying disease).
3. Berusia lebih atau sama dengan 18 tahun.
b.Kriteria Eksklusi
1. Tidak ada kriteria eksklusi pada penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara
28
3.3.3 Teknik Pengambilan Sampel dan Besar Sampel
Teknik pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling,
dimana semua populasi yang didapat dan memenuhi kriteria pemilihan
dimasukkan dalam penelitian sejak 1 Januari 2016 sampai dengan 31 Desember
2018.
3.4 Variabel Penelitian
Variabel yang akan dinilai pada penelitian ini adalah:
a. Variabel bebas (independen)
Jenis kuman
b. Variabel terikat (dependen)
Piopneumotoraks
3.5 Pengumpulan Data
3.5.1 Persiapan Pengumpulan Data
1. Data nomor rekam medik (RM) dan nama pasien didapat dengan
menggunakan International Classification of Disease and Related
Health Problem 10 (ICD-10).
2. Berdasarkan data tersebut kemudian didapatkan rekam medik pasien
yang dirawat inap (102 pasien)
3. Data kemudian disalin di lembar pengumpulan data. Data yang
dikumpulkan berupa:
Data demografi meliputi no.RM, nama, jenis kelamin, umur,
tingkat pendidikan, pekerjaan
Data terkait penyakit meliputi pola kuman, uji kepekaan kuman,
riwayat merokok, komorbid, warna cairan pleura, Direct Smear
BTA sputum dan penyakit yang mendasari.
Universitas Sumatera Utara
29
3.5.2 Pengolahan Data
Seluruh data yang diperoleh, dikumpulkan, dan diedit menggunakan
program excel 2007, diberi kode untuk mempermudah pengelompokan data dan
membaca hasil. Disajikan sebagai mean, dan simpangan baku memakai perangkat
lunak statistik. Dilakukan analisa deskriptif untuk melihat distribusi frekuensi
berdasarkan gambaran karakteristik penderita, warna cairan pleura, riwayat
merokok, komorbid, kultur sputum bakteri, uji kepekaan kuman, penyebab
piopneumotoraks.
3.6 Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Cara dan Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
1 Pola kuman Gambaran dari
kuman yang paling
sering muncul
pewarnaan cairan
pleura, kultur cairan
piopneumotoraks
Bakteri aerob,
bakteri anaerob
Nominal
2 Uji
Kepekaan
kuman
Uji yang dilakukan
untuk mengetahui
kuman yang masih
peka terhadap
suatu antibiotik
Metode VITEC 2
sesuai dengan clinical
and laboratory
Institute 2018
A. Sensitif
B. Intermediate
C. Resisten
Nominal
3 Piopneumo-
thoraks
Pasien yang
menderita
piopneumotoraks
Pasien
piopneumotoraks yang
telah diketahui
penyakit yang
mendasarinya
(underlying disease)
Piopneumoto
raks yang
disebabkan oleh
bakteri
Piopneumotoraks
yang disebabkan
tuberculosis
Nominal
4 Usia Usia atau umur
penderita
piopneumotoraks
Usia pasien penderita
piopneumotoraks
(dinyatakan dalam
tahun) didapat dari
data rekam medik
< 25 tahun
25-34 tahun
35-44 tahun
45-54 tahun
55-64 tahun
≥65 tahun
Ordinal
Universitas Sumatera Utara
30
Tabel 3.1 Definisi Operasional (lanjutan)
No Variabel Definisi Cara dan Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
5 Jenis
Kelamin
Jenis kelamin
penderita
piopneumotoraks
Jenis kelamin
penderita
piopneumotoraks
(perempuan-laki laki)
didapat dari data
rekam medik
Perempuan
Laki-laki
Ordinal
6 Warna
cairan pleura
Warna cairan
pleura pada
piopneumotoraks
Warna cairan pleura
didapati dari rekam
medik
Serous
Serous-hemoragis
Purulen
Hemoragis
Nominal
7 Tingkat
pendidikan
Pendidikan
penderita
piopneumotoraks
Pendidikan
piopneumotoraks
didapati dari rekam
medik
Tidak sekolah
Sd
Smp
Sma
S1 dan sederajat
Ordinal
8 Pekerjaan Pekerjaan
penderita
piopneumotoraks
Pekerjaan penderita
piopneumotoraks
didapati dari rekam
medik
Tidak bekerja
PNS, BUMN
Wiraswasta, Petani
Lain-lain
Nominal
9 Penyakit
yang
mendasari
Penyakit yang
mendasari
piopneumotoraks
Penyakit yang
mendasari
piopneumotoraks
didapati dari rekam
medic
TB
Pneumonia
Kanker Paru
Nominal
10 Direct
Smear BTA
Merupakan
pemeriksaan
kuman
mycobacterium
tuberkulosis
secara langsung
menggunakan
metode direct
smear
Direct smear BTA
didapati dari rekam
medic
Positif
Negatif
Nominal
11 Komorbid Penyakit
penyerta yang
dapat
mempengaruhi
kondisi pasien
komorbid didapat dari
data rekam medik
DM tipe 2
Hipertensi
CHF
Tidak ada
komorbid
Nominal
12 Riwayat
merokok
Riwayat merokok
pada pasien
Riwayat merokok
didapat dari data
rekam medic
Positif
Negatif
Nominal
Universitas Sumatera Utara
31
3.7 Kerangka Kerja Penelitian
Medical Record Pasien Piopneumotoraks
Data demografi pasien Data klinis pasien Data Lab
mikrobiologi
Pola kuman Uji kepekaan kuman
Gambar 3.1 Kerangka Kerja Penelitian
3.8 Jadwal Penelitian
Tabel 3.2 Jadwal Penelitian
Januari Februari Maret
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Pembuatan proposal √
Ujian proposal √
Ethical clearance √ √
Sampling √ √
Mengumpulkan data √ √ √ √ √
Pengolahan data √
Analisis data √
Penyusunan laporan
hasil
√
Penyusunan artikel √
Universitas Sumatera Utara
32
3.9 Perkiraan Biaya Penelitian
Adapun biaya yang dikeluarkan dalam penelitian ini meliputi:
1. Konsultasi Penelitian Magister dan Profesi Rp. 2.000.000,-
2. Pengumpulan kepustakaan Rp. 1.000.000
3. Penyusunan dan penggandaan proposal Rp. 1.000.000,-
4. Biaya penyusunan dan penggandaan laporan Rp. 1.000.000,-
Total biaya Rp. 5.000.000,-
Universitas Sumatera Utara
33
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Karakteristik Demografis Subjek Penelitian
Telah dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pola kuman
dan hasil uji sensitivitas antibiotik pada penderita piopneumotoraks di RSUP Haji
Malik Medan. Sebanyak 102 pasien yang dirawat dengan diagnosis
piopneumotoraks dilakukan telaah rekam medis dan kemudian dimasukkan
sebagai subjek penelitian. Adapaun karakteristik demografis dari subjek penelitian
ini dapat dilihat pada Tabel 4.1 di bawah ini.
Tabel 4.1 Karakteristik demografis subjek penelitian
Karakteristi Demografis n %
Jenis Kelamin Laki laki 80 78.4
Perempuan 22 21.6
Usia
< 30 tahun 13 12.7
30-39 tahun 21 20.6
40-49 tahun 29 28.4
50-59 tahun 25 24.5
≥ 60 tahun 14 13.7
Pendidikan
SD 16 15.7
SMP 20 19.6
SMA 62 60.8
D3/S1 4 3.9
Pekerjaan
Petani 49 48.0
Wiraswasta / Pegawai 10 9.8
Ibu rumah tangga 13 12.7
PNS 17 16.7
Supir 11 10.8
Lain lain 2 2.0
Kebiasaan
Merokok
Ya 82 80.4
Tidak 20 19.6
Komorbid
DM 32 31.4
CHF
Hipertensi
13
12
12.7
11.74
Tanpa komorbid 45 44.11
Jumlah 102 100.0
Universitas Sumatera Utara
34
Tabel 4.1 memperlihatkan bahwa mayoritas (78%) penderita
piopneumotoraks yang menjadi subjek penelitian ini berjenis kelamin laki laki.
Hal ini dapat menjadi masalah tersendiri karena pasien dengan diagnosis
piopneumotoraks umumnya membutuhkan masa rawatan yang cukup lama dan
dengan demikian akan menurunkan produktivitas pasien dalam mencari
penghasilan. Belum lagi jika dilihat dari distribusi usia, pasien penderita
piopneumotoraks umumnya berada dalam rentang usia di bawah 50 tahun (lebih
dari 60%), yang mana ini berarti bahwa kebanyakan pasien piopneumotoraks
yang dirawat masih berada dalam rentang usia produktif. Hampir setengah subjek
penelitian (48%) bekerja sebagai petani. Tentunya profesi sebagai petani
membutuhkan kebugaran fisik yang optimal, sehingga penyakit piopneumotoraks
akan sangat menurunkan produktivitas pasien dalam pekerjaan sehari-hari.
Berdasarkan kebiasaan merokok, didapati bahwa lebih dari 80% penderita
piopneumotoraks merupakan perokok. Rokok sendiri telah banyak diketahui
berkaitan erat dengan peningkatan risiko penyakit paru, tidak hanya kasus infeksi
tetapi juga berbagai kasus malignansi. Adapun berdasarkan distribusi komorbid,
diketahui bahwa sebanyak 31.4% pasien memiliki komorbid penyakit penyerta
berupa diabetes melitus tipe 2.
4.1.2 Karakteristik Klinis dan Mikrobiologis Subjek Penelitian
Seluruh pasien yang menjadi sampel penelitian ini dilakukan pemeriksaan
kultur cairan pleura yang dilanjutkan dengan uji kepekaan antibiotik. Selain itu
dilakukan juga pemeriksaan hapusan langsung (direct smear) BTA dari spesimen
sputum.
Hasil pemeriksaan kultur cairan pleura menunjukkan dijumpai
pertumbuhan kuman pada sebanyak 86.3% pasien, sedangkan 13.7% sisanya
menunjukkan tidak terdapat pertumbuhan kuman. Ternyata pola kuman yang
dijumpai pada cairan pleura penderita tidak selamanya hanya berjumlah satu
kuman saja. Pada sebagian kecil pasien (10.8%) pasien didapati pertumbuhan
kuman lebih dari 1 jenis (ko-infeksi).
Universitas Sumatera Utara
35
Adapun berdasarkan hasil pemeriksaan hapusan langsung BTA, dijumpai
15.7% pasien menunjukkan BTA positif dan mengkonfirmasi diagnosis
tuberkulosis secara mikrobiologis. Pada 21.6% kasus, tidak dilakukan
pemeriksaan BTA sputum karena memang secara klinis tidak menunjukkan
manifestasi klinis yang mengarah ke infeksi tuberkulosis dan sampel sputum yang
tidak dapat diperiksakan karena tidak dijumpai batuk berdahak pada keluhan
pasien.
Adapun karakteristik klinis dan mikrobiologis pasien dapat dilihat pada
Tabel 4.2 berikut:
Tabel 4.2 Karakteristik Klinis dan Mikrobiologis Subjek Penelitian
Karakteristik Mikrobiologis n %
Kultur cairan pleura Positif 88 86.3
Negatif 14 13.7
Jumlah kuman
Tunggal 77 75.5
Multipel 11 10.8
Tidak ada pertumbuhan 14 13.7
Warna
Serous 13 12.7
Serous Keruh 60 58.8
Serous hemorrhagic 14 13.7
Purulen 15 14.7
Penyakit Mendasari
Tuberkulosis 89 87.3
Pneumonia 2 2.0
Tumor Paru 11 10.8
BTA smear
Positif 16 15.7
Negatif 64 62.7
Tidak diperiksa 22 21.6
Jumlah 102 100.0
Universitas Sumatera Utara
36
Tabel 4.2 memperlihatkan bahwa pada 13.7% kasus piopneumotoraks,
tidak dijumpai pertumbuhan bakteri. Banyak hal yang dapat mempengaruhi
terjadinya hal yang ini. Faktor yang paling utama adalah riwayat pemberian
antibiotik sebelumnya. Idealnya, pemeriksaan kultur cairan pleura haruslah
dilakukan sebelum pasien mendapatan antibiotik. Akan tetapi, untuk efektivitas
pengobatan, terkadang pasien sudah mendapatkan antibiotik empiris terlebih
dahulu sebelum dilakukan pengambilan spesimen untuk pemeriksaan kultur.
Akibatnya, kuman-kuman yang sensitif dengan antibiotik empiris yang diberikan
akan mati, dan mengakibatkan hasil pemeriksaan kultur menjadi negatif.
Adapun berdasarkan penyakit yang mendasari, mayoritas pasien
didiagnosis menderita TB. Meskipun hasil pemeriksaan BTA dijumpai positif
hanya pada 15.7% kasus, akan tetapi sebagian besar pasien memperlihatkan
gejala-gejala TB dan didukung dengan gambaran radiologis yang mendukung TB,
sehingga diagnosis TB dapat ditegakkan.
Adanya pertumbuhan kuman pada cairan pleura pasien yang didiagnosis
TB menandakan bahwa pasien tersebut juga mengalami infeksi sekunder
pneumonia oleh bakteri lain. Sebanyak 11 pasien (10.8%) didiagnosis dengan
tumor paru dan ditegakkan empiema karena dari hasil analisis cairan pleura,
dijumpai jumlah leukosit di atas 1500/mm3.
4.1.3 Pola Kuman pada Penderita Piopneumotoraks
Tujuan pertama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui distribusi pola
kuman yang paling sering dijumpai pada penderita piopneumotoraks. Seluruh
pasien yang menjadi subjek penelitian, dilakukan pemeriksaan kultur cairan
pleura. Cairan pleura dari masing masing pasien dikirim ke laboratorium
mikrobiologi untuk pemeriksaan kultur bakteri aerob dan anaerob dan dilanjutkan
dengan uji kepekaan antibiotik.
Adapun hasil pemeriksaan pola kuman dari pasien piopneumotoraks yang
dilibatkan menjadi subjek penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.3 sebagai
berikut:
Universitas Sumatera Utara
37
Tabel 4.3 Pola kuman pada Pasien Piopneumotoraks yang Dirawat di RSUP
H.Adam Malik Medan
Jenis bakteri n %
Jenis pewarnaan gram Gram Positif 13 13.7
Gram Negatif 82 86.3
Jenis bakteri Aerob 89 93.6
Anaerob 6 6.4
Jumlah 95 100.0
Adapun jenis bakteri yang dijumpai pada pasien piopneumotoraks yang
dilibatkan menjadi subjek penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.4 sebagai
berikut:
Tabel 4.4 Jenis Bakteri pada Pasien Piopneumotoraks yang Dirawat di RSUP
H.Adam Malik Medan
Jenis bakteri n %
Jenis pewarnaan gram Gram Positif 13 13.7
Gram Negatif 82 86.3
Jenis bakteri Klebsiella sp. 20 21.1
Citrobacter freundii 17 17.9
Serratia sp. 12 12.6
Staphylococcus sp. 10 10.5
Pseudomonas aeruginosa 9 9.5
Escherecia coli 5 5.3
Streptococcus sp 3 3.2
Morganella morganii 3 3.2
Raoultella ornithino
Proteus sp
Aeromonas hydrophilia
3
3
3
3.2
3.2
3.2
Enterobacter sp. 2 2.1
Lain lain 5 5.2
Jumlah 95 100.0
Universitas Sumatera Utara
38
Berdasarkan Tabel 4.3 dan 4.4, dapat dilihat bahwa tidak dijumpai satu
jenis bakteri yang paling mendominasi pola kuman pasien piopneumotoraks.
Agen etiologi pasien piopneumotoraks dapat sangat bervariasi mulai dari bakteri
gram positif juga bakteri gram negatif. Berdasarkan Tabel 4.3 dapat dilihat bahwa
agen etiologi yang paling banyak menyebabkan piopneumotraks adalah bakteri
gram negatif (86.3%). Data ini menjadi penting karena informasi mengenai jenis
pewarnaan gram yang paling banyak mendominasi akan mempengaruhi pola
pemberian antibiotik empiris yang dapat diberikan. Tingginya angka pemberian
antibiotik spektrum luas di fasilitas kesehatan primer dan sekunder
mengakibatkan terjadinya pergeseran pola kuman. Infeksi saluran napas dan paru
yang dahulu didominasi oleh bakteri gram positif kini telah bergeser menjadi
bakteri gram negatif. Oleh karena itu, diperlukan pula penyesuaian terapi
antibiotik empiris yang akan diberikan sesuai hasil kultur.
Bakteri yang paling banyak dijumpai menjadi etiologi pada pasien
piopneumotoraks adalah Klebsiella sp yang mencapai 21.1%, terdiri dari
Klebsiella pneumonia (17%) dan Klebsiella oytoca (4.1%). Bakteri selanjutnya
yang paling sering ditemukan adalah Citrobacter freundii sebanyak 17.9%.
Kemudian diikuti dengan Serratia sp sebanyak 12.6% yang terdiri dari Serratia
marscescens (9%), Serratia liquefacien (1.2%), Serratia fonticola (1.2%) dan
Serratia ficaria (1.2%).
Pada 10.5% pasien dijumpai bakteri Staphylococcus aureus, dimana 3%
diantaranya terdeteksi sebagai bakteri MRSA (Methycillin Resistant
Staphylococcus Aureus). Bakteri MRSA merupakan bakteri yang perlu mendapat
perhatian khusus karena tingkat resistensinya terhadap antibiotik yang sangat
tinggi dan membutuhkan antibiotik khusus yang tidak selalu tersedia, yaitu
Vancomycin dan Linezolid. Selain itu, pada studi ini dijumpai pula 9.5% pasien
yang terinfeksi kuman Pseudomonas aeruginosa. Bakteri ini juga dikenal sebagai
salah satu bakteri yang tergolong ke dalam MDRO (Multi Drugs Resistant
Organism), dengan tingkat resistensi antibiotik yang sangat tinggi.
Universitas Sumatera Utara
39
Pada studi ini 5 pasien memperlihatkan infeksi dengan bakteri yang
beraneka ragam dan dikelompokkan sebagai infeksi lain lain. Pada pasien-pasien
ini, jenis bakteri yang ditemukan antara lain adalah:
Acinetobacter baumanii (1 kasus),
Achromobacter sp (1 kasus),
Sphingomonas paucimo (1 kasus),
Stenotrophomonas sp (1 kasus) dan
Veilonella sp (1 kasus)
4.1.4 Hubungan Karakteristik Klinis dengan Pola Kuman
Tabel 4.5 ini digunakan untuk menganalisis hubungan antara karakteristik
klinis pasien dengan pola kuman pada pasien piopneumotoraks.
Tabel 4.5 Hubungan Karakteristik Klinis dengan Jumlah Kuman
Karakteristik Klinis
Jumlah Kuman
Tidak dijumpai
bakteri
Bakteri
Tunggal
Bakteri
Multipel
n % n % n %
Usia ≥ 60 tahun 2 14.3 11 14.3 1 9.1
< 60 tahun 12 85.7 66 85.7 10 90.9
Komorbid Dengan komorbid 3 21.4 36 46.8 6 54.5
Tanpa komorbid 11 78.6 41 53.2 5 45.5
DM tipe 2 DM 3 21.4 26 33.8 3 27.3
Tidak DM 11 78.6 51 66.2 8 72.7
Jumlah 14 100.0 77 100.0 11 100.0
Berdasarkan Tabel 4.5 dapat dilihat pada pasien dengan usia dibawah 60
tahun lebih banyak dijumpai bakteri tunggal yang mencapai 85.7%. Berdasarkan
Tabel 4.5 dapat dilihat pula bahwa pada pasien dengan komorbid lebih sering
dijumpai bakteri multipel pada hasil pertumbuhan kuman pada pemeriksaan kultur
cairan kultur pleuranya yang mencapai 54.5%.
Universitas Sumatera Utara
40
Tabel 4.6 ini digunakan untuk menganalisis hubungan antara karakteristik
klinis pasien dengan hasil pewarnaan Gram pada pasien piopneumotoraks.
Tabel 4.6 Hubungan Karakteristik Klinis dengan Pewarnaan Gram
Gram Negatif Gram Positif
n % n %
Usia ≥ 60 tahun 11 13.4 2 15.4
< 60 tahun 71 86.6 11 84.6
Komorbid Dengan komorbid 40 48.8 7 53.8
Tanpa komorbid 42 51.2 6 46.2
DM tipe 2 DM 25 30.5 4 30.8
Tidak DM 57 69.5 9 69.2
Jumlah 82 100.0 13 100.0
Berdasarkan Tabel 4.6 dapat dilihat pada pasien dengan usia dibawah 60
tahun lebih banyak dijumpai bakteri Gram negatif yang mencapai 86.6%.
Berdasarkan tabel 4.6 juga dapat dilihat bahwa pada pasien tanpa komorbid lebih
banyak dijumpai bakteri Gram negatif pada hasil pertumbuhan kuman pada
pemeriksaan kultur cairan kultur pleuranya yang mencapai 51.2%. Pasien tanpa
komorbid DM tipe 2 juga dijumpai pertumbuhan Gram negatifnya lebih banyak,
mencapai 69.5%.
4.1.5 Hasil Uji Sensitivitas Antibiotik Berdasarkan Jenis Kuman
Tujuan selanjutnya dari penelitian ini adalah mengetahui hasil uji
sensitivitas antibiotik berdasarkan masing-masing jenis bakteri, sebagaimana
terlihat pada Tabel 4.7 sebagai berikut:
Tabel 4.7 Persentase sensitivitas antibiotik pada masing-masing bakteri
% Sensitivitas
Klabsiella
sp.
Citrobacter
sp
Serratia
sp.
Staphylococcus
sp.
Pseudomonas
sp
Amikasin 95 100.0 100.0 0 66.7
Vancomycin 0 0.0 0.0 90 0.0
Azitromicin 0 0.0 0.0 50 0.0
Cefoperazone/
Sulbactam 69.2 91.6 66.7 50 85.7
Universitas Sumatera Utara
41
Tabel 4.7 Persentase sensitivitas antibiotik pada masing-masing bakteri (lanjutan)
% Sensitivitas
Klabsiella
sp.
Citrobacter
sp
Serratia
sp.
Staphylococcus
sp.
Pseudomonas
sp
Ertapenem 66.7 100 50 66.7 0.0
Clindamisin 0 0.0 0.0 80 0.0
Meropenem 70 93.7 83.3 0 66.7
Cefoperazone 0 0.0 0.0 66.7 0.0
Moxifloxacin 0 0.0 0.0 60 0.0
Chloramfenikol 0 0.0 0.0 10 0.0
Erythomycin 0 0.0 0.0 60 0.0
Ofloxacin 0 0.0 0.0 50 0.0
Tetracycline 0 0.0 0.0 50 0.0
Trimethoprim/
Sulfametoksazol 0 40 50 60 0.0
Ciprofloxacin 28.5 40 0.0 50 66.7
Levofloxacin 15.3 41.6 11.1 40 66.7
Cotrimoksazol 0 0.0 0.0 50 0.0
Cefepime 33.3 40 0.0 50 50
Gentamycin 15 17.6 0.0 70 62.5
Cefuroxime 0 0.0 0.0 25 0.0
Doxycicline 7.6 33.3 11.1 50 0.0
Aztreonam 0 50 0.0 0 0.0
Ceftazidime 7.6 23.5 0.0 50 50
Ceftriaxone 0 11.8 0.0 66.7 0.0
Ampicillin/
Sulbactam 0 0.0 0.0 16.6 0.0
Cefotaxime 0 0.0 0.0 50 0.0
Cefalezin 0 0.0 0.0 14.2 0.0
Ampicillin 0 0.0 0.0 25 0.0
Tabel 4.7 menggambarkan tingkat sensitivitas antibiotik pada masing-
masing jenis bakteri. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, jenis bakteri
yang paling banyak dijumpai pada penelitian ini adalah Klebsiella sp, dimana
bakteri ini memiliki sensitivitas yang baik terhadap antibiotik Amikacin (95%)
dan Meropenem (70%).
Universitas Sumatera Utara
42
Sedangkan pasien dengan infeksi Citrobacter freundii dapat diobati
dengan menggunakan antibiotik Amikacin (100%), Meropenem (93.7%) dan
Cefoperazone – Sulbactam (91.6%). Begitu juga dengan pasien yang terinfeksi
dengan bakteri Serratia sp, juga dapat diobati dengan ketiga jenis antibiotik
tersebut, yaitu Amikacin (100%), Meropenem (83.3%) dan Cefoperazone –
Sulbactam (66.7%).
Berkebalikan dengan itu, pasien dengan infeksi Staphylococcus sp justru
sebaiknya diterapi dengan menggunakan antibiotik Vankomisin (90%),
Klindamisin (80%) dan Gentamycin (70%), dan memperlihatkan respon yang
buruk dengan pemberian Meropenem maupun Amikacin (0%). Hal ini
dimungkinkan karena adanya strain MRSA pada penderita yang terinfeksi dengan
Staphylococcus aureus. Uniknya, pada sebagian penderita yang terinfeksi dengan
Staphylococcus aureus, justru memberikan respon kepekaan dengan pemberian
Ceftriaxone (66.7%), maupun Cefotaxime (50%), padahal kedua obat ini diduga
sudah banyak mengalami resistensi.
Pseudomonas sp selama ini dikenal sebagai jenis bakteri yang memiliki
tingkat resistensi terhadap antibiotik dalam spektrum yang sangat luas. Penelitian
ini mengkonfirmasi hak tersebut. Pasa studi ini, hanya dijumpai satu antibiotik
saja yang memiliki tingkat sensitivitas di atas 80% terhadap Pseudomonas, yaitu
Cefoperazone- Sulbactam (85.7%), yang mana ini berarti tingkat sensitivitas
antibiotik terhadap Pseudomonas sp kurang memuaskan. Antibiotik yang dapat
dicoba diberikan bagi pasien dengan infeksi Pseudomonas diantaranya adalah
Cefoperazone-sulbactam (85.7%) atau Amikacin, Meropenem, Ciprofloxacin dan
Levofloxacin (masing masing 66.7%).
Universitas Sumatera Utara
43
Gambar 4.1 Diagram Batang Sensitivitas Antibiotik
Seluruh data ini memperlihatkan bahwa pola kuman dan hasil uji kepekaan
terhadap antibiotik senantiasa berubah dari masa ke masa khususnya pada
penyakit penyakit tertentu, dan oleh karena itu, data mengenai pola kuman
merupakan hal yang sangat penting dimiliki oleh semua rumah sakit, khususnya
rumah sakit rujukan yang memiliki instalasi laboratorium mikrobiologi klinik.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Karakteristik Demografis dan Klinis Subjek Penelitian
Infeksi pleura merupakan salah satu penyebab terbanyak morbiditas dan
mortalitas dengan insidens terus meningkat pada usia dewasa. Penyakit ini
dilaporkan 30% ditemukan pada semua kasus infeksi dewasa. Penelitian dari
tahun 1987–2004 ditemukan bahwa infeksi pleura meningkat 2,8% tiap tahun dari
4424 pasien yang diteliti di seluruh rumah sakit Amerika Serikat. Penelitian yang
dilakukan antara tahun 1996–2009 ditemukan infeksi pleura meningkat sebesar
7,6%–14,9% di seluruh rumah sakit Spanyol.
95 100 100
66.7 70
88.2 83.3
66.7
45
64.7
50
66.7
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Klabsiella sp. Citrobacter sp Serratia sp. Pseudomonas aeruginosa
Persentase Sensitivitas Antibiotik
Amikasin Meropenem Cefoperazone/ Sulbactam
Universitas Sumatera Utara
44
Angka kejadian infeksi pleura tahun 1997–2011 meningkat sebesar 2,5–3,5% tiap
tahun di seluruh rumah sakit Denmark (Eltario, 2018).
Infeksi pleura sering disebabkan karena komplikasi dari pneumonia tetapi
dapat juga disebabkan karena adanya infeksi dari tempat lain. Infeksi pleura dapat
juga disebabkan oleh suatu trauma, tindakan operasi, keganasan, kelainan
vaskuler, penyakit imunodefisiensi, dan adanya infeksi di tempat yang berdekatan
seperti di orofaring, esophagus, mediastinum atau jaringan di subdiafragma yang
memberikan manifestasi klinik bermacam-macam, tergantung dari organ utama
atau tempat yang terinfeksi, mikroba pathogen dan penurunan daya tahan tubuh
(Hasan dan Ambarwati, 2018)..
Infeksi pleura saat ini masih menjadi masalah penting dalam bidang
penyakit paru. Angka kematian penyakit ini berkisar antara 5 hingga 30 persen
dengan insiden bervariasi berdasar kondisi komorbid. Walaupun penatalaksanaan
infeksi pleura berkembang pesat, seperti pemberian terapi antibiotik, drainase
pleura dan pembedahan dekortikasi, tetapi hal ini belum dapat menurunkan angka
kematian akibat infeksi pleura. Pada 20-30% pasien dengan infeksi pleura,
pemberian antibiotika dan drainase dengan chest tube gagal mengendalikan
infeksi. Penelitian oleh Sahn menyatakan 5-10% pasien pneumonia yang dirawat
di rumah sakit berkembang menjadi infeksi pleura dan angka kematian meningkat
secara bermakna dibandingkan pasien pneumonia tanpa infeksi pleura. Angka
kematian juga akan meningkat hingga 40% pada kondisi immunocompromised
(Hasan dan Ambarwati, 2018).
Faktor risiko infeksi pleura sama dengan pneumonia, meskipun terdapat
beberapa kondisi lain untuk berkembang menjadi empiema termasuk diabetes
melitus, penggunaan kortikosteroid sebagai terapi imunosupresan, refluks
gastroesofagus, alkoholism dan penyalahgunaan obat intravena. Riwayat aspirasi
dan kebersihan mulut yang kurang baik sering menimbulkan infeksi bakteri
anaerob. Infeksi pleura iatrogenik sebagian besar disebabkan oleh intervensi pada
pleura dan toraks atau operasi pada esofagus dan beberapa kasus faktor risiko
tidak diketahui (Hasan dan Ambarwati, 2018).
Universitas Sumatera Utara
45
Oleh karena itu, perlu diketahui karakteristik klinis dan demografis dari pasien
penderita infeksi pleura berupa piopneumotoraks pada penelitian ini.
Studi ini menemukan bahwa hampir 80% penderita piopneumotoraks yang
dirawat di bagian Paru RSUP H. Adam Malik Medan dari tahun 2016 – 2018
berjenis kelamin laki laki. Umumnya pasien yang dirawat masih berusia kurang
dari 50 tahun (± 60% pasien). Data ini mencerminkan besarnya beban yang
dialami oleh penderita piopneumotoraks. Karena laki laki pada usia produktif
yang menderita piopneumotoraks tentunya akan mengalami penurunan
produktivitas, dan dengan demikian juga menurunkan penghasilan untuk
menghidupi keluarga. Terlebih lagi, pasien dengan diagnosis piopneumotoraks
umumnya memerlukan masa rawatan yang lebih lama, dan dapat mencapai satu
bulan. Lamanya masa rawatan ini diperlukan guna mencapai tingkat sterilisasi
rongga pleura yang adekuat. Rongga pleura merupakan bagian tubuh yang tidak
dapat ditembus dengan efektif oleh sebagian antibiotik. Akibatnya, butuh waktu
yang relatif lama untuk benar benar mensterilkan rongga pleura dari agen etiologi
penyebab infeksi pleura tersebut.
Temuan yang didapat studi ini tidak berbeda dengan hasil yang didapatkan
oleh studi Tarigan di RSUP H. Adam Malik Medan yang juga mendapati bhawa
pasien dengan infeksi pleura didominasi oleh pasien berjenis kelamin laki laki dan
pada usia produktif (< 60 tahun) (Tarigan, 2008). Jika dibandingkan dengan studi
di sentra kedokteran lainnya, ternyata hasilnya juga tidak jauh berbeda. Studi yang
dilakukan oleh Eltario dkk di RSUP dr. Djamil Padang mendapati bahwa lebih
dari 60% pasien penderita infeksi pleura adalah laki laki.
Penyakit komorbid merupakan satu hal penting yang tidak boleh dilupakan
pada pasien dengan piopneumotoraks. Komorbid seperti Diabetes Mellitus tidak
hanya meningkatkan risiko terjadinya infeksi pada rongga pleura, tetapi juga
menjadi penyulit dalam pengobatan pasien piopneumotoraks. Keadaan
hiperglikemia kronis yang dialami oleh pasien DM tipe 2 akan menyebabkan
aktifnya jalur metabolisme glukosa dalam tingkat yang sangat tinggi dan akan
banyak memakai persediaan molekul NADPH, padahal molekul ini merupakan
molekul yang sangat dibutuhkan untuk mobilitas dan aktivitas makrofag.
Universitas Sumatera Utara
46
Jika molekul NADPH ini banyak terpakai untuk metabolisme glukosa, maka
aktivitas makrofag akan sangat terganggu dan dengan demikian akan
meningkatkan kerentanan seseorang untuk terinfeksi dengan berbagai jenis
mikroba. Pada penelitian ini ditemukan sebanyak 31% pasien merupakan
penderita diabetes melitus.
4.2.2 Karakteristik Klinis dan Mikrobiologis Subjek Penelitian
Piopneumotoraks didefenisikan sebagai kumpulan nanah dan udara dalam
rongga pleura. Piopneumotoraks diakibatkan oleh infeksi, yang mana infeksinya
ini berasal dari mikroorganisme yang membentuk gas atau dari robekan septik
jaringan paru atau esofagus kearah rongga pleura. Empiema dapat didefenisikan
sebagai pus atau nanah di rongga pleura. Weese mendefinisikan empiema sebagai
cairan dengan karakteristik berat jenis > 1,018, jumlah leukosit > 500/mm3
atau
kadar protein > 2,5 gr/dl. Vianna mendefinisikan empiema sebagai cairan pleura
dengan kultur bakteri positif atau jumlah leukosit > 1500/mm3
dengan kadar
protein > 3 gr/dl (Light RW, 2013). Oleh karena memang belum ada nilai patokan
pasti jumlah leukosit dalam cairan pleura untuk menegakkan diagnosis, maka
karakteristik warna cairan pleura lebih sering dan lebih praktis untuk digunakan
sebagai penegakan diagnosis empiema (Light, 2013).
Pada penelitian ini, empiema ditegakkan jika terbukti kadar leukosit pada
cairan pleura lebih dari 1500 /mm3. Berdasarkan angka ini, maka kemudian
didapat beberapa karakteristik warna cairan pleura. Ternyata, pasien yang benar
benar memiliki warna cairan pleura berupa seperti pus (purulen) hanya berjumlah
14.7% saja. Sedangkan warna yang paling banyak dijumpai adalah warna serous
keruh yang ditemukan pada sebanyak 58.8%. Bahkan pada sebagian kasus (12%),
warna cairan pleura secara makroskopis justru serous, tetapi karena jumlah
leukosit cairan pleura nya melebih 1500/mm3, maka diagnosis empiema
ditegakkan.
Berdasarkan hasil pemeriksaan kultur cairan pleura, ternyata didapati
bahwa tidak semua pasien yang ditegakkan diagnosis empiema benar-benar
menunjukkan pertumbuhan bakteri pada cairan pleura.
Universitas Sumatera Utara
47
Sebanyak 86.3% pasien yang didiagnosis empiema didapati pertumbuhan bakteri,
tetapi pada 13.7% kasus tidak dijumpai pertumbuhan bakteri. Hal yang identik
dengan penelitian ini didapati pula pada hasil penelitian yang dilakukan oleh SP
Tarigan pada tahun 2008 yang mendapati bahwa pertumbuhan kultur yang positif
dijumpai hanya pada 53.5% kasus, sedangkan pada 46,5% kasus lainnya tidak
dijumpai pertumbuhan bakteri. Meski demikian, hasil ini harus ditelaah dengan
lebih teliti lagi. Karena kepositifan hasil kultur bakteri sangat dipengaruhi oleh
prosedur pemeriksaan cairan pleura. Pemeriksaan spesimen cairan pleura
hendaknya diperiksa sesegera mungkin setelah spesimen diambil, karena
penundaan pemeriksaan spesimen cairan pleura bahkan hingga lebih dari 24 jam
akan membuat hasil pemeriksaan seringkali menjadi negatif karena sebagian
bakteri telah mati akibat proses pemeriksaan dan transpor spesimen yang lama.
Uniknya, pada sebagian pasien, ditemukan pertumbuhan kuman yang lebih
dari satu jenis, yaitu pada 10.8% pasien. Pada pasien ini, ditemukan dua jenis
mikroorganisme yang secara bersamaan menginfeksi rongga pleura. Meski
demikian, pada kasus kasus seperti ini perlu dipikirkan dua kemungkinan.
Pertama, pasien mungkin saja mengalami infeksi nosokomial akibat kuman
kuman yang sering dijumpai di rumah sakit. Kedua, adanya multi organisme ini
juga mungkin diakibatkan oleh kontaminasi spesimen saat transpor spesimen
cairan pleura menuju laboratorium yang tidak baik. Kontaminasi ini dapat terjadi
karena medium penampungan spesimen yang tidak steril atau terbuka dalam
waktu yang lama, atau akibat adanya infeksi pada selang dada dan tabung
penampungan cairan pleura yang dipakai oleh pasien.
Adapun karakteristik pasien berdasarkan penyakit yang mendasari,
didapati bahwa diagnosis yang paling banyak menyebabkan terjadinya
piopneumotoraks adalah tuberkulosis. Padahal, hasil pemeriksaan BTA yang
posiif pada sputum pasien menunjukkan BTA positif hanya dijumpai pada 15.7%
kasus saja. Terlebih lagi, temuan ini seolah olah bertolak belakang dengan
literatur yang menyatakan bahwa etiologi piopneumotoraks yang paling sering
dijumpai adalah pneumonia. Oleh karena itu, temuan ini harus ditelaah dengan
lebih mendalam dengan berbagai penjelasan.
Universitas Sumatera Utara
48
Pertama, diagnosis tuberkulosis tidaklah sema-mata hanya didasarkan
pada hasil pemeriksaan sputum BTA. Pasien dengan klinis mendukung TB, dan
foto toraks juga memperlihatkan lesi TB yang aktif seperti kavitas, infiltrat dan
efusi dapat didiagnosis TB meskipun hasil pemeriksaan BTA nya negatif. Selain
itu, hasil pemeriksaan BTA bisa saja menjadi negatif karena pasien telah terlebih
dahulu mendapatkan OAT dari fasilitas pelayanan kesehatan primer di Puskesmas
sebelum dirujuk ke RSUP H Adam Malik Medan. Sehingga sewaktu dilakukan
pemeriksaan BTA, hasilnya menjadi negatif.
Kedua, tingginya diagnosis TB pada pasien dengan piopneumotoraks
menandakan bahwa pada pasien-pasien TB tersebut terjadi infeksi sekunder
dengan bakteri lain berupa pneumonia. Ini berarti pasien tersebut tidak hanya
menderita TB, tetapi juga menderita pneumonia, dan bakteri penyebab pneumonia
ini yang kemudian mengakibtakn terjadinya infeksi pada pleura sehing aterjadi
empiema dan berujung pada terjadinya piopneumotoraks. Belum lagi adanya
kemungkinan oleh infeksi gas-forming microorganism yang akan menyebabkan
tumbuhnya bakteri pada cairan pleura.
Hal yang senada ditemukan pula pada studi yang dilakukan oleh Tarigan
(2008) yang mendapati bahwa pada 21 pasien yang terdiagnosis TB dengan BTA
positif, juga didapati koinfeksi dengan bakteri lain pada sebesar 15 kasus, yang
terdiri dari infeksi bakteri aerob gram negatif Pseudomonas (14.3%), Klebseilla
(7,1%) dan Staphylococcus aureus (7.1%) (Tarigan, 2008). Berdasarkan temuan
ini, maka pemberian antibiotik empiris pada pasien TB paru yang juga mengalami
empiema atau piopneumotoraks dapat dibenarkan secara rasional.
4.2.3 Pola Kuman pada Pasien Piopneumotoraks
Pelaporan pola kuman dan uji sensitivitas sangat penting dilakukan secara
berkala setiap tahun terutama terhadap pasien di ruangan rawat inap sebagai
pedoman klinisi dalam memberikan antibiotik yang tepat dan mencegah
penyebaran infeksi lebih lanjut.
Universitas Sumatera Utara
49
Data mengenai pola kuman menjadi sangat penting terutama di rumah sakit
rujukan karena biasanya didominasi oleh bakteri yang tergolong ke dalam MDRO
(multi drugs resistant organism), terlebih lagi pola kuman dapat berubah dengan
cepat seiring waktu.
Mengetahui jenis kuman penyebab piopneumotoraks dan memberikan
antibiotik yang tepat merupakan salah satu hal yang sangat membantu dalam
penatalaksanaan piopneumotoraks disamping drainase yang baik dari rongga
pleura. Untuk mengetahui jenis kuman tersebut dapat dilakukan dengan cara
pewarnaan langsung ataupun dengan mengkultur cairan piopneumotoraks
tersebut. Untuk mengetahui antibiotik yang tepat untuk kuman penyebab
piopneumotoraks tersebut, dilakukan pemeriksaan uji kepekaan kuman. Semua
pemeriksaan ini memerlukan waktu yang cukup lama sementara pemberian
antibiotik tidak dapat ditunda menunggu hasil pemeriksaan tersebut. Disinilah kita
memerlukan pola kuman penyebab piopneumotoraks dan uji kepekaan kuman
terhadap antibiotik agar antibiotik yang kita berikan lebih tepat.
Berdasarkan literatur, mikroorganisme penyebab infeksi pleura yang
paling sering ditemukan adalah Pseudomonas aeruginosa, Enterobactriaceae,
Klebsiella spp, Escherichia coli, Enterobacter cloacae, Proteus mirabilis,
Staphylococcus aureus, Acinetobacter baumanni, Streptococcus pneumonia,
Candida spp. Penelitian retrospektif yang dilakukan di RSUD Dr. Moewardi
Surakarta antara Januari 2009-November 2011 menemukan bakteri terbanyak
adalah Pseudomonas aeruginosa (15,2%), Enterobacter cloacae (6,1%),
Klebsiella pneumoniae (3%), Acinetobacter spp (3%), dan Serratia marcessens
(3%) dan sensitif terhadap meropenem, imipenem, amikasin, pipperacillin,
ertapenem, colistin, levofloksasin (Hasan dan Ambarwati, 2018).
Sementara itu, studi lain yang dikerjakan di RSUP Dr, M Djamil Padang,
mendapatibahwa bakteri terbanyak yang ditemukan pada pasien infeksi cairan
pleura di bangsal paru dan penyakit dalam pada periode Januari-Desember 2015
adalah Klebsiella sp yang sensitif terhadap Meropenem dan resisten terhadap
Ampicilin, Erithromicin, Ceftriaxone, Cefoperazone dan Cefotaxime (Eltario,
2018).
Universitas Sumatera Utara
50
Hasil yang didapat dalam studi ini tidak jauh berbeda dengan kedua studi
di atas, dimana sudi ini menemukan bahwa nakteri yang paling banyak dijumpa
pada pasien dengan piopneumotoraks adalah Klabsiella sp, Citrobacter freundii
dan Serratia sp. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Klabsiella sp
merupakan bakteri yang paling sering dijumpai pada kasus piopneumotoraks dan
dengan demikian, pemberian terapi antibiotik empiris terhadap Klabsiella
pneumonia juga perlu dilakukan bagi pasien dengan diagnosis piopneumotoraks.
Lima puluh persen pasien dengan infeksi nosokomial, kultur cairan pleura
positif Staphylococcus. Selanjutnya 2/3 kasus yaitu Meticillin-resistant
Staphylococcus aureus (MRSA). Bakteri Escherichia coli, Enterobacter spp dan
Pseudomonas spp adalah bakteri gram negatif yang paling sering dilaporkan
terdapat pada pasien yang dirawat di unit perawatan intensif. Empiema yang
disebabkan oleh jamur jarang terjadi diperkirakan <1% dari penyebab infeksi
pleura. Mayoritas empiema yang disebabkan oleh jamur dari spesies Candida spp
banyak terdapat pada individu immunocompromised. Angka kematian empiema
yang diakibatkan jamur sangat tinggi yaitu 73% (Hasan dan Ambarwati, 2018).
Hasil kultur cairan empiema dari 33 pasien di Rumah Sakit Dr. Moewardi
pada tahun 2009 sampai dengan 2011 didapatkan 7 jenis kuman dengan urutan
terbanyak berturut-turut adalah Pseudomonas aeruginosa (15,2%), Enterobacter
cloacae (6,1%), Klebsiella pneumonia (3%), Acinetobacter spp (3%), Escherichia
coli (3%), Salmonella spp (3%) dan Serratia Marcessens (3%) (Surjanto, 2013).
Banyaknya bakteri anaerob yang didapat dari kultur sangat tergantung pada cara
mengkultur bakteri tersebut yang sangat berbeda dengan cara mengkultur bakteri
aerob. Cara pengambilan dan transport spesimen juga harus dilakukan dengan
benar (bebas oksigen) disamping media yang digunakan juga berbeda dengan
yang biasa dipakai untuk bakteri aerob.
Universitas Sumatera Utara
51
4.2.4 Hasil Uji Sensitivitas Antibiotik Berdasarkan Jenis Kuman
Idealnya, pemberian terapi antibiotik haruslah disesuaikan dengan etiologi
yang menyebabkan penyakit tersebut. Etiologi penyebab penyakit dapat diketahui
dengan pasti melalui pemeriksaan kultur dari spesimen jaringan yang terinfeksi.
Sayangnya pemeriksaan kultur membutuhkan waktu yang tidak singkat. Di
Laboratorium Mikrobiologi RSUP H Adam Malik Medan, dibutuhkan waktu
sekitar 5 hari untuk mengetahui dengan pasti bakteri penyebab infeksi pada
pasien. Waktu yang lama inilah yang kemudian menjadi permasalahan dalam
pemberian antibiotik, karena pasien perlu mendapatkan antibiotik dengan segera
sebagai penatalaksanaan definit pada pasien dengan infeksi, terlebih lagi infeksi
pleura. Oleh karena itu, pemberian terapi empiris menjadi jalan yang dinilai
efektif guna mengeradikasi penyebab infeksi.
Untuk dapat menentukan jenis antibiotik empiris yang akan diberikan,
diperlukan data mengenai pola kuman dan pola uji kepekaan antibiotik. Satu hal
yang menjadi masalah, pola kuman dan uji kepekaan antibiotik ini tidak selalu
sama antara satu sentra pelayanana keodkteran dengan sentra yang lain. Terlebih
lagi untuk bakteri yang menjadi penyebab infeksi nosokomial, maka polanya akan
sangat berbeda bahkan antara satu instalasi dengan instalasi lain di rumah sakit
tersebut. Oleh karena itu, data pola kuman dan kepekaan antibiotik sangat
dibutuhkan guna menentukan terapi antibiotik empiris yang paling tepat bagi
pasien. Mikroba penyebab infeksi pleura bergeser secara perlahan dari Gram
positif menjadi Gram negatif sejak antibiotik semakin banyak digunakan.
Mortalitas meningkat 40% pada mikroba negatif Gram sehingga identifikasi
bakteri dengan segera sangat dibutuhkan untuk terapi yang adekuat.
Infeksi pada rongga pleura merupakan permasalahn tersendiri dalam
pemberian antibiotik. Hal ini dikarenaka tidak semua antibiotik mampu
mempenetrasi sampai ke rongga pleura dnegan optimal. Obat-obatan yang
memiliki penetrasi terbaik kedalam rongga pleura adalah aztreonam, klindamisin,
siprofloksasin, cefalosporin dan penisilin. Penisilin dan sefalosporin menunjukkan
penetrasi yang baik ke dalam rongga pleura. Penetrasi kuinolon lebih baik dari
pada penisilin. Konsentrasi sefalosporin stabil dan menetap didalam cairan pleura.
Universitas Sumatera Utara
52
Pemakaian aminoglikosida sebaiknya dihindari terutama untuk terapi empiema,
karena aminoglikosida memiliki penetrasi yang buruk di dalam rongga pleura dan
tidak efektif dengan keadaan cairan pleura yang bersifat asam dan purulen (Hasan
dan Ambarwati, 2018).
Berdasarkan organisme penyebab bakteri anaerob, gram negatif aerob dan
staphylococcus, terapi antibiotik empiris untuk empiema diberikan berupa terapi
tunggal dengan imipenem, ticarcilin, asam klavulanat atau terapi kombinasi
dengan klindamisin dan ceftazidime atau klindamisin dan aztreonam. Golongan
antibiotik beta laktam tetap merupakan pilihan untuk infeksi pneumococcal dan
streptococcus milleri. Golongan aminoglikosida dapat diberikan bila cairan
berbau busuk atau pengecatan gram positif. Klindamisin oral atau penisilin harus
tetap diberikan selama waktu pengobatan setelah antibiotika parenteral dihentikan,
karena kebanyakan empiema disebabkan bakteri anaerob (Hasan dan Ambarwati,
2018).
Hasil uji sensitivitas terhadap Klebsiella sp pada spesimen cairan pleura
pasien infeksi pleura yang dirawat di bangsal paru dan penyakit dalam RSUP Dr.
Djamil Padang periode Januari-Desember 2015 didapatkan bahwa kuman ini
sebagian besar resisten terhadap antibiotik yang diuji, tetapi beberapa masih
sensitif terhadap Meropenem (95,2%), Chloramphenicol (61,9%) dan
Ciprofloxacin (57,1%) (Eltario, 2018).
Hasil penelitian yang didapat pada studi ini tidak jauh berbeda dengan
temuan pola kuman di RSUP Dr. Djamil Padang. Studi ini mendapati bakteri yang
paling banyak dijumpai adalah Klabsiella pneumonia, yang sensitif dengan
pemberian Amikacin (95%), Meropenem (70%) dan Cefoperazone – Sulbactam
(45%). Meski demikian, walaupun amikacin memiliki tingkat sensitvitas paling
tinggi, penggunaan Amikacin pada pasien degan piopneumotoraks perlu
mendapat perhatian khusus karena beberapa hal.
Pertama, amikacin merupakan golongan aminoglikosida. Sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya, aminoglikosida memiliki daya penetrasi yang kurang
baik ke dalam rongga pleura.
Universitas Sumatera Utara
53
Ini berarti, antibiotik yang terbukti sensitif melalui cawan petri saat pemeriksaan
uji kepekaan, belum tentu dapat dipastikan efektif sepenuhnya untuk mengobati
pasien dengan piopneumotoraks. Kedua, Amikacin memiliki tingkat kepekaan
yang sangat tinggi untuk sekian banyak jenis bakteri. Jika Amikacin digunakan
secara bebas sebagai terapi empiris pada kasus kasus infeksi, dikhawatirkan dalam
beberapa tahun yang akan datang, akan muncul strain-strain bakteri yang resisten
dengan obat ini. Oleh karena itu, penggunaan Amikacin memang sebaiknya
direstriksi hanya pada kasus kasus tertentu saja, yaitu pada kasus dimana tidak ada
lagi antibiotik yang masih sensitif selain Amikacin, maka obat ini barulah dapat
diberikan. Resistensi terhadap antibiotik kemungkinan disebabkan oleh terapi
pasien secara empiris dengan antibiotik berspektrum luas dan polifarmasi yang
sering tidak bermanfaat.
Universitas Sumatera Utara
54
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian dalam penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Penderita piopneumotoraks di RSUP H Adam Malik Medan didominasi
oleh laki – laki sebanyak 80 (78.4%) orang yang didominasi laki dalam
rentang usia produktif.
2. Pola kuman yang banyak dijumpai pada penderita piopneumotoraks di
RSUP H Adam Malik Medan adalah bakteri gram negatif yaitu Klebsiella
sp (21.1%), Citrobacter freundii (17.9%), dan Serratia sp (12.6%).
3. Jenis antibiotik yang memiliki tingkat sensitivitas yang paling tinggi pada
penderita piopneumotoraks di RSUP H. Adam Malik Medan adalah
Amikacin (80%), Meropenem (64.2%) dan Cefoperazone – Sulbactam
(46.3%).
4. Jenis antibiotik yang memiliki tingkat sensitivitas yang paling rendah pada
penderita piopneumotoraks di RSUP H. Adam Malik Medan adalah
Ceftriaxone (7.4%), Cefotaxime (4.2%) dan Ampicilin (3.2%).
5.2 Saran
Adapun beberapa hal yang dapat dijadikan saran berdasarka hasil
pemeriksaan ini adalah:
1. Diperlukan data hasil pemeriksaan uji kepekaan antibiotik yang lebih
lengkap, dengan menguji semua jenis antibiotik yang tersedia pada seluruh
spesimen agar diperoleh data hasil uji kepekaan yang lebih akurat.
2. Diperlukan standarisasi baku proses pengambilan, penyimpanan, dan
transpor spesimen ke laboratorium mikrobiologi agar hasil yang diperoleh
menjadi lebih baik.
Universitas Sumatera Utara
55
3. Perlu dilakukan penelitian berkala mengenai pola kuman dan hasil uji
kepekaan antibiotik pada penderita pneumotoraks agar didapat data
mengenai perubahan pola kuman seiring waktu.
4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang bertujuan mengetahui faktor-
faktor apa sajakah yang berkaitan dengan infeksi bakteri MDRO (Multi
Drugs Resistant Organism).
5. Perlu dilakuksan sosialisasi hasil penelitian agar dapat menjadi
pertimbangan pemberian antibiotik empiris pada pasien dengan
piopneumotoraks.
6. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi dasar terapi empiris pada pasien
piopneumotoraks dan empiema di RSUP. H.Adam Malik Medan dan hasil
penelitian ini dapat diteruskan ke pihak BPJS yang terkait.
Universitas Sumatera Utara
56
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed A E H, Yacoub T E. Empyema Thoracis. Circulatory Respiratory and
Pulmonary Medicine 2010. Vol. 4. 1-8.2010.
Al-ani I, Zimmerman S, Reichling J, Wink Pharmacological sinergism of bee and
plant secondary metabolites againt multi-drugs resistants microbial
pathogens. International Journal of Phytotherapy and
Phytopharmacology.2015; 22(2):245-55.
Burguette S R, Dearmond D T, Soni N J, Peters J.Pneumothorax, vol(2). 1197-
1214. viewed 2015. McGraw-Hill Education. United States of America.
ISBN : 978-0-07-180719-7;MHID 0-07-180719-5. 2015.
Chen, Y.J., Luh, S.P., Hsu, K.Y., Chen, C.R., Tsao, T.C., Chen, Y.J, 'Video-
Assisted Thoracoscopic Surgery (VATS) for bilateral Primary
Spontaneous Pneumothorax', J. Zhejiang Univ.Sci.B, Vol.4, pp.335-340,
DOI :10.1631/jzus. B0720235. 2008.
Davies H E, Davies R J O, Davies C W H. Management of pleural infection in
adults: British Thoracic Society pleural disease guideline 2010. British
Medical Journal 2010. vol 65. 41-53. DOI: 10.1136/thx.2010.137000.
2010.
Eltario, Mulya. Lillah. Prihandani, Tuty. Pola Kuman dan Uji Sensitivitas
terhadap Antibiotik pada Infeksi Pleura di RSUP dr. M Djamil Padang.
Jurnal Kesehatan Andalas. 2018. Vol 7 (4) : 56 – 61.
Endriani R, Supardi I, Sudigdoadi S, Wartadewi. Penentuan Konsentrasi Hambat
minimal (KHM), Konsentrasi Bunuh Minimal (KBM) dan Waktu Kontak
Ekstrak Bawang Putih (A.Sativum) Dibandingkan dengan Eugenol
terhadap S.mutans secara in vitro. JIK. 2007; 1:30-5.
Gupta A, Dutt N, Patel N. The Different Treatment Modalities of
pyopneumothorax- a study of 50 cases.International journal of medical
science and public health, vol 2. 609-612:
DOI:10.5455/ijmsph.2013.180420132.
Hasan, Helmia. Ambarwati, Devi. Empiema. Jurnal Resprasi Universitas
Airlangga. Vol 4 No 1. 2018 : 26 – 33.
Isa Mohammad. Punksi Pleura. Pada Buku Ajar Pulmologi dan Kedokteran
Respirasi. Vol 1.2017:457- 462.
Universitas Sumatera Utara
57
Jagelavicius Z, Vaitenas G, Jovaisas V, Janilionis R, Localized Pyopneumothorax
Treated With a Vacuum-assisted Closure System. Journal of Lithuanian
Surgery, vol 14(1). 46-51, 2015.
Jawetz, Melnick, Adelberg. Dasar dasar Mikrobiologi. Dalam buku Mikrobiologi
Kedokteran. California. Lange Medical Publication. 46-47. 2014.
K. Dural, G. Gulbahar, B. Kocer, and U. Sakinci, “A Novel and Safe Technique in
Closed Tube Thoracostomy,” Journal of Cardiothoracic Surgery, vol. 5,
No. 1, article 21, 2010.
.
Kartoglu Z, Okutan O, Isitmangil T, Kunter E et al. Pyo-Pnaumothorax in
Patients with Active Pulmonary Tuberculosis: An Analysis of 17 Cases
without Intrapleural Fibrinolytic Treatment. Journal of Medical
Principles and Practice vol 15.33-38. 2006.
Koneman EW. Koneman's Color Atlas and Textbook of Diagnostic Microbiology.
Edisi ke-6. Philadephia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.
Light RW. Parapneumonic Effusion and Empyema. In Light RW. Pleural disease
Vol 6. 212-214. Tennese: Lippincott Williams & Wilkins. 2013.
Light RW. Pneumothorax.In Light RW, Pleural disease vol 6. 363-366. Tennese:
lippincott williams & wilkins. 2013.
Noppen M, Keukeleire T D. Pneumothorax. Journal of Respiration vol.76. 121-
127. viewed 2008. DOI: 10.1159/000135932. 2008.
Salik Irim, Abramowitsz. Bronchopleural Fistula. Stats Pearl Publishing. 2019.
S. F. Monaghan and K. G. Swan, “Tube thoracostomy: the struggle to the
„standardof care‟,” Annals of Thoracic Surgery, vol. 86, no. 6, pp. 2019–
2022, 2008.
Surjanto E, Sutanto Y S, Harsini et al. Karakteristik Pasien Empiema di Rumah
Sakit Dr.Moewardi. J Respiratory Indo. vol 33 (2).117-21. 2013.
Tarigan S P. Pola kuman dan Uji Kepekaan dari Empiema di RSUP.H.Adam
Malik. Medan. USU e Repository. 2008.
Tschopp J M, Bintcliffe O, Astoul P, Canalis E, Driesen P, Jansen J, et all.ERS
Task Force Statement: Diagnosis and Treatment of Primary Spontaneous
Pneumothorax. Journal of Euro Respiration, vol. 46. 321-335. viewed 25
June 2015. DOI:10.1183/09031936.00219214. 2015.
Universitas Sumatera Utara
58
Widirahardjo.Pneumothoraks. Dalam Buku Ajar Respirasi. Vol(1). 476-482, USU
Press. Medan. ISBN: 979-458-962-4. 2017.
Zarongoulidis P, Kioumis I, Pitsiou G, Porpodis K, Lampaki S, Papaiwannou A,
et al.Pneumothorax: from Definition to Diagnosis and Treatment. J
Thorax dis, vol 6 (4), 372-376. 2014.
Universitas Sumatera Utara
59
LAMPIRAN 1
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
IDENTITAS
1. Nama : dr. Mei Sarah Pane
2. NIP : 198405272011012007
3. Tempat tanggal lahir : Padangsidimpuan, 27 Mei 1984
4. Jenis Kelamin : Perempuan
5. Agama : Islam
6. Status perkawinan : Menikah
7. Alamat : Jln. Bunga Rinte Komplek Puri Zahara 1 Blok B
No. 6 Kel. Tanjung Slamat Kec. Medan
Tuntungan Kota Medan Sumatera Utara
8. Hp : 082273812999
RIWAYAT PENDIDIKAN
1. SDN 142431, Kota Padangsidimpuan, Kota Padangsidimpuan, Tahun
lulus 1996.
2. SLTPN 01 Padangsidimpuan, Kota Padangsidimpuan, Tahun lulus 1999.
3. SMU N 2 Matauli Pandan, Kota Pandan Sibolga, Tahun lulus 2002.
4. S1-Kedokteran Universitas Andalas Padang, Tahun lulus 2008.
5. Profesi Dokter Universitas Andalas Padang, Tahun lulus 2010.
RIWAYAT PEKERJAAN
1. Dokter Pegawai Negeri Sipil Kota Padangsidimpuan Provinsi Sumatera
Utara Tahun 2012 sampai sekarang.
Universitas Sumatera Utara
60
KETERANGAN KELUARGA
1. Suami : M. Ali Sahbudin. SE.
2. Anak : 1. Habib Husein Harahap.
2. Rafanul Hakim Harahap
3. Putra Qori Ahnaf Harahap
PERKUMPULAN PROFESI
1. Ketua P2KB Organisasi IDI Cabang Padangsidimpuan Tahun 2013-2016.
2. Anggota Muda PDPI Cabang Medan.
TULISAN
-
Universitas Sumatera Utara
61
LAMPIRAN 2
Persetujuan Komite Etik (Ethical Clearance)
Universitas Sumatera Utara
62
LAMPIRAN 3
Data Sampel Penelitian
Universitas Sumatera Utara
63
Universitas Sumatera Utara
64
Universitas Sumatera Utara
65
LAMPIRAN 4
Hasil Analisis Data
umurrecode Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid >=60 14 13,7 13,7 13,7
0-29 13 12,7 12,7 26,5
30-39 21 20,6 20,6 47,1
40-49 29 28,4 28,4 75,5
50-59 25 24,5 24,5 100,0
Total 102 100,0 100,0
kelamin Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid lk 80 78,4 78,4 78,4
pr 22 21,6 21,6 100,0
Total 102 100,0 100,0
pendidikan Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid S1 4 3,9 3,9 3,9
SD 16 15,7 15,7 19,6
SMP 20 19,6 19,6 39,2
SMU 62 60,8 60,8 100,0
Total 102 100,0 100,0
Pekerjaan Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid IRT 13 12,7 12,7 12,7
nelayan 1 1,0 1,0 13,7
pedagang 3 2,9 2,9 16,7
pegawai 17 16,7 16,7 33,3
pelajar 1 1,0 1,0 34,3
petani 49 48,0 48,0 82,4
sopir 11 10,8 10,8 93,1
wiraswas 7 6,9 6,9 100,0
Total 102 100,0 100,0
rokok Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid tidak 20 19,6 19,6 19,6
ya 82 80,4 80,4 100,0
Total 102 100,0 100,0
jeniskomorbid Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid DM 32 31,4 31,4 31,4
kardio 13 12,7 12,7 44,1
tidak 57 55,9 55,9 100,0
Total 102 100,0 100,0
Universitas Sumatera Utara
66
kultur
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid negatif 14 13,7 13,7 13,7
positif 88 86,3 86,3 100,0
Total 102 100,0 100,0
Jumlahkuman Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid multipel 11 10,8 10,8 10,8
tunggal 91 89,2 89,2 100,0
Total 102 100,0 100,0
umurrecode * kultur
Crosstab Count
kultur
Total negatif positif
umurrecode >=60 2 12 14
0-29 2 11 13
30-39 2 19 21
40-49 3 26 29
50-59 5 20 25
Total 14 88 102
komorbid * kultur
Crosstab Count
kultur
Total negatif positif
komorbid tidak 11 46 57
ya 3 42 45
Total 14 88 102
Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval Lower Upper
Odds Ratio for komorbid (tidak / ya) 3,348 ,874 12,829
For cohort kultur = negative 2,895 ,859 9,759
For cohort kultur = positif ,865 ,745 1,004
N of Valid Cases 102
jeniskomorbid * kultur
Crosstab Count
kultur
Total negatif positif
jeniskomorbid DM 3 29 32
kardio 0 13 13
tidak 11 46 57
Total 14 88 102
dm * kultur
Universitas Sumatera Utara
67
Crosstab Count
kultur
Total negatif positif
dm dm 3 29 32
tidakdm 11 59 70
Total 14 88 102
Risk Estimate
Value 95% Confidence Interval Lower Upper
Odds Ratio for dm (dm / tidakdm) ,555 ,144 2,144
For cohort kultur = negatif ,597 ,179 1,993
For cohort kultur = positif 1,075 ,925 1,250
N of Valid Cases 102
Bakteri Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Achromobacter 1 1,1 1,1 1,1
Acinobacter ba 1 1,1 1,1 2,1
Aeromonas hydr 3 3,2 3,2 5,3
Citrobacter Fr 17 17,9 17,9 23,2
E coli 5 5,3 5,3 28,4
Enterobacter a 1 1,1 1,1 29,5
Enterobacter A 1 1,1 1,1 30,5
Kebsiella pneu 1 1,1 1,1 31,6
Klebsiella oxy 3 3,2 3,2 34,7
Klebsiella pne 16 16,8 16,8 51,6
Morganella mor 3 3,2 3,2 54,7
Proteus hauser 2 2,1 2,1 56,8
Proteus mirabi 1 1,1 1,1 57,9
Psedomonas aer 9 9,5 9,5 67,4
Raoultella orn 3 3,2 3,2 70,5
Serratia ficar 1 1,1 1,1 71,6
Serratia fonti 1 1,1 1,1 72,6
Serratia lique 1 1,1 1,1 73,7
Serratia marce 8 8,4 8,4 82,1
Serratia Marce 1 1,1 1,1 83,2
Sphingomonas p 1 1,1 1,1 84,2
Staphylococcus 9 9,5 9,5 93,7
Staphylococus 1 1,1 1,1 94,7
stenotrophomon 1 1,1 1,1 95,8
Streptococcus 3 3,2 3,2 98,9
veillonella sp 1 1,1 1,1 100,0
Total 95 100,0 100,0
genus Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Citrobacter Fr 17 17,9 17,9 17,9
E coli 5 5,3 5,3 23,2
Enterobacter s 2 2,1 2,1 25,3
Klebsiella sp 20 21,1 21,1 46,3
lain lain 11 11,6 11,6 57,9
Universitas Sumatera Utara
68
Morganella mor 3 3,2 3,2 61,1
Proteus sp 3 3,2 3,2 64,2
Psedomonas aer 9 9,5 9,5 73,7
Serratia sp 12 12,6 12,6 86,3
Staphylococcus 10 10,5 10,5 96,8
Streptococcus 3 3,2 3,2 100,0
Total 95 100,0 100,0
Frequency Table
AMK Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid I 2 2,1 2,1 2,1
NA 15 15,8 15,8 17,9
R 2 2,1 2,1 20,0
S 76 80,0 80,0 100,0
Total 95 100,0 100,0
AMP Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid I 1 1,1 1,1 1,1
NA 10 10,5 10,5 11,6
R 81 85,3 85,3 96,8
S 3 3,2 3,2 100,0
Total 95 100,0 100,0
CFX Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid I 1 1,1 1,1 1,1
NA 33 34,7 34,7 35,8
R 57 60,0 60,0 95,8
S 4 4,2 4,2 100,0
Total 95 100,0 100,0
CFZ Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid I 4 4,2 4,2 4,2
NA 12 12,6 12,6 16,8
R 65 68,4 68,4 85,3
S 14 14,7 14,7 100,0
Total 95 100,0 100,0
CFT Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid I 1 1,1 1,1 1,1
NA 17 17,9 17,9 18,9
R 70 73,7 73,7 92,6
S 7 7,4 7,4 100,0
Total 95 100,0 100,0
Universitas Sumatera Utara
69
CPPSBK Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid I 4 4,2 4,2 4,2
NA 39 41,1 41,1 45,3
R 8 8,4 8,4 53,7
S 44 46,3 46,3 100,0
Total 95 100,0 100,0
DXC Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid I 2 2,1 2,1 2,1
NA 39 41,1 41,1 43,2
R 43 45,3 45,3 88,4
S 11 11,6 11,6 100,0
Total 95 100,0 100,0
GTM Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid I 1 1,1 1,1 1,1
NA 6 6,3 6,3 7,4
R 67 70,5 70,5 77,9
S 21 22,1 22,1 100,0
Total 95 100,0 100,0
LVX Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid I 11 11,6 11,6 11,6
NA 26 27,4 27,4 38,9
R 31 32,6 32,6 71,6
S 27 28,4 28,4 100,0
Total 95 100,0 100,0
MPM Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid I 1 1,1 1,1 1,1
NA 15 15,8 15,8 16,8
R 18 18,9 18,9 35,8
S 61 64,2 64,2 100,0
Total 95 100,0 100,0
Frequency Table
AMK Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid S 17 100,0 100,0 100,0
AMP Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid R 17 100,0 100,0 100,0
Universitas Sumatera Utara
70
CFX Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid NA 5 29,4 29,4 29,4
R 12 70,6 70,6 100,0
Total 17 100,0 100,0
CFZ Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid R 13 76,5 76,5 76,5
S 4 23,5 23,5 100,0
Total 17 100,0 100,0
CFT Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid R 15 88,2 88,2 88,2
S 2 11,8 11,8 100,0
Total 17 100,0 100,0
CPPSBK Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid I 1 5,9 5,9 5,9
NA 5 29,4 29,4 35,3
S 11 64,7 64,7 100,0
Total 17 100,0 100,0
DXC Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid NA 5 29,4 29,4 29,4
R 8 47,1 47,1 76,5
S 4 23,5 23,5 100,0
Total 17 100,0 100,0
GTM Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid R 14 82,4 82,4 82,4
S 3 17,6 17,6 100,0
Total 17 100,0 100,0
LVX Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid I 2 11,8 11,8 11,8
NA 5 29,4 29,4 41,2
R 5 29,4 29,4 70,6
S 5 29,4 29,4 100,0
Total 17 100,0 100,0
Universitas Sumatera Utara
71
MPM Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid NA 1 5,9 5,9 5,9
R 1 5,9 5,9 11,8
S 15 88,2 88,2 100,0
Total 17 100,0 100,0
Frequency Table
AMK Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid S 5 100,0 100,0 100,0
AMP Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid R 5 100,0 100,0 100,0
CFX Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid NA 2 40,0 40,0 40,0
R 3 60,0 60,0 100,0
Total 5 100,0 100,0
CFZ Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid R 5 100,0 100,0 100,0
CFT Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid R 5 100,0 100,0 100,0
CPPSBK Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid NA 2 40,0 40,0 40,0
R 1 20,0 20,0 60,0
S 2 40,0 40,0 100,0
Total 5 100,0 100,0
DXC Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid NA 2 40,0 40,0 40,0
R 2 40,0 40,0 80,0
S 1 20,0 20,0 100,0
Total 5 100,0 100,0
GTM Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid R 4 80,0 80,0 80,0
S 1 20,0 20,0 100,0
Total 5 100,0 100,0
Universitas Sumatera Utara
72
LVX Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid NA 2 40,0 40,0 40,0
R 3 60,0 60,0 100,0
Total 5 100,0 100,0
MPM Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid R 1 20,0 20,0 20,0
S 4 80,0 80,0 100,0
Total 5 100,0 100,0
Frequency Table
AMK Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid NA 1 5,0 5,0 5,0
S 19 95,0 95,0 100,0
Total 20 100,0 100,0
AMP Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid NA 1 5,0 5,0 5,0
R 19 95,0 95,0 100,0
Total 20 100,0 100,0
CFX Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid NA 7 35,0 35,0 35,0
R 13 65,0 65,0 100,0
Total 20 100,0 100,0
CFZ Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid R 19 95,0 95,0 95,0
S 1 5,0 5,0 100,0
Total 20 100,0 100,0
CFT Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid R 20 100,0 100,0 100,0
CPPSBK Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid I 1 5,0 5,0 5,0
NA 7 35,0 35,0 40,0
R 3 15,0 15,0 55,0
S 9 45,0 45,0 100,0
Total 20 100,0 100,0
Universitas Sumatera Utara
73
DXC Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid NA 7 35,0 35,0 35,0
R 12 60,0 60,0 95,0
S 1 5,0 5,0 100,0
Total 20 100,0 100,0
GTM Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid R 17 85,0 85,0 85,0
S 3 15,0 15,0 100,0
Total 20 100,0 100,0
LVX Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid NA 7 35,0 35,0 35,0
R 11 55,0 55,0 90,0
S 2 10,0 10,0 100,0
Total 20 100,0 100,0
MPM Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid NA 1 5,0 5,0 5,0
R 5 25,0 25,0 30,0
S 14 70,0 70,0 100,0
Total 20 100,0 100,0
Frequency Table
AMK Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid I 2 22,2 22,2 22,2
R 1 11,1 11,1 33,3
S 6 66,7 66,7 100,0
Total 9 100,0 100,0
AMP Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid NA 2 22,2 22,2 22,2
R 7 77,8 77,8 100,0
Total 9 100,0 100,0
CFX Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid NA 3 33,3 33,3 33,3
R 6 66,7 66,7 100,0
Total 9 100,0 100,0
Universitas Sumatera Utara
74
CFZ Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid I 2 22,2 22,2 22,2
NA 1 11,1 11,1 33,3
R 2 22,2 22,2 55,6
S 4 44,4 44,4 100,0
Total 9 100,0 100,0
CFT Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid I 1 11,1 11,1 11,1
NA 7 77,8 77,8 88,9
R 1 11,1 11,1 100,0
Total 9 100,0 100,0
CPPSBK Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid NA 2 22,2 22,2 22,2
R 1 11,1 11,1 33,3
S 6 66,7 66,7 100,0
Total 9 100,0 100,0
DXC Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid NA 3 33,3 33,3 33,3
R 6 66,7 66,7 100,0
Total 9 100,0 100,0
GTM Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid NA 1 11,1 11,1 11,1
R 3 33,3 33,3 44,4
S 5 55,6 55,6 100,0
Total 9 100,0 100,0
LVX Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid I 1 11,1 11,1 11,1
NA 3 33,3 33,3 44,4
R 1 11,1 11,1 55,6
S 4 44,4 44,4 100,0
Total 9 100,0 100,0
MPM Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid R 3 33,3 33,3 33,3
S 6 66,7 66,7 100,0
Total 9 100,0 100,0
Universitas Sumatera Utara
75
Frequency Table AMK
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid S 12 100,0 100,0 100,0
AMP Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid R 12 100,0 100,0 100,0
CFX Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid NA 3 25,0 25,0 25,0
R 9 75,0 75,0 100,0
Total 12 100,0 100,0
CFZ Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid R 12 100,0 100,0 100,0
CFT Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid R 12 100,0 100,0 100,0
CPPSBK Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid I 2 16,7 16,7 16,7
NA 3 25,0 25,0 41,7
R 1 8,3 8,3 50,0
S 6 50,0 50,0 100,0
Total 12 100,0 100,0
DXC Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid NA 3 25,0 25,0 25,0
R 8 66,7 66,7 91,7
S 1 8,3 8,3 100,0
Total 12 100,0 100,0
GTM Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid R 12 100,0 100,0 100,0
LVX Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid I 4 33,3 33,3 33,3
NA 3 25,0 25,0 58,3
R 4 33,3 33,3 91,7
S 1 8,3 8,3 100,0
Total 12 100,0 100,0
Universitas Sumatera Utara
76
MPM Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid R 2 16,7 16,7 16,7
S 10 83,3 83,3 100,0
Total 12 100,0 100,0
Frequency Table
AMK Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid NA 9 90,0 90,0 90,0
R 1 10,0 10,0 100,0
Total 10 100,0 100,0
AMP Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid NA 6 60,0 60,0 60,0
R 3 30,0 30,0 90,0
S 1 10,0 10,0 100,0
Total 10 100,0 100,0
CFX Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid NA 6 60,0 60,0 60,0
R 2 20,0 20,0 80,0
S 2 20,0 20,0 100,0
Total 10 100,0 100,0
CFZ Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid NA 6 60,0 60,0 60,0
R 2 20,0 20,0 80,0
S 2 20,0 20,0 100,0
Total 10 100,0 100,0
CFT Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid NA 7 70,0 70,0 70,0
R 1 10,0 10,0 80,0
S 2 20,0 20,0 100,0
Total 10 100,0 100,0
CPPSBK Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid NA 9 90,0 90,0 90,0
R 1 10,0 10,0 100,0
Total 10 100,0 100,0
Universitas Sumatera Utara
77
DXC Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid NA 9 90,0 90,0 90,0
S 1 10,0 10,0 100,0
Total 10 100,0 100,0
GTM Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid R 3 30,0 30,0 30,0
S 7 70,0 70,0 100,0
Total 10 100,0 100,0
LVX Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid I 1 10,0 10,0 10,0
R 5 50,0 50,0 60,0
S 4 40,0 40,0 100,0
Total 10 100,0 100,0
MPM Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid I 1 10,0 10,0 10,0
NA 7 70,0 70,0 80,0
R 2 20,0 20,0 100,0
Total 10 100,0 100,0
murecodekolaps * Jumlahkuman
Crosstab Count
Jumlahkuman
Total multipel negatif tunggal
umurecodekolaps >=60 1 2 11 14
0-59 10 12 66 88
Total 11 14 77 102
Chi-Square Tests
Value df
Asymptotic Significance (2-
sided)
Pearson Chi-Square ,224a 2 ,894
Likelihood Ratio ,246 2 ,884
N of Valid Cases 102
a. 2 cells (33.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.51.
komorbid * Jumlahkuman
rosstab Count
Jumlahkuman
Total multipel negatif tunggal
komorbid tidak 5 11 41 57
ya 6 3 36 45
Total 11 14 77 102
Universitas Sumatera Utara
78
Chi-Square Tests Value df Asymptotic Significance (2-sided)
Pearson Chi-Square 3,625a 2 ,163
Likelihood Ratio 3,861 2 ,145
N of Valid Cases 102
a. 1 cells (16.7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.85.
jeniskomorbid * Jumlahkuman
rosstab Count
Jumlahkuman
Total multipel negatif tunggal
jeniskomorbid DM 3 3 26 32
kardio 3 0 10 13
tidak 5 11 41 57
Total 11 14 77 102
Chi-Square Tests
Value df
Asymptotic Significance (2-
sided)
Pearson Chi-Square 5,850a 4 ,211
Likelihood Ratio 7,106 4 ,130
N of Valid Cases 102
a. 4 cells (44.4%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.40.
Risk Estimate
Value
Odds Ratio for jeniskomorbid (DM / kardio)
a
a. Risk Estimate statistics cannot be computed. They are only computed for a 2*2 table without empty cells.
dm * Jumlahkuman
Crosstab Count
Jumlahkuman
Total multipel negatif tunggal
dm dm 3 3 26 32
tidakdm 8 11 51 70
Total 11 14 77 102
Chi-Square Tests
Value df Asymptotic Significance (2-sided)
Pearson Chi-Square ,934a 2 ,627
Likelihood Ratio ,980 2 ,613
N of Valid Cases 102
a. 2 cells (33.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.45.
Universitas Sumatera Utara