Pola Aktivitas Latihan

25
A. POLA AKTIVITAS LATIHAN Mc Anaw seorang terapi fisik meninjau perubahan fisiologik terkait penuaan yang terjadi pada system kardiovaskuler, pernapasan, saraf, dan muskuluskeletal serta menguraikan kondisi kesehatan umum yang mempengaruhi tingkat aktivitas. Perubahan normal seiring penuaan System kardiovaskuler, pernapasan, saraf, dan musculoskeletal berfungsi secara terintegrasi agar aktivitas dan latihan dapat dilakukan. Akibatnya perubahan terkait penuaan pada satu sistem akan mempengaruhi system lain.penuaan sering dipersulit oleh perkembangan beberapa penyakit. Hingga kini perubahan normal akibat penuaan dan perubahan akibat penyakit sangat samar dan sulit dikaji. 1. Sistem Kardiovaskular Faktor yang menyebabkan penurunan komplians jantung mencakup sclerosis endokardium, fibrosis katup jantung, peningkatan kekakuan miokardium, penurunan serat otot, dan penurunan kekuatan miokardium. Sel pecemaker yang semakin berkurang dan fibrosis nodus sinoartrial yang semakin luas dapat menyebabkan gangguan irama jantung. Kekakuan arteri terjadi seiring penuaan sebagai akibat penebalan media, fibrosis intima, penurunan sel otot polos, peningkatan deposit kalsium,

Transcript of Pola Aktivitas Latihan

Page 1: Pola Aktivitas Latihan

A. POLA AKTIVITAS LATIHAN

Mc Anaw seorang terapi fisik meninjau perubahan fisiologik terkait

penuaan yang terjadi pada system kardiovaskuler, pernapasan, saraf, dan

muskuluskeletal serta menguraikan kondisi kesehatan umum yang

mempengaruhi tingkat aktivitas.

Perubahan normal seiring penuaan

System kardiovaskuler, pernapasan, saraf, dan musculoskeletal berfungsi

secara terintegrasi agar aktivitas dan latihan dapat dilakukan. Akibatnya

perubahan terkait penuaan pada satu sistem akan mempengaruhi system

lain.penuaan sering dipersulit oleh perkembangan beberapa penyakit. Hingga

kini perubahan normal akibat penuaan dan perubahan akibat penyakit sangat

samar dan sulit dikaji.

1. Sistem Kardiovaskular

Faktor yang menyebabkan penurunan komplians jantung mencakup

sclerosis endokardium, fibrosis katup jantung, peningkatan kekakuan

miokardium, penurunan serat otot, dan penurunan kekuatan miokardium.

Sel pecemaker yang semakin berkurang dan fibrosis nodus sinoartrial yang

semakin luas dapat menyebabkan gangguan irama jantung.

Kekakuan arteri terjadi seiring penuaan sebagai akibat penebalan

media, fibrosis intima, penurunan sel otot polos, peningkatan deposit

kalsium, peningkatan kolagen, dan penurunan serat elastic. Perubahan ini

meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer, yang meningkatkan

beban kerja jantung dan menurunkan aliran darah ke berbagai organ,

terutama ginjal. Karena kekakukan arteri dan penurunan fungsi saraf

otonom, baroreseptor berespons lebih lambat dan mengalami penurunan

kemampuan mengatur tekanan darah.

2. Sistem Pernapasan

Seiring penuaan, penurunan komplians dinding dada disertai sedikit

peningkatan komplians paru. Alveoli kehilangan recoil elastis, melebar,

dan semakin sedikit sehingga jalan napas yang lebih kecil ini kolaps

Page 2: Pola Aktivitas Latihan

selama pernapasan normal. Permukaan alveolar menurun perdekade

kehidupan setelah usia 30 tahun.

Aliran darah ke paru menurun sebagai akibat penurunan curah jantung.

Jumlah kapiler di sekitar alveoli berkurang, dan kapiler yang masih ada

menebal karena infiltrasi jaringan ikat fibrotik. Akibatnya, kapasitas difusi

oksigen paru sedikit berkurang seiring penuaan.

Gangguan fisiologi paru yang terjadi seiring penuaan berdampak

langsung pada volume paru. Kapasitas residu fungsional meningkat.

Volume cadangan inspirasi dan ekspirasi meningkat. Kapasitas total paru

menurun, tetapi kapasitas inspirasi masih sama walaupun usia bertambah.

Volume residu meningkat seiring penuaan karena penurunan recoil elastis

pada dinding dada. Kerja napas meningkat 20% pada individu antara usia

20 dan 70 tahun untuk mengatasi kekakuan dinding dada.

Atrofi epitel menyebabkan gerakan silia, mekanisme untuk

menggerakkan sekresi paru berkurang seiring penuaan. Mucus dan benda

asing tidak dikeluarkan secara efisien dari paru. Reflex batuk menjadi

kurang efektif karena peningkatan kekakuan dinding dada dan penurunan

kekuatan otot.

3. Sistem Saraf Pusat

Pada usia 80 tahunmassa otak menurun 6% hingga 7% karena

kehilangan sel, terutama pada serebelum dan korteks serebri. Beberapa

neurotransmitter menjadi lebih sedikit pada otak yang menua, sehingga

dapat memperlambat transmisi sinaps.

Thermostat intern pada hipotalamus menjadi kurang sensitive karena

penuaan dan gangguan termoregulasi dapat terjadi.

Ketajaman penglihatan menurun sehingga dapat menghambat aktivitas

fisik volunteer individu. Reseptor sensori pada saluran semisirkular dan

otolit system vestibuar menjadi kurang mampu memantau posisi dan

pergerakan kepala. Penurunan pada system penglihatan, propioseptif, dan

vestibular mengakibatkan ketidakstabilan postur, penurunan

keseimbangan, dan peningkatan insiden jatuh pada populasi lansia.

Page 3: Pola Aktivitas Latihan

4. Sistem Muskuloskeletal

Penurunan kekuatan otot disebabkan oleh atrofi serat otot dan

penurunan neurologis akibat penuaan. Diyakini bahwa kekuatan otot

ekstremitas atas dapat dipertahankan lebih lama karena otot tersebut

digunakan lebih sering untuk menjalani aktivitas kehidupan sehari-hari.

Individu lansia dapat menggunakan hanya otot ekstremitas bawah ketika

berjalan dalam jarak dekat di dalam rumahuntuk menyelesaikan tugas

rumah tangga, tetapi akan terus menggukan otot ekstremitas atas

sepanjang hari untuk melakukan hygiene perseorangan, berpakaian, dan

makan.

Factor lain yang dapat menyebabakan penurunan kekuatan otot

mencakup ketidakcukupanasupan kalium dalam diet, penurunan neuron,

perubahan hormonal, dan penurunan mobilisasi glukosa saat beraktivitas.

Otot yang menua menggunakan oksigen secara kurang efisien. Pergerakan

motoric kasar yang lebih lambatdisebabkan oleh penurunan perfusi

oksigen dan zat gizi ke otot.

B. GANGGUAN POLA TIDUR

Tidur merupakan kebutuhan dasar manusia. Tidur adalah proses

fisiologis yang bersiklus yang bergantian dengan periode yang lebih lama dari

keterjagaan (potter & perrry,2005:1471). Ketika kebutuhan tersebut tidak

terpenuhi, baik dalam kuantitas atau kualitas, akibat yang tidak diharapkan

cenderung terjadi. Lansia sangat rentan terhadap gangguan pola tidur terutama

mereka yang rawat inap di rumah, mereka yang berada di fasilitas perawatan

jangka panjang, mereka dengan didiagnosis depresi atau penyakit Alzheimer,

dan mereka yang berfungsi sebagai pemberi pelayanan informal. Keluhan

tidur yang sering terjadi pada lansia adalah kesulitan untuk tertidur, kesulitan

untuk tetap tertidur, terbangun lebih awal, dan mengantuk yang berlebihan.

Maggi dan Kolega menemukan bahwa tebangun di malam hari, yang

dinyatakan oleh dua pertiga partisipan penelitian, merupakan gangguan tidur

yang paling umum pada lansia.

Tidur penting bagi kesehatan dan kualitas kehidupan. Tidur yang

kurang merupakan karakteristik kondisi medis yang terjadi pada lansia,

Page 4: Pola Aktivitas Latihan

termasuk penyakit somatic dan psikiatrik. Juga, kebiasaan dan gaya hidup

yang tidak baik adalah factor yang dapat meningkatkan kemungkinan

timbulnya masalah tidur pada lansia.

Pengukuran tidur yang objektif juga menyatakan adanya gangguan

tidur pada lansia. Pada pembahasan komprehensif tentang tidur sesuai proses

penuaan normal dan demensia, Bliwise (1993) menemukan kesamaan umum

perbedaan usia pada sebagian besar pengukuran polisomnografik,

elektroensefalogram (EEG), elektromiogram (EMG), elektrokulogram (EOG),

dengan penurunan efisiensi tidur sekitar 70% sampai 80% pada lansia.

Etiologi:

Hubungan yang harmoni antara system imun, neuroendokrin, dan

system tidur-terjaga menghasilkan pola sirkadian tidur dan terjaga

(Moldofsky, 1994). Ketidakseimbangan interaksi antara factor psikososial,

psikofisiologik, perkembangan saraf, dan kesehatan dapat menyebabkan

gangguan pola tidur. Irama sirkadian dihadapkan pada proses penuaan

(Copinschi dan Van Cauter, 1995), dan terdapat gangguan dalam siklus tidur

dan terjaga pada lansia (Pascoe, 1994).

Gangguan pola tidur disebabkan oleh factor internal (penyakit, stress

psikologis) dan factor eksternal (perubahan lingkungan, fungsi sosial) (Kim

dan Moritz, 1982). Kemudian factor yang berhubungan dengan gangguan pola

tidur tersebut dikelompokkan dalam beberapa kategori berikut: gangguan

dalam pola tidur-terjaga, penyakit fisik, factor psikologik, dan pengobatan.

a. Faktor internal:

Kekhawatiran dan kecemasan dapat menunda seseorang untuk

tidur, biasanya hanya beberapa malam. Walaupun demikian, kedua hal

tersebut dapat terjadi kembali secara berkala pada lansia (Fiensilver

dan Hertz, 1993). Khususnya, lansia yang dirawat inap di rumah sakit

tidak mendapat tidur yang cukup, sehingga dapat meningkatkan

kekhawatiran dan nyeri yang mereka hadapi (Spenceley, 1993). Factor

yang mungkin berhubungan pada lansia yang mengalami penyakit

kritis adalah nyeri, stress akut, depresi, gangguan dalam suhu tubuh,

distress pernapasan, dan sering berkemih (David-Sharts, 1989). Nyeri

Page 5: Pola Aktivitas Latihan

akut memiliki dampak negatif pada pola tidur, terutama nyeri yang

disebabkan oleh prosedur pembedahan (Closs, 1992). Lansia yang

tinggal di panti wreda mengalami gangguan pola tidur yang

berhubungan dengan kemunduran, deteriorasi dalam irama sirkadian

tidur-terjaga, apnea saat tidur, dan demensia. Nokturia dan nyeri juga

merupakan factor yang umumnya tinggal dipanti wreda.

Factor pertahanan diri pada inang berperan dalam pengaturan

tidur. NonRapid Eye Movement/ NREM dapat memiliki fungsi

perlindungan terhadap system imun, walaupun hubungan antara

keduanya belum jelas dipahami. Kemungkinan juga terdapat pengaruh

beberapa sitokin tertentu seperti interleukin-1 saat siklus tidur terjaga.

Pada lansia, kadar kortisol rata-rata meningkat, dan terjadi penurunan

keefektifan system imun. Semua perubahan fisiologis ini dapat

mencetuskan gangguan pola tidur pada lansia dan diperburuk dengan

penyakit, terutama jika terdapat demam.

Angka kejadian masalah pernapasan saat tidur tampaknya

meningkat seiring dengan penambahan. Apnea saat tidur, keadaan

henti napas saat seseorang sedang tidur biasanya terjadi pada klien

lansia. Apnea tidur obstrukti (ATO) merupakan gangguan jalan napas

bagian atas yang cenderung menimbulkan apnea saat fase tidur REM.

Pada pasien yang mengalami penyakit paru obstruktif menahun

(PPOM), periode hipopnea terjadi selama fase tidur REM, namun

mekanisme yang menjelaskan proses ini masih belum jelas. Hipopnea

selama fase tidur REM pada penderita PPOM dihubungkan dengan

penurunan aktivitas otot pernapasan.

Pergerakan kaki saat tidur secara teratur saat tidur (PKTT),

merupakan keadaan abnormal yaitu seseorang melakukan gerakan

tendangan atau menghentak kakinya setiap 20 sampai 40 detik selama

tidur, dapat menyebabkan gangguan tidur.

Gejala menopause dapat mengganggu pola tidur. Selama menopause

terdapat perubahan yang besar pada system neuroendokrin, terutama

hipotalamus, yang menyebabkan wanita perimenopause mengalami

masalah tidur.

Page 6: Pola Aktivitas Latihan

b. Factor eksternal:

Tidur dapat terganggu oleh suara bising dan stimulus

lingkungan lainnya. Penyebab gangguan pola tidur yang paling banyak

teridentifikasi oleh suara. Jumlah rata-rata durasi tidur siang pada

sekelompok lansia sehat sekitar satu jam. Perokok lebih cenderung

melaporkan beberapa keluhan seperti kesulitan untuk tetap tertidur,

keluhan terhadap perasaan ngantuk di siang hari, dan asuhan kafein

harian yang lebih tinggi, dibandingkan dengan kelompok nonperokok.

Alcohol dapat berfungsi sebagai agen sedatif dan relaksasi jika

dikonsumsi sesaat sebelum tidur, tetapi terbangun di malam hari dapat

menjadi masalah yang berhubungan dengan aktivitas simpatik akibat

meningkatnya kadar alcohol dalam darah. Terdapat bukti bahwa pasien

yang mengalami ketergantungan alcohol memperlihatkan penurunan

dalam tidur tahap 4 atau gelombang tidur yang lambat, terutama pada

alkoholik yang mengalami depresi klinik.

Obat tidur dapat menyebabkan gangguan tidur seperti

peningkatan waktu untuk tertidur dan peningkatan waktu untuk terjaga.

Struktur tidur dapat terganggu, terutama pada fase tidur REM. Dengan

demikian obat tidur harus digunakan dengan kewaspadaan, dan efek

hipnotis dan sedatif harus dipertimbangkan ketika mempelajari hal-hal

yang memengaruhi gangguan pola tidur pada lansia.

C. HAMBATAN MOBILITAS FISIK

Mobilitas fisik penting untuk mempertahankan kesehatan dan kualitas

hidup semua individu dan terutama penting bagi lansia. Mobilitas, perawatan

individu, dan performa tugas aktif untuk menghadapi lingkungan merupakan

perilaku yang mencerminkan kesehatan fungsional. Banyak lansia

mendefinisikan status kesehatan dan kebugaran fisik terkait mobilitas mereka.

Jika mobilitas fisik dipandang sebagai aspek kesehatan fungsional,

konsekuensi hambatan mobilitas fisik sangat luas, mencakup aspek fisiologik,

psikologik, dan sosioekonomi.

Page 7: Pola Aktivitas Latihan

1. Jatuh

Lansia yang mengalami hambatan mobilitas fisik rentan jatuh

akibat perubahan gaya berjalan, kelemahan, postur gontai, dan

penurunan refleks. Sekali jatuh, lansia cenderung jatuh lagi. Hambatan

mobilitas juga dapat menyertai penyakit kronis, yang lebih umum

terjadi pada lansia. Selain itu, lansia, terutama wanita, lebih rentan

terhadap fraktur saat jatuh dibandingkan wanita yang lebih muda,

sebab insiden osteoporosis pada kelompok ini tinggi.

2. Dampak fisiologik:

Pada situasi tertentu, penurunan mobilitas fisik

menguntungkan. Dalam keadaan istirahat, konsumsi oksigen dan

metabolism menjadi lebih lambat dan beban kerja jantung menurun.

Nyeri, ketegangan, dan pengisian vena kerap berkurang saat system

musculoskeletal relaks ketika posisi tubuh supinasi. Banyak penyakit

(misalnya, CHF, fraktur) memerlukan berbagai tingkat penghambatan

aktivitas guna mencapai penanganan yang efektif. Istirahat dapat

fungsional pada kasus ini karena menyeimbangkan kapasitas

metabolik, serta meningkatkan penyembuhan. Namun, tubuh tidak

perlu imobilisasi untuk istirahat. Tubuh dan organ tubuh justru

berfungsi optimal dan kapasitas fungsi tersebut meningkat jika

kebutuhan meningkat saat kemampuan dan cadangan metabolik

meningkat. Oleh karena itu, jika jarang digunakan, kemampuan

fungsional organ dapat berkurang. Hal ini berlaku untuk seluruh

system dan oragan tubuh.

Sebagian besar hambatan mobilitas fisik, semakin besar pula

kemungkinan timbul masalah fisiologis. Jenis penurunan kondisi

fisiologik yang muncul akibat hambatan mobilitas fisik sangat luas dan

mencakup penurunan rentang pergerakan sendi (RPS), penurunan

kekuatan dan ketahanan otot, gangguan kardiovaskular,

ketidakseimbangan metabolik, ulkus iskemik, penurunan fungsi

perkemihan, penurunan fungsi pencernaan, dan gangguan pernapasan.

Penurunan RPS. Penurunan RPS terjadi akibat hambatan mobilitas

fisik karena jaringan ikat di sekitar kapsula sendi dan di dalam bidang

Page 8: Pola Aktivitas Latihan

otot menjadi padat. Serat otot yang terkena memendek dan atrofi

karena tidak secara teratur memendek dan memanjang dalam rentang

pergerakan penuh otot tersebut. Trauma, radang, dan sirkulasi yang

buruk ditambah hambatan mobilitas dapat mempercepat pembentukan

jaringan ikat padat. Pada awalnya, sendi kehilangan fleksibilitas dan

RPS yang efektif terhambat. Jika proses berlanjut, RPS semakin

terbatas, sendi menjadi lebih kaku, dan kontraktur serta ankilosis

terjadi. Pinggul, lutut, dan pergelangan kaki merupakan sendi yang

paling rentan, meskipun semua sendi dapat terkena. Keterbatasan

ekstensi pada sendi lebih mudah terjadi akibat kekuatan otot fleksor

yang lebih besar, pengaruh gravitasi, dan kesulitan dalam melakukan

RPS penuh saat berbaring atau duduk.

Penurunan kekuatan dan ketahanan otot. Penurunan kekuatan dan

ketahanan otot terjadi jika kontraksi otot kurang dari 20% tegangan

maksimum setiap hari. Pemeliharaan kekuatan dan ketahanan otot

tergantung pada frekuensi kontraksi tegangan maksimum. Ketahanan

otot merupakan fungsi sirkulasi, nutrisi dan pengeluaran sampah dari

otot. Pompa vena dari otot yang imobilisasi menjadi lebih tidak aktif,

yang menyebabkan penurunan sirkulasi. Jika sirkulasi gagal memenuhi

kebutuhan otot, ketahanan, kekuatan, dan massa otot berkurang akibat

penurunan kapasitas oksidatif otot. Otot yang paling terpengaruh oleh

imobilisasi adalah kelompok otot gastroknemiussoleus, kuadrisep,

gluteus, dan erector spina.

Penurunan kekuatan skeletal. Penurunan kekuatan terjadi akibat

peningkatan reabsorbsi tulang yang menyertai hambatan mobilitas.

Struktur skeletal biasanya selalu diperbarui melalui absorbsi dan

pergantian tulang. Proses ini bergantung pada kontraksi otot dan

tegagan otot untuk meningkatkan deposisi tulang. Osteoporosis terjadi

saat destruksi tulang dan reabsorbsi melampaui produksi tulang.

Semakin tinggi tingkat hambatan mobilisasi, semakin besar pula

kehilangan matriks dan mineral tulang, terutama kalsium dan fosfat.

Tulang panjang ekstremitas bawah, os calcis, dan vertebra paling

rentan terhadap kehilangan mineral. Kehilangan kalsium meningkat

cepat dari minggu pertama sampai ketia imobilisasi, mencapai puncak

Page 9: Pola Aktivitas Latihan

pada minggu kelima atau keenam, dan kemudian mencapai plateu pada

tingkat yang lebih rendah, mencegah pengeroposan tulang lebih lanjut.

Lansia lebih beresiko terhadap fraktur patologik, karena tulang

menjadi semakin rapuh seiring penuaan.

Gangguan kardiovaskuler. Gangguan fungsi kardiovaskular terutama

dramatis jika hambatan mobilitas menyebabkan lansia harus tirah

baring lama atau hanya dapat duduk-duduk di kursi. Efek kemunduran

akan lebih berat jika pada saat yang sama terjadi demam, cedera, atau

penyakit. Semakin lama tirah baring, semakin tinggi resiko thrombosis

vena. Gerakan tubuh tidak lagi menstimulasi kerja pompa otot dan

pembuluh darah; akibatnya, terjadi penurunan pengosongan pembuluh

darah dan peningkatan stasis, terutama didaerah betis, tempat trombo

sering kali terbentuk. Selain itu, jika posisi tubuh rekumben dalam

waktu yang lama, jantung harus bekerja lebih keras untuk mencapai

sirkulasi akibat gangguan distribusi darah dan cairan di tubuh,

penurunan curah jantung, dan penurunan isi sekuncup.

Ketidakseimbangan metabolik. Penurunan mobilitas menyebabkan

pemecahan protein dan ekskresi nitrogen dan dengan demikian, dapat

menyebabkan ketidakseimbangan metabolik lain. Terjadi penurunan

laju metabolik, peningkatan cadangan lemak atau karbohidrat,

keseimbangan nitrogen dan kalsium metabolik negatif, penurunan

toleransi glukosa, dan alkalosis metabolik.

Ulkus iskemik. Ulkus kulit dan otot dapat menjadi konsekuensi utama

hambatan mobilitas fisik. Ulkus iskemik berkembang pada area tubuh

yang menonjol, tempat tekanan menghambat aliran darah yang

dibutuhkan untuk member nutrisi kepada sel. Ulkus juga berkembang

karena gesekan jaringan lunak saat harus bergerak atau berpindah di

tempat tidur. Selain itu, ulkus iskemik dapat terjadi semua posisi tidur

atau tirah baring yang cukup lama, yang dapat memfasilitasi tekanan

yang dapat menimbulkan nekrosis sel.

Gangguan fungsi perkemihan. Penurunan fungsi perkemihan yang

paling parah terjadi jika hambatan mobilitas mengakibatkan posisi

individu harus terus rekumben. Pada posisi tegak, gravitasi membantu

drainase urine dari pelvis ginjal. Ketidakmampuan merelaksasi otot

Page 10: Pola Aktivitas Latihan

perineal dan sfinter eksterna yang mudah terjadi pada posisi

rekumben, mengakibatkan komplikasi perkemihan lanjutan. Karena

kesulitan ini, kerja refleks berkemih tidak terjadi meskipun sensasi

berkemih ada. Namun, imobilisasi disertai dengan insufisiensi ginjal,

penurunan laju filtrasi glomerulus, kehilangan kemampuan

memekatkan urine, penurunan toleransi kreantinin, dan peningkatan

sekresi nitrogen, fosfor, sulfur total, natrium, kalium, dan kalsium.

Ekskresi dan presipitasi banyak garam kalsium mengakibatkan

peningkatan insiden batu ginjal pada individu yang tirah baring pada

posisi rekumben dalam waktu yang lama.

Penurunan fungsi pencernaan. Individu yang keseimbangan nitrogen

negatif sering kali anoreksia, yang dapat menyebabkan kurang gizi dan

mempersulit masalah kesehatan lain. Otot defekasi atrofi akibat

imobilisasi yang lama, membuat individu kurang mampu

mengosongkan usus bagian bawah.

Gangguan pernapasan. Gangguan pernapasan akibat hambatan

mobilitas disebabkan, terutama oleh penurunan ventilasi dan

ketidakmampuan mengeluarkan sekresi. Kapasitas vital, volume tidal,

pertukaran karbondioksida dan oksigen menurun seiring penuaan.

Sekresi lebih sulit dikeluarkan pada individu yang diubah posisi

rekumben akibat peningkatan viskositas mucus, dilatasi bronkus,

penurunan volume dan tekanan udara inspirasi, ketidakefektifan

ektivitas silia, penurunan stimulasi refleks batuk, dan kelemahan otot

yang membantu natuk.

Deficit sensori. Terdapat kecenderungan penurunan stimulus

kinestetik, visual, auditori, dan taktil saat individu imobil, terutama

akibat penurunan aktivitas dan interaksi sosial. Perubahan afek,

kognisi, dan persepsi juga terjadi pada lansia imobil.

3. Dampak Psikologis

Mobilitas fisik memengaruhi konsep diri, harga diri, dan

kemampuan emosi manusia dalam menghadapi masalah. Kemampuan

berinteraksi secara fisik dengan komponen dalam lingkungan untuk

memenuhi kebutuhan manusia berkaitan erat dengan konsep diri dan

Page 11: Pola Aktivitas Latihan

harga diri. Parent dan Whall (1984) melaporkan korelasi positif antara

peningkatan aktivitas dan harga diri serta korelasi negative antara

harga diri tinggi dan depresi pada subjek lansia. Hambatan mobilitas

mengganggu aspek konsep diri dan harga diri. Akibatnya, imobilitas

sering menyebabkan kurang minat dan kurang motivasi untuk belajar

dan untuk menyelesaikan masalah. Dorongan dan harapan menurun,

dan emosi dapat diekspresikan secara berlebihan atau tidak tepat,

termasuk apatis, marah, agresi, atau regresi. Ketakutan, depresi, dan

rasa malu dapat mengakibatkan hambatan mobilitas pada lansia.

Isolasi dan kebergantungan paksa dapat menurunkan stimulasi

intelektual dan sensori, yang dibutuhkan untuk perilaku perceptual

yang optimal. Jika kualitas dan kuantitas informasi sensoris yang

tersedia bagi lansia berkurang, kemampuan berinteraksi dengan

lingkungan dapat terganggu. Devisit visual dan somatosensori

(ketidakakuratan) terbukti berdampak negatif terhadap keseimbangan

lansia sehat hingga ke tingkat yang lebih tinggi daripada individu

dewasa muda. Depresi sensori sering kali menyebabkan distorsi waktu,

bentuk, pola, ruang, massa, dan suhu. Penyimpangan ini memengaruhi

relevansi aktivitas, seperti tidur, bekerja, berhubungan seksual, makan,

dan bersenda gurau pada lansia yang mengalami hambatan mobilitas.

Jika ancaman terhadap ego dan diri sangat kuat, jika ansietas tinggi

memicu pengembalian energy psikologik untuk melindungi diri, dan

jika tidak ada energy untuk berinteraksi dengan orang dan realitas

dalam lingkungan, lansia akan imobilisasi secara psikologis dan tidak

mampu berkoping secara efektif.

4. Dampak Sosioekonomik

Bagi lansia, dampak sosioekonomik hambatan mobilitas sering

kali berat. Hambatan mobilitas dapat mengubah aktivitas peran

individu sebagai pasangan, orang tua, karyawan, teman, dan anggota

kelompok social dan komunitas. Akibat hambatan mobilitas fisik,

jaringan dukungan social terganggu, menyebabkan lansia memiliki

kesempatan terbatas untuk dapat mempertahankan fungsi interaksi dan

hubungan social yang optimal. Hambatan mobilitas sering dikaitkan

Page 12: Pola Aktivitas Latihan

dengan pentingnya rawat inap di tatanan perawatan akut dan jangka

panjang. Penyakit kronis yang cenderung menyertai penuaan dapat

menjadi predisposisi lansia terhadap hambatan mobilitas dan dapat

berinteraksi dengan hambatan tersebut, mengakibatkan gangguan fisik,

psikologik, dan sosioekonomik progresif. Hambatan mobilitas dapat

mengawali serangkaian peristiwa, yang meliputi cedera dan

kemunduran fisiologik, psikologis, dan social, yang dapat menambah

beban ekonomi, yang sebelumnya sudah sedemikian besar bagi

individu dan masyarakat.

5. Faktor Resiko/Etiologi

Beberapa factor yang berhubungan dengan penuaan menjadi

predisposisi lansia terhadap hambatan mobilitas fisik. Pada lansia

terjadi penurunan umum pada kekuatan, ketahanan, dan ketangkasan

otot. Kekuatan otot terus menurun setelah masa dewasa muda.

Kekuatan otot, jumlah serat otot, dan ukuran serat menurun dengan

proporsi yang sama. Penurunan ini lebih nyata pada pria dibanding

wanita, tetapi pria tetap lebih kuat.

Penurunan ketajaman penglihatan, gangguan pendengaran,

arthritis, osteoporosis (terutama pada lansia wanita), penurunan

kekuatan, keseimbangan buruk, dan konfusi mental meningkatkan

risiko jatuh pada lansia; akibatnya, jatuh sering kali menyebabkan

cedera yang dapat semakin menghambat mobilitas lansia.

Lansia juga sering mengalami perubahan dalam system

dukungan social mereka, yang menjadi predisposisi terhadap hambatan

mobilitas. Kehilangan pasangan, teman, dan peran kerja dapat

membatasi individu untuk menjadi aktif.

6. Intoleran Aktivitas

Intoleran aktivitas merupakan penurunan energy akibat

kehilangan massa otot dan tonus otot atau karena gangguan aktivitas

sel. Lansia mengalami kehilangan massa otot dan tonus otot akibat

penuaan normal, tetapi juga berisiko terhadap kelemahan lebih lanjut

akibat sindrom disuse, yang berhubungan dengan penyakit kronis dan

penurunan aktivitas dan pergerakan. Otot pernapasan juga melemah,

dan paru cenderung menjadi kurang elastic. Oleh karena itu, lansia

Page 13: Pola Aktivitas Latihan

memiliki volume tidal yang lebih sedikit dan mengalami penurunan

kapasitas vital. Lansia sering mengalami isolasi social dan masalah

psikologik, yang dapat menurunkan motivasi untuk menjadi aktif.

7. Nyeri

Nyeri adalah sensasi ketidaknyamanan berat umum atau

setempat. Lansia rentan terhadap nyeri kronis dan akut, baik

somatopatik maupun psikogenik, karena memiliki insiden penyakit

kronis dan terapi yang lebih tinggi, mengalami peningkatan trauma

akibat jatuh dan fraktur, dan rentan terhadap infeksi.

8. Gangguan Neuromuskular

Gangguan neuromuscular merupakan penurunan gerakan otot

akibat gangguan system saraf pusat atau gangguan inervasi perifer.

System saraf mengendalikan inervasi dan fungsi seluruh bagian tubuh;

denagn demikian, kontraksi dan reflex otot bergantung pada system

neurologic yang baik. Banyak kondisi yang cenderung dialami lansia

mengakibatkan gangguan fungsi neurologic. Beberapa kondisi yang

lebih lazim terjadi adalah penyakit degenerative, penyakit

demielinisasi, penyakit vaskuler, trauma, tumor, dan terapi obat.

Paralisis dengan flasidisitas atau spastisitas dan paresis otot sering kali

terjadi.

9. Gangguan Muskuloskeletal

Gangguan Muskuloskeletal merupakan kehilangan atau

penurunan fungsi otot dan system penyokong skeletal yang disebabkan

factor mekanis atau structural. Penyebab mekanis adalah peralatan

eksternal, seperti restrainatau gips yang menghambat pergerakan.

Sumber structural adalah hambatan fisiologik pergerakan. Gabungan

gangguan keseimbangan dan kekuatan, terutama membuat lansia

rentan terhadap ketunadayaan mobilitas.

10. Gangguan Psikologis

Gangguan Psikologis merupakan respons emosi yang terjadi

saat stress melebihi kemampuan individu untuk dapat berkoping secara

efektif. Rasa takut dan dukacita yang berlarut-larut akibat kehilangan

yang menyertai penuaan dapat membuat lansia, yang serimg kali harus

menyesuaikan diri dengan perubahan gaya hidp dan lingkungan tanpa

Page 14: Pola Aktivitas Latihan

didukung oleh kondisi kesehatan yang baik dan system dukungan

keluarga yang memadai, imobil. Lansia khususnya rentan terhadap

kehilangan yang melemahkan kendali mereka terhadap aspek

kehidupan yang biasanya dianggap wajar oleh kaum muda. Kondisi

imobil secara psikologis ini dapat menjadi sangat melelahkan dan

lambat laun mengakibatkan imobilitas fisik.

Page 15: Pola Aktivitas Latihan

TUGAS KEPERAWATAN GERONTIK

SLEEP & ACTIVITY

OLEH KELOMPOK V

ANAK AGUNG YUNIARI DEWI (200902028)

CHRYSSANTUS DANANG W. (200902031)

GEOVANI FEBRIANO (200902037)

HELENA SESILIA TOKAN (200902039)

MARIA LIDWINA LEKA T. (200902054)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KATOLIK

ST. VINCENTIUS A PAULO

SURABAYA

2012

Page 16: Pola Aktivitas Latihan

DAFTAR PUSTAKA

Maas, Meridean L. dkk. 2008. Asuhan Keperawatan Geriatrik. Alih bahasa :

Renata Komalasari dk. 2011. Jakarta; EGC.

Potter, Patricia A. dkk. 1999. Buku ajar Fundamental Keperawatan : konsep,

proses, dan praktik. Alih Bahasa : Renata Komalasari et al. 2005. Jakarta;

EGC.