Pluralisme, Solusi Masalah Agama dan Budaya

8
Makalah PLURALISME, SOLUSI KONFLIK AGAMA DAN BUDAYA Antariksa Akhmadi (NIM 121311233004) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga

description

Makalah untuk persyaratan Studi Ekskursi Universitas Airlangga tahun 2013

Transcript of Pluralisme, Solusi Masalah Agama dan Budaya

Page 1: Pluralisme, Solusi Masalah Agama dan Budaya

Makalah

PLURALISME, SOLUSI KONFLIK AGAMA DAN BUDAYA

Antariksa Akhmadi (NIM 121311233004)

Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Airlangga

2013

Page 2: Pluralisme, Solusi Masalah Agama dan Budaya

PLURALISME, SOLUSI KONFLIK AGAMA DAN BUDAYA

Antariksa Akhmadi

Program Studi Sastra Inggris

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga

Agama adalah bagian tak terelakkan dari kehidupan manusia. Bisa dibilang, agamalah yang

membimbing miliaran orang di dunia ini untuk menjalani hidupnya sesuai dengan jalan kebenaran.

Segala aspek lain dari kehidupan seorang yang beragama pasti tidak akan terlepas dari hakikatnya

sebagai insan yang religius. Dalam bidang politik, kita bisa melihat kehadiran partai-partai politik

Islam maupun Kristen, demikian pula dengan organisasi-organisasi masyarakat agama lainnya yang

semuanya memberikan pengaruh bagi kehidupan berbangsa dan bertanah air. Dalam bidang

ekonomi, kita melihat pesatnya perkembangan lembaga-lembaga amil zakat dan kegiatan-kegiatan

amal dari berbagai komunitas agama.

Aspek kebudayaan manusia juga tak lepas dari peran dan kehadiran agama. Kebudayaan

masyarakat Indonesia pada mulanya amat rekat dengan tradisi animisme, yakni kepercayaan yang

meyakini kekuatan-kekuatan adialami di luar pengalaman manusia (Tylor dalam Koentjaraningrat,

2002:198). Tradisi-tradisi seperti pemberian sesajen atau sedekah bumi adalah contoh nyata dari

pengaruh animisme yang bertahan hingga kini. Dalam perkembangannya, setelah masuknya agama

Hindu dan Buddha ke Indonesia sekitar abad 5 masehi, pengaruh-pengaruh animisme mulai

diperkaya dengan tradisi dan kepercayaan Hindu dan Buddha. Tradisi keagamaan Hindu-Buddha

tidaklah merusak tatanan budaya yang sudah ada namun melengkapi dan menyempurkan local

genius yang sudah ada di bumi Indonesia. Justru kehadiran agama-agama itulah yang menyesuaikan

diri dengan kondisi kebudayaan masyarakat yang telah ada. Sebagai contoh, kita bisa melihat

perbedaan-perbedaan antara agama Hindu (Hindu Siwa) yang dianut di Jawa dengan agama Hindu di

Bali (Hindu Wisnu).

Tidak berhenti di sana, Islam dan Kristianitas yang masuk ke Indonesia juga memberikan

tambahan kekayaan bagi bangsa Indonesia. Sama seperti agama-agama pendahulunya, baik Islam

dan Kristianitas tidak mentah-mentah membuang semua warisan kebudayaan yang telah ada. Di

setiap daerah di Indonesia, wajah Islam tidaklah sama. Jika kita bandingkan umat Islam di Jawa

dengan Sumatera, pastilah kita temui perbedaan-perbedaan dari kehidupan beragamanya. Kita bisa

melihat Islam Kejawen yang meneruskan warisan tradisi Hindu dan bahkan animisme. Agama

Page 3: Pluralisme, Solusi Masalah Agama dan Budaya

Kristiani juga demikian. Di daerah Batak dan Minahasa kita temukan tradisi Kristiani yang berbeda

pula.

Sekalipun agama itu merupakan sesuatu yang mendasar bagi kehidupan manusia, dan

semua hal di luar agama selayaknya selaras dengan agama, tapi pada praktiknya justru agama itu

sendirilah yang seolah-olah menyesuaikan diri dengan kebudyaan setempat. Kehadiran agama-

agama pada akhirnya menuntun kebudayaan yang telah ada agar sesuai dengan ajaran-ajaran dan

doktrin-doktrin agama yang masuk. Jadi, ada interaksi timbal-balik dan saling menguntungkan di

antara agama dan budaya. Agama-agama dan kebudayaan-kebudayaan di Indonesia bisa hidup

berdampingan tanpa ada saling menggusur satu sama lain.

Namun, hubungan antara agama-agama dan kebudayaan-kebudayaan di Indonesia masih

menyisakan persoalan. Dalam sejarah Indonesia, acapkali terjadi konflik di antara kebudayaan-

kebudayaan dan agama-agama yang telah ada. Salah satu contoh klasiknya adalah Perang Paderi,

pertempuran antara umat Islam yang puritan dengan masyarakat adat di Minangkabau. Sejarah

masuknya Islam ke Indonesia bukannya bersih dari konflik dengan penganut-penganut agama Hindu,

terutama di Kerajaan Majapahit. Konflik-konflik berlatarkan perbedaan-perbedaan agama ini terus

terjadi sepanjang sejarah Indonesia.

Latar-belakang keagamaan dan kebudayaan yang berbeda-beda menyebabkan sulitnya

merajut integrasi nasional. Bangsa Indonesia pada umumnya dipersatukan atas dasar nasib: 350

tahun dijajah oleh Belanda. Kesadaran ini pun baru muncul pada tahun 1928, saat Sumpah Pemuda

dideklarasikan dan menjadi tonggak persatuan bangsa Indonesia hingga hari ini. Delapan belas tahun

berselang, tahun 1945, Indonesia menentukan ideologi negaranya. Proses lahirnya Pancasila ini juga

dipenuhi dengan dialog-dialog agama.

Pada makalah ini, penulis mengangkat masalah dialog agama dan kebudayaan dalam

pembentukan identitas nasional. Pancasila sebagai dasar negara dibangun di atas dialog-dialog

keagamaan dan melibatkan unsur-unsur kebudayaan di Indonesia. Implementasinya hingga hari ini

juga tidak lepas dari interaksi antaragama dan antarkebudayaan beserta segenap permasalahannya.

Dalam menyikapi masalah-masalah ini hendaknya masyarakat, dengan latar keagamaan dan

kebudayaannya yang berbeda-beda, dapat mengedepankan prinsip pluralisme dan inklusivisme.

Pluralisme dan inklusivisme tidaklah harus dicapai dengan memperjualkan akidah dan corak

kebudayaan yang telah melekat pada setiap etnis dan umat beragama. Yang terpenting adalah

kesadaran hidup bersama dan mengedepankan diskusi dan bukannya koersi atau malah kekerasan.

Pancasila Terbentuk dari Dialog Lintas Agama dan Budaya

Page 4: Pluralisme, Solusi Masalah Agama dan Budaya

Pancasila mulai disidangkan oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia

(BPUPKI) tanggal 29 Mei 1945. Ada tiga rancangan yang didiskusikan pada sidang itu, yaitu

rancangan Mohammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno. Pada tanggal 1 Juni, Soekarno

mempresentasikan lima asas yang diberi nama Pancasila yang sekarang diabadikan sebagai pidato

Lahirnya Pancasila. Pancasila inilah yang lebih bisa diterima oleh BPUPKI. Dalam rumusan Soekarno

inilah terdapat penekanan pada harmoni umat beragama, seperti tercantum pada penggalan pidato

Lahirnya Pancasila berikut:

Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing

orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah

Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi

Muhammad s.a.w., orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang

ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia

ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara

yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni

dengan tiada "egoisme-agama". Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang

bertuhan!

Namun, rupanya tidak semua anggota BPUPKI menyepakati usulan ini. Golongan Islam, yang

antara lain digawangi oleh M. Natsir, tidak menyetujui rumusan Pancasila karena dipandang tidak

Islami. Komposisi BPUPKI tidak banyak melibatkan golongan Islam di dalamnya dan didominasi oleh

kaum nasionalis yang antara lain juga merepresentasikan kepentingan non-muslim di Indonesia. Baik

Mohammad Yamin, Soepomo, maupun Soekarno, semuanya adalah tokoh nasionalis. Kaum Islam

yang minoritas merasa tidak difasilitasi dalam mewujudkan cita-cita politiknya, yaitu dijadikannya

syariat Islam sebagai pedoman bernegara.

Soekarno menolak keberatan dari golongan Islam. Ia berpendapat bahwa nilai-nilai Pancasila

bersumber dari kebijaksanaan budaya dan keagamaan seluruh elemen masyarakat di Indonesia.

Dengan sendirinya, Pancasila kompatibel dengan keislaman sebagaimana ia kompatibel dengan

kekristenan, Hindu, Buddha, maupun Konghuchu. Demikian pula dengan kebudayaan yang berbeda-

beda, Pancasila dirancang untuk mengakomodasi semua itu.

Dalam skema hubungan antarsila, sila pertama yakni Ketuhanan yang Maha Esa menempati

tingkatan teratas. Ini berarti bahwa Pancasila sebagai sebuah ideologi sangat lekat dengan paham

ketuhanan. Ini tidak bisa ditawar-tawar. Tapi, dalam bingkai keagamaan yang sangat beragam,

Pancasila akan melahirkan banyak persepektif dari agama yang berbeda-beda. Demikian pula sila-sila

Page 5: Pluralisme, Solusi Masalah Agama dan Budaya

lain yang dipersepsikan dalam kacamata kebudayaan yang saling berlainan. Hal inilah yang acapkali

menimbulkan konflik.

Masalah-Masalah Hari Ini

Bersamaan dengan turunnya Orde Baru, mulailah muncul ekspresi-ekspresi baru dalam

beragama dan berkeyakinan serta berbudaya. Banyak sekali ormas dan partai politik keagamaan

yang muncul ke permukaan. Dominasi kebudayaan Jawa juga tidak lagi sekuat dulu, sehingga

kebudayaan-kebudayaan lain mulai mendapat tempat. Sebut saja kehadiran wakil presiden Hamzah

Haz dan Jusuf Kalla yang bukan orang Jawa, padahal para pejabat di zaman Orde Baru amat

didominasi orang Jawa.

Karena tatanan masyarakat yang berubah dan kontrol pemerintah yang tidak lagi ketat,

maka bermunculanlah konflik-konflik horizontal antar masyarakat yang berbudaya dan antarumat

beragama. Pemikiran-pemikiran yang tak lagi menghargai perbedaan mulai berkembang. Akibatnya,

muncul rasa tidak aman dan saling berprasangka antarelemen masyarakat.

Beberapa contoh mutakhir dari konflik-konflik tersebut adalah kasus Syiah di Sampang, GKI

Yasmin, dan aksi-aksi destruktif yang dilancarkan ormas-ormas tertentu. Keseluruhan konflik

tersebut terjadi karena pemahaman bahwa mayoritas berhak memaksa minoritas agar bertindak

sesuai pahamnya. Konflik-konflik budaya, di lain pihak, memperlihatkan tidak saling memahaminya

satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Sebut saja kasus Sampang.

Baik kasus-kasus konflik keagamaan maupun antarbudaya, hemat penulis, sama-sama

dilatarbelakangi oleh kecemburuan sosial. Meskipun para pelaku yang terlibat konflik sama-sama

menegaskan firman Ilahi sebagai pembenaran atas tindakan mereka, namun jika ditilik lagi, konflik

yang terjadi adalah masalah vested interest belaka (Achmad (ed.), 2001:84).

Pluralisme, Berbahayakah?

Sementara kalangan menilai bahwa bersikap pluralistik berarti sama dengan menjual akidah

dan merampas identitas kebudayaan. Organisasi-organisasi masyarakat dan golongan agama

tertentu malah mengharamkan pengikut-pengikut agama untuk menganut pluralisme.

Tapi apa sebenarnya makna dari pluralisme itu sendiri? Menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia, pluralisme adalah keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sistem

sosial dan politiknya). Pluralisme bisa mendatangkan pengertian yang bermacam-macam. Ada yang

disebut pluralisme agama, budaya, sosial, maupun filosofis.

Page 6: Pluralisme, Solusi Masalah Agama dan Budaya

Nilai-nilai pluralisme bukanlah nilai, seperti tuduhan banyak pihak, yang diimpor dari “Barat”

atau dari luar agama dan budaya kita. Justru dalam kesejarahan dan keagamaan kita, terlihat banyak

sekali contoh-contoh tindakan pluralisme. Umat-umat Hindu dan Buddha pada masa-masa kerajaan

Hindu-Buddha telah memperlihatkan pola hidup pluralistik jauh sebelum istilah pluralisme itu sendiri

diperkenalkan. Demikian pula Islam yang menunjukkan toleransi dan keluwesannya ketika

dihadapkan dengan kepercayaan asli dan agama Hindu yang telah kukuh di Indonesia.

Kita tentu ingat dengan semboyan negara kita: Bhinneka Tunggal Ika. Versi lebih lengkap

dari ujaran sansekerta tersebut lebih kurang demikian:

Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,

Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

(Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal

Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.)

Ini menunjukkan adanya toleransi antara penganut agama Buddha dengan Hindu Siwa yang ada

dalam kerajaan Majapahit. Tiada kerancuan dalam kebenaran, maka selayaknyalah kita tidak usah

saling menyalahkan dalam mencari kebenaran. Atau menurut Al-Quran dapat dikatakan, Sungguh

telah nyata (berbeda) kebenaran dan kesesatan (Al-Baqarah [2:256]).

Kita harus menjunjung toleransi beragama dan berbudaya dalam bingkai Bhinneka Tunggal

Ika dan juga Pancasila dengan berketuhanan Yang Maha Esa. Jika landasan-landasan ini dapat

dimengerti dan dijalankan dengan baik, pastilah kerukunan bergama dan dialog peradaban yang

betul-betul beradab akan dapat berjalan.

Daftar Pustaka

Achmad, Nur (ed.). 2001. Pluralitas Agama. Jakarta: Kompas.

Soekarno. 1945. Lahirnya Pancasila. Dimuat dalam http://id.wikisource.org/wiki/Lahirnya_Pancasila.

Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Ali, Jamilludin. 2010. Bab Sekilas Perkembangan Islam di Indonesia Sebelum Orde Baru (1942-1965)

dalam Islam Kultural: Kajian Pemikiran Politik Nurcholish Madjid 1972-1998. Tesis. Depok:

Universitas Indonesia.