Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

220
PLURALISME DAN INTEGRASI BANGSA HENDRA PRIJATNA 1. PLURALISASI DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT MULTIKULTUR DI INDONESIA Masyarakat dan bangsa Indonesia adalah sebuah masyarakat yang amat majemuk dari segi suku, agama, dan golongan. Kemajemukan multidimensi seperti ini, terutama sekali kemajemukan dari segi agama, memendam potensi konflik, yang sewaktu-waktu dapat meledak jika kemajemukan itu tidak dikelola dengan arif. Walaupun bagi bangsa kita kemajemukan itu bukanlah sesuatu yang mengejutkan, sebagaimana yang dialami bangsa-bangsa lain, tapi realitas kemajemukan itu sendiri seringkali merapakan persoalan besar yang pada gilirannya dapat ikut memperlemah persatuan dan kesatuan bangsa. Berbagai konflik yang dikategorikan sebagai berbau SARA, yang pernah terjadi di beberapa daerah disebabkan karena realitas kemajemukan tidak dipahami, tidak dipedulikan dan atau tidak diberi perhatian serius. pluralisasi merupakan suatu hal yang tidak mungkin kita hindari, tetapi kita sebagai bangsa yang besar harus sekuat tenaga menjadikan pluralisasi sebagai asset bangsa bukannya media yang dapat memecahbelah kehidupan masyarakat, sosial dan keagamaan Peter L. Berger dalam Evers (1988), PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 1

description

cvdryh

Transcript of Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

Page 1: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

PLURALISME DAN INTEGRASI BANGSA

HENDRA PRIJATNA

1. PLURALISASI DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT MULTIKULTUR DI

INDONESIA

Masyarakat dan bangsa Indonesia adalah sebuah masyarakat yang amat majemuk

dari segi suku, agama, dan golongan. Kemajemukan multidimensi seperti ini, terutama

sekali kemajemukan dari segi agama, memendam potensi konflik, yang sewaktu-waktu

dapat meledak jika kemajemukan itu tidak dikelola dengan arif. Walaupun bagi bangsa

kita kemajemukan itu bukanlah sesuatu yang mengejutkan, sebagaimana yang dialami

bangsa-bangsa lain, tapi realitas kemajemukan itu sendiri seringkali merapakan

persoalan besar yang pada gilirannya dapat ikut memperlemah persatuan dan kesatuan

bangsa.

Berbagai konflik yang dikategorikan sebagai berbau SARA, yang pernah terjadi

di beberapa daerah disebabkan karena realitas kemajemukan tidak dipahami, tidak

dipedulikan dan atau tidak diberi perhatian serius. pluralisasi merupakan suatu hal yang

tidak mungkin kita hindari, tetapi kita sebagai bangsa yang besar harus sekuat tenaga

menjadikan pluralisasi sebagai asset bangsa bukannya media yang dapat memecahbelah

kehidupan masyarakat, sosial dan keagamaan Peter L. Berger dalam Evers (1988),

menggambarkan dengan jelas perbedaan antara masyarakat kuno dan masyarakat

modern.

Dikatakan, bahwa masyarakat kuno (sering dinamakan masyarakat dengan

kebudayaan sederhana) bersifat terintegrasi tinggi dan tetap bersatu (istilah lain adalah

homogen) dalam keteraturan agama. Karena masih sederhananya alat-alat transport dan

komunikasi maka hubungan antar masyarakat kuno itu terbatas. Sebaliknya menurut

Berger, masyarakat modern mengalami proses segmentasi atau pluralisasi, sering juga

dinamakan diferensiasi. Setiap segmen dari masyarakat harus berhubungan dengan

segmen-segmen lain untuk mempertahankan dan mengembangkan hidupnya.

Masyarakat modern dapat tetap terintegrasi dalam pola interpendensi, bahkan

multidependensi. Dikatakan, bahwa pluralisasi itu terjadi di dalam dunia kehidupan

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 1

Page 2: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

pribadi manusia dan juga pada lingkungan umum. Kedua-duanya harus hidup bersama

dalam suasana yang selaras dan serasi. Pluralisasi kedua bidang tersebut selalu

ditemukan dalam pengalaman modern: Pengalaman kehidupan kota dan pengalaman

komunikasi massa modern. Sejak munculnya pada zaman kuno, kota telah merupakan

tempat pertemuan orang-orang dan kelompok-kelompok yang berbeda-beda, jadi, kota

merupakan pertemuan dunia-dunia yang berbeda. Sesuai dengan strukturnya, kota

mendorong penduduknya menjadi “berbudi” (“urbane”) dengan menghormati orang

asing, serta “canggih” dalam pendekatan berbagai realitas yang berbeda. Modernitas

dalam setiap masyarakat dimengerti sebagai pertumbuhan kota-kota secara besar-

besaran.

Jadi dengan demikian urbanisasi tidak saja berarti pertumbuhan fisik komunitas

tertentu dan pembangunan berbagai pranata yang khas bersifat kota. Urbanisasi juga

berarti sebuah proses dalam tingkat kesadaran yang tidak terbatas pada komunitas yang

dapat dengan tepat dirancang menjadi kota. Menurut Berger, urbanisasi kesadaran ini

banyak dipengaruhi oleh media, dimana akibatnya gaya hidup (termasuk gaya berpikir,

perasaan, realitas pengalaman yang bersifat umum) yang sekaran ini menjadi standar di

masyarakat dapat saja menjadi sifat seseorang yang tetap tinggal di kota kecil.

Dalam hubungannya dengan proses sosialisasi, berger melihatnya sebagai berikut

1. Pluralisme telah memasuki berbagai proses sosialisasi primer, yaitu dalam proses

berlangsungnya pembentukan dasar kepribadian dan dunia subjektif pada masa

kanak-kanak

2. Pluralisme juga juga terjadu pada proses sosialisasi sekunder pada masyarakat

modern, yaitu sosialisasi yang berlangsung setelah awal pembentukan diri.

Namun dikhawatirkan oleh Berger, bahwa pluralisasi dunia kehidupan itu

menimbulkan rasa disorientasi dan kebingungan yang dinamakan homeless mind. Rasa

yang demikian itu mungkin timbul dalam masyarakat-masyarakat yang caranya

mengagungkan kehidupan ekonomi sudah sedemikian dominan dibanding dengan

kehidupan di bidang lain, sehingga semangat untuk mendapatkan keuntungan uang atau

benda menyingkirkan segala pertimbangan lain. Karena itu individualisme berkembang

dengan suburnya sehingga menutupi nilai-nilai sosial lainnya, termasuk nilai-nilai yang

mengikat para anggita keluarga sebagai kolektfitas yang terkuat untuk menghadapi

masalah-masalah sosial dalam masyarakat. Meskipun pluralisasi atau diversifikasi sosial

sudah tampak gejalanya di kota-kota Indonesia, namun ikatan kekeluargaan, bahkan

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 2

Page 3: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

ikatan kesukuan dan kedaerahan masih dapat bertahan dengan kuat terhadap desakan

individualisme dan timbulnya homeless mind.

Betapapun kuatnya hasrat masyarakat Indonesia untuk membangun ekonomi

nasionalnya sampai taraf setinggi mungkin, namun tata hidup yang dijiwai dengan nilai-

nilai kekeluargaan tidak akan mudah dilepaskan. Mungkin istilah “the homeless mind”

yang menggambarkan pola sikap hidup tidak berakar dalam bumi sesuatu masyarakat

dapat diganti dengan “the universal mind” yang lebih mementingkan sifat persamaan

pola pikir dan pola bersikap hidup umat manusia diseluruh dunia. Dalam tulisannya

Berger Melihat bahwa ideologi pluralisme secara luas berfungsi melegitimasi pluralitas

pengalaman sosial, koeksistensi berbagai dunia sosial yang berbeda seringkali tidak

sesuai satu sama lain secara luas dilegitimasikan oleh berbagai nilai seperti “demokrasi”

dan “kemajuan” (Progress). Kita tidak ingin menyangkal kesungguhan kepercayaan akan

ide-ide tersebut maupun kemungkinan bahwa dalam beberapa kasus ide-ide tersebut

mempunyai akibat-akibat sosial yang objektif.

Bagaimanapun juga, secara sosiologis memandang pengalaman pluralitas sebagai

sesuatu yang berlangsung mendahului ide-ide pokok pemberi legitimasi tampaknya lebih

persuasif. Apa pun ideologi yang ditawarkan, setiap masyarakat modern harus

menemukan jalan untuk sampai pada proses pluralisasi. Sangat mungkin hal tersebut

memerlukan sejumlah legitimasi, paling tidak suatu langkah pluralitastertentu.

Selain itu menurut Berger kehidupan menjadi sumber utama bagi identitas.

Kebanyakan keputusan hidup yang konkret dibuat sebagai sarana untuk mencapai tujuan

yang berhubungan dengan keseluruhan rencana kehidupan. Tetapi rencana kehidupan

tersebut bersifat terbuka dan seringkali dinyatakan dalam cara yang tidak menentu. Oleh

karena itu, selalu tetap terancam frustasi. Jika rencana kehidupan diungkapkan secara

pasti, maka relevansi keputusan tertentu dengan rencana yang besar seringkali bersifat

ragu-ragu dan menjemukan serta mencemaskan.

Jika sebaliknya, bila rencana tersebut menjadi tidak jelas, maka mungkin terdapat

kecemasan dalam wujudyang berbeda: individu secara samar-samar mengetahui bahwa

seharusnya ia mempunyai rencana tertentu, dan kini ia merasa cemasdan frustasi karena

kenyataan bahwa ia benar-benar tidak dapat mengungkapkan apa yang seharusnya bisa ia

lakukan. Semua atau sebagian besar rencana tersebut bersifat jangka panjang. Oleh

karena itu membutuhkan kemampuan tinggi untuk menunda kepuasaan. Agar rencana

tersebut dapat berjalan, individu harus menanti dan menagguhkannya. Hal ini

menimbulkan berbagai kecemasan dan frustasi tambahan.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 3

Page 4: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

Berhubungan dengan gaya kognitif dalam kehidupan jangka panjang, Berger

menekankan padaaspek multi-relasionalitas. Tetapi penekanan tersebut sekarang harus

dengan penuh empati mencakup baik diri sendiri maupun orang lainnya. Riwayat hidup

seseorang dimengerti olehnya sebagai sebuah proyek terpasang (esigned projects).

Proyek terpasang tersebut mencakup identitas. Dengan kata lain, rencana kehidupan

jangka panjang seseorang tidak hanya mencakup rencana tentang ia akan menjadi apa.

Dalam kasus individu yang mempunyai kepribadian menonjol diantara satu sama lain,

proyek-proyek tersebut saling tumpang tindih, baik dalam pengertian karir-karir maupun

dalam identitas-identitas yang direncanakan. Seorang individu merupakan bagian dari

proyek orang lain dan juga sebaliknya.

Keluarga dan khususnya hubungan perkawinan menduduki posisi istimewa

dalam halproyek bersama seperti perkawinan menduduki posisi istimewa dalam proyek

bersama seperti itu. Hal tersebut akan segera menjadi jelas bila seseorang memahami

bahwa identitas, seperti juga aktivitas, merupakan bagian dalam rancangan itu. Identitas

modern menurut Berger, secara khusus bersifat terbuka. Tanpa diraguan lagi, dalam diri

individu terdapat hal-hal tertentu yang sedikit banyak tetap seimbang pada bagian akhir

sosialisasi primer, meskipun individu modern bersifat “belum selesai” padasaat ia

memasuki kehidupan dewasa.

Tampaknya tidak saja ada kemampuan objektif yang besar untuk

mentransformasikan identitas ke dalam kehidupan dewasa, melainkan juga ada

kesadaran dan bahkan kesiapan subjektif untuk transformasi tersebut. Individu modern

tidak saja “mudah melakukan perubahan” (“conversionprone”), melainkan juga

mengetahui dan merasa bangga dengan perubahan itu. Identitas modern mempunyai

perbedaan-perbedaan khusus. Karena pluralitas dunia sosial dalam masyarakat modern,

struktur masing-masing dunia dialami sebgaai struktur yang relatif tidak stabil dan tidak

dapat dipercaya. Individu pada sebagian besar masyarakat pra-modern hidup dalam

dunia yang lebih terpadu. Oleh karena itu, baginya dunia kelihatan kokoh dan tidak

mungkin dielakkan. Sebaliknya, pengalaman individu modern dalam pluralitas dunia

sosial merelatifkan setiap dunia sosial itu. Akibatnya, tatanan kelembagaan mengalami

kehilangan realitas tertentu.

Identitas modern secara khusus diindividualisasikan. Individu yang memiliki

identitas sebagai ens realissimun, secara sangat logis mencapai kedudukan penting dalam

hirarki nilai. Kebebasan individu, otonomi individu, dan hak-hak individu diterima

begitu saja sebagai keharusan moral yang sangat mendasar. Dan yang terpenting diantara

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 4

Page 5: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

hak-hak individu dalah hak untuk merencanakan dan menentukan kehidupannya sebebas

mungkin. Hak-hak dasar ini secara terinci dilegitimasikan oleh bermacam-macam

ideologi modern, baik dalam struktur kelembagaan maupun dalam struktur kesadaran.

Pluralitas dunia-kehidupan sosial mempunyai pengaruh yang penting dalam

bidang agama. Sepanjang sebagian besar umat manusia yang adasecara empiris, agama

telah memainkan peranan penting dalam memberikan tirai simbol-simbol yang

melingkupi segalanya bagi integrasi masyarakat. Beraneka macam makna, nilai, dan

kepercayaan yang ada dalam suatu masyarakat akhirnya “dipersatukan” dalam sebuah

penafsiran menyeluruh tentang realitas yang menghubungkan kehidupan manusia dengan

dunia secara keseluruhan.

Dari sudut pandang pandang sosiologi dan psikologi sosial, agama dapat

didefinisikan sebagai struktur kognitif dan normatif yang memungkinkan manusia

merasa “betah” tinggal di alam semesta ini. Fungsi tradisional agama seperti itu sangat

terancam oleh proses pluralisasi. Berbagai sektor kehidupan sosial yang berbeda kini

diatur oleh makna dan sistem makna yang sangat beragam. Bukan saja tradisi religius

dan pranata yang mewujudkan tradisi religius tersebut semakin sulit mengintegrasikan

pluralitas dunia-kehidupan sosial dalam sebuah pandangan menyeluruh, melainkan

bahkan lebih mendasar, masuk akalnya definisi agama tentang realitas telah terancam

dari dalam, yaitu dari dalam kesadaran subjektif individu itu sendiri.

Dalam pluralisasi yang berkembang dengan pesat, individu dipaksa untuk

mengambil pengetahuan orang lain, yang tidak mempercayai apa yang ia sendiri

percayai, dan yang hidupnya didominasi oleh makna, nilai dan kepercayaan yang

berbeda dan seringkali malah bertentangan. Akibatnya, lepas dari faktor-faktor lain

dalam jalur pemikiran ini pluralisasi memiliki akibat yang mesekuarisasikan. Yaitu

bahwa pluralisasi memperlemah kepercayaan masyarakat dan individu akan agama. Dari

segi kelelembagaan, akibat yang dapat dilihat dari proses pluralisasi ini adalah privatisasi

agama. Dikotomisasi kehidupan sosial menjadi bidang umum dan pribadi telah

menawarkan “pemecahan” atas masalah agama dalam masyarakat modern.

Ketika agama harus “mengungsi” dari satu wilayah ke wilayah yang lain dala

bidang umum, agama telah berhasil memelihara dirinya sebagai suatu perwujudan makna

pribadi. Dari segi peikolosi sosial, kekuatan pluralisasi yang sama telah meruntuhkan

status makna religius yang telah diterima begitu saja dalam kesadaran individu. Karena

tidak ada konfirmasi sosial yang konsisten dan umum, definisi agama tentang realitas

telah kehilangan sifatnya yang pasti dan malah merupakan suatu pilihan belaka.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 5

Page 6: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

Konsepsi hubungan antara pluralisasi dan sekularisasi ini sama sekali tidak

menyangkal bahwa terdapat faktor-faktor lain yang mendorong sekularisasi dalam

masyarakat modern. Meskipun masih dapat dipersoalkan apakah ilmu pengetahuan dan

teknologi modern secara instrinsik dan tak terelakan bertentangan dengan agama, kiranya

jelas bahwa demikianlah yang dianggap oleh banyak orang. Paling tidak sejauh misteri,

magic, dan otoritas telah menjadi hal penting dalam regiositas manusia Isebagaimana

dipertahan oleh Grand Inquisitor Dostoevsky), rasionalisasi kesadaran modern telah

merusak sifat masuk akan dari definisi agama tentang realitas. Akibatnya, efek

sekularisasi dari pluralisasi telah berjalan bersama-sama dengan berbagai kekuatan

sekularisasi lainnya dalam masyarakat modern. Konsekuensi terakhir dari semua ini

dapat dirangkum secara sangat sederhana: manusia modern telah menderita karena suatu

kondisi “ketakberumahan” yang mendalam.

Masyarakat dan bangsa Indonesia adalah sebuah masyarakat yang amat majemuk

dari segi suku, agama, dan golongan. Kemajemukan multidimensi seperti ini, terutama

sekali kemajemukan dari segi agama, memendam potensi konflik, yang sewaktu-waktu

dapat meledak jika kemajemukan itu tidak dikelola dengan arif. Walaupun bagi bangsa

kita kemajemukan itu bukanlah sesuatu yang mengejutkan, sebagaimana yang dialami

bangsa-bangsa lain, tapi realitas kemajemukan itu sendiri seringkali merapakan

persoalan besar yang pada gilirannya dapat ikut memperlemah persatuan dan kesatuan

bangsa. Berbagai konflik yang dikategorikan sebagai berbau SARA, yang pernah terjadi

di beberapa daerah disebabkan karena realitas kemajemukan tidak dipahami, tidak

dipedulikan dan atau tidak diberi perhatian serius.

Indonesia yang terbangun dari struktur negara bangsa (nation state) tak dapat

menghindar dari keniscayaan kemajemukan (pluralisme). Sejarah telah menorehkan

realitasnya melalui wujud kemerdekaan keindonesiaan sebagai hasil bahu-membahu dari

kekuatan kemajemukan yang dimiliki oleh bangsa ini. Dalam The Oxford English

Dictionary disebutkan, bahwa pluralisme dipahami sebagai :

(1) Suatu teori yang menentang kekuasaan negara monolitis; dan

sebaliknya,mendukung desentralisasi dan otonomi untuk organisasi-

organisasi utama yang mewakili keterlibatan individu dalam masyarakat. Juga

suatu keyakinan bahwa kekuasaan itu harus dibagi bersama-sama diantara

sejumlah partai politik.

(2) Keberadaan atau toleransi keragaman etnik atau kelompok-kelompok kultural

dalam suatu masyarakat atau negara, serta keragaman kepercayaan atau sikap

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 6

Page 7: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

dalam suatu badan, kelembagaan dan sebagainya. Definisi yang pertama

mengandung pengertian pluralisme politik, sedangkan definisi kedua

mengandung pengertian pluralisme sosial atauprimordial (Maskuri,2001).

Masyarakat plural seperti Indonesia selalu dihadapkan kepada persoalan politis

dan sosial, yaitu bagaimana mencapai tingkat integritas bersifat nasional. Baik bersifat

horizontal, yaitu hubungan antar warga negara yang berbeda latar belakang budayanya,

maupun secara vertikal menghadapi berbagai macam bentuk hubungan dengan

peimpinnya tidak mungkin dilepaskan dari keberadaan stratifikasi sosialnya. (Purwasito,

2003) Pierre L. Van de Berghe dalam Purwasito (2003) mengemukakan bahwa

masyarakat multikultural mempunyai beberapa karakteristik yang khas, sebagai berikut:

1. Masyarakat terbagi dalam segmentasi dalam bentuk kelompok-kelompok latar budaya,

subbudaya yang berbeda.

2. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat

nonkomplementer.

3. Kurang adanya kemauan untuk mengembangkan konsensus antar anggota masyarakat

tentang nilai-nilai sosial yang fundamental.

4. Kurangnya kesadaran mengembangkan konsensus relatif sering menumbuhkan konflik

antar kelompok subbudaya tersebut.

5. Konflik bisa dihindari dan integrasi sosial dapat terjadi, tetapi dengan jalan relatif

menggunakan paksaan ditambah adanya ketergantungan satu sama lain dalam bidang

ekonomi.

6. Adanya dominasi politik kelompok satu atas kelompok yang lain.

Keadaan yang sangat rentan dalam masyarakat multikultur tersebut, sulit kiranya,

menurut van de Berghe, model analisis Emile Durkheim tentang adanya masyarakat

yang memiliki unit-unit kekerabatan yang bersifat segmenter, yaitu adanya kelompok-

kelompok yang didasarkan atas keturunan tunggal, akan tetapi memiliki struktur

kelembagaan yang bersifat homogeneous. Selain itu, pandangan Durkheim adanya

diferensiasi fungsional atau spesialisasi yang tinggi terdiri atas berbagai lembaga

kemasyarakatan, bersifat komplementer dan bergantung satu dengan lainnya. Maka, van

de Berghe kurang yakin bahwa solidaritas mekanik maupun solidaritas organic dalam

konsep Durkheim sulit dikembangkan dalam masyarakat multicultural. Nasikun,

mengambil konsep van de Berghe, dan para ahli fungsionalis structural menyimpulkan

bahwa dua landasan terjadinya integrasi masyarakat, meskipun menjadi sangat terbatas

dalam masyarakat multicultural, setidaknya :

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 7

Page 8: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

Pertama, suatu masyarakat senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya consensus oleh

sebagian besar masyarakat akan nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat

fundamental.

Kedua, adanya berbagai macam anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota dari

berbagai macam kesatuan social. Dengan adanya kesatuan social (cross-cutting

affiliations) tersebut jika terjadi konflik dengan kesatuan social yang lain akan

segera di netralisir oleh adanya loyalitas ganda (cross-cutting loyalities).

Konflik yang sering terjadi dalam masyarakat multicultural menurut Nasikun

cenderung bersifat ideologis dan politis. Karl Marx justru melihat adanya factor ekonomi

yang diperoleh nelalui produksi kerja. Pada tingkat ideologis, konflik yang terjadi dalam

bentuk konflik antara system nilai yang dianut oleh suatu kelompok masyarakat

sekaligus merupakan penganut dari ideology dari bermacam-macam kesatuan social.

Sedangkan yang bersifat politis, terjadi dalam ranah pembagian status kekuasaan,

sumber-sumber ekonomi. Yang bersifat ekonomis lebih jelasnya perebutan lahan

produksi untuk menopang kehidupan., karena ialah yang menopang segala struktur

social, konflik social yang menjadi dasar adanya perubahan social itu sendiri. Secara

alamiah, ketika terjadi konflik, pihak-pihak yang berselisih akan mengikatkan dirinya

secara cepat dengan dua cara:

1. Memperkokoh solidaritas, bentuknya sepertimembentuk organisasi kemasyarakatan,

pertahanan bersama.

2. Memperkokoh identitas cultural yang menghadapkan dirinya dengan kelompok

pesaing lain, misalnya dalam bidang pendidikan, organisasi sosial, ekonomi, politik,

dan kelompok swadaya lainnya.

Konflik sosial dan ketegangan politik yang berlarut-larut saat ini, merupakan

personifikasi fakta dan realita bahwa bangsa ini memiliki keberagaman yang tidak dapat

diseragamkan. Thesa tersebut setidaknya ingin memberi gambaran bahwa phobia

terhadap ancaman disintegrasi multidimensi yang sedang tersaji saat ini adalah wujud

resistensi yang di dalamnya membawa nilai terhadap aksi politik kooptasi dan uniform

(penyeragaman) yang dipertontonkan pada masa OrdeBaru.

Kebijakan masa lalu yang mencoba menegasi karakteristik nilai-nilai dalam

unsur-unsur pembentuk pluralisme telah melahirkan pemberontakan nilai yang

terekspresi lewat berbagai konflik dan dinamika yangada saat ini. Walaupun kita sangat

meyakini bahwa perjuangan nilai tidaklah selalu melahirkan “pemberontakan”, di dalam

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 8

Page 9: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

“pemberontakan” selalu ada nilai yang ingin dicapai. Bagaimana Indonesia mampu

bertahan sebagai Negara Kesatuan yang integrative ?

Para penganut aliran konflik lebih percaya dengan pendekatan paksanaan dari

suatu kelompok dominan atau kesatuan social yang dominan atas kelompok dan kesatuan

yang lain. Ekonomi menjadi factor utama, dimana setiap orang saling bergantung dengan

orang lain sehingga mereka saling membutuhkan untuk menciptakan kehidupan yang

rukun dan aman. Paksaan tidak selamanya memberi rasa aman, justru sebaiknya akan

membawa suatu masyarakat ke arah disintegrasi sebagaimana ditujukkan selama

Pemerintahan Orde baru. (Purwasito, 2003) Purwasito, memberikan gambaran bahwa

integritas masyarakat Indonesia dalam paying Negara kesatuan Republik Indonesia, tidak

lain adalah suatu kemauan para warga masyarakat untuk membangun suatu kultur yang

baru, yang mungkin berbeda dengan kultur kelompoknya, yang kemudian menjadi

pedoman dan kaidah dalam interaksi social bersama. Kultur baru, atau nilai-nilai dan

norma-norma umum yang disepakatimenjadi kaidah masyarakat bukan sekedar retorika

namun haruslah benar-benar dihayati dan dijadikan sebagai milik sendiri.. Untuk

mencapai konsensus nasional, Nasikun mengutamakan sosialisasi.

Menghidupi dan menjalani kehidupan dalam sebuah negara seperti Indonesia,

kita tak bisa berbuat lain kecuali menghidupi dan bahkan menikmati sebuah

kemajemukan. Sejak awal para pendiri bangsa ini menyadari benar realitas seperti itu.

Itulah sebabnya mengapa Pancasila dijadikan dasar negara; dan bineka tunggal ika

menjadi sebuah semboyan yang acap dirujuk tatkala kita menjelaskan tentang

keberagaman bangsa ini. Program pembangunan bertujuan menghadirkan masyarakat

industri modern yang adil, makmur, dan lestari berdasarkan

Pancasila. Usaha yang besar itu memerlukan waktu puluhan tahun, tatkala ilmu

dan teknologi akan makin mempengaruhi kehidupan manusia. Masyaraka tindustri

modern yang dicita-citakan itu dihadapkan pada bermacam-macam bahaya sebagai

akibat masih adanya jurang yang lebar antara yang kaya dan yang miskin,adanya

ketidakadilan, kurangnya partisipasi rakyat, kesenjangan antara pusat dan daerah, serta

langkanya kesempatan kerja.

Bahaya seperti itu akan mengakibatkan antara lain: kegagalan total

pembangunan; negara menjadi negara industri modern tetapi militeristis dan totaliter

yangmenghancurkan peradaban manusia; ketidakstabilan politik dan terhentinya

kehidupan ekonomi; kehancuran lingkungan hidup sebagai akibat eksploitasi yang tidak

bertanggung jawab terhadap sumber-sumber daya alam dan polusi.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 9

Page 10: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

Menyadari realitas kemajemukan itu dan adanya tugas besar bangsa kita dalam

membangun masa depan, maka hubungan dan kerjasama antar umat beragama harus

makin dikembangkan dan menjadi program yang berkesinambungan, baik yang

dilaksanakan oleh umat beragama/lembaga-lembaga keagamaan maupun atas prakarsa

Pemerintah. Untuk melaksanakan tugas besar tersebut dan demi menjaga agar

kemajemukan dapat tetap terbebas dari virus disintegratif, selain pemantapan program-

program dialog antar umat beragama, maka pengembangan wawasan yang inklusif

penting dilakukan.

Wawasan inklusif adalah suatu pola pikir berciri non diskriminatif, yang

memberikan kerangka di dalam mana semua kelompok dalam masyarakat tanpa

memandang suku, agama, dan golongan dapat hidup bersama, bekerja bersama untuk

membangun masa depan bersama yang telah baik, dengan tetap berpijak pada visi

teologis yang diyakini setiap orang. Dengan demikian pemikiran inklusif adalah

pemikiran yang ”mengakomodasi”, ”memberi tempat”, ”menghargai” kelompok lain dan

sebab itu jauh dari sikap yang meniadakan kelompok lain atau sikap membenarkan.

Sudah jelas bahwa kita memang menghadapi masalah multi-kulturalisme atau

multi-etnisisme. Semakin nyata bahwa dalam banyak bagian masyarakat Indonesia

terjadi penegasan identitas kelompok etnis atau komunal. Semakin banyak penduduk

yang memandang diri mereka sendiri sebagai suatu komunitas kultural tersendiri.

Komunitas yang seringkali memiliki bahasa, agama, kekerabatan, dan/atau ciri-ciri fisik

(seperti warna kulit) sendiri, atau berbeda agama tetapi berbicara dalam bahasa yang

sama. Banyak kalangan seperti ini yang cenderung memilik penilaian negatif terhadap

anggota kelompok etnik lain.

Sementara semangat yang menggelora sejak dua tahun terakhir adalah

demokratisasi, kita masih bertanya: Mungkinkah mengembangkan demokrasi dalam

masyarakat multi-etnik? Yaitu, suatu sistem politik yang bebas dan berdaulat dengan

lembaga-lembaga pembuatan keputusan demokratik dan dengan melibatkan semua

kelompok etnik yang ada? Sebagian ilmuwan sosial sejak lama bersepakat bahwa

demokrasi yang stabil dan efektif hampir tidak mungkin muncul dalam masyarakat yang

terbagi-bagi ke dalam kelompok-kelompok etnik yang berbeda, apalagi kalau masing-

masing kelompok etnik itu memakai bahasa yang berbeda. Kelompok teoritis itu

berpendapat bahwa pembuatan keputusan demokratik hanya bisa berjalan baik kalau

perbedaan-perbedaan yang hendak diselesaikan melalui kebijakan publik itu tidak terlalu

besar.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 10

Page 11: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

Karena itu, walaupun demokrasi tidak mensyaratkan suatu masyarakat yang

sepenuhnya homogen, kehidupan politik yang demokratis hanya bisa berlangsung kalau

ada kesatuan dan konsensus sosial dan politik, paling tidak, minimum. Padahal, derajat

kesatuan dan konsensus dalam masyarakat multi-etnik umumnya tidak bisa memenuhi

syarat minimum itu (J.S. Mills dibahas dalam Lijphart, 1996).

Real-politik Indonesia menghadapkan kita pada dua hal berikut:

Pertama, kemajemukan adalah bagian dari kehidupan politik Indonesia sejak merdeka.

Perbedaan etnik dan komunal tidak bisa begitu saja dihilangkan. Pengalaman

Orde Baru menunjukkan bahwa ketika fenomena multi-etnik dan multi-

kultural itu diabaikan yang muncul adalah kebijakan ekonomi dan politik

yang menghasilkan ketimpangan sosial-ekonomi.

Kedua, pengalaman komparatif menunjukkan bahwa separatisme tidak menjamin

munculnya unit politik yang homogen. Kemungkinan tetap besar bahwa

dalam unit-unit wilayah baru itu akan tetap ada perpecahan. Artinya, kita

harus menemukan jalan agar kenyataan multi-kultural dan multi-etnis itu bisa

dipertemukan dengan ideal demokrasi. Prospek demokrasi di Indonesia

sangat tergantung pada cara kita menangani persoalan kemajemukan

masyarakat itu. Karena itu, yang perlu dilakukan adalah mencari cara

bagaimana mengakomodasi realitas politik multi-kultural dan multi-etnik

sehingga terbentuk perpolitikan yang berfungsi melayani kepentingan semua

pihak.

2. KESUKUBANGSAAN, NASIONALISME DAN MULTIKULTURALISME

Pembicaraan mengenai nasionalisme dan multikulturalisme bersifat posteriori

karena beberapa konsep harus dibicarakan lebih dahulu sebelum membahas isyu

tersebut. Menurut pendapat saya – dalam hal ini tentu banyak diwarnai oleh pemikiran

antropologi -- konsep-konsep yang harus dibicarakan lebih dahulu setidak-tidaknya

adalah sukubangsa, kesukubangsaan, bangsa, negara-bangsa, dan kebangsaan.

Semenjak lama kajian antropologi mengenai kesukubangsaan memusatkan

perhatian pada hubungan-hubungan antar kelompok yang kelompok-kelompok tersebut

dianggap memiliki “ukuran sedemikian” sehingga memungkinkan dikaji melalui

penelitian lapangan tradisional seperti pengamatan terlibat, wawancara pribadi, maupun

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 11

Page 12: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

survei dalam pengertian tertentu. Fokus empiris kajian antropologi nyaris merupakan

kajian komunitas lokal. Apabila negara dibicarakan dalam hal ini, maka negara

ditempatkan sebagai bagian dari konteks yang lebih luas, misalnya sebagai “agen luar”

(external agent) yang mempengaruhi kondisi-kondisi lokal. Selain itu, antropologi masa

lampau kerapkali bias terhadap kajian “the others”. Istilah-istilah seperti “masyarakat

primitif”, “masyarakat belum beradab”, “masyarakat sederhana” dan lainnya jelas

menunjukkan bagaimana para antropolog Barat pada akhir abad 19 hingga pertengahan

abad ke 20 memandang dan menyebut masyarakat asing (thee others”) yang di

hadapinya di lapangan .

Pergeseran peristilahan dari “suku bangsa” menjadi “kelompok etnik” (ethnic

groups) merelatifkan dikotomi “kita”/”mereka”, karena istilah “kelompok etnik”,

berbeda dari “sukubangsa”, berada atau hadir di dalam “kita” (“self”) sekaligus “orang

lain/mereka” (“others”). Mekanisme batas (boundary mechanism) yang menyebabkan

kelompok etnik tetap kurang-lebih distinktif atau diskret memiliki karakteristik formal

yang sama di kota-kota metropolitan seperti Jakarta maupun di daerah pedalaman

pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan, dan perkembangan identitas etnik dapat

dipelajari dengan peralatan konseptual yang sama di Indonesia maupun di negeri-negeri

lain, meski pun konteks-konteks empirisnya berbeda-beda atau mungkin unik. Pada masa

kini, kalangan antropologi sosial mengakui bahwa mungkin sebagian besar peneliti kini

mempelajari sistem-sistem kompleks yang “unbounded” daripada komunitas-komunitas

yang “terisolasi”.

Kebangsaan atau nasionalisme adalah topik baru dalam antropologi. Kajian

tentang nasionalisme – ideologi negara-bangsa modern—sejak lama adalah topic

pembicaraan ilmu politik, sosiologi makro dan sejarah. Bangsa (nation) dan ideology

kebangsaan adalah fenomena modern berskala besar. Meski pun kajian mengenai

nasionalisme memunculkan masalah-masalah metodologi yang baru yang berkaitan

dengan skala dan kesukaran mengisolasi satuan-satuan penelitian, masalah-masalah ini

justru mengkait dengan topik-topik lain. Perubahan sosial telah terjadi di wilayah sentral

kajian antropologi, yang mengintegrasikan jutaan orang ke dalam pasar dan negara.

Perhatian antropologi terhadap nasionalisme justru menempuh jalur yang berbeda

dari ilmu politik yang sejak awal menempatkan negara sebagai pusat kajian.

Antropologi, sejalan dengan tradisi teorinya yang menempatkan evolusi sebagai premis

dasar memposisikan negara sebagai bagian dari pembicaraan mengenai evolusi

masyarakat dari sederhana ke kompleks (modern). Dalam hal ini Negara menjadi bagian

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 12

Page 13: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

dari pembicaraan tentang proses masyarakat mengkota (urbanizing) sebagai akibat

proses evolusi dari masyarakat sederhana (d/h masyarakat primitif).

Dengan kata lain, negara adalah suatu institusi yang merupakan konsekuensi dari

evolusi masyarakat tersebut, suatu pengorganisasian yang tumpang-tindih dengan

institusi kekerabatan pada masyarakat sederhana pada masa lampau. (Cohen 1985).

Secara metodologi, seperti halnya kita yang hidup pada masa kini, dan disini, informan

penelitian antropologi adalah warga negara. Selanjutnya, masyarakat primitif mungkin

tak terisolasi seperti pada masa lampau, sehingga kini tak lagi “lebih asli” atau “lebih

murni” daripada masyarakat kita kini .

Para antropolog sejak lama berupaya mengangkat kasus-kasus pada tingkatan

mikro, sebagaimana tercermin dari masyarakat sederhana (d/h primitif) yang berskala

kecil, populasi kecil, hidup di suatu lingkungan yang relatif terisolasi, dan memiliki

kebudayaan yang relatif homogen, ke tingkatan abstraksi yang bersifat makro, sehingga

mampu menjelaskan gejala yang sama di berbagai tempat di dunia. Meski demikian,

upaya ini tidak mudah diwujudkan terlebih ketika antropolog masa kini semakin

cenderung menyukai keanekaragaman dalam paradigma berfikir konstruktivisme yang

kini berkembang, seolah paradigma relativisme kebudayaan yang berakar pada tradisi

antropologi masa lampau memperoleh tempat baru pada masa kini (Saifuddin 2005)

Dalam terminologi klasik antropologi sosial, konsep “bangsa” (nation) digunakan

secara kurang akurat untuk menggambarkan kategori-kategori besar orang atau

masyarakat dengan kebudayaan yang kurang lebih seragam. I.M. Lewis (1985: 287),

misalnya, mengatakan bahwa :”Istilah bangsa (nation), mengikuti arus pemikiran

dominan dalam antropologi, adalah satuan kebudayaan.” Selanjutnya Lewis memperjelas

bahwa tidak perlu membedakan antara “sukubangsa” (tribes), “kelompok etnik” (ethnic

groups), dan “bangsa” (nation) karena perbedaannya hanya dalam ukuran, bukan

komposisi struktural atau fungsinya. “Apakah segmen-segmen yang lebih kecil ini

berbeda secara signifikan? Jawabannya adalah bahwa segmen-segmen tersebut tidaklah

berbeda; karena hanya merupakan satuan yang lebih kecil dari satuan yang lebih besar

yang memiliki ciri yang sama….” (Lewis 1985: 358).

Dalam terminologi masa kini, ketika argumentasi homogenitas semakin sukar

dipertahankan, maka pembedaan bangsa dan kategori etnik menjadi semakin penting

karena keterkaitannya dengan negara modern. Lagi pula, suatu negara yang isinya adalah

suatu kategori etnik semakin langka adanya. Dengan kata lain, suatu perspektif

antropologi menjadi esensil bagi pemahaman secara menyeluruh mengenai nasionalisme.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 13

Page 14: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

Suatu fokus yang bersifat analitis dan empiris mengenai nasionalisme dalam penelitian

modernisasi dan perubahan sosial, menjadi penting dan sangat relevan dengan lapangan

kajian yang lebih luas dari antropologi politik dan kajian mengenai identitas sosial.

Barangkali penting merujuk pandangan Ernest Gellner (1983) tentang

nasionalisme: “Nasionalisme adalah prinsip politik, yang berarti bahwa satuan nasion

harus sejalan dengan satuan politik. Nasionalisme sebagai sentimen, atau sebagai

gerakan, paling tepat didefinisikan dalam konteks prinsip ini. Sentimen nasionalis adalah

rasa marah yang timbul akibat pelanggaran prinsip ini, atau rasa puas karena prinsip ini

dijalankan dengan baik. Gerakan nasionalis diaktualisasikan oleh sentiment semacam

ini” (hal. 1). Pandangan Gellner tentang nasionalisme ini lebih pas untuk konteks negara-

bangsa (nation state). Hal ini tercermin dari konsep “satuan nasion” yang terkandung

dalam kutipan di atas. Nampaknya Gellner masih memandang “satuan nasion” sama

dengan kelompok etnik – atau setidak-tidaknya suatu kelompok etnik yang diklaim

keberadaannya oleh para nasionalis :” Ringkas kata, nasionalisme adalah suatu teori

legitimasi politik, yakni bahwa batas-batas etnik tidak harus berpotongan dengan batas-

batas politik” (Gellner 1983: 1). Dengan kata lain, nasionalisme, menurut pandangan

Gellner, merujuk kepada keterkaitan antara etnisitas dan negara. Nasionalisme, menurut

pandangan ini, adalah ideologi etnik yang dipelihara sedemikian sehingga kelompok

etnik ini mendominasi suatu negara.

Negara-bangsa dengan sendirinya adalah negara yang didominasi oleh suatu

kelompok etnik, yang penanda identitasnya –seperti bahasa atau agama—kerapkali

terkandung dalam simbolisme resmi dan institusi perundang-undangannya. Tokoh lain

yang dikenal dengan gagasan teoretisnya tentang nasionalisme, khususnya Indonesia,

adalah Benedict Anderson (1991[1983]: 6) yang mendefinisikan nasion sebagai “an

imagined political community” – dan dibayangkan baik terbatas secara inheren maupun

berdaulat. Kata “imagined” di sini lebih berarti “orang-orang yang mendefinisikan diri

mereka sebagai anggota suatu nasion, meski mereka “tak pernah mengenal, bertemu,

atau bahkan mendengar tentang warga negara yang lain, namun dalam fikiran mereka

hidup suatu citra (image) mengenai kesatuan komunion bersama” (hal. 6). Jadi, berbeda

dari pendapat Gellner yang lebih memusatkan perhatian pada aspek politik dari

nasionalisme, Anderson lebih suka memahami kekuatan dan persistensi identitas dan

sentimen nasional. Fakta bahwa banyak orang yang rela mati membela bangsa

menunjukkan adanya kekuatan yang luar biasa itu.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 14

Page 15: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

Meski Gellner dan Anderson memusatkan perhatian pada tema yang berbeda,

prinsip politik dan sentimen identitas, keduanya sesungguhnya saling mendukung.

Keduanya menekankan bahwa bangsa adalah konstruksi ideologi demi untuk

menemukan keterkaitan antara kelompok kebudayaan (sebagaimana didefinisikan warga

masyarakat yang bersangkutan) dan negara, dan bahwa mereka menciptakan komunitas

abstrak (abstract communities) dari keteraturan yang berbeda dari Negara dinasti atau

komunitas berbasis kekerabatan yang menjadi sasaran perhatian antropologi masa

lampau.

Anderson sendiri berupaya memberikan penjelasan terhadap apa yang disebut

“anomali nasionalisme”. Menurut pandangan Marxis dan teori-teori sosial liberal tentang

modernisasi, nasionalisme seharusnya tidak lagi relevan di dunia individualis pasca

Pencerahan, karena nasionalisme itu berbau kesetiaan primodial dan solidaritas yang

berbasis asal-usul dan kebudayaan yang sama. Maka, kalau kita kini menyaksikan

“goyahnya” nasionalisme di Indonesia, hal ini mungkin disebabkan antara lain oleh

masuk dan berkembangnya pemikiran liberal dalam ilmu-ilmu social di Indonesia, dan

menjadi bagian dari cara ilmu-ilmu sosial memikirkan negarabangsa dan nasionalisme

kita sendiri.

Kajian antropologi mengenai batas-batas etnik dan proses identitas mungkin

dapat membantu memecahkan problematika Anderson. Penelitian tentang pembentukan

identitas etnik dan dipertahankannya identitas etnik cenderung menjadi paling penting

dalam situasi-situasi tak menentu, perubahan, persaingan memperoleh sumberdaya, dan

ancaman terhadap batas-batas tersebut. Maka tak mengherankan bahwa gerakan-gerakan

politik yang berdasarkan identitas kebudayaan kuat dalam masyarakat yang tengah

mengalami modernisasi, meski pun hal ini tidaklah berarti bahwa gerakan-gerakan

tersebut menjadi gerakan-gerakan nasionalis.

Titik temu antara teori-teori nasionalisme dan etnisitas perlu disinggung di sini.

Menurut hemat saya, baik Gellner maupun Anderson tidak berupaya menemukan titik

temu tersebut; kedua pandangan teori mereka dikembangkan sendiri-sendiri. Baik kajian

etnisitas di tingkat komunitas lokal maupun kajian nasionalisme di tingkat negara

menegaskan bahwa identitas etnik maupun nasional adalah konstruksi. Berarti kedua

identitas tersebut bukan alamiah. Selanjutnya, jalinan hubungan antara identitas khusus

dan “kebudayaan” bukanlah hubungan satu per satu. Asumsi-asumsi titik temu yang

tersebar luas antara etnisitas dan “kebudayaan obyektif” adalah kasus yang terpancarkan

dari konstruksi kebudayaan itu sendiri. “Berbicara tentang kebudayaan” dan

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 15

Page 16: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

“kebudayaan” dapat dibedakan ibarat kita berbicara tentang perbedaan antara menu dan

makanan. Keduanya adalah fakta sosial dengan keteraturan yang berbeda.

Tatkala kita menyoroti nasionalisme, jalinan hubungan antara organisasi etnik

dan identitas etnik sebagaimana didiskusikan sebelumnya menjadi lebih jelas. Menurut

nasionalisme, organisasi politik seharusnya bersifat etnik karena organisasi ini

merepresentasikan kepentingan-kepentingan kelompok etnik tertentu. Sebaliknya,

negara-bangsa mengandung aspek penting dari legitimasi politik yakni dukungan massa

yang sebenarnya merepresentasikan sebagai suatu satuan kebudayaan.

Di dalam antropologi dapat kita temukan juga teori-teori tentang simbolsimbol

ritual yang dalam konteks pembicaraan ini juga menggambarkan dualitas antara makna

dan politik, yang umum kita temukan baik dalam kajian etnisitas maupun kajian

nasionalisme. Menyitir Victor Turner (1969 : 108) :”simbol-simbol itu multivokal karena

memiliki kutub instrumental dan sensoris (makna)”. Itulah sebabnya, pendapat Turner ini

relevan dengan apa yang dikemukakan Anderson (1991) bahwa nasionalisme

memperoleh kekuatannya dari kombinasi legitimasi politik dan kekuatan emosional.

Sejalan dengan hal di atas, seorang ahli antropologi lain, Abner Cohen (1974)

mengemukakan bahwa politik tidak dapat sepenuhnya instrumental, melainkan harus

selalu melibatkan simbol-simbol yang mengandung kekuatan untuk menciptakan

loyalitas dan rasa memiliki. Para antropolog yang mengkaji nasionalisme umumnya

memandang isyu ini sebagai varian dari etnisitas.

Tentu saja dapat muncul pertanyaan bahwa kalau nasionalisme dibicarakan dalam

atau sebagai bagian dari etnisitas, dan nasionalisme yang berbasis etnisitas itu

imaginable – kalau kita mengikuti pandangan Anderson – maka bagaimana dengan

nasionalisme yang dibangun tidak berdasarkan etnik ? Apakah untuk kasus ini juga

imaginable ?

Para pengkaji nasionalisme menekankan aspek-aspek modern dan abstrak.

Perspektif antropologis khususnya penting di sini karena para antropolog lebih suka

mengetengahkan karakter nasionalsme dan negara-bangsa yang khusus dan unik melalui

pembandingan-pembandingan dengan, atau pemikiran yang berakar pada masyarakat

yang berskala kecil. Dalam perspektif ini, bangsa (nation) dan ideology nasionalis

setidak-tidaknya nampak sebagai “peralatan” simbolik bagi kelas-kelas yang berkuasa

dalam masyarakat, yang tanpa peralatan simbolik itu bangsa rentan terancam

perpecahan. Sebagian ahli berpendapat bahwa nasionalisme dan komunitas nasional

dapat memiliki akar yang kuat dalam komunitas etnik sebelumnya atau ethnies (A.D.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 16

Page 17: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

Smith 1986), tetapi niscaya kurang tepat untuk mengklaim bahwa kesinambungan

masyarakat komunitas pra-modern atau “kebudayaan etnik” menjadi nasional terjaga

dengan baik. Contoh Norwegia menunjukkan bahwa tradisi dan simbol-simbol nasional

lainnya memiliki makna yang sangat berbeda dalam konteks modern dibandingkan

makna pada masa lampau (A.D.Smith 1986).

Seperti telah dikemukakan di atas, konsep negara dalam antropologi adalah

perluasan dari konsep-konsep sukubangsa, kelompok etnik, etnisitas, yang pada setiap

konsep tersebut konsep nasionalisme menyelimuti sekaligus memberikan roh. Dalam

konteks ini negara merupakan suatu bentuk pengorganisasian warga masyarakat yang

secara intrinsik berasal dari sukubangsa atau kelompok etnik tersebut. Konsep negara-

bangsa (nation-state), misalnya, jelas sekali menunjukkan orientasi pemikiran

antropologi ini.

Dipandang dari perspektif ini, nasionalisme yang sukses ditentukan oleh

keterjalinan ideologi etnik dengan aparatus negara. Negara-bangsa, seperti halnya

banyak sistem politik lain, memandang pentingnya ideologi bahwa batas-batas politik

harus saling mendukung dengan batas-batas kebudayaan. Selanjutnya, negarabangsaa

memiliki monopoli atas keabsahan untuk memungut pajak, dan bahwa tindakan

kekerasan terhadap warga yang dianggap menyimpang dari kehendak negara. Monopoli

ini adalah sumber kekuasaan yang paling penting. Negara bangsa memiliki administrasi

birokrasi dan undang-undang tertulis yang meliputi semua warga negara, dan memiliki

sistem pendidikan yang seragam di seluruh negeri, dan pasar tenaga kerja yang sama

bagi semua warga negara. Hampir semua Negara bangsa di dunia memiliki bahasa

nasional yang digunakan untuk komunikasi resmi. Suatu ciri yang khas dari negara

bangsa adalah konsentrasi kekuasaan yang luarbiasa. Cukup jelas bahwa Indonesia

adalah salah satu contoh negara-bangsa.

Dari pembicaraan kita tentang perspektif antropologi mengenai nasionalisme dan

negara di atas, dapatlah dikemukakan bahwa negara-bangsa Indonesia kini menghadapi

tantangan-tantangan besar, yang apabila kita tak berhasil menghadapi dan menaklukkan

tantangan tersebut, dapat diprediksi bahwa negara kesatuan Republik Indonesia ini akan

berakhir. Akan tetapi kalau kita memiliki kesepakatan dan komitemen bahwa negara

kesatuan ini adalah final, maka kita perlu memperhatikan secara seksama tantangan-

tantangan yang kita hadapi, dan tugas-tugas yang harus kita laksanakan untuk

menghadapinya. Banyak orang berpendapat bahwa multikulturalisme merupakan

alternatif yang paling tepat untuk membangun kembali integrasi bangsa tersebut, meski

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 17

Page 18: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

belum ditemukan model multikulturalisme seperti apa yang paling tepat untuk Indonesia.

Pendapat tersebut benar, karena pendekatan proses dalam multikulturalisme lebih

relevan untuk menjawab isyu kebangsaan dan integrasi nasional yang kini dituntut

mampu menjawab tantangan perubahan.

Buku Sdr Mashudi Noorsalim (ed.) yang kini sedang kita bahas – menurut hemat

saya – mengandung empat persoalan besar (penulis menyebutnya “dilematis”) berkaitan

dengan isyu hak-hak minoritas dalam kaitannya dengan multikulturalisme dan dilema

negara bangsa.

1. Fakta keanekaragaman sukubangsa, ras, agama, dan golongan sosialekonomi, semakin

diperumit oleh faktor geografi Indonesia yang kepulauan, penduduk yang tinggal

terpisah-pisah satu sama lain, mendorong potensi disintegrasi meningkat.

2. Prenis antropologi bahwa nasionalisme dan negara seyogyanya dibicarakan mulai dari

akarnya, yakni mulai dari konsep-konsep “sukubangsa”, “kelompok etnik”, dan

“etnisitas”, jelas menunjukkan bahwa apabila semangat nasionalisme luntur karena

berbagai sebab, maka yang tertinggal adalah semangat kesukubangsaan yang

menguat. Dengan kata lain, meningkatnya semangat primordial ( antara lain

kesukubangsaan) di tanah air akhir-akhir adalah indikasi melunturnya nasionalisme.

3. Hak-hak minoritas senantiasa melekat pada fakta pengaturan keanekaragaman yang

ada. Apabila pengaturan nasional berorientasi pada kebijakan kebudayaan seragam

dan sentralistis maka fakta pluralisme, diferensiasi, dan hirarki masyarakat dan

kebudayaan akan meningkat. Dalam kondisi ini hak-hak minoritas akan terabaikan

karena tertutup oleh kebijakan negara yang terkonsentrasi pada kekuasaan sentralistis.

Namun, apabila pengaturan tersebut adalah demokratis dan/atau multikuluralistis

maka hak-hak minoritas akan semakin dihargai. Yang perlu diperhatikan adalah

bahwa upaya membangun bangsa yang multikultural itu berhadapan dengan tantangan

berat, yaitu fakta keenekaragaman yang luas dalam konteks geografi, populasi,

sukubangsa, agama, dan lainnya. Oleh karena itu membangun negara-bangsa yang

multicultural nampaknya harus dibarengi oleh politik pengaturan dan sentiment

kebangsaan yang kuat.

4. Perekat integrasi nasional yang selama ini terjadi seperti politik penyeragaman

nasional dan konsentrasi kekuasaan yang besar sesungguhnya adalah hal yang lumrah

dalam politik pemeliharaan Negara bangsa. Namun, mekanisme pengaturan nasional

ini terganggu ketika seleksi global – pernyataan saya ini dipengaruhi oleh prinsip

alamiah proses seleksi alam dalam evolusionisme – “tidak lagi menghendaki” (not

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 18

Page 19: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

favour) bentuk negara-bangsa sebagai bentuk pengaturan nasional pada abad yang

baru ini. Kondisi negeri kita yang serba lemah di berbagai sektor mempermudah kita

menjadi rentan untuk “tidak lagi dikehendaki” dalam proses seleksi global.

3. PLURALISME DAN DIALOG ANTAR UMAT BERAGAMA

A. History

Pluralisme agama merupakan fenomena yang tidak bisa dihindari adanya dan

setiap agama muncul dalam lingkungan yang plural. Jika pluralisme agama tersebut tidak

disikapi secara tepat maka akan menimbulkan problem dan konflik antar umat beragama,

dan kenyataan ini telah terjadi pada agama-agama monotheis. Untuk mencari solusi

konflik antar umat beragama perlu adanya pendekatan-pendekatan yang tepat.

Bagaimanakah pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam upaya melerai konflik

antarumat beragama?

Tulisan ini hendak mengungkap problem pluralisme agama dan dialog antar umat

beragama beberapa pendekatan yang ditawarkan oleh para ahli. Pendekatan yang

digunakan dalam melerai konflik antar umat beragama sebagaimana yang ditawarkan

John Hick adalah pendekatan lintas agama (cross cultural), multikultural oleh Brian Fay,

esoterisme oleh Schuon dan Hossein Nasr dengan philosophia perennis-nya.

Secara historis, pada masa kolonial, masyarakat Muslim di kepulauan Nusantara

merasa terancam dengan kebijakan politik kolonial yang memberi perlindungan terhadap

kegiatan penyebaran agama Kristen. Akibatntya, hingga masa awal pasca kemerdekaan,

kecurigaan Muslim terhadap Kristen dan Katolik dengan mudah terbentuk Namun

demikian, keputusan para pendiri Republik Indonesia, yang sebagian besar juga terdiri

dari para pemuka agama Islam, untuk menetapkan Pancasila sebagai dasar negara dapat

ditunjuk sebagai upaya sungguh-sungguh dalam mencari sistem kenegaraan yang

menjamin kerukunan dan pluralisme keagamaan.1

Menurut Abu Rabi’, meski Islam telah menjadi kekuatan nilai dalam

menumbuhkan etos pluralisme keagamaan sejak Indonesia merdeka, potensi untuk

menjadi gerakan sosial yang mundur ke belakang dengan sentimen anti-Kristennya tetap

terbuka lebar. Berbagai kecenderungan dan pola pemikiran keislaman yang muncul

akhir-akhir ini menggambarkan posisi Islam yang berbeda-beda dalam berhadapan

dengan komunitas agama lain. Oleh sebab itu menurut Rabi’, aspirasi politik-keagamaan

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 19

Page 20: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

yang berkembang akan tetap membuka peluang bagi tumbuhnya gerakan sosial Islam

yang sulit menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, keterbukaan dan moderasi. Dan ini

merupakan tantangan yang semakin nyata seiring dengan perkembangan wacana

keagamaan pasca-modern.

Menurut Sudarto, pada masa kolonial, ketegangan dalam hubungan umat Islam

dan umat Kristen lebih dipicu oleh kegiatan penginjilan (misionaris) yang mendapat

bantuan besar dari pemerintahan penjajah Belanda, baik bantuan politik maupun

finansial. Sementara pada masa Orde lama ketegangan antar dua komunitas umat

beragama itu mencuat saat pembahasan UUD 1945 dan pada sidang Konstituante hasil

Pemilu 1955. Dalam pembukaan UUD 1945 telah ditetapkan tujuh kata yang bernuansa

islami, yang oleh kaum Kristen dianggap sebagai upaya pembentukan negara Islam, yang

pada akhirnya dihapuskan.

Berangkat dari perkembangan situasi umat beragama yang tidak menguntungkan,

maka pada 30 November 1967 diadakan “dialog dari atas” yang dipelopori oleh

Pemerintah melalui Menteri Agama, KH. Muhammad Dahlan. Tetapi dialog yang

melahirkan wadah “Musyawarah Antar Agama” itu belum dianggap berhasil

menyelesaikan konflik antar agama. Sampai pada periode berikutnya dialog itu

menemukan kembali momentum barunya pada masa Mukti Ali menjadi Menteri Agama

yang mencoba merumuskan dialog dengan berpijak pada iktikad baik dan sikap saling

percaya dari masing-masing komuitas agama. Dan karena itu, Mukti Ali menghidupkan

kembali wadah Musyawarah Antar agama dengan melibatkan lebih banyak tokoh dan

pemimpin agama.

Sebenarnya sejak awal Orde Baru hingga sekarang, baik atas prakarsa pemerintah

maupun masyarakat beragama itu sendiri, dialog antar umat beragama telah dibangun,

bahkan menjadi agenda nasional demi terciptanya stabilitas keamanan serta lancarnya

pembangunan , meskipun kemudian ada pihak yang menilai tidak berhasil, karena tidak

adanya kesepakatan bersama berkenaan dengan prinsip-prinsip penyebaran agama.

Bahkan masa antara tahun 1972-1977 tercatat pemerintah telah menyelenggarakan dialog

yang berlangsung di 21 kota.

Pada dekade tahun 1980-an hingga saat ini prakarsa dialog dalam mewujudkan

kerukunan antarumat beragama dan sosialisasi pemahaman pluralisme ini pun terus

dilakukan, baik oleh para tokoh agama, intelektual muda maupun pemerintah sendiri,

misalnya dialog yang diselenggarakan oleh International Conference on Religion and

Peace (ICRP) yang diprakarsai oleh Johan Efendi dan kawan-kawan, dialog

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 20

Page 21: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

kelembagaan (Institutional Dialogue), yakni dialog antar delegasi berbagai organisasi

agama yang melibatkan majelis-majelis agama yang diakui pemerintah, seperti Majelis

Ulama Indonesia (MUI), Persatuan Gereja Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja

Indonesia (KWI), Parisada Hindu Darma dan Perwalian Umat Budha Indonesia

(WALUBI) dan seterusnya; dialog berwacana transformatif yang sering dilakukan oleh

kalangan intelektual atau LSM seperti interfidei, paramadina, LKiS, LP3M, MADIA dan

lain-lain.

Tapi kenyataannya sampai sekarang, ketegangan dan kerusuhan yang disebabkan

oleh sentimen keagamaan (Islam-Kristen) di beberapa daerah, seperti di Situbondo,

Tasikmalaya, Ketapang, Kupang, Ambon, Poso, Maluku dan seterusnya yang

mengakibatkan hancurnya tempat-tempat ibadah seperti masjid, mushalla, dan gereja

semakin bertambah parah kondisinya. Padahal upaya Pemerintah RI. dalam

menyelesaikan masalah konflik di Poso, yang melahirkan wadah yang bernama

Perundingan Malino I dan ditindaklanjuti dengan Perundingan Malino II untuk

penyelesaikan konflik Maluku terus digalang. Dengan perundingan Malino II ini

diharapkan menghasilkan kemanfaatan yang berarti bagi terciptanya perdamaian dan

kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia. Tetapi upaya inipun, sebagaimana

yang kita saksikan bersama, belum juga mampu mengatasi dan mencegah timbulnya

kembali konflik antar umat beragama. Fenomena di atas menunjukkan kesenjangan (gap)

antara idealitas agama (das sollen) sebagai ajaran dan pesan-pesan suci Tuhan dengan

realitas empirik yang terjadi dalam masyarakat (das sein).

Seperti telah diketahui, bahwa dalam rangka membina dan memlihara kerukunan

antar umat beragama di Indonesia, pemerintah telah mencarikan jalan keluar melalui

pelbagai cara dan upaya, antara lain dengan menyelenggarakan dialog antartokoh agama;

memfungsikan pranata-pranata agama sebagai media penyalur gagasan dan ide. Salah

satu pranata agama yang selama ini diandalkan dalam menyalurkan program pemerintah

tersebut adalah tokoh-tokoh agama. Tokoh-tokoh agama ini mempunyai kedudukan dan

pengaruh besar di tengah-tengah masyarakatnya, karena mereka mempunyai beberapa

kelebihan yang dimiliki, baik dalam ilmu pengetahuan, jabatan, keturunan dan lain

sebagainya. Tokoh agama juga merupakan pemimpin informal dalam masyarakatnya,

dan secara umum mereka tidak diangkat oleh pemerintah tetapi ditunjuk atas kehendak

dan persetujuan dari masyarakat setempat.

Penelitian tentang “hubungan antarumat beragama” di Indonesia telah banyak

dilakukan, misalnya yang dilakukan oleh Qowa’id di Kalimantan Selatan. Penelitian ini

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 21

Page 22: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

bersifat deskriptif-evaluatif, yang berusaha menggambarkan pelaksanaan program dialog

antar umat beragama. Tujuan akhir dari pendekatan penelitian ini adalah, mengetahui

keberhasilan dan ketidakberhasilan dari pelaksanaan kegiatan program dialog dimaksud.

Data yang dihimpun meliputi: kelemahan dan kelebihan kegiatan serta faktor

penyebabnya. Sumber datanya mencakup tokoh agama dan tokoh masyarakat baik yang

pernah terlibat dialog maupun yang belum, pelaksana dialog dan pejabat pemerintah

setempat.

Secara umum kegiatan dialog berjalan dengan baik, walaupun dijumpai beberapa

kelemahan atau kekurangan di pelbagai tahapan dan aspek. Diantara kelemahannya

adalah, masalah persiapan pelaksanaan dialog oleh panitia yang masih kurang,

kurangnya wawasan nara sumber mengenai agama lain, minimnya waktu

penyelenggaraan, kurangnya fasilitas, kegiatan dan metode yang kurang variatif

(menjenuhkan), termasuk kuranya materi buku/ referensi yang aktual. Secara umum

kekurangan atau kelemahan tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa sebab, antara lain:

problem SDM yang masih relatif rendah, biaya dan fasilitas yang masih minim.

Keberhasilan dialog ini antara lain: mereka bisa saling mengenal, lebih mengetahui

berbagai problem yang dihadapi, bersedia saling mendengarkan dan saling introspeksi,

tenggang rasa (toleran) dan seterusnya.

Penelitian tentang “potret dialog antaragama di Jawa Timur” yang dilakukan

oleh Siti Zulaikha7 bertujuan mengetahui seberapa jauh gagasan dialog antarumat

beragama di Jawa Timur mampu mengatasi konflik sosial berbau SARA di lokal masing-

masing kota di Jawa Timur. Materi penelitian meliputi: 1) cara pandang aktvis dialog

antar agama terhadap agama; 2) membongkar cara pandang para aktivis dialog antar

agama terhadap sumber-sumber konflik agama yang berkembang di masyarakat; 3)

menggali sebanyak mungkin model dialog antar uamt beragama yang dikembangkan; 4)

mengukur sejauhmana implikasi yang muncul sebagai akibat dari gerakan yang telah

dilakukan.

Penelitian yang dilakukan oleh Ismatu Ropi mengenai “kesenjangan hubungan

Kristen-Islam di Indonesia” berusaha mengetahui sikap Muslim terhadap Kristen di

Indonesia modern. Penelitian ini juga ingin melihat hubungan Muslim-Kristen di

Indonesia. Penelitian M. Yahya terkait dengan “pemahaman masyarakat awam (Muslim-

Kristen) terhadap agama mereka di Kabupaten Malang” mengungkap respon masyarakat

awam (Muslim dan Kristen) terhadap dialog antar umat beragama yang sudah

berlangsung selama ini.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 22

Page 23: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

Penelitian tentang “peran tokoh agama dalam mewujudkan kerukunan hidup

antarumat beragama” juga dilakukan oleh Abdul Ghaffar Mahfuz di Pangkal Pinang.

Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui peran dan hubungan sosial antar tokoh

agama dalam rangka mewujudkan kerukunan hidup antarumat beragama di kecamatan

Bukit Intan Kotamadya Pangkal Pinang. Disamping itu penelitian ini juga

mengidentifikasi faktor-faktor yang turut mempengaruhi pola hubungan yang diciptakan

oleh para tokoh agama tersebut, baik faktor personalnya maupun faktor sosialnya;

bentuk-bentuk pranata sosial keagamaan yang dikembangkan oleh para tokoh agama.

Undang-undang Dasar memberikan kebebasan dalam beragama, dan pemerintah

pada umumnya menghargai pemakaian hak ini. Tidak ada perubahan dalam status

penghargaan pemerintah terhadap kebebasan beragama selama periode pembuatan

laporan, dan kebijakan pemerintah kian memberikan kebebasan secara umum dalam

beragama. Namun, saat sebagian besar penduduk menikmati tingkat kebebasan beragama

yang tinggi, pemerintah hanya mengakui enam agama besar. Beberapa larangan hukum

terus berlaku pada beberapa jenis kegiatan keagamaan tertentu dan pada agama-agama

yang tidak diakui. Beberapa larangan Pemerintah terkadang memberikan toleransi

terhadap diskriminasi dan perlakuan kejam atas kelompok-kelompok agama yang

dilakukan oleh kelompok-kelompok individu dan seringkali gagal menghukum para

pelakunya. Sementara itu, Aceh adalah satu-satunya propinsi yang diberikan wewenang

untuk melaksanakan hukum Islam (Syariah), beberapa pemerintah daerah di luar Aceh

mengeluarkan peraturan daerah yang melaksanakan elemen-elemen Syariah yang

menghapuskan hak-hak para perempuan dan agama minoritas. Pemerintah tidak

menggunakan wewenang konstitusionalnya atas masalah-masalah agama untuk meninjau

atau membatalkan peraturan-peraturan daerah ini. Orang-orang dari kelompok-kelompok

agama minoritas dan atheis terus mengalami diskriminasi dari negara, seringkali dalam

konteks pencatatan sipil untuk pernikahan dan kelahiran atau berkenaan dengan

pengeluaran kartu identitas.

Publik pada umumnya menghargai kebebasan beragama; namun, kelompok-

kelompok ekstrim menggunakan kekerasan dan intimidasi dalam memaksa delapan

gereja kecil yang tidak memiliki ijin dan satu masjid Ahmadiyah untuk ditutup. Selain

itu beberapa gereja dan tempat-tempat ibadah Ahmadiyah yang ditutup secara paksa oleh

massa pada tahun-tahun sebelumnya tetap ditutup. Beberapa pejabat pemerintah dan

organisasi massa Islam terus menolak penafsiran Ahmadiyah terhadap Islam yang

menimbulkan diskriminasi terhadap para pengikutnya. Banyak pelaku kekerasan

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 23

Page 24: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

terhadap pemeluk agama minoritas di masa lalu yang tidak diadili. Begitu pula pada

kejadian dimana kelompok ekstrimis yang menyerang dan mencoba meneror anggota

kelompok-kelompok agama lain yang terjadi di propinsi tertentu selama periode

pelaporan.

Pemerintah AS membahas masalah kebebasan beragama dengan Pemerintah

Indonesia sebagai bagian dari seluruh kebijakannya untuk menegakkan hak asasi

manusia. Kedutaan Besar AS menegakkan kebebasan dan toleransi beragama melalui

program pertukaran dan pengembangan masyarakat madani.

B. Demografi Agama

Sebagai negara kepulauan yang terdiri atas lebih dari 17.000 pulau, Indonesia

memiliki luas wilayah 700.000 juta mil persegi dan jumlah penduduk 245 juta. Menurut

laporan sensus tahun 2000, 88,2 persen penduduk menyatakan dirinya sebagai pemeluk

agama Islam, 5,9 persen Kristen Protestan, 3,1 persen Katolik Roma, 1,8 persen Hindu,

0,8 persen Budha, dan 0,2 persen ”lain-lain”, termasuk agama pribumi, kelompok

Kristen lain, dan Yahudi. Beberapa penganut agama Kristen, Hindu, dan anggota

kelompok agama minoritas lain berpendapat bahwa sensus tersebut kurang akurat dalam

menghitung jumlah nonmuslim. Pemerintah tidak mengakui atheisme.

Sebagian besar Muslim di negara ini adalah Suni. Orang Syiah memperkirakan

bahwa terdapat sekitar satu hingga tiga juta pengikut Syiah. Mayoritas komunitas

Muslim di negara ini mengikuti dua aliran utama: kaum modernis, yang sangat taat

kepada teologi ortodok yang tekstual, seraya merangkul ajaran dan konsep-konsep

moderen; dan kaum tradisionalis yang kerap kali mengikuti kyai kharismatik dan

berorganisasi di pesantren-pesantren. Organisasi sosial modernis terkemuka,

Muhammadiyah, mengklaim memiliki 30 juta pengikut, sementara organisasi sosial

tradisionalis terbesar, Nahdlatul Ulama, mengklaim mempunyai 40 juta pengikut.

Organisasi-organisasi Islam yang lebih kecil meliputi Jaringan Islam Liberal,

yang memiliki penafsiran ajaran sendiri, hingga kelompok seperti Hizbut Tahrir

Indonesia, yang mendukung kekhalifahan Islam, dan Majelis Mujahidin, yang

menyerukan penerapan Syariah Islam sebagai syarat terbentuknya negara Islam.

Minoritas kecil memeluk interpretasi Ahmadiyah terhadap Islam dan terdapat 242

cabang Ahmadiyah. Terdapat pula kelompok Islam sempalan, termasuk Darul Arqam,

Jamaah Salamullah, dan Lembaga Dakwah Islam Indonesia.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 24

Page 25: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

Departemen Agama memperkirakan bahwa ada 19 juta pemeluk Protestan (yang

disebut sebagai Kristen di negara ini) dan 8 juta pemeluk Katolik tinggal di negara ini.

Propinsi Nusa Tenggara Timur memiliki proporsi penganut Katolik tertinggi dengan 55

persen. Sementara itu, propinsi Papua memiliki proporsi penganut Kristen Protestan

terbesar, yaitu 58 persen.

Departemen Agama juga memperkirakan terdapat 10 juta pemeluk agama Hindu

yang hidup di negara ini. Agama Hindu dianut hampir 90 persen dari jumlah penduduk

Bali. Penganut Hindu minoriotas (yang disebut ”Keharingan”) tinggal di Kalimantan

Tengah dan Kalimantan Timur, kota Medan (Sumatera Utara), Sulawesi Selatan dan

Sulawesi Tengah, serta di Lombok (Nusa Tenggara Barat). Kelompok-kelompok Hindu

seperti Hare Krishna dan para pengikut pemimpin spiritual India Sai Baba juga ada,

walaupun dalam jumlah yang lebih kecil. Beberapa agama pribumi, termasuk ’Naurus’ di

Pulau Seram di propinsi Maluku yang berkaitan dengan kepercayaan Hindu dan

animisme dalam kebiasaan hidupnya. Banyak pula yang mengadopsi beberapa prinsip

Kristen Protestan. Komunitas Tamil di Medan juga mewakili sekelompok penting

pemeluk agama Hindu.

Negara ini memiliki sedikit pengikut Sikh yang berjumlah sekitar 10 hingga 15

ribu orang. Mereka sebagian besar bertempat tinggal di Medan dan Jakarta. Delapan kuil

Sikh (gurdwara) terletak di Sumatera Utara sementara di Jakarta terdapat dua kuil

dengan jamaah yang aktif melakukan ibadah.

Di antara penganut agama Budha, sekitar 60 persen mengikuti aliran Mahayana,

30 persen menjadi pengikut Theravada, dan 10 persen sisanya penganut aliran

Tantrayana, Tridharma, Kasogatan, Nichiren, dan Maitreya. Menurut Generasi Muda

Budhhis Indonesia, sebagian besar penganut agama Budha tinggal di Jawa, Bali,

Lampung, Kalimantan Selatan, dan Kepulauan Riau, etnis China merupakan 60 persen

dari penganut agama Budha.

Jumlah pengikut Konghucu masih tidak jelas karena pada saat sensus nasional

tahun 2000, para responden tidak diijinkan untuk menunjukkan identitas mereka. Jumlah

mereka mungkin terus bertambah setelah pemerintah menghapuskan berbagai larangan

di tahun 2000 seperti hak untuk merayakan Tahun Baru China di muka umum. Majelis

Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN) memperkirakan bahwa 95 persen dari

pengikut Konghucu adalah etnis China dan sisanya dari etnis Jawa pribumi. Banyak

pengikut Konghucu yang juga menjalankan ajaran agama Budha dan Kristen.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 25

Page 26: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

MATAKIN mendesak pemerintah untuk memasukkan Konghucu sebagai salah satu

kategori pada sensus berikutnya.

Sekitar 20 juta orang di pulau Jawa, Kalimantan, dan Papua diperkirakan

mempraktekkan animisme dan jenis sistem kepercayaan tradisional lainnya yang disebut

sebagai ’Aliran Kepercayaan”. Beberapa penganut animisme menggabungkan

kepercayaan mereka dengan salah satu agama yang diakui Pemerintah. Sejumlah kecil

komunitas Yahudi terdapat di Jakarta dan Surabaya. Komunitas Baha’i melaporkan

bahwa mereka memiliki ribuan anggota, tetapi tidak ada angka yang dapat diandalkan.

Perwakilan Falun Dafa mengklaim bahwa kelompok mereka lebih sebagai organisasi

spiritual daripada agama, memiliki 2.000 sampai 3.000 pengikut dan hampir setengahnya

tinggal di Yogyakarta, Bali, dan Medan. Tidak ada data mengenai agama yang dianut

warga asing dan para imigran. Sekitar 191 misionaris asing, terutama dari agama Kristen,

menjalankan misi di negara ini. Banyak yang bekerja di Papua, Kalimantan, dan di

wilayah-wilayah lain dengan jumlah penganut animisme besar.

C. Kerangka Hukum/Kebijakan

Undang-undang Dasar memberikan kebebasan beragama, dan pemerintah pada

umumnya menghargai pelaksanaan hak ini. UUD menyatakan bahwa ”Negara menjamin

kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk

beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” dan menyatakan pula bahwa

”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa’. Sila pertama ideologi nasional

negara ini, Pancasila, menyatakan keyakinan kepada satu Tuhan. Namun, terdapat

beberapa larangan pada jenis-jenis kegiatan agama tertentu dan pada agama-agama yang

tidak diakui. Pegawai negeri sipil harus menyatakan sumpah setia kepada bangsa dan

ideologi Pancasila. Pemerintah terkadang memberikan toleransi kepada kelompok-

kelompok ekstrim yang menggunakan kekerasan dan intimidasi terhadap kelompok-

kelompok agama, dan seringkali gagal menghukum para pelakunya. Pemerintah tidak

menggunakan wewenangnya untuk meninjau atau mencabut perturan daerah yang

melanggar kebebasan beragama.

Departemen Agama menambah status resmi menjadi enam keyakinan; Islam,

Katolik, Protestan, Budha, Hindu, dan sejak Januari 2006, Konghucu. Atheisme tidak

diakui. Organisasi-organisasi keagamaan selain dari keenam agama yang diakui tersebut

dapat mendaftar ke Departemen Kebudayaan dan Pariwisata hanya sebagai organisasi

sosial yang melarang kegiatan-kegiatan keagamaan tertentu. Kelompok-kelompok

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 26

Page 27: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

keagamaan yang tidak terdaftar tidak memiliki hak untuk mendirikan rumah ibadah dan

mengalami kesulitan-kesulitan administratif dalam mendapatkan kartu identitas dan

dalam mendaftarkan pernikahan dan kelahiran.

Pemerintah mensyaratkan kelompok-kelompok keagamaan yang diakui secara

resmi untuk mematuhi instruksi Departemen Agama dan departemen lainnya seperti

Surat Keputusan Bersama Menteri yang direvisi mengenai Pendirian Rumah Ibadat

(2006), Bantuan Asing kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia (1978) dan Pedoman

Penyiaran Agama (1978).

Pada tanggal 9 Desember 2006, DPR mensyahkan Undang-undang Administrasi

Kependudukan yang mengharuskan warganegara mengidentifikasikan diri mereka pada

KTP sebagai pemeluk salah satu dari enam agama yang diakui oleh Pemerintah. Undang-

undang tersebut melegalisir apa yang di masa lalu merupakan praktek administrasi di

seluruh negeri. Undang-undang tersebut tidak mengijinkan pencatuman agama lain

dalam KTP tersebut.

Surat Keputusan Bersama Menteri yang Direvisi tahun 2006 mengenai Pendirian

Rumah Ibadat yang dikeluarkan pada tanggal 21 Maret 2006 mengharuskan kelompok

agama yang hendak mendirikan rumah ibadat untuk mengumpulkan paling sedikit 90

tanda tangan anggota jemaat dan 60 tanda tangan dari pemeluk agama lain yagn berada

dalam komunitasnya yang mendukung pendirian rumah ibadat, serta mendapatkan

persetujuan kantor urusan agama setempat. Beberapa kelompok agama mengeluhkan

bahwa surat keputusan yang direvisi tersebut mempersulit mereka dalam mendirikan

rumah ibadat, sementara yang lain berpendapat bahwa kejelasan dalam surat keputusan

yang direvisi tersebut akan memperbaiki keadaan dengan menghilangkan penafsiran-

penafsiran yang menimbulkan konfik dari surat keputusan tahun 1969 yang

digantikannya.

Pedoman untuk Batuan Asing bagi Lembaga Keagamaan mengharuskan

lembaga keagamaan dalam negeri untuk mendapatkan persetujuan dari Departemen

Agama sebelum menerima dana dari donor asing. Pedoman Penyiaran Agama melarang

ajakan untuk berpindah agama dalam berbagai situasi. Undang-undang Perlindungan

Anak tahun 2002 menjadikan upaya untuk mengubah keyakinan anak pindah agama

melalui ”tipu muslihat” dan/atau ”kebohongan” sebagai kejahatan yang dapat dikenai

hukuman hingga 5 tahun penjara.

Pasal 156 KUHP membuat penyebaran permusuhan, penodaan, dan penghinaan

terhadap suatu agama dapat dikenai hukuman hingga 5 tahun penjara. Walaupun hukum

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 27

Page 28: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

diterapkan terhadap semua agama yang diakui secara resmi, namun pasal ini biasanya

berlaku pada kasus-kasus yang melibatkan penghinaan dan penodaan terhadap Islam.

Masalah penerapan Syariah Islam menimbulkan kontroversi dan keprihatinan

selama periode pelaporan. Aceh tetap merupakan satu-satunya propinsi dimana

pemerintah pusat secara khusus memberikan wewenang untuk penerapan Syariah Islam.

Keputusan Presiden No. 11/2003 secara formal mengesahkan Pengadilan Syariah di

Aceh. Namun, beberapa pemerintahan daerah secara resmi memberlakuan peraturan

daerah yang diilhami oleh syariah Islam.

Menurut Koalisi Perempuan Indonesia, paling sedikit ada 46 peraturan daerah

berbasis syariah yang telah dikeluarkan pemerintah daerah. Ini mencakup peraturan yang

mewajibkan perempuan untuk mengenakan penutup kepala di muka umum;

memerintahkan para pejabat terpilih, pelajar, pegawai negeri, dan penduduk yang ingin

mendapatkan ijin nikah untuk dapat membaca Qur’an dalam bahasa Arab; dan melarang

meminum minuman beralkohol dan berjudi. Selama periode pelaporan, pemerintah tidak

menggunakan hak hukumnya dalam masalah-masalah keagamaan untuk meninjau atau

membatalkan peraturan-peraturan kontroversial ini yang bertentangan dengan UUD.

Misalnya, menurut seorang pejabat senior pemda, 18 dari 22 kabupaten di

Sulawesi Selatan mengadopsi aspek-aspek hukum syariah Islam. Penerapannya berkisar

antara pelaksanaan cara berbusana Islami bagi perempuan di muka umum hingga

larangan minuman beralkohol dan perjudian. Kabupaten Bulukumba di Sulawesi Selatan

memiliki empat peraturan daerah yang melaksanakan elemen-elemen Syariah untuk

semua Muslim. Kabupaten Bulukumba dan Bone telah melaksanakan elemen-elemen

khusus dimana kepala desa, calon kepala daerah, pelajar sekolah menengah, dan mereka

yang ingin mendapatkan ijin nikah harus dapat membaca Qur’an dalam literatur Arab. Di

Padang, Sumatera Barat, walikota menginstruksikan semua muslimah untuk mengenakan

penutup kepala dan pihak berwenang setempat memberlakukan persyaratan ini.

Peraturan tersebut tidak berlaku bagi non-muslim. Beberapa kabupaten telah

mengeluarkan peraturan yang menghalangi perempuan mendapatkan layanan umum

pemerintah jika mereka tidak mengenakan penutup kepala. Beberapa tempat lain

memiliki peraturan daerah yang serupa dengan Kabupaten Bulukumba.

Peraturan daerah di Kabupaten Pamekasan, Madura mengharuskan para pegawai

negeri sipil yang beragama Islam mengenakan busana Muslim dan menghentikan baik

aktivitas publik maupun pekerjaan saat azan tiba.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 28

Page 29: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

Di Tangerang, propinsi Banten, larangan bermesraan di muka umum, minuman

beralkohol, dan prostitusi terus diberlakukan. Larangan-larangan ini berlaku bagi Muslim

maupun nonmuslim. Pasal anti-prostitusi yang kontroversial secara tidak jelas

mendefinisikan seorang pelacur sebagai orang yang menimbulkan kecurigaan

berdasarkan sikap, perilaku, atau pakaian dan membebankan mereka yang dicurigai

untuk membuktikan bahwa mereka tidak bersalah. Kelompok advokasi menantang

konstitusionalitas peraturan Tangerang, tetapi pada bulan Maret 2007, Mahkamah Agung

menguatkan larangan tersebut.

Pada bulan Oktober 2005, Kantor Wilayah Departemen Agama di Nusa Tenggara

Barat mengeluarkan larangan terhadap 13 kelompok keagamaan, termasuk Ahmadiyah,

Saksi Yehova, Hare Krishna, dan 9 bentuk aliran kepercayaan sebagai penyimpangan

terhadap Islam, Kristen, dan Hindu. Larangan ini masih berlaku.

Selama periode pelaporan, panitia khusus DPR terus melakukan peninjauan

terhadap versi revisi racangan undang-undang anti pornografi dan pornoaksi. Undang-

undang ini pada awalnya diperkenalkan pada tahun 2004 sebagai Undang-undang Anti

Pornografi dan Pornoaksi dan melarang sikap mempertunjukkan ”bagian tubuh yang

sensual,” berciuman di muka umum, dan semua tulisan, karya seni, rekaman, atau siaran-

siaran yang dengan jelas menampilkan seksualitas, dimana semuanya didefinisikan

secara luas. Rancangan undang-undang tersebut mengundang debat nasional dan

menimbulkan demonstrasi-demonstrasi besar baik yang mendukung maupun yang

menentang. Para penentang undang-undang tersebut mengatakan undang-undang ini

sebagai suatu usaha para pendukung undang-undang syariah untuk melaksanakan ayariah

secara tidak langsung. Pada bulan Februari 2006, anggota legislatif Indonesia diberitakan

telah merevisi RUU tersebut dengan mempertimbangkan tradisi-tradisi budaya dan

sensitivitas masyarakat setempat serta merubah nama undang-undang tersebut menjadi

Undang-undang Pornografi.

Undang-undang Perkawinan tahun 1974 melarang pegawai negeri melakukan

poligami kecuali dalam keadaan-keadaan terbatas. Undang-undang perkawinan untuk

umat Islam diambil dari syariah yang mengijinkan seorang pria memiliki hingga empat

orang istri, dengan syarat ia mampu bersikap adil. Seorang pria yang menikahi istri

kedua, ketiga atau keempatnya harus mendapatkan ijin pengadilan dan ijin dari istri

pertamanya; namun, pada prakteknya hal ini selalu tidak dipenuhi. Banyak perempuan

yang dilaporkan sulit untuk menolak, dan kelompok perempuan muslim tetap terbagi dua

antara yang mendukung perlunya sistem ini direvisi dengan yang tidak mendukung.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 29

Page 30: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

Perceraian tetaplah merupakan pilihan hukum yang tersedia bagi pengikut semua

agama, tetapi Muslim yang ingin bercerai umumnya harus melalui Pengadilan Agama

Islam, sementara nonmuslim dapat bercerai melalui pengadilan umum. Pada kasus-kasus

perceraian, terbukti bahwa perempuan seringkali menanggung beban yang lebih berat

dibandingkan pria, khususnya dalam sistem pengadilan agama berdasarkan hukum Islam.

Undang-undang mengharuskan mantan suami untuk memberikan tunjangan atau yang

setara, tetapi tidak terdapat mekanisme pelaksanaannya dan perempuan yang diceraikan

jarang menerimanya.

Pada bulan Desember 2006, seorang ulama Muslim terkemuka, Aa Gymnastiar,

mengumumkan bahwa ia telah menikahi istri keduanya. Pernikahan kedua Gymnastiar

menjadi masalah nasional ketika buntut dari pemberitaan tersebut, Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono memanggil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan para pejabat

dari Departemen Agama untuk membahas kontroversi atas pernikahan poligami. Sejak

itu Departemen Pemberdayaan Perempuan mengumumkan bahwa Pemerintah sedang

mempertimbangkan untuk memperluas larangan berpoligami hingga mencakup semua

pejabat negara, termasuk anggota parlemen dan para prajurit. Usulan tersebut menerima

dukungan antusias dari Muslim yang berpikir maju dan dari banyak kalangan

perempuan, tetapi menadapatkan tentangan keras dari para konservatif agama yang

berpendapat bahwa poligami diijinkan dalam Islam dan karena itu tidak boleh dilarang

oleh hukum sekuler.

Pemerintah mengijinkan praktek sistem keyakinan tradisional Aliran

Kepercayaan sebagai manifestasi budaya, bukan sebagai suatu agama. Para pengikut

Aliran Kepercayaan harus mendaftar ke Departemen Pendidikan. Pihak berwenang

daerah pada umunya menghargai penganut Aliran Kepercayaan ini dalam

mempraktekkan keyakinannya.

Pada tanggal 28 Juni 2007, Pemerintah mengeluarkan Peraturan No. 37/2007

yang mengacu ke Undang-undang Administrasi Kependudukan dan Perkawinan.

Peraturan baru mengijinkan para pemuka Aliran Kepercayaan untuk memimpin upacara

perkawinan dan meminta kantor catatan sipil untuk mendaftarkan ijin nikah yang

ditandatangani oleh pemimpin perkawinan tersebut, sehingga membuat perkawinan-

perkawinan ini diakui secara resmi. Namun, peraturan pelaksanaan atau panduan teknis

lain belum dikeluarkan hingga akhir periode pembuatan laporan.

Pemerintah nasional secara resmi tidak melarang kegiatan Ahmadiyah, tetapi

beberapa pemerintah daerah melarangnya. Walaupun yurisdiksi pemerintah pusat

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 30

Page 31: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

meliputi urusan-urusan keagamaan, masalah administrasi kian sulit mengambil posisi

yang jelas atas larangan-larangan daerah terhadap Ahmadiyah tersebut.

Beberapa hari raya umat Islam, Kristen, Hindu, dan Budha menjadi hari libur

nasional. Hari besar Islam yang diakui mencakup Isra’ Mi’raj, Idul Fitri, Idul Adha,

Tahun Baru Islam, dan Maulid Nabi Muhammad SAW. Hari besar Kristen adalah Natal,

Wafatnya Isa Almasih, dan Kenaikan Isa Almasih. Tiga hari libur nasional lainnya

adalah hari raya Nyepi umat Hindu, Hari Raya Waisak umat Budha, dan Tahun Baru

Cina (Imlek) yang dirayakan oleh pemeluk Konghucu dan masyarakat Tionghoa lainnya.

Di Bali, semua hari raya Hindu adalah hari libur daerah, dan PNS serta pegawai lainnya

tidak bekerja pada hari Saraswati, Galungan dan Kuningan.

Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, sepanjang bulan puasa Ramadhan Muslim,

banyak Pemerintah daerah yang memerintahkan penutupan atau pengurangan jam

operasi berbagai tempat hiburan. Pada tahun 2006 di Jakarta, lagi-lagi SK gubernur

memerintahkan penutupan bar-bar bukan hotel, diskotik, klub malam, spa sauna, panti

pijat, dan pertunjukan musik hidup selama sebulan. Tempat-tempat biliar, bar karaoke,

bar hotel, dan diskotik diijinkan untuk beroperasi maksimal empat jam per malam.

Beberapa pemeluk agama minoritas dan sebagian Muslim yakin bahwa peraturan ini

melanggar hak-hak mereka.

Berdasarkan UU No. 17/1999, pemerintah memiliki monopoli atas

penyelenggaraan ibadah Haji. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa Departemen

Agama bertanggung jawab untuk memberikan bimbingan, layanan, dan perlindungan

kepada mereka yang sedang menunaikan ibadah Haji. Departemen juga menetapkan

biaya berkaitan dengan Haji dan mengeluarkan paspor haji.

Pada tahun 2003, pemerintah mengeluarkan Undang-undang Pendidikan

Nasional. Pada akhir periode pembuatan laporan, Presiden tidak menandatangani

peraturan pelaksanaan mengenai pengajaran agama dan pendidikan agama. Peraturan ini

memerintahkan pengajaran agama dalam salah satu dari enam agama resmi saat diminta

oleh seorang pelajar. Undang-undang sebelumnya mengharuskan semua siswa untuk

mengambil pelajaran agama dalam salah dari lima agama, yaitu Islam, Katolik,

Protestan, Budha, dan Hindu.

Pemerintah melarang ajakan untuk pindah agama dengan alasan bahwa kegiatan

tersebut, khususnya di wilayah-wilayah yang didominasi oleh anggota agama lain,

terbukti mengganggu. Pada tahun 1979 Departemen Agama dan Departemen Dalam

Negeri mengeluarkan surat keputusan yang melarang usaha-usaha permurtadan.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 31

Page 32: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

Pemerintah membentuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1975 dan

terus mendanai dan menunjuk para anggotanya. MUI bukanlah badan resmi pemerintah.

Namun, maklumat atau fatwa-fatwanya dijadikan dasar bimbingan moral bagi umat

Islam. Walaupun pendapat-pendapat MUI tidak mengikat secara hukum, masyarakat dan

pemerintah secara serius mempertimbangkan mereka saat membuat berbagai keputusan

atau menyusun undang-undang. Di tahun 2005, MUI nasional mengeluarkan 11 fatwa,

termasuk sebuah fatwa yang melarang Ahmadiyah. Fatwa-fatwa tersebut sangat

berpengaruh pada diskriminasi resmi dan sosial terhadap Ahmadiyah dan kelompok

agama minoritas lainnya selama periode pelaporan.

Periode pembuatan laporan, beberapa pejabat pemerintah dan para pemimpin

politik terkemuka berinteraksi di forum-forum dan seminar-seminar publik dengan para

pemuka agama dan kelompok antar agama seperti Gerakan Anti Diskriminasi Indonesia

(GANDI) dan Solidaritas Nusa Bangsa. Undang-undang tidak mendiskriminasikan

kelompok agama apapun dalam lapangan pekerjaan, perumahan, atau layanan kesehatan.

D. Pembatasan-pembatasan terhadap Kebebasan Beragama

Kebijakan dan tindakan pemerintah berpengaruh pada praktek praktek beragama

yang secara umum bebas. Namun, kebijakan-kebijakan, undang-undang, dan tindakan-

tindakan resmi tertentu membatasi kebebasan beragama, dan pemerintah terkadang

mentolerir diskriminasi dan kekerasan terhadap para individu dikarenakan keyakinan

agama mereka yang dilakukan oleh para pelaku individu. Tidak ada laporan mengenai

adanya penahanan para pelaku tersebut di negara ini.

Pemerintah mengharuskan semua warga negara dewasa untuk membuat Kartu

Tanda Penduduk (KTP) yang, antara lain, menunjukkan identitas agama. Pemeluk agama

yang tidak diakui pemerintah umumnya tidak dapat memperoleh KTP kecuali bila

mereka mengaku sebagai pengikut dari agama yang diakui. Selama periode pelaporan,

kelompok hak asasi manusia terus menerima laporan sporadis bahwa ada petugas

Catatan Sipil daerah yang menolak pengajuan permohonan pemeluk agama yang tidak

diakui pemerintah atau agama minoritas. Yang lainnya menerima permohonan tetapi

mengeluarkan KTP-KTP yang mencatumkan keterangan yang tidak akurat mengenai

agama pemohon. Beberapa penganut animisme menerima KTP yang menyebutkan

bahwa mereka beragama Islam. Banyak penganut Sikh yang dicantumkan sebagai

penganut Hindu dalam KTP dan akte perkawinan mereka karena pemerintah tidak secara

resmi mengakui agama mereka. Warganegara yang tidak memiliki KTP mendapati

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 32

Page 33: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan. Sebagian organisasi swadaya masyarakat dan

kelompok advokasi agama terus mendesak pemerintah untuk menghapus kategori agama

dalam KTP.

Sistem pencatatan sipil membatasi kebebasan beragama orang yang tidak

menganut salah satu dari enam agama yang diakui; animisme, Baha’i, dan penganut

kepercayaan minoritas lain mengalami kesulitan dalam mendaftarkan perkawinan atau

kelahiran, meskipun terdapat peraturan pada bulan Juni 2007 yang berkaitan dengan

administrasi perkawinan dan sipil. Pada prakteknya, pasangan yang dihalangi untuk

mendaftarkan pernikahan mereka atau kelahiran seorang anak sesuai dengan keyakinan

mereka masuk ke dalam agama yang diakui atau menyatakan seolah-olah mereka

penganut salah satu dari enam agama yang diakui. Mereka yang memilih untuk tidak

mencatatkan perkawinannya atau kelahiran anaknya di masa mendatang akan menemui

kesulitan seperti: seorang anak yang tidak memiliki akte kelahiran tidak dapat masuk

sekolah dan tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan beasiswa. Mereka yang tidak

memiliki akte kelahiran tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan pekerjaan di kantor

pemerintahan.

Pria dan wanita beda agama akan terus menghadapi hambatan untuk menikah dan

mendaftarkan pernikahan mereka secara resmi. Para pasangan ini mengalami kesulitan

dalam mencari pemuka agama yang bersedia melaksanakan upacara pernikahan antar

agama; upacara pernikahan agama harus dilakukan sebelum suatu pernikahan dapat

didaftarkan. Akibatnya, sebagian orang berpindah agama untuk dapat menikah. Lainnya,

menikah di luar negeri dan kemudian mendaftarkan pernikahannya di Kedutaan Besar

Indonesia. Meskipun merupakan sebagai salah satu agama yang diakui secara resmi,

umat Hindu mengatakan bahwa seringkali mereka harus menempuh jarak yang jauh

untuk mendaftarkan pernikahan mereka karena di banyak daerah pedalaman karena

pemerintah daerahnya tidak dapat atau tidak mau melakukan pencatatan.

Kelompok keagamaan dan organisasi sosial harus mendapatkan ijin untuk

mengadakan konser keagamaan atau kegiatan lainnya di hadapan publik. Pemerintah

biasanya memberikan ijin dengan cara yang tidak berat sebelah kecuali terdapat

kekhawatiran bahwa kegiatan tersebut akan menimbulkan kemarahan kelompok agama

lain di wilayah tersebut.

Ceramah agama dapat diberikan jika disampaikan ke penganut agama yang sama

dan tidak dimaksudkan untuk mengajak orang pindah keyakinan. Program keagamaaan

yang ditayangkan di televisi tetap dibatasi, dan pemirsa dapat menyaksikan program

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 33

Page 34: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

religi yang ditawarkan oleh agama manapun yang diakui. Tidak ada batasan atas

publikasi materi keagamaan atau penggunaan simbol-simbol agama; namun, pemerintah

melarang penyebaran materi-materi keagamaan kepada pemeluk agama lain.

Tentara Nasional Indonesia menyediakan sarana dan program keagamaan,

termasuk kebaktian dan pertemuan keagamaan di semua komplek perumahan bagi

prajurit yang melakukan ibadah agama yang diakui secara resmi. Walaupun setiap

komplek perumahan militer wajib menyediakan masjid, gereja Katolik dan Protestan,

dan pusat ibadah atau kuil untuk umat Budha dan Hindu, kompleks perumahan yang

lebih kecil jarang menyediakan sarana ibadah untuk keenam agama.

Sejak pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama yang direvisi

mengenai Pendirian Rumah Ibadat pada bulan Maret 2006, yang merupakan revisi surat

keputusan tahun 1969, pelaksanaan dan pembelaan hak-hak yang diberikan di bawah

SKB tersebut tidak selalu dilaksanakan di tingkat daerah. Selama periode pelaporan,

sebagian umat Kristiani dan Hindu menunjukkan adanya tindakan diskriminasi secara

sporadis, dimana pemerintah daerahnya menolak memberikan ijin pembangunan gereja

dan kuil walaupun kelompok tersebut telah mengumpulkan tanda tangan sesuai dengan

yang diminta. Misalnya, Parisadha Hindu Dharma Indonesia melaporkan bahwa mereka

tetap tidak bisa mendirikan sebuah kuil di dekat Jakarta walaupun telah mengumpulkan

persyaratan tanda tangan yang diminta.

Di Aceh, upaya untuk mendidik masyarakat tentang syariat dan pelaksanaannya

terus dilakukan. Selama bulan Ramadan, penjaga toko menutup usaha mereka untuk

sholat Zuhur dan rumah makan tetap tutup sepanjang hari. Propinsi Aceh mengerahkan

ratusan polisi syariat untuk menegakkan syariat. Mereka bekerjasama dengan polisi

pamong praja untuk menyelidiki dan mengusut berbagai pelanggaran. Kadang polisi

syariat menahan beberapa orang untuk ”mendidik masyarakat” jika tertangkap tidak

berbusana Muslim atau berkencan tanpa didampingi muhrimnya, tetapi polisi pada

umumnya tidak menahan atau menuntut mereka dengan dakwaan pidana. Kota Banda

Aceh tidak lagi mengerahkan ”Brigade Masjid” untuk mengawasi penggunaan pakaian

Muslim yang pantas. Pada tanggal 17 Agustus 2006, 15 petugas polisi syariat dan 10

anggota polisi merazia kompleks perumahan Program Pangan Dunia PBB di Banda

Aceh. Alasan dilakukannya razia tersebut beragam karena dilaporkan berkaitan dengan

narkoba atau alkohol.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 34

Page 35: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

Organisasi keagamaan asing harus mendapatkan ijin Departemen Agama untuk

memberikan jenis bantuan apapun (barang, orang, atau uang) kepada kelompok-

kelompok keagamaan.

Misionaris asing harus mendapatkan visa tinggal terbatas untuk rohaniawan.

Sebagian kelompok Kristen mengatakan bahwa misionaris Kristiani menemui kesulitan

untuk mendapatkan atau memperpanjang visa. Persyaratan untuk visa tinggal terbatas

untuk rohaniawan lebih sukar diperoleh daripada visa kategori lain. Mereka tidak hanya

meminta persetujuan dari kantor wilayah Departemen Agama, mulai dari tingkat daerah

hingga ke pusat, tetapi juga data statistik tentang jumlah pemeluk agama tersebut di

masyarakat dan pernyataan yang menegaskan bahwa pemohon tidak akan bekerja lebih

dari dua tahun di negara ini sebelum digantikan oleh warganegara setempat. Misionaris

asing yang mendapatkan visa tersebut bekerja relatif tanpa hambatan. Banyak misionaris

yang fokus utama kegiatannya pada pembangunan berhasil memperoleh visa kunjungan

sosial di Departemen Kesehatan atau Departemen Pendidikan Nasional.

E. Penyalahgunaan Kebebasan Beragama

Selama periode pelaporan, ada laporan-laporan mengenai penyalahgunaan

kebebasan beragama di seluruh wilayah negara ini. Selama periode pelaporan, seperti

pada periode sebelumnya, pemerintah terus secara jelas dan tegas melarang kebebasan

beragama kelompok-kelompok yang berkaitan dengan bentuk-bentuk Islam yang

dipandang di luar aliran utama. Selama periode pelaporan pula, pemerintah menahan dan

menuntut beberapa orang dengan tuduhan aliran sesat, penghujatan, dan penghinaan

terhadap Islam.

Pada bulan Mei 2007, di Kabupaten Lebak, Jawa Barat, Departemen Agama

menghimbau pengikut ajaran ”Islam Sejati” untuk kembali kepada ajaran Islam yang

benar. Beberapa hari kemudian, pada tanggal 15 Mei 2007, MUI Propinsi Banten, Jawa

Barat, mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa kelompok tersebut menyimpang

karena para anggotanya hanya sholat tiga kali sehari dan tidak menghadap ke Kiblat

ketika melaksanakan sholat.

Selama periode pelaporan, 187 anggota Ahmadiyah terus hidup di penampungan

pengungsi di Mataram, Lombok. Mereka telah hidup di kamp tersebut sejak adanya

serangan yang dilakukan oleh Muslim setempat pada bulan Februari dan Maret 2006

yang menghancurkan rumah-rumah dan masjid mereka. Perwakilan Ahmadiyah di

Lombok mengangkat masalah keamanan pada tanggal 24 Juli 2006 dengan perwakilan

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 35

Page 36: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

Konsulat Australia di Bali. Mereka meminta suaka dari penyiksaan Muslim setempat.

Pada bulan Mei 2007, Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat menyatakan bahwa

Ahmadiyah diijinkan oleh hukum untuk mencari suaka di negara lain.

Kekerasan dan tindakan terhadap komunitas Ahmadiyah meningkat setelah MUI

mengeluarkan fatwanya di bulan Juli 2005 yang menyatakan Ahmadiyah sebagai aliran

sesat. Di tahun 2005 sejumlah kebijakan, undang-undang, dan tindakan resmi

membatasi kebebasan beragama komunitas Ahmadiyah di wialayah-wilayah lain.

Walaupun dengan penjagaan ketat aparat ketika terjadi dua serangan atas jamaah

Ahmadiyah di Jawa Barat pada bulan Juli, polisi tidak menahan siapapun. Pemerintah

daerah kemudian memberlakukan larangan terhadap Ahmadiyah di Jawa Barat, dan

mereka tidak diperkenankan menggunakan komplek ibadah mereka. Pada masa akhir

periode pembuatan laporan, tidak ada tindakan yang diambil terhadap para pelaku

peristiwa tersebut. Pemerintah terus mentolerir diskriminasi dan kekejaman terhadap

Ahmadiyah dengan tetap diam mengenai fatwa MUI tahun 2005, status hukum

Ahmadiyah, dan larangan oleh pemerintah daerah.

Puluhan orang di Pasuruan, Jawa timur, mendatangi dua rumah milik M. Thoyib

dan Rochamim pada tanggal 9 April 2007, dan menuduh mereka mempraktekkan

animisme. Kedua pria tersebut sebelumnya menjalankan agama Islam, tetapi kemudian

diduga keras memeluk animisme dan melaksanakan upacara ritual animisme di makam-

makam. Para tetangga mengadukan mereka sebagai pelaku ajaran sesat. Polisi setempat

menahan dan menanyai keduanya mengenai kegiatan mereka. Mereka tidak ditahan atau

dikenai tuduhan; tetapi, keduanya memilih tetap berada dalam penjagaan polisi demi

keselamatan mereka sendiri selama dua minggu sebelum kembali ke rumah.

Pada bulan April 2007, Kepolisian Wilayah Malang menahan delapan orang yang

dituduh menyebarkan video ”pelatihan doa” yang dibuat oleh Lembaga Pelayanan

Mahasiswa Indonesia di Batu, Jawa Timur. Video tersebut diduga menggambarkan 30

umat Kristiani yang diperintahkan oleh pemimpin mereka untuk meletakkan Al Qur’an

di lantai pada pertemuan di bulan Desember 2006. Setelah penahanan awal, 33 orang

kembali ditahan dengan tuduhan penistaan agama berkaitan dengan video-video tersebut.

Para pemuka gereja Kristen membantah dugaan bahwa Kristen terlibat dalam pembuatan

atau penyebaran video-video tersebut. Di akhir periode pembuatan laporan, 41 orang

yang ditahan masih menunggu sidang pengadilan.

Pada tanggal 28 Juni 2006, Pengadilan Negeri Polewali, Sulawesi Selatan,

menjatuhkan hukuman kepada Sumardi Tappaya, seorang guru agama Islam sebuah

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 36

Page 37: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

SMU, dengan 6 bulan penjara untuk penghinaan agama setelah seorang kerabat

menuduhnya sholat sambil bersiul. MUI setempat menyatakan bahwa perbuatan itu

sesat. Guru tersebut telah selesai menjalani hukumannya.

Pada tanggal 29 Juni 2006, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum Lia

Eden, seorang pemimpin Kelompok Jamaah Salamullah, dengan 2 tahun penjara untuk

penodaan terhadap ajaran agama. MUI mengeluarkan fatwa pada tahun 1997 yang

menyatakan bahwa ajaran Jamaah Salamullah sesat.

Pers melaporkan bahwa pada bulan Mei 2006, DPRD Banyuwangi, Jawa Timur

melakukan pengambilan suara untuk memecat Bupati Banyuwangi, Ratna Ani Lestari.

Ratna yang terlahir sebagai seorang Muslim, oleh para pelaku pemecatan dituduh

menghina Islam dengan mempraktekkan agama yang berbeda dari yang disebutkan

dalam KTP-nya. Para pendukung Ratna menyatakan bahwa Ratna adalah sasaran

kampanye pemfitnahan bermotivasi agama disebabkan pernikahannya dengan pria

Hindu. Ratna tetap menjadi bupati karena pengadilan menyatakan bahwa tidak cukup

quorum saat pengambilan suara dilakukan. DPRD naik banding ke Mahkamah Agung

yang hingga akhir periode pelaporan belum mengeluarkan keputusannya.

Pada tangga 12 April 2006, polisi di Banyuwangi, Jawa Timur, menahan lima

aktivis Falun Dafa, dua di antaranya orang asing, yang membagikan surat edaran kepada

penduduk setempat. Kemudian polisi mengaku bahwa penahanan kelima orang itu

karena isi edaran memuat informasi mengenai partai Komunis Cina dan bukan karena

mereka aktivis anggota Falun Dafa; mendistribusikan tulisan tentang Komunis tetap

dilarang. Kelima aktivis Falun Dafa tersebut kemudian dibebaskan dan tidak ada tuduhan

yang diajukan.

Sepanjang tahun 2006 Pemerintah Aceh menghukum cambuk setidaknya 25

orang karena meminum minuman beralkohol, 59 orang karena berjudi, dan 32 orang

karena berdua-duaan dengan lawan jenis yang tidak memiliki hubungan darah.

Forum Komunikasi Kristen Indonesia mengaku bahwa delapan gereja kecil tidak

berijin di Jawa Barat telah ditutup selama periode pelaporan oleh kelompok ekstrimis

Muslim walaupun dalam peraturan yang direvisi rumah ibadah diberikan tenggang waktu

2 tahun untuk mendapatkan ijin setiap permohonan baru. Pada tahun 2006, kelompok

militan menutup dua gereja secara paksa tanpa intervensi polisi. Penutupan 20 gereja

lainnya pada tahun 2006 di bawah tekanan kelompok militan setelah pengumuman surat

keputusan yang direvisi tetap ditutup, menurut Forum tersebut. Walaupun ada penjagaan,

polisi jarang bertindak untuk mencegah penutupan gereja secara paksa dan terkadang

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 37

Page 38: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

membantu para kelompok militan melakukan penutupan tersebut. Di awal Juni 2006,

Pemerintah pusat mengumumkan niatnya untuk mengambil tindakan keras terhadap

kelompok militan agama tersebut atas perilaku membahayakan mereka terhadap tempat-

tempat ibadah dan sasaran lainnya. Di akhir periode pembuatan laporan, tidak ada

laporan khusus mengenai tindakan yang diambil.

Pada bulan November 2005, polisi setempat menahan seorang asing dan seorang

WNI yang bekerja pada proyek kemanusiaan Kristen untuk pembangunan bendungan di

pulau Madura. Polisi bertindak setelah pemuka agama setempat menuduh keduanya

melakukan permurtadan. Tuduhan dipicu kecemburuan para pemuka agama karena

masyarakat mereka tidak menerima proyek serupa. Jaksa mendakwa sang WNI, yang

terus mengenalkan versi bukan Islam tradisional kepada masyarakat, dengan tuduhan

penghinaan terhadap suatu agama, dan pengadilan menghukumnya 2 ½ tahun penjara.

Orang asing tersebut dijatuhi hukuman untuk pelanggaran keimmigrasian dan dihukum 5

½ bulan, dan dideportasi.

Pada bulan Oktober 2005, polisi di Sulawesi Tengah mendatangi aliran Madi

setelah penduduk dari desa tetangga mengeluh bahwa para pengikut aliran tersebut tidak

berpuasa atau melaksanakan sholat taraweh selama bulan Ramadan. Tiga polisi dan dua

anggota aliran tewas dalam bentrokan. Pengikut aliran tersebut diberitakan menahan dua

petugas kepolisian sebagai tawanan tetapi kemudian dilepaskan. Lima pengikut aliran

Madi diadili oleh pengadilan daerah dengan tuduhan menyebabkan kematian personil

polisi; pada bulan Januari 2006, mereka dijatuhi hukuman penjara antara 9 hingga 12

tahun.

Pada bulan September 2005, pengadilan di Jawa Timur menghukum enam terapis

narkoba dan kanker di sebuah pusat rehabilitasi di Jawa Timur dengan hukuman masing-

masing 5 tahun penjara dan tambahan 3 tahun penjara atas dakwaan melanggar ajaran

Islam dengan menggunakan metode penyembuhan paranormal. MUI setempat

menyatakan bahwa metode penyembuhan pusat rehabilitasi mereka sesat. Polisi

menahan para terapis saat mereka berusaha mempertahankan diri dari serangan ratusan

orang ke kantor mereka. Pusat rehabilitasi tersebut ditutup dan keenam penasehat mulai

menjalankan hukuman mereka selama periode pelaporan.

Pada bulan Agustus 2005, Pengadilan Negeri Malang, Jawa Timur, menvonis

Muhammad Yusman Roy dua tahun penjara karena sholat menggunakan dua bahasa,

yaitu Indonesia dan Arab, yang oleh MUI dinyatakan sebagai hal yang menodai keaslian

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 38

Page 39: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

ajaran Islam yang berbahasa Arab. Roy bebas dari penjara pada tanggal 9 November

2006 setelah menjalani masa tahanan selama 18 bulan.

Pada bulan Juni 2005, polisi mendakwa dosen Universitas Muhammadiyah di

Palu atas tuduhan penghinaan. Mereka menahannya selama 5 hari kemudian

menetapkannya sebagai tahanan rumah, setelah 2.000 orang memprotes artikel mengenai

pendapatnya berjudul ”Islam, Agama yang Gagal”. Artikel tersebut, antara lain

menyoroti penyebaran korupsi di negara ini. Dosen tersebut dibebaskan dari tahanan

rumah dan kemudian dipecat oleh Universitas.

Pada bulan September 2005, sebuah pengadilan menghukum tiga orang wanita

dari Gereja Kristen Kemah Daud dengan hukuman 3 tahun penjara di bawah UU

Perlindungan Anak untuk dugaan Kristenisasi anak-anak Muslim. Para wanita tersebut

mengaku bahwa anggota keluarga telah memberikan ijin kepada anak-anak mereka

untuk mengikuti program pemuda Kristen. Mahkamah Agung menolak banding para

wanita tersebut di tahun 2006. Mereka menjalani dua tahun hukuman dan kemudian

bebas bersyarat pada tanggal 11 Juni 2007.

Peraturan daerah berdasarkan syariah tentang anti pelacuran terdapat di seluruh

wilayah negara ini. Peraturan ini juga terdapat di Tangerang, Jawa Barat, di mana DPRD

mengeluarkan peraturan dengan kalimat yang tidak jelas pada tanggal 21 November

2005, yang melarang siapapun yang dicurigai sebagai pelacur, berdasarkan sikap atau

perilakunya, berada di tempat-tempat umum. Di tahun 2006, Tangerang menahan dan

mengadili puluhan wanita sebagai pelacur, termasuk seorang ibu dua orang anak yang

sedang hamil yang dituduh sebagai pelacur karena menyimpan peralatan berhias dalam

tasnya. Pada bulan April 2006, tiga orang dari para perempuan yang diadili di Tangerang

mengajukan permohonan peninjauan ulang atas perda tersebut ke Mahkamah Agung,

tetapi Mahkamah menetapkan pada tanggal 1 Maret 2007 bahwa perda tersebut sah dan

tidak bertentangan dengan undang-undang lainnya yang lebih tinggi.

Tidak ada laporan mengenai pemaksaan untuk berpindah agama, termasuk

tentang warganegara AS yang diculik atau dipindahkan secara ilegal dari Amerika

Serikat, ataupun pelarangan pengembalian warga AS tersebut kembali ke Amerika

Serikat. Sabili, majalah Islam yang bertiras luas, terus menerbitkan artikel-artikel dengan

pernyataan-pernyataan dan tema-tema anti Semit. Majalah ini memperingatkan

keberadaan kegiatan konspirasi ”Zionis” di negara ini. Sebuah CD yang diproduksi pada

bulan September 2005 oleh badan komersial Trustco Multimedia yang memuat materi

politik Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang menduduki 8 persen kursi di DPR, dan

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 39

Page 40: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

sebuah permainan anti Semit berjudul ”Tembak Yahudi”. PKS kemudian meminta

Trustco Multimedia untuk menarik CD tersebut dari pasaran, dan tidak ada laporan lebih

lanjut mengenai kemunculan CD tersebut di toko-toko eceran.

F. Pelanggaran oleh Organisasi-organisasi Teroris

Selama periode pelaporan, pemerintah berhasil mengadili dan menghukum 27

tersangka terorisme dan menahan paling tidak 47 tersangka teroris lainnya yang

diharapkan akan diadili di masa mendatang. Persidangan ke-17 tersangka teroris tersebut

sedang berlangsung dalam periode pembuatan laporan ini, sementara setidaknya 27

tersangka teroris lainnya berada dalam tahanan sambil menunggu sidang. Jumlah ini

mencakup para tersangka yang berafiliasi pada Jamaah Islamiyah (JI) dan penduduk

Poso, baik yang Kristen maupun Islam, yang terlibat dalam kekerasan terhadap

kelompok keagamaan lainnya.

Pada tanggal 21 Maret 2007, Hasanuddin, salah satu pemimpin JI di balik

peristiwa pemenggalan tiga pelajar putri Kristen di Poso pada bulan November 2005,

dihukum 20 tahun penjara oleh pengadilan Jakarta atas perannya dalam pemenggalan

kepala. Polisi Sulawesi Tengah menahan Hasanuddin pada sebuah penggerebekan di

bulan Mei 2006. penahanannya menyoroti peranan kelompok militan daerah dan jaringan

terorisme JI dalam serangan dengan kekerasan yang telah mengganggu propinsi ini.

Pada bulan Januari 2007, polisi menggerebek tersangka teroris, ekstrimis Muslim Dedi

Pasaran yang ditembak mati sementara Abdul Muis ditangkap. Kedua pria ini

membunuh seorang pemuka agama Kristen dan sekretaris Gereja Protestan Sulawesi

Tengah, Pendeta Irianto Kongkoli, pada tanggal 22 Oktober 2006 di Palu, Sulawesi

Tengah.

Pada bulan September 2006, Pengadilan Negeri Denpasar menghukum

Mohammad Cholily dan Anief Solchanudin masing-masing dengan 18 dan 15 tahun

penjara dan Dwi Widianto serta Abdul Aziz dengan 8 tahun penjara untuk perencanaan

dan pelaksanaan pengeboman Bali tanggal 1 Oktober 2005. Tiga pelaku bom bunuh diri

dari JI menewaskan 22 orang dan mencederai 100 orang di wilayah-wilayah turis Kuta

dan Jimbaran di Bali selama serangan.

Pemerintah berhasil menghukum 6 orang untuk serangan bunuh diri bulan

September 2004 di Kedutaan Besar Australia yang menewaskan 10 orang dan

mencederai lebih dari 100 orang. Pada bulan September 2005, Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan menghukum Rois dan Ahmad Hasan dengan hukuman mati, Saipul Bahri dengan

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 40

Page 41: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

hukuman penjara selama 10 tahun, dan 3 pelaku lain mendapatkan 3 hingga 7 tahun

penjara. Pada bulan Desember 2005, Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan hukuman

mati untuk Rois dan Ahmad Hasan. Pada bulan Januari 2006, Rois dan Hasan

mengajukan banding ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung menguatkan keputusan

hukuman mati Hasan pada bulan Mei 2006, tetapi belum memberikan putusan banding

Rois hingga akhir periode pembuatan laporan ini.

G. Perkembangan dan Kemajuan Positif dalam Penghormatan terhadap

Kebebasan Beragama

Pada bulan Februari 2006 saat berpidato di hadapan publik, Presiden memastikan

kembali kepada warganegara keturunan Tionghoa bahwa hak-hak mereka secara hukum

dan konstitusional dijamin dan meminta kantor catatan sipil di seluruh Indonesia untuk

mencatatkan pernikahan Konghucu sebagaimana disyaratkan oleh undang-undang.

Pidato Presiden tersebut yang disampaikan saat Tahun Baru Cina, mempermudah

penganut Konghucu dalam memperoleh KTP yang menuliskan agama mereka dan

mencatatkan perkawinan dan kelahiran Konghucu. Perwakilan komunitas Cina kembali

dapat mempraktekkan agama Konghucu dengan cara yang relatif bebas selama periode

pelaporan ini. Tidak ada upaya khusus untuk membangun keharmonisan antar agama di

beberapa propinsi.

Pemerintah Sumatera Utara terus mendukung sebuah organisasi, yaitu

FORKALA, yang menyatukan perwakilan dari semua kelompok agama yang diakui dan

menggalakkan dialog antara agama sebagai cara untuk menghindari konflik agama.

Selama periode pelaporan, kekerasan bermotivasi agama menurun secara

signifkan di Maluku dan Maluku Utara. Kekerasan bermotif agama mencapai puncaknya

terjadi akhir 1990an, dan terus berlanjut pada skala lebih kecil walau cukup mengganggu

di tahun-tahun berikutnya. Namun, seperti di tahun-tahun sebelumnya, Sulawesi Tengah

mengalami peledakan bom, penembakan secara sporadis, dan kekerasan lain walaunpun

berbagai usaha untuk mengembalikan keamanan dan meningkatkan perdamaian terus

dilakukan. Pejabat pemerintah bekerja sama dengan para pemuka agama Islam dan

Kristen untuk meredakan ketegangan di kedua wilayah.

Maluku tetap tenang dan baik para pemuka agama dari masyarakat Islam maupun

Kristen serta pemerintah daerah Maluku memperlihatkan komitmen yang kuat untuk

meredakan ketegangan dan melakukan pembangunan kembali. Berbagai proyek

pembangunan untuk membangun kembali gereja, masjid, dan rumah-rumah yang rusak

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 41

Page 42: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

telah dilakukan selama periode pelaporan. Kanwil Departemen Sosial Maluku

mensponsori sebuah program di bulan September 2006 yang disebut ”Jembatan

Persahabatan” yang dihadiri oleh 250 orang dari seluruh Maluku yang sebelumnya

terlibat dalam konflik keagamaan tersebut. Umat Muslim dan Kristen menghabiskan satu

hari untuk berkumpul bersama di Letuwaru, sebuah desa Kristen, dan kemudian pada

hari berikutnya di Amahai, sebuah desa Muslim. Pimpinan daerah Maluku dan

perwakilan masyarakat Islam maupun Kristen bergabung bersama di bulan November

2006 di Ambon untuk membahas cara-cara untuk terus meningkatkan proses

perdamaian.

Selama periode pelaporan, para pemuka agama Islam dan Kristen dengan cepat

mengecam segala upaya yang terus dilakukan untuk membuat Maluku tidak stabil. Ketua

MUI Maluku dan ketua Sinode Gereja Maluku mengutuk dua insiden yang terjadi di

bulan Maret 2007. Pada tanggal 3 Maret, bom rakitan berdaya ledak rendah diledakkan

di pintu gerbang pelabuhan Ambon melukai 16 orang, dan pada tanggal 5 Maret polisi

menyingkirkan alat peledak serupa di pusat perbelanjaan Ambon Plaza. Polisi memeriksa

sedikitnya lima orang berkaitan dengan serangan tersebut, tetapi pelaku dan motif masih

tidak jelas. Tidak ada penahanan. Para pemimpin agama memperlihatkan kerjasama kuat

antar agama dan keinginan menjaga perdamaian di wilayahnya dengan segera dab sama-

sama mengutuk berbagai insiden.

Situasi di Poso tetap tegang, tetapi polisi terus mengambil tindakan keras dan

menahan beberapa tersangka dengan tuduhan terorisme dan kejahatan keras lainnya

terkait dengan perselisihan agama di Sulawesi Tengah. Polisi daerah Sulawesi Tengah

terus melindungi gereja-gereja dan rumah-rumah ibadah setempat sepanjang pelayanan

keagamaan. Tindakan ini secara berangsur-angsur membangkitkan optimisme penduduk

setempat bahwa siklus kekerasan telah menurun.

Sepanjang semester pertama tahun 2007, polisi di pulau Jawa menangkap 17

tersangka yang dicuriagi sebagai teroris JI untuk tuduhan merencanakan berbagai operasi

dan menyembunyikan senjata dan bahan peledak, yang sebagian mereka kirimkan untuk

mendukung berlanjutnya kekerasan di wilayah seperti Poso. Polisi menemukan rencana-

rencana operasional dan menyita ratusan kilogram bahan peledak dan detonator, lusinan

senapan, dan ribuan amunisi. Penahanan pemimpin operasional kunci JI, Abu Dujana di

bulan Juni 2007 kemudian membenarkan tujuan-tujuan kekerasan kelompok tersebut.

Di akhir 2006 dan awal 2007, polisi menahan puluhan tersangka di Poso atas

keterlibatan mereka dalam serangkaian serangan sektarian sejak tahun 2001. Sampai

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 42

Page 43: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

Februari 2007, polisi menyatakan bahwa mereka telah menahan 18 dari 29 orang ”paling

dicari” yang dicurigai terlibat dalam kekerasan di Sulawesi Tengah. Menurut Kadiv

Humas Polri, sebagian besar dari 18 orang yang ditangkap adalah anggota JI yang

terhubung dengan kelompok militan Muslim Tanah Runtuh yang dituduh telah

melakukan sebagian besar kejahatan mengerikan terhadap umat Kristen sejak tahun

2001.

H. Kekerasan Sosial dan Diskriminasi

Selama periode pelaporan, terdapat laporan-laporan mengenai kekerasan sosial

dan diskriminai berdasarkan keyakinan atau praktek agama.

Menurut Forum Komunikasi Kristen Indonesia, kelompok militan memaksa penutupan

delapan gereja kecil tidak resmi selama periode pelaporan. Front Pembela Islam (FPI),

Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan (AGAP), dan Divisi Anti Permurtadan (DAP) Forum

Ulama Islam Indonesia, didukung beberapa komunitas Muslim setempat, mendalangi

banyak penutupan gereja. AGAP dan FPI menyatakan bahwa mereka mentargetkan

gereja-gereja yang beroperasi tanpa ijin pemerintah daerah dan masyarakat sekitarnya

seperti disyaratkan dalam Surat Keputusan Bersama Menteri yang Direvisi mengenai

Pendirian Rumah-rumah Ibadat, walaupun terdapat pemberian waktu dua tahun untuk

mendaftarkannya secara resmi. Banyak dari gereja yang menjadi target beroperasi di

rumah-rumah pribadi dan di ruko.

Pada tanggal 4 Juni 2007, sebuah kelompok militan menyerang dan merusak

sebuah gereja Protestan kecil di komplek perumahan di Soreang, Kabupaten Bandung,

Jawa Barat, yang menuntut agar gereja tersebut ditutup. Para penyerang mengaku berasal

dari AGAP, tetapi baik AGAP maupun DAP menolak bertanggung jawab. Dalam

kejadian terkait sepuluh hari kemudian, lebih dari 100 orang berdemonstrasi menuntut

penutupan rumah-rumah pribadi yang dijadikan gereja di Soreang.

Pada tanggal 4 April 2007, puluhan anggota DAP mendatangi Gereja Kristen

Pasundan di Bandung, Jawa Barat, untuk menanyakan peristiwa yang baru saja terjadi

dimana gereja melanggar perjanjiannya untuk tidak melakukan kegiatan pemurtadan di

komunitas Muslim. Seorang anggota DAP menyatakan bahwa gereja tersebut

menandatangani perjanjian tahun 2005 dengan kelompok anti pemurtadan AGAP untuk

tidak melakukan upaya pemurtadan. Namun, anggota tersebut menduga bahwa gereja

telah melanggar perjanjiannya dengan menjadikan beberapa Muslim di Garut dan

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 43

Page 44: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

wilayah-wilayah Pagauban Bandung pengikut agama Kristen dengan memberikan

mereka uang. Para pemimpin gereja secara damai membahas masalah tersebut.

Pada tanggal 24 September 2006 sekitar 50 orang dari DAP menyerang dan

mencoba menghancurkan Gereja Yayasan Penginjilan Roti Kehidupan Bandung Selatan,

Jawa Barat, dengan alasan bahwa tingkat kebisingan kebaktian menganggu masyarakat

setempat. Para penyerang memulai dengan menghancurkan atap dan mereka berhenti

ketika polisi turun tangan. Gereja tersebut tidak lagi berfungsi.

Pada bulan September 2006, mendekati Ramadan, kelompok militan Muslim

merazia kedai minuman keras dan tempat prostitusi di seluruh negeri. Pada tanggal 8

september 2006, ratusan anak muda merazia warung-warung minuman di pinggir jalan di

Bogor, Jawa Barat, mencari minuman beralkohol untuk dihancurkan. Pada 8 September

2006, di Semarang, Jawa Tengah, polisi merazia sejumlah kedai minuman di sisi jalan

yang menjual minuman beralkohol. Pada tanggal 13 September 2006, Gubernur Jakarta

Sutiyoso meminta organisasi-organisasi massa untuk tidak main hakim sendiri dan

menyatakan bahwa pengoperasian tempat-tempat hiburan sepanjang bulan Ramadhan

sudah diatur dalam peraturan daerah dan ini adalah tanggung jawab Polisi.

Beberapa rumah ibadah, sekolah agama, dan rumah warga sekte Islam yang

dianggap menyimpang diserang, dirusak, ditutup secara paksa, dihalangi

pembangunannya oleh kelompok-kelompok militan dan massa di seluruh negara tersebut

seperti yang digambarkan dalam contoh-contoh kasus berikut ini.

Pada tanggal 19 Juni 2007, puluhan anggota FPI dan kelompok garis keras

lainnya berdemonstrasi di depan Mesjid Mahmud di Singaparna, Tasikmalaya, Jawa

Barat, menuntut Ahmadiyah dibubarkan. Demonstrasi tersebut merupakan balasan

terhadap diadakannya Musyawarah Kerja Daerah (Mukerda) komunitas Ahmadiyah pada

April 22, 2007. Pimpinan Ahmadiyah mengaku telah menerima ijin polisi untuk

mengadakan pertemuan. Polisi dengan segera mengamankan mesjid dan menjaga para

demonstran. Menyusul peristiwa tersebut, para pimpinan Ahmadiyah bertemu dengan

pimpinan Muslim setempat, dan diskusi antara Ahmadiyah dan kelompok muda Islam

menghasilkan satu diskusi publik berjudul, ”Negara Harus Melindungi Pengikut

Ahmadiyah.” Namun, pada tanggal 26 Juni, 2007, kelompok yang sama berdemonstrasi

menuntut DPRD Tasikmalaya membubarkan Ahmadiyah. DPRD menolak tuntutan

tersebut, dan menyatakan bahwa masalah agama adalah kewenangan pemerintah pusat.

Pada tanggal 9 April 2007, polisi mencegah ratusan orang yang hendak

menyerang sebuah pesantren milik Tajul Ali Murthado dengan menggunakan pisau dan

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 44

Page 45: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

golok di Sampang, Jawa Timur. Penduduk setempat menuduh Murtadho mengajarkan

Islam yang menyimpang. Murtadho ditahan sebentar oleh Polisi dan kemudian

dilepaskan. Polisi untuk sementara menutup pesantren tersebut tetapi dibuka kembali

setelah situasi terkendali.

Pada tanggal 8 April 2007, di Jember, Jawa Timur, massa yang marah

mengepung sebuah rumah milik Suwarno, seorang pemimpin kelompok Ikatan Ahlul

Bait Indonesia (Ijabi), sebuah organisasi keagamaan Syiah. Mereka menuntut Ijabi tidak

menyebarkan ajaran-ajaran Syiah. Polisi setempat memindahkan tiga pemimpin Ijabi

termasuk Suwarno guna menenangkan situasi; massa kemudian dibubarkan. Para

pemimpin Ijabi diperiksa polisi dan dilepaskan pada hari yang sama.

Pada tanggal 27 Maret 2007, Alih bin Hadi, seorang ulama di Bogor, Jawa Barat

diculik dari dalam masjid oleh massa yang berjumlah sekitar 200 orang dan

memukulinya hingga tewas. Alih berceramah bahwa umat Islam dapat pergi ke masjid

sekitar daripada ke Mekah untuk menunaikan ibadah Haji. Ia juga mengatakan umat

Islam dapat membayar zakat setelah hari raya Idul Fitri. Ajaran-ajaran Alih telah lama

menimbulkan kemarahan penduduk setempat. Pada bulan Desember 2005, ia

menandatangani perjanjian untuk menghentikan kegiatan masjid dan meninggalkan

wilayah tersebut, tetapi kemudian ia kembali dan memperbarui kegiatan ceramahnya.

Alih adalah bagian dari kelompok yang lebih besar yang disebut Yayasan Karisma

Usada Mustika (Yaskum) yang sedang diselidiki oleh MUI Kabupaten Bogor dengan

dugaan melakukan ajaran sesat selama periode pelaporan. Sekitar 1.000 anggota Yaskum

berdemonstrasi di luar kantor polisi Bogor untuk memprotes pembunuhan terhadap Alih.

Di akhir periode pembuatan laporan ini, tiga pria yang dicurigai merencanakan

pembunuhan terhadap Alih telah ditahan polisi.

Pada tanggal 24 Desember 2006, didorong oleh ulama setempat, 500 penduduk

desa yang marah di desa Jambesari, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur menyerang 150

anggota Ijabi yang sedang melaksanakan sholat dengan menghancurkan tiga rumah,

sebuah musholah, dan sebuah mobil milik ketua Ijabi setempat. Para penduduk Suni

setempat keberatan dengan kehadiran Syiah dalam komunitas mereka dan menuduh

mereka sebagai orang-orang yang menyimpang dari ajaran Islam dan melakukan ajaran

sesat. Polisi memindahkan dan memeriksa 17 anggota Ijabi selama delapan jam, tetapi

tidak ada penahanan. Dua penghasut, Sumiko (aka Pak Lim) dan Burasim, kemudian

ditahan dan dikenakan dakwaan pidana perusakan properti. Sidang mereka, yang sedang

berlangsung, dimulai pada tanggal 2 Mei 2007. Jaksa menuntut hukuman 6 bulan

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 45

Page 46: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

penjara. Para pemimpin Ijabi melaporkan bahwa tidak ada insiden lagi sejak Desember

itu.

Pada tanggal 29 Oktober 2006, penduduk mengamuk dan menyerang enam

rumah milik anggota masjid Miftahus Salam dan pesantren di Bogor, Jawa Barat.

Penduduk yakin bahwa masjid dan sekolah adalah pusat ajaran sesat. Sebelum

penyerangan, Ustad Yusup Maulana yang merupakan kepala sekolah, diperiksa polisi.

Dalam sebuah pernyataan tertulis, ia mengakui bahwa ia mengajarkan ide-ide yang tidak

sesuai dengan hukum Islam kepada 40 murid sekolahnya. Pernyataannya membuat

penduduk melakukan serangan. Polisi menahan Maulana dan menangkap dua perusuh,

tetapi masih tidak jelas apakah mereka masih tetap dalam tahanan hingga akhir periode

pembuatan laporan ini.

Pada tanggal 8 Agustus 2006, ratusan orang yang mengenakan topeng membakar

sebuah sekolah asrama milik Datuk Buluh Perindu, di Sidera, Sulawesi Tengah.

Penduduk menuduh Perindu sebagai guru spiritual Madi, yaitu sebuah aliran Islam

minoritas. Polisi tidak melakukan penangkapan.

Pada tanggal 8 Maret 2007, sekitar 200 anggota FPI dan Forum Betawi Rempug,

sebuah kelompok yang terdiri dari penduduk asli Jakarta, menyerang Sekolah Tinggi

Theologia Injili Arastamar di Jakarta Timur yang menuntut agar sekolah tersebut ditutup

karena para pelajarnya menyanyi hingga larut malam dan mengganggu masyarakat

setempat. FPI juga menyatakan bahwa sekolah tersebut ilegal walaupun terdapat fakta

bahwa sekoah tersebut memiliki ijin-ijin resmi baik untuk keberadaan bangunan maupun

asrama baru. Polisi mengirimkan satu detasemen untuk menghentikan massa tersebut.

Sekolah tersebut masih berfungsi hingga kini.

Pada tanggal 2 September 2006, sekelompok massa membakar Gereja Misi

Evangelis di Siompi, Aceh Singkil, setelah tersebar berita bahwa gereja tersebut

merencanakan kebaktian kebangkitan. Saat sejumlah besar umat Kristen berangkat

menuju kebaktian tersebut, mereka dihadang oleh beberapa Muslim yang tidak

menyetujui kebaktian kebangkitan tersebut. Polisi tidak menghalangi serangan tersebut.

Pastor Luther Saragih ditahan sebentar oleh polisi dan diminta memulangkan umat

Kristen tersebut. Kemudian pada malam itu, sekitar 100 orang dengan sepeda motor

membakar gereja dan mencari Pastor Saragih dan istrinya yang sedang hamil. Pastor dan

istrinya melarikan diri ke hutan dan bersembunyi disana hingga mereka ditemukan

selamat oleh teman-temannya di pagi harinya. Pastor Saragih dan istrinya kemudian

pindah untuk menghindar karena masih terus menerima ancaman.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 46

Page 47: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

Warga Muslim secara rutin melaporkan adanya kesulitan untuk membangun

masjid di wilayah-wilayah minoritas Muslim di Papua, Sulawesi Utara, dan tempat-

tempat lainnya. Kadang-kadang, kelompok garis keras menggunakan tekanan, intimidasi,

atau kekerasan terhadap mereka yang membawa pesan bersifat menghina. Walaupun

masih mendapat kritik dari kelompok Islam garis keras, Jaringan Islam Liberal (JIL)

tetap menyerukan penafsiran pribadi tentang ajaran Islam dan toleransi beragama. JIL

mengkonfrontasi kelompok garis keras di forum-forum umum, termasuk seminar-

seminar. Kelompok militan yang mengaku menegakkan moralitas masyarakat terkadang

menyerang kafe dan klub malam yang mereka anggap sebagai ajang prostitusi atau yang

tidak membayaran kepada mereka.

Perpindahan agama tanpa paksaan terjadi sebagaimana diperbolehkan secara

hukum, tetapi tetap saja merupakan sumber kontroversi. Sebagian orang berpindah

agama karena menikah dengan orang beda agama; yang lain berpindah agama akibat

penyebaran agama atau kegiatan sosial yang diorganisir oleh kelompok agama. Sebagian

Muslim menuduh misionaris Kristen menggunakan pembagian makanan dan program

kredit mikro untuk memikat Muslim miskin pindah agama. Sebagian orang yang

berpindah agama terpaksa tidak memberitahukan kepindahan agama mereka karena

alasan keluarga dan tekanan masyarakat.

Di sulawesi Tengah, ketegangan politik dan ekonomi antara populasi Kristen dan

Muslim yang jumlahnya hampir seimbang terus menyulut berbagai tindak kekerasan

yang mengakibatkan kematian selama periode pelaporan. Berbagai tindak kriminalitas

tersebut kelihatannya terjadi dengan motif agama.

Pada tanggal 22 September 2006, Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan

Marianus Riwu dihukum mati akibat peran mereka dalam kekerasan sektarian di Poso

pada tahun 2000 dan pada pembunuhan 191 Muslim di sebuah sekolah. Eksekusi

tersebut menimbulkan kekerasan di daerah Flores dan Timor Barat, Propinsi Nusa

Tenggara Timur, dan di Sulawesi Tengah, dengan beberapa kritikan bahwa penjatuhan

hukuman dan eksekusi ketiga pria Kristen tersebut adalah sebuah kasus diskriminasi

yang dilakukan oleh pihak berwenang. Di Flores 3.000 orang melakukan kerusuhan dan

membakar paling sedikit 3 bangunan pemerintahan. Di Kefamananu dan Atambua,

Timor Barat, antara 3.000 hingga 5.000 orang membuat kerusuhan dengan

menghancurkan gedung-gedung pemerintahan, rumah-rumah, dan kendaraan.

Di Sulawesi Tengah, pada hari yang sama saat eksekusi dilaksanakan, dua orang

Muslim, Arham Badaruddin dan Rendi Rahman, ditarik dari mobil mereka dan dipukuli

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 47

Page 48: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

hingga tewas saat melewati Taripa, sebuah desa yang didominasi komunitas Kristen.

Polisi menangkap 17 orang yang ikut serta dalam pembunuhan tersebut, semuanya

mengakui keterlibatan mereka. Para tersangka memberitahukan polisi bahwa para korban

dibunuh karena eksekusi terhadap Tibo, Riwu, dan Da Silva. Pada tanggal 2 April 2007,

jaksa penuntut di Jakarta menuntut ke-17 tersangka dengan undang-undang anti

terorisme atas pembunuhan kejam terhadap 2 pria Muslim pada tanggal 23 September

2006. Ke-17 tersangka adalah penganut Kristen pertama dari Sulawesi Tengah yang

dituntut dengan terorisme. Pada bulan Juni 2007, jaksa penuntut mengajukan argumen

penutup dalam kasus ini dan keputusannya diharapkan akan keluar akhir musim panas

2007. Sementara itu hukuman maksimum adalah hukuman mati, para jaksa penuntut

mengajukan permohonan 15 hingga 20 tahun penjara bagi para pelaku.

Beberapa peristiwa terjadi setelah eksekusi dilaksanakan pada bulan September

2006, termasuk 3 ledakan skala kecil, penyerangan baik terhadap umat Islam maupun

Kristen, dan penyerangan terhadap Kepala Polisi Daerah Sulawesi Tengah yang

mengakibatkan pengeroyokan dan penghancuran helikopter polisi oleh 5.000 massa.

Polisi terus menyelidiki pengakuan terpidana mati Fabianus Tibo tentang tuduhan bahwa

16 orang Kristen lainnya yang menjadi otak di balik kekerasan di Sulawesi Tengah. Pada

bulan April 2007, polisi Sulawesi Tengah kembali memriksa 10 dari 16 orang yang

disebutkan oleh Tibo.

I. Kebijakan Pemerintah AS

Misi diplomatik AS di Indonesia, termasuk Kedutaan Besar AS di Jakarta,

Konsulat Jenderal di Surabaya, dan Konsulat di Medan, secara berkala berhubungan

dengan pejabat Indonesia dalam isu-isu kebebasan beragama dan mendorong pejabat

Kedutaan lain untuk membahas masalah ini dengan pemerintah. Staf Kedubes di semua

level sering bertemu dengan para pemuka agama dan advokat hak asasi manusia untuk

meningkatkan penghargaan terhadap kebebasan beragama. Staf Kedubes juga secara

rutin mengadakan pertemuan dengan para pimpinan NU dan Muhammadiyah untuk

menjelaskan kebijakan AS dan membahas toleransi antarumat beragama serta isu-isu

lain.

Upaya penjangkauan Kedubes AS menekankan pada pentingnya kebebasan

beragama dan toleransi dalam masyarakat yang demokratis. Selama periode pelaporan,

Kedubes mempromosikan pluralisme dan toleransi melalui program-program pertukaran

dan masyarakat madani.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 48

Page 49: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

Sebanyak 213 warga Indonesia telah mengunjungi Amerika Serikat dalam

program jangka pendek, termasuk melihat peran agama di masyarakat dan politik AS.

Para peserta program mengalami langsung bagaimana pluralisme agama, dialog

antaragama, dan multikulturalisme menjadi bagian integral dalam masyarakat yang

demokratis. Misalnya, satu program kepemimpinan pemuda menawarkan remaja

Indonesia kesempatan untuk bertemu dengan rekan sebaya di Amerika. Mereka

berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat, bertemu dengan para pemimpin agama dan

terlibat dalam diskusi-diskusi mengenai toleransi beragama. Delapan penerima beasiswa

Fulbright dari Indonesia berangkat ke Amerika Serikat untuk melanjutkan studi dan

mengambil program-program studi yang langsung berkaitan dengan praktek agama

dalam masyarakat demokratis. Tiga akademisi AS datang ke Indonesia untuk mengajar

dan melakukan penelitian mengenai topik yang sama.

Kedubes AS berhasil menjangkau jutaan orang melalui produksi siaran media

yang memberikan liputan mendalam mengenai isu kebebasan beragama dari perspektif

Amerika. Ini termasuk program radio Greetings from America, yang secara berkala

menampilkan topik-topik seperti kebebasan beragama, perbedaan agama, toleransi, dan

pluralisme dari perspektif para pelajar sekolah menengah atas dan mahasiswa Indonesia

yang tinggal di Amerika Serikat. Program radio ini mengudara 9 kali setiap minggunya

dengan 10 juta pendengar potensial di 6 kota.

Kedubes AS juga mendanai pembuatan serial dokumenter televisi, The Colors of

Democracy, yang diproduksi secara bersama-sama di Indonesia dan Amerika Serikat.

Serial ini, pada awalnya mengudara setiap sore dari tanggal 5 Desember 2005 hingga 25

Januari 2006, secara berkala menampilkan topik-topik seperti kebebasan beragama dan

dialog antaragama di Amerika Serikat. Misi diplomatik menyumbangkan 6.000 set video

compact disc (VCD) berisikan The Colors of Democracy, yang menyoroti dampak

positif kebebasan beragama, pluralisme, dan kegiatan antar agama untuk sekolah dan

perpustakaan. Melalui perjanjian dengan Departemen Pendidikan yang ditandatangani

pada tanggal 11 Oktoiber 2006, VCD-VCD dimasukkan dalam kurikulum pelatihan guru

Departemen Pendidikan dan meliputi 32.000 sekolah di seluruh Indonesia.

Misi diplomatik AS terus mendanai Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya

(CRCS) di Universitas Gajah Mada Yogyakarta. CRCS bekerja bersama Radio Republik

Indonesia dalam pembuatan acara bincang-bincang dua bulanan yang mengangkat

masalah kebebasan beragama, toleransi, dan demokrasi. Selain siaran radio langsung,

program tersebut ditayangkan di TVRI Yogyakarta, yang memungkinkan dilakukannya

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 49

Page 50: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

penyebaran ide-ide ini kepada masyarakat di Yogyakarta dan daerah sekitar di Jawa

Tengah. Isi program tersebut diterbitkan dalam surat kabar setempat. Pada bulan

Desember 2006, CRCS memperluas diskusi publik mengenai isu-isu ini melalui

pembuatan website.

Kedubes AS mendukung pembuatan dan produksi acara bincang-bincang di

televisi dengan 12 episode berjudul Islam Indonesia. Program tersebut bertujuan

mendidik kalangan kelas menengah dan profesional muda dan ditayangkan di televisi

setiap dua minggu, dan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk

mendengarkan, menyaksikan, dan terlibat secara aktif dalam debat interaktif melalui

saluran telepon. Topik-topik yang dibahas mencakup kebebasan beragama, toleransi, dan

pluralisme. Setiap episode menerima 12 hingga 33 telepon.

Berkaitan dengan majalah mingguan, Kedubes AS mendukung publikasi edisi

suplemen untuk memberikan informasi obyektif mengenai usaha-usaha jaringan Muslim

pro demokrasi untuk mendukung proses demokrasi, termasuk kebebasan beragama,

toleransi, hak sipil, dan demokrasi. Majalah ini menyebarkan 90.000 salinan ke seluruh

nusantara setiap minggunya dengan perkiraan jumlah pembaca 450.000 orang.

Misi diplomatik AS juga mendukung program seminar kampus yang bertujuan

memperkuatkan pendukung pluralisme di kampus-kampus Islam dan menguatkan

pemahaman tentang kebebasan beragama, toleransi, pluralisme, dan kesetaraan jender.

Diskusi-diskusi publik diadakan di beberapa kampus di Jakarta, Serang, Rangkasbitung,

Yogayakrta, Surabaya, Mataram, dan Medan bekerjasama dengan berbagai universitas

Islam dan universitas negeri seperti Universitas Gajah Mada dan Universitas Sumatera

Utara. Lebih dari 1.500 pelajar dengan berbagai latar belakang dan 50 pembicara

nasional dan daerah dilibatkan dalam diskusi-diskusi tersebut.

J. Pluralisme Agama

Salah satu hal yang mewarnai dunia dewasa ini adalah pluralisme keagamaan,

demikian ungkap Coward Pluralisme merupakan sebuah fenomena yang tidak mungkin

dihindari. Manusia hidup dalam pluralisme dan merupakan bagian dari pluralisme itu

sendiri, baik secara pasif maupun aktif, tak terkecuali dalam hal keagamaan.

Pluralisme keagamaan merupakan tantangan khusus yang dihadapi agama-agama

dunia dewasa ini. Dan seperti pengamatan Coward, setiap agama muncul dalam

lingkungan yang plural ditinjau dari sudut agama dan membentuk dirinya sebagai

tanggapan terhadap pluralisme tersebut. Jika tidak dipahami secara benar dan arif oleh

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 50

Page 51: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

pemeluk agama, pluralisme agama akan menimbulkan dampak, tidak hanya berupa

konflik antar umat beragama, tetapi juga konflik sosial dan disintegrasi bangsa.

MenurutTracy, diantara agama-agama yang ada di dunia ini memang tidak ada

yang memiliki esensi tunggal, tidak ada muatan tunggal tentang pencerahan atau wahyu,

tidak ada cara tunggal tentang emansipasi atau liberasi yang dibangun dalam semua

pluralitas itu. Ada perbedaan penafsiran tentang Tuhan itu sendiri: God, Emptiness,

Suchness, the One, Nature, the Many. Ada perbedaan pemahaman mengenai apa yang

diwahyukan oleh Tuhan tentang Tuhan dan tentang diri kita dalam hubungan kita tentang

harmoni dan disharmoni dengan Tuhan tersebut. Ada perbedaan penafsiran tentang cara

apa yang harus kita ikuti untuk mengubah (pandangan kita) dari pemusatan-diri secara

fatal menuju pemusatan-kepada Tuhan secara bebas. Tetapi diskurus dan cara-cara

agama seperti itu kadang-kadang bisa saling melengkapi, dan pada batas tertentu,

melengkapi beberapa aspek yang belum maju dari yang lain, tetapi pada saat yang sama

juga bisa saling mengganggu dan melenyapkan.

Menurut Hick, bahwa pluralisme agama mengimplikasikan pengakuan terhadap

fondasi bersama bagi seluruh varitas pencarian agama dan konvergensi agama-agama

dunia. Bagi sebagian lainnya, pluralsime agama mengimplikasikan saling menghargai di

antara berbagai pandangan dunia (wold-view) dan mengakui sepenuhnya perbedaan

tersebut. Jika yang pertama menekankan kebebasan beragama individu, maka yang

kedua menekankan pengakuan atas denominasi sebagai pemberi jawaban khas. Hick

memang, sebagaimana kata Soroush, adalah seorang teolog yang membela pluralisme

dan inklusivisme sejajar dengan Kung, Smart dan Toynbee.

Tetapi, kenapa pula pemeluk agama monoteis justru inheren dengan intoleransi

dan kekerasan? Menurut Rodney Stark, claim pemeluk agama monoteisme yang

partikularistk-subjektif, bahwa agama yang dipeluknya adalah satu-satunya yang benar,

yang hanya percaya pada satu Tuhan, Yang Esa dan Sejati (One True God) banyak

memicu konflik. Stark menyoroti subjektivisme para pemeluk agama monoteistik (baik

Yahudi, Kristen maupun Islam) yang memandang rendah agama lain. Melalui

penelitiannya, Stark berkesimpulan, bahwa berbedaan agama dalam seluruh masyarakat

berakar pada relung-relung sosial, kelompok-kelompok orang yang saling berbagi

preferensi berkaiatan dengan intensitas keagamaan. Ketika beberapa agama

partikularistik yang kuat saling mengancam antara satu dengan yang lain, maka konflik

akan termaksimalisasikan, begitu pula tingkat intoleransi.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 51

Page 52: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

Menurut Stark, pluralisme agama memang merupakan keniscayaan dan

pluralisme dalam orde sosial dapat menjadi stabil selama dalam organisasi-organisasi

keagamaan tidak terdapat satu pun dari padanya yang terlalu kuat. Namun jika

sebaliknya yang terjadi, maka sudah dapat dipastikan akan terjadi konflik yang intens.

Stark sampai pada kesimpulan, bahwa konflik agama akan menjadi memuncak jika

beberapa organisasi keagamaan yang kuat dan partikularistik hidup berdampingan.

Huston Smith, dalam memberikan komentar karya Schuon mengenai hubungan

antar agama-agama, mengatakan bahwa segala sesuatu memiliki persamaan dan

sekaligus perbedaan, demikian juga dengan agama. Agama-agama yang hidup di dunia

ini disebut “agama” karena masing-masing memiliki persamaan. Persamaan atau titik

temu antara agama-agama tersebut berada pada level esoterisme, sedangkan pada level

eksoterieme, agama-agama tampak berbeda.

Menurut Raimundo Panikkar, untuk memahami agama-agama orang lain secara

komprehensif, kita harus memahami agamanya melalui bahasa aslinya. Kita tidak bisa

mengabaikan perbedaan-perbedaan yang ada dalam masing-masing agama untuk

menarik kesimpulan bahwa “semua harus menjadi satu”. Menurutnya, ada tiga macam

sikap keagamaan manusia: eksklusif, inklusif dan paralel/ plural. Sikap ekslusif artinya,

seseorang menganggap bahwa hanya agamanya saja yang benar, sementara yang lain

salah; sikap inklusif artinya seseorang beranggapan, bahwa agamanya yang paling

benar, tetapi agama lain juga mengandung kebenaran; sikap plural artinya, seseorang

menganggap bahwa semua agama sama dan mengandung kebenaran masing-masing.

K. Dialog Antar umat Beragama

Guna mengakomodasi hubungan antara agama-agama pada level internasional,

maka pada tahun 1958, di Tokyo, diadakan kongres internasional oleh The International

Association for The History of Religion, dalam Konggres itu Friedrich Heiler dari

Marburg menerangkan bahwa memberi penerangan tentang kesatuan semua agama

merupakan salah satu dari tugas-tugas yang amat penting dari ilmu agama. Orang yang

mengakui kesatuan agama, menurutnya, harus memegangnya dengan serius dengan

toleransi dalam kata-kata dan perbuatan. Di sini Heiler melihat betapa dekatnya agama-

agama itu satu sama lainnya; dengan membandingkan strukturnya, keyakinan dan

amalan-amalannya, ia dibawa kepada suatu yang transenden yang melampaui semua

namun tetap imanen dalam hati manusia. Oleh karena itu, studi ilmu perbandingan

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 52

Page 53: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

agama merupakan pencegah paling baik untuk melawan eksklusivisme, karena ia

mengajarkan cinta; di mana ada cinta tentu di situ ada kesatuan dalam jiwa.

Di akhir pidatonya, Heiler menganalogikan pentingnya ilmu perbandingan agama

dengan apa yang dilakukan oleh Helmholtz, penemu kaca mata, yang telah membantu

jutaan orang yang sakit mata. Hal demikian juga berlaku bagi studi ilmiah tentang

agama, usahanya untuk mencari kebenaran membawa akibat-akibat yang penting bagi

hubungan yang praktis antara agama satu dengan lainnya.

Dan tidak menutup kemungkinan, bahwa belum tampaknya hasil yang signifikan

dari pendekatan dialog dalam menyelesaikan konflik antarumat beragama selama ini

karena pendekatan yang dilakukan masih bersifat top down, belum menggunakan model

dialog yang bersifat buttom up sehingga bisa dijadikan sebagai bahan perbandingan dan

evaluasi penyelenggaraan dialog kerukunan di masa mendatang.

Dalam melakukan dialog dengan agama lain, apapun bentuknya, diperlukan

adanya sikap saling terbuka, saling menghormati dan kesediaan untuk mendengarkan

yang lain. Sikap-sikap ini diperlukan untuk mencari titik temu (kalimatun sawa’) antara

berbagai agama, karena masing-masing agama mempunyai karakteristik yang unik dan

kompleks.

Dalam kasus dialog antara Islam dan Kristen, menurut Hassan Hanafi2424

keduanya mempunyai dua “karakteristik ideal” (ideal types) yang kaya untuk

dikomparasikan dan selanjutnya bisa mengantarakan kepada suatu common platform.

Dialog perlu dilakukan dengan mengedepankan prinsip humanisme, karena antara Islam

dan Kristen mempunyai pandangan yang kosmopolit mengenai manusia yang lebih

memudahkan untuk melakukan komparasi antara dua dimensi: antropologis dan teologis.

Tuhan dan manusia, menurut Hanafi, merupakan kata kunci bagi timbulnya persatuan

dan perpecahan antara kultur modernitas dan kultur tradisional atau antara Kristen dan

Muslim di Timur.

Ada beberapa alasan keraguan sementara orang-orang muslim menanggapi dialog

agama ini. Gerakan dialog ini adalah murni inisiatif Kristen Barat dan orang-orang Islam

merasa diri mereka sebagai tamu yang diundang, tidak memiliki agenda dan merasa hasil

yang bisa dicapai dari dialog ini sedikit. Keyakinan mereka bahwa misi Kristen

merupakan agenda tambahan atas kolonialisme yang sering dilakukan orang-orang

Kristen menambah ketidakpercayaan terhadap agenda Kristen dan dialog tersebut

ditakutkan oleh orang-orang muslim sebagai agenda tersembunyi dari agenda

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 53

Page 54: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

evangelism. Ketidakpercayaan ini ditambah dengan ketidakadilan global Barat,

khususnya dalam konflik Israel-Palestina.

Hal penting yang perlu diperhatikan dalam dialog ini menurut Hans Kung

adalah, bahwa setiap orang beragama harus membuktikan keimanannya masing-masing.

Terlepas dari semua perbedaan yang ada menurut Kung, orang Kristen dan Islam harus

bertanggung jawab terhadap Tuhan dan melayani masyarakat manusia dengan penuh

penghormatan satu sama lain.

Seyyed Hossein Nasr menawarkan kajian agama dengan philosohia perennis,

karena dia melihat bahwa banyaknya kajian keagamaan di Barat kurang memahami

bahwa realitas agama sebagai agama dan bentuk-bentuk yang sakral sebagai realitas

ilahi. Sesuatu yang hilang di Barat dalam kajian agama adalah suatu pengetahuan yang

bisa memandang agama secara adil, yaitu dengan menggunakan perennial wisdom yang

berada dalam “hati” semua tradisi-tradisi keagamaan. Philosophia perennis merupakan

pengetahuan yang berada pada dalam “hati” agama yang bisa menerangkan makna ritus-

ritus keagamaan, doktrin-doktrin dan simbol-simbol. Philosophia perennis juga

menyediakan kunci untuk memahami pentingnya pluralitas agama dan metode untuk

masuk kepada dunia agama lain tanpa mereduksi signifikansi atau menghilangkan

komitmen kita kepada dunia agama yang menjadi kajian kita. philosophia perennis akan

mengkaji agama dari segala aspeknya; Tuhan dan manusia, wahyu dan seni yang sakral,

simbol-simbol dan images, ritus-ritus dan hukum-hukum agama, mistisisme dan etika

sosial, metafisika, kosmologi dan teologi.

Demi mensukseskan dialog antar agama ataupun antar iman tersebut, maka

pemahaman terhadap agama-agama lain tidak hanya diperlukan oleh para elit agama,

tetapi harus merambah kepada masyarakat lapisan terbawah atau masyarakat awam yang

bergesekan secara langsung dengan para pemeluk agama-agama lain dalam kehidupan

sehari-hari.

Ilmu perbandingan agama dan pemahaman terhadap agama orang lain merupakan

prasyarat untuk melakukan dialog antaragama, karena tanpa ini dialog mustahil

dilaksanakan dan memang ilmu perbandingan agama dipergunakan untuk memperlancar

dialog ini dan dialog antar agama sendiri merupakan media untuk memahami agama lain

secara benar dan komprehensif.

Dialog antarumat beragama yang benar dapat menimbulkan pemahaman dan

pencerahan kepada umat dalam wadah kerukunan hidup antarumat beragama. Dalam

dialog ini diperlukan sikap saling terbuka antarpemeluk agama yang berdialog.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 54

Page 55: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

Sebenarnya menganggap bahwa agama yang dipeluk itu adalah agama yang paling benar

bukanlah anggapan yang salah, bahkan yakin bahwa agama yang ia peluk adalah agama

yang paling benar, dan orang lainpun dipersilahkan untuk meyakini bahwa agama yang

ia peluk adalah agama yang paling benar. Malapetaka akan timbul apabila orang yang

yakin bahwa agama yang ia peluk adalah agama yang paling benar, lalu beranggapan

bahwa karena itu orang lain harus ikut ia untuk memeluk agama yang ia peluk.

Menurut Azyumardi Azra, ada beberapa model dialog antarumat beragama

(tripologi), yaitu: Pertama, dialog parlementer (parliamentary dialogue), yakni dialog

yang melibatkan ratusan peserta, seperti dialog World’s Parliament of Religions pada

tahun 1873 di Chicago, dan dialog-dialog yang pernah diselenggarakan oleh World

Conference on Religion and Peace (WCRP) pada dekade 1980-an dan 1990-an. Kedua,

dialog kelembagaan (Institutional Dialogue), yakni dialog diantara wakil–wakil

institusional berbagai organisasi agama. Dialog kelembagaan ini sering dilakukan untuk

membicarakan masalah-masalah mendesak yang dihadapi umat beragama yang berbeda.

Dialog seperti ini biasanya melibatkan majelis-majelis agama yang diakui pemerintah

seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persatuan Gereja Indonesia (PGI), Konferensi

Waligereja Indonesia (KWI), Parisada Hindu Darmadan Perwalian Umat Budha

Indonesia (WALUBI). Ketiga, dialog teologi (theological dialogue). Dialog ini

mencakup pertemuan-pertemuan reguler maupun tidak, untuk membahas persoalan-

persoalan teologis dan filosofis. Dialog teologi pada umumnya diselenggarakan kalangan

intelektual atau organisasi-organisasi yang dibentuk untuk mengembangkan dialog

antaragama, seperti interfidei, paramadina, LKiS, LP3M, MADIA, dan lain-lain.

Keempat, dialog dalam masyarakat (dialogue in community), dialog kehidupan (dialogue

of live), dialog seperti ini pada umumnya berkonsentrasi pada penyelesaian “hal-hal

praktis dan aktual” dalam kehidupan yang menjadi perhatian bersama dan berbangsa dan

bernegara. Dialog dalam kategori ini biasanya diselenggarakan kelompok-kelompok

kajian dan LSM atau NGO. Kelima, dialog kerohanian (spritual dialogue), yaitu dialog

yang bertujuan untuk menyuburkan dan memperdalam kehidupan spritual di antara

berbagai agama.

Pada pihak Kristen, menurut Kate Zebiri sikap keterbukaan terhadap agama lain

telah melahirkan gerakan antar iman yang pada dekade terakhir terekspresikan dalam

dialog yang terorganisir. Vatican telah mendirikan sekretariat bagi agama non-Kristen

(Pasific Council for Interreligious Dialogue-PCID) pada tahun 1964 yang mempunyai

misi mempromosikan kajian tradisi-tradisi agama lain dan mensponsori dialog antar

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 55

Page 56: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

iman (interfaith dialogue). Vatican II (1962-5) juga telah mengeluarkan dokumen yang

berisi tentang penghormatannya terhadap orang-orang muslim, karena mereka

menyembah Satu Tuhan Yang Maha Hidup, Abadi, Pengasih dan Perkasa. Mereka juga

tunduk sepenuh hatinya kepada takdir Tuhan, sebagaimana yang dilakukan Ibrahim yang

merupakan sandaran keimanan Islam. Walaupun mereka tidak mengakui bahwa Yesus

sebagai Tuhan tetapi mereka mengakuinya sebagai Nabi. Mereka juga menghormati

Maryam, Ibu Yesus yang suci. Mereka juga menantikan Hari Perhitungan.

Praksis dialog agama yang sebenarnya seperti diungkap oleh Ahmad Gaus

adalah, dialog yang meleburkan diri pada realitas dan tatanan sosial yang tidak adil

dengan sikap kritis. Karena setiap agama memiliki nilai-nilai kebaikan dan misi

penegakan moralitas.

Dengan tegas dikatakan oleh Mudji Sutrisno, bahwa tidak cukup membangun

dialog antaragama hanya dengan dialog-dialog logika rasional, namun perlu pula logika

psikis. Maka ikhtiar dialog teologi kerukunan juga harus dibarengi dengan pencairan-

pencairan psikologis, seperti rasa saling curiga yang selama ini selalu muncul. Memang,

seperti juga yang diungkap oleh Kautsar Azhari, bahwa kendala dialog antar umat

beragama adalah persoalan eksklusivisme. Seorang eksklusivis akan terus berusaha agar

orang lain mengikuti agamanya dengan menganggap agama orang lain keliru dan tidak

selamat (truth claim).

Dengan demikian, sepanjang sikap di atas belum tercairkan, maka dialog menuju

cita-cita agama yang luhur sulit dicapai. Maka jangan khawatir dengan dialog, karena

yang ingin dicapai dalam dialog, kata Victor I. Tanja bukan soal kompromi akidah,

melainkan bagaimana akhlak keagamaan kita dapat disumbangkan kepada orang lain.

Dan seperti tegas Shihab, bahwa kita tidak ingin mengatasnamakan ajaran agama, dan

kemudian mengorbankan kerukunan beragama. Dan pada saat yang sama, kita tidak

ingin menegakkan kerukunan agama dengan mengorbankan agama. Islam mendambakan

kerukunan, tetapi jangan lantas demi kerukunan, agama kita terlecehkan.

Ulil Abshar Abdalla dalam artikelnya, “Beberapa Kendala Praktis Dialog Antar

Agama”, menengarai tujuh kendala praktis di lapangan yang menghalangi pertemuan

antar umat beragama, yaitu: adanya kecenderungan dialog yang bersifat diskursif dan

elitis; kurang serius (baca: agresif) dalam memperjuangkan isu dialog; adanya

kesenjangan antara kelompok elit agama dengan mediator (da’i) di lapangan; tidak

memadainya “infra struktur dialog”; adanya prasangka antar umat beragama dan juga

intern umat beragama; adanya kesenjangan sosial dan ketidakadilan dan tidak adanya

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 56

Page 57: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

dialog intern umat beragama. Sementara menurut mantan menteri agama, Tholchah

Hasan, pembinaan kerukunan umat beragama yang ada selama ini, ditengarai masih

cenderung berorientasi struktural dan politis.

Dalam melakukan dialog dengan agama lain, apapun bentuknya, diperlukan

adanya sikap saling terbuka, saling menghormati dan kesediaan untuk mendengarkan

yang lain. Sikap-sikap ini diperlukan untuk mencari titik temu (kalimatun sawa’) antara

berbagai agama, karena masing-masing agama mempunyai karakteristik yang unik dan

komplek. Huston Smith, dalam pengantarnya mengungkapkan tentang tesis Schuon

mengenai hubungan antara agama-agama bahwa segala sesuatu memiliki persamaan dan

sekaligus perbedaan, demikian juga dengan agama. Agama-agama yang hidup di dunia

ini disebut “agama” karena masing-masing memiliki persamaan.

Persamaan atau titik temu antara agama-agama tersebut berada pada level

esoterisme, sedangkan pada level eksoterieme, agama-agama tampak berbeda. Oleh

karena itu, untuk mencari titik temu antar agama, perlu adanya kajian esoteris terhadap

agama. Menurut Raimundo Panikkar, untuk memahami agama-agama orang lain secara

komprehensif, kita harus memahami agamanya (kitab agama) melalui bahasa aslinya.

Kita tidak bisa mengabaikan perbedaan-perbedaan yang ada dalam masing-masing

agama untuk menarik kesimpulan bahwa “semua harus menjadi satu”. Menurutnya,

setiap agama merefleksikan, membenarkan, menambahi dan melawan yang lain.

L. Pluralisme dan Dialog Antarumat Beragama: Beberapa Pendekatan

Harus diakui, bahwa agama-agama, disamping memiliki klaim absolutisme, juga

memiliki klaim inklusivisme. Dalam konteks ini ada kasus menarik yang pernah dialami

oleh Nabi Muhammad, yaitu ketika kaum musyrik bersikeras menolak ajaran Islam,

maka demi kemaslahatan bersama Tuhan memerintahkan kepada Nabi untuk berkata

kepada mereka: “….Tuhan kelak akan menghimpun kita semua, kemudian Dia memberi

keputusan diantara kita dengan benar. Sesungguhnya Dia Maha Pemberi Keputusan lagi

Maha Mengetahui”.

Menurut penafsiran Quraish Shihab ketika absolutisitas diantar ke luar (ke dunia

nyata), Nabi tidak diperintahkan untuk menyatakan apa yang ada di dalam (keyakinan

tentang absolutisitas agama tersebut), tetapi justru sebaliknya. Itulah sebabnya menurut

Quraish Shihab, bahwa salah satu kelemahan manusia adalah semangatnya yang

menggebu-gebu, sehingga ada di antara mereka yang bersikap melebihi Tuhan, misalnya

menginginkan agar seluruh manusia satu pendapat, menjadi satu aliran dan satu agama.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 57

Page 58: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

Semangat yang menggebu-gebu ini pulalah yang mengantarkan mereka memaksakan

pandangan absolutnya untuk dianut orang lain.

Pada umumnya kebanyakan filosuf berpendapat bahwa hakikat realitas tertinggi

adalah satu, maka secara otomatis prinsip-prinsip filosofis yang digunakan semua agama

juga satu. Ketika ‘allamah Thabathaba’i berbicara tentang agama pada level filosofis ia

tidak pernah bersikap permissif, tetapi ketika kajiannya mulai menyentuh dataran

sosiologis ia sangat toleran, begitu pula muridnya, Muthahhari. Itulah sebabnya menurut

Shahab, dalam masalah perbandingan agama hendaknya digunakan perspektif filosufis,

bukan sosiologis, untuk menghindari pada jebakan simbol-simbol agama.

Dalam menghadapi pluralisme agama, John Hick menawarkan pendekatan lintas

budaya (crooss-cultural). Pendekatan ini menegaskan bahwa ada satu Tuhan tak terbatas

(Maha Kuasa) yang ada di balik semua kesan dan pandangan agama yang berbeda. Oleh

sebab itu menurut Hick, tidak beralasan bagi suatu agama yang mengklaim dirinya

paling benar dan menganggap agama yang lain salah. Adalah tidak mungkin bahwa

kesan paling lengkap atau kurang lengkap tentang Tuhan dilakukan dalam tradisi

keagamaan yang berbeda. Dalam karyanya, On Grading Religions, Hick berusaha

menilai agama-agama itu sebagai tradisi-tradisi yang utuh, (total) ketimbang melihatnya

sebagai fenomena keagamaan yang partikular dan pada akhirnya merupakan kerja yang

tidak realistik. Hick melihat tradisi perbedaan keagamaan dianggap sebagai sama-sama

produktif (equally-productive) dalam mengubah manusia dari perhatian pada diri sendiri

(Self-Centredness) menuju perhatian pada Tuhan (Reality-Centredness). Hick dalam hal

ini menganalisis kriteria dan pendekatan-pendekatan evauluatif yang mungkin dapat

membantu dalam menilai kultur keagamaan secara lengkap dan utuh.

Hick menganalisis tiga kriteria ketika orang menyambut dan menerima perantara

Tuhan dalam membangun sebuah tradisi keagamaan. Pertama, adalah kriteria moral

yang didasarkan pada sebuah tatanan moral universal, yang mempertanyakan: Apakah

perantara (mediator) itu lebih baik dari kejahatan, dan apakah ajarannya menawarkan

sebuah visi moral lebih baik dari pada moralitas umum yang ada? Kedua, kriteria yang

menfokuskan pada kemampuan mediator untuk mengungkapkan visi baru tentang

realitas yang mendorong manusia untuk mengikutinya: Apakah visi baru itu lebih baik,

dan apakah kehidupan baru dan lebih baik itu bisa melalui mediator tersebut? Ketiga,

kriteria yang memusatkan pada respon manusia: Apakah manusia bisa berubah dan

dijamin bahwa Tuhan kenyataannya mengantarkan mereka?

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 58

Page 59: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

Hick mengajukan evaluasi rasional mengenai kognisi, elemen-elemen teori

mengenai tradisi keagamaan dan evaluasi moral tentang aktualisasi kultur-sejarah

kepercayaan keagamaan. Namun menurut penilaian Stenger4444 keduanya (baik evaluasi

rasional maupun moral) mengarah pada kesimpulan positif dan negatif, lebih kuat dan

lebih lemah yang memberi contoh setiap tradisi. Orang boleh juga mempertanyakan,

apakah visi dasar keagamaan berlanjut menjadi efektif secara “soteriologic”

(soteriologically effective) atau hidup yang transformatif, tetapi akhir pembuktian

tentang itu menurut Stenger bersifat eskatologis.

Memang, sebagaimana penilaian Stenger, Hick tidak menemukan kriteria yang

cukup untuk perbandingan yang memadai dan penilaian yang baik terhadap tradisi

keagamaan secara utuh. Meski begitu menurut Stenger, kriteria-kriteria yang dibuat Hick

itu bisa dipakai pada fenomena keagamaan khusus dan oleh karena itu patut

dipertimbangkan dalam persolan yang terkait dengan isu penilaian kebenaran keagamaan

tersebut.

Hick mengatakan bahwa semua cara yang ditempuh agama-agama menuntut

transformasi tunggal mengenai diri: dari pemusatan diri (Self-Centredness) menuju

pemusatan Tuhan (Reality-Centredness). Dalam beberapa cara keagamaan, orang harus

merubah perhatian ego dengan menggunakan hubungan baru dengan Tuhan. Hanya

kemudian, dapatkah diri (self) berhenti menjadi ego dan menemukan kebebasan otentik

yang dihubungkan dengan alam, sejarah, dan yang lain? Adalah tidak mungkin bahwa

semua pencerahan keagamaan berbeda ekspresi dari posisi keagamaan yang sama.

Pluralitas diantara agama-agama tidaklah mereduksi terhadap klaim bahwa mereka

semua memperlihatkan pencerahan yang sama atau praktik yang sama tentang

kebebasan4545.

Brian Fay dalam mengkaji fenomena sosial menggunakan pendekatan yang

disebut dengan pendekatan multikultural. Ada dua belas pendekatan multikultural

dalam filsafat ilmu sosial yang dibangun oleh Fay. Pendekatan ini mencoba

mendamaikan berbagai perbedaan pandangan dalam ilmu sosial dengan cara yang lebih

mendalam, plural, inklusif, tanpa sekat dan subjektivisme.

Dalam filsafat ilmu sosial terdapat pola yang bersifat dualistis yang

mendominasi. Pola itu terkait dengan pertanyaan: “Apakah satu pilihan atau pilihan

lainnya dan kemudian salah satu diantaranya dianggap pilihan yang benar?” Fay

berusaha menghindari dualisme yang merusak, misalnya: diri vs. orang lain;

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 59

Page 60: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

subjetivisme vs. objektivisme; atomisme vs. holisme; kebudayaan kita vs. kebudayaan

mereka; orang dalam vs. orang luar; kesamaan vs. perbedaan dst.

Fay menjelaskan tentang “memahami orang lain” dan “mengkritik orang lain”.

Antara memahami dan mengkritik adalah dua hal yang berbeda. Ilmu sosial terkait

dengan usaha memahami orang lain bukannya menilai orang lain.

Dari dua belas tesis filsafat multikultural yang dibangun Fay ini, ada empat poin

yang penulis anggap tepat untuk memahami pluralisme agama, yaitu: pertama,

mewaspadai adanya dikotomi, menghindari dualisme buruk dan berpikir secara dialektis.

Sebagaimana yang disarankan oleh Fay, kita tidak boleh terjebak pada kategori-kategori

yang saling bertolak belakang. Kategori-kategori atau dikotomi-dikotomi itu harus

disikapi secara terbuka dan dipikirkan secara dialektis; kedua, tidak menganggap orang

lain sebagai “yang lain”. Sebenaranya semua identitas pribadi pada hakikatnya menurut

Fay bersifat dialogis. Tidak ada pemahaman diri tanpa pemahaman orang lain, dan

jangkauan kesadaran diri kita dibatasi oleh pengetahuan orang lain; ketiga,

mentransendensikan kesalahan memilih antara universalisme dan partikularisme,

asimilasi dan pemisahan. Hendaknya kita memanfaatkan perbedaan, dengan mengambil

hikmah, pembelajaran dan saling menguntungkan; keempat, berpikir secara proses,

dengan pengertian kata kerja bukan kata benda (produk). Jika umat beragama mampu

menggunakan pendekatan multikultural dalam berinteraksi, maka keberadaan agama dan

perbedaan yang ada diantara agama-agama tidak akan menimbulkan pertentangan dan

konflik yang membahayakan.

Menyangkut masalah pemahaman dan peran agama, secara umum, dapat dilihat

dari dua aspek. Pertama adalah aspek konatif (conative aspects). Aspek ini berkaitan

dengan kemampuan agama dalam menyediakan sarana kepada masyarakat dan anggota-

anggotanya untuk membantu mereka menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan.

Kedua, aspeknya yang bersifat kognitif (cognitive aspects). Aspek ini terkait dengan

peranan agama dalam menetapkan kerangka makna yang dipakai oleh manusia dalam

menafsirkan secara moral berbagai kesukaran dan keberhasilan pribadi mereka; juga

sejarah masyarakat mereka di masa yang silam dan keadaannya di masa kini,

Pemahaman terhadap peranan agama semacam itu dapat ditemukan batu

pijakannya dalam berbagai sumber suci agama-agama semit. Dalam Islam misalnya, al-

Quran tidak hanya mewajibkan kepada umatnya untuk melakukan ibadah-ibadah ritual-

seremonial yang bisa memberikan kelegaan emosional dan spiritual, tetapi juga

membuka ruang penafsiran intelektual guna membantu manusia dalam mendapatkan

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 60

Page 61: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

makna dari seluruh pengalaman hidupnya. Peranan Islam seperti ini tampak dengan jelas

dalam hampir setiap ibadah ritualnya selalu terkandung apa yang biasa disebut dengan

pesan moral. Bahkan begitu pentingnya pesan moral ini, “harga” suatu ibadah dalam

Islam dinilai dari sejauh mana pesan moralnya bisa dijalankan oleh manusianya. Apabila

suatu ibadah tidak bisa meningkatkan moral seseorang, maka ibadahnya dianggap tidak

ada maknanya. Oleh karena itu, ketika seseorang melakukan hal-hal yang terlarang

secara fiqh dalam suatu ibadah, maka tebusannya adalah menjalankan pesan moral itu

sendiri. Misalnya, pada bulan puasa, sepasang suami istri berhubungan intim pada siang

hari, maka kifarat (dendanya) ialah memberi makan enam puluh orang miskin, karena

salah satu pesan moral puasa ialah memperhatikan orang-orang yang lapar di sekitarnya.

Aspek kognitif peranan agama semacam ini juga bisa dijumpai dalam agama

Kristen. Narasi tentang Ayub dalam Bibel misalnya atau Nabi Ayyub dalam al-Quran

merupakan simbol persoalan kemanusiaan yang mengandung ajaran moral sangat dalam.

Kesungguhan Ayub dalam menjalankan kewajiban sosial dan keagamaan memang tidak

serta merta menjadikannya bahagia, sebaliknya menyebabkan dia memperoleh cobaan

penderitaan. Tetapi kesungguhan Ayub dalam menghayati niali-nilai sakral yang terdapat

dalam perintah-perintah Tuhan bukan hanya menyebabkan dia bertahan atas penderitaan

tersebut, namun juga membantu dia menemukan makna dari seluruh pengalaman

hidupnya. Sehingga, ketika Ayub minta keterangan kepada Tuhan tentang apa yang

terjadi, bukan keadaan dirinya yang diutamakan tetapi justru nasib buruk yang menimpa

seluruh umatnya yang dikedepankan.

Pesan agama yang terpantul dari kisah tentang Ayub itu adalah, bahwa

ketidaksamaan nasib untung dan malang manusia tidak dapat dijelaskan begitu saja

menurut ukuran baik buruk manusiawi, tetapi harus dilihat pula dari segi adanya

penilaian-penilaian Tuhan di dalamnya. Di situlah terletak (salah satu) fungsi agama

yang penting, yaitu “memberikan makna moral dalam pengalaman-pengalaman

kemanusiaan”. Makna moral di sini paralel dengan apa yang dikatakan oleh Paul B.

Horton dan Chester L. Hunt, bahwa semua agama besar menekankan kebajikan seperti

kejujuran dan cinta sesama. Kebajikan seperti ini sangat penting bagi keteraturan

perilaku masyarakat manusia, dan agama membantu manusia untuk memandang serius

kebajikan seperti itu.

Persoalan makna agama sebagaimana tergambar pada ajaran Islam dan Kristen di

atas merupakan persoalan makna agama dalam pengalaman individual. Secara esensial,

persoalan yang sama bisa juga ditemukan pada level masyarakat secara keseluruhannya.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 61

Page 62: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

Persoalan-persoalan seperti ketidakadilan sosial, kesenjangan ekonomi, serta persoalan

kekuasaan merupakan rahasia umum dalam kehidupan masyarakat manusia. Fenomena

semacam ini secara sosiologis sangat bisa mendorong timbulnya penafsiran-penafsiran

moral terhadap tertib sosial yang ada. Pada situasi dan kondisi tertentu tidak jarang dapat

menimbulkan konflik-konflik sosial, apabila interpretasi yang dilakukan oleh masing-

masing anggota masyarakat tidak mencapai titik temunya.

Atas dasar pemahaman seperti itu, persoalan makna agama dalam pengalaman

masyarakat menjadi lebih unik dan rumit dibanding pada pengalaman individu. Apabila

suatu masyarakat mampu memahami peranan agama dalam membantu menafsirkan

secara moral pengalaman hidupnya secara tepat, maka agama akan hadir sebagaimana

fungsinya. Sebaliknya, jika mereka salah dalam melakukan interpretasi-interpretasi

tersebut maka agama bisa menjadi lahan subur bagi perkembangan konflik di tengah-

tengah masyarakat.

Jika agama memang menyumbang perdamaian, maka penganut agama harus

belajar meninggalkan absolutisme dan menerima pluralisme, demikian ungkap

Nurcholish Madjid. Kita boleh memandang agama sebagai absolut, namun yang harus

diingat bahwa pemahaman kita baik pribadi maupun kelompok menyimpan kualitas

kemanusiaan yang relatif. Petunjuk konkret untuk memupuk persaudaraan menurut

Nurcholish adalah, supaya suatu kelompok dari kalangan orang-orang beriman tidak

memandang rendah atau meremehkan orang dan agama lain.

Sekurang-kurangnya menurut Bambang Sugiharto, tantangan yang dihadapi

setiap agama saat ini ada tiga: pertama, soal disintegrasi dan degradasi moral; kedua,

soal pluralisme dan eksklusivisme; ketiga, soal ketidakadilan. Ketiga persoalan tersebut

sulit diatasi karena beberapa faktor, di antaranya adalah: karena adanya sikap agresif

yang berlebihan terhadap pemeluk agama lain; adanya konsep kemutlakan Tuhan yang

disalahmengertikan; dan adanya kepentingan luar agama (politik, ekonomi) yang turut

mengintervensi agama. Tetapi jika faktor di atas dapat diselesaikan, maka tantangan-

tantangan tersebut juga dapat dijawab.

Menurut Armahedi Azhar, terdapat lima penyakit yang menghinggapi para

aktivis gerakan keagamaan, yaitu: absolutisme, ekslusivisme, fanatisme, ekstremisme dan

agresivisme. Absolutisme adalah kesombongan intelektual, ekslusivisme adalah

kesombongan sosial, fanatisme adalah kesombongan emosional, ekstremisme adalah

sikap yang berlebihan dan agresivisme adalah tindakan fisik yang berlebihan.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 62

Page 63: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

Dalam kaitannya dengan pluralisme agama di Indonesia, Victor I. Tanja

menganjurkan adanya reorientasi misi dan dakwah. Menurut Tanja, tujuan misi dan

dakwah bukan untuk menambah jumlah kuantitas, melainkan harus dilandaskan pada

menciptakan umat yang tinggi ilmu, tinggi iman dan tinggi pengabdian (kualitas umat).

Sejalan dengan Tanja, Shahab menegaskan bahwa ketegangan agama yang terjadi selama

ini adalah karena pelaku dakwah (da’i, muballigh, missionaris) adalah orang-orang yang

cinta pada agamanya, tetapi tidak memiliki pengetahuan agama secara mendalam.

Akibatnya dakwahnya lebih cenderung propagandis dan provokatif.

Tentu saja dengan masih adanya konflik antar umat pada beberapa tahun terakhir

ini tidak bisa dikembalikan begitu saja kesalahannya pada pendekatan dialog secara an

sich sebab disamping ada faktor-faktor lain yang ikut ambil bagian di dalamnya seperti

ekonomi, hukum, politik dan seterusnya. Sudah saatnya kini para pemuka agama mulai

mengedepankan misi agama yang terkait dengan masalah spiritualitas dan persoalan

kemanusiaan (keadilan, kejujuran, dan keramahan). Oleh sebab itu, salah satu hal yang

perlu diperhatikan dalam rangka menciptakan kerukunan umat beragama di tengah

pluralitas ini adalah dengan memahami ajaran agama masing-masing secara utuh.

4. Pemahaman Psikologi Masyarakat Indonesia Sebagai Upaya Menjembatani

Permasalahan Silang Budaya

A. Pendahuluan

Permasalahan silang budaya terkait dengan paham kultural materialisme yang

mencermati permasalahan budaya dari pola pikir dan tindakan dari kelompok sosial

tertentu. Pola temperamen yang relatif seragam ini ditentukan oleh faktor keturunan,

kebutuhan dan hubungan sosial yang terjadi di antara mereka, sehingga dalam kehidupan

suatu kebudayaan cenderung untuk mengulang-ulang bentuk-bentuk perilaku tertentu,

karena pola perilaku tersebut diturunkan melalui pola asuh dan proses belajar.

Kemudian muncullah struktur kepribadian rata-rata, atau stereotipe perilaku yang

merupakan ciri khas suku bangsa dan masyarakat tertentu.

Masyarakat Indonesia yang majemuk terdiri dari berbagai budaya, karena adanya

kegiatan dan pranata khusus. Perbedaan ini justru berfungsi mempertahankan dasar

identitas diri dan integrasi sosial masyarakat tersebut. Pluralisme masyarakat, dalam

tatanan sosial, agama dan suku bangsa, telah ada sejak nenek moyang, kebhinekaan

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 63

Page 64: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

budaya yang dapat hidup berdampingan, merupakan kekayaan dalam khasanah budaya

Nasional, bila identitas budaya dapat bermakna dan dihormati, bukan untuk kebanggaan

dan sifat egoisme kelompok, apalagi diwarnai kepentingan politik. Permasalahan silang

budaya dapat terjembatani dengan membangun kehidupan multi kultural yang sehat ;

dilakukan dengan meningkatkan toleransi dan apresiasi antarbudaya. Yang dapat diawali

dengan pengenalan ciri khas budaya tertentu, terutama psikologi masyarakat yaitu

pemahaman pola perilaku masyarakatnya. Juga peran media komunikasi, untuk

melakukan sensor secara substantif dan distributif, sehingga dapat menampilkan

informasi apresiatif terhadap budaya masyarakat lain.

Pendidikan sebagai proses humanisasi menekankan pembentukan makhluk sosial

yang mempunyai otonomi moral dan sensivitas /kedaulatan budaya, yaitu manusia yang

bisa mengelola konflik, menghargai kemajemukan, dan permasalahan silang budaya.

Toleransi budaya di lembaga pendidikan dapat diupayakan lewat pergaulan di sekolah

dan muatan bidang studi, transformasi budaya harus dipandu secara pelan-pelan, bukan

merupakan revolusi yang dipaksakan.

Pemerintah telah bertekad untuk dapat memajukan masyarakat serta pendidikan

nasional, yang berakar pada kebudayaan nasional (Pasal I ayat 2 Undang-Undang No II

tahun 1989), tekad ini mengandung pengertian bahwa penyelenggaraan pendidikan

Nasional akan selalu berpijak pada bumi dan budaya Indonesia. Berangkat dari

permasalahan di atas, makalah ini disusun dan bertujuan untuk dapat mengungkap

bagaimana upaya untuk dapat memahami psikologi masyarakat Indonesia sebagai upaya

menjembatani permasalahan silang budaya, pemahaman ini diperlukan karena pada

dasarnya kebudayaan pada suatu masyarakat merupakan perwujudan (pengejawantahan)

manusiawi dari individu-individu yang berada dalam masyarakat pendukungnya

sehingga permasalahan kebudayaan akan selalu berkembang sejalan dengan

perkembangan pola pikir dan kebutuhan manusia yang sudah barang tentu tidak bisa

lepas dari aspek psikologis dan kepribadian dari orang-orang dalam masyarakat tersebut.

Dalam konsep yang paling dominan kebudayaan dapat dimaknai sebagai

fenomena material, sehingga menurut faham ini pemahaman dan pemaknaan

kebudayaan lebih banyak dicermati sebagai keseluruhan system gagasan, tindakan dan

hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri

manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1980 : 193). Sejalan dengan pengertian

tersebut maka tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat akan terikat oleh

kebudayaan yang terlihat wujudnya dalam berbagai pranata yang berfungsi sebagai

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 64

Page 65: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

mekanisme kontrol bagi tingkah laku manusia (Geertz, 1973), kebudayaan adalah segala

sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial, oleh para anggota suatu

masyarakat. Sehingga suatu kebudayaan bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan

(Folkways) dan tata kelakuan (mores ) tetapi suatu sistem perilaku yang terorganisasi.

Masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai budaya secara logis akan

mengalami berbagai permasalahan, persentuhan antar budaya akan selalu terjadi karena

permasalahan silang budaya selalu terkait erat dengan curural materialisme yang

mencermati budaya dari pola piker dan tindakan dari kelompok sosial tertentu dimana

pola temperamen ini banyak ditentukan oleh faktor keturunan (genetic), ketubuhan dan

hubungan sosial tertentu. Nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan menjadi acuan

sikap dan perilaku manusia sebagai makhluk individual yang tidak terlepas dari

kaitannya pada kehidupan masyarakat dengan orietasi kebudayaannya yang khas,

sehingga baik pelestarian maupun pengembangan nilai-nilai budaya merupakan proses

yang bermatra individual, sosial dan cultural sekaligus.

Dalam kenyataan persentuhan nilai-nilai budaya sebagai manifestasi dinamika

kebudayaan tidak selamanya berjalan secara mulus. Permasalahan silang buaya dalam

masyarakat majemuk (heterogen) dan jamak (pluralistis) seringkali bersumber dari

masalah komunikasi, kesenjangan tingkat pengetahuan, status sosial, geografis, adat

kebiasaan dapat merupakan kendala bagi tercapainya suatu consensus yang perlu

disepakati dan selanjutnya ditaati secara luas. Ditambah lagi dengan posisi Indonesia

sebagai negara berkembang, akan selalu mengalami perubahan yang pesat dalam

berbagai aspek kehidupan, maka dengan meminjam istilah Budiono, yang menyatakan

bahwa pangkal masalah dalam masyarakat Indonesia adalah : masyarakat Indonesia

cenderung dapat dipandang sebagai “suatu masyarakat besar yang belum selesai”. Hal ini

dapat dikembalikan pada adanya berbagai dorongan sentripetal dan sentrifugal yang

bersilangan secara terus menerus naik ke permukaan secara silih berganti. Persentuhan

antar budaya yang terjadi secara dinamis dalam proses tawar menawar bisa mewujudkan

perubahan tata nilai yang tampil sekedar sebagai pergeseran ( (shift) antar nilai, atau

peresengketaan (conflict) antar nilai atau bahkan dapat berupa benturan (clash) antar

nilai tersebut. Apapun bentuk dan perwujudan dari permasalahan silang budaya, harus

dapat dipandu dan dikendalikan, atau paling tidak diupayakan adanya mekanisme yang

dapat menjembatani permasalahan ini, baik melalui jalur pendidikan maupun media

masa.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 65

Page 66: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

Harus dipahami bahwa penggalian budaya nasional bukan diarahkan

konformisme budaya, tetapi lebih diarahkan pada totalitas nilai dan perilaku yang

mencerminkan hasrat dan kehendak masyarakat Indonesia dalam berbangsa dan

bernegara sehingga mempunyai dua arah pokok yaitu fungsi pelestarian dan fungsi

pengembangan. Fungsi pelestarian diarahkan pada pengenalan dan pendalaman nilai-

nilai luhur budaya bangsa yang bersifat universal, dan merupakan kekayaan budaya

bangsa yang tak ternilai harganya, sehingga diharapkan dapat menumbuhkan dan

memperkokoh rasa cinta tanah air dan kebanggan nasional. Dalam fungsi

pengembangan diarahkan pada perwujutan budaya nasional yaitu perpaduan keragaman

budaya tradisional ditambah dengan nilai-nilai baru yang tidak bertentangan dengan

nilai-nilai universal yang berlaku dalam budaya masyarakat, guna memperkaya budaya

bangsa dan mempekukuh jati diri dan kepribadian bangsa.

Kebudayaan Etnis yang kadangkala sedemikian kuat membelenggu, perlu

dipahami sebagai kebudayaan sekumpulan individu yang bersatu kedalam etnis tertentu

oleh karenanya permasalahan silang budaya, hanya dapat terjembatani dengan

pemahaman bahwa keutuhan suatu bangsa dapat terbentuk dengan kesadaran setiap

individu dan kesadaran setiap etnis yang terhimpun dalam suatu bangsa , sehingga perlu

membina kesadaran individu dan kesadaran etnis sebagai himpunan individu.

B. Psikologi Masyarakat

Masyarakat dan kebudayaannya pada dasarnya merupakan tayangan besar dari

kehidupan bersama antara individu-individu manusia yang bersifat dinamis. Pada

masyarakat yang kompleks (majemuk) memiliki banyak kebudayaan dengan standar

perilaku yang berbeda dan kadangkala bertentangan, Perkembangan kepribadian individu

pada masyarakat ini sering dihadapkan pada model-model perilaku yang suatu saat

diimbali sedang saat yang lain disetujui oleh beberapa kelompok namun dicela atau

dikutuk oleh kelompok lainnya, dengan demikian seorang anak yang sedang berkembang

akan belajar dari kondisi yang ada, sehingga perkembangan kepribadian anak dalam

masyarakat majemuk menunjukkan bahwa pola asuh dalam keluarga lebih berperan

karena pengalaman yang dominan akan membentuk kepribadian, satu hal yang perlu

dipahami bahwa pengalaman seseorang tidak hanya sekedar bertambah dalam proses

pembentukan kepribadian, namun terintegrasi dengan pengalaman sebelumnya, karena

pada dasarnya kepribadian yang memberikan corak khas pada perilaku dan pola

penyesuaian diri, tidak dibangun dengan menyusun suatu peristiwa atas peristiwa lain ,

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 66

Page 67: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

karena arti dan pengaruh suatu pengalaman tergantung pada pengalaman-pengalaman

yang mendahuluinya.

Masyarakat Indonesia sebagai salah satu negara berkembang mempunyai ciri ,

adanya perubahan yang sangat pesat dalam berbagai aspek kehidupan, baik perubahan

system ekonomi, polotik sosial dan sebagainya, dan dalam kenyataan tidak ada satupun

gejala perubahan sosial yang tidak menimbulkan akibat terhadap kebudayaan setempat.

Kebudayaan dianggap sebagai sumber penggalangan konformisme perilaku individu

pada sekelompok masyarakat pendukung kebudayaan tersebut, karena setiap anak

manusia lahir dalam suatu lingkungan alam tertentu (nature) dan dalam satu lingkungan

kebudayaan tertentu (culture) yang keduanya merupakan lingkungan yang secara apriori

menentukan proses pengasuhannya (nurture) dalam pengembangannya sebagai anak

manusia, dalam proses pembelajaran, sehingga dalam kanyataan, kebudayaan cenderung

mengulang-ulang perilaku tertentu melalui pola asuh dan proses belajar yang kemudian

memunculkan adanya kepribadian rata-rata, atau stereotype perilaku yang merupakan

ciri khas dan masyarakat tertentu yang mencerminkan kepribadian modal dalam

lingkungan tersebut, dari pemahaman ini kemudian muncul stereotipr perilaku pada

sekelompok individu pada masyarakat tertentu..

Konsep watak kebudayaan sebagai kesamaan regularities sifat di dalam

organisasai intra psikis individu anggota suatu masyarakat tertentu yang diperoleh

karena cara pengasuhan anak yang sama di dalam masyarakat yang bersangkutan,

(Margaret Mead,) Apabila ini dikaitka dengan konsep watak masyarakat (social

character) dilandasi oleh pikiran untuk menghubungkan kepribadian tipical dari suatu

kebudayaan (watak masyarakat) dengan kebutuhan obyektif masyarakat yang dihadapi

suatu masyarakat. Dalam hal ini Danandjaja : 1988 ) ingin menggabungkan antara

gagasan lama tentang sifat adaptasi pranata sosial terhadap kondisi lingkungan, dengan

modifikasi karakterologi psiko analitik. Teori Erich Formm mengenai watak

masyarakat (social character) kendati mengakui juga asumsi dari teori lainnya mengenai

tranmisi kebudayaan dalam hal membentuk “kepribadian tipikal’ atau kepribadian

kolektif namun dia telah juga mencoba untuk menjelaskan fungsi-fungsi sosio historical

dari tipe kepribadian tersebut. Yang menghubungkan kepribadian tipikal dari suatu

kebudayaan dengan kebutuhan obyektif yang dihadapi suatu masyarakat. Untuk

memuskan hubungan itu secara efektif suatu masyarakat perlu menerjemahkannya

kedalam unsur-unsur watak (traits) dari individu anggotanya agar mereka bersedia

melaksanakan apa yang harus mereka lakukan.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 67

Page 68: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

Unsur-unsur watak bersama tersebut membentuk watak masyarakat dari

masyarakat tersebut melalui latihan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak-anak

mereka, sementara orang tua telah memperoleh unsur-unsur watak tersebut baik dari

orangtuanya atau sebagai jawaban langsung terhadap kondisi-kondisi perubahan

masyarakat Dalam konteks ekologi kebudayaan manusia merupakan hasil dari 2 proses

yang saling mengisi yaitu adanya perkembangan sebagai hasil hubungan manusia

dengan lingkungan alamnya yang mendorong manusia untuk memilih cara dalam

menyesuaikan diri secara aktif dan kemampuan manusia dalam berpikir metaphoric

sehingga dapat memperluas atau mempersempit jangkauan dari lambang-lambang dalam

system arti yang berkembang sedemikian rupa sehingga lepas dari pengertia aslinya,

sehingga kebudayaan secara umum diartikan sebagai kompleksitas system nilai dan

gagasan vital yang menguasai atau merupakan pedoman bagi terwujudnya pola tingkah

laku bagi masyarakat pendukungnya.

C. Masyarakat Multikultural dan Masalah Silang Budaya

Masyarakat indonesia dan kompleks kebudayaannya masing-masing plural

(jamak ) dan heterogen (anekaragam). Pluralitas sebagai kontradiksi dari singularitas

mengindikasikan adanya suatu situasi yang terdiri dari kejamakan, yaitu dijumpainya

berbagai sub kelompok masyarakat yang tidak bisa di satu kelompokkan satu dengan

yang lainnya, demikian pula dengan kebudayaan mereka, sementara heterogenitas

merupakan kontraposisi dari homogenitas mengindikasi suatu kualitas dari keadaan

yang menyimpan ketidak samaan dalam unsur-unsurnya.

Hambatan-hambatan yang potensial dimiliki oleh suatu masyarakat yang plural

dan heterogen juga dapat ditentukan dalam banyak aspek lainnya : Struktur sosial yang

berbeda akan menghasilkan pola dan proses pembuatan keputusan sosial yang berbeda,

pluralitas dan heterogentitas seperti diuraikan di atas juga tanpa memperoleh tantangan

yang sama kerasnya dengan tantangan terhadap upaya untuk mempersatukannya melalui

konsep negara kesatuan yang mengimplikasikan bahwa penyelenggaraan pemerintahan

dilakukan secara sentralistik.

Masyarakat Indonesia yang majemuk yang terdiri dari berbagai budaya, karena

adanya berbagai kegiatan dan pranata khusus dimana setiap kultur merupakan sumber

nilai yang memungkinkan terpeliharanya kondisi kemapanan dalam kehidupan

masyarakatta pendukungnya, setiap masyarakat pendukung kebudayaan (culture bearers)

cenderung menjadikan kebudayaannya sebagai kerangka acuan bagi perikehidupannya

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 68

Page 69: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

yang sekaligus untuk mengukuhkan jati diri sebagai kebersamaan yang berciri khas

(Fuad Hassan, 1998). Sehingga perbedaan antar kebudayaan, justru bermanfaat dalam

mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakat tersebut. Pluralisme

masyarakat dalam tatanan sosial agama, dan suku bangsa telah ada sejak jaman nenek

moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan secara damai merupakan

kekayaan yang tak ternilai dalam khasanah budaya nasional karena diunggulkannya

suatu nilai oleh seseorang atau sekelompok masyarakat, bukan berarti tidak

dihiraukannya nilai-nilai lainnya melainkan kurang dijadikannya sebagai acuan dalam

bersikap dan berperilaku dibandingkan dengan nilai yang diunggulkannya. Sehingga

permasalahan multicultural justru merupakan suatu keindahan bila indentitas masing-

masing budaya dapat bermakna dan diagungkan oleh masyarakat pendukungnya serta

dapat dihormati oleh kelompok masyarakat yang lain , bukan untuk kebanggan dan sifat

egoisme kelompok apalagi bila diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik tertentu

misalnya digunakanya symbol-simbol budaya jawa yang “salah kaprah” untuk

membengun struktur dan budaya politik yang sentralistik.

Masalah yang biasanya dihadapi oleh masyarakat majemuk adalah adanya

persentuhan dan saling hubungan antara kebudayaan suku bangsa dengan kebudayaan

umum lokal, dan dengan kebudayaan nasional. Diantara hubungan-hubungan ini yang

paling kritis adalah hubungan antara kebudayaan suku bangsa dan umum local di satu

pihak dan kebudayaan nasional di pihak lain. Pemaksaan untuk merubah tata nilai atau

upaya penyeragaman budaya seringkali dapat memperkuat penolakan dari budaya-

budaya daerah, atau yang lebih parah bila upaya mempertahankan tersebut, justru

disertai dengan semakin menguatnya Etnosentrime Etnosentrisme secara formal

didefinisikan sebagai pandangan bahwa kelompok sendiri adalah pusat segalanya dan

kelompok lain akan selalu dibandingkan dan dinilai sesuai dengan standar kelmok

sendiri. Etnosentrisme membuat kebudayaan diri sebagai patokan dalam mengukur baik

buruknya, atau tinggi rendahnya dan benar atau ganjilnya kebudayaan lain dalam

proporsi kemiripannya dengan kebudayaan sendiri, adanya. kesetiakawanan yang kuat

dan tanpa kritik pada kelompok etnis atau bangsa sendiri disertai dengan prasangka

terhadap kelompok etnis dan bangsa yang lain. Orang-orang yang berkepribadian

etnosentris cenderung berasal dari kelompok masyarakat yang mempunyai banyak

keterbatasan baik dalam pengetahuan, pengalaman, maupun komunikasi, sehingga

sangat mudah terprofokasi. Perlu pula dipahami bahwa sebagian besar masyarakat

Indonesia masih berada pada berbagai keterbatasan tersebut.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 69

Page 70: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

Ditambahkan oleh Budiono bahwa ; Dalam masyarakat selalu bekerja dua

macam kekuatan yaitu kekuatan yang ingin menerima perubahan dan kekuatan yang

menolek adanya perubahan. Meskipun selalu terdapat dua kekuatan, namun sejarah

memperlihatkan bahwa kaum konserfatif cepat atau lambat akan terdesak untuk

memberi tempat pada adanya perobahan. Proses itu seringkali tidak berjalan secara

linier, tapi berjalan maju mundur. Konflik antara kaum progresif dengan kaum

konserfative maupun konflik diantara kaum progresif itu sendiri. Dalam “masyarakat

yang sudah selesai” konflik itu sudah ditempatkan dalam suatu mekanisme yang

biasanya merupakan tatanan sosial politik yang sudah dirasionalisasikan sehingga

konflik itu didorong untuk diselesaikan secara argumentatif. Sebaliknya pada masyarakat

berkembang (masyarakat yang belum selesai) konflik itu biasanya berlangsung “secara

liar” karena para pelakunya masih sama-sama mencari mekanisme untuk menyelesaikan/

mengatasi perbedaan-perbedaan di antara mereka secara rasional, susahnya dalam

bersama-sama mencari mekanisme itu masing-masing kekutan progresif itu juga

berusaha untuk mencari kekuatan yang dominan, untuk mencari dan menentukan bentuk

mekanisme penyelesaian, kadang-kadang bentuk mekanisme itu bisa diusahakan

serasional mungkin tetapi bisa saja terjadi bahwa usaha-usaha itu dipadu dengan

pemaksaan fisik.

Dengan pemahaman pada fenomena tersebut landasan sosial budaya masyarakat

Indonesia yang bercorak pada masyarakat majemuk (plural society) perlu memperoleh

perhatian dan dikaji kembali, karena ideology masyarakat majemuk lebih menekankan

pada keanekaragaman suku bangsa akan sangat sulit untuk diwujudkan dalam masarakat

yang demokratis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk mencapai tujuan

proses-proses demokratisasi, ideology harus digeser menjadi ideology keanekaragaman

budaya atau multi kulturalisme, Kemajeukan masyarakat Indonesia yang terdiri atas

berbagai suku bangsa maka yang nampak menyolok dalam kemajemukan masyarakat

Indonesia adalah penekakanan pada pentingnya kesukubangsaan yang terwujud dalam

komunitas-komunitas suku bangsa, dan digunakannya kesukubangsaan tersebut sebagai

acuan utama bagi jati diri individu. Ada sentimen-sentimen kesuku bangsaan yang

memiliki potensi pemecah belah dan penghancuran sesama bangsa Indonesia karena

masyarakat majemuk menghasilkan batas-batas suku bangsa yang didasari oleh stereotip

dan prasangka yang menghasilkan penjenjangan sosial, secara primordial dan sobyektif.

Konflik-konflik yang terjadi antar etnik dan antar agama yang terjadi, sering kali

berintikan pada permasalahan hubungan antara etnik asli setempat dengan pendatang,

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 70

Page 71: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

konfkil –konflik itu terjadi karena adanya pengaktifan secara berlebihan jatidiri etnik

untuk solidaritas dalam memperebutkan sumber daya yang ada (Hamengku Buwono X.

2001).

D. Kendala dan Upaya Penyelesaian Permasalahan Silang Budaya

Dengan mencermati berbagai permasalahan silang budaya dan kondisi

masyarakat Indonesia, dapat ditenui adanya berbagai masalah yang ditengarai sebagai

kendala penyelesaian masalah diantaranya adalah : (1) Rendahnya tingkat pengetahuan,

pengalaman, dan jangkauan komunikasi sebagian masyarakat yang dapat mengakibatkan

rendahnya daya tangkal terhadap budaya asing yang negatif, dan keterbatasan dalam

menyerap serta mengembangkan nilai-nilai baru yang positif, sekaligus mudah sekali

terprofokasi dengan isu-isu yang dianggap mengancam eksistensinya (2) Kurang

maksimalnya media komunikasi dalam memerankan fungsinya sebagai mediator dan

korektor informasi, (3) Paradigma pendidikan yang lebih menekankan pengembangan

intelektual dengan mengabaikan pengembangan kecerdasan emosional, pembentukan

sikap moral, dan penanaman nilai budaya. Manusia terbuai kegiatan & pembangunan

yang pragmatis, yang memberikan manfaat materiil yang lebih mudah teramati dan

terukur, sehingga seringkali sangsi formal lebih ditakuti daripada sangsi moral. (4).

Meningkatnya gejala “Societal crisis on caring” (krisis pengasuhan dan kepedulian

dalam masyarakat) karena tingginya mobilitas sosial dan transformasi kultural yang

ditangkap dan diadopsi secara terbatas.

Sejalan dengan berbagai kendala yang ada maka upaya penyelesaian

permasalahan silang budaya dapat dilakukan dengan :

Pertama dapat dilakukan dengan membangun kehidupan multi kultural yang

sehat ; dilakukan dengan meningkatkan toleransi dan apresiasi antarbudaya. Yang dapat

diawali dengan peningkatan tingkat pengetahuan masyarakat tentang kebhinekaan

budaya, dengan berbagai model pengenalan ciri khas budaya tertentu, terutama

psikologi masyarakat yaitu pemahaman pola perilaku khusus masyarakatnya.

Kedua : Peningkatan peran media komunikasi, untuk melakukan sensor secara

substantif yang berperan sebagai korektor terhadap penyimpangan norma sosial yang

dominan, dengan melancarkan tekanan korektif terhadap subsistem yang mungkin keluar

dari keseimbangan fungsional. Pengungkapan skandal atau perbuatan yang merugikan

kepentingan umum dan melecehkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat,

harus disiarkan dengan fungsi sebagai pemeliharaan kestabilan. Sedang kontrol secara

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 71

Page 72: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

distributif, berfungsi memelihara keseimbangan sistem melalui diseminasi selektif dan

berbagai ragam teknik-teknik penyebaran maupun penyaringan informasi, yang

mungkin dapat mengundang kemelut dalam masyarakat atau menimbulkan perpecahan,

justru media komunikasi dituntut untuk dapat menampilkan berbagai informasi yang

bersifat apresiatif terhadap budaya masyarakat lain.

Ketiga : Strategi pendidikan yang berbasis budaya, dapat menjadi pilihan karena

pendidikan berbasis adat tidak akan melepaskan diri dari prinsip bahwa manusia adalah

faktor utama, sehingga manusia harus selalu merupakan sobyek sekaligus tujuan dalam

setiap langkah dan upaya perubahan. Nilai-nilai budaya tradisional dapat terinternalisasi

dalam proses pendidikan baik di lingkungan keluarga, pendidikan formal maupun non

formal. Khususnya pendidikan di sekolah diperlukan adanya paradigma baru yang dapat

menyajikan model & strategi pembelajaran yang dapat menseimbangkan proses

homonisasi yang melihat manusia sebagai makhluk hidup dalam konteks lingkungan

ekologinya, yang memerlukan terasahnya kemampuan intelektual untuk menghadapi

tantangan kesejagadan dengan pendidikan sebagai proses humanisasi yang lebih

menekankan manusia sebagai makhluk sosial yang mempunyai otonomi moral dan

sensivitas /kedaulatan budaya, sehingga terbentuk manusia yang bisa mengelola konflik,

dan menghargai kemajemukan, serta dapat tegar terhadap arus perubahan dengan

memperetajam sence of belonging, self of integrity, sence of participation dam sence of

responcibility sebagai benteng terhadap pengaruh faktor eksternal tersebut, transformasi

budaya harus dipandu secara pelan-pelan, bukan merupakan revolusi yang dipaksakan.

5. HARI BUDAYA NUSANTARA SEBAGAI NATION BUILDING,

CHARACTER BUILDING, DAN INVENTARISASI BUDAYA

“ Konflik – konflik yang terjadi di masa yang akan datang lebih disebabkan oleh

faktor–faktor budaya daripada ekonomi ataupun ideologi” ( Jacques Delors; Question

Concerning European Security). Pernyataan Jacques Delors di atas ada benarnya juga

melihat permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia dewasa ini. Hal ini dapat dilihat dari

kasus klaim budaya Indonesia oleh pihak Malaysia. Mulai dari gamelan, wayang, reog

ponorogo, sampai yang terakhir adalah Tari pendet. Kejadian tersebut memunculkan

sikap kemarahan terhadap Malaysia dan seruan – seruan “Ganyang Malaysia” kembali

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 72

Page 73: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

berkumandang. Ini menunjukkan bahwa ternyata budaya memang mampu menimbulkan

suatu konflik.

Tamparan keras yang kita peroleh dari Malaysia memberikan pelajaran berharga

bahwa bangsa ini belum bisa memberikan perlindungan terhadap aset – aset budaya.

Ketakutan beberapa kalangan budayawan tampaknya akan menjadi kenyataan bahwa

budaya kita akan menemui ”the end of history”. Ini menjadi sebuah peringatan yang

perlu menjadi perhatian lebih. Secara tidak disadari pencaplokan budaya oleh Malaysia

membangkitkan Nasionalisme kita. Ernest Renan pernah berkata bahwa bangsa adalah

satu jiwa. Terbukti tidak hanya orang Jawa yang geram ketika wayang kulit di klaim,

tidak hanya orang Bali yang marah ketika Tari Pendet di komersialkan Malaysia,

tampaknya semua masyarakat bangsa ini juga ikut marah. Rasa saling ”memiliki”

budaya di tiap–tiap daerah membuat alam bawah sadar bergejolak dan merasa

tersinggung ketika budaya yang kita banggakan direbut oleh pihak asing. Tanpa disadari

benih – benih nasionalisme yang ada di dada kita bangkit.

A. Nasionalisme dan Kebudayaan

Prof. Dr. Slamet Muljana mengartikan nasionalisme sebagai manifestasi

kesadaran bernegara atau semangat bernegara. Sedangkan Bung Karno dalam Dibawah

Bendera Revolusi jilid II membedakan nasionalisme di barat dengan nasionalisme di

Indonesia. Beliau beranggapan bahwa nasionalisme eropa ialah suatu sistem yang

melahirkan kolonialisme serta imperialis yang bersifat menghisap, merampas, dan

menjajah. Beda dengan nasionalisme Indonesia yang ingin terbebas dari penjajahan

karena baginya nasionalisme sejati lahir karena semangat menuntut keadilan dan

melawan penindasan.

Kata ”kebudayaan” berasal dari bahasa sansekerta Buddhayah yang merupakan

bentuk jamak dari kata ”budhi” yang memiliki arti budi atau akal. Dari sini kebudayaan

diartikan sebagai ”hal-hal yang bersangkutan dangan budi atau akal”. Menurut Clifford

Geertz, Kebudayaan (culture) sebagai sebuah pola makna atau ide–ide yang termuat

dalam simbol–simbol yang dengannya masyarakat menjalani pengetahuan mereka

tentang kehidupan.

Nasionalisme merupakan sarana untuk mengungkap jati diri bangsa yang

nantinya berfungsi untuk penetapan identitas. Terkadang nasionalisme muncul seperti

sebuah orientasi kultural sehingga sering ditemui dalam tindakan politik. Kuntowidjoyo

mengintrodusir bahwa paralelisme transformasi sosial berarti bahwa

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 73

Page 74: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

perubahanperubahan memang sedang terjadi dalam skala dan kecepatan yang lebih,

sementara antara perubahan struktural dan perubahan kultural tidak sejalan, sehingga

terjadi anomie pada perangkat nilai. Anomie terjadi karena kesenjangan antara

industrialisasi, teknologisasi, dan urbanisasi di satu pihak, dan konservatisme budaya

tradisional di lain pihak. Industrialisasi telah melahirkan budaya massa yang mengarah

ke semangat kolektif dalam tata nilai; tekonologisasi telah menuntut penerapan metode

teknik dalam segala bidang; dan urbanisasi telah menyebabkan runtuhnya nilai-nilai

komunal sebuah masyarakat tradisional

B. Mencari Identitas Nasional ?

Gus Dur: “Saat ini Indonesia sedang dalam proses mencari Identitas Nasional.

Namun harus diakui pemerintah menghadapi banyak sekali hambatan dan masalah untuk

mewujudkan hal tersebut, seperti ancaman separatisme, militerisme dan konflik

keagamaan. Bahkan, juga ada sekelompok kaum militan yang merasa terancam”1[1].

 Apa sebenarnya yang dimaksud Gus Dur dengan identitas nasional? Sebelum

bicara lebih jauh, ada baiknya kita mengetahui apa arti dan makna kata tersebut.

Identitas, kalau mau lebih spesifik lagi, identitas kolektif, dapat dibagi menjadi lima

kategorie: Identitas gender (feminisme), identitas kedaerahan, identitas kelas-sosial,

identitas etnis dan yang terakhir identitas religius.2[2]

  Identitas kolektif. Feminisme sebagai identitas kolektif, memang pernah nge-

trend, terutama di negara negara (industri) maju; Eropa, Amerika Serikat dll.

Kolektivitas jenis ini, kendati populer, namun kurang mengikat, karena dibatasi oleh

benua, negara, etnis dan agama. Demikian pula, identitas kolektif yang bersifat

kedaerahan (lokalisme/ regionalisme). Keunikan sebuah daerah, (keunikan saja!) tak bisa

dijadikan alat untuk memobilisasi massa. Rupanya ini lebih banyak urusan ideologi

dibanding ekologi (natur). Kemudian masalah kelas sosial3[3] (borjuis vs. kelas buruh)

sebagai identitas kolektif, bukan saja kurang atraktif, akan tetapi keberadaannyapun

sangat meragukan. Identitas kelas (buruh sedunia?) sebagai identitas kolektif tak pernah

– benar-benar – eksis. Karena terbukti, kurang lem perekat emosional, disamping itu

1 [1] Hal ini diungkapkan Presiden Abdurrahman Wahid dalam pertemuan dengan sejumlah investor Inggris di Hotel Kempinski, Jakarta, 29 Mei 2000. (Tempo interaktif 29/5)

2[2] Mengenai identitas kolektif Anda bisa lihat: „National Identity“. A. D. Smith 1991: terutama h. 4-8 3[3] Diskusi lebih luas mengenai masalah kelas sosial baca Marx dan Weber.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 74

Page 75: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

juga, karena, tidak memiliki akar budaya yang kuat. Kalau dibanding identitas lain –

seperti identitas religius atau etnis, misalnya. Perlu diketahui, kelompok interes, dengan

basis ekonomi, bukanlah termasuk bentuk identitas kolektif yang stabil.

  Identitas religius dan identitas etnis sering kali, mengikat dan merekayasa (basis)

lebih dari satu kelas-sosial. Identitas religius berbeda dengan kelas sosial, masing-masing

berangkat dari segi kebutuhan dan aktivitas manusia yang berbeda. Identitas kelas

berangkat dari pola produksi dan tukar menukar barang dan jasa. Sedangkan identitas

religius tumbuh dan berkembang sebagai akibat dari hasil komunikasi dan proses

sosialisasi di masyarakat. Yang bersumber dari elemen-elemen budaya seperti nilai-nilai,

simbol, mitos, tradisi – yang sering dikodifikasi menjadi adat-istiadat dan ritual,

demikian menurut sosiolog Inggris Anthony D. Smith.

  Komunitas religius seringkali bersimbiose dengan identitas etnis. Tatkala

agama-‘agama dunia’ bersaing ketat, mencoba, berusaha mengaburkan atau bahkan

menghapuskan batas-batas ke-etnisan, yang terjadi malah sebaliknya. Kebanyakan

komunitas religius menyatu dengan kelompok-kelompok etnis. Hubungan ini malah bisa

lebih erat lagi. Ceritanya seperti ini: Komunitas religius yang semula kecil dan

sederhana, dalam kurun waktu tertentu, bisa saja berubah bentuk menjadi sebuah

komunitas etnis yang eksklusif. Sampai saat ini masih banyak minoritas etnis yang

memiliki ikatan religius.4[4]

  Definsi etnis dan nasion (bangsa) berubah-ubah dan selalu bermuatan politis dan

penuh rekayasa. Misalnya, identitas kolektif, bisa berarti identitas etnis dan bisa juga

berarti identitas nasional. Kenapa demikian?

  Begini. Dari perbedaan kultural, etnisitas membentuk batas-batas kultural. Dari

batas-batas kultural, sebuah bangsa membentuk batas wilayah negara. Kedua batas ini

bukan terbentuk secara alami, melainkan resultat dari berbagai macam strategi serta

struktur organisasi sosial/politik dll. baik batas yang merupakan produk kesewenang

wenangan kolonialisme abad 19, ataupun rekayasa kolonialisme internal (penguasa

bangsa sendiri) akhir abad 20. Singkat, kini etnisitas berarti: pertama sebagai pengganti

status minoritas (hampir disegala bidang) dan kedua, munculnya situasi dikotomis:

penguasa versus kelompok tertindas. Perlu diingat hanya gerakan etnis yang memiliki

karakter kelas sosial, bisa menjadi politis. Dan kalau politik mandeg gerakan etnislah

yang mengisi ruang politik itu.

4[4] Katholik/Protestan, Irlandia Utara.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 75

Page 76: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

  Etnisitas bisa juga dilihat sebagai ekspresi seseorang (baca kelompok) yang

mengacu pada etnis tertentu. Perbedaan (etnis) muncul, sebagai akibat dari bentuk kultur

yang berlainan. Namun yang terpenting, bukan substansi perbedaan-perbedaan tersebut

yang harus ditonjolkan, melainkan; bagaimana sebuah kelompok menamakan diri

mereka sendiri dan bagaimana mereka dinamakan oleh kelompok lain (Barth, 1969).

Hasil pemotretan pihak lain mestinya bisa dipakai sebagai pengakuan terhadap eksistensi

identitas diri sendiri. Jika cara ini tidak klop, maka sudah pasti identitas yang dimiliki,

tidak akan pernah stabil. (Elwert 1989:23). Sebagai contoh mungkin sekarang orang

Papua tak mau lagi kalau disebut sebagai orang Irian. Dalam kondisi “normal” (tanpa

krisis) soal identitas bukanlah masalah pokok. Namun dalam suasana krisis multi

dimensional, banyak orang bingung, yang kemudian lantas mencari tempat untuk

berlindung – rumah ibadah penuh. Acara-acara yang bernuansa religius dan kedaerahan

tambah marak. Wacana budaya lokal pun muncul. Masalah ini bisa dilihat sebagai akibat

dari kapitalisme yang makin meng-global, yang menyebabkan, fungsi negara-nasional,

disatu pihak kurang optimal (lemah) dan dipihak lain munculnya sentimen budaya lokal,

separatisme atau nasionalisme etnis. Kenapa kita harus heran tatkala melihat bangkitnya

nasionalisme etnis dimana-mana?

  Nasionalisme etnis dan nasionalisme teritorial. Dalam hal ini Smith (1981:14-20)

membedakan antara nasionalisme etnis, yakni gerakan yang berusaha keras

memperjuangkan kemandirian tradisi, kultur atau adat istiadat lokal. Sedangkan

nasionalisme teritorial, pertama tama bertujuan membentuk sebuah negara teritorial.

Pembagian Smith terasa kurang pas. Karena itu, perlu direvisi. Berbeda dengan Smith–

dan yang lebih relevan – Jäggi, membedakan antara periphere nasionalisme dan

nasionalisme sentral. Alasannya seperti ini; gerakan nasionalisme pinggiran, yang

tercerabut dari akar kulturalnya, memiliki dinamika yang berbeda dengan nasionalisme

dominan. ‘Nasionalisme pinggiran’ bertujuan merubah struktur kekuasaan, sedangkan

‘nasionalisme di pusat’ memperkuatnya (Jäggi 1993:23). Dengan kata lain, setiap usaha

pencarian identitas (nasional), selamanya akan memicu munculnya identitas-identitas

“nasional” tandingan. Karena (kalau menurut Fredrik Barth 1969): Identity makes

counter- identity. Dan identitas kolektif tak pernah nyelonong begitu saja jatuh dari

langit. Identitas memiliki asal usul yang ‘jelas’ dan selamanya merupakan produk sejarah

– penuh rekayasa politik dan sarat muatan ideologi dan manipulasi. Akhirnya identitas

etnis, misalnya, dianggap sebagai sesuatu yang (pernah dan terus) eksis – walau ratusan

tahun sekalipun.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 76

Page 77: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

  Aceh. Misalnya, peringatan 360 tahun wafatnya Sultan Iskandar Muda dirayakan

secara militer, 27 Desember tahun lalu, merupakan momentum bagi bangsa Aceh untuk

meningkatkan persatuan, katanya. Menurut Hasan Di Tiro, Aceh sedang berada di

ambang kemerdekaan – kembali ke masa pimpinan Sultan Iskandar Muda abad 16, yang

terkenal ke seluruh dunia. Kehidupan rakyatnya sangat makmur. Disebabkan pimpinan

selalu bertindak adil, bijaksana, dan selalu bersikap jujur sehingga terkenal di kawasan

Asia, Eropa, dan tanah Arab. Menurut dia, keadaan itulah yang hendak dikembalikan

ketika Aceh Sumatera mencapai kemerdekaannya nanti (lihat : Waspada 28 Desember

1999). Singkat, kasus Aceh boleh dibilang sebagai kombinasi antara represi politik

(DOM) dan penghisapan sumber daya alam, yang kemudian menyebabkan identitas etnis

yang sudah kuat menjadi makin kental.

  Maluku. Sedangkan konflik (“Kristen/Islam”) Maluku, lain lagi. Penyelesaian

persoalan, tidak mudah, kata Presiden Adurrahman Wahid, baru baru ini, karena ini

berakar sejak zaman Belanda, di mana golongan Kristen ketika itu mendapat perlakuan

istimewa dari Belanda, misalnya untuk menjadi anggota militer. Ketika Soeharto (dan

kemudian Habibie) berkuasa, keadaan terbalik, di mana kaum Muslimin menduduki

berbagai posisi penting, namun ketika Kristen protes, mereka dihadapi dengan

kekerasan. Karena itu, kekerasan yang terjadi sekarang ini tidaklah mungkin dihadapi

dengan kekerasan pula, ujar Abdurrahman Wahid (Kompas 04/05/00).

  Kasus bangsa Papua lebih “spesifik” lagi. Kongres Rakyat Papua, (4/6),

menyatakan, menolak penyatuan Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI). Proses penyatuan Papua yang dilakukan Pemerintah Belanda dan Pemerintah

Indonesia, selanjutnya dikukuhkan PBB, dinilai cacat hukum. Sebab itu, kongres

meminta dukungan internasional untuk kemerdekaan Papua. Demikian resolusi KRP

yang dibacakan oleh Thaha Al-Hamid di hadapan ribuan warga Papua. Menurut resolusi

yang dihasilkan oleh kongres itu, bangsa Papua telah berdaulat sebagai sebuah bangsa

dan negara sejak 1 Desember 1961 (Kompas 05/05/00).

  Kasus Riau sederhana saja. Proklamator Riau Merdeka, Prof. Dr. Tabrani Rab

menilai kedatangan Gus Dur ke Pekanbaru Riau (29/4) , kecuali menghabiskan dana

rakyat, juga tak ada gunanya serta tak menyelesaikan akar persoalan. Tabrani menilai

Gus Dur tak mampu menyelesaikan persoalan Riau. Sebab, hingga saat ini, Gus Dur

dianggapnya belum memahami akar persoalan masyarakat Riau. "Ini jelas terlihat.

Jangankan soal penyerahan wewenang pengelolaan pendapatan daerah. Soal UU No 22

dan 25 saja, tak jelas pelaksanaannya. Semua hanya omong kosong. Menurut Tabrani

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 77

Page 78: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

akar persoalan Riau sederhana saja: perbaikan taraf hidup. Keinginan itulah yang

mendorong munculnya Deklarasi Riau Merdeka, 15 Maret 1999 lalu (Tempo Interaktif

29/04/00).

Tuntutan Lampung kelihatan masih lebih bersahaja. Sekitar enam ribu warga

Bandar Lampung, (21/3) yang umumnya petani dari delapan kabupaten di Lampung itu,

berkumpul untuk menuntut "kemerdekaan dari segala macam penindasan" terhadap

rakyat dengan menggunakan momentum peringatan hari jadi provinsi Lampung yang ke-

36. (Waspada 22/03/00)

Perjuangan nationalisme-etnis, biasanya melalui empat tahap: fase keterpinggiran

(marginalisasi) yang cukup lama, fase penindasan yang brutal, fase perlawanan yang

menelan korban sangat banyak dan yang terakhir (kalau mujur) fase kemenangan.

Korban jiwa ataupun materi biasanya lebih banyak dihabiskan bukan untuk

membidani lahirnya, anak haram yang bernama separatisme melainkan usaha untuk

membunuhnya.

Logika nasionalisme. Sebenarnya tak ada istilah perjuangan nasional ataupun

pembebasan nasional. Yang ada yalah perang yang gunanya memperkuat

nasionalisme. Menindas bangsa lain atau ditindas oleh bangsa lain – memiliki fungsi

yang kira kira sama. Nasionalisme pinggiran bakal mengatakan bahwa apa yang

‘mereka’ lakukan adalah perang sebuah bangsa melawan negara sentral. Negara

sentral akan mengaku, bahwa mereka sedang memerangi teroris (GPK).

Nasionalisme dan integrasi nasional. Integrasi bukan hanya tergantung dari seberapa

besar kontrol pemerintah pusat terhadap daerah dan (sebaliknya) bagaimana respon

daerah terhadap pusat. Integrasi berarti saling ketergantungen antar daerah serta

partisipasi regional – dalam urusan atau masalah nasional. Pembedaan ini dapat

dibandingkan dengan perbedaan atara integrasi nasional dan nasionalisme.

Nasionalisme berkaitan erat dengan patriotisme, emosi nasionalis (perasaan senasib

seperjuangan sebagai satu bangsa). Kehadiran perasaan nasionalis ini diperlukan

untuk mengatasi jiwa kerdil (regionalisme, tribalisme, partikularisme atau

sekterianisme) sembari memperkuat hubungan vertikal – pusat daerah. Sebaliknya

integrasi nasional adalah sebuah konsep yang jauh lebih luas, yang tidak hanya

membahas kasus-kasus atau masalah-masalah daerah (pinggiran) akan tetapi juga

menyoroti hubungan antara pusat dan daerah. Misalnya seperti ini: faktor interaksi

masyarakat, faktor saling ketergantungan antara pusat dan daerah, antara daerah yang

satu dengan yang lain, bukan tergantung dari emosi nasional. Melainkan lebih

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 78

Page 79: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

banyak tergantung dari arah (dari mana dan kemana) mengalirnya kapital, apakah

uang mengalir lebih banyak dari pusat kedaerah atau sebaliknya – dari daerah ke

pusat?

Separatisme. Kasus yang terjadi di berbagai negara (multi etnik) di dunia bukanlah

separatisme, melainkan masalah yang lebih ‘ringan’ yakni emansipasi warga

masyarakat atau karsa bersama menuju masyarakat madani (civil society),

menciptakan kemakmuran bersama (keadilan ekonomis) dan atau mengatasi masalah

kerusakan lingkungan dsb.nya. Lahirnya separatisme boleh dianggap sebagai sebuah

hukuman terhadap negara karena pemerintahnya terlalu banyak (atau malah

sebelumnya terlalu sedikit?) memberikan ruang gerak bagi sentimen lokal.

Separatisme bukan merupakan masalah besar di dunia, yang menjadi masalah ialah

karena mereka semua mengaku (dan minta diakui) sebagai bangsa.

Identitas nasional dan teritorium (wilayah). Nasion (bangsa) adalah sebuah kesatuan

yang terikat dengan teritorium dan mesti memiliki wilayah (tanah tumpah daerah

mereka sendiri), kesamaan sejarah, sistim hukum/perundang undangan, hak dan

kewajiban serta pembagian kerja berdasarkan profesi.

Tak ada satu pun bangsa di dunia ini yang tidak memanipulasi sejarahnya sendiri!

Saya pernah bertanya pada seorang teman wanita, apakah dirinya mau kuliah

dengan menggunakan sanggul beserta kebaya khas keraton. Jawabannya tidak

mengagetkan karena dia menolak bahkan bilang ”gila kuliah pake kebaya plus sanggul!

Gak ah, malu aku gak gaul.”. memang kalau dipikir–pikir pasti banyak yang tidak mau

melaksanakannya. Dari sini bisa dilihat bahwa kita telah malu akan pakaian tradisional

yang menjadi identitas dirinya.

Contoh diatas memperlihatkan telah terjadi pengenyahan budaya atas nama

modernisasi. Paradigma yang ada sesuatu bahwa yang tradisional dianggap ketinggalan

jaman. Seolah–olah kita telah menjadi satu bangsa tiruan yang lupa akan kulitnya. Kita

menganggap budaya barat lebih bagus dari budaya kita sehingga semua budaya sendiri

ditinggalkan. Inilah yang dinamakan Samuel P. Huntington dalam bukunya The clash of

Civilization and The Remaking of World Order sebagai ”Benturan Peradaban” atau

Vaclav Havel menyebutnya “konflik-konflik kultural. Menurut Samuel P. Huntington,

Peradaban adalah entitas paling luas dari budaya.

Kita saat ini hampir kalah melawan budaya barat ketika mencermati penduduk

Indonesia. Konsep yang ditawarkan Bung Karno mengenai Nation Building and

Character Building bukannya tanpa sebab. Pelarangan menyanyikan musik – musik barat

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 79

Page 80: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

bertujuan agar kita mencintai musik tradisional dalam negeri. Tetapi hal ini banyak

ditentang masyarakat Indonesia dan baru sekarang terasa dampaknya ketika angklung

diakui sebagai alat musik Malaysia.

Bila dibiarkan terus–terusan yang terjadi adalah kita akan kehilangan identitas

kebangsaan karena budaya kita akan diambil oleh negara lain atau hilang dengan

sendirinya karena terabaikan oleh masyarakatnya. Padahal begitu banyak suku, bahasa

daerah, tarian, lagu, serta budaya yang hidup dan berasal dari negeri ini tetapi yang

diketahui dan dilestarikan begitu sedikit. Bahkan dalam kunjungan Bung Karno ke

Amerika Serikat yang waktu itu dipimpin oleh John F. Kennedy, pernah berkata ”Tuan

boleh punya bom atom, tapi kami punya seni yang tinggi”.

Ketika kita dihadapkan pada keadaan identitas yang hilang yang terjadi adalah

penyesalan. Disamping itu pemuda yang menjadi generasi penerus telah tidak sadar

kalau sedang dijajah. Penjajahan saat ini bukan secara fisik tetapi penjajahan budaya juga

telah terjadi. Telah terjadi modernisasi dan westernisasi yang kita telan mentah–mentah.

Eksesnya berupa universalisasi kultur tanpa memperhatikan budaya kita lagi dan

menganggapnya kuno. Maka daripada itu dibutuhkan formula untuk menjaga tradisi serta

khasanah budaya bangsa jangan sampai kita tidak mengenal diri kita sendiri.

C. Mencontoh Jepang

Untuk masalah ini kita perlu berguru kepada Jepang karena negara ini merupakan

negara maju yang tidak lupa akan budayanya serta memiliki jiwa nasionalisme yang

tinggi. Misalnya ketika Amerika mengembangkan tokoh – tokoh Walt Disney, Batman,

Superman, ataupun Spiderman sebagai ciri khas mereka dan mulai menjajah pemikiran

anak–anak di seluruh dunia, Jepang tampil sebagai negara yang tidak menelan mentah–

mentah budaya baru yang menjajah mereka tetapi menyesuaikan dengan Anime, Video

Game dan Manga. Lambat tapi pasti tokoh – tokoh tandingan dari Jepang bermunculan

dari Anime, Video game, dan Manga menjadi idola di beberapa negera. Bahkan tokoh–

tokoh disana tidak meninggalkan khas budaya Jepang. Malah dari sanalah kita mengenal

budaya Jepang.

Keistimewaan bangsa Jepang adalah kuatnya memegang tradisi. Mereka merasa

malu jika telah mengabaikan atau tidak tahu akan budayanya. Meskipun terkenal dengan

kemajuan teknologi dan informasi tetapi hal ini tidak lantas mengubah cara hidup

rakyatnya. Penerapan tradisi masih bisa dilihat dari sikap, cara berpikir, berpakaian,

berbahasa, serta cara makan – makanan. Mereka bisa melakukan penyerapan budaya luar

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 80

Page 81: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

yang disesuaikan dengan budaya lokal. Ini menunjukkan bahwa ternyata tidak semua

budaya menghambat modernisasi. Dan buktinya kita bisa melihat Jepang. Bukan berarti

saya memihak Jepang tapi kita wajib menjadikan teladan bagi kita untuk memajukan

bangsa tanpa membuang budaya atau tradisi yang dianggap kuno.

D. Hari Budaya Nusantara

Perlu pemerintah melakukan terobosan dengan memberlakukan Hari Budaya

Nusantara. Hari dimana tiap – tiap Provinsi atau minimal desa memiliki hari budaya

masing – masing yang telah disepakati oleh perangkat pemerintah setempat. Setiap

daerah wajib menggali budaya daerah serta mentransformasikannya kedalam sebuah

pertunjukan budaya di daerah tersebut. Penentuan hari budaya juga tidak sembarangan

karena harus memiliki nilai – nilai history serta muatan lokal yang berkembang di daerah

masing – masing.

Inilah hari yang mewajibkan seluruh warga daerah selalu memakai pakaian adat

daerahnya, memasak makanan khas daerah serta bebahasa daerah juga. Sekaligus

mengharuskan seluruh warga berkumpul untuk menyaksikan pameran budaya. Penting

juga menginformasikan nilai – nilai budaya yang diperingati sebagai hari budaya

nusantara kepada masyarakat atau perlu juga dimasukkan pada mata pelajaran khusus

mengenai nilai – nilai budaya yang diterapkan oleh masyarakat tersebut sehingga mereka

mengetahui harus mengetahui landasan filosofi apa yang mereka rayakan serta

mengajarkan sejarah budaya di daerah tempat mereka tinggal.

Disisnilah peran pemerintah, khususnya Departemen Kebudayaan untuk

membantu tiap – tiap daerah untuk memberikan pelatihan bermain alat musik tradisional

atau pelatihan menjadi dalang atau pelatihan menari tarian daerah masing – masing. Ini

wajib dilakukan karena langkah pertama dari masyarakat adalah pendidikan budaya yang

belum begitu dikenal oleh masyarakat awam. Sekaligus sebagai langkah pertama

pemerintah membeli pakaian adat kemudian menjual pakaian adat secara murah.

Nantinya hal ini akan menarik minat masyarakat untuk mencintai pakaian adatnya.

Apalagi ketika orang memakai pakaian adat ada rasa kebanggaan tersendiri serta

menunjukan identitas diri orang tersebut.

Dalam hal ini, setiap daerah mempunyai hari daerah masing–masing di seluruh

Nusantara sehingga dari Sabang – Merauke bisa saja tiap hari dalam sebulan di Indonesia

adalah Hari Budaya yang nantinya mampu menyedot para wisatawan asing dan tentunya

akan menambah devisa negara dari wisatawan mancanegara.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 81

Page 82: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

Pemerintah pun ikut mempromosikan budaya yang telah diperkenalkan oleh

daerah–daerah ke dunia internasional. Selain itu juga acara ini bisa menjadi waktu untuk

mempatenkan budaya yang telah diperkenalkan. Untuk itu Departemen Kebudayaan

perlu kiranya memberikan rangsangan berupa penghargaan bagi daerah yang mampu

menciptakan tarian & lagu daerah baru atau menyumbangkan khasanah budaya bangsa.

E. Keuntungan Hari Budaya Nusantara

Ada beberapa keuntungan yang bisa diperoleh dengan diselenggarakannya Hari

Budaya Nusantara bagi Pemerintah dan Warga Setempat. Pertama, inventarisasi asset

budaya bangsa. Dengan Hari Budaya Nusantara kita bisa mempatenkan budaya tiap –

tiap daerah serta bisa juga membuat database. Pencatatan ini perlu karena sebagai bukti

untuk menegaskan bahwa budaya yang telah dipatenkan merupakan milik bangsa ini.

Apalagi kalau ada daerah mampu mengembangkan budayanya atau menciptakan budaya

sendiri Ini juga sebagai antisipasi pencaplokan budaya oleh negara asing. Misalnya saja

Malaysia berdalih untuk menyelamatkan budaya Indonesia karena tidak dilestarikan

dengan baik. Jadi dari sinilah kita akan membungkam anggapan bahwa kita

mengabaikan budaya kita sendiri. Kedua, nation building and character building yang

terwujud. Agenda ini mampu membangkitakan wawasan kebangsaan. Dengan

mengetahui nilai –nilai budaya dan nilai – nilai sejarah yang terkandung dalam Hari

Budaya Nusantara di tiap – tiap daerah akan mampu membangkitkan rasa nasionalisme

serta mampu membentuk karakter bangsa yang asli. Orang Indonesia yang rajin, ramah,

telaten, beradab akan menjadi cermin bahwa pembangunan budaya juga ikut andil dalam

pembangunan karakter bangsa.

Mungkin dengan ini kita juga bisa memadukan kearifan local nilai–nilai global

sehingga adopsi yang kita lakukan mampu membentuk budaya dan karakter yang unik

dan khas untuk Indonesia. Apalagi dalam pandangan Koentjoroningrat Kebudayaan

masyarakat Indonesia: sikap mental sebagian besar masyarakat Indonesia belum cocok

untuk pembangunan. Oleh sebab itu sikap mental bangsa Indonesia harus diubah,

dicocokkan dan dimatangkan untuk pembangunan. Ditambahkan pula oleh

Koentjoroningrat, bahwa masih ada sikap yang menghambat pembangunan, karena

menghambat perkembangan individu dan meremehkan kualitas individu. Terutama

konsep memandang buruk, apabila seseorang menonjol (yang merupakan salah satu

aspek dari pranata gotong royong) menjadi penghalang bagi manusia Indonesia untuk

berkembang dan terusmenerus menyempurnakan mutu karyanya, disebabkan oleh

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 82

Page 83: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

ejekan-ejekan dan tuduhan, masyarakat, bahwa "ada orang yang ingin maju sendiri".

Ketiga, mengangkat ekonomi masyarakat dan negara .Hari Budaya Nusantara yang

berbeda tiap daerah memungkinkan setiap saat dikunjungi wisatawan domestic maupun

internasional. Secara otomatis akan menambah devisa serta menjadi tambahan

penghasilan bagi masyarakat. Tidak boleh dilupakan juga perlunya promosi, pengelolaan

serta bantuan pemerintah untuk membantu Budaya di tiap–tiap daerah untuk berkembang

karena hal ini bersifat mutualisme.

6. KONTRIBUSI PELESTARIAN NILAI-NILAI BUDAYA TRADISIONAL

DALAM PEMBENTUKAN JATI DIRI GENERASI MUDA

A. PENDAHULUAN

Dalam buku "Primitive Cultur" karangan E.B.Tylor dikutip oleh Prof. Harsojo

(1967:13), bahwa kebudayaan adalah satu keseluruhan yang kompleks, yang terkandung

di dalamnya pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan

kemampuan- kemampuan yang lain serta kebiasaan-kebiasaan yang didapat oleh

manusia sebagai anggota dari suatu masyarakat. R.Linton (1947) dalam bukunya "The

cultural background of personality" mengatakan bahwa kebudayaan adalah konfigurasi

dari tingkah laku yang dipelajari dan hasil-hasil dari tingkah laku, yang unsur-unsur

pembentuknya didukung dan diteruskan oleh anggota dari masyarakat tertentu.

Kebudayaan juga dapat diartikan sebagai keseluruhan bentuk kesenian, yang meliputi

sastra, musik, pahat/ukir, rupa, tari, dan berbagai bentuk karya cipta yang mengutamakan

keindahan (estetika) sebagai kebutuhan hidup manusia. Pihak lain mengartikan

kebudayaan sebagai lambang, benda atau obyek material yang mengandung nilai

tertentu. Lambang ini dapat berbentuk gerakan, warna, suara atau aroma yang melekat

pada lambang itu. Masyarakat tertentu (tidak semua) memberi nilai pada warna hitam

sebagai lambang duka cita, suara lembut (tutur kata) melambangkan kesopanan

(meskipun didaerah lain suara lantang berarti keterbukaan), dan seterusnya.

Koentjaraningrat (1982) memperinci kebudayaan kedalam tiga wujud dari

keseluruhan hasil budi dan karya manusia, yaitu:

a. sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan

dan sebagainya;

b. sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan manusia dalam masyarakat;

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 83

Page 84: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

c. sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Abdulkadir Muhammad (1987), menyebutkan tiga unsur budaya dalam diri

manusia, yaitu:

a. Unsur cipta (budi), berkenaan dengan akal (rasio), yang menimbulkan ilmu dan

teknologi (science and technology). Dengan akal itu manusia menilai mana yang

benar dan mana yang tidak benar menurut kenyataan yang diterima oleh akal (nilai

kebenaran atau nilai kenyataan).

b. Unsur rasa (Estetika), yang menimbulkan kesenian, dengan rasa itu manusia menilai

mana yang indah dan mana yang tidak indah (nilai keindahan).

c. Unsur karsa (etika), yang menimbulkan kebaikan, dengan karsa itu manusia menilai

mana yang baik dan mana yang tidak baik (nilai kebaikan atau nilai moral).

B. BUDAYA RENDAH HATI SEBAGAI JATIDIRI BANGSA

Secara umum kita mengakui bahwa masyarakat lampung memiliki nilai-nilai

budaya tersendiri. Elemen-elemen budaya yang dominan atau khas bagi masyarakat

lampung itu tertuang dalam prinsip Pi'il Pesenggiri (kehormatan, harga diri, perasaan

malu bersalah atau jika tak mampu berprestasi), bejulukbuadek (bergelar adat atau

bernama dan bergelar), memui-nyimah (ramah dan terbuka/peduli), nengah-nyappur

(bermasyarakat dan bergaul), sakay-sambayan (tolong menolong). Pi'il Pesenggiri

merupakan elemen budaya mengandung nilai positif, oleh karena didalamnya

mengandung keutamaan prinsip dan kedudukan terhormat dalam kehidupan masyarakat.

Masyarakat lampung pada dasarnya mendambakan kedudukan yang terhormat, prestasi

yang gemilang, menilai harga diri dari segi moral dan bukan perhitungan ekonomis.

Untuk mempertahankan dan meningkatkan kehormatan dan harga diri, maka berarti

masyarakat lampung mempunyai sumber daya yang besar dalam upaya menjauhkan diri

dari segala sikap dan perbuatan yang tercela atau melanggar ketentuan yang berlaku.

Dalam hal ini Prinsip Pi'il Pesenggiri perlu dipertahankan, diterapkan dan

diaktualisasikan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan formal

organisasi-organisasi pemerintah.

Dalam Sosiologi nilai-nilai kehormatan itu tercermin dalam stratifikasi sosial

yang terbentuk oleh karena ada yang dibanggakan. Apa yang dibanggakan itu terbatas,

sedikit pemilik/penganutnya dan dibutuhkan, sehingga seseorang atau golongan tertentu

terpola pada strata teratas dalam kehidupan masyarakat. Sumber kehormatan itu bisa

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 84

Page 85: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

karena luas pemilikan, status sosial budaya, kesolehan beragama, pendidikan dan lain-

lain (Abdul Syani, 1994).

Mejaga kehormatan dalam pergaulan kemasyarakatan dengan selalu berlomba

berbuat kebaikan dan kebenaran yang bermanfaat sesuai dengan nilai-nilai budaya yang

tercermin dalam konsep Pi'il Pesenggiri. Salah satu kehormatan wanita adalah kalau ia

mampu menutup auratnya, bukan justeru membukanya agar banyak mendapat perhatian.

Seorang pria atau wanita seharusnya menjaga dirinya agar tidak kejanguh (kelihatan

auratnya=Kalianda). Dalam Pasal 80 Kuntara Raja Niti dijelaskan bahwa "Jika ada pria

atau wanita yang kesunguh (kejanguh), maka baik yang kesunguh maupun yang melihat

aurat itu didenda 12 rial ke bawah menurut kedudukan orangnya". Penegakan wibawa

pemerintah atau hukum, berarti setiap pejabat yang bersalah mesti diadili lewat saluran

hukum yang berlaku, bukan justeru menyembunyikan kesalahan demi kehormatan.

Dalam Kuntara Raja Niti Pasal 161 (Ps.161 KRN), yang intinya bahwa apabila seseorang

penyimbang menerima suap (sogok) agar merahasiakan perbuatan tertentu, maka atas

kesalahan itu ia di hokum denda 24 rial.

Norma-norma yang berisikan keharusan, larangan, anjuran dan kebolehan dapat

digunakan sebagai standar perilaku untuk dapat mempertahankan kehormatan diri dari

perbuatan tercela dalam setiap usaha membangun karya-karya, memenuhi kepentingan

hidup keluarga, dan berbagai perjuangan cita-cita lainnya. Bersaing secara jujur, tidak

menginjak yang lain, berprofesi dengan landasan moral dan kebenaran. Lebih baik

bekerja sampingan sebagai sales dari pada harus menghalalkan segala cara demi status

dan kemasyhuran nama.

Dengan demikian berarti Pi'il Pesenggiri pada hakekatnya telah menunjukkan apa

yang disebut sebagai jatidiri masyarakat lampung pada umumnya. Sebagai warga

masyarakat yang dilahirkan dalam lingkungan adat dan pergaulan yang sarat dengan

nilai-nilai budaya yang mengutamakan kehormatan dan harga diri telah memberikan

pertanda tentang jatidiri yang khas. Oleh karena itu Pi'il Pesenggiri sangat berarti bagi

pembentukan jatidiri masyarakat lampung khususnya dan bangsa Indonesia pada

umumnya.

Jika Pi'il Pesenggiri tersebut dilihat dari keseluruhan selaras dengan system

kemasyarakatan masyarakat lampung pada umumnya, maka ia tidak terpisahkan dengan

elemen-elemen lainnya. Dikatakan demikian oleh karena dalam mempertahankan Pi'il

Pesenggiri senantiasa bensentuhan dengan elemen-elemen lainnya. Dan nampaknya

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 85

Page 86: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

memang popularitas jatidiri itu akan lebih tegas dan spesifik, jika dalam kiprahnya

disertai oleh potensi elemen-elemen pendukungnya.

Dalam hubungannya dengan elemen bejuluk-buadek, dasar Pi'il pribadi harus

mampu mempertahankan nama baik, status gelar adat yang diterima sesuai dengan

fungsinya dalam kehidupan masyarakat adat. Jika ia telah dinobatkan sebagai Suttan,

Pangeran, Raja, Ratu, Radin, Dalom, Batin, Minak, dan sebagainya, maka konsekuensi

bagi penyandangnya adalah harus mampu memberikan teladan positif kepada

masyarakat. Begitu pula halnya jika seseorang yang mempunyai posisi tertentu dengan

predikat pendidikan S1, S2 dan S3, mestinya ia mampu menerapkan secara konsekuen

agar kehormatan dapat dipertahankan.

Dengan kemampuan menjaga nama baik, bebarti segaligus merupakan

kemampuan menjaga Pi'ilnya. Bejuluk-buadek secara ideal melekat pada pribadi sebagai

identitas dengan kadar yang tercermin dalam setiap perilaku dan pergaulannya dalam

masyarakat. Jika identitas pribadi dapat dipelihara, dikembangkan dan diterapkan penuh

dengan rasa tanggungjawab dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, maka berarti

jatidiri masyarakat lampung adalah mengutamakan kelestarian nama baiknya, jauh dari

cela dan nista. Jati diri yang khas ini dapat dijadikan modal dasar yang penting bagi

upaya pembentukan jatidiri bangsa.

Jika dikaitkan dengan prinsip Nemui-nyimah (ramah-terbuka), berarti pribadi-

pribadi sebagai anggota masyarakat lampung memiliki tanggungjawab dan keharusan

untuk dapat mempertahankan, meningkat sikap dan perilaku ramah tamah, terbuka,

pemurah, sopan, sukarela, ikhlas dari lubuk hati yang dalam terhadap setiap tamu atau

siapa saja yang bertemu. Kepada siapa saja yang disebut tamu, kawan dekat atau pihak-

pihak yang memerlukan informasi harus dilayani dengan ramah dan berusaha agar orang

lain mendapatkan kepuasan dan senang hati. Tujuan dari pemenuhan tanggungjawab ini

tidak lain adalah untuk mempertahankan Pi'ilnya, karena salah satu ciri orang lampung

yang mempunyai Pi'il adalah jika ia mampu memelihara keramah-tamahannya ditengah-

tengah pergaulan masyarakat. Hal ini pertanda bahwa potensi jatidiri masyarakat

lampung pada umumnya terletak pada keramahtamahannya, baik dalam menerima tamu

maupun dalam pergaulan sehari-hari. Nemuinyimah, jika diterapkan dalam kehidupan

sehari-hari secara konsekuen, dan tidak hanya sekedar formalitas belaka, maka konflik

dapat dihindari, sehingga stabilitas sosial, kerukunan pergaulan dan ketenteraman

masyarakat dapat lebih terjamin.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 86

Page 87: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

Dengan demikian berarti elemen keramah-tamahan yang dimiliki oleh

masyarakat lampung sangat berarti bagi pembentukan jatidiri bangsa. Nengah-nyappur

(bermasyarakat dan bergaul), juga merupakan salah satu elemen yang tidak kalah

pentingnya untuk dipertahankan, jika seseorang hendak dikatakan mempunyai Pi'il atau

kehormatan. Masyarakat lampung yang memiliki Pi'il dapat dilihat dari luasnya cabang

hubungan pergaulannya dalam masyarakat. Semakin luas pergaulannya, kesukaan

bermasyarakat, kesukaan berbaur dengan segala kegiatan masyarakat yang positif, maka

semakin besar kemampuannya dalam bekerjasama, semakin memiliki tenggangrasa

(teposeliro=jawa) yang tinggi terhadap sesamanya.

Pergaulan yang luas dapat juga melahirkan dan menumbuh-kembangkan rasa

tanggungjawab, dan mampu bermusyawarah dalam rangka mencari kesepakatan

bersama. Orang-orang yang suka bermusyawarah merupakan sosok dambaan bagi

masyarakat, karena dianggap dapat maju/tampil dalam setiap acara atau aktivitas, dapat

menyelesaikan masalah-masalah sosial secara adil dan bijaksana. Dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa kemampuan seseorang dalam nengah-nyappur dapat

membangun simpati masyarakat, yang berarti sekaligus mendudukannya sebagai orang

populer dan keharuman nama baik. Orang-orang yang mempunyai popularitas dan

keharuman nama ini dapat dikategorikan sebagai orang-orang yang memiliki Pi'il

Pesenggiri. Hal ini berarti masyarakat lampung pada dasarnya memiliki potensi jatidiri

yang khas, yaitu suka bermasyarakat, suka bergaul dan tidak suka mengisolir diri.

Apabila potensi ini dapat dipertahankan dan disesuaikan dengan kemajuan

masyarakat, maka pantas apabila masyarakat lampung mada masa kemajuan ini dikenal

sebagai masyarakat yang adaptif dan innovatif. Dengan nengah-nyappur ini dapat

diteladani oleh sebagian besar masyarakat daerah di Indonesia sebagai upaya

pembentukan jatidiri bangsa.

Elemen Sakay-sambayan yang berarti suka tolong menolong terhadap sesame

merupakan wujud kebersamaan dalam senang dan susah. Tolong menolong ini biasanya

dilakukan dalam kegiatan-kegiatan pembangunan sarana umum, pembangunan rumah,

acara-acara adat, pada waktu warga masyarakat terkena musibah, atau dalam rangka

membangun kehidupan masyarakat secara ekonomis. Bentuk tolong menolong dapat

berupa tenaga, uang atau benda yang bernilai ekonomis, peralatan dan perlengkapan,

berupa sumbangan pemikiran atau nasehat-nasehat positif yang berguna, baik bagi

kepentingan bersama maupun pertolongan yang khusus ditujukan kepada anggota

masyarakat yang sedang dalam kesulitan. Mengajak kerjasama (setikuhan) dalam urusan

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 87

Page 88: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

pembangunan dan kemasyarakatan menunjukkan bahwa orang lain diperhitungkan dan

berguna bagi kelompok atau kerabatnya. Standar nilai yang dipakai dalam pelaksanaan

tolong menolong adalah moral dan keikhlasan (kerelaan) terhadap apa yang diberikan

tanpa mengharapkan imbalan secara tegas sebagaimana perhitungan untung rugi.

Suatu kebanggaan, kehormatan dan kepuasan bagi orang lampung jika ia telah

dapat memberikan sesuatu atau bantuan terhadap orang lain dan kerabatnya. Dengan

demikian berarti menunjukkan bahwa pribadi orang lampung merasa tidak terpandang

atau tidak terhormat apabila ia belum mampu berpartisipasi dalam kegiatan

kemasyarakatan atau belum mampu memberikan pertolongan yang bermanfaat kepada

orang lain yang membutuhkan.

Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan tolong menolong merupakan bagian

penting atau konsekuensi yang harus dipertahankan dan dikembangkan apabila pribadi

dikehendaki tetap terhormat. Orang yang dihormati oleh masyarakat oleh karena ia suka

membantu atau menolong orang lain adalah pribadi yang tergolong mempunyai Pi'il

Pesenggiri. Prinsip tolong menolong ini dapat dikategorikan sebagai sumber potensi

jatidiri, oleh karena tolong menolong merupakan ciri khas kepribadian masyarakat

lampung yang pada dasarnya merupakan kebutuhan pokok dalam kehidupan bangsa pada

umumnya, disamping sangat potensial dalam rangka mendukung pelaksanaan

pembangunan khususnya di daerah lampung. Itulah sebabnya, maka sakay-sambayan

sebagai elemen budaya daerah lampung sangat berarti bagi pembentukan jatidiri bangsa.

Mengenai budi bahasa dan titi gematie (titi=jalan, gematie= kelaziman/

kebiasaan/adat) yang artinya sopan santun dan adat-istiadat, adalah salah satu elemen

Pi'il Pesenggiri yang tidak kalah pentingnya dari elemen-elemen yang lain. Oleh

karenanya ada sebagaian ahli budaya lampung yang sengaja memisahkan pengertiannya

secara tersendiri. Sopan santun menunjukkan pribadi seseorang yang baik, berperasaan

dan suka menghormati orang lain, baik yang sebaya maupun terhadap orang yang lebih

tua atau orang-orang yang patut dihormati. Orang yang memiliki kesopanan dalam

bergaul, cenderung banyak disukai atau mendapatkan perlakuan dan

kehormatan/penghargaan secara timbal balik yang setimpal. Orang lampung percaya

bahwa perlakuan baik dan terhormat dari orang lain akan diperoleh setelah ia

menghormati orang lain dengan sopan santun. Sedangkan titi gematie diwujudkan dalam

bentuk kemampuan seseorang dalam menyesuaikan diri atau menempatkan diri pada

porsi atau kedudukannya dalam masyarakat sesuai dengan kemajuan zaman.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 88

Page 89: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

Titi gematie mengandung unsur hukum adat (hukum tak tertulis) yang yang pada

dasarnya memuat rambu-rambu larangan (cepalo), keharusan dan kebolehan dan segala

kelaziman diri dalam setiap melakukan sesuatu. Meskipun seorang penyimbang pada

masa sebelumnya lazim menyelipkan badik dipinggangnya dalam rapat adat, tapi pada

masa sekarang jika ia hendak mengikuti musyawarah desa tidak perlu membawa badik.

Secara umum budi bahasa dan titi gematie dapat diartikan sebagai kesopanan atau

tata krama yang berisikan kebaikan dan kejujuran yang berpedoman pada kelaziman dan

kepantasan yang berlaku (diakui umum). Bagi orang-orang yang mampu bersopan santun

sesuai dengan kebiasaan yang selama waktu tertentu diakui masyarakat, maka selama itu

pula ia berpotensi untuk mudah mendapatkan kedudukan terhormat (menjaga pi'ilnya)

ditengah-tengah pergaulan masyarakat. Dengan demikian berarti masyarakat lampung

mempunyai potensi jatidiri yang senantiasa menghendaki kehidupan kemasyarakatan

yang teratur penuh dengan sopan santun (tata krama) yang lues. Ini sangat penting

artinya dalam rangka mempermudah upaya pembentukan jatidiri bangsa. Oleh karena

budi bahasa dan titi gematie ini pada prakteknya dapat digolongkan kedalam elemen-

elemen lainnya seperti Bejuluk-buadek, Nemui-nyimah, Nengah-nyappur, dan Sakay-

sambayan, maka sebagian ahli budaya tidak menyorotinya secara khusus.

C. PI'IL PESENGGIRI SEBAGAI JATIDIRI BANGSA DALAM PERSPEKTIF

PEMBANGUNAN NASIONAL

Secara ilmiah dalam kondisi kehidupan masyarakat yang telah semakin

berkembang dan modern, tentu segala aktivitas selalu diperhitungkan fungsi dan

kemanfaatnya bagi kepentingan hidup manusia dalam masyarakat dengan landasan

kebenaran, kebaikan dan keindahan. Tidak menilai unsur kebudayaan secara subyektif,

melainkan menggunakan penalaran kausalitas yang logis sesuai dengan kehendak dan

kepentingan masyarakat daerah setempat. Hal ini berarti masyarakat setempat

selayaknya harus sudah mampu memilih, memberikan penilaian terhadap fungsi

kebudayaan yang telah ada, dan masyarakat harus berani menolak nilai-nilai yang tidak

sesuai lagi atau nilai-nilai budaya asing yang cenderung merusak prinsip kepribadian,

perangai, identitas atau jatidiri bangsa secara umum.

Sikap subyektif meskipun wajar, akan tetapi tetap tunduk terhadap prinsip adat

istiadat in-groupnya. Dengan demikian berarti kebiasaan outgroup/asing seharusnya

dapat dinilai secara ilmiah dan obyektif yang menyangkut usaha pemenuhan kebutuhan

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 89

Page 90: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

hidup, baik meterial maupun spiritual dengan pertimbangan rasio/akal, nilai etika dan

estetika/perasaan yang merupakan pandangan hidup bangsa.

Kehidupan masyarakat sebagai suatu kondisi pergaulan yang dinamis dengan

segala konsekuensinya perlu diikat dengan nilai-nilai dan makna moral yang terkandung

dalam prinsip Pi'il Psesenggiri sebagai jatidiri bangsa, agar dapat tercipta stabilitas sosial,

ekonomi dan hukum yang mantap. Pi'il Pesenggiri dalam proses perubahan dan

pembangunan perlu dipelihara, disulam, dibangun, dan dievaluasi secara terus menerus

agar tak terjadi disintegrasi. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa biang kerok dari

disintegrasi dan konflik itu adalah kemiskinan, kemerosotan moral dan ambisi

berlebihan. Oleh karena itu kita harus waspada agar gerakan modernisasi dalam

pembangunan segala bidang tidak berdampak negatif dan salah kaprah, agar tidak keliru

menilai rasa dan makna dari kebudayaan yang ada, khususnya penerapan Pi'il Pesenggiri

bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa masih banyak nilai Pi'il Pesenggiri yang

relevan dan dapat kita teladani dalam bergelut dengan kompleksitas kepentingan di abad

globalisasi ini. Membawa badik (beselok badik) atau senjata tajam dimasa kini perlu

dievaluasi secara cermat dengan pandangan yang rasional dari segi bahaya dan untung

ruginya. Pada akhirnya Pi'il Pesenggiri sebagai jatidiri masyarakat lampung pada

dasarnya menyimpan harga diri dan kehormatan yang rasional yang dapat diteladani

sebagai jatidiri bangsa. Bukan berarti harus melepas total nilai-nilai tradisi, karena alam

rasional yang domotori oleh orang-orang berakal sering juga membuat hidupan ini

menjadi rumit. Oleh karena itu Pi'il Pesenggiri sebagai jatidiri bangsa diharapkan dapat

jadi pedoman bertindak, sehingga kita tak perlu terburu-buru berbicara kualitas kalau

masih banyak orang yang tak puas.

Salah satu cara pemeliharaannya menurut Berger (dikutip dari Slamet Rahardjo,

Editor Nurdin HK., 1983) adalah dengan pendekatan kultural, sebab hanya manusia

budayalah yang suatu hari bisa berhenti dari kegiatannya, lalu melihat sekitar,

merenung ..., lalu timbul dalam sanubarinya desakan yang kuat untuk meninjau kembali

segala yang telah dijalaninya. Lalu ia merubah sikap atau memperbaiki apa yang selama

ini diyakini, atau bahkan merubah dan meninggalkannya. Dan merintis horizon

keyakinan yang baru, lebih matang dan lebih memadai. Solidaritas sosial sebagaimana

tersirat dalam prinsip Pi"il Pesenggiri diharapkan dapat mempererat persatuan dan

kesatuan dalam setiap derap langkah upaya pencapaian sasaran dan tujuan pembangunan.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 90

Page 91: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

Jatidiri bangsa suka menjadi penengah yang adil dapat dijadikan modal dasar

dalam pendekatan sosial budaya dalam rangka meningkatkan kwalitas pembangunan

hukum, sosial budaya dan pembangunan nasional. Pendekatan fungsional juga

nampaknya tidak kalah penting untuk memonitor perkembangan budaya dan

pembangunan daerah, terutama jika kita hendak mengetahui keselarasan kepentingan

masyarakat dengan unsur-unsur kebudayaan yang dianutnya. Dengan pendekatan ini

diharapkan berbagai kegiatan dapat diarahkan, diperbaiki atau dikembangkan, unsur-

unsur budaya mana yang merugikan atau menyimpang dari keharusan tuntutan stabilitas

sosial, keamanan dan kesejahteraan sosial masa kini.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Pi'il Pesenggiri sebagai jatidiri

masyarakat lampung merupakan modal dasar yang sangat penting bagi pembentukan jati

diri bangsa. Pi'il Pesenggiri sebagai jatidiri bangsa dapat dijadikan sebagai sumber

potensi dalam perspektif pembangunan yang tidak hanya terbatas bagi kepentingan

daerah lampung, akan tetapi sangat penting bagi pembangunan nasional. Kita belum

perlu mencari dan membentuk budaya baru, yang penting adalah meningkatkan kualitas

kemanfaatannya secara rasional dan adaptif.

7. HUBUNGAN ANTAR SUKU-BANGSA DAN GOLONGAN SERTA

MASALAH INTEGRASI NASIONAL

A. Umum

Sifat majemuk dari bangsa Indonesia, disamping merupakan kebanggaan

hendaknya pula dilihat bahwa suatu negara dengan keanekaragaman suku-bangsa dan

kebudayaan mengandung potensi konflik. Oleh karenanya guna menuju suatu integrasi

nasional Indonesia yang kokoh, terdapat berbagai kendala yang harus diperhatikan.

Dalam rangka mempersatukan penduduk Indonesia yang beranekawarna,

Koentjaraningrat (1982:345-346) melihat ada empat masalah pokok yang dihadapi, ialah

(a) mempersatukan aneka-warna suku-bangsa, (b) hubungan antar umat beragama, (c)

hubungan mayoritas-minoritas dan (d) integrasi kebudayaan di Irian Jaya dengan

kebudayaan Indonesia. Diantara sekitar 210 juta orang penduduk Indonesia dewasa ini,

sulit diketahui secara pasti distribusi jumlah dari masing-masing suku-bangsa. Terakhir

kalinya, Sensus Penduduk di Indonesia yang memuat items suku-bangsa adalah yang

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 91

Page 92: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

dilakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda; yang hasilnya dimuat dalam

Volkstelling (1930).

Sensus Penduduk Indonesia yang dilakukan pada 1970 dan dalam dasawarsa

berikutnya, tidak mencantumkan items suku-bangsa. Mengingat hal tersebut, ada

kesulitan untuk mengetahui secara pasti laju pertumbuhan penduduk berdasarkan suku-

bangsa dan distribusi mereka. Sekalipun demikian, ada pula berbagai usaha untuk

mengetahui hal di atas, antara lain pernah dicoba oleh Pagkakaisa Research (1974),

antara lain disebutkan bahwa suku-bangsa bahwa Jawa mencapai 45,8 % dari total

penduduk Indonesia pada 1974 (sekitar 120.000.000 orang). Berbagai distribusi

penduduk Indonesia berdasarkan suku-bangsa ialah Sunda (14,1 %), Madura (7,1 %),

Minangkabau (3,3 %), Bugis (2,5 %), Batak (2,0 %), Bali (1,8 %), 24 suku-bangsa

lainnya (20,3 %) dan orang Cina (2,7 %). Sementara itu, di kalangan para pakar masih

terdapat perbedaan dalam mengklasifikasikan penduduk di Indonesia ke dalam suatu

konsep suku-bangsa. Koentjaraningrat (1982:346-347) menilai bahwa berapakah

sebenarnya jumlah suku-bangsa di Indonesia, sampai saat kini masih sukar ditentukan

secara pasti. Hal ini disebabkan ruang lingkup istilah konsep suku-bangsa dapat

mengembang atau menyempit, tergantung subyektivitas.

Sebagai contoh, paling sedikit di Pulau Flores terdapat empat suku-bangsa yang

berbeda bahasa dan adat-istiadatnya, ialah orang Manggarai, Ngada, Ende-Lio dan

Sikka. Namun kalau mereka ada di luar Flores, mereka biasanya dipandang oleh suku-

bangsa lainnya atau mereka mengidentifikasikan dirinya sebagai satu suku-bangsa, ialah

Flores.

Hal ini juga terjadi dikalangan suku-bangsa Dayak di Pulau Kalimantan. Menurut

H.J.Malinckrodt, orang Dayak diklasifikasikan ke dalam enam rumpun atau stammen

ras, ialah Kenya-Kayan-Bahau, Ot Danum, Iban, Moeroet, Klemantan dan Poenan.

Selanjutnnya jika diamati lebih lanjut, di kalangan orang Dayak Kalimantan ada 405

suku-bangsa yang saling berbeda satu dengan lainnya. Jika mereka berada di luar Pulau

Kalimantan, orang lain menyebut mereka dan mereka sendiri mengidentifikasikan

dirinya sebagai suku-bangsa Dayak, akan tetapi di Kalimantan sendiri antara satu dengan

yang lain merasa memiliki perbedaan. Demikian pula hanya di Irian Jaya, berdasarkan

penelitian dari Summer Language Institute, paling tidak terdapat 252 suku-bangsa yang

masing-masing memakai bahasa yang berbeda. Mengingat hal tersebut maka,

Koentjaraningrat memandang perlu upaya pendifinisian konsep suku-bangsa di

Indonesia secara ilmiah, antara lain dengan mengambil beberapa unsur kebudayaan

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 92

Page 93: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

sebagai indikator yang dapat berlaku bagi semua "suku-suku-bangsa" yang ada di

Indonesia.

Upaya untuk memahami keanekaragaman suku-bangsa dan kebudayaan di

Indonesia adalah sekaligus berpretensi pula mengungkapkan berbagai bentuk interaksi

sosial yang terjadi dikalangan suku-bangsa yang saling berbeda kebudayaannya. Dengan

mempelajari proses interaksi sosial yang terjadi, sekaligus diharapkan akan memberikan

pengetahuan tentang proses-proses sosial di kalangan mereka sehingga akan diketahui

segi dinamis dari masyarakat dan kebudayaan.

Berbagai perubahan dan perkembangan masyarakat yang merupakan segi

dinamis adalah akibat interaksi sosial yang terjadi diantara para warganya, baik orang

perorangan, orang dengan kelompok maupun antar kelompok manusia. Kerjasama

(cooperation), persaingan (competition), pertikaian (conflict), akomodasi (acomodation),

asimilasi (assimilation), akulturasi (acculturation) dan integrasi (integration) merupakan

proses-proses sosial yang perlu diperhatikan dalam rangka studi hubugan antar suku-

bangsa, terutama untuk mempercepat terwujudnya integrasi nasional Indonesia yang

kokoh.

A. Prejudice dan Stereotype Ethnic

Dalam rangka upaya menuju integrasi nasional Indonesia yang kuat maka

anekawarna suku-bangsa di Indonesia itu saling berinteraksi, dan Sebagai konsekwensi

dari suatu interaksi sosial yang timbul maka seringkali muncul gambaran subyektif

mengenai suku-bangsa lain. Oleh karena itu, dalam kehidupan suatu suku-bangsa

tertentu sehari-harinya dijumpai gambaran subyektif mengenai suku-bangsa lain atau

yang lazim disebut dengan stereotipe etnik.

Sementara ini stereotipe etnik, tidak selalu berupa gambaran yang bersifat negatif

(akan tetapi biasanya ini yang sering muncul) melainkan ada kalanya pula gambaran

yang bersifat positif. Ada penilaian bahwa stereotipe etnik yang negatif akan

menghambat interaksi social dalam kehidupan masyarakat yang multi etnik, yang pada

gilirannya akan dapat pula menyebabkan terhambatnya proses menuju integrasi nasional.

Untuk memahami bagaimanakah posisi dan hubungan seorang individu dalam konteks

kelompoknya, Herbert M.Blalock (1976:2) pernah mengusulkan dua model pendekatan,

ialah secara mikro dan makro. Secara mikro, individu dipakai sebagai pusat penelitian

terutama yang berkaitan dengan berbagai hal latar belakang timbulnya bentuk-bentuk

prejudice (prasangka) maupun stereotipe etnik. Selanjutnya dalam pendekatan secara

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 93

Page 94: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

makro, lebih dipusatkan terhadap studi mengenai masalah diskriminasi dan

kepemimpinan. Berbagai hal yang erat kaitannya dengan itu antara lain mengenai

bentuk-bentuk diskriminasi serta masalah status dan peranan ditempatkan sebagai unit

analisis yang penting.

Disadari sepenuhnya oleh Blalock (1976:16) bahwa sering terjadi ketidak-jelasan

dalam menafsirkan arti kata diskriminasi; apakah ditempatkan sebagai proses

(discriminatory behavior) ataukah sebagai hasil dari suatu proses. Oleh karenanya studi

tentang diskriminasi, unit analisisnya harus lebih dipusatkan kepada kelompok daripada

perorangan. Hal ini antarala disebabkan oleh kesukaran dalam mengukur 'derajad

diskriminasi'; sama halnya dengan mengukur favorable sebagai lawan unfavorable.

Selanjutnya, dalam salah satu pembatasannya tentang diskriminasi F.H.Hankins

(1976:16) mengartikannya sebagai unequal treatment of equals. Ada beberapa aspek

yang terkandung dalam pengertian prejudice yang harus diperhatikan (Blalock, 1976:2;

Martin dan Franklin, 1973:144), antara lain rasa gelisah (anxiety), rasa frustrasi, sifat

otoriter, kekakuan (rigidity), rasa terasing (alienation), sifat kolot, konvensional dan

yang berkaitan dengan kedudukan. Berbagai aspek tersebut melekat dalam struktur

masyara-kat, karenanya untuk memahami perlu dikaitkan dengan berbagai hal yang

melatar belakanginya, misalnya pendidikan, pekerjaan, pekerjaan, kepercayaan, mobilita

vertikal dan horizontal seseorang. Selain itu, harus disadari pula bahwa ada kesulitan

untuk menentukan latar belakang yang manakah merupakan penentu utama bagi

timbulnya suatu prejudice.

Dalam tulisan Blalock (1976:3-10) dijelaskan bahwa dari hasil penelitian John D.

Photiadis dan Jeane Bigger dikalangan 300 orang dewasa di Dakota Selatan terbukti

bahwa authoritarianism berkorelasi tinggi dengan timbulnya prejudice. Akan tetapi jika

hasil penelitian tersebut dibandingkan dengan yang dilakukan oleh peneliti lainnya

dengan indikator yang berbeda maka korelasi authoritarianism yang tinggi itu, ternyata

tidak selalu tepat.

Prejudice dan stereotype saling erat berkaitan, baik secara logika maupun

psikologis (Martin dan Franklin, 1973:152-153). Kedua hal itu ada pada semua ras, suku-

bangsa, kepercayaan, pekerjaan maupun kebangsaan. Pada hakekatnya prejudice dan

stereotype merupakan imaginasi mentalitas yang kaku; yaitu dalam wujud memberikan

penilaian negative yang ditujukan kepada out-group, sebaliknya kepada sesama in-group

memberikan penilaian yang positip. Stereotype terhadap out-group yang kaku akan

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 94

Page 95: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

menyebabkan timbulnya prejudice yang kuat. Oleh karenanya prejudice dinilai pula

sebagai perkembangan lebih lanjut dari stereotype.

Timbulnya stereotype dalam diri seseorang adalah sebagai akibat pengaruh suatu

persepsi tertentu dan berfungsi untuk menyakinkan diri sendiri. Adanya fungsi seperti

itu, juga dibenarkan oleh Milton M.Gordon (1975:97), yang antara lain disebabkan oleh

akibat terjadinya hubungan di kalangan dua kelompok yang berbeda. Adanya berbagai

perbedaan rasial (fisik) diantara segmen penduduk yang porsinya tidak sama dalam suatu

wilayah geografis atau sosial, akan dapat menimbulkan kesulitan. Oleh karenanya

diusahakan untuk memunculkan sesuatu yang dapat merupakan kepentingan dan

loyalitas bersama. Guna menumbuhkan loyalitas nasional, Linton (1957:28) menilai

bahwa adanya keragaman dan perbedaan kepercayaan dan berbagai unsur-unsur

kebudayaan yang lain, bukanlah merupakan ancaman untuk menumbuhkan solidaritas

nasional. Oleh karenanya dalam mengamati inti permasalahan yang dapat menjelaskan

berbagai kristalisasi prejudice, ada kalanya tidak cukup dijelaskan melalui adanya

kendala perbedaan fisik semata.

Ada penilaian bahwa stereotipe etnik yang negatif akan menghambat interaksi

social dalam kehidupan masyarakat yang multi etnik, yang pada gilirannya akan dapat

pula menyebabkan terhambatnya proses menuju integrasi nasional. Studi mengenai

etisitas sering dikaitkan dengan derajat konformitas dari anggota suatu kolektiva (suku-

bangsa) untuk bersedia menerima norma-norma tertentu dalam suatu proses interaksi

sosial. Oleh karenanya para ahli antropologi seperti Mitchell (1956), Epstein (1958),

Gluckman (1961) dan Barth (1969); sering mengkaitkan studi mengenai etnisitas dengan

perbedaan latar belakang kebudayaan dari suatu kolektiva tertentu, terutama yang

menunjuk pada aspek mendasar yang bersifat primordial. Hal ini disebabkan oleh

adanya kecenderungan seseorang untuk mengidentifikasikan dirinya dengan etnik

tertentu sementara itu pihak lain juga sering mengidentifikasikan bahwa perilaku

seseorang adalah terkait dengan latar belakang kesuku-bangsannya.

C. Suku-Bangsa dan Golongan di Indonesia

Istilah ethnic atau yang diterjemakan ke dalam istilah suku-bangsa, berasal dari

kata Yunani eOvikos yang artinya heathen, yaitu penyembah berhala atau sebutan bagi

orang yang tidak ber Tuhan. Sementara itu, istilah itu sendiri dalam bahasa Yunani

berasal dari akar kata eOvos ("ethnos") yang diterjemahkan sebagai nation atau bangsa,

yaitu suatu istilah yang lazim dipakai untuk menunjuk pada bangsa-bangsa yang bukan

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 95

Page 96: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

Israel. Dengan kata lain, menurut The Shorter Oxford English Dictionary on Historical

Principles, ada dua pengertian yang terkandung dalam istilah ethnic, ialah (a) menunjuk

kepada bangsa-bangsa yang non Kristen atau non Yahudi dan (b) menunjuk kepada

bangsa yang masih menyembah berhala.

Dalam perkembangan berikutnya, istilah ethnic dikenal luas setelah dipakai

secara resmi oleh suatu Ethnological Society, yaitu suatu lembaga yang didirikan di

London pada 1843. Lima tahun sebelumnya, di Paris juga terdapat lembaga serupa, ialah

Societe Ethnologique de Paris, dan di New York pada 1842 juga memiliki lembaga

serupa tersebut di atas American Ethnological Society. Lloyd Warner dalam tulisan Brian

M.du Toit et al.(1978:3) menjelaskan bahwa yang terkandung dalam pengertian ethnic

menunjuk pada individu-individu guna mempertimbangkan di manakah seseorang atau

dirinya termasuk atau dimasukkan sebagai anggotanya; yaitu yang di dasarkan atas latar

belakang kebudayaan. Oleh karena itu istilah ethnic cenderung lebih bersifat sosio-

kultural dari pada yang berkaitan dengan ras.

Salah satu batasan dari pengertian ethnic-group adalah dibuat oleh Schemerhorn

(1970:12) "........ as a collectivity within a larger society having real or putative common

acestrry, memories of a shared historical past, and a cultural focus on one or more

symbolic elements defined as the epitome of their peoplehood". Sebagai contoh dari

berbagai unsur simbolik tersebut meliputi "kinship patterns, physical contiguity (as in

localism or sectioalist), religious patterns, language aor dialiect form, tribal affiliation,

nationality, phenotypical feature, or any combination of these”. Selanjutnya, seringkali

pemakaian istilah golongan dalam konteks integrasi nasional, dikaitkan dengan

kehadiran masyarakat Cina di Indonesia yang diklasifikasi sebagai golongan minoritas.

Secara sepintas, konotasi arti minoritas adalah lebih dikaitkan dengan perbandingan

jumlah mereka yang lebih kecil daripada beberapa suku-bangsa yang ada di Indonesia,

misalnya Jawa dan Sunda. Selain itu, jumlah mereka pada tahun 1971 adalah merupakan

2,7 % dari keseluruhan penduduk Indonesia; dan jumlah mereka pada setiap ibukota

kabupaten di Indonesia hanyalah berkisar lima sampai dengan sepuluh persen dari

keseluruhan penduduk suatu kota.

Jika dikaji lebih lanjut, istilah minoritas mengandung berbagai dimensi dan

variabel. Dalam suatu studi mengenai hubungan antar kelompok, Simson dan Yinger

(1972:11) menganjurkan agar para peneliti hendaknya berhati-hati, terutama jika

dikaitkan dengan konsep-konsep yang mendasar. Istilah minoritas memang sering

dipakai tetapi tidak dalam konteks sebagai istilah teknis. Semula istilah tadi sering

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 96

Page 97: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

dipakai untuk menunjukkan kategori orang-orang dan bukannya bukan berdasarkan

kelompok. Akan tetapi semakinlama, istilah itu juga dipergunakan untuk menunjuk pada

kategori orang atau sejumlah penduduk yang merupakan sasaran suatu prejudice atau

prasangka dan diskriminasi; misalnya dipergunakan oleh Theodorson dan Theodorson

(1970:258), "Any recognizable racial, religion, or ethnic group in community that suffer

some disadvantage due to prejudice or discrimination". Apabila ditelaah lebih lanjut,

pengertian yang dikandung dalam pembatasan di atas adalah masih umumnya sifatnya.

Berbeda halnya dengan pembatasan yang dibuat oleh Louis Wirth (1943:347), “We may

define a minority as a group of people who, because of their physical or cultural

characteristics are single out from the other society in which they live for differential

and unequal treatment, and who therefore regard themselves as objects of collective

discrimination. The existence of minority in a society implies the existence of a

corresponding dominant group with higher social status and greater priviledges.

Minority status carries it the exclusion from full participation in the life of the society".

Jelas tampak melalui pembatasan tersebut bahwa konotasi arti minoritas tidak

selalu harus dikaitkan dengan variabel ras. Oleh karenanya, apabila pembatasan itu

diterapkan terhadap orang Cina di Indonesia, adalah kurang tepat. Orang Cina maupun

berbagai suku-bangsa bumiputera di Indonesia, sebagian besar adalah termasuk ke dalam

klasifikasi ras Mongoloid. Perbedaan di kalangan mereka itu, lebih tampak pada wujud

fisik dan lebih menunjuk pada perbedaan kebudayaan dan kehidupan sehari-harinya.

Timbulnya perlakuan 'diskriminatif' dalam konteks Louis Wirth adalah lebih

disebabkan oleh kurangnya keterlibatan orang Cina dalam berbagai aktivitas kehidupan

bermasyarakat dan bernegara. Lebih lanjut Louis Wirth juga mengemukakan bahwa

kehadiran golongan minoritas, tidak terlepaskan dari adanya kelompok dominan yang

mempunyai kedudukan lebih tinggi dan memiliki hak-hak istimewa (privileges). Oleh

karena itu, untuk lebih memahami bentuk-bentuk kehidupan dalam suatu masyarakat

yang majemuk, kiranya paradigma yang diusulkan Schermerhorn (1970:13) seperti orang

Cina di Indonesia. tampak pada bagan 1 di atas, dapat dipakai untuk menjelaskan posisi

keturunan

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 97

Page 98: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

Paradigma Kelompok Dominan dan Subordinat

Kelompok Dominan

Jumlah Kekuasaan

Kelompok A + + Golongan mayoritas

Kelompok B - + Elite

Kelompok Subordinat

Jumlah Kekuasaan

Kelompok C + - Subyek massa

Kelompok D - - Golongan minoritas

Melalui bagan di atas tampak bahwa paradigma kelompok dominan dan

subordinat, didasarkan atas dua dimensi, ialah size (jumlah) dan power (kekuasaan).

Berdasarkan paradigma itu maka keturunan orang Cina di Indonesia yang lazim

diklasifikasikan sebagai golongan minoritas adalah lebih memiliki karakteristik sebagai

kelompok B dan D; sebaliknya berbagai suku-bangsa bumiputera yang sering

dikategorikan sebagai golongan mayoritas adalah lebih memiliki ciri-siri kelompok A

dan C. Oleh karenanya apabila konotasi golongan minoritas (kelompok D) menurut

model paradigma tersebut diterapkan untuk orang Cina di Indonesia, adalah tidak tepat.

Dilihat dari perbandingan jumlah orang Cina dengan keseluruhan penduduk, konotasi

minoritas bagi orang Cina memang tepat. Akan tetapi ditinjau dari kekuasaan yang

dimilikinya, terutama dalam pengertian ekonomik, adalah tidak tepat jika golongan Cina

di Indonesia termasuk minoritas.

Secara ekonomik, orang Cina di Indonesia memiliki peranan yang cukup besar.

Paradigma yang dikemukakan oleh Schemerhorn adalah sebagai salah satu upaya untuk

lebih dapat memahami pengertian minoritas yang memiliki kompleksitas dimensi dan

variabel.

Selanjutnya, berdasarkan dimensi dan variabel lain, pemakaian istilah golongan

minoritas bagi orang Cina dapat dibenarkan karena dalam rangka hubungan dengan

penduduk bumiputera, posisi mereka adalah sebagai subordinat; sebaliknya berbagai

suku-bangsa bumiputera tidak selalu berada pada kedudukan supraordinat atau kelompok

dominant. Pengklasifikasian apakah belum ditulis, misalnya adanya kecenderungan

untuk melakukan perkawinan dengan sesama golongannya seperti yang dikemukakan

oleh Wagley dan Maris. Pendapat Wagley dan Maris mengenai hal tersebut dikutip oleh

Simpson dan Yinger (1972:12-13); dikatakannya bahwa golongan minoritas memiliki

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 98

Page 99: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

lima karakteristik. Pertama, golongan minoritas adalah merupakan segmen dari

subordinat dalam suatu negara yang kompleks. Kedua, golongan minoritas memiliki

bentuk fisik yang berbeda dan unsur-unsur kebudayaan yang dimilikinya dinilai lebih

rendah oleh golongan mayoritas. Ketiga, bahwa golongan minoritas memiliki kesadaran

akan dirinya merupakan suatu kesatuan dengan ciri-ciri tertentu. Keempat, bahwa

keanggotaan seseorang dalam golongan minoritas adalah diperoleh karena keturunan

atau karena ciri-ciri kebudayaan dan fisik yang melekat pada dirinya. Kelima,

perkawinan yang terjadi di kalangan golongan minoritas adalah cenderung dengan

sesamanya.

D. Asimilasi dan Integrasi Nasional

Asimilasi sebagai salah bentuk proses-proses sosial adalah erat kaitannya dengan

proses dan pertemuan dua kebudayaan atau lebih. Oleh karenanya, istilah asimilasi dan

akulturasi dipergunakan dalam pengertian yang sama; dan sebagai akibatnya kedua

pengertian yang diberikan kepada kedua istilah tersebut bertumpang tindih. Ada sebagian

pendapat yang mengatakan bahwa istilah asimilasi lebih sering dipakai oleh para ahli

sosiologi, sedangkan istilah akulturasi lebih sering dipergunakan oleh ahli antropologi

(Gordon, 1964:61).

Lebih lanjut M.J.Herskovits berpendapat bahwa akulturasi lebih spesifik istilah

yang lazim dipakai di Amerika. Lapangan studi mengenai akulturasi di kalangan

sebagian mahasiswa di Jerman, lebih dikenal dengan kajian mengenai perubahan

kebudayaan, sedangkan di Inggris lebih populer dengan studi perihal kontak kebudayaan.

Mengingat hal tersebut maka melalui The Social Research Council 1930, selain

mengusahakan perumusan yang lebih tepat mengenai akulturasi, juga disusun suatu

pedoman metodologi yang berisikan sejumlah permasalahan yang harus diperhatikan.

Untuk pertama kalinya, pembatasan akulturasi yang dibuat oleh tiga orang ahli

antropologi (R.Redfield, R.Linton dan M.J.Herskovits) sebagai hasil rumusan sub komite

akulturasi dari kongres di atas, dimuat dalam "Memorandum for the Study of

Acculturation" dalam American Anthropologist Vol.38 No.1 (Januari-Maret 1936:149).

Lebih lanjut, perumusan mengenai hal itu dikembangkan lebih lanjut dan dimuat dalam

Outline for the Study of Acculturation (Herskovits, 1958:131-136). Selanjutnya, pada

dasarnya pengertian yang terkandung dalam istilah asimilasi dan akulturasi; disamping

mengandung pengertian yang sama, tetapi juga menunjukkan ada dimensi yang berbeda.

Sebagai contoh pembatasan asimilasi yang dibuat oleh Robert E.Park dan Ernest

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 99

Page 100: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

W.Burgess (1921:735), antara lain "......... a process of interpretation and fusion in which

persons and groups aquire the memories, sentiments, and attitude of other persons or

groups, and, by sharing their experience and history, are incorporated with them in a

common cultural life".

Lebih lanjut, ketiga ahli antropologi di atas dalam memberikan pembatasan

akulturasi adalah "......... comprehends those phenomena which result when groups of

individuals having different culture comes into continous first hand contact, with

subsequent changes in the original cultural patterns of either or both groups".

Jika diamati, kedua pembatasan tersebut berisikan suatu pengertian mengenai

terjadinya pertemuan orang-orang atau perilaku budaya. Sebagai akibat pertemuan

tersebut, kedua belah pihak saling mempengaruhi dan akhirnya kebudayaan mereka

saling berubah bentuk. Sementara itu yang tampak membedakannya adalah tidak

ditemukannya ciri-ciri struktural dalam pembatasan akulturasi. Dalam pembatasan

asimilasi, hubungan yang bersifat sosio-struktural tercermin dari "sharing their

experience" dan "incorporated with in in a common cultural life". Lebih lanjut

Herskovits (1958:10) juga berpendapat bahwa makna yang terkandung dalam akulturasi

adalah berbeda dengan perubahan kebudayaan (cultural change). Akulturasi hanyalah

merupakan salah satu aspek dari perubahan kebudayaan, sedangkan akulturasi

merupakan salah satu tahapan dari asimilasi. Lebih lanjut Arnold M.Rose (1957:557-

558) mengatakan bahwa “........the adoption by a person or group of the culture of

another social group" adalah akulturasi; sedangkan "leading to this adoption" adalah

karakteristik dari asimilasi.

Terwujudnya rumusan dari sub komite akulturasi tersebut di atas, tidak

terlepaskan dari perkembangan ruang lingkup dan obyek yang selalu mengalami

perubahan, terutama sejak awal abad XX. Sebagai akibat pengaruh Ero-Amerika,

bangsa-bangsa 'primitif' mulai menghilang; sementara itu sebagai akibat perkembangan

yang terjadi di Amerika, konsepsi asimilasi juga mengalami perubahan karena mulai

dikaitkan dengan aspek politik.

Park dan Burgess (1921:736-737) mengatakan bahwa asimilasi merupakan

produk akhir yang sempurna dari suatu kontak sosial; dan pada bagian lain tulisannya,

Park (1957:281) memberikan istilah konsepnya sebagai 'asimilasi sosial', yaitu " ..........

the process or processes by which people of diverse racial origins and different cultural

heritage, accupying a common territory, achieve a cultural solidarity sufficient at least

to sustain a national exixtence". Para migran di Amerika dianggap telah berasimilasi

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 100

Page 101: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

apabila mereka itu secepatnya dapat mempergunakan bahasa Inggris dan berperan serta

dalam berbagai aktivitas sosial, ekonomi dan politik tanpa menyebabkan timbulnya

prasangka. Oleh karenanya dalam salah satu tulisannya, Milton M.Gordon menunjuk

adanya tujuh variabel yang harus dikaji dalam asimilasi. Dalam hal itu asimilasi

mengharuskan para migran untuk menyesuaikan dirinya pada kelompok kebudayaan

yang didatangi (host society). Ini berarti bahwa kebudayaan golongan mayoritaslah yang

dijadikan ukuran untuk menilai keberhasilan orang-perorangan atau suatu kelompok

dalam menyesuaikan dirinya. Konsepsi ini sesuai dengan pandangan Arnold M.Rose,

dalam asimilasi loyalitas mereka terhadap kebudayaan asal semakin kecil dan akhirnya

kelompok tersebut mengidentifikasikan dirinya ke dalam kebudayaan baru.

Guna mengupayakan terwujudnya asimilasi dalam rangka integrasi nasional,

adalah menarik mengkaitkannya dengan ungkapan dari Horace Kallen yang dikutip oleh

Milton M.Gordon (1964:145), yaitu "Men may change their clothes, their wive, their

religion, their philosophies, to a greater or lesser extent; their cannot change the

grandfather". Timbulnya ungkapan tersebut adalah erat kaitannya dengan penilaian

dalam bentuk stereotipe terhadap orang Yahudi, 'sekali Yahudi tetap Yahudi'. Meskipun

orang Yahudi hidup tersebar di berbagai Negara tetapi mengingat kuatnya ikatan

perasaan mereka terhadap keluarga, maka akar kebudayaan Yahudi sangat mewarnai

sepak terjang kehidupannya (Epstein, 1978:139). Selanjutnya, para perantau orang Cina

di berbagai negara Asia Tenggara juga sering disamakan dan memiliki cirri seperti orang

Yahudi (Purcell, 1964; Skinner, 1967; Somers, 1964).

Selain mengandung pengertian kuatnya ikatan suatu golongan terhadap

keluarganya, atau dalam arti luas terhadap nenek-moyang mereka; berbagai ciri tersebut

bukanlah merupakan suatu yang tidak dapat diubah atau berubah. Berbagai studi

mengenai proses perubahan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu kelompok manusia

adalah menunjuk pada suatu gerak yang dinamis. Yang menjadi masalah adalah

bagaimanakah aspek primordial attachment dapat dieliminasi sehingga tujuan akhir

untuk membangun watak bangsa dapat diwujudkan. Dalam salah satu ntulisannya,

C.Geertz (1965:105-107) menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan primordial

attachment, yaitu rasa keterikatan terhadap golongan tertentu, misalnya karena ras,

hubungan darah, bahasa, adat-istiadat dan agama. Berbagai bentuk keterikatan tersebut

antara lain disebabkan oleh sub national cultural value. Sebagai akibatnya, proses

pengembangan kebudayaan (politik) nasional menjadi terganggu. Dengan kata lain, suatu

proses asimilasi dalam rangka integrasi nasional akan berjalan tersendat.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 101

Page 102: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

E. Paradigma Orientasi Sentripetal (Sp) dan Sentrifugal (Sf)

A B

Superordinat Sp Sf

Cenderung ke arah integrasi

Subordinat Sp Sf

Assimilation Incorporation Cultural Autonomy

C D

Superordinat Sf Sp

Cenderung ke arah konflik

Subordinat Sp Sf

Forced segregration with resistance Forced assimilation with resistance

SP: Sentripetal, SF: Sentrifugal

Dalam upaya mewujudkan integrasi nasional, terdapat dua aliran, ialah

asimilasionis dan pluralis, yaitu dua dari empat tipologi yang dipakai untuk meletakkan

identitas golongan minoritas, terutama yang berkaitan dengan penerapan suatu

kebijaksanaan. Lebih lanjut Louis Wirth (1945:347) mengatakan bahwa kebijakan

asimilasionis merupakan upaya untuk menggabungkan para anggota minoritas ke dalam

masyarakat lebih luas dengan cara melarang kebudayaan mereka dan mengharuskannya

mengadopsi sistem nilai dan gaya hidup kelompok dominan atau superordinat. Hal

tersebut adalah berbeda dengan upaya yang dianut oleh kaum pluralis.

Kelompok dominan bersikap toleran terhadap kebudayaan kelompok subordinat,

atau dengan kata lain golongan minoritas diperkenankan mempertahankan kebudayaan

mereka. Jika diperbandingkan maka kebijaksanaan asimilasi yang ditrapkan bagi orang

Cina di Indonesia dengan berbagai suku-bangsa yang ada di Indonesia, terdapat

perbedaan. Untuk orang orang Cina yang telah memiliki status kewarganegaraan

Indonesia berlaku kebijaksanaan yang bersifat asimilasionis; sedangkan untuk berbagai

suku-bangsa di Indonesia cenderung berlaku paham pluralis. Dalam konteks orang Cina

diarahkan dan diharapkan menerima dan menyatukan dirinya ke dalam salah satu

kebudayaan kelompok superordinat, yaitu salah satu kebudayaan yang dimiliki oleh

suatu suku-bangsa bumiputera di Indonesia; sementara itu hingga kini apakah itu

kebudayaan nasional Indonesia, masih merupakan polemik yang menarik.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 102

Page 103: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

Selanjutnya, jika kedua paham tersebut dikaji lebih lanjut, maka ada implikasi

yang mungkin dapat muncul dari kedua paham tadi, terutama jika dikaitkan dengan

sejauh manakah kelompok superordinat mampu melaksanakan dan memperkenankan

kelompok subordinate melaksanakan hal tersebut. Dalam hal ini, timbul pula suatu

pertanyaan apakah kelompok superordinat begitu saja percaya bahwa golongan minoritas

akan berasimilasi ataukah akan tetap mempertahankan kebudayaan mereka. Selain itu

pula, apakah kelompok dominan dapat menerima berbagai hal kontradiktip yang

mungkin akan dilakukan oleh kelompok subordinat. Oleh karenanya, jika berbagai hal

tadi dapat diterima maka suatu integrasi akan berjalan dengan baik, dan sebaliknya jika

tidak maka akan timbul konflik, baik secara terbuka maupun yang bersifat latent.

Selanjutnya, penting diperhatikan dalam mengidentifikasikan suatu integrasi,

terutama dalam menempatkan kelompok superordinat. Dalam hal ini ada dua konsep

utama yang dapat dipakai sebagai model bagi analisis, yaitu apakah cenderung bersifat

sentripetal ataukan sentrifugal. Suatu kecenderungan yang bersifat sentripetal, biasanya

lebih menunjuk hal-hal yang bersifat kultural, misalnya dalam bentuk diterimanya sistem

nilai dan gaya hidup yang lazim berlaku di masyarakat. Sementara itu dapat pula dalam

bentuk semakin meningkatnya partisipasi dalam berbagai kelompok perkumpulan dan

kelembagaan. Untuk melihat adanya perbedaaan dalam tingkat analisis, maka yang

pertama disebut dengan asimilasi sedangkat yang kedua adalah

inkorporasi.

Selanjutnya, yang disebut sebagai suatu kecenderungan sentrifugal terjadi

dikalangan subordinat apabila ada keinginan untuk memisahkan diri dari kelompok

dominan atau dari berbagai ikatan yang ada di masyarakat. Secara kultural, biasanya hal

tersebut lazim terjadi karena kelompok subordinat seringkalai masih tetap menjaga

berbagai tradisi, sistem nilai, bahasa, agama, pola-pola rekreasi mereka dan lain

sebagainya. Guna melindungi berbagai hal tersebut, diperlukan persyaratan struktural,

antara lain tampat dari adanya kecenderungan untuk melakukan endogami atau

mendirikan perkumpulan yang terpisah, dan bahkan memusatkan diri pada suatu

lapangan pekerjaan tertentu yang eksklusif terhadap out-group.

Akhirnya, suatu integrasi adalah mengandung kendala psikologis, antara lain

berkaitan dengan tingkat kepuasan tertentu dari suatu suku-bangsa atau golongan. Oleh

karenanya dalam suatu upaya mewujudkan integrasi, muncul pandangan yang menilai

apakah itu suatu agreement (permufakatan) ataukah congruency (penyesuaian), terutama

yang berkaitan apakah sentripetal ataukah sentrifugal. Apabila terjadi disagreement atau

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 103

Page 104: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

discrepancy (ketidaksesuaian) maka berarti kelompok superordinat menang atas

kebijaksanaan yang bersifat sentripetal; padahal kelompok subordinat lebih menghendaki

yang bersifat sentrifugal. Jika hal ini terjadi maka akan timbul konflik yang menyebar

luas.

8. KELOMPOK SOSIAL DALAM INTEGRASI NASIONAL

(SUATU KAJIAN PSIKOLOGI SOSIAL DALAM NATION BUILDING

INDONESIA)

Pendahuluan

Pengkajian dalam ilmu sosial seakan tidak ada habisnya, bahkan selalu saja

menunjukkan adanya perkembangan yang berpengaruh pada pemikiran-pemikiran

sebelumnya dan memunculkan konsep-konsep baru yang tidak kalah menarik untuk

dikaji lebih lanjut. Begitu juga dengan kajian ilmu hubungan internasional, sebagai

bagian dari ilmu sosial, perkembangan pemikiran dalam ilmu hubungan internasional

tidak lepas dari perkembangan ilmu sosial lainnya, bahkan pada tingkatan teoritis

tidak jarang ilmu ini juga mendapat pengaruh dari ilmu pasti. Sehingga banyak

pengkajian ilmu hubungan internasional yang dilakukan secara kuantitif sebagaimana

yang dilakukan kelompok behavioralis. Salah satu pengaruh atau dapat dikatakan

sumbangsih ilmu lain dalam kajian ilmu hubungan internasional yang akan dibahas

pada tulisan ini adalah ilmu sosiologi dan psikologi yang kemudian membentuk

kajian dengan istilah psikologi sosial. Kajian ini salah satunya membahas tentang

* Dosen HI, FISIP Universitas Budi Luhur dan Universitas Jenderal Ahmad Yani,

Cimahi

2

entitas-entitas pembentuk negara, termasuk semua bentuk kelompok sosial, baik yang

didasari atas etnis, agama, ras / suku, wilayah geografis maupun tingkatan ekonomi

dan pendidikan. Pengkajian dari sudut pandang psikologi sosial ini menjadi penting

karena hampir semua negara memiliki permasalahan dalam mengakomodasikan

kepentingan warganya dengan latar belakang kelompok sosial yang beragam,

termasuk ketika terjadi persinggungan kepentingan antar negara yang mendorong

pada potensi konflik. Demikian hal ketika kita membahas masalah intergrasi nasional

Indonesia dalam kerangka nation building Indonesia. Kajian psikologi sosial dalam

nation building Indonesia hanya sebagai salah satu angle dalam pembahasan tentang

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 104

Page 105: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

nation building.

Indonesia adalah salah satu negara di Asia Tenggara dengan multi-etnisnya.

Keanekaragaman ini disisi lain membawa keunggulan tersendiri yang turut

membentuk identitas nasional sebagai modal dasar pembangunan termasuk dalam

berinteraksi dengan negara lain. Namun disisi lain, keanekarangaman ini juga

menjadikan Indonesia sebagai salah satu wilayah di Asia Tenggara yang kurang stabil

kondisi internalnya, terutama jika dibandingkan dengan Malaysia yang juga

dikategorikan sebagai negara multi-etnis. Ketidakstabilan ini lebih karena upaya

kelompok dalam mengakomodasikan kepentingannya. Berbagai kepentingan tersebut

menyangkut segala hal kebutuhan kelompok dalam mempertahankan eksistensinya

ditengah-tengah masyarakat. Sehingga kepentingan kelompok juga menyangkut

upaya pemenuhan kepentingan anggotanya, atau dengan kata lain pemenuhan

kebutuhan individu-individu pembentuk kelompok tersebut. Maka pengakomodasian

kepentingan kelompok ini menyangkut kebutuhan dasar (primer), sekunder dan tersier

sebagaimana kebutuhan individu sebagai manusia. Oleh Abraham Maslow dalam

hirarki kebutuhan manusia (chiron.valdosta.edu), menyebutkan bahwa berbagai

3

kebutuhan manusia tersebut dapat dikategorikan dalam dua kelompok besar, yaitu

kebutuhan defisiensi (deficiency needs) dan kebutuhan untuk tumbuh (growth needs).

Kedua kebutuhan ini mencakup kebutuhan yang paling mendasar bagi manusia

hingga kebutuhan trasedent yang berkaitan dengan sesuatu diluar batas ego manusia.

Atau dapat dikatakan kebutuhan untuk berperan serta dalam kehidupan masyarakat

sebagai suatu kepuasan. Kebutuhan Defisiensi merupakan kebutuhan dasar manusia

sebagai mahluk hidup. Kebutuhan defisiensi ini meliputi kebutuhan psikologis seperti

haus dan lapar, kebutuhan keamanan agar terhindar dari bahaya, kebutuhan untuk

memiliki dan mencintai agar bisa diterima dan berhubungan dengan individu lain,

serta kebutuhan penghargaan (esteem) sebagai sesuatu yang ingin dicapai oleh

individu untuk mendapatkan pengakuan dan menempatkan dirinya pada posisi yang

diinginkan. Sedangkan kebutuhan untuk tumbuh (growth) meliputi kebutuhan

cognitif, aestetik, aktualisasi diri dan keutamaan diri. Upaya pengakomodasian

kepentingan dari berbagai kebutuhan ini bukan hanya berhadapan dengan elit namun

juga berhadapan dengan kepentingan kelompok lain dengan upaya yang sama. Dapat

dikatakan persinggungan kepentingan yang tidak terakomodasikan dengan baik

menyebabkan konflik baik horizontal maupun vertical. Konflik ini terkadang tidak

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 105

Page 106: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

dapat dihindari meskipun pemerintahan suatu negara selalu berusaha untuk

mengakomodasikan berbagai kepentingan warganya dalam kerangka besar

kepentingan nasional yang di dalamnya termasuk nation building.

Konflik horizontal dan vertical ini pula yang berpotensi menjadi ancaman

terhadap integrasi nasional, baik integrasi horizontal dan vertical. Lemahnya derajat

integrasi nasional akan menyebabkan jarum spectrum nation building yang pada

sejarah suatu negara bangsa telah mencapai pada titik kematangan (mature),

mengalami pergeseran kearah ketidakmatangan (immature). Pergeseran kearah negatif

4

ini tidak bisa hanya dibebankan kepada masyarakat atau warga negara selaku modal

utama dalam nation building. Peranan pemimpin atau elit massa juga sangat

berpengaruh dalam pergeseran-pergeseran yang terjadi dalam integrasi nasional.

Semasa orde lama, jarang sekali masyarakat kita mendengar terjadinya konflik

sosial dalam masyarakat, baik karena perbedaan etnis, ras, agama, kelompok sosial

ataupun pemikiran. Kalaupun ada, elit massa mampu meredam konfliknya dan juga

pemberitaannya. Sebagaimana kita ketahui sistem politik pada masa orde baru lebih

mengarah pada bentuk otoriter birokratik. Model ini lebih banyak menerapkan

penekanan atau paksaan dari atas atau bersifat topdown. Sehingga kebebasan untuk

mengungkapkan pendapat dan berekspresi tidak mendapatkan peluang yang luas.

Pada sistem otoriter birokratik, gagasan dan pendapat yang dianggap berseberangan

dengan norma dan pemikiran elit akan kesulitan untuk bisa diterima, bahkan

mendapatkan tekanan atas gagasan yang telah dikeluarkan tersebut. Sehingga

dikatakan bahwa pada masa orde lama, elit massa berusaha untuk menghilangkan

konflik yang ada tanpa menyelesaikan akar permasalahanya.

Reformasi yang telah terjadi di Indonesia diharapkan akan membawa angin

segar bagi beberapa bidang, terutama bagi pengembangan sistem politik yang

demokratis, stabil dan modern. Kondisi ini juga memunculkan harapan untuk menata

kembali sistem politik, hukum dan ekonomi kearah yang lebih baik. Harapan juga

muncul agar proses transisi menuju demokrasi di Indonesia berjalan dengan lancar

dan damai.

Namun demikian, kenyataan yang ada bahwa dibukanya kebebasan politik dan

kehidupan demokratis juga menimbulkan berbagai masalah yang rumit dan bahkan

cenderung anarkis. Bahkan seorang pengamat politik dan internasional Thomas

Friedman mengatakan bahwa Indonesia sebagai “the messy state”. Kesemrawutan ini

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 106

Page 107: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

5

terlihat dengan munculnya berbagai bentuk konflik horizontal antar warga masyarakat

ataupun antar etnis seperti yang terjadi di Papua, Madura, Kalimantan serta tawuran

antar warga yang terjadi di beberapa daerah. Demikian juga dengan adanya aspirasi

separatisme seperti yang telah terjadi di Timor-Timur, Aceh, Riau dan Papua.

Masalah

Konflik-konflik yang terjadi antar kelompok masyarakat, aspirasi merdeka dan

tuntutan otonomi yang lebih luas, menimbulkan masalah seputar integrasi nasional

Indonesia dalam kerangka nation building Indonesia. Meskipun Indonesia telah

merdeka selama setengah abad lebih, dengan adanya berbagai konflik horizontal dan

bahkan vertical menjadikan pelaksanaan nation building di Indonesia perlu ditinjau

dan digiatkan kembali. Hal ini menyangkut pembentukan homogenitas cultural,

consensus atas nilai-nilai bersama dan membangun loyalitas terhadap negara.

Sehingga salah satu pertanyaan yang harus dijawab adalah bagaimana

mengakomodasikan berbagai kepentingan kelompok sosial tersebut agar mampu

memperkecil terjadinya konflik, menyelesaikan konflik yang ada bahkan mencegah

terjadinya konflik sebagai upaya integrasi nasional dalam kerangka nation building

Indonesia.

Kerangka Pemikiran

Terdapat berbagai pendapat dan perdebatan mengenai integrasi nasional.

Menurut Myron Weiner, integrasi nasional meliputi mencakup nilai-nilai masyarakat

yang luas dengan 5 (lima) aspek persoalan, yaitu; integrasi bangsa, integrasi wilayah,

integrasi elit massa, integrasi nilai dan perilaku integrative. Sedangkan William

Liddle melihat persoalan integrasi nasional sebagai masalah integrasi horizontal dan

6

integrasi vertical elit massa. Pada integrasi horizontal mencakup integrasi perbedaan

yang berakar pada masalah etnik, ras, geografi dan agama.

Sebagaimana kita ketahui, Indonesia memiliki beraneka ragam elemen

masyarakat baik kondisi territorial geografis, etnik, budaya, bahasa, agama dan

kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa, yang kesemuanya berpotensi sebagai

ancaman integrasi nasional. Meskipun Indonesia memegang teguh apa yang disebut

dengan Bhineka Tunggal Ika, namun dalam dataran riil, masih banyak terjadi konflik

sosial dengan berbagai macam sebab. Bahkan kecenderungan tersebut semakin

meningkat seiring digulirkannya reformasi yang membawa nilai-nilai demokrasi dan

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 107

Page 108: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

hak asasi manusia (HAM). Kondisi masyarakat seperti Indonesia ini dapat dilihat dari

perspektif plural society oleh J.S Furnivall. Furnivall menyatakan bahwa masyarakat

plural adalah suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup

sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain didalam satu kesatuan politik.

Antara elemen satu dengan lainnya terpisah oleh karena perbedaan ras, suku, sosial

budaya dan ekonominya. Hal lain yang menonjol adalah tidak adanya kehendak

bersama, tidak adanya permintaan sosial ekonomi bersama dan tidak adanya kultur

serta nilai-nilai yang dihayati bersama secara mendalam oleh seluruh elemen

masyarakat.

Pierre L. Van den Berghe menambahkan beberapa karakteristik masyarakat

plural, antara lain: (1) memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam

lembagalembaga

yang bersifat non-komplementer. (2) kurang mengembangkan consensus

antar anggota terhadap nilai-nilai dasar, (3) seringkali kelompok masyarakat terlibat

konflik satu sama lain, (4) integrasi sosial yang tumbuh berdasarkan paksaan, dan (5)

adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok lain. Penggambaran

masyarakat Indonesia yang plural tersebut tidak terlepas dari latar belakang histories

7

Indonesia dalam upaya melepaskan diri dari penjajahan. Proses terbentuknya bangsa

Indonesia dimulai secara dinamis melalui pembentukan organisasi-organisasi yang

mengarah pada persatuan dan bersifat menyeluruh yang kemudian disebut sebagai

kebangkitan nasional. Puncak proses ini terjadi dengan adanya consensus nasional

melalui Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 sebagai sebuah ikrar untuk bersatu

dalam satu nusa, bangsa dan bahasa yang kemudian bisa disebut sebagai nation-state.

Berdasarkan penggambaran tersebut, maka dapat dikatakan kedua perspektif diatas

oleh Furnivall dan Van den Berghe, kurang tepat pada kondisi histories Indonesia,

yang mana pluralitas tersebut justru mendorong untuk bersatu, berkonsensus tanpa

paksaan untuk melakukan perlawanan terhadap kekuatan luar yang lebih besar. Dapat

dikatakan bahwa konsensus masyarakat plural Indonesia lebih dikarenakan adanya

persamaan persepsi mengenai apa yang disebut sebagai ancaman, terutama ancaman

dalam pemenuhan kepentingan. Lain halnya apabila dibandingkan dengan kondisi

Indonesia saat ini, perbedaan mengenai persepsi ancaman yang dihadapi menjadikan

kedua pemikiran mengenai masyarakat plural lebih mengena pada beberapa hal.

Pembahasan

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 108

Page 109: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

Permasalahan yang dihadapi negara-negara di Asia Tenggara, termasuk

Indonesia tidak bisa dipisahkan dari sejarah kolonialisme yang terjadi diwilayah

tersebut. Perbedaan tipe kolonialisme antar penjajah menimbulkan dampak yang

berbeda-beda dikemudian hari pada negara jajahannya. Sebagai negara baru yang

mendapatkan kemerdekaan dari penjajah, maka pembentukannya juga tidak

berdasarkan kesamaan sifat, namun kesamaan kepentingan penjajah. Sebagaimana

ketika Jepang mempersiapkan kemerdekaan Indonesia dengan membentuk suatu

badan khusus untuk mempersiapkan segala hal apabila Indonesia telah di

8

merdekakan. Sehingga tidak mengherankan apabila dikemudian hari sering terjadi

konflik dengan tingkatan-tingkatan tertentu, sehingga negara baru tidak dapat lepas

dari upaya Nation Building, State Building dan Economic Development. Ketiga hal ini

saling berhubungan dalam menunjang kestabilan suatu negara, namun permasalahan

yang sering dihadapi oleh negara multi-etnis adalah dalam pelaksanaan Nation

Building-nya. Nation building dipahami sebagai proses konsolidasi dan integrasi dari

kelompok-kelompok pembentuk negara sehingga tidak mudah terpecah-pecah baik

dari luar maupun dari dalam.

Nation Building berhubungan erat dengan etnis (nation) dalam satuan wilayah

teritorial yang kemudian disebut negara, sehingga kuat lemahnya nation building

tersebut tergantung pada bagaimana etnis-etnis didalamnya berinteraksi baik

berkonflik ataupun berkerjasama. sehingga proses nation building melalui integrasi

berjalan terus-menerus dan dapat dikatakan sebagai proses yang tak pernah selesai

karena menyangkut keamanan negara. Suatu proses dari ketika adanya konsensus

untuk membentuk negara hingga kini dan masa yang akan datang. Barry Buzan dalam

bukunya People, State and Fear menganalisis keamanan negara berdasarkan struktur

internal pembentuk negara, termasuk etnis-etnis pembentuknya. Dengan

menggunakan konsep awal state, Buzan membagi negara dalam tiga kelompok sifat

negara terhadap keamanan yaitu negara stabil, tidak stabil dan sangat tidak stabil yang

didasarkan dari tiga model dasar pembentuk negara yaitu: The Idea of State, The

Institutional Expression of the state dan The physical base of the state. Ketiga hal

tersebut menjelaskan dua hal yaitu: pertama; ketiga hal tersebut dapat dibedakan satu

persatu untuk menjelaskan lebih jauh sebagai bagian dari objek keamanan negara,

kedua; hubungan antar ketiganya dapat digunakan sebagai sumber penjelasan

permasalahan keamanan nasional.(Buzan, 1991:65) Dengan demikian mengukur

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 109

Page 110: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

9

ketiga hal diatas kita dapat mengetahui tingkat kestabilan struktur internal negara

dalam menghadapi keamanan nasional/ konflik yang muncul dalam negara baik yang

bersumber dari internal maupun campur tangan luar. Namun demikian bukan berarti

kita tidak dapat mengukur tingkat kestabilan struktur internal negara hanya dengan

salah satu dasar pembentuk. Karena keterbatasan, tulisan ini hanya akan

memfokuskan pada model the idea of state. The Idea of the State berhubungan dengan

legitimasi rakyat yang bersumber dari “nation” dan organizing ideology, berdasarkan

kedua sumber ini maka dapat diketahui tipe-tipe negara berdasarkan entitas

pembentuknya yaitu (1)Nation-State; negara yang memiliki satu entitas nation sebagai

major role, sehingga ikatan negara dan entitas pembentuknya kuat. (2)State-Nation;

negara berperan didalam membentuk entitas didalamnya, bersifat top-down, sehingga

biasanya berusaha menghilangkan entitas asli didalamnya dan membentuk entitas

baru yang homogen dan diterima semua kalangan, pada bentuk ini yang telah mapan

akan menpunyai ikatan kuat seperti Amerika dan Australlia sedangkan pada bentuk

yang belum mapan dengan kondisi termasuk lemah dan rawan konflik salah satunya

dapat dilihat pada usaha separatisme di Nigeria. (3)Part Nation-State; dimana satu

nation terdapat dalam dua negara atau lebih (tersebar) seperti Cina dan Korea.

(4)Multination-State; satu negara terdiri dari dua nation atau lebih, bentuk ini ada dua

macam yaitu federatif state dengan tidak ada nation yang mendominasi dan imperial

state dengan ada satu nation yang yang mendominasi struktur kenegaraan, sehingga

bentuk imperial ini lebih rawan konflik daripada federatif. Indonesia pada tipologi ini

dapat kategorisasikan dalam multination-state bentuk federatif, karena tidak ada satu

nation yang mendominasi struktur kenegaraan meskipun suku jawa mempunyai

jumlah paling banyak. Meskipun oleh Buzan bentuk federatif dianggap relative lebih

aman dibandingkan dengan bentuk imperatif, bukan berarti dalam bentuk federatif

10

tidak ada konflik sama sekali. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, hambatan justru

ada dalam upaya pembentukan konsensus antar entitas yang beraneka ragam tersebut.

Hal ini karena masing-masing mempunyai persepsi yang berbeda mengenai ancaman

dan sesuatu yang dianggap lebih bernilai (values).

Berbagai tipe negara beserta konsekuensi keamanan nasionalnya terhadap

konflik etnis tidak lepas dari modernisasi dan pembangunan politik yang menegaskan

bahwa jaringan kelompok mayoritas (utama) bisa menjadi penghambat nation

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 110

Page 111: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

building dan pembangunan, sehingga perlu membongkar jaringan tersebut dan

memindahkan loyalitas dari loyalitas pada kelompok etnis ke bentuk loyalitas

masyarakat yang lebih luas dalam lingkup negara (Stavenhagen, 1990:78) sehingga

tindakan yang diambil dalam aktivitas etnis harus lebih menunjukkan pada pilihan

rasional bagi tindakan politik daripada sentimen primordial. Pada negara bekas

kolonial yang entitas pembentuknya terdiri dari beberapa etnis, maka akan

dihadapkan pada permasalahan ini, terlebih lagi jika ada kelompok etnis yang

dominan. Sehingga situasi tersebut bisa menyebabkan terjadinya konflik etnis yang

disebut dengan “ethnic revival”, yaitu dengan adanya rasa ketakutan kelompok

minoritas pada masa kolonial dan rasa ketakutan itu justru semakin bertambah setelah

masa kemerdekaan karena beranggapan bahwa etnis mayoritas adalah kelompok

penjajah baru (Ryan, 1990:x). Menurut Rothchild konsep sentral etnik adalah

ketakutan etnik akan kehidupan masa depan atas kehidupan yang pernah dilalui pada

masa lalu. Dengan anggapan ini tentu dapat dipahami sebagai sikap manusia sebagai

anggota kelompok etnis berusaha untuk mempertahankan eksistensi dan identitasnya.

Hal ini berdasarkan pada definisi dari kelompok etnis yaitu sebagai sekelompok

orang yang mendefinisikan dirinya (identitas) mempunyai perbedaan yang sangat

jelas dengan kelompok lain karena perbedaan budaya. Sedangkan budaya menurut

11

Galner didefinisikan sebagai kesatuan konsep yang dijadikan acuan berfikir dan

bertindak oleh sekelompok manusia (population) secara turun menurun yang biasanya

mempunyai nama. Oleh karena itu budaya bukan hanya sekedar kumpulan konsep,

namun lebih dari sekedar hubungan dan ketergantungan antar konsep (Ryan, 1990:

xiii). Berdasarkan pengertian tentang etnis tersebut maka dapat dimengerti apabila

konflik etnis lebih didasarkan pada suatu hal yang tidak jelas (intangible) dengan

melihat “who someone is” dari pada “what someone does”(Goldstein, 1996:198)

maka dapat dipahami juga apabila konflik etnis sulit untuk diselesaikan karena

didasarkan pada kebencian –“I don’t like you” - dan bukan “who gets what”.

Sehingga rasionalitas dalam konflik etnis terkadang tersingkirkan dengan adanya

benturan nilai-nilai adat meskipun etnis yang berkonflik tersebut selalu ingin disebut

sebagai masyarakat modern.

Disisi lain, elit massa juga diharapkan mampu mengakomodasikan kelompok

minoritas, demikian juga kelompok minoritas sebaiknya melakukan beberapa

tindakan agar tidak terdeprivasi. Deprivasi yang berkelanjutan dan dalam jangka

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 111

Page 112: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

waktu yang lama akan memicu terjadinya konflik sebagai suatu bentuk

pemberontakan. Rothchild mengemukakan ada empat mekanisme untuk menolong

kelompok etnis minoritas agar tidak terdeprivasi antara lain: (1)Demonstrations of

respect, sebagai sikap saling menghormati antar kelompok etnis terutama terhadap

etnis minoritas, (2)Power Sharing, yang diusahakan pemerintah untuk membentuk

perwakilan sesuai dengan kondisi entitas pembentuk masyarakat, (3)Elections, dengan

melakukan sistem pemilu sebagai bagian dari political game menyangkut partisipasi

dalam proses pengambilan suara, (4)Otonomi regional dan federalisme, berhubungan

dengan kemampuan pemimpin politik/pemeritah pusat dalam memajukan

kepercayaan diri antar pemimpin lokal (international security, 1996,2/21:57).

12

Permasalahan etnis dalam diperlukan juga pemikiran dari kajian psikologi

sosial, untuk melihat bagaimana individu-individu yang tergabung dalam kelompok

etnis berinteraksi dengan kelompok lainnya. Beberapa kajian psikologi sosial ini telah

berhasil diterapkan dalam beberapa konflik sosial yang terjadi di dunia internasional

dengan melakukan identifikasi terhadap konflik sosial yang ada sebagai upaya untuk

menuju resolusi konflik. Kajian ini dikembangkan oleh Herbert C. Kelman, seorang

ahli psikologi, yang telah melakukan penelitian dan workshop bagi penyelesaian

masalah konflik sosial yang terjadi di Irlandia Utara, Sri Lanka, Rwanda-Burundi, eks

Yugoslavia, eks Uni Soviet dan konflik Israel-Palestina. Pemikiran Kelman ini juga

banyak dijadikan acuan dalam resolusi konflik yang terjadi antar kelompok dalam

negara, termasuk konflik local di Indonesia, seperti resolusi konflik di Ambon, Sampit

dan Poso adalah contoh dari konstrubusi pemikiran Kelman.

Menilik permasalahan nation building di Indonesia, kembali lagi pada

penekanan integrasi horisontal antar kelompok sosial dalam masyarakat, dalam hal ini

bukan hanya kelompok etnis. Keikut sertaan individu dalam kelompok, baik karena

ada aturan yang berlaku (paksaan) ataupun otomatis, merupakan penciptaan

komunikasi yang mengarah pada hubungan fungsional. Oleh Thilbaut dan Kelley

hubungan ini disebut dengan “social exchage theory”(Ahmadi, 1991:104). Analog

dengan teori ekonomi, teori ini menunjukkan bahwa keikutsertaan atau masuknya

individu dalam suatu kelompok akan memperoleh keuntungan dan kerugian.

Keuntungan dapat berupa kesenangan dan kepuasan keikutsertaan individu dalam

kelompok, sedangkan kerugian bisa berupa waktu, tenaga, jasa, ataupun materi yang

telah dikeluarkan individu dalam kelompok. Perbedaannya, apabila nilai tukar dalam

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 112

Page 113: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

ekonomi penguatnya adalah uang, maka pada nilai tukar sosial penguatnya adalah

“penerimaan sosial”. Penerimaan sosial ini juga berarti diterimanya nilai-nilai

13

individu tersebut dalam kelompok. Semakin diterima nilai-nilai individu dalam suatu

kelompok maka semakin tinggi pula nilai sosial exchange-nya yang ditandai dengan

kesenangan dan kepuasan individu tersebut dalam kelompok. Hal ini karena

kelompok terbentuk dari individu yang mempunyai tujuan yang sama dan membentuk

hubungan fungsional. Hubungan ini pada akhirnya membentuk nilai-nilai sosial yang

dianut oleh anggota kelompok. Semakin besar nilai tukar sosial suatu kelompok,

semakin besar pula penerimaan sosial akan kelompok tersebut. Untuk meningkatkan

nilai tukar sosial, kelompok sosial berusaha untuk memaksimalkan keuntungan dan

meminimalkan kerugian. Artinya apabila banyak anggota kelompok yang kecewa

dengan kelompok atau tingkah laku kelompok tidak sesuai dengan yang diharapkan

anggotanya, maka penerimaan sosial kelompok tersebut kecil, bahkan bisa saja terjadi

perpecahan kelompok. Saat ini seseorang bergabung dengan suatu kelompok lebih

pada pemenuhan kebutuhannya, sehingga seseorang bisa menjadi anggota pada lebih

dari satu kelompok. Keikutsertaan individu dalam kelompok secara tidak sadar

memunculkan perasaan ikatan di dalam kelompoknya (in-group) ataupun perasaan

terhadap kelompok lain (out-group). Perasaan ikatan dalam kelompok berpengaruh

terhadap kohesifitas kelompok dan bahkan memunculkan favoritisme terhadap

kelompoknya. Kohesi kelompok merupakan perasaan bahwa orang bersama-sama

dalam kelompok sebagai kekuatan yang memelihara dan menjaga anggota dalam

kelompok. Kohesi ini terlihat dengan adanya rasa sentimen, simpati, intim dan

solidaritas antar anggota. Perasaan ini yang juga sedikit banyak mempengaruhi pola

hubungan antar kelompok, apakah akan melakukan kerjasama atau beroposisi. Karena

kohesi dapat berkembang dengan adanya ancaman atau tekanan dari out-group. Ingroup

terkadang membuat kode-kode tertentu sebagai bentuk komunikasi yang hanya

bisa dipahami antar anggotanya. Dalam hal ini keanggotaan kelompok menjadi bagian

14

dari identitas seseorang. Pada kelompok yang lebih moderat, pola hubungan ini lebih

rasional dengan melihat adanya kesamaan kepentingan atau persepsi terhadap suatu

hal yang mendorong adanya konsensus untuk bekerjasama. Setiap kelompok

mempunyai pedoman tingkah laku yang khas antar anggotanya yang disebut dengan

norma kelompok. Norma terbentuk dari hasil interaksi antar anggota karena terdorong

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 113

Page 114: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

untuk mencapai tujuan bersama. Sebaliknya norma bukanlah sesuatu yang tidak statis

/ selalu berubah karena kelompok sosial merupakan hubungan yang dinamis.

Perubahan yang terjadi secara tidak langsung akan mempengaruhi masing-masing

anggotanya. Dapat dikatakan bahwa tingkah laku anggota kelompok akan bisa

berubah akibat dari perubahan kelompok. Singkatnya norma kelompok

mempengaruhi tingkah laku anggota. Norma kelompok sosial berbeda-beda satu sama

lain yang disebabkan adanya perbedaan geografis, status sosial dan tujuan kelompok.

Misalnya kelompok masyarakat yang tinggal di pantai pasti mempunyai norma yang

berbeda dengan kelompok masyarakat yang tinggal di pegunungan, demikian juga

antara pegawai negeri dengan petani, pekerja seni dengan atlet. Perbedaan norma ini

memunculkan perbedaan kepentingan dan kebutuhan. Sekali lagi, apabila tidak

terakomodasikan dengan baik tentu akan menimbulkan konflik.

Upaya mengakomodasikan berbagai kepentingan kelompok, membentuk

consensus atas nilai-nilai bersama dan membentuk loyalitas terhadap negara,

sekalipun merupakan tugas bersama antar entitas pembentuk negara, elit massa-lah

yang diharapkan mampu mengkoordinasikan semua hal diatas. Adanya konsesus antar

kelompok tanpa adanya elit yang mempunyai tujuan yang jelas, maka nation building

yang diharapkan akan rapuh dan mudah goyah. Sehingga elit, dalam hal ini lebih pada

pemimpin diharapkan mampu melaksanakan peranannya sebagaimana mestinya.

Peranan dapat diartikan sebagai suatu kompleks pengharapan manusia terhadap

15

caranya individu harus bersikap dan berbuat dalam situasi tertentu berdasarkan status

dan fungsi sosialnya. Sehingga pengharapan terhadap pemimpin lebih pada

kemampuan pemimpin tersebut mempengaruhi orang lain sehingga bertingkah laku

sebagaimana dikehendaki pemimpin tersebut. Karena pemimpin bukan hanya sebagai

kedudukan yang merupakan satuan kompleks atas hak-hak dan kewajiban yang

dimiliki seseorang atau institusi, namun juga sebagai proses sosial yang merupakan

segala tindakan yang dilakukan seseorang atau institusi yang mampu menggerakkan

masyarakat dan mendapat pengakuan dari masyarakat. Sehingga bagaimana interaksi

suatu kelompok dengan kelompok lainnya juga dipengaruhi oleh pemimpinnya.

Pemimpin disini pada akhirnya juga ikut andil dalam pembentukan norma kelompok.

Acap kali setiap terjadi pergantian kepemimpinan suatu kelompok, juga terjadi

perubahan norma. Apabila perubahan norma yang ada mudah diterima dan diadopsi

oleh anggotanya, maka kohesifitas dalam kelompok semakin kuat. Sebaliknya apabila

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 114

Page 115: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

norma baru tersebut kurang bisa diterima oleh anggotanya, maka tidak menutup

kemungkinan akan menimbulkan perpecahan dalam kelompok. Dengan kata lain

bagaimana pemimpin itu bersikap akan berpengaruh juga terhadap kohesifitas

kelompok. Kepemimpinan dan norma kelompok secara tidak langsung akan

menentukan bagaimana kelompok itu bersikap (attitude). Sikap ini dipahami sebagai

suatu kesadaran yang menentukan perbuatan nyata yang berulang-ulang terhadap

objek sosial. Karena tidak ada satu sikap-pun tanpa objek sosial. Misalnya sikap

bangsa Indonesia terhadap etnis Tionghoa di Indonesia, sikap yang ditunjukkan warga

Indonesia tidak lepas / dipengaruhi oleh norma yang dikembangkan pemimpin. Pada

masa awal orde baru, sikap terhadap etnis Tionghoa lebih dikarenakan aspek afektif

adanya emosi yang berkaitan dengan objek yang dianggap tidak menyenangkan

karena berkaitan dengan peristiwa 30 September (bahaya laten PKI). Pada kasus

16

internasional dapat dicontohkan mengenai sikap bangsa Jerman terhadap orang

Yahudi pada masa Hitler karena dianggap penyebab kekalahan Jerman pada Perang

Dunia I. Perasaan terhadap kelompok tertentu ini disebut dengan prasangka sosial

(sosial prejudice) yang terkadang mendorong pada stereotip terhadap kelompok

tertentu tanpa adanya pengetahuan mengenai kelompok yang dikenai prasangka

tersebut. Prasangka inilah yang pada akhirnya menciptakan jarak sosial (sosial

distant) antar kelompok yang seharusnya tidak perlu. Prasangka negatif (stereotif)

yang menciptakan jarak sosial ini merupakan potensi konflik antar kelompok sosial.

Agar terhindar dari konflik maka informasi mengenai kelompok berikut normanya

sangat diperlukan dalam menciptakan hubungan yang positif antar kelompok. Setiap

persinggungan norma antar kelompok merupakan tugas bersama antar anggota yang

difasilitasi pemimpin dalam mengakomodasikannya. Apabila pemimpin mampu

mengakomodasikan perbedaan ini hingga membentuk suatu konsensus atas nilai-nilai

bersama, maka kohesifitas kelompok bukan hanya terjadi pada in-group, tapi juga

out-group. Pada akhirnya hal ini juga akan mendorong terciptanya loyalitas terhadap

negara karena pemimpinnya dianggap mampu berperan sebagaimana mestinya.

Indonesia sebagai negara dengan kemajemukannya, segmentasi yang ada

berupa aspek horizontal dan vertical. Segmentasi aspek horizontal berupa perbedaan

ras, agama, suku dan daerah, sedangkan segmentasi aspek vertical merupakan kondisi

politik, sosial dan ekonomi. Pada aspek vertical ini, jarak antara pelapisan masyarakat

atas dan bawah masih sangat tajam, baik antara kaya-miskin, desa-kota, tingkat

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 115

Page 116: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

pendidikan dan sebagainya. Jarak dalam aspek vertical ini yang dipertegas dengan

adanya jarak sosial semakin menyulitkan Indonesia memperkokoh integrasi dalam

nation building. Sehingga perbedaan ini perlu dijembatani dengan nilai persatuan

yang mengecilkan kesenjangan antar kelompok.

17

Menilik upaya resolusi konflik antar kelompok sosial yang ditawarkan

Kelman, sebaiknya pemerintah melakukan tindakan proaktif terhadap berbagai

kemungkinan terjadinya konflik. Kelman mengenalkan interactive problem solving

(Kelman, American Psychologist, 1997, 52/3:212-220) yang menghadirkan pihak

ketiga untuk membahas segala permasalah yang berpotensi konflik. Metode ini telah

diterapkan pada kasus di Poso dan Sampit. Interactive problem solving ini lebih

merupakan workshop yang menjadikan kelompok sosial sebagai laboratorium.

Workshop ini dilakukan untuk mengetahui berbagai hal yang berkaitan dengan

permasalahan, antara lain keinginan kelompok, norma yang berlaku, pandangan

terhadap kelompok lain serta upaya penyelesaian kelompok. Dengan

mengkomunikasikan berbagai kepentingan diharapkan bisa mendapatkan resolusinya.

Workshop pada proses resolusi konflik, kelompok sosial menjadi subjek yang

berperan aktif. Ada tiga peran kelompok sosial dalam resolusi konflik, satu;

kelompok sosial dapat dilihat sebagai mikrokosmik dari sebuah sistem yang lebih

besar, dimana kelompok sebagai arena dimana sistem yang lebih besar itu berada.

Sehingga norma-norma yang diinginkan bersama dapat terbentuk untuk mendukung

tercapai resolusi. Dua; selain itu dalam workshop antar kelompok yang berkonflik

dibentuk suatu koalisi agar mampu membentuk kesamaan tujuan dan kepentingan.

Meskipun dalam kenyataannya sangat sulit membentuk koalisi antar kelompok yang

berkonflik karena berhadapan dengan berbagai hal termasuk norma dan

kepemimpinan. Tiga ; langkah berikutnya adalah menciptakan hubungan baru, artinya

mengembangkan prinsip resiprositas antar kelompok yang berkonflik, yang tentunya

berkaitan dengan keunggulan masing-masing kelompok. Dengan terciptanya

hubungan baru maka diharapkan konflik dapat diredam dan dapat diselesaikan dengan

mencari alternatif yang lebih baik. Ketiga peran kelompok sosial dalam penyelesaian

18

konflik secara interaktif ini merupakan analog atau gambaran konflik riil. Hasil

workshop yang terkesan hanya berada didunia abstrak setidaknya cukup memberikan

informasi bagi konstribusi resolusi konflik.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 116

Page 117: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

Kesimpulan

Keberagaman kelompok sosial dalam integrasi nasional Indonesia bukanlah

suatu hal yang mudah untuk ditangani namun bukan pula suatu hal yang rumit karena

integrasi merupakan suatu proses yang selalu berlanjut dan tidak pernah berhenti.

Konflik sosial yang terjadi lebih pada perbedaan norma, sikap dan prasangka yang

tidak terkomunikasikan dengan baik. Integrasi nasional dalam kerangka nation

building bukan hanya masalah negara hanya masalah negara baru ataupun negara

plural, namun juga masalah semua negara demi menjaga eksistensinya. Elit sebaiknya

bersikap proaktif terhadap segala bentuk potensi konflik yang ada. Konflik sosial

yang terjadi juga bukan tanggungjawab pemimpin/ elit semata, namun juga

tanggungjawab kelompok (termasuk individu didalamnya) yang turut membentuk

norma, sikap dan prasangka terhadap kelompok lain. Pengkajian masalah

internasional bukanlah monopoli pengkajian ilmu hubungan internasional, karena

permasalahan internasional juga dapat dikaji dari ilmu lain.

8. PENUTUP

Pada Bagian penutup ini penulis kembali menegaskan bahwa pluralisasi

merupakan suatu hal yang tidak mungkin kita hindari, tetapi kita sebagai bangsa yang

besar harus sekuat tenaga menjadikan pluralisasi sebagai asset bangsa bukannya media

yang dapat memecahbelah kehidupan masyarakat, sosial dan keagamaan. Tidak ada

salahnya kita melihat kembali apa yang difirmankan Allah SWT dalam Alquran : Dalam

Alquran Allah SWT berfirman : "Hai manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan

kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa

dan bersuku-suku supaya saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di

sisi Allah di antara kalian adalah orang yang paling bertaqwa" (Al-hujurat: 13). Dalam

ayat di atas Allah telah menandaskan bahwa manusia diciptakan dalam wujud laki-laki

dan perempuan, berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku. Dengan tegas ayat ini

menandakan pluralitas manusia. Kebhinekaan bukan untuk saling menghilangkan,

sebaliknya agar saling mengenal (lita'rafu). Mengenal artinya saling mengerti dan

memahami, di sini diandaikan saling belajar sehingga kehidupan menjadi dinamis. Kita

berharap, Indonesia dibawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dapat kokoh

berdiri didasarkan segala perbedaan dan kemajemukan. Suku, bangsa, budaya, agama,

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 117

Page 118: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

serta perbedaan wilayah geografis menjadi pondasi kuat baik tegaknya Indonesia dengan

slogannya Bhinneka Tunggal Ika.

Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan, menampakkan bahwa kongruensi

antara aspek kebhinekaan yang manunggal dalam ke-ekaan mulai menjadi masalah yang

tak pernah kunjung selesai. Masyarakat majemuk yang menekankan keanekaragaman

etnik sepatutkan dikaji ulang untuk digeser pada pluraisme budaya (multi culturalme)

yang mencakup tidak hanya kebudayaan etnik tapi juga berbagai lokal yang ada di

Indonesia, sekaligus harus dibarengi oleh kebijakan politik Nasional yang meletakkan

berbagai kebudayaan itu dalam kesetaraan derajad.

Tranformasi budaya dan berbagai permasalahan silang budaya harus dapat

dipandu secara perlahan lewat jalur media massa maupun pendidikan. Kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi serta arus informasi, memerlukan berbagai penyesuaian, baik

dalam struktur pekerjaan, tuntutan keahlian mobilitas sosial dan sebagainya, dalam

proses perubahan tersebut bila tidak memiliki akar budaya yang kuat akan kehilangan

identitas diri, dan terbawa arus. Tatanan sosial dan tradisi lokal yang berakar kuat akan

memberikan sentuhan halus yang mengingatkan manusia agar tidak terbawa arus

perubahan yang demikian dahsyat. Nilai budaya yang berkembang dalam suatu

masyarakat, akan selalu berakar dari kearifan tradisional yang muncul dan berkembang

sejalan dengan perkembangan masyarakat itu sendiri, kemajemukan masyarakat

Indonesia dengan ciri keragaman budayanya tidak bisa secara otomatis terintegrasi

menjadi kebudayaan Nasional, yang sama mantapnya dengan setiap sistem adat yang

ada, karena kebudayaan Nasional tersebut baru pada taraf pembentukan. Dengan

berpijak pada pemahaman tersebut, nampak bahwa kebijakan pendidikan yang

sentralistik menjadi tidak relevan. Strategi pendidikan yang berbasis budaya, dapat

menjadi pilihan karena pendidikan berbasis adat tidak akan melepaskan diri dari prinsip

bahwa manusia adalah faktor utama, sehingga manusia harus selalu merupakan sobyek

sekaligus tujuan dalam setiap langkah dan upaya perubahan. Nilai-nilai budaya

tradisional dapat terinternalisasi dalam proses pendidikan baik di lingkungan keluarga,

pendidikan formal maupun non formal. Khususnya pendidikan di sekolah diperlukan

adanya paradigma baru yang dapat menyajikan model & strategi pembelajaran yang

dapat menseimbangkan proses homonisasi dan humanisasi.

Pi'il Pesenggiri merupakan elemen budaya mengandung nilai positif, oleh karena

didalamnya mengandung keutamaan prinsip dan kedudukan terhormat dalam kehidupan

masyarakat. Masyarakat lampung pada dasarnya mendambakan kedudukan yang

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 118

Page 119: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

terhormat, prestasi yang gemilang, menilai harga diri dari segi moral dan bukan

perhitungan ekonomis. Untuk mempertahankan dan meningkatkan kehormatan dan harga

diri, maka berarti masyarakat lampung mempunyai sumber daya yang besar dalam upaya

menjauhkan diri dari segala sikap dan perbuatan yang tercela atau melanggar ketentuan

yang berlaku. Dalam hal ini Prinsip Pi'il Pesenggiri perlu dipertahankan, diterapkan dan

diaktualisasikan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan formal

organisasi-organisasi pemerintah.

Dengan demikian berarti Pi'il Pesenggiri pada hakekatnya telah menunjukkan apa

yang disebut sebagai jatidiri masyarakat lampung pada umumnya. Sebagai warga

masyarakat yang dilahirkan dalam lingkungan adat dan pergaulan yang sarat dengan

nilai-nilai budaya yang mengutamakan kehormatan dan harga diri telah memberikan

pertanda tentang jatidiri yang khas. Oleh karena itu Pi'il Pesenggiri sangat berarti bagi

pembentukan jatidiri bangsa Indonesia pada umumnya. Pi'il Pesenggiri sebagai jatidiri

bangsa dapat dijadikan sebagai sumber potensi dalam perspektif pembangunan yang

tidak hanya terbatas bagi kepentingan daerah lampung, akan tetapi sangat penting bagi

pembangunan nasional.

Pluralisme merupakan kenyataan sejarah yang tidak bisa diingkari

keberadaannya, dan merupakan tantangan yang dihadapi oleh agama-agama dunia

dewasa ini. Untuk menghadapi tantangan pluralisme, diperlukan pemahaman yang plural

terhadap agama. Setiap agama hendaknya dinilai sebagai tradisi-tradisi yang utuh, bukan

sebagai fenomena keagamaan yang partikular. Tradisi perbedaan keagamaan hendaknya

dianggap sebagai sama-sama produktif (equally-productive) dalam mengubah manusia

dari perhatian pada diri sendiri (Self-Centredness) menuju perhatian pada Tuhan

(Reality-Centredness).

Semua agama cenderung memiliki klaim absolutisme, baik Islam, Kristen Hindu

maupun Yahudi. Klaim pemeluk agama monoteisme yang partikularistk-subjektif akan

berdampak pada konflik antarumat beragama, dan konflik tersebut akan menjadi

memuncak jika beberapa organisasi keagamaan yang kuat dan partikularistik hidup

berdampingan.

Tidak ada agama yang memiliki esensi tunggal. Yang ada adalah perbedaan

penafsiran tentang Tuhan: God, Emptiness, Suchness, the One, Nature, the Many.

Perbedaan agama-agama hanya berada pada level eksoterisme, sementara pada level

esoterisme terdapat titik temu. Kita tidak bisa mengabaikan perbedaan-perbedaan yang

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 119

Page 120: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

ada dalam masing-masing agama untuk menarik kesimpulan bahwa “semua harus

menjadi satu”.

Dalam memahami persoalan agama-agama perlu pendekatan multikultural,

dimana pendekatan ini berusaha menjauhkan sikap absolut, subjektif dan ekslusif.

Pemahaman ini juga setara dengan pendekatan yang digunakan oleh Schuon dengan

istilah esoterisme, atau yang digunakan Hick dengan pendekatan cross-cultural-nya dan

Nasr dengan philosophia-perennia-nya. Mengedepankan aspek moral dan sosial dalam

agama juga diperlukan agar agama tampil sebagai pembawa rahmat bagi semesta alam.

Wallahu A’lam bi-‘l-Shawab.

DAFTAR PUSTAKA

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 120

Page 121: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

Abdul Syani, 1994. Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan. Bumi Aksara, Jakarta.

Abdulkadir Muhammad, 1987. Ilmu Budaya Dasar (IBD). Fajar Agung, Jakarta.

Abu Rabi’, Ibrahim. “Christian-Muslim Relations in Indonesia: The Challenges of The

Twenty-First Century” Jurnal Studia Islamika. Jakarta: IAIN Syarif

Hidayatullah, 1998.

Ahmadi, Abu, Psikologi Sosial, (Rineka Cipta, Jakarta, 1991)

Ali, Mukti H. A.. Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, Bandung: Mizan, 1998.

Anderson, B. (1991 [1983]) Imagined Communities. Reflections on the Origins and

Spread of Nationalism. 2nd edition. London: Verso.

Andito (ed.). Atas Nama Agama: Wacana Agama dalam Dialog “Bebas” Konflik,

Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.

Arikunto, S. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktis, Jakarta: Bina Aksara,1989.

Ary D. et.al.. Introduction to Research in Education, The Third Education, New York:

Holt, Rinehart and Wiston,1985.

Azra, Azyumardi.. Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, Jakarta:

Paramadina, 1999.

Budiono Kusumohamodjojo, 2000, Kebhinekaan Masyarakat Indonesia, Grasindo

Jakarta

Buzan, Barry, People, State and Fear, (Harvester Wheatsheaf, London, 1995)

Campbell, Tom. 1994. Tujuh Teori Sosial, Sketsa, Penilaian, Perbandingan.

Yogyakarta: Kanisius. Nasikun, Sistem Sosial Budaya, Jakarta : Penerbit

Rajawali Press. Tom Campbell. Tujuh Teori Sosial, Sketsa, Penilaian dan

Perbandingan. Kanisius. Yogayakarta, 1994. p. 141.

Cohen, A. (1974) Two-dimensional Man. London: Tavistock.

Coward, Harold.. Pluralisme dan Tantangan Agama-Agama, Yogyakarta: Kanisius,

1989.

Danandjaja James, 1988, Antropologi Psikologi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta

Dean, Thomas, ed. Religious Pluralism and Truth Essays on Cross-Cultural Philosophy

of Religion. State University of New York, 1985.

Dieters Evers. Hans. 1998. Teori Masyarakat: Proses Peradaban dalam Sistem Dunia

Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Purwasito, Andrik. 2003.

Komunikasi Multikultural. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Ritzer,

Depag RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI. 1995.

Dian Interfidei. Dialog: Kritik dan Identitas Agama, seri Dian I Th. I,. 1995.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 121

Page 122: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

Fay, Brian Contemporary Philosophy of Social Science. Oxford: Blackwell Publisher.

1996.

Furnivall, J.S. (1938) The Netherlands Indies: A Study in Plural Economy. Cambridge:

Cambridge University Press.

Geerz, Cliffort. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, Jakarta, Surya

Grafindo, 1985.

Geertz, C. & D. Apter, eds. (1969) The Old Societies and New States. Chicago: Aldine

Publications.

Gellner, E. (1983) Nations and Nationalism. Oxford : Blackwell.

George dan Douglas J. Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern. Edisi ke-6. Jakarta:

Prenada Media.

Gerungan, W.A., Psikologi Sosial, (PT. Eresco Bandung, 1991)

Goldstein, Joshua S., International Relations, 2sd edition,(Harper Collins Publisher Inc.

New York, 1996)

Hanafi, Hassan. 1977. Religious Dialogue & Revolution, Essay on Judaism, Christianity

& Islam, Cairo: The Anglo Egyptian Bookshop.

Hamengku Buwono X, 2001, Implementasi Budaya Jawa Dalam Menjaga Keutuhan

dan Persatua Bangsa, Mungkinkah? Makalah Seminar, Solo, Agustus 2001

Harsojo, 1967. _Pengantar Antropologi_. Binacipta, Bandung.

Hasan, Thalchah.. Reaktualisasi Pembinaan Kerukunan Umat Beragama, makalah tidak

diterbitkan. 1999

Hick, John Problem of Religious Pluralism. London: The Macmillan Press, 1985.

Hilman Hadikesuma, 1977. Ensiklopedia Hukum Adat dan Adat Budaya Indonesia.

Alumni, Bandung.

Hilman Hadikesuma, 1979. Hukum Pidana Adat. Alumni, Bandung.

Hornby, AS. Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Oxford:

University Press. 1986.

Jurnal Ulumul Qur’an.1993. No. 4, Volume IV.

Kelman, Herbert C., Group Processes in The Resolution of International

Conflicts:Experiences from The Israeli-Palestinian Case, (American

Psychologist, March 1997, 52/3) p. 212-220

Koentjaraningrat, 1982. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Gramedia, Jakarta.

Koentjoraningrat, 1964. Pengantar Antorpologi. PD. Aksara, Jakarta.

Kompas, 2000/ 05/ 08.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 122

Page 123: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

Kung, Hans. “Sebuah Model Dialog Kristen-Islam” dalam Jurnal Paramadina, Jakarta,

Paramadina Juli-Desember, 1998.

Lyden, John (Editor). Enduring Issues in Religion, San Diego: Greenhaven Press. 1995.

Mahfuz, Abdul Ghoffar. Tokoh Agama dalam Mewujudkan Kerukunan Antarumat

Beragama (Studi Kasus di Kec. Bukit Intan Kodya Pangkal Pinang),

Palembang, Puslit IAIN Raden Fatah. 1997.

Mastudu dan M. Deden Ridwan (eds.)..Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan

Antar Disiplin Ilmu, Jakarta, Pusjarlit. 2000

Mathews, Warren.World Religion, Canada: International Thompson Publishing, 1999.

Mulyana, Deddy. 2004. Komunikasi Efektif, Suatu pendekatan Lintas Budaya. Bandung:

Remaja Rosdakarya.

Nasr, Seyyed Hossein. The Need for Sacred Science, United Kingdom: Curzon Press,

1993.

Notingham, Elizabeth K. Agama dan Masyarakat. Terjemahan A. Muis Naharong,

Jakarta: Rajawali Press,1985.

Nurdin HK. (Editor), 1983. Perubahan Nilai-nilai di Indonesia. Alumni, Bandung.

Paul B. Horton & Chester LH, Terj. Aminuddin Ram, 1992, Sosiologi, Erlangga,

Jakarta

Puspito, Hendro, OC. Sosiologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1984.

Qowa’id. “Dialog Antarumat Beragama di Kalimantan Selatan”, Jakarta, Jurnal Penamas

No. 39, Th. XIV. 2001.

Ralp Linton, 1947. The Cultural Background of Personality. New York.

Ropi, Ismatu. Fragile Relation: Muslims and Christians in Modern Indonesia Jakarta:

Logos. 2000.

Rothchild, Donald & David A. Lake, Containing Fear: The Origins and Management of

Ethnic Conflict, (International Security 1996, 2/21) p.57

Ryan, Stephen, Ethnic Conflict and International Relations (Darmouth Publishing

Company, England, 1990)

Saifuddin, A.F. (2005) Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritik Mengenai

Paradigma. Jakarta : Prenada-Media.

Schuon, Frithjof The transcendent Unity of Religions. Wheston, Illinois: The

Theosophical Publishing House,1984.

Setya Yuwana Sudikan, 2001, Metode Penelitian Kebudayaan, Citra Wacana, Surabaya

Shihab, Quraish Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1992.

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 123

Page 124: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

Smith, A.D. (1986) The Ethnic Origin of Nation. Oxford: Blackwell.

Soroush, Abdul Karim Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, terjemahan Abdullah

Ali, Bandung: Mizan, 2003.

Stavehagen, Rodolfo, The Ethnic Question : Conflict, Development and Human Rights

(United Nations Univ.Press, Tokyo, 1990)

Stark, Rodney. One True God: Resiko Sejarah Bertuhan Satu, penerjemah M. Sadat

Ismail, Jakarta, Nizam, Yogyakarta: Qalam, 2003.

Sudarta. Konflik Islam-Kristen, Menguak Akar Masalah Hubungan Antar umat

Beragama di Indonesia, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999.

Sumarthana, T.H. “Menuju Dialog Antar Iman”, Pengantar dalam Dialog : Kritik

dan Identitas Agama, Yogyakarta: Dian/Interfedei, Seri Dian I/Tahun I.

1993.

Suparlan P. “Kebudayaan, Masyarakat dan Agama: Agama Sebagai Sasaran Penelitian

Antropologi” dalam Parsudi Suparlan (ed), Pengetahuan Budaya, Ilmu-Ilmu

Sosial dan Pengkajian Masalah-Masalah Agama, Jakarta, Badan Litbang

Agama, Departemen Agama RI. 1982.

Suparlan P. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungannya. Jakarta, Rajawali Press, 1984.

Suparlan P. “Agama Sebagai Sasaran dan Penelitian” dalam Sujangi (ed), Kajian Agama

dan Masyarakat, Jakarta, Badan Litbang Departemen Agama RI. 1991.

Tracy, David. Plurality and Ambiguity, Hermeneutic, Religion, Hope. University of

Chicago Press, 1987.

Turner, V. (1969) The Ritual Process: Structure and Anti-Structure. Chicago: Aldine

Publications.

Yahya, M., et.al. Respon Masyarakat Awam (Islam-Kristen) Terhadap Dialog Antarumat

Beragama di Kabupaten Malang, Laporan Hasil Penelitian Hibah Bersaing

Depag RI. 2002.

Zakiyuddin. Ambivelensi Agama, Konflik dan Nirkekerasan. Yogyakarta: Lesfi, 2002.

Zebiri, Kate. Muslims and Christians, Face to Face, Oxford: Oneworld, 1997.

Zulaikha, Siti. “Toleransi Awu-awu: Potret Dialog Antar Agama di Jawa Timur”

Surabaya: Jurnal Gerbang, Oktober-Januari, 2002-2003.

Zainuddin, M. Potret Kerukunan Hidup Antarumat Beragama di Malang Selatan,

Jakarta: Mediacita, 2002

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 124

Page 125: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR 125

Page 126: Pluralisme Dan Integrasi Bangsa (1)

1

7

24

44

45