Memahami Pluralisme Agama

31
Memahami Pluralisme Agama (Sebuah Telaah Wacana) Gatot Suhirman Mahasiswa Magister Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Email:[email protected]. Abstrak Wacana pluralisme agama dalam diskursus keberagamaan kontemporer seolah menghipnotis banyak kalangan. Di satu sisi, konsep wacana ini dianggap begitu menjanjikan sebagai pola ideal dalam memaknai keberagamaan dalam hubungan lintas agama di era pluralisme dan multikulturalisme sekarang ini. Konsep ini muncul berawal dari kegagalan konsep-konsep sebelumnya (inklusivisme dan eksklusivisme) yang dianggap tak lagi mampu untuk menyelesaikan permasalahan sosial-keagamaan yang terjadi. Jika agama dimaksudkan sebagai petunjuk dan penuntun manusia dalam merealisasikan ajaran-ajaran yang pada akhirnya demi kemanusiaan itu sendiri, maka konsep pluralisme agama dilahirkan untuk mengatur pola hubungan antar agama-agama yang ada. Karena pada kenyataannya di dunia ini, agama yang ada tidak hanya satu. Hal itu membuktikan bahwa diperlukan suatu konsep yang dapat menjamin

Transcript of Memahami Pluralisme Agama

Page 1: Memahami Pluralisme Agama

Memahami Pluralisme Agama

(Sebuah Telaah Wacana)

Gatot Suhirman

Mahasiswa Magister Program Pascasarjana

UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Email:[email protected].

Abstrak

Wacana pluralisme agama dalam diskursus keberagamaan kontemporer seolah menghipnotis

banyak kalangan. Di satu sisi, konsep wacana ini dianggap begitu menjanjikan sebagai pola ideal

dalam memaknai keberagamaan dalam hubungan lintas agama di era pluralisme dan

multikulturalisme sekarang ini. Konsep ini muncul berawal dari kegagalan konsep-konsep

sebelumnya (inklusivisme dan eksklusivisme) yang dianggap tak lagi mampu untuk

menyelesaikan permasalahan sosial-keagamaan yang terjadi. Jika agama dimaksudkan sebagai

petunjuk dan penuntun manusia dalam merealisasikan ajaran-ajaran yang pada akhirnya demi

kemanusiaan itu sendiri, maka konsep pluralisme agama dilahirkan untuk mengatur pola

hubungan antar agama-agama yang ada. Karena pada kenyataannya di dunia ini, agama yang ada

tidak hanya satu. Hal itu membuktikan bahwa diperlukan suatu konsep yang dapat menjamin

semua agama untuk saling bersinergi, bukan untuk saling menjatuhkan.

Namun demikian, di sisi yang lain, tawaran konsep pluralisme agama dianggap akan mencederai

bangunan keyakinan keagamaan, ”akidah”, tertentu. Akidah Islam misalnya. Karena itu, konsep

tersebut harus ditolak dan dianggap sebagai ”racun” keyakinan.

Oleh karena itu, untuk dapat memposisikan diri dalam arus perdebatan yang terjadi, diperlukan

sebuah telaah atas wacana yang berkembang seputar isu pluralisme agama.

Page 2: Memahami Pluralisme Agama

Keywords: Pro-kontra Pluralisme, Pluralisme Agama, Pluralis tanpa Pluralisme dan hubungan

antar-agama.

Pendahuluan

Wacana pengembangan pemikiran Islam yang terus bergulir, khususnya di Indonesia, sejatinya

telah melahirkan berbagai pandangan yang dikatakan "maju" dengan mengatasnamakan

pembaharuan itu sendiri dan tuntutan modernitas. (Sidik Tono, 2003: 198). Berbagai pandangan

sebelumnya yang dianggap bertentangan atau bahkan tak sesuai lagi dengan realitas kontemporer

dewasa ini dibongkar dan dirombak kembali untuk kemudian disesuaikan dengan tuntutan masa

kini.

Munculnya para tokoh pemikir Islam dengan segala tawaran pembaharuannya mengindikasikan

bahwa reinterpretasi, rekonstruksi atau bahkan dekonstruksi terhadap pemahaman al-Qur'an dan

as-Sunnah sebagai akar spiritualitas Islam dalam menetapkan hukum mutlak harus dilakukan.

( Ilyas Supena 2002: 117). Demikian pula halnya, reaktualisasi dan kontekstualisasi ajaran Islam

menjadi sebuah keniscayaan. Berbagai fenomena sosial yang secara eksplisit belum, bahkan tak

tersurat sama sekali, amat menuntut untuk segera dicari solusi dan penyelesaiannya demi

mewujudkan cita-cita Islam yang universal, progresif dan elastis (Ibnu Hajar, 2003: 149), sa>lih

li kulli zama>n wa maka>nin, rahmatan li al-'a>lami>n, serta Islam yang dinamis dan tanggap

atas setiap perubahan yang terjadi, karena memang karakter awal ajaran Islam selalu sejalan

dengan pergantian ruang dan perjalanan waktu, ia senantiasa survive memenuhi kebutuhan umat

Islam dan menjawab tantangan sepanjang masa. (Ibnu Hajar, 2003: 170)

Dalam upaya pengkontekstualisasian seperti inilah kontroversi dan perdebatan seringkali tak bisa

dihindarkan, truth claim pun menjadi sesuatu yang "wajib" muncul dalam setiap bentuk

pemikiran dan ide yang dimunculkan demi mendukung gagasan masing-masing, bahkan

terkadang berujung konflik. (Hasan Bisyri, 2000) Gambaran ini akan menunjukkan wujudnya

dengan lebih jelas apabila kita mengamati dinamika pemikir-pemikir Islam dan muatan

Page 3: Memahami Pluralisme Agama

intelektual yang mereka lontarkan, baik yang disampaikan secara individu-personal maupun

kolektif-institusional. Berbagai perbincangan seputar masalah keagamaan pun kembali menjadi

perdebatan hangat di tengah masyarakat, khususnya yang berpijak pada paradigma syari'ah

(Islam). Saefurrahmat, 2002). Salah satu isu aktual saat ini yang muncul ke permukaan adalah

pergeseran paradigma pemahaman yang berkaitan dengan hubungan lintas agama yang sering

disebut sebagai Paham Pluralisme Agama. Berbagai asumsi terhadap agama yang ditengarai

sebagai akar perubahan pandangan tersebut turut pula ditampilkan. (Mudji Sutrisno, 1993: 40-

41).

Terdapat kelompok Islam yang menerima dan meyakini bahwa paham pluralisme merupakan

suatu keniscayaan bagi terwujudnya kehidupan yang toleran dan harmonis di antara umat yang

berbeda keyakinan, agama, sosial, budaya, ras dan keturunan, kelompok ini disebut kelompok

Pro-Pluralisme. Dalam pandangan mereka, paham pluralisme agama merupakan solusi terbaik

untuk meredam ketegangan dan konflik intra dan antar umat beragama yang terjadi, terutama

setelah era reformasi dikumandangkan, dan di masa mendatang. (Masdar F. Mas’udi: 1993: 29).

Lebih jauh, kelompok pro pluralisme mengembangkan tafsir Islam-Pluralis. (Djohan Effendi,

2001). Mereka menunjuk beberapa ayat dalam al-Qur'an yang mengindikasikan adanya

kebenaran dan jalan keselamatan dalam agama-agama yang dijadikan dasar pijakan teologis

praktek toleransi dan kerjasama antar umat beragama. (Muh. Tasrif, 2006).

Namun, disamping kelompok pro pluralisme terdapat pula kelompok Islam lain yang menolak

dan membantah keyakinan kelompok pertama, yaitu kelompok Kontra-Pluralisme. (Masdar F.

Mas’udi: 1993) Tanggapan dan bantahan pun mereka lontarkan untuk meng-counter keyakinan

kelompok pertama. Pada perkembangannya kelompok inipun mengembangkan tafsir Islam

Kontra-Pluralis, (Muh. Tasrif, 2006). sebagai pijakan dasar teologis dalam mendukung praktek

keagamaan mereka, bahwa tidak ada kebenaran dan jalan keselamatan kecuali dalam Islam.

Lebih lanjut, kelompok kedua melihat paham (plralisme agama) ini sebagai bentuk

penyeragaman segala perbedaan dan mengusung keyakinan inklusif-pluralis yang

mensamaratakan semua agama. (Hartono Ahmad Jaiz, 2006) Karenanya, ia secara ontologis

bertentangan dengan sunnatullah, (Anis Malik Thoha: 2005), yang pada gilirannya mengancam

eksistensi manusia dan hanya akan merusak kemurnian paham dan aqidah yang telah disepakati

oleh para ulama sejak masa permulaan Islam.

Page 4: Memahami Pluralisme Agama

Pro-Kontra Wacana Pluralisme

Persoalan pluralisme agama dalam Islam sejatinya telah menjadi perdebatan serius di kalangan

para pemikir Islam, karenanya, berbagai respons dan tanggapan pun dilontarkan. Diantara sekian

respons itu, terdapat beberapa pandangan yang mendukung pluralisme agama dan tidak sedikit

pula yang meng-counter serta menolak gagasan pluralisme agama. Di antara pendapat yang

mendukung pluralisme, Nurcholish Madjid misalnya, dalam ceramah budayanya di Taman

Ismail Marzuki (TIM), sebagaimana dimuat dalam Jurnal Ulumul Qur'an misalnya, ia

menjelaskan bahwa antara Islam dan agama-agama samawi lainnya (Ahl al-Kita>b), yaitu

Yahudi dan Nasrani terdapat beberapa persamaan yang menjadi titik-temu yang amat menonjol,

antara lain; sama-sama berasal dari Tuhan yang sama. Kemudian ia menjelaskan tentang konsep

kesatuan pesan dan kontinuitas ajaran para nabi sebagai common flatform-nya. Pada sisi yang

sama ia juga menjelaskan bahwa perbedaan yang ada hanyalah dalam bentuk-bentuk respon

khusus tugas seorang rasul kepada tuntutan zaman dan tempatnya. Maka perbedaan itu tidaklah

prinsipil, sedangkan ajaran pokok dan inti syari’at para nabi dan rasul adalah sama, (Nurcholish

Madjid, 1993). Lebih jauh, ia mengatakan bahwa titik temu semua agama yang memiliki kitab

suci adalah pada ajaran “kebaikan” bahwa semua agama mengajarkan kebaikan. Kebaikan atau

hikmah inilah yang patut dipelajari dari sekian agama-agama yang ada.

Para pendukung pluralisme yang lain, bahkan memandang bahwa demokrasi, masyarakat madani

dan pluralisme (termasuk pluralisme agama) adalah tiga serangkai yang harus menjadi agenda

utama umat Islam dalam menyongsong masa depan. (Djohan Effendi, 2001). Menurut mereka,

pada masa sekarang ini agama-agama (khususnya di Indonesia) harus bekerja lebih keras lagi,

karena “agama” ikut bertanggung jawab atas menggejalanya kekerasan, langsung maupun tidak

langsung, menolak pluralisme hanya akan menambah daftar panjang kebencian dan kekerasan

atas nama agama, dan itu sama artinya dengan menolak masyarakat madani itu sendiri.

Tegasnya, masing-masing agama lebih mengedepankan truth claim dan bersikap eksklusif.

Masdar Farid Mas’udi pun, salah satu pendukung pluralisme agama, memilah pengertian Islam

pada tiga tatarannya: Islam sebagai Aqi>dah, syari>’ah dan akhla>q. (Masdar F. Mas’udi: 1993).

Islam sebagai aqi>dah yaitu komitmen nurani dan batin untuk selalu pasrah/berserah kepada

Page 5: Memahami Pluralisme Agama

Tuhan, dan inilah hakikat, karena inti dan esensi dari seluruh keislaman memang terletak di situ

adanya. Ia adalah agama yang azali, yang ada dalam nurani sejak manusia sendiri belum lahir di

bumi. Pada tataran inilah semua agama samawi sama. Keislaman pada tataran syari>’ah, yaitu

ajaran tentang bagaimana kepasrahan itu dipahami. Pada tataran kedua ini agama-agama

berbeda. Islam pada tataran ini hanyalah piwulang formal yang sudah mulai menampakkan

batas-batas partikularnya. Jika Islam syari>’ah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.

dikemukakan dalam bahasa Arab, dihimpun dalam sebuah kitab suci yang bernama al-Qur’an,

maka Isla>m Syari>’ah yang dibawa Nabi Isa dikemukakan dalam bahasa Ibrani dan terhimpun

dalam sebuah kitab dengan nama Injil. Demikian pula Isla>m syari>’ah Nabi Musa, Nabi

Ibrahim dan lain-lainnya. Disebabkan ciri-ciri partikularnya itu, maka “Islam” (Islam Aqidah)

yang pada hakikatnya merupakan satu-satunya agama Tuhan pun lalu mengenal pengkotak-

kotakan. Tegasnya, ketika manusia beragama menyebut agama, maka pada umumnya yang

dimaksud adalah agama pada tataran Islam Syari’ah, atau tataran normatifnya.

Ketiga, Islam sebagai akhla>q, yaitu sebagai laku-laku manusia yang pasrah, baik dalam dimensi

diri-personalnya, maupun dalam dimensi sosial-kolektifnya.

Akan tetapi, pendapat para pemikir yang pro terhadap pluralisme tidak serta merta ”diamini”

oleh semua kalangan. Bahkan, penerimaan atas konsep pluralisme mendapat penentangan luar

biasa dari kalangan yang tak sepaham dengan mereka. Dalam konteks ini, wacana tandingan pun

turut pula dilontarkan dalam rangka menolak dan mengkritik paham yang dianggap ”sesat” itu.

Adian Husaini misalnya, mengkritik teologi inklusif/pluralis yang dilontarkan oleh para

pendukung pluralisme sebagai tidak memiliki dasar dalam al-Qur'an, Sunnah, Ijma' Sahabat, atau

pendapat para ulama salaf (terdahulu). Lebih lanjut ia mengatakan bahwa teologi inklusif/pluralis

tersebut bersifat dekonstruktif terhadap konsep-konsep dasar Islam dan menghancurkan fondasi

keimanan Islam. (Adian Husaini, 2005). Para pengkritik yang lain pun menyebut teologi Islam

kaum pluralis masih bersifat inklusifisme monistik yang beranggapan bahwa Islam merupakan

agama yang paling superior di antara agama yang lain (Munawwiruzzaman, 2006).

Penolakan yang sedikit ekstrim muncul dengan menyatakan bahwa pluralisme agama sebenarnya

merupakan agama baru, di mana sebagai agama dia punya tuhan sendiri, nabi, kitab suci dan

ritual keagamaan sendiri, sehingga jelas bahwa ia bukanlah bagian dari Islam, apalagi Islam itu

sendiri. Penolakan lain muncul dengan pernyataan bahwa paham inklusif-pluralis meskipun

Page 6: Memahami Pluralisme Agama

mengaku Islam namun juga secara terang-terangan mengakui akidah mereka berbeda.

Selanjutnya "Akidah yang berbeda" itu memerlukan "Fiqih yang berbeda", "Akidah eksklusif"

maka memerlukan "Fiqih eksklusif", demikian pula halnya "Akidah Inklusif" dengan sendirinya

memerlukan "Fiqih Inklusif" pula. (Hartono Ahmad Jaiz, 2006)

Lebih jauh, pluralisme agama dianggap tak lain dan tak bukan adalah kerangka berpikir

"talbi>sul Ibli>s", yaitu memoles dan membungkus kebatilan dengan berbajukan agama, dan

berhujjah dengan dalil-dalil al-haqq untuk tujuan kesesatan, seperti perilaku para pendeta Yahudi

dan Nasrani. Sayangnya, respon yang ada selama ini, dengan menyimak alur perdebatan pro-

kontra sebagaimana yang ditampilkan di atas, terkesan masih bersifat sangat polemis sehingga

dukungan dan kritikan yang diarahkan kepadanya belum bahkan tidak langsung tertuju kepada

titik utama permasalahan yang menjadi polemik. Tulisan-tulisan dan karya ilmiah dalam

merespon pro-kontra tersebut masih dirasa sangat subyektif, dengan kata lain tanggapan yang

diberikan terkesan cenderung “ikut-ikutan” meligitimasi (setuju) atau rejektif menolak. Oleh

karena itu, dibutuhkan suatu upaya untuk mempertemukan dua kutub yang berseberangan

tersebut dalam satu bingkai wacana dengan berhadapan secara langsung dan memaparkan

pandangan masing-masing secara dialogis untuk kemudian bersama-sama mempertimbangkan

kembali atau berusaha membandingkan pendapat masing-masing. Dengan demikian, dalam

hemat penulis, diperlukan adanya suatu pemikiran alternatif berupa pemikiran ”poros tengah”

dalam rangka meredam ketegangan antara pandangan yang satu sama lain saling membelakangi

itu.

Tinjauan Umum Tentang Pluralisme Agama

Pluralisme agama lahir sebagai tuntutan modernitas dan globalisasi dunia terhadap agama. Era

keterbukaan budaya dan pemikiran secara bersama-sama akan berpengaruh pada perubahan cara

seseorang atau kelompok memandang "obyek" di luar dirinya. (Mohammad Hasan Bisyri, 2006).

Dalam situasi demikian, peran agama yang konstruktif untuk membimbing manusia sangat

dinantikan, bahkan di abad 21 ini diprediksikan sebagai abad (kebangkitan) agama. Namun

demikian, harapan yang begitu besar terhadap agama ini dihadapkan pada problem truth claim

(klaim kebenaran). Apalagi jika klaim kebenaran itu memasuki wilayah sosial politik dalam

Page 7: Memahami Pluralisme Agama

ranah praktis-empiris. Jika demikian halnya, maka harapan-harapan besar terhadap peran agama

untuk mengatasi problem dunia mungkin akan semakin pupus. Orang lebih mementingkan

agama sebagai kelembagaan eksoteris dan identitas lahiriah, bukan melihat dan mementingkan

nilai-nilai spiritual yang sebenarnya terkandung dalam agama itu sendiri. Oleh karena itu, dalam

era pluralisme agama ini, meletakkan klaim kebenaran terhadap keyakinan diri dan orang lain

secara tepat dan proporsional merupakan suatu tuntutan yang tak dapat ditunda-tunda lagi.

Pengertian Pluralisme Agama

Secara etimologis, pluralisme agama berasal dari dua kata, yaitu pluralisme dan agama.

Pluralisme berasal dari istilah Inggris. Dalam kamus Bahasa Inggris pluralism berarti jamak atau

lebih dari satu. Kata tersebut mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: (i)

sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (ii)

memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non-

kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis, berarti sistem pemikiran yang mendasar yang lebih dari

satu. Ketiga, pengertian sosio-politis, adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi

keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap

menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik di antara kelompok-

kelompok tersebut. The Shorter Oxford English Dictionary on Historical Principles (1952).

Ketiga pengertian tersebut menurut Anis Malik Thoha dapat disederhanakan dalam satu makna,

yaitu koeksistensinya berbagai kelompok atau keyakinan di satu waktu dengan tetap

terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan karakteristik masing-masing. (Anis Malik Thoha,

2005).

Pluralisme adalah suatu sistem berpikir yang beranggapan bahwa hakikat sesuatu adalah plural

(banyak), dengan demikian pluralisme tidak hanya mengenal satu macam kebenaran final.

Sebagai sebuah pemikiran, pluralisme biasanya dilawankan dengan monisme. Monisme adalah

sebuah cara pandang yang menganggap bahwa hakikat sesuatu itu adalah tunggal. Aliran

pemikiran yang menengahi kedua pemikiran itu dikenal dengan dualisme, yang menganggap

bahwa hakikat sesuatu adalah terdiri dari dua hal. (Ali Mudhofir, 1996), (Muhyar Fanani, 2003)

Page 8: Memahami Pluralisme Agama

Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa pluralisme adalah suatu pandangan yang

meyakini akan banyak dan beragamnya hakikat realitas. Sebagai akibat dari pola pikir ini adalah

seseorang tidak boleh mengklaim bahwa realitas yang ia pahami saja yang paling benar dan yang

lain salah. Pandangan semacam ini menurut Muhammad Hasan Bisyri dapat dipakai untuk

melihat segala realitas kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan keberagamaan (fiqih lintas

agama). (Mohammad Hasan Bisyri, 2006).Lebih lanjut, menurut Haryatmoko, dalam perspektif

pluralisme, keberagamaan hendaknya tidak dilihat pada sisi benar atau salah, akan tetapi dilihat

pada nilai-nilai dan kekhasannya masing-masing. (Haryatmoko, 2000)

Menurut hemat penulis, tentu pendapat tersebut tidaklah berlebihan, karena disadari atau tidak

pluralisme agama sebenarnya mengandaikan terciptanya suatu kondisi dimana masing-masing

agama dapat saling terbuka dan melihat bahwa yang ada di bumi ini tidak hanya agama mereka

saja, melainkan ada agama lain, sehingga masing-masing mengakui eksistensi pihak dan

komunitas lain (qabu>l al-akhar). Akan tetapi, harus disadari pula bahwa sikap terbuka dan

saling menerima tersebut tentu saja tidak akan pernah terwujud dan hanya akan menjadi harapan

semata, apabila masing-masing masih tetap mengedepankan truth claim dan bersikap eksklusif,

memandang bahwa agamanya saja yang paling benar dan yang lain kafir. Implikasi dari sikap

seperti itu jelas akan semakin memperlebar jurang permusuhan dan kecurigaan antaragama,

sehingga kehidupan yang damai pun seakan menjadi khayalan tak berujung.

Menyadari akan hal itu, di mana pada masa-masa sebelumnya pemikiran dan komunitas

keagamaan senantiasa menempatkan "orang lain" (al-akha>r) sebagai kelompok manusia yang

salah jalan, durhaka atau ingkar yang dalam term agama diistilahkan dengan “kafir”. Maka, sejak

awal abad ke-20, atau setidaknya pertengahan abad itu, sikap-sikap tersebut mulai berubah.

Masyarakat dan terlebih lagi pemikiran keagamaan menjadi lebih terbuka dalam melihat realitas

bahwa di bumi ini masyarakat memang telah terkonstruk demikian plural. Oleh karena itu, dalam

suasana yang plural dibutuhkan kesepahaman yang menyeluruh sehingga keragaman (agama)

tersebut tidak menjadi sumber konflik, bahkan dapat dijadikan ajang bahu-membahu dalam

membangun masyarakat demi kepentingan bersama. Dari sini mulai muncul terminologi

pluralisme (fiqih pluralis, teologi pluralis) dalam diskursus religious studies di dunia, termasuk di

Indonesia. Paham pluralisme dimaksudkan untuk menghilangkan paham kemutlakan, superior,

eksklusif, truth claim dan lain-lain yang sejenis untuk kemudian memunculkan sikap-sikap

Page 9: Memahami Pluralisme Agama

rasionalisme, inklusif, saling menghormati keyakinan keagamaan dan saling belajar serta berbagi

pengalaman untuk kebaikan. (Masnun Tahir, 2007)

Pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan, namun lebih

dari itu, ia menuntut adanya keterlibatan secara aktif terhadap kenyataan kemajemukan dan sikap

apresiatif yang mendalam terhadap sistem yang berbeda. Seseorang baru dapat dikatakan

menyandang sifat tersebut apabila ia dapat berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan

tersebut. Tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak kelompok

(agama) lain, tetapi juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna

tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan. (Alwi Shihab, 2004). Akan tetapi, perlu dipahami

pula bahwa tercapainya kerukunan tersebut bukanlah merupakan hasil maksimal dan tujuan final

dalam menciptakan tatanan yang lebih kondusif di tengah masyarakat. Diperlukan usaha lebih

lanjut untuk meretas suasana rukun tersebut selangkah lebih maju lagi menjadi "kerjasama" antar

umat beragama. Karena, suatu usaha yang hanya sampai pada level "damai" dan "dialog" semata

tentu hasil yang dirasakan cuma sebatas itu pula. Lebih dari itu, suasana damai dan dapat

menerima keberadaan satu sama lain harus serta merta pula dibarengi dengan tindakan produktif

untuk membangun suatu kerjasama yang positif, sehingga dalam menghadapi problematika

kehidupan modern tingkat lanjut seperti saat sekarang ini dan masa depan, agama diharapkan

dapat menyumbangkan sesuatu yang menenteramkan dan mampu memberikan solusi bagi

nestapa yang senantiasa meliputi perjalanan hidup manusia.

Menurut Alwi Shihab pluralisme berbeda dengan kosmopolitanisme, relativisme dan

sinkretisme. Kosmopolitanisme menunjuk pada suatu realita dimana aneka ragam agama, ras,

suku, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Alwi memberikan contoh, di New York,

sebagai kota kosmopolitan dihuni oleh orang Yahudi, Kristen, Muslim, Hindu, Budha, bahkan

orang yang tanpa agama. Dalam kota kosmopolitan ini interaksi antar penduduk, khususnya di

bidang agama, meskipun ada tetapi terjadi sangat minim.

Relativisme mempunyai asumsi bahwa hal-hal yang menyangkut kebenaran atau "nilai"

ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir subyektif seseorang atau

masyarakatnya. Menurut konsep ini baik atau buruk, benar atau salah adalah relatif, tergantung

pada pendapat individu, keadaan setempat atau institusi sosial dan agama. Oleh karena itu,

konsep ini tidak mengenal kebenaran absolut atau kebenaran abadi (Alwi Shihab, 2004).

Page 10: Memahami Pluralisme Agama

Relativisme tidak memiliki patokan obyektif dalam kehidupan. Norma-norma moral tidak pernah

berlaku secara mutlak dan tidak dapat mengikat secara mutlak. Sebagai konsekwensi dari paham

ini doktrin agama apapun harus dinyatakan benar. Dengan kata lain semua agama adalah sama.

Paham relativisme ini menolak anggapan kebenaran universal yang berlaku untuk semua dan

sepanjang masa. Konsep ini bertahan sampai masa kini khususnya dalam pendekatan ilmiah

yang dipakai oleh para ahli antropologi dan sosiologi.

Tak dapat dipungkiri, bahwa dalam paham pluralisme memang terdapat unsur relativisme, yakni

unsur tidak mengklaim pemilikan tunggal (monopoli) atas suatu kebenaran, apalagi memaksakan

kebenaran tersebut kepada pihak lain. (Mohammad Hasan Bisyri, 2006). Seorang pluralis akan

menghindari sikap absolutisme yang menonjolkan keunggulannya terhadap pihak lain. Memang

tak dapat dielakkan bahwa jika pluralisme dipahami secara salah dapat melahirkan suatu sikap

acuh tak acuh terhadap agama, dan bisa menyebabkan seseorang melalaikan berbagai kewajiban

agama. Padahal penunaian kewajiban-kewajiban itu justru merupakan syarat utama untuk

mencapai keselamatan. (Frithjof Schuan, 1987).

Oleh karena itu, untuk membedakannya dengan relativisme, dalam menerapkan konsep

pluralisme ini membutuhkan komitmen dan loyalitas yang kokoh terhadap agama masing-

masing. Dalam berinteraksi dengan aneka ragam agama, seorang pluralis bukan saja dituntut

untuk membuka diri, belajar dan menghormati mitra dialognya. Tapi yang terpenting ia harus

commited terhadap agama yang dianutnya, hanya dengan sikap demikian dapat terhindar dari

jebakan relativisme agama. (Alwi Shihab, 1999) . Sementara itu, sinkretisme adalah menciptakan

suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari

beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut. Contoh dari agama

sinkretisme ini adalah Bahaisme yang didirikan oleh Mirza Husai Ali Nuri yang dikenal sebagai

agama Baha Ullah. Elemen agama baru yang didirikan di Iran ini diambil dari agama Yahudi,

Kristen dan Islam. Dengan demikian, pluralisme agama bukan sinkretisme agama, karena

pluralisme agama tetap mengakui perbedaan-perbedaan agama-agama. (Masykuri Hamdie,

2006).

Penegasan lebih lanjut, Schuon menegaskan bahwa aspek eksoteris agama amat penting untuk

diperhatikan, karena ia merupakan hal yang sudah menjadi kehendak ilahi. Oleh karena itu ia

menganggap palsu ajaran-ajaran yang hanya mengedepankan aspek esoterisme semata dan

Page 11: Memahami Pluralisme Agama

menolak ajaran-ajaran eksoterisme, dan hal itu bisa dianggap sebagai kafir. Sikap menerima

kritik dan akomodatif terhadap eksistensi dan kebenaran agama yang lain muncul sebagai reaksi

atas kenyataan empiris bahwa agama yang ada di bumi ini bukan hanya Islam, yang dibawa oleh

Nabi Muhammad SAW. melainkan juga agama samawi lainnya, seperti Yahudi dan Nasrani,

serta agama non-samawi, seperti Hindu, Budha, Konghucu, dan sebagainya. Islam pluralis ini

meyakini dengan sungguh-sungguh terhadap ajaran agamanya, namun di sisi lain ia juga

menyadari bahwa kebenaran yang terdapat dalam agamanya mungkin saja dijumpai dalam

agama lainnya. Oleh karena keyakinan semacam inilah yang mendorong mereka untuk bersikap

menghargai dan hormat terhadap keyakinan yang dimiliki agama lain.

Pluralitas agama (religious plurality) tidak harus diartikan secara langsung sebagai pengakuan

akan kebenaran semua agama dalam bentuknya yang paling kongkret sehari-hari. Akan tetapi ia

berarti bahwa semua agama diberikan kebebasan untuk hidup, dengan resiko yang akan

ditanggung oleh para pengikut agama itu masing-masing. Pandangan pluralis ini tidak

menganggap bahwa tujuan yang ingin dicapai adalah keseragaman bentuk agama dan tidak pula

bermaksud menyatukan agama. Karena gagasan pluralisme agama, sebagaimana dicatat oleh

Budhy Munawar Rahman, merupakan bentuk pemahaman moderasi yang bertujuan menciptakan

komunikasi untuk menjembatani ketidaktahuan dan kesalahpahaman timbal balik antara budaya

dunia yang berbeda-beda dan membiarkan mereka berbicara dalam bahasa mereka sendiri.

Karenanya, pluralisme berbeda dengan pluralitas. Pluralitas adalah keragaman yang tidak saling

menyapa yang merupakan lawan dari kesatuan monolitik. Sementara pluralisme berdiri di antara

pluralitas yang tidak berhubungan dan kesatuan monolitik itu. (Budhy Munawar Rahman, 2000)

Adapun kondisi yang dikehendaki oleh konsep pluralisme agama, sebagaimana dicatat

Muhammad Hasan Bisyri, adalah: (1) apabila setiap agama, termasuk juga komunitas umatnya,

dapat memberi tempat kepada penganut agama lain, tidak hanya dalam perasaan toleransi

sebagai warga negara kelas dua; (2) apabila setiap agama dapat membedakan antara keyakinan

dan konsekwensi moral mereka; (3) apabila ada konsensus yang pasti dapat dicapai oleh

masyarakat yang berbeda-beda keyakinan untuk saling menghormati tatanan moral yang penting

bagi pribadi dan sikap sosial mereka.

Page 12: Memahami Pluralisme Agama

Membongkar Identitas Semu Kaum Pluralis; Sebuah Mazhab Pluralis tanpa Pluralisme

Ada sebuah kejanggalan yang mungkin dapat terbaca ketika kita merenungi kembali konsep Hak

Asasi Manusia (HAM), dalam konteks ini adalah konsep Hak Asasi Kebebasan Beragama, yang

masih perlu dipertanyakan kembali. Konsep Hak Asasi Kebebasan Beragama, dalam tataran

praktisnya ternyata berbeda dari apa yang diharapkan secara normatif. Hal yang sama juga

berlaku pada pembacaan lebih mendalam ketika agama menjadi tumpuan harapan bagi

kedamaian hidup manusia, justru fakta di lapangan berbicara lain ketika agama terkesan hanya

dijadikan "alat" legitimasi oleh penganutnya untuk memerangi kelompok agama yang dianggap

berbeda di luar dirinya. Ini berarti bahwa keselarasan antara normativitas dan historisitas HAM

dan agama itu sendiri menjadi "barang langka" yang demikian sulit diwujudkan.

Berdasarkan penilaian semacam itu, seringkali yang muncul kemudian adalah adanya anggapan

bahwa konsep agama merupakan akar permasalahan bagi tragedi kemanusiaan dan konflik antar

golongan yang selama ini terjadi. Anggapan ini mungkin tidak dapat disalahkan, tapi tentu saja

tak dapat sepenuhnya dibenarkan. Karena pada dasarnya tidak ada yang salah dengan HAM

ataupun agama. Sebagai ajaran yang diyakini datang dari Tuhan yang Maha Sempurna, maka

agama tidak pernah salah, yang salah adalah pemahaman seseorang terhadap agama dan

kecenderungannya untuk menganggap pemahaman dan istitusi sosial agama itu sebagai "agama,

(Andi Dermawan, 2009). Begitu juga HAM dalam tataran konsep adalah sesuatu yang patut

mendapat apresiasi, meskipun seringkali pada prakteknya tak terlihat seperti yang dikonsepkan.

Pemahaman yang tepat atas situasi yang demikian dalam menyikapi normativitas dan historisitas

yang tidak selalu sejalan-seirama akan menghantarkan pada hakikat beragamnya penafsiran atas

konsep normativitas yang diakui. Tentu saja pada tataran inilah seseorang tidak mesti "seiya-

sekata" dalam memandang dan menafsirkan realitas. Yang terpenting adalah sikap menerima

perbedaan yang ada secara lapang dada, dan dengan catatan, nilai yang ditampilkan tidak boleh

mendiskreditkan pihak lain yang berbeda. Inilah cita-cita mulia yang mendasari semangat

pluralisme.

Pada hakikatnya, visi dan misi pluralisme (maupun multikulturalisme) bukanlah untuk

mempertegas batas identitas, baik individu, kelompok, maupun keyakinan. (Andi Dermawan,

2009). Pemahaman dan penerapan multikultural sesungguhnya adalah untuk memenuhi hak-hak

Page 13: Memahami Pluralisme Agama

minoritas untuk dapat sejajar dengan hak-hak mayoritas. Setiap anggota masyarakat mempunyai

hak untuk mengelola identitasnya. Penghargaan terhadap pengelolaan identitas diri ini akan

membawa dampak peneguhan jati diri yang memiliki prinsip hidup sehingga tiap-tiap individu

yang berbeda etnik, ras, suku, dan agama mampu berdiri tegak dan sejajar dengan identitas diri

lainnya dalam suatu masyarakat.

Jika demikian halnya, di sinilah urgensi pemahaman pluralitas dalam keberagamaan. Untuk

dapat saling menghargai, menghormati dan membangun saling pengertian yang kreatif

antarsesama pemeluk, pluralitas harus dikembalikan ke makna asalnya sebagai realitas kodrati

hidup manusia, kehendak Tuhan, yang memang sangat diperlukan untuk memahami agama dari

berbagai sudut pandangnya.

Pluralitas dan kemajemukan tidak lantas dipahami dan disikapi sebagai "semua agama adalah

benar", atau juga menganggap bahwa "semua agama pasti sama dan sebangun”. Penjelasan ini

justru menunjukkan penolakannya sekaligus mengkhianati pluralitas itu sendiri. Sebab, ketika

semua kebenaran keyakinan dianggap satu dan sama benar, maka sebenarnya penyeragamanlah

yang terjadi. Itu tidak berbeda artinya dengan menafikan dinamika persepsi dan perspektif

individu dalam masyarakat yang diakui hak-hak perbedaan pemahamannya. Oleh karena itu,

seorang pluralis, atau paling tidak seorang yang memahami dan menyikapi pluralitas seperti itu,

dapat dikatakan sebagai seorang yang bukan pluralis tulen. Paham pluralis semacam itu dengan

istilah yang lebih ekstrim mungkin dapat disebut ”Mazhab Pluralis tanpa Pluralisme”. Karena,

bukan jalan keluar yang baik jika ingin menghargai keyakinan orang lain dengan menyamakan

kebenaran keyakinan diri sendiri yang memang berbeda dengan kebenaran keyakinan yang

dianut orang lain itu. Yang demikian adalah tindakan penyeragaman yang cenderung gegabah

dan bahkan anti-pluralitas.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pluralisme (ataupun multikulturalisme) tidak

bermaksud mempertegas identitas individu, kelompok atau keyakinan tertentu. Begitu juga

halnya, bukan penyeragaman semua identitas yang berbeda yang menjadi tujuan. Karena yang

sebenarnya dikehendaki adalah berseminya bibit-bibit penghargaan atas perbedaan yang terjadi

serta menghilangkan ”ketidaktulusan” dan ”kepura-puraan” dalam menghargai keyakinan orang

lain dengan mengatakan bahwa ”semua agama adalah benar”. Inilah yang disebut sebagai

Page 14: Memahami Pluralisme Agama

kesadaran semu Mazhab Pluralis Tanpa Pluralisme, sehingga cenderung menghasilkan pluralitas

dan multikuturalisme yang semu pula.

Pluralisme sebagai Pola Hubungan Antaragama Masa Kini

Sebenarnya tidak ada persoalan jika permasalahannya hanya pada ada atau tidaknya pluralitas

agama, karena pluralitas adalah kenyataan atau realitas alam. (Abdussami dan Masnun Tahir,

(tth). Akan tetapi permasalahan yang lebih penting adalah bagaimana mensikapi pluralitas itu

sendiri. Apakah kita menghargai, menghormati, memelihara dan mengembangkan pluralitas itu

atau tidak? Apakah masing-masing kita mampu hidup berdampingan secara damai dan

bersahabat dengan orang atau kelompok lain yang berbeda agama? Apakah masing-masing kita

harus membenci dan memusuhi orang lain atau kelompok lain hanya karena berbeda agama?

Harus diakui memang, hubungan antaragama atau antar kelompok-kelompok yang berbeda

agama selama ini tidak selalu berjalan harmonis dan bersahabat. Hubungan antaragama masih

sering diwarnai oleh konflik, kebencian dan permusuhan. Meskipun keruhnya hubungan

antaragama tersebut sering ditimbulkan oleh faktor sosial-politik, akan tetapi tidak pernah

terlepas dari faktor keagamaan. Oleh karena itu, dalam membina dan memelihara hubungan

harmonis antara komunitas-komunitas yang berbeda agama, faktor keagamaan tidak bisa

diabaikan.

Berbagai macam konflik dan ketegangan bernuansa agama, kekerasan dan radikalitas atas nama

agama, merupakan dampak langsung dari konteks sosial yang secara riil memiskinkan komunitas

agama lain. Tentu saja, sikap-sikap seperti itu merupakan dampak dari adanya klaim-klaim

eksklusif pemilik tunggal kebenaran, bahwa kebenaran hanya dimiliki oleh suatu agama tertentu.

Akibatnya agama sendiri dipersepsikan menjadi agama yang bisa mengatasi dan

merepresentasikan kebenaran yang dibawa agama-agama lain.

Oleh karena didorong keprihatinan atas nasib hubungan antaragama yang semakin hebat dan

ruwet itu, terlebih lagi di era multikulturalisme sekarang ini, di mana setiap penganut agama

diharapkan untuk bertindak proaktif serta mampu memberikan kontribusi positif demi kemajuan

bersama, maka para pemikir keagamaan berusaha untuk membangun teologi agama-agama yang

Page 15: Memahami Pluralisme Agama

mampu menjawab masalah-masalah keagamaan itu. Dalam konteks teologi agama-agama, yang

ditekankan adalah bagaimana sebuah agama seharusnya memandang dirinya dalam hubungannya

dengan agama-agama lain. Sudah saatnya agama-agama tidak hanya mengurusi masalah yang

bersifat ”kelangitan”, tetapi juga berbicara dan memberikan sumbangsih konkret bagi

kemanusiaan.

Dari kacamata para pendukung teologi agama-agama itu, teologi eksklusivis dianggap tidak

mampu menjawab tantangan-tantangan plural keagamaan karena teologi eksklusivis mempunyai

potensi untuk melahirkan konflik antaragama. Menurut mereka, sebagai pengganti teologi

eksklusif, perlu dicari format teologi yang bisa menjawab tantangan-tantangan keagamaan itu.

Teologi baru yang dibangun oleh para penganjur dialog antaragama itu adalah teologi iklusivis

dan pluralis. (Tim Penulis Paramadina, 2004). Teologi inklusivis tentang agama-agama, sering

disebut inklusivisme, memandang bahwa dalam agama-agama lain terdapat juga suatu tingkat

kebenaran, tetapi puncak kebenaran ada dalam agama pendukung teologi ini. Sementara, teologi

pluralis tentang agama-agama, disebut pluralisme, mengakui bahwa semua agama meskipun

dengan jalan masing-masing yang berbeda, menuju satu tujuan yang sama, yaitu Tuhan, Yang

Absolut, Yang Terakhir dan Yang Riil. Karenanya, kalangan pluralis meyakini bahwa setiap

agama merupakan jalan keselamatan itu sendiri.

Jika sikap eksklusivisme memandang bahwa agamanya saja yang paling benar dan sempurna,

sedang agama lain dianggap salah, menyeleweng atau apapun istilahnya yang mengundang

permusuhan; maka sikap inklusivisme adalah sebaliknya, lebih fleksibel, akomodatif dan

kondusif dengan tanpa mengorbankan nilai-nilai ajaran agamanya. Sikap ini lebih manusiawi

karena siapapun mengakui bahwa agama diberikan oleh Tuhan kepada manusia agar lebih

mengakui derajat mereka, bukan untuk permusuhan dan hal-hal yang bersifat destruktif.

Kedua sikap teologi pertama di atas (eksklusivisme dan inklusivisme) sebenarnya memiliki

semangat yang sama, yaitu intervensi ”satu pihak” untuk mengemukakan penilaian terhadap

”pihak lain” melalui kriteria-kriteria tertentu, baik yang mengeluarkan pihaknya (to exclude,

menjadi eksklusif) maupun mengikutkan ke dalam pihaknya (to include, menjadi inklusif). Akan

tetapi, dibandingkan dengan eksklusivisme, inklusivisme bisa lebih dekat dengan pluralisme,

karena sikap inklusif lebih memungkinkan dan dapat menjadi jalan untuk mengembangkan sikap

pluralisme. (Djohan Efendi, 1994) Dengan demikian, inklusivisme dan pluralisme dapat

Page 16: Memahami Pluralisme Agama

disandingkan dan keduanya memiliki jiwa atau semangat yang berbeda jauh dengan semangat

eksklusivisme.

Teologi pluralis inilah yang sangat menjanjikan dan diperlukan untuk dijadikan pijakan dalam

membangun dan menjaga hubungan harmonis antar agama. Karenanya, dapat dikatakan bahwa

teologi pluralis atau pluralisme agama adalah pola hubungan paling ideal untuk kondisi plural

dan multikultural sekarang ini.

Penutup

Terakhir dari penulis, era pluralisme (agama) mengandaikan terciptanya suatu kondisi dimana

masing-masing agama dapat saling terbuka dan melihat bahwa yang ada di bumi ini tidak hanya

agama mereka saja, melainkan ada agama lain, sehingga masing-masing mengakui eksistensi

pihak dan komunitas lain (qabu>l al-akhar). Akan tetapi, harus disadari pula bahwa sikap terbuka

dan saling menerima tersebut tentu saja tidak akan pernah terwujud dan hanya akan menjadi

harapan semata, apabila masing-masing (penganut) agama masih tetap mengedepankan truth

claim dan bersikap eksklusif, memandang bahwa agamanya saja yang paling benar dan yang lain

kafir. Implikasi dari sikap seperti itu jelas akan semakin memperlebar jurang permusuhan dan

kecurigaan antaragama, sehingga kehidupan yang damai pun seakan menjadi khayalan tak

berujung.

Jika kedua sikap teologi yang ada (eksklusivisme dan inklusivisme) masih memiliki semangat

yang sama, yaitu intervensi ”satu pihak” untuk mengemukakan penilaian terhadap ”pihak lain”

melalui kriteria-kriteria tertentu, baik yang mengeluarkan pihaknya (to exclude, menjadi

eksklusif) maupun mengikutkan ke dalam pihaknya (to include, menjadi inklusif), maka

pluralisme dianggap sebagai hubungan ”dua arah”, saling memberi manfaat berupa kebaikan

dalam pola hubungan yang seimbang. Karenanya, tak kalah pentingnya suatu dialog harus pula

ditekankan, sehingga masing-masing dapat saling memahami dan saling menerima satu sama

lain. Akhirnya, dialog dan kerukunan yang terbangun harus serta merta berlanjut kepada suatu

kerjasama yang positif dalam rangka membangun negara tercinta Indonesia dari sekian

permasalahan yang tiada henti terus menggerogotinya. Dialog dan kerjasama adalah dua hal

yang yang sambung menyambung. Yang satu mengandaikan yang lain. Tidak ada kerjasama

Page 17: Memahami Pluralisme Agama

tanpa didahului oleh suatu dialog. Dan dialog yang tidak berlanjut pada kerjasama sama saja

dengan dialog setengah hati, bahkan sekedar verbalisme semata (dalam arti, mengatakan sesuatu

tetapi merasa telah melakukannya).

Pada tataran lebih jauh, jika kesepakatan telah dicapai untuk mampu meyakini bahwa perbedaan

merupakan suatu hal yang niscaya, maka langkah selanjutnya adalah bagaimana menjalani

kehidupan di tengah-tengah perbedaan itu. Keindahan tidaklah terletak pada keseragaman,

melainkan pada keanekaragaman. Hal yang sudah semestinya ditanamkan kuat dalam sikap

seorang yang bertuhan (beragama) adalah bahwa berbeda dengan orang lain bukanlah sebuah

kejahatan, apalagi dosa, namun sebaliknya sangat dibutuhkan. Akan tetapi berbeda dalam hal ini

bukan berarti hanya sekedar beda atau asal tidak sama. Karena itu, bersaudara dalam perbedaan

adalah menghargai dan mengembangkan energi perbedaan yang ada untuk sama-sama menggali

nilai-nilai positif untuk kemudian diolah dan didayagunakan sebagai kekuatan untuk memajukan

kehidupan manusia, bukan untuk menjadi pembenar bagi tindakan "meminggirkan" kelompok

lain.

Daftar Pustaka

Adian Husaini, Nurcholish Madjid: Kontroversi Kematian dan Pemikirannya, Jakarta: Khairul

Bayan Press, 2005.

Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi, Yogyakarta: UGM Press,

1996.

Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung: Mizan, 1999.

Andi Dermawan, Dialektika Agama, Identitas Etnik dan Pluralitas dalam Masyarakat

Multikultural, Makalah dipresentasikan dalam Diskusi Ilmiah Dosen Tetap UIN Sunan Kalijaga

Tahun Ke-30 Tahun 2009 tanggal 13 Maret 2009.

Anis Malik Thoha, “Pluralisme Agama: Sebuah Agama Baru”, dalam Adian Husaini, Pluralisme

Agama: Haram, Fatwa MUI yang Tegas dan Tidak Kontroversial, Cet. I, (Jakarta: Pustaka Al-

Kautsar, 2005.

Page 18: Memahami Pluralisme Agama

Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, Sebuah Tinjauan Kritis, Jakarta: Perspektif, 2005.

Budhy Munawar Rahman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta:

Paramadina, 2001.

Djohan Efendi, Pluralitas Keagamaan di Indonesia: Realitas dan Problematikanya, Yogyakarta:

Gema Duta Wacana, 1994.

Djohan Effendi, "Kata Pengantar”, dalam Budhy Munawar-Rahman, Islam Pluralis: Wacana

Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta: Paramadina, 2001.

Frithjof Schuan, Mencari Titik Temu Agama-agama, alih bahasa Safroedin Bahar dari judul asli,

The Transcendental Unity of Religion, Cet. I, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987.

Hartono Ahmad Jaiz, Menangkal Bahaya JIL dan FLA, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006.

Haryatmoko, "Paradigma Hubungan Antar Agama: Pluralisme De Jure dan Kritik Ideologi",

dalam M. Amin Abdullah dkk (ed.), Antologi Studi Islam: Teori dan Metodologi, Yogyakarta:

Sunan Kalijaga Press, 2000.

Humaidy Abdussami dan Masnun Tahir, Islam dan Hubungan Antar Agama (Wawasan Untuk

Para Da'i), Yogyakarta: LKiS, ttt.

Ibnu Hajar, “Membongkar dan Menata Ulang Kejumudan Hukum Islam”, UNISIA: Jurnal Ilmu-

Ilmu Sosial, No. 48/XXVI/II, 2003.

Ilyas Supena dan M.Fauzi, Dekonstruksi dan Rekonstruksi Hukum Islam, Yogyakarta: Gema

Media, 2002.

M. Ilham Masykuri Hamdie, Pluralisme Agama; Menuju Dialog Antar Agama (Telaah Dimensi

Sufistik Pemikiran Nurcholish Madjid), Cet. I, Banjarmasin: Antasari Press, 2006.

Masdar F. Mas’udi, “Ide Pembaharuan Cak Nur di Mata Orang Pesantren,” UlumulQur’an,

Jurnal Ilmu dan Kebudayaan , No. 1, Vol. IV, 1993.

Page 19: Memahami Pluralisme Agama

Masnun Tahir, Perspektif Baru Fiqih Pluralis: Telaah Dekonstruktif terhadap Doktrin Hukum

Islam Klasik, dalam, Hermeneia, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol. 6, No. 2, Juli-

Desember 2007.

Mohammad Hasan Bisyri, “Pluralisme Agama dan Klaim Kebenaran,” makalah disampaikan

dalam seminar kelas mata kuliah Agama, Budaya dan Sains, Program Doktor UIN Sunan

Kalijaga, 2006.

Mohammad Hasan Bisyri, “Pluralisme Agama dan Klaim Kebenaran,” makalah disampaikan

dalam seminar kelas mata kuliah Agama, Budaya dan Sains, Program Doktor UIN Sunan

Kalijaga, 2006.

Mudji Sutrisno, “Dialog Antar Agama dalam Pigura Humanisasi”, dalam Ulumul Qur’an, Jurnal

Ilmu dan Kebudayaan, No. 4, Vol. IV, 1993.

Muh. Tasrif, “Tafsir Islam-Pluralis: Telaah terhadap Tafsir Nurcholish Madjid tentang

Pluralisme,” disertasi Doktor pada Program S3 UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2006.

Muhammad Thalib, Kekafiran Berpikir Sekte Paramadina, Yogyakarta: Wihdah Press, 2004.

Muhyar Fanani, "Mewujudkan Dunia Damai: Studi atas Sejarah Ide Pluralisme dan

Nasionalisme di Barat", dalam Ijtihad, No. 1 Tahun III/ Januari-Juni 2003.

Munawwiruzzaman, “Inklusifisme Monistik, Sebuah Sikap Keberagamaan,” tesis Program

Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2006.

Nurcholish Madjid, “Beberapa Renungan Tentang kehidupan keagamaan untuk generasi

mendatang”, Ulumul Qur’an, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, No. 1, Vol. IV, 1993.

Saefurrahmat, “Studi Islam di Indonesia Era Millenium Ketiga”, Millah, Jurnal Studi

Agama, ,Vol. II. No. 1, Agustus 2002.

Sidik Tono, “Penerapan Hukum Islam di Indonesia: Peluang Konstitusional dan

Implementasinya dalam Sistem Hukum Positif di Indonesia”, UNISIA, Jurnal Ilmu-ilmu Sosial,

No. 48/XXVI/II 2003.

Page 20: Memahami Pluralisme Agama

The Shorter Oxford English Dictionary on Historical Principles, revised and Edited by C.T.

Onions, Cet. III, Oxford: The Clarendon Press, 1952.

Tim Penulis Paramadina, Fiqih Lintas Agama: membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Cet.

VII, Jakarta: Paramadina bekerjasama dengan The Asia Foudation, 2004.