FATWA PLURALISME DAN PLURALITAS AGAMA MUI (Majlis …

26
Holistik Vol 14 Number 01, 2013/1435 H ~ 125 ~ FATWA PLURALISME DAN PLURALITAS AGAMA MUI (Majlis Ulama Indonesia) DALAM PERSPEKTIF TOKOH ISLAM CIREBON Ilman Nafi’a Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon ABSTRAK Pluralisme agama di haramkan oleh MUI, karena dianggap upaya pencamur-adukan berbagai agama dalam satu paham. Dan Pemaknaan terhadap pluralisme dan Pluralitas keagamaan nampaknya menjadi salah satu persoalan pro dan kontra terhadap fatwa MUI tentang “keharaman” pluralisme agama, termasuk di kalangan tokoh Islam di Cirebon, baik dari Kyai-Kyai Pesantren ataupun akademisi. Hasil dari wawancara dengan tokoh-tokoh Islam tersebut, baik yang merasa mengetahui ataupun tidak mengetahui tentang terminologi “pluralisme dan pluralitas agama”, mereka cenderung tidak bisa membedakan antara kedua term tersebut. Dalam pemahaman tokoh-tokoh Islam “kedua istilah” tersebut bermuara pada pemaknaan yang cenderung sama yaitu penghormatan terhadap keragaman dan keperbedaan. Jadi, meskipun mereka juga pro dan kontra terhadap pluralisme, tetapi mereka sepakat untuk menghormati keragaman agama yang ada di Cirebon khususnya, dan di Indonesia pada umumnya. Kata Kunci: Pluralisme, pluralitas dan fatwa.

Transcript of FATWA PLURALISME DAN PLURALITAS AGAMA MUI (Majlis …

Page 1: FATWA PLURALISME DAN PLURALITAS AGAMA MUI (Majlis …

Holistik Vol 14 Number 01, 2013/1435 H

~ 125 ~

FATWA PLURALISME DAN PLURALITAS AGAMA MUI(Majlis Ulama Indonesia)DALAM PERSPEKTIF TOKOH ISLAM CIREBON

Ilman Nafi’aDosen IAIN Syekh NurjatiCirebon

ABSTRAK

Pluralisme agama di haramkan oleh MUI, karena dianggapupaya pencamur-adukan berbagai agama dalam satu paham. DanPemaknaan terhadap pluralisme dan Pluralitas keagamaannampaknya menjadi salah satu persoalan pro dan kontra terhadapfatwa MUI tentang “keharaman” pluralisme agama, termasuk dikalangan tokoh Islam di Cirebon, baik dari Kyai-Kyai Pesantrenataupun akademisi. Hasil dari wawancara dengan tokoh-tokoh Islamtersebut, baik yang merasa mengetahui ataupun tidak mengetahuitentang terminologi “pluralisme dan pluralitas agama”, merekacenderung tidak bisa membedakan antara kedua term tersebut. Dalampemahaman tokoh-tokoh Islam “kedua istilah” tersebut bermuarapada pemaknaan yang cenderung sama yaitu penghormatan terhadapkeragaman dan keperbedaan. Jadi, meskipun mereka juga pro dankontra terhadap pluralisme, tetapi mereka sepakat untukmenghormati keragaman agama yang ada di Cirebon khususnya, dandi Indonesia pada umumnya.

Kata Kunci: Pluralisme, pluralitas dan fatwa.

Page 2: FATWA PLURALISME DAN PLURALITAS AGAMA MUI (Majlis …

Holistik Vol 14 Number 01, 2013/1435 H

~ 126 ~A. LATAR BELAKANG MASALAH

Ada satu hal menarik dari hasil survey yang diperoleh olehThe Wahid Institut (2009). Institusi ini menemukan suatu fakta akanadanya peningkatan fantastik pelanggaran terhadap hak kebebasanberagama, berpendapat dan berekpresi di Indonesia, yang padatahun 2007 berjumlah 137 kasus, kini meningkat menjadi 232 kasussepanjang tahun 2008. Yang menarik dari eskalasi ini adalahdiperolehnya survey, bahwa pelanggar terbesar dalam konteks iniberada di tangan Negara dan MUI, selain milisi sipil.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana dan dalam hal apaMUI memiliki kemungkinan untuk memiliki andil dalampelanggaran tersebut. Meresponi pertanyaan ini tentu sajamemerlukan kejelian dan penelusuran akademik untukmengungkap fenomena tersebut. Disinilah penelitian ini, menuruthemat penulis, memiliki signifikansinya.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah wadah para ulama,zu’ama dan cendekiawan muslim Indonesia yang terbentuk dalamrangka mengnaungi dan mengakomodir berbagai kegelisahanumat Islam Indonesia, terkait dengan ketentuan hukum suatumasalah. Hal ini disebabkan oleh ketidaksanggupan semua orangmemahami hukum Islam secara langsung dari dalil atausumbernya, mengingat kecerdasan, daya tangkap dan ilmu yangdimiliki seseorang bagaimanapun tidaklah sama. Setiap orang ataukomunitas memiliki referensi nilai dan preferensi kepentinganyang tidak seragam, dan ketidakseragaman itu pada gilirannyamembawa konsekuensi perbedaan dalam mengkonstruksi “ajaranagama”. Untuk mengetahui hukum Islam yang akandiamalkannya, tentu mereka harus lewat perantara, dan fatwa MUImerupakan salah satu solusi bagi berbagai permasalahan yangdihadapi oleh umat Islam di Indonesia.

Dalam berbagai kasus keagamaan belakangan ini, beberapafatwa yang dikeluarkan oleh MUI seringkali menuai kontroversi.Pro dan kontra terhadap eksistensi fatwa tampak menyelimutiberbagai perdebatan seputar kecenderungan MUI pada penguatanagenda-agenda Islamist. Fatwa MUI oleh sebagian golongan dinilaialih-alih akan menghadirkan solusi ataupun kemaslahatan bagi

FATWA PLURALISME DAN PLURALITAS AGAMA MUI

Page 3: FATWA PLURALISME DAN PLURALITAS AGAMA MUI (Majlis …

Holistik Vol 14 Number 01, 2013/1435 H

~ 127 ~umat, malah sebaliknya ia malah membuat masyarakat Indonesiamerasa terbebani dengan hadirnya fatwa tersebut, dan yang sangatironis, menjadi pemicu tindakan anarkhis dengan justifikasi fatwatersebut.

Salah satu fatwa MUI yang diangap kontraversial dandianggap mengkhawatirkan keselamatan bangsa adalah fatwatentang pluralisme dan pluralitas agama. Fatwa ini dianggapsebagian masyarakat sebagai bentuk “ketidakpahaman” MUIdalam memahami persoalan dan wacana pluralisme yangdipahami komponen masyarakat lain. Bahkan dalam pandanganyang lain, MUI dianggap tidak memahami “taklif” dalamterminologi hukum Islam, karena “taklif” hanya dikenakankepada manusia, tidak pada “pemikiran”. Diantara kelompokyang kontra adalah lembaga Perhimpunan Pendidikan Demokrasi(P2D), Jaringan Islam Liberal (JIL), Indonesian Conference onReligion and Peace (ICRP), Perhimpunan PengembanganPesantren dan Masyarakat (P3M), dan berbagai institiusi lain yangbergerak di bidang penegakan HAM, pluralisme, dan kebebasanberpendapat.

Berbeda dengan kelompok di atas, bagi Komite Islam untukSolidaritas Dunia Islam (KISDI), Dewan Dakwah IslamiyahIndonesia (DDII), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front PembelaIslam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan berbagaiormas Islam militan lainnya, berbagai fatwa yang dikeluarkan MUIadalah bentuk final hukum Islam yang ditetapkan oleh orang-orang yang kompeten dengan dalil yang sahih serta dikeluarkanmelalui forum tertinggi para ulama seluruh Indonesia. Fatwapluralisme dan pluralitas agama MUI adalah sebuah bentukkepedulian kaum ulama terhadap berbagai problematikakeagamaan yang dipandang telah keluar dari idealitas Islam yangsesungguhnya. Pluralisme bagi mereka dianggap telah merusakdan mengancam ajaran Islam, sehingga fatwa MUI ni sangatlahurgen demi menjaga kemurnian ajaran Islam dari rongronganberbagai pihak yang terus berupaya melakukan pendangkalanatas aqidah Islam,”

Fatwa ini menjadi pro dan kontra di masyarakat luas,khususnya mereka yang berlatarbelakang pendidikan agama saja

Ilman Nafi’a

Page 4: FATWA PLURALISME DAN PLURALITAS AGAMA MUI (Majlis …

Holistik Vol 14 Number 01, 2013/1435 H

~ 128 ~atau pemuka agama dengan kalangan akademisi, bahkankontraversi fatwa sudah menjadi perbincangan nasional daninternasional, termasuk di wilayah Cirebon yang penduduknyamempunyai kemajemukan suku, agama, budaya, bahasa danlainnya. Dengan latar belakang yang berbeda dan bervariasi, tokoh-tokoh agama Islam baik yang hanya berasal dari pesantrenataupun dari perguruan tinggi juga dipastikan mempunyaikeperbedaan pendapat tentang keberadaan fatwa tersebut.

Meresponi berbagai pro dan kontra seputar fatwapluralisme dan pluralitas agama MUI diatas, perlu kajian ulangatas fatwa MUI dimaksud. Kajian ini penting untuk dikedepankanuntuk melihat sejauhmana fatwa tersebut berdampak luasterhadap aksi-aksi ormas Islam secara khusus dan masyarakat luassecara umum dalam menyikapi perbedaan, keragaman pandanganserta keyakinan keagamaan dalam masyarakat, sehinggadiharapkan tercipta atmosfir yang kondusif dalam memaknaisebuah perbedaan, dan meminimalisisr timbulnya anarkhismeberbasiskan agama.

B. RUMUSAN DAN PEMBATASAN MASALAH

Penelitian ini akan mengeksplorasi perspektif tokoh IslamCirebon atas pluralisme dan pluralitas keagamaan, terkait denganberbagai fatwa haram yang akhir-akhir ini seringkali digulirkanoleh Majlis Ulama Islam (MUI). Adapun rumusan masalahnyaadalah:

1. Bagaimanakah eksistensi suatu fatwa dalam tradisi hukumIslam?

2. Bagaimanakah metodologi perumusan fatwa MUI tentangberbagai persoalan sosial keagamaan masyarakat Indonesia?

3. Bagaimanakah pandangan tokoh Islam Cirebon terhadap fatwapluralisme MUI?

C. TUJUAN DAN SIGNIFIKANSI PENELITIAN

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan

FATWA PLURALISME DAN PLURALITAS AGAMA MUI

Page 5: FATWA PLURALISME DAN PLURALITAS AGAMA MUI (Majlis …

Holistik Vol 14 Number 01, 2013/1435 H

~ 129 ~penelitian ini adalah mengupayakan suatu eksplorasi yang utuhtentang :

1. Eksistensi suatu fatwa dalam tradisi hukum Islam

2. Metodologi perumusan fatwa MUI tentang berbagaipermasalahan sosial keagamaan masyarakat Indonesia

3. Perspektif tokoh Islam Cirebon terhadap fatwa haram MUI

Secara akademik, kajian tentang “Pluralitas pemikiran danKeagamaan dalam Perspektif Tokoh Islam Cirebon (Studi Kritisatas Fatwa Haram MUI)” adalah suatu upaya yang sangatsignifikan dalam rangka pengayaan ilmiah dalam kajian hukumIslam (Syari’ah) dan HAM, dimana kajian ini diharapkan mampumemberikan nuansa pencerahan bagi pencetus fatwa, MUIkhususnya, untuk mempertimbangkan dampak dari fatwa yangdikeluarkannya, sehingga dapat meminimalisir timbulnyatindakan-tindakan kekerasan berbasiskan agama dalammasyarakat. Disamping itu, kajian ini dapat digunakan sebagaimedia pencerahan bagi masyarakat pada umumnya akaneksistensi sebuah fatwa dalam hukum Islam sebagai sebuahproduk hukum yang tidak mengikat (ghair mulzim), sehinggamereka cerdas dalam memaknai sebuah fatwa dan tidakmenelannya mentah-mentah sebagai justifikasi hukum Islam yangabsolut.

D. KAJIAN PUSTAKA

Umdah El-Baroroh dalam penelitiannya tentang “PengaruhFatwa MUI terhadap Arus Radikalisme Islam Di Indonesia” (2005)menunjukan hubungan yang signifikan antara Fatwa MUI dengantindak kriminalitas yang berlandaskan doktrin agama. Tingginyaangka-angka kekerasan, menurutnya, mempunyai hubungandengan meluncurnya fatwa Mui baik pada tingkat lokal daerahmaupun tingkat nasional, MUI pusat. Masyarakat yang tidakmemahami eksistensi fatwa, menjadikan fatwa sebagai sebuahkeputusan final agama yang dianutnya dan harus diaplikasikandalam kehidupan nyata. Karenanya, siapapun yang bertentangandengan fatwa yang dianggap suci tersebut harus ditindak dan

Ilman Nafi’a

Page 6: FATWA PLURALISME DAN PLURALITAS AGAMA MUI (Majlis …

Holistik Vol 14 Number 01, 2013/1435 H

~ 130 ~diluruskan, meskipun melalui tindak kekerasan. Realitas inidikuatkan oleh para pendukung agenda Islamis yang cenderungmengamini tindak-tindak kekerasan dan terorisme yangmengatasnamakan agama.

Penelitian Ahmad Subakir dkk (2008) menunjukankedekatan para ulama MUI dengan gagasan gerakan Islamist diIndonesia. Indikatornya terlihat dari dukungan organisasi-organisasi radikal Islam seperti Komite Islam untuk SolidaritasDunia Islam (KISDI), Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII),Badan Kerja Sama Pondok Pesantren Indonesia (BKSPPI), HizbutTahrir Indonesia (HTI), Majlis Mujahidin Indonesia (MMI) SyarikatIslam, Al Irsyad dll. Terhadap eksistensi da implementasi fatwaMUI di Indonesia.

Zusiana Elly Triantini (2007) dalam “Menimbang fatwaMUI,” melihat perlunya kehati-hatian bagi para ulama di MUIdalam mengeluarkan sebuah fatwa, baik secara individualmaupun organisasi. Pengeluaran fatwa tidak hanya memerlukanilmu yang memadai tentang al-Qur’an dan hadis, tetapi jugatentang sejarah, konteks dan bahasa zaman. Karena itu fatwa harusmenghadirkan kemasalahatan bagi umat, bukan sebaliknyamelahirkan kontroversi dan membuat umat merasa terbebanidengan hadirnya fatwa tersebut. Selain itu, fatwa harus diiringidengan memberikan solusi bagi umat bukan hanya justifikasihukum yang seolah mengikat seperti yang banyak terjadi saat ini.

Berbagai penelitian diatas dapat menjadi bahanperbandingan bagi penelitian ini, namun tidak dijadikan acuankongkrit, karena wilayah kajian yang tumbuh di lingkungan sosialdan budaya yang berbeda diasumsikan akan memiliki pola danwarna yang berbeda pula.

E. KERANGKA TEORI

Mahsun Fuad dalam bukunya “Hukum Islam Indonesia: DariNalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris” (2005) menyatakan, bahwahukum Islam bersifat Universal, mencakup semua objek (manusia)secara menyeluruh, tanpa memandang golongan, kasta, bangsa,

FATWA PLURALISME DAN PLURALITAS AGAMA MUI

Page 7: FATWA PLURALISME DAN PLURALITAS AGAMA MUI (Majlis …

Holistik Vol 14 Number 01, 2013/1435 H

~ 131 ~warna, dan wilayah/daerah, serta tidak dibatasi lautan ataupunsuatu aturan negara. Dengan ke-universalan Agama Islam,membuat hukum yang dilahirkannya juga bersifat universal tanpaada batasan untuk menghalangi sebagian dari sebagian yang lain.Dengan demikian, Hukum Islam harus mampu memberikan solusidan alternatif sebagai jalan keluar untuk keluar dari berbagaipermasalahan dan problematika kehidupan manusia di dunia.Hukum Islam juga harus mampu memberikan pandangan dengancara penerapannya terhadap objek yang dijadikan sasaran dansubjeknya yang menjalani aturan tersebut, dengan tidak berpihakterhadap sebagian dari bagian yang lain.

Lebih lanjut, menurut atho Mudzhar (1993), hukum Islamdengan kedua sumbernya, al-Quran dan al-Sunah, tidaklah lahirdalam masyarakat yang hampa kultural. Dengan adanya multikultur ini mengakibatkan munculnya berbagai macampermasalahan dan persoalan secara komplek serta menantanguntuk diperbincangkan sehinggga dalam pengambilan solusipemecahannya pun (baca: fatwa) harus pula mempertimbangkankeragaman serta memperhatikan kemudharatan dankemaslahatannya. Begitupula dengan kehadiran sebuah fatwasehingga tidak menimbulkan ekses yang negatif dalamimplementasinya di masyarakat.

Dalam konteks ini, Azyumardi Azra (2005) mengkitikmetodologi yang digunakan oleh MUI dalam mengeluarkan fatwa.Menurutnya, dalam menyusun sebuah fatwa, MUI seyogyanyameminta pendapat orang-orang yang pakar di bidang yangdifatwakan dan harus melihat konteks kapan fatwa itu harusdigulirkan. Dengan begitu, fatwa bisa diterima oleh seluruhmasyarakat baik Islam maupun non muslim. Senada denganpreposisi di atas, Abdul Muqsith (2009) menyatakan, bahwa jikaperumusan hukum membutuhkan perlengkapan teknis-intelektual untuk menganalisa dalil-dalil normatif dalam Islam,maka menerapkan hukum memerlukan analisis sosial-ekonomi-politik pula. Lebih lanjut, menurut Atho mudzhar (2005), agarfatwa MUI tidak lagi menimbulkan konflik di masa-masamendatang, maka MUI melalui fatwanya harus meletakkan konflikmaupun perdebatan soal kepercayaan ini dalam wadah dialog

Ilman Nafi’a

Page 8: FATWA PLURALISME DAN PLURALITAS AGAMA MUI (Majlis …

Holistik Vol 14 Number 01, 2013/1435 H

~ 132 ~emansipatoris.

Abu Ishaq al-Syatibi dalam Al-Muwafaqaat fi Ushul al-Syari’ahmengatakan, bahwa tujuan hukum Islam itu sendiri terletak padabagaimana sebuah kemaslahatan bersama tercapai. Ukurankemaslahatan dalam pemikiran al-Syatibi ini pun mengacu padadoktrin Ushul Fiqh yang dikenal dengan sebutan al-Kulliyatul khams(lima pokok pilar) atau dengan kata lain disebut dengan Maqashidal-Syari’ah (tujuan-tujuan Universal syari’ah). Lima pokok pilartersebut adalah; 1) Hifdz al-‘aql, menjamin kreatifitas berpikir dankebebasan berekspresi serta mengeluarkan opini 2) Hifdz al-dien,menjamin kebebasan beragama 3) Hifdz al-nafs, memeliharakelangsungan hidup. 4) Hifdz al-mal, menjamin pemilikan hartadan properti. Dan ke-5) Hifdz al-nasl wal-‘irdl, menjaminkelangsungan keturunan, kehormatan, dan profesi. Karena itu,menurut Musdah Mulia (2005), “jika perjuangan umat Islammengabaikan hal-hal ini, maka runtuhlah nilai-nilai Islam yangsubstansial”.

E. METODOLOGI PENELITIAN

Oleh karena penelitian ini berupaya untuk mengeksplorasisecara kritis fatwa haram MUI dalam pluralitas pemikiran dankeagmaan melalui perspektif tokoh Islam di Cirebon, maka jenispenelitian ini adalah descriptive and exploratif research yangdilakukan dengan menggunakan paradigma kualitatif. Sasaranpenelitian ini adalah pandangan tokoh Islam Cirebon (Kota danKabupaten) terkait dengan fatwa haram MUI tentang berbagaikasus sosial keagamaan di Indonesia. Pembacaan akan fatwatersebut dapat terlihat melalui penelusuran butir-butir fatwa resmiyang telah dikeluarkan dalam Musyawarah Nasional (MUNAS)MUI ataupun paparan eksplanatif dari tokoh-tokoh fungsionarisMUI sebagai data primer. Sementara data sekunder berupaliteratur-literatur umum yang mengkaji wacana hukum Islamsecara umum dan secara khusus mengenai kedudukan danperkembangan fatwa MUI terkait dengan fenomena radikalismeIslam di Indonesia.

Adapun yang menjadi Instrumen dalam penelitian ini

FATWA PLURALISME DAN PLURALITAS AGAMA MUI

Page 9: FATWA PLURALISME DAN PLURALITAS AGAMA MUI (Majlis …

Holistik Vol 14 Number 01, 2013/1435 H

~ 133 ~adalah peneliti sendiri. Dengan kata lain, pengumpulan datatergantung pada peneliti sebagai alat pengumpul data. Data dalampenelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan tiga teknik;dokumentasi, observasi dan interview. Dokumentasi dilakukandalam rangka menemukan data tentang hasil MUNAS MUI danberbagai fatwa yang telah digulirkan, termasuk perdebatan danrespon para tokoh Muslim Cirebon akan fatwa tersebut. Sedangobservasi partisipan dilakukan guna mengumpulkan data tentangmetodologi perumusan fatwa, termasuk faktor-faktor sosial,politik dan kultural yang melatarbelakangi lahirnya sebuah fatwa.Sementara interview dilakukan dalam rangka mengklarifikasitemuan yang terkait dengan respon tokoh Islam Cirebon atas fatwaharam MUI tentang berbagai permasalahan sosial kegamaanmasyarakat Indonesia. Dengan interview ini diharapkan ada prosesanalisa dialektis yang dinamis antara data-data yang sudahtertulis dengan gagasan-gagasan baru yang mungkin belumterekam dalam sebuah dokumen tertulis.

Selama mengumpulkan data penelitian, penulis selalumembuat catatan lapangan yang meliputi catatan deskriptif/reflektif/kritis. Kegiatan ini merupakan kegiatan sentral dalamseluruh siklus penelitian dan sekaligus menunjukan bahwaperolehan data selalu diiringi dengan kegiatan analisis data.Adapun teknisnya, data yang telah terkumpul akan dikoding danditranskipkan secara verbatim dari hasil wawancara untukkemudian dibuat kategori-kategori temuan untuk dianalisis,sehingga dalam analisis data nantinya sekaligus dilakukaninterpretasi terhadap pernyataan-pernyataan langsung dariinforman yang ada.

F. PEMBAHASAN

a. Fatwa Dalam Kajian Hukum Islam

Secara etimologis, fatwa berasal dari bahasa Arab: al-fatwa,yang merupakan bentuk masdar fata, yaftu, fatwan yang artinyamuda, baru, atau penjelasan. Pendapat lainnya menyatakan bahwafatwa bersal dari kata al-fatwa atau al-futya yang artinya jawabanterhadap suatu persoalan. Secara terminologi, fatwa adalah

Ilman Nafi’a

Page 10: FATWA PLURALISME DAN PLURALITAS AGAMA MUI (Majlis …

Holistik Vol 14 Number 01, 2013/1435 H

~ 134 ~penjelasan hukum syara’ tentang suatu masalah atas pertanyaanseseorang atau kelompok (Ma’ruf Amin, 19: 2007). Dalamensiklopedi Hukum Islam, Al-fatwa berarti petuah, penasehat,jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan hukum.Sedangkan dalam istilah Ilmu Ushul Fiqh, Fatwa berarti pendapatyang dikemukakan seorang mujtahid atau faqih sebagai jawabanatas pertanyaan yang diajukan oleh peminita fatwa dalam suatukasus yang sifatnya tidak mengikat. Dengan redaksi yang berbeda,namun mempunyai kesamaan makna, ulama lain sebagaimanadikutip Ma’ruf Amin menjelaskan bahwa fatwa adalah “tabyin al-Hukm al-Syari’y li al-Sail ‘anhu bila ilzamin” penjelasan hukum syara’tentang suatu masalah atas pertanyaan orang atau kelompok yangtidak mengikat (Ma’ruf Amin, 20:2007). Pihak yang meminta fatwatesebut bisa bersifat pribadi, lembaga, maupun kelompokmasyarakat. Pihak yang memberi fatwa dalam istilah Ushul Fiqhdisebut Mufti dan pihak yang meminita fatwa disebut al-mustafti.

Al-Quran sebagai sumber utama ajaran Islam sengajadidesain untuk menjelaskan persoalan-persoalan secara global.Sementara, untuk merinci dan memberikan petunjuk pelaksanaansuatu ajaran (hukum), inilah tugas Rasulullah untukmenjelaskannya dengan ucapan, perbuatan, dan penetapannya,yang kemudian kita sebut sebagai Hadits atau Sunnah Nabi.Namun, persoalan yang dijelaskan Nabi kebanyakan hanya terkaitbidang ibadah. Sementara, dalam bidang muamalah, padaumumnya, Nabi tidak banyak memberikan rincian yang bersifataplikatif, karena bidang muamalah senantiasa mengalamiperubahan sejalan dengan perkembangan kebudayaan danperadaban manusia, di samping juga dipengaruhi adat istiadatsetempat. Maka, untuk mengantisipasi perubahan itu, Allah telahmemberikan sarana yang memungkinkan umat manusia untukterus menjalankan ajaran Islam, melalui sebuah proses bernamaijtihad.

Ijtihad adalah berusaha secara sungguh-sungguh untukmengeluarkan hukum dari Al-Quran dan Hadits untuk menjawabberbagai persoalan yang berkembang di masyarakat. Ijtihad inimenjadi sarana penting untuk menjawab persoalan-persoalanyang belum tercakup secara tegas dalam Al-Quran dan Hadits.

FATWA PLURALISME DAN PLURALITAS AGAMA MUI

Page 11: FATWA PLURALISME DAN PLURALITAS AGAMA MUI (Majlis …

Holistik Vol 14 Number 01, 2013/1435 H

~ 135 ~Karenanya, diperlukan persyaratan yang ekstra ketat bagiseseorang (ulama) untuk melakukan ijtihad (menjadi mujtahid),dan bagi orang yang tidak mampu melaksanakan ijtihad sendiri,wajib baginya untuk mengikuti pendapat para mujtahid.

KH Ma’ruf Amin menjelaskan bahwa salah satu pranatayang disiapkan agama bagi orang yang tidak mempunyaikemampuan untuk melakukan ijtihad adalah dengan bertanya ataumemohon penjelasan kepada orang yang mempunyai kompetensidalam menjawab persoalan tersebut. Termasuk dalam hal iniadalah dengan memohon penjelasan tentang status hukum suatumasalah atau perbuatan yang belum ada ketetapan hukumnya.Status hukum inilah yang dimaksudkan sebagai fatwa. Fatwasangat dibutuhkan umat Islam yang tidak mempunyaikemampuan untuk menggali hukum langsung dari sumbernya,karena fatwa memuat penjelasan tentang kewajiban-kewajibanagama (faro’idl), batasan-batasan (hudud) serta menyatakan tentanghalal atau haramnya sesuatu (Ma’ruf Amin,8:2007). Berbagaipersoalan baru yang muncul, menuntut setiap orang atau lembagayang mempunyai kompetensi di bidang hukum Islam untukmengeluarkan fatwa sebagai upaya memberikan rasa ketenangandan kepastian bagi umat Islam dalam menjalankan suatu perbuatanyang status hukumnya belum jelas.

Menurut Ma’ruf Amin kemudian saat ini, jarang sekaliditemukan fatwa yang dilakukan perseorangan karena mengingatbanyaknya persoalan yang muncul tidak mungkin bisadiselesaikan seorang saja. Selain memang, seperti disebutkan diatas, persyaratan untuk menjadi seorang mujtahid sangatlah berat.Maka, melalui sebuah lembaga yang kompeten, para ahli agamaIslam akan saling bahu-membahu dalam menentukan hukum ataspersoalan yang berkembang di masyarakat dan butuh segera untukdicarikan jawaban dan solusinya( Ma’ruf Amin, 8:2007). Fatwamempunyai kekuatan hukum yang tidak mengikat. Sungguh pundemikian, fatwa menjadi bahan pertimbangan penting bagi umatIslam di mana pun berada. Berbagai penelitian menunjukkan, diIndonesia fatwa mempunyai peran penting dalam memengaruhipilihan dan sikap masyarakat atas berbagai persoalan yang sedangterjadi. Di beberapa negara Islam, fatwa resmi yang dikeluarkan

Ilman Nafi’a

Page 12: FATWA PLURALISME DAN PLURALITAS AGAMA MUI (Majlis …

Holistik Vol 14 Number 01, 2013/1435 H

~ 136 ~pemerintah malah bersifat mengikat dan ada sanksi hukumnya.

KH Ma’ruf Amin (21:2007) yang kini menjabat Ketua MajelisUlama Indonesia (MUI) sekaligus yang membidangi masalah fatwadan hukum Islam mennjelaskan 5 hal atau rukun yang berkaitandengan proses dikeluarkannya fatwa yakni al-ifta atau kegiatanmenerangkan hukum sebagai jawaban atas pertanyaan yangdiajukan, mustafti atau individu atau kelompok yang memintafatwa, mufti atau orang dan istitusi yang memberikan jawaban ataspertanyaan tersebut, mustafti fihi atau masalah yang dipertanyakandan ingin dicarikan status hukumnya, dan fatwa itu sendiri sebagaijawaban hukum atas masalah yang ditanyakan. Kelima hal tersebutmerupakan suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalampenetapan fatwa.

Fatwa tidak bisa dikeluarkan tanpa memenuhi persyaratanyang telah ditentukan, yang telah disepakati ulama, yangkedudkanya menempati posisi penting dalam hukum Islamkarena statusnya sama dengan hasil ijtihad, untuk itu dalammenetapkan fatwa, KH Ma’ruf Amin (45:2007) menyebutkan tigametode utama dalam berfatwa, yakni metode bayani, ta’lili, danistishlahi. Metode bayani terkait analisis kebahasaan. Dalam hal ini,para mufti diharuskan mengerti gramatikal dan berbagai kaidahdan seluk-beluk bahasa Arab. Metode ta’lili terkait dengan prosesintinbat atau pengeluaran hukum dari sumber utamanya. Ini terkaitdengan persoalan-persoalan yang tidak secara tegas dijelaskandari dua sumber hukum utama itu, tetapi secara tersirat telahdijelaskan. Metode istishlahi terkait dengan penarikan kaidahumum dari ayat dan hadits untuk kemudian diterapkan dalamkasus yang tidak mungkin diterangkan secara rinci dalam duasumber hukum Islam tersebut, misal, hukum membuat Surat IzinMengemudi (SIM). Yang terakhir ini harus bersandar pada aspekmendatangkan manfaat (jalbul manfaat) dan menolak kerusakan(dar’ul mafasid).

Dengan metode apa pun, fatwa, selain harus tetap mengacupada dua sumber utama hukum Islam, yakni Al-Quran dan Hadits,juga harus mengacu pada dua sumber hukum Islam lainnya yangtelah disepakati para ulama, yakni ijma’ dan qiyas. Ijma’ adalahkesepakatan para ulama mengenai suatu hukum pada suatu masa.

FATWA PLURALISME DAN PLURALITAS AGAMA MUI

Page 13: FATWA PLURALISME DAN PLURALITAS AGAMA MUI (Majlis …

Holistik Vol 14 Number 01, 2013/1435 H

~ 137 ~Qiyas adalah menyandingkan masalah yang telah diketahuihukumnya dari Al-Quran dan Hadits dan masalah yang belumdiketahui hukumnya atas dasar persamaan ‘illat atau penyebabhukumnya

Fatwa adalah penjelasan hukum Islam atas suatu persoalanyang didukung oleh dalil yang berasal dari al-Quran, SunnahNabawiyyah, dan ijtihad. Fatwa merupakan bagian dari termhukum Islam yang sangat urgen bagi manusia, dikarenakan tidaksemua orang mampu menggali hukum-hukum syariat. Jika fatwaadalah penjelasan hukum syariat atas persoalan tertentu, maka,kaedah pengambilan fatwa tidak berbeda dengan kaedah menggalihukum-hukum syariat dari dalil-dalil syariat (ijtihad). Satu-satunya cara untuk mengetahui hukum syariat dari dalil-dalilsyariat adalah dengan ijtihad, tidak ada yang lain. Oleh karenaitu, seorang muftiy sama kedudukannya dengan seorangmujtahid.

b. Methodologi Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI)

Fatwa mempunyai kedudukan yang tinggi dalam agamaIslam. Fatwa dipandang menjadi salah satu alternatif yang bisamemecahkan kebekuan dalam perkembangan hukum Islam.Hukum Islam yang dalam penetapannya tidak bisa terlepas daridalil-dalil keagamaan (al-Nushush al-Syari’iyah) menghadapipersoalan serius ketika berhadapan dengan permasalahan yangsemakin berkembang yang tidak tercover dalam nash-nashkeagamaan. Nash-nash keagamaan telah berhenti secarakuantitasnya, akan tetapi secara diametral permasalahan dan kasussemakin berkembang pesat seiring dengan perkembangan zaman.

Dalam kondisi seperti inilah fatwa menjadi salah satualternatif jalan keluar mengurai permasalahan dan peristiwa yangmuncul tersebut. Salah satu syarat menetapkan fatwa adalah harusmemenuhi metodologi (manhaj) dalam berfatwa, karenamenetapkan fatwa tanpa mengindahkan methodologi termasukyang dilarang oleh agama. Menetapkan fatwa yang didasarkansemata karena adanya kebutuhan (li al-hajah), atau karena adanyakemaslahatan (li al-mashlahah), atau karena intisari ajaran agama (li

Ilman Nafi’a

Page 14: FATWA PLURALISME DAN PLURALITAS AGAMA MUI (Majlis …

Holistik Vol 14 Number 01, 2013/1435 H

~ 138 ~maqashid as-syari’ah), dengan tanpa berpegang pada nushus syar’iyah,termasuk kelompok yang kebablasan (ifrathi). Sebaliknya,kelompok yang rigid memegang teks keagamaan (al-Nushus al-Syar’iyah) dengan tanpa memperhatikan kemaslahatan (al-Mashlahah) dan intisari ajaran agama (maqashid al-Syari’ah), sehinggabanyak permasalahan yang tidak bisa dijawab, maka kelompokseperti ini termasuk kategori gegabah (tafrithi). Oleh karenanya,dalam berfatwa harus tetap menjaga keseimbangan, antara harustetap memakai manhaj yang telah disepakati para ulama, sebagaiupaya untuk tidak terjerumus dalam kategori memberikan fatwatanpa pertimbangan dalil hukum yang jelas. Tapi di sisi lain jugaharus memperhatikan unsur kemaslahatan dari fatwa tersebut,sebagai upaya untuk mempertahankan posisi fatwa sebagai salahsatu alternatif pemecah kebekuan dalam perkembangan hukumIslam.

Keberadaan metode dalam penetapan fatwa adalah sangatpenting, sehingga dalam setiap proses penetapan fatwa harusmengikuti metode tersebut. Sebuah fatwa yang ditetapkan tanpamempergunakan metodologi, keputusan hukum yangdihasilkannya kurang mempunyai argumentasi yang kokoh. Olehkarenanya, implementasi metode (manhaj) dalam setiap prosespenetapan fatwa merupakan suatu keniscayaan. Metode yangdipergunakan oleh Komisi Fatwa MUI dalam proses penetapanfatwa dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu pendekatan NashQath’i, pendekatan Qauli dan pendekatan Manhaji (Ma’ruf Amin,268: 2007). Pendekatan Nash Qoth’i dilakukan dengan berpegangkepada nash al-Qur’an atau Hadis untuk sesuatu masalah apabilamasalah yang ditetapkan terdapat dalam nash al-Qur’an ataupunHadis secara jelas. Sedangkan apabila tidak terdapat dalam nashal-Qur’an maupun Hadis maka penjawaban dilakukan denganpendekatan Qauli dan Manhaji. Pendekatan Qauli adalahpendekatan dalam proses penetapan fatwa denganmendasarkannya pada pendapat para imam mazhab dalam kitab-kitab fiqih terkemuka (al-kutub al-mu’tabarah). Pendekatan Qaulidilakukan apabila jawaban dapat dicukupi oleh pendapat dalamkitab-kitab fiqih terkemuka (al-kutub al-mu’tabarah) dan hanyaterdapat satu pendapat (qaul), kecuali jika pendapat yang adadianggap tidak cocok lagi untuk dipegangi karena sangat sulit

FATWA PLURALISME DAN PLURALITAS AGAMA MUI

Page 15: FATWA PLURALISME DAN PLURALITAS AGAMA MUI (Majlis …

Holistik Vol 14 Number 01, 2013/1435 H

~ 139 ~untuk dilaksanakan (ta’assur atau ta’adzdzur al-‘amal atau shu’ubahal-‘amal) , atau karena alasan hukumnya (‘illah) berubah. Dalamkondisi seperti ini perlu dilakukan telaah ulang (i’adatun nazhar),sebagaimana yang dilakukan oleh ulama terdahulu. Karena itumereka tidak terpaku terhadap pendapat ulama terdahulu yangtelah ada bila pendapat tersebut sudah tidak memadai lagi untukdidijadikan pedoman. Apabila jawaban permasalahan tersebuttidak dapat dicukupi oleh nash qoth’i dan juga tidak dapatdicukupi oleh pendapat yang ada dalam kitab-kitab fiqihterkemuka (al-kutub al-mu’tabarah), maka proses penetapan fatwadilakukan melalui pendekatan manhaji. Pendekatan Manhajiadalah pendekatan dalam proses penetapan fatwa denganmempergunakan kaidah-kaidah pokok (al-qowaid al-ushuliyah) danmetodologi yang dikembangkan oleh imam mazhab dalammerumuskan hukum suatu masalah. Pendekatan manhajidilakukan melalui ijtihad secara kolektif (ijtihad jama’i), denganmenggunakan metoda : mempertemukan pendapat yang berbeda(al-Jam’u wat taufiq), memilih pendapat yang lebih akurat dalilnya(tarjihi), menganalogkan permasalahan yang muncul denganpermasalahan yang telah ditetapkan hukumnya dalam kitab-kitabfiqh (ilhaqi) dan istinbathi. Dalam masalah yang terjadi khilafiyahdi kalangan imam mazhab maka penetapan fatwa didasarkan padahasil usaha penemuan titik temu di antara pendapat-pendapatmadzhab melalui metode al-Jam’u wa al-Taufiq. Jika usaha al-Jam’uwa al-Taufiq tidak berhasil maka penetapan fatwa dilakukan melaluimetode tarjihi (memilih pendapat ulama yang dinilai paling kuatdalil dan argumentasinya), yaitu dengan menggunakan metodeperbandingan mazhab (muqaran al-madzahib) dan denganmenggunakan kaedah-kaedah ushul fiqh perbandingan.Membiarkan masyarakat untuk memilih sendiri pendapat paraulama yang ada sangatlah berbahaya, karena hal itu berartimembiarkan masyarakat untuk memilih salah satu pendapat (qaul)ulama tanpa menggunakan prosedur, batasan dan patokan. Olehkarena itu, menjadi kewajiban lembaga fatwa yang memilikikompetensi untuk memilih pendapat yang rajih (lebih kuat dalildan argumentasinya) untuk dijadikan pedoman bagi masyarakat.

Ketika satu masalah atau satu kasus belum ada pendapatyang menjelaskan secara persis dalam kitab fiqh terdahulu (al-kutub

Ilman Nafi’a

Page 16: FATWA PLURALISME DAN PLURALITAS AGAMA MUI (Majlis …

Holistik Vol 14 Number 01, 2013/1435 H

~ 140 ~al-mu’tabarah) namun terdapat padanannya dari masalah tersebut,maka penjawabannya dilakukan melalui metode ilhaqi, yaitumenyamakan suatu masalah yang terjadi dengan kasuspadanannya dalam al-kutub al-mu’tabarah. Sedangkan metodeIstinbathi dilakukan ketika tidak bisa dilakukan dengan metodeilhaqi karena tidak ada padanan pendapat (mulhaq bih) dalam al-kutub al-mu’tabarah. Metode istinbathi dilakukan denganmemberlakukan metode qiyasi, istishlahi, istihsani dan sadd al-dzari’ah.Secara umum penetapan fatwa di MUI selalu memperhatikan pulakemaslahatan umum (mashalih ‘ammah) dan intisari ajaran agama(maqashid al-syari’ah). Sehingga fatwa yang dikeluarkan oleh MUIbenar-benar bisa menjawab permasalahan yang dihadapi umat danbenar-benar dapat menjadi alternatif pilihan umat untuk dijadikanpedoman dalam menjalankan kehidupannya.

Fatwa merupakan salah satu hasil ijtihad para mujtahidsebagai jawaban atas permintaan seseorang, komunitas ataulembaga yang memintanya memberikan nasihat hukum agamayang diharapkan dijadikan pertimbangan dalam menyelesaikanberbagai masalahnya. Jadi kedudukan fatwa dalam hukum Islamsama dengan kedudukan ijtihad sendiri, yaitu tidak mengikatsemua orang, begitu pula kedudukan fatwa MUI bagi masyarakatIndonesia yaitu tidak mengikat secara pribadi atau kolektif.Seorang mufti dapat mengeluarkan suatu fatwa apabila terpenuhiempat syarat mutlak, yakni (1) orang tersebut harus memahamibahasa arab dengan sempurna dari segala seginya; (2) orangtersebut mengetahui ilmu al-Qur‘an dengan sempurna dari segalaseginya, yakni berkaitan dengan hukum-hukum yang dibawa olehal-Qur‘an dan mengetahui secara tepat cara-cara pengambilanhukum (istinbath al-hukmi) dari ayat-ayat tersebut. Fatwamerupakan hasil ijtihad para ahli (mujtahid dan mufti) yang dapatdikeluarkan dalam bentuk lisan ataupun tulisan. Oleh karena itu,kaitan antara ijtihad dengan fatwa sangat erat sekali, sebab ijtihaditu merupakan suatu usaha yang masksimal pada ahli untukmengambil atau meng-istinbath-kan hukum-hukum tertentu,sedangkan fatwa itu hasil dari ijtihad itu sendiri. Kita tahu bahwahukum Islam yang berlandaskan al-Qur‘an dan al-Hadits sebagianbesar bentuknya ditentukan berdasarkan hasil ijtihad paramujtahid yang dituangkan dalam bentuk fatwa keagamaan oleh

FATWA PLURALISME DAN PLURALITAS AGAMA MUI

Page 17: FATWA PLURALISME DAN PLURALITAS AGAMA MUI (Majlis …

Holistik Vol 14 Number 01, 2013/1435 H

~ 141 ~para mufti. Apabila tidak ada ijtihad maka tidak ada fatwa. Secaraumum, fatwa yang dikeluarkan MUI ini adalah persoalan-persoalan yang ada masa sekarang ini yang mana dahulu tidakada dengan mencari sumber-sumber hukum dengan metode ushulfiqh yang sudah ditetapkan keilmuannya. Secara etimologis, Fatwaadalah jawaban atas suatu kejadian dan untuk melakukan itusumber utamanya adalah al-Qur‘an dan al-Hadits. Disinilah peranseorang mujtahid MUI memberikan jawaban atas persoalandengan tidak keluar dari nilai-nilai yang ada dalam dua sumbertersebut. Ada dua faktor dalam mujtahid untuk ijtihad suatupersoalan sehingga menghasilkan klasifikasi fatwa, yaitu: Pertamaadalah ijtithad yang menghasilkan fatwa untuk menetapkan suatuhukum dan penjelasannya dengan pertimbangan adanyaperkembangan zaman sehingga masalahpun akan selalu berbedasehingga terjadinya suatu kekosongan hukum. Kedua adalahijtihad khusus untuk menerapkan dan mengamalkan hukumdengan prinsip bahwa tidak ada kekosongan hukum dalam segalaaspek kehidupan manusia, sehingga akan mencari pembenaransecara ‘illat terhadap berbagai kasus dengan prinsip ushuliyahseperti ulama jaman dulu.

Fatwa MUI merupakan bentuk dari fatwa kolektif (al-fatwaal-ijma‘) yaitu fatwa yang dihasilkan oleh ijtihad sekelompok orang,tim, atau panitia yang sengaja dibentuk, yang dihasilkan melaluisuatu diskusi dalam lembaga ilmiah yang terdiri atas parapersonal yang memiliki kemampuan tinggi dalam bidang fikihpemahaman problema keagamaan dan berbagai ilmu lainnyasebagai penunjang dalam arti syarat-syarat yang harus dimilikioleh seseorang yang akan berijtihad. Fatwa yang dihasilkanmelalui lembaga ilmiah ini harus mampu menetapkan hukumdengan berani dan bebas dari pengaruh dan tekanan politik, sosial,dan budaya yang dianut bangsa.

c. Fatwa Pluralisme MUI dalam Pandangan Tokoh Islam Cirebon

Cirebon adalah kota mandiri terbesar ke-2 di Provinsi JawaBarat, setelah ibu kota Jawa barat, yakni Bandung. Kota ini beradadi pesisir Laut Jawa, di jalur pantura (pantai utara). Jalur pantura

Ilman Nafi’a

Page 18: FATWA PLURALISME DAN PLURALITAS AGAMA MUI (Majlis …

Holistik Vol 14 Number 01, 2013/1435 H

~ 142 ~Jakarta-Cirebon-Semarang merupakan jalur terpadat di Indonesia.Kota Cirebon juga merupakan kota terbesar ke-4 di wilayahpantura setelah Jakarta, Surabaya, dan Semarang. Karena letaknyayang sangat strategis, yakni di persimpangan antara Jakarta,Bandung, dan Semarang, juga sebagai pusat kota di antarabeberapa wilayah yang ada di Jawa Barat, Cirebon tidak hanyadihuni oleh berbagai komunitas dari berbagai latar belakang;agama, suku, budaya dan lainnya di sekitar Jawa Barat, tapi jugamenjadi tujuan berbagai kalangan dengan berbagaikepentingannya. Cirebon adalah wajah kota yang multikulturaldengan berbagai keragaman dan keperbedaan agama, bangsa,suku, bahasa, budaya, aliran dan lainnya. Dalam catatan sejarah,Cirebon memiliki simbol-simbol budaya seperti “Paksi NagaLiman” artinya rajawali (dunia Islam), naga (China) dan liman(gajah), simbol ini menunjukan adanya akulturasi budaya yangkuat di Cirebon antara dunia Islam, China dan India. Simbol lainyang menjadi identitas budaya Cirebon adalah “megamendung”yang merupakan produk akulturasi budaya Islam dan China. Dansimbol ini juga menunjukan adanya pluralitas dalam sejarahkeberaadan Cirebon. Dalam catatan sejarahnya pluralisme danpluralitas agama adalah bagian yang tidak terpisahkan denganCirebon.

Pemaknaan terhadap pluralisme dan Pluralitas keagamaannampaknya menjadi salah satu persoalan pro dan kontra terhadapfatwa MUI tentang “keharaman” pluralisme agama, termasuk dikalangan tokoh Islam di Cirebon, baik dari Kyai-Kyai Pesantrenataupun akademisi. Hasil dari wawancara dengan tokoh-tokohIslam tersebut, baik yang merasa mengetahui ataupun tidakmengetahui tentang terminologi “pluralisme dan pluralitasagama”, mereka cenderung tidak bisa membedakan antara keduaterm tersebut. Dalam pemahaman tokoh-tokoh Islam “keduaistilah” tersebut bermuara pada pemaknaan yang cenderung samayaitu penghormatan terhadap keragaman dan keperbedaan. Jadi,meskipun mereka juga pro dan kontra terhadap pluralisme, tetapimereka sepakat untuk menghormati keragaman agama yang adadi Cirebon khususnya, dan di Indonesia pada umumnya.

Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka

FATWA PLURALISME DAN PLURALITAS AGAMA MUI

Page 19: FATWA PLURALISME DAN PLURALITAS AGAMA MUI (Majlis …

Holistik Vol 14 Number 01, 2013/1435 H

~ 143 ~dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yangmenunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu samalain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkanhasil tanpa konflik asimilasi. Pluralisme adalah dapat dikatakansalah satu ciri khas masyarakat modern dan kelompok sosial yangpaling penting, dan mungkin merupakan pengemudi utamakemajuan dalam ilmu pengetahuan, masyarakat danperkembangan ekonomi. Pluralisme agama adalah sebuah konsepyang berkaitan dengan penerimaan terhadap agama-agama yangberbeda, dan dipergunakan dalam cara yang berlain-lainan pula;sebagai pandangan dunia yang menyatakan bahwa agamaseseorang bukanlah sumber satu-satunya yang eksklusif bagikebenaran, dan dengan demikian di dalam agama-agama lain pundapat ditemukan, setidak-tidaknya, suatu kebenaran dan nilai-nilai yang benar dan sebagai penerimaan atas konsep bahwa duaatau lebih agama yang sama-sama memiliki klaim-klaimkebenaran yang eksklusif sama-sama sahih. Pendapat iniseringkali menekankan aspek-aspek bersama yang terdapat dalamagama-agama. (www.id.wikipedia.org).

Menurut Dawam Rahardjo, dalam masyarakat majemukseperti Indonesia, baik negara ataupun MUI tidak berhakmenyatakan bahwa agama yang satu benar dan agama yang lainsalah, atau “sesat menyesatkan” seperti yang dituduhkan kepadaAhmadiyah dan lainnya. Bagi dia, semua agama harus “dianggap”benar, tetapi benar menurut keyakinan pemeluk agama masing-masing. Menurutnya, pandangan ini merupakan landasankeadilan, persamaan hak dan kerukunan antarumat beragama (M.Syafii Anwar, 185: 2007). Sementara Syafii Anwar menjelaskanbahwa pluralisme adalah sistem nilai yang mengharagai pluralitas(kemajemukan). (M. Syafii Anwar, 186: 2007).

KH. M. Haerudin salah seorang Kyai muda BabakanCiwaringin, Cirebon menyatakan bahwa ketika kita berbicaramasalah pluralisme agama harus melihat konteks keindonesian,

1 Wawancara Desember 2010 di Pesantren Raudlat al-Thalibin, BabakanCiwaringin, Cirebon2 Wawancara Desember 2010 di Pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon3 Wawancara Desember 2010 di Pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon

Ilman Nafi’a

Page 20: FATWA PLURALISME DAN PLURALITAS AGAMA MUI (Majlis …

Holistik Vol 14 Number 01, 2013/1435 H

~ 144 ~dimana indonesia sebagai bangsa yang beragam agama, budaya,suku dan sebaginya yang merupakan sebuah keniscayaan.Menurutnya dalam Plurlisme agama kita harus mendudukkanagama dalam konteks kebangsaan, dimana setiap agama mempunyaikebenaran, tidak pandang itu islam, kristen atau budha. Dalampandangan kyai muda ini, pandangan di atas tidak berarti bahwasemua agama itu sama, tetapi setiap agama mengajarkan kedamaian,kebenaran. Menurutnya, inilah inti pokok dari pluralisme agama1.

Sementara, Kyai sepuh Babakan Ciwaringin yaitu K.H.Makhtum Hanan menolak adanya pluralisme agama. Menurutnyasudah jelas bahwa dalam Al-Qur’an berbunyi Inna al-Dina inda Allahal-Islam yang artinya sesungguhnya agama yang diridhoi disisi allahhanya islam, terlihat jelas disini bahwa hanya agama islam lah yangpaling benar. Tetapi menurut beliau, kita juga harus menghormatidan menghargai agama lain dalam konteks muamalah2. Pandangansenada diungkapkan oleh KH. Nurhadi yang juga dari BabakanCiwaringin. Kyai ini tidak membenarkan pluralisme agama, denganalasan yang sama dengan Kyai Makhtum Hanan, Kyai Nurhadiberargumentasi karena ada ayat Inna al-Dina inda Allah al-Islam.Menurutnya, jika ada yang benar berarti yang lainnya salah, dalamhal ini Islamlah yang paling benar berarti yang lainnnya salah.Dalam pandangannya, pluralisme bukanlah suatu paham tetapihanya keberagaman agama. Kalau dalam konteks ini, menurutnyasemua penganut agama harus saling menghormati yang lain.Namun menurut Kyai Nurhadi, yang lebih ditekankan adalahmasalah aqidah dan keyakinan tidak boleh di campur adukkankarena mempunyai aturan sendiri3.

Salah satu Kyai Muda KH. Wawan Arwani dari BuntetPesantren menyatakan bahwa pluralitas itu niscaya, tetpai kalaumenjadi isme akan muncul persoalan. Menurutnya, kalau menjadiisme, mau tidak mau akan ada pro dan kontra. Menurutnya semuaagama mengajarkan kebenaran, keselamatan, kebaikan . Semuaagama pun mengajarkan dan menjamin keselamatan bagi semuapenganutnya. Menurutnya inilah kebenaran universal dalamkeberagaman agama4. Pendapat senada dijelaskan oleh Dr.H.

4 Wawancara Desember 2010 di Pesantren Buntet Pesantren, Cirebon5 Wawancara Desember 2010 di IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Cirebon

FATWA PLURALISME DAN PLURALITAS AGAMA MUI

Page 21: FATWA PLURALISME DAN PLURALITAS AGAMA MUI (Majlis …

Holistik Vol 14 Number 01, 2013/1435 H

~ 145 ~Farihin Nur, M.Pd akademisi dari IAIN Syekh Nurjati Cirebonyang juga Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)Kota Cirebon, bahwa pluralisme agama bagian dari realitaskehidupan manusia yang telah ditetapkan Allah (sunatullah),manusia tidak bisa hidup sendirian, tetapi harus berinteraksidengan yang lain, untuk itu saling menghormati satu dengan yanglain menjadi sebuah keniscayaan5.

KH. Harits dari Babakan Ciwaringin menyatan bahwapengertian pluralisme agama perlu ditata ulang, karenamenurutnya pengertian pluralisme sekarang mengandungpolemik. Menurutnya pengertian pluralisme harus berangkat dariAl-Qur-an dan Al-Hadits. Senada dengan Kyai Harits, Prof. Dr.Cecep Sumarna, M.Ag menjelaskan bahwa pemahamanpluralisme dianggap bermasalah, namun beliau menyatakanbahwa apapun dari bentuk pengertian pluralisme, makna yangterkandung adalah saling menghaormati satu dengan yang lain.Menurutnya inilah taqdir dari Allah. Sementara menurut KH.Yahya Zainal Ma’arif atau yang dikenal dengan Buya Yahya,Pengasuh Majlis al-Bahjah di Media Dakwah online Buya Yahya,menjelaskan bahwa Pluralisme sering di artikan oleh penyerunyasebagai sikap mengakui dan menerima kenyataan bahwamasyarakat itu bersifat mejemuk disertai dengan sikap tulusmenerima kenyataan kemajemukan sebagai sesuatu yang bernilaipositif, dan merupakan rahmat Allah kepada bangsa menusia .Pluralisme tidak sekedar menyadari akan kemajemukan. Akantetapi lebih dari itu harus ada keterlibatan aktif terhadapkenyataan kemajemukan tersebut . Seorang pluralis adalah orangyang menyadari kemajemukan sebagai sesuatu yang positifsekaligus dapat berinteraksi aktif dalam lingkungan kemajemukan.Jika demikian adanya maka pluralisme adalah sesuatu yang telahditetapkan oleh Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin . Bahkanjika benar begitu makna pluralisme maka ia adalah sesuatu yangsangat asasi dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.Tetapi menurutnya sebenarnya ummat Islam tidak butuh denganistilah pluralisme sebab makna yang terkandung didalam Islamamat melampaui hakekat pluralisme

Dari berbagai pandangan dan pendapat hasil dari

Ilman Nafi’a

Page 22: FATWA PLURALISME DAN PLURALITAS AGAMA MUI (Majlis …

Holistik Vol 14 Number 01, 2013/1435 H

~ 146 ~wawancara dengan beberapa tokoh Islam dari kalangan Pesantrendan akademisi perguruan tinggi Islam, dapat dipahami bahwamereka nampaknya memahami pluralisme dan pluralitas agamadalam dua kecenderungan; pertama bahwa pluralisme danpluralitas agama berbeda, bahwa pluralisme agama dianggapsebagai pencampuradukan dan mempersamakan semua agama,sementara pluralitas adalah kemajemukan agama. Denganpandangan ini, semua sepakat bahwa pluralisme bermasalah danbertentangan dengan ajaran Islam, sementara pluralitas agamadianggap sebagai realitas. Kedua, pandangan yang menganggappluralisme dan pluralitas agama mempunyai pemahaman danpengertian yang sama, yaitu pengakuan atas kemajemukan ataukeragaman agama. Dengan pemahaman ini, mereka mengnggappluralisme tidak bermasalah dan dianggap sebagai sebuahkeniscayaan.

Pemaknaan pluralisme agama yang digunakan MUInampaknya dijadikan sebagai “satu-satunya” pengertian yangberakibat pada keluarnya fatwa haram terhadapnya. Jadisebenarnya, yang diharamkan MUI adalah “pendapat MUI”tentang pluralisme agama, bukan pendapat-pendapat pluarlismeagama lainnya, seperti yang dijelaskan M. Syafii Anwar (M. SyafiiAnwar, 186: 2007) bahwa pluralisme adalah sistem nilai yangmengharagai pluralitas (kemajemukan). Sementara yang lainmenjelaskan bahwa Pluralisme agama adalah sebuah konsep yangberkaitan dengan penerimaan terhadap agama-agama yangberbeda, dan dipergunakan dalam cara yang berlain-lainanpula; sebagai pandangan dunia yang menyatakan bahwaagama seseorang bukanlah sumber satu-satunya yangeksklusif bagi kebenaran, dan dengan demikian di dalamagama-agama lain pun dapat ditemukan, setidak-tidaknya,suatu kebenaran dan nilai-nilai yang benar dan sebagaipenerimaan atas konsep bahwa dua atau lebih agama yangsama-sama memiliki klaim-klaim kebenaran yang eksklusifsama-sama sahih. (www.id.wikipedia.org).

Penerbitan fatwa haram atas pluralisme agama oleh MUImendapat reaksi pro dan kontra, bukan hanya tentangpendefinisiannya, caranya, tetapi juga menyangkut kedudukan

FATWA PLURALISME DAN PLURALITAS AGAMA MUI

Page 23: FATWA PLURALISME DAN PLURALITAS AGAMA MUI (Majlis …

Holistik Vol 14 Number 01, 2013/1435 H

~ 147 ~fatwa itu sendiri bagi umat Islam di Indonesia, termasuk dikalangan tokoh-tokoh Cirebon. Kyai M. Haerudin BabakanCiwaringin menyarankan bahwa fatwa MUI harus dikaji Ulangdan didiskusikan lebih lanjut, menurutnya pemaknaan Pluralismeagama di Indonesia seharusnya dalam konteks kebangsaan. KyaiMakhtum Hanan menjelaskan bahwa fatwa MUI harus diikuti olehumat Islam di Indonesia, karena MUI menurutnya lembaga ataumajlis ulama yang harus diikuti oleh semua umat islam diindonesia, sebagai representasi dari ulama-ulama yang ada diIndonesia. Senada dengan pendapat ini, Kyai Nurhadi menyatakanbahwa fatwa MUI mengikat umat Islam di Indonesia. Kyai Haristjuga sepakat bahwa fatwa MUI mengikat umat Islam di Indonesia.Hal ini menurutnya untuk menghindari konflik dan disintegrasibangsa.

Sementara Kyai yang lain, seperti Kyai Wawan Arwani, dariBuntet Pesantren menjelaskan bahwa fatwa MUI tidak mengikat,karena menurutnya kalau mengikat berarti tidak menghargaiperbedaan pendapat, dan itu cenderung akan menjadi agamasendiri. Pendapat senada disampaikan juga oleh Kyai Babas FuadHasyim Buntet Pesantren yang menyatakan bahawa fatwa MUItidak mengikat, karena dalam konteks Indonesia, fatwa MUI bukanmerupakan bagian dari unsur-unsur perundang-undangan (UU),atau lembaga yang mempunyai kewenangan menerbitkan UU,seperti Presiden, menteri, gubernur atau lainnya. Bahkanmenurutnya, fatwa MUI di Indonesia “seperti” bukan fatwa.Akademisi dari IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Prof.Dr. CecepSumarna, M.Ag juga sependapat bahwa fatwa MUI tidak mengikatkarena fatwa MUI bukan merupakan bagian dari hukum positifnegara. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh DR. Farihin,M.Pd yang menyatakan bahwa fatwa MUI tidak mengikat, tetapitetap penting untuk dijadikan bahan pertimbangan bagimasyarakat dan lembaga-lembaga tertentu dalam menentukankebijakannya.

Dari berbagai pendapat tentang kedudukan fatwa MUI bagiumat Islam di Indonesia, tokoh-tokoh Cirebon juga meresponbervariasi antara mengikat dan tidak mengikat, Para tokoh yangberpendapat bahwa fatwa MUI itu mengikat adalah Kyai-kyai

Ilman Nafi’a

Page 24: FATWA PLURALISME DAN PLURALITAS AGAMA MUI (Majlis …

Holistik Vol 14 Number 01, 2013/1435 H

~ 148 ~yang sudah sepuh yang diduga kuat mempunyai hubungan eratdengan struktur di MUI dan Kyai-kyai yang kurang berinteraksidengan sumber-sumber informasi dan ilmu pengetahuan modern.Sementara tokoh-tokoh yang menyatakan bahwa fatwa MUI tidakmengikat adalah kyai-kyai muda dan akademisi, yang diduga kuatmasih mempunyai aktifitas intelektual dan pencarian informasiyang lebih luas tidak sekedar informasi dari satu pihak yang setujudengan pendapat bahwa fatwa MUI itu mengikat umat Islam diIndonesia.

d. Kesimpulan

Dari berbagai pandangan dan pendapat hasil dariwawancara dengan beberapa tokoh Islam dari kalangan Pesantrendan akademisi perguruan tinggi Islam di Cirebon, dapatdisimpulkan bahwa mereka nampaknya memahami pluralismedan pluralitas agama dalam dua kecenderungan; pertama bahwapluralisme dan pluralitas agama berbeda, bahwa pluralismeagama dianggap sebagai pencampuradukan dan mempersamakansemua agama, sementara pluralitas adalah kemajemukan agama.Dengan pandangan ini, semua sepakat bahwa pluralismebermasalah dan dianggap bertentangan dengan ajaran Islam,sementara pluralitas agama dianggap sebagai realitas. Kedua,pandangan yang menganggap pluralisme dan pluralitas agamamempunyai pemahaman dan pengertian yang sama, yaitupengakuan atas kemajemukan atau keragaman agama. Denganpemahaman ini, mereka mengnggap pluralisme tidak bermasalahdan dianggap sebagai sebuah keniscayaan. Keperbedaanpendapat ini menghasilan perbedaan pendapat juga tentangkedudukan fatwa MUI itu, antara yang mengikat bagi umat Islamdi Indonesia dan yang tidak mengikat. Kyai-kyai sepuh dan kyai-kyai yang mempunyai hubungan struktur dengan MUI cenderungberpendapat mengikat, sementara kyai-kyai muda dan akademisiberpendapat tidak mengikat.

FATWA PLURALISME DAN PLURALITAS AGAMA MUI

Page 25: FATWA PLURALISME DAN PLURALITAS AGAMA MUI (Majlis …

Holistik Vol 14 Number 01, 2013/1435 H

~ 149 ~DAFTAR PUSTAKA

Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatorishingga Emansipatoris (Yogyakarta: LKIS, 2005).

Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama danKebudayaan, Depok: Desantara, 2001.

Aliya Harb, Relativitas Kebenaran Agama; Kritik dan Dialog,Yogyakarta: IRCiSOd, 2001.

Anis Malik Thoha, Trend Pluralisme Agama, Jakarta:Perspektif, 2005.

Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

Azyumardi Azra, Islam Substantif ; Agar Umat tidak jadi Buih,Bandung: Mizan, 2000.

Charles Churzman (editor), Wacana Islam Liberal, Jakarta:Paramadina, 2003.

Departemen Agama RI, Himpunan Fatwa Majelis UlamaIndonesia, Jakarta, 2003.

Dokumen fatwa MUI Nomor: 7/MUNAS VII/11/2005tentang pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama.

Karlina Helmanita, Pluralisme dan Inklusivisme Islam diIndonesia, Jakarta: PBB UIN dan KAS Jakarta, 2003.

Khamami Zada, Islam Radikal, Bandung: Teraju, 2002.

Lexy J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung:PT. Rosdakarya, 2001.

M. Amin Abdullah “Al-Qur’an dan Pluralisme Agama”, JurnalKhazanah, Vol. 1, No 6, Juli-Desember 2004.

M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam (Dalam Teori danPraktek), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. IV, 2004.

M. Mukhsin Jamil, Membongkar Mitos Menegakkan Nalar;Pergulatan Islam Liberal versus Islam Literal, Yogyakarta: PustakaPelajar, Cet. I, 2005.

Ilman Nafi’a

Page 26: FATWA PLURALISME DAN PLURALITAS AGAMA MUI (Majlis …

Holistik Vol 14 Number 01, 2013/1435 H

~ 150 ~Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Dar al-fikr, 1958.

Muhammad Legenhausen, Satu Agama atau Banyak Agama;Kajian tentang Liberalisme dan Pluralisme Agama, Jakarta : PT. LenteraBasritama, 2002.

Mun’im A. Sirry, Dilema Islam Dilema Demokrasi, Jakarta:Gugus Press, 2002.

Noer Rochmat “Pluralisme, Wacana Al-Qur’an dan Keniscayaanbagi kehidupan bermasyarakat” Jurnal Studi al-Qur’an, Volume II No.1 Januari 2006.

Rohadi Abd. Fatah, Analisa Fatwa Keagamaan dalam Fiqh Islam,Jakarta: PT. Paragonatama Jaya, 1991.

Sekretariat Majelis Ulama Indonesia, Mengenal lebih jauhMajelis Ulama Indonesia, Jakarta: 2001.

Tim Penyusun Departemen Agama RI, Ushul Fiqh, Qaidah-Qaidah Istinbath dan Ijtihad; Metode Penggalian Hukum Islam, Jakarta:Departemen Agama, 1986.

FATWA PLURALISME DAN PLURALITAS AGAMA MUI