PKD IZKAR

23
1 MAKALAH PRESENTASI KASUS DIPERSIAPKAN BELL’S PALSY Disusun oleh: Izkar Ramadhan 110103000008 Pembimbing : dr. Fitri, Sp.S KEPANITRAAN KLINIK SMF NEUROLOGI RSUP FATMAWATI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015

description

neuro

Transcript of PKD IZKAR

  • 1

    MAKALAH PRESENTASI KASUS DIPERSIAPKAN

    BELLS PALSY

    Disusun oleh:

    Izkar Ramadhan

    110103000008

    Pembimbing :

    dr. Fitri, Sp.S

    KEPANITRAAN KLINIK

    SMF NEUROLOGI RSUP FATMAWATI

    PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

    FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

    UIN SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    2015

  • 2

    ILUSTRASI KASUS

    IDENTITAS PASIEN

    Nama : Ny. MK

    Jenis kelamin : Perempuan

    Tempat tanggal lahir : Jakarta, 5-4-1952

    Umur : 61 tahun

    Agama : Islam

    Pendidikan : Tamat SD

    Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

    Status Perkawinan : Janda

    Alamat : Pamulang, Jakarta Selatan

    ANAMNESIS

    Keluhan Utama

    Wajah sebelah kiri tidak dapat digerakan sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit.

    Riwayat Penyakit Sekarang

    Pasien datang dengan keluhan wajah sebelah kiri tidak dapat digerakan sejak

    3 hari SMRS. Keluhan dirasakan tiba-tiba saat pasien bangun tidur. Awalnya kelopak

    mata kiri pasien tidak bisa tertutup rapat lalu ketika pasien tersenyum sudut bibir kiri

    tidak terangkat, alis kiri pasien tidak bisa diangkat, wajah pasien tampak tidak

    simetris saat tersenyum & saat diam, sulit mengunyah makanan apabila

    menggunakan mulut bagian kiri, dahi susah dikerutkan. Saat menggosok gigi, pasien

    merasa sulit untuk berkumur. Mata kiri pasien terasa perih saat terkena angin yang

    disertai dengan keluarnya air mata. Pasien tiap malam selalu menggunakan kipas

    angin yang diarahkan ke pasien. Keluhan seperti baal dan kesemutan pada wajah

    atau sekitar mulut, gangguan pendengaran, keluar cairan dari telinga, kelemahan

    pada sisi tubuh, gangguan pada pengecapan dan pendengaran, bicara pelo, sulit

    menelan, demam atau nyeri pada belakang telinga, riwayat trauma kepala dan

    telinga disangkal pasien. Sebelum wajah susah digerakan, pasien tidak

    mengeluhkan demam, batuk, pilek atau radang tenggorokan, tidak mengalami sakit

    cacar atau herpes

  • 3

    Riwayat Penyakit Dahulu

    Pasien sebelumnya belum pernah mengalami keluhan yang sama, pasien tidak

    memiliki riwayat darah tinggi. Riwayat kencing manis, riwayat kolesterol dan alergi

    disangkal oleh pasien

    Riwayat Penyakit Keluarga

    Tidak ada keluarga pasien yang menderita keluhan yang serupa dengan pasien.

    Penyakit hipertensi, jantung, diabetes melitus, kolesterol, dan alergi pada keluarga

    disangkal.

    Riwayat Sosial, Ekonomi, Kejiwaan, dan Kebiasaan

    Riwayat minum alkohol, merokok disangkal.

    PEMERIKSAAN FISIK

    Tanggal 2 Mei 2014

    Keadaan umum : Tampak sakit ringan

    Kesadaran : Kompos Mentis

    Tekanan darah : 110/70 mmHg

    Nadi : 84 x/menit

    Penapasan : 18 x/menit

    Suhu : 36,7C

    BB : 60 kg

    Status Generalis

    Kepala : tidak ada deformitas

    Mata : konjungtiva pucat -/-, sklera tidak ikterik

    Telinga kanan&kiri : serumen (+), sekret (-), tidak terdapat vesikel di Meatus

    akustikus eksternus

    Leher : KGB tidak teraba

    Paru : vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

    Jantung : BJ I-II normal, murmur (-), gallop (-)

    Abdomen : lemas, hati dan limpa tidak teraba, bising usus (+) normal

    Ekstremitas : akral hangat, edema -/-

    Status Neurologi

    GCS : E4M6V5 = 15

    Pupil : bulat, isokor, kanan 3 mm / kiri 3 mm, RCL kanan (+) / kiri (+).

  • 4

    RCTL kanan (+) / kiri (+)

    TRM : kaku kuduk (-), Kernig kanan > 135 / kiri > 135.

    Lasegue kanan > 70/ kiri > 70 brudzinski I II (-)

    Nervus kranialis

    N.I : Dalam Batas Normal

    N.II : RCL kanan (+) / kiri (+).

    RCTL kanan (+) / kiri (+)

    Funduskopi tidak dilakukan

    Pemeriksaan lapang pandang dan visus dalam batas normal

    N.III, IV, VI : Sikap bola mata simetris

    Ptosis: mata kanan (-), mata kiri (-)

    Diplopia (-), nistagmus (-), eksoftalmus (-), enoftalmus (-)

    N.V : Sensibilitas baik.

    Kekuatan dan kontus m.maseter dan temporalis baik

    Pemeriksaan refleks kornea (+)

    N.VII : M. Orbikularis Okuli : Kelopak mata kiri tidak dapat menutup

    M. Orbikularis Frontalis : Pasien tidak dapat mengangkat alis kiri

    dan mengerutkan dahi

    M. Orbikularis Oris : Pada saat tersenyum, sudut bibir kiri tidak

    terangkat

    M. Bucal : Gerakan menggembungkan pipi bocor ke kiri.

    N.VIII : gangguan pendengaran (-), vestibuler: tidak dilakukan

    N.IX, X : arkus faring simetris, uvula terletak di tengah

    N. XI : gerakan menoleh baik

    Kekuatan m.sternocleidomastoideus baik

    Kekuatan m.trapezius baik

    N.XII : posisi lidah di dalam mulut terletak di tengah

    Posisi lidah dijulurkan terletak di tengah

    Atrofi papil lidah (-), fasikulasi (-)

    Kesan parese N. VII perifer sinistra

    Motorik : 5555 I 5555 5555 I 5555

  • 5

    Refleks fisiologis:

    Biseps Kanan ++, Kiri ++

    Triseps Kanan ++, Kiri ++

    Patella Kanan ++, Kiri ++

    Achilles Kanan ++, Kiri ++

    Refleks patologis:

    Refleks patologis Kanan Kiri

    Babinsky (-) (-)

    Chaddock (-) (-)

    Oppenheim (-) (-)

    Gordon (-) (-)

    Tonus : eutonus

    Trofi : eutrofi

    Klonus : Patella - / -, Achilles - / -

    Sensorik : kesan hipestesi (-)

    Otonom : inkontinensia urine et alvi (-)

    Koordinasi : disdiadokinesia (-), finger-finger test (-), percobaan tumit-lutut (-),

    dismetria (-)

    RESUME

    Pasien Ny MK, 61 tahun datang dengan keluhan wajah sebelah kiri tidak dapat

    digerakan sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan dirasakan tiba-tiba saat

    pasien bangun tidur. Awalnya kelopak mata kiri pasien tidak bisa tertutup rapat lalu

    ketika pasien tersenyum sudut bibir kiri tidak terangkat, alis kiri pasien tidak bisa

    diangkat, wajah pasien tampak tidak simetris saat tersenyum & saat diam, sulit

    mengunyah makanan apabila menggunakan mulut bagian kiri, dahi susah

    dikerutkan. Saat menggosok gigi, pasien merasa sulit untuk berkumur. Mata kiri

    pasien terasa perih saat terkena angin yang disertai dengan keluarnya air mata.

    Pasien tiap malam selalu menggunakan kipas angin yang diarahkan ke pasien. Rasa

    baal (-), kesemutan (-) pada wajah. Demam (-), radang tenggorokan (-), riwayat

    trauma (-), riwayat sakit cacar (-). Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran

    pasien kompos mentis, status generalis dalam batas normal. Pada pemeriksaan

    neurologi didapatkan kesan parese N. VII perifer sinistra.

  • 6

    DIAGNOSIS

    Diagnosis klinis : parese n.VII perifer sinistra

    Diagnosis topis : nervus fasialis

    Diagnosis etiologis : bells palsy Grade III

    PEMERIKSAAN LANJUTAN

    Memerlukan pemeriksaan penunjang berupa: Pemeriksaan EMG

    RENCANA TERAPI

    Rencana terapi:

    1. Prednison 4 x 15 mg (4x3tab) tappering off < 2 minggu

    2. Vitamin B complex 1x1 tab (2 minggu)

    3. Acyclovir 5 x 400 mg (10 hari)

    4. Konsul ke rehab medik untuk fisioterapi

    Rencana Edukasi

    1. Istirahat yang cukup

    2. Menjelaskan kepada pasien agar menutup matanya dengan plester saat tidur

    dan menggunakan helm atau kacamata saat mengendarai motor untuk

    mencegah infeksi dan kekeringan pada bola mata.

    PROGNOSIS

    Quo ad vitam : bonam

    Quo ad functionam : bonam

    Quo ad sanactionam : bonam

  • 7

    TINJAUAN PUSTAKA

    Bells Palsy

    Pendahuluan

    Bells Palsy adalah gangguan neurologis yang disebabkan oleh kerusakan nervus

    fasialis, yang menyebabkan kelemahan atau paralisis pada satu sisi wajah. Paralisis

    menyebabkan distorsi dari tampilan wajah dan mengganggu fungsi normal seperti

    menutup mata dan makan.

    Onset Bells palsy biasanya tiba-tiba. Kebanyakan orang bangun pada pagi hari dan

    menemukan sebelah wajahnya paralisis. Pasien juga biasanya takut dirinya terkena

    stroke, akan tetapi Bells palsy tidak terkait dengan stroke. Gejala yang lebih ringan

    seperti kesemutan di sekitar bibir atau mata kering, dan biasanya progresif, dapat

    mencapai keparahan maksimum dalam 48 jam atau kurang.

    Anatomi

    Nervus Fasialis mengandung empat macam serabut :

    1. Serabut somatomotorik

    Serabut ini mempersarafi otot-otot wajah (kecuali muskulus levator palpebrae

    (N.III), otot platisma, stilohioid, digastricus bagian posterior dan stapedius di

    telinga tengah.

    2. Serabut viseromotorik (parasimpatis)

    Serabut ini datang dari nukleus salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus

    glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal dan

    glandula submaksiler serta sublingual dan maksilaris.

    3. Serabut viserosensorik

    Serabut ini menghantar implus dari alat pengecap di dua pertiga bagian depan

    lidah.

    4. Serabut somatosensorik

    Serabut ini mengatur rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rabadari bagian

    daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi nervus trigeminus. Daerah overlapping

    disarafi oleh dari satu saraf ini terdapat pada lidah, platum, meatus acusticus

    eksterna dan bagian luar dari gendang telinga.

  • 8

    Gambar. Bagan dan alur perjalanan nervus fasialis

    Nervus facialis terutama merupakan saraf motorik, yang menginervasi otot-

    otot ekspresi wajah. Disamping saraf ini membawa serabut parasimpatis ke kelenjar

    ludah dan air mata dan ke selaput mukosa rongga hidung dan mulut dan juga

    menghantar berbagai jenis sensasi termasuk sensasi eksteroseptif dari daerah gendang

    telinga, sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah, sensasi viseral umum dari

    kelenjar ludah, mukosa hidung dan faring, dan sensasi proprioseptif dari otot-otot

    yang disarafinya.

    Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang

    menghantar sensasi dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai saraf

    intermedius atau pars intermedius Wisberg. Sel sensoriknya terletak di ganglion

    genikulatum, pada lekukan saraf fasialis di kanal fasialis. Sensasi pengecapan dari 2/3

    bagian depan lidah dihantar melalui saraf lingual korda timpani dan kemudian ke

    ganglion genikulatum. Serabut yang menghantar sensasi ekteroseptif mempunyai

    badan sel di ganglion genikulatum dan berakhir pada akar desenden dan inti akar

    decenden dari saraf trigeminus (N.V). Hubungan sentralnya identik dengan saraf

    trigeminus.

    Inti motorik nervus fasialis terletak pada bagian ventolateral tegmentum pons

    bagian bawah. Dari sini berjalan kebelakang dan mengelilingi inti N.VI dan

    membentuk genu internal nervus facialis, kemudian berjalan ke bagian-lateral batas

    kaudal pons pada sudut ponto serebelar.

    Saraf Intermedius terletak pada bagian diantara N.VII dan N.VIII. Serabut

    motorik saraf fasialis bersama-sama dengan saraf intermedius dan saraf

  • 9

    vestibulokoklearis memasuki meatus akustikus internus untuk meneruskan

    perjalanannya didalam os petrosus (kanalis facialis).

    Nervus facialis keluar dari os petrosus kembali dan tiba dikavum timpani.

    Kemudian turun dan sedikit membelok kebelakang dan keluar dari tulang tengkorak

    melalui foramen stilomatoideus. Pada waktu ia turun ke bawah dan membelok ke

    belakang kavum timpani di situ ia tergabung dengan ganglion genikulatum. Ganglion

    tersebut merupakan set induk dari serabut penghantar impuls pengecap, yang

    dinamakan korda timpani. juluran sel-sel tersebut yang menuju ke batang otak adalah

    nervus intennedius, disamping itu ganglion tersebut memberikan cabang-cabang

    kepada ganglion lain yang menghantarkan impuls sekretomotorik. Os petrosus yang

    mengandung nervus fasialis dinamakan akuaduktus fallopii atau kanalis facialis.

    Disini nervus facialis memberikan cabang untuk muskulus stapedius dan lebih jauh

    sedikit ia menerima serabut-serabut korda timpani. Melalui kanaliskulus anterior ia

    keluar dari tulang tengkorak dan tiba di bawah muskulus pterigoideus eksternus,

    korda timpani menggabungkan diri pada nervus lingualis yang merupakan cabang dari

    nevus mandibularis.

    Sebagai saraf motorik nervus facialis keluar dari foramen stilomastoideus

    memberikan cabang yakni nervus auricularis posterior dan kemudian memberikan

    cabang ke otot stilomastoideus sebelum masuk ke glandula Parotis. Di dalam glatldula

    parotis nervus facialis dibagi atas lima jalur percabangannya yakni temporal, servical,

    bukal, zygomatic dan marginal mandibularis.

    Jaras parasimpatis (General Viceral Efferant) dari intinya di nucleus

    salivatorius superior setelah mengikuti jaras N.VII berjalan melalui bawah tulang

    tengkorak dan chorda tympani.

    Saraf superfisial yang berasal dari percabangan nervus fasialis berjalan di bawah

    tulang tengkorak dan ke ganglion pterygopalatina berganti neuron lalu

    mempersarafi glandula lakrimal, nasal dan palatal.

    Chorda tympani berjalan melalui nervus lingualis berganti neuron mempersarafi

    glandula sublingual dan glanldula submandibular.

    Jaras Special Afferent (indera perasa) : dari intinya nukeus solitarius berjalan

    melalui nervus intermedius ke :

    Bawah tulang tengkorak melalui nervus palatina mempersarafi rasa dari palatum.

    Chorda Tympani melalui nervus lingualis mempersarafi rasa 2/3 bagian depan

    lidah.

  • 10

    Jaras General Somatik different dimulai dari nukleus spinalis traktus

    trigeminal yang menerima impuls melalui nervus intermedius dari MAE dan kulit

    sekitar telinga.

    Korteks serebri akan memberikan persaratan bilateral pada nucleus N VII

    yang mengontrol otot dahi, tetapi hanya mernberi persarafan kontra lateral pada otot

    wajah bagian bawah. Sehingga pada lesi LMN akan menimbulkan paralisis otot wajah

    ipsilateral bagian atas bawah, sedangkan pada lesi UMN akan menimbulkan

    kelemahan otot wajah sisi kontra lateral.

    Pada kerusakan sebab apapun di jaras kortikobulbar atau bagian bawah

    korteks motorik primer, otot wajah muka sisi kontralateral akan memperlihatkan

    kelumpuhan jenis UMN. Ini berarti otot wajah bagian bawah lebih jelas lumpuh dari

    pada bagian atasnya, sudut mulut sisi yang lumpuh tampak lebih rendah. Jika kedua

    sudut mulut disuruh diangkat maka sudut mulut yang sehat saja yang dapat terangkat.

    Lesi LMN bisa terletak di pons, disudut serebelo pontin, di os petrusus,

    cavum tympani di foramen stilemastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus

    fasialis. Lesi di pons yang terletak disekitar nervus abducens bisa merusak akar nevus

    fasialis, inti nervus abducens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu

    paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan rektus lateris atau gerakan

    melirik ke arah lesi, Proses patologi di sekitar meatus akuatikus intemus akan

    melibatkan nervus fasialis dan akustikus sehingga paralisis fasialis LMN akan timbul

    berbarengan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia ( tidak bisa rnengecap

    dengan 2/3 bagian depan lidah).

    Insidensi dan Prevalensi

    Bells palsy mengenai 40.000 orang di Amerika Serikat tiap tahunnya. Kira-kira

    mengenai tiap 1 dari 65 orang selama hidupnya. Lebih sering mengenai dewasa muda,

    dan orang Jepang cenderung memiliki insidensi lebih tinggi. Bells palsy merupakan

    penyebab paralisis fasial tersering di seluruh dunia dan merupakan salah satu kelainan

    neurologis yang sering yang melibatkan nervus kranial.

    Etiologi

    Etiologi Bells palsy masih belum dikehui, walaupun penyebab vasular, infeksi,

    genetik, dan imunologi telah dikemukakan. Pasien dengan penyakit atau kondisi lain

  • 11

    kadang dapat terkena kelumpuhan nervus fasial perifer, akan tetapi tidak

    diklasifikasikan sebagai Bells palsy.

    Beberapa data klinis dan epidemiologis percaya bahwa infeksi yang memicu respon

    imunologik menyebabkan kerusakan nervus fasialis. Patogen-patogen yang dapat

    menjadi penyebab diantaranya virus herpes simpleks tipe 1 (VHS-1), virus herpes

    simpleks tipe-2 (VHS-2), herpes virus manusia (human herpesvirus HHV), virus

    varisela zoster (VVZ), Mycoplasma pneumoniae, Borrelia burgdoferi, virus influenza

    B, adenovirus, coxsackievirus, Ebstein-Barr virus, virus hepatitis A, B, dan C,

    Cytomegalovirus (CMV), dan virus rubella.

    Bells palsy jarang terjadi pada kehamilan, namun prognosis secara signifikan lebih

    buruk pada wanita hamil dengan Bells palsy daripada wanita yang tidak hamil.

    Genetik diduga memiliki peran pada Bells palsy, akan tetapi faktor mana yang

    diturunkan masih belum jelas. Angka rekurensi sebanyak 4.5-15% dan insidens

    familial sebanyak 41% telah terbukti dari beberapa penelitian bahwa genetik memiliki

    peran.

    Faktor Resiko

    Kondisi yang membuat sistem imun menjadi kompromais seperti HIV, meningkatkan

    resiko untuk terkena Bells palsy. Stres, kehamilan, dan diabetes juga merupakan

    faktor resiko. Penderita diabetes empat kali lebih beresiko untuk terkena gangguan ini

    dibandingkan populasi umum. Faktor resiko lain meliputi:

    Infeksi bakteri seperti penyakit Lyme atau demam tifoid

    Gangguan neurologis seperti sindrom Guillain-Barre, multipel sklerosis, dan

    miastenia gravis

    Trauma pada kepala atau wajah

    Tumor yang menyebabkan kompresi saraf

    Virus seperti infuenza, coryza, mononukleosis infeksiosa

    Patofisiologi

    Patofisiologi Bells palsy yang sebenarnya belum diketahui. Teori yang paling

    popular adalah inflamasi dari nervus fasialis. Pada proses inflamasi terjadi

    peningkatan diameter pada saraf dan mengompresi pada tulang temporal yang

    dilewatinya. Nervus fasialis yang melewati tulang temporal akan mengarah ke kanalis

  • 12

    fasialis. Bagian pertama dari kanalis fasialis (segmen labirintin) lebih sempit. Bagian

    sempit dari segmen ini dikenal sebagai foramen meatus. Nervus fasialis melewati

    bagian sempit selama perjalanannya menuju kanalis fasialis. Dapat dimengerti jika

    terjadi proses inflamasi, demielinisasi, iskemik, atau kompresif dapat menyebabkan

    gangguan konduksi neural pada tempat yang menyempit ini.

    Gambaran Klinis

    Kebanyakan keluhan adalah kelemahan dari satu sisi wajah. Hampir 50% pasien

    mengalami nyeri pada regio mastoid. Nyeri biasanya berbarengan secara stimultan

    dengan paresis, dan 25% mendahului 2-3 hari sebelum paresis. Dua per tiga pasien

    mengeluhkan gangguan aliran air mata. Hal ini disebabkan berkurangnya fungsi

    orbikularis okuli dalam transportasi air mata. Air mata lebih sedikit yang tersimpan di

    sakus lakrimalis dan terjadi banjir air mata. Produksi air mata tidak mengalami

    percepatan. Namun terdapat pula keluhan mata menjadi kering.

    Walau hanya sepertiga pasien yang mengeluhkan gangguan pengecapan, namun

    empat per limanya mengeluhkan berkurangnya kemampuan untuk mengecap rasa. Hal

    ini mungkin dikarenakan hanya sebagian lidah yang terkena.

    Pada pasien dapat juga terjadi hiperakusis. Hal ini merupakan gangguan

    toleransi pada tingkatan bising tertentu karena peningatan iritabilitas mekanisme

    sensoris.

    Pada pemeriksaan fisik ditemukan paralisis fasial. Harus dilakukan

    pemeriksaan yang lengkap untuk menyingkirkan kemungkinan lain yang dapat

    menyebabkan paralisis fasial. Kemungkinan lain harus dipikirkan jika tidak seluruh

    cabang nervus fasialis terkena.

    Definisi klasik dari Bells palsy dijelaskan sebagai keterlibatan mononeurik

    nervus fasial, walaupun nervus kranial lain mungkin dapat terlibat. Kelemahan dan

    atau paralisis dari keterlibatan nervus fasialis bermanifestasi sebagai kelemahan

    bagian seluruh bagian wajah (bagian atas dan bawah) pada sisi yang terkena.

    Perhatian khusus pada gerakan volunter pada bagian atas wajah sisi yang terkena.

    Pada lesi supranuklear seperti stroke kortikal (UMN, diatas nukleus fasial di pons),

    sepertiga bagian wajah atas tidak begitu jelas terkena dimana dua per tiga wajah

    bagian bawah menjadi paralisis. Muskulus orbikularis, frontalis, dan corrugator

    diinervasi bilateral yang menjelaskan pola paralisis fasial.

  • 13

    Pada tes nervus kranial lain, kemungkinan hasilnya adalah normal. Membran

    timpani seharusnya tidak ikut terinflamasi, jika terdapat infeksi meningkatkan

    kemungkinan komplikasi otitis media.

    Paralisis fasialis idiopatik ditandai dengan adanya paralisis atau paresis dari

    semua kelompok otot pada satu sisi wajah, dengan onset yang tiba-tiba (biasanya

    kurang dari 48 jam) dan tidak disertai dengan penyakit sistem saraf pusat, tidak ada

    bukti penyakit telinga atau sudut serebelopontin. Dapat pula mengikuti infeksi saluran

    pernapasan atas. Perburukan paresis dapat terjadi, namun tidak lebih dari 7-10 hari,

    bila lebih dari itu maka harus dipikirkan penyebab lain. Bila paralisis berjalan lebih

    dari beberapa minggu sampai bulan setelah diagnosis awal, maka harus dipikirkan

    suatu neoplasma.

    Tanda paresis nervus fasialis dapat dinilai dengan menggunakan House-

    Brackman Grading, yang merupakan pemeriksan bersifat obyekif untuk menentukan

    tingkat paresis atau paralisis.

    Grading House-Brackman:

    Grade I:

    Fungsi nervus fasialis pada semua cabang normal.

    Grade II:

    Disfungsi nervus fasialis ringan.

    Secara keseluruhan terdapat kelemahan ringan pada saat menutup mata dan

    terjadi sinkinesis ringan.

    Pada saat istirahat wajah simetris dan tonus normal.

    Pada pemeriksaan motorik:

    Dahi : fungsi sedang sampai baik

    Mata : menutup dengan sempurna dengan usaha minimal

    Mulut : asimetri ringan

  • 14

    Grade III:

    Disfungsi nervus fasialis sedang.

    Secara keseluruhan terdapat perbedaan nyata diantara kedua sisi, dan terdapat

    sinkinesis yang jelas.

    Pada saat istirahat wajah simetris dan tonus normal.

    Pemeriksaan motorik:

    Dahi : gerakan ringan sampai sedang

    Mata : tertutup sempurna dengan usaha

    Mulut : kelemahan ringan dengan usaha maksimal

    Grade IV:

    Disfungsi nervus fasialis sedang berat.

    Secara keseluruhan terdapat kelemahan yang jelas dan terdapat disfiguring

    assimetry.

    Pada saat istirahat wajah simetri dan tonus normal.

    Pemeriksaan motorik:

    Dahi : tidak ada fungsi motorik

    Mata : tertutup tidak sempurna

    Mulut : asimetris dengan usaha yang maksimal

  • 15

    GradeV:

    Disfungsi nervus fasialis berat.

    Secara keseluruhan hampir tak tampak gerakan.

    Pada saat istirahat wajah asimetris.

    Pemeriksaan motorik:

    Dahi : fungsi motorik tidak ada

    Mata : tertutup tidak harmonis

    Mulut : gerakan ringan

    Grade VI:

    Paralisis nervus fasialis total.

    Pemeriksaan Penunjang

    Pemeriksaan Laboratorium

    Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk konfirmasi diagnosis Bells

    palsy. Kumpulan klinis menentukan pemeriksaan yang kemungkinan memiliki nilai.

    Kemungkinan penyebab lain pada diagnosis diferensial mungkin dapat dikonfirmasi

    atau diduga berdasarkan pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan darah perifer

    lengkap; laju endap darah; studi fungsi tiroid; titer Lyme; level glukosa serum;

    pemeriksaan rapid plasma reagin (RPR) atau venereal disease research laboratory

    (VDRL); pemeriksaan HIV; titer IgM, IgG, dan IgA CMV, rubella, HSV, hepatitis A,

    B, C, VZV, M.pneumoniae, dan B.burgdorferi.

  • 16

    Pemeriksaan radiologi

    Bells palsy masih merupakan diagnosis klinis. Pemeriksaan pencitraan tidak

    diindikasikan pada unit gawat darurat. Untuk mengekslusi kemungkinan lain dari

    kelumpuhan nervus fasialis mungkin membutuhkan pemeriksaan radiologis

    berdasarkan temuan klinis.

    CT wajah atau foto polos: dibuat untuk menyingkirkan fraktur atau metastasis

    tulang.

    CT scan diindikasikan jika stroke, atau AIDS dengan keterlibatan susunan

    saraf pusat dipertimbangkan sebagai diagnosis diferensial.

    Untuk kemungkinan neoplasma tulang temporal, otak, kelenjar karotis, dan

    struktur lain, atau untuk mengevaluasi multipel sklerosis, maka MRI

    merupakan metode yang superior dalam pencitraan. Perjalan nervus fasial

    melalui regio intratemporal dan ekstratemporal dari otak sampai dengan otot

    fasialis dan kelenjar dapat diikuti dengan MRI.

    Pemeriksaan lain

    Elektrodiagnosis nervus fasial: studi ini menunjukkan fungsi nervus fasial.

    Pemeriksaan ini jarang dilakukan pada keadaan darurat.

    Elecromyography (EMG).

    Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas listrik otot striata, dan dapat

    membantu menentukan keluaran pasien dengan Bells palsy menetap atau berat.

    Pemeriksaan ini sangat berguna jika dilakukan pada hari ketiga sampai 10 setelah

    onset.

    Kontraksi volunter dini dalam 2 minggu dari otot yang mengalami paralisis

    menunjukkan prognosis yang baik. Gelombang pendek menunjukkan adanya

    denervasi. Potensial fibrilasi (menunjukkan degenerasi Wallerian) khususnya timbul

    pada munggu 2-3 setelah cedera, dan potensial reinervasi polifasik dapat mendahuli

    tanda klinis pada pemulihan 6-12 minggu. Respon hantaran listrik abnormal bila

    perbedaan amplitudonya 50% antara sel paralisis dan sehat, sedangkan bila perbedaan

    amplitudo 90% antara kedua sisi menunjukkan suatu prognosis yang buruk.

    Dengan pemeriksaan EMG dapat ditentukan apakah perlu tindakan bedah atau

    tidak, karena reparasi nervus fasialis tidak lagi dilakukan jika motor endplate otot

  • 17

    tidak lagi berfungsi. Hal ini terjadi setelah paralisis lama dimana telah terjadi fibrosis

    dan atrofi pada otot-otot wajah, sehingga reinervasi tidak akan berhasil.

    Electroneurography (EnoG)

    Pemeriksaan ini membandingkan evoked potential antara sisi yang paresis dengan

    yang sehat.

    Prognosis

    Kebanyakan pasien mengalami neuroprakasia atau blok konduksi saraf lokal yang

    akan pulih segera dan komplit. Pasien dengan aksonotmesis pemulihannya baik akan

    tetapi tidak komplit.

    Pada umumnya pasien memilki prognosis baik. Sebanyak 75% pasien

    mengalami penyembuhan sempurna dalam 2-3 minggu, sebanyak 80-90% pulih tanpa

    kecacatan berarti dalam 6 minggu sampai 3 bulan. Sebanyak 15% pasien mengalami

    penyembuhan yang sangat memuaskan akan tetapi ada beberapa yang memiliki wajah

    tetap asimetris. Sebanyak 5-10% dengan penyembuhan yang buruk dan bahkan

    dengan kecacatan neurologik yang menetap.

    Rekurensi terjadi pada 6-11% kasus, beberapa penelitian mengatakan bahwa

    7% mengalami Bells palsy rekuren dengan rata-rata interval 10 tahun. Hal ini

    terutama bila terdapat riwayat keluarga dan memiliki resiko diabetes. Sekitar 23%

    mengalami paralisis saraf fasialis bilateral.

    Bila pemulihan tidak terjadi dalam 4 bulan, maka akan teradi sekuele yang

    menimbulkan sinkinesis, crocodile tears, dan kadang spasme hemifasial.

    Tatalaksana

    Medikamentosa

    Terapi medikamentosa yang dapat mempengaruhi hasil kesembuhan adalah

    dengan pemberian kortikosteroid dengan atau tanpa acyclovir. Kortikosteroid

    efektif bila diberikan dalam waktu tujuh hari setelah onset. Kortikosteroid yang

    diberikan adalah prednisone. Prednison merupakan hormone sintetik yang mirip

    dengan kortisol yang secara alami diproduksi oleh tubuh bila tubuh mengalami

    stress. Prednison memiliki potensi 5 kali lebih besar daripada kortisol. Prednison

    berfungsi untuk mengurangi proses inflamasi yang terjadi sehingga dengan cepat

    dapat mengurangi kompresi pada saraf yang terkena. Dosis prednison yang

  • 18

    dipakai untuk kasus Bells palsy adalah 60-80 mg per hari dalam dosis terbagi

    selama 4-5 hari, lalu diikuti dengan tapering off dosis dalam 7-10 hari berikutnya.

    Dapat diberikan antivirus untuk infeksi virus herpes simpleks dengan maksud

    memperbaiki prognosis. Antivirus yang diberikan adalah asiklovir dengan dosis

    400 mg, 5 kali per hari selama 10 hari (anak-anak: 80 mg/kgBB per hari selama 5

    hari). Disarankan dengan golongan famsiklovir dengan dosis 500 mg, 3 kali per

    hari karena lebih efektif.

    Pada pasien dengan Bells palsy dapat juga diberikan obat tetes mata lubrikasi

    untuk melindungi mata dari kekeringan dan plester bila kelopak mata tidak dapat

    ditutup.

    Pemberian vitamin B1, B6, dan B12 dapat diberikan pada pasien Bells palsy.

    Vitamin B1, B6, dan B12 penting dalam pembentukan dan fungsi sel-sel saraf. B1

    berfungsi dalam meningkatkan sirkulasi (sirkulasi berkurang pada otot yang tidak

    aktif) dan menurunkan resiko atrofi otot. Vitamin B6 berperan dalam

    pembentukan asama amino yang diperlukan dalam pembentukan sel-sel baru.

    Vitamin B12 membantu mengurangi inflamasi dan memperkuat sistem imun.

    Metilkobalamin, salah satu bentuk dari B12 tetapi bukan komponen dari vitamin

    B kompleks, penting dalam pertumbuhan dan pemeliharaan sel saraf.

    Metilkobalamin merupakan komponen penting dalam proses pembentukan sel

    saraf. Metilkobalamin mempertahankan dan memperbaiki selubung myelin.

    Pemberian metilkobalamin pada pasien Bells palsy belum terbukti efektif, namun

    tidak terdapat bukti adanya efek samping yang diakibatkan karena pemberian

    metilkobalamin dosis tinggi sehingga tidak ada salahnya meresepkan

    metilkobalamin pada pasien Bells palsy.

    Pembedahan

    Tindakan pembedahan dekompresi saraf fasialis dapat menjadi salah satu pilihan

    dalam penatalaksanaan, terutama sebagai intervensi yang lebih awal, yaitu dalam

    14 hari setelah onset paralisis total. Tidak disarankan dilakukan tindakan bedah

    yang agresif pada pasien dengan paralisis inkomplit karena pasien dengan

    paralisis inkomplit dapat pulih sempurna.

  • 19

    Daerah patologik primer dari saraf fasialis adalah segmen labirin, dengan

    demikian dekompresi pada paralisis total dengan kraniotomi subtemporal pada

    fosa media adalah paling aman dan efektif.

    Program Fisioterapi

    1. Pemanasan

    Pemanasan superfisial dengan infra red.

    Pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy atau Microwave

    Diathermy

    2. Stimulasi listrik

    Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot untuk

    mencegah/memperlambat terjadi atrofi sambil menunggu proses regenerasi dan

    memperkuat otot yang masih lemah. Misalnya dengan faradisasi yang tujuannya

    adalah untuk menstimulasi otot, reedukasi dari aksi otot, melatih fungsi otot baru,

    meningkatkan sirkulasi serta mencegah/meregangkan perlengketan. Diberikan 2

    minggu setelah onset.

    3. Latihan otot-otot wajah dan massage wajah

    4. Latihan gerak volunter otot wajah diberikan setelah fase akut. Latihan berupa

    mengangkat alis tahan 5 detik, mengerutkan dahi, menutup mata dan mengangkat

    sudut mulut, tersenyum, bersiul/meniup (dilakukan didepan kaca dengan

    konsentrasi penuh). Massage adalah manipulasi sitemik dan ilmiah dari jaringan

    tubuh dengan maksud untuk perbaikan/pemulihan. Pada fase akut, Bells palsy

    diberi gentle massage secara perlahan dan berirama. Gentle massage memberikan

    efek mengurangi edema, memberikan relaksasi otot dan mempertahankan tonus

    otot. Setelah lewat fase akut diberi Deep Kneading Massage sebelum latihan gerak

    volunter otot wajah. Deep Kneading Massage memberikan efek mekanik terhadap

    pembuluh darah vena dan limfe, melancarkan pembuangan sisa metabolik, asam

    laktat, mengurangi edema, meningkatkan nutrisi serabut-serabut otot dan

    meningkatkan gerakan intramuskuler sehingga melepaskan perlengketan. Massage

    daerah wajah dibagi 4 area yaitu dagu, mulut, hidung dan dahi. Semua gerakan

    diarahkan keatas, lamanya 5-10 menit.

  • 20

    Program Terapi Okupasi

    Pada dasarnya terapi disini memberikan latihan gerak pada otot wajah. Latihan

    diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-hari atau dalam bentuk permainan. Perlu

    diingat bahwa latihan secara bertahap dan melihat kondisi penderita, jangan sampai

    melelahkan penderita. Latihan dapat berupa latihan berkumur, latihan minum dengan

    menggunakan sedotan, latihan meniup lilin, latihan menutup mata dan mengerutkan

    dahi di depan cermin.

    Program Sosial Medik

    Penderita Bells palsy sering merasa malu dan menarik diri dari pergaulan sosial.

    Problem sosial biasanya berhubungan dengan tempat kerja dan biaya. Petugas sosial

    medik dapat membantu mengatasi dengan menghubungi tempat kerja, mungkin untuk

    sementara waktu dapat bekerja pada bagian yang tidak banyak berhubungan dengan

    umum. Untuk masalah biaya, dibantu dengan mencarikan fasilitas kesehatan di tempat

    kerja atau melalui keluarga. Selain itu memberikan penyuluhan bahwa kerja sama

    penderita dengan petugas yang merawat sangat penting untuk kesembuhan penderita.

    Program Psikologik

    Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat menonjol, rasa cemas

    sering menyertai penderita terutama pada penderita muda, wanita atau penderita yang

    mempunyai profesi yang mengharuskan ia sering tampil di depan umum, maka

    bantuan seorang psikolog sangat diperlukan.

    Program Ortotik Prostetik

    Dapat dilakukan pemasangan Y plester dengan tujuan agar sudut mulut yang sakit

    tidak jatuh. Dianjurkan agar plester diganti tiap 8 jam. Perlu diperhatikan reaksi

    intoleransi kulit yang sering terjadi. Pemasangan Y plester dilakukan jika dalam

    waktu 3 bulan belum ada perubahan pada penderita setelah menjalani fisioterapi. Hal

    ini dilakukan untuk mencegah teregangnya otot Zygomaticus selama parese dan

    mencegah terjadinya kontraktur.

  • 21

    Program di rumah

    1. Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit

    2. Massage wajah yang sakit ke arah atas dengan menggunakan tangan dari sisi

    wajah yang sehat

    3. Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang sakit,

    minum dengan sedotan, mengunyah permen karet

    4. Perawatan mata :

    - Beri obat tetes mata (golongan artifial tears) 3x sehari

    - Memakai kacamata gelap sewaktu bepergian siang hari

    - Biasakan menutup kelopak mata secara pasif sebelum tidur

    KOMPLIKASI

    1. Crocodile tear phenomenon

    Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul beberapa

    bulan setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi yang salah dari

    serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke kelenjar

    lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar ganglion genikulatum.

    2. Synkinesis

    Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri; selalu

    timbul gerakan bersama. Misal bila pasien disuruh memejamkan mata, maka akan

    timbul gerakan (involunter) elevasi sudut mulut, kontraksi platisma, atau

    berkerutnya dahi. Penyebabnya adalah innervasi yang salah, serabut saraf yang

    mengalami regenerasi bersambung dengan serabut-serabut otot yang salah.

    3. Hemifacial spasm

    Timbul kedutan pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak

    terkendali) dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan. Pada stadium awal hanya

    mengenai satu sisi wajah saja, tetapi kemudian dapat mengenai pada sisi lainnya.

    Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat spasme ini. Komplikasi ini

    terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul dalam beberapa bulan atau

    1-2 tahun kemudian.

    4. Kontraktur

    Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga lipatan nasolabialis lebih jelas

    terlihat pada sisi yang lumpuh dibanding pada sisi yang sehat. Terjadi bila

  • 22

    kembalinya fungsi sangat lambat. Kontraktur tidak tampak pada waktu otot wajah

    istirahat, tetapi menjadi jelas saat otot wajah bergerak.

  • 23

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Adam RD, Victor M, eds. : part 5: Disease of the spinal cord, peripheral nerve,

    and muscle. In : Principles of Neurology, 5th ed. New York : Mc Graw Hill; 1993

    : 1175-7.

    2. English JB, Stommel EW, Bernat JL: Recurrent Bell Palsy, Neurology, 1996

    August; 47 (2) : 407-16.

    3. Victor M, Martin J: Disorders of the cranial nerves. wmj 2000; 173 : 266-6.

    4. Williamson IG, Whelan TR: The clinical problems of bell palsy : Is treatment with

    steroid effective? Br J Gen Pract, 1996 December; 46 (413) 743-7.

    5. Sabirin J. Bells Palsy. Dalam : Hadinoto dkk. Gangguan Gerak. Cetakan I.

    Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 1990 : 171-81

    6. Maisel RH, Levine SC. Gangguan Saraf Fasialis. Dalam : Adams dkk. Boies Buku

    Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta : Penerbit EGC, 1997 : 139-52

    7. Rusk HA. Disease of the Cranial Nerves. In : Rehabilitation Medicine. 2nd ed.

    New York : Mc Graw Hill, 1971 : 429-31

    8. Lumbantobing SM. Saraf Otak : Nervus Fasial. Dalam : Neurologi Klinik

    Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : FK Universitas Indonesia, 2004 : 55-60

    9. Walton SJ. Disease of Nervous System, 9th ed. English : ELBS, 1985 :113-6

    10. Raymond D, Adam S, Maurice V. Disease of the Cranial Nerves. In : Principles of

    Neurology. 5th ed. New York : Mc Graw Hill, 1994 : 1174-5