Pilihan Dilematis Petani Madura

9

Click here to load reader

Transcript of Pilihan Dilematis Petani Madura

Page 1: Pilihan Dilematis Petani Madura

1

Pilihan Dilematis Petani Madura1 oleh: Akhmad Jayadi2

Pengantar Tembakau ditanam di Madura sejak tahun 1800-an, sebagai hasil kiriman dari Puger, Jember (lihat Jonge, 1989, Madura dalam Empat Zaman: 143-201). Petani di Madura menikmati tingginya harga tembakau terutama pada tahun 1980-1990-an. Antara bulan Juni-Oktober (kadang bergeser hingga satu bulan) setiap tahunnya merupakan bulan penanaman, panen dan penjualan tembakau. Pada minggu-minggu pasca panen di tiap kota di Madura diselenggarakan pasar malam. Puncak acara pasar malam adalah lomba karapan sapi se-Madura memperebutkan piala Presiden. Kota yang paling sering menjadi tuan rumah karapan sapi adalah Pamekasan dan Sumenep, daerah di Madura yang paling banyak ditanami tembakau. Kemeriahan, keceriaan dan kesejahteraan petani tembakau tampak dalam perilaku konsumsi masyarakat pada bulan-bulan tersebut. Depot makanan penuh dengan mobil pick-up atau truck pengangkut tembakau. Antrian panjang di SPBU maupun di depan gudang penampungan tembakau. Toko emas ramai dikunjungi ibu-ibu petani. Minggu terakhir pasar malam tumpah oleh warga desa. Dealer sepedamotor ramai pembeli. Namun kemeriahan di atas sudah tidak tampak lagi sejak awal tahun 2000-an. Harga tembakau terjun bebas hingga ke titik yang tidak masuk akal. Biaya produksi tembakau yang mencapai 20ribu perkilogram hanya dihargai hingga 7ribu, bahkan pernah 4ribu. Pada awal deflasi tembakau banyak petani maupun tengkulak shock dengan melakukan aksi ekstrim seperti membakar tembakau mereka. Nasib petani tembakau Madura semakin terpuruk setelah era otonomi daerah dan pilkada langsung. Diakui atau tidak, pilkada langsung memberi kontribusi positif bagi rendahnya harga tembakau dan lemahnya posisi tawar petani (juga pemerintah). Jamak diketahui bahwa kandidat yang maju dalam pilkada membutuhkan modal dari pengusaha lokal. Jika di Kalimantan penguasa dekat dengan pengusaha sawit dan batubara, di Sumatera dengan pengusaha karet dan sawit, maka di Madura penguasa dekat dengan pengusaha tembakau.

Secara umum, puncak piramida kesejahteraan masyarakat Madura diisi oleh para pengusaha tembakau, baik dari pribumi (sebagai tengkulak), maupun peranakan (sebagai pemilik gudang atau perpanjangan tangan pabrik rokok). Dari merekalah para kandidat biasanya mendapatkan suntikan dana kampanye. Para pemodal umumnya bermain dua kaki, mendukung dua kandidat yang paling potensial. Siapapun yang menang, tetap masih dalam lingkaran pengusaha tembakau. Akibatnya, setiap tahun harga tembakau tidak dapat dikendalikan pemerintah. Perda harga minimal tembakau hanya menjadi tulisan dan himbauan. Harga tetap menjadi wilayah pengusaha. Pemerintah tersandera. Petani tembakau tak berdaya menerima harga. Hal paling ironi dari petani tembakau Madura adalah kontradiksi antara kualitas tembakau Madura dengan harganya. Tembakau Madura merupakan salah

1 Dipresentasikan pada Seminar Nasional Pertanian Tembakau, Fakultas Pertanian, Universitas

Muhammadiyah Jakarta, 8 Januari 2014 2 Peneliti Rumah Gemilang Indonesia

Page 2: Pilihan Dilematis Petani Madura

2

satu tembakau nusantara yang terbaik (mungkin yang terbaik). Salah satu merek rokok terbaik di Indonesia produksi PT S menggunakan tembakau Madura sebagai campuran utamanya. Namun demikian ternyata harga tembakau Madura masih kalah dari tembakau Jawa (Jember misalnya).

Ada sesuatu yang salah dari kontradiksi di atas. Makalah ini mengurai secara singkat masalah yang dihadapi petani tembakau Madura, sekaligus mencoba memberikan solusi untuk mengatasi masalah tersebut. Makalah ini merupakan hasil dua penelitian penulis. Penelitian pertama dilakukan pertengahan tahun 20113 di tiga kota, yaitu Pamekasan, Sumenep dan Jember, dengan metode indepth interview. Penelitian kedua dilakukan akhir tahun 2013 di Pamekasan, Sumenep dan Sampang dengan metode survey.

Responden penelitian ini adalah petani, tengkulak dan kepala desa dan tokoh masyarakat (ulama). Jumlah total responden adalah 30 orang. Metode pengambilan sampelnya acak proporsional dengan snowball. Instrumen penelitian adalah kuesioner dengan pertanyaan tertutup dan terbuka. Permasalahan Petani di beberapa daerah memiliki persoalan yang berbeda. Di Jember misalnya, petani menghadapi masalah sistem sewa lahan dan bagi untung saja (tidak bagi rugi) dengan pemilik tanah. Namun demikian petani Jember masih lebih beruntung daripada petani Madura. Petani Jember mendapat kontrak dari PTPN untuk menanam jenis dan jumlah tembakau tertentu. Produk tembakau yang dijual kepada pabrik pun berbeda. Jember menjual daun tembakau per ikat (satu ikat terdiri atas beberapa lembar daun), sedangkan di Madura dijual dalam bentuk rajangan. Tembakau Jember digunakan untuk cerutu, sedangkan tembakau Madura digunakan untuk rokok. Ada dua masalah yang dihadapi petani Madura, yakni masalah internal dan masalah eksternal. Masalah internal berasal dari kaum petani sendiri seperti keyakinan akan selalu tingginya harga tembakau, ketidakberanian mencoba tanaman baru, dan sikap penerimaan petani bahwa menanam tembakau adalah tradisi. Adapun masalah eksternal seperti permainan harga dari pabrik, adanya aktor yang merugikan petani, ketidakpedulian pemerintah dan asosiasi petani. 1. Tidak Ada Tanaman yang Lebih Prospektif Umumnya petani tembakau Madura percaya bahwa tidak ada tanaman lain yang lebih prospektif ditanam pada musim tembakau daripada tembakau. Nandi (46thn) misalnya mengungkapkan bahwa ia mencoba menanam tomat 3 tahun lalu, tapi ketika panen tomatnya tidak terjual karena harga sangat murah. Akibatnya tomat hasil panennya dibagikan pada tetangga dan kerabatnya. Beda dengan tembakau yang lebih tahan lama, sehingga dia masih bisa menyimpan tembakau rajangnya hingga 2 bulan ke depan. Herman (36thn) pernah mencoba menanam jagung pada saat musim tembakau, namun hasil penjualan jagung masih kalah dibanding tembakau.

3 Hasil riset tahun 2011 bersama Hendi Johari dan Fatlur Rozi ditulis dalam narasi panjang berjudul “Balada

Pemburu Daun Emas: Kisah Para Petani di Jember, Pamekasan, dan Sumenep Menghadapi Kemiskinan dan Tataniaga yang Menindas”, RGI, 2012

Page 3: Pilihan Dilematis Petani Madura

3

Demikian pula Anton (27thn) yang tidak berani lagi menanam jagung kecuali mendapat kontrak dengan produsen jagung hibrida tertentu. Tanaman lain yang bisa ditanam pada musim kemarau adalah singkong, cabe, mentimun dan semangka. Namun beberapa petani mengungkapkan kekecewaan mereka atas jenis tanaman tersebut. Salah satu alasan mereka tidak mau menanam jenis tanaman di atas adalah daya tahannya yang pendek, cepat busuk. Syaiful (30thn) dan Sufiyanto (36thn) memiliki alasan lain untuk tetap menanam tembakau yakni karena sudah menjadi tradisi tahunan. Bagi mereka, untung atau rugi adalah bagian dari teka-teki nasib. Musim tembakau pasnya memang hanya untuk tanam tembakau. 2. Aktor dalam Tata Niaga Tembakau Aktor dalam tata niaga tembakau juga menjadi masalah bagi petani. Aktor yang dimaksud adalah bandul, tengkulak, grader dan tauke. Pada beberapa sisi petani mengaku bahwa keberadaan mereka membantu petani. Namun tidak jarang keempat aktor tersebut juga merugikan petani. Bandul yang merugi biasanya tidak membayar uang tembakau petani yang telah dibelinya. Saniman (43thn) mengaku bahwa uang tembakaunya (sekitar 1 juta) hingga kini belum dilunasi oleh bandul tetangganya. Grader dirasa berlaku tidak adil pada petani dalam hal penilaian kualitas tembakau. Ada tiga kriteria penilaian yang dijadikan standar harga tembakau, yaitu warna, kelengketan dan keharuman. Tembakau yang baik berwarna kuning kecokelatan, lengket dan harum. Petani meragukan objektivitas grader ketika menilai keharuman tembakau. Sidiq menilai bahwa tingkat keharuman tembakau merupakan subjektivitas murni grader. Tengkulak ikut andil dalam merusak harga tembakau. Misalnya mencampur tembakau Madura dengan tembakau jawa (Besuki, Jember, Bojonegoro dll.) yang kualitasnya di bawah tembakau Madura. Pencampuran tembakau tersebut membuat marah pihak pabrik dengan menurunkan harga tembakau. Kecurangan lainnya misalnya mencampur tembakau dengan serbuk gula untuk menambah harum dan lengket tembakau. Bahkan ada yang nekad menaburi tembakau rajang dengan bubuk semen untuk menambah berat timbangan tembakau. Aziz (39thn) yang pernah bekerja di gudang penyimpanan tembakau, serta pernah ikut bekerja dengan tengkulak menyaksikan sendiri bagaimana para tengkulak ingin meraup untung dengan cara tidak elok. Walaupun sebagian petani mengaku bahwa pemilik gudang (tauke) cukup adil dalam tataniaga tembaku, namun ada juga petani yang melihat kecurangan tauke, misalnya dalam pengambilan sampel. Menurut KH Affan (42thn) gudang mengambil sampel tembakau dalam jumlah yang tidak wajar. Dari satu bal tembakau (ukuran 1x1m, seberat +-50kg), gudang mengambil sampel seukuran paha orang dewasa (sekitar 1/2kg). Dalam sehari ada ratusan bal yang masuk ke gudang, maka keuntungan gudang dari hanya sampel saja bisa dilipatgandakan. 3. Pengabaian Pemerintah Petani menilai pemerintah selama ini abai terhadap kondisi petani. Hal ini dibuktikan dengan tidak efektifnya perda tentang harga minimal tembakau. Herman (44th) mengakui bahwa pemerintah sudah mengeluarkan perda harga tembakau,

Page 4: Pilihan Dilematis Petani Madura

4

namun dalam praktik di pasar (pabrik) aturan tersebut tidak berlaku. Penentu harga adalah pabrik, dan petani sebagai penerima harga (price taker). Sufiyanto mengharap peran aktif pemerintah dalam berbagai hal, baik penetapan harga maupun pemberian subsidi bagi petani. Menurutnya, pemerintah juga tidak memberi subsidi pada petani. Pupuk untuk tembakau masih dirasa mahal, bahkan kadang sulit didapat. Menurut Sahawar (52thn) sistem tataniaga tembakau di jaman orde baru jauh lebih baik karena harga lebih stabil. Pemerintah memiliki kontrol yang jelas terhadap harga tembakau di pasaran. Saat ini menurutnya pemerintah tidak tegas terhadap gudang tembakau. Siaran radio pemda tentang harga tembakau hanya menjadi himbauan kosong. 4. Permainan Harga Perusahaan Pabrik rokok menetapkan harga tidak konsisten berdasarkan kualitas, namun berdasarkan waktu. Kualitas tembakau dibedakan berdasarkan tiga jenis harga. Misalnya, daun bagian bawah, kualitas A (yang paling tua) dihargai 30 ribu, daun bagian tengah, kualitas B dihargai 25 ribu, dan daun bagian atas, kualitas C (paling muda) dihargai 20 ribu. Harga tersebut tidak bertahan seterusnya hingga 2 bulan kemudian, namun semakin lama semakin menurun. Pada bulan kedua musim beli, harga tembakau kualitas A turun menjadi 25 ribu dan seterusnya, sehingga pada bulan ketiga musim beli, tembakau kualitas A seharga 20 ribu atau sama dengan tembakau muda pada bulan pertama musim beli. Akibatnya, petani beramai-ramai memetik dan merajang semua tembakaunya walau masih muda, karena menunggu daun muda tersebut hingga tua akan menghadapi harga yang sama dengan saat ini. Dengan banyaknya petani yang siap menjual tembakau pada bulan pertama, maka penawaran tembakau membludak, antrian truk di depan pabrik mengular hingga 2km. Hal inilah yang disayangkan Sidiq karena menjadi alasan pabrik untuk menurunkan harga kembali. 5. Tidak ada Persaingan antar Pabrik Saat ini antar pabrik rokok tidak ada persaingan pembelian tembakau. Mereka menggunakan sistem gantian (shift). Misalnya jika pabrik PT D mulai membeli tembakau pada bulan Juli, maka pabrik lainnya belum membeli. Menjelang sebulan PT D membeli tembakau (dengan demikian harganya juga sudah mulai turun), gantian PT G membuka dengan harga akhir di atas PT D. Antrian truk berpindah ke PT G. Menjelang sebulan PT G beroperasi (dengan harga yang terus turun) giliran PT S mulai membeli dengan harga terakhir di atas PT G. Demikian seterusnya. Berbeda dengan sistem pembelian 10 tahun silam, dimana semua pabrik beroperasi bersamaan, sehingga antrian truk tersebar dan harga bersaing. Sidiq menilai ini adalah permainan antar pabrik. Ada saling kerjasama antara mereka. Pabrik yang membuka lebih dulu (membeli tembakau dengan harga tinggi) akan mendapatkan kompensasi dari pabrik yang buka di akhir. Sidiq menduga pihak pabrik rokok induk (di Malang, Kediri, Kudus dan Surabaya) tidak tahu, atau tidak mau tahu, atau bahkan menerapkan sistem ini secara terstruktur dan rapi untuk memberikan keuntungan pada pihak mereka.

Page 5: Pilihan Dilematis Petani Madura

5

6. Ketidak-kompakan Petani atau Asosiasi Masalah lain yang tidak kalah pentingnya adalah tidak adanya kekompakan antar petani. Antar petani saling berebut untung secara individu, tidak bersuara atas nama kelompok. Keberadaan asosiasi petani tembakau (APTI/AMTI dsb) tidak dirasakan manfaatnya oleh petani (sampel di daerah penelitian). Holis (36thn) mengaku pernah mendengar APTI, tapi tidak pernah mengetahui siapa pengurus dan apa perjuangannya. Misjo (40thn) mencontohkan petani di Besuki yang kompak tidak menjual tembakau pada pabrik sehingga stok langka, dan dengan demikian harga naik. Misjo juga berharap bahwa antara petani saling bekerjasama membuat gudang penyimpanan tembakau sehingga manakala harga turun petani dapat menyimpannya hingga tahun depan. Ketidakkompakan petani juga diungkapkan oleh Ahmad (39thn). Dia sering melihat konflik antar petani atau antara petani dengan bandul, tapi tidak pernah ada ada konflik antara petani dengan tengkulak atau tauke. Inferioritas petani dan bandul membuat kedua pihak inilah yang sering menjadi korban. Seharusnya, jika antar petani kompak, mereka bisa menekan gudang dan pemerintah untuk menerapkan harga minimal yang layak. Solusi 1. Peraturan Tegas tentang Harga Tembakau Solusi pertama adalah peraturan yang tegas diterapkan pada seluruh stakeholders tataniaga tembakau, utamanya pabrik, bandul dan tengkulak. Pada 2012 Kepolisian Resort Sumenep menangkap oknum bandul yang bermain curang dalam timbangan dan pembayaran harga ke petani. Tindakan tegas juga harusnya diberikan pada pabrik, tengkulak atau petani jika mengganggu sistem tataniaga tembakau yang fair. Pemerintah juga dihimbau melakukan pengawasan dalam persaingan usaha pabrik rokok di daerah. Jika ditemukan praktek kartel yang merugikan petani maka pemerintah dapat menindak kartel tersebut. Sistem shift dalam pembelian tembakau dari petani merupakan salah satu bentuk persaingan tidak sehat antar pabrik. Subsidi bahan dan alat pertanian juga dirasa mampu menyelesaikan rendahnya harga tembakau. Pupuk, air, sewa alat, pestisida merupakan biaya yang harus ditanggung petani disamping biaya upah pekerja. Dengan ditekannya biaya produksi tembakau diharapkan petani mendapatkan keuntungan yang lebih besar. 2. Sistem Kontrak Tanam Tembakau Sistem kontrak tanam juga merupakan solusi bagi instabilitas harga. Sebagaimana petani di Jember, maka petani di Madura perlu mendapat kejelasan harga dan kepastian pembelian, baik dari pemerintah maupun dari pabrik. Beberapa petani tembakau di Madura mengaku siap beralih tanam jika ada tanaman yang lebih menjanjikan. Pada tahun 2011 lalu Sidiq mendapatkan kontrak tanam tembakau dari PT G. Tujuan kontrak tersebut adalah mengujicoba varietas tembakau baru untuk ditanam di wilayah Pamekasan. Sidiq merasa senang dengan kontrak tersebut karena adanya jaminan biaya dan pembelian. Namun sayang pada tahun berikutnya kontrak tersebut tidak diperpanjang.

Page 6: Pilihan Dilematis Petani Madura

6

Contoh kontrak lainnya adalah para petani tembakau di daerah Prancak dan Jambangan, Sumenep. Daerah tersebut terkenal dengan kualitas tembakaunya yang harum. Harga per kilogram tembakau Prancak dan Jambangan mencapai ratusan ribu, di saat yang lain hanya 20ribu-an. Hingga saat ini tembakau Prancak memang menjadi primadona. Salah satu sebabnya karena berada di dataran tinggi dan struktur tanahnya yang bagus. Satu genggam tembakau Prancak dan Jambangan dicampur dengan satu bal tembakau daerah lain, sebagai “pemanis”. Petani atau tengkulak tembakau mengistilahkan tembakau Prancak dan Jambangan sebagai “mustika”. 3. Alternatif Tanaman Lain

Minggu pertama Desember 2013 Presiden SBY berkunjung ke Madura. Salah satu agendanya adalah menghadiri proses panen jagung hibrida di Pamekasan, Madura. Panen jagung produksi PT P di Desa Montok tersebut sukses. Beberapa warga berharap mendapatkan kontrak yang sama seperti Wahed (45thn) pemilik lahan jagung tersebut. Tanaman lain yang saat ini marak dibudidayakan di Madura adalah serai wangi, buah naga, pisang, dan cabe jamu. Harga tanaman jenis ini dipandang lebih pasti daripada tembakau. Buah naga dan cabe jamu dibudidaya petani Sumenep. Serai wangi dan pisang banyak ditanam di daerah Pamekasan. Supli (35thn) merasakan manfaat menanam buah naga. Setiap bulan dia bisa panen buah naga untuk dipasok ke pasar.

Menurut Kusfandian (35thn), alasannya beralih ke serai wangi saat ini karena serai merupakan komoditas ekspor potensial Indonesia dengan harga yang lebih tinggi. Kelebihan serai disbanding tembakau adalah tidak butuh perawatan ekstra, sekali tanam bibit bisa tumbuh 4 tahun, serai yang dihasilkan perhektarnya per 4 bulan mencapai 5 ton lebih dan tumbuh di semua musim.

Buah pisang banyak dikirim ke Surabaya baik untuk kebutuhan konsumsi langsung maupun sebagai bahan kripik. Buhrap (54thn) mengaku sudah 3 tahun mengkonversi sawahnya menjadi kebun pisang. Pisang lebih menjanjikan karena bisa tumbuh di segala musim. 4. Penguatan Asosiasi Petani Tembakau Keberadaan asosiasi petani tembakau sebenarnya memberikan daya tawar tinggi terhadap pabrik, namun dalam kenyataan mereka “tidak hadir” membantu petani. Imam Mahdi (51thn) mengungkapkan bahwa kenalannya, ketua asosiasi petani tembakau, tidak konsisten memperjuangkan nasib petani. Awalnya bersuara keras pada pihak pabrik, tapi ketika pabrik menawarinya untuk menjadi bandul (perantara), ia lalu menerima posisi tersebut dan perjuangannya kendor. Salah satu peran yang bisa digagas asosiasi petani tembakau adalah pembangunan gudang bersama. Gudang tembakau membutuhkan biaya besar, untuk itu perlu dana dari pemerintah. Informasi tentang DBHCT (dana bagi hasil cukai tembakau) tidak pernah sampai pada petani. Tidak ada petani (responden) yang mengetahui (dan merasakan) skema dana sharing tersebut. Jika setiap desa (atau kecamatan) mendapatkan dana bagi hasil cukai secara memadai, maka asosiasi petani bisa membangun gudang. Dengan memiliki gudang sendiri kelompok tani dapat menyimpan tembakaunya saat harga turun dan menjualnya saat harga tinggi.

Page 7: Pilihan Dilematis Petani Madura

7

Kesimpulan

Makalah ini sangat sederhana, namun demikian merangkum fenomena tataniaga tembakau dan kondisi kesejahteraan petani tembakau di Madura. Kekurangan penelitian ini setidaknya pada tiga hal; pertama, sampel kurang banyak dan kurang representative (misal, tidak melibatkan narasumber pemerintah daerah, asosiasi petani tembakau dan pemilik gudang), kedua, tidak menggunakan banyak studi pustaka (bahan sekunder), ketiga, metode penulisannya lebih bergaya reportase, tidak bergaya naskah akademis. Penulis menyadari perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam.

Upaya peningkatan kesejahteraan petani tembakau di Pamekasan, Sumenep, dan Sampang Madura perlu dilakukan secara serentak dan kontinyu. Tidak hanya di aras petani perlu penyadaran tentang terbukanya peluang budidaya jenis tanaman lain, namun juga pada tingkatan di atasnya seperti asosiasi petani. Petani dengan asosiasi harus sinergis berkoordinasi merumuskan langkah menghadapi sistem tataniaga yang cenderung menindas.

Pemerintah sebagai tumpuan terakhir petani juga harus tegas membuat regulasi, baik tentang harga, subsidi maupun program alternatif yang solutif bagi petani tembakau. Pilihan menanam tembakau di musim kemarau bagi petani Madura saat ini masih menjadi prioritas karena dari proses tanam, panen, rajang dan pengiriman tembakau rajang ke gudang menciptakan rantai ekonomi yang panjang. Ada banyak pihak yang terlibat, mulai dari pembajak, penyiram, pemetik, penggulung, perajang, pengrajin tikar, supir kendaraan, hingga makelar (bandul).

Pilihan tomat, cabe, semangka, mentimun, singkong atau jagung tidak banyak menciptakan rantai ekonomi seperti tembakau. Mungkin inilah yang menjadi dilema bagi para petani seperti Syaiful dan Sufiyanto yang tetap memilih menanam tembakau walau tahu resiko harga yang harus dihadapi. Bagi mereka menanam tembakau bukan hanya kebutuhan ekonomi atau hobi, lebih dari itu mereka menganggapnya sebagai tradisi, bagian dari kultur Madura yang selama ini membesarkannya.

Mengganti kebiasaan petani Madura menanam tembakau dengan tanaman lain sama sulitnya dengan mengubah keyakinan mereka akan masa depan. Pun sama tidak mudahnya dengan mengganti kebiasaan mengkonsumsi tembakau (rokok) dengan kebiasaan yang lebih baik. Sulit dan dilematis, namun dengan keyakinan dan kerjakeras, semua bukan tidak mungkin.

Page 8: Pilihan Dilematis Petani Madura

8

Lampiran

5

7 18

Berapa Lama Menjadi Petani Tembakau?

< 5 thn

6-10 thn

> 10 thn

5

12

9

4

Berapa Prediksi Tembakau Thn Ini?

17 Ribu-25 Ribu

26 Ribu-30 Ribu

31 Ribu-40 Ribu

> 40 Ribu

7

23

Tahun Lalu Menanam Tembakau?

Tidak

Ya

3

7

11

4

5

Berapa Harga Minimal Tembakau

Agar Petani Tidak Rugi?

20 Ribu

25 Ribu

30 Ribu

40 Ribu

50 Ribu

14 5

4

Berapa Harga Tembakau Tahun Lalu?

< 21 Ribu

21 Ribu-30 Ribu

31 Ribu-40 Ribu

19

11

Berencana Alih Ke Tanaman Lain?

Ya

Tidak

22

8

Alasan Tahun Depan Masih Menanam Tembakau?

Harga Tinggi

Siap Modal

7

5

6

3

Alasan Beralih Ke Tanaman Lain?

Harga Tembakau Tiap Tahun Rendah

Tembakau Banyak Kecurangan

Cuaca Tidak Menentu

Coba Peruntungan Lain

Page 9: Pilihan Dilematis Petani Madura

9

3

3

3

Alasan Tidak Beralih ke Tanaman Lain? Masih Ada

Harapan

Tanaman Tembakau Tetap Laku

Tanaman Lain Lebih Beresiko

3

24

3

Yang Dapat Meningkatkan Kesejahteraan Petani

Tidak Ada Pihak Yang Merugikan

Jaminan Harga Dari Pemerintah

Adanya Asosiasi Petani

20

10

Fungsi Ideal Pemerintah dalam Tataniaga Tembakau?

Menentukan Harga 12

15

3

Apakah Bandul Membantu Petani?

Ya

Tidak

Sebagian

18

12

Apakah Pemerintah Telah Menjalankan Fungsinya Idealnya?

Sebagian

Tidak Sama Sekali

13 5

3

Berbagai Bentuk Kecurangan Pembeli

Penentuan Harga

Pengambilan Sampel

Pembayaran Uang

6

21

3

Pernah Tahu APTI/AMTI?

Ragu-Ragu

Tidak

Sudah

6

16

Apakah Pembeli Tembakau Adil?

Ya

Tidak