PERUBAHAN SOSIAL

download PERUBAHAN SOSIAL

If you can't read please download the document

description

perubahan sosial

Transcript of PERUBAHAN SOSIAL

PERUBAHAN SOSIALPERUBAHAN SOSIALPENGERTIANSeperti yang dikemukakan oleh August Comte, sosiologi mempelajari statika sosial dan dinamika sosial. Sampai saat ini perhatian terbesar yang lebih ditujukan pada segi statika sosial. Meskipun pembahasan kita saat ini terpusat pada aspek statika masyarakat, namun kita pun telah menyentuh masalah perubahan. Kita telah melihat bahwa stratifikasi sosial dapat berubah melalui mobilitas sosial, institusi sosial berubah karena terjadinya perubahan pada institusi lain atau karena terjadi gerakan sosial. Kita pun telah menyinggung beberapa teori perubahan sosial seperti teori Marx mengenai perubahan sistem feodal menjadi kapitalis dan kemudian sosialis, teori weber mengenai munculnya kapitalisme dalam masyarakat feodal, teori Durkheim mengenai perubahan solidaritas mekanik menjadi organik. Sekarang pusat perhatian kita akan beralih ada segi dinamika masyarakat pada perubahan sosial. POLA PERUBAHAN SOSIALTokoh yang membahas mengenai pola linear dari perubahan sosial adalah Etzioni-Halevy dan Etzioni (Dalam Sunarto, 2004: 203). Mereka mengemukakan bahwa pemikiran para tokoh sosiologi klasik mengenai perubahan sosial dapat digolongkan ke dalam beberapa pola. Pola pertama adalah pola linier, sedangkan pola kedua adalah pola siklus. Berikut di bawah ini penjelasan masing-masing pola, yaitu:Pola LinearPola pertama adalah pola linear; menurut pemikiran ini perkembangan masyarakat mengikuti suatu pola yang pasti. Contoh yang diberikan oleh Etzioni-Halevy dan Etzioni mengenai pemikiran linear ini adalah karya dari August Comte dan Spencer. Menurut Comte kemajuan progresif peradaban manusia mengikuti suatu jalan yang alami, pasti, sama, dan tak terelakan. Dalam teorinya yang dikenal dengan nama hukum tiga tahap, Comte mengemukakan bahwa sejarah memperlihatkan adanya tiga tahap yang dilalui peradaban. Tiga tahap tersebut yaitu:Tahap teologis dan militerComte melihat bahwa semua hubungan sosial bersifat militer; masyarakat senantiasa bertujuan menundukan masyarakat lain. Semua konsepsi teoritik dilandaskan pada pemikiran mengenai kekuatan-kekuatan adikodrati. Pengamatan dituntun oleh imajinasi; penelitian tidak dibenarkan.Tahap metafisik dan yuridisMerupakan tahap antara yang menjembatani masyarakat militer dengan masyarakat industri. Pengamatan masih dikuasai imajinasi tetapi lambat laun semakin merubahnya dan menjadi dasar bagi penelitian.Tahap ilmu pengetahuan dan industriPada tahap ini, industri mendominasi hubungan sosial dan produksi menjadi tujuan utama masyarakat. Imajinasi telah digeser oleh pengamatan dan konsepsi-konsepsi teoritiktelah brsifat positif.Dari apa yang telah dikemukakan oleh Comte, perubahan yang pasti, serupa, tak terelakkan, dapat kita lihat bahwa pandangannya mengenai perubahan sosial itu bersifat unlinear. Pemikiran unlinear juga dapat kita jumpai dalam karya Spencer. Ia mengemukakan bahwa struktur sosial berkembang secara evolusioner dan struktur yang homogen menjadi heterogen. Perubahan struktur berlangsung dengan diikuti fungsi. Suku yang sederhana bergerak maju secara evolusioner ke arah ukuran yang lebih besar, keterpaduan, kemajemukan, dan ketidakpastian sehingga terjelma suatu bangsa yang beradab.Comte dan Spencer berbicara mengenai perubahan yang senantiasa menuju kearah kemajuan. Namun ada pula pandangan unlinear yang cenderung mengagung-agungkan masa lampau dan melihat bahwa masyarakat berkembang ke arah kemunduran; suatu pandangan yang menurut Wilbert E. Moore dinamakan Primitivisme.Pola SiklusMenurut pola ini, masyarakat berkembang laksana suatu roda; kadangkala berputar ke atas, kadangkala berputar ke bawah. Contoh yang dikemukakan oleh Etzioni-Halevy dan Etzioni ialah karya Oswarl Spenger dan Vilfredo Pareto.Dalam bukunya yang terkenal, The Decline of the West, Oswarld Sprenger mengemukakan bahwa.the great culture accomplish their majestic wave cycles. They appear suddenly, swell in splendid lines, flatten again, and vanish. dan every culture passes through the age-phases of the individual man. Each has its childhood, youth, manhood, and old ageKutipan diatas mencerminkan pandangan bahwa kebudayaan tubuh, berkembang dan pudar laksana perjalanan gelombang, yang muncul mendadak, berkembang dan kemudian lenyap; ataupun laksana tahap perkembangan seorang manusia yang melewati masa muda, masa dewa, masa tua dan akhirnya punah. Sebagai contoh, Sprengler mengacu pada kebudayaan-kebudayaan besar yang kini telah tiada, seperti kebudayaan Ynani, Romawi dan Mesir. Menurut Sprengler kebudayaan Barat akan mengalami hal serupa. Pandangan mengenai siklus kita jumpai dalam karya Vilfredo Pareto. Dalam tulisannya mengenai sirkulasi kaum elit (the circulation of elites) Pareto mengemukakan bahwa dalam tiap masyarakat terdapat dua lapisan. Lapisan bawah (non-elit) dan lapisan atas (elit) yang terdiri atas kaum aristokrat dan terbagi lagi dalam dua kelas: elit yang berkuasa dan elit yang tidak berkuasa. Menurut Pareto, aristokrasi senantiasa akan mengalami transformasi; sejarah menunjukkan bahwa aristokrasi hanya dapat bertahan untuk jangka waktu tertentu saja dan akhirnya akan pudar untuk selanjutnya diganti oleh suatu aristokt\rasi baru yang berasal dari lapisan bawah. Sejarah, menurut Pareto merupakan tempat pemakamam bagi aristokrasi. Aristokrasi yang menempuh segala upaya untuk mempertahankan kekuasaan akhirnya akan digulingkan melalui gerakan dengan disertai kekerasan atau revolusi. Seperti halnya Sprengler, Pareto pun mengacu pada pengalaman kaum aristokrat di Yunani, Romawi, dan sebagainya.Gabungan Beberapa PolaSejumlah teori menampilkan penggabungan antara kedua pola tersebut di atas. Halevy Etzioni dan Etzioni memberikan dua contoh, yaitu:1. Teori Konflik Karl MarxBahwa sejarah manusia merupakan sejarah perjuangan terus menerus antara kelas-kelas dalam masyarakat sebenarnya mengandung benih pandangan siklus karena setelah suatu kelas berhasil menguasai kelas lain menurutnya siklus serupa akan berulang lagi. Ramalannya mengenai masyarakat komunis pun mengandung pemikiran siklus, karena masyarakat komunis yang didambakan Marx merupakan masyarakat yang menurut Marx pernah ada sebelum adanya feodalisme dan kapitalisme masyarakat yang tidak mengenai pembagian kerja, yang di dalamnya konflik diganti dengan kerja sama. Namun dalam pemikiran Marx kita pun menjumpai pemikiran linear: menurutnya perkembangan pesat kapitalisme akan memicu konflik antara kaum buruh dengan kaum borjuis yang akan dimenangkan kau buruh yang kemudian akan membentuk masyarakat komunis. Pandangan Marx mengenai perkembangan linear pun tercermin dari pandangannya bahwa negara jajahan Barat pun akan melalui proses yang telah dialami masyarakat Barat.2. Teori Berpola Siklus Max WeberPemikiran Weber yang dinilai mengandung pemikiran siklus adalah pembedaannya antara tiga jenis wewenang: kharismatik, rasional-legal dan tradisional. Weber melihat bahwa wewenang yang ada dalam masyarakat akan beralih-alih: wewenang kharismatik akan mengalami rutinisasi sehingga beralih menjadi wewenang tradisional atau rasional-legal; kemudian akan muncul lagi wewenang kharismatik, yang diikuti dengan rutinisasi; dan seterusnya. Di pihak lain, Weber pun melihat adaya perkembangan linear dalam masyarakat, yaitu semakin meningkatnya rasionalitas.Grand TheoryTeori fungsional dan teori konflik adalah dua Grand Theory dalam sosiologi yang selalu menjadi rujukan untuk menganalisis masyarakat. Namun, teori ini sebenarnya melihat unsur-unsur masyarakat secara bertentangan. Teori fungsional misalnya, meyakini bahwa perubahan sebagai suatu keniscayaan. Perubahan juga bersifat konstan dan alamiah, karena itu tidak perlu dicarikan penjelasan. Perubahan dianggap sebagai pengacau keseimbangan masyarakat, namun kekacauan ini hanya bersifat sementara dan akan terhenti ketika perubahan tersebut di integrasikan terhadap kebudayaan setempat. Perubahan yang fungsional atau baik dan bermanfaat diterima, sedangakan perubahan yang bersifat disfungsional atau tidak bermanfaat ditolak.Sebaliknya, bagi teori konflik yang konstan bukanlah perubahan, tapi konflik itu sendiri. Perubahan hanyalah suatu akibat dari adanya konflik. Karena konflik berjalan terus menerus maka perubahan pun berlangsung tanpa akhir. Perubahan berimplikasi terhadap munculnya kelompok serata kelas sosial baru. Konflik yang terjadi antar kelompok dan antar kelas melahirkan perubahan. Setiap perubahan tertentu menunjukkan keberhasilan kelompok atau kelas sosial pemenang dalam memaksakan kehendaknya terhadap kelompok atau kelas sosial lain.PERUBAHAN SOSIAL DI ABAD KE-20Teori-teori yang dikemukakan para perintis awal sosiologi muncul s4ebagai reaksi terhadap perubahan-perubahan sosial besar yang terjadi pada masyarakat Barat, terutama di Eropa Barat. Di kala itu proses-proses perubahan besar yang terjadi semenjak abad ke-18 seperti detradisionalisasi, defeodalisasi, urbanisasi, industrialisasi, perkembangan kapitalisme dan sosialisme memang baru terbatas pada masyarakat Eropa Barat. Masyarakat-masyarakat non-Barat di luarnya di Asia, Afrika, dan Amerika Latin bukannya tidak tersentuh oleh perubahan-perubahan yang terjadi di Barat. Praktik-praktik imperialisme dan kolonialisme terhadap masyarakat-masyarakat non-Barat yang mendahului dan menyertai perubahan besar di Eropa Barat pun memicu perubahan pada masyarakat non-Barat, meskipun peruabahan yang terjadi sangat berbeda dengan perubahan di Eropa. Kontak dengan Belanda dan negara Eropa lain yang dialami masyarakat kita sejak abad ke-17 berakibat hilangnya kekuasaan politik dan ekonomi para penguasa pribumi pada tingkat regional dan lokal yang diikuti penjajahan langsung maupun tidak langsung, sehingga eksploitasi hasil bumi kita dalam skala besar oleh pihak swasta maupun Pemerintah Belanda untuk keperluan pasar Eropa dimungkinkan.Berakhirnya Perang Dunia II diikuti perubahan-perubahan sosial besar di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Serikat, baik negara-negara yng telah ada maupun di negara-negara baru yang telah bebas dari penjajahan. Perhatian sejumlah ilmuwan sosial mulai dipusatkan pada proses perubahan di kawasan di mana mayoritas masyarakat dunia hidup, dan sebagai akibatnya muncul berbagai teori mengenai perubahan-perubahan di negara-negara di kawasan ini. Pusat-pusat studi yang mengkhususkan diri pada masyarakat non-Barat ini mulai berkembang di berbagai negara Barat. Negara-negara non-Barat ini mulai diberi berbagai julukan seperti Masyarakat-masyarakat Dunia Ketiga (Third World Societies), Negara-negara Terkebelakangan (Underdeveloped Countries atau Less Developed Countries), Negara-negara Sedang Berkembang (Developing Countries), atau Negara-negara Selatan (South Countries).Istilah Masyarakat Dunia Ketiga mengacu pada mayoritas masyarakat dunia yang pernah dijajah negara-negara Barat dan yang masyarakatnya kebanyakan hidup dari pertanian; istilah Masyarakat Dunia Pertama (First World Society) mengacu pada negara-negara industri maju di Eropa Barat, Amerika, Australia dan Jepang; dan istilah Masyarakat Dunia Kedua (Second World Socoeties) mengacu pada negara-negara industri di Eropa Timur (lihat Giddens, 1989;52-58). Negar-negara Sedang Berkembang tersebut sering pula dijuluki Negara-negara Selatan (South Countries), karena negara-negara tersebut kebanyakan terletak di belahan Selatan bumi.Giddens (1989) mengemukakan bahwa kesalingtergantungan masyarakat dunia semakin meningkat. Proses peningkatan kesalingtergantungan masyarakat dunia ini dinamakannya globalisasi (globalization) dan ditandai kesenjangan besar antara kekayaan dan tingkat hidup masyarakat-masyarakat industri dan masyarakat-masyarakat Dunia Ketiga. TEORI-TEORI MODERN MENGENAI PERUBAHAN SOSIALTeori-teori modern yang terkenal ialah teori-teori modernisasi para penganut pendekatan fungsionalisme seperti Neil J. Smelser dan Alex Inkeles, teori ketergantungan Andre Gunder Frank yang mengemukakan pendekatan konflik, dan teori mengenai sistem dunia dari Wallerstein.Di antara teori-teori klasik dan teori-teori modern kita dapat menjumpai benang merah. Sebagaimana halnya dengan pandangan mengenai perkembangan masyarakat secara linear yang dikemukakan oleh tokoh klasik seperti Comte dan Spencer, maka teori-teori modernisasi pun cenderung melihat bahwa perkembangan masyarakat Dunia Ketiga berlangsung secara evolusioner dan linear dan bahwa masyarakat bergerak ke arah kemajuan dari tradisi ke modernitas. Para penganut teori konflik, di pihak lain, melihat bahwa perkembangan yang terjadi di Dunia Ketiga justru menuju ke terbelakangan dan para ketergantungan pada negara-negara industri maju di Barat.Teori ModernisasiTokoh nya adalah Neil J Smelser dan Alex Inkeles.Dalam teori ini menjelaskan bahwa perubahan sosial mirip dengan teori evolusioner, yang berpendapat untuk meraih kemajuan sekelas dengan negara maju, maka negara-negara terbelakang harus menempuh tahapan yang sama dengan apa yang telah dilalui oleh negara industri.Kalangan Sosiolog meyakini bahwa transisi dari negara terbelakang menuju negara berkembang dan maju, harus melibatkan revolusi demokrasi yang luar biasa, yang ditandai dengan menurunnya angka kematian dan kelahiran, menurunnya pengaruh keluarga, meningkatnya mobilitas individual, dan lain sebagainya. Teori modernisasi menganggap bahwa negara-negara terbelakang akan menempuh jalan sama dengan negara industri maju di Barat sehingga kemudian akan menjadi negara berkembang pula melalui proses modernisasi (lihat Light, Keller and Calhoun, 1989). Teori ini berpandangan bahwa masyarakat-masyarakat yang belum berkembang perlu mengatasi berarah kekurangan dan masalahnya sehingga dapat mencapai tahap tinggal landas (take off) ke arah perkembangan ekonomi.Teori KetergantunganTokohnya adalah Andre Gunder Frank. Teori ini melihat bahwa dunia ini sudah terpilah ke dalam negara-negara Dunia Pertama dan negara-negara Dunia Ketiga. Diantara keduanya saling ada ketergantungan. Negara-negara Dunia Pertama membutuhkan bahan mentah untuk industrinya, dan negara-negara Dunia Ketiga membutuhkan barang-barang industri untuk pembangunan ekonomi negaranya.Tetapi, ketergantungan ini tidak berlangsung lama, karena negara-negara Dunia Ketiga lebih tergantung kepada negara-negara maju.Ketergantungan yang tidak selaras itu dapat mengakibatkan pola relasi yang memunculkan neo-kolonialisme. Oleh karena itu Andre Gunder Frank menyebut hubungan ini sebagai pembangunan keterbelakangan. Menurut teori ketergantungan (dependencia) yang didasarkan pada pengalaman negara- negara Amerika Latin ini (lihat antara lain, Giddens, 1989, dan Light, Keller and Calhoun, 1989) perkembangan dunia tidak merata; negara-negara industri menduduki posisi dominan sedangkan negara-negara Dunia Ketiga secara ekonomis tergantung padanya. Teori Sistem DuniaTokohnya adalah Wallerstein. Teori ini muncul sebagai reaksi terhadap teori ketergantungan yang tidak mampu menjelaskan gejala pembangunan di Dunia Ketiga dan hanya berhenti pada penjelasan tentang gejala keterbelakangannya. Teori ini dimulai dengan proses terbentuknya sistem dunia. Menurutnya, sebelum ada sistem dunia, dunia ini dikuasai oleh kerajaan-kerajaan kecil yang saling terpisah. Kemudian terjadi penggabungan akibat meluasnya kerajaan besar yang memiliki kekuatan untuk menaklukan yang lain. Melalui kekuatan politiknya, kerajaan dunia ini memerintah sistem-sistem terkecil yang ada. Tapi, perkembangan teknologi menyebabkan munculny a sistem dunia yang menyatu. Berbeda dengan kerajaan dunia yang menguasai sistem kecil melalui kekuatan politik, maka sistem dunia menguasai dunia dengan kekuatan pasar.Menurut teori yang dirumuskan Immanuel Wallerstein ini (lihat Giddens, 1989 dan Light, Keller dan Calhoun, 1989) perekonomian kapitalis dunia kini tersusun atas tiga jenjang: negara-negara inti, yaitu negara-negara yang paling kuat dan mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya dari negara yang ada di bawah levelnya ( amerika dan eropa barat ).negara-negara semi-periferi Periferi ( jepang dan eropa timur ).negara-negara periferi ( Asia dan Afrika).Wallerstein juga menjelaskan tiga strategi untuk naik kelas, yaitu meraup kesempatan sebaik-baiknya, memanfaatkan sebaiknya undangan dari negara-negara adikuasa untuk bekerjasama melalui didirikannya perusahaan-perusahaan multi-national, dan melalui upaya menjalankan kebijakan ekonomi mandiri untuk melepaskan jeratan eksploitasi negara adidaya. PERUBAHAN SOSIAL DI ASIA TENGGARAKontak antara masyarakat Barat dengan masyarakat pribumi yang telah mengakibatkan perubahan sosial pada masyarakat Asia Tenggara pun telah menarik perhatian para ilmuwan sosial. Kemajemukan masyarakat-masyarakat di Asia Tenggara telah memungkinkan munculnya berbagai konsep dan teori yang dilandaskan pada pengalaman khas berbagai masyarakat Asia Tenggara. Dalam bukunya Sociology of South East Asia: Readings on Social Change and Development, Hans-Dieter Evers menyunting sejumlah tulisan ilmuwan sosial yang mencakup beberapa konsep dan teori yang diangkat dari pengalaman masyarakat Indonesia seperti konsep Dual societies, Plural societies, dan Involution (Lihat Evers, 1980)1. Dual societiesPada awal abad ini J.H. Boeke, seorang ahli ekonomi Belanda yang pernah bekerja di Indonesia mempertanyakan mengapa dalam masyarakat Barat kekuatan kapitalisme telah membawa peningkatan taraf hidup dan persatuan masyarakat, sedangkan dalam masyarakat Timur kapitalisme justru bersifat merusak. Dengan datangnya kapitalisme di masyarakat Timur iktan-ikatan komunitas melemah, dan taraf hidup masyarakat menurun. Di Asia Tenggara endiri lapisan atas masyarakat mengalami Weternisasi dan urbanisasi sedangkan lapisan bawah menjadi semakin miskin (Lihat Boeke, dalam Evers, 1980: 26-37 dan Evers, 1980: 2-3)Menurut Boeke, gejala ini disebabkan krena kapitalisme telah mengakibatkan terjadinya apa yang dinamakannya ekonomi dualistis (dual economy). Dalam suatu masyarakat dualistis, menurut Boeke, kita menjumpai sejumlah antitesis, yaitu pertentangn antara:Faktor produksi pada masyarakat Barat yang bersifat dinamis dan pada masyarakat pribumi di pedesaan yang bersifat statis.Masyarakat perkotaan (yang terdiri atas masyarakat Barat) dengan masyarakat pedesaan (orang Timur).Ekonomi uang dan ekonomi barang.Sentralisasi administrasi dan lokalisasi.Kehidupan yang didominasi mesin (pada masyarakat Barat) dan yang didominasi kekuatan alam (pada masyarakat Timur), dan Perekonomian produsen dn perekonomian konsumen.2. Plural societiesKonsep masyarakat majemuk (plural societies) dipopulerkan oleh J.S. Furnivall. Menurut Furnivall (dalam Evers, 1980:86-96) Indonesia (Hindia-Belanda) merupakan contoh suatu masyarakat majemuk, yaitu: a society, that is, comprising two or more element or social orders which live side by side, yet without mingling, in one political unit.Dalam gambarannya masyarakat Indonesia terdiri atas sejumlah tatanan sosial yang hidup berdampingan tetapi tidak berbaur; namun menurutnya kelompok Eropa, Cina dan Pribumu saling melekat laksana kembar siam dan akan hancur bilamana dipisahkan, sebagaimana nampak dalam kutipan berikut:..in Netherlands India, the European, Chinese and native are linked as vitally as Siamese twins and, if rent asunder, every element must dissolve in anarchy.3. InvolutionDampak pengaruh kapitalisme terhadap masyarakat pribumi dibahas Clifford Geertz dalam bukunya Agricultural Involution (Involusi Pertanian; lihat Geertz, 1966). Menurut Geertz kontak dengan kapitalisme Barat tidak menghasilkan perubahan secara evolusioner pada masyarakat pedesaan di Jawa, melainkan suatu proses yang dinamakannya involusi. Menurut Geertz penetrasi kapitalisme Barat terhadap sistem sawah di Jawa membawa kemakmuran di Barat tetapi mengakibatkan suatu proses tinggal landas berupa peningkatan jumlah penduduk pedesaan. Ternyata kelebihan penduduk ini dapat diserap sawah melalui proses involusi, yaitu suatu kerumitan berlebihan yang semakin rinci yang memungkinkan tiap orang tetap menerima bagian dari panen meskipun bagiannya memang menjadi semakin mengecil.Konsep Geertz ini pun digunakan sejumlah ilmuwan sosial lain antara lain di bidang perkotaan sehingga kita mengenal pula konsep urban involution yang dipopulerkan oleh W.R. Armstrong dan Terry McGee (lihat Armstrong dan McGee dalam Evers, 1980:220-234). Armstrong dan McGee mengaitkan konsep involusi dengan sistem pasar di daerah perkotaan Dunia Ketiga, yang senantiasa mampu menyerap tenaga kerja. Evers (1974) lebih mengaitkan konsep involusi dengan perubahan struktural di daerah perkotaan; meskipun penduduk bertambah, namun kurang terjadi diferensiasi sosial.