Perubahan Patofisiologis Traktus Gastrointestinal Pada Stroke Iskemik

28
Perubahan Patofisiologis Traktus Gastrointestinal pada Stroke Iskemik ABSTRAK Tujuan : Disfagia sering dijumpai setelah stroke dan menunjukkan prognosis yang buruk. Setelah stroke iskemik, disfagia mewakili hanya satu bagian dari spektrum klinis perubahan-perubahan pada traktus gastrointestinal (GI) dan mencakup perdarahan GI, penundaan pengosongan GI, dan disfungsi kolorektal. Teknik pencitraan telah memulai revolusi untuk penelitian kontrol kortikal dan batang otak terhadap gejala-gejala GI tersebut. Semakin jelas bahwa perubahan GI pasca stroke adalah kompleks dan yang lebih kompleks lagi adalah pemulihannya pasca stroke. Metode : Dalam tulisan ini, dilakukan pencarian dari database elektronik MEDLINE, EMBASE, dan COCHRAINE menggunaan istilah stroke, disfagia, motilitas GI, atau reorganisasi kortikal; kemudaian dilakukan pencarian manual secara ekstensif. Hasil : Iskemia serebri dapat menyebabkan gangguan aksis antara sistem saraf pusat dan sistem GI. Gangguan interrelasi antara sistem saraf pusat dan sistem GI ini dapat menyebabkan yang tersering yaitu disfagia, dismotilitas GI, dan perdarahan GI. Gejala klinis yang ditimbulkan seringkali langsung disebabkan oleh lesi iskemia serebri spesifik di batang otak maupun karena struktur kortikal dan subkortikal tertentu. Namun, pada beberapa kasus mekanisme patofisiologi yang menimbulkan gejala GI belum dmengerti sepenuhnya. Pengembangan tekinik pencitraan terkini, khususnya pencitraan fungsional, 1

Transcript of Perubahan Patofisiologis Traktus Gastrointestinal Pada Stroke Iskemik

Page 1: Perubahan Patofisiologis Traktus Gastrointestinal Pada Stroke Iskemik

Perubahan Patofisiologis Traktus Gastrointestinal pada Stroke Iskemik

ABSTRAK

Tujuan : Disfagia sering dijumpai setelah stroke dan menunjukkan prognosis yang buruk.

Setelah stroke iskemik, disfagia mewakili hanya satu bagian dari spektrum klinis perubahan-

perubahan pada traktus gastrointestinal (GI) dan mencakup perdarahan GI, penundaan

pengosongan GI, dan disfungsi kolorektal. Teknik pencitraan telah memulai revolusi untuk

penelitian kontrol kortikal dan batang otak terhadap gejala-gejala GI tersebut. Semakin jelas

bahwa perubahan GI pasca stroke adalah kompleks dan yang lebih kompleks lagi adalah

pemulihannya pasca stroke.

Metode : Dalam tulisan ini, dilakukan pencarian dari database elektronik MEDLINE,

EMBASE, dan COCHRAINE menggunaan istilah stroke, disfagia, motilitas GI, atau

reorganisasi kortikal; kemudaian dilakukan pencarian manual secara ekstensif.

Hasil : Iskemia serebri dapat menyebabkan gangguan aksis antara sistem saraf pusat dan

sistem GI. Gangguan interrelasi antara sistem saraf pusat dan sistem GI ini dapat

menyebabkan yang tersering yaitu disfagia, dismotilitas GI, dan perdarahan GI. Gejala klinis

yang ditimbulkan seringkali langsung disebabkan oleh lesi iskemia serebri spesifik di batang

otak maupun karena struktur kortikal dan subkortikal tertentu. Namun, pada beberapa kasus

mekanisme patofisiologi yang menimbulkan gejala GI belum dmengerti sepenuhnya.

Pengembangan tekinik pencitraan terkini, khususnya pencitraan fungsional, memberikan

pencerahan baru tentang kontrol sentral traktus GI, menunjukkan bahwa organisasi kortikal

dan medularnya multifokal, dan bilateral yang tidak tergantung hemisfer dominan.

Kesimpulan : Setelah stroke, pasien-pasien dapat mengalami gangguan menelan dan

perubahan traktus GI yang lain yang dapat mempengaruhi status nutrisi dan hidrasi dan dapat

menyebabkan pneumonia aspirasi. Gangguan status gizi berhubungan dengan penurunan

perbaikan fungsional, peningkatan komplikasi, dan memanjangnya lama rawat inap.

PENDAHULUAN

Pasca stroke iskemik, terjadi berbagai perubahan fungsional sekunder pada organ-

organ perifer yang berhubungan erat dengan daerah vaskuler serebri yang terkena. Khususnya

pada segmen-segmen sistem gastrointestinal (GI) yang berbeda yang sebagian dikontrol oleh

hirarki substrat neural yang kompleks di sistem saraf pusat maupun tepi. Ada bukti klinis

maupun eksperimental bahwa insidensi perubahan GI tertentu, seperti disfagia dan

dismotilitas traktus GI berhubungan kuat dengan lokasi topografis kerusakan iskemik serebral

1

Page 2: Perubahan Patofisiologis Traktus Gastrointestinal Pada Stroke Iskemik

itu sendiri dan tidak mewakili kondisi umum beratnya penyakit. Daerah vaskuler utama yang

terlibat adalah arteri serebri media dan arteri serebelli inferior posterior. Pemeriksaan

positron emission tomography (PET) dan magnetic resonance imaging (MRI) pada orang

normal mengidentifikasi perwakilan traktus GI terutama pada korteks sensorimotor (gyrus

presentral) dan batang otak. Disfagia merupakan akibat dari stroke pada daerah ini, terjadi

pada hingga 50% pasien segera setelah onset. Disfagia pasca stroke meningkatkan risiko

kematian dan memperburuk outcome fungsional pasca stroke, dengan penyembuhan yang

rendah dan memperpanjang lama tinggal di rumah sakit. Namun, meskipun derajat disfagia

saat onset sama, pola penyembuhan individual sangat bervariasi. Alasannya masih belum

jelas, tapi secara umum tidak berhubungan dengan beratnya stroke. Selain menelan, sejumlah

gejala GI lainnya yang berkaitan dengan perubahan pada otak pasca stroke belum dipahami

dengan baik.

Berat dan luasnya defisit neurologis pada sistem GI pasca stroke iskemik mungkin

tergantung pada jumlah dan lokasi jaringan otak yang mengalami gangguan aliran darah di

bawah ambang aliran kritis. Meskipun bukan satu-satunya determinan kerusakan (durasi

penurunan aliran juga penting), penelitian mengenai ambang aliran iskemik menunjukkan

bahwa ada dua ambang kritis penurunan perfusi : 1) ambang bahwa nilai dibawahnya terjadi

kegagalan neuron yang reversibel (aliran darah otak (CBF) < 20 ml/100g/menit) dan 2)

ambang di mana di bawahnya terjadi kegagalan membran dan kerusakan morfologis

ireversibel (CBF < 12 mL/100/menit). Rentang nilai perfusi antara kedua batas ini disebut

sebagai “penumbra iskemik” dan ditandai dengan potensi pemulihan fungsional tanpa

kerusakan morfologis. Selain itu, perkembangan lebih lanjut modalitas imajing dalam hal

resolusi spasial dan sensitivitas memberikan tilikan baru dalam representasi kortikal traktus

GI dan dapat membantu pemahaman yang lebih baik mengenai proses kompleks yang

mendasari kelainan sistem GI pasca stroke sebagai prasyarat perkembangan terapi baru.

Ulasan ini memfokuskan pada temuan eksperimental dan klinis terbaru mengenai

hubungan antara stroke iskemik dan disfungsi GI pada penelitian yang diperlukan di masa

mendatang untuk lebih memahami mekanisme patofisiologi sehingga dapat membantu

pengembangan pilihan terapi yang lebih baik.

METODOLOGI

Untuk tujuan ulasan ini, kami mencari penelitian dari database MEDLINE, EMBASE,

dan COCHRANE, serial kasus, atau laporan kasus yang dipublikasikan antara tahun 1966

dan Agustus 2003 dan 1986 dan Agustus 2003. Istilah yang digunakan dalam pencarian

2

Page 3: Perubahan Patofisiologis Traktus Gastrointestinal Pada Stroke Iskemik

meliputi menelan, stroke, iskemia serebri, infark serebri. Arteri serebri media, disfagia,

motilitas GI, reorganisasi kortikal, perdarahan GI, pengosongan GI, penuaan, dan terapi atau

referensi dari artikel-artikel yang relevan. Penelitian atau laporan tersebut harus

dipubilkasikan atau diterjemahkan ke baasa Inggris, perancis, atau Jerman. Publikasi yang

lebih baru lebih dipilih daripada yang lama, karena tujuan dari ulasan ini adalah memberikan

review yang up-to-date mengenai penelitian terbaru atau pengetahuan klinis mengenai

perubahan patofisiologis traktus GI pada stroke iskemik. Publikasi yang lebih lama

digunakan apabaila disitasikan dalam publikasi terpilih dan nampaknya bermakna untuk

tujuan ulasan ini.

MENELAN

Menelan merupakan kontraksi dan relaksasi secara berkesinambungan dan

semiotomatis dari 55 otot orofaring, laring, dan esofagus, 5 nervi kranialis, dan 2 radiks nervi

servikal. Kontrol sentral menelan diatur oleh dua tingkat, melibatkan batang otak dan korteks

serebri. Stroke iskemik unilateral maupun bilateral dan khususnya stroke batang otak

seringkali mengganggu proses menelan karena kerusakan fungsional atau morfologis daerah

yang sesuai pada korteks motorik dan/atau hubungannya dengan batang otak dan/atau nervi

kranialis yang memodulasi deglutisasi. Hingga 50% pasien dengan stroke iskemik

diperkirakan mengalami disfagia, meskipun sebagian besar hanya semantara. Selain sindroma

batang otak yang diketahui disertai disfagia, kini diketahui bahwa korteks serebri juga

berperan penting dalam pengaturan sentral menelan. Apabila komponen refleks bergantung

pada pusat menelan di batang otak, maka inisiasi menelan merupakan gerakan volunter yang

melibatkan integritas daerah motorik di korteks serebri. Sejumlah regio otak dengan

peningkatan aktivitas selama menelan dideteksi dengan pemeriksaan [15O]H2O-PET; aktivasi

terkuat terutama dijumpai di korteks sensorimotor, insula/klaustrum anterior kanan,

serebellum kiri, dan batang otak dorsal. Maka, proses menelan melibatkan beragam regio

otak, menunjukkan bahwa proses menelan melibatkan jaringan neuron dengan daerah di luar

korteks motorik primer dan medulla oblongata.

Organisasi Kortikal dan Menelan

Representasi kortikal menelan diperkirakan multifokal, bilateral, dan independen

terhadap hemisfer dominan. Berbagai daerah pada korteks serebri, seperti korteks motorik

sensorik, gyrus cingulata, dan insula terbukti teraktivasi selama menelan yang volunter.

Namun, pada korteks motorik, representasi otot menelan bersifat somatotopik, dengan otot

3

Page 4: Perubahan Patofisiologis Traktus Gastrointestinal Pada Stroke Iskemik

oral lebih lateral dan otot faring lebih medial. Yang menarik, nampaknya refleks menelan

juga menunjukkan aktivitas bilateral yang berpusat pada regio sensorik/motorik primer.

Berdasarkan pengetahuan saat ini, pasien dengan stroke kombinasi kortikal dan batang otak

yang berkaitan dengan tanda paresis nervi kranialis bilateral berisiko paling tinggi mengalami

disfagia, namun kesulitan menelan juga terjadi pada defisit unilateral. Selain itu, stroke

supratentorial – yang terletak pada kedua hemisfer – berkaitan dengan insidensi disfagia yang

lebih tinggi dan lebih berat dibanding stroke supratentorial, unilateral – yang mengenai hanya

satu hemisfer.

Sebagian besar lesi kortikal yang menyebabkan disfagia diyakini mengenai serabut

proyeksi dari gyrus presentral atau kapsula interna. Lesi pada daerah-daerah anatomis ini

akan mempengaruhi kerja volunter dari otot-otot penyokong faring dan laring pada sisi

kontralateral, dengan spastisitas dan diskoordinasi peristaltik. Lesi pada bagian yang lebih

rendah dari gyrus presentral inferior atau bagian posterior dari gyrus frontalis inferior pada

kedua hemisfer dilaporkan menyebabkan penundaan inisiasi respon faringeal, menunjukkan

suatu masalah pada mekanisme umpan balik, dan memberikan bukti lebih lanjut mengenai

peranan korteks dalam modulasi deglutisasi. Lesi pada daerah insulae dapat meningkatkan

ambang menelan dan menunda fase faringeal menelan sehingga meningkatkan risiko aspirasi.

Pentingnya insula dalam menelan tercermin pada fakta bahwa regio ini memiliki banyak

hubungan fungsional dengan beberapa regio otak yang berkaitan dengan menelan, termasuk

korteks premotor lateral dan mesial, korteks somatosensorik primer dan sekunder, dan

operkula parietal frontal, dan temporal.

Pada percobaan binatang, dijumpai bukti bahwa kedua hemisfer berperan dalam

mengatur menelan. Meskipun pada binatang terbukti kontrol sentral bilateral, pemeriksaan

patologis cenderung menunjukkan bahwa setidaknya pada manusia, salah satu hemisfer

mungkin dominan. Fakta ini sebagian dapat menjelaskan kesulitan untuk menghubungkan

luasnya, sisi, dan lokasi jaringan otak iskemik dengan beratnya dan lokasi disfungsi GI pada

penelitian klinis.

Organisasi Batang Otak dan Menelan

Masalah menelan umum dijumpai pada stroke batang otak, dan cenderung

meningkatkan risiko aspirasi. Jean dan Kessler membuktikan secara eksperimental bahwa ada

dua tingkat integrasi pusat menelan di medulla oblongata. Satu tingkat integrasi (regio dorsal

terdiri dari neuron-neuron dalam dan di sekitar nukleus traktus solitarius (NTS)) terlibat

dalam inisiasi menelan dan pengaturan urutan menelan secara keseluruhan. Sedangkan

4

Page 5: Perubahan Patofisiologis Traktus Gastrointestinal Pada Stroke Iskemik

tingkat kedua pengaturan menelan (regio ventral yang berhubungan dengan formatio

retikularis di sekitar nukleus ambiguus (NA)) nampaknya berperan utama sebagai jalur

penghubung ke berbagai jalur motorik yang terlibat dalam proses menelan. Kedua regio ini

ada pada kedua sisi batang otak dan saling berhubungan luas sehingga masing-masing sisi

dapat mengatur fase faringeal dan esofageal menelan. Informasi menelan dari perifer

memasuki portal reseptor aferen dari pusat menelan menuju sinaps pada neuron-neuron

“premotor”. Informasi sensoris ini dapat memulai deglutisasi dan proses menelan, mengubah

aktivitas yang dimulai sebelumnya pada pusat menelan, sehingga memodifikasi aktivitas

motorik yang sedang berlangsung. Neuron-neuron premotor esofageal juga menerima input

dari neuron-neuron premotor faringeal pada subnuklei intermedia dan interstisial NTS dan

menghubungkan dengan neuron-neuron esofageal urutan ketiga pada nuklei multipel

formatio retikularis, termasuk neuron-neuron parvoseluler. Nuklei formatio retikularis

mengandung interneuron-interneuron yang aktif sebagai bagian dari kontrol generator pola

sentral untuk menelan dan peristalsis esofageal.

Generator pola sentral secara serial mengaktivasi neuron-neuron motorik nervi

kranialis, termasuk NA dan nukleus motorik dorsal vagus (DMV), yang kemudian

menginervasi otot-otot deglutisasi. Karena serabut-serabut kortikobulber (termasuk NA dan

DMV) terlibat dalam memicu bagian inisiasi volunter refleks menelan, dan karena mereka

memiliki efek fasilitator terhadap pusat menelan bulber, penundaan dalam memicu refleks

menelan pasca stroke berhubungan dengan sistem serabut kortikobulbaris. Yang lebih jarang

dijumpai, pada beberapa penyakit kortikobulbaris yang lebih berat, refleks menelan

orofaringeal volunter masih dapat dimulai oleh pusat menelan bulber. Gangguan refleks

menelan ini dapat dideteksi secara klinis maupun elektrofisiologis. Mekanisme kedua yang

dipengaruhi oleh gangguan menelan mungkin berhubungan dengan dampak inhibisi

suprasegmental pada pusat bulber. Dampak ini nampaknya telah dihilangkan oleh beberapa

keterlibatanpatologis serabut-serabut kortikobulbaris. Pole EMG abnormal yang dicatat dari

sfingter krikofaringeal pasien-pasien stroke sama dengan pasien ALS dengan keterlibatan

kortikobulber. Lebih lanjut didapatkan bukti mengenai adanya inhibisi piramidal terhadap

refleks menelan. Maka, nampaknya keterlibatan traktus kortikobulbaris tidak hanya

mengubah pengaruh eksitatorik langsung, namun juga menyebabkan inhibisi jaringan neuron

pada interaksi hierarkis antara korteks serebri, pusat menelan batang otak, dan nervi kranialis

(N. Trigeminus, N. Glossofaringeus, N. Vagus, dan N. Hipoglossus) dengan mempengaruhi

kontrol inhibisi. Dukungan lebih lanjut terhadap mekanisme ini berasal dari pengamatan pada

pasien stroke yang mengalami peningkatan refleks mandibula dan palatofaringeal.

5

Page 6: Perubahan Patofisiologis Traktus Gastrointestinal Pada Stroke Iskemik

Diperkirakan bahwa pada ALS juga kemungkinan keterlibatan kontrol inhibitor suprabulber

dapat menyebabkan peningkatan refleks batang otak melalui pelepasan dari pengaruh

inhibisi.

Setelah stroke lakuner, durasi kontraksi otot submental juga memanjang,

menunjukkan bahwa pengaruh ekstrapiramidal terhadap pusat bulber juga terpengaruh.

Asumsi ini didukung oleh pengamatan pada pasien-pasien penyakit Parkinson dengan

disfagia dan menunjukkan bahwa organisasi fungsional menelan bahkan lebih kompleks dari

yang dijelaskan di atas. Akumulasi saliva dalam mulut dan drooling mungkin berhubungan

dengan keterlibatan sistem ekstrapiramidal maupun gangguan sistem kortikobulbaris.

Gambar 1. Mekanisme kontrol batang otak untuk menelan menunjukkan level dura integrasi

dalam pusat menelan di medulla oblongata. NTS = nukleus traktus solitarius; NA = nukleus

ambiguus; DMVN = dorsal motor nukleus vagus; UES = upper esophageal sphincter; LES =

lower esophageal sphincter.

6

Page 7: Perubahan Patofisiologis Traktus Gastrointestinal Pada Stroke Iskemik

Gambar 2. Skema potongan melintang medulla oblongata kiri pada manusia yang

berproyeksi ke divisi motorik dari nuklei N. V, VII, dan XII.

Input medullar dorsal ke divisi motorik N. V, VII, XII terutama berasal dari kolumna

retikularis medullar dorsal tepat di ventral nukleus traktus solitarius. Proyeksi dari kolumna

retikularis medullar dorsal didistribusikan terutama ke subdivisi ventrla dari divisi motrik

N.V, menuju subdivisi dorsal dan intermedial N.VII, dan ke subdivisi dorsal maupun ventral

N.XII. Subpopulasi neuron-neuron multipolar besar pada kolumna retikularis medullar dorsal

memberikan input menyilang ke subdivisi dorsal divisi motorik N.V. Sebaliknya, input

medullar dorsal menuju nukleus ambiguus berasal dari nukleus traktus solitarius tidak

menyilang dan diatur sehingga subdivisi ventrolateral, intermediat, dan intestinal dari nukleus

traktus solitarius berproyeksi ke regio formatio yang longgar dan semikompak, sedangkan

subdivisi sentral dari nukleus traktus solitarius.

DMVN = dorsal motor nukleus vagus; VN = nukleus trigeminal; VT = traktus trigeminal;

STV = spinal tract of trigeminal nucleus.

7

Page 8: Perubahan Patofisiologis Traktus Gastrointestinal Pada Stroke Iskemik

Gambar 3. Skema potongan melintang medulla oblongata, menunjukkan koneksi menelan.

Gambar (a) area yang dipengaruhi oleh area batang otak dengan gangguan menelan pasca

stroke iskemik dan keterlibatan nukleus traktus solitarius dan nukleus ambiguus.

Gambar (b) skema neuron-neuron premotor dan koneksi ipsilateralnya dnegan neuron

motorik N. V, VII, IX, X, dan XII.

Pusat-pusat Lain

Mekanisme yang mendasari aktivasi serebellum selama proses menelan belum

dikaetahui secara pasti. Meskipun telah dilaporkan kasus-kasus disfagia karena lesi

serebellar, namun sebagian besar melibatkan lesi yang luas melampaui serebellum.

Peningkatan aktivitas pada hemisfer serebelli kiri selama menelan tidak dapat dijelaskan

dengan gerakan lidah, menunjukkan bahwa kemungkinan mewakili regio menelan atau

faringeal/esofageal spesifik. Karena kontribusi serebellum terhadap perilaku motorik lain,

maka data dari orang sehat menunjukkan bahwa serebellum dapat membantu mengontrol

koordinasi, urutan, dan waktu menelan.

Di antara area lain yang menunjukkan aktivitas selama menelan, putamen perlu

diperhitungkan. Aktivasi putamen sesuai dengan seringnya kejadian disfagia pada pasien-

8

Page 9: Perubahan Patofisiologis Traktus Gastrointestinal Pada Stroke Iskemik

pasien dengan lesi ganglia basalis, seperti stroke. Saat ini masih belum jelas seberapa jauh

peningkatan aktivitas putamen selama menelan mencerminkan gerakan lidah atau aspek

menelan yang lain. Akan tetapi data ini menunjukkan bahwa ganglia basalis mungkin

berperan penting dalam kontrol motorik perilaku oromotorik.

Sfingter Esofagus Bawah dan Atas

Kerusakan jaringan otak iskemik pada medulla oblongata (termasuk NA)

berhubungan dengan penurunan tonus sfingter esofagus bawah (LES) dan peningkatan tonus

sfingter esofagus atas (UES). Neuron-neuron ini normalnya aktif secara tonik dan diinhibisi

pertama-tama kemudian diaktivasi dengan luat osebagai bagian dari urutan proses menelan

yang terprogram. Neuron-neuron ini menerima input dari korteks motorik primer bersama-

sama dengan neuron motorik menuju faring dan otot lurik esofagus, dan dapat diaktivasi oleh

jalur pausisinaptik langsung dari korteks dan melalui stimulasi vagus atau nervi kranialis lain.

Lebih lanjut, tonus UES menurun selama tidur (saat dorongan kortikal menurun) pada

kondisi menelan yang relatif absen, menunjukkan bahwa neuron-neuron menelan pada sirkuit

otak bagian bawah seperti regio medulla oblongata dorsal ikut terlibat. Oleh karena itu, input

lain menuju neuron-neuron tersebut dapat berjalan independen terhadap generator pola

sentral menelan dan mendistribusikan eksitasi menelan ke berbagai kumpulan motoneuron

yang terlibat dalam proses menelan. Hilangnya relaksasi dan kontraksi UES normal yang

diinduksi oleh menelan, bersamaan dengan hilangnya kontraksi otot lurik faringeal dan

esofageal, sesuai dengan kerusakan iskemik terutama pada organisasi tingkat kedua pada

medulla oblongata yang bekerja sebagai jalur penghubung dengan neuron-neuron NA yang

mensarafi regio ini selama proses menelan.

Motor neuron menuju otot polos esofagus, termasuk LES, terletak pada dua subregio

DMV. Nukelus ini terletak pada substansia grisea tengah di medulla oblongata dan lateral

terhadap nervus Hipoglossus dan dorsal terhadap NA. Bukti eksperimental dari penelitian

LES menunjukkan bahwa regio rostral mengandung neuron-neuron yang membantu eksitasi

dan bahwa neuron-neuron regio kaudal membantu inhibisi esofagus. Dokumentasi aktivitas

terkoordinasi otot polos esofagus dan LES pada pasien-pasien stroke menunjukkan bahwa

nukleus motorik untuk regio ini (DMV), hubungannya dengan sirkuit batang otak yang

mengatur keseluruhan urutan proeses menelan (NTS dan formatio retikularis di sekitarnya),

dan sirkuit ini sendiri intak dan fungsional.

Informasi detil mengenai efek stroke iskemik terhadap fungsi peristaltik esofagus

masih terbatas. Satu atau dua penelitian yang ada mengenai topik ini melaporkan sejumlah

9

Page 10: Perubahan Patofisiologis Traktus Gastrointestinal Pada Stroke Iskemik

besar kontraksi esofagus non peristaltik pada empat dari sembilan pasien hemiplegik dengan

atau tanpa disfagia menunjukkan kemungkinan relevansi fungsional pada stroke

supratentorial unilateral. Manometri, yang dilakukan pada berbagai interval onset stroke (4-

47 hari) menunjukkan bahwa tetap terjadi kenaikan abnormal tekanan UES. Penelitian lain

menunjukkan disfungsi peristaltik yang bermakna selama fase awal stroke pada subgrup

pasien tanpa ada bukti klinis disfungsi orofaring.

Implikasi Klinis

Karena risiko pneumonia aspirasi berhubungan dengan disfagia, maka diperlukan

evaluasi akurat kemampuan menelan dalam perawatan pasien pasca strok eiskemik. Hal ini

menjadi lebih penting karena keluaran untuk pasien-pasien stroke iskemik yang selamat

sangat tergantung pada apakah terjadi stroke ulang atau pneumonia. Karena alasan inilah

diperlukan teknik langsung yang dapat mengevaluasi kemampuan menelan secara akurat.

Telah dikembangkan berbagai teknik, meskipun sebagian besar tes skrining untuk disfagia

mengevaluasi kemampuan menelan air. Namun, beberapa tes gagal untuk mengidentifikasi

disfagia ringan atau aspirasi subklinis. Untuk mengatasi masalah tersebut, Smithard dkk

mengevaluasi bedside tests untuk menilai kemampuan menelan. Tes ini terdiri dari dua tahap,

dapat dilakukan dengan mudah, dan mengukur kemampuan menelan pada berbagai titik

waktu.

DAMPAK KLINIS REORGANISASI KORTIKAL

Diketahui bahwa banyak pasien dengan disfagia pasca stroke hemisferik unilateral,

menunjukkan beberapa derajat penyembuhan spontan dalam beberapa minggu pertama pasca

onset stroke. Sebaliknya, proses pemulihan dari disfagia pada infark medulla oblongata

lateral lebih lambat, meskipun stabil. Mekanisme pemulihan ini masih belum diketahui. Pada

suatu penelitian terperinci menggunakan TMS, baik pasien disfagia maupun non disfagia

diperiksa secara serial selama beberapa bulan pasca stroke iskemik di mana terjadi pemulihan

menelan. Temuan ini menunjukkan bahwa area representasi faringeal pada hemisfer yang

tidak rusak meningkat secara bermakna pada pasien yang pulih, sedangkan pada pasien-

pasien yang non disfagia tidak ada perubahan. Tidak dijumpai perubahan pada hemisfer yang

rusak dari subgrup manapun. Pengamatan ini menunjukkan bahwa, selama beberapa minggu,

pemulihan menelan pasca stroke tergantung pada reorganisasi kompensasi pada daerah otak

yang tidak rusak secara fungsional. Situasi ini nampaknya tidak berbeda secara mendasar

dengan otot-otot tungkai, di mana beberapa pemeriksaan TMS menunjukkan bahwa

10

Page 11: Perubahan Patofisiologis Traktus Gastrointestinal Pada Stroke Iskemik

pemulihan tungkai pasca hemiparesis merupakan hasil dari peningkatan potensi pemulihan

pada daerah yang tidak mengalami kerusakan secara fungsional, termasuk penumbra.

Reorganisasi daerah menelan ini dan perbaikan disfagia seringkali terjadi independen

terhadap pemulihan hemisfer yang terkena dan tidak saling berhubungan dengan perubahan

fungsional pada batang otak.

Teknik-teknik untuk mengobati disfagia telah dijelaskan meliputi strategi direk

maupun indirek. Strategi indirek mencakup stimulasi struktur oral dan faringeal. Namun,

terapi menelan yang berbeda, meliputi modifikasi diet atau teknik menelan bantuan telah

dicobakan dengan hasil yang belum jelas. Teknik bantuan bergantung pada penggunaan

stimulasi sensorik oro-faringeal. Selain itu, kini dikatakan bahwa modifikasi termokimiawi

dari konsistensi cairan mengubah perilaku menelan pasca stroke.

PERDARAHAN GI

Patogenesis perdarahan traktus GI bagian atas pasca stroke belum sepenuhnya

dimengerti. Pasca kerusakan otak iskemik akut, dapat terjadi stress ulcer yang diyakini

merupakan hiperaktivitas vagal yang menyebabkan peningkatan sekresi asam lambung atau

menyebabkan iskemia mukosa. Ini sesuai dengan temuan bahwa perdarahan traktus GI

bagian atas pasca stroke lebih sering dijumpai pada pasien-pasien dengan status gizi kurang,

yang dilaporkan dengan frekuensi 8-34% pasca stroke. Peningkatan insidensi perdarahan

traktus GI bagian atas pada subpopulasi ini (dengan tidak adanya faktor farmakologis, seperti

ASA) mungkin disebabkan oleh beberapa hal : adanya riwayat penyakit GI sebelumnya

(misal: ulkus peptik) yang merupakan predisposisi kurang gizi dan perdarahan, gangguan

pemulihan lesi potensial hemoragik, dan efek samping enteral tube yang dimasukkan untuk

menyokong nutrisi. Namun, gastritis hemoragik atau erosiva dengan perdarahan traktus GI

bagian atas juga terjadi pasca stroke. Wijdicks dkk mencatat pemicu potensial perdarahan

traktus GI bagian atas selain stress pada mayoritas pasien stroke. Temuan ini menunjukkan

bahwa stress karena kerusakan otak iskemik akut cukup jarang atau mungkin berperan

sebagai faktor risiko tambahan pada pasien dengan predisposisi lain untuk perdarahan traktus

GI bagian atas. Nampaknya keterlambatan pengosongan gaster (gastroparesis) dan malnutrisi

berperan penting dalam perdarahan traktus GI bagian atas pada stroke. Akan tetapi dalam

suatu analisis retrospektif terhadap 16.672 pasien stroke, riwayat obat-obatan NSAID (tanpa

sitoproteksi), aspirin, terapi kortiosteroid, dan infeksi Helicobacter pylori dijumpai berperan

dalam perdarahan traktus GI bagian atas.

11

Page 12: Perubahan Patofisiologis Traktus Gastrointestinal Pada Stroke Iskemik

Implikasi Klinis

Perdarahan traktus GI bagian atas dilaporkan jarang dan bisanya tidak berperan

menambah morbiditas dan mortalitas pada pasien-pasien stroke. Dalam suatu studi

prospektif, perdarahan traktus GI bagian atas dijumpai pada 0,1% pasien stroke. Pada

penelitian lain, pasien-pasien dengan stroke berat, khususnya dengan GCS < 10 menunjukkan

frekuensi perdarahan GI yang lebih tinggi.

ASA merupakan obat yang sangat bermanfaat untuk prevensi kejadian

trombosisiserebrovaskuler pada pasien-pasien dengan atau tanpa risiko penyakit

serebrovaskuler. Akan tetapi, ASA menyebabkan peningkatan risiko cedera GI (misalnya

ulserasi) dan komplikasinya (misal: perdarahan), yang dapat disebabkan oleh efek antiplatelet

dan mukosa gasternya. Prevensi sekunder merupakan penggunaan ASA untuk mencegah

kejadian serebrovaskuler pada pasien-pasien yang telah didiagnosisi dengan penyakit

serebrovaskuler sebelunya. Risiko perdarahan GI dengan ASA setidaknya lebih besar

daripada risiko karena stroke saja. Pasien-pasien stroke yang diterapi dengan ASA harus

dinilai apakah ada faktor yang meningkatkan risiko perdarahan GI. Penelirian-penelitian telah

membuktikan bahwa terapi bersama dengan PPI atau misoprostol menurunkan risiko cedera

GI dan komplikasi pada kondisi ini. Tiga dari PPI yang tersedia saat ini diproduksi dalam

bentuk kapsul yang mengandung granula enteric-coated yang dapat dicampur dengan

makanan lunak atau jus buah sebelum pemberian oral pad apasien dengan gangguan menelan.

Selain itu, omeprazole dan lansoprazole juga dapat diberikan via gastrotomi atau NGT dalam

bentuk suspensi dalam natrium bikarbonat. Formulasi dosis terbaru lansoprazole yang

mungkin tepat untuk pasien disfagia yaitu granul enteric-coated lansoprazole rasa stroberi

untuk suspensi dan lansoprazole orally disintegrating tablets.

PENGOSONGAN LAMBUNG

Refleks relaksasi reseptif merupakan mekanisme penting yang meningkatkan volume

gaster dan menurunkan tekanan intragastrik untuk memastikan bawa makanan yang ditelan

diangkut secara efektif dari esofagus ke lambung. Sejumlah peneliti menunjukkan bahwa

relaksasi gaster proksimal poten ini dipicu oleh aktivasi mekanoreseptor aferen vagal

berambang rendah pada esofagus. Refleks ini memerlukan koneksi vago-vagal intak antara

esofagus, batang otak, dan lambung. Beberapa penelitian tracing anatomis menunjukkan

bahwa proyeksi aferen vagal dari esofagus berakhir pada dan di dekat divisi sentral NTS.

Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa neuron-neuron pada NTS diaktivasi

secara intensif oleh distensi esofageal bagian bawah. Hubungan antara NTS dan motoneuron-

12

Page 13: Perubahan Patofisiologis Traktus Gastrointestinal Pada Stroke Iskemik

motoneuron vagal yang mengontrol lambung baru-baru ini diketahui. Nanoinjeksi tracer

retrograd dan anterograd menuju neuron-neuron NTS yang merespon terhadap distensi

esofagus menunjukkan bahwa neuron-neuron ini banyak diproyeksikan ke perluasan

anterior-posterior dari DMV dan menjadi sumber utama kontrol otonom pre-ganglionik untuk

lambung. Kontrol refleks vagal terhadap tonus dan motilitas gaster dipengaruhi oleh modulasi

aktivitas dua proyeksi eferen vagal antagonistik. Peningkatan tonus dan motilitas gaster yang

diperantarai oleh eferen vagal terjadi setelah aktivasi neuron-neuron kolinergik pada pleksus

enterik gaster oleh neuron-neuron preganglionik yang tersebar pada DMV. Sebaliknya,

inhibisi gaster cepat dihasilkan oleh inhibisi neuron-neuron tersebut. Distensi intestinal,

gaster, dan esofagus menyebabkan penghentian mendadak picuan tonik neuron-neuron DMV

yang terjadi bersamaan dengan penurunan cepat serabut-serabut aferen yang sensitif teradap

distensi gaster dan esofagus dan juga dapat menghasilkan inhibisi GI poten melalui aktivasi

jalur non kolinergik, nor-adrenergik vagal menuju fundus. Masih sedikit yang diketahui

tentang mekanisme bagaimana neuron-neuron NTS menyebabkan perubahan-perubahan pada

neuron-neuron DMV yang menimbulkan refleks relaksasi reseptif. Area NTS mengandung

sejumlah fenotip neuron yang berbeda. Dua fenotip neurokimiawi yang menonjol adalah

noradrenergik dan nitrergik. Inti NTS mengandung neuron-neuron nitric oxidative sintase

yang banyak, sedangkan neuron-neuron yang imunoreaktif-tirosin hidroksilase dijumpai di

seluruh bagian NTS. Yang menarik, neuron-neuron yang imunoreaktif-tirosin hidroksilase

dijumpai mengelilingi neuron-neuron nitric oxidase sintase NTS. Penelitian

imunohistokimiawi terdahulu menunjukkan bahwa neuron-neuron yang mengandung tirosin

hidroksilase di dekat traktus NTS juga mengekspresikan dopamin β-hidroksilase, sehingga

merupakan neuron-neuron penghasil norepinefrin.

Hanya sedikit laporan mengenai topik khusus perubahan pengosongan gaster atau

traktus GI bagian atas pada stroke. Data dari Crome dkk menunjukkan penundaan resorbsi

obat yang diberikan secara oral pasca stroke dan menunjukkan bahwa pengosongan gaster

nampaknya tertunda. Akibat penting lebih lanjut dari efek GI terhadap stroke ini mencakup

intoleransi terhadap nutrisi enteral dan peningkatan insidensi kolonisasi H. pylori pada gaster

akibat penundaan pengosongan gaster ini. Berdasarkan temuan-temuan di atas, pemberian

obat per oral mungkin tidak tepat pada pasien stroke akibat pengosongan gaster yang lambat

ini. Juga dapat mengurangi manfaat terapeutik obat-obatan yang aktivitasnya dalam waktu

singkat tergantung pada kadar plasma puncak. Akibat dari gangguan pengosongan gaster ini,

beberapa penulis meyakini bahwa naso-post-pyloric tube ditoleransi lebih baik daripada

nasogastric tube. Hingga penelitian lebih lanjut dilakukan pada pasien-pasien stroke untuk

13

Page 14: Perubahan Patofisiologis Traktus Gastrointestinal Pada Stroke Iskemik

menentukan prevalensi dan faktor-faktor yang mempengaruhi pengosongan gaster, harus

dipertimbangkan secara teliti menganai metode pemberian makan pada pasien-pasien ini.

DISFUNGSI USUS HALUS DAN USUS BESAR

Usus halus kaya suplai serabut-serabut sensoris. Serabut-serabut aferen vagal dan

spinal menuju SSP membawa informasi dari reseptor-reseptor sensoris yang teraktivasi.

Suplai ekstrinsik dibagi menjadi eferen dan aferen berdasarkan informasi yang dibawa oleh

traktus parasimpatis dan simpatis, yang dilakukan oleh nervus Vagus dan splanchnicus.

Sebagian besar efern parasimpatis dan simpatis berakhir pada pleksus myenterikus dan

membentuk koneksi pada ganglia enterik, meskipun beberapa akson simpatis berakhir

langsung pada otot polos sfingter. Suplai vagal eferen maksimal sampai usus bagian atas,

termasuk kolon proksimal. Badan-badan sel dari neuron-neuron eferen ini terutama dijumpai

terletak pada DMV di batang otak. Nervus vagus mengandung 3 kelompok serabut eferen :

Neuron-neuron kolinergik parasimpatis pre-ganglionik, yang mensuplai neuron-

neuron eksitatorik pada pleksus enterikus.

Neuron-neuron kolinergik pre-ganglionik, yang mensuplai neuron-neuron inhibitor

pada pleksus myenterikus.

Simpatis dari ganglia servikal.

Stimulasi neuron-neuron kolinergik vagal eferen pada prinsipnya mengaktifkan

reseptor-reseptor nikotinergik dalam ganglia enterikus, mengeksitasi aktivitas motorik. Pada

manusia, sistem saraf enterik mengandung hingga 100 juta neuron, dibanding dengan hanya

2000 serabut eferen pada vagus, menunjukkan bahwa neuron-neuron intrinsik dapat

mengarahkan sebagian besar refleks dan mengatur aktivitas dan bahwa inervasi ekstrinsik

hanya berperan dalam fungsi modulasi. Pada umumnya, letupan non-propagasi panjang dan

pendek yang sering dari aktivitas tekanan fasik terjadi di jejunum dengan berkurangnya

frekuensi dan amplitudo kontraksi pada fase puasa maupun fase makan. Fenomena letupan

panjang dan pendek ini merupakan bagian dari denervasi simpatis, dan pola motilitas usus

komposit pada fase puasa dianggap menggambarkan disfungsi suplai simpatis maupun

parasimpatis.

Pada sebagian besar pasien stroke iskemik, disfungsi kolorektal disebabkan oleh

kombinasi lesi sistem saraf pusat maupun tepi, imobilitas, atau perubahan kebiasaan makan.

Akan tetapi mekanisme pasti terjadinya konstipasi pada pasien-pasien stroke memerlukan

penelitian lebih lanjut, gangguan modulasi neuronal terhadap motilitas kolon dianggap

berperan penting. Waktu transit kolon memanjang, khususnya pad akolon kanan. Obat-obatan

14

Page 15: Perubahan Patofisiologis Traktus Gastrointestinal Pada Stroke Iskemik

prokinetik, yang sebelumna dianggap sebagai pilihan terapi yang menjanjikan untuk retensi

feses, kini terbukti berefek buruk terhadap penundaan transit kolon akibat kerusakan otak, di

mana terjadi kerusakan berat terhadap struktur sentral yang mungkin menuenankan

disregulasi progresi isi normal melewati usus besar. Mekanisme pseudo-obstruksi intestinal

pada stroke masih belum jelas, apakah disebabkan oleh defek neuron-neuron enterik, otot

polos, atau keduanya, sehingga memerlukan penelitian lebih lanjut.

PENUAAN FISIOLOGIS DAN TRAKTUS GI

Harus diperhatikan mengenai fenomena penuaan karena banyak kondisi komorbid

yang dapat mengubah fungsi fisiologis traktus GI pasca penyakit otak juga dijumpai pada

pasien lansia. Perubahan terkait umur pada fungsi GI dapat dikategorikan berdasarkan

kondisi komorbid penuaan atau yang berkaitan dengan proses penuaan itu sendiri. Identifikasi

perubahan-perubahan GI yang terjadi secara eksklusif karena fungsi penuaan, independen

terhadap kondisi komorbid, terbukti merupakan tugas yang sulit. Banyaknya kondisi

komorbid memperkecil populasi yang ada menjadi cukup sedikit, dan sifat penelitian GI yang

umumnya invasif membatasi pemilihan subjek yang berpartisipasi dalam penelitian tersebut.

Selain itu, isu-isu mengenai metodologi dan teknik berbeda yang digunakan untuk menilai

motilitas GI juga menjadikan berbagai penelitian dengan hasil yang berbeda-beda menjadi

biasa. Bisa diringkas bahwa ada perubahan-perubahan utama dalam penuaan yang berkaitan

dengan penurunan refleks protektif UES dan sfingter, perubahan fungsi LES, dan tekanan

kanalis anal. Selain itu, fungsi sensoris dan persepsi viseral tetap penting, namun sering

terlewatkan dalam fungsi GI karena nampaknya menurun secara bermakna seiring penuaan.

Dari sudut pandang ini, perubahan GI yang berhubungan dengan umur relatif subklinis.

Perubahan ini menjadi faktor predisposisi gangguan menelan atau defekasi lebih lanjut bila

terjadi stroke dan/atau efek obat-obatan yang superimpos. Karena populasi lansia meningkat,

dan kontrol penyakit juga lebih baik, maka banyak hal yang perlu dilakukan untuk dapat

memehami efek penuaan terhadap fungsi GI secara tepat.

IMPLIKASI TERHADAP TERAPI DAN PROGNOSIS

Stroke merupakan penyaki tersering yang mendasari pneumonia aspirasi. Tingkat

mortalitas karena pneumonia aspirasi cukup tinggi selama fase akut stroke. Pada pasien lansia

dalam fase kronis stroke, risiko kematian karena pneumonia aspirasi masih tetap tinggi.

Aspirasi dengan kemungkinan menimbulkan pneumonia aspirasi merupakan komplikasi akut

dari disfagia yang terpenting, mengenai hingga 1/3 pasien-pasien dengan disfagia. Oleh

15

Page 16: Perubahan Patofisiologis Traktus Gastrointestinal Pada Stroke Iskemik

karena itu, kesulitan menelan penting mempengaruhi keluaran pasca stroke, khususnya pada

pasien-pasien lansia, dan menggambarkan prognosis yang buruk, meningkatkan risiko

infiltrasi paru, malnutrisi, disabilitas menetap, lama rawat yang memanjang, harus dirawat di

pusat rehabilitasi saat pulang, atau kematian.

Menelan pulih pada sebagian besar pasien dalam 2-4 minggu setelah onset stroke.

Oleh karena itu diperlukan diagnosis yang tepat dan segera dimulai usaha rehabilitasi

(termasuk pemberian makan dengan selang). Proses tersebut memerlukan alat skrining yang

valid. Penggunaan fungsi refleks muntah tidak dapat didukung namun bisa digunakan sebagai

salah satu komponen atau digunakan bersamaan dengan alat yang tervalidasi. Adanya

disfagia klinis menunjukkan peningkatan risiko infeksi salurannafas bawah, namun tiadanya

disfagia tidak menyingkirkannya. Aspirasi yang diamati dengan videofluoroscopic

swallowing study (VSS) juga menggambarkan peningkatan risiko, meskipun tidak selalu

universal. Eksplorasi lebih lanjut mengenai hubungan antara aspirasi dan penumonia

diperlukan. VSS dianggap sebagai standar emas untuk diagnosis disfagia, namun memiliki

keterbatasan karena persyaratan fisiknya dan kadang dipengaruhi oleh aturan tidak standar

mengenai pelaksanaannya dan apakah berhubungan dengan makan pada jam makan. Masih

banyak celah untuk pengembangan dan alternatif prosedur diagnosis di masa mendatang.

Bila skrining merupakan langkah awal yang penting, maka pentingnya manajemen

ditandai dengan perkembangan infeksi saluran nafas bawah pada pasien disfagia yang

mengalami aspirasi meskipun tanpa intake oral. Pemberian makan dengan tube efektif untuk

suplai nutrisi pada pasien-pasien ini namun mengenai keamanannya masih kontroversial.

Sama halnya dengan NGT, gastrostomi tube tidak memberikan perlindungan terhadap

kolonisasi sekret oral dan diketahui meningkatkan refluks gastro-esofageal. Namun, selain

penelitian oleh Norton dkk, penelitian lain menemukan tingkat kejadian aspirasi yang sama

antara gastrostomi tube dan NGT.

Aspek Terapeutik di Masa Mendatang

Input sensorik diketahui penting untuk memulai dan modulasi proses menelan yang

normal, hal ini paling baik ditunjukkan dengan penelitian klinis menggunakan anestesia

permukaan orofaring yang menghasilkan disfagia pada subjek manusia sehat. Pengamatan ini

menunjukkan bahwa input aferen sensorik berperan penting dalam modulasi menelan

dibanding sebagai prasyarat mutlak. Kini terbukti bahwa stimulasi sensoris faring pada

pasien-pasien disfagia setelah stroke dapat menyebabkan peningkatan eksitabilitas korteks

16

Page 17: Perubahan Patofisiologis Traktus Gastrointestinal Pada Stroke Iskemik

motorik menelan pada hemisfer yang tidak terkena, yang berhubungan dengan perbaikan

fungsional untuk kemampuan menelan.

Penelitian terkini menunjukkan bahwa repetitive transcranial magnetic stimulation

(rTMS) pada korteks motorik menelan menginduksi efek jangka panjang terhadap

eksitabilitas proyeksi kortikobulber meunju faring dalam hal frekuensi maupun otot

spesifiknya. Efek ini sama dengan yang dihasilkan oleh stimulasi listrik faringeal. Satu

implikasi yang muncul, dapat menjadi subjek untuk penelitian yang aman, adalah bahwa

rTMS dapat menjadi metode alternatif enhancement kortikal pada pasien stroke dengan

disfagia bila telah terjadi kerusakan sistem sensorik. Mekanisme neural efek jangka panjang

rTMS terhadap korteks manusia masih belum jelas.

KESIMPULAN

Menelan dan motilitas GI tergantung pada koordinasi aktivitas neuromuskuler

volunter dan involunter. Stroke iskemik dapat mengganggu modulasi neural orofaringeal

dan/atau motilitas GI dengan mengganggu atau mengubah aliran informasi dari korteks

menuju pusat regulasi yang lebih rendah. Kini, usaha-usaha untuk menghbuungkan lokasi

dan ukuran lesi serebri fokal dengan berbagai disfungsi GI dilakukan menggunakan teknik

PET dan MRI yang baru. Modalitas pencitraan ini dapat membantu medefinisikan secara

lebih tepat regio-regio otak yang penting secara fungsional yang terlibat dalam kontrol fungsi

GI pada binatang coba dengan iskemia fokal dan juga pada pasien stroke iskemik. Selain

mekanisme fisiologis menalan yang pasti, lokasi kortikal dan medular yang tepat dari

berbagai daerah yang terlibat dan pertanyaan mengenai lateralisasi dari refleks menelan

masih menjadi perdebatan, karena belum ada penelitian yang terperinci. Perubahan insidensi

atau patofisiologi perdarahan GI atau pengosongan GI setelah stroke dibanding penyakit lain

harus diperiksa dengan referensi khusus untuk perubahan farmakodinamik dan

farmakokinetik. Di masa mendatang, teknologi pencitraan otak dan molekuler dapat

membantu menentukan strategi terapi baru, yang ditujukan untuk mencapai perbaikan

fungsional dini dengan neurorehabilitasi dan reorganisasi neuronal pasca iskemia serebri.

17