Perubahan Pada Remaja Tanpa Ayah

7
PERUBAHAN PADA REMAJA TANPA AYAH Keluarga inti adalah keluarga yang terdiri dari ayah,dan anak. Selama beberapa dekade terakhir, keutuhan keluarga inti telah mengalami banyak perubahan. Perubahan struktur keluarga ini disebabkan oleh kematian salah satu oarng tua,kelahiran anak di luar pernikahan,dan meningkatnya jumlah perceraian. Perubahan tersebut kemudian mengakibatkan adanya keluarga tanpa ayah atau keluarga tanpa ibu Dalam Social Readjustment Rating Scale (SRRS) yang dikembangkan oleh Holmes dan Rahe dinyatakan bahwa kematian pasangan hidup,perceraian,perpisahan dalam pernikahan,dan kematian anggota keluargab dekat berada dalam peringkat lima besar skor stres yang tertinggi. Penelitian Creed,Derogatis,dan Coons; serta Gruen menemukan bahwa makin tinggi skor pada SRRS maka makin tinggi pula tingkat kerawanan terhadap penayakit fisik dan berbagai masalah psikologis. Perubahan Subyek Setelah Ketiadaan Ayah Jawaban subyek dikelompokkan oleh peneliti dalam sejumlah kategori Pertama,masalah perilaku,meliputi contoh jawaban subyek menjadi susah diatur oleh ibu atau menjadi jarang ada di rumah. Kedua ,masalah emosi,contohnya subyek merasa kesepian,merasa kurang diperhatiakan,merasa mudah murung atau sedih. Ketiga ,lebih tegar ,mandiri,rohani,dan patuh pada ibu adalah kelompok jawaban subyek yang mengalami perubahan positif setelah ketiadaan ayah. Sebagian besar subyek tanpa ayah mengaku mengalami masalah emosi. Namun dalam jumlah yang sama, ada pula subyek tanpa ayah yang justru mengalami perubahan

description

makalah

Transcript of Perubahan Pada Remaja Tanpa Ayah

PERUBAHAN PADA REMAJA TANPA AYAH Keluarga inti adalah keluarga yang terdiri dari ayah,dan anak. Selama beberapa dekade terakhir, keutuhan keluarga inti telah mengalami banyak perubahan. Perubahan struktur keluarga ini disebabkan oleh kematian salah satu oarng tua,kelahiran anak di luar pernikahan,dan meningkatnya jumlah perceraian. Perubahan tersebut kemudian mengakibatkan adanya keluarga tanpa ayah atau keluarga tanpa ibu Dalam Social Readjustment Rating Scale (SRRS) yang dikembangkan oleh Holmes dan Rahe dinyatakan bahwa kematian pasangan hidup,perceraian,perpisahan dalam pernikahan,dan kematian anggota keluargab dekat berada dalam peringkat lima besar skor stres yang tertinggi. Penelitian Creed,Derogatis,dan Coons; serta Gruen menemukan bahwa makin tinggi skor pada SRRS maka makin tinggi pula tingkat kerawanan terhadap penayakit fisik dan berbagai masalah psikologis. Perubahan Subyek Setelah Ketiadaan Ayah Jawaban subyek dikelompokkan oleh peneliti dalam sejumlah kategori Pertama,masalah perilaku,meliputi contoh jawaban subyek menjadi susah diatur oleh ibu atau menjadi jarang ada di rumah. Kedua ,masalah emosi,contohnya subyek merasa kesepian,merasa kurang diperhatiakan,merasa mudah murung atau sedih. Ketiga ,lebih tegar ,mandiri,rohani,dan patuh pada ibu adalah kelompok jawaban subyek yang mengalami perubahan positif setelah ketiadaan ayah. Sebagian besar subyek tanpa ayah mengaku mengalami masalah emosi. Namun dalam jumlah yang sama, ada pula subyek tanpa ayah yang justru mengalami perubahan positif yaitu menjadi lebih tegar,mandiri,rohani,dan lebih patuh pada ibu, Penyebab Ketiadaan Ayah Ketiadaan ayah baik karena kematian maupun perceraian adalah perubahan hidup yang menimbulkan stres dan menuntut individu berespon dalam melakukan penyesuaian diri. Namun bentuk respon subyek terhadap stress pada penelitian ini adalah respon emosional dan respon perilaku. Respon emosional berupa rasa duka (grief). Bentuk grief subyek adalah rasa kesepian dan kesedihan. Menurut Lazarus serta Woolfolk dan Richardson grief memang dapat menjadi salah satu respon emosional terhadap kematian ataupun perceraian. Ketiadaan ayah memiliki dua sisi yaitu di satu sisi memunculkan respon perubahan yang negatif,namun di sisi lain juga mendorong perubahan positif bagi kehidupan subyek.

Menurut Santrock,perceraian adalah masalah berat bagi kondisi emosi remaja karena berkaitan dengan konflik yang berpengaruh lebih besar bagi remaja daripada perubahan struktur keluarga itu sendiri. Jadi remaja yang berasal dari keluarga bercerai lebih jauh lebih mungkin mengalami masalah emosi dari pada remaja yang ayahnya meni ngggal,karena konflikyang muncul pada situasi sebelum dan sesudah perceraian. Remaja yang mengalami ketiadaan ayah saat usia mereka 0-4 tahun sebagian besar merasa tidak mengalami perubahan apa-apa. Beberapa subyek yang dimintakan informasi lebih lanjut mengaku bahwa mereka tidak tahu bahwa ayah mereka sudah tidak ada. Mereka baru mengetahui hal itu setelah usia mereka lebih dewasa. Hetherington,Hagan,dan Anderson yang menjelaskan beberapa hal yang mempengaruhi respon anak kecil terhadap perceraian yaitu terbatasnya kemampuan kognitif dan social anak,besarnya ketergantungan anak terhadap orangtua, dan kemungkinnan kurangnya perhatian orangtua pada anak setiap harinya. Karena terbatasnya pemahaman kognitif dan social pada saat anak-anak maka mereka belum memahami kejadian seputar ketiadaan ayah. Sementara itu sebagian besar remaja yang mengalami ketiadaan ayah pada usia 5 sampai 10 tahun menjadi lebih tegar,mandiri,rohani,dan patuh pada ibu. Boyd dan Bee menjelaskan bahwa anak pada usia sekolah dapat lebih memahami secara kognitif pengalaman perceraian daripada anak dengan usianya yang lebih muda. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa grief dapat menjadi salah satu respon emosional terhadap kematian atau perceraian terdapat empat fase grief . empat fase tersebut adalah deniel,pain atau distress,realization,dan acceptance . hal ini membuat mereka mampu menerima peristiwa ketiadaan ayah dalam berkelurga mereka dan mengambil sikap positif. Sebagian besar remaja ya ng mengalami ketiadaan ayah pada usia 11 tahun sampai dengan 15 tahun (usia remaja) justru mengalami masalah emosi (merasa kesepian,merasa kesedihan,serta merasa kurang diperhatikan). Jender Subyek Diketahui bahwa remaja laki-laki juga mengalami masalah emosi dengan presentase yang tidak terlalu jauh dibandingkan remaja perempuan. Sementara itu remaja laki-laki dan remaja perempuan sama-sama dapat bersikap lebih tegar,mandiri,rohani,dan patuh pada ibu. Subyek yang merasa kehilangan figur ayah sebagian besar adalah subyek laki-laki. Hal ini disebabkan kehadiran orangtua yang sama jendernya lebih berperan besar dalam mengajarkan peran gender. Grinder (1978) juga menjelaskan kehadiran ayah adalah faktor penting sebagai model peran jender bagi remaja laki-laki. Jadi peneliti menduga subyek laki-laki lebih merasakan kehilangan figur ayah dan mengalami masalah emosi karena ayah adalah model peran bagi subyek laki-laki. Persepsi Subyek terhadap Perubahan yang Dialami Ibu Setelah Ketiadaan Ayah Peneliti juga menanyakan pada subyek mengenai perubahan apa yang dialami oleh ibu subyek setelah ayah tiada. Pertama,bekerja lebih keras. Pada kategori ini contoh jawaban subyek seperti ibu bekerja lebih keras,mencari pekerjaan,mencari tambahan penghasilan. Kedua malah emosi. Subyek mempersepsi ibunya mengalami kesepian,murung,dan emosi negatif lainnya. Ketiga lebih tegar adalah kelompok jawaban yang menyatakan adanya perubahan positif yang dialami ibu setel ah ketiadaan ayah;s seperti lebih tegar,mandiri,memperhatikan anak-anak,dan lebih bijaksana. Keempat , kehilangan figur suami. Subyek memang menjawab demikian dan ditambah dengan sedikit kalimat bahwa ibu sedang berusaha mencari pengganti ayah. Kelima , malah ekonomi. Subyek menyatakan bahwa kehidupan ekonomi mereka menjadi lebih sulit setelah ayah tiada. Keenam,masalah kesehatan. Subyek menjawab ibunya menjadi sering sakit-sakitan setelah ayah tiada. Ketujuh ,tidak ada. Pada kategori jawaban ini,subyek merasa bahwa ibunya tidak mengalami perubahan apa-apa setelah ayah tiada. Bagi Keluarga Utuh yang Sedang Mempertimbangkan Perceraian Peneliti memberikan saran bagi keluarga utuh yang berada dalam konflik atau berada di ambang perceraian mengenai perlunya pertimbangan yang matang. Hendaknya pasangan tidak semata-mata memikirkan perubahan struktur keluarga saja tetapi mempertimbangkan pula kualitas relasi yang sudah terbentuk selam ini dengan anak-anak dan bagaimana relasi dengan anak pasca-perceraian. Boyd dan Bee menyarankan agar keluarga utuh yang ada dalam konflik dan mungkin sedang berfikir mengenai perceraian, sebaiknya menghindari pertengkaran di depan anak-anak. Konflik yang terbuka memiliki dampak yang lebih buruk pada anak,terlepas dari apakah nantinya orangtua bercerai atau tidak. Bagi Keluarga Tanpa Ayah Ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh keluarga tanpa ayah, baik karena perceraian maupun kematian,guna mengurangi resiko akibat negatif ketiadaan ayah bagi perkembangan remaja. Pertama, perlunya dukungan sosial yang berkualitas dari lingkungan sekitar sebelum remaja mencapai tahap penerimaan terhadap ketiadaan ayah. Bagi keluarga tanpa ayah,meski masalah emosional yang muncul akibat ketiadaan ayah tidak selalu bersifat serius nmun dukungan yang berkualitas (dari teman,sekolah,keluarga,dan masyrakat sekitar) bagi remaja tanpa ayah hendaknya tetap diberikan, khususnya sebelum remaja mencapai tahap penerimaan. Kedua ,pada keluarga yang bercerai,ayah hendaknya tetap memberikan dukungan finansial dan emosional bagi remajanya. Ketiga pada keluarga yang bercerai hendaknya remaja tinggal dengan orang tua yang berjender sama. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa remaja laki-laki tanpa ayah lebih banyak mengalami masalah emosi dan kehilangan figur ayah. Boyd dan Bee (2006) menyarankan pada keluarga yang bercerai agar anak remaja sebaiknya tinggal bersama orangtua yang berjender sama dengannya. Meski daa penelitian masih belum konsisten,namun menurut Lee et al. tinggal dengan orangtua yang berjender sama dengan anak dapat mengurangi resiko stres yang dialami setelah perceraian. Selain itu, tinggal dengan orangtua yang berjender sama,membantu remaja dalam perkembangan peran jendernya. Keempat , ibu sebagai sebagai orangtua tunggal perlu memperhatikan respon distressnya dan anak remajanya akibat ketiadaan ayah,baik karena perceraian atau kematian,serta mempelajari coping yang sesuai dalam melalui tahap-tahap grief . Bagi Remaja tanpa Ayah Remaja yang kehilangan seorang ayah hendaknya tidak selalu mengasosiasikan keluarga tanpa dengan hal-hal yang negatif. Karena meski remaja tanpa ayah akan mengalami masalah emosional,namun hanya 25% remaja tanpa ayah yang mengalami masalah emosional yang serius. Ketiadaan ayah menurut hasil penelitian ini juga tidak selalu berdampak nragtif. Ada pula remaja tanpa ayah yang setelah melalui peristiwa ketiadaan ayah menjadi lebih tegar,mandiri,lebih mendekatkan diri kepada tuhan,dan memiliki relasi yang lebih baik dengan ibu sebagai orangtua

tunggal. Remaja tanpa ayah juga perlu menyadari adanya tahapan grief . yang harus dilalui sebelum menerima ketiadaan ayah,namun yang terpenting di sini adalah melakukan coping yang tepat dalam tahap-tahap tersebut Bagi Penelti Selanjutnya Peneliti selanjutnya disarankan mengkaji kecerdasan emosional remaja pada keluaraga tanapa ibu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa remaja dari keluarga utuh maupun keluarga tanpa ayah memiliki kecerdasan emosional yang cukup tinggi. Remaja dari keluarga utuh dan kelurga tanpa ayah ini diduga tidak memilki kedekatan emosional yang signifikan dengan ayah. Peneliti merasa perlunya penelitian yang berkaitan dengan ketiadaan ibu karena sebagian besar subyek justru merasa lebih dekat secara emosional dengan ibu daripada ayah. Adanya observational learning pada remaja tanpa ayah terhadap respon ibu terhadap ketiadaan ayah membuat peneliti menduga adanya kemungkinnan kecerdasan emosional remaja berkaitan dengan kecerdasan emosional ibu. Hal ini mungkin saja terjadi mengingat relasi ibu dan remaja yang lebih dekat secara emosional sehingga ibu menjadi model dan mentor bagi kecerdasan emosional anak remajanya.