Pertanggungjawaban Pengelolaan Keuangan Negara.docx

14
PERTANGGUNG JAWABAN PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA Pengertian Uu no 15 tahun 2004 paa! 1 ang"a # Tanggung Ja$a% Keuangan Negara a&a!ah "e$a'i%an Pe(erintah untu" (e!a"ana"an penge!o!aan "euangan negara e)ara terti%* taat pa&a peraturan perun&ang e,iien* e"ono(i* e,e"ti,* &an tranparan* &engan (e(perhati"an raa "ea "epatutan- 1 Pertanggung'a$a%an Penge!o!aan Keuangan Negara. Pen/a(paian !aporanpertanggung'a$a%an "euangan pe(erintah /ang (e(enuhi prinip+prinip tepat $a"tu &an &iuun &engan (engi"uti tan&ar a"untani pe(er /ang te!ah &iteri(a e)ara u(u( Pen'e!aan UU 1# Tahun 200 Butir 3- 2 prinip /ang ter"an&ung &a!a( Paa! 2 a/at 13 UU 1 45 (engenai Penge!o!aan Keuangan Negara 6%ertanggung 'a$a% untu" e%ear+%earn/a "e(a"(uran ra"/at7 i(eni Pertanggung'a$a%an Keuangan* Bu"an &ini!ai e"a&ar &ari !aporan a"hir &ia(pai"an* na(un e'a" a$a! peran)angan* pe(%ahaan* &an pengeahan* erta pe!a"anaan- Bu"an e"a&ar ,or(a!ita proe&ur* (e!ain"an e)ara u%tanti, 'uga haru (e(enuhi unur pertanggung'a$a%an BAB 8999 PERTANGGUNGJAWABAN PELAK:ANAAN APBN AN APB Paa! 0 13 Prei&en (en/a(pai"an ran)angan un&ang+un&ang tentang pertanggung'a$a%an pe!a"anaan APBN "epa&a PR %erupa !aporan "euangan /ang te!ah &iperi"a o!eh Ba&an Pe(eri"a Keuangan* e!a(%at+!a(%atn/a ; ena(3 %u!an ete!ah tahun anggara %era"hir- 23 Laporan "euangan &i(a"u& eti&a"+ti&a"n/a (e!iputi Laporan Rea!iai Nera)a* Laporan Aru Ka* &an <atatan ata Laporan Keuangan* /ang &i!a(piri &engan !aporan "euangan peruahaan negara &an %a&an !ainn/a- Paa! 1 13 Gu%ernur=Bupati=Wa!i"ota (en/a(pai"an ran)angan peraturan &aerah tentang pertanggung'a$a%an pe!a"anaan APB "epa&a PR %erupa !aporan "euangan /ang te!ah &iperi"a o!eh Ba&an Pe(e+ ri"a Keuangan* e!a(%at+!a(%atn/a ; ena(3 %u!a 1 Undang-undang No 15 tahun 2004 tentang Pembendaharaan Negara 2 Undang-undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

Transcript of Pertanggungjawaban Pengelolaan Keuangan Negara.docx

PERTANGGUNG JAWABAN PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA

PengertianUu no 15 tahun 2004 pasal 1 angka 7 Tanggung Jawab Keuangan Negara adalah kewajiban Pemerintah untuk melaksanakan pengelolaan keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, dan transparan, dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.[footnoteRef:1] [1: Undang-undang No 15 tahun 2004 tentang Pembendaharaan Negara]

Pertanggungjawaban Pengelolaan Keuangan Negara: Penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang memenuhi prinsip-prinsip tepat waktu dan disusun dengan mengikuti standar akuntansi pemerintah yang telah diterima secara umum (Penjelasan UU 17 Tahun 2003 Butir 9).[footnoteRef:2] [2: Undang-undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara]

prinsip yang terkandung dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 mengenai PengelolaanKeuangan Negara? bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

Dimensi Pertanggungjawaban Keuangan, Bukan dinilai sekadar dari laporan akhir disampaikan, namun sejak awal proses perancangan, pembahasan, dan pengesahan, serta pelaksanaan. Bukan sekadar dari sisi formalitas prosedur, melainkan secara substantif juga harus memenuhi unsur pertanggungjawaban

BAB VIIIPERTANGGUNGJAWABAN PELAKSANAANAPBN DAN APBDPasal 30 (1) Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.(2) Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBN, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan negara dan badan lainnya.

Pasal 31 (1) Gubernur/Bupati/Walikota menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Peme- riksa Keuangan, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.(2) Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBD, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan daerah.Pasal 32(1) Bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31 disusun dan disajikan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan.(2) Standar akuntansi pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun oleh suatu komite standar yang independen dan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah setelah terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari Badan Pemeriksa Keuangan.

KERUGIAN NEGARA Pengertian Kesalahan pengelolaan Keuangan negara menyebabkan peruntukannya tidak tepa sasaran dan menimbulkan kerugian negara. Kesalahan terjadi karena pelakunya melakukan kesengajaan atau kelalaian dalam mengelola keuangan negara. Kesalahannterjadi karena pelakunya melakukan kesengajaan atau kelalaian dalam mengelola keuangan negara.[footnoteRef:3] [3: Prof.Dr.muhammad Djafar Saidi, S.H, M.H, hukum keuangan negara, RajaGrafindo Persada, Jakrta:2011, hal.109]

Menurut para ahli:

Menurut UU No. 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan Negara, pada pasal 1 ayat (2) berbunyi :Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.Menurut UU No. 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, Kerugian Negara menurutPasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi No. 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No.20 tahun 2001 adalah : Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negaraKerugian negara dari aspek UUP3KN dapat terjadi pada dua tahap sebgaimana dikemukakan oleh Djoko Sumaryanto[footnoteRef:4], yaitu pada tahap dana akan masuk pada kas negara dan pada tahap dana akan keluar dari kas negara. [4: M. tuanakotta, Theodorus, 2009; Menghitung Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Ghalia Indonesia]

Pemahaman kerugian Negara ini dapat disimpulkan mengandung tiga unsur, yaitu:1. Berkurangnya keuangan Negara;2. Bersifat nyata dan pasti jumlahnya;3. Sebagai akibat perbuatan melawan hukum.Terpenuhi tidaknya ketiga unsur inilah yang penulis buktikan untuk menentukan terjadi tidaknya kerugian Negara dalam proses penyelamatan Bank Century.Pembuktian Unsur-Unsur Kerugian Negara dalam Proses Penyelamatan Bank Century 1. Berkurangnya keuangan NegaraPenyelamatan Bank Century mengharuskan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menanggung seluruh biaya serta mengambil alih kendali bank tanpa mengikutsertakan pemilik dan pemegan saham lama. Menkanisme yang digunakan LPS adalah penyertaan modal sementara dengan total penggunaan dana Rp 6,7 triliun. Berkaitan dengan batasan kerugian Negara yang hanya terjadi dalam ranah keuangan negara, maka untuk menentukan terjadi tidaknya kerugian Negara harus diketahui status keuangan LPS.Pasal 81 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (selanjutnya disebut UU LPS) menyebutkan modal awal LPS ditetapkan sekurang-kurangnya Rp 4 Triliun dan sebesar-besarnya Rp 8 Triliun. Modal awal LPS tersebut merupakan asset Negara yang dipisahkan. Selain modal awal, kekayaan LPS juga berasal dari premi yang dibayarkan bank-bank yang dijamin oleh LPS. Sebagian pihak yang berpendapat telah terjadi kerugian Negara mendasarkan asalan pada kenyataan bahwa modal LPS berasal dari APBN.Oleh karena itu, pertanggungjawabannya juga tunduk dalam mekanisme APBN. Perlu diingat, dalam UU Keuangan Negara, kekayaan Negara yang dipisahkan masuk dalam ranah keuangan Negara. Menurut Siswo Sujanto, Negara dalam UU Keuangan Negara mengandung dua persepesi. Pertama, Negara dipersepsikan seabgai pemegang kekuasaan (ototritas) yang mendapat mandat dari rakyat untuk menyediakan dan membela kepentingan masyarakat (public interest). Kedua, Negara dilihat tidak semata sebagai otoritas melainkan juga individu. Hal ini terkait dengan tindakan ataupun langkah-langkah pemerintah di bidang perekonomian melalui sistem pengeluarannya yang tidak lagi dapat dibedakan dengan individu pelaku ekonomi pada umumnya.Peran pemerintah sebgai otoritas selalu berorientasi kepada pemenuhan pelayanan public yang dibiyai melalui sektor perpajakan atau penerimaan lain. Oleh karena itu, layanan tersebut diberikan secara cuma-cuma kepada masyarakat dalam bentuk barang kebutuhan umum. Sebaliknya, peran Negara sebgai individu pelaku ekonomi berorientasi kepada pemumpukan keuntungan. Berkaitan dengan pembedaan tersebut, dikenal konsep kekayaan Negara yang tidak dipisahkan dan kekayaan negara yang dipisahkan. Kekayaan negara yang tidak dipisahkan adlaah kekayaan Negara yang digunakan untuk mendukung kegiatan pemerintah sebagai otoritas dan dikelola dengan sistem APBN, sedang kekayaan negara yang dipisahkan adalah kekayaan Negara yang digunakan dalam rangka pelaksanaan peran sebagai individu pelaku ekonomi pada umumnya yang tidak melalui sistem APBN.Maka, dengan menggunakan alur berpikir dalam kerangka UU Keuangan Negara tersebut, kekayaan Negara yang dipisahkan/ditanamkan pada LPS termasuk dalam lingkup keuangan Negara, namun aktiva dan pasiva LPS tidak termasuk neraca APBN. Penyertaan modal pemerintah dalam LPS merupakan kekayaan Negara yang dipisahkan yang pengelolaannya tunduk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang LPS dan tindak tunduk pada administrasi keuangan Negara. Uang yang dikeluarkan oleh LPS dalam menangani Bank Century dalam bentuk penyertaan modal sementara tidak masuk dalam pengertian peneluaran Negara.Pemetaan sedikit berbeda bila dilakukan sesuai pendapat Hekinus Manao tentang kekayaan yang dipisahkan. Menurut Hekinus Manao, keuangan Negara dengan uang Negara harus dibedakan. Sesuai dengan UU keuangan Negara, yang disebut keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban itu. Keuangan Negara meliputi hak Negara memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, melakukan pinjaman, menyleenggarakan tugas layanan umum pemerintah Negara, dan membayar tagian pihak ketiga, selain juga penerimaan dan pengeluaran daerah serta surat berharga, seperti piutang, kekayaan yang dipisahkan, kekayaan pihak lain dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintah, dan kekayaan pihak lain di mana fasilitas Negara digunakan.Adapun uang Negara adalah uang yang dipisahkan bendahara umum Negara. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2007 tentang pengelolaan Uang Negara/Daerah. artinya tidak semua keuangan Negara adalah uang Negara. Masih menurut Hekinus, dalam hal penyertaan modal lewat LPS di Bank Century bukan uang Negara meski termasuk keuangan Negara. Alasanannya, meski modal awal masuk dari APBN, itu bukan lagi uang Negara melainkan kekayaan Negara yang dipisahkan. Sebab, sudah bercampur dengan premi yang disetorkan bank peserta penjamin. Dana itu tidak lagi dikelola bendahara umum Negara dan bendahara umum Negara tidak bisa mengambil lagi dana itu. Dana LPS bukan lagi uang Negara, tetapi kekayaan Negara yang dipisahkan. Penggunaan dan itu tunduk pada rezim hukum atau aturan LPS, bukan UU APBN.Sebagai perbandingan adalah perselisihan antara MA dengan BPK menyangkut biaya perkara. MA menyatakan uang titipan itu bukan uang Negara, sedangkan BPK menilai sebagai uang Negara. Dalam hal ini BPK benar karena uang itu dikelola bendahara umum di pengadilan atau di MA. Dana itu masuk kategori uang ngera.Sementara bila mendasarkan pada pendapat Arifin P. Soeria Atmaja yang dengan tegas meletakkan kekayaan Negara yang dipisahkan di luar ranah keuangan Negara, maka seluruh kekayaan LPS tidak bsia dipertanggungjawabkan dalam ranah keuangan Negara. Hal ini disebabkan karena keuangan yang dipisahkan sebagai akibat tindakan hukum tersebut sudah tidak tunduk lagi pada ketentuan perundang-undangan di bidang hukum public. Telah terjadi transformasi status hukum uang negera (uang public) menjadi uang perseroan (uang privat). Konsekuensi ini tentu berlaku pula untuk status hukum keuangan LPS yang berasal dari APBN.Erman Rajagukguk juga menekankan transformasi status hukum kekayaan Negara yang dipisahkan sebagai modal awal LPS dengan analogi pendirian suatu badan hukum berupa perseroan terbatas.Kalau saya menyetor modal berupa tanah saya yang saya pisahkan dari kekayaan saya ketika perseroan terbatas sudah berstatus badan hukum, saya tidak bisa menyatakan tanah tersebut adalah milik saya lagi. Tanah tersebut yang menjadi modal perseoran adalah tanah kekayaan perseroan sebagai badan hukum. Bila perseroan mendapat uang dari hasil usahanya, tidak bsia saya mengatakan itu milik saya. Begitu pula LPS yang mendapat premi dari penjaminan simpanan nasabah pada bank-bank yang ikut serta dalam program LPS, premi tersebut adalah uang LPS bukan uang Negara.Berdasarkan pengumuman LPS NomorPeng.005/KE/XII/2009tentang Langkah-Langkah Penanganan Bank Century oleh LPS dijelaskan hal-hal sebagai berikut:1. Dalam rangka penganganan Bank Century, LPS telah menyetor biaya penangangan yang merupakan penyertaan modal sementara LPS pada Bank Century dengan total sebesar Rp6,76 Triliun untuk memenuhi ketentuan tingkat kesehatan bank.2. Biaya penanganan tersebut merupakan tambahan modal Bank Century yang disetorkan secara tunai sebesar Rp5,31 triliun dan dalam bentuk penyerahan Surat Utang Negara senilai Rp1,45 Triliun. Dalam rangka memastikan adanya akuntabilitas yang memadai, penetapan biaya penanganan dilakukan dalam 4 tahap yang merupakan satu kesatuan yang didasarkan pada data/assessmentdari Bank Indonesia dan Kantor Akuntan Publik (KAP). Penetapan biaya penanganan dilakukan pada tanggal 23 November 2008 sebesar Rp2,77 triliun, tanggal 5 Desember 2008 sebesar Rp 2,20 triliun, tanggal 3 Februari 2009 sebesar Rp1,16 Triliun, dan tanggal 21 Juli 2009 sebesar Rp630 miliyar.3. Sumber dana untuk penyertaan modal sementara berasal dari kekayaan LPS yang sampai akhir bulan Oktober 2009 berjumlah Rp18 Triliun, termasuk penyertaan modal sementara pada Bank Century Rp6,76 triliun. Kekayaan tersebut terutama berasal dari mdoal awal sebesar Rp4 triliun, penerimaan premi dari bank peserta penjamin selama 4 tahun sebesar Rp12,9 Triliun dan hasil investasi SUN/BI. Dengan demikian, penyertaan modal sementara tersebut dapat tertutupi dari premi yang diterima.Dari data di atas terlihat penyelamatan Bank Century belum menyentuh modal awal LPS yang berasal dari APBN sebesar Rp4 triliun. Kekayaan LPS untuk menangani bank gagal dari permi dan bukan dana APBN yang disetor, sebagai modal awal pada tahun 2004. Oleh karena itu, LPS tidak membutuhkan izin DPR untuk menggunakan dananya dalam rangka penanganan bank gagal. Kalaupun ada sebagaian pihak yang tetap menganggap modal awal LPS yang berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan sebagai bagian keuangan Negara yang harus turut dipertanggungjawabkan sebagaiamana mekanisme pertanggungjawaban dalam ranah hukum public, maka akan terbantahkan dengan sendirinya karena modal awal tersebut tetap utuh.2. Sifat kerugian Negara yang Nyata dan Pasti JumlahnyaUU perbendaharaan Negara mensyaratkan kerugian Negara harus bersifat nyata dan pasti jumlahnya. Frasa nyata dan pasti jumlahnya ditafsirkan sebagai kerugian yang benar-benar telah terjadi dan besarannya dapat diperkirakan dalam hitungan yang obyektif. Konsekuensi perumusan ini melahirkan benturan substansial terhadap perumusan kerugian Negara dalam UU PTPK, mengingat perumusan dalam UU PTPK mengakomodasi kerugian yang masih bersifat kemungkinan atau biasa disebut kerugian potensial.Perbedaan ini menunjukkan adanya kehendak pembaharuan pemahaman kerugian Negara dari pembuat UU Perbendaharaan Negara. Dengan mensyaratkan kerugian Negara dari pembuatan UU Perbendaharaan Negara. Dengan mensyaratkan kerugian yang nyata dan pasti jumlahnya. Pembuat UU Perbendaharaan Negara menekankan sisi kepastian hukum. Rumusan frasa yang nyata dan pasti jumlahnya juga lebih memenuhi asalex certa, artinya ketentuan tersebut harus jelas dan tidak membingungkan sertalex stricta, artinya ketentuan itu harus ditafsirkan secara sempit.Penyelamatan Bank Century dilakukan melalui mekanisme penyertaan modal sementara. Menurut peraturan Lembaga Penjamin Simpanan No. 5/PLPS/2006 tentang Penanganan Bank Gagal Berdampak Sistemik, penyertaan modal sementara LPS adalah seluruh biaya penanganan bank gagal berdampak sistemik yang dikeluarkan oleh LPS untuk jangka waktu tertentu yang diperhitungkan sebagai penambahan modal disetor bank. Dengan penyertaan modal sementara LPS menanggung seluruh biaya penyelamatan Bank Century serta mengambil alih kendali bank tanpa mengikutsertakan pemilik dan pemegang saham lama.Sifat penyertaan modal adalah sementara sehingga dana yang telah dikeluarkan LPS kelak akan kembali lagi menjadi asset LPS melalui mekanisme divestasi. Divestasi dilakukan dalam jangka waktu yang tidak boleh melebihi lima tahun setelah proses penyelamatan. Dalam hal ini, jangka waktu yang ditentukan UU LPS adalah tiga tahun pertama dan dapat diperpanjang dua tahun.Dari fakta ini, unsur kerugian Negara yang harus nyata dan pasti jumlahnya tidak terpenuhi. Sampai saat ini Bank Century masiha ada dan beroperasi, hanya berganti nama menjadi Bank Mutiara. Hal yang sama juga disebutkan oleh Erma Rajagukguk:Dalam lima tahun LPS harus melepasakan penyertaan modal Bank Century (Bank Mutiara). Artinya, saham LPS pada Bank Century (Bank Mutiara) harus dijual kepada pihak lain atau dapat dijual kepada public melalui mekanisme pasar modal. Penjualan saham tersebut belum tentu mendatangkan kerugian.Memang ketika penjualan kembali asset dilakukan oleh LPS, kemungkinan terbesar tidak akan mencapai biaya penyertaan modal sebesar Rp6,76 triliun atau lebih. Tetapi yang terpenting di sini, unsur kerugian Negara yang nyata dan pasti jumlahnya tidak terpenuhi.3. Perbuatan Melawan HukumUU Perbendaharaan Negara membatasi kerugian Negara hanya terjadi sebagai akibat perbuatan melawan hukum. Bila tak terjadi perbuatan melawan hukum, baik sengaja mapun kelalaian, maka tidak ada kerugian Negara.Perbuatan melawan hukum merupakan istilah yang diterjemahkan dari bahasa Belanda, yaituonrechtmatigedalam ranah perdata danwederrechtelijkdalam ranah pidana. Dalam sistemcommon lawperbuatan melawan hukum dikenal dengan istilah thelaw of tortatauunlawful act.Pengertian perbuatan melawan hukum baisanya terbagi dua, dalam arti sempit dan dalam arti luas. Perbuatan melawan hukum dalam arti sempit diartikan sebagai perbuatan yang hanya secara langsung melanggar peraturan hukum (yang tertulis). Sedang dalam arti luas, diartikan tidak saja yang secara langsung melanggar

Dalam kasus kerugian negara, ada empat akun besar yang bisa menjadi sumber dari kerugian negara tersebut. Bapak Theodorus M. Tuanakotta dalam bukunya Menghitung Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi menggambarkannya dalam pohon kerugian keuangan negara yang dijelaskan seperti di bawah ini.Pohon kerugian keuangan negara mempunyai empat cabang, dalam hal ini yaitu akun. Masing-masing akun mempunyai cabang yang menunjukkan kaitan antara perbuatan melawan hukum dengan akun-akun tersebut. Keempat akun tersebut adalah : Aset (Asset) Kewajiban (Liability) Penerimaan (Revenue) Pengeluaran (Expenditure) Dengan menggunakan istilah bahasa Inggris di atas, pohon kerugian keuangan negara ini sering disebut dengan R.E.A.L tree.

Kerugian Keuangan Negara Berkenaan Dengan AsetTerdapat 5 sumber kerugian keuangan negara terkait dengan aset. Seperti yang dijelaskan pada bagian di bawah ini.[footnoteRef:5] [5: M. tuanakotta, Theodorus, 2009; Menghitung Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Ghalia Indonesia, hal.158-164]

1. Pengadaan Barang dan JasaBentuk kerugian keuangan negara dari pengadaan barang dan jasa adalah pembayaran yang melebihi jumlah seharusnya. Bentuk kerugian ini dapat berupa:[footnoteRef:6] [6: Prof.Dr.muhammad Djafar Saidi, S.H, M.H, hukum keuangan negara, RajaGrafindo Persada, Jakrta:2011 hal.114]

Markup untuk barang yang spesifikasinya sudah sesuai dengan dokumen tender dan kuantitasnya sesuai dengan pesanan, tetapi harganya lebih mahal. Harga secara total sesuai dengan kontrak, tetapi kualitas dan/atau kuantitas barang lebih rendah dari yang disyaratkan. Syarat penyerahan barang lebih istimewa sedangkan syarat pembayaran tetap, sehingga menimbulkan kerugian bunga. Syarat pembayaran lebih baik, tetapi syarat lainnya seperti kualitas dan kuantitas tetap, sehingga menimbulkan kerugian bunga. Kombinasi dari beberapa kerugian di atas.

2. Pelepasan AsetBentuk dan kerugian yang dapat ditimbulkan:Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.(pasal 1 angka 22 UU NO 1 tahun 2004 tentang pembendaharaan negara) Penjualan aset yang dilakukan berdasarkan nilai buku sebagai patokan dimana panitia penjualan menyetujui harga jual di atas harga buku. Sehingga, para pelaku bisa berkelit bahwa penjualan aset telah menguntungkan negara. Padahal pada kenyataannya, penjualan tersebut bisa dilakukan dengan atau tanpa tender. Praktik tender yang curang serupa dengan proses tender pada pengadaan barang dan jasa seperti yang telah dijelaskan di atas. Penjualan tanah dan bangunan diatur melalui NJOP hasil kolusi dengan pejabat terkait. NJOP di sini berperan sebagai nilai buku seperti pada poin a di atas. Tukar guling (ruilslag) tanah dan bangunan milik negara dengan tanah, bangunan, atau aset lain. Dengan demikian aset ditukar dengan aset sehingga nilai pertukarannya sulit ditentukan. Masalah lainnya adalah surat kepemilikan, penguasaan atas tanah, peruntukan tanah yang diterima dalam tukar guling. Aset negara yang bernilai tinggi di-ruilslag dengan tanah bodong (substance disamarkan melalui form). Pelepasan hak negara untuk menagih. Para makelar perkara (biasa disebut juga dengan makelar kasus atau markus) memberikan perangsang kepada penguasa untuk menghilangkan hak tagih. Atau sebaliknya, penegak hukum melihat peluang untuk berkooptasi dengan para markus. Besarnya kerugiannya bukan semata-mata hilangnya jumlah pokok, tetapi juga kerugian bunga sejak hak tagih hilang sampai terpidana membayar kembali berdasakan putusan majelis hakim.

3. Pemanfaatan AsetHal ini dilakukan ketika lembaga-lembaga negara mempunyai aset yang belum dimanfaatkan secara penuh, salah beli, atau salah urus dan pihak ketiga meihat peluang untuk memanfaatkan kekayaan negara ini, tetapi bukan melalui transaksi jual beli, seperti sewa, kerja sama operasional, atau kemitraan strategis.

Bentuk kerugian keuangan negara dari pemanfaatan aset antara lain: Negara tidak memperoleh imbalan yang layak jika dibandingan dengan harga pasar. Negara ikut menanggung kerugian dalam kerja sama operasional yang melibatkan aset negara yang dikaryakan kepada mitra usaha. Negara kehilangan aset yang dijadikan jaminan kepada pihak ketiga. Misalnya aset tersebut dijadikan sebagai inbreng. Potensi terjadinya kerugian menjadi lebih besar ketika asetnya tidak bertuan. Contohnya adalah aset yang dibangun Pemerintah Pusat dengan dana APBN, tetapi tidak tercatat sebagai aset baik di Pemerintah Pusat maupun Pemda.

4. Penempatan AsetPenempatan aset merupakan penanaman atau investasi dari dana-dana milik negara. Kerugian keuangan negara terjadi ketika adanya unsur kesengajaan menempatkan dana-dana tersebut pada investasi yang tidak seimbang antara risk dan reward-nya. Apabila mereka memiliki kelebihan dana, mereka sering tergoda untuk melakukan penempatan aset dengan risiko yang relatif tinggi dibandingkan dengan imbalannya. Ciri yang sering menonjol adalah tidak sejalannya usaha baru dengan bisnis inti. Ketika usaha barunya gagal, mereka sering berdalih bahwa ini bukanlah kerugian keuangan negara, melainkan sekadar business loss yang sangat lazim di dunia bisnis. Apabila penempatan aset memberikan hasil atau keuntungan, para pejabat dapat menerima keuntungan. Sebaliknya, ketika penempatan aset menimbulkan kerugian, mereka lepas tangan.

Penempatan aset merupakan kiat para pelaku kejahatan berkerah putih dimana seluruh transaksi didukung dengan dokumen hukum yang sah dan lengkap. Bentuk luarnya sempurna, tapi substansinya bodong.

Bentuk-bentuk kerugian negara dari penempatan aset antara lain: Imbalan yang tidak sesuai dengan risiko.Besarnya kerugian sebesar selisih bunga ditambah premi untuk faktor tambahan risiko dengan imbalan yang diterima selama periode sejak dilakukannya penempatan aset sampai dengan pengembaliannya. Jumlah pokok yang ditanamkan dan yang hilang. Besarnya kerugian sebesar jumlah pokok dan bunga.Jika ada dana-dana pihak ketiga yang ikut hilang dan ditalang oleh negara, maka kerugiannya adalah sebesar jumlah pokok dari dana talangan beserta bunganya.

5. Kredit MacetKredit diberikan dengan melanggar rambu-rambu perkreditan, baik yang ditetapkan oleh BI maupun oleh Bank BUMN itu sendiri dimana sebenarnya kredit ini sudah diperkirakan akan macet. Bankir yang menjadi koruptor tersebut akan menggunakan alasan bahwa kredit macet merupakan bagian yang tak terpisahkan dari risiko perbankan. Pemberian kredit dengan cara ini merupakan kejahatan kerah putih, dilakukan dalam bentuk kolusi antara pejabat bank dan sarat dengan benturan kepentingan.Oleh karena proses pemberian kredit dilakukan dengan cara melawan hukum, bentuk kerugian negara berupa jumlah pokok dan bunga tanpa dikurangi hair cut.

Kerugian Keuangan Negara Berkenaan Dengan Kewajiban

Terdapat 3 jenis kerugian negara berkaitan dengan kewajiban di antaranya perikatan yang menimbulkan kewajiban nyata, kewajiban bersyarat yang menjadi nyata, dan kewajiban tersembunyi.

1. Perikatan yang Menimbulkan Kewajiban NyataDokumentasinya terlihat sah, tetapi isinya sebenarnya bodong, dimana transaksi istimewa diselipkan diantara transaksi normal karena mengetahui bahwa transaksi ini akan bermasalah. Sifat fraud-nya adalah penjarahan kekayaan negara melalui penciptaan transaksi fiktif yang menyerupai transaksi normal. Bentuk kerugiannya adalah jumlah pokok kewajiban dan bunga selama periode sejak timbulnya kewajiban nyata sampai dengan pengembalian dana oleh terpidana.

2. Kewajiban yang berasal dari kewajiban bersyaratPejabat lembaga Negara, BUMN, dan lain-lain mengadakan perikatan dengan pihak ketiga yang pada awalnya merupakan contingent liability. Laporan keuangan lembaga tersebut tidak menunjukkan adanya kewajiban karena masih merupakan kewajiban bersyarat. Pada akhirnya, pihak ketiga tidak mampu memenuhi kewajibannya sehingga lembaga negara yang menjadi penjaminnya memiliki kewajiban nyata yang sebelumnya adalah kewajiban bersyarat.Bentuk kerugian keuangan negara adalah sebesar jumlah pokok kewajiban dan bunga selama periode sejak kewajiban bersyarat berubah menjadi kewajiban nyata sampai saat pengembalian dana tersebut oleh terpidana.

3. Kewajiban Tersembunyi

Kewajiban tersembunyi mencuat dalam kasus aliran dana suatu lembaga besar yang diduga untuk membantu mantan pejabatnya mengatasi masalah hukum. Dalam praktiknya, kantor-kantor akuntan yang termasuk dalam Big Four senantiasa memfokuskan suatu audit pada pengeluaran untuk masalah hukum karena legal expenses merupakan tempat persembunyian segala macam biaya yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Hal ini mengakibatkan adanya kecenderungan dari pihak pimpinan lembaga untuk membersihkan pembukuan ketika auditor menemukan penyimpangan ini, yaitu dengan dua cara:Menciptakan aset bodong untuk menghindari pengeluaran fiktif.Aset bodong tersebut dihilangkan melalui kewajiban kepada pihak yang masih terafiliasi.Bentuk kerugian negara adalah sebesar jumlah pokok kewajiban dan bunga sejak periode dana diterima oleh pelaku kejahatan sampai saat pengembaliannya.Dari ketiga jenis ranting kewajiban di atas, pola penghitungan kerugian keuangan negara cukup sederhana.

Kerugian Keuangan Negara Berkenaan dengan PenerimaanPenerimaan Negara umumnya ditetapkan dengan undang-undang, misalnya:penerimaan yang bersumber dari perpajakan atau bea dan cukai,penerimaan pemerintah yang merupakan bagian pemerintah atas pengelolaan minyak dan gas bumi, batu bara, serta mineral lainnya.penerimaan negara bukan pajak (PNBP). PNBP ini dapat ditemukan di hampir semua lembaga namun pertanggungan jawabnya tidak selalu ada atau terbuka untuk diperiksa oleh BPK, sehingga penerimaan ini rawan korupsi. Contohnya di Perguruan Tinggi, Rektor, Dekan, dan pejabat struktural lainnya mempunyai kewenangan atas PNBP.Dari Pohon Kerugian Keuangan Negara dapat kita lihat ada tiga sumber kerugian keuangan negara sebagai berikut.

1. Wajib Bayar Tidak Menyetor Kewajibannya

Inisiator: pihak ketiga yang menjadi wajib pungut.Contoh: Dalam beberapa Undang-Undang wajib bayar menghitung dana menyetorkan kewajibannya ke kas negara. Kelalaian para wajib bayak akan menimbulkan kerugian keuangan negara. Negara bukan saja tidak menerima jumlah yang menjadi kewajiban wajb bayar, tetapi juga kehilangan bunga atas penerimaan tersebut karena adanya unsur waktu (keterlambatan menyetor).

2. Penerimaan Negara Tidak Disetor Penuh oleh Pejabat yang Bertanggung JawabInisiator: Lembaga negara yang bersangkutan menjadi penyetor, namun pejabat yang berwenang tidak meminta dilakukannya setoran penuh.Contoh: Selisih antara tarif tinggi dan tarif rendah dalam pengurusan dokumen keimigrasian di Kedutaan Besar RI di Malaysia yang sudah disinggung di atas.

3. Penyimpangan dalam Melaksanakan Diskresi Berupa Pengurangan Pendapatan NegaraInisiator: Lembaga negara yang bersangkutan menjadi penyetor, namun ada kewenangan untuk melakukan pemotongan penerimaan negara.Secara substansi ketiga ranting di atas merupakan penerimaan negara yang tidak disetorkan sebagian atau seluruhnya, atau tidak disetorkan tepat waktu.Jumlah kerugian negara = sebesar jumlah penerimaan negara yang tidak disetorkan ditambah bunga untuk periode sejak saat penerimaan negara seharusnya disetorkan sampai saat terpidana mengembalikan penerimaan negara tersebut.Secara umum pola perhitungannya sama dengan pola perhitungan kewajiban, yaitu pokok ditambah bunga.

Kerugian Keuangan Negara Berkenaan dengan PengeluaranKerugian keuangan negara terjadi karena pengeluaran negara dilakukan lebih dari seharusnya, atau pengeluaran negara seharusnya tidak dilakukan, dan/atau pengeluaran negara dilakukan lebih cepat.Dari Pohon Kerugian Keuangan Negara, kerugian keuangan negara berkenaan dengan transaksi pengeluaran dapat terjadi karena hal-hal berikut.1. Kegiatan Fiktif/Pengeluaran Fiktif.Tidak dilaksanakannya kegiatan yang dicantumkan dalam anggaran (APBN, APBD, anggaran BUMN, dan seterusnya) tetapi dilaporkan seolah-olah sudah dilaksanakan.Contoh: Kepala daerah/pejabat daerah memerintahkan bawahannya untuk mencairkan dan menggunakan dana/anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukannya, kemudian mempertanggungjawabkan pengeluaran-pengeluaran dimaksud dengan menggunakan bukti-bukti yang tidak benar atau fiktif.

2. Pengeluaran Berdasarkan Ketentuan Perundang-Undangan yang Sudah Tidak Berlaku Lagi.Contoh: pengeluaran Pemda, pejabat Pemda menerbitkan peraturan daerah dengan merujuk peraturan perundang-udangan yang tidak berlaku. Kepala daerah menerbitkan peraturan daerah sebagai dasar pemberian upah pungut atau honor dengan menggunakan dasar peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang tidak berlaku lagi.3. Pengeluaran Bersifat Resmi, Tetapi Dilakukan Lebih Cepat.Contoh: dalam kasus pembayaran kepada pemasok atau kontraktor, pembayaran kepada mereka dilakukan sebelum kemajuan kerja yang disepakati tercapai.Jumlah kerugian negara = sebesar uang yang dibelanjakan untuk kegiatan fiktif, ditambah dengan bunga selama periode sejak dikeluarkannya uang tersebut sampai uang dikembalikan terpidana.

Menghitung Kerugian NegaraTerdapat beberapa perbedaan dalam menghitung kerugian keuangan negara. Hal ini telah dibuktikan dalam penelitian KPK berdasarkan 15 sampel putusan hakim atas kasus tipikor yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Berdasarkan penelitian KPK, terdapat lima konsep atau metode penghitungan kerugian keuangan negara yaitu,:[footnoteRef:7] [7: M. tuanakotta, Theodorus, 2009; Menghitung Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Ghalia Indonesia]

Kerugian keseluruhan (total loss) dengan beberapa penyesuaian. Selisih antara harga kontrak dengan harga pokok pembelian atau harga pokok produksi. Selisih antara harga kontrak dengan harga atau nilai pembanding tertentu. Penerimaan yang menjadi hak negara tapi tidak disetorkan ke Kas Negara. Pengeluaran yang tidak sesuai anggaran, digunakan untuk kepentingan pribadi atau pihak-pihak tertentu.

Bentuk-bentuk kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi.Apakah bentuk kerugian keuangan negara yang beraneka ragam itu memiliki kesamaan, sehingga pola-pola penghitungan dapat ditemukan? Atau justru sebaliknya dimana bentuk kerugian keuangan negara terlalu bervariasi.Apakah ada tingkat kerumitan yang berbeda dalam merumuskan tindak pidana korupsi yang secara interaktif dan reiterative mempengaruhi penghitungan kerugian keuangan negara.~ Dirangkum dari buku Menghitung Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi karangan Theodorus M. Tuanakotta terbitan Salemba Empat tahun 2009 ~

Tahap-Tahap Kerugian Negara

Tahap 1: Menentukan ada atau tidaknya kerugian keuangan negara

Pada tahap ini, penyelidik, penyidik, dan kemudian penuntut umum merumuskan perbuatan melawan hukumnya berdasarkan fakta hukumnya, di antaranya:- tindak pidana korupsinya- menentukan ada atau tidaknya kerugian keuangan negara- bentuk kerugian keuangan negara.Selain menganalisis fakta-fakta hukum, para penegak hukum juga melihat berapa besar peluang untuk memenangkan perkara ini di pengadilan terkait dengan kekuatan bukti dan barang bukti yang disajikan di pengadilan, yang kemudian menjadi alat bukti bagi pertimbangan majelis hakim. Dalam hal ini, para penegak hukum menentukan apakah pasal yang lebih mudah menjerat tersangka, misalnya apakah tersangka akan dijerat dengan pasal memperkaya diri atau pasal menyalahgunakan kewenangan di pasal 2 dan 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Hasil akhir dari tahap pertama adalah menentukan apakah ada kerugian keuangan negara. Hal ini terkait erat dengan produk akhir tahap kedua, yaitu menghitung besarnya sebagian keuangan negara.

Tahap 2: Menghitung kerugian keuangan negara

Pada tahap ini, pihak yang bertanggung jawab menghitung kerugian keuangan negara adalah akuntan/auditor/akuntan forensik. Di Undang-Undang, pihak yang menghitung kerugian keuangan negara disebut sebagai Ahli, seperti yang diatur dalam:

- KUHAP pasal 1 angka 28, ahli adalah seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

- UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan pasal 11 huruf c, ahli adalah BPK (bukan pribadi, anggota, karyawan, auditor)

- UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 pasal 32 ayat 1, ahli adalah instansti yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk yang menghitung jumlah kerugian negara secara nyata telah ada kerugian keuangan negara adalah kerugian negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.

Mengenai teknis menghitung keuangan negara akan dibahas pada bagian berikutnya. Tahap pertama (menentukan kerugian keuangan negara) dan tahap kedua (menghitung kerugian keuangan negara) sangat berhubungan erat, prosesnya interaktif dan reiterative, oleh karena itu kedua tahap ini praktis berakhir bersamaan. Kedua ini berlangsung terus sampai penegak hukum dan akuntan forensik siap dengan penuntutan di pengadilan. Berdasarkan bukti dan barang bukti yang dapat dihimpun sampai saat itu, mereka dapat memutuskan:mengumpulkan bukti dan barang bukti tambahan mengupayakan pemulihan kerugian keuangan negara melalui jalur hukum perdata atau hukum adminsitratif menghentikan penyelidikan (oleh KPK) atau penyelidikan/penyidikan (oleh Kepolisian dan Kejaksaan)Bila pada akhir tahap pertama dan kedua, penyidik menyimpulkan:tidak terdapat cukup bukti untuk membuktikan unsur tindak pidana korupsi tetapi secara nyata telah ada kerugian negara, maka penyidik menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan (pasal 32 ayat 1 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001). Penjelasan pasal 32 ayat 1 menegaskan bahwa yang dimaksud dengan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara adalah kerugian negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk. Didukung dengan pasal 32 ayat 2 bahwa putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara.

Tahap 3: Menetapkan kerugian keuangan negaraDalam tindak pidana korupsi, tahap ketiga merupakan putusan majelis hakim, baik di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung.

Tahap 4: Menetapkan besarnya pembayaran uang penggantiTahap keempat terkait dengan pemidanaan dalam tindak pidana korupsi. Pembayaran uang pengganti merupakan salah pidana tambahan dalam UU Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam pasal 18 ayat 1 poin ketiga pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.