Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup

download Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup

of 23

Transcript of Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup

BAB I

PENDAHULUANI.1. Latar BelakangKejahatan korporasi (corporate crime) merupakan salah satu wacana yang timbul dengan semakin majunya kegiatan perekenomian dan teknologi. Corporate crime bukanlah kasus baru, melainkan kasus lama yang senantiasa berganti kemasan. Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa perkembangan zaman serta kemajuan peradaban dan teknologi turut disertai dengan perkembangan tindak kejahatan berserta kompleksitasnya. Di sisi lain, ketentuan Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia belum dapat menjangkaunya dan senantiasa ketinggalan untuk merumuskannya. Tindak pidana (crime) dapat diidentifikasi dengan timbulnya kerugian (harm), yang kemudian mengakibatkan lahirnya pertanggungjawaban pidana atau criminal liability.

Salah satu kasus dari kejahatan korporasi yang saat ini berkembang adalah dalam bidang pengelolaan lingkungan hidup. Adanya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia bertujuan untuk melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup. Selain itu juga menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia, menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem serta pelestarian fungsi lingkungan dalam rangka pembangunan berkelanjutan agar terpenuhinya keadilan bagi generasi masa kini dan generasi masa depan.

Saat ini hukum lingkungan telah berkembang dengan pesat, bukan saja dalam hubungannya dengan fungsi hukum sebagai perlindungan, pengendalian dan kepastian hukum bagi masyarakat (social control) dengan peran agent of stability, tetapi lebih menonjol lagi sebagai sarana pembangunan (a tool of social engineering) dengan peran sebagai agent of development atau agent of change. Sebagai disiplin ilmu hukum yang sedang berkembang, sebagian besar materi hukum lingkungan merupakan bagian dari hukum administrasi (administratief recht). Dari substansi hukum menimbulkan pembidangan dalam hukum lingkungan administrasi, hukum lingkungan keperdataan dan hukum lingkungan kepidanaan.

Persoalan lingkungan menjadi semakin kompleks, tidak hanya bersifat praktis, konseptual, dan ekonomi saja, tetapi juga merupakan masalah etika, baik sosial maupun bisnis. Oleh karenanya, diperlukan pengaturan dalam bentuk hukum demi menjamin kepastian hukum. Hukum pidana yang ada tidak hanya melindungi alam, flora dan fauna, tetapi juga masa depan kemanusiaan yang kemungkinan menderita akibat degradasi lingkungan hidup.

Dikarenakan materi bidang lingkungan sangat luas (meliputi sumber daya manusia, sumber daya alam hayati, sumber daya alam non hayati dan sumber daya buatan) tidak mungkin diatur secara lengkap dalam satu undang-undang, tetapi memerlukan seperangkat peraturan perundang-undangan dengan arah yang serupa. Oleh karena itu sifat UUPLH adalah mengatur ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup yang memuat asas-asas dan prinsip pokok, sehingga berfungsi sebagai social (umbrella act) bagi penyusun peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan bagi penyesuaian peraturan perundang-undangan yang telah ada.I.2. Rumusan Masalah

Bagaimana pengontrolan atau pengawasan yang dilakukan melalui jalur hukum dapat berlaku efektif bagi korporasi yang diduga melakukan tindak pidana lingkungan hidup di Indonesia ?Kemudian jika dalam pengawasan tersebut, ditemukan adanya kegiatan yang dilakukan untuk dan atas nama suatu korporasi, yang terbukti mengakibatkan kerugian bagi lingkungan hidup, bagaimanakah pertanggungjawaban hukumnya terhadap korporasi tersebut ?

BAB II

PEMBAHASAN

II.1. Definisi KorporasiKorporasi adalah suatu bentuk organisasi dengan tujuan tertentu yang bergerak dalam bidang ekonomi atau bisnis. Sebuah korporasi menurut hukum perdata adalah suatu legal person (rechtspersoon), yang merupakan suatu badan hukum dan memiliki sifat sebagai legal personality. Artinya, dapat melakukan perbuatan hukum serupa halnya dengan manusia (natuurlijke persoon). Korporasi sebagai badan hukum sudah tentu memiliki identitas hukum tersendiri. Identitas hukum suatu korporasi atau perusahaan terpisah dari identitas hukum para pemegang sahamnya, direksi, maupun organ-organ lainnya. Dalam kaidah hukum perdata (civil law), jelas ditetapkan bahwa suatu korporasi atau badan hukum merupakan subjek hukum perdata dapat melakukan aktifitas jual beli, dapat membuat perjanjian atau kontrak dengan pihak lain, serta dapat menuntut dan dituntut di Pengadilan dalam hubungan keperdataan. Para pemegang saham menikmati keuntungan yang diperoleh dari konsep tanggung jawab terbatas, dan kegiatan korporasi berlangsung terus-menerus, dalam arti bahwa keberadaannya tidak akan berubah meskipun ada penambahan anggota-anggota baru atau berhentinya atau meninggalnya anggota-anggota yang ada.

II.2. Kejahatan Korporasi

Blacks Law Dictionary menyebutkan kejahatan korporasi atau corporate crime adalah any criminal offense committed by and hence chargeable to a corporation because of activities of its officers or employees (e.g., price fixing, toxic waste dumping), often referred to as white collar crime. Kejahatan korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan oleh dan oleh karena itu dapat dibebankan pada suatu korporasi karena aktifitas-aktifitas pegawai atau karyawannya (seperti penetapan harga, pembuangan limbah), sering juga disebut sebagai kejahatan kerah putih.

Sally. A. Simpson yang mengutip pendapat John Braithwaite menyatakan kejahatan korporasi adalah conduct of a corporation, or employees acting on behalf of a corporation, which is proscribed and punishable by law. Simpson menyatakan bahwa ada tiga ide pokok dari definisi Braithwaite mengenai kejahatan korporasi. Pertama, tindakan ilegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan perilaku kriminal kelas sosio-ekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Karenanya, yang digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi. Kedua, baik korporasi (sebagai subyek hukum perorangan legal persons) dan perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan (as illegal actors), dimana dalam praktek yudisialnya, bergantung pada antara lain kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan. Ketiga, motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang pula oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur organisasional.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia memang hanya menetapkan bahwa yang menjadi subjek tindak pidana adalah orang persorangan (legal persoon). Pembuat undang-undang dalam merumuskan delik harus memperhitungkan bahwa manusia melakukan tindakan di dalam atau melalui organisasi yang dalam hukum keperdataan maupun di luarnya (misalnya dalam hukum administrasi) muncul sebagai satu kesatuan dan karena itu diakui serta mendapat perlakuan sebagai badan hukum atau korporasi. Berdasarkan KUHP, pembuat undang-undang akan merujuk pada pengurus atau komisaris korporasi jika mereka berhadapan dengan situasi seperti itu. Sehingga, jika KUHP Indonesia saat ini tidak bisa dijadikan sebagai landasan untuk pertanggungjawaban pidana oleh korporasi, namun hanya dimungkinkan pertanggungjawaban oleh pengurus korporasi. Di Belanda sendiri, sebagai tempat asal KUHP Indonesia, pada tanggal 23 Juni 1976 korporasi diresmikan sebagai subjek hukum pidana dan ketentuan ini dimasukkan ke dalam Pasal 51 KUHP Belanda (Sr.), yang isinya menyatakan antara lain : Tindak pidana dapat dilakukan baik oleh perorangan maupun korporasi, jika suatu tindak pidana dilakukan oleh korporasi, penuntutan pidana dapat dijalankan dan sanksi pidana maupun tindakan yang disediakan dalam perundang-undangan sepanjang berkenaan dengan korporasi, dapat dijatuhkan. Dalam hal ini, pengenaan sanksi dapat dilakukan terhadap korporasi sendiri, atau mereka yang secara faktual memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana yang dimaksud, termasuk mereka yang secara faktual memimpin pelaksanaan tindak pidana dimaksud, atau korporasi atau mereka yang dimaksud di atas bersama-sama secara tanggung renteng.

Di Negara Amerika Serikat sanksi pidana dipergunakan pada urutan terakhir sekali, yaitu sebagai ultimum remedium. Kebijakan penegakan hukum seperti ini bisa dipahami mengingat tingginya kesadaran hukum dari masyarakat maupun pihak pengusaha di Negara maju tersebut. Mereka yang berpendapat bahwa sanksi pidana penjara dapat dijatuhkan terhadap badan hukum disebabkan karena perkembangan dalam ilmu hukum pidana bahwa tidak hanya orang seorang atau kelompok orang (seperti dalam Pasal 55 KUHPidana) saja yang dapat dijatuhi sanksi pidana, tetapi berkembang menjadi badan hukum atau korporasi juga dapat dijatuhi sanksi pidana penjara melalui pengurus, direktur atau karyawan dari badan hukum itu (fysiek daderschap). Hanya saja dalam praktek penegakan hukumnya tidak mudah, ada beberapa hambatan, contohnya dalam bidang lingkungan hidup adalah kesulitan dalam hal pembuktian, mengingat dalam menyelesaikan kasus-kasus pencemaran melibatkan banyak dimensi, seperti keprofesionalan aparatnya (melibatkan para ahli lingkungan) yang dimulai dari awal penyelidikan hingga akhir perkaranya, dan biaya serta waktu yang tidak sedikit.

Konsep pertanggungjawaban pidana oleh korporasi sebagai pribadi (corporate criminal liability) merupakan hal yang masih mengundang perdebatan. Banyak pihak yang tidak mendukung pandangan bahwa suatu korporasi yang wujudnya semu dapat melakukan suatu tindak kejahatan serta memiliki criminal intent yang melahirkan pertanggungjawaban pidana. Disamping itu, mustahil untuk dapat menghadirkan di korporasi dengan fisik yang sebenarnya dalam ruang Pengadilan dan duduk di kursi Terdakwa guna menjalani proses peradilan.

Meskipun KUHP Indonesia saat ini tidak mengikutsertakan korporasi sebagai subyek hukum yang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana, namun korporasi mulai diposisikan sebagai subyek hukum pidana dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 7/Drt/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Di Indonesia, salah satu peraturan yang mempidanakan kejahatan korporasi adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup. Hal ini dapat dilihat dari isi Pasal 46 (11) yang mengadopsi doktrin vicarious liability yang dipakai di Amerika Serikat. Menurut doktrin ini, apabila pekerja suatu korporasi melakukan suatu tindak pidana dalam lingkup pekerjaannya dan dengan maksud menguntungkan korporasi, tanggung jawab pidananya dapat dibebankan kepada korporasi. Ini bertujuan mencegah perusahaan melindungi diri dan melepas tanggung jawab dengan melimpahkannya pada para pekerjanya. Ajaran vicarious liability biasanya berlaku dalam hukum perdata tentang perbuatan melawan hukum (the law of tort), yang kemudian diterapkan pada hukum pidana.

Meskipun tidak digariskan secara jelas seperti dalam KUHP Belanda, berdasarkan sistem hukum pidana di Indonesia pada saat ini terdapat 3 bentuk pertanggungjawaban pidana dalam kejahatan korporasi berdasarkan regulasi yang sudah ada, yaitu dibebankan pada korporasi itu sendiri, seperti diatur dalam Pasal 65 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No. 38/2004 tentang Jalan. Kemudian dapat pula dibebankan kepada organ atau pengurus korporasi yang melakukan perbuatan atau mereka yang bertindak sebagai pemimpin dalam melakukan tindak pindana, seperti yang diatur dalam Pasal 20 ayat 2 Undang-Undang No. 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang No. 31/2004 tentang Perikanan. Kemudian kemungkinan berikutnya adalah dapat dibebankan baik kepada pengurus korporasi sebagai pemberi perintah atau pemimpin dan juga dibebankan kepada korporasi, contohnya seperti dalam Pasal 20 ayat 1 Undang-Undang No. 31/1999.

Pada umumnya tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia atau orang pribadi. Oleh karena itu hukum pidana selama ini hanya mengenal orang seorang atau kelompok orang sebagai subyek hukum, yaitu sebagai pelaku dari suatu tindak pidana. Hal ini bisa dilihat dalam perumusan pasal-pasal KUHP yang dimulai dengan kata barangsiapa yang secara umum mengacu kepada orang atau manusia.

Dangan adanya kejahatan korporasi menunjukkan realitas bahwa korporasi semakin memegang peranan yang penting dalam kehidupan masyarakat. Keraguan pada masa lalu untuk menempatkan korporasi sebagai subyek hukum pidana yang dapat melakukan tindak pidana dan sekaligus dapat dipertanggung jawabkan sdalam hukum pidana, sudah bergeser. Keberadaan korporasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, seperti dikatakan oleh I. S. Susanto, telah memberikan sumbangan yang besar baik berupa pajak maupun devisa, sehingga korporasi nampak sangat positif. Namun di sisi lain kita juga menyaksikan perilaku negatif yang ditunjukkan oleh korporasi seperti pencemaran, pengurasan sumber daya alam yang terbatas, persaingan curang, manipulasi pajak, eksploitasi terhadap buruh, produk-produk yang membahayakan kesehatan pemakainya serta penipuan terhadap konsumen. Diantara perilaku-perilaku seperti inilah yang kemudian oleh pakar disebut sebagai kejahatan atau tindak pidana korporasi.

Kejahatan korporasi merupakan kejahatan yang serius, bahkan lebih serius ketimbang kejahatan perampokan dan penipuan. Hal ini disebabkan karena dalam kejahatan perampokan dan penipuan, korban yang terkena terbatas pada korban yang berhadapan langsung dengan pelaku, atau dengan kata lain bahwa pelaku yang terkena kejahatan tersebut adalah tertentu dan terbatas sifatnya. Dampak kejahatannya tidak mesti mengambil orang-orang (masyarakat) tertentu sebagai korban. Kejahatan korporasi juga menimbulkan kerugian, akan tetapi jumlah kerugian yang diderita oleh korban tidak terbatas dan tidak dapat dihitung secara pasti. Bahkan dalam kejahatan korporasi banyak hal-hal yang merugikan tanpa dapat disangka dan diduga, seperti polusi udara, pencemaran lingkungan dan lain-lain. Keberadaan (eksistensi) korporasi sebagai subjek hukum (pidana) itu ditentukan dan didasarkan atas kekuatan peraturan perundang-undangan, suatu karya yang diciptakan oleh hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum, sehingga sungguh tidak masuk akal jika korporasi hanya dapat melakukan tindakan yang melulu sesuai dengan aturan undang-undang (hukum) yang berlaku. Manusia sendiri sebagai subjek hukum alamiah (natuurlijke persoon) dalam beberapa hal juga melakukan pelanggaran hukum apalagi badan hukum (korporasi) yang seperti diketahui berorientasi pada profit (laba/keuntungan), maka adalah mustahil dalam aktifitas kegiatannya yang mengutamakan keuntungan itu tidak pernah melakukan pelanggaran hukum.

Permasalahan hukum pidana dalam menghadapi kejahatan korporasi disebabkan karena perbuatan pidana korporasi itu selalu dilakukan secara rahasia, sukar untuk diketahui dan dideteksi dan bahkan sering kali para korbanpun tidak mengetahui kerugian yang sebenarnya dialaminya. Hanya sedikit kasus-kasus tindak pidana korporasi yang diungkapkan untuk diajukan ke Pengadilan, maka menuntut pertanggungjawaban korporasi akan memberikan efek pencegahan yang lebih besar ketimbang meminta pertanggungjawaban dari pengurusnya. Tentunya tidak menutup kemungkinan untuk secara bersama juga menuntut orang yang langsung bertanggung jawab atas perbuatan korporasi tersebut. Direksi dan pejabat-pejabat korporasi lainnya bisa dikenakan penjatuhan pertanggungjawaban pidana jika mereka bertindak sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan orang lain untuk : i) melegalkan suatu kegiatan atau suatu kelalaian yang menjadi tindak kejahatan, ii) mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa kegiatan atau kelalaian itu merupakan tindak pidana, iii) mengetahui bahwa tindakan itu dilakukan atau akan dilakukan, dan iv) tidak atau gagal mengambil langkah yang memungkinkan untuk mencegah dilakukannya tindakan itu, maka mereka dapat dipidana atau dibebankan tanggung jawab. Menurut Stefanus Hariyanto, yang dijatuhi hukuman pidana adalah perusahaannya. Jika pengurus atau pimpinan juga ikut dipidana maka persoalannya sudah menjadi personal crime. Adapun sanksi pidananya adalah denda, tidak termasuk penjara. Agar individu-individu yang dianggap bertanggung jawab atas pencemaran lingkungan hidup dapat dipidana, maka individu-individu tersebut harus didakwa bukan hanya korporasi. Dalam hukum pidana ada asas kulpabilitas, sehingga harus dibuktikan bahwa seseorang bisa dipidana apabila memang terbukti bersalah. Artinya tidak bisa secara otomatis sanksi pidana dialihkan dari corporate crime menjadi personal crime.

II.3. Analisis Penegakan Hukum Dalam Tindak Pidana LingkunganIndonesia sebagai Negara hukum, diharuskan mengatur segala permasalahan berdasarkan norma hukum yang berlaku. Hukum lingkungan mengatur hubungan hukum antara unsur-unsurnya sehingga dalam pengelolaan lingkungan hidup berorientasi pada pelestarian fungsi dari lingkungan untuk kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan. Hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan mengikat kepada masyarakat dan ditaatinya karena hukum (peraturan perundang-undangan) dibuat oleh pejabat yang berwenang atau memang masyarakat mengakuinya karena hukum tersebut dinilai sebagai suatu hukum yang hidup di dalam masyarakat itu. Hukum lingkungan dipahami berdasarkan ajaran-ajaran hukum pada umumnya, namun harus juga memperhatikan metode pendekatan dalam pengelolaan lingkungan hidup, menggunakan metode utuh menyeluruh (Komprehensif-integral) dengan selalu mengutamakan keselarasan dan kelestarian.

Tanggung jawab Negara terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup baik sumber daya manusia, sumber daya alam dan sumber daya buatan harus didukung oleh berbagai peraturan dan peran serta berbagai pihak yang berkepentingan baik pemerintah, pemerintah daerah, korporasi dan masyarakat dengan sudut pandang bahwa setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Dalam rumusan pengertian lingkungan haruslah juga dipandang bahwa manusia termasuk di dalamnya sebagai bagian dari lingkungan serta setiap perilakunya akan mempengaruhi alam. Kegiatan usaha yang dilakukan oleh korporasi sebagai legal person (rechtspersoon), yang merupakan suatu badan hukum dan memiliki sifat sebagai legal personality memberikan dampak positif bagi pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat, namun dapat juga memberikan dampak negatif, apabila kegiatan yang dilakukan berdampak besar dan penting terhadap lingkungan apabila kegiatan usaha tersebut menimbulkan pencemaran atau perusakan lingkungan. Hukum lingkungan yang mencakup penaatan dan penegakan hukum (compliance and enforcement), meliputi bidang hukum administrasi Negara, bidang hukum perdata dan bidang hukum pidana. Suatu kegiatan usaha yang dilakukan oleh korporasi harus menempuh proses penaatan hukum dengan mengajukan berbagai macam persyaratan perizinan untuk mengkaji layak tidaknya suatu kegiatan usaha dilakukan. Pada prinsipnya setiap kegiatan usaha akan memberikan dampak terhadap lingkungan sekitar, namun besar kecilnya dampak tergantung jenis kegiatan usaha, dan sebagaian besar kegiatan usaha di bidang pengelolaan lingkungan yang memanfaatkan dan atau mengeksploitasi unsur-unsur dalam lingkungan memiliki dampak besar dan penting terhadap lingkungan.

Pencemaran atau perusakan lingkungan yang dilakukan oleh korporasi merupakan salah satu unsur bagi pemberlakuan proses penegakan hukum lingkungan yang mempunyai arti tindakan represif. Dalam hukum lingkungan dikenal salah satu asas subsidiaritas yang mengedepankan upaya hukum lain sebelum memberlakukan hukum pidana yaitu penegakan hukum administrasi Negara, hukum perdata dan penyelesaian sengketa di luar Pengadilan. Hal ini berarti bahwa sanksi pidana baru diterapkan apabila sanksi administrasi dan/atau sanksi perdata tidak berhasil untuk menanggulangi masalah atau mencegah suatu perbuatan anti sosial dalam masyarakat. Kebijakan penegakan hukum tersebut umumnya dapat diterapkan di Negara-Negara maju mengingat tingginya kesadaran hukum dari masyarakat maupun pihak pengusahanya. Sementara di Negara-Negara berkembang, seperti halnya di Indonesia, merupakan hal yang sering kita jumpai di mana masyarakat di dalam upaya memenuhi kebutuhan sehari-hari sering mengabaikan kelestarian lingkungan alam sekitarnya. Demikian pula dengan para pengusaha atau badan hukum yang bergerak di bidang industri, sehingga limbah industri mereka buang ke dalam sungai. Dan Penerapan asas ultimum remedium dibatasi hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu yang juga diatur dalam norma, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan. Berdasarkan Pasal 97 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tindak pidana lingkungan dikategorikan sebagai kejahatan, sehingga dalam tanggung jawab pidananya dapat dibebankan kepada organ yang ada dalam korporasi. Ini bertujuan mencegah perusahaan melindungi diri dan melepas tanggung jawab dengan melimpahkannya pada para pekerjanya. Dan dalam Pasal 116-120 yang pada intinya menyatakan bahwa apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha dan/atau orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.

Adanya Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tersebut membuka peluang sebesar-besarnya bagi pencemaran atau perusakan lingkungan yang berdampak besar kepada lingkungan untuk mengedepankan penegakan hukum pidana sebagai pilihan utama (premium remedium) apabila pencemaran atau perusakan tidak terkait dengan pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan karena undang-undang ini juga mengkategorikannya baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan sebagai pelanggaran dan bukan sebagai kejahatan lingkungan.

Pada prinsipnya penegakan hukum lingkungan administrasi, perdata dan pidana dapat diterapkan secara bersama-sama, dikarenakan tujuan dari masing-masing berbeda. Penegakan hukum administrasi ditujukan untuk pencabutan izin agar suatu kegiatan usaha tidak secara terus menerus melakukan pencemaran, penegakan hukum perdata ditujukan untuk ganti kerugian dan pemulihan lingkungan dan penegakan hukum pidana ditujukan untuk memberikan efek jera dan presedence kepada korporasi lainnya agar tidak melakukan pencemaran atau perusakan lingkungan.

Apabila dikaji lebih lanjut penegakan hukum lingkungan dapat dikategorikan apabila suatu kegiatan usaha melakukan pencemaran atau perusakan lingkungan. Pencemaran yang didefinisikan masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan dimana pencemarannya masih dapat dipulihkan dapat diterapkan asas ultimum remedium dengan penyelesaian melalui penegakan hukum administrasi berkaitan dengan izin dan hukum perdata untuk memberikan ganti kerugian dan pemulihan lingkungan dan dimungkinkan menyelesaikan sengketa dengan mekanisme di luar Pengadilan (negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau arbitrase). Namun disisi lain apabila pencemaran sudah dikategorikan pencemaran berat yang telah merusak fungsi lingkungan, penerapan asas ultimum remedium dapat dikesampingkan, dan penegakan hukum lingkungan administrasi, perdata dan pidana dapat diterapkan secara bersama-sama (simultan).

Dalam tindak pidana lingkungan bagi korporasi, adanya Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur hal-hal antara lain :

1. Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada :

a. Badan usaha; dan/atau

b. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.

2. Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.3. Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga.4. Terhadap tindak pidana badan hukum, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar Pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional.5. Badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa :

a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana.b. Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan.c. Perbaikan akibat tindak pidana;

d. Pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/ataue. Penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.Sanksi bagi tindak pidana lingkungan secara jelas telah diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009. Hal yang memberikan perbedaan dengan sanksi pidana biasa pada tindak pidana lingkungan terdapat pada pidana tambahan dan pengkajian lebih lanjut antara lain :

1. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana belum terdapat pengaturan lebih tegas mengenai manfaat dan peruntukan perampasan keuntungan yang dimaksud.

2. Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan sebenarnya dapat juga dijatuhkan melalui sanksi administrasi yaitu pencabutan izin usaha melalui Pengadilan Tata Usaha Negara.

3. Perbaikan akibat tindak pidana masih belum dapat didefinisikan secara jelas mengingat perbaikan akibat tindak pidana khususnya bagi kerusakan lingkungan menjadi tidak terukur dan dapat menjadi tumpang tindih dengan kewajiban pemulihan lingkungan pada penegakan hukum perdata.4. Pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak cukup sulit didefinisikan, dikarenakan dalam pencemaran berat atau perusakan lingkungan cenderung fungsi lingkungan akan sulit untuk dipulihkan ke keadaan semula.

5. Penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun dalam pelaksanaannya diperlukan manager lingkungan yang bertugas mengembalikan fungsi manajemen lingkungan korporasi sebagaimana sebelum terjadi pencemaran atau perusakan, pada dasarnya sanksi tambahan ini ditujukan untuk tetap menjaga keberlangsungan kegiatan korporasi, namun bentuk dan pengaturannya belum secara tegas dan diatur dalam peraturan perundang-undangan.Pada kenyataannya banyak perusahaan atau badan hukum yang bergerak di bidang industri tidak mengolah limbahnya sebagaimana seharusnya sehingga menyebabkan pencemaran lingkungan. Walaupun telah banyak usaha-usaha yang dilakukan Pemerintah, seperti Program Langit Biru, Program Kali Bersih (Prokasih) dan sebagainya, namun pencemaran masih berjalan terus. Dalam rangka menanggulangi masalah pencemaran, terdapat beberapa hal yang dilakukan diantaranya campur tangan Pemerintah dengan mengeluarkan peraturan-peraturan, bahkan Pemerintah dapat menerapkan pajak subsidi untuk pengelolaan lingkungan, juga dapat diterapkan standar kualitas lingkungan, tarif-tarif limbah dan sebagainya.

Agar pengontrolan atau pengawasan melalui jalur hukum yang dilakukan terhadap korporasi yang diduga melakukan pencemaran dapat berlaku secara efektif, maka hukum dalam aktifitasnya ditegakkan dengan dukungan sanksi, baik sanksi administrasi, sanksi perdata, sanksi pidana, serta tindakan tata tertib. Keempat bentuk sanksi ini diatur dalam pasal-pasal Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Selama ini sanksi pidana yang banyak dijatuhkan terhadap badan hukum yang mencemari atau merusak lingkungan hidup adalah sanksi pidana denda. Dan lebih mendahulukan penerapan sanksi administrasi dan sanksi perdata. Apabila kedua sanksi tersebut tidak berhasil, barulah kemudian digunakan sanksi pidana karena sifatnya hanya sebagai sanksi subsider. Akan tetapi, dalam menerapkan sanksi administrasi dan sanksi perdata pada kasus pencemaran lingkungan hidup masih memiliki beberapa kelemahan diantaranya :

a. Pada umumnya proses perkara perdata relatif memerlukan waktu yang cukup lama, karena kemungkinan pihak pencemar akan mengulur-ulur waktu sidang atau waktu pelaksanaan eksekusi dengan cara mengajukan banding atau kasasi, sementara pencemaran terus juga berlangsung dengan segala macam akibatnya.

b. Jangka waktu pemulihan sulit dilakukan dengan segera, dan memerlukan waktu yang cukup lama.

c. Dengan tidak menerapkan sanksi pidana, tidak menutup kemungkinan pencemar atau pencemar lain yang potensial untuk tidak melakukan pencemaran, dengan kata lain deterre effect (efek pencegahan) dari sanksi-sanksi lain tidak dapat diharapkan dengan baik.

d. Penerapan sanksi administratif dapat mengakibatkan penutupan perusahaan industri yang membawa akibat pula kepada pekerja, pengangguran akan menjadi bertambah, dapat menimbulkan kejahatan dan kerawanan sosial ekonomi lainnya.

Ada beberapa beberapa faktor yang mempengaruhi pihak Kepolisian lebih sering menindak aksi-aksi kejahatan konvensional yang secara nyata dan faktual dan terdapat dalam aktifitas sehari-hari masyarakat dibandingkan dengan menindak kejahatan korporasi. Pertama, kejahatan-kejahatan yang dilaporkan oleh masyarakat hanyalah kejahatan-kejahatan konvensional. Aktivitas aparat Kepolisian sebagian besar didasarkan atas laporan anggota masyarakat, sehingga kejahatan yang ditangani oleh Kepolisian juga turut bersifat konvensional. Kedua, pandangan masyarakat cenderung melihat kejahatan korporasi atau kejahatan kerah putih bukan sebagai hal-hal yang sangat berbahaya, dan juga turut dipengaruhi. Ketiga, pandangan serta landasan hukum menyangkut siapa yang diakui sebagai subjek hukum pidana dalam hukum pidana Indonesia. Keempat, tujuan dari pemidanaan kejahatan korporasi lebih kepada adanya perbaikan dan ganti rugi, berbeda dengan pemidanaan kejahatan lain yang konvensional yang bertujuan untuk menangkap dan menghukum. Kelima, pengetahuan aparat penegak hukum menyangkut kejahatan korporasi masih sangat minim, sehingga terkadang terkesan enggan untuk menindak lanjutinya secara hukum dan kejahatan korporasi sering melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dengan status sosial yang tinggi. Hal ini dinilai dapat mempengaruhi proses penegakan hukum. Dalam tindak pidana lingkungan ini, kerugian dan kerusakan lingkungan hidup tidak hanya yang bersifat nyata (actual harm), tetapi juga bersifat ancaman kerusakan potensial, baik terhadap lingkungan hidup maupun kesehatan umum. Disebabkan kerusakan maupun kesehatan umum seringkali tidak seketika timbul dan tidak mudah dikualifikasi. Olek karenanya, generic crime yang relatif berat sebaiknya dirumuskan sebagai tindak pidana materiil. Namun untuk tindak pidana yang bersifat khusus (specific crimes) yang melekat pada hukum administrasi dan lebih ringan, bisa dilakukan perumusan yang bersifat formil tanpa harus menunggu pembuktian dari akibat yang terjadi.BAB IIIPENUTUPIII.1. Kesimpulan

Korporasi adalah suatu organisasi dengan tujuan tertentu yang bergerak dalam bidang ekonomi atau bisnis, sehingga kejahatan korporasi disebut sebagai kejahatan yang bersifat organisatoris, yaitu suatu kejahatan yang terjadi dalam konteks hubungan-hubungan yang kompleks dan harapan-harapan diantara dewan direksi, eksekutif dan manejer disuatu pihak dan diantara kantor pusat, bagian-bagian dan cabang-cabang pada pihak lain.

Kejahatan korporasi merupakan kejahatan yang besar dan sangat berbahaya sekaligus merugikan kehidupan masyarakat, kendatipun di pihak lain ia juga memberi kemanfaatan bagi kehidupan masyarakat dan Negara. Dikatakan besar, oleh karena kompleksnya komponen-komponen yang bekerja dalam satu kesatuan korporasi, sehingga metode pendekatan yang dilakukan terhadap korporasi tidak bisa lagi dengan menggunakan metode pendekatan tradisional yang selama ini berlaku dan dikenal dengan metode pendekatan terhadap kejahatan konvensional. Dari hasil-hasil penelitian tentang kejahatan korporasi atau badan hukum, menunjukkan bahwa pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi dapat digolongkan ke dalam enam jenis : yaitu pelanggaran hukum administrasi, pencemaran lingkungan, finansial, perburuhan, manufakturing dan persaingan dagang yang tidak fair. Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 adalah memberikan sanksi pidana terhadap badan hukum yang melakukan pencemaran berupa kurungan penjara atau denda.

Dalam pengontrolan atau pengawasan yang dilakukan oleh jalur hukum terhadap korporasi yang diduga melakukan pencemaran lingkungan dapat berlaku efektif, jika hukum dalam aktifitasnya ditegakkan dengan dukungan sanksi, baik sanksi administrasi, sanksi perdata, sanksi pidana, serta tindakan tata tertib. Keempat bentuk sanksi ini diatur dalam pasal-pasal Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Kemudian jika dalam pengawasan tersebut, ditemukan kegiatan atau aktifitas yang dilakukan untuk dan atas nama suatu korporasi, yang terbukti mengakibatkan kerugian bagi lingkungan hidup, pertanggungjawaban hukum terhadap korporasi tersebut berlaku kepada mereka yang memberi perintah atau yang menjadi pemimpin dalam perbuatan tersebut. Pertanggungjawaban pidana dari pimpinan korporasi dan atau pemberi perintah, keduanya dapat dikenakan hukuman secara berbarengan. Hukuman tersebut bukan karena perbuatan fisik atau nyatanya, tetapi berdasarkan fungsi yang diembannya di dalam suatu perusahaan. Pada tanggung jawab korporasi, yang dijatuhi hukuman pidana adalah perusahaannya dengan sanksi pidana denda, tidak termasuk penjara. Apabila individu-individu dianggap bertanggung jawab atas pencemaran lingkungan hidup, maka untuk dapat dipidana individu-individu tersebut harus didakwa. Dalam hal ini tidak bisa secara otomatis sanksi pidana dialihkan dari corporate crime menjadi personal crime.

III.2. Saran

Dengan pertimbangan dampak yang dapat ditimbulkan oleh kejahatan korporasi baik bagi masyarakat, perekonomian, pemerintahan dan aspek-aspek lainnya yang berbahaya, bahkan lebih serius dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan oleh bentuk-bentuk kejahatan yang konvensional, maka harus ada konsistensi dan landasan yang solid dalam hukum untuk dapat membebankan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi.

Untuk tindak pidana korporasi dalam bidang lingkungan, saat ini harus lebih diefektifkan sanksinya, dengan tujuan untuk mendidik masyarakat sehubungan dengan kesalahan moral yang berkaitan dengan perilaku yang dilarang, dan mencegah atau menghalangi pelaku potensial agar tidak melakukan perilaku yang tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup. Dengan demikian tindak pidana lingkungan sepenuhnya tergantung pada hukum lain. Kondisi ini dianggap wajar, namun mengingat pentingnya lingkungan hidup yang baik dan sehat dan kedudukannya sebagai tindak pidana ekonomi serta kompleksitas kepentingan yang dilindungi baik yang bersifat antroposentris maupun ekosentris, maka ketentuan khusus (specific crime) perlu dilengkapi dengan pengaturan yang bersifat umum dan mandiri terlepas dari hukum lain.

Selain itu, diperlukan perhatian studi yang lebih mendalam, baik di kalangan akademis, profesional maupun aparat penegak hukum, guna membangun suatu kerangka teoritis bagi pertanggungjawaban pidana korporasi. Hal ini hendaknya diimbangi pula dengan upaya peningkatan kualitas dan kemampuan para penegak hukum yang akan menerapkannya. Mereka harus mampu dan kreatif untuk melakukan terobosan-terobosan hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Amarini, Indriati. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) (On-line). Tersedia di http://www.google.com/url?q=http://jurnal.ump.ac.id/index.php/HUKUM/article/download/287/272&sa=U&ei=Hw8wUe6KA4rxrQeFx4CgCA&ved=0CBsQFjAB&usg=AFQjCNGB7nwfTYolnOgtDbaT4AxT64HGMg, diunduh 26 Oktober 2013.

Imami, Amiruddin A. Dajaan, dkk. Asas Subsidiaritas : Kedudukan dan Implementasi dalam Penegakan Hukum Lingkungan, Bandung: PP-PSL FH-UNPAD dan Bestari, 2009.

Nasution, Bismar. Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya (On-line). Tersedia di http://bismar. wordpress.com/2009/12/23, diunduh 26 Oktober 2013.

Priyatna, Maret. Penerapan Tindak Pidana Lingkungan Bagi Korporasi Dalam Penegakan Hukum Lingkungan Di Indonesia. Law Review. Vol. XI No. 3 (Maret 2012).

Sasmito, Eko. Tindak Pidana Dan Tanggung Jawab Korporasi Di Bidang Lingkungan Hidup (On-line). Tersedia di http://apps.um-surabaya.ac.id/ jurnal/files/disk1/1/ umsurabaya-1912-ekosasmito-35-1-tindakp-.pdf, diunduh 26 Oktober 2013.

Sulaiman, Abdullah. Metode Penulisan Ilmu Hukum. Cet. Keempat. Jakarta: Yayasan Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (YPPSDM), 2012.

Susanto, I. S. Kejahatan Korporasi. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995.

Bismar Nasution, Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya (On-line), tersedia di http://bismar. wordpress.com/2009/12/23, diunduh 26 Oktober 2013.

Indriati Amarini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) (On-line), tersedia di HYPERLINK "http://www.google.com/url?q=http:// jurnal.ump.ac.id/index.php/" http://www.google.com/url?q=http:// jurnal.ump.ac.id/index.php/HUKUM/article/download/287/272&sa=U&ei=Hw8wUe6KA4rxrQeFx4CgCA&ved=0CBsQFjAB&usg=AFQjCNGB7nwfTYolnOgtDbaT4AxT64HGMg, diunduh 26 Oktober 2013.

Bismar, Op. Cit.

ibid.

ibid.

Amiruddin A. Dajaan Imami, dkk, Asas Subsidiaritas : Kedudukan dan Implementasi dalam Penegakan Hukum Lingkungan, (PP-PSL FH UNPAD dan Bestari, 2009), hal. 52.

I. S. Susanto, Kejahatan Korporasi, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995), hal. 1

Bismar, Op. Cit..

Eko Sasmito, Tindak Pidana Dan Tanggung Jawab Korporasi Di Bidang Lingkungan Hidup, HYPERLINK "http://apps.um-surabaya.ac.id/jurnal/files/disk1/1/umsurabaya-1912-ekosasmito-35-1-tindakp-.pdf" http://apps.um-surabaya.ac.id/jurnal/files/disk1/1/umsurabaya-1912-ekosasmito-35-1-tindakp-.pdf, diunduh 26 Oktober 2013

Maret Priyatna, Penerapan Tindak Pidana Lingkungan Bagi Korporasi Dalam Penegakan Hukum Lingkungan Di Indonesia, Law Review Vol. XI No. 3 (Maret 2012): hal. 361.

1