PERNIKAHAN DAN CINTA -...
Transcript of PERNIKAHAN DAN CINTA -...
BAB II
PERNIKAHAN DAN CINTA
Cinta adalah satu-satunya kebebasan di dunia karena cinta itu membangkitkansemangat hukum-hukum kemanusiaan dan gejala alami pun tidak mampu
mengubah perjalanannya. Ketika cinta memanggilmu maka dekatilah dia walaujalannya terjal berliku, jika cinta memelukmu maka dekaplah ia walau pedang
disela-sela sayapnya melukaimu.
-Gibran, Lebanon-
Sebagai sesuatu yang telah dan akan terus menerus dipraktekkan oleh
manusia, maka pernikahan dan cinta, kini telah menjadi fenomena sosial yang
menarik simpati banyak orang untuk melihatnya lebih mendalam. Fenomena ini
begitu kompleks, karenanya ada yang merasa bahagia, merasa sedih, frustasi
bahkan menjadi trauma lalu terkadang nekad mengambil tindakan-tindakan yang
tidak diinginkan. Pada bagian ini, penulis akan membahas secara singkat mengenai
pernikahan sampai pada pernikahan beda agama menurut Islam dan Kristen.
Kemudian setelah itu penulis akan menjelaskan mengenai teori cinta menurut Erich
Fromm dan John D Caputo. Berhubung karena begitu luasnya tema ini, dan juga
ketidak sesuaian topik yang akan dikaji maka, mengenai, rasa sedih, frustasi dan
trauma yang sering terjadi dalam pernikahan dan cinta, tidak akan penulis jelaskan
dalam bagian ini.
2.1. Pengertian Pernikahan
Secara umum, pernikahan merupakan tindakan sepakat antara dua insan
untuk duduk di pelaminan, kemudian hidup bersama menjalani suka-duka dalam
mengarungi dinamika bahtera kehidupan dalam berkeluarga. Dalam KBBI, kata
dasar dari pernikahan ialah nikah yang berarti ikatan (akad) perkawinan yang
dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama.1 Dalam ilmu sosiologi
pernikahan dipandang sebagai institusi sosial yang merupakan landasan yang
mendasari dari kehidupan kemanusiaan. Dua individu dengan jenis kelamin yang
berbeda saling tertarik melalui kekuatan insting yang misterius, saling mencintai
dan komitmen dengan bebas dan total, pada masing-masing untuk membentuk unit
kreatif yang dinamis, komunitas mikro yang disebut keluarga.2 Di sini keluarga
menjadi penyumbang generasi-generasi yang diharapkan mampu berperan aktif-
poisitit untuk kebaikan kemaslahatan masyarakat.
Secara sederhana dan penuh makna, David Iman Sutikno memberi
pengertian mengenai pernikahan bahwa pernikahan adalah hubungan antara dua
orang yang berlainan jenis (pria dan wanita) yang sepakat menjadi satu untuk hidup
bersama dalam sebuah rumah tangga.3 Dua pribadi berbeda jenis, karakter, dan latar
belakang disatukan dalam ikatan pernikahan. Singkatnya bahwa, keduanya harus
mau menerima keberadaan masing-masing dengan beradaptasi (menyesuaikan diri)
sehingga terjadi kompromi yang kreatif di mana masing-masing pribadi harus
memikirkan kepentingan pasangannya demi kebahagiaan bersama.
Selanjutnya, menurut Sutjipto Subeno, pernikahan adalah lembaga pertama
yang ditetapkan dan dikehendaki oleh Tuhan Allah sendiri.4 Allah menghendaki
1 Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke-3, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), 7282 http://sururudin.wordpress.com/2009/03/14/sosiologi-perkawinan/,diaskes tanggal 18
Mei 20163 David Iman Sutikno, Pintu Membangun Rumah Tangga Harmonis, (Yogyakarta: Andi
Ofset, 2011), 15.4 Sutjipto Subeno, Indahnya Pernikahan Kristen, (Surabaya: Momentum, 2008), 2
pernikahan sebagai salah satu bentuk relasi agar manusia dapat saling melengkapi
satu sama lainnya (perempuan dan laki-laki).
Senada dengan yang dikatakan Subeno; menurut Robert P. Borong,
pernikahan adalah peraturan suci yang ditetapkan oleh Tuhan sendiri. Sehingga
lewat aturan atau pernikahan tersebut Tuhan mengaruniakan persekutuan khusus
antara suami dan istri untuk dijalani bersama sebagai sumber yang membahagiakan
kehidupan.5 Di sini penulis sepakat bahwa lewat pernikahan yang penuh cinta dapat
tercipta hubungan yang harmonis.
Dalam Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I
pasal 1, perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.6
Dari pemaparan di atas ditemukan paling tidak ada dua istilah yang berbeda
yaitu, pernikahan dan perkawinan. Akan tetapi dalam menelusuri maknanya
masing-masing, keduanya memiliki maksud yang sama. Misal seperti yang
tercantum di dalam UUD NO 1 Tahun 1974 mengenai Perkawinan. Dalam konteks
tersebut perkawinan diharapkan agar pria dan wanita sebagai suami istri
membentuk keluarga dengan tujuan hidup bahagia berdasar pada prinsip-prinsip
Ketuhanan. Dengan demikian, apa yang dikatakan Subeno dan Borong mengenai
pernikahan senada dengan istilah perkawinan jika merujuk pada UUD 1974
5 Robert P. Borong, Etika Seksual Kontemporer, (Bandung: Ink Media, 2006), 25.6 Lihat, Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan.
mengenai perkawinan. Oleh karena hal tersebut, penulis dalam tulisan ini akan lebih
sering menggunakan istilah pernikahan.
Jadi, dengan beberapa pengertian di atas penulis mencoba merumuskannya
sebagai berikut: (1) Pernikahan merupakan anugerah yang asalnya dari Tuhan. (2)
Pernikahan merupakan sarana untuk membangun, memulai menyatukan perbedaan,
menepis sikap egoisme karena dalam pernikahan, dua insan diajak untuk saling
memikirkan, bekerja sama guna mencapai ikatan yang harmonis bersama dan
bertadaptasi dengan masyrakat secara bertanggungjawab. (3) Pernikahan
merupakan ikatan cinta, tindakan sepakat, keteguhan komitmen untuk hidup
menjalani suka maupun duka.
Setiap lembaga (agama) tentunya memiliki pengertian tersendiri mengenai
pernikahan. Oleh karena itu, ada baiknya jika melihat bagaimana setiap agama
memberikan pengertian pernikahan khususnya Islam- Kristen :
2.1.1. Pernikahan Menurut Islam
Pernikahan adalah terjemahan yang diambil dari bahasa Arab yaitu nakaha
dan zawaja. Kedua kata inilah yang menjadi istilah pokok yang digunakan Al-
Qur’an untuk menunjuk perkawinan (pernikahan). Istilah atau kata zawaja berarti
‘pasangan’, dan istilah nakaha berarti ‘berhimpun’. Dengan demikian, dari sisi
bahasa, perkawinan berarti berkumpulnya dua insan yang semula terpisah dan
berdiri sendiri, menjadi satu kesatuan yang utuh dan bermitra. Menurut kamus
Munawwir, arti lafaz nikah ialah berkumpul atau menindas, setubuh dan
senggama.7 Nikah menurut syara’ adalah akad serah terima antara laki-laki dan
perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama lainnya serta
membentuk sebuah rumah tangga yang sakinah.8
Adapun menurut istilah Ahli Ushul nikah menurut arti aslinya ialah aqad,
yang dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara lelaki dan perempuan,
sedangkan menurut arti majasi ialah setubuh. Demikian menurut Ahli Ushul
golongan Syafi’iyah. Adapun menurut Ulama Fiqih, Nikah ialah aqad yang diatur
oleh Islam untuk memberikan kepada lelaki hak memiliki penggunaan terhadap
faraj (kemaluan) dan seluruh tubuhnya untuk penikmatan sebagai tujuan utama.9
Adapun beberapa dasar di antara banyak dasar hukum pernikahan menurut
Islam adalah sebagai berikut:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmuisteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasatenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tandabagi kaum yang berfikir. (Q.S. Ar-Ruum 30:21).
Menikah adalah salah satu dari sunnah nabi kepada umatnya. Terdapat hadis
yang memerintahkan para muda-mudi untuk menikah sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Bukhori da Muslim melalui sahabat Nabi ‘Abdullâh bin Mas’ûd.
Bunyinya adalah:
Wahai para pemuda, siapa di antara kalian yang mampu kawin, makahendaklah dia kawin. Itu lebih baik dapat menjadikan pandangan tunduk (tidak liar ke kanan dan kiri) dan lebih membentengi kemaluan. Barang siapa
7 A. W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya:Pustaka Progressif, 2002), 1461.
8 Lihat http://10213009.blog.unikom.ac.id/bab-pernikahan.6tp, diaskes pada, 05 Maret2016.
9 Lihat http://tanbihun.com/fikih/definisihukum-dan-pelaksanaan-nikah/ diakses pada 01Maret 2016
yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa adalahperisai baginnya10
Hadis ini, di samping mengarahkan para pemuda dan pemudi untuk kawin,
sekaligus menggarisbawahi syarat yang harus dipenuhi yaitu “kemampuan untuk
kawin”. Kemampuan tersebut, mencakup kematangan mental, kemampuan fisik
serta khusus bagi pria dana yang cukup untuk membina rumah tangga sakinah.11
Islam dalam hal ini sangat memandang mulia suatu yang disebut dengan
pernikahan. Pernikahan menurut Islam adalah perintah dari Tuhan dan wajib
hukumnya untuk dilaksanakan bagi pemuda-pemudi yang sudah mapan secara
finansial dan yang beresiko jatuh dalam perbuatan zina.
Umumnya umat Islam sepakat bahwa, pernikahan merupakan sunnah nabi
Muhammad saw. Sunnah diartikan secara singkat adalah, mencontoh tindak laku
nabi Muhammad saw. Pernikahan diisyaratkan supaya manusia mempunyai
keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan akhirat,
di dalam ikatan cinta kasih dan ridha dari Allah SWT. Dan hal ini telah diisyaratkan
dari sejak dahulu, dan sudah banyak sekali dijelaskan di dalam al-Qur’an:
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orangyang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akanmemampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui. (QS. an-Nuur ayat 32).
Dengan demikian, menurut Islam pernikahan sangat baik untuk dilakukan
dengan harapan terwujudnya keluarga yang sakinah mawaddah dan wa rahma.
10 M. Quraish Shihab, 1001 Soal Keagamaan yang Patut Anda Ketahui. (Tanggerang :Lentera Hati, 2012), 562.
11 Ibid, 562-563.
2.1.2. Pernikahan Menurut Kristen
Pernikahan Kristen adalah ikatan dan persekutuan hidup yang menyeluruh
(total) dari seorang pria (suami) dengan seorang wanita (istri) yang telah diteguhkan
Allah dalam pernikahan kudus; yang meliputi roh, jiwa dan tubuh; masa kini dan
masa yang akan datang (sampai salah seorang meninggal dunia), dengan tujuan
untuk membentuk secara bertanggung jawab suatu rumah tangga, lembaga keluarga
kristiani yang kudus, harmonis, dan bahagia serta memuliakan dan melayani Tuhan
di dalam terang dan teladan Yesus kristus.12
Di dalam ke-Kristenan, pernikahan merupakan satu hal yang sangat sakral
dalam arti, menyatunya tubuh, roh dan jiwa, sehingga lewat pemberkatan,
peneguhan pernikahan tersebut mengandung unsur kesetiaan, tanggung jawab, dan
sebagai bentuk pelayanan terhadap Tuhan.
Lebih dari itu, Pernikahan Kristen memiliki karakteristik yang berbeda.
Pernikahan Kristen sangat menjunjung kesakralan dari suatu sakramen salah
satunya adalah “sakramen” pernikahan sehingga, sangat minim dijumpai kasus
perceraian di dalam pernikahan Kristen. Pernikahan Kristen dirumuskan sebagai
suatu persekutuan hidup total dalam pertalian kasih antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan yang berlangsung seumur hidup yang dimeteraikan dengan
berkat nikah kudus.
Di dalam ke-Kristenan, juga ada beberapa nats atau yang biasa disebut
sebagai landasan Alkitabiah mengenai pernikahan. Kisah di taman Eden, dipandang
12 http://tentangagamakristen.blogspot.com/2012/07/Dasar-dasar-Pernikahan-Kristen.html, 10 Maret 2016.
sebagai suatu perintah kepada manusia, ketika Allah berfirman: beranak cuculah
dan penuhilah bumi. Ayat tersebut mengandung perintah agar manusia
mengusahakan keturunan lewat pernikahan. (Bnd. Kej. 1:28).
“Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunyadan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yangtelah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia." (Matius 19:5-6).
Dengan demikian, Islam dan Kristen pada dasarnya menganggap bahwa
pernikahan adalah Anugrah dari Tuhan dan merupakan sesuatu hal yang sakral
untuk dilakukan dalam rangka mewujudkan, menyatakan cinta kasih terhadap
orang yang dicintai sebab lewat pernikahan juga mereka menjalin persekutuan
dengan Allah.
2.2. Suatu Perdebatan: Pernikahan Beda Agama
Pernikahan beda agama memang sudah tidak lazim lagi didengar, biasa juga
disebut dengan istilah “kawin campur”. Pernikahan beda agama ialah perkawinan
yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki agama yang berbeda dan mereka
saling mempertahankan agamanya masing-masing. Diskursus pernikahan dengan
landasan perbedaan agama kini telah menjadi perbincangan umum di tengah
masyarakat. Nampaknya, hal tersebut dianggap wajar dan lumrah di tengah
masyarakat sekarang. Namun, yang menjadi pertanyaannya ialah, apakah agama
masing-masing melegalkan terjadi pernikahan tersebut? Tentunya masing-masing
agama memiliki peraturan, garis-garis (role) yang menjadi acuan bagi masing-
masing penganutnya untuk dijalani.
Pernikahan beda agama agama merupakan model pernikahan yang masih
dianggap ‘tabu’ dalam prakteknya. Hal ini dikarenakan masih bertentangan oleh
paham agama dan peraturan-perundangan di Indonesia. Menurut Nurcholish, paling
tidak ada empat persepsi yang mempengaruhinya. Pertama, masyarakat pada
umumnya hanya tau bahwa doktrin agama yang dianutnya melarang pernikahan
beda agama. Orang-orang yang menghidupi persepsi ini cenderung tidak mau tahu
mengenai tafsir-tafsir teks dan hanya berpegang teguh pada doktrin tunggal yang
didengarnya dari para petinggi agama. Kedua, begitupun para agamawan yang
memiliki ‘otoritas tunggal’ dalam menerjemahkan pesan kitab suci kepada umat
cenderung memegang kuat tafsir-tafsir teks yang melarang pernikahan beda agama.
Ketiga, baik masyarakat, organisasi keagamaan, maupun para agamawan, (hampir)
sepakat bahwa pernikahan beda agama rawan akan terjadinya konflik permasalahan
dalam rumah tangga. Keempat, pandangan masyarakat dan para agamawan tersebut
makin kuat karena dilegalkan negara melalui UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974
dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang disahkan dengan Inpres No.1 Tahun 1991.
Bersamaan dengan itu, MUI juga mengeluarkan fatwa haram untuk menikah bedah
agama. Akibatnya negara sama sekali tidak mengakomodir pernikahan beda agama
terjadi di Indonesia.13
Terlepas dari berbagai faktor di atas, mengenai larangan perinkahan beda
agama, faktanya kian hari pernikahan beda agama kian menjadi perbincangan yang
menarik untuk dilakukan dengan berbagai alasan. Menurut Norcholish, ada dua hal
13 Meski pernikahan beda agama kian banyak jumlahnya di Indonesia, namun belummendapat tempat yang layak baik di kalangan masyarakat, agama maupun negara. AhmadNurcholis, Memoar Cintaku : Pengalaman Empiris Pernikahan Beda Agama, (Yogyakarta: LKiS,2004) 1-5.
yang mempengaruhi yaitu; Pertama, seiring dengan kemajuan teknologi dan
komunikasi, berdampak pada kemudahan manusia untuk berkomunikasi dan
berinteraksi. Hal ini akan berpengaruh terhadap perubahan pergaulan kepada
manusia. Artinya, dalam menjalin relasi sosial manusia semakin mudah terhubung
dengan satu dan yang lainnya. Terlepas pula dari kondisi masyarakat Indonesia
yang majemuk, pergaulan dalam dunia kerjapun memungkinkan manusia
terhubung dengan orang-orang yang berbeda agama. Kedua, pandangan atau tafsir
yang membolehkan pernikahan beda agama makin menegaskan bahwa tidak ada
tafsir tunggal atas teks-teks suci.14
Karena setiap agama (Islam- Kristen) memiliki pengajaran, sudut pandang
tersendiri mengenai wacana (boleh atau tidak) pernikahan beda agama. Hal ini,
penting untuk diketahui bersama, sebagai berikut:
2.2.1. Pernikahan Beda Agama Menurut Islam
Pandangan Agama Islam terhadap pernikahan beda agama pada prinsipnya
tidak memperkenankannya. Alasannya jelas, dalam Al-Quran dengan tegas
dilarang perkawinan antara orang Islam dengan orang musyrik seperti yang tertulis
dalam Al-Quran yang berbunyi :
Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musrik sebelum mereka beriman.Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,walaupun dia menarik hati. Dan janganlah kamu menikah orang musyrik(dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnyabudak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik, walaupun diamenarik hatimu. (Al-Baqarah 2:221)
14 Pandangan hidup setiap orang mengalami perubahan. Lebih kritis, terbuka dan pekaterhadap doktrin-doktrin agama, yang jika dicermati malah membelenggu kebebasan dan kreatifitasmanusia sebagai makhluk yang merdeka. Ahmad Nurcholis, Memoar Cintaku : PengalamanEmpiris Pernikahan Beda Agama,. . . 6-8.
Larangan perkawinan dalam surat al-Baqarah ayat 221 itu berlaku bagi laki-
laki maupun wanita yang beragama Islam untuk tidak kawin dengan orang-orang
yang tidak beragama Islam.15 Atau dengan bahasa lain bahwa di luar dari Islam
ialah kafir. Hal ini dipertegas oleh Mamah Dedeh dalam ceramahnya, ia
mengatakan bahwa orang yang kafir tidak halal bagi perempuan yang beriman
begitu pun sebaliknya, orang yang tidak satu akidah (baca:beda agama) tidak halal
untuk menikah karena ketika mereka berhubungan badan hukumnya sama dengan
zina.16
Namun, menurut Cak Nur yang dikutip oleh Imam Fauzi dalam skripsinya
bahwa Pemikiran seperti ini kurang tepat. Pemikiran semacam ini dikarenakan
sebagian masyarakat muslim Indonesia beranggapan bahwa yang termasuk dalam
golongan musyrik adalah Yahudi dan Nasrani sehingga, muncul dalam benaknya,
apakah kaum non-muslim (Yahudi dan Nasrani) adalah tergolong Musyrik?
Kemudian, Cak Nur mengutip pendapat al-Maududi yang mengatakan bahwa
dalam al-quran terdapat term yang disematkan kepada kaum non-muslim yang
maknanya antar satu dan lainnya memiliki makna yang berbeda. Istilah itu adalah
musyrik, ahl-kitab, dan ahl Iman.17
15 Lihat http://daruttahfidz.blogspot.com/2013/05/pernikahan-beda-agama-dalam-pandangan.html, 2016.
16Mamah Dede dalam pengajiannya, dapat dilihat di alamat: http://r11---snnpo7en7d.googlevideo.com/videoplayback?id=o-
17 Imam Fauzi, Studi Komperatif Pemikiran Masjfuk Zuhdi dan Nurcholis Majid TentangPernikahan Beda Agama, disusun dalam memenuhi syarat memperoleh Sarjana Hukum Islam diUniversitas Islam Negeri Malik Ibrahim, Kota Malang. Dapat diakses pada http://lib.uin-malang.ac.id/thesis/chapter_iii/07210023-imam-fauzi.ps
Meski dalam ayat di atas, Islam secara tegas melarang pernikahan beda
agama sampai orang yang dinikahinya beriman kepada Allah dan Rasulnya18, akan
tetapi terdapat ayat lainnya yang memberikan ‘kesempatan’ adanya pernikahan
dengan selain Islam yaitu Ahl Kitab. Penjelasan tersebut terdapat dalam surat al-
Mâidah 5: 5 yaitu:
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan)orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal(pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjagakehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yangmenjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelumkamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksudmenikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannyagundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerimahukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamattermasuk orang-orang merugi
Hematnya, tidaklah tepat manakala istilah musyrik tersebut dialamatkan
kepada non- muslim.
Menurut Mamah Dede dalam menafsir ayat di atas bahwa yang dimaksud
sebagai ahlul kitab ialah “orang menekuni dan mengerjakan perintah Allah dalam
Kitab Taurat, Zabur dan Injil. Namun pada saat ini tidak ada lagi ahlul kitab karena
mereka yang semulanya mengesakan Allah kini sudah musyrik dengan
menyerikatkan Allah, Tuhan mereka tidak lagi satu melainkan banyak. Itulah
sebabnya haram menikah dengan ahli kitab yang sekarang”. Hal ini menurut Cak
Nur tidaklah adil, karena menurutnya jika orang non-muslim melakukan perbuatan
syirik tidak secara langsung menjadikan pelakunya sebagai musyrik, namun,
18 M. Ali Ash-Shobuni, Tafsir Ayatul Ahkam. (Kairo : Dar ashobuni, 2008), 202.
sebaliknya seorang itu dikatakan musyrik maka sudah jelas ia pelaku perbuatan
syirik.19
Dari seluruh teori yang telah dituliskan di atas, dapat dirumuskan bahwa
dalam Islam juga terjadi perdebatan yang serius tentang boleh tidaknya pernikahan
beda agama. Namun pada umumnya, doktrin yang berkembang di dalam kalangan
Islam melarang adanya pernikahan beda agama.
2.2.2. Pernikahan Beda Agama Menurut Kristen
Ada beberapa ayat yang sering dilegitimasi sebagai bentuk penolakan
terhadap pernikahan beda agama, misal Teks 2 Korintus 6:14 yang berbunyi:
Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenarandan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?
Ayat di atas, biasanya digunakan dalam seminar-seminar pemuda saat
membahas mengenai pernikahan Kristen. Pernah juga penulis secara langsung
mendengar ungkapan yang keluar dari mulut pendeta mengakatakan bahwa,
“jalinlah hubungan cinta dengan yang seiman”. Lalu digereja tertentu, seorang yang
menikah beda agama tidak diperbolehkan untuk menjadi majelis gereja. Artinya,
secara konseptual kristen tidaklah membenarkan dan masih hidup dalam bayang-
bayang penolakan terhadap pernikahan beda agama.
Jika menilik konteksnya, sejatinya ayat di atas, tidak ditujukan untuk
melarang atau mendukung seorang Kristen menikah dengan orang non-Kristen,
melainkan lebih ditujukan bagi para petobat baru, yang pasangannya masih
19 Ibid, 23
memeluk kepercayaan yang lama.20 Tujuannya jelas, yakni agar orang-orang
Kristen benar-benar menerapkan kekudusan dalam hidupnya dan tidak lagi terjatuh
dalam kehidupan cemar yang masih menjadi gaya hidup pasangannya. Mereka
dipanggil untuk menularkan positive influence bagi pasangannya yang belum
percaya. Namun demikian toh Paulus tetap melarang orang-orang Kristen
menceraikan pasangannya yang sudah berbeda iman itu, kecuali pasangannya yang
menginginkan (lihat: 1 Korintus 7: 12-16). Dalam konteks yang demikian para istri
dan suami tetap harus menjalankan panggilannya untuk menjadi kesaksian di
tengah orang yang tidak percaya. (1 Petrus 2: 12).
Namun di sisi lain, tak dapat dipungkiri bahwa di dalam PL, kawin campur
juga dibeberkan sebagai sebuah kenyataan yang tidak dapat dihindari. Sebagai
bangsa kecil di tengah beragamnya peradaban di sekitarnya, orang-orang Israel tak
dapat menghindari relasi sosial dengan bangsa lain yang juga beragama lain. Maka
pernikahan beda agama juga menjadi realitas yang tak terhindarkan. Bahkan
"tokoh-tokoh besar" Israel pun mengalaminya, dan itu dicatat oleh Alkitab. Misal,
(1) Kejadian 38:1-2 (Yehuda menikah dengan Syua, wanita Kanaan) (2) Kejadian
46: 10 (Simeon juga menikah dengan wanita Kanaan) (3) Kejadian 41:45 (Yusuf
dengan Asnat, anak Potifera, imam di On-Mesir) (4) Kejadian 26:34 (Esau dengan
Yudit, anak Beeri orang Het) (5) Bilangan 12:1 (Musa - sang pemimpin Israel
menikah dengan seorang perempuan Kusy) (6) Kejadian 4:10 (Rut dan Boas).
20 J. Wesley Brili, Tafsiran Surat Korintus Pertama, (Bandung: Kalam Hidup, 2003), 141-142. Wesley menjelaskan bahwa; Pernikahan yang dimaksudkan adalah pasangan antara keduaorang kafir tetapi, salah seorang di antaranya sudah percaya kepada Tuhan dan seorang lagi yangbelum percaya. Pernikahan beda keyakinan ini harus tetap dijaga dengan harapan agar pasanganyang tidak seiman tersebut dapat ditarik kepada keyakinan orang Kristen.
Di konteks tertentu penulis melihat bahwa pernikahan dengan wanita non-
Israel diijinkan agar umat tidak terjatuh pada dosa kejahatan perang, dalam hal
perlakuan biadab terhadap para wanita tawanan perang.
Hal ini terdapat dalam Ulangan 21:10-14. Bagian ini merupakan rangkaian dari
perikop yang berbicara mengenai hukum perang yang ditetapkan bagi orang Israel
(lihat Ulangan 20 - 21 :14).
Apabila engkau keluar berperang melawan musuhmu, dan TUHAN,Allahmu, menyerahkan mereka ke dalam tanganmu dan engkau menjadikanmereka tawanan, 21:11 dan engkau melihat di antara tawanan itu seorangperempuan yang elok, sehingga hatimu mengingini dia dan engkau maumengambil dia menjadi isterimu, 21:12 maka haruslah engkau membawadia ke dalam rumahmu. Perempuan itu harus mencukur rambutnya,memotong kukunya, 21:13 menanggalkan pakaian yang dipakainya padawaktu ditawan, dan tinggal di rumahmu untuk menangisi ibu bapanyasebulan lamanya. Sesudah demikian, bolehlah engkau menghampiri dia danmenjadi suaminya, sehingga ia menjadi isterimu.21:14 Apabila engkautidak suka lagi kepadanya, maka haruslah engkau membiarkan dia pergisesuka hatinya; tidak boleh sekali-kali engkau menjual dia dengan bayaranuang; tidak boleh engkau memperlakukan dia sebagai budak, sebab engkautelah memaksa dia.
Pada bagian ini dengan gamblang diatur: apabila Israel menang perang,
menawan musuh dan di antaranya ada para wanita yang menarik, maka wanita itu
harus diperlakukan secara manusiawi, dihormati hak-haknya. Lalu: ... "sesudah itu
bolehlah engkau menghampiri dia dan menjadi suaminya, sehingga ia menjadi
istrimu."
Meski demikian, pada umumnya Islam dan Kristen secara doktrinasi
menolak pernikahan beda agama. Jadi, secara sederhana dan jelas bahwa, Kristen
juga menolak pernikahan beda agama.
2.3. Teori Cinta
Cinta adalah praktek hidup yang paling banyak diinginkan oleh manusia di
dunia ini. Dari anak kecil, remaja, dewasa, hingga orang tua semua ingin merasakan
apa yang disebut dengan cinta. Cinta adalah sebuah emosi dari kasih sayang yang
kuat dan ketertarikan pribadi.
Dalam konteks filosofi cinta, cinta merupakan sifat baik yang mewarisi
semua kebaikan, perasaan belas kasih dan kasih sayang. Pendapat lainnya, cinta
adalah sebuah aksi/kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap objek lain,
berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, kasih sayang, membantu, menuruti
perkataan, mengikuti, patuh, dan mau melakukan apa pun yang diinginkan objek
tersebut terlepas dari sikap egois.21
Menurut Marx yang dikutip dalam buku Frans Magnis Soseno bahwa dalam
cinta, laki-laki dan perempuan saling menjadi kebutuhan secara alami; secara alami
dan spontan manusia yang satu terdorong dan gembira untuk memenuhi kebutuhan
manusia yang lain, tanpa melirik pada keuntungan egoisnya sendiri. Apabila dua
orang saling mencintai, mereka ingin saling membahagiakan. Kebahagiaan yang
satu adalah kebahagiaan yang lain dan sebaliknya. Apabila mereka saling memberi
hadiah, mereka tidak pernah berpikir untuk menuntut pembayaran. Maka cinta
sejati merupakan hubungan di mana individu bersifat individu sekaligus bersifat
sosial.22
21 http://di.wikipedia.org/wiski/cinta, diaskes April, 2016.22 Frans Magnis Soseno, Pemikiran Karl Marx, (Bandung: Gramedia, 2010), 99.
Cinta memiliki peranan penting dalam aspek kehidupan. Cinta merupakan
hal yang paling utama dalam kehidupan untuk menjadikan kehidupan harmoni.
Berikut adalah teori cinta menurut:
2.3.1. Erich Fromm: Cinta Sebagai Instrumen Pemersatu23
Erich Fromm adalah seorang Psikoanalitis sosial yang merupakan salah satu
tokoh dari psikologi humanistis pasca Sigmud Freud. Fromm Lahir di Frankrut,
Jerman 1990. Riwayat akademisnya sangat panjang dan brilian, disertai
pengalaman mengajar dan meneliti yang terbilang padat. Ia menghabiskan
waktunya dengan mengasah pikiran mengenai jiwa manusia, sekaligus mengkritik
dan menambal lobang-lobang pada teori psikoanalisis Freud. Tidak hanya itu,
Fromm juga menulis buku tentang teologi, psikologi dan mengenai keagamaan.
Fromm belajar sosiologi dan psikologi di Universitas Heidelberg Frankrut
sampai mendapatkan gelar Ph.D. Pada tahun 1933, Fromm muda hijrah ke Amerika
dan membuka praktik privat psikoanalisis di New York. Di negeri Paman Sam itu,
ia sempat mengajar di Columbia University dan Institute for Social Research. Dan
masih pada kota yang sama Fromm menjadi guru besar di Yale University. Pada
tahun 1974, Fromm dan isterinya memutuskan untuk berangkat ke Swiss untuk
menikmati dan menghabiskan masa hidupnya di negeri itu. Pada 18 Maret 1980,
Fromm tutup usia di kota Murallo Swiss.24
Dalam The Art Of Loving Menurut Fromm, manusia memiliki kebutuhan
eksistensial untuk mengatasi rasa keterpisahan dengan alam semesta sejak lahirnya
23 Erich Fromm, The Art Of Loving: Memaknai Hakikat Cinta, (Jogjakarta: Garasi, 2009),28.
24 Erich Fromm, Cinta, Seksualitas, Matriarki: Kajian Komperehensip Tentang Gender,(Yogyakarta: Jalasutra, 2011) v.
di dunia. Kesadaran akan ketakberdayaan manusia di hadapan kekuatan alam dan
masyarakat telah membuat eksistensi manusia terpecah belah dan diliputi
kecemasan. Oleh karena itu, manusia memiliki kebutuhan eksistensial, yakni
kebutuhan akan persatuan. Lalu bagaimana manusia dapat mencapai kesatuan
tersebut? Fromm menjawab bahwa, jawaban sepenuhnya terletak pada tercapainya
kesatuan antar pribadi dan kesatuan melalui perpaduan dengan pribadi lain dalam
cinta. Lanjut, Fromm menegaskan, bahwa “Tanpa Cinta kemanusiaan tak akan
ada”. Sebenarnya, Fromm yakin bahwa cinta itu adalah alat pemersatu yang paling
kuat, sehingga ia dengan tegas mengatakan bahwa sungguh mustahil mencari
kemanusiaan tanpa cinta. Fromm setuju bahwa cinta itu meliputi bermacam bentuk,
yaitu cinta sesama dan persahabatan, cinta Tuhan, cinta orang tua- anak, cinta pada
diri sendiri, maupun cinta romantis. Namun di antara bentuk-bentuk cinta tersebut,
cinta sesama merupakan bentuk cinta yang paling mendasar.
Cinta adalah perasaan simpati yang melibatkan emosi yang mendalam.
Menurut Erich Fromm, ada lima syarat untuk mewujudkan cinta kasih, yaitu:
Perasaan, Pengenalan, Tanggung jawab, Perhatian, Saling menghormati. Cinta
adalah seni, selain itu agar mampu mencintai, seseorang harus menempatkan cinta
sebagai tujuan yang tertinggi. Cinta adalah penembusan aktif dalam pribadi lain
hingga mengalami rasa persatuan. Fromm kemudian melihat segala bentuk
perbedaan yang ada di masyarakat, misal golongan, ras, etnis, dan agama.
Perbedaan ialah perbedaan, namun, untuk mewujudkan cinta hanya berasal dari
pribadi-pribadi matang. Mereka yang telah mewujudkan kerukunan dan persatuan
antara umat manusia, berarti telah mampu menembus batas-batas yang memisahkan
dirinya dengan orang lain. Mereka telah menembus kulit luar perbedaan antara
umat manusia dan masuk pada kedalaman pribadi lain serta mengalami persatuan.
Sungguh sangat indah hidup dalam harmoni yang penuh cinta, kata Fromm.
Namun sayang sekali, tidak semua orang sanggup mewujudkan harmoni seperti itu.
Tampaknya dengan rasa keterpisahan yang melekat, perbedaan-perbedaan antar
kelompok yang tampak dari luar telah menimbulkan ilusi yang menakutkan (dirasa
mengancam) bagi orang-orang atau kelompok tertentu. Yang diharapkan ialah
keseragaman, sementara hukum alam telah menetapkannya berbeda. Menurut
Fromm, ada yang sangat berbahaya; mereka yang tidak sama dengan kelompoknya
akan dianggap sebagai musuh.
Ketika orang tidak menyatukan dirinya dengan orang lain, maka orang
tersebut tetap merasa terpisah, terpisah dari dirinya sendiri maupun orang lain
(alienasi). Fromm mengatakan, orang yang mengalami alienasi tidak mengalami
dirinya sendiri sebagai pusat yang memancarkan aktivitas-aktivitas hidup cinta dan
akal budinya. Sungguh hampa makna, sehingga hidupnya hanya bergantung dan
tunduk pada pemimpin negara, politik, dan kelompok. Selain itu, mereka juga
menjadi penyembah Tuhan yang diberlakukan sebagai berhala, mencintai orang
lain sebagai berhala, dan juga menyembah perwujudan-perwujudan nafsu-nafsu
irasional (memburu uang, kehormatan, harga diri, menghancurkan orang lain,
mengancam dan sebagainya).
Selanjutnya Fromm juga mempertanyakan, apa itu keyakinan? apakah
keyakinan selalu merupakan kepercayaan kepada Allah, atau doktrin agama?
Apakah keyakinan harus selalu dipertentangkan atau dipisahkan rasio dan
pemikiran irasional? Menjawab pertanyaan ini ia mengatakan bahwa, keyakinan
irrasional adalah keyakinan yang sifatnya tunduk terhadap sesuatu yang didasarkan
pada otoritas irrasional. Sedangkan keyakinan rasional merupakan pendirian yang
berakar pada pengalaman pribadi dalam berpikir dan merasakan. Pada aras ini,
Fromm menegasklan bahwa keyakinan rasional berakar pada watak dan pendirian
terhadap yang diyakini. Yakin terhadap eksistensi diri, jati diri, dan berani
mengambil resiko dengan syarat yang membutuhkan keberanian. Artinya, yakin
akan kualitas cinta yang dimiliki dengan fokus berpuncak pada nilai-nilai sesama
manusia. Terpenting yang berkaitan dengan cinta ialah keyakinan pada mutu
cintanya sendiri; dalam kemampuannya untuk memberikan cinta kepada orang lain,
dan kemampuannya untuk dapat dipercaya. Lewat itu, sifat tunduk terhadad
keyakinan irrasional yang berdasarkan pemahaman mayoritas kelompok dapat
dilampaui. Sebab bagi Fromm, mencintai berarti menyerahkan diri tanpa jaminan,
menyerahkan diri sepenuhnya dengan harapan bahwa cintanya akan membuahkan
cinta kepada orang yang dicintai. Cinta adalah tindakan keyakinan dan siapun yang
kecil keyakinannya maka kecil pula cintanya.
Dengan berdasar pada uraian Fromm di atas, baginya ada suatu
pengahambat terwujudnya, terjalinnya cinta, kerukunan, hubungan harmonis.
Penghambat tersebut ialah kurangnya pribadi matang yang mampu menembus
batas-batas dari perbedaan. “Kurangnya pribadi matang” yang dimaksudkan oleh
Fromm yaitu, pribadi-pribadi yang masih terus menganggap bahwa perbedaan
adalah suatu ancaman bukan keindahan.
2.3.2. Jhon D. Caputo: Cinta dan Religiusitas25
Ia adalah salah seorang teolog sekaligus filsuf Katolik yang mencoba
menentang kemapanan berpikir mengenai tema-tema religius yang di semangati
oleh paham mistis “antara baik dan jahat” dengan menggunakan bahasa cintanya.
Caputo memulai tesisnya dengan pernyataan bahwa sebagian kalangan
dapat secara mendalam bersifat “religius” dengan atau tanpa teologi, dengan atau
tanpa agama-agama. Agama dapat ditemukan dengan atau tanpa agama. Kemudian
disusul dengan pertanyaan, Apa yang aku cintai ketika aku mencintai Tuhanku?
Mencintai Tuhan berarti mencintai sesuatu secara mendalam dan tak bersyarat.
Caputo menyadari bahwa, memang tidak ada “agama”. “Agama” secara singular,
sebagai subjek yang berdiri sendiri tidak akan ditemukan di mana-mana. Sebab, ada
yang disebut agama-agama purba, agama-agama timur, agama-agama barat,
agama-agama modern, agama-agama monoteistik, politeistik, dan malahan agama-
agama yang hampir ateis. Sehingga dalam kewajarannya agama dalam ruang publik
bertemu satu sama lain. Dengan kemajemukan ini, cinta merupakan alat
pemersatunya.26
Berbicara mengenai cinta, menurut Caputo, salah satu gagasan di balik kata
cinta adalah sebentuk pemberian yang sepenuhnya, suatu komitmen “tanpa syarat”,
yang menandai cinta dengan semacam ekses tertentu. Oleh karena itu, tidak ada
artinya jika mencintai sedang-sedang saja, sampai batas tertentu. Sebab, cinta
bukanlah tawar-menawar melainkan pemberian diri yang tak bersyarat; bukan
25 Jhon D Caputo, Agama Cinta Agama Masa Depan, . . .26 Informasi mengenai kemajemukan agama yang disampaikan Caputo membawa penulis
dalam perenungan bahwa; Tuhan menciptakan “perbedaan” dan cintalah yang menjadi instrumenpemersatunya.
investasi demi masa depan, melainkan komitmen, apapun yang terjadi di masa
depan. Betapa mulianya cinta untuk mencinta, sehingga cinta tidak hanya penting
untuk cinta, tapi juga untuk yang di cinta.
Menurut Caputo cinta memiliki arti sebuah pemberian yang utuh, sebuah
komitmen tanpa syarat. Totalitas menjadi suatu syarat penting dalam mencintai
sehingga tidak ada istilah setengah-setengah atau mencintai dengan sedang-sedang
saja, sampai batas tertentu sembari mencari yang lebih baik. Totalitas ini dipertegas
lagi dengan sebuah komitmen tanpa syarat yang membawa manusia itu masuk
dalam suatu ketegasan hati untuk menerima yang dicintai apa adanya. Dengan
demikian, cinta itu bukanlah suatu investasi demi masa depan “aku mencintai
supaya..” melainkan sebuah komitmen pada apa pun yang terjadi di masa depan.
Dari penjelasan ini, Caputo merumuskan premis pertamanya bahwa dalam energi
cinta, ketidakmungkinan menjadi wilayah yang paling mungkin dan di sanalah
wilayah cinta sejati, Cinta kasih Tuhan. Cinta memampukan manusia untuk
melewati wilayah yang mungkin dan berani masuk dalam suatu dunia/wilayah
ketidakmungkinan.
Dalam wilayah ketidakmungkinan ini pada akhirnya manusia dibawa pada
suatu batas di mana kita harus melepaskan segala kemungkinan-kemungkinan yang
ada dalam hidup. Kita dibawa pada suatu masa di mana kita harus mencintai apa
yang tak mungkin kita cintai, mencintai mereka yang tidak layak untuk dicintai,
mencintai mereka yang tidak mencintai kita, mencintai musuh-musuh kita. Kita
tidak lagi bermain-main dalam wilayah kemungkinan-kemungkinan semata,
melainkan berjuang dalam wilayah yang tidak dapat dimainkan. Inilah yang
mustahil dalam pikiran kita, tetapi hanya pada saat itulah cinta itu menjadi mungkin
yaitu ketika kita berjuang mencintai mereka yang tidak mungkin kita cintai, ketika
kita berada di wilayah ketidakmungkinan itu.
Caputo menegaskan bahwa “cinta itu bukanlah sebuah makna untuk
memberi definisi, tetapi sesuatu untuk dilakukan, sesuatu untuk dibuat. Dengan kata
lain, cinta itu adalah suatu panggilan untuk bertindak. Bertindak berarti
mengaktualisasikan cinta itu dalam hidup kepada, sesama dan apa saja yang ada
termasuk Tuhan”.
Caputo berpendapat bahwa suatu dunia tanpa cinta adalah dunia yang diatur
berdasarkan kontrak-kontrak yang kaku dan kewajiban yang tak tertanggungkan,
suatu dunia yang moga-moga tidak diatur oleh para pengacara, imam-imam dan
tokoh agama. Tanda paling jelas jika seorang mencintai orang lain atau sesuatu
yang lain adalah ke-takbersyaratan dan keterbukaan pada eksesnya, keterlibatannya
yang mendalam dan komitmennya dan gelora gairahnya. Dalam arti yang menarik
perhatian penulis bahwa, syarat mencinta ialah cinta itu sendiri bukan agama.
Tiba pada pertanyaan yang membuat Caputo harus mengeksplor lebih jauh
pikirannya, apa sesungguhnya yang aku cinta ketika aku mencintai Tuhanku? Dari
pertanyaan ini, Caputo mengajak pembacanya untuk melihat kedalaman memaknai
cinta dan kebertuhanan. Katanya, Tuhan itu lebih penting daripada agama seperti
kasih lebih lebih penting daripada iman. Agama adalah rakit, buatan manusia,
konstruksi historis yang diatur dalam keadaan tertentu oleh komunitas manusia
dalam rangka mengartikulasi kasih Allah, dan sifat-siafat dasar manusia. Allah
bukanlah hanya sebuah nama tetapi sebuah perintah, sebuah gagasan, sebuah
permintaan, yang terjemahannya adalah suatu gerakan, perbuatan, yang harus
dilakukan. Dari pernyataannya ini, Caputo mengatakan bahwa sia-sia menyebut
nama Tuhan jika tidak mengasihi tau mencintai.
Makna Allah dimainkan dan perankan dalam berbagai gerakan kasih. Kasih
Allah diperankan atau dimainkan saat kemanusiaan kita, segala keinginan yang
terlalu manusiawi itu, diputarbalikkan dan kita semua ditarik keluar dari diri kita
sendiri oleh sesuatu yang lebih besar atau yang lain dari diri kita, ketika kekuasaan
dan potensi kita lepas dari engselnya dan kita ditinggalkan tergantung dalam sebuah
doa kepada yang “tak mungkin”. Wilayah tak mungkin adalah wilayah cinta dan
Tuhan berkarya. Kemudian haruslah disadari bahwa, kasih atau cinta haruslah
dimainkan dalam keterbukaan untuk masa depan yang kedengarannya susah untuk
dijangkau. Akan tetapi semangat yang menandai cinta tersebut adalah usaha
pemberian diri dan percaya yang dengan-Nya tidak ada yang mustahil.
2.3.3. Cinta: Teologis- Filosofis
Sebenarnya teori-teori cinta di atas telah menyiratkan makna atau pesan-
pesan yang penulis anggap representatif untuk dijadikan rujukan sebagai landasan
teologis-filosofis atau filosofis-teologis mengenai betapa kuatnya cinta.
Seperti yang dikatakan oleh, Fromm “Tanpa Cinta kemanusiaan tak akan
ada”, lalu menurut Gibran, “ cinta mengarahkan manusia kepada Allah dan karena
cinta pula Allah mempertemukan dirinya dengan manusia sehingga, bagi yang
mencinta hendaknya Allah ada di dalam aku”, kemudian menurut Caputo, “suatu
dunia tanpa cinta adalah dunia yang diatur berdasarkan kontrak-kontrak yang kaku
dan kewajiban yang tak tertanggungkan, suatu dunia yang moga-moga tidak diatur
oleh para pengacara”. Tentunya hal ini senada bahkan senafas dengan perkataan
Yesus dalam Matius 22:37-40:
“Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenapjiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama danyang pertama. Dan hukum yang kedua yang sama dengan itu, ialah:Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukuminilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.”
Perkataan ini diarahkan pada seorang ahli Taurat jika sekarang bisa disebut
dengan pendeta atau kaum agamawan yang saat itu sangat mempertahankan isi dari
hukum Taurat namun mengabaikan substansi dari hukum tersebut. Mereka (baca:
ahli Taurat) terus menerus menganggap diri paling benar, menafsirkan kitab suci
secara harafia, terlalu banyak aturan tidak boleh ini, tidak boleh itu, gila hormat,
sementara praktek kasih dilupakannya. Semoga saja, dunia sekarang tidak ada lagi
Ahli-ahli Taurat kaku, itu harapan. Namun dengan membatasi cinta atas nama
agama sangat berpotensi menjadi Ahli Taurat modern yang turut serta mengambil
bagian menjadi pelaku atau penerus dari sikap egoisme yang menciderai nilai
kemanusiaan.
Perkataan Yesus tersebut merupakan sebuah simpulan dari 66 kitab yang
ada di dalam Alkitab (Kejadian- Wahyu) dimana cinta kasih diharapkan menjadi
hulu dan muara dari kehidupan manusia. Kemudian Paulus dalam suratnya kepada
jemaat di Korintus menambahkan bahwa; Iman, Pengharapan dan Kasih, dan dari
ketiga hal tersebut kasihlah yang menjadi Utama. Di dalam bahasa cinta Paulus
tersebut tersirat suatu makna cinta yang tidak bersyarat yaitu, sabar, murah hati,
tidak bermega diri, cinta kasih menutupi segalanya, memercayai segalanya,
mengharapkan segalanya, jujur, adil, menanggung segalanya (Bnd. 1 Kor 13:13).
Dengan demikian ditegaskan bahwa “Barang siapa yang tidak mengasihi berarti ia
tidak mengenal Tuhan. Jikalau seorang berkata; “Aku mengasihi Allah,” dan ia
membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barang siapa tidak
mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak
dilihatnya” (1 Yoh. 4:8, 20).
Kisah penciptaan dalam kejadian merupakan kisah yang kemudian penulis
pilih untuk dijadikan sebagai salah satu refleksi teologis- filosofis bahwa, Allah
menciptakan manusia laki-laki dan perempuan kemudian Allah memberkatinya
dengan pesan “beranak cuculah dan penuhilah bumi”. Allah menempatkan cinta di
antara mereka dan lewat cinta itu mereka dipersatukan-Nya, bukan malah
menetapkan, menciptakan agama lalu membuat aturan yang menihilkan salah satu
kebenaran dari agama lain dengan ungkapan kafir, musyrik, gelap, tidak beriman
dan memisahkannya. Sederhananya, Allah menciptakan cinta, agar manusia (laki
dan perempuan), lebih sederhana lagi, Allah menciptakan laki-laki dan perempuan
untuk saling melengkapi agar bisa bersatu untuk harmoni.
Secara filosofis dapat dikatakan bahwa, di dalam cinta dan perjuangan
terdapat kata, “Aku dan Kamu” di dalam cinta, kata tersebut akan menjadi satu
kata yang ideal yaitu kita. Kata kita merupakan simbol bahwa betapa kuatnya “aku
dan kamu”, simbol bahwa tidak ada lagi ‘aku’ dan tidak ada lagi ‘kamu’ yang ada
ialah kita. Kita di dalam ikatan cinta adalah simbol perdamaian, simbol
harmonisasi. Kita adalah satu yang kata yang tunggal dalam kejamakannya, satu
visi dalam berbagai peran, kemudian menjadi penawar atau roh ampuh terhadap
disintegrasi.
Dengan memperhatikan teori-teori di atas, mereka (Fromm, Caputo dan
Yesus) menganggap cinta sebagai unsur tertinggi dalam kehidupan. Kehidupan
harus dimulai dengan mencintai, mencintai tanpa melihat latar belakang, demi
terjalinnya seuatu kesatuan yang memungkinkan bersatunya ‘aku dan kamu’ tidak
hanya secara teologis, filosofis, psiokologis, biologis, melainkan juga sosiologis.