BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13337/1/T2... · 2017-12-18 · menyisakan...
Transcript of BAB I PENDAHULUANrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13337/1/T2... · 2017-12-18 · menyisakan...
BAB I
PENDAHULUAN
“Kau salah jika mengarahkan cinta, sebab cinta tau kemana ia akan pergi. Sama
seperti air sungai yang tidak pernah bericta-cita ke-muara tetapi ia sampai juga.
Begitupun dengan sayur yang tidak pernah meminta garam untuk membuatnya
enak, engkaulah yang harus menaruhnya sesuai seleramu”.
M. A, Salatiga 2016.
1.1. Latar Belakang Masalah
Mungkin saja bagi mereka yang bernegara lain dan belum pernah ke-
Indonesia, akan “terkejut” ketika mengetahui fakta bahwa, Indonesia adalah negara
yang memiliki ratusan bahkan ribuan pulau yang dihuni dari beragam suku dan
kebudayaan yang berbeda. Selain itu, terdapat juga 6 (enam) agama resmi yang
telah diakui negara, dan juga begitu banyak agama-agama suku yang tersebar di
setiap kebudayaan-kebudayaan lokal.
Pernyataan di atas, dipertegas oleh hasil penelitian seorang antropolog
Hilder Geertz, bahwa:
Terdapat lebih dari tiga ratus kelompok etnis yang berbeda-beda diIndonesia, masing-masing kelompok mempunyai identitas budayanyasendiri-sendiri, dan lebih dari dua ratus lima puluh bahasa yang dipakaiberbeda-beda. Hampir semua agama besar dunia diwakili, selain dariagama-agama asli yang jumlahnya banyak sekali.1
1 Dikutip dalam buku Faisal Ismail yang berjudul Republik Bhineka Tunggal Ika,(Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2012) 12.
Fakta di atas, melayakkan Indosesia disebut sebagai negara mejemuk. Di
satu sisi, kemajemukan merupakan tantangan tersendiri. Namun di sisi lain
kemajemukan adalah peluang untuk menjadikan negara semakin “besar dan
disegani,” tinggal bagaimana cara mengelola, merawat keragaman dan
keberagamaan dalam perbedaan itu.
Kemajemukan tersebut menandakan akan adanya ‘percampuran’ antara
masyarakat yang berbeda di setiap pulau yang ada di Indonesia. Oleh karena kondisi
masyarakat tersebut, tidaklah mengherankan jika; etnis, ras, suku, kebudayaan,
bahkan agama mencoba membangun relasi satu sama lain untuk menciptakan
suasana harmoni dalam wilayah tempat mereka tinggal. Kemudian, dalam konteks
kemajemukan yang telah dijelaskan di atas, perjumpaan atau pertemuan antara
lintas ras, etnis dan agama adalah wajar dan tidak dapat dihindari setiap harinya.
Berbaurnya muda-mudi yang berbeda agama dalam suatu interaksi, kegitan
organisasi, gotong royong dan pergaulan adalah suatu resiko mutlak dalam
masyarakat heterogen. Bahkan, terkadang lewat hubungan tersebut timbul perasaan
dan jalinan cinta dengan komitmen yang mendalam antara muda-mudi yang
berbeda itu.2 Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan mereka yang berbeda
agama saling mencitai, lalu membuat suatu komitmen lebih serius menuju pada
tahap dengan sebuatan pernikahan. Berkaitan dengan hal di atas, dalam
wawancaranya Toni Tampake yang diunggah di youtube mengatakan:
Agama itu urusan orang per orang, perkawinan itu juga urusan orang perorang sehingga pernikahan beda agama itu tidak menjadi masalah karenayang menikah adalah manusia itu, bukan agama itu. Orang semakin sadar
2 S. Wesley Ariahrajah, Tak Mungkin Tanpa Sesamaku, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,2008) 93
perbedaan agama itu kenyataan dan tidak bisa ditolak, kemungkinan untukmenikah antara yang berbeda agama itu semakin besar, kalau ini tidak diaturjustru berbahaya, orang akan hidup bersama tanpa pernikahan atau mencaritempat-tempat yang mengatur akan hal itu, sehingga Indonesia harusmemikirkan hal ini.3
Dari penjelasannya, Tony Tampake sadar bahwa hubungan percintaan beda
agama antara muda-mudi kini telah menjadi fenomena sosial. Akan tetapi realita
yang ada, agama dengan sokongan umat dan legitimasi tafsir kitab suci—fatwa
haram, justru menjadi alasan atau penghalang yang kuat bagi “mereka” yang
mencintai dan mau menikah dalam perbedaan agama. Lalu mengenai kisruh
mencintai-menikah berbeda agama, John Titaley mengatakan dalam youtube:
Orang jatuh cinta itu hal yang alami, orang mencintai seseorang itu bukankarena agama tetapi karena perasaan-perasaan kemanusiaan yang timbulsecara alami. Larangan terhadap kawin yang berbeda agama itu laranganpemerintah yang tidak boleh melanggar perasaan jatuh cinta itu, karenajatuh cinta hal yang alami bukan suatu kejahatan, kalau pemerkosaan itukejahatan. Tetapi kalau saling mencintai itu hal yang alami dan itu hak asasibagi manusia.4
Pada aras ini penulis sepakat, bahwa pada umumnya seolah-olah mencintai
atau menikah dengan yang berbeda agama dianggap kekeliruan yang selalu saja
disangkut-pautkan dengan urusan dosa-haram serta dianggap tidak ada yang baik
akan hal itu. Sama seperti yang dikatakan John D Caputo, pada umumnya banyak
orang yang dianggap menyimpang karena mencintai sesuatu secara berbeda dari
yang agama inginkan. Sementara banyak orang yang dianggap “religius” ketika
mereka tidak mencintai yang lain kecuali keinginan agamanya dan dirinya, serta
memaksa orang lain mengikuti keinginannya dengan mengatas namakan Tuhan.5
3 Toni Tampake, lihat, https://www.youtube.com/watch?v=scjxhMIZ3IU menit 5.45.4 John Titaley, lihat https://www.youtube.com/watch?v=scjxhMIZ3IU menit 5.005 John D Caputo, Agama Cinta Agama Masa Depan, (Bandung: Mizan, 2013) 3
Pernyataan Caputo ini menarik jika dijadikan bahan evaluasi reflektif mengenai
pandangan masing-masing agama terhadap yang berbeda. Sementara menurut Erich
Fromm, perbedaan seharusnya dimanfaatkan sepanjang sejarah manusia.6 Sebab
keunikan yang dimiliki masing-masing dapat berfungsi menjamin kelangsungan
hidup bersama. Lanjut Caputo menegaskan bahwa, salah satu gagasan di balik kata
cinta adalah bentuk pemberian yang sepenuhnya, suatu komitmen “tanpa syarat”
yang menandai cinta dengan semacam ekses tertentu. Oleh karena itu, tidak ada
artinya jika mencintai sedang-sedang saja, sampai batas tertentu. Sebab, cinta
bukanlah tawar-menawar melainkan pemberian diri yang tak bersyarat; bukan
investasi demi masa depan, melainkan komitmen, apapun yang terjadi di masa
depan.7
Secara teologis-mitologis, Islam maupun Kristen percaya bahwa hanya ada
satu Tuhan yang menciptakan manusia pertama Adam dan Hawa. Pada kisah ini,
terdapat kesamaan alur cerita di dalam alkitab maupun Al-Qur’an. Kedua kitab
tersebut sepakat bahwa, Tuhan memberkati mereka (baca: Adam dan Hawa) dalam
ikatan cinta sehingga lewat ikatan tersebut mereka bersatu dan membentuk ikatan
keluarga dan dengan ikatan tersebut mereka beranak cucu menjalankan perintah
Tuhan “beranak cuculah dan penuhilah bumi.” Tentunya tidak ada yang salah
dengan hal ini. Namun dalam perkembangan selanjutnya, antara Islam dan Kristen
tercatat bahwa ada sejarah kelam yang pernah dilalui (peperangan ideologi-fisik
dan taktik penyebaran misi masing-masing). Sejarah ini memungkinkan
6 Rainar Funk dalam Erich Fromm, Cinta Seksualitas dan Martriarki, (Yogyakarta:Jalasutra, 2011) x
7 John D Caputo, Agama Cinta Agama Masa Depan, 1
menyisakan dendam di antara keduanya, dengan berbagai tudingan dan tafsir yang
menganggap Kristen adalah agama yang dilaknat Allah karena konsep
Tritunggalnya. Sebaliknya bagi Kristen, Islam adalah agama yang dianalogikan
sebagai kegelapan. Misalnya, Bagi Kristen “gelap dan terang tak mungkin
menyatu” ayat ini menjadi ayat favorit yang dihidupi turun-temurun sekaligus
dijadikan gembok untuk menolak mempersatukan mereka yang saling mencintai
karena berbeda agama. Begitu pun dengan Islam “di luar dari Islam ialah kafir”
yang dengan secara tidak langsung mau mengatakan bahwa jangan pernah menjalin
hubungan dengan orang-orang yang bukan Islam karena mereka adalah orang-
orang yang dilaknat oleh Allah, apalagi menikahinya. Dengan paham seperti ini,
yang penulis hendak katakan ialah, telah terjadi disorientasi pemaknaan dari yang
apa semula telah diselenggarakan Tuhan. Maksudnya, Tuhan
mengiakan/mengizinkan terjalinnya ikatan cinta antara laki-laki dan perempuan
tanpa memandang apa agamanya, penulis pikir cerita mengenai Adam dan Hawa
mengajarkan kita akan hal itu. Akan tetapi, faktanya berbeda dari apa yang sekarang
agama lakukan. Mama Dede pernah bilang dalam ceramahnya, bahwa orang yang
kafir tidak halal bagi perempuan yang beriman begitu pun sebaliknya, orang yang
tidak satu akidah (baca:beda agama) tidak halal untuk menikah karena ketika
mereka berhubungan badan hukumnya sama dengan zina.8 Menurut penulis,
disorientasi paham seperti ini sangat berbahaya yang juga dapat membuat
persatuan, kedamaian itu jauh di bumi Indonesia secara khusus hubungan Islam-
8 Mamah Dede dalam pengajiannya, dapat dilihat di alamat: http://r11---snnpo7en7d.googlevideo.com/videoplayback?id=o-
Kristen karena sifatnya sangat provokatif aktif. Bila dibiarkan, bentuk-bentuk
doktrinasi itu berpotensi akan menghasilkan diskriminasi, kekerasan, ketidakadilan
dan kenaifan.
Kembali pada aras ini, agama mencoba memberi solusi dengan ‘meng-ia-
kan’ hubungan cinta dalam perbedaan tersebut, namun dengan alasan bahwa salah
satunya dari mereka yang saling mencintai itu harus pindah agama jika hendak
melangsungkan pernikahan. Namun pernikahan pindah agama ini, bukanlah solusi
yang baik karena sering terjadi ‘saling tarik-menarik’ sehingga memunculkan
paradigma ada agama yang “kalah dan menang” dengan istilah lain akan
memunculkan superioritas. Superioritas bisa menjadi ancaman timbulnya masalah
baru dengan memperkuat laju diskriminasi agama. Di sisi lain, pernikahan pindah
agama menjadi masalah karena mereka yang berpindah agama sering dikucilkan
dalam keluarga bahkan tidak dianggap lagi sebagai keluarga dengan sebutan ‘anak
durhaka’. Hal ini tentunya sangat memprihatinkan dan sering memunculkan konflik
baru dengan potensi merusak hubungan kekeluargaan atanra orang tua dan anak.
Perlu pula diapresiasi bahwa, dalam kondisi majemuk sekarang ini, agama-
agama sedang hangat membicarakan paham plural kepada umatnya, lewat khotbah
dan ceramah dimesjid maupun digereja. Dengan harapan agar setiap manusia hidup
damai berdampingan, saling menghormati, bekerja sama dalam menyelesaikan
masalah-masalah sosial, turut serta menjaga keharmonisan dalam bermasyarakat
meskipun dalam perberbedaan agama. Akan tetapi, beberapa hal yang menjadi
pertanyaannya, mengapa agama tidak membolehkan umatnya menikamati,
meresapi hidup plural dan saling mencintai dalam hubungan rumah tangga dalam
perenikahan beda agama? Bukankah keduanya (islam-kristen) percaya bahwa cinta
itu anugerah Tuhan yang mempersatukan dan mendamaikan? Bukankah pernikahan
yang diikat dengan cinta kasih juga adalah baik adanya? Lalu, Bukankah perbedaan
itu adalah kehendak yang juga Tuhan ciptakan?
Oleh karena bebrapa alasan penolakan dan tudingan negatif mengenai
pernikahan beda agama, lewat tulisan ini penulis akan meniliti beberapa pasangan
yang telah dan terlanjur menikah beda agama, kemudian secara intensif menggali
dan mencari tau hakikat mencinta yang terjalin-terbangun dalam kemah cinta
(penikahan) di antara meraka. Selain itu, melalui observasi singkat yang penulis
lakukan terhadap mereka (pasangan beda agama), penulis melihat adanya
kebahagiaan tersendiri yang tidak kalah harmonisnya dibanding mereka yang
menikah se-agama. Apalgi jika diperhadapkan dengan polemik perselingkuhan
hingga perceraian yang sering terjadi dalam pernikahan se-agama.
Berdasakan penjelasan, alasan serta pertanyaan di atas, maka yang menjadi
rumusan masalah dalam penulisan ini ialah, bagaimana filsafat cinta dalam
perspektif pernikahan beda agama? Kemudian, bertolak dari rumusan masalah
tersebut, yang menjadi tujuan penulisannya ialah, menjelaskan filsafat cinta dalam
perspektif pernikahan beda agama.
Berbicara mengenai pernikahan beda agama, sebenarnya hal ini bukanlah
sebuah wacana baru dalam kalangan akademisi. Ahmad Nurcholish(Islam) pelaku
nikah beda agama bersama istrinya Ang Mei Yong(Konghucu) yang juga mantan
aktivis Youth Islamic Study Club (YISC) Al-Azhar Jakarta telah menulis empat
buku yang berbicara mengenai pernikahan beda agama. Pertama, “Memoar
Cintaku : Pengalaman Empiris Pernikahan Beda Agama.”9 Kedua, “Kado Cinta
Bagi Pasangan Beda Agama.”10 Ketiga, “Pernikahan Beda Agama; Kesaksian,
Argumen Keagamaan, dan Analisis Kebijakan.”11 Dan yang ke empat, “101
Menjawab Masalah Menikah Beda Agama.”12 Dari empat tulisan ini, penulisnya
mengkonsentrasikan kajiannya pada seputaran topik atau masalah boleh atau tidak
bolehnya menikah beda agama. Selain menceritakan pengalaman empirisnya
sebelum dan setelah menikah beda agama dengan Ang Mei Yong(istrinya) penulis
juga melakukan kajian kritis mendalam terhadap teks-teks Al-Qur’an yang sering
dianggap menjadi acuaan untuk melarang menikah beda agama. Dengan
argumentasi dan analisis kritis penulis buku-buku di atas menyimpulkan bahwa
dalam Islam baik laki-laki maupun perempuan Muslim boleh menikah dengan non-
Muslim. Selain itu, Nurcholish juga menyinggung mengenai UU Perkawinan No.1
Tahun 1974, pengesahan kompilasi Hukum Islam (KHI) melalui Inpres No.1 Tahun
1991 yang dianggapnya tidak mengakomodir pernikahan beda agama, juga
melakukan kritik terhadap fatwa Majelis Ulama Indonesia(MUI) yang
mengharamkan pernikahan beda agama. Selain karena ingin berbagi
pengalamannya, buku-buku ini ditulis karena sebuah keprihatinan terhadap
banyaknya muda-mudi yang sedang risau dan membutuhkan jawaban karena
berada pada status pacaran namun berbeda agama. Selain tulisan Ahmad
9 Ahmad Nurcholis, Memoar Cintaku : Pengalaman Empiris Pernikahan Beda Agama,(Yogyakarta: LKiS, 2004)
10 Ahmad Nurcholish, Kado Cinta Bagi Pasangan Beda Agama, (Yogyakarta: Gramedia,2008)
11Ahmad Nurcholish dkk, Pernikahan Beda Agama: Kesaksian, Argumen, dan AnalisisKebijakan, (Jakarta: ICRP-Komnas-HAM, 2010)
12 Ahmad Nurcholis, 101 Menjawab Masalah Menikah Beda Agama, (Jakarta: HMM,2012)
Nurcholish, Muhammad Amin Suma, juga menulis buku yang berjudul, “Kawin
Beda Agama di Indonesia: Telaah Syariah dan Qanunia”.13 Penjelasan dalam buku
ini, tidak jauh beda dengan apa yang telah menjadi fokus konsentrasi dari buku-
buku di atas. Singkatnya, buku ini diarahkan pada kajian ilmiah terhadap hukum-
hukum Islam (Syariah) dan juga terhadap hukum-hukum yang berlaku(Qanuniah)
yang berkaitan dengan pernikahan beda agama.
Dari penjelasan menganai kajian buku-buku di atas, hal ini berbeda dengan
apa yang kemudian penulis akan lakukan. Dimana dalam tulisan ini, penulis akan
lebih memokuskan kajian terhadap cinta sebagai suatu falsafah dalam jalinan ikatan
hubungan pernikahan beda agama. Maksudnya, dengan meneliti pasangan menikah
beda agama, penulis akan mengemukan filsafat cinta yang dibangun oleh mereka
yang menikah beda agama.
Sekalipun demikian, tulisan-tulisan dari penulis-penulis di atas tentunya
akan turut memperkaya tulisan ini. Terutama dari sisi informasi, dan pengalaman-
pengalaman yang terkait. Namun, bila dibandingkan beberapa pokok permasalah
yang dikemukakan dalam tulisan-tulisan tersebut, relatif sejajar dengan apa yang
kemudian penulis akan kemukan dalam tulisan ini(saling mengisi). Sama seperti
kegelisahan dan harapan penulis, secara garis besar, buku-buku di atas juga
mengkritik larangan dan mendukung pernikahan beda agama.
13 Muhammad Amin Suma, Kawin Beda Agama di Indonesia: Telaah Syariah danQanunia, (Jakarta: Lentera Hati, 2015)
1.2. Manfaat Penulisan
Secara teoritis tulisan ini diharapkan memberi sumbangsi pemikiran bagi
para pembaca semua kalangan yang secara khusus bagi mereka yang mendalami
mengenai polemik pernikahan beda agama. Sekaligus menambah, memperkaya
referensi literatur mengenai kasuistik pernikahan beda agama. Kemudian, secara
praktis, tulisan ini diharapkan dapat memberi sumbangsi pemikiran bagi para
pendeta, ustads, guna dijadikan bahan pertimbangan dalam diskusi-diskusi
mengenai tema yang terkait. Kemudian yang sama dengan itu, tulisan ini juga
diharapkan dapat menjawab kegelisahan untuk muda-mudi yang sementara
menjalin hubungan beda-agama. Lalu yang pang penting ialah menjadi bahan
pertimbangan bagi agama dan negara menuju pernikahan beda agama sebagai salah
satu jalan mewujudkan hubungan harmonis antara Islam- Kristen di Indonesia.
1.3. Metodologi Penelitan
1.3.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yakni data yang
disajikan dalam bentuk verbal bukan dalam bentuk angka.14 Mengutip
Bogdan dan Taylor, Lexy J. Moleong mengatakan bahwa metodologi
kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
14 Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), 29.Sementara Hadawi dan Mimi Martin mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yangbersifat atau memiliki karakteristik, bahwa datanya dinyatakan dalalm keadaan sewajarnya, atausebagaimana aslinya (natural setting), dengan tidak dirubah dalam bentuk simbol-simbol ataubilangan. Penelitian kualitatif ini tidak bekerja menggunakan data dalam bentuk atau diolah denganrumusan dan tidak ditafsirkan atau diinterpretasikan sesuai ketentuan statistik / matematik. Hadawidan Mimi Martin, Penelitian Terapan, (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1996), 174.
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati.15
Pendekatan terhadap fenomena kemasyarakatan menggunakan
metode deskriptif kualitatif, peneliti berupaya untuk menggambarkan,
menganalisis, serta menginterpretasikan kesatuan-kesatuan dari variabel-
variabel yang diteliti, melalui pengamatan terhadap fakta-fakta yang
berkaitan dengan permasalahan pokok, serta fenomena-fenomena yang
terdapat dalam masyarakat, secara khusus yang berkaitan dengan pokok
penelitian. Pendekatan ini akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-
kata lisan dari masyarakat yang diteliti, secara sistematis, faktual dan
akurat.16
1.3.2. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan cara yang penulis lakukan untuk
mengumpulkan data. Untuk mendapatkan data yang berupa teori, peneliti
menggunakan metode library research atau studi kepustakaan, yaitu usaha
untuk memperoleh data dengan cara mendalami, mencermati, menelaah dan
mengidentifikasi pengetahuan yang ada dalam kepustakaan (sumber
bacaan, buku referensi atau hasil penelitian lain).17 Di samping itu, untuk
mendukung data-data kepustakaan, penulis juga menggunakan metode
15 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Rosdakarya, 2002),3.
16Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung:Rosdakarya, 2003), 136-137.
17 M. Iqbal Hasan, Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian Dan Aplikasinya, (Jakarta:Ghalia Indonesia, 2003), 45.
observasi dan wawancara tidak terstruktur. Wawancara tidak terstruktur
penulis lakukan kepada beberapa pasangan suami- istri yang telah menikah
beda agama. Wancara ini penulis lakukan dengan langsung atau tidak
langsung (By phone).
1.3.3. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan
data dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan
tema dan dapat dirumuskan ide yang disarankan oleh data.18 Dalam
memberikan interpretasi data yang diperoleh, disini menggunakan metode
analisis deskriptif yakni suatu metode penelitian yang dimaksud untuk
membuat deskripsi mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian.19
Metode ini digunakan untuk menggambarkan konsep sebagaimana adanya
agar mendapatkan gambaran yang terkandung dalam konsep tersebut,
kemudian data tersebut akan diinterpretasi, yakni melalui menarik benang
merah dari data-data tersebut. Kemudian menyusunnya dalam sebuah
ringkasan interpretasi.
1.3.4. Lokasi Penelitian
Penelitian ini penulis lakukan di Kab. Kolaka (SULTRA). Tempat
tersebut secara sengaja penulis pilih, karena di tempat tersebut terjadi, atau
ada kasus yang penulis telah amati sebelumnya, sesuai dengan topik atau
hal yang hendak penulis kaji.
18Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, 103.19Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), 18.
1.4. Definisi Operasional Peristilahan
Dalam tesis ini sekurang-kurangnya terdapat beberapa istlah kunci yang
perlu untuk dipaparkan batasan definisi operasionalnya. Beberapa istilah kunci
yang dimaksud ialah: Filsafat, Cinta, Pernikahan dan Beda Agama.
Filsafat: secara etimologi filsafat terdiri atas dua kata philein yang berarti
cinta dan sophia yang berarti kebijaksanaan. Filsafat berarti cinta kebijaksanaan.
Jadi filsafat artinya hasrat atau keinginan yang sungguh akan kebenaran sejati.20
Dengan demikian setiap hal yang dianggap sebagai “kebenaran” mutlak haruslah
diperiksa kembali dengan mempertimbangkan konteksnya. Di sini filsafat menjadi
sarana untuk melakukan hal tersebut. Filsafat digunakan sebagai jalan masuk untuk
mendobrak kemapanan berfikir, tatapi tidak hanya sampai di situ, filsafat juga
dipergunakan untuk membangun kembali pemahaman-pemaham yang sama seperti
dikatakan oleh Erich Will bahwa, filsafat adalah jalan untuk mewujudkan hidup
rasional dan damai. Juga filsafat tidak memberikan dogma melainkan sebuah
undangan untuk bersikap dan berperilaku terbuka, kritis dan dialogis.
Cinta: Cinta berarti hasrat yang besar atau suatu energi yang berkoar-koar dalam
kesungguhannya.21 Sebgaimana yang telah disepakati bahwa cinta meliputi agape,
philia, eros dan storge sehingga dalam dimensi ini, cinta akan dibicarakan berkaitan
dengan istilah di atas yaitu: cinta kepada Tuhan, sahabat atau sanak saudara,
hubungan intim antara laki-laki dan perempuan, dan cinta yang berkaitan sosial
hubungan lintas agama dan juga nasionlisme.
20 Soetriono & Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: AndiOffset, 2007) 20
21 Ibid, 20
Pernikahan: secara umum pernikahan dipahami sebagai suatu tindakan antara dua
insan (Pria-Wanita), bersepakat untuk hidup bersama menjalani bahtera rumah
tangga. Menurut Subeno, pernikahan sebagai salah satu bentuk relasi agar manusia
dapat saling melengkapi satu sama lainnya (perempuan dan laki-laki). Sementara
menurut P. Borong, pernikahan adalah peraturan suci yang ditetapkan oleh Tuhan,
agar setiap menjadi sumber untuk saling membahagiakan dalam kehidupan.
Beda Agama: beda agama yang dimaksudkan dalam konteks ini ialah terjalinnya
hubungan atau ikatan dalam pernikahan meski berbeda agama secara khusus islam
dan kristen dalam satu rumah tangga.
1.5. Sistematika Penulisan
Bab I : Pendahuluan
Bagian ini diawali dengan pemaparan latar belakang permasalahan, setelah itu
tujuan penelitian dan manfaat penelitian. Dari latar belakang permasalahan, penulis
merumuskan inti masalah yang akan dijawab melalui tujuan penulisan. Untuk
merumuskan tujuan, penulis secara konsisten, maka dalam bagian pendahuluan
dipaparkan juga penelitian terdahulu, signifikasi penulisan, metodologi dan
sistematika penulisan.
Bab II : Kajian Teori
Bagian ini penulis memaparkan beberapa pengertian mengenai pernikahan.
Penulis juga memaparkan beberapa kendala atau pemahaman-pemahaman yang
menolak pernikahan beda agama sekaligus melakukan kritik terhadap pemahaman-
pemahaman yang menolak pernikahan beda agama. Juga lewat bab ini, penulis akan
memaparkan mengenai filosofi cinta yang didukung beberapa teori para ahli.
Bab III : Pemaparan Hasil Penelitian
Bagian ini penulis akan memaparkan beberapa kasus atau fenomena
pernikahan beda agama. Kemudian memaparkan data-data hasil penilitian
mengenai tema yang terkait.
Bab IV: Analisis Terhadap Hasil Penelitian
Bagian ini penulis memaparkan analisis dari hasil penelitian yang dikaitkan
dengan teori-teori dalam Bab II dengan memperhatikan temuan-temuan yang telah
penulis paparkan pada Bab III. Acuan dalam analisis ini adalah apa telah
dikemukakan dalam rumusan masalah dan tujuan penelitian.
Bab V: Kesimpulan dan Rekomendasi
Bagian akhir tulisan ini merupakan simpulan pembahasan dari keseluruhan
bab sebelumnya dan rekomendasi yang berisikan masukan-masukan atau saran-
saran penulis terhadap orang atau lembaga tertentu.