Perlunya Reorientasi Sosiologi di Indonesia Wenti Arum...

6
Dialektika Edisi 07 Tahun 2011 ISSN 1858-3857 Sosiologi FISIP Universitas Sebelas Maret Page - 1 Perlunya Reorientasi Sosiologi di Indonesia Wenti Arum Sari Apabila Sosiologi difahami sebagai ilmu sosial yang paling komprehensif dan dapat menarik generalisasi paling luas karena mempelajari dan menemukan hubungan antara pelaku sosial yang berkelompok maka Sosiologi dapat seakan-akan memanyungi ilmu-ilmu sosial lain. Dalam ranah ilmu Ekonomi telah dikembangkan falsafah dasar mengenai penguasaan, pemanfaatan/eksploatasi dengan tujuan produksi dan konsumsi sumberdaya, baik alam maupun manusia, menurut perinsip kegunaan (utilitarianisme). Karena itu Ekonomi modern, menyimpang dari falsafah semasa ekonomi klasik A. Smith, mengabstraksikan dimensi keadilan dan pemerataan (Gouldner, 1973). Itu pula yang mendekatkan sifat ekonomi ke ilmu alam diera neo-klasik. Bersebrangan dengan itu Ethnologi memusatkan studi deskriptifnya pada budaya kelompok- kelompok ethnis, terutama yang berada dalam tahap perkembangan pra-sejarah dan / atau pra-aksara. Ilmu Antroophologi yang sudah mulai menjembatani dua ranah tersebut dengan mempelajari, baik aspek manusia sebagai organisme (Physical Antrhopology) maupun perilaku dalam lingkungan kebudayaan (Ethology Cultural/Social Antrhopology). Ilmu politik memusatkan perhatian pada hubungan dan interaksi yang berkaitan dengan pembagian dan pertukaran kekuasaan (=power). Sejarah menjadi sangat relevant dalam menekuni Sosiologi karena menunjukkan kecenderungan (trends) dan membuka peluang, baik untuk memahami proses perubahan, bertahap atau sebagai loncatan, maupun membuka peluang untuk membanding gejala sosial/ kemasyarakatan. Beberapa cabang kelompok ilmu lain yang sering di acu sebagai kelompok Humaniora seperti Hukum, Pendidikan dan komunikasi pun menunjang dan memberi pengetahuan sangat berharga untuk sosiologi. Dalam zaman penjajahan Belanda masyarkat Indonesia yang belum dipersepsikan sebagai satu kesatuan, lebih dipelajari dari sudut pandang Ethnologi dan Antropologi budaya. Berkaitan dengan itu juga Hukum Adat sangat diminati baik oleh sarjana Belanda maupun Indonesia, dan banyak diantara mereka bergelar Sarjana Hukum. Mungkin minat tersebut juga merupakan kebutuhan pemerintah Hindia Belanda yang ingin menghayati sifat dan tata kehidupan terutama suku-suku bangsa yang berperan di Nusantara. Nama-nama besar seperti Krom, Veth, dan Snouch Hurgronje boleh dikatakan perintis ilmu-ilmu sosial ini di Indonesia sejak akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20.

Transcript of Perlunya Reorientasi Sosiologi di Indonesia Wenti Arum...

Dialektika Edisi 07 Tahun 2011 ISSN 1858-3857

Sosiologi FISIP Universitas Sebelas Maret Page -

1

Perlunya Reorientasi Sosiologi di Indonesia

Wenti Arum Sari

Apabila Sosiologi difahami sebagai ilmu sosial yang paling komprehensif dan dapat menarik

generalisasi paling luas karena mempelajari dan menemukan hubungan antara pelaku sosial

yang berkelompok maka Sosiologi dapat seakan-akan memanyungi ilmu-ilmu sosial lain.

Dalam ranah ilmu Ekonomi telah dikembangkan falsafah dasar mengenai penguasaan,

pemanfaatan/eksploatasi dengan tujuan produksi dan konsumsi sumberdaya, baik alam

maupun manusia, menurut perinsip kegunaan (utilitarianisme). Karena itu Ekonomi

modern, menyimpang dari falsafah semasa ekonomi klasik A. Smith, mengabstraksikan

dimensi keadilan dan pemerataan (Gouldner, 1973). Itu pula yang mendekatkan sifat

ekonomi ke ilmu alam diera neo-klasik.

Bersebrangan dengan itu Ethnologi memusatkan studi deskriptifnya pada budaya kelompok-

kelompok ethnis, terutama yang berada dalam tahap perkembangan pra-sejarah dan / atau

pra-aksara. Ilmu Antroophologi yang sudah mulai menjembatani dua ranah tersebut dengan

mempelajari, baik aspek manusia sebagai organisme (Physical Antrhopology) maupun

perilaku dalam lingkungan kebudayaan (Ethology Cultural/Social Antrhopology).

Ilmu politik memusatkan perhatian pada hubungan dan interaksi yang berkaitan dengan

pembagian dan pertukaran kekuasaan (=power). Sejarah menjadi sangat relevant dalam

menekuni Sosiologi karena menunjukkan kecenderungan (trends) dan membuka peluang,

baik untuk memahami proses perubahan, bertahap atau sebagai loncatan, maupun membuka

peluang untuk membanding gejala sosial/ kemasyarakatan. Beberapa cabang kelompok ilmu

lain yang sering di acu sebagai kelompok Humaniora seperti Hukum, Pendidikan dan

komunikasi pun menunjang dan memberi pengetahuan sangat berharga untuk sosiologi.

Dalam zaman penjajahan Belanda masyarkat Indonesia yang belum dipersepsikan sebagai

satu kesatuan, lebih dipelajari dari sudut pandang Ethnologi dan Antropologi budaya.

Berkaitan dengan itu juga Hukum Adat sangat diminati baik oleh sarjana Belanda maupun

Indonesia, dan banyak diantara mereka bergelar Sarjana Hukum.

Mungkin minat tersebut juga merupakan kebutuhan pemerintah Hindia Belanda yang ingin

menghayati sifat dan tata kehidupan terutama suku-suku bangsa yang berperan di

Nusantara. Nama-nama besar seperti Krom, Veth, dan Snouch Hurgronje boleh dikatakan

perintis ilmu-ilmu sosial ini di Indonesia sejak akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20.

Dialektika Edisi 07 Tahun 2011 ISSN 1858-3857

Sosiologi FISIP Universitas Sebelas Maret Page -

2

Sejak tahun 1920-an timbullah minat sarjana-sarjana Belanda untuk memahami masyarakat

lebih luas, karena gejala-gejala sosial yang disoroti tidak terbatas pada lingkungan suku

bangsa atau group ethnis. Di antaranya adalah B. Schrieke (1890-1945) yang menulis

karangan-karangan ethnografis dan sejarah, sehingga gabungan kedua konteks itu bercorak

Sosiologi. Salah satu variabel yang jelas mencerminkan ilmu Sosiologi yang menjadi garapan

Schrieke adalah Akulturasi. Misalnya Shcrieke mengulas “Pergeseran kekuasaan Politik dan

Ekonomi di Nusantara antara abad ke 16 sampai abad ke-17”. Satu sebab mengapa Schrieke

kurang dikenal dan tulisannya kurang dibaca ialah karena beliau menulis dalam bahasa

Belanda. Baru setelah tahun 1955 beredarlah kumpulan karangan Schrieke yang

diterjemahkan kedalam bahasa Inggris (2 jilid. 1955).

Tokoh Belanda lain yang melalui karangan sejarah melukiskan mayarakat Indonesia adalah

J.C. van Leur (1934-1942). Jelas konteks makronya tercermin dari judul-judul karangan

seperti a.l. Indonesian Trade and Society. Seorang Sarjana Hukum lain yang dikenal dan

menulis tentang Indonesia masa kini (kontemporer), bahkan juga meletakkan Indonesia

dalam konteks lebih luas lagi adalah Prof. W.F. Wertheim (1899-2001) yang pernah

mengajar di Rechts Hogeschool di Jakarta (1936) dan menjadi guru besar tamu di Fakultas

Pertanian, UI (Bogor) 1957. Karena Wertheim mengalami pendudukan Jepang di Indonesia

dan sempat mengamati kebangkitan Nasional Indonesia pula, beliau, dapat merekam

perubahan sosial dalam bukunya “Indonesia Society in Transition” dari daerah jajahah

menjadi Republik yang berdaulat.

Sarjana-sarjana Belanda yang meminati Sosiologi dahulu banyak bergelar Sarjana Hukum,

dan aspek-aspek Sosiologi juga diajarkan di Fakultas Hukum, mungkin warisan dari periode

mempelajari Hukum Adat yang masih diminati. Ini sebabnya mengapa baik di Universitas

Indonesia dan di Universitas Gadjah Mada dosen-dosen Indonesia banyak bergelar SH.

Seperti misalnya Soelaeman Soemardi, Soekanto, Soetandiyo Wignyo Soebroto, Satjipto

Raharjo dan lain-lain.

Pengaruh sosiologi Eropa memang juga menggali dan dari pemikir-pemikir falsafah a.l.

Bapak Sosiologi August Comte (1798-1857). Pendekatan yang agak ethno-Antropologis

tercermin juga dalam buku E. Durkheim tentang agama, tetapi buku-buku lain seperti

mengenai “Pembagian Kerja” (1966) dan “Bunuh Diri” sudah jelas dikarang dalam konteks

makro sosiologi. Memang penyebaran theori-theori klasik Sosiologi di Indonesia tidak terlalu

luas, nama-nama seperti P. Sorokin, M. Weber, Znaniecki, Marx, Von Wiese, G. Simmel, T.

Shanin dan banyak lagi kurang mengisi bahan kuliah para dosen.

Dialektika Edisi 07 Tahun 2011 ISSN 1858-3857

Sosiologi FISIP Universitas Sebelas Maret Page -

3

Sejak pertengahan 1950-an Indonesia mulai mengirimkan mahasiswa untuk berbagai ilmu

sosial keluar negeri, tetapi ada kecenderungan lebih banyak ke Amerika Serikat daripada ke

Eropa. Antara lain Soedjito Djojohardjo dikirim ke Inggris, tetapi lebih banyak lagi yang

belajar di Amerika dan menghasilkan thesis Ph.D. seperti Prof. Selo Soemardjan, Mely Tan

APU, Prof. Hasyah Bachtiar (hanya sebentar di Universitas Amsterdam sebelum ke Harvad)

dan lain-lain.

Perlu dipahami bahwa pengembangan dan perkembangan theori yang digubah pakar

Sosiologi tidak terlepas dari kejadian-kejadian besar dalam masyarakat dan pengaruh-

pengaruhnya kepada pemikir yang kemudian menerima sejumlah assumsi yang mendasari

theori. Demikian keperluan pemerintah jajahan di Hindia Belanda mendorong ilmuwan

menelusuri adat kebiasaan suku-suku bangsa di Nusantara. Pengertian yang diperoleh

mengarahkan kebijaksanaan sedemikian rupa sehingga mereka yang dijajah tidak

menimbulkan penolakan atau pembangkangan yang terlalu kuat.

Dalam masa 1800-1825, dibawah pengaruh tumbuhnya kaum borjuis di Eropa dan awal

industrialisasi yang menimbulkan / menyuburkan “budaya utilitarianisme” sosiologi seakan-

akan hanya mempelajari gejala-gejala yang tersisa (unfinished business) dalam perjalanan

revolusi industri. A. Gouldner mendeskripsikannya dalam kalimat “Sociology made the

residual, Social, Element its sphere”. Jadi ranah sosiologi seakan-akan dipisah dari

perkembangan ekonomi dan teknologi.

Baru sekitar pertengahan abad ke-19 sosiologi, ekonomi dan politik (Marx, 1848) mulai

difahami sebagai bidang-bidang ilmu yang saling terjalin. “Sociology thus remains concerned

with society as a “whole” as some kind of totality, but it now regards itself as responsible only

for one dimension of this totality. Society has been parceled out analytically (Tj. Only) among

the various social sciences. From this analytic standpoint, sociology is indeed, concerned with

social systems or society as a “whole”, but only as it is a social whole”. (Gouldner, 1973:94)

Teori dalam ilmu sosial pun mencari keteraturan perilaku manusia serta pemahaman dan

sikap yang mendasarinya. Karena keadaan masyarakat yang berubah-ubah, pemahaman,

sikap dan perilaku warga / pelaku social pun dapat berubah. Memang perubahaan sosial bisa

bersifat makro, tetapi juga bisa lebih mikro mencakup kelompok-kelompok masyarakat yang

relatif lebih kecil dari satu bangsa, atau kumpulan bangsa-bangsa. Theori juga mengandung

sifat universalitas, artinya dapat berlaku di lain masyarakat yang mana saja, walaupun sering

dibedakan atara Grand Theory dan theori yang cakupannya tidak seluas itu.

Dialektika Edisi 07 Tahun 2011 ISSN 1858-3857

Sosiologi FISIP Universitas Sebelas Maret Page -

4

Theori August Comte, Karl Marx dan beberapa theory Max Weber dapat digolongkan ke

Grand Theory, sedangkan theori Parson relatif mikro karena melepaskan diri dari kerangka

sejarah dan memfokuskan analisnya pada sistem sosial dan struktur, lebih khusus dalam

masyarakat Amerika Serikat.

Seorang ahli Sosiologi Alwin Gouldner (1971) yang bersifat kritis dan menulis buku berjudul

“The Coming Crisis of Western Sociology” mengungkapkan bahwa Talcott Parsons

menghasilkan “Academic Sosiology” dimasa Amerika Serikat mengalami krisis ekonomi yang

dahsyat (1930), bahkan aliran tersebut kemudian mempengaruhi di luar A.S.

Parsons juga mencoba mencari penyelesaian lebih prgamatis dalam zamannya yang

pemikirannya membuahkan theori “Social System”. Ini sebanya theori tesebut juga

mempengaruhi pengajaran dan pemahaman sosiologi, yang waktu tahun 1930-an menarik

banyak penganut pakar Sosiolog di luar AS. Bahkan sedemikian rupa sehingga menggusur

theori-theori sosiologi dalam tradisi Eropa, seperti Max Weber, Karl Mannheim dan lain-lain

yang tidak mengesampingkan dimensi falsafah dan sejarah. Jadi boleh dikatakan sosiologi

Meso timbul dengan theori Parsons, tetapi dengan mengorbankan faktor “dinamika”

(perubahan sosial makro yang ciri Sosiologi Eropa) dengan mengunggulkan “Struktur dan

Fungsi”.

Akibat pengaruh Amerika Serikat sebagai negara adidaya setelah 1950 yang terus meluas

setelah perang dunia kedua, theori Sosiologi dinegara berkembang pun terpengaruhi, karena

menekuni masalah yang tidak melampaui batas “nation state”. Negara-negara baru dengan

kesadaran nasional yang tinggi ingin mengatur struktur kelembagaan dalam masyarakat

masing-masing.

Sekarang di Indonesia mulai terasa adanya dilemma, karena “nation state” belum mantap

sudah timbul Globalisasi yang pasti merubah pengelompokan dan perilaku-perilaku sosial

yang lebih universal.

Reorientasi Sebagai Kebutuhan

Baik lahirnya “nation state” Indonesia di pertengahan abad ke-20 dan pembangunan

nasional yang digalakkan selama periode pemerintahan Orde Baru merangsang tumbuhnya

theori struktur dan fungsi Parsons. Bukan saja pragmatik (non-dinamika) yang dipentingkan

karena tujuannya adalah pertumbuhan ekonomi, tetapi juga kurang mengulas perubahan

sosial dan konflik. Perubahan struktur sosial yang sebenarnya di Indonesia akan dimulai

tahun 1960 dengan mengatur agraria, berhenti tetapi itu (1965) dan kemudian andalannya

Dialektika Edisi 07 Tahun 2011 ISSN 1858-3857

Sosiologi FISIP Universitas Sebelas Maret Page -

5

adalah menumbuhkan klas menengah. Sering dikatakan bahwa klas menengah merupakan

prasyarat untuk pertumbuhan demokrasi maupun ekonomi.

Dialektika dalam masyarakat yang mengandung potensi konflik , antara sentralisme politik

dan arus kebebasan generasi muda yang tertekan, meletus waktu krisis 1997 dan Reformasi

1998 sampai menggoncangkan sendi-sendi masyarakat. Gejala-gejala yang sebelumnya

latent, sekarang menjadi perhatian Rakyat, dan aneka elite menjadi faktor yang penting

dalam usaha mecapai konsensus nasional baru. Mengingat hal-hal tersebut diatas, terasa

bahwa buku P. Sorokin (1928) “Contemporary Sociological Theories” sudah diperluas dengan

theori-theori yang sudah lebih mengintegrasikan beberapa cabang ilmu-ilmu sosial.

Pertautan antara aspek-aspek psikologi misalnya dapat ditemukan dalam buku R. Presthus

(1962) dan D. Riesman dkk. (1961). K. Boulding (1962) seorang guru besar ekonomi

menambahkan teori konflik dan memperkaya theori klasik terdahulu (Marx, Simel, Coser).

Erat pula kaitannya dengan gejala-gejala yang kita alami sejak Reformasi 1998 adalah buku-

buku C. Wright MILLS (2959 dan 1963).

Analisa-analisa pakar-pakar tersebut diatas menunjukkan pentingnya dinamika sosial dalam

masyarakat modern yang lebih memperkaya imajinasi sosiologi kita. Jadi di Amerika Serikat

setelah T. Parsons timbul mazhab-mazhab Sosiologi muda yang lebih memahami pentingnya

gejala perubahan dan konflik sosial, yang pada hemat penulis lebih merupakan warisan dari

tradisi Sosiologi Eropa.

Ini dibenarkan oleh a. Gouldner yang menulis dan menyimpulkan bahwa “Academic

Sociology semakin terjalin dengan analisa K. Marx, sehingga di Amerika misalnya

menimbulkan gerakan “New Left” menentang Establishment atau di Eropa (Jerman) “Tentara

Merah” dengan tokoh muda Beader Meinhof. Mungkin P.R.D di Indonesia dapat

diketegorikan dalam pemberontakan generasi muda seperti itu, yang sudah jenuh dengan

elite Orde Baru di Jepang pun ada gerakan-gerakan serupa.

Pemberontakan menentang tradisi dan pemikiran generasi “arrive” yang kolot oleh generasi

muda selalu akan timbul dalam masyarakat manusia sebagai terjadi tahun 1945, sebentar di

tahun 1965 dan dewasa ini sejak tahun 1998. Dalam arti yang lebih murni memang

paradigma yang umum dianut sarjana Sosiologi di Indonesia perlu dirubah. Kalau di Zaman

Orde Baru sukar untuk menganalisa secara terbuka gejala stratifikasi sosial dan konflik

antara Klas, sekarang sudah lebih bisa diterima, karena memang gejalanya sudah ada sejak

zaman penjajahan sekalipun.

Dialektika Edisi 07 Tahun 2011 ISSN 1858-3857

Sosiologi FISIP Universitas Sebelas Maret Page -

6

Struktur feodal memang berlapis-lapis dan eksploatasi jelas sudah ada. Jadi perlu reorientasi

sosiologi untuk banyak ilmuwan Sosiologi dan cedekiawan yang memperhatikan

perkembangan kebudayaan karena keadaan sudah berubah. Tantangan bukan hanya ada di

dalam negeri, tetapi sekaligus juga dalam hubungan kita dengan negara dan bangsa, bukan

saja yang geografis menjadi tetangga kita, tetapi juga dengan negara-negara sebenua, bahkan

di benua lain.

Satuan pelaku sosial bukan saja lagi “nation state” tetapi komunitas negara atau bangsa yang

sudah melintasi batas nation-state. Mazhab-mazhab agama menjadi salah satu ilustrasi jelas,

tetapi juga “pendukung pelestarian alam dan lingkungan, serta perjuangan untuk “Hak Azasi

Manusia” dan “Gender” dapat segera difahami sebagai komunitas besar yang menjadi ciri

pengelompokan Global. Sosiologi tidak dapat lagi bertahan dengan membatasi diri dengan

mempelajari “residual social elements seperti pernah digagas oleh cendekiawan Prancis

Saint Simon di awal abad ke-19. Inilah sebabnya mengapa perlu ada reorientasi Sosiologi di

Indonesia; bukan ekonomi lagi yang akan bertahan sebagai “The Queen of The Social

Sciences”, tetapi sosiologi yang mengulur tangan kepada cabang-cabang ilmu Sosial lain dan

Humaniora untuk menganalisa dan memecahkan masalah kemasyarakatan secara terpadu.