PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM SISTEM UUD 1945pustakahpi.kemlu.go.id/app/Opinio Juris Vol 4,...

10

Click here to load reader

Transcript of PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM SISTEM UUD 1945pustakahpi.kemlu.go.id/app/Opinio Juris Vol 4,...

Page 1: PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM SISTEM UUD 1945pustakahpi.kemlu.go.id/app/Opinio Juris Vol 4, Januari-Mei 2012_10... · Pihak negara lain secara prima facie dan secara hukum dapat

8

Volume 04 | Januari - April 2012 OPINIO JURIS

Pendahuluan Konstitusi merupakan hukum tertinggi dalam penyelenggaraan ketatanegaraan suatu negara oleh karenanya pembuatan perjanjian in-ternsional yang merupakan salah satu dari akti-vitas penyelenggaran negara sudah seharusnya didasarkan atas ketentuan yang terdapat dalam konstitusi. Konstitusi juga mempunyai fungsi sebagai fondasi dalam penyusunan sistem hu-kum negara, oleh karena itu pembuatan perjan-jian international juga menjadi bagian dalam sistem konstitusi. Sementara ini masih terdapat perbedaan pendapat baik di antara pakar hukum maupun praktisi penyelenggara pemerinrtahan negara mengenai dasar-dasar konstitusional yang mengatur pembuatan perjanjian internasi-onal. Perbedaan yang menyebabkan pandangan yang beragam tersebut mempunyai implikasi baik praktis dan teoritis dalam memberi dasar pengaturan tentang perjanjian internasional. Uraian di bawah ini mencoba untuk men-emukan dasar-dasar pengaturan konstitusional pembuatan perjanjian international menurut UUD 1945 dalam suatu kesisteman. Charles Sampford melihat bahwa ada pandangan yang umum mengenai sistem dan ciri atau karakteris-tik sistem yaitu disebutkan bahwa dalam sistem terdapat; “There are wholes, they have elements and those elementshave relations which form structure “. Lebih lanjut dinyatakan; ” Sourse –based system have legal rules or norms for ele-ments. These are related by relations of author-ity or validity to higher rules. These relations

are classically formed into a pyramidal and hi-errarical structure with one ultimate rule, ‘ba-sic norm‘ or ‘legal science fiat‘ at the top. The wholeness factor is provided by the structure it-self and by its function of providing the authori-tative basis for all law in community“1. Dengan berdasar pada pengertian sistem sebagimana di atas uraian di bawah ini akan meninjau perjan-jian internasioanal dalam sistem UUD 1945. Dasar Hukum Dasar hukum perjanjian international dalam ketentuan UUD 1945 setelah mengalami perubahan ialah Pasal 11 yang menyatakan:• Presiden dengan persetujuan De-

wan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain

• Presiden dalam membuat perjanjian in-ternasional lainnya yang menimbul-kan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait den-gan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pem-bentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

• Ketentuanlebihlanjuttentangperjanjianin-ternasional diatur dengan undang-undang.

Pasal 11 UUD 1945 tersebut satu-satunya pasal dalam UUD 1945 yang menyebutkan di dalamnya adanya kata “perjanjian inter-nasional“. Oleh karena itu perlu dikaji lebih

PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM SISTEM UUD 1945

Dr. Harjono, SH., MCL

1 1 Charles Sampford “ The Disorder of Law , a Critique of Legal Theory “, Basil Blackwell 1989, h. 16

Page 2: PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM SISTEM UUD 1945pustakahpi.kemlu.go.id/app/Opinio Juris Vol 4, Januari-Mei 2012_10... · Pihak negara lain secara prima facie dan secara hukum dapat

9

OPINIO JURIS Volume 04 | Januari - April 2012

dahulu dalam konteks apa UUD 1945 terse-but mengatur hal perjanjian internasional. Pasal 11 UUD 1945 termasuk dalam Bab III yang berjudul Kekuasaan Pemerintahan Negara yang di dalam susbstansi pasal-pasal-nya mengatur tentang Presiden dalam sistem UUD 1945. Bab III UUD 1945 ini mengal-amiperubahanyangsangatsignifikandiband-ingkan dengan Bab III UUD 1945 sebelum perubahan. Di samping perubahan isi pasal-pasal, perubahan UUD 1945 juga menambah-kan pasal-pasal baru dalam Bab III ini yaitu; Pasal 6A, Pasal 7A, Pasal 7B, dan Pasal 7C. Pasal 11 UUD 1945 sebelum peruba-han merupakan pasal tunggal tak berayat yang berbunyi: ”Presiden dengan persetu-juan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjan-jian dengan negara lain“, dan setelah peruba-han UUD 1945, ketentuan yang terdapat dalam pasal ini menjadi ayat (1) Pasal 11 tanpa dilakukan perubahan bunyi aslinya. Kedudukan Presiden dalam UUD 1945 setelah perubahan berbeda dengan kedudukan Presiden sebelum perubahan. Hal tersebut di-karenakan adanya perubahan dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945. Sebelum perubahan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menyatakan; ”Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat“, sedangkan setelah perubahan Pasal tersebut menjadi berbunyi; ”Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang ke-pada Dewan Perwakilan Rakyat“. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan berbu-nyi; ”Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Dari perubahan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) tersebut terjadi pengalihan pem-buatan UU dari tangan Presiden ke DPR. Perubahan demikian juga menyebab-

kan perubahan pada apa yang dimaksud se-bagai Kekuasaan Pemerintahan Negara oleh Bab III UUD 1945. Sebelum perubahan UUD 1945, Kekuasaan Pemerintahan Nega-ra yang berada di tangan Presiden meliputi; • kekuasaaneksekutif(videPasal4ayat(1)

UUD 1945),• kekuasaanmembentukUU(videPasal5

ayat (1) UUD sebelum perubahan), kekua-saan sebagai kepala negara.

Setelah perubahan UUD 1945, Kekuasaan Pemerintahan Negara yang diatur dalam Bab III menjadi hanya meliputi dua kekuasaan saja yaitu:• kekuasaaneksekutif• kekuasaansebagaikepalanegara.

Bab III UUD 1945 megandung substansi yang berhubungan dengan lembaga Presiden dalam sistem UUD 1945 di mana di dalam-nya termasuk kewenangan Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Kedudukan Presiden dalam sistem presidensiil menjalank-an dua fungsi sekaligus yang melekat yaitu sebagai kepala eksekutif dan sebagai kepala negara. Dengan adanya Pasal 11 tersebut, UUD 1945 menetapkan bahwa Presidenlah yang me-wakili negara dalam melakukan hubungan den-gan negara lain. Pasal 11 UUD 1945 memang tidak dimaksudkan untuk menentukan hubun-gan antara hukum internasional dengan hu-kum nasional tetapi semata-mata menetapkan bahwa Presidenlah, dan bukan lembaga negara yang lain, yang mewakili negara Indonesia un-tuk melakukan hubungan dengan negara lain .

Bentuk hukum Sebuah perjanjian internasional pada hakekatnya adalah merupakan penuangan kes-epakatan yang diambil oleh para pihak, dalam

Page 3: PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM SISTEM UUD 1945pustakahpi.kemlu.go.id/app/Opinio Juris Vol 4, Januari-Mei 2012_10... · Pihak negara lain secara prima facie dan secara hukum dapat

10

Volume 04 | Januari - April 2012 OPINIO JURIS

hal ini antar negara yang membuat perjanjian tersebut. Dengan demikian, dalam sebuah per-janjian internasional terceminkan kehendak dua pihak. Setiap negara mempunyai aturan yang berbeda tentang siapa yang berhak untuk mewakili negara tersebut dan dari wakil itu pulalah pihak negara lain mendapatkan kepas-tian bahwa memang pihaknya telah bertemu dan mengadakan kesepakatan dengan wakil yang sah. Dengan berdasar pada bunyi Pasal 11 UUD 1945 telah jelas bahwa Presiden-lah akan menyatakan, membuat perdamaian dan perjanjian. Pihak negara lain secara prima facie dan secara hukum dapat memastikan bahwa apa yang dinyatakan oleh Presiden In-donesia tidak lain adalah pernyataan keingi-nan Negara Indonesia yang artinya negara lain tersebut tidak perlu berhubungan dengan lembaga negara Indonesia yang lain untuk mengetahui maksud atau kehendak negara In-donesia dalam membuat kesepakatan dengan pihaknya. Dengan demikian bentuk hukum dari pernyataan negara yang ditujukan ke luar tersebut seharusnya adalah pernyataan dari Presiden dan dalam sistem perundang-undan-gan pernyataan Presiden tersebut lebih tepat diwadahi dalam Keputusan Presiden bukannya bentuk lain umpama saja Peraturan Presiden. Pasal 11 UUD 1945 mensyaratkan bahwa pada saat Presiden menyatakan perang, mem-buat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain harus dengan persetujuan DPR. Persoalan-nya adalah apakah dengan adanya syarat terse-but menjadikan bentuk hukum dari pernyataan Presiden yang ditujukan ke pihak luar terse-but harus berbentuk undang-undang. Pasal 11 UUD 1945 ini tidak mensyaratkan bahwa ben-tuk hukum tersebut haruslah undang-undang, meskipun ada kemiripan antara prosedur yang disyaratkan dalam pembuatan undang-undang dengan prosedur yang harus dipenuhi apabila

Presiden menyatakan perang, membuat per-damaian dan perjanjian dengan negara lain, namun demikian tidaklah berarti bahwa ben-tuk hukum pernyataan perang, membuat per-damaian dan perjanjian dengan negara lain harus dalam bentuk hukum undang-undang. Apabila pernyataan perang, membuat per-damaian dan perjanjian dengan negara lain di-wadahi bentuk hukum UU maka artinya proses pembuatannya pun harus sesuai dengan tata cara pembuatan undang-undang dan hal yang demikian tersebut akan menimbulkan per-soalan hukum. Pernyataan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain mempunyai karakterikstik yang berbeda. Seb-agai sebuah ilustrasi, apabila terjadi suatu kon-flik dengan negara lain yang tidak dapat dis-elesaikan dengan damai dan kemudian tepaksa ditempuh jalan dengan peperangan, apakah Presiden harus mengajukan lebih dahulu kepa-da DPR untuk mendapatkan persetujuan untuk menyatakan perang, padahal situasinya sangat kritis, atau apabila DPR sedang reses. Kalau proses pembuatan UU harus dilakukan tentu saja akan menunggu waktu yang cukup lama dan keinginan perang tersebut telah diketahui oleh pihak musuh hal demikian tentunya sangat merugikan strategi berperang dan dapat menye-babkan kekalahan. Pernyataan perang adalah pernyataan sepihak dan harus dilakukan secara cepat serta tidak dapat dibahas sebagaimana membahas suatu rancangan undang-undang, hal demikian tentu saja sangat berbeda dengan membuat perdamaian dan membuat perjan-jian dengan negara lain yang memerlukan ke-sepakatan bersama antara ke dua belah pihak. Dari sudut hubungan antar pembuat kes-epakatan, dalam hal ini antara negara Indonesia dengan negara lain khususnya dalam perjanjian bilateral, sangatlah janggal praktik yang selama ini dilakukan yaitu pengesahan perjanjian in-

Page 4: PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM SISTEM UUD 1945pustakahpi.kemlu.go.id/app/Opinio Juris Vol 4, Januari-Mei 2012_10... · Pihak negara lain secara prima facie dan secara hukum dapat

11

OPINIO JURIS Volume 04 | Januari - April 2012

lukan naskah otentik yang menjadi dasar ad-anya perbedaan penafsiran. Apabila perjanjian internasional dituangkan dalam bentuk hukum UU dan kemudian karena suatu sebab terjadi perbedaan antara naskah yang telah disetujui oleh wakil masing-masing negara dengan yang disahkan dalam UU apakah kemudian pihak Indonesia dapat berdalil bahwa naskah yang terdapat dalam lampiran UU tersebut sebagai naskah otentik. Hal demikian tentu akan men-imbulkan persoalan yaitu apa dasarnya pemer-intah negara lain harus mengakui bahwa lampi-ran yang terdapat dalam UU Indonesia sebagai naskah otentik. Di lain pihak kemudian apa artinya kalau kemudian naskah perjanjian inter-nasional yang dilampirkan dalam UU ternyata tidak diakui sebagai naskah otentik padahal UU telah diundangkan sebagaimana mestinya. Karena perjanjian internasional diberi ben-tuk hukum UU tentunya segala tata cara kon-stitusi yang berkaitan dengan UU juga harus diberlakukan terhadap proses pembuatan perja-jian internasional. Dalam ketentuan UUD 1945, Pasal 20 ayat (5) menyatakan, ”Dalam hal ran-cangan undang-undang yang telah disetujui bersama (antara Presiden dan DPR) tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.” Sebagai sebuah ilustrasi dapat diajukan dalam kasus ini. Presiden telah men-gajukan naskah perjanjian internasional kepa-da DPR, dan kemudian DPR telah menyetujui rancangan tersebut. Karena mekanisme yang berlaku adalah mekanise pembuatan UU, maka ketentuan Pasal 20 ayat (5) menjadi mengikat. Sementara Presiden belum mengesahkan per-janjian tersebut menjadi UU terjadilah suatu perubahan materiil yang menyangkut materi dari perjanjian tersebut dan hal demikian me-

ternasional diwadahi dalam bentuk UU. Kedua pihak setelah menyepakati hal-hal tertentu per-lu kemudian menuangkan kesepakatan tersebut dalam bentuk perjanjian, sehingga yang di-perlukan di antara keduanya adalah pernyataan masing-masing pihak melalui wakilnya bahwa mereka telah menyetujui hal-hal yang disepak-ati bersama tersebut dalam suatu naskah yang berakibat mengikat kepada kedua belah pihak. Praktik pengesahan dengan UU menimbulkan persoalan. UU adalah bagian dari hukum nasi-onal sedangkan perjanjian dengan negara lain merupakan kesepakatan antar negara yang be-rada di luar ranah urusan internal negara. Ka-lau suatu perjanjian bilateral disahkan oleh UU apakah ini tidak berarti bahwa kehendak neg-ara lain tersebut disubordinasikan kepada me-kanisme internal negara lain karena digantung-kan kepada pengesahan UU. Bagi pihak lain yang diperkukan adalah pernyataan persetu-juan untuk terikat dan bukan pengesahan UU. Praktik pengesahan perjanjian internasi-onal menimbulkan pertanyaan apakah sebelum disahkan perjanjian tersebut tidak sah, apakah mungkin kehendak suatu negara kesahan-nya digantungkan kepada mekanisme internal negara lain. Pranata pengesahan mengindika-sikan bahwa pihak yang perbuatannya perlu disahkan berada pada tingkat lebih rendah dari yang mengesahkan, tentu hal tersebut tidaklah tepat karena perjanjian dengan negara lain di-lakukan antar pihak yang setara kedudukannya. Hal berikutnya menyangkut naskah otentik dari perjanjian internasional. Dalam sebuah perjanjian internasional termasuk hal yang penting untuk diperjanjikan adalah penentuan naskah otentik perjanjian, yang untuk itu diper-lukan kesepakatan oleh para pihak. Klausula ini penting karena kalau sampai timbul sengketa antar pihak mengenai penafsiran perjanjian in-ternasional yang telah disepakati, maka diper-

Page 5: PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM SISTEM UUD 1945pustakahpi.kemlu.go.id/app/Opinio Juris Vol 4, Januari-Mei 2012_10... · Pihak negara lain secara prima facie dan secara hukum dapat

12

Volume 04 | Januari - April 2012 OPINIO JURIS

nyebabkan Presiden melakukan evaluasi untuk tidak mempertahankan kesepakatan yang telah diambil dalam perjanjian internasional karena dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar dan kemungkinan juga pihak negara lain juga berkesimpulan yang sama. Adanya ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 akan menim-bulkan masalah dalam kasus yang demikian. Bentuk perjanjian dalam UU juga menja-dikantidakfleksibeldalamkasusperlunyadi-lakukan pemutusan perjanjian dengan negara lain yang harus dilakukan dengan cepat karena adanya dasar-dasar obyektif untuk mengakhiri atau memutuskan perjanjian tersebut. Bentuk Keputusan Presiden akan lebih fleksibel.Ad-anya syarat dengan persetujuan DPR dalam pembuatan perjanjian internasioanl dapat di-lakukan di luar mekanisme pembuatan UU. Dalam banyak undang-undang telah dikem-bangkan mekanisme persetujuan DPR terha-dap usualan Presiden namun bentuk hukumnya tidak dalam bentuk UU, sebagai misal pen-gangkatan jabatan-jabatan tertentu; Panglima TNI, Gubernur Bank Indonesia, dan pengang-katan Kepala Kepolisian Republik Indonesia.Praktik yang terjadi di negara lain tidak selalu memberi bentuk perjanjian internasional seb-agai undang-undang atau statute/law. Amerika Serikat menentukan dalam konstitusi bahwa perjanjian internasional dibuat oleh Presiden dengan persetujuan Senat dan dengan demiki-an tidak dalam bentuk UU, karena UU dibuat oleh Congres namun demikian perjanjian in-ternasional tetap mengikat negara tersebut.

Persetujuan DPR Dalam Pembuatan Per-janjian Internasional Pasal 11 UUD 1945 tidak mengatur hubun-gan antara hukum internasional dan hukum nasional, namun mengatur kewenangan kon-stitusional Presiden untuk membuat perjan-jian internasional dalam sistem UUD 1945.

Presiden menurut UUD 1945 yang berdasar sistem Presidensil adalah kepala pemerin-tahan dan berwenang untuk mewakili pemer-intah Indonesia dalam hubungan luar negeri dalam hal ini membuat perjanjian internasi-onal, dengan demikian Pasal 11 adalah materi internal konstitusi Indonesia. Dalam kaitan-nya dengan aspek hukum internasional ke-tentuan Pasal 11 dapat menimbulkan akibat ke luar yaitu dalam konteks hubungan antara pemerintah Indonesia dengan negara lain yang mengadakan perjanjian dengan Indonesia. Apabila secara internal Presiden telah melakukan sesuatu perbuatan sesuai dengan ketentuan Pasal 11 maka perbuatan tersebut adalah perbuatan yang sah secara konstitu-sional dan oleh karenanya mempunyai akibat hukum. Karena merupakan perbuatan yang sah berarti mengikat secara sah pula baik terhadap lembaga negara lain termasuk subyek hukum yang terkait dengan isi perjanjian tersebut. Se-dangkan dari aspek internasional sesuai den-gan prinsip hukum yang universal bahwa apa yang dilakukan oleh wakil yang sah dari sebuah negara akan mengikat seluruh elemen yang di-wakilinya baik lembaga negara maupun warg-anya. Ketentuan ini tidak diatur dalam UUD tetapi menjadi suatu prinsip yang universal. Pasal 11 menetapkan syarat yang harus di-penuhi apabila Presiden menggunakan haknya untuk melakukan hubungan dengan negara lain dalam hal ini membuat suatu perjanjian yaitu adanya persetujuan DPR. Pembuat UUD mempunyai dasar rasionalitas tersendiri dan merupakan hak pembuat UUD untuk menen-tukan syarat tersebut. Di samping membuat perdamaian dan membuat penjanjian dengan negara lain sebagaimana dinyatakan dalam ayat (1) juga disyaratkan perlunya persetu-juan DPR apabila Presiden membuat “per-janjian internasional lainnya“ yang; (1) me-nimbulkan akibat yang luas dan mendasar

Page 6: PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM SISTEM UUD 1945pustakahpi.kemlu.go.id/app/Opinio Juris Vol 4, Januari-Mei 2012_10... · Pihak negara lain secara prima facie dan secara hukum dapat

13

OPINIO JURIS Volume 04 | Januari - April 2012

bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, (2) mengharuskan pe-rubahan atau pembentukan undang-undang. Secara internal syarat persetujuan DPR tida-klah terkait dengan pembedaan antara perjanji-an internasional publik dan kontrak bisnis inter-nasional yang dilakukan negara sebagai subyak hukum perdata. UUD 1945 mempertimbangkan bahwa apabila Presiden membuat perjanjian in-ternasional lain (demikian UUD menyebutnya) yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat terkait dengan beban negara harus dengan persetujuan DPR. Pasal 11 ayat (2) menggunakan istilah perjanjian inter-nasional lainnya, yang maksudnya di luar yang disebut oleh Pasal 11 ayat (1) yaitu perjanjian perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Dengan demikian ada keperluan untuk mene-tapkan apa yang dimaksud dengan perjanjian internasional lainnya. Pengertian “ yang lain “tentunya yang bukan perjanjian perdamaian, dan bukan perjanjian dengan negara lain“. Dengan demikian termasuk dalam pengertian perjanjian internasional lainnya yaitu perjan-jian yang dibuat dengan subyek hukum inter-nasional lain selain negara. Namun demikian disyaratkan bahwa perjanjian dengan subyek hukum internasional lain yang memerlukan persetujuan DPD adalah perjanjian yang “me-nimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara“. Perlu digarisbawahi bahwa alasan mengapa perlu persetujuan DPR adalah alasan internal dan bukan didasarkan alasan eksternal apalagi diukur dengan praktik hukum internasional. Sebagai salah satu unsur per-wakilan rakyat, DPR diperlukan persetujuan-nya untuk membuat perjanjian yang disebut-kan dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945, adalah murni pertimbangan pembuat konstitusi yang didasari pemikiran perlunya legitimasi yang lebih luas terhadap perjanjian yang demiki-

an karena menyangkut kepentingan bangsa. Sementara itu ada pandangan bahwa per-janjian dengan organisasi internasional yang menyangkut pinjaman tidaklah perlu persetu-juan DPR dengan alasan karena pihaknya bu-kan negara dan karena bersifat perdata. Alasan demikian tidaklah tepat, karena dasar pertim-bangan konstitusinya bukanlah siapa pihak atau mengenai hal apa materi suatu perjanjian internasional tersebut, tetapi karena perjan-jian yang demikian menyangkut beban yang mungkin ditimbulkan dari perjanjian tersebut yaitu menjadi beban bangsa. Demikian juga tidak menjadi relevan pertimbangan institusi apa yang akan mempunyai wewenang untuk memutus perselisihan andai saja di kemudian hari timbul perselisihan antara negara Indo-nesia dengan pihak lain, apakah akan menjadi kewenangan International Court of Justice ataukah akan menjadi kewenangan lembaga internasional lain karena perselisihan yang ter-jadi bukan perselisihan antar negara sehingga bukan menjadi bagian hukum publik internasi-onal. Pertimbangan konstitusionalitasnya kare-na isi putusan lembaga tersebut akan mem-punyai dampak langsung kepada negara dan bangsa, baik berdampak dalam hukum publik maupun berdampak perdata. Kewajiban untuk membayar hutang atau denda sebagai hukuman yang dibebankan kepada negara selaku badan hukum perdata tetap mempunyai dampak pada kehidupan negara atau bangsa karena jelas akan mengurangi kemampuan financial neg-ara dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya.

Kekuatan Mengikat Perjanjian internasional. Perjanjian internasional merupakan kes-epakatan dari dua entitas hukum yang bebas untuk mengikatkan diri atau tidak mengikatkan diri, artinya tidak ada pemaksaan kehendak. Karena merupakan kesepakatan maka dasar hu-kum dari kewajiban untuk terikat adalah kehen-

Page 7: PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM SISTEM UUD 1945pustakahpi.kemlu.go.id/app/Opinio Juris Vol 4, Januari-Mei 2012_10... · Pihak negara lain secara prima facie dan secara hukum dapat

14

Volume 04 | Januari - April 2012 OPINIO JURIS

dak masing-masing pihak. Di sisi lain masing-masing negara mempunyai ketentuan di dalam hukum nasionalnya yang menetapkan lembaga atau organ negara mana yang diberi kewenan-gan untuk mewakili negara tersebut dalam berhubungan dengan negara lain. Perjanjian internasional yang lahir atas dasar kesepaka-tan menempatkan para pihak dalam posisi se-tara dan oleh karenanya perjanjian international mempunyai dasar “good faith“ antar para pihak. Baik pihak pertama maupun pihak kedua secara voluntair menyusun pokok-pokok yang diper-janjikan tanpa ada tekanan. Kalau salah satu pihak berkebaratan maka dapat menolak atau membuat suatu kesepakatan baru yang kemudi-an disepakati bersama. Apabila suatu perjanjian internasional membebani kewajiban maka pihak yang terbebani memerima beban itu atas pesetu-juannya sedangkan pihak lain percaya bahwa kewajiban tersebut akan dipenuhi. Perjanjian internasional sebagaimana perjanjian pada um-umnya berlandas atas prinsip “good faith and mutual trust“ antar pihaknya, dengan demikian “pacta sunt servanda“ menjadi dasar mengapa para pihak terikat dengan yang diperjanjikan. Dari segi internal negara yang menjadi pihak dalam perjanjian internasional, ada ke-wajiban untuk menghargai dan memberi aki-bat hukum pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh lembaga atau organ negara yang secara hukum diberi wewenang oleh konstitusi untuk mewakili negara dalam ber-hubungan dengan pihak luar atau negara lain. Kewajiban tersebut dibebankan kepada lem-baga negara yang lain termasuk juga lembaga peradilan yaitu dengan cara memberi akibat hu-kum pada perjanjian international yang dibuat oleh lembaga yang berwenang serta dengan prosedur menurut hukum yang disyaratkan.Pemberian akibat hukum atas dasar pacta sunt servanda saja seringkali dapat menimbulkan persoalan karena kemungkinan adanya pi-

hak lain yang tidak secara itikad baik melak-sanakan perjanjian yang pernah disepakati oleh wakilnya, namun hanya karena adanya itikad tidak baik saja tidak menyebabkan pu-tus atau berakhirnya perjanjian internasinoal tersebut secara otomatis. Untuk menentukan apakah akan tetap memberikan akibat hukum perjanjian internasional di dalam negeri, asas pacta sunt servanda perlu dilengkapi dengan asas resiprosity yaitu bahwa pelaksanaan per-janjian internasinal tersebut di Indonesia akan digantungkan pada pelaksanaan perjanjian in-ternasional yang bersangkutan di negara lain sebagai pihak dalam perjanjian. Kepastian penerapan secara resiprosity ini dapat dipasti-kandenganmemintakonfirmasikepadanega-ra yang bersangkutan melalui jalur diplomatic. Hal demikian perlu dilakukan untuk melind-ungi kepentingan nasional dalam arti luas yaitu jangan sampai perjanjian international hanya membebani kewajian secara sepihak saja. Pemberlakukan perjanjian international ke dalam sistem hukum Indonesia tidak selalu di dasarkan atas adanya aturan pelaksanaan. Dasar pemberlakuanya adalah pada sistem ketataneg-araan yang memberikan wewenang kepada Presiden sebagai satu-satunya lembaga yang mewakili negara dalam hubungan luar negeri. Apabila Presiden telah menggunakan wewenang sesuai dengan ketentuan konstitusi maka sebagai konsekuensinya hasilnya pun harus diterima se-bagai konstitusional karena dengan demikian akan berarti juga melaksanakan perintah kon-stitusi. Pemberian tempat perjanjian internasi-onal dalam sistem hukum nasional merupakan salah satu pencerminan penegakan konstitusi . Tanpa harus mencarikan dasarnya dalam Konvensi Wina mengenai The Law of Treaty, dasar mengikat perjanjian internasional ter-dapat dalam konstitusi yang tidak mensyarat-kan perjanjian internasional diwadahi dalam

Page 8: PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM SISTEM UUD 1945pustakahpi.kemlu.go.id/app/Opinio Juris Vol 4, Januari-Mei 2012_10... · Pihak negara lain secara prima facie dan secara hukum dapat

15

OPINIO JURIS Volume 04 | Januari - April 2012

bentuk undang-undang. Kalau toh Indonesia belum pernah melakukan akseptasi terhadap The Law of Treaty tidak berarti bahwa Indo-nesia tidak mempunyai dasar hukum untuk memberlakukan perjanjian internasional dalam hukum nasionalnya. Bagi negara yang tidak pernah melakukan akseptasi terhadap The Law of Treaty tetapi nyatanya terlibat dalam pembua-tan perjanjian internasional dengan negara lain dan menerima ketentuan The Law of Treaty se-bagai acuannya, maka The Law of Treaty dapat dianggap secara substansi yang telah menjadi kebiasaan internasional sehingga dapat men-jadi salah satu sumber hukum international.

Perjanjian Internasional Sebagai Sum-ber Hukum Bagi Putusan Pengadilan Hakim mendasarkan putusannya pada sum-ber-sumber hukum yang dapat berupa sumber hukum dalam pengertian materiil dan sumber hukum dalam pengertian formil. Ada kalanya hakim dihadapkan pada kenyataan bahwa untuk memutuskan kasus yang dihadapi tidak tersedia substansi hukum yang memadai pada sumber hukum formil, yaitu peraturan perundang-udan-gan yang ada. Sementara itu, hakim dilarang menolak memberi putusan dengan alasan bah-wa tidak terdapat hukum yang mengatur. Oleh karena itu, hakim harus menemukan hukum. Penemuan hukum oleh hakim dapat dilakukan dengan menggali rasa keadilan yang terdapat di masyarakat yang salah satu di antaranya den-gan merujuk pada kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh di masyarakat yang oleh masyarakat dianggap sebagai sesuatu hal yang memang selayaknya karena dianggap sebagai adil. Ke-biasaan tidak saja tumbuh di masyarakat lokal dan nasional tetapi juga di masyarakat inter-national. Perjanjian internasional yang bersifat multilateral dan kemudian banyak diratifikasioleh negara- negara di dunia, maka secara sub-

stantive dapat dianggap sebagai mempunyai ni-lai keadilan yang diterima oleh banyak negara, oleh karenanya hakim nasional dapat mengam-bil substansi yang terdapat dalam perjanjian in-terasional tersebut sebagai sumber hukum bagi putusannya dan bukan karena bentuk hukumnya yaitu perjanjian internasional tetapi atas pertim-bangan bahwa secara substantif telah terbentuk kebiasaan yang diterima oleh masyarakat bang-sa-bangsa dengan pembuktian bahwa telah ban-yak negara menerimanya dengan cara melaku-kan ratifikasi. Dengan demikian banyaknyanegarayangmelakukanratifikasimenjadibuktibahwasubstansiyangdiratifikasitelahditerimasebagai sesuatu yang layak dan adil. Dengan demikian kebiasaan internasional tersebut dapat dirujuk oleh hukum nasional dalam rangka memberi rasa keadilan melalui putusannya. Di samping sumber hukum materiil, hakim dalam menjatuhkan putusan juga mempunyai sumber hukum formil, yang utamanya adalah undang-undang. Sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman hakim bahkan wajib untuk menda-sakan putusannya pada undang-undang. Kekua-tan mengikat perjanjian internasional sebagai sumber hukum bagi hakim untuk memutus perkara, tidak terkait dengan bentuk hukum formil perjanjian internasional yaitu undang-undang. Kekuatan mengikat tersebut disebab-kan perjanjian international secara substan-tive telah disetujui oleh lembaga yang secara konstitusional diberi kewenangan untuk mem-buat perjanjian internasional yaitu Presiden dengan memenuhi prosedur yang ditentukan. Dalam ilmu hukum, perjanjian internasional atau traktat disebut sebagai sumber hukum lain yang terpisah dari undang-undang. Praktik di Indonesia sementara ini yangmewadahi ratifi-kasi perjanjian internasional dalam bentuk un-dang-undang mengesankan seolah-olah kekua-tan mengikat perjanjian internasional sebagai

Page 9: PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM SISTEM UUD 1945pustakahpi.kemlu.go.id/app/Opinio Juris Vol 4, Januari-Mei 2012_10... · Pihak negara lain secara prima facie dan secara hukum dapat

16

Volume 04 | Januari - April 2012 OPINIO JURIS

sumber hukum didasarkan atas bentuk formil undang-undang padahal bukan. Status perjan-jian internasional yang dibuat sesuai dengan ketentuan konstitusi lah yang menjadikan per-janjian internasional tersebut menjadi sumber hukum. Praktik di Amerika menunjukkan se-cara jelas perbedaan tersebut. Law atau statute yang dibuat oleh Congres merupakan sumber hukum bagi hakim, sedangkan perjanjian in-ternational tidak dituangkan dalam bentuk law atau statute yang dibuat oleh Congres, tetapi perjanjian internasional dibuat oleh Presiden dengan persetujuan Senat. Namun demikian Konstitusi Amerika menyatakan bahwa perjan-jian internasional sebagai the law of the land. Meskipun perjanjian internasional karena sifatnya dan bukan karena bentuk hukumnya dapat menjadi sumber hukum bagi hakim, na-mun untuk diterapkan dalam putusan haruslah dilihat sifat masing-masing norma yang ter-dapat dalam perjanjian internasional. Sangat-lah mungkin bahwa norma yang ditimbulkan oleh pasal-pasal dari perjanjian internasional mempunyai daya ikat atau daya berlaku yang berbeda. Sebagai sebuah contoh dapat dipetik disini pasal atau article III dari Convention on Recognation and Enforcement of Foreign Ar-britral Award 1958 yang berbunyi, ”Each con-tracting state shall recognize arbitral award as binding and enforce them in accordance with the rule of procedure territory where the award is relied upon under the condition laid down in the following article“. Apabila Konvensi ini diratifikasioleh Indonesiadanolehkarenanyamempunyai kekuatan mengikat maka seharus-nya hakim menerapkan langsung isi Pasal ini jika ada permintaan pelaksanaan putusan ar-bitrasi asing asalkan dilaksanakan “under the condition laid down in the following article“ sebagaimana disyaratkan Article III tersebut. Hal demikian tentunya akan berbeda den-

gan pelaksanaan dari article yang terdapat dalam United Nations Convention Against Corruption, 2003 yang telah disahkan dalam UU No 7 Tahun 2006. Article 20 Konvensi ini yang berjudul Illicit Enrichment menyatakan, ”Subject to its constitution and the fundamen-tal principles of its legal system, each State Party shall consider adopting such legisla-tive and other measures as may be necessary to establish asa criminal offence when com-mitted intentionally, illicit enrichment, that is, a significant increase in the assets of public official that he or she cannot reasonably ex-plain in relation to his or her lawful income“. Pasal atau article ini tidak dapat diterap-kan oleh hakim karena jelas bahwa ketentuan ini mewajibkan pemerintah untuk mengambil langkah legislative lebih dahulu guna mene-tapkan perbuatan illicit enrichment sebagai perbuatan pidana yaitu suatu peningkatan kekayaan pejabat public yang sangat mencolok yang tidak dapat diterangkan secara masuk akal kalau dihubungkan dengan gaji resminya. Pengetahuan hakim tentang perjanjian internasional diperlukan manakala hakim di-hadapkan dengan kasus hukum yang ada kaitannya dengan perjanjian internasional.

Kesimpulan Berdasarkan kajian konstitusi tentang kedudukan hukum perjanjian international dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Sebagai sebuah pernyataan kehen-

dak yang ditujukan ke luar, perjan-jian internasional seharusnya ber-wadah hukum Keputusan Presiden karena Presiden adalah wakil negara dalam berhubungan dengan negara lain.

2. Adanya klausula persetujuan DPR dalam Pasal 11 UUD 1945 tidak be-rarti bahwa bentuk hukum ratifikasi

Page 10: PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM SISTEM UUD 1945pustakahpi.kemlu.go.id/app/Opinio Juris Vol 4, Januari-Mei 2012_10... · Pihak negara lain secara prima facie dan secara hukum dapat

17

OPINIO JURIS Volume 04 | Januari - April 2012

perjanjian internasional adalah UU, oleh karena itu diperlukan pengaturan tersendiri yang berbeda dengan persetu-juan bersama dalam pembuatan UU.

3. Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 mensyaratkan adanya persetujuan DPR untuk perjanjian internasional lain, karena UUD mengang-gap penting keterlibatan DPR untuk me-mutuskan hal-hal yang berakibat pada beban negara atau yang mengakibatkan perlunya pembentukan dan perubahan UU, bukan didasarkan atas pembedaan antara perjanjian internasional publik dan privat.

4. Perjanjian internasional mempunyai kekuatan hukum mengikat dan men-

jadi sumber hukum dalam hukum na-sional karena telah dibuat sesuai den-gan ketentuan konstitusi bukan karena diwadahi dalam bentuk UU, sehingga perjanjian internasional merupakan sum-ber hukum di luar sumber hukum UU.

5. Karena telah dibuat sesuai dengan ke-tentuan konstitusi maka substansi yang terdapat perjianjian internasional yang menimbulkan hak dan bersifat self executing juga merupakan sum-ber hukum bagi putusan pengadilan.

6. Pengesahan perjanjian internasional dalam bentuk atau wadah UU menimbul-kan banyak kelemahan oleh karenanya perlu segera dibuat aturan yang baru.