DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS vol...

101
i DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN INTERNASIONAL KEMENTERIAN LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA Volume 12 Januari—April 2013 ARTIKEL Dispute between Indonesia and Malaysia on the Sovereignty over Sipadan and Ligitan Islands Hasjim Djalal Akankah Indonesia Kehilangan Pulau? Belajar dari Kasus Sipadan-Ligitan, Pulau Berhala, Miangas hingga Semakau I Made Andi Arsana Kegiatan Militer di ZEE dan Implementasi Hot Pursuit Kresno Buntoro Penegakan Hukum IUU Fishing menurut UNCLOS 1982 (Studi Kasus: Volga Case) Usmawadi Amir RESENSI BUKU Hukum Internasional dalam Perspektif Indonesia sebagai Negara Berkembang Eka Aqimuddin ISTILAH HUKUM

Transcript of DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN …pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/OPINIO JURIS vol...

i

DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

KEMENTERIAN LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA

Volume 12 � Januari—April 2013

ARTIKEL Dispute between Indonesia and Malaysia on the Sovereignty over Sipadan and Ligitan Islands Hasjim Djalal Akankah Indonesia Kehilangan Pulau? Belajar dari Kasus Sipadan-Ligitan, Pulau Berhala, Miangas hingga Semakau I Made Andi Arsana Kegiatan Militer di ZEE dan Implementasi Hot Pursuit Kresno Buntoro Penegakan Hukum IUU Fishing menurut UNCLOS 1982 (Studi Kasus: Volga Case) Usmawadi Amir RESENSI BUKU Hukum Internasional dalam Perspektif Indonesia sebagai Negara Berkembang Eka Aqimuddin

ISTILAH HUKUM

Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional

OPINIO JURIS

Volume 12 ���� Januari—April 2013

DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

KEMENTERIAN LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA 2013

Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional OPINIO JURIS Volume 12 ���� Januari—April 2013 Diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri Sejak Oktober 2009

Penanggung Jawab Linggawaty Hakim, SH, LL.M Raudin Anwar, SH, LL.M Redaktur Yoshi Iskandar, SH; Kemal Haripurwanto, SH, LL.M; Amrih Jinangkung, SH, LL.M; Elmar Iwan Lubis, SH; ADH. Irfan, SH; Drs.Sukarsono; Yosep Trinugra Tutu, SIP, MA, M.Dipl. Editor AM. Sidqi, SIP; Windratmo, SIP; Santa Marelda Saragih,SH, MH; Ratih Wulandari, SIP; Vina Novianti, S.Hum; Rike Octaviana, SH, LL.M; M. Ferdien, SH Disain Grafis AM. Sidqi, SIP; Drs. Didi Achmadi; Abdul Hayyi Sekretariat Siti Fatimah, SH; Uki Subki, S.Sos, M.Si; Tasunah; Maisaroh, S.Sos Alamat Redaksi: Sekretariat Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri Jl. Taman Pejambon No. 6 Jakarta Pusat Telp. +62 21 3846633 Fax. +62 21 3858044; Email: [email protected] Jurnal Opinio Juris versi digital dapat diunduh di website http://pustakahpi.kemlu.go.id/

Tulisan yang dimuat dalam Jurnal Opinio Juris adalah pendapat dan

analisis pribadi dari para penulis dan tidak mewakili pandangan/posisi

Kementerian Luar Negeri dan/atau Pemerintah Republik Indonesia.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

v

DAFTAR ISI Daftar Isi ........................................................................................................... v

Pengantar Redaksi......................................................................................... vi Dispute Between Indonesia and Malaysia on the Sovereignty Over Sipadan and Ligitan Islands ........................................................................ 8

Hasjim Djalal Akankah Indonesia kehilangan Pulau? Belajar dari Kasus Sipadan-Ligitan, Pulau Berhala, Miangas hingga Semakau ................................ 26

I Made Andi Arsana Kegiatan Militer di ZEE dan Pelaksanaan Hot Pursuit di Indonesia 49

Kresno Buntoro Penegakan Hukum IUU Fishing Menurut UNCLOS 1982 (Studi Kasus: Volga Case) ....................................................................................... 68

Usmawadi Amir Resensi Buku .................................................................................................. 93

Hukum Internasional dalam Perspektif Indonesia sebagai Negara Berkembang Eka Aqimuddin Istilah Hukum ................................................................................................ 96

Tentang Penulis ............................................................................................. 99

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

vi

PENGANTAR REDAKSI

Jurnal Opinio Juris telah terbit dalam 12 edisi dan sekarang telah

memasuki tahun kelima. Sejak penerbitan pertama pada Oktober 2009,

beberapa upaya penyempurnaan telah dilakukan, meliputi materi

muatan artikel pada Jurnal, tampilan Jurnal Opinio Juris dalam bentuk e-

journal yang dapat dibaca melalui website http://pustakahpi.kemlu.go.id,

hingga diperolehnya Nomor Seri Standar Internasional (International

Standard Serial Number/ISSN) pada Januari 2011.

Seperti volume sebelumnya yang mengambil tema khusus

Pengembalian Aset Curian (Stolen Asset Recovery), pada volume 12 tahun

2013 ini, Jurnal Opinio Juris mengambil tema Hukum Laut. Pengambilan

tema tersebut didasarkan pada isu-isu menarik dan terus berkembang

yang menjadi kajian para penulis untuk dapat diikuti perkembangannya

oleh para pembaca.

Dalam Volume 12 tahun 2013 ini terdapat empat kontributor penulis

utama yaitu: Prof. Dr. Hasjim Djalal, MA dengan judul tulisan Dispute

Between Indonesia and Malaysia on the Sovereignty over Sipadan dan Ligitan; I

Made Andi Arsana, ST., ME. dengan tulisan Akankah Indonesia Kehilangan

Pulau? Belajar dari Kasus Sipadan-Ligitan, Pulau Berhala, Miangas hingga

Semakau; Kolonel (Laut) Kresno Buntoro, S.H, LLM, Ph.D dengan tulisan

Kegiatan Militer di ZEE dan Implementasi Hot Pursuit; dan Usmawadi Amir,

SH, M.H. dengan tulisan Penegakan Hukum IUU Fishing menurut UNCLOS

1982 (Studi Kasus: Volga Case).

Mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan, maka harapan

kami melalui tulisan yang berbobot di bidang Hukum Laut ini dapat

meningkatkan pemahaman para pembaca mengenai isu Hukum Laut.

Pada kesempatan ini, redaksi Opinio Juris juga hendak mengajak para

pembaca untuk turut berkontribusi serta memberikan saran dan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

vii

masukannya demi peningkatan kualitas Opinio Juris di masa mendatang

melalui email [email protected].

Akhir kata, Redaksi Opinio Juris berharap agar jurnal ini dapat

menjadi sarana dalam menyebarluaskan berbagai informasi, wacana dan

wadah sumbangsih pemikiran di bidang hukum dan perjanjian

internasional yang berkaitan dengan pelaksanaan hubungan luar negeri.

Terima kasih dan selamat membaca!

Redaksi Opinio Juris

No man is above the law and no man is below it: nor do we ask any

man's permission when we ask him to obey it.

- Theodore Roosevelt - ”

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

8

DISPUTE BETWEEN INDONESIA AND MALAYSIA

ON THE SOVEREIGNTY OVER SIPADAN AND

LIGITAN ISLANDS1 Hasjim Djalal

Abstrak

Masalah Sipadan dan Ligitan banyak menimbulkan salah mengerti di dalam negeri. Persepsi umum adalah bahwa dengan kekalahan Indonesia di Mahkamah Internasional di Den Haag menghadapi Malaysia, Indonesia telah kehilangan wilayahnya, di samping diplomasi Indonesia telah kalah di dunia internasional. Penelitian lebih lanjut mengenai masalah kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan menunjukkan bahwa sesungguhnya Indonesia tidak pernah kehilangan wilayah, karena pada waktu kasus tersebut muncul dalam tahun 1969, baik Indonesia maupun Malaysia tidak sadar atas siapa sesungguhnya yang mempunyai kedaulatan atas kedua pulau tersebut. Demikian pula halnya dengan ‘kekalahan diplomasi’ Indonesia. Putusan untuk membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional adalah putusan politik, bukan putusan diplomasi, karena pada mulanya Indonesia menentang penyelesaian melalui Mahkamah Internasional, karena dengan demikian masalahnya berpindah dari bidang diplomasi ke bidang hukum. Kata kunci: kedaulatan wilayah, delimitasi batas maritime, mekanisme penyelesaian sengketa, Mahkamah Internasional.

Abstract The case of Sipadan and Ligitan had caused many misunderstandings for Indonesian people. The general perception is that by the losing of

1 Artikel ini disampaikan pada Seminar Internasional dengan tema “Peaceful Settlement

of International Dispute in Asia” di Jakarta, 13 Desember 2012 kerja sama antara

Indonesian Society of International Law (ISIL) dengan The Korean Society of

International Law (KSIL).

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

9

Indonesia against Malaysia in the International Court of Justice in Den Haag, Indonesia has lost a part of its territory, and therefore considered as the losing of Indonesian diplomacy in the international forum. Further research on the ownership of Sipadan Island and Ligitan Island showed that Indonesia actually never lost such part of its territory because when the case appeared in 1969, both Indonesia and Malaysia did not have any clue on who has the real sovereignty over those islands. Similar to the perception of ‘the losing of Indonesian diplomacy’, the decision to bring the case before the International Court of Justice was more on political, not diplomatic. Since the beginning, Indonesia opposed to settle the case through International Court of Justice because the matter would change from diplomatic to legal. Keywords: territorial sovereignity, maritime boundary delimitation, dispute settlement mechanism, International Court of Justice.

1. Geographical Data

The Island of Sipadan and Ligitan are both located in the Celebes Sea,

of the North-East coast of the Island of Borneo, and lie approximately 15.5

nautical miles apart. Ligitan is a very small island (7.9 hectare), lying at

the southern extremity of the reef south of Sabah, Malaysia. Its

coordinates are 4° 09’ North Latitude and 118° 53’ East Longitude. It is

situated about 21 nautical miles from Tanjung Tutop on the Samporna

Peninsula in Sabah and 57.6 nautical miles from Indonesian Island of

Sebatik. The island is permanently above sea level and mostly sandy. It is

an Island with low lying vegetation and some trees and it is not

permanently inhabited. Sipadan is larger than Ligitan, having an area of

approximately 0.13 km² (10.4 hectare) and its coordinates are 4° 06’ North

Latitude and 118° 37’ East Longitude. It is situated 15 nautical miles from

Tanjung Tutop, Sabah, and 42 nautical miles from the land boundary

between Malaysia and Indonesia at the east coast of the Island of Sebatik

(half of Sebatik Island belongs to Indonesia). Sipadan is wooded and it is

volcanic in origin and the top of a submarine mountain some 600 to 700 in

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

10

height from the seabed. It is not geographically/geologically part of

Borneo mainland. Until 1980 it was not permanently inhabited. It has now

developed into a major tourist centre for Malaysia. Both Sipadan and

Ligitan are situated south of the 4°10’ North Latitude.

2. The Origin of the Dispute

In late 60s the two countries were not even fully aware of the Islands

and their status although they were located closer to Malaysian coastlines

than to Indonesian coastlines. In the negotiation on the Delimitation of the

Continental Shelf boundaries between the two countries in 1969,

Indonesia did not even think of the two Islands. The Indonesian map

attached to its Law Number 4, 1960, depicting the Indonesian archipelagic

baselines to encompass the whole Indonesian archipelago, did not even

include the two Islands (Indonesia later argued that the map of the 1960

law was prepared “in haste” in order to be prepared for the second UN

Law of the Sea Conference in 1960, and therefore might have “over

looked” some very tiny outlying islands very far from general coastlines).

Equally, the Malaysian map being used by Malaysia at that time, which

drew a line between the Malaysian and Indonesian possessions in the

area indicated that the Sipadan and Ligitan Islands were shown as parts

of Indonesia (Malaysia later withdrew the map from circulation and it

appeared that the map has been used previously as a “guideline” for

Malaysia in issuing exploration license for oil and gas in the area, in the

sense that the Malaysian oil and gas concession in the area did not go

south beyond the 4°10’ North Latitude). After the discovery of this

“strange” problem, Malaysia insisted on using Indonesian map while

Indonesia was suggesting to use Malaysian map. The two delegations

later on agreed not to pursue discussion on this matter at that time

because they both considered that their negotiation was on “technical

matters” of the delimitation of the continental shelf boundaries. They had

no mandate to discuss the “territorial” or “jurisdictional” problems or

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

11

ownership over islands. They both considered that the issues of

ownership over islands were “territorial” in nature for which both of

them agreed that they had not been mandated to discuss and Indonesia

later considered that this understanding was, in fact, agreeing on “status

quo”, in the sense that both sides should refrain from taking any action on

the Islands that may prejudice the position of the other. Malaysia on the

other hand later considered that there was no such understanding. In fact,

the problem of whether there was an understanding of “status quo” or

not became a major issue between the two countries later on. The

exchange of letters between the two delegations at the end of the meeting

at that time (September 1969), did not mention the word “status quo”,

although they did agree that the negotiation and the agreement were

purely and wholly of “technical nature” (see annex).

The dispute then began between the two countries on who owns the

two small Islands. In fact, it became “a thorn in the flesh” in the relations

between the two friendly neighboring countries for some time. The two

countries later on went studying the record, particularly during the

colonial period, and engaged the involvement of local authorities and

personalities to look into their views and practices in the past with regard

to the two islands.

Upon going back into history, it was discovered that the nexus of the

problem was the different interpretation by the two countries with regard

to the provisions of the 1891 Agreement between the Dutch and the Great

Britain as the former colonial rulers of the two countries.

3. 1891 Agreement

Indonesia argued that the 1891 Agreement or Convention between

Great Britain and Netherlands established the 4°10’ North parallel of

Latitude as the dividing line between the respective possessions of Great

Britain and the Netherlands in the area. The disagreement developed

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

12

from different interpretation given to Article IV of the 1891 Convention as

it related to the sea and small islands beyond. The text of Article IV of the

1891 Convention provided that “from 4°10’ north latitude on the east

coast (of the main island of Borneo), the boundary line shall be continued

eastward along that parallel, across the Island of Sebatik (another major

island of the east coast of Borneo).” Indonesia then argued that the

boundary line shall be continued to the sea eastward from Sebatik, and

since the two islands of Sipadan and Ligitan are situated South of the

4°10’ North Latitude, the two Islands are therefore belonged to the

Netherlands which subsequently belonged to Indonesia. This argument

was very similar to the argument provided by Vietnam in the Gulf of

Tonkin as if the line across the sea was a “demarcation line”. Realizing

that this argument would be untenable in view of the fact that the

Territorial Sea of a State at that time was generally recognized to be 3

miles and that the sea in question was generally regarded as high-seas,

Indonesia then considered the line as “allocation line” for possession of

islands in the area, rather than “demarcation line” of the maritime area, in

the sense that the line of 4°10’ North Latitude was a line that “allocate”

the islands to the Great Britain (North of the line) and to the Netherlands

(South of the line). This “allocation line” interpretation was very similar

in fact, to the Chinese interpretation of the nature of the 1887 line in the

Gulf of Tonkin as indicated in the SINO-French Agreement of 1887.

Malaysia on the other hand, argued that Article IV of 1891 Convention

did not demarcate the sea, nor allocate the Islands beyond Sebatik, either

to Great Britain or to the Netherlands. In fact, Malaysia took the position

that the two Islands have become part of Malaysia through the process of

“succession” from the Sultan of Sulu to Spain and then to the United

States and later to Great Britain and on to Malaysia.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

13

4. Direct Negotiation

The two countries later on undertook direct negotiations to seek

solution. But after many years of efforts, it did not bring any agreemzent.

In the meantime, public opinion has galvanized and the involvement of

the press and the media has also hardened the position of each side. As a

result of this deadlock, the two countries were later on willing to find

solution through “third party” mechanism. But they disagreed on how to

go about “third-party” mechanism. Indonesia originally suggested using

the good offices of the ASEAN High Council as provided for in the

ASEAN Treaty of Amity and Cooperation (TAC) of February 24, 1976.

Article 15 of the TAC stated that in case a dispute cannot be solved by

direct negotiations between the Parties, the High Council comprising a

Representative at Ministerial level of each ASEAN members shall take

cognizance of the dispute or the situation and shall recommend to the

Parties in dispute appropriate means of settlement such as good offices,

mediation, enquire or conciliation. The High Council may however offer

its good offices or upon agreement of the Parties in dispute, constitute

itself into a Committee of Mediation, Enquire or Conciliation. When

deemed necessary, the High Council shall recommend appropriate

measure for the prevention of deterioration of the dispute or the situation.

The High Council mechanism in fact has never been invoked before,

and therefore could and should be utilized in this case. The High Council

may not necessarily be a “Legal Institution” in the sense that they will

settle the matter through “legal basis”. The High Council could perhaps

function by seeking “political” or “other solutions” that would be

acceptable to both parties.

Malaysia rejected the Indonesian proposal, arguing that Malaysia had

bilateral boundary problems with many ASEAN countries, and therefore

was concerned that the High Council might be partial, thus prejudicial to

Malaysia. Indonesia did not really agree with the Malaysian contention,

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

14

because in fact, Indonesia also had some bilateral boundary problems

with its neighbors, not only with Malaysia, but also with Singapore, the

Philippines, Thailand, Vietnam, and others.

Again, there was a deadlock here. Malaysia later suggested to bring

the case to the International Court of Justice (ICJ) in The Hague, arguing

that the solution through the Court would be non-prejudicial to the two

countries. Indonesia was very reluctant to go to the Court, because it

preferred regional mechanism, it had never gone to the ICJ before, it had

never accepted the “compulsory jurisdiction” of the Court, and there were

still other ways of settling disputes before going directly to the Court,

such as the use of mediation, or even arbitration. Indonesia therefore

rejected the Malaysian proposal. Again, there was a deadlock.

5. Going to ICJ

In view of the impasse, the two countries were thinking of negotiating

“informally through special Envoys” in order to make suggestions how to

overcome the conflict. After this mechanism was agreed upon, Indonesia

appointed the Secretary of State, Mr. Murdiyono, assisted by the Director

of Legal Affairs of the Foreign Ministry, and Malaysia appointed the

Deputy Prime Minister, Mr. Anwar Ibrahim, also assisted by the Lawyer

from the Foreign Ministry. Somehow, after several informal meetings

between the two Envoys, who reported directly to their Head of

Governments, President Soeharto in a visit to Kuala Lumpur in October

1996 finally agreed to settle the matter by legal means through the ICJ in

The Hague. As I understand it, the reasons for President Soeharto to

finally agreed to go to the Court was motivated by his desire:

a. To settle bilateral problems as much as possible peacefully so that

political atmosphere and stability as well as cooperation in South

East Asia would be strengthened;

b. So that the two countries should not burden future generations by

bequeathing problems and disputes to them;

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

15

c. To indicate to the world and regional communities that Indonesia

was a peace loving and International Law abiding country.

The decision to agree to go to the ICJ was surprising to many

Indonesians, and some even opposed it. While direct bilateral

negotiations on the basis of legal arguments may have deadlocked, some

people were still suggesting that perhaps some solutions through

“political compromise” maybe workable, such as through “joint

development” of the two islands by the two countries, or dividing the two

islands between the two countries, one for each country. These proposals

were not acceptable to Malaysia. Some people were suggesting that even

after efforts at seeking political compromise had failed, the use of “third

party” mechanism could perhaps be attempted first before deciding or

agreeing to go to the ICJ. This mechanism was enumerated in Article 33

Para (1) of the UN Charter, including negotiation, enquiry, mediation,

conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies or

arrangements, or other peaceful means of their on choice. Although some

of these mechanisms had been attempted, such as negotiation and resort

to regional agencies or arrangements, other mechanisms have not been

attempted, such as mediation, conciliation, or arbitration.

As I can remember, there were some discussions with regard to the

possibility of using arbitration, but I understand that this was regarded to

be more expensive than going to the Court, an argument which I was not

so sure of to be correct. Moreover, in fact, when dispute arose between the

Netherlands and the United States regarding ownership over the remote

island in the Pacific Ocean (Miangas or Palmas Island), the dispute was

finally settled by an arbitrator, Max Huber, in 1928, who strengthened the

doctrine of “effective control” as an important prove of state sovereignty

(as its known Miangas/Palmas was recognized after that to belong to the

Netherlands, and now to Indonesia.)

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

16

After Indonesia and Malaysia made political decision to go to the

Court, the matter now would have to be settled only as a legal matter. The

two countries would now have to formulate agreement to go to the Court.

After several negotiations, the Agreement was concluded in Kuala

Lumpur on May 31, 1997 (see annex), ratified by Malaysia on 19

November 1997 and by Indonesia on 29 December 1997 (Presidential

Decision Number 49/1997), entered into force on May 14, 1998 after the

exchange of the instrument of ratifications, and was submitted by a joint

letter (dated September 30, 1998 of the two countries), and received by the

Court on 2 November 1998. Some of the most important features of the

Agreement were the following:

1.) While acknowledging in Article 1 of the Agreement that the Court

Jurisdiction comprises the cases which the parties refer to it, Article 2

requested the Court “to determine on the basis of the treaties,

agreements, and any other evidence furnished by the parties”,

whether sovereignty over the two Islands belong to Indonesia or

Malaysia. This request was very “interesting” because the Court is

limited in its judgment on the basis of the “treaties, agreements and

evidence furnished by the parties”. There is no possibility here for the

Court to decide or to determine the case under other criteria, such as

compromise or other appropriate solutions agreed by the parties. It

should be noted that the Statute of the Court in fact enabled the Court

to decide a case “ex aequo et bono” (on the basis of appropriateness) if

the parties agreed thereto. It was not very clear why Indonesia or

Malaysia or both did not attempt or did not discuss the possibility of

the Court to decide the case on the basis of “ex aequo et bono” as

stipulated in Article 38 Para (2) of the Statute.

2.) Article 4 of the Agreement also limits the Court to apply the principles

and rules of International Law as stipulated in Article 38 of the Statute

of the Court. By limiting the rules of International Law to those

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

17

indicated in Article 38 of the Statute, it appeared that both parties

have limited or ruled out the possibility of the Court applying local

customs and traditions.

3.) In Article 5 of the Agreement, the Parties also agreed to accept the

judgment of the Court as final and binding upon them. While this

agreement is in conformity with Article 60 of the Statute of the Court,

the “revision” of a judgment may be made only when there is some

new and decisive facts that may altered the judgment as stipulated in

Article 61 of the Charter. Article 5 reflects the wishes of the two

countries to settle the matter once and for all so that it will not become

a problem in developing bilateral relations between the two countries.

After following some procedures, during which the Philippines

applied for permission to intervene in March 2001 and such request for

intervention was denied by both Malaysia and Indonesia and the Court,

and after receiving memorials and counter-memorials as well as reply

and counter-reply followed by oral proceedings by the Parties, the Court

finally decided by a vote of 16 to 1 that the sovereignty of Sipadan and

Ligitan effectively belonged to Malaysia. It should be noted in this context

a statement by Judge Oda of Japan that the determination of the

sovereignty over the two Islands did not prejudice the problems and

solution of maritime delimitation between the two countries in the

relevant area.

Some of the salient points in the litigation were the following:

1.) Indonesian argument that the boundary lines across the Island of

Sebatik at 4°10’ North Latitude went all the way to the sea to the East

as “allocation line”, thus allocating the Islands North of that line to

Malaysia and South of the line to Indonesia was not accepted by the

Court, because:

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

18

a. The intention of the party when concluding the Convention in

1891 was not clear on this point and could not be deduced that

they intended to demarcate the seas or even to allocate the islands

beyond Sebatik, particularly because those two tiny islands lie

more than 40 miles from Sebatik and therefore could not be

regarded to belong “geographically” to Sebatik Island.

b. The map showed by Indonesia attached to the ratification process

by the Netherlands of the Treaty of 1891, either did not go as far as

Sipadan and Ligitan or it was not officially agreed as part of the

legal attachment of the Convention.

2.) Indonesian argument that Sipadan and Ligitan were originally

belonged to the Sultan of Bulungan in East Kalimantan could not be

proven decisively for lack of substantive and strong evidence.

Equally, the Court did not regard that the “successive” claim by

Malaysia as justifiable.

3.) The continuity of the Dutch supposed “sovereign acts” and the

exercise of “effective control” regarding the two Islands was not

sufficiently strong or continuous. Although the Dutch Navy and

planes did exercise some patrolling activities in the area, they were

not continuous practices that could prove the exercise of

“sovereignty” over the two islands.

On the other hand, analyzing the “effective control” that were

exercised by the two parties before the dispute appeared in 1969, the

Court decided that Great Britain and Malaysia did exercise some

sovereign acts regarding the two Islands. Some of those exercises of

sovereignty included making regulations with regard to customs,

protection of the environment, collecting taxes, and even establishing

lighthouses. The Court did not pronounce itself on the legality of the

Malaysian actions after 1969, which had been regarded by Indonesia as

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

19

violating the understanding on “status quo” because the Court was not

requested to adjudicate on this matter.

6. Some Specific Questions.

A. Brief history of the dispute and how did the two States agree to

submit the dispute to ICJ.

As indicated above, the dispute arose “accidentally” between

Indonesia and Malaysia in 1969 when they discussed the “technical

matters” on delimitation of the continental shelf in the area. Suddenly, the

two delegations were not so sure to whom the two islands belonged, to

Indonesia or Malaysia, because the maps or charts that they were using

were not conclusive on this issue. Upon looking into the history, the two

Parties developed different interpretations of the 1891 Convention

between the Netherlands and Great Britain on the boundary lines in

Borneo between North Borneo (Great Britain) and East Kalimantan

(Netherlands). After many years of direct negotiations (intermittently

from 1969-1995) and attempting to find solutions through regional

(ASEAN) mechanism, the two Parties (Indonesian President Soeharto and

Malaysian Prime Minister Mahatir), despites some oppositions

domestically, decided to submit the dispute to the ICJ. (See the main

Report above.)

B. The main arguments of the parties before the Court

The two Parties agreed to ask the Court to decide the case “on the

basis of the treaties, agreements, and any other evidence furnished by the

parties.” In this case, the main Treaty was the 1891 Convention between

the Netherlands and Great Britain, dividing their territories in the area.

The two Parties later on furnished a number of evidences arguing their

respective positions. Indonesia was saying in fact that the dividing line in

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

20

the islands of Borneo was 4°10’ North Latitude and “from 4°10’ North

Latitude on the East Coast (of the main island of Borneo) the boundary

line shall be continued eastwards along the parallel across the Island of

Sebatik (a relatively small island off the main coast of Borneo).” Indonesia

argued that the word “across the island of Sebatik” should continue

eastward toward the sea, and those islands beyond, South of 4°10’ North,

belonged to the Netherlands, thus to Indonesia, and those North of 4°10’

North Latitude belonged to Great Britain, thus Malaysia. While admitting

that the line of 4°10’ North Latitude might not be “demarcation line” at

sea, it was regarded by Indonesia as “allocation line” that allocating

possession over islands at sea in the area. Malaysia argued that the line of

4°10’ North Parallel ends at the Eastern Coast of Sebatik Island and could

not have gone eastwards to the sea because of the limit of Territorial Sea

at that time was only 3 miles, and it would be inconceivable that both

Netherlands and Great Britain would divide the high-seas at that time.

Neither Malaysia believed that the line was “allocation line” because it

was not in the minds of the negotiators at that time, nor the unilateral line

produced by the Dutch to accompany ratification process of the

Convention when eastwards as far as Sipadan, much less Ligitan.

Malaysia argued that the two islands belong to Malaysia through

successive acts of State succession from the Sultan of Sulu to Spain, to the

United States, to Great Britain, and finally to Malaysia and that in fact it

was Britain that had exercised sovereignty over the two islands before

Malaysia gained independence.

C. The main considerations of the ICJ in deciding the case

The ICJ believed that prior to 1969, the so-called “critical date”, it

appeared that Great Britain, thus Malaysia, had exercised sovereignty in

the area “more effectively” through a number of sovereign acts that were

more convincing than the “sporadic actions” taken by the Netherlands or

Indonesia. Some of the “sovereign acts” that were referred to by the Court

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

21

included legislations on taxation, regulations on environment,

establishment of lighthouses, etc. The Court decided that effectively it was

Great Britain and Malaysia that had exercised sovereignty over the two

Islands, and they were not challenged effectively by the Netherlands or

Indonesia until the dispute appeared in 1969. Occasional patrolling or

visits by the Netherlands authorities to or near the Islands were not

regarded as strong enough in assuring sovereignty. It should be noted

that the doctrine of “effective control” in obtaining recognition to

sovereignty over a territory was strongly manifested in the previous case

over the island of Miangas (Palmas) between the Netherlands and the

United States in 1928 when arbitrator Max Huber decided that Miangas

Island belonged to the Netherlands, now Indonesia, because it was the

Netherlands that had proven “effective control” by establishing certain

governmental administration in the Island.

D. The relevant historic documents and maps presented to the Court

and their evidential value before the Court.

Indonesia did a large amount of research with regard to historic

documents and maps and presented them to the Court. However, these

documents and maps were not very influential or decisive, either because

they were “unilateral interpretations” of the Netherlands or because they

were “not parts of the official documents”. In that context, their evidential

value was limited, because it could not conclusively indicate the wish of

the parties when they concluded the Agreement in 1891.

E. The new things in the jurisprudence of ICJ on the subject of

sovereignty disputes

States are still free to decide and to agree whether they would bring

their territorial sovereignty disputes to the ICJ or to settle it among

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

22

themselves by direct negotiation, or to request intermediation by other

third party mechanism. The Court, in this case, strengthened the role of

“effective control” with regard to the territorial sovereignty issues. In

interpreting the terms of a Treaty, the Court relied a great deal on the

intention of the Parties and the situation at the time of concluding the

Treaty. The Court will only adjudicate a case on the basis of request

agreed by the Parties as submitted to the Court (in the Sipadan and

Ligitan case on the basis of treaties, agreements, evidences submitted by

the Parties), and it did not rule on something that the Parties did not ask

(the Court refrained from discussing maritime boundaries in the area or

the roles of the two tiny islands on matters of maritime delimitation

between Indonesia and Malaysia). Even in giving its judgment, the Court

will abide by the agreements of the Parties. As in this case the parties did

not ask the Court to decide on the basis of “ex aequo et bono”, and the

Court therefore did not look into what might be the “proper” solution of

the case that would be acceptable to the two parties, but only on the basis

of who is legally the owner of the two tiny islands before 1969 on the basis

of request submitted by the Parties. The Court did not take into account

the situation after 1969.

F. Other comments.

o States should go to the Court only as the last resort in seeking

peaceful settlement of their territorial or jurisdictional disputes.

States should attempt as much as possible to settle their disputes

first by direct negotiation and then follow third party mechanism,

either through good offices, mediation, arbitration, or even

regional mechanism. But, the dispute should be settled as soon as

possible so that it would assure peace, stability, and cooperation

between the States concerned. The longer the territorial or

jurisdictional dispute linger on, the positions of each party may be

hardened, and if the public or the media begin to intervene, the

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

23

dispute may also become more difficult to solve as it becomes

more emotional and political than what it should be. It would

appear that, although reluctantly, ICJ will play a more important

role in settling disputes in the future if other mechanisms have not

been successful.

o It appears to me that there is no territorial dispute over Islands

between China and ROK in the Yellow Sea. If there is any, it

would be important to try to settle it bilaterally through

negotiation as soon as possible before bringing the case to the ICJ

or to other International Court. In the absence of territorial

disputes between China and the ROK over Islands or land

boundaries, it would appear to me that the solution of the

maritime boundaries delimitation would be possible and

relatively easier to pursue, subject to the existence of political will

on both sides. If bilateral negotiation fails though it may be useful

to attempt to agree first on other third party mechanism before

going to the ICJ.

o It appears to me that China would be reluctaned to seek solution,

either through third party mechanism or through the ICJ,

although China itself has its own Judge at the ICJ or at the ITLOS.

The fact that China and Vietnam for the first time have been able

to conclude and ratify delimitation agreement on maritime

boundaries (Territorial Sea, Continental Shelf, and EEZ) as well as

establishing Joint Fisheries Area and “buffer zone” in the Gulf of

Tonkin is an indication of the Chinese willingness to settles its

maritime dispute with its neighbor through negotiation.

o In this context, it should also be noted the reluctant of China to

settle territorial and jurisdictional disputes over small tiny islands

and reefs in the South China Sea (the Spratlys) by third party

mechanism, including the ICJ. In this case, China insisted on direct

negotiation bilaterally with the directly interested parties. This

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

24

modality was not particularly responded by the other parties,

partly due to the “multilateral character” of the claims.

Fortunately, there have been agreement on “code of conduct”

between ASEAN and China on the South China Sea (see annex). It

would therefore be useful if China and ROK could also agree on a

set of “code of conduct” in the Yellow Sea to facilitate

understanding and agreement.

7. Conclusions

The dispute between Indonesia and Malaysia over Sipadan and

Ligitan had lasted more than 30 years. It would be understandable that

the emotions of some people may have been attached to the case.

Although “diplomatic solution” through direct negotiation was originally

attempted, it later became completely legal matter when the leaders of the

two countries made “political decisions” to go to the Court to decide the

case on the basis of its legal merits.

It was also understandable that any side that lost the case would be

facing some domestic problems and antagonism as well as criticisms. As

it turned out, the fact that Indonesia lost the argument in the ICJ, did

create some political repercussion in the country. Fortunately, Malaysia,

who won the case in the Court, had shown a good neighborly spirit by

not bragging too much of its “victory”. In the end, despite some

disappointments, Indonesia has accepted the decision of the Court, and

therefore is looking forward to negotiation to settle maritime boundaries

with Malaysia in that area.

The Sipadan and Ligitan case was the first dispute that goes to the

Court between Indonesia and Malaysia. At this moment another case

between Malaysia and Singapore regarding ownership over a tiny rock in

the entrance to the South China Sea (the Rock of Batu Putih or

Horsbrough Lighthouse) is also going to the ICJ.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

25

Going to the Court to settle territorial sovereignty issues as well as

maritime boundary delimitations of course will bring a lot of risks,

because the solution would generally be “winning or losing”. Therefore,

many countries are generally reluctant to go to the Court. They usually

prefer the model of “direct negotiation” to settle the disputes peacefully

so that they can still be in control of the process. In fact, many countries

would like to use “third party mechanism” through Commission of

Inquiry Good Offices or even Mediation and Conciliation, in which the

parties could still influence, and even control the processes and the

solution. The solution may not necessarily be “legal” in the sense of “right

or wrong”, or “win or lose”, but in the sense of “what the parties could

accept”. They would even prefer to go to arbitration in which the Parties

could still control some processes and the decision may not necessarily be

binding if the arbitration is being asked only to suggest some solutions.

Even if the case have to go to Judicial Settlement like the Court (ICJ), the

possibility of the Court being asked to decide the case not on purely legal

argument is still open by asking the Court to decide the case on the

principle of “ex aequo et bono” as indicated in Article 38 Para (2) of the

Statute of the International Court of Justice.

It is therefore really a dramatic step by Indonesia to agree for the first

time to go to the Court, and to agree that the Court should decide the case

on purely legal matters, and to agree to accept the decision of the Court as

final and binding, without “seriously” attempting other mechanisms

allowed by the UN Charter.

While this may bring problems, the model is useful for other

countries, particularly in the West Pacific region, which are busy building

good neighbor relations and regional peace, stability, and cooperation

based on International Law.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

26

AKANKAH INDONESIA KEHILANGAN PULAU?

BELAJAR DARI KASUS SIPADAN-LIGITAN, PULAU

BERHALA, MIANGAS HINGGA SEMAKAU I Made Andi Arsana

Abstrak

Kekhawatiran akan kehilangan pulau-pulau di kalangan masyarakat

Indonesia tampaknya cukup beralasan, terutama setelah terjadinya

kasus Sipadan dan Ligitan. Adalah lumrah bila media Indonesia

menyampaikan berita dimana negara-negara lain berusaha untuk

mengklaim pulau-pulau Indonesia yang pada akhirnya memicu

ketegangan. Artikel ini mencoba untuk menganalisis pembelajaran

mengenai kedaulatan atas pulau-pulau, khususnya pulau Sipadan dan

Ligitan. Kasus-kasus kecil lainnya mengenai pulau Berhala (2005),

Pulau Miangas (2009) dan Pulau Semakau (2013) juga dibahas yang

diarahkan untuk menjawab suatu pertanyaan kritis, yakni: “Apakah

Indonesia kehilangan lebih banyak pulau?”

Kata kunci: kedaulatan atas pulau, klaim wilayah, sengketa kedaulatan,

pulau-pulau terluar

Abstract

The fear of losing islands among Indonesian people seems reasonably obvious, especially in the aftermath of the case of Sipadan and Ligitan. It is not uncommon that Indonesian media deliver news where other countries attempt to claim Indonesian islands, which eventually sparks tension. This paper attempts to analyse lessons learned from several cases concerning sovereignty over islands particularly Sipadan and Ligitan. Other smaller issues concerning Berhala Island (2005), Miangas Island (2009) and Semakau Island (2013) are also discussed to lead to an answer of a critical question: “is Indonesia losing more islands?” Keywords: sovereignty over island, territorial claim, dispute on sovereignty, outermost islands

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

27

Pendahuluan

Perhatian para pengamat persoalan kedaulatan dan hubungan

internasional sempat tertuju pada isu Pulau Semakau yang menurut salah

satu portal berita diklaim oleh Singapura.2 Menurut portal berita tersebut,

Singapura telah memasukkan Pulau Semakau ke dalam peta nasionalnya.

Gubernur Kepulauan Riau, HM Sani menganggap ini sebagai usaha

Singapura untuk mengklaim Pulau Semakau. Sang gubernur bahkan

mengirimkan surat ke Menteri Luar Negeri, Dr. Marty Natalegawa, untuk

meminta klarifikasi dan tindak lanjut atas kasus tersebut. Rupanya,

Gubernur Sani, meyakini bahwa Pulau Semakau yang dimasukkan ke

dalam peta Singapura itu adalah milik Indonesia yang kini diklaim oleh

Singapura.

Pada saat makalah ini ditulis (akhir Januari 2013), isu Pulau Semakau

tersebut sudah diselesaikan dengan klarifikasi bahwa pulau yang

dimaksud sesungguhnya adalah Pulau Semakau milik Singapura.

Ternyata memang ada lebih dari satu pulau bernama Semakau di

perairan sekitar Selat Singapura dan salah satunya memang merupakan

wilayah Singapura. Klarifikasi terkait Pulau Semakau ini sudah

dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri3 dan pihak DPR. Ramadhan

Pohan, Wakil Ketua Komisi I DPR, bahkan menyampaikan klarifikasi

dilengkapi data rinci yang bersifat teknis bersumber dari Indonesia dan

2 Salah satu portal berita yang menyajikan kasus ini adalah OkeZone pada tanggal 19

Januari 2013. Lihat: Okezone. 2013. “Pulau Semakau Dicamplok Negara Singapura”,

diakses dari http://news.okezone.com/read/2013/01/19/340/748669/pulau-semakau-

dicaplok-negara-singapura tanggal 19 Januari 2013. 3 Sayang sekali, untuk kepentingan makalah ini, pernyataan resmi dari Kementerian Luar

Negeri tidak berhasil diperoleh dari sumber (website) resmi. Salah satu sumber adalah

berita yang dilansir OkeZone. Lihat: Okezone. 2013. “Kemlu: Pulau Semakau ada di

Indonesia dan Singapura”, diakses dari

http://international.okezone.com/read/2013/01/19/411/748659/kemlu-pulau-semakau-ada-

di-indonesia-singapura tanggal 19 Januari 2013.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

28

Singapura.4 Rupanya telah terjadi kesalahpahaman karena ada beberapa

pulau dengan nama sama di perairan sekitar Selat Singapura. Indonesia

memang memiliki pulau bernama Semakau Panjang (di Google Maps

disebut dengan Semakau Besar)5 dan Semakau Baru (di Google Maps

disebut dengan Semakau Kecil)6 sedangkan Singapura sendiri memiliki

pulau bernama Semakau.7 Yang dimasukkan ke dalam peta Singapura

adalah Pulau Semakau yang memang menjadi bagian dari wilayah

Singapura.8 Pelajaran penting dari kasus ini adalah bahwa Indonesia,

Malaysia dan Singapura memang bangsa yang mirip bahasanya sehingga

penamaan pulau juga bisa mirip atau bahkan sama. Gambar 1 berikut

mengilustrasikan lokasi ketika Pulau Semakau milik Indonesia maupun

Singapura.

4 Ramadhan Pohan menyatakan klarifikasi dengan menyajikan data rinci terkait posisi

(koordinat) pulau-pulau yang dimaksud didukung oleh data dari Badan Informasi

Geospasial dan institusi terkait lain. Pernyataan ini dilansir, salah satunya, oleh Jawa Post

tanggal 22 Januari 2012. Lihat: Jawa Pos National Network. 2013. “Ramadhan Pohan

Bantah Ada Pencaplokan Pulau Semakau”, diakses dari

http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=155352 tanggal 22 Januari 2013. 5 Google Maps dijadikan salah satu referensi karena Google Maps merupakan domain

publik yang dijadikan acuan oleh berbagai pihak. Google Maps bukan dokumen hukum

tetapi menjadi titik awal untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Lihat: Google Maps.

2013. “Pulau Semakau Besar”, diakses dari http://goo.gl/maps/gni24 tanggal 19 Januari

2013. 6 Google Maps. 2013. “Pulau Semakau Kecil”, diakses dari http://goo.gl/maps/ekoKC

tanggal 19 Januari 2013. 7 Lihat catatan kaki 4

8 Lihat misalnya pembahasan tentang Pulau Semkau terkait Semakau Landfill dari

National Environment Agency Singpura yang bisa diakses dari

http://app2.nea.gov.sg/semakaulandfill.aspx

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

29

Gambar 1: Lokasi Pulau Pulau Semakau, Semakau Panjang (Besar) dan Semakau Baru

(Kecil) 9

Meskipun isu terkait Pulau Semakau sudah tuntas dan tidak lagi

menimbulkan perdebatan di Indonesia, ada satu fenomena penting untuk

dicatat. Isu kedaulatan atas pulau sangat sering muncul di Indonesia.

Berita tentang kemungkinan hilangnya pulau karena direbut oleh negara

lain sering disajikan oleh media massa dan menjadi konsumsi publik

yang mengundang perdebatan. Isu terkait Pulau Sipadan dan Ligitan

yang dipercaya banyak orang telah lepas dari Indonesia dan direbut

Malaysia menjadi semacam referensi umum yang selalu disebut jika ada

kasus terkait kedaulatan atas pulau. Tidak sedikit yang meyakini bahwa

9 Peta merupakan hasil kajian penulis dengan informasi lokasi Pulau Semakau diperoleh

dari pernyataan Ramadhan Pohan selaku Wakil Ketua Komisi I DPR.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

30

kasus Sipadan dan Ligitan akan terjadi lagi pada Indonesia. Pertanyaan

penting yang hendak dijawab dalam tulisan ini adalah “apakah Indonesia

akan kehilangan pulau?”

Makalah ini memulai pembahasan dengan pendefinisian pulau

dilanjutkan pembahasan beberapa kasus terkait kedaulatan atas pulau di

Indonesia. Kasus Sipadan dan Ligitan dibahas secara khusus mengingat

kasus ini dipahami secara kurang tepat oleh banyak pihak selama ini.

Salah satu bagian utama dari makalah ini adalah pembahasan mengenai

usaha menjaga pulau yang pada dasarnya adalah menjaga kedaulatan.

Makalah ini diakhiri dengan kesimpulan yang pada dasarnya untuk

menjawab pertanyaan penelitian utama makalah ini.

Mendefinisikan Pulau

Menurut Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau United Nations

Convention on the Law of the Sea10 (selanjutnya disebut UNCLOS)11

10 Disepakati di Montego Bay, Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982, mulai berlaku

pada tanggal 16 November 1994. Sampai Januari 2013, UNCLOS diratifikasi oleh 164

negara dan 1 Uni Eropa. Lihat: United Nations. 2013. “Chronological lists of ratifications

of, accessions and successions to the Convention and the related Agreements as at 23

January 2013”, diakses dari

http://www.un.org/Depts/los/reference_files/chronological_lists_of_ratifications.htm

tanggal 23 Januari 2013. 11 Istilah UNCLOS pada awalnya digunakan untuk menyingkat United Nations

Conference on the Law of the Sea, yaitu proses negosiasi yang menghasilkan konvensi

tersebut. Istilah UNCLOS juga dipakai untuk konvensi, salah satunya, karena singkat

untuk nama resmi konferensi dan konvensinya sama yaitu UNCLOS. Akademisi di

Australian National Centre for Ocean Resources and Security University of Wollongong,

misalnya, memilih menggunakan istilah Law of the Sea Convention (LOSC). Sementara

itu, akademisi dan pejabat publik di Amerika meyebut konvensi tersebut sebagai traktat

sehingga menggunakan LOST yang merupakan singkatan dari Law of the Sea Treaty.

Lihat tulisan: Edeson, W. R. 2000. “Law of the Sea Convention: Confusion over the Use

of ‘UNCLOS’, and References to other Recent Agreements”, The International Journal of

Marine and Coastal Law, Vol 15, Number 3.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

31

pulau adalah luasan tanah yang terbentuk alami, dikelilingi oleh air, yang

selalu muncul di atas permukaan air saat pasang.12 Sebuah pulau yang

memenuhi kriteria ini berhak atas laut teritorial (12 mil laut),13 zona

tambahan (24 mil laut),14 zona ekonomi ekslusif atau ZEE (200 mil laut)15

dan landas kontinen atau dasar laut (bisa mencapai 350 mil laut atau

lebih)16 seperti halnya daratan lain sesuai dengan yang diatur oleh

UNCLOS.17

Meski demikian, ada pengecualian untuk pulau yang berupa karang

dan tidak mampu mendukung kehidupan manusia dengan

kemampuannya sendiri. Karang hanya berhak atas laut teritorial, tidak

atas zona tambahan, ZEE maupun landas kontinen.18 Dengan kata lain,

hak atas kawasan laut sebuah karang jauh lebih kecil/sempit

dibandingkan dengan pulau.

Berdasarkan definisi yang diacu pada UNCLOS, tidak semua obyek

tanah yang menyembul di permukaan laut memenuhi syarat sebagai

pulau. Obyek yang muncul di permukaan air ketika air surut tetapi

tenggelam ketika air pasang bukanlah pulau, meskipun misalnya obyek

itu ditumbuhi tanaman atau bahkan digunakan untuk beraktivitas oleh

nelayan ketika berkunjung saat air surut. Obyek yang demikian disebut

dengan elevasi pasut atau low-tide elevation (LTE).19 LTE ini tidak berhak

atas kawasan laut kecuali jika lokasinya dalam laut teritorial yang diukur

12 UNCLOS, Pasal 121 (1)

13 UNCLOS, Pasal 3

14 UNCLOS, Pasal 33 (2)

15 UNCLOS, Pasal 57

16 UNCLOS, Pasal 76

17 UNCLOS, Pasal 121 (2)

18 UNCLOS, Pasal 121 (3)

19 UNLCOS, Pasal 13 (1)

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

32

dari daratan utama atau pulau terdekat.20 LTE juga tidak bisa digunakan

sebagai lokasi titik pangkal21 bagi garis pangkal22 lurus kecuali padanya

telah didirikan mercusuar yang secara permanen selalu berada di atas

permukaan laut.23

Pemahaman terhadap definisi pulau ini penting, terutama ketika

menentukan jumlah pulau. Bagi Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau,

keseragaman pemahaman ini penting agar tidak terjadi perbedaan

pandangan tentang jumlah pulau. Sensus dan penamaan pulau yang

melibatkan pemerintah daerah, misalnya, kadang menimbulkan

persoalan dalam menentukan jumlah pulau. Pemerintah daerah, di satu

sisi, memiliki kepentingan untuk menunjukkan bahwa daerahnya

memiliki area yang luas dalam rangka mendapatkan dana alokasi umum

(DAU) yang tinggi sehingga berusaha melaporkan sebanyak mungkin

pulau di wilayahnya. Usaha ini kadang menimbulkan pelaporan obyek

tertentu sebagai pulau padahal tidak memenuhi syarat sebagai pulau

menurut UNCLOS. Hal ini bisa menjadi salah satu penyebab perbedaan

data jumlah pulau di Indonesia.

Berbagai Kasus terkait Kedaulatan atas Pulau di Indonesia

Sengketa atas Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan kasus paling

fenomenal terkait kedaulatan atas pulau yang dialami oleh Indonesia.

Kasus ini dibahas pada bagian tersendiri dalam makalah ini.

20 UNCLOS, Pasal 13 (2)

21 Titik pangkal atau basepoint adalah titik pada daratan yang menjadi titik hubung/temu

penggal garis pangkal. Dalam UNCLOS istilah yang ditunakan adalah point, seperti pada

pasal 7. 22 Garis pangkal adalah referensi yang menjadi titik awal pengukuran zona maritim.

Misalnya, laut teritorial diukur sejauh 12 mil laut dari garis pangkal suatu negara pantai.

Garis pangkal bisa berupa garis pangkal normal (UNCLOS, Pasal 5), garis pangkal lurus

(UNCLOS, Pasal 7) atau garis pangkal kepulauan (UNCLOS, Pasal 47). 23 UNCLOS, Pasal 7 (4)

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

33

Kasus terkini yang melibatkan Pulau Semakau seperti yang dijelaskan

di pendahuluan mirip dengan kasus serupa di tahun 2005 ketika

beberapa pihak di Indonesia menuduh Malaysia mengklaim Pulau

Berhala. Waktu itu, Malaysia mengeluarkan suatu produk iklan yang

mempromosikan Pulau Berhala sebagai daerah tujuan wisata.24 Anggota

DPRD Sumatera Utara dan beberapa pihak yang yakin bahwa Indonesia

memiliki Pulau Berhala menganggap Malaysia telah melakukan klaim

sepihak atas pulau yang jelas-jelas menjadi bagian dari kedaulatan

Indonesia. Siaran Pers dari Kementerian Luar Negeri (waktu itu disebut

Departemen Luar Negeri) menegaskan bahwa ada lima Pulau Berhala

dengan rincian dua milik Indonesia dan tiga lainnya milik Malaysia. Yang

dipromosikan oleh Malaysia dalam iklan di tahun 2005 adalah Pulau

Berhala di Teluk Sandakan, dekat Pulau Borneo yang memang

merupakan wilayah Malaysia.25

Dari dua Pulau Berhala yang merupakan milik Indonesia, salah

satunya disengketakan oleh Propini Kepulauan Riau dan Propinsi Jambi.

Melalui keputusannya di awal 2012, Mahkamah Agung (MA)

menegaskan Pulau tersebut menjadi milik Kepulauan Riau. Rupanya

Jambi tidak menerima begitu saja dan kini meneruskan kasus itu dengan

mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).26 Saat

penulisan ini dilakukan, kasus Pulau Berhala ini belum diputuskan oleh

24 Arsana, I M.A. 2009. “Berhala: Is it Another Sipadan and Ligitan?” dalam Sutisna, S

(ed) Beyond Borders, Department of Geodetic Engineering, Yogyakarta. 25 Kemlu. 2005. “Siaran Pers: Mengenai Pulau Berhala: Perlu Pemahaman Mendalam

Terhadap Prinsip Hukum Negara Kepulauan”, diakses dari

http://www.deplu.go.id/_layouts/mobile/PortalDetail-

NewsLike.aspx?l=id&ItemID=67bb52d2-7619-4b09-b635-7e8b20060e36 tanggal 19

Januari 2013. 26 Lihat misalnya: Sumaryo. 2012. “Aspek Geospasial dalam Kasus Sengketa Pulau

Berhala”, Prosiding The 1st Conference on Geospatial Information Science and

Engineering, Yogyakarta, 20-22 November 2012

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

34

MK. Kasus yang berlangsung lama ini merupakan salah satu penyebab

Pulau Berhala menjadi pusat perhatian dan masyarakat secara umum

memahami bahwa Pulau Berhala merupakan wilayah Indonesia. Hal ini

bisa menjadi salah satu penyebab kesalahpahaman dan dugaan atau

tuduhan bahwa Malaysia telah melakukan klaim karena memiliki pulau

dengan nama yang sama.

Isu lain terkait kedaulatan juga menimpa Pulau Miangas yang terjadi

tahun 2009. Tanpa konfirmasi yang pasti, beredar berita bahwa Filipina

memasukkan Pulau Miangas dalam s buah petanya. Sementara pelacakan

dan konfirmasi masih dilakukan, kekhawatiran ‘dicaploknya’ Pulau

Miangas oleh Filipina sudah tersebar di media massa. Terkait hal ini,

Gubernur Sulawesi Utara bahkan mengkhawatirkan Miangas akan

menjadi Sipadan dan Ligitan jilid II.27 Menurut sang Gubernur, Sipadan

dan Ligitan memang hilang dari kedaulatan Indonesia karena ‘direbut’

oleh Malaysia dan Miangas bisa bernasib sama. Merespon isu ini,

Kementerian Dalam Negeri menegaskan bahwa Pulau Miangas adalah

“bagian integral Indonesia.”28 Senada dengan itu, Kementerian Luar

Negeri juga menegaskan hal serupa bahwa Miangas secara tegas dan

meyakinkan merupakan bagian dari wilayah Indonesia.29

27 Kompas. 2009. “Miangas-Marore Bisa Jadi Sipadan-Ligitan Jilid II” diakses dari

http://lipsus.kompas.com/read/2009/01/12/20230463/Miangas-Marore.Bisa.Jadi.Sipadan-

Ligitan.Jilid.II tanggal 20 Januari 2013. 28 Hal ini disampaikan dalam siaran pers Juru Bicara Menteri Dalam Negeri, Saut

Situmorang tanggal 7 Februari 2009. Lihat: Media Indonesia. 2009. “Pulau Miangas

Bagian Integral Indonesia” diakes dari

http://www.mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NTk2MzY= tanggal 15 Februari 2009 29 Pernyataan ini disampaikan oleh Meneri Hassan Wirrajuda yang dilansir The Jakarta

Post tanggal 14 Februari 2009. Lihat: The Jakarta Post. 2009. “Private mapmaker

suspected in border blunder” diakses dari

http://www.thejakartapost.com/news/2009/02/14/private-mapmaker-suspected-border-

blunder.html tanggal 20 Januari 2013.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

35

Dalam hukum internasional yang berlaku dewasa ini dikenal prinsip

“uti possidetis juris” yang secara sederhana berarti wilayah atau batas

suatu negara mengikuti wilayah atau batas wilayah kekuasaan penjajah

atau pendahulunya.30 Dalam hal ini, wilayah Indonesia sama dengan

wilayah yang dikuasai Belanda di Nusantara. Data dan informasi

terpercaya menunjukkan bahwa Miangas memang masuk dalam wilayah

Belanda ketika Belanda berkuasa di Nusantara. Pembuktian kedaulatan

Belanda atas Miangas ini bahkan melalui arbitrase internasional dengan

Max Huber sebagai arbitrator tunggal. Hingga kini, keputusan ini

dianggap sebagai keputusan arbitrase paling fenomenal.31

Melalui keputusan 4 April 1928, Belanda dipastikan menjadi pemilik

sah Miangas setelah memenangkan kasus melawan Amerika Serikat.32

Inilah yang menjadi dasar hukum bahwa Pulau Miangas adalah bagian

tak terpisahkan dari Indonesia, sebagai penerus (successor) Belanda. Selain

bukti hukum berupa keputusan arbitrase pada zaman Belanda,

kedaulatan Indonesia atas Miangas juga ditegaskan secara hukum pada

masa kemerdekaan. Pada tahun 1976, Indonesia dan Filipina

menandatangani perjanjian ekstradisi yang secara nasional disahkan

dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1976.33 Dalam perjanjian

ekstradisi tersebut, salah satu hal penting adalah pengakuan Filipina

pada kedaulatan Indonesia atas Miangas. Hal ini semakin menegaskan

bahwa kedaulatan Indonesia atas Miangas memang tidak terbantahkan.

30 Mak, JN. 2008. “Sovereignty in ASEAN and the Problems of Maritime Security in the

South China Sea”, S. Rajaratnam School of International Studies, Singapore. 31 Lihat analisis penulis atas kasus ini: Arsana, I M. A. 2009. “Miangas Island? No

Worries”, The Jakarta Post, 3 March 2009, Jakarta 32 Permanent Court Of Arbitration. 1924. “The Island Of Palmas Case (Or Miangas) -

United States Of America V. The Netherlands” Arbitrator M. Huber, The Hague 33 Lihat: Undang-Undagan Nomor 10 tahun 1976 tentang Pengesahan Perjanjian

Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Republik Filipina serta Protokoler”

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

36

Dengan adanya dasar hukum yang kuat seperti yang disebutkan

sebelumnya, maka tindakan fisik oleh negara lain yang berupa

kunjungan, aktivitas bisnis, memasukkan dalam peta dan sejenisnya,

tidak akan mengubah status kedaulatan atas Miangas. Oleh karena itu,

meskipun kebenaran dan alasan Filipina dalam memasukkan Miangas

dalam petanya perlu ditegaskan, kekhawatiran akan kehilangan Miangas

tidak perlu ada. Juru bicara Menteri Luar Negeri saat itu, Teuku

Faizasyah, menegaskan adanya kemungkinan kesalahan pihak pembuat

peta swasta dan itu tidak merepresentasikan posisi resmi pemerintah

Filipina.34

Kesalahpahaman yang terjadi pada Pulau Berhala tahun 2005 ternyata

terjadi lagi terhadap Pulau Semakau, seperti yang disampaikan pada

pendahuluan. Pada intinya, kekurangpahaman pihak tertentu di

Indonesia terhadap konfigurasi geografis negeri sendiri dan juga negeri

tetangga telah menimbulkan tuduhan dan kecurigaan yang tidak perlu.

Berbagai kasus yang terjadi di Indonesia terkait kedaulatan atas pulau

perlu menjadi pelajaran bagi siapa saja, terlebih aparat pemerintah.

Memahami dan Belajar dari Kasus Sipadan dan Ligitan

Sipadan dan Ligitan adalah dua pulau yang secara resmi telah

menjadi bagian dari kedaulatan Malaysia. Meski demikian, perlu diingat

kembali bahwa kedaulatan atas kedua pulau tersebut pernah

disengketakan oleh Indonesia dan Malaysia bahkah berujung pada

disidangkannya kasus itu di Mahkamah Internasional. Mahkamah

Internasional kemudian memutuskan pada tahun 2002 bahwa kedaulatan

34 Lihat catatan kaki 29

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

37

atas kedua pulau itu diberikan kepada Malaysia.35 Sejak keputusan

Mahkamah Internasional terhadap kasus tersebut, Sipadan dan Ligitan

telah menjadi jargon yang penting dan menyejarah bagi Indonesia,

terutama ketika membahas isu kedaulatan dan hak berdaulat. Indonesia

yang memiliki ribuan pulau sangat rawan dengan isu perebutan atau

klaim mengklaim pulau sehingga ingatan masyarakat atas kasus Sipadan

dan Ligitan menjadi mudah bangkit dan menjadi perdebatan. Kasus lain

terkait batas maritim di Laut Sulawesi yang diwarnai dengan sengketa

atas blok eksplorasi minyak bernama Ambalat, juga sering diasosiasikan

dengan kasus Sipadan dan Ligitan ini.36

Kasus Sipadan dan Ligitan bermula pada tahun 1969 ketika Indonesia

dan Malaysia merundingkan delimitasi batas maritim antara keduanya di

Laut Sulawesi. Usaha delimitasi batas maritim di kawasan tersebut

merupakan bagian dari proses delimitasi batas maritim antara kedua

negara di dua kawasan yaitu Selat Malaka dan Laut China Selatan.

Selama proses delimitasi, Indonesia dan Malaysia menemukan bahwa

kedaulatan atas Sipadan dan Ligitan belum diputuskan dan masih belum

jelas bagi kedua negara. Dengan kata lain, kedua pulau itu tidak bertuan

atau dalam istilah hukum disebut terra nullius ketika keduanya

ditemukan.37 Indonesia dan Malaysia sama-sama mengklaim kedaulatan

atas kedua pulau tesebut namun tidak berhasil mencapai kesepakatan

final terkait kedaulatan atasnya. Kedua negara kemudian bersepakat

untuk memberi status quo kepada Sipadan dan Ligitan pada tahun 1969

35 International Court of Justice. 2002. “Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau

Sipadan (Indonesia/Malaysia)”, The Hague. Lihat: http://www.icj-cij.org/

docket/files/102/7714.pdf. 36 Lihat: Arsana, I M. A. 2010. “Penyelesaian Sengketa Ambalat dengan Delimitasi

Maritim: Kajian Geospasial dan Yuridis”, Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Vol. I No. 01, Tahun 2010 37 International Court of Justice, 2002 para. 108

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

38

sehingga keberadaannya tidak berpengaruh pada usaha delimitasi batas

maritim yang sedang dilakukan oleh kedua negara.38

Indonesia dan Malaysia berusaha menyelesaikan masalah terkait

kedaulatan atas Sipadan dan Ligitan pada tahun 1988 hingga 1997

melalui perundingan namun gagal mencapai kesepakatan. Negosiasi

tersebut berawal dari pertemuan tingkat tinggi antara Presiden Soeharto

dari Indonesia dengan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohammad,

di Yogyakarta pada bulan Juni 1998.39 Setelah pertemuan tingkat tinggi

itu, serangkaian perundingan kemudian dilaksanakan dengan melibatkan

Joint Working Group Meetings, Senior Official Meetings, dan Joint Commission

Meetings. Sebelumnya pada tahun 1994, Indonesia dan Malaysia mencoba

membuat terobosan dengan menetapkan atau menunjuk perwakilan

masing-masing untuk negosiasi yang intensif. Indonesia menunjuk

Menteri Sekretaris Negara ketika itu, Moerdiono, dan Malaysia

menugaskan wakil perdana menterinya yaitu Anwar Ibrahim untuk

mewakili Malaysia dalam perundingan. Kedua perwakilan itu

melaksanakan empat pertemuan di Jakarta pada 17 Juli 1995 dan 16

September 1995, lalu di Kuala Lumpur pada 22 September 1995 dan 21

Juli 1996.40

Setelah melaksanakan perundingan yang intensif dan alot, kedua

perwakilan ini tidak melihat titik terang bahwa Indonesia dan Malaysia

akan mampu menyelesaikan sengketa kedaulatan atas Sipadan dan

Ligitan melalui jalur perundingan. Akhirnya, Presiden Soeharto dan PM

Mahatir Mohammad sepakat menyerahkan proses ajudikasi dengan

membawa kasus tersebut ke pihak ketiga. Pada tahun 1997, Indonesia

38 Wirajuda, Hassan. 2004. ”Memaknai Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau

Ligitan”. Dalam Sutisna, S. (ed) “Pandang Wilayah Perbatasan Indonesia”. Jakarta: Pusat

Pemetaan Batas Wilayah, Bakosurtanal. 39 Wirajuda, H. 2004. p. 128

40 Lihat catatan kaki 39

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

39

dan Malaysia menandatanagani kesepakatan khusus untuk membawa

kasus Sipadan dan Ligitan ke Mahkamah Internasional yang disebut

dengan Special Agreement for the Submission to the ICJ the Dispute between

Indonesia and Malaysia concerning the Sovereignty over Pulau Sipadan and

Ligitan.41 Dengan kata lain, kedua pihak bersepakat untuk meminta

bantuan pihak ketiga dalam menyelesaikan kasus di antara mereka dan

kasus itu diserahkan kepada Mahkamah Internasional pada tahun 1997.

Kasus Sipadan dan Ligitan memakan waktu selama lima tahun dalam

penyelesaiannya di Mahkamah Internasional hingga akhirnya Mahkamah

mengumumkan keputusannya pada 17 Desember 2002.42 Mahkamah

Internasional memutuskan kedaulatan atas kedua pulau tersebut dengan

menerapkan prinsip effectivités atau penguasaan efektif. Mahkamah

Internasional memastikan bahwa Inggris, selaku penjajah atau pendahulu

Malaysia, terbukti telah melakukan penguasaan efektif terhadap kedua

pulau tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan penerapan dan pemberlakuan

aturan terkait pengumpulan telur penyu dan didirikannya cagar alam

untuk perlindungan burung. Dalam pendapatnya, Mahkamah

Internasional melihat bahwa tindakan ini bisa dipandang sebagai

penegasan administrasi dan hukum atas kekuasaan pada suatu wilayah

atau territory. Dalam keputusan Mahkamah Internasional hal ini

ditegaskan sebagai “regulatory and administrative assertions of authority over

territory”.43 Selain itu, Mahkamah Internasional juga memutuskan bahwa

pembangunan mercusuar oleh Inggris di pulau tersebut dianggap cukup

untuk mendukung klaim Malaysia terhadap kedaulatan atas Sipadan dan

Ligitan.44 Perlu juga diingat bahwa berdasarkan permintaan Indonesia

41 Wirajuda H. 2004. p. 129

42 International Court of Justice, 2002

43 International Court of Justice, 2002. Para 145

44 International Court of Justice, 2002. Para 147

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

40

dan Malaysia, Mahkamah utamanya menganalisa apa yang terjadi

sebelum tahun 1969, karena keduanya telah bersepakat menjadikan tahun

ini sebagai waktu kritis atau critical date dan pada tahun itulah kedua

negara menyatakan klaim atas kedua pulau tersebut.45 Dengan

memahami keputusah Mahkamah Internasional ini, pembangunan

fasilitas wisata pada kedua pulau itu yang dilakukan sebagian besar oleh

Malaysia setelah tahun 1969 secara hukum tidak turut memengaruhi

keputusan Mahkamah Internasional. Apa yang terjadi setelah tahun 1969,

sesuai kesepakatan Indonesia dan Malaysia, tidak berpengaruh pada

kedaulatan atas Sipadan dan Ligitan.

Dengan memahami keputusan Mahkamah Internasional, terlihat

bahwa, kasus Sipadan dan Ligitan berbeda konteksnya dengan kasus

Pulau Berhala atau Pulau Semakau. Sipadan dan Ligitan adalah dua

pulau yang terra nullius ketika disengketakan oleh Indonesia dan

Malaysia. Jika mengikuti konsep uti possidetis juris, maka hal pertama

yang harus ditentukan adalah apakah Sipadan atau Ligitan masuk dalam

jajahan Inggris atau Belanda. Ternyata keduanya tidak terbukti secara

meyakinkan termasuk dalam wilayah jajahan Inggris maupun Belanda.

Ini bisa dilihat dari peta-peta zaman penjajahan. Oleh karena itulah,

kedua pulau itu tidak bisa secara otomatis diakui oleh Indonesia maupun

Malaysia.46 Untuk kasus pulau-pulau yang terra nullius seperti ini maka

prinsip effectivités atau penguasaan efektif menjadi berlaku dalam

menentukan kedaulatannya. Dengan kata lain, pertanyaan “siapa yang

telah mengelola, siapa yang sudah mengembangkan, dan siapa yang

menduduki” penting untuk menentukan kedaulatan atas sebuah pulau

45 International Court of Justice, 2002. Para 135

46 Lihat juga Pidato Kenegaraan Presiden Megawati pada tanggal 15 Agustus 2003 yang

salah satu isinya adalah merespon keputusan Mahkamah Internasional terkait Sipadan dan

Ligitan, bisa diakses dari http://kepustakaan-

presiden.pnri.go.id/uploaded_files/pdf/speech/normal/megawati11.pdf

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

41

jika pulau itu tidak ada yang memiliki. Sebaliknya, jika pulau tersebut

sudah resmi menjadi bagian dari suatu negara maka penguasaan dan

pengelolaan atasnya tidak akan mengubah status kedaulatan

terhadapnya.

Dalam pernyataan tidak resmi seorang pejabat negara yang

menjelaskan kasus ini dengan cukup cerdas, Indonesia tidak kehilangan

pulau, hanya saja memang gagal menambah dua pulau. Pernyataan ini

mungkin terdengar seperti kelakar tetapi secara cerdas dan sederhana

dapat menjelaskan apa yang terjadi dengan Sipadan dan Ligitan. Dengan

kata lain, dapat disimpulkan bahwa Indonesia tidak pernah kehilangan

pulau secara hukum karena memang tidak pernah memiliki pulau

tersebut. Penjelasan tentang kasus Sipadan dan Ligitan ini bisa disimak

dengan rinci pada putusan Mahkamah Internasional.47

Meski keputusan Mahkamah Internasional sudah sedemikian jelas,

anggapan masyarakat bahwa Sipadan dan Ligitan lepas dari Indonesia

tetap ada. Ada setidaknya dua penyebabnya. Yang pertama adalah

pemberitaan media massa yang tidak sesuai kondisi sebenarnya. Media

cukup mudah menyalahartikan istilah penguasaan efektif yang menjadi

dasar keputusan, terutama terkait waktu krits tahun 1969 yang

digunakan sebagai dasar. Tidak sedikit media yang menyampaikan

bahwa penguasaan efektif tersebut termasuk tindakan Malaysia

mengelola pulau itu sejak tahun 1969. Dengan demikian muncul

pemahaman bahwa Indonesia kalah dalam kasus itu karena Malaysia

sudah merawat pulau itu dengan mendirikan resor dan membangun

fasilitas wisata lainnya.

Sebab kedua adalah kenyataan bahwa pada Pulau Sipadan dan

Ligitan memang pernah ditetapkan titik pangkal (basepoints) yang

47 Lihat catatan kaki 35.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

42

membentuk garis pangkal kepulauan Indonesia. Dalam Peraturan

Pemerintah (PP) nomor 38 tahun 2002,48 ada titik pangkal yang berlokasi

di kedua pulau tersebut seakan-akan keduanya sudah merupakan bagian

dari Indonesia. Mereka yang memiliki kepedulian pada masalah hukum

tentu akan menganggap ini sebagai tindakan Indonesia yang menyatakan

bahwa kedua pulau itu memang pernah diakui sebagai bagian dari

Indonesia. Dengan keputusan Mahkamah Internasional tahun 2002, PP

ini kemudian direvisi dengan PP nomor 37 nomor 2008.49 Revisi ini

bertujuan untuk mengubah konfigurasi garis pangkal kepulauan

Indonesia secara umum sehingga kini menggunakan pulau terluar yang

resmi menjadi milik Indonesia serta menjamin garis pangkal yang

tertutup, melingkupi seluruh wilayah Indonesia.50

Menyimak pemaparan sebelumnya, bisa disimpulkan bahwa

Indonesia memang tidak kehilangan pulau Sipadan dan Ligitan karena

tidak pernah memilikinya secara hukum. Meski demikian, istilah

“Indonesia kalah oleh Malaysia” ada benarnya yaitu kalah dalam hal

memperebutkan dua pulau tidak bertuan untuk menjadi bagian dari

kedaulatan negara masing-masing. Kekalahan ini tidak saja ditentukan

oleh tindakan Indonesia dan Malaysia tetapi juga oleh Belanda dan

Inggris sebagai pendahulu kedua negara.

48 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 71 (2002) Peraturan Pemerintah No.

38/2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan

Indonesia. Diakses dari http://www.setneg.go.id/ tanggal 15 Agustus 2009. 49 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 77 (2008) Peraturan Pemerintah No.

37/2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang

Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Diakses dari

http://www.setneg.go.id/ tanggal 15 Agustus 2009. 50 Lihat pembahasan tentang revisi garis pangkal kepulauan Indonesia pada Schofield, C.

and Arsana, I MA. (2009) Closing the Loop: Indonesia’s revised archipelagic baselines

system, Australian Journal of Maritime and Ocean Affairs; Volume 1, Issue 2; 2009; 57-

62.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

43

Menjaga Pulau, Menjaga Kedaulatan

Kekhawatiran kehilangan pulau tidak seharusnya terjadi pada

Indonesia. Meski demikian, menjaga pulau-pulau terluar merupakan

kewajiban. Ada beberapa hal pening yang harus dilakukan dan dipahami

oleh masyarakat, terutama pejabat pemerintah terkait persoalan pulau

dan kedaulatan. Hal pertama dan utama adalah pemahaman yang cukup

baik akan konfigurasi geografis Indonesia. Penduduk dan terutama

pejabat negara sebaiknya paham akan informasi geografis dasar Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Tentu memerlukan usaha yang serius

untuk memahami Indonesia yang terdiri dari 17 ribu lebih pulau,

beragam suku bangsa dan bahasa. Selain itu, informasi geografis negara

tetangga juga perlu dipahami. Dalam kasus Pulau Semakau dan Pulau

Berhala misalnya, terlihat betapa pentingnya memahami bahwa negara

tetangga juga memiliki pulau dengan nama yang sama dengan pulau

yang dimiliki Indonesia. Tentu tidak baik jika ada pihak yang menjadi

geram dan emosional menuduh negara tetangga melakukan tindakan

tidak terpuji hanya karena pemahaman geografis terhadap pulau-pulau

yang tidak memadai. Ini harus menjadi motivasi bagi masyarakat dan

pejabat negara untuk belajar aspek geospasial51 dari bangsa sendiri dan

negara tetangga.

Kedua, perlu dipahami bahwa kedaulatan atas sebuah pulau yang

sudah pasti menjadi bagian wilayah suatu negara tidak akan dengan

mudah berpindah ke negara lain hanya karena negara lain

mengklaimnya. Dengan kata lain, kedaulatan atas pulau yang sudah

51 Istilah “geospasial” digunakan untuk segala hal yang terkait aspek keruangan/posisi

(space) yang terkait dengan bumi (geo). Dalam konteks ini, aspek geospasial adalah

aspek lokasi dan deskripsi geografis wilayah NKRI dan posisinya relatif terhadap negara-

negara tetangga. Pemahaman geospasial ini juga sangat penting untuk memahami konteks

geopolitik suatu negara.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

44

resmi menjadi milik Indonesia tidak akan berpindah dengan mudah ke

negara tetangga, misalnya Singapura, hanya karena Singapura

mengajukan klaim kepemilikan. Hal ini berbeda halnya dengan pulau

yang memang belum jelas kepemilikannya. Pulau yang demikian disebut

terra nullius yaitu pulau tidak bertuan sehingga usaha klaim aktif dan

pendudukan efektif akan berpengaruh pada kepemilikan terhadapnya.

Dalam kasus Indonesia, sudah tidak ada lagi pulau dengan status terra

nullius sehingga usaha penguasaan efektif untuk tujuan membuktikan

kedaulatan tidak perlu dilakukan.

Ketiga, dari kasus Sipadan dan Ligitan bisa dipahami bahwa untuk

pulau yang belum jelas kepemilikannya maka klaim dan penguasaan

efektif memang penting dilakukan dan itu menentukan kedaulatan.

Meski demikian, hal ini tidak berlaku pada pulau yang sudah jelas

kepemilikannya. Penguasaan atau perhatian terhadap sebuah pulau

terluar perlu dilakukan untuk alasan kesejahteraan penduduk di sekitar

atau untuk alasan kelestarian lingkungan, bukan untuk melindungi pulau

itu agar tidak direbut negara lain. Untuk pulau kecil terluar yang

dijadikan lokasi titik pangkal (basepoints) kehadiran negara diperlukan

untuk menjaganya sehingga terlindungi secara fisik dan sedapat mungkin

tidak terabrasi/tenggelam sehingga dapat mengganggu konfirgurasi titik

pangkal dan garis pangkal.

Hukum internasional tidak membenarkan suatu negara mengklaim

kedaulatan atas suatu pulau yang sudah resmi menjadi milik suatu

negara. Sekali lagi kehadiran negara di pulau-pulau kecil atau terluar

sangatlah penting dalam segala manifestasi yang mungkin. Hal ini untuk

alasan yang lebih pragmatis terkait kesejahteraan masyarakat. Kehadiran

negara perlu untuk menjamin masyarakat secara ekonomi, menyediakan

fasilitas kesehatan serta infrastruktur yang memadai. Mengirimkan

sejumlah besar orang dari ibukota negara untuk melakukan upacara

bendera di sebuah pulau terpencil bisa jadi merupakan gagasan yang baik

tetapi harus tetap diperhatikan bahwa masyarakat memerlukan lebih dari

sekedar kesenangan sesaat di hari-hari penting seperti hari kemerdekaan.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

45

Pada akhirnya kesetiaan masyarakat terhadap negaranya ditentukan juga

oleh manfaat pragmatis yang mereka peroleh.

Keempat, sangat penting untuk memiliki pemahaman dasar

kartografis,52 bagaimana peta menggambarkan wilayah dan kedaulatan

suatu negara. Hal ini terkait dengan kasus Pulau Semakau dan Pulau

Miangas yang dijelaskan sebelumnya. Pemilihan warna, intensitas,

ketebalan garis dan terutama legenda peta akan menunjukkan pada

pembaca maksud dari masing-masing obyek di peta tersebut. Penting

untuk dipahami bahwa dimasukkannya suatu pulau milik negara A pada

peta nasional negara B tidak selalu berarti pulau itu diklaim oleh negara

B. Dalam peta Indonesia yang lengkap, misalnya, tidak mungkin tidak

memasukkan keseluruhan Singapura atau sebagian Malaysia yang sama

sekali tidak menunjukkan klaim Indonesia atas kedua negara itu.53

Kesimpulan

Dari analisis pada bagian sebelumnya dari makalah ini bisa

disimpulkan bahwa Indonesia tidak pernah kehilangan dan tidak akan

kehilangan pulau karena status kedaulatan atas pulau-pulau Indonesia

sudah jelas. Pemahaman terhadap kasus Sipadan dan Ligitan perlu

52 Secara sederhana, kartografi merupakan ilmu dan seni pembuatan peta. Peta adalah

representasi permukaan bumi yang diusahakan sedekat mungkin dengan aslinya. Meski

demikian, peta tetaplah hanya representasi sehingga pasti ada hal yang tidak sama dengan

kenyataannya di permukaan bumi. Oleh kerena itulah perlu pengetahuan kartografis dasar

dalam membaca peta sehingga tidak salah dalam menyerap informasi yang

ditampilkannya. Lihat misalnya: Arsana, I M.A. 2010. “Maps mark borders, and yet

always lies”, The Jakarta Post, 22 November 2010, Jakarta; Arsana, I M.A. 2011. “Urgent

use of cartohypnosis in border dispute settlement”, The Jakarta Post, 26 October 2011,

Jakarta 53 Untuk analisis penulis terkait kasus Pulau Semakau dan pelajaran yang bisa diambil,

lihat: Arsana, I M.A. 2013, Are we losing more islands after Sipadan-Ligitan dispute?

The Jakarta Post, 30 January 2013.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

46

diluruskan bahwa Indonesia tidak kehilangan tetapi kalah

memperjuangkan kedaulatan yang memang tadinya belum pasti.

Meski tidak perlu ada kekhawatiran akan kehilangan pulau,

perhatian dan kehadiran negara di semua wilayah Indonesia tanpa

kecuali tetaplah suatu keharusan. Semua itu dilakukan untuk alasan

pragmatis terkait kesejahteraan dan alasan lingkungan, bukan karena

ketakutan bahwa pulau itu akan direbut oleh negara lain.

Daftar Pustaka

Arsana, I M.A. 2009. “Berhala: Is it Another Sipadan and Ligitan?” dalam Sutisna, S

(ed) Beyond Borders, Department of Geodetic Engineering, Yogyakarta.

Arsana, I M.A. 2009. “Miangas Island? No Worries”, The Jakarta Post, 3 Maret 2009,

Jakarta

Arsana, I M.A. 2010. “Penyelesaian Sengketa Ambalat dengan Delimitasi Maritim:

Kajian Geospasial dan Yuridis”, Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Vol. I No. 01, Tahun 2010

Arsana, I M.A. 2010. “Maps mark borders, and yet always lies”, The Jakarta Post, 22

November 2010, Jakarta.

Arsana, I M.A. 2011. “Urgent use of cartohypnosis in border dispute settlement”, The

Jakarta Post, 26 October 2011, Jakarta

Arsana, I M.A. 2013, “Are we losing more islands after Sipadan-Ligitan dispute?” The

Jakarta Post, 30 January 2013.

Edeson, W. R. 2000. “Law of the Sea Convention: Confusion over the Use of ‘UNCLOS’,

and References to other Recent Agreements”, The International Journal of Marine

and Coastal Law, Vol 15, Number 3.

Google Maps. 2013. “Pulau Semakau Besar”, diakses dari http://goo.gl/maps/gni24

tanggal 19 Januari 2013.

Google Maps. 2013. “Pulau Semakau Kecil”, diakses dari http://goo.gl/maps/ekoKC

tanggal 19 Januari 2013.

International Court of Justice, 2002. “Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan

(Indonesia/Malaysia)”, diakes dari Lihat: http://www.icj-cij.org/

docket/files/102/7714.pdf tanggal 20 Januari 2013.

Jawa Pos National Network. 2013. “Ramadhan Pohan Bantah Ada Pencaplokan Pulau

Semakau”, diakses dari

http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=155352 tanggal 22 Januari

2013.

Kemlu. 2005. “Siaran Pers: Mengenai Pulau Berhala: Perlu Pemahaman Mendalam

Terhadap Prinsip Hukum Negara Kepulauan”, diakses dari

http://www.deplu.go.id/_layouts/mobile/PortalDetail-

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

47

NewsLike.aspx?l=id&ItemID=67bb52d2-7619-4b09-b635-7e8b20060e36 tanggal

19 Januari 2013.

Kompas. 2009. “Miangas-Marore Bisa Jadi Sipadan-Ligitan Jilid II” diakses dari

http://lipsus.kompas.com/read/2009/01/12/20230463/Miangas-

Marore.Bisa.Jadi.Sipadan-Ligitan.Jilid.II tanggal 20 Januari 2013.

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 71. 2002. “Peraturan Pemerintah No.

38/2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan

Indonesia”, diakses dari http://www.setneg.go.id/ tanggal 15 Agustus 2009.

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 77. 2008. “Peraturan Pemerintah No.

37/2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002

tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan

Indonesia”, diakses dari http://www.setneg.go.id/ tanggal 15 Agustus 2009.

Mak, JN. 2008. “Sovereignty in ASEAN and the Problems of Maritime Security in the

South China Sea”, S. Rajaratnam School of International Studies, Singapore.

Media Indonesia. 2009. “Pulau Miangas Bagian Integral Indonesia” diakes dari

http://www.mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NTk2MzY= tanggal 15

Februari 2009

National Environgment Agency of Singapore. 2013. “Semakau Landfill”, diakses dari

http://app2.nea.gov.sg/semakaulandfill.aspx tanggal 26 Januari 2013.

Okezone. 2013. “Kemlu: Pulau Semakau ada di Indonesia dan Singapura”, diakses dari

http://international.okezone.com/read/2013/01/19/411/748659/kemlu-pulau-

semakau-ada-di-indonesia-singapura tanggal 19 Januari 2013.

Okezone. 2013. “Pulau Semakau Dicamplok Negara Singapura”, diakses dari

http://news.okezone.com/read/2013/01/19/340/748669/pulau-semakau-dicaplok-

negara-singapura tanggal 19 Januari 2013.

Permanent Court Of Arbitration. 1928. “The Island Of Palmas Case (Or Miangas) -

United States Of America V. The Netherlands” Arbitrator M. Huber, The Hague

Schofield, C. and Arsana, I MA. 2009. “Closing the Loop: Indonesia’s revised

archipelagic baselines system”, Australian Journal of Maritime and Ocean Affairs;

Volume 1, Issue 2; 2009; 57-62.

Soekarnoputri, M. 2003. “Pidato Kenegaraan Presiden R.I. Dan Keterangan Pemerintah

Atas Ruu Tentang RAPBN 2004 Serta Nota Keuangannya di Depan Sidang DPR

RI, Jakarta, 15 Agustus 2003”, Kepustakaan Presiden-Presiden Republik

Indonesia, Jakarta. Diakses dari http://kepustakaan-

presiden.pnri.go.id/uploaded_files/pdf/speech/normal/megawati11.pdf tanggal 31

Januari 2013.

Sumaryo. 2012. “Aspek Geospasial dalam Kasus Sengketa Pulau Berhala”, Prosiding

The 1st Conference on Geospatial Information Science and Engineering,

Yogyakarta, 20-22 November 2012.

The Jakarta Post. 2009. “Private mapmaker suspected in border blunder” diakses dari

http://www.thejakartapost.com/news/2009/02/14/private-mapmaker-suspected-

border-blunder.html tanggal 20 Januari 2013.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

48

United Nations. 1982. “United Nations Convention on the Law of the Sea”, diakses dari

<http://www.un.org/Depts/los/convention_agreements/tets/unclos/ unclos_e.pdf>

tanggal 30 Januari 2013.

United Nations. 2013. “Chronological lists of ratifications of, accessions and successions

to the Convention and the related Agreements as at 23 January 2013”, diakses dari

http://www.un.org/Depts/los/reference_files/chronological_lists_of_ratifications.ht

m tanggal 23 Januari 2013.

Wirajuda, H. 2004. ”Memaknai Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau

Ligitan”. Dalam Sutisna, S. (ed) “Pandang Wilayah Perbatasan Indonesia”.

Jakarta: Pusat Pemetaan Batas Wilayah, Bakosurtanal.

Law and order exist for the purpose of establishing justice and when

they fail in this purpose they become the dangerously structured

dams that block the flow of social progress.

- Martin Luther King Jr. - ”

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

49

KEGIATAN MILITER DI ZEE DAN PELAKSANAAN

HOT PURSUIT DI INDONESIA1 Kresno Buntoro

Abstrak

Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) adalah suatu rezim baru yang diatur dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS). Banyak ahli menilai bahwa ketentuan-ketentuan tentang ZEE sebagaimana tercantum dalam UNCLOS merupakan bagian dari hukum kebiasaan internasional dan praktik bangsa-bangsa. Negara diakui memiliki kedaulatan atas ZEE yang dimilikinya. Definisi dari hak-hak kedaulatan didefinisikan oleh para ahli dalam makna yang berbeda. Beberapa ahli mengartikan bahwa ZEE merupakan suatu hak khusus diantara kedaulatan negara dan kebebasan negara di laut lepas, dan yang lainnya berpikir bahwa status ZEE sama dengan status laut lepas dalam lingkup navigasi. Dewasa ini, aktifitas militer yang dijalankan oleh negara di ZEE menyebabkan beberapa konflik dan krisis karena kegiatan tersebut dilakukan di ZEE dari negara lain. Konflik-konflik tersebut mempertanyakan hak dan kewajiban dari negara pantai dan negara lain dalam ZEE yang terkait dengan kegiatan militer, pengumpulan data dan implementasi dari pengejaran seketika oleh otoritas militer asing di ZEE. Kata Kunci: Zona Ekonomi Eksklusif, Kegiatan Militer, Pengejaran Seketika.

Abstract The Exclusive Economic Zone (EEZ) is a new regime which is regulated in the United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). There are many experts consider that the provisions of EEZ as set forth in UNCLOS are parts of international customary law and states practices. It is recognized that a state has sovereign rights

1Artikel ini juga disampaikan pada Seminar Nasional dengan tema “30 Tahun Konvensi

Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982 dan Tantangan Diplomasi Kelautan Indonesia”, 13

November 2012 di Palembang. Paper ini merupakan pendapat pribadi penulis, sehingga

tidak terkait dengan institusi dimana penulis bekerja.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

50

over its EEZ. The definition of sovereign rights was defined by the experts in some different meanings. Some of the experts define that it is a special right between sovereignty of a state and the freedom of other states in high seas, and the others think that the status of EEZ is similar with the status of high seas in the scope of navigation. Nowadays, the military activity which is exercised by state in EEZ causes some conflicts and crisis because it is exercised in the EEZ by the other states. Those rising conflicts challenge the right and obligation of coastal state and the other state in EEZ related to the military activity, data collection and the implementation of hot pursuit by foreign military force in EEZ. Keywords: Exclusive Economic Zone, Military Activities, Hot Pursuit.

Pendahuluan

Ketentuan hukum internasional dan Konvensi Hukum Laut PBB

tahun 1982 (Law of the Sea Convention/LOSC)2 membagi wilayah negara

dalam dua bagian yaitu laut/perairan wilayah suatu negaradan laut

yang bukan wilayah suatu negara. Laut atau perairan yang menjadi

wilayah suatu negara yaitu perairan pedalaman, perairan kepulauan dan

laut territorial, dimana negara pantai/kepulauan mempunyai

kedaulatan.3 Sedangkan laut yang bukan merupakan wilayah suatu

negara adalah Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), Landas

Kontinen, laut bebas dan dasar laut dalam (deep seabed/area).4 Di masing-

masing zona maritim tersebut negara pantai (kepulauan) mempunyai

2The United Nations Conventionon the Law of the Sea, 10 December 1982, UNTS 1833

at 3 (entered into force 16 November 1994), online:United Nations

<http://www.un.org/Depts/los/convention_agreements/convention_overview_convention.

htm>[selanjutnya digunakan istilah LOSC] 3Indonesia mengatur laut yang menjadi wilayah Indonesia dalam istilah Perairan

Indonesia diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. 4Beberapa ahli dan buku memasukan “selat untuk pelayaran internasional” (strait used for

international navigation) sebagai bagian dari zona maritim.Lihat Martin Tsamenyi dalam

materi kuliah di Seskoal.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

51

hak, kewajiban dan kewenangan yang berbeda-beda, demikian pula

kapal ataupun wahana laut lainnya mempunyai hak dan kewajiban yang

berbeda-beda pula ketika bernavigasi di zona maritim ini.

ZEE merupakan rezim baru yang diatur dalam Konvensi Hukum

Laut PBB tahun 1982. Sebagai zona maritim baru pengaturan dalam ZEE

dapat dikatakan cukup banyak yaitu dalam Bab V LOSC pasal 55 sampai

75.5 Banyak ahli berpendapat bahwa pengaturan ZEE yang ada di

Konvensi merupakan bagian dari international customary law dan

prakteknegara-negara.6 Pengaturan utama dalam zona maritim ini antara

lain hak negara pantai untuk memanfaatkan sumber daya alam,

perlindungan lingkungan laut, riset ilmiah kelautan dan lain-lain. Dalam

praktek negara-negara di ZEE masih banyak permasalahan7 yang muncul

antara lain hubungan batas ZEE dengan landas kontinen, hubungan

aktivitas di ZEE dengan landas kontinen, termasuk juga apakah rezim

ZEE dan landas kontinen yang 200 mil laut adalah sama.8

5Apabila dibandingkan dengan pengaturan tentang alur laut kepulauan yang merupakan

konsep baru juga, dimana hanya diatur dalam 2 pasal, maka ZEE pengaturannya cukup

lengkap. Demikian juga tentang lintas transit dan negara kepulauan diatur cukup lengkap. 6Continental Shelf Tunisia/Lybia judgement, [1982] I.C.J. Rep. 18; Case Concerning

Delimitation of the Maritime Boundary of the Gulf of Maine (Canada/United States),

[1984] I.C.J. Rep. 246, 294; Sohn & Gustafson 122; 2 Restatement (Third), sec. 514

Comment a & Reporters’ , 56 & 62.; Horace B Robertson Jr, Navigation in the Exclusive

Economic Zone, Virginia Journal International Law, 24:4, 865-866. 7Permasalahan ini selalu bermula pada kepentingan negara maritim besar dan negara

pantai yaitu pertentangan antara mare liberum dan mare clausum.Lihat, CE Pirtle,

‘Military Uses of Ocean Space and the Law of the Sea in the New Millennium’ (2000), 31

Ocean Developments and International Law, 7, 11. 8Ada pendapat bahwa rezim ZEE meliputi landas kontinen selebar 200 mil laut. Dalam

hal ini pengaturan ZEE dan landas kontinen selebar 200 mil laut adalah sama baik dari

jaraknya, pengaturannya, dan hak/kewajiban yang dimiliki oleh negara. Dalam beberapa

pasal dalam LOSC yang mengatur ZEE dan landas kontinen saling terkait.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

52

Pertentangan yang mengemuka terkait dengan kegiatan militer di

ZEE negara lain adalah bagaimana hak dan kewajiban negara pantai dan

negara pengguna di ZEE terkait dengan kegiatan militer, survei hidro-

osenaografi dan pengumpulan data/informasi intelejen. Oleh sebab itu

dalam paper singkat ini akan dijelaskan hak dan kewajiban negara pantai

dan negara pengguna terkait dengan aktivitas militer di ZEE; apakah

yang dimaksud dengan freedom of navigation dan overflight di ZEE, apakah

yang dimaksud negara kegiatan militer; dan implementasi dari hot pursuit

yang dilakukan oleh kekuatan militer asing di ZEE Indonesia.

Hak dan Kewajiban Negara di ZEE

ZEE merupakan zona yang berada antara laut teritorial dan laut

bebas. Oleh sebab itu banyak negara yang mengatakan bahwa

pengaturan ZEE harus berbeda dengan pengaturan di laut bebas maupun

di laut teritorial. Konsep kewenangan yang dikenal dalam ZEE ini adalah

hak berdaulat (sovereign rights).9 Pengertian sovereign rights oleh banyak

ahli diartikan dengan bermacam-macam, antara lain ada yang

berpendapat bahwa sovereign right merupakan hak khusus yang berada

diantara hak kedaulatan (sovereignty) dengan kebebasan suatu negara

(freedom of high seas) di laut bebas. Selain itu ada ahli yang mengatakan

bahwa jika berbicara tentang navigasi maka status hukum dari ZEE

adalah sama dengan laut bebas.10 Tentu saja status hukum ZEE harus

9Amerika berpendapat bahwa ZEE merupakan zona yang khusus diperuntukan untuk

aktivitas ekonomi Negara pantai dan tidak untuk pelaksanaan hak lainnya. Lihat,

Annotated Supplement To The Commander’s Handbook On The Law Of Naval

Operations - NWP 9.A/FMFM 1-10. 10White House Fact Sheet, Annex AS1-5. These “sovereign rights” are functional in

character and are limited to the specified activities; they do not amount to “sovereignty”

which a nation exercises over its land territory, internal waters, archipelagic waters,

territorial sea (subject to the right of innocent passage for foreign vessels). International

law also grants to coastal states limited “jurisdiction” in the exclusive economic zone for

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

53

dikembalikan pada ketentuan LOSC yang mengatur beberapa zona

maritim antara lain: perairan pedalaman,11 perairan kepulauan,12 laut

teritorial,13 zona tambahan,14 ZEE,15 landas kontinen,16 laut bebas,17 dan

wilayah laut dalam18. Berdasarkan kententuan tersebut menunjukan

bahwa ZEE merupakan zona tersendiri19 dan berbeda dengan laut

teritorial, zona tambahan, landas kontinen dan laut bebas itu sendiri.

Sehingga penerapan hak dan kewajiban suatu negara pun semestinya

berbeda.

Kepentingan suatu negara biasanya selalu dilindungi dengan

kebijakan politik, hukum dan perlindungan fisik berupa penegakan

hukum serta pengerahan/pergerakan kekuatan militer. Sebagai

contohnya: kepentingan perdagangan suatu negara diikuti dengan

kebutuhan akan keamanan dan keselamatan kapal pada jalur

perdagangan yang antara lain dapat dilakukan dengan pengerahan

kekuatan militer di jalur perdagangan tersebut.20 Pengerahan kekuatan

the other purposes mentioned in the text at note 48. 2 Restatement (Third), sec. 511

Comment b at 26-27. 11Pasal 8, dan 50, LOSC.

12Pasal 49 LOSC.

13Pasal 2 LOSC.

14Pasal 33 LOSC.

15Pasal 55 LOSC.

16Pasal 76 LOSC.

17Bab VII LOSC.

18 Bab XI LOSC.

19“The exclusive economic zone is an area beyond and adjacent to the territorial sea,

subject to the specific legal regime established in this Part, under whichthe rights and

jurisdiction of the coastal State and the rights and freedoms of other States are governed

by the relevant provisions of this Convention”.Pasal 55 LOSC dengan penekanan. 20 Sejarah menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi negara biasanya akan diikuti dengan

pembangunan kekuatan pertahanan. Apabila perekonomian negara sebagian bertumpu

pada maritim/kelautan, pembangunan kekuatan laut lebih diutamakan.Hal ini disebabkan

kekuatan laut tersebut digunakan untuk melindungan kepentingan ekonomi negara itu.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

54

militer biasanya sangat jarang memasuki wilayah kedaulatan negara lain,

akan tetapi berada di luar laut teritorial suatu negara. Hal ini sebenarnya

merupakan penghormatan terhadap kedaulatan negara pantai, walaupun

banyak negara beranggapan bahwa keberadaan armada/kapal perang

asing yang dekat dengan wilayahnya merupakan ancaman terhadap

keamanan negara tersebut. Dalam beberapa tahun ini, kegiatan militer

yang dilakukan oleh negara-negara menimbulkan krisis dan konflik. Hal

ini disebabkan kegiatan militer yang dilakukan oleh negara dimaksud

dilakukan di ZEE negara lain.21

Dalam Bab V Pasal 56, 60 dan 61 LOSC disebutkan bahwa negara

pantai mempunyai hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan

eksploitasi terhadap sumber daya alam di ZEE. Hak tersebut antara lain

meliputi pula hak untuk melakukan penelitian atas sumber daya alam;

hak untuk melakukan eksploitasi sumber daya alam; hak untuk

melakukan konservasi sumber daya alam; dan hak untuk mendirikan dan

mengatur pulau buatan, instalasi dan bangunan. Selain itu dalam pasal

77 dan 80 LOSC yang mengatur tentang landas kontinen yang berada di

bawah ZEE negara pantai mempunyai hak berdaulat untuk melakukan

eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam antara lain: hak melakukan

penelitian sumber daya alam di landas kontinen; hak melakukan

eksploitasi sumber alam dari landas kontinen; hak untuk mendirikan dan

mengatur pulau buatan, instalasi dan bangunan. Kegiatan pemanfaatan

Lihat pertempuran North Atlantic, dimana kekuatan laut digunakan untuk melindungi

konvoi kapal-kapal dagang; ekspedisi perdagangan pada abad pertengahan diikuti dengan

kekuatan laut yang mumpuni. 21Beberapa tahun yang lalu, Amerika Serikat mengembangkan doktrin “sea basing”

dimana naval base Amerika Serikat digelar di tengah laut dan mempunyai mobilitas yang

tinggi disesuaikan dengan pengerahan kekuatannya. Lihat, Sam, J Tangerdi, Concept,

Issues, and Recommendations, Naval War College Review, Autum 2011, Vol 64, No. 4;

Sea basing di www.dtic.mil/concepts/jitc_seabasing.doc, diakses tanggal 16 Januari 2013;

Admiral Ven Clark, US Navy, ‘Sea Power 21, Projecting Decisive Joint Capabilities,’

diwww.navy.mil/navydata/cno/proceeding.html, diakses tanggal 16 Januari 2013.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

55

sumber daya alam lainnya termasuk pemanfaatan energi dari angin, arus,

dan ombak.

Riset ilmiah kelautan dapat dilakukan di ZEE.22 Kegiatan tersebut

dapat berupa pengumpulan data/informasi ilmiah, monitoring risiko dan

efek polusi, dan riset ilmiah kelautan. Kegiatan riset ilmiah kelautan

dapat berupa survei ataupun riset hidrografi, oseanografi, biologi laut,

riset perikanan, driling, survei ilmiah geologi/geofisik, dan kegiatan riset

ilmiah untuk tujuan lainnya. Apabila kegiatan tersebut dilakukan untuk

tujuan komersial, banyak negara tidak menganggap kegiatan itu sebagai

riset ilmiah kelautan sebagaimana diatur dalam Konvensi. Selain itu

apabila riset ilmiah digunakan untuk tujuan militer tidak juga termasuk

kegiatan riset ilmiah sebagaimana diatur dalam Konvensi.23 Sedangkan

hak negara lain di ZEE antara lain untuk meletakkan kabel dan pipa

bawah laut, pelayaran dan penerbangan. Khusus untuk meletakkan kabel

dan pipa bawah air harus tetap melalui izin atau sesuai peraturan

perundang-undangan negara lain.

Khusus tentang batas maritim terkait dengan ZEE dan landas

kontinen banyak negara mengisyaratkan bahwa penyelesaian batas ZEE

dan landas kontinen adalah sama. Akan tetapi untuk negara yang telah

menyelesaikan batas landas kontinen sebelum ada LOSC dan masih

didasarkan pada Konvensi Jenewa 195824, maka ketika akan

menyelesaikan batas ZEE ada kemungkinan antara garis batas ZEE dan

landas kontinen berbeda (tidak berimpit). Kondisi ini tentu saja dapat

dimaklumi disebabkan rezim landas kontinen yang digunakan dalam

22Pasal 56 LOSC.

23 Lihat, Oxman, The Regime of Warships Under the United Nations Convention on the

Law of the Sea, 24 Virginia Journal International Law,. 809, 844-47 (1984); Negroponte,

Current Developments in U.S. Oceans Policy, Dep’t St. Bull., Sep. 1986, 86. 24 Lihat Convention on the Continental Shelf, April 29, 1958, 15 UST. 471, 499 UNTS.

311.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

56

Konvensi Jenewa 195825 berbeda dengan rezim landas kontinen yang

diatur dalam LOSC26. Oleh karena itu dalam kasus Indonesia akan

ditemukan beberapa garis batas ZEE dan landas kontinen yang tidak

berimpit, sebagai contohnya batas maritim antara Indonesia dengan

Australia. Pada perjanjian batas maritim tersebut terdapat 2 (dua) garis

batas maritim yang tidak berimpit yaitu garis batas landas kontinen

dengan Australia yang telah ditetapkan pada tahun 197127dengan batas

maritim tertentu antara Indonesia dengan Australia yang disepakati pada

tahun 199728. Pada batas maritim tersebut terdapat wilayah dimana

landas kontinennya berada dalam jurisdiksi Australia, akan tetapi ZEE

berada dalam yurisdiksi Indonesia.

Freedom of Navigation dan Overflight di ZEE

Pasal 58 yang menunjuk pasal 87 LOSC menyatakan bahwa kapal

perang dan pesawat udara militer dari negara lain (selain negara yang

memiliki ZEE) menikmati “freedom of navigation and overflight” di ZEE. Di

laut bebas terdapat ketentuan yang sama tentang adanya freedom of

25Definisi landas kontinen pada Konvensi Jeneva 1958 memberikan perumusan

berdasarkan dua kriteria, pertama, yaitu kriteria geomorfologis (200 metres), dan kedua,

yaitu kriteria ”Exploitability” (or, beyond that limit to where the depth of the superjacent

waters admits of the exploitation). Kriteria kedua ini subjektif dan tidak ada sangkut

pautnya dengan pengertian geologis landas kontinen. 26 Konsep penentuan batas landas kontinen di LOSC ditekankan pada konsep jarak,

sedangkan kelanjutan alamiah (natural prolongation) digunakan ketika negara akan

mengajukan klaim landas kontinen di luar 200 mil laut. 27 Lihat Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the

Government of the Commonwealth of Australia establishing certain Seabed Boundaries

in the Area of the Timor and ArafuraSeas, Supplementary to the Agreement of 18 May

1971.Perjanjian ini disahkan/diratifikasi dengan Keppres No.66 Tahun 1972. 28Pemerintah Indonesia dan Australia telah melalukan perundingan untuk menyelesaikan

batas maritim kedua negara. Perjanjian batas maritim tersebut yang telah ditanda tangani

pada tahun 1997, akan tetapi perjanjian batas maritim tersebut belum diratifikasi.

Sehingga dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut belum berlaku.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

57

navigation and overflight, permasalahannya adalah apakah pelaksanaan

kebebasan pelayaran dan perbangan yang ada di ZEE dan laut bebas

sama. Selain itu apa yang dimaksud dengan kebebasan pelayaran dan

penerbangan di ZEE maupun di laut bebas. Tidak ada penjelasan resmi

tentang maksud dari kebebasan pelayaran dan penerbangan di ZEE

maupun di laut bebas. Sehingga banyak negara menafsirkan dan

mengimplementasi sesuai dengan kepentingannya. Banyak pihak

menyatakan bahwa kebebasan pelayaran dan penerbangan di ZEE yang

menunjuk kepada kebebasan di laut bebas mencakup kebebasan dalam

latihan militer dan kegiatan operasional lainnya.29

Dalam Pasal 87 (1) LOSC disebutkan bahwa kebebasan pelayaran dan

penerbangan dapat dinikmati oleh semua negara, akan tetapi

pelaksanaan dari hak tersebut harus didasarkan pada ketentuan

Konvensi.30 Selanjutnya dalam Pasal 58 (3) LOSC juga disebutkan bahwa

dalam melaksanakan hak dan kewajibannya di ZEE, negara harus selalu

mempertimbangkan kepentingan dari negara pantai dan memenuhi

peraturan perundang-undangan dari negara pantai.31 Peraturan

perundang-undangan dari negara pantai tersebut tidak boleh

bertentangan dengan Konvesi dan hukum internasional lainnya.

Berdasarkan Pasal 58 LOSC tersebut dengan jelas disebutkan bahwa

pelaksanaan hak di ZEE harus selalu mempertimbangkan kepentingan

29Lihat, J.M. VanDyke,’Military Ships and Planes Operating in the Exclusive Economic

Zone of Another Country’, 28 Marine Policy (2004), 29-39; G.V. Galdorisi & A.G.

Kaufman,’Military Activities in EEZ: Preventing Uncertainty and Defusing Conflict’, 32

California Western Law Journal (2001-2002), 253-301. 30“All states enjoy the freedom of navigation and over-flight, subject to the conditions

laid down by this Convention and by the other rules of international law”. 31Meyer mengatakan bahwa “Peraturan yang dimaksud adalah peraturan terkait dengan

pemanfaatan sumber daya alam di ZEE”.Lihat Commander JC Meyer, USN,’ The Impact

of the Exclusive Economic Zone on Naval Operations,’ (1992), 40 Naval Law Review.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

58

negara pantai yaitu dengan selalu memperhatikan dan memenuhi

peraturan perundang-undangan negara pantai.

Kapal dan pesawat udara mempunyai hak untuk menikmati

kebebasan pelayaran dan penerbangan di ZEE negara lain, akan tetapi

kebebasan tersebut dibatasi dengan tidak mengganggu kepentingan

negara pantai. Konvensi denga jelas mencoba untuk menyeimbangkan

antara kepentingan negara pantai dengan negara pengguna, akan tetapi

formulasi pasal, khususnya pasal 58 (1) dan pasal 87 LOSC, yang

digunakan masih dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda.

Oleh sebab itu kegiatan militer yang dilakukan di ZEE negara lain dapat

dikategorikan sebagai kegiatan tidak damai dan mengganggu

kepentingan negara pantai,32 sehingga kegiatan tersebut dapat dikatakan

bertentangan dengan ketentuan Konvensi.33 Kegiatan militer dimaksud

dapat berbentuk berbagai macam antara lain latihan manuver, latihan

penembakan, test senjata, latihan perang-perangan, pengumpulan data

intelejen, survei hidrografi, dan oseanografi.

Angkatan laut merupakan kekuatan militer yang diperuntukan untuk

gelar kekuatan di mana saja baik di wilayah sendiri, wilayah negara lain,

maupun di wilayah/laut bebas. Gelar kekuatan angkatan laut dapat

diartikan sebagai representasi kebijakan negara, mengingat kekuatan

angkatan laut yang dapat terdiri dari satuan kapal atas air, bawah air, dan

pesawat udara militer, membawa bendera negara. Konsekuensi dari

keberadaan itu maka suatu kekuatan angkatan laut mempunyai imunitas

32Brazil, Bangladesh, Cape Verde, Malaysia, India, dan Pakistan telah menyatakan bahwa

kegiatan militer asing di ZEE mereka harus mendapatkan izin dari negaranya. Lihat,

Deklarasi dan Pernyataan pada LOSC di

http://www.un.org/depts/los/convention_agreements/convention_declaration.htm diakses

pada 16 Januari 2013. 33Argumentasi yang digunakan oleh negara pantai adalah laut harus digunakan untuk

perdamian yang diatur dalam preambul dan pasal 301 LOSC.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

59

dimanapun berada.34 Sehingga kekuatan angkatan laut biasanya

membawa tiga fungsi yaitu sebagai kekuatan militer (military function),

fungsi diplomasi (diplomatic function) dan fungsi polisionil (constabulary

function).35

Dalam praktek negara ada bermacam-macam sikap terkait dengan

kegiatan militer di ZEE negara lain36, antara lain Amerika Serikat

berpendapat bahwa kebebasan pelayaran dan penerbangan di ZEE dan

laut bebas adalah sama, yaitu semua kapal dapat melakukan semua

aktivitas termasuk kegiatan militer dan pengumpulan informasi

intelejen.37 Kegiatan-kegiatan di ZEE tidak boleh dilakukan jika

bertentangan dengan ketentuan LOSC dan hukum internasional.

Sedangkan ada negara lain, contohnya China berpendapat bahwa

kebebasan tersebut harus berbeda disebabkan negara pantai mempunyai

hak berdaulat terhadap ZEE dan kegiatan yang dilakukan oleh suatu

negara tidak boleh mengganggu hak negara lain, serta kegiatan di ZEE

34Pasal 32 LOSC

35Lihat, Ken Booth, Navies and Foreign Policy, New York: Crane, Russak, 1977; James

Cable. Gunboat Diplomacy. Basingstoke: Palgrave Macmillan, 1981. 36Lihat, JR Crook (ed),’United States Protests Chinese Interference with US Naval

Vessel, Vows Continued Operation’ in Contemporary Practice of the United States

Relating to International Law (2009) 103 American Journal International, 325-351; US

Department of Defense,’DOD News Briefing with Geoff Morrel from the Pentagon (11

March 2009), http://www.defence.gov/transcripts.aspx?transcriptsID=4369>diakses pada

tanggal 4 Februari 2012. 37. Pernyataan dari Ketua Delegasi Amerika pada penutupan sidang hukum laut (the Third

United Nations Conference on the Law of the Sea) di Montego Bay, Jamaica tanggal 9

Desember 1982, antara lain sebagai berikut: the Convention has recognized the sovereign

rights of the coastal state over the resources of the exclusive Economic Zone, jurisdiction

over artificial islands, and jurisdiction over installations and structures used for

economic purposes therein, while retaining the international status of the zone in which

all states enjoy the freedoms of navigation, overflight, laying of submarine cables and

pipelines, and other internationally lawful uses of the sea, including military operations,

exercises and activities. --- etc

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

60

harus selalu digunakan untuk kegiatan damai.38 Terkait dengan hal

tersebut semua kegiatan militer asing di ZEE China dan kegiatan yang

mengganggu keamanan dan perdamaian China dilarang.39 Negara Brasil

menganut paham yang hampir sama dengan China, bahwa semua

kegiatan militer asing dilarang atau harus mendapat izin dari negara

Brasil.40 Kegiatan yang mendapat respon keras dari Amerika adalah

larangan untuk meletakkan alat dan instalasi apapun di ZEE/landas

kontinen Brasil.41

Indonesia belum mempunyai kebijakan ataupun aturan yang jelas,

apakah militer asing dapat melaksanakan aktivitas militernya di ZEE

Indonesia atau tidak. Peraturan perundang-undangan Indonesia tidak

secara jelas mengatur tentang aktivitas militer di ZEE. UU Nomor 5

Tahun 1983 tentang ZEE Indonesia hanya mengatur tentang hak dan

kewajiban sebagaimana tertuang dalam LOSC. Demikian juga dengan

peraturan perundang-undangan lainnya tidak ada yang mengatur

tentang kegiatan militer dimaksud. Oleh karena itu ketika ada armada

perang negara lain berada dan melakukan aktivitas militer di ZEE

Indonesia, akan sangat sulit untuk mengambil langkah-langkah

operasional di lapangan.

38 Lihat, R. Xiaofeng & C. Xizhong,’A China Perspective’, 29 Marine Policy (2005),

139-146. 39 Pernyataan Delegasi China pada pertemuan informal membahas kegiatan militer dan

pengumpulan data intelejen di ZEE, Bali September 2003, 40Brazil’s position that other nations “may not carry out military exercises or

manoeuvres within the exclusive economic zone, particularly when these activities involve

the use of weapons or explosives, without the prior knowledge and consent” of the

coastal nation. Lihat, Law of the Sea Official Records, para. 28, at 40 41Lihat, Law of the Sea Official Records, para. 28, at 40 and U.S. statement in right of

reply, 17 Law of the Sea Official Records 244, Annex AS1-2.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

61

Kegiatan Militer Asing di ZEE Indonesia

Keberadaan militer asing di ZEE Indonesia dapat dalam kondisi yang

bermacam-macam, antara lain melakukan provokasi dengan latihan

militer, manuver di ZEE Indonesia; melaksanakan surveillance terhadap

kapal-kapal ilegal yang akan memasuki wilayahnya; melaksanakan

pengawalan terhadap kapal-kapal bendera negaranya; dan melaksanakan

SAR. Bentuk keberadaan militer asing di ZEE Indonesia tersebut

sepengetahuan Indonesia disebabkan karena ada perjanjian kerja sama

ataupun mereka meminta izin/pemberitahuan; akan tetapi keberadaan

mereka dapat juga tanpa izin dari Pemerintah Indonesia. Kondisi yang

terakhir biasanya disebabkan posisi mereka yang menganggap bahwa

ZEE masuk dalam rezim laut bebas. Tentu saja keberadaan militer asing

di ZEE Indonesia dapat diartikan bahwa mereka mengganggu

perdamaian dan keamanan Indonesia disebabkan ZEE Indonesia

berdasarkan doktrin pertahanan Indonesia merupakan medan

pertahanan utama Indonesia.42 Selain itu dari aspek ekonomi, dengan

keberadaan militer asing di ZEE Indonesia, akan mengakibatkan nelayan

Indonesia yang semestinya dapat mengambil ikan ataupun

eksplorasi/eksploitasi sumber daya alam di wilayah itu terganggu.

Sesuai ketentuan LOSC, tiap–tiap negara pantai mempunyai

kewenangan untuk melakukan penindakan terhadap tindak pidana yang

42 Indonesia menganut indepth defence concept, dimana membagi 3 (tiga) wilayah

pertahanan yaitu medan pertahanan penyanggah merupakan daerah pertahanan lapis

pertama yang berada di luar garis batas ZEE; medan pertahanan utama yaitu daerah

pertahanan lapis kedua mulai dari batas terluar laut teritorial sampai ZEE Indonesia; dan

medan perlawanan merupakan daerah pertahanan lapis ketiga yang berada pada laut

teritorial dan perairan kepulauan dalam menghadapi setiap bentuk ancaman terhadap

keselamatan bangsa dan negara. Sumber Doktrin TNI AL Eka Sasana Jaya, Keputusan

Kasal Nomor: Kep/07/II/2001, tanggal 23 Februari 2001.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

62

terjadi di laut bebas. Tindak pidana itu termasuk dalam kategori “iure

gentium” atau kejahatan internasional43 yang meliputi:

1. Pengangkutan budak belian44. 2. Pembajakan/Piracy di laut lepas45. 3. Perdagangan gelap obat narkotika atau bahan–bahan

psikotropika46.

Kewenangan negara untuk memberantas tindak pidana (kejahatan)

internasional dapat dilakukan dengan mekanisme hot pursuit.47

Ketentuan hot pursuit antara lain: 1) Pengejaran seketika suatu kapal asing

dapat dilakukan apabila pihak yang berwenang mempunyai alasan yang

cukup untuk mengira bahwa kapal tersebut telah melanggar peraturan

negara itu.Pengejaran dapat dimulai dimana telah terjadi pelanggaran

yaitu perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, zona

tambahan, atau ZEE negara pengejar. Pengejaran dilakukan dengan

seketika, terus menerus, dan tidak terputus. 2) Hak pengejaran seketika

harus berhenti setelah kapal yang dikejar memasuki laut teritorialnya

sendiri atau negara ketiga. 3) Pengejaran hanya dapat dilakukan oleh

Kapal Perang, Pesawat Udara Militer, Kapal Negara yang diberi

kewenangan untuk itu.

Ketentuan dalam LOSC dan hukum internasional lainnya hanya berisi

hak hot pursuit yang dapat dilakukan oleh kapal perang, pesawat udara

militer dan kapal negara yang diberi kewenangan. Sebagai contohnya,

43Ada beberapa pendapat bahwa trans national organized crime (TOC) dimasukan dalam

kejahatan internasional, bahkan sudah ada Konvensi tersendiri yang mengatur tentang

TOC ini. Akan tetapi dalam LOSC hanya dibatasi apa yang dimaksud dengan kejahatan

internasional. 44 Pasal 99, LOSC

45 Pasal 100, LOSC

46Pasal 108, LOSC.

47Pasal 111 LOSC.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

63

Indonesia melalui TNI AL ataupun aparat lainnya diberi kewenangan

untuk melakukan pengejaran seketika terhadap semua kapal yang

melakukan pelanggaran di perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut

teritorial, zona tambahan, atau ZEE Indonesia. Akan tetapi sampai saat

ini belum ada preseden, aturan ataupun pendapat tentang pelaksanaan

hot pursuit oleh kapal perang asing di ZEE Indonesia atau mendekati

wilayah Indonesia. Selain itu belum ada prosedur tetap jika ada kapal

perang asing yang melakukan hot pursuit dari wilayah negara pengejar

dan memasuki ZEE, zona tambahan Indonesia termasuk jika pengejaran

dimaksud sampai ke laut teritorial Indonesia. Terkait dengan hal tersebut

terdapat beberapa permasalahan, antara lain: pertama, apakah kapal

perang negara lain boleh melakukan hot pursuit sampai ke ZEE Indonesia

terhadap kejahatan internasional yang terjadi, sedangkan tidak ada kapal

perang Indonesia di area itu? Kedua, prosedur apa yang harus dilakukan

oleh kapal perang asing jika akan melakukan hot pursuit terhadap

kejahatan internasional yang terjadi di ZEE? (pemberitahuan atau izin)?

Ketiga, siapa/instansi mana yang mempunyai otoritas untuk menerima

pemberitahuan atau memberikan izin terkait dengan pelaksanaan hot

pursuit oleh kapal perang asing di wilayah ZEE Indonesia?

Dalam hukum internasional dan LOSC, rezim laut bebas berlaku juga

di ZEE jika terkait dengan pelayaran.Hal ini disebabkan di laut bebas dan

ZEE berlaku freedom of navigation.48 Kewenangan negara pantai (negara

kepulauan) atas ZEE nya hanya terkait dengan masalah pemanfaatan,

pengelolaan terhadap sumber daya alam dan kewenangan lainnya

sebagaimana ditentukan dalam LOSC.49 Ketentuan tentang ZEE dan laut

bebas dalam LOSC diatur dalam bab yang terpisah, bukan berarti kedua

rezim adalah berbeda satu sama lainnya, akan tetapi ada beberapa hal

48Pasal 58 LOSC.

49Pasal 56 LOSC.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

64

yang saling terkait, sebagai contoh konsep kebebasan pelayaran,

kebebasan penerbangan, dan pengelolaan/konservasi lingkungan laut

adalah sama pengaturannya. Oleh karena itu dalam beberapa hal

pelaksanaan hak dan kewajiban negara di laut bebas dan ZEE cenderung

sama khususnya dibidang pelayaran dan penerbangan. Selain itu

ketiadaan aturan dalam LOSC khususnya permasalahan operasional

kapal mengakibatkan berbagai penafsiran terkait dengan pelaksanaan

kebebasan pelayaran dan penerbangan.

Ketentuan Pasal 100 LOSC menjelaskan bahwa semua negara harus

bekerjasama dalam penindasan pembajakan di laut bebas atau ditempat

lain manapun di luar yuridiksi suatu negara. Pasal 110 LOSC berisi

tentang hak melakukan pemeriksaan terhadap kapal yang terlibat dalam

pembajakan di laut bebas. Dalam LOSC tidak dijelaskan tentang

kewenangan memproses hukum atau hukum mana yang akan

diterapkan. Akan tetapi dalam hukum internasional tindak pidana

pembajakan merupakan “iure gentium” (kejahatan internasional) yang

memberikan kewenangan kepada semua negara untuk dapat memproses

tindak pidana itu dan menerapkan hukum nasionalnya.

Sesuai dengan posisi Indonesia selama ini khususnya tentang

statement (pernyataan) bahwa tidak ada piracy (pembajakan) di Selat

Malaka50 yang ada hanya armed robbery (perompakan), maka dapat

disimpulkan bahwa Indonesia mendefinisikan kejahatan piracy

(pembajakan) merupakan tindak pidana yang terjadi di laut bebas (high

seas) saja. Hal ini disebabkan bahwa Selat Malaka merupakan wilayah

yang terdiri dari laut teritorial, zona tambahan, dan ZEE. Oleh karena itu

di ZEE Indonesia tidak ada tindak pidana piracy (pembajakan), yang ada

armed robbery (perompakan). Oleh karena itu, hot pursuit terhadap tindak

pidana piracy (pembajakan) yang terjadi di ZEE Indonesia oleh kapal

50 Selat Malaka jika dilihat dari aspek zona maritim, maka di sana ada laut teritorial, zona

tambahan, dan ZEE.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

65

perang, pesawat udara militer dan kapal negara asing tidak dapat

dilakukan. Akan tetapi ada pendapat lain yang menyatakan bahwa

pembajakan dan perompakan dapat terjadi dimana saja baik di ZEE

maupun di laut bebas. Hal ini didasarkan pada kualifikasi tindak

pidananya dan bukan didasarkan pada tempat kejadian tindak pidana,

sehingga hot pursuit terhadap tindak pidana perompakan maupun

pembajakan yang terjadi di ZEE dapat dilakukan.

Kapal perang, pesawat udara militer dan kapal negara asing apabila

menemukan atau menerima laporan telah terjadinya tindak pidana

perompakan atau pembajakan serta kejahatan internasional lainnya di

ZEE Indonesia dan tidak ada kapal perang Indonesia di daerah itu, maka

mereka dapat melakukan hot pursuit untuk menangkap pelaku kejahatan

dimaksud. Akan tetapi prosedur yang mungkin dapat diterapkan yaitu

pemberitahuan tentang telah terjadinya tindak pidana internasional dan

mereka akan melakukan pengejaran seketika. Pengejaran tersebut harus

berhenti ketika akan memasuki laut teritorial Indonesia. Prosedur

pemberitahuan ini tidak diatur dalam hukum nasional maupun

internasional, akan tetapi hanya terobosan atau penafsiran terhadap

permasalahan yang terjadi di lapangan dengan memperhatikan ketentuan

hukum nasional dan internasional serta memperhatikan bahwa semua

negara harus memberantas tindak pidana piracy.

Dalam pendekatan hukum (legal approach) pelaksanaan hot pursuit

sampai memasuki wilayah laut negara Indonesia tidak dapat dilakukan

karena akan melanggar kedaulatan Negara Indonesia. Selain itu kapal

perang asing yang akan memasuki wilayah Indonesia seharusnya

meminta izin secara resmi terlebih dahulu kepada pemerintah Indonesia.

Apabila pengejaran tetap dilaksanakan tanpa adanya izin dari

pemerintah Indonesia maka kapal perang asing (pengejar) sudah

melanggar kedaulatan negara Indonesia.

Terkait dengan nuansa pemberantasan pembajakan/perompakan

kemungkinan dapat dikerjasamakan khususnya terkait dengan

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

66

permasalah teknis di lapangan. kerja sama ini untuk memberikan

batasan-batasan dan sebagai dasar bertindak bagi aparat di lapangan.

Sebagai contohnya: apabila dalam rangka pelaksanaan hot pursuit kapal

perang, pesawat udara atau kapal negara asing terpaksa memasuki

wilayah laut Indonesia dan tidak ada kapal perang di daerah itu, maka

diperlukan prosedur perizinan terhadap hal tersebut. Perizinan dapat

dilakukan dengan beberapa persyaratan antara lain: maksud dan tujuan

memasuki Perairan Indonesia; berapa lama akan berada di Perairan

Indonesia; spesifikasi teknis kapal dan pelengkapannya. Selain itu

pemberian izin harus mencantumkan batasan-batasan antara lain bahwa

kapal perang pengejar harus mematuhi peraturan perundang-undangan

Indonesia, kapal yang dikejar termasuk orang dan barang yang ada di

atas kapal harus diproses sesuai hukum Indonesia, karena berada di

wilayah Indonesia. Selain itu perizinan dimaksud dapat juga

dicantumkan dalam suatu perjanjian bilateral yang bersifat reprosikal.

Oleh karena itu apabila ada kapal asing yang melakukan hot pursuit

sampai memasuki Perairan Indonesia dan berhasil menangkap

pelakunya, maka mereka semestinya menyerahkan para pelaku, dan

barang bukti kepada aparat Indonesia. Selanjutnya aparat Indonesia akan

melakukan proses hukum terhadap para pelaku dan barang bukti

kejahatan. Akan tetapi dapat dipastikan bahwa proses penyelesaian

tindak pidana ini akan menimbulkan kesulitan tersendiri dalam

pembuktian, disebabkan belum tentu adanya kerugian atau tercederai

hukum Indonesia akan peristiwa dimaksud. Selain itu proses pembuktian

akan menimbulkan kesulitan tersendiri

Dalam pemberantasan perompakan dan pembajakan, prosedur

pengejaran dapat dikerjasamakan, walaupun ini bukan lagi dalam

konteks pelaksanaan hot pursuit. Apabila kapal perang asing dalam

melaksanakan pengejaran seketika tidak sampai memasuki wilayah

yurisdiksi negara Indonesia, maka kapal pengejar dapat minta bantuan

kepada kapal perang Indonesia untuk melanjutkan pengejaran dan

penangkapan terhadap pelaku tindak pidana perompakan atau

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

67

pembajakan. Apabila pelaku tertangkap maka akan diperlakukan dan

diproses sesuai dengan hukum Indonesia ataupun diserahkan kepada

negara dimana tindak pidana dilakukan.

Terkait dengan permasalahan perizinan, di Indonesia belum ada aturan tentang prosedur perizinan untuk kapal perang asing yang akan memasuki wilayah Indonesia dalam rangka hot pursuit. Prosedur yang ada saat ini (Keppres No 16/1971) mengatur kapal perang asing yang berencana akan memasuki/melewati wilayah Indonesia ataupun berkunjung ke Indonesia, dimana harus melengkapi security clearance dan diplomatic clearance, sehingga diperlukan waktu yang cukup untuk pengurusannya. Khusus untuk kapal perang asing melakukan hot pursuit di ZEE Indonesia ataupun pengejaran sampai ke Perairan Indonesia, maka pejabat yang mempunyai otoritas operasional untuk mengizinkan ataupun tidak mengizinkan adalah Panglima TNI. Selanjutnya Panglima TNI dapat mendelegasikan kewenangan dimaksud kepada Panglima Koarmatim/bar sebagai kotama operasi. Pendapat ini merupakan penafsiran tentang kewenangan Panglima TNI yang diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Selain itu proses security clearance selanjutnya perlu untuk tetap dilaksanakan.

Kesimpulan Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diambil kesimpulan sebagai

berikut : a) LOSC tidak mengatur secara jelas kegiatan militer di ZEE. Hal ini

mengakibatkan banyak negara mempunyai praktek yang berbeda-beda.

b) Indonesia belum mempunyai kebijakan baik politik ataupun hukum terkait dengan aktivitas militer asing di ZEE Indonesia.

c) Indonesia belum mempunyai prosedur dan tata cara ketika kapal perang asing melakukan hot pursuit memasuki wilayah Indonesia, termasuk tata cara respons, pemberian perizinan, pembatasan-pembatasan, serta kebijakan lainnya.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

68

PENEGAKAN HUKUM IUU FISHING MENURUT

UNCLOS 1982 (STUDI KASUS: VOLGA CASE)1 Usmawadi Amir

Abstrak

Salah satu permasalahan utama keamanan laut bagi banyak negara di dunia adalah penangkapan ikan illegal, tidak terlaporkan dan tidak diatur ( IUU Fishing) di laut. Penangkapan ikan illegal adalah masalah keamanan yang bersifat non tradisional yang telah menjadi perhatian penting bagi banyak negara karena berdampak besar terhadap lingkungan, sosial dan ekonomi negara pantai. Salah satu kasus yang menarik perhatian adalah kasus Volga. Volga adalah nama kapal berbendera Rusia yang ditahan beserta anak buah kapalnya oleh otoritas Australia karena melakukan IUU Fishing di ZEE Australia pada Februari 2002. Pada Desember 2002, Federasi Rusia mengajukan gugatan terhadap Australia kepada Mahkamah Hukum Laut Internasional (International Tribunal Law of the Sea), berkaitan dengan desakan pembebasan atas kapal dan anak buah kapal yang ditahan, dan jumlah kompensasi yang wajar. Bagi Indonesia, kasus Volga dapat dijadikan rujukan untuk menerapkan penegakan hukum terhadap penangkapan ikan illegal yang sering kali terjadi di perairan Indonesia. Kata kunci: Penangkapan Ikan Ilegal, Kasus Volga, Zona Ekonomi Eksklusif, ITLOS, negara pantai.

Abstract

One of the major maritime security issue for many countries in the world is Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IUU Fishing) on the sea. IUU Fishing is a non-traditional security issue that have become an important concern for many countries, due to serious impact

1 Artikel ini disampaikan pada Seminar Nasional dengan tema “30 Tahun Konvensi

Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982 dan Tantangan Diplomasi Kelautan Indonesia”,

Palembang 13 November 2012 kerja sama Ditjen Hukum dan Perjanjian Internasional,

Kemlu dengan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Palembang.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

69

to the environmental, social and economic aspect of the coastal state. One of the cases that attract attention is the the Volga case. Volga is a Russian-flagged vessel which were detained with its crew by Australian authorities for conducting IUU Fishing in Australian Exclusive Economic Zone on February 2002. On December 2002, the Russian Federation filed a lawsuit against Australia to the International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS), regarding the prompt release of the detained vessel and its crew, and decent amount of reasonable bond. For Indonesia, Volga case can be used as a reference in applying the enforcement of law against IUU fishing that occurred oftenly in Indonesian sea. Keywords: IUU Fishing, Volga Case, Exclusive Economic Zone, ITLOS, coastal state.

A. Pendahuluan

Kasus Volga adalah salah satu kasus di Mahkamah Internasional

Hukum Laut (ITLOS) berkenaan dengan pelepasan segera (prompt release)

kapal dan awaknya yang ditahan oleh suatu negara.2 Dalam kasus Volga,

penggugatnya adalah Federasi Rusia dan Australia sebagai tergugat.

Persoalan utama yang disengketakan dalam kasus ini adalah bertalian

dengan “uang jaminan yang layak atau keamanan finasial lainnya

(reasonable bond and other security)” dalam pengertian Pasal.73 (2)

2. Kasus jenis ini mendominasi kasus yang masuk ke ITLOS, dari 19 kasus, sejumlah 9

kasus berkenaan dengan pelepasan cepat kapal dan pembayaran jaminan bagi awaknya.

Kasus-kasus tersebut adalah: (1) The M/V Saiga case (Saint Vincent and the Grenadines v

Guinea, Case No.1; (2) The Camouco case (Panama v France), Case No.5, (3) The

Monte Cofuro case (Seychelles v France), Case no.6, (4) The Grand Rince case (Belize v

France), Case No.8, (5) The Chaisiri Reefer 2 case (Panama v Yemen), Case o.9, (6) The

Volga Case (Russian Federation v Australia), Case no.11, (7) The Juno Trader case

(Saint Vincent and Grenadines v Guinea-Bissau), Case no.13, (8) The Hoshimaru Case

(Japan v Russian Federation), Case no.14, dan (9) The Tomimaru case (Japan v Russian

Federation), Case no.15. Lihat Cases, Contentious Cases, dalam http://www.itlos.org.

Diakses tanggal. 25 Oktober 2012.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

70

UNCLOS 1982. Kasus ini perlu dibahas, karena dapat memberikan

pelajaran berharga bagi negara-negara pantai, termasuk Indonesia dalam

menegakan peraturan perundang-undangannya bagi pelaku Illegal,

Unreported and Unregulated Fishing (IUU Fishing), khususnya dalam

menentukan kelayakan “uang jaminan” dalam proses pelepasan segera

kapal dan awaknya yang ditahan.

IUU Fishing telah mengancam persediaan ikan di seluruh dunia.

Menurut data Food and Agriculture Organisation (FAO), dalam

pertengahan tahun 1970-an, proporsi penurunan atau eksploitasi ikan

secara berlebihan (overfishing) hanya 10 persen, sekarang sudah

meningkat menjadi 25 persen. Illegal fishing sebagai, sebagai bagian dari

IUU Fishing, merupakan penyumbang signifikan dalam masalah

penurunan persedian ikan ini.3

Setelah rezim negara kepulauan diatur dalam United Nations

Convention on the Law of the Sea, 1982 (UNCLOS 1982), Indonesia menjadi

negara kepulauan terbesar. Indonesia memiliki luas laut 5,8 juta km2,

terdiri dari 3,1 juta km2 luas laut yang tunduk di bawah kedaulatan dan

2,7 km2 wilayah Zona Ekonomi Eksklusif.4 Perairan yang tunduk

dibawah kedaulatan Indonesia terdiri dari 0,3 juta km2 laut teritorial dan

2,8 juta km2 perairan kepulauan.5 Menurut data Departemen Kelautan

dan Perikanan (DKP) tahun 2006, potensi perikanan Indonesia sebanyak

6,26 juta ton pertahun, dengan rincian sebanyak 4,4 juta ton dapat

3. Lihat Laurance Blakely., The End of the Viarsa Saga And the Legality of Australia’s

Vessel Forfeiture Penalty For Illegal Fishing in Its Exclusive Economic Zone.,, hal. 680.

Dalam http://digital.law.washington.edu/…/17PacRimLPoly. Diakses 29 Oktober 2012. 4. Okilukito’s Weblog, Negara Maritim Tanpa Ocean Policy., dalam http://okilukito.

Wordpress.com. diakses 18 Oktober 2012. 5. Kasijan Romimohtarto, "Pengelolaan Pemanfaatan Kekayaan Hayati dan Nabati di

Perairan Indonesia"., Seminar Hukum Nasional Kelima Tahun 1990., BPHN, Jakarta,

1991, hal. 433.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

71

ditangkap di perairan Indonesia dan 1,86 juta ton di wilayah Zona

Ekonomi Eksklusif Indonesia.

Namun, pada tahun 2007, sisa potensi perikanan tangkap hanya

tinggal 20%. Hal ini diduga sebagai akibat dari adanya tindakan IUU

Fishing di wilayah perairan Indonesia.6 Di Indonesia IUU Fishing yang

dilakukan oleh nelayan dan kapal asing jumlahnya cukup besar,

pencurian ikan oleh armada kapal ikan asing dari wilayah laut Indonesia

diperkirakan sebesar 1 juta ton/tahun (Rp 30 triliun/tahun). Kapal-kapal

tersebut berasal dari Thailand, Vietnam, Malaysia, RRC, Filipina, Taiwan,

Korea Selatan, dan lainnya.7

Dalam tulisan ini, yang menjadi fokus kajian adalah terbatas pada

masalah-masalah penegakan IUU Fishing menurut UNCLOS 1982, fakta

kasus Volga, penetapan oleh ITLOS (Mahkamah) tentang kelayakan uang

jaminan”, Beberapa catatan bagi negara pantai berkaitan dengan

penetapan ”uang jaminan yang layak” dalam proses pelepasan segera,

termasuk bagi Indonesia, dan diakhiri dengan penutup.

6. Sapto J.Poerwodidagdo, Langgar ZEE, Kapal Asing Dapat Ditangkap, Penanganan

IUU Fishing

(I).,http://surabayasore.com/index.php?3b1ca0a43b79bdfd9f9305b81298296253e5f73717

ca2dd5b925f307d775c9e0. Diakses 16 Oktober 2012. Lihat juga dalam Akhmad Solihin.,

Perikanan Indonesia Dalam Kepungan Organisasi Pengelolaan Perikanan regional dan

Internasional., http://ikanbijak.wordpress.com/2008/04/21/perikanan-indonesia-dalam-

kepungan-organisasi. Diakses 25 Oktober 2012. 7. Rokhmin Dahuri., Anatomi Permasalahan Illegal Fishing dan Solusinya.,

http://rokhmin-dahuri.info/2012/10/09/anatomi-permasalahan-illegal-fishing-dan-

solusinya/. Diakses 16 Oktober 2012.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

72

B. Penegakan hukum terhadap IUU Fishing dalam UNCLOS 1982

UNCLOS 1982 secara garis besar membedakan wilayah laut menjadi

dua kategori wilayah laut dimana negara dapat menegakan hukumnya

terhadap IUU Fishing, yaitu wilayah laut yang berada di bawah

kedaulatan dan wilayah laut dimana suatu negara memiliki yurisdiksi.

Kawasan laut yang tunduk di bawah kedaulatan suatu negara

pantai/kepulauan adalah perairan pedalaman dan laut teritorial8 atau

perairan kepulauan dan laut teritorial.9 Sedangkan kawasan laut dimana

suatu negara pantai/kepulauan memiliki hak berdaulat dan yurisdiksi

adalah ZEE dan Landas Kontinen.10

Wilayah ZEE mempunyai status hukum yang sui generis

(unik/berbeda). Keunikan tersebut terletak pada eksistensi hak dan

kewajiban negara pantai dan negara lain atas ZEE. Berbeda dengan

di laut teritorial, dimana negara pantai mempunyai kedaulatan, di

ZEE negara pantai hanya mempunyai hak berdaulat. Hak berdaulat

tersebut terbatas pada eksplorasi dan eksploitasi sumber daya

kelautan baik sumber daya hayati maupun non-hayati.

Di dalam UNCLOS 1982 disebutkan hak dan yurisdiksi negara

pantai di ZEE meliputi:11 (1) eksplorasi dan eksploitasi sumber

daya kelautan (hayati-non hayati); (2) membuat dan

memberlakukan peraturan perundang-undangan yang berkaitan

dengan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya kelautan; (3)

pembangunan pulau buatan dan instalasi permanen lainnya; (4)

mengadakan penelitian ilmiah kelautan; dan (5) perlindungan

8. Lihat pasal 2 UNCLOS 1982

9 . Pasal 2 jo pasal 49 UNCLOS 1982

10 . Ibid., Pasal 77

11 . Ibid., pasal 56

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

73

lingkungan laut. Sedangkan kewajiban negara pantai ZEE meliputi:

(1) menghormati eksistensi hak dan kewajiban negara lain atas

wilayah ZEE;12 (2) menentukan maximum allowable catch untuk

sumber daya hayati dalam hal ini perikanan; 13 dan (3) dalam hal

negara pantai tidak mampu memanen keseluruhan allowable catch,

memberikan akses kepada negara lain atas surplus allowable catch

melalui perjanjian sebelumnya untuk optimalisasi pemanfaatan

sumber daya kelautan terutama sumber daya perikanan dengan

tujuan konservasi.14

UNCLOS 1982 tidak mengatur tentang IUU Fishing. Wacana

tentang illegal fishing muncul bersama-sama dalam kerangka IUU

Fishing Practices pada saat diselenggarakannya forum CCAMLR

(Commision for Conservation of Atlantic Marine Living Resources) pada

27 Oktober – 7 November 1997.15 IUU fishing dapat dikategorikan

dalam tiga kelompok: 16

12 . Ibid., Pasal 58 ayat (3)

13 . Pasal 61 ayat (2)

14 . Ibid., Pasal 62 ayat (3)

15. Rokhmin Dahuri., Selamatkan Indonesia dari Illegal Fishing., Sumber: Majalah

Samudera Mei 2012 Dalam http://rokhmindahuri.info/2012/10/04/selamatkan-indonesia-

dari-iuu-fishing/. Diakses 17 Oktober 2012. The Convention on the Conservation of

Antartic Marine Living Resources, juga The Commission for the Conservation of Antartic

Marine Living Resources (CCAMLR) merupakan bagian dari Sistem Traktat Antartika

(Antartic Treaty System). Konvensi terbuka untuk ditandatangani 1 Agustus 1980 dan

mulai berlaku tanggal 7 April 1982. Tujuannya adalah untuk melestarikan lingkungan dan

keutuhan laut di dan dekat Antartika. 16. Ibid.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

74

1. Illegal fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan secara illegal di

perairan wilayah atau ZEE suatu negara, atau tidak memiliki izin dari

negara tersebut;

2. Unregulated fishing yaitu kegiatan penangkapan di perairan wilayah

atau ZEE suatu negara yang tidak mematuhi aturan yang berlaku di

negara tersebut; dan

3. Unreported fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan di perairan

wilayah atau ZEE suatu negara yang tidak dilaporkan baik

operasionalnya maupun data kapal dan hasil tangkapannya.

Praktek IUU Fishing terjadi di kawasan laut yang tunduk di

bawah kedaulatan dan di ZEE. Dilakukan oleh kapal berbendera negara

pantai yang bersangkutan itu sendiri maupun oleh kapal berbendera

asing. Walaupun tidak mengatur IUU Fishing, tapi berkaitan dengan

penegakan hukum di laut, UNCLOS 1982 mengatur secara umum, baik di

kawasan laut yang tunduk di bawah kedaulatan dan ZEE suatu negara.

1. Penegakan hukum di laut yang tunduk di bawah kedaulatan

Jika pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan negara

pantai terjadi di laut teritorial atau perairan pedalaman atau perairan

kepulauan suatu negara, maka sesuai dengan kedaulatan yang diberikan

oleh pasal 2 UNCLOS 1982, negara pantai dapat memberlakukan semua

peraturan hukumnya bahkan hukum pidananya terhadap kapal tersebut.

Asalkan pelanggaran tersebut membawa dampak bagi negara pantai atau

menganggu keamanan negara pantai sebagaimana ditentukan dalam

pasal 27 (1) UNCLOS 1982. Akan tetapi jika unsur-unsur yang disebutkan

dalam Pasal 27 (1) UNCLOS 1982 ini tidak terpenuhi, maka negara pantai

tidak dapat menerapkan yurisdiksi pidananya terhadap kapal tersebut.

Luasnya kewenangan negara pantai untuk menegakan hukumnya

bagi kapal asing yang melakukan pelanggaran hukum di laut teritorial,

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

75

perairan pedalaman atau perairan kepulauan ini (memenuhi ketentuan

pasal 27 ayat 1) adalah perwujudan dari yurisdiksi teritorialitas.17

2. Penegakan hukum di ZEE

Pasal 27 (5) UNCLOS 1982 selanjutnya merujuk kepada Bab V tentang

ZEE dalam hal pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan

negara pantai yang berkaitan dengan eksplorasi dan eksploitasi sumber

daya perikanan. aBerbeda jika pelanggaran terjadi di ZEE, terutama

pelanggaran terhadap kegiatan eksplorasi, eksploitasi, konsevasi dan

pengelolaan sumber daya perikanan.

Berkaitan dengan penegakan hukum negara pantai di ZEE, Pasal 73

UNCLOS 1982 mengatur:

1. Negara pantai dapat, dalam melaksanakan hak berdaulatnya untuk

melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan

sumber daya hayati di zona ekonomi eksklusif mengambil tindakan

sedemikian, termasuk menaiki kapal, memeriksa, menangkap dan

melakukan proses pengadilan, sebagaimana diperlukan untuk

menjamin ditaatinya peraturan perundang-undangan yang

ditetapkannya sesuai dengan ketentuan Konvensi ini.

2. Kapal-kapal yang ditangkap dan awaknya harus segera dibebaskan

setelah diberikan suatu uang jaminan yang layak atau bentuk

jaminan lainnya.

17. Menurut yurisdiksi teritorial setiap negara memiliki kewenangan hukum eksklusif

dalam batas wilayahnya terhadap orang, benda, sesuatu dan peristiwa hukum yang terjadi

di sana, termasuk “aktivitas ekstrateritorial” dari orang-orang tersebut. Lebih lanjut lihat

Imre Anthony Csabafi., The Concept of State Jurisdiction in International Space

Law.,Martinus Nijhoff, The Hague, 1971, hal. 51

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

76

3. Hukuman negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran

peraturan perundang-undangan perikanan di zona ekonomi

eksklusif tidak boleh mencakup pengurungan, jika tidak ada

perjanjian sebaliknya antara negara-negara yang bersangkutan, atau

setiap bentuk hukuman badan lainnya.

4. Dalam hal penangkapan atau penahanan kapal asing negara pantai

harus segera memberitahu kepada negara bendera, melalui saluran

yang tepat, mengenai tindakan yang diambil dan mengenai setiap

hukuman yang kemudian dijatuhkan.

Jadi berdasarkan ketentuan pasal 73 UNCLOS 1982, jika kapal asing

tidak mematuhi peraturan perundang-undangan perikanan negara pantai

di ZEE, negara pantai dapat menaiki, memeriksa, menangkap dan

melakukan proses pengadilan atas kapal tersebut dan memberitahu

negara bendera kapal. Akan tetapi kapal dan awak kapal yang ditangkap

tersebut harus segera dilepaskan dengan reasonable bond (uang jaminan

yang layak) yang diberikan kepada negara pantai. Hukuman terhadap

kapal asing tersebut juga tidak boleh dalam bentuk hukuman badan yaitu

penjara. Dengan demikian bentuk hukuman bagi kapal dan awaknya

berbeda jika terjadi di kawasan laut yang tunduk di bawah kedaulatan

dengan di ZEE. Kewenangan negara pantai terhadap pelanggaran di ZEE

terbatas hanya untuk menegakan hukum yang bertalian dengan

perikananan. Perbedaan ini dikarenakan di ZEE, negara pantai hanya

mempunyai hak berdaulat (sovereign rights), bukan kedaulatan, sehingga

terbatas pada hal-hal yang terkait dengan hak berdaulat yang dimiliki

oleh negara pantai atau negara kepulauan.

Ketentuan pasal 73 (2) mewajibkan negara pantai untuk segera

melepaskan kapal yang ditangkap dan awaknya setelah diberikan suatu

uang jaminan yang layak atau bentuk jaminan lainnya. Prosedur

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

77

pelepasan segera diatur dalam Pasal 292. Prosedur pelepasan segera

kapal dan awaknya yang ditahan adalah sebuah inovasi dalam hukum

laut internasional.18 Akan tetapi, meskipun Pasal 292 ayat (1)

mensyaratkan bahwa uang jaminan atau jaminan keuangan lainnya harus

“masuk akal/layak (reasonable)”, namun UNCLOS 1982 justru tidak

memberikan rincian tentang jaminan keuangan tersebut. Sehingga dalam

kasus Volga salah satu masalah hukum yang timbul adalah mengenai

jumlah uang jaminan untuk pelepasan kapal Volga.19

C. Kasus Volga

Volga adalah kapal ikan yang mengibarkan bendera Federasi Rusia.

Pemiliknya adalah Olbers Co. Limited, suatu perusahaan yang

berkedudukan di Rusia dengan nakhoda Alexander Vasilkov, warga

negara Russia. Pada 7 Februari 2002, Volga dinaiki oleh anggota militer

Australia dari “Australian military helicopter from the Royal Australian Navy

frigate HMAS Canberra”. Pada saat dinaiki, Volga berada pada posisi

sekitar 51°35S, 78°47E, yang terletak di luar batas ZEE Australia di

kawasan Pulau Heard dan McDonald. Pada yang sama, nakhodanya

ditahan oleh HMAS Canberra.20

18. Jianjun GAO, Reasonableness of the Bond under Article 292 of the LOS Convention:

Practice of the ITLOS., dalam

http://chinesejil.oxfordjournals.org/content/7/1/115.full.pdf+html. Diakses 28 Oktober

2012. 19. Michael White & Stephen Knight, ITLOS and the ‘Volga’Case: The Russian

Federation v Australia., ha. 39. Dalam maritimejournal.murdoch. edu.au/ archive/vol_17/

Vol_17_2003White& Knight.pdf. Diakses 18 Oktober 2012. 20. Lihat dalam Cases, Contentious Cases, Judgment., http://www.itlos.org. Alinea 30,32

dan 34, Diakses tanggal. 25 Oktober 2012.

Ibid, Alinea 32 dan 34.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

78

Pada tanggal 19 Februari 2002, dilakukan penahanan dan Volga

dikawal ke pelabuhan Frementle, Australia Barat. Pada tanggal yang

sama, nakhoda dan awaknya juga ditahan berdasarkan the Fisheries

Management Act 1991. Pada 20 Februari 2002, disampaikan pemberitahuan

penyitaan kepada nakhoda, terhadap kapal Volga (termasuk semua

jaring, jebakan dan peralatan-peralatan serta hasil tangkapan).21 Pada 27

Februari 2002 dibuat laporan penilaian, yang disiapkan untuk tujuan

jaminan bahwa Volga bernilai US$ 1 juta, dan bahan bakar, pelumas serta

peralatan bernilai AU$ 147,460. Pada waktu ditangkap di atas Volga

ditemukan hasil tangkapan sebanyak 131.422 ton ikan patagonian toothfish

(dissostichus eleginoides) dan 21.494 ton umpan yang dilelang pada tanggal

20 Mei 2002 senilai AU$ 1,932,579.28.22

Pada 6 Maret 2002, tiga anggota awak kapal (the chief mate, the fishing

master and the fishing pilot), semua berkewarganegaraan Spanyol, dituntut

telah menggunakan kapal ikan asing di Zona Perikanan Australia (AFZ)

untuk tujuan komersial tanpa surat izin bagi kapal asing. Ketiganya,

menerima untuk membayar uang jaminan masing-masing sejumlah AU$

75,000 tunai, menyerahkan semua paspor dan seaman’s papers, dan tinggal

di tempat yang ditetapkan oleh the Supervising Fisheries Officer with the

Australian Fisheries Management Authority (AFMA). Pemilik Volga

mendepositkan pembayaran sejumlah AU$ 225,000 di pengadilan bagi

ketiga anggota awak pada atau sekitar 23 Maret 2002. Sebelumnya, pada

16 Maret 2002, nakhoda Volga meninggal di rumah sakit Australia. Dia

tidak didakwa melakukan suatu kejahatan sampai dia meninggal.23

Pada 30 Mei 2002, tiga anggota awak kapal mendapat berbagai variasi

persyaratan uang jaminan yang memungkinkan mereka kembali ke

Spanyol. Kemudian pada 14 Juni 2002, the Supreme Court of Western

21. Ibid., Alinea 35-36

22. Ibid., Alinea 37 dan 51

23. Ibid., Alinea 38, 41 dan 42

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

79

Australia (Wheeler J), atas banding oleh the Commonwealth Director of

Public Prosecutions, memutuskan jaminan bervariasi yang dikeluarkan

pada 30 Mei 2002, supaya diwajibkan, sebagai pengganti AU$ 75,000,

yang ada dengan jumlah simpanan sebesar AU$ 275,000.24

Pada waktu tribunal (ITLOS) mulai memeriksa kasus ini, pada

tanggal 16 Desember 2002, the Full Court of the Supreme Court of Western

Australia telah menguatkan banding atas ketiga anggota awak Volga

menurut keputusan Wheeler J (Hakim Wheeler). The Full Court

memerintahkan bahwa tiga anggota awak diizinkan meninggalkan

Australia dan kembali ke Spanyol, dimana masing-masing dikenakan

uang jaminan yang harus mereka didepositkan secara tunai untuk:

MANUEL PEREZ LIJO sebesar AU$ 95,000.00 serta JOSE MANUEL LOJO

EIROA dan JUAN MANUEL GONZALEZ FOLGAR masing-masing

sebesar AU$ 75,000.00.25

Pemilik Volga mengajukan permohonan ke “the Federal Court of

Australia” untuk menghentikan penyitaan kapal. Sebagai jawaban atas

permintaan pemilik bagi pelepasan kapal sambil menunggu tindakan

hukum, Pejabat Australia menetapkan uang jaminan sejumlah AU$

3,320,500.00 untuk pelepasan Volga, yang terdiri dari:26

1. suatu jaminan mencakup nilai kapal, bahan bakar, pelumas dan

peralatan penangkap ikan (AU$ 1,920,000);

2. Jumlah (AU$ 412.500) untuk mengamankan pembayaran denda

potensial dikenakan dalam proses pidana yang masih tertunda

terhadap awak kapal;

24. Ibid., Alinea 43 dan 44

25. Ibid, Alinea 46

26. Lihat The Volga Case (Russian Federatian v Australia) Prompt Release (Written

proceedings), Statement in Reponse of Australia, 7 Desember 2002. Alinea 72. Dalam

http://www.itlos.org. 24 Oktober 2012.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

80

3. Jaminan (AU$ 1.000.000) terkait dengan pelaksanaan operasional dari

VMS dan tindakan pentaatan upaya konservasi oleh CCAMLR.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 292 UNCLOS 1982 Federasi Rusia

memasukan gugatan (permohonan) terhadap Australia ke ITLOS yang

meminta pelepasan kapal Volga dan tiga awaknya pada tanggal 2

Desember 2002.27

Dalam permohonan dari Federasi Rusia dan dalam Pernyataan

Tanggapan dari Australia, pihak-pihak mengajukan hal-hal sebagai

berikut:28

a. Atas nama Federasi Rusia: Memohon kepada ITLOS (“Mahkamah”)

untuk menyatakan dan memutuskan sebagai berikut:

1. Menyatakan bahwa Mahkamah mempunyai yurisdiksi sesuai pasal

292 UNCLOS 1982 untuk memeriksa permohonan;

2. Menyatakan bahwa permohonan dapat diterima;

3. Menyatakan bahwa responden (tergugat) melanggar Pasal 73(2)

UNCLOS dalam hal responden menetapkan persyaratan pelepasan

kapal Volga dan tiga awaknya adalah tidak dibenarkan menurut

Pasal 73(2) atau tidak patut dalam pengertian pasal 73(2);

4. Memutuskan bahwa responden melepaskan Volga dan nakhoda

serta awaknya, jika suatu jaminan atau keamanan yang dibebankan

kepada pemilik dalam suatu jumlah yang tidak melebihi AU$

500,000 atau dalam jumlah serupa yang lain dalam semua keadaan

yang patut menurut pertimbangan Mahkamah;

5. Memutuskan bentuk jaminan atau keamanan seperti dimaksud

angka 4 (d); dan

27. Contentious Cases, Judgment. Alinea 1.

28. Alinea 28 dari Contentious Cases, Judgment. Lihat juga dalam Application Submitted

of the Russian Federation, The Volga-Application For Release of Vessel and Crew,

Chapter 1: Introduction, Alinea 1, Chapter 5:

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

81

6. Memutuskan bahwa responden (tergugat) membayar biaya kepada

pemohon (penggugat) berkenaan dengan permohonan.

b. Atas nama Australia, dalam Pernyataan Tanggapan:29

Australia meminta agar Mahkamah untuk membuat keputusan

sebagaimana diminta dalam Memorial Federasi Rusia. Termohon

meminta Mahkamah untuk memutuskan:

1. bahwa besar dan persyaratan yang ditetapkan oleh Australia untuk

melepaskan kapal Volga dan awaknya adalah patut/layak

(reasonable); dan

2. bahwa masing-masing pihak memikul biaya pengadilan sendiri-

sendiri.

Pemeriksaan di muka Mahkamah diadakan pada 12-13 Desember,

dan tanggal 23 Desember 2003, ITLOS menyampaikan keputusanya,

berkaitan dengan kelayakan uang jaminan atau keamanan lainnya

sebagai berikut:30

1. Dengan 19 : 2 suara, memutuskan bahwa Australia harus segera

melepaskan Volga setelah ada uang jaminan atau jaminan lainnya

lain yang akan ditentukan oleh Mahkamah;

2. Dengan 19 : 2 suara, menentukan bahwa uang jaminan atau

keamanan lainnya sejumlah AU$ 1.920.000, harus disimpan

(diposting) kepada Australia; dan

29. Statement in Reponse of Australia, 7 Desember 2002. Chapter 1:Introduction, Alinea 1

dan Chapter 7: Orders, alinea 1. Dalam http://www.itlos.org. 24 Oktober 2012 30. The "Volga" Case (Russian Federation v. Australia), Prompt Release, Judgment,

Alinea 95. Dalam www.itlos.org/index.php?id=103. Diakses tanggal 30 Oktober 2012.

Keputusan Mahkamah (ITLOS) ini ada tujuh point. Disini hanya ditampilkan keputusan

dalam angka 4-6.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

82

3. Suara bulat, menentukan bahwa uang jaminan harus dalam bentuk

bank garansi dari bank yang ada di Australia atau memiliki

perjanjian dengan bank Australia atau dalam bentuk lain, jika

disepakati oleh para pihak.

D. Kelayakan uang jaminan dalam Kasus Volga.

Pokok sengketa dalam kasus Volga adalah apakah persyaratan yang

ditetapkan oleh Australia untuk pelepasan segera kapal yang ditahannya

melanggar kewajibannya berdasarkan pasal 73 (1) setelah adanya uang

jaminan yang layak atau jaminan lainnya. Atau dengan kata lain yang

disengketakan adalah kelayakan uang jaminan yang ditetapkan oleh

Australia. Seperti disebutkan di atas, uang jaminan yang ditetapkan oleh

Otoritas Australia (AFMA) adalah sebesar AU$ 3,332,500, terdiri dari:31

1. Jaminan mencakup nilai kapal, bahan bakar, pelumas dan peralatan

penangkap ikan (AU$ 1,920,000);

2. Sejumlah (AU$ 412.500) untuk mengamankan pembayaran denda

potensial dikenakan dalam proses pidana yang masih tertunda

terhadap anggota awak; dan

3. Jaminan (a security) (AU$ 1.000.000) terkait dengan pelaksanaan

operasional sistem pemantau kapal (VMS) dan tindakan pentaatan

upaya konservasi oleh CCAMLR.

Dalam pandangan Mahkamah, jaminan sejumlah AU$ 1,920,000 yang

diminta untuk melepaskan kapal, yang mencerminkan nilai kapal, bahan

bakar, pelumas dan peralatan penangkap ikan serta tidak disengketakan

para pihak, adalah layak (reasonable) dalam pengertian pasal 292

Konvensi.32

31. Supra catatan No. 13, alinea 72

32. Alinea 73

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

83

Berhubungan dengan komponen kedua (sejumlah AU$ 412.500),

Mahkamah menganggap setelah kepergian mereka dari Australia,

menetapkan jaminan bagi mereka tidak disajikan untuk tujuan praktis.33

Mahkamah tidak perlu mempertimbangkannya, dalam keadaan saat ini,

untuk menangani masalah-masalah yang diangkat oleh Federasi Rusia. 34

Selanjutnya, mengenai komponen ketiga. Dalam menafsirkan

ungkapan "jaminan atau keamanan lain" yang diatur dalam pasal 73 (2)

Konvensi, Mahkamah berpendapat bahwa ungkapan ini harus dilihat

dalam konteks dan kejelasan dari objek dan tujuannya. Konteks yang

relevan termasuk ketentuan Konvensi mengenai pelepasan segera dari

kapal dan kru setelah penyerahan jaminan atau keamanan. Ketentuan

dimaksud adalah: Pasal 292, Pasal 220 (7), dan Pasal 226 (1b). Pasal-pasal

ini menggunakan ekspresi "uang jaminan atau jaminan keuangan

lainnya" dan "penjaminan atau keamanan finansial yang tepat lainnya".

Dilihat dalam konteks ini, istilah "uang jaminan atau jaminan keuangan

lainnya" dalam Pasal 73 (2), dalam pandangan Mahkamah, harus

diinterpretasikan sebagai mengacu pada suatu uang jaminan atau

jaminan lain yang bersifat keuangan. Mahkamah juga mengamati, dalam

konteks ini, yang mana Konvensi mengatur pengenaan syarat-syarat

tambahan untuk suatu jaminan atau jaminan keuangan lainnya, secara

jelas menyatakan begitu. Mengikuti pandangan di atas bahwa

persyaratan non-finasial tidak dapat dianggap komponen dari uang

jaminan atau jaminan keuangan lainnya untuk tujuan menerapkan Pasal

292 sehubungan dengan dugaan pelanggaran Pasal 73 (2). Maksud dan

tujuan dari Pasal 73 (2) dibaca bersama dengan pasal 292 adalah untuk

memberikan suatu mekanisme bagi negera bendera untuk memperoleh

pembebasan cepat dari kapal dan awak yang ditangkap karena dugaan 33. Supra Catatan No.15, alinea 46

34. Alinea 74

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

84

pelanggaran perikanan dengan pembebanan keamanan/jaminan yang

tidak layak (unreasonebleness) dapat dinilai dalam pengertian finansial.

Dimasukkannya tambahan persyaratan non-finansial seperti keamanan

tersebut akan menggagalkan maksud dan tujuan ini.35

Mahkamah, dalam kerangka pemeriksaan menurut Pasal 292,

tidak dapat menentukan sikap tentang apakah syarat kerugian

(pembebanan) seperti yang tertugat maksudkan sebagai suatu

“jaminan berprilaku baik/good behaviour bond" adalah pelaksanaan

sah dari hak berdaulat negara pantai di ZEEnya. Titik (the point)

yang harus ditentukan adalah apakah "jaminan berperilaku baik"

adalah jaminan atau keamanan dalam pengertian dalam Pasal 73

(2) dan Pasal 292. Mahkamah mencatat bahwa Pasal 73 (2)

mengenai jaminan atau keamanan untuk melepaskan sebuah kapal

“yang ditahan” yang diduga keras melanggar hukum dari negara

penahan. Rumusan Pasal 73 secara keseluruhan mengindikasikan

adanya pertimbangkan atas upaya penegakan bertalian dengan

pelanggaran hukum dan peraturan negara pantai yang diduga

keras telah dilakukan. Dalam pandangan Mahkamah, suatu “good

behaviour bond (jaminan berprilaku baik)” guna mencegah

pelanggaran hukum negara pantai pada masa mendatang tidak

dapat dipertimbangan sebagai suatu jaminan atau keamanan dalam

pengertian Pasal 73 (2), yang dibaca bersama dengan Pasal 292.36

Berdasarkan pertimbangan di atas dan dengan memperhatikan semua

keadaan dalam sengketa ini, Mahkamah menganggap bahwa jaminan

seperti yang diminta oleh Australia tidak layak (not reasonable) dalam

35. Alinea 77

36 . Alinea 79-80

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

85

pengertian Pasal 292 Konvensi.37 Berdasarkan pemikiran di atas,

Mahkamah menemukan bahwa permohonan (gugatan) berkenaan

dengan dugaan ketidak-sesuaian (non-compliance) dengan Pasal 73 (2)

adalah well-founded (dapat dibenarkan dengan tepat) untuk maksud dari

pemeriksaan ini dan maka dari itu, Australia harus segera melepaskan

Volga setelah menempatkan suatu jaminan atau jaminan keuangan

lainnya yang akan ditentukan oleh Mahkamah.38 Atas dasar

pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berpandangan bahwa jaminan

untuk melepaskan Volga, bahan bakar, pelumas dan peralatan

memancing harus dalam jumlah AU $ 1.920.000.39 Pandangan Mahkamah

tentang kelayakan uang jaminan sebesar nilai kapal, bahan bakar,

pelumas dan peralatan penangkap ikan ini, tercermin dalam putusan

Mahkamah (ITLOS).40

E. Beberapa Catatan.

Berhubungan dengan keputusan Mahkamah (ITLOS) dalam kasus

ini ada beberapa hal yang dapat dikemukakan oleh penulis:

1. Dalam menetapkan kelayakan uang jaminan atau keamanan lainnya,

hanya komponen pertama yang layak (reasonable) menurut ITLOS,

yaitu jaminan yang nilainya sama dengan nilai kapal, bahan bakar,

pelumas dan peralatan penangkap ikan.41 Sedangkan komponen

kedua dan ketiga merupakan komponen yang tidak layak

(unreasonable). Di lapangan, termasuk dalam kasus ini, ITLOS telah

37. Ibid, alinea 88

38 . Alinea 89

39 . Alinea 90.

40 . Supra catatan 16.

41. Dalam kasus Volga adalah permohonan pertama dimuka Mahkamah (ITLOS) yang

nilai kapal yang bersangkutan disetujui oleh pihak-pihak. Op.Cit., Michael White &

Stephen Knight., hal.46.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

86

menemukan komponen-komponen yang tidak layak (unreasonable),

meliputi:42

a. Nilai kapal yang ditahan telah dinilai (dievaluasi) terlalu tinggi oleh

pengadilan Negara penahan, seperti dalam kasus “Camauco” dan

“Monte Confuro”;

b. Nilai kapal yang ditahan tidak boleh dimasukan dalam

perlindungan uang jaminan, seperti dalam kasus “Hoshimaru”;

c. Denda untuk nakhoda atau pemilik kapal yang ditahan telah dinilai

terlalu tinggi, seperti dalam kasus “Monte Confurco” dan

“Hoshimaru”; dan

d. Yang disebut jaminan berlaku baik (good behaviour bond) seperti

dalam kasus Volga.

Jadi seperti terlihat dalam pertimbangan Mahkamah,43 maka

komponen kedua dan ketiga merupakan komponen yang tidak layak

(unreasonable) menurut pengertian pasal 73 (2). Hal ini dapat dimaklumi,

menurut Oman and Bantz bahwa fungsi “jaminan” dalam konteks

tertentu cukup menyeimbangkan antara hak untuk meminta pelepasan

dengan hak untuk mengadili dan menghukum.44

2. Dalam kasus ini yang disengketakan oleh Federasi Rusia hanya

“kelayakan uang jaminan” untuk pelepasan kapal Volga, dan tidak

mempersoalkan ‘kelayakan uang jaminan’ terhadap ketiga awaknya.

Hal ini dapat dimaklumi mengingat ketiga awak tersebut

berkewarganegaraan Spanyol, sedangkan awak kapal yang

berkewarganegaraan Federasi Rusia hanyalah nakhoda kapal yang

telah meninggal dunia sebelum proses pengadilan dilakukan oleh

42. Op.Cit., Jianjun GAO

43. Supra Catatan No.35, alinea 88

44. Dalam Op.Cit., Jianjun GAO

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

87

Australia.45 Dalam hukum internasional, memang tidak ada kewajiban

dari suatu negara untuk melindungi warganegara asing di negara lain.

Suatu negara hanya berkewajiban melindungi warganegaranya baik di

negaranya sendiri maupun di negara lain.46

Selain itu, penyebabnya adalah (kemungkinan) karena pada saat

kasus ini diajukan ke ITLOS, proses pengadilan terhadap ketiga awak

tersebut sedang berlangsung. Federasi Rusia dalam hal ini nampaknya

tidak mau dianggap sebagai negara “yang tidak menghormati proses

pengadilan negara lain” atau dengan kata lain, dianggap melanggar

prinsip “non intervensi”.

3. Penetapan jumlah uang jaminan bagi pelepasan awak kapal ditetapkan

melalui Pengadilan Australia berdasarkan ketentuan dari Fisheries

Management Act 1991.47 Sedangkan uang jaminan bagi pelepasan kapal

Volga dilakukan oleh Australian Fisheries Management Authority

(AFMA).48

Hal ini kiranya dapat dijadikan pelajaran berharga bagi Indonesia

dalam menentukan tindakan terhadap kapal asing dan awaknya yang

melakukan IUU Fishing di ZEE Indonesia. Pengadilan yang berwenang

pengadili kapal asing sesuai dengan UU No. 31/2004 dan UU

No.45/2009, antara lain berkaitan dengan:

45. Supra Catatan No.22, Alinea 42.

46. Starke., Introduction to International Law., Penerjemah Bambang Iriana

Djajaatmadja., Pengantar Hukum Internasional. Edisi Kesepuluh 2, Sinar Grafika,

Jakarta, cet. Kelima, 2004, hal.459-460. 47. Statement in Response of Australia, Alinea 61-73

48. Ibid, Alinea 54, lihat juga The Volga Case, Judgment, para 74

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

88

a. Penggunaan bahan kimia, biologis, peledak, alat/bangunan yang

dapat membahayakan kelestarian sumberdaya ikan

dan/lingkungan (Psl.84 UU No.31/2004);

b. Melakukan pencemaran dan/atau kerusakan sumberdaya ikan

dan/ lingkungannya (Psl.86 UU No.31/2004);

c. Membawah peralatan penangkap ikan yang mengganggu dan

merusak kelangsungan sumberdaya ikan (Psl. 85 UU No.45/2009);

d. Tidak memliki SIPI dan tidak membawah SIPI asli (Psl.93 ayat 2

dan 4 UU No.45/2009);

e. Memalsukan SIUP, SIPI dan SIKPI (Psl. 94A UU No.45/2009);

f. Nakhoda yang tidak memiliki izin berlayar (Psl.98 UU No.45/2009).

Kementerian Kelautan dan Perikanan (DKP) yang berwenang

menentu-kan “uang jaminan” jika pemilik kapal mengajukan

permohonan pelepasan terhadap kapal miliknya.

4. Keputusan ITLOS dalam kasus ini terbatas dengan “proses pelepasan

segera” menurut Pasal 292, oleh karena itu ITLOS tidak dapat

mempertimbangkan masalah umum dari IUU Fishing. Sehingga dalam

kasus ini ITLOS seakan “mengabaikan” pendirian Australia atas

komponen ketiga yang digambarkan sebagai “good behaviour bond”,

yakni jaminan agar tindakan serupa tidak dilakukan pada masa yang

akan datang. Australia menyatakan dalam tanggapannya bahwa

penipisan stok patagonian tootfish di Samudera Bagian Selatan

merupakan masalah yang serius dan keprihatinan internasional.49

ITLOS menanggapi hal ini ‘memahami keprihatinan internasional

tentang IUU Fishing dan menghargai tujuan di balik kebijakan yang

diambil oleh negara-negara untuk menangani masalah ini.50

49. the ‘Volga Case’, Alinea 67 dan lihat juga Chapter 3,IX: International concern, alinea

42-47 dar Statemen in Response of Australia, 7 Desember 2002. 50. Ibid., Alinea 68

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

89

Prosedur pelepasan segera kapal dan awaknya yang ditahan adalah

sebuah inovasi dalam hukum laut internasional.51 Pasal 292 UNCLOS

dirancang untuk membebaskan kapal dan awaknya dari penahanan

berkepanjangan akibat pengenaan uang jaminan yang tidak masuk akal

dari pengadilan (yurisdiksi) nasional, atau kegagalan hukum nasional

dalam menetapkan kelayakan jaminan untuk pelepasan, sehingga

menghindari kerugian yang mungkin timbul bagi pemilik kapal dan

orang-orang yang tersangkut dengan penahanan tersebut. Di lain pihak,

hanya setelah penitipan jaminan yang layak atau jaminan finansial

lainnya yang ditetapkan oleh pengadilan atau mahkamah yang ditunjuk

dalam Pasal 292, pejabat dari Negara penahan harus melepaskan kapal

dan awaknya yang ditahan, ITLOS hanya berurusan dengan masalah

pelepasan, tanpa mengurangi manfaat kasus di forum domestik terhadap

kapal, pemilik atau awaknya.52 Oleh karena itu, Pasal 292 mendamaikan

kepentingan Negara bendera untuk memiliki kapal dan awaknya

dibebaskan segera dengan kepentingan Negara penahan untuk

menjaga pentaatan terhadap hukum dan perundang-undangan

serta “memadukan keseimbangan yang adil antara dua

kepentingan.”53 Kemudian dalam “proses pelepasan segera” di

ITLOS selalu ada kecenderungan bagi penggugat (pemohon) untuk

51. Op.Cit., Jianjun GAO.

52. Ibid.

53. Lihat the “Monte Confurco” Case (Seychelles v France), Request for Prompt Reseale,

Judgment of 18 December 2000, Alinea 70-71. www.itlos.org/index.php?id=103. Diakses

tanggal 30 Oktober 2012. Juga dalam Alinea 36 the “Volga Case”, Judgement of 23

Desember 2002.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

90

menyengketakan bahwa jaminan atau jaminan lainnya oleh negara

penahan ditetapkan terlalu tinggi.54

E. Penutup

Berdasarkan uraian di atas, mengakhiri tulisan ini dapat disimpulkan

sebagai berikut:

1. Penegakan IUU Fishing suatu negara pantai menurut UNCLOS 1982,

mencakup penegakan IUU Fishing di kawasan laut yang tunduk di

bawah kedaulatan negara pantai dan kawasan laut dimana negara

pantai memiliki hak berdaulat atau di ZEE.

2. ITLOS menetapkan jumlah uang jaminan yang layak (reasonable bond)

dalam Volga Case tidak jauh berbeda dengan (mempertimbangkan)

nilai kapal, bahan bakar, pelumas dan peralatan penangkap ikan yang

ada di atas kapal. Jadi ITLOS hanya mengabulkan komponen pertama

dari tiga komponen “uang jaminan “yang ditetapkan Australia.

3. Bagi Indonesia untuk menghukum pelaku IUU Fishing harus dilihat

tempat terjadinya tindakan tersebut. Jika di ZEE (atau bahkan di laut

teritorial) sebaiknya dikenakan hukuman denda, sebab hukuman

badan (penjara), disamping tidak dianjurkan oleh UNCLOS 1982 juga

akan merugikan Indonesia, karena harus menanggung biaya hidup

pelaku. Sebaliknya, hukuman berupa reasonable bond dapat

meminimalisir kerugian Indonesia akibat IUU Fishing; dan

4. Negara pantai berpeluang untuk mendapatkan reasonable bond dari

kapal asing yang melanggar peraturan perundang-undangan

perikanannya, akan tetapi negara tersebut harus hati-hati. Penetapan

jumlah jaminan haruslah secara layak dengan tidak menilai harga

kapal yang ditahan terlalu tinggi, memasukan nilai kapal dalam

54. Op.Cit., Jianjun GAO.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

91

jaminan, denda bagi nakhoda atau pemilik kapal terlalu tinggi, dan

memasukan komponen yang tidak bersifat finansial.

Daftar Pustaka

Akhmad Solihin, Perikanan Indonesia Dalam Kepungan Organisasi Pengelolaan

Perikanan regional dan Internasional., http://ikanbijak.wordpress.com/

2008/04/21/perikanan-indonesia-dalam-kepungan-organisasi. Diakses 25 Oktober

2012.

Anthony Csabafi, Imre, The Concept of State Jurisdiction in International Space

Law.,Martinus Nijhoff, The Hague, 1971

Blakely,Laurance, The End of the Viarsa Saga And the Legality of Australia’s Vessel

Forfeiture Penalty For Illegal Fishing in Its Exclusive Economic Zone.,hal. 680.

Dalam http://digital.law.washington.edu/…/17 PacRimLPoly. Diakses 29 Oktober

2012.

Donald R, Rothwell, Multilateralism and International Ocean-Resources Law: Chapter

9. The “Volga” Case (Russian Federation v Australia): Prompt Release and the

Right and Interest of Flag and Coastal States. Dalam

http://escholarship.org/uc/item/4w9953kp#page-3. Diakses 30 Oktobber 2012.

Gullett,Warwick, Prompt release procedures and the challenge for ficheries law

enforcement: the judgement of the international tribunal for the law of the sea in

the ‘Volga’ case (Russian Federation v Australia). Dalam

http://www.ro.uow.au/cgi/viewcontent.egi?.article. Diakses 17 Oktober 2012.

ITLOS., Cases, Contentious Cases, dalam http://www.itlos.org. Diakses tanggal. 25

Oktober 2012.

Jianjun GAO, Reasonableness of the Bond under Article 292 of the LOS Convention:

Practice of the ITLOS., dalam

http://chinesejil.oxfordjournals.org/content/7/1/115.full.pdf+html. Diakses 28

Oktober 2012.

Kasijan Romimohtarto, "Pengelolaan Pemanfaatan Kekayaan Hayati dan Nabati di

Perairan Indonesia"., Seminar Hukum Nasional Kelima Tahun 1990., BPHN,

Jakarta, 1991

Md. Saiful Karim, Conflicts over Protection of Marine Living Resources: The ‘Volga

Case’ Revisited. (GoJIL 3 (2011),1,101-127. Dalam

mq.academia.edu/…/Conflict_over_Protectio… Diakses 17 Oktober 2012.

Okilukito’s Weblog, Negara Maritim Tanpa Ocean Policy., dalam http://okilukito.

Wordpress.com. diakses 18 Oktober 2012.

Rokhmin Dahuri, Anatomi Permasalahan Illegal Fishing dan Solusinya., http://rokhmin-

dahuri.info/2012/10/09/anatomi-permasalahan-illegal-fishing-dan-solusinya/.

Diakses 16 Oktober 2012.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

92

Selamatkan Indonesia dari Illegal Fishing., Sumber: Majalah Samudera Mei 2012 Dalam

http://rokhmindahuri.info/2012/10/04/selamatkan-indonesia-dari-iuu-fishing/.

Diakses 17 Oktober 2012.

Sapto J.Poerwodidagdo, Langgar ZEE, Kapal Asing Dapat Ditangka, Penanganan IUU

Fishing (I).,http://surabayasore.com/index.

php?3b1ca0a43b79bdfd9f9305b81298296253e5f73717ca2dd5b925f307d775c9e0.

Diakses 16 Oktober 2012.

White, Michael & Knight, Stephen, ITLOS ad the ‘Volga’Case: The Russian Federatian v

Australia., ha. 39. Dalam maritimejournal.murdoch. edu.au/ archive/vol_17/

Vol_17_2003White& Knight.pdf. Diakses 18 Oktober 2012.

Statement in Reponse of Australia, 7 Desember 2002. Dalam http://www.itlos.org. 24

Oktober 2012

Starke, Introduction to International Law, Penerjemah Bambang Iriana Djajaatmadja.,

Pengantar Hukum Internasional. Edisi Kesepuluh 2, Sinar Grafika, Jakarta, cet.

Kelima, 2004

The Volga Case (Russian Federatian v Australia) Prompt Release (Written proceedings),

Statement in Reponse of Australia, 7 Desember 2002. Dalam

http://www.itlos.org. 24 Oktober 2012.

The Application Submitted of the Russian Federation, The Volga-Application For

Release of Vessel and Crew. Dalam http://www.itlos.org. 24 Oktober 2012.

UN Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982.

The law will never make a man free;

it is men who have got to make the law free.

- Henry David Thoreau- ”

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

93

RESENSI BUKU Judul : Hukum Internasional dalam Perspektif Indonesia

Sebagai Negara Berkembang Penulis buku : Prof. Hikmahanto Juwana Penerbit : Gramedia Bahasa : Indonesia Jumlah halaman : 214 Pembuat resensi : Eka Aqimuddin

Hukum Internasional: Netral atau Berpihak?

Membaca buku kumpulan

tulisan Hikmahanto Juwana soal

hukum internasional ini, pikiran

saya melesat ke buku tulisan karya

Martii Koskenniemi, From Apology to

Utopia: The Structure of Legal

Argument. Meski Hikmahanto tidak

menyebut Koskenniemi sebagai

salah satu sumber tulisannya,

namun secara substansi saya kira

kedua buku tersebut memiliki ide

yang sama bahwa hukum

internasional tidak netral.

Bagi Koskenniemi, hukum

internasional tak lebih dari

kontestasi kekuatan politik para aktor politik (khususnya negara)

internasional.

“It now seems to me that the concepts and structures of international

law, elaborated in this book, are not something that political actors may

choose to apply or ignore at will. They are the condition of possibility

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

94

for the existence of something like a sphere of the ‘‘international’’ as one

for asserting and contesting political power, making and challenging

claims of right and legitimacy that may be analysed as claims about

legal justice. If international law did not exist, political actors would

need to invent it.”

Hikmahanto Juwana dalam bukunya beranjak dari hipotesis adanya

perbedaan kepentingan ekonomi antara negara maju dan berkembang

untuk memahami hukum internasional. Fakta-fakta tersebut dapat dilihat

dari instrumen hukum internasional di bidang ekonomi. Tidak hanya itu,

konsep-konsep dalam hukum internasional seperti, Res Nullius atau Res

Communnis juga dimaknai oleh Hikmahanto sebagai pertarungan

kepentingan ekonomi antarnegara.

Sehingga sangat logis jika pembahasan bab selanjutnya dari buku ini

adalah bagaimana hukum internasional dimaknai sebagai instrumen

politik oleh para negara. Pada titik inilah, saya kira bertemulah pemikiran

antara Koskenniemi dan Hikmahanto. Sebagian pakar hukum

internasional masih memandang bahwa hukum internasional, selayaknya

ilmu hukum, merupakan ilmu yang netral dari kepentingan-kepentingan.

Paham seperti itu merupakan pengaruh aliran positivisme dalam ilmu

hukum yang memandang bahwa hukum internasional juga harus bebas

dari nilai-nilai di luar hukum.

Padahal realitas berkata lain, hukum internasional sangat penuh

dengan kepentingan-kepentingan politik negara-negara. Pertarungan

kepentingan antarnegara tersebut dapat dilihat dalam forum-forum

internasional saat pembentukan suatu perjanjian internasional. Maka

sangat masuk akal jika perjanjian internasional dapat dimaknai sebagai

pertarungan kepentingan.

Hikmahanto Juwana tidak berhenti pada titik itu. Beliau berusaha

untuk membongkar (dekonstruksi) hukum internasional itu sendiri.

Meminjam metode dari aliran Critical Legal Studies (CLS), beliau ingin

menunjukan hipotesisnya bahwa hukum internasional itu tidak bebas

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

95

nilai. Dengan metode trashing, deconstruction dan genealogy, Hikmahanto

berhasil menunjukkan bahwa hukum internasional itu dapat dipahami

dengan pendekatan lain sehingga bisa memperkaya pemahaman

masyarakat (hal 6-8)

Pemahaman Hikmahanto soal hukum internasional ini coba ia

tularkan dengan mengkritisi model pendidikan dan pengajaran hukum

internasional di kampus-kampus. Melihat realitas kekinian yang selalu

bersinggungan dengan hukum internasional, mau tidak mau membuat

semua pihak peduli dengan hukum internaisonal. Pada titik inilah

penting untuk memberikan pendidikan dan pengajaran hukum

internasional melalui pendekatan kritis dan juga praktik-praktik yang

berkaitan dengan Indonesia. Dengan demikian, pihak yang mempelajari

hukum internasional tidak merasa terpisah (terasing) dengan apa yang

dipelajarinya. Sangat tepat apabila pembahasan soal ini dijadikan

penutup dalam buku ini.

Buku kumpulan tulisan Hikmahanto Juwana ini secara garis besar

sangat baik. Namun, pembaca tidak akan mendapatkan pembahasan ide

dari beliau secara utuh mengenai hukum internasional karena hanya

merupakan kumpulan-kumpulan tulisan.

Laws are like sausages. It is better not to see them being made.

- Otto von Bismarck - ” “

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

96

ISTILAH HUKUM Yoshi Iskandar

Hot pursuit (pengejaran seketika) The hot pursuit of a foreign ship may be undertaken when the competent authorities of the coastal State have good reason to believe that the ship has violated the laws and regulations of that State. Such pursuit must be commenced when the foreign ship or one of its boats is within the internal waters, the archipelagic waters, the territorial sea or the contiguous zone of the pursuing State, and may only be continued outside the territorial sea or the contiguous zone if the pursuit has not been interrupted. The right of hot pursuit ceases as soon as the ship pursued enters the territorial sea of its own State or of a third State. Pengejaran seketika suatu kapal asing dapat dilakukan apabila pihak yang berwenang dari Negara pantai mempunyai alas an cukup untuk mengira bahwa kapal tersebut telah melanggar peraturan perundang-undangan Negara itu. Pengejaran demikian harus dimulai pada saat kapal asing atau salah satu dari sekocinya ada dalam perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut wilayah atau zona tambahan Negara pengejar, dan hanya boleh diteruskan di luar laut wilayah atau zona tambahan apabila pengejaran itu tidak terputus. Hak pengejaran seketika berhenti segara setelah kapal yang dikejar memasuki laut wilayah Negaranya sendiri atau Negara ketiga.

Right of Navigation (Hak Berlayar)

Every State, whether coastal or land-locked, has the right to sail ships flying its

flag on the high seas.

Setiap Negara, baik berpantai atau tidak berpantai, mempunyai hak

untuk melayarkan kapal di bawah benderanya di laut lepas.

Yurisdiksi

Jurisdiction (from the Latin ius, iuris meaning "law" and dicere meaning "to speak") is the practical authority granted to a formally constituted legal body or to a political leader to deal with and make pronouncements on legal matters and, by implication, to administer justice within a defined area of responsibility. The

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

97

term is also used to denote the geographical area or subject-matter to which such authority applies. Kewenangan yang dimiliki negara untuk membuat peraturan perundang-undangan (prescriptive jurisdiction) dan kewenangan untuk menegakkan suatu keputusan yang didasarkan kepada perundang-undangan yang dibuat tadi (enforcement jurisdiction). Konsep tentang yurisdiksi negara dalam hal ini lebih diterapkan dalam hukum pidana.

Appellate jurisdiction

The jurisdiction which a superior court has to bear appeals of causes which have

been tried in inferior courts. It differs from original jurisdiction, which is the

power to entertain suits instituted in the first instance.

Pengadilan tingkat banding pada pengadilan tinggi sebagai pengadilan

tingkat kedua, perkara diperiksa secara keseluruhan, baik dari segi

peristiwanya maupun segi hukumnya. Pemeriksaan ulang tersebut

dilakukan apabila salah satu pihak tidak puas terhadap putusan

pengadilan tingkat pertama.

In dubio pro reo

The principle of in dubio pro reo (Latin for "when in doubt, for the accused")

means that a defendant may not be convicted by the court when doubts about his

or her guilt remain. It is often used specifically to refer to the principle of

presumption of innocence that dictates that when a criminal statute allows more

than one interpretation, the one that favours the defendant should be chosen.

Dalam keadaan yang meragukan, hakim harus mengambil keputusan

yang menguntungkan terdakwa. Biasanya ini sering dirujuk pada asas

praduga tak bersalah bila terdapat lebih dari satu interpretasi terhadap

terdakwa, maka pilihan yang menguntungkan terdakwa yang diambil.

Pacta tertiis nec nocent nec prosunt Treaties do not create either obligations or rights for third states without their consent.

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

98

Prinsip Pacta tertiis nec nocent nec prosunt berarti meletakkan kedaulatan negara di atas segalanya sehingga mensyaratkan adanya persetujuan pada setiap perjanjian yang akan membebankan suatu kewajiban kepada pihak ketiga.

Uti Possidetis Juris

a principle of international law that states that newly formed sovereign states

should have the same borders that they had before their independence.

Prinsip hukum internasional yang menganut bahwa negara baru yang

berdaulat harus memiliki garis batas yang sama dengan sebelum

kemerdekaannya. Atau suatu negara baru mewarisi wilayah kekuasaan

penjajahnya.

The good of the people is the greatest law.

- Marcus Tulius Cicero - ” “

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

99

TENTANG PENULIS Prof. Dr. Hasjim Djalal, MA Diplomat Indonesia dan ahli hukum laut internasional. Pernah menjabat sebagai Duta Besar/Deputi Wakil Tetap RI untuk PBB, New York (1981-1983), Duta Besar di Kanada (1983-1985), Duta Besar di Jerman (1990-1993), serta Duta Besar Keliling (Ambassador at Large) untuk Masalah-masalah Hukum Laut dan Kelautan (1994-2000). Beliau juga dipercaya duduk sebagai anggota Dewan Kelautan Indonesia, penasehat senior Menteri Kelautan dan Perikanan, dan penasehat kepala staf TNI Angkatan Laut. Menulis banyak buku, antara lain Indonesian Struggle for the Law of the Sea (1979) dan Indonesia and the Law of the Sea (1995) serta Preventive Diplomacy in Southeast Asia: Lesson Learned (2003). Setelah pensiun tahun 1994, Beliau masih aktif menulis buku dan artikel di berbagai media serta berbicara di berbagai forum tentang masalah hukum laut internasional. I Made Andi Arsana, ST., ME. Dosen Fakultas Teknik Geodesi UGM yang sedang menyelesaikan PhD di Australian National Centre for Ocean Resources and Security (ANCORS) University of Wollongong dengan beasiswa Australian Leadership Awards. Penulis juga menerima Alison Sudradjat Awards untuk melakukan penelitian lanjutan di ANCORS (2012-2013). Selain itu, Penulis adalah alumni UN-Nippon Foundation Fellowship untuk melakukan penelitian dan magang di ANCORS dan UN DOALOS, New York pada tahun 2007. Selama menekuni bidang aspek teknis hukum laut, terutama batas maritim internasional, Andi telah memaparkan karyanya di Asia, Australia, Amerika dan Eropa. Informasi lebih lanjut tentang Andi bisa diperoleh dari website resminya http://madeandi.staff.ugm.ac.id dan dihubungi melalui email [email protected]. Kolonel (Laut) Kresno Buntoro, S.H, LLM, Ph.D Menyelesaikan pendidikan S1 jurusan Hukum Internasional Universitas Diponegoro tahun 1991. Setelah menerima the British Achievening Awards, melanjutkan pendidikan S-2 di University of Nottingham, United Kingdom

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

100

tahun 1995 pada program studi Public International Law. Ia juga menerima the Australian Leadership Awards (ALA), menyelesaikan S-3 di University of Wollongong, Australia tahun 2010 pada program studi Ocean and Trans-national Security. Selain itu, Penulis merupakan perwira TNI Angkatan Laut sejak tahun 1989 yang saat ini sebagai Kepala Dinas Hukum Komando Armada RI Kawasan Barat dengan pangkat Kolonel. Usmawadi Amir, SH., MH. Dosen Fakultas Hukum Univeritas Sriwijaya, Palembang. Banyak terlibat pada penelitian khususnya dalam bidang hukum internasional, seperti kerja sama Negara-Negara Dalam Pemberantasan Aksi Perompakan di Selat Malaka-Singapura (2012), kerja sama Negara-Negara ASEAN Dalam Pemberantasan Kejahatan Transnasional: Perdagangan Manusia (2012), dan kerja sama ASEAN Dalam Pemberantasan Kejahatan Transnasional (2011). Selain itu, Penulis juga menulis buku bertema hukum, antara lain Petunjuk Praktis Penelitian Hukum (2007); Hukum Internasional Kontemporer Jilid 1 dan Jilid 2 (2008/9); dan Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (2012). Penulis dapat dihubungi melalui [email protected]. Eka Aqimuddin, SH., MH. Dosen Hukum Internasional Universitas Islam Bandung. Meraih gelar sarjana hukum di Universitas Trisakti (2005) dan magister hukum di Universitas Padjajaran (2011). Menulis buku Hukum untuk Manusia (2012), Mekanisme Penyelesaian Sengketa di Asean; Lembaga dan Proses (2011), dan Solusi Bila Terjerat Kasus Bisnis (2011). Penulis dapat dihubungi melalui [email protected].

Where the law ends tyranny begins.

- Henry Fielding –

(English novelist and dramatist, 1707-1754)

” “

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 12 � Januari—April 2013

101

Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional

OPINI O JURIS

Jurnal Opinio Juris menerima tulisan dengan tema hukum internasional, perjanjian internasional, diplomasi, hubungan internasional, dan isu-isu dalam negeri yang memiliki dimensi hukum dan perjanjian internasional. Ketentuan Penulisan: 1. Panjang tulisan 10—20 halaman kertas A4 (termasuk abstraksi, isi,

catatan kaki, dan daftar pustaka), format MS Word, spasi satu setengah, font Book Antiqua 11. Untuk catatan kaki, spasi satu dan font Times New Roman ukuran 10;

2. Tulisan dapat dibuat dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris; 3. Setiap naskah harus disertai abstraksi dalam dua bahasa (Indonesia dan

Inggris). Jumlah kata abstraksi sekitar 100 kata. 4. Rujukan dibuat dalam bentuk catatan kaki (footnote); 5. Tulisan harus asli dari penulis, belum pernah diterbitkan, dan tidak

sedang dikirimkan ke penerbit lain; 6. Untuk setiap naskah yang masuk, redaksi berhak mengedit dengan tidak

mengubah maksud dan isi tulisan; 7. Apabila diperlukan, redaksi akan memberikan masukan dan

rekomendasi kepada penulis tentang tulisan yang dikirim; 8. Setiap naskah yang dikirim harus disertai daftar riwayat hidup singkat

penulis (curriculum vitae) yang setidak-tidaknya terdiri dari pekerjaan, pendidikan, alamat, dan nomor telepon yang bisa dihubungi;

9. Setiap naskah yang disetujui untuk diterbitkan akan mendapatkan kompensasi finansial;

10. File naskah beserta kelengkapan lainnya dapat dikirim ke email Redaksi.

Sekretariat Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Interansional Kementerian Luar Negeri

Jalan Taman Pejambon No. 6 Jakarta Pusat Telp: +62 21 3846633 Fax: +62 21 3858044

Email: [email protected] http://pustakahpi.kemlu.go.id/