PEREKONOMIAN INDONESIA

16
SAP 5 Kebijakan Pangan dan Pembangunan Pertanian I Kebijakanan Pangan dan Sektor Pertanian Pada Masa Penjajahan Belanda Seperti yang diketahui negara Indonesia memiliki wilayah pertanian yang sangat luas, berbeda dengan negara penjajah yaitu Belanda. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda tidak banyak perhatian yang diberikan pada sektor pertanian. Hal ini tidak lepas dengan sistem perekonomian Belanda, yakni kapitalisasi. Perkembangan sektor pertanian diserahkan secara penuh kepada kekuatan permintaan dan penawaran, dan membiarkan perkembangan sektor ini atas kekuatan pasar, terutama pada bidang perkebunan. Muncul perusahaan-perusahaan swasta yang bergerak di bidang perkebunan seperti komoditas kelapa, karet, rempah-rempah, lada, tembakau, teh dan tebu menandakan bahwa teknologi perkebunan diserahkan secara mandiri oleh perusahaan perkebunan besar yang hasilnya diekspor ke pasar Eropa sebagai bahan mentah untuk industrial negara tersebut. Namun pemerintah Belanda memiliki kebijakan khusus pada sektor beras, selain sebagai bahan makanan pokok untuk pegawai pemerintahan jajahan. Beras digunakan untuk membayar upah pegawai swasta dibidang perkebunan. Hal ini berarti selain untuk komoditas ekonomi beras juga digunakan sebagai komoditas politik dimana harga beras dibuat selalu murah dipasaran. Tahun 1863, karena 1

description

SAP 5

Transcript of PEREKONOMIAN INDONESIA

Page 1: PEREKONOMIAN INDONESIA

SAP 5

Kebijakan Pangan dan Pembangunan Pertanian

I Kebijakanan Pangan dan Sektor Pertanian Pada Masa Penjajahan Belanda

Seperti yang diketahui negara Indonesia memiliki wilayah pertanian yang sangat

luas, berbeda dengan negara penjajah yaitu Belanda. Pada masa pemerintahan Hindia

Belanda tidak banyak perhatian yang diberikan pada sektor pertanian. Hal ini tidak

lepas dengan sistem perekonomian Belanda, yakni kapitalisasi. Perkembangan sektor

pertanian diserahkan secara penuh kepada kekuatan permintaan dan penawaran, dan

membiarkan perkembangan sektor ini atas kekuatan pasar, terutama pada bidang

perkebunan. Muncul perusahaan-perusahaan swasta yang bergerak di bidang

perkebunan seperti komoditas kelapa, karet, rempah-rempah, lada, tembakau, teh dan

tebu menandakan bahwa teknologi perkebunan diserahkan secara mandiri oleh

perusahaan perkebunan besar yang hasilnya diekspor ke pasar Eropa sebagai bahan

mentah untuk industrial negara tersebut.

Namun pemerintah Belanda memiliki kebijakan khusus pada sektor beras, selain

sebagai bahan makanan pokok untuk pegawai pemerintahan jajahan. Beras digunakan

untuk membayar upah pegawai swasta dibidang perkebunan. Hal ini berarti selain

untuk komoditas ekonomi beras juga digunakan sebagai komoditas politik dimana

harga beras dibuat selalu murah dipasaran. Tahun 1863, karena kegagalan panen

pemerintah Hindia Belanda menghapus bea masuk beras impor agar harga beras tetap

murah.

Tahun 1911 ekspor beras dilarang dan pajak tanah diturunkan agar harga beras

didalam negeri tetap stabil. Dalam bidang produksi pemerintah Hindia Belanda

menggunakan kebijakan Olie Vlek, yakni program untuk menyebarluaskan cara-cara

bertani yang baik. Namun program semacam ini memiliki jangkauan yang sangat

terbatas. Pada awal tahun 1933, impor beras diawasi dengan pemberian lisensi dan

pengawasan langsung dari pemerintah. Selain itu pemerintah menggalakkan

perdagangan beras antar pulau atau antar provinsi. Hal ini bertujuan agar persediaan

beras stabil dan tidak membuat kenaikan biaya hidup dikota besar.

Menjelang tahun 1939 dibentuknya suatu badan pemerintah khusus melaksanakan

dan mengawasi kebijakan pemerintahan dalam bidang pemasaran beras yang bernama

1

Page 2: PEREKONOMIAN INDONESIA

Stiching Het Voedingsmidlenfons (VMF). Badan ini merupakan pendahulu Bulog, yang

bertugas mengendalikan di bidang pangan yang sangat penting pada pemerintahan Orde

Baru.

Selanjutnya Jepang mengambil alih VMF sampai akhir Perang Dunia II. Pada

masa pemerintahan Jepang kebutuhan dibidang pertanian ditujukan pada pemenuhan

kebutuhan militer. Bersamaan dengan kebijakan Jepang dan ditambahkan dengan

kebijakan pemerintahan Belanda sebelumya maka akan meninggalkan berbagai

kebijakan beras pada pemerintahan Indonesia selama 20 tahun setelahnya, dimana

ekspor hasil pertanian dan perkebunan merupakan sumber devisa terbesar sampai akhir

tahun 1960an sehingga struktur perekonomian seperti hal tersebut memerlukan

kebijakan harga beras rendah dan tingkat upah yang rendah.

II Kebijaksanaan Pangan Pada Pemerintahan Orde Lama

Pemerintahan orde lama tidak memiliki kesempatan menunjukkan perkembangan

ekonomi, termasuk perkembangan subsektor perkebunan. Ada sedikit peningkatan saat

dimana subsektor perkebunan besar milik Belanda dinasionalisasi menjadi milik

negara. Selain hal tersebut tidak ada yang berubah, dimana kebijaksanaan

pengembangannya masih sama dengan yang sebelumnya begitu pula untuk subsektor

perkembangan rakyat.

Dalam subsektor tanaman pangan (khususnya beras), kebijaksanaan yang

sebelumnya ditempuh dalam menjaga kestabilan harga beras, dialihkan menjadi

kebijaksanaan yang ditujukan untuk mempertahankan penghasilan tertentu bagi mereka

yang diserahi tugas mengelola administrasi dan keamanan negara saat itu (Pegawai

Negeri Sipil & Militer). Menurut Timmer, proses politisasi sistem pemasaran beras ini

bertolak belakang dengan kenyataan, bahwa beras sama sekali tidak dianggap bahan

politik bagi produsennya (petani padi), dimana kepentingan utama petani adalah

penghasilannya sendiri.

Dibidang produksi, beberapa program swasembada dilakukan ditahun 50an

hingga 60an. Ini didasari oleh terbatasnya devisa dalam negeri. Adapun contohnya

Program Kesejahteraan Kasino ditahun 1952 yang bertujuan mencapai swasembada

beras sebelum tahun 1956, yang menggunakan pendekatan program penyuluhan

percontohan. Program tersebut hampir sama dengan program Olie Vlek dimasa

penjajahan Belanda, yang berbeda hanya terletak pada jumlah petak percontohan yang

2

Page 3: PEREKONOMIAN INDONESIA

lebih banyak. Pada 1959 terdapat Program Padi Sentra yang bertujuan mencapai

swasembada sebelum tahun 1963 yang merupakan program gagal, namun program

tersebut menciptakan satu organisasi yaitu BUUD (Badan Usaha Unit Desa), KUD

(Koperasi Unit Desa) & BRI unit desa yang berfungsi sebagai penyedia dana kredit.

Program Padi Sentra di smping itu memberikan pembelajaran mengenai bahayanya

penetapan harga padi oleh petani yang terlalu rendah. Selain itu, program ini juga

menjelaskan pentingnya peranan saluran perkreditan yang baik serta perkembangan staf

yang berkompeten dibidangnya.

Pada tahun 1963 presiden Soekarno menjalankan gerakan mengganti beras

dengan jagung. Dapat dilihat dari penerimaan jatah Pegawai Negeri Sipil & Militer

yang semula memperoleh jatah beras menjadi 75% beras dan 25% jagung. Program ini

mengalami banyak kesulitan, mulai dari penyaluran hingga reaksi negatif dari

masyarakat sehingga dihentikan. Program tersebut memberi pembelajaran dimana

setiap penyedia jagung atau bahan makanan lainnya selain beras, perlu memenuhi

kekurangan beras, agar program ini lebih direncanakan dengan matang agar dapat

berjalan dengan baik.

Pada tahun 1963, program penyuluhan yang di lakukan para mahasiswa Fakultas

Pertanian Universitas Indonesia yang kemudian menjadi Institut Pertanian Bogor,

merupakan sumber inspirasi bagi berkembangnya Program Bimas (Bimbingan

Massal). Program Bimas memberikan kerangka dasar organisasi program intensifikasi

produksi padi. Program Bimas yang di perluas mulai berlangsung tahun 1964 dan

menjadi terkenal karena semboyan Panca Usaha, yakni lima cara ke arah usaha tani

yang baik. Kelima cara ini mencakup penggunaan dan pengendalian air yang lebih

baik, penggunaan bibit pilihan, pupuk dan pestisida, cara bercocok tanam yang baik dan

koperasi yang kuat. Panca Usaha justru tidak menekankan aspek inovasi seperti yang

di cetuskan dalam program penyuluhan percontohan Bimas sebelumnya. Dalam

program ini para mahasiswa penyuluh hidup dan bekerja bersama-sama dengan petani

di desa-desa.

Sewaktu pemerintahan orde Baru memegang kekuasaan, sektor perberasan di

Indonesia berada dalam keadaan menyedihkan. Produksi beras di Jawa hanya 2 % lebih

tinggi dari produksi tahun 1954. Hasil beras per hektar di Indonesia tidak menunjukan

kenaikan selama sepuluh tahun. Kenaikan produksi bersumber dari luar Jawa kenaikan

rata-rata sebesar 1 persen setahun karena perluasan areal produksi. Menurunya

3

Page 4: PEREKONOMIAN INDONESIA

kesediaan beras perkapita dari 107 kg dalam tahun 1960 menjadi 92 kg dalam tahun

1965. Produksi ubi jalar tidak mengalami kenaikan dan hanya produksi jagung yang

melebihi tingkat pertumbuhan penduduk.

Selama tahun 1960an, lebih dari satu juta ton beras di impor setiap tahun ke

dalam negeri. Dalam tahun 1965 harga nominal beras adalah seratus kali harga beras

tahun 1960 dan harga bahan makanan lainya menunjukan kenaikan hampir sama

dengan harga beras. Hal ini berdampak pasa menciutnya cadangan devisa impor beras

sehingga menurun menjadi 200.000 ton dalam tahun 1965. Satu-satunya titik cerah

dengan situasi pangan adalah adanya kemungkinan menaikan produksi beras melalui

program Bimas.

III Kebijaksanaan Pangan dan Sektor Pertanian pada Pemerintahan Orde Baru

Pemerintahan Orde Baru menyadari pentingnya penyediaan beras yang cukup

dalam usaha memperbaiki pelaksanaan program Bimas, beberapa kebijaksanaan baru

diambil untuk mempermudah pembiayaan sarana produksi dan BRI (saat itu isebut

Bank Koperasi Tani dan Nelayan) memerlukan bantuan usahanya dalam memenuhi

kebutuhan dana para petani. Pada 1966, Kolognas satu badan yang baru dibentuk untuk

menangani masalah logistik distribusi barang-barang kebutuhan pokok. Saat itu devisa

yang tersedia untuk mengimpor pupuk masih sangat terbatas dan sistem distribusinya

tidak efisien. Karena terbatasnya devisa, impor beras juga terhambat. Karena tidak

mencapai tingkat yang diperlukan Bulognas kemudian dibubarkan pada tahun 1967 dan

diganti dengan Bulog, yaitu sebuah badan yang mengelola persediaan pangan dan

bertamggung jawab langsung kepada Presiden.

Pada tahun 1967 panen ternyata gagal dan produksi menurun drastis akibat

kekeringan yang melanda Asia Tenggara. Harga beras melonjak tinggi karena

minimnya persediaan beras. Saat itu sebuah perusahaan swasta, Mantrust, mendirikan

pabrik beras sintetis, tapi usaha ini gagal karena beras terbuat terbuat dari tepung

gandum yang dibentuk menyerupai beras, tetapi setelah dimasak beras itu menyerupai

bubur bukan nasi.

Pada tahun 1968 diadakan perubahan kebijaksanaan beras pemerintah, dan

perubahan ini merupakan awal kebijaksanaan harga produksi dan mengimpor beras.

Pada waktu itu dicetuskan “rumus Tani” yang dijadikan pegangan dalam pelaksanaan

kebijaksanaan harga.

4

Page 5: PEREKONOMIAN INDONESIA

Program Bimas terus dikembangkan dan disempurnakan. Pemerintah menerapkan

gotong-royong disamping Bimas Biasa pada awal musim tanam 1968. Pemberian kredit

dan distribusi memberikan pestisida kepada petani dilaksanakan atas dasar kontrak

dengan perusahaan-perusahaan asing. Pembayaran ;perusahaan-perusahaan asing atas

pelaksanaan program ini dan Bulog menerima pembayaran dalam bentuk gabah melalui

kepala desa.

Disamping kebijaksanaan yang ditujukan untuk meningkatkan produksi beras,

pemerintyah juga melancarkan program Keluarga Berencana Nasional dengan tujuan

mengurangi tingkaty fertilitas penduduk, dengan demikian lajju pertumbuhan

kebutuhan manusia akan bahan makanan beras jug dapat dikekang.

Setelah dicapainya swasembada beras di tahun 1984, perekonomian Indonesia

mengalami kemajuan pesat yang semu, sehingga akhirnya dilanda krisis pada tahun

1997/1998. Sejaqk itu sampai dengan pergantian pemerintah kepresidenan Habibie,

Presiden Gus Dur, dan Presiden SBY, kebijaksanaan pangan telah dikelabui oleh

kebijjaksanaan perbaikan ekonomi masa krisis.

Kondisi ini diperburuk oleh adanya konversi lahan subur di Jawa, sehingga

pertumbuhan produksi padi agak melandai. Namun demikian, terobosan alam

meningkatkan produksi padi terus diusahakan, meskipun konversi lahan terus

berlangsung. Berbagai studi menunjukkan bahwa lahan sawah merupakan sumber

utama produksi padi.

Pada tahun 2008, Indonesia dinyatakan sebagai negaa yang berswasembada

beras. Pencapaian status swasembada beras pada saat itu karena pada saat itu dunia

tengah mengalami krisis pangan. Saat itu, produksi pangan dunia menurun dan

harganya bergejolak naik.

Stok beras di dalam negeripun bertambah. Kemampuan ekspor ini telah

mengubah Indonesia yang sebelum program revitalisasi pertanian masih impor beras,

kini sudah tidak impor lagi. Tanaman pangan lainnya seperti ubi jalar, kacang tanah,

kacang kedelai, dan kacang hijau juga membantu ketahanan pangan Indonesia di masa

mendatang walaupun tidak terjadi peningkatan produksi yang berarti untuk komoditas

tersebut.

IV Pembangunan Tanaman Non Pangan

5

Page 6: PEREKONOMIAN INDONESIA

Pembahasan sampai sejauh ini terfokus pada kebijaksanaan tanaman pangan,

sehingga memberikan kesan bahwa sektor pertanian di Indonesia adalah pangan saja.

Hal ini merupakan tidak tepat. Pada tanaman pangan pun tidak hanya padi, melainkan

juga meliputi tanaman jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu, dan tanaman pangan

lainnya.

Tanaman non pangan meliputi tanaman mangga, jeruk, teh, tembakau, kelapa,

kelapa sawit, panili, kakao (cokelat), karet, lada, dan sebagainya. Tanaman non pangan

ini sering juga disebut tanaman tahunan, tanaman perkebunan, tanaman pohon, tanaman

kas. Perkembangan tanaman non pangan ini pada penjajahan Belanda diserahkan

kepada perusahaan besar perkebunan milik swasta belanda, dan untuk perkebunan

rakyatnya boleh dikatakan dibiarkan berkembang sendiri. Tanaman perkebunan ini

tumbuh di ladang (lahan kering) karena kurangnya perhatian pemerintah, dan banyak

ladang milik rakyat terlantar kosong tidak ditanami. Setelah kira-kira pertengahan

1970an, ketika tanaman pangan padi telah mendapatkan perhatian yang serius dari

pemerintah barulah tanaman non pangan tersebut diperhatikan pemerintah. Kalau di

departemen Pertanian terdapat Direktorat Pangan dan Direktorat Tanaman Perkebunan,

sementara Direktorat Pangannya sangat sibuk mengurus perkebunan Bimas-Inmas,

maka Direktorat Tanaman Perkebunan pun tidak bisa berpangku tangan saja. mereka

juga mengembangkat bibit unggul dan tanaman perkebuna baru di antaranya, tanaman

kakao, panili, jeruk, kelapa, kelapa sawit dan sebagainya. Bibit unggul ini juga

disuntikkan kepada masyarakat dengan bantuan kredit, sehingga dikenal dengan

adannya RPTE (Rencana Pengembangan Tanaman Ekspor). Untuk di daerah Bali dan

daerah lainnya, tanaman perkebunan yang menonjol adalah cengkeh dan panili.

Kalau dalam hal padi dibentuk lembaga pemasarannya (seperti gudang,

transportasi, lembaga keuangan, dan lain-lain) oleh pemerintah, tidak demikian halnya

dengan pemasaran untuk tanaman pohon. Setelah produksi berhasil ditingkatkan

dengan sangat dramatis, masalah pemasarannya terserah kepada rakyat. Jadi panen

yang berlimpah itu ternyata agak terlantar. timbul gagasan untuk membuat pabrik rokok

baru agar cengkeh rakyat tertampung , juga gagasan mendirikan badan penyangga

harga untuk komoditas tertentu. Yang telah terbentuk atas inisiatif swasta adalah BPPC

(badan penyangga pemasaran cengkeh). namun oleh karena masalah keuangan dan

teknis lainnya, BPPC tidak mempunyai kemampuan yang memadai untuk menangani

6

Page 7: PEREKONOMIAN INDONESIA

masalah pemasaran cengkeh. Akhirya kepada para petani disarankan untuk menebang

pohon cengkehnya dengan biaya sendiri untuk menjaga agar harga tetap stabil.

Mengenai kebijakan pemasaran ini, mungkin ada baiknya kita membandingkan

cara yang dilakukan di Negara lain. Misalnya di Brazilia pada saat panen kopi raya,

produksi kopi melonjak dengan tajam. Pada saat itu pemerintah Brazilia membeli kopi

rakyat dan dibuang ke laut hanya untuk mempertahankan harga. Berbeda halnya

dengan di Negara maju Eropa dan Amerika Serikat, dimana pada saat kelebihan

produksi pemerintah membeli hasil produksi rakyat, untuk kemudian, karena tidak ada

pembeli potensial maka disumbangkan ke luar negeri. Itulah sebabnya kita mengenal

dan melihat adanya konsumsi susu gratis untuk siswa sekolah dasar, yang tidak lain

merupakan sumbangan Negara maju karena kelebihan produksi. Jadi di Negara maju,

stabilitas harga untuk tanaman perkebunan ditangani oleh pemerintah baik dengan cara

membuang ke laut (Brazilia), ataupun disumbangkan ke Negara miskin (Amerika

Serikat), namun di Indonesia karena kesulitan dana maka diserahkan kepada petani

sendiri.

Sesungguhnya, dengan laju pertumbuhan sekitar4-5% per tahun subsector

perkebunan adalah salah satu subsector yang mengalami pertumbunan yang konsisten,

baik ditinjau dari areal maupun produksi. Secara keseluruhan areal perkebunan

meningkat dengan laju 2,6% per tahun. pada periode 2000-2003, misalnya total areal

pada tahun 2003 mencapai 16.3 juta ha. Dari beberapa komoditas perkebunan yang

penting di Indonesia (karet, kelapa sawit, kelapa, kopi, kako, the, dan tebu), kelapa

sawit, karet kakao malah tumbuh lebih pesat dibandingkan tanaman perkebunan

lainnya, yakni dengan laju pertumbuhan rata-rata di atas 5% per tahun (tabel 5.3).

Pertumbuhan yang pesat dari ketiga komoditas tersebut pada umumnya berkaitan

dengan tingkat keuntungan pengusahaan komoditas tersebut relatif lebih baik dan juga

kebijakan pemerintah untuk mendorong perluasan areal komoditas tersebut. CPO dari

kelapa sawit dan karet merupakan dua komoditas yang mempunyai kontribusi yang

dominan. Pertumbuhan produksi komoditas kakao dan kopi juga relatif pesat pada

periode tersebut. Meningkatnya harga-harga produk perkebunan sejak 2003 merupakan

salah satu faktor pendorong peningkatan produk tersebut.

V Perubahan Struktur Ekonomi

A. Peran Sektor Pertanian

7

Page 8: PEREKONOMIAN INDONESIA

Pada awal kehidupan suatu negara pasti mempunyai sektor pertanian yang

mendominasi. Pengan pembangunan ekonomi, peran ekonomi sektor pertanian

biasanya mengalami penurunan dibarengi makin meningkatnyaperan sektor lain,

terutama sektor industri. Oleh karena itu perubahan struktur perekonimian satu

negara biasanya dimulai dengan sektor pertanian kemudian sektor industri dan

jasa.

1. Menyediakan surplus pangan yang semakin besar kepada penduduk yang

kian meningkat. Jika output meningkat karena meningkatnya produktivitas,

maka pendapatan para petani meningkat. Kenaikan pendapatan per kapita

akan sangan meningkatkan permintaan pangan. Peningkat laju pertumbuhan

penduduk akibat dari penurunan angka kematian penduduk dan penurunan

angka kesuburan akan meningkatkan permintaan akan bahan makanan juga

meningkat karena perkembangan penduduk di kota – kota dan kawasan

industri. Dengan mempertimbangkan faktor ini maka kenaikan output

bahan makanan di sektor pertaninan seharunya melaju lebih cepat daripada

laju pertumbuhan permintaan akan bahan makanan.

2. Meningkatkan permintaan akan produk industri dengan demikian

mendorong keharusan diperluasnya sektor sekunder dan tersier. Kenaikan

daya beli daerah pedesaan, sebagai akibat surplus pertanian, merupakan

perangsang kuat terhadap perkembangan industri.

3. Menyediakan tambahan penghasilan devisa untuk import barang modal

bagi pembangunan bagi pembangunan melalui ekspor hasil pertanian.

Kebanyakan negara berkembang mengkhususkan diri pada beberapa barang

pertanian untuk ekspor.

4. Meningkatkan pendapatan desa untuk dimobilisasi oleh pemerintah

(tabungan). Setiap negara memerlukan sejumlah besar modal untuk

membiayai pembangunan, perluasan infrastruktur, pengembangan industri

dasar, dan industri berat.

5. Memperbaiki kesejahteraan masyarakat pedesaan. Kenaikan pendapatan

daerah pedesaan sebagai akibat surplus hasil pertanian cenderung

memperbaiki kesejahteraan daerah pedesaan.

B. Perubahan Struktur

8

Page 9: PEREKONOMIAN INDONESIA

Besarnya sumbangan dari berbagai macam sektor perekonomian terhadap

penghasilan nasional atau terhadap produk domestik bruto akan mengakibatkan

terjadinya perubahan struktur perekonomian. Misalnya, negara agraris yang

perekonomiannya lebih besar di dukung oleh sektor pertanian. Begitupun dengan

negara yang mendapat sebutan negara industri tentunya sumbangan sektor

industri yang menonjol di negara tersebut. Contohnya negara Singapura yang

melakukan perubahan terhadap struktur perekonomiannya dari negara agraris ke

negara jasa. Hal demikian juga terjadi di Bali, yang dari sektor agraris ke sektor

jasa.

Tabel Produk Domestik Bruto menurut Sektor Asal (dalam %)

1960 1977 2007 (Agustus)

1. Pertanian, Pertambangan, dan Penggalian 57,6 46,9 22,5

2. Industri Pengolahan 8,4 11,9 27,4

3. Jasa (Listrik, Air, Gas, Konstruksi,

Pengangkutan, Perdagangan, dan Jasa Lain)

34,0 53,2 50,1

Jumlah 100 100 100

Sumber: 1960 dan 1977 dari A.Booth dan P.Mc Cawley, Tabel 1.2, hal 6 (diolah) 2007

(Agustus) BPS seperti pada BI LPI 2007, Tabel 2.7 (diolah).

Data mengenai sumbangan masing-masing sektor (pertanian, industri pengolahan,

dan jasa) dalam Pembentukan Produk Domestik Bruto di Indonesia untuk tahun 1960,

1977, dan 2007 (Agustus). Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa peran sektor

pertanian dalam pembentukan Produk Domestik Bruto telah mengalami penurunan dari

57,6% pada tahun 1960 menjadi 46,9% pada tahun 1977 dan akhirnya hanya menjadi

22,5% pada tahun 2007 (Agustus). Sedangkan sumbangan sektor industri terus

mengalami kenaikan dari 8,4% pada tahun 1960, telah menjadi 11,9% pada tahun 1977,

dan sekarang ini telah mencapai lebih dari 27% sektor industri yang paling menonjol

adalah pada masa akhir pemerintahan Soeharto sampai sekarang, yakni setelah tahun

1980an. Jika di perhatikan tabel diatas, peran sektor jasa tertinggi pada tahun 1977

yaitu sebesar 53,2%. Angka ini tidaklah negara Indonesia adalah negara jasa sejak

1977. Jadi, kesimpulannya Indonesia sudah memasuki masa negara industri.

Ada alternatif lain untuk melihat perubahan struktur ekonomi satu negara yaitu

dengan melihat jumlah atau persentase angkatan kerja pada masing-masing sektor.

Namun alternatif ini sering membingungkan penggunanya, karena serapan sektor

9

Page 10: PEREKONOMIAN INDONESIA

industri yang sangat pelan terhadap tenaga kerja, karena teknologi yang dipakai adalah

teknologi padat modal.

10

Page 11: PEREKONOMIAN INDONESIA

DAFTAR PUSTAKA

Nehen, Ketut.2012.Perekonomian Indonesia.Denpasar: Udayana University Press.

11