Kondisi Perekonomian Indonesia

download Kondisi Perekonomian Indonesia

of 18

Transcript of Kondisi Perekonomian Indonesia

Kondisi Perekonomian IndonesiaKabinet Indonesia Bersatu

Personalia KelompokDachlia Dessi Fiyya Indra Rukmana Nurul Hilaliyah

PendahuluanDalam 10 tahun terakhir (1998-2008), pembangunan di Indonesia mengalami kemajuan signifikan. Pertumbuhan ekonomi, misalnya, pada tahun 1998 minus 13.1 persen. Pada SBY tampil sebagai Presiden, tahun 2004, pertumbuhan ekonomi naik pesat menjadi 5.1 persen. Dan tahun 2008 diproyeksikan sebesar 6,4 persen. Cadangan devisa yang semula 33.8 miliar dolar AS, pada tahun 2008 naik menjadi 69.1 persen. Tingkat kemiskinan juga terus berkurang. Pada tahun 1998, angka kemiskinan mencapai 24.2 persen. Pada masa awal Presiden SBY, tingkat kemiskinan ini turun menjadi 16.7 persen. Dan pada 2008 tinggal 15.4 persen dari total penduduk Indonesia. Utang kepada Dana Moneter Internasional (IMF) dipangkas habis pada masa pemerintahan SBY. Hal ini bias kita lihat, pada tahun 1998, utang Indonesia kepada IMF sebesar 9.1 miliar dolar AS. Pada tahun 2006, dua tahun setelah memimpin Indonesia, Pemerintah berhasil melunasi seluruh utang kita sebesar 7.8 miliar dolar AS. Selengkapnya, lihat data-data laju pembangunan Indonesia 10 tahun terakhir berikut. Data-data ini berasal dari BPS.

Daftar IsiPendahuluan Daftar Isi Bab I Makro 1.1. Investor 1.2. Export-import 1.3. Pertumbuhan perbankan 1.4. Hutang luar negeri Bab II Mikro 2.1. Pengangguran 2.2. Pertumbuhan Perekonomian Rakyat Bab III Penutup 3.1. Kesimpulan

Bab I Kondisi Ekonomi Makro Indonesia Bersatu 1.1. Investor Tingkat perekonomian suatu Negara salah satunya bias kita ukur dengan jumlah dan besarnya investor pada Negara tersebut. Di Indonesia, permasalahan mengenai stabilitas dan keamanan Negara akhir-akhir ini sering bermunculan yang menyebabkannya para investor asing maupun investor domestik pun lari ke Negara lain yang berimbas pada pemasukan Negara semakin berkurang. Berikut data rangkuman dari BEI dari tahun 1977 sd 2010:Diaktifkannya kembali Pasar Modal di Indonesia. Reactivation of the Capital Market in Indonesia. Paket Oktober 1988. October Package 1988. Berdirinya BES. Establishment of the SSX. Swastanisasi Bursa Efek Jakarta. Privatization of the Jakarta Stock Exchange. BAPEPAM menjadi Badan Pengawas Pasar Modal. BAPEPAM was put in place as the Capital Market Supervisory Agency. Perdagangan saham di BEJ memasuki era otomasi, beralih dari sistem manual menjadi menggunakan Jakarta Automated Trading System (JATS). Share Trading at the IDX entered the era of automation, switching from a manual system to the Jakarta Automated Trading System (JATS). Bursa Paralel Indonesia bergabung ke dalam BES. The merger of Indonesia Parallel Exchange into SSX. Diberlakukannya Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal sebagai landasan hukum penyelenggaraan Pasar Modal Indonesia. The enactment of the Law of the Republic of Indonesia No. 8 Year 1995 on the Capital Market as a legal basis for implementation of the Capital Market in Indonesia. Didirikannya PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI). Founding of the Indonesian Clearing and Guarantee Corporation (KPEI). Didirikannya PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI). Founding of the Indonesian Central Securities Depository (KSEI). Penerapan Scripless Trading System dimulai (proses selesai pada bulan Agustus 2002). Implementation of Scripless Trading System (the process completed in August 2002). Penerapan Remote Trading System. Implementation of Remote Trading System. Perubahan penyelesaian transaksi dari T+4 ke T+3. Expedited settlement from T+4 to T+3. Peluncuran Kontrak Opsi Saham. Launching of Stock Option. Pengoperasian fasilitas Disaster Recovery Center Sertifikasi ISO 9001:2000. Putting in place the Disaster Recovery Center ISO 9001:2000. Implementasi prosedur Business Contingency Plan. Implementation of a Business Contingency Plan procedure.

Penggabungan Bursa Efek Surabaya (BES) ke dalam Bursa Efek Jakarta (BEJ) menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI). Consolidation of the Surabaya Stock Exchange (SSX) into Jakarta Stock Exchange (JSX) to become the Indonesia Stock Exchange (IDX). Penghentian sementara perdagangan di BEI (8-10 Oktober 2008). IDX Trading Suspension (8-10 October 2008). Sertifikasi ISO 9001:2000 untuk fungsi Perdagangan, Pencatatan dan Manajemen Keuangan. ISO 9001:2000 Certification for the functions of Trading, Listing and Financial Management. Penerapan JATS-NextG. Implementation of JATS-NextG. Penghargaan The Best Stock Exchange of the Year 2009 in S.E.A dari Alpha Southeast Asia Magazine. The Best Stock Exchange of the Year 2009 in S.E.A organized by Alpha Southeast Asia Magazine. IHSG menyentuh rekor level baru, yaitu 3.786,097 pada tanggal 9 Desember 2010. Jakarta Composite Index (JCI) posted a new record of 3,786.097 on December 9, 2010. Sertifikasi ISO 9001:2008. ISO 9001:2008 Certification. Penghargaan The Best Stock Exchange of the Year 2010 in S.E.A dari Alpha Southeast Asia Magazine. The Best Stock Exchange of the Year 2010 in S.E.A organized by Alpha Southeast Asia Magazine.

Grafik peningkatan BEI dari tahun 1992 sd 2010

Sumber grafik: http//www.bei.go.id

Meskipun perekonomian nasional dibayangi laju inflasi dimana Indeks Harga Konsumen (IHK) tahun 2010 tercatat 6,96%, lebih tinggi dari tahun sebelumnya sebesar 2,78%, namun hal ini mampu diimbangi dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi. Pada 2010, pertumbuhan ekonomi mencapai 6,1%, lebih tinggi dibandingkan tahun 2009 yang mencapai 4,6%. Sedangkan dari sisi nilai tukar, kurs Rupiah pada akhir tahun 2010 mencapai Rp8.991 per dolar AS, atau terapresiasi sebesar 4,35% dibandingkan dengan kurs Rupiah akhir tahun 2009 yang berada di posisi Rp9.400 per dolar AS.

Kondisi fundamental ekonomi yang kuat dan stabil menjadi salah satu faktor dominan terhadap pencapaian kinerja pasar modal secara keseluruhan dan BEI khususnya. Hal ini turut bisa dilihat pada kinerja keuangan Perusahaan Tercatat di BEI dimana mayoritas mampu meningkatkan kinerjanya dibandingkan tahun sebelumnya. Disamping itu, Pemerintah mampu menjaga stabilitas social dan politik sehingga menciptakan rasa nyaman dan aman bagi pelaku pasar. Meskipun ada dinamika masyarakat di bidang sosial dan politik, akan tetapi Pemerintah sanggup menanganinya dengan baik. Keseluruhan faktor pendukung di atas juga mendorong tumbuhnya kepercayaan investor baik investor domestic maupun investor asing untuk tetap menginvestasikan uangnya di Pasar Modal Indonesia. Bahkan, antusiasme investor asing untuk investasi di Pasar Modal Indonesia masih sangat besar yang tercermin dari meningkatnya nilai investasi bersih (net buying) investor asing sebesar 57,87% dari Rp13,29 triliun di akhir 2009 menjadi Rp20,98 triliun per 31 Desember 2010. Oleh sebab itu, bisa dipahami jika Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) BEI selama 2010 mencatat kenaikan tertinggi di kawasan Asia Pasifik setelah Bursa Efek Colombo (Srilanka). Kondisi yang sama juga terjadi pada instrumen surat utang baik surat utang Negara maupun surat utang korporasi. 1.2. Export Import a. Ekspor Hasil Industri Ekspor kayu lapis masih terus menunjukkan penurunan. Penurunan ekspor kayu lapis bahkan sudah terjadi sejak sebelum terjadinya krisis. Ekspor pakaian jadi yang pada tahun 2000 mencapai US$ 4,7 miliar terus menurun dan pada tahun 2002 hanya mencapai US$ 3,9 miliar. Ekspor tekstil lainnya yang mencapai US$ 4,7 miliar pada tahun 1998 menurun menjadi sekitar US$ 3,1 miliar tahun 2002. Sedangkan ekspor alat-alat listrik yang pada tahun 2000 mencapai US$ 3,2 miliar, pada tahun 2002 menurun menjadi sekitar US$ 2,7 miliar. Adapun ekspor untuk kertas dan bahan kertas lainnya dan bahan kimia cenderung untuk stabil. Ekspor bahan makanan olahan mengalami sedikit peningkatan yaitu dari US$ 0,8 miliar pada tahun 1997 menjadi US$ 1,2 miliar pada tahun 2002.

Apabila diamati volume ekspor industri setelah krisis jauh lebih tinggi dibandingkan dengan volume ekspor industri sebelum krisis. Pada tahun 1997 volume ekspor industri hanya mencapai 33,8 juta ton kemudian meningkat tajam pada tahun 1998 mencapai 47,6 juta ton. Pada tahun-tahun selanjutnya volume ekspor hasil industri berfluktuasi dalam rentang yang tidak terlalu besar. Pada tahun 2002 volume ekspor sektor industri mencapai 45,5 juta ton. Dengan demikian volume ekspor hasil industri dari tahun 1997 hingga tahun 2002 naik sebesar 34,5%. Dengan membandingkan nilai ekspor hasil industri pada kurun waktu tersebut yang meningkat sekitar 10,4% dengan kenaikan volume ekspor hasil industri sekitar 34,5%, dapat disimpulkan telah terjadi penurunan tingkat harga ekspor rata-rata yang cukup besar dalam 5 tahun terakhir ini (lebih dari 25%). Salah satu penyebab penurunan harga ekspor rata-rata hasil industri tersebut diantaranya adalah meningkatnya suplai dunia dari negara-negara pesaing. b. Ekspor Hasil Pertanian Setelah mencapai puncaknya pada tahun 1998, yaitu sebesar US$ 3,7 miliar, nilai ekspor hasil pertanian berfluktuasi dengan kecenderungan menurun. Pada tahun 2002 ekspor hasil pertanian hanya mencapai US$ 2,6 miliar. Dilihat dari volumenya, ekspor hasil pertanian yang pada tahun 1997 berjumlah 1,8 juta ton justru meningkat pada tahun 1998 yaitu mencapai 3,2 juta ton. Pada tahun-tahun berikutnya volume ekspor hasil pertanian ini berflluktuasi, yaitu berturut-turut 2,4 juta ton, 2,0 juta ton, 2,2 juta ton dan 1,9 ton untuk tahun-tahun 1999, 2000, 2001, dan tahun 2002. c. EKSPOR HASIL PERTAMBANGAN (DI LUAR MIGAS) Ekspor hasil pertambangan (di luar migas) yang pada tahun 1997 mencapai US$ 3,1 miliar, menurun pada tahun 1998 dan tahun 1999. Dalam tahun 2000 dan sesudahnya, ekspor hasil pertambangan menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2002 ekspor hasil pertambangan mencapai US$ 3,7 miliar, melampaui nilai ekspor sebelum krisis. Dalam tahun 2003 nilai total ekspor (migas dan non-migas) mengalami peningkatan yang relatif tinggi. Sampai dengan 10 bulan pertama tahun 2003, nilai ekspor meningkat sekitar 6,0% dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2002. Namun peningkatannya terutama didorong oleh ekspor migas yang naik sekitar 16,0%, sedangkan penerimaan ekspor non-migas hanya meningkat sebesar 3,4%. Peningkatan

ekspor non-migas ini sebagian merupakan sumbangan dari sektor pertambangan (di luar migas) yang meningkat sebesar 15,6%. Adapun penerimaan ekspor hasil industri hanya meningkat sebesar 2,6%, dan ekspor hasil pertanian menurun sebesar 1,5%. Dibandingkan dengan pertumbuhan ekspor non-migas pada masa sebelum krisis yang mencapai lebih dari 15% per tahun, pertumbuhan ini masih sangat jauh dari yang diharapkan. Dengan pertumbuhan sebesar ini, ekspor masih belum dapat diandalkan sebagai sumber penggerak pertumbuhan ekonomi. Dalam tahun 2004, kinerja ekspor non-migas harus dapat ditingkatkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Berbagai permasalahan yang menghambat peningkatan ekspor non-migas harus dapat dihapuskan. Disamping itu untuk meningkatkan kinerja ekspor non-migas perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan kualitas komoditi, diversifikasi produk, dan perluasan pasar ekspor. Selama ini, pasar komoditi ekspor nasional hanya mengarah pada pasar-pasar tradisional seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Singapura sebagai negara tujuan ekspor terbesar. Pergeseran terjadi sejak tahun 2002 dengan RRC sebagai negara tujuan ekspor keempat Indonesia menggantikan Malaysia. Dengan dinamika kawasan Asia yang tumbuh paling tinggi sejak dekade 70an, pasar komoditi ekspor Indonesia perlu mengarah pada pasar regional di kawasan Asia. Selain itu perkembangan impor menunjukkan pola pergerakan yang sama dengan ekspor. Ini mengindikasikan bahwa berbagai bahan baku/penolong yang digunakan untuk mengolah komoditi ekspor masih berasal dari impor sehingga akan menekan surplus neraca transaksi berjalan dan mempengaruhi cadangan devisa. Stabilitas neraca transaksi berjalan dan ketersediaan devisa ini menjadi penting pada tahun 2004 dan sesudahnya dengan keinginan untuk mengurangi utang luar negeri dan ketatnya persaingan untuk menarik PMA. Untuk itu, ketergantungan akan impor ini harus dapat dikurangi dengan memanfaatkan bahan baku/penolong dari dalam negeri. Upaya untuk mengurangi ketergantungan impor ini memang membutuhkan waktu yang cukup panjang. Namun harus direncanakan secara strategis dan mulai diupayakan. 1.3. Pertumbuhan Perbankan Selama 11 bulan pertama tahun 2003, nilai tukar rupiah cenderung menguat. Pada bulan November 2003 nilai tukar rupiah mencapai Rp 8.537,-/US$ menguat sekitar 4,5% dibandingkan dengan akhir tahun 2002. Kecenderungan menguatnya nilai tukar rupiah juga terlihat dari membaiknya indikator resiko jangka pendek, yaitu menurunnya

tingkat premi swap 3 dan 6 bulan hingga masing-masing menjadi 7,05% dan 7,10% pada bulan Oktober 2003 dibandingkan dengan akhir tahun 2002 yang masing-masing mencapai 12,55% dan 12,45%. Sejalan dengan menguatnya nilai tukar rupiah, kinerja pasar modal juga meningkat. Pada bulan November 2003, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta (BEJ) meningkat menjadi 617,1 atau naik sekitar 45,8% dibandingkan akhir tahun 2002. Dalam periode yang sama, nilai kapitalisasi pasar juga meningkat menjadi Rp 411,7 triliun atau naik 53,9% dibandingkan akhir tahun 2002. Meningkatnya kinerja pasar saham dalam negeri didorong oleh berbagai sentimen positif seperti membaiknya kinerja pasar saham internasional, divestasi Bank Danamon, divestasi Bank Niaga, rencana divestasi Bank Lippo dan BII, IPO Bank Mandiri, serta rencana IPO Bank BRI. Pada akhir bulan Oktober 2003, posisi uang primer mencapai Rp 140,1 triliun atau naik 12,3% dibandingkan bulan yang sama tahun sebelumnya. Sampai akhir Oktober 2003, pertumbuhan uang primer relatif terkendali dengan rata-rata tertimbang sekitar 9,6%. Dengan menguatnya nilai tukar rupiah dan terkendalinya pertumbuhan uang primer, selama 11 bulan pertama tahun 2003 laju inflasi menurun menjadi 4,08%, jauh lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yaitu sebesar 8,72%. Sedangkan laju inflasi setahun (akhir November 2003 terhadap akhir November 2002) menurun menjadi 5,33%, lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu sebesar 10,48%. Kecenderungan menurunnya laju inflasi selama 11 bulan pertama tahun 2003 memberikan ruang yang lebih luas bagi penurunan tingkat bunga. Secara bertahap suku bunga rata-rata tertimbang SBI 1 bulan menurun dari 13,02% pada akhir tahun 2002 menjadi 8,48% pada akhir bulan Oktober 2003. Penurunan suku bunga ini kemudian diikuti oleh penurunan suku bunga kredit perbankan. Rata-rata tertimbang suku bunga kredit modal kerja menurun dari 18,25% pada akhir tahun 2002 menjadi 16,07% pada bulan September 2003; sedangkan suku bunga kredit investasi menurun dari 17,82% menjadi 16,53% pada periode yang sama. Menurunnya suku bunga kredit ini mendorong penyaluran kredit kepada masyarakat. Pada akhir September 2003 jumlah kredit yang disalurkan meningkat

menjadi Rp 411,7 triliun atau naik 20,7% dibandingkan bulan yang sama tahun sebelumnya.

Walaupun meningkat, penyaluran kredit relatif lebih banyak dalam bentuk kredit konsumsi. Apabila pada akhir tahun 1996, peranan kredit konsumsi hanya sekitar 10,3% dari total kredit, pada akhir September 2003 meningkat menjadi 23,9%. Sedangkan peranan kredit investasi menurun dari 24,0% menjadi 22,0% dari total kredit pada kurun waktu yang sama. Lebih lanjut rasio penyaluran dana masyarakat terhadap penghimpunan dana pihak ketiga (loan to deposit ratio LDR) masih relatif rendah. Pada bulan Agustus 2003, LDR mencapai 41,1%; jauh lebih rendah dibandingkan pencapaian sebelum krisis (sekitar 70 80%). Disamping itu, spread antara suku bunga pinjaman dan simpanan masih tetap tinggi. Selisih antara suku bunga kredit modal kerja dengan suku bunga deposito 3 bulan pada bulan September 2003 mencapai sekitar 7,5%; lebih tinggi dari bulan Desember tahun 2002 (sekitar 4,6%). Hingga akhir bulan Agustus 2003 rasio kecukupan modal (CAR) perbankan nasional mencapai 22,7%; relatif sama dibandingkan dengan akhir tahun 2002. Rasio kredit macet yang ditunjukkan dengan tingkat NPL terhadap total kredit membaik dan mencapai 6,6% pada akhir bulan September 2003 dibandingkan dengan bulan yang sama tahun 2002 yaitu sekitar 10,1%. 1.4. Hutang luar negeri

Grafik utang Pemerintah

Grafik utang pemerintah terhadap IMF

Hutang Indonesia kepada pihak asing dan juga PBB semakin menunjukan kemajuan yang sangatadrastis dimulai dari tahun 2005. Hal ini bisa kita simpulkan bahwa semakin besar pengeluaran pemerintah maka semakin besar pula pemasukan yang didapat oleh pemerintah. Bagaimanapun, dengan melihat data grafik di atas menunjukan pertumbuhan ekonomi makro yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Bab II Kondisi Ekonomi Mikro Indonesia Bersatu

2.1. Tingkat Pengangguran Data dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) sampai dengan bulan Agustus 2002 menunjukkan jumlah angkatan kerja Indonesia mencapai 100,8 juta orang atau naik 1,03% dibandingkan tahun sebelumnya; dengan komposisi 63,3 juta orang (62.8%) laki-laki dan 37,5 juta orang (37.2%) perempuan. Dari keseluruhan angkatan kerja tersebut, sekitar 58,7 juta orang (58,2%) berada di pedesaan dan 42,1 juta orang (41,8%) berada di perkotaan. Sedangkan angkatan kerja yang termasuk dalam kategori pengangguran terbuka berjumlah 9,1 juta orang (9,1% ) naik dari tahun sebelumnya yang mencapai 8,0 juta orang (8,1%). Sejumlah 4,1 juta orang (44,8%) pengangguran terbuka berada di pedesaan dan 5,0 juta orang (55,2%) berada di perkotaan. Sebanyak 2,8 juta orang dari pengangguran terbuka merupakan penganggur usia muda (15 - 19 tahun); meningkat dibandingkan tahun 2001 yang berjumlah 2,3 juta orang. Dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2002 sekitar 3,7%, tingkat penyerapan angkatan kerja hanya mencapai sekitar 0,8 juta orang (dibanding peningkatan angkatan kerja tahun 2002 yang sebesar 1,9 juta orang); atau penciptaan lapangan kerja hanya mencapai sekitar 200 ribu tenaga kerja per 1% pertumbuhan ekonomi. Sepanjang tahun 2003, kondisi ketenagakerjaan masih belum mengalami perbaikan yang berarti. Angka pengangguran terbuka tahun 2003 diperkirakan meningkat dibandingkan tahun sebelumnya disebabkan oleh penciptaan lapangan kerja masih relatif kecil dan cenderung tidak meningkat. Dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi tahun 2003 yang hanya mencapai 3,9% dan peningkatan angkatan kerja sebesar lebih dari 2 juta orang, maka jumlah pengangguran terbuka diperkirakan meningkat menjadi 10,1 juta orang. Selain itu dalam tahun 2003, masalah TKI kembali timbul dengan banyaknya permasalahan yang terjadi pada TKI yang bekerja di luar negeri yang memerlukan pembenahan agar tidak terus berlanjut. Jumlah penganggur terbuka diperkirakan terus meningkat pada tahun 2004. Oleh karena itu perlu kiranya pemerintah melakukan upaya-upaya cermat guna mengurangi penganggur terbuka terutama yang pada tahun 2004, perekonomian

nasional akan menghadapi dua peristiwa penting yaitu pelaksanaan pemilihan umum yang diharapkan berlangsung secara demokratis, aman, dan tertib, serta diawalinya program pembangunan tanpa kerjasama dengan IMF.

Grafik pertumbuhan pengangguran tahun 1998-2008

Penguatan perekonomian pada sector investasi menyebabkan banyaknya industry-industri besar memadati Negara Indonesia. Yang mana hal ini berimbas pada kebutuhan perusahaan-perusahan terhadap tenaga kerja. Sehingga dengan di tunjang oleh perkembangan sector perekonomian makro yang semakin meningkat dan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja perusahaan, tingkat pengangguran pun semakin memperlihatkan pennurunan yang signifikan.

2.2. Pertumbuhan Perekonomian Rakyat Dengan kondisi lapangan pekerjaan yang semakin tahun semakin membutuhkan tenaga kerja, serta ditunjang dengan mudahnya para pengusaha mendapatkan permodalan dari perbankan. Pertumbuhan perekonomian pun dipastikan akan ikut meningkat seiring dengan perkembangan perekonomian makro di Indonesia.

Grafik pertumbuhan perekonomian mikro Indonesia

Pada data di atas menunjukan bahwa pada tahun 2000 pertumbuhan perekonomian mikro meningkat secara signifikan. namun peningkatan pada tahun 2000 tidak melebihi kenaikan perekonomian dari tahun 2002 sd tahun 2008.

Bab III PENUTUP

3.1. Kesimpulan Meskipun secara umum stabilitas moneter dalam keseluruhan perekonomian Indonesia masih tetap terkendali, tercermin dari relatif stabilnya rupiah dengan kecenderungan menguat; menurunnya laju inflasi dan suku bunga; serta meningkatnya cadangan devisa, tantangan pokok yang dihadapi oleh perekonomian Indonesia terbilang masih cukup besar. Tujuan peningkatan perekonomian masih jauh dari kata puas dan maksimal. Tantangan yang harus di lalui masih begitu banyak untuk mencapai tujuan kata maksimal. Ditambah dengan permasalahan yang akan dihadapi oleh Indonesia pada perekonomian makro antar Negara dengan perdagangan bebas internasionalnya. Peningkatan perekonomian yang diraih pada saat ini seyogyanya bisa jadi acuan bagi para pemegang pemerintahan dan masarakat Indonesia untuk bersatu membangun perekonomian Indonesia.

Daftar Pustakahttp://www.bappenas.go.id

http://www.bei.go.id

http://www.antarnews.com