Perekonomian Indonesia

31
Pembahasan : 1. Kebijakan Redenominasi 2. Privatisasi Indonesia 3. Otonomi Daerah 4. Keuangan Daerah

description

kebijakan redominasi, privatisasi indonesia, otonomi daerah, keuangan daerah

Transcript of Perekonomian Indonesia

Pembahasan :

1. Kebijakan Redenominasi2. Privatisasi Indonesia3. Otonomi Daerah4. Keuangan Daerah

KEBIJAKAN REDENOMINASI

Ruang LingkupRedenominasi adalah penyederhanaan pecahan mata uang menjadi lebih sedikit dengan mengurangi digit pada suatu mata uang (misalnya Rp 100.000 menjadi Rp 100). Hal ini lah menjadi isu hangat yang konon akan dilakukan pemerintah pada mata uang rupiah. salah satu tujuan dari redenominasi adalah untuk menyederhanakan mata uang agar lebih efisien dan mudah dalam melakukan transaksi. Selain itu redenominasi bertujuan untuk menyetarakan tingkat ekonomi masyarakat Indonesia dengan negara maju maupun berkembang. Karena jika kita perhatikan tingkat ekonomi negara sangat bergantung pada inflasi dan berdasar pada kurs mata uang Rupiah denga mata uang asing seperti Dollar Amerika. Jika kita mencoba menerawang dampak Redenominasi pada masyarakat sesungguhnya menimbulkan banyak pertanyaan. sebenarnya Redenominasi tidak akan mempengaruhi harga pasar, karena daya beli akan dirasa sama. Namun yang menjadi masalah besar adalah bagaimana merubah kebiasaan masyarakat Indonesia yang telah terbiasa dengan kegiatan transasksi dengan nominal saat ini. Sebuah spekulasi memang harus dilaksanakan dengan bijak sehingga kebijakan atau keputusan yang nantinya keluar tidaklah dirasa sebagai hal yang mendiskriminasi masyarakat, walau pada intinya hal tersebut berupaya untuk menstabilkan perekonomian nasional.Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kebijakan redenominasi ini belum tentu dapat meningkatkan taraf ekonomi masyarakat menengah kebawah. karena sekali lagi kebijakan ini tidak berdampak pada peningkatan atau pengurangan harga suatu produk, namun hanya menyederhanakan nominal mata uang, jadi sama sekali tidak berefek pada masyarakat.Permasalahan selanjutnya adalah bagaimana kegiatan ekonomi pasar yang akan mengalami masa-masa transisi atau masa perubahan, dimana masyarakat dan semua elemen termasuk privat dan pemerintah dituntut untuk bisa beradaptasi cepat dalam menyikapi kebiasaan penggunaan mata uang dengan nominal yang baru.Karena hal ini terkait dengan kebiasaan masyarakat maka sosialisai dan penerapan konsep redenominasi haruslah melalui tahapan sistematis yang dapat diterima langsung oleh kalangan masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah kebawah. Mengingat luas wilayah Indonesia yang akan menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dalam mensosialisaikan konsep Redenominasi mata uang rupiah ini.Peran Pemerintah dalam Kebijakan Redenominasi

Jika kita melihat kondisi masyarakat saat ini, sebenarnya kebijakan redenominasi pada beberapa bidang ekonomi, terutama sektor ekonomi mikro, sudah mulai terlihat. Contohnya saja pada penjual pulsa elektrik, umumnya daftar pulsa yang dijual sudah dicantumnkan dalam angka satuan dan puluhan saja. Untuk beberapa golongan masyarakat, penghilangan tiga angka nol ini sudah biasa sehingga shock effect dari redenominasi dapat diminimalisasi.Berdasarkan data perbandingan kurs mata uang terhadap Dollar Amerika, kurs Rupiah terlihat sangat rendah dibandingkan dengan kurs mata uang beberapa Negara ASEAN. Hal ini memberi kesan yang buruk bagi Rupiah, efeknya investor asing menjadi kurang tertarik berinvestasi di Indonesia. Dan dari sisi penghitungan pun, banyak perangkat dan aplikasi sehari-hari yang terbatas dalam menampilkan digit angka sehingga penyederhanaan nominal memang perlu dilakukan.Pengalaman beberapa Negara dalam melakukan redenominasi juga beragam, ada yang berhasil, ada pula yang gagal. Pengalaman kegagalan beberapa Negara dalam menerapkan redenominasi perlu disikapi serius oleh Indonesia. Faktor-faktor penyebab kegagalan penerapan redenominasi harus dikaji lebih mendalam dan dikaitkan dengan kondisi fundamental perekonomian Indonesia. Harapannya agar hal-hal tersebut tidak terulang di Indonesia. Regulasi dan timing implementasi menjadi dua faktor yang sangat menentukan keberhasilan implementasi redenominasi. Pemerintah dan parlemen harus menyiapkan UU yang tegas, karena redenominasi akan berdampak pada banyak peraturan perundang-undangan sebelumnya, terutama dalam penyebutan nilai nominal yang tercantum dalam peraturan tersebut. UU redenominasi harus mengatur secara tegas hal tersebut agar tidak terjadi salah tafsir tentang besaran nilai uang yang dimaksud. Misalnya pada peraturan tentang denda yang harus dibayarkan akibat suatu pelanggaran tertentu. Anggaplah sebelum redenominasi disebutkan Rp 100 juta, setelah redenominasi nominal denda yang dikenakan haruslah menjadi Rp 100.000. Jangan sampai denda yang diberlakukan tetap pada nominal Rp 100 juta. Hal ini akan memberatkan masyarakat.Timing implementasi redenominasi harus mempertimbangkan kondisi fundamental perekonomian Indonesia dan harus ditinjau ulang tiap tahunnya sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan langkah-langkah berikutnya. Dalam melakukan sosialisasi dan komunikasi kebijakan redenominasi, pemerintah harus tegas dan jelas menyampaikan kebijakan ini, karena hal ini sangat berpengaruh pada sisi penghitungan nilai barang dan jasa dalam perekonomian. Pemerintah harus meminimalisasi timbulnya spekulasi dalam implementasi redenominasi. Para pelaku pasar sangat mungkin memanfaatkan momen ini untuk menaikkan harga secara signifikan.Pemerintah pun harus mendidik masyarakat untuk memahami kesetaraan nilai mata uang Rupiah lama dan Rupiah baru. Jangan sampai ada kasus, 3 lembar Rupiah lama pecahan Rp 100.000 dan 2 lembar Rupiah baru pecahan Rp 100 dihitung sebesar Rp 300.200. Padahal seharusnya bernilai Rp 500.Pemerintah dan BI perlu mengundang institusi penyusun standar akuntansi sektor privat (IAI) dan penyusun standar akuntansi pemerintah (KSAP) untuk memperoleh rekomendasi terkait proses pencatatan dan pelaporan keuangan dengan adanya kebijakan redenominasi. Dari sisi pemerintah, UU Redenominasi harus mencantumkan peraturan mengenai mekanisme penyusunan APBN untuk tahun awal diberlakukannya kebijakan redenominasi. Dari sisi sektor privat, pencatatan dan pelaporan keuangan harus diseragamkan dalam hal pencantuman nilai nominal agar otoritas pajak dapat memotong dan memungut pajak sesuai nilai yang seharusnya.Kebijakan redenominasi harus mempertimbangkan kondisi geografis Indonesia terkait masa transisi kebijakan ini. pemerintah harus mengambil langkah-langkah strategis agar uang Rupiah baru dapat beredar di daerah terpencil. Langkah tersebut tidak hanya mengedarkan Rupiah baru saja, tetapi juga mensosialisasikan kesetaraan nilai Rupiah lama dan rupiah baru.Hyperinflasi harus diwaspadai pula dalam penetapan kebijakan ini nantinya. Sebenarnya, kebijakan ini bertujuan salah satunya mencegah terjadinya inflasi yang bisa terjadi karena pecahan uang yang sangat besar. Namun, dalam tahun-tahun awal, sangat mungkin dikhawatirkan terjadi hyperinflasi. Mengapa? Karena masyarakat mengalami kepanikan, sehingga mereka semacam tidak percaya memegang uang. Kemudian mereka akan membeli asset yang banyak, sehingga harga pun akan naik. Selain itu, perlu diwaspadai ulah pengusaha/pedagang yang menaikkan harga. Pedagang menganggap harga baru Nampak sangat murah. Hal ini dimanfaatkannya untuk menaikkan harga barangnya. Jika hal ini terjadi, inflasi pun tak bisa dihindari. Alasan lain adalah pembulatan ke atas. Ketiadaan pecahan, bisa menjadikan nilai uang dibulatkan ke atas, sampai ada pecahan yang dimaksud. Yang perlu diperhatikan juga adalah banyaknya orang yang akan membeli mata uang asing, dan emas (LM). Pastinya, hal ini akan menurunkan nilai rupiah. Demikian seterusnya.Dengan demikian, peran pemerintah menjadi sangat penting. Baik dalam masa penyiapan, pemantapan, implementasi dan transisi, dan finishing kebijakan ini. Dalam masa penyiapan, maka sudah semestinya pemerintah mengawal perumusan Undang-Undang terkait redenominasi Rupiah. Proses penetapan redenominasi rupiah ini harus hati-hati dilakukan. Karena ia bisa mengundang kerawanan jika dibahas dalam waktu yang cukup lama, dan ditetapkan secara terbuka. Kerawanan yang dimaksud dapat saja mempengaruhi dinamika pasar sebagai akibat terjadinya perubahan nilai rupiah seperti dampak kenaikan harga, dan sebagainya. Namun, keuntungan jika pembahasan dilakukan secara terbuka adalah memberi kesempatan keterlibatan dan partisipasi publik secara lebih luas dan transparan. Apalagi, perubahan kebijakan ini terkait dengan hajat hidup orang banyak, karena berkenaan dengan alat tukar sehari-hari. Perubahan kebijakan yang demikian luas dampaknya tersebut tentunya berkaitan pula dengan perubahan dalam hak dan kewajiban banyak orang, sehingga sudah seharusnya ditetapkan dengan Undang-Undang. Adapun yang mempunyai kewenangan perancangan, pembahasan, pengesahan, dan penetapan Undang-Undang adalah presiden (dalam hal ini dikelola oleh Kementerian Keuangan) dan DPR. Draft rancangan Undang-Undang tentang redenominasi ini setidaknya memuat norma : ketentuan yang mengatur berbagai prosedur penerapan kebijakan beserta segala akibat hukum di lapangan melalui aturan peralihan, dan pernyataan penetapan mulai sejak kapan nilai rupiah yang bersangkutan mengalami redenominasi dan berapa besar nilai denominasi yang ditetapkan. Peran pemerintah sangatlah penting. Hal ini mengingat bahwa faktor penemtu keberhasilan kebijakan redenominasi ini adalah adanya dukungan dari seluruh lapisan masyarakat, termasuk parlemen dan pelaku bisnis. Factor ini hanya dapat terlaksana dengan baik jika ada landasan yang tegas mengatur, yaitu adanya Undang-Undang yang disusun pemerintah. Kekuatan material undang-undang ini sangat terkait erat dengan kerja pemerintah, sehingga penyusunannya harus dilakukan oleh orang yang paham, dalam hal ini adalah pemerintah (presiden).Demikian pula dengan faktor lain seperti masa transisi dan sosialisasi kebijakan ini. Apalagi terkait kondisi Negara kita kepulauan, banyak wilayah terpencil yang bisa jadi sulit dijangkau. Maka, butuh peran pemerintah (Presiden) dalam proses penyusunan aturan yang dapat memastikan terjangkaunya wilayah tersebut, serta bagaimana sosialisasi yang akan dilakukan. Dalam pelaksanaannya, akan sangat membutuhkan peran Ditjen Perbendaharaan sebagai kepanjangan tangan pelaksanaan keuangan Negara hingga daerah terpencil, khususnya terkait pembiayaannya.Keberhasilan penerapan kebijakan ini akan sangat bergantung dengan ketepatan pemilihan waktu pelaksanaannya. Hal ini terkait penyesuaian kestabilan kondisi makroekonomi, dan kondisi social politik. Maka, bagaimana peran pemerintah adalah memutuskan waktu tersebut dengan melihat factor di atas. Hal ini dilakukan oleh Badan Kebijakan Fiskal karena menyangkut asumsi Makro yang terjadi.Pemerintah berperan atas penyusunan Undang-Undang (kebijakan) ini terkait juga dengan kebutuhan anggaran dalam pelaksanaan kebijakan. Misalnya, karena ada perubahan infrastruktur TI dan system pembayaran, pengadaan, dan pengedaran uang baru yang membutuhkan biaya tidak sedikit. Tentang kebutuhan anggaran ini, Kementerian Keuangan, yang berhak mengalokasikan anggaran lah yang harus berperan menetapkan aturannya. Peraturan tentang operasi pasar harus dipikirkan juga, terkait dengan antisipasi aktif pemerintah dalam menghindari/mengurangi terjadinya inflasi besar-besaran yang terjadi akibat ulah pedagang yang sengaja menaikkan harga di luar keharusan. Juga untuk mengawasi pencantuman dua harga (baru dan lama) selama masa transisi perubahan mata uang yang digunakan. Termasuk adanya penetapan sanksi atas pelanggaran yang terjadi.Maka, sudah semestinya, pemerintah dalam hal ini presiden melalui pengelola fiscal (Menkeu) menjadi titik tolak perencanaan dan pelaksaannya, bekerjasama dengan Bank Indonesia yang berperan dalam proses moneter yang terjadi.

PRIVATISASI INDONESIARuang LingkupPrivatisasi merupakan kebijakan yang diambil pemerintah untuk mendapatkan devisa bagi negara dengan menjual sebagian saham milik aset milik negara ke pihak lain. Kebijakan Privatisasi sendiri diatur oleh Undang-Undang No. 5 tahun 1999. Seperti fungsinya sebuah kebijakan privatisasi merupakan kebijakan yang diambil dari usulan yang di bawa atau diberikan oleh pemerintah sebagai upaya untuk menstabilkan kondisi keuangan dan untuk meningkatkan devisa atau penerimaan negara, dan harus mendapat persetujuan dari DPR RI terlebih dahulu baru kebijakan tersebut bisa diambil. Oleh karena itu kebijakan privatisasi merupakan salah satu kebijakan ekonomi politik Indonesia yang diharapkan dapat membawa manfaat yang besar bagi Indonesia.Privatisasi BUMNUntuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan melakukan stabilitas harga dan laju inflasi pemerintah memberikan proteksi dan hak monopoli kepada BUMN serta memberikan subsidi yang cukup besar bagi BUMN yang merugi. Kondisi ini menciptakan ketergantungan BUMN kepada pemerintah, sehingga sebagian besar justru menjadi beban bagi pemerintah. Ketergantungan BUMN terhadap pemerintah tidak menciptakan struktur kemandirian BUMN untuk berkompetisi dengan perusahaan swasta, dan seringkali BUMN memproduksi barang dan jasa dengan biaya yang relatif tinggi. Kinerja, kualitas, dan produkivitas karyawan BUMN relatif rendah, jika dibandingkan dengan karyawan perusahaan swasta.Tingginya biaya produksi mempengaruhi tingkat harga produk yang ditawarkan kepada konsumen. Dalam kasus tertentu pemerintah memberikan subsidi yang terlalu besar bagi BUMN, sehingga secara internal upaya untuk menciptakan efisiensi dalam tubuh BUMN menjadi makin sulit. Ketidakjelasan peran yang diambil oleh pemerintah dalampengelolaan BUMN tidak mampu mendorong efisiensi dalam BUMN yang bersangkutan. High cost economy dalam BUMN yang diantaranya ditunjukkan oleh tingginya biaya tenaga kerja, merupakan salah satu gambaran betapa BUMN belum dapat beroperasi secara efisien.Nasib buruk BUMN semakin diujung tanduk ketika krisis ekonomi tahun 1997 menerpa Indonesia. Anggaran dan belanja negara membengkak. Beban hutang luar negeri yang jatuh tempo, stabilitas ekonomi moneter yang rapuh, instabilitas politik dan beberapa kebijakan pemrintah yang lebih memberikan perlindungan kepada konglomerat turut memperbesar beban pemerintah. Ini menjadi alasan privatisasi BUMN yang cukup merugikan negara pasca jatuhnya kekuasaan Orde Baru.Atas desakan IMF, pemerintah dipaksa menjual BUMN-BUMN yang cukup potensial di masa-masa mendatang hanya untuk menutup defisit APBN. Selain menjadi sapi perah pejabat negara, BUMN diobral kepada investor asing demi mendapatkan utang baru dari IMF cs. Pada pemerintahan Megawati, tim ekonominya yakni Menko Perekonomian Dorodjatun, Menkeu Boediono, dan Meneg BUMN Laksama Sukardi melakukan privatisasi BUMN secara cepat (fast-track privatization) hanya untuk menutup anggaran dengan tanpa mempertimbangkan aspek ekonomis dari BUMN yang bersangkutan. Pilihan menggandeng mitra strategis (melalui strategic sale) dalam proses privatisasi oleh sebagian pengamat dipandang sebagai tindakan yang merugikan negara.Privatisasi Di Era Globalisasi Dan NeoliberalisasiPasca krisis moneter 1998, perekonomian Indonesia tidak langsung pulih. Besarnya utang luar negeri yang diciptakan 30 tahun pemerintah orde baru sebesar USD 120 miliar (1967-1997) menyebabkan beban bunga+cicilan utang membengkak. Belum lagi inflasi yang tinggi, industri-industri bangkruk karena utang besar. Maka kehadiran IMF untuk menangani krismon Indonesia diikuti pemaksaan agar sektor-sektor strategis negara harus diliberalisasi lebih luas, lebih besar kepada asing. Setiap LoI dengan IMF, selalu mensyaratkan jual aset ini, jual aset itu.Secara membudaya, privatisasi BUMN-BUMN strategis Indonesia pertama kali terjadi pada masa Pemerintahan Soeharto ke-5 yakni tahun 1991. Meskipun cikal bakal privatisasi umum telah diundangkan pada tahun 1968, namun 1991 menjadi tahun dimana satu persatu perusahaan negara diprivatisasi secara kontinyu. Dan PT Semen Gresik menjadi BUMN pertama yang terkena program privatisasi. Ini terjadi beberapa waktu setelah pemerintah memberi kartu hijau pendirian seratusan bank-bank swasta (pengusaha) yang tidak kompenten dan transparan. Bank-bank inilah yang menjadi salah satu penyebab krisis moneter Indonesia tahun 1997-1998. Selama periode 1991-1999, pemerintahan Soeharto dan Habibie baru memprivatisasi 9 BUMN dengan total nilai privatisasi lebih dari USD 5 miliar. Bentuk privatisasi dilakukan melalui penawaran umum di pasar modal maupun melalui strategic partner (mengundang investor yang menjadi rekan strategis).1. PT Perkebunan Nusantara III2. PT Perkebunan Nusantara IV.3. PT Pupuk Kaltim.4. PT Tambang Batubara Bukit Asam.5. PT Aneka Tambang Tbk.6. PT Indo Farma.7. PT Kimia Farma.8. PT Sucofindo.9. PT Kerta Niaga.10. PT Angkasa Pura II.Jika ada beberapa BUMN yang di privatisasi di era Habibie dan Gus Dur, maka masuknya tim ekonomi yang sangat patuh pada IMF di pemerintahan Megawati berhasil memprivatisasi aset-aset strategis negara seperti Telkom, Indosat, PT BNI, PT Batu Bara Bukit Asam. Penjualan BUMN tersebut dengan harga yang terlalu kecil jika dibanding prospek (2 tahun kemudian) yang memiliki kinerja yang sangat baik, yang menghasilkan keuntungan yang besar bagi para pemegang saham. Begitu juga penjualan bank-bank di BPPN dengan sangat murah, dimana hampir di setiap transaksi merugikan negara triliun rupiah. Inilah salah satu keberhasilan IMF untuk mendikte Indonesia melalui tim ekonomi yang berhaluan Mafia Berkeley, yang berpaham neoliberalisme.Penjualan BUMN-BUMN yang profitable kepada asing di masa pemerintah Megawati menjadi blunder negatif bagi diri Megawati ketika menjadi capres baik di tahun 2004 maupun 2009. Semua orang akan mengalamatkan Megawati sebagai penjual BUMN, sementara para dalang dibalik penjual BUMN dan perbankan BPPN jarang mendapat getahnya yakni Dorodjatun, Boediono dan Laksama Sukardi.Berbagai saham BUMN strategis berhasil dijual di era Megawati [jangan lupa juga tim ekonominya dan 50 butir LoI IMF tahun 1997]. Sebut saja penjualan saham Perusahaan Gas Negara sebesar Rp 7,34 triliun melampaui dari target semula yaitu Rp 6,5 triliun. Privatisasi Bank Mandiri dengan nilai Rp 2,5 triliun, PT Indosat Rp1,16 triliun dan Bank Rakyat Indonesia Rp 2,5 triliun.Namun, ada satu rencana terbesar di era Pemerintah Megawati dalam privatisasi BUMN yakni pada tahun 2004. Wakil pemerintah yakni Laksamana Sukardi dan Boediono pada tahun Maret/April 2004 mengajukan privatisasi 28 BUMN. BUMN itu terdiri dari 19 BUMN dan 9 non-BUMN atau BUMN minoritas. Privatisasi 28 BUMN tersebut merupakan gabungan dari program carry over (kelanjutan) privatisasi BUMN tahun 2002 dan tahun 2003 serta program murni privatisasi BUMN tahun 2004. Dan untungnya,sebagian besar program privatisasi yang diajukan pemerintah via Laksamana Sukardi dan Boedino ini kandas ditangan DPR karena alasan politik Pemilu 2004.Sejumlah BUMN yang masuk dalam daftar privatisasi tersebut adalah PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Negara Indonesia Tbk, PT Danareksa, PT Timah Tbk, PT Aneka Tambang Tbk, PT Batubara Bukit Asam Tbk, PT Merpati Nusantara Airlines, dan PT Perkebunan Nusantara III, PT Kimia Farma, PT Indofarma, PT Cambrics Primissima, dan BUMN sektor kawasan serta sembilan non- BUMN lainnya.Ganti Pemerintah, Ganti Alasan PrivatisasiJika di era pemerintahan Megawati, privatisasi dilakukan karena tim ekonomi-nya percaya pada arahan IMF bahwa utang negara besar sehingga untuk menutup defisit APBN, privatisasilah salah satu jalan keluarnya. Namun, ketika para pengkritik privatisasi aset strategis semakin mendapat dukunga luas masyarakat, pemerintah SBY-JK selalu menggunakan alasan bahwa privatisasi harus dilakukan karena BUMN tidak bisa untung. Meskipun jika kita amati UU APBN sejak 2005 hingga 2009, kita akan melihat bahwa privatisasi merupakan sarana untuk menutup defisit. Hanyalah kedok mengelabui masyarakat jika di berbagai media menyebut bahwa privatisasi dilakukan karena BUMN tidak bisa untung.Berdasar data dari Bursa Efek Indonesia (BEI) yang dirilis belum lama ini (2009), dari 14 BUMN yang tercatat di BEI, pihak asing telah menguasai saham 31%, setara dengan Rp 137 triliun. Asing menguasai sektor-sektor strategis seperti telekomunikasi, perbankan, pertambangan dan migas, semen, serta farmasi. Pada beberapa BUMN kategori blue chips, kepemilikan asing bahkan menyundul angka 40 persen. PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, misalnya, 39,5 persen sahamnya kini dalam genggaman pihak asing. Demikian pula PT Semen Gresik Tbk sebanyak 39,21% dikuasai asing. Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang selama ini menjadi andalan para petani dan rakyat kecil sahamnya telah dikuasi asing sebesar 35,39 persen.Salah satu langkah luar biasa pemerintah SBY-JK adalah program privatisasi 44 BUMN di tahun 2008 yang akhirnya juga kandas setelah diprotes dari berbagai kalangan masyarakat dan tokoh nasional. Pada 31 Januari 2008, Boediono sebagai ketua Komite Privatisasi BUMN meneken surat keputusan untuk menjual 44 BUMN milik negara Indonesia. Dari 44 BUMN itu, sebanyak 33 di antaranya adalah nama baru, sedangkan 11 lainnya adalah perusahaan yang direncanakan dilego tahun lalu, tapi belum kesampaian. Keputusan privatisasi dilakukan oleh Komite Privatisasi Perusahaan BUMN yang diketuai Menko Perekonomian Boediono, dengan Wakilnya adalah Meneg BUMN Sofyan Djalil dan anggotanya Menkeu Sri Mulyani Indrawati serta menteri yang menjadi pembina teknis BUMN yang akan dijual.Sejumlah BUMN yang akan dilego tersebut adalah Semen Kupang, PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III, IV, dan V, Adhi Karya, Sucofindo, Surveyor Indonesia, Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Tabungan Negara, Krakatau Steel, serta kawasan industri di Medan dan Makassar. Pada tahun 2008 tersebut, Boedion mengharapkan agar dari 139 BUMN diprivatisasi menjadi 69 BUMN pada di akhir 2009. Iapun mengakui bahwa target setoran privatisasi BUMN ke APBN 2008 adalah Rp 1,5 trilyun.Privatisasi bukanlah solusi bagi Indonesia tetapi merupakan sebuah ancaman bagi eksistensi pelayanan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat dan kemandirian negara. Sudah saatnya pemerintah dan rakyat bersatu membangun negara ini untuk memajukan dan mensejahterakan rakyat dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah.

OTONOMI DAERAH

Pengertian Otonomi Daerah Dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 5, pengertian otonomi derah adalah hak ,wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan menurut Suparmoko (2002:61) mengartikan otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.Sesuai dengan penjelasan Undang-Undang No. 32 tahun 2004, bahwa pemberian kewenangan otonomi daerah dan kabupaten / kota didasarkan kepada desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.

a. Kewenangan Otonomi Luas Yang dimaksud dengan kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup semua bidang pemerintahan kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal agama serta kewenangan dibidang lainnya ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. Disamping itu keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan mulai dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi.

b. Otonomi NyataOtonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh hidup dan berkembang di daerah.

c. Otonomi Yang Bertanggung JawabOtonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi berupa peningkatan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang sehat antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 7, 8, 9 tentang Pemerintah Daerah, ada 3 dasar sistem hubungan antara pusat dan daerah yaitu : Desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu Tugas perbantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan atau desa atau sebutan lain dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggung jawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan.Daerah OtonomDalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 pasl 1 ayat 6 menyebutkan bahwa daerah otonomi selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara kesatuan Republik Indonesia.Menurut Profesor Oppenhein (dalam Mohammad Jimmi Ibrahim, 1991:50) bahwa daerah otonom adalah bagian organis daripada negara, maka daerah otonom mempunyai kehidupan sendiri yang bersifat mandiri dengan kata lain tetap terikat dengan negara kesatuan. Daerah otonom ini merupakan masyarakat hukum yaitu berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.Hakekat, Tujuan Dan Prinsip Otonomi Daeraha. Hakekat Otonomi DaerahPelaksanaan otonomi daerah pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan sesuai dengan kehendak dan kepentingan masyarakat. Berkaiatan dengan hakekat otonomi daerah tersebut yang berkenaan dengan pelimpahan wewenang pengambilan keputusan kebijakan, pengelolaan dana publik dan pengaturan kegiatan dalam penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan masyarakat maka peranan data keuangan daerah sangat dibututuhkan untuk mengidentifikasi sumber-sumber pembiayaan daerah serta jenis dan besar belanja yang harus dikeluarkan agar perencanaan keuangan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Data keuangan daerah yang memberikan gambaran statistik perkembangan anggaran dan realisasi, baik penerimaan maupun pengeluaran dan analisa terhadapnya merupakan informasi yang penting terutama untuk membuat kebijakan dalam pengelolaan keuangan daerah untuk meliahat kemampuan/ kemandirian daerah (Yuliati, 2001:22)b. Tujuan Otonomi DaerahMenurut Mardiasmo (Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah) adalah: Untuk meningkatkan pelayanan publik (public service) dam memajukan perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung tiga misi utama pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu: Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat (publik) untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.Selanjutnya tujuan otonomi daerah menurut penjelasan Undang-undang No 32 tahun 2004 pada dasarnya adalah sama yaitu otonomi daerah diarahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menggalakkan prakarsa dan peran serta aktif masyarakat secara nyata, dinamis, dan bertanggung jawab sehingga memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan di daerah yang akan memberikan peluang untuk koordinasi tingkat lokal.

c. Prinsip Otonomi Daerah

Menurut penjelasan Undang-Undang No. 32 tahun 2004, prinsip penyelenggaraan otonomi daerah adalah :1. penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keaneka ragaman daerah.2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.3. pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah dan daerah kota, sedangkan otonomi provinsi adalah otonomi yang terbatas.4. Pelaksanaan otonomi harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.5. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah kabupaten dan derah kota tidak lagi wilayah administrasi. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah.6. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawasan, mempunyai fungsi anggaran atas penyelenggaraan otonomi daerah.7. Pelaksanaan dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam kedudukan sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintah tertentu dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah.8. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan tidak hanya di pemerintah daerah dan daerah kepada desa yang disertai pembiayaan, sarana dan pra sarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskan.

KEUANGAN DAERAHKonsep Keuangan Daerah Di IndonesiaMenurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, keuangan daerah adalah Semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu, baik uang maupun barang yang dijadikan milik daerah berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban daerah tersebut.Dari uraian di atas, dapat diambil kata kunci dari keuangan daerah adalah hak dan kewajiban. Hak merupakan hak daerah untuk mencari sumber pendapatan daerah berupa pungutan pajak daerah, retribusi daerah atau sumber penerimaan lain-lain yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan kewajiban adalah kewajiban daerah untuk mengeluarkan uang dalam rangka melaksanakan semua urusan pemerintah di daerah (Mamesah, 1995:5).Salah satu faktor penting untuk melaksanakan urusan rumah tangga daerah adalah kemampuan keuangan daerah. Dengan kata lain faktor keuangan merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonomi. Sehubungan dengan pentingnya posisi keuangan daerah ini Pamudji dalam Kaho (2007:138-139) menegaskan: Pemerintah daerah tidak akan dapat melaksanakan fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan dan pembangunan Dan keuangan inilah merupakan dalam satu dasar kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri.Sementara itu, untuk dapat memiliki keuangan yang memadai dengan sendirinya daerah membutuhkan sumber keuangan yang cukup pula. Lains dalam Kaho (2007:139-140) merinci ada beberapa cara yang bisa dilakukan oleh daerah untuk memperoleh keuangannya, antara lain:1. Daerah dapat mengumpulkan dana dari pajak daerah yang sudah direstui oleh Pemerintah Pusat;2. Pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, pasar uang atau Bank atau melalui pemerintah pusat;3. Daerah dapat ikut ambil bagian dalam pendapatan pajak sentral yang dipungut daerah, misalnya sekian persen dari pendapatan sentral tersebut (melalui bagi hasil);4. Pemerintah daerah dapat menambah tarif pajak setral tertentu; dan5. Pemerintah daerah dapat menerima bantuan atau subsidi dari Pemerintah Pusat.Dalam melaksanakan keuangan daerah perlu dibuatkan suatu perencanaan agar seluruh kegiatan yang akan dilaksanakan dapat dikelola dengan baik. Bentuk perencanaan keuangan daerah inilah yang dikenal dengan istilah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sebagaimana telah digariskan dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. APBD adalah suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah.Seperti halnya dalam kebijakan APBN, jika Pemerintah daerah menetapkan bahwa kebijakan anggarannya bersifat ekspansif, artinya APBD akan diprioritaskan untuk menstimulasi perekonomian daerah melalui pengeluaran pembangunan (development budget). Sebaliknya, jika pemerintah daerah menetapkan kebijakan APBD bersifat kontraksi, maka APBD kurang dapat diharapkan untuk menggerakkan perekonomian daerah, karena anggaran pembangunan jumlahnya relatif kecil dibandingkan dengan belanja rutin daerah (Saragih, 2003:82).Menurut Mamesah (1995:16) APBD sebagai sarana atau alat utama dalam menjalankan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab, karena fungsi APBD adalah sebagai berikut:1. Menentukan jumlah pajak yang dibebankan kepada rakyat dari daerah yang bersangkutan;2. Merupakan suatu sarana untuk mewujudkan otonomi;3. Memberikan isi dan arti tanggung jawab pemerintah daerah umumnya dan kepala daerah khususnya, karena APBD itu menggambarkan seluruh kebijaksanaan pemerintah daerah;4. Merupakan suatu sarana untuk melaksanakan pengawasan terhadap daerah dengan cara yang lebih mudah dan berhasil guna; dan5. Merupakan suatu pemberian kuasa kepada kepala daerah dalam batas-batas tertentu.Pengelolaan keuangan daerah yang berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi diatur secara mendetail dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 (yang kemudian dilengkapi dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007) menyatakan bahwa dalam pelaksanaan desentralisasi daerah, pemerintah daerah berhak menyelenggarakan pengelolaan keuangan daerah, yang komponen-komponennya sebagaimana tertuang dalam struktur APBD antara lain terdiri dari:PENDAPATAN DAERAHPendapatan Daerah adalah hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun bersangkutan. Pendapatan Daerah bersumber dari:1. Pendapatan Asli DaerahPendapatan Asli Daerah merupakan modal dasar Pemerintah Daerah dalam mendapatkan dana pembangunan dan memenuhi belanja daerah (Widjaja, 1998:42). Definisi lain seperti dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004, Pendapatan Asli Daerah merupakan penerimaan yang diperoleh dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan tentunya pendapatan tersebut diperoleh dari hasil yang berada dalam wilayahnya sendiri.Menurut Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004, Sumber PAD antara lain terdiri dari:1. Hasil pajak daerah, yaitu pungutan yang dilakukan oleh pemerintah Daerah kepada semua obyek pajak, seperti orang/badan, benda bergerak/tidak bergerak;2. Hasil retribusi daerah, yaitu pungutan yang dilakukan sehubungan dengan suatu jasa/fasilitas yang berlaku oleh Pemerintah Daerah secara langsung dan nyata;3. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, antara lain:a. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD;b. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah/BUMN;c. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat;4. Lain-lain PAD yang sah, antara lain:a. Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan;b. Jasa giro;c. Pendapatan bunga;d. Penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah;e. Penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah;f. Penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing;g. Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan;h. Pendapatan denda pajak;i. Pendapatan denda retribusi;j. Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan;k. Pendapatan dari pengembalian;l. Fasilitas sosial dan fasilitas umum;m. Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan; dann. Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan.Pemberian sumber PAD bagi daerah ini bertujuan untuk memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi Daerah sebagai perwujudan desentralisasi.Menurut Mahi (2000:58), pendapatan asli daerah belum bisa diandalkan sebagai sumber pembiayaan utama otonomi daerah kabupaten/kota disebabkan oleh beberapa hal berikut. 1. Relatif rendahnya basis pajak/retribusi daerah.2. Perannya yang tergolong kecil dalam total penerimaan daerah.3. Kemampuan administrasi pemungutan di daerah masih rendah.4. Kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah.2. Dana PerimbanganDana Perimbangan dikeluarkan bertujuan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dan antar-Pemerintah Daerah. Pasal 10, UU No. 33 Tahun 2004 mengatur tentang Dana Perimbangan yang setiap tahun ditetapkan untuk menjadi hak Pemerintah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota terdiri dari:Dana Bagi Hasil, bagian Daerah bersumber dari penerimaan pajak dan penerimaan dari sumber daya alam; a. Dana Bagi Hasil Pajak yang bersumber dari: Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21.b. Dana Bagi Hasil Bukan Pajak yang bersumber dari sumber daya alam, berasal dari: kehutanan; pertambangan umum; perikanan; pertambangan minyak bumi; pertambangan gas bumi; dan pertambangan panas bumi.Pembagian Dana Bagi Hasil dibagi menurut persentase yang berbeda-beda pada setiap sumber Dana Bagi Hasil yang diatur dalam pasal 12 sampai dengan pasal 21.2) Dana Alokasi Umum;Besarnya Persentasi Dana Alokasi Umum (DAU) ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN. DAU tersebut dibagi atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal Daerah. Alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah.3) Dana Alokasi Khusus.Besaran Dana Alokasi Khusus (DAK) ditetapkan setiap tahun dalam APBN. DAK dialokasikan kepada Daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah. Pemerintah menetapkan kriteria DAK yang meliputi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Kriteria umum ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan Keuangan Daerah dalam APBD. Kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan karakteristik Daerah. Kriteria teknis ditetapkan oleh kementerian negara/departemen teknis.3. Lain-lain Pendapatan Daerah yang SahKelompok lain-lain pendapatan daerah yang sah bertujuan memberi peluang kepada Daerah untuk memperoleh pendapatan selain Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan Pinjaman Daerah. Lain-lain pendapatan daerah yang sah ini terdiri atas:1. Hibah, adalah penerimaan daerah yang berasal dari pemerintah negara asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional, badan/lembaga dalam negeri/perorangan, baik dalam bentuk devisa, rupiah, maupun barang dan/atau jasa termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali dan bersifat tidak mengikat.2. Dana darurat dari pemerintah dalam rangka penanggulangan korban/kerusakan akibat bencana alam.3. Dana bagi hasil pajak dari provinsi kepada kabupaten/kota.4. Dana penyesuaian dan dana otonomi khusus yang ditetapkan oleh pemerintah.5. Bantuan keuangan dari provinsi atau dari pemerintah daerah lainnya.BELANJABelanja daerah meliputi semua pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang mengurangi ekuitas dana, dan merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah.Klasifikasi belanja menurut urusan pemerintahan terdiri atas belanja urusan wajib dan belanja urusan pilihan. Klasifikasi belanja menurut urusan wajib mencakup:1. Pendidikan;2. Kesehatan;3. Pekerjaan umum;4. Perumahan rakyat;5. Penataan ruang;6. Perencanaan pembangunan;7. Perhubungan;8. Lingkungan hidup;9. Pertanahan;10. Kependudukan dan catatan sipil;11. Pemberdayaan perempuan;12. Keluarga berencana dan keluarga sejahtera;13. Sosial;14. Tenaga kerja;15. Koperasi dan usaha kecil menengah;16. Penanaman modal;17. Kebudayaan;18. Pemuda dan oleh raga;19. Kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;20. Pemerintahan umum;21. Kepegawaian;22. Pemberdayaan masyarakat dan desa;23. Statistik;24. Arsip; dan25. Komunikasi dan informatika.Klasifikasi belanja menurut urusan pilihan mencakup:1. Pertanian;2. Kehutanan;3. Energi dan sumber daya mineral;4. Pariwisata;5. Kelautan dan perikanan;6. Perdagangan;7. Perindustrian; dan8. Transmigrasi.Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan organisasi pada masing-masing pemerintah daerah dan klasifikasi belanja menurut program dan kegiatan disesuaikan dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Sedangkan belanja menurut kelompok belanja, terdiri dari:1. Belanja tidak langsung. Kelompok belanja tidak langsung ini tidak terkait langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja tidak langsung terbagi menurut jenis belanja yang terdiri dari:a. Belanja pegawai;b. Bunga;c. Subsidi;d. Hibah;e. Bantuan sosial;f. Belanja bagi hasil;g. Bantuan keuangan; danh. Belanja tidak terduga.2. Belanja langsung. Kelompok belanja langsung merupakan belanja yang terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja langsung dari suatu kegiatan dibagi menurut jenis belanja yang terdiri atas:a. Belanja pegawai;b. Belanja barang dan jasa; danc. Belanja modal.PEMBIAYAANPembiayaan daerah adalah semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya. Pembiayaan daerah meliputi semua transaksi keuangan untuk menutup defisit atau untuk memanfaatkan surplus.Apabila APBD diperkirakan surplus diutamakan untuk membayar pokok utang, penyertaan modal (investasi) daerah, pemberian pinjaman kepada pemerintah pusat/pemerintah daerah lain, dan/atau pendanaan belanja peningkatan jaminan sosial. Sementara itu, jika APBD diperkirakan defisit maka ditetapkan pembiayaan untuk menutup defisit tersebut yang diantaranya dapat bersumber dari sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya, pencairan dana cadangan, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, penerimaan pinjaman, dan penerimaan kembali pemberian pinjaman atau penerimaan piutang.Pembiayaan daerah terdiri dari penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan. Penerimaan pembiayaan mencakup:1. Sisa lebih perhitungan anggaran Daerah;2. Penerimaan pinjaman Daerah; Pinjaman Daerah bertujuan memperoleh sumber pembiayaan dalam rangka penyelenggaraan urusan Pemerintahan Daerah. Pinjaman Daerah bersumber dari:a. Pemerintah;b. Pemerintah Daerah lain;c. Lembaga keuangan bank;d. Lembaga keuangan bukan bank; dane. Masyarakat berupa Obligasi Daerah.3. Penerimaan kembali pemberian pinjaman;4. Pencairan dana cadangan daerah;5. Penerimaan piutang; dan6. Hasil penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan.Sedangkan pengeluaran pembiayaan mencakup:1. Pembentukan dana cadangan;2. Penanaman modal (investasi) pemerintah daerah;3. Pembayaran pokok utang; dan4. Pemberian pinjaman daerah.Menurut Saragih (2003:82), apapun komposisi dari APBD suatu daerah tentu harus disesuaikan dengan perkembangan keuangan pemerintah daerah yang bersangkutan. Setiap daerah tidak harus memaksakan diri untuk menggenjot pengeluaran tanpa diimbangi dengan kemampuan pendapatannya, khususnya kapasitas PAD. Dikhawatirkan jika pemerintah daerah menetapkan kebijakan defisit pada APBD-nya, maka sumber pembiayaan untuk menutupi sebagian atau seluruh defisit anggaran berasal dari pinjaman atau utang.Oleh sebab itu, masih menurut Saragih (2003:82), yang lebih aman adalah tidak mendesain anggaran daerah yang ekspansif tanpa diimbangi dengan kemampuan pendapatannya. Bisa-bisa keuangan pemerintah daerah bangkrut hanya karena mengikuti ambisi untuk menggenjot pengeluaran, baik rutin maupun pembangunan. Upaya yang dapat dilakukan untuk menciptakan struktur APBD yang baik adalah dengan memperkecil (didasari efisiensi dan efektivitas) belanja rutin daerah pada pos-pos yang tidak perlu dan mendesak. Hal inilah yang mendorong perubahan paradigma penganggaran dari yang berbasis line item (tradisional) ke arah penganggaran berbasis kinerja. Artinya, penganggaran berbais kinerja ini melihat penilaian kinerja lembaga berdasarkan besarnya dana yang terserap dari suatu program atau kegiatan. Setiap rupiah yang dikeluarkan harus dapat menghasilkan (yield) nilai tambah bagi perekonomian daerah atau kemakmuran masyarakat yang diindikasikan melalui target yang bersifat kuantitatif. Selanjutnya dalam proses penganggarannya, sistem ini juga menghendaki dipertimbangkannya beberapa fungsi, yakni fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi.DESENTRALISASI FISKALOtonomi daerah dan termasuk di dalamnya desentralisasi fiskal mengharuskan daerah mempunyai kemandirian keuangan yang tinggi. Beberapa daerah dengan sumber daya yang dimiliki mampu menyelenggarakan otonomi daerah, namun tidak tertutup kemungkinan ada beberapa daerah akan menghadapi kesulitan dalam menyelenggarakan tugas desentralisasi, mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki (Bappenas, 2003:1).Menurut Saragih (2003:83), yang dimaksud dengan desentralisasi fiskal adalah suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik, sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan. Dan dalam pelaksanaannya, prinsip money should follow function merupakan salah satu prinsip yang harus diperhatikan dan dilaksanakan.Desentralisasi Fiskal dalam otonomi daerah ditujukan untuk menciptakan kemandirian daerah. Sidik (2002:1) menyatakan bahwa dalam era ini, pemerintah daerah diharapkan mampu menggali dan mengoptimalkan potensi (keuangan lokal), khususnya pendapatan asli daerah. Pemerintah daerah diharapkan mampu mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat mengingat ketergantungan semacam ini akan mengurangi kreatifitas lokal untuk mengambil kebijakan terkait dengan penerimaan lokal yang lebih efisien.Menurut Sidik (2002:2), ada tiga sumber daya yang harus mampu dikelola oleh pemerintah daerah guna mencapai tujuan yang telah ditentukan, yakni pengelolaan atas pegawai, keuangan, dan kelembagaan. Kemampuan pemerintah daerah untuk menyediakan layanan publik dan menjalankan pembangunan sangat tergantung pada kemampuan keuangannya. Tanpa uang, pemerintah daerah tidak dapat membayar pegawai, perlengkapan dan peralatan, serta berbagai kontrak penyediaan layanan lokal, dan lain sebagainya. Desentralisasi fiskal dan devolusi tampak sebagai dua sisi yang berbeda dari satu koin mata uang yang sama sehingga desentralisasi fiskal menuntut adanya devolusi, dan begitu pula sebaliknya.Menurut Muluk (2005), desentralisasi fiskal pada dasarnya berkaitan dengan dua hal pokok, yakni kemandirian daerah dalam memutuskan pengeluaran guna menyelenggarakan layanan publik dan pembangunan, dan kemandirian daerah dalam memperoleh pendapatan untuk membiayai pengeluaran tersebut. Selain persoalan desentralisasi fiskal, daerah pada dasarnya juga menghadapi persoalan internal yang menyangkut kesanggupan daerah mengelola keuangan daerahnya berdasarkan prinsip 5E, yakni: efficient, effective, economic, equal, excellent.POTENSI FISKAL DAERAHPotensi fiskal merupakan kemampuan daerah dalam menghimpun dana melalui sumber-sumber yang sah. Potensi fiskal daerah tercermin dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang meliputi pajak daerah, retribusi daerah, laba BUMD, dan lain-lain pendapatan yang sah. Salah satu wujud desentralisasi fiskal adalah pemberian sumber-sumber penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri sesuai potensinya masing-masing (Firmansyah, 2006:41).Menurut Halim, (2002:320) upaya peningkatan pendapatan daerah tidak terlepas dari 2 (dua) hal pokok, yaitu:A. Potensi sumber-sumber PAD, terdiri dari:1. Potensi sumber daya alamPotensi sumber daya alam adalah kekayaan alam yang dimiliki atau ditemukan di daerah yang pengelolaanya dikuasai oleh daerah. Sumber daya alam terdiri dari sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, sumber daya alam yang dapat diperbaharui, dan sumber daya alam yang dapat pulih. Secara teoritis, sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui akan berkurang potensinya sesuai jumlah penggalian dan pengolahannya yang pada gilirannya cepat lambat potensinya akan habis. Contohnya bahan tambang galian golongan C.Yang patut diperhatikan adalah sumber daya alam yang dapat diperbaharui, yang mana sangat memerlukan sebuah kebijakan dalam pemanfaatannya. Bila dimanfaatkan secara benar akan memberikan keuntungan pada masa sekarang dan yang akan datang. Pemanfaatannya harus disertakan dengan konservasi atau pelestarian, terutama melalui usaha budidaya. Contohnya adalah sumber daya hasil hutan, perkebunan, pertanian, peternakan dan perikanan.Selanjutnya sumber daya alam yang dapat pulih adalah sumber daya alam yang potensinya dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi lingkungan atau musim. Contohnya adalah potensi air bawah tanah dan air permukaan. Pada musim kemarau, potensinya dapat menyusut karena berbagai sifat seperti pengeboran, penguapan atau perembesan. Khusus bagi sumber daya alam kelompok ini yang patut diperhatikan adalah menghindari terjadinya pencemaran.2. Potensi sumber daya manusiaPotensi sumber daya manusia dapat dilihat dari kuantitas maupun kualitasnya. Kualitas sumber daya manusia tercermin dari jumlah penduduk secara kuantitas SDM cukup besar, namun dilihat dari kualitasnya relatif masih rendah. Kualitas SDM yang masih rendah ini diukur dari tingkat pendidikan (angka melek huruf dan lama sekolah) dan derajat kesehatannya (usia harapan hidup), serta daya beli masyarakat. Dewasa ini, ukuran yang digunakan untuk menentukan kualitas SDM diantaranya adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI).3. Potensi sumber daya buatanPotensi sumber daya buatan adalah seluruh hasil karya manusia dalam wujud fisik, seperti prasarana dan sarana produksi, perhubungan (transportasi dan komunikasi), bangunan/gedung dan lain-lain. Hampir seluruh potensi sumber daya buatan yang dibangun oleh Pemerintah, swasta maupun masyarakat merupakan potensi daerah yang dapat dikembangkan sebagai sumber pendapatan asli daerah. Potensi jenis ini tampaknya relatif lebih mudah untuk dikembangkan karena potensinya dapat dijadikan objek pajak daerah ataupun retribusi daerah.4. Potensi sumber daya kelembagaanYang dimaksud sumber daya kelembagaan adalah hasil karya manusia non-fisik berupa organisasi pemerintahan, kemasyarakatan, perusahaan, peraturan perundang-undangan maupun nilai-nilai yang menjadi pedoman masyarakat dalam berperilaku.Keberadaan sumber daya kelembagaan ini tidak dapat diabaikan dalam kaitannya dengan upaya peningkatan PAD, sebab sumber daya kelembagaan inilah yang dapat melaksanakan operasional kegiatan untuk meningkatkan PAD tersebut. Di sini sistem manajemen pemerintahan, khususnya yang menangani tentang keuangan daerah sangat penting dalam melaksanakan dan menopang penggalian sumber-sumber keuangan maupun pemanfaatannya.Dalam hal ini, peranan organisasi pengelola dinilai sangat penting. Sebagai organisasi pengelola PAD adalah Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda) yang secara khusus dan bersama-sama instansi terkait bertugas untuk melakukan pendataan, penagihan, dan penyetoran PAD. Dipenda sebagai organisasi pengelola PAD mempunyai tugas antara lain meningkatkan PAD.B. Faktor-Faktor PendukungPotensi sumber-sumber PAD adalah seluruh obyek yang dapat memberikan kontribusi terhadap jumlah PAD. Sementara faktor pendukungnya adalah kemampuan penyelenggara administrasinya. Ukuran yang dapat digunakan untuk pengukuran perekonomian daerah adalah rata-rata pendapatan per-kapita atau rata-rata daya beli penduduk di daerah tersebut. Dengan kata lain tergantung tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Faktor pendukung yang lain adalah:1. Letak geografis wilayah;2. Kesuburan tanah;3. Kekayaan hasil-hasil tambang;4. Jumlah penduduk; dan5. Usaha-usaha ekonomi produktif sebagai lapangan kerja dan berusaha.