PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM...

94
PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM TINJAUAN HUKUM PIDANA POSITIF DAN FIQH JINAYAH SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Disusun Oleh: Nada Yasmin (11150450000065) PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H/ 2020 M

Transcript of PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM...

Page 1: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM TINJAUAN

HUKUM PIDANA POSITIF DAN FIQH JINAYAH

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Disusun Oleh:

Nada Yasmin (11150450000065)

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1441 H/ 2020 M

Page 2: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan
Page 3: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan
Page 4: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan
Page 5: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

v

ABSTRAK

Nada Yasmin, NIM: 11150450000065, PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN)

TERORISME DALAM TINJAUAN HUKUM PIDANA POSITIF DAN FIQH

JINAYAH, Program Studi Hukum Pidana Islam, Fakultas Syariah dan Hukum,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2020 M/ 1441 H.

Studi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perbandingan hukum

mengenai persiapan perbuatan pidana (i’dad) terorisme dalam perspektif hukum

positif dan fiqh jinayah. Perbandingan ini menggunakan Undang-undang Nomor 5

Tahun 2018 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan fiqh yang menggunakan

beberapa kitab tentang jinayat.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, dengan pendekatan

perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan perbandingan. Bahan hukum

primer yang digunakan adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang

Perubahan atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme, dan kitab-kitab fiqh. Bahan hukum sekunder yang

digunakan adalah jurnal, skripsi, artikel yang berhubungan dengan persiapan ( i’dad)

terorisme. Adapun yang menjadi objek penelitian adalah persiapan (i’dad) perbuatan

pidana terorime.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa; a). Persiapan (i’dad) perbutan

terorisme dalam hukum positif memiliki persamaan secara fisik dan finansial yang

dalam fiqh jinayah adalah persiapan secara maadiy dan imaaniy. b). Hukuman yang

ditetapkan dalam hukum positif tentang persiapan (i’dad) perbuatan terorisme

memberikan rentang waktu 3-15 tahun penjara, sedangkan dalam fiqh jinayah

dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan imam atau

hakim dan hukumnya disamakan layaknya jarimah hirabah atau perampokan.

Kata kunci : I’dad, Terorisme, Perbuatan Pidana

Pembimbing : Dr. Khamami Zada, S.H., M.A., M.D.C.

Daftar Pustaka : 1945 s.d. 2019

Page 6: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

vi

KATA PENGANTAR

بسم الله الرحمن الرحيم

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT, atas segala nikmat iman, jasmani

dan rohani. Tiada henti kepadaNya penulis meminta agar selalu diberi kesehatan,

kemudahan, kesabaran dan kekuatan dalam menyelesaikan skripsi ini. Berkat kasih

sayang, petunjuk dan rahmat-Nya penulis dapat megolah data menjadi kata, menjadi

kalimat dan menjadi paragraf-paragraf yang berisi ide, kemudian dari kumpulan

paragraph menjadi bab-bab dan akhirnya jadilah skripsi ini. Tidak lupa shalawat serta

salam tetap tercurahkan kepada Makhluk Istimewa yakni Nabi Muhamad SAW. Yang

telah membawakan cahaya kesempurnaan akhlak bagi umat manusia.

Skripsi yang berjudul “Perbuatan I’dad (Persiapan) Terorisme dalam

Tijauan Hukum Pidana Positif Dan Fiqh Jinayah” penulis susun dalam rangka

memenuhi dan melengkapi persyaratan mencapai gelar sarjana Hukum (S.H) pada

program studi Hukum Pidana Islam Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dengan kerendahan hati, penulis bahwa tidak akan sanggup melewati segala

hambatan dan rintangan yang mengganggu lancarnya penulisan skripsi ini, tanpa

adanya bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karenanya dalam kesempatan

yang berharga ini perkenankan penulis untuk menyampaikan rasa terima kasih yang

tulus kepada yang terhormat:

1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., MA., M.H. Selaku Dekan Fakultas

Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Qosim Arsadani, M.A. selaku ketua Program Studi Hukum Pidana Islam

(Jinayah). Terima Kasih atas arahan dan bimbingan dalam keperluan

akademik maupun sosial.

3. Mohamad Mujibur Rohman S.H M.H. selaku sekretaris Program Studi

Hukum Pidana Islam (jinayah). Terima Kasih atas arahan dan bimbingan

dalam keperluan akademik maupun sosial.

Page 7: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

vii

4. Dr. Khamami, S.H, M.A, M.D.C. selaku dosen pembimbing dalam penulisan

skripsi yang telah memberikan banyak masukan dan arahan serta meluangkan

waktunya dengan penuh keikhlasan kepada penulis.

5. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang ikhlas memberikan segala

ilmu dan pengetahuan selama proses studi yang menjadi pengaruh yang

sangat berarti bagi perkembangan pemikiran dan wawasan penulis.

6. Segenap pengelola Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Fakultas Syariah

dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakartaatas

pelayananan dalam menyediakan referensi buku-bukunya

7. Kepada kedua orang tua Penulis, Ayahanda Slamet AM dan Ibunda Ilmawati,

yang tiada henti memberikan dukungan, semangat, motivasi, mendoakan dan

memperjuangkan pendidikan penulis sampai di fase sekarang ini, penulis

haturkan terima kasih setulus-tulusnya.

8. Kepada Adik penulis Muaffaq Asy Syaikhan Nadzir, Adhwa Fairuz Taqiyyah,

dan Abdul Aziz Al-Asy’ari yang selalu membuat penulis marah, namun

mengajarkan penulis sebagian arti dari kesabaran. Semoga kita semua menjadi

anak yang selalu berbakti kepada orang tua dan senantiasa

membahagiakannya.

9. Abdillah Arief, yang telah membantu sangat banyak, serta menemani setiap

proses pembuatan skripsi ini. Terimakasih telah membersamai hingga akhir,

wo ai ni.

10. Kepada Sahabat– Sahabat Perjuangan Selly Rosyanaya, Risky Oktavianti, dan

Settia Fany yang memberikan dukungan serta selalu ada disisi penulis sampai

menyelesaikan skripsi.

11. Kepada Sahabat-Sahabat terdekat penulis, Riska Yolanda, Ulfiana Nurul

Afifah, Inas Inayah sudah mendesak dan selalu menyinggung penulis agar

segera menyelesaikan penulisan skripsi. Kalian terbaik

12. Kepada teman-teman jurusan Hukum Pidana Islam angkatan 2015 terimakasih

atas bantuan, doa serta dukungan untuk penulis, terimakasih atas kebersamaan

Page 8: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

viii

dan waktu yang telah kita alami bersama di masa perkuliahan, semoga di

masa yang akan datang kita dapat meraih apa yang kita harapkan.

13. Kepada sahabat UINERS, Livia Anggraeni, Heryanti dewi.F, Astri Lestari,

Lia Himmatus Sholihah, Iwan Hidayat, dan Arif Rahman. Yang selalu

memberikan tawa dan warna tiada habisnya kepada penulis.

14. Kepada Rekan KKN, Nai, Amoy, Emong, Citul, Gedut, Rijal, Ridwan sudah

bersedia menjadi keluarga saat berada di tanah orang sampai sekarang dan

seterusnya

15. Kepada kakak-kakak dan teman di Act, Mala, Ka Dita, Ka Retsa, Ka Della,

Ka Eva, Ka Chyta, Ka Nisa, Ka Lia, Ka Arby, Ka, Wahid , Zubir,

Terimakasih telah mengajari, memberikan pengalaman, dan suasana nyaman

selama 2 bulan di kantor. Berkat kalian, bekerja selalu menjadi kegiatan yang

sangat dirindukan.

16. Kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam kelancaran penyusunan

skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Akhirnya tiada untaian kata yang berharga selain ucapan Alhamdulillahirabbil

‘Alamiin. Besar harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis

dan bagi pembaca pada umumnya, Aamiin. Sekian dan terimakasih.

Jakarta, 15 Januari 2020 M

Nada Yasmin

Page 9: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

ix

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K Nomor: 158 Tahun 1987-Nomor: 054 b/u 198

No Huruf

Arab

Huruf

Latin Keterangan

Tidak dilambangkan ا .1

B Be ب .2

T Te ت .3

Ṡ Es dengan titik atas ث .4

J Je ج .5

Ḥ h dengan titik bawah ح .6

Kh ka dan ha خ .7

D De د .8

Ż Z dengan titik atas ذ .9

R Er ر .10

Z Zet ز .11

S Es س .12

Sy es dan ya ش .13

Ṣ es dengan titik di bawah ص .14

Ḍ de dengan titik di bawah ض .15

Ṭ te dengan titik di bawah ط .16

Ż zet dengan titik di bawah ظ .17

koma terbalik di atas hadap kanan ع .18

G Ge غ .19

Page 10: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

x

F Ef ف .20

Q Ki ق .21

K Ka ك .22

L El ل .23

M Em م .24

N En ن .25

W We و .26

H Ha ه .27

Apostrof ˋ ء .28

Y Ye ي .29

2. Vokal

Vokal adalah bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal

tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal,

ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

A Fatḥah

I Kasrah

U Ḍammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya ada sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

Ai Fatḥah dan ya ا ي

Au Fatḥah dan wau ا و

Page 11: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

xi

3. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa dilambangkan

dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

Ā a dengan garis di atas با

Ī i dengan garis di atas ب ي

Ū u dengan garis di atas ب و

4. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu

dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiah maupun huruf

kamariah. Contoh: al-rijāl bukan ar-rijāl, al-dīwān bukan ad- dāwān.

5. Syaddah (Tasydîd)

Syaddah atau tasydìd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan

sebuah tanda tasydìd ) ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu

dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak

berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang

yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata (الضرورة) tidak ditulis ad-

ḏarūrah melainkan al-ḏarūrah, demikian seterusnya.

6. Ta Marbūṯah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯah terdapat pada kata yang

berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1

di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûah tersebut diikuti oleh kata sifat

(na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûṯah tersebut diikuti kata benda

(ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).

Page 12: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

xii

No Kata Arab Alih Aksara

Ṯarīqah طريقة 1

al-Jāmi‘ah al-Islāmiyyah الجامعة الإسلامية 2

Wahdat al-wujūd وحدة الوجود 3

7. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf tidak dikenal, dalam alih aksara ini

huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang berlaku

dalam Ejan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat,

huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain- lain. Jika nama diri

didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal

nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Ab ū Hāmid al-

Ghazālī bukan Abū Hāmid Al-Ghazālī, al-Kindi bukan Al-Kindi.

Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan dalam alih

aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring ( italic) atau cetak tebal

(bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka demikian

halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari

dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya

berasal dari bahasa Arab. Mislanya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-

Samad al-Palimbani: Nuruddin al-Raniri, tidak Nūr al-Dīn al-Rānīrī.

Page 13: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

xiii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................. ii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iii

ABSTRAK............................................................................................................ iv

KATA PENGANTAR ........................................................................................ v

PEDOMAN TRANSLITERASI......................................................................... viii

DAFTAR ISI ....................................................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

A. Latar Belakang ................................................................................ 1

B. Identifikasi Masalah ......................................................................... 6

C. Batasan dan Rumusan Masalah........................................................ 7

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 7

E. Review Pustaka Terdahulu ............................................................... 8

F. Metode Penelitian ............................................................................. 10

G. Sistematika Penulisan ..................................................................... 12

BAB II PERBUATAN PIDANA DAN KONSEP PEMIDANAAN ............. 14

A. Perbuatan Pidana ............................................................................. 14

B. Konsep Pemidanaan ......................................................................... 21

C. Persiapan Perbuatan Pidana ............................................................. 25

BAB III TINJAUAN UMUM TERORISME ................................................. 30

A. Tindak Pidana Terorisme dalam Hukum Pidana Positif ................. 30

1. Definisi ..................................................................................... 30

2. Bentuk-bentuk Terorisme ......................................................... 35

3. Ketentuan Hukum Terorisme dalam Hukum Pidana Positif .... 37

Page 14: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

xiv

B. Tindak Pidana Terorisme dalam Fiqh Jinayah................................. 40

1. Definisi ..................................................................................... 40

2. Ketentuan Hukum Terorisme dalam Fiqh Jinayah ................... 41

C. Wilayah di Indonesia yang Menjadi Basis I’dad ............................. 46

BAB IV PERBEDAAN PERBUATAN PERSIAPAN (I’DAD) PIDANA

TERORISME PADA HUKUM POSITIF DAN FIQH JINAYAH . 48

A. Perbuatan Persiapan Terorisme pada Hukum

Positif .............................................................................................. 48

1. Jenis Persiapan Pidana Terorisme dalam Hukum

Positif ........................................................................................ 48

a. Perbuatan Persiapan Terorisme secara

Fisik ...................................................................................... 48

b. Perbuatan Persiapan Terorisme secara Finansial ................. 53

2. Hukuman Persiapan Terorisme dalam Hukum Positif .............. 54

B. Perbuatan I’dad (Persiapan) Terorisme dalam

Fiqh Jinayah .................................................................................... 59

1. Jenis Persiapan Pidana Terorisme dalam Fiqh

Jinayah ...................................................................................... 59

a. Perbuatan Idad (Persiapan) secara Fisik (madi)................... 59

b. Perbuatan I’dad (Persiapan) secara Non-Fisik (Imaani) ...... 62

2. Hukuman Perbuatan Idad (Persiapan) Terorisme dalam Fiqh

Jinayah ...................................................................................... 65

BAB V PENUTUP ............................................................................................. 70

A. Kesimpulan .................................................................................... 70

B. Saran .............................................................................................. 71

Page 15: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

xv

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 72

Page 16: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejalan dengan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, maka negara

Republik Indonesia adalah negara kesatuan yang berlandaskan hukum dan

memiliki tugas dan tanggung jawab untuk memelihara kehidupan yang aman,

damai, dan sejahtera serta ikut secara aktif memelihara perdamaian dunia. Untuk

mencapai tujuan tersebut, pemerintah wajib memelihara dan menegakkan

kedaulatan dan melindungi setiap warga negaranya dari setiap ancaman atau

tindakan destruktif baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.1

Terorisme merupakan suatu tindak pidana atau kejahatan luar biasa yang

menjadi perhatian dunia sekarang ini terutama di Indonesia. Terorisme yang

terjadi di Indonesia akhir-akhir ini memiliki keterkaitan ideologis, sejarah dan

politis serta merupakan bagian dari dinamika lingkungan strategis pada tataran

global dan regional. Kendati pun aksi terorisme yang terjadi di berbagai daerah

dalam beberapa tahun terakhir ini kebanyakan dilakukan oleh orang Indonesia dan

hanya sedikit aktor-aktor dari luar, namun tidak dapat dibantah bahwa aksi

terorisme saat ini merupakan suatu gabungan antara pelaku domestik dengan

mereka yang memiliki jejaring trans-nasional.2

Terorisme merupakan ancaman dan intimidasi bagi keamanan negara,

karena aksi terorisme merupakan perbuatan yang menciptakan bahaya terbesar

(the greatest danger) terhadap hak asasi manusia, target terorisme bersifat random

atau indiscriminate yang cenderung mengorbankan orang-orang tidak bersalah,

memiliki kecenderungan terjadinya sinergi negatif antar organisasi terorisme

nasional dengan organisasi internasional, dan adanya kemungkinan kerjasama

antar organisasi teroris dengan kejahatan yang terorganisasi baik yang bersifat

nasional maupun internasional.3 Oleh karena itu, terorisme sudah tentu merupakan

1 Hery Firmansyah, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia,

Dalam jurnal Mimbar Hukum Volume 23, Nomor 2, Juni (2011) 2 Muhammad A.S. Hikam, Deradikalisasi: Peran Masyarakat Sipil Indonesia

Membendung Radikalisme, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2016), h., 33-34. 3 Hamzah Junaid, Pergerakan Kelompok Terorisme dalam Perspektif Barat dan Islam,

Jurnal Su lesana, Vol.8/No. 2/2013, h., 119.

Page 17: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

2

kejahatan bersifat internasional yang perlu diberantas secara berencana dan

berkesinambungan, agar hak asasi orang banyak dapat dilindungi.

Terorisme sebagai tindakan kekerasan politik meskipun diberi justifikasi

keagamaan, seperti yang dilakukan para teroris sepenuhnya bertentangan dengan

etos kemanusiaan Islam. Islam sangat menekankan etos kemanusiaan universal

(ukhuwwah al-insaniyyah). Islam menganjurkan umatnya berjuang mewujudkan

perdamaian, keadilan, dan kehormatan; bukan dengan cara-cara kekerasan apalagi

terorisme. Setiap perjuangan demi keadilan adalah nilai universal yang harus

diperjuangkan dan dibela untuk kepentingan kemanusiaan dengan cara-cara yang

adil pula.4

Tindak pidana terorisme di samping berbagai bentuk radikalisme lainnya

merupakan kejahatan yang tergolong luar biasa (extra ordinary crime) karena

telah memenuhi unsur-unsur sebagai kejahatan luar biasa, yaitu membahayakan

nilai-nilai hak manusia yang absolut, serangan terorisme bersifat random,

indiscriminate, and non-selective yang kemungkinan menimpa orang-orang yang

tidak bersalah, selalu mengandung unsur kekerasan, keterkaitannya dengan

kejahatan terorganisasi, dan bahkan kemungkinan akan digunakannya teknologi

canggih seperti senjata kimia, biologi, bahkan nuklir.

Di samping itu tindak pidana di atas merupakan kejahatan terhadap

kemanusiaan (crimes against humanity) yang mendapat kutukan keras dari setiap

bangsa-bangsa di dunia. Terorisme dengan segala manifestasinya merupakan

kejahatan yang serius dan mengancam nilai-nilai kemanusiaan, mengganggu

keselamatan umum bagi orang dan barang bahkan sering ditujuan kepada instalasi

negara atau militer/pertahanan keamanan, maupun kepada personifikasi yang

menjalankan institusi negara seperti ditujukan kepada kepala negara,

pemerintahan pada umumnya, objek-objek vital dan stategis maupun pusat-pusat

keramaian umum lainnya.5

4 Ali Imron, Ali Imron Sang Pengebom,(Jakarta: Penerb it Republika, 2007), h., x-xi.

5 Muhammad Ali, Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Pendekatan Kebijakan

Kriminal), dalam Jurnal Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang Volume 3

Nomor 1 (Tahun 2017)

Page 18: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

3

Pada umumnya, ada 6 (enam) faktor penyebab/motivasi timbulnya tindak

pidana terorisme, yaitu : Faktor Ekonomi; Faktor Sosial Budaya; Faktor Identitas;

Faktor Pendidikan; Faktor Politik, dan; Faktor Psikologi.6

Kegiatan terorisme memerlukan perencanaan yang matang, kegiatan yang

dilakukan oleh kelompok teroris membutuhkan prorses perekrutan yang lama.

Selain itu mempersiapkan sumber daya baik dana dan logistik, dengan melakukan

pengumpulan dana baik legal maupun ilegal juga membutuhkan waktu pajang dan

resiko yang besar.

Tidak hanya itu, ketika akan melakukan operasi teror juga harus melalui

chassing atau penyelidikan awal dengan menggunakan teknik intelijen untuk

mendapatkan informasi berkaitan dengan situasi kondisi sasaran, selanjutnya

informasi tersebut sebagai bahan analisa sasaran untuk menentukan taktik, metode

teror serta waktu dan tempat pelaksanaan teror. Langkah-langkah persiapan itu

semua dilakukan dengan cara clandestine untuk menghindari kecurigaan dan

terbongkarnya aksi oleh aparat keamanan.7

Perencanaan para teroris tersebut menunjukan bahwa pelaku terorisme

memiliki tingkat kecerdasan yang bagus dengan berdasarkan logika dalam se tiap

tindakannya. Mereka juga sudah memperkirakan resiko yang akan mereka terima

yaitu tertangkap aparat dalam keadaan hidup atau mati. oleh karena itu teroris

berbeda dengan penjahat biasa, kalau penjahat berusaha semaksimal mungkin

untuk menghilangkan jejak dan melarikan diri dari kejaran polisi setelah

melakukan kejahatan sedangkan teroris cenderung telah mempersiapkan

perlawanan apabila akan ditangkap dan mereka sembunyi untuk melancarkan aksi

teror selanjutnya. Dengan resiko yang akan dihadapinya maka teroris juga

mengharapkan suatu keuntungan yang maksimal dari sasarannya sehingga

menimbulkan ketakutan yang luar biasa bagi pihak lawan. 8

6 Aulia Rosa Nasution, Terorisme Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan dalam

Perspektif Hukum Internasional & Hak Asasi Manusia, (Jakarta:Kencana Prenada Grup, 2012), h.,

112. 7https://www.academia.edu/4940496/PRASANGKA_MEMBENTUK_PERILAKU_TER

ORIS. h., 3, Diunggah senin 08 April 2019 , Pukul 15:30 WIB 8https://www.academia.edu/4940496/PRASANGKA_MEMBENTUK_PERILAKU_TER

ORIS. h., 3, Diunggah senin 08 April 2019 , Pukul 15:30 WIB

Page 19: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

4

Aceh diduga menjadi salah satu lokasi basis latihan jaringan teroris,

kawasan hutan pedalaman Aceh Besar yang digunakan menjadi tempat pelatihan

bagi kelompok yang diduga jaringan teroris. Mereka melakukan kegiatan latihan

militer di kawasan hutan pedalaman Aceh dengan alasan yaitu mereka merasa

tidak terganggu dengan mengadakan latihan di sana, sebab Aceh sudah aman,

sangat strategis, dekat dengan dunia internasional, dan jauh dari pusat kekuasaan

Kelebihan dalam hal geografis ini akan memudahkan para teroris untuk

melakukan hubungan dengan jaringan internasionalnya. Pemasokan senjata juga

lebih mudah karena bisa dilakukan melalui jalur laut.9

Menurut Chairul Huda dalam wawancara oleh Detiknews berpendapat

bahwa pelatihan yang dilakukan di daerah Aceh merupakan salah satu bentuk

kategori dalam upaya melakukan tindak pidana terorisme, walaupun pelatihan

untuk melakukan tindak pidana terorisme hanya berada pada wilayah persiapan,

hal tersebut disebabkan karena karakteristik yang ada pada UU terorisme

mengalami perluasan makna dari istilah yang ada pada pidana umum.10

Salah satu unsur dalam tindak pidana terorisme adalah penggunaan senjata

api dalam melaksanakan tindakan tersebut, ataupun menggunakan alat-alat

peledak lain yang mempunyai dampak kerusakan atau pelukaan, akan tetapi tidak

bisa hanya melihat bahwa seseorang yang membawa senjata api saja kemudian

dapat dikatakan sebagai tindak terorisme. Kita harus melihat secara konteks

tertentu terlebih dahulu sampai kemudian seseorang dapat dikatakan sebagai

pelaku terorisme, seperti hal nya membawa dan menggunakan senjata api dalam

masyarakat bisa dimasukan dalam kategori sebagai tindakan pemberontakan akan

tetapi lebih mendekati tindakan sparatisme. Penggunaan senjata ini termasuk

dalam kategori tindakan yang mengakibatkan teror termasuk juga pada kategori

dalam upaya persiapan melakukan tindak pidana terorisme. Sehingga tindakan

tersebut termasuk dalam unsur-unsur Tindak Pidana Terorisme.11

9https://nasional.kompas.com/read/2010/08/09/15085229/Mengapa.Teroris.Menyasar.Ace

h . Diunggah Selasa 09 April 2019, Pukul 15:41 WIB 10

https://news.detik.com/berita/1615672/ahli-persiapan-saja-sudah-termasuk-tindak-

pidana-terorisme. Diunggah Selasa 9 April 2019, Pukul 15:24 WIB 11

https://news.detik.com/berita/1615672/ahli-persiapan-saja-sudah-termasuk-tindak-

pidana-terorisme. Diunggah Selasa 9 April 2019, Pukul 15:24 WIB

Page 20: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

5

Perencanaan dalam melakukan tindak pidana, mempunyai makna

perluasan sebagai persiapan. Hal tersebut merupakan pengertian yang ada pada

istilah percobaan dalam nomenklatur hukum piana umum. Pada tindak pidana

terorisme perencanaan melakukan tindak pidana terorisme dapat masuk dalam

kategori mempersiapkan melakukan tindak pidana. Akan tetapi, aspek dalam

perencanaan akan berhenti hanya pada bagaimana perencanaan itu dilakukan.

Berbeda dengan merencanakan melakukan tindak pidana, hal tersebut akan

memperhatikan hal-hal seperti mempersiapkan tempat, alat, waktu, ataupun

pemufakatan dalam melakukan tindak pidana tersebut.12

Dalam terminologi Islam ada pengertian tentang i’dad. I’dad adalah

kegiatan seseorang untuk melatih dirinya secara individu atau kelompok dalam

pelatihan militer atau peperangan. Achmad Michdan berpendapat bahwa i’dad

berbentuk pelatihan militer atau berlatih perang bukanlah termasuk dalam kategori

kegiatan yang menjurus pada terorisme. Menurut Michdan hal tersebut adalah hal

yang legal dan dapat dilakukan oleh masyarakat sipil. Dasar memperbolehkan

melakukan kegiatan ini adalah, secara syariat Islam, i’dad adalah bagian yang

tidak terpisahkan dari jihad. Dalam artian bahwa i’dad mem00000punyai hukum

wajib dilakukan ketika dalam kondisi peperangan (jihad). Logika hukum yang

dibangun oleh Michdan adalah bahwa i’dad legal.13

Itulah sebabnya, menurut Michdan harus diluruskan bahwa secara historis

negara ini merdeka karena ideologi Islam yang tidak membenarkankan adanya

penjajahan dan perilaku menindas bangsa lain dan kemerdekaan Indonesia tidak

lepas dari peran utama umat Islam. Maka para pemuda memang harus siap

membela negara, dalam kepentingan Islam. I’dad adalah persiapan kekuatan

untuk berjaga-jaga menghadapi musuh yang menyerang kita, dan ini adalah jelas

diperintahkan oleh Allah sebagai salah satu bagian dari berjuang di jalan Allah.14

12

https://news.detik.com/berita/1615672/ahli-persiapan-saja-sudah-termasuk-tindak-

pidana-terorisme. Diunggah Selasa 9 April 2019, Pukul 15:24 WIB 13

https://www.kiblat.net/2013/11/20/achmad-michdan-i’dad-tidak-bisa-dianggap-bagian-

dari-kegiatan-terorisme/. Diunggah Jumat 12 April 2019, Pukul 16:21 WIB 14

https://www.kiblat.net/2013/11/20/achmad-michdan-i’dad-tidak-bisa-dianggap-bagian-

dari-kegiatan-terorisme/. Diunggah Jumat 12 April 2019, Pukul 16:27

Page 21: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

6

Tujuan i’dad sama sekali bukan untuk berlaku sewenang-wenang, bukan

untuk aksi sombong atau unjuk diri, dan juga bukan untuk meneror segenap

mahluk tak bersalah, namun hanya sebagai persiapan kekuatan untuk berjaga-jaga

mengahadapi musuh yang menyerang kita. I’dad ini dianjurkan tidak hanya bagi

ikhwan saja, namun akhwat pun termasuk di dalamnya. Karena itulah, Michdan

menyatakan bahwa i’dad tidak bisa disebut sebagai tindakan terorisme, Karena

kezhaliman bila tidak dilawan dengan kekuatan, ia akan tetap terjadi terus

berlanjut dan kita tidak akan bisa melakukan perlawanan.15

Dengan demikian dapat dilihat bahwa problematika perbedaan hukuman

i’dad terorisme dalam tinjauan Hukum Islam dan tinjauan Hukum Positif perlu

analisis lebih lanjut. Sehingga penyusun merasa gelisah dan menimbulkan ghiroh

ilmiah bagaimana penyelesaian kasus turut serta tindak pidana terorisme. Oleh

sebab itu penulis tertarik untuk mencoba menulis penelitian yang berjudul :

Perbuatan I’dad (Persiapan) Terorisme dalam Tinjauan Hukum Pidana Positif dan

Fiqh Jinayah

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, masalah terjadinya (i’dad)

terorisme menurut hukum pidana positif dan hukum pidana Islam, dapat

diidentifikasi sebagai berikut:

a. Bagaimana penegakan hukum di Indonesia dalam menangani maslaah

persiapan (i’dad) perbuatan Terorisme?

b. Bagaimana pandangan Hukum Positif terhadap masalah persiapan (i’dad)

perbuatan terorisme?

c. Bagaimana pandangan Fiqh Jinayah terhadap masalah persiapan (i’dad)

perbuatan terorisme?

d. Apa motif pelaku saat melakukan persiapan (i’dad) Tindak pindana

Teroris?

15

https://www.kiblat.net/2013/11/20/achmad-michdan-i’dad-tidak-bisa-dianggap-bagian-

dari-kegiatan-terorisme/. Diunggah Jumat 12 April 2019, Pukul 16: 47

Page 22: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

7

C. Batasan dan Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, mengingat luasnya cakupan

permasalahan yang terdapat didalam judul penelitian dan keterbatasan waktu,

biaya dan pengalaman penulis dalam penelitian maka yang dijadikan fokus

perhatian peneliti dalam penelitian ini dibatasi hanya pada permasalahan

bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif terhadap persiapan (i’dad)

perbuatan tindak pidana terorisme yang telah diatur dalam Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 2018 tentang Anti Terorisme dan Fiqh Jinayah.

Dari hasil identifikasi dan pembatasan masalah di atas dapat dirumuskan

masalah penelitiannya sebagai berikut :

a. Bagaimana pandangan hukum pidana positif terhadap perbuatan i’dad

Tindak Pidana Terorisme di Indonesia?

b. Bagaimana pandangan Fiqh Jinayah terhadap perbuatan i’dad Tindak

Pidana Terorisme di Indonesia?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

a. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan

penelitiannya adalah sebagai berikut :

a. Mengetahui pandangan hukum pidana positif terhadap perbuatan persiapan

(i’dad) terorisme

b. Mengetahui pandangan Fiqh Jinayah terhadap perbuatan persiapan (i’dad)

terorisme

b. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, penelitian ini diharapkan dapat

memberikan manfaat sebagai berikut :

a. Menjadi telaah ilmiah bagi pelaku i’dad tindak pidana Terorisme dalam

kajian Hukum Pidana Islam dan Hukum Positif dikalangan akademisi

Page 23: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

8

b. Menjadi kajian ilmiah untuk kalangan akademisi hukum dalam

mengimplementasikan teori-teori hukum Islam terhadap hukum

konvensional dalam konteks pemidanaan.

c. Memberikan pengetahuan secara akademis dan menambah literatur dalam

kajian hukum Islam.

d. Memberikan penjelasan bagaimana hukum positif dan hukum Islam

mengatur i’dad tindak pidana terorisme.

E. Review Pustaka Terdahulu

Sejumlah penelitian tentang perbuatan i’dad (persiapan) terorisme dalam

tinjauan Fiqh Jinayah telah dilakukan, baik yang mengkaji secara spesifik isu

tersebut maupun yang menyinggung secara umum. Berikut paparan tinjauan

umum atas sebagian karya penelitian tersebut.

Skripsi karya Mohammad Al Amin yang berjudul Studi Komparatif

Mengenai Tindak Pidana Terorisme Perspektif Hukum Pidana Islam dan Hukum

Pidana Positif di Indonesia16 membahas tentang terorisme dari dua perspektif,

yaitu hukum posiitif dan hukum pidana Islam. Tindak pidana terorisme dalam

Islam dikenal dengan istilah al-Irhab yang memiliki arti menciptakan ketakutan

akhaffa atau membuat kengerian dan kegentaran Faza’a. Pada perspektif hukum

pidana Islam nampaknya tindak pidana terorisme lebih bersifat kasuistik yang bisa

berubah-rubah bentuk sanksinya tergantung motif dan tujuan dilakukuannya,

walaupun secara umum berdasarkan persamaaan unsur-unsur terorisme bisa

diqiyaskan kepada jarimah hirabah, namun adakalanya tindak pidana terorisme

harus diqiyaskan kepada jarimah bughat.

Hal tersebut juga hampir sama dalam perspektif hukum pidana positif,

dimana ketentuan terorisme daitur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 2018

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yaitu perbuatan melawan hukum

yang esensinya adalah dilakukan melalui tindakan kekerasan dan ancaman,

16

Mohammad Al Amin, Studi Komparatif Mengenai Tindak Pidana Terorisme Perspektif

Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif di Indonesia. Penelit ian in i adalah skripsi oleh

Mahasiswa Jurusan Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Institut Agama Islam

Negri Surakarta, tahun 2018

Page 24: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

9

merusak objek fsilitas umum, merampas harta, dan kemerdekaan, menghilangkan

nyawa, sehingga menimbulkan korban secara masal kepada seluruh khalayak

masyarakat luas dan memiliki tujuan untuk menghancurkan kedaulatan bangsa

secara sistematis dan terencana. Mengenai sanksi yang dijatuhkan bagi pelaku

tindak pidana terorisme termuat dalam undang-undang di atas dalam pasal

6,7,8,9,10,11,12, dengan ketentuan sanksi paling ringan hukuman penjara tiga

tahun sampai hukuman yang paling berat yaitu hukuman mati.

Tahsis Alam Robitho meneliti penanganan terorisme yang berjudul,

Peranan Guru Pendidikan Agama Islam dalam Menangkal Bahaya Terorisme

(Studi di SMA Negri 9 Tangerang Selatan) (2013). Tahsis menemukan bahwa

peranan guru pendidikan agama Islam di SMA Negri 9 Tangerang Selatan dalam

menangkal bahaya terorisme sudah baik, artinya pengalaman siswa tidak

terpengaruh oleh doktrin-doktrin bahaya yang dilakukan terorisme selama ini

mengincar para remaja.

Artikel Zulfi Mubarak yang berjudul Fenomena Terorisme di Indonesia:

Kajian Aspek Teologi, Ideologi, dan Gerakan17 membahas dan menganalisa

tentang terorisme dari sudut pandang teologi, ideologi, dan gerakan. Artikel ini

berkesimpulan bahwa latar belakang Indonesia menjadi salah satu lahan yang

subur atau “surga”, baik sebagai sumber perekrutan kelompok maupun aksi

adalah: Pertama, faktor agama Islam yang dipeluk mayoritas rakyat Indonesia.

Kedua, faktor geografis sangat berpengaruh. Luas wilayah dan bentangan pulau-

pulau Indonesia, sangat menguntungkan aksi terorisme, sebab mobilitas mereka

akan sangat sukar dideteksi. Selain itu, beragam fasilitas AS yang bercokol di

Indonesia menjadi target dan juga kemampuan aparat keamanan yang terbatas.

Ketiga, faktor sosial-ekonomi pelaku bom yang sangat memprihatinkan menjadi

penyebab utama. Intinya adalah kemiskinan dan aliansi. Menurut mereka, lebih

baik mencari surga daripada hidup dalam kemiskinan dan selalu diiming-imingi

reward yang indah setelah mati. keempat, faktor karisma tokoh yang

menyebarkan doktrin tersebut yang berpengaruh.

17

Zulfi Mubarak, Fenomena Terorisme di Indonesia: Kajian Aspek Teologi, Ideologi dan

Gerakan, dalam Jurnal Studi Masyarakat Islam, Vol. 15 No.2 (Desember 2012).

Page 25: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

10

Beberapa kajian terdahulu yang telah disebutkan sebelumnya memiliki

persamaan dari sudut pandang hukum yang digunakan, yaitu hukum pidana Islam

jinayat dan hukum positif. Adapun perbedaan studi terdahulu dengan penelitian

penulis adalah terletak pada objek penelitiannya, yaitu penulis memfokuskan

penelitian ini kepada tindak pidana terorisme yang khusus membahas tentang

i’dad atau persiapan sebelum dilakukannya aksi terorisme, karena belum

ditemukan secara spesifik maupun secara umum yang membahas tentang

Perbuatan I’dad (Persiapan) Terorisme Dalam Tinjauan Hukum Pidana Positif

Dan Fiqh Jinayah.

F. Metode Penelitian

Agar penelitian ini dapat terlaksana secara rasional dan terarah serta

mendapatkan hasil yang maksimal, maka diperlukan metode atau cara yang

sistematis. Dalam metode penelitian terdapat berbagai macam jenis penelitian

yang dapat digunakan untuk melakukan sebuah penelitian. Demi terciptanya hasil

yang bermanfaat, maka suatu penelitian haruslah jelas metode penelitiannya,

mulai dari jenis, sumber-sumber dan teknik-teknik pengolahan data, seperti yang

dijelaskan sebagai berikut:

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang diterapkan dalam menyusun skripsi ini adalah

penelitian hukum normatif yang mengacu kepada norma-norma hukum yang

terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, serta

norma-norma hukum yang di masyarakat.18 Penelitian ini menggambarkan

perbuatan pelaku tindak pidana persiapan (i’dad) terorisme yang ditinjau dari

aspek hukum pidana positif dan Fiqh Jinayah.

18

Sumard i Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Rajawali Press, 2003) Cet Ke

14, h., 75

Page 26: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

11

2. Pendekatan Penelitian

Dalam skripsi ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan

perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan komparatif (comparative

approach). Pendekatan perundang-undangan ini mengkaji mengenai tidak pidana

persiapan (i’dad) terorisme yang berdasarkan pada aturan-aturan hukum yang

berlaku di Indonesia dalam hal ini Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang

Perubahan atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pendekatan komparatif dilakukan

dengan membandingkan peraturan hukum dalam hal ini adalah hukum pidana

positif dengan aturan-aturan hukum pidana Islam (jinayah).

3. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data

Penulis menggunakan teknik pengumpulan data yang merupakan cara

mengumpulkan bahan-bahan hukum yang dibutuhkan untuk menjawab rumusan

masalah penelitian. Menurut Peter, cara mengumpulkan data meliputi sumber

hukum primer dan sumber hukum sekunder. Antara lain sebagai berikut:19

a) Bahan Hukum Primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan

ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang yakni berupa KUHP,

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, Fiqh Jinayah dan peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan ini.

b) Bahan Hukum Sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan

informasi atau hasil kajian tentang kejahatan yang berkaitan dengan tindak

pidana terorisme, seperti karya tulis illmiah tentang kejahatan yang

berkaitan dengan tindak pidana terorisme, majalah-majalah, artikel, koran,

dan beberapa sumber dari situs internet yang berkaitan dengan persoalan

di atas.

Data-data di atas dikumpulkan dengan studi dokumentasi atau yang disebut studi

kepustakaan.

19

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015) h.,

181.

Page 27: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

12

4. Teknik Analisis data

Pada tahap analisis data, data diolah dan dimanfaatkan sedemikian rupa

sampai berhasil menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk

menjawab persoalan yang diajukan dalam penelitian. Adapun data-data tersebut

dianalisis dengan analisis komperatif, yaitu membandingkan tindak pidana

persiapan (i’dad) terorisme dalam tinjauan Hukum pidana positif dan Fiqh

Jinayah.

5. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan proposal skripsi ini menggunakan buku

“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Tahun 2017”.

G. Sistematika Penulisan

Proposal skripsi ini terdiri dari lima bab, masing-masing bab terdiri dari sub

bahasan, ini dimaksudkan untuk memudahkan dalam penulisan dan untuk mendapatkan

gambaran yang jelas mengenai materi pokok penulisan serta memudahkan para pembaca

dalam mempelajari tata urutan penulisan skripsi ini, maka penulis menyusun sistematika

penulisan ini secara sistematis sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan

Menguraikan latar belakang landasan keterkaitan penulis dalam

meneliti masalah persiapan i’dad tindak pidana terorisme menurut

hukum pidana positif dan Fiqh Jinayah, pada bab ini

menggambarkan secara keseluruhan skrispsi, agar skripsi ini tidak

keluar dari pokok permasalahan atau meluas pembahasannya maka

dalam bab ini ditambahkan sub tema mengenai pembatasan dan

permusan masalah, serta tujuan dan manfaat penelitian, Riview

terdahulu, dan supaya penulisan skripsi ini lebih terarah maka

penulis menggunakan metode penelitian, landasan teori dan

sistematika penulisan.

Page 28: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

13

Bab II Perbuatan Pidana dan Konsep Pemidanaan

Membahas tentang perbuatan pidana dalam hukum positif dan Fiqh

Jinayah, konsep pemidanaan dalam hukum positif dan Fiqh

Jinayah, dan persiapan perbuatan pidana dalam hukum positif dan

Fiqh Jinayah.

Bab III Tinjauan Umum Terorisme

Membahas tentang definisi tindak pidana terorisme dalam hukum

pidana positif, bentuk-bentuk terorisme, ketentuan hukum teroris

dalam hukum pidana positif, definisi tindak pidana terorisme dalam

Fiqh Jinayah, ketentuan hukum teroris dalam Fiqh Jinayah, dan

wilayah-wilayah di Indonesia yang menjadi basis I’dad

Bab IV Persiapan Perbuatan (i’dad) Terorisme pada Hukum Pidana

Positif dan Fiqh Jinayah

Membahas tentang perbuatan I’dad (persiapan) pidana terorisme

pada hukum positif, klasifikasi I’dad terorisme pada hukum positif,

perbuatan I’dad (persiapan) pidana terorisme pada Fiqh Jinayah,

klasifikasi I’dad terorisme pada fiqh jinayah, hukuman perbuatan

I’dad (persiapan) terorisme pada hukum positif, dan hukuman

perbuatan I’dad (persiapan) terorisme pada fiqh jinayah.

Bab V Penutup

Kesimpulan dan Saran.

Page 29: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

14

BAB II

PERBUATAN PIDANA DAN KONSEP PEMIDANAAN

A. Perbuatan Pidana

Istilah “pidana” merupakan istilah yang lebih khusus, yaitu menunjukkan

sanksi dalam hukum pidana.20 Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief yang

dikut, istilah hukuman yang berasal dari kata straf, merupakan suatu istilah yang

konvensional. Moeljatno menggunakan istilah yang inkonvensional, yaitu

pidana.21 Tindak pidana merupakan salah satu istilah yang digunakan untuk

menerjemahkan kata “straafbaar feit” dalam bahasa Belanda. Istilah-istilah lain

yang biasa digunakan sebagai terjemahan dari istilah “straafbaar feit” adalah

perbuatan pidana, delik, peristiwa pidana, pelanggaran pidana, dan perbuatan yang

dapat dihukum.

Menurut Roeslan Saleh, perbuatan pidana adalah perbuatan yang

bertentangan dengan tata ketertiban yang dikehendaki oleh hukum. Menurut

Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana adalah suatu perbuatan yang terhadap

pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Sedangkan menurut Tresna,

peristiwa pidana itu adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia

yang bertentangan dengan undang-undang dan peraturan perundang-undangan

lain terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.22

Andi Hamzah, ahli hukum Indonesia membedakan istilah hukuman

dengan pidana, yang dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah straf. Istilah

hukuman adalah istilah umum yang dipergunakan untuk semua jenis sanksi baik

dalam ranah hukum perdata, administratif, disiplin dan pidana, sedangkan istilah

20

Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum Dalam Konteks

Penegakan Hukum Di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), h., 23 21

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung:

Alumni, 2005), h., 1 22

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban pidana , (Jakarta: Aksara

Baru, 2003), h., 53

Page 30: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

15

pidana diartikan secara sempit yaitu hanya sanksi yang berkaitan dengan hukum

pidana.23

Menurut Chairul Chuda yang dikutip oleh Syamsudin dan Aris tindak

pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang padanya dilekatkan

sanksi pidana. Selanjutnya, menurut Chairul Chuda bahwa dilihat dari istilahnya,

hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang meliputi suatu tindak pidana. Sedangkan

sifat-sifat orang yang melakukan tindak pidana tersebut menjadi bagian dari

persoalan lain yaitu pertanggungjawaban pidana.24

Hal tersebut juga dipertegas oleh Andi Hamzah , bahwa hukuman (pidana)

itu bersifat siksaan atau penderitaan, yang oleh undang-undang hukum pidana

diberikan kepada seseorang yang melanggar sesuatu norma yang ditentukan oleh

undang- undang hukum pidana, dan siksaan atau penderitaan itu dengan

keputusan hakim dijatuhkan terhadap diri orang yang dipersalahkan itu. Sifat yang

berupa siksaan atau penderitaan itu harus diberikan kepada hukuman (pidana),

karena pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap norma yang

ditentukan oleh undang- undang.25

Hazewinkel Suringa dalam Hilaman memberi definisi tentang “straafbaar

feit” adalah sebagai perilaku manusia yang pada saat tertentu telah ditolak di

dalam suatu pergaulan hidup dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan

oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa

yang terdapat di dalamnya.26 Selanjutnya Van Hamel memberi definisi tentang

“straafbaar feit” sebagai suatu serangan atas suatu ancaman terhadap hal-hal

orang lain.27

Menurut Pompe dalam EY Kanter dan SR Sianturi “straafbaar feit”

dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum)

23

Andi Hamzah, Asas - Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h., 27 24

Rahman Syamsuddin dan Ismail Aris, Merajut Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Mitra

Wacana Media, 2014), h., 193 25

Andi Hamzah, Asas - Asas Hukum Pidana,... h., 27 26

Hilaman Hadikusma, Bahasa Hukum Indonesia, (Bandung: Alumni, 1992), h., 21 27

EY Kanter dan SR Siantur, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia , (Jakarta: Storia

Grafika, 2003), h., 102

Page 31: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

16

yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, di

mana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi

terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.28

Simons memberi definisi “straafbaar feit” adalah sebagai suatu tindakan

melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan

sengaja oleh seorang yang dapat dipertanggung jawabkan atas tindakannya dan

oleh undang-undang telah dinyatakan suatu tindakan yang dapat di hukum.

Hukum pidana Indonesia mengenal istilah tindak pidana. Istilah ini dipakai

sebagai pengganti perkataan “straafbaar feit”, yang berasal dari Bahasa Belanda.

Tindak Pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana.

Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis. Lain halnya dengan istilah

perbuatan jahat atau kejahatan yang dapat diartikan secara yuridis (hukum) atau

secara kriminologis. Mengenai isi dari pengertian tindak pidana ada kesatuan

pendapat diantara para sarjana.

Menurut ajaran kausalitas (hubungan sebab akibat) disebutkan pada

dasarnya setiap orang harus bertanggung jawab atas segala perbuatan yang

dilakukannya, namun harus ada hubungan kausa antara perbuatan dengan akibat

yang dilarang dan diancam dengan pidana. Hal ini tidak selalu mudah, peristiwa

merupakan rangkaian peristiwa serta tiada akibat yang timbul tanpa sesuatu sebab.

Berangkat dari pendapat-pendapat tersebut maka dapat penulis simpulkan

bahwa straafbaar feit atau tindak pidana adalah suatu tindakan yang dilarang oleh

undang-undang yang apabila dilanggar maka akan mendapatkan sanksi pidana. Di

dalam peraturan perundang-undangan terdapat banyak istilah yang digunakan

dimana istilah tersebut memiliki kesamaan arti dengan tindak pidana, antara lain

peristiwa pidana, perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, delik, pelanggaran

pidana, dan lain- lain.

Definisi yang sudah disebutkan di atas memiliki unsur-unsur yang tidak

dapat dipisahkan sebagai konsep utuh dari perbuatan pidana, adapun unsur-unsur

28

EY Kanter dan SR Siantur, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia ,... h., 103

Page 32: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

17

nya sebagai berikut: Muladi dan Barda Nawawi:29 berpendapat bahwa unsur

pengertian pidana, meliputi:

a. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan

atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;

b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang

mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);

c. Pidana itu dikenakan pada seseorang yang telah melakukan tindak

pidana menurut undang-undang.

Menurut Moeljatno, unsur atau elemen perbuatan pidana adalah sebagai

berikut:30

a. Kelakuan dan akibat (perbuatan);

b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan;

c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana;

d. Unsur melawan hukum yang obyektif;

e. Unsur melawan hukum yang subyektif.

Perlu ditekankan lagi bahwa sekalipun dalam rumusan delik tidak terdapat

unsur melawan hukum, namun jangan dikira bahwa perbuatan tersebut lalu tidak

bersifat melawan hukum. Perbuatan tadi sudah sedemikian wajar sifat melawan

hukumnya, sehingga tak perlu untuk dinyatakan sendiri. Bahwa meskipun

perbuatan pidana pada umumnya adalah keadaan lahir dan terdiri atas elemen-

elemen lahir, namun ada kalanya dalam perumusan juga diperlukan elemen batin

yaitu sifat melawan hukum yang subjektif.31

Sedangkan menurut Jonkers yang dikutip dalam buku Chazawi, unsur-

unsur tindak pidana adalah:

a. Perbuatan (yang);

b. Melawan hukum (yang berhubungan dengan);

29

Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta : Aksara Baru, 1983), h., 4 30

Moeljatno, Azaz-azaz Hukum Pidana, (Jakarta:Bina Aksara, 1985), h., 63 31

Moeljatno, Azaz-azaz Hukum Pidana, ...h., 63

Page 33: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

18

c. Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat);

d. Dipertanggungjawabkan.32

Menurut Simons yang dikutip dalam buku Chazawi juga menjelaskan unsur-unsur

tindak pidana (Strafbaar feit), yaitu: 33

a. perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat

atau membiarkan).

b. Diancam dengan pidana (statbaar gesteld)

c. melawan hukum (onrechtmatig)

d. dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband stand) oleh yang

orang yang mampu bertanggungjawab (toerekeningsvatoaar person).

Simons juga menyebutkan adanya unsur objektif dan unsur-unsur subjektif

dari tindak pidana (strafbaar feit). Menurut Lamintang pokok-pokok perbuatan

pidana sejumlah tiga sifat yaitu:

a. Wederrechtjek (melanggar hukum).

b. Aan schuld te wijten (telah dilakukan dengan sengaja atau pun tidak

dengan sengaja), dan

c. Strafbaar (dapat dihukum).

Jika berbicara mengenai hukum pidana Islam atau yang dinamakan dengan

Fiqh Jinayah, maka akan dihadapkan kepada hal-hal mempelajari ilmu tentang

hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang (jarimah)

dan hukumannya (uqubah), yang diambil dari dalil-dalil terperinci. Jadi, secara

garis besar dapat diketahui bahwa objek pembahasan atau cakupan dari hukum

pidana Islam adalah jarimah atau tindak pidana serta uqubah atau hukumannya.34

Namun jika melihat cakupan yang lebih luas lagi, maka cakupan hukum

pidana Islam pada dasarnya hampir sama dengan yang diatur di dalam Hukum

32

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1 . (Jakarta:Raja Grafindo, 2002), h.,

81 33

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1 ...., h., 81 34

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h., ix

Page 34: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

19

Pidana positif, karena selain mencakup masalah tindak pidana dan hukumannya

juga disertai dengan pengaturan masalah percobaan, penyertaan, maupun

gabungan tindak pidana. Berikut ini dijelaskan hal-hal yang berupa tindak pidana

(jarimah) dan hukuman (uqubah) dalam Hukum Pidana Islam.

Dalam hukum Islam perbuatan pidana disebut dengan jarimah. Jarimah

atau tindak pidana secara bahasa mengandung pengertian dosa, durhaka. Larangan

larangan syara’ (hukum Islam) yang diancam hukuman had (khusus) atau takzir

pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum syariat yang mengakibatkan

pelanggarnya mendapat ancaman hukuman. Larangan-larangan syara’ tersebut

bisa berbentuk melakukan perbuatan yang dilarang ataupun tidak melakukan

suatu perbuatan yang diperintahkan.

Secara etimologis, jinayah adalah nama bagi sesuatu yang dilakukan oleh

seseorang menyangkut suatu kejahatan atau apapun yang diperbuat. Jinayah

adalah suatu penamaan melalui bentuk masdar (infinitif) dari kata jana yang

berarti kejelekan yang menimpanya. Makna ini masih umum, tetapi kemudian

dikhususkan bagi perbuatan-perbuatan yang diharamkan. Makna ini berasal dari

jana as-samara yang artinya memetik buah dari pohonya.

Adapun secara terminologis, jinayah adalah suatu nama bagi perbuatan

yang diharamkan oleh hukum Islam, baik yang berkenaan dengan jiwa, harta,

maupun lainnya. Meskipun demikian fukaha mengkhususkan atau mempersempit

pengertian jinayah ini sebagai perbuatan (yang diharamkan oleh hukum Islam)

yang berkenaan dengan jiwa (nyawa) dan anggota tubuh manusia (membunuh,

mulukai dan memukul).35

Dalam bahasa Indonesia, kata jarimah berarti perbuatan pidana atau tindak

pidana. Kata lain yang sering digunakan sebagai padanan istilah jarimah ialah

Hukum Islam, kata jinayah Hanya, dikalangan fukaha (ahli fikh, red) istilah

jarimah pada umumnya digunakan untuk semua pelanggaran terhadap perbuatan-

perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik mengenai jiwa ataupun lainnya.

35

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri Al-Jina’i Al-Islamy Muqaranan Bil Qanunil Wad’iy,

(Jakarta : BATARA Offset, 2007), h., 89

Page 35: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

20

Sedangkan jinayah pada umumnya digunakan untuk menyebutkan perbuatan

pelanggaran yang mengenai jiwa atau anggota badan seperti membunuh dan

melukai anggota badan tertentu.36

Jarimah, memiliki unsur umum dan unsur khusus. Unsur umum jarimah

adalah unsur-unsur yang terdapat pada setiap jenis jarimah, sedangkan unsur

khusus adalah unsur-unsur yang hanya terdapat pada jenis jarimah tertentu yang

tidak terdapat pada jenis jarimah yang lain. Unsur umum daripada jarimah terbagi

ke dalam tiga unsur yaitu: pertama; unsur formal, kedua; materil dan, ketiga;

moril.

Unsur formal (al-Rukn al-Syar’iy) yaitu adanya nash atau ketentuan yang

menunjukan sebagai jarimah. Jarimah tidak akan terjadi sebelum dinyatakan

dalam nash. Alasan harus ada unsur ini, antara lain firman Allah SWT dalam Q.S.

Al-Isra ayat 15 yang mengajarkan bahwa Allah tidak akan menyiksa hamba-Nya

sebelum mengutus utusan-Nya ajaran ini berisi ketentuan bahwa hukuman akan

ditimpakan kepada mereka yang membangkan ajaran Rasulullah. Khususnya

untuk jarimah ta’zir, harus ada peraturan dan undang-undang yang telah dibuat

oleh penguasa.

Unsur materil (al-Rukn al-Mādi) yaitu adanya perbuatan melawan hukum

yang benar-benar telah dilakukan. Hadis Nabi riwayat Bukhari dan Musli dari

Abu Hurairah bahwa Allah melewatkan hukuman untuk umat Nabi Muhammad

SAW. Atas sesuatu yang masih terkandung dalam hati, selagi ia tidak mengatakan

dengan lisan atau mengerjakannya dengan nyata.

Unsur moril (al-Rukn al Adabiy) yaitu adanya niat pelaku untuk berbuat

jarimah. Unsur ini menyangkut tanggung jawab pidana yang hanya dikenakan atas

orang yang telah balig, sehat akal, dan ikhtiar (berkebebasan berbuat), walaupun

secara umum jarimah terbagi kedalam tiga unsur di atas, akan tetapi secara khusus

36

H.A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam) , (Jakarta:

PT RajaGrafindo Persada, 2000) , h., 12, Ed.2., Cet., 3

Page 36: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

21

setiap jarimah memiliki unsur-unsur tersendiri, dan inilah yang dinamakan dengan

unsur khusus jarimah.37

Adapun pembagian jarimah pada dasarnya tergantung dari berbagai sisi.

Jarimah dapat ditinjau dari sisi berat -ringannya sanksi hukum, dari sisi niat

pelakunya, dari sisi cara mengerjakannya, dari sisi korban yang ditimbulkan oleh

suatu tindak pidana, dan sifatnya yang khusus. Ditinjau dari sisi berat ringannya

sanksi hukum serta ditegaskan atau tidaknya oleh Al Qur’an dan Hadist, jarimah

dapat dibagi atas jarimah hudud, jarimah qhishas/diyat, dan jarimah ta’zir.38

B. Konsep Pemidanaan

Pemidanaan dapat diartikan sebagai tahap penetapan hukuman dan

tahapan pemberian hukuman dalam hukum pidana. Pemidanaan juga dapat

diartikan sebagai penjatuhan hukuman. Pada tahapan-tahapan untuk memberikan

hukuman bagi pelaku tindak pidana tersebut ada beberapa larangan atau prosedur

yang harus dilakukan dalam upaya menjamin hak-hak bagi pelaku dan korban.

Mengenai teori pemidanaan, pada umumnya dapat dikelompokkan dalam tiga

golongan besar, yaitu teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien),

teori relatif atau teori tujuan (doel theorien), dan teori menggabungkan

(verenigings theorien).39

a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan

Teori ini mengehendaki pembenaran yang terhadap suatu tindak pidana

adalah berdasarkan kejahatan yang dilakukannya sendiri. Pelaku secara

absolut harus di hukum untuk memenuhi tuntutan keadilan. Teori absolut

ini juga dikatakan sebagai teori pembalasan. hal ini di jelaskan oleh Andi

Hamzah bahwa teori pembalasan dalam pidana tidak bertujuan untuk

praktis semata, seperti memperbaiki penjahat.40 Kejahatan itu sendirilah

yang memiliki unsur-unsur untuk dapat dijatuhkan pidana, sehingga tujuan

37

H.A. Djazu li, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam),... h.,12 38

Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariat dalam Wacana

dan Agenda, (Jakarta: Gema Insani Press , 2003), h., 22, Cet.,1 39

E. Utrecht, Hukum Pidana I, (Jakarta:Universitas Jakarta, 1958), h., 157 40

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), h., 27

Page 37: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

22

dari teori ini adalah condong terhadap balas dendam kepada pelaku tindak

pidana. Teori pembalasan dapat dibagi menjadi dua pembalasan yaitu

subjektif dan objektif. Pembalasan secara subjektif adalah pembalasan

terhadap kesalahan pelaku dan pembalasan objektif adalah terhadap apa

yang telah dibuat oleh pelaku tindak pidana terhadap lingkungannya.

b. Teori Relatif atau Teori Tujuan

Teori ini hadir sebagai anti-tesis terhadap teori pembalasan yang disebut

juga sebagai teori utilitarian. Teori ini tidak hanya mengedepankan

penghukuman sebagai upaya penjatuhan nestapa kepada pelaku, namun

juga bertujuan untuk menciptakan ketertiban di masyarakat. Hal tersebut

selaras dengan pendapat Muladi dan Barda Nawawi Arief yaitu:41

“Pidana bukan sekedar untuk melakukan pembalasan atau

pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana,

tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu

teori ini pun sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory). Jadi

dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada

tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan ‘quia peccatum est’ (karena orang

membuat kejahatan) melainkan ‘nepeccetur’ (supaya orang jangan

melakukan kejahatan)”

Hal tersebut jelas bahwa teori relatif ini dalam upaya penjatuhan hukuman,

bukan semata-mata untuk membalas dendam kepada pelaku, namun untuk

menciptakan keteraturan dan ketertiban di masyarakat. Lebih jauh lagi

menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief bahwa teori ini terbagi menjadi

tiga komponen utama yaitu: Preventive, Detterence dan Reformatif.

Komponen-komponen tersebut menjadi poros yang membangun tujuan

teori relatif untuk melihat aspek pemidanaan bukan hanya pembalasan

semata.

41

Muladi dan Barda Nawawi, Teori dan Kebijakan Pidana. (Bandung: Alumni, 1992) h.,

16

Page 38: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

23

c. Teori Menggabungkan atau Teori Gabungan

Teori ini merupakan gabungan dari teori absolut dan teori relatif yang

melihat pemidanaan merupakan upaya balas dendam kepada pelaku dan

sekaligus menciptakan ketertiban di masyarakat. Teori ini disebut juga

sebagai teori integratif yang terbagi menjadi tiga golongan, yaitu:42

1) Golongan yang menitik beratkan kepada pembalasan namun

sesuai pada batasan untuk menciptakan ketertiban

masyarakat

2) Golongan yang menitikberatkan kepada ketertiban

masyarakat yang tidak boleh penjatuhan hukumannya lebih

berat dari kejahatan yang dilakukan oleh pelaku.

3) Golongan yang menyeimbangkan kedua hal yang telah

disebutkan sebelumnya.

Pemidanaan dalam konsep jinayah disebut sebagai ‘uqubah, yaitu

bentuk pembalasan bagi pelaku jarimah (tindak pidana) yang melanggar

ketentuan syara’ untuk kemaslahatan. hal ini juga diperkuat oleh pendapat

Al-Qadir Audah bahwa pemidanaan adalah suatu penderitaan yang

dibebankan kepada pelaku atau seseorang akibat melanggar ketentuan aturan.

Secara teoritis ada beberapa aspek yang dikembangkan untuk mecapai

kemaslahatan manusia dalam pemidanaan pada perspektif jinayah, yaitu:

a. Aspek Pembalasan

Aspek ini merupakan teori yang memiliki dasar bahwa pelaku

jarimah harus diberikan hukuman sebagai bentuk pembalasan dan

bentuk penjeraan, adapun ayat-ayat Al-quran yang berkaitan dengan

teori pembalasan yaitu pada Q.s. Al-Maidah (5) : 33 :

لوا أو ورسوله ويسعون في الرض فسادا أن يقت ذين يحاربون الل إنما جزاء ال

لك لهم خزي بوا أو تقطع أيديهم وأرجلهم من خلف أو ينفوا من الرض ذ يصل

نيا ولهم في الخرة عذاب عظيم في الد

42

Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-pendapat Mengenai Efektifitas

Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984) h., 24

Page 39: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

24

Artinya: “sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang

memerangi Allah dan RasulNya dan membuat kerusakan di muka

bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan

kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat

kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk

mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar”.

Ayat tersebut menggambarkan pemidanaan berdasarkan teori

pemidanaan pembalasan/absolut yang menginginkan pelaku jarimah

dihukum sebagai pembalasan apa yang telah dilakukannya.

b. Aspek Detterence/ penjeraan

aspek ini menggambarkan bahwa pemidanaan dalam islam harus

memberikan efek jerah kepada pelaku jarimah. Aspek ini melihat

pada aspek secara visioner artinya melihat kearah depan, bukan pada

aspek apa yang telah dilakukannya.

Aspek ini dapat dilihat menjadi dua bagian yaitu penjeraan secara

internal dan general. Secara internal yaitu memberikan efek jerah

kepada pelaku tindak pidana dan secara general adalah memberikan

pembelajaran bagi masyarakat agar tidak menentang syara’.

Kedua aspek yang telah dijelaskan tersebut secara substansial dapat

terlihat dalam bentuk ‘uqubah dalam jinayah, yaitu:43

1) Pemidanaan dilihat dari keterkaitan antara satu hukuman dengan

hukuman lainnya. ada empat macam, yaitu:

a) Pidana pokok, yaitu pemidanaan yang diterapkan sesuai

apa yang telah ditentukan oleh nash. Dalam

pemidanaan ini disebut sebagai jarimah hudud.

b) Pidana pengganti, pemidanaan yang diterapkan sebagai

pengganti karena pidana pokok tidak dapat diterapkan

dengan alasan yang sah/benar. Misalnya qishash diganti

dengan diyat.

43

Marsum, Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 1988) h., 126

Page 40: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

25

c) Pidana tambahan, yaitu pemidanaan yang menyertai

pidana pokok pemidanaan tambahan berupa hilangnya

hak persaksian dirinya, dan hilangnya hak pewarisan

bagi pelaku pembunuhan.

d) Pidana pelengkap, yaitu tambahan pidana pokok

dengan melalui keputusan hakim.

2) Pemidanaan dilihat dari hakim dalam memutuskan kasus. Dalam

hal ini ada dua macam :

a) Pemidanaan yang bersifat terbatas, yakni ketentuan

pidana yang ditetapkan secara pasti oleh nash, atau

dengan kata lain, tidak ada batas tertinggi dan terendah.

Misalnya hukuman dera 100 kali bagi pelaku zina dan

hukuman dera 80 kali bagi pelaku penuduh zina.

b) Pemidanaan yang memiliki alternatif untuk dipilih.

3) Pemidanaan dilihat dari obyeknya. Dalam hal ini ada tiga macam:

a) Pemidanaan fisik, seperti potong tangan, rajam dan

lainnya.

b) Pemidanaan yang berkenaan dengan psikologis,

ancaman dan teguran.

c) Pemidanaan benda, ganti rugi, diyat dan penyitaan

harta.

C. Persiapan Perbuatan Pidana

Persiapan dapat juga dikategorikan sebagai percobaan di dalam ilmu

pidana. R. Soesilo memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud percobaan

adalah menuju kesuatu hal akan tetapi belum tidak sampai pada hal dituju

tersebut, atau hendak melakukan sesuatu, sudah dimulai akan tetapi tidak

selesai.44 Dalam ilmu hukum pidana dikenal adanya teori-teori tentang dasar

dapat dipidananya percobaan tindak pidana. Teori-teori tentang dasar dapat

44 R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-

komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1986) h., 69

Page 41: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

26

dipidananya percobaan dapat dibedakan atas teori percobaan yang obyektif dan

teori percobaan yang subyektif.

Pendukung teori percobaan obyektif antara lain D. Simons, sedangkan

pendukung teori percobaan yang subyektif antara lain G.A. van Hamel.

Mengenai kedua teori ini dikemukakan oleh J.E. Jonkers bahwa, “ajaran yang

subyektif menitikberatkan pada subyek, yaitu maksud perseorangan (individu),

ajaran obyektif mementingkan obyek yaitu perbuatan yang dilakukan oleh si

pembuat.”45

Menurut teori percobaan yang obyektif, dasar dapat dipidananya

percobaan tindak pidana adalah bahwa perbuatan itu telah membahayakan suatu

kepentingan hukum. Sekalipun perbuatan itu belum melanggar suatu

kepentingan hukum, tetapi kepentingan hukum itu telah dibahayakan. Jadi, teori

percobaan yang obyektif ini terutama melihat pada perbuatan. Perbuatan yang

bersangkutan, sekalipun belum melanggar suatu kepentingan hukum, tetapi telah

membahayakan kepentingan hukum.46

Mengenai teori percobaan yang subyektif, dikemukakan oleh Jan

Remmelink yang dikutip dalam buku Soesilo bahwa teori ini “titik berat

penekanannya pada niatan pelaku.” Menurut teori percobaan yang subyektif,

dasar dapat dipidananya percobaan tindak pidana adalah watak yang berbahaya

dari si pelaku. Jadi, teori ini melihat pada orangnya, yaitu si pelaku, di mana

yang diperhatikan adakah watak dari si pelaku, yang dengan mencoba

melakukan kejahatan telah menunjukkan wataknya yang berbahaya.47 Jadi,

syarat-syarat yang harus dipenuhi supaya percobaan pada kejahatan dapat

dihukum adalah:48

a. Niat sudah ada untuk berbuat kejahatan itu;

b. Orang sudah memulai berbuat kejahatan itu; dan

45

Tim Penerjemah BPHN, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar

Harapan, 1983), h., 158 46

Astri C. Montolalu, Tindak Pidana Percobaan dalam Kitab Undang-undang Hukum

Pidana (KUHP), dalam Jurnal Lex Crimen, Vol. V No. 2 (Februari 2016) 47

Astri C. Montolalu, Tindak Pidana Percobaan dalam Kitab Undang-undang Hukum

Pidana (KUHP), dalam Jurnal Lex Crimen, Vol. V No. 2 (Februari 2016)

48

R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-

komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, ...h., 69

Page 42: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

27

c. Perbuatan kejahatan itu tidak jadi sampai selesai, oleh karena

terhalang oleh sebab-sebab yang timbul kemudian, tidak terletak

dalam kemauan penjahat itu sendiri.

Berdasarkan rumusan di atas, maka unsur-unsur dari percobaan dapat kita

gambarkan sebagai berikut:49

a. Maksud atau niat (Voornemen) dari orang yang hendak melakukan

kejahatan, yang diancam sanksi oleh suatu norma pidana.

b. Permulaan/persiapan pelaksanaan (begin van uitvoering) kejahatan

sudah nyata sebagaimana telah ditentukan dalam suautu norma

pidana.

c. Keadaan, yakni pelaksanaan itu tidak selesai hanya karena keadaan-

keadaan yang tidak tergantung pada kehendak orang yang melakukan

(pelaku)

Dalam hukum pidana Islam, para ulama termasuk para Imam mazhab

tidak secara khusus dan detail membahas delik percobaan. Hal ini bukan berarti

masalah tersebut tidak penting, melainkan karena percobaan masuk dalam

kerangka jarimah ta'zir. Kondisi ini bukan berarti sama sekali tidak ada

keterkaitan delik percobaan dengan delik-delik lainnya.

Tidak adanya perhatian secara khusus terhadap jarimah percobaan

disebabkan oleh beberapa dua faktor. Pertama : Percobaan melakukan jarimah

tidak dikenakan hukuman had atau qisas, melainkan dengan hukuman ta'zir. Di

mana ketentuan sanksinya diserahkan kepada penguasa negara (ulul-al amri) atau

hakim. Untuk menetapkan hukuman-hukuman jarimah tersebut, baik yang

dilarang dengan langsung oleh syara' atau yang dilarang oleh penguasa negara

tersebut, diserahkan pula kepada mereka, agar bisa disesuaikan dengan kebutuhan

49

Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) h.,

95.

Page 43: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

28

masyarakat. Sesudah itu, hakim diberi wewenang luas dalam menjatuhkan

hukuman, di mana ia bisa bergerak antara batas tertinggi dengan batas terendah.50

Kebanyakan jarimah ta'zir bisa mengalami perubahan antara dihukum dan

tidak dihukum, dari masa ke masa, dan dari tempat ke tempat lain, dan unsur-

unsurnya juga dapat berganti-ganti sesuai dengan pergantian pandangan

penguasa-penguasa negara. Oleh karena itu di kalangan fuqaha tidak ada perhatian

khusus terhadap percobaan melakukan jarimah, karena percobaan ini termasuk

jarimah ta'zir.51

Kedua, dengan adanya aturan-aturan yang mencakup dari syara' tentang

hukuman jarimah ta'zir, maka aturan-aturan khusus untuk percobaan tidak perlu

diadakan. Sebab, hukuman ta'zir dijatuhkan atas setiap perbuatan maksiat

(kesalahan) yang tidak dikenakan hukuman had atau kifarat. Dengan perkataan

lain, setiap perbuatan yang dianggap percobaan atau permulaan jahat dianggap

maksiat dan dapat dijatuhi hukuman ta'zir.52

Karena hukuman had dan kifarat hanya dikenakan atas jarimah-jarimah

tertentu yang benar-benar telah selesai, maka artinya setiap percobaan (memulai)

sesuatu perbuatan yang dilarang hanya dijatuhi hukuman ta'zir. Percobaan itu

sendiri dianggap maksiat, yakni jarimah yang selesai juga, meskipun merupakan

satu bagian saja di antara bagian-bagian lain yang membentuk jarimah yang tidak

selesai, selama satu bagian itu sendiri dilarang.

Jadi tidak aneh kalau sesuatu perbuatan semata-mata menjadi suatu

jarimah, dan apabila bergabung dengan perbuatan lain maka akan membentuk

jarimah yang lain lagi.53 Maka dapat dijelaskan, mengapa para fuqaha tidak

membuat pembahasan khusus tentang percobaan melakukan jarimah, sebab yang

diperlukan oleh mereka ialah pemisahan antara jarimah yang telah selesai dengan

50

Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), h.,

118- 119 51

Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam,... h., 118-119 52

Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam,... h., 118-119 53

Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta: Logung, 2004), h.,

43

Page 44: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

29

jarimah yang tidak selesai, dimana untuk jarimah macam pertama saja dikenakan

hukuman had atau qisas, sedang untuk jarimah macam kedua hanya dikenakan

hukuman ta'zir.54

Pendirian Syara' tentang percobaan melakukan jarimah lebih mencakup

daripada hukum-hukum positif, sebab menurut syara' setiap perbuatan yang tidak

selesai disebut maksiat yang dijatuhi hukuman, dan dalam hal ini tidak ada

pengecualiannya. Siapa yang mengangkat tongkat untuk dipukulkan kepada orang

lain, maka ia dianggap memperbuat maksiat dan dijatuhi hukuman ta'zir.

54

Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam,... h., 44

Page 45: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

30

BAB III

TINJAUAN UMUM TERORISME

A. Tindak Pidana Terorisme dalam Hukum Positif

1. Definisi

Dari segi bahasa, istilah terorisme sesungguhnya berkaitan

erat dengan kata teror dan juga teroris. Secara sistematik leksikal teror

berarti kekacauan, tindak kesewenang-wenangan untuk menimbulkan

kekacauan dalam masyarakat, tindakan kejam dan mengancam.55

Menurut Muladi dalam Black Laws Dictionary istilah teroris

“terroris” (pelaku) dan terorisme (aksi) berasal dari kata latin

“terrere” yang kurang lebih berarti membuat gemetar atau

menggetarkan. Kata ‘teror’ juga bisa menimbulkan kengerian.56

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata terorisme sendiri

memiliki makna yakni, penggunaan kekerasan untuk menimbulkan

ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik);

praktik tindakan teror;.57

Teror yang berarti menakut-nakuti, mengancam, memberi

kejutan kekerasan atau membunuh dengan maksud menyebarkan rasa

takut adalah taktik-taktik yang sudah melekat dalam perjuangan

memperebutkan kekuasaan, jauh sebelumnya telah bermakna sama

pada kata “assassin” mengacu pada gerakan dalam perang salib abad

ke-11 Masehi yang mengantisipasi terorisme Internasional di era

globalisasi ini.58

55

Abdurrahman Pribadi & Abu Hayyan, Membongkar Jaringan Teroris, (Jakarta: Abdika

Press, 2009), h., 9 56

Muladi, Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:

Habibi Center, 2002), h., 173 57

Tim Bentang Pustaka, Kamus Saku Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Bentang Pustaka,

2010), h., 187 58

Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana

Terorisme (dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia), (Bandung: Pt Refika Aditama, 2007), h., 1

Page 46: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

31

Kata “teror” termasuk kedalam kosa kata politis, baru pada

Revolusi Perancis, di akhir abad ke-19, awal abad ke-20 dan

menjelang Perang Dunia II, “terorisme” menjadi teknik perjuangan

revolusi. Misalnya, dalam rezim Stalin pada tahun 1930-an yang juga

disebut “pemerintahan teror”. Di era perang dingin, “teror” dikaitkan

dengan ancaman senjata nuklir. Istilah “terorisme” sendiri pada 1970-

an dikenakan pada beragam fenomena, dari bom yang meletus di

tempat-tempat publik sampai dengan kemiskinan dan kelaparan.

Beberapa pemerintah bahkan memberikan stigma musuh-musuhnya

sebagai “teroris” dan aksi-aksi mereka disebut “terorisme”.59

Kelompok Akademisi menyebutkan bahwa “terorisme adalah

sebuah metode yang disemangati oleh keinginan melakukan aksi

kekerasan secara berulang, yang dilakukan oleh individu, kelompok,

atau actor penguasa bawah tanah (Clandestine), karena alasan

idiosinkratis, criminal, atau politik.60 Oleh karena itu, berbeda dengan

asaniasi, yang mengeksekusi langsung sasaran pembunuhan, sasaran

langsung kekerasan teror bukan orang yang menjadi sasaran utama.

Korban kekerasan biasanya dipilih secara acak (yang disebut

targets of opportunity) atau dipilih (representative atau symbolic

targets) dari warga yang menjadi sasaran, yang kemudian dijadikan

sebagai sumber pesan. Ancaman dan proses komunikasi yang

berbasis kekerasan antara teroris dan korban digunakan untuk

memanipulasi sasaran utama yang sebenarnya. Sasaran terakhir inilah

yang menjadi sasaran teror, sasaran tuntutan, atau sasaran perhatian,

tergantung pada tingkat intimidasi, pemaksaan, dan propaganda yang

diinginkan.61

59

Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana

Terorisme (dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia), h., 1-2

60

Achmad Jainuri, Radikalisme dan Terorisme : Akar Ideologi dan Tuntutan Aksi.

(Malang, Jatim: Intrans Publishing, Kelompok Intrans Publishing. 2016). H., 124

61 Achmad Jainuri, Radikalisme dan Terorisme : Akar Ideologi dan Tuntutan Aksi .... h.,

124

Page 47: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

32

Menurut Federal Buraeu of Ivestigation (FBI) atau biro

investigasi Amerika Serikat, terorisme adalah tindakan kekerasan

melawan hukum atau kejahatan melawan orang-orang atau perbuatan

dengan mengintimidasi atau memaksa satu pemerintah, warga sipil

dan unsur masyarakat lainnya, dengan tujuan mencapai target sosial

politik tertentu.62

Menurut Perpu No 1 Tahun 2002 jo (UU Nomor 15 Tahun

2003), tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang

memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang sesuai dengan ketentuan

dalam Peraturan Pengganti Undang-Undang, yang mana dimaksud

yakni setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan,

bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap

orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal

dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta

benda orang lain, atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang

strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik atau fasilitas

Internasional.63 Filosofi yang ada dalam Undang-Undang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bahwa terorisme adalah

merupakan musuh umat manusia, kejahatan terhadap peradaban,

merupakan Internasional dan Transnational Organized Crimes.64

Pada dasarnya, tindak pidana terorisme adalah extra ordinary

crime. Derajat “keluar-biasaan” ini pula yang menjadi salah satu

alasan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Anti Terorisme dan pemberlakuannya secara retroaktif untuk

kasus Bom Bali. Selama ini yang telah diakui sebagai extraordinary

crime adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia berat yang meliputi

crime againts humanity dan genocide (sesuai dengan Statuta Roma).

62

A.M. Fatwa, Menghadirkan Moderatisme Melawan Terorisme, (Jakarta: PT Mizan

Publika, 2006), h., 60 63

Pasal 7 Undang-Undang No.15 Tahun 2003 64

Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana

Terorisme (dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia), (Bandung: Pt Refika Aditama, 2007), h.,

88-89

Page 48: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

33

Untuk menentukan kejahatan yang termasuk dalam kategori extra

ordinary crime harus ditentukan karakteristik extra ordinary crime.

Penentuan pelanggaran Hak Asasi Manusia berat sebagai extra

ordinary crime didasarkan pada kaidah Hukum Internasional yaitu

Statuta Roma.65

Tindak pidana terorisme sebagai kejahatan luar biasa

(extraordinary crime), oleh pelakunya sering dilakukan dalam bentuk

pengeboman. Sebanyak 124 dari 193 kasus peledakan bom pada

sejumlah kota di Indonesia dapat diungkap jajaran polri selama tahun

1999-2003. Perkara peledakan bom menonjol terjadi di wilayah Bali,

Makassar, Medan, dan Jakarta. Kasus yang terakhir adalah 9

september 2004, berupa ledakan bom beruntun di depan Gedung

Kedubes Australia, di Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta

Selatan. Salah satu aspek penting yang berkaitan dengan tindak

pidana terorisme hakikatnya merupakan penghancuran terhadap nilai-

nilai kemanusiaan, martabat bangsa, dan norma-norma agama.66

Pemahaman tentang definisi terorisme adalah hal mendasar

dan sangat penting yang perlu dikuasai terlebih dahulu sebelum

melakukan berbagai tindakan penanggulangan terhadap terorisme.

Magnis suseno mengatakan bahwa aparat penegak hukum di

Indonesia ternyata masih perlu memahami perbedaan pengertian

antara teroris, fundamentalis dan radikalis. Seorang teroris, bisa jadi

seorang fundamentalis dan seorang radikalis, sementara seorang

fundamentalis dan radikalis belum tentu seorang teroris. Ketidak

pahaman akan pengertian terorisme kadang bisa menjadi sebab

dilakukannya labeling oleh pemerintah terhadap orang atau kelompok

tertentu.67

65

Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana

Terorisme (dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia),... h., 3 66

Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana

Terorisme (dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia),... h., 3 67

Hery Firmansyah, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia,

Dalam jurnal Mimbar Hukum Volume 23, Nomor 2, Juni (2011)

Page 49: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

34

Dengan demikian terorisme adalah kekerasan yang

terorganisir, menempatkan kekerasan sebagai kesadaran, metode

berfikir sekaligus alat pencapaian tujuan. Berbagai pengertian di atas,

menurut pendapat para ahli bahwasannya kegiatan terorisme tidak

akan pernah dibenarkan karena ciri utamanya yaitu:

a. Aksi yang digunakan menggunakan cara kekerasan dan

ancaman untuk menciptakan ketakutan publik.

b. Ditunjukan kepada negara, masyarakat atau individu atau

kelompok masyarakat tertentu.

c. Memerintah anggota-anggotanya dengan cara teror juga.

d. Melakukan kekerasan dengan maksud untuk mendapat

dukungan dengan cara yang sistematis dan terorganisir.68

Menurut Wilkinson Tipologi terorisme yang dikutip dari Juliet

Lodge ada beberapa macam, antara lain:

a. Terorisme epifenomenal (teror dari bawah) dengan ciri-ciri

tak terencana rapi, terjadi dalam konteks perjuangan yang

sengit;

b. Terorisme revolusioner (teror dari bawah) yang bertujuan

revolusi atau perubahan radikal atas sistem yang ada dengan

ciri-ciri selalu merupakan fenomena kelompok, struktur

kepemimpinan, program ideologi, konspirasi, elemen para

militer;

c. Terorisme subrevolusioner (teror dari bawah) yang

bermotifkan politis, menekan pemerintah untuk mengubah

kebijakan atau hukum, perang politis dengan kelompok

rival, menyingkirkan pejabat tertentu yang mempunyai ciri-

ciri dilakukan oleh kelompok kecil, bisa juga individu, sulit

68

Abdul Wahid, dkk, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, Ham, dan Hukum,

(Bandung: Pt. Refika Aditama, 2004), h., 31-32.

Page 50: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

35

di prediksi, kadang sulit dibedakan apakah psikopatologis

atau criminal;

d. Terorisme represif (teror dari atas atau terorisme negara)

yang bermotifkan menindas individu atau kelompok

(oposisi) yang tidak dikehendaki oleh penindas (rezim

otoriter atau totaliter) dengan cara likuidasi dengan ciri-ciri

berkembang menjadi teror masa, ada aparat teror, polisi

rahasia, teknik penganiayaan, penyebaran rasa kecurigaan

dikalangan rakyat wahana untuk paranoid pemimpin.69

2. Bentuk-bentuk Terorisme

Secara garis besar, tujuan dari aksi teror dapat dibagi dalam 4

kategori besar, yaitu: irrational terrorism, criminal terrorism,

political terrorism, dan state terrorism.

Pertama, Irrational Terrorism teror yang motif atau tujuannya

bisa dikatakan tak masuk akal sehat, yang bisa dikategorikan dalam

kategori ini misalnya saja salvation (pengorbanan diri) dan madness

(kegilaan).

Kedua, Criminal Terrorism Teror yang dilatar belakangi

motif atau tujuan berdasarkan kepentingan kelompok, teror oleh

kelompok agama atau kepercayaan tertentu dapat dikategorikan ke

dalam jenis ini. Termasuk juga kegiatan kelompok bermotifkan balas

dendam (revenge).70

Ketiga, Political Terrorism Teror bermotifkan politik. Batasan

mengenai political terror sampai saat ini belum ada kesepakatan

Internasional yang dapat dibakukan. Figur Yasser Arrafat bagi

masyarakat Israel adalah tokoh teroris yang harus dieksekusi, tetapi

bagi bangsa Palestina dia adalah freedom fighter. Begitu pula

sebaliknya dengan founding fathers negara israel yang pada waktu itu

69

Muladi, “Belum Mencakup State Terrorism”, www.sijoripos.com. 70

Hery Firmansyah, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia,

Dalam jurnal Mimbar Hukum Volume 23, Nomor 2, Juni (2011)

Page 51: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

36

dicap sebagai teroris, setelah Israel merdeka mereka dianggap sebagai

pahlawan bangsa dan dihormati.

Pada prakteknya, ada perbedaan yang cukup mencolok

mengenai tujuan yang ingin dicapai oleh political terror di mana

mereka berada. Bagi kelompok teroris yang berada di negara yang

sudah mapan alam demokrasinya dengan supremasi hukum yang

kuat, tujuan merka adalah mengubah kebijakan. Sementara kelompok

teroris yang berada di negara yang belum mapan institusi demokrasi

dan supremasi hukumnya, maka tujuan mereka pada umumnya adalah

merombak struktur politik. Persamaannya adalah teror sebagai alat

yang digunakan untuk “menekan” atau mengubah keseimbangan.

Keempat, State Terrorism istilah state terrorism ini semula

dipergunakan PBB ketika melihat kondisi sosial dan politik di Afrika

Selatan, Israel, dan negara-negara Eropa Timur. Kekerasan negara

terhadap warga negara penuh dengan intimidasi dan berbagai

penganiayaan serta ancaman lainnya banyak dilakukan oleh oknum

negara termasuk penegak hukum. Teror oleh atau penguasa negara,

misalnya saja penculikan aktivis. Teror oleh negara bisa juga terjadi

melalui kebijakan ekonomi yang dibuatnya. Terorisme yang

dilakukan oleh negara atau aparatnya dilakukan untuk dan atas nama

kekuasaan, stabilitas politik, dan kepentingan ekonomi elite. Untuk

dan atas nama tersebut, negara merasa sah untuk menggunakan

kekerasan dalam segala bentuknya guna merepresi dan memadamkan

kelompok-kelompok kritis dalam masyarakat sampai pada kelompok-

kelompok yang memperjuangkan aspirasinya dengan mengangkat

senjata.71

Menurut Abdul Wahid, Sunardi, dan Muhammad Imam Sidik

ada dua bentuk terorisme. Bentuk yang pertama adalah teror kriminal

yang menggunakan cara pemerasan dan intimidasi. Mereka

71

Hery Firmansyah, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia,

Dalam jurnal Mimbar Hukum Volume 23, Nomor 2, Juni (2011)

Page 52: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

37

menggunakan kata-kata yang dapat menimbulkan ketakutan atau teror

psikis, teror kriminal biasanya hanya untuk kepentingan pribadi atau

memperkaya diri sendiri.

Bentuk kedua adalah teror politik. Teror politik tidak memilih-

milih korban. Teroris politik selalu siap melakukan pembunuhan

terhadap orang-orang sipil baik laki-laki maupun perempuan, dewasa

atau anak-anak tanpa mempertimbangkan penilaian politik dan

moral.72

3. Ketentuan Hukum Terorisme dalam Hukum Pidana Positif

Menurut ketentuan hukum Indonesia, aksi terorisme dikenal

dengan istilah tindak pidana terorisme. Indonesia memasukkan

terorisme sebagai tindak pidana sebagaimana tertuang dalam

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Republik

Indonesia Nomor 1 tahun 2002 yang kemudian diperkuat menjadi

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 jo Undang-Undang Nomor 5

Tahun 2018. Judul Perpu atau Undang-Undang tersebut adalah

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pasal 1 ayat 1 Perpu No. 1

Tahun 2002 mengatakan bahwa tindak pidana terorisme adalah segala

perbuatan yang memenuhi unsur pidana sesuai dengan ketentuan

perpu. Perbuatan tersebut termasuk yang sudah dilakukan ataupun

yang akan dilakukan. Dua hal ini tercantum dalam pasal 6 dan pasal 7

(Perpu 2002).73

Berikut isi Pasal 6 dan Pasal 7 tersebut:

Pasal 6 UU No. 5 Tahun 2018:

“Setiap Orang yang dengan sengaja menggunakan Kekerasan

atau Ancaman Kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa

takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang

72

Abdul Wahid Sunardi dan Muhammad Imam Sid ik, Kejahatan Terorisme Perspektif

Agama, Hukum, HAM, (Bandung: PT Refika Aditama, 2004), h., 40 73

Silvi Dwi Rama, Upaya Pencegahan Terorisme di Provinsi Riau (Studi Kasus

Ditreskrimum Polda Riau), (Pekan Baru, 2016), h., 86

Page 53: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

38

bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya

nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan

atau kehancuran terhadap Objek Vital yang Strategis, lingkungan

hidup, atau Fasilitas Publik atau Fasilitas internasional dipidana

dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama

20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana

mati.”74

Pasal 7 UU No. 15 Tahun 2003:

“Setiap Orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan

atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror

atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan

korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau

hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk

menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital

yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau

fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama

seumur hidup.”75

Dari pasal 6 di atas dapat disarikan bahwa suatu aksi atau

tindakan dapat digolongkan sebagai tindak pidana terorisme bila

mengandung unsur berikut:

a. Dilakukan dengan sengaja

b. Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan

c. Menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara luas

d. Menimbulkan korban massal, baik dengan cara merampas

kemerdekaan atau dengan menghilangkan nyawa atau harta

benda orang lain

e. Mengakibatkan kerusakan pada objek-objek vital

74

www.hukumonline.com/pusatdata 75

Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana

Terorisme (dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia), (Bandung: Pt Refika Aditama, 2007), h.,

90

Page 54: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

39

Sementara pasal 7 menyebutkan bahwa suatu aksi atau

tindakan dapat digolongkan sebagai tindak pidana terorisme bila

mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

a. Dilakukan dengan sengaja

b. Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan

c. Dimaksudkan untuk menimbulkan korban massal

d. Mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-

objek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas

publik, atau fasilitas internasional.

Perbedaan Pasal 6 dan Pasal 7 yaitu Pasal 6 merupakan delik

materil sehingga unsur yang harus dibuktikan adalah akibat dari

perbuatan berupa munculnya suasana teror atau rasa takutyang meluas

atau menimbulkan korban yang bersifat massal, sedangkan Pasal 7

merupakan delik formil sehingga yang harus dibuktikan adalah

adanya maksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut

yang meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal,

walaupun ancaman kekerasan atau kekerasannya belum dilakukan.76

Rumusan Pasal 6 dan Pasal 7, masing-masing bisa ditafsirkan

meliputi dua macam tindak pidana bila dilihat dari akibatnya, yaitu:

1) Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang

menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang

secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal,

dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan

harta benda orang lain

Rumusan tindak pidana ini menitik beratkan pada munculnya

akibat, yaitu suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara

meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dan

cara yang digunakan yaitu: merampas kemerdekaan atau

76

Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana

Terorisme (dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia) ,... h., 90

Page 55: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

40

hilangnya nyawa dan harta benda orang lain (dalam Pasal 7

harus dibuktikan maksud untuk mecapai akibat tersebut). Yang

perlu diperjelas dari rumusan ini adalah apa yang dimaksud

dengan suasana teror? Kalau yang dimaksud adalah ketakutan

atau korban secara massal seharusnya “suasana teror” tidak

dimasukkan lagi karena bisa ditafsirkan sepihak oleh aparat

keamanan.

2) Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang

mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-

objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas

publik atau fasilitas internasional.

Rumusan ini dapat ditafsirkan menjadi tindakan sendiri karna

sama sama merupakan akibat yang ditimbulkan seperti

ketakutan dan korban massal sehingga kedudukannya sejajar

dalam struktur kalimat, dan tidak bisa disejajarkan dengan

unsur “dengan cara”. Hal ini sangat berbahaya karena

mengandung ketidak jelasan tentang perbuatan kekerasan apa

sebagai caranya, serta apa yang dimaksud dengan objek vital

strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, dan fasilitas

internasional.77

B. Tindak Pidana Terorisme dalam Fiqh Jinayah

1. Definisi

Fiqh Jinayah merupakan bagian dari syari’at Islam yang

berlaku semenjak diutusnya Rasulullah. Oleh karena itu pada zaman

Rasulullah dan Khulafa’ur Rasyidin, hukum pidana Islam berlaku

sebagai hukum publik, yaitu hukum yang diatur dan diterapkan oleh

pemerintah selaku penguasa yang sah atau ulil amri. Dikalangan para

Fuqoha, yang dimaksud dengan kata-kata Jinayah ialah perbuatan

77

Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana

Terorisme (dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia) ,... h., 91

Page 56: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

41

yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan itu mengenai (merugikan)

jiwa atau harta benda ataupun yang lainnya.78

Terorisme di dalam Fiqh Jinayah termasuk ke dalam Jarimah

Hirabah. Hirabah mengandung unsur perampokan, penteroran,

penyamunan, pembegalan, serta istilah-istilah lainnya. Hirabah

merupakan tindak kekerasan yang dilakukan oleh seseorang atau

sekelompok orang kepada pihak lain, baik dilakukan di dalam rumah

maupun di luar rumah, untuk menguasai harta orang lain dengan cara

menakut-nakuti dan kadang-kadang disertai dengan pembunuhan.

Dalam hal ini, pelaku menakut-nakuti korban dengan gertakan,

ancaman/keamanan, dan kekerasan. Dengan demikian untuk konteks

saat ini merakit bom dan meledakannya termasuk hirabah.79

Imam Al-Syafi’I yang dikutip dalam buku Ahmad Hanafi

tidak memberikan definisi perampokan saja, tetapi juga memberikan

penjelasan mengenai sanksi beserta spesifikasinya. Kalau pelaku

hanya merampas harta lebih dari nisab pencurian, hukumannya

potong tangan. Kalau pelaku membunuh dan merampas harta korban,

ia harus dibunuh dan disalib. Termasuk ke dalam unsur-unsur hirabah

yaitu:80

a. Menimbulkan rasa takut di jalanan, tetapi tidak merampas harta

dan tidak membunuh.

b. Mengambil harta tetapi tidak membunuh korbannya.

c. Membunuh korbannya tetapi tidak mengambil hartanya.

d. Merampas harta sekaligus membunuh korbannya.

78

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta:PT. Bulan Bintang, 1993),

cet ke-5, h., 1 79

M. Nurul Irfan, dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: AMZAH, 2014), cet ke-2, h.,

127

80

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana islam, (Jakarta: PT.Bulan Bintang, ,1993),

h., 1

Page 57: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

42

2. Ketentuan Hukum Terorisme dalam Fiqh Jinayah

Dalil tentang perampokan secara tegas disebutkan di dalam

Q.s. Al-Ma’idah (5): 33-34:

بوا أو لوا أو يصل ورسوله ويسعون في الرض فسادا أن يقت ذين يحاربون الل إنما جزاء ال

لك لهم خزي في الدنيا ول هم في تقطع أيديهم وأرجلهم من خلف أو ينفوا من الرض ذ

غفور ذين تابوا من قبل أن تقدروا عليهم فاعلموا أن الل الخرة عذاب عظيم 33 إل ال

رحيم

Artinya: “Hukuman bagi orang-orang yang yang memerangi Allah

dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di bumi hanyalah dibunuh

atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau

diasingkan dari tempat kediamannya. Yang demikian itu kehinaan

bagi mereka didunia, dan di akhirat mereka mendapat azab yang

besar. Kecuali orang-orang yang bertobat sebelum kamu dapat

menguasai mereka; maka ketahuilah, bahwa Allah maha pengampun,

maha penyayang”

Ayat di atas dijelaskan dalam tafsir jalalain dalam hadis

riwayat muslim yang menceritakan tentang sekelompok orang dari

suku Urainah yang memasuki kota Madinah untuk bertemu dengan

Rasulullah SAW. Namun mereka sakit karena tidak cocok dengan

cuaca di kota Madinah. Pada waktu itu Rasulullah SAW bersabda

kepada mereka, “Jika kalian mau bertaubat, sebaiknya kalian menuju

ke suatu tempat yang di sana terdapat beberapa ekor unta yang berasal

dari sedekah.81 Di sana kalian bisa meminm air susu dan air seni unta-

unta tersebut.” Mereka kemudian melakukan apa yang diperintahkan

Nabi sehingga mereka semua sembuh dan sehat. Setelah itu, mereka

mendatangi para penggembala unta kemudian membantai semuanya.

81

Jalal ad-d in as-Suyuti dan Jalal ad-din al-Mahalli, Tafsir al-Jalalain,terj. Bahrun Abu

Bakar, Terjemahan Tafsir al-Jalalain Berikut Asbab an-Nuzul (Bandung: Sinar Baru Algesindo,

1997), h. 93

Page 58: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

43

Mereka pun murtad dan merampok beberapa ekor unta.82 Hal ini

didengar oleh Rasulullah SAW. Beliau kemudian mengutus pasukan

untuk mengejar dan menghukum mereka. Setelah tertangkap, mereka

didatangkan kepada Rasulullah. Beliau memotong tangan dan kaki

mereka, mencungkil mata mereka, dan meninggalkan mereka di

bawah terik matahari sampai akhirnya meninggal.83 Lebih lanjut

Imam Al-Nawawi dalam tafsir Al- Jalalain berpendapat bahwa hadis

di atas merupakan ketentuan dasar tentang sanksi bagi perampok yang

sesuai dengan Surah Al-Ma’idah (5) ayat 33-34.84 Akan tetapi, ulama

berbeda pendapat dalam memahami kata penghubung aw, apakah

bermakna atau atau dan. Abu Syubhah dalam kitab Al- Hudud fi Islam

wa Muqaranatuha bi Qawanin Al-Wad’iyyah berpendapat bahwa sanksi

tersebut harus digabung dan tidak benar jika merupakan pilihan.85 Ia

melanjutkan bahwa pada dasarnya jumhur ulama sepakat bahwa kata

aw tidak bermakna “atau” yang boleh memilih, tetapi bermakna

“dan”, walaupun pada akhirnya dipilih sanksi yang sesuai dengan

jarimah yang dilakukan perampok.

a. Apabila pelaku hanya meneror di jalan dan merampas

harta tetapi tidak membunuh korbannya, maka sanksi

nya adalah dipotong tangan dan kaki nya dengan cara

silang (tangan kanan dengan kaki kiri atau tangan kiri

dengan kaki kanan).

b. Apabila pelaku mengambil harta dan membunuh

korbannya, maka sanksi nya adalah dihukum mati

kemudian disalib.

82

Jalal ad-d in as-Suyuti dan Jalal ad-din al-Mahalli, Tafsir al-Jalalain,terj. Bahrun Abu

Bakar, Terjemahan Tafsir al-Jalalain Berikut Asbab an-Nuzul,… h., 93 83

M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: AMZAH, 2016), h., 90

84

Jalal ad-din as-Suyuti dan Jalal ad-din al-Mahalli, Tafsir al-Jalalain,terj. Bahrun Abu

Bakar, Terjemahan Tafsir al-Jalalain Berikut Asbab an-Nuzul,… h., 93 85

Muhammad Bin Muhammad Abu Syuhbah, Al- Hudud fi Islam wa Muqaranatuha bi

Qawanin Al-Wad’iyyah, (Kairo : Dar A l-Kutub, 1974), h., 291

Page 59: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

44

c. Apabila pelaku membunuh korban, tetapi tidak

mengambil harta maka sanksinya berupa hukuman mati

sebagai had, bukan sebagai qishash. Karena bukan

sebagai qishash, tidak dapat dibatalkan lantaran

dimaafkan oleh pihak keluarga korban. Sebab yang

terjadi di sini adalah kewajiban memberlakukan had

sebagai balasan atas sikap perilaku yang menentang

Allah dan Rasul-Nya, melanggar perintah keduanya,

menakut-nakuti orang, dan mengacaukan keamanan

masyarakat.

d. Apabila pelaku tidak mengambil harta dan tidak

membunuh, maka sanksi nya adalah dipenjara atau

diasingkan.86 Dalam contoh disini seperti pelaku yang

tidak berbuat secara langsung dalam arti kata membantu

dalam hal memberikan atau meminjamkan uang atau

barang kepada pelaku tindak pidana terorisme,

menyembunyikan pelaku terorisme ataupun

menyembunyikan informasi dan apapun yang dilakukan

seseorang untuk membantu pelaku tindak pidana

terorisme tersebut.

Sanksi hukum yang terdiri atas empat macam menjadi sangat

relevan diberlakukan sesuai dengan tindakan yang dilakukan. Dalam

masalah ini, Al-Syaukani yang dikutip dalam buku Nurul Irfan

mengemukakan bahwa ulama berbeda pendapat apakah hukuman

salib dilaksanakan terlebih dahulu sebelum hukuman mati atau

sebaliknya dibunuh lalu disalib.87 Al-Syafi’i, Al-Nasir, dan Imam

Yahya berpendapat bahwa hukuman salib didahulukan sebelum

hukuman mati sehingga hukuman mati tersebut dilaksanakan dengan

menggunakan pedang atau salib. Akan tetapi, menurut Al-Hadi dan

86

Muhammad Bin Muhammad Abu Syuhbah, Al- Hudud fi Islam wa Muqaranatuha bi

Qawanin Al-Wad’iyyah, ... h., 291 87

M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, , h., 91

Page 60: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

45

Abu Hanifah, tidak boleh menyalib terdakwa sebelum dihukum mati

sebab hal itu berarti mutilasi. Sementara itu, Al-Hadi memahami kata

penghubung aw dengan arti “dan” sehingga ia berpendapat bahwa

hukuman mati didahulukan kemudian disalib. Sebagian ulama

kelompok Syafi’iyah mengatakan bahwa perampok itu harus disalib

sebanyak tiga kali, kemudian diturunkan, lalu dibunuh. Ada sebagian

ulama Syafi’iyah yang berpendapat bahwa pelaku disalib sampai mati

dalam keadaan lapar dan haus. Abu Yusuf dan Al-Karkhi berpendapat

bahwa pelaku disalib seblum dibunuh. Ia ditusuk pada bagian leher

dan bagian bawah dada kirinya, kemudian diguncang-guncangkan

sampai meninggal. Al-Razi mengutip dari Abu Bakar Al-Karkhi

bahwa percuma saja hukuman salib diberlakukan kalau pelaku telah

dihukum mati.88

Sementara itu, sanksi pengasingan sebagai sanksi yang paling

ringan juga dipersilisihkan oleh ulama apakah maksudnya diusir,

diasingkan, dipenjara, atau diperlakukan dengan cara-cara tertentu.

Menurut mazhab Maliki, berarti penjara. Sebagian ulama yang lain

berpendapat penjara di luar daerah, bukan penjara dekat Tempat

Kejadian Perkara (TKP). Pelaku dijauhkan dari penguasa untuk

dieksekusi. Jika mereka telah dikuasai, tidak perlu diasingkan. Ulama

kalangan Hanafiyah cenderung kepada pendapat yang pertama, yaitu

berarti penjara. Menurut ulama mazhab Syafi’i, pendapat terkuat

adalah hukuman penahanan. Penahanan bisa dilakukan di daerah

TKP, tetapi sebaiknya di luar TKP. Adapun pendapat yang lemah

adalah bermakna mengejar para pelaku jika mereka lari untuk dijatuhi

hukuman. Imam Ahmad berpendapat bahwa yunfau berarti mengusir

pelaku ke luar kota dan tidak boleh diberi izin untuk meminta

perlindungan sebelum secara jelas menyatakan tobat. Pendapat ini

sama dengan pendapat ulama mazhab Syafi’i. Sementara itu,

pendapat terkuat dari kalangan ulama Syiah bahwa yunfau berarti

88

M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam,... h., 91

Page 61: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

46

sanksi penahanan. Konon penahanan ini dilakukan setelah pelaku

yang dicungkil matanya, diasingkan, dan diusir.89

Disamping itu, ulama berbeda pendapat tentang masalah masa

pengasingan tidak terbatas. Pelaku harus terus diasingkan hingga

bersedia menyatakan tobat. Pendapat seperti ini juga merupakan

pendapat Imam Ahmad dalam suatu riwayat yang terkuat.90

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an dan

hadis menyatakan secara tegas tentang jarimah perampokan. Sanksi

yang di tetapkan terdiri atas empat macam, yaitu dihukum mati,

disalib. Dipotong tangan dan kaki secara bersilang, dan diasingkan.

Keempat jenis saksi berat ini dilaksanakan secara keseluruhan, bukan

dipilih melainkan diberlakukan sesuai dengan tindakan yang

dilakukan. Bagi perampok yang membunuh korban, sanksinya berupa

hukuman mati; bagi perampok yang membunuh dan merampas harta

korban, sanksinya berupa hukuman mati dan penyaliban; bagi

perampok yang merampas harta korban, sanksinya berupa potong

tangan dan kaki secara bersilang; dan bagi perampok yang meneror,

sanksinya berupa pengasingan yag bisa berupa penjara.91

C. Wilayah di Indonesia yang Menjadi Basis I’dad

Wilayah basis i’dad adalah wilayah yang sering menjadi tempat persiapan

aksi terorisme. Persiapan-persiapan yang dilakukan pada wilayah tersebut

diantaranya adalah latihan perang, berupa latihan gerilya, latihan penggunaan

senjata api, perakitan bom dll. biasanya wilayah basis i’dad jauh dari permukiman

kota yang besar dan ramai penduduk.

Salah satu wilayah yang menjadi basis i’dad adalah Aceh yang dipilih

menjadi tempat pelatihan militer untuk berjihad, lokasi tepatnya berada di

Gampong Jalin, terletak di kaki Bukit Barisan. Kawasan pegunungannya

89

M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam,... h., 92 90

M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam,... h., 92 91

M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam,... h., 92

Page 62: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

47

memisahkan Aceh Besar, Pidie, dan Aceh Jaya. Secara administratif, Jalin masuk

wilayah kecamatan Kota Jantho, Ibukota Aceh Besar.

Menurut kepala desa Gampong Jalin, lokasi pelatihan militer ini masuk

kedalam kawasan hutan lindung Cagar Alam Jantho. namun Salah satu peserta

pelatihan militer ada yang mengatakan lokasi tersebut bukan Krueng Linteung,

melainkan wilayah Blang Raya. Ia mengatakan jika Krueng Linteung biasa

diakses warga mencari ikan, namun Blang Raya sangat jauh, memakan waktu

sekitar 8 jam perjalanan dari pintu masuk Cagar Alam.

Peserta pelatihan militer ini pun mengatakan ada beberapa gampong yang

terhubung ke Cagar Alam Jantho. Selain jalin, ada Data Cut, Suka Tani, Bueng,

dan Awek. Jarak antara perkampungan pun sekitar 1 kilometer, dipisahkan oleh

kebun, sawah dan hutan. Jalan menuju Blang Raya harus melewati pintu gapura

Cagar Alam yang terletak di Desa Cut.92

Lokasi ini dipilih karena hutan yang masih lebat serta letak geografis

Provinsi Aceh yang berada di ujung Barat Indonesia. Adapun pelatihan yang

diajarkan yaitu menembak, bongkar pasang senjata, membaca kompas dan teknik

peertempuran.

Berbeda dengan berolahraga / latihan memanah dan berkuda, tidak hanya

di Aceh, namun hampir di setiap kota-kota seperti Jakarta, Tangerang, Bandung,

Depok, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan lain-lain memiliki lahan bagi

para komunitas serta individu-individu baik laki-laki maupun perempuan muslim

untuk berolahraga dan berlatih dengan apa yang disunnahkan juga dianjurkan oleh

Nabi Muhammad Saw.

Kamp pelatihan di daerah Aceh tersebut sudah dijadikan wilayah basis

i’dad oleh beberapa organisasi teroris di Indonesia, beberapa di antaranya adalah

GAM (Gerakan Aceh Merdeka), dan DI/TII Aceh , JAD (Jamaah Ansharut

Daulah)93 yang rata-rata kesemua kelompok teroris tersebut melakukan persiapan

di daerah Aceh untuk melancarakan serangan teroris secara masif di daerah-

92

https://www.google.co.id/amp/s/beritagar.id/artikel-amp/ laporan-khas/tapak-pelatihan-

terorisme-di-jalin. Diunggah Jum’at 25 Oktober 2019, Pukul 17.23 WIB 93

https://tirto.id/nama-peran-23-terduga-teroris-jad-sumut-aceh-terkait-bom-medan-elSE

Diunggah Sabtu 25 Januari 2020, Pukul 21.47 WIB

Page 63: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

48

daerah Indonesia. Kelompok-kelompok tersebut melakukan persiapan berupa

latihan militer pada kamp-kamp teroris, karena kebanyakan di daerah-daerah

tersebut memberikan hanya berupa sumber daya manusia saja dan rata-rata untuk

bantuan persiapan secara finansial didanai melalui organisasi terorisme

internasional.

Page 64: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

49

BAB IV

PERBEDAAN PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME PADA

PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN FIQH JINAYAH

A. Perbuatan Persiapan Pidana Terorisme dalam Hukum Positif

1. Jenis Persiapan Perbuatan Pidana Terorisme dalam Hukum

Positif

Persiapan perbuatan pidana terorisme dapat dimaknai

persiapan/percobaan perbuatan terorisme yang mempersiapkan segala

upaya agar terjadinya atau agar terlaksananya aksi terorisme baik

secara fisik, keuangan dan lain-lain yang bersifat menambah

kemungkinan berhasilnya suatu tindak pidana terorisme.94 Persiapan

perbuatan pidana atau persiapan dalam terorisme secara normatif tidak

ada pengertian secara jelas, namun dapat dilihat secara expressive

verbis pada pasal per pasal dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun

2018 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003

Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme.

Berdasarkan Undang-undang tersebut, secara umum dapat dibagi

menjadi dua bagian yaitu persiapan secara fisik dan persiapan secara

finansial. Persiapan-persiapan tersebut memiliki perbedaan secara

perbuatan pidananya, namun memiliki persamaan tujuan untuk

memudahkan aksi teror.95

a. Persiapan PerbuatanTerorisme secara Fisik

Secara fisik, persiapan ini dapat dikategorikan sebagai upaya untuk

mempersiapkan diri secara fisik atau kekuatan biologis dari diri pelaku

persiapan agar aksi terorisme dapat terlaksana. Hal ini juga dapat

dilihat pada persiapan dari segi sumber daya manusia yang dapat

94

Ibnu Qudamah An-Najdi, Jawaban Seputar Masalah-Masalah Fikih Jihad, trans. Abu

Jandl Al-Muhajir (Al-Qoidun Group, n.d.), h., 47 95

Hery Firmansyah, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme Di Indonesia,

dalam Jurnal Mimbar Hukum Volume 23, Nomor 2, Juni (2011), h., 378

Page 65: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

50

berbentuk berbagai macam kegiatan96, salah satunya adalah pelatihan

militer yang disebutkan secara normatif pada pasal 12B Undang-

undang a quo yang termasuk kedalam aspek persiapan secara fisik

Pasal 12B (1) Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan,

memberikan, atau mengikuti pelatihan militer, pelatihan

paramiliter, atau pelatihan lain, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dengan maksud merencanakan,

mempersiapkan, atau melakukan Tindak Pidana Terorisme, dan/atau ikut berperang di luar negeri untuk Tindak Pidana Terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4

(empat) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun. (2) Setiap orang yang dengan sengaja merekrut, menampung,

atau mengirim orang untuk mengikuti pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling

lama 15 (lima belas) tahun. (3) Setiap orang dengan sengaja membuat, mengumpulkan,

dan/atau menyebarluaskan tulisan atau dokumen, baik elektronik maupun nonelektronik untuk digunakan dalam pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana

dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.

Bentuk persiapan secara fisik ini bisa dilihat pada ayat 1 yaitu frasa

“menyelenggarakan, memberikan dan mengikuti pelatihan militer”.

Begitu juga pada ayat 2 yang frasanya “merekrut, menampung, dan

mengirim orang” serta pada ayat 3 yang frasanya “membuat,

mengumpulkan, dan/atau menyebarluaskan tulisan atau dokumen”.

Pasal ini memberikan gambaran bahwa pelaku persiapan yang

mempersiapkan diri secara kematangan fisik dengan melatih

kemampuan perang untuk aksi terorisme, merupakan suatu kegiatan

yang terlarang. Hal ini dikarenakan dalam upaya untuk mensukseskan

96

Muhammad Ali Zaidan, Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Pendekatan

Kebijakan Kriminal), Dalam Jurnal Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang,

Volume 3 Nomor 1 Tahun (2017), h., 157

Page 66: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

51

aksi teror hal yang harus diperhatikan salah satunya adalah

kemampuan untuk berperang dan taktik untuk menentukan strategi

aksi teror.97

Menurut Sukawarsini dalam latihan militer secara fisik ada

beberapa latihan yang sering dilakukan oleh pelaku teroris, yaitu :

gerakan menuju musuh, cross country, halang-rintang, tembak-

menembak, baris-berbaris, mendaki gunung, ilmu topografi, ilmu

senjataan, ilmu intelijen, bela diri, cara gerilya, cara membuat bahan

peledak, dan cara merakit senjata api.98 Berdasarkan hal inilah sangat

dimungkinkan terjadinya ketika persiapan secara fisik sudah

terlaksana dengan baik akan sangat memudahkan para pelaku

terorisme untuk melaksanakan aksi teror.

Selanjutnya pada kategori persiapan terorisme yang bersifat

persiapan fisik secara sarana dan prasarana baik infrastuktur dan

suprastruktur yaitu terdapat pada pasal 16 dan pasal 12:

Pasal 16

Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kemudahan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana yang sama

sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.

Secara normatif bentuk-bentuk dari persiapan secara sarana dan

prasarana ini dapat dilihat pada pasal:

Pasal 12

Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)

tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk

melakukan:

97

Hamzah Junaid, Pergerakan Kelompok Terorisme Dalam Perspektif Barat Dan Islam,

Dalam jurnal Sulesana Volume 8, Nomor 2, (2013), h., 128

98

Sukawarsin i Djelantik, Terorisme: Tin jauan Psiko-Politis, Peran Media, Kemiskinan,

dan Keamanan Nasional, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), h., 92

Page 67: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

52

a. tindakan secara melawan hukum menerima, memiliki,

menggunakan, menyerahkan, mengubah, membuang bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya yang mengakibatkan atau dapat

mengakibatkan kematian atau luka berat atau menimbulkan kerusakan harta benda;

b. mencuri atau merampas bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya;

c. penggelapan atau memperoleh secara tidak sah bahan nuklir,

senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya;

d. meminta bahan nuklir, senjata kimia, senjata bio logis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya secara paksa atau ancaman kekerasan atau dengan segala bentuk intimidasi;

e. mengancam: 1) menggunakan bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis,

radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya untuk menimbulkan kematian atau luka berat atau kerusakan harta benda; atau

2) melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf b dengan tujuan untuk memaksa orang lain, organisasi

internasional, atau negara lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

f. mencoba melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam

huruf a, huruf b, atau huruf c; dan g. ikut serta dalam melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud

dalam huruf a sampai dengan huruf f.

Aspek pencegahan dilihat dari adanya pasal yang mengizinkan penegak hukum menindak status organisasi teroris, hal itu terlihat

dalam pasal 12A dan pasal 12B ayat (1), (2), dan (3).

Jika dianalisis pasal tersebut ada beberapa poin yang perlu digaris

bawahi dalam konteks persiapan kegiatan teror yaitu: kegiatan

“melawan hukum, penggelapan, mencuri atau merampas, meminta

bahan terlarang, mengancam, dan ikut serta dalam mencari dan

menyiapkan barang berbahaya berupa senjata teroris yang digunakan

untuk aksi teror”. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa kegiatan

ini digolongkan sebagai persiapan perbuatan pidana terorisme karena

Page 68: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

53

persiapan ini mengarah kepada persiapan senjata99 agar bisa

digunakan untuk aksi teror. Persiapan selanjutnya dapat dilihat pada

pasal 12A, yaitu:

Pasal 12A

(1) Setiap orang yang dengan maksud melakukan Tindak Pidana

Terorisme di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di negara lain, merencanakan, menggerakkan, atau mengorganisasikan Tindak Pidana Terorisme dengan orang yang

berada di dalam negeri dan/atau di luar negeri atau negara asing dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan

paling lama 12 (dua belas) tahun.

(2) Setiap orang yang dengan sengaja menjadi anggota atau merekrut

orang untuk menjadi anggota korporasi yang ditetapkan dan/atau diputuskan pengadilan sebagai organisasi Terorisme dipidana

dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun.

(3) Pendiri, pemimpin, pengurus, atau orang yang mengendalikan

korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama (12)

tahun

Pasal ini jika dianalisis secara seksama berporos pada tindakan

persiapan terorisme pada konteks sumber daya manusia. Artinya,

pasal ini memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan

persiapan dalam terorisme juga termasuk dalam mempersiapkan

manusia dengan cara merekrut dan membangun organisasi untuk

tujuan terorisme.100 Unsur persiapan pada pasal ini terlihat pada niatan

untuk membangun suatu kegiatan dan wadah secara struktural mulai

dari anggota hingga pengurus organisasi yang bertujuan untuk

membantu dan memudahkan aksi terorisme. Dengan adanya wadah

atau infrastruktur seperti pasal tersebut, maka akan mudah

99 Puttrawandi Karjaya, Mohammad Sood dan Purnami Safitri, Narcoterrorism dan

Perdagangan Senjata Ilegalsebagai Penghubung Jaringan Terorisme Internasional, Dalam Jurnal

Nation State: Journal of International Studies Volume 1, Nomor 1, Juni (2018), h., 91

100

Debora Sanur L, Upaya Penanggulangan Terorisme ISIS di Indonesia , Dalam Jurnal

Politica Volume 7, Nomor 1, Mei (2016), h., 29

Page 69: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

54

menggerakan orang-orang untuk ikut kegiatan terorisme seperti yang

diatur pada pasal 14, yaitu:

Pasal 14

Setiap Orang yang dengan sengaja menggerakkan orang lain untuk

melakukan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 10A, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 13 huruf b dan huruf c, dan Pasal 13A dipidana

dengan pidana yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal

10A, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 13 huruf b dan huruf c, dan Pasal 13A.”

Pasal-pasal tersebut memberikan gambaran bahwa secara normatif

perbuatan persiapan terorisme merupakan satu kesatuan dengan niat

untuk mempersiapkan diri secara fisik yang dapat berbentuk persiapan

kematangan untuk melakukan perang, persiapan dengan cara merekrut

sumber daya manusia dan bahkan mempersiapkan tempat bersembunyi

bagi terorisme.101

b. Perbuatan Persiapan Pidana Terorisme secara Finansial

Persiapan perbuatan pidana terorisme secara finansial adalah

kegiatan untuk mempersiapkan aksi terorisme dengan menggunakan

kemampuan secara finansial berupa uang atau bantuan berupa

kekayaan. Secara normatif ketentuan tersebut dapat dilihat dalam

Undang-undang a quo pada pasal 11:

Pasal 11

“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan

paling lama 15 (lima belas) tahun, setiap orang yang dengan sengaja

menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10.”

101

Hery Firmansyah, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme Di

Indonesia,…h., 379

Page 70: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

55

Jika melihat bunyi pasal tersebut bentuk persiapan perbuatan

pidana persiapan terorisme dapat terlihat pada frasa “dengan sengaja

menyediakan atau mengumpulkan dana”. Pada frasa pasal tersebut

pelaku persiapan terorisme dapat digolongkan persiapan finansial

pada harta yang diberikan untuk persiapan tindak pidana terorisme.102

Hal ini juga selaras dengan pasal 13 huruf a secara sistematis yang

berbunyi:

Pasal 13

“Setiap orang yang dengan sengaja memberikan bantuan atau

kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, dengan:

a. memberikan atau meminjamkan uang atau barang atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku tindak pidana terorisme;

Pasal tersebut jika dianalisis secara sistematis bahwa ada

pembagian mengenai frasa bantuan yaitu bantuan yang bersifat

keuangan dan bantuan secara fisik. Bantuan tersebut dimaknai sebagai

yang dapat memudahkan atau memberikan kemudahan teroris untuk

melakukan aksinya. Aturan-aturan tersebut memberikan konsekuensi

logis terhadap alur keluar-masuknya uang untuk pembiayaan

kegiataan teroris lebih diperketat, dikarenakan tanpa adanya bantuan

secara finansial pelaku teroris tidak bisa menjalankan aksinya karena

kekurangan dana.103

2. Hukuman Perbuatan Persiapan Terorisme dalam Hukum Positif

Beberapa pasal tentang minimal dan maksimal hukuman dalam

Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan atas

Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan

102

Suhayati, Undang-Undang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pendanaan Terorisme Dari Perspektif Hak Asasi Manusia , Dalam Jurnal Negara Hukum Volume

4, Nomor 2 November (2013), h., 237

103 Rusli Safrudin, Penanggulangan Terorisme di Indonesia Melalui Penanganan

Pendanaan Terorisme: Studi Kasus Al-Jamaah Al-Islamiyah (JI), dalam Jurnal Pertahanan

,Volume 3 Nomor 1 (April 2013), h., 116

Page 71: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

56

Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang berkaitan dengan

persiapan terorisme adalah sebagai berikut:

Pasal 11

“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan

paling lama 15 (lima belas) tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan

atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10.”

Maksud dari pasal ini dapat kita lihat dari unsur yaitu “setiap

orang” “dengan sengaja” “menyediakan atau mengumpulkan dana”

“dengan tujuan akan digunakan atau mengetahui dana” tersebut akan

“digunakan sebagian atau seluruhnya” untuk melakukan tindak pidana

terorisme yang tercantum pada pasal 6, pasal 7, pasal 8, pasal 9, dan

pasal 10 dapat dipidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan

paling lama 15 (lima belas) tahun.

Pasal 12

Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)

tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan digunakan atau

patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan:

a. tindakan secara melawan hukum menerima, memiliki,

menggunakan, menyerahkan, mengubah, membuang bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme,

radioaktif atau komponennya yang mengakibatkan atau dapat mengakibatkan kematian atau luka berat atau menimbulkan kerusakan harta benda;

b. mencuri atau merampas bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya;

c. penggelapan atau memperoleh secara tidak sah bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya;

Page 72: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

57

d. meminta bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi,

mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya secara paksa atau ancaman kekerasan atau dengan segala bentuk intimidasi;

e. mengancam:

1) menggunakan bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya

untuk menimbulkan kematian atau luka berat atau kerusakan harta benda; atau

2) melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam

huruf b dengan tujuan untuk memaksa orang lain, organisasi internasional, atau negara lain untuk melakukan atau tidak

melakukan sesuatu.

f. mencoba melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, atau huruf c; dan

g. ikut serta dalam melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf f.

Pasal ini memberikan sanksi pidana penjara paling singkat 3 (tiga)

tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun pada setiap orang yang

sengaja menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan dengan

tujuan untuk melakukan tindakan tindakan yang ada pada huruf a-g.

Pasal 12A (1) Setiap Orang yang dengan maksud melakukan Tindak Pidana

Terorisme di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di negara lain, merencanakan, menggerakkan, atau mengorganisasikan Tindak Pidana Terorisme dengan orang yang

berada di dalam negeri dan/atau di luar negeri atau negara asing dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan

paling lama 12 (dua belas) tahun. (2) Setiap Orang yang dengan sengaja menjadi anggota atau merekrut

orang untuk menjadi anggota Korporasi yang ditetapkan dan/atau

diputuskan pengadilan sebagai organisasi Terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling

lama 7 (tujuh) tahun. (3) Pendiri, pemimpin, pengurus, atau orang yang mengendalikan

Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipidana dengan

pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.

Maksud dari pasal ini adalah bagi setiap orang yang

“merencanakan”, “menggerakkan”, atau “mengorganisasikan tindak

Page 73: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

58

pidana terorisme” baik “di dalam atau di luar negeri” dipidana penjara

paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.

Lalu bagi setiap orang yang dengan sengaja menjadi anggota atau

merekrut anggota menjadi anggota korporasi yang diputuskan

pengadilan sebagai organisasi terorisme dapat dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7(tujuh) tahun,

dan bagi pendiri, pemimpin serta pengurus korporasi dipidana dengan

pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua

belas) tahun.

Pasal 12B

(1) Setiap Orang yang dengan sengaja menyelenggarakan, memberikan, atau mengikuti pelatihan militer, pelatihan paramiliter, atau pelatihan lain, baik di dalam negeri maupun di

luar negeri, dengan maksud merencanakan, mempersiapkan, atau melakukan Tindak Pidana Terorisme, dan/atau ikut berperang di

luar negeri untuk Tindak Pidana Terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.

(2) Setiap Orang yang dengan sengaja merekrut, menampung, atau mengirim orang untuk mengikuti pelatihan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.

(3) Setiap Orang yang dengan sengaja membuat, mengumpulkan,

dan/atau menyebarluaskan tulisan atau dokumen, baik elektronik maupun nonelektronik untuk digunakan dalam pelatihan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.

(4) Setiap warga negara Indonesia yang dijatuhi pidana Terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3)

dapat dikenakan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk memiliki paspor dan pas lintas batas dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun.

(5) Pelaksanaan pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan setelah terpidana selesai menjalani pidana pokok.”

Hukuman yang dicantumkan pada ayat (1), (2), (3) di pasal 12B

dikenakan hukuman tambahan yaitu berupa pencabutan hak untuk

memiliki paspor dan pas lintas batas dalam jangka waktu paling lama

Page 74: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

59

5 (lima) tahun. Pelaksanaan hukuman tambahan tersebut dilakukan

setelah terpidana selesai menjalani hukuman pokok.

Pasal 13

Setiap orang yang dengan sengaja memberikan bantuan atau

kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, dengan:

a. memberikan atau meminjamkan uang atau barang atau harta

kekayaan lainnya kepada pelaku tindak pidana terorisme; b. menyembunyikan pelaku tindak pidana terorisme; atau c. menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme,

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.

Maksud dari pasal 13 ini adalah bagi setiap orang yang

memberikan bantuan serta kemudahan kepada pelaku tindak pidana

terorisme seperti yang di sebutkan dalam huruf a, b, dan c dikenakan

pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima

belas) tahun.

Pasal 14

Setiap Orang yang dengan sengaja menggerakkan orang lain untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 10A, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 13 huruf b dan huruf c, dan Pasal 13A dipidana dengan pidana yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 10A, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 13 huruf b dan huruf c,

dan Pasal 13A.

Pasal 15

Setiap Orang yang melakukan permufakatan jahat, persiapan,

percobaan, atau pembantuan untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 10A, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 13

huruf b dan huruf c, dan Pasal 13A dipidana dengan pidana yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal

7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 10A, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 13 huruf b dan huruf c, dan Pasal 13A.

Page 75: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

60

Pasal 16

Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kemudahan, sarana, atau keterangan untuk

terjadinya tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,

Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.

Pasal 16A

Setiap Orang yang melakukan Tindak Pidana Terorisme dengan melibatkan anak, ancaman pidananya ditambah 1/3 (satu per tiga).”

Berdasarkan semua pasal tersebut, hukuman penjara yang

diberikan kepada pelaku persiapan adalah berdasarkan beberapa

kategori hukuman, yaitu hukuman kurungan penjara yang rentang

waktunya paling minimal 3 tahun penjara dan pidana paling maksimal

adalah 15 tahun penjara, karena tindak pidana persiapan merupakan

tindakan pidana yang belum mencapai pidana asalnya.

B. Perbuatan I’dad (Persiapan) Pidana Terorisme dalam Fiqh Jinayah

1. Jenis I’dad (Persiapan) Pidana Terorisme dalam Fiqh Jinayah

Persiapan perbuatan pidana dalam fiqh jinayah dapat disamakan

dengan persiapan hirabah atau persiapan jihad, dalam artian jihad yang

disalahartikan atau target jihad adalah orang-orang yang tidak bersalah

atau tidak sesuai dengan syarat-syarat jihad sehingga terjadi kerusakan

secara masif. I’dad hirabah atau i’dad terorisme ini dapat dibagi

menjadi dua yaitu, i’dad mādi dan i’dad imāni104 yang memiliki

perbedaan secara fundamental dari segi tindakan, namun memiliki

persamaan tujuan untuk menakut-nakuti dan menimbulkan kerusakan di

bumi.

104

Abdul Munip, Buku Jihad Terjememahan dari Bahasa Arab dan Potensi Radikalisme

Beragama di Lembaga Pendidikan, dalam Jurnal Cendekia Volume 15, Nomor 2, Juli-Desember

(2017), h., 187

Page 76: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

61

a. Perbuatan I’dad (Persiapan) Terorisme secara Fisik (Mādi)

Persiapan perbuatan pidana mādi ini mengacu pada dalil jihad yang

dilihat pada pandangan perang yang disalahartikan untuk merusak dan

menimbukan ketakutan di masyarakat, dikarenakan perpektif jihad ini

seringkali disalahartikan sebagai perang untuk melawan kezaliman

namun dengan cara yang salah dan korban yang berjatuhan adalah

mayarakat biasa yang bukan merupakan tujuan dari jihad.105

Persiapan secara mādi atau persiapan secara kematangan fisik

adalah persiapan yang melibatkan kemampuan berperang. Aspek

persiapan jihad secara mādi tersebut dapat diihat pada dalil-dalil

berikut:

بن وهب، أخبرني عمرو بن الحارث، عن حدثنا سعيد بن منصور، حدثنا عبد الل

، يقول : ، أبي علي ه سمع عقبة بن عامر الجهني ثمامة بن شفى الهمداني أن

صلى الل عليه وسلم وهو على المنبر يقول } " : سمعت رسول الل وأعدوا لهم

ة { ما استطعتم من قو ة الرمى، أل إن ة الرمى أل إن القوة الرمى، أل إن القو القو

" .106

“Telah menceritakan kepada kami Sai’id bin Mansur, Telah

menceritakan kepada kami Abdullah bin Wahab, telah menceritakan

kepada saya Amr bin Haris dari Abi Ali Tsumaamah bin Syafi Al-

Hamdani bahwa dia mendengar Uqbah bin Amir dia berkata: saya

mendengar Rosululloh s.a.w bersabda di atas mimbar: “Persiapkanlah

untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi”,

ketahuilah bahwa sesungguhnya kekuatan itu adalah memanah…3x.”

(H.R Abu Daud)

105 Kholid Hidayatullah, “Kajian Islam Tentang Terorisme”, AL HIKMAH, dalam Jurnal

Studi Keislaman, Volume 6 Nomor 1 (Maret, 2016), h., 87 106

Abu Daud bin Al-Asy’as bin Ishak bin Basyir bin Syidad bin Amar Al-Azdi As-

Sijistani, Kitab Al-Jihad Sunan Abu Daud, (Beirut: dar al fikr, t.th), Juz 3, 2514

Page 77: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

62

Hadits yang disampaikan Muslim, memberikan persiapan perang

secara mādi melalui persiapan dengan menggunakan persenjataan

berupa memanah. Kegiatan memanah ini dapat dimaknai sebagai

latihan penggunaan alat panah dan atau mencari/mengumpulkan panah

untuk digunakan saat berperang. Istilah ramyu (memanah107)

sebagaimana tersebut di dalam hadits di atas adalah menembak dengan

pistol, senapan, meriam, tank dan juga roket. Semua jenis menembak

tersebut termasuk ke dalam makna kata ar-ramyu (melempar), selanjut

proses persiapan perang ini tidak hanya bersifat persenjataan saja tetapi

juga transportasi atau hewan yang bisa ditunggangi untuk kemudahan

dalam berperang, yaitu sesuai dengan Q.s. Al-Anfal (8): 60, yaitu :

ه عدو خيل ترهبون ب ة ومن رباط ال وا لهم ما استطعتم من قو وأعد

كم وآخرين من د وعدو يعلمهم وما تنفقوا من الل ونهم ل تعلمونهم الل

تم ل تظلمون يكم وأن يوف إل ل الل شيء في سبي

Artinya: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa

saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk

berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh

Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak

mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu

nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup

kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).”

Ayat di atas menurut Al-Mahalli, Imam Jalaluddin dan As-Suyuti

dalam tafsir Jalalayn adalah hal yang wajib dipersiapkan pelaku jihad

untuk memudahkan mobilitas dalam berperang,108 tidak terkecuali

dalam menggunakan kuda diperlukan persiapan untuk menunggangi

107 Abu Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwini Ibnu Majah, Ensiklopedia Hadis

8;Sunan Ibnu Majah,Terj. Saifuddin Zuhridkk , (Jakarta: A lmahira, 2013), h., 509

108

Al-Mahalli,Imam Jalaluddin dan as-Suyuti. Tafsir Jalalain (Terj. Bahrun Abubakar).

(Bandung: Sinar Baru A lgensindo, 2007)

Page 78: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

63

kuda tersebut secara benar.109 Secara persiapan, mādi yang

mempersiapkan kekuatan perang secara finansial adalah upaya untuk

memberikan bantuan perang berupa harta, seperti yang disampaikan

pada Q.s. Al-Anfal (8): 60:

ة وا لهم ما استطعتم من قو وأعد

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang

kamu sanggupi.”

Dengan kata lain kekuatan apa saja dapat juga termasuk kedalam

mempersiapkan membantu perang secara finansial maupun membantu

perang dengan meminjamkan tempat tinggal dan/atau sejenisnya.

Persiapan jihad yang bersifat mādi berdasarkan ayat-ayat tersebut

yang perlu digaris bawahi adalah aspek kegiatannya seperti memanah

dan menyiapkan kuda, bukan dalam artian bahwa jihad merupakan hal

yang wajib.

b. Persiapan Perbuatan Pidana (I’dad) secara Non-Fisik (Imāni)

Persiapan ini adalah persiapan perang dengan memantapkan rasa

kebenaran batiniyah kepada pelaku perang, menegakkan hakikat ibadah

kepada Allah Rabb semesta alam, melatih jiwa mereka di atas

Kitabullah, mensucikan hati mereka di atas Sunnah Nabi Shallallahu

‘alaihi wa Sallam sehingga mereka dapat menolong agama Allah dan

syari’at-Nya. Menurut pandangan Ibn Qudamah, i’dad Imāni adalah

persiapan untuk melatih mental di dalam medan pertempuran.110

Adapaun dalil yang memberikan gambaran i’dad imāni yaitu terdapat

dalam Q.s. Al-Hajj: (22): 40:

من ينصره ولينصرن الل

109 Sayyid Quthb, Tafsir fi zhilalil qur'an jilid 5, (Jakarta: Gema Insani, 2000), h., 225.

110 Ibnu Qudamah An-Najdi, Jawaban Seputar Masalah-Masalah Fiqih Jihad, trans, Abu

Jandl Al-Muhajir (Al-Qoidun Group, n.d.), h., 47

Page 79: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

64

“Allah pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya”

Allah Azza Wajalla juga berfirman dalam Q.s. At Taubah (9) : 46 :

طهم وقيل اقعدوا مع ولو أردوا الخروج لعدوا له عدة ولكن كره الل انبعثاهم فثب

القاعدين لو خرجوا فيكم مازادوكم إل خبال ولوضعوا خل لكم يبغونكم الفتنة

وفيكم سماعون لهم

''Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan

persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai

keberangkatan mereka, maka Allah s.w.t melemahkan keinginan

mereka, dan dikatakan kepada mereka,'Tinggallah kamu bersama

orang-orang yang tinggal itu'. Jika mereka berangkat bersama-sama

kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan

belaka, dan tentu mereka bergegas-gegas maju ke muka dicelah-celah

barisanmu, untuk mengadakan kekacauan diantaramu, sedang diantara

kamu ada yang amat suka mendengarkan perkataan mereka''.

Sebenarnya dalam aspek terorisme pemahaman mengenai imāni

adalah terletak pada doktrinasi ideologi yang dipelajarinya sehingga

mampu membuatnya melakukan aksi teror. Dengan demikian makna

imāni disini adalah mempercayai kebenaran yang salah meneguhkan

hati yang akhirnya menjadi mental yang cukup kuat untuk

melaksanakan serangan teror kepada masyarakat.111

Selanjutnya adalah firman Allah dalam Q.s. Al-Anfal (8): 60 sebagai

berikut: :

وأعدوا لهم ما استطعتم من قوة

111

Abdul Munip, Buku Jihad Terjememahan dari Bahasa Arab dan Potensi Radikalisme

Beragama di Lembaga Pendidikan,… , h., 177

Page 80: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

65

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang

kamu sanggupi.”

Maka setiap orang dituntut untuk melakukan i’dad sejauh

kemampuannya. Hal ini juga dipertegas oleh Sayyid Quthb bahwa

pelaku i’dad dalam artian jihad ini adalah mempersiapkan sematang

mungkin dan memperkuat barisan serta kemampuan perang. Quthb juga

mempertegas bahwa kekuatan apa saja yang disanggupi untuk jihad

adalah dengan cara menginfakkan harta bendanya. 112

Jika seseorang mampu melakukan i’dad dengan senapan atau

senjata otomatis, namun hanya melakukannya dengan pistol, dia

berdosa. Sebesar selisih perbedaan diantara senapan otomatis dengan

pistol. Jika ia mampu melakukan i’dad dengan harta dan badannya,

namun hanya mengeluarkan harta saja tanpa melakukan i’dad dengan

badannya maka dia berdosa atas kekurangannya untuk i’dad dengan

badannya, demikian seterusnya.

Selanjutnya Sayyid Qutb berkata “Melakukan i’dad dengan segala

daya upaya merupakan kewajiban yang mengiringi kewajiban

berjihad.113 Nash Al-Qur’an telah memerintahkan untuk melakukan

I’dad dengan berbagai macam upaya dalam semua bentuk dan cara,

sebatas kemampuannya. Sehingga jangan sampai sekelompok muslim

berdiam diri, tidak melakukan i’dad dengan salah satu hal yang ada

dalam kemampuannya.

Dalam rangka mendorong umat Islam untuk ikut mendukung

pembiayaan jihad secara materi, Ibn Qudamah memberikan penjelasan

tersendiri tentang “keutamaan menolong mujahidin, menyiapkan bekal,

makanan, pelayanan mengantarkan kepergiannya dan mengucapkan

selamat jalan kepadanya”.114 Penjelasan Ibn Qudamah disertai dengan

beberapa dalil untuk meperkuat pendapatnya, antara lain: Imam Ahmad

112 Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur'an jilid 5, ...h., 226

113

Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur'an jilid 5,....h., 226 114

Ibnu Qudamah An-Najdi, Jawaban Seputar Masalah-Masalah Fiqih Jihad, trans, Abu

Jandl Al-Muhajir,… , h., 188

Page 81: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

66

meriwayatkan, Ibnu Abi Syaibah, Al-Hakim dan lain- lain, dari jalur

Abdulloh bin Muhammad bin ‘Uqoil, dari Abdulloh bin Sahl bin Hanif,

bahwasanya Sahl bercerita kepadanya bahwa Rosululloh Shollallohu

‘Alaihi wasallam bersabda “Barangsiapa yang menolong seorang

mujahid di jalan Alloh, atau membantu keluarga orang yang berperang,

atau membantu seorang budak makatib untuk membebas dirinya, Alloh

akan menaungi naungannya pada hari tidak ada naungan selain

naungan-Nya”.115

Secara lebih rinci, Yusuf Bin Sholih Al-’Uyairy menjelaskan

tentang jihad dengan menggunakan harta. Menurutnya: Dan diantara

cabang jihad dengan harta juga, bagi orang yang tidak memiliki

penghasilan dan juga tidak memiliki harta untuk dia infakkan, adalah

mengumpulkan dana jihad dari orang-orang kaya, baik dari

kaumwanita, anak-anak, orang-orang khusus dan orang-orang awam.

bagi orang yang tidak dapatmengumpulkan dana, ia dapat memberikan

motifasi kepada orang lain untuk berjihad dengan hartanya, dan

menghimbau kaum muslimin agar tidak pelit jika mereka dimintai dana.

Dan di antara cabang jihad dengan harta juga adalah bagi orang yang

memiliki kemampuan untuk mengelola harta hendaknya mengumpukan

modal (saham) lalu membuat sebuah proyek usaha yang keuntungannya

diberikan kepada mujahidin secara berkala.116

Maka berdasarkan dasar-dasar hukum jihad, namun dengan makna

jihad yang salah tersebut, sama seperti keadaan berperang terorisme

yang mempersiapkan aksi terornya dengan beberapa aspek, baik fisik

maupun kemampuan secara finansial.

2. Hukuman Perbuatan I’dad (Persiapan) Terorisme

Perbuatan persiapan ini dimakudkan dengan perbuatan percobaan

untuk menuju kepada jarimah atau percobaan jarimah yang tidak 115 Ibnu Qudamah An-Najd i, Jawaban Seputar Masalah-Masalah Fikih Jihad, ... h., 47

116 Yusuf bin Sholih Al-‘Uyairy, Petunjuk Praktis Menjadi Mujahid, ed. Abu Qudama

Ahmad Al-Battar, trans. Syahida Man (Div isi Media & Dokumentasi Al-Qo’idun Group, n.d.).

Page 82: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

67

sempurna gairu tammah.117 Secara hukuman, persiapan perbuatan

pidana (i’dad) terorisme menurut para ahli adalah ta’zir. Hal ini

dikarenakan beberapa dasar hukum, yaitu dari Abdul Qadir Awdah:

ما و حد ول بقصاص عليه قب يعا ل الجريمة في الشرع ان عليه قب يعا ان

لتعزير با 118

Artinya: Sesungguhnya percobaan berbuat jarimah tidak dihukum qisas

atau had melainkan ta'zir.

Pendapat tersebut juga diperkuat oleh hadits yang dikutip dalam buku

Nurul Irfan sebagai berikut:

الل رضي النصاري بردة أبي عن ه عنه م و عليه الل صلى الل رسول سمع أن سل

الل د حدو من حد في ل إ ط أسوا عشرة فوق أحد يجلد ل : " يقول 119

Abi Burdah Al-Anshari ra. Bahwa ia mendengar Rasulullah SAW

bersabda: tidak boleh dijilid di atas sepuluh cambuk kecuali didalam

hukuman yang telah ditentukan oleh Allah SWT ( Muttafaq alaih).

Maksud dari hadits di atas menjelaskan tentang batas hukuman

ta’zir yang tidak boleh lebih dari sepuluh kali cambukan, untuk

membedakan dengan jarimah hudud. Hal ini juga sama dengan

pendapat Abdul Qadir Awdah sebelumnya bahwa untuk percobaan

jarimah hanya dikenakan sanksi ta’zir. Menurut Al-Kahlani yang

dikutip dalam buku Makhrus Munajat yaitu para ulama sepakat bahwa

yang termasuk jarimah hudud adalah zina, pencurian, minum khamr,

hirabah, qadzaf dan murtad. Selain dari jarimah tersebut termasuk

117 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1967),

h., 14 118

Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam II Terjemahan dari atTasyri’

al-Jina’i al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil Wad’iy jilid 1 , (Bogor: PTKharis ma Ilmu, 2008), h.,

343 119

M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, … , h., 90

Page 83: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

68

kepada jarimah ta’zir, meskipun ada juga beberapa jarimah yang

diperselisihkan oleh ulama, seperti: liwath, lesbian, dan lain- lain120

Dalam melakukan persiapan atau percobaan ada beberapan tahapan

yang bisa dijadikan sebagai alasan mengapa persiapan hirabah atau

terorisme ini dapat dikategorikan dalam hukuman ta’zir, yaitu:121

a. Fase Pemikiran dan Perencanaan (marhalah at-tafkir wa at-

tashmim) Memikirkan dan merencanakan sesuatu jarimah tidak

dianggap maksiat yang dijatuhi hukuman, karena menurut aturan

dalam Syari'at Islam, seseorang tidak dapat dituntut (sepersalahkan)

karena lintasan hatinya atau niatan yang tersimpan dalam dirinya,

sesuai dengan kata-kata Rasulullah s.a.w. sebagai berikut:

حدثنا عمر و النا قد وزهير بن حرب قال حدثنا إ سمعيل بن إبراهيم ح و

حدثنا علي بن مسهر وعبدةبن سليمان ح و حدثنا حدثنا أبو بكربن أبي شيبة

ى وابن بشار قال حدثنا ابن أبي عدي كلهم عن سعيدبن أبي عروبة ابن المثن

م عن قتادةعن زرارةعن أبي هريرة قال، قال رس ول الل صلى الل عليه وسل

م تي عما حدثت به أنفسها ما لم تعمل أوتكل رواه )إن الل عز وجل تجاوز لم

(مسلم122

Artinya: "Telah mengabarkan kepada kami dari Amrun an-Naqid

dan Zuhair bin Harb dari Ismail bin Ibrahim dari Abu Bakr bin Abu

Syaibah dari Ali bin Mushar dan 'Abdah bin Sulaiman dari Ibnu al-

Musanna dan Ibnu Basyar dari Ibnu Abu 'Adiy dai Sa'id bin Abu

Urwah dari Qatadah dari Zurarah dari Abu Hurairah berkata:

telah bersabda Rasulullah Saw: Tuhan azza wajalla memaafkan

120

Drs. Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam d i Indonesia, (Yogyakarta: Teras, 2009).

h., 182-185.

121

Jaih Mubarok dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah, (Jakarta: Anggota

IKAPI, 2004), h., 180 122

Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahîh Muslim,

Juz. 1. (Mesir: Tijariah Kubra, tth), h., 81-82

Page 84: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

69

umatku dari apa yang dibisikkan oleh dirinya, selama ia tidak

berbuat dan tidak mengeluarkan kata-kata. Seseorang hanya

dituntut karena kata-kata yang diucapkannya dan perbuatan yang

dilakukannya" (HR. Muslim).

b. Fase Persiapan (marhalah at-tahdzir)

Menyiapkan alat yang dipakai untuk melaksanakan jarimah, seperti

membeli senjata untuk membunuh orang lain atau membuat kunci

palsu untuk mencuri. Fase persiapan juga tidak dianggap maksiat

yang dapat dihukum, kecuali apabila perbuatan persiapan itu sendiri

dipandang sebagai maksiat, seperti hendak mencuri milik seseorang

dengan jalan membiusnya. Dalam contoh ini membeli alat bius atau

membius orang lain itu sendiri dianggap maksiat yang dihukum,

tanpa memerlukan kepada selesainya maksud yang hendak dituju,

yaitu mencuri.123 Alasan untuk tidak memasukkan fase persiapan

sebagai jarimah, ialah bahwa perbuatan seseorang yang bisa

dihukum harus berupa perbuatan maksiat, dan maksiat baru

terwujud apabila berisi pelanggaran terhadap hak Tuhan (hak

masyarakat) dan hak manusia, sedang pada penyiapan alat-alat

jarimah pada galibnya tidak berisi suatu kerugian, maka anggapan

ini masih bisa dita'wilkan, artinya bisa diragukan, sedang menurut

aturan syari'at seseorang tidak bisa diambil tindakan terhadapnya

kecuali apabila didasarkan kepada keyakinan.

Pada fase marhalah at-tahdzir inilah unsur persiapan perbuatan

terorisme digolongkan, karena unsur mempersiapkan adalah upaya

untuk persiapan awal sebelum tercapainya jarimah terorisme atau

hirabah. Lebih jauh lagi, hal ini juga diperkuat bahwa perbuatan

123 Jaih Mubarok dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah,... h., 180

Page 85: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

70

persiapan hirabah atau terorisme termasuk kedalam ciri-ciri jarimah

ta’zir yaitu sebagai berikut:124

a. Landasan dan ketentuan hukumnya didasarkan pada ijma’

b. Mencakup semua bentuk kejahatan/kemaksiatan selain hudud

dan qishash.

c. Pada umumnya ta’zir terjadi pada kasus-kasus yang belum

ditetapkan ukuran sanksinya oleh syara’ meskipun jenis

sanksinya telah tersedia

d. Hukuman ditetapkan oleh penguasa qadhi ( hakim)

e. Didasari pada ketentuan umum syari‟at Islam dan kepentingan

masyarakat secara keseluruhan

Hal tersebut juga sejalan dengan pendapat Al-Mawardi dalam

kitabnya al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, yaitu:

والتعزير تأديب على ذنوب لم تشرع فيها الحدود ويختلف حكمه باختلف

افق الحدود من وجه وهو أنه تأديب استصلح وزجر حاله وحال فاعله فيو

يختلف بحسب اختلف الذنب125

"Ta'zir itu adalah hukuman atas tindakan pelanggaran dan

kriminalitas yang tidak diatur secara pasti dalam hukum had. Hukuman

ini berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan kasus dan pelakunya. Dari

satu segi, ta'zir ini sejalan dengan hukum had; yakni ia adalah tindakan

yang dilakukan untuk memperbaiki perilaku manusia, dan untuk

mencegah orang lain agar tidak melakukan tindakan yang sama seperti

itu.

Jika melihat pada ketentuan, bahwa hukuman ta’zir merupakan

hukuman yang diberikan untuk ketentuan yang belum ditetapkan.

Melihat beberapa ciri-ciri hukuman ta’zir, i’dad terorisme termasuk

124 Wahbah Az-zuhaili, Fiqh Islam Wa-Adilatuhu, (Jakarta: Gema Insani Darul Fikri,

2011), h., 531 125

Imam Al-Maward iy, al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, (Beirut

alMaktab al-Islami, 1996), h., 236

Page 86: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

71

kedalam golongan ta’zir dikarenakan belum ada ketentuan yang

mengatur secara ketentuan syara’ kecuali untuk hirabah jika disamakan

secara definisi sebelumnya. Melihat dari kemiripan secara definitif

terorisme digolongkan kedalam hirabah yang hukumannya hudud,126

maka untuk persiapan yang belum mencapai jarimah hirabah adalah

tidak lebih dari ketentuan hukuman hirabah secara utuh.

Hal ini juga menurut Wahbah Az-zuhaili tentang jarimah hiraabah

bahwa bagi pelaku yang hanya sekedar menakut-nakuti tanpa sampai

membunuh dan mengambil hartanya, maka mereka dihukum diasingkan

atau penjara dan dihukum ta’zir127, artinya selama belum terlaksananya

jarimah pokok berupa hirabah, hukuman yang patut diberikan adalah

hukuman ta’zir yang lebih rendah dari hukuman hudud. Sementara itu

Imam Malik berpendapat bahwa untuk penjatuhan Had dikembalikan

kepada ijtihad para hakim untuk menentukan jenis ta’zir apa yang harus

dijatuhkan kepada pelaku. Hal ini juga sama disampaikan oleh Malik

Kamal bahwa yang orang yang membantu yang dalam hal ini adalah

juga mempersiapkan jarimah hirabah bahwa menurut jumhur ulama

yang terdiri dari mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali bahwa bantuan

sama saja dikenakan hukuman hudud dikarenakan jika tidak disamakan

dengan aksi pelaku langsung untuk mewajibkan adanya hukuman, maka

dia tetap saja memudahkan aksi perampokan. Sedangkan Imam Syafii

berpendapat bahwa bantuan itu tidak menyebabkan hukuman apapun

melainkan hanya hukuman penjeraan (ta’zir).128

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut kesemua elemen-elemen

ta’zir memenuhi kriteria hukuman yang harus diberikan dalam

penjatuhan hukuman i’dad terorisme. Terlebih pada jarimah hirabah

yang belum sempat terjadi dikarenakan beberapa alasan yaitu:

126

Wahbah Az-zuhaili, Fiqh Islam Wa-Adilatuhu,..., h., 534

127 Wahbah Az-zuhaili, Fiqh Islam Wa-Adilatuhu,...h., 419

128

Malik Kamal b in As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah jilid 4... h., 234

Page 87: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

72

tertangkap dan bertaubat maka hukuman yang tetap diberikan adalah

hukuman ta’zir.

Page 88: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

73

BAB V

Penutup

A. Kesimpulan

1. I’dad dalam terorisme di Indonesia secara expressive verbis diatur pasal

per pasal dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang

Perubahan atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1

Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Persiapan perbuatan pidana (i’dad) terorisme dalam Undang-undang

tersebut dikelompokkan menjadi persiapan fisik dan persiapan

finansial. Sebagaimana persiapan fisik menyebutkan dalam pasal 12,

12B, dan pasal 16. Dan persiapan finansial menyebutkan dalam pasal

11, dan pasal 13. Hukuman yang diterapkan dalam Undang-undang

Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor

15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme yang tercantum dalam pasal 11, 12, 12B, 13, 14, 15,

16, dan 16A dengan hukuman paling minimal 3 tahun penjara kurungan

dan maksimal 15 tahun penjara kurungan tergantung tindakan yang

dilakukan pelaku dalam tindakan kegiatan persiapan perbuatan

terorisme.

2. Persiapan perbuatan pidana dalam fiqh jinayah dapat disamakan dengan

persiapan hirabah atau persiapan jihad. Dalam artian jihad yang

disalahartikan atau target jihad adalah orang-orang yang tidak bersalah

atau tidak sesuai dengan syarat-syarat jihad sehingga terjadi kerusakan

secara masif. I’dad dalam terorisme di Indonesia menurut pandangan

fiqh Jinayah terbagi atas; Persiapan secara mādi atau persiapan secara

kematangan fisik, yaitu persiapan yang melibatkan kemampuan

berperang untuk kerusakan. Persiapan secara imāni, yaitu persiapan

perang dengan memantapkan rasa kebenaran batiniyah kepada pelaku

Page 89: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

74

perang, biasanya dalam perang hal ini adalah persiapan untuk melatih

mental di dalam medan pertempuran. Hukuman persiapan perbuatan

terorisme yang ditentukan dalam fiqh jinayah adalah hukuman yang

disamakan dengan percobaan hirabah. Hal ini dikarenakan terorisme

secara definisi dan kegiatannya sama dengan hirabah yaitu sama-sama

memberikan rasa takut kepada masyarakat, namun masih pada tahapan

persiapan yang digolongkan dalam percobaan karena belum mencapai

atau melakukan jarimah pokoknya. Dengan demikian, hukuman yang

diterapkan dalam fiqh jinayah dalam hal percobaan jarimah adalah

ta’zir.

B. Rekomendasi

1. Bagi Pemerintah dalam hal ini Badan legislasi sudah selayaknya

mencantumkan I’dad ke aturan tindak pidana terorisme. Kemudian

tindak pidana terorisme tidak hanya menjerat eksekutor sebagai pelaku

utama. Namun, pihak lain yang bertugas mempersiapkan pelaksanaan

tindak pidana terorisme juga harus di kenai tindak pidanan.

2. Pemerintah melalui Badan Nasional Penaggulanagn Terorisme (BNPT)

melalui otoritasnya mengawasi dan membatassi gerakan-gerakan dari

komunitas yang terindikasi berpotensi melancarkan terorisme, dari

berbagai macam kegiatan yang berkenaan dengan persiapan

pelaksanaan perbuatan tindak pidana terorisme baik fisik, pengetahuan

maupun doktrin lainya.

Page 90: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

75

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku:

Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwini Ibnu Majah Abu, Ensiklopedia Hadis

8;Sunan Ibnu Majah,Terj. Saifuddin Zuhridkk, Jakarta: Almahira, 2013

Abul Husain Al-Imam Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahîh

Muslim, Juz. 1. Mesir: Tijariah Kubra

Achmad Jainuri, Radikalisme dan Terorisme : Akar Ideologi dan Tuntutan Aksi.

Malang, Jatim: Intrans Publishing, Kelompok Intrans Publishing, 2016

Ad-din Jalal as-Suyuti dan Jalal ad-din al-Mahalli, Tafsir al-Jalalain,terj. Bahrun

Abu Bakar, Terjemahan Tafsir al-Jalalain Berikut Asbab an-Nuzul.

Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1997

Al-Mawardiy Imam, al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, Beirut

alMaktab al-Islami, 1996

Atmasasmita Romli, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum Dalam Konteks

Penegakan Hukum Di Indonesia, Bandung: Alumni, 1982

Audah Abdul Qadir, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam II Terjemahan dari

atTasyri’ al-Jina’i al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil Wad’iy jilid 1,

Bogor: PT Kharisma Ilmu, 2008

Az-zuhaili Wahbah, Fiqh Islam Wa-Adilatuhu, Jakarta: Gema Insani Darul Fikri,

2011

Bentang Pustaka Tim, Kamus Saku Bahasa Indonesia, Jakarta: PT Bentang

Pustaka, 2010

Bin Muhammad Abu Syuhbah Muhammad, Al- Hudud fi Islam wa Muqaranatuha

bi Qawanin Al-Wad’iyyah, Kairo: Dar Al-Kutub, 1974

Chazawi Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1. Jakarta: Raja Grafindo,

2002

Djazuli H.A., Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam),

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Ed ke 2, Cet ke 3, 2000

Page 91: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

76

Djelantik Sukawarsini, Terorisme: Tinjauan Psiko-Politis, Peran Media,

Kemiskinan, dan Keamanan Nasional, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor

Indonesia, 2010

Dwi Rama Silvi, Upaya Pencegahan Terorisme di Provinsi Riau (Studi Kasus

Ditreskrimum Polda Riau), Pekan Baru, 2016

Fatwa A.M., Menghadirkan Moderatisme Melawan Terorisme, Jakarta: PT Mizan

Publika, 2006

Hadikusma Hilaman, Bahasa Hukum Indonesia, Bandung: Alumni, 1992

Hamzah Andi, Asas - Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2008

Hanafi Ahmad, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1967

-------------------, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, cet

ke 5, 1993

Hikam, Muhammad A.S., Deradikalisasi: Peran Masyarakat Sipil Indonesia

Membendung Radikalisme, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2016

Imron Ali, Ali Imron Sang Pengebom, Jakarta: Penerbit Republika, 2007

Irfan M. Nurul, dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, Jakarta: AMZAH, cet ke 2, 2014

-------------------, Hukum Pidana Islam, Jakarta: AMZAH, 2016

Kanter EY dan SR Siantur, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta: Storia

Grafika, 2003

Marpaung Leden, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika,

2005

Marsum, Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 1988

Moeljatno, Azaz-azaz Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1985

Mubarok Jaih dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah, Jakarta: Anggota

IKAPI, 2004

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung:

Alumni, 2005

---------, Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia,

Jakarta: Habibi Center, 2002

Penerjemah BPHN Tim, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Jakarta: Sinar

Harapan, 1983

Page 92: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

77

Peter Marzuki Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Prenadamedia Group, 2015

Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-pendapat Mengenai Efektifitas

Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984

Pribadi Abdurrahman & Abu Hayyan, Membongkar Jaringan Teroris, Jakarta:

Abdika Press, 2009

Qadir Audah Abdul, At-Tasyri Al-Jina’i Al-Islamy Muqaranan Bil Qanunil

Wad’iy, Jakarta : BATARA Offset, 2007

Qudamah Ibnu An-Najdi. Jawaban Seputar Masalah-Masalah Fikih Jihad. trans.

Abu Jandl Al-Muhajir. Al-Qoidun Group. Quthb Sayyid, Tafsir fi zhilalil qur'an jilid 5, Jakarta: Gema Insani, 2000

Rosa Nasution Aulia, Terorisme Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

dalam Perspektif Hukum Internasional & Hak Asasi Manusia, Jakarta:

Kencana Prenada Grup, 2012

Saleh Roeslan, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban pidana, Jakarta:

Aksara Baru, 2003

------------------, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta : Aksara Baru, 1983

Santoso Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariat dalam

Wacana dan Agenda, Jakarta: Gema Insani Press, Cet,1, 2003

Soesilo R., Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-

komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Bogor: Politeia, 1986

Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana

Terorisme (dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia), Bandung: Pt

Refika Aditama, 2007

Sholih Yusuf bin Al-‘Uyairy. Petunjuk Praktis Menjadi Mujahid, ed. Abu

Qudama Ahmad Al-Battar, trans. Syahida Man. Divisi Media &

Dokumentasi Al-Qo’idun Group, n.d.

Suryabrata Sumardi, Metodologi Penelitian, Jakarta: Rajawali Press, Cet Ke 14,

2003

Syamsuddin Rahman dan Ismail Aris, Merajut Hukum Di Indonesia, Jakarta:

Mitra Wacana Media, 2014

Utrecht E., Hukum Pidana I, Jakarta:Universitas Jakarta, 1958

Page 93: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

78

Wahid Sunardi Abdul, dan Muhammad Imam Sidik, Kejahatan Terorisme

Perspektif Agama, Ham, dan Hukum, Bandung: Pt. Refika Aditama, 2004

Wardi Muslich Ahmad, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005

B. Artikel:

Al Amin Mohammad, Studi Komparatif Mengenai Tindak Pidana Terorisme

Perspektif Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif di Indonesia,

Skripsi Mahasiswa Jurusan Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan

Hukum Institut Agama Islam Negri Surakarta, Tahun 2018

Ali Muhammad, Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Pendekatan

Kebijakan Kriminal), Jurnal Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri

Semarang, Volume 3 Nomor 1 Tahun 2017

C. Montolalu Astri, Tindak Pidana Percobaan dalam Kitab Undang-undang

Hukum Pidana (KUHP), Jurnal Lex Crimen, Vol. V No. 2 Februari Tahun

2016

Darajat Zakiya, “Jihad Dinamis: Menelusuri Konsep dan Praktik Jihad Dalam

Sejarah Islam”, Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Volume

16 Nomor 1 Juni Tahun 2016

Firmansyah Hery, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di

Indonesia, jurnal Mimbar Hukum, Volume 23 Nomor 2 Juni Tahun 2011

Hidayatullah Kholid, “Kajian Islam Tentang Terorisme”, AL HIKMAH, Jurnal

Studi Keislaman, Volume 6 Nomor 1 Maret Tahun 2016

Junaid Hamzah, Pergerakan Kelompok Terorisme dalam Perspektif Barat dan

Islam, Jurnal Sulesana, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2013

Mubarak Zulfi, Fenomena Terorisme di Indonesia: Kajian Aspek Teologi,

Ideologi dan Gerakan, Jurnal Studi Masyarakat Islam, Vol. 15 No.2

Desember Tahun 2012

Munip Abdul, Buku Jihad Terjememahan dari Bahasa Arab dan Potensi

Radikalisme Beragama di Lembaga Pendidikan, Jurnal Cendekia Volume

15, Nomor 2, Juli-Desember 2017

Page 94: PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/50856...fiqh jinayah dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan

79

Safrudin Rusli, Penanggulangan Terorisme di Indonesia Melalui Penanganan

Pendanaan Terorisme: Studi Kasus Al-Jamaah Al-Islamiyah (JI), Jurnal

Pertahanan ,Volume 3 Nomor 1 April Tahun 2013

C. Aturan Perundang-undangan:

Undang-Undang No.15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme, menjadi Undang-undang

D. Internet:

https://nasional.kompas.com/read/2010/08/09/15085229/Mengapa.Teroris.Menya

sar.Aceh Dikunjungi pada Selasa 09 April 2019, Pukul 15:41 WIB

https://news.detik.com/berita/1615672/ahli-persiapan-saja-sudah-termasuk-tindak-

pidana-terorisme Dikunjungi pada Selasa 9 April 2019, Pukul 15:24 WIB

https://www.academia.edu/4940496/PRASANGKA_MEMBENTUK_PERILAK

U_TERORIS Dikunjungi pada senin 08 April 2019, Pukul 15:30 WIB

https://www.google.co.id/amp/s/beritagar.id/artikel-amp/laporan-khas/tapak-

pelatihan-terorisme-di-jalin. dikunjungi pada Jum’at 25 Oktober 2019,

Pukul 17.23 WIB

https://www.kiblat.net/2013/11/20/achmad-michdan-i’dad-tidak-bisa-dianggap-

bagian-dari-kegiatan-terorisme/ Dikunjungi pada Jumat 12 April 2019,

Pukul 16:21 WIB

Muladi, “Belum Mencakup State Terrorism”, www.sijoripos.com

www.hukumonline.com/pusatdata