PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM...
Transcript of PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM...
PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME DALAM TINJAUAN
HUKUM PIDANA POSITIF DAN FIQH JINAYAH
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Disusun Oleh:
Nada Yasmin (11150450000065)
PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/ 2020 M
v
ABSTRAK
Nada Yasmin, NIM: 11150450000065, PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN)
TERORISME DALAM TINJAUAN HUKUM PIDANA POSITIF DAN FIQH
JINAYAH, Program Studi Hukum Pidana Islam, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2020 M/ 1441 H.
Studi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perbandingan hukum
mengenai persiapan perbuatan pidana (i’dad) terorisme dalam perspektif hukum
positif dan fiqh jinayah. Perbandingan ini menggunakan Undang-undang Nomor 5
Tahun 2018 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan fiqh yang menggunakan
beberapa kitab tentang jinayat.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, dengan pendekatan
perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan perbandingan. Bahan hukum
primer yang digunakan adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme, dan kitab-kitab fiqh. Bahan hukum sekunder yang
digunakan adalah jurnal, skripsi, artikel yang berhubungan dengan persiapan ( i’dad)
terorisme. Adapun yang menjadi objek penelitian adalah persiapan (i’dad) perbuatan
pidana terorime.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa; a). Persiapan (i’dad) perbutan
terorisme dalam hukum positif memiliki persamaan secara fisik dan finansial yang
dalam fiqh jinayah adalah persiapan secara maadiy dan imaaniy. b). Hukuman yang
ditetapkan dalam hukum positif tentang persiapan (i’dad) perbuatan terorisme
memberikan rentang waktu 3-15 tahun penjara, sedangkan dalam fiqh jinayah
dikategorikan sebagai ta’zir yang hukumannya merupakan keputusan imam atau
hakim dan hukumnya disamakan layaknya jarimah hirabah atau perampokan.
Kata kunci : I’dad, Terorisme, Perbuatan Pidana
Pembimbing : Dr. Khamami Zada, S.H., M.A., M.D.C.
Daftar Pustaka : 1945 s.d. 2019
vi
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT, atas segala nikmat iman, jasmani
dan rohani. Tiada henti kepadaNya penulis meminta agar selalu diberi kesehatan,
kemudahan, kesabaran dan kekuatan dalam menyelesaikan skripsi ini. Berkat kasih
sayang, petunjuk dan rahmat-Nya penulis dapat megolah data menjadi kata, menjadi
kalimat dan menjadi paragraf-paragraf yang berisi ide, kemudian dari kumpulan
paragraph menjadi bab-bab dan akhirnya jadilah skripsi ini. Tidak lupa shalawat serta
salam tetap tercurahkan kepada Makhluk Istimewa yakni Nabi Muhamad SAW. Yang
telah membawakan cahaya kesempurnaan akhlak bagi umat manusia.
Skripsi yang berjudul “Perbuatan I’dad (Persiapan) Terorisme dalam
Tijauan Hukum Pidana Positif Dan Fiqh Jinayah” penulis susun dalam rangka
memenuhi dan melengkapi persyaratan mencapai gelar sarjana Hukum (S.H) pada
program studi Hukum Pidana Islam Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dengan kerendahan hati, penulis bahwa tidak akan sanggup melewati segala
hambatan dan rintangan yang mengganggu lancarnya penulisan skripsi ini, tanpa
adanya bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karenanya dalam kesempatan
yang berharga ini perkenankan penulis untuk menyampaikan rasa terima kasih yang
tulus kepada yang terhormat:
1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., MA., M.H. Selaku Dekan Fakultas
Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Qosim Arsadani, M.A. selaku ketua Program Studi Hukum Pidana Islam
(Jinayah). Terima Kasih atas arahan dan bimbingan dalam keperluan
akademik maupun sosial.
3. Mohamad Mujibur Rohman S.H M.H. selaku sekretaris Program Studi
Hukum Pidana Islam (jinayah). Terima Kasih atas arahan dan bimbingan
dalam keperluan akademik maupun sosial.
vii
4. Dr. Khamami, S.H, M.A, M.D.C. selaku dosen pembimbing dalam penulisan
skripsi yang telah memberikan banyak masukan dan arahan serta meluangkan
waktunya dengan penuh keikhlasan kepada penulis.
5. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang ikhlas memberikan segala
ilmu dan pengetahuan selama proses studi yang menjadi pengaruh yang
sangat berarti bagi perkembangan pemikiran dan wawasan penulis.
6. Segenap pengelola Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakartaatas
pelayananan dalam menyediakan referensi buku-bukunya
7. Kepada kedua orang tua Penulis, Ayahanda Slamet AM dan Ibunda Ilmawati,
yang tiada henti memberikan dukungan, semangat, motivasi, mendoakan dan
memperjuangkan pendidikan penulis sampai di fase sekarang ini, penulis
haturkan terima kasih setulus-tulusnya.
8. Kepada Adik penulis Muaffaq Asy Syaikhan Nadzir, Adhwa Fairuz Taqiyyah,
dan Abdul Aziz Al-Asy’ari yang selalu membuat penulis marah, namun
mengajarkan penulis sebagian arti dari kesabaran. Semoga kita semua menjadi
anak yang selalu berbakti kepada orang tua dan senantiasa
membahagiakannya.
9. Abdillah Arief, yang telah membantu sangat banyak, serta menemani setiap
proses pembuatan skripsi ini. Terimakasih telah membersamai hingga akhir,
wo ai ni.
10. Kepada Sahabat– Sahabat Perjuangan Selly Rosyanaya, Risky Oktavianti, dan
Settia Fany yang memberikan dukungan serta selalu ada disisi penulis sampai
menyelesaikan skripsi.
11. Kepada Sahabat-Sahabat terdekat penulis, Riska Yolanda, Ulfiana Nurul
Afifah, Inas Inayah sudah mendesak dan selalu menyinggung penulis agar
segera menyelesaikan penulisan skripsi. Kalian terbaik
12. Kepada teman-teman jurusan Hukum Pidana Islam angkatan 2015 terimakasih
atas bantuan, doa serta dukungan untuk penulis, terimakasih atas kebersamaan
viii
dan waktu yang telah kita alami bersama di masa perkuliahan, semoga di
masa yang akan datang kita dapat meraih apa yang kita harapkan.
13. Kepada sahabat UINERS, Livia Anggraeni, Heryanti dewi.F, Astri Lestari,
Lia Himmatus Sholihah, Iwan Hidayat, dan Arif Rahman. Yang selalu
memberikan tawa dan warna tiada habisnya kepada penulis.
14. Kepada Rekan KKN, Nai, Amoy, Emong, Citul, Gedut, Rijal, Ridwan sudah
bersedia menjadi keluarga saat berada di tanah orang sampai sekarang dan
seterusnya
15. Kepada kakak-kakak dan teman di Act, Mala, Ka Dita, Ka Retsa, Ka Della,
Ka Eva, Ka Chyta, Ka Nisa, Ka Lia, Ka Arby, Ka, Wahid , Zubir,
Terimakasih telah mengajari, memberikan pengalaman, dan suasana nyaman
selama 2 bulan di kantor. Berkat kalian, bekerja selalu menjadi kegiatan yang
sangat dirindukan.
16. Kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam kelancaran penyusunan
skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Akhirnya tiada untaian kata yang berharga selain ucapan Alhamdulillahirabbil
‘Alamiin. Besar harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis
dan bagi pembaca pada umumnya, Aamiin. Sekian dan terimakasih.
Jakarta, 15 Januari 2020 M
Nada Yasmin
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K Nomor: 158 Tahun 1987-Nomor: 054 b/u 198
No Huruf
Arab
Huruf
Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا .1
B Be ب .2
T Te ت .3
Ṡ Es dengan titik atas ث .4
J Je ج .5
Ḥ h dengan titik bawah ح .6
Kh ka dan ha خ .7
D De د .8
Ż Z dengan titik atas ذ .9
R Er ر .10
Z Zet ز .11
S Es س .12
Sy es dan ya ش .13
Ṣ es dengan titik di bawah ص .14
Ḍ de dengan titik di bawah ض .15
Ṭ te dengan titik di bawah ط .16
Ż zet dengan titik di bawah ظ .17
koma terbalik di atas hadap kanan ع .18
G Ge غ .19
x
F Ef ف .20
Q Ki ق .21
K Ka ك .22
L El ل .23
M Em م .24
N En ن .25
W We و .26
H Ha ه .27
Apostrof ˋ ء .28
Y Ye ي .29
2. Vokal
Vokal adalah bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal,
ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fatḥah
I Kasrah
U Ḍammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya ada sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ai Fatḥah dan ya ا ي
Au Fatḥah dan wau ا و
xi
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa dilambangkan
dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ā a dengan garis di atas با
Ī i dengan garis di atas ب ي
Ū u dengan garis di atas ب و
4. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu
dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiah maupun huruf
kamariah. Contoh: al-rijāl bukan ar-rijāl, al-dīwān bukan ad- dāwān.
5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydìd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda tasydìd ) ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata (الضرورة) tidak ditulis ad-
ḏarūrah melainkan al-ḏarūrah, demikian seterusnya.
6. Ta Marbūṯah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯah terdapat pada kata yang
berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1
di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûah tersebut diikuti oleh kata sifat
(na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûṯah tersebut diikuti kata benda
(ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
xii
No Kata Arab Alih Aksara
Ṯarīqah طريقة 1
al-Jāmi‘ah al-Islāmiyyah الجامعة الإسلامية 2
Wahdat al-wujūd وحدة الوجود 3
7. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf tidak dikenal, dalam alih aksara ini
huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang berlaku
dalam Ejan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat,
huruf awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain- lain. Jika nama diri
didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal
nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Ab ū Hāmid al-
Ghazālī bukan Abū Hāmid Al-Ghazālī, al-Kindi bukan Al-Kindi.
Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat diterapkan dalam alih
aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring ( italic) atau cetak tebal
(bold). Jika menurut EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka demikian
halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari
dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar katanya
berasal dari bahasa Arab. Mislanya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-
Samad al-Palimbani: Nuruddin al-Raniri, tidak Nūr al-Dīn al-Rānīrī.
xiii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iii
ABSTRAK............................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................ v
PEDOMAN TRANSLITERASI......................................................................... viii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah ......................................................................... 6
C. Batasan dan Rumusan Masalah........................................................ 7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 7
E. Review Pustaka Terdahulu ............................................................... 8
F. Metode Penelitian ............................................................................. 10
G. Sistematika Penulisan ..................................................................... 12
BAB II PERBUATAN PIDANA DAN KONSEP PEMIDANAAN ............. 14
A. Perbuatan Pidana ............................................................................. 14
B. Konsep Pemidanaan ......................................................................... 21
C. Persiapan Perbuatan Pidana ............................................................. 25
BAB III TINJAUAN UMUM TERORISME ................................................. 30
A. Tindak Pidana Terorisme dalam Hukum Pidana Positif ................. 30
1. Definisi ..................................................................................... 30
2. Bentuk-bentuk Terorisme ......................................................... 35
3. Ketentuan Hukum Terorisme dalam Hukum Pidana Positif .... 37
xiv
B. Tindak Pidana Terorisme dalam Fiqh Jinayah................................. 40
1. Definisi ..................................................................................... 40
2. Ketentuan Hukum Terorisme dalam Fiqh Jinayah ................... 41
C. Wilayah di Indonesia yang Menjadi Basis I’dad ............................. 46
BAB IV PERBEDAAN PERBUATAN PERSIAPAN (I’DAD) PIDANA
TERORISME PADA HUKUM POSITIF DAN FIQH JINAYAH . 48
A. Perbuatan Persiapan Terorisme pada Hukum
Positif .............................................................................................. 48
1. Jenis Persiapan Pidana Terorisme dalam Hukum
Positif ........................................................................................ 48
a. Perbuatan Persiapan Terorisme secara
Fisik ...................................................................................... 48
b. Perbuatan Persiapan Terorisme secara Finansial ................. 53
2. Hukuman Persiapan Terorisme dalam Hukum Positif .............. 54
B. Perbuatan I’dad (Persiapan) Terorisme dalam
Fiqh Jinayah .................................................................................... 59
1. Jenis Persiapan Pidana Terorisme dalam Fiqh
Jinayah ...................................................................................... 59
a. Perbuatan Idad (Persiapan) secara Fisik (madi)................... 59
b. Perbuatan I’dad (Persiapan) secara Non-Fisik (Imaani) ...... 62
2. Hukuman Perbuatan Idad (Persiapan) Terorisme dalam Fiqh
Jinayah ...................................................................................... 65
BAB V PENUTUP ............................................................................................. 70
A. Kesimpulan .................................................................................... 70
B. Saran .............................................................................................. 71
xv
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 72
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejalan dengan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, maka negara
Republik Indonesia adalah negara kesatuan yang berlandaskan hukum dan
memiliki tugas dan tanggung jawab untuk memelihara kehidupan yang aman,
damai, dan sejahtera serta ikut secara aktif memelihara perdamaian dunia. Untuk
mencapai tujuan tersebut, pemerintah wajib memelihara dan menegakkan
kedaulatan dan melindungi setiap warga negaranya dari setiap ancaman atau
tindakan destruktif baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.1
Terorisme merupakan suatu tindak pidana atau kejahatan luar biasa yang
menjadi perhatian dunia sekarang ini terutama di Indonesia. Terorisme yang
terjadi di Indonesia akhir-akhir ini memiliki keterkaitan ideologis, sejarah dan
politis serta merupakan bagian dari dinamika lingkungan strategis pada tataran
global dan regional. Kendati pun aksi terorisme yang terjadi di berbagai daerah
dalam beberapa tahun terakhir ini kebanyakan dilakukan oleh orang Indonesia dan
hanya sedikit aktor-aktor dari luar, namun tidak dapat dibantah bahwa aksi
terorisme saat ini merupakan suatu gabungan antara pelaku domestik dengan
mereka yang memiliki jejaring trans-nasional.2
Terorisme merupakan ancaman dan intimidasi bagi keamanan negara,
karena aksi terorisme merupakan perbuatan yang menciptakan bahaya terbesar
(the greatest danger) terhadap hak asasi manusia, target terorisme bersifat random
atau indiscriminate yang cenderung mengorbankan orang-orang tidak bersalah,
memiliki kecenderungan terjadinya sinergi negatif antar organisasi terorisme
nasional dengan organisasi internasional, dan adanya kemungkinan kerjasama
antar organisasi teroris dengan kejahatan yang terorganisasi baik yang bersifat
nasional maupun internasional.3 Oleh karena itu, terorisme sudah tentu merupakan
1 Hery Firmansyah, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia,
Dalam jurnal Mimbar Hukum Volume 23, Nomor 2, Juni (2011) 2 Muhammad A.S. Hikam, Deradikalisasi: Peran Masyarakat Sipil Indonesia
Membendung Radikalisme, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2016), h., 33-34. 3 Hamzah Junaid, Pergerakan Kelompok Terorisme dalam Perspektif Barat dan Islam,
Jurnal Su lesana, Vol.8/No. 2/2013, h., 119.
2
kejahatan bersifat internasional yang perlu diberantas secara berencana dan
berkesinambungan, agar hak asasi orang banyak dapat dilindungi.
Terorisme sebagai tindakan kekerasan politik meskipun diberi justifikasi
keagamaan, seperti yang dilakukan para teroris sepenuhnya bertentangan dengan
etos kemanusiaan Islam. Islam sangat menekankan etos kemanusiaan universal
(ukhuwwah al-insaniyyah). Islam menganjurkan umatnya berjuang mewujudkan
perdamaian, keadilan, dan kehormatan; bukan dengan cara-cara kekerasan apalagi
terorisme. Setiap perjuangan demi keadilan adalah nilai universal yang harus
diperjuangkan dan dibela untuk kepentingan kemanusiaan dengan cara-cara yang
adil pula.4
Tindak pidana terorisme di samping berbagai bentuk radikalisme lainnya
merupakan kejahatan yang tergolong luar biasa (extra ordinary crime) karena
telah memenuhi unsur-unsur sebagai kejahatan luar biasa, yaitu membahayakan
nilai-nilai hak manusia yang absolut, serangan terorisme bersifat random,
indiscriminate, and non-selective yang kemungkinan menimpa orang-orang yang
tidak bersalah, selalu mengandung unsur kekerasan, keterkaitannya dengan
kejahatan terorganisasi, dan bahkan kemungkinan akan digunakannya teknologi
canggih seperti senjata kimia, biologi, bahkan nuklir.
Di samping itu tindak pidana di atas merupakan kejahatan terhadap
kemanusiaan (crimes against humanity) yang mendapat kutukan keras dari setiap
bangsa-bangsa di dunia. Terorisme dengan segala manifestasinya merupakan
kejahatan yang serius dan mengancam nilai-nilai kemanusiaan, mengganggu
keselamatan umum bagi orang dan barang bahkan sering ditujuan kepada instalasi
negara atau militer/pertahanan keamanan, maupun kepada personifikasi yang
menjalankan institusi negara seperti ditujukan kepada kepala negara,
pemerintahan pada umumnya, objek-objek vital dan stategis maupun pusat-pusat
keramaian umum lainnya.5
4 Ali Imron, Ali Imron Sang Pengebom,(Jakarta: Penerb it Republika, 2007), h., x-xi.
5 Muhammad Ali, Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Pendekatan Kebijakan
Kriminal), dalam Jurnal Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang Volume 3
Nomor 1 (Tahun 2017)
3
Pada umumnya, ada 6 (enam) faktor penyebab/motivasi timbulnya tindak
pidana terorisme, yaitu : Faktor Ekonomi; Faktor Sosial Budaya; Faktor Identitas;
Faktor Pendidikan; Faktor Politik, dan; Faktor Psikologi.6
Kegiatan terorisme memerlukan perencanaan yang matang, kegiatan yang
dilakukan oleh kelompok teroris membutuhkan prorses perekrutan yang lama.
Selain itu mempersiapkan sumber daya baik dana dan logistik, dengan melakukan
pengumpulan dana baik legal maupun ilegal juga membutuhkan waktu pajang dan
resiko yang besar.
Tidak hanya itu, ketika akan melakukan operasi teror juga harus melalui
chassing atau penyelidikan awal dengan menggunakan teknik intelijen untuk
mendapatkan informasi berkaitan dengan situasi kondisi sasaran, selanjutnya
informasi tersebut sebagai bahan analisa sasaran untuk menentukan taktik, metode
teror serta waktu dan tempat pelaksanaan teror. Langkah-langkah persiapan itu
semua dilakukan dengan cara clandestine untuk menghindari kecurigaan dan
terbongkarnya aksi oleh aparat keamanan.7
Perencanaan para teroris tersebut menunjukan bahwa pelaku terorisme
memiliki tingkat kecerdasan yang bagus dengan berdasarkan logika dalam se tiap
tindakannya. Mereka juga sudah memperkirakan resiko yang akan mereka terima
yaitu tertangkap aparat dalam keadaan hidup atau mati. oleh karena itu teroris
berbeda dengan penjahat biasa, kalau penjahat berusaha semaksimal mungkin
untuk menghilangkan jejak dan melarikan diri dari kejaran polisi setelah
melakukan kejahatan sedangkan teroris cenderung telah mempersiapkan
perlawanan apabila akan ditangkap dan mereka sembunyi untuk melancarkan aksi
teror selanjutnya. Dengan resiko yang akan dihadapinya maka teroris juga
mengharapkan suatu keuntungan yang maksimal dari sasarannya sehingga
menimbulkan ketakutan yang luar biasa bagi pihak lawan. 8
6 Aulia Rosa Nasution, Terorisme Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan dalam
Perspektif Hukum Internasional & Hak Asasi Manusia, (Jakarta:Kencana Prenada Grup, 2012), h.,
112. 7https://www.academia.edu/4940496/PRASANGKA_MEMBENTUK_PERILAKU_TER
ORIS. h., 3, Diunggah senin 08 April 2019 , Pukul 15:30 WIB 8https://www.academia.edu/4940496/PRASANGKA_MEMBENTUK_PERILAKU_TER
ORIS. h., 3, Diunggah senin 08 April 2019 , Pukul 15:30 WIB
4
Aceh diduga menjadi salah satu lokasi basis latihan jaringan teroris,
kawasan hutan pedalaman Aceh Besar yang digunakan menjadi tempat pelatihan
bagi kelompok yang diduga jaringan teroris. Mereka melakukan kegiatan latihan
militer di kawasan hutan pedalaman Aceh dengan alasan yaitu mereka merasa
tidak terganggu dengan mengadakan latihan di sana, sebab Aceh sudah aman,
sangat strategis, dekat dengan dunia internasional, dan jauh dari pusat kekuasaan
Kelebihan dalam hal geografis ini akan memudahkan para teroris untuk
melakukan hubungan dengan jaringan internasionalnya. Pemasokan senjata juga
lebih mudah karena bisa dilakukan melalui jalur laut.9
Menurut Chairul Huda dalam wawancara oleh Detiknews berpendapat
bahwa pelatihan yang dilakukan di daerah Aceh merupakan salah satu bentuk
kategori dalam upaya melakukan tindak pidana terorisme, walaupun pelatihan
untuk melakukan tindak pidana terorisme hanya berada pada wilayah persiapan,
hal tersebut disebabkan karena karakteristik yang ada pada UU terorisme
mengalami perluasan makna dari istilah yang ada pada pidana umum.10
Salah satu unsur dalam tindak pidana terorisme adalah penggunaan senjata
api dalam melaksanakan tindakan tersebut, ataupun menggunakan alat-alat
peledak lain yang mempunyai dampak kerusakan atau pelukaan, akan tetapi tidak
bisa hanya melihat bahwa seseorang yang membawa senjata api saja kemudian
dapat dikatakan sebagai tindak terorisme. Kita harus melihat secara konteks
tertentu terlebih dahulu sampai kemudian seseorang dapat dikatakan sebagai
pelaku terorisme, seperti hal nya membawa dan menggunakan senjata api dalam
masyarakat bisa dimasukan dalam kategori sebagai tindakan pemberontakan akan
tetapi lebih mendekati tindakan sparatisme. Penggunaan senjata ini termasuk
dalam kategori tindakan yang mengakibatkan teror termasuk juga pada kategori
dalam upaya persiapan melakukan tindak pidana terorisme. Sehingga tindakan
tersebut termasuk dalam unsur-unsur Tindak Pidana Terorisme.11
9https://nasional.kompas.com/read/2010/08/09/15085229/Mengapa.Teroris.Menyasar.Ace
h . Diunggah Selasa 09 April 2019, Pukul 15:41 WIB 10
https://news.detik.com/berita/1615672/ahli-persiapan-saja-sudah-termasuk-tindak-
pidana-terorisme. Diunggah Selasa 9 April 2019, Pukul 15:24 WIB 11
https://news.detik.com/berita/1615672/ahli-persiapan-saja-sudah-termasuk-tindak-
pidana-terorisme. Diunggah Selasa 9 April 2019, Pukul 15:24 WIB
5
Perencanaan dalam melakukan tindak pidana, mempunyai makna
perluasan sebagai persiapan. Hal tersebut merupakan pengertian yang ada pada
istilah percobaan dalam nomenklatur hukum piana umum. Pada tindak pidana
terorisme perencanaan melakukan tindak pidana terorisme dapat masuk dalam
kategori mempersiapkan melakukan tindak pidana. Akan tetapi, aspek dalam
perencanaan akan berhenti hanya pada bagaimana perencanaan itu dilakukan.
Berbeda dengan merencanakan melakukan tindak pidana, hal tersebut akan
memperhatikan hal-hal seperti mempersiapkan tempat, alat, waktu, ataupun
pemufakatan dalam melakukan tindak pidana tersebut.12
Dalam terminologi Islam ada pengertian tentang i’dad. I’dad adalah
kegiatan seseorang untuk melatih dirinya secara individu atau kelompok dalam
pelatihan militer atau peperangan. Achmad Michdan berpendapat bahwa i’dad
berbentuk pelatihan militer atau berlatih perang bukanlah termasuk dalam kategori
kegiatan yang menjurus pada terorisme. Menurut Michdan hal tersebut adalah hal
yang legal dan dapat dilakukan oleh masyarakat sipil. Dasar memperbolehkan
melakukan kegiatan ini adalah, secara syariat Islam, i’dad adalah bagian yang
tidak terpisahkan dari jihad. Dalam artian bahwa i’dad mem00000punyai hukum
wajib dilakukan ketika dalam kondisi peperangan (jihad). Logika hukum yang
dibangun oleh Michdan adalah bahwa i’dad legal.13
Itulah sebabnya, menurut Michdan harus diluruskan bahwa secara historis
negara ini merdeka karena ideologi Islam yang tidak membenarkankan adanya
penjajahan dan perilaku menindas bangsa lain dan kemerdekaan Indonesia tidak
lepas dari peran utama umat Islam. Maka para pemuda memang harus siap
membela negara, dalam kepentingan Islam. I’dad adalah persiapan kekuatan
untuk berjaga-jaga menghadapi musuh yang menyerang kita, dan ini adalah jelas
diperintahkan oleh Allah sebagai salah satu bagian dari berjuang di jalan Allah.14
12
https://news.detik.com/berita/1615672/ahli-persiapan-saja-sudah-termasuk-tindak-
pidana-terorisme. Diunggah Selasa 9 April 2019, Pukul 15:24 WIB 13
https://www.kiblat.net/2013/11/20/achmad-michdan-i’dad-tidak-bisa-dianggap-bagian-
dari-kegiatan-terorisme/. Diunggah Jumat 12 April 2019, Pukul 16:21 WIB 14
https://www.kiblat.net/2013/11/20/achmad-michdan-i’dad-tidak-bisa-dianggap-bagian-
dari-kegiatan-terorisme/. Diunggah Jumat 12 April 2019, Pukul 16:27
6
Tujuan i’dad sama sekali bukan untuk berlaku sewenang-wenang, bukan
untuk aksi sombong atau unjuk diri, dan juga bukan untuk meneror segenap
mahluk tak bersalah, namun hanya sebagai persiapan kekuatan untuk berjaga-jaga
mengahadapi musuh yang menyerang kita. I’dad ini dianjurkan tidak hanya bagi
ikhwan saja, namun akhwat pun termasuk di dalamnya. Karena itulah, Michdan
menyatakan bahwa i’dad tidak bisa disebut sebagai tindakan terorisme, Karena
kezhaliman bila tidak dilawan dengan kekuatan, ia akan tetap terjadi terus
berlanjut dan kita tidak akan bisa melakukan perlawanan.15
Dengan demikian dapat dilihat bahwa problematika perbedaan hukuman
i’dad terorisme dalam tinjauan Hukum Islam dan tinjauan Hukum Positif perlu
analisis lebih lanjut. Sehingga penyusun merasa gelisah dan menimbulkan ghiroh
ilmiah bagaimana penyelesaian kasus turut serta tindak pidana terorisme. Oleh
sebab itu penulis tertarik untuk mencoba menulis penelitian yang berjudul :
Perbuatan I’dad (Persiapan) Terorisme dalam Tinjauan Hukum Pidana Positif dan
Fiqh Jinayah
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, masalah terjadinya (i’dad)
terorisme menurut hukum pidana positif dan hukum pidana Islam, dapat
diidentifikasi sebagai berikut:
a. Bagaimana penegakan hukum di Indonesia dalam menangani maslaah
persiapan (i’dad) perbuatan Terorisme?
b. Bagaimana pandangan Hukum Positif terhadap masalah persiapan (i’dad)
perbuatan terorisme?
c. Bagaimana pandangan Fiqh Jinayah terhadap masalah persiapan (i’dad)
perbuatan terorisme?
d. Apa motif pelaku saat melakukan persiapan (i’dad) Tindak pindana
Teroris?
15
https://www.kiblat.net/2013/11/20/achmad-michdan-i’dad-tidak-bisa-dianggap-bagian-
dari-kegiatan-terorisme/. Diunggah Jumat 12 April 2019, Pukul 16: 47
7
C. Batasan dan Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, mengingat luasnya cakupan
permasalahan yang terdapat didalam judul penelitian dan keterbatasan waktu,
biaya dan pengalaman penulis dalam penelitian maka yang dijadikan fokus
perhatian peneliti dalam penelitian ini dibatasi hanya pada permasalahan
bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif terhadap persiapan (i’dad)
perbuatan tindak pidana terorisme yang telah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2018 tentang Anti Terorisme dan Fiqh Jinayah.
Dari hasil identifikasi dan pembatasan masalah di atas dapat dirumuskan
masalah penelitiannya sebagai berikut :
a. Bagaimana pandangan hukum pidana positif terhadap perbuatan i’dad
Tindak Pidana Terorisme di Indonesia?
b. Bagaimana pandangan Fiqh Jinayah terhadap perbuatan i’dad Tindak
Pidana Terorisme di Indonesia?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan
penelitiannya adalah sebagai berikut :
a. Mengetahui pandangan hukum pidana positif terhadap perbuatan persiapan
(i’dad) terorisme
b. Mengetahui pandangan Fiqh Jinayah terhadap perbuatan persiapan (i’dad)
terorisme
b. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat sebagai berikut :
a. Menjadi telaah ilmiah bagi pelaku i’dad tindak pidana Terorisme dalam
kajian Hukum Pidana Islam dan Hukum Positif dikalangan akademisi
8
b. Menjadi kajian ilmiah untuk kalangan akademisi hukum dalam
mengimplementasikan teori-teori hukum Islam terhadap hukum
konvensional dalam konteks pemidanaan.
c. Memberikan pengetahuan secara akademis dan menambah literatur dalam
kajian hukum Islam.
d. Memberikan penjelasan bagaimana hukum positif dan hukum Islam
mengatur i’dad tindak pidana terorisme.
E. Review Pustaka Terdahulu
Sejumlah penelitian tentang perbuatan i’dad (persiapan) terorisme dalam
tinjauan Fiqh Jinayah telah dilakukan, baik yang mengkaji secara spesifik isu
tersebut maupun yang menyinggung secara umum. Berikut paparan tinjauan
umum atas sebagian karya penelitian tersebut.
Skripsi karya Mohammad Al Amin yang berjudul Studi Komparatif
Mengenai Tindak Pidana Terorisme Perspektif Hukum Pidana Islam dan Hukum
Pidana Positif di Indonesia16 membahas tentang terorisme dari dua perspektif,
yaitu hukum posiitif dan hukum pidana Islam. Tindak pidana terorisme dalam
Islam dikenal dengan istilah al-Irhab yang memiliki arti menciptakan ketakutan
akhaffa atau membuat kengerian dan kegentaran Faza’a. Pada perspektif hukum
pidana Islam nampaknya tindak pidana terorisme lebih bersifat kasuistik yang bisa
berubah-rubah bentuk sanksinya tergantung motif dan tujuan dilakukuannya,
walaupun secara umum berdasarkan persamaaan unsur-unsur terorisme bisa
diqiyaskan kepada jarimah hirabah, namun adakalanya tindak pidana terorisme
harus diqiyaskan kepada jarimah bughat.
Hal tersebut juga hampir sama dalam perspektif hukum pidana positif,
dimana ketentuan terorisme daitur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 2018
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yaitu perbuatan melawan hukum
yang esensinya adalah dilakukan melalui tindakan kekerasan dan ancaman,
16
Mohammad Al Amin, Studi Komparatif Mengenai Tindak Pidana Terorisme Perspektif
Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif di Indonesia. Penelit ian in i adalah skripsi oleh
Mahasiswa Jurusan Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Institut Agama Islam
Negri Surakarta, tahun 2018
9
merusak objek fsilitas umum, merampas harta, dan kemerdekaan, menghilangkan
nyawa, sehingga menimbulkan korban secara masal kepada seluruh khalayak
masyarakat luas dan memiliki tujuan untuk menghancurkan kedaulatan bangsa
secara sistematis dan terencana. Mengenai sanksi yang dijatuhkan bagi pelaku
tindak pidana terorisme termuat dalam undang-undang di atas dalam pasal
6,7,8,9,10,11,12, dengan ketentuan sanksi paling ringan hukuman penjara tiga
tahun sampai hukuman yang paling berat yaitu hukuman mati.
Tahsis Alam Robitho meneliti penanganan terorisme yang berjudul,
Peranan Guru Pendidikan Agama Islam dalam Menangkal Bahaya Terorisme
(Studi di SMA Negri 9 Tangerang Selatan) (2013). Tahsis menemukan bahwa
peranan guru pendidikan agama Islam di SMA Negri 9 Tangerang Selatan dalam
menangkal bahaya terorisme sudah baik, artinya pengalaman siswa tidak
terpengaruh oleh doktrin-doktrin bahaya yang dilakukan terorisme selama ini
mengincar para remaja.
Artikel Zulfi Mubarak yang berjudul Fenomena Terorisme di Indonesia:
Kajian Aspek Teologi, Ideologi, dan Gerakan17 membahas dan menganalisa
tentang terorisme dari sudut pandang teologi, ideologi, dan gerakan. Artikel ini
berkesimpulan bahwa latar belakang Indonesia menjadi salah satu lahan yang
subur atau “surga”, baik sebagai sumber perekrutan kelompok maupun aksi
adalah: Pertama, faktor agama Islam yang dipeluk mayoritas rakyat Indonesia.
Kedua, faktor geografis sangat berpengaruh. Luas wilayah dan bentangan pulau-
pulau Indonesia, sangat menguntungkan aksi terorisme, sebab mobilitas mereka
akan sangat sukar dideteksi. Selain itu, beragam fasilitas AS yang bercokol di
Indonesia menjadi target dan juga kemampuan aparat keamanan yang terbatas.
Ketiga, faktor sosial-ekonomi pelaku bom yang sangat memprihatinkan menjadi
penyebab utama. Intinya adalah kemiskinan dan aliansi. Menurut mereka, lebih
baik mencari surga daripada hidup dalam kemiskinan dan selalu diiming-imingi
reward yang indah setelah mati. keempat, faktor karisma tokoh yang
menyebarkan doktrin tersebut yang berpengaruh.
17
Zulfi Mubarak, Fenomena Terorisme di Indonesia: Kajian Aspek Teologi, Ideologi dan
Gerakan, dalam Jurnal Studi Masyarakat Islam, Vol. 15 No.2 (Desember 2012).
10
Beberapa kajian terdahulu yang telah disebutkan sebelumnya memiliki
persamaan dari sudut pandang hukum yang digunakan, yaitu hukum pidana Islam
jinayat dan hukum positif. Adapun perbedaan studi terdahulu dengan penelitian
penulis adalah terletak pada objek penelitiannya, yaitu penulis memfokuskan
penelitian ini kepada tindak pidana terorisme yang khusus membahas tentang
i’dad atau persiapan sebelum dilakukannya aksi terorisme, karena belum
ditemukan secara spesifik maupun secara umum yang membahas tentang
Perbuatan I’dad (Persiapan) Terorisme Dalam Tinjauan Hukum Pidana Positif
Dan Fiqh Jinayah.
F. Metode Penelitian
Agar penelitian ini dapat terlaksana secara rasional dan terarah serta
mendapatkan hasil yang maksimal, maka diperlukan metode atau cara yang
sistematis. Dalam metode penelitian terdapat berbagai macam jenis penelitian
yang dapat digunakan untuk melakukan sebuah penelitian. Demi terciptanya hasil
yang bermanfaat, maka suatu penelitian haruslah jelas metode penelitiannya,
mulai dari jenis, sumber-sumber dan teknik-teknik pengolahan data, seperti yang
dijelaskan sebagai berikut:
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang diterapkan dalam menyusun skripsi ini adalah
penelitian hukum normatif yang mengacu kepada norma-norma hukum yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, serta
norma-norma hukum yang di masyarakat.18 Penelitian ini menggambarkan
perbuatan pelaku tindak pidana persiapan (i’dad) terorisme yang ditinjau dari
aspek hukum pidana positif dan Fiqh Jinayah.
18
Sumard i Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Rajawali Press, 2003) Cet Ke
14, h., 75
11
2. Pendekatan Penelitian
Dalam skripsi ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan komparatif (comparative
approach). Pendekatan perundang-undangan ini mengkaji mengenai tidak pidana
persiapan (i’dad) terorisme yang berdasarkan pada aturan-aturan hukum yang
berlaku di Indonesia dalam hal ini Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pendekatan komparatif dilakukan
dengan membandingkan peraturan hukum dalam hal ini adalah hukum pidana
positif dengan aturan-aturan hukum pidana Islam (jinayah).
3. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data
Penulis menggunakan teknik pengumpulan data yang merupakan cara
mengumpulkan bahan-bahan hukum yang dibutuhkan untuk menjawab rumusan
masalah penelitian. Menurut Peter, cara mengumpulkan data meliputi sumber
hukum primer dan sumber hukum sekunder. Antara lain sebagai berikut:19
a) Bahan Hukum Primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan
ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang yakni berupa KUHP,
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, Fiqh Jinayah dan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan ini.
b) Bahan Hukum Sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan
informasi atau hasil kajian tentang kejahatan yang berkaitan dengan tindak
pidana terorisme, seperti karya tulis illmiah tentang kejahatan yang
berkaitan dengan tindak pidana terorisme, majalah-majalah, artikel, koran,
dan beberapa sumber dari situs internet yang berkaitan dengan persoalan
di atas.
Data-data di atas dikumpulkan dengan studi dokumentasi atau yang disebut studi
kepustakaan.
19
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015) h.,
181.
12
4. Teknik Analisis data
Pada tahap analisis data, data diolah dan dimanfaatkan sedemikian rupa
sampai berhasil menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk
menjawab persoalan yang diajukan dalam penelitian. Adapun data-data tersebut
dianalisis dengan analisis komperatif, yaitu membandingkan tindak pidana
persiapan (i’dad) terorisme dalam tinjauan Hukum pidana positif dan Fiqh
Jinayah.
5. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan proposal skripsi ini menggunakan buku
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Tahun 2017”.
G. Sistematika Penulisan
Proposal skripsi ini terdiri dari lima bab, masing-masing bab terdiri dari sub
bahasan, ini dimaksudkan untuk memudahkan dalam penulisan dan untuk mendapatkan
gambaran yang jelas mengenai materi pokok penulisan serta memudahkan para pembaca
dalam mempelajari tata urutan penulisan skripsi ini, maka penulis menyusun sistematika
penulisan ini secara sistematis sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan
Menguraikan latar belakang landasan keterkaitan penulis dalam
meneliti masalah persiapan i’dad tindak pidana terorisme menurut
hukum pidana positif dan Fiqh Jinayah, pada bab ini
menggambarkan secara keseluruhan skrispsi, agar skripsi ini tidak
keluar dari pokok permasalahan atau meluas pembahasannya maka
dalam bab ini ditambahkan sub tema mengenai pembatasan dan
permusan masalah, serta tujuan dan manfaat penelitian, Riview
terdahulu, dan supaya penulisan skripsi ini lebih terarah maka
penulis menggunakan metode penelitian, landasan teori dan
sistematika penulisan.
13
Bab II Perbuatan Pidana dan Konsep Pemidanaan
Membahas tentang perbuatan pidana dalam hukum positif dan Fiqh
Jinayah, konsep pemidanaan dalam hukum positif dan Fiqh
Jinayah, dan persiapan perbuatan pidana dalam hukum positif dan
Fiqh Jinayah.
Bab III Tinjauan Umum Terorisme
Membahas tentang definisi tindak pidana terorisme dalam hukum
pidana positif, bentuk-bentuk terorisme, ketentuan hukum teroris
dalam hukum pidana positif, definisi tindak pidana terorisme dalam
Fiqh Jinayah, ketentuan hukum teroris dalam Fiqh Jinayah, dan
wilayah-wilayah di Indonesia yang menjadi basis I’dad
Bab IV Persiapan Perbuatan (i’dad) Terorisme pada Hukum Pidana
Positif dan Fiqh Jinayah
Membahas tentang perbuatan I’dad (persiapan) pidana terorisme
pada hukum positif, klasifikasi I’dad terorisme pada hukum positif,
perbuatan I’dad (persiapan) pidana terorisme pada Fiqh Jinayah,
klasifikasi I’dad terorisme pada fiqh jinayah, hukuman perbuatan
I’dad (persiapan) terorisme pada hukum positif, dan hukuman
perbuatan I’dad (persiapan) terorisme pada fiqh jinayah.
Bab V Penutup
Kesimpulan dan Saran.
14
BAB II
PERBUATAN PIDANA DAN KONSEP PEMIDANAAN
A. Perbuatan Pidana
Istilah “pidana” merupakan istilah yang lebih khusus, yaitu menunjukkan
sanksi dalam hukum pidana.20 Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief yang
dikut, istilah hukuman yang berasal dari kata straf, merupakan suatu istilah yang
konvensional. Moeljatno menggunakan istilah yang inkonvensional, yaitu
pidana.21 Tindak pidana merupakan salah satu istilah yang digunakan untuk
menerjemahkan kata “straafbaar feit” dalam bahasa Belanda. Istilah-istilah lain
yang biasa digunakan sebagai terjemahan dari istilah “straafbaar feit” adalah
perbuatan pidana, delik, peristiwa pidana, pelanggaran pidana, dan perbuatan yang
dapat dihukum.
Menurut Roeslan Saleh, perbuatan pidana adalah perbuatan yang
bertentangan dengan tata ketertiban yang dikehendaki oleh hukum. Menurut
Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana adalah suatu perbuatan yang terhadap
pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Sedangkan menurut Tresna,
peristiwa pidana itu adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia
yang bertentangan dengan undang-undang dan peraturan perundang-undangan
lain terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.22
Andi Hamzah, ahli hukum Indonesia membedakan istilah hukuman
dengan pidana, yang dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah straf. Istilah
hukuman adalah istilah umum yang dipergunakan untuk semua jenis sanksi baik
dalam ranah hukum perdata, administratif, disiplin dan pidana, sedangkan istilah
20
Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum Dalam Konteks
Penegakan Hukum Di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), h., 23 21
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung:
Alumni, 2005), h., 1 22
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban pidana , (Jakarta: Aksara
Baru, 2003), h., 53
15
pidana diartikan secara sempit yaitu hanya sanksi yang berkaitan dengan hukum
pidana.23
Menurut Chairul Chuda yang dikutip oleh Syamsudin dan Aris tindak
pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang padanya dilekatkan
sanksi pidana. Selanjutnya, menurut Chairul Chuda bahwa dilihat dari istilahnya,
hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang meliputi suatu tindak pidana. Sedangkan
sifat-sifat orang yang melakukan tindak pidana tersebut menjadi bagian dari
persoalan lain yaitu pertanggungjawaban pidana.24
Hal tersebut juga dipertegas oleh Andi Hamzah , bahwa hukuman (pidana)
itu bersifat siksaan atau penderitaan, yang oleh undang-undang hukum pidana
diberikan kepada seseorang yang melanggar sesuatu norma yang ditentukan oleh
undang- undang hukum pidana, dan siksaan atau penderitaan itu dengan
keputusan hakim dijatuhkan terhadap diri orang yang dipersalahkan itu. Sifat yang
berupa siksaan atau penderitaan itu harus diberikan kepada hukuman (pidana),
karena pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap norma yang
ditentukan oleh undang- undang.25
Hazewinkel Suringa dalam Hilaman memberi definisi tentang “straafbaar
feit” adalah sebagai perilaku manusia yang pada saat tertentu telah ditolak di
dalam suatu pergaulan hidup dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan
oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa
yang terdapat di dalamnya.26 Selanjutnya Van Hamel memberi definisi tentang
“straafbaar feit” sebagai suatu serangan atas suatu ancaman terhadap hal-hal
orang lain.27
Menurut Pompe dalam EY Kanter dan SR Sianturi “straafbaar feit”
dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum)
23
Andi Hamzah, Asas - Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h., 27 24
Rahman Syamsuddin dan Ismail Aris, Merajut Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Mitra
Wacana Media, 2014), h., 193 25
Andi Hamzah, Asas - Asas Hukum Pidana,... h., 27 26
Hilaman Hadikusma, Bahasa Hukum Indonesia, (Bandung: Alumni, 1992), h., 21 27
EY Kanter dan SR Siantur, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia , (Jakarta: Storia
Grafika, 2003), h., 102
16
yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, di
mana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi
terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.28
Simons memberi definisi “straafbaar feit” adalah sebagai suatu tindakan
melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan
sengaja oleh seorang yang dapat dipertanggung jawabkan atas tindakannya dan
oleh undang-undang telah dinyatakan suatu tindakan yang dapat di hukum.
Hukum pidana Indonesia mengenal istilah tindak pidana. Istilah ini dipakai
sebagai pengganti perkataan “straafbaar feit”, yang berasal dari Bahasa Belanda.
Tindak Pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana.
Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis. Lain halnya dengan istilah
perbuatan jahat atau kejahatan yang dapat diartikan secara yuridis (hukum) atau
secara kriminologis. Mengenai isi dari pengertian tindak pidana ada kesatuan
pendapat diantara para sarjana.
Menurut ajaran kausalitas (hubungan sebab akibat) disebutkan pada
dasarnya setiap orang harus bertanggung jawab atas segala perbuatan yang
dilakukannya, namun harus ada hubungan kausa antara perbuatan dengan akibat
yang dilarang dan diancam dengan pidana. Hal ini tidak selalu mudah, peristiwa
merupakan rangkaian peristiwa serta tiada akibat yang timbul tanpa sesuatu sebab.
Berangkat dari pendapat-pendapat tersebut maka dapat penulis simpulkan
bahwa straafbaar feit atau tindak pidana adalah suatu tindakan yang dilarang oleh
undang-undang yang apabila dilanggar maka akan mendapatkan sanksi pidana. Di
dalam peraturan perundang-undangan terdapat banyak istilah yang digunakan
dimana istilah tersebut memiliki kesamaan arti dengan tindak pidana, antara lain
peristiwa pidana, perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, delik, pelanggaran
pidana, dan lain- lain.
Definisi yang sudah disebutkan di atas memiliki unsur-unsur yang tidak
dapat dipisahkan sebagai konsep utuh dari perbuatan pidana, adapun unsur-unsur
28
EY Kanter dan SR Siantur, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia ,... h., 103
17
nya sebagai berikut: Muladi dan Barda Nawawi:29 berpendapat bahwa unsur
pengertian pidana, meliputi:
a. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan
atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang
mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);
c. Pidana itu dikenakan pada seseorang yang telah melakukan tindak
pidana menurut undang-undang.
Menurut Moeljatno, unsur atau elemen perbuatan pidana adalah sebagai
berikut:30
a. Kelakuan dan akibat (perbuatan);
b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan;
c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana;
d. Unsur melawan hukum yang obyektif;
e. Unsur melawan hukum yang subyektif.
Perlu ditekankan lagi bahwa sekalipun dalam rumusan delik tidak terdapat
unsur melawan hukum, namun jangan dikira bahwa perbuatan tersebut lalu tidak
bersifat melawan hukum. Perbuatan tadi sudah sedemikian wajar sifat melawan
hukumnya, sehingga tak perlu untuk dinyatakan sendiri. Bahwa meskipun
perbuatan pidana pada umumnya adalah keadaan lahir dan terdiri atas elemen-
elemen lahir, namun ada kalanya dalam perumusan juga diperlukan elemen batin
yaitu sifat melawan hukum yang subjektif.31
Sedangkan menurut Jonkers yang dikutip dalam buku Chazawi, unsur-
unsur tindak pidana adalah:
a. Perbuatan (yang);
b. Melawan hukum (yang berhubungan dengan);
29
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta : Aksara Baru, 1983), h., 4 30
Moeljatno, Azaz-azaz Hukum Pidana, (Jakarta:Bina Aksara, 1985), h., 63 31
Moeljatno, Azaz-azaz Hukum Pidana, ...h., 63
18
c. Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat);
d. Dipertanggungjawabkan.32
Menurut Simons yang dikutip dalam buku Chazawi juga menjelaskan unsur-unsur
tindak pidana (Strafbaar feit), yaitu: 33
a. perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat
atau membiarkan).
b. Diancam dengan pidana (statbaar gesteld)
c. melawan hukum (onrechtmatig)
d. dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband stand) oleh yang
orang yang mampu bertanggungjawab (toerekeningsvatoaar person).
Simons juga menyebutkan adanya unsur objektif dan unsur-unsur subjektif
dari tindak pidana (strafbaar feit). Menurut Lamintang pokok-pokok perbuatan
pidana sejumlah tiga sifat yaitu:
a. Wederrechtjek (melanggar hukum).
b. Aan schuld te wijten (telah dilakukan dengan sengaja atau pun tidak
dengan sengaja), dan
c. Strafbaar (dapat dihukum).
Jika berbicara mengenai hukum pidana Islam atau yang dinamakan dengan
Fiqh Jinayah, maka akan dihadapkan kepada hal-hal mempelajari ilmu tentang
hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang (jarimah)
dan hukumannya (uqubah), yang diambil dari dalil-dalil terperinci. Jadi, secara
garis besar dapat diketahui bahwa objek pembahasan atau cakupan dari hukum
pidana Islam adalah jarimah atau tindak pidana serta uqubah atau hukumannya.34
Namun jika melihat cakupan yang lebih luas lagi, maka cakupan hukum
pidana Islam pada dasarnya hampir sama dengan yang diatur di dalam Hukum
32
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1 . (Jakarta:Raja Grafindo, 2002), h.,
81 33
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1 ...., h., 81 34
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h., ix
19
Pidana positif, karena selain mencakup masalah tindak pidana dan hukumannya
juga disertai dengan pengaturan masalah percobaan, penyertaan, maupun
gabungan tindak pidana. Berikut ini dijelaskan hal-hal yang berupa tindak pidana
(jarimah) dan hukuman (uqubah) dalam Hukum Pidana Islam.
Dalam hukum Islam perbuatan pidana disebut dengan jarimah. Jarimah
atau tindak pidana secara bahasa mengandung pengertian dosa, durhaka. Larangan
larangan syara’ (hukum Islam) yang diancam hukuman had (khusus) atau takzir
pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum syariat yang mengakibatkan
pelanggarnya mendapat ancaman hukuman. Larangan-larangan syara’ tersebut
bisa berbentuk melakukan perbuatan yang dilarang ataupun tidak melakukan
suatu perbuatan yang diperintahkan.
Secara etimologis, jinayah adalah nama bagi sesuatu yang dilakukan oleh
seseorang menyangkut suatu kejahatan atau apapun yang diperbuat. Jinayah
adalah suatu penamaan melalui bentuk masdar (infinitif) dari kata jana yang
berarti kejelekan yang menimpanya. Makna ini masih umum, tetapi kemudian
dikhususkan bagi perbuatan-perbuatan yang diharamkan. Makna ini berasal dari
jana as-samara yang artinya memetik buah dari pohonya.
Adapun secara terminologis, jinayah adalah suatu nama bagi perbuatan
yang diharamkan oleh hukum Islam, baik yang berkenaan dengan jiwa, harta,
maupun lainnya. Meskipun demikian fukaha mengkhususkan atau mempersempit
pengertian jinayah ini sebagai perbuatan (yang diharamkan oleh hukum Islam)
yang berkenaan dengan jiwa (nyawa) dan anggota tubuh manusia (membunuh,
mulukai dan memukul).35
Dalam bahasa Indonesia, kata jarimah berarti perbuatan pidana atau tindak
pidana. Kata lain yang sering digunakan sebagai padanan istilah jarimah ialah
Hukum Islam, kata jinayah Hanya, dikalangan fukaha (ahli fikh, red) istilah
jarimah pada umumnya digunakan untuk semua pelanggaran terhadap perbuatan-
perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik mengenai jiwa ataupun lainnya.
35
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri Al-Jina’i Al-Islamy Muqaranan Bil Qanunil Wad’iy,
(Jakarta : BATARA Offset, 2007), h., 89
20
Sedangkan jinayah pada umumnya digunakan untuk menyebutkan perbuatan
pelanggaran yang mengenai jiwa atau anggota badan seperti membunuh dan
melukai anggota badan tertentu.36
Jarimah, memiliki unsur umum dan unsur khusus. Unsur umum jarimah
adalah unsur-unsur yang terdapat pada setiap jenis jarimah, sedangkan unsur
khusus adalah unsur-unsur yang hanya terdapat pada jenis jarimah tertentu yang
tidak terdapat pada jenis jarimah yang lain. Unsur umum daripada jarimah terbagi
ke dalam tiga unsur yaitu: pertama; unsur formal, kedua; materil dan, ketiga;
moril.
Unsur formal (al-Rukn al-Syar’iy) yaitu adanya nash atau ketentuan yang
menunjukan sebagai jarimah. Jarimah tidak akan terjadi sebelum dinyatakan
dalam nash. Alasan harus ada unsur ini, antara lain firman Allah SWT dalam Q.S.
Al-Isra ayat 15 yang mengajarkan bahwa Allah tidak akan menyiksa hamba-Nya
sebelum mengutus utusan-Nya ajaran ini berisi ketentuan bahwa hukuman akan
ditimpakan kepada mereka yang membangkan ajaran Rasulullah. Khususnya
untuk jarimah ta’zir, harus ada peraturan dan undang-undang yang telah dibuat
oleh penguasa.
Unsur materil (al-Rukn al-Mādi) yaitu adanya perbuatan melawan hukum
yang benar-benar telah dilakukan. Hadis Nabi riwayat Bukhari dan Musli dari
Abu Hurairah bahwa Allah melewatkan hukuman untuk umat Nabi Muhammad
SAW. Atas sesuatu yang masih terkandung dalam hati, selagi ia tidak mengatakan
dengan lisan atau mengerjakannya dengan nyata.
Unsur moril (al-Rukn al Adabiy) yaitu adanya niat pelaku untuk berbuat
jarimah. Unsur ini menyangkut tanggung jawab pidana yang hanya dikenakan atas
orang yang telah balig, sehat akal, dan ikhtiar (berkebebasan berbuat), walaupun
secara umum jarimah terbagi kedalam tiga unsur di atas, akan tetapi secara khusus
36
H.A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam) , (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2000) , h., 12, Ed.2., Cet., 3
21
setiap jarimah memiliki unsur-unsur tersendiri, dan inilah yang dinamakan dengan
unsur khusus jarimah.37
Adapun pembagian jarimah pada dasarnya tergantung dari berbagai sisi.
Jarimah dapat ditinjau dari sisi berat -ringannya sanksi hukum, dari sisi niat
pelakunya, dari sisi cara mengerjakannya, dari sisi korban yang ditimbulkan oleh
suatu tindak pidana, dan sifatnya yang khusus. Ditinjau dari sisi berat ringannya
sanksi hukum serta ditegaskan atau tidaknya oleh Al Qur’an dan Hadist, jarimah
dapat dibagi atas jarimah hudud, jarimah qhishas/diyat, dan jarimah ta’zir.38
B. Konsep Pemidanaan
Pemidanaan dapat diartikan sebagai tahap penetapan hukuman dan
tahapan pemberian hukuman dalam hukum pidana. Pemidanaan juga dapat
diartikan sebagai penjatuhan hukuman. Pada tahapan-tahapan untuk memberikan
hukuman bagi pelaku tindak pidana tersebut ada beberapa larangan atau prosedur
yang harus dilakukan dalam upaya menjamin hak-hak bagi pelaku dan korban.
Mengenai teori pemidanaan, pada umumnya dapat dikelompokkan dalam tiga
golongan besar, yaitu teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien),
teori relatif atau teori tujuan (doel theorien), dan teori menggabungkan
(verenigings theorien).39
a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan
Teori ini mengehendaki pembenaran yang terhadap suatu tindak pidana
adalah berdasarkan kejahatan yang dilakukannya sendiri. Pelaku secara
absolut harus di hukum untuk memenuhi tuntutan keadilan. Teori absolut
ini juga dikatakan sebagai teori pembalasan. hal ini di jelaskan oleh Andi
Hamzah bahwa teori pembalasan dalam pidana tidak bertujuan untuk
praktis semata, seperti memperbaiki penjahat.40 Kejahatan itu sendirilah
yang memiliki unsur-unsur untuk dapat dijatuhkan pidana, sehingga tujuan
37
H.A. Djazu li, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam),... h.,12 38
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariat dalam Wacana
dan Agenda, (Jakarta: Gema Insani Press , 2003), h., 22, Cet.,1 39
E. Utrecht, Hukum Pidana I, (Jakarta:Universitas Jakarta, 1958), h., 157 40
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), h., 27
22
dari teori ini adalah condong terhadap balas dendam kepada pelaku tindak
pidana. Teori pembalasan dapat dibagi menjadi dua pembalasan yaitu
subjektif dan objektif. Pembalasan secara subjektif adalah pembalasan
terhadap kesalahan pelaku dan pembalasan objektif adalah terhadap apa
yang telah dibuat oleh pelaku tindak pidana terhadap lingkungannya.
b. Teori Relatif atau Teori Tujuan
Teori ini hadir sebagai anti-tesis terhadap teori pembalasan yang disebut
juga sebagai teori utilitarian. Teori ini tidak hanya mengedepankan
penghukuman sebagai upaya penjatuhan nestapa kepada pelaku, namun
juga bertujuan untuk menciptakan ketertiban di masyarakat. Hal tersebut
selaras dengan pendapat Muladi dan Barda Nawawi Arief yaitu:41
“Pidana bukan sekedar untuk melakukan pembalasan atau
pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana,
tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu
teori ini pun sering juga disebut teori tujuan (utilitarian theory). Jadi
dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada
tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan ‘quia peccatum est’ (karena orang
membuat kejahatan) melainkan ‘nepeccetur’ (supaya orang jangan
melakukan kejahatan)”
Hal tersebut jelas bahwa teori relatif ini dalam upaya penjatuhan hukuman,
bukan semata-mata untuk membalas dendam kepada pelaku, namun untuk
menciptakan keteraturan dan ketertiban di masyarakat. Lebih jauh lagi
menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief bahwa teori ini terbagi menjadi
tiga komponen utama yaitu: Preventive, Detterence dan Reformatif.
Komponen-komponen tersebut menjadi poros yang membangun tujuan
teori relatif untuk melihat aspek pemidanaan bukan hanya pembalasan
semata.
41
Muladi dan Barda Nawawi, Teori dan Kebijakan Pidana. (Bandung: Alumni, 1992) h.,
16
23
c. Teori Menggabungkan atau Teori Gabungan
Teori ini merupakan gabungan dari teori absolut dan teori relatif yang
melihat pemidanaan merupakan upaya balas dendam kepada pelaku dan
sekaligus menciptakan ketertiban di masyarakat. Teori ini disebut juga
sebagai teori integratif yang terbagi menjadi tiga golongan, yaitu:42
1) Golongan yang menitik beratkan kepada pembalasan namun
sesuai pada batasan untuk menciptakan ketertiban
masyarakat
2) Golongan yang menitikberatkan kepada ketertiban
masyarakat yang tidak boleh penjatuhan hukumannya lebih
berat dari kejahatan yang dilakukan oleh pelaku.
3) Golongan yang menyeimbangkan kedua hal yang telah
disebutkan sebelumnya.
Pemidanaan dalam konsep jinayah disebut sebagai ‘uqubah, yaitu
bentuk pembalasan bagi pelaku jarimah (tindak pidana) yang melanggar
ketentuan syara’ untuk kemaslahatan. hal ini juga diperkuat oleh pendapat
Al-Qadir Audah bahwa pemidanaan adalah suatu penderitaan yang
dibebankan kepada pelaku atau seseorang akibat melanggar ketentuan aturan.
Secara teoritis ada beberapa aspek yang dikembangkan untuk mecapai
kemaslahatan manusia dalam pemidanaan pada perspektif jinayah, yaitu:
a. Aspek Pembalasan
Aspek ini merupakan teori yang memiliki dasar bahwa pelaku
jarimah harus diberikan hukuman sebagai bentuk pembalasan dan
bentuk penjeraan, adapun ayat-ayat Al-quran yang berkaitan dengan
teori pembalasan yaitu pada Q.s. Al-Maidah (5) : 33 :
لوا أو ورسوله ويسعون في الرض فسادا أن يقت ذين يحاربون الل إنما جزاء ال
لك لهم خزي بوا أو تقطع أيديهم وأرجلهم من خلف أو ينفوا من الرض ذ يصل
نيا ولهم في الخرة عذاب عظيم في الد
42
Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-pendapat Mengenai Efektifitas
Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984) h., 24
24
Artinya: “sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang
memerangi Allah dan RasulNya dan membuat kerusakan di muka
bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan
kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk
mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar”.
Ayat tersebut menggambarkan pemidanaan berdasarkan teori
pemidanaan pembalasan/absolut yang menginginkan pelaku jarimah
dihukum sebagai pembalasan apa yang telah dilakukannya.
b. Aspek Detterence/ penjeraan
aspek ini menggambarkan bahwa pemidanaan dalam islam harus
memberikan efek jerah kepada pelaku jarimah. Aspek ini melihat
pada aspek secara visioner artinya melihat kearah depan, bukan pada
aspek apa yang telah dilakukannya.
Aspek ini dapat dilihat menjadi dua bagian yaitu penjeraan secara
internal dan general. Secara internal yaitu memberikan efek jerah
kepada pelaku tindak pidana dan secara general adalah memberikan
pembelajaran bagi masyarakat agar tidak menentang syara’.
Kedua aspek yang telah dijelaskan tersebut secara substansial dapat
terlihat dalam bentuk ‘uqubah dalam jinayah, yaitu:43
1) Pemidanaan dilihat dari keterkaitan antara satu hukuman dengan
hukuman lainnya. ada empat macam, yaitu:
a) Pidana pokok, yaitu pemidanaan yang diterapkan sesuai
apa yang telah ditentukan oleh nash. Dalam
pemidanaan ini disebut sebagai jarimah hudud.
b) Pidana pengganti, pemidanaan yang diterapkan sebagai
pengganti karena pidana pokok tidak dapat diterapkan
dengan alasan yang sah/benar. Misalnya qishash diganti
dengan diyat.
43
Marsum, Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 1988) h., 126
25
c) Pidana tambahan, yaitu pemidanaan yang menyertai
pidana pokok pemidanaan tambahan berupa hilangnya
hak persaksian dirinya, dan hilangnya hak pewarisan
bagi pelaku pembunuhan.
d) Pidana pelengkap, yaitu tambahan pidana pokok
dengan melalui keputusan hakim.
2) Pemidanaan dilihat dari hakim dalam memutuskan kasus. Dalam
hal ini ada dua macam :
a) Pemidanaan yang bersifat terbatas, yakni ketentuan
pidana yang ditetapkan secara pasti oleh nash, atau
dengan kata lain, tidak ada batas tertinggi dan terendah.
Misalnya hukuman dera 100 kali bagi pelaku zina dan
hukuman dera 80 kali bagi pelaku penuduh zina.
b) Pemidanaan yang memiliki alternatif untuk dipilih.
3) Pemidanaan dilihat dari obyeknya. Dalam hal ini ada tiga macam:
a) Pemidanaan fisik, seperti potong tangan, rajam dan
lainnya.
b) Pemidanaan yang berkenaan dengan psikologis,
ancaman dan teguran.
c) Pemidanaan benda, ganti rugi, diyat dan penyitaan
harta.
C. Persiapan Perbuatan Pidana
Persiapan dapat juga dikategorikan sebagai percobaan di dalam ilmu
pidana. R. Soesilo memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud percobaan
adalah menuju kesuatu hal akan tetapi belum tidak sampai pada hal dituju
tersebut, atau hendak melakukan sesuatu, sudah dimulai akan tetapi tidak
selesai.44 Dalam ilmu hukum pidana dikenal adanya teori-teori tentang dasar
dapat dipidananya percobaan tindak pidana. Teori-teori tentang dasar dapat
44 R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1986) h., 69
26
dipidananya percobaan dapat dibedakan atas teori percobaan yang obyektif dan
teori percobaan yang subyektif.
Pendukung teori percobaan obyektif antara lain D. Simons, sedangkan
pendukung teori percobaan yang subyektif antara lain G.A. van Hamel.
Mengenai kedua teori ini dikemukakan oleh J.E. Jonkers bahwa, “ajaran yang
subyektif menitikberatkan pada subyek, yaitu maksud perseorangan (individu),
ajaran obyektif mementingkan obyek yaitu perbuatan yang dilakukan oleh si
pembuat.”45
Menurut teori percobaan yang obyektif, dasar dapat dipidananya
percobaan tindak pidana adalah bahwa perbuatan itu telah membahayakan suatu
kepentingan hukum. Sekalipun perbuatan itu belum melanggar suatu
kepentingan hukum, tetapi kepentingan hukum itu telah dibahayakan. Jadi, teori
percobaan yang obyektif ini terutama melihat pada perbuatan. Perbuatan yang
bersangkutan, sekalipun belum melanggar suatu kepentingan hukum, tetapi telah
membahayakan kepentingan hukum.46
Mengenai teori percobaan yang subyektif, dikemukakan oleh Jan
Remmelink yang dikutip dalam buku Soesilo bahwa teori ini “titik berat
penekanannya pada niatan pelaku.” Menurut teori percobaan yang subyektif,
dasar dapat dipidananya percobaan tindak pidana adalah watak yang berbahaya
dari si pelaku. Jadi, teori ini melihat pada orangnya, yaitu si pelaku, di mana
yang diperhatikan adakah watak dari si pelaku, yang dengan mencoba
melakukan kejahatan telah menunjukkan wataknya yang berbahaya.47 Jadi,
syarat-syarat yang harus dipenuhi supaya percobaan pada kejahatan dapat
dihukum adalah:48
a. Niat sudah ada untuk berbuat kejahatan itu;
b. Orang sudah memulai berbuat kejahatan itu; dan
45
Tim Penerjemah BPHN, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar
Harapan, 1983), h., 158 46
Astri C. Montolalu, Tindak Pidana Percobaan dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP), dalam Jurnal Lex Crimen, Vol. V No. 2 (Februari 2016) 47
Astri C. Montolalu, Tindak Pidana Percobaan dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP), dalam Jurnal Lex Crimen, Vol. V No. 2 (Februari 2016)
48
R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, ...h., 69
27
c. Perbuatan kejahatan itu tidak jadi sampai selesai, oleh karena
terhalang oleh sebab-sebab yang timbul kemudian, tidak terletak
dalam kemauan penjahat itu sendiri.
Berdasarkan rumusan di atas, maka unsur-unsur dari percobaan dapat kita
gambarkan sebagai berikut:49
a. Maksud atau niat (Voornemen) dari orang yang hendak melakukan
kejahatan, yang diancam sanksi oleh suatu norma pidana.
b. Permulaan/persiapan pelaksanaan (begin van uitvoering) kejahatan
sudah nyata sebagaimana telah ditentukan dalam suautu norma
pidana.
c. Keadaan, yakni pelaksanaan itu tidak selesai hanya karena keadaan-
keadaan yang tidak tergantung pada kehendak orang yang melakukan
(pelaku)
Dalam hukum pidana Islam, para ulama termasuk para Imam mazhab
tidak secara khusus dan detail membahas delik percobaan. Hal ini bukan berarti
masalah tersebut tidak penting, melainkan karena percobaan masuk dalam
kerangka jarimah ta'zir. Kondisi ini bukan berarti sama sekali tidak ada
keterkaitan delik percobaan dengan delik-delik lainnya.
Tidak adanya perhatian secara khusus terhadap jarimah percobaan
disebabkan oleh beberapa dua faktor. Pertama : Percobaan melakukan jarimah
tidak dikenakan hukuman had atau qisas, melainkan dengan hukuman ta'zir. Di
mana ketentuan sanksinya diserahkan kepada penguasa negara (ulul-al amri) atau
hakim. Untuk menetapkan hukuman-hukuman jarimah tersebut, baik yang
dilarang dengan langsung oleh syara' atau yang dilarang oleh penguasa negara
tersebut, diserahkan pula kepada mereka, agar bisa disesuaikan dengan kebutuhan
49
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) h.,
95.
28
masyarakat. Sesudah itu, hakim diberi wewenang luas dalam menjatuhkan
hukuman, di mana ia bisa bergerak antara batas tertinggi dengan batas terendah.50
Kebanyakan jarimah ta'zir bisa mengalami perubahan antara dihukum dan
tidak dihukum, dari masa ke masa, dan dari tempat ke tempat lain, dan unsur-
unsurnya juga dapat berganti-ganti sesuai dengan pergantian pandangan
penguasa-penguasa negara. Oleh karena itu di kalangan fuqaha tidak ada perhatian
khusus terhadap percobaan melakukan jarimah, karena percobaan ini termasuk
jarimah ta'zir.51
Kedua, dengan adanya aturan-aturan yang mencakup dari syara' tentang
hukuman jarimah ta'zir, maka aturan-aturan khusus untuk percobaan tidak perlu
diadakan. Sebab, hukuman ta'zir dijatuhkan atas setiap perbuatan maksiat
(kesalahan) yang tidak dikenakan hukuman had atau kifarat. Dengan perkataan
lain, setiap perbuatan yang dianggap percobaan atau permulaan jahat dianggap
maksiat dan dapat dijatuhi hukuman ta'zir.52
Karena hukuman had dan kifarat hanya dikenakan atas jarimah-jarimah
tertentu yang benar-benar telah selesai, maka artinya setiap percobaan (memulai)
sesuatu perbuatan yang dilarang hanya dijatuhi hukuman ta'zir. Percobaan itu
sendiri dianggap maksiat, yakni jarimah yang selesai juga, meskipun merupakan
satu bagian saja di antara bagian-bagian lain yang membentuk jarimah yang tidak
selesai, selama satu bagian itu sendiri dilarang.
Jadi tidak aneh kalau sesuatu perbuatan semata-mata menjadi suatu
jarimah, dan apabila bergabung dengan perbuatan lain maka akan membentuk
jarimah yang lain lagi.53 Maka dapat dijelaskan, mengapa para fuqaha tidak
membuat pembahasan khusus tentang percobaan melakukan jarimah, sebab yang
diperlukan oleh mereka ialah pemisahan antara jarimah yang telah selesai dengan
50
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), h.,
118- 119 51
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam,... h., 118-119 52
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam,... h., 118-119 53
Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta: Logung, 2004), h.,
43
29
jarimah yang tidak selesai, dimana untuk jarimah macam pertama saja dikenakan
hukuman had atau qisas, sedang untuk jarimah macam kedua hanya dikenakan
hukuman ta'zir.54
Pendirian Syara' tentang percobaan melakukan jarimah lebih mencakup
daripada hukum-hukum positif, sebab menurut syara' setiap perbuatan yang tidak
selesai disebut maksiat yang dijatuhi hukuman, dan dalam hal ini tidak ada
pengecualiannya. Siapa yang mengangkat tongkat untuk dipukulkan kepada orang
lain, maka ia dianggap memperbuat maksiat dan dijatuhi hukuman ta'zir.
54
Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam,... h., 44
30
BAB III
TINJAUAN UMUM TERORISME
A. Tindak Pidana Terorisme dalam Hukum Positif
1. Definisi
Dari segi bahasa, istilah terorisme sesungguhnya berkaitan
erat dengan kata teror dan juga teroris. Secara sistematik leksikal teror
berarti kekacauan, tindak kesewenang-wenangan untuk menimbulkan
kekacauan dalam masyarakat, tindakan kejam dan mengancam.55
Menurut Muladi dalam Black Laws Dictionary istilah teroris
“terroris” (pelaku) dan terorisme (aksi) berasal dari kata latin
“terrere” yang kurang lebih berarti membuat gemetar atau
menggetarkan. Kata ‘teror’ juga bisa menimbulkan kengerian.56
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata terorisme sendiri
memiliki makna yakni, penggunaan kekerasan untuk menimbulkan
ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik);
praktik tindakan teror;.57
Teror yang berarti menakut-nakuti, mengancam, memberi
kejutan kekerasan atau membunuh dengan maksud menyebarkan rasa
takut adalah taktik-taktik yang sudah melekat dalam perjuangan
memperebutkan kekuasaan, jauh sebelumnya telah bermakna sama
pada kata “assassin” mengacu pada gerakan dalam perang salib abad
ke-11 Masehi yang mengantisipasi terorisme Internasional di era
globalisasi ini.58
55
Abdurrahman Pribadi & Abu Hayyan, Membongkar Jaringan Teroris, (Jakarta: Abdika
Press, 2009), h., 9 56
Muladi, Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:
Habibi Center, 2002), h., 173 57
Tim Bentang Pustaka, Kamus Saku Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Bentang Pustaka,
2010), h., 187 58
Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana
Terorisme (dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia), (Bandung: Pt Refika Aditama, 2007), h., 1
31
Kata “teror” termasuk kedalam kosa kata politis, baru pada
Revolusi Perancis, di akhir abad ke-19, awal abad ke-20 dan
menjelang Perang Dunia II, “terorisme” menjadi teknik perjuangan
revolusi. Misalnya, dalam rezim Stalin pada tahun 1930-an yang juga
disebut “pemerintahan teror”. Di era perang dingin, “teror” dikaitkan
dengan ancaman senjata nuklir. Istilah “terorisme” sendiri pada 1970-
an dikenakan pada beragam fenomena, dari bom yang meletus di
tempat-tempat publik sampai dengan kemiskinan dan kelaparan.
Beberapa pemerintah bahkan memberikan stigma musuh-musuhnya
sebagai “teroris” dan aksi-aksi mereka disebut “terorisme”.59
Kelompok Akademisi menyebutkan bahwa “terorisme adalah
sebuah metode yang disemangati oleh keinginan melakukan aksi
kekerasan secara berulang, yang dilakukan oleh individu, kelompok,
atau actor penguasa bawah tanah (Clandestine), karena alasan
idiosinkratis, criminal, atau politik.60 Oleh karena itu, berbeda dengan
asaniasi, yang mengeksekusi langsung sasaran pembunuhan, sasaran
langsung kekerasan teror bukan orang yang menjadi sasaran utama.
Korban kekerasan biasanya dipilih secara acak (yang disebut
targets of opportunity) atau dipilih (representative atau symbolic
targets) dari warga yang menjadi sasaran, yang kemudian dijadikan
sebagai sumber pesan. Ancaman dan proses komunikasi yang
berbasis kekerasan antara teroris dan korban digunakan untuk
memanipulasi sasaran utama yang sebenarnya. Sasaran terakhir inilah
yang menjadi sasaran teror, sasaran tuntutan, atau sasaran perhatian,
tergantung pada tingkat intimidasi, pemaksaan, dan propaganda yang
diinginkan.61
59
Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana
Terorisme (dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia), h., 1-2
60
Achmad Jainuri, Radikalisme dan Terorisme : Akar Ideologi dan Tuntutan Aksi.
(Malang, Jatim: Intrans Publishing, Kelompok Intrans Publishing. 2016). H., 124
61 Achmad Jainuri, Radikalisme dan Terorisme : Akar Ideologi dan Tuntutan Aksi .... h.,
124
32
Menurut Federal Buraeu of Ivestigation (FBI) atau biro
investigasi Amerika Serikat, terorisme adalah tindakan kekerasan
melawan hukum atau kejahatan melawan orang-orang atau perbuatan
dengan mengintimidasi atau memaksa satu pemerintah, warga sipil
dan unsur masyarakat lainnya, dengan tujuan mencapai target sosial
politik tertentu.62
Menurut Perpu No 1 Tahun 2002 jo (UU Nomor 15 Tahun
2003), tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang
memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang sesuai dengan ketentuan
dalam Peraturan Pengganti Undang-Undang, yang mana dimaksud
yakni setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan,
bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap
orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal
dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta
benda orang lain, atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang
strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik atau fasilitas
Internasional.63 Filosofi yang ada dalam Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bahwa terorisme adalah
merupakan musuh umat manusia, kejahatan terhadap peradaban,
merupakan Internasional dan Transnational Organized Crimes.64
Pada dasarnya, tindak pidana terorisme adalah extra ordinary
crime. Derajat “keluar-biasaan” ini pula yang menjadi salah satu
alasan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Anti Terorisme dan pemberlakuannya secara retroaktif untuk
kasus Bom Bali. Selama ini yang telah diakui sebagai extraordinary
crime adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia berat yang meliputi
crime againts humanity dan genocide (sesuai dengan Statuta Roma).
62
A.M. Fatwa, Menghadirkan Moderatisme Melawan Terorisme, (Jakarta: PT Mizan
Publika, 2006), h., 60 63
Pasal 7 Undang-Undang No.15 Tahun 2003 64
Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana
Terorisme (dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia), (Bandung: Pt Refika Aditama, 2007), h.,
88-89
33
Untuk menentukan kejahatan yang termasuk dalam kategori extra
ordinary crime harus ditentukan karakteristik extra ordinary crime.
Penentuan pelanggaran Hak Asasi Manusia berat sebagai extra
ordinary crime didasarkan pada kaidah Hukum Internasional yaitu
Statuta Roma.65
Tindak pidana terorisme sebagai kejahatan luar biasa
(extraordinary crime), oleh pelakunya sering dilakukan dalam bentuk
pengeboman. Sebanyak 124 dari 193 kasus peledakan bom pada
sejumlah kota di Indonesia dapat diungkap jajaran polri selama tahun
1999-2003. Perkara peledakan bom menonjol terjadi di wilayah Bali,
Makassar, Medan, dan Jakarta. Kasus yang terakhir adalah 9
september 2004, berupa ledakan bom beruntun di depan Gedung
Kedubes Australia, di Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta
Selatan. Salah satu aspek penting yang berkaitan dengan tindak
pidana terorisme hakikatnya merupakan penghancuran terhadap nilai-
nilai kemanusiaan, martabat bangsa, dan norma-norma agama.66
Pemahaman tentang definisi terorisme adalah hal mendasar
dan sangat penting yang perlu dikuasai terlebih dahulu sebelum
melakukan berbagai tindakan penanggulangan terhadap terorisme.
Magnis suseno mengatakan bahwa aparat penegak hukum di
Indonesia ternyata masih perlu memahami perbedaan pengertian
antara teroris, fundamentalis dan radikalis. Seorang teroris, bisa jadi
seorang fundamentalis dan seorang radikalis, sementara seorang
fundamentalis dan radikalis belum tentu seorang teroris. Ketidak
pahaman akan pengertian terorisme kadang bisa menjadi sebab
dilakukannya labeling oleh pemerintah terhadap orang atau kelompok
tertentu.67
65
Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana
Terorisme (dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia),... h., 3 66
Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana
Terorisme (dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia),... h., 3 67
Hery Firmansyah, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia,
Dalam jurnal Mimbar Hukum Volume 23, Nomor 2, Juni (2011)
34
Dengan demikian terorisme adalah kekerasan yang
terorganisir, menempatkan kekerasan sebagai kesadaran, metode
berfikir sekaligus alat pencapaian tujuan. Berbagai pengertian di atas,
menurut pendapat para ahli bahwasannya kegiatan terorisme tidak
akan pernah dibenarkan karena ciri utamanya yaitu:
a. Aksi yang digunakan menggunakan cara kekerasan dan
ancaman untuk menciptakan ketakutan publik.
b. Ditunjukan kepada negara, masyarakat atau individu atau
kelompok masyarakat tertentu.
c. Memerintah anggota-anggotanya dengan cara teror juga.
d. Melakukan kekerasan dengan maksud untuk mendapat
dukungan dengan cara yang sistematis dan terorganisir.68
Menurut Wilkinson Tipologi terorisme yang dikutip dari Juliet
Lodge ada beberapa macam, antara lain:
a. Terorisme epifenomenal (teror dari bawah) dengan ciri-ciri
tak terencana rapi, terjadi dalam konteks perjuangan yang
sengit;
b. Terorisme revolusioner (teror dari bawah) yang bertujuan
revolusi atau perubahan radikal atas sistem yang ada dengan
ciri-ciri selalu merupakan fenomena kelompok, struktur
kepemimpinan, program ideologi, konspirasi, elemen para
militer;
c. Terorisme subrevolusioner (teror dari bawah) yang
bermotifkan politis, menekan pemerintah untuk mengubah
kebijakan atau hukum, perang politis dengan kelompok
rival, menyingkirkan pejabat tertentu yang mempunyai ciri-
ciri dilakukan oleh kelompok kecil, bisa juga individu, sulit
68
Abdul Wahid, dkk, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, Ham, dan Hukum,
(Bandung: Pt. Refika Aditama, 2004), h., 31-32.
35
di prediksi, kadang sulit dibedakan apakah psikopatologis
atau criminal;
d. Terorisme represif (teror dari atas atau terorisme negara)
yang bermotifkan menindas individu atau kelompok
(oposisi) yang tidak dikehendaki oleh penindas (rezim
otoriter atau totaliter) dengan cara likuidasi dengan ciri-ciri
berkembang menjadi teror masa, ada aparat teror, polisi
rahasia, teknik penganiayaan, penyebaran rasa kecurigaan
dikalangan rakyat wahana untuk paranoid pemimpin.69
2. Bentuk-bentuk Terorisme
Secara garis besar, tujuan dari aksi teror dapat dibagi dalam 4
kategori besar, yaitu: irrational terrorism, criminal terrorism,
political terrorism, dan state terrorism.
Pertama, Irrational Terrorism teror yang motif atau tujuannya
bisa dikatakan tak masuk akal sehat, yang bisa dikategorikan dalam
kategori ini misalnya saja salvation (pengorbanan diri) dan madness
(kegilaan).
Kedua, Criminal Terrorism Teror yang dilatar belakangi
motif atau tujuan berdasarkan kepentingan kelompok, teror oleh
kelompok agama atau kepercayaan tertentu dapat dikategorikan ke
dalam jenis ini. Termasuk juga kegiatan kelompok bermotifkan balas
dendam (revenge).70
Ketiga, Political Terrorism Teror bermotifkan politik. Batasan
mengenai political terror sampai saat ini belum ada kesepakatan
Internasional yang dapat dibakukan. Figur Yasser Arrafat bagi
masyarakat Israel adalah tokoh teroris yang harus dieksekusi, tetapi
bagi bangsa Palestina dia adalah freedom fighter. Begitu pula
sebaliknya dengan founding fathers negara israel yang pada waktu itu
69
Muladi, “Belum Mencakup State Terrorism”, www.sijoripos.com. 70
Hery Firmansyah, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia,
Dalam jurnal Mimbar Hukum Volume 23, Nomor 2, Juni (2011)
36
dicap sebagai teroris, setelah Israel merdeka mereka dianggap sebagai
pahlawan bangsa dan dihormati.
Pada prakteknya, ada perbedaan yang cukup mencolok
mengenai tujuan yang ingin dicapai oleh political terror di mana
mereka berada. Bagi kelompok teroris yang berada di negara yang
sudah mapan alam demokrasinya dengan supremasi hukum yang
kuat, tujuan merka adalah mengubah kebijakan. Sementara kelompok
teroris yang berada di negara yang belum mapan institusi demokrasi
dan supremasi hukumnya, maka tujuan mereka pada umumnya adalah
merombak struktur politik. Persamaannya adalah teror sebagai alat
yang digunakan untuk “menekan” atau mengubah keseimbangan.
Keempat, State Terrorism istilah state terrorism ini semula
dipergunakan PBB ketika melihat kondisi sosial dan politik di Afrika
Selatan, Israel, dan negara-negara Eropa Timur. Kekerasan negara
terhadap warga negara penuh dengan intimidasi dan berbagai
penganiayaan serta ancaman lainnya banyak dilakukan oleh oknum
negara termasuk penegak hukum. Teror oleh atau penguasa negara,
misalnya saja penculikan aktivis. Teror oleh negara bisa juga terjadi
melalui kebijakan ekonomi yang dibuatnya. Terorisme yang
dilakukan oleh negara atau aparatnya dilakukan untuk dan atas nama
kekuasaan, stabilitas politik, dan kepentingan ekonomi elite. Untuk
dan atas nama tersebut, negara merasa sah untuk menggunakan
kekerasan dalam segala bentuknya guna merepresi dan memadamkan
kelompok-kelompok kritis dalam masyarakat sampai pada kelompok-
kelompok yang memperjuangkan aspirasinya dengan mengangkat
senjata.71
Menurut Abdul Wahid, Sunardi, dan Muhammad Imam Sidik
ada dua bentuk terorisme. Bentuk yang pertama adalah teror kriminal
yang menggunakan cara pemerasan dan intimidasi. Mereka
71
Hery Firmansyah, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia,
Dalam jurnal Mimbar Hukum Volume 23, Nomor 2, Juni (2011)
37
menggunakan kata-kata yang dapat menimbulkan ketakutan atau teror
psikis, teror kriminal biasanya hanya untuk kepentingan pribadi atau
memperkaya diri sendiri.
Bentuk kedua adalah teror politik. Teror politik tidak memilih-
milih korban. Teroris politik selalu siap melakukan pembunuhan
terhadap orang-orang sipil baik laki-laki maupun perempuan, dewasa
atau anak-anak tanpa mempertimbangkan penilaian politik dan
moral.72
3. Ketentuan Hukum Terorisme dalam Hukum Pidana Positif
Menurut ketentuan hukum Indonesia, aksi terorisme dikenal
dengan istilah tindak pidana terorisme. Indonesia memasukkan
terorisme sebagai tindak pidana sebagaimana tertuang dalam
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Republik
Indonesia Nomor 1 tahun 2002 yang kemudian diperkuat menjadi
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 jo Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2018. Judul Perpu atau Undang-Undang tersebut adalah
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pasal 1 ayat 1 Perpu No. 1
Tahun 2002 mengatakan bahwa tindak pidana terorisme adalah segala
perbuatan yang memenuhi unsur pidana sesuai dengan ketentuan
perpu. Perbuatan tersebut termasuk yang sudah dilakukan ataupun
yang akan dilakukan. Dua hal ini tercantum dalam pasal 6 dan pasal 7
(Perpu 2002).73
Berikut isi Pasal 6 dan Pasal 7 tersebut:
Pasal 6 UU No. 5 Tahun 2018:
“Setiap Orang yang dengan sengaja menggunakan Kekerasan
atau Ancaman Kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa
takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang
72
Abdul Wahid Sunardi dan Muhammad Imam Sid ik, Kejahatan Terorisme Perspektif
Agama, Hukum, HAM, (Bandung: PT Refika Aditama, 2004), h., 40 73
Silvi Dwi Rama, Upaya Pencegahan Terorisme di Provinsi Riau (Studi Kasus
Ditreskrimum Polda Riau), (Pekan Baru, 2016), h., 86
38
bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya
nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan
atau kehancuran terhadap Objek Vital yang Strategis, lingkungan
hidup, atau Fasilitas Publik atau Fasilitas internasional dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana
mati.”74
Pasal 7 UU No. 15 Tahun 2003:
“Setiap Orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan
atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror
atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan
korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau
hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk
menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital
yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau
fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama
seumur hidup.”75
Dari pasal 6 di atas dapat disarikan bahwa suatu aksi atau
tindakan dapat digolongkan sebagai tindak pidana terorisme bila
mengandung unsur berikut:
a. Dilakukan dengan sengaja
b. Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
c. Menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara luas
d. Menimbulkan korban massal, baik dengan cara merampas
kemerdekaan atau dengan menghilangkan nyawa atau harta
benda orang lain
e. Mengakibatkan kerusakan pada objek-objek vital
74
www.hukumonline.com/pusatdata 75
Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana
Terorisme (dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia), (Bandung: Pt Refika Aditama, 2007), h.,
90
39
Sementara pasal 7 menyebutkan bahwa suatu aksi atau
tindakan dapat digolongkan sebagai tindak pidana terorisme bila
mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. Dilakukan dengan sengaja
b. Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
c. Dimaksudkan untuk menimbulkan korban massal
d. Mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-
objek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas
publik, atau fasilitas internasional.
Perbedaan Pasal 6 dan Pasal 7 yaitu Pasal 6 merupakan delik
materil sehingga unsur yang harus dibuktikan adalah akibat dari
perbuatan berupa munculnya suasana teror atau rasa takutyang meluas
atau menimbulkan korban yang bersifat massal, sedangkan Pasal 7
merupakan delik formil sehingga yang harus dibuktikan adalah
adanya maksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut
yang meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal,
walaupun ancaman kekerasan atau kekerasannya belum dilakukan.76
Rumusan Pasal 6 dan Pasal 7, masing-masing bisa ditafsirkan
meliputi dua macam tindak pidana bila dilihat dari akibatnya, yaitu:
1) Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang
menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang
secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal,
dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan
harta benda orang lain
Rumusan tindak pidana ini menitik beratkan pada munculnya
akibat, yaitu suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara
meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dan
cara yang digunakan yaitu: merampas kemerdekaan atau
76
Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana
Terorisme (dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia) ,... h., 90
40
hilangnya nyawa dan harta benda orang lain (dalam Pasal 7
harus dibuktikan maksud untuk mecapai akibat tersebut). Yang
perlu diperjelas dari rumusan ini adalah apa yang dimaksud
dengan suasana teror? Kalau yang dimaksud adalah ketakutan
atau korban secara massal seharusnya “suasana teror” tidak
dimasukkan lagi karena bisa ditafsirkan sepihak oleh aparat
keamanan.
2) Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang
mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-
objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas
publik atau fasilitas internasional.
Rumusan ini dapat ditafsirkan menjadi tindakan sendiri karna
sama sama merupakan akibat yang ditimbulkan seperti
ketakutan dan korban massal sehingga kedudukannya sejajar
dalam struktur kalimat, dan tidak bisa disejajarkan dengan
unsur “dengan cara”. Hal ini sangat berbahaya karena
mengandung ketidak jelasan tentang perbuatan kekerasan apa
sebagai caranya, serta apa yang dimaksud dengan objek vital
strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, dan fasilitas
internasional.77
B. Tindak Pidana Terorisme dalam Fiqh Jinayah
1. Definisi
Fiqh Jinayah merupakan bagian dari syari’at Islam yang
berlaku semenjak diutusnya Rasulullah. Oleh karena itu pada zaman
Rasulullah dan Khulafa’ur Rasyidin, hukum pidana Islam berlaku
sebagai hukum publik, yaitu hukum yang diatur dan diterapkan oleh
pemerintah selaku penguasa yang sah atau ulil amri. Dikalangan para
Fuqoha, yang dimaksud dengan kata-kata Jinayah ialah perbuatan
77
Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana
Terorisme (dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia) ,... h., 91
41
yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan itu mengenai (merugikan)
jiwa atau harta benda ataupun yang lainnya.78
Terorisme di dalam Fiqh Jinayah termasuk ke dalam Jarimah
Hirabah. Hirabah mengandung unsur perampokan, penteroran,
penyamunan, pembegalan, serta istilah-istilah lainnya. Hirabah
merupakan tindak kekerasan yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang kepada pihak lain, baik dilakukan di dalam rumah
maupun di luar rumah, untuk menguasai harta orang lain dengan cara
menakut-nakuti dan kadang-kadang disertai dengan pembunuhan.
Dalam hal ini, pelaku menakut-nakuti korban dengan gertakan,
ancaman/keamanan, dan kekerasan. Dengan demikian untuk konteks
saat ini merakit bom dan meledakannya termasuk hirabah.79
Imam Al-Syafi’I yang dikutip dalam buku Ahmad Hanafi
tidak memberikan definisi perampokan saja, tetapi juga memberikan
penjelasan mengenai sanksi beserta spesifikasinya. Kalau pelaku
hanya merampas harta lebih dari nisab pencurian, hukumannya
potong tangan. Kalau pelaku membunuh dan merampas harta korban,
ia harus dibunuh dan disalib. Termasuk ke dalam unsur-unsur hirabah
yaitu:80
a. Menimbulkan rasa takut di jalanan, tetapi tidak merampas harta
dan tidak membunuh.
b. Mengambil harta tetapi tidak membunuh korbannya.
c. Membunuh korbannya tetapi tidak mengambil hartanya.
d. Merampas harta sekaligus membunuh korbannya.
78
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta:PT. Bulan Bintang, 1993),
cet ke-5, h., 1 79
M. Nurul Irfan, dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: AMZAH, 2014), cet ke-2, h.,
127
80
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana islam, (Jakarta: PT.Bulan Bintang, ,1993),
h., 1
42
2. Ketentuan Hukum Terorisme dalam Fiqh Jinayah
Dalil tentang perampokan secara tegas disebutkan di dalam
Q.s. Al-Ma’idah (5): 33-34:
بوا أو لوا أو يصل ورسوله ويسعون في الرض فسادا أن يقت ذين يحاربون الل إنما جزاء ال
لك لهم خزي في الدنيا ول هم في تقطع أيديهم وأرجلهم من خلف أو ينفوا من الرض ذ
غفور ذين تابوا من قبل أن تقدروا عليهم فاعلموا أن الل الخرة عذاب عظيم 33 إل ال
رحيم
Artinya: “Hukuman bagi orang-orang yang yang memerangi Allah
dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di bumi hanyalah dibunuh
atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau
diasingkan dari tempat kediamannya. Yang demikian itu kehinaan
bagi mereka didunia, dan di akhirat mereka mendapat azab yang
besar. Kecuali orang-orang yang bertobat sebelum kamu dapat
menguasai mereka; maka ketahuilah, bahwa Allah maha pengampun,
maha penyayang”
Ayat di atas dijelaskan dalam tafsir jalalain dalam hadis
riwayat muslim yang menceritakan tentang sekelompok orang dari
suku Urainah yang memasuki kota Madinah untuk bertemu dengan
Rasulullah SAW. Namun mereka sakit karena tidak cocok dengan
cuaca di kota Madinah. Pada waktu itu Rasulullah SAW bersabda
kepada mereka, “Jika kalian mau bertaubat, sebaiknya kalian menuju
ke suatu tempat yang di sana terdapat beberapa ekor unta yang berasal
dari sedekah.81 Di sana kalian bisa meminm air susu dan air seni unta-
unta tersebut.” Mereka kemudian melakukan apa yang diperintahkan
Nabi sehingga mereka semua sembuh dan sehat. Setelah itu, mereka
mendatangi para penggembala unta kemudian membantai semuanya.
81
Jalal ad-d in as-Suyuti dan Jalal ad-din al-Mahalli, Tafsir al-Jalalain,terj. Bahrun Abu
Bakar, Terjemahan Tafsir al-Jalalain Berikut Asbab an-Nuzul (Bandung: Sinar Baru Algesindo,
1997), h. 93
43
Mereka pun murtad dan merampok beberapa ekor unta.82 Hal ini
didengar oleh Rasulullah SAW. Beliau kemudian mengutus pasukan
untuk mengejar dan menghukum mereka. Setelah tertangkap, mereka
didatangkan kepada Rasulullah. Beliau memotong tangan dan kaki
mereka, mencungkil mata mereka, dan meninggalkan mereka di
bawah terik matahari sampai akhirnya meninggal.83 Lebih lanjut
Imam Al-Nawawi dalam tafsir Al- Jalalain berpendapat bahwa hadis
di atas merupakan ketentuan dasar tentang sanksi bagi perampok yang
sesuai dengan Surah Al-Ma’idah (5) ayat 33-34.84 Akan tetapi, ulama
berbeda pendapat dalam memahami kata penghubung aw, apakah
bermakna atau atau dan. Abu Syubhah dalam kitab Al- Hudud fi Islam
wa Muqaranatuha bi Qawanin Al-Wad’iyyah berpendapat bahwa sanksi
tersebut harus digabung dan tidak benar jika merupakan pilihan.85 Ia
melanjutkan bahwa pada dasarnya jumhur ulama sepakat bahwa kata
aw tidak bermakna “atau” yang boleh memilih, tetapi bermakna
“dan”, walaupun pada akhirnya dipilih sanksi yang sesuai dengan
jarimah yang dilakukan perampok.
a. Apabila pelaku hanya meneror di jalan dan merampas
harta tetapi tidak membunuh korbannya, maka sanksi
nya adalah dipotong tangan dan kaki nya dengan cara
silang (tangan kanan dengan kaki kiri atau tangan kiri
dengan kaki kanan).
b. Apabila pelaku mengambil harta dan membunuh
korbannya, maka sanksi nya adalah dihukum mati
kemudian disalib.
82
Jalal ad-d in as-Suyuti dan Jalal ad-din al-Mahalli, Tafsir al-Jalalain,terj. Bahrun Abu
Bakar, Terjemahan Tafsir al-Jalalain Berikut Asbab an-Nuzul,… h., 93 83
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: AMZAH, 2016), h., 90
84
Jalal ad-din as-Suyuti dan Jalal ad-din al-Mahalli, Tafsir al-Jalalain,terj. Bahrun Abu
Bakar, Terjemahan Tafsir al-Jalalain Berikut Asbab an-Nuzul,… h., 93 85
Muhammad Bin Muhammad Abu Syuhbah, Al- Hudud fi Islam wa Muqaranatuha bi
Qawanin Al-Wad’iyyah, (Kairo : Dar A l-Kutub, 1974), h., 291
44
c. Apabila pelaku membunuh korban, tetapi tidak
mengambil harta maka sanksinya berupa hukuman mati
sebagai had, bukan sebagai qishash. Karena bukan
sebagai qishash, tidak dapat dibatalkan lantaran
dimaafkan oleh pihak keluarga korban. Sebab yang
terjadi di sini adalah kewajiban memberlakukan had
sebagai balasan atas sikap perilaku yang menentang
Allah dan Rasul-Nya, melanggar perintah keduanya,
menakut-nakuti orang, dan mengacaukan keamanan
masyarakat.
d. Apabila pelaku tidak mengambil harta dan tidak
membunuh, maka sanksi nya adalah dipenjara atau
diasingkan.86 Dalam contoh disini seperti pelaku yang
tidak berbuat secara langsung dalam arti kata membantu
dalam hal memberikan atau meminjamkan uang atau
barang kepada pelaku tindak pidana terorisme,
menyembunyikan pelaku terorisme ataupun
menyembunyikan informasi dan apapun yang dilakukan
seseorang untuk membantu pelaku tindak pidana
terorisme tersebut.
Sanksi hukum yang terdiri atas empat macam menjadi sangat
relevan diberlakukan sesuai dengan tindakan yang dilakukan. Dalam
masalah ini, Al-Syaukani yang dikutip dalam buku Nurul Irfan
mengemukakan bahwa ulama berbeda pendapat apakah hukuman
salib dilaksanakan terlebih dahulu sebelum hukuman mati atau
sebaliknya dibunuh lalu disalib.87 Al-Syafi’i, Al-Nasir, dan Imam
Yahya berpendapat bahwa hukuman salib didahulukan sebelum
hukuman mati sehingga hukuman mati tersebut dilaksanakan dengan
menggunakan pedang atau salib. Akan tetapi, menurut Al-Hadi dan
86
Muhammad Bin Muhammad Abu Syuhbah, Al- Hudud fi Islam wa Muqaranatuha bi
Qawanin Al-Wad’iyyah, ... h., 291 87
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, , h., 91
45
Abu Hanifah, tidak boleh menyalib terdakwa sebelum dihukum mati
sebab hal itu berarti mutilasi. Sementara itu, Al-Hadi memahami kata
penghubung aw dengan arti “dan” sehingga ia berpendapat bahwa
hukuman mati didahulukan kemudian disalib. Sebagian ulama
kelompok Syafi’iyah mengatakan bahwa perampok itu harus disalib
sebanyak tiga kali, kemudian diturunkan, lalu dibunuh. Ada sebagian
ulama Syafi’iyah yang berpendapat bahwa pelaku disalib sampai mati
dalam keadaan lapar dan haus. Abu Yusuf dan Al-Karkhi berpendapat
bahwa pelaku disalib seblum dibunuh. Ia ditusuk pada bagian leher
dan bagian bawah dada kirinya, kemudian diguncang-guncangkan
sampai meninggal. Al-Razi mengutip dari Abu Bakar Al-Karkhi
bahwa percuma saja hukuman salib diberlakukan kalau pelaku telah
dihukum mati.88
Sementara itu, sanksi pengasingan sebagai sanksi yang paling
ringan juga dipersilisihkan oleh ulama apakah maksudnya diusir,
diasingkan, dipenjara, atau diperlakukan dengan cara-cara tertentu.
Menurut mazhab Maliki, berarti penjara. Sebagian ulama yang lain
berpendapat penjara di luar daerah, bukan penjara dekat Tempat
Kejadian Perkara (TKP). Pelaku dijauhkan dari penguasa untuk
dieksekusi. Jika mereka telah dikuasai, tidak perlu diasingkan. Ulama
kalangan Hanafiyah cenderung kepada pendapat yang pertama, yaitu
berarti penjara. Menurut ulama mazhab Syafi’i, pendapat terkuat
adalah hukuman penahanan. Penahanan bisa dilakukan di daerah
TKP, tetapi sebaiknya di luar TKP. Adapun pendapat yang lemah
adalah bermakna mengejar para pelaku jika mereka lari untuk dijatuhi
hukuman. Imam Ahmad berpendapat bahwa yunfau berarti mengusir
pelaku ke luar kota dan tidak boleh diberi izin untuk meminta
perlindungan sebelum secara jelas menyatakan tobat. Pendapat ini
sama dengan pendapat ulama mazhab Syafi’i. Sementara itu,
pendapat terkuat dari kalangan ulama Syiah bahwa yunfau berarti
88
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam,... h., 91
46
sanksi penahanan. Konon penahanan ini dilakukan setelah pelaku
yang dicungkil matanya, diasingkan, dan diusir.89
Disamping itu, ulama berbeda pendapat tentang masalah masa
pengasingan tidak terbatas. Pelaku harus terus diasingkan hingga
bersedia menyatakan tobat. Pendapat seperti ini juga merupakan
pendapat Imam Ahmad dalam suatu riwayat yang terkuat.90
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an dan
hadis menyatakan secara tegas tentang jarimah perampokan. Sanksi
yang di tetapkan terdiri atas empat macam, yaitu dihukum mati,
disalib. Dipotong tangan dan kaki secara bersilang, dan diasingkan.
Keempat jenis saksi berat ini dilaksanakan secara keseluruhan, bukan
dipilih melainkan diberlakukan sesuai dengan tindakan yang
dilakukan. Bagi perampok yang membunuh korban, sanksinya berupa
hukuman mati; bagi perampok yang membunuh dan merampas harta
korban, sanksinya berupa hukuman mati dan penyaliban; bagi
perampok yang merampas harta korban, sanksinya berupa potong
tangan dan kaki secara bersilang; dan bagi perampok yang meneror,
sanksinya berupa pengasingan yag bisa berupa penjara.91
C. Wilayah di Indonesia yang Menjadi Basis I’dad
Wilayah basis i’dad adalah wilayah yang sering menjadi tempat persiapan
aksi terorisme. Persiapan-persiapan yang dilakukan pada wilayah tersebut
diantaranya adalah latihan perang, berupa latihan gerilya, latihan penggunaan
senjata api, perakitan bom dll. biasanya wilayah basis i’dad jauh dari permukiman
kota yang besar dan ramai penduduk.
Salah satu wilayah yang menjadi basis i’dad adalah Aceh yang dipilih
menjadi tempat pelatihan militer untuk berjihad, lokasi tepatnya berada di
Gampong Jalin, terletak di kaki Bukit Barisan. Kawasan pegunungannya
89
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam,... h., 92 90
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam,... h., 92 91
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam,... h., 92
47
memisahkan Aceh Besar, Pidie, dan Aceh Jaya. Secara administratif, Jalin masuk
wilayah kecamatan Kota Jantho, Ibukota Aceh Besar.
Menurut kepala desa Gampong Jalin, lokasi pelatihan militer ini masuk
kedalam kawasan hutan lindung Cagar Alam Jantho. namun Salah satu peserta
pelatihan militer ada yang mengatakan lokasi tersebut bukan Krueng Linteung,
melainkan wilayah Blang Raya. Ia mengatakan jika Krueng Linteung biasa
diakses warga mencari ikan, namun Blang Raya sangat jauh, memakan waktu
sekitar 8 jam perjalanan dari pintu masuk Cagar Alam.
Peserta pelatihan militer ini pun mengatakan ada beberapa gampong yang
terhubung ke Cagar Alam Jantho. Selain jalin, ada Data Cut, Suka Tani, Bueng,
dan Awek. Jarak antara perkampungan pun sekitar 1 kilometer, dipisahkan oleh
kebun, sawah dan hutan. Jalan menuju Blang Raya harus melewati pintu gapura
Cagar Alam yang terletak di Desa Cut.92
Lokasi ini dipilih karena hutan yang masih lebat serta letak geografis
Provinsi Aceh yang berada di ujung Barat Indonesia. Adapun pelatihan yang
diajarkan yaitu menembak, bongkar pasang senjata, membaca kompas dan teknik
peertempuran.
Berbeda dengan berolahraga / latihan memanah dan berkuda, tidak hanya
di Aceh, namun hampir di setiap kota-kota seperti Jakarta, Tangerang, Bandung,
Depok, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan lain-lain memiliki lahan bagi
para komunitas serta individu-individu baik laki-laki maupun perempuan muslim
untuk berolahraga dan berlatih dengan apa yang disunnahkan juga dianjurkan oleh
Nabi Muhammad Saw.
Kamp pelatihan di daerah Aceh tersebut sudah dijadikan wilayah basis
i’dad oleh beberapa organisasi teroris di Indonesia, beberapa di antaranya adalah
GAM (Gerakan Aceh Merdeka), dan DI/TII Aceh , JAD (Jamaah Ansharut
Daulah)93 yang rata-rata kesemua kelompok teroris tersebut melakukan persiapan
di daerah Aceh untuk melancarakan serangan teroris secara masif di daerah-
92
https://www.google.co.id/amp/s/beritagar.id/artikel-amp/ laporan-khas/tapak-pelatihan-
terorisme-di-jalin. Diunggah Jum’at 25 Oktober 2019, Pukul 17.23 WIB 93
https://tirto.id/nama-peran-23-terduga-teroris-jad-sumut-aceh-terkait-bom-medan-elSE
Diunggah Sabtu 25 Januari 2020, Pukul 21.47 WIB
48
daerah Indonesia. Kelompok-kelompok tersebut melakukan persiapan berupa
latihan militer pada kamp-kamp teroris, karena kebanyakan di daerah-daerah
tersebut memberikan hanya berupa sumber daya manusia saja dan rata-rata untuk
bantuan persiapan secara finansial didanai melalui organisasi terorisme
internasional.
49
BAB IV
PERBEDAAN PERBUATAN I’DAD (PERSIAPAN) TERORISME PADA
PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN FIQH JINAYAH
A. Perbuatan Persiapan Pidana Terorisme dalam Hukum Positif
1. Jenis Persiapan Perbuatan Pidana Terorisme dalam Hukum
Positif
Persiapan perbuatan pidana terorisme dapat dimaknai
persiapan/percobaan perbuatan terorisme yang mempersiapkan segala
upaya agar terjadinya atau agar terlaksananya aksi terorisme baik
secara fisik, keuangan dan lain-lain yang bersifat menambah
kemungkinan berhasilnya suatu tindak pidana terorisme.94 Persiapan
perbuatan pidana atau persiapan dalam terorisme secara normatif tidak
ada pengertian secara jelas, namun dapat dilihat secara expressive
verbis pada pasal per pasal dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun
2018 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003
Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme.
Berdasarkan Undang-undang tersebut, secara umum dapat dibagi
menjadi dua bagian yaitu persiapan secara fisik dan persiapan secara
finansial. Persiapan-persiapan tersebut memiliki perbedaan secara
perbuatan pidananya, namun memiliki persamaan tujuan untuk
memudahkan aksi teror.95
a. Persiapan PerbuatanTerorisme secara Fisik
Secara fisik, persiapan ini dapat dikategorikan sebagai upaya untuk
mempersiapkan diri secara fisik atau kekuatan biologis dari diri pelaku
persiapan agar aksi terorisme dapat terlaksana. Hal ini juga dapat
dilihat pada persiapan dari segi sumber daya manusia yang dapat
94
Ibnu Qudamah An-Najdi, Jawaban Seputar Masalah-Masalah Fikih Jihad, trans. Abu
Jandl Al-Muhajir (Al-Qoidun Group, n.d.), h., 47 95
Hery Firmansyah, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme Di Indonesia,
dalam Jurnal Mimbar Hukum Volume 23, Nomor 2, Juni (2011), h., 378
50
berbentuk berbagai macam kegiatan96, salah satunya adalah pelatihan
militer yang disebutkan secara normatif pada pasal 12B Undang-
undang a quo yang termasuk kedalam aspek persiapan secara fisik
Pasal 12B (1) Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan,
memberikan, atau mengikuti pelatihan militer, pelatihan
paramiliter, atau pelatihan lain, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, dengan maksud merencanakan,
mempersiapkan, atau melakukan Tindak Pidana Terorisme, dan/atau ikut berperang di luar negeri untuk Tindak Pidana Terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun. (2) Setiap orang yang dengan sengaja merekrut, menampung,
atau mengirim orang untuk mengikuti pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun. (3) Setiap orang dengan sengaja membuat, mengumpulkan,
dan/atau menyebarluaskan tulisan atau dokumen, baik elektronik maupun nonelektronik untuk digunakan dalam pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.
Bentuk persiapan secara fisik ini bisa dilihat pada ayat 1 yaitu frasa
“menyelenggarakan, memberikan dan mengikuti pelatihan militer”.
Begitu juga pada ayat 2 yang frasanya “merekrut, menampung, dan
mengirim orang” serta pada ayat 3 yang frasanya “membuat,
mengumpulkan, dan/atau menyebarluaskan tulisan atau dokumen”.
Pasal ini memberikan gambaran bahwa pelaku persiapan yang
mempersiapkan diri secara kematangan fisik dengan melatih
kemampuan perang untuk aksi terorisme, merupakan suatu kegiatan
yang terlarang. Hal ini dikarenakan dalam upaya untuk mensukseskan
96
Muhammad Ali Zaidan, Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Pendekatan
Kebijakan Kriminal), Dalam Jurnal Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang,
Volume 3 Nomor 1 Tahun (2017), h., 157
51
aksi teror hal yang harus diperhatikan salah satunya adalah
kemampuan untuk berperang dan taktik untuk menentukan strategi
aksi teror.97
Menurut Sukawarsini dalam latihan militer secara fisik ada
beberapa latihan yang sering dilakukan oleh pelaku teroris, yaitu :
gerakan menuju musuh, cross country, halang-rintang, tembak-
menembak, baris-berbaris, mendaki gunung, ilmu topografi, ilmu
senjataan, ilmu intelijen, bela diri, cara gerilya, cara membuat bahan
peledak, dan cara merakit senjata api.98 Berdasarkan hal inilah sangat
dimungkinkan terjadinya ketika persiapan secara fisik sudah
terlaksana dengan baik akan sangat memudahkan para pelaku
terorisme untuk melaksanakan aksi teror.
Selanjutnya pada kategori persiapan terorisme yang bersifat
persiapan fisik secara sarana dan prasarana baik infrastuktur dan
suprastruktur yaitu terdapat pada pasal 16 dan pasal 12:
Pasal 16
Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kemudahan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana yang sama
sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.
Secara normatif bentuk-bentuk dari persiapan secara sarana dan
prasarana ini dapat dilihat pada pasal:
Pasal 12
Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk
melakukan:
97
Hamzah Junaid, Pergerakan Kelompok Terorisme Dalam Perspektif Barat Dan Islam,
Dalam jurnal Sulesana Volume 8, Nomor 2, (2013), h., 128
98
Sukawarsin i Djelantik, Terorisme: Tin jauan Psiko-Politis, Peran Media, Kemiskinan,
dan Keamanan Nasional, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), h., 92
52
a. tindakan secara melawan hukum menerima, memiliki,
menggunakan, menyerahkan, mengubah, membuang bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya yang mengakibatkan atau dapat
mengakibatkan kematian atau luka berat atau menimbulkan kerusakan harta benda;
b. mencuri atau merampas bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya;
c. penggelapan atau memperoleh secara tidak sah bahan nuklir,
senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya;
d. meminta bahan nuklir, senjata kimia, senjata bio logis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya secara paksa atau ancaman kekerasan atau dengan segala bentuk intimidasi;
e. mengancam: 1) menggunakan bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis,
radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya untuk menimbulkan kematian atau luka berat atau kerusakan harta benda; atau
2) melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf b dengan tujuan untuk memaksa orang lain, organisasi
internasional, atau negara lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
f. mencoba melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, atau huruf c; dan g. ikut serta dalam melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam huruf a sampai dengan huruf f.
Aspek pencegahan dilihat dari adanya pasal yang mengizinkan penegak hukum menindak status organisasi teroris, hal itu terlihat
dalam pasal 12A dan pasal 12B ayat (1), (2), dan (3).
Jika dianalisis pasal tersebut ada beberapa poin yang perlu digaris
bawahi dalam konteks persiapan kegiatan teror yaitu: kegiatan
“melawan hukum, penggelapan, mencuri atau merampas, meminta
bahan terlarang, mengancam, dan ikut serta dalam mencari dan
menyiapkan barang berbahaya berupa senjata teroris yang digunakan
untuk aksi teror”. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa kegiatan
ini digolongkan sebagai persiapan perbuatan pidana terorisme karena
53
persiapan ini mengarah kepada persiapan senjata99 agar bisa
digunakan untuk aksi teror. Persiapan selanjutnya dapat dilihat pada
pasal 12A, yaitu:
Pasal 12A
(1) Setiap orang yang dengan maksud melakukan Tindak Pidana
Terorisme di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di negara lain, merencanakan, menggerakkan, atau mengorganisasikan Tindak Pidana Terorisme dengan orang yang
berada di dalam negeri dan/atau di luar negeri atau negara asing dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 12 (dua belas) tahun.
(2) Setiap orang yang dengan sengaja menjadi anggota atau merekrut
orang untuk menjadi anggota korporasi yang ditetapkan dan/atau diputuskan pengadilan sebagai organisasi Terorisme dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun.
(3) Pendiri, pemimpin, pengurus, atau orang yang mengendalikan
korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama (12)
tahun
Pasal ini jika dianalisis secara seksama berporos pada tindakan
persiapan terorisme pada konteks sumber daya manusia. Artinya,
pasal ini memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan
persiapan dalam terorisme juga termasuk dalam mempersiapkan
manusia dengan cara merekrut dan membangun organisasi untuk
tujuan terorisme.100 Unsur persiapan pada pasal ini terlihat pada niatan
untuk membangun suatu kegiatan dan wadah secara struktural mulai
dari anggota hingga pengurus organisasi yang bertujuan untuk
membantu dan memudahkan aksi terorisme. Dengan adanya wadah
atau infrastruktur seperti pasal tersebut, maka akan mudah
99 Puttrawandi Karjaya, Mohammad Sood dan Purnami Safitri, Narcoterrorism dan
Perdagangan Senjata Ilegalsebagai Penghubung Jaringan Terorisme Internasional, Dalam Jurnal
Nation State: Journal of International Studies Volume 1, Nomor 1, Juni (2018), h., 91
100
Debora Sanur L, Upaya Penanggulangan Terorisme ISIS di Indonesia , Dalam Jurnal
Politica Volume 7, Nomor 1, Mei (2016), h., 29
54
menggerakan orang-orang untuk ikut kegiatan terorisme seperti yang
diatur pada pasal 14, yaitu:
Pasal 14
Setiap Orang yang dengan sengaja menggerakkan orang lain untuk
melakukan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 10A, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 13 huruf b dan huruf c, dan Pasal 13A dipidana
dengan pidana yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal
10A, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 13 huruf b dan huruf c, dan Pasal 13A.”
Pasal-pasal tersebut memberikan gambaran bahwa secara normatif
perbuatan persiapan terorisme merupakan satu kesatuan dengan niat
untuk mempersiapkan diri secara fisik yang dapat berbentuk persiapan
kematangan untuk melakukan perang, persiapan dengan cara merekrut
sumber daya manusia dan bahkan mempersiapkan tempat bersembunyi
bagi terorisme.101
b. Perbuatan Persiapan Pidana Terorisme secara Finansial
Persiapan perbuatan pidana terorisme secara finansial adalah
kegiatan untuk mempersiapkan aksi terorisme dengan menggunakan
kemampuan secara finansial berupa uang atau bantuan berupa
kekayaan. Secara normatif ketentuan tersebut dapat dilihat dalam
Undang-undang a quo pada pasal 11:
Pasal 11
“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun, setiap orang yang dengan sengaja
menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10.”
101
Hery Firmansyah, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme Di
Indonesia,…h., 379
55
Jika melihat bunyi pasal tersebut bentuk persiapan perbuatan
pidana persiapan terorisme dapat terlihat pada frasa “dengan sengaja
menyediakan atau mengumpulkan dana”. Pada frasa pasal tersebut
pelaku persiapan terorisme dapat digolongkan persiapan finansial
pada harta yang diberikan untuk persiapan tindak pidana terorisme.102
Hal ini juga selaras dengan pasal 13 huruf a secara sistematis yang
berbunyi:
Pasal 13
“Setiap orang yang dengan sengaja memberikan bantuan atau
kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, dengan:
a. memberikan atau meminjamkan uang atau barang atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku tindak pidana terorisme;
Pasal tersebut jika dianalisis secara sistematis bahwa ada
pembagian mengenai frasa bantuan yaitu bantuan yang bersifat
keuangan dan bantuan secara fisik. Bantuan tersebut dimaknai sebagai
yang dapat memudahkan atau memberikan kemudahan teroris untuk
melakukan aksinya. Aturan-aturan tersebut memberikan konsekuensi
logis terhadap alur keluar-masuknya uang untuk pembiayaan
kegiataan teroris lebih diperketat, dikarenakan tanpa adanya bantuan
secara finansial pelaku teroris tidak bisa menjalankan aksinya karena
kekurangan dana.103
2. Hukuman Perbuatan Persiapan Terorisme dalam Hukum Positif
Beberapa pasal tentang minimal dan maksimal hukuman dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan
102
Suhayati, Undang-Undang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme Dari Perspektif Hak Asasi Manusia , Dalam Jurnal Negara Hukum Volume
4, Nomor 2 November (2013), h., 237
103 Rusli Safrudin, Penanggulangan Terorisme di Indonesia Melalui Penanganan
Pendanaan Terorisme: Studi Kasus Al-Jamaah Al-Islamiyah (JI), dalam Jurnal Pertahanan
,Volume 3 Nomor 1 (April 2013), h., 116
56
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang berkaitan dengan
persiapan terorisme adalah sebagai berikut:
Pasal 11
“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan
atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10.”
Maksud dari pasal ini dapat kita lihat dari unsur yaitu “setiap
orang” “dengan sengaja” “menyediakan atau mengumpulkan dana”
“dengan tujuan akan digunakan atau mengetahui dana” tersebut akan
“digunakan sebagian atau seluruhnya” untuk melakukan tindak pidana
terorisme yang tercantum pada pasal 6, pasal 7, pasal 8, pasal 9, dan
pasal 10 dapat dipidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 12
Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan digunakan atau
patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan:
a. tindakan secara melawan hukum menerima, memiliki,
menggunakan, menyerahkan, mengubah, membuang bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme,
radioaktif atau komponennya yang mengakibatkan atau dapat mengakibatkan kematian atau luka berat atau menimbulkan kerusakan harta benda;
b. mencuri atau merampas bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya;
c. penggelapan atau memperoleh secara tidak sah bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya;
57
d. meminta bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi,
mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya secara paksa atau ancaman kekerasan atau dengan segala bentuk intimidasi;
e. mengancam:
1) menggunakan bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya
untuk menimbulkan kematian atau luka berat atau kerusakan harta benda; atau
2) melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
huruf b dengan tujuan untuk memaksa orang lain, organisasi internasional, atau negara lain untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu.
f. mencoba melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, atau huruf c; dan
g. ikut serta dalam melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf f.
Pasal ini memberikan sanksi pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun pada setiap orang yang
sengaja menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan dengan
tujuan untuk melakukan tindakan tindakan yang ada pada huruf a-g.
Pasal 12A (1) Setiap Orang yang dengan maksud melakukan Tindak Pidana
Terorisme di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di negara lain, merencanakan, menggerakkan, atau mengorganisasikan Tindak Pidana Terorisme dengan orang yang
berada di dalam negeri dan/atau di luar negeri atau negara asing dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 12 (dua belas) tahun. (2) Setiap Orang yang dengan sengaja menjadi anggota atau merekrut
orang untuk menjadi anggota Korporasi yang ditetapkan dan/atau
diputuskan pengadilan sebagai organisasi Terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling
lama 7 (tujuh) tahun. (3) Pendiri, pemimpin, pengurus, atau orang yang mengendalikan
Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.
Maksud dari pasal ini adalah bagi setiap orang yang
“merencanakan”, “menggerakkan”, atau “mengorganisasikan tindak
58
pidana terorisme” baik “di dalam atau di luar negeri” dipidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.
Lalu bagi setiap orang yang dengan sengaja menjadi anggota atau
merekrut anggota menjadi anggota korporasi yang diputuskan
pengadilan sebagai organisasi terorisme dapat dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7(tujuh) tahun,
dan bagi pendiri, pemimpin serta pengurus korporasi dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun.
Pasal 12B
(1) Setiap Orang yang dengan sengaja menyelenggarakan, memberikan, atau mengikuti pelatihan militer, pelatihan paramiliter, atau pelatihan lain, baik di dalam negeri maupun di
luar negeri, dengan maksud merencanakan, mempersiapkan, atau melakukan Tindak Pidana Terorisme, dan/atau ikut berperang di
luar negeri untuk Tindak Pidana Terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
(2) Setiap Orang yang dengan sengaja merekrut, menampung, atau mengirim orang untuk mengikuti pelatihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
(3) Setiap Orang yang dengan sengaja membuat, mengumpulkan,
dan/atau menyebarluaskan tulisan atau dokumen, baik elektronik maupun nonelektronik untuk digunakan dalam pelatihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.
(4) Setiap warga negara Indonesia yang dijatuhi pidana Terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3)
dapat dikenakan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk memiliki paspor dan pas lintas batas dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun.
(5) Pelaksanaan pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan setelah terpidana selesai menjalani pidana pokok.”
Hukuman yang dicantumkan pada ayat (1), (2), (3) di pasal 12B
dikenakan hukuman tambahan yaitu berupa pencabutan hak untuk
memiliki paspor dan pas lintas batas dalam jangka waktu paling lama
59
5 (lima) tahun. Pelaksanaan hukuman tambahan tersebut dilakukan
setelah terpidana selesai menjalani hukuman pokok.
Pasal 13
Setiap orang yang dengan sengaja memberikan bantuan atau
kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, dengan:
a. memberikan atau meminjamkan uang atau barang atau harta
kekayaan lainnya kepada pelaku tindak pidana terorisme; b. menyembunyikan pelaku tindak pidana terorisme; atau c. menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
Maksud dari pasal 13 ini adalah bagi setiap orang yang
memberikan bantuan serta kemudahan kepada pelaku tindak pidana
terorisme seperti yang di sebutkan dalam huruf a, b, dan c dikenakan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun.
Pasal 14
Setiap Orang yang dengan sengaja menggerakkan orang lain untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 10A, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 13 huruf b dan huruf c, dan Pasal 13A dipidana dengan pidana yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 10A, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 13 huruf b dan huruf c,
dan Pasal 13A.
Pasal 15
Setiap Orang yang melakukan permufakatan jahat, persiapan,
percobaan, atau pembantuan untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 10A, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 13
huruf b dan huruf c, dan Pasal 13A dipidana dengan pidana yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal
7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 10A, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 13 huruf b dan huruf c, dan Pasal 13A.
60
Pasal 16
Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kemudahan, sarana, atau keterangan untuk
terjadinya tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,
Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.
Pasal 16A
Setiap Orang yang melakukan Tindak Pidana Terorisme dengan melibatkan anak, ancaman pidananya ditambah 1/3 (satu per tiga).”
Berdasarkan semua pasal tersebut, hukuman penjara yang
diberikan kepada pelaku persiapan adalah berdasarkan beberapa
kategori hukuman, yaitu hukuman kurungan penjara yang rentang
waktunya paling minimal 3 tahun penjara dan pidana paling maksimal
adalah 15 tahun penjara, karena tindak pidana persiapan merupakan
tindakan pidana yang belum mencapai pidana asalnya.
B. Perbuatan I’dad (Persiapan) Pidana Terorisme dalam Fiqh Jinayah
1. Jenis I’dad (Persiapan) Pidana Terorisme dalam Fiqh Jinayah
Persiapan perbuatan pidana dalam fiqh jinayah dapat disamakan
dengan persiapan hirabah atau persiapan jihad, dalam artian jihad yang
disalahartikan atau target jihad adalah orang-orang yang tidak bersalah
atau tidak sesuai dengan syarat-syarat jihad sehingga terjadi kerusakan
secara masif. I’dad hirabah atau i’dad terorisme ini dapat dibagi
menjadi dua yaitu, i’dad mādi dan i’dad imāni104 yang memiliki
perbedaan secara fundamental dari segi tindakan, namun memiliki
persamaan tujuan untuk menakut-nakuti dan menimbulkan kerusakan di
bumi.
104
Abdul Munip, Buku Jihad Terjememahan dari Bahasa Arab dan Potensi Radikalisme
Beragama di Lembaga Pendidikan, dalam Jurnal Cendekia Volume 15, Nomor 2, Juli-Desember
(2017), h., 187
61
a. Perbuatan I’dad (Persiapan) Terorisme secara Fisik (Mādi)
Persiapan perbuatan pidana mādi ini mengacu pada dalil jihad yang
dilihat pada pandangan perang yang disalahartikan untuk merusak dan
menimbukan ketakutan di masyarakat, dikarenakan perpektif jihad ini
seringkali disalahartikan sebagai perang untuk melawan kezaliman
namun dengan cara yang salah dan korban yang berjatuhan adalah
mayarakat biasa yang bukan merupakan tujuan dari jihad.105
Persiapan secara mādi atau persiapan secara kematangan fisik
adalah persiapan yang melibatkan kemampuan berperang. Aspek
persiapan jihad secara mādi tersebut dapat diihat pada dalil-dalil
berikut:
بن وهب، أخبرني عمرو بن الحارث، عن حدثنا سعيد بن منصور، حدثنا عبد الل
، يقول : ، أبي علي ه سمع عقبة بن عامر الجهني ثمامة بن شفى الهمداني أن
صلى الل عليه وسلم وهو على المنبر يقول } " : سمعت رسول الل وأعدوا لهم
ة { ما استطعتم من قو ة الرمى، أل إن ة الرمى أل إن القوة الرمى، أل إن القو القو
" .106
“Telah menceritakan kepada kami Sai’id bin Mansur, Telah
menceritakan kepada kami Abdullah bin Wahab, telah menceritakan
kepada saya Amr bin Haris dari Abi Ali Tsumaamah bin Syafi Al-
Hamdani bahwa dia mendengar Uqbah bin Amir dia berkata: saya
mendengar Rosululloh s.a.w bersabda di atas mimbar: “Persiapkanlah
untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi”,
ketahuilah bahwa sesungguhnya kekuatan itu adalah memanah…3x.”
(H.R Abu Daud)
105 Kholid Hidayatullah, “Kajian Islam Tentang Terorisme”, AL HIKMAH, dalam Jurnal
Studi Keislaman, Volume 6 Nomor 1 (Maret, 2016), h., 87 106
Abu Daud bin Al-Asy’as bin Ishak bin Basyir bin Syidad bin Amar Al-Azdi As-
Sijistani, Kitab Al-Jihad Sunan Abu Daud, (Beirut: dar al fikr, t.th), Juz 3, 2514
62
Hadits yang disampaikan Muslim, memberikan persiapan perang
secara mādi melalui persiapan dengan menggunakan persenjataan
berupa memanah. Kegiatan memanah ini dapat dimaknai sebagai
latihan penggunaan alat panah dan atau mencari/mengumpulkan panah
untuk digunakan saat berperang. Istilah ramyu (memanah107)
sebagaimana tersebut di dalam hadits di atas adalah menembak dengan
pistol, senapan, meriam, tank dan juga roket. Semua jenis menembak
tersebut termasuk ke dalam makna kata ar-ramyu (melempar), selanjut
proses persiapan perang ini tidak hanya bersifat persenjataan saja tetapi
juga transportasi atau hewan yang bisa ditunggangi untuk kemudahan
dalam berperang, yaitu sesuai dengan Q.s. Al-Anfal (8): 60, yaitu :
ه عدو خيل ترهبون ب ة ومن رباط ال وا لهم ما استطعتم من قو وأعد
كم وآخرين من د وعدو يعلمهم وما تنفقوا من الل ونهم ل تعلمونهم الل
تم ل تظلمون يكم وأن يوف إل ل الل شيء في سبي
Artinya: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa
saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk
berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh
Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak
mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu
nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup
kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).”
Ayat di atas menurut Al-Mahalli, Imam Jalaluddin dan As-Suyuti
dalam tafsir Jalalayn adalah hal yang wajib dipersiapkan pelaku jihad
untuk memudahkan mobilitas dalam berperang,108 tidak terkecuali
dalam menggunakan kuda diperlukan persiapan untuk menunggangi
107 Abu Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwini Ibnu Majah, Ensiklopedia Hadis
8;Sunan Ibnu Majah,Terj. Saifuddin Zuhridkk , (Jakarta: A lmahira, 2013), h., 509
108
Al-Mahalli,Imam Jalaluddin dan as-Suyuti. Tafsir Jalalain (Terj. Bahrun Abubakar).
(Bandung: Sinar Baru A lgensindo, 2007)
63
kuda tersebut secara benar.109 Secara persiapan, mādi yang
mempersiapkan kekuatan perang secara finansial adalah upaya untuk
memberikan bantuan perang berupa harta, seperti yang disampaikan
pada Q.s. Al-Anfal (8): 60:
ة وا لهم ما استطعتم من قو وأعد
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang
kamu sanggupi.”
Dengan kata lain kekuatan apa saja dapat juga termasuk kedalam
mempersiapkan membantu perang secara finansial maupun membantu
perang dengan meminjamkan tempat tinggal dan/atau sejenisnya.
Persiapan jihad yang bersifat mādi berdasarkan ayat-ayat tersebut
yang perlu digaris bawahi adalah aspek kegiatannya seperti memanah
dan menyiapkan kuda, bukan dalam artian bahwa jihad merupakan hal
yang wajib.
b. Persiapan Perbuatan Pidana (I’dad) secara Non-Fisik (Imāni)
Persiapan ini adalah persiapan perang dengan memantapkan rasa
kebenaran batiniyah kepada pelaku perang, menegakkan hakikat ibadah
kepada Allah Rabb semesta alam, melatih jiwa mereka di atas
Kitabullah, mensucikan hati mereka di atas Sunnah Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam sehingga mereka dapat menolong agama Allah dan
syari’at-Nya. Menurut pandangan Ibn Qudamah, i’dad Imāni adalah
persiapan untuk melatih mental di dalam medan pertempuran.110
Adapaun dalil yang memberikan gambaran i’dad imāni yaitu terdapat
dalam Q.s. Al-Hajj: (22): 40:
من ينصره ولينصرن الل
109 Sayyid Quthb, Tafsir fi zhilalil qur'an jilid 5, (Jakarta: Gema Insani, 2000), h., 225.
110 Ibnu Qudamah An-Najdi, Jawaban Seputar Masalah-Masalah Fiqih Jihad, trans, Abu
Jandl Al-Muhajir (Al-Qoidun Group, n.d.), h., 47
64
“Allah pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya”
Allah Azza Wajalla juga berfirman dalam Q.s. At Taubah (9) : 46 :
طهم وقيل اقعدوا مع ولو أردوا الخروج لعدوا له عدة ولكن كره الل انبعثاهم فثب
القاعدين لو خرجوا فيكم مازادوكم إل خبال ولوضعوا خل لكم يبغونكم الفتنة
وفيكم سماعون لهم
''Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan
persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai
keberangkatan mereka, maka Allah s.w.t melemahkan keinginan
mereka, dan dikatakan kepada mereka,'Tinggallah kamu bersama
orang-orang yang tinggal itu'. Jika mereka berangkat bersama-sama
kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan
belaka, dan tentu mereka bergegas-gegas maju ke muka dicelah-celah
barisanmu, untuk mengadakan kekacauan diantaramu, sedang diantara
kamu ada yang amat suka mendengarkan perkataan mereka''.
Sebenarnya dalam aspek terorisme pemahaman mengenai imāni
adalah terletak pada doktrinasi ideologi yang dipelajarinya sehingga
mampu membuatnya melakukan aksi teror. Dengan demikian makna
imāni disini adalah mempercayai kebenaran yang salah meneguhkan
hati yang akhirnya menjadi mental yang cukup kuat untuk
melaksanakan serangan teror kepada masyarakat.111
Selanjutnya adalah firman Allah dalam Q.s. Al-Anfal (8): 60 sebagai
berikut: :
وأعدوا لهم ما استطعتم من قوة
111
Abdul Munip, Buku Jihad Terjememahan dari Bahasa Arab dan Potensi Radikalisme
Beragama di Lembaga Pendidikan,… , h., 177
65
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang
kamu sanggupi.”
Maka setiap orang dituntut untuk melakukan i’dad sejauh
kemampuannya. Hal ini juga dipertegas oleh Sayyid Quthb bahwa
pelaku i’dad dalam artian jihad ini adalah mempersiapkan sematang
mungkin dan memperkuat barisan serta kemampuan perang. Quthb juga
mempertegas bahwa kekuatan apa saja yang disanggupi untuk jihad
adalah dengan cara menginfakkan harta bendanya. 112
Jika seseorang mampu melakukan i’dad dengan senapan atau
senjata otomatis, namun hanya melakukannya dengan pistol, dia
berdosa. Sebesar selisih perbedaan diantara senapan otomatis dengan
pistol. Jika ia mampu melakukan i’dad dengan harta dan badannya,
namun hanya mengeluarkan harta saja tanpa melakukan i’dad dengan
badannya maka dia berdosa atas kekurangannya untuk i’dad dengan
badannya, demikian seterusnya.
Selanjutnya Sayyid Qutb berkata “Melakukan i’dad dengan segala
daya upaya merupakan kewajiban yang mengiringi kewajiban
berjihad.113 Nash Al-Qur’an telah memerintahkan untuk melakukan
I’dad dengan berbagai macam upaya dalam semua bentuk dan cara,
sebatas kemampuannya. Sehingga jangan sampai sekelompok muslim
berdiam diri, tidak melakukan i’dad dengan salah satu hal yang ada
dalam kemampuannya.
Dalam rangka mendorong umat Islam untuk ikut mendukung
pembiayaan jihad secara materi, Ibn Qudamah memberikan penjelasan
tersendiri tentang “keutamaan menolong mujahidin, menyiapkan bekal,
makanan, pelayanan mengantarkan kepergiannya dan mengucapkan
selamat jalan kepadanya”.114 Penjelasan Ibn Qudamah disertai dengan
beberapa dalil untuk meperkuat pendapatnya, antara lain: Imam Ahmad
112 Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur'an jilid 5, ...h., 226
113
Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur'an jilid 5,....h., 226 114
Ibnu Qudamah An-Najdi, Jawaban Seputar Masalah-Masalah Fiqih Jihad, trans, Abu
Jandl Al-Muhajir,… , h., 188
66
meriwayatkan, Ibnu Abi Syaibah, Al-Hakim dan lain- lain, dari jalur
Abdulloh bin Muhammad bin ‘Uqoil, dari Abdulloh bin Sahl bin Hanif,
bahwasanya Sahl bercerita kepadanya bahwa Rosululloh Shollallohu
‘Alaihi wasallam bersabda “Barangsiapa yang menolong seorang
mujahid di jalan Alloh, atau membantu keluarga orang yang berperang,
atau membantu seorang budak makatib untuk membebas dirinya, Alloh
akan menaungi naungannya pada hari tidak ada naungan selain
naungan-Nya”.115
Secara lebih rinci, Yusuf Bin Sholih Al-’Uyairy menjelaskan
tentang jihad dengan menggunakan harta. Menurutnya: Dan diantara
cabang jihad dengan harta juga, bagi orang yang tidak memiliki
penghasilan dan juga tidak memiliki harta untuk dia infakkan, adalah
mengumpulkan dana jihad dari orang-orang kaya, baik dari
kaumwanita, anak-anak, orang-orang khusus dan orang-orang awam.
bagi orang yang tidak dapatmengumpulkan dana, ia dapat memberikan
motifasi kepada orang lain untuk berjihad dengan hartanya, dan
menghimbau kaum muslimin agar tidak pelit jika mereka dimintai dana.
Dan di antara cabang jihad dengan harta juga adalah bagi orang yang
memiliki kemampuan untuk mengelola harta hendaknya mengumpukan
modal (saham) lalu membuat sebuah proyek usaha yang keuntungannya
diberikan kepada mujahidin secara berkala.116
Maka berdasarkan dasar-dasar hukum jihad, namun dengan makna
jihad yang salah tersebut, sama seperti keadaan berperang terorisme
yang mempersiapkan aksi terornya dengan beberapa aspek, baik fisik
maupun kemampuan secara finansial.
2. Hukuman Perbuatan I’dad (Persiapan) Terorisme
Perbuatan persiapan ini dimakudkan dengan perbuatan percobaan
untuk menuju kepada jarimah atau percobaan jarimah yang tidak 115 Ibnu Qudamah An-Najd i, Jawaban Seputar Masalah-Masalah Fikih Jihad, ... h., 47
116 Yusuf bin Sholih Al-‘Uyairy, Petunjuk Praktis Menjadi Mujahid, ed. Abu Qudama
Ahmad Al-Battar, trans. Syahida Man (Div isi Media & Dokumentasi Al-Qo’idun Group, n.d.).
67
sempurna gairu tammah.117 Secara hukuman, persiapan perbuatan
pidana (i’dad) terorisme menurut para ahli adalah ta’zir. Hal ini
dikarenakan beberapa dasar hukum, yaitu dari Abdul Qadir Awdah:
ما و حد ول بقصاص عليه قب يعا ل الجريمة في الشرع ان عليه قب يعا ان
لتعزير با 118
Artinya: Sesungguhnya percobaan berbuat jarimah tidak dihukum qisas
atau had melainkan ta'zir.
Pendapat tersebut juga diperkuat oleh hadits yang dikutip dalam buku
Nurul Irfan sebagai berikut:
الل رضي النصاري بردة أبي عن ه عنه م و عليه الل صلى الل رسول سمع أن سل
الل د حدو من حد في ل إ ط أسوا عشرة فوق أحد يجلد ل : " يقول 119
Abi Burdah Al-Anshari ra. Bahwa ia mendengar Rasulullah SAW
bersabda: tidak boleh dijilid di atas sepuluh cambuk kecuali didalam
hukuman yang telah ditentukan oleh Allah SWT ( Muttafaq alaih).
Maksud dari hadits di atas menjelaskan tentang batas hukuman
ta’zir yang tidak boleh lebih dari sepuluh kali cambukan, untuk
membedakan dengan jarimah hudud. Hal ini juga sama dengan
pendapat Abdul Qadir Awdah sebelumnya bahwa untuk percobaan
jarimah hanya dikenakan sanksi ta’zir. Menurut Al-Kahlani yang
dikutip dalam buku Makhrus Munajat yaitu para ulama sepakat bahwa
yang termasuk jarimah hudud adalah zina, pencurian, minum khamr,
hirabah, qadzaf dan murtad. Selain dari jarimah tersebut termasuk
117 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1967),
h., 14 118
Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam II Terjemahan dari atTasyri’
al-Jina’i al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil Wad’iy jilid 1 , (Bogor: PTKharis ma Ilmu, 2008), h.,
343 119
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, … , h., 90
68
kepada jarimah ta’zir, meskipun ada juga beberapa jarimah yang
diperselisihkan oleh ulama, seperti: liwath, lesbian, dan lain- lain120
Dalam melakukan persiapan atau percobaan ada beberapan tahapan
yang bisa dijadikan sebagai alasan mengapa persiapan hirabah atau
terorisme ini dapat dikategorikan dalam hukuman ta’zir, yaitu:121
a. Fase Pemikiran dan Perencanaan (marhalah at-tafkir wa at-
tashmim) Memikirkan dan merencanakan sesuatu jarimah tidak
dianggap maksiat yang dijatuhi hukuman, karena menurut aturan
dalam Syari'at Islam, seseorang tidak dapat dituntut (sepersalahkan)
karena lintasan hatinya atau niatan yang tersimpan dalam dirinya,
sesuai dengan kata-kata Rasulullah s.a.w. sebagai berikut:
حدثنا عمر و النا قد وزهير بن حرب قال حدثنا إ سمعيل بن إبراهيم ح و
حدثنا علي بن مسهر وعبدةبن سليمان ح و حدثنا حدثنا أبو بكربن أبي شيبة
ى وابن بشار قال حدثنا ابن أبي عدي كلهم عن سعيدبن أبي عروبة ابن المثن
م عن قتادةعن زرارةعن أبي هريرة قال، قال رس ول الل صلى الل عليه وسل
م تي عما حدثت به أنفسها ما لم تعمل أوتكل رواه )إن الل عز وجل تجاوز لم
(مسلم122
Artinya: "Telah mengabarkan kepada kami dari Amrun an-Naqid
dan Zuhair bin Harb dari Ismail bin Ibrahim dari Abu Bakr bin Abu
Syaibah dari Ali bin Mushar dan 'Abdah bin Sulaiman dari Ibnu al-
Musanna dan Ibnu Basyar dari Ibnu Abu 'Adiy dai Sa'id bin Abu
Urwah dari Qatadah dari Zurarah dari Abu Hurairah berkata:
telah bersabda Rasulullah Saw: Tuhan azza wajalla memaafkan
120
Drs. Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam d i Indonesia, (Yogyakarta: Teras, 2009).
h., 182-185.
121
Jaih Mubarok dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah, (Jakarta: Anggota
IKAPI, 2004), h., 180 122
Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahîh Muslim,
Juz. 1. (Mesir: Tijariah Kubra, tth), h., 81-82
69
umatku dari apa yang dibisikkan oleh dirinya, selama ia tidak
berbuat dan tidak mengeluarkan kata-kata. Seseorang hanya
dituntut karena kata-kata yang diucapkannya dan perbuatan yang
dilakukannya" (HR. Muslim).
b. Fase Persiapan (marhalah at-tahdzir)
Menyiapkan alat yang dipakai untuk melaksanakan jarimah, seperti
membeli senjata untuk membunuh orang lain atau membuat kunci
palsu untuk mencuri. Fase persiapan juga tidak dianggap maksiat
yang dapat dihukum, kecuali apabila perbuatan persiapan itu sendiri
dipandang sebagai maksiat, seperti hendak mencuri milik seseorang
dengan jalan membiusnya. Dalam contoh ini membeli alat bius atau
membius orang lain itu sendiri dianggap maksiat yang dihukum,
tanpa memerlukan kepada selesainya maksud yang hendak dituju,
yaitu mencuri.123 Alasan untuk tidak memasukkan fase persiapan
sebagai jarimah, ialah bahwa perbuatan seseorang yang bisa
dihukum harus berupa perbuatan maksiat, dan maksiat baru
terwujud apabila berisi pelanggaran terhadap hak Tuhan (hak
masyarakat) dan hak manusia, sedang pada penyiapan alat-alat
jarimah pada galibnya tidak berisi suatu kerugian, maka anggapan
ini masih bisa dita'wilkan, artinya bisa diragukan, sedang menurut
aturan syari'at seseorang tidak bisa diambil tindakan terhadapnya
kecuali apabila didasarkan kepada keyakinan.
Pada fase marhalah at-tahdzir inilah unsur persiapan perbuatan
terorisme digolongkan, karena unsur mempersiapkan adalah upaya
untuk persiapan awal sebelum tercapainya jarimah terorisme atau
hirabah. Lebih jauh lagi, hal ini juga diperkuat bahwa perbuatan
123 Jaih Mubarok dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah,... h., 180
70
persiapan hirabah atau terorisme termasuk kedalam ciri-ciri jarimah
ta’zir yaitu sebagai berikut:124
a. Landasan dan ketentuan hukumnya didasarkan pada ijma’
b. Mencakup semua bentuk kejahatan/kemaksiatan selain hudud
dan qishash.
c. Pada umumnya ta’zir terjadi pada kasus-kasus yang belum
ditetapkan ukuran sanksinya oleh syara’ meskipun jenis
sanksinya telah tersedia
d. Hukuman ditetapkan oleh penguasa qadhi ( hakim)
e. Didasari pada ketentuan umum syari‟at Islam dan kepentingan
masyarakat secara keseluruhan
Hal tersebut juga sejalan dengan pendapat Al-Mawardi dalam
kitabnya al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, yaitu:
والتعزير تأديب على ذنوب لم تشرع فيها الحدود ويختلف حكمه باختلف
افق الحدود من وجه وهو أنه تأديب استصلح وزجر حاله وحال فاعله فيو
يختلف بحسب اختلف الذنب125
"Ta'zir itu adalah hukuman atas tindakan pelanggaran dan
kriminalitas yang tidak diatur secara pasti dalam hukum had. Hukuman
ini berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan kasus dan pelakunya. Dari
satu segi, ta'zir ini sejalan dengan hukum had; yakni ia adalah tindakan
yang dilakukan untuk memperbaiki perilaku manusia, dan untuk
mencegah orang lain agar tidak melakukan tindakan yang sama seperti
itu.
Jika melihat pada ketentuan, bahwa hukuman ta’zir merupakan
hukuman yang diberikan untuk ketentuan yang belum ditetapkan.
Melihat beberapa ciri-ciri hukuman ta’zir, i’dad terorisme termasuk
124 Wahbah Az-zuhaili, Fiqh Islam Wa-Adilatuhu, (Jakarta: Gema Insani Darul Fikri,
2011), h., 531 125
Imam Al-Maward iy, al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, (Beirut
alMaktab al-Islami, 1996), h., 236
71
kedalam golongan ta’zir dikarenakan belum ada ketentuan yang
mengatur secara ketentuan syara’ kecuali untuk hirabah jika disamakan
secara definisi sebelumnya. Melihat dari kemiripan secara definitif
terorisme digolongkan kedalam hirabah yang hukumannya hudud,126
maka untuk persiapan yang belum mencapai jarimah hirabah adalah
tidak lebih dari ketentuan hukuman hirabah secara utuh.
Hal ini juga menurut Wahbah Az-zuhaili tentang jarimah hiraabah
bahwa bagi pelaku yang hanya sekedar menakut-nakuti tanpa sampai
membunuh dan mengambil hartanya, maka mereka dihukum diasingkan
atau penjara dan dihukum ta’zir127, artinya selama belum terlaksananya
jarimah pokok berupa hirabah, hukuman yang patut diberikan adalah
hukuman ta’zir yang lebih rendah dari hukuman hudud. Sementara itu
Imam Malik berpendapat bahwa untuk penjatuhan Had dikembalikan
kepada ijtihad para hakim untuk menentukan jenis ta’zir apa yang harus
dijatuhkan kepada pelaku. Hal ini juga sama disampaikan oleh Malik
Kamal bahwa yang orang yang membantu yang dalam hal ini adalah
juga mempersiapkan jarimah hirabah bahwa menurut jumhur ulama
yang terdiri dari mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali bahwa bantuan
sama saja dikenakan hukuman hudud dikarenakan jika tidak disamakan
dengan aksi pelaku langsung untuk mewajibkan adanya hukuman, maka
dia tetap saja memudahkan aksi perampokan. Sedangkan Imam Syafii
berpendapat bahwa bantuan itu tidak menyebabkan hukuman apapun
melainkan hanya hukuman penjeraan (ta’zir).128
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut kesemua elemen-elemen
ta’zir memenuhi kriteria hukuman yang harus diberikan dalam
penjatuhan hukuman i’dad terorisme. Terlebih pada jarimah hirabah
yang belum sempat terjadi dikarenakan beberapa alasan yaitu:
126
Wahbah Az-zuhaili, Fiqh Islam Wa-Adilatuhu,..., h., 534
127 Wahbah Az-zuhaili, Fiqh Islam Wa-Adilatuhu,...h., 419
128
Malik Kamal b in As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah jilid 4... h., 234
72
tertangkap dan bertaubat maka hukuman yang tetap diberikan adalah
hukuman ta’zir.
73
BAB V
Penutup
A. Kesimpulan
1. I’dad dalam terorisme di Indonesia secara expressive verbis diatur pasal
per pasal dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1
Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Persiapan perbuatan pidana (i’dad) terorisme dalam Undang-undang
tersebut dikelompokkan menjadi persiapan fisik dan persiapan
finansial. Sebagaimana persiapan fisik menyebutkan dalam pasal 12,
12B, dan pasal 16. Dan persiapan finansial menyebutkan dalam pasal
11, dan pasal 13. Hukuman yang diterapkan dalam Undang-undang
Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor
15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme yang tercantum dalam pasal 11, 12, 12B, 13, 14, 15,
16, dan 16A dengan hukuman paling minimal 3 tahun penjara kurungan
dan maksimal 15 tahun penjara kurungan tergantung tindakan yang
dilakukan pelaku dalam tindakan kegiatan persiapan perbuatan
terorisme.
2. Persiapan perbuatan pidana dalam fiqh jinayah dapat disamakan dengan
persiapan hirabah atau persiapan jihad. Dalam artian jihad yang
disalahartikan atau target jihad adalah orang-orang yang tidak bersalah
atau tidak sesuai dengan syarat-syarat jihad sehingga terjadi kerusakan
secara masif. I’dad dalam terorisme di Indonesia menurut pandangan
fiqh Jinayah terbagi atas; Persiapan secara mādi atau persiapan secara
kematangan fisik, yaitu persiapan yang melibatkan kemampuan
berperang untuk kerusakan. Persiapan secara imāni, yaitu persiapan
perang dengan memantapkan rasa kebenaran batiniyah kepada pelaku
74
perang, biasanya dalam perang hal ini adalah persiapan untuk melatih
mental di dalam medan pertempuran. Hukuman persiapan perbuatan
terorisme yang ditentukan dalam fiqh jinayah adalah hukuman yang
disamakan dengan percobaan hirabah. Hal ini dikarenakan terorisme
secara definisi dan kegiatannya sama dengan hirabah yaitu sama-sama
memberikan rasa takut kepada masyarakat, namun masih pada tahapan
persiapan yang digolongkan dalam percobaan karena belum mencapai
atau melakukan jarimah pokoknya. Dengan demikian, hukuman yang
diterapkan dalam fiqh jinayah dalam hal percobaan jarimah adalah
ta’zir.
B. Rekomendasi
1. Bagi Pemerintah dalam hal ini Badan legislasi sudah selayaknya
mencantumkan I’dad ke aturan tindak pidana terorisme. Kemudian
tindak pidana terorisme tidak hanya menjerat eksekutor sebagai pelaku
utama. Namun, pihak lain yang bertugas mempersiapkan pelaksanaan
tindak pidana terorisme juga harus di kenai tindak pidanan.
2. Pemerintah melalui Badan Nasional Penaggulanagn Terorisme (BNPT)
melalui otoritasnya mengawasi dan membatassi gerakan-gerakan dari
komunitas yang terindikasi berpotensi melancarkan terorisme, dari
berbagai macam kegiatan yang berkenaan dengan persiapan
pelaksanaan perbuatan tindak pidana terorisme baik fisik, pengetahuan
maupun doktrin lainya.
75
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku:
Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwini Ibnu Majah Abu, Ensiklopedia Hadis
8;Sunan Ibnu Majah,Terj. Saifuddin Zuhridkk, Jakarta: Almahira, 2013
Abul Husain Al-Imam Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahîh
Muslim, Juz. 1. Mesir: Tijariah Kubra
Achmad Jainuri, Radikalisme dan Terorisme : Akar Ideologi dan Tuntutan Aksi.
Malang, Jatim: Intrans Publishing, Kelompok Intrans Publishing, 2016
Ad-din Jalal as-Suyuti dan Jalal ad-din al-Mahalli, Tafsir al-Jalalain,terj. Bahrun
Abu Bakar, Terjemahan Tafsir al-Jalalain Berikut Asbab an-Nuzul.
Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1997
Al-Mawardiy Imam, al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, Beirut
alMaktab al-Islami, 1996
Atmasasmita Romli, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum Dalam Konteks
Penegakan Hukum Di Indonesia, Bandung: Alumni, 1982
Audah Abdul Qadir, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam II Terjemahan dari
atTasyri’ al-Jina’i al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil Wad’iy jilid 1,
Bogor: PT Kharisma Ilmu, 2008
Az-zuhaili Wahbah, Fiqh Islam Wa-Adilatuhu, Jakarta: Gema Insani Darul Fikri,
2011
Bentang Pustaka Tim, Kamus Saku Bahasa Indonesia, Jakarta: PT Bentang
Pustaka, 2010
Bin Muhammad Abu Syuhbah Muhammad, Al- Hudud fi Islam wa Muqaranatuha
bi Qawanin Al-Wad’iyyah, Kairo: Dar Al-Kutub, 1974
Chazawi Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1. Jakarta: Raja Grafindo,
2002
Djazuli H.A., Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam),
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Ed ke 2, Cet ke 3, 2000
76
Djelantik Sukawarsini, Terorisme: Tinjauan Psiko-Politis, Peran Media,
Kemiskinan, dan Keamanan Nasional, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2010
Dwi Rama Silvi, Upaya Pencegahan Terorisme di Provinsi Riau (Studi Kasus
Ditreskrimum Polda Riau), Pekan Baru, 2016
Fatwa A.M., Menghadirkan Moderatisme Melawan Terorisme, Jakarta: PT Mizan
Publika, 2006
Hadikusma Hilaman, Bahasa Hukum Indonesia, Bandung: Alumni, 1992
Hamzah Andi, Asas - Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2008
Hanafi Ahmad, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1967
-------------------, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, cet
ke 5, 1993
Hikam, Muhammad A.S., Deradikalisasi: Peran Masyarakat Sipil Indonesia
Membendung Radikalisme, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2016
Imron Ali, Ali Imron Sang Pengebom, Jakarta: Penerbit Republika, 2007
Irfan M. Nurul, dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, Jakarta: AMZAH, cet ke 2, 2014
-------------------, Hukum Pidana Islam, Jakarta: AMZAH, 2016
Kanter EY dan SR Siantur, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta: Storia
Grafika, 2003
Marpaung Leden, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika,
2005
Marsum, Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 1988
Moeljatno, Azaz-azaz Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1985
Mubarok Jaih dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah, Jakarta: Anggota
IKAPI, 2004
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung:
Alumni, 2005
---------, Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia,
Jakarta: Habibi Center, 2002
Penerjemah BPHN Tim, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Jakarta: Sinar
Harapan, 1983
77
Peter Marzuki Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Prenadamedia Group, 2015
Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-pendapat Mengenai Efektifitas
Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984
Pribadi Abdurrahman & Abu Hayyan, Membongkar Jaringan Teroris, Jakarta:
Abdika Press, 2009
Qadir Audah Abdul, At-Tasyri Al-Jina’i Al-Islamy Muqaranan Bil Qanunil
Wad’iy, Jakarta : BATARA Offset, 2007
Qudamah Ibnu An-Najdi. Jawaban Seputar Masalah-Masalah Fikih Jihad. trans.
Abu Jandl Al-Muhajir. Al-Qoidun Group. Quthb Sayyid, Tafsir fi zhilalil qur'an jilid 5, Jakarta: Gema Insani, 2000
Rosa Nasution Aulia, Terorisme Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
dalam Perspektif Hukum Internasional & Hak Asasi Manusia, Jakarta:
Kencana Prenada Grup, 2012
Saleh Roeslan, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban pidana, Jakarta:
Aksara Baru, 2003
------------------, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta : Aksara Baru, 1983
Santoso Topo, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariat dalam
Wacana dan Agenda, Jakarta: Gema Insani Press, Cet,1, 2003
Soesilo R., Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Bogor: Politeia, 1986
Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana
Terorisme (dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia), Bandung: Pt
Refika Aditama, 2007
Sholih Yusuf bin Al-‘Uyairy. Petunjuk Praktis Menjadi Mujahid, ed. Abu
Qudama Ahmad Al-Battar, trans. Syahida Man. Divisi Media &
Dokumentasi Al-Qo’idun Group, n.d.
Suryabrata Sumardi, Metodologi Penelitian, Jakarta: Rajawali Press, Cet Ke 14,
2003
Syamsuddin Rahman dan Ismail Aris, Merajut Hukum Di Indonesia, Jakarta:
Mitra Wacana Media, 2014
Utrecht E., Hukum Pidana I, Jakarta:Universitas Jakarta, 1958
78
Wahid Sunardi Abdul, dan Muhammad Imam Sidik, Kejahatan Terorisme
Perspektif Agama, Ham, dan Hukum, Bandung: Pt. Refika Aditama, 2004
Wardi Muslich Ahmad, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005
B. Artikel:
Al Amin Mohammad, Studi Komparatif Mengenai Tindak Pidana Terorisme
Perspektif Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif di Indonesia,
Skripsi Mahasiswa Jurusan Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan
Hukum Institut Agama Islam Negri Surakarta, Tahun 2018
Ali Muhammad, Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Pendekatan
Kebijakan Kriminal), Jurnal Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri
Semarang, Volume 3 Nomor 1 Tahun 2017
C. Montolalu Astri, Tindak Pidana Percobaan dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP), Jurnal Lex Crimen, Vol. V No. 2 Februari Tahun
2016
Darajat Zakiya, “Jihad Dinamis: Menelusuri Konsep dan Praktik Jihad Dalam
Sejarah Islam”, Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Volume
16 Nomor 1 Juni Tahun 2016
Firmansyah Hery, Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di
Indonesia, jurnal Mimbar Hukum, Volume 23 Nomor 2 Juni Tahun 2011
Hidayatullah Kholid, “Kajian Islam Tentang Terorisme”, AL HIKMAH, Jurnal
Studi Keislaman, Volume 6 Nomor 1 Maret Tahun 2016
Junaid Hamzah, Pergerakan Kelompok Terorisme dalam Perspektif Barat dan
Islam, Jurnal Sulesana, Volume 8 Nomor 2 Tahun 2013
Mubarak Zulfi, Fenomena Terorisme di Indonesia: Kajian Aspek Teologi,
Ideologi dan Gerakan, Jurnal Studi Masyarakat Islam, Vol. 15 No.2
Desember Tahun 2012
Munip Abdul, Buku Jihad Terjememahan dari Bahasa Arab dan Potensi
Radikalisme Beragama di Lembaga Pendidikan, Jurnal Cendekia Volume
15, Nomor 2, Juli-Desember 2017
79
Safrudin Rusli, Penanggulangan Terorisme di Indonesia Melalui Penanganan
Pendanaan Terorisme: Studi Kasus Al-Jamaah Al-Islamiyah (JI), Jurnal
Pertahanan ,Volume 3 Nomor 1 April Tahun 2013
C. Aturan Perundang-undangan:
Undang-Undang No.15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme, menjadi Undang-undang
D. Internet:
https://nasional.kompas.com/read/2010/08/09/15085229/Mengapa.Teroris.Menya
sar.Aceh Dikunjungi pada Selasa 09 April 2019, Pukul 15:41 WIB
https://news.detik.com/berita/1615672/ahli-persiapan-saja-sudah-termasuk-tindak-
pidana-terorisme Dikunjungi pada Selasa 9 April 2019, Pukul 15:24 WIB
https://www.academia.edu/4940496/PRASANGKA_MEMBENTUK_PERILAK
U_TERORIS Dikunjungi pada senin 08 April 2019, Pukul 15:30 WIB
https://www.google.co.id/amp/s/beritagar.id/artikel-amp/laporan-khas/tapak-
pelatihan-terorisme-di-jalin. dikunjungi pada Jum’at 25 Oktober 2019,
Pukul 17.23 WIB
https://www.kiblat.net/2013/11/20/achmad-michdan-i’dad-tidak-bisa-dianggap-
bagian-dari-kegiatan-terorisme/ Dikunjungi pada Jumat 12 April 2019,
Pukul 16:21 WIB
Muladi, “Belum Mencakup State Terrorism”, www.sijoripos.com
www.hukumonline.com/pusatdata