kecintaan penulis yang luar biasa besar kepada Ibunda...
Transcript of kecintaan penulis yang luar biasa besar kepada Ibunda...
ABSTRAK
Beberapa waktu belakangan ini, kerap terjadi tindak pidana terjadi namun
bukan dilakukan oleh personenrecht melainkan oleh pelaksana kewajiban hukum
lain yaitu badan hukum. Di Indonesia, kita dapat menyebut beberapa kasus tindak
kejahatan yang dilakukan oleh korporasi seperti kasus pencemaran lingkungan
hidup yang dilakukan oleh PT. Freeport di Papua, PT. New Mont di Teluk Buyat,
Sulawesi dan PT. Minarak Lapindo Jaya dan kebocoran lupur di Sidoarjo.
Semuanya menimbulkan kerugian yang tidak sedikit baik berupa materil maupun
kerugian social. Dua yang disebut terakhir yang sering terungkap dipermukaan
dan menjadi polemik, Beberapa LSM dan Lembaga Bantuan Hukum mengajukan
gugatan, namun hanya diwilayah perdata kepada dua perusahaan tersebut.
Kekalahan demi kekalahan dialami oleh pengacara dari LSM dan LBH
tersebut. Hal itu dapat dikarenakan banyak faktor. Dan tentu kajian untuk
menentukan faktor-faktor tersebut haruslah mendalam. Yang menarik dan menjadi
perhatidan penulis adalah tidak ada satupun ada gugatan pidana yang dilakukan
oleh pemerintah dalam hal ini kejakasaan terhadap kasus-kasus tersebut. Padahal
kasus tersebut dapat juga diselesaikan lewat jalur pidana, karena kasus-kasus yang
terjadi jelas-jelas merugikan rakyat Indonesia.
Tentu dengan menggunakan logika pertanggungjawaban pidana korporasi.
Namun yang menjadi persoalan kemudian adalah pertanggungjawaban pidana
korporasi merupakan sesuatu yang baru yang merupakan perluasan dari perbuatan
melawan hukum dalam hukum perdata yaitu doctrine respondeat superiors.
Menurut paham ini bahwa dalam hubungan antara master dengan servan (Dewan
Direksi / atasan dengan Pengurus / Bawahan) berlaku postulat atau maxim qui
facit per alium facit per se dengan arti bahwa seseorang yang melakukan
perbuatan melalui orang lain dianggap dia sendirilah yang melakukan perbuatan
itu. Sehingga pertanggungjawaban pidananya dapat dilekatkan pada orang yang
menentukan / menyuruh lakukan perbuatan itu. Dalam korporasi atau perusahaan
yang menentukan perbuatan atau segala tindak tanduk adalah mekanisme sistem
dan kebijakan yang di tetapkan dewan direksi dan atasan dalam perusahaan.
Terlebih dalam pidana ada beberapa konsep pertanggungjawaban pidana
korporasi yang dapat dijadikan dasar dalam penghukuman, baik itu strict liability
(pertanggungjawaban langsung) maupun vicarious liabity (pertanggungjawaban
delegasi) dapat dijadikan dasar untuk melanjutkan kasus diwilayah perdata.
Tulisan ini ingin menyajikan seluk beluk pertanggungjawaban pidana
korporasi tersebut sekaligus membandingkannya dengan konsep
pertanggungjawaban pidana dalam hukum Islam. Spesifikasi permasalahan yang
penulis angkat bukan tentang pencemaran lingkungan hidup melainkan tentang
dugaan korupsi ketiga mantan direktur Bank Mandiri, Tbk. Karena menurut
penulis, selain kasus pencemaran lingkungan belum pernah diajukan dalam
wilayah pidana, juga karena –setahu penulis- kasus yang memungkinkan di tarik
kepada pemahaman pertanggungjawaban pidana korporasi adalah kasus dugaan
korupsi tersebut. Lebih jauh, karena didalamnya putusan tersebut para saksi ahli
hukum pidana menyinggung tentang keberadaan di mungkinkannya konsep
pertanggungjawaban pidana korporasi bentuk vicarious liability. Karena kasus
korporasinya tentang korupsi maka tentu hal tersebut penulis jelaskan berikut
kemungkinan diterapkan sanksi jinayah dalam tindak pidana korupsi.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur hanya milik Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan
taufiq-Nya yang tidak terhingga. Salam beserta shalawat senantiasa terlimpahkan
kepada Rasulullah Muhammad saw, kepada keluarga, sahabat serta umatnya hingga
akhir zaman.
Alhamdulillah, karya ilmiah ini dapat penulis rampungkan. Setelah hampir
setahun lamanya sejak pencarian data awal dan pengajuan judul. Semoga bakti kecil
ini dapat menggambarkan kecintaan penulis yang luar biasa besar kepada Ibunda
dan Ayahanda tercinta.
Pada kesempatan ini izikanlah penulis memberikan ucapan terima kasih
kepada semua pihak yang telah berjasa dalam masa perkuliahan penulis dan
penyelesaian karya ilmiah ini, diantara mereka adalah :
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., Dekan Fakultas
Syari’ah dan Hukum, Guru Besar sekaligus pembimbing penulis yang tetap
semangat membimbing ditengah kesibukan Beliau yang sedemikian padat.
2. Dr., Yayan Sopyan, M.Ag Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan
Fakultas Syari’ah dan Hukum.
3. Asmawi M.Ag., dan Sri Hidayati M.Ag., masing-masing sebagai Ketua prodi
dan Sekretaris Jinayah Siyasah yang dengan sabar melayani kebutuhan
penulis.
4. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membimbing penulis
hingga dapat menyelesaiakan karya ilmiah ini.
5. Segenap pengurus Perpustakaan Syari’ah dan Hukum dan Pengurus
Perpustakaan Utama.
6. Indonesian Corruption Watch yang dengan baik hati meminjamkan Putusan
Pengadilan dan buku-buku yang berkenaan tema yang penulis angkat.
7. Ira Sahiroh Ma’fufah, S.Sos.i, pejuang feminim sejati yang tengah
menyelesaikan studi S-2 UNPAD. Ingat bahwa segala jerih akan membuahkan
hasil.
8. Sekretaris Dekan yang selalu tersenyum dan membantu penulis
menyampaikan hasil tulisan kepada Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma,
SH., MA., MM.
9. Guru-guru penulis, Kanda Fahmi M. Ahmadi, M.Si, Sang Sosiolog, Kanda
M.Ainul Syamsul, Sang Pengacara Muda, Kanda Ihdi Karim Makin Ara, S.Hi,
Silly Nursyahid, S.Hi atas segenap nasehat dan tuntunan.
10. Abang-abang penulis di HMI, Kanda Syarifuddin, S.Hi, Calon Hakim dari
Medan, Kanda Jalaluddin Noor Harahap, S.Hi, Sarjana terbaik se-UIN, Kanda
Iryad Maulana S.Ei,, Sang Enterpreneurship sejati, M.Isnur, S.Hi, pejabat
Pengacara Publik LBH Jakarta, Kanda M.Said Lubis dan Ahmad “Elang”
Muttaqin dua orang pemikir yang mencintai Kampus. Terima kasih atas
dialektika yang luar biasa yang penulis dapatkan. Tak lupa untuk Asep
Jubadillah dan Fadlika H.S. Harahap yang dengan kesungguhan hati
membangun Komisariat setahun kemarin.
11. Saudara-saudara penulis di Lembaga Kajian dan Bantuan Hukum Mahasiswa
Islam Muhamad Hafidz, M. Sidik, Teuku Mahdar A., M. Haris Barkah,
Muliarto,
12. Faudzul Adzim, Hary Chandra, dan Sang Bungsu Ridho Akmal Nasution.
Semoga silahturahmi ini tetap terjaga dan LKBHMI ini bisa menjadi LBH
Ciputat.
13. Kawan-kawan Pidana Islam, Ahmad Zaelani, Sang Presiden Kecil dengan ide
besar, Epi Sumantri dengan kekuatan semangat belajar yang tak pernah hilang,
Hijrah Haris Fadillah yang telah berkenan menjual printernya dengan harga
murah, Devidson “semoga dapat menjadi suami yang handal”, dan segenap
angkatan Pidana Islam 2004. Maju terus pantang mundur.
14. Kawan-kawan KOMPAK, Bung Edy, Bakhtiar, cahaya, dkk, tetap semangat
membangun ideologi anti kekerasan.
Kepada segenap elemen yang pernah mengisi dan membentuk karakter penulis
dan tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga hal tersebut tidak mengurangi
penghargaan dan kecintaan penulis. Terima kasih.
Ciputat, 12 November 2008 M
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………. i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ……………………………………………………….. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………………………………… 4
C. Tujuan Penelitian …………..………………………………………… 5
D. Tinjauan Pustaka ……………………………………………………… 5
E. Metode Penelitian …………………………………. ……………. …... 6
F. Sistematika Pembahasan ……………………………………………… 8
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA KORPORASI
A. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi ………………………………..10
1. Perbuatan Pidana ; Actus Reus ...................................................... ..10
2. Kesalahan ; Mens Rea ………………………………………… .. ..13
3. Pertanggungjawaban Pidana ; Criminal Liability ……………...... 18
4. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi : Corporate Criminal
Liability …………….. ……………………………………………26
a. Doctrine Of Strict Liability ………………………………… ..26
b. Doctrine Of Vicarious Liability ………………………………28
B. Pertanggungjawaban Pidana Dalam Islam ……………………………. 31
1. Pertanggungjawaban Pidana Islam …………………………………31
2. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Islam ……………………. 34
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG TIDAK PIDANA KORUPSI
A. Korupsi Dalam Hukum Positif …………………………………………38
1. Unsur Setiap Orang …………………………………………......... 44
2. Unsur Melawan Hukum ………………………………………….. 45
3. Unsur Memperkaya Diri Sendiri Atau Orang Lain ………….. ….. 46
4. Unsur Dapat Merugikan Keuangan Negara …………………. ….. 47
5. Unsur Penyalahgunaan Wewenang, Kesempatan,
Atau Sarana Yang Ada Karena Jabatan Atau Kedudukan ……….. 48
B. Sariqah (Pencurian) …………………………………………………… 50
1. Pengambilan Secara Diam-Diam …………………………………. 54
2. Barang Yang Diambil Berupa Harta ………………………………. 55
3. Harta Milik Orang Lain ……………………………………………. 56
4. Adanya Niat Melawan Hukum Atau Kesengajaan …………………. 57
5. Adanya Unsur Khianat yaitu menentang kebenaran dan tidak
Amanah ……………………………………………………………. 58
BAB IV ANALISA PUTUSAN
A. Posisi Kasus …………………………………………………………… 61
B. Analisa Kasus …………………………………………………………. 66
1. Analisa Perbuatan Korupsi ………………………………….... 66
2. Analisa Putusan Hakim Mengenai Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi ……………………………………………… 84
3. Analisa Putusan Hakim Mengenai Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi Islam ……………………………………….. 91
BAB V KESIMPULAN
A. Kesimpulan ……………………………………………………………. 95
B. Saran-saran ……………………………………………………………. 97
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………. 98
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Badan hukum atau korporasi (rechtspersoon) adalah elemen pendukung
hak dan kewajiban yaitu segala sesuatu yang menurut hukum dapat mempunyai
hak dan kewajiban, sama seperti manusia.1 Aktifitas korporasi sekarang ada yang
merugikan manusia dan membuka peluang digolongkan kepada perbuatan
melawan hukum..2
Perbuatan pidana korporasi hanya memungkinkan menentukan siapa
pengurus yang dimintai pertanggungjawaban pidana. Sering muncul kesulitan
dalam menentukan pihak mana yang harus mengganti kerugian diantara pihak
korporasi, direksi, pengurus atau bawahan. Terlebih, ketika jumlah kerugian yang
muncu mencapai hingga ratusan atau milyaran rupiah.3
Kejahatan Korporasi (Corporate crime) meliputi : kecurangan dalam
perdagangan, kejahatan perbankan, kelalaian dalam pembuatan obat dan makanan,
penimbunan barang, pemalsuan mata uang dan dokumen, kecurangan dalam
pembukuan, kejahatan lingkungan hidup. Termasuk didalamnya juga perbuatan
korupsi.4
Kejahatan yang disebut terakhir, yaitu perbuatan pidana korupsi yang
dilakukan atas nama korporasi jauh lebih besar nominalnya dibandingkan
1 Chidir Ali, Badan Hukum, (Bandung, Alumni, 1991) Cet. ke II, h. 4
2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Buku Ketiga, Bab VIII mengatur tentang Perseroan Terbatas dan Bab IX mengatur tentang Badan Hukum.
3 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafitti Pers, 2006), cet ke-1 h.27
4 Arief Amrullaah, Kejahatan Korporasi –The Hunt For Mega Profits And Attack
Democracy- (Jawa Timur, Bayu Media, 2006)
perbuatan pidana korupsi yang dilakukan perorangan. Contoh, kasus penggelapan
dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dengan salah satunya pelakunya Sjamsul
Nursalim (BDNI) yang memanipulasi uang negara sebesar Rp 26.369.524.999.800
dan U$ 96.700.000.5
Penerapan pertanggungjawaban pidana dalam korporasi kerap menemui
kesulitan pada asas hukum, terutama menyangkut asas tiada pidana tanpa
kesalahan (zeen strap zonder zchuld)6 karena tindak pidana tidak berdiri sendiri,
tindak pidana baru bermakna apabila terdapat pertanggung jawaban pidana.7.
Pertanggungjawaban pidana lahir karena adanya celaan objektif
(vewijtbaarheid) kepada pembuat tindak pidana dan secara subjektif kepada
pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana
karena perbuatannya. 8
Hukum Islam juga mengatur tentang pertanggungjawaban pidana
sekalipun dalam penerapannya agak sulit. Namun sekalipun sulit untuk menarik
konsep pertanggungjawaban hukum Islam ke dalam bahasan korporasi, hukum
Islam punya bahasan pertanggungjawaban pidana perorangan.
Pertanggungjawaban Islam perorangan dapat didefinisikan pembebanan seseorang
5 Edi Yunara, Korupsi Dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (tanpa tempat, PT.
citra Aditya bakti, 2005) cet ke- 1 h. 84. atau Lihat majalah legal review no. 22/th ii 30 juni – 31 juli 2004.
6 Asas ini juga sering disebut dengan istilah tiada hukuman tanpa kesalahan. Asas ini dimulai lewat uraian an act does not make a person guilty unless the mind is guilty or actus non
facit reum nisi mens sit rea. Lihat : Leden Marpaung, Asas Teori-Praktik Hukum Pidana (Jakarta, sinar grafika, 2005) Cet. ke-2 h. 9 atau Lihat : Farid, Hukum Pidana I, h. 42
7 Andi Zaenal Abidin Farid menegaskan bahwa ada beberapa unsur pembentuk pertanggungjawaban pidana. Yaitu kemampuan bertanggungjawab, kesengajaan, jenis kesengajaan, kehilafan kealpaan, kelalaian dan adanya tidak alasan pemaaf atau adanya alasan pembenar. Lihat : Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, (Jakarta, Sinar Grafika, 1995), Cet ke-h. 260-266
8 Celaan obejektif adalah celaan yang pada prinsipnya meliputi adanya sifat melawan hukum, persesuaian dengan delik dan adanya alasan pemaaf. Dikutip dari artikel Muhammad Ainul Syamsu, tentang dualisme tentang delik: sebuah kecenderungan baru dalam hukum pidana
Indonesia.
dengan hasil (akibat) perbuatan (atau tidak ada perbuatan) yang dikerjakan dengan
kemauan, dimana ia mengetahui maksud-maksud dan akibat-akibat dari perbuatan
itu.9
Penelitian ini menyajikan keberadaan konsep pertanggungjawaban
langsung atau tanpa kesalahan (strict liability) dan pertanggungjawaban delegasi
(vicarious liability) dan pertanggungjawaban pidana hukum Islam yang mirip
dengan konsep strict liability.
Terkait permasalahan diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian
tentang pertanggungjawaban korporasi yang menyangkut tentang korupsi. Analisa
dilakukan tehadap putusan pengadilan untuk kasus korupsi oleh Direktur PT.
Bank Mandiri Tbk. yang diduga merugikan negara senilai Rp. 160 Milyar. Penulis
memberikan judul penelitian :
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Korupsi Dalam Hukum Islam Dan
Hukum Positif (Studi Putusan Pidana Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
No: 2068/Pid.B/2005/PN)
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana konsep pertanggungjawaban pidana korporasi serta bagaimana
hukum Islam mengatur tentang pertanggungjawaban korporasi?
2. Bagaimana sesungguhnya tindak pidana korupsi diatur peraturan perundang-
undangan Indonesia dan bagaimana hukum Islam (Ta’zir) merumuskan tindak
pidana korupsi?
9 Pertanggungjawaban pidana tersebut ditegakkan atas tiga hal, yaitu : adanya perbuatan
yang dilarang; dikerjakan dengan kemauan sendiri; pembuatnya mengetahui terhadap akibat perbuatan tersebut.
3. Bagaimana sesungguhnya kasus korupsi ketiga mantan Direktur PT. Bank
Mandiri sejauh mana dapat dijerat dengan asas pertangggungjawaban pidana
korporasi?
C. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menjelaskan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi serta bagaimana
hukum Islam mengatur tentang pertanggungjawaban korporasi?
2. Menjelaskan tindak pidana korupsi diatur peraturan perundang-undangan
Indonesia dan bagaimana hukum Islam (Ta’zir) merumuskan tindak pidana
korupsi?
3. Menjelaskan korupsi ketiga mantan Direktur PT. Bank Mandiri sejauh mana
dapat dijerat dengan asas pertangggungjawaban pidana korporasi?
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian menelaah tema korupsi dan pertanggungjawaban pidana
korporasi. Kekhususannya ada pada analisa putusan pengadilan tingkat pertama
tentang dakwaan terhadap Mantan Direktur PT. Bank Mandiri terhadap dugaan
penyalahgunaan uang sejumlah 160 Milyar yang sekarang sudah keluar putusan
kasasi-nya. Namun penulis memfokuskan diri hanya pada konsep
pertanggungjawaban pidana korporasi pada putusan Pengadilan Negeri mengingat
terbatasnya kemampuan penulis. Berikut adalah daftar penelitian lain tentang
pertanggungjawaban pidana korporasi dan perbuatan korupsi yang penulis
ketahui.
1. Penulis Sofwah Urwatil Wusqo dengan judul Kejahatan Korporasi : Tindak
Pidana Kejahatan Korporasi Dalam Tinjauan Positif Dan Hukum Islam. Kode
perpustakaan 12.SJJS.2006.91., tujuan penelitian memahami kejahatan
korporasi dalam hukum positif dan hukum Islam.
2. Penulis Asep Hadi Tumdi Korupsi dengan judul Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan Hukum Islam Dan Hukum Positif. Kode perpustakaan
166.SJAS.2000.61., tujuan penelitian memahami tindak kejahatan korupsi
dalam hukum Islam dan positif
3. Penulis Sutrisno Korupsi dengan judul Usaha Pemberantasan Korupsi
Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif. Kode perpustakaan 40.
SJAS.2005.67., tujuan penelitian mengetahui usaha pemberantasan korupsi
4. Penulis Sulaiman dengan judul Korupsi : Studi Tindak Pidana Korupsi Dana
Non-Budgeter Bulog (Analisa Putusan MA.RI. Reg.No.572 K/Pid/2003
Terhadap Ir. Akbar Tanjung). Kode perpustakaan PMH.2006.84., tujuan
penelitian menganalisa kasus dakwaan korupsi terhadap Akbar Tanjung.
Nilai orisinilitasnya penelitian ini, berdasarkan tinjauan pustaka diatas
setidaknya ada pada dua hal. Pertama : pertanggungjawaban pidana korporasi
dengan kefokusan pada term strict liability dan vicarious liability. Kedua, putusan
pidana Pengadilan Negeri Jaksel No: 2068/Pid.B/2005/PN tentang dugaan kasus
korupsi ketiga mantan Direktur PT. Bank Mandiri.
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini terdiri dari penelitian hukum normatif (penelitian hukum
kepustakaan). yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka
atau data sekunder belaka.10
Dalam penulisan penelitian ini ada tiga bab Inti. Yaitu pertama Bab II
tentang pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hukum pidana dan hukum
Islam, kedua bab III tentang korupsi dalam hukum pidana dan hukum Islam,
ketiga bab IV tentang analisa terhadap putusan hakim dengan menggunakan pisau
analisa pertanggungjawaban pidana korporasi, perbuatan pidana korupsi serta
hukum Islam..
2. Sumber Data
Dalam hal ini, data primer diperoleh dari Putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan putusan pidana No: 2068/Pid.B/2005/PN.Jak.Sel. Sedangkan data
sekundernya KUHP, UU No. 31 tahun 1999 korupsi dan UU No. 20 Tahun 2001
Tentang Perubahan Atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Kemudian digunakan juga data-data pendukung seperti tulisan-tulisan
yang tersebar dan buku-buku dan jurnal-jurnal yang terkait dengan masalah ini.
Data sekunder juga didapat dari media massa (koran, majalah, surat kabar) baik
yang cetak maupun yang elektronik.
3. Teknik Dan Instrumen Pengumpul Data
10 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta, PT Raja
Grafindo Persada, 2004), Cet. ke-8, h. 13
Data dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan alat pengumpul
data sebagai berikut : Bahan Hukum, terdiri dari bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.
No : 2068/Pid.B/2005/PN.Jak.Sel. Sedangkan bahan hukum sekundernya adalah
Peraturan Perundang-undangan yaitu KUHP, UU No. 31 tahun 1999 dan UU No.
20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hasil penelitian pendapat para pakar buku-
buku hukum serta catatan dan tulisan-tulisan lain yang mendukung dan
memperjelas bahan hukum primer serta bahan hukum lain yang penulis dapatkan
baik melalui penelusuran buku-buku yang berkaitan, surfing internet, artikel-
artikel, jurnal-jurnal, ataupun dari sumber lainnya.
4 . Metode Pengolahan Dan Analisa Data
Data yang diperoleh dari putusan PN. Jaksel, hasil kajian bahan hukum,
KUHP dan penelitian para pakar dan tulisan-tulisan yang berkenaan lainnya akan
dianalisis dan ditinjau lebih jauh, dengan didukung oleh referensi lain yang
memperkuat materi hukum.
Sedangkan pengolahan akan menggunakan metode deskriptif analitis.
Metode deskriptif analitis yaitu metode yang menggambarkan dan memberikan
analisa terhadap kenyataan di lapangan yang diperoleh dari hasil dokumen hukum
yang sah yaitu keputusan hakim juga dokumen-dokumen hukum para pakar dan
peneliti hukum. Hal tersebut dilakukan dengan cara mengedit data yaitu
memeriksa data yang terkumpul dan hal yang terkait dengan pertanggunjawaban
korporasi sudah dipaparkan semua kemudian menyajikannya secara sistematis.
F. Sistematika Pembahasan
Teknik Penulisan yang digunakan dalam skripsi ini mengacu kepada buku
Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2005.11 Adapun sistematika pembahasan sebagai
berikut:
Bab pertama, merupakan bagian pendahuluan atau berisikan pengantar,
yang memuat latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan
penelitian, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua, membahas tentang gambaran dari pertanggungjawaban
pidana korporasi. Lingkup kewenangannya dan gambaran umum penerapan
konsep pertanggungjawaban pidana korporasi termasuk dalam konsep hukum
Islam.
Bab ketiga, membahas ini yang di maksud dengan korupsi menurut hukum
Islam dan hukum positif. Bahasan ini akan membagi kedalam sub bab : pertama ;
membahas definisi, unsur dan sanksi korupsi menurut peraturan perundang-
undangan, kedua ; membahas definisi, unsur dan sanksi korupsi yang dikaitkan
dengan sariqah (pencurian) dalam hukum Islam serta uqubah nya (hukumannya)
masuk pada kategori Ta’zir dengan penambahan pada unsur ta/zir yaitu khianat.
Bab keempat, merupakan bagian analisa. Diketengahkan posisi kasus,
analisa konsep pertanggungjawaban korporasi berdasarkan prinsip strict liability
dan vicarious liability termasuk juga pertanggungjawaban pidana korporasi dalam
hukum Islam.
Bab kelima, adalah Penutup, terdiri dari pertama kesimpulan dan kedua
saran-saran.
11 Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Pedoman Penulisan Skripsi,
Jakarta, (Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2004). Cet ke-1. h. 1-7.
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
KORPORASI
A. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Unsur pertanggungjawaban pidana korporasi meliputi pertama adalah
adanya perbuatan, kedua adanya pertanggungjawaban pidana, ketiga terpenuhi
unsur kesalahan korporasi.
1. Perbuatan Pidana, Actus Reus
Perbuatan manusia dalam arti luas dapat diartikan mengenai apa yang
dilakukan apa yang diucapkan (act), dan bagaimana sikapnya terhadap suatu
kejadian (omission) atau perbuatan negatif.12
Van Hamel menyebutkan bahwa ”tidak melakukan sesuatu” itu pada
umumnya tidak bertentangan dengan hukum, akan tetapi perilaku semacam itu
akan bersifat melanggar hukum apabila ada suatu ”kewajiban hukum yang bersifat
khusus”.13 Larangan itu ditujukan kepada perbuatan, yaitu pada keadaan yang
ditimbulkan oleh kelakuan, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada
orang yang melakukan perbuatan itu.14
12 Leden Marpaung, Asas Teori Dan Praktik Hukum Pidana, (Jakarta, Sinar Grafika, 2006) Cet. ke-3 h.31
13 Ibid., h.31
14 Contoh act adalah pasal 362 KUHP yang rumusannya antara lain: ”barang siapa
mengambil sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebahagian kepunyaan orang lain....”, sedangkan contoh omission adalah pasal 164, 165,166 KUHP yaitu tentang kewajiban lapor jika ada kemungkinan terjadinya tindak kejahatan. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta, Rineka Cipta, 2002) Cet ke-7 h. 54
Perbuatan pidana dinyatakan sebagai yang merugikan masyarakat dan
bertentangan dengan tata pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil.15
Namun tidak semua semua perbuatan yang merugikan masyarakat diberi sanksi.
Begitu pula, kita tidak dapat menyebutkankan bahwa hanya perbuatan-perbuatan
yang menimbulkan kerugian besar saja yang dapat dijadikan perbuatan pidana.16
Hukum pidana tak melarang adanya orang mati tetapi melarang adanya
orang mati karena perbuatan orang lain.17 maka beraku postulat ”Kejadian tidak
dapat dilarang, jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang pun tidak dapat
diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya”.18
Istilah ”perbuatan pidana” itu kerap disamakan dengan istilah dalam
Belanda ”strafbaar feit”, padahal arti keduanya dalam term hukum pidana adalah
berbeda. Simons menerangkan bahwa strafbaar feit adalah kelakuan (handeling)
yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan
dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.
Van Hammel merumuskan sebagai berikut : strafbaar feit adalah kelakuan orang
(menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan
hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.
Simons berkata bahwa strafbaar feit itu sendiri terdiri atas handeling dan
gevolg (kelakuan dan akibat). Adapun mengenai yang kedua hal itu berbeda sekali
dengan ”perbuatan pidana” sebab disini tidak dihubungkan dengan kesalahan
15 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana –Dua Pengertian
Dasar Dalam Hukum Pidana-, (Jakarta, Aksara Baru, 1983), h. 13 atau Lihat: Moeljatno, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Pidato dies natalies Universitas Gajah Mada tahun 1955, h. 9
16 Saleh Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, h. 13
17 Moeljatno, Asas-Asas Hukum, h. 54
18 Ibid., h. 54
yang merupakan pertanggungjawaban pidana bagi orang yang melakukan
perbuatan pidana.19
Dalam konteks perbuatan pidana J.M. Van Bemmelen mengatakan bahwa
yang pada umumnya harus dipandang sebagai suatu kejahatan adalah segala
sesuatu yang merusak dan tidak susila.20 Friedman menyatakan bahwa perubahan
nilai menyebabkan sejumlah perbuatan yang tadinya merupakan perbuatan tidak
tercela dan tidak dituntut pidana berubah menjadi perbuatan yang dipandang
tercela dan perlu dipidana.21
Dalam hukum pidana yang juga menjadi perhatian adalah sifat melawan
hukum. Sifat melawan hukum dipandang ada dua : pertama, sifat melawan hukum
formil yaitu sifat melawan hukum yang mencocoki sifat kekeliruan atau
ketidaksusilaan dengan undang-undang. Kedua, sifat melawan hukum materil
yaitu pendapat yang menyatakan bahwa belum tentu kalau semua perbuatan yang
mencocoki dengan undang-undang bersifat melawan hukum.22
Ada 5 elemen penyusun perbuatan pidana, yaitu : pertama adalah kelakuan
dan akibat, kedua adalah hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai
19 Ibid., h. 56-57. Tentang kelakuan, Moeljatno sependapat dengan apa yang dikatakan
Vos yaitu bahwa hanya sikap jasmani yang disadari sajalah yang masuk kualifikasi perbuatan pidana.
1. Sikap jasmani yang orangnya sama sekali pasif yaitu tidak dikehendaki olehnya karena dipaksakan orang lain, tidak dimasukkan kedalam makna kelakuan.
2. Gerakan refleks juga tidak dapat dinamakan kelakuan. 3. Sikap jasmani yang diadakan dalam keadaan tidak sadar juga tidak dapat dinamakan
kelakuan.
20 Rantawan Djanim, Korporasi Dan Pertanggungjawaban Pidana¸ (Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponogoro, 2006) cet. ke-1 h.
21 Rusli effendi, A.Z. Abidin Farid, Barny C.M., Masalah Kriminalisasi Dan
Dekriminalisasi Dalam Rangka Pembahasan Hukum Pidana, Dalam BPHN-DepKeh, Simposium
Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, (Bandung, Bina Cipta, 1986), h. 65.
22 Moeljatno, Asas-Asas Hukum, h. 133-134
perbuatan. Dimana menurut Van Hammel dibagi dua golongan yaitu : mengenai
diri orang yang melakukan perbuatan dan mengenai diluar diri si pembuat. Ketiga
adalah keadaan tambahan yang disebut dengan unsur-unsur yang memberatkan.
Misal pasal 351 ayat 2 dan 3 KUHP tentang penganiayaan dengan pemberatan.
Keempat adalah adanya perbuatan yang tertentu dirumuskan seperti dirumuskan
maka sifat pantang dilakukannya perbuatan itu sudah nampak dengan wajar. 23
Ini yang kemudian dinamakan dengan sifat melawan hukumnya perbuatan, tidak
perlu dirumuskan lagi sebagai elemen atau unsur tersendiri. Misal padal 285
tentang pemerkosaan. Dan yang kelima adalah sifat melawan hukum subjektif.
2. Kesalahan ; Mens Rea
Dapat dipidananya seseorang, terlebih dahulu harus ada dua syarat yang
menjadi suatu keadaan, yaitu pertama perbuatan yang bersifat melawan hukum
sebagai sendi perbuatan dan kedua perbuatan yang dilakukan harus dapat
dipertanggungjawabkan sebagai sendi dari kesalahan.24
Vos menjelaskan bahwa tanpa sifat melawan hukumnya suatu perbuatan
tidaklah mungkin dipikirkan adanya kesalahan, namun sebaliknya sifat melawan
hukumnya perbuatan mungkin ada tanpa adanya kesalahan. 25 Namun menurut
Moeljatno, menyatakan bahwa rumusan tersebut lebih baik dengan kalimat bahwa
orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan atau tidak mungkin dijatuhi pidana
kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana, tetapi meskipun melakukan
perbuatan pidana dia tidak selalu atau belum tentu dapat dikenakan pidana.26
23 Ibid., h. 130
24 Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1994) Cet ke-7 h. 135.
25 Ibid., h. 135.
26 Ibid., h 135.
Menurut Jonkers, kesalahan dibagi atas tiga bagian yaitu selain pertama
kealpaan dan kesengajaan, meliputi juga kedua sifat melawan hukum dan ketiga
kemampuan bertanggung jawab. Dari pandangan diatas terlihat bahwa pengertian
tentang kesalahan tersebut diatas nampak sekali terselip elemen dari sifat melawan
hukum. Pendapat ini sebenarnya bertentangan dengan pandangan mengenai
elemen melawan hukum seharusnya terletak pada bidang perbuatan pidana.
Vos memandang pengertian kesalahan mempunyai tiga tanda khusus yaitu
: pertama kemampuan bertanggungjawab dari orang yang melakukan perbuatan;
kedua hubungan batin tertentu dari orang yang berbuat yaitu perbuatannya itu
dapat berupa kesengajaan atau kealpaan; ketiga tidak adanya dasar alasan
penghapusan pertanggungjawaban bagi Si pembuat atas perbuatannya. Sedangkan
menurut E. Mezger memandang pengertian kesalahan dengan: pertama
kemampuan bertanggung jawab; kedua adanya bentuk kesalahan; ketiga tak
adanya alasan penghapus kesalahan.
Dahulu ada anggapan kesalahan dalam hukum pidana itu identik dengan
kesengajaan atau kealpaan, akan tetapi lambat laun tumbuh pendapat yang
mengatakan bahwa kesalahan bukan hanya terdiri dari kesengajaan atau kealpaan
semata namun ada hal lain yang penting yaitu berupa kemampuan bertangung
jawab dan unsur tidak adanya alasan pemaaf dan adanya alasan pembenar.
Jonkers dan Pompe memandang bahwa kesalahan harus memenuhi syarat-
syarat : pertama sifat melawan hukum, kedua mempunyai bentuk kesengajaan
atau kealpaan, dan ketiga pertanggungjawaban pidana. Adakalanya isi kesalahan
tersebut diatas dapat disimpulkan menjadi tiga bagian, yaitu : pertama tentang
kemampuan bertanggungjawab orang yang melakukan perbuatan, kedua tentang
hubunngan batin tertentu dari orang yang melakukan perbuatan yang berbentuk
kesengajaan atau kealpaan, ketiga tentang tidak adanya alasan pengahapus
kesalahan / pemaaf.
Kesalahan dengan tiga bagian itu dapat dijumpai dalam buku hukum
pidana karangan Vos dan Mezger, kedua ahli itu berbeda sedikit saja dalam
merumuskan isi yang ketiga karena perbedaan penekanan, disatu pihak
menekankan pada pertanggung jawaban, sedangkan dilain pihak menekankan
pada kesalahan. Vos menyebutkan tiga macam isi kesalahan : pertama
kemampuan bertanggung jawab orang yang melakukan perbuatan, kedua
hubungan batin orang itu dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan atau
kealpaan, ketiga tidak adanya alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban
jawab terhadap perbuatan pada pembuat. Sedangkan Mezger menentukan tiga
macam pengertian dalam kesalahan, yaitu pertama kemampuan bertanggung
jawab, kedua bentuk kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan dan ketiga
Alasan-alasan yang menghapus kesalahan. 27
Anak yang bermain korek api dipinggir rumah tetangga kemudian
membakarnya, orang gila, dan dokter yang diminta membuat suatu keterangan
dengan todongan pistol (pasal 276 KUHP) dikepalanya tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana..28
Dengan demikian dapatlah kita temukan pengertian kesalahan, Menurut
Prof. Mr. G.A. Van Hamel kesalahan adalah ketika seseorang melakukan
perbuatan, dengan kesadaran aktif memiliki kehendak atas pebuatannya (tanpa
paksaan) yang ia secara insyaf mengetahui bahwa perbuatan itu dilarang menurut
ukuran masyarakat setempat (memiliki sifat melawan hukum).
27 Ibid., h 144
28 Moeljatno, Asas-Asas, h. 155-164
3. Pertanggungjawaban Pidana ; Criminal Liability
Apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian dijatuhi hukum
pidana, sebagaimana telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah ketika
melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan. Sebab asas dalam
pertanggungjawaban pidana adalah: tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (zeen
straf zonder schuld; actus non facit reum nisi mens sit rea).29 Menurut Moeljatno
orang tidak mungkin dipertanggungjawabakan atau dijatuhi pidana kalau dia tidak
melakukan perbuatan pidana. Tetapi meskipun melakukan perbuatan pidana, tidak
selalu ia dapat dipidana.30
Sedangkan Roeslan Saleh menyebutkan ”tetapi betapapun itu, aturan
undang-undanglah yang menetapkan siapa-siapa yang dipandang sebagai
pembuat yang bertanggungjawab itu. Satu kali telah ditetapkan bahwa seseorang
adalah yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan pidana yang terjadi,
maka langkah selanjutnya adalah menegaskan apakah ia juga memenuhi syarat-
syarat yang diperlukan untuk pertanggungjawaban itu.”31
Andi Hamzah mengatakan bahwa melawan hukum adalah mengenai
perbuatan yang abnormal secara objektif. Kalau perbuatan itu tidak melawan
hukum berarti bukan perbuatan amoral dan pembuatnya tidak bersalah. Dapat
dikatakan bahwa ada kesalahan jika pembuat dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatan. Perbuatannya dapat dicelakan terhadapnya. Celaan ini bukan celaan
29 Ibid., h.. 153
30 Ibid., h.. 155
31 Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungan Jawab Pidana, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1982) h. 32
etis melainkan celaan hukum. Celaan obyektif dapat dipertanggungjawabkan
kepada pembuat menjadi celaan subyektif.32
Menurut Chairul huda makna asas ”tiada pidana tanpa kesalahan” adalah
”tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan”. Dan menurut Chairul,
bagaimana cara agar asas kesalahan ini dikonkretisasi dan tingkat kesalahannya
yang dipersyaratkan tidaklah perlu sama untuk tiap delik. Dengan demikian,
syarat dan isi kesalahan tidak perlu sama, terhadap pembuat pidana dengan subjek
hukum manusia atau korporasi.33
Dengan demikian ternyata untuk adanya kesalahan terdakwa harus
memenuhi empat unsur yaitu: pertama, melakukan perbuatan pidana (sifat
melawan hukum), kedua, diatas umur tertentu atau mampu bertanggung jawab,
ketiga mempunyai suatu bentuk alasan yang berupa kesengajaan atau kealpaan,
keempat tidak adanya alasan pemaaf.
Sedangkan pertanggungjawaban pidana hanya melekat kepada seseorang
yang memiliki kemampuan bertanggunjawab melakukan perbuatan pidana dengan
kesalahan didalamnya serta ketiadaan adanya alasan pemaaf sebagai sifat
kesadaran akal.
4. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi ; Corporate Criminal Liability
Korporasi dapat dimasukkan kepada kategori yang khusus dalam hukum
pidana.34 Chairul Huda mengatakan agar rumusan terhadap pidana korporasi tidak
32 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta, Rineka Cipta, 2004), cet ke-2, h.
130
33 Chairul Huda, “Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” Menuju Kepada “Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan”, (Jakarta , Kencana Prenada Media, 2006) cet ke-2 h. 86
34 Ibid., h. 48
samar-samar maka perumusan korporasi sebagai subjek khusus hukum pidana
sebaiknya dilakukan. kalau tidak Tentu hal tersebut cenderung bertentangan
dengan asas legalitas.35
Tujuan perlindungan yang dituju oleh asas legalitas, bukan saja terhadap
orang perseorangan tetapi juga korporasi. Van Strien mengatakan, sebagaimana
dikutip oleh Chairul Huda bahwa tidak hanya manusia subjek hukum yang harus
mendapatkan perlindungan dari pelaksanaan kekuasaan negara yang mempunyai
kecenderungan tidak terbatas. Perlindungan yang sama juga harus diberikan
kepada badan hukum”.36
Chairul Huda menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana korporasi
dilakukan atas dasar kesalahan. Hanya saja isi kesalahan tersebut berbeda dengan
subjek hukum manusia. Dasar dari penetapan dapat dipersalahkannya badan
hukum ialah tidak dipenuhinya dengan baik fungsi kemasyarakatan yang dimiliki
badan hukum. Indikator kesalahan bagi korporasi adalah ketika korporasi sudah
melakukan kegiatan yang tidak mencerminkan hubungan baik dengan masyarakat
dan kemasyarakatan. Hukum mengharapkan fungsi korporasi sebagai badan
hukum seiring sejalan dengan fungsi korporasi dalam kemsayarakatan.37
Berkenaan dengan pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada
korporasi, menurut Reksodipuro, setidaknya terdapat tiga konsep, yaitu : pertama,
pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang betanggung jawab,
kedua korporasi sebagai pembuat dan pengurus juga bertanggungjawab, ketiga
35 Ibid., h. 48
36 Ibid., h. 48
37 Ibid., h. 85
korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab.38 Menurut
Sutan Remy Sjahdeini, ada dua konsep lagi yaitu keempat, korporasi sebagai
pelaku tindak pidana, tetapi pengurus yang harus memikul beban pertanggung
jawaban pidana. dan kelima pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku
tindak pidana, dan keduanya pula yang harus memikul pertanggungjawaban
pidana.39
Pertanyaan akademis yang mucul kemudian bahwa bagaimana korporasi
juga dapat menjadi pelaku pidana adalah: ”atas dasar teori atau falsafah
pembenaran apa korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana? Adagium
universitas delincruere non potest (korporasi tidak dapat melakukan perbutatan
pidana) menurut asas keadilan bagi masyarakat dapat dikecualikan. Sudah
sewajarnya asas kesalahan tidak berlaku murni. Maksudnya disamping asas
kesalahan dianut pula konsep lain yang dapat mempertanggungjawabkan
korporasi yang melakukan perbuatan pidana.
Sebelum memasuki wilayah pembahasan pertanggungjawaban pidana
korporasi secara spesifik kita lihat beberapa elemen pasal dalam UU No. 20 tahun
2001 tentang perubahan tentang UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pasal 1 ayat (1) dan (3) UU No. 20 Tahun 2001 Dalam Undang-undang
ini yang dimaksud dengan :
1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
38 Reksodipuro, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana
Korporasi , (Semarang:FH UNDIP,1989).
39 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta, Graffiti Pres, 2006) cet ke-1 h.59
3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.
Jelas dituliskan dalam pasal tersebut bahwa korporasi merupakan
kumpulan orang yang terorganisasi baik berupa badan hukum maupun bukan
badan hukum. Maksud penyataan tersebut adalah organisasi yang terdaftar di
Pemerintahan (departemen hukum dan HAM atau departemen dalam negeri) atau
yang tidak terdaftar namun ekssitensinya diakui masyarakat maka dapat disebut
organisasi badan hukum. Bank mandiri selakuk perseroan terbatas masuk kepada
kualifikasi badan organisasi berbadan hukum dengan melekatnya hak dan
kewajiban sebagai badan hukum. 40
Sedangkan pasal yang spesifik bicara tentang tindak pidana korupsi oleh
korporasi diatur dalam pasal 20 UU No. 20 Tahun 2001 Pasal 20 ayat (1), ( 2),
(3), (4), (5), (6), (7) UU No. 20 Tahun 2001.
1. Dalam hal tindak pidana korupsi oleh atau atas nama suatu korporasi, maka
tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau
pengurusnya.
2. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut
dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan
40 Bank Mandiri sebagai badan usaha “bank” sebagai bank. Bank Mandiri harus tunduk
pada peraturan perundang-undangan perbankan.Apabila tindakan direksi melanggar asas dan ketentuan perbankan, maka direksi dapat diminta pertanggungjawaban atas pelanggaran tersebut. Apabila pelanggaran peraturan perbankan terjadi karena direksi melakukan perbuatan melawan hukum atau perbuatan lain yang bersifat kepidanaan, direksi dapat diminta pertanggungjawaban pidana ; Meskipun Bank Mandiri merupakan PT. Terbuka, tetapi secara struktur, Bank Mandiri tetap sebagai sebuah “Persero” yang menjadi ciri bahwa Bank Mandiri adalah milik Negara. Perubahan-perubahan kepemilikan saham, apalagi saham negara menduduki jumlah terbesar dibandingkan dengan pemegang saham lainnya (posisi dominan), sama sekali tidak mengurangi status hukum Bank Mandiri sebagai BUMN yang mengelola kekayaan Negara. Dalam status yang demikian, direksi atau setiap orang yang bekerja pada Bank Mandiri demikian pula BUMN lainnya, tidak semata-mata melakukan fungsi keperdataan tetapi juga fungsi public yang menjalankan tugas pemerintahan pada Bank Mandiri sebagai BUMN. Lebih lanjut hal tersebut secara hukum mengandung arti bahwa direksi atau setiap orang yang bekerja pada BUMN seperti Bank Mandiri, berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan, karena itu kepada mereka dapat diberlakukan ketentuan-ketentuan mengenai penyelenggara pemerintah-an seperti ketentuan tentang pemberantasan korupsi ;
hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri
maupun bersama-sama.
3. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka korporasi
tersebut diwakili oleh pengurus.
4. Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat
diwakili oleh orang lain.
5. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di
pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke
sidang pengadilan.
6. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka pengilan untuk
menghadap dan Penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada
pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
7. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda,
dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu per tiga).
Pasal 20 diatas menerangkan beberapa hal yang menurut penulis cukup
penting yaitu ; Pertama, pada ayat (1) dinyatakan tuntutan dan penjatuhan pidana
korporasi dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya. Kata “dan”
dan “atau” antara kata “korporasi” dengan kata “pengurusnya” menunjukkan
bahwa tuntutan dapat dijatuhkan kepada salah satu dari “korporasi” atau
“pengurus koporasi” atau gabungan dari “korporasi dan pengurus korporasi”. Kata
“dan” menunjukkan akumulasi atau penjumlahan sedangkan kata “atau”
menunukkan pilihan. Penjelasan pasal 20 UU No. 20 Tahun 2001 Pasal 20 Ayat
(1) Yang dimaksud dengan “pengurus” adalah organ korporasi yang menjalankan
kepengurusan korporasi yang bersangkutan, sesuai dengan anggaran dasar,
termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut
memutuskan kewajiban korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak
pidana korupsi.Sedangkan ayat (3) menjelaskan bahwa dalam hal tuntutan pidana
diatasnamakan korporasi maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurusnya.
Seperti yang dikatakan Sutan Remy Sjahdeini dan reksodipuro bahwa –
terlepas penggurus atau korporasi yang melakukan kejahatan- sesungguhnya
keduanya dapat dijerat dengan hukum pidana.
Kedua,sebuah tindak pidana korupsi dapat dijerat kepada wilayah
pertanggungjawaban pidana korporasi ketika kejahatan tersebut dilakukan dalam
hubungan kerja atau hubungan lain dalam lingkungan korporasi tersebut. Ketiga
bahwa ayat (7) menyatakan bahwa hukuman pidana pokok hanya berupa denda
dengan ketentuan maksimal pidana ditambah sepertiga. Dalam pasal 2 maksimal
hukuman pidana hanya Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dengan asumsi
ditambahsepertiga maka maksimal hukuman yang dijatuhkan adalah
1.400.000.000,00 (satu milyar empat satur juta). Hal ini menjadi problem
tersendiri ketika kerugin yang terjadi lebih banyak dari itu. Dalam kasus E.C.W
Neloe misalnya kerugian negara berjumlah 160. Milyar. Serasa tidak adil rasanya
jika menggunakan sanksi pasal 2 tersebut.
Korupsi merupakan bagian integral dari tata cara pengaturan keuangan
negara maka dari itu penulis akan mengutip beberapa pasal yang terkait dengan
penyelenggaraan keuangan negara. Definisi keuangan Negara menurut penjelasan
UU No. 29 Tahun 2001 Keuangan negara yang dimaksud adalah Seluruh
kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak
dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak
dan kewajiban yang timbul karenanya :
a. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat
Negara, baik di tingkat pusat maupun daerah;
b. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan
Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum,41
dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang
menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.
Sedangkan yang dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah kehidupan
perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas
kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada
kebijakan Pemerintah, baik ditingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan
memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh
kehidupan masyarakat.
17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara Dalam Undang-undang ini yang
dimaksud dengan :
1. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat
dinilai
dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang
yang
41 Bank Mandiri sebagai badan hukum keperdataan ; Sebagai badan hukum keperdataan,
setiap badan hukum memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari pemegang saham, sebagai badan hukum keperdataan tindakan Terdakwa sebagai direksi memang dipertanggungjawabkan kepada (dalam) RUPS. Dengan demikian, setiap pemegang saham yang merasa dirugikan dapat meminta pertanggung jawaban direksi melalui RUPS. Apakah dengan demikian, seluruh pertanggungjawaban direksi semata-mata bersifat keperdataan ? sama sekali tidak. Apabila terbukti, direksi yang merugikan badan hukum karena penyalahgunaan wewenang, atau melakukan tindakan lain yang bersifat kepidanaan, direksi dapat diminta pertanggung jawaban menurut hukum pidana.
dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban
tersebut.
Keuangan Negara mengatur tentang definisi keuangan Negara. Harta
Negara adalah setipa uang atau barang milik Negara dengan kewajiban dan hak
hukum melekat didalamnya. Korporasi Negara berupa Badan Hukum Milik
Negara (BUMN) merupakan bagian dari kekayaan Negara. Jadi kekayaan yang
terkadung dalam PT. Mandiri Tbk merupakan kekayaan Negara.
Setelah duduk perkara tentang keuangan negara jelas, kembali
pembahasan pada pertanggungjawaban pidana korporasi. Perbedaaan konsep yang
diterapkan pada pertanggungjawaban pidana korporasi bukan saja terjadi pada
negara yang menganut common law system dengan negara-negara eropa
kontinental yang menganut civil law system, tetapi diantara negara-negara yang
menganut sistem yang sama pun ternyata dasar teori atau falsafah pembenarannya
berbeda-beda.42 Ada dua ajaran pokok yang menjadi landasan bagi dibukanya
peluang pertanggungjawaban pidana korporasi, ajaran-ajaran tersebut adalah
doctine of strict liability dan doctrine of vicarious liability.
a. Doctrine Of Strict Liability
Menurut doktrin strict liability, seseorang sudah dapat
dipertanggungjawabkan perbuatannya untuk tindak pidana tertentu walaupun pada
diri orang itu tidak ada kesalahan43 Dalam lingkup pertanggungjawaban tanpa
42 Ibid., h.77
43 Djanim, Korporasi Dan Pertanggungjawaban Pidana¸ h.109. Ungkapan ”strict
liability” pertama kali digunakan oleh W.H. Winfield pada tahun 1926 dalam suatu artikel berjudul
kesalahan sering dipersoalkan apakah strict libility sama dengan absolut liability.
Dalam hal ini, ada dua pandangan yang berbeda. Pandangan pertama yang
menerima strict liablity sebagai absolut liability dan pandangan yang kedua
menegaskan bahwa strict liability adalah bukan absolut liability.44
Menurut doktrin strict liability, pertanggungjawaban pidana dapat
dibebankan kepada pelaku tindak pidana yang bersangkutan dengan tidak perlu
dibuktikan adanya kesalahan, baik itu berupa kesengajaan atau kelalaian pada
pelakunya. Dalam ajaran strict liability pertanggungjawaban pidana bagi
pelakunya tidak dipermasalahkan, maka strict liability juga disebut juga absolute
liability. Dalam bahasa Indonesia adalah pertanggungjawaban mutlak.45
Beberapa pendapat tentang strict liability oleh ahli hukum Indonesia
seperti Roeslan Saleh menyatakan bahwa dalam praktek, pertanggungjawaban
pidana lenyap, apabila ada salah satu keadaan-keadaan yang memaafkan. Praktek
pula yang melahirkan aneka macam tingkatan keadaan-keadaan mental yang dapat
menjadi syarat ditiadakannya pengenaan pidana, sehingga dalam
”The Myth of absolut liability”, sedangkan istilah ”absolut liablity” dikemukakan oleh John Salmond dalam bukunya ”the law of tort” pada tahun 1907.
44 Strict liability disebut bukan absolute liability jika actus reus tetap memerlukan unsur pokok mens rea –sebagai salah satu ciri kesalahan- untuk menetapkan diperlukannya seseorang dipidana atau tidak. Sebagai contoh : X dituduh melakukan tindak pidana menjual daging yang tidak layak untuk dimakan: karena dapat membahayakan kesehatan dan jiwa orang lain. Perbuatan ini di Inggris termasuk perbuatan pidana yang dapat dipertanggungjawabkan dengan strict liability. Dalam kasus seperti ini tidak perlu dibuktikan bahwa X mengetahui bahwa daging itu layak dikonsumsi, tetapi harus tetap dibuktikan bahwa X setidak-tidaknya memang menghendaki (sengaja) menjual daging itu. Jadi dalam kasus ini strict liability tidak bersifat absolute liability. Lihat : Djanim, Korporasi Dan Pertanggungjawaban Pidana¸ h 110. Contoh strict liability yang murni diterapkan di Indonesia adalah dalam kasus pelanggaran lalu lintas atau lampu lalu lintas. Para pengemudi kendaraan bermotor yang tidak berhenti pada saat lampu menunjukkan lampu merah menyala, akan ditilang polisi dan selanjutnya akan disidang dimuka pengadilan. Hakim akan memutuskan hukuman atas pelanggaran tersebut tidak akan mempersoalkan ada tidak adanya kesalahan pada pengemudi yang melanggar peraturan lalu lintas itu. Lihat: Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, h. 80 atau Lihat : Loebby Loqman, Pertanggungan
Jawab Pidana Bagi Korporasi Dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup, (Jakarta, Kantor Meneg KLH, 1989), h. 93
45 Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, h.78
perkembangannya lahir kelompok kejahatan yang bentuk pengenaan pidananya
cukup dengan strict liability.46
Sedangkan Muladi menyatakan penerimaan bentuk
pertanggungjawaban dalam hukum pidana yang disebut strict liability guna
menjatuhkan pemidanaan terhadap korporasi, ”dilakukan atas dasar kepentingan
masyarakat, bukan atas dasar kesalahan subyektif”. Strict liability merupakan
refleksi kecenderungan untuk menjaga keseimbangan sosial.47
Perdebaatan tentang keberadaan sikap kalbu atau guilty mind dibantah
dengan pendapat bahwa ”suatu korporasi adalah sebuah abstraksi". Ia tidak punya
akal pikiran sendiri dan begitu pula tubuh sendiri; kehendaknya harus dicari atau
ditemukan dalam diri seseorang yang untuk tujuan tertentu dapat disebut sebagai
agen/perantara, yang benar-benar merupakan otak dan kehendak untuk
mengarahkan (directing mind and will) dari korporasi tersebut. Jika seseorang
merupakan otak pengarah dari perusahaan, maka tindakannya merupakan tindakan
dari perusahaan itu sendiri”.48 Orang yang bertindak atau berbicara atas nama
perusahaan. Ia bertindak sebagai perusahaan, dan akal pikirannya yang
mengarahkan tindakannya berarti adalah akal pikiran dari perusahaan. Jika akal
pikirannya bersalah, berarti kesalahan itu merupakan kesalahan perusahaan. 49
b. Doctrine Of Vicarious Liability
Selain konsepsi strict liability, di negara Anglosaxon dan Anglo American
dikenal pula pertanggungjawaban pidana yang disebut ”vicarious liability”, yaitu
46 Saleh, Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, h. 21
47Muladi, “Fungsionalisasi Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Korporasi”, Makalah Seminar Nasional Kejahatan Korporasi di FH UNDIP, (Semarang, 23-24 November), h.4
48Bismar Nasution, Kejahatan Korporasi Dan Pertanggungjawaban Pidananya, Makalah Disampaikan Dalam Ceramah Di Jajaran Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Tanjung Morawa Medan, 27 April 2006. PDF, h.6
49 http://en.wikipedia.org/wiki/Corporate_liability
the legal responsibility of one person of wrongful acts of another, as for example,
when the acts are done within scope of employment. Pertanggungjawaban hukum
seseorang tindakan yang lain tidak adil, sebagai contoh, pada tindakan yang sudah
dilakukan dalam lingkup ketenaga-kerjaan. Vicarious liability diartikan oleh
Black sebagai : ”indirect legal responsibility; for example, the liability of an
empleyer for the acts of an employee, or a principal for torts and contracts of an
agent”. Pertanggungjawaban hukum tidak langsung; dengan contoh, kewajiban
dari suatu pengusaha untuk bertanggung jawab dari tindakan suatu karyawan, atau
untuk kesalahan dan kontrak dari suatu agen.50
Vicarious libility berangkat dari dari perbuatan melawan hukum dalam
hukum perdata yang dipahami dalam doctrine of respondeat superior, menurut
maxim ini dalam hubungan antara master dengan servan atau antara servan
dengan agent berlaku maxim qui facit per alium facit per se. Menurut maxim
tersebut seseorang yang berbuat melalui orang lain dianggap dia sendiri yang
melakukan perbuatan itu.51
Roeslan Saleh menyebutkan pada umumnya orang hanya bertanggungjawab
terhadap perbuatannya sendiri namun dalam konsep vicarious liability yaitu orang
dapat bertanggungjawab terhadap perbuatan orang lain.52
Undang-undang dapat menentukan pertanggungjawaban vicarious
liability, jika terjadi hal-hal sebagai berikut : pertama apabila seseorang telah
mendelegasikan kewenangannya kepada orang lain secara sah. Dalam hal ini
berlaku prinsip tanggung jawab bersifat dilimpahkan atau the delegation
50 Djanim, Korporasi Dan Pertanggungjawaban Pidana, h 114
51 Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, h.84
52 Roeslan Saleh, Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggungan Jawab Pidana, h. 32
principle53
, kedua atasan dapat mempertanggungjawabkan perbuatan yang secara
fisik dilakukan oleh pekerjanya, jika menurut hukum perbuatan pekerjanya itu
dipandang sebagai perbuatan majikan.54
Perumusan vicarious liability dapat mengikuti konstruksi penyertaan.
Dalam vicarious liability, antara orang yang melakukan tindak pidana dan orang
yang ikut dimintai pertanggungjawaban pidana atas perbuatan tersebut,
mempunyai hubungan tertentu. Dimintakan pertanggungjawaban seseorang justru
karena dia adalah atasan dari orang yang melakukan tindak pidana. Dalam
kejadian lain, pertanggungjawaban pidana timbul karena pelaku bertindak
untuknya. Dengan demikian, menurut Chairul Huda ada persamaan antara
vicarious liability dengan penyuruhlakukan atau penganjur dalam penyertaan.
Perbedaannya jika dalam penyertaan dipersyaratkan adanya kesengajaan
(kesalahan) pada para peserta, dalam vicarious liability justru hal ini tampaknya
dikecualikan.55
Namun bukan berarti pertanggungjawaban berarti pertanggungjawaban
vicarious liability crime tidak berdasar kesalahan. Majikan tetap bertanggung
53 Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta, Rajawali Press, 1990) h.
34. Contoh dari prinsip pendelegasian ini adalah : ketika X sebagai pemilik rumah maka, yang pengelolaanya diserahkan kepada Y sebagai manajer. Berdasarkan peringatan dari polisi, X telah menginstruksikan dan melarang Y untuk mengizinkan pelacuran di rumah makan itu, yang ternyata dilanggar oleh Y. Dalam kasus tersebut X dipertanggungjawabkan terhadap kejadian itu. Konstruksi hukumnya adalah bahwa X telah mendelegasikan kewajibannya kepada Y. Dengan telah dilimpahkannya kebijaksanaan usaha rumah makan itu kepada manajer (Y), maka pengetahuan si manajer merupakan pengetahuan dari sipemilik rumah makan.
54 Andi Zaenal Abidin, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Jakarta, Pradnya Paramita, 1983) h. 42 Contoh lain dari vicarious liability adalah kasus Moessel Bros v.L & N.W Railway Co. (1917) yang dalam hal ini pemimpin perusahaan Moessel Bros dinyatakan bertanggungjawab terhadap perbuatan pegawainya yang memberitahukan secara tidak benar jumlah barang perusahaan yang akan dikirim dengan kereta api, agar tidak membayar ongkos tol yang seharusnya. Meskipun majikan tidak ikut serta dan tidak memberikan perintah untuk menghindari pembayaran yang seharusnya, karena pembuat Undang-undang secara absolut melarang perbuatan yang demikian dan menjadikan majikan bertanggung jawab tanpa mens rea.
55 Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, h. 44.
jawab atas perbuatan bawahannya yang merupakan tidak pidana, sekalipun
perbuatan tersebut diluar pengetahuannya. Pertanggungjawaban seseorang dalam
vicarious liability bukan ditujukan kepada kesalahan orang lain tetapi terhadap
“hubungannya” dengan orang lain tersebut. Dalam hal mana menurut undang-
undang memiliki “hubungan” demikian merupakan tindak pidana. Jadi
konstruksinya sama dengan penyertaan. Oleh karena itu vicarious liability dapat
dipandang sebagai bentuk baru penyertaan.56
Vicarious liability mungkin diterapkan kasus yang menyangkut hubungan
antara atasan dengan bawahan, dewan direksi dengan jajaran pengurus
dibawahnya. Dengan demikian, walaupun seseorang tidak melakukan sendiri
suatu tindak pidana dan tidak mempunyai kesalahan dalam arti biasa, ia masih
dapat dipertanggungjawabkan 57
B. Pertanggungjawaban Pidana Dalam Islam
1. Pertanggungjawaban Pidana Islam
Pertanggungjawaban pidana dalam Islam ditegakkan atas tigal hal :
pertama adanya perbuatan yang dilarang; kedua dikerjakan dengan kemauan
sendiri; ketiga pembuatnya mengetahui terhadap akibat perbuatan tersebut.
Adanya perbuatan yang dilarang berdasarkan adanya peraturan yang kita kenal
dengan asas legalitas dalam Hukum Pidana Islam dapat kita ketahui dari salah satu
kaidah dalam Islam yaitu :
.���� � ���ل ا��� ء � ورودا���
56 Ibid., h. 45
57 Djanim, Korporasi Dan Pertanggungjawaban Pidana h 117
Artinya : ”Sebelum ada nash, maka tidak ada hukum bagi perbuatan
orang-orang yang berakal sehat”.58
Pengertian dari kaidah ini bahwa perbuatan orang-orang yang cakap
(mukallaf) tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan yang dilarang, selama belum
ada nash (ketentuan) yang melarangnya dan ia mempunyai kebebasan untuk
melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya sehingga ada nash yang
melarangnya.
Pengertian kaidah tersebut diatas identik dengan kaidah lain yang berbunyi
:
()� '&%ی#"�!�� إ �اا� ب���ء ا� � �� ا����
Artinya : ”Pada dasarnya semua perkara dibolehkan sehingga ada dalil
yan menunjukkan keharamannya”59
Kaidah tersebut mempunyai pengertian bahwa semua sifat dan perbuatan
tidak diperbolehkan dengan kebolehan asli, artinya bukan oleh kebolehan yang
dinyatakan oleh syara’. Dengan demikian selama tidak ada nash yang
melarangnya maka tidak ada tuntutan terhadap semua perbuatan dan sikap tidak
berbuat tersebut. Kita dapat melihat hal ini dari kaidah lain yang berbunyi :
ب*�3 ی�)/ ا��2)�/ أه �� آ)/�ی�)/ �%(� إ� م- آ�ن ��درا ()� �*� د��
.م#�- م�!ور �)#�)/ م�)3م �" ()#� ی&#)" ()� ام��52" �%(� إ�ب�4
Artinya : ”Menurut syara’ seseorang tidak dapat diberi pembebanan
(taklif) kecuali apabila ia mampu memahami dalil-dalil taklif dan cakap untuk
mengerjakannya. Dan menurut syara’ pula seseorang tidak dibebanitaklif kecuali
dengan pekerjaan yang mungkin dilaksanakan dan disanggupi serta diketahui
58 Abdul Qadir Audah, ‘At Tasyri’ Al Jina’iy Al Islamiy, Juz I, Dar Al Kitab, Beirut t.t, h.
115 atau Lihat : Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam –Fikih
Jinayah- (Jakarta, Media Grafika, 2006) Cet ke-2 h. 29
59 Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam h. 30
oleh mukallaf dengan pengetahuan yang bisa mendorongnya untuk melakukan
perbuatan tersebut”.60
Kaidah ini menyatakan tentang syarat-syarat yang harus terdapat pada
pelaku dalam kedudukannya sebagai orang yang bertanggung jawab dan pada
perbuatan yang diperintahkan, adapun syarat untuk pelaku mukallaf itu ada dua
macam : pertama pelaku sanggup memahami nash-nash syara’ yang berisi hukum
taklifi; kedua pelaku orang yang pantas dimintai pertanggungjawaban dan dijatuhi
hukuman
Sedangkan syarat untuk perbuatan yang diperintahkan ada tiga macam :
pertama Perbuatan itu mungkin dikerjakan, kedua, perbuatan itu disanggupi oleh
mukallaf, yakni ada dalam jangkauan kemampuan mukallaf, baik untuk
mengerjakannya maupun untuk meninggalkannya, ketiga perbuatan tersebut
diketahui mukalaf dengan sempurna. 61
Asas legalitas yang didasarkan kaidah tersebut diatas bersumberkan dari
Al-Qu’ran. Beberapa diantaranya dapat kita temukan pada Surat Al-Israa’ ayat 15,
Surat Al-Baqarah ayat 286, dan dalam konteks pencurian pada Surat Al-Maidah
ayat 38.
Surat Al-Israa’ ayat 15
و��آ����� }#١: ا ��اء { ن��� ر��� ���� ��
”Dan kami tidak menghukum manusia sebelum kami mengutus seorang
rasul”. (QS. Al-Israa’ : 15)
60 Audah, ‘At Tasyri’ Al Jina’iy Al Islamiy, h. 116
61 Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam h. 31 atau Lihat : Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, bulan bintang, 2006) cet ke-2, h. 48
}٩#: ا5601 {و��آ�ن ر�23 �)(2 ا01�ى ���� ی��� .- أ�+)� ر��� ی�(�ا *()' ءای�ت��
”Dan tidaklah tuhammu menghancurkan kota-kotam sebelum dia
mengutus di ibukotanya, seorang rasul yang membacakan ayat-ayat kami”. (QS. Al-Qashash: 59)
Tentang kemampuan bertanggungjawab :
} ٢٨٦ :ا0�1�ة {� ی=(+> ا; ن:�9 إ�� و��)�
”Tuhan tidak membenani seseorang kecuali menurut kemampuannya”. (QS. Al-Baqarah: 286)
Sedangkan penerapannya dalam konteks korupsi atau pencurian adalah :
B* ;ا; وا آ9�� ن=�� �+ �C� ءDBE �C(یF��ا أیGH�. IHوا��91رق وا��91ر'=� Bی
} ٣٨ :اFL�C1ة {
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. Dan Allah Maha perkasa lagi maha bijaksana”. (QS. Al-Maidah: 38)
Setelah ayat tersebut turun maka pencurian secara jelas dilarang beserta
sanksi jika ada yang melakukannya. Sariqah merupakan kejahatan yang
hukumannya adalah potong tangan, baik pelaku itu laki-laki atau perempuan.
Prinisip tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman tanpa suatu nash
(ketentuan) dalam sariqah gugur sudah karena undang-undang-nya hadir
bersamaan dengan turunannya Surat Al-Maidah:38. Hal ini sama dengan aturan
asas legalitas dalam hukum positif. Asas legalitas dalam Syariat Islam diatas
seperti tersebut diatas adalah memberikan satu makna bahwa tidak ada jarimah
dan tidak ada hukuman tanpa sesuatu nash (ketentuan) yang disebutkan dalam
syara’, bukan didasarkan pada nash-nash syara umum semata yang menyuruh
keadilan dan melarang kezaliman, melainkan didasarkan atas nash-nash yang jelas
dan khusus mengenai soal ini.
2. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Islam
Pengertian pertanggungjawaban pidana dalam sudut Syariat Islam adalah
pembebasan seseorang dengan hasil akibat perbuatan atau tidak perbuatan yang
dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana ia mengetahui maksud-maksud
dan akibat-akibat dari perbuatan itu. Pertanggungjawaban pidana tersebut
ditegakkan atas tiga hal : pertama adanya perbuatan yang dilarang, kedua
dikerjakan dengan kemauan sendiri, ketiga pembuatnya mengetahi akibat
perbuatannya tersebut.62
Dengan adanya syarat-syarat tersebut, maka kita dapat mengetahui bahwa
yang dapat dibebani dengan pertanggungjawaban pidana hanya manusia, yaitu
manusia yang berakal pikiran, dewasa dan berkemauan sendiri. Oleh karena itu
tidak ada pertanggungjawaban bagi kanak-kanak, orang gila, orang dungu, orang
yang sudah hilang kemauannya dan orang yang dipaksa atau terpaksa.63
Sejak semula syariat islam sudah mengenal badan hukum. Hal ini terbukti
dari kenyataan bahwa para fuqaha mengenalkan baitul mal (perbendaharaan
negara) sebagai “badan” (jihat) yakni badan hukum (syaksun ma’nawi), Hal ini
terbukti dari kenyataan bahwa para fuqaha mengenalkan baitul mal
(perbendaharaan negara) demikian juga dengan sekolahan-sekolahan dan rumah
sakit-rumah sakit. Badan-badan ini dianggap mempunyai hak-hak milik dan
mengadakan tindakan-tindakan tertentu terhadapnya. Akan tetapi badan-badan
tersebut tidak dapat di bebani pertanggungjawaban pidana, karena
62 Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, h. 119
63 Ibid., h. 119
pertanggungjawaban ini didasarkan atas adanya pengetahuan terhadap pilihan,
sedangkan kedua perkara ini tidak terdapat pada badan-badan hukum. Akan tetapi
kalau terjadi perbuatan-perbuatan yang dilarang dan yang keluar dari orang-orang
yang betindak atas nama badan hukum tersebut, maka orang-orang itulah yang
bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukannya.64
Hukum Islam dalam teori serta penerapannya cukup sederhana. Konsep
pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hukum Islam dekat sekali dengan
doktrin strict liability atau liability without fault (pertanggungan tanpa kesalahan).
Dengan kata lain hukum Islam tidak mementingkan faktor kesalahan (guilty mind)
baik berupa kesengajaan (dolus) maupun kelalaian (culpa) dalam menjatuhi
hukuman pidana. Istilah dalam bahasa Indonesia yang digunakan adalah
pertanggungjawaban mutlak65.
Sedangkan pertanggungjawaban pidana dapat hapus karena hal-hal yang
berkaitan dengan perbuatan sendiri atau karena hal-hal yang berkaitan dengan diri
pembuat. Dalam keadaan pertama, perbuatan yang dikerjakan adalah mubah
(tidak dilarang) dan dalam keadaan kedua, perbuatan yang dikerjakan tetap
dilarang tetapi tidak dijatuhi hukuman.66
Hal-hal yang mengakibatkan kebolehan suatu perbuatan haram (jarimah)
ialah : pembelaan yang sah, pengajaran, pengobatan, permainan olahraga,
hapusnya jaminan keselamatan jiwa harta, memakai wewenang dan melaksanakan
kewajiban bagi pihak yang berwajib.Mengenai hapusnya hukuman ada empat
perkara yaitu : terpaksa, mabuk, gila, belum dewasa. Pada masing-masing perkara
64 Ibid., h. 119-120.
65 Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, h.27
66 Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, h. 157
ini pembuat melakukan perbuatan yang dilarang oleh syara’ dan seharusnya
dijatuhi hukuman dan seharusnya dijatuhi hukuman, akan tetapi syarat
menghapuskannya dari hukuman karena adanya hal-hal yang terdapat pada diri
pembuat.67
Salah satunya adalah pembelaan yang sah yang dapat diartikan sebagai hak
seseorang untuk mempertahankan dirinya atau orang lain, atau mempertahankan
harta sendiri atau harta orang lain. Dengan kekuatan yang diperlukan dari setiap
serangan yang nyata tidak sah. Hal ini berdasarkan dalil :
Nا�S1)� اQ1�ام ���S1)� اQ1�ام واQ1���ت �6Hص .C ا*F�ى *(=' .�*F�وا *(
0��C1ا T� ;ا أن� ا�C)*وات��0ا ا; وا '= }١٩٤: ا0�1�ة {�UVC �� ا*F�ى *(
Artinya : “Bulan haram dengan bulan haram dan pada sesuatu yang patut
dihormati, berlaku hukum qishaash. Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang
kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.
Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang
yang bertakwa”. (QS. Al-Baqarah : 194)
Dikalangan fuqaha tidak diragukan lagi hukum membela diri adalah suatu
jalan yang sah untuk mempertahankan diri sendiri atau diri orang lain atau suatu
harta dan kehormatan. Serangan kanak-kanak, orang gila dan hewan merupakan
termasuk pembelaan diri. Adapun syarat pembelaan diri adalah pertama adanya
serangan atau tindakan melawan hukum, kedua penyerangan harus terjadi
seketika, ketiga tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan diri, keempat, dalam
penolakan seranan hanya kekuatan seperlunya saja yang dipakai.
67 Ibid., h. 157
BAB III
GAMBARAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Korupsi Dalam Hukum Positif
Korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau coruptus. Corruptio
berasal dari kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun kebanyak
bahasa eropa seperti Inggris yaitu corruption, corrupt; Perancis yaitu corruption;
dan Belanda yaitu corruptie, korruptie. Dari bahasa Belanda inilah kata itu turun
kebahasa Indonesia.68 Korup dapat diartikan sebagai busuk, palsu, suap69, atau
rusak, suka menerima uang sogok menyelewengkan uang/barang milik
perusahaan atau negara, menerima uang untuk kepentingan pribadi,
penyelewengan atau penggelapan uang negara untuk kepentingan pribadi atau
orang lain.70
Pada mulanya pemahaman korupsi mulai berkembang di barat pada
permulaan abad ke-19, yaitu setelah adanya revolusi Prancis, Inggris dan Amerika
ketika prinsip pemisahan antara keuangan pribadi mulai diterapkan.
Penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi khususnya dalam soal
keuangan dianggap sebagai korupsi.71
Berhubung banyaknya pasal dalam kejahatan tindak pidana korupsi dalam
UU No. 31 Tahun 1999 jo UU 20 Tahun 2001 maka penulis hanya akan
68 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Dalam Hukum Pidana Nasional Dan
Internasional, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006) Cet. ke-3 h.4
69 T. Heru Kasida Brataatmaja, Kamus Bahasa Indonesia, (Yogyakarta, Kanisius, 1993)
70 Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2002)
71 Malang Corruption Watch, Mengerti Dan Melawan Korupsi, (Jakarta, Sentralisme Production, 2005)
mengetengahkan tentang pasal yang menjadi fokus jaksa penuntut umum dalam
dakwaan yang didakwaan kepada para terdakwa.
ECW Neloe, I Wayan Pugeg, dan M. Sholeh Tasripan didakwa dengan
subsidiaritas, yaitu:
- Primer, melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No. 31 tahun 1999 jo
UU No. 20 tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Pasal 64 ayat (1) KUHP.
- Subsidair, melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999
jo UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
- Lebih subsidair, melanggar Pasal 3 jo pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 jo
UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
- Labih subsidair lagi, melanggar Pasal 3 jo pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999
jo UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Rumusan pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Jadi, bagian inti (bestanddelen) pasal 2 ayat (1) ini adalah72 :
72 Hamzah, Pemberantasan Korupsi Dalam Hukum h.122-123
1. Secara melawan hukum;
2. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau memperkaya suatu
korporasi;
3. Dapat merugikan perekonomian negara.
Bagian yang pertama yaitu melawan hukum, menurut Andi Hamzah yang
dimaksud dengan secara melawan hukum dalam arti formil maupun arti materil.73
Sedangkan Roeslan Saleh menyebutkan menurut ajaran melawan hukum, yang
disebut melawan hukum materil tidaklah hanya bertentangan dengan hukum yang
tertulis tetapi juga bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis.74
Kaya dapat diartikan mempunyai harta yang banyak atau banyak harta. 75
Memperkaya diri dapat diartikan dengan menjadikan lebih kaya. Menurut Andi
Hamzah memperkaya diartikan sebagai ”menjadikan orang yang belum kaya
menjadi kaya atau orang yang sudah kaya menjadi lebih kaya.”76
Unsur dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Adami Chawazi mengemukakan bahwa keuangan negara adalah kekayaan negara
dalam bentuk apapun. Yang dimaksud dengan perekonomian dalam konteks ini
adalah suatu usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha
masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik
ditingkat pusat maupun ditingkat daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
73 Ibid., h.123
74 Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum Dari Perbuatan Hukum Pidana, (Jakarta, Aksara Baru, 1987) h.7
75 Yandianto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Bandung, MZS, 1997), h. 240
76 Andi Hamzah, Korupsi Di Indonesia dan Pemecahannya, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991), h. 92 atau Lihat: Hamzah, Pemberantasan Korupsi, h.177
perundang-undangan yang berlaku dan bertujuan memberikan manfaat
kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh rakyat.77
Sementara itu, untuk perumusan pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 31
tahun 1999, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ”keadaan tertentu” adalah
keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan bagi pelaku tindak pidana
korupsi, yaitu apabila :
a. Tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan
bagi : penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional,
penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas dan penanggulangan
krisis ekonomi dan moneter78
b. Penanggulangan tindak pidana korupsi.79
Pasal 3 Undang-undang 31 Tahun 1999
”Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan , kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.
77 Adami Chawazi, Hukum Pidana Materiil Dan Formiil Korupsi Di Indonesia, (Jakarta,
Bayu Media, 2005) cet. Ke-2, h. 46
78 Hamzah, Pemberantasan Korupsi Dalam Hukumi, h. 77
79 R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta, sinar grafika, 2005) cet ke-1, h. 34
Rumusan pasal ini, bila diteliti dan dicermati mengandung beberapa unsur
sebagai berikut: Unsur-unsur oyektif 1) perbuatannya yang menyalahgunakan
kewenangan atau menyalahgunakan kesempatan atau menyalahgunakan sarana, 2)
Yang ada padanya yang mengggunakan jabatan dan kedudukan, 3) Yang
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Unsur-unsur subyektif
adalah menguntungkan diri sendiri atau menguntungkan orang lain atau
menguntungkan suatu korporasi.
Adami chawazi menyatakan bahwa unsur menyalahgunakan kewenangan
dapat didefinisikan sebagai perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sebenarnya
berhak untuk melakukannya, tetapi dilakukan secara salah atau diarahkan pada hal
yang bertentangan dari hukum atau norma masyarakat.80 Sedangkan
menyalahgunakan kesempatan menurut Wiyono adalah suatau keadaan akibat
adanya kelemahan-kelemahan dari ketentuan tentang tata kerja atau kesengajaan
menafsirkan secara salah mengenai ketentuan-ketentuan tersebut.81
Unsur karena jabatan atau kedudukan maksudnya adalah bahwa
kewenangan. kesempatan dan sarana karena jabatan atau kedudukan yang masih
dipangku. Sedangkan unsur terakhir yaitu unsur subjektif adalah tujuan
menguntungkan diri sendiri, atau orang lain atau suatu korporasi yang merupakan
unsur yang subyektif pada batin sipembuat. R. Wiyono menyatakan bahwa dapat
dikemukakan rumusan kata ”kedudukan” dalam perumusan ketentuan tindak
pidana korupsi dalam pasal 3 dipergunakan untuk pelaku dengan klasifikasi :
pertama pegawai negeri yang melakukan korupsi dan tidak memangku suatu
80 Chawazi, Hukum Pidana Materiil h. 50-51
81 Wiyono, Pembahasan Undang-Undang, h. 39
jabatan tertentu baik, baik jabatan struktural maupun jabatan fungsional, kedua
pelaku tindak pidana korupsi yang bukan pegawai negeri atau perseorangan atau
swasta yang mempunyai fungsi dalam korporasi.
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
”Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana (dader): orang
yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut serta melakukan perbuatan
itu”
Pasal 64 ayat (1) KUHP
”Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan
kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus
dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut (voortgezette handeling), maka
hanya dikenakan satu aturan pidana, jika berbeda-beda yang dikenakan maka yang
memuat ancaman pidana pokok yang paling berat”.
1. Unsur Setiap Orang
Pada saat undang No. 3 Tahun 1971 diundangkan, semula terdapat
perbedaan pendapat khususnya mengenai penerapan subjek dalam pasal 1 ayat 1
sub a dan b. Pendapat pada umumnya menyatakan hanya pegawai negeri yang
pengertiannya diperluas dengan pasal (2) yang dapat menjadi subjek dalam pasal
tersebut. Perbedaan pendapat itu disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, UU No.
3 Tahun 1971 adalah pengganti UU No. 24 (Prp) Tahun 1960 yang subjeknya
pegawai negeri. Kedua, penjelasan umum mengenai UU No. 3 Tahun 1971
diantaranya menyatakan,”.... pengertian pegawai negeri dalam undang-undang
sebagai subjek tindak pidana korupsi meliputi bukan saja pengertian pegawai
negeri menurut pasal 2, karena berdasarkan pengalaman-pengalaman selama ini,
orang-orang yang bukan pegawai negeri menurut pengertian hukum administrasi
dengan menerima tugas tertentu dari suatu badan negara, badan yang menerima
bantuan negara dapat melakukan perbuatan tersebut (korupsi)”.82
Setelah diberlakukannya UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, unsur ”barang siapa” yang
tercantum dalam UU No. 3 Tahun 1971 dirubah menjadi unsur ”setiap orang”.
Perubahan tersebut, selain mengakhiri subjek hukum dalam UU No. 3 Tahun
1971, juga berarti bahwa subjek hukum dalam tindak pidana korupsi dapat
dikenakan atau ditujukan kepada siapa saja baik secara perorangan maupun
korporasi di mana subjek pegawai negeri atau bukan pegawai negeri merupakan
subjek hukum secara perorangan. Dengan kata lain, bahwa subjek hukum dalam
UU. No. 1 Tahun 1999 lebih diperluas lagi daripada pengertian subjek hukum
dalam UU No. 3 Tahun 1971.
2. Unsur Melawan Hukum
Unsur ”secara melawan hukum” dalam delik korupsi, menurut penjelasan
pasal 2 ayat 1 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi mencakup perbuatan melawan hukum formil dan materiil. Istilah
”melawan hukum” (wederrechtelijk) dalam literatur hukum pidana masih dikenal
pengertian melawan hukum yang saling berbeda seperti, bertentangan dengan
hukum, bertentangan dengan hak orang lain, tanpa hak sendiri. Menurut Noyon-
Langemeijer seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah bahwa beliau mengusulkan
agar fungsi kata itu hendaknya disesuaikan dengan setiap delik tanpa secara asasi
menghilangkan kesatuan artinya.83
82 Indroharto, Andi Andojo Soetjipto, MH. Silaban, et all. Kapita Selekta Hukum dalam
Buku Mengenang Prof. H. Oemar Seno Adjie, ed Machrup Elrick, (Jakarta, Ghalia Indonesia,1996), h.57
83 Hamzah, Pemberantasan Korupsi Di Indonesia h. 76
Pengertian melawan hukum itu sendiri harus dipandang dari segi formil
dan meteril (formele en materiele wederrechtlijkkheid) yaitu perbuatan-perbuatan
yang bertentangan dengan hukum tertulis termasuk yang didalamnya perbuatan-
perbuatan yang dilakukan tanpa hak dan perbuatan-perbuatan tercela yang tidak
patut menurut norma kehidupan masyarakat.84
Perumusan demikian dipengaruhi oleh Arrest Hoge Raad negeri belanda
tahun 1919 yang menyatakan: ”perbuatan melanggar hukum adalah bukan hanya
perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang (wet), melainkan juga
perbuatan yang dipandang dari sudut pergaulan masyarakat adalah tidak patut.
Dengan adanya Arrest Hoge Raad tersebut menyebabkan timbulnya dua
pandangan melawan hukum formal yang dianut oleh Simons dan pandangan
melawan melawan hukum materiil yang dianut oleh Vos.85
Unsur melawan hukum mempunyai makna yang sangat luas yakni:
perbuatan atau kelalaian seseorang yang oleh karenanya melanggar hak orang lain
atau bertentangan dengan kewajiban sendiri menurut hukum atau dengan norma-
norma adat kesopanan yang lazim atau bertentangan dengan keharusan pergaulan
hidup untuk bertindak prihatin terhadap orang lain atau barang cq haknya.86
3. Unsur Memperkaya Diri Sendiri Atau Orang Lain
Secara harfiah, memperkaya berarti menjadikan bertambah kaya.
sedangkan kaya artinya mempunyai banyak harta (uang). 87 Dengan demikian
84 Ibid., h. 90
85 R. Achmad S. Soemadipraja, Hukum Pidana Dalam Yurisprudensi, (Bandung, Armico, 1990) h. 67-69
86 Yenti Garnasih, Marwan Effendi, dkk, Benang Kusut Peradilan Korupsi Perbankan,
Catatan Hasil Eksaminasi Putusan Neloe Dkk.. (Jakarta, KRHN, 2006), cet ke-1, h. 51
87Yandianto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Bandung, MZS, 1997), h. 240 atau lihat
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta Balai Pustaka, 1976)
pengertian memperkaya dapat diartikan menjadikan orang yang belum kaya
menjadi kaya atau menjadikan orang yangsudah kaya menjadi bertambah kaya.
istilah memperkaya suatu unsur (bestandeel) delik dalam UU No. 31 Tahun 1999
yang sebenarnya berasal dari UU No. 24 (Prp) Tahun 1960. Kata yang sama
mengenai istilah ”memperkaya” ditemukan pula dalam peraturan penguasa pusat
No. Prt. 013 Tahun 1958 tentang Pengusutan. Penuntutan, dan Pemeriksanaan
Korupsi Pidana atau Pemilikan Harta Benda. Hal tersebut tercantum dalam bab
IV, pasal 12 ayat (2) butir c tentang Harta Benda yang Dapat Disita dan Dirampas,
yakni : ”harta benda seseorang ayng kekayaannya setelah diselidiki dianggap tidak
seimbang dengan pengahasilan atau mata pencahariaanya”.88
Sedangkan menurut pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999
yang dimaksud dengan unsur ”memperkaya” hanya sebatas dengan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.89 Dengan demikian pengertian
istilah ”memperkaya” antara harfiah dan yang ada dalam undang-undang dapat
dikatakan hampir sama. Keduanya menunjukkan adanya perubahan kekayaan atau
adanya pertambahan kekayaan seseorang atau suatu korporasi yang diukur dengan
penghasilan yang telah diperoleh atau sumber penambahan kekayaan lainnya.
4. Unsur Dapat merugikan keuangan negara
88 Garnasih, Benang Kusut Peradilan, h. 51
89 Istilah tersebut ada korelasinya apabila dihubungkan dengan pasal 37 ayat (4) UU No. 31 Tahun 1999 yang apabila terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Garnasih, Benang Kusut Peradilan, h. 51
Menurut penjelasan umum UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, yang dimaksud keuangan negara adalah seluruh kekayaan
negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk
didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang
timbul karena berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban
pejabat kembaga negara baik ditingkat pusat maupun di daerah atau berada dalam
penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban BUMN/BUMD, yayasan,
badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara atau perusahaan
yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
Sedangkan yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah kehidupan
perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas
kekeluargaan atau usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada
kebijakan pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang bertujuan memberikan manfaat,
kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh rakyat Indonesia.
Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 mengenai unsur
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian dijelaskan kata ”dapat”
sebelum frase merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
menunjukkan tindak pidana korupsi yang telah dirumuskan bukan dengan
timbulkan akibat. Unsur ini dapat diartikan bahwa perbuatan korupsi telah
terpenuhi/terbukti apabila perbuatannya cukup berpotensi merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara selain unsur melawan hukum dan memperkaya
juga terpenuhi.
5. Unsur penyalahgunaan wewenang. kesempatan, atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan
Unsur ini menunjukkan bahwa subjek hukum yang tercantum dalam pasal
3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang PTPK disyaratkan harus memiliki kapasitas
sebagai orang yang memiliki jabatan atau kedudukan dalam suatu
organisasi/lembaga baik jabatan dalam pemerintahan maupun nonpemerintah
seperti pengurus yayasan, koperasi, atau badan hukum perusahaan yang
mengandung penyertaan modal atau fasilitas90 dari keuangan negara.
Kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya adalah
kewenangan, kesempatan, atau saran yang diperoleh karena jabatan atau
kedudukannya. Seorang yang bukan pegawai negeri dapat saja menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan sebagai pelaksana pekerjaan yang menggunakan dana/fasilitas dari
negara. Oleh karena pelaksanaan pekerjaan itu dia mempunyai kedudukan dan
tanggungjawab atas penggunaan uang negara tersebut (putusan No. 892
K/Pid/1983).
Kata wewenang berarti mempunyai hak dan kekuasaan untuk melakukan
sesuatu.91 Seseorang dengan jabatan atau kedudukan tertentu akan memiliki
kewenangan tertentu pula. Dengan kewenangannya tersebut, ia akan memiliki
kekuasaan atau peluang untuk melakukan sesuatu, ini yang kemudian dinamakan
dengan ”kesempatan”.92 Seseorang yang memiliki jabatan atau kedudukan
biasanya akan mendapat sarana tertentu pula dalam rangka menjalankan
90 Fasilitas adalam bentuk perlakuan istimewa yang diberikan dalam berbagai bentuk,
misalnya bunga pinjaman yang tidak wajar, harga yang tidak wajar, pemberian izin, dan keringanan-keringanan lainnya. (lihat Penjelasan Umum Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
91 Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indoenesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1976) h. 1010
92 Ibid., h. 810
kewajiban dan wewenangnya. Kata ”sarana”sendiri menurut kamus besar bahasa
Indonesia adalah segala sesuatu yang dipakai sebagai alat dalam mencapai
maksud atau tujuan.93
B. Sariqah (Pencurian)
Secara garis besar, Islam memberikan pemisahan tiga kriteria kajian
Jinayah yaitu : jarimah Hudud, jarimah Qisas dan jarimah Ta’zir. Jarimah Qisas
meliputi penganiayaan dan pembunuhan. Jarimah hudud meliputi zina, menuduh
zina, meminum khamr, ,mencuri, merampok, murtad dan pemberontakan.94
Jarimah hudud adalah kejahatan yang sudah diatur dalam nash al-quran secara
jelas baik unsur maupun sanksinya. Sedangkan jarimah Qisash adalah
Adapun jarimah ta’zir adalah semua jenis tindakan atau kejahatan yang
tidak secara tegas diatur dan ditentukan Nash-nash baik dalam Al-Quran maupun
Hadist Nabi SAW. Jarimah ta’zir ini aturan teknis, jenis dan pelaksanaanya
ditentukan oleh penguasa / hakim setempat. Jenis jarimah ta’zir macam-macam
dan bentuknya sangat banyak dan tidak terbatas sesuai dengan kejahatan-
kejahatan yang dilakukan oleh manusia.95
Korupsi sebagai sebuah kejahatan atau perbuatan pidana pada dasarnya
tidka diatur secara specific dalam Islam. Namun M. Nurul Irfan dalam
disertasinya tentang tindak pidana korupsi menurut hukum islam dan hukum
positif menyatakan bahwa Fiqh Jinayah dalam klasifikasi Ta’zir setidaknya
mengatur tujuh tindak kejahatan yang berbeda namun memiliki unsur yang hampir
93 Ibid., h. 784
94 Abdul Qadir Al-Audah, al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami, jilid 2 h. 6 95 Muhammad Abu Zahrah, al-Jarimah wa al-Uqubah fi fiqhi al-Islami, al-Jarimah, jilid h.89
sama dengan korupsi. Ke tujuh jarimah tersebut adalah ghulul (penggelapan),
risywah (penyuapan), khianat, ghasab, al-maksu (pungutan liar), al-ikhtilas
(pencopetan) dan al-intihab (penjambretan).96
Selanjutnya beliau menghilangkan al-maksu (pungutan liar) dari
perhitungan kedekatan unsur dengan tindak pidana korupsi Muhammad Nurul
Irfan menyebutkan bahwa jarimah yang paling mendekati dalam jarimah Ta’zir
adalah khianat sedangkan dalam Hudud yang paling mendekati unsur tindak
pidana pencurian adalah sariqah (pencurian). 97
Unsur tindak pidana korupsi yaitu “setiap orang secara melawan hukum,
“mengambil hak orang lain” dan “menguntungkan diri sendiri” secara tersirat
dalam fiqh Jinayah unsur tersebut “mengambil hak” dan menguntungkan diri
sendiri” merupakan unsur dari sariqah (pencurian). Namun apakah kemudian
sanksi potong tangan sebagaimana sanksi dari tindakan pencurian / sariqah. Sebab
jarimah sariqah atau tindak pidana pencurian merupakan jarimah hudud yang jelas
tidak boleh dianalogikan. Menurut M. Nurul Irfan, seperti yang dikatakan Andi
hamzah dengan mengutip pendapat dari M. Cherief Bassiouni bahwa hudud,
crime which are codified in the qur’an, require a rigid application of the
principles of legality, hudud sebagai sebuah jarimah yang telah disebutkan secara
tegas dalam al-Quran harus dilaksanakan secara baku, tegas atau apa adanya
sesuai dengan prinsip-prinsip keabsahan hukum.98
96 Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Dalam Perspektif Fiqh
Jinayah, Disertasi untuk menyelsaikan sudi S-3 di Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta per 2007-2008. h. 78-79.
97 Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Dalam Perspektif Fiqh Jinayah, Disertasi untuk menyelsaikan sudi S-3 di Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta per 2007-2008. h. 152
98 M.Cherief Bassouni, Crimes against Humanity in International Criminal law, (Boston:1999) second edition, h.136
Dalam jarimah hudud tidak berlakuk analogi berbeda dengan qisas dan
ta;zir yang didalamnya berlaku analogi. Lebih tegas lagi Andi Hamzah
menyatakan bahwa Hudud is stirictly not allowed analogy, hudud bersifat kaku
dan dilarang keras memakai analogi.99
Penulis kemudian menarik unsur jarimah terdekat dengan tindak pidana
korupsi yaitu sariqah (pencurian). Maka unsur-unsurnya menggunakan unsur
jarimah sariqah dengan unsur pengkhianatan di dalamnya. Namun sanksi bagi
pelakunya masuk ke wilayah Ta’zir. Ta’zir dapat di tetapkan berdasarkan
kebijakan penguasa dan Hakim. Rentang penjatuhan hukuman dari minimum
hingga maksimum atau hukuman mati.
Wahbah Zuhaili menjelaskan bahwa korupsi merupakan bagian dari tindak
pidana ta’zir dengan istilah Al-Ikhtilas Namun menurut M. Nurul Irfan Al-Ikhtilas
bermakna pencopetan. Menurut beliau yang membedakan sariqah dengan Al-
ikhtilas adalah bahwa al-ikhtilas dilakukannya pengambilan pada barang yang
tidak sedang dalam penyimpanan sedangkan sariqah pada barang yang sedang
disimpan. Maka dari itu penulis mengambil sariqah karena lebih dekat dengan
unsur tindak pidana korupsi.
Pencurian adalah salah satu perbuatan yang termasuk ke dalam kategori
hukuman had, yaitu yang ketentuannya sudah ada dalam Al-Quran. Sedangkan
penerapannya dalam konteks korupsi atau pencurian adalah surat al-Maidah ayat
38.
Kata pencurian adalah terjemahan dari bahasa arab al-sariqah, yang
menurut etomologi berarti melakukan sesuatu tindakan terhadap orang lain secara
sembunyi. Misalnya, istaraqqa al-sam’a (mencuri dengar) dan musaraqat al-
99 Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Dalam Perspektif Fiqh
Jinayah, Disertasi untuk menyelesaikan sudi S-3 di Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta per 2007-2008. h. 42
nazara (mencuri pandang).100 Erat hubungannya dengan pengertian tersebut
adalah pengertian dari ulama fiqh, antara lain, Abdul Qadir Al-Audah, yang
mengatakan bahwa pencurian adalah tindakan mengambil harta orang lain dalam
keadaan sembunyi-sembunyi.101 Yang dimaksud dengan mengambil harta orang
lain secara sembunyi-sembunyi adalah mengambilnya tanpa sepengetahuan dan
kerelaan pemiliknya. Korupsi menurut Undang-undang terkandung juga unsur
secara diam-diam didalamnya.
Menurut Muhammad Abu Syahbah seperti yang dikutip oleh Ahmad
Wardi Muslich, pencurian didefinisikan sebagai. :
ا�@%�� �%(�، ه� أ>? ا�#�)/ أى ا���: ا���� م�ل ا�=�% >�4� إذا ب): ن�8ب�،
� �� ه?ا ا�#�ل ا�#A>3ذ* .م- �%ز م- �B% أن ی�3ن �" �
Pencurian menurut syara’ adalah pengambilan oleh seorang mukallaf
yang baligh dan berakal terhadap harta milik orang lain dengan diam-diam,
apabila barang tersebut mencapai nishab (batas minimal), dari tempat
simpanannya, tanpa ada syubhat didalam barang yang diambil tersebut. 102
Dari definisi diatas dapat kita simpulkan ada empat macam unsur-unsur
pencurian, yaitu sebagai berikut103 :
1. Pengambilan secara diam-diam
100 Muhammad Amin Suma, A. Malik Fajar, dkk, Pidana Islam Di Indonesia –Peluang,
Prospek Dan Tantangan-, ( Jakarta, Pustaka Firdaus, 2001) cet ke-1, h. 111
101 Abdul Qadir Audah, ‘At Tasyri’ Al Jina’iy Al Islamiy, Juz I,( Beirut, Al-Qahiroh Dar Al Kitab, 1977, ) cet ke-2 h. 519 atau Lihat: Suma, Pidana Islam Di Indonesia, h. 112
102 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam –Fikih Jinayah- (Jakarta, Media Grafika, 2006) Cet ke-2 h.82
103 Muhammad Amin Suma, Pidana Islam Di Indonesia h. 114-122
Hal ini terjadi ketika sang pemilik barang tidak mengetahui terjadinya
pengambilan barang tersebut dan ia tidak merelakannya. Contohnya adalah
mengambil barang milik seseorang dirumahnya pada malam hari ketika waktu
tidur. Untuk terjadinya pengambilan yang diperlukan tiga syarat, yaitu : pertama
pencuri mengeluarkan barang yang dicuri dari tempat simpanannya, kedua, barang
yang dicuri dikeluarkan dari kekuasaan pemiliknya, ketiga, barang yang dicuri
dimasukkan kedalam kekuasaan pencuri
Ketiga syarat tindakan pencurian tersebut diatas kalau tidak sempurna
maka bukan atau tidak dapat digolongkan kepada tindak pidana pencurian (had).
Sebagai contoh orang yang baru mengumpulkan barang dirumah orang lain pada
malam hari –belum keluar- maka tidak dapat digolongkan sebagai perbuatan yang
terkena hak pencurian karena perbuatan tersbut belum selesai. Kemudian unsur
sembunyi-sembunyi menjadi penting karena kalau tidak terpenuhi maka akan
masuk kedalam hukuman perampokan.
2. Barang yang diambil berupa harta
Salah satu unsur yang penting untuk dikenakannya hukuman potong
tangan adalah bahwa barang yang dicuri itu harus barang yang bernilai mal
(harta). Apabila barang yang dicuri itu bukan mal seperti hamba sahaya, atau anak
kecil yang belum tamyiz maka pencuri tidak dikenai hukuman had.104 Menurut
Mustafa Ahmad Zarqa seperti dikutip oleh Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH.
MA.,MM., dalam bukunya Pidana Islam Di Indonesia, Peluang Prospek Dan
Tantangan Menyebutkan bahwa harta adalah sesuatu yang dicendrungi oleh tabiat
manusia dan mungkin disimpan pada waktu dibutuhkan. Hal ini yang disepakati
oleh Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad Bin Hambal. Oleh karena itu menurut
104 Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam, h.83
mereka pencurian terhadap anak kecil tidak termasuk kepada hukuman had
melainkan hukuman ta’zir, sedangkan Imam Malik dan Zahiriah menyebutkan
bahwa pencurian anak atau penculikan dapat di golongkan kepada hukuman had
karena penculikan anak kecil tidak kalah berbahaya dibandingkan dengan
pencurian harta biasa.105
Unsur kedua ini baru dianggap sempurna jika terpenuhi empat syarat, yaitu
: pertama Harta yang dicuri berupa benda bergerak, kedua benda yang diambil
merupakan benda yang memiliki nilai ekonomis. Ketiga benda yang diambil
berada ditempat penyimpanan yang layak bagi jenis harta tersebut. Keempat harta
yang diambil mencapai satu nishab mayoritas ulama dari kalangan Malikiyah,
Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa kadar nishab pencurian yang
diancam dengan hukuman had adalah sebanyak seperempat dinar emas. Atau
sama dengan 1,11 gram emas, dengan asumsi bahwa satu dinar emas sama dengan
4,45 gram. Hal ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad,
Muslim, Nasa’i, dan Ibnu Majah bahwa Rasulullah bersabda:
.�'�DF ی! ا�@�رق إ� �� ربD دی��ر ��8(!ا
”Tangan pencuri tidak dipotong kecuali dalam pencurian seperempat
dinar ke atas”106
Namun ada yang mengatakan bahwa setiap pencurian berapapun dasarnya
tetap dihukum had. Ini berdasarkan kepada hadis Nabi yaitu :
G!ی DF�2� � �DF�2 ی!G وی@%ق ا�&H� .��- اI ا�@�رق ی@%ق ا�
”Allah mengutuk pencuri, yang mencuri telur tetap harus dipotong
tangannya dan yang mencuri tali juga harus dipotong tangannya”.107
105 Muhammad Amin Suma, Pidana Islam Di Indonesia h. 116.
106 Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam h.85
107 Ibid, h.85
Kemudian ada pula hadis nabi yang menyatakan bahwa nisha pencurian
jatuh pada sepuluh dirham atau satu dinar emas. Hadis diriwayatkan oleh Abu
Dawud.
�)� اI ()�" وس)� ی! رM �� مL- ��#2" دی��ر أو(K%ة Iرس3ل ا DF�
)رواG أب3داود(درا��
”Rasulullah saw. Memotong tangan seorang laki-laki dalam pencurian
tameng (perisai perang) yang harganya satu dinar atau sepuluh dirham”.108
3. Harta tersebut milik orang lain
Dengan persyaratan ini dapat diketahui bahwa seseorang yang mengambil
benda yang bukan hak milik seseorang seperti kayu dihutan dan barang temuan
tidak dimasukan kedalam jarimah sariqah. Disamping itu, dengan persyaratan ini
seseorang yang mengambil suatu benda yang ia sendiri mempunyai hak
didalamnya, tidak dikenakan hukuman had, karena adanya syubhat. Yang
dimaksud syubhat disini adalah berkumpulnya dua dalil dalam satu perbuatan,
yang satu membolehkan sedangkan yang satu lagi melarang.
Maksudnya adalah suatu benda yang bila diambil oleh pencuri secara
sembunyi-sembunyi ternyata didalamnya terdapat hartanya karena terdapat dalil
yang membolehkan namun dilain sisi terdapat pula dalil yang melarang karena
disitu terdapat pula harta orang lain. Seseorang yang mencuri satu nishab harta
dan dalam jumlah harta tersebut terdapat harta milik pencuri tersebut dikeluarkan
dari jumlah harta yang ducurinya, berarti sisanya tidak lagi mencapai satu nishab.
Atas dasar pertimbangan bahwa adanya hal yang menggugurkan hukuman
had, seseorang miskin yang mencuri harta baitul mal kepunyaan orang muslim,
108 Ibid., h.86
tidak dipotong tangannya karena didalamnya terdapat haknya. Dalam hal itu
pelaku akan dikenakan hukuman ta’zir. Berbeda dengan itu, Imam Malik
berpendapat, seseorang yang mencuri harta baitul mal, diancam dengan hukuman
had. Bila mana kita berpegang kepada pendapat Imam Malik ini sekaligus batas
nishab yaitu 1,11 gram emas yang nilainya kalau diuangkan tidak lebih dari 1 juta
rupiah maka sanksi bagi koruptor adalah hukuman had. Hal ini dikuatkan oleh
pendapat Syafi’iyah yang menyatakan jikalau harta dibaitul mal tersebut bukan
merupakan hak dari kelompok pencuri maka jatuh kepadanya hukuman had.109
4. Adanya niat melawan hukum atau kesengajaan melakukan kejahatan
Yang dimaksudkan dengan adanya kesengajaan melakukan kejahatan ialah
adanya kesengajaan mengambil harta orang lain padahal si pengambil mengetahui
bahwa perbuatan itu adalah terlarang. Tidak bisa mengetahui bahwa perbuatan
mencuri adalah terlarang bisa jadi karena beberapa kemungkinan antara lain :
pertama orang tersebut baru masuk Islam, kedua karena menganggap barang yang
diambilnya adalah kepunyaanya, ketiga karena menganggap si empunya telah
mengizinkan. Keempat mengangap barang tersebut sudah ditinggalkan
pemiliknya. kelima mengambil barang untuk sementara dan ia bermaksud untuk
mengembalikannya ketempat semula.
Adanya kesengajaan mengambil milik orang lain dipertegas dengan
adanya niat untuk memiliki harta yang diambil tersebut. Bilamana telah lengkap
keempat unsur ini dengan segala persyaratannya pada satu perbuatan kejahatan,
109 Muhammad Amin Suma, Pidana Islam Di Indonesia h. 121.
maka perbuatan tersebut dianggap kejahatan pencurian sehingga pelakunya
diancam dengan hukuman had yaitu potong tangan.
5. Unsur khianat yaitu menentang kebenaran / tidak amanah.
Penulis menganggap bahwa tidak cukup untuk menjatuhkan sanksi uqubah
ta’zir dengan unsur jarimah dari hudud. Maka dari itu, penulis menambahkan satu
unsur lagi untuk memperjelas uqubah ta’zir. Unsur yang paling mendekati adalah
khianat.110 Khianat menurut al-Raghib al-Asfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat
al-Faz al-Quran bahwa Khianat adalah sebuah sikap menyalahi / atau menentang
kebenaran dengan cara membatalkan janji secara sembunyi-sembunyi / sepihak.111
Sementara Wahbah Zuhaili dalam kitab al fiqh al –islami wa adillatuh,
jilid q menjelaskan definisi khianat adalah segala sesuatu tindakan atau upaya
yang bersifat melanggar janji dan kepercayaan yang telah dipersyaratkan
didalamnya atau telah berlaku didalam hukum adat kebiasaan. 112
Jika kita mengacu pada definisi diatas maka unsur khianat kita temukan
dalam pasal 2 sampai dengan pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU 20 Tahun
2001. Unsur tersebut antara lain dapat dicontohkan dengan unsur ”...
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan ...” (Pasal 3 Undang-undang 31 Tahun 1999). Maka dari
110 Khianat menurut M. Nurul Irfan adalah unsur yang paling banyak digunakan pada UU
No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Khianat dipakai sebanyak 21X, risywah sebanyak 12 X, ghulul sebanyak 2 X, sedangkan ghasab, sariqah dan hirabah sama sekali tidak digunakan karena tidak cocok dengan rumusan pasal UU No. 31 Tahun 1999 jo. 20 Tahun 2001.
111 Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Dalam Perspektif Fiqh
Jinayah, Disertasi untuk menyelsaikan sudi S-3 di Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta per 2007-2008. h. 160-163
112 Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Dalam Perspektif Fiqh
Jinayah, Disertasi untuk menyelsaikan sudi S-3 di Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta per 2007-2008. h. 117
itu cukuplah dasar untuk kemudian menempatkan unsur khianat sebagai salah satu
unsur dalam tindak pidana korupsi berdasarkan hukum islam.
Untuk lebih jelasnya, penulis memperbandingkan setiap unsur dalam pasal
3 UU No. 31 Tahun 1999 dengan unsur jarimah sariqah ditambah dengan ta’zir
khianat.
Landasan
Al-Qur’an Surat UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Bunyi
ketentuan ا�@%�� �%(�، ه� أ>? ا�#�)/ �أى ا���: ا���� م�ل ا�=�% >�4 %�B -إذا ب): ن�8ب�، م- �%ز م� �� ه?ا ا�#�ل *أن ی�3ن �" �
.ا�#A>3ذ
”Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan , kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.
Persamaan
unsur
1. Adanya mukallaf ./ orang yang melakukan
1. Unsur setiap orang
2. Pengambilan secara diam-diam secara melawan hukum
2. Unsur rmelawan hukum
3. Barang yang diambil berupa harta yang dapat menambah kekayaan.
3.Unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain (adanya barang atau uang atau harta)
4. Harta tersebut milik orang lain (milik rakyat)
4. Unsur dapat merugikan keuangan negara (keuangan rakyat banyakj
Unsur Ta’zir
khianat
5. Unsur khianat yaitu menentang kebenaran / tidak amanah.
5. Unsur penyalahgunaan wewenang, kesempatan dan sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
Sanksi / Disesuaikan dengan keputusna Penjara 20 tahun atau denda
Hukuman penguasa / Hakim. Namun dapatlah diketahui hukuman minimum adalah penjara dan maksimum adalah hukuman mati.
paling sedikit 50 Juta rupiah atau paling banyak 1 milyar rupiah.
Berdasarkan tabel diatas tersebut dapatlah diketahui bahwa sebenarnya
unsur dalam jarimah hudud sariqah dan ta’zir khianat bila digabungkan dapat
menyamai unsur yang ada dalam pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999. penulis
beranggapan bahwa dengan demikin perdebatan tentang unsur perbuatan korupsi
dalam Islam dapatlah di berikan salah satu alternatif penawaran atau solusi. Ke
depan, bukan tidak mungkin unsur tersebut di adopsi berikut uqubahnya untuk
memperberat pelaku tindak pidana korupsi.
BAB IV
ANALISA PUTUSAN
A. Posisi Kasus
Kasus korupsi Bank Mandiri sebesar Rp. 160 milyar yang melibatkan
direksi Bank Mandiri yaitu ECW Neloe (mantan Direktur Utama), I Wayan Pugeg
(mantan Direktur Manajemen Resiko) dan M. Sholeh Tasripan (mantan Direktur
Kredit Korporasi) merupakan korupsi yang cuikup besar selain korupsi BLBI
yang menurut BPK mencapai Rp. 84,8 triliun.
Ketiga mantan direksi Bank Mandiri diduga telah melakukan tindak
pidana korupsi secara bersama-sama dan berkelanjutan. Mereka diduga telah
memperkaya korporasi atas pemberian fasilitas kredit kepada PT. CGN yang
dianggap merugikan negara dan prosedurnya menyimpang dari ketentuan
perkreditan yang berlaku di Bank Mandiri.
Dalam surat dakwaan dinyatakan bahwa pada tanggal 23 oktober 2002
para terdakwa sebagai pemutus kredit menyetujui pemberian kredit kepada PT
CGN sebesar Rp. 160 milyar tidak memastikan pemberian kredit telah didasarkan
pada penilaian secara jujur, objektif, cermat, seksama dan terlepas dari pihak-
pihak yang berkepentingan. Kemudian tanggal 24 oktober 2002 para terdakwa
telah menyetujui permohonan kredit bridgjng loan sebesar Rp. 160 miliyar kepada
PT CGN untuk membeli aset PT Tahta Medan (PT TM) dengan tidak memenuhi
ketentuan perbankan dan asas-asas perkreditan sebagaimana diatur dalam artikel
520 kebijakan perkreditan rakyat Bank Mandiri (KBPM) tahun 2000.
Para terdakwa saat menyetujui pemberian kredit bridging loan tersebut
tidak melakukan penilaian secara seksama antara kelayakan jumlah permohonan
kredit dan kegiatan usaha (proyek) yang akan dibiayai dengan melakukan
penelitian harga aset kredit PT TM. Padahal aset PT TM dibeli oleh PT Tri
Manunggal Mandiri persada (PT TMP) dari badan lelang Badan Penyehatan
Perbankan Nasional (BBPN) sekitar Rp. 97 milyar, sehingga ada kelebihan sekitar
Rp. 63 milyar dari nilai kredit yang dikucurkan (Rp. 160 milyar). Dalam nota
analisa kredit bridging loan diuraikan bahwa PT CGN sebelumnya telah
mengajukan fasilitas kredit investasi sebesar $ 18,5 juta yang akan digunakan
untuk membeli hak tagih BPPN atas nama PT TM dari PT Tri Manunggal
Wiratama (PT MW) sebesar Rp. 160 milyar dan sisanya Rp. 5 milyar ditambah
self financing dari PT CGN sebesar Rp. 22,5 milyar digunakan utnuk men-take
over (mengambil alih) saham yang dimiliki oleh pemegang saham lama PT TM
yaitu Dana Pensiun Bank Mandiri (DPBM) dan PT Pengelola Investama Mandiri
(PT PIM).
Namun kenyataannya PT CGN tidak pernah menyetor self financing dan
saham PT PIM tidak berhasil dibeli/diambil alih (take over), sedangkan saham
DPBM baru dibayar sebesar Rp. 14.597.000.000,00 dari seluruh harga saham
sebesar Rp. 18.246.250.000,00 sehingga sekitar Rp.3.649.250.000.00 yang tidak
dibayar (putusan hal. 30-31). Selain itu para terdakwa pemutus kredit dalam
menyetujui pemberian kredit bridging loan kepada PT CGN tidak memperhatikan
ketentuan pedoman pelaksanaan kredit (PPK) PT Bank Mandiri, khususnya bab
VI buku II tentang Informasi dan Data Debitur yang menyebutkan persyaratan
debitur harus mempunyai neraca laba/rugi tiga tahun terakhir dan neraca tahun
yang sedang berjalan atau neraca pembukuan perusahaan yang baru berdiri serta
permohonan kredit diatas Rp. 1 milyar harus diaudit oleh akuntan publik terdaftar.
Kenyataanya PT CGN merupakan perusahaan yang baru enam bulan berdiri yang
didirikan pada 23 april 2002 dan tidak pernah menyerahkan neraca tahun berjalan
atau pembukaan kepada Bank Mandiri serta saham (modal) yang disetor hanya
sebesar Rp. 600 juta (putusan hlm. 32-33).
Jaksa mendakwa mantan Direktur Utama Bank Mandiri ECW Neloe,
mantan Direktur Risk Management I Wayan Pugeg dan mantan EVP Coordinator
Corporate & Goverment M. Sholeh Tasripan dituntut 20 tahun penjara dan denda
Rp. 1 milyar subsider kurungan 12 bulan. Akan tetapi Neloe dan kawan-kawan
tidak dituntut membayar uang pengganti karena jaksa menilai tindak pidana
korupsi yang dilakukannya memperkaya pihak lain. Jaksa juga meminta barang
bukti berupa sembilan akta jual beli dan sertifikat tanah milik ketiga terdakwa
dirampas untuk negara, yang diperhitungkan untuk pengembalian kerugian
negara. Tuntutan dibacakan kamis oleh JPU yang dipimpin Baringin Sianturi
dalam sidang di PN Jakarta Selatan. Sidang dipimpin oleh majelis hakim yang
diketuai Gatot Suharnoto dengan anggota I Ketut Manika dan Machmud Rachimi.
Menurut jaksa, ketiganya bersalah melakukan korupsi secara bersama-
sama dan berlanjut. Perbuatan pidana dilakukan dalam pemberian fasilitas kredit
investasi kepada PT CGN, menyimpang dari ketentuan perkreditan yang berlaku
dibank mandiri. Terdakwa tela memperkaya korporasi, yakni PT CGN dan PT
Media Televisi Indonesia, melalui PT TMP sebesar Rp. 54,5 milyar. Perbuatan
tersebut merugikan negara sebesar $ 18,5 juta atau setidak-tidaknya Rp. 160
milyar.113
Dalam kesempatan terpisah, Neloe mambantah kesimpulan jaksa yang
menyatakan pemberian kredit bridging loan yang kemudian dialihkan menjadi
kredit investasi merugikan negara. Sedangkan menurut salah seorang penasihat
hukum terdakwa, Juan Felix Tampubolon, kredit kepada CGN yang
dipermasalahkan dalam perkara ini tidak dapat dikatakan merugikan negara
karena belum jatuh tempo. Faktanya tidak ada kerugian negara, yang ada potensi
kerugian negara.114
113 “Neloe dkk. Dituntut 20 Tahun penjara”, Kompas, 27 Januari 2006
114 “ECW Neloe : Nilailah Saya Dengan Hati Nurani”, www.hukumonline.com, 9 Februari 2006
Menurut Neloe, pemberian kredit dana talangan senilai Rp. 160 milyar
kepada PT. CGN untuk menyelamatkan PT. Tahta Medan. Krisis diperusahaan itu
melibatkan anak perusahaan Bank Mandiri selaku pemegang saham dan pendiri
perusahaan. Menurutnya, menyelamatkan PT. Tahta Medan juga menyelamatkan
Bank Mandiri. Neloe juga menyatakan bahwa pengalihan dana kredit talangan ke
kredit investasi tidak menimbulkan kerugian. Kredit dana talangan telah dilunasi
dengan kredit investasi. Bank Mandiri juga masih menikmati bunga, provisi
kredit, dan denda jika terjadi tunggakan angsuran. Hingga desember 2005, jumlah
pembayaran sebesar Rp. 58 milyar dan angsuran pokok $ 700.000.115
Setelah melewati proses sidang selama lima bulan, tiga mantan petinggi
Bank Mandiri, ECW Neloe, I Wayan Pugeg dan M. Soleh Tasripan akhirnya
divonis bebas. Majelis hakim menjatuhkan vonis bebas kepada Neloe dkk. yang
didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi dalam penyaluran kredit Bank
Mandiri kepada PT CGN.
Dalam putusannya majelis menyatakan semua unsur pasal dalam UU No.
31 tahun 1999 yang didakwakan telah terpenuhi, kecuali unsur ”dapat merugikan
keuangan negara”. Majelis menyatakan perbuatan mereka telah memenuhi unsur
”melawan hukum” pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai dakwaan primer. Para terdakwa
dinilai telah melawan hukum karena telah menyetujui penyaluran kredit CGN
tanpa mengindahkan prinsip kehati-hatian yang diatur dalam kebijakan
perkreditan PT. Bank Mandiri. Mereka tidak cermat menganalisa kemampuan
modal CGN yang modal setornya hanya Rp. 600 juta, sementara kredit yang
disetujui jauh lebih besar yakni Rp. 160 milyar. Majelis juga menolak pembelaan
115 “Neloe : Negara Tak dirugikan”, Kompas, 10 Februari 2006
terdakwa dengan dalil adanya segregation of duty (pemisahan tugas), dengan
mencoba melemparkan kesalahan kepada bawahannya. Hal ini didasarkan UU No.
1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, direksi adalah pihak yang paling
bertanggung jawab atas operasional perusahaan. Prinsip dalam undang-undang
tersebut sesuai dengan asas vicarious liability dalam pertanggungjawaban Pidana
Korporasi, yaitu bahwa pertanggungjawaban dalam suatu organisasi adalah
kepada orang yang paling mempunyai kewenangan.
Vonis bebas terhadap ECW Neloe dkk. menimbulkan reaksi dari berbagai
pihak. Komisi Yudisial (KY) memanggil majelis hakim yang mengadili perkara
Bank mandiri dengan terdakwa ECW. Neloe dkk. Menurut Irawady Joenoes, dari
hasil diskusi dengan dua pakar hukum dari tim ahli BPK, ditemukan kejanggalan
dalam proses pemberian kredit dan akhirnya mengarah pada dugaan kejanggalan
putusan majelis hakim. Misalnya, tidak diterapkannya prinsip kehati-hatian,
proses pemberian kredit sangat cepat, tidak ada uji kelayakan, dan proses
pemberian kredit menyalahi aturan internal Bank Mandiri dan UU Perbankan.116
Menurut Irawady, Majelis Hakim seharusnya bisa mengartikan kata
”dapat” sebagai berpotensi merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
sebagaimana dalam UU No. 31 Tahun 1999. Selain itu, digunakannya UU tentang
Perbendaharaan Negara yang baru disahkan pada Tahun 2004, padahal kasusnya
sendiri terjadi pada tahun 2002.117
Sementara itu, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran, Prof
Komariah Emong Sapardjaja berpendapat pertimbangan hakim tidak tepat dan
116 “KY Panggil Majelis Hakim Kredit Macet Bank Mandiri”, www.republika.co.id,
Jumat 10 Maret 2006
117 “KY Panggil Majelis Hakim Kredit Macet Bank Mandiri”, www.republika.co.id, Jumat 10 Maret 2006
tidak sesuai dengan UU No. 31 Tahun 1999. Menurutnya UU No. 31 Tahun 1999
menganut konsep kerugian negara dalam arti delik formil. Unsur ”dapat
merugikan keuangan negara atau...” seharusnya dapat diartikan merugikan negara
baik langsung maupun tidak langsung. Artinya, suatu tindakan otomatis dapat
dianggap merugikan keuangan negara apabila tindakan tersebut ”berpotensi”
merugikan keuangan negara.118
B. Analisa Kasus
1. Analisa Perbuatan Korupsi
Dalam melakukan analisa penulis menguraikan dakwaan sesuai dengan
yang ada dalam putusan. Namun analisa lebih ditekankan pada unsur tentang
”dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”
Menimbang bahwa unsur-unsur delik pasal 2 ayat 1 UU nomor 31 tahun
1999 adalah :
1. Setiap orang ;
2. Secara melawan hukum ;
3. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, atau orang lain atau suatu
korporasi ;
4. Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
Penulis berpendapat langkah yang ditempuh majelis hakim sampai poin ini
cukup tepat. Dalam hal menafsirkan unsur-unsur, majelis hakim, cukup jeli.
Adami Chazawi menyebutkan bahwa perincian rumusan tindak pidana korupsi
ayat (1) adalah119 : Perbuatannya yang memperkaya diri sendiri atau memperkaya
118 “UU Korupsi Menganut Kerugian Negara Dalam Arti Formil”,
www.hukumonline.com, 21 februari 2006
119 Chazawi, Hukum Pidana Materiil h. 34-35
orang lain atau memperkaya suatu korporasi, dengan cara melawan hukum dan
dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara
Atau penjabaran unsur korupsi yang dilakukan oleh Andi Hamzah yang
menyatakan bahwa bagian inti (bestanddelen) pasal 2 ayat (1) adalah 120: melawan
hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Pada pendapat Adami Chawazi dan Andi Hamzah kita hanya menemukan
tiga unsur korupsi sedangkan pada pertimbangan majelis hakim tulisan KPK
tentang korupsi kita menemukan empat unsur sekalipun tidak sama urutannya.
Perbedaan tersebut pada unsur ”setiap orang” yang tidak dicantumkan oleh Adami
dan Andi Hamzah.
Majelis hakim memberikan pertimbangan terhadap terpenuhi atau tidak
unsur ”setiap orang” sebanyak 2 halaman (h. 210-211), terhadap pertimbangan
unsur :”melawan hukum” sebanyak 10 halaman (h. 211-220), terhadap
pertimbangan unsur ”memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi”
sebanyak 5 halaman (h.220-224), terhadap pertimbangan unsur ”dapat merugikan
keuangan negara” sebanyak 6 halaman (h.224-229). Sedangkan sebanyak 6
lembar (h. 230-235) majelis hakim gunakan untuk memberikan pertimbangan
kepada dakwaan subsidair, lebih subsidair dan dakwaan lebib subsidair lagi.
a. Pertimbangan majelis hakim tentang unsur ”setiap orang” ;
Penulis sepakat dengan pertimbangan Hakim yang menekankan
pembedaan makna antara ”setiap orang” dengan ”pelaku” dalam tindak pidana.
Indonesia yang melakukan pemisahan terhadap ”perbuatan” dengan
120Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi –Melalui Hukum Pidana Nasional Dan
Internasional- (Jakarta, Grafindo Persada, 2005) Cet ke-2, h. 122-123
”pertanggungjawaban” memberikan implikasi bahwa orang yang melakukan
perbuatan pidana belum tentu mempunyai pertanggungjawaban pidana. Ini terlihat
dalam pertimbangan hakim seperti berikut :
Menimbang bahwa Prof. Subekti SH mendefinisikan bahwa subyek hukum
adalah pembawa hak atau subyek dalam hukum, sedangkan Prof. Dr. Sudikno
Mertokusumo, SH mendefinisikan subyek hukum dadalah segala sesuatu yang
dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum ; (h. 210 alinea ke-3) Menimbang bahwa menurut majelis hakim dalam memberikan pengertian
tentang setiap orang tidak bisa dikaitkan dengan uraian kesalahan para
terdakwa, karena sesuai asas hukum pidana, masalah kesalahan adalah masalah
pertanggungjawaban pidana bukan perbuatan pidana karena di Indonesia
menganut ajaran yang dualistis yang memisahkan antara perbuatan pidana dan
pertanggungjawaban pidananya ; (h. 211 alinea ke-1)
Hal tersebut diatas sesuai dengan yang diungkapkan oleh Moeljatno yaitu
orang tidak mungkin dipertanggungjawabakan atau dijatuhi pidana kalau dia tidak
melakukan perbuatan pidana. Tetapi meskipun melakukan perbuatan pidana, tidak
selalu ia dapat dipidana.121 Menurut Moeljatno Hal ini akan lebih mudah
dimengerti jika kita membedakan istilah perbuatan pidana dengan kesalahan.
Seperti yang berkembang dalam hukum pidana Inggris mengenai ”criminal act”
dengan ”criminal liabilty”.122
Diakhir pertimbangannya hakim menyatakan bahwa unsur setiap orang
dalam kasus terpenuhi dengan bersandar bahwa para terdakwa merupakan objek
hukum yang memenuhi syarat ”manusia, laki-laki sebagai pendukung hak dan
kewajiban”.
Menimbang bahwa dari fakta hukum yang diperoleh di persidangan
bahwa para terdakwa yaitu : E.C.W. NELOE, I WAYAN PUGEG dan M SHOLEH
TASRIPAN, SE., MM, yang dihadapkan dipersidangan adalah termasuk
pengertian setiap orang karena termasuk orang perorangan yaitu manusia, laki-
laki sebagai pendukung hak dan kewajiaban. ; (h. 212 alinea ke-2)
121 Moeljatno, Asas-Asas Hukum h.. 155
122 Poernomo, Asas-Asas Hukum h. 129-130.
Menimbang bahwa dengan perimbangan seperti terurai di atas, maka
unsur setiap orang telah terpenuhi ;
Penulis sepakat dengan majelis hakim yang menyatakan bahwa terdakwa
memenuhi unsur tindak pidana yang pertama yaitu unsur setiap orang.
b. Pertimbangan majelis hakim tentang unsur ”secara melawan hukum” ;
Hakim memberikan pertimbangan keberadaan unsur melawan hukum atau
sifat melawan hukum. Majelis mengutip pendapat para ahli hukum, seperti Simon
dan Roeslan Saleh, tentang sifat melawan hukum formil dan materiil, yang
tertulis dan tidak tertulis.
Menimbang bahwa menurut para ahli hukum yaitu Simon menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan Wederredhtelijk (melawan hukum) adalah tidak
hanya bertentangan dengan hukum pada umumnya, jadi tidak hanya sejedar
bertentangan dengan hukum yang tertulis akan tetapi juga bertentangan dengan
hukum yang tidak tertulis ; (h.212)
Menimbang bahwa Roeslan Saleh menyatakan bahwa menurut ajaran
melawan hukum yang materiil tidaklah hanya bertentangan dengan hukum
tertulis tetapi juga bertentangan dengan hukum tidak tertulis. Sebaliknya ajaran
hukum yang formil berpendapat bahwa melawan hukum adalah bertentangan
dengan hukum tertulis saja ; (h.212)
Majelis hakim kemudian menguraikan kronologis pertimbangan lain yang
terdiri 34 alinea dalam 7 halaman, guna mencari kebenaran materil kemungkinan-
kemungkinan adanya sifat melawan hukum.
c. Kemungkinan adanya sifat melawan hukum
Ketiga terdakwa disini jelas dinyatakan yang mempunyai hak untuk
menyetujui fasilitas kredit, yaitu dengan bridging loan, dengan nilai Rp. 160
milyar atau 18,5 juta dollar US. Disini juga secara langsung tertera bahwa
terdakwa merupakan pihak yang kemudian menyetujui pemberian kredit tersebut
kepada PT. CGN melalui direktur utamanya saksi Edison. (h.214 alinea ke-1).
Terdakwa I, yaitu I.C.W Neloe dengan kewenangannya kemudian
mendisposisikan kepada terdakwa III, M. Sholeh Tasripan untuk diteruskan
kepada bagian yang berwewenang yaitu Group Head, Departement Head,
Relationship Management dan Credit Analist untuk dilakukan analisa kredit
terhadap permohonan kredit yang diajukan (h.214 alinea ke-2)
Edison selaku pemohon kredit pada tanggal 22 oktober 2002 menyerahkan
kepada terdakwa I yaitu Neloe kemudian diteruskan kepada saksi Indah selaku
CA (Credit Analysis), melaui mekanisme yang ada pada KPBM dan PPK yang
berlaku di Bank Mandiri Tbk. (h.214 alinea ke-3). Untuk kemudian pada hari itu
juga tanggal 22 oktober 2002 dilakukan analisa kredit oleh Indah, Khoirul Anwar
(Departement Head) dan Sucipto (RM). (h. 214 alinea ke-4). Dari keterangan
saksi Indah bahwa dokumen persyaratan permohonan kredit bridging loan
ternyata tidak ada, tidak seperti yang biasanya ada pada permohonan kredit
investasi (h. 215 alinea ke-2).
o bahwa dari keterangan saksi Indah telah diperoleh fakta hukum bahwa
document persyaratan permohonan kredit Bridging Loan tidak ada,
tidak seperti yang dilampirkan dalam permohonan kredit investasi ;
(h.215 alinea ke-2)
Ketiadaan persyaratan permohonan kredit Bridging Loan merupakan suatu
poin dimana adanya kemungkinan unsur kelalaian yang dilakukan oleh terdakwa
dalam menangani transaksi kredit dengan nilai puluhan milyar..
Urutan pemutus kredit dari yang terendah adalah terdakwa III, kemudian
terdakwa II kemudian terdakwa I, selaku Direktur Utama. (h.215 alinea ke-4) Dari
keterangan didapat bahwa saksi Indah telah melakukan pemeriksaan dokumen
yang ada dengan mempertimbangkan aspek 5 C sebagai wujud kehatian-hatian
berdasarkan ketentuan KPBM dan PPK PT. Bank Mandiri Tbk ; (h. 216 alinea ke-
1).
Yang menarik untuk dicermati lebih detail adalah tentang ketentuan bahwa
pada jaminan dari PT. CGN harus dilakukan pengikatan secara sempurna atas
nama PT. Bank Mandiri dengan tujuan bila kredit tersebut macet maka Bank
Mandiri mempunyai hak preference atas agunan tersebut. Namun Bank Mandiri
tidak melakukan pengikatan tersebut secara sempurna dan hal tersebut merupakan
sebuah penyimpangan atas operating prosedur bank. (h. 217 alinea ke-4 dan h.
218 alinea ke-1,2,3).
o bahwa walaupun telah diatur baik dalam KPBM maupun PPK maupun
SPPK agar barang agunan tersebut diikat, akan tetapi PT. Bank
Mandiri Tbk selaku krediturnya tidak melakukan pengikatan itu secara
sempurna ; (h. 218 alinea ke-2)
o bahwa dengan tidak melakukan pengikatan atas agunan yang
diberikan debitur, maka hak ini adalah ujud suatu penyimpangan atas
standard operating prosedur bank yang harus dipatuhi dan ditaati
oleh para terdakwa ; (h. 218 alinea ke-3)
Saksi ahli dari Bank Indonesia, Nani Purwati menyatakan bahwa sikap
kehati-hatian dalam pemberian kredit seharusnya tetap ada sekalipun pengikatan
barang agunan tidak dilakukan, padahal dimiliki juga surat kuasa mamasang hak
tanggung. Karena hal tersebut bertujuan untuk memulihkan penguasaan Bank
Mandiri atas barang agunan jika terjadi kredit macet dikemudian hari. (h. 220
alinea ke-2). Majelis menyatakan tidak melakukan pengikatan atas barang agunan
maka perbuatan tersebut sudah menyimpang SOP yaitu ketentuan dalam KPBM
dan PPK PT Bank Mandiri Tbk, sehingga walaupun Surat Kuasa Memegang Hak
Tanggung sudah dikuasai, hal itu tidak menghapuskan kesalahan para terdakwa
(h. 220 alinea ke-3).
Bahwa kemudian Majelis Hakim menegaskan unsur perbuatan melawan
hukum sudah terpenuhi.
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan seperti tersebut diatas,
maka unsur adanya perbuatan yang melawan hukum telah terpenuhi ; (h.220)
Penulis sepakat dengan pendapat majelis hakim karena berdasarkan fakta
hukum yang terungkap dan tercatat dalam putusan pengadilan memang terlihat
jelas bahwa terdakwa memiliki unsur sifat melawan hukum dengan tiga poin
perting :
1. Bahwa dalam persyaratan permohonan bridging loan PT. CGN tidak
ada.
2. Bahwa tidak dilakukannya pengikatan terhadap barang agunan PT.
CGN.
3. Bahwa tidak dilakukan pengawasan dengan cermat terhadap kinerja
Bisnis Unit PT. Bank Mandiri.
Penulis beranggapan bahwa unsur sifat melawan hukum tersebut kemudian
menjadi salah satu unsur pertanggungjawaban pidana dan pertanggungjawaban
pidana korporasi konsp vicarious liability. Karena ketiga sifat melawan hukum
tersebut masuk kedalam lingkup organisasi yang tanggungjawabnya ada diatasan,
dalam hal ini para Terdakwa.
d. Pertimbangan majelis hakim tentang unsur ”memperkaya diri sendiri,
orang lain atau suatu korporasi”.
Majelis hakim berusaha mencari makna yang tepat dengan istilah
“memperkaya” yang ada dalam pasal 2 ayat 1 UU No. 31 Tahun 1999 dan
menurut Majelis hal tersebut menjadi penting dengan tujuan agar tidak terjadi
pembiasaan atau sikap apriori terhadap makna “memperkaya” itu sendiri (h.220
alinea 5/ terakhir). Sedangkan, menurut majelis istilah memperkaya itu sendiri
tidak atau belum memiliki makna yang jelas karena UU No. 31 Tahun 1999 pada
bab penjelasan hanya memberikan kata “cukup jelas” pada poin penjelasan makna
“memperkaya” (h.221 alinea ke-2, 3)
Kemudian majelis memperjelas makna “memperkaya” dengan merujuk
pada Kamus Indonesia yang memberikan arti “memperkaya” dengan makna
“melakukan perbuatan yang mengakibatkan seseorang yang semula tidak
memiliki suatu harta (miskin) menjadi memiliki harta yang banyak (kaya) atau
melakukan perbuatan yang mengakibatkan orang yang sudah banyak hartanya
(kaya) menjadi semakin banyak hartanya (semakin kaya) ; (h.221 alinea ke-4).
Usaha yang dilakukan oleh Majelis merupakan langkah yang tepat. Karena
mau tidak mau kalau kita cari kesepakatan makna tentang satu istilah dalam pasal
tentu dalam Undang-undang yang bersangkutan yang menjawabnya. Kalau
dengan hal tersebut tidak terjawab maka dicari pada pendapat ahli, dalam hal ini
Andi Hamzah, yang dimintai pendapatnya oleh majelis cukup kompeten
Majelis Hakim menegaskan bahwa pada 22 oktober 2002 PT. CGN
mengajukan Kredit 18,5 juta US dollar dengan fasilitas Bridging Loan yang
nilainya sebesar Rp. 160 milyar (h.221 alinea ke-6), permohonan kredit tanggal 28
oktober 2002 dan tanggal 29 oktober 2002 cair sebesar Rp. 160 milyar,
Kemudian, menurut majelis hakim, pada waktu mengajukan kredit kepada PT.
Bank Mandiri Tbk, modal yang dimiliki oleh PT. CGN sudah mencapai Rp. 600
juta (sudah kaya) (h.222 alinea ke-2), namun dengan modal yang dimiliki sebesar
Rp. 600 juta itu, PT CGN belum bisa atau belum mampu membeli asset PT. Tahta
Medan yang harganya ditawarkan sebesar Rp.160 milyar (h.222 alinea ke-3). Hal
tersebut menurut majelis hakim mebuat PT. CGN tidak bisa atau tidak mampu
membeli asset kredit PT. Tahta Medan, seperti tersebut diatas maka PT. CGN
belum bisa memiliki atau menguasai asset kredit PT. Tahta Medan (h.222 alinea
ke-4). Hal tersebut kemudian berubah dengan dicairkannya Kredit Bridging Loan
pada tanggal 28 dan 29 oktober 2002 yang total nilainya Rp. 160 milyar, maka
PT. CGN bisa membeli, bisa menguasai dan bisa memiliki asset kredit PT. Tahta
Medan (menjadi semakin kaya) (h.222 alinea ke- alinea ke-5).
o bahwa kemudian dengan dicairkannya Kredit Bridging Loan pada
tanggal 28 dan 29 oktober 2002 yang total nilainya Rp. 160 milyar,
maka PT. CGN bisa membeli, bisa menguasai dan bisa memiliki asset
kredit PT. Tahta Medan (menjadi semakin kaya) ; (h.222 alinea ke-5)
Pertimbangan hakim dengan menyatakan bahwa perubahan PT. CGN
belum kaya sebelum modalnya bertambah Rp. 160 milyar karena
ketidakmampuan membeli aser PT Tahta Medan sudah sesuai dengan fakta
hukum yang ada dalam putusan tersebut.
Dalam pertimbangannya majelis mengatakan bahwa berdasarkan uraian
tersebut diatas, maka unsur memperkaya orang lain telah terpenuhi.
Menimbang bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas, maka unsur
memperkaya orang lain telah terpenuhi ; (h.224 alinea ke-1).
e. Pertimbangan majelis hakim tentang unsur ”dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara”
Disini, majelis hakim memulai pertimbangan terhadap elemen tindak
pidana korupsi yang keempat dengan mengutarakan pentingnya posisi dari kata
”dapat” dalam pasal 2 ayat (1) tersebut (h.224 alinea ke-3). Hakim menjelaskan
bahwa pada dasarnya kata ”dapat” yang dalam bagian dari delik formil bertujuan
untuk memudahkan Jaksa dalam penuntutan (h.224 alinea ke-4). Karena menurut
Andi Hamzah seperti yang dikutip majelis, Sehingga Jaksa tidak perlu
membuktikan apakah kerugian itu betul-betul terjadi atau tidak (h.225 alinea ke-
1).
Penulis berpendapat bahwa apa yang dilakukan oeh majelis cukup tepat
dengan mengemukakan bahwa delik formilnya tindak pidana korupsi
sesungguhnya memudahkan Jaksa untuk menuntut pelaku yang diduga melakukan
tindak pidana korupsi karena Jaksa hanya cukup membuktikan terpenuhinya unsur
pasal yang didakwakan. Dalam delik materil Jaksa harus membuktikan
keberadaan akibat dari perbuatan-perbuatan terdakwa.123 Tentang delik ini, Barda
Nawawi Arief menyatakan bahwa kata ”dapat” yang dicantumkan didepan unsur
merugikan keuangan negara pada pasal yang didakwakan oleh penuntut umum,
merubah delik ini menjadi ”delik formil”.124
Kata dapat maksudnya adalah bahwa kata ”dapat” sebelum kata ”kerugian
negara” di pasal tersebut dimaknai dengan arti potensial lost, sesuatu yang
berpotensi merugikan negara karena bukti-bukti diawal yang menyatakan bahwa
unsur sebelumnya terbukti. Dengan kelalaian, proses penyelesaian peminjaman
yang hanya memakan waktu satu hari, modal pemohon hanya Rp. 600 juta
sedangkan peminjaman Rp. 160 milyar, persyaratan permohonan bridging loan,
tidak dilakukannya pengikatan agunan dari PT. CGN125..
Majelis melakukan hal yang tidak termasuk kedalam ranah kompetensinya
yaitu menguji pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 dengan mengatakan bahwa
”sudah saatnya kata ”dapat” dalam UU Tindak Pidana Korupsi yang baru di
hapuskan” dengan alasan bahwa bukan merupakan hal yang sulit dalam
melakukan pembuktian kata ”kerugian negara” (h.225 alinea ke-2).
123 Delik materil dalam KUHP seperti pasal 338 tentang pembunuhan yaitu :
“barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Sedangkan delik formil seperti pasal 362 tentang pencurian yaitu : “barangsiapa mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.
124 Barda Bawawi Arief, “Masalah Penegakkan Hukum & Kebijakan
Penanggulangan Kejahatan”, (Jakarta, Citra Aditya Bakti, 2001) Cet ke-1, h. 149
125 Garnasih, Benang Kusut Peradilan h. 99-101
Majelis kemudian mengatakan bahwa delik korupsi adalah delik yang
sudah selesai dan tidak akan hapus seketika terdakwa mengembalikan uang
kepada negara (h.225 alinea ke-3). Majelis merasa tidak menemukan artian
spesifik dari kata “kerugian negara” dalam Undang-undang No. 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian mencari artian definitif
kata tersebut pada Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara dimana pasal 1 butir 22 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kerugian
negara adalah kekurangan uang surat berharga dan barang, yang nyata dan pasti
jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja ataupun lalai ;
(h.225 alinea ke-4). Dan penegasan Majelis bahwa kerugian negara harus nyata-
nyata terjadi.
Saksi ahli Rudy Prasetya menyatakan bahwa pemegang saham baru
dikatakan rugi jika dilakukan likwidasi dengan catatan perusahaan tidak bisa
mengembalikan penyertaan (h.227 alinea ke-3). Sedangkan menurut saksi ahli,
K.C Komala dalam praktek perbankan suatu transaksi kredit baru dapat dihitung
kerugiannya apabila kredit itu telah jatuh tempo akan tetapi fasilitas kredit tidak
dapat dilunasi seluruhnya ; (h.227 alinea ke-4)
Saksi ahli Muhammad Yusuf, dipersidangan menerangkan bahwa saat
terjadinya kerugian negara apabila tidak memenuhi standart operating procedure
itu dikucurkan atau dicairkan, sedangkan apabila kemudian terjadi pembayaran
maka hal itu adalah merupakan tindak lanjut dari pembayaran atas kerugian
negara. Kemudian bila dalam laporan keuangan Bank Mandiri tidak ada laporan
kerugian maka berarti juga tidak ada kerugian yang dialami oleh negara (h.228
alinea ke-4,5).
Kemudian majelis dalam pertimbangan akhirnya menyatakan bahwa
dalam pemeriksaan dalam persidangan, berdasarkan keterangan saksi-saksi dan
ahli serta bukti-bukti yang diajukan, maka menurut pendapat majelis hakim bahwa
kredit tersebut masih berjalan yang jatuh temponya nanti September 2007. Juga
diperoleh fakta hukum bahwa PT. CGN / PT. Tahta Medan si debitor masih
melaksanakan kewajiban yaitu berdasarkan bukti yang diajukan, sampai dengan
desember 2005, PT CGN / PT Tahta Medan sudah membayar bunga dan pokok
pinjaman sebesar Rp. 58 milyar, juga dari keterangan saksi dan ahli seperti terurai
diatas, menurut pendapat majelis hakim, tidak terbukti adanya kerugian Negara
c.q Bank Mandiri ; (h.229 alinea ke-3)
Sedangkan kesimpulan Majelis menyatakan bahwa oleh karena salah satu
unsur dalam pasal 2 ayat 1 nomor 31 tahun 1999 sebagaimana yang diuraikan
dalam dakwaan primer oleh Jaksa Penuntut Umum tidak terpenuhi maka dakwaan
tersebut harus dinyatakan tidak terbukti (h.229 alinea ke-4). Menimbang bahwa
oleh karena dakwaan primer tidak terbukti, maka terdakwa harus dibebaskan dari
dakwaan primer tersebut (h.230 alinea ke-1).
Menimbang bahwa oleh karena salam satu unsur dalam pasal 2 ayat 1
nomor 31 tahun 1999 sebagaimana yang diuraikan dalam dakwaan primer oleh
jaksa penuntut umum tidak terpenuhi maka dakwaan tersebut harus dinyatakan
tidak terbukti ; (h.229 alinea ke-4) Pertimbangan Majelis pada unsur “dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara” pada dakwaan primer diterapkan pada dakwaan subsidair,
lebih subsidair, lebih subsidair lagi sehingga otomatis semua dakwaan tersebut
patah. Tidak terpenuhinya dakwaan subsidair (h.231 alinea ke-2), lebih subsidair
(h.233, alinea ke-2), lebih subsidair lagi (h.233, alinea ke-3) memnyebabkan
hakim mengeluarkan putusan sebagai berikut :
Mengadili
1. Menyatakan bahwa para terdakwa
- EDWARD CORNELIS WILLIAM NELOE, tersebut ;
- I WAYAN PUGEG, tersebut ;
- M. SHOLEH TASRIPAN, SE, MM, tersebut ;
Tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan kepada mereka.
2. Membebaskan para terdakwa tersebut dari seluruh dakwaan
tersebut ;
3. Memerintahkan agar para terdakwa dibebaskan dari tahanan negara
;
4. Mengembalikan hak-hak para terdakwa dalam kedudukan,
kemampuan, harkat dan martabatnya ;
5. Memerintahkan barang bukuti berupa dokumen yang tercantum
dalam daftar barang bukti no. Urut 1 sampai dengan 140 (h. 235-
255) tetap dilampirkan dalam berkas perkara dikembalikan kepada
terdakwa ;
6. Membebankan kepada msing-masing terdakwa untuk membayar
biaya perkara ini sebesar rp. 7500.00 ;
Penulis akan memberikan beberapa sanggahan atas pertimbangan unsur
“dapat merugikan keuangan negara” untuk memudahkan pisau analisa terhadap
unsur “pertanggungjawaban pidana korprasi”.
Kemudian, penulis mencoba mengungkapkan apakah kemudian ada
kemungkinan konsep strict liability dan vicarious liability dapat diterapkan dalam
kasus tindak pidana korupsi I.C.W Neloe dkk. Terlebih dengan dinyatakan mereka
“tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan
pidana“ sebagaimana dengan dakwaan.
Penulis melihat bahwa putusan Majelis Hakim telah salah menerapkan
hukum atau menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya dan kemungkinan
keluarnya putusan lain menurut penulis cukup terbuka. Hal itu dikarenakan
beberapa pertimbangan yang digunakan hakim tidak dalam jalurnya, antara lain :
1. Tidak konsistennya Majelis Hakim menerapkan ketentuan tindak pidana yang
didakwakan, karena Majelis Hakim dalam membuktikan unsur "barang siapa"
dan unsur "yang dengan melawan hukum" serta unsur "memperkaya orang
lain atau korporasi", didasarkan pada ketentuan pidana yaitu Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999, Namun pada saat membuktikan unsur “dapat
merugikan keuangan negara" Majelis Hakim mendasarkan pada ketentuan
Hukum Administrasi Negara (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara) dan
Hukum Perdata (Perjanjian Kredit).
2. Bahwa Majelis Hakim keliru menafsirkan konotasi kata “dapat" sebagaimana
dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 secara analogi, karena Majelis
Hakim menafsirkan bahwa pengertian kata "dapat" adalah “suatu hal dapat
merugikan dan suatu hal dapat tidak merugikan”, (putusan hal 224 alinea 3)
sehingga Majelis Hakim telah menafsirkan kata "dapat" bertentangan dengan
penjelasan resmi dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 ; yaitu bahwa
rumusan delik ini adalah delik formil, artinya seperti apa yang dijelaskan
dalam penjelasan Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 1999 menjelaskan :
"Dalam ketentuan ini kata "dapat sebelum frasa" merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, menunjukkan bahwa tindak pidana (delict) korupsi
merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan
dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan
timbulnya akibat" ;
3. Bahwa Majelis Hakim telah menafsirkan arti kata "dapat" dalam suatu yang
belum pernah terjadi dan ada secara nyata, karena Majelis Hakim
menginginkan dalam ketentuan baru nantinya kala "dapat" sudah saatnya
dihapuskan, sehingga dengan demikian Majelis Hakim telah menafsirkan
ketentuan dalam Undang-Undang yang belum ada, yang artinya penafsiran
keliru dari Majelis Hakim hanya merupakan wacana.
4. Bahwa kekeliruan Majelis Hakim dalam menafsirkan unsur tindak pidana
yaitu unsur "dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara"
terjadi dikarenakan Majelis Hakim telah mempertimbangkan hal-hal yang
tidak didakwakan, karena baik dalam Dakwaan Primair, Dakwaan Subsidair,
Dakwaan lebih Subsidair, serta Dakwaan lebih Subsidair lagi, Penuntut Umum
tidak ada mendakwakan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 dan Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2004 ataupun meng-junctokannya dengan ketentuan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 atau menjunctokannya dengan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004.
5. Bahwa adanya pemutarbalikan fakta keterangan ahli Prof. DR. Rudy Prasetya,
dimana di dalam pertimbangan Majelis Hakim halaman 227 paragraf 1
dikatakan : "Menimbang bahwa menurut Ahli Hukum Korporasi yaitu Prof.
DR. Rudy Prasetya mengatakan bahwa pemegang saham baru dapat
dikatakan menderita rugi apabila setelah dilakukan likuidasi perusahaan dan
hasil likuidasi tersebut tidak bisa mengembalikan penyertaan yang
ditanamkan dalam PT tersebut", sementara dalam fakta persidangan berupa
keterangan ahli Prof. DR. Rudy Prasetya yang dituangkan dalam putusan
halaman 186 s/d 189 sebanyak 22 (dua puluh dua) fakta, tidak ada terungkap
fakta sebagaimana dipertimbangan Majelis Hakim pada putusan halaman 227
paragraf 1 tersebuf di atas ;
6. Bahwa adanya pemutarbalikan fakta keterangan ahli K.C. Komala oleh
Majelis Hakim, sebagaimana dalam pertimbangan Majelis Hakim halaman
227 paragraf 2 dikatakan "Menimbang bahwa ahli KC. Kamala, ahli
perbankan mengatakan bahwa dalam praktek perbankan suatu transaksi
kredit baru dapat dihitung kerugiannya apabila kredit itu telah jatuh tempo
akan tetapi fasilitas kredit tidak bisa dilunasi seluruhnya", sementara dalam
fakta persidangan berupa keterangan ahli tersebut sebagaimana dituangkan
dalam putusan halaman 193 s/d halaman 195, tidak satupun fakta keterangan
ahli tersebut yang menerangkan sebagaimana pertimbangan Majelis Hakim,
sehingga dasar pertimbangan Majelis Hakim bukan atas fakta yang terungkap
di persidangan ;
7. Bahwa Majelis Hakim dalam putusan tidak menerapkan hukum pembuktian
sebagaimana mestinya yaitu dalam menentukan unsur "dapat merugikan
keuangan negara", telah tidak menerapkan alat-alat pembuktian yang
diperoleh di persidangan secara obyektif dan komprehensif yaitu keterangan
ahli, karena : Majelis Hakim telah memanipulasi keterangan ahli dari BPKP
(ahli Mohamad Yusuf, Ak) yang mengatakan dalam putusan halaman 228
alinea 5 yaitu : "Menimbang, bahwa menurut keterangan ahli dari BPKP
yakni Muhamad Yusuf, AK dalam persidangan juga telah menerangkan bahwa
apabila dalam laporan keuangan Bank Mandiri yang disahkan dalam RUPS
ternyata tidak ada kerugian yang dialami oleh Bank Mandiri, maka berarti
juga tidak ada kerugian yang dialami oleh Negara" ; padahal ada keterangan
Mohamad Yusuf, Ak yang menyatakan bahwa kerugian Negara sudah timbul
sejak diterbitkannya kredit yang tidak sesuai atau menyimpang dari ketentuan
yang diatur dalam Standar Operating Prosedure (hal. 185 alinea 3) dan yang
menyatakan bahwa dengan dikucurkannya kredit PT. Bank Mandiri kepada
PT. CGN dimana agunan belum diikat maka sejak saat itulah Negara telah
rugi sebesar kredit yang dukucurkan yakni 18,5 juta US Dollar. (hal. 185
alinea 5). dengan demikian jelas terdakwa bersalah.
8. Bahwa keterangan ahli tersebut telah dipertimbangkan Majelis Hakim
sepotong-potong dan tidak secara utuh, karena menurut ahli apabila dalam
RUPS Bank Mandiri mengalami keuntungan, hal tersebut adalah merupakan
keuntungan dari seluruh transaksi umum secara satu periodik (satu tahunan),
Sedangkan kerugian yang timbul dalam kasus ini adalah kerugian khusus atas
pemberian fasilitas kredit sebesar USD 18,500,000 yang menyimpang dari
Standart Operating Procedure antara lain tidak dilakukannya pengikatan
jaminan pada saat pencairan Standart Operating Procedure yang berlaku pada
Bank Mandiri";
2. Analisa Putusan Hakim Mengenai Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Penting mengetahui posisi terakhir kasus Ecw Neloe untuk mendapatkan
gambaran sejauh mana Hakim melakukan penerapan peraturan-perundang-
undangan dengan tepat. Berikut petikan putusan Majelis Hakim Mahkamah
Agung pada putusan perkara E.C.W Neloe cs.
1. Pada putusan pidana Pengadilan Negeri Jaksel No: 2068/Pid.B/2005/PN
Pengadilan Negeri . E.C.W Neloe diputuskan bebas murni.
2. Pada tingkat mahkamah agung E.C.W Neloe diputuskan bersalah kasasi
MAhkamah Agung dengan nomor putusan 1144 K/Pid/ 2006.
M E N G A D I L I
Menolak permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi I/para Terdakwa :
I. EDWARD CORNELLIS WILLIAM NELOE,
II. I WAYAN PUGEG,
III. M. SHOLEH TASRIFAN, SE, MM tersebut ;
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi II : JAKSA/ PENUNTUT
UMUM PADA KEJAKSAAN NEGERI JAKARTA SELATAN tersebut ;
Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 2068/Pid.B/2005/
PN.Jak.Sel, tanggal 20 Februari 2006 ;
MENGADILI SENDIRI
1. Menyatakan para Terdakwa :
I. EDWARD CORNELLIS WILLIAM NELOE,
II. I WAYAN PUGEG,
III. M. SHOLEH TASRIFAN, SE, MM
Telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana : “Korupsi secara bersama-sama dan berlanjut” ;
2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada Terdakwa-Terdakwa I, II,
III, tersebut dengan pidana penjara masing-masing selama 10 (sepuluh) tahun ;
3. Menetapkan lamanya Terdakwa-Terdakwa I, II, III berada dalam
tahanan sebelum putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap, akan dikurangkan
seluruhnya dari pidana penjara yang dijatuhkan ;
4. Menghukum Terdakwa-Terdakwa I, II, III dengan hukuman denda
masing-masing sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dengan
ketentuan apabila pidana denda tidak dibayar, maka kepada masing-masing
Terdakwa dikenakan hukuman pengganti berupa pidana kurungan selama 6
(enam) bulan.
Putusan Mahkamah Agung menegaskan bahwa sesungguhnya putusan
hukum PN yang membebaskan E.C.W neloe sudah dibatalakan. Maka dengan
putusan tersebut terbuktilah bahwa ketiga terdakwa bersalah.
Pengungkapan asas kesalahan sebagai asas yang fundamental, mempunyai
arti bahwa pada prinsipnya pertanggungjawaban pidana dalam arti pemberian
pidana, hanya dapat dikenakan kepada orang yang benar-benar mempunyai
kesalahan atas perbuatan yang dilakukannya. Maksudnya, bahwa
pertanggungjawaban pidana hanya dikenakan kepada seseorang yang melakukan
perbuatan pidana, yang dalam hal ini perbuatan itu didukung oleh sikap batin yang
tercela. 126
Teori fiduciary duty adalah suatu kewajiban yang ditetapkan undang-
undang bagi seseorang yang memanfaatkan seseorang lain, dimana kepentingan
pribadi seseorang yang diurus oleh pribadi lainnya, yang sifatnya hanya hubungan
atasan-bawahan sesaat. Orang yang mempunyai kewajiban ini harus
melaksanakannya berdasarkan suatu standar dari kewajiban (standard of duty)
yang paling tinggi sesuai dengan yang dinyatakan oleh hukum. Sedangkan
126 Djanim, Korporasi Dan Pertanggungjawaban h. 107
fiduciary ini adalah seseorang yang memegang peran sebagai suatu wakil (trustee)
atau suatu peran yang disamakan dengan sesuatu yang berperan sebagai wakil,
dalam hal ini peran tersebut didasarkan kepercayaan dan kerahasiaan (trust and
confidence) yang dalam peran ini meliputi, ketelitian (scrupulous), itikad baik
(good faith), dan keterusterangan (candor). Fiduciary ini termasuk hubungan
seperti, pengurus atau pengelola, pengawas, wakil atau wali, dan pelindung
(guardian). Termasuk juga di dalamnya seorang lawyer yang mempunyai
hubungan fiduciary dengan client-nya. 127
Doktrin atau prinsip fiduciary duty atau pendelegasian wewenang ini dapat
kita jumpai dalam Undang-undang No.1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
Menurut Pasal l79 ayat (1) UUPT pengurusan PT dipercayakan kepada direksi
Lebih jelasnya pasal 82 UUPT menyatakan, bahwa Direksi bertanggung jawab
penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta
mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan Sedangkan Pasal 85
UUPT menetapkan bahwa setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan
penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha Perseroan.
Pelanggaran terhadap hal ini dapat menyebabkan Direksi bertanggung jawab
penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan
tugasnya tersebut.
Menanggapi putusan bebas tersebut. Jaksa Penuntut Umum, Baringin
Sianturi menilai putusan Majelis Hakim yang menggunakan definisi kerugian
negara berdasarkan UU No. 1 Tahun 2004 tidak tepat. Baringin berpendapat
tindakan majelis hakim tersebut telah menyalahi prinsip non-retro aktif (tidak
127 Henry Campbell Black , Black’s Law Dictionary, hal. 625.
berlaku surut) karena UU Perbendaharaan Negara dikeluarkan tahun 2004,
sedangkan kejadiannya tahun 2002. Baringin juga tidak sependapat dengan
pertimbangan majelis yang menyatakan kerugian negara tidak ada karena PT.
CGN sudah mencicil per Desember 2005. Pasalnya, fakta sebenarnya adalah PT.
CGN baru mulai mencicil setelah direksi PT. CGN ditahan oleh kejaksaan.128
Maka ditambah dengan tujuh keterangan yang penulis ajukan dan
keterangan Prof Dr. Rudy Prasetya, SH dan Prof. Dr. Andi hamzah, SH sebagai
saksi ahli sebagai berikut :
Saksi ahli Prof. Dr. Rudy Prasetya, SH menyatakan : Bahwa Apabila suatu
keputusan yang diambil oleh direksi adalah hasil keputusan bersama dengan
persetujuan komisaris, maka RUPS yang diwakilkan komisaris bisa ikut
tanggung jawab (h. 187, alinea ke-7)
Saksi ahli Prof. Dr. Andi Hamzah , SH menyatakan : Bahwa ada satu
prinsip dalam hukum pemidanaan yang menyatakan yakni tidak ada
pertanggungjawaban pidana tanpa adanya kesalahan, sehingga dalam perkara
ini tidak bisa diterapkan asas strict liability ; (h. 196, alinea ke-3)
Penjelasan dari Prof. Rudy Prasetya sesungguhnya membuka adanya
dimungkinkannya pertanggungjawaban berdasarkan konsep vicarious liability
yaitu ”pelimpahan” kesalahan dari bawahan kepada atasan. Namun kita juga perlu
melihat lagi apakah bawahan dari ketiga Direktur tersebut yang melakukan
kesalahan, tentu tadi sudah sedikit penulis jelaskan tentang fiduciary of duty.
Sedangkan Prof. Andi Hamzah, menyatakan tidak mungkin melakukan
pertanggungjawaban pidana tanpa adanya kesalahan sehingga konsep strict
128 “Neloe Cs Lolos Dari Tuntutan 20 Tahun Penjara”, www.hukumonline.com, 20
Februari 2006.
liability yang penulis ajukan tentu terpatahkan kalau unsur kesalahan tidak ada
dan tidak terbukti. Namun penulis merasa yakin kalau kesalahan ketiga direktur
Pt. Bank Mandiri Tbk tersebut nyata-nyata ada. Berikut petikan putusan hakim
dan keterangan para ahli yang menyatakan berdasarkan penjelasan diatas tentang
adanya perbuatan melawan hukum yang menindikasikan adanya kesalahan dalam
putusan pemberian kredit.
1. Persyaratan kredit tidak lengkap
o bahwa dari keterangan saksi Indah telah diperoleh fakta hukum bahwa
document persyaratan permohonan kredit Bridging Loan tidak ada,
tidak seperti yang dilampirkan dalam permohonan kredit investasi ;
(h.215 alinea ke-2)
2. Tidak dilakukannya pengikatan terhadap agunan
o bahwa walaupun telah diatur baik dalam KPBM maupun PPK maupun
SPPK agar barang agunan tersebut diikat, akan tetapi PT. Bank
Mandiri Tbk selaku krediturnya tidak melakukan pengikatan itu secara
sempurna ; (h. 218 alinea ke-2)
Undang-undang No. 1 Tahun 1995 yang menyatakan bahwa Dewan
Direksi adalah yang bertanggung jawab atas segala operasional perseroan
terbatas atau korporasi (h.219 alinea ke-3). Terlebih diketahui tenyata
kelalaian tidak memasang hak tanggung tersebut berlangsung selama kurun
waktu 3 tahun, sejak 22 oktober 2002 hingga 2005 (h. 219 alinea ke1,2).
3. Surat Kuasa Memegang Hak Tanggung tidak menghapuskan kesalahan
terdakwa
Saksi ahli dari Bank Indonesia, Nani Purwati menyatakan bahwa sikap
kehati-hatian dalam pemberian kredit seharusnya tetap ada sekalipun
pengikatan barang agunan tidak dilakukan. Karena hal tersebut bertujuan
untuk memulihkan penguasaan Bank Mandiri atas barang agunan jika terjadi
kredit macet dikemudian hari. (h. 220 alinea ke-2). Majelis menyatakan tidak
melakukan pengikatan atas barang agunan maka perbuatan tersebut sudah
menyimpang SOP yaitu ketentuan dalam KPBM dan PPK PT Bank Mandiri
Tbk, sehingga walaupun Surat Kuasa Memegang Hak Tanggung sudah
dikuasai, hal itu tidak menghapuskan kesalahan para terdakwa (h. 220 alinea
ke-3).
Penulis tentu sepakat dengan pendapat majelis hakim yang penulis kuti
pdiatas karena berdasarkan fakta hukum yang terungkap dan tercatat dalam
putusan pengadilan memang terlihat jelas bahwa terdakwa memiliki unsur
sifat melawan hukum dengan tiga poin penting :
1. Bahwa dalam persyaratan permohonan bridging loan PT. CGN tidak
ada.
2. Bahwa tidak dilakukannya pengikatan terhadap barang agunan PT.
CGN.
3. Bahwa Surat Kuasa Memegang Hak Tanggung tidak menghapuskan
kesalahan terdakwa
Dengan demikian maka unsur melawan hukum yang secara nyata
merupakan sifat melawan hukum sudah terpenuhi maka pertanggungjawaban
pidana dapat diterapkan. Adapun yang tepat adalah bertnggungjawaban pidana
vicarious liability karena penulis memegang prinsip dalam UU No. 1 Tahun
1995 yang menyatakan bahwa Dewan Direksi adalah yang bertanggung jawab
atas segala operasional perseroan terbatas atau korporasi selain adanya
keterangan tentang Urutan pemutus kredit yaitu ”dari yang terendah adalah
terdakwa III, kemudian terdakwa II kemudian terdakwa I, selaku Direktur
Utama. (h.215 alinea ke-4)
Dalam hal ini karena pertanggungjawaban pidana korporasi yang
dianut dalam hukum pidana Indonesia mengharuskan bahwa perusahaan
bersalah dalam arti ada niat dan celaan objektif yang tertuang dalam perbuatan
perusahaan yang melawan hukum. Dalam kasus I.C.W Neloe dan kawan-
kawan yang menjadi terdakwa adalah mantan direktur utama, managemen dan
risk managemen. Mereka melakukan kesalahan dan kesengajaan berdasarkan
beukti-bukti tersebut pada poin 1 hingga 8 dengan nyata-nyata.
Menurut penulis, ketiga terdakwa seharusnya dinyatakan bersalah
kemudian dijatuhkan sanksi menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2001
tentang perubahan atas Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi, namun tidak dapat dijerat dengan pasal
yang terkait dengan pertanggungjawaban pidana korporasi. Karena
terdakwanya bukan korporasi atau ketiganya tidak dinyatakan sebagai
perwakilan dari korporasi. Vicarious liability hanya memudahkan dalam
menjatuhkan kesalahan kepada pemegang kekuasaan tertinggi.
Maka pertanggungjawaban pidana korporasi tidak melelekat pada
kasus ketiga terdakwa.
3. Analisa Putusan Hakim Mengenai Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Menurut Hukum Islam
Penulis akan mencoba menganalisa kasus tersebut diatas, terutama
dibagian akhir yang berkaitan dengan penerapan hukum Islam, yaitu berdasarkan
unsur hudud Sariqah dengan ta’zir khianat. maka penulis akan menguraikan
unsur–unsur sariqah dan ta’zir yang terdapat dalam kasus Bank Mandiri.
1. Pengambilan secara diam-diam.
Bahwa Persyaratan kredit tidak lengkap kemudian pencarian dana yang
sangat cepat yaitu hanya dalam satu hari penulis menggolongkannya kepada unsur
pencurian yaitu pengambilan secara diam-diam.
2. Barang yang diambil berupa harta.
Bahwa uang senilai $ 18,5 juta dollar atau senilai dengan Rp. 160 milyar.
telah dikelurkan oleh PT. Bank Mandiri. Hal ini memenuhi unsur pencurian lain
yaitu barang yang diambil berupa harta.
3. Harta tersebut milik orang lain
Dana yang ada di PT. Bank Mandiri adalah uang nasabah Bank Mandiri
yang disimpan disana dan dikelola oleh PT. Bank Mandiri. negara adalah pemilik
perusahaan tersebut. jadi negara juga mempunyai andil kepemilikan terhadap uang
dan sirkulasi keuangan di Pt. Bank Mandiri. Bank Mandiri dapat digolongkan
kepada badan hukum dalam Syariat Islam yaitu sama baitul mal (perbendaharaan
negara) sebagai “badan” (jihat) yakni badan hukum (syaksun ma’nawi). karena
sahamnya dimiliki sebahagian besar oleh negara.
4. Adanya niat melawan hukum atau kesengajaan melakukan kejahatan
Bahwa Persyaratan kredit tidak lengkap kemudian pencarian dana yang
sangat cepat dan tidak mengidahkan prinsip kehati-hatian yaitu hanya dalam satu
hari dan tidak dilakukannya pengikatan terhadap agunan merupakan unsur
melawan hukum.
Maka dengan demikian unsur pencurian sudah terpenuhi dalam konsep
hukum Islam. Adapun dalam pertanggungjawaban pidana korporasi maka harus
dilihat sejauh manakah adanya pembebasan ketiga direktur itu dengan hasil akibat
perbuatan atau tidak adanya hasil perbuatan yang dikerjakannya dengan kemauan
sendiri, dimana ia harus mengetahui maksud-maksud dan akibat-akibat dari
perbuatan itu.
Pertanggungjawaban pidana tersebut ditegakkan atas tiga hal : pertama
adanya perbuatan yang dilarang, kedua dikerjakan dengan kemauan sendiri, ketiga
pembuatnya mengetahi akibat perbuatannya tersebut.129 Dengan terpenuhinya
syarat-syarat tersebut, maka kita dapat mengetahui bahwa ketiga direktur tersebut
dapat dapat dibebani dengan pertanggungjawaban pidana.
Klasifikasi pertanggungjawaban pidana dalam Islam yaitu : manusia yang
berakal pikiran, dewasa dan berkemauan sendiri130 terpenuhi oleh ketiga mantan
direktur Bank Mandiri maka ketiga direktur tersebut dapat dikenakan
pertanggungjawaban pidana. Sedangkan mengenai pertanggungjawaban pidana
korporasinya, ketiga direktur dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana strict
liability atau liability without fault (pertanggungan tanpa kesalahan). Karena
hukum Islam tidak mengenal pertanggungjawaban delegasi atau vicarious
liability. Dalam Islam, kalau terjadi perbuatan-perbuatan yang dilarang dan yang
keluar dari orang-orang yang betindak atas nama badan hukum, maka orang-orang
itulah yang bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukannya.131
Terlebih Hukum Islam tidak mementingkan faktor kesalahan (guilty mind)
baik berupa kesengajaan (dolus) maupun kelalaian (culpa) dalam menjatuhi
hukuman pidana. Istilah yang digunakan untuk konsep seperti ini adalah
pertanggungjawaban mutlak132.
129 Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana h. 119
130 Ibid., h. 119
131 Ibid., h. 119-120.
132 Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, h.27
5. Unsur khianat yaitu menentang kebenaran dan tidak amanah.
Bahwa ketiga terdakwa merupakan direksi Bank Mandiri yaitu ECW
Neloe (mantan Direktur Utama), I Wayan Pugeg (mantan Direktur Manajemen
Resiko) dan M. Sholeh Tasripan (mantan Direktur Kredit Korporasi), ketiganya
memiliki kewajiban untuk melakukan menjalankan PT. Mandiri Tbk sesuai
dengan Peraturan perseroan terbatas, UU perbankan beserta peraturanrannya, serta
nilai kepemimpinan dan tanggungjawab dalam menjalankan tugas. Bahwa secara
jelas terdakwa melakukan usaha yang menyimpang dengan meminjamkan uang
sebesar Rp. 160 milyar kepada PT. CGN dengan kesengajaan melalaikan
ketentuan Undang-Undang Perbankan (UU No. 10 Tahun 1998) dan Kebijakan
Perkreditan Bank Mandiri (KPBM) tahun 2000 yaitu melanggar asas kehati-hatian
dari Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 dimana asas kehati-hatian Bank harus
memenuhi 5 C yaitu : Character, condition of economy, capital, collateral, dan
capacity, dan tujuan pemberian kredit adalah harus pada sektor produktif dan
dalam rangka pemberian kredit, Bank harus ada analisis yang mendalam, ada
kemampuan untuk pengembalian dari pihak debitur dan tidak melanggar asas
perkreditan yang sehat.
Kesengajaan melakukan kelalaian hanya mungkin dilakukan oleh orang-
orang yang menduduki posisi seperti terdakwa. Maka dari itu peranan jabatan,
kesempatan dan kedudukan merupakan hal sentral yang dapat menjadi unsur
khianat dalam memenuhi delik perbuatan pidana korupsi dalam Islam
Maka dari itu layaklah kemudian terdakwa dijatuhi sanksi ta’zir yang
ditetapkan oleh penguasa Islam. Sanksi tersebut dapat berupa penjara atau
hukuman paling berat yaitu hukuman mati. Penulis bersepakat dalam kasus
korupsi di PT. Mandiri Tbk pelakunya dijatuhi sanksi hukuman mati. Dengan
landasan bahwa sariqah dengan jumlah kerugian tidak lebih dari sepertiga gram
atau senilai 500 ribu rupiah dihukumi potong tangan maka kemudian pelaku
korupsi Rp. 160 milyar layak dijatuhi hukuman mati.
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Pada bab ini penulis mencoba memberikan kesemipulan terhadap
penjelasan yang sudah diutarakan tentang korupsi, pertanggungjawaban pidana
korporasi dan analisa terhadap putusan hakim pada dugaan tindak pidana korupsi
pada PT. Bank Mandiri, Tbk. Berikut adalah kesimpulan :
1. Tentang Pertanggungjawaban Pidana
a. Pertanggungjawaban pidana disusun dari unsur: pertama perbuatan, kedua
kesalahan, ketiga pertanggungjawaban pidana yaitu . yang melekat kepada
seseorang yang memiliki kemampuan bertanggunjawab melakukan
perbuatan pidana dengan kesalahan didalamnya serta ketiadaan adanya
alasan pemaaf sebagai sifat kesadaran akal.
b. Islam menyusun pertanggungjawaban pidana korporasi dengan dibebankan
kepada pengurus korprorasi dengan konsep pertanggungjawaban pidana
langsung tanpa memperhatikan kesalahan begitu juga dengan
pertanggungjawaban pidana korporasi dalam islam yang menganut konsep
strict liability, yang mementingkan akibat dari perbuatan bukan proses
atau cara dalam melakukan.
c. Pertanggungjawaban pidana korporasi yang banyak digunakan peraturan
perundang-undangan di Indonesia ada dua yaitu strict liabilty dan
vicarious liability. Dimana UU No. 20 Tahun 2001 jo. UU No. 31 Tahun
1999 pasal 20 korporasi bertanggungjawab dalam kejahatan yang dalam
lingkup hubungan pekerjaannya pertanggungjawaban pidana tersebut
digolongkan kepada vicarious liability.
d. Strict liabilty adalah pertanggungjawaban pidana korporasi yang cukup
mensyaratkan adanya perbuatan dan akibat dari perbuatan. tanpa
memperhatikan adanya kesalahan dari si Pembuat.
e. Vicarious liability adalah pertanggungjawaban pidana delegasi. yaitu
perbuatan dan kesalahan bawahan pertanggungjawaban pidananya
dilimpahkan kepada atasannya.
Konsep ini sesuai dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas.
2. Peraturan perundang-undangan tentang tidak pidana korupsi cukup lengkap
dengan adanya Undang-undang 31 Tahun 1999 dan Undang-undang No. 20
Tahun 2001 tentang perubahan terhadap Undang-undang 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hukum Islam mengatur
korupsi dengan dalil ketentuan unsure yang penulis sertakan adalah sariqah
atau pencurian kemudian hukumannya adalah Ta’zir dengan tambahan unsur
khianat atau tidak menjaga amanah dengan keterkaitan pasal 3 UU No. 31
tahun 1999 adalah unsur “…menyalahgunakan wewenang, kesempatan,
jabatan atau sarana yang ada pada jabatan dan kedudukan..”. Sedangkan
sanksi yang hukumannya diserahkan kepada penguasa.
3. Bahwa kasus Bank Mandiri dari terdakwa ketiga mantan Direktur merupakan
kasus tindak pidana korupsi. hasil dari penelitian penulis tentang ini adalah :
a. Majelis Hakim memberikan pertimbangan keliru tentang unsur ”dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.
b. Bahwa kalau Majelis Hakim melakukan pertimbangan unsur ”dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” sesuai dengan
kaidah hukum pidana maka ketiga Mantan Dirut Bank Mandiri dapat
dihukum namun dengan asas pertanggungjawaban pidana biasa (bukan
korporasi) atau bukan dengan vicarious liability. Karena merupakan
kesalahan / kelalaian terdakwa pribadi dalam melakukan kejahatan
tersebut bukan bagian dari sistem yang ada di PT. Mandiri Tbk.. Hal
tersebut dapat dilihat dengan catatan bahwa surat dakwaan dari jaksa
oenuntut umum tidak ada yang mengatasnamakan PT. Mandiri Tbk
sebagai korporasi
c. Bahwa kasus Bank Mandiri dengan terdakwa ketiga mantan Direktur
sebetulnya sudah memenuhi kualifikasi ta’zir dalam hukum Islam yaitu
akumulasi unsur sariqah dengan unsur ta’zir yaitu khianat. Dalam hukum
Islam dapat dijerat dengan pertanggungjawaban pidana korporasi tanpa
kesalahan strict liability.
B. Saran
Penulis merasa perlu memberikan beberapa saran terkait dengan penelitian
yang penulis lakukan. Antara lain :
1. Bahwa hakim yang mengadili ketiga terdakwa dalam kasus dugaan korupsi
PT. Bank Mandiri Tbk layak diperiksa oleh Komisi Yudisial.
2. Bahwa Hukum Pidana Islam harus menjadi bagian integral dari hukum
nasional.
Daftar Pustaka
Audah, Abdul Qadir, ‘at Tasyri’ al Jina’iy al Islamiy, Juz I, Beirut: Al-
Qahiroh Dar Al Kitab, 1977.
Ali, Chidir, Badan Hukum, Bandung: Alumni, 1991. Cet. Ke II.
Arief, Barda Bawawi, “Masalah Penegakkan Hukum & Kebijakan
Penanggulangan Kejahatan”, Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2001. Cet. Ke-1.
Amrullaah, Arief, Kejahatan Korporasi –The Hunt For Mega Profits
And Attack Democracy- Jawa Timur: Bayu Media, 2006.
Arief, Barda Nawawi, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali
Press, 1990.
Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co.,
St. Paul, Minnessota, 1990, ed.6, h. 339.
Brataatmaja, T. Heru Kasida, Kamus Bahasa Indonesia, Yogyakarta:
Kanisius, 1993.
Chawazi, Adami, Hukum Pidana Materiil Dan Formiil Korupsi Di
Indonesia, Jakarta: Bayu Media, 2005. Cet. Ke-2.
Djanim, Rantawan, Korporasi dan Pertanggungjawaban Pidana,
Semarang, Badan Penerbit Diponegoro, 2006.
Effendi, Rusli, A.Z. Abidin Farid, Barny C.M., Masalah Kriminalisasi
Dan Dekriminalisasi Dalam Rangka Pembahasan Hukum Pidana, Dalam
BPHN-DepKeh, Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional,
Bandung: Bina Cipta, 1986.
Farid, Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika,
1995.
------, Bunga Rampai Hukum Pidana, Jakarta, Pradnya Paramita, 1983.
Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Pedoman
Penulisan Skripsi, Jakarta: Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah, 2004.
Garnasih, Yenti, Marwan Effendi, dkk, Benang Kusut Peradilan
Korupsi Perbankan, Catatan Hasil Eksaminasi Putusan Neloe Dkk, Jakarta,
KRHN, 2006. Cet. Ke-1.
Hamzah, Andi, Korupsi Di Indonesia dan Pemecahannya, Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 1991.
---------, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Cet
Ke-2.
---------, Pemberantasan Korupsi Dalam Hukum Pidana Nasional Dan
Internasional, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.
Huda, Chairul, “Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” Menuju
Kepada “Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan”, Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2006.
Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 2006.
Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
KPK, Memahami Untuk Membasmi –Buku Saku Untuk Memahami
Tindak Pidana Korupsi-, Jakarta: KPK, 2006. Cet Ke-2.
Loqman, Loebby, Pertanggungan Jawab Pidana Bagi Korporasi
Dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup, Jakarta: Kantor Meneg KLH, 1989.
Moleong, Lexi J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja
Rosda Karya, 2005.
Marpaung, Leden, Asas Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar
Grafika, 2005.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2002.
Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam –
Fikih Jinayah- Jakarta: Media Grafika, 2006.
Malang Corruption Watch, Mengerti Dan Melawan Korupsi, Jakarta:
Sentralisme Production, 2005.
Poernomo, Bambang, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Ghalia
Indonesia, 1994.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 1976.
Remmelink, Jan, Hukum Pidana, Jakarta: Gramedia Pustaka, 2003.
Suma, Muhammad Amin, dkk, Pidana Islam Di Indonesia –Peluang,
Prospek Dan Tantangan-, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001. Cet. Ke-1.
Sjahdeini, Sutan Remy, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,
Jakarta: Grafitti Pers, 2006.
Simpson, Sally S., Strategy, Structure and Corporate Crime, 4
Advances in Criminological Theory 171 (1993)
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002.
Saleh, Roeslan, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana –
Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana-, Jakarta: Aksara Baru, 1983.
------, Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungan Jawab Pidana, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1982.
------, Sifat Melawan Hukum Dari Perbuatan Hukum Pidana, Jakarta:
Aksara Baru, 1987.
Soetjipto, Andi Andojo, Indroharto, MH. Silaban, et all. Kapita Selekta
Hukum dalam Buku Mengenang Prof. H. Oemar Seno Adjie, ed Machrup
Elrick, Jakarta: Ghalia Indonesia,1996.
Wiyono, R., Pembahasan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi,
Jakarta: Sinar Grafika, 2005. Cet Ke-1.
Yandianto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Bandung: MZS, 1997.
Yunara, Edi, Korupsi Dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,
tanpa tempat: PT. Citra Aditya Bakti, 2005
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Terhadap Undang-undang
No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Perpres No. 14 Tahun 2007
Putusan Pengadilan
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pidana No:
2068/Pid.B/2005/PN.Jak.Sel.
Makalah atau Artikel
Artikel Moeljatno, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban
Dalam Hukum Pidana, Pidato dies natalies Universitas Gajah Mada tahun
1955.
Muladi, “Fungsionalisasi Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana
Korporasi”, Makalah Seminar Nasional Kejahatan Korporasi di FH UNDIP,
Semarang, 23-24 November
Majalah Legal Review no. 22/th ii 30 juni – 31 juli 2004
Bismar Nasution, tentang Kejahatan Korporasi Dan
Pertanggungjawaban Pidananya. Artikel.
Surya Online. 19 juni 2007; Laporan Independen Audit BPK Terhadap
Bencana Lumpur Lapindo.
Koran atau Internet
ECW Neloe: “Nilailah Saya Dengan Hati Nurani”,
www.hukumonline.com, 9 Februari 2006
Neloe Cs Lolos Dari Tuntutan 20 Tahun Penjara”,
www.hukumonline.com, 20 Februari 2006.
Neloe : “Negara Tak dirugikan”, www.hukumonline.com. Kompas, 10
Februari 2006
KY Panggil Majelis Hakim Kredit Macet Bank Mandiri”,
www.republika.co.id, Jumat 10 maret 2006
UU Korupsi Menganut Kerugian Negara Dalam Arti Formil”, 21
februari 2006
Neloe dkk. “Dituntut 20 Tahun penjara”, Kompas, 27 Januari 2006
www.hukumonline.com,
http://en.wikipedia.org/wiki/Corporate_liability