ANALISIS PENGELOLAAN DANA TA’ZIR DAN TA’WIDH...
Transcript of ANALISIS PENGELOLAAN DANA TA’ZIR DAN TA’WIDH...
ANALISIS PENGELOLAAN DANA TA’ZIR DAN TA’WIDH BAGI
NASABAH WANPRESTASI PADA PT. BRISYARIAH
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)
OLEH:
ARIANTO SAPUTRA
NIM: 1110046100186
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/ 2014 M
1435H12014M
JAKARTA
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HIJKUM
PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)
KONSENTRASIPERBANKANSYARlAH
NIP: 197711092009122001NIP: 197512012005011005
Erika Amelia, M. Si/ t Vj!.b
an Ali, MA
Pembimbing IIPembimbing I
NIM: 1110046100186
ARIANTO SAPUTRA
Oleh :
Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
SKRIPSI
ANALISIS PENGELOLAAN DANA TA'Zm DAN TA'WIDH BAGINASABAH WANPRESTASI PADA PT. BRISYARIAH
: Drs. H. Burhanuddin Yusuf, MM, .NIA.( ).NIP. 195406181981031005
Penguji II
:H. All. Azharuddin Lathif, M.Ag, MEL ( .NIP. 197407252001121001
Penguji I
: Erika Amelia, M Sr.NaP. 197711092009122001
Pembimbing II
: AM Hasan Ali, MA.NIP. 197512012005011005
Pembimbing I
: Abdurrauf, Lc, MA.NIP .197312}52005011002
Ketua
PENITIA UJlAN MUNAQASY AD
Selcretaris
. H. 1M.Muslimin, MA, Ph.D .. 196808121999031014
MengesahkanDekan Fakultas Syariah dan Hukum
Jakarta, 26 Agustus 2014
-Skripsi yang berjudul "Analisis Pengelolaan Dana Ta'zir dan Ta'widk bagiNasabah Wanprestasi pada PT. BRISyariah" telah diujikan dalam sidangmunaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum DIN Syarif Hidayatullah Jakarta padatanggal 26 Agustus 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untukmemperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S 1) pada Program Studi Muamalat(Ekortomi Islam).
PENGESARAN PANITIA UJIAN
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan, bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya sendiri yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayahtullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 11 Agustus 2014/ 1435 H
Arianto Saputra
ABSTRAK
Arianto Saputra. NIM 1110046100186 Analisis Pengelolaan Dana Ta’zir
dan Ta’widh bagi Nasabah Wanprestasi pada PT. BRISyariah, Skripsi
Konsentrasi Perbankan Syariah, Program Studi Muamalat (Ekonomi Islam), Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana praktek ta’zir dan ta’widh
pada nasabah wanprestasi khususnya di BRISyariah, serta bagaimana menentukan
besarannya dan bagaimana cara BRISyariah melihat mana nasabah yang layak
dikenakan ta’zir dan ta’widh dan mana nasabah yang tidak layak dikenanakan ta’zir
dan ta’widh. Serta penulisan laporan dana ta’zir pada sisi BRISyariah dan
pengalokasiannya dana tersebut apakah sudah sesuai sebagai dana sosial yang
diperuntukan untuk kegiatan sosial.
Metode penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif yang menghasilkan
data yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan prosedur statistik. Adapun jenis
penelitian ini kualitatif yang bersifat deskriptif. Sehingga data-data yang diperoleh
dikumpulkan dan diamati berbentuk kata-kata atau gambar.
Hasil dari penelitian ini ta’zir dikenakan kepada nasabah yang mampu tetapi
enggan memenuhi prestasinya dan menunggaknya pun belum masuk ke dalam tingkat
kolekbilitas macet. Adapun besarannya ditentukan diawal kontrak. Dana yang
terkumpul dari ta’zir ini diperuntukan untuk kegiatan sosial. Sedangkan ta’widh
dikenakan kepada nasabah yang lalai dan ini merupakan tindak lanjut dari nasabah
yang sudah dikenakan ta’zir tapi masih tidak memenuhi prestasinya dan nasabah
tidak bisa menunjuka bahwa ia dalam keadaan force majeur. Sedangkan ta’widh
berbeda dengan ta’zir karena ta’widh dapat diakui sebagai pendapatan oleh bank
syariah.
Kata kunci: ta’zir, ta’widh, pembiayaan, dan wanprestasi.
Pembimbing: A.M Hasan Ali, MA dan Erika Amelia, M.Si
Daftar Pustaka: tahun 1987 s.d. tahun 2012
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Alhamdulillah, puja dan syukur kehadirat Allah SWT saya panjatkan atas
limpahan karunia rahmat, iman dan nikmat yang selalu diberikan kepada saya,
karena karunianya lah sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Shalawat beriring salam selalu tercurah kepada pimpinan umat dan suri tauladan
yang baik baginda nabi besar Muhammad SAW, karena perjuangan beliaulah
sehingga islam sampai ketanah air kita ini. Dan telah membawa umat manusia
dari zaman jahiliyah ke zaman terang-menerang.
Dalam penulisan skripsi ini, saya menyadari bahwa saya tidak akan bisa
menyelesaikannya skripsi ini dengan sendiri, oleh karena itu saya banyak
mendapat bantuan dari berbagai pihak yang senantiasa selalu membantu saya baik
bimbingan, saran, data, motivasi dan semangat dan lainnya. Pada kesempatan
berharga ini, saya ingin menyampaikan rasa terima kasih saya yang sebesar-
besarnya kepada :
1. Kepada Bapak Dr. H. JM. Muslimin, MA, Ph.D selaku dekan fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
yang saya hormati dan selalu memberikan yang terbaik untuk para
mahasiswa.
2. H. Ah. Azharuddin Lathif, M. Ag, MH selaku Ketua Program Studi
Muamalat (Ekomoni Islam) dan Abdurrauf, Lc, MA. Selaku Sekretaris
Program Studi Muamalat Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
vii
Negeri syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu memberikan arahan dan
bimbingan kepada saya selama menjadi mahasiswa prodi Muamalat.
3. Bapak A.M Hasan Ali dan Ibu Erika Amelia, dosen pembimbing yang
senantiasa selalu membimbing dan memeberikan sarannya untuk saya
demi kelancaran penulisan skripsi saya ini.
4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas syarih
Hidayatullah Jakarta, yang selalu ikhlas dalam memberikan ilmunya
kepada mahisiswa.
5. Staf perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah dan staf Perpustakaan
fakultas syariah dan hukum. Yang telah memeberikan pelayanan kepada
saya demi memperoleh data pustaka.
6. Kepada PT BRISyariah, Khususnya bapak Gunawan Yasni selaku Dewan
Pengawas Syariah (DPS), Ibu Reni, ibu Putri sebagai Pimpinan Cabang
Pembantu BRISyariah Serpong, yang telah membantu saya dalam
memberika informasi dan data terkait penulisan saya.
7. Keluarga tercinta, penulis haturkan rasa terima kasih yang tulus kepada
Ayahanda H. sumar dan Ibunda Ratna, kakaku Indah dan Fahmi, Nelvi
dan Ilyas, Yenti dan Hidayat, Yusi dan Marendy, dan untuk adiku Desi
Putri yani, dan seluruh keponakanku. Doa dan kasih sayang keluargaku
yang tulus sehingga saya bersemangat menyelesaikan skripsi ini.
8. Dan untuk semua temen-temen yang sama-sama berjuang khususnya PSD
2010, angkatan 16 DM, dan KKN Mestakung. terima kasih atas
viii
persahabatan dan pertemanan kita selama ini, sehingga hal itu tidak bisa
dilupakan. Terus maju dan tetaplah semangat demi menggapai cita-cita
kita.
Jakarta, Agustus 2014
Penulis
Arianto Saputra
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................ iii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................ iv
ABSTRAK ........................................................................................................ v
KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ...................................................................... 8
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah .............................................. 8
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 9
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ............................................ 10
F. Kerangka Teori dan Konseptual .................................................... 14
BAB II TINJAUAN TEORITIS
A. Pembiayaan
1. Pembiayaan dengan Prinsip Jual-Beli ..................................... 18
2. Pembiayaan dengan Prinsip Sewa ........................................... 21
3. Pembiayaan dengan Prinsip Bagi Hasil .................................. 22
4. Pembiayaan dengan Akad Pelengkap ..................................... 24
B. Ta’zir
1. Pengertian Ta’zir ...................................................................... 27
2. Ladasan Hukum ...................................................................... 30
C. Ta’widh
1. Pengertian Ta’widh ................................................................. 31
2. Ganti Rugi Menurut KUH Perdata .......................................... 31
x
3. Landasan Hukum .................................................................... 33
4. Pendapat Ulama tentang Ta’widh (Ganti Rugi) ...................... 35
D. Wanprestasi
1. Pengertian Wanprestasi ........................................................... 36
2. Mulai Terjadinya Wanprestasi ................................................ 37
3. Akibat Adanya Wanprestasi .................................................... 38
4. Tuntutan Atas Dasar Wanpretasi ............................................ 39
BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................ 40
B. Metode Penelitian .......................................................................... 40
C. Jenis Penelitian .............................................................................. 40
D. Metode Pengumpulan Data ........................................................... 41
E. Jenis dan Sumber Data .................................................................. 42
F. Teknik Analisis Data ..................................................................... 43
G. Teknik Penulisan ........................................................................... 44
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Tinjauan Umum tentang BRISyariah
1. Sejarah Berdirinya BRISyariah ............................................... 44
2. Visi dan Misi ........................................................................... 45
B. Pembiayaan pada BRISyariah
1. Produk Pembiayaan BRISyariah ............................................. 46
2. Faktor-Faktor yang Menjadi Pertimbangan BRISyariah dalam
Menyalurkan Pembiaayaan ..................................................... 49
C. Pemberlakuan Ta’zir pada Nasabah Wanprestasi
1. Ketentuan Ta’zir pada BRISyariah ......................................... 55
2. Menentukan Besaran ta’zir ..................................................... 57
3. Pengalokasian Dana Ta’zir ..................................................... 58
xi
D. Pemberlakuan Ta’widh pada Nasabah Wanprestasi
1. Ketentuan Ta’widh pada BRISyariah ..................................... 61
2. Tindakan Penyelesaian Kredit Macet pada BRISyariah ......... 63
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................... 69
B. Saran .............................................................................................. 70
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 71
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan perekonomian masyarakat yang semakin canggih dan
modern maka munculah jasa pembiayaan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan
bank. Oleh sebab itu karena zaman sudah sangat maju maka kegiatan
perekonomian tidak akan sempurna tanpa adanya lembaga keuangan yang dapat
membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhanya.
Kegiatan pembiayaan (financing) merupakan salah satu tugas pokok bank,
yaitu pemberian fasilitas penyediaaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-
pihak yang merupakan deficit unit1
Dalam dunia perekonomian modern bank merupakan alat yang vital, tanpa
lembaga bank perekonomian tidak akan lancar. Islam adalah agama yang mengatur
umatnya dalam kehidupan dunia dan akhirat demi kemaslahatan termasuk
didalamnya kemaslahatan perekonomian. Maka kedudukan bank dalam islam
merupakan salah satu bentuk perekonomian yang dianjurkkan oleh islam, yaitu
membentuk salah satu alat vital perekonomian modern.2
1 Zainul Arifin, Dasar-Dasar Menajemen bank Syariah, cet.IV, (jakarta : Pustaka
Alvabet,2006), h.200. 2 Hendi Suhendi, fiqh Muamalat, cet.VI, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2010), h.287.
2
Awal mula berkembangnya bank syariah di Indonesia pada tahun 1991
yaitu UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan, yang antara lain menyebutkan
dimungkinkannya berdiri bank dengan system bagi hasil. UU itu menjadi dasar
berdirinya bank muamalat Indonesia. Kemudian UU itu diperbaiki dengan UU
No.10 Tahun 1998 tentang perbankan, yang memeberi peluang diterapkannya
dual banking system dalam perbankan nasional ini.1
Dimulai dari sinilah banyak bermunculan lembaga-lembaga keuangan
yang menggunakan prinsip syariah. Mengingat banyaknya masyarakat Indonesia
yang notabennya beragama islam. Sehingga memiliki cakupan pasar yang amat
luas apabila mengembangkan lembaga keuangan yang berbasis syariah.
Dengan diberlakukannya undang-undang No 21 tahun 2008 tentang
perbankan syariah yang terbit tanggal 16 juli 2008, maka perkembangan industri
perbankan syariah di Indonesia semakin memiliki landasan hukum yang memadai
dan secara tidak langsung akan merangsang pertumbuhan bank-bank syariah di
indonesia.
Pada dasarnya bank syariah dan bank konvesional memiliki fungsi yang
sama yaitu, menghimpun dana (funding), menyalurkan dana (financing), dan
melayani profuk jasa (service). Yang membedakannya ialah pada bank syariah
tidak mengenal yang namanya riba.
1 Mustafa Edwin Nasution, dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, cet.II,
(Jakarta:Kencana Prenada Media Group,2007), h.191.
3
Dalam mengimpun dana masyarakat bank syariah banyak menggunakan
akad wadi’ah yad dhamanah. Pada prinsipnya wadi’ah yad dhamanah harta
titipan boleh dimanfaatkan kepada pihak yang dititipi, tetapi pihak yang dititipi
bertanggung jawab penuh atas keutuhan harta yang dititipi sewaktu-waktu orang
yang menitipi mengambil hartanya kembali. Kemudian bank syariah juga
menggunakan akad mudharabah, baik mudharabah mutlaqah ataupun
muqayyadah.
Dalam menyalurkan dananya pada nasabah, secara garis besar produk
pembiayaan syariah terbagi kedalam empat kategori yang dibedakan berdasarkan
tujuan penggunaannya, yaitu:
1. Pembiayaan dengan prinsip jual-beli.
2. Pembiayaan dengan prinsip sewa.
3. Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil.
4. Pembiayaan dengan akad pelengkap.2
Dari data statistic perbankan syariah bank Indonesia (BI) di kuartal
pertama tahun 2013. Pada data tersebut, bank umum syariah dan unit usaha
syariah membukukan pembiayaan sebesar RP 161,8 triliun. Total pembiayaan
2 Adiwarman A. karim, Bank islam dan Analisis Keuangan,cet.VIII (Jakarta: Rajagrafindo
Persada,2011), h.97.
4
tersebut tumbuh 47,62% dibandingkan priode yang sama tahun lalu yakni RP
109,655 triliun.3
Tabel statistic perbankan syariah juli 20134
Miliar rupiah
Komposisi Pembiayaan Yang diberikan BUS dan UUS
Akad 2013
Jan Feb Mar Apr Mai Jun Jul
Mudharabah 12.027 12.056 12.102 12.026 12.168 12.629 13.281
Musyarakah 28.092 28.896 30.857 32.288 33.743 35.057 35.997
Murabah 89.665 92.792 97.415 98.368 100.184 102.588 104.718
Salam 0 0 0 0 0 0 0
Istishna’ 382 414 424 479 496 487 508
Ijarah 7.520 7.808 8.363 8.619 9.501 9.550 9.546
Qard 11.986 12.107 11.919 11.626 11.168 10.917 10.436
Lainnya 0 0 0 0 0 0 0
Jumlah 149.672 154.072 161.081 163.407 167.259 171.227 174.486
dalam menjalankan pembiayaan bank sebagai media intermediasi yaitu
menghimpun dana dari nasabah yang kelebihan dana dan menyalurkannya kepada
nasabah yang kekurangan dana. Yang menjadi perhatian ialah ketika bank
menyalurkan dana atau melakukan pembiayaan kepada nasabah pembiayaan. Dan
terjadilah gagal bayar atau wanprestasi.
3 Wisnu AS,”Perbankan Syariah Didorong Biayai Sektor Produktif”, artikel diakses pada 5
Februari 2014 dari http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/05/23/2/156133/Perbankan-
Syariah-Didorong-Biayai-Sektor-Produktif. 4“Statistik Perbankan Syariah”, artikel diakses pada 4 April 2014 dari
http://www.bi.go.id/id/statistik/perbankan/syariah/Documents/a2566069e5604a098844fff7171d260bS
PSJuli2014.pdf 4/4/14.
5
Gagal bayar atau wanprestasi merupakan risiko yang dialami bank syariah
dalam melakukan pembiayaan yang dimana risiko tersebut harus diminimalisir
demi mendapatkan keuntungan yang maksimal.
Akibat dari wanprestasi itu biasanya dapat dikenakan sanksi ganti,
pembatalan kontrak, peralihan resiko, maupun membayar biaya perkara . sebagai
contoh seorang debitur dituduh melakukan perbuatan melawan hukum, lalai atau
secara sengaja tidak melaksankan sesuai bunyi yang telah disepakati dalam
kontrak, jika terbukti maka debitur harus mengganti kerugian (termasuk ganti rugi
+ bunga+ biaya perkaranya.5
Adapun seorang debitur yang dapat dikatakan telah melakukan
wanprestasi ada 4 macam yaitu:
1. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
2. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak sebagai mana mestinya.
3. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat pada waktunya.
4. Debitur memenuhi prestasi, tetapi melakukan yang dilarang
dalamperjanjian.6
Risiko dalam konteks perbankan merupakan suatu kejadian potensial, baik
yang dapat diperkirakan (anticipated) maupun yang tidak dapat diperkirakan
5 Saefuddin Arif dan azharuddin lathif, Kontrak Bisnis syariah, (Jakarta: Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2011), h.9. 6 Ibid., h.10.
6
(unanticipated) yang berdampak negative terhadap pendapatan dan permodalan
bank. Risiko-risiko tersebut tidak dapat dihindarkan, tetapi dapat dikelola dan
dikendalikan.7
Dalam mengendalikan risiko nasabah yang gagal bayar atau menunda-
nunda pembayaran maka bank menerapakan denda yang dikenal dengan ta’zir.
Dan meminta ganti rugi atas kerugian yang dialami bank karena menunda-nunda
pembayaran.
Walaupun telah diatur dalam fatwa DSN No: 17/DSN-MUI/IX/2000
Tentang SANKSI ATAS NASABAH MAMPU YANG MENUNDA-NUNDA
PEMBAYARAN, dan fatwa No: 43/DSN-MUI/VIII/2004 Tentang GANTI
RUGI. Dari kedua fatwa ini yang menjadi landasan hukum bagi bank syariah
ataupun lembaga keuangan yang berbasis syariah dalam merapkan sanksi apabila
nasabah pembiayaan terjadi wanprestasi atau gagal bayar .
Dari kedua fatwa diatas sudah cukup jelas, perbedaan antara ta’zir (denda)
dan ta’widh (ganti rugi) yang diberlakukan bank kepada nasabah pembiayaan
yang gagal bayar atau wanprestasi, dan dalam fatwa tersebut sudah dijelaskan
pula dana yang diterima ada yang diperuntukan sebagai dana social yaitu ta’zir
dan ada dana yang menjadi hak (pendapatan bank) yaitu ta’widh.
7 Adiwarman A. karim, Bank Islam dan Analisis Keuangan, cet.VIII, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2011), hal.255.
7
Pada kesempatan kali ini saya mencoba menelusuri bagaimana bank
menentukan kriteria dalam menetukan mana nasabah yang dikenakan ta’zir dan
mana nasabah yang dikenakan ta’widh, atau setiap nasabah yang gagal bayar pasti
dikenakan kedua-duanya. Dan bagaimana penulisan dalam akuntasi bank serta
untuk apa saja dana social yang berasal dari ta’zir diperuntukan.
Ta’zir dan ta’widh diberlakukan oleh bank syariah dalam upaya mencegah
nasabah yang lalai akan kewajibannya. Karena dapat mengganggu kinerja bank
dan berpengaruh langsung pada liquiditas dan cashflow bank syariah.
Dalam penerapan ta’zir dan ta’widh ada beberapa masalah yang dihadapi
oleh bank, yaitu bagaimana bank syariah mengetahui bahwa nasabah tersebut
benar-benar lalai dalam melaksanakan kewajiban padahal dia mampu dan nasabah
yang cidera janji dan usahanya pun sedang merosot sehingga menurut fatwa DSN
tidak berhak dikenakan ta’zir dan ta’widh.
Untuk tindak lebih lanjut, dari latar belakang diatas penulis ingin
menuangkankannya dalam kajian ilmiah dalam bentuk skripsi dengan tema
“Analisis pengelolaan dana ta’zir dan ta’widh bagi nasabah wanprestasi pada
PT. BRISyariah”.
8
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian singkat diatas, penulis dapat mengidentifikasi
beberapa masalah terkait penerapan ta’zir dan ta’widh pada BRISyariah. Adapun
masalah yang terkait sebagai berikut:
1. Bagaimana cara bank syariah khususnya BRI Syariah dalam menentukan
nasabah yang layak dikenakan ta’widh dan ta’zir?
2. Sudah sesuaikah penerapan ta’zir dan ta’widh pada BRISyariah dengan
fatwa DSN-MUI?
3. Apakah ta’widh dan ta’zir pada BRI Syariah memiliki besar yang sama
dengan total agunan berbeda?
4. Apakah BRI Syariah melakukan analisis pada nasabah sebelum
mengenakan ta’zir dan ta’widh?
5. Bagaimana penyajian laporan keuangan dana sosial pada BRISyariah?
6. Apakah pengalokasian dana ta’zir sudah tepat sasaran sebagai dana social
atau dana non-halal?
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah
Agar mempermudah dalam penulisan dan tidak melebar jauh dari
focus awal. Maka penulisan membatasi masalah pada pemberlakuan ta’zir dan
ta’widh pada nasabah wanprestasi atau gagal bayar dan analisis yang
dilakukan bank syariah sebelum mengenakan ta’zir dan ta’widh serta
9
pengalokasian dana ta’zir yang diklaim sebagai dana social atau dana non-
halal.
Adapun rumusan masalah yang ingin diteliti sehingga memepermudah
penulis dalam penyusunan. Maka dirimuskan beberapa masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana proses pengelolaan ta’zir dan ta’widh pada nasabah
wanprestasi di BRISyariah?
2. Apakah penerapan ta’zir dan Ta’widh di BRISyariah sudah sesuai
dengan fatwa DSN-MUI?
3. Bagaimana alokasi dana ta’zir pada BRISyariah?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penulisan skripsi memiliki beberapa tujuan yang ingin dicapai dan
beberapa manfaat:
1. Untuk mengetahui pengelolaan ta’zir dan ta’widh diperbankan syariah
secara umum apakah sudah sesuaikah dengan fatwa dsn-MUI, dan
khususnya disini pada BRISyariah.
2. Untuk mengetahui cara BRISyariah menganalisis nasabah mana yang
layak dan tidak dikenakan ta’zir dan ta’widh.
3. Untuk mengetahui pengalokasian dana ta’zir yang dimasukan sebagai
dana social atau non-halal.
10
Adapun beberapa manfaat sebagai berikut:
1. Penelitian ini bermanfaat bagi nasabah wanprestasi, bahwa denda yang
mereka keluarkan. Mereka dapat mengetahui kemana uang mereka
dialokasikan. Serta dapat menghilangkan kecurigaan nasabah terhadap
dana non-halal yang ada pada bank syariah.
2. Nasabah dapat mengetahui bahwa keberadaan dana non-halal benar-
benar ada atau tidak pada perbankan.
3. Dan banyak pihak dapat mengetahui bagaimana perbankan syariah
menentukan kriteria-kriteria penetapan ta’zir dan ta’widh pada nasabah
wanprestasi.
E. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu
NO Aspek Perbandingan Studi Terdahulu Rencana Skripsi
1 A. Judul
Analisis Penerapan
Fatwa DSN-MUI No.
43/DSN/VIII/2004
tentang Ta’widh pada
Pembiayaan
Murabahah di PT Bank
Syariah bukopin.
Penulis: Muis Hidayat,
Analisis Pengelolaan
Dana Ta’zir dan
Ta’widh Bagi
Nasabah Wanprestasi
pada PT. BRISyariah.
11
B. Fokus
C. Metode
Penelitian
Mahasiswa UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
fakultas Syariah dan
Hukum. Konsentrasi
Perbankan Syariah.
Penelitian ini berfokus
pada latar belakang
terbentuknya fatwa
DSN-MUI No.
43/DSN/VIII/2004
tentang ta’widh. Dan
bagaimana
penerapannya pada
pembiayaan murabahah
pada PT. bank Bukopin
syariah.
Kualitatif Deskriptif
Adapun fokus peneliti
sendiri ialah berfokus
pada pemberian
sanksi ta’zir dan
ta’widh pada nasabah
wanprestasi. Dan
bagaimana bank
syariah menentukan
faktor yang menjadi
pertimbangan untuk
pemberian
pembiayaan.
Kualitatif Deskriptif
2 A. Judul
Pengaruh Pengenaan
Ta’zir Terhadap
Analisis Pengelolaan
Dana Ta’zir dan
12
B. Fokus
Tingkat Non Perfoming
Financing (NPF) Studi
Kasus kjks BMT al-
fath IKMI cabag
Jombang.
Penulis: Ani Fitriyani
mahasiswa UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
fakultas syariah dan
hukum. Konsentrasi
perbankan syariah.
Penelitian ini berfokus
pada tingkat pengaruh
pengenaan ta’zir
terhadap Tingkat non
perfoming financing
(NPF) pada kjks BMT
al-fath IKMI Jombang.
Dan bagaimana proses
pengenaan ta’zir pada
BMT tersebut.
Ta’widh Bagi
Nasabah Wanprestasi
pada PT. BRISyariah.
rencana peneliti
sendiri hanya akan
meneliti bagaimana
proses pengenaan
ta’zir, baik dalam
menentukan mana
nasabah yang layak
dikenakan ta’zir dan
mana yang tidak. Dan
proses
perhitungannya.
13
C. Metode
Penelitian
Kualitatif Deskriptif
3. A. Judul
B. Fokus
Mekanisme Penetapan
Ta’widh di Bank BNI
Syariah pada Produk
Hasanah Card (analisis
fiqih).
Penulis: Samnur
Abdullah mahasiswa
UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
Fakultas Syariah dan
Hukum. Konsentrasi
Perbanka syariah.
Pada penelitian ini
membahas ta’widh
pada produk hasanah
card pada BNI syariah.
Dan bagaimaa proses
yang diterapkan pada
pengenaan ta’widh
Analisis Pengelolaan
Dana Ta’zir dan
Ta’widh Bagi
Nasabah Wanprestasi
pada PT. BRISyariah.
Peneliti sendiri
mencoba mengalisis
proses pengenaan
ta’zir dan ta’widh
pada pembiayaan.
Dan proses keduanya
jadi tidak menitik
14
D. Metode
Penelitian
sendiri. Serta lebih
menitik beratkan pada
analisis fiqih.
Deskriptif
beratkan pada salah
satu aspek saja.
F. Kerangka Teori dan Konseptual
Pembiayaan adalah suatu hal yang lazim dilakukan oleh bank syariah.
Pembiayaan sendiri merupakan tugas bank sebagai media intermediasi, yaitu
mengumpulkan dan kemudian meyalurkan dana tersebut.
adapun sifat kegunaanya pembiayaan dapat dibagi dalam:
1. Memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis dipakai untuk
memenuhi kebutuhan; dan
2. Produksi dalam bentuk yang luas, yaitu untuk meningkatkan usaha, baik
usaha produksi, perdagangan maupun investasi.8
Dalam melakukan pembiayaan bank syariah pasti dihadapi dengan resiko
pembiayaan atau risiko kredit akibat kegagalan bayar nasabah pembiayaan baik
disengaja menunda-nunda pembayaran maupun disebabkan karena force majeur.
8 Zainul Arifin, Dasar-Dasar Menajemen bank Syariah,cet.IV, (jakarta : Pustaka
Alvabet,2006), h.200-201.
15
Sedangkan pembiayaan merupakan salah satu penghasilan yang didapat
oleh bank. Yaitu selisih antara nisbah bagi hasil pada nasabah tabungan dengan
marjin yang ditetapan bank pada nasabah pembiayaan dengan biasa kita kenal
dengan NIM (net interest marjin).
Risiko kredit sulit dikendalikan tanpa menguji portofolia kredit. Faktor
kunci bagi pengendalian risiko adalah diversifikasi dari tipe-tipe kredit,
diversifikasi dalam wilayah geografis dan jenis-jenis industri yangdiiayai,
kebijakan agunan dan sebagainya, dan uang paling penting adalah standar
pengendalian kredit yang ditetapkan.9
Untuk meminimalisir risiko kredit atau pembiayaan bank memberlakukan
ta’zir sebagai peringatan atas kelalaian nasabah sekalis ta’widh atau ganti rugi
yang dialami bank secara riill.
Kerangka konseptual
Penyaluran dana pada nasabah
9 Zainul Arifin, Dasar-Dasar Menajemen bank Syariah,cet.IV, (jakarta : Pustaka
Alvabet,2006), h.61.
Prinsip bagi hasil (laba)
Prinsip ujrah (sewa)
Prinsip jual beli (marjin)
16
Wanprestasi (cidera janji)*
Ta’zir dan Ta’widh
Analisis
Kesimpulan
17
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Pembiayaan
Pembiayaan adalah suatu hal yang lazim dilakukan oleh bank syariah.
Pembiayaan sendiri merupakan tugas bank sebagai media intermediasi, yaitu
mengumpulkan dan kemudian meyalurkan dana tersebut.
adapun sifat kegunaanya pembiayaan dapat dibagi dalam:
1. Memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis dipakai untuk memenuhi
kebutuhan; dan
2. Produksi dalam bentuk yang luas, yaitu untuk meningkatkan usaha, baik
usaha produksi, perdagangan maupun investasi. 1
Dalam menyalurkan dananya pada nasabah, secara garis besar produk
pembiayaan syariah terbagi kedalam empat kategori yang dibedakan berdasarkan
tujuan penggunaannya, yaitu:2
1. Pembiayaan dengan prinsip jual beli
Perdagangan atau jual beli menurut bahasa berarti al-Bai’, al-Tijarah
dan al-Mubadalah.3 Menurut istilah terminologi yang dimaksud
1 Zainul Arifin, Dasar-Dasar Menajemen Bank Syariah, cet.IV, (jakarta : Pustaka
Alvabet,2006), h.200-201. 2 Adiwarman A. karim, Bank islam dan Analisis Keuangan, cet.VIII, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada,2011), h.97. 3 Hendi Suhendi, fiqih Muamalat, cet.VI, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,2010), h.67.
18
sebagai jual beli ialah menukar barang dengan barang, barang dengan uang,
dengan cara melepaskan hak dari yang satu kepada yang lain dengan cara
saling rela atau ridho antara kedua belah pihak.
Prinsip jual beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya
perpindahan kepemilikan barang atau benda (transfer of property ). Tingkat
keuntungan bank ditentukan didepan dan menjadi bagian harga atas barang
yang dijual.1
Transaksi jual beli dapat dibedakan berdasarkan pada waktu
pembayaran dan penyerahan barangnya kepada pembeli.
a. Pembiayaan Murabahah
Jual beli murabahah termasuk transaksi yang dibolehkan dalam
syariat. Murabahah adalah menjual barang dengan harga jelas, sehingga
boleh dipraktikan dalam jual beli2
Murabahah (al-bai’ bi tsaman ajil), lebih dikenal sebagai
murabahah saja. Murabahah berasal dari kata ribhu (keuntungan),
adalah transaksi jual- beli dimana bank menyebutkan jumlah
keuntungannya. Bank bertindak sebagai penjual dan nasabah sebagai
1 Adiwarman A. karim, Bank islam dan Analisis Keuangan, cet.VIII, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada,2011), h.98. 2 Wahbah Azzuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid V, cet.X, (Damaskus: Darul Fikr,
2007), h.358.
19
pembeli. Harga jual adalah harga beli bank dari pemasok ditambah
keuntungan (marjin).3
b. Pembiayaan Salam
Akad salam atau salaf adalah penjualan sesuatu yang akan
datang dengan imbalan sesuatu yang sekarang, atau menjual sesuatu
yang dijelaskan sifatnya dalam tanggungan.4
Salam adalah transaksi jual beli dimana barang yang diperjual
belikan belum ada. Oleh karena itu, barang diserahkan secara tangguh
sementara pembayaran dilakuka tunai. Bank bertindak sebagai pembeli,
sementara nasabah sebagai penjual. Sekilas transaksi ini mirip jual beli
ijon, namun dalam transaksi ini kuatitas, kualitas, harga, dan waktu
penyerahan barang harus ditentukan secara pasti.5
c. Pembiayaan Istishna’
Istishna’ didefinisikan sebagai akad meminta seseorang untuk
membuat sebuah barang tertentu dalam bentuk tertentu.atau dapat
diartikan sebagai akad yang dilakukan dengan seseorang untuk
membuat sebuah barang tertentu dalam tanggungan.6
3 Wahbah Azzuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid V, cet.X, (Damaskus: Darul Fikr,
2007), h.98. 4 Ibid., h.240. 5 Adiwarman A. karim, Bank islam dan Analisis Keuangan,cet.VIII, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada,2011), h.99. 6 Wahbah Azzuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid V, cet.X, (Damaskus: Darul Fikr,
2007), h.268.
20
Akad ini menyerupai akad salam (membeli barang dalam
tanggungan dengan harga kontan), karena akad ini merupakan jual beli
barang yang tidak ada (ma’duum) saat akad. Dalam akad ditetapkan
bahwa barang yang dipesan berada dalam tanggungan pembuat
(penjual). 7
Produk istishna’ menyerupai produk salam, tetapi dalam
istishna’ pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa
kali (termin) pembayarn. Skim istishna’ dalam bank syariah umumnya
diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan kosntruksi. Ketentuan
umum pembiayaan istishna’ adalah spesifikasi barang pesanan harus
jelas seperti jenis, macam ukuran, mutu dan jumlahnya.8
1. Pembiayaan dengan Prinsip Sewa (Ijarah)
Al-Ijarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah
al-iwadh yang arti dalam bahasa Indosesianya ialah ganti dan upah.9
Ada yang menterjemahkan ijarah sebagai jual beli jasa (upah-
mengupah), yakni mengambil manfaat tenaga manusia, ada pula yang
menerjemahkan sewa-menyewa.10 Jumhur ulama fiqih berpendapat bahwa
7 Wahbah Azzuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid V, cet.X, (Damaskus: Darul Fikr,
2007), h.268. 8Adiwarman A. Karim, Bank Islam dan Analisis Keuangan, cet.VIII, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada,2011), h.100. 9 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalat, cet.VI, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,2010), hal.114. 10 Rachmat Syafei, Fiqih Muamalat, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h.122.
21
ijarah adalah menjual manfaat dan yang boleh disewakan adalah
manfaatnya bukan bendanya.
Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat. Jadi pada
dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli, tapi
perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli objek
transaksinya adalah barang, sedangkan pada ijarah objek transaksnya
adalah jasa.11
Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang
disewakannya kepada nasabah. Karena itu dalam perbankan syarian dikenal
ijarah muntahhiyah bittamlik (sewa yang diikuti dengan berpindahnya
kepemilikan). Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian.12
Al-Bai’ wal ijarah muntahhiyah bit tamlik (IMBT) merupakan
rangkaian dua buah akad, yakni akad al-Bai’ dan akad ijarah muntahia bit
tamlik (IMBT). Al-Bai’ merupakan akad jual beli, sedangkan IMBT
merupakan kombinasi antara sewa-menyewa (ijarah) dan jual beli atau
hibah di akhir masa sewa.13
2. Pembiayaan Bagi Hasil (syirkah)
a. Pembiayaan Musyarakah
11 Adiwarman A. Karim, Bank Islam dan Analisis Keuangan, cet.VIII, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada,2011), h.101. 12 Ibid,. 13 Ibid,. h.149.
22
Syirkah menurut bahasa berarti al-ikhtilath yang artinya campur
atau percampuran. Demikian dinyatakan oleh Taqiyuddin. Maksud
percampuran disisni ialah seseorang mencampurkan hartanya dengan
harta orang lain sehingga tidak mungkin untuk dibedakan.14
Bentuk umum dari usaha bagi hasil adalah musyarakah (syirkah
atau syarikah). Transaksi Musyarakah dilandasi adanya keinginan para
pihak yang berkerja sama untuk meningkatkan nilai aset yang mereka
miliki secara bersama-sama. Semua bentuk usaha yang melibatkan dua
pihak atau lebih dimana mereka secara bersama-sama memadukan
seluruh bentuk sumber daya baik yang berwujud maupun tidak
berwujud.15
b. Pembiayaan Mudharabah
Mudharabah berasal dari kata al-Dharb, yang berarti secara
harfiah adalah berpergian atau berjalan.16 Sedangkan arti secara
terminology menurut sayyid sabiq berpendapat, mudharabah ialah
akad antara dua belah pihak untuk salah satu pihak mengeluarkan
sejumlah uang untuk diperdagangkan dengan syarat keuntungan dibagi
dua sesuai dengan perjanjian.17
14 Hendi Suhendi, fiqih Muamalat, cet.VI, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,2010), h.125. 15 Adiwarman A. Karim, Bank Islam dan Analisis Keuangan, cet.VIII, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada,2011), h.102. 16 Hendi Suhendi, fiqih Muamalat, cet.VI, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,2010), h.135. 17 Ibid,. h.137.
23
Secara spesifik terdapat bentuk musyarakah yang popular dalam
produk perbankan syariah yaitu mudharabah. Mudharabah adalah
bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak di mana pemilik modal
(shahib al-Maal) mempercaka sejumlah modal kepada pengelola
(mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan.18
Perbedaan yang essensial dari musyarakah dan mudharabah
terletak pada besarnya konstribusi atas menajemen dan keuangan atau
salah satu diantara itu. Dalam mudharabah, modal hanya berasal dari
satu pihak, sedangkan dalam musyarakah modal berasal dari dua pihak
atau lebih.19
3. Pembiayaan dengan Akad Pelengkap
a. Hiwalah
Menurut bahasa, yang dimaksud dengan hiwalah ialah al-Intiqal
dan al-Tahwil, artinya ialah memindahkan atau mengoperkan.20 Secara
terminology hiwalah ialah pemindahan utang dari tanggungan
seseorang yang berutang kepada orang lain, di mana orang lain
mempunyai utang pula kepada yang memindahkannya.21
18 Adiwarman A. Karim, Bank Islam dan Analisis Keuangan, cet.VIII, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada,2011), h.103. 19 Ibid., 20 Hendi Suhendi, fiqih Muamalat, cet.VI, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,2010), h.99. 21 Ibid., hal 101
24
Dalam perbankan tujuan fasilitas hiwalah adalah untuk
membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan
produksinya. Bank mendapat ganti biaya atas pemindahan piutang.
Untuk mengantisipasi risiko kerugian yang akan timbul, bank perlu
melakukan penelitian atas kemampuan pihak yang berutang dan
kebenaran transaksi antara yang memindahkan piutang dengan yang
berutang.22
b. Rahn (gadai)
Menurut bahasa ar-Rahn berarti al-tsubut dan al-habs yaitu
penetapan dan penahanan.23 Menurut Sayyid Sabiq gadai adalah
menjadikan suatu benda berharga dalam pandagan syara’ sebagai
jaminan atas utang selama ada dua kemungkinan, untuk
mengembalikan uang itu atau mengambil sebagian benda itu.24
Tujuan akad rahn diperbankan untuk memberikan jaminan
kepada bank sewaktu waktu nasabah tidak dapat memenuhi
kewajibannya (wanprestasi).
Apabila nasabah wanprestasi, bank dapat melakukan penjualan
barang yang digadaikan atas perintah hakim. Nasabah mempunyai hak
menjual barang tersebut dengan seizin bank. Apabila hasil penjualan
22 Adiwarman A. Karim, Bank Islam dan Analisis Keuangan, cet.VIII, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada,2011), h.105. 23 Hendi Suhendi, fiqih Muamalat, cet.VI, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,2010), h.105.
24 Ibid., 106
25
melebihi kewajibannya, kelebihan tersebut menjadi milik nasabah.
Dalam hal hasil penjualan tersebut lebih kecil dari kewajibannya, maka
nasabah harus menutupi kekurangannya.25
c. Qardh
Qardh adalah pinjaman uang, aplikasi qardh dalam perbakan
biasanya ada 4 hal:
1. Sebagai pinjaman talangan haji.
2. Sebagai pinjaman tunai dari produk kartu kredit syariah.
3. Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil, di mana menurut
perhitungan bank akan memberatkan si pengusaha bila diberikan
pembiayaan dengan skema jual beli, ijarah atau bagi hasil.
4. Sebagai pinjaman kepada pengurus bank, dimana bank
menyediakan fasilitas ini untuk memastikan terpenuhinya
kebutuhan pengurus bank. Pengurus bank akan mengembalikan
dana pinjaman itu secara cicilan melalui pemotongan gajinya.26
d. Wakalah (perwakilan)
al-Wakalah menurut bahasa berarti al-hifdz, al-Kifayah, al-
dhaman,dan al-Tafwidh (penyerahan, pendelegasian, pemberian
mandat).27 Adapun pengertian secara terminologi al-wakalah ialah
25 Adiwarman A. Karim, Bank Islam dan Analisis Keuangan, cet.VIII, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada,2011), h.106. 26 Ibid., 27 Hendi Suhendi, fiqih Muamalat, cet.VI, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,2010), h.231.
26
penyeraha dari seseorang kepada orang lain untuk mengerjakan sesuatu,
perwakilan berlaku selama yang mewakilkan masih hidup.28
Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah
memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan
pekerjaan jasa tertentu., seperti pembukaan L/C, inkaso dan transfer
uang. Kelalaian dalam menjalankan kuasa menjadi tanggung jawab
bank, kecuali kegagala karena force majeure menjadi tanggung jawab
nasabah.29
e. Kafalah (garansi bank)
Al-kafalah menurut bahasa berarti al-Dhaman (jaminan),
hamalah (beban), dan za’amah (tanggungan).30 Sedangkan menurut
istilah yang dimaksud dengan al-Kafalah atau ad-Adhaman
sebagaimana yang dijelaskan menurut Sayyid Sabiq ialah proses
pengabungan tanggungan kafil menjadi beban ashil dalam tuntutan
dengan benda (materi) yang sama, baik utang, barang, maupun
pekerjaan.31
Garansi bank dapat diberikan dengan tujuan untuk menjamin
pembayaran suatu keawajiban pembayaran. Bank dapat mensyaratkan
28 Hendi Suhendi, fiqih Muamalat, cet.VI, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,2010), h.233. 29 Adiwarman A. Karim, Bank Islam dan Analisis Keuangan, cet.VIII, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada,2011), h.107. 30 Hendi Suhendi, fiqih Muamalat, cet.VI, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,2010), h.187. 31 Ibid., hal 188
27
nasabah untuk menempatkan sejumlah dana untuk fasilitas ini sebagai
rahn. Bank dapat pula menerima dana tersebut dengan prinsip
wadi’ah.35
B. Ta’zir
1. Pengertian Ta’zir
Kata ta’zir berakar dari kata ‘azzara yang secara arti kata mengandung arti
membantu, membantu menghindarkan dari suatu yang tidak menyenangkan;
membantu melepaskan diri dari kejahatan; membantu keluar dari kesulitan.36
Kata yang berakar pada kata ‘azzara terdapat dalam tiga ayat al-quran yaitu
pada surat al-Maidah ayat 12;
خذ مه ٱلله ۞ولقد أ ءيل وبعثنا منهه قمتهمه ٱلله عش نقيبا وقال ٱثن ميثق بن إسر
م لئن أ ة ٱإن معكه لصلو
ة وءاتيتهمه قرضتهمه ٱلزكوم وأ وهه ل وعزرتهمه م سي رضاق ٱلل وءامنتهم برهسه كفرن عنكه
هم ن حسنا ل خخلنكه
هم ول اتكه
نهره تري من تتها م فقد ضل سواء ٱل لك منكه ١٢ ٱلسبيل فمن كفر بعد ذ
Artinya: “Dan Sesungguhnya Allah telah mengambil Perjanjian (dari) Bani
Israil dan telah Kami angkat diantara mereka 12 orang pemimpin dan Allah
berfirman: "Sesungguhnya aku beserta kamu, Sesungguhnya jika kamu mendirikan
shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu
mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik Sesungguhnya aku
akan menutupi dosa-dosamu. dan Sesungguhnya kamu akan Kumasukkan ke dalam
surga yang mengalir air didalamnya sungai-sungai. Maka Barangsiapa yang kafir di
35 Adiwarman A. Karim, Bank Islam dan Analisis Keuangan, cet.VIII, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada,2011), h.107. 36 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih , cet.I, (Bogor: Prenada Media, 2003), hal. 321.
28
antaramu sesudah itu, Sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus.” (Q.S 5
ayat 12)
al-‘Araf ayat 157:
ون ٱلين ول يتبعه ٱنلب ٱلرسه مهونهه ٱلي ٱل م ف ۥيده ةمكتهوبا عندهه جنيل و ٱتلورى ٱل م ب رههه مه
وف ٱيأ لمعره
م عن هه نكر وينهى مه ٱلمه ئث ويهحرمه عليهمه ٱلطيب ويهحل لهه م و ٱلب م إصهه ل ويضعه عنهه غلكن عليهم ٱلت ٱل
وهه ون ۦءامنهوا به ٱلين ف وهه و وعزره صه وا نزل معهه ٱلي ٱنلور ٱتبعههمه ۥ أ ولئك هه
هون أ فلحه ١٥٧ ٱلمه
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang
(namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka,
yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari
mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan
mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-
beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang
beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang
yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung.”
(Q.S 7 ayat 157)
al- Fath ayat 9:
ل تهؤمنهوا ول ٱلل ب صيل ۦورسهوهه بهكرة وأ هسبحه وهه وت وهه وتهوقره ٩وتهعزره
Artinya: “Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan
(agama)Nya, membesarkan-Nya. dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.
(Q.S 48 ayat 9)
Kesemuanya dari tiga ayat quran diatas mengandung pengertian “membantu”
sebagaimana tersebut sebelumnya. Bila kata ini dihubungkan kepada kata “hukuman”,
berarti hukuman yang bersifat membantu atau hukuman yang bersifat mendidik.37
Bentuk-bentuk hukuman ta’zir adalah seperti, hukuman ta’zir dalam bentuk
teguran dan peringatan keras, hukuman ta’zir dengan dipenjara, pukulan, denda dengan
37 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, cet.I, (Bogor: Prenada Media, 2003), h.321.
29
harta, dan hukuman ta’zir dalam hukuman mati bagi residivis yang berulang kali
melakukan kejahatan dan tidak pernah merasa jera serta dalam kasus kejahatan
terhadap keamanan Negara menjadi agen mata-mata, perilaku seks sesama jenis
(sodomi, liwaath), menghina dan menghujat nabi Muhammad SAW.38
Dalam kaitannya dengan ta’zir pada lembaga keuangan syariah, ta’zir adalah
sanksi yang dikenakan LKS kepada nasabah yag mampu membayar, tetapi menunda-
nunda pembayaran dengan disengaja. Ta’zir disini, dikenakan apabila terjadi
penundaan pembayaran yang disengaja oleh nasabah dengan alasan yang tidak
dibenarkan oleh syar’i dan tidak mempunyai kemauan dan itikad baik unntuk
membayar hutangnya.39
Adapun nasabah yang belom mampu membayar kewajibannya disebabkan
force majeur maka tidak boleh dikenakan ta’zir. Karena ta’zir menurut DSN-MUI
hanya untuk nasabah yang mampu tetapi tidak mau melaksanakan kewajibannya.
Adapun jumlah tergantung kesepakatan atara kedua belah pihak yang berakad ketika
penanda tanganan kontrak akad.
2. Landasan hukum
38 Wahbah Azzuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid V, cet.X, (Damaskus: Darul Fikr,
2007), h.260. 39 Ani Fitriyani,”Pengaruh Pengenaan Ta’zir Terhadap Tingkat NPF,” (Skripsi S1 Fakutas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,2012), h.67.
30
firman Allah surat al-Maidah ayat 1:
هاي ي ٱلين أ ب وفهوا
أ وخ ءامنهوا قه م بهيمةه ٱلعه حل لكه
هنعم أ
ل ٱل
م غي مه تل عليكه ن ٱلصيد إل ما يهتهم وأ
إن رهم مه ما يهريده ٱلل حه ١يكهArtinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.
Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu.
(yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang
mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang
dikehendaki-Nya.” (QS. 5 ayat 1)
Dasar hukum dari adanya hukuman ta’zir itu adalah ijtihad ulama yang
berlandaskan kepada umumnya hadist nabi yang mengatakan.
Laa dharara wa laa dhirara (HR. Ibn Majah)
Artinya: ”tidak boleh ada kerusakan terhadap seseorang dan tidak boleh pula
seeorang melakukan perusakan terhadap orang lain” 40 (HR. Ibn Majah)
Mathlul ghanii dzulmun …. (HR Nasa’i)
Artinya:“menunda-nunda( pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu
adalah suatu kedhaliman…. (HR Nasa’i)
Layyul waajidu yuhillu ‘irdhahu wa ‘uquubatuhu (HR. Nasa’i)
Artinya: “menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orng mampu
menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya” (HR. Nasa’i)
Adapun kaidah fiqh:
Al-ashlu fii mu’amalaati al ibaahatu illa yadulla daliilun ‘ala tahriimihaa.
40 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, cet.I. (Bogor: Prenada Media, 2003), h.323.
31
Artinya: “pada dasarnya, segala bentuk mu’amalat boleh dilakukan kecuali
ada dalil yang mengharamkannya.”
Al-dhararu yuzaalu
Artinya: “bahaya (beba berat) harus dihilangkan”
C. TA’WIDH
1. Pengertian Ta’widh
Kata al-ta’widh bersal dari kata ‘iwadha yang mempunyai arti memberi
ganti atau mengganti, sedangkan kata ta’widh sendiri mempunyai arti secara
bahasa mengganti.41
Secara umum pengertian ta’widh adalah menutup kerugian yang terjadi
akibat pelanggaran atau kekeliruan dengan ketentuan kerugian rill yang dapat
diperhitungkan dengan jelas dengan upaya untuk memperoleh pembayaran dan
bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi karena adanya peluang yang
hilang.42
2. Ganti Rugi menurut KUH Perdata
Ada dua sebab timbulnya ganti rugi, yaitu ganti rugi Karena wanprestasi
dan perbuatan melawan hukum.43
41 Tim Kashiko, Kamus Lengkap Arab Indonesia, (Surabaya: Kashiko, 2000), h.449. 42 Samnur Abdullah, Mekanisme Penetapan Ta’widh di Bank BNI Syariah Pada Produk
Hasanah Card,” ( Skripsi S1 Fakutas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta,2012), h.90. 43 Salim H.S, Hukum Kontrak, cet.IV, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.100.
32
Ganti rugi Karena perbuatan melawan hukum adalah suatu bentuk ganti
rugi yang dibebankan kepada orang yang telah menimbulkan kesalahan kepada
pihak yang telah dirugikan. Ganti rugi itu timbul karena adanya kesalahan, bukan
karena adanya perjanjian.44
Ganti rugi karena wanprestasi adalah suatu bentuk ganti rugi yang
dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi isi perjanjian yang telah dibuat
antara debitur dan kreditur. Misalnya, A berjanji akan mengirimkan barang kepada
B pada tanggal 10 januari 1998. Akan tetapi, pada tanggal yang telah ditentukan,
A belum juga mengirimkan barang tersebut kepada B. supaya B dapat menuntut
ganti rugi karena keterlambatan tersebut maka B harus memberikan peringatan
(somasi) kepada A, menimal tiga kali.45
Apabila peringatan atau teguran telah dilakukan, maka barulah B dapat
menuntut kepada A untuk membayar ganti kerugian,. Jadi, momentum timbulnya
ganti rugi pada saat telah dilakukan somasi.46
Ganti kerugian yang dapat dituntut oleh kreditur kepada debitur adalah
sebagai berikut:47
44 Salim H.S, Hukum Kontrak, cet.IV, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.100. 45 Ibid., 46 Ibid., 47 Ibid., h.101
33
1. Kerugian yang telah dideritanya, yaitu berupa penggantian biaya-biaya dan
kerugian.
2. Keuntungan yang sedianya akan diperoleh ( pasal 1246 KUH Perdata), ini
ditunjukan kepada bunga-bunga.
Untuk ketentuan yang nomor dua itu dilarang dalam syariat islam karena
bunga itu merupakan riba, yang dalam prekteknya bank syariah mengharamkan dan
tidak menerapkan bunga dalam setiap transaksi perbankan.
Dalam pasal 1249 KUH Perdata ditentukan bahwa penggantian kerugian
yang disebabkan wanprestasi hanya ditentukan dalam bentuk uang.48
3. Landasan Hukum
QS. al-Maidah ayat 1:
ها يأ ٱلين ي ب وفهوا
أ وخ ءامنهوا قه م بهيمةه ٱلعه حل لكه
هنعم أ
ل ٱل
م غي مه تل عليكه ن ٱلصيد إل ما يهتهم وأ
إن رهم مه ما يهريده ٱلل حه ١يكه
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.
Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang
demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan
haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya”.
QS. al-Isra’ ayat 34
ٱلتيم تقربهوا مال ل و دهه ٱلت إل ب شهحسنه حت يبلهغ أ
ۥ ه أ وفهوا ب
٣٤ول كن مس ٱلعهد إن ٱلعهد وأ
48 Salim H.S, Hukum Kontrak, cet.IV, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.101.
34
Artinya: “dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan
cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji;
Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya”.
QS. al-Baqarah ayat 194:
ٱلرامه ٱلشهره م ه و ٱلرام ٱلشهر ب م ف ٱعتدى قصاص فمن ٱلهره عليكه وا ٱعتدى عليه بمثل ما ٱعتدهم و عليكه وا و ٱلل ٱتقه وا ن ٱعلمه
تقي مع ٱلل أ ١٩٤ ٱلمه
Artinya: “bulan Haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut
dihormati, Berlaku hukum qishaash. oleh sebab itu Barangsiapa yang menyerang
kamu, Maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. bertakwalah
kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa”.
QS. al-Baqarah ayat 279-280
ذنهوا برب من إنفول ٱلل لم تفعلهوا فأ ون ۦ ورسه ون ول تهظلمه م ل تظلمه لكه مو
م رهءهوسه أ إون تهبتهم فلكه
ون إون ٢٧٩ نتهم تعلمه م إن كه ن تصدقهوا خي لكهة وأ ة فنظرة إل ميس س ٢٨٠كن ذهو عه
Artinya: “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat
(dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan
tidak (pula) dianiaya”.
280. dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah
tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang)
itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
Laa dharara wa laa dhirara (HR. Ibn Majah)
Artinya: ”tidak boleh ada kerusakan terhadap seseorang dan tidak boleh pula
seeorang melakukan perusakan terhadap orang lain” 49 (HR. Ibn Majah)
Mathlul ghanii dzulmun …. (HR Nasa’i)
Artinya:“menunda-nunda( pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu
adalah suatu kedhaliman…. (HR Nasa’i)
49 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, cet.I, (Bogor: Prenada Media, 2003), h.323.
35
Layyul waajidu yuhillu ‘irdhahu wa ‘uquubatuhu (HR. Nasa’i)
Artinya: “menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orng mampu
menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya” (HR. Nasa’i)
Adapun kaidah fiqh:
Al-ashlu fii mu’amalaati al ibaahatu illa yadulla daliilun ‘ala tahriimihaa.
Artinya: “pada dasarnya, segala bentuk mu’amalat boleh dilakukan kecuali
ada dalil yang mengharamkannya.”
Al-dhararu yuzaalu
Artinya: “bahaya (beba berat) harus dihilangkan
4. Pendapat Ulama tentang Ta’widh (Ganti Rugi)
Menurut pendapat ulama tentang ta’zir yang saya kutip dari fatwa DSN NO
43/DSN-MUI/VIII/2004
Pendapat Ibn Qudamah, bahwa penundaan pembayaran kewajiban
dapat menimbulkan kerugian (dharar) dan karenanya harus dihindarkan; ia
menyatakan.“ jika orang berutang (debitur) bermaksud melakuka perjalanan,
atau jika pihak berpiutang (kreditur) bermaksud melarang debitur (melakukan
perjalanan), perlu kita perhatikan sebagai berikut. Apabila jatuh tempo hutang
sebelum kedatangannya dari perjalanan – misalnya, perjalanan untuk berhaji
di mana debitur masih dalam perjalanan haji sedangkan jatuh tempo hutang
pada bulan muharram atau dzulhijjah—maka kreditur boleh melarangnya
melakukan perjalanan. Hal ini karena ia (kreditur) akan menderita kerugian
(dharar) akibat keterlambatan (memperoleh) haknya pada saat jatuh tempo.
Akan tetapi, apabila debitur menunjuk penjamin atau menyerahkan jaminan
(qadai) yang cukup untuk membayar utangnya pada saat jatuh tempo, ia boleh
melakukan perjalanan tersebut, karena dengan demikian, kerugian kreditur
dapat dihindarkan.
Pendapat Wahbah al-Zuhaili, “ta’widh (Ganti rugi) adalah menutup
kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau kekeliruan”.
“Ketentuan umum yang berlaku pada ganti rugi dapat berupa:”
36
1. Menutup kerugian dalam bentuk benda (dharar, bahaya) seperti
memperbaiki dinding…
2. Memperbaiki benda yang dirusak menjadi utuh kembali seperti semula
selama dimungkinkan, seperti mengembalikan benda yang dipecahkan
menjadi utuh kembali. Apabila hal tersebut sulit dilakukan, maka wajib
menggantinya denga benda yang sama (sejenis atau dengan uang”
Sementara itu, hilangnya keuntungan dan terjadinya kerugian yang
belum pasti di masa yang akan dating atau kerugian immateriil, maka menurut
ketentuan hukum fiqh hal tersebut tidak dapat diganti (dimintakan ganti rugi).
Hak itu karena objek ganti rugi adalah harta yang ada dan kongkret serta
berharga (diijinkan syariat untuk memanfaat-kannya”)
Pendapat ‘Abd al-hamid Mahmud al-Ba’li, “ganti rugi karena
penundaan pembayaran oleh orang yang mampu didasarka pada kerugian
yang terjadi secara rill akibat penundaan pembayaran dan kerugian itu
merupakan akibat logis dari keterlambatan pembayaran tersebut.”
Pendapat ulama yang membolehkan ta’widh sebagaimana dikutip oleh
‘Isham Anas al-Zaftawi, “kerugian harus dihilangkan berdasarkan kaidah
syari’ah dan kerugian itu tidak akan hilang kecuali dengan diganti: sedangkan
penjatuhan sanksi atas debitur mampu yang menunda-nunda pembayaran tidak
akan memberikan manfaat bagi kreditur yang dirugikan.
Penundaan pembayaran hak sama dengan ghashab; karena itu,
seyogyanya status hukumnya pun sama, yaitu bahwa pelaku ghashab
bertanggung jawab atas manfaat benda yang di-ghashab selama masa
ghashab, menurut mayoritas ulama di samping ia pun harus menanggung
harga (nilai) barang tersebut bila rusak.”
D. WANPRESTASI
1. Pengertian Wanpretasi
pasal 1234 KUH Perdata yang diamaksud dengan prestasi adalah
seseorang yang menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu, dan tidak melakukan
sesuatu, sebaliknya dianggap wanprestasi bila seseorang:
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
37
b. Melaksnakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana
dijanjikan.
c. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat.
d. Melakukan sesuatu yang menurut kontrak tidak boleh dilakukan. 50
Wanprestasi mempunyai hubungan yang erat dengan somasi.
Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban.51
Seorang debitur baru dikatakan wanprestasi apabila ia telah diberikan
somasi oleh kreditur atau juru sita. Somasi itu minimal telah dilakukan
sebanyak tiga kali oleh kreditur atau juru sita. Apabila somasi itu tidak
diindahkannya, maka kreditur berhak membawa persoalan itu ke pengadilan.
Dan pengadilanlah yang akan memutuskan apakah debitur wanprestasi atau
tidak.52
2. Mulai Terjadinya wanprestasi
Wanprestasi baru terjadi jika debitur dinyatakan telah lalai untuk
memenuhi prestasinya, atau dengan kata lain, wanprestasi ada kalau debitur
50 Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, cet.VI, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2011), h.47-48. 51 Salim H.S, Hukum Kontrak, cet.IV, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.99. 52 Ibid.,
38
tidak dapat membuktikan bahwa ia telah melakukan wanprestasi itu diluar
kesalahannya atau karena keadaan memaksa.53
Apabila dalam pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan
tenggang waktunya, maka seorang kreditur dipandang perlu untuk
memperingati/menegur debitur agar ia memenuhi kewajibannya.54
3. Akibat Adanya Wanprestasi
Ada empat akibat adanya wanprestasi, yaitu sebagai berikut:
a. Perikatan tetap ada.
Kreditur dapat menuntut kepada debitur pelaksanaan prestasi, apabila ia
terlambat memenuhi prestasi. Di damping itu, kreditur berhak menuntut
ganti rugi akibat keterlambatan melaksanakan prestasinya. Hal ini
disebabkan kreditur akan mendapat keuntungan apabila debitur
melaksanakan prestasi tepat pada waktunya.
b. Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur (Pasal 1234 KUH
Perdata)
c. Beban resiko beralih untuk kerugian debitur, jika halangan itu timbul
setelah debitur wanprestasi, kecuali bila ada kesengajaan atau kesalahan
53 Azharuddin Lathif dan Nahrowi, Pengantar Hukum Bisnis ( Jakarta: Lembaga Penelitian
UIN Syarif Hidayatullah, 2009) , h.51. 54 Ibid.,
39
besar dari pihak kreditur. Oleh karean itu, debitur tidak dibenarkan untuk
berpegang pada keadaan memaksa.
d. Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat
membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan
menggunakan pasal 1266 KUH Perdata. 55
4. Tuntutan Atas Dasar Wanprestasi
kreditur dapat menuntut kepada debitur yang telah melakukan
wanprestasi, hal-hal sebagai berikut:
a. Kreditur dapat meminta pemenuhan prestasi saja dari debitur.
b. Kreditur dapat menuntut prestasi disertai ganti rugi kepada debitur (Pasal
1267 KUH Perdata)
c. Kreditur dapat menuntut dan meminta ganti rugi, hanya mungkin kerugian
karena keterlambatan (HR 1 November 1918).
d. Kreditur dapat menuntut pembatalan perjanjian.
e. Kreditur dapat menuntut pembatalan disertai ganti rugi kepada debitur.
Ganti rugi itu berupa pembayaran uang denda.56
55 Salim H.S, Hukum Kontrak, cet.IV, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.99. 56 Ibid.,
40
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan juni 2014, di KC BRI Syariah BSD
dan KCP. Tangerang selatan provinsi Banten. Setelah dari kantor cabang penelitian
dilanjutkan ke kantor pusat BRISyariah jalan Abdul muis, Jakarta Pusat. Penelitian
sengaja dilakukan di BRISyariah dari kantor cabang sampai kantor pusat agar
mendapat data penelitian lebih kemprehensif dan akurat.
B. Metode Penelitian
Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasailkan penemuan-
penemuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan prosedur-prosedur
statistik atau dengan cara kuatifikasi lainnya.1
Jadi penelitian kualitatif adalah salah satu metode penelitian yag bertujuan
untuk mendapatkan pemahaman tentang kenyataan melalui proses berpikir
induktif. Melalui penelitian kualitatif peneliti dapat mengenali subjek, merasakan
apa yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari. Dalam penelitian ini peneliti
terlibat dalam situasi dan setting fenomena yang diteliti.2
C. Jenis Penelitian
1 Basrowi dan Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif (Jakarta: Rineka Cipta, 2008) h. 1 2 Ibid,. h. 1-2
41
Jenis penelitian adalah kualitatif yang bersifat deskriptif karena data yang
akan dikumpulkan dan diamati lebih berbentuk kata-kata atau gambar tidak
menekan pada angka. Sehingga setelah data terkumpul peneliti akan
mendiskripsikan dan menganalisis data tersebut.
Penelitian deskriptif tidak menggunakan dan tidak melakukan pengujian
hipotesis, yang juga berarti tidak membangun dan mengembangkan teori. Dalam
pengolahan dan analisis data, lazimnya menggunakan pengolahan statistic yang
bersifat deskriptif.3
D. Metode pengumpulan data
1. Penelitian lapangan (field research) yaitu,
a. Wawancara, wawancara merupakan salah satu cara pengumpulan data
dengan jalan komunikasi (lisan) antara peneliti dengan responden, yakni
melalui kontak dan hubungan pribadi. Komunikasi tersebut dilakukan
secara langsung dengan cara face to face, artinya antara peneliti
berhadapan langsung, maupun tidak langsung (atau via telepon) untuk
menanyakan secara lisan hal-hal yang diinginkan dan jawaban responden
dicatat oleh si wawancara.4
Pada penelitian ini peneliti menggunakan jenis wawancara
semistruktur, dimana dalam pelaksanaannya lebih bebas dalam wawancara
terstruktur. Tujuan dari wawancara jenis ini adalah untuk menemukan
3 Syamsir Salam Dan Jaenal Aripin, Metodologi Penelitian Sosial, cet.I, (Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2006), h.14. 4 Afifi Fauzi Abbas, Metodologi Penelitian (Ciputat: Adelina Bersaudara, 2010), h.140-141.
42
permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara
diminta pendapat da ide-idenya.5
b. Stadi kasus terhadap kejadian yang berkaitan dengan pembiayaan, ta’zir,
dan ta’widh.
Stadi kasus merupakan penelitian yang kajiannya kepada satu kasus
yang dilakuka secara intensif, mendalam, mendetail, dan komperhensif.
Studi kasus bisa dilakukan terhadap individu.6
2. Penelitian perpustakaan (library research) yaitu: mengambil bahan-bahan
pustaka dan dokumen-dokumen perbankan yang relevan dan aktual terhadap
masalah yang diteliti.
E. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan pada penelitian ini ialah data primer dan data
sekunder. Data primer didapat secara langsung dari responden atau pihak terkait
dengan instrument wawancara. Data primer diperoleh dari pihak bank khususnya
pada BRI Syariah.
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari data internal bank baik jurnal,
laporan keuangan, dan lainnya. Dan bisa juga didapat dari studi literature beruapa
jurnal penelitian, skripsi, informasi internet dan buku yang terkait dengan
penelitian.
5 Sugiyono, Metode Penelitian Bisnis cet.16, (Bandung: Alfabeta,2012), h.413. 6 Syamsir Salam Dan Jaenal Aripin, Metodologi Penelitian Social, cet.I, (Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2006), h.22.
43
F. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian kualitatif yang bersifat
deskriptif karena data yang akan dikumpulkan dan diamati lebih berbentuk kata-kata
atau gambar tidak menekan pada angka. Sehingga setelah data terkumpul peneliti
akan mendiskripsikan dan menganalisis data tersebut.
G. Teknik Penulisan
Teknik penulisan penelitian ini merujuk pada ”Buku Pedoman Penulisan
Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum UIN syarif Hidayatullah jakarta 2012”
44
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Tinjauan Umum Tentang BRI Syariah
1. Sejarah Berdirinya BRI Syariah
Berawal dari akuisisi PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk.,
terhadap Bank Jasa Arta pada 19 Desember 2007 dan setelah mendapatkan izin
dari Bank Indonesia pada 16 Oktober 2008 melalui suratnya
o.10/67/KEP.GBI/DpG/2008, maka pada tanggal 17 November 2008 PT. Bank
BRISyariah secara resmi beroperasi. Kemudian PT. Bank BRISyariah
merubah kegiatan usaha yang semula beroperasional secara konvensional,
kemudian diubah menjadi kegiatan perbankan berdasarkan prinsip syariah
Islam.
Dua tahun lebih PT. Bank BRISyariah hadir mempersembahkan sebuah
bank ritel modern terkemuka dengan layanan finansial sesuai kebutuhan
nasabah dengan jangkauan termudah untuk kehidupan lebih bermakna.
Melayani nasabah dengan pelayanan prima (service excellence) dan
menawarkan beragam produk yang sesuai harapan nasabah dengan prinsip
syariah.
Aktivitas PT. Bank BRISyariah semakin kokoh setelah pada 19
Desember 2008 ditandatangani akta pemisahan Unit Usaha Syariah PT. Bank
Rakyat Indonesia (Persero), Tbk., untuk melebur ke dalam PT. Bank
45
BRISyariah (proses spin off-) yang berlaku efektif pada tanggal 1 Januari
2009. Penandatanganan dilakukan oleh Bapak Sofyan Basir selaku Direktur
Utama PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk., dan Bapak Ventje
Rahardjo selaku Direktur Utama PT. Bank BRISyariah.
Saat ini PT. Bank BRISyariah menjadi bank syariah ketiga terbesar
berdasarkan aset. PT. Bank BRI Syariah tumbuh dengan pesat baik dari sisi
aset, jumlah pembiayaan dan perolehan dana pihak ketiga. Dengan berfokus
pada segmen menengah bawah, PT. Bank BRISyariah menargetkan menjadi
bank ritel modern terkemuka dengan berbagai ragam produk dan layanan
perbankan.
2. Visi dan Misi
Visi
"Menjadi bank ritel modern terkemuka dengan ragam layanan -
finansial sesuai kebutuhan nasabah dengan jangkauan termudah untuk
kehidupan lebih bermakna."
MISI
1. Memahami keragaman individu dan mengakomodasi beragam
kebutuhan finansial nasabah.
2. Menyediakan produk dan layanan yang mengedepankan etika sesuai
dengan prinsip-prinsip syariah.
3. Menyediakan akses ternyaman melalui berbagai sarana kapan pun dan
dimana pun.
46
4. Memungkinkan setiap individu untuk meningkatkan kualitas hidup
dan menghadirkan ketenteraman pikiran.
B. Pembiayaan pada Brisyariah
1. Produk Pembiayaan BRISyariah
Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok perbankaan syariah,
sebagai media intermediasi yaitu mengumpulkan dana dari pihak yang surplus
dana dan mmenyalurkan dana tersebut untuk memenuhi kebutuhan pihak-
pihak yang defisit dana.
Adapun produk-produk pembiayaan yang ditawarkan oleh BRISyariah:
a. Berdasarkan tujuannya
(1) Pembiayaan modal kerja, yaitu pembiayaan yang ditunjukan untuk
memenuhi kebutuhan produksi, baik secara kuantitatif yaitu
peningkatan jumlah produksi, penambahan cabang baru,
penambahan alat kerja maupun secara kualitatih yaitu peningkatan
mutu barang dan jasa yang diproduksi.
(2) Pembiayaan investasi, yaitu pembiayaan yang diberikan kepada
para nasabah guna keperluan investasi, baik penanaman modal,
dan lainnya.
b. Berdasarkan skema syariah
(1) Pembiayaan modal kerja murabahah
47
(2) Pembiayaan modal kerja mudharabah
(3) Pembiayaan modal kerja musyarakah
(4) Pembiayaan investasi murabahah
(5) Pembiayaan investasi IMBT
(6) Pembiayaan investasi ijarah1
c. Jenis dan nama produk pembiayaan pada BRISyariah
(1) Gadai BRISyariah iB
Gadai BRISyariah iB hadir untuk memberikan solusi
memperoleh dana tunai untuk memenuhi kebutuhan dana
mendesak ataupun untuk keperluan modal usaha dengan proses
cepat, mudah, aman dan sesuai syariah untuk ketentraman Anda
(2) KKB BRISyariah iB
Kepemilikan kendaraan bermotor dengan skim pembiayaan
adalah jual beli (MURABAHAH), adalah akad jual beli barang
dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin)
yang disepakati oleh Bank dan Nasabah (fixed margin).
(3) KPR BRISyariah iB
Pembiayaan Kepemilikan Rumah kepada perorangan untuk
memenuhi sebagian atau keseluruhan kebutuhan akan hunian
dengan mengunakan prinsip jual beli (Murabahah) dimana
1 Wawancara pribadi dengan Putri Herymurti. Serpong, 15 Juni 2014.
48
pembayarannya secara angsuran dengan jumlah angsuran yang
telah ditetapkan di muka dan dibayar setiap bulan
(4) KLM BRISyariah iB
Lindungi nilai asset Anda dengan memiliki emas. Kepemilikan
Logam Mulia BRISyariah (KLM BRISyariah iB) kini hadir
membantu Anda mewujudkan mimpi memiliki emas logam mulia
dengan lebih mudah.
(5) KMG BRISyariah iB
Salah satu produk untuk memenuhi kebutuhan karyawan
khususnya karyawan dari perusahaan yang bekerjasama dengan
PT. Bank BRISyariah dalam Program Kesejahteraan Karyawan
(EmBP), dimana produk ini dipergunakan untuk berbagai
keperluan karyawan dan bertujuan untuk meningkatkan loyalitas
karyawan Program Kesejahteraan Karyawan (EmBP)
(6) Pembiayaan Umrah BRISyariah iB
Setiap muslim pasti merindukan Baitullah, sempurnakan
kerinduan Anda pada Baitullah dengan ibadah Umrah. Pembiayaan
Umrah BRISyariah iB kini hadir membantu anda untuk
menyempurnakan niat Anda beribadah dan berziarah ke Baitullah.
49
Produk Pembiayaan Umrah BRISyariah iB mengunakan
prinsip akad jual beli manfaat/jasa (ijarah Multijasa).2
2. Faktor–Faktor yang Menjadi Pertimbangan BRISyariah dalam
Menyalurkan Pembiayaan
Dalam meyalurkan pembiayaan kepada nasabah bank syariah harus
selektif mana nasabah yang layak diberikan pembiayan dan mana yang tidak. Dan
nasabah harus mempunyai faktor-faktor apa saja yang menjadi pertimbangan
bank dalam penyaluran pembiayaan. Karena dalam modal bank, baik syariah
maupun konvesional, bahwa tidak 100% modal bank itu sendiri, tapi ada modal-
modal pihak lain yang dikelola oleh bank. Sehingga bank syariah harus sangat
berhati-hati dalam penyaluran pembiayaan.
Pemberian pembiayaan yang tepat kepada nasabah dapat meningkatkan
profitabilitas bank, sehingga kinerja bank syariah dapat berjalan dengan
semestinya. Dan sebaliknya apabila pemberian pembiayaan kepada nasabah
diberikan kepada orang yang salah dapat mengganggu kinerja bank dan cash flow
bank syariah.
Adapun faktor yang menjadi acuan dasar oleh bank syariah dalam menilai
nasabah layak atau tidaknya diberikan pembiayaan yaitu:3
2 “Pembiayaan”, artikel diakses pada 21 Juli 2014 dari
http://www.brisyariah.co.id/?q=pembiayaan-umrah-brisyariah-ib. 3 Wawancara pribadi dengan Putri Herymurti. Serpong, 15 Juni 2014.
50
1. Character
Character merupakan sifat atau watak seseorang. Sifat atau watak dari
seseorang yang akan diberikan kredit harus benar-benar dipercaya. Dalam hal
ini bank meyakini benar bahwa calon debiturnya memiliki reputasi baik.
Artinya selalu menepati janji dan tidak terlibat hal-hal yang berkaitan dengan
kriminalitas, misalnya menjadi penjudi, pemabuk atau penipu. Untuk dapat
membaca sifat atau watak dari calon debitur dapat dilihat dari latar belakang
nasabah, baik yang bersifat latar belakang pekerjaan maupun yang bersifat
pribadi seperti cara hidup atau gaya hidup yang dianutnya, keadaan keluarga
hobi, dan jiwa social.
Dari character inilah bank syariah dapat menilai siapa dan dari mana
asal-usul calon debiturnya. Sehingga dapat mengurangi resiko credit macet
atau wanprestasi yang berpengaruh pada kinerja serta cash flow bank syariah.
Misalnya dengan pemberian kredit yang tidak tepat kepada calon debitur,
sehingga ditengah-tengah kontrak debitur melarikan diri sehingga bank
mengalami kerugian.
2. Capacity
Capacity adalah analisis untuk mengetahui kemampuan nasabah
dalam membayar kredit. Bank harus mengetahui secara pasti atas kemampuan
calon debitur dengan melakukan analisis usaha dari waktu ke waktu.
Pendapatan yang selalu meningkat diharapkan kelak mampu melakukan
pembayaran kembali atas kreditnya. Sedangkan bila diperkirakan tidak
51
mampu, bank dapat menolak permohonan dari calon debitur. Capacity sering
juga disebut dengan nama capability.
Ini merupakan factor kedua setelah character, bank syariah tidak serta
merta memberikan pembiyaan setelah dinilai calon debiturnya mempunyai
latar belakang yang baik. kemudian nasabah mengajukan pembiayaan diatas
kemampuannya. Bank syariah dapat menolak permintaan nasabah tersebut.
Biasanya bank memberikan pembiayaan dengan nilai yang lebih kecil dari
plafon yang diajukan nasabah. Ini semua dilakukan agar terhindar dari kredit
macet atau wanprestasi.
3. Capital
Capital adalah kondisi kekayaan yang dimiliki oleh perusahaan yang
dikelola oleh debitur. Bank harus meneliti modal calon debitur selain
besarnya juga strukturnya. Untuk melihat penggunaan modal apakah efektif,
dapat dilihat dari laporan keuangan (neraca dan laporan laba rugi) yang
disajikan dengan melakukan pengukuran seperti dari segi likuiditas dan
solvabilitasnya, rentabilitas dan ukuran lainnya.
Sedangkan untuk calon perorangan yang statusnya pegawai maka bank
syariah mempunyai kreteria khusus dalam menilai calon debitur tersebut
yaitu: dia harus pegawai tetap (bukan kontrak), laporan rekening Koran 3
bulan terakhir, slip gaji 3 bulan terakhir.4
4 Wawancara Pribadi dengan Reni. Serpong, 18 Juni 2014.
52
Penilaian capital dilakukan agar pemberian kredit tepat sasaran
sehingga dapat dekelola atau dimanfaatkan oleh nasabah dengan seefektif
mungkin. Dan nasabah tidak melakukan pemborosan yang dimana
pemborosan atau berlebihan dilarang dalam ajaran islam.
4. Condition
Pembiayaan yang diberikan juga perlu mempertimbangkan kondisi
ekonomi yang dikaitkan dengan prospek usaha calon nasabah. Penilaian
kondisi dan bidang usaha yang dibiayai hendaknya benar-benar memiliki
prospek yang baik, sehigga kemungkinan kredit tersebut bermasalah kecil.
Kondisi ekonomi merupakan salah satu faktor penting yang menjadi
pertimbangan bank syariah dalam pemberian pembiayaan. Dimana bank
syariah akan melihat berapa laju inflasi, BI rate, pertumbuhan ekonomi,
suasana politik, cuaca. Karena hal-hal tersebut dapat berpengaruh baik
langsung maupun tidak langsung pada nasabah pembiayaan dalam
menjalankan usaha. Sehingga menimalisir resiko sedini mungkin dilakukan
oleh bank syariah suapaya terhindar dari resiko kredit macet.
5. Collateral
Collateral merupakan jaminan yang diberikan calon nasabah baik
bersifat fisik maupun nonfisik. Jaminan hendaknya melebihi jumlah kredit
yang diberikan. Jaminan juga harus diteliti keabsahannya, sehingga jika
terjadi sesuatu, maka jaminan yang dititipkan akan dapat dipergunakan
secepat mungkin.
53
Jaminan inilah yang akan melunasi apabila nasabah mengalami
kebangkrutan dalam usaha. Sehingga nasabah tidak terlilit hutang oleh pihak
bank syariah.
Adapun agunan atau jaminan yang dipersyaratkan dan dapat diterima
oleh BRISyariah memiliki kreteria:
1. Agunan harus marketable (mudah dijual kembali)
2. Dinilai oleh pihak BRISyariah, nilainya mencukupi (min 125%
dari plafond yang diajukan)
3. Letak maupun kondisinya sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh
BRISyariah
4. Atas nama nasabah atau pasangan kawin (yang dapat dibuktikan
oleh undang-undang perkawinan)
5. Memiliki bukti kepemilikan yang sah secara hukum (SHG/SHGB)
6. Dapat diikat secara sempurna sesuai ketentuan hukum perundang-
undangan yang berlaku.
Kelima factor tersebut merupakan hal-hal yang penting sebelum bank
syariah memberikan pembiayaan. Karena dalam ajaran islam, islam sangat
menjunjung tinggi keadialan dan tidak saling aniaya dan merugikan seksama.
Seperti yang dikatakan dalam surat al-baqarah ayat 279.
Dari surat al-baqarah ayat 29 sudah jelas dikatakan janganlah kamu
menganiaya dan tidak pula dianiaya, sehingga BRISyariah, bank yang bebasis
54
syariah tidak mau dirugikan begitu juga tidak mau merugikan nasabahnya.
Sehingga dia sangat teliti dan selektif dalam penyaluran pembiayaan.
Dalam pandanga Dewan Pengawas Syariah BRISyariah bapak M.
Gunawan Yasni, 5C diatas harus ditambah, bank akan melihat terkait dengan
akadnya. Apa yang akan dibiayai? Apakah itu bentuknya usaha? Atau bentuknya
barang. Kalau usaha itu menjadi sesuatu yang produktif, sedangkan barang
kecenderungannya menjadi sesuatu yang konsumtif. Kalo usaha bisa nanti
akadnya dipilih misalnya tetap murabahah, kalau konsumtif kecenderungannya
menggunakan akad murabahah atau ijarah. Jadi pemilihan akad itu menentukan
bukan hanya melihat 5 C nya saja.5
Adapun yang terjadi pada bank syariah pada akhirnya akan melihat
terutama dari 5C tersebut yaitu dari collateral dan karakter. Kenapa? karena ini
terkait barang atau usaha nasabah, kalau untuk sesuatu yang produktif maka
collateral untuk sesuatu yang produktif itu apa? Dan bagaimana nasabah tersebut
melakukan usahanya itu menentukan karakter nasabah. Dua indikator ini yang
dilihat oleh bank syariah. Dan kalau bukan sesuatu yang produktif tetapi sesuatu
yang konsumtif, seperti pembelian sepeda motor atau mobil, maka koleteralnya
adalah barangnya. Dan karakternya dapat dilihat orangnya tepat waktu atau tidak
dalam membayar, kalau dilihat lebih lanjut ini akan mengarah kepada capitalnya
5 Wawancara Pribadi dengan Gunawan Yasni, Jakarta, 14 Juli 2014.
55
nasabah tersebut, benar tidak dia mempunyai pendapatan, apakah itu sumber gaji
ataupun penghasilan lainnya6.
C. Pemberlakuan Ta’zir Pada Nasabah Wanprestasi
1. Ketentuan Ta’zir pada BRISyariah
Ta’zir ialah denda yang dikenakan bank syariah kepada nasabah yang
sengaja menunda pembayaran padahal ia mampu, denda ini diberikan untuk
mendisiplinkan nasabah yang nakal dan memberikan efek jera. Sehingga nasabah
memenuhi kewajibannya tepat pada waktunya.
ta’zir itu adalah sanksi atau denda. Ini hanya sekedar ditetapkan kepada
nasabah yang telat bayar atau menunggaknya belum masuk kepada colektibility
atau tingkat kolekbilitasnya sebelum macet. Misalnya koll 1, koll 2, dan koll 3
bisa dikenakan ta’zir. Ta’zir sendiri itu hanya sanksi atau denda yang bukan
merupakan pendapatan bank, ta’zir atau denda ini semacam sanksi atau denda
sejumlah uang yang tujuannya adalah untuk mengenakan efek jera kepada
nasabah agar ia membayar lebih tepat waktu, dan dari apa yang dibayar oleh
nasabah tersebut, tidak dimasukan kedalam pendapatan bank tetapi harus masuk
kedalam dana sosial yang dikelola oleh bank.7
Pemberlakuan ta’zir dan besarnnya pun ditentukan diawal kontrak saat
kontrak saat ditanda tangani.8 Sehingga semua ketentuan dalam kontrak tertulis
6 Wawancara Pribadi dengan Gunawan Yasni, Jakarta, 14 Juli 2014. 7 Ibid,. 8 Wawancara Pribadi dengan Reni. Serpong, 18 Juni 2014.
56
secara transparan tanpa ada yang ditutupi atau disembunyikan. Pemberlakuan
ta’zir kepada nasabah oleh BRISyariah sudah sesuai dengan ketentuan yang
berlaku di Indonesia. Karena BRISyariah selalu mengacu dan berpedoman pada
peraturan yang ada; baik Surat Edaran peraturan Bank Indonesia, fatwa DSN-
MUI No 17/DSN-MUI/IX/2000.
dalam fatwa diatas disebutkan bahwa ta’zir dikenakan kepada nasabah
mampu tapi sengaja menunda-nunda pembayaran, maka dalam hal tersebut yang
dilakukan oleh BRISyariah untuk mengetahui mana nasabah yang layak
dikenakan ta’zir dan mana yang tidak.
Hal tersebut dapat dilihat dari perjanjian diawal oleh BRISyariah, bahwa
nasabah yang lalai itu adalah nasabah yang terlambat bayar, tetapi nasabah tidak
dapat menunjukan bahwa nasabah tersebut dalam kondisi terdesak, misalnya di
PHK dan mana bukti misalnya bahwa nasabah tersebut benar di PHK. Atau
misalnya nasabah tersebut mengalami sebuah musibah, atau barangnya rusak dan
lain sebagainya, dari awal sudah diupayakan oleh bank syariah untuk dicover oleh
asuransi, jadi kalau nasabah gagal menyampaikan bukti-bukti bahwa dia memang
dalam kondisi yang bisa disebut force majeur. Kalau itu bukan dalam kondisi
force mejeur dan dia tidak bisa menunjukan bukti-buktinya maka itulah kelalaian.
Dan setiap kelalaian itu bisa dikenakan ta’zir. Minimal nasabah menunjukan dulu
bukti-bukti dan bank yang akan menilai kebenaran atau otentisitas benar atau
tidak. karena bank syariah membiayai usaha nasabah kemudian terbakar
57
misalnya, maka dilihat otentisitasnya benar tidak terbakar? Oleh karena itu akan
dilakukan survai kelapangan. Dan benar ternyata terbukti usahanya terbakar, dan
yang terbakar itu tidak tercover oleh asuransi, atau tercover asuransi tapi asuransi
mempunyai batasan dalam mengcovernya. Itu merupakan suatu kondisi force
majeur maka itu tidak dikenakan ta’zir. Maka BRISyariah akan memberi tangguh
yang lebih leluasa lagi kepada nasabah yang bersangkutan.9
2. Menentukan besaran Ta’zir
Ta’zir boleh dikenakan berapa saja, adapun yang diterapkan di BRISyariah
dengan cara persentase, karena ta’zir itu bertujuan untuk efek jera, BRISyariah
bisa saja bilang setengah persen dari angsuran yang belum dibayar. Tapi tidak
bunga-berbunga. Dalam penerapan ta’zir boleh menyebut angkanya karena tujuan
dari ta’zir memberikan efek jera. Berbeda dengan ta’widh, ta’widh tidak boleh
menyebutkan angkanya paling hanya boleh mengindikasikan setinggi-tingginya
berapa.10
Adapun cara penetapan besaran ta’zir pada BRISyariah dengan cara
persentase. dan setiap pembiayaan dengan skema akad apapun hampir sama
semuanya. Adapun besaran persentasenya ada komite khusus yang menentukan
biasanya kisaran 15% - 17% besar kecilnya persentase tergantung berapa lama
nasabah mengajukan pembiayaan:
9 Wawancara Pribadi dengan Gunawan Yasni, Jakarta, 14 Juli 2014. 10 Ibid,.
58
17% x angsuran = ……….11
360 hari
Dari formula penghitungan besaran ta’zir diatas, dapat dipastikan bahwa
besar kecilnya jumlah denda yang dikenakan BRISyariah kepada nasabah
tergantung dari berapa besar cicilan perbulan, makin besar cicilan perbulan, maka
makin besar pula jumlah yang dikenakan kepada nasabah.
3. Pengalokasian dana Tazir
Adapun pengalokasian dana ta’zir sesuai dengan fatwa DSN-MUI nomor
17/DSN-MUI/IX/2000 bahwa pendapatan dari dana ta’zir masuk kedalam dana
social, BRISyariah menggunakan dana tersebut untuk acara social yaitu CSR
(corporate social responsibility).
Dalam pengalokasian dana Ta’zir untuk dana social seperti CSR, adapun
yang sudah dilakukan oleh BRISyariah misalnya, BRISyariah kerja sama dengan
PMI, maka dibelikan bank darah yang mobile atau mobil kesehatan keliling, atau
mendirikan MCK misalnya, vaksinasi anak-anak, khitanan masal.
Bahkan bukan hanya sakedar itu yang dilakukan oleh BRISyariah, agar
bentuknya lebih akuntable, BRISyariah mempunyai kerja sama yang cukup dekat
dengan baznas karena ketua dewan pengawas syariah Bapak Didin hafinuddin
juga ketua umum baznas, jadi supaya akuntabilitas jelas dana CSR sekalipun
11 Dari Kantor Cabang BSD BRISyariah.
59
BRISyariah menjalin kerja sama dengan baznas. Dapat diambil contoh: misalnya
baznas memepunyai program yaitu Indonesia cendikia, Indonesia sehat. jadi
biasanya BRISyariah menanamkan sejumlah dana disana, misalnya karyawan
BRISyariah zakatnya sudah dipotong disalurkan lewat baznas, baznas kemudian
menyelenggarakan suatu acara sosial yang dananya dari zakat karyawan
BRISyariah. Seperti untuk program Indonesia sehat, kemudian bisa ditambahkan
dana CSR yang terkumpul dari dana ta’zir dan ditambahkan keprogram tersebut
supaya program itu lebih besar dan lebih besar lagi. Dari sisi akuntabilitasnya
jelas.12
Adapun laporan sumber dan penggunaan dana kebajikan dari BRISyariah
sebagai berikut:
12 Wawancara Pribadi dengan Gunawan Yasni, Jakarta, 14 Juli 2014.
60
dari laporan sumber dan penggunaan dana kebajikan diatas bahwa
BRISyariah telah mematuhi ketentuan DSN-MUI nomor 17/DSN-MUI/IX/2000
bahwa dana ta’zir masuk ke dalam dana kebajikan. Dan penyajiannya dalam
laporan keuangan sudah sesuai dengan PAPSI (pedoman akuntansi perbankan
syariah). Yang dijelaskan didalamnya bahwa,
1. sumber dana kebajikan terdiri atas:
a. infaq
b. shadaqoh
c. denda (yang bersal dari pengenaan ta’zir)
d. sumbangan/hibah
61
e. pendapatan non halal
2. dana kebajikan harus disalurkan kepada yang berhak sesuai syariah.
3. Pada laporan dana kebajikan harus memperlihatkan nilai bersih dari
sumber dan penggunaan dana yang belum digunakan.
4. Bank harus melaporkan sumber dan penggunaan dana kebajikan
selama periode tertentu.
D. Pemberlakuan Ta’widh Pada Nasabah Wanprestasi Di BRISyariah
1. Ketentuan ta’widh di BRISyariah
Ta’widh ialah ganti rugi yang dikenakan bank syariah kepada nasabah
pembiayaan yang sengaja atau lalai melakukan sesuatu yang dapat merugikan
salah satu pihak yaitu bank syariah, dan yang boleh diminta ganti ruginya
hanyalah kerugian rill yang dialami oleh bank syariah dan jelas
perhitungannya. Dan kerugian yang diperkirakan terjadi dimasa yang akan
datang karena hilangnya peluang yang dimiliki oleh bank syariah tidak boleh
diminta ganti ruginya.
Dalam proses pengenaan ta’widh pada BRISyariah, misalkan nasabah
tersebut sudah lalai, dikenakan ta’zir tidak membayar, kemudian nasabah
tidak bisa menunjukan bahwa dia dalam kondisi force majeur berarti telah
terjadi kelalaian atau side streaming, misalnya uangnya dipakai untuk hal
yang lain, oleh sebab itu akan timbul kerugian pada sisi bank. Jelas, kenapa?
Karena dia terlambat bayar bukan karena sesuatu yang force majeur sifatnya,
62
nasabah terlambat bayar itu menimbulkan kerugian bagi pihak bank minimal,
kerugian menimalnya adalah, bank punya yang namanya over head cost yaitu:
bayar gaji, sewa kantor dan lain-lain. Itu adalah cost dan itu kalau dapat dicari
logikanya dan dapat ketemu costnya dari setiap pembiayaan yang dilakukan
itu, setiap rupiahnya dari pembiayan yang dilakukan itu menanggung berapa
cost dari pegawai, biaya sewa kantor, telepon dan lain-lain. Maka karena
nasabah lalai membayar, dari pihak bank terus mengeluarkan biaya tersebut,
dan itu dapat dikuantifikasi (dihitung) lalu itulah yang dikenakan sebagai
bentuk ganti rugi bukan sanksi atau denda lagi jadi sudah ganti rugi. Karena
ini namanya ganti rugi atau ta’widh oleh sebab itu, ini bisa jadi pendapatan
bank. Sebagai kompensasi dari kerugian bank.13
Dalam menjalankan tugasnya sebagai media intermediasi bank syariah
pasti mempunyai resiko salah satunya yaitu kredit macet. Walaupun bank
syariah telah selektif dan menganalisis sebelum memberikan pembiayaan.
Bukan berarti resiko hilang akan tetapi hal tersebut dapat menimalisir resiko
tersebut. Sehingga kemunggilan gagal bayar pasti ada.
Islam adalah agama yang melindungi setiap pihak yang bertransaksi
atau melakukan akad. Maka hak-hak setiap pihak sangat dijaga dalam islam.
Sehingga tidak ada yang salim mendzalimi satu sama lain ataupun dirugikan.
Hal ini sudah ada dalam Al-quran pada surat al-maidah ayat 1.
13 Wawancara dengan Bpk Gunawan Yasni, Dewan Pengawas Syariah (DPS) BRISyariah
63
Dari surat Al-Maidah sudah sangat jelas apabila kita melakukan akad
atau kontrak perjanjian maka masing-masing pihak harus memenuhi hak dan
kewajibannya masing-masing. Sehingga setiap yang berhutang harus
membayar hutangnya. Seandaipun yang mempunyai hutang belum mampu
dalam melunasi kewajibannya. maka tunggulah sampai ada kelapangan dan
kemampuan dalam membayar hutang tersebut sebagai mana dijelaskan dalam
surat Al-baqarah ayat 280.
Berdasarkan ayat tersebut apabila seseorang yang berutang belum
mampu melunasi atau melaksanakan kewajibannya. Maka yang memberikan
hutang harus memberikan tenggang sampai yang berhutang memiliki
kemampuan untuk melaksanakan kewajibanya. Dan apabila ini terjadi pada
BRISyariah, maka BRISyariah akan mengambil tindakan-tindakan yang tidak
merugikan pihak nasabah dan pihak BRISyariah sendiri. Sehingga hak kedua
belah pihak tetap terjaga dan sesuai dengan ajaran islam.
2. Tindakan Penyelesaian Kredit Macet pada BRISyariah
Adapun tindakan yang dapat dilakukan oleh BRISyariah terhadap
kredit macet yaitu:
1. Restrukturisasi Pembiayaan adalah upaya yang dilakukan bank dalam
rangka membantu nasabah agar dapat menyelesaikan kewajibannya,
antara lain melalui;
64
a. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan jadwal
pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya;
b. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian
atau seluruh persyaratan pembiayaan, antara lain perubahan jadwal
pembayaran, jumlah angsuran jangka waktu dan/atau pemberian
potongan sepanjang tidak menambah sisa kewajiban nasabah yang
harus dibayarkan kepada bank;
c. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan persyaratan
Pembiayaan tidak terbatas pada rescheduling atau reconditioning,
antara lain meliputi
1) Penambahan dana pembiayaan bank;
2) Konversi akad pembiayaan;
3) Konversi pembiayaan menjadi surat berharga syariah
berjangka waktu menengah;, surat berharga syariah
berjangka waktu menengah adalah surat bukti investasi
berdasarkan prinsip syariah yang lazim diperdagangkan di
pasar uang dan/atau pasar modal berjangka waktu 3 (tiga)
sampai 5 (lima) tahun dengan menggunakan akad
mudharabah atau musyrakah.
4) Konversi pembiayaan menjadi peyertaan modal sementara
pada perusahaan nasabah. Penyertaan modal sementara
adalah penyertaan penyertaan modal BUS atau UUS, antara
65
lain berupa pembelian saham dan/atau konversi
Pembiayaan menjadi saham dalam perusahaan nasabah
untuk mengatasi kegagalan penyaluran dana dan/atau
piutang dalam jangka waktu tertentu sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
Bank dapat melaksanakan restukturisasi pembiayaan dengan
menerapkan prinsip kehati-hatian. Dan bank wajib menjaga dan mengambil
langkah-langkah agar kualitas pembiayaan setelah direstrukturisasi dalam
keadaan Lancar. Bank dilarang melakukan Restrukturisasi Pembiayaan
dengan tujuan untuk menghindari: penurunan penggolongan kualitas
pembiayaan; pembentukan penyisihan penghapusan aktiva (PPA) yang lebih
besar, atau penghentian pengakuan pendapatan marjin atau ujrah secara
akrual.14
Dalam proses pengenaan ta’widh di BRISyariah hanya dikenakan
kepada nasabah yang memiliki kolekbilitas macet. Dan sudah merugikan
pihak bank syariah khususnya.
Contoh pada kasus pembiayaan murabahah, Apabila nasabah merubah
perjanjian misalnya didalam kontrak dikatakan dalam 3 tahun lunas, dan sekarang
ternyata harus diperpanjang (rescheduling) pasti disitu ada biaya notaris,
14 Peraturan Bank Indonesia, NOMOR: 10/18/PBI/2008 TENTANG RESTRUKTURISASI
PEMBIAYAAN BAGI BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH.
66
kemudian juga bisa timbul yang tadi seharusnya dana tersebut sudah kembali dan
bisa digunakan kedalam bentuk yang lain, atau ada account officer yang
seharusnya sudah selesai tugasnya tapi dia terus memantau ini, itu adalah yang
menimbulkan over head yang lebih, seharusnya diawal sudah memperhitungkan
untuk melakukan pembiayaan murabahah ini diperlukan pemantauan selama tiga
tahun untuk menyelesaikan ternyata lebih, 4 tahun jadinya. jadi ada over head
yang berlebih yang harus dikeluarkan, monitoring costnya itu bertambah, oleh
sebab itu bisa kemudian dikatakan nasabah ini bisa dikenakan ta’widh. Dan
nasabah menginginkan rescheduling, maka dapat dikenakan ta’widh. Dan bisa
juga ditambah dengan biaya asuransi misalkan motor, motor perjanjian
pembiayaan tiga tahun dan asuransi didepan Cuma dibayar tiga tahun, karena
barang ini diperpanjang pembiayaan, dan perjanjian belum selesai maka perlu
diasuransikan kembali.15
Adapun ganti rugi yang diterima bank boleh diakui sebagai pendapatan
bank syariah seseuai dengan fatwa DSN-MUI nomor 43/DSN-MUI/VIII/2004
dan PBI NOMOR 7-46-PBI-2005.
Dana ta’widh atas proses perpanjangan masa angsuran atau masa
restrukturisasi masuk kedalam salah satu pendapatan operasional lainnya.
Adapun besarannya bank syariah tidak boleh menyebutkan jumlahnya
secara eksplinsit dalam perjanjian, bank syariah hanya dapat mengatakan kepada
15 Wawancara Pribadi dengan Gunawan Yasni, Jakarta, 14 Juli 2014.
67
nasabah apabila ada yang bertanya menganai besaran ta’widh yaitu: setinggi-
tingginya atau sebanyak-banyaknya. Misalnya 100 ribu dari kelipatan pembiayaan
yang diterima 1 juta. Ini hanya indikator, nanti bank syariah akan melihat kembali
berapa sebenarnya yang terjadi. Karena konteks dari ta’widh sendiri ialah biaya
rill yang telah dikeluarkan oleh bank syariah.16
Adapun yang diminta ganti ruginya oleh BRISyariah hanya biaya rill yang
telah dikeluarkan oleh BRISyariah selama masa penagihan terhadap nasabah
dengan kolekbilitas macet. Adapun yang menjadi tanggungan nasabah sebagai
berikut.
1. Over head (sewa kantor, gaji karyawan, dll)
2. Admistrasi (ATK, telpon, dll)
3. Biaya Notaris (u/ perbaruan kontrak)
4. Asuransi jaminan
5. Eksekusi jaminan (apabila tidak ada jalan lain dalam penyelesaian
kredit macet)
6. Pihak ketiga (misalnya polisi dalam upaya melakukan penagihan
terhadap nasabah yang menghilang)
Dalam pembayarannya nasabah mencicil ta’widh tersebut, misalnya dalam konteks
murabahah maka tidak boleh ada perubahan harga di murabahah tersebut. Berapapun
sisa hutang murabahah hanya segitulah yang dibayar oleh nasabah, tetapi diluar yang
16 Wawancara Pribadi dengan Gunawan Yasni, Jakarta, 14 Juli 2014.
68
harus dibayar nasabah karena nasabah lalai sehingga timbunya kerugian pada sisi
bank syariah maka dikenakanlah ta’widh.
Penerapan ta’widh lebih sulit dilakukan dibandingkan dengan ta’zir, karena
dari sekian banyak nasabah dan sekian banyak juga yang wanprestasi dengan
berbagai macam masalah maka bank syariah sangat sulit sekali menentukan jumlah
rill dalam pengenaan ta’widh. Berbeda dengan ta’zir nominalnya sudah bisa
ditentukan diawal kontrak. Maka menurut penulis penerapan ta’widh di BRISyariah
belum sempurna walaupun sudah mengacu pada peraturan yang ada baik fatwa DSN-
MUI maupu surat edaran BI.
69
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam sistem permodalan bank syariah, bahwa modal bank syariah
terdiri dari modal bank itu sendiri dan dana pihak ketiga sebagai deposan.
Dalam penyaluran pembiayaan maka bank sangat berhati-hati dalam
memberikan pembiaayan kepada nasabah. Mengingat bahwa bank syariah
sebagai shahibul maal dari orang yg diberi pembiayaan dan mudharib dari
nasabah deposan atau penabung. Apabila terjadi wanprestasi dari nasabah
pembiayaan maka yang terkena dampak bukan hanya bank syariah tetapi
nasabah deposan juga terkena dampaknya.
1. Ta’zir merupakan sejumlah denda yang dikenakan oleh bank syariah
hanya kepada nasabah mampu tapi enggan memenuhi prestasinya.
Pengenaan ta’zir hanya dikenakan kepada nasabah dengan
kolekbilitasnya sebelum macet. Tujuan diberlakukan ta’zir ini agar
nasabah memenuhi prestasinya tapat waktu. Adapun besaran dana
ta’zir sudah ditentukan diawal kontrak sesuai dengan perjanjian. Semua
ketentuan yang ada sudah mengacu pada fatwa DSN-MUI No:
17/DSN-MUI/IX/2000.
2. Ta’widh sebagai ganti rugi, merupakan tindak lanjut dari nasabah yang
lalai, yang sudah dikenakan ta’zir tapi masih tidak memenuhi
70
prestasinya dan nasabah tersebut tidak bisa menunjukan bahwa dia
dalam keadaan force majeur . Adapun ganti rugi yang diminta oleh
bank syariah adalah sesuatu yang rill dan dapat dikuantifikasi. dan
besarannya pun tidak bisa ditentukan diawal kontrak. ta’widh pada
bank syariah bukan merupakan tambahan dari pinjaman nasabah
melainkan disamping nasabah harus melunasi pokok pembiayaannya
dia juga harus membayar ta’widh karena dia lalai. Dan Dana ta’widh
ini boleh dimasukan kedalam pendapatan bank syariah. Sesuai dengan
fatwa DSN-MUI No: 43/DSN-MUI/VIII/2004 Tentang Ganti Rugi.
3. Dana yang terkumpul dari denda ta’zir dimasukan ke dalam dana
sosial yang diperuntukan untuk kegiatan sosial. Seperti: pembelian
mobil kesehatan keliling, vaksinasi anak-anak, khitanan masal. Dan
BRISyariah juga bekerja sama dengan baznas.
B. Saran
Bank syariah harus menindak tegas nasabah yang lalai akan
prestasinya padahal ia mampu, karena kerugian dari wanprestasi bukan
bertampak pada bank syariah saja tetapi juga berdampak pada deposan yang
ada. Sehingga seharusnya deposan mendapatkan bagi hasil maksimal karena
terjadi wanprestasi maka bagi hasilpun tidak maksimal.
penerapan dari ta’zir dan ta’widh bank syariah harus berlandaskan atas
prinsip kejujuran dan transparan sehingga tidak ada pihak yang merasa
dirugikan baik secara materil maupun non-materil.
71
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Afifi Fauzi. Metodologi Penelitian. Ciputat: Adelina Bersaudara, 2010.
Abdullah, Samnur. Mekanisme Penetapan Ta’widh di Bank BNI Syariah pada Produk
Hasanah Card. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri syarif Hidayatullah Jakarta, 2012.
Antonio, Muhammad syafi’i. bank Syariah dari teori ke praktik, cet.20. Jakarta: gema
Insani, 2001.
Arifin, Zainul. Dasar-dasar Menajemen Bank Syariah. Jakarta : Pustaka Alvabet,
2006.
Arif, Saefuddin dan azharuddin lathif. Kontrak Bisnis Syariah. Jakarta: Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syariaf Hidayatullah, 2011.
Az-zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam wa adillatuhu, jilid V, cet.X. damaskus: Darul Fikr,
2007.
Basrowi dan Suwandi. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta
2008.
Fitriani, Ani. Pengaruh Pengenaan Ta’zir Terhadap Tingkat NPF. Skripsi S1 Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri syarif Hidayatullah Jakarta,
2012.
Hasan, Zubairi. Undang-undang Perbankan Syariah. Jakarta : Rajawali Pers, 2009.
H.S, Salim. Hukum kontrak, cet.IV. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Karim, Adiwarman A. Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, cet.VIII. Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, 2011.
Lathif, Azharudin dan Nahrowi. Pengantar Hukum Bisnis. Jakarta: Lembaga Peneliti
UIN Syarih Hidayatullah, 2009.
Nasution, Mustafa Edwin, dkk. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, cet.II. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2007.
Rochaety, Ety, dkk. Metodologi Penelitian Bisnis Dengan Aplikasi SPSS. Jakarta :
Mitra Wacana Media, 2009.
72
Salam, Syamsir dan Jaenal Aripin. Metodologi Penelitian sosial, cet.I. Jakarta: UIN
Press, 2006
Saliman, Abdul R. Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, cet.VI. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2011.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. Metode Penelitian Survai. Jakarta:
LP3ES, 1987.
Subekti. Pokok-pokok hukum perdata. Jakarta: Intermasa, 1987.
Sugiyono,. Metode Penelitian Bisni, cet.16. Bandung : CV Alfabeta, 2012.
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalat, cet.VI. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2010.
Suyanto, Bagong , dkk. Metode Penelitian Sosial.Jakarta : Kencana Prenada Media
Group, 2011.
Syafei, Rachmat. Fiqh Muamalat. Bandung : Pustaka Setia, 2001.
Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Fiqih, cet.I. Bogor: Prenada Media, 2003.
Widyaningsih dan dkk. Bank dan asuransi Islam Di Indonesia. Jakarta : Kencana
Prenada Media, 2007.
Tim kashiko. Kamus Lengkap Arab Indonesia. Surabaya: Kashiko, 2000
“Statistik Perbankan Syariah”. Diakses pada 4 April 2014 dari
http://www.bi.go.id/id/statistik/perbankan/syariah/Documents/a2566069e5604
a09 8844fff7171d260bSPSJuli2014.pdf.
http://www.Brisyariah.co.id
AS, Wisnu.”Perbankan Syariah Didorong Biayai Sektor Produktif”. Artikel diakses
pada 5 Februari 2014 dari
http://www.metrotvnews.com/metrotvnews/read/2013/05/23/2/156133/perban
kan - syariah-Didorong-dibiayai-sektor-poduktif.
Wawancara Pribadi dengan Gunawan Yasni. Jakarta. 14 Juli 2014.
Wawancara Pribadi dengan Putri Herymurti. Serpong. 15 Juni 2014.
73
Wawancara Pribadi dengan Reni. Serpong. 18 Juni 2014.
Dewan Syariah Nasional (DSN). Himpunan fatwa Dewan Syariah Nasional.
Jakarta, 2000.
Dewan Syariah Nasional (DSN). Himpunan fatwa Dewan Syariah Nasional.
Jakarta, 2004.
Peraturan Bank Indonesia, nomor: 10/18/pbi/2008 tentang restrukturisasi
pembiayaan bagi bank syariah dan unit usaha syariah.
FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL
NO: 17/DSN-MUI/IX/2000
Tentang
SANKSI ATAS NASABAH MAMPU YANG MENUNDA-NUNDA PEMBAYARAN
بسم اهللا الرحمن الرحيم
Dewan Syari’ah Nasional setelah
Menimbang : a. bahwa masyarakat banyak memerlukan pembiayaan dari Lembaga Keuangan Syari'ah (LKS) berdasarkan pada prinsip jual beli maupun akad lain yang pembayarannya kepada LKS dilakukan secara angsuran;
b. bahwa nasabah mampu terkadang menunda-nunda kewajiban pembayaran, baik dalam akad jual beli maupun akad yang lain, pada waktu yang telah ditentukan berdasarkan kesepakatan di antara kedua belah pihak;
c. bahwa masyarakat, dalam hal ini pihak LKS, meminta fatwa kepada DSN tentang tindakan atau sanksi apakah yang dapat dilakukan terhadap nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran tersebut menurut syari’ah Islam;
d. bahwa oleh karena itu, DSN perlu menetapkan fatwa tentang sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran menurut prinsip syari’ah Islam, untuk dijadikan pedoman oleh LKS.
Mengingat : 1. Firman Allah QS. al- Ma’idah [5]: 1:
د آيقوا بالعفوا أوونآم نا الذيهأي…
“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….”
2. Hadis Nabi riwayat Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf:
ما الصلح جائز بين المسلمني إال صلحا حرم حالال أو أحل حرا .والمسلمون على شروطهم إال شرطا حرم حالال أو أحل حراما
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
3. Hadis Nabi riwayat jama’ah (Bukhari dari Abu Hurairah, Muslim dari Abu Hurairah, Tirmizi dari Abu Hurairah dan Ibn Umar,
17 Sanksi atas Nasabah 2
Dewan Syariah Nasional MUI
Nasa’i dari Abu Hurairah, Abu Daud dari Abu Hurairah, Ibn Majah dari Abu Hurairah dan Ibn Umar, Ahmad dari Abu Hurairah dan Ibn Umar, Malik dari Abu Hurairah, dan Darami dari Abu Hurairah):
ظلم نيطل الغم…
“Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman…”
4. Hadis Nabi riwayat Nasa’i dari Syuraid bin Suwaid, Abu Dawud dari Syuraid bin Suwaid, Ibu Majah dari Syuraid bin Suwaid, dan Ahmad dari Syuraid bin Suwaid:
هتبقوعو هضحل عراجد يالو لي.
“Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya.”
5. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari ‘Ubadah bin Shamit, riwayat Ahmad dari Ibnu ‘Abbas, dan Malik dari Yahya:
ارالضرو ررالض.
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.”
6. Kaidah fiqh:
.اتحريمه على دليلألصل فى المعامالت اإلباحة إال أن يدل ا
“Pada dasarnya, segala bentuk mu’amalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
.الضرر يزال“Bahaya (beban berat) harus dihilangkan.”
Memperhatikan : a. Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional bersama dengan Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia pada hari Sabtu, tanggal 7 Rabi'ul Awwal 1421 H./10 Juni 2000.
b. Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional pada hari Sabtu, 17 Jumadil Akhir 1421 H./16 September 2000.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA TENTANG SANKSI ATAS NASABAH MAMPU YANG MENUNDA-NUNDA PEMBAYARAN
Pertama : Ketentuan Umum
17 Sanksi atas Nasabah 3
Dewan Syariah Nasional MUI
1. Sanksi yang disebut dalam fatwa ini adalah sanksi yang dikenakan LKS kepada nasabah yang mampu membayar, tetapi menunda-nunda pembayaran dengan disengaja.
2. Nasabah yang tidak/belum mampu membayar disebabkan force majeur tidak boleh dikenakan sanksi.
3. Nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dan/atau tidak mempunyai kemauan dan itikad baik untuk membayar hutangnya boleh dikenakan sanksi.
4. Sanksi didasarkan pada prinsip ta'zir, yaitu bertujuan agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya.
5. Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani.
6. Dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial.
Kedua : Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyele-saiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Ketiga : Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Jakarta Tanggal : 17 Jumadil Akhir 1421 H. 16 September 2000 M.
DEWAN SYARI’AH NASIONAL MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua, Sekretaris,
K.H.M.A. Sahal Mahfudh Dr. H.M. Din Syamsuddin
FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL
NO. 43/DSN-MUI/VIII/2004
Tentang
GANTI RUGI (TA’WIDH)
بسم اهللا الرحمن الرحيم
Dewan Syari’ah Nasional setelah,
Menimbang : a. bahwa lembaga keuangan syari’ah (LKS) beroperasi berdasarkan prinsip syari’ah untuk menghindarkan praktik riba atau praktik yang menjurus kepada riba, termasuk masalah denda finansial yang biasa dilakukan oleh lembaga keuangan konvensional;
b. bahwa para pihak yang melakukan transaksi dalam LKS terkadang mengalami risiko kerugian akibat wanprestasi atau kelalaian dengan menunda-nunda pembayaran oleh pihak lain yang melanggar perjanjian;
c. bahwa syari’ah Islam melindungi kepentingan semua pihak yang bertransaksi, baik nasabah maupun LKS, sehingga tidak boleh ada satu pihak pun yang dirugikan hak-haknya;
d. bahwa kerugian yang benar-benar dialami secara riil oleh para pihak dalam transaksi wajib diganti oleh pihak yang menimbulkan kerugian tersebut;
e. bahwa masyarakat, dalam hal ini para pihak yang bertransaksi dalam LKS meminta fatwa kepada DSN tentang ganti rugi akibat penunda-nundaan pembayaran dalam kondisi mampu;
f. bahwa dalam upaya melindungi para pihak yang bertransaksi, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang ganti rugi (ta’widh) untuk dijadikan pedoman.
Mengingat : 1. Firman Allah SWT.; antara lain: a. QS. al-Ma’idah [5]:1:
…ياأيها الذين آمنوا أوفوا بالعقود “Hai orang yang beriman! Penuhilah aqad-aqad itu…”.
b. QS. al-Isra’ [17]: 34:
.وأوفوا بالعهد، إن العهد كان مسئوال…“…Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggunganjawabannya.”
c. QS. al-Baqarah [2]: 194:
43 Ganti Rugi (Ta’widh) 2
Dewan Syariah Nasional MUI
… ،كمليى عدتا اعه بمثل مليا عودتفاع كمليى عدتن اعفمنقيتالم عم ا أن اللهولماعو ،قوا اللهاتو.
“…maka, barang siapa melakukan aniaya (kerugian) kepadamu, balaslah ia, seimbang dengan kerugian yang telah ia timpakan kepadamu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”
d. QS. al-Baqarah [2]: 279-280:
تظلمون وال تظلمون؛ وإن كان ذو عسرة فنظرة إلى ال… .ميسرة وأن تصدقوا خير لكم إن كنتم تعلمون
”... Kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
2. Hadis-hadis Nabi s.a.w.; antara lain:
a. Hadis Nabi riwayat Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf:
الم نيب ائزج لحا الصامرل حأح الال أوح مرا حلحإال ص لمنيس .والمسلمون على شروطهم إال شرطا حرم حالال أو أحل حراما
“Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
b. Hadis Nabi riwayat jama’ah (Bukhari dari Abu Hurairah, Muslim dari Abu Hurairah, Tirmizi dari Abu Hurairah dan Ibn Umar, Nasa’i dari Abu Hurairah, Abu Daud dari Abu Hurairah, Ibn Majah dari Abu Hurairah dan Ibn Umar, Ahmad dari Abu Hurairah dan Ibn Umar, Malik dari Abu Hurairah, dan Darami dari Abu Hurairah):
ظلم نيطل الغم… “Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman…”
c. Hadis Nabi riwayat Nasa’i dari Syuraid bin Suwaid, Abu Dawud dari Syuraid bin Suwaid, Ibu Majah dari Syuraid bin Suwaid, dan Ahmad dari Syuraid bin Suwaid:
هتبقوعو هضحل عراجد يالو لي.
43 Ganti Rugi (Ta’widh) 3
Dewan Syariah Nasional MUI
“Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya.”
d. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari ‘Ubadah bin Shamit, riwayat Ahmad dari Ibnu ‘Abbas, dan Malik dari Yahya:
ارالضرو ررالض. “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.”
3. Kaidah Fiqh; antara lain:
لى تل عليل ددة إال أن ياحالت اإلبامعل فى المااألصمهريح. “Pada dasarnya, segala bentuk mu’amalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
.الضرر يزال“Bahaya (beban berat) harus dihilangkan.”
Memperhatikan : 1. Pendapat Ibnu Qudamah dalam al-Mughni, juz IV, hlm 342, bahwa penundaan pembayaran kewajiban dapat menimbulkan kerugian (dharar) dan karenanya harus dihindarkan; ia menyatakan:
فإن كان : من عليه الدين إذا أراد السفر أو أراد غريمه منعه نظرناحل قدل من قبيحل الدإلى م هفرن سكوفر مثل أن يالس مه منو
ة، فلهذي الحج م أورححل في المي هنيدفر وس إال في مقوالي جالحن أقام منعه من السفر، ألن عليه ضررا في تأخير حقه عند محله؛ فإ
ررألن الض ،فرالس حل، فلهالم دن عنيبالد فيا ينهر فعد ا أونميضل بذلكوزي.
“Jika orang berutang (debitur) bermaksud melakukan perjalanan, atau jika pihak berpiutang (kreditur) bermaksud melarang debitur (melakukan perjalanan), perlu kita perhatikan sebagai berikut. Apabila jatuh tempo utang ternyata sebelum masa kedatangannya dari perjalanan --misalnya, perjalanan untuk berhaji di mana debitur masih dalam perjalanan haji sedangkan jatuh tempo utang pada bulan Muharram atau Dzulhijjah-- maka kreditur boleh melarangnya melakukan perjalanan. Hal ini karena ia (kreditur) akan menderita kerugian (dharar) akibat keterlambatan (memperoleh) haknya pada saat jatuh tempo. Akan tetapi, apabila debitur menunjuk penjamin atau menyerahkan jaminan (qadai) yang cukup untuk membayar utangnya pada saat jatuh tempo, ia boleh melakukan perjalanan tersebut, karena dengan demikian, kerugian kreditur dapat dihindarkan.”
43 Ganti Rugi (Ta’widh) 4
Dewan Syariah Nasional MUI
2. Pendapat beberapa ulama kontemporer tentang dhaman atau ta’widh; antara lain sebagai berikut:
a. Pendapat Wahbah al-Zuhaili, Nazariyah al-Dhaman, Damsyiq: Dar al-Fikr, 1998:
ضويعطأ : التأو الخ يدعاقع بالتر الورة الضطيغت و٨٧(ه ( هو إزالة الضرر عينا، : األصل العام في الضمان أو التعويض
ا كان أو جبر المتلف وإعادته صحيحا كم... كإصالح الحائط بجو ذلك ذرعا، فإن تححير صوكسة المادكان كإعاإلم دعن
قديأو الن المثلي ضويع٩٤(الت( أي (وأما ضياع المصالح والخسارة المنتظرة غير المؤكدة
فال يعوض عنها في و األضرار األدبية أو المعنويةأ) المستقبلة دوجوال المالم وض هويعل التحألن م ،كم الفقهيل الحأص
وهبة الزحيلي، نظرية ) (٩٦(المحقق فعال والمتقوم شرعا )١٩٩٨فكر، دمشق، الضمان، دار ال
“Ta’widh (ganti rugi) adalah menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau kekeliruan” (h. 87).
“Ketentuan umum yang berlaku pada ganti rugi dapat berupa: (a) menutup kerugian dalam bentuk benda (dharar, bahaya), seperti memperbaiki dinding... (b) memperbaiki benda yang dirusak menjadi utuh kembali seperti semula selama dimungkinkan, seperti mengembalikan benda yang dipecahkan menjadi utuh kembali. Apabila hal tersebut sulit dilakukan, maka wajib menggantinya dengan benda yang sama (sejenis) atau dengan uang” (h. 93).
Sementara itu, hilangnya keuntungan dan terjadinya kerugian yang belum pasti di masa akan datang atau kerugian immateriil, maka menurut ketentuan hukum fiqh hal tersebut tidak dapat diganti (dimintakan ganti rugi). Hal itu karena obyek ganti rugi adalah harta yang ada dan konkret serta berharga (diijinkan syariat untuk memanfaat-kannya” (h. 96).
b. Pendapat `Abd al-Hamid Mahmud al-Ba’li, Mafahim Asasiyyah fi al-Bunuk al-Islamiyah, al-Qahirah: al-Ma’had al-‘Alami li-al-Fikr al-Islami, 1996:
ضمان المطل مداره على الضرر الحاصل فعال من جراء التأخير )١١٥(في السداد، وكان الضرر نتيجة طبيعية لعدم السداد
43 Ganti Rugi (Ta’widh) 5
Dewan Syariah Nasional MUI
“Ganti rugi karena penundaan pembayaran oleh orang yang mampu didasarkan pada kerugian yang terjadi secara riil akibat penundaan pembayaran dan kerugian itu merupakan akibat logis dari keterlambatan pembayaran tersebut.”
c. Pendapat ulama yang membolehkan ta’widh sebagaimana dikutip oleh `Isham Anas al-Zaftawi, Hukm al-Gharamah al-Maliyah fi al-Fiqh al-Islami, al-Qahirah: al-Ma’had al-‘Alami li-al-Fikr al-Islami, 1997:
الضرر يزال حسب قواعد الشريعة، وال إزالة إال بالتعويض، . ن المضرورومعاقبة المدين المماطل ال تفيد الدائ
وهو ،هكمذ حأخأن ي غيبنيو ،بصالغ بهشي قاء الحأد رأخيتأن الغاصب يضمن منافع المغصوب مدة الغصب عند الجمهور،
)١٦-١٥(ك إلى جنب ضمانه قيمة المغصوب لو هل“Kerugian harus dihilangkan berdasarkan kaidah syari’ah dan kerugian itu tidak akan hilang kecuali jika diganti; sedangkan penjatuhan sanksi atas debitur mampu yang menunda-nunda pembayaran tidak akan memberikan manfaaat bagi kreditur yang dirugikan. Penundaan pembayaran hak sama dengan ghashab; karena itu, seyogyanya stastus hukumnya pun sama, yaitu bahwa pelaku ghashab bertanggung jawab atas manfaat benda yang di-ghasab selama masa ghashab, menurut mayoritas ulama, di samping ia pun harus menanggung harga (nilai) barang tersebut bila rusak.”
3. Fatwa DSN No.17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu Yang Menunda-nunda Pembayaran.
4. Fatwa DSN No 18/DSN-MUI/IX/2000 tentang Pencadangan Penghapusan Aktiva Produktif dalam LKS
5. Rapat BPH DSN MUI – BI – Perbankan Syari’ah, 18 Juli 2004 di Lippo Karawaci-Tangerang.
6. Rapat Pleno DSN-MUI, hari Rabu, 24 Jumadil Akhir 1325 H/11 Agustus 2004.
Dengan memohon taufiq dan ridho Allah SWT
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA TENTANG GANTI RUGI (TA’WIDH)
Pertama : Ketentuan Umum 1. Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang
dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain.
43 Ganti Rugi (Ta’widh) 6
Dewan Syariah Nasional MUI
2. Kerugian yang dapat dikenakan ta’widh sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas.
3. Kerugian riil sebagaimana dimaksud ayat 2 adalah biaya-biaya riil yg dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yg seharusnya dibayarkan.
4. Besar ganti rugi (ta`widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss atau al-furshah al-dha-i’ah).
5. Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan pada transaksi (akad) yang menimbulkan utang piutang (dain), seperti salam, istishna’ serta murabahah dan ijarah.
6. Dalam akad Mudharabah dan Musyarakah, ganti rugi hanya boleh dikenakan oleh shahibul mal atau salah satu pihak dalam musyarakah apabila bagian keuntungannya sudah jelas tetapi tidak dibayarkan.
Kedua : Ketentuan Khusus 1. Ganti rugi yang diterima dalam transaksi di LKS dapat diakui
sebagai hak (pendapatan) bagi pihak yang menerimanya. 2. Jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil
dan tata cara pembayarannya tergantung kesepakatan para pihak.
3. Besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam akad.
4. Pihak yang cedera janji bertanggung jawab atas biaya perkara dan biaya lainnya yang timbul akibat proses penyelesaian perkara.
Ketiga : Penyelesaian Perselisihan Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiaannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Keempat : Ketentuan Penutup Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan, jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Jakarta Tanggal : 24 Jumadil Akhir 1425 H 11 Agustus 2004 M
DEWAN SYARI’AH NASIONAL MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua, Sekretaris,
K.H.M.A. Sahal Mahfudh Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/18/PBI/2008
TENTANG
RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN BAGI BANK SYARIAH
DAN UNIT USAHA SYARIAH.
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa untuk menghindari risiko kerugian, Bank Syariah dan Unit
Usaha Syariah berkewajiban menjaga kualitas pembiayaannya;
b. bahwa salah satu upaya untuk menjaga kelangsungan usaha
nasabah pembiayaan, Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah dapat
melakukan restrukturisasi pembiayaan atas nasabah yang memiliki
prospek usaha dan/atau kemampuan membayar;
c. bahwa restrukturisasi pembiayaan harus memperhatikan prinsip
syariah dan prinsip kehati-hatian;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu diatur kembali ketentuan
mengenai Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank Syariah dan Unit
Usaha Syariah dalam Peraturan Bank Indonesia.
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran ...
-2-
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Republik Indonesia Negara Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG RESTRUKTURISASI
PEMBIAYAAN BAGI BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA
SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Syariah dan Unit Usaha syariah.
2. Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya
berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank
Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
3. Bank Umum Syariah, yang selanjutnya disebut BUS adalah Bank
Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
4. Bank ...
-3-
4. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, yang selanjutnya disebut BPRS
adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa
dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
5. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS adalah unit kerja
dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai
kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari
suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor
induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah.
6. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan
dengan itu berupa:
a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
b. transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli
dalam bentuk ijarah muntahiyah bit tamlik;
c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam dan
istishna’;
d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan
e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi
multijasa
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah
dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai
dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut
setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan
atau bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
7. Restrukturisasi ...
-4-
7. Restrukturisasi Pembiayaan adalah upaya yang dilakukan Bank
dalam rangka membantu nasabah agar dapat menyelesaikan
kewajibannya, antara lain melalui:
a. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan jadwal
pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya;
b. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian
atau seluruh persyaratan Pembiayaan, antara lain perubahan
jadwal pembayaran, jumlah angsuran, jangka waktu dan/atau
pemberian potongan sepanjang tidak menambah sisa kewajiban
nasabah yang harus dibayarkan kepada Bank;
c. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan persyaratan
Pembiayaan tidak terbatas pada rescheduling atau reconditioning,
antara lain meliputi:
1) penambahan dana fasilitas Pembiayaan Bank;
2) konversi akad Pembiayaan;
3) konversi Pembiayaan menjadi surat berharga syariah
berjangka waktu menengah;
4) konversi Pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara
pada perusahaan nasabah.
8. Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu Menengah adalah surat
bukti investasi berdasarkan prinsip syariah yang lazim
diperdagangkan di pasar uang dan/atau pasar modal berjangka waktu
3 (tiga) sampai dengan 5 (lima) tahun dengan menggunakan akad
mudharabah atau musyarakah .
9. Penyertaan Modal Sementara adalah penyertaan modal BUS atau
UUS, antara lain berupa pembelian saham dan/atau konversi
Pembiayaan menjadi saham dalam perusahaan nasabah untuk
mengatasi ...
-5-
mengatasi kegagalan penyaluran dana dan/atau piutang dalam jangka
waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank
Indonesia yang berlaku.
Pasal 2
(1) Bank dapat melaksanakan Restrukturisasi Pembiayaan dengan
menerapkan prinsip kehati-hatian.
(2) Bank wajib menjaga dan mengambil langkah-langkah agar kualitas
Pembiayaan setelah direstrukturisasi dalam keadaan Lancar.
BAB II
RESTRUKTURISASI
Pasal 3
Bank dilarang melakukan Restrukturisasi Pembiayaan dengan tujuan
untuk menghindari:
a. penurunan penggolongan kualitas Pembiayaan;
b. pembentukan penyisihan penghapusan aktiva (PPA) yang lebih besar;
atau
c. penghentian pengakuan pendapatan margin atau ujrah secara akrual.
Pasal 4
Restrukturisasi Pembiayaan hanya dapat dilakukan atas dasar
permohonan secara tertulis dari nasabah.
Pasal 5 ...
-6-
Pasal 5
(1) Restrukturisasi Pembiayaan hanya dapat dilakukan untuk nasabah
yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. nasabah mengalami penurunan kemampuan pembayaran; dan
b. nasabah memiliki prospek usaha yang baik dan mampu
memenuhi kewajiban setelah restrukturisasi.
(2) Restrukturisasi Pembiayaan hanya dapat dilakukan untuk
Pembiayaan dengan kualitas Kurang Lancar, Diragukan dan Macet.
(3) Restrukturisasi Pembiayaan wajib didukung dengan analisis dan
bukti-bukti yang memadai serta terdokumentasi dengan baik.
Pasal 6
(1) Restrukturisasi Pembiayaan dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga)
kali dalam jangka waktu akad Pembiayaan awal.
(2) Restrukturisasi Pembiayaan kedua dan ketiga dapat dilakukan paling
cepat 6 (enam) bulan setelah Restrukturisasi Pembiayaan
sebelumnya.
Pasal 7
Restrukturisasi Pembiayaan terhadap nasabah yang memiliki beberapa
fasilitas Pembiayaan dari Bank, dapat dilakukan terhadap masing-masing
Pembiayaan.
BAB III ...
-7-
BAB III
PERLAKUAN AKUNTANSI
Pasal 8
Dalam pelaksanaan Restrukturisasi Pembiayaan, Bank wajib
menerapkan perlakuan akuntansi sesuai dengan Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan dan Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah
Indonesia yang berlaku.
BAB IV
PRINSIP SYARIAH
Pasal 9
Restrukturisasi Pembiayaan dilaksanakan dengan memperhatikan fatwa
Majelis Ulama Indonesia yang berlaku.
BAB V
KEBIJAKAN DAN PROSEDUR
Pasal 10
(1) Bank wajib memiliki kebijakan dan Standard Operating Procedure
tertulis mengenai Restrukturisasi Pembiayaan.
(2) Kebijakan Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib disetujui oleh Komisaris.
(3) Standard Operating Procedure Restrukturisasi Pembiayaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dikinikan dan disetujui
oleh Direksi dan Dewan Pengawas Syariah.
(4) Pelaksanaan ...
-8-
(4) Pelaksanaan kebijakan Restrukturisasi Pembiayaan wajib diawasi
secara aktif oleh Komisaris.
(5) Kebijakan dan Standard Operating Procedure Restrukturisasi
Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan diatur lebih
lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB VI
PENETAPAN KUALITAS PEMBIAYAAN
Pasal 11
(1) Kualitas Pembiayaan setelah dilakukan restrukturisasi ditetapkan
sebagai berikut:
a. paling tinggi Kurang Lancar untuk Pembiayaan yang sebelum
dilakukan restrukturisasi tergolong Diragukan atau Macet;
b. kualitas Pembiayaan tidak berubah untuk Pembiayaan yang
sebelum dilakukan restrukturisasi tergolong Kurang Lancar.
(2) Kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat:
a. menjadi Lancar, apabila tidak terdapat tunggakan selama 3 (tiga)
kali periode pembayaran angsuran pokok dan/atau margin/bagi
hasil/fee/ujrah secara berturut-turut sesuai dengan perjanjian
Restrukturisasi Pembiayaan; atau
b. menjadi sama dengan kualitas Pembiayaan sebelum dilakukan
Restrukturisasi Pembiayaan atau menjadi lebih buruk, jika
nasabah tidak memenuhi kriteria dan/atau syarat-syarat dalam
perjanjian Restrukturisasi Pembiayaan dan/atau pelaksanaan
Restrukturisasi Pembiayaan tidak didukung dengan analisis dan
dokumentasi yang memadai;
(3) Dalam ...
-9-
(3) Dalam hal periode pembayaran angsuran pokok dan/atau margin/bagi
hasil/fee/ujrah kurang dari 1 (satu) bulan, peningkatan kualitas
menjadi Lancar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat
dilakukan paling cepat dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak dilakukan
Restrukturisasi Pembiayaan;
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3)
berlaku juga untuk Restrukturisasi Pembiayaan yang kedua dan
ketiga.
Pasal 12
Pembiayaan yang direstrukturisasi lebih dari 3 (tiga) kali, digolongkan
Macet sampai dengan Pembiayaan lunas.
Pasal 13
Pembiayaan yang direstrukturisasi dengan pemberian tenggang waktu
pembayaran (grace period) ditetapkan memiliki kualitas sebagai berikut:
a. selama grace period, kualitas mengikuti kualitas Pembiayaan
sebelum dilakukan restrukturisasi; dan
b. setelah grace period berakhir, kualitas Pembiayaan mengikuti
penetapan kualitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
Pasal 14
(1) Untuk BUS dan UUS, kualitas Pembiayaan yang telah
direstrukturisasi wajib dinilai berdasarkan prospek usaha, kinerja
(performance) nasabah dan/atau kemampuan membayar, sesuai
dengan penggolongan nasabah, setelah 1 (satu) tahun sejak penetapan
kualitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1);
(2) Untuk ...
-10-
(2) Untuk BPRS, kualitas Pembiayaan yang telah direstrukturisasi wajib
dinilai berdasarkan ketepatan dan/atau kemampuan membayar
kewajiban nasabah.
BAB VII
TATACARA RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN
Pasal 15
(1) Pembiayaan dalam bentuk piutang murabahah atau piutang istishna’
dapat direstrukturisasi dengan cara:
a. penjadualan kembali (rescheduling);
b. persyaratan kembali (reconditioning); dan
c. penataan kembali (restructuring).
(2) Pembiayaan dalam bentuk piutang qardh dapat direstrukturisasi
dengan cara:
a. penjadualan kembali (rescheduling); dan
b. persyaratan kembali (reconditioning).
(3) Pembiayaan dalam bentuk mudharabah atau musyarakah dapat
direstrukturisasi dengan cara:
a. penjadualan kembali (rescheduling);
b. persyaratan kembali (reconditioning); dan
c. penataan kembali (restructuring).
(4) Pembiayaan dalam bentuk ijarah atau ijarah muntahiyyah bittamlik
dapat direstrukturisasi dengan cara:
a. penjadualan kembali (rescheduling);
b. persyaratan kembali (reconditioning); dan
c. penataan kembali (restructuring).
(5) Pembiayaan ...
-11-
(5) Pembiayaan multijasa dalam bentuk ijarah dapat direstrukturisasi
dengan cara:
a. penjadualan kembali (rescheduling); dan
b. persyaratan kembali (reconditioning).
(6) Pembiayaan dalam bentuk piutang salam dapat direstrukturisasi
dengan cara:
a. penjadualan kembali (rescheduling);
b. persyaratan kembali (reconditioning); dan
c. penataan kembali (restructuring).
(7) Tata cara Restrukturisasi Pembiayaan akan diatur lebih lanjut dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 16
Restrukturisasi Pembiayaan dengan cara penataan kembali
(restructuring) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dalam bentuk
konversi Pembiayaan menjadi Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu
Menengah dan Penyertaan Modal Sementara tidak berlaku bagi BPRS.
Pasal 17
(1) Bank wajib melepaskan Penyertaan Modal Sementara apabila:
a. telah sampai jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun; atau
b. perusahaan nasabah tempat Penyertaan Modal Sementara telah
memperoleh laba kumulatif.
(2) Bank wajib menghapus buku Penyertaan Modal Sementara apabila
telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun.
BAB VIII ...
-12-
BAB VIII
LAPORAN RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN
Pasal 18
Bank wajib melaporkan Restrukturisasi Pembiayaan kepada Bank
Indonesia.
Pasal 19
Pelaporan Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 bagi BUS dan UUS mengacu pada ketentuan Bank Indonesia
yang mengatur mengenai Laporan Berkala Bank Umum.
Pasal 20
(1) Laporan Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18, untuk BPRS wajib disampaikan setiap bulan paling lambat
tanggal 14 pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan.
(2) BPRS dinyatakan terlambat menyampaikan laporan apabila BPRS
menyampaikan laporan melampaui batas waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan tanggal 21 pada bulan
berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan.
(3) BPRS dinyatakan tidak menyampaikan laporan apabila BPRS belum
menyampaikan laporan sampai dengan batas waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(4) Dalam hal tanggal berakhirnya penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) jatuh pada hari Sabtu, Minggu
atau hari libur maka laporan disampaikan pada hari kerja berikutnya.
(5) Pelaporan ...
-13-
(5) Pelaporan Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB IX
SANKSI
Pasal 21
Bank yang melakukan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana diatur
dalam Pasal 4, Pasal 5 ayat (3), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1) sampai
dengan ayat (4), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 18 dikenakan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) Undang–
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Pasal 22
(1) BPRS yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (2) dikenakan sanksi berupa denda uang sebesar
Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari keterlambatan dan paling
banyak seluruhnya sebesar Rp700.000,00 (tujuh ratus ribu rupiah).
(2) BPRS yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (3) dikenakan sanksi berupa denda uang sebesar
paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Pasal 23
Pengenaan sanksi administratif atas pelanggaran ketentuan Pasal 12,
tidak mengurangi pengenaan sanksi dalam ketentuan Bank Indonesia
mengenai Laporan Bulanan Bank Umum Syariah dan Laporan Bulanan
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
Pasal 24 ...
-14-
Pasal 24
Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) tidak
mengurangi kewajiban Bank untuk menyampaikan Laporan
Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 25
Restrukturisasi Pembiayaan yang telah dilakukan Bank sebelum
berlakunya ketentuan ini tidak dihitung sebagai Restrukturisasi
Pembiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Peraturan Bank Indonesia
ini.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 26
Dengan dikeluarkan Peraturan Bank Indonesia ini maka:
a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/150/KEP/DIR
tanggal 12 November 1998 tentang Restrukturisasi Kredit;
b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/15/PBI/2000 tanggal 12 Juni
2000 tentang Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
Nomor 31/150/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang
Restrukturisasi Kredit;
c. Pasal 47 Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tanggal 5
Oktober 2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang
Melaksanakan ...
-15-
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah;
d. Pasal 46 dan Pasal 46A Peraturan Bank Indonesia Nomor
9/9/PBI/2007 tanggal 18 Juni 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan
Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas
Aktiva Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah;
e. Pasal 23 Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/24/PBI/2006 tanggal 5
Oktober 2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bagi Bank
Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 27
Ketentuan pelaksanaan tentang Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini akan diatur lebih lanjut
dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 28 ...
-16-
Pasal 28
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Tanggal 25 September 2008
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BOEDIONO
undangkan di Jakarta
Pada tanggal l 25 Sep. 08
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 138......... DPbS
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 25 September 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
-17-
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 10/18/PBI/2008
TENTANG
RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN BAGI BANK SYARIAH
DAN UNIT USAHA SYARIAH
I. UMUM
Dalam rangka memelihara kesinambungan usahanya, Bank harus mengelola
risiko kredit dari aktivitas Pembiayaan (credit risk), sehingga dapat meminimalkan
potensi kerugian yang akan terjadi. Penurunan kegiatan usaha dan/atau kemampuan
pembayaran nasabah dapat mempengaruhi kelancaran pemenuhan kewajiban
nasabah yang pada akhirnya akan meningkatkan risiko kredit bagi Bank.
Untuk menurunkan risiko kredit dalam aktivitas Pembiayaan, Bank dapat
melakukan langkah-langkah antisipatif untuk menjaga kelangsungan usaha nasabah
pembiayaan. Langkah-langkah tersebut antara lain dengan melakukan
Restrukturisasi Pembiayaan terhadap nasabah yang masih memiliki prospek usaha
dan/atau kemampuan membayar.
Kebutuhan dan penggunaan dana nasabah pada prinsipnya berbeda-beda
sehingga Bank menyediakan fasilitas Pembiayaan kepada nasabah dalam beragam
akad yang sesuai dengan prinsip syariah. Masing-masing akad Pembiayaan
memiliki karakteristik khusus yang harus dipertimbangkan Bank dalam
pengelolaan Pembiayaan.
Pelaksanaan Restrukturisasi Pembiayaan pada Bank selain memperhatikan
prinsip syariah juga harus memenuhi prinsip kehati-hatian. Ketentuan
Restrukturisasi Pembiayaan yang berlaku saat ini belum sepenuhnya memenuhi
kebutuhan ...
-2-
kebutuhan Bank. Oleh karena itu, diperlukan suatu ketentuan khusus yang
mengatur tentang pelaksanaan Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1 sampai dengan angka 9
Cukup Jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Restrukturisasi Pembiayaan untuk nasabah Pembiayaan non produktif
antara lain didasarkan pada ada tidaknya sumber pembayaran angsuran
yang jelas dari nasabah setelah dilakukan restrukturisasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “bukti-bukti yang memadai” antara lain adalah
adanya laporan keuangan nasabah yang menunjukkan perbaikan
kinerja ...
-3-
kinerja perusahaan, adanya kontrak kerja yang diperoleh nasabah atau
adanya sumber pembayaran lain yang jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Pembatasan frekuensi restrukturisasi dimaksudkan agar Bank tidak
melakukan restrukturisasi dalam rangka menghindari penurunan
penggolongan kualitas Pembiayaan.
Yang dimaksud dengan “jangka waktu akad Pembiayaan awal” adalah
jangka waktu yang disepakati oleh Bank dan nasabah dalam akad
Pembiayaan sebelum dilakukan restrukturisasi.
Contoh :
Bank dan nasabah pada tanggal 1 September 2008 melakukan akad
Pembiayaan dengan jangka waktu selama 3 (tiga) tahun. Pada tanggal
1 September 2009, Bank melakukan Restrukturisasi Pembiayaan
pertama dengan cara memperpanjang jangka waktu menjadi 5 (lima)
tahun. Restrukturisasi Pembiayaan kedua dan ketiga dapat dilakukan
paling lambat pada tanggal 1 September 2011.
Ayat (2)
Contoh :
Berdasarkan contoh pada ayat (1), Restukturisasi Pembiayaan kedua
paling cepat dilakukan pada tanggal 1 Maret 2010 dan apabila
dilakukan Restrukturisasi Pembiayaan ketiga maka Restrukturisasi
Pembiayaan paling cepat dilakukan pada tanggal 1 September 2010.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8 ...
-4-
Pasal 8
Cukup Jelas.
Pasal 9
Yang dimaksud dengan “fatwa Majelis Ulama Indonesia” adalah fatwa yang
dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia.
Pasal 10
Ayat (1)
Kebijakan dan Standard Operating Procedure Restrukturisasi
Pembiayaan merupakan bagian dari kebijakan manajemen risiko Bank
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Pokok-pokok yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia antara
lain satuan kerja atau petugas khusus Restrukturisasi Pembiayaan,
limit wewenang memutus Restrukturisasi Pembiayaan, dan sistem
informasi manajemen Restrukturisasi Pembiayaan.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12 ...
-5-
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Yang dimaksud dengan “grace period” adalah masa tenggang yang diberikan
Bank kepada nasabah untuk tidak melakukan pembayaran angsuran pokok
dan margin untuk akad Murabahah atau Istishna’ atau angsuran Ijarah untuk
akad Ijarah dan Ijarah Muntahiyyah Bittamlik.
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penggolongan nasabah” adalah
pengelompokkan nasabah yang didasarkan pada:
a. besar kecilnya jumlah penyediaan dana yang diberikan oleh Bank
kepada nasabah,
b. Usaha Kecil dan Menengah dengan mempertimbangkan Sistem
Pengendalian Risiko, Kondisi Tingkat Kesehatan dan Rasio
Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum Bank.
Ayat (2)
Kualitas Pembiayaan bagi BPRS dinilai berdasarkan ketepatan
dan/atau kemampuan membayar kewajiban nasabah.
Pasal 15
Cukup Jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17 ...
-6-
Pasal 17
Pelepasan Penyertaan Modal Sementara pada prinsipnya harus segera
dilakukan walaupun belum mencapai 5 (lima) tahun.
Pasal 18
Cukup Jelas.
Pasal 19
Cukup Jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Ayat (3)
Cukup Jelas.
Ayat (4)
Cukup Jelas.
Ayat (5)
Hal-hal yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia antara lain
format laporan dan tata cara pelaporan.
Pasal 21
Cukup Jelas.
Pasal 22 ...
-7-
Pasal 22
Cukup Jelas.
Pasal 23
Cukup Jelas.
Pasal 24
Cukup Jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4898
Daftar Pertanyaan Kepada Bank Syariah Mengenai Analisis Pengelolaan Dana
Ta’zir Dan Ta’widh Bagi Nasabah Wanprestasi.
1. Produk apa saja yang ditawarkan oleh bank syariah, khususnya dalam produk
pembiayaan?
2. Factor apa saja yang menjadi pertimbangan bank dalam menyalurkan
pembiayaan?
3. Apakah agunan dalam pembiayaan nilainya harus seimbang atau bahkan lebih
besar dari pembiayaan yang diajukan?
4. Jika terjadi wanprestasi tahap-tahap apa saja yang dilakukan bank syariah?
5. Bagaimana penyelesaian apabila nasabah macet dalam pembayaran?
6. Tindakan apa saja yang dilakukan pihak bank apabila nasabah sengaja menunda
pembayaran padahal ia mampu?
7. Bagaimana proses yang dilakukan bank syariah, sehingga bank mengetahui
mana nasabah nasabah yang menunda pembarayan dengan sengaja padahal
mampu dan tidak mampu?
8. Apa yang membedakan antara ta’zir, ta’widh dan riba?
9. Bagaimana mekanisme perhitungan ta’widh dan ta’zir?
10. Apakah besaran ta’zir dan ta’widh ditentukan diawal kontrak?
11. Bagaimana cara menentukan besaran ta’zir dan ta’widh?
12. Dalam ganti rugi (ta’widh), apa saja yang menjadi tanggungan nasabah?
13. Kemana saja dana ta’zir dialokasikan?
14. Bagaimana penulisan akuntansi dana ta’zir dan ta’widh?
15. Apakah ketentuan ta’zir dan ta’widh sudah sesuai dengan ketentuan PBI dan
fatwa DSN MUI?