PERBANDINGAN PANJANG GIGI INSISIF SENTRAL...
Transcript of PERBANDINGAN PANJANG GIGI INSISIF SENTRAL...
i
PERBANDINGAN PANJANG GIGI INSISIF SENTRAL SEBENARNYA
DENGAN PANJANG GIGI INSISIF SENTRAL PADA PERHITUNGAN
DIAGNOSTIC WIRE FOTO (DWF) MENGGUNAKAN TEKNIK
RONTGEN FOTO PERIAPIKAL
NI MADE IKA PUSPITASARI
NPM : 10.8.03.81.41.1.5.017
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR
DENPASAR
2014
i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
PERBANDINGAN PANJANG GIGI INSISIF SENTRAL SEBENARNYA
DENGAN PANJANG GIGI INSISIF SENTRAL PADA PERHITUNGAN
DIAGNOSTIC WIRE FOTO (DWF) MENGGUNAKAN TEKNIK
RONTGEN FOTO PERIAPIKAL
Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana
Kedokteran Gigi pada Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati
Denpasar
Oleh :
NI MADE IKA PUSPITASARI
NPM : 10.8.03.81.41.1.5.017
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
I Dw Ayu Nuraini Sulistiawati, drg., M. Biomed Haris Nasutianto, drg., M.Ke s, Sp.RKG
NPK. 826.696.210 NPK. 826.289.162
ii
LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI DAN PENGESAHAN DEKAN
Tim Penguji skripsi Sarjana Kedokteran Gigi pada fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar telah meneliti dan mengetahui cara
pembuatan skripsi dengan judul: “Perbandingan Panjang Gigi Insisif Sentral
Sebenarnya Dengan Panjang Gigi Insisif Sentral Pada Perhitungan Diagnostic
Wire Foto (DWF) Menggunakan Teknik Rontgen Foto Periapikal” yang telah
dipertanggungjawabkan oleh calon sarjana yang bersangkutan pada tanggal 25
Pebruari 2014.
Atas nama Tim Penguji skripsi Sarjana Kedokteran Gigi Universitas
Mahasaraswati Denpasar dapat mengesahkan
Denpasar 25 Pebruari 2014
Tim Penguji Skripsi
FKG Universitas Mahasaraswati Denpasar
Ketua,
I Dw Ayu Nuraini Sulistiawati, drg., M. Biomed
NPK : 826.696.210
Anggota : TandaTangan
1. Haris Nasutianto, drg., M. Kes, Sp.RKG 1. ................
2. Ni Kadek Ari Astuti, drg., M.DSc 2. ................
Mengesahkan
Dekan Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Mahasaraswati Denpasar
Putu Ayu Mahendri Kusumawati, drg.,M.Kes,FISID
NIP : 19590512 198903 2 001
iii
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Perbandingan Panjang Gigi Insisif Sentral Sebenarnya Dengan Panjang Gigi
Insisif Sentral Pada Perhitungan Diagnostic Wire Foto (DWF) Menggunakan
Teknik Rontgen Foto Periapikal” ini tepat waktunya.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu persyaratan bagi mahasiswa Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar untuk memenuhi Satuan
Kredit Semester (SKS) dari akademi dalam rangka mencapai gelar Sarjana
Kedokteran Gigi (SKG).
Mengingat keterbatasan penulis maka penulis sangat menyadari bahwa
penyusunan skripsi ini tidak mungkin dapat berjalan dengan lancar tanpa
bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis
menyampaikan rasa terima kasih kepada :
1. Yth. Dw Ayu Nuraini Sulistiawati, drg., M. Biomed., selaku dosen
pembimbing I dan penguji, atas segala upaya dan bantuan beliau dalam
mengarahkan, membimbing dan memberi petunjuk kepada penulis sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
2. Yth. Haris Nasutianto, drg., M. Kes, SpRKG (K)., selaku pembimbing II dan
penguji, yang telah meluangkan banyak waktu penulis sehingga skripsi ini
dapat terselesaikan dengan baik.
3. Yth. Ni Kadek Ari Astuti, drg., MDSc., selaku dosen penguji yang telah
bersedia menguji serta memberikan koreksi dan masukan yang berharga
kepada penulis.
iv
4. Yth. Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Mahasaraswati Denpasar
beserta staf.
5. Seluruh civitas akademik Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Mahasaraswati Denpasar, Staf, Dosen, yang telah membantu penulis secara
langsung maupun tidak langsung.
Kepada kedua orang tua penulis yang terkasih dan tersayang Bapak I Ketut
Gunawan, Ibu Ni Ketut Sukarmi, dan kakak I Gede Ary Cahyadi Gunawan
serta seluruh keluarga besar, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesarnya atas dukungan, doa, semangat serta materil, yang diberikan kepada
penulis selama menyelesaikan pendidikan sarjana dan dalam menyelesaikan
skripsi ini.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada teman seperjuangan di Lab.
Radiologi : Gek Sri, Dian, Kresnananda (Cumik), Jayak, Rian, serta sahabat
baik dan teman yang membantu : Benyamin, Gungde Adirta Putra, Riscapy,
Yollan, Priska, Bagas Aditya, dan kepada seluruh sahabat Cranter 2010 yang
telah memberikan dukungan dan semangat dalam menulis skripsi ini serta
seluruh pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih
kurang sempurna karena keterbatasab kemampuan serta pengalaman penulis.
Namun demikian, skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi yang
berkepentingan.
Denpasar, November 2013
Penulis
v
PERBANDINGAN PANJANG GIGI INSISIF SENTRAL SEBENARNYA
DENGAN PANJANG GIGI INSISIF SENTRAL PADA PERHITUNGAN
DIAGNOSTIC WIRE FOTO (DWF) MENGGUNAKAN TEKNIK
RONTGEN FOTO PERIAPIKAL
Abstrak
Dental radiografi adalah salah satu kemajuan teknologi yang telah
berkembang secara pesat dalam bidang kedokteran gigi. Teknik periapikal
merupakan salah satu foto rontgen gigi intraoral yang paling sering digunakan
untuk perawatan endodontik, terutama dalam perawatan saluran akar. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan panjang gigi insisif sentral
sebenarnya dengan panjang gigi insisif sentral pada perhitungan Diagnostic Wire
Foto (DWF) menggunakan teknik periapikal. Hasil dari penelitian ini menunjukan
bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik antara perhitungan
menggunakan jangka sorong maupun dengan menggunakan perhitungan
Diagnostic Wire Foto (DWF).
Kata kunci : Dental radiografi, rontgen intraoral, foto periapikal
vi
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Halaman Persetujuan Pembimbing
Halaman Persetujuan Penguji dan Pengesahan Dekan
KATA PENGANTAR ........................................................................................ i
ABSTRAK .......................................................................................................... iii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... vi
DAFTAR TABEL ............................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian .................................................................................... 4
D. Manfaat Penelitian .................................................................................. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 5
A. Radiografi Kedokteran Gigi .................................................................... 5
1. Pengertian Radiografi ....................................................................... 5
2. Teknik Radiografi Kedokteran Gigi ................................................. 6
a. Teknik Foto Rontgen Ekstra Oral .............................................. 7
b. Teknik Foto Rontgen Intra Oral ................................................. 9
3. Fungsi Radiografi Kedokteran Gigi ................................................. 22
B. Diagnistic Wire Foto (DWF) .................................................................. 23
C. Anatomi Gigi ........................................................................................... 24
1. Anatomi Insisif Sentral Rahang Atas ............................................... 25
vii
2. Panjang Rata-rata Gigi ..................................................................... 27
D. Fungsi Foto Periapikal untuk Diagnostic Wire Foto .............................. 28
BAB III METODELOGI PENELITIAN ............................................................ 32
A. Rancangan Penelitian .............................................................................. 32
B. Identifikasi Variabel ................................................................................ 32
C. Sampel ..................................................................................................... 32
D. Definisi Oprasional ................................................................................. 32
E. Instrument Penelitian .............................................................................. 33
F. Alat dan Bahan ........................................................................................ 34
G. Alur Penelitian ........................................................................................ 35
H. Pengumpulan data ................................................................................... 36
I. Analisis Data ........................................................................................... 36
BAB IV HASIL PENELITIAN .......................................................................... 37
A. Deskripsi Data ......................................................................................... 37
B. Analisis Data ........................................................................................... 38
BAB V PEMBAHASAN .................................................................................... 40
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 45
A. Simpulan ................................................................................................. 45
B. Saran ........................................................................................................ 45
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Teknik biseksi ................................................................................. 11
Gambar 2.2 Teknik parallel................................................................................. 16
Gambar 3.1 Highspeed ........................................................................................ 34
Gambar 3.2 Insisif sentral ................................................................................... 34
Gambar 3.3 Dental X-ray .................................................................................... 35
Gambar 3.4 Jangka sorong .................................................................................. 35
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Ukuran gigi permanen. ........................................................................ 28
Tabel 4.1 Hasil perhitungan jangka sorong dan Diagnostic Wire Foto (DWF) . 37
Tabel 4.2 Hasil uji Paired t-Test perhitungan jangka sorongf dan Diagnostic Wire
Foto (DWF) . ...................................................................................... 38
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Radiologi adalah ilmu kedokteran gigi untuk melihat bagian dalam tubuh
manusia menggunakan pancaran atau radiasi gelombang, baik gelombang
elektromagnetik maupun gelombang mekanik. Dalam dunia kedokteran gigi
radiologi juga digunakan untuk membantu menegakkan diagnosa, biasa disebut
Dental Radiology. Dental Radiograph ini memegang peranan yang penting dalam
menegakkan diagnosa, rencana perawatan dan mengevaluasi hasil perawatan
(Margono, 1998).
Dentalradiography adalah salah satu kemajuan teknologi yang telah
berkembang secara pesat dalam bidang kedokteran gigi. Dentalradiography itu
sendiri dapat melihat suatu kelainan didalam rongga mulut. Terutama kelainan
pada jaringan penyangga gigi, akar gigi, maupun kelainan lainnya yang terdapat
pada apikal gigi. Hal ini sangat berguna sehingga memudahkan para klinisi dalam
membantu menentukan suatu kelainan pada rongga mulut (Walton, 2008).
Secara garis besar, radiografi yang digunakan dalam bidang kedokteran gigi
berdasarkan teknik pemotretan dan penempatan film, dapat dibagi menjadi dua,
yaitu taknik ekstraoral dan teknik intraoral (Hidayat, 2007). Teknik foto rontgen
ekstraoral, film rontgen diletakkan diluar mulut pasien, beberapa teknik
pemotretan ekstraoral adalah foto panoramik, lateral foto, cephalometri, proyeksi
waters, proyeksi reverse, dan lain-lain. Teknik intraoral, teknik pemotretan
radiografi gigi geligi dan jaringan disekitarnya dengan film rontgen diletakkan di
dalam rongga mulut pasien, salah satunya adalah foto periapikal dan bite
2
wingserta oklusal. Gambaran yang dihasilkan foto rontgen periapikal sangat
penting terutama untuk melihat adanya kelainan yang tidak tampak dan dapat
diketahui secara jelas, sehingga akan sangat membantu seorang dokter gigi dalam
hal menentukan diagnosa serta rencana perawatan (Haring, 2000).
Teknik periapikal merupakan salah satu foto rontgen gigi intraoral yang
paling sering digunakan, dengan keuntungan dapat melihat gambaran secara detail
tetapi daerah liputan foto tidak luas hanya terbatas beberapa gigi saja. Dengan
keuntungan tersebut, teknik intraoral periapikal lebih sering digunakan dalam
perawatan endodontik terutama dalam perawatan saluran akar (Tarigan, 2006).
Perawatan endodontik adalah suatu usaha menyelamatkan gigi terhadap
tindakan pencabutan agar gigi dapat bertahan dalam soketnya. Dalam perawatan
endodontik, khususnya perawatan saluran akar paling sering menggunakan
rontgen dengan teknik foto periapikal. Teknik tersebut merupakan teknik yang
digunakan untuk melihat keseluruhan mahkota serta akar gigi dan tulang
pendukungnya. Sehingga memudahkan dokter gigi untuk melihat kelainan yang
ada pada bagian apikal gigi (Tarigan, 2006).
Pada perawatan endodontik tanpa melakukan rontgen foto merupakan
pekerjaan yang tidak mungkin dilaksanakan. Perawatan saluran akar adalah
perawatan yang paling banyak dilakukan dalam kasus perawatan endodontik.
Setiap gigi yang sudah dipertimbangkan untuk dirawat, harus diperiksa secara
radiologi dengan cermat. Untuk menunjang diagnosis, harus dibuatkan foto
rontgen yang baik, hal ini tergantung pada teknik pengambilan, lama penyinaran,
kekuatan aliran listrik yang digunakan, dan proses pencuciannya (Tarigan, 2006).
3
Gigi yang akan di rawat saluran akar harus benar-benar mendapatkan
pemeriksaan yang teliti agar kita dapat menegakkan diagnosa yang tepat dan
benar sehingga menunjang pemilihan rencana perawatan. Pemeriksaan yang
lengkap antara lain meliputi pemeriksaan subyektif dan obyektif serta rontgen foto
(Grossman, 1995). Pengambilan gigi insisif sentral rahang atas sebagai sampel
karena merupakan gigi anterior yang beresiko untuk terjadi fraktur, karies dan
kerusakan gigi yang lain (Rini, 2013).
Radiograf diagnostik pada ilmu endodontik perawatan saluran akar, sekarang
dapat dipelajari untuk memperkirakan panjang kerja dalam perawatan saluran
akar, yang diukur dari oklusal sampai apeks. Dengan cara memasukkan instrumen
pada tiap saluran akar dan membuat radiograf instrumen. Dari hasil radiograf
tersebut kemudian panjang kerja dapat di hitung menggunakan metode Diagnostic
Wire Foto (DWF), yang terlebih dahulu harus diketahui panjang gigi sebenarnya
(Grossman, 1995).
Selain menggunakan radiograf, pengukuran panjang kerja juga dapat
dilakukan dengan memperhatikan panjang rata-rata gigi. Apabila panjang menurut
foto rontgen lebih pendek dari pada panjang rata-rata, panjang kerja menggunakan
panjang pada foto rontgen (Tarigan, 2006).
Berdasarkan uraian diatas, perlu dibuktikan keakuratan dari metode
Diagnostic Wire Foto (DWF) dalam menentukan panjang gigi sebenarnya, dan
kemudian membandingkannya dengan pengukuran panjang kerja secara manual
dengan menggunakan jangka sorong.
4
B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang diatas, dapat dirumuskan suatu masalah
yaitu bagaimanakah perbandingan panjang gigi insisif sentral sebenarnya dengan
panjang gigi insisif sentral pada perhitungan Diagnostic Wire Foto (DWF)
menggunakan teknik rontgen foto periapikal?
C. Tujuan penelitian
Untuk mengetahui perbandingan panjang gigi insisif sentral sebenarnya
dengan panjang gigi insisif sentral pada perhitungan Diagnostic Wire Foto (DWF)
menggunakan teknik rontgen foto periapikal.
D. Manfaat Penelitian
1. Agar pembaca dapat mengetahui perbandingan antar panjang gigi insisif
sentral sebenarnya yang diukur dengan jangka sorong dengan panjang gigi
insisif sentral pada perhitungan Diagnostic Wire Foto (DWF) menggunakan
teknik rontgen foto periapikal.
2. Agar pembaca dapat mengetahui keakuratan dari perhitungan Diagnostic
Wire Foto (DWF).
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Radiografi Kedokteran Gigi
1. Pengertian Radiologi dan Radiografi
Sinar Xditemukan oleh Wilhem Conrad Rontgen, seorang professor fisika
dari Universitas Wurzburg, Jerman. Saat itu ia melihat timbulnya sinar fluoresensi
yang berasal dari Kristal barium platinosianida dalam tabung Crookes-Hittorf
yang dialiri listrik. Pada tahun 1901 mendapat hadiah nobel atas penemuan
tersebut. Akhir Desember 1895 dan awal Januari 1896 Dr Otto Walkhoff (dokter
gigi) dari Jerman adalah orang pertama yang menggunakan sinar x pada foto gigi (
premolar bawah) dengan waktu penyinaran 25 menit, selanjutnya seorang ahli
fisika Walter Koenig menjadikan waktu penyinaran 9 menit dan sekarang waktu
penyinaran menjadi 1/10 second (6 impulses) (Boel, 2009).
Rontgen dalam penyelidikan selanjutnya hampir menemukan semua sifat-
sifat sinar X yaitu sifat Fisika dan Kimianya, namun ada satu sifat yang tidak
diketahuinya, yaitu sifat biologik yang dapat merusak sel-sel hidup. Sifat yang
ditemukan Rontgen antara lain adalah bahwa sinar X bergerak dalam garis lurus,
tidak dipengaruhi oleh lapangan magnetik dan mempunyai daya tembus yang
semakin kuat apabila tegangan listrik yang digunakan semakin tinggi (Sjahriar
dkk, 1996).
William Rollins adalah orang yang mengerjakan intraoral radiograf pada
tahun 1896 mengalami cedera disebabkan efek pekerjaan yaitu kulit tangannya
terbakar sehingga direkomendasikanlah pemakaian tabir/pelindung antara tabung,
pasien maupun radiographer. Korban lain dr Max Hermann Knoch orang Belanda
6
yang bekerja sebagai ahli radiologi di Indonesia. Ia bekerja tanpa menggunakan
pelindung tahun 1904 dr Knoch menderita kelainan yang cukup berat luka yang
tak kunjung sembuh pada kedua belah tangannya. Lama kelamaan tangan kiri dan
kanan jadi nekrosis dan lama diamputasi yang akhirnya meninggal karena sudah
metastase ke paru (Boel, 2009).
Radiologi merupakan cabang ilmu kedokteran gigi yang mengenai zat
radioaktif dan pancaran energi yang berhubungan dengan diagnosis dan
pengobatan penyakit, dengan menggunaan sumber sinar pengion (seperti sinar X)
ataupun non-pengion (seperti ultrasonografi). Menurut Kamus Kedokteran Gigi
Harty(1995), Radiologi adalah ilmu mengenai diagnosis dan perawatan suatu
penyakit dengan menggunakan sinar X termasuk di dalamnya ilmu mengenai film
radiografi dan pemeriksaan visual atas struktur tubuh pada layar fluorosensi, atau
mempertunjukan struktur tubuh tertentu melalui pemasukan bahan kimia yang
radio-opaque sebelum pemeriksaan radiologis dilakukan.
Radiografi merupakan alat yang digunakan dalam diagnosis
danpengobatan penyakit baik penyakit umum maupun penyakit mulut tertentu,
dengan menggunakan sinar pengion (sinar X, sinar gamma) untuk membentuk
bayangan benda yang dikaji pada film. Hasil dari radiografi tersebut sering
disebut dengan radiograf (Harty, 1995).
2. Teknik Radiografi dalam Kedokteran Gigi
Radiografi di bidang kedokteran gigi mempunyai peranan penting dalam
memperoleh informasi diagnostik untuk penatalaksanaan kasus, mulai dari
menegakkan diagnosis, merencanakan perawatan, menentukan prognosis,
7
memandu dalam perawatan, mengevaluasi, dan observasi hasil perawatan.
Radiografi di kedokteran gigi ada 2 macam yaitu radiografi intra oral (film di
dalam mulut) dan radiografi ekstra oral (film di luar mulut). Radiografi intra oral
adalah radiografi yang memperlihatkan gigi dan struktur disekitarnya. Radiografi
ekstra oral merupakan pemeriksaan radiografi yang lebih luas dari kepala dan
rahang dimana film berada di luar mulut pasien (Haring 2000).
a. Teknik Foto Rontgen Ekstra Oral
Foto rontgen Ekstra Oral digunakan untuk melihat area yang luas pada
rahang dan tengkorak, film yang digunakan diletakkan di luar mulut pasien.
Beberapa foto rontgen yang ekstra oral yang paling umum digunakan hingga yang
jarang digunakan yaitu (Hidayat, 2007) :
1) Teknik Rontgen Panoramik
Foto rontgen panoramik merupakan foto rontgen yang paling umum
digunakan dalam teknik foto rontgen ekstra oral. Foto panoramik menghasilkan
gambar yang memperlihatkan struktur facial termasuk mandibula dan maksila
beserta struktur pendukungnya. Foto Rontgen ini dapat digunakan untuk
mengevaluasi gigi impaksi, pola erupsi, pertumbuhan dan perkembangan gigi
geligi, mendeteksi penyakit dan mengevaluasi trauma.
2) Teknik Lateral
Foto rontgen ini digunakan untuk melihat keadaan sekitar lateral tulang
muka, diagnosa fraktur dan keadaan patologis tulang tengkorak dan muka.
8
3) Teknik Postero Anterior
Teknik ini digunakan untuk melihat keadaan penyakit, trauma, atau
kelainan pertumbuhan dan perkembangan tengkorak. Dapat juga memberikan
gambaran struktur wajah, antara lain sinus frontalis dan ethmoidalis, fossanasalis,
dan orbita.
4) Teknik Antero Posterior
Foto rontgen ini digunakan untuk melihat kelainan pada bagian depan
maksila dan mandibula, gambaran sinus frontalis, sinus ethmoidalis, serta tulang
hidung.
5) Teknik Cephalometri
Digunakan untuk melihat tengkorak tulang wajah akibat trauma penyakit
dan kelainan pertumbuhan dan perkembangan. Foto ini dapat juga digunakan
untuk melihat jaringan lunak nasofaringeal, sinus paranasalis, dan palatum keras.
6) Proyeksi Waters
Foto rontgen ini digunakan untuk melihat sinus maksilaris, sinus
ethmoidalis, sinus frontalis, sinus orbita, sutura zigomatiko frontalis, dan rongga
nasal.
7) Proyeksi Reverse-Towne
Teknik ini dapat digunakan untuk pasien yang kondilusnya mengalami
perpindahan tempat dan dapat juga digunakan untuk melihat dinding postero
lateral maksila.
9
8) Proyeksi Submentovertex
Foto ini dapat digunakan untuk melihat dasar tengkorak, posisis kondilus,
sinus sphenoidalis, lengkung mandibula, dinding lateral sinus maksila, dan arcus
zigomatikus.
b. Teknik Foto Rontgen Intra Oral
Radiografi sering digunakan sebagai informasi diagnostik tambahan yang
dikumpulkan melalui pemeriksaan jaringan lunak. Radiografi intra oral yang
umum digunakan pada praktek kedokteran gigi ada tiga jenis pemeriksaan yaitu
pemeriksaan foto rontgen bitewing, oklusal dan periapikal (Hidayat, 2007).
1) Foto Rontgen Bitewing (Sayap Gigit)
Raper (1925) adalah orang yang pertama kali memperkenalkan teknik
bitewing, dimana teknik ini digunakan untuk mendeteksi karies di permukaan
proksimal gigi dan puncak alveolar yang secara klinis tidak dapat dideteksi.
Teknik ini dilakukan dengan cara menggigit sayap dari film yang berfungsi
sebagai stabilisasi film dalam rongga mulut. Teknik pemotretan bitewing juga
efektifuntukmendeteksiadanyakalkuluspada area interproximal
(karenamemilikiradiodensitas yang relative rendah,
kalkuluslebihjelasterlihatsecararadiografisdenganpaparan yang dikurangi). Arah
sumbupanjang receptor bitewingbiasanyadiletakkansecara horizontal,
tetapijugadapatdiletakkansecaravertikal. (Margono, 1998).
a. Kelebihan Film Bitewing
Teknik pemotretan bitewing ini mudah dilakukan, teknik ini juga dapat
digunakan untuk pemeriksaan rahang atas dan rahang bawah sekaligus. Selain itu
10
teknik pemotretan bitewing dapat melihat karies proksimal, penetrasi karies ke
arah pulpa gigi, pemeriksaan pulpa gigi, pemeriksaan tumpatan aproksimal,
pemeriksaan perubahan awal dari kelainan ligamen periodontal dari puncak
alveolaris, melihat hubungan dari benih-benih gigi permanen terhadap gigi sulung,
sebagai check - up periodik untuk melihat karies baru dan perubahan awal
jaringan ligamentum periodontal. Diagnosis dapat ditegakkan dengan
menggunakan satu film, jika dengan teknik bidangbagi tidak dapat menunjukkan
kelainannya, maka teknik bitewing dapat menolong (Ghom, 2008).
b. Kelemahan Film Bitewing
Film bitewing juga mempunyai kelemahan, dimana salah satu kelemahan dari
teknik ini adalah pasien sering kesulitan mengoklusikan kedua rahang
sehinggapuncak alveolar tidak terlihat selain itu tidak dapat melihat hasil rontgen
sampai pada bagian apikal gigi melainkan kita hanya bisa melihat bagian korona
sampai Cementum Enamel Junction (CEJ) saja (Margono, 1998).
2) Foto Rontgen Oklusal
Foto rontgen oklusal mengatasi keterbatasan dari rontgen periapikal dan
bitewing yang gambaran radiografnya terbatas. Dengan teknik oklusal ini dapat
diperoleh gambaran yang luas dari daerah rahang yang ingin dilihat. Film
diletakkan didaerah oklusal gigi. Apabila film untuk oklusal tidak ada, maka dapat
digunakan dua film periapikal yang digabung menjadi satu. Pada penderita anak –
anak, teknik oklusal dapat menggunakan film periapikal. Teknik oklusal dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu, true occlusal yang disebut juga cross
11
section view/right angle view, dan oblik oklusal atau topografik oklusal.
Radiograf oklusal dapat digunakan untuk;
1) Mengetahui tempat yang tepat dari akar gigi, gigi supernumerari, dan gigi
yang impaksi.
2) Mengetahui benda asing di dalam tulang rahang dan batu di dalam saluran
glandula saliva.
3) Melihat batas tengah, depan, dan pinggir dari sinus maksilaris.
4) Memeriksa pasien dengan trismus dimana penderita tidak dapat membuka
mulut atau dapat membuka mulut yang tidak terlalu besar, sehingga tidak
dapat dibuat radiograf intraoral yang lain karena memasukkan film kedalam
mulut penderita akan menyebabkan rasa sakit.
5) Menunjukan letak fraktur pada mandibula dan maksila.
6) Untuk memeriksa bagian medial dan lateral bagian yang terkena kista,
osteomeilitis dan gejala keganasan yang menjalar kedaerah palatal (Margono,
1998).
3) Foto Rontgen Periapikal
Teknik foto rontgen periapikal merupakan jenis proyeksi intra oral
radiograf yangsecara rutin digunakan dalam praktek kedokteran gigi. Proyeksi ini
menggunakan filmukuran standart (4x3cm) yang dapat memuat 3 – 4 gambar gigi
serta jaringan pendukungnya. Teknik ini digunakan untuk melihat keseluruhan
mahkota serta akar gigi dan tulang pendukungnya sampai kedaerah periapikal.
Foto periapikal memiliki keuntungan dapat memberikan gambaran detail tetapi
12
daerah liputan foto tidak luas hanya terbatas pada beberapa gigi saja (Haring,
2000). Adapun indikasi yang dapat diperoleh dari rontgen periapikal adalah :
a) Mendeteksi adanya inflamasi/infeksi atau kelainan didaerah periapikal.
b) Penilaian keadaan periodontal.
c) Pemeriksaan paska trauma pada gigi geligi yang melibatkan tulang alveolar
disekitarnya.
d) Penilaian kondisi dan posisi gigi yang tidak erupsi.
e) Mempelajari morfologi akar sebelum pencabutan gigi.
f) Penilaian kondisi gigi selama perawatan endodontik.
g) Penilaian peroperatif dan postoperatif setelah pembukaan (operasi) daerah
apikal.
h) Evaluasi detail kista apikal dan lesi lainnya dalam tulang alveolar.
i) Penilaian posisi dan prognosa implant.
Ada pun posisi ideal film dan arah sinar x terhadap gigi adalah letak gigi
dan film harus sejajar, gigi yang diperiksa tersebut dan filmnya harus berkontak,
apabila tidak mungkin, diusahakan dapat sedekat mungkin. Untuk gigi insisivus
dan kaninus film diletakkan vertikal, sedangkan premolar dan molar film
diletakkan horisontal. Arah tabung sinar x diatur sedemikian sehingga berkas sinar
x jatuh tegak lurus baik terhadap gigi dan film dalam bidang vertikal dan
horisontal. Posisi film, gigi, dan sinar x dapat diulang dalam kondisi yang sama
(Haring, 2000).
Hal-hal yang perlu dan penting diperhatikan dalam pemotretan rontgen
periapikal adalah sebelum melakukan pengambilan foto periapikal, pasien harus
melepas alat-alat di daerah yang akan diperiksa, misalnya alat orthodonsi, gigi
13
tiruan lepasan atau kaca mata. Posisi kepala penderita diatur sedemikian rupa,
untuk rahang atas “garis hidung telinga” sejajar lantai, dengan demikian pada
waktu pasien membuka mulut, bidang oklusi rahang atas sejajar lantai, sedangkan
untuk rahang bawah “ garis ujung bibir telinga” sejajar lantai, dengan demikian
pada waktu pasien membuka mulut, bidang oklusi sejajar lantai. Pemotretan gigi
regio anterior atas biasanya ditahan dengan ibu jari, regio anterior bawah,
posterior kiri atas dan bawah ditahan dengan telunjuk kanan, regio posterior kanan
atas dan bawah ditahan dengan telunjuk kiri. Perintahkan pada pasien untuk
menahan film tanpa menekan dan tidak bergerak selama pemotretan
(Haring, 2000).
Ada tiga teknik pemotretan yang digunakan untuk memperoleh foto
periapikal yaitu teknik biseksi,parallel, buccal object rule. Tetapi yang paling
sering digunakan dalam perawatan endodontik adalah teknik biseksi dan pararel.
(1) Bukal Object Rule (teknik Tube Shift)
Suatu radiografi periapikal standar hanya dapat menentukan obyek dalam
dua dimensi yaitu hubungan anterior-posterior dan superior-inferior. Hubungan
medio-lateral tidak dapat ditentukan. Dengan buccal object rule (tube shift),
hubungan ini dapat ditentukan.
Sebelum cara ini ditemukan oleh Clark (1910), cara yang lazim dipakai
adalah menyebutkan bahwa obyek yang lebih dekat dengan film akan
menghasilkan gambar yang lebih jelas. Akan tetapi cara ini banyak kelemahannya
karena tergantung pada proses penyinaran.Buccal object rule juga biasa disebut
sebagai teknik pergeseran tabung (tube shift technique). Dasar teknik adalah
kaidah yang menyebutkan bahwa gigi yang terpendam atau benda asing yang
14
bergerak searah dengan gerakan konus menunjukan bahwa objek berada dibagian
lingual, apabila objek bergerak berlawanan dengan gerakan konus maka objek
berada di labial atau bukal (Margono, 1998).
(2) Teknik Biseksi
Teknik biseksi ini sering juga disebut metode garis bagi. Dasar teori teknik
pemotretan radiografis metode garis bagi adalah, sudut yang dibentuk antara
sumber panjang gigi dan sumbu panjang film dibagi dua sama besar yang
selanjutnya disebut garis bagi. Tabung sinar x diarahkan tegak lurus pada garis
bagi ini, dengan titik pusat sinar x diarahkan kedaerah apikal gigi. Dengan
menggunakan prinsip segitiga sama sisi, panjang gigi sebenarnya dapat
terproyeksi sama besarnya pada film. Penentuan sudut vertikal tabung sinar x
adalah sudut yang dibentuk dengan menarik garis lurus titik sinar x terhadap
bidang oklusal. Penentuan sudut horisontal tabung sinar x, ditentukan oleh bentuk
lengkung rahang dan posisi gigi. Dalam bidang horizontal titik pusat sinar x
diarahkan melalui titik kontak interproksimal, untuk menghindari tumpang tindih
satu gigi dengan gigi sebelahnya (Gb.2.1). Untuk film yang digunakan diusahakan
diletakkan sedekat mungkin dengan gigi yang akan diperiksa tanpa menyebabkan
film tertekuk (Haring, 2000).
15
Gambar 2.1. Teknik biseksi (Margono, 1998).
(a) Penentuan posisi pemotretan teknik biseksi
Film diletakkan sedemikian rupa sehingga gigi yang diperiksa ada
dipertengahan film untuk gigi-gigi rahang atas dan rahang bawah. Film harus
dilebihkan diatas permukaan oklusal atau incisal untuk memastikan seluruh gigi
dapat tercakup didalam film. Perlu diperhatikan juga sisi yang menghadap tabung
sinar x adalah sisi yang menghadap gigi dengan tonjol orientasi menghadap
kearah mahkota gigi. Pasien diminta untuk menahan film dengan perlahan tanpa
tekanan, dengan ibu jari atau telunjuk (menahan film dengan tekanan yang
berlebihan dapat menyebabkan film tertekuk dan menyebabkan distorsi pada
gambar yang dihasilkan). Tabung sinar x diarahkan ke gigi dengan sudut vertical
dan horizontal yang tepat. Lakukan penyinaran dengan kondisi yang telah
ditentukan (kv = 65 mA = 10 sec = 0,3-0,5 det).
Sudut vertikal dan horizontal merupakan nilai rata-rata, yang mendekati
kondisi yang ada. Hal-hal yang mempengaruhi besar kecilnya sudut ini adalah
posisi kepala, posisi dan inklinasi masing-masing gigi, dan keadaan jaringan
mulut disekitar gigi yang diperiksa (Haring, 2000).
16
(b) Pelaksanaan teknik biseksi
Beberapa ketentuan dalam melaksanakan teknik radiograf biseksi pada
umumnya hal pertama yang dilakukan adalah menerangkan pada penderita
tentang cara kerja pada waktu pengambilan. Pakaikanlah baju timah hitam (lead
apron) pada penderita, penderita diinstruksikan menanggalkan segala yang
merintangi pembuatan radiogram yang menyebabkan gambaran radiopak pada
radiogramnya misalnya, gigi palsu, pelat orto, kacamata, jepit rambut, anting, dll.
Perhatikan kepala penderita dan letakkan kepala penderita pada tempat yang benar
di sandaran kepala dari kursi dental dan instruksikan padanya untuk tidak
menggerakkan kepalanya. Gigi dan prosesus alveolaris merupakan unit dari tulang
muka dan keduanya merupakan komponen dari tengkorak. Apabila kepala stabil
maka posisi gigi otomatis ada standarnya. Posisi yang perlu diperhatikan pada
bidang vertikal atau bidang sagital yaitu posisi kepala yang ditunjang oleh
sandaran kepala disandarkan sedemikian sehingga bidang vertikal atau bidang
sagital tegak lurus pada bidang horizontal, sedangkan pada bidang horizontal atau
bidang oklusal di bagian maksila, diimajinasikan suatu garis yang ditarik dari ala
nasi ke tragus dan garis ini sejajar dengan bidang horizontal. Pada bagian
mandibula, diimajinasikan suatu garis yang ditarik dari sudut mulut ke tragus dan
garis ini sejajar dengan bidang horizontal.
Perhatikan palatum dan vestibulum penderita apakah penderita
hiposalivasi atau hipersalivasi dan apakah penderita ambang rasa mualnya tinggi
atau rendah. Letakkan film dalam mulut, pada regio yang akan dibuat radiograf.
Penderita dianjurkan untuk memegang film tersebut dengan cara dan teknik yang
dipakai, apakah itu teknik bidang bagi atau teknik kesejajaran, dan ingatkan agar
17
penderita jangan bergerak. Operator harus berdiri 3 meter di belakang tabung atau
di belakang dinding pemisah yang dilapisi timah hitam setebal 2 mm. Tempatkan
tabung sinar x mengarah pada gigi yang akan dibuat radiograf dengan sudut yang
sudah ditentukan dengan benar. Setelah dilakukan pemotretan, bersihkan film dari
saliva dan keringkan. Setelah dilakukan pemrosesan maka radiogram tersebut
digantung sampai kering. Setelah kering masukkan radiogram tersebut ke tempat
yang tidak mudah rusak (Iannucci dan Howerton, 2006).
(c) Cara meletakkan film di dalam mulut
Untuk gigi anterior, sumbu panjang film diletakkan secara vertikal.
Penentuan sudut vertikal tabung sinar-x adalah sudut yang dibentuk dengan
menarik garis lurus titik sinar-x terhadap bidang oklusal. Pada gigi posterior,
sumbu panjang film diletakkan secara horizontal. Penentuan sudut horisontal
tabung sinar-x ditentukan oleh bentuk lengkung rahang dan posisi gigi. Dalam
bidang horizontal titik pusat sinar-x diarahkan melalui titik kontak interproksimal,
untuk menghindari tumpang tindih satu gigi dengan gigi sebelahnya. Gigi yang
akan dibuat foto rontgennya harus berada di tengah - tengah film dan jarak oklusal
gigi dan pinggir film adalah 3 mm (Ghom, 2008).
(d) Fiksasi film di dalam mulut
Film diletakkan sedekat mungkin dengan gigi yang akan diperiksa tanpa
menyebabkan film tertekuksehingga tidak terjadi perpanjangan gambar gigi dari
ukuran gigi sebenarnya.Film diletakkan sedemikian rupa sehingga gigi
yangdiperiksa ada di pertengahan film untuk gigi-gigi rahang atas dan rahang
bawah. Film harus dilebihkan maksimal 3 mm di atas permukaan oklusal/insisal
18
untuk memastikan seluruh gigi tercakup di dalam film (Iannuccidan Howerton,
2006).
(e) Keuntungan teknik biseksi
Keuntungan yang dapat diperoleh dari teknik biseksi yaitu, relatif
nyaman untuk pasien, karena tidak ada alat tambahan lain kecuali film. Untuk
penentuan posisi relatif lebih sederhana dan cepat. Bila penentuan sudut
horizontal dan vertikalnya benar, gambaran radiografis yang dihasilkan akan sama
besar dengan yang sebenarnya dan memadai untuk hampir semua indikasi
pemotretan. Tidak perlu sterilisasi khusus, karena tidak menggunakan alat bantu
tambahan (Ghom, 2008).
(f) Kerugian teknik biseksi
Adapun kerugian yang di dapat dari teknik biseksi ini yaitu :
1. kemungkinan distorsi pada gambaran radiografis yang dihasilkan sangat
besar.
2. Kesalahan sudut vertikal mengakibatkan pemanjangan atau pemendekan
gambar.
3. Tinggi tulang periodontal, tidak dapat dilihat dan dinilai dengan baik.
4. Bayangan tulang zygomatik sering tampak menutupi region akar gigi molar.
5. Sudut vertikal dan horizontal dapat berbeda-beda setiap pasien, dengan
demikian untuk menghasilkan gambaran yang baik, diperlukan operator
yang terampil dan berpengalaman.
6. Tidak bisa mendapatkan gambaran dengan kondisi dan posisi yang sama,
pada gigi yan sama diwaktu yang berbeda, karena tidak ada alat bantu yang
dapat digunakan sebagai patokan.
19
7. Dapat terjadi cone cutting bila titik pusat sinar x tidak tepat dipertengahan
film.
8. Kesalahan penentuan sudut horizontal dapat menyebabkan tumpang tindih
mahkota dan akar antara gigi yang berdekatan.
9. Sulit mendeteksi karies proksimal, pada gambaran radiografis mahkota gigi
yang mengalami distorsi.
10. Gambaran radiografis pada akar bukal gigi premolar dan molar rahang atas
sering mengalami pemendekan (Ghom, 2008).
(3) Teknik Parallel
Teknik ini juga disebut dengan teknik kesejajaran. Teori prinsip
pemotretan periapikal parallel adalah film diletakkan pada film holder dan
ditempatkan dalam mulut, pada posisi parallel terhadap sumbu panjang gigi yang
diperiksa. Tube head (cone)diarahkan tegak lurus terhadap gigi dan film. Dengan
menggunakan “film holder” yang memiliki pemegang film dan penentu arah tube
head, teknik ini dapat diulang dengan posisi dan kondisi yang sama pada waktu
yang berbeda (reproducible) (Gb.2.2). Pengaturan posisi ini memenuhi
persyaratan untuk mendapatkan posisi ideal penempatan film terhadap gigi yang
diperiksa pada teknik pemotretan radiografis periapikal. Akan tetapi kondisi
anatomis palatum dan lengkung rahang yang berbentuk kurva, menyebabkan film
dan gigi tidak dapat ditempatkan secara paralel dan dalam keadaan saling
berkontak (ada jarak antara film dengan gigi yang diperiksa). Dengan adanya
jarak antara film dengan gigi ini menyebabkan pembesaran gambaran radiografis
20
yang dihasilkan. Untuk mengatasi keadaan ini maka digunakan konus panjang
dengan jenis “Long Cone” (Haring, 2000).
Gambar 2.2. Teknik parallel (Margono, 1998).
(a) Teknik pemotretan radiografis teknik parallel
Pemeriksaan gigi insisivus dan kaninus rahang atas dan bawah
menggunakan film holder khusus untuk region anterior, dengan film ditempatkan
secara vertical, sedangkan untuk gigi premolar dan molar gunakan film holder
khusus untuk region posterior, film ditempatkan secara horizontal. Perlu
perhatikan sisi film yang berwarna putih dan tonjol identifikasi menghadap kearah
datangnya sinar x. Kepala pasien bersandar pada kursi, bidang oklusal horizontal
sejajar dengan lantai.
Meletakkan film holder beserta film ditempatkan didalam mulut, untuk
region insisivus dan kaninus rahang atas, ditempatkan seposterior mungkin untuk
mengantisipasi bentuk lengkung palatum, sehingga film dapat ditempatkan
dengan benar dan tidak tertekuk, sedangkan region insisivus dan kaninus rahang
bawah, film ditempatkan di dasar mulut, segaris dengan kaninus rahang bawah
atau posterior. Untuk region posterior dan molar rahang atas, ditempatkan
dipertengahan palatum untuk mengantisipasi bentuk lengkung palatum, sedangkan
21
region premolar dan molar rahang bawah, ditempatkan sulkus lingual, berhadapan
dengan gigi yang diperiksa (Ghom, 2008).
Teknik pemotretan radiografis untuk gigi yang akan diperiksa adalah
letakkan gulungan kapas dibawah bite lock, yang dapat menjaga film dan gigi
pada posisi parallel, juga mengurangi rasa tidak nyaman karena adanya holder di
dalam mulut. Pasien diminta mengigit secara perlahan, agar posisi bite tab/loop
stabil. Lingkaran penentu arah sumber sinar x-ray ditempatkan sesuai posisinya.
Sesuaikan lingkaran penentu posisi dengan ujung kone (cone), dengan ini sudut
horizontal dan vertikal sudah diatur pada posisi yang benar.
(b) Keuntungan teknik parallel
Adapun keuntungan yang dapat diperoleh dari teknik parallel adalah :
Gambaran yang dihasilkan lebih geometris dengan sedikit sekali kemungkinan
terjadinya pembesaran gambar. Tulang zygomatik tampak berada diatas apeks
gigi molar atas (Ghom, 2008).
1. Tinggi puncak tulang periodontal dan jaringan periapikal dapat terlihat jelas.
2. Mahkota gigi dapat tampak dengan jelas sehingga karies proksimal dapat
dideteksi dengan baik.
3. Sudut vertikal dan horizontal, sudah ditentukan oleh lingkaran penentu posisi
cone pada film holder.
4. Arah sinar x sudah ditentukan pada pertengahan film sehingga dapat
menghindari cone cutting.
5. Dapat membuat beberapa foto radiografis dengan posisi dan kondisi yang
sama pada waktu yang berbeda.
22
(c) Kerugian teknik parallel
Adapun kerugian yang di dapat dari teknik parallel ini yaitu (Ghom,
2008):
1. Penggunaan film holder dapat menyebabkan rasa tidak nyaman pada pasien,
terutama region posterior, karena dapat menyebabkan rasa ingin muntah.
2. Sulit menggunakan film holder bagi operator yang tidak berpengalaman.
3. Kondisi anatomis dalam rongga mulut sering menyulitkan teknik ini,
misalnya palatum yang datar dan dangkal.
4. Apeks gigi kadang tampak sangat dekat dengan tepi film.
5. Sulit menggunakan film holder untuk region M3 rahang bawah.
6. Film holder harus selalu disterilisasi dengan autoclave.
3. Fungsi Radiografi dalam Kedokteran Gigi
Radiografi dalam kedokteran gigi dapat memberikan informasi diagnosis
yang penting dan digunakan saat menentukan rencana perawatan. Radiografi gigi
dapat membantu dokter gigi untuk memeriksa struktur pendukung gigi yang di
foto rontgen. Adapun fungsi lain dari radiografi di bidang kedokteran gigi, yaitu
untuk melihat lokasi lesi/benda asing yang terdapat pada rongga mulut, untuk
mengevaluasi pertumbuhan dan perkembangan gigi geligi, dapat pula untuk
melihat adanya karies, penyakit periodontal, dan trauma. Selain itu fungsi
radiografi di bidang kedokteran gigi sebagai dokumentasi data rekam medis
yang dapat diperlukan sewaktu-waktu (Haring, 2000).
23
B. Diagnostic Wire Foto (DWF)
Pada bidang endodontik, radiografi memiliki sejumlah fungsi penting yaitu
sebagai alat diagnosis adanya perubahan jaringan keras gigi dan struktur
periradikular, penentu jumlah, lokasi, bentuk, ukuran, arah akar dan saluran akar,
memperkirakan dan memastikan panjang saluran akar.
Dalam menentukan panjang gigi sebenarnya dan mendapatkan panjang
kerja perawatan saluran akat, metode yang sering digunakan adalah metode
penghitungan Diagnostic Wire Foto (DWF). Diagnostic Wire Foto (DWF)
merupakan jarak dari titik referensi pada bagian mahkota gigi sampai titik yang
teridentifikasi pada bagian apikal akar. Pengukuran panjang kerja pada perawatan
endodontik menurut metode Diagnostic Wire Foto (DWF) adalah dengan
mengurangi 1 – 2 mm dari apeks. Sedapat mungkin harus didapatkan gambar
radiograf yang paling baik (Sari, 2012).
Titik referensi pada gigi posterior adalah pada ujung cusp, sedangkan pada
gigi anterior biasanya pada tepi insisal. Titik referensi harus merupakan titik atau
permukaan yang pasti dan dapat diandalkan, untuk menjamin ketepatan pada
semua pengukuran berikutnya. Tepi insisal atau cusp yang rusak atau patah harus
diasah sampai diperoleh suatu permukaan yang sehat (Grossman, 1995).
Panjang kerja harus ditentukan secara acak 0,5-1,0 mm lebih pendek dari
panjang saluran. Ukuran instrumen terakhir yang digunakan dalam apeks akar
merupakan suatu variabel yang tergantung pada ukuran apikal akar, kurvatur akar
apikal, kemampuan operator untuk mendapatkan jalan masuk langsung ke apeks
24
akar. Selain itu, semua instrumen harus dibatasi didalam saluran akar, untuk
menghindari iritasi pada jaringan periapikal dengan ujung instrumen, memulai
suatu reaksi immunokompleks, atau menyebabkan bakteremia transien oleh
kuman-kuman yang didorong keluar saluran akar dan masuk kedalam jaringan
periradikular, berbahaya terutama pada pasien yang mempunyai riwayat penyakit
kardiak (Grossman, 1995).
Tujuan penentuan panjang gigi sebenarnya adalah untuk mengetahui
panjang kerja dari perawatan saluran akar yang kemudian akan diperoleh jarak
dari apeks yang tepat bagi preparasi saluran akar dan kemudian obturasi. Panjang
yang optimal adalah kurang 1 – 2 mm dari apeks, walaupun hal ini sedikit
bervariasi pada diagnosis yang berbeda. Prosedur perawatan berakhir pada 0 – 2
mm dari apeks jika giginya sudah mengalami nekrosis, dan 0 – 3 mm jika
pulpanya masih vital. Tentu saja panjang ini bervariasi tergantung pada banyak
faktor dan tujuan ideal tersebut tidak selalu dapat dicapai (Walton, 2008).
C. Anatomi Gigi
Untuk keberhasilan perawatan, operator harus mengetahui tentang anatomi
gigi dan pulpa. Pentingnya pengetahuan tersebut tidak dapat dianggap berlebihan
sebagai penyebab kegagalan perawatan oleh karena kurangnya pengetahuan
anatomi gigi dan pulpa menduduki urutan kedua setelah kesalahan diagnosis dan
rencana perawatan. Selain mengetahui anatomi gigi dan pulpa normal, mengetahui
variasi yang sering terjadi pada pulpa juga merupakan salah satu faktor penting
dalam keberhasilan perawatan. Ruang pulpa harus dapat dibayangkan secara
longitudinal (dari mahkota ke foramen apikalis) dan dalam penampang
25
melintangnya. Selain keadaan morfologi normal, pada saluran akar juga terdapat
ketidak teraturan dan saluran tersembunyi. Agar pembersihan dan pembentukan
saluran akar maksimal, instrumen saluran akar harus dapat mencapai sebanyak
mungkin ruang pulpa yang ada untuk membuang jaringan pulpa, dan
membersihkan serta menghaluskan dinding saluran akar (Tarigan, 2006).
1. Anatomi Insisif Sentral
Gigi insisif sentral atas adalah gigi kesatu di rahang atas, yang terletak
dikiri kanan dari garis tengah/median.
a. Korona
Bentuknya seperti sekop, sequare/tapering/ovoid. Pada umumnya gigi
atas adalah gigi yang paling menyolok mata, gigi yang representatif untuk menjadi
contoh dalam bentuk dan corak gigi perorangan karena gigi ini paling menarik
perhatian. Panjangnya sama atau lebih besar dari pada gigi depan lainnya, kecuali
kaninus bawah. Lebar mesio-distal pada serviks dan pada titik kontak lebih besar
sehingga permukaan labialnya lebih luas dari gigi depan lainnya.
b. Akar
Gigi insisif sentral merupakan gigi anterior berakar tunggal selain kaninus.
Menurut ingle, 100% gigi rahang atas dan 99,9% rahang atas memiliki satu
saluran akar.
c. Saluran Akar
Bentuk saluran akar pada penampang melintang gigi insisif rahang atas
1/3 servikal : saluran akar berbentuk oval atau bulat.
1/3 tengah akar : saluran akar sedikit oval dan hampir mendekati bulat.
1/3 apikal akar : saluran akar berbentuk bulat.
26
d. Pandangan Labial
1) Garis luar servikal, merupakan semi-ellips, melengkung 2mm. Garis ini
menunjukan pertemuan antara akar dan korona.
2) Garis luar mesial, garis ini merupakan titik pertemuan korona dan akar ke
titik kontak mesial cembung sedikit, dengan titik kontak mesial terletak 1/8
panjang korona dari edge insisal. Sudut mesio-insisal hampir siku-siku.
Bentuk ini memberi kontak dengan atas lainnya dekat edge insisal.
3) Garis luar distal, garis dari titik pertemuan korona dan akar ke titik kontak
distal berbentuk kurve (cembung cekung cembung), dengan titik kontak
distal terletak ¼ panjang korona edge insisal. Sudut disto-insisal bulat
4) Garis luar insisal, garis yang menghubungkan garis luar mesial dan distal
5) Garis luar akar, akarnya tebal, bentuknya seperti kerucut dengan apeks yang
bundar dan membelok kedistal.
e. Pandangan Palatal
Garis luarnya adalah kebalikan dari garis luar pandangan labial. Ciri-ciri
yang menarik dari pandangan ini adalah terdapatnya singulum dari ridge
marginal.
f. Pandangan Mesial
Pandangan ini menunjukkan bahwa atas ini adalah alat untuk menggigit
karena berbentuk baji, dengan ukuran yang terbesar pada crest labial dan
palatal, lalu mengecil di insisal edge. Crest labial dan palatal terletak 2mm
dari serviks.
27
1) Garis luar servikal, garis ini melengkung ke insisal edge 1/3 panjang
korona (3,5 mm).
2) Garis luar labial, merupakan garis yang sedikit cembung, yang
menghubungkan titik pertemuan korona dan akar, crest labial dan titik
pertemuan poros gigi dan edge insisal.
3) Garis luar palatal, garis yang menghubungkan titik pertemuan korona dan
akar, crest palatal dan titik pertemuan poros gigi dan edge insisal, berbentuk
kurve yang cembung, cekung, cembung.
4) Garis luar akar, berbentuk kerucut dengan apeks yang bundar, serta
ujungnya terletak pada poros gigi. Kadang-kadang kita melihat gigi dengan
edge insisal yang terletak di palatal dari poros gigi, yang dinamakan Hawk
Bill/Edge Beak Incisor.
g. Pandangan Distal
Garis luarnya adalah kebalikan dari garis luar pandangan mesial.
Perbedaannya yang penting ialah garis luar servikalnya melengkung ke insisal
edge 2,5 mm.
h. Pandangan Insisal
Permukaan insisal/oklusal dari suatu gigi adalah penting dalam
mempelajari anatomi gigi. Insisal edge terletak ditengah tebal korona labio-
palatal (Harshanur, 1995).
2. Panjang Rata-rata Gigi
28
Gigi manusia terdiri dari beberapa macam seperti gigi seri, gigi geraham dan
juga gigi taring dalam bahasa umumnya sedangkan dalam bahasa kedokterannya
disebut seperti gigi insisivus, caninus, premolar dan juga molar. Ukuran dari tiap
gigi ini berbeda antara satu dengan yang lain (Tabel 2.1)
Tabel 2.1. ukuran gigi permanen (Harshanur,1995) dalam milimeter (mm)
Unsur Panjang
akar
Panjang
cervico-
incisal
korona
Diameter
mesio-
distal
korona
Diameter
mesio-
distal pd
cervix
Diameter
pd labio/
buco-
lingual/
palatal
Diameter
labio
atau
buco-
lingual/
palatal
pd
cervix
Curve
mesial
dari
garis
cervikal
Curve
distal dari
garis
crvikal
RA 13,5 10,5 8,5 7,0 7,0 6,0 3,5 2,5
13,0 9,0 6,5 5,0 6,0 5,0 3,0 2,0
C 17,0 10,0 7,5 5,5 8,0 7,0 2,5 1,5
14,0 8,5 7,0 5,0 9,0 8,0 1,0 0,0
14,0 8,5 6,5 5,0 9,0 8,0 1,0 0,0
Bu. 12
Pa. 13
7,5 10,0 8,0 11,0 10,0 1,0 0,0
Bu. 11
Pa. 12
7,0 9,0 7,0 11,0 10,0 1,0 0,0
11,0 6,5 8,5 6,5 10,0 9,0 1,0 0,0
RB 12,5 La. 9,0
Li. 9,5
5,0 3,5 6,0 5,0 3,0 2,0
14,0 La. 9,5
Li. 10,0
5,5 4,0 6,5 5,0 3,0 2,0
C 16,0 11,0 7,0 5,5 7,5 7,0 2,5 2,0
14,0 8,5 7,0 5,0 7,5 6,5 1,0 1,0
14,5 8,0 7,0 5,0 8,0 7,0 1,0 0,0
14,0 7,5 11,0 9p,0 10,5 9,0 1,0 0,0
13,0 7,0 10,5 8,5 10,5 9,0 1,0 0,0
11,0 7,0 10,5 7,5 9,5 8,5 1,0 0,0
D. Fungsi Foto Periapikal dalam Menghitung Panjang Gigi dengan
Diagnostic Wire Foto (DWF)
29
Radiografi dental merupakan suatu gambaran fotografis pada suatu film yang
dihasilkan oleh paparan sinar X ke arah gigi dan struktur jaringan pendukung gigi.
Penggunaan radiografi dental bervariasi, antara lain untuk mendeteksi penyakit,
lesi dan kondisi gigi serta tulang yang tidak bisa dilihat secara klinis. Radiografi
dental tidak hanya dipakai untuk mendeteksi penyakit tetapi juga untuk
memastikan penyakit yang diderita, serta membantu mengetahui letak dari lesi
ataupun benda asing. Radiografi dental menggambarkan informasi yang
dibutuhkan selama perawatan gigi, contohnya perawatan saluran akar. Dalam
rontgen radiografi yang paling sering dipergunakan dalam perawatan saluran akar
yaitu teknik periapikal, yang merupakan salah satu teknik foto rontgen gigi
intraoral. Keuntungan dari teknik tersebut dapat melihat gambaran secara detail,
tetapi daerah liputan foto tidak luas hanya terbatas beberapa gigi saja. Dengan
keuntungan tersebut, teknik intraoral periapikal lebih sering digunakan dalam
perawatan endodontik terutama dalam perawatan saluran akar (Tarigan, 2006).
Pada perawatan endodontik tanpa melakukan rontgen foto merupakan
pekerjaan yang tidak mungkin dilaksanakan. Perawatan saluran akar adalah
perawatan yang paling banyak dilakukan dalam kasus perawatan endodontik.
Setiap gigi yang sudah dipertimbangkan untuk dirawat, harus diperiksa secara
radiologi dengan cermat. Untuk menunjang diagnosis, harus dibuatkan foto
rontgen yang baik, hal ini tergantung pada teknik pengambilan, lama penyinaran,
kekuatan aliran listrik yang digunakan, dan proses pencuciannya (Tarigan, 2006).
Perawatan saluran akar (endodontik) adalah suatu perawatan untuk
menyelamatkan gigi dari tindakan pencabutan agar gigi dapat bertahan dalam
soketnya. Dalam perawatan endodontik, khususnya perawatan saluran akar paling
30
sering menggunakan rontgen dengan teknik foto periapikal. Teknik tersebut
merupakan teknik yang digunakan untuk melihat keseluruhan mahkota serta akar
gigi dan tulang pendukungnya. Sehingga memudahkan dokter gigi untuk melihat
kelainan yang ada pada bagian apikal gigi (Tarigan, 2006). Pada tahapan
perawatan saluran akar di perlukan foto rontgen periapikal untuk menentukan
panjang kerja. Dengan melakukan Diagnostic Wire Foto (DWF) dapat diketahui
panjang gigi sebenarnya, dimana tujuannya adalah untuk memperoleh jarak dari
apeks yang tepat bagi preparasi saluran akar (Walton, 2008).
Penentuan ini merupakan suatu estimasi, yakni dengan menggunakan
ukuran jarak rata-rata dari foramen apikalis ke apeks yang sebenarnya dan dari
konstriksi apeks (atau didalam saluran akar) ke foramen apikalis. Radiograf biasa
dibuat untuk menentukan panjang kerja. Tahapan kerjanya sebagai berikut;
1. Mengetahui panjang gigi rata-rata (pre-operatif rontgen foto).
2. Menggunakan jarum file #15, menggunakan gerakan watch winding (file
diputar 60˚-90˚ setiap putarannya dengan arah searah jarum jam dan
diputar kembali berlawanan arah jarum jam).
Fungsi dari gerakan tersebut bukan untuk membuang jaringan keras tetapi
lebih untuk melumasi file sampai kedalaman yang diinginkan. Biasanya
digunakan untuk penetrasi awal kedalam saluran akar menggunakan file
ukuran kecil.
3. Jarum miller dimasukkan kedalam saluran akar gigi, kemudian dilakukan
rontgen foto.
4. Perhitungan dengan rumus
31
PGS = Panjang Gigi Sebenarnya
PAS = Panjang Alat Sebenarnya
PGF = Panjang Gigi dalam Foto
PAF = Panjang Alat dalam Foto
PAS dan PAF terkadang terjadi perbedaan karena adanya elongasi, ataupun
perpendekan, atau terkadang hasilnya bisa sama
Panjang Kerja = PGS – (1 sampai 2 mm) (Grossman, 1995).
Dengan perhitungan diatas, dapat diperoleh panjang gigi sebenarnya. Dari
hasil perhitungan tersebut dapat diketahui panjang kerja gigi yang akan dirawat,
dengan cara mengurangi 1-2mm dari panjang gigi sebenarnya.
32
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan
metode experimental, yaitu dengan membandingkan panjang gigi insisif sentral
sebenarnya dengan panjang gigi insisif sentral pada perhitungan Diagnostic
Wire Foto (DWF) menggunakan teknik rontgen foto periapikal.
B. Identifikasi Variabel
Variable Bebas :teknik rontgen foto periapikal parallel
Variable Terikat : panjang insisif sentral sebenarnya dengan gigi insisif sentral
pada perhitungan diagnostic wire foto.
C. Sampel Penelitian
Sampel yang digunakan adalah gigi insisif sentral rahang atas dengan
sampel sebanyak 30 sampel. Metode pengambilan sampel menggunakan
metode Quota Sampling, dimana sampel tersebut mempunyai ciri-ciri tertentu
sampai jumlah (kuota) yang diinginkan (Kriyantono, 2012)
D. Definisi Operasional
1. Insisif sentral adalah gigi kesatu di rahang atas, yang terletak dikiri kanan dari
garis tengah/median.Bentuknya seperti sekop, sequare/tapering/ovoid. Pada
umumnya gigi atas merupakan gigi yang representatif untuk menjadi contoh
33
dalam bentuk dan corak gigi perorangan karena gigi ini paling menarik
perhatian (Tarigan, 2006).
2. Teknik rontgen periapikal parallel merupakan teknik radiografi intraoral yang
mencakup gigi geligi dan jaringan sekitar sampai dengan daerah periapikal.
Teknik ini menggunakan film berukuran 3 x 4 cm dengan arah sinar X tegak
lurus (90˚) dengan sumbu panjang gigi dan film, waktu penyinaran 0,40 detik,
digunakanuntukmelihatkeseluruhanmahkotasertaakargigi
dantulangpendukungnya.
3. Diagnostic Wire Foto (DWF) adalah metode yang sering digunakan dalam
menentukan panjang kerja pada perawatan saluran akar, yang kemudian
dihitung menggunakan rumus ;
Keterangan : PGS = Panjang Gigi Sebenarnya
PAS = Panjang Alat Sebenarnya
PGF = Panjang Gigi dalam Foto
PAF = Panjang Alat dalam Foto
E. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan untuk mengetahui perbandingan
panjang gigi insisif sentral sebenarnya dengan panjang gigi insisif sentral pada
perhitungan Diagnostic Wire Foto (DWF) menggunakan teknik rontgen
periapikal adalah dengan menggunakan pengamatan secara langsung dengan
cara mengukur panjang insisif sentral menggunakan jangka sorong dan
34
menggunakan teknik rontgen periapikal parallel dengan cara memasukkan
jarum miller ke dalam saluran akar gigi insisif sentral dengan menggunakan
teknik perhitungan Diagnostic Wire Foto (DWF). Selanjutnya hasil dari
rontgen tersebut dapat dilihat menggunakan viewer dan dihitung menggunakan
rumus perhitungan Diagnostic Wire Foto (DWF).
F. Alat dan Bahan
1. Dental x-ray
2. Gigi
3. Highspeed
4. Round bur
5. Film periapikal
6. Jarum File
7. Jarum Miller
8. Jangka sorong
9. Viewer
10. Alat tulis
Gambar 3.1. Highspeed gambar 3.2. Insisif sentral
35
Gambar 3.3. Dental X-ray Gambar 3.4. Jangka sorong
G. Alur penelitian
Penelitian dilaksanakan pada :
Hari, tanggal : selasa – rabu, 4 – 5 Februari 2014
Pukul : 11.00 – 13.00 wita
Tempat : Lab. Radiologi Fakultas Kedokteran Gigi Unmas
Adapun alur penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Menentukan dan menetapkan objek penelitian.
2. Mempersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
3. 30 gigi diukur menggunakan jangka sorong.
4. Mencari orifice menggunakan jarum miller, bur bagian cingulum gigi
insisif menggunakan highspeed dengan round bur.
5. Melakukan foto rontgen periapikal terhadap 30 gigi insisif sentral rahang
atas yang saluran akarnya sudah berisi jarum miller yang sesuai panjang
gigi rata-rata.
36
6. Selanjutnya 30 gigi tersebut kemudian diukur menggunakan metode
diagnostic wire foto (DWF) dengan teknik rontgen periapikal parallel.
7. Bandingkan panjang gigi sebenarnya yang di ukur menggunakan jangka
sorong dengan panjang gigi sebenarnya yang diukur menggunakan metode
diagnostic wire foto (DWF) dengan teknik rontgen periapikal parallel.
H. Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang digunakan adalah teknik pengumpulan data
eksperimental dengan pendekatan Paired T-test.
I. Analisis Data
Analisis data menggunakan Paired T-test dengan signifikansi > 0,05.
37
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Data
Berdasarkan dari hasil penelitian yang dilakukan untuk mengetahui
perbandingan panjang gigi insisif sentral sebenarnya dengan panjang gigi insisif
sentral pada perhitungan Diagnostic Wire Foto (DWF) menggunakan teknik
rontgen periapikal, sebagai berikut :
Tabel 4.1 hasil perhitungan jangka sorong dan Diagnostic Wire Foto (DWF)
N
Rerata
Jangka
Sorong
Standar
Deviasi Rerata DWF
Standar
Deviasi
30 23,11 1,18 22,95 1,34
Dilihat dari tabel 4.1 diatas dapat dinyatakan bahwa nilai rata-rata (mean)
untuk perhitungan jangka sorong sebesar 23,11 mm dan perhitungan Diagnostic
Wire Foto (DWF) dengan nilai 22,95 mm dengan nilai minimum dari panjang
gigi insisif sentral dari perhitungan jangka sorong tersebut adalah 20,8 mm, dan
perhitungan Diagnostic Wire Foto (DWF) adalah 20,10 mm. Sedangkan untuk
nilai maksimum dari data perhitungan jangka sorong adalah 25,72 mm, dan
perhitungan Diagnostic Wire Foto (DWF) adalah 26,21 mm.
38
B. Analisis Data
1. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah data penelitian
berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas yang digunakan dalam penelitian
ini adalah Kolmogorov-smirnov test, didapatkan nilai signifikansi perhitungan
menggunakan jangka sorong sebesar 0,996 sedangkan nilai signifikansi untuk
perhitungan Diagnostic Wire Foto (DWF) adalah 0,610. Hasil data tersebut
(p>0,05) maka dinyatakan data tersebut berdistribusi normal.
maka pengujian t-Test dapat dilanjutkan.
2. Uji homogenitas
Uji homogenitas bertujuan untuk menguji apakah data penelitian berasal
dari varian yang sama. Uji homogenitas yang dipakai dalam penelitian ini adalah
Levene’s test. Adapun hasil uji homogenitas dari perhitungan menggunakan
jangka sorong dan Diagnostic Wire Foto (DWF) dengan nilai signifikansi
0,858. Hal ini menunjukan bahwa nilai signifikansi >0,05, maka data dari
perhitungan jangka sorong dan Diagnostic Wire Foto (DWF) berasal dari varian
yang sama atau homogen sehingga pengujian T-Test dapat dilanjutkan.
3. Paired t-Test
Paired t-Test digunakan untuk menguji dua variabel yang berhubungan
yaitu data yang menggunakan perhitungan jangka sorong dan perhitungan
Diagnostic Wire Foto (DWF). Dari hasil analisis data dengan menggunakan
SPSS versi 17.00 dapat disajikan sebagai berikut :
39
Tabel 4.2. Hasil uji Paired t-Test perhitungan jangka sorong dan Diagnostic Wire
Foto (DWF)
N
Rerata
Jangka
Sorong
Rerata DWF T P
30 23,11 22,95 1,963 0,059
Berdasarkan uji Paired t-Test, nilai terhitung sebesar 1,963 dengan p value
atau signifikansi 0,059 > 0,05. Hal ini menunjukan bahwa tidak ada perbedaan
yang signifikan antara perhitungan jangka sorong maupun perhitungan Diagnostic
Wire Foto (DWF).
40
BAB V
PEMBAHASAN
Radiografi gigi adalah salah satu metode yang digunakan untuk
mengetahui panjang gigi sebenarnya. Radiografi itu sendiri merupakan salah satu
alat klinis yang paling penting untuk menentukan diagnosis. Alat ini
memungkinkan pemeriksaan visual struktur mulut yang tidak mungkin dapat
dilihat dengan mata telanjang. Tanpa alat ini tidak mungkin diagnosis, seleksi
kasus, perawatan, dan evaluasi perawatan. Dalam praktik kedokteran gigi
radiograf sebagai pemeriksaan penunjang. Untuk dapat menggunakan radiograf
dengan tepat, seorang klinisi harus mempunyai pengetahuan dan ketrampilan yang
diperlukan untuk dapat memberikan interpretasi secara tepat (Lamlanto, 2010).
Diagnostic Wire Foto (DWF) merupakan metode yang digunakan untuk
menghitung panjang gigi sebenarnya. Metode ini merupakan jarak dari titik
referensi pada bagian mahkota gigi sampai titik pada bagian apikal gigi. Titik
referensi pada gigi anterior biasanya pada tepi insisal. Titik referensi harus
merupakan titik atau permukaan yang pasti dan dapat diandalkan, untuk menjamin
ketepatan pada semua pengukuran berikutnya. Tepi insisal atau cusp yang rusak
atau patah harus diasah sampai diperoleh suatu permukaan yang sehat (Grossman,
1995).
Tujuan penentuan panjang kerja itu sendiri adalah untuk memperoleh jarak
dari apeks yang tepat bagi preparasi saluran akar dan kemudian obturasi. Panjang
yang optimal adalah kurang 1 – 2 mm dari apeks, walaupun hal ini sedikit
bervariasi pada diagnosis yang berbeda. Prosedur perawatan berakhir pada 0 – 2
41
mm dari apeks jika giginya sudah mengalami nekrosis, dan 0 – 3 mm jika
pulpanya masih vital. Tentu saja panjang ini bervariasi tergantung pada banyak
faktor dan tujuan ideal tersebut tidak selalu dapat dicapai (Walton, 2008).
Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode eksperimental. Sampel
penelitian yang digunakan adalah 30 gigi insisif sentral rahang atas. Pengambilan
gigi insisif sentral rahang atas sebagai sampel karena merupakan gigi anterior
yang beresiko untuk terjadi fraktur, karies dan kerusakan gigi yang lain (Rini,
2013). Dari sampel tersebut kemudian diukur menggunakan jangka sorong yang
memiliki ketelitian mencapai seperseratus millimeter. Pada versi analog,
umumnya tingkat ketelitian adalah 0.05mm untuk jangka sorang dibawah 30 cm
dan 0.01 untuk yang diatas 30cm. pengukuran ini bertujuan untuk mendapatkan
panjang gigi sebenarnya. Selanjutnya dengan sampel yang sama dilakukan
rontgen foto periapikal, dari hasil foto rontgen tersebut didapat hasil pengukuran
panjang gigi dalam foto, panjang alat dalam foto serta panjang alat sebenarnya
yaitu jarum miller, yang dimasukkan kedalam saluran akar sesuai dengan panjang
rata-rata gigi.
Dari penelitian diatas didapatkan nilai rata-rata (mean) untuk perhitungan
jangka sorong sebesar 23,11 mm dan perhitungan Diagnostic Wire Foto (DWF)
dengan nilai 22,95 mm dengan nilai minimum dari panjang gigi insisif sentral dari
perhitungan jangka sorong tersebut adalah 20,8 mm, dan perhitungan Diagnostic
Wire Foto (DWF) adalah 20,10 mm. Sedangkan untuk nilai maksimum dari data
perhitungan jangka sorong adalah 25,72 mm, dan perhitungan Diagnostic Wire
Foto (DWF) adalah 26,21 mm.
42
Panjang rata-rata insisif sentral rahang atas sebenarnya adalah 24 mm,
dengan panjang akar 13,5 dan panjang cervico-incisal korona adalah 10,5. Insisif
sentral merupakan gigi pertama dirahang atas yang terletak dikiri dan kanan dari
garis median. Bentuknya seperti sekop, sequare/ tapering/ ovoid. Hampir 100%
insisif sentral memiliki saluran akar satu dengan bentuk saluran akar oval atau
bulat (Harshanur, 1995).
Selanjutnya, untuk mengetahui apakah perhitungan Diagnostic Wire Foto
(DWF) terbukti akurat untuk melakukan pengukuran panjang gigi insisif sentral
atas, maka dilakukan Paired t-Test. Berdasarkan dari uji tersebut didapatkan hasil
sebesar 1,963 dengan p value atau signifikansi 0,059 > 0,05, yang artinya tidak
terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik antara perhitungan
menggunakan jangka sorong maupun dengan menggunakan perhitungan
Diagnostic Wire Foto (DWF). Hal tersebut menyatakan bahwa perhitungan
menggunakan Diagnostic Wire Foto (DWF) terbukti akurat.
Secara umum dapat dikatakan bahwa radiografi memiliki peranan penting
yang tidak dapat digantikan oleh cara apapun dalam prosedur perawatan
endodontik, terutama pada perawatan saluran akar. Peranan radiografi dalam
perawatan endodontik dapat dilihat dari sejak menegakkan diagnosa sampai saat
melakukan kontrol terhadap hasil perawatan. Maka tahap pertama yang perlu
dilakukan adalah pembuatan dental radiogram, untuk menunjang ini, diperlukan
radiogram yang dibuat dengan teknik yang tepat. Radiogram memang berperan
penting dalam menegakkan diagnosa, merencanakan perawatan dan mengevaluasi
hasil perawatan. Alat foto rontgen atau dental X-ray unit yang mutakhir tidak
menjamin akan menghasilkan suatu radiogram yang baik tanpa disertai dengan
43
penerapan teknik foto dan processing film yang tepat dan memadai (Margono,
1998).
Teknik radiograf yang digunakan dalam bidang kedokteran gigi ada dua
yaitu teknik intraoral dan ekstraoral. Pada teknik intraoral, film rontgen diletakkan
di mulut pasien, yang terdiri dari teknik foto bite wing, oklusal, dan periapikal,
sedangkan pada foto rontgen ekstraoral, film rontgen diletakkan diluar mulut
pasien, terdiri dari teknik foto panoramik, lateral foto, cephalometri dan lain-lain
(Hidayat, 2007).
Pada penelitian ini menggunakan teknik intraoral yaitu foto periapikal.
Menurut Mile (1975) foto periapikal adalah suatu teknik yang banyak digunakan
oleh dokter gigi untuk melihat gambaran seluruh bagian gigi, dari daerah koroner
sampai apikal dan keadaan tulang alveolar disekitar apeks gigi. Pada foto
periapikal lamina dura, trabekula tulang alveolar, pulp canal, lesi apikal gigi
maupun batas lesi dari jaringan karies dapat terlihat cukup jelas. Teknik yang
dipakai dalam penelitian ini adalah teknik parallel yang sering disebut dengan
metode kesejajarandimana posisi tube head (cone) tegak lurus dengan gigi dan
film. Posisi ini sudah memenuhi persyaratan untuk mendapatkan posisi ideal
penempatan film terhadap gigi yang diperiksa pada teknik pemotretan radiografis
periapikal (Haring, 2000).
44
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian perbandingan panjang gigi insisif sentral
sebenarnya dengan panjang gigi insisif sentral padaperhitungan Diagnostic Wire
Foto (DWF) menggunakan teknik rontgen foto periapikal dapat disimpulkan
beberapa hal yaitu :
1. Hasil pengukuran jangka sorong dan Diagnostic Wire Foto (DWF)
didapatkan nilai rata-rata (mean) untuk perhitungan jangka sorong sebesar
23,11 mm dan perhitungan Diagnostic Wire Foto (DWF) dengan nilai 22,95
mm dengan nilai minimum dari panjang gigi insisif sentral dari perhitungan
jangka sorong tersebut adalah 20,8 mm, dan perhitungan Diagnostic Wire
Foto (DWF) adalah 20,10 mm. Sedangkan untuk nilai maksimum dari data
perhitungan jangka sorong adalah 25,72 mm, dan perhitungan Diagnostic
Wire Foto (DWF) adalah 26,21 mm.
2. Tidak adanya perbedaan yang signifikan antara perhitungan menggunakan
jangka sorong dengan perhitungan Diagnostic Wire Foto (DWF)
menggunakan rontgen periapikal parallel.
B. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah agar
petugas bagian radiologi dapat menerapkan penggunaan Diagnostic Wire Foto
(DWF) secara maksimal untuk mendapatkan hasil perhitungan yang
akuratsehingga dokter gigi pada bagian endodontik dapat melakukan perawatan
saluran akar secara baik dan benar.
45
DAFTAR PUSTAKA
Boel, T. 2009, Dental Radiologi : Prinsip dan Teknik, USU Press, Medan.
Ghom, A. G. 2008, Textboof of Oral Radiology, Elsevier, India.
Grossman, L. I. 1995, Ilmu Endodontik dalam Praktik, Ed. Ke-11, EGC, Jakarta.
Haring, J. L, dan Jansen, L. 2000, Dental Radiography, Principles and
Tachniques, Ed. Ke-2 , W. B. Saunders Company, Philadelphia.
Harshanur, I. W. 1995, Anatomi Gigi, EGC, Jakarta.
Harty, F. J. 1995, Kamus Kedokteran Gigi, EGC, Jakarta.
Hidayat, W. 2007, Gambaran Distribusi Teknik Foto Rontgen Gigi Yang
Digunakan Di RSGM-FKG UNPAD, Tesis, FKG Universitas Padjadjaran,
Bandung.
Iannucci, J. M. dan Howerton, L. J. 2006, Dental Radiography : Principles and
Techniques, , Saunders, St. Louis.
Kriyantono, R. 2012, Teknik Praktis Riset Komunikasi, Prenada, Jakarta.
Lamlanto, N. 2010, Prosedur Menegakkan Diagnosa Dalam Praktek Kedokteran
Gigi Anak, Skripsi, Universitas Hasanuddin, Makasar.
Margono, G. 1998, Radiografi Intraoral : Teknik, Prosesing, Interpretasi
Radiogram, EGC, Jakarta.
Miles, D. A. 1975, Radiographic Imaging for Dental Auxilaries, ED. Ke-2, WB.
Saunderes Company, Philadelphia.
Rini, I.S. 2013, Jarak Atap Pulpa Terhadap Tepi Insisal Gigi Insivus Sentral
Permanen Rahang Deutromelayu (Tinjauan Laboratoris dan Radiologis)
46
[Homepage of UNEJ Digital Repository], [Online]. Available:
http://repository.ujej.ac.id/handle/123456789/2129[25 Pebruari 2014]
Sari, O. 2012, Perbandingan hasil Pengukuran Panjang Kerja Antara Dua Sistem
Alat Elektronik Dan Radiografik Terhadap Panjang Kerja Aktual. Tesis,
Universitas Indonesia, Jakarta.
Tarigan, R. 2006, Perawatan Pulpa Gigi, Ed. Ke-2, EGC, Jakarta.
Walton, R. E. 2008, Prinsip dan Praktik Ilmu Endodonsia, Ed. Ke-3, EGC,
Jakarta.
47
LAMPIRAN
48
49
DATA PENELITIAN
Elemen
Perhitungan
Jangka
Sorong
PAS PGF PAF DWF
1 22,57 22 23,37 22,83 22,52037
2 23,49 23 23,8 23,28 23,51375
3 25,42 25 25,9 24,7 26,21457
4 22,66 22 22,95 22,13 22,81518
5 23,19 22 23,34 22,35 22,9745
6 25,06 25 24,65 24,35 25,30801
7 23,74 22 23,51 22,7 22,78502
8 25,72 25 25,76 25,05 25,70858
9 22,62 21 22,73 21,01 22,71918
10 23,85 23 24,62 23,31 24,29258
11 22,76 21 22,87 21,81 22,02063
12 20,8 19 21,11 19,95 20,10476
13 22,89 22 23,24 22,13 23,10348
14 23,49 22 23 22,64 22,34982
15 23,74 20 23,84 20,34 23,44149
16 22,88 22 22,96 22,22 22,73267
17 23,58 21 23,68 21,7 22,91613
18 23,23 22 23,21 21,87 23,34797
19 24,37 23 24,77 23,36 24,38827
20 22,15 21 22,72 21,05 22,66603
21 22,18 21 21,7 20,72 21,99324
22 22,56 21 22,99 21,83 22,1159
23 21,59 20 21,62 20,1 21,51244
24 24,43 23 24,56 23,4 24,14017
25 24,01 23 24,02 23,64 23,36971
26 21,85 21 22,21 21,7 21,49355
27 20,87 20 21,03 20,58 20,43732
28 23 22 23,69 22,88 22,77885
29 22,3 21 22,12 20,63 22,51672
30 22,32 21 22,45 21,09 22,3542
50
Frequencies
Statistics
Jangka_sorong PGS
N Valid 30 30
Missing 0 0
Mean 23.1107 22.9545
Median 22.9450 22.7819
Mode 23.49a 20.10
a
Std. Deviation 1.18254 1.34483
Variance 1.398 1.809
Range 4.92 6.11
Minimum 20.80 20.10
Maximum 25.72 26.21
Sum 693.32 688.64
a. Multiple modes exist. The smallest value is shown
NPar Tests (Uji Normalitas Data)
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Jangka_sorong PGS
N 30 30
Normal Parametersa,,b
Mean 23.1107 22.9545
Std. Deviation 1.18254 1.34483
Most Extreme Differences Absolute .075 .139
Positive .074 .139
Negative -.075 -.104
Kolmogorov-Smirnov Z .411 .760
Asymp. Sig. (2-tailed) .996 .610
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
51
Oneway (Uji Homogenitas Data)
ANOVA
Ukuran_Gigi
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups .366 1 .366 .228 .635
Within Groups 93.002 58 1.603
Total 93.368 59
Paired T-Test
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 Jangka_sorong 23.1107 30 1.18254 .21590
PGS 22.9545 30 1.34483 .24553
Paired Samples Correlations
N Correlation Sig.
Pair 1 Jangka_sorong & PGS 30 .949 .000
Paired Samples Test
Paired Differences
t df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1 Jangka_sorong
- PGS
.15616 .43564 .07954 -.00651 .31883 1.963 29 .059
Test of Homogeneity of Variances
Ukuran_Gigi
Levene Statistic df1 df2 Sig.
.032 1 58 .858
52
ALAT DAN BAHAN PENELITIAN
53
HASIL FOTO RONTGEN