Perbaikan II

100
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi manusia dalam mengolah bahan-bahan pangan. Karena kegunaannya sebagai media penggorengan, maka kebutuhan akan minyak goreng relatif tinggi, sehingga harga minyak goreng di pasaran cenderung mahal. Hal ini menyebabkan minyak goreng sering digunakan berkali-kali untuk menggoreng makanan. Padahal, minyak yang digunakan berulang kali dapat berpotensi mengalami reaksi oksidasi. Terjadinya reaksi oksidasi pada minyak dapat mengawali perubahan-perubahan lain dalam makanan yang berdampak pada mutu nutrisi, keamanan, warna, rasa, dan tekstur makanan (Shahidi dan Naczk, 1995). Selain itu, didapat pula adanya aktivitas karsinogenik pada minyak goreng yang telah teroksidasi (Ketaren, 1986). Antioksidan adalah senyawa yang mampu menunda, memperlambat atau menghambat reaksi oksidasi pada makanan atau obat yang dapat mengakibatkan ketengikan (rancidity) pada makanan maupun kerusakan atau degradasi obat. Untuk mencegah atau memperlambat oksidasi dari makanan, antioksidan telah secara luas digunakan sebagai pengawet pada lemak dan 1

Transcript of Perbaikan II

Page 1: Perbaikan II

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi manusia

dalam mengolah bahan-bahan pangan. Karena kegunaannya sebagai media

penggorengan, maka kebutuhan akan minyak goreng relatif tinggi, sehingga harga

minyak goreng di pasaran cenderung mahal. Hal ini menyebabkan minyak goreng

sering digunakan berkali-kali untuk menggoreng makanan. Padahal, minyak yang

digunakan berulang kali dapat berpotensi mengalami reaksi oksidasi. Terjadinya

reaksi oksidasi pada minyak dapat mengawali perubahan-perubahan lain dalam

makanan yang berdampak pada mutu nutrisi, keamanan, warna, rasa, dan tekstur

makanan (Shahidi dan Naczk, 1995). Selain itu, didapat pula adanya aktivitas

karsinogenik pada minyak goreng yang telah teroksidasi (Ketaren, 1986).

Antioksidan adalah senyawa yang mampu menunda, memperlambat

atau menghambat reaksi oksidasi pada makanan atau obat yang dapat

mengakibatkan ketengikan (rancidity) pada makanan maupun kerusakan atau

degradasi obat. Untuk mencegah atau memperlambat oksidasi dari makanan,

antioksidan telah secara luas digunakan sebagai pengawet pada lemak dan

minyak dan pada pemrosesan makanan (Trilaksani, 2003). Menurut Widjaya

(2003), antioksidan dinyatakan sebagai senyawa yang secara nyata dapat

memperlambat oksidasi, walaupun dengan konsentrasi yang lebih rendah

sekalipun dibandingkan dengan substrat yang dioksidasi. Antioksidan sangat

bermanfaat bagi kesehatan dan berperan sangat penting untuk mempertahankan

mutu produk pangan. Berbagai kerusakan seperti ketengikan, perubahan nilai gizi,

perubahan warna dan aroma, serta kerusakan fisik lain pada produk pangan karena

oksidasi dapat dihambat oleh antioksidan.

Penggunaan antioksidan adalah salah satu cara yang paling efektif untuk

mencegah kerusakan minyak goreng yang telah teroksidasi. Menurut Ketaren

(1986), pada umumnya antioksidan mengandung cincin benzena tak jenuh yang

disertai gugus hidroksi atau gugus amino.

1

Page 2: Perbaikan II

Antioksidan dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu 1). antioksidan

sintetik, misalnya BHA (Butylated Hydroxyanisole), dan 2). BHT (Butylated

Hydroxytoluene) serta antioksidan alami. BHA dan BHT telah dilaporkan mampu

memperlambat proses oksidasi minyak goreng pada temperatur kamar. Namun

kedua senyawa ini tidak efektif pada temperatur penggorengan (1500C-1900C)

karena bersifat tidak stabil, sehingga dapat mengalami dekomposisi dan menguap

pada suhu tinggi (Choe dan Min, 2007). Selain itu, dari hasil penelitian Farago

dkk. (1989), didapati bahwa penggunaan antioksidan buatan seperti BHA dapat

menyebabkan pembengkakan organ hati dan mempengaruhi aktivitas enzim di

dalam hati, sedangkan penggunaan BHT dapat menyebabkan perubahan tiroid

pada tikus, stimulasi sintesis DNA, serta induksi enzim. Kekhawatiran akan efek

samping dari antioksidan buatan ini mendorong orang untuk mencari antioksidan

alami yang lebih aman untuk dipakai. Antioksidan alami umumnya dapat

diperoleh dari tumbuh-tumbuhan.

Minyak atsiri yang diperoleh dari tumbuh-tumbuhan diketahui memiliki

aktivitas biologik, seperti antibakteri, antijamur, dan antioksidan. Berdasarkan uji

pendahuluan yang dilakukan Komaharyati (2006), menunjukkan bahwa

penambahan ekstrak daun sirih pada minyak kelapa dihasilkan bilangan peroksida

yang kecil setelah penyimpanan 25 hari. Penelitian lain membuktikan bahwa

minyak atsiri daun sirih dapat meredam radikal bebas pada difenilpikril hidrazil

(DPPH) sebesar 81,91% (Parwata, dkk., 2009). Salah satu tumbuhan yang dapat

digunakan sebagai antioksidan adalah sirih hutan (Piper aduncum L.). Hal ini

berdasarkan hasil penelitian Bernard, dkk, 1995 yang menyatakan bahwa daun

sirih hutan (Piper aduncum L.) menghasilkan zat bioaktif antara lain zat

phenylpropanoids, lignoids dan flavonoids.

Mengingat Tumbuhan sirih hutan (Piper aduncum L.) hidup liar,

kosmopolitan, cepat tumbuh, dan mendominasi kawasan-kawasan hutan

terdegradasi dan lahan terlantar berpotensi sebagai sumber daya alam hayati yang

melimpah. Sedangkan kebutuhan masyarakat akan obat-obatan terus bertambah

(selama ini harus mengimpor dari luar), maka perlu dilakukan kajian bioprospek

obat-obatan dari bahan botani. Dalam jangka panjang, pengembangan dan

2

Page 3: Perbaikan II

pemanfaatan plasma nuftah melalui teknologi pemanenan molekul zat bioaktif

(moleculer harvesting) terhadap sirih hutan (Piper aduncum L.) berpotensi sebagai

salah satu sumber daya ekonomi di wilayah-wilayah yang selama ini

menggantungkan sumber kehidupannya terhadap hutan. Menurut Escudero, dkk

(2008), yang telah melakukan penelitian tentang identifikasi polifenol dan

kapasitas antioksidan Piper aduncum L, menyatakan bahwa antioksidan potensial

yang terdapat di dalamnya adalah galilic acid, catechin, chlorogenik acid,

epicatechin, rutin, quercitrin, phloridzin, quercetin dan phloretin.

Namun demikian, sampai saat ini belum pernah dilaporkan dalam suatu

penelitian tentang pemanfaatan minyak atsiri daun sirih hutan dalam

mempertahankan kualitas fisika-kimia dari minyak goreng yang teroksidasi secara

termal. Oleh sebab itu, maka dalam penelitian ini akan dipelajari tentang pengaruh

aktivitas antioksidan alami minyak atsiri daun sirih hutan (Piper aduncum L.)

pada minyak goreng yang teroksidasi termal.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi

permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah minyak atsiri daun sirih hutan

(Piper aduncum L.) memiliki aktivitas antioksidan terhadap minyak goreng yang

teroksidasi termal dengan menganalisis sifat fisika-kimia minyak goreng.

1.3 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas antioksidan

dari minyak atsiri daun sirih hutan (Piper aduncum L.) terhadap minyak goreng

yang teroksidasi termal dengan menganalisis sifat fisika-kimia dari minyak

goreng.

1.4 Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Sebagai bahan informasi sifat antioksidan dari minyak atsiri daun sirih hutan.

2. Meningkatkan nilai guna dan ekonomi dari daun sirih hutan.

3. Sebagai sarana pengembangan ilmu dan keterampilan peneliti di laboratorium.

3

Page 4: Perbaikan II

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tumbuhan Sirih Merah (Piper aduncum L)

Sirih hutan secara ilmiah dikenal dengan nama Piper aduncum L

termasuk dalam familia Piperaceae. Nama lokal dari sirih hutan yaitu ju jian

(Cina), matico (Peru) dan sirih hutan (Indonesia). Sedangkan nama daerah

tanaman sirih yaitu suruh, sedah (Jawa), seureuh (sunda); ranub (Aceh); Cambai

(Lampung); base (Bali); Nahi (Bima); mata (flores), gapura, dontile, gamnjeng,

perigi, (Sulawesi), bida (Maluku), (Mardiana, 2004), maunitu (Soe, NTT).

Tumbuhan sirih hutan disajikan pada gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1. Tumbuhan Sirih hutan

Menurut taksonominya, sirih hutan diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisio : Magnoliophyta

Class : Magnoliopsida

Order : Piperales

Family : Piperaceae

Genus : Piper

Species : Piper aduncum L (Rusyana, 2011).

Tanaman merambat ini bisa mencapai tinggi 15 m. Batang sirih berwarna

coklat kehijauan, berbentuk bulat, beruas dan merupakan tempat keluarnya akar.

4

Page 5: Perbaikan II

Daunnya yang tunggal berbentuk jantung, berujung runcing, tumbuh berselang-

seling, bertangkai, dan mengeluarkan bau yang sedap bila diremas. Panjangnya

sekitar 5-8 cm dan lebar 2-5 cm. Bunganya majemuk berbentuk bulir dan terdapat

daun pelindung ± 1 mm berbentuk bulat panjang. Pada bulir jantan panjangnya

sekitar 1,5 - 3 cm dan terdapat dua benang sari yang pendek sedang pada bulir

betina panjangnya sekitar 1,5 - 6 cm dimana terdapat kepala putik tiga sampai

lima buah berwarna putih dan hijau kekuningan. Buahnya buah buni berbentuk

bulat berwarna hijau keabu-abuan. Akarnya tunggang, bulat dan berwarna coklat

kekuningan (anonim, tanpa tahun).

Tanaman sirih hutan menyukai tempat teduh, berhawa sejuk dengan sinar

matahari 60-75%, dapat tumbuh subur dan bagus pada ketinggian 2000 meter di

atas permukaan laut dengan curah hujan tahunan 1500-4000 mm (Anonim, tanpa

tahun).

Daun sirih hutan memiliki banyak manfaat dalam pengobatan tradisional,

mempunyai potensi menyembuhkan berbagai jenis penyakit, menghilangkan bau

badan, mengurangi/menghentikan pendarahan, membantu penyembuhan luka di

kulit dan gangguan saluran pencernaan. beberapa sumber menyatakan bahwa

sirih hutan bersifat mengerutkan, mengeluarkan dahak, meluruhkan ludah,

hemostatik. Selain itu, kandungan bahan aktif fenol dan kavikol daun sirih hutan

juga dapat dimanfaatkan sebagai pestisida nabati untuk mengendalikan hama

penghisap (Anonim, 2012).

2.2 Minyak Atsiri

2.2.1 Tinjauan umum minyak atsiri

Minyak atsiri, atau dikenal juga sebagai minyak eteris (aetheric oil),

minyak esensial, minyak terbang, serta minyak aromatik, adalah kelompok besar

minyak nabati yang berwujud cairan kental pada suhu ruang namun mudah

menguap sehingga memberikan aroma yang khas. Minyak atsiri merupakan bahan

dasar dari wangi-wangian atau pengobatan alami. Di dalam perdagangan, sulingan

minyak atsiri dikenal sebagai bibit minyak wangi. Para ahli biologi menganggap

minyak atsiri merupakan metabolit sekunder yang biasanya berperan sebagai alat

5

Page 6: Perbaikan II

pertahanan diri agar tidak dimakan oleh hewan ataupun sebagai agen untuk

bersaing dengan tumbuhan lain dalam mempertahankan ruang hidup. Minyak ini

dapat dihasilkan dari tiap bagian tanaman (daun, bunga, buah, biji, batang, kulit,

dan akar). Minyak atsiri yang baru diekstraksi biasanya tidak berwarna atau

berwarna kekuning-kuningan. Jika minyak atsiri lama berada di udara terbuka,

terkena cahaya, dan pada suhu kamar, maka minyak atsiri tersebut dapat

mengabsorbsi oksigen di udara sehingga menghasilkan warna minyak yang lebih

gelap, bau minyak berubah dari bau wangi alamiahnya dan minyak lebih kental

dan akhirnya membentuk sejenis resin. Minyak atsiri dapat menguap pada suhu

kamar dan penguapannya semakin besar seiring dengan kenaikan suhu. Umumnya

minyak atsiri larut dalam alkohol encer yang konsentrasinya kurang dari 70%,

tetapi tidak larut dalam air. Daya larut tersebut akan lebih kecil jika minyak atsiri

mengandung fraksi terpen dalam jumlah besar (Ketaren, 1985).

2.2.2 Minyak atsiri daun sirih hutan

Secara umum daun sirih mengandung minyak atsiri 1-4,2% yang terdiri dari

hidroksikavikol, kavikol, kavibetol, metal eugenol, karvakol, terpena, seskuiterpena,

fenil propana, tannin, enzim diastasae 0,8- 1,8%, enzim katalase, gula, pati, vitamin

A, B dan C (Rostiana et al., 1991). Hasil penelitian Koesmiati (1966) menunjukkan

bahwa 82,8% komponen penyusun minyak atsiri daun sirih terdiri dari senyawa-

senyawa fenol, dan hanya 18,2% merupakan senyawa bukan fenol.

Darwis (1991) mengatakan bahwa kandungan kimia utama yang

memberikan ciri khas daun sirih adalah minyak atsiri. Selain minyak atsiri,

senyawa lain yang menentukan mutu daun sirih adalah vitamin, asam organik,

asam amino, gula, tanin, lemak, pati dan karbohidrat. Komposisi minyak atsiri

terdiri dari senyawa fenol, turunan fenol propenil (sampai 60%). Komponen

utamanya eugenol (sampai 42,5%), karvakrol, chavikol, kavibetol, alilpirokatekol,

kavibetol asetat, alilpirokatekol asetat, sinoel, estragol, eugenol, metil eter, p-

simen, karyofilen, kadinen, dan senyawa seskuiterpen. Menurut Rali, dkk (2007),

minyak atsiri dari daun sirih hutan (Piper aduncum LINN.) mengandung 4,5-

dimethoxy-6-(2-propenyl)-1,3-benzo-dioxole (43.3 %), β-caryophyllene (8.3%),

6

Page 7: Perbaikan II

piperitione (6.7 %) and α-humulene (5.1 %). Struktur dari senyawa-senyawa

tersebut dapat dilihat pada gambar 2 di bawah ini.

Komposisi kimia dari minyak esensial dari daun sirih hutan (Piper

aduncum L.) dari Panama dan Bolivia diselidiki dengan GC-FID, GC-MS dan

13C-NMR. Secara total, 55 komponen telah diidentifikasi mewakili 99,3% dan

80,3% dari setiap sampel, masing-masing. Minyak dari Panama ditandai dengan

persentase yang tinggi dari hidrokarbon seskuiterpena (38,9%), yang utama

adalah ß-kariofilen (17,4%) dan aromadendrene (13,4%). Sebaliknya, minyak dari

Bolivia menunjukkan tingginya kandungan monoterpen (76%), konstituen utama

adalah 1,8-cineole (40,5%) dan Phenylpropanoids, terutama 1-alil-2-metoksi-4,5-

methylenedioxybenzene(12,9%) (TULIS NAMA DAN TAHUN)

2.3 Minyak Goreng

2.3.1 Tinjauan umum minyak goreng

Minyak goreng merupakan minyak yang digunakan sebagai media untuk

menggoreng. Minyak goreng kadang digunakan sebagai nama lain untuk minyak

pangan. Minyak pada suhu ruang berwujud zat cair, sedangkan lemak pada suhu

ruang berwujud padat. Minyak dan lemak merupakan bahan pangan yang penting.

Minyak dan lemak selain memberikan nilai kalori paling besar diantara zat gizi

lainnya (9 kkal/gram), minyak dan lemak dapat memberikan rasa gurih, tekstur

dan penampakan bahan pangan menjadi lebih menarik dan permukaan yang

kering. Minyak dan lemak merupakan pelarut vitamin A, D, E, dan K yang sangat

7

Gambar 2. Struktur senyawa-senyawa dalam daun sirih hutan

Page 8: Perbaikan II

diperlukan tubuh. Dengan demikian minyak dan lemak mempunyai peranan yang

penting untuk kesehatan tubuh manusia.

Komponen utama dari minyak goreng adalah asam lemak dan gliserol.

Asam lemak yang terkandung dalam minyak goreng ada yang bersifat jenuh dan

ada yang bersifat tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh yaitu asam lemak yang

mempunyai ikatan tidak jenuh (rangkap) baik tunggal ataupun ganda. Asam

lemak tidak jenuh bersifat mudah rusak apabila terkena panas tetapi sangat

bermanfaat untuk kesehatan tubuh. Contoh asam lemak tidak jenuh yaitu asam

linoleat, asam linolenat dan asam arakidonat. Asam lemak yang bersifat jenuh

yaitu asam lemak dengan rantai tunggal. Asam lemak jenuh biasanya terdapat

dalam minyak atau lemak yang berasal dari hewan. Contoh asam lemak jenuh

adalah asam laurat, asam miristat, asam palmitat dan asam stearat.

2.3.2 Parameter-parameter kimia-fisika minyak goreng

2.3.2.1 Warna

Warna minyak ditentukan oleh adanya pigmen yang masih tersisa setelah

proses pemucatan, karena asam-asam lemak dan gliserida tidak berwarna. Warna

orange atau kuning disebabkan adanya pigmen karoten yang larut dalam minyak.

Pengukuran mutu warna secara langsung adalah pengukuran secara subjektif atau

visual karena dapat menilai mutu secara langsung dan sangat cepat. Untuk minyak

maka warna yang baik ialah bening-kuning.

2.3.2.2 Bau dan rasa

Bau dan rasa dalam minyak terdapat secara alami, juga terjadi akibat

adanya asam-asam lemak berantai pendek akibat kerusakan minyak sedangkan

bau khas minyak kelapa sawit ditimbulkan oleh persenyawaan beta-iodin. Aroma

yang baik lazimnya untuk minyak adalah aroma khas minyak kelapa atau tidak

tengik.

2.3.2.3 Bilangan peroksida

Bilangan peroksida menyatakan terjadinya oksidasi dari minyak. Bilangan

peroksida berguna untuk penentuan kualitas minyak setelah pengolahan dan

penyimpanan. Pada pengolahan minyak dengan cepat dan tepat dari minyak yang

berkualitas baik, bilangan peroksidanya hampir mendekati nol. Peroksida akan

8

Page 9: Perbaikan II

meningkat sampai pada tingkat tertentu selama penyimpanan sebelum

penggunaan, yang jumlahnya tergantung pada waktu, suhu, dan kontaknya dengan

cahaya dan udara. Selama oksidasi, nilai peroksida meningkat secara lambat laun,

yang kemudian dengan cepat mencapai puncak. Tingginya bilangan peroksida

menandakan oksidasi yang berkelanjutan, tetapi rendahnya bilangan peroksida

bukan berarti bebas dari oksidasi. Pada suhu penggorengan, peroksida meningkat,

tetapi menguap dan meninggalkan sistem penggorengan pada temperatur yang

tinggi.

2.3.2.4 Kadar asam lemak bebas

Asam lemak bebas adalah suatu asam lemak oleat, linoleat, stearat, dan

lain-lain yang tidak terikat pada molekul gliserin. Kadar asam lemak bebas yang

rendah adalah pertanda dari minyak segar yang berkualitas. Di dalam pemurnian

minyak yang baik, tingkat asam lemak bebasnya kurang dari 0,05%. Asam lemak

bebas adalah hasil reaksi antara air dan lemak. Meningkatnya kadar asam lemak

bebas pada waktu penggorengan adalah terutama jumlah uap dari makanan selama

proses penggorengan dan suhu penggorengan. Faktor lain yang mempengaruhi

meningkatnya kadar asam lemak bebas termasuk dengan adanya remah-remah

makanan yang gosong di dalam minyak. Tingkat asam lemak bebas yang sangat

tinggi (sekitar 3-4%) bisa menghasilkan asap yang berlebih dan rasa yang tidak

sedap. Kadar asam lemak bebas dapat membantu dalam penilaian syarat dari

minyak yang berkualitas baik.

Minyak yang dihasilkan dari proses manapun yang digunakan selayaknya

aman untuk dikonsumsi. Secara nasional terdapat standar untuk minyak goreng

seperti yang tertera pada Tabel 1.

9

Page 10: Perbaikan II

Tabel 1. Standar Mutu Minyak Goreng Berdasarkan SNI-3741-1995

No Kriteria Persyaratan

1 Bau dan rasa Normal2 Warna Muda Jernih

3 Kadar air max 0,3%

4 Berat jenis 0,900 g/liter

5 Asam lemak bebas Max 0,3%

6 Bilangan peroksida Max 2 Meq/kg

7 Bilangan iod 45 – 46 mg/g

8 Bilangan penyabunan 196 – 206 mg/g

9 Index bias 1,448 - 1,450

1011

Cemaran logampH

Max 0,1 mg/kg, kecuali seng7

2.3.2.5 Tingkat keasaman dan pH

Trigliserida merupakan penyusun utama dalam minyak dengan kadar

normal yaitu 95-98 %. Trigliserida yang adalah komponen utama merupakan

gabungan dari ester sehingga memiliki tingkat keasaman yang netral (pH = 7),

dimana hal ini dapat dibuktikan melalui parameter pH. Minyak yang mengalami

penurunan kualitas akan memiliki tingkat pH yang rendah atau semakin asam.

Tingginya keasaman tersebut menunjukkan semakin banyaknya asam lemak

bebas dari minyak yang telah digunakan secara berulang.

2.4 Oksidasi Minyak Goreng

Kerusakan lemak terjadi karena otooksidasi radikal asam lemak tidak

jenuh dalam lemak. Otooksidasi dimulai dengan pembentukan radikal-radikal

bebas yang disebabkan oleh faktor-faktor yang dapat mempercepat reaksi seperti

cahaya, panas, peroksida lemak atau hidroperoksida, logam-logam berat seperti

Cu, Fe, Co, dan Mn, logam porfirin seperti hematin, hemoglobin, mioglobin,

klorofil dan enzim-enzim lipoksidase. Proses oksidasi minyak goreng secara

umum dapat dilihat pada gambar 3.

10

Page 11: Perbaikan II

Pada gambar di atas, sebuah atom hidrogen yang terikat pada suatu atom

karbon yang letaknya disebelah atom karbon lain yang mempunyai ikatan rangkap

dapat disingkirkan oleh suatu kuantum energi sehingga membentuk radikal bebas.

Kemudian radikal ini dengan O2 membentuk peroksida aktif yang dapat

membentuk hidroperoksida yang bersifat tidak stabil dan mudah pecah menjadi

senyawa dengan rantai karbon yang lebih pendek oleh radiasi energi tinggi, energi

panas, katalis logam atau enzim. Senyawa-senyawa dengan rantai C lebih pendek

ini adalah asam-asam lemak, aldehida-aldehida dan keton yang bersifat volatil dan

menimbulkan bau tengik pada lemak (Winarno, 1997).

2.5 Antioksidan

Antioksidan adalah senyawa-senyawa yang mampu menghilangkan,

membersihkan, menahan pembentukan ataupun memadukan efek spesies oksigen

reaktif (Lautan, 1997). Penggunaan senyawa antioksidan juga anti radikal saat ini

semakin meluas seiring dengan semakin besarnya pemahaman masyarakat tentang

peranannya dalam menghambat penyakit degeneratif seperti penyakit jantung,

arteriosclerosis, kanker serta gejala penuaan. Masalah-masalah ini berkaitan

dengan kemampuan antioksidan untuk bekerja sebagai inhibitor (penghambat)

reaksi oksidasi oleh radikal bebas reaktif yang menjadi salah satu pencetus

penyakit-penyakit di atas (Tahir dkk., 2003).

11

Gambar 3. Proses oksidasi pada minyak goreng (sumber: Winarno, 1997)

Page 12: Perbaikan II

Antioksidan dalam bahan makanan dapat berasal dari kelompok yang

terdiri atas satu atau lebih komponen pangan, substansi yang dibentuk dari reaksi

selama pengolahan atau dari bahan tambahan pangan yang khusus diisolasi dari

sumber-sumber alami dan ditambahkan ke dalam bahan makanan. Adanya

antioksidan alami maupun sintesis dapat menghambat laju oksidasi lipid,

mencegah kerusakan, perubahan dan degradasi komponen organik dalam bahan

makanan sehingga dapat memperpanjang umur simpan (Rohdiana, 2001).

Pada oksidasi lemak, peran zat antioksidan adalah memutus rantai reaksi

radikal bebas peroksi. Reaksi zat antioksidan dengan radikal peroksi akan

terbentuk radikal stabil dan tidak reaktif (Frankel, 1984). Sedangkan menurut

Schult (1962), mekanisme antioksidan dalam menghambat oksidasi atau

menghentikan reaksi bersantai pada radikal bebas dari lemak yang teroksidasi

dapat disebabkan oleh empat macam mekanisme reaksi, yaitu pelepasan hidrogen

dari antioksidan, pelepasan elektron dari antioksidan, adisi lemak ke cincin

aromatik pada antioksidan dan pembentukan senyawa kompleks antara lemak dan

cincin aromatik dari antioksidan.

Winarno (1997) membagi antioksidan menjadi dua golongan, yaitu :

a) Antioksidan primer

Antioksidan primer adalah suatu zat yang dapat menghentikan reaksi

berantai pembentukan radikal yang melepaskan hidrogen. Zat-zat yang termasuk

golongan ini dapat berasal dari alam dan dapat pula yang buatan atau sintetik.

Antioksidan alam antara lain adalah tokoferol, lesitin, fosfatida, sesamol, gosipol,

dan asam askorbat. Antioksidan alam yang paling banyak ditemukan pada minyak

nabati adalah tokoferol yang mempunyai keaktifan vitamin E dan terdapat dalam

bentuk , , , dan tokoferol. Tokoferol ini mempunyai banyak ikatan rangkap

yang mudah dioksidasi, sehingga akan melindungi lemak dan minyak dari

oksidasi.

Antioksidan sintetik ditambahkan ke dalam lemak atau bahan pangan

untuk mencegah ketengikan. Antioksidan sintetik yang banyak digunakan

sekarang adalah senyawa-senyawa fenol yang biasanya agak beracun. Karena itu

penambahan antioksidan ini harus memenuhi beberapa syarat, misalnya tidak

12

Page 13: Perbaikan II

berbahaya bagi kesehatan, tidak menimbulkan warna yang tidak diinginkan,

efektif pada konsentrasi rendah, larut dalam lemak, mudah didapat dan ekonomis.

Contoh antioksidan sintetik adalah BHA dan BHT.

Cara kerja antioksidan sintetik adalah dengan mendonorkan atom hidrogen

yang diperlukan untuk membentuk hidroperoksida. Pada proses ketengikan

biasanya diperoleh dari asam lemak tak jenuh. Molekul antioksidan akan

teroksidasi, tapi radikal bebas tidak terbentuk, karena molekul antioksidan bersifat

reaktif, sehingga molekul antioksidan akan terstabilkan dengan adanya

delokalisasi elektron. Mekanisme kerja dari antioksidan sintetik dapat dilihat pada

gambar 4 di bawah ini.

Gambar 4. Mekanisme kerja antioksidan sintetik

b) Antioksidan sekunder

Antioksidan sekunder adalah suatu zat yang dapat mencegah kerja

prooksidan sehingga dapat digolongkan sebagai sinergik. Beberapa asam organik

tertentu, biasanya asam di- atau trikarboksilat, dapat mengikat logam-logam.

Misalnya satu molekul asam sitrat akan mengikat prooksidan Fe seperti sering

dilakukan pada minyak kacang kedelai. EDTA adalah pengikat logam yang

sering digunakan dalam minyak salad.

2.5.1 Mekanisme kerja antioksidan

Kochhar et al. (1992) menggolongkan antioksidan berdasarkan mekanisme

kerjanya menjadi lima macam yaitu :

1) Antioksidan primer, yaitu antioksidan yang dapat memecah rantai mekanisme

oksidasi dengan cara bereaksi dengan radikal-radikal lemak dan mengubahnya

menjadi produk yang lebih stabil. Beberapa contoh antioksidan primer adalah

butylated hydroxyanisol (BHA), butylated hydroxy toluene (BHT) dan

tokoferol.

13

Page 14: Perbaikan II

2) Penangkap oksigen (oxygen scavenger), yaitu senyawa yang dapat bereaksi

dengan oksigen dan melepaskannya. Termasuk kelompok ini adalah asam

askorbat (vitamin C), asam erithorbat (D-isomer asam askorbat) dan garam

sodiumnya.

3) Antioksidan sekunder, yaitu antioksidan yang bekerja dengan cara bereaksi

dengan hidroperoksida lemak dan merubahnya menjadi produk yang lebih

stabil. Contoh antioksidan sekunder adalah dilauril tiopropionat.

4) Antioksidan berupa enzim, sebagai contoh glukosa oksidase, katalase dan

glutation peroxidase yang berfungsi memindahkan oksigen yang ada didalam

ataupun di permukaan bahan pangan. Contoh lainnya adalah superoksida

dismutase yang berfungsi mengeluarkan zat yang bersifat oksidatif tinggi dari

bahan pangan.

5) Senyawa pengkelat atau sekllestran, yaitu antioksidan yang bekerja dengan cara

mengikat ion logam (seperti tembaga dan besi) yang dapat meningkatkan reaksi

oksidasi lemak secara katalitik. Senyawa yang termasuk dalam kelompok ini

antara lain asam sitrat dan EDTA. Dugan (1985) menerangkan bahwa suatu

molekul antioksidan (AH) akan menghambat autooksidasi dengan cara bereaksi

dengan radikal-radikal bebas yang terbentuk seperti dapat dilihat pada Gambar

5.

Lebih lanjut Dugan (1985) menyatakan bahwa sifat fungsional antioksidan

sangat beragam. Beberapa jenis antioksidan akan meningkat sifat protektifnya

sejalan dengan peningkatan konsentrasi, sebaliknya adapula yang mempunyai

tingkat konsentrasi tertentu dimana bila melebihi batas tersebut fungsinya akan

14

Page 15: Perbaikan II

berubah menjadi prooksidan. Dengan demikian dibutuhkan suatu keseimbangan

antara jumlah antioksidan yang memberikan stabilitas lemak maksimum dengan

yang akan bereaksi untuk menghasilkan oksidasi yang intensif (Dugan, 1985).

Ranney (1979) mengklasifikasikan antioksidan menjadi 3 kelompok yaitu

antioksidan yang mempunyai gugus fenolik dan amina aromatik, antioksidan yang

mengandung atom sulfur, dan antioksidan yang dapat menginaktivasi logam.

Antioksidan yang paling umum digunakan adalah komponen fenolik tersubstitusi

seperti butylated hydroxyanisole (BRA), butylated hydroxy toluene (BRT) dan

tokoferol (vitamin E).

2.6. Kromatografi Gas-Spektrometer Massa (GC-MS)

Metode spektroskopi massa didasarkan pada pengubahan komponen

cuplikan menjadi ion-ion gas dan memisahkannya berdasarkan perbandingan

massa terhadap muatan (m/e). Spektroskopi massa dapat memberi informasi

kualitatif dan kuantitatif tentang susunan atom dan molekul zat-zat organik dan

anorganik. Dengan data spektrum IR, spektroskopi massa dapat digunakan untuk

menentukan struktur molekul senyawa organik dan untuk penentuan berat

molekul senyawa. Munculnya kromatogram pada GC-MS umumnya didasarkan

pada kenaikan berat molekul dan bertambahnya jumlah atom, dimana yang

mempunyai berat molekul rendah akan mempunyai titik didih rendah dan keluar

lebih dahulu. Alat spektrometer massa yang digunakan terdiri dari sistem

masukan, sumber ion, penganalisis massa, detektor, pengolahan sinyal dan

pembacaan (Hendayana, 1994).

2.7. Spektrofotometer Infra Merah Transformasi Fourier (FTIR)

Spektrum infra merah mengandung banyak serapan yang dihubungkan

dengan sistem vibrasi yang berinteraksi dalam molekul, dan karena mempunyai

karakteristik yang unik untuk setiap molekul, maka dalam spektrum ini juga akan

memberikan pita-pita serapan yang karakteristik juga. Bentuk pita ini dikenal

sebagai finger print dari molekul. Untuk mengidentifikasi senyawa yang tak

dikenal, seorang hanya perlu membandingkan spektrum infra merah dengan

15

Page 16: Perbaikan II

sederet spektrum standar yang dibuat pada kondisi yang sama. Hal ini dapat

dilakukan dengan pengujian sejumlah besar dari senyawa-senyawa yang telah

diketahui mengandung gugus fungsional, kita dapat mengetahui serapan-serapan

infra merah yang dikaitkan dengan gugus fungsional, kita dapat juga

memperkirakan kisaran frekuensi dalam mana setiap serapan harus muncul.

Sekarang kita bekerja sebaliknya, jika kita mempunyai senyawa yang tidak

diketahui yang memiliki gugus-gugus fungsional yang ingin diidentifikasi kita

dapat menguji struktur infra merahnya dan menggunakan data korelasi untuk

mendeduksi gugus fungsional apa yang terdapat pada sampel tersebut

(Sastrohamidjojo, 2001).

Tabel 2. Serapan khas beberapa gugus fungsi pada spektrofotometer FTIR

No Gugus Jenis Senyawa Daerah Serapan (cm-

1)1 C-H Alkana, Aldehid 2700 – 2900

2 C-H Alkena 3020 - 3080

3 C-H Aromatik 3000 – 3100

4 C-H Alkuna 3300

5 C=C Alkena 1640 – 1680

6 C=C Aromatik (cincin) 1500 – 1600

7 C-O Alkohol, Eter, Asam Karboksilat, Ester 1080 – 1300

8 C=O Aldehida, Keton, Asam Karboksilat, Ester 1690 – 1760

9 O-H Alkohol, Fenol(monomer) 3610 – 3640

10 O-H Alkohol, Fenol (ikatan h) 2000 - 3600 (lebar)

11 O-H Asam karboksilat 3000 - 3600 (lebar)

12 N-H Amina 3310 – 3500

13 C-N Amina 1180 – 1360

14 -NO2 Nitro 1515 – 1560

Peran utama spektroskopi infra merah dalam menganalisis data ialah

menentukan gugus fungsi senyawa yang diteliti. Bagian-bagian utama spektra

16

Page 17: Perbaikan II

infra merah yaitu daerah pokok (4000-1900 cm-1), daerah ini memiliki serapan

yang sangat jelas dan sederhana serta harus diinterpretasi. Daerah finger print/

sidik jari (1900-900 cm-1), pada daerah tersebut memiliki serapan kompleks

sehingga sulit diinterpretasi. Biasanya digunakan untuk menganalisis apakah

suatu senyawa identik atau tidak dengan memperhatikan kedudukan serapan

bukan intensitas serapan. Bagian pokok spektrofotometer infra merah adalah

sumber cahaya infra merah, monokromator dan detektor. Cahaya dari sumber

dilewatkan melalui cuplikan, dipecah menjadi frekuensi-frekuensi individunya

dalam monokromator dan intensitas relatif dari frekuensi individu diukur oleh

detektor.

Bila sinar infra merah dilewatkan melalui cuplikan senyawa organik, maka

sejumlah frekuensi diserap sedang frekuensi yang lain diteruskan/ditransmisikan

tanpa diserap. Jika kita menggambar antara persen absorbansi atau persen

transmitansi lawan frekuensi maka akan dihasilkan suatu spektrum infra merah.

17

Page 18: Perbaikan II

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Mei-Agustus 2012 bertempat

di Laboratorium Kimia Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Nusa Cendana.

3.2 Bahan dan Alat

3.2.1 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak goreng

curah, akuades, indikator kanji dan daun sirih hutan. Sedangkan bahan kimia yang

dipakai dalam penelitian ini adalah bahan yang berkualitas pro analisis, yaitu

CH3COOH glasial (Emerck), kloroform (Emerck), KI (Emerck), KIO3,

Na2S2O3.5H2O, Indikator fenolftalein (Emerck), Kanji, Natrium karbonat, Etanol

95%, HCl pekat, dan NaOH (Emerck).

3.2.2 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah seperangkat alat

distilasi uap, oven, neraca analitik, stopwatch, hot plate, pH indikator universal,

spektroskopi GC-MS, spektroskopi FTIR, dan peralatan gelas yang umum

digunakan di laboratorium.

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Pengambilan sampel

a). Minyak goreng

Sampel minyak goreng yang digunakan adalah minyak goreng curah, yang

diambil secara acak pada 3 tempat di Kota Kupang yakni Pasar Oesapa, Pasar

Oebobo, dan Pasar Inpres tanpa melihat waktu atau lama penyimpanan.

b). Daun sirih hutanSampel daun sirih hutan yang digunakan sebanyak 5 kg yang dikumpulkan

dari lingkungan Desa Tetaf, Kec. Kuatnana, Kab. TTS. Sampel daun sirih hutan

dibersihkan dan dikeringanginkan tanpa kontak langsung dengan matahari selama

18

Page 19: Perbaikan II

± 30 menit. Kemudian sampel dipotong-potong dengan tujuan agar luas

permukaan lebih besar sehingga dalam proses penguapan minyak atsiri yang

terdapat pada tiap jaringan lebih mudah terangkat bersama dengan uap air

3.3.2. Pengumpulan data

A. Isolasi minyak atsiri daun sirih hutan

Daun sirih hutan dimasukkan ke dalam dandang alat distilasi uap.

Dandang dirangkai dengan pendingin (kondensor), kemudian dipanaskan. Air

dialirkan pada kondensor dan dijaga agar air terus mengalir. Temperatur

kondensor dijaga tetap dingin dengan menambahkan es, sehingga minyak yang

menguap semuanya terembunkan dan tidak lepas ke udara. Destilat yang

diperoleh merupakan campuran minyak dengan air yang selanjutnya dipisahkan.

Hasil minyak atsiri yang diperoleh kemudian dianalisis dengan GC-MS untuk

mengetahui senyawa apa saja yang terkandung di dalam minyak atsiri daun sirih

hutan yang bersifat sebagai antioksidan.

B. Penentuan kualitas minyak goreng dengan penambahan antioksidan

minyak atsiri daun sirih hutan

Sampel minyak goreng dipanaskan pada suhu 1800C selama 15 menit.

Perlakuan ini diulang sebanyak 3 kali. Sampel minyak goreng yang lain sebanyak

50 gram ditambahkan minyak atsiri daun sirih hutan dengan konsentrasi masing-

masing sebesar 0,5%, 1% dan 2% dari berat sampel minyak goreng, kemudian

dipanaskan pada suhu 1800C selama 15 menit (perlakuan ini diulang 3 kali).

Sebagai kontrol, digunakan sampel minyak goreng yang tidak dipanaskan. Setelah

itu, ditentukan sifat fisika kimia minyak goreng yang meliputi bau, warna, pH,

bilangan peroksida, kadar asam lemak bebas, dan identifikasi komponen polar

untuk masing-masing sampel.

a) Bau

Pengukuran bau adalah pengukuran secara subjektif. Penentuan bau

dilakukan dengan menggunakan responden, dimana masing-masing responden

diminta untuk melakukan pembauan dan kemudian menyatakan ada atau tidak

19

Page 20: Perbaikan II

adanya perbedaan bau dalam kontrol maupun dalam sampel hasil perlakuan.

Jumlah responden adalah 11 orang.

b) Warna

Pengukuran warna adalah pengukuran secara visual. Penentuan warna

dilakukan dengan cara mengamati warna dari setiap sampel minyak goreng.

c) pH

Pengukuran pH pada minyak goreng dilakukan dengan menggunakan

indicator pH universal untuk masing-masing sampel.

d) Bilangan peroksida

Sebanyak 2,5 gram minyak goreng ditimbang di dalam erlenmeyer, lalu

dilarutkan di dalam 10 ml campuran asam asetat glasial dan kloroform (dengan

perbandingan 3:2). Setelah itu ditambahkan 0,25 ml larutan Kalium Iodida (KI)

jenuh sambil dikocok selama 2 menit, lalu ditambahkan 10 ml akuades.

Selanjutnya larutan dititrasi dengan Natrium Tiosulfat (Na2S2O3) 0,01 N sampai

terbentuk warna kuning muda. Kemudian ditambahkan indikator kanji, lalu

dititrasi kembali dengan Na2S2O3 sampai warna biru hilang. Prosedur ini

dilakukan pengulangan secara triplo.

Bilangan peroksida dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan :

Bilangan Peroksida= A x N x 1000G

A = Jumlah mL larutan Na2S2O3 untuk titrasi (mL)

N = Normalitas larutan Na2S2O3

G = Berat sampel minyak goreng (gram)

e). Kadar asam lemak bebas

Sebanyak 5 gram minyak goreng dilarutkan dalam 25 ml etanol 95%, lalu

dipanaskan selama 5 menit dalam penangas air sambil diaduk. Setelah itu

ditambahkan indikator fenolftalein dan dititrasi dengan larutan NaOH 0,1 N

sampai terbentuk warna merah muda yang tidak hilang selama 30 detik. Prosedur

ini dilakukan pengulangan secara triplo.

Kadar asam lemak bebas dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan :

Kadar Asamlemak bebas= A x N x BM asamlemakG x 1000

x100 %

20

Page 21: Perbaikan II

A = Jumlah mL larutan NaOH untuk titrasi (mL)

N = Normalitas larutan NaOH

G = Berat sampel minyak goreng (gram)

BM asam lemak = BM Asam Laurat (200 g/mol)

f). Identifikasi senyawa polar

Senyawa-senyawa polar akan terbentuk pada minyak goreng yang

dipanaskan. Untuk menentukan adanya senyawa polar dalam minyak goreng

maka dilakukan analisis menggunakan FTIR untuk masing-masing sampel.

3.3.3. Analisis data

Hasil pengukuran yang diperoleh berupa data bilangan peroksida dan

kadar asam lemak bebas dari minyak goreng hasil penambahan antioksidan alami

daun sirih hutan dibandingkan dengan standar mutu minyak goreng Berdasarkan

SNI-3741-1995.

21

Page 22: Perbaikan II

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Isolasi Minyak Atsiri Daun Sirih Hutan

Sampel antioksidan alami yang digunakan untuk menghambat kerusakan

minyak goreng dalam penelitian ini adalah daun sirih hutan. Daun sirih hutan

diperoleh dari lingkungan desa Tetaf, kec. Kuatnana, kab. TTS. Sebanyak 5 kg

sampel daun sirih hutan yang diperoleh kemudian dicuci dengan air untuk

menghilangkan pengotor-pengotor yang masih terdapat disekitar permukaan daun.

Sampel kemudian dikeringanginkan selama ± 30 menit, dan diiris serta

dimasukkan irisan daun sirih hutan ke dalam dandang yang terdapat air di

bawahnya. Pada penelitian ini metode penyulingan atau distilasi yang digunakan

adalah penyulingan menggunakan uap air. Air ditempatkan dalam suatu tempat

yang bagian bawah dan tengah berlobang-lobang yang ditopang di atas dasar alat

penyulingan. Bagian bawah alat penyulingan diisi air sedikit di bawah dimana

bahan ditempatkan. Bahan tanaman yang akan disuling hanya terkena uap, dan

tidak terkena air yang mendidih (Sastrohamidjojo, 2004).

Pengirisan tipis pada daun sirih hutan berfungsi agar luas permukaan

menjadi besar sehingga lebih efektif dalam proses penguapan, sebab minyak atsiri

yang terdapat pada tiap jaringan akan mudah terangkat bersama dengan uap air.

Penambahan air dilakukan untuk mempermudah menguapnya minyak atsiri.

Pada proses pendistilasian, dihasilkan uap minyak atsiri dan air secara

bersamaan, meskipun minyak dan air memiliki perbedaan titik didih yang tinggi.

Proses pemanasan dilakukan untuk menguapkan air, sehingga uap air

22

Page 23: Perbaikan II

dapat membawa minyak atsiri yang terkandung di dalam irisan daun sirih hutan.

Selama proses pemanasan, dilakukan pemantauan secara kontinyu terhadap

kondensornya. Kondensor disini bertindak sebagai pendingin uap hasil proses

pemanasan agar dapat menjadi cairan kembali. Pemantauan terhadap kondensor

dilakukan dengan terus mengganti air yang mengalir dalam kondensor ataupun

dengan memberikan es pada air yang mengalir pada kondensor dengan alasan agar

proses pendinginan uap untuk menjadi cairan kembali berjalan sempurna, karena

jika kondensornya terlalu panas maka proses pendinginan uap akan terhambat,

sehingga cairan yang seharusnya tertampung tidak terbentuk.

Hasil yang diperoleh dari distilasi berupa cairan yang terdiri dari air dan

minyak atsiri, dimana minyak atsiri daun sirih hutan berada di atas dan air berada

di bawah. Ketidaklarutan antara keduanya disebabkan karena adanya perbedaan

kepolaran, dimana air bersifat polar dan minyak atsiri daun sirih hutan bersifat

non polar. Posisi minyak atsiri yang berada di atas air disebabkan karena minyak

atsiri memiliki massa jenis yang cenderung lebih ringan daripada massa jenis air,

dimana massa jenis minyak atsiri daun sirih hutan sebesar 0,7148 g/mL (Parwata,

2011) sedangkan air memiliki massa jenis sebesar 1 g/mL. Setelah itu, minyak

atsiri dipisahkan dari air dan diperoleh minyak atsiri daun sirih hutan yang

berwarna kuning muda. Minyak atsiri daun sirih hutan yang diperoleh lalu

ditimbang dan didapat massanya sebesar 8,951 gram. Adapun rendemen minyak

atsiri daun sirih hutan adalah sebesar 0,1790% dari berat minyak atsiri daun sirih

hutan dibagi dengan berat sampel daun sirih hutan dikali 100%. Minyak atsiri

daun sirih hutan dapat dilihat pada gambar 6 di bawah ini :

23

Page 24: Perbaikan II

4.1.1 Senyawa-senyawa yang terkandung di dalam minyak atsiri daun sirih

hutan

Minyak atsiri yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan

GC-MS untuk mengetahui senyawa-senyawa yang terkandung di dalam minyak

atsiri daun sirih hutan yang diharapkan dapat berperan sebagai antioksidan.

Pemilihan penggunaan alat GC-MS dalam mendeteksi senyawa-senyawa dalam

minyak atsiri oleh karena analisis menggunakan GC dilakukan secara lebih

cermat, waktu yang dibutuhkan relatif singkat serta sampel yang dibutuhkan

relatif sedikit (beberapa miligram). Meskipun dengan sampel dalam

jumlah yang sangat kecil, komponen yang jumlahnya banyak,

dalam jumlah tersebut dengan mudah dapat dipisahkan dalam

bentuk kromatogram yang dapat memberikan informasi tidak hanya

kuantitasnya, tetapi juga identitasnya (Adnan, 1997). Sedangkan

24

Gambar 6. Minyak atsiri daun sirih hutan

Page 25: Perbaikan II

spektroskopi massa digunakan untuk menentukan berat molekul atau

rumus molekul atau juga mengidentifikasi senyawa dari pola fragmentasinya.

Hasil kromatogram GC menunjukkan terdapat 17 puncak senyawa yang

terdeteksi di dalam minyak atsiri daun sirih hutan. Hasil analisis minyak atsiri

daun sirih hutan dengan GC-MS ditunjukkan pada gambar 7 di bawah ini :

Gambar hasil kromatogram GC diatas terlihat bahwa terdapat 17 puncak

komponen atau senyawa yang terdeteksi dan diperkirakan itu merupakan

senyawa-senyawa yang terkandung di dalam minyak atsiri daun sirih hutan.

Adapun senyawa-senyawa tersebut dapat dilihat pada tabel 3 berikut:

Puncak Nama senyawa Waktu retensi (menit)

% Area

Rumus molekul

1 2-octanol acetate 11.769 1.98 C10H20O2

2 Methyl hydrocinnamate 12.597 2.21 C10H12O2

3 Delta-elemene 13.682 0.99 C15H24

4 Alpha-copaene 14.364 4.75 C15H24

5 Gamma-Gurjunene 14.585 9.54 C15H24

6 Trans-caryophyllene 15.268 28.31 C15H24

7 Alpha-humulene 15.665 11.27 C15H24

8 D-Germacrene 16.036 10.62 C15H24

9 delta-Guaiene 16.106 2.27 C15H24

10 Beta-bisabolene 16.208 6.68 C15H24

11 Sesquisabinene hydrate 16.423 2.72 C15H26O

25

Gambar 7 . Hasil kromatogram GC minyak atsiri daun sirih hutan

Page 26: Perbaikan II

12 Delta-cadinene 16.483 1.49 C15H24

13 cis-alpha-Bisabolene 16.636 4.10 C15H24

14 (-)-caryophyllene oxide 17.429 5.25 C15H24O15 N-cyclohexyl-

Cyclohexanamine22.456 1.41 C12H23N

16 Phytol 22.961 2.62 C20H40O17 - 23.450 3.79 C12H19NO

Hasil analisis menunjukkan bahwa senyawa-senyawa yang terkandung

dalam ekstrak daun sirih hutan adalah termasuk dalam golongan senyawa terpen.

Senyawa terpen adalah hidrokarbon yang mempunyai rumus empiris

C10H16 dan kelompok persenyawaan yang mengandung oksigen

dengan rumus C10H16O dan C10H18O. Istilah terpen pada saat ini

digunakan dalam dua arti, secara lebih luas meliputi semua

senyawa yang memiliki rumus bangun dengan unit kimia sederhana

isoprena (C5H8), dan secara lebih terbatas meliputi 12 senyawa

dengan jumlah atom C10 yang diturunkan dari C10H16. Anggota dari

kelompok C10 tersebut kadang-kadang disebut dengan nama

monoterpen. Taiz & Zeiger (2006) mengelompokkan senyawa

metabolit sekunder tumbuhan menjadi tiga kelompok besar yaitu

terpenoid, fenolik dan senyawa yang mengandung unsur N.

4.1.2 Senyawa yang diduga bersifat sebagai antioksidan

Senyawa yang bersifat antioksidan atau antiradikal bebas dapat diketahui

dari keaktifan dari golongan senyawa-senyawa yang berfungsi sebagai antiradikal

bebas ditentukan adanya gugus fungsi –OH (hidroksil) bebas dan ikatan rangkap

karbon karbon, seperti flavon, flavanon, skualen, tokoferol, β-karoten, vitamin C,

dan lain-lain (Djatmiko, dkk., 1998). Menurut sifat-sifat dari senyawa yang

26

Page 27: Perbaikan II

bertindak sebagai antioksidan maka dapat ditentukan bahwa dari 17 senyawa yang

terdapat pada tabel diatas, hanya terdapat 2 senyawa yang diduga sebagai zat

antioksidan yang akan digunakan untuk menghambat reaksi oksidasi pada

minyak. Senyawa tersebut adalah phytol dan N-cyclohexyl-Cyclohexanamine

yang berada pada puncak kromatogram nomor 16 dan 15, dengan waktu retensi

22.961 menit dan 22.456 menit, luas area 2.62 dan 1.41, berat molekul 296 m/z

dan 181 m/z, titik didih 752.1oK dan 563,43 oK, dan rumus molekul C20H40O dan

C12H23N. Struktur dari senyawa tersebut dapat dilihat pada gambar 8 di bawah ini :

Menurut Djatmiko, dkk (1998), keaktifan dari golongan senyawa-senyawa

yang berfungsi sebagai antiradikal bebas ditentukan dengan adanya gugus fungsi

–OH (hidroksil) bebas dan ikatan rangkap karbon-karbon, seperti flavon,

flavanon, skualen, tokoferol, karoten, vitamin C, dan lain-lain. Oleh karena itu,

senyawa yang terkandung di dalam minyak atsiri daun sirih hutan yang diduga

dapat berperan aktif sebagai senyawa antioksidan adalah senyawa phytol, karena

senyawa ini memiliki gugus fungsi –OH (hidroksil). Senyawa phytol dan N-

27

Page 28: Perbaikan II

cyclohexyl-Cyclohexanamine termasuk dalam golongan terpen hemiterpen,

monoterpen dan sesquiterpen yang merupakan komponen utama

minyak atsiri dan mudah menguap bersama air (Stahl, 1985).

Phytol dan karotin juga diketahui bersifat sebagai antioksidan dalam

menghambat oksidasi akibat sinar matahari pada proses pembentukan trigliserida

pada buah tumbuhan kelapa sawit (Damanik, 2008).

Phytol adalah golongan diterpenoid penting yang merupakan bagian

penting dari molekul klorofil (Robinson, 1995). Phytol selain diketahui bersifat

sebagai antioksidan, juga diketahui memiliki sifat sebagai antibakteri,

antimikroba, dan antifungi (Patmini, 2010). Phytol merupakan senyawa alkohol

diterpen asiklik, dan campuran dari bentuk cis dan trans dari 3, 7, 11, 15 tetrametil

-2-heksadesen-1-ol. Senyawa ini bisa digunakan sebagai adjuvant yang cukup

baik dan aman untuk memperbaharui komplemen antibody (Lim dkk., 2006).

Sedangkan untuk senyawa N-cyclohexyl-Cyclohexanamine merupakan cairan

tidak berwarna, bening dengan titik didih 256 derajat Celcius; digunakan sebagai

insektisida, penghambat karat, antioksidan, dan deterjen, dan sebagai pelunak dan

katalis (Anonim,_________).

4.1.3. Mekanisme reaksi penghambatan kerusakan minyak oleh antioksidan

Antioksidan hanya berfungsi sebagai penghambat reaksi oksidasi dan tidak

dapat menghentikan sama sekali proses autooksidasi pada lemak sehingga pada

akhir proses ketengikan akan selalu terjadi. Atom hidrogen yang terdapat pada

gugus tersebut dapat disumbangkan untuk dapat bereaksi dengan senyawa-

senyawa radikal bebas yang bersifat sangat reaktif. Antioksidan dapat menetralisir

radikal bebas sehingga atom dengan elektron yang tidak berpasangan, mendapat

28

Page 29: Perbaikan II

pasangan elektron sehingga tidak liar lagi. Adapun reaksi yang dapat terjadi antara

senyawa phytol dan N-cyclohexyl-Cyclohexanamine dengan radikal bebas dapat

dilihat pada gambar berikut:

Dari penelitian ini dapat diduga bahwa pada daun sirih hutan, antioksidan

yang ada bersifat menghambat kerja radikal bebas. Antioksidan menghambat

kerja radikal bebas dengan cara menyerahkan elektron dari atomnya kepada

radikal bebas untuk berikatan dengan elektron yang tidak berpasangan (tunggal)

dari radikal bebas tanpa menjadi radikal bebas baru (BERNARDUS,________).

Efek antioksidan ditentukan oleh kemampuan gugus –NH dan –OH dalam

mendonorkan proton (H+) untuk berikatan dengan radikal bebas (ROO-).

Antioksidan menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi kekurangan

elektron yang dimiliki radikal bebas, dan menghambat terjadinya reaksi berantai

dari pembentukan radikal bebas.

Cara antioksidan mencegah atau menghentikan proses oksidasi antara lain

dengan menetralkan oksigen untuk mencegah terbentuknya peroksida atau

29

Page 30: Perbaikan II

menangkap senyawa yang dapat mengionisasi terbentuknya peroksida dengan

pemindahan hidrogen.

4.2. Penentuan Kualitas Minyak Goreng Dengan Penambahan Antioksidan

Minyak Atsiri Daun Sirih Hutan

4.2.1 Bau

Bau terdapat secara alami dalam minyak dan juga terjadi karena

pembentukan asam-asam yang berantai sangat pendek hasil penguraian pada

kerusakan minyak. Umumnya minyak apabila dibiarkan lama di udara, lebih-lebih

dengan pemanasan tinggi akan menimbulkan rasa dan bau yang tidak enak. Hal

ini disebabkan oleh adanya asam lemak bebas hasil proses hidrolisis enzim dan

oksidasi akibat penyimpanan yang salah. Oksidasi asam lemak tidak jenuh akan

menghasilkan peroksida dan selanjutnya akan terbentuk aldehida dan keton. Bau

tengik terutama disebabkan oleh aldehid dan keton (Ketaren, 1986). Kelembaban

udara, cahaya, suhu tinggi dan adanya bakteri perusak adalah faktor-faktor yang

juga dapat menyebabkan turun kualitas minyak goreng (Poedjiadi, 1994).

Tabel 4. Hasil pembauan minyak

Sampel

Intensitas bau

Pasar oesapa Pasar oebobo Pasar inpres

Minyak goreng tanpa pemanasan

Aroma minyak Aroma minyak Aroma minyak

Minyak goreng dengan pemanasan + 0,5% minyak atsiri daun sirih hutan

Aroma minyak atsiri daun sirih hutan

Aroma minyak atsiri daun sirih hutan

Aroma minyak atsiri daun sirih hutan

Minyak goreng dengan pemanasan + 0,5%

Aroma minyak atsiri daun sirih

Aroma minyak atsiri daun sirih

Aroma minyak atsiri daun sirih

30

Page 31: Perbaikan II

minyak atsiri daun sirih hutan

hutan hutan hutan

Minyak goreng dengan pemanasan + 0,5% minyak atsiri daun sirih hutan

Aroma minyak atsiri daun sirih hutan

Aroma minyak atsiri daun sirih hutan

Aroma minyak atsiri daun sirih hutan

Minyak goreng dengan pemanasan

Aroma minyak tengik

Aroma minyak tengik

Aroma minyak tengik

Dari tabel diatas menunjukkan hasil pembauan dari ketiga sampel minyak

goreng yang masing-masing dilakukan oleh 11 responden. Untuk minyak goreng

tanpa pemanasan, aroma yang tercium adalah aroma minyak goreng. Hal ini

membuktikan bahwa minyak goreng tanpa pemanasan untuk ketiga sampel belum

sepenuhnya teroksidasi membentuk senyawa-senyawa asam lemak rantai pendek,

aldehid dan keton. Sedangkan untuk minyak goreng yang dipanaskan, aroma yang

dihasilkan adalah aroma minyak goreng tengik. Hal ini disebabkan karena minyak

mengalami oksidasi selama pemanasan. Proses tersebut dapat membentuk radikal

bebas dan senyawa toksik yang bersifat racun. Oksidasi dari asam lemak tidak

jenuh pada minyak goreng menghasilkan peroksida dan selanjutnya akan

terbentuk senyawa-senyawa aldehid, keton, hidrokarbon, alkohol serta senyawa

aromatis yang mempunyai bau tengik. Hal inilah yang menyebabkan minyak

goreng berbau tengik. Bau tengik dapat pula terjadi karena penyimpanan yang

salah dalam jangka waktu tertentu menyebabkan pecahnya ikatan trigliserida

menjadi gliserol dan FFA (free fatty acid) atau asam lemak jenuh (Ketaren, 1986).

Pada minyak goreng yang ditambahkan minyak atsiri daun sirih hutan

dengan konsentrasi 0,5;1; dan 2% kemudian dipanaskan pada suhu 180°C, aroma

31

Page 32: Perbaikan II

yang tercium oleh semua responden untuk masing-masing sampel minyak goreng

adalah aroma minyak atsiri daun sirih hutan. Hal ini disebabkan karena minyak

atsiri bersifat sebagai antioksidan yang mampu melindungi dan menghambat laju

oksidasi minyak selama pemanasan. Oleh sebab itu, secara fisik parameter bau

dapat menjelaskan pengaruh dari penambahan minyak atsiri daun sirih hutan

terhadap minyak goreng yang teroksidasi secara termal sehingga tidak dihasilkan

bau tengik pada minyak goreng tersebut.

Ketengikan terjadi karena asam lemak pada suhu ruang dirombak akibat

hidrolisis atau oksidasi menjadi hidrokarbon, alkanal atau keton, serta sedikit

epoksi dan alkohol (alkanol). Bau yang kurang sedap muncul akibat campuran

dari berbagai produk ini.

4.2.2 Warna

Zat warna terdapat secara alamiah didalam bahan yang mengandung

minyak dan ikut terekstrak bersama minyak pada proses ekstraksi. Zat warna

tersebut antara lain α dan β karoten, xantofil, klorofil, dan antosianin. Zat warna

ini menyebabkan minyak berwarna kuning, kuning kecoklatan, kehijau-hijauan

dan kemerah-merahan. Pigmen berwarna kuning disebabkan oleh karotenoid yang

bersifat larut dalam minyak. Karotenoid bersifat tidak stabil pada suhu tinggi, dan

jika minyak dialiri uap panas, maka warna kuning akan hilang. Sedangkan warna

gelap disebabkan oleh proses oksidasi terhadap tokoferol (vitamin E). Warna

gelap ini dapat terjadi selama proses pengolahan dan penyimpanan, yang

disebabkan oleh beberapa faktor seperti suhu pemanasan yang terlalu tinggi,

pengepresan bahan yang mengandung minyak dengan tekanan dan suhu yang

32

Page 33: Perbaikan II

tinggi (Ketaren, 2005). Hasil pengamatan warna minyak goreng dapat dilihat pada

tabel 5 dan gambar 12 di bawah ini:

Tabel 5. Hasil pengamatan warna minyak goreng

Sampel

Intensitas warna

Pasar oesapa Pasar oebobo Pasar inpres

Minyak goreng tanpa pemanasan

Kuning jernih Kuning jernih Kuning jernih

Minyak goreng dengan pemanasan + 0,5% minyak atsiri daun sirih hutan

Kuning muda Kuning muda Kuning muda

Minyak goreng dengan pemanasan + 0,5% minyak atsiri daun sirih hutan

Kuning muda Kuning muda Kuning muda

Minyak goreng dengan pemanasan + 0,5% minyak atsiri daun sirih hutan

Kuning muda Kuning muda Kuning muda

Minyak goreng dengan pemanasan

Kuning kecoklatan

Kuning kecoklatan

Kuning kecoklatan

33

Gambar 12.a Perubahan warna yang terjadi pada minyak goreng curah di pasar oesapa

Gambar b. Perubahan warna yang terjadi pada minyak goreng curah di pasar oebobo

Page 34: Perbaikan II

Dari gambar diatas menunjukkan bahwa minyak goreng tanpa pemanasan

berwarna kuning jernih, jika dibandingkan dengan minyak goreng yang telah

dipanaskan telah mengalami penurunan kualitas yang ditandai dengan perubahan

warna yang awalnya berwarna kuning jernih berubah menjadi berwarna kuning

kecoklatan. Hal ini disebabkan karena selama proses pemanasan pada suhu tinggi

terjadi proses oksidasi terhadap senyawa tokoferol (vitamin E) (Ketaren, 2005),

yang menyebabkan terjadinya penurunan kadar β karoten dari masing-masing

sampel minyak goreng. Akan tetapi, minyak goreng yang dipanaskan dan

ditambahkan minyak atsiri daun sirih hutan dengan konsentrasi 0,5;1; dan 2%

untuk masing-masing sampel tidak terjadi perubahan warna. Warna yang

dihasilkan berwarna kuning muda. Hal ini dikarenakan minyak atsiri daun sirih

hutan bersifat sebagai antioksidan yang mampu mempertahankan warna minyak

goreng dan menghambat laju oksidasi minyak goreng yang menyebabkan vitamin

34

Gambar c. Perubahan warna yang terjadi pada minyak goreng curah di pasar inpres

Page 35: Perbaikan II

dan senyawa-senyawa essensial dalam minyak menjadi rusak dan mengalami

perubahan warna. Warna minyak yang paling kuning didapat pada minyak goreng

yang ditambahkan minyak atsiri daun sirih hutan 1% dan 2%. Hal ini disebabkan

karena semakin tinggi konsentrasi minyak atsiri yang ditambahkan, semakin besar

pula pengaruhnya dalam mempertahankan kualitas minyak.

Zat warna yang terdapat pada minyak goreng terdiri dari 2 golongan,

golongan pertama yaitu zat warna alamiah, yaitu secara alamiah terdapat dalam

bahan yang mengandung minyak dan ikut terekstrak bersama minyak pada proses

ekstraksi. Zat warna tersebut antara lain α dan β karoten (berwarna kuning),

xantofil, (berwarna kuning kecoklatan), klorofil (berwarna kehijauan) dan

antosianin (berwarna kemerahan). Golongan kedua yaitu zat warna dari hasil

degradasi zat warna alamiah, yaitu warna gelap disebabkan oleh proses oksidasi

terhadap tokoferol (vitamin E), warna cokelat disebabkan oleh bahan untuk

membuat minyak yang telah busuk atau rusak, warna kuning umumnya terjadi

pada minyak tidak jenuh.

Warna gelap pada minyak selain disebabkan oleh proses oksidasi terhadap

tokoferol (vitamin E), juga dapat terjadi selama proses pengolahan dan

penyimpanan.

4.2.3 pH

Minyak goreng merupakan trigliserida yang pada kondisi segar (belum

digunakan untuk menggoreng) memiliki komposisi asam lemak tertentu.

Trigliserida merupakan komponen penyusun utama dari minyak atau lemak

dengan kadar normal yaitu 95-98% yang merupakan gabungan dari ester dengan

35

Page 36: Perbaikan II

tingkat keasaman yang netral (pH = 7). Minyak goreng yang telah digunakan

berulang kali, terlebih pada pemanasan dengan suhu tinggi dalam waktu yang

lama akan meningkatkan jumlah asam lemak bebas dalam minyak (Andarwulan,

1991). Hal ini juga disebabkan karena minyak goreng telah teroksidasi sehingga

terbentuk senyawa aldehid, keton, dan asam-asam lemak bebas (Ketaren, 1986).

Terbentuknya asam lemak bebas pada minyak inilah yang merupakan penyebab

meningkatnya nilai keasaman pada minyak goreng tersebut. Dari data hasil

pengukuran pH untuk masing-masing sampel dapat dilihat pada tabel 6 di bawah

ini:

Tabel 6. Hasil pengukuran pH minyak goreng

Sampel

pH

Pasar

oesapa

Pasar

oebobo

Pasar

inpres

A 5 5 5

B 6 6 6

C 6 6 6

D 6 6 6

E 7 7 7

Hasil pengukuran nilai keasaman minyak goreng pada kontrol untuk

masing-masing sampel memiliki pH netral. Hal ini disebabkan karena minyak

tersebut memiliki kualitas yang baik dimana kadar trigliseridanya tinggi yang

dibuktikan dengan tingkat keasaman yang netral, sedangkan untuk pengukuran

nilai keasaman pada minyak yang dipanaskan menunjukkan bahwa minyak

goreng hasil pemanasan pada suhu 180°C selama 15 menit diperoleh nilai pH

36

Page 37: Perbaikan II

minyak goreng sebesar 5. Nilai ini menunjukkan bahwa mutu minyak goreng

sudah tidak baik lagi, sehingga menyebabkan terjadinya penurunan nilai pH. Hal

ini disebabkan oleh oksidasi pada minyak goreng akibat pemanasan menyebabkan

terbentuknya senyawa-senyawa aldehid, keton, dan asam-asam lemak bebas.

Terbentuknya asam-asam lemak bebas inilah yang dapat meningkatkan kadar

keasaman pada minyak goreng.

Hasil penambahan antioksidan berturut-turut sebesar 0,5;1; dan 2%

ternyata mampu menurunkan nilai keasaman minyak goreng. Ini diduga

disebabkan oleh sumbangan gugus -OH pada senyawa phytol dan N-cyclohexyl-

Cyclohexanamine.

Dari hasil pengamatan parameter pH minyak goreng pada masing-masing

sampel minyak goreng di pasar oesapa, pasar oebobo, dan pasar inpres yang

ditunjukkan pada tabel 6 diatas dengan menggunakan pH indikator universal

menunjukkan bahwa sampel minyak goreng yang ditambahkan minyak atsiri daun

sirih hutan berturut-turut sebesar 0,5;1; dan 2% memiliki nilai pH yang lebih

besar, masing-masing sampel minyak goreng memiliki pH sebesar 6,

dibandingkan dengan minyak goreng yang tidak ditambahkan antioksidan dan

juga mampu menurunkan nilai keasaman minyak goreng. Ini diduga disebabkan

oleh sumbangan atom hidrogen dari gugus –OH dan –NH pada senyawa phytol

dan N-cyclohexyl-Cyclohexanamine untuk bereaksi dengan senyawa radikal

bebas yang terbentuk pada minyak goreng dan mereduksi peroksida dan atau

menghentikan reaksi berantai dengan melengkapi kekurangan elektron yang

dimiliki radikal bebas dan menghambat reaksi oksidasi lainnya dengan sendirinya

37

Page 38: Perbaikan II

teroksidasi, menurunkan konsentrasi oksigen, dan mencegah rantai inisiasi

pertama dengan mengikat radikal bebas, sehingga senyawa-senyawa asam lemak

bebas yang terbentuk dan dapat menurunkan nilai pH pada minyak goreng dapat

dihambat/dicegah.

4.2.4 Bilangan peroksida

Penentuan bilangan peroksida merupakan salah satu jenis parameter uji

ketengikan yang dilakukan dalam penelitian ini. Bilangan peroksida sendiri

mempunyai arti yaitu, bilangan yang ditentukan berdasarkan jumlah iodine yang

dibebaskan dari KI melalui reaksi oksidasi oleh peroksida dalam lemak/minyak

pada suhu ruang dalam medium asam asetat dan kloroform. Tujuan dari

penentuan bilangan peroksida adalah untuk mengetahui tingkat kerusakan minyak,

dimana kerusakan ini diakibatkan oleh reaksi oksidasi yang menghasilkan

peroksida, asam lemak, aldehid dan keton. Bilangan peroksida dinyatakan sebagai

miliequivalen peroksida tiap kg minyak. Bilangan peroksida juga ditentukan

berdasarkan jumlah mL sodium tiosulfat yang dibutuhkan untuk mengikat iod

yang dibebaskan dari potasium iodida, dalam setiap 1 gram lemak yang digunakan

dalam penelitian. Pada umumnya, minyak yang masih baru/bagus memiliki

bilangan peroksida sebesar 0, kecuali pada minyak yang sudah agak lama. Hal ini

karena pada minyak yang masih baru belum terjadi ketengikan.

Derajat ketengikan dapat ditentukan dengan pengukuran senyawa-senyawa

hasil oksidasi yang terdapat dalam lemak. Ketengikan dapat terjadi bila komponen

cita rasa dan bau yang mudah menguap mengalami proses oksidasi pada lemak

dan minyak yang tak jenuh. Proses oksidasi tersebut yang menyebabkan

timbulnya bau tengik pada minyak. Tetapi hal tersebut dapat diatasi dengan

38

Page 39: Perbaikan II

menambahkan senyawa antioksidan untuk menangkap senyawa radikal bebas.

Pada proses titrasi sampel, terjadi pelepasan iodine (I2), adapun reaksi yang terjadi

adalah sebagai berikut:

Hasil titrasi diatas ditambahkan dengan amilum pada setengah reaksi

dengan tujuan untuk memperjelas hasil titrasi. Penambahan dilakukan pada

setengah titrasi karena bila ditambahkan sejak awal, maka amilum akan

menyelubungi I2 dan menghambat reaksi I2 dengan sodium tiosulfat. Hasil

penambahan diperoleh warna biru yang kemudian dititrasi kembali hingga warna

biru tepat hilang. Menurut Winarno (1997) mengatakan bahwa warna biru yang

terbentuk setelah penambahan amilum, dikarenakan struktur molekul amilum

yang berbentuk spiral, sehingga akan mengikat molekul iodine sehingga

terbentuklah warna biru. Dari hasil penelitian bilangan peroksida dapat dilihat

pada tabel 7 dan pada penelitian ini, dilakukan titrasi dengan pengulangan

sebanyak 3 kali untuk masing-masing sampel dari ketiga minyak goreng (pasar

oesapa, oebobo, dan inpres).

Tabel 7. Hasil pengukuran bilangan peroksida

Sampel

Bilangan peroksida (meq/1 kg minyak)

Pasar oesapa Pasar oebobo Pasar inpres

Rata-rata Rata-rata Rata-rata

A 16,5095 18,7479 18,6041

B 13,4465 15,1520 15,9664

C 12,1122 13,6913 13,7619

39

Page 40: Perbaikan II

D 10,6409 11,9618 12,0557

E 7,998 9,6975 9,0319

Berdasarkan tabel 7 diatas, dapat dilihat bahwa bilangan peroksida pada

kontrol minyak goreng untuk masing-masing sampel yaitu sebesar 7,998 (pasar

oesapa), 9,6975 (pasar oebobo), dan 9,0319 (pasar inpres) melebihi batas kadar

bilangan peroksida pada minyak goreng yang beredar di pasaran. Kerusakan

minyak ini diduga disebabkan oleh kesalahan dalam penyimpanan, pengemasan

menggunakan plastik selama distribusi minyak goreng curah di pasaran.

Penyimpanan yang salah dalam jangka waktu tertentu serta penggunaan kemasan

yang tidak sesuai dapat menyebabkan pecahnya ikatan trigliserida pada minyak

lalu membentuk gliserol dan asam lemak bebas (Ketaren, 1986).

Untuk minyak goreng dengan pemanasan tanpa penambahan minyak

atsiri daun sirih hutan mengalami kenaikan bilangan peroksida paling tinggi untuk

masing-masing sampel yaitu 16,5095, 18,7479, dan 18,6041 dibandingkan

minyak goreng dengan penambahan minyak atsiri daun sirih hutan sebanyak

0,5;1;2%. Hal ini menunjukkan bahwa proses oksidasi pada minyak goreng

dengan pemanasan tanpa penambahan minyak atsiri daun sirih hutan berlangsung

dengan cepat, yaitu mulai terbentuknya radikal minyak goreng akibat reaksi antara

minyak goreng dengan oksigen pada ikatan rangkapnya secara terus-menerus.

Radikal inilah yang akan membentuk radikal peroksida bila bereaksi dengan

oksigen. Radikal peroksida yang terbentuk dapat menulari minyak goreng yang

belum rusak sehingga menghasilkan senyawa hidroperoksida serta dapat pula

memecah diri membentuk radikal bebas. Oleh karena itu bilangan peroksida terus

meningkat selama proses pemanasan, yang menyebabkan minyak goreng

40

Page 41: Perbaikan II

mengalami proses dekomposisi peroksida, dimana peroksida akan diubah menjadi

berbagai macam produk seperti aldehida, asam berantai pendek, keton, dan radikal

bebas. Senyawa-senyawa hasil dekomposisi peroksida ini bersifat volatil sehingga

akan mudah menguap. Senyawa inilah yang menyebabkan minyak menjadi rusak

dan menimbulkan bau tidak sedap dan tengik pada pada minyak goreng yang

dipanaskan.

Penambahan minyak atsiri daun sirih hutan pada masing-masing sampel

minyak goreng sebanyak 0,5;1;2% mampu menekan peningkatan bilangan

peroksida sesuai dengan keefektifan masing-masing antioksidan maupun tingkat

konsentrasi yang diberikan. Antioksidan yang paling efektif merupakan

antioksidan yang mampu menahan oksidasi yang ditunjukkan dengan kenaikan

bilangan peroksida yang paling kecil. Dari tabel diatas untuk masing-masing

sampel, dapat dilihat bahwa minyak atsiri daun sirih hutan memberikan efektifitas

antioksidan yang paling baik pada penambahan 2% minyak atsiri daun sirih hutan

dengan penurunan sebesar 35,5468% (dari 16,5095 ke 10,6409)(pasar oesapa),

36,1965% (dari 18,7479 ke 11,9618) (pasar oebobo), dan 35,1986% (dari 18,6041

ke 12,0557) (pasar inpres).

Penambahan minyak atsiri daun sirih hutan dengan konsentrasi 0.5%,

memiliki bilangan peroksida yang terendah dari masing-masing sampel minyak

goreng yaitu penurunan sebesar 18,5529% (dari 16,5095 ke 13,4465) (pasar

oesapa), 19,1802% (dari 18,7479 ke 15,1520) (pasar oebobo), 14,1780% (dari

18,6041 ke 15,9664) (pasar inpres). Sedangkan, minyak goreng yang ditambahkan

dengan 1% minyak atsiri daun sirih hutan besar penurunannya adalah 26,6349%

41

Page 42: Perbaikan II

(dari 16,5095 ke 12,1122) (pasar oesapa), 26,9715% (dari 18,7479 ke 13,6913)

(pasar oebobo), 26,0275% (dari18,6041 ke 13,7619) (pasar inpres). Minyak atsiri

daun sirih hutan memiliki pengaruh yang baik dalam menghambat kenaikan

bilangan peroksida dengan melihat penurunan bilang peroksida pada tabel 7

diatas. Hal ini karena minyak atsiri daun sirih hutan bersifat sebagai antioksidan

yang dapat memperlambat laju autooksidasi dengan mengubah radikal asam

lemak ke bentuk yang lebih stabil (Gordon, 1990). Terjadinya kestabilan radikal

asam lemak ini diduga karena adanya sumbangan atom hidrogen yang diduga

berasal dari gugus –OH dan -NH pada senyawa phytol dan N-cyclohexyl-

Cyclohexanamine, dimana atom hidrogen akan berikatan dengan radikal asam

lemak bebas, sehingga radikal asam lemak bebas menjadi tidak reaktif dan dapat

mencegah terjadinya reaksi oksidasi berantai pada minyak goreng.

4.2.5 Kadar asam lemak bebas

Angka asam yang besar menunjukkan banyaknya asam lemak bebas dalam

minyak, yang berasal dari proses oksidasi dan hidrolisis minyak. Makin tinggi

angka asam maka kualitas minyaknya makin rendah (mudah rusak). Angka

keasaman merupakan salah satu indikator penting penentuan mutu minyak

goreng. Mutu minyak goreng curah berdasarkan pengujian besarnya angka asam

kurang dari 0,3%. Persen (%) asam lemak bebas yang rendah pertanda dari

minyak segar yang berkualitas. Oleh karena itu, semakin tinggi kadar asam lemak

bebas, maka daya tahan minyak terhadap oksidasi akan semakin rendah

(Mangoensoekardjo, 2003). Hal ini yang menyebabkan kualitas dari minyak

goreng tersebut semakin rendah.

42

Page 43: Perbaikan II

Dari hasil penelitian kadar asam lemak bebas dapat dilihat pada tabel 8

dan pada penelitian ini, dilakukan titrasi dengan pengulangan sebanyak 3 kali

untuk masing-masing sampel dari ketiga minyak goreng (pasar oesapa, oebobo,

dan inpres) yang digunakan.

Tabel 8. Hasil pengukuran kadar asam lemak bebas (%)

Sampel

Kadar asam lemak bebas (%)

Pasar oesapa Pasar oebobo Pasar inpres

Rata-rata Rata-rata Rata-rata

A 0,44 0,49 0,47

B 0,32 0,31 0,41

C 0,26 0,28 0,33

D 0,21 0,24 0,26

E 0,22 0,2 0,22

Seperti pada bilangan peroksida, kadar asam lemak bebas pada kontrol

minyak goreng juga melebihi batas kadar, adanya asam lemak bebas pada minyak

goreng yang beredar di pasaran. Kerusakan minyak ini diduga disebabkan oleh

kesalahan dalam penyimpanan, pengemasan menggunakan plastik selama

distribusi minyak goreng curah di pasaran. Penyimpanan yang salah dalam

jangka waktu tertentu serta penggunaan kemasan yang tidak sesuai dapat

menyebabkan pecahnya ikatan trigliseri pada minyak kemudian membentuk

gliserol dan asam lemak bebas (Ketaren, 1986).

Peningkatan jumlah asam lemak bebas ini terjadi bila minyak goreng

teroksidasi ataupun terhidrolisis sehingga mengakibatkan ikatan rangkap yang ada

43

Page 44: Perbaikan II

dalam minyak akan pecah. Pecahnya ikatan rangkap ini lama-kelamaan akan

membuat minyak goreng menjadi semakin jenuh. Data kadar angka asam lemak

bebas dari ketiga pasar diatas yang cukup tinggi membuat peneliti menduga

bahwa

Kontrol minyak goreng pada masing-masing sampel terdapat asam lemak

bebas sebesar 0,22%, 0,2%, dan 0,22%, ini diduga disebabkan oleh penggunaan

kemasan plastik tembus pandang, sebab penggunaan plastik jenis ini dapat

mengakibatkan kontak langsung dengan udara dan cahaya matahari. udara dan

cahaya matahari dapat mengakibatkan oksidasi pada minyak goreng (Octaviani,

2009).

Dari data diatas menunjukkan bahwa untuk minyak goreng dengan

pemanasan tanpa penambahan minyak atsiri daun sirih hutan untuk masing-

masing sampel memiliki kadar asam lemak bebas sebesar 0,44% (pasar oesapa),

0,49% (pasar oebobo), 0,47% (pasar inpres), tingginya kadar asam lemak bebas

yang diperoleh disebabkan karena terbentuknya asam-asam rantai pendek akibat

adanya proses oksidasi sebagai hasil dekomposisi senyawa peroksida dan

hidroperoksida. Hal ini menunjukkan bahwa proses dekomposisi peroksida dari

hasil oksidasi berlangsung tanpa hambatan sehingga menghasilkan bilangan asam

yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol dan penambahan minyak atsiri

daun sirih hutan. Dimana, tahap dekomposisi peroksida berlangsung ketika

hampir semua minyak telah diubah menjadi radikal maupun peroksida, sehingga

peroksida yang terbentuk tersebut akan mulai terdekomposisi menjadi berbagai

macam produk seperti radikal bebas, aldehida, keton, dan asam-asam rantai

44

Page 45: Perbaikan II

pendek. Asam-asam rantai pendek yang terbentuk ini, apabila terakumulasi akan

menyebabkan peningkatan bilangan asam.

Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa besarnya penurunan kadar

asam lemak bebas pada masing-masing sampel minyak goreng yaitu pada

penambahan 2% minyak atsiri daun sirih hutan, yaitu dari 0,44% menjadi 0,21%

(52,2727%) untuk pasar oesapa, dari 0,49% menjadi 0,24% (51,0204%) untuk

pasar oebobo, dan dari 0,47% menjadi 0,26% (44,6808%) untuk pasar inpres.

Sedangkan, untuk minyak goreng pada penambahan 1% minyak atsiri daun sirih

hutan, yaitu dari 0,44% menjadi 0,26% (40,9090%) untuk pasar oesapa, dari

0,49% menjadi 0,28% (42,8571%) untuk pasar oebobo, dan dari 0,47% menjadi

0,33% (29,7872%) untuk pasar inpres dan untuk minyak goreng dengan

penambahan 0,5% minyak atsiri daun sirih hutan, yaitu dari 0,44% menjadi 0,32%

(27,2727%) untuk pasar oesapa, dari 0,49% menjadi 0,31% (36,7346%) untuk

pasar oebobo, dan dari 0,47% menjadi 0,41% (12,7659%) untuk pasar inpres.

Besarnya penurunan kadar asam lemak bebas yang diperoleh sangat dipengaruhi

oleh jumlah konsentrasi minyak atsiri daun sirih hutan yang ditambahkan pada

masing-masing sampel minyak goreng, dimana Semakin tinggi konsentrasi yang

ditambahkan, kadar asam lemak bebas yang dihasilkan semakin menurun, namun

menurut Gordon (1990), penambahan antioksidan dengan konsentrasi yang terlalu

tinggi khususnya untuk antioksidan golongan fenolik justru mengakibatkan

terjadinya prooksidan atau lenyapnya kemampuan antioksidan.

Hasil analisis diatas menunjukkan bahwa minyak atsiri daun sirih hutan

memiliki sifat antioksidan, dimana senyawa yang diduga berperan adalah phytol

45

Page 46: Perbaikan II

dan N-cyclohexyl-Cyclohexanamine. Gugus –OH dan –NH pada senyawa ini

dapat menyumbangkan atom hidrogen untuk berikatan dengan senyawa radikal

asam lemak pada minyak goreng, sehingga dapat mencegah terjadinya reaksi

oksidasi berantai dan menghambat pembentukan dari asam-asam lemak bebas di

dalam minyak goreng. Sehingga , kadar asam lemak bebas dalam minyak goreng

dapat ditekan dan dapat melindungi minyak goreng dari ketengikan.

4.2.6 Identifikasi komponen polar dalam minyak goreng

Faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada minyak

goreng adalah oksigen dan ikatan rangkap (semakin banyak ikatan rangkap dan

oksigen yang terkandung maka minyak akan semakin cepat teroksidasi), suhu

(suhu yang semakin tinggi juga akan mempercepat proses oksidasi), cahaya dan

ion logam (berperan sebagai katalis yang mempercepat proses oksidasi),

antioksidan (membuat minyak lebih tahan terhadap oksidasi). Oleh karena itu,

yang menjadi faktor utama terjadinya kerusakan pada minyak goreng adalah

karena adanya proses oksidasi, dimana proses ini dapat berlangsung seiring

dengan pemanasan pada suhu yang tinggi dan penyimpanan yang salah dalam

jangka waktu yang lama. Hal inilah yang menyebabkan minyak mengalami

oksidasi menjadi senyawa antara peroksida yang tidak stabil ketika dipanaskan

dan apabila dilakukan pemanasan lanjut minyak akan merubah sebagian peroksida

volatile decomposition products (VDP) dan non volatile decomposition products

(NVDP) menjadi senyawa-senyawa antara peroksida seperti aldehid, keton, ester,

alkohol, asam karboksilat, senyawa siklik, dan hidrokarbon yang menyebabkan

keseluruhan minyak menjadi rusak dan bersifat polar (Suhadi, 1968). Oleh karena

46

Page 47: Perbaikan II

itu, dilakukan analisis menggunakan spektroskopi FTIR pada masing-masing

sampel minyak goreng untuk mengidentifikasi senyawa-senyawa tersebut. Hasil

analisis dengan spektroskopi dari ke 3 sampel minyak goreng dengan masing-

masing 5 perlakuan dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Gambar 16. Data IR untuk minyak goreng pasar oesapa

Gambar 16a. Minyak goreng tanpa pemanasan (kontrol)

Pada spektra FTIR kontrol di atas, pita serapan uluran OH terlihat pada

3498,63 cm-1. Adanya gugus alkil ditunjukan dengan tiga pita serapan sedang

pada daerah 3006,82 cm-1, 2925,81 cm-1 dan 2854,45 cm-1, sedangkan pita sedang

pada 1461,94 cm-1 dan 1375,15 cm-1 diperkirakan adanya gugus metil. Pada

daerah 1745,46 cm-1 terdapat serapan pita tajam gugus karbonil, C=O untuk ester

dan asam karboksilat. Uluran C-O ester ataupun asam karboksilat terlihat sebagai

pita sedang pada daerah 1236,29 cm-1, 1163,00 cm-1 dan 1033,77 cm-1. 1652,88

47

Page 48: Perbaikan II

cm-1 untuk gugus alkena C=C dan daerah 896,84 cm-1 untuk uluran C-C. Pada

daerah 723,26 cm-1 terdapat pita tajam uluran N-H. Kita dapat menyimpulkan

bahwa pada minyak kontrol terkandung gugus-gugus fungsi OH, C=O, C-O, C-C,

CH3, dan N-H.

Gambar 16b. Minyak goreng dengan pemanasan

. Dari gambar 16a dan 16b diketahui bahwa analisis minyak goreng

dengan menggunakan FTIR menunjukkan kedua spektra diatas tidak memiliki

selisih atau perbedaan yang relatif besar. Perbedaan yang ditemukan hanyalah

beberapa perbedaan kecil diantaranya ada beberapa peak yang terdeteksi pada

spektra FTIR minyak goreng dengan pemanasan namun tidak terdeteksi pada

spektra FTIR kontrol. Misalnya munculnya pita serapan lemah pada spektra

terlihat pada daerah 2678,94 cm-1 untuk uluran S-H. Selain itu, ditemukan juga

hilangnya serapan pada bilangan gelombang 491,81 cm-1 yang diduga sebagai

gugus PO4 bending. Hal ini sebabkan akibat dari pemanasan yang menyebabkan

48

Page 49: Perbaikan II

muncul dan hilangnya gugus tersebut, oleh karena itu, minyak yang dipanaskan

telah mengalami reaksi oksidasi. Hal ini membuktikan terjadinya reaksi oksidasi

di dalam minyak goreng yang laju reaksinya dipercepat dengan adanya

pemanasan.

Selanjutnya, untuk hasil analisis FTIR dari minyak goreng yang

dipanaskan dengan penambahan 0,5%, 1%, dan 2% minyak atsiri daun sirih hutan

dapat dilihat pada gambar-gambar berikut.

Gambar 16c. Hasil analisis FTIR untuk minyak goreng dengan pemanasan +

0,5% minyak atsiri daun sirih hutan

49

Page 50: Perbaikan II

Gambar 16e. Hasil analisis FTIR untuk minyak goreng dengan pemanasan +

2% minyak atsiri daun sirih hutan

Gambar 16d. Hasil analisis FTIR untuk minyak goreng dengan pemanasan +

1% minyak atsiri daun sirih hutan

Pada ketiga gambar diatas, dapat dilihat bahwa setelah ditambahkan

dengan minyak atsiri daun sirih hutan, terlihat bahwa dari ketiga spektra tersebut

dengan membandingkannya dengan kontrol dan pemanasan tidak menunjukkan

50

Page 51: Perbaikan II

adanya perbedaan yang relatif besar. Namun, pada minyak yang ditambah dengan

0,5%, 1%, dan 2% minyak atsiri daun sirih hutan terdapat beberapa pita serapan

yang muncul, misalnya pada bilangan gelombang 1419,51 cm-1 yang diduga

merupakan gugus C-O-H, beberapa gugus fungsi seperti –OH juga ditunjukkan

oleh pita serapan pada daerah 3471,63 cm-1 yang didukung juga oleh munculnya

pita serapan pada bilangan gelombang 1099,35 cm-1 untuk ikatan –C-O alkohol,

ini diduga merupakan senyawa antioksidan dari minyak atsiri daun sirih hutan

yang ditambahkan. Pita serapan juga muncul pada daerah bilangan gelombang

966,27 cm-1 untuk masing-masing minyak goreng yang ditambahkan minyak

atsiri, yang diprediksi sebagai senyawa asam lemak trans. Terbentuknya asam

lemak trans dapat dilihat pada daerah resapan sekitar 976 sampai 956 cm -1 dengan

maksimum pada bilangan gelombang 966 cm-1 (Juaneda, dkk. 2007).

Gambar 17. Data IR untuk minyak goreng pasar oebobo

Gambar 17a. Minyak goreng tanpa pemanasan (kontrol)

51

Page 52: Perbaikan II

Gambar 17b. Minyak goreng dengan pemanasan

Hasil analisis FTIR pada gambar 17a dan 17b untuk minyak goreng

dipasar oebobo terlihat ada perbedaan puncak gugus fungsional pada kontrol dan

minyak goreng dengan pemanasan. Seperti yang terlihat pada bilangan gelombang

2680,87 cm-1 yang diduga merupakan gugus –OH (asam). Selain itu, muncul pita

serapan pada bilangan gelombang 1658.67 cm-1 yang diduga sebagai gugus C=C

(alkena) dan juga adanya Uluran C-O ester ataupun asam karboksilat terlihat

sebagai pita sedang pada daerah 1236,29 cm-1, 1163,00 cm-1 dan 1033,77 cm-1.

Tetapi tidak terdapat pada minyak goreng dengan pemanasan, namun ada

penambahan gugus fungsi yang terdeteksi pada bilangan gelombang 1550,66 cm-1

yang diduga sebagai gugus –NO2 dan pada bilangan gelombang 603,68 cm-1 yang

diduga sebagai ikatan gugus posfat. menurut Pattanayak dkk. (2005) ikatan gugus

fosfat (PO¿¿4−3)¿ paling kuat dengan vibrasi stretching terdapat pada bilangan

interval. gelombang 1000 – 1150 cm-1 dan medium pada bilangan gelombang 960

52

Page 53: Perbaikan II

cm-1. Untuk vibrasi bending diamati pada 560 – 610 cm-1. Untuk minyak goreng

yang dipanaskan dan ditambahkan 0,5%, 1%, dan 2% minyak atsiri atsiri daun

sirih hutan dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

Gambar 17c. Hasil analisis FTIR untuk minyak goreng dengan pemanasan +

0,5% minyak atsiri daun sirih hutan

Gambar 17d. Hasil analisis FTIR untuk minyak goreng dengan pemanasan +

1% minyak atsiri daun sirih hutan

53

Page 54: Perbaikan II

Gambar 17e. Hasil analisis FTIR untuk minyak goreng dengan pemanasan +

2% minyak atsiri daun sirih hutan

Dari hasil analisis FTIR untuk minyak goreng dengan pemanasan dan

ditambahkan 0,5%, 1% dan 2% minyak atsiri daun sirih hutan juga tidak ada

perbedaan yang jauh dengan kontrol dan minyak goreng dengan pemanasan. Akan

tetapi, pada minyak yang ditambahkan minyak atsiri daun sirih hutan terbentuk

beberapa pita serapan, misalnya pada bilangan gelombang 1814,89 cm-1 (0,5%

minyak atsiri daun sirih hutan), 1812,96 cm-1 (1% minyak atsiri daun sirih hutan),

yang diduga merupakan gugus dari senyawa anhidrid, yang tidak terbentuk pada

minyak goreng yang ditambahkan 2% minyak atsiri daun sirih hutan. Selanjutnya,

hilangnya gugus C=C (alkena) pada bilangan gelombang 1658,67 cm -1 dan

bilangan gelombang 1033,77 cm-1 yang diduga sebagai =C-H bengkok keluar

bidang.

54

Page 55: Perbaikan II

Selain itu, untuk minyak goreng yang ditambahkan dengan 2% minyak

atsiri daun sirih hutan muncul pita serapan pada daerah bilangan Gelombang

1658,67 cm-1 dan 1031,85 cm-1. Hal ini membuktikan bahwa minyak goreng

dipasar oebobo baik kontrol maupun perlakuan sebelumnya sudah teroksidasi

(rusak) yang ditandai dengan munculnya Pita serapan pada daerah bilangan

gelombang 966,27 cm-1 yang diduga merupakan senyawa asam lemak trans.

Terbentuknya asam lemak trans dapat dilihat pada daerah resapan sekitar 976

sampai 956 cm-1 dengan maksimum pada bilangan gelombang 966 cm-1 (Juaneda,

dkk. 2007).

Gambar 18. Data IR untuk minyak goreng pasar inpres

Gambar 18a. Minyak goreng tanpa pemanasan (kontrol)

55

Page 56: Perbaikan II

Gambar 18b. Minyak goreng dengan pemanasan

Berdasarkan hasil analisis FTIR untuk minyak goreng kontrol juga tidak

memiliki perbedaan yang jauh dengan minyak goreng yang dipanaskan. Namun

pada minyak yang dipanaskan muncul pita serapan pada daerah bilangan

gelombang 1419,51 cm-1 yang diduga merupakan gugus C=O aldehid yang

didukung dengan munculnya pita serapan pada daerah bilangan gelombang

1745,46 cm-1 yang diduga merupakan gugus C=O aldehid/keton. Selain itu, juga

terdeteksi pita serapan pada daerah bilangan gelombang 1099,35 cm-1 yang diduga

sebagai gugus =C-H bengkok keluar bidang. Dari pita serapan pada daerah

tersebut tidak ditemukan pada minyak goreng kontrol. Hal ini, disebabkan karena

proses pemanasan pada suhu tinggi yang menyebabkan minyak goreng teroksidasi

yang ditandai dengan adanya penambahan gugus pada daerah serapan tersebut.

56

Page 57: Perbaikan II

Hasil FTIR untuk minyak goreng yang dipanaskan dan ditambah 0,5%,

1%, dan 2% minyak atsiri daun sirih hutan dapat dilihat pada gambar di bawah

ini.

Gambar 18c. Hasil analisis FTIR untuk minyak goreng dengan pemanasan +0,5% minyak atsiri daun sirih hutan

Gambar 18d. Hasil analisis FTIR untuk minyak goreng dengan pemanasan +1% minyak atsiri daun sirih hutan

57

Page 58: Perbaikan II

Gambar 18e. Hasil analisis FTIR untuk minyak goreng dengan pemanasan +

2% minyak atsiri daun sirih hutan

Hasil spektra FTIR dari ketiga gambar diatas tidak menunjukkan adanya

perbedaan. Namun setelah ditambahkan dengan minyak atsiri daun sirih hutan,

ditemukan beberapa spektra yang muncul dan hilang, misalnya muncul spektra

pada daerah bilangan gelombang 1510,16 cm-1 dan 1539,09 cm-1 yang diduga

sebagai gugus NO2 dan hilangnya beberapa peak pada bilangan gelombang

1419,51 cm-1, 1099,35 cm-1, 1033,77 cm-1, dan 966,27 cm-1 (untuk penambahan

0,5% minyak atsiri daun sirih hutan). Akan tetapi daerah bilangan gelombang

tersebut telah terbentuk pada penambahan 1% dan 2% minyak atsiri daun sirih

hutan dan juga terbentuk peak pada daerah bilangan gelombang 688,54 cm-1 yang

diduga merupakan gugus dari senyawa minyak atsiri yang ditambahkan. Gugus

fungsional senyawa organik seperti asam lemak trans juga terbentuk pada daerah

bilangan gelombang 966,27 cm-1 dan memiliki karaskteristik serapan pada daerah

tertentu. Ikatan ganda trans menyerap pada rentang 976-956 cm-1 dengan

58

Page 59: Perbaikan II

maksimum pada bilangan gelombang 966 cm-1 sebagai hasil deformasi dari ikatan

C-H yang terdekat (Juaneda dkk, 2007).

Hal ini berarti bahwa asam lemak trans dan senyawa-senyawa yang lain

telah terbentuk pada semua sampel minyak goreng untuk pasar oesapa, pasar

oebobo, dan pasar inpres (baik kontrol maupun perlakuan), ini berarti bahwa

selain pemanasan, proses oksidasi pada minyak goreng juga dipercepat dengan

adanya beberapa faktor lain, seperti kelembaban udara, cahaya, dan adanya

bakteri perusak (Poedjiadi, 1994). Selain itu, kerusakan minyak goreng juga

disebabkan karena penyimpanan yang salah dalam jangka waktu yang cukup lama

yang menyebabkan banyak reaksi terjadi diantaranya oksidasi, hidrolisis, dan

polimerisasi. Antioksidan hanya berfungsi sebagai penghambat reaksi oksidasi

dan tidak dapat menghentikan sama sekali proses autooksidasi pada minyak

goreng sehingga pada akhir proses ketengikan akan selalu terbentuk senyawa-

senyawa yang menyebabkan kerusakan pada minyak goreng.

59

Page 60: Perbaikan II

BAB V

PENUTUP

5.1 KESIMPULAN

Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut:

1. Minyak atsiri daun sirih hutan (Piper aduncum L.) memiliki aktivitas

antioksidan terhadap minyak goreng di pasar oesapa, oebobo, dan inpres

dalam proses oksidasi secara termal dengan melihat dari hasil analisis sifat

fisika-kimia minyak goreng, dimana minyak atsiri daun sirih hutan mampu

menghilangkan bau tengik, mempertahankan warna minyak, menurunkan nilai

pH, menurunkan kadar bilangan peroksida dan kadar asam lemak bebas.

2. Penambahan antioksidan memperbaiki kualitas minyak goreng curah dimana

semakin banyak jumlah antioksidan yang ditambahkan maka semakin besar

pula pengaruhnya dalam mempertahankan kualitas minyak goreng tersebut.

5.2 SARAN

1. Perlu dilakukan analisis lebih lanjut dengan menggunakan metode pemisahan

lain seperti distilasi fraksi terhadap senyawa-senyawa yang terkandung dalam

minyak atsiri daun sirih hutan (Piper aduncum L.), sehingga dapat diperoleh

senyawa tunggal yang paling aktif sebagai antioksidan dalam meredam radikal

bebas dalam minyak goreng curah.

2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui aktivitas antibakteri dari

minyak atsiri daun sirih hutan (Piper aduncum L.)

60

Page 61: Perbaikan II

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai identifikasi jenis antioksidan

yang terkandung di dalam daun sirih hutan (Piper aduncum L.), sehingga

dapat diketahui jenis antioksidan apa yang memiliki aktivitas yang besar.

Selain itu, sebagai pembanding, dilakukan juga destilasi dengan suhu yang

berbeda-beda, untuk mengetahui suhu yang tepat agar destilasi maksimum dan

pengaruh perubahan suhu sehingga saat diaplikasikan ke dalam produk

makanan, antioksidan pada daun sirih hutan tidak mengalami penurunan yang

drastis.

61

Page 62: Perbaikan II

DAFTAR PUSTAKA

Adnan, M. (1997). Teknik Kromatografi Untuk Analisis Bahan Makanan.

Yogyakarta : Penerbit Andi. Halaman 10, 15-16.

Andarwulan N. 1991. Perubahan Sifat Fisikokimia dan Pembentukan Senyawa

Toksik Selama Penggorengan. Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas

Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor

Anonim________.http://translate.google.co.id/translate?hl=id&sl=it&u=http://

it.termwiki.com/ID:dicyclohexylamine&prev=/search%3Fq

%3Dantioksidan%2Bdicclohexylamine%26start%3D10%26hl%3Did

%26client%3Dfirefoxbeta%26sa%DN%26rls

%3Dorg.mozilla:enUS:official%26biw%3D1280%26bih%3D637%26rmd

%3Dimvns&sa=X&ei=5ZHULzfGsLrrQef_YGYAQ&ved=0CB0Q7gEw

AgK (diakses tanggal 12 Oktober 2012).

Aminah, Siti. 2010. Bilangan Peroksida Minyak Goreng Curah dan Sifat

Organoleptik Tempe pada Pengulangan Penggorengan. Jurnal Pangan dan

Gizi Vol. 01 No. 01 : Semarang

Arneti. 2012. Bioaktivitas Ekstrak Buah Piper aduncum L. (Piperaceae) Terhadap

Crocidolomia Pavonana (F.) (LEPIDOPTERA : CRAMBIDAE) Dan

Formulasnya Sebagai Insektisida Botani, Artikel Disertasi. Program

Pascasarjana, Universitas Andalas : Padang.

Backer, C.A., Den Brink van B.J.R., 1963, Flora of Java, Published under The

auspices of the rijksherbarium, Leyden. p. : 167.

Bernard CB, Krishanmurty HG, Chauret D, Durst T, et al. (1995). Insecticidal

defenses of Piperaceae from the neotropics. J. Chem. Ecol. 21: 801-814.

Buckle, K. A., 1987. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Choe, E., Min, D.B., 2007.Chemistry of Deep-Fat Frying Oils, Journal of Food

Science 72 (5) : R77-R86.

Darwis. 1991. Potensi Sirih (Piper betle Linn) Sebagai Tanaman Obat. Warta

Tumbuhan Indonesia. 1(1): 9–11.

62

Page 63: Perbaikan II

Dasuki, U. 1994. Sistematika Tumbuhan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bidang

Ilmu Hayati. ITB, Bandung

Day, JR R. A., Underwood, A. L., 2002. Analisis Kimia Kuantitatif. Edisi

Keenam. Penerbit Erlangga : Jakarta.

Djatmiko, Santoso, M.H., dan Wahyo, 1998, Seminar Nasional Tumbuhan Obat

XII, Fakultas Farmasi Unair, Surabaya.

Dugan, L. R 1985. Natural Antioxidants. Di dalam M. G. Simic dan Karel (eds.).

Autooxidation in Food and Biological System. Ple1lllum Press, New

York.

Escudero, M. R, dkk. 2008. Identification Of Polyphenoid and Anti-oxidant

Capacity Of Piper aduncum L. The Open Bioactive Compounds Journal,

2008, 1, 18-21.

Farago, R. S, A. Z. M. A. Badel, F. M Hewdel dan G. S.A El-Baroty., 1989.

Antioxidant activity of some spice essential oils on linoleic acid oxidation

in aqueous media. J. Am. Oil Chem. Soc.66:792.

Fessenden, R. J., Fessenden, J. S. 1986. Kimia Organik, diterjemahkan oleh : A.

H. Pudjatmaka, 3th Ed. Erlangga: Jakarta

Frankel, E. N., 1984. Lipid Oxidation Mechanism, products and Biological

Significance, J.A.O.C.S., 66:72

Gordon, M.H., 1990.“The Mechanism of Antioxidants Action in Vitro”, Di

dalam: B.J.F. Hudson, Editor: Food Antioxidants. Elsivier Applied

Science : London

Guenther, E., 1987. Minyak atsiri I. Universitas Indonesia Press. Jakarta. 492 h.

Haryadi, Robertus Bellarminus Edy. 2010. Daya Anti Bakteri Ekstrak Daun Sirih

(Piper Betle) Dan Daun Sirih Merah (Piper Erocantum) Terhadap

Pertumbuhan Bakteri Stphylococcus Aureus Secara In Vitro. Materi

Praktikum Mikrobiologi. Tesis, Jurusan Pendidikan Biologi, Program

Pascasarjana Universitas Negeri Malang : Yogyakarta

Hendayana, Sumar. 1994. Kimia Analitik Instrumen. Edisi Satu. IKIP Press:

Semarang.

63

Page 64: Perbaikan II

Herawati and Syafsir Akhlus.2006.Kinerja (Bht) Sebagai Antioksidan Minyak

Sawit Pada Perlindungan Terhadap Oksidasi Oksigen Singlet. Akta

Kimindo Vol. 2. No. 1. Laboratorium Kimia Fisika Jurusan Kimia, Institut

Teknologi Sepuluh Nopember, Kampus ITS Keputih: Surabaya

Juaneda, P., Ledoux, M., dan Sebedio, J. L., 2007. Analytical Methods for

Determination of Trans Fatty Acid Content in Food. Eur.J.Lipid

Sci.Technol.109 (2007) 901-917

Juliantina R F, Ayu Citra , Nirwani B, Nurmasitoh T, Tri Bowo E. 2009. Manfaat

Sirih merah (Piper crocatum) sebagai Agen Bakterial terhadap Bakteri

Gram Positif dan Bakteri Gram Negatif. Jurnal kedokteran dan Kesehatan

Indonesia 1(1).

Ketaren., 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press:

Jakarta.

Ketaren, S., 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Jakarta: Penerbit Balai

Pustaka.

Ketaren, S. 2005. Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta. Penerbit Universitas

Indonesia,

Kochhar, S. P. dan Rossel, J. B. 1992. Detection, Estimation and Evalnation of

Antioxidants in Food Systems. Di dalam Hudson, B. J .. F. (ed.). Food

Antioxidants. Elsevier Applied Sci., New York.

Koesmiati, S. 1966. Daun sirih (Piper betle Linn) sebagai desinfektan. Skripsi.

Departemen Farmasi. Institut Teknologi Bandung. Bandung. 65 hal.

Komahayarti A, Dwi P. 2006. Ekstrak daun sirih sabagai antioksidan pada minyak

kelapa. Kimia Pangan. 37: 102-107.

L. Taiz, E. Zeiger. 2006. Plant Physiology (4 ed.). Sinauer Associates

Lautan, J., 1997. Radikal Bebas Pada Eritrosit dan Leukosit, Cermin Dunia

Kedokteran.

Lim, S.Y., A. Bauermeister, R.A Kjonaas, and A. Ghosh. 2006. Phytol-based

novel adjuvants in vaccine forn assessment of efficacy in the induction of

pro immune responses to lethal bacterial infection. J. Immune based

therapies and vaccine. 4 : 1-10.

64

Page 65: Perbaikan II

Mardiana, L. 2004. Kanker pada Wanita : Pencegahan dan Pengobatan dengan

Tanaman Obat. Penebar Swadaya, Jakarta.

Mangoensoekardjo, S., 2003. Manajemen Agrobisnis Kelapa Sawit. Cetakan

Pertama. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta.

Manoi, F. 2007, Sirih Merah Sebagai Tanaman Multi Fungsi, Warta Puslitbangun

Vol.13 (2).

Octaviani, Nita. 2009. Hubungan lamanya pemasan dengan kerusakan minyak

goreng curah ditinjau dari bilangan peroksida. Jurnar Biomedika Vol 1,

No. 1 USM :Surakarta

Parwata et al. 2009. `Isolasi dan Uji Aktivitas Antibakteri Minyak Atsiri dari

Rimpang Lengkuas (Alpinia galanga L). Jurnal Kimia. 2: 100-104.

Pattanayak, D.K., Divya, P., Upadhyay, S., Prasad, R.C., Rao, B.T. dan Mohan,

T.R.R., 2005, Synthesis and Evaluation of Hydroxyapatite Ceramics,

Trends Biomater. Artif. Organs, Vol 18 (2), January 2005.

Poedjiadi, A. 1994. Dasar-dasar Biokimia. Edisi pertama Hal: 52-53: Universitas

Indonesia Press: Jakarta.

Rali, Topul, dkk. 2007. Volatile Chemical Constituents of Piper aduncum L and

Piper gibbilimbum C. DC (Piperaceae) from Papua New Guinea.

Chemistry Department, University of PNG, P.O. Box 320, University,

Papua New Guinea.

Ranney, M. W. 1979. Antioxidant Recent Development. Noyes Data Co., Park

Ridge, USA.

Robinson, T., 1995, Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi, Penerbit ITB,

Bandung, hal 57 dan 211.

Rohdiana, D., 2001. Aktivitas Daya Tangkap Radikal Polifenol Dalam Daun Teh,

Majalah Jurnal Indonesia 12, (I), 53-58.

Rostiana, O., S. M. Rosita, dan D. Sitepu. 1991. Keanekaragaman genotipa sirih

(Piper betle Linn) asal dan penyebaran. Warta Tumbuhan Obat Indonesia I

(1) : 16-18.

Sastrohamidjojo, Hardjono. 2001. Spektroskopi. Liberty : Yogyakarta.

65

Page 66: Perbaikan II

Sastrohamidjojo H. 2004. Kimia Minyak Atsiri. Penerbit Gadjah Mada University

Press: Yogyakarta

Schultz, H.W., 1962. Simposium on Foods : Lipids and Their Oxidation. The Avi

Publishing Company, Inc : USA.

Suhadi, H. 1968. Chemical Reaction In Heated Fats and Their Toxicity. di dalam

Djatmiko, B. dan A. B. Enie. 1985. Proses Penggorengan dan

Pengaruhnya Terhadap Sifat Fisiko-Kimia Minyak dan Lemak. Agro

Industri Press. Jurusan Teknologi Industri Pertanian. Fakultas Teknologi

Pertanian. IPB: Bogor

Sulistyani N, Sasongko H, Hertanti M, Meilana L. 2007. Aktivitas Minyak Atsiri

Daun Sirih Merah (Piper crocatum Ruiz and Pav) terhadap

Staphylococcus aureus, Escherichia coli dan Candida albicans serta

Identifikasi Komponen Kimianya. Med Far. Vol 6 (2):33 – 39.

Supratman, Unang. 2010. Elusidasi Struktur Senyawa Organik (metode

spektroskopi untuk penentuan struktur senyawa organik). ITB: Bandung

Stahl, E. 1985. Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi. Penerjemah:

Padmawinata, K. dan I. Sudiro. Bandung: ITB.

Standar Mutu Minyak Goreng Berdasarkan SNI - 3741- 1995

Shahidi, F. dan Naczk, M., 1995. Food Phenolics. Technomic pub. Co. Inc.

Lancester : Basel.

Tahir, I., Wijaya, K., Widianingsih, D., 2003. Terapan Analisis Hansch Untuk

Aktivitas Antioksidan Senyawa Turunan Flavon/Flavonol. Seminar of

Chemometrics-Chemistry Dept Gadjah Mada University.

Trilaksani, Wini, 2003, “Antioksidan: Jenis, Sumber, Mekanisme Kerja dan Peran

Terhadap Kesehatan”, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Wetzel, R. G. 1983. Limnology. Saunder Company. Philadelphia

Widjaya, C.H. 2003. Peran Antioksidan terhadap Kesehatan Tubuh. Healthy

Choice. Edisi IV.

Winarno, F.G., 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama :

Jakarta.

http://etd.eprints.ums.ac.id/14973/3/BAB_1.pdf

66

Page 67: Perbaikan II

67