PERANAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DALAM PERUBAHAN … fileDWIJENDRA: PERSPEKTIF ANTROPOLOGI HUKUM DI...
Transcript of PERANAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DALAM PERUBAHAN … fileDWIJENDRA: PERSPEKTIF ANTROPOLOGI HUKUM DI...
1
PERANAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI
DALAM PERUBAHAN PERILAKU SISWA KELAS II SMA
DWIJENDRA: PERSPEKTIF ANTROPOLOGI HUKUM
DI DENPASAR
Oleh
I Nyoman Sama
PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
2
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam bab pendahuluan ini akan dibicarakan substansinya secara terinci
dan berurutan sebagai berikut : 1) Batasan dan Pengetian istilah; 2) Latar
belakang; 3) Rumusan masalah; 4) Tujuan penelitian; 5) Ruang lingkup masalah;
6) Signifikansi penelitian; 7) Asumsi penelitian.
1.1 BATASAN DAN PENGERTIAN ISTILAH
Untuk menghindari agar tidak terjadi kerancuan dalam menafsirkan arti
dari istilah-istilah yang dipergunakan dalam penelitian yang berjudul Peranan
Pendidikan Budi Pekerti Dalam Perubahan Perilaku Siswa Kelas II SMA
DWIJENDRA : Perspektif Antropologi Hukum. Selanjutnya akan dijelaskan
istilah-istilah yang dianggap penting dan relevan dengan judul yang
dikedepankan.
1.1.1. Peranan
Konsep peranan yang dalam istilah asingnya ialah “role” lebih
menekankan pada tindakkan yang dilakukan oleh seseorang dalam suatu peristiwa
atau aspek dinamis dari status seseorang dalam lingkungan masyarakat
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:751). Dalam pandangan ilmu
sosial konsep peranan dapat dibedakan menjadi dua yaitu : peranan dari hasil
usaha sendiri dan peranan yang digariskan. Pengertian peranan dari hasil usaha
atau dalam bahasa asingnya disebut dengan acheved role adalah “perilaku seorang
3
yang menempati suatu kedudukan sosial yang didapatnya dari hasil usaha
sendiri”. Sedangkan pengertian peranan yang digariskan atau dalam bahasa
asingnya disebut dengan ascribed role adalah “perilaku seorang yang menempati
suatu kedudukan sosial yang diperoleh dari ketentuan adat-istidat
(Koentjaraningrat, 85: 169). Terkait dengan penelitian ini peranan dimaksudkan
suatu perilaku seseorang yang menempati kedudukan yang mempersonifikasikan
suatu watak manusia tertentu dalam hal ini guru pengajar (pendidik) sebagai
seseorang yang melakukan kewajibannya sesuai dengan yang ditentukan oleh
institusi pendidikan (sekolah) untuk membentuk watak, dasar-dasar kepercayaan
bahkan termasuk meluruskan perbuatan siswa agar selalu berpedoman pada nilai,
norma, hukum, dan adat-istiadat.
1.1.2. Pendidikan
Pendidikan atau education : “merupakan suatu usaha mengembangkan
pengetahuan, keterampilan, dan watak warga masyarakat” (Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1984: 135). Penulis juga menemukan konsep
pendidikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimaksudkan “proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan” (Depertemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1991: 232). Dalam karya tulis ini yang dimaksudkan
dengan pendidikan adalah suatu usaha yang dilakukan oleh institusi pendidikan
(sekolah) untuk mengubah dan mengembangkan watak, pengetahuan,
4
keterampilan melalui proses belajar mengajar agar siswa menjadi manusia yang
lebih dewasa.
1.1.3. Budi Pekerti
Jika kita perhatikan kata budi pekerti terdiri dari dua suku kata yaitu kata
budi dan pekerti. Kata budi sering artinya: “sebagai akal, atau gagasan”
(Kontjaraningrat 1997: 231) kemudian kata “pekerti adalah merupakan watak,
atau tabiat baik”(Echols and Shadily, 1990: 83). Dengan demikian, pendidikan
budi pekerti adalah perpaduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan
buruk yang dilakukan oleh institusi pendidikan (sekolah).
1.1.4. Perilaku
“Perilaku segala tindakan manusia yang disebabkan baik karena dorongan
organismenya, karena tuntutan lingkungan alam, karena dorongan orgnisme serta
hasrat-hasrat psikologinya, maupun karena pengaruh masyarakat” (Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1984: 142). “Perilaku dapat juga diartikan
tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan”
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991: 755). Sehubungan dengan
tulisan ini perilaku lebih ditekankan pada respon aktif yang timbul dari kesadaran
siswa dalam merespon proses belajar mengajar di lingkungan sekolahnya.
5
1.1.5. Siswa
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa siswa adalah
orang atau anak yang sedang berguru atau belajar (Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1991: 675). Dikaitkan dengan penelitian ini dapat dirumuskan
mengenai pengertian siswa adalah orang atau sekelompok orang yang terikat
dalam proses belajar mengajar di lingkungan sekolah khususnya dalam hal ini di
lingkungan SMA Dwijendra.
1.1.6. Hukum
Kata hukum pidana merupakan kata-kata yang mempunyai lebih dari pada
satu pengertian. Dapat dimengerti bahwa banyak pandangan yang dikemukakan
oleh para ahli hukum dan dari sekian banyak pandangan yang telah dirumuskan
tidak satupun dapat dianggap paling sempurna yang dapat diberlakukan secara
umum. Menurut rumusannya hukum pidana merupakan suatu sistem norma-
norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana dan dalam
keadaan-keadaan bagaimana hukuman itu dijatuhkan, serta hukuman yang
bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut (Lamintang,
1997: 2).
Menurut pandangan Simons sebagaimana dikutif Lamintang mengatakan
bahwa hukum pidana dapat dibedakan menjadi dua yaitu hukum pidana obyektif
atau istilah asingnya ius poenale dan hukum pidana subyektif atau istilah asingnya
ius puniendi (Lamintang, 1997: 4). Hukum pidana objektif adalah hukum pidana
yang berlaku atau sering juga disebut hukum positif atau istilah asingnya ius
6
poenale. Sedangkan hukum pidana dalam arti subyektif mempunyai dua
pengertian, yaitu : Pertama, hak dari negara dan alat-alat kekuasaannya untuk
menghukum, yakni hak yang telah mereka peroleh dari peraturan-peraturan yang
telah ditentukan oleh hukum pidana dalam arti objektif; Kedua, hak dari negara
untuk mengaitkan pelanggaran terhadap peraturan-peraturannya dengan hukuman
(Lamintang, 1997 : 5).
Hukum pidana dalam arti subjektif di dalam pengertian seperti yang disebut
terakhir di atas, juga disebut ius puniendi.
Menurut sudut pandang ilmu hukum pidana, sesuatu tindakan itu dapat
merupakan hal melakukan sesuatu ataupun hal tidak melakukan sesuatu yang
dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Sungguhpun demikian setiap tindak
pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu pada
umumnya dapat kita jabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat kita
bagi menjadi dua, yaitu :
Pertama, unsur tindak pidana subjektif adalah unsur-unsur yang melekat
pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk di
dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Adapun unsur-
unsur subjektif dari tindak pidana, yaitu :
1) kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa) ; 2) maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging; 3) macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya
di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;
4) merencanakan terlebih dahulu seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut pasal 340 KUHP;
5) perasaan takut atau vress (Lamintang, 1997: 193-194).
7
Sedangkan kedua, unsur tindak pidana objektif adalah unsur-unsur yang ada
hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana
tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Sebagai unsur-unsur objektif
dari tindak pidana itu adalah :
1) sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;
2) kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai
negeri” di dalam melakukan kejahatan jabatan;
3) kualitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab
dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
1.2 Latar Belakang
Pada alinea ke empat dari pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
disebutkan bahwa pemerintah negara wajib melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan sebagainya. Selanjutnya, secara tegas dalam
pasal 31 disebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran
dan demikian juga dalam pasal 32 disebutkan pula bahwa pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang
diatur dengan undang-undang (1993: 7).
Untuk itu pemerintah dalam mengimplementasikan, baik yang tersurat
dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 maupun isi dari pasal-pasal 31
dan 32 maka dibangun suatu institusi pendidikan yang disebut sekolah. Atas dasar
ideologi tersebut sekolah sebagai institusi pendidikan berkewajiban mendidik
8
generasi muda agar kelak menjadi generasi penerus bangsa. Dalam pada itu,
sekolah terus berupaya mendidik generasi muda berlandaskan pada character
nation building.
Menurut UURI No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
yang dimaksud dengan pendidikan adalah “usaha dasar untuk menyiapkan peserta
didik melalui kegiatan prose belajar mengajar, latihan bagi perananya dimasa
yang akan datang” (Rodiyah & Setyowati, 1996: 2). Sedangkan seperti yang
dikutif oleh Rodiyah dan Setyowati Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa :
“pendidikan adalah tuntunan pada segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-
anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat
mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya” (Majelis Luhur
Taman Siswa, 1962: 20). Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah
usaha sadar dan terprogram dari pendidik dalam menyiapkan peranan peserta
didik, melalui bimbingan, pengajaran dan latihan untuk mencapai tujuan tertentu
pada masa yang akan datang.
Dewasa ini, ada kecenderungan di kalangan siswa untuk berperilaku
menyimpang yang dalam istilah asingnya sering disebut deviant behavior, baik
penyimpangan yang terjadi di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Dalam
kamus istilah antropologi konsep perilaku atau behavior “adalah segala tindakan
manusia yang disebabkan baik karena dorongan organismenya, karena tuntutan
lingkungan alam, karena dorongan organisme serta hasrat-hasrat psikologisnya,
maupun karena pengaruh masyarakat dan kebudayaannya” (Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1984: 142). Sedangkan penyimpangan adalah
9
kecenderungan bermotivasi seseorang untuk menentang suatu norma yang berlaku
atau keadaan seorang individu yang jauh berbeda dibandingkan dengan watak
bangsa yang dalam bahasa asing sering disebut modal personality.
Munculnya perilaku menyimpang atau deviant behavior di kalangan siswa
dapat diasumsikan karena semakin derasnya pengaruh kebudayaan global
terhadap kebudayaan lokal khususnya kebudayaan Bali. Perilaku menyimpang di
kalangan siswa hampir melanda seluruh SMA yang ada di kota Denpasar. Bentuk-
bentuk penyimpangan yang sering terjadi yaitu tidak tertib waktu, bolos, tidak
disiplin menggunakan seragam sekolah, perkelahian antar siswa, narkoba, hamil
dan sebagainya.
Faktor-foktor seperti tersebut di atas sebagai pemicu masuknya muatan
pendidikan budi pekerti sebagai salah satu bahan ajar ke dalam kurikulum SMA
Dwijendra. Langkah-langkah antisipasi yang ditempuh para pendidik (guru-guru)
di SMA Dwijendra dengan memasukan muatan bidang studi pendidikan budi
pekerti ke dalam kurikulum diharapkan dapat menekan angka penyimpangan yang
dilakukan oleh siswa. Tetapi sampai saat ini belum dapat diketahui bagaimana
pengaruh pendidikan budi pekerti terhadap perilaku siswa khusunya kelas II SMA
Dwijendra.
10
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan
tiga masalah, yaitu:
1. Bagaimana peranan pendidikan budi pekerti terhadap perilaku siswa
kelas II di SMA Dwijendra ?
2. Bentuk-bentuk perilaku penyimpangan apa saja yang sering dilakukan
oleh siswa kelas II SMA Dwijendra ?
3. Bagaimana cara-cara menanggulangi jika ada siswa berperilaku
menyimpang, baik perilaku menyimpang terhadap tata tertib sekolah
maupun perilaku menyimpang seperti penggunaan narkoba ?
Dari ketiga pokok masalah yang terurai di atas penulis ingin menggali informasi
tentang bagaimana peranan bidang studi pendidikan budi pekerti terhadap
perilaku siswa. Disamping itu, penulis ingin memahami bentuk-bentuk
penyimpangan yang kerap dilakukan siswa kelas II SMA Dwijendra. Demikian
juga penulis ingin mendapat gambaran yang jelas tentang cara-cara
menanggulangi dari setiap masalah yang muncul serta cara-cara mana yang paling
dianggap efektif.
1.4 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalah pokok yang dikedepankan dalam penelitian ini
maka dapat dirumuskan pula sejumlah tujuan yaitu:
1.4.1. Menganalisis peranan bidang studi pendidikan budi pekerti terhadap
perilaku siswa.
11
1.4.2. Mengetahui secara rinci dari bentuk-bentuk perilaku menyimpang yang
pernah dilakukan oleh siswa kelas II SMA Dwijendra.
1.4.3. Untuk mengetahui cara-cara yang dipergunakan untuk menanggulangi
setiap penyimpangan yang dilakukan oleh siswa kelas II SMA Dwijendra.
1.5 Ruang Lingkup Masalah
Dalam penelitian ini untuk menghidari meluasnya permasalahan yang
dikedepankan maka ruang lingkup masalah akan dibatasi. Sebagai ruang lingkup
masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.5.1 Penelitian ini terbatas pada pengaruh pendidikan budi pekerti terhadap
perilaku siswa kelas II SMA Dwijendra. Langkah ini ditempuh oleh
peneliti agar lebih mudah melakukan wawancara dan mengobservasi
gerak-gerik siswa.
1.5.2. Selanjutnya dalam penelitian ini terbatas hanya pada sekolah SMA
Dwijendra.
1.6 Signifikansi Penelitian
Signifikansi penelitian ini dilakukan relevan dengan situasi dan kondisi
yang dialami kalangan siswa belakangan ini. Ditinjau dari sudut perkembangan
ilmu pengetahuan, baik menyangkut kepentingan institusi pendidikan maupun
kepentingan masyarakat khususnya para orang tua wali murid.
12
1.6.1. Signifikansi Praktis
Informasi yang digali dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan
pedoman para guru SMA Dwijendra dalam menanggulangi setiap perilaku
penyimpangan siswa.
1.6.2. Signifikansi Teoritis
Diharapkan dalam penelitian ini adalah; hasil penelitian secara akademis
diharapkan dapat memberi sumbangan analisis bagi perkembangan dunia
ilmu sosial, khusus mengenai pengaruh pendidikan budi pekerti terhadap
perilaku siswa di SMA Dwijendra.
1.6.4. Selain itu, penelitian ini sebagai laboratorium ilmu sosial yang
dipergunakan mahasiswa untuk menguji dan mendalami konsep-konsep,
teori-teori sekaligus meningkatkan keterampilan guru dalam berbagai
penelitian.
1.7 Asumsi Penelitian
Dalam penelitian ini asumsi dimaksudkan dugaan yang diterima sebagai
dasar berpikir karena dianggap benar (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1997: 63). Dengan demikian asumsi penelitian ini dapat dijabarkan secara terinci
menjadi tiga butir, yaitu:
1.7.1. Pendidikan budi perkerti telah diterapkan secara teratur dan terarah.
1.7.2. Para guru yang memberikan pendidikan budi pekerti dapat dibilang sangat
profesional.
13
1.7.3. Meteri-materi pendidikan budi pekerti sangat relevan dengan tatanan masa
kini.
14
BAB II
KERANGKA TEORITIS
2.1 Tinjauan Umum Tentang Pendidikan Budi Pekerti
Kerajaan sebagai pusat tumbuh dan berkembangnya kebudayaan di Bali
mempunyai peranan yang cukup penting dalam mensosialisasikan nilai, norma,
aturan, adat-istiadat khususnya yang tersurat dan tersirat dalam pendidikan budi
pekerti. Tantri merupakan salah satu karya sastra yang sangat penting dan hingga
kini digemari masyarakat Bali. Karya sastra ini berkembang dalam bentuk tradisi
tulisan dan tradisi lisan (Rai, 1999: 1). Teks Tantri hadir dalam berbagai bentuk
karya sastra berupa naskah seperti; tutur, satua, dan kidung dengan judul yang
berbeda-beda, antara lain: Tantri Kamandaka (tutur), Ni Dyah Tantri (satua),
Tantri Patalinagantung (kidung), Tantri Balwan (tutur), Tantri Eswaryadala
(kidung), Tantri Pitryajna (kidung), Tantri Mandukaharana (kidung), Tantri
Pisacaharana (kidung), dan Tantri Nandakaharana (kidung) (Suarka, 1998: 2).
Khusus mengenai Tantri Kamandaka merupakan karya sastra jawa kuna
yang berbentuk prosa, yang terdiri atas sejumlah dongeng dan fabel. Tantri
Kamandaka bersumber pada pancatantra dari India. Namun demikian, Tantri
bukanlah salah satu versi pancatantra karena kerangka cerita Tantri berbeda
dengan Tantri Kamandaka. Teks Tantri Pancatantra dimulai dengan introduksi
cerita mengenai seorang raja yang meminta kepada seorang brahmin agar lewat
cerita-cerita ilustratif dapat mengajarkan putra raja tersebut yang tidak terlalu
cerdas mengenai dasar-dasar kebijaksanaan duniawi. Sementara itu, Tantri
15
Kamandaka diawali dengan cerita Raja Aiswaryadala yang setiap malam supaya
didampingi istri baru (wiwaha karya) dan patihnya Niti Bandeswarya dititahkan
untuk mengurus hal itu. Ketika sang patih Bandeswarya tak dapat lagi
melaksanakan tugas itu karena semua gadis di wilayah kerajaan habis, maka
Tantri (putri Sang Patih Bandeswarya) dengan ikhlas menawarkan diri untuk
melayani sang raja, dan ternyata Tantri mampu meluluhkan hati sang raja melalui
kemahiran bercerita, yang dilakukan selama tiga puluh hari (Zortmulder, 1985:
545).
Kuatnya nilai-nilai moralitas yang terkandung dalam ceritera Tantri
Kamandaka dalam kehidupan masyarakat Bali, tidak terlepas dari peranan utama
dari pemerintah kerajaan. Di pusat-pusat kerajaanlah tradisi ini dipelihara dan
selanjutnya disosialisasikan dalam kehidupan masyarakatnya. Tradisi sastra ini
mencapai masa keemasannya pada abad XVI masa pemerintahan Dalem
Waturenggong. Tradisi sastra Jawa Kuna berlanjut terus pada masa kerajaan
Klungkung sekitar abad XVIII-XIX, terutama pada masa pemerintahan Ida I
Dewa Agung Istri Kanya hingga saat ini (Wirawan, 2003: 1, Suarka 1999: 2).
Kehadiran teks Tantri dalam berbagai bentuk karya sastra, memiliki fungsi
dan arti yang sangat penting dalam masyarakat Bali. Secara tekstual disebutkan
bahwa Tantri berfungsi sebagai pamarisudan bagi brahmana (wenang ika maka
don awisuddani brahmana pitwi), sebagai pedoman bagi seorang raja (pemimpin)
dalam mencapai kawijayan (mwang ikang kawijayan sang prabhu) (Suarka, 1999:
6). Selain itu, menurut Suarka (1999: 6) kehadiran Tantri berupaya memberantas
kebodohan dan kejahatan di masyarakat (kahilanganing punggung ahangkaraning
16
loka), menuntun manusia berperilaku baik dan benar (mulahakenang acara
yukti), menumbuhkan rasa hormat kepada orang yang patut dihormati (matwanga
ring ye katwangana), menyadarkan manusia untuk bertindak waspada
(kaprayatnan ring solaha), menuntun manusia untuk bisa membedakan yang baik
dan buruk (wruha ring yogya mwang tan yogya), menasehati orang untuk
mengenal kewajiban masing-masing (matutureng swadharma), menumbuhkan
rasa saling menghargai dan mempercayai (dumadyaken ing ubhayahita),
menuntun manusia dalam mencapai kebahagiaan diri sendiri, masyarakat, dan
terutama pemimpin (ndya ta ikang haywaning sarira mwang haywaning rat,
makadhi haywaning sang prabhu).
Tradisi Tantri selalu dikumandangkan dalam aktivitas yang bersifat ritual
terutama dalam upacara Manusayadnya karena Tantri pada hakikatnya merupakan
untaian puncak kenikmatan, kecerdasan dan kepandaian dalam bertingkah laku
(kramaning mapanggih lawan sama widagdha ring kriya) melalui sastra dan
bahasa yang indah (rasmining sabda) yang tiada putus-putusnya menimbulkan
rasa (ri sowening sastra tan pagataning rasa).
2.2 Nilai-nilai dalam Tantri
Sesungguhnya ceritera Tantri yang merupakan fabel yakni suatu metafora
berbentuk cerita mengenai dunia binatang. Tujuan fabel terutama adalah
menyampaikan ajaran moral dan budi pekerti, selanjutnya fabel menyampaikan
suatu prinsip tingkah laku melalui analogi transparan dari tindak-tinduk binatang
17
(Keraf, 1994: 14). Dalam teks Tantri, ada sejumlah nilai-nilai luhur yang dapat
dipakai sebagai pedoman hidup. Nilai-nilai luhur yang dimaksud sebagai berikut :
A. Nilai Persahabatan
Ceritera Tantri pada dasarnya mengembangkan konsep nitisastra yakni
perpaduan antara ilmu politik dengan ilmu sastra (humaniora) (Suarka, 1999: 7).
Perpaduan dua ilmu di atas, mungkin sangat diperlukan ketika jamannya di mana
sang raja/pemimpin tidak hanya terpaku pada niti (ilmu politik dan pemerintahan)
saja tetapi juga harus menguasai sastra (ilmu humaniora). Raja dalam
menjalankan tugasnya memerlukan bantuan sastrawan terutama berkaitan dengan
masalah-masalah moralitas dan keimanan, sedangkan sastrawan dalam berkarya
memerlukan perlindungan hukum dan politik dari sang penguasa. Antara raja dan
sastrawan merupakan dua sisi yang berbeda namun harus berpasangan
sebagaimana hakikat dari niti dan sastra sebagai satu kesatuan yang mesti
diposisikan saling melengkapi.
Ajaran yang terkandung dalam teks Tantri yaitu bagaimana menjalin
persahabatan yang baik. Ajaran itu memandu kita dalam mencari, dan memilih
sahabat sejati terutama berupa isyarat yang patut kita perhatikan antara lain, (1)
kita harus memilih orang yang saleh dan arif bijaksana (sang sadhu) sebagai
sahabat, bukan memilih maling atau orang nista (nicca). Isyarat tersebut di atas
dilandasi dasar pemikiran bahwa maling akan lebih mengutamakan harta,
sedangkan orang saleh dan arif bijaksana lebih mengutamakan hati dan perasaan;
(2) kita semestinya dapat mengetahui bahwa calon sahabat itu mempunyai
persepsi, dan kesenangan sama dengan diri kita. Jalinan persahabatan atas dasar
18
kesamaan persepsi dan kesenangan akan melahirkan kebahagiaan (ikang wwang
padha buddhinya, sami pinanganya mapupul ta ya, rahayu wasananya),
sedangkan persahabatan yang tidak dijalin atas dasar seperti tersebut di atas akan
melahirkan kesengsaraan (kunang ya anelat, dudu pinangannya, dudu buddhinya,
ala wasananya). Di sisi lain, persahabatan yang tidak didasari adanya kesamaan
budi, pikiran dan kesenangan akan membawa kesengsaraan (kunang yan anelat,
dudu pinangannya, dudu buddhinya, ala wasananya); (3) kita harus selalu
berhati-hati terhadap calon sahabat, karena sahabat dapat menyebabkan kita
tersesat (sang sargga juga megawe guna dosa); (4) kita tidak boleh cepat percaya
kepada saran, usul, atau pendapat teman karenanya dapat mendatangkan
keselamatan atau kesengsaraan (kunang ujar ing mitra weh ayu, kunang ujar ing
mitra weh ala). Hal ini mengisyaratkan kepada kita bahwa kita harus mempunyai
kemampuan untuk dapat menseleksi mana saran yang baik dan buruk, dan bahkan
kita tidak boleh cepat percaya (hawya agya inidep); (5) dalam suatu persahabatan
meski kita berbeda rupa maupun asal, tetapi jika persahatan itu dibangun atas
dasar adanya kesamaan tujuan (saling tolong-menolong, saling hormat-
menghormati) akan melahirkan persahabatan yang kokoh sekaligus membawa
kebahagiaan (ikang dudu rupanya, dudu desanya, makumpul ta ya samitranya,
wenang ta ya silih tulung lawan rowangnya, anemu teguh ing pamitranya,
sapeksa raksa ring mitranya, suka wasananya). Nilai-nilai persahabatan di atas
sangat cocok dipakai sebagai dasar pijakan untuk membangun hubungan
persaudaran diantara siswa terutama di lingkungan organisasi intra sekolah
19
(OSIS). Diasumsikan dengan dasar pijakan itu akan melahir komunikasi yang
serasi diantara mereka.
B. Nilai Pendidikan
Dalam teks Tantri jika kita cermati ada dua konsep pokok yang dapat kita
petik sebagai acuan khususnya pendidikan budi pekerti yaitu guna widhya dan
guna dosa. Untuk lebih jelasnya mengenai dua konsep dimaksud di bawah ini
akan diuraikan satu persatu secara lebih rinci.
Guna widhya menurut Zoetmulder seperti yang dikutif Suarka (1999: 9)
adalah jenis pengetahuan yang membawa keutamaan sekaligus merupakan sumber
amreta (ikang amreta widhya pituwi). Umumnya pengetahuan ini hanya dapat
dipahami oleh orang bijak atau orang saleh (sang sadhu). Sebaiknya, untuk
memahami orang dalam pergaulan, kita harus mampu mengetahui guna dari
seseorang (nimittani kinawruhan gati ning guna iki). Guna dapat diartikan sifat,
kegunaan, pekerjaan, kebajikan, prestasi, keunggulan, keterampilan dan unsur
pokok prakreti (Zoetmulder, 1995 :316).
Gunadosa merupakan kemampuan untuk membedakan, menilai, atau
mempertimbangkan yang baik dan buruk atau yang benar dan salah (Zoetmulder,
1995: 317). Konsep guna dalam teks Tantri ini sebagai unsur pokok prakerti,
dengan memunculkan tiga tokoh dominan yaitu Lembu Nandaka, Singa, Canda
Pinggala, dan Anjing Sembada sebagai analogi triguna: satwam, rajah, dan
tamah. Ketiga unsur triguna (satwam, rajah, dan tamah) diasumsikan bahwa kita
agar dapat menyeimbangkan atau mengharmonisasikan ketiga unsur tersebut.
20
C. Nilai Moral
Dalam teks Tantri ada tiga nilai yang berhubungan dengan moral yaitu
tidak tahu membalas budi (kretaghna), batas moralitas dan kesopanan, (maryada),
dan mengadu domba (provokasi).
Kisah Tantri jika diperhatikan secara seksama mengajarkan agar kita bisa
membalas budi kepada orang yang telah membantu dan menghindari sifat tidak
bisa membalas budi (kretaghna). Tokoh Swarnangkara sering dimetaforakan
memiliki sifat kretaghna atau nista (nicca), sesungguhnya sifat kretaghna dapat
mengantarkan kita menuju kesengsaraan bahkan kematian sebagaimana dialami
oleh Bagawan Dharmasuami.
Dalam tatanan kehidupan bermasyarakat pelaksanaan maryada dipandang
perlu karena menyangkut batas moralitas dan kesopanan. Hal ini dapat dilakukan
melalui pemahaman konsep tri kaya parisudha. Konsep Tri Kaya Parisudha
terdiri dari tiga komponen penting yaitu, manacika, wacika, dan kayika yang
artinya berpikir yang baik, bertutur kata yang baik dan berbuat/berperilaku yang
baik. Apabila dalam arena pergaulan setiap tingkah laku kita selalu berpedoman
pada nilai-nilai Tri Kaya Parisudha itu berarti telah mencerminkan bahwa kita
memahami dengan baik batas moralitas dan kesopanan. Tanpa batas moralitas dan
kesopanan dalam kehidupan bermasyarakat akan membawa kesengsaraan (ikang
mamasrayan, tan wruh ring maryada ning mamasrayan, manemu duhka ta
21
swabhawanya) seperti dimetaforakan dalam kisah Si Tuma dengan Katitinggi
(Suarka, 1999: 10).
Dalam menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan sifat-sifat mengadu
domba seperti yang dilakukan Si Sembada perlu dihindari. Kisah Tantri
Kamandhaka mengisyaratkan bahwa provokasi akan dengan mudah dilakukan
oleh orang-orang yang dekat dengan kita karena mereka telah mengetahui betul
latar belakang kehidupan kita. Misalnya, dalam kisah cerita persahabatan Lembu
Nandaka dengan Singa Canda Pinggala menjadi hancur karena provokasi Si
Sembada sebagai patih kesayangan dari raja Singa Canda Pinggala. Kedua belah
pihak, baik Lembu Nandaka maupun Singa Canda Pinggala sama-sama tidak
mawas dan tidak mampu mengendalikan diri, yang akhirnya mereka tewas dalam
perkelahian.
D. Nilai Pengendalian dan Mawas Diri
Teks Tantri selain memberikan tuntunan kepada masyarakat
pendukungnya agar berperilaku baik dan benar, sopan dan santun dalam
pergaulan, dapat membedakan perbuatan baik dan buruk, sehingga tercipta
kebahagiaan dalam lingkungan masyarakat. Kisah Tantri juga sarat dengan
muatan nilai-nilai pengendalian diri. Hal ini terungkap dalam cerita yang
mengisahkan kematian si Empas, si Baka, si Tuma. Ketiga tokoh tersebut
mengalami kematiannya, baik karena kurang mampu mengendalikan diri maupun
tidak mawas diri terhadap godaan. Keteguhan dalam pengedalian diri serta mawas
diri dapat terhindar dari marabahaya. Keteguhan dalam pengendalian diri serta
22
mawas diri menuntut adanya rasa pasrah yang intinya dapat membentuk manusia
menjadi realistis dapat menerima kenyataan dengan lapang dada.
E. Relevansi Pemaknaan Tantri dalam Kehidupan Masyarakat
Pemaknaan teks Tantri dalam kehidupan masyarakat lebih menekankan
pada upaya memberantas kesewenang-wenangan seorang raja terhadap rakyatnya.
Menurut Cudamani (1993 :73) maya adalah keadaan yang selalu berubah, baik
nama maupun yang dipengaruhi oleh waktu, tempat dan keadaan. Maya meliputi
unsur kegelapan (awidya), unsur kebingungan (wimoha), dan unsur kebodohan
(ajnana) yang menyelimuti hakikat sejati manusia (Wiryamartana, 1990: 368).
Maya yang membelennggu Raja Eswaryadala menyebabkan ia menjadi
kebingungan (wimoha), mabuk (wera), oleh wirya (kekuasaan) dan aiswarya
(bhoga, upabhoga, dan paribhoga). Bandeswarya sebagai maha patih tidak dapat
membendung kehendak sang raja dan merelakan putrinya yang bernama Ni Dyah
Tantri sekaligus memberi kepercayaan kepadanya untuk menghadapi sang raja.
Dikisahkan dalam ceritanya Tantri memegang peranan penting untuk melepaskan
dan menyadarkan sang raja dari belenggu kemabukan asmara (hentyarsa
sanghulun). Dengan demikian, relevansi Tantri dapat dipahami sebagi Sakti.
Seperti diketahui bahwa dunia (Maya) diciptakan, dipelihara dan dilenyapkan
Sang Pencipta melalui Sakti-nya.
Dalam alur ceritanya dapat dipahami bahwa kedudukan Tantri selain
sebagai Sakti juga mengandung makna simbolis sebagai pamarisudhan bagi
brahmana dalam mencapai animadiguna (kekuasaan adikodrati) dan sebagai
penuntun bagi raja dalam mencapai kawijayan (kekuasaan duniawi). Baik
23
brahmana maupun raja sama-sama memuja Siwa (siwarcana) untuk mencapai
kaeswaryan. Ada perbedaan cara yang ditempuh untuk mencapai kaeswaryan, raja
melalui nithi yang berorientasi kepada aiswarya (bhoga, upabhoga, dan
paribhoga) sedangkan brahmana melalui sastra yang berorientasi pada
kedharman.
2.3 Pengertian Pendidikan Budi Pekerti
Sulit bagi kita untuk memisahkan pendidikan budi pekerti dengan agama
sebagai bidang studi yang juga diajarkan khususnya agama Hindu, baik ditingkat
sekolah dasar (SD), sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), maupun sekolah
menengah umum (SMA). Oleh karena pendidikan budi pekerti merupakan
pengejawantahan dari agama yang sarat nilai-nilai moralitas, etika atau sopan
santun. Pendidikan budi pekerti telah menjadi bagian dalam hidup kita, sekaligus
merupakan pedoman dalam arena pergaulan sehari-hari malah telah menjadi
tuntutan, baik di lingkungan masyarakat maupun di lingkungan yang lebih formal.
Ketika kita masih kanak-kanak, tanpa meminta persetujuan orang tua secara sadar
atau tidak sadar telah melatih kita agar menerima pemberian orang tua dengan
tangan kanan, lalu mengucapkan terima kasih atau dalam istilah lokalnya disebut
suksma. Orang tua melatih kita cara makan, cara minum, cara menyapa dan
memberi hormat, cara berbicara cara berpakaian, dan cara bersikap jika ada tamu
di lingkungan kita. Cara-cara demikian lama-kelamaan membentuk perilaku kita
menjadikan hal itu kebiasaan tanpa harus memikirkan mengapa demikian.
24
Pendidikan budi pekerti yang pada intinya menanamkan nilai-nilai moral dalam
arena pergaulan antar manusia (Departemen Penddidikan dan Kebudayaan, 1984:
4). Pendidikan budi pekerti pada umumnya berlaku dalam arena pergaulan yang
lebih kompleks misalnya dalam lingkungan suatu bangsa. Selain itu, ada pula
pendidikan budi pekerti berlaku secara internasional dalam pergaulan antar bangsa
(Pendidikan dan Kebudayaan, 1984: 6). Dengan demikian, ada pendidikan budi
pekerti yang berlaku dalam lingkungan terbatas seperti di lingkungan sekolah.
Dalam karya tulis ini secara khusus akan membicarakan pendidikan budi pekerti
yang dijadikan acuan dalam membina siswa sebagai peserta didik yang nantinya
dapat tumbuh dan berkembang sebagai generasi bangsa.
2.4 Manfaat Pendidikan Budi Pekerti
Secara eksplisit dapat dikemukakan manfaat dari pendidikan budi pekerti
bagi siswa khususnya di lingkungan SMA Dwijendra. Untuk lebih jelasnya ada
sejumlah manfaat dari pendidikan budi pekerti yang dapat disajikan di bawah ini :
1. Agar siswa percaya diri dan memiliki keperibadian yang luhur;
2. Siswa dapat menjalin dan memupuk rasa persaudaraan di lingkungan
sekolahnya;
3. Siswa memiliki kemampuan dan kepekaan dalam menilai lingkungan
pergaulannya;
4. Dalam lingkungan pergaulannya siswa dapat membedakan perbuatan
baik dan buruk atau benar dan salah;
5. Siswa agar selalu selektif dan adaptif dalam merespon lingkungannya;
25
6. Siswa mengetahui batas moralitas dan kesopanan;
7. Agar siswa tidak melakukan tindakan-tindakan di luar batas moralitas
dan kesopanan;
8. Berusaha menghindari diri dari tindakan-tindakan yang bersifat
provokasi dan anarkis;
9. Agar siswa memiliki pengendalian diri dan mawas diri dalam
lingkungan pergaulannya.
2.5 Hubungan Pendidikan Budi Pekerti dengan Perilaku Siswa
Ungkapan “kecil itu indah” dapat dijadikan motto dalam menerapkan
pendidikan budi pekerti, baik di lingkungan masyarakat maupun lingkungan
sekolah. Pendidikan budi pekerti adalah hal yang kecil tetapi jika dilaksanakan
dapat membawa kesan-kesan indah yang mematri pergaulan dan kehidupan
pribadi kita. Oleh karena pendidikan budi pekerti merupakan hal kecil, dan
kadang-kadang orang sering menyepelakan dan mengabaikannya. Akibat dari
sikap menyepelekan dan mengabaikan hal kecil itu terjadi seperti pepatah
mengatakan “nila setitik rusak susu sebelanga”.
Implementasi pendidikan budi pekerti lingkup berlakunya di mana saja
dan kapan saja. Ini berarti menunjukkan bahwa lingkup berlakunya pendidikan
budi pekerti sangat luas, baik di lingkungan masyarakat, paguyuban maupun di
lingkungan formal seperti sekolah atau kantor-kantor pemerintah lainnya. Siswa
sebagai warga sekolah yang dituntut selalu berkomunikasi dengan guru, kakak
kelas, rekan sebaya, pegawai yang bekerja di lingkungan sekolah. Dalam suatu
26
komunikasi akan terjalin hubungan dengan berbagai macam manusia, baik
menyangkut aneka ragam tipe, termasuk jalin hubungan dengan berbagai macam
manusia, baik menyangkut aneka ragam tipe, termasuk mereka yang sudah
dikenal dengan baik, maupun yang belum kita kenal.
Dalam pelbagai hubungan ini, aktualisasi dari pendidikan budi pekerti
memegang peranan penting. Batas moralitas dan kesopanan ibarat udara yang kita
hirup, merupakan kebutuhan yang selalu menyadarkan kita untuk mentaatinya.
Realita ini menyebabkan batas moralitas dan kesopanan seolah menyusup ke
mana saja dan pada saat kapan saja. Misalnya, dalam cara berpakaian, berbicara,
bergaul, menghadapi guru, mengikuti apel bendera, mengikuti pelajaraan di kelas,
ujian sekolah dan sebagainya selalu harus mentaati aturan yang berlaku.
Jika kita renungkan prinsip di atas, pendidikan budi pekerti menuntut
kesadaran kita dari dalam diri sendiri agar dapat mentaatinya. Bilamana dalam
kenyataannya pendidikan budi pekerti dapat diamalkan dengan baik, niscaya kita
bisa diterima dalam berbagai lingkungan masyarakat dengan tidak membeda-
bedakan diri, baik agama, etnis, maupun golongan.
Aktualisasi dari nilai-nilai pendidikan budi pekerti di lingkungan SMA
Dwijendra terasa lebih sulit terutama dalam memperlakukan teman-teman sebaya.
Oleh karena mereka merupakan teman yang sederajat dan secara terus-menerus
terlibat dalam pergaulan dengan kita sehingga kita sering lupa memperlakukan
mereka menurut batas moralitas dan kesopanan yaitu bagian dari pendidikan budi
pekerti. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar nilai-nilai pendidikan budi
pekerti dapat diaktualisasikan dalam arena pergaulan di antara siswa SMA
27
Dwijendra adalah sebagai berikut : (1) menyapa teman jika bertemu dengannya;
(2) tidak mengolok-olok teman sampai melewati batas terutama sampai
menyinggung hati dan harga dirinya; (3) tidak berprasangka buruk terhadapnya;
(4) tidak boleh memfitnah tanpa fakta dan bukti; (5) tidak mempergunjingkan
teman tetapi tetap menjaga integritas kelompok; (6) menolong teman yang sangat
membutuhkan bantuan dari kita.
Selain itu, khususnya di lingkungan SMA Dwijendra agar dipupuk arena
pergaulan yang tidak mengarah pada munculnya perbedaan-perbedaan atas dasar
kelompok seperti: kelompok anak pejabat, kelompok anak kaya, kelompok tri
wangsa, kelompok jaba, dan lain-lain. Hal-hal seperti tersebut di atas perlu
mendapat perhatian semua pihak agar dapat diwujudkan siswa yang dapat
menjaga nama baik institusi pendidikan, khususnya SMA Dwijendra. Dengan
demikian, dapat dikemukakan bahwa pendidikan budi pekerti berkorelasi dengan
usaha-usaha agar siswa tidak berperilaku menyimpang, baik penyimpangan
terhadap tata tertib, peraturan-peraturan lainnya yang berlaku di SMA Dwijendra
maupun usaha-usaha agar siswa tidak terlibat dengan masalah-masalah kenakalan
remaja seperti; narkoba, pergaulan bebas, pencurian dan perkelahian.
2.6 Kerangka Teori
Dalam usaha memahami permasalahan yang dikemukan dalam penelitian
ini, akan lebih ditekankan pada aspek fungsi. Dalam pembicaraan sehari-hari
pengertian kata fungsi dapat berbeda dengan pengertian yang dimaksud dalam
disiplin ilmu tertentu. Sementara itu, kata fungsi di sini perlu ditegaskan akan
28
dipakai untuk menjelaskan hubungan yang terjadi antara satu hal dengan hal lain
dalam suatu sistem yang berintegrasi.
Teori belajar (learning theory) yang dipergunakan untuk memberi dasar
eksak pemikiran terhadap hubungan-hubungan berfungsi dari unsur-unsur sesuatu
kebudayaan, sehingga muncul teori fungsionalisme, yang termaktub dalam sebuah
buku yang berjudul A Scientific Theory Of Culture and Other Essays
(Malinowski, 1944: 142). Sementara itu, Malinowski berangkat dari pemikiran
bahwa manusia adalah makhluk bio-psikologis, yaitu makhluk yang mempunyai
unsur biologis yang berupa raga atau fisik, tetapi sekaligus ia juga punya unsur
psikologis atau kejiwaan. Sebagai makhluk biologis manusia memerlukan materi-
materi untuk kelangsungan hidupnya. Materi-materi yang dibutuhkan untuk
kelangsung hidup manusia disebut sebagai kebutuhan dasar manusia atau basic
human need (Malinowski, 1923, Yitno, 1993: 7). Need atau kebutuhan, di sini
menjadi kata kunci terhadap pemahaman konsep fungsi sebagai dimaksud dalam
penelitian ini. SMA Dwijendra sebagai institusi pendidikan sangat diperlukan
untuk kelestarian manusia, karena institusi-institusi dimaksud memiliki makna
sosial budaya. Adanya institusi pendidikan karena dorongan kebutuhan manusia
akan rasa aman. Dalam struktur sosial lingkungan institusi pendidikam selalu
dapat dijumpai struktur-struktur sosial yang lebih kecil. Keberadaan struktur
sosial tersebut ternyata saling terkait secara fungsional (Brown, 1935).
Selain itu, dalam usaha penulis memahami masalah-masalah pendidikan
terutama bidang studi pendidikan budi pekerti yang menjadi muatan lokal di
lingkungan SMA Dwijendra merupakan langkah antisivatif untuk mencegah
29
terjadinya perilaku menyimpang di kalangan siswa. Dalam kerangka pemahaman
masalah tersebut beranjak dari dasar pikiran teoritis yang digunakan adalah
menempatkan pendidikan budi pekerti sebagai muatan lokal yang tepat dan bijak
dalam dunia pendidikan. Adapun teori kebudayaan yang digunakan di sini adalah
teori yang dikemukakan oleh Geertz (1992) bahwa kebudayaan merupakan pola
pengertian yang terjalin secara universal dalam simbol-simbol yang diwariskan
kepada generasi berikutnya sebagai sarana dan wahana berkomunikasi,
melestarikan dan mengembangkan pengetahuan untuk menanggapi lingkungan
kehidupan.
30
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Pendenkatan Subjek Penelitian
Dipilihnya SMA Dwijendra Denpasar sebagai objek dalam penelitian ini
karena SMA Dwijendra tersebut sejak tahun 1985 telah memasukkan muatan
program bidang studi pendidikan budi pekerti. Sejak awal tahun ajaran 1985 SMA
Dwijendra tersebut mulai memasukkan muatan bidang studi pendidikan budi
pekerti sebagai muatan yang sarat dengan nilai-nilai moralitas. Secara kuantitatif
dapat disajikan bahwa jumlah siswa kelas II tercatat 300 orang dan mereka semua
mengikuti program bidang studi pendidikan budi pekerti. Dari seluruh siswa kelas
II yang mengikuti bidang pendidikan budi pekerti menunjukkan tingkat
keberhasilan yang dicapai secara akademis tergolong baik. Jadi metode
pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif
karena gejalanya telah ada secara wajar.
3.2 Metode Penentuan Subyek Penelitian
3.2.1 Populasi Penelitian
Menentukan populasi merupakan langkah penting dalam suatu penelitian
sehingga dapat diperoleh data yang memiliki tingkat validitas dan reliabilitas yang
tinggi. Sebagai populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan siswa kelas II
SMA Dwijendra yang mendapat bidang ajar pendidikan budi pekerti. Berdasarkan
statistik sekolah menunjukkan sekitar 300 (tiga ratus) orang siswa yang terdiri dari
31
kelompok laki dan wanita. Oleh karena itu metode penentuan subyek penelitian
menggunakan metode studi populasi.
3.2.2 Sampel Penelitian
Langkah selanjutnya adalah menentukan besarnya sampel yang akan
digunakan dalam penelitian ini. Dalam menentukan sampel dari 300 (tiga ratus)
orang siswa digunakan teknik random sampling dengan mengambil sekitar 10
persen dari keseluruhan populasi. Dari perhitungan tersebut diperoleh sampel
sebanyak 30 orang siswa. Diharapkan dengan teknik random sampling diperoleh
data-data yang lebih akurat.
3.3 Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini metode mengumpulkan data lapangan yang
digunakan metode-metode yang relevan. Selain itu, penelitian ini menggunakan
model pendekatan kualitatif yang artinya lebih menekankan pada usaha
mengkonstruksi elemen-elemen ke dalam suatu keseluruhan dengan
memperhatikan kaitan bermakna yang ditemukan dalam situasi dan dunia sosial
yang diteliti (Abdullah, 1995: 7). Dengan demikian motode pengumpulan data
yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai :
3.3.1 Metode Pengumpulan Data Primer
3.3.1.1 Sebelum penelitian sesungguhnya dilakukan terlebih dahulu
seorang peneliti harus melakukan penjajagan awal terhadap objek
32
yang dijadikan sasaran penelitian (Sutrisno Hadi, 1977:159,
Harsja W Bachtiar, 1977:137).
3.3.1.2 Langkah selanjutnya, dari hasil penjajagan awal itu seorang
peneliti menyusun proposal penelitian yang memuat latar
belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, ruang lingkup
masalah, signifikansi penelitian, asumsi penelitian dan metode
penelitian. (Koentjaraningrat, 1977: 162). Jika proposal yang
diajukan oleh seorang peneliti sudah memenuhi kreteria yang
ditentukan maka proses selanjutnya dapat disetujui pembimbing
untuk dilakukan penelitian sebenarnya.
3.3.1.3 Selain digunakan teknik pengumpulan data seperti tersebut di atas,
juga digunakan lebrery reseach method atau metode kepustakaan.
Sebelum penulis mengadakan penelitian ke lapangan terlebih
dahulu dilacak sumber-sumber seperti buku-buku, majalah-
majalah, jurnal, koran-koran dan berbagai karya skripsi yang
terkait dengan pokok masalah yang diteliti. Penjelajahan terhadap
sumber-sumber tersebut tidak hanya dilakukan di perpustakaan
Universitas Dwijendra tetapi juga didaftar pelanggaran pada SMA
Dwijendra. Metode ini digunakan disamping untuk memperluas
pengetahuan penulis juga untuk menemukan konsep-konsep, teori-
teori yang lebih relevan.
33
3.3.2 Metode Pengumpulan Data Skunder
Salah satu hal yang perlu dilakukan dalam persiapan penelitian ialah
mendayagunakan sumber-sumber informasi yang tersedia di perpustakaan.
Pemanfaatan sumber-sumber yang tersimpan di perpustakaan ini diperlukan, baik
untuk penelitian lapangan maupun menemukan konsep-konsep, teori-teori, serta
hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya: “Tidak mungkin suatu
penelitian dapat dilakukan dengan baik tanpa mengadakan orientasi pendahuluan
di perpustakaan” (Irawati Singarimbun, 1982: 45). Dalam hal ini penulis
menggunakan beberapa buah buku untuk memperoleh konsep-konsep, dan teori-
teori yang relevan dengan karangan ini.
Selain itu, dalam penelitian ini juga menggunakan data-data primer
sebagai data utama yang ditunjang dengan sejumlah data skunder yang diperoleh
dari institusi pendidikan seperti SMA Dwijendra terutama mengenai data jumlah
siswa kelas II. Data mengenai jumlah siswa dikutip dari statistik keadaan siswa di
SMA Dwijendra.
3.4 Metode Wawancara
Metode wawancara (interview) : “merupakan serangkaian cara yang
dipergunakan dalam mengumpulkan informasi-informasi tentang keadaan
masyarakat yang sedang menjadi objek penelitian dengan jalan tanya jawab tatap
muka (face to face) tanpa menggunakan kuesioner, jadi dapat dikatakan dengan
wawancara bebas” (Sutrisno Hadi, 1982: 225). Sehubungan dengan metode
wawancara ini dipergunakan 3 (tiga) buah teknik wawancara yaitu : wawancara
34
(interview) biasa, wawancara mendalam (deep interview), wawancara bebas
(independent interview). Untuk lebih jelasnya di bawah ini akan diuraikan jenis-
jenis teknik wawancara dimaksud.
3.4.1 Wawancara biasa
Penggunaan teknik wawancara biasa adalah dilakukan terhadap beberapa
orang sebagai informan kunci (key informant) yang dapat mengetahui
secaga garis besarnya mengenai masalah-masalah yang menjadi objek
penelitian atau pokok-pokok permasalahan yang diteliti.
3.4.2 Wawancara mendalam (deep interview)
Wawancara mendalam atau deep interview ini dilakukan terhadap
beberapa responden termasuk di dalamnya siswa kelas II SMA Dwijendra,
tokoh-tokoh penting di lingkungan sekolah tersebut, yang dipandang
mampu memberikan keterangan-keterangan sesuai dengan pokok masalah.
3.4.3 Wawancara bebas (indepndent interview)
Dengan memakai teknik wawancara bebas (independent interview) adalah
: “tidak terpusat pada sasaran yang telah ditentukan sebelumnya, tetapi
pertanyaan dapat beralih-alih dari satu pokok ke pokok yang lain,
sedangkan data yang terkumpul dari suatu wawancara bebasa itun dapat
bersifat beranekaragam” (Harsja W. Bachtiar, 1981). Penggunaan teknik
wawancara bebas ini terutama dilakukan terhadap informan pembanding,
seperti orang tua murid, Kepala Dinas Pendidikan Kota Denpasar, dan
aparat kepolisian yang dianggap mampu memberikan informasi yang ada
kaitannya dengan pokok permasalahan yang diteliti.
35
3.5 Metode Analisa Data
Pertama-tama langkah yang dilakukan setelah data terkumpul adalah
mengolah data. Langkah ini dilakukan dengan tujuan untuk menggeneralisasi ke
dalam kelompok-kelompoknya sehingga dapat diketahui sifat, dan hubungan data
secara khusus serta mendapat gambaran mengenai data secara menyeluruh.
Selanjutnya, dalam penelitian ini dipergunakan metode analisa diskriptif. Metode
ini, digunakan terutama untuk dapat mengetahui adanya peranan yang saling
mempengaruhi antara mata pelajaran pendidikan budi pekerti dan diikuti adanya
perubahan perilaku siswa SMA Dwijendra.
36
BAB IV
PENYAJIAN HASILPENELITIAN
4.1 Pendidikan Budi Pekerti Dalam Lintasan Sejarah
Dalam sejarah Yayasan Pendidikan Dwijendra dicatat bahwa sejak tahun
ajaran 1985/1986 pendidikan budi pekerti dimasukkan sebagai muatan lokal ke
dalam kurikulum SMA Dwijendra. Dimasukkannya bidang studi pendidikan budi
pekerti ke dalam kurikulum sebagai muat lokal tidak terlepas dari fenomena
kenakalan remaja yang kini melanda kalangan siswa khususnya di sekolah-
sekolah lanjutan tingkat atas. Selain itu, menurut Ketua Yayasan Dwijendra Drs. I
Bagus Gede Wiana adalah atas dasar pemikiran bahwa telah terjadi degradasi
moral di kalangan siswa, seperti adanya perkelahian siswa, adanya pelanggaran
terhadap tata tertib sekolah oleh siswa, bahkan pernah ada siswa yang terlibat
dalam penggunaan obat-obat terlarang dan lain-lain.
Timbulnya gejala-gejala perilaku menyimpang di kalangan siswa sebagai
terurai di atas, banyak mendapat perhatian serius dari para praktisi pendidikan di
lingkungan SMA Dwijendra. Selanjutnya, para praktisi di bidang pendidikan
melakukan rapat koordinasi intern guna menyikapi permasalahan yang muncul di
tengah-tengah pergaulan siswa. Rapat koordinasi membahas tentang peninjauan
kembali kurikulum yang diberlakukan karena dianggap tidak relevan lagi. Dari
rapat itu, disepakati keputusan atas dasar musyawarah dan mufakat agar
dimasukkannya bidang studi pendidikan budi pekerti sebagai muatan lokal dalam
kurikulum SMA Dwijendra. Keputusan tersebut di atas berangkat dari dasar
37
pemikiran bahwa hanya dengan upaya-uapaya menanamkan nilai-nilai etika, nilai
persahabatan, nilai pendidikan, nilai batas moralitas dan kesopanan, serta nilai
pengendalian dan mawas diri seperti yang terdapat dalam ceritera Tantri
Kamandaka. Kebijakan di atas selain dilandasi pemikiran tersebut juga dilandasi
kearifan lokal yang bertumpu pada nilai-nilai Agama Hindu. Kebijakan ini
merupakan langkah awal pihak SMA Dwijendra sebagai institusi pendidikan
dalam mengantisipasi berbagai tindakan menyimpang yang dilakukan oleh siswa.
Diharapkan melalui model pendekatan ini para praktisi pendidikan di lingkungan
SMA Dwijendra dapat mengubah perilaku menyimpang siswa.
4.2 Bentuk-Bentuk Penyimpangan
Tata tertib sebagai seperangkat aturan yang dimiliki setiap sekolah
diharapkan dapat memelihara dan memupuk kebersamaan dalam pergaulan antar
siswa, guru, dan pegawai. Hampir setiap tahun ajaran baru tata tertib sekolah
dilakukan peninjauan kembali maksudnya agar tata tertib tersebut dapat menjamin
kehidupan bersama yang lebih selaras dan serasi. Namun, dinamika kehidupan
siswa berkembang kian hari kian cepat.
Pada dekade belakangan ini diketahui bahwa animo anak-anak usia
sekolah untuk melanjutkan pendidikan khususnya sekolah lanjutan tingkat atas
relatif meningkat. Adanya peningkatan animo tersebut membawa serta persoalan-
persoalan yang demikian kompleks. Tidak hanya itu, banyak faktor yang tali-
temali turut mempengaruhi timbul dan berkembangnya masalah-masalah dalam
dunia pendidikan. Semakin kompleksnya pergaulan antar siswa di lingkungan
38
SMA Dwijendra, menyebabkan semakin beragamnya bentuk penyimpangan yang
dilakukan mereka.
Berdasarkan informasi yang diperoleh di lapangan ada kecenderungan
bahwa perilaku menyimpang di kalangan siswa SMA Dwijendra masih dalam
batas toleransi. Hal ini dapat dilihat dari bentuk-bentuk penyimpangan yang sering
dilakukan oleh siswa hanya berkisar pada pelanggaran tata tertib sekolah, seperti :
keterlambatan siswa membayar sumbangan pendidikan (SPP), tidak disiplin
dalam mengikuti pelajaran, tidak menggunakan seragam dengan atribut yang
ditentukan sekolah, tidak membuat tugas yang diberikan oleh guru bidang studi,
merokok di dalam kelas, berkelai antara siswa bahkan juga dengan pihak luar,
tidak mengikuti apel bendera setiap hari senin, dan sebagainya. Dari ketiga puluh
orang responden yang diwawancarai dapat diidentifikasi bentuk-bentuk
penyimpangan yang sering dilakukan kalangan siswa di lingkungan SMA
Dwijendra seperti telah disinggung dalam urain di atas. Untuk lebih jelasnya
mengenai bentuk-bentuk penyimpangan tersebut dapat disajikan dalam tabel
sebagai berikut:
Tabel IV-1 Responden Dogolongkan Menurut
Bentuk Penyimpangan yang Dilakukannya No. Bentuk Penyimpangan Angka
absolut Persentase
1. Tidak membuat tugas 5 16,67 2. Terlambat bayar SPP 20 66,67 3. Tidak menggunakan seragam sekolah 3 10,00 4. Berkelai 2 6,66 Jumlah 30 100,00
Sumber : diolah dari data primer tahun 2003
39
Berdasarkan tabel di atas, dari tiga puluh responden yang diwawancarai
dapat dikelompokan ke dalam kategori sebagai berikut: 5 orang siswa atau 16,67
persen tidak membuat tugas; 20 orang siswa atau 66,67 persen tidak disipilin
membayar SPP; 3 orang siswa atau 10,00 persen tidak menggunakan seragam
sekolah; 2 orang siswa atau 6,66 persen berkelai. Angka-angka tersebut berarti
menggambarkan bahwa adanya kecenderungan di kalangan siswa kelas II SMA
Dwijendra berperilaku menyimpang. Dari semua perilaku penyimpangan yang
dilakukan siswa SMA Dwijendra dapat dikategorikan ke dalam bentuk
penyimpangan terhadap tata tertib sekolah.
Ada dugaan kuat bahwa sebelum pendidikan budi pekerti dimasukkan ke
dalam kurikulum sebagai muatan lokal bentuk-bentuk dan angka-angka perilaku
menyimpang di kalangan siswa diduga kuat mungkin relatif tinggi. Hal ini dapat
diperkuat adanya informasi yang mengatakan bahwa sekitar tahun 19 pernah ada
seorang siswa SMA Dwijendra yang terlibat dalam menggunakan obat-obat
terlarang.
4.3 Tindakan Preventif Mencegah Perilaku Menyimpang
Tindakan preventif untuk mencegah perilaku menyimpang di kalangan
siswa SMA Dwijendra mendapat respon positif dari semua pihak, baik dari dewan
guru, guru bimbingan dan penyuluhan (BP), pegawai administrasi sekolah,
persatuan orang tua wali murid (POM) maupun pihak organisasi intra siswa
(OSIS). Adanya partisipasi dan dukungan yang kuat dari berbagai pihak semakin
mendorong keberanian pihak SMA Dwijendra melakukan tindakan-tindakan
40
preventif untuk mencegah sedini mungkin perilaku menyimpang di kalangan
siswa. Selain itu, adanya persepsi yang sama menyebabkan hampir semua
komponen sekolah dapat digerakkan untuk turut berpartisipasi menekan terjadinya
perilaku menyimpang dikalangan siswa SMA Dwijendra. Cara-cara untuk
mencegah berbagai tindak dan bentuk kenakalan siswa SMA Dwijendra semakin
memperlihatkan hasil yang menggembirakan. Keberhasilan tersebut dicapai tidak
terlepas dari kuatnya dukungan dari berbagai pihak terutama adanya kesadaran
dari semua siswa SMA Dwijendra untuk mentaati tata tertib sekolah. Untuk lebih
memperjelas adanya partisipasi dan dukungan siswa dapat dilihat dalam tabel
sebagai berikut:
Tabel IV-2 Responden Digolongkan Menurut Pengakuannya
Terhadap Pentingnya Pendidikan Budi Pekerti No. Pengakuan responden Angka Absolut Persentase (%) 1. Sangat setuju 21 70,00 2. Setuju 7 23,33 3. Tidak setuju 2 6,67 Jumlah 30 100,00
Sumber : Diolah dari data primer tahun 2003
Bertitik tolak dari tabel tersebut di atas, secara terinci kategorisasi
pendapat dari 30 orang responden yang diwawancarai menunjukkan 21 orang
responden atau 70 persen mengatakan sangat setuju dengan program pendidikan
budi pekerti; 7 orang responden atau 23,33 persen mengatakan setuju dengan
program pendidikan budi pekerti; sedangkan 2 orang responden atau 6,67 persen
mengatakan tidak setuju dengan program pendidikan budi pekerti. Dari angka-
angka tersebut di atas diperoleh gambaran bahwa adanya kecenderungan
perubahan perilaku di kalangan siswa SMA Dwijendra ke arah yang lebih positif.
41
Terjadinya perubahan perilaku siswa SMA Dwijendra ke arah positif
menunjukkan keberhasilan para pendidik (guru) menanamkan nilai-nilai luhur
kebudayaan Bali, baik yang tersurat dan tersirat dalam pendidikan budi pekerti
seperti yang terdapat dalam ceritera Tantri Kamandaka maupun dalam ajaran
Agama Hindu. Tingkat keberhasilan yang dicapai SMA Dwijendra dalam rangka
mengubah perilaku menyimpang siswa tergolong sangat baik. Hal ini terbukti dari
sejak lima tahun terakhir tidak ada lagi siswa yang terlibat, baik sebagai pengguna
ataupun konsumen maupun pengedar obat-obat terlarang. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa penanaman nilai-nilai luhur melalui pendidikan budi pekerti
menunjukkan adanya korelasi signifikan antara keberhasilan yang dicapai dengan
adanya perubahan perilaku pada siswa. Mengenai adanya korelasi signifikan
antara keberhasilan yang dicapai dengan adanya perubahan perilaku pada siswa
dapat dilihat secara jelas dalam tabel sebagai berikut:
Tabel IV-3 Responden Digolongkan Menurut
Pengakuannya Atas Keberhasilan Yang Dicapai dengan Adanya Perubahan Perilaku Siswa
No. Pengakuan responden Angka absolut Persentase 1. Berhasil dengan baik sekali 19 63,33 2. Berhasil dengan baik 5 16,67 3. Tidak berhasil 6 20,00 Jumlah 30 100,00
Sumber : Diolah dari data primer tahun 2003
Dari tabel tersebut di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa dari 30 orang
responden yang diwawancarai 19 orang responden atau 63,33 persen mengatakan
berhasil dengan baik sekali; 5 orang responden atau 16,67 persen mengatakana
berhasil dengan baik; dan 6 orang responden atau 20,00 persen mengatakan tidak
berhasil. Secara kuantitatif jika dicermati tabel IV-3 bahwa tingkat keberhasilan
42
yang dicapai berkorelasi signifikan dengan adanya perubahan perilaku di kalangan
siswa. Hal ini, berarti menunjukkan keberhasilan rancangan kurikulum SMA
Dwijendra dalam mengartikulasi tuntutan sesuai dengan konstelasi jaman.
Rancangan kurikulum yang demikian diharapkan terus diupayakan oleh para
praktisi pendidikan agar out-put atau keluaran tetap memiliki kualifikasi yang
layak. Selain itu, diharapkan setiap institusi-institusi pendidikan khususnya SMA
Dwijendra agar out-put atau keluarnya mampu bersaing di tingkat bursa tenaga
kerja.
Jika diperhatikan mengenai tingkat perilaku menyimpangan siswa SMA
Dwijendra dapat dikategorisasikkan menjadi tiga bagian. Pertama, tingkat
perilaku penyimpangan tinggi adalah siswa yang melakukan penyimpangan
terhadap tata tertib sekolah lebih dari 4 (empat) kali dalam seminggu; Kedua,
tingkat perilaku penyimpangan sedang adalah siswa yang melakukan
penyimpangan terhadap tata tertib sekolah 2-3 (dua sampai tiga) kali dalam
seminggu; Sedangkan ketiga, tingkat penyimpangan rendah adalah siswa yang
melakukan penyimpangan terhadap tata tertib sekolah 0-1 (nol sampai satu) kali
dalam seminggu. Untuk lebih jelasnya gambaran mengenai tingkat perilaku
penyimpangan siswa terhadap tata tertib sekolah sebelum diterapkannya
kurikulum dengan muatan lokal pendidikan budi pekerti dapat dilihat dalam tabel
sebagai berikut:
43
Tabel IV-4 Reponden Digolongkan
Menurut Tingkat Penyimpangan Siswa Sebelum Penerapan Pendidikan Budi Pekerti
No. Pengakuan responden sebelum penerapan pendidikan budi pekerti
Angka absolut Persentase
1. Tingkat penyimpangan tinggi 6 20,00 2. Tingkat penyimpangan sedang 3 10,00 3. Tingkat penyimpangan rendah 21 70,00 Jumlah 30 100,00
Sumber : Diolah dari data primer tahun 2003
Dilihat dari tabel tersebut di atas, maka dari 30 orang responden yang
diwawancarai mengatakan 6 orang responden atau 20 persen tergolong
berperilaku menyimpang tinggi; 3 orang responden atau 10 persen tergolong
berperilaku menyimpang sedang; 21 orang responden atau 70 persen tergolong
berperilaku menyimpang rendah. Tingginya tingkat perilaku penyimpangan siswa
SMA Dwijendra terhadap tata tertib sekolah menunjukkan adanya krisis identitas
dan terjadinya degradasi moral.
Selanjutnya sejak tahun ajaran 1985/1986 SMA Dwijendra menerapkan
kurikulum bermuatan lokal. Adapun bidang studi yang termasuk muatan lokal
adalah Agama Hindu, bahasa daerah (Bali), dan pendidikan budi pekerti.
Tampaknya dengan masuknya pendidikan budi pekerti sebagai bidang studi yamg
diajarkan mulai dirasakan adanya perubahan perilaku siswa yaitu taat terhadap
tata tertib sekolah. Gambaran mengenai adanya hubungan antara bidang studi
pendidikan budi pekerti dengan perubahan perilaku siswa SMA Dwijendra dapat
diuraikan dalam tabel di bawah ini.
44
Tabel IV-5 Reponden Digolongkan
Menurut Tingkat Penyimpangan Siswa Sesudah Penerapan Pendidikan Budi Pekerti
No. Pengakuan responden sebelum penerapan pendidikan budi pekerti
Angka absolut Persentase
1. Tingkat penyimpangan rendah 27 90,00 2. Tingkat penyimpangan sedang 1 3,33 3. Tingkat penyimpangan tinggi 2 6,67 Jumlah 30 100,00
Sumber : Diolah dari data primer tahun 2003
Bertolak dari tabel di atas, dari 30 orang responden yang diwawancarai
mengatakan bahwa 27 orang responden atau 90 persen tergolong perilaku
penyimpangan rendah; 1 orang responden atau 3,33 persen tergolong perilaku
penyimpangan sedang; 2 orang responden atau 6,67 persen tergolong perilaku
penyimpangan tinggi. Dengan demikian, dapat diasumsikan terjadinya penurunan
tingkat perilaku penyimpangan siswa terhadap tata tertib sekolah terkait erat
dengan keberhasilan peran guru dalam menanamkan nilai-nilai batas moralitas
dan kesopanan melalui pendidikan budi pekerti.
4.4 Cara-Cara Menanggulangi Perilaku Penyimpang
Secara tegas, mengenai kewenangan SMA Dwijendra di Denpasar dalam
menyelesaikan masalah-masalah kenakalan anak didiknya telah diatur dalam
aturan yang berupa ketentuan tata tertib sekolah. Tata tertib SMA Dwijendra
memuat 18 (delapan belas) butir ketentuan menyangkut tentang kewenangan
sekolah sebagai institusi pendidikan terutama dalam mengatur dan menyikapi
berbagai masalah kenakalan adik didik. Dari 18 (delapan belas) butir ketentuan
yang dimuat dalam tata tertib terdapat satu diantaranya yakni butir 18 menyangkut
45
tentang ketentuan sanksi yang dikenakan kepada siswa yang melakukan
pelanggaran. Khusus mengenai sanksi-sanksi atas pelanggaran yang dilakukan
siswa SMA Dwijendra diatur dalam butir 18 (delapan belas) yang terdiri atas ayat
a dan b yang berbunyi sebagai berikut :
a. Anak yang terlambat harus melapor kepada guru piket atau kepala sekolah, atas perkenan guru piket atau kepala sekolah baru boleh masuk kelas dengan membawa surat izin;
b. Bila ternyata ada anak-anak yang melanggar tata tertib di atas dikenakan sanksi-sanksi sebagai berikut : 1. Siswa wajib melengkapi kekurangannya (setelah rapi baru boleh
masuk kelas atas izin guru yang sedang mengajar di kelas); 2. Tidak dibenarkan untuk mengikuti pelajaran; 3. Diskors, dipindahkan kelasnya/diberi surat pindah keluar dari
sekolah yang bersangkutan. Semua bentuk sanksi di atas (1,2,dan 3) diambil dan diputuskan sesuai tingkat pelanggaran (dikutif dari tata tertib SMA Dwijendra).
Berdasarkan ketentuan tata tertib tersebut di atas, diharapkan semua komponen
sekolah dapat disinergikan untuk mencegah timbulnya pelbagai bentuk-bentu
pelanggaran. Kajian analisis mengenai bentuk-bentuk pelanggaran yang dilakukan
oleh siswa SMA Dwijendra akan dari dua sudut, yaitu :
A. Berdasarkan Tata Tertib Sekolah
Tata tertib sekolah merupakan seperangkat aturan yang dipakai sebagai
dasar untuk mengatur berbagai aktivitas siswa, baik menyangkut proses belajar
mengajar di dalam kelas maupun menyangkut kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler.
Kompleknya permasalahan kenakalan remaja yang melanda kalangan siswa SMA
Dwijendra menyebabkan institusi pendidikan ini sangat berhati-hati dalam
menyelesaikannya. Dalam menanggulangi perilaku menyimpang di kalangan
siswa SMA Dwijendra selain tetap mengacu pada tata tertib yang berlaku juga
ditempuh dua model pendekatan, yaitu :
46
1. Model Pendekatan Individu
Model pendekatan individu adalah sebuah model pendekatan yang
dipergunakan institusi pendidikan SMA Dwijendra untuk menanggulangi berbagai
perilaku menyimpang yang dilakukan oleh siswa yang lebih mengutamakan azas
kekeluargaan. Dalam model pendekatan ini, yang sangat menonjol adalah peran
aktor, yaitu guru BP (bimbingan dan penyuluhan), dan guru piket yang mendapat
pendelegasian tugas dan sekaligus merupakan perpanjangan tangan dari kepala
sekolah sebagai megang kekuasaan tertinggi di tingkat sekolah. Model pendekatan
ini dapat dilakukan secara berjenjang. Jenjang yang palaing bawah terutama
memperhatikan keadaan siswa sehari-hari dilakukan oleh guru piket dan guru BP
sesuai dengan kewenangannya dan jenis serta lokasi kejadian, sedangkan jenjang
yang terkhir adalah di tingkat institusi dilakukan oleh kepala sekolah sebagai
hakim perdamaian sekolah yang mempunyai kekuasaan penuh.
Peran aktor, yaitu guru piket dan guru BP atas dasar kewenangannya
berhak memanggil pihak-phak siswa yang bermasalah. Mereka diajak duduk
bersama untuk menyelesaikan masalahnya. Bilamana guru piket dan guru BP
tidak berhasil menyelesaikan masalah kedua belah pihak yang sedang bertikai,
selanjutnya masalah tersebut akan diserahkan pada kewenangan kepala sekolah.
Sebelum dilakukan rapat sekolah, biasanya pendekatan individu yang
menonjolkan peran aktor yaitu kepala sekolah akan ditempuh apabila masalah
tersebut tidak dapat diselesaikan oleh guru BP dan guru piket sebagai wakil
perdamaian sekolah.
47
Strategi yang ditempuh, baik oleh guri BP, guru piket maupun kepala
sekolah dalam menjalankan tugasnya adalah memanggil pihak-pihak yang
bersengketa. Mereka diajak berembug, kemudian kepala sekolah yang dibantu
guru BP, dan guru piket selaku hakim perdamaian sekolah menawarkan solusi
kepada masing-masing pihak.
Secara ideal, diharapkan setiap permasalahan dapat diselesaikan sebaik
mungkin dengan menghindari timbulnya permasalahan baru. Bail kepala sekolah
maupun guru BP dan guru piket sebagai hakim perdamain sekolah tidak segera
memberikan keputusan, melainkan memberikan tenggang waktu kepada pihak-
pihak yang berngketa. Untuk memikirkan solusi yang ditawarkan. Ditempuhnya
cara ini, mempunyai tujuan ganda, yaitu: (1) diharapkan masing-masing pihak
yang bersengketa atas kehendak sendiri secara bersama-sama mengadakan
perdamaian sesuai kesepakatan mereka; (2) sementara itu, baik kepala sekolah
maupun guru BP dan guru piket dapat memberikan pertimbangan dan keputusan
yang adil kepada masing-masing yang bersangkutan.
2. Model Pendekatan Institusi
Model pendekatan institusi adalah model pendekatan yang dipergunakan
dalam menyelesaikan berbagai kejadian-kejadian perilaku menyimpang yang
dilakukan siswa SMA Dwijendra. Dalam model pendekatan institusi ini, intinya
dari setiap suatu tindakan menyimpang diputuskan berdasarkan atas musyawarah
dan mufakat serta tetap berpegang teguh tata tertib sekolah yang berlaku. Menurut
pengakuan seorang guru SMA Dwijendra pernah ada seorang siswa yang terlibat
suatu perkelaian, kasusnya kemudian diselesaikan melalui mekanisme model
48
pendekatan institusi. Model pendekatan institusi, lebih mengutamakan peran
sekolah sebagai institusi pendidikan untuk mengambil keputusan-keputusan
terkait dengan penyimpang-penyimpangan yang dilakukan kalangan siswa SMA
Dwijendra. Mekanisme model pendekatan ini, setiap keputusan yang diambil
melalui rapat dewan guru berdasarkan musyawarah dan mufakat, sedangkan
kepala sekolah hanya bertindak sebagai perpanjangan tangan dari institusi
pendidikan SMA Dwijendra.
Biasanya, model pendekatan institusi dilaksanakan apabila model
pendekatan individu gagal memutuskan suatu perkara secara damai. Artinya,
masih ada di antara pihak-pihak yang bersengketa belum menerima solusi yang
ditawarkan pihak guru BP dan guru piket sehingga dipandang perlu untuk
dilanjutkan ke jenjang institusi. Keputusan yang diambil tersebut dipakai sebagai
dasar untuk menindak siswa yang melakukan pelanggaran terhadap tata tertib
sekolah. Mengenai sanksi yang dijatuhkan kepada siswa sangat tergantung dari
tingkat pelanggaran. Dilihat dari tingkatan dan jenis pelanggaran yang dilakukan
siswa terkait dengan sanksi yang dijatuhkan dapat dikategorikan yaitu: kelompok
pelanggaran dengan sanksi ringan, kelompok pelanggaran dengan sanksi
peringatan keras (contoh diskor dari sekolah), kelompok pelanggaran dengan
sanksi diberhentikan sebagai siswa SMA Dwijendra.
B. Berdasarkan Hukum
Sesungguhnya jika kita telusuri berbagai jenis kenakalan di kalangan siswa
SMA Dwijendra dapat digolongkan ke dalam bentuk kenakalan remaja. Tidak
semua jenis kenakalan atau bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh siswa dapat
49
diatur berdasarkan tata tertib sekolah mengingat kompleksnya masalah-masalah
kenakalan remaja. Khusus mengenai perilaku penyimpangan di kalangan siswa
SMA Dwijendra yang terlibat penggunaan obat-obat terlarang, pergaulan bebas
yang mengakibatkan terjadinya kehamilan siswa di luar nikah tergolong bentuk
penyimpangan berat. Dikatakan tergolong bentuk penyimpangan berat karena tata
tertib sekolah yang diberlakukan tidak mengatur perilaku penyimpangan siswa
yang demikian. Kasus tersebut di atas dan kasus-kasus lainnya yang serupa
tampaknya sangat sulit dicari solusi pemecahannya dengan hanya bersandarkan
pada tata tertib yang berlaku.
Dikatakan demikian, oleh karena keterbatasan dari sifat berlakunya tata
tertib sekolah hanya sebatas mengatur perilaku penyimpangan siswa yang
digolongkan ringan. Sedangkan perilaku penyimpangan siswa yang tergolong
berat (penggunaan obat-obat terlarang, pergaulan bebas dan lain-lainnya) sulit
dicari solusi pemecahannya. Jika sekolah menemukan anak didiknya demikian
sekolah bersangkutan wajib berkoordinasi atau melaporkan kepada pihak
berwajib. Tujuannya untuk menghindari agar anak-anak didik yang lainnya tidak
terbawa arus pergaulan yang demikian.
Berdasarkan informasi yang diperoleh di lapangan mengatakan bahwa
pernah ada seorang siswa SMA Dwijendra terlibat dalam penggunaan obat-obat
terlarang. Penanganan kasus tersebut tidak sepenuhnya diserahkan kepada pihak
berwajib, tetapi penyelesaiannya menggunakan pendekatan persuasif. Pertama-
tama pihak sekolah memanggil orang tua wali murid bersangkutan agar pihak
orang tua wali murid tersebut berkenan memperhatikan secara khusus tingkah
50
laku siswa di lingkungan keluarga. Apabila dengan cara itu, tidak juga berhasil
maka ditempuh cara lain yakni melaporkan kasus tersebut kepada pihak berwajib.
Proses penyelesaian kasus demikian biasanya bersandar pada hukum yang
berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia yakni Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana atau yang lazim disingkat KUHP. Berdasarkan KUHP pihak
berwajib melakukan penyidikan sejauh mana keterlibatan siswa tersebut
penggunakan obat-obat terlarang. Dalam proses penyidikan pihak kepolisian
mengumpulkan sebanyak mungkin bukti-bukti, dan saksi-saksi untuk menguatkan
hasil penyidikan di lapangan. Apabila bukti-bukti, saksi-saksi dipandang cukup
kuat dan lengkap, proses selanjutnya menyerahkan berkas hasil penyidikan
kepada pihak Kejaksaan Tinggi Denpasar.
Sesuai dengan tugas dan kewenangan pihak Kejaksaan Tinggi Denpasar
kemudian memeriksa kembali kelengkapan dari berkas tersebut. Jika berkas
tersebut telah memenuhi semua unsur yang menjadi persyaratan utama maka
berkas itu akan dileimpahkan ke Pengadilan Negeri Denpasar. Atas dasar tugas
dan kewenangan Pengadilan Negeri Denpasar kemudian melakukan pemanggilan
terhadap, baik terdakwa (tergugat) maupun saksi.
Dari berkas penyidikkan tersebut pihak Pengadilan Negeri Denpasar
melakukan pemeriksaan terhadap terdakwa. Pemeriksaan dilakukan dengan
maksud agar pihak Pengadilan Negeri Denpasar dapat mengetahui sejauh mana
pihak terdakwa terlibat sebagai pengguna atau pengedar obat-obat terlarang.
Dalam proses persidangan selain menggunakan berkas penyidikan biasanya
seorang hakim juga menghadirkan saksi-saksi. Kehadiran saksi-saksi di dalam
51
persidangan untuk dimintai keterangan-keterangan khususnya menyangkut
keterlibatan terdakwa. Berdasarkan bukti dan keterangan saksi barulah kemudian
seorang hakim dapat memutuskan suatu perkara secara adil.
Dalam memutuskan suatu perkara khususnya menyangkut penyalah-
gunaan obat-obat terlarang (seperti: ganja, ekstasi, dilihat terlebih dahulu oleh
seorang hakim adalah jenis pelanggaran yang dilakukan terdakwa. Berdasarkan
jenis pelanggaran yang dilakukan kemudian seorang hakim medakwa terdakwa
dengan fasal dalam KUHP.
52
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Penelitian ini mengkaji fenomena pendidikan dengan menitik-beratkan
tiga permasalahan utama seperti diuraikan dalam bab pendahuluan. Temuan dari
penelitian ini, sekaligus merupakan butir-butir kesimpulan yang akan diuraikan
sebagai berikut :
1. Secara historis tercatat bahwa sejak mulai tahun ajaran 1985/1986 SMA
Dwijendra menawarkan kurikulum yang berbasis muatan lokal dengan
memasukkan bidang studi, seperti; pendidikan budi pekerti sebagai muatan
lokal baru, sedangkan agama Hindu, dan bahasa daerah merupakan muatan
lokal yang tergolong lama;
2. Para praktisi pendidikan di SMA Dwijendra cukup responsif dengan
perkembangan jaman, sehingga rancangan kurikulum yang bermuatan lokal
sangat tepat dan sesuai dengan konstelasi jaman;
3. Khususnya mengenai muatan lokal pendidikan budi pekerti dapat mencegah
dan mengubah persepsi, perilaku dan penilaian siswa bahwa berbagai bentuk
penyimpangan adalah tindakan yang tidak dibenarkan, baik dari sudut tata
tertib sekolah maupun dari sudut hukum pidana;
4. Sebelum adanya penerapan pendidikan budi pekerti di SMA Dwijendra
tingkat penyimpangan perilaku siswa relatif meningkat;
53
5. Sedangkan sesudah penerapan pendidikan budi pekerti tingkat keberhasilan
yang dicapai SMA Dwijendra menunjukkan adanya penurunan tingkat
penyimpangan perilaku siswa;
6. Hal di atas, menandakan bahwa keberhasilan peran guru bidang studi
pendidikan budi pekerti dalam menanamkan nilai-nilai luhur Kebudayaan
Bali. Melalui pendidikan budi pekerti menunjukkan adanya hubungan positif
dengan terjadinya perubahan perilaku siswa ke arah yang lebih baik.
5.2 Saran
Membaca uraian tentang butir-butir kesimpulan di atas maka melalui
penelitian ini, disumbang juga sejumlah saran yang ada manfaatnya. Adapun
saran yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:
1. Diharapkan SMA Dwijendra terus berupaya menyempurnakan
kurikulum yang ditawarkan kepada siswa;
2. Khususnya mengenai kandungan muatan lokal yang terdapat di dalam
kurikulum sangat diharapkan agar SMA Dwijendra meningkatkan
kinerja guru bidang studi bersangkutan;
3. Dalam menangani berbagai perilaku penyimpangan yang dilakukan
siswa SMA Dwijendra agar menggunakan pendekatan persuasif,
maksudnya untuk menghindari munculnya kelompok-kelompok baru
siswa yang berperilaku menyimpang;
54
4. Diharapkan SMA-SMA di lingkungan Kota Denpasar mencontoh
keberhasilan yang dicapai oleh SMA Dwijendra dalam menekan
terjadinya kelompok siswa yang berperilaku menyimpang.
55
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan, 1995 Hand Out Metode Penelitian Kualitatif Studi Antropologi
Program Pascasarjana UGM. Yogyakarta, Cudamani, Pengantar Agama Hindu. Hanuman Sakti, Jakarta, 1993 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,.
1984 Kamus Istilah Antropologi Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta, Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1984 Tata Krama Pergaulan. Jakarta, Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1997 Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta, Balai Pustaka, Hadi, Sutrisno,
1977 Metodologi Research Jilid I dan II Untuk Penulisan Paper, Skripsi, Thesis, dan Disertasi. Yogyakarta, Penerbit Fakultas Psikologi UGM.
Yitno, Amin, 1993 “Fungsionalisme Dalam Peneluitian Sosial Budaya”
Makalah yang disampaikan dalam Penataran Tenaga Peneliti Madya STSI Surakarta,
Keraf, Gorys
1994 Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta, Gramedia.
Koentjaraningrat, 1977 “Beberapa Dasar Metode Statistik Dan Sampling Dalam
Penelitian Masyarakat” pada Metode-Metode Penelitian Masyarakat. (Koentjaraningrat Ed) Jakarta, Gramedia,
……………….,
1977 “Metode Wawancara” pada Metode-Metode Penelitian Masyarakat. (Koentjaraningrat Ed) Jakarta, Gramedia.
Lamintang, P.A.F. Drs. SH.
1997 Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung, Citra Additya Bakti.
56
Rai S. I Wayan 1999 Aktualisasi Tantri Dalam Aktiviatas Seni Pertunjukkan
Bali. Makalah disampaikan dalam sarasehan Tantri Dalam Rangka Pesta Kesenian Bali XXI, di Gedung Natya Mandala STSI Denpasar, tanggal 10 Juli 1999.
Rodiyah, Hj. Siti, Dra. & Setyowati, Rr. Nanik, Dra
1995 Pendidikan Generasi Muda, Editor Drs. Soelaiman Joesoef. Penerbit Surabaya Intellectual Club Kerjasama dengan IKIP Surabaya.
Suarka, I Nyoman
1999 Tantri dalam Tradisi dan Kebudayaan Bali. Makalah ini dibawakan pada Sarasehan Tantri dalam Rangka Pesta Kesenian Bali Ke-21 di Gedung Natya Mandala STSI Denpasar. tanggal 10 Juli 1999
Supartha, I Gst Ngurah, Swarsi, S. Geriya,
1999 Kajian Nilai Tantri Untuk Memantapkan Jatidiri dan Integrasi Bangsa. Makalah yang disajikan dalam sarasehan PKB XXI, di Gedung Natya Mandala STSI Denpasar, pada hari Sabtu, 10 Juli 1999
Wirawan, A. A. Bagus
2003 Ida I Dewa Agung Istri Kanya Pejuang Wanita Dari Bali pada Abad ke-19, Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UNUD, 2003
Wiryamartana, I Kuntara
1990 Arjunawiwaha. Duta Wacana University Press, Yogyakaarta.
Zoetmulder, PJ
1985 Kalangwan Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Jakarta Djambatan,