nyoman suarta

download nyoman suarta

of 25

description

hukum

Transcript of nyoman suarta

25

BAB IPENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang MasalahPerkembangan Ketenagakerjaan saat ini ditandai dengan babak baru dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial, yakni melalui Pengadilan Hubungan Indutrial dan di luar Pengadilan yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004. Kelahiran Lembaga ini menghapus keberadaan Pantia Penyelesaian Perselisihan Perubahan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1957 tentang penyelesaian Perselisihan Perubahan dan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1964 tentang PHK. Penyelesaian melalui lembaga ini kurang dapat memberikn perlindungan hukum dari segi proses penyelesaian sengketa maupun pelaksanaan putusannya. Apalagi setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menetapkan putusan P4P sebagai objek sengketa tata usaha negara, sehingga jalan yang ditempuh oleh para pihak untuk mencari keadilan semakin panjang.

1Dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial ditetapkan bahwa waktu penyelesaian perselisihan hubungan industrial ditetapkan bahwa waktu penyelesaian perselisihan hubungan industrial secara nonlitigasi (mediasi, konsilasi, dan arbitrasi) dibatasi paling lama 30 hari kerja. Penyelesaian perselisihan Hubungan industrial pada tingkat pertama pada Pengadilan Hubungan Industrial dibatasi waktu paling lama 50 hari kerja dan pada Mahkamah Agung 30 hari kerja. Selain itu adanya pembatasan bahwa hanya perselisihan hak dan perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sama dapat diajukan kasasi pada Mahkamah Agung tanpa melalui prosedur banding. Dengan demikian diharapkan sengketa yang dihadapi para pihak akan segera memperoleh kepastian hukum sesuai dengan asas peradilan cepat, mudah dan biaya ringan.Pembangunan ketenagakerjaan merupakan bagian integral dari pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur yang merata, baik material maupun spritual yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Dalam melaksanakan pembangunan nasional peran serta buruh semakin meningkat dan seiring dengan itu perlindungan buruh harus semakin ditingkatkan, baik mengenai upah, kesejahteraan, dan harkatnya sebagai manusia.[footnoteRef:2]Dengan demikian pembangunan di bidang ketenagakerjaan tidak saja diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya, tetapi perlindungan dan peningkatan kualitas hidup tenaga kerja menjadi bagian yang tidak terpisahkan. [2: Aruan, 2004, Direktorat penyelesaian Perselisihan: Hubungan Industrial Departemen Tenaga kerja dan Transmigrasi Republik Indoensia, Informasi Hukum Vol. 2 Tahun VI, hal.1]

Kondisi ketenagakerjaan Indonesia dari tahun ke tahun masih memiliki kecenderungan yang sama dengan kondisi ketenagakerjaan pada tahun sebelumnya. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada Oktober 2005 misalnya, juga mengakibatkan meningkatkan biaya produksi perusahaan-perusahaan pemberi pekerjaan. Hal ini selain meningkatkan tekanan biaya hidup kepada masyarakat, juga mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk tetap bertahan menjalankan usahanya. Untuk mengefisienkan usahanya perusahaan melakukan pembatasan pekerjaan sampai pada keputusan yang tidak banyak diskusi oleh pekerja, yaitu mengenai pemutusan hubungna kerja (PHK). Gejala PHK ini menjadi perhatian utama pemerintah karena hal ini dapat memperbesar angka pengangguran dan menurunkan daya beli masyarakat. Tekanan biaya hidup pekerja yang semakin tinggi juga menimbulkan tuntutan akan kenaikan upah minimum yang proses penetapannya sejauh ini masih mempunyai banyak kelemahan. Upah pekerja formal yang semakin meningkat akibat kenaikan upah minimum tidak diimbangi dengan meningkatkan upah pekerja informal. Kenaikan upah pekerja formal ini dan membesarkannya lapangan kerja informal telah mengakibatkan perbedaan upah yang semakin meningkat antara pekerja formal dan informal. Selain itu, adanya kecenderungan peningkatan upah pekerja formal di industri besar tanpa mempertimbangkan produktivitas akan berakibat pada penurunan daya saing.

Kondisi tersebut merupakan tantangan yang dihadapi pemerintah dalam hal ini mengatasi permasalahan ketenagakerjaan. Tantanagn tersebut, antara lain dapat disebut seperti berikut. Pertama, menciptakan lapangan formal atau modern yang seluas-luasnya. Tantangan ini tidak mudah diatasi karena iklim ketenagakerjaan yang kurang kondusif dan hal terkait dengan peraturan-peraturan ketenagakerjaan yang msih perlu disempurnakan. Kedua, memberikan dukungan yang diperlukan agar pekerja dapat berpindah dari pekerjaan dengan produktivitas tinggi. Dukungan ini diperlukan agar pekerja informal secara bertahap dapat bergeser ke lapangan kerja formal. Tantanagn ini diikuti dengan kepentingan pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang banyak menyerap tenaga kerja informal. Masalah kekakuan kebijakan ketenagakerjaan yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi, perubahan pola hubungan industrial antara pemerintah, pekerja, dan pengusaha masih menjadi tantangan utama yang harus dihadapi. Tingkat pendidikan, keterampilan/keahlian dan kompetensi tenaga kerja, juga masih menjadi tantangan utama yang harus dhihadapi. Tingkat pendidikan, keterampilan/keahlian dan kompetensi tenaga kerja, juga masih harus ditingkatkan.[footnoteRef:3] [3: www.propenas.co.id, tanggal 27 April 2013]

Seiring dengan perkembangan zaman kesempatan kerja semakin terbatas dan semakin banyaknya masayarakat yang mecari pekerjaan mengakibatkan daya saing yang cukup tinggi. Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan jumlah pengangguran karena meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh pengusaha terhadap karyawannya. Pemutusan hubungan kerja ini disebabkan oleh berbagai faktor, salah satu di antaranya disebabkan oleh karyawan kerja, kejujuran, dan tuntutan upah yang lebih tinggi daripada kualitas produk. Pada dasarnya pekerja dan pengusaha sama-sama menginginkan terciptanya hubungan kerja yang harmonis, agar kepentingan masing-masing pihak dapat terwujud. Pekerja menginginkan peningkatan kesejahtraan sementara pengusaha menginginkan profit dan terkendalinya kelangsungan usahanya. Namun dalam realitas dan pengalaman tidak jarang ditemukan pihak masing-masing bersikukuh mengutamakan dan mempertahankan kepentingan sehingga perselisihan hubungan industrial, bahkan menjadi gejolak yang berakhir dengan pemogokan dan pemutusan hubungan kerja.Kenyataan yang hendak digambarkan di atas bahwa telah terjadi hubungan tidak harmonis antara pengusaha sebagai pemilik modal dan buruh sebagai pemilik tenaga pengguna intrumental produksi. Dalam hal ini telah terjadi perbedaan kepentingan antara pengusaha dan buruh, yaitu pengusaha menginginkan tingginya tingkat produksi yang sekaligus berkaitan dengan profit pengusaha, sedangkan pada pihak buruh menginginkan tingginya upah yang sekaligus berkaitan dengan tingkat kesejahteraan. Apabila dilihat dari pandangan Suhanadji dan waspodo bahwa telah terjadi konflik secara berkesinambungan antara pihak pemodal dengan pemilik tenaga penguna intrumen produksi. Perbedaan kepentingan ini sekaligus menempatkan perlu adanya cara-cara yang lebih manusiawi terhadap peraturan dan perundang-undangan yang mengatur hubungan ketenagakerjaan.[footnoteRef:4] [4: Suhanadji dan Waspodo Ts, 2004, Moderniasasi dan Globalisasi, Insan Cendekia, Malang, hlm.36]

Agar tidak terjadi perlakuan yang semana-mena terhadap buruh dalam pasal 158 ayat (1) Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dijelaskan bahwa pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja atau buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut.(1) Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;(2) Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;(3) Mabuk, meminum-menimun keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adikatif lainnya lainnya di lingkungan kerja;(4) Melakukan perbuatan asusila atau perjuadian di lingkungan kerja; menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;(5) Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;(6) Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;(7) Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;(8) Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara;(9) Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

Dalam melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap karyawannya pihak perusahaan tidak dapat langsung melakukan PHK terhadap karyawannya, jika terjadi kesalahan. Pihak perusahaan harus terlebih dahulu mengeluarkan surat peringatan sebanyak 3 (tiga) kali secara berturut-turut kepada karyawannya sesuai dengan pasal 161 ayat (1), (2), dan (3) Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang berbunyi sebagai berikut.(1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut. (2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat ayat (1) masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.(3) Pekerja atau buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentaun Pasal 156 ayat (4).

Di samping itu masalah perselisihan hubungan industrial khususnya mengenai pemutusan hubungan kerja, jika tidak diantisipasi secara cepat dan tepat oleh pemerintah akan dapat menggangu kehidupan sosial ekonomi para perkerja. Konsekuensinya secara signifikan berpengaruh terhadap penurunan produktivitasnya berkaitan dengan pencapaian tujuan-tujuan pembangunan nasional. Ini berarti kemunduran bagi sebuah bangsa yang memang sedang berada pada tingakat negara-negara sedang berkembang sebagaimana dinyatakan dalam teori-teori modernisasi.[footnoteRef:5] [5: Ibid. hlm.40]

Di dalamnya dijelaskan bahwa ada dua jenis negara, yaitu negara maju dan negara sedang berkembang. Negara maju dinyatakan dengan tingakt produksi dan penggunaan barang-barang industri, sedangkan negara sedang berkembang dinyatakan sebagi negara sedang berkembang ada kecenderungan tingginya tingkat perselisihan hubungan industri termasuk pemutusan hubungan kerja.Pihak perusahaan sedapat mungkin menghindari pemutusan hubungan kerja, tetapi jika dengan segala upaya tidak dapat dihindari maka pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan buruh atau pekerja atau dengan serikat buruh atau serikat pekerja (jika ada). Namun, jika pihak perusahaan tidak menginginkan pemutusan hubungan kerja perusahaan tidak dapat sewenang-wenang memperlakukan pekerja atau buruh dengan tidak memberikan pekerjaan, memaksa pekerja atau buruh untuk mengundurkan diri, dan sebagainya. Apabila pihak perusahaan tidak dapat menghindari pemutusan hubungan kerja maka pemutusan hubungan kerja dapat dilakukan dengan cara-cara yang tidak merugikan pekerja/buruh. Misalnya, dengan memenuhi kewajiban membayar hak-hak mereka tanpa menguranginya. Apabila terjadi hal yang sebaliknya, maka pekerja secara hukum memiliki hak untuk mengugat perusahan sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku. Untuk menghindari peristiwa tersebut antara perusahan dan pekerja dapat membangun kesepakatan atau konsensus berupa tindakan disipliner berupa peraturan perusahaan dalam bentuk perjanjian tertulis secara jelas tegas bagi kedua belah pihak. Akan tetapi pada kenyataannya tidak demikian, tidak sedikit ditemukan perusahaan yang menetapkan peraturan secara sepihak tanpa diketahui pekerja bahkan serikat pekerja. Padahal penerapan faktor-faktor acuan bagi orientasi masyarakat pekerja maupun penerapan prinsip-prinsip hukum yang berlaku umum itu harus dilaksanakan berdasarkan dua prinsip keadilan.[footnoteRef:6] Agar tidak mencederai rasa keadilan masyarakat pekerja. Kedua prinsip keadilan bagi penerapan hukum itu adalah prinsip daya laku hukum yang umum dan prinsip kesamaan di hadapan hukum. Prinsip keadilan yang pertama mensyaratkan bahwa suatu kaidah hukum yang diberlakukan sebagai hukum positif akan menjangkau setiap semua orang dalam jangkauan yurisdiksi hukum tersebut, tanpa kecuali. [6: Kusumohamidjojo, Budiono,2000, Kebhinekaan Masyarakat Di Indonesia:Suatu Problematik Filsafat Kebudayaan.PT. Gramedia Widiasarana Indonesi. Jakarta. hlm 25.]

Prinsip keadilan kedua mensyaratkan bahwa semua dan setiap warga negara berkedudukan sama di hadapan hakim yang harus menerapkan hukum. Dalam hal ini termasuk hubungan indutrial antara perusahaan dan masyarakat pekerja. Di samping itu prinsip kesamaan di hadapan hukum merupakan prinsisp yang konstitutif bagi terciptanya keadilan dalam semua sistem hukum. Meskipun demikian berbagai sistem hukum tampaknya menempatkan prinsip kesamaan itu dalam konteks yang berbeda-beda. Oleh karena itu, baik dari komponen-komponen tumpuan itu nyatalah bahwa lembaga-lembaga kenegaraan, baik yang menetapkan kaidah hukum, yang melaksanakannya, maupun yang menindak pelanggaran terhadapnya, dan lebih lagi para pejabat yang menyandang jabatan lembaga-lembaga tersebut memainkan peranan yang besar. Ini menunjukkan bahwa penegakan tata hukum di Indoensia sebagai payung tindakan rasional tergantung pada proses politik.Adanya perlakuan yang tidak memenuhi rasa keadilan pada salah satu pihak terutama bagi para pekerja yang sebenarnya di depan hukum, baik pihak perusahaan maupun pekerja harusnya berada pada posisi setara dan sejajar. Ketidak jelasan posisi ini, bahkan mengundang hubungan industrial yang tidak harmonis, malahan dapat menimbulkan masalah serius. Dalam hal ini masalah-masalah hubungan industrial yang pada gilirannya tidak dapat dihindari munculya masalah yang berkaitan dengan pemutusan hubungan kerja. Hal ini sebagaimana tampak di Kabupaten Gianyar, seperti PHK di Royal Pita Maha dan Padma Hotel Kabupaten Gianyar. Dampak dari PHK umumnya, dapat memunculkan tindakan kekerasan dari para pekerja seperti penyampaian tuntutan, keresahan, untuk rasa, perselisihan, bahkan pemogakan (jika belum PHK). Peningkatan kasus seperti ini dapat menyebabkan hubungan industrial menjadi rawan kemudian, dapat menimbulkan gangguan terhadap proses produksi di perusahaan. Jika hal ini tidak diantisipasi secara baik maka dikhawatirkan akan merugikan semua pihak, baik pekerja, pengusaha, pemerintah maupun masyarakat pada umumnya.Di Kabupaten Gianyar, kasus-kasus pada bidang hubungan industrial, seperti pemutusan hubungan kerja perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh karena masalah pemutusan hubungan kerja lebih banyak terjadi pada sektor industri pariwisata. Sebaliknya, sektor ini tercatat sebagai penyumbang terbesar PAD Kabupaten Gianyar. Padahal sektor pariwisata sangat rentan terhadap gangguan, baik yang berasal dari intern perusahaan maupun pengaruh dari luar perusahaan. Dalam upaya mengantisipasi kemungkinan timbulnya dampak negatif dari kasus-kasus yang terjadi pada bidang hubungan industrial Dinas Tenaga kerja Kabupaten Gianyar perlu memantapkan pelaksanaan sistem hubungan industrial di perusahaan-perusahaan. Di samping itu perlu ditingkatkannya pengawasan terhadap pelaksanaan aturan perundang-undangan pada bidang ketenagakerjaan.Untuk membahas lebih mendalam mengenai masalah hubungan industrial khususnya mengenai pemutusan hubungan kerja, penulis secara khusus melakukan penelitian pada Dinas Tenaga kerja kabupaten Gianyar. Dalam hal ini berkaitan dengan penanganan terhadap masalah pemutusan hubungan kerja di perusahan-perusahan dalam wilayah Pemerintahan Kabupaten Gianyar. Penanganan masalah tersebut oleh pemerintah Kabupaten Gianyar melalui Dinas Tenaga kerja terutama dalam pelaksanaan wewenang yang melekat pada lembaga itu dapat diduga mengalami kesulitan-kesulitan. Faktor-faktor yang menyebabkan kesulitan tersebut dipandang sebagai faktor penghambat yang menarik ditelusuri kejelasannya sebagai sebuah penelitian. Selain itu, juga perhatian lebih diutamakan atau didahulukan pada mekanisme yang ditempuh Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Gianyar dalam menyelesaikan masalah pemutusan hubungan kerja tersebut. Mekanisme ini dapat dipandang sebagai bentuk-bentuk regulasi Pemerintah Kabupaten Gianyar dalam mengimplementasikan kewenangan yang dimilikinya sesuai dengan undang-undang ketenagakerjaan.Untuk mengetahui lebih jauh mengenai penyelesaian sengketa hubungan idustrial, mekanisme, dan faktor penghambet yang dihadapi Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Gianyar dalam menangani masalah pemutusan hubungan kerja dalam penelitian ini secara khusus membahas kewenangan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Gianyar dalam menangani masalah pemutusan hubungan kerja berdasarkan tinjauan yuridis terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.1.2. Rumusan MasalahBerdasarkan uraian latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut.1. Bagaimana Pengaturan penyelesaian sengketa hubungan industrial berdasarkan undang-undang ketenaga kerjaan?2. Bagaimana Peran Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Gianyar dalam penyelesaian sengketa hubungan industrial ?1.3. Ruang Lingkup MasalahUntuk permudah dalam penyelesaian masalah ini maka dipandang perlu untuk membuat suatu batasan yang dapat berfungsi sebagai acuan agar dalam pembahasan tidak keluar dari pokok permasalahan. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa pada dasarnya penelitian ini hendak mengungkap dan mendeskripsikan bagaiamana kewenangan yang dimiliki Dinas Tenaga Kerja Kab. Gianyar dalam pengaturan masalah pemutusan hubunga kerja kedua Peran Dinas Tenaga Kerja dalam penyelesaian masalah pemutusan hubungan Industrial. Maksud tersebut pada prinsipnya merupakan pembatas terhadap penelitian lingkungan ini, yaitu mengenai masalah pemutusan hubungan kerja, pengaturan yang ditempuh.Tinjauan empiris terhadap Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang penyelesaian Perselisishan Hubungan Industrial.1.4. Tujuan Penulisan1.4.1. Tujuan UmumPenelitian ini secara umum hendak mengungkap dan mendeskripsikan Peran Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Gianyar dalam menangani masalah pemutusan hubungan kerja berdasarkan kajian empiris terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.1.4.2. Tujuan KhususPemahaman terhadap kebijakan Pemerintah kabupaten Gianyar terutama yang dilaksanakan oleh Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Gianyar dalam menyelesaikan masalah pemutusan hubungan kerja diarahkan untuk mencapai tujuan penelitian seperti berikut.a. Untuk mengetahui dan memahami kejelasan tentang Peran Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Gianyar dalam menangani masalah pemutusan hubungan kerja.b. Untuk mengetahui dan memahami kejelasan tentang Pengaturan penyelesaian masalah pemutusan hubungan kerja yang ditangani oleh Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Gianyar.1.5. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis : 1.5.1. Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk menambah reverensi hukum khususnya hukum ketenaga kerjaan.1.5.2. Manfaat Praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Gianyar dalam hal menangani masalah ketenaga kerjaan di Kabupaten Gianyar. 1.6. Landasan Teoritis Dalam pasal 1 angka 2 undang-undang tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan di sebutkan bahwa tenaga kerja adalah :setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat.Selanjutnya penyelesaian sengketa Joni Emirzon memberikan pengertian konplik atau perselisihan atau percecokan adalah adanya pertentangan atau ketidaksesuaian antara para pihak yang akan dan sedang mengadakan hubungan atau kerja sama.[footnoteRef:7] [7: Joni Emirzon, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. hlm. 21]

Pengertian tentang pemutusan hubungan kerja menurut Pasal 1 ayat 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial adalah sebagai berikut: Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakuakan oleh salah satu pihak

Disamping pengusahan dan pekerja, banyak unsur masyarakat yang secara langsung dan tidak langsung berperan dan memberi kontribusi atas keberhasilan perusahaan, dan juga mempunyai kepentingan secara langsung atau tidak langsung atas keberhasilan perusahaan tersebut. keluarga mungkin memasok bahan baku, menyewakan tanah, menyewakan barang-barang modal atau menyediakan tenagakerja. beberapa perusahan mungkin menyediakan atau memasok barang setengah jadi. perusahaan lain mungkin membeli dan menggunakan produk setengah jadi dari perusahan dimaksud untuk menghasilkan produk baru. masyarakat konsumen sangat berkepentingan atas kelangsungan penyediaan barang di pasar. Bila suatu barang tertentu menjadi tidak tersedia di pasar masyarakat terpaksa mencarinya di tempat lain yang mungkin sangat jauh atau harus mencari barang pengganti (substitusi).Bagi Pemerintah, setiap usaha yang dilakukan oleh masyarakat kecuali atau besar, di sektor formal atau sektor formal, mempunyai peran dan makna yang sangat penting, baik sebagai sumber kesempatan kerja dan penghasilan, maupun menyediakan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, kemudian juga untuk mendorong pertumbuhan potensi pembayaran pajak.[footnoteRef:8] [8: Payaman J. Simanjuntak, 2011, Manajemen Hubungan Industrial, fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 8 ]

Konflik antara golongan atas dan bawah, yaitu antara pemilik modal dan tenaga kerja dalam kaitannya dengan industrial tidak jarang ditemukan dalam pengalaman hidup sehari-hari. Perselisihan di antara pengusaha dengan peran pekerja atau serikat pekerja dapat dikatakan sebagai perselisihan hubungan Industrial. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial (UU PPHI) dijelaskan bahwa perselisihan hubungan industrial dapat dibagi menjadi empat kategori seperti berikut.a. Perselisihan Hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.b. Perselisihan Kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan dan atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.c. Perselisihan PHK adalah perselisihan yang timbul akibat tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak (pengusaha dan pekerja).d. Perselisihan antar-Serikat Pekerja adalah perselisihan antara serikat pekerja dengan serikat pekerja lainnya hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban keserikatpekerjaan.

Dari empat klasifikasi perselisihan hubungan di atas dapat diketahui bahwa perselisihan hubungan industrial disebabkan oleh terjadinya kesalahpahaman atara pekerja dan pengusaha sehingga timbul rasa ketidakadilan dari salah satu pihak yang menimbulakan perselisihan. Pada tingkat emosional perselisihan dapat berlanjut hingga ke perselisihan paham dan ideologi setelah melewati level politik dan kebudayaan. Apabila sampai pada tingkat ideologi menurut pandangan teori konflik.[footnoteRef:9] [9: John Rawls, ,2006, Teori Keadilan: Dasar-dasar Filasafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Dalam Negara, Pustaka pelajar, Jogja karta hlm.58.]

Bahwa perselisihan itu cenderung tidak dapat diselesaikan tanpa melibatkan lembaga hukum, bahkan kekerasan fisik pun dapat terjadi sebagai kelanjutannya. Ini berarti bahwa konflik terjadi dimulai dari tataran ekonomi, apabila tidak diselesaikan maka akan berlanjut pada tataran ideologi. Umumnya, pada tataran ini penyelesaian konflik cenderung telah melibatkan payung hukum, malahan pada tataran ini konflik cenderung memunculkan tindakan kekerasan, seperti unjuk rasa misalnya.Sebaik-baiknya penyelesaian konflik yang dalam hubungan industrial dijelaskan dengan terminologi perselisihan memang lebih baik melakukan pencegahan, agar konflik tidak terjadi. Terlebih lagi dalam hubungan kerja atau industrial yang pada intinya hubungan industrial memiliki orientasi hidup dan kesejahteraan. Walaupun demikian, bukan berarti penelitian hendak mengabaikan konflik atau perselihan dalam perusahaan, melainkan melihat wewenang Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Gianyar melalui Dinas Tenaga Kerja dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang terjadi di wilayah pemerintahan tersebut. Ini perlu mendapat perhatian pemerintah karena perselisihan hubungan kerja atau industrial tidak jarang berakhir dengan pemutusan hubungan kerja. Ini merupakan masalah serius, baik oleh pemerintah, perusahaan, maupun pekerja sendiri. Oleh karena itu perlu diketahui dan dipahami kewenangan yang melekat pada pemerintah dalam hal ini Dinas Tenaga KerjaKabupaten Gianyar berkaitan dengan penyelesaian pemutusan hubungan kerja tersebut. Hal ini sejalan dengan teori konflik bahwa dalam penyelesaian konflik dapat dilakukan oleh pihak ketiga, yakni yang tidak memiliki kepentingan langsung atas konflik yang sedang berlangsung.[footnoteRef:10] [10: Pruit , Rubin, 2004, Teori Konflik Sosial, Pustaka pelajar, Jogjakarta,.hlm.55.]

Kewenangan dalam menangani perselisihan hubungan industrial khususnya pemutusan hubungan kerja oleh Dinas Tenaga Kerja kabupaten Gianyar. Untuk mengatasi terjadinya perselisihan diantara pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja yang mengakibatkan terjadinya pemutusan hubungan kerja khususnya di Kabupaten Gianyar, maka pemerintah Kabupaten Gianyar melalui Dinas tenaga Kerja mempunyai kewenangan dalam menangani masalah pemutusan hubungan kerja dengan memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perUndang-Undangan ketenagakerjaan, khususnya mengenai penyelesaian pemutusan hubungan kerja.Adapun lembaga-lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan tersebut diatas adalah sebagai berikut :(1) Bipartit, sebelumnya perselisahan diajukan kepada lembaga penyelesaian perselisihan, maka setiap perselisihan wajib diupayakan penyelesaiannya secara bipartit, yaitu musyawarah antara pekerja dengan pengusaha. Proses bipartit ini harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari. Jika melewati 30 hari salah satu pihak menolak untuk berunding atau perundingan tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu atau kedua belah pihak harus mencatatkan perselisihannya ke Disnaker.(2) Mediasi adalah lembaga penyelesaian perselisihan yang berwenang terhadap penyelesaian semua jenis perselisihan. Lembaga mediasi ini pada dasarnya hampir sama dengan lembaga perantara disnaker sebagaimana yang telah dikenal. Petugas yang melakukan mediasi adalah mediator yang merupakan pegawai dinas tenaga kerja yang akan memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih. Perbedaannya adalah jika sebelumnya setiap perselisihan wajib melalui proses perantaraan (mediasi) terlebih dahulu, maka berdasarkan UU PPHI ini (selain perselisihan hak), pihak disnaker terlebih dahulu menawarkan kepada para pihak untuk dapat memilih konsiliasi atau arbitrase (tidak langsung melakukan mediasi). Jika para pihak tidak menetapkan pilihan melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari, maka penyelesaian kasus akan dilimpahkan kepada mediator. Adapun terhadap perselisihan hak, maka setelah menerima pencatatan hasil bipartit, maka disnaker wajib meneruskan penyelesaian perselisihan kepada mediator. Hal ini dikarenakan pengadilan hubungan industrial hanya dapat menerima gugatan perselisihan hak yang telah melalui proses mediasi. Setelah menerima pelimpahan perselisihan, maka mediator wajib menyelesaikan tugasnya selambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan perselisihan. Jika penyelesaian melalui mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan hubungan industrial.(3) Konsiliasi merupakan lembaga penyelesaian perselisihan yang berwenang untuk menjadi penengah seperti masalah : perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, Perselisihan antar-Serikat Pekerja. Yang bertugas sebagai penengah adalah konsiliator, yaitu orang yang memenuhi syarat-syarat sesuai ketetapan menteri dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih. Jika proses konsiliasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan hubungan industrial.(4) Arbitrase adalah lembaga yang berwenang untuk menjadi wasit dalam perselisihan kepentingan, Perselisihan antar Serikat Pekerja. Yang bertugas menjadi wasit adalah arbiter. Para arbiter ini dapat dipilih poleh para pihak yang berselisih dari daftar ditetapkan oleh menteri.[footnoteRef:11] [11: Ketentuan umum Undang-Undang Nomor 2Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.]

Berdasarkan uraian di atas perselisihan hubungan industrial khususnya mengenai pemutusan hubungan kerja, jika tidak menemukan kesepakatan setelah melalui beberapa proses pada lembaga yang berwenang, maka permasalahan ini dapat diajukan kepada pengadilan hubungan industrial, adapun yang dimaksud dengan pengadilan industrial adalah lembaga peradilan yang berwenang memeriksa danmemutuskan semua jenis perselisihan. Hakim yang memerikasa dan memutuskan perselisihan tersebut di atas terdiri dari hakim dari lembaga peradilan dan hakim ad-hoc. Pada pengadilan ini, serikat pekerja dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum mewakili anggotanya.[footnoteRef:12] [12: Ibid, pasal 1.]

1.7. Hipotesis Dari permasalah tersebut diatas dapatlah dibuat jawaban sementara atau hipotesis dalam skripsi ini sebagai berikut : a. Pengaturan penyelesaian hubungan kerja yang dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja Kebapaten Gianyar, diawali dengan pemangggilan kedua belah pihak pengusaha dan tenaga kerja untuk diadakan pendekatan penyelesaian musyarawah mufakat/ Win-Win Solusion, jika tidak berhasil dilanjutkan dengan mediasi, fasilitator sampai menemui kesepakatan kedua belah pihak b. Dinas Tenaga Kerja Kabuapten Gianyar memiliki Peran dalam menangani masalah pemutusan hubungan kerja sesuai dengan undang-undang nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Penyelesaian Hubungan Industrial;

1.8. Metode Penelitian 1.8.1. Jenis Penelitian Pendekatan masalah yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah secara empiris yakni mengkaji permasalahan yang ada dari aspek hukum yang kemudian akan disesuiakan dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat yaitu yang terjadi dalam praktek yang sebenarnya.1.8.2. Sumber Data/ Bahan Hukum Penelitian Hukum Emperis sumber data di peroleh melalui data primer sebagai data utama dan data sekunder yang berupa bahan hukum dipakai sebagai bahan pendukung. Data primer adalah data yang langsung di peroleh dari responden atau nara sumber tentang obyek yang diteliti, sedangkan data sekunder berupa bahan hukum primer yang meliputi peraturan perundang-undangan, dan bahan hukum sekunder yang meliputi buku, hasil penelitian, jurnal hukum, pendapat hukum dan sebagainya. Adapun data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Data kasus sengketa hubungan industrial di Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Gianyar.2. Wawancara dengan para pejabat seperti Kepala Dinas Tenaga Kerja, Kepala Bidang Ketenagakerjaan dan Staf yang membidangi. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum primer diantaranya adalah : a. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;b. Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.c. Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Hubungan Industrial. Bahan Hukum Sekunder yaitu datadata yang berhubungan erat dengan bahan hukum primer, yang dapat memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer untuk membantu menganalisis permasalahan dalam penelitian, seperti:1. Bukubuku ilmiah yang berkaitan dengan ketenagakerjaan, hubungan industrial.2. Hasilhasil Penelitian yang berkaitan dengan Penelitian.3. Berbagai makalah, majalah, jurnal dan media informasi lainnya yang berhubungan dengan penelitian.Data yang merupakan bahan hukum yang memberikan informasi dan dapat membantu untuk menjelaskan tentang bahan hukum primer dan sekunder, misalnya Kamus Hukum dan Ensiklopedia, Kamus Besar Bahasa Indonesia.

1.8.3. Teknik Pengumpulan DataTeknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penyusunan proposal ini di sesuaikan dengan sumber data yang digunakan. Terhadap sumber kepustakaan, data dikumpulkan dengan cara menggunakan studi dokumen yaitu membaca dan mencatat informasi serta keterangan yang diperoleh literatur-literatur yang ada kaitan dengan pokok permasalahan. Pencatatan dilakukan dengan sistem kartu, sedangkan untuk sumber lapangan digunakan teknik wawancara dengan berdasarkan atas pedoman wawancara yang dilakukan terhadap sumber informasi yaitu Kepala Dinas Tenagakerjaan Kabupaten Gianyar, Kepala Bidang yang membidangi Ketenagakerjaan. Hasil wawancara dicatat dalam catatan lapangan, yang berisi hasil wawancara, tanggal wawancara, dan identitas informan. 1.8.4. Teknik Analisis DataSetelah seluruh data dan informasi dikumpulkan selanjutnya dilakukan analisis secara kualitatif. Hasilnya kemudian disusun secara sistematis dan dihubungkan antara satu dengan yang lainnya, keseluruhan penelitian disajikan secara analisis.

USULAN PENELITIAN PERAN DINAS TENAGA KERJA KABUPATEN GIANYAR DALAM PENYELESAIAN SENGKETA HUBUNGAN INDUSTRIAL

OLEHI NYOMAN SUARTA NIM : 013.501.0.165

FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS DWIJENDRADENPASAR2015

DAFTAR FUSTAKA

Aruan, Direktorat Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia, Informasi Hukum Vol. 2 Tahun VI, 2004.

John Rawls, Teori Keadilan: Dasar-DasarFilsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Dalam Negara, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2006.

Kusumohamidjojo, Budiono. Kebhinekaan Masyarakat di Indonesia: suatu Problematik Filsafat Kebudayan, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2000.

Joni Emirzon, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Suhanadji Dan Wasposo Ts, Modernisasi Dan Globalisasi, Insan Cendekia, Malang, 2004.

Payaman J. Simanjuntak, Manajemen Hubungan Industrial, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 2011.

Pruit, rubin Dalam Teori Konflik Sosial, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2004.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselihan Hubungan Industrial.