Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

583

description

Masa persalinan merupakan suatu periode yang kritis bagi para ibu hamil karena segala kemungkinan dapat terjadi sebelum berakhir dengan selamat atau dengan kematian. Perilaku ibu dalam memelihara kesehatannya dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi dan budaya.Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia masih lebih tinggi.Data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 menunjukkan bahwa AKI 228 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB 34 per 1000 kelahiran hidup. Berdasar kesepakatan global (Millenium Development Goals / MDG’s 2000) diharapkan ada tahun 2015 terjadi penurunan AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup dan AK menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup (Kementerian Kesehatan, 2011). Telah dilakukan berbagai upaya menuju persalinan aman dari sisi medis (provider) namun masih belum menunjukkan hasil memuaskan.Program Jaminan Persalinan (Jampersal) diluncurkan mulai tahun 2011 berdasarkan Permenkes No. 631/Menkes/PER/III/2011 tentang Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan dan Surat Edaran Menkes RI Nomor TU/Menkes/391/II/2011 tentang Jaminan Persalinan (Kementerian Kesehatan, 2011) dan kemudian diperbaiki dengan keluarnya Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 2562/Menkes/PER/XII/2011 tentang hal yang sama. Dengan dimulainya program Jampersal dan masih banyaknya kendala perilaku dan sosial budaya dalam pemilihan penolong persalinan yang tentunya berdampak pada pemanfaatan Jampersal maka penelitian ini dilakukan. Kendala datang baik dari pihak ibu sendiri, dari masyarakat maupun dari fasilitas atau tenaga kesehatan.Penelitian ini mempunyai tujuan umum untuk menyediakan kajian peran sosial budaya dalam upaya peningkatan pemanfaatan program jaminan persalinan.Dalam rangka merubah perilaku masyarakat dengan harapan agar seorang ibu hamil mau bersalin ditolong oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan maka upaya yang harus dilakukan adalah dengan melakukan intervensi melalui 3 tingkatan ekologi yaitu tingkat individu, tingkat interpersonal dan tingkat komunitas atau masyarakat. Pada tingkat individu (ibu) perlu dipahami tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku individu yaitu faktor pemicu, pendukung dan penguat antara lain nilai, kepercayaan, pengetahuan, sikap dan praktek tentang hal-hal terkait masa kehamilan, persalinan dan paska persalinan termasuk KB.Dalam pemilihan perawatan/penolong ibu pada masa maternity (hamil, bersalin dan paska persalinan), ibu akan dipengaruhi orang sekitarnya karena hubungan antara individu/ interpersonal dengan orang di sekitarnya (suami, orangtua, tetangga). Dalam , pemilihan penolong kehamilan (Ante Natal Care/ANC), persalinan, paska persalinan ada faktor yang berpengaruh terhadap hubungan interpersonal yaitu faktor sosial budaya, termasuk demografi, geografi dan akses terhadap fasilitas pelayanan. Pada tingkat komunitas, penetapan praktek perawatan atau pertolongan kehamilan (ANC), persalinan dan paska persalinan ditentukan oleh ketanggapan fasilitas kesehatan terhadap kebutuhan ibu terkait harapan, dukungan/kemudahan serta hambatan dalam mengakses tenaga kesehatan. Hal ini juga dipengaruhi kebijakan pemerintah yang diberlakukan antara lain pembiayaan kesehatan berupa jaminan persalinan (jampersal).Penelitian dilaksanakan sejak bulan Maret sampai dengan selesai pada bulan Desember 2012. Penelitian dilakukan di 6 provinsi berdasarkan cakupan ANC dan PNC dengan pembiayaan Jampersal secara Nasional, sebagai tolok ukur berdasarkan data tingkat provinsi pada tahun 2011 yang diperoleh dari P2JK.Mengacu pada cakupan ANC dan PNC dalam Pembiayaan mempergunakan Jampersal, maka dilakukan klasifikasi provinsi yaitu provinsi dengan cakupan tinggi; provinsi dengan cakupan sedang dan provinsi dengan cakupan rendah dalam pembiayaannya. Pada tiap kategori dipilih 2 provinsi; sehingga dari ketiga kategori didapat 6 Provinsi Aceh, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Maluku Utara dan Banten. Selain dilihat dari cakupan ANC dan PNC diatas, pe

Transcript of Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

Page 1: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal
Page 2: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

 

Page 3: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

i

KATA PENGANTAR

Penyusunan laporan merupakan bagian akhir dari suatu kegiatn penelitian dan

menjadi bagian terpenting untuk menyampaikan seluruh rangkaian tahapan penelitian

yang diakhiri dengn kesimpulan dan rekomendasi. Penyusunan laporan berjudul

“Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jaminan

Persalinan (Jampersal)” berlangsung alot karena penulisannya per kabupaten/kota

diserahkan tanggung jawabnya secara merata kepada anggota tim peneliti. Setiap

peneliti bertanggung jawab terhadap laporan hasil setiap kabupaten/kota, karena hasil

penelitian ini ingin mengungkapkan secara detil keadaan sosial budaya di masing-

masing lokasi.

Pada bab “Hasil” diuraikan secara detil tujuan penelitian yang ingin dicapai di

setiap daerah lokasi penelitian (12 lokasi). Dengan demikian dpat diketahui dan

disampaikan secara spesifik dan detil ke khasan budaya di masing-masing lokasi yang

mengungkapkan keadaan sosial masyarakat. Buku laporan ini dilengkapi dengan foto-

foto yang diambil di daerah penelitian, dilengkapi peta sosial budaya yang merupakan

rangkuman dari engamatan di lapangan oleh peneliti. Melalui gambar, diharapkan

memudahkan pembaca memahami apa yang ingin diungkapkan mengingat cukup

banyak wujud budaya yang sulit diungkapkan hanya dengan kata-kata.

Penelitian ini mengutamakan data kualitatif sebagai kekuatan dari hasil

penelitian, didukung data kuantitatif yang diperoleh dari hasil wawancara terstruktur

kepada ibu yang melahirkan dalam kurun waktu satu tahun sebelum pelaksanaan

pengumpulan data. Tidak mudah menggabungkan kedua jenis data, mengingat tim

peneliti tidak seluruhnya berpengalaman melakukan hal tersebut serta memili “style”

berbeda dalam penulisan suatu hasil kualitatif. Penggabungannya memnutuhkan

usaha keras masing-masing peneliti. Dengan cara penyampaian tersebut diharapkan

lebih mampu mengungkapkan fakta di lapangan dengan lebih detail. Uraian tentang

ritual dan adat istiadat yang masih berlangsung di masyarakat menggambarkan bahwa

masih banyak tradisi yang melekat dalam budaya masyarakat khususnya di perdesaan.

Page 4: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

ii

Harapan peneliti, hasil penelitian ini mampu memberikan sumbangsih dalam

mendukung program penurunan angka kematian maternal dan bayi yang sulit untuk

diturunkan meskipun berbagai upaya telah dilakukan pemerintah. Diharapkan dengan

adanya data dari sisi masyarakat dapat membantu apa yang bisa dilakukan pemerintah

tanpa meninggalkan kondisi di masyarakat. Semoga buku ini dapat menjadi acuan

meskipun terbatas untuk daerah dan sosail budaya tertentu.

Surabaya, Januari 2013

Tim Peneliti

Page 5: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

iii

ABSTRAK Latar Belakang. Pemerintah telah meluncurkan Jampersal sebagai salah satu upaya

menekan Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi yang masih tinggi sebagai percepatan mencapai target MDGs 2015. Perilaku pencarian pertolongan persalinan dipengaruhi nernagai factor termasuk sosial budaya. Tujuan penelitian ini adalah untuk menyediakan kajian peran sosial budaya dalam upaya peningkatan pemanfaatan program jaminan persalinan. Metode Penelitian. Data kualitatif dikumpulkan dengan wawancara mendalam, FGD kepada tokoh masyarakat, dukun bersalin, bidan, kepala puskesmas, didukung data kuantitatif dengan responden ibu yang melahirkan satu tahun terakhir. Lokasi penelitian di 6 propinsi masing-masing ditetapkan satu wilayah puskesmas di desa dan satu di kota. Hasil Penelitian. Menunjukkan masih kuat nilai kepercayaan dan pelaksanaan ritual/adat istiadat masih banyak dilakukan sehingga peran dukun masih dibutuhkan. Sarana transportasi menjadi hambatan utama persalinan di fasilitas kesehatan. Interaksi sosial masyarakat desa menjadi kekuatan sedang di kota fasilitas memadai sehingga akses menjadi mudah. Bidan sudah diterima relative baik di desa maupun di kota oleh masyarakat yang ternyata memiliki pengetahuan kesehatan baik. Sumber pembiayaan persalinan sudah banyak dengan memanfaatkan jampersal namun belum maksimal bahkan cenderung rendah di perkotaan tertentu. Sosialisasi tentang Jampersal menjadi kendala utama disamping masih adanya conflict of interest pada Bidan Praktek Swasta. Kesimpulan. Disimpulkan bahwa Jampersal membantu persalinan aman, namun perlu sosialisasi yang lebih intensif secara menyeluruh. Persalinan dengan bidan sudah membudaya namun dukun masih dibutuhkan masyarakat untuk perawatan ibu dan bayi serta pelaksanaan tradisi Saran: Budaya dan praktek tradisi masih memberikan pengaruh dalam pemilihan penolong persalinan, budaya yang berdampak positip dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan persalinan di bidan dan dilaksanakan di fasilitas kesehatan seperti, sifat kegotong royongan, tradisi 7 bulanan. Perlu pembagian tupoksi bidan dan dukun dan pendanaan Jampersal untuk jasa dukun dan bantuan transportasi.

Page 6: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

iv

ABSTRACT

Background. The National Delivery Assurance (NDA) was launched by the government as

one of effort to push down Maternal Mortality Rate (MMR) and Infant Mortality Rate (IMR) and a booster to reach the target of MDGs 2015. Birth attendance seeking behavior is influenced by various factors including socio-cultural aspect. This research aimed to provide a study on the role of socio-cultural aspect in an effort to raise the utilization of NDA. Method. This research employed a mixed between qualitative and quantitative method with qualitative data as main tool analysis. Qualitative data were collected through in-depth interviews and FGD, whereas quantitative data were collected through survey to mothers who had given birth in the past year. This research was conducted in 6 provinces which were represented by one each primary health center in urban area and rural area. Result. The result of this research showed that traditional value and practice of rituals were still performed, therefore the role of Traditional Birth Attendance (TBA) remain needed. Transportation was the main obstacle in getting delivery assistance in health facilities. Midwives were welcomed both in rural and urban areas. The people had a good knowledge on maternal and child health. The NDA were used as delivery financial source although not yet maximized or even low in certain cities. Socialization of NDA was one of main obstacle in its implementation as well as conflict of interest between government and private practice midwives. Conclusion. The NDA provided cost to support the acceptability of safe delivery assistance, but it’s broader and effective socialization need to be conducted. TBA was needed to care maternal and child health and to assist the tradition. Suggestion. Cultural aspect and practice of tradition play a role on people’s choice to get safe delivery assistance. Some positive aspect of it such as mutual aid, seventh month pregnancy’s ritual can be utilized to raise safe delivery by health worker, in health facilities. NDA support cost of TBA’s service and transportation to reach health facilities.

Page 7: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

v

RINGKASAN EKSEKUTIF

Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program

Jaminan Persalinan (Jampersal)

Masa persalinan merupakan suatu periode yang kritis bagi para ibu hamil

karena segala kemungkinan dapat terjadi sebelum berakhir dengan selamat atau

dengan kematian. Perilaku ibu dalam memelihara kesehatannya dipengaruhi oleh

faktor sosial ekonomi dan budaya.Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi

(AKB) di Indonesia masih lebih tinggi.Data Survei Demografi Kesehatan Indonesia

(SDKI) tahun 2007 menunjukkan bahwa AKI 228 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB

34 per 1000 kelahiran hidup. Berdasar kesepakatan global (Millenium Development

Goals / MDG’s 2000) diharapkan ada tahun 2015 terjadi penurunan AKI menjadi 102

per 100.000 kelahiran hidup dan AK menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup

(Kementerian Kesehatan, 2011). Telah dilakukan berbagai upaya menuju persalinan

aman dari sisi medis (provider) namun masih belum menunjukkan hasil memuaskan.

Program Jaminan Persalinan (Jampersal) diluncurkan mulai tahun 2011

berdasarkan Permenkes No. 631/Menkes/PER/III/2011 tentang Petunjuk Teknis

Jaminan Persalinan dan Surat Edaran Menkes RI Nomor TU/Menkes/391/II/2011

tentang Jaminan Persalinan (Kementerian Kesehatan, 2011) dan kemudian diperbaiki

dengan keluarnya Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 2562/Menkes/PER/XII/2011

tentang hal yang sama. Dengan dimulainya program Jampersal dan masih banyaknya

kendala perilaku dan sosial budaya dalam pemilihan penolong persalinan yang

tentunya berdampak pada pemanfaatan Jampersal maka penelitian ini dilakukan.

Kendala datang baik dari pihak ibu sendiri, dari masyarakat maupun dari fasilitas atau

tenaga kesehatan.Penelitian ini mempunyai tujuan umum untuk menyediakan kajian

peran sosial budaya dalam upaya peningkatan pemanfaatan program jaminan

persalinan.

Dalam rangka merubah perilaku masyarakat dengan harapan agar seorang ibu

hamil mau bersalin ditolong oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan maka upaya

yang harus dilakukan adalah dengan melakukan intervensi melalui 3 tingkatan ekologi

yaitu tingkat individu, tingkat interpersonal dan tingkat komunitas atau masyarakat.

Pada tingkat individu (ibu) perlu dipahami tentang faktor-faktor yang berpengaruh

Page 8: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

vi

terhadap perilaku individu yaitu faktor pemicu, pendukung dan penguat antara lain

nilai, kepercayaan, pengetahuan, sikap dan praktek tentang hal-hal terkait masa

kehamilan, persalinan dan paska persalinan termasuk KB.

Dalam pemilihan perawatan/penolong ibu pada masa maternity (hamil,

bersalin dan paska persalinan), ibu akan dipengaruhi orang sekitarnya karena

hubungan antara individu/ interpersonal dengan orang di sekitarnya (suami, orangtua,

tetangga). Dalam , pemilihan penolong kehamilan (Ante Natal Care/ANC), persalinan,

paska persalinan ada faktor yang berpengaruh terhadap hubungan interpersonal yaitu

faktor sosial budaya, termasuk demografi, geografi dan akses terhadap fasilitas

pelayanan. Pada tingkat komunitas, penetapan praktek perawatan atau pertolongan

kehamilan (ANC), persalinan dan paska persalinan ditentukan oleh ketanggapan

fasilitas kesehatan terhadap kebutuhan ibu terkait harapan, dukungan/kemudahan

serta hambatan dalam mengakses tenaga kesehatan. Hal ini juga dipengaruhi

kebijakan pemerintah yang diberlakukan antara lain pembiayaan kesehatan berupa

jaminan persalinan (jampersal).

Penelitian dilaksanakan sejak bulan Maret sampai dengan selesai pada bulan

Desember 2012. Penelitian dilakukan di 6 provinsi berdasarkan cakupan ANC dan PNC

dengan pembiayaan Jampersal secara Nasional, sebagai tolok ukur berdasarkan data

tingkat provinsi pada tahun 2011 yang diperoleh dari P2JK.Mengacu pada cakupan

ANC dan PNC dalam Pembiayaan mempergunakan Jampersal, maka dilakukan

klasifikasi provinsi yaitu provinsi dengan cakupan tinggi; provinsi dengan cakupan

sedang dan provinsi dengan cakupan rendah dalam pembiayaannya. Pada tiap kategori

dipilih 2 provinsi; sehingga dari ketiga kategori didapat 6 Provinsi Aceh, Nusa Tenggara

Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Maluku Utara dan Banten. Selain dilihat dari

cakupan ANC dan PNCdiatas, pemilihan provinsi dalam penelitian ini juga didasari oleh

persebaran provinsi, agar dalam penelitian ini setiap region dapat terwakili.

Page 9: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

vii

Daftar Provinsi, Kabupaten/Kota dan Puskesmas Sebagai Lokasi Penelitian

PROPINSI KABUPATEN/KOTA PUSKESMAS

1. Aceh

1. Kab. Gayo Lues Pintu Rime

2. Kota Banda Aceh Lampaseh Kota

1. Kab. Bima Parado

2. Kota Mataram Karang Pule

3. Kalimantan Barat 1. Kab. Landak Semata

2. Kota Pontianak Karya Mulya

4. Sulawesi Selatan 1. Kab. Jeneponto Arungkeke

2. Kota Makassar Kasi Kasi

5. Maluku Utara 1. Kab. Halmahera Selatan Mateketen

2. Kota ternate Kota ternate

6. Banten 1. Kab. Lebak Cirinten

2. Kota Cilegon Citangkil

Jenis penelitian ini adalah observasional dengan pengambilan data cross

sectional. Cara pengumpulan data secara kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif

dikumpulkan dengan wawancara terstruktur pada ibu yang melahirkan pada tahun

2011 untuk memperoleh data tentang faktor karakteristik, nilai, kepercayaan,

pengetahuan, sikap dan praktek terkait ANC, persalinan dan paska persalinan serta

alasan dan pengambil keputusan memilih penolong persalinan. Semua hal tersebut

terkait dengan pemanfaatan jampersal.

Data Kualitatif dikumpulkan dengan cara Focus Group Discussion (FGD) dan in-

depth interview (wawancara mendalam) untuk memperoleh informasi tentang sosial

budaya masyarakat dan (ibu, suami, tokoh masyarakat, bidan, dukun, pengelola

program KIA/KB dan jampersal dan Kepala Puskesmas serta Kepala Dinas Kesehatan).

Informasi yang ditanyakan terkait faktor pemicu, pendukung, penguat, hambatan dan

harapan terkait pemanfaatan Jampersal serta peran tenaga kesehatan dalam

pemanfaatan Jampersal.

Populasi dan Sampel Penelitian. Ibu yang melakukan persalinan pada Juni

2011–Mei 2012 baik memanfaatkan Jampersal atau tidak, akan ditetapkan sebagai

sampel dengan cara stratified random sample. Dilakukan listing persalinan di wilayah

puskesmas terpilih (diambil dari kohort). Selanjutnya di setiap wilayah puskesmas

terpilih akan diambil 68 ibu sebagai sampel minimum. Data diolah secara deskriptif

dan disajikan dalam bentuk narasi dan tabel serta gambar.

Page 10: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

viii

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai dan norma menjadi pegangan

masyarakat desa dalam mengatur tingkah lakunya. Norma menjadi ukuran,

pedoman,aturan atau kebiasaan agar orang dapat melakukan penilaian apakah

sesuatu termasuk benar atau salah. Dalam hal kesehatan ibu dan anak, perilaku yang

terlihat masih cukup banyak diwarnai dengan religi ataupun kepercayaan yang masih

dianut. Di lokasi penelitian dengan masyarakat yang masih memegang erat aturan

agama (misal. Aceh, Bima dengan mayoritas pemeluk agama Islam) maka tindakan

yang mereka lakukan seringkali dikaitkan dengan nili-nilai dalam ajaran agama

Islam.Masyarakat kota lebih mengutamakan hukum formal sebagai pengatur

perilakunya.

Kepercayaan terhadap tradisi masih dipegang erat oleh masyarakat di

perdesaan, dan kurang dilaksanakan di perkotaan. Kepercayaan terhadap mistik atau

gaib atau roh, seringkali mendorong perilaku yang merugikan.Masyarakat desa di

lokasi penelitian masih sangat kuat terlibat dalam suatu upacara.Kepercayaan sebagai

unsur budaya tidaklah mudah untuk mengubahnya. Unsur ini sulit diterima masyarakat

khususnya bila menyangkut ideologi dan falsafah hidup. Berbeda dengan kelompok

masyarakat perkotaan yang lebih bersifat individualistik sehingga kedekatan satu

sama lain sudah berkurang. Status sosialnya yang heterogen dengan mata pencaharian

penduduk yang berbagai macam serta kompetitif, tidak bergantung kepada alam

membuat masyarakat kota lebih dinamis. Pada umumnya keterikatan terhadap tradisi

sangat kecil. Masyarakat kota Banda Aceh, Pontianak dan Makasar sudah jarang yang

melakukan ritual dan upacara.

Responden di 12 lokasi penelitian memiliki pengetahuan yang cukup bagus

tentang “persalinan aman bila ditolong bidan”. Namun sikap tidak setuju terhadap

kompetensi bidan yang lebih baik dari dukun yaitu di responden di Halmahera Selatan

dan Gayo Lues tetapi dalam pemilihan penolong persalinan, mereka tetap memilih

bidan.Masyarakat di desa banyak memilih tempat persalinan di rumah ke fasilitas

kesehatan terutama karena lokasi yang sulit transportasi. Responden di kota lebih

cenderung memilih melahirkan di faskes daripada responden yang tinggal di

desa.Pengetahuan, sikap yang baik dan mendukung bukan satu-satunya faktor yang

mampu mendorong seseorang untuk bertindak positip. Masih banyak faktor lain yang

Page 11: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

ix

mendukung perilaku khususnya dalam upaya persalinan. Alam dan lingkungan yang

sulit telah membatasi komunikasi secara langsung bidan dan masyarakat, sehingga

sulit untuk mengakses bidan pada saat dibutuhkan.

Persalinan ditolong oleh bidan merupakan salah satu upaya menurunkan AKI dan

AKB. Pemanfaatan Jampersal mensyaratkan persalinan ditolong tenaga kesehatan dan

dilakukan di fasilitas kesehatan. Pengetahuan tentang keamanan persalinan ternyata

hampir semua responden di 12 lokasi penelitian memiliki pengetahuan yang cukup

bagus tentang “persalinan aman bila ditolong bidan”. Pemilihan penolong persalinan

dukun dengan alasan dukun adalah orang yang dipercaya dan dianggap tepat

membantu ibu saat kehamilan dan persalinan. Dukun adalah orang yang sudah sangat

mereka kenal, disamping dukun menolong dengan biaya yang terjangkau menjadi

pendorong mereka memilih dukun. Ada pandangan bahwa dukun memiliki kompetensi

yang sama dengan bidan dalam menolong persalinan sehingga mendorong memilih

dukun sebagai penolong persalinan. Persalinan adalah proses alamiah, merupakan

anggapan yang umum dan diakui.

Jaminan persalinan diselenggarakan pemerintah dalam upaya memfasilitasi

masyarakat agar mendapat pelayanan pertolongan persalinan aman oleh tenaga

kesehatan yang dilakukan di fasilitas kesehatan. Dengan adanya Jampersal diharapkan

dapat mengakselerasi tujuan MDG’s 4 (status kesehatan anak) dan MDG’s 5 (status

kesehatan ibu). Peran sosial budaya dapat mempengaruhi pemanfaatan jampersal

melalui beberapa hal yaitu sosialisasi, kepesertaan, pendanaan, pelayanan dan

ketenagaan melalui 5 unsur budaya. Berikut kesimpulan dan saran penelitian dengan

perincian unsur budaya yang berpengaruh terhadap pemanfaatan Jampersal.

1. Sosialisasi

1) Pendidikan dan pengetahuan, yang baik akan lebih memudahkan pemahaman

terhadap suatu informasi. Keberadaan media informasi seperti televise, radio,

surat kabar akan memberikan kemudahan penyampaian informasi KIA dan

jampersal.

2) Kepercayaan: hambatan pada masyarakat (Gayo) yang masih percaya

santet/gaib, masyarakat menolak paham baru (misal informasi ttg kesehatan/

jampersal) kehadiran orang belum dikenal

Page 12: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

x

3) Mata pencaharian: bekerja di perkebunan/ ladang yang lokasinya jauh

menyebabkan banyak masyarakat menghabiskan waktu di ladang atau kebun

sehingga kurang terpapar oleh informasi

4) Orsosmas: Interaksi masyarakat yang baik akan memudahkan diterimanya

suatu informasi tentang KIA dan jampersal. Informasi yang diterima ibu bila

dapat diterima dengan baik oleh suami akan mendorong kemungkinan

persalinan kepada nakes mengingat di masyarakat perdeaan, suami adalah

pengambil keputusan.

5) Teknologi komunikasi: teknologi informasi tidak banyak dimanfaatkan dalam

proses penyampaian jampersal dan KIA. Informasi lebih banyak diterima

secara langsung dengan cara tatap muka yang terjadi antara bidan dengan ibu

pada saat pelayanan KIA.

Saran

1) Bidan sebagai sumber informasi harus mampu menjalin hubungan yang baik

dengan masyarakat sasaran (ibu), tokoh masyarakat dan organisasi massa.

2) Perlu pembekalan pengetahuan budaya kepada bidan melalui orientasi

sebelum melaksanakan tugas di masyarakat.

3) Menghindari konflik kepentingan bidan puskesmas yang berpraktek swasta

dengan memberikan kompensasi kepada bidan.

2. Kepesertaan

1) Pengetahuan/Pendidikan yang baik akan meningkatkan pemahamanan tentang

manfaat jampersal serta prosedur dan persyaratan yang harus dipenuhi.

Banyak masyarakat belum pernah mendengar tentang jampersal, termasuk

tokoh masyarakat dan perangkat desa (hasil FGD).

2) Mata Pencaharian. Petani, pekerja kebun, nelayan, buruh

perkebunan/pertanian (kelompok ekonomi kurang) tidak memanfaatkan akibat

ketidak tahuan terhadap jampersal dan persyaratannya.

3) Kepercayaan tidak terkait dengan kepesertaan

4) Orsosmas: aparat tidak mempersiapkan masyarakat untuk memanfaatkan

jampersal. Hal ini kemungkinan karena tidak adanya sosialisasi yang

terintegrasi antara bidang kesehatan/puskesmas dengan kelurahan.

Page 13: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

xi

Kepemilikan KTP di daerah pedesaan cukup banyak sehingga harus mengurus

kartu domisili.

5) Teknologi: program pemerintah untuk menyelenggarakan e-KTP merupakan

sarana untuk mempermudah masyarakat ikut serta dalam jampersal karena

identitas diri terdaftar secara nasional.

Saran:

1) Sosialisasi lebih luas dan detil termasuk prosedur dan persaratan menjadi

peserta jampersal melalui tokoh masyarakat (contoh: Lurah, ketua RW/RT, dll)

dan pemuka agama (kiai, pendeta). Pemanfaatan dukun sebagai penyampai

pesan jampersal dengan membangun peran kemitraan yang harmonis dengan

bidan.

2) Untuk meningkatkan pemanfaatan jampersal maka perlu adanya kerjasama

puskesmas dengan pihak desa dan kecamatan, bahkan seharusnya dimulai dari

strata yang paling tinggi (Kementerian).

3) Perlu peningkatan dan kecepatan penyelenggaraan e-KTP yang merata hingga

di tingkat desa.

3. Pendanaan

1) Pengetahuan/Pendidikan:

Pengetahuan yang baik membuat masyarakat mampu memprioritaskan

pembelanjaan uang, sehingga ada upaya untuk menglokasikan sebagian

penghasilan untuk kepentingn kesehatan.

2) Mata pencaharian:

Pendanaan sangat erat kaitannya dengan geofrafis. Untuk melayani ibu di

daerah perdesaan yang sulit, tidak memungkinkan untuk mendatangi fasilitas

kesehatan sehingga bidan yang dijemput untuk melahirkan di rumah ibu.

Masalah semakin kompleks apabila dukun yang dicari oleh masyarakat

sehingga harapan ersalinan oleh nakes di faskes menjadi semakin tidak

terpenuhi. Daerah perdesaan di daerah sulit membutuhkan biaya transportasi

khusus.

3) Jasa dukun masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat khususnya dalam

perawatan kehamilan dan pasca persalinan. Adanya kemitraan dukun – bidan,

maka perlu dipikirkan jasa dukun.

Page 14: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

xii

Saran:

1) Pendanaan Jampersal perlu memberikan biaya transportasi ibu bersalin

menuju fasilitas kesehatan.

2) Ada alokasi dana jampersal jasa pelayanan dukun. Sumber dana dapat

memanfaatkan BOK atau dana pemerintah daerah yang lain.

4. Pelayanan dan Ketenagaan

1) Pendidikan dan pengetahuan masih rendah tentang KIA dan jampersal. Masih

banyak masyarakat menggunakan dukun untuk memeriksakan kehamilan.

Keadaan ini cukup memprihatinkan mengingat pemerintah telah menyediakan

jampersal yang memberikan pelayanan dengan tenaga professional (bidan).

Masih ada persepsi bahwa dukun lebih kompeten dalam mendeteksi kehamilan

dan mengatur letak janin dalam rahim. Pemeriksaan kehamilan oleh bidan

mengikuti standar K4 masih belum mencapai target. Termasuk dalam hal ini

adalah persalinan dan pasca persalinan.

2) Masih ada persepsi dari masyarakat bahwa kemampuan dukun lebih dari bidan

dalam hal mengadopsi kepercayaan dan spiritual yang diyakini masyarakat

misalkan: bersuci (mengambil air wudhu) sebelum menolong persalinan,

membaca do’a atau mantra pada saat menolong persalinan. Masyarakat masih

membutuhkan pelayanan dukun karena masih kuatnya tradisi pelayanan

komprehensif yang dilakukan oleh dukun. Kemitraan bidan-dukun telah

berjalan tetapi masih belum jelas pembagian tugas antara bidan dan

dukun.Masih banyak keluhan masyarakat desa terhadap bidan, antara

lainbidan kurang memahami budaya setempat, kurang mampu berinteraksi

dengan masyarakat.

3) Persalinan di rumah terjadi karena lokasi rumah penduduk yang terpencil jauh

dari fasilitas kesehatan (poskesdes, polindes, pustu, puskesmas). Selain

minimnya sarana transportasi, juga.

4) Persepsi yang salah tentang keamanan persalinan di rumah juga menyebabkan

masyarakat memilih untuk melahirkan di rumah.

Saran:

1) Pemahaman tentang risiko kehamilan melalui kegiatan yang ada di masyarakat

seperti, konseling pra nikah, disisipkan pada ritual pernikahan.

Page 15: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

xiii

2) Peran serta masyarakat misalkan ojek siaga, ambulan desa, rumah singgah.

3) Kurikulum bidan perlu ditambah degan materi “pendekatan budaya

masyarakat” dan melakukan kerja praktek di perdesaan.

4) Bidan mampu memenuhi keinginan masyarakat terkait dengan kepercayaan

dan spiritual melalui pembagian peran dalam kemitraan dengan dukun. Dukun

memimpin ritual persalinan sementara bidan menangani proses persalinan

secara medis.

5) Penempatan bidan di desa harus diiringi dengan orientasi dan pembimbingan

untuk pengenalan wilayah kerja yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan

setempat.

Page 16: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

xiv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i ABSTRAK iii ABSTRACT iv RINGKASAN EKSEKUTIF v DAFTAR ISI xiv DAFTAR TABEL xviii DAFTAR GAMBAR xxii BAB 1. PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1 1.2. Tujuan Penelitian 5

BAB 2. METODE PENELITIAN 6 2.1. Kerangka Konsep 6 2.2. Waktu dan Tempat Penelitian 7 2.3. Jenis dan Desain Penelitian 9 2.4. Populasi dan Sampel Penelitian 10 2.5. Instrumen dan Cara Pengumpulan Data 11 2.6. Pengolahan dan Analisis Data 13

BAB 3. HASIL PENELITIAN SOSIAL BUDAYA TERKAIT KESEHATAN IBU DAN ANAK 15 3.1. Puskesmas Pintu Rime, Kabupaten Gayo Lues 15 3.1.1. Gambaran Umum Kabupaten Gayo Lues 15 3.1.2. Gambaran Umum Puskesmas Pintu Rime Kecamatan Pining 25 3.1.3. Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak 36

3.1.4. Faktor Sosial Budaya Masyarakat Terkait Pemilihan Penolong Persalinan dan Pemanfaatan Pelayanan Jampersal

46

3.1.5. Peran Tenaga Pelayanan Kesehatan dalam Pelaksanaan Program Jampersal

52

3.1.6. Hambatan, Dukungan dan Harapan dalam Pelaksanaan Jampersal

54

3.2. Puskesmas Lampaseh Kota, Kota Banda Aceh 59 3.2.1. Gambaran Umum Kota Banda Aceh 59 3.2.2. Gambaran Umum Lampaseh Kota 62 3.2.3. Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak 66 3.2.4. Faktor Sosial Budaya Masyarakat Terkait Pemilihan

Penolong Persalinan dan Pemanfaatan Pelayanan Jampersal 75

3.2.5. Peran Tenaga Pelayanan Kesehatan dalam Pelaksanaan Program Jampersal

83

3.2.6. Hambatan, Dukungan dan Harapan dalam Pelaksanaan Jampersal

85

3.3. Puskesmas Cirinten, Kabupaten Lebak 88 3.3.1. Gambaran Umum Kabupaten Lebak 88 3.3.2. Gambaran Umum Kecamatan Cirinten 90 3.3.3. Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak 103

3.3.4. Faktor Sosial Budaya Masyarakat Terkait Pemilihan Penolong Persalinan dan Pemanfaatan Pelayanan Jampersal

119

3.3.5. Peran Tenaga Pelayanan Kesehatan dalam Pelaksanaan Program Jampersal

131

3.3.6. Hambatandan Dukungan dalam Pelaksanaan Jampersal 135

Page 17: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

xv

3.4. Puskesmas Citangkil, Kota Cilegon 138 3.4.1. Gambaran Umum Kota Cilegon 138 3.4.2. Gambaran Umum Puskesmas Citangkil 143 3.4.3. Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak 149

3.4.4. Faktor Sosial Budaya Masyarakat Terkait Pemilihan Penolong Persalinan dan Pemanfaatan Pelayanan Jampersal

160

3.4.5. Peran Tenaga Pelayanan Kesehatan dalam Pelaksanaan Program Jampersal

167

3.4.6. Hambatan, Dukungan dan Harapan dalam Pelaksanaan Jampersal

171

3.5. Puskesmas Semata, Kabupaten Landak 176 3.5.1. Gambaran Umum Kabupaten Landak 176 3.5.2. Gambaran Umum Puskesmas Semata 182 3.5.3. Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak 188

3.5.4. Hambatan, Dukungan dan Harapan dalam Pelaksanaan Jampersal

205

3.6. Puskesmas Karya Mulya, Kota Pontianak 210 3.6.1. Gambaran Umum Kota Pontianak 210 3.6.2. Gambaran Umum Puskesmas Karya Mulya 214 3.6.3. Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak 216

3.6.4. Faktor Sosial Budaya Masyarakat Terkait Pemilihan Penolong Persalinan dan Pemanfaatan Pelayanan Jampersal

221

3.4.5. Hambatan, Dukungan dan Harapan dalam Pelaksanaan Jampersal

234

3.7. Puskesmas Arungkeke, Kabupaten Jeneponto 237 3.7.1. Gambaran Umum Kabupaten Jeneponto 237 3.7.2. Gambaran Umum Puskesmas Arungkeke 242 3.7.3. Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak 246

3.7.4. Faktor Sosial Budaya Masyarakat Terkait Pemilihan Penolong Persalinan dan Pemanfaatan Pelayanan Jampersal

260

3.7.5. Peran Tenaga Pelayanan Kesehatan dalam Pelaksanaan Program Jampersal

267

3.7.6. Hambatan, Dukungan dan Harapan dalam Pelaksanaan Jampersal

270

3.8. Puskesmas Kassi-kassi, Kota Makassar 275 3.8.1. Gambaran Umum Kota Makassar 275 3.8.2. Gambaran Umum Puskesmas Kassi-kassi 279 3.8.3. Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak 288

3.8.4. Faktor Sosial Budaya Masyarakat Terkait Pemilihan Penolong Persalinan dan Pemanfaatan Pelayanan Jampersal

302

3.8.5. Peran Tenaga Pelayanan Kesehatan dalam Pelaksanaan Program Jampersal

311

3.8.6. Hambatan, Dukungan dan Harapan dalam Pelaksanaan Jampersal

314

3.9. Puskesmas Parado, Kabupaten Bima 321 3.9.1. Gambaran Umum Kabupaten Bima 321 3.9.2. Gambaran Umum Kecamatan Parado 328 3.9.3. Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak 337

3.9.4. Faktor Sosial Budaya Masyarakat Terkait Pemilihan Penolong Persalinan dan Pemanfaatan Pelayanan Jampersal

355

3.9.5. Peran Tenaga Pelayanan Kesehatan dalam Pelaksanaan 374

Page 18: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

xvi

Program Jampersal 3.9.6. Hambatan, Dukungan dan Harapan dalam Pelaksanaan Jampersal

378

3.10. Puskesmas Karang Pule, Kota Mataram 387 3.10.1. Gambaran Umum Kota Mataram 387 3.10.2. Gambaran Umum Kecamatan Parado 395 3.10.3. Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak 398

3.10.4. Faktor Sosial Budaya Masyarakat Terkait Pemilihan Penolong Persalinan dan Pemanfaatan Pelayanan Jampersal

408

3.10.5. Peran Tenaga Pelayanan Kesehatan dalam Pelaksanaan Program Jampersal

413

3.10.6. Hambatan, Dukungan dan Harapan dalam Pelaksanaan Jampersal

417

3.11. Puskesmas Mateketen, Kabupaten Halmahera Selatan 420 3.11.1. Gambaran Umum Kabupaten Halmahera Selatan 420 3.11.2. Gambaran Umum Kecamatan Makian Barat 424 3.11.3. Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak 428

3.11.4. Faktor Sosial Budaya Masyarakat Terkait Pemilihan Penolong Persalinan dan Pemanfaatan Pelayanan Jampersal

436

3.11.5. Peran Tenaga Pelayanan Kesehatan dalam Pelaksanaan Program Jampersal

449

3.11.6. Hambatan, Dukungan dan Harapan dalam Pelaksanaan Jampersal

455

3.12. Puskesmas Kota Ternate, Kota Ternate 459 3.12.1. Gambaran Umum Kota Ternate 459 3.12.2. Gambaran Umum Puskesmas Kota Ternate 470 3.12.3. Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak 478

3.12.4. Faktor Sosial Budaya Masyarakat Terkait Pemilihan Penolong Persalinan dan Pemanfaatan Pelayanan Jampersal

490

3.12.5. Peran Tenaga Pelayanan Kesehatan dalam Pelaksanaan Program Jampersal

497

3.12.6. Hambatan, Dukungan dan Harapan dalam Pelaksanaan Jampersal

501

BAB 4. PEMBAHASAN 508 4.1. Nilai dan Kepercayaan 508 4.2. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Ibu 516 4.3. Pemilihan Penolong Persalinan (Terkait Sosial Budaya) dan

Pemanfaatan Pelayanan Jampersal 521

4.4. Peran Tenaga Pelayanan Kesehatan dalam Pelaksanaan Jampersal 527 4.5. Hambatan, Dukungan dan Harapan dalam Pelaksanaan Jampersal 534

4.5.1. Sosial Budaya di Wilayah Kabupaten 534 4.5.2. SosialBudaya di Wilayah Kota 539

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN 548 5.1. Sosialisasi 548 5.2. Kepesertaan 549

5.3. Pendanaan 550 5.4. Pelayanan dan Ketenagaan 550

DAFTAR PUSTAKA 552 LAMPIRAN

Page 19: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

xvii

DAFTAR TABEL

2.1. Daftar Provinsi, Kabupaten/Kota dan Puskesmas Sebagai Lokasi Penelitian

8

2.2. Variabel, Cara Pengumpulan Data dan Instrumen yang Digunakan 12 2.3. Jumlah Responden sebagai Sampel Penelitian dan Tenaga Enumerator 14 3.1.1. Jumlah penduduk, Luas Wilayah dan Kepadatan Kabupaten Gayo Lues

Berdasarkan Kecamatan 18

3.1.2. Sarana Kesehatan di Kabupaten Gayo Lues 20 3.1.3. Data Pemeriksaan Kehamilan dan Persalinan Kabupaten GayoLues

Tahun 2011 22

3.1.4. Wilayah Kerja Puskesmas Pintu Rime 28 3.1.5. Data Jumlah Penduduk Puskesmas Pintu Rime, Kecamatan Pining

Tahun 2011 29

3.1.6. Jumlah Bumil, Bulin,Bufas, Bayi dan Balita Per Desa di Wilayah Puskesmas Pintu Rime Kecamatan Pining Tahun 2011

32

3.1.7. Jumlah Sasaran dan Cakupan KIA Kecamatan Pining Tahun 2011 33 3.1.8. Jumlah Sasaran dan Cakupan KIA Kecamatan Pining Tahun 2011 33 3.1.9. Pantangan dan Anjuran Bagi Ibu Hamil di Kecamatan Pining Tahun

2012 41

3.1.10. Ritual, Pantangan dan Anjuran Bagi Ibu Bersalin di Kecamatan Pining Tahun 2012

45

3.1.11. Ritual, Pantangan dan Anjuran Bagi Ibu Pasca Persalinan di Kecamatan Pining Tahun 2012

46

3.1.12. Jenis Pelayanan Bidan Kampung yang Diterima Masyarakat Kecamatan Pining, Tahun 2012

49

3.2.1. Jumlah Penduduk Wilayah Kerja Puskesmas Lampaseh Tahun 2011 63 3.2.2. Data Jumlah Tenaga Puskesmas Lampaseh Tahun 2011 64 3.2.3. Responden yang melakukan Upacara Adat pada Saat Kehamilan,

Persalinan dan Pasca PersalinandiKecamatan Kutaraja Tahun 2012 71

3.2.4. Status Persalinan dan Tempat Persalinan Responden di Wilayah Puskesmas LampasehKecamatan Kutaraja Tahun 2012

74

3.2.5. Pelayanan yang Diterima Responden dari Bidan dan Dukun, di Wilayah Puskesmas Lampaseh Kecamatan Kutaraja Tahun 2012

78

3.2.6. Penolong Pertama dan Terakhir Persalinan Di Wilayah Puskesmas LampasehKecamatan Kutaraja Tahun 2012

79

3.2.7. Sumber Biaya Pelayanan KIA di Wilayah Puskesmas Lampaseh Kecamatan Kutaraja Tahun 2012

82

3.2.8. Perolehan Informasi tentang Jampersal di Wilayah Puskesmas Lampaseh Kecamatan Kutaraja Tahun 2012

84

3.3.1. Data Penduduk Kecamatan Cirinten Tahun 2010 94 3.3.2. Data Ketenagaan Puskesmas DTP Cirinten Tahun 2010 100 3.3.3. Angka Kematian dan Penyebabnya Tahun 2010 103 3.3.4. Tradisi Masyarakat Cirinten Terkait Masa Kehamilan 110 3.3.5. Tradisi Masyarakat Cirinten Terkait Masa Persalinan 111 3.3.6. Tradisi Masyarakat Cirinten Pasca Persalinan 115 3.3.7. Pernyataan Ibu terkait Pelayanan KIA 117 3.3.8. Jarak Antar Desa di Kecamatan Cirinten, Tahun 2011 (Dalam Km) 120 3.3.9. Jenis Pelayanan Dukun yang Diterima Masyarakat 126 3.3.10. Persepsi Masyarakat terhadap Bidan dan Dukun 128 3.4.1. Luas Wilayah, Kepadatan Penduduk Kota Cilegon 140 3.4.2. Aktifitas Budaya pada Masa Kehamilan 152

Page 20: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

xviii

3.4.3. Aktifitas Budaya pada Masa Persalinan 153 3.4.4. Aktifitas Budaya Pasca Persalinan 154

3.4.5. Sikap Terhadap Kehamilan, Persalinan dan Pasca Persalinan Kecamatan Citangkil Tahun 2012

157

3.4.6. Pelayanan yang Diterima oleh Ibu, Kecamatan Citangkil Tahun 2012 159 3.4.7. Penolong Pertama dan Penolong Terakhir Persalinan Citangkil 2012 165 3.5.1. Wilayah Administratif Kecamatan di Kabupaten Landak Tahun 2010 177 3.5.2. Distribusi Penduduk, KK, Bayi, Balita dan Bumil Tahun 2010 178 3.5.3. Jumlah Penduduk dan Distribusi Sarana Bangunan Fisik Kesehatan

Menurut Puskesmas di Kabupaten Landak Tahun 2010 180

3.5.4. Jumlah dan Jenis Tenaga Kesehatan Kabupaten Landak Tahun 2010 181 3.5.5. Data Penduduk Wilayah Kerja Puskesmas Semata di Kabupaten

Landak Tahun 2010 183

3.5.6. Cakupan Pemeriksaan Kehamilan Tahun 2011 Berdasarkan Data Dinas Kesehatan dan Profil Puskesmas Semata

186

3.5.7. Komposisi ketenagaan di Puskesmas Semata 187 3.5.8. Pengetahuan Ibu yang Masih “Kurang” terhadap ANC dan Fasilitas

Jampersal 202

3.5.9. Sikap Ibu untuk Beberapa Kondisi Kehamilan dan Pemanfaatan Jampersal

203

3.5.10. Pengalaman Ibu dalam Persalinan dan Pemanfaatan Jampersal 204 3.6.1. Fasilitas Kesehatan Puskesmas Karya Mulya 215 3.6.2. Pengetahuan Responden 226 3.6.3. Sikap Responden 226 3.6.4. Pelayanan Bidan/Dokter (Tenaga Kesehatan) yang Diterima

Responden 229

3.6.5. Pelayanan Dukun Bersalin yang Diterima Responden 230 3.7.1. Jumlah Penduduk Jeneponto Berdasarkan Kecamatan Tahun 2011 239 3.7.2. Penolong Persalinan Per Kecamatan di Kabupaten Jeneponto 241 3.7.3. Persebaran Tenaga Kesehatan di Desa dalam Kecamatan Arungkeke

Tahun 2011 245

3.7.4. Pelaksaan Upacara/Tradisi/Ritual Berkaitan dengan KIA di Kecamatan Arungkeke

249

3.7.5. Sikap Ibu terhadap Perilaku Kesehatan Ibu di Kec. Arungkeke 255 3.7.6. Jenis Pelayanan Bidan dan Dukun di Kec. Arungkeke 257 3.8.1. Jumlah Penduduk Kota Makassar Berdasarkan Kecamatan Tahun 2011 277 3.8.2. Sarana Kesehatan di Kota Makassar Tahun 2011 278 3.8.3. Jumlah dan Jenis Tenaga di Puskesmas Kassi-Kassi Tahun 2011 281 3.8.4. Luas Wilayah Kerja Puskemas Kassi-kassi berdasarkan Kecamatan

Tahun 2011 282

3.8.5. Jumlah Penduduk Wilayah Kerja Puskesmas Kassi-kassi Berdasarkan Usia Per Kecamatan Tahun 2011

283

3.8.6. Tingkat Pendidikan Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2011 284 3.8.7. Pelaksanaan Upacara/Tradisi/Ritual Berkaitan dengan KIA di

Lingkungan Puskesmas Kassi-Kassi 291

3.8.8. Sikap Ibu di Lingkungan Puskesmas Kassi-kassi terhadap Perilaku Kesehatan Ibu

299

3.8.9. Sumber Informasi Jampersal di Lingkungan Puskesmas Kassi-kassi 309 3.8.10. Sumber Biaya Pelayanan KIA di Lingkungan Puskesmas Kassi-kassi 310 3.9.1. Jumlah Penduduk per Desa dan Kepadatan Penduduk di Kecamatan

Parado Tahun 2010 330

Page 21: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

xix

3.9.2. Puskesmas Parado dan Jaringannya Tahun 2012 336 3.9.3. Responden yang melakukan Upacara Adat pada Saat Kehamilan,

Persalinan dan Pasca Persalinan di Kecamatan Parado 342

3.9.4. Pantangan dan Anjuran Bagi Ibu Hamil di Kecamatan Parado 344 3.9.5. Ritual, Pantangan dan Anjuran Bagi Ibu Bersalin di Kecamatan Parado 345 3.9.6. Ritual, Pantangan dan Anjuran Bagi Ibu Pasca Persalinan di Kecamatan

Parado 347

3.9.7. Sikap Terhadap Pemeriksaan Kehamilan, Persalinan Dan Pasca Persalinan, Kecamatan Parado

350

3.9.8. Pelayanan yang Diterima Responden dari Bidan dan Dukun di Kec. Parado

352

3.9.9. Sumber Biaya Pelayanan KIA di Kecamatan Parado 371 3.9.10. Penolong Pertama dan Terakhir Persalinan di Kecamatan Parado 371 3.9.11. Cakupan Persalinan oleh Linakes di Faskes Kabupaten Bima 374 3.9.12. Perolehan Informasi tentang Jampersal di Kecamatan Parado 374 3.10.1. Luas Wilayah, Jumlah Desa/Kelurahan, Jumlah Penduduk dan

Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan di Kota Mataram Tahun 2011

389

3.10.2. Cakupan K1 dan K4 menurut Puskesmas Kota Mataram Tahun 2011 392 3.10.3. Cakupan Persalinan oleh Tenaga Kesehatan danTenaga Non

Kesehatan Kota Mataram Tahun 2011 393

3.10.4. Cakupan Kunjungan Neonatal 3 (KN3), Neonatal Komplikasi dan Kunjungan Bayi Kota Mataram Tahun 2011

397

3.10.5. Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Puskesmas Karang Pule Tahun 2011

396

3.10.6. Aktifitas Budaya pada Masa Kehamilan di Wilayah Puskesmas Karang Pule

400

3.10.7. Aktifitas Budaya pada Masa Persalinan di Wilayah Puskesmas Karang Pule

402

3.10.8. Aktifitas Budaya pada Masa Pasca Persalinan di Wilayah Puskesmas Karang Pule

405

3.10.9. Pelayanan KIA yang diterima Ibu Hamil dari Bidan & Dukun di Wilayah Puskesmas Karang Pule

408

3.10.10. Pemeriksaan yang dilakukan Ibu ke Tenaga kesehatan di Wilayah Puskesmas Karang Pule

408

3.10.11. Penolong Persalinan Pertama dan Terakhir di Wilayah Puskesmas Karang Pule

412

3.10.12. Sumber Biaya Kesehatan KIA di Wilayah Puskesmas Karang Pule 413 3.10.13. Besaran Pembagian Biaya Persalinan Bersumber dari Jampersal di

Kota Mataram Tahun 2012 416

3.11.1. Sarana Kesehatan Kabupaten Halmahera Selatan Tahun 2009 423 3.11.2. Jumlah Penduduk, Bayi, Balita & Bumil sebagai Sasaran Program KIA

Tahun 2011 426

3.11.3. Kepala Puskesmas (kaos putih) dengan Bidan, Perawat dan 3 peneliti 427 3.11.4. Pemeriksaan Kehamilan ke Tenaga Kesehatan di Kecamatan Makian

Tahun 2012 434

3.11.5. Penolong Persalinan Pertama dan Terakhir di Kecamatan Makian Tahun 2012

435

3.11.6. Indikator Outcome Puskesmas Mateketen Tahun 2011 444 3.11.7. Sumber Biaya Pemeriksaan Kehamilan dengan Tenaga Kesehatan di

Wilayah Puskesmas Mateketen 449

4.1.1 Distribusi Responden yang Melakukan Ritual/Upacara Saat Kehamilan, 510

Page 22: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

xx

Persalinan, Pasca Persalinan di 12 Kabupaten/Kota Tahun 2012 4.2.1 Distribusi Tingkat Pendidikan Formal dan Pengetahuan tentang KIA

Saat Kehamilan Responden di 12 Kabupaten/Kota Tahun 2012 518

4.2.2 Distribusi Tingkat Pendidikan Formal dan Pengetahuan, Sikap, Praktek tentang Persalinan Aman pada Responden di 12 Kabupaten/Kota Tahun 2012

519

4.2.3 Distribusi Responden yang Memiliki Pengetahuan “Benar” tentang Tidak Aman Melahirkan di Rumah dan Tempat Persalinan di 12 Kabupaten/Kota Tahun 2012

520

4.3.1 Persentase ”Ya” Pembiayaan Jampersal untuk Periksa Kehamilan, Persalinan, Periksa Ibu Nifas, Periksa Neonatus, Periksa KB di 12 Kabupaten/Kota Tahun 2012

527

4.4.1. Pernyataan ”Ya” untuk Pelayanan Upacara yang Diterima Responden dari Bidan/Nakes atau Dukun

528

4.4.2 Persentase Responden yang Menyatakan ”Ya” Menerima Pelayanan dari Bidan di 12 kabupaten/Kota Tahun 2012

532

4.4.3 Persentase Responden yang Menjawab ”Ya” untuk Tempat Persalinan di Faskes, Nakes sebagai Penolong Terakhir Persalinan dan Sumber Biaya Persalinan (%)

533

Page 23: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

xxi

DAFTAR GAMBAR

2.1. Konsep Penelitian 6 2.2. Peta Lokasi Penelitian Jampersal 9 3.1.1. Peta Kabupaten Gayo Lues 17 3.1.2. Jumlah Bidan dan Jumlah Dukun yang Terdapat di Kabupaten Gayo

LuesMenurut Puskesmas Tahun 2011 24

3.1.3. Peta Lokasi Puskesmas Pintu Rime 25 3.1.4. Lokasi Desa Uring yang Berlembah dan Berbukit 27 3.1.5. Puskesmas Pintu Rime, Kecamatan Pining-Gayo Lues 27 3.1.6. Sungai sebagai Sumber Air Desa Uring 27 3.2.1. Peta Kota Banda Aceh 59 3.3.1. Peta Wilayah Kabupaten Lebak 88 3.3.2. Cakupan Program Kesehatan Ibu dan Anak Puskesmas Cirinten, Tahun

2011 90

3.3.3. Lokasi Kecamatan Cirinten 91 3.3.4. Suasana Kecamatan Cirinten 92 3.3.5. Peta Kondisi Wilayah Kecamatan Cirinten 93 3.3.6. Menjemur Cengkeh 95 3.3.7. Memanen cengkeh 96 3.3.8. Puskesmas Cirinten 98 3.3.9. Peta Sarana Kecamatan Cirinten 101 3.3.10. Nyandak 112 3.3.11. Gelang Kapas 114 3.3.12. Pisau Perlindungan 114 3.3.13. Peta Lokasi Poskesdes dan Dukun di Desa 121 3.3.14. Pengobat Tradisional di Kecamatan Cirinten 124 3.3.15. Sebaran Paraji di Kecamatan Cirinten 125 3.3.16. Persalinan Gratis! 132 3.4.1. Piramida Penduduk Kota Cilegon Tahun 2011 139 3.4.2. Presentase Kematian Bayi di Kota Cilegon Tahun 2010 144 3.4.3. Peta Wilayah Kecamatan Citangkil 143 3.4.4. Puskesmas Citangkil dan Pondok Kesehatan 147 3.4.5. Bubur lolos 150 3.4.6. Peta Sarana Cintangkil 163 3.5.1. Peta Lokasi Kabupaten Landak 176 3.6.1. Lambang Kota Pontianak 211 3.7.1. Peta Kabupaten Jeneponto 238 3.7.2. Peta Kecamatan Arungkeke 243 3.7.3. Mata Pencaharian Menangkap Ikan 245 3.7.4. Sumbangan untuk Bidan 264 3.8.1. Peta Makasar 276 3.8.2. Peta Wilayah Kerja Puskesmas Kassi Kassi 280 3.8.3. Pemetaan Ibu Bersalin di Wilayah Kerja Puskesmas Kassi-kassi 287 3.8.4. Pemetaan Gizi Bayi dan Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kassi-kassi 288 3.8.5. Ibu sedang Disuapi Makanan Pada Acara Passilli 295 3.8.6. Acara Aqiqah untuk Anak Bayi 296 3.8.7. Fasilitas Persalinan di Bidan Praktek Swasta 308 3.9.1. Peta Kabupaten Bima 322 3.9.2. Piramida Penduduk Kabupaten Bima 323 3.9.3. Suasana Perumahan di Salah Satu Desa Kecamatan Parado 331

Page 24: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

xxii

3.9.4. Benhur Angkutan Umum dengan Tenaga Kuda 333 3.9.5. Poskesdes Percontohan di desa Kuta, Kecamatan Parado dan Salah

Satu Polindes di Kecamatan Parado 336

3.9.6. Tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama saat FGD 338 3.9.7. Seorang Ibu dengan Bayinya Di Atas Tangga Rumah 353 3.9.8. Rumah Panggung 350 3.9.9. Peta Lokasi Dukun dan Sarana Kesehatan di Kecamatan Parado 356 3.9.10. Peralatan Persalinan Dukun yang Diperoleh Saat Pelatihan 359 3.9.11. Seorang Sando (Dukun Bersalin) dengan Alat Menginangnya 360 3.9.12. Bidan Tampak Akrab dengan Dukun Saat Wawancara di Rumah Dukun 367 3.10.1. Gambar Wilayah Kota Mataram Tahun 2011 388 3.10.2. Komposisi Penduduk Menurut Umur dan Jenis KelaminKota Mataram 390 3.10.3. Distribusi Jumlah Kematian Bayi (AKB) di Kota Mataram Tahun 2010-

2011 391

3.10.4 Peta Fasilitas Kesehatan di Wilayah Puskesmas Karang Pule 394 3.11.1. Peta Wilayah Kabupaten Halmahera Selatan 420 3.11.2. Peta Pulau Bacan 421 3.11.3. Bandara Oesman Sadik Labuha Halsel 422 3.11.4. Kantor Dinas Kesehatan Halsel 422 3.11.5. Suasana dalam speedboat umum Ternate-Mateketen 425 3.11.6. Speedboat Milik Puskesmas di Pantai Makian 428 3.11.7. Kepala Puskesmas (kaos putih) dengan Bidan, Perawat dan 3 peneliti 424 3.11.8. Wawancara Mendalam dengan Mama Biang 439 3.11.9. FGD dengan bidan di Puskesmas Mateketen 440 3.11.10. FGD Toma di Puskesmas Mateketen 442 3.11.11. Cakupan K-1 Pada Puskesmas Mateketen Januari-November 2011 445 3.11.12. Cakupan K-4 Pada Puskesmas Mateketen Januari-November 2011 446 3.11.13. Cakupan Linakes Puskesmas Mateketen Januari-November 2011 447 3.12.1. Peta Kota Ternate dan Gambaran Kota Ternate Secara Umum 460 3.12.2. Gunung Gamalama 461 3.12.3. Suasana Kota Ternate 463 3.12.4. Pelabuhan Ternate dilatari Pulau Halmahera 464 3.12.5. Persentase Jumlah Penduduk berdasar Kelurahan di Wilayah Kerja

Puskesmas Kota Ternate Tahun 2011 471

3.12.6. Puskesmas Kota Ternate 471 3.12.7. Loket Pendaftaran Puskesmas Kota Ternate 472 3.12.8. FGD tokoh masyarakat di Puskesmas Kota Ternate 479 3.12.9. Wawancara Mendalam dengan Mama Biang di kota Ternate 480 3.12.10. FGD Suami Non Jampersal di Rumah Warga 484

Page 25: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Masa persalinan merupakan suatu periode yang kritis bagi para ibu hamil

karena segala kemungkinan dapat terjadi sebelum berakhir dengan selamat atau

dengan kematian. Handrawan N. (2000:1) menyatakan bahwa dulu orang menganggap

pertolongan persalinanlah yang terpenting untuk menyelamatkan ibu dan bayi. Tetapi

persalinan meminta faal yang optimal dari alat kandungan ibu, karena itu sangat

diperlukan persiapan fisik dan mental sebelum persalinan. Ibu hamil bukan saja

memerlukan kesehatan yang optimal menjelang persalinan tetapi selama hamil tubuh

harus dalam keadaan sehat karena mempengaruhi pertumbuhan janin yang

dikandungnya. Setiap perempuan baik kehamilannya sulit atau tidak, membutuhkan

pelayanan kesehatan dengan kualitas baik selama hamil, persalinan dan masa nifas.

Kondisi kehamilan, persalinan dan pasca melahirkan merupakan keadaan yang

dialami dan menjadi faktor risiko biologis yang harus disandang seorang perempuan.

Keadaan ini dipengaruhi faktor terkait sosial ekonomi dan budaya serta dukungan dari

lingkungan sosial sekitar (Chyntia A, Shinta, 2003). Sejumlah faktor yang berperan

antara lain mulai dari faktor resiko kesehatan ibu, pemilihan penolong persalinan,

keterjangkauan dan ketersediaan pelayanan kesehatan, kemampuan penolong

persalinan sampai sikap keluarga dalam menghadapi keadaan gawat. Keadaan sosial

seperti pekerjaan yang berisiko, pendidikan, penghasilan rendah, perilaku hidup

termasuk kesehatan, dan stres psikososial memberikan risiko yang berbeda-beda pada

perempuan (Rasdiyanah, A., Jakir; Ridwan Amiruddin. 2007). Perilaku ibu yang dilatari

budaya khususnya pada masa kehamilan, persalinan dan pasca persalinan sangat

mempengaruhi terhadap keadaan kesehatannya.

Pada masyarakat pedesaan di negara berkembang masalah pemeliharaan

kesehatan selama hamil, persalinan dan pasca persalinan belum mendapat perhatian

secara serius. Masih banyak terjadi perkawinan usia muda dan tradisi makanan

pantang yang merugikan kesehatan ibu, juga pengaturan aktivitas ibu selama hamil

dan pasca persalinan yang kurang mendukung pola kesehatanmodern (White Ribbon:

Page 26: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

2

2003: 6). Selain itu dalam konteks sosial dan keluarga sistem paternalistik yang masih

mendominasi cenderung bersifat diskriminasi gender, kekuasaan dan pengambilan

keputusan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi perempuan bukan pada

perempuan antara lain tentang seberapa banyak dan seberapa sering anak yang

diinginkan, pada siapa dan dimana melakukan persalinan.

Masih dikenalnya budaya berunding dalam memutuskan penolong persalinan,

upacara-upacara dalam kehamilan ataupun persalinan memberikan pengaruh

terhadap pemeliharaan kesehatan dan hasil akhir suatu kehamilan. McCarthy and

Maine menyatakan bahwa perilaku ibu dalam memelihara kesehatannya dipengaruhi

oleh faktor sosial ekonomi dan budaya. Budaya atau kebudayaan adalah suatu sistem

dan tata nilai yang dihayati seseorang atau masyarakat untuk

menentukan/membentuk sikap mentalnya yang terpantul dalam pola tingkah sehari

hari dalam berbagai segi kehidupannya; sosial, ekonomi, politik, hukum, ilmu

pengetahuan dan sebagainya (Bambang, 1997:84). Spradley (1980:3) menyimpulkan

bahwa budaya adalah pengetahuan manusia yang digunakan dalam

menginterpretasikan pengalamannya untuk melahirkan tingkah laku sosial.

Faktor perilaku menurut Lawrence Green dipengaruhi 3 faktor yaitu 1) Faktor-

faktor predisposisi/pemicu (predisposing factor) yaitu pengetahuan, sikap,

kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya; 2) Faktor-faktor pendukung

(enabling factor) yaitu lingkungan fisik tersedia atau tidaknya fasilitas atau sarana-

sarana kesehatan misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi, jamban dan

sebagainya dan 3) Faktor-faktor penguat/pendorong (reinforcing factor) yaitu sikap

dan perilaku petugas kesehatan atau petugas yang lain, yang merupakan kelompok

referensi dari perilaku masyarakat (Green, Lawrence,1980).

Masyarakat pedesaan di Indonesia umumnya masih sulit untuk memperoleh

pelayanan kesehatan yang dapat menyediakan persalinan aman dikarenakan jarak

antara tempat pelayanan persalinan dengan kediaman ibu hamil sangat jauh, selain

juga kendala keuangan dan ketersediaan alat transportasi. Di samping itu masih ada

kelemahan dari pihak pelayanan kesehatan sendiri yaitu kurangnya fasilitas dan jumlah

petugas yang terlatih serta kurang terampilnya tenaga yang terlatih (The White

Ribbon, 2003: 5-6). Selain itu masih banyak ibu-ibu yang menganggap kehamilan

Page 27: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

3

sebagai hal yang biasa, alamiah dan kodrati. Mereka merasa tidak perlu memeriksakan

dirinya secara rutin ke fasilitas kesehatan baik ke bidan ataupun dokter. Masih

banyaknya ibu-ibu yang kurang menyadari pentingnya pemeriksaan kehamilan, hal ini

menyebabkan tidak terdeteksinya faktor-faktor resiko tinggi yang mungkin dialami

oleh mereka. Resiko ini baru diketahui pada saat persalinan yang sering kali karena

kasusnya sudah terlambat dapat membawa akibat fatal yaitu kematian.

Berbagai faktor yang dikemukakan di atas menyebabkan Angka Kematian Ibu

(AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan

negara-negara ASEAN lainnya. Data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI)

tahun 2007 menunjukkan bahwa AKI 228 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB 34 per

1000 kelahiran hidup. Berdasar kesepakatan global (Millenium Development Goals /

MDG’s 2000) diharapkan ada tahun 2015 terjadi penurunan AKI menjadi 102 per

100.000 kelahiran hidup dan AK menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup (Kementerian

Kesehatan, 2011). Penyebab tingginya AKI dan AKB antara lain persalinan yang

ditolong oleh tenaga non kesehatan.

Hasil Riskesdas 2010 menggambarkan bahwa persalinan pada sasaran miskin

oleh tenaga kesehatan baru mencapai 69,3%, sedangkan persalinan yang dilakukan

tenaga kesehatan pada fasilitas kesehatan baru mencapai 55,4%. Salah satu kendala

penting untuk mengakses persalinan oleh tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan

kesehatan adalah keterbatasan dan ketidaktersediaan biaya. Untuk itu terobosan yang

dilakukan oleh Kementerian Kesehatan adalah Jaminan Persalinan (Jampersal) untuk

meningkatkan persalinan yang ditolong tenaga kesehatan (Kementerian Kesehatan,

2011). Dengan demikian diharapkan dapat mengatasi “3 terlambat” yaitu terlambat

dalam pemeriksaan kehamilan, terlambat dalam memperoleh pelayanan persalinan

dari tenaga kesehatan dan terlambat sampai di fasilitas kesehatan pada saat keadaan

emergensi. Dengan adanya Jampersal diharapkan dapat mengakselerasi tujuan MDG’s

4 (status kesehatan anak) dan MDG’s 5 (status kesehatan ibu).

Program Jaminan Persalinan (Jampersal) diluncurkan mulai tahun 2011

berdasarkan Permenkes No. 631/Menkes/PER/III/2011 tentang Petunjuk Teknis

Jaminan Persalinan dan Surat Edaran Menkes RI Nomor TU/Menkes/391/II/2011

tentang Jaminan Persalinan (Kementerian Kesehatan, 2011) dan kemudian diperbaiki

Page 28: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

4

dengan keluarnya Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 2562/Menkes/PER/XII/2011

tentang hal yang sama. Dengan dimulainya program Jampersal dan masih banyaknya

kendala perilaku dan sosial budaya dalam pemilihan penolong persalinan yang

tentunya berdampak pada pemanfaatan Jampersalmaka penelitian ini dilakukan.

Kendala datang baikdari pihak ibu sendiri, dari masyarakat maupun dari fasilitas atau

tenaga kesehatan.

Berdasarkan masalah yang telah dikemukakan di atas maka timbul pertanyaan

penelitian sebagai berikut:

1) Apakah ada hubungan nilai, kepercayaan, pengetahuan, sikap dan perilaku ibu

sebagai faktor pemicu, pendukung dan penguat tentang perilaku ANC, persalinan

dan paska persalinan dengan pemanfaatan Jampersal?

2) Bagaimana faktor sosial budaya masyarakat terkait pemilihan penolong persalinan

dan pemanfaatan pelayanan Jampersal ?

3) Bagaimana peran tenaga pelayanan kesehatan dalam pelaksanaan program

Jampersal?

4) Apa saja hambatan, dukungan dan harapan dalam pelaksanaan program Jampersal?

Berpijak kepada pertanyaan penelitian tersebut di atas, penelitian ini menggali

latar belakang sosial budaya masyarakat melalui ibu, suami, tokoh masyarakat,serta

bidan, dukun sebagai pelaku pelayanan KIA. Digali pengetahuan, sikap, perilaku dan

pengalaman mereka terkait proses pemilihan penolong persalinan dan pemanfaatan

Jampersal. Unsur sosial budaya sebagaifaktor pemicu, pendukung, dan penguat dalam

penerimaan pelayanan Jampersal digali secara mendalam. Tak kalah pentingnya

penelitian ini juga ingin mengetahui hambatan, dukungan dan harapan

terhadappemanfaatan Jampersal dari sudut pandang ibu, dukun, masyarakat dan

tenaga kesehatan sendiri. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan

tentang pelayanan kesehatan ibu melalui Jampersal bagi para pelaku dan pengambil

kebijakan Jampersal sehingga pelaksanaan Jampersal dapat mencapai sasaran yang

tepat.

Page 29: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

5

1.2.Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai tujuan umum untuk menyediakan kajian peran sosial

budaya dalam upaya peningkatan pemanfaatan program jaminan persalinan. Tujuan

umum diperinci dalam tujuan khususyaitu

1) Menggali informasi tentang nilai, kepercayaan, pengetahuan, sikap dan perilaku

ibu sebagai faktor pemicu, pendukung dan penguat tentang perilaku ANC,

persalinan dan paska persalinan terkait dengan pemanfaatan Jampersal,

2) Mengidentifikasi faktor sosial budaya masyarakat terkait pemilihan penolong

persalinan dan pemanfaatan pelayanan Jampersal,

3) Menganalisis peran tenaga pelayanan kesehatan dalam pelaksanaan program

Jampersal,

4) Mengetahui hambatan, dukungan dan harapan dalam pelaksanaan program

Jampersal.

Page 30: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

6

BAB 2

METODE PENELITIAN

2.1.Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian dikembangkan dari teori Theory to Plan

MultilevelIntervention (Croyle, Robert T, 2005), teori perilaku yang dalam melakukan

intervensi dilakukan melalui 3 tingkatan yaitu individu, interpersonal dan komunitas.

Nilai, kepercayaan, pengetahuan, sikap tentang

Kehamilan, persalinan, paska persalinan

Sosial, budaya, demografi, geografi

Pengambilan keputusan memilih

Penolong:kehamilan,Persalinan, Paska persalinan

Penetapan penolong

Jampersal

Tingkat Komunitas

Tingkat interperson

al

Non nakes Nakes

Non Jampersal

Ketanggapan yankes: Harapan & hambatan

Peran nakes Permenkes No. 631 tentangJampersal

Gambar 2.1. Konsep Penelitian

Diadaptasi dari Theory to Plan

MultilevelIntervention (Croyle,

Robert T, 2005)

Tingkat

Individu

Page 31: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

7

Dalam rangka merubah perilaku masyarakat dengan harapan agar seorang ibu hamil

mau bersalin ditolong oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan maka upaya yang

harus dilakukan adalah dengan melakukan intervensi melalui 3 tingkatan ekologi yaitu

tingkat individu, tingkat interpersonal dan tingkat komunitas atau masyarakat. Pada

tingkat individu (ibu) perlu dipahami tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap

perilaku individu yaitu faktor pemicu, pendukung dan penguat antara lain nilai,

kepercayaan, pengetahuan, sikap dan praktek tentang hal-hal terkait masa kehamilan,

persalinan dan paska persalinan termasuk KB.

Dalam pemilihan perawatan/penolong ibu pada masa maternity (hamil, bersalin

dan paska persalinan), ibu akan dipengaruhi orang sekitarnya karena hubungan antara

individu/interpersonal dengan orang di sekitarnya (suami, orangtua, tetangga). Dalam

pemilihan penolong kehamilan (Ante Natal Care /ANC), persalinan, paska persalinan

ada faktor yang berpengaruh terhadap hubungan interpersonal yaitu faktor sosial

budaya, termasuk demografi, geografi dan akses terhadap fasilitas pelayanan.

Pada tingkat komunitas, penetapan praktek perawatan atau pertolongan

kehamilan (ANC), persalinan dan paska persalinan ditentukan oleh ketanggapan

fasilitas kesehatan terhadap kebutuhan ibu terkait harapan, dukungan/kemudahan

serta hambatan dalam mengakses tenaga kesehatan. Hal ini juga dipengaruhi

kebijakan pemerintah yang diberlakukan antara lain pembiayaan kesehatan berupa

jaminan persalinan (jampersal).

2.2.Waktu Penelitian dan Tempat

Penelitian ini diawali sejak bulan Maret dengan penyusunan protocol. Kegiatan

penelitian dilakukan sampai dengan selesai pada bulan Desember 2012 sehingga total

pelaksanaan adalah 10 bulan.Penelitian dilakukan di 6 provinsi berdasarkan cakupan

ANC dan PNC dengan pembiayaan Jampersal secara Nasional, sebagai tolok ukur

berdasarkan data tingkat provinsi pada tahun 2011 yang diperoleh dari P2JK. Data

menunjukkan cakupan ANC dengan Pembiayaan Jampersal Nasional adalah 9,5%

sedangkan cakupan PNC dengan pembiayaan Jampersal Nasional adalah sebesar 8,5%.

Page 32: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

8

Mengacu pada cakupan ANC dan PNC dalam Pembiayaan mempergunakan

Jampersal, maka dilakukan klasifikasi provinsi yaitu provinsi dengan cakupan

tinggi;provinsi dengan cakupan sedangdan provinsi dengan cakupan rendah dalam

pembiayaannya. Pada tiap kategori dipilih 2 provinsi; sehingga dari ketiga kategori

didapat 6 provinsi Aceh, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat,

Maluku Utara dan Banten. Selain dilihat dari cakupan ANC dan PNCdiatas, pemilihan

provinsi dalam penelitian ini juga didasari oleh persebaran provinsi, agar dalam

penelitian ini setiap region dapat terwakili.

Tabel 2.1 Daftar Provinsi, Kabupaten/Kota dan Puskesmassebagai LokasiPenelitian

PROPINSI KABUPATEN/KOTA PUSKESMAS

1. Aceh

1. Kab. Gayo Lues Pintu Rime

2. Kota Banda Aceh Lampaseh Kota

2.Nusa Tenggara Barat

1. Kab. Bima Parado

2. Kota Mataram Karang Pule

3. Kalimantan Barat 1. Kab. Landak Semata

2. Kota Pontianak Karya Mulya

4. Sulawesi Selatan 1. Kab. Jeneponto Arungkeke

2. Kota Makassar Kasi Kasi

5. Maluku Utara 1. Kab. Halmahera Selatan Mateketen

2. Kota ternate Kota ternate

6. Banten 1. Kab. Lebak Cirinten

2. Kota Cilegon Citangkil

Prosedur pemilihan kota dan kabupaten, persyaratan yang harus dipenuhi

adalah untuk kota dengan kriteria tinggi, sedangkan kabupaten dengan kriteria rendah.

Justifikasi penentuan tinggi dan rendah, didasarkan pada IPKM dan persalinan yang

dibantu oleh nakes (Linakes) berdasarkan Riskesdas 2007. Hal ini dilakukan mengingat

data P2JK tidak tersedia hingga tiap kabupaten dan kota. Berdasarkan data P2JK maka

dipilih 6 provinsi, kemudian untuk menentukan kabupaten dan kota terpilih dengan

mempergunakan data IPKM dan Linakes, sesuai persyaratan di atas kota memiliki

kriteria tinggi dalam hal persalinan dibantu Linakes, sedangkan kabupaten memiliki

kriteria rendah dalam persalinan yang dibantu oleh nakes (Linakes). Selanjutnya akan

dipilih satu puskesmas dengan berkonsultasi kepada Dinas Kesehatan Kabupaten atau

Kota yang telah terpilih.

Page 33: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

9

Gambar 2.2. Peta Lokasi Penelitian Jampersal

2.3.Jenisdan Disain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah observasional dengan pengambilan data cross

sectional. Cara pengumpulan data secara kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif

dikumpulkan dengan wawancara terstruktur pada ibu yang melahirkan pada tahun

2011 untuk memperoleh data tentang faktor karakteristik, nilai, kepercayaan,

pengetahuan, sikap dan praktek terkait ANC, persalinan dan paska persalinan serta

alasan dan pengambil keputusan memilih penolong persalinan. Semua hal tersebut

terkait dengan pemanfaatan jampersal.

Data Kualitatif dikumpulkan dengan caraFocus Group Discussion (FGD) dan in-

depth interview (wawancara mendalam) untuk memperoleh informasi tentang social

budaya masyarakat dan (ibu, suami, tokoh masyarakat, bidan, dukun, pengelola

program KIA/KB dan jampersal dan Kepala Puskesmas serta Kepala Dinas Kesehatan).

Informasi yang ditanyakan terkait faktor pemicu, pendukung, penguat, hambatan dan

harapan terkait pemanfaatan Jampersal serta peran tenaga kesehatan dalam

pemanfaatan Jampersal.

Kota Cilegon

Kota Banda Aceh

Kab. Gayo Lues

Kota Pontianak

Kab. Landak

Kota Ternate

Kab. HalSel

Kab. Lebak

Kota Mataram

Kab. Bima

Kota Makasar

Kab.Jeneponto

Page 34: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

10

2.4.Populasi dan Sampel Penelitian

Ibu yang melakukan persalinan pada Juni 2011–Mei 2012 baik memanfaatkan

Jampersal atau tidak, akan ditetapkan sebagai sampel dengan cara stratified random

sample. Dilakukan listing persalinan di wilayah puskesmas terpilih (diambil dari

kohort). Selanjutnya di setiap wilayah puskesmas terpilih akan diambil 68 ibu sebagai

sampel minimum (dihitung dengan rumus) dengan cara stratified random sample.

Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus metode survey sebagai berikut:

Z21-2/2P(1-P)N

n =

d2(N-1)+Z21-2/2P(1-P)N

Kriteria Inklusi dan Eksklusi Sampel

Suami dari ibu bersalin Juni 2011 – Mei 2012 sebagai peserta FGD yang terbagi 2

kelompok yaitu kelompok pengguna jampersal dan kelompok non pengguna jampersal

(FGD dengan peserta 10 orang/kelompok). Selain itu FGD dengan kelompok tokoh

masyarakat yang bisa terdiri darikepala desa, tokoh agama, ketua organisasi

masyarakat, ketua PKK danbidan desa. Untuk memperoleh data yang lebih terperinci

dilakukan wawancara mendalam (in depth interview) sasaran dukun bersalin, Kepala

Puskesmas, pengelola program KIA puskesmas, Bidan Praktek Swasta (BPS)untuk lokasi

kota.Informan wawancara mendalam dengan ketentuan (inklusi) sampel berdinas di

posisi yang disyaratkan di puskesmas/wilayah puskesmas terpilih minimal sejak tahun

2011, dukun yang bertempat tinggal di wilayah puskesmas penelitian. Akan dilakukan

eksklusi bila sampel menolak diwawancara.

Selain data kualitatif, penelitian ini juga mengumpulkan data kuantitatif melalui

survey kepada ibu yang melahirkan dala 1 tahun terakhir. Instrumen berupa kuesioner

terstruktur digunakan sebagai panduan dalam wawancara. Sebagai persyaratan

inklusi sampel ditentukan ibu yang melahirkan pada Juni 2011 – Mei 2013 baik

diambil secara acak (stratified random sampling) memanfaatkan Jampersal atau tidak.

Mereka juga disyaratkan tinggal di wilayah kerja puskesmas terpilih pada tahun 2011

Page 35: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

11

dan saat pengumpulan data dilakukan. Akan dilakukan eksklusi sampel bila responden

tidak bersedia diwawancara dan saat kunjungan wawancara tidak ada di tempat dan

tidak bisa ditemui selama peneliti berada di wilayah puskesmas untuk pengumpulan

data.

2.5.Instrumen dan Cara Pengumpulan Data

Dalam rangka mengumpulkan data yang dibutuhkan, telah disusun instrumen

penelitian sesuai dengan cara yang ditetapkan. Peneliti melakukan wawancara

terstruktur dengan menggunakan kuesioner terstruktur pada sampel ibu dalam

kecamatan/wilyah puskesmas terpilih yang melakukan persalinan pada tahun 2011.

Peneliti juga melakukan FGD (Focus Group Discussion) menggunakan pedoman FGD,

kepada kelompoksuami, tokoh masyarakat, wawancara mendalam menggunakan

panduan wawancara mendalam, kepada kepala puskesmas, pengelola program KIA/KB

dan jampersal serta kepada dukun untuk melihat sosial budaya yang berpengaruh

pada pemilihan penolong persalinan dan penerapan jampersal.

Dalam pengumpulan data ini, sebelum melakukan pengumpulan data yang

sesungguhnya, peneliti melakukan persiapan daerah untuk mengetahui kondisi

lapangan dan memilih daerah penelitian yang sesuai dengan kriteria dengan cara

mendiskusikan dengan kepala Dinas Kesehatan kabupaten/kota dan kepala bidang

pelayanan KIA/Jampersal. Dengan cara tersebut, ditentukan puskesmas sebagai

tempat studi dan ditentukan 4 orang tenaga/staff Dinkes ataupun tenaga lain sebagai

pengumpul data kuesioner terstruktur.

Dilakukan pembagian daerah penelitian sehingga setiap tim peneliti yang terdiri

dari 3 orang melakukan penelitian di satu propinsi.Peneliti berperan untuk melakukan

wawancara mendalam kepada informan yang menjadi sasaran penelitian. Disamping

itu, peneliti memandu setiap kegiatan FGD yang diselenggarakan di setiap lokasi

dengan sasaran kelompok diskusi sesuai ketetapan kriteria. Setiap kali dilakukan

wawancara mendalam dan FGD, direkam dan dicatat serta dilakukan penulisan

transkrip hasil kegiatan.

Pengumpulan data kuantitatif, dilakukan oleh 4 (empat) orang enumerator yang

direkrut dan merupakan tenaga kesehatan berasal dari Dinas Kesehatan setempat.

Enumerator dipilih dengan beberapa persyaratan antara lain adalah tenaga kesehatan

Page 36: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

12

(SKM, bidan, perawat atau lainnya) yang paling tidak pernah mengikuti kegiatan survei

kesehatan.Namun karena keterbatasan tenaga, maka khusus untuk Kabupaten

Halmahera Selatan, enumerator adalah guru. Enumerator dilatih oleh tim peneliti

tentang tata cara survei dan pemahaman tentang kuesioner yang menjadi panduan

pengumpulan data.Proses pengumpulan data dengan target 70 responden tidak

seluruhnya mencapai angka tersebut. Sebagai contoh di Mateketen kabupaten

Halmahera Selatan diperoleh 50 responden yang merupakan total persalinan pada

kurun waktu yang dimaksud. Di kabupaten Gayo Lues dan Landak, mengalami cukup

banyak kesulitan untuk mencapai rumah responden mengingat medan yang sulit.

Berbeda dengan permasalahan di pekotaan, mobilitas penduduk yang tinggi

menyebabkan beberpa responden terpilih sulit ditemui sehingga harus diganti dengan

responden cadangan.

Berikut adalah tabel tentang variabel yang dikumpulkan, cara pengumpulan

data, instrumen yang digunakan untuk memperoleh data.

Tabel 2.2.

Variabel, Cara Pengumpulan Data dan Instrumen yang Digunakan

Variabel Cara Puldat Instrumen Sasaran

Karakteristik Wawancara Kuesioner terstruktur

Ibu bersalin Juni 2011 – Mei 2012

Nilai, kepercayaan Wawancara Kuesioner terstruktur

Ibu bersalin Juni 2011 – Mei 2012

Perlaku: Pengetahuan, sikap, praktek

Wawancara Kuesioner terstruktur

Ibu bersalin Juni 2011 – Mei 2012

Faktor sosial budaya Wawancara mendalam

Panduan wawancara mendalam

Dukun

FGD Panduan FGD Suami,Toma,Bidan

Hambatan dan harapan terkait penolong persalinan & jampersal

FGD Panduan FGD Suami, toma, bidan

Peran tenaga kesehatan dalam pemanfaatan Jampersal

Wawancara mendalam

Panduan wawancara mendalam

Kepala Puskesmas Pengelola Program KIA/KB Pengelola Jampersal

Page 37: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

13

2.6.Pengolahan dan Analisis Data

Data yang dikumpulkan adalah data kuantitatif dan kualitatif. Pengolahan dan

analisis data disesuaikan dengan jenis data. Data kualitatif yang diperoleh dari fokus

grup diskusi dan wawancara mendalam dengan berbagai informan yang telah direkam

akan ditranskripkan dan selanjutnya akan dilakukan analisis isi dan dinarasikan.

Keabsahan atau kredibilitas data kualitatif akan diperiksa secara triangulasi yaitu

triangulasi sumber, metode, dan investigator. Teknik triangulasi sumber dengan

pengecekan anggota, perpanjangan kehadiran peneliti, diskusi teman sejawat,

pengamatan secara terus menerus dan pengecekan referensi.

Triangulasi sumber data dilakukan dengan cara membandingkan data hasil

pengamatan dengan data hasil wawancara dari pihak terkait, data hasil pengamatan

dengan isi dokumen yang berkaitan, dan data hasil wawancara dengan isi dokumen

yang berkaitan. Pengecekan anggota (member check) dilakukan dengan cara

menunjukkan data atau informasi, termasuk hasil interpretasi peneliti yang sudah

ditulis dengan rapi dalam bentuk catatan lapangan atau transkrip wawancara kepada

informan, agar dapat dikomentari setuju atau tidak dan bisa ditambah informasi lain

jika dianggap perlu.

Perpanjangan kehadiran peneliti dapat menguji kebenaran informasi yang

diperoleh secara distorsi baik berasal dari peneliti sendiri maupun dari subjek

penelitian yang tidak disengaja atau khilaf. Diskusi teman sejawat, cara ini dilakukan

dengan tujuan agar peneliti tetap mempertahankan sikap terbuka dan kejujuran.

Pengamatan terus menerus atau kontinyu, peneliti dapat memperhatikan sesuatu

secara lebih cermat, terinci, dan mendalam. Bahan referensi digunakan sebagai alat

untuk menampung dan menyesuaikan dengan kritik tertulis untuk keperluan evaluasi.

Dalam hal ini, peneliti menggunakan hasil rekaman dan bahan dokumentasi berupa

foto-foto atau video kegiatan di lokasi penelitian. Bahan referensi dapat digunakan

peneliti sebagai patokan untuk menguji data saat analisis dan penafsiran data.

Data kuantitatif yang diperoleh dari wawancara terstruktur dengan responden

ibu-ibu akan diolah secara deskriptif dan secara analitik dengan metode statistik

tentang faktor karakteristik, pengetahuan, sikap yang berpengaruh terhadap perilaku

Page 38: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

14

dalam pemilihan penolong persalinan dan dalam pemanfaatan Jampersal. Informasi

akan disajikan dalam bentuk tabel dan gambar.

Berikut ini adalah lokasi penelitian dan enumerator yang melaksanakan

pengeumpulan data serta jumlah data responden yang dapat diolah.

Tabel 2.3.

Jumlah Responden sebagai Sampel Penelitian dan Tenaga Enumerator

KABUPATEN/KOTA PUSKESMAS Enumerator Jumlah Sampel

Kab. Gayo Lues Pintu Rime Nakes Dinkes 55

Kota Banda Aceh Lampaseh Kota Nakes Dinkes 70

Kab. Bima Parado Nakes Dinkes 70

Kota Mataram Karang Pule Nakes Dinkes 70

Kab. Landak Semata Nakes Dinkes 69

Kota Pontianak Karya Mulya Nakes Dinkes 70

Kab. Jeneponto Arungkeke Nakes Dinkes 70

Kota Makassar Kasi Kasi Nakes Dinkes 70

Kab. Halmahera Selatan Mateketen Guru 50

Kota ternate Kota ternate Nakes Dinkes 70

Kab. Lebak Cirinten Nakes Dinkes 68

Kota Cilegon Citangkil Nakes Dinkes 68

Page 39: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

15

BAB 3

HASIL PENELITIAN SOSIAL BUDAYA TERKAIT KESEHATAN IBU DAN ANAK

Hasil penelitian disajikan dala bentuk gambaran sosial budaya terkait KIA di

masig-masing puskesmas 12 lokasi penelitian yang merupakan hasil pengumpulan data

kualitatif didukung data kuantitatif.

3.1. Puskesmas Pintu Rime, Kabupaten Gayo Lues

3.1.1. Gambaran Umum Kabupaten Gayo Lues

Kabupaten Gayo Lues adalah salah satu kabupatendi provinsiAceh, merupakan

hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Tenggaradengan Dasar Hukum UU No.4 Tahun

2002 pada tanggal 10 April2002. Kabupaten ini berada di gugusan pegunungan Bukit

Barisan, sebagian besar wilayahnya merupakan area Taman Nasional Gunung

Leuseryang telah dicanangkan sebagai warisan dunia. Kabupaten Gayo Lues termasuk

salah satu kabupaten dengan pemanfaatan dana Jaminan Persalinan (Jampersal) yang

sangat rendah sesuai dengan laporan yang terkumpul di P2JK Kementerian Kesehatan.

Data yang tersedia di dinas Kesehatan kabupaten Gayo Lues menunjukkan

bahwa masih cukup banyak wilayah kecamatan dengan cakupan persalinan dengan

bantuan tenaga kesehatan yag masih rendah. Dengan melakukan konsultasi kepada

Kepala Dinas Kesehatan kabupaten Gayo Lues didukung data dan pengalaman

pelaksana program kesehatan Ibu dan Anak dan penanggung jawab Program

Jampersal ditetapkan Kecamatan Pining sebagai lokasi penelitian. Kecamatan dengan

penggolongan termasuk terpencil karena letak geografisnya dan tidak ada jaringan

telepon pada lokasi wilayah tersebut yaitu Desa Uring dan menurut sumber terpercaya

bahwa Desa tersebut merupakan basis pasukan GAM namun saat ini masyarakat

sudah kembali ke NKRI.

Gayo Lues yangterkenal akan Tari Saman-nya ini, dijuluki sebagai Negeri Seribu

Bukit, dan merupakan Kabupaten yang paling terisolasi di Aceh. Daerah Kabupaten

Gayo Lues merupakan salah satu daerah tempat suaka alam Taman Nasional Gunung

Leuser. Suaka alam ini diandalkan sebagai paru-paru dunia.Dengan luas 5.719 km2 dan

Page 40: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

16

jumlah penduduk sebanyak 74.151 jiwa, terdiri dari 12 kecamatan dengan jumlah

kelurahan sebanyak 144.

Kecamatan Blangkejeren adalah ibukota Kabupaten Gayo Lues dengan jumlah

penduduk 24.996 merupakan kecamatan dengan penduduk terbanyak. Kecamatan

yang paling luas adalah Putri Betung yaitu 1.390 km2 dan paling sempit adalah

Kecamatan Blangjerango. Wilayah Kabupaten Gayo Lues secara topografi terletak pada

ketinggian rata-rata 500-2000 m diatas permukaan laut yang merupakan daerah

perbukitan dan pegunungan yang berhawa dingin bisa mencapai suhu 15 derajat

celcius disaat musim penghujan. Luas Kemiringan Kabupaten Gayo Lues rata rata 35%.

Topografi luas kemiringan lahan pada tahun 2007 terdiri atas datar (0-3%),

Bergelombang (3-8%), Curam (8-15%), sangat curam (15-25%), serta di atas 25-40%,

>40%. Kawasan hutan di Wilayah Kabupaten Gayo Lues antara lain, Taman Nasional

Gunung Leuser seluas 195.677 ha, hutan lindung dengan luas 210.971 ha, hutan

produksi terbatas dengan luas 96.865 ha, serta hutan tanaman industri untuk

pemukiman hanya sebesar 2% dari total luas kawasan yakni 1.288 ha.Kawasan

Produktif diantaranya persawahan sebesar 14.222, lahan kering 3.098, holtikultura

3.098, perkebunan 28.131 dan perternakan 2.335 ha.

Wilayah Administratif Kabupaten Gayo Lues dibatasi:

Utara : Kabupaten Aceh Tengah, Kab Nagan Raya, dan Kab Aceh Timur.

Selatan: Kab. Aceh Tenggara, dan Kab Aceh Barat Daya

Barat : Kab. Aceh Barat Daya

Timur : Kab Aceh Tamiang dan Kab. Langkat (Prov. Sumatera Utara)

Kabupaten Gayo Lues yang dimekarkan dari Kabupaten Aceh Tenggara.

Secara geografis, kabupaten ini terletak pada 960 43' 24" - 960 55' 24" BT dan 030

40'26"-04016'56"LU. Daerah Gayo Lues terletak pada ketinggian 400 sampai 1200

meter di atas permukaan laut (mdpl), yang sebagian besar wilayahnya merupakan

daerah perbukitan dan pegunungan. Daerah yang terkenal dengan hawanya yang sejuk

ini, juga dikenal dunia internasional sebagai paru-parunya bumi. Dengan bentangan

alam yang sangat indah, Kabupaten Gayo Lues merupakan areal yang tepat untuk

dijadikan daerah konservasi dan penelitian flora maupun fauna. Di daerah ini juga

Page 41: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

17

terdapat taman nasional yang dikenal dengan Taman Nasional Gunung Leuser, dengan

biodiversitas paling kaya di dunia.

Gambar 3.1.1. Peta Kabupaten Gayo Lues

Penduduk kabupaten Gayo Lues sejumlah 81.382 dengan sex ratio99.03

artinya dari 100 perempuan ada 99.03 laki-laki, kondisi ini terlihat sesuai data profil

kesehatan Gayo Lues tahun 2011 (Profil Kesehatan Kabupaten Gayo Lues). Jumlah

penduduk terbanyak ada di kecamatan Blangkejeren dengan penduduk sejumlah

24.996 jiwa. Distribusi penduduk di kabupaten Gayo Lues tampak kurang merata

dengan kecenderungan mengelompok dan beraktifitas di bagian kota kabupaten.

Penduduk usia sekolah di Kabupaten Gayo Lues relatif masih terkendala dalam

mengakses pendidikan dibanding dengan kabupaten lain. Hal ini terlihat dari Angka

Partisipasi Sekolah yang lebih kecil jika dibandingkan dengan beberapa kabupaten lain

di Provinsi Aceh. Pada tahun 2008, Angka Partisipasi Murni adalah 95,31 persen untuk

usia 7-12 tahun, 68,35 persen untuk usia 13-15 tahun dan 57,70 persen untuk usia 16-

18 tahun. Kemampuan baca tulis, di Kabupaten Gayo Lues seperti juga di daerah lain,

penduduk laki-laki usia 15 tahun keatas memiliki kemampuan baca tulis lebih tinggi

dibanding perempuannya.

Page 42: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

18

Kualitas pendidikan juga dapat dilihat dari tingkat pendidikan yang ditamatkan

masyarakat. Pada tahun 2008, dari penduduk usia 10 tahun keatas, sebanyak 16,38

persen sudah menamatkan sekolah pada jenjang SLTA sampai tingkat Diploma

IV/S1/S2/S3; Sejumlah 18,70 persen tamat SLTP, 26,63 persen tamat SD dan 38,29

persen yang merupakan persentase terbesar adalah penduduk yang tidak/belum

tamat SD. Rata-rata lama sekolah penduduk Kabupaten Gayo Lues pada tahun 2008

adalah sebesar 8,70 tahun yang dapat diartikan secara rata-rata penduduk Kabupaten

Gayo Lues baru menyelesaikan pendidikan sampai dengan taraf kelas 2

SLTP.Ketersediaan bangunan sekolah juga sangat menentukan keberhasilan

pendidikan. Hingga pada tahun ajaran 2007/2008 telah dibangun sebanyak 102 unit

bangunan SD/sederajat, 27 unit bangunan SLTP/sederajat dan 15 unit bangunan

SLTA/sederajat. Kesemuanya telah menyebar di setiap kecamatan kecuali bangunan

SLTA dimana 3 kecamatan yaitu Dabun Gelang, Pantan Cuaca dan Tripe Jaya belum

memiliki bangunan SLTA satu unit pun.

Penduduk Gayo Lues sebanyak 81.382 jiwa dan ini mengalami peningkatan dari

tahun 2009 sebanyak 75.165 jiwa, Sesuai dengan peningkatan jumlah penduduk,

kepadatan jumlah penduduk makin meningkat. Hal ini terjadi karena luas tetap

sedangkan jumlah penduduk makin bertambah, tahun 2009 kepadatan penduduk 13,9

orang/km2 namun saat ini ada peningkatan dalam kepadatan sebesar 14 orang/km2.

Seperti nampak pada tabel di bawah ini:

Tabel 3.1.1.

Jumlah penduduk, Luas Wilayah dan KepadatanKabupaten Gayo Lues Berdasarkan Kecamatan

No Kecamatan Luas Wilayah (km2)

Jumlah Penduduk

Kepadatan Penduduk per km2

1 Kuta Panjang 633,25 7.493 11,83 2 Blang Jerango 174,48 6.524 37,39 3 Blangkejeren 213,74 24.996 116,95 4 Putri Betung 1.390,00 6.760 4,86 5 Dabun Gelang 274,40 5.397 20 6 Blang Pegayon 460,03 5.214 11,33 7 Pining 1.016,60 4.419 4,35 8 Rikit Gaib 273,41 3.855 14,10 9 Pantan Cuaca 176,23 3.561 20,21

10 Terangun 690,84 8.140 11,78 11 Tripe Jaya 416,60 5.023 12,06

Jumlah 5.719,58 81.382 14

Page 43: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

19

Jika dilihat persebaran penduduk menurut kecamatan, terlibat penyebaran

yang tidak merata. Kecamatan Blangkejeren memiliki jumlah penduduk paling banyak,

dengan jumlah penduduk sebesar 24.996 jiwa dan luas 213,74 km2sekitar 30,71% dari

total jumlah penduduk Kabupaten Gayo Lues, disusul Kecamatan Terangun dan Kuta

panjang yaitu sebesar10% dan 9,20%. Sementara itu, kecamatan dengan jumlah

penduduk paling sedikit (kurang dari 1 persen) adalah Kecamatan Pantan Cuaca dan

Rikit Gaib.Tenaga kerja terbesar berada di sektor Pertanian, Jasa Kemasyarakatan dan

perdagangan. Selama 5 tahun terakhir komposisi lapangan kerja utama penduduk

Gayo Lues tidak banyak mengalami perubahan. Dari sisi kesempatan kerja, besarnya

angka pengangguran dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya adanya

ketidakstabilan tingkat pertumbuhan ekonomi dan tidak memadainya tingkat

pendidikan dan ketrampilan penduduk usia kerja dibandingkan lapangan kerja yang

tersedia, penduduk setempat ada yang bekerja sebagai TKI pada tahun 2006 sebesar

10% dari total jumlah penduduk (data profil Kesehatan Dinas Kesehatan tahun 2010).

Pelayanan Kesehatan KIA di Kabupaten Gayo Lues

Derajat kesehatan masyarakat merupakan suatu indikator keberhasilan

pembangunan manusia. Salah satu modal dasarpembangunan adalah sumber daya

manusia yang sehat jasmani dan rohani,karena dengan keberhasilan pembangunan

SDM yang sehat akanmenghasilkan masyarakat yang sehat sehingga akan menjadi

pelaku dansasaran pembangunan.Pemerintah dalam hal ini pemerintah

daerahkabupaten Gayo Lues memiliki peran yang sangat signifikan

dalammeningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui berbagai program dibidang

kesehatan. Tujuan dari program-program tersebut adalah untukmenghasilkan sumber

daya manusia yang berkualitas dan intelektual, fisik,ekonomi dan moral sesuai dengan

definisi Kesehatan dalam Undang-undangKesehatan tahun 2004 bahwa kesehatan

adalah keadaan sejahtera daribadan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang

hidup produktifsecara sosial dan ekonomis.Data yang diperoleh dari Gayo Lues dalam

Page 44: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

20

Angka tahun 2011 memperlihatkan bahwa jumlah sarana kesehatan di Kabupaten

Gayo Lues seperti terlihat pada tabel berikut ini:

Tabel 3.1. 2.

Sarana Kesehatan di Kabupaten Gayo Lues

Jenis Sarana Kesehatan Jumlah

Puskesmas 12

Puskesmas Perawatan 6

Puskesmas Non Perawatan 6

Puskesmas Pembantu 41

Puskesmas Keliling 12

Rumah Sakit 1

Poskesdes 63

Rumah Bersalin Swasta 25

Posyandu 144

Pelayanan kesehatan dilaksanakan oleh tenaga medis yang tersebar di

Kabupaten Gayo Lues yang terdiri dari dokter spesialis sebanyak 6, dokter umum 23

orang, dokter gigi 4 orag dengan total 29 orang. Tenaga medis lainya yaitu bidan

sebanyak 101 yang ada pada Puskesmas sebanyak 72 dan sisanya ada pada Rumah

Sakit. Tenaga kesehatan lainya yaitu sarjana Farmasi 1 orang, DIII Farmasi 16, DII Gizi

12 orang, sarjana Kesmas 16 orang, tenaga sanitasi 9 orang. Tenaga teknisi medis:

Analis Laboratorium 6 orang, tenaga rontgen 7 orang, anestesi 2 orang, fisioterapis 6

orang.

Pelaksanaan Jaminan Persalinan sudah disosialisasikan sejak tahun 2010 sejak

dikeluarkan dari Kementrian Kesehatan dengan melibatkan bidan Desa dan bidan

dilingkungan Kabupaten Gayo lues, sesuai indepth dengan Kepala Dinas Kesehatan

bahwa program jampersal sudah dilaksanakan sesuai dengan juknis yang diberikan

dari Kemenkes, dengan didukung oleh SK yang dikeluarkan oleh Bupati serta menunjuk

Page 45: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

21

tenaga sebagai pelaksana program jampersal. Penunjukan disertai dengan SK (Surat

Keputusan). Namun dalam pelaksanaanya masih terjadinya tumpang tindih antara

Jampersal dan JKA (Jaminan Kesehatan Aceh). Ada peraturan lokal yang dilaksanakan

oleh Kadis dimana selain ada jamkesmas di Galus (Gayo Lues) juga memperoleh

fasilitas JKA (Jamkesda), sejauh ini masyarakat terkadang meminta pelayanan lebih

seperti masyarakat meminta bidan untuk datang ke rumah ketika bersalin, sedangkan

standar pelayanannya harus dilakukan di fasilkes, rujukan juga dilakukan oleh bidan ke

fasilkes di kabupaten apabila terjadi komplikasi. Kodisi ini di perbolehkan oleh Kepala

Dinas Kesehatan walaupun tidak sesuai dengan juknis jampersal.

Berdasarkan data profil Kabupaten Gayo Lues diperoleh data BPS tentang

penduduk miskin pada tahun 2007 yaitu berjumlah 52.943 jiwa. Terjadi penurunan

jumlah orang miskin yaitutahun 2009 berjumlah 48.622 jiwa, sedangkan data tahun

2011 berjumlah 34.582.

Kesehatan Bayi dan anak

Angka Harapan Hidup merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan

suatu daerah khususnya pembangunan di bidang kesehatan Semakin tinggi angka

harapan hidup penduduk suatu daerah maka pelayanan kesehatan di daerah tersebut

semakin baik. Demikian halnya dengan pelayanan kesehatan di Kabupaten Gayo Lues

selama 5 tahun terakhir Pemerintah Kabupaten Gayo Lues mampu mepertahankan

besaran angka harapan hidup penduduknya hingga berkisar usia 65 tahun untuk lelaki

dan 60 tahun untuk perempuan, fenomena tersebut berbeda dengan kondisi pada

umumnya dimana laki laki biasanya mempunyai angka harapan hidup yang lebih

rendah dibanding perempuan (Profil Kabupaten Gayo Lues tahun 2010).Salah satu

indikator IPKM tersebut adalah cakupan pemeriksaan kehamilan atau Ante Natal Care

(ANC). Menurut data Riskesdas 2007, cakupan pemeriksaan kehamilan Kabupaten

Gayo Lues adalah 25%. Cakupan ini adalah cakupan terendah di Provinsi Aceh yang

secara umum mempunyai cakupan pemeriksaan kehamilan sebesar 72% (Depkes,

2008:64). Dengan kata lain, cakupan pemeriksaan kehamilan Kabupaten Gayo Lues

paling rendah di antara 21 kabupaten yang terdapat di Propinsi Aceh.

Page 46: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

22

Menurut data profil kesehatan Aceh tahun 2010 Angka Kematian Ibu di Aceh

adalah 193/100.000 kelahiranhidup/LH, bila ditelusuri per kabupaten maka ditemukan

beberapa kabupaten yang memberikan kontribusi kematian ibu paling banyak, salah

satunya adalah Kabupaten Gayo Lues (Profil Kesehatan Aceh, 2011). Menurut

informasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten Gayo Lues, pada tahun 2011 Angka

Kematian Balita berjumlah 30 orang, dengan rincian kematian neonatal 21 orang dan

bayi 9 orang.

Tabel 3.1.3

Data Pemeriksaan Kehamilan dan Persalinan Kabupaten GayoLues Tahun 2011

No Kecamatan Ibu Hamil IbuBersalin Ibu Nifas

K1 K4 Jumlah Jumlah Nakes Jumlah Yankes

1 Kuta Panjang 190 180 211 201 180 201 180

2 Blang Jerango 161 141 172 165 146 165 146

3 Blangkejeren 641 579 674 641 552 641 552

4 Putri Betung 186 161 187 177 172 177 172

5 Dabun Gelang 125 123 133 127 116 127 116

6 Blang Pegayon 115 113 140 134 106 134 106

7 Pining 70 67 77 74 60 74 60

8 Rikit Gaib 108 92 108 103 88 103 88

9 Pantan Cuaca 100 92 106 102 89 102 89

10 Terangun 207 187 214 204 170 204 170

11 Tripe Jaya 137 135 137 132 106 132 106

Jumlah 2080 1905 2199 2099 1818 2099 1818

Dari tabel di bawah bisa terlihat bahwa usia 0-4 tahun menduduki peringkat

teratas bahwa jumlah bayi dan balitanya pada Kabupaten Gayo lues sangat tinggi yaitu

9.759 bayi dan balita, sementara jumlah bayi sebanyak sebanyak 2.069 dengan status

kesehatan yang baik berdasarkan laporan profil kesehatan Kabupaten Gayo Lues

bahwa pemberian ASI Eksklusif sebanyak 2.069 bayi, sedangkan cakupan imunisasi

untuk imunisasi BCG sebesar 80% dan cakupan imunisasi Polio 3 sebesar 83,3%,

Imunisasi DPT 1 sebesar 91%, DPT 3 83 %, Campak 82%. Jumlah balita dengan gizi

buruk sebanyak 7 balita di Blang Pegayon 1 anak, 3 di Pantan Cuaca, 2 di Terangun, 1

Page 47: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

23

di Tripe Jaya. Untuk jumlah bayi yang meninggal pada Kabupaten Gayo Lues untuk

tahun 2011 berdasarkan Profil Kesehatan tahun 2011 sebanyak 35 Balita.

Menurut data profil kesehatan Aceh tahun 2010 Angka Kematian Ibu di Aceh

adalah 193/100.000 kelahiranhidup/LH, bila ditelusuri per kabupaten maka ditemukan

beberapa kabupaten yang memberikan kontribusi kematian ibu paling banyak, salah

satunya adalah Kabupaten Gayo Lues (Profil Kesehatan Aceh, 2011). Menurut

informasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten Gayo Lues, pada tahun 2011 angka

kematian balita berjumlah 30 orang, dengan rincian kematian neonatal 21 orang dan

bayi 9 orang. Data-data inilah yang menjadi dasar pemikiran mengapa kajian

Kesehatan Ibu dan Anak dilakukan di Kabupaten Gayo Lues.

Kematian Ibu pada Kabupaten Gayo Lues sebanyak 4 orang dalam kurun waktu

tahun 2011 terjadi pada kelompok usia >35 tahun pada saat hamil, kematian ibu

bersalin sebanyak 3 orang pada kelompok usia 20–34 tahun, kematian pada saat nifas

tidak ada. Ini karena usia rentan untuk hamil yaitu 35 tahun kemudian karena

kebiasaan warga setempat apabila hamil masih melakukan aktifitas di kebun, kematian

pada saat persalinan terjadi karena banyak ibu hamil pada saat kehamilannya sudah

besar masih melakukan aktifitas di kebun dan melahirkan dengan jasa bidan kampung,

saat akan melahirkan biasanya mereka ada di kebun sehingga mempersulit proses

persalinan, kemudian akses geografisnya yang berbukit bukit, kepercayaan masyarakat

terhadap budaya juga masih tinggi kemudian dengan adanya Jampersal diharapkan

angka tersebut bisa turun.

Saat ini ibu hamil dan bersalin sudah banyak yang tahu tentang jampersal

namun masih banyak juga yang kurang paham tentang Jampersal, ini kemungkinan

karena terjadinya informasi yang kurang jelas dari pemerintah setempat. Masyarakat

hanya tahu bahwa ada persalinan gratis tanpa tahu biaya tersebut dari mana. Ada

anggapan bahwa biaya persalinan di biayai oleh JKA (Jaminan Kesehatan Aceh) atau

Jamkesda padahal menurut dinas terkait bahwa persalinan tidak di biayai oleh JKA.

Fasilitas kesehatan sudah banyak tersedia namun karena akses geografi dan

tenaga yang kurang mengakibatkan banyak masyarakat yang tidak bisa menikmati

pelayanan kesehatan. Beberapa Puskesmas tidak memiliki dokter bahkan tenaga

kesehatan sangat kurang karena ada pegawai puskesmas yang membawahi beberapa

Page 48: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

24

program. Ada pula pegawai puskesma yang tidak pernah ada di tempat karena alasan

lokasi puskesmas yang jauh dari kota kabupaten dan akses ke puskesmas tersebut

sangat sulit, tidak ada transportasi umum dan kondisi jalan yang belum diaspal.

KB paska persalinan tidak menjadi hambatan terbukti peserta KB dari tahun ke

tahun mengalami peningkatan. Data dari profil kesehatan tahun 2011 menunjukkan

bahwa pemakaian KB dengan MKJP (Metode Kontrasepsi Jangka Panjang) yaitu IUD

sebanyak 73, implant 184, sedangkan peserta baru dengan metode non MKJP yaitu

suntik 2.269, pil 995 dan kondom 289. Ini menunjukkan bahwa masyarakat setempat

sudah sadar akan manfaat dari KB tersebut. Sampai saat ini penyuluhan KB paska

persalinan terus dilakukan.

Perilaku kesehatan dapat dilihat dari tenaga bidan kampong (dukun bersalin)

yang masih banyak di Kabupaten Gayo Lues seperti terlihat pada gambarsbb.

Gambar. 3.1.2. Jumlah Bidan dan Jumlah Dukun yang Terdapat di Kabupaten Gayo Lues Menurut Puskesmas Tahun 2011

Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Gayo Lues

0 10 20 30 40

Kuta Panjang

Blang Jerango

Blang Kejeren

Gumpang

Dabun Gelang

Pining

Pintu Rime

Cinta Maju

Rikit Gaib

Kenyaran

Terangun

Rerebe

Jumlah Dukun

Jumlah Bidan

Page 49: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

25

Masalah KIA baik kematian maupun kesakitan sesungguhnya tidak lepas dari

sosial budaya serta lingkungan dimana ibu dan anak tersebut berada.Faktor

kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti konsep tentang berbagai pantangan,

anjuran, ritual, hubungan makanan dengan sehat-sakit, kebiasaan, memberikan

dampak positip atau negatip. Masyarakat tradisional memiliki konsep kesehatan yang

berbeda dengan konsep modern yang berkembang.

3.1.2 Gambaran Umum Puskesmas Pintu Rime Kecamatan Pining

Gambar 3.1.3. Peta Lokasi Puskesmas Pintu Rime

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Wilayah Kecamatan Pining berjarak22km dari Ibukota Kabupaten Blangkejeren

untuk sampai di Puskesmas Pintu Rime Desa Uring bisa menggunakan motor atau

mobil angkutan Desa yang di berangkatnya hanya 1 kali pulang pergi. Rute angkutan

ini dari Blangkejeren menuju Kecamatan Pining pda siang hari. Rute sebaliknya dari

pining mobil tesebut akan kembali ke Blangkejeren pada sore hari. Angkutan Desa

mobil berjenis L300 bisa memuat apa saja, karena hanya satu satunya angkutan yang

ada makanya mobil tersebut selalu dipenuhi oleh penumpang. Sepanjang perjalanan

Blangkejeren hingga Desa Uring topografi daerah berbukit-bukit dan sebagian besar

ditanami pohon pinus. Kondisi jalan yang berkelok kelok membuat perut terasa mual

Page 50: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

26

bagi yang belum terbiasa. Pada sisi sebelah kanan terdapat bukit dan jalan raya ada

pada lereng bukit tersebut. Sesekali mobil bersimpangan dengan kendaraan roda dua

yang mereka sebut dengan “kereta”. Pada sebelah kiri terdapat hutan yang ditanami

pohon pinus. Dalam perjalanan ke Desa Uring ada satu wilayah yang dinamakan

Puncak Genting bagi warga Gayo Lues tempat ini adalah tempat rekreasi karena

pemandangan yang sangat elok dilengkapi dengan kedai khusus yang menjual kopi

tugu luwak asli, di kedai tersebut biji kopi diolah secara langsung dari luwak yang

dipelihara oleh penjualnya.

Kondisi jalan yang berada pada lereng bukit terancam longsor kapan saja,

terutama saat musim hujan sehingga tiba jarang ada orang untuk datang ke Desa

Uring. sebenarnya Desa Uring hanyalah salah satu sdsa yang ada pada kecamatan

Pining. Desa lainya yaitu Desa Pepelah, Desa Gajah dan Desa Pintu Rime. Untuk

mencapaiDesaUring memerlukan waktu kurang lebih satu jam, belum lagi kalau ada

simpangan di jalan karena kondisi jalan yang sempit. Iklim pada DesaUring tidak begitu

jauh dengan Blangkejeren namun lebih dingin karena puskesmas tersebut di lereng

bukit, posisi Desa ada dibawah puskesmas apabila kita keluar pintu belakang langsung

terlihat hamparan DesaUring yang dikelilingi oleh bukit bukit. Terlihat sungai yang

menjadi sumber air satu satunya bagi masyarakat setempat untuk kebutuhan sehari-

hari.

Desa Uring Kecamatan Pining baru satu tahun ini menikmati Listrik itupun

hanya malam. Masyarakat yang mampu menggunakan diesel. Kegiatan warga pada

siang hari selain ke ladang mereka hanya duduk duduk depan rumah sambil berkalung

sarung sedangkan ibu ibu akan banyak di dapur untuk memasak atau ke sungai. Di

Desa Uring terdapat hari pasar yang jatuh pada hari kamis minggu ke dua pada tiap

bulanya, para pedagang dari Blangkejeren akan datang ke Desa uring untuk berjualan

seperti baju, keperluan rumah tangga, peralatan dapur atau bahan kelontong,

peralatan untuk sholat, mainan anak anak juga dijual. Tempat jualan ada di tengah

tengah jalan yang ada di Desa tersebut, ibu ibu sambil menggendong anaknya akan

mendatangi pedagang tersebut untuk membeli atau hanya sekedar melihat lihat.

Keramaian tersebut bisa satu hari penuh. Para pedagang dengan telaten akan

Page 51: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

27

menawarkan barang daganganya ke warga, anak anak kecil juga nampak sangat

senang dengan pasar tersebut.

Gambar. 3.1.4. Lokasi DesaUing yang Berlembah dan Berbukit

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Gambar 3.1.5. Puskesmas Pintu Rime, Kecamatan Pining-Gayo Lues

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Gambar 3.1.6. Sungai sebagai Sumber Air Desa Uring

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Page 52: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

28

Puskesmas Pintu Rime Uring mulai berjalan pada tahun 2007, yang terletak

diatas tanah seluas 2275 m, dipinggir jalan Ladia Galaskar dengan batas batas wilayah:

Sebelah utara berbatasan dengan Kebun Arsyat

Sebelah timur berbatasan dengan Sungai Aih Gajah

Sebelah barat berbatasan dengan jalan raya

Sebelah Selatan berbatasan dengan Kebun Empus Tue

Jarak antara puskesmas Pintu Rime dengan Desa Uring hanya sekitar 500 meter

ini karena lokasi Puskesmas yang ada di pintu masuk Desa uring, hanya dengan

berjalan kaki tidak terlalu jauh akan sampai ke Puskesmas Pintu Rime. Di belakang

Puskesmas Pintu Rime akan terlihat hamparan Desa uring yang dikelilingi oleh bukit

bukit, ada sungai yang menjadi sumber air satu satunya pada masyarakat setempat

untuk segala kegiatan yang membutuhkan air. Iklim pada Desa Uring tidak begitu

berbeda dengan Blangkejeren namun agak lebih dingin karena posisi ada di sekitar

bukit

Tabel 3.1.4

Wilayah Kerja Puskesmas Pintu Rime

Desa Luas Wilayah

Jarak ke Puskesmas Waktu Tempuh

ke Puskesmas

Gajah 40 H 3 Km 15 menit

Uring 85 H ½ Km 5 Menit

Pepelah 50 H 11 Km 30 Menit

Pintu Rime 80 H 22 Km 60 Menit

Sumber: Puskesmas Pintu Rime, Kecamatan Pining Tahun 2011

Tabel di atas menunjukkan jarak untuk sampai ke Puskesmas dari 4 Desa Gajah

memerlukan waktu 15 menit, dari Desa Uring yang paling terdekat hanya 5 menit

karena memang posisi Puskesmas ada di Desa Uring, sedangkan untuk Desa Pepelah

dengan jarak 11 Km dan ditempuh 30 Menit, untuk Desa terjauh yaitu Pintu Rime

Page 53: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

29

dengan jarak 22 Km akan memakan waktu tempuh kurang lebih 1 Jam karena memang

kondisi jalan yang belum beraspal dan berbatuan.

Sungai yang membelah Desa Uring menjadi sumber air satu satunya yang ada

pada Desa Uring. Penduduk memanfaatkan sungai tersebut sebagai tempat MCK

(Mandi, Cuci, Kakus), jadi untuk kegiatan mandi, mencuci dan buang air besar semua

dilakukan di sungai tersebut. Tidak hanya ketiga hal tersebut, air sungai ini juga

merupakan sumber air minum dan masak. Penyaringan air dilakukan dengan membuat

lubang lubang di pinggiran sungai sedalam 10 jengkal dan mengambil air yang terdapat

di lubang tersebut.

Kependudukan

Jumlah keseluruhan penduduk menurut data tahun 2011 sebanyak 1.669 jiwa

dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 339 KK. Jumlah penduduk terbanyak berada

di DesaUring dengan jumlah penduduk sebanyak 549 jiwa disusul Desa Pintu Rime

sebanyak 499 jiwa dan DesaPepelah sebanyak 325 Jiwa. Besaran jumlah penduduk di

tiap desa sangat berbeda terkait dengan hubungan keluarga dan letak pemukiman

yang layak untuk ditempati karena geografis Kecamatan Pining berbukit bukit dan Desa

Uring ada di dataran yang rendah.

Tabel 3.1.5. Data Jumlah Penduduk Puskesmas Pintu Rime, Kecamatan Pining Tahun 2011

No Desa Jumlah KK Jumlah Penduduk

Laki -laki Perempuan

1 Gajah 50 296 114 182

2 Uring 140 549 287 262

3 Pepelah 74 325 170 155

4 Pintu Rime 115 499 244 255

Jumlah 339 1669 815 854

Sumber: Puskesmas Pintu Rime, Kecamatan Pining Tahun 2011

Page 54: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

30

Besarnya angka penduduk di Desa Uring karena DesaUring merupakan Desa

yang sudah berusia sangat lama jadi penduduknya secata turun temurun tinggal

didaerah tersebut serta dekat dengan sumber mata air yaitu sungai dan lahanya subur

untuk ditanami sereh wangi dan kemiri, . Jumlah tersebut tentunya berimbas pada

pelayanan kesehatan yang diberikan dibandingkan dengan rasio jumlah tenaga

kesehatan. Jumlah tenaga kesehatan yang tersedia di Puskesmas Pintu Rime tidak

cukup untuk dapat melaksanakan program program Puskesmas

Mata Pencaharian dan Aktifitas Masyarakat

Perkebunan adalah salah satu sumber mata pencaharian yang paling menonjol

di Kecamatan Pining. Menurut data Kecamatan, kurang lebih 90% penduduk Pining

adalah petani. Jenis-jenis komoditas tanaman yang dibudidayakan di wilayah ini adalah

buah kemiri, sereh wangi dan yang paling banyak ditanam saat ini adalah sereh wangi.

Sereh wangi ini diolah atau diproses melalui suling menjadi minyak yang harganya

sangat lumayan tinggi perkilo bisa mencapai kurang lebih Rp. 75.000,- makanya warga

lebih senang menanam sereh wangi ini karena hasilnya sangat menguntungkan,

terlebih pola penanamanya yang tidak terlalu sulit. Biasanya penduduk akan

menanami pada lereng lereng bukit, apabila musim menanam banyak suami istri akan

berada di ladang untuk beberapa lama. Suami menanam sereh wangi dan istrinya akan

mencari buah kemiri untuk dijual di pasar Blangkejeren. Namun bagi Ibu ibu yang tidak

turut serta ke ladang mereka akan membuat anyaman dari daun pandan hutan yang

dianyam untuk dijadikan tikar dengan berbagai ukuran, yang kecil bisa buat sholat

kalau yang besar bisa untuk alas tempat tidur bahkan bisa untuk di taruh diruang

tamu, pada umumnya masyarakat setempat dalam ruang tamu tidak ada kursi

sehingga tikarlah satu satunya alat untuk alas.

Memelihara ternak kerbau dan kambing merupakan salah satu mata

pencaharian penduduk. Binatang ternak ini menjadi investasi masyarakat. Ternak

umumnya hanya dijual bila membutuhkan dana besar seperti untuk pergi haji, atau

untuk membeli kereta (sebutan untuk kendaraan bermotor). Mereka sangat

membanggakan binatang ternaknya, ukuran orang kaya menurut penduduk setempat

adalah banyak sedikitnya hewan ternak yang dimiliki, bahkan ada salah satu penduduk

Page 55: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

31

yang jumlah kerbaunya sampai 100 dan binatang-binatang ini tidak mempunyai

kandang mereka dibiarkan berkeliaran secara liar. Binatang tersebut mencari makanan

sendiri di bukit bukit yang ada disekitar Desa Uring, namun pemiliknya akan tahu

seandaianya ada salah satu binatang piaraanya hilang. Pemiliknya cukup memberi

tanda binatang peliharaannya, dan mereka bisa mengambil ternaknya setiap saat

dibutuhkan.

Penduduk Uring berkomunikasi dengan bahasa Gayo, bahasa daerah setempat

yang digunakan dalam kegiatan formal dan informal. Penduduk setempat tidak

menguasai bahasa Indonesia, bahkan bahasa Aceh saja mereka tidak bisa. Bahasa

Gayo sangat susah dipelajari karena bahasa Gayo sangat lain dengan bahasa Aceh.

Bahkan untuk menjadi Guru SD pada Kecamatan Pining harus menguasai bahasa Gayo

karena bahasa Gayo juga sebagai pengantar untuk proses belajar mengajar. Sebagian

ada juga yang bisa bahasa Indonesia biasanya pegawai atau pendatang yang jumlahnya

juga cukup rendah.Namun untuk penduduk yang berusia tua dan tidak/jarang keluar

dari desa cukup banyak yang tidak bisa dan tidak mengerti bahasa Indonesia.

Pendidikan pada Kecamatan Pining sangat terbatas, hanya ada 4 SD yang ada di

setiap Desa yaitu Desa Uring, Desa Gajah, Desa Pepelah, Desa Pintu Rime. Ada satu

SMP yang sudah berdiri sekitar 3 tahun yang lalu dan baru tahun 2013 nanti akan ada

lulusanya. Masyarakat setempat kurang perduli dengan pendidikan, masalah

pendidikan di kecamatan Pining merupakan masalah yang paling utama karena faktor

ketidak tahuan mereka serta kurangnya keinginan masyarakat setempat untuk maju,

bagi mereka sepertinya pendidikan bukanlah merupakan prioritas, namun ada juga

warga yang memang mengenyam pendidikan agak tinggi tapi mereka akan keluar dari

Desa tersebut untuk menempuh pendidikan, setelah mereka selesai pendidikan

mereka akan kembali ke masyarakat namun mereka tidak melakukan perubahan

apapun untuk Desa tersebut.Masih cukup banyak penduduk yang mempunyai tingkat

pendidikan rendah bahkan tidak tamat SD. Pendidikan masyarakat sangat rendah

sebanyak 56,4 % hanya lulus SD, tidak tamat SD sebanyak 18,2%. SMP sudah 2 tahun

namun belum pernah ada lulusan.Pendidikan yang rendah menyebabkan banyak

perempuan menikah muda.

Page 56: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

32

Masyarakat Kecamatan Pining Mayoritas Muslim, apalagi Desa Uring karena

Desa tersebut sudah secara turun temurun beragama Islam disamping itu tidak ada

juga pendatang, seandainya ada karena terjadinya perkawinan selama orang tersebut

tinggal diluar daerah untuk sekolah itupun juga tidak banyak, mereka sangat susah

untuk berinteraksi dengan orang luar.

Kekerabatan/orsosmas, pola tempat tinggal panggung yang dihuni oleh beberapa

keluarga, seorang suami akan membawa istrinya jadi bila perempuan sudah menikah

akan keluar dari rumah tersebut dan ikut seorang suami. Ini bisa terlihat dari anggota

keluarga dalam 1 rumah biasanya ada beberapa Kepala Keluarga. Mereka sangat

memegang teguh kekerabatan namun secara pertalian saudara saja mereka dekat

untuk keperluan lainya mereka akan menanggung sendiri-sendiri.

Table 3.1.6. Jumlah Bumil, Bulin,Bufas, Bayi dan Balita Per Desa di Wilayah Puskesmas Pintu Rime

Kecamatan Pining Tahun 2011

No Desa Bumil Bulin Bufas Bayi Balita

1 Gajah 5 4 4 4 29

2 Uring 17 16 16 16 79

3 Pepelah 7 7 6 6 43

4 Pintu Rime 9 8 8 8 43

Jumlah 38 35 34 34 194

Sumber: Puskesmas Pintu Rime, Kecamatan Pining Tahun 2011

Dari tabel di atas terlihat jumlah ibu hamil di Desa Uring sebanyak 38 ibu dan

35 ibu bersalin dan terbanyak ada di Desa uring.Masalah kesehatan KIA pada

Puskesmas Pintu Rime sangat rendah sekali ini terlihat dari pencapaian cakupan yang

tidak pernah maksimal. Tabel di bawah ini bisa terlihat bahwa memang cakupan untuk

kegiatan KIA tidak pernah maksimal.

Page 57: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

33

Tabel 3.1.7. Jumlah Sasaran dan Cakupan KIAKecamatan Pining Tahun 2011

No Kegiatan Satuan Target Pencapaian Cakupan

1 K1 Bumil 41 35 85%

2 K4 Bumil 41 29 70.7%

3 Neonatus Bayi 41 25 60.9%

4 Partus oleh Nakes Bulin 41 25 60.9%

5 Pelayanan Resti Bumil 41 5 12.1%

Sumber: Puskesmas Pintu Rime, Kecamatan Pining Tahun 2011

Dari hasil tabel di atas ternyata hampir sama dengan kuesioner ibu sebanyak

94,5% menjawab ya untuk melakukan anc pada ibu hamil. Melalui indept interview

diperoleh informasi dari Kepala Puskesmas bahwa program yang ada beberapa tidak

jalan karena keterbatasan tenaga. Sebagai contoh, 1 orang tenaga bisa bertanggung

jawab terhadap 9 program sekaligus, untuk permasalahan pelayanan KIA ada di K1

karena banyak ibu hamil yang tidak ingin kehamilanya diketahui orang lain selain

suami dan keluarga dari jumlah. Program imunisasi juga tidak berjalan baik, walaupun

tenaga kesehatan sudah mendatangi rumah keluarga memiliki balita, seringkali

mereka ditolak dengan tidak dibukakan pintu.

Tabel 3.1.8. Jumlah Sasaran dan Cakupan KB, Kecamatan Pining, Tahun 2011

No Metode Satuan Target Pencapaian Cakupan

1 Pil PUS 292 187 53.1%

2 Suntik PUS 292 208 70.5%

3 Kondom PUS 292 - -

4 Implant PUS 292 15 5.2%

5 IUD PUS 292 - -

Sumber: Puskesmas Pintu Rime, Kecamatan Pining Tahun 2011

Page 58: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

34

Pelayanan KB selama ini berjalan dengan baik dilihat table diatas dari target 292

untuk pencapaianya Pil 53%, Suntik 70,5%, implant 5,2%. Kondom dan IUD tidak ada

ibu-ibu yang memanfaatkanya, dengan kesadaran yang tinggi mendatangi puskesmas

untuk melakukan KB dan KB yang menjadi primadona pada penduduk setempat adalah

PIL.

Fasilitas Pelayanan di Puskesmas dan Ketenagaan

Sumber Daya Manusia atau tenaga yang tersedia pada Puskesmas Pintu Rime

terdiri 13 orang. Dari keseluruhan petugas tersebut, yang berdinas di puskesmas induk

yaitu 3 orangAkper, 3 orang Akademi Kebidanan, 1 orang Kesehatan Lingkungan, 1

orang Perawat Gigi, 1 orang Operator Komputer dan 1 orang Cleaning Service.

Puskesmas pembantu memiliki tenaga terdiri dari Perawat 1 orang, Akbid 1 orang,

Bidan 1 orang. Jadi Total jumlah pegawai Puskesmas Pintu Rime sejumlah 16 pegawai.

Kegiatan administrasi didukung oleh 2 buahKomputer, 1 buah laptop dan kamera

digital 1 buah.

Selain gedung puskesmas induk, sarana kesehatan yang dimiliki lain adalah:

Puskesmas Pembantu 2 buah

Poskesdes Pepelah

Rumah Dinas Dokter

Rumah dinas 1 buah,

Pusling 1 buah

Sepeda motor 7 buah

Akses ke Yankes. Untuk mencapai Puskesmas Pintu Rime Aksesnya sangat sulit

kalau dari Desa Uring hanya perlu waktu 15 menit karena memang lokasinya terletak

pada Desa tersebut, namun kalau dari Desa Pepelah dan Desa Pintu Rime harus

melalui jalan yang berliku dan berada di sisi bukit dan rawan longsor serta kondisi jalan

yang belum diaspal bisa sampai 1 jam untuk sampai di Puskesmas tersebut,

transportasi dari Blangkejeren ada namun dalam satu hari hanya lewat 1x dalam sehari

dengan rentang waktu yang sangat lama, dibutuhkan sekitar 1 jam dari Blangkejeren

untuk sampai ke Puskesmas Pintu Rime. Jaringan telepon di Kecamatan Pintu Rime

Page 59: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

35

tidak ada sama sekali sehingga para petugas kesehatan yang ada dilokasi setiap hari

libur mereka akan pergi ke Blangkejeren dalam beberapa hari untuk sekedar

berhubungan dengan saudara ataupun teman dekat.

Kepersertaan Jampersal di Puskesmas Pintu Rime Desa Uring untuk tahun 2011

tidak terserap karena masalah tehnis. Ini karena mengarah pada budaya masyarakat

yang tidak mau memeriksakan kehamilan mereka pada bidan, K1 sangat terkendala

karena ada budaya takut itu. Kondisi daerah yang sangat sulit juga menjadi kendala

karena beberapa bumil masih ada yang bersalin ketika mereka sedang tinggal di

kebun. Pada tahun 2012 hanya 11 ibu hamil yang memanfaatkan jampersal.

Pemanfaataan yang sedikit ini karena prosedur administrasi dan kondisi geografis

wilayah setempat yang sulit. Berikut pernyataan bidan koordinator puskesmas tentang

habatan pemanfaatan jampersal.

“Hambatan administratif, karena ada beberapa dokumen yang harus dikumpulkan seperti KTP dan KK , dan masyarakat di Desa ini umumnya tidak mempunyai KTP, jadi tetap harus minta surat dari kecik, tapi sejauh ini kendala bukan merupakan kendala yang berarti”.

Hasil indepthinterviewdengan bidan koordinator jampersal Puskesmas Pintu

Rime bahwa selama ini jampersal pemanfaatanya masih kurang karena terkendala

masalah administrasi yaitu harus ada KTP atau KK padahal masyarakat setempat jarang

yang punya. Sebagai gantinya, mereka harus menghubungi Kecik dulu untuk minta

surat keterangan tidak mampu. Persyaratan ini menyebabkan masyarakat malas untuk

mengurus itu semua. Alasan lain adalah karena ada Jaminan Kesehatan Aceh atau

Jamkesda. Hasil FGD dengan tokoh masyarakat menunjukkan bahwa masyarakat tidak

tahu mana yang akan dipakai untuk persalinan dari beberapa jenis jaminan kesehatan

yang ada. Masyarakat juga kurang mendapat informasi mengenai jampersal seperti

pernyataan salah seorang tokoh masyarakat dalam FGD.

“Selama ini kami belum pernah mendengar tentang jampersal, kami hanya tahu kalau melahirkan pakai bidan mantra gratis tidak bayar sama sekali”.

Page 60: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

36

3.1.3. Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak

Pandangan tentang Ibu Hamil, Bersalin, Bayi/Anak

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa ibu hamil akan diperlakukan sama dengan

ibu ibu yang tidak hamil, tidak ada perlakuan khusus bagi ibu hamil. Ibu-ibu tersebut

tetap menjalankan kewajibanya selaku ibu rumah tangga, melakukan kegiatan seperti

mencuci, memasak bahkan bekerja di ladang membantu suami, walaupun dari hasil

FGD suami menyatakan bahwa ada previllege yang diberikan untuk ibu hamil dengan

tidak melakukan pekerjaan rumah tangga.

Masyarakat setempat masih percaya dengan hal hal yang berhubungan mitos.

Terdapat bermacam pantangan yang harus dilakukan oleh ibu hamil walaupun kadang

kadang hal tersebut tidak bisa diterima oleh akal sehat dan logika. Pantangan yang

berlaku pada ibu hamil, bersalin di Desa Uring merupakan suatu tindakan preventif

agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan, sehingga baik dianggap masuk akal

ataupun tidak harus tetap dilaksanakan.

Kehamilan merupakan suatu kebahagiaan bagi seorang perempuan, apalagi itu

adalah anak pertama baginya. Kebahagiaan tersebut seringkali ditunjukan kepada

orang lain dengan berbagai cara. Salah satu cara tersebut misalnya dengan

mengadakan sebuah pesta atau upacara yang mengundang banyak orang pada masa

kehamilannya, seperti upacara mitoni1 dalam masyarakat Jawa. Namun, dalam

masyarakat Gayo, khususnya di Desa Uring, tidak ada upacara pada masa kehamilan

seperti dalam masyarakat Jawa. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh

Melalatoa (1982:89) dalam bukunya yang berjudul “Kebudayaan Gayo” bahwa tidak

ada upacara dalam rangka kehamilan seseorang seperti pada masyarakat tertentu

yang lain.

Tidak adanya upacara atau pesta kehamilan dalam masyarakat Gayo tentu

disebabkan oleh suatu faktor. Faktor tersebut berkaitan dengan pengetahuan

masyarakat setempat bahwa kehamilan seseorang harus ditutupi atau dirahasiakan

1Mitoni adalah salah satu tradisi masyarakat Jawa yang dilaksanakan saat usia kehamilan seseorang

berusia 7 bulan dan pada kehamilan pertama kali. Maknanya adalah bahwa pendidikan bukan saja setelah dewasa, akan tetapi semenjak benih tertanam di dalam Rahim sang ibu (Bratawidjaja, 1988:21).

Page 61: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

37

agar tidak diketahui oleh orang lain. ‘Penutupan kehamilan’ inilah yang menyebabkan

tidak adanya upacara atau pesta kehamilan dalam masyarakat Gayo.

‘Penutupan kehamilan’ dalam masyarakat Gayo dilakukan dengan berbagai

cara. Salah satu caranya adalah melalui pakaian. Pada saat hamil, si ibu akan

menggunakan sarung sebagai rok. Selain itu, ada juga sehelai kain panjang yang

dilingkarkan pada lehernya dan menjulur sampai ke perutnya. Hal ini senada dengan

pendapat Melalatoa (1982:89), bahwa dalam masyarakat Gayo ada kebiasaan

menyelimuti bagian tubuhnya sedemikian rupa sehingga bagian perutnya itu tidak

mudah dilihat orang. Dari pengamatan peneliti, kebiasaan menyelimuti bagian tubuh

sedemikian rupa tersebut saat ini sudah terjadi perubahan, khususnya dalam

masyarakat Desa Uring. Dalam masyarakat Desa Uring, sebagian besar ibu hamil tidak

lagi menyelimuti tubuhnya sedemikian rupa untuk menutupi kehamilannya. Mereka

juga mengenakan pakaian layaknya yang dikenakan oleh kaum perempuan pada

umumnya, seperti menggunakan baju daster, celana panjang, dan rok, sehingga

kehamilan mereka pun tampak terlihat.

Kesehatan secara keseluruhan terutama yang berkaitan dengan Kesehatan Ibu

dan Anak, terlihat dari rendahnya kunjungan masyarakat setempat ke Fasilitas

Kesehatan yang tersedia. Masyarakat setempat belum mempunyai kesadaran yang

tinggi untuk memeriksakan kesehatanya kepada tenaga kesehatan yang tersedia.

Mereka tidak mau tahu tentang kesehatan yang baik, bahkan merek tidak ingin tahu

tentang kesehatan. Dari beberapa cerita dari pegawai Puskesmas Pintu Rime bahwa

masyarakat setempat kurang berminat untuk mendatangi fasilitas kesehatan.

Berkaitan dengan KIA, mereka belum sadar akan pentingnya kesehatan bagi Ibu yang

sedang hamil, balita dan batita. Itu bisa terlihat dari profil Kabupaten Gayo Lues angka

pemeriksaan yang berkaitan dengan ibu dan anak cukup rendah.

Masyarakat Desa Uring memandang seorang ibu yang hamil seperti pada

umumnya wanita ini berkaitan dengan budaya setempat bahwa wanita yang sudah

diperistri oleh lelaki maka hak sepenuhnya ada pada lelaki tersebut. Perempuan yang

sudah diberikan mahar untuk memenuhi persyaratan sebuah pernikahan maka

perempuan tersebut bisa diperlakukan dengan semena mena oleh suaminya.

Maksudnya, hasil pengamatan ada ibu yang dalam keadaan hamil tetap bekerja seperti

Page 62: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

38

biasanya, bekerja disini maksudnya mengerjakan semua urusan rumah tangga dari

mengurusi keluarga sampai membantu suami bekerja di ladang. Namun dari hasil FGD

yang tim lakukan ternyata didapat informasi berbeda, para suami menyatakan

memberikan perlakuan yang lebih kepada istrinya manakala istrinya tersebut sedang

dalam masa hamil.

Perawatan Kehamilan. Masyarakat setempat masih memegang teguh budaya

local terkait perwatan kehamilan sebagian besar masyarakat tidak mau untuk datang

memeriksakan kehamilanya karena beberapa hal. Salas satu penyebab adalah budaya

takut akan kehamilanya yang diketahui oleh orang atau warga sekitar. Apabila mereka

memberitahu kehamilan kepada bidan bahwa mereka hamil, apabila ada kejadian

misal, keguguran dll maka bidan yang akan disalahkan. Ada pula budaya masyarakat

setempat yang masih melekat yaitu percaya bahwa ibu hamil adalah orang yang sangat

rentan terutama terhadap gangguan yang datang dari pengaruh supranatural. Selain

itu ada kepercayaan setempat tentang ‘manusia beracun’ atau ‘orang beracun’ yatu

penganut ilmu hitam. Orang tersebut sebagai penganut ilmu hitam, agar kekuatannya

bertambah salah satu cara dengan mengambil bayi dalam kandungan lewat ilmu

hitam. Hal ini bia dilihat dari ibu hamil yang dengan tiba tiba kehamilannya hilang atau

bagi bayi yang sudah keluar akan meninggal dengan tanda tanda penyebab yang tidak

jelas.

“Disini ada manusia beracun, ciri ciri manusia beracun adalah dia bisa melihat dari jauh, ketika dia melewati rumah yang terdapat ibu yang hamil dia bisa meracuni ibu hamil lewat pandanganya atau bisa juga kalau ada minuman racun itu bisa dikirim lewat minuman yang diminum ibu hamil tersebut, bisa juga terjadi ibu hamil yang akan kehilangan bayinya secara tiba tiba dengan alasan yang tidak jelas, saya tahu orangnya kalau bapak mau bisa saya tunjukkan rumahnya”

Keengganan masyarakat untuk melakukan pemeriksaan pertama kehamilan

menyebabkan rendahnya cakupan K1 Puskesmas uring, ibu hamil lebih memilih

mencari informasi kehamilan pertama dari bidan kampung. Informasi ini dieroleh dari

wawancara dengan bidan koordinator Puskesmas Pintu Rime Desa Uring.

Dari Hasil analisa kuantitatif dalam penelitian ini, diperoleh data sebanyak

94,5% melakukan ANC ke Bidan, data tentang pengetahuan ibu untuk memeriksakan

kehamilanya sebanyak 4 x ternyata dari keseluruhan responden menjawab setuju yaitu

sebesar 90,9%, kemudian untuk mengukur darah pada saat kehamilannya sebanyak

Page 63: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

39

89,1% ibu ibu setempat menjawab setuju, sebanyak 52,7% menjawab setuju untuk

konsumsi tablet tambah darah pada saat kehamilan. Halini menunjukkan bahwa

masyarakat setempat sebenarnya sudah mengetahui tentang pemeriksaan ibu hamil

minimal 4x dalam kehamilanya, dan pada ibu hamil harus mengkonsumsi tablet

tambah darah, mengukur test darah, serta melakukan suntik TT sebanyak 2x, tapi pada

kenyataanya setelah hampir arena kuatnya budaya pada daerah setempat mereka

hanya tahu tapi tidak melakukan sebagai contoh ada salah satu pegawai puskesmas

yang seorang perawat yang bersekolah di kota Medan dan kembali ke DesaUring pada

saat dia mau melahirkan tetap pada bidan kampung. Hal ini menunjukkan bahwa

pendidikan seseorang tidak mempengaruhi pola pencarian kesehatan. Berikut adalah

hasil wawancara dengan bidan coordinator.

“K1 sangat terkendala karena ada budaya takut itu. Kondisi daerah yang sangat sulit juga menjadi kendala karena beberapa bumil masih ada yang bersalin ketika mereka sedang tinggal di kebun”

Kehamilan bagi masyarakat Desa uring tidak ada upacara pada masa kehamilan

seperti dalam masyarakat di tempat lain tidak adanya upacara atau pesta kehamilan

dalam masyarakat Desa uring tentu disebabkan oleh suatu factor dan faktor tersebut

berkaitan dengan pengetahuan masyarakat setempat bahwa kehamilan seseorang

harus ditutupi atau dirahasiakan agar tidak diketahui oleh orang lain. Hal ini

dikarenakan kepercayaan setempat yang masih percaya atau meyakini apabila hamil

dan di ketahui oleh orang lain selain keluarganya akan mengakibatkan hilangnya

kehamilan tersebut atau mengancam nyawa sang ibu .

Namun, meskipun kehamilan mereka tampak terlihat oleh orang lain, tetapi

merahasiakan usia kehamilan dari orang lain, khususnya dari orang yang tidak dikenal

baik olehnya atau ‘orang asing’, masih dilakukan oleh ibu hamil di Desa uring

disebabkan karena adanya kepercayaan masyarakat setempat bahwa masa hamil

merupakan masa yang sangat rentan untuk jin atau setan masuk ke dalam tubuh ibu

hamil. Jin atau setan tersebut dapat berasal dari setan itu sendiri atau berasal dari

kesengajaan yang dilakukan oleh manusia yang sering disebut Manusia Beracun oleh

masyarakat setempat. Oleh sebab itu, seorang ibu hamil dan keluarganya berusaha

untuk menutupi atau merahasiakan kehamilan seorang ibu dari orang lain untuk

Page 64: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

40

melindungi ibu hamil dan janinnya dari gangguan setan dan Orang yang dalam belajar

Ilmu Hitam.

Tidak boleh keluar rumah malam hari (setelah magrib)

Tidak boleh makan kulit

Tidak boleh makan telur

Tidak boleh minum sambil berdiri

Tidak boleh duduk di tengah pintu

Tidak boleh bercanda

Tidak boleh makan di dalam kamar/tempat tidur

Tidak boleh minum jamu

Adapun pantangan ibu hamil pada masyarakat uring yaitu dilarang keluar

rumah malam hari; Tidak boleh melayat; Tidak boleh makan telur; Dilarang makan

dalam kamar.

Dalam pengetahuan masyarakat Desa Uring, apabila seorang ibu hamil ada

darah keluar pada saat hamil, mengalami sakit pinggang dan sakit perut, dan penyakit-

penyakit lainnya yang dialami oleh ibu hamil, dianggap bahwa hal tersebut merupakan

gangguan kehamilan yang disebabkan oleh blis (setan). Blis tersebut masuk ke dalam

tubuh ibu hamil dan mengganggu ibu hamil dan janinnya. Masuknya blis ke dalam

tubuh ibu hamil tersebut dikenal dengan istilah rampatdalam masyarakat Gayo.

Rampat tersebut terjadi karena dua faktor, yaitu (1) tube atau diguna-guna oleh

manusia, dan (2) melanggar pantangan yang telah ditetapkan bagi ibu hamil, seperti

tidak boleh keluar pada saat magrib dan jam 12 siang, tidak boleh terkena hujan, dan

lain sebagainya. Oleh sebab itu, ibu hamil di Desa Uring cenderung menutupi usia

kehamilannya untuk menghindari tube yang dapat menyebabkan rampat.

Page 65: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

41

Tabel 3.1.9.

Pantangan dan Anjuran bahi Ibu Hamil di Kecamatan Pining, Tahun 2012

Pantangan/Tabu Anjuran

Tidak boleh keluar rumah malam hari (setelah magrib)

Tidak boleh makan kulit

Tidak boleh makan telur

Tidak boleh minum sambil berdiri

Tidak boleh duduk di tengah pintu

Tidak boleh bercanda

Tidak boleh makan di dalam kamar/tempat tidur

Tidak boleh minum jamu

Minum air kelapa

Jangan bercanda berlebihan

Meletakkan gunting kuku disamping tempat tidur

Rajin sholad dan mengaji

Makan harus diruang makan dan ruang tv

Tidak berpergian selama masa kehamilan

Sumber: Data Primer

Selain faktor tube, rampat juga dapat terjadi karena adanya pelanggaran yang

dilakukan oleh ibu hamil terhadap pantangan-pantangan yang telah ditetapkan.

Banyak pantangan yang tidak boleh dilakukan oleh ibu hamil, terutama pantangan

dalam perbuatan. Pantangan tersebut dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu

berdasarkan waktu, tempat, dan objek. Berdasarkan waktu, (1) ibu hamil tidak boleh

terkena panas matahari tepat pada saat matahari berada di atas kepala yaitu sekitar

jam 12 siang, (2)tidak bolehkeluar pada saat magrib menjelang, (3) tidak boleh terkena

air hujan, dan (4) tidak boleh tidur siang dalam waktu yang lama.Berdasarkan tempat,

(1) seorang ibu hamil tidak boleh duduk di tanah, (2) tidak boleh berdiri di depan pintu,

(3) tidak boleh duduk di bawah pohon asam, dan (4) tidak boleh duduk di pintu atau di

jendela rumah. Sementara itu berdasarkan objek seorang ibu hamil tidak boleh

menyakiti orang lain selama hamil dan tidak boleh melihat burung sedang terbang.

Persalinan di Desa uring pada umumnya masih menggunakan bidan kampung

atau bidan Desa walaupun sudah ada bidan di puskesmas namun masyarakat tetap

menggunakan jasa bidan kampung, masyarakat setempat masih meyakini bahwa bidan

kampung lebih tahu kapan sang jabang bayi akan lahir dan alasan lainnya bahwa

pemeriksaan kehamilan sudah dilakukan oleh bidan kampung maka melahirkanya juga

Page 66: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

42

harus pakai bidan kampung, seperti pendapat dari seorang informan (Bapak SD) dari

Desa Uring dalam FGD,

“Dari awal kehamilan istri sudah periksa dengan bidan kampung makanya melahirkan juga sekalian sama bidan kampung saja, bidan kampung bisa tahu kalau ada apa apa dengan bayi yang akan dilahirkan…”.

Penduduk Desa uring masih percaya dengan dukun dari total 55 responden

sebanyak 50,9% masih menggunakan tenaga penolong persalinan pertama dukun dan

30,9 % karena percaya, 32,7 % karena jaraknya dekat.Selain hal tersebut para tenaga

kesehatan yang jumlahnya sangat sedikit dan jarang ada di puskesmas itulah yang

menjadikan alasan warga enggan memakai jasa bidan atau mantri kesehatan . dari

hasil indepth dengan kepala puskesmas dan bidan setempat karena lokasi Puskesmas

Pembantu ada di lereng bukit yang rawan akan terjadinya longsor dan dari aparat Desa

setempat kurang menyenangkan, maka tenaga kesehatan kalau hari sabtu minggu

akan keluar dari Desa tersebut, Disamping itu masyarakat Desa uring melihat Bidan

kampung di Desa Uring mempunyai cara atau metode tersendiri untuk menolong

persalinan. Cara atau metode tersebut dipelajari secara turun menurun dari ibunya,

neneknya, dan nenek moyangnya, dan lebih anehnya lagi kadang orang mendapat

ilmu atau keahlian menolong persalinan tersebut tidak disadari baru setelah sekian

tahun ibu tersebut tahu bahwa telah mendapatkan ilmu tersebut dan ini tidak bisa

ditolak oleh yang diberi kepercayaaan. Adapun ramuan yang digunakan oleh bidan

kampung untuk menolong persalinan adalah seperti menggunakan kunyit dan minyak

goreng untuk mengurut atau memijat perut ibu hamil, menggunakan semilu untuk

memotong tali pusar bayi.

Ritual penanaman plasenta atau ari ari atau Ni (masyarakat setempat

menyebutnya) masih dikenal. Ni tersebut setelah dicuci bersih oleh bidan kampung

dan dimasukkan dalam sumpit oleh suami dan dikubur di gunung bagi anak yang

berkelamin laki laki. Cara ini menyangkut kepercayaan warga setempat dengan

menanam ni tersebut di gunung akan membuat anak tersebut akan nyaring suaranya

sewaktu membaca alquran namun dalam proses penanaman tersebut tidak boleh

terlalu dalam karena bisa menyebabkan susah bicara. Untuk anak perempuan akan

ditanam dekat tangga yang ada di rumah karena biar nanti kalau sudah besar tidak

Page 67: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

43

pergi jauh dari orang tua. Informasi tersebut diperoleh dari suami dalam FGD , secara

detil terungap dalam perkataan berikut.

“…., terus ni atau ari ari yang mencuci bu mantri atau bidan kampung setelah bersih dimasukkan dalam sumpit lalu ditanam di bukit biar suaranya nyaring kalau baca quran untuk anak lelaki, untuk anak perempuan cukup dibawah tangga rumah saja biar kalau pergi tidak jauh jauh”.

Selain pemotongan tali pusat dan penanaman nie ada ritual bayi setelah

dilahirkan segera dibawa ke sungai untuk dimandikan agar bayi tersebut kuat dan

pemberani, apabila ritual tersebut tidak dilakukan maka mereka akan menerima

dampaknya yang bisa mengakibatkan anak anaknya akan nakal atau bandel bahkan

sampai tidak mau membaca alquran, andai hal tersebut terjadi orang tua akan

mendatangi bidan kampung untuk minta doa biar anak tersebut segera berubah,

dengan membawa beras satu bambu serta kain putih 2 meter dan uang sebesar 20.000

sampai 50.000,-, nanti dukun kampung akan membacakan mantra terhadap anak

tersebut sampai pada akhirnya anak tersebut mau membaca alqur’an.

Dalam masyarakat Gayo, permasalahan kesehatan pada umumnya dipercaya

karena adanya pengaruh setan atau magis.Hal ini bisa kita lihat pada pemeriksaan ibu

hamil pada masyarakat setempat pada pemeriksaan ANC mereka tidak lakukan dan hal

ini sangat bertentangan dengan ketentuan bahwa selama hamil harus 4 x melakukan

pemeriksaan, karena pada 3 bulan pertama pemeriksaan kehamilan sangat dibutuhkan

ini untuk mengetahui kondisi janin sehingga apabila janin tidak berkembang atau tidak

bagus tenaga kesehatan akan tahu , karena budaya tersebut ANC pada Puskesmas

Pintu Rime rendah.

Pemahaman masyarakat mengenai kesehatan tersebut berpengaruh pada cara

pengobatan yang dilakukan, yaitu dengan bersifat magis juga untuk mengusir setan

tersebut. Oleh sebab itu, dukun kampung masih mempunyai peranan penting dalam

pengobatan suatu penyakit, termasuk dalam kesehatan ibu dan anak seperti

pengobatan pada masa kehamilan sampai pasca-persalinan.

Masyarakat lebih percaya dengan dukun karena dianggap dukun mempunyai

ilmu spiritual yang tinggi dan tahu pasti kapan bayi akan lahir. Serta bisa membacakan

mantra untuk ibu yang akan melahirkan dan member air Suluh yaitu air yang sudah

Page 68: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

44

diberi mantra dan diyakini bisa mempermudah proses kelahiran.Dukun Juga

melakukan pemijitan pada ibu hamil, memberikan mantra-mantra, menolong

persalinan, mencuci Nie/plasenta, tradisi Asapan, memakai tapel, bedak param selama

40 hari (masa nifas), pada saat akan melahirkan suami atau salah satu keluarga akan

memanggil dukun terlebih dahulusebanyak 50,9% responden, namun pada saat

persalinan sebanyak 52% responden tetap mempercayakan persalinan kepada Bidan

puskesmas.

Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa masih ada ibu

bersalin di DesaUring yang tidak tahu berapa usia kandunganya sehingga mereka tetap

bekerja di kebun, makanya mereka tidak tahu tanda-tanda persalinan, sehingga masih

banyak ibu bersalin yang melakukan persalinan sendiri tanpa pertolongan bidan Desa

atau bidan kampung atau karena ibu tersebut berada di kebun sehingga sulit untuk

memanggil bidan kampung atau mantri. Hal ini tentu mempunyai dampak yang kurang

baik bagi ibu bersalin tersebut dalam persalinan, apalagi persalinan tersebut adalah

persalinan berisiko tinggi dan bermasalah.Oleh sebab itu, peran tenaga kesehatan dan

pemerintah setempat sangat diperlukan dalam menanam pengetahuan tanda-tanda

persalinan kepada ibu sejak kehamilan.

Masyarakat Desa Uring lebih percaya kepada bidan kampung untuk menolong

persalinan daripada tenaga kesehatan. Oleh sebab itu, peluang bidan kampung untuk

menolong persalinan lebih banyak daripada tenaga kesehatan. Oleh sebab itu, bidan

kampung hendaknya mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah setempat.

Perhatian tersebut mungkin dapat dilakukan dengan cara membina dan merangkul

bidan kampung untuk bekerjasama dalam mengatasi permasalahan kehamilan seorang

ibu sampai pasca-persalinan. Menurut pengakuan seorang bidan kampung, dia belum

pernah mendapatkan pembinaan, khususnya tentang persalinan, dari pemerintah

setempat.‘Ilmu’ pertolongan persalinan dia peroleh dari nenek moyangnya secara

turun menurun.Oleh sebab itu, peran pemerintah sangat diperlukan untuk merangkul

para bidan kampung dan dukun kampung selaku orang yang dipercaya oleh

masyarakat setempat untuk menyembuhkan suatu penyakit dan menolong persalinan.

Page 69: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

45

Tabel 3.1.10.

Ritual, Pantangan dan Anjuran Bagi Ibu Bersalin di Kecamatan Pining, Tahun 2012

Ritual, tradisi, atau adat tertentu Pantangan/Tabu Anjuran

Dilangkahi 3x oleh suami agar persalinan lebih mudah

Memasukan garam dalam vagina setelah bayi lahir

Minum minyak yang telah didoakan

Menanan ari ari bagi anak lelaki dilaksanakan jauh diatas gunung agar suaranya merdu saat melantunkan ayat quran

Pakai asapan, tampal, bedak param

Berdiri depan pintu

Tidak boleh makan telur

Tidak boleh makan pisang

Tidak boleh makan ikan

Dilarang menyimpan cabe merah di dalam saku

Jangan kena hujan

Dilarang makan terlalu pedas

Minum jamu

Minum air do’a/suluh supaya melahirkan dengan selamat

Makan daun sirih

Banyak berzikir dan istigfar

Sumber: Data Primer

Pasca-Persalinan.Setelah persalinan, ibu nifas di Desa Uring menggunakan api yang

diletakan di belakang punggung ibu hamil yang dikenal dengan istilah bedapuratau nite

dalam masyarakat setempat. Penggunaan api tersebut dipercaya oleh masyarakat

setempat untuk melancarkan darah kotor yang terdapat di punggung ibu hamil. Tradisi

memanaskan ibu nifas dalam rumah adat dengan asap selama 40 hari.Selain

menggunakan api,pada saat niteibu nifas di Desa Uring juga menggunakan ramuan

tradisional yang digunakan di seluruh tubuh berupa param, garam yang dimasukan ke

dalam vagina, dimakan, dan diminum. Ramuan-ramuan tersebut dipercaya oleh

masyarakat setempat untuk menyehatkan badan, menyembuhkan luka dalam, dan

memberi ‘kekuatan’ pada saat bekerja nantinya. Penggunaan ramuan tersebut

menunjukan bagaimana kepedulianmasyarakat setempat terhadap kesehatan seorang

ibu nifas.

Ramuan yang digunakan pada umumnya adalah rempah-rempah dapur seperti kunyit

dan sirih. Ramuan tradisional yang digunakan oleh ibu nifas merupakan ramuan yang

dipelajari secara turun menurun dalam masyarakat Gayo di Desa Uring. Berbagai

pantangan ibu hamil, bersalin dan pasca persalinan bisa kita lihat sebagai berikut:

Page 70: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

46

Tabel 3.1.11.

Ritual, Pantangan dan Anjuran Bagi Ibu Pasca Persalinandi Kecamatan Pining Tahun 2012

Ritual, tradisi, atau adat tertentu Pantangan/Tabu Anjuran

Turun Mandi pada bayi

Doa selamatan pada bayi.

Menyediakan dapur kecil

Memakai bedak dan tampal

Ari ari anak perempuan dibawa dideket tangga rumah

Menanam ari ari tidak boleh terlalu dalam

Pemberian nama bayi

Tidak bisa makan telur

Tidak bisa makan pisang

Memotong kambing betina

Tidak boleh masak selama 40 hari

Ibu banyak makan sayuran segar seperti sayur bening agar air susu banyak keluar

Makan ramuan penghangat badan

Potong kambing jantan

Makan dan minum jamu

Sumber: Data Primer

3.1.4. Faktor Sosial Budaya Masyarakat Terkait Pemilihan Penolong Persalinan dan

Pemanfaatan Pelayanan Jampersal

Pengambilan Keputusan Pemilihan Penolong KIA

Pada masyarakat Desa Uring dalam pengambilan keputusan pencarian

pertolongan masih mengandalkan orang tua atau mertua. Hal ini terungkap dari

wawancara dengan bidan koordinator puskesmas sebagai berikut.

“Pengaruh orang tua dalam penentuan penolong persalinan sangat besar, umumnya ketika orang tua menyarankan menggunakan bantuan dukun mereka selalu mengikuti saran tersebut terutama dukunitulah yang menolong bumil ketika dilahirkan, faktor percaya sangat berkembang dalam pemilihan pembantu persalinan. Suami tidak mempunyai kapasitas untuk memberikan keputusan dalam hal penentuan pembantu persalinan”

Peran orang tua atau mertua dalam budaya setempat masih sangat tinggi ini

berkaitan dengan pola tinggal mereka karena apabila seorang anak perempuan sudah

menikah dia akan ikut dengan suami untuk tinggal di keluarga suami.Seorang suami

bapak YT menyatakan hal tersebut dalam FGD sebagai berikut.

“Anak saya nomer 1 sampe dengan 3 lahir pada bidan kampung karena mertua yang menyarankan sedangkan anak yang ke 4 pakai bu mantri (bidan puskesmas) saya sendiri yang mau karena biar dikasih vitamin “

Namun dari data primer survey terhadap responden ibu sebanyak 50,9%

memilih bidan kampung karena merasa aman dan nyaman, sedangkan 30,9% percaya,

Page 71: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

47

serta jarak yang dekat sebanyak 32,7 %. Hal ini memperlihatkan bahwa pola pencarian

pertolongan persalinan pada masyarakat setempat masih mengidolakan bidan

kampung karena kepercayaan yang tinggi serta faktor jarak yang dekat. Pada saat

persalinan, sang suami tidak boleh masuk ke dalam ruang bersalin, meskipun hanya

untuk sekedar menemani istrinya. Hanya bidan kampung atau bidan serta pihak

keluarga saudara perempuan yang ada. Keputusan dalam pencarian pertolongan

ditentukan oleh orang tua atau mertua, seorang suami hanya mengikuti saja apa mau

orang tua atau mertua. Mereka akan patuh dengan apa yang di ucapkan oleh mertua

atau orang tua, bahkan untuk menunggu istri pada saat melahirkan saja suami tidak

boleh mendekat karena urusan melahirkan adalah urusan wanita. Para suami ini

menurut saja, karena takut apabila mereka melanggar apa yang disarankan orang tua

nanti akan membuat susah proses kelahiran.

Dukun di Mata Masyarakat

Masyarakat Desa Uring lebih percaya kepada bidan kampung untuk menolong

persalinan daripada tenaga kesehatan. Bidan kampung dianggap lebih tahu tentang

kapan bayi akan lahir seperti yang terungkap dari hasil FGD dengan kelompok suami

yang isterinya tidak memanfaatkan jampersal.

“Istri saya melahirkan dengan bidan kampung karena selain dekat saya lebih percaya dengan bidan kampung, karena bidan kampung tahu kapan bayi akan lahir”

Oleh sebab itu, peluang bidan kampung untuk menolong persalinan lebih banyak

daripada tenaga kesehatan. Maka dari itu, bidan kampung hendaknya mendapatkan

perhatian khusus dari pemerintah setempat dengan melakukan pembinaan dan

merangkul bidan kampung untuk bekerjasama dalam mengatasi permasalahan

kehamilan seorang ibu sampai pasca-persalinan. Menurut pengakuan serangbidan

kampung, dia belum pernah mendapatkan pembinaan, khususnya tentang persalinan,

dari pemerintah setempat.‘Ilmu’ pertolongan persalinan dia peroleh dari nenek

moyangnya secara turun menurun.Oleh sebab itu, peran pemerintah sangat

diperlukan untuk merangkul para bidan kampung dan dukun kampung selaku orang

yang dipercaya oleh masyarakat setempat untuk menyembuhkan suatu penyakit dan

menolong persalinan.

Page 72: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

48

Kebiasaan pada masyarakat Desa Uring adalah melahirkan di rumah ini terlihat

dari 55 renponden sebanyak 72,7 % menjawab setuju bahwa proses persalinan di

rumah atau di fasilitas kesehatan sama amannya. Pernyataan ‘melakukan ritual

membuat persalinan selamat’ yang ditanyakan kepada responden menunjukan bahwa

sebanyak 58, 2% menjawab setuju. Serta menganggap ‘kemampuan bidan dan dukun

sama’ sebanyak 80 % menjawab setuju. Masyarakat setempat masih sangat percaya

dengan bidan kampung mereka dengan alasan dekat serta merasa nyaman apabila

menggunakan bidan kampung. Infomasi dari bidan kampung, selama ini sebenarnya

senang menolong persalinan namun kadang ada warga yang kurang berterima kasih

terhadap bidan kampung.

“…Saya senang bisa membantu orang melahirkan namun kadang warga yang saya tolong tidak tahu terima kasih, bahkan sering saya disuruh pulang sendiri tanpa diantar padahal jaraknya sangat jauh….”

Menurut data dari Puskesmas Pintu Rime, saat ini terdapat 5 orang bidan

kampung di 4 Desa di Kecamatan Pining. Satu hal menarik di sini adalah bidan

kampung tersebut keahlianya secara turun temurun dan pada awalnya bidan kampung

ini tidak menyadari kalau mereka ini punya keahlian dalam membantu proses

persalinan.

Bidan kampung atau dukun bersalin ini memiliki posisi dalam masyarakat

setempat sebenarnya kurang begitu dihargai malah sebaliknya itu bisa dilihat dari

wawancara dengan 2 bidan kampung yang ada di Desa Uring dan Desa Gajah mereka

mengeluhkan sifat warga yang kurang berterima kasih. Cara-cara yang digunakan

bidan kampung untuk memberikan pertolongan lebih memanfaatkan alam dan

kemampuan spiritual yang mereka miliki. Dalam prakteknya, bidan kampung

memberikan pertolongan kepada ibu dalam bentuk pijat, air suluh, jamu, bedak,

tampel dan ramuan yang tediri dari jeruk purut, kunyit dan beras.

Dari hasil survei yang dilakukan di Desa Uring, berikut bentuk-bentuk

pelayanan bidan kampung yang dimanfaatkan oleh masyarakat:

Page 73: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

49

Tabel 3.1.12.

Jenis Pelayanan Bidan Kampung yang Diterima Masyarakat di Wilayah Kecamatan Pining Tahun 2012

No Jenis Pelayanan Ya Tidak

1 Pijat Ibu 52,70% 47,30%

2 Jamu 61.80% 38.207%

3 Upacara adat tertentu 65.50% 34,50%

4 Perawatan Bayi 81.80% 18.20%

5 Pijat Bayi 18.20% 81.80%

Sumber: Data Primer

Untuk biaya jasa bidan kampung, masyarakat hanya mengeluarkan atau menyediakan

beras sebanyak 1 ruas bambu, gula, kopi, dan kain sepanjang 2 meter. Kain ini bisa

berupa kain kafan atau kain yang lain kemudian uang seadanya diberikan secara

sukarela. Bidan kampung tidak akan meminta bayaran secara langsung kepada

masyarakat yang memanfaatkan jasanya. Akan tetapi masyarakat yang mengerti akan

dengan sukarela memberi uang dan perlengkapan yang sudah disebutkan diatas.

Mereka merasa tidak enak kalau tidak member, apalagi masyarakat setempat masih

percaya apabila bidan kampung ini sakit hati maka leluhurnya akan marah dan bisa

membahayakan anaknya kelak di kemudian hari.

Bidan Dimata Masyarakat

Bidan adalah ujung tombak pertolongan KIA di kecamatan Pining. Peran bidan

sangatlah penting dalam keselamatan ibu dan anak karena mereka mengetahui

bagaimana cara-cara yang tepat untuk melakukan pertolongan KIA secara medis

kepada masyarakat. Pertolongan persalinan oleh bidan terkait dengan ketersediaan

tenaga, saat ini Puskesmas Cirinten telah memiliki tenaga bidan sebanyak 4 orang. Dari

4 orang bidan tersebut, 2 orang bidan ditempatkan di puskesmas Pintu Rime, 1 orang

bidan ditempatkan di pustu dan 1 lainnya ditempatkan di Desa Pining. Secara status

kepegawaian, 2 orang bidan di sudah berstatus sebagai PNS, sedangkan 2 orang bidan

lainnya adalah bidan PTT dan praktek.

Page 74: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

50

Dari segi jumlah, ketersediaan bidan di Pining tidak cukup untuk dapat

melayani masyarakat Desa Desa yang ada di wilayah Pining, apalagi ada 2 bidan yang

jarang datang ke Puskesmas Pintu Rime karena memang domisilinya di Blangkejeren.

Sampai saat ini hanya 2 Desa yang sudah memiliki bidan, sedangkan 2 Desa lainnya

tidak. Warga di 4 Desa yang tidak memiliki bidan harus rela untuk menempuh

perjalanan yang jauh untuk mendapatkan pertolongan dari bidan, baik dari bidan di

Desa terdekat atau bidan dari Pustu atau Puskesmas. Sedangkan seperti yang telah

dikemukakan sebelumnya, kondisi geografis Pining tidaklah mudah untuk ditempuh

oleh warga.

Seorang bidan yang ditempatkan di Desa Uring tidak tinggal di daerah tersebut

karena alasan keamanan mereka dengan perawat gigi dan tenaga perawat lainya

tinggal di Desa Pepelah. Mereka tinggal di Pustu namun agak jauh dengan pemukiman

penduduk. Dalam kesehariannya mereka berbaur dan berinteraksi dengan warga

setempat, bahkan mereka belajar bahasa setempat. Mereka juga ikut belajar membuat

tikar anyaman dari daun pandan berduri yang banyak tumbuh di sekitar Desa uring.

Singkatnya, mereka menyatu dengan masyarakat. Hal ini adalah modal yang penting di

mana kepercayaan masyarakat akan terbangun lebih baik apabila mereka mengenal

siapa pelaku penolongnya.

Bidan di Desa Uring masih muda, berusia sekitar 23 tahun. Selain itu, mereka

juga masih berstatu lajang atau belum menikah. Ini merupakan sebuah tantangan

tersendiri untuk bidan. Pertanyaan yang sering muncul kemudian adalah: apakah

mereka sudah cukup berpengalaman dalam menolong menolong ibu yang bersalin?

Kalau mereka sendiri belum pernah melahirkan, bagaimana mereka bisa menolong

orang melahirkan? Itulah tantangan berat yang harus dihadapi bidan-bidan belia ini

dalam mengupayakan pertolongan kepada masyarakat. Mereka harus memperoleh

kepercayaan masyarakat dengan usia dan keyakinan yang berbeda namun semangat

bidan tersebut patut mendapat apresiasi yang tinggi, maka dari Dinas bidan tersebut

menjadi Bidan Teladan satu Kabupaten Gayo Lues. Bidan ini walaupun berkeyakinan

berbeda mereka mau merubah penampilan demi bisa diterima oleh masyarakt

setempat.

Page 75: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

51

“Bidannya cantik dan baik mau kalau dipanggil ke rumah , gesit dan yang penting dia ngerti bahasa gayo hehehehe”

Warga setempat mengganggap bahwa Bidan yang ada Puskesmas Pintu Rime harus

dipertahankan karena disamping cantik bidan tersebut lincah selalu cepat kalau

dipanggil ke rumah.

Hubungan Antara Dukun dan Bidan

Kemitraan antara dukun dan bidan terjalin belum lama. Menurut pembicaraan

dengan bidan puskesmas dan bidan kampung, maka kemitraan terbentuk. Sudah

hampir 2 tahun ini bidan kampung kalau ada ibu yang mau melahirkan akan

memanggil bidan puskesmas untuk bersama-sama menolong persalinan.

“orang sini kalau melahirkan harus ada bidan kampung karena kepercayaannya kebetulan neneknya orang pintar jadi kira-kira tujuannya apa. Kubilangkan pa. Sebetulnya ngga da kaitan dengan seperti itu Dia panggil neneknya panggil bidan kampung konon kabarnya ada kakeknya masuk ke tubuh ibu yang sudah melahirkan”

Seperti diterangkan di atas, dukun mempunyai posisi yang strategis dalam

kehidupan masyarakat. Mereka telah mendapatkan kepercayaan masyarakat sebelum

bidan-bidan datang di Pintu Rime. Bentuk kerja sama antara dukun dengan bidan ini

sampai saat ini masih bersifat kekeluargaan saja. Belum ada sebuah kesepakatan

bersama, atau MoU yang diberlakukan untuk mendukung kerja sama antara dukun

dengan bidan. Dalam prakteknya bidan dapat merangkul dukun untuk dapat bekerja

sama dengan melakukan pendekatan secara personal. Mereka membuat pendekatan

secara intens dan berusaha membuat hubungan baik dengan para dukun. Dari

hubungan baik yang terjalin inilah kerja sama antara bidan dan dukun dapat berjalan.

Namun, meskipun kerja sama yang dilakukan oleh bidan dan dukun di sini bersifat

kekeluargaan, hal ini tidak serta merta berarti tidak ada hubungan transaksional

diantara keduanya.

Dalam hal pemberian pertolongan KIA—terutama pada saat persalinan—yang

diselenggarakan secara bersama antara dukun dengan bidan terdapat pembagian

peran yang jelas. Bidan berperan dalam memberikan pertolongan secara medis kepada

Ibu, sedangkan bidan kampung berperan dalam fungsi pengawasan, penjagaan, dan

perawatan ibu pasca persalinan. Dalam fungsi pengawasannya, bidan kampung

Page 76: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

52

berperan dalam mengawasi ibu semenjak masa kehamilan sampai saat-saat menjelang

persalinan. Dalam hal ini, biasanya bidan kampung adalah orang yang menghubungi

bidan ketika ada seorang ibu dalam lingkungannya hendak melahirkan. Mereka

biasanya hadir di lokasi di mana ibu akan melahirkan lebih dulu daripada bidan.

Setelah bidan hadir dan pertolongan persalinan telah selesai dilakukan, biasanya

dukun akan tinggal untuk merawat ibu. Pada fase ini dukun biasanya meberi pelayanan

untuk ibu dan bayi baru lahir. Seperti yang dikatakan oleh seorang bidan berikut:

“kalau bidan kampung sekedar baca doanya. Dan makein kunyit dan beras serta memandikan bayinya apabila sudah keluar”

Pada fase ini, dukun juga menjalankan fungsinya sebagai aktor yang

menjalankan adat dan tradisi yang masih dipercaya oleh masyarakat setempat dalam

bidang KIA. Di sini pelaksanaan prosesi-prosesi adat seperti yang teah dijelaskan di atas

dijalankan oleh ibu dengan bantuan seorang bidan kampung. Jika dilihat memang pola

kerja sama antara dukun dan bidan dalam hal ini—lepas dari hubungan

transaksional—merupakan sebuah sinergi antara praktek pertolongan modern (baca:

medis) dengan praktek pertolongan tradisional dengan memanfaatkan adat dan tradisi

yang telah dikenal oleh masyarakat. Pembagian peran dan fungsi diantara keduanya

dapat dilihat secara jelas.

3.1.5.Peran Tenaga Pelayanan Kesehatan dalam Pelaksanaan Program Jampersal

Sosialisasi Jampersal

Sosialisasi jampersal sudah dilaksanakan sesuai dengan juknis yang diberikan dari

kemenkes, namun karena Kecamatan Pining merupakan daerah yang sulit dari sisi

geografi untuk itu Bupatimengeluarkan SK yang menerangkan bahwa pelaksanaan

jampersal bisa dilakukan dirumah dengan tetap menggunakan Bidan sebagai penolong

persalinan.

“Sosialisasi dilakukan dengan melibatkan bidan Desa – dan bidan dilingkungan Kabupaten Gayo lues”

Sedangkan pada tingkat Kepala Puskesmas melakukan sosialisasi lewat bidan bidan

yang berada dibawah wilayah kerja Puskesmas Pintu Rime.

“Sudah dilakukan pertemuan lintas sektor, antara lain sudah diadakan pertemuan sengan kecamatan dan lurah sehingga dianggap informasi tersebut sudah disampaikan kepada masyarakat di bawah,sedangkan dari bidan Desamelakukan

Page 77: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

53

sosialisasi kepada masyarakat melalui posyandu, dan posyandu ini juga dilaksanakan sedikit banyak melalui peran kepala Desa”

Pada tingkat puskesmas sudah dilaksanakan sosialisasi dengan melibatkan para

kader di posyandu dan kader ini diharapkan akan menyampaikan informasi tersebut

melalui kecik di masing masing Desa.

Pelaksanaan Program jampersal

Sejak tahun 2011 jampersal pada Puskesmas Pintu Rime sudah dijalankan namun

untuk pesertanya sangat minim karena akses ke pelayanan kesehatan yang sulit serta

masyarakatnya kurang perduli dengan kesehatan. Pada masyarakat setempat masih

banyak yang melakukan persalinan lewat Bidan kampung, pelaksanaan jampersal di

lakukan di rumah penduduk namun apabila ada tindakan akan segera dirujuk ke

Blangkejeren , di puskesmas selama ini tidak pernah digunakan untuk persalinan . Pada

lokasi penelitian di Puskesmas Pintu Rime Desa Uring persalinan tidak dilakukan di

puskesmas dan di beberapa pustu karena keterbatasan fasilitas alat bantu persalinan,

sehingga yang mengalami komplikasi atau masalah akan segera dirujuk ke

Blangkejeren. Namun ada kebiasaan yang terjadi di daerah setempat adalah

masyarakat yang akan melahirkan sebelum ada tanda tanda mau melahirkan sudah

langsung memanggil tenaga kesehatan untuk diantar ke RS padahal baru sakit

perutnya saja, ini yang dikeluhkan oleh tenaga kesehatan.

Pengelolaan Dana Jampersal di Tingkat Puskesmas

Masyarakat Desa uring yang melakukan pemeriksaan kehamilan, persalinan dan

pemeriksaan nifas di tenaga kesehatan, sebagian besar mempergunakan uang pribadi

untuk membayar pelayanan tersebut. Dapat kita lihat sebagai berikut:

Kehamilan

Pada mayarakat Desa Uring, untuk memperoleh pelayanan kehamilan. Hal ini

dapat dilihat dari penggunaan uang pribadi dalam membayar pelayanan persalinan

(63,6%), mempergunaan dana jampersal (20%), jamkesmas/ jamkeda (16,4%). Dari

hasil tersebut bisa dilihat masyarakat Kecamatan Pining bahwa penggunaan dana

pribadi masih tinggi untuk biaya pemeriksaa kehamilan .

Page 78: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

54

Persalinan

Masyarakat Pining belum menganggap tenaga kesehatan sebagai penolong

persalinan terakhir bagi persalinan, hal ini dapat dilihat kesadaran masyarakat

membayar pelayanan persalinan dengan uang pribadi (80%), menggunakan jampersal

(12,7%), jamkesmas dan jamkesda (7,3%). Mereka belum sadar untuk

mempergunakan bantuan nakes mereka lebih nyaman.

Nifas

Sebagian besar masyarakat yang memanfaatkan pelayanan pemeriksaan nifas

melakukan pembayaran dengan uang pribadi sebesar (54,5%), dengan

mempergunakan jampersal ( 7,3%), dengan jamkesmas/jamkesda (7,3%) Mereka tetap

mengeluarkan dana atau biaya sendiri untuk pelayanan nifas masih tertinggi.

3.1.6. Hambatan, Dukungan dan Harapan dalam Pelaksanaan Program Jampersal

Kesehatan suatu masyarakat dapat dipengaruhi oleh kebudayaan yang

dimilikinya.Dengan kata lain, pemahaman kesehatan dalam suatu masyarakat

dipengaruhi oleh kebudayaan yang telah mereka pelajari secara turun menurun dari

generasi ke generasi. Sementara itu, setiap masyarakat mempunyai kebudayaan yang

berbeda dengan masyarakat yang lain. Perbedaan pemahaman kesehatan ini yang

harus kita lihat, budaya setempat bisa mendorong kearah kesehatan yang lebih bagus,

apabila ada budaya yang mengancam kesehatan ada baiknya kita lakukan pendekatan

kepada masyarakat terlebih dahulu. Untuk melihat hambatan dan dukungan serta

harapan masyarakat Desa Uring Kecamatan Pining bisa dilihat dari paparan dibawah ini

Hambatan

Akses jalan. Jalan yang tidak bagus dan kondisi geografisnya yang berbukit bukit

sehingga sulit untuk dilalui, akses jaringan telekomunikasi yang tidak tersedia,

seringnya para ibu berada dilokasi perkebunan pada saat hamil tua sehingga

mempersulit bidan untuk membantu persalinan.

Pendidikan masyarakat sangat rendah. Sebanyak 56,4 % hanya lulus SD, tidak tamat

SD sebanyak 18, 2% , SMA baru 1 tahun berdiri, SMP sudah 2 tahun namun belum

Page 79: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

55

pernah ada lulusan. Pendidikan rendah menyulitkan masyarakat memahami informasi

yang diterima khususnya terkait kesehatan.

Fasilitas listrik dan komunikasi. Jaringan listrik baru 1 tahun ini bisa dinikmati warga.

Tidak tersedianya jaringan telekomunikasi sehingga menyulitkan warga dan tenaga

kesehatan untuk berhubungan, seandainya ada ibu yang akan melahirkan akhirnya

pihak keluarga mencari pertolongan ke bidan kampung karena jarak yang dekat.

Tempat tinggal berpindah. Mata Pencaharian/pekerjaan masyarakat setempat

sebanyak 65 % menjadi petani, dan menanam sereh wangi, coklat, kemiri. Suami istri

sering tinggal di kebun dengan mendirikan gubug untuk menjaga kebun kebun

tersebut dari gangguan binatang yang akan merusak tanamanya sehingga mereka

menginap pada gubug tersebut, sampai pernah terjadi melahirkan di kebun dengan

dukun.

Kepercayaan kepda bidan kampung (dukun). Kepercayaan masyarakat masih percaya

dengan dukun dari total 55 responden sebanyak 50,9% masih menggunakan tenaga

penolong persalinan pertama dukun dan 30,9 % karena percaya, 32,7 % karena

jaraknya dekat. Masyarakat lebih percaya dengan dukun karena dianggap dukun

mempunyai ilmu spiritual yang tinggi dan tahu pasti kapan bayi akan lahir. Serta bisa

membacakan mantra untuk ibu yang akan melahirkan dan member air Suluh yaitu air

yang sudah diberi mantra dan diyakini bisa mempermudah proses kelahiran. Dukun

Juga melakukan pemijitan pada ibu hamil, memberikan mantra, menolong persalinan,

mencuci Ni/plasenta, tradisi Asapan, memakai tapel, bedak param selama 40 hari

(masa nifas), pada saat akan melahirkan suami atau salah satu keluarga akan

memanggil dukun terlebih dahulu sebanyak 50,9% responden, namun pada saat

persalinan sebanyak 52% responden tetap mempercayakan persalinan kepada Bidan

puskesmas.

Tradisi dan kepercayaan. Masyarakat masih percaya dan melaksanakan tradisi antara

lain: Berdiri depan pintu; Tidak boleh makan telur; Tidak boleh makan pisang; Tidak

boleh makan ikan; Dilarang menyimpan cabe merah di dalam saku; Jangan kena hujan;

Dilarang makan terlalu pedas;Memasukkan garam pada vagina setelah bayi dan

placenta keluar dan ini diyakini warga setempat bisa menyembuhkan luka di dalam,

Memotong kambing betina; Tidak boleh masak selama 40 hari; Turun Mandi pada bayi

maksudnya setelah bayi berusia 3 hari akan dibuatkan ritual mandi di sungai dengan

Page 80: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

56

upacara yang dipimpin oleh dukun bayi; Doa selamatan pada bayi; Keperluan ibu,

dilakukan tradisi Nite: Menyediakan dapur kecil di kamar untuk memberi kehangatan

pada ibu; Memakai bedak dan tampal; menanam Ari ari anak perempuan dibawa

dideket tangga rumah, anak lelaki jauh di atas gunung karena diyakini akan membuat

anak tersebut fasih dalam membaca quran,Menanam ari ari tidak boleh terlalu dalam;

Pemberian nama bayi.

Kepercayaan terhadap gaib. Menyembunyikan kehamilan karena takut terhadap hal

hal diluar akal sehat mereka masih percaya dengannjema / istilah pendududuk

setempat menyebut manusia beracun

Bidan tidak tersedia. Tenaga kesehatan atau bidan menurut warga jarang ada

ditempat pernah selama 1 minggu tidak berada di Puskesmas tapi Blangkejeren dan

bidan Desa tidak tersedia di setiap Desa, dari 4 Desa yang ada di wilayah kecamatan

Pining hanya di Desa Gajah yang tersedia Bidanya.Warga atau penduduk setempat

kurang menjaga keamanan tenaga kesehatan yang ada dari Kecik yang memang mau

berbuat asusila.

Dukungan

Interaksi sosial. Hubungan yang cukup baik terjalin antara bidan dengan masyarakat,

karena Bidan tersebut juga kebetulan sangat perhatian dengan warga. Bidan

mendekatkan diri, dengan berbaur melakukan kegiatan yang dilakukan masyarakat

seperti belajar membuat anyaman dari daun pandan berduri serta mempelajari bahasa

Gayo. Alhasil masyarakat setempat sudah mulai bisa percaya dengan adanya bidan di

daerah tersebut.

Kemitraan bidan dan dukun cukup baik. Hubungan kerja dan hubungan sosial dukun-

bidan berjalan dengan saling menghormati. Tidak ada persaingan terutama dukun yang

selalu menganjurkan agar juga memanggil bidan dalam setiap persalinan begitu juga

sebaliknya apabila bidan yang dipanggil terdahulu untuk menangani persalinan maka

bidan juga akan memanggil dukun untuk menemaninya. Bidan yang ada di wilayah

tersebut sebenarnya berlainan keyakinan dengan warga setempat namun seiring

berjalanya waktu warga sudah bisa menerima kehadiran bidan tersebut walaupun

keyakinan yang berbeda

Page 81: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

57

Penyediaan sarana transportasi puskesmas. Kepedulian kepala puskesmas terhadap

kebutuhan masyarakat sangat mendukung akses masyarakat terhadap pelayanan

kesehatan. Ada mobil Puskesmas yang bisa dipakai 24 jam dan kepala puskesmas siap

mengantar walau jaraknya cukup jauh.

Bidan kampung merasa kurag dihargai. Bidan kampung merasa tidak dihargai karena

sudah menolong persalinan namun tidak diberikan upah yang layak, bukan hanya upah

saja yg tidak diberikan namun seringkali ucapan terima kasih juga tidak. Keadaan ini di

satu sisi membawa keuntungan karena dapat menjadi pendorong tidak ada lagi

masyarakat yang ingin menjadi bidan kampong sehingga suatu saat tidak lagi terjadi

regenerasi bidan kampong.

Harapan

Masyarakat sebenarnya sudah menyadari kemampuan bidan dalam menolong

persalinan. Oleh karena persalinan adalah proses yang tidak dapat dipastikan secara

tepat waktunya, maka harapan masyarakat adalah tenaga kesehatan selalu ada

ditempat atau di Puskesmas. Selama ini yang menjadikan keluhan warga bahwa tenaga

bidan yang ada di Puskesmas setiap sabtu dan minggu mereka jarang ada dilokasi

padahal ibu hamil yang mau melakukan pemeriksaan dan persalinan tidak mengenal

waktu.Keadaan tersebut perlu ada reward dan sanksi terhadap tenaga kesehatan yang

ada di lokasi karena pada Puskesmas Pintu Rime tenaga kesehatan yang tidak ada di

tempat karena memang tenaga tersebut tidak tinggal di daerah tersebut .

Penyediaan fasilitas umum untuk memudahkan akses dan komunikasi antar warga dan

dengan petugas kesehatan. Jalanan yang belum teraspal harusnya segera di perbaiki

karena akses yang sulit sehingga masyarakat mengalami kemudahan untuk mencapai

fasilitas kesehatan. Jaringan telephon seharusnya ada untuk mempurmudah

komunikasi warga dan bidan kesehatan, bidan kesehatan dengan bidan kampung.

Disamping harapan masyarakat, juga diperoleh pernyataan yang merupakan harapan

tenaga kesehatan. Peralatan pada Puskesmas ada baiknya dilengkapi misalnya

peralatan untuk pelayanan persalinan, karena peralatan yang tersedia di Puskesmas

kurang memadai. Keamanan yang kurang memadai di masyarakat menyebabkan

Page 82: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

58

petugas kurang merasa nyaman tinggal di lingungan masyarakat. Keamanan untuk

pegawai Puskesmas seharusnya dijamin oleh pihak kelurahan dan warga pada

khususnya.

Jampersal menjamin pelayanan KIA bagi masyarakat membutuhkan proses tersendiri

khususnya dalam pembiayaan. Proses klaim jangan terlalu lama dan formulir yang

harus diisi tidak usah berlembar lembar hal ini yang membuat bidan kerepotan dan

makan waktu. Harapan bidan bahwa ada prosedur yang lebih sederhana.

Pemahaman masyarakat yang hanya mengetahui tentang pelayanan gratis, membuat

pemanfaatan jampersal kurang optimal. Sosialisasi Jampersal seharusnya langsung ke

masyarakat melalui lintas sektor antar aparat Desa dan warga . Pelibata lintas sector

dengan koordinasi pihak puskesmas penting dalam perluasan sosialisasi jampersal.

Page 83: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

59

3.2. Puskesmas Lampaseh Kota, Kota Banda Aceh

3.2.1. Gambaran Umum Kota Banda Aceh

Kota Banda Aceh yang merupakan ibu kota Propinsi Aceh, terletak antara 05,30 –

05,35 Lintang Utara dan 95,30 – 99,16 Bujur Timur dengan ketinggian wilayah kota

antara 0,80 m – 5,0 m di atas permukaan laut. Kota Banda Aceh berbatasan dengan :

Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka

Sebelah Selatan dan Timur berbatasan dengan Kab.Aceh Besar.

Sebelah Barat berbatasan dengan Samudra Indonesia.

Kota Banda Aceh memiliki 9 kecamatan dengan 90 Gampong, dengan luas

wilayah 61,36 km2. Wilayah terluas adalah Kecamatan Syiah Kuala dengan luas

mencapai 14,24 km2 dan wilayah dengan luas terkecil adalah Kecamatan Jaya Baru

dengan luas 3,78 km2. Jumlah penduduk Kota Banda Aceh tahun 2011 adalah 228.562

jiwa, yang terdiri dari 117.732 jiwa laki-laki dan 110.830 jiwa perempuan. Tingkat

kepadatan penduduk mencapai 3.724 jiwa/km2, dengan tingkat kepadatan penduduk

tertinggi di Kecamatan Baiturrahman sebesar 6.844 jiwa/km2, sedangkan yang

terendah adalah di Kecamatan Kuta Raja sebesar 2.084 jiwa/km2.

Gambar 3.2.1. Peta Kota Banda Aceh

Page 84: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

60

Derajat Kesehatan Masyarakat Banda Aceh

Gambaran perkembangan derajat keehatan masyarakat dapat dilihat dari

kejadian kematian dalam masyarakat. Kejadian kematian masyarakat juga dapat

dijadikan indikator dalam penilaian keberhasilan pelayanan kesehatan dan program

pembangunan kesehatan lainnya. Angka Kematian Bayi (AKB) di Kota Banda Aceh pada

tahun 2011 sebesar 2 per 1000 kelahiran hidup, sedangkan tahun 2010 sebesar 6 per

1000 kelahiran hidup berarti telah terjadi penurunan yang cukup tinggi. Ada banyak

faktor yang mempengaruhi AKB, namun tidak mudah untuk menemukan faktor yang

paling dominan. Tersedianya berbagai fasilitas, aksesibilitas dan pelayanan kesehatan

dengan tenaga medis yang trampil serta kesediaan masyarakat untuk merubah prilaku

kehidupan dari tradisional menuju ke norma kehidupan modern dalam bidang

kesehatan merupakan faktor yang amat berpengaruh terhadap tingkat AKB. Kematian

Bayi Tertinggi sebesar 2 per 1000 kelahiran hidup terdapat di puskesmas Meuraxa,

sedangkan 6 puskesmas lainnya melaporkan tidak ada kematian Bayi pada tahun 2011.

Angka Kematian Ibu (AKI) pada tahun 2011 di Kota Banda Aceh adalah 104 per

100.000 kelahiran hidup. Satu kejadian penurunan Angka Kematian Ibu pada tahun

2010 sebesar 23 per 100.000 kelahiran hidup, namun pada tahun 2011 kembali terjadi

peningkatan Angka Kematian Ibu menjadi sebesar 104 per 100.000 kelahiran hidup.

Penyebab meningkatnya AKI pada tahun 2011 disebabkan karena beberapa penyebab

yaitu eklamsia, pendarahan dan infeksi.

Status gizi masyarakat dapat diukur melalui beberapa indikator, antara lain

BBLR, status Gizi dan Tinggi Badan Anak Baru Lahir (TB-ABS). Status gizi balita

merupakan salah satu indikator yang mengambarkan tingkat kesejahteraan

masyarakat, cara penilaian status gizi balita adalah dengan pengukuran antropometri

yang mempergunakan indeks Berat Badan menurut umur.

Berat Badan Lahir Rendah (BBLR, kurang dari 2.500 gram) juga merupakan

salah satu indikator utama yang berpengaruh terhadap kematian perinatal dan

noenatal. Pada tahun 2011 dilaporkan ada 2 bayi yang lahir dengan kasus BBLR di kota

Banda Aceh.

Page 85: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

61

Upaya Kesehatan Ibu dan Anak

Upaya pelayanan kesehatan dasar merupakan langkah awal yang sangat

penting dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan pada masyarakat. Pemberian

kesehatan dasar secara cepat dan tepat diharpkan sebagian besar masalah kesehatan

masyarakat dapat diatasi. Jenis pelayanan kesehatan dasar yang dilaksanakan oleh

fasilitas pelayanan kesehatan, sebagai berikut:

Pelayanan Ibu Hamil K-1 dan K-4.Pelayanan antenatal merupakan pelayanan

kesehatan oleh tenaga kesehatan profesional (dokter spesialis, dokter umum, bidan

dan perawat) kepada ibu hamil selama masa kehamilan. Cakupan K-1 merupakan

gambaran besaran ibu hamil yang telah melakukan pelayanan kunjungan pertama ke

fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendapatkan pelayanan antenatal. Dari 5.407

bumil, diketahui sebesar 5.378 bumil mendapat pelayanan K-1. (99,5). Dari 5.407

bumil yang mendapatkan pelayanan K-4 sebesar 4.935 ( 91,3 %). Target SPM (Standar

Pelayanan Maksimal untuk K-4 di kota Banda Aceh adalah 87 %. (sumber: Kesmas

Dinkes Kota Banda Aceh 2011).

Jumlah ibu hamil di kota Banda Aceh (2011) sebesar 5.407, dan yang dapat

tablet Fe sebesar 4.897 bumil. Pemberian tablet ini mencakup tablet Fe 1 dan tablet

Fe.3 ibu hamil.

Pertolongan Persalinan. Komplikasi dan kematian ibu melahirkan dan bayi

yang baru lahir sebagian besar terjadi pada masa sekitar persalinan. Kondisi ini

disebabkan pertolongan yang tidak dilakukan oleh tenaga kesehatan profesional

(bidan). Cakupan persalinan dengan pertolongan tenaga kesehatan memperlihatkan

adanya peningkatan yang cukup berarti dari 68,76 % tahun 2007 menjadi 89,7 % tahun

2011. Dari 5.117 ibu bersalin, 4.590 ibu ditolong oleh tenaga kesehatan (Bidang P2PL,

Dinas Kesehatan 2011).

Dalam memberikan pelayanan khususnya oleh bidan di desa, beberapa ibu

hamil di antaranya tergolong resiko tinggi atau mengalami komplikasi sebesar 103

bumil. Jumlah tersebut berhasil di tangani dengan baik keseluruhannya, dengan

keberhasilan ini diharapkan ibu dapat melahirkan dengan selamat.

Page 86: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

62

KunjunganNifas dan Neonatus. Cakupan ibu melahirkan dan yang mendapat

kunjungan petugas/pelayanan dari petugas kesehatan pada masa nifas. Dari 5.117 ibu

nifas, yang mendapat pelayanan oleh tenaga kesehatan sebesar 4.548 ibu ( 88,9 %).

Dari data ketahui bahwa jumlah bayi baru lahir hidup sebesar4.828 jiwa, untuk KN-1

sebesa 4.530 jiwa (98,3%). Sedangkan pada kunjungan Neonatus lengkap (KN-4)

sebesar 4.213 jiwa. Sehingga cakupan kunjungan neonatus lengkap adalah sebesar

87,3 %.

Diketahui bahwa jumlah bayi lahir hidup pada tahun 2011 sebesar 4.828 jiwa.

Yang telah mendapatkan DPT1 +HB.1 sebesar 4.574 (94,7%); yang mendapatkan

DPT.3+ HB.3 sebesar 4.377 jiwa (90,7 %) dan yang mendapatkan campak sebesar 4.258

jiwa (88,2%). Cakupan untuk imunisasi BCG sebesar 4.757 (98,5%), dan Polio-3 sebesar

4.467 (92,5%).

3.1.2. Gambaran UmumPuskesmas Lampaseh Kota

Secara geografis Kecamatan Kutaraja berada 0,5 meter diatas permukaan laut

dengan ibukota Kecamatan adalah Kelurahan Keudah. Luas Kecamatan mencapai

5,377 km² yang terbagi kedalam empat kelurahan dan dua gampong, dengan batas-

batas wilayah:

Utara berbatasan dengan Selat Malaka.

Selatan berbatasan dengan Kecamatan Baiturrahman

Barat berbatasan dengan Kecamatan Kuta Alam

Timur berbatasan dengan Kecamatan Meuraxa

Wilayah kerja Puskesmas Lampaseh seluas 5,377 km² yang meliputi 6 (enam)

desa yang terdiri dari 29 (dua puluh sembilan) dusun, dengan jumlah penduduk 10.424

jiwa yang terdiri dari laki-laki 5.526 jiwa dan perempuan 4.898 jiwa. Jumlah penduduk

terbanyak terdapat di Merduati: 2.901 jiwa dan jumlah penduduk paling sedikit

terdapat di Gampong Pande: 631 jiwa.

Page 87: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

63

Tabel 3.2.1

Jumlah Penduduk Wilayah Kerja Puskesmas Lampaseh Tahun 2011

NO Nama Desa Luas ( km2 ) Laki-laki Perempuan Jumlah

1 Keudah 0,32 722 625 1347

2 Lampaseh Kota 0,25 886 822 1708

3 Merduati 0,278 1531 1370 2901

4 Peulanggahan 0,5225 1083 936 2019

5 Gampong Jawa 1,506 978 840 1818

6 Gampong Pande 2,5005 326 305 631

Jumlah 5.526 4.898 10.424

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh, Tahun 2011

Pendidikan merupakan cara untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat

dalam berbagai bidang keilmuan sehingga diharapkan akan mendukung perilaku

positip di berbagai bidang. Ketersediaan sarana penddikan di wilayah puskesmas

Lampaseh pada tahun 2011 cukup menjanjikan. Seluruh jenjang pendidikan mulai

Taman Kanak-kanak (TK) sampai dengan Perguruan Tinggi tersedia. Terdapat 4 TK, 5

Sekolah Dasar (SD), 1 Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN), 2 Sekolah Menengah

Pertama (SMP), 1 Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN ), 2 Sekolah Menengah Atas

(SMA), 1 Madrasah Aliyah Negeri dan 3 Perguruan Tinggi.

Puskesmas Lampaseh memiliki luas bangunan 200 m² dengan luas tanah 450

m², yang terdiri dari:

a. Bangunan induk sebanyak 1 (satu) unit

b. Perumahan dokter sebanyak 1 (satu) unit

c. Perumahan paramedis sebanyak 1 (satu) unit

Agar jangkauan pelayanan Puskesmas lebih luas dan merata hingga keseluruh

wilayah kerjanya. Puskesmas Lampaseh memiliki fasilitas penunjang berupa :

1. Puskesmas Pembantu, sebanyak 2 (dua) unit

Puskesmas Lampaseh memiliki 2 Puskesmas Pembantu, yaitu Puskesmas

Pembantu Peulanggahan dan Puskesmas Pembantu Gampong Pande.

2. Kendaraan sebanyak 10(sepuluh) Unit

Page 88: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

64

2 (dua) unit kendaraan roda empat (Ambulance)

8(delapan) unit kendaraan roda dua, 7 (enam) unit di Puskesmas dan 1 unit di

Pustu

Jumlah tenaga kesehatan yang ada di puskesmas Lampaseh berjumlah 40 orang

tersebar di puskesmas induk, dan 2 (dua)puskesmas pembantu. Secara terperinci,

ketenagaan puskesmas Lampaseh seperti yang terlihat dalam tabel 3.2.2 berikut ini:

Tabel 3.2.2

Data Jumlah Tenaga Puskesmas Lampaseh Tahun 2011

NO Tenaga Kesehatan Pusk. Induk Pustu

TOTAL PNS PTT BAKTI PNS PTT BAKTI

1 Dokter Umum 3 0 1 0 0 0 4

2 Dokter Gigi 1 0 0 0 0 0 1

3 AKPER 2 0 0 0 0 0 2

4 AKL 0 0 0 0 0 0 0

5 AKZI 1 0 0 0 0 0 1

6 Bidan 6 0 0 0 0 0 6

7 Bidan Desa 0 5 0 0 0 0 5

8 SPRG 1 0 0 0 0 0 1

9 SPPH 0 0 0 0 0 0 0

10 SMF 2 0 0 0 0 0 2

11 AAK 1 0 0 0 0 0 1

12 SMAK 1 0 0 0 0 0 1

13 SPK 3 0 0 1 0 0 4

14 AKBID 3 0 0 2 0 0 5

15 AKG 1 0 0 0 0 0 1

16 SKM 4 0 0 0 0 0 4

17 SMU 0 0 1 0 0 0 1

18 SD 1 0 0 0 0 0 1

JUMLAH 30 5 2 3 0 0 40

Sumber : Data Dasar Puskesmas Lampaseh 2011

Kegiatan Kesehatan Ibu dan Anak di Puskesmas Lampaseh Kota

Upaya kesehatan ibu dan anak merupakan upaya bidang kesehatan yang

menyangkut pelayanan dan pemeliharaan ibu hamil, ibu bersalin, ibu menyusui, bayi,

anak balita dan anak prasekolah. Termasuk pula pendidikan kesehatan kepada

masyarakat serta pembinaan kesehatan anak ditaman kanak-kanak.Tujuan program

Page 89: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

65

KIA adalah tercapainya kemampuan hidup sehat melalui peningkatan derajat

kesehatan yang optimal bagi ibu dan keluarga untuk menuju Norma Keluarga Kecil

Bahagia Sejahtera (NKKBS) serta meningkatnya derajat kesehatan anak untuk

menjamin proses tumbuh kembang optimal yang merupakan landasan bagi

peningkatan kualitas manusia seutuhnya.

Adapun kegiatan KIA pada tahun 2011 yang telah dilaksanakan di puskemas

Lampaseh untuk mencapai tujuan tersebut diatas adalah sebagai berikut:

a. KIA didalam gedung

- Pemeriksaan ibu hamil, ibu menyusui, bayi dan balita.

- Pemberian imunisasi terhadap ibu dan balita. (63,9%)

- Penyuluhan gizi setiap kunjungan ibu hamil dan balita.

- Pemberian Vitamin A (76,46%) dan dan Tablet besi dengan bekerja sama

dengan Usaha Peningkatan Gizi. (88,63%)

- Pendektesian dan pemeliharaan ibu hamil dan balita beresiko tinggi

- Pencatatan dan pelaporan

b. KIA diluar gedung (Posyandu) kegiatan yang dilaksanakan :

- Penyuluhan bagi ibu hamil, ibu bersalin dan ibu menyusui

- Pemeriksaan bagi ibu hamil, ibu bersalin dan ibu menyusui

- Pemberian imunisasi TT

- Pemberian tablet besi (Fe) bekerja sama dengan usaha peningkatan gizi.

- Pembinaan kader posyandu.

3.2.3. Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak

Nilai dan Kepercayaan terkait dengan Kesehatan Ibu dan Anak

Kehamilan. Kehamilan merupakan suatu masa yang dilalui seseorang dalam

perjalanan hidupnya. Pada saat hamil biasanya seorang wanita akan menjaga dengan

baik kehamilan yang dialaminya. Banyak budaya yang mengharuskan seorang wanita

Page 90: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

66

hamil untuk menjaga bayi yang dikandungnya agar bayi tetap sehat. Ada beberapa

kepercayaan masyarakat bahwa seorang wanita yang sedang hamil tidak diperboleh

untuk keluar malam. Seorang yang sedang hamil juga diharapkan dapat menjaga

makanan dengan pengertian apa yang boleh dimakan dan mana yang dilarang untuk

dikonsumsi pada saat hamil seperti makanan tape, durian , nenas. Selain pantangan

terhadap beberapa jenis makanan, ada juga tradisi yang dijalankan masyarakat

terutama wanita yang sedang hamil bila mempergunakan kerudung harus menutupi

perutnya. Tujuannya adalah menutupi rasa malu karena kehamilannya diketahui

banyak orang. Tradisi ini masih ada dilakukan oleh masyarakat di pinggiran kota Banda

Aceh.

Walaupun mereka sudah hidup dan menetap di kota besar, ternyata masih ada

beberapa wanita hamil dan keluarganya tetap memiliki sebuah keyakinan akan adanya

tradisi yang harus dijalankan, sebagaimana masyarakat lainnya, yaitu upacara 7

bulanan. Ritual seperti ini tetap dijalankan karena mereka yakin bila tidak dilakukan

akan menimbulkan dampak bagi anak yang dikandungnya. Pada umumnya mereka

tidak mengetahui pasti dan mereka hanya mengatakan bahwa tradisi ini sudah

dilakukan sejak dulu.

Sebuah tradisi yang masih dimiliki dan dilakukan oleh masyarakat di kota Banda

Aceh adalah bila seorang wanita hamil anak pertama, maka sudah menjadi adat bagi

mertua/maktuan dari pihak suami mempersiapkan untuk membawa/mengantarkan

nasi hamil kepada menantunya. Acarabawa nasi inidisebut ba bu atau mee bu. Tujuan

tradisi ini dilaksanakan dalam rangka menyambut sang cucu dengan melampiaskan

rasa suka cita.Nasi yang diantar biasanya dibungkus dengan daun pisang muda

berbentuk piramid, namun ada juga sebagian masyarakat yang mempergunakan daun

pisang tua.

Ada sebuah mitos dalam masyarakar Aceh kelak apabila anak telah lahir maka

akan terdapat tompel pada bagian badannya. Bawaan makanan selain nasi, juga

terdapat lauk pauk daging dan buah-buahan sebagai kawan nasi. Barang ini

dimasukkan dalam sebuah wadah/itang atau kateng. Idang ini diantar kepada pihak

menantu perempuan oleh pihak kawom atau kerabat dan orang yang berdekatan

tempat tinggal.

Page 91: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

67

Upacara ba bu atau meunieum berlangsung 2 kali. Pada ba bu pertama disertai

buah-buahan pada saat usia kehamilan bulan ke empat sampai bulan ke lima. Acara

kedua berlangsung dari bulan ketujuh sampai bulan kedelapan, namun ada juga

masyarakat yang melakukan hanya satu kali.

“Begini pa, tradisi mengantar nasi biasanya dilakukan dua kali pada masa hamil, tapi ini tidak menjadi keharusan karena ada juga yang hanya melakukan satu kali. Hal ini juga tergantung pada keadaan keuangan dari keluarga ibu yang sedang hamil”.

Nasi yang diantar oleh mertua ini dimakan bersama-sama dalam suasana

kekeluargaan. Ini dimaksudkan bahwa perempuan yang sedang hamil adalah orang

sakit, sehingga harus dibuatkan jamuan makan yang istimewa, dan menurut adat

orang Aceh, perempuan yang lagi hamil harus diberikan makanan yang enak-enak dan

bermanfaat.

Tradisi lain yang dimiliki oleh salah satu masyarakat di Aceh yaitu suku Aneuk

Jamee adalah adat bi bu bidan (adat memberi nasi untuk ibu bidan), tujuan adat ini

adalah seorang anak yang baru menikah dan usia kehamilan sudah 6 – 7 bulan, maka

untuk anak tersebut sudah dicarikanibu bidan untuk membantu proses kelahiran.

Pada upacara kenduri dimaksud kebiasaan masyarakat, ibu bidan akan dijemput oleh

utusan keluarga ke rumah bidan lalu dibawa ke rumah yang melakukan hajatan. Acara

serah terima melewati beberapa persyaratan, antara lain :

1. Pihak keluarga mendatangi ibu bidan dengan membawa tempat sirih (bate ranub)

sebagai penghormatan kepada ibu bidan.

2. Setelah ibu bidan hadir ditempat hajatan, maka keluarga melakukan permoonan

dan menyerahkan anak yang hamil agar diterima oleh bidan sebagai pasiennya.

Persalinan. Persalinan merupakan sebuah masa yang sangat dinantikan oleh

seorang wanita yang sedang hamil, karena anak yang dilahirkan akan dianggap sebagai

penerus keluarga. Pada masyarakat di kota Banda Aceh, kelahiran akan disambut

dengan sebuah kebersamaan, dan kebersamaan ini tidak hanya dirasakan oleh

keluarga tersebut, akan tetapiakan disambut oleh sebagian besar warga masyarakat

yang ada disekitar lingkungan tempat tinggal, tetapi juga oleh anggota keluarga lain

dari tempat berbeda yang masih memiliki hubungan kerabat.

Page 92: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

68

Tidak banyak tradisi yang dilakukan pada saat kelahiran, kalupun ada pada

acara seperti tahlilan membaca do’a untuk keselamatan anak dan orang tuanya. Salah

satu tradisi atau kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat berkenaan dengan

kelahiran dan sesuai dengan keyakinan yang dimiliki adalah bayi yang baru dilahirkan

akan digendong oleh bapaknya dan kemudian dibacakan doa di telinga bayi tersebut.

Untuk anak laki-laki disambut dengan azan, sedangkan untuk anak perempuan adalah

qamat. Tujuannya adalah agar anak dikemudian hari menjadi anak yang baik sesuai

harapan orang tuanya.

Teman bayi yang disebut Adoi (ari-ari), dimasukkan ke dalam sebuah periuk

yang bersih dengan disertai aneka bunga dan harum-haruman untuk ditanam disekitar

rumah baik dihalaman, di samping maupun di belakang. Selama satu minggu tempat

yang ditanam ari-ari tersebut dibuatkan api unggun, tujuannya adalah agar

menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti adanya orang ilmu hitam yang

memanfaatkan benda tersebut, tangisan bayi di waktu malam dan dari serangan

binatang pemangsa seperti anjing.

Pada saat bayi baru lahir, diadakan pemotongan tali pusar dengan sebilah

sembilu, kemudian diobati dengan obat tradisional seperti arang, kunyit dan air ludah

ranub. Upacara yang berkaitan dengan daur hidup lainnya yang di dalamnya

menggunakan ranub sebagai salah satu medianya adalah upacara antar mengaji.

Pada hari ke tujuh setelah bayi lahir diadakan upacara cukur rambut dan

peucicap, yang terkadang disertai dengan pemberian nama. Acara peucicap dilakukan

dengan cara mengoles manisan pada bibir bayi disertai dengan ucapan “

Bismillahhirahmanirrahim, manislah lidahmu, panjanglah umurmu, muda rejekimu,

taat dan beriman serta terpandang dalam kawom/keluarga”.

Namun demikian ada juga sebagian warga masyarakat yang masih memliki

sebuah tradisi/keyakinan bahwa seorang ibu yang baru melahirkan untuk tidak makan

buah-buahan seperti semangka, ketimun. Mereka beranggapan bahwa makanan

tersebut akan menimbulkan dampak pada rahim/alat kelamin ibu, yaitu basah/becek.

Pada saat inilah bayi telah diperkenalkan bermacam rasa di antaranya asam, manis,

asin, dan ini merupakan latihan bagi bayi untuk mengenal rasa. Sebelumnya bayi

hanya mengenal ASI eksklusif yang diperoleh dari ibunya.

Page 93: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

69

Bentuk tradisi lain yang dilakukanmasyarakat Aceh pada masa lalu adalah

upacara turun tanah dan dilakukan setelah bayi berumur satu sampai duatahun. Bagi

anak pertama biasanya dilakukan upacara yang lebih besar, namun untuk dewasa ini

masyarakat tidak mengikuti lagi, apalagi bagi ibu-ibu yang beraktivitas di luar rumah

seperti pegawai negeri, pegawai swasta atau karyawati di instansi tertentu. Bila

dilakukan hal ini dianggap sebagai sesuatu yang tidak efisien dan tidak praktis lagi.

Menurut informasi yang diperoleh, upacara turun tanah disimbolkan pada

kesucian ibu bayi yang baru saja melewati masa persalinan. Dalam proses ini juga

melibatkan bayi yang baru lahir, pada saat upacara berlangsung bayi dibawa keluar

rumah. Ibu yang baru melahirkan dianggap tidak suci lalu tidak dibolehkan untuk ke

luar rumah, kecuali dalam keadaan terpaksa, misalnya sakit dan sebab lain yang

mendesak. Ibu tidak diboleh keluar rumah karena disebabkan ibu dalam keadaan masa

nifas, haids dan wiladah.

Pada saat turun tanah ini merupakan puncak bahwa ibu pasca melahirkan

telah suci terbebas dari darah kotor sehingga dia diperbolehkan ke luar rumah. Begitu

juga dengan bayinya, sebetulnya bayi yang belum berumur satu bulan masih dianggap

rentan dengan penyakit sehingga bayi tidak dibolehkan untuk ke luar rumah. Upacara

turun tanah pertama sekali bayi mengenal dunia luar dan disini bayi diajarkan dengan

dunia luar, dan dikenalkn bahwa manusia harus giat bekerja dan jangan bermalas-

malasan, karena sifat malas akan berakibat buruk bagi kehidupannya kelak.

Serangkaian upacara tersebut seperti ba bu, cukur rambut, peucicap,

Aqiqoh,turun tanah dinilai penting dan bermakna dalam kehidupan, sehingga perlu

untuk dijalankan sesuai dengan ketentuan adat yang telah ditetapkan. Di jaman serba

modern, kegiatan ritual akan menjadi aset wisata budaya, dan bagaimana adat dan

budaya tetap tampil disesuaikan dengan perkembangan jaman.

Salah satu tradisi lain yang masih dilakukan oleh masyarakat di kota Banda Aceh

berkenaan dengan proses kelahiran adalah‘Aqiqoh’, berupa pemotongan hewan

kambing. Tradisi ini sebenarnya mengacu pada keyakinan keagamaan dari masyarakat

yaitu agama Islam. Disamping ada tradisi masyarakat yaitu baca doa surat‘ Yasin’.

Page 94: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

70

Tradisi lain yang dilakukan oleh masyarakat di kota Banda Aceh berkenaan

dengan kelahiran adalah ‘ tradisi potong tali pusar’,kalau pada masa lalu masih

mempergunakan bilah bambu yang dibuat dan diasah tajam seperti pisau, namun pada

saat ini sejalan dengan kemajuan pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan,

maka alat yang digunakan untuk memotong tali pusar adalah menggunakan gunting

ataupun pisau yang biasa digunakan oleh tenaga medis profesional.

Pasca Melahirkan. Tindak lanjut dari proses kelahiran adalah bagaimana

perawatan bayi yang baru lahir hingga besar. Kondisi ini merupakan sebuah proses

yang tidak mudah untuk dilalui oleh ibu yang baru pertama kali melahirkan, karena

seorang ibu yang baru pertama kali melahirkan masih sangat minim pengetahuannya

tentang perawatan bayi. Umumnya mereka masih dibantu oleh orang tuanya dalam

perawatan anak.

Dalam perawatan bayi, seorang ibu yang baru melahirkan selain dibantu oleh

orang tuanya yang didatangkan dari desanya, seringkali meminta bantuan pada

seorang “bidan kampung”. Peran yang dijalankan oleh seorang bidan kampung

terutama memijat ibu, tujuannya adalah mengembalikan posisi rahim ibu yang baru

melahirkan. Peran lain yang dijalankan oleh bidan kampung adalah memandikan bayi

dan memijat bayi. Pelaksanaan ini biasanya dilakukan sampai hari ke 40.

Ada sebuah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Aceh yaitu Madeueng, yang

merupakan suatu prosesi di mana ibu atau wanita yang baru selesai melahirkan harus

melakukan pantangan selama 44 hari. Hal ini dilakukan demi kesejahteraan ibu dan

bayi. Selama rentang waktu tersebut sang ibu harus tetap berada di kamar tidurnya

dan tidak dibenarkan berjalan-jalan apalgi keluar rumah, sedangkan bayi terus dipingit

berdampingan dengan ibunya.

Selama rentang waktu tersebut sang ibu terus diberikan terapi berupa api

diang yang ditempatkan di bawah atau di sisi pembaringannya, sehingga tubuh ibu

selalu mendapat udara panas untuk memulihkan kembali bagian-bagiantubuhnya

sehingga segar bugar, bahkan ada ibu-ibu yang melakukan prosesi ini di dapur yang

lazim disebutUreung di Dapu.(orang yang membaringkan dirinya di ruangan dapur

dengan bara api di bawah pembaringan).

Page 95: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

71

Tradisi yang dilakukan oleh keluarga dari bayi yang baru dilahirkan adalah

upacara “Gunting rambut“. Upacara ini dilakukan setelah bayi berusia 35 hari dan

biasanya dilaksanakan bersamaan dengan upacara ‘Aqiqoh’. Yang melakukan

pemotongan rambut bayi adalah orang tua laki-laki yang kemudian diikuti oleh orang

tua perempuan. Bila saat upacara dilakukan ada pihak orang tua dari ibu/ayah bayi

tersebut, biasanya pertama diberikan pada kakek/orang yang dituakan. Dalam acara

tersebut dimulai dengan pembacaan doa yang dipimpim oleh seorang tokoh/pemuka

agama/ustadz.

Tabel. 3.2.3 Upacara Adat pada Saat KehamilanPersalinan dan Pasca Persalinan diKecamatan Kutaraja

Tahun 2012

Siklus Reproduksi “Ya” Melakukan Upacara

Kehamilan 21,4%

Persalinan 7,1%

Paca Persalinan 12,9%

Sumber: Data Primer

Pengetahuan, Sikap, Praktek

Pengetahuan, sikap dan perilaku/praktek terhadap kesehatan tidak dapat

dipisahkan. Ada penelitian ini, diketahui bahwa responden (70 orang) yang

diwawancara dengan didatangi ke rumah-rumah memiliki pendidikan formal cukup

baik. 61,4% resonden lulusan SMA, 11,4% pendidikan D1- sarjana, sedangkan yang

tidak lulus SD dan lulusan SD 7,1% dan lulus SMP 20,0%. Kondisi pendidikan suami juga

tidak banyak berbeda. 61,4% suami lulus SMA dan 10,0 lulus D1-sarjana.

Pengetahuan

Masa Kehamilan. Pada umumnya pengetahuan ibu berkaitan dengan masa

kehamilan dapat dikatakan cukup baik, mereka menyadari arti penting pemeriksaan

kehamilan ke tenaga kesehatan dan ke fasilitas pelayanan kesehatan. Semua ini

berjalan karena adanya dorongan dan masukan dari berbagai kalangan seperti

tetangga, orang tua, suami dan kesadaran dirinya sendiri. Dorongan dari petugas

Page 96: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

72

kesehatan seperti bidan maupun dari kader posyandu yang ada di lingkungan tempat

tinggal mereka.

Pengetahuan mempengaruhi sikap dan praktek. Kesadaran ibu hamil untuk

memeriksakan kehamilannya sesuai dengan pengetahuan yang ada yaitu tentang

perlunya 4 kali pemeriksaan dilakukan oleh ibu hamil yang ada (74,3%). Tingginya

pengetahuan ibu hamil akan kepeduliannya untuk memeriksakan kehamilan

diperlihatkan dengan pengetahuan pemeriksaan tekanan darah secara rutin (92,9 %),

memperoleh suntikan TT sebanyak 2 kali ( 45,7 %).

Masa Persalinan. Persalinan merupakan proses penting yang dapat menjadi

penentu keselamatan ibu dan bayi. Pengetahuan tentang perlinan dapat dilihat dari

pernyataan yang benarbahwa “ditolong bidan lebih aman”dijawab oleh 92,9%

responden. Pernyataan “melahirkan di rumah tidak aman” dijawab oleh 65,7% artinya

masih cukup banyak pengetahuan yang salah tentang tempat persalinan aman.Data ini

selaras dengan pengetahuan para suami dalam FGD yang cukup memahami

pentingnya melahirkan ditolong bidan atau dokter dan dilakukan di polindes atau RS.

Pasca Salin. Pengetahuan tentang pasca salin cukup baik terbukti 81,4%

menjawab benar tentang “inisiasi dini”, 74,3% menjawab benar pentingnya imunisasi

bagi bayi. Pengetahuan tentang kehamilan sampai dengan persalinan terkait upacara

tampaknya sudah benar yaitu hanya 7,1% menyatakan benar bahwa ” upacara

berpengaruh terhadap keselamatan”. Mereka juga sudah tahu bahwa “makan ikan

lautbsetelah persalinan” tidak memberikan dampak buruk seperti pernyataan 75,7%

responden.

Sikap

Pengetahuan dan sikap yang dimiliki oleh ibu yang sedang hamil di kota Banda

Aceh, diperlihatkan dengan ketekunan dan kerajinan mereka untuk secara rutin

memeriksakan kehamilannya, mulai dari K.1 sampai dengan K.4, sesuai dengan

petunjuk yang telah diberikan oleh petugas kesehatan (bidan). Hasil data dengan

responden menunjukkan bahwa 71,4% setuju tentang pemeriksaan kehamilan minimal

4 kali selamam kehamilan, 97,1% setuju melakukan pemeriksaan tekanan darah untuk

mengetahui riiko tinggi kehamilan.

Page 97: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

73

Hal lain yang diperlihatkan oleh ibu hamil selain secara rutin memeriksakan

kehamilan, mereka juga masih ada yang menjalankan tradisi-tradisi budaya

masyarakat setempat, seperti adanya pantangan yang harus dijalankan oleh seorang

ibu yang sedang hamil, melahirkan, atau pasca melahirkan. Mereka memiliki

keyakinan bila ada pantangan yang dilanggar akan membawa dampak yang kurang

baik terhadap bayi yang sedang di kandungnya maupun bayi yang baru dilahirkan.

Praktek

Dalam tindakan nyata dari seorang wanita yang sedang hamil maupun ibu yang

baru melahirkan, ini dapat dilihat dari buku pegangan yang mereka milikik (buku KIA).

Buka ini memperlihatkan rutinitas yang dijalankan seorang wanita yang sedang hamil

dan sebagai salah satu persyaratan yang harus dipenuhi bila akan memanfaatkan

“Jampersal (Jaminan Persalinan)”. Pemeriksaan kehamilan bisa dilakukan di fasiltas

kesehatan atau di rumah (bidan melakukan kunjungan rumah).

Pada umumnya, wanita hamil yang ada di kota Banda Aceh memeriksakan

kehamilannya di bidan, namun ada juga yang memilih ke dokter spesialis (baik praktek

swasta atau di rumah sakit, maupun di Puskesmas atau Bidan Praktek Swasta). Sangat

jarang wanita hamil di kota Banda Aceh yang saat melahirkan ditolong oleh bidan

kampung/dukun melahirkan. Kondisi ini ditunjang oleh sedikitnya atau bahkan tidak

tersedianya dukun melahirkan akan keberadaannya di kota Banda Aceh. Kalaupun ada

untuk saat ini, yang ada adalah dukun bayi, yang fungsi dan perannya berbeda. Seperti

yang dituturkan oleh seorang bidan puskesmas :

“bapa, di kota ibu hamil yang akan melahirkan biasanya kalau tidak ke puskesmas, mereka pergi ke klinik bersalin ataupun pergi ke rumah sakit, karena di sini banyak pilihan fasilitas kesehatan yang bisa digunakan saat melahirkan.”

Sedang untuk seorang ibu yang baru melahirkan, perawatan bayi biasanya

ditangani oleh 2 tenaga yang berbeda yaitu bidan maupun dukun bayi. Bidan berperan

memandikan bayi, sedangkan untuk perawatan ibu lebih banyak dilakukan/ditangani

oleh dukun bayi/dukun pijet. Selain itu perawatan ibu maupun bayi yang baru

dilahirkan pada sebagian masyarakat masih melibatkan peran orang tua yang tidak

jarang dihadirkan dari kampung halamannya. Lebih lengkap diperoleh informasi di

Page 98: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

74

lapangan tentang pelayanan KIA yang diterima ibu dari bidan (nakes) atau dukun yang

berlangsung selama 1 tahun terakhir .

Persalinan yang terjadi di wilayah puskesmas menunjukkan data bahwa ada

8,6% yang melahirkan dengan cara operasi dan sebagian besar persalinan dilakukan di

RS. Berikut data tetang status persalinan dan Tempat persalinan.

Tabel. 3.2.4

Status Persalinan dan Tempat Persalinan di Wilayah Puskesmas LampasehKecamatan Kutaraja Tahun 2012

Status Persalinan Ya Tempat Persalinan Ya

Normal 97,1% Rumah 5,7%

Dengan penyulit + tak dirujuk 97,1% Rumah dukun 0,0%

Dengan penyulit + dirujuk 82,9% Rumah

bidan/polindes

40,0%

Dengan penyulit + SC 72,9% Puskesmas 0,0%

Rumah sakit 54,3%

Sumber: Data Primer

Page 99: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

75

3.2.4. Faktor Sosial Budaya Masyarakat Terkait Pemilihan Penolong Persalinan dan

Pemanfaatan Pelayanan Jampersal

Pengambilan Keputusan dalam Mencari Pertolongan Kesehatan

Pada umumnya, dalam proses pengambilan keputusan di keluarga pada

masyarakat di kota Banda Aceh untuk mencari dan memilih tempat pertolongan

kesehatan saat seorang wanita sedang hamil atau saat akan melahirkan, lebih banyak

ditentukan oleh pihak suami. Namun demikian tidak tertutup ada pihak lain yang ikut

terlibat seperti orang tua atau anggota keluarga lain yang pada saat bersamaan ada

dan tinggal bersama. Ada pula yang mengatakan bahwa keputusan terakhir sering juga

diberikan kepada wanita/isteri yang sedang hamil dan akan melahirkan. Segala

keputusan terkait dengan pemilihan fasilitas pelayanan kesehatan dilakukan secara

musyawarah dalam keluarga, dengan mempertimbangkan berbagai masukan dan

saran dari berbagai pihak terkait dalam budaya masyarakat Aceh.

“biasanya pa, ibu yang hamil untuk periksa dan melahirkan biasanya dirundingkan di antara keluarga namun kemudian keputusan terakhir diserahkan kepada ibu yang akan melahirkan kemana dan siapa yang dipilih untuk membantu”.

Pemilihan dan proses pengambilan keputusan tidak hanya terkait dengan

fasilitas kesehatan yang akan digunakan, tetapi juga terkait dengan siapa yang akan

dipilih atau digunakan dalam pemeriksaan kehamilan, menolong persalinan dan

pemeriksaan serta perawatan setelah melahirkan. Khusus untuk hal ini biasanya yang

memutuskan adalah wanita/ibu yang sedang hamil kemana atau akan memilih siapa

yang akan menanganinya.

Persepsi Masyarakat tentang Dukun

Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia pada umumnya terutama pada

masyarakat di pedesaan masa kehamilan, melahirkan maupun masa perawatan anak

dan ibu pasca melahirkan yang merupakan bagian dari lingkaran hidup seorang wanita.

Kondisi ini sering dihadapkan pada sebuah kenyataan siapa yang akan dipilih dalam

proses pertolongan mulai sejak kehamilan untuk periksa, siapa yang menolong saat

melahirkan, dan siapa yang melakukan perawatan ibu dan bayi setelah melahirkan.

Page 100: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

76

Pada masyarakat di perkotaan penolong persalinan dewasa ini sudah banyak

ditangani oleh tenaga kesehatan, walaupun masih ada yang juga memakai tenaga non-

tenaga kesehatan (bidan kampung/dukun bayi). Kondisi ini berbeda dengan

masyarakat yang ada di pedesaan, terlebih mereka yang tinggal di wilayah terpencil.

Masyarakat di pedesaan dalam persalinan masih banyak dibantu oleh tenaga non

kesehatan.

Di kota Banda Aceh, penolong persalinan pada umumnya sudah dilakukan oleh

tenaga kesehatan mulai sejak periksa kehamilan, persalinan maupun pasca

melahirkan. Bahkan dari diskusi kelompok maupun wawancara mendalam,

dikemukakan bahwa praktek dukun beranak/bidan kampung sudah tidak ada.

Kalaupun ada bukan menolong persalinan tapi hanya terbatas pada pijet ibu dan bayi.

“ begini pa, di sini (red.kota Banda Aceh), sekarang sih udah nggak ada lagi dukun beranak yang menolong persalinan, yah kalau ada sudah cukup umur (sudah tua) dan sudah nggak praktek lagi nolong beranak, kalo dulu memang masih banyak dukun yang menolong ibu melahirkan”.

Berkenaan dengan penolong persalinan ada pandangan masyarakat terhadap

dukun/bidan kampung. Ada sebagian dari masyarakat yang memberikan pandangan

bahwa tingkat kemampuan antara bidan dengan “bidang kampung”, bahwa

kemampuan yang dimiliki tidak sama (45 %). Kondisi ini tidak terlepas dari peran

seorang dukun dalam persalinan, untuk saat ini peran dukun bayi hanya dimanfaatkan

pada saat perawatan bayi dan ibu pasca melahirkan. Kekurangan yang dimiliki oleh

seorang dukun bayi dibandingkan dengan bidan adalah dukun tidak bisa melakukan

proses pemeriksaan kehamilan.

Tidak banyak peran yang dapat dijalankan oleh dukun dalam konteks upacara

yang dilakukan berkenaan dengan persalinan (mulai dari kehamilan sampai pasca

melahirkan). Terutama pada masa kehamilan, sebagian besar responden menyatakan

bahwa tidak ada pelayanan yang dapat diberikan oleh dukun ( 97,1 % ). Di kota Banda

Aceh upacara adat yang berkenaan dengan persalinan, peran banyak dilakukan oleh

tokoh agama atau Ustadz. Hal ini ternyata terkait dengan budaya Islam, sehingga

upacara adat yang berkaitan dengan kesuku-bangsaan tidak banyak terlihat dan

bahkan sebagian besar masyarakat tidak setuju dengan diadakannya upacara adat.

Page 101: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

77

Hal yang sama juga terjadi pada masa kelahiran, karena sebagian besar

masyarakat tidak memanfaatkan pelayanan dukun (95, 7 %), kalaupun masih ada yang

memanfaatkan dukun (4,3 %), maka dukun yang membantu bukan yang berada di kota

Banda Aceh, akan tetapi dibawa oleh orang tua ibu yang melahirkan dan berasal dari

kampung halamannya. Kondisi ini juga terjadi setelah ibu melahirkan, karena di kota

Banda Aceh sebagian besar ibu melahirkan sudah ditolong oleh tenaga kesehatan dan

mempergunakan fasilitas kesehatan yang ada dan banyak tersebar di kota.

Persepsi Masyarakat tentang Bidan

Bila kita bicara bagaimana tanggapan masyarakat atas peran yang diberikan

dan dilakukan oleh bidan bahwa pada dewasa ini peran bidang sebagai seorang tenaga

kesehatan profesional sangat penting. Kondisi ini tidak hanya terbatas pada

masyarakat pedesaan ataupun masyarakat perkotaan.

Persepsi masyarakat desa terhadap peran yang dijalankan oleh bidan seperti

yang dituturkan oleh masyarakat kota yang memanfaatkan tenaga bidan:

“ kalau sekarang ini untuk penolong melahirkan atau periksa hamil, di tempat saya sudah tidak ada lagi yang pakai dukun, karena disini semua ibu yang hamil, melahirkan, atau pasca melahirkan sudah menggunakan bidan dan disini (red.Banda Aceh) sudah tidak ditemukan dukun, apalagi dukunnnya udah pada tua”.

Salah satu peran yang dijalankan oleh bidan adalah periksa kehamilan, bidan

dapat melakukan pemeriksaan kehamilan dan pemeriksaan kehamilan yang dilakukan

oleh ibu yang sedang hamil di kota Banda Aceh hampir menyeluruh. Jenis pelayanan

yang diberikan oleh bidan seperti imunisasi, pengukuran tensi darah, pemberian tablet

tambah darah, TT saat melahirkan. Pemberian tablet tambah darah untuk ibu hamil

bertujuan agar tidak terjadi BBLR pada bayi dan anemia pada ibu hamil.

Bagi masyarakat kota Banda Aceh, pandangan masyarakat aceh terhadap bidan

sangat berharga, karena melalui bantuan bidan masalah kelahiran dapat berjalan

lancar. Kondisi ini didorong oleh karena proses persalinan, mulai dari periksa hamil,

persalinan, sampai dengan pasca persalinan terutama di kota banda aceh semua

ditangani oleh bidan dan tenaga kesehatan profesional lainnya.

Page 102: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

78

Hubungan Bidan dan Dukun

Hubungan antara bidan dengan dukun pada saat ini dapat dikatakan bahwa

dalam kaitan dengan lingkup pekerjaan bahwa mereka merupakan sebuah tim

yangdiharapkan dapat bekerjasama tanpa saling merugikan. Program pemerintah yang

mencanangkan sebuah kegiatan yang mengharapkan bahwa segala proses persalinan

nantinya diharapkan akan ditangani oleh tenaga kesehatan profesional.

“saat ini, bisa dikatakan bahwa dukun yang menolong persalinan di sini (red.kota Banda Aceh) sudah tidak ada lagi pula usia mereka sudah di atas 70 tahun, sehingga masyarakat di sini kalo mau melahirkan lebih memilih ibu bidan yang ada di fasilitas kesehatan. Seorang dukun bayi biasanya akan berperan pada masa setelah melahirkan terutama perawatan bayi dan ibu melahirkan.”

Khusus di kota Banda Aceh, dari beberapa informasi yang diperoleh baik

melalui wawancara mendalam maupun diskusi kelompok, diketahui bahwa di Kota

Banda Aceh sudah tidak ada lagi dukun praktek yang membantu menolong persalinan.

Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap kemitraan antara dukun dengan bidan.

namun demikian hubungan yang terjadi antara bidan dengan dukun tetap berjalan

dengan baik. Karena dalam praktek, bila ada masyarakat yang meminta bantuan

seorang dukun untuk menolong persalinan, biasanya dukun akan meminta dan

bahkanbila terjadi sesuatu pada ibu yang akan atau sedang melahirkan dan perlu

sebuah tindakan, akan memudahkan untuk meminta pertolongan pada bidan.Kondisi

ini didukung data kuantitatif penelitian ini seperti tertuang dalam table berikut tentang

penolong persalinan yang pertama dipilih dan pertolongan terakhir.

Tabel. 3.2.5

Pelayanan yang Diterima Responden dari Bidan dan Dukun di Wilayah Puskesmas LampasehKecamatan KutarajaTahun 2012

Jenis Pelayanan oleh Bidan

‘Ya’ Terima Yan Bidan

Jenis Pelayanan oleh Dukun

‘Ya’ Terima Yan Dukun

Periksa Kehamilan 97,1% Periksa Kehamilan 78,6% Persalinan 97,1% Persalinan 20,0% Rawat Pasca Persalinan 82,9% Rawat Pasca Salin 8,6% KB 72,9% Jamu Ibu 17,1% Pijat Bayi 18,6% Rawat bayi 42,9% Buat Jamu Ibu 4,3% Buat jamu Bayi 10,0% Upacara 0,0% Upacara 20,0%

Sumber: Data Primer

Page 103: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

79

Pelaksanaan Program Jampersal

Pelayanan KIA yang telah dilakukan oleh dinas Kesehatan kota Banda Aceh

dapat dikategorikan bahwa pelayanan yang dilakukan sudah mencapai kondisi yang

memuaskan. Dari data yang diperoleh untuk tahun 2011, capaian cakupan untuk K-1

hampir mencapai 91,3%, sementara cakupan untuk K4 hampir mencapai angka 91,3%.

Capaian lain dalam kaitan dengan pelayanan KIA di kota Banda Aceh terutama

berkenaan dengan persalinan yang mempergunakan tenaga kesehatan sebesar 89,7 %.

Keberhasilan atas pelayanan KIA yang dicapai oleh kota Banda Aceh, terlihat dari angka

cakupan yang diperoleh, seperti cakupan pelayanan nifas mencapai : 88,9 %, cakupan

neonatus dengan complikasi yang ditangani bahkan mencapai hasil 100 %, cakupan

kunjungan bayi: 88,19%(Sumber : Profil kesehatan Kota Banda Aceh, 2011).

Hasil yang dicapai berkenaan dengan pelayanan KIA di kota Banda Aceh

berpengaruh pada AKB yang dicapai. Ada banyak faktor yang mempengaruhi AKB,

akan tetapi bukan hal yang mudah untuk mencari/menemukan faktor yang paling

dominan. Tersedianya berbagai fasilitas atau faktor aksesibilitas dan pelayanan

kesehatan oleh tenaga medis yang trampil serta kesediaan masyarakat untuk merubah

kehidupan tradisional ke norma kehidupan modern di bidang kesehatan, dapat

dijadikan faktor yang berpengaruh terhadap tingkat AKB.

Tabel. 3.2.6

Penolong Pertama dan Terakhir Persalinan di Wilayah Puskesmas LampasehKecamatan Kutaraja Tahun 2012

Jenis Tenaga Penolong Pertama Penolong Terakhir

Dokter 21,4% 25,7%

Bidan 78,6% 74,3%

Dukun 0,0% 0,0%

Suami/Keluarga 0,0% 0,0%

Lainnya 0,0% 0,0%

Sumber: Data Primer

Banyak alasan suatu masyarakat di mana anggota keluarganya saat akan

melahirkan dan bahkan saat masa kehamilan memilih dan menentukan kemana dan

Page 104: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

80

siapa yang akan menolong saat persalinan. Perbedaan penolong pemeriksa kehamilan

antara satu kelompok masyarakat dengan masyarakat lain berbeda, semua ini tidak

terlepas dari kondisi sosial-budaya dari masyarakat yang bersangkutan.

Di kota Banda Aceh, diketahui bahwa sebagian besar ibu hamil memeriksakan

kehamilannya pada petugas kesehatan/bidan, mereka pergi ke fasilitas kesehatan. Dari

data dan informasi yang berhasil dihimpun diketahui bahwa pada umumnya para ibu

hamil memeriksakan kehamilannya ke bidan (100%), dengan alasan utama yang

dikemukakan adalah karena di kota yang tersedia adalah tenaga kesehatan profesional

sementara dukun sudah tidak ada dan kalaupun ada usianya sudah lanjut. Alasan lain

yang dikemukakan untuk memilih bidan dalam proses pemeriksaan kehamilan adalah

bidan memiliki kemampuan lebih daalam penanganan dan pemeriksaan kehamilan.

“ Masyarakat di sini saat ini untuk periksa hamil memilih ke bidan atau pergi ke klinik maupun rumah sakit bersalin, apalagi sekarang sudah tersebar di beberapa tempat dan bidan lebih ahli dalam memeriksa ibu hamil.”

Alasan pemilihan penolong persalinan

Banyak cara yang dapat dilakukan oleh masyarakat/individu di dalam upaya

mencari pertolongan kesehatan, seperti memilih mempergunakan tenaga kesehatan

profesional, dan ada juga yang memilih mempergunakan tenaga kesehatan tradisional,

dan bahkan ada juga masyarakat yang mencoba untuk mengobati sendiri.

Berkaitan dengan pemilihan siapa yang menolong dalam proses

persalinan, pada umumnya masyarakat di kota Banda Aceh memilih dan

mempergunakan tenaga kesehatan profesional (bidan, bidan praktek swasta, dokter

spesialis). Pemilihan ini dilandasi oleh kenyataan yang ada yaitu cukup tersedianya

sumber daya manusia yang ditunjang oleh ketersediaan akan sarana dan prasarana

kesehatan (puskesmas= 11; klinik bersalin=7; rumah sakit umum= 12; posyandu= 113).

Dengan segala ketersediaan sarana, prasarana, maupun sumber daya tenaga

kesehatan, maka dapat dikatakan bahwa hampir sebagian besar masyarakat di kota

Banda Aceh dalam memilih penolong persalinan adalah tenaga kesehatan profesional.

Adapun yang menjadi alasan utama memilih persalinan ke tenaga kesehatan adalah:

Page 105: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

81

persalinan dengan ditolong oleh tenaga kesehatan jauh lebih aman dan kemampuan

tenaga kesehatan lebih baik dibanding bila persalinan ditolong oleh dukun ( 82,9 %).

Pembiayaan Kesehatan Ibu dan Anak

Kesehatan merupakan salah faktor penting yang harus mendapat perhatian

dari individu atau masyarakat. Banyak cara yang dapat dilakukan oleh masyarakat

dalam rangka memelihara kesehatan. Semua ini tidak terlepas dari kemampuan,

pengetahuan, dan kesadaran untuk dapat mempersiapkan dan menyediakan biaya

yang nantinya dibutuhkan.

Berbagai macam program yang ditawarkan dan dipilih oleh masyarakat dalam

rangka menghimpun dana untuk pemeliharaan kesehatan. Ada yang berasal dari

jaminan tempat bekerja (asuransi), tabungan individu, arisan, dan tidak jarang yang

diperoleh melalui pinjaman pada pihak lain.

Namun demikian, disisi lain pembiayaan kesehatan ternyata juga dapat

diberikan, disediakan, dan bahkan ditanggung oleh pemerintah baik pemerintah

daerah maupun pemerintah pusat, seperti yang ada dewasa ini, jamkesmas, jamkesda,

dan terakhir adalah jampersal. Tentunya semua memiliki batasan-batasan dalam

pemanfaatan atas sumber biaya ini.

Berkenaan dengan sumber pembiayaan KIA masyarakat di kota Banda Aceh,

pada umumnya mereka menyisihkan sebagian dari penghasilannya, ada di antara

mereka yang bekerja sebagai pegawai negeri, pegawai swasta, ada yang berdagang,

namun ada juga yang berprofesi sebagai pengayuh becak.

Sumber pembiayaan lain yang digunakan oleh masyarakat berkenaan dengan

dana yang harus dikeluarkan diperoleh dari berbagai sumber, seperti : mendampingi

anaknya saat melahirkan, ada juga yang dibantu oleh ibu mertua, dana pribadi dan

bahkan tidak jarang ada yang terpaksa berhutang kepada tetangga atau orang lain di

luar keluarga. Selain itu sumber pembiayaan keluarga untuk KIA dapat berasal dari

simpan pinjam, dana dari PKK atau dana PNPM mandiri/PKPD.

Page 106: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

82

Tabel. 3.2.7.

Sumber Biaya Pelayanan KIA di Wilayah Puskesmas LampasehKecamatan Kutaraja Tahun 2012

Jenis Pelayanan Sumber Biaya (%)

Tidak

periksa

Sendiri/

Keluarga

Jampersal Jakesmas/

jamkesda

Lain-

nya

ANC 0,0 47,8 61,4 30,0 -

Persalinan 0,0 35,7 60,0 31,4 1,4

Periksa Pasca Salin 30,9 54,5 50,0 27,1 -

Periksa Neonatus 40,0 37,1 50,0 24,3 -

KB 25,7 42,9 17,1 7,1 4,3

Sumber: Data Primer

Di kota Banda Aceh pembiayaan kesehatan yang tersedia dan diperoleh

masyarakat adalah melalui berbagai sumber, seperti : APBD kota/kab; APBD Provinsi

(JKA= Jaminan Kesehatan Aceh); dan ada yang berasal dari APBN (dalam bentuk

DAK=Dana Alokasi Khusus; Jamkesmas; Jampersal; BOK).Jaminan Kesehatan Aceh

inilah yang menjadi tumpuan masyarakat Aceh secara umum dalam memperoleh

pelayanan berkenaan dengan kesehatan. Proses pemberiannya adalah secara otomatis

kepada masyarakat/warga Aceh.

Pengetahuan tentang Jampersal

Pengetahuan seseorang akan sangat terpengaruh oleh pendidikan yang dialami

semasa hidupnya. Bukan menjadi sebuah jaminan bahwa mereka yang tinggal di

perkotaan memiliki pengetahuan yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang

tinggal di pedesaan. Sebagian besar masyarakat di kota Banda Aceh yang sedang hamil

mengetahui adanya sebuah program yang diluncurkan oleh pemerintah berkaitan

dengan pemeriksaan kehamilan, melahirkan maupun pasca melahirkan, yaitu program

Jampersal (Jaminan Persalinan).

Sebagian kecil (18,6%) masyarakat mengetahui bahwa Jampersal ini merupakan

suatu program yang bertujuan untuk membantu dalam pembiayaan tidak hanya

Page 107: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

83

persalinan. Tetapi mereka setuju bahwa pembiayaan melalui jampersal untuk

pemeriksaan kehamilan, kelahiran, pasca melahirkan dan bahkan sampai pemasangan

KB (87,1 %). Bahkan sebagian besar ibu hamil di kota Banda Aceh mengatakan bahwa

Jampersal ini ditujukan bagi masyarakat miskin/kurang mampu (90,9 %).

Bentuk pengetahuan lain yang dimiliki oleh masyarakat berkenaan dengan

Jampersal adalah hampir sebagian besar masyarakat yang tidak setuju atas sebuah

pernyataan bahwa Jampersal merupakan sebuah peluang untuk dapat memiliki

banyak anak (68,5 %). Kondisi lain yang memperlihatkan pengetahuan masyarakat

tentang Jampersal adalah hampir sebagian besar masyarakat setuju bahwa Jampersal

dapat digunakan untuk membantu persalinan, periksa kehamilan, pelayanan setelah

kelahiran dan termasuk pelayanan program KB (87, 1 %).

Masyarakat Aceh pada umumnya lebih memahami adanya Jamkesda dan JKA

(Jaminan Kesehatan Aceh), dan ini yang mereka gunakan bila ada masalah kesehatan.

Kartu Jaminan Kesehatan Aceh diberikan kepada setiap warga Aceh dan pemegang

kartu ini mendapat pelayanan kesehatan gratis termasuk pelayanan KIA. Karena

masyarakat sudah terbiasa mempergunakan program ini, sehingga ketika program

Jampersal digulirkan di masyarakat, mereka tidak memahami dan yang penting bagi

mereka adalah mereka mendapat pelayanan kesehatan secara gratis. Hasil wawancara

dengan responden ibu, diperoleh fakta bahwa hany 27,1% yang setuju bila jampersal

hanya ditujukan bagi kelompok ekonomi miskin.

3.2.5. Peran Tenaga Pelayanan Kesehatan dalam Pelaksanaan Program Jampersal

Pelaksanaan program Jampersal di masyarakat adalah untuk mendorong ibu

hamil untuk melakukan pemeriksaan kehamilan, melahirkan, pasca melahirkan dan

bahkan sampai pada pemasangan KB dilakukan oleh tenaga kesehatan serta

memanfaatkan/menggunakan fasilitas kesehatan. Tujuan pemanfaatan tenaga

kesehatan dan fasilitas kesehatan tidak terlepas dari keinginan untuk menurunkan

angka Kematian Ibu dan kematian Anak.

Dalam konteks ini, maka dibutuhkan sumber daya manusia yang memiliki

keahlian tertentu berkenaan dengan upaya menurunkan AKI dan AKB. Mereka adalah

Page 108: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

84

orang yang memiliki keahlian di bidang kesehatan. Program Jampersal ini

membutuhkan sebuah pengetahuan atau kemampuan untuk dapat menjelaskan

kepada masyarakat apa saja yang dapat dicakup, jenis pelayanan apa saja yang

dieroleh, bagaimana proses kepesertaannya. Disinilah peran seorang tenaga pelayanan

kesehatan untuk memberikan penjelasan tentang jampersal kepada masyarakat

pengguna, disamping juga memberikan penjelasan kepada anggota keluarga lain dari

pengguna Jampersal. Peran penting lain yang juga diemban oleh seorang petugas

pelayanan kesehatan terkait dengan program Jampersal adalah memberi pengertian

dan menuntun masyarakat untuk memanfaatkan tenaga kesehatan dan fasilitas

kesehatan dalam proses kehamilan sampai pasca melahirkan.

Tabel. 3.2.8.

Perolehan Informasi tentang Jampersal di Wilayah Puskesmas LampasehKecamatan Kutaraja Tahun 2012

Sumber informasi Menyatakan ‘ya’ (%)

Media massa 77,1

Tenaga Kesehatan 60,0

Petugas desa 5,7

Poster 17.1

Sumber lainnya 8,6

Sumber: Data Primer

Sebetulnya, dalam pelaksanaan program Jampersal ini, maka pihak yang

dianggap berperan tidak semata-mata hanya petugas kesehatan, akan tetapi

dibutuhkan perlu adanya kerja sama lintas sektor karena program ini menyangkut

kehidupan masyarakat. Peran yang dapat dijalankan oleh lintas sektor seperti tanaga

kader, tokoh masyarakat, kepala desa, tetua adat, tokoh agama, karang taruna/tokoh

pemuda. Semua ini harus dilibatkan dalam satu kesatuan tim yaitu menuju

keberhasilan kesehatan masyarakat khususnya berkaitan dengan program KIA. Dan

yang diharapkan bertindak sebagai pimpinan adalah mereka yang berasal dari tenaga

kesehatan.

Page 109: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

85

3.2.6. Hambatan, Dukungandan Harapan terhadap Pelaksanaan Jampersal

Perjalanan sebuah program yang digulirkan pemerintah untuk kepentingan

masyarakat luas tidak selalu berjalan dengan lancar dan mulus, berbagai kendala yang

ditemui, namun dukungan juga dijumpai serta adanya harapan selama pelaksanaan

program tersebut.

Hambatan

Seperti diketahui bahwa program Jampersal ini sejak awal digulirkan yaitu

Januari 2011 hingga saat ini (september 2012), banyak ditemui kendala, seperti

misalnya proses Sosialisasi yang dianggap sebagai tulang punggung berhasil tidaknya

sebuah program. Dari informasi yang berhasil diperoleh, ternyata masih banyak warga

masyarakat yang belum mengetahui adanya program Jampersal ini dan bahkan ada

yang belum pernah mendengar Jampersal,

Kendala lain yang juga terjadi di kalangan warga masyarakat adalah mereka

tidak banyak mengetahui bagaimana proses dan persyaratan bila ibu/wanita hamil

ingin memanfaatkan Jampersal, dan secara khusus masyarakat di banda aceh tidak

dapat membedakan dengan program kesehatan lain yang sudah mereka miliki.

Bila diperhatikan dengan seksama, ternyata hambatan/kendala tidak hanya ada

dan terjadi di masyarakat pengguna jampersal, tapi ternyata dapat terjadi pada

petugas kesehatan/provider sebagai pelaksana. Mereka seringkali mengeluhkan

bahwa apabila mereka mengajukan klaim atas penggunaaan Jampersal seringkali di

kembalikan oleh pihak terkait. Beragam alasan yang dikemukakan seperti laporan yang

kurang lengkap serta persyaratan yang masih kurang. Kondisi ini mengakibatkan

proses klaim menjadi panjang dan lama. Hal inilah yang diupayakan untuk dihindarkan

oleh petugas/provider. Kondisi inilah yang juga mengakibatkan daya serap Jampersal

khusus untuk kota Banda Aceh menjadi kecil/rendah.

Dukungan

Perjalanan sebuah program/kegiatan untuk masyarakat tidaklah selalu

mengalami sebuah kebuntuan, namun terjadi keberhasilan bisa diperoleh karena

adanya dukungan baik itu yang berasal dari masyarakat sendiri maupun

petugas/provider.

Page 110: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

86

Berkenaan dengan Jampersal ini, ternyata ditemui berbagai faktor yang

mendukung keberhasilan suati program, seperti yang terjadi di kota Banda Aceh.

Masalah aksesibilitas maupun akseptabilitas baik itu berupa sarana transportasi

maupun prasarana jalan tidak menjadi masalah bagi masyarakat, begitu pula dengan

fasilitas keshatan bagi ibu hamil, melahirkan. Semua ini dapat terlayani selama 24 jam.

Sumber daya manusia, dalam konteks ini adalah tersedianya tenaga kesehatan

profesional (bidan, dokter spesialis), di kota Banda Aceh cukup tersedia dan memadai.

Tersedianya Sumber daya manusia tidak terlepas oleh tersedianya fasilitas pendidikan

kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan.

Kondisi lain yang tidak kalah penting dalam konteks keberhasilan program

Jampersal adalah Faktor Perilaku masyarakat. Mereka sadar akan arti penting untuk

memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang tersedia di sekitar tempat tinggal

mereka, mulai dari Posyandu, Polindes, Poskesdes, Klinik, Rumah sakit baik

pemerintah maupun milik swasta.

Perilaku dalam memanfaatkan dan memilih mencari pertolongan pelayanan

kesehatan, diikuti dengan adanya sebuah keinginan yaitu merubah pola berpikir dari

tradisional ke modern dalam konteksi kesehatan. Perubahan perilaku ini tidak terlepas

dari semakin bertambahnya dan berubahnya tingkat pendidikan yang dimiliki oleh

masyarakat di kota Banda Aceh.

Harapan

Bergulirnya sebuah program yang diluncurkan oleh pemerintah untuk

kepentingan dan kesejahteraan masyarakatnya, tentunya memiliki sebuah harapan

dan harapan ini tidak semat-mata dari masyarakat pengguna, tetapi juga dari

pemerintah sebagai penyelenggara kegiatan atau program ini.

Dari sudut pandang masyarakat, ternyata masyarakat berharap banyak agar

program Jampersal ini dapat berlangsung seterusnya dan tidak berhneti dalam satu

periode tertentu saja dan berkesinambungan. Kondisi lain yang diharapkan oleh

masyarakat adalah bila ada sebuah program baru yang bermanfaat bagi masyarakat,

hendaknya dapat diperkenalkan secara utuh berkenaan dengan proses maupun

keuntungan bila masyarakat memanfaatkannya.

Page 111: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

87

Masih berkenaan dengan adanya sebuah harapan dari masyarakat terkait

dengan program Jampersal ini ada perlu adanya kerjasama lintas sektor, perlu adanya

penambahan bidan desa ataupun bidan di desa untuk membantu masyarakat untuk

membiasakan diri untuk tidak melahirkan ditempat non fasilitas kesehatan.

Harapan lain yang dimiliki oleh masyarakat adalah mereka berharap bahwa

Jampersal ini hendaknya tidak dibatasi pemberiannya hanya sampai pada masyarakat

level tidak mampu atau pada masyarakat golongan tertentu, tetapi sekiranya dapat

dimanfaatkan oleh masyarakat luas tanpa melihat status sosial ekonomi masyarakat.

Dari sudut pandang pemerintah sebagai pengelola dan pelaksana Jampersal,

ada secercah harapan yang diinginkan yaitu masyarakat agar mau dan bisa merubah

perilaku berkenaan dengan kesehatan yang dialami dan dirasakan. Karena Jampersal

ini ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraan dari warga

masyarakat.

Page 112: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

88

3.3 Puskesmas Cirinten, Kabupaten lebak

3. 3.1 Gambaran Umum Kabupaten Lebak

Kabupaten Lebak adalah salah satu kabupaten di provinsi Banten yang terletak

di ujung Barat pulau Jawa. Kabupaten ini memiliki luas 304.472 Ha dan terbagi menjadi

28 kecamatan dengan 340 desa dan 5 kelurahan. Kecamatan Rangkasbitung adalah ibu

kota kabupaten dengan jumlah penduduk 116.695 jiwa merupakan kecamatan dengan

penduduk terbanyak. Kecamatan paling luas adalah kecamatan Cibeber dan paling

sempit adalah kecamatan Kalanganyar. Wilayah Kab. Lebak 30-40% berbukit-bukit.

Secara topografi ada 3 karakteristik ketinggian kabupaten Lebak. yaitu sepanjang

pantai selatan mempunyai ketinggian antara 0 – 200 m, sedangkan Lebak tengah

memunyai ketinggian 201 – 500 meter, wilayah Lebak Timur merupakan daerah

perbukitan dengan ketinggian antara 501 -1000 meter dengan puncaknya yaitu

gunung Sanggabuana dan gunung Halimun.

Kabupaten Lebak mempunyai alam yang cukup potensial, sebagai usaha

masyarakat di bidang pertanian, pertambangan dan wisata meskipun pemanfaatannya

belum maksimal. Sebagian lahannya sebagai wilayah konservasi/resapan air yang

perannyastrategis mendukung ketersediaan sumber daya air bagi wilyah-wilayah

lainnya di propinsi Banten dan DKI Jakarta. Duran, mangga, pisang dan manggis adalah

buah-buahan yang banyak ditanam oleh masyarakat dan menjadi sumber penghasilan

bagi sebagian masyarakat.

Gambar 3.3.1. Peta Wilayah Kabupaten Lebak

Batas administratif Kab. Lebak:

Utara : Kabupaten Serang dan Tangerang

Selatan: Samudera Indonesia

Barat : Kabupaten Pandeglang

Timur : kabupaten Bogor dan Sukabumi

Page 113: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

89

Penduduk kabupaten Lebak sejumlah 1.204.095 dengan sex ratio 106 artinya

dari 100 perempuanada 106 laki-laki, kondisi ini terlihat sesuai data tahun 2010 (BPS,

2010). Jumlah penduduk terbanyak ada di kecamatan Rangkasbitung dengan

penduduk sejumlah 116.659 jiwa. Distribusi penduduk di kabupaten Lebak tampak

kurang merata dengan kecenderungan mengelompok dan beraktifitas di bagian

wilayah utara kabupaten.Jumlah melek huruf dari tahun ke tahun terus meningkat.

Ada tahun 2008 persentase melek huruf sebesar 94,10% kemudian semakin meningkat

dan pada thun 2010 mencapai 100% kecuali untuk penduduk Baduy.

Penduduk miskin masih cukup banyak, tercatat ada 590.910 jiwa yang memiliki

kartu miskin (askeskin). Berdasar catatn di puskesmas terdapat 229.727 dari seluruh

penduduk miskin 67% nya dicakup oleh JPKM dalam mendapatkan pelayanan

kesehatan dan 64% dari seluruh penduduk miskin telah mendapat pelayanan yankes

termasuk bayi dengan status Gizi Dibawah Garis merah (BGM). Program jamkesmas

termauk didalamnya adalah Jmapersal telh banyak membantu membiayai kesehatan

masyarakat. Disamping itu telah bergulir pula pembiayaan dari Dinas social bagi

keluarga miskin Program Keluarga Harapan (PKH) sebesar Rp. 2.100.000,- perkeluarga

per tahun yng diberikan kepada keluarga yang memiliki Balita, ibu hmil dan anak

sekolah usia SD – SMP. Bantuan bersyarat ini yang dapat dimanfaatkan untuk

kesehatan (Rp. 800.000,-), pendidikan (Rp. 800.000,-)dan kebutuhan pokok (Rp.

500.000,-) sebagai ganti dari Bantuan Langsung Tunai.

Sifat kegotongroyongan masyarakat secara umum masih cukup kental. Nampak

di lingkungan tertentu terlihat sifat kepedulian masyarakat terhadap sekitarnya seperti

masih adanya tabulin (tabungan ibu bersalin), penyediaan kendaraan bagi ibu bersalin

yang akan digunakan membawa ibu menjelang persalinan ke fasilitas kesehatan.

Berdasarkan hasil kajian data dan konsultasi dengan kepala Dinas Kesehatan

dan stafnya untuk menentukan lokasi penelitian dengan criteria puskesmas dengan

cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan yang masih rendah, maka terpilih

kecamatan Cirinten sebagai lokasi penelitian. Persalinan oleh tenaga kesehatan tahun

2011 sejumlah 50,4% merupakan jumlah yang kecil sekali terutama bila dibandingkan

dengan angka nasional yang sebesar 86%.

Page 114: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

90

Gambar 3.3.2. Cakupan Program Kesehatan Ibu dan Anak Puskesmas Cirinten Tahun 2011

3.3.2. Gambaran Umum Kecamatan Cirinten

Kecamatan Cirinten merupakan sebuah kecamatan baru yangdimekarkan dari

kecamatan Bojongmanik. Sejak tahun 2007 wilayah ini terpisah dari Wilayah Kec.

Bojongmanik dan dicanangkan sebagai sebuah wilayah Kecamatan tersendiri.

Kecamatan Cirinten juga terkenal sebagai pintu belakang menuju komunitas Baduy.

Lokasi kecamatan ini hanya berjarak kurang lebih 4 kilometer dari Desa Cikeusik, salah

satu desa dalam Komunitas Baduy. Sehingga, cukup banyak wisatawan yang datang

melewati Kecamatan ini apabila mereka ingin bertandang ke wilayah Komunitas

Baduy. Banyak orang yang mengataka bahwa sebenarnya jalur dari Cirinten lebih dekat

ke Komunitas Baduy daripada jalur lain. Akan tetapi sepertinya tidak banyak orang

yang mengetahuinya.

81%

70.10%

44.80%

64.50%

50.40%

62.30%

K1 K4 Deteksi Resiko Tinggi Ibu Hamil

Neonatus Linakes Kunjungan Ibu Nifas

Page 115: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

91

Gambar. 3.3.3.Lokasi Kecamatan Cirinten

Kecamatan ini terletak di bagian tengah wilayah kabupaten Lebak, berjarak

kurang lebih 45 km dari Kota Rangkasbitung. Perjalanan menuju Cirinten dapat

ditempuh dalam waktu kurang lebih 1.5 – 2.5jam dengan menggunakan kendaraan

darat berupa sepeda motor atau mobil pribadi. Jalanan menuju dari Ibu kota

Kabupaten menuju Cirinten bisa dikatakan baik. Jalan-jalan sudah beraspal dengan

kondisi yang cukup terawat. Selain dengan mobil, perjalanan menuju Cirinten juga

dapat ditempuh dengan menggunakan angkutan umum. Saat ini terdapat beberapa

kendaraan umum jenis mini-bus secara rutin melewati Kecamatan ini pada jam-jam

tertentu. Sehingga tidak terlalu sulit untuk dapat mencapai Kecamatan ini.

Cirinten memiliki luas wilayah 1031,9 Km2. Secara administratif Cirinten terdiri

dari 10 Desa, yaitu: Badur, Cempaka, Cibarani, Cirinten, Datarcae, Kadudamas,

Karangnunggal, Karoya, Nanggerang, dan Parakanlima. Pada bagian utara kecamatan

ini berbatasan dengan Kecamatan Cileles, sebelah selatan dengan Kec. Cijaku, sebelah

Timur dengan Kec. Bojongmanik, dan di sebelah barat dengan Kec. Gunung Kencana.

Kondisi topografi Kecamatan Cirinten adalah pegunungan dengan ketinggian

antara 130-390 mdpl. Dengan ketinggian itu suhu udara di wilayah ini bisa dikatakan

Page 116: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

92

sejuk. Suhu udara rata-rata di Cirinten adalah 25° celcius. Curah hujan di wilayah

Cirinten adalah 150mm/tahun. Kondisi ini memungkinkan bermacam jenis tanaman

tumbuh subur. Sehingga ketika menyambangi daerah ini, kita bisa melihat

pemandangan hamparan sawah dan pepohonan hijau luas menghampar sejauh mata

memandang. Namun dari semua pemandangan hijau tersebut, pohon cengkeh adalah

jenis tanaman yang dapat kita saksikan banyak di Kecamatan ini. Memang, kecamatan

ini sangat terkenal dengan hasil cengkehnya yang melimpah setiap tahunnya. Cengkeh

dianggap sebagai economicbooster dari Kecamatan ini.

Gambar. 3.3.4.Suasana Kecamatan Cirinten

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Dengan kondisi topografis yang bergunung-gunung akses transportasi

merupakan sebuah kendala yang cukup berarti di Kecamatan ini. Kondisi jalan utama

di Kecamatan ini memang sudah bisa dikatakan baik, teraspal dengan halus dan

terawat dengan baik. Tetapi lepas dari jalanan utama tersebut kondisi jalan berbatu

kasar dan tanah-tanah dengan kubangan-kubangan air adalah pemandangan lain dari

kondisi jalan di Kecamatan ini. Kondisi inilah yang seringkali menjadi sebuah hambatan

bagi warga setempat untuk dapat mengakses pelayanan kesehatan.

Dari peta wilayah puskesmas dapat dilihat beberapa kendala yang ada di

Kecamatan Cirinten. Kondisi jalan buruk, akses ke jaringan komunikasi, dan sarana

listrik merupakan kendala-kendala yang jamak muncul pada beberapa daerah di

Page 117: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

93

wilayah ini. Sarana listrik sudah bisa dinikmati di seluruh Kecamatan ini. Namun hanya

3 desa yang sudah memiliki fasilitas penerangan jalan yang layak. Sedangkan 7 desa

lainnya belum memperoleh sarana penerangan jalan. Sehinga pada malam hari

kegelapan di jalan-jalan desa sangat terasa. Jaringan telepon seluler dengan sinyal

yang kuat hanya bisa dinikmati di sekitaran Ibu Kota Kecamatan Cirinten, yaitu di Desa

Cirinten. Sedangkan sebagian besar wilayah Cirinten tidak tercakup dalam jaringan

telekomunikasi. Kondisi wilayah di Cirinten dapat dilihat dari peta berikut:

Gambar 3.3.5.Peta Kondisi Wilayah Kecamatan Cirinten

Page 118: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

94

Kependudukan

Jumlah keseluruhan penduduk menurut data tahun 2010 sebanyak 26.642 jiwa

dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 7.726 KK. Jumlah penduduk terbanyak

berada di Desa Cirinten dengan jumlah penduduk sebanyak 4.743 jiwa disusul Desa

Parakanlima sebanyak 3.747 jiwa dan Desa Kadudamas sebanyak 3.091 Jiwa. Besaran

jumlah penduduk di tiap desa sangat berbeda terkait dengan hubungan keluarga dan

letak pemukiman yang layak untuk ditempati karena geografis kecamatan Cirinten

terdapat di dataran tinggi.

Tabel 3.3.1. Data Penduduk Kecamatan Cirinten Tahun 2010

NO DESA LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH KK

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

Badur

Cempaka

Cibarani

Cirinten

Datarcae

Kadudamas

Karangnunggal

Karoya

Nangerang

Parakanlima

1504

994

939

2418

1087

1593

913

887

1461

1952

1296

951

955

2325

972

1498

929

804

1369

1795

2800

1945

1894

4743

2059

3091

1842

1691

2830

3747

733

579

562

1383

615

905

507

557

822

1063

JUMLAH 13748 12894 26642 7726

Sumber: Data Kependudukan Kecamatan Cirinten 2010

Besarnya angka penduduk di Desa Cirinten karena Desa Cirinten merupakan ibu

kota kecamatan sedangkan untuk Desa Karoya dengan jumlah penduduk 1691 jiwa

merupakan desa marjinal dengan luas wilayah yang relatif kecil. Jumlah tersebut

tentunya berimbas pada pelayanan kesehatan yang diberikan dibandingkan dengan

rasio jumlah tenaga kesehatan. Jumlah tenaga kesehatan yang tersedia di Puskesmas

Cirinten tidak cukup untuk dapat melayani seluruh penduduk di Kecamatan ini.

Page 119: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

95

Mata Pencaharian dan Ekonomi masyarakat

Pertanian adalah salah satu sumber mata pencaharian yang paling menonjol di

Kecamatan Cirinten. Menurut data Kecamatan Cirinten, kurang lebih 20% penduduk

Cirinten adalah petani. Jenis-jenis komditas tanaman yang dibudidayakan di wilayah ini

adalah buah-buahan, ketela rambat, sayur-sayuran, padi, dan yang paling banyak

dikembangkan saat ini adalah cengkeh. Kecamatan Cirinten adalah salah satu daerah

pemasok cengkeh terbesar di Indonesia (berdasarkan beritadaerah.com). Pentingnya

komoditas ini dalam masyarakat dapat kita lihat secara jelas ketika kita menginjakkan

kaki di Kecamatan Cirinten. Hamparan perkebunan cengkeh yang menghijau terlihat di

menghiasi pemandangan sepanjang perjalanan menyusuri jalan utama Kecamatan ini.

Pada bahu-bahu jalan kita bisa melihat masyarakat menggelar tikar-tikar mengalasi

cengkeh-cengkeh yang telah dipanen untuk mendapatkan sinar matahari. Pada

beberapa ruas jalan, gelaran-gelaran cengkeh inilah yang kadang memacetkan lalu

lintas lengang di jalan utama Kecamatan ini karena penempatannya yang memakan

hampir separuh lebar jalan.

Gambar 3.3.6.Menjemur Cengkeh Sumber: Data Primer

Dalam hal pengelolaan cengkeh masyarakat Cirinten dkategorikan menjadi 3,

yaitu: Pemilik lahan, Petani Penggarap, Pemborong atau pemodal, dan Tukang Pulung.

Dalam hal ini, setiap golongan tersebut memiliki peran dan fungsinya masing-masing

dalam bentuk hubungan kerja. Para pemilik lahan adalah mereka yang memiliki

sejumlah areal pertanahan yang difungsikan sebagai perkebunan. Biasanya dalam

Page 120: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

96

kebun-kebun yang mereka miliki, mereka tidak hanya menanam cengkeh saja, tetapi

juga menanam beberapa macam tumbuhan lain seperti pohon sengon, kayu jati, dan

karet. Cengkeh umumnya bisa dipanen setelah berumur kurang lebih 7-12 tahun.

Ketika siap dipanen, si pemilik lahan akan mempekerjakan para petani penggarap, atau

yang lebih tepat disebut sebagai pemetik untuk mengambili cengkeh-cengkeh di

kebunnya. Para pemetik ini mendapatkan upah sebesar Rp. 1.500,-/ liter cengkeh

untuk pohon cengkeh yang rimbun, dan Rp. 2.000,-/liter untuk pohon cengkeh yang

kecil.

Gambar 3.3.7.Memanen Cengkeh Sumber: Dokumentasi Peneliti

Saat ini, harga cengkeh di pasaran mencapai Rp. 90.000/liter. Menurut para

petani di Cirinten harga ini sudah mengalami kemerosotan yang cukup tajam. Mereka

menceritakan bahwa 2 tahun yang lalu harga cengkeh pernah mencapai Rp.

240.000,/liter. Dengan fluktuasi harga seperti itu, cengkeh memiliki peran penting

dalam mendorong perekonomian masyarakat Cirinten. Menurut pengakuan warga

setempat, hasil dari cengkeh ini mampu mendongkrak kesejahteraan masyarakat.

Salah satu dari manfaat yang dapat dirasakan adalah pada pembiayaan kesehatan.

Apabila dibandingkan dengan dulu, saat ini masyarakat mampu membayar lebih untuk

mendapatkan pelayanan kesehatan di tempat praktek perawat. Seperti yang dikatakan

oleh salah seorang perawat yang membuka praktek di Cirinten:

Page 121: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

97

“Cengkeh ini memang yang bagus mas. Gara-gara cengkeh ini, kalau dulu orang datang suntik bayar 10 ribu, sekarang ya.. 15 ribu.. “

Salah satu sistem perekonomian yang cukup populer di Cirinten untuk

mengelola cengkeh adalah sistem gadai. Cara ini biasanya dipakai oleh masyarakat

Cirinten untuk mendapatkan sejumlah uang atau barang yang bisa diuangkan—yang

paling sering adalah emas—untuk menutup kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya

urgent. Meskipun dalam beberapa kasus, masyarakat menggunakan cara ini hanya

untuk meraih sedikit social prestige atau memenuhi tuntutan-tuntutan sosial.

Cara ini mungkin lebih tepat disebut sebagai sistem simpan pinjam, mirip

dengan sistem simpan-pinjam secara umum hanya dilakukan dengan jaminan lahan

cengkeh. Alat tukar yang digunakan dalam sistem gadai lahan ini seringkali adalah

emas. Cara ini bisa digambarkan sebagai berikut:

“Pak Ujang memiliki 50 batang pohon cengkeh di sebuah lahan perkebunan miliknya. Pada suatu hari Pak Ujang membutuhkan dana cepat karena salah satu anggota keluarganya meninggal. Pak Ujang mengetahui bahwa di lingkungannya ada seseorang yang terlihat memiliki aset kekayaan yang cukup besar, sebut saja Haji Tatang. Mengetahui hal tersebut, Pak Ujang mendatangi Haji Tatang untuk mendapatkan pinjaman dengan menawarkan 50 batang pohon cengkeh yang dimilikinya. Haji Tatang pun menerima tawaran Pak Ujang tersebut dan memberikannya pinjaman dalam bentuk emas seberat 100 gram. Transaksi akhirnya terjadi dan beberapa kesepakatan dibuat. Pinjaman yang diterima oleh Pak Ujang dalam bentuk emas tidak berbunga sama sekali dan hampir tidak memiliki jatuh tempo. Pak Ujang boleh menggunakannya untuk apapun dan bisa mengembalikannya kapanpun dia mampu. Akan tetapi sebagai timbal balik dari pinjaman tersebut adalah seluruh pengelolaan, hasil, berikut seluruh keuntungan dari 50 batang pohon cengkeh yang digadaikan oleh Pak Ujang menjadi milik Haji Tatang selama masa gadai masih berlangsung. Pak Ujang bisa mendapatkan hak atas pohon cengkehnya kembali ketika dia bisa mengembalikan 100 gram emas yang dipinjamnya, tentu saja dalam bentuk emas”.

Sistem gadai ini sering dipakai oleh masyarakat setempat ketika mereka

memerlukan dana cepat untuk sesuatu hal, misalnya menyelenggarakan hajatan,

aqiqah, atau menyiapkan biaya persalinan. Masyarakat yang sedang membutuhkan

dana biasanya akan pergi kepada anggota masyarakat lain yang memiliki kelebihan

dana yang bisa dipinjamkan. Selanjutnya mereka akan terikat hubungan simpan

pinjam. Sistem gadai inilah yang menyebabkan munculnya pemodal-pemodal besar

sebagai penguasa perkebunan cengkeh di wilayah Cirinten. Sistem ini juga yang

seringkali merugikan para penggadai lahan karena mereka tidak bisa mendapatkan

Page 122: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

98

keuntungan dari pohon-pohon cengkeh yang ditanam di kebunnya selama lahan

mereka masih dalam masa gadai. Sebagai akibat dari itu kesenjangan sosial semakin

terasa. Hal ini bisa dilihat langsung ketika kita menginjakkan kaki di Cirinten. Terlihat

perbedaan yang sangat mencolok antara rumah orang yang mampu menguasai

ekonomi dan para petani yang menggantungkan kehidupan ekonominya sebagai

penggarap lahan.

Puskesmas Cirinten

Untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada warga Cirinten, Kecamatan Cirinten

telah memiliki sebuah Puskesmas. Puskesmas Cirinten terdiri dari 1 ( satu ) Puskesmas

Induk sebagai pelaksana teknis Dinas kesehatan dan Kessos Kabupaten dibantu oleh 2

(dua) Puskesmas Pembantu dan 2 (Dua ) Pos Kesehatan Desa Yaitu :

1. Puskesmas Pembantu Cilayang Desa Kadudamas

2. Puskesmas Pembantu Parigi Desa Karangnunggal

3. Pos Kesehatan Desa, Desa Badur dan

4. Pos Kesehatan Dasar Desa Nangerang

Gambar 3.3.8.Puskesmas Cirinten

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Page 123: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

99

Pada tahun 2009, Puskesmas melengkapi fasilitas pelayanannya dari yang

tadinya hanya pelayanan rawat jalan ditambah dengan pelayanan rawat inap dengan

banyaknya tempat tidur 10 buah. Dari Penambahan fasilitas ini, Puskesmas Cirinten

mendapat tambahan baru dalam namanya, yaitu dengan sebutan DTP (Dengan

Tempat Perawatan).

Salah satu penunjang dalam melaksanakan tugasnya, puskesmas Cirinten

didukung sejumlah tenaga kesehatan. Bila melihat standar yang berlaku untuk suatu

puskesmas perawatan, tenaga kesehatan yang seharusnya ada minimal sebanyak 35

orang, sedangkan kondisi saat ini di Puskesmas DTP Cirinten masih jauh dari standar

jumlah pegawai utamanya untuk tenaga medis perawat yang masih berjumlah 5 orang

terdiri atas 4 orang lulusan D3 keperawatan dan 1 orang lulusan SPK sehingga dengan

didasarkan kepada standar rasio pegawai di puskesmas perawatan dibandingkan

dengan tenaga yang ada, diharapkan pemerintah khususnya pemerintah daerah dapat

mengisi kekurangan yang ada dan pemerataan petugas kesehatan sesuai dengan

tingkat kebutuhan, tidak terganggu pada kepentingan pribadi ataupun politik semata.

Akan tetapi menurut Kepala Puskesmas Cirinten, jumlah pegawai Puskesmas Cirinten

masih sangat jauh dari rasio yang dibutuhkan.

“Kita itu di sini masih ada yang namanya tugas rangkap bu. Jadi satu petugas pekerjaannya macam-macam.”

Page 124: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

100

Tabel 3.3.2. Data Ketenagaan Puskesmas DTP Cirinten Tahun 2010

Jenis Ketenagaan Jumlah Status Kepegawaian

I. Puskesmas Induk

S2 1 PNS

Dokter 2 PNS

Dokter gigi -

Sarjana/D3

a. SKM 2 PNS dan Magang

b. Akper 4 PNS dan Magang

c. Akbid 0

d. Akademi Gizi 1 PNS

e. Akademi Kesling 1 PNS

f. Perawat Gigi -

Perawat (SPK) 1 Sukwan

Tenaga Lab -

Pengelola Obat -

Tenaga Kebersihan 1 Sukwan

II. Puskesmas Pembantu

Bidan 2 PNS

III. Poskesdes

Bidan 2 PTT

IV. Bidan Desa

Bidan 6 PTT dan PNS

Sumber : Data Kepegawaian Puskesmas DTP Cirinten 2010

Rasio penduduk yang besar dibandingkan dengan medan yang sulit, keluhan

mengenai kurangnya jumlah tenaga kesehatan memang merupakan sebuah keluhan

yang muncul dari pihak Puskesmas. Hal itu juga mengakibatkan munculnya double job

pada tenaga kesehatan di Puskesmas ini. Seorang petugas kesehatan harus dibebani

dengan bermacam tugas yang berbeda pada satu waktu. Sebagai akibatnya pelayanan

kesehatan untuk masyarakat menjadi kurang maksimal. Contohnya seorang perawat di

Puskesmas ini, selain dia harus melaksanakan tugasnya dengan shift siang dan malam,

dia juga harus bisa melayani tugas panggilan dari warga yang membutuhkan

pelayanannya.

Page 125: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

101

Gambar 3.3.9.Peta Sarana Kecamatan Cirinten

Masalah Kesehatan KIA dan cakupan puskesmas pelayanan KIA

Angka kematian bagi merupakan indikator bagi tingkat pelayanan yang

diberikan. Semakin besar angka kematian maka semakin rendah tingkat pelayanan

kesehatan yang diberikan, begitupun sebaliknya. Jumlah angka kematian bayi dan

balita di Kecamatan Cirinten untuk tahun 2010 sebanyak 30 orang. Bila berdasarkan

jenis kelamin, sebagian besar kematian terjadi pada perempuan 17 orang (56.6%)

dengan penyebab kematian terbesar disebabkan oleh penyebab lainnya seperti ispa,

febris, asma, aspirasi yaitu sebesar 6 orang (35.3%) dari 17 kematian bayi balita

berjenis kelamin perempuan sebadangkan untuk kelompok umur, terdapat 19 orang

(63.3% ) usia 0-28 hari, sebanyak 9 (30%) orang usia 1-11 bulan dan sebanyak 2 (6.6%)

orang balita (tabel 8).

Page 126: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

102

Bila dibandingkan dengan jumlah kematian bayi dan balita tahun 2009, terjadi

penurunan jumlah kematian. Tahun 2009 terjadi 33 kematian bayi dan balita, sehingga

terjadi penurunan 3 (9.1%) kematian bayi dan balita. Ini disebabkan adanya

penambahan jumlah tenaga kesehatan khususnya bidan desa yang semula 7 orang

bidan untuk 10 desa menjadi 10 bidan untuk 10 desa binaan, sehingga angka kasus

kematiaan dapat ditekan dan adanya kemitraan bidan dengan dukun paraji yang telah

terbina dengan baik dalam pertolongan persalinan yang diharapkan terus terjalin

sehingga kasus kematian bayi, balita dan ibu dapat terus berkurang.

Untuk kematian ibu bersalin, terdapat 2 kasus kematian dengan penyebab

utama perdarahan post partum. angka ini meningkat bila dibandingkan dengan tahun

2009, di mana untuk kasus kematian ibu bersalin di wilayah binaan Puskesmas DTP

Cirinten adalah 0 (nol) kasus. Lonjakan angka kematian ibu lebih banyak disebabkan

oleh intrernal keluarga khususnya ibu hamil yang merasa persalinan oleh tenaga

kesehatan bukan sesuatu yang penting dan memanggil tenaga kesehatan (bidan) bila

sudah terjadi kesulitan dalam persalinan. Hal ini juga menjadi suatu dilema dan

tantangan bagi tenaga kesehatan untuk terus bermitra dengan dukun paraji serta lebih

memotivasi masyarakat untuk mempercayakan persalinannya kepada tenaga

kesehatan yang bermitra dengan dukun paraji karena tidak menutup kemungkinan

kepercayaan masyarakat terhadap dukun paraji masih sangat tinggi dengan

bermodalkan kekeluargaan dan tradisi ataupun kepercayaan paraji terhadap tenaga

kesehatan yang mengendor walaupun telah terjadi kemitraan, apalagi program

kesehatan berupa P4K (Program Perencanaan dan Pencegahan Komplikasi) guna

menunjang desa siaga terus digalakan.

Page 127: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

103

Tabel. 3.3.3.

Angka Kematian dan Penyebabnya Tahun 2010

No Penyebab

Kematian

Jenis Kelamin Kelompok Umur

Laki-

Laki

Perempuan

Neonatus bayi balit

a

Non

Matrn

l

Maternal

Bumil Buli

n

Ibu

Nifas

1 Lahir Mati 1 0 0 0 0 1 0 0

2 BBLR/Prematur 4 5 0 0 0 9 0 0

3 Asfiksia 2 5 0 0 0 7 0 0

4 Sepsis 0 0 0 0 0 0 0 0

5 Neonatorum 1 0 0 0 0 1 0 0

6 Kelainan

bawaan 0 0 0 0 0 0 0 0

7 Pnemonia 1 1 0 0 0 0 2 0

8 Demam

Thypoid 0 0 0 0 0 0 0 0

9 Diare 0 0 0 0 0 0 0 0

10 TBC paru 0 0 0 0 0 0 0 0

11 Diftery 0 0 0 0 0 0 0 0

12 Pertusis 0 0 0 0 0 0 0 0

13 Campak 0 0 0 0 0 0 0 0

14 Malaria 0 0 0 0 0 0 0 0

15 DBD 0 0 0 0 0 0 0 0

16 Meningitis 0 0 0 0 0 0 0 0

17 Gizi Buruk 0 0 0 0 0 0 0 0

18 Kecelakaan 0 0 0 0 0 0 0 0

19 Lain-lain 4 6 0 0 0 1 7 2

20 Perdarahan 0 0 0 2 0 0 0 0

Jumlah 13 17 0 2 0 19 9 2

Sumber: Profil Puskesmas Cirinten

3.3.3. Perilaku Masyarakatterkait Kesehatan Ibu dan Anak

Pandangan tentang ibu hamil, bersalin, bayi/anak

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mereka menganggap bahwa kehamilan

adalah berkah bagi keluarga mereka, sehingga mungkin ini juga salah satu faktor yang

menyebabkan beberapa ibu tidak menggunakan alat kontrasepsi untuk membatasi

jumlah anak dalam keluarganya, disamping faktor lainnya. Beberapa pantangan yang

berkaitan selama kehamilan masih tetap ada sesuai dengan nilai-nilai kepercayaan

yang masih diyakini oleh masyarakat setempat. Begitu pula anjuran terhadap ibu

Page 128: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

104

hamil. Pada dasarnya pantangan-pantangan dan anjuran-anjuran tersebut bertujuan

agar ibu hamil dapat melewati masa kehamilannya secara baik dan dapat melahirkan

dengan lancar walaupun beberapa pantangan tersebut ada yang tidak dapat diterima

secara logika atau akal.

Berkaitan dengan pemakaian jimat oleh ibu hamil, masih ada juga yang

mempercayai dan memakai jimat selama kehamilan. Hal tersebut dilakukan karena

mereka percaya jimat tersebut mencegah gangguan dari roh-roh jahat yang dapat

mengganggu ibu hamil. Apalagi masih ada kepercayaan terhadap setan atau roh jahat

yang bisa mengganggu kepada ibu hamil terutama saat melahirkan. Kepercayaan-

kepercayaan tersebut juga sebagai salah satu faktor yang mengapa mereka masih

mempercayai dukun beranak dalam menjaga kehamilan mereka dan penolong

disamping faktor-faktor lainnya.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa masih banyak ibu hamil yang tidak

memeriksakan kehamilannya ke tenaga kesehatan secara rutin sesuai anjuran

kesehatan dengan berbagai alasan. Ketidak terjangkauan pelayanan kesehatan

menjadi alasan utama. Kondisi alam berupa perbukitan, tempat tinggal yang tidak

dilalui sarana transportasi umum, tempat tinggal yang terpencil, ketiadaan biaya

membayar tenaga kesehatan, dan lain sebagainya menyebabkan keterbatasan dalam

menjangkau pelayanan kesehatan. Keadaan tersebut semakin mendukung perilaku

memeriksakan kehamilannya ke tukang kusuk/dukun beranak sebagai tenaga yang

lebih mudah mereka jangkau.

Dari berbagai hal tersebut, maka perlu dilakukan beberapa hal dalam

menangani hal tersebut. Perlunya peningkatan pengetahuan dan pemahaman ibu

tentang pentingnya menjaga kesehatan selama kehamilan. Perlu peningkatan

pengetahuan tentang kehamilan, risiko saat kehamilan, makanan sehat, dan

perawatan kehamilan. Promosi kesehatan tersebut dapat diberikan petugas kesehatan

melalui kegiatan posyandu, penyuluhan di puskesmas, dan acara-acara

kemasyarakatan lainnya. Diharapkan dengan bertambahnya pengetahuan mereka

dapat meningkatkan keyakinan mereka untuk melakukan pemeriksaan kehamilan pada

fasilitas kesehatan seperti puskesmas atau polindes.

Page 129: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

105

Kebiasaan masyarakat dalam memanfaatkan cara-cara tradisional cukup

membantu menghilangkan keluhan yang dialami. Perawatan tradisional yang masih

dipercaya dan dilakukan, sejauh tidak memberikan dampak membahayakn kesehatan,

masih dapat terus dilakukan.

Kepercayaan yang masih berkembang

Kondisi kesehatan, khususnya dalam hal ini kesehatan ibu dan anak tidak bisa

hanya dilihat dari sisi medis saja. Kondisi kesehatan ibu dan anak tidak dapat

dilepaskan dari ruang lingkup sosio-kultural yang melingkupinya. Dalam hal ini budaya

masyarakat yang menjadi pelaku dalam kehidupan sosial pada suatu masyarakat

tertentu.

Kebudayaan,menurut Koentjaraningrat merupakan“keseluruhan sistem

gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang

dijadikan milik diri manusia dengan belajar”.Dalam definisi lain, Clifford Geertz (1992)

mengatakan bahwa kebudayaan merupakan sistem mengenai konsepsi-konsepsi yang

diwariskan dalam bentuk simbolik, yang dengan cara ini manusia dapat berkomunikasi,

melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan dan sikapnya terhadap

kehidupan.Kebudayaan merupakan sebuah sistem, dimana sistem itu terbentuk dari

perilaku, baik itu perilaku badan maupun pikiran. Dan hal ini berkaitan erat dengan

adanya gerak dari masyarakat, dimana pergerakan yang dinamis dan dalam kurun

waktu tertentu akan menghasilkan sebuah tatanan ataupun sistem tersendiri dalam

kumpulan masyarakat.

Lebih lanjut, J. J Honigmann (dalam Koenjtaraningrat, 2000) membedakan

adanya tiga ‘gejala kebudayaan’: yaitu : (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifact, dan ini

diperjelas oleh Koenjtaraningrat yang mengistilahkannya dengan tiga wujud

kebudayaan, yaitu pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu yang kompleks dari ide-

ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Kedua,

wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari

manusia dalam masyarakat. Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil

karya manusia.

Page 130: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

106

Mengenai wujud kebudayaan ini, Elly M.Setiadi dkk (2007:29-30) memberikan

penjelasannya sebagai berikut:

1). Wujud Ide

Wujud tersebut menunjukann wujud ide dari kebudayaan, sifatnya abstrak, tak dapat

diraba, dipegang ataupun difoto, dan tempatnya ada di alam pikiran warga masyarakat

dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup.

Budaya ideal mempunyai fungsi mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada

tindakan, kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat sebagai sopan santun.

Kebudayaan ideal ini bisa juga disebut adat istiadat.

2). Wujud perilaku

Wujud tersebut dinamakan sistem sosial, karena menyangkut tindakan dan kelakuan

berpola dari manusia itu sendiri. Wujud ini bisa diobservasi, difoto dan

didokumentasikan karena dalam sistem sosial ini terdapat aktivitas-aktivitas manusia

yang berinteraksi dan berhubungan serta bergaul satu dengan lainnya dalam

masyarakat. Bersifat konkret dalam wujud perilaku dan bahasa.

3). Wujud Artefak

Wujud ini disebut juga kebudayaan fisik, dimana seluruhnya merupakan hasil fisik.

Sifatnya paling konkret dan bisa diraba, dilihat dan didokumentasikan. Contohnya :

candi, bangunan, baju, kain komputer dll.

Mengenai unsur kebudayaan, dalam bukunya pengantar Ilmu Antropologi,

Koenjtaraningrat, mengambil sari dari berbagai kerangka yang disusun para sarjana

Antropologi, mengemukakan bahwa ada tujuh unsur kebudayaan yang dapat

ditemukan pada semua bangsa di dunia yang kemudian disebut unsur-unsur

kebudayaan universal, antara lain: Bahasa, Sistem Pengetahuan, Organisasi Sosial,

Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi, Sistem Mata Pencaharian, Sistem Religi, dan

Kesenian.Dalam konteks Kesehatan Ibu dan Anak di Cirinten, wujud-wujud budaya ini

muncul dalam tradisi-tradisi yang secara turun temurun telah dikenal oleh masyarakat

dan masih berkembang sampai saat ini.

Page 131: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

107

Kehamilan. Kehamilan merupakan sebuah anugerah dan berkah yang harus

disyukuri. Jika mereka hamil, mereka akan senang dan bahagia. Selama masa

kehamilan terdapat pantangan, anjuran dan praktek-praktek tradisi yang secara adat

masih dipercaya oleh masyarakat Cirinten. Ketika hamil ada sebuah kepercayaan yang

masih dijalankan oleh masyarakat. Salah satunya adalah selalu membawa gunting ke

mana-mana. Dalam kepercayaan masyarakat Cirinten hal ini dilakukan untuk

melindungi ibu dan calon bayi dari gangguan makhluk-makhluk halus yang jahat.

Gunting yang dibawa tidak harus gunting yang khusus. Melainkan gunting biasa saja

yang bisa didapatkan di mana saja. Selain membawa gunting, beberapa masyarakat

juga mendapatkan semacam jimat yang diberikan oleh dukun setempat atau yang

dikenal sebagai Paraji atau orang tuanya. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang

suami berikut:

“ada juga dikasih tali hitam dikasih doa, dikasih di perutnya istri, yang ngasih oran tua, ada juga yg dari paraji”

Masyarakat setempat juga mengenal upacara-upacara khusus untuk ibu hamil

dan calon bayi. Salah satunya adalah adalah Upacara Tujuh Bulanan atau yang disebut

dalam bahasa setempat Nujuh Bulanan/ Tingkeban. Nujuh dalam bahasa Sunda berarti

tujuh, jadi Nujuh Bulanan adalah upacara yang diadakan pada bulan ketujuh masa

kehamilan. Nama lain dari Nujuh Bulanan ialah Tingkeban berasal dari kata tingkeb

artinya tutup, maksudnya ibu yang sedang mengandung tujuh bulan tidak boleh

bercampur dengan suaminya sampai empat puluh hari setelah persalinan.

Nujuh Bulanan adalah Upacara yang dilaksanakan wanita hamil pertama kali

ketika usia kandunganya genap tujuh bulan. Untuk menentukan waktu untuk

mengadakan Upacara Adat Nujuh Bulanan biasanya diambil dari tanggal yang ada

angka tujuhnya dan merupakan tanggal terakhir yaitu tanggal duapuluh tujuh.

Pengertian lebih dalam dari Upacara Nujuh Bulanan/ Tingkeban adalah upacara adat

yang berupa selamatan yang dilaksanakan oleh ibu hamil yang baru pertama kali

mengandung yang usia kendungannya genap tujuh bulan. Upacara Nujuh Bulanan ini

dilaksanakan sebagai puji syukur kepada Tuhan atas karunia yang diberikan berupa

anak dalam kandungan dan meminta keselamatan dan harapan - harapan baik untuk

anaknya kelak.

Page 132: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

108

Pada pelaksanaan upacara ini terdapat tujuh prosesi yang harus dijalankan,

antara lain:

1. Pengajian

Prosesi pertama yang dilakukan adalah pengajian. Tahapan ini biasanya dimulai

dengan ceramah siraman rohani yang kemudian diteruskan dengan pembacaan Al-

Qur’an.

2. Siraman

Pada tahapan ini disediakan air dengan 7 macam bunga kemudian satu persatu orang

tua dari ibu hamil menyirami dengan air tesebut. Jumlah orang yang menyiram ada

tujuh orang mulai dari yang tertua hingga saudara/kerabat. Siraman ditujukan untuk

mensucikan calon ibu lahir batin agar anaknya kelak tidak ada beban moral. Bunga

tujuh rupa sebagai lambang kelak memilik budi pekerti yang baik sehingga

menyenangakan bagi orang lain.

3. Ganti kain (7 macam motif kain yang berbeda)

Disediakan air dengan 7 macam bunga kemudian satu persatu orang tua dari ibu hamil

menyirami dengan air tesebut. Jumlah orang yang menyiram ada tujuh orang mulai

dari yang tertua hingga saudara/kerabat. Siraman ditujukan untuk mensucikan calon

ibu lahir batin agar anaknya kelak tidak ada beban moral. Bunga tujuh rupa sebagai

lambang kelak memilik budi pekerti yang baik sehingga menyenangakan bagi orang

lain. Motif-motif kain tersebut adalah: Sidomukti, Sidoluhur, Truntum, Parang, Semen

Rama, Udan Riris, dan Cakar

4. Pemberian bingkisan

Setelah mendapat giliran siraman dan ganti kain, orang yang menyiram diberi

bingkisan berupa hahampangan dan bebeutian yang ditaruh dipiring yang terbuat dari

tanah liat.

Hahampangan bermakna kelak anaknya akan mudah mendapat rezeki dan semua

urusanya dimudahkan. Beubeutian mempunyai makna agar anaknya kelak memiliki

budi pekerti yang baik dan rendah hati.

5. Belah kelapa

Kelapa gading yang telah digambar Kamajaya dan Kamaratih/Arjuna dan Sumbadra

dimasukan ke dalam kain yang dipakai oleh ibu hamil. Karakter wayang yang dipilih

Page 133: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

109

melambangkan kelak anak yang akan lahir memiliki karakter baik seperti karakter

wayang yang dipilih. Bila anaknya perempuan kelak akan secantik

Sumbadra/Kamaratih dan memiliki sifat yang murah hati dan setia, dan bila anaknya

kelak laki-laki maka akan setampan Arjuna/Kamajaya, gagah berani, membela yang

benar.

6. Memecahkan jajambaran

Air sisa siraman ditambahkan uang koin dibawa oleh suami ibu hamil ke pertigaan

jalan/simpang tiga lalu dipecahkan ditengah-tengah pertigaan. Makna yang

terkandung didalamnya adalah agar anaknya kelak akan diberi kebebasan untuk

menetukan hidupnya. Uang koin pada Jajambaran bermakna agar anaknya kelak diberi

rezeki yang berkecukupan dan memiliki sifat dermawan.

7. Sambel pepeh.

Sebenarnya tahapan ini dilakukan dengan membuat rujak. Tetapi dalam adat di

wilayah kecamatan Cirinten, prosesi ini diganti dengan membuat sambel pepeh.

Sambel pepeh sendiri sebenarnya mirip dengan rujak, tetapi dibuat dengan bahan lain.

Bahan-bahannya adalah jahe, kunir, cabe puyeng, dan mangga. Semua tamu yang

menghadiri upacara nujuh bulanan akan memakan, makanan ini.

Biaya yang dikeluarkan oleh keluarga untuk menyelenggarakan upacara ini

tidak sedikit. Paling tidak sekitar Rp. 500.000,- sampai dengan Rp. 2.000.000,- bisa

mereka keluarkan untuk satu kali upacara ini. Tergantung besar/ kecilnya acara yang

diselenggarakan. Biaya ini dianggap salah satu biaya yang besar yang dikeluarkan oleh

keluarga untuk menyambut kelahiran sang bayi. Seperti yang dikatakan oleh seorang

suami berikut:

“kalau untuk 7 bulanan mengeluarkan biaya juga,biasanya habis 500 ribu untuk

persiapan setelah melahirkan”

Selain menyelenggarakan upacara-upacara tertentu dan menjalankan tradisi

sesuai adat, terdapat juga beberapa pantangan yang harus dihindari oleh Ibu ketika

dalam masa kehamilan. Ketika hamil seorang ibu tidak boleh pergi ke hutan, hal ini

dimaksudkan untuk menghindari gangguan yang mungkin akan menimpa ibu apabila

pergi ke hutan. Gangguan itu bisa berasal dari binatang-binatang buas, atau dari

makhluk-makhluk gaib yang jahat. Ibu juga tidak diperbolehkan melilitkan handuk ke

leher ketika hendak mandi atau melakukan aktivitas lain. Dipercaya apabila Ibu

Page 134: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

110

melakukan ini, maka nantinya bayi akan terlilit tali pusatnya ketika dilahirkan.

Kepercayaan-kepercayaan lain yang berkaitan dengan harapan akan lancarnya

kelahiran atau perlindungan terhadap gangguan hal-hal jahat juga masih berkembang.

Contohnya makan dengan piring besar dapat mengakibatkan bayi yang dilahirkan

bertubuh besar, atau duduk di dekat pintu yang bisa menyebabkan ibu kesulitan dalam

melahirkan dan lain sebagainya.

Menjelang persalinan, peran suami sangat penting. Mereka cukup perhatian

terhadap isteri yang hendak melahirkan. Suami biasanya yang mengantar ke bidan,

memanggil tukang kusuk atau dukun beranak, dan mengerjakan pekerjaan rumah

seperti memasak dan mencuci pakaian. Seorang ibu yang memiliki bayi (informan)

menceritakan kecemasan suami menjelang persalinan anak terakhir mereka.

Singkatnya tradisi masyarakat Cirinten terkait dengan masa kehamilan dapat

dilihat pada tabel berikut:

Tabel. 3.3.4.

Tradisi Masyarakat Cirinten Terkait Masa Kehamilan

Tradisi Masyarakat Cirinten Pada Saat Kehamilan

Ritual/tradisi/adat Pantangan

- Harus bawa gunting ke mana-mana: Dimaksudkan untuk memberi perlindungan kepada Ibu Hamil, supaya tidak dingganggu oleh roh jahat. - Tujuh bulanan: Upacara menyambut 7 bulan kehamilan. Biasanya dilakukan dengan menyelenggarakan pengajian atau shalawatan.

- Tidak boleh pergi ke hutan : menghindari gangguan binatang buas dan roh-roh jahat. - Tidak boleh Melilitkan handuk ke leher: Ada kepercayaan bahwa nanti bayinya akan terlilit tali pusat. - Memakai sarung tinggi - Makan di piring besar: Nantinya bayinya akan bertubuh besar, sehingga akan sulit untuk dilahirkan. - Duduk di pintu: Apabila dilakukan akan ada penyulit ketika melahirkan. - Tidak boleh Makan buah yang jelek - Tidak boleh Makan yang panas - Tidak boleh Buang limbah sembarangan - Tidak boleh Makan pepaya dan cabai

Sumber: Data Primer

Persalinan. Proses persalinan merupakan suatu kondisi yang perlu mendapat

perhatian khusus mengingat pada saat tersebut resiko terjadinya kondisi kritis yang

membahayakan jiwa seorang ibu sangat besar. Masyarakat sudah menyadari adanya

Page 135: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

111

resiko tersebut, terbukti banyak upaya pencegahan yang dilakukan baik berupa upaya

medis maupun non medis. Persiapan menyambut kehadiran bayi dilakukan dengan

penyiapkan segala keperluan bayi. Selain persiapan fisik, juga dilakukan persiapan

psikis yang dilakukan baik ibu maupun keluarga bahkan dukungan dari lingkungannya.

Menurut bidan setempat, secara tradisional cara melahirkan di wilayah ini

adalah dalam posisi jongkok, lutut harus menyentuh lantai, dan semua pakaian harus

dibuka. Dalam kepercayaan setempat cara ini adalah cara terbaik untuk membantu ibu

dalam melahirkan. Bayi akan lahir dengan selamat, dan ibu akan mudah sewaktu

melahirkan. Akan tetapi sayangnya, karena keterbatasan waktu pada waktu

pengumpulan data dalam penelitian ini, informasi mengenai hal ini tidak dapat kami

telusuri lebih lanjut.

Beberapa macam pantangan juga diberlakukan untuk ibu menjelang

persalinan. Pantangan-pantangan tersebut dimaksudkan untuk keselamatan bayi pada

waktu proses persalinan. Supaya bayi yang nantinya dapat lahir dengan selamat, dan

dalam kondisi yang sehat tanpa kekurangan suatu apapun. Secara ringkas berikut

tradisi masyarakat terkait masa persalinan di Cirinten:

Tabel. 3.3.5. Tradisi Masyarakat Cirinten Terkait Masa Persalinan

Tradisi Masyarakat Cirinten Pada Saat Persalinan

Ritual/tradisi/adat Anjuran Pantangan

Melahirkan dalam posisi jongkok, lutut menyentuh lantai. Semua pakaian harus dibuka

Harus banyak bergerak - Tidak boleh mengikat rambut : Dapat mengakibatkan bayi yang dilahirkan terlilit tali pusat. - Tidak boleh pakai emas - Tidak boleh tertidur

Sumber: Data Primer

Pasca-Persalinan. Secara adat, masyarakat Cirinten juga mengenal berbagai

tradisi yang diberlakukan kepada anggotanya yang baru saja mendapat berkah dari

kelahiran anak dalam keluarga tersebut. Tradisi tersebut khususnya diberlakukan

untuk ibu dan anak. Kepercayaan masyarakat pada pelaksanaan tradisi ini masih

Page 136: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

112

sangat kuat, sehingga seakan-akan apabila tradisi ini tidak dijalankan maka ada sesuatu

yang hilang dari peristiwa kelahiran ini.

Salah satu tradisi yang masih kuat dan banyak dijalankan oleh masyarakat

adalah Tradisi Nyandak. Tradisi ini dimaksudkan sebagai salah satu bentuk perawatan

ibu yang baru saja melahirkan. Nyandak dalam bahasa sunda berarti duduk bersandar.

Dalam tradisi ini, seorang ibu diharuskan untuk berada dalam posisi duduk bersandar

selama 40 hari/malam setelah melahirkan. Dengan posisi seperti ini, masyarakat

percaya bahwa seorang ibu akan lebih cepat pulih dan kembali dapat melakukan

aktivitas sehari-hari. Posisi ibu ketika menjalankan tradisi Nyandak dapat dilihat pada

gambar berikut:

Gambar. 3.3.10. Nyandak

Sumber: Data Primer

Ibu yang menjalankan tradisi Nyandak akan berada dalam posisi seperti terlihat

pada gambar di atas selama 40 hari/malam. Biasanya di depan telapak kaki ibu

diletakkan sebongkah batu atau karung pasir yang cukup berat untuk menopang posisi

Nyandak ini. Tradisi ini langsung dilakukan oleh Ibu segera setelah dia selesai bersalin,

begitu ibu tersebut merasa sedikit pulih dari kelelahannya setelah melahirkan. Ibu

akan berada dalam posisi bersandar selama mungkin dia bisa melakukannya dalam

kurun waktu 40 hari. Dalam arti, seluruh kegiatan mulai dari makan, menyusui anak,

Keterangan: Gambar posisi ibu yang sedang melaksanakan tradisi Nyandak. Di belakang ibu ditaruh bantal-bantal untuk memberi kenyamanan ibu bersandar. Tempat duduk ibu adalah sebuah tempat tidur tipis, sedangkan bantal di sampingIbu digunakan untuk menidurkan bayi.

Page 137: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

113

menidurkan anak, atau aktivitas lainnya akan dilakukan sembari Ibu tersebut Nyandak.

Biasanya ibu hanya akan beranjak dari Nyandak ketika dia harus pergi ke kamar kecil

atau mandi. Untuk menjalankannya, biasanya di sekitar ibu tersebut ada seorang paraji

atau orang tua yang mengerti mengenai tradisi ini yang akan mengarahkan si ibu untuk

Nyandak.

Menurut petugas kesehatan setempat, Tradisi Nyandak ini kadang kala dapat

membahayakan kesehatan ibu. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang petugas

kesehatan berikut:

“Dulu itu sampai pernah ada satu ibu tu sampai apa itu… vaginanya itu lengket. Iya.. Karena dalam posisi gitu terus kan? Empat puluh hari”

Selain itu, menurut petugas kesehatan setempat, permasalahan seperti cidera

tulang belakang ringan juga kadang diderita oleh Ibu yang menjalanakan tradisi

Nyandak ini. Akibat tidak langsung dari tradisi ini juga adalah adanya pembatasan bagi

seorang Ibu untuk mengakses pelayanan kesehatan pada masa nifas. Hal ini

dikarenakan ibu yang sedang Nyandak harus berada dalam posisi tersebut selama

masa nifasnya dan tidak boleh keluar rumah. Sehingga mereka tidak bisa mendapatkan

pelayanan kesehatan pada masa nifas yang seharusnya dapat mereka peroleh dari

fasilitas kesehatan di wilayah di mana mereka tinggal.

Sementara Ibu sedang menjalankan Nyandak, bayi biasanya akan ditidurkan di

samping Ibu. Dalam adat di Cirinten, masyarakat juga masih percaya pada jimat-jimat

yang dipercaya dapat memberikan perlindungan kepada bayi dari gangguan roh-roh

jahat. Seperti terlihat dari gambar di bawah ini:

Page 138: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

114

Gambar3.3.11. Gelang Kapas Gambar 3.3.12. Pisau Pelindung

Seperti terlihat pada gambar di atas, masyarakat masih mengenakan beberapa

jenis jimat yang dilekatkan pada bayi untuk memberi perlindungan dari gangguan roh-

roh jahat. Jimat-jimat tersebut biasanya diberikan oleh orang-orang tua atau paraji

setempat. Selain tradisi-tradisi yang telah dipaparkan di atas, masyarakat Cirinten juga

masih mengenal beberapa macam tradisi yang masih mereka jalankan sampai

sekarang. Seperti terlihat pada tabel berikut:

Keterangan:

Gelang ini dibuatkan oleh dukun atau orang yang dituakan oleh masyarakat setempat dan dimaksudkan untuk memberi perlindungan kepada bayi dari gangguan hal-hal yang tidak baik

Keterangan:

Salah satu kebiasaan masyarakat Cirinten adalah meletakkan pisau di samping bayi yang sedang tertidur. Fungsinya sama dengan gelang di atas, yaitu memberikan perlindungan kepada bayi dari gangguan hal-hal yang tidak baik.

Page 139: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

115

Tabel. 3.3.6.

Tradisi Masyarakat Cirinten Pasca Persalinan

Tradisi Masyarakat Cirinten Pasca Persalinan

Ritual/tradisi/adat Anjuran Pantangan

- Perehan: Menetesi mata ibu yang baru saja melahirkan dengan air merica. Hal ini dimaksudkan untuk membuat ibu tetap terjaga. Dalam pandangan masyarakat setempat seorang ibu harus tetap terjaga setelah melahirkan, apabila dia tertidur, itu akan berbahaya bagi dirinya. - 3 harian: Upacara 3 harian diselenggarakan untuk bayi baru lahir. Biasanya upacara ini dilakukan dengan mengadakan pengajian atau sholawatan. - Digebrak : Tradisi menggebrak sesuatu di dekat ibu yang baru saja melahirkan. Barang yang digebrak atau dipukul bisa apa saja asal bisa membangunkan ibu. Sama seperti perehan, tradisi ini dimaksudkan untuk menjaga ibu tetap terjaga setelah melahirkan. - Cukuran : Tradisi mencukur bayi. Biasanya dilakukan bersamaan dengan Akikah. - Doa sawan untuk bayi : Doa-doa yang dibacakan oleh Paraji pada waktu bayi lahir untuk menjauhkan bayi dari hal-hal buruk. - Nyandak selama 40 hari : Seorang Ibu yang baru saja melahirkan harus berada dalam kondisi duduk selama 40 hari.

Makan sambel pepeh

Tidak boleh makan ikan laut

Sumber: Data Primer

Pengetahuan masyarakat tentang Kesehatan Ibu pada Masa Kehamilan, Persalinan

dan Pasca Persalinan

Masa kehamilan. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan pada 67 Ibu di

Cirinten, pengetahuan Ibu mengenai KIA sebenarnya sudah cukup baik. Hasil survey

menunjukkan bahwa 85.1% ibu menyatakan penting untuk memeriksakan diri selama

4 kali pada masa kehamilan mereka. Ini menunjukkan kesadaran mereka akan

pentingnya pemeriksaan medis pada masa kehamilan mereka. Pernyataan lain yang

juga menunjukkan kesadaran ibu yang tinggi pada pemeriksaan medis selama masa

kehamilan adalah mengenai antisipasi akan faktor-faktor resiko pada kelahiran.

Sebanyak 100% ibu menyatakan bahwa sangat penting mengukur tensi pada waktu

memeriksakan kehamilan mereka. Namun, sebanyak 31.4% ibu menyatakan bahwa

konsumsi tablet tambah darah (Fe) tidak penting pada masa kehamilan. Tentu saja

dukungan dari orang-orang yang berada di sekitar ibu juga sangat penting untuk dapat

Page 140: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

116

menjalankan hal ini. Peran suami, orang tua dan keluarga sangat berpengaruh dalam

mendukung kesadaran Ibu pada pentingnya pemeriksaan selama masa kehamilan.

Persalinan. Pengetahuan Ibu pada masa persalinan cukup menarik untuk

ditelaah lebih lanjut. Kebanyakan ibu menyatakan bahwa persalinan persalinan lebih

baik dilakukan di rumah daripada di rumah sakit. Sebanyak 59.7% ibu menyatakan

demikian. Hal ini terkait dengan kondisi geografis dan ekonomi masyarakat yang

menyebabkan sulitnya ibu untuk mengakses fasilitas pelayanan kesehatan. Seperti

yang telah dijelaskan sebelumnya, kondisi geografis di Cirinten yang berbukit-bukit

semua permasalahan yang melingkupinya termasuk akses komunikasi dan transportasi

membuat masyarakat sulit untuk dapat mengakses fasilitas pelayanan kesehatan.

Sehingga, hal ini bisa menjelaskan mengapa ibu menyatakan bahwa bersalin di rumah

sama amannya dengan di fasilitas kesehatan. Selain karena kondisi geografis yang sulit,

faktor kekerabatan juga berpengaruh dalam hal ini. Ikatan yang erat dalam ruang

lingkup keluarga memberi rasa nyaman tersendiri bagi seorang ibu yang akan bersalin.

Sehingga rasa aman tersebut juga muncul apabila ketika mereka bersalin, anggota

keluarga yang lain berkumpul di dekat mereka.

Kepercayaan terhadap adat dan tradisi yang secara turun temurun telah

dikenal masyarakat juga mempengaruhi pengetahuan ibu dalam hal KIA. Hasil survey

menunjukkan bahwa sebanyak 56.2% ibu menyatakan bahwa upacara-upacara

tertentu perlu dilakukan supaya persalinan dalam berjalan dengan lancar dan selamat.

Tradisi perawatan kehamilan, persalinan, dan pasca persalinan memang masih sangat

kuat di sini. Seperti yang telah dijelaskan di atas, ada cukup banyak bentuk-bentuk

tradisi masyarakat yang dijalankan terkait masa kehamilan, persalinan, dan pasca

persalinan. Meskipun tidak semua ibu dari sampel yang disurvey melakukannya, akan

tetapi kebanyakan menyatakan bahwa tradisi-tradisi tersebut masih sangat penting

untuk dilakukan. Hal ini juga ditambah dengan keberadaan Paraji (dukun) yang masih

dipercaya oleh masyarakat. Hasil survey di Cirinten menunjukkan bahwa sebanyak

58.2% ibu menyatakan bahwa kemampuan dukun sama dengan kemampuan bidan.

Hal ini mengindikasikan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap dukun masih tinggi.

Pasca-persalinan. Tradisi-tradisi dalam bentuk upacara, ritual, atau pemakaian

jimat tertentu juga masih kuat dijalankan di Cirinten pada masa nifas. Seperti yang

telah dijelaskan di atas, ada beberapa tradisi yang masih dijalankan oleh ibu selepas

Page 141: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

117

persalinannya. Salah satunya adalah Nyandak, di mana seorang ibu memulihkan

dirinya setelah persalinan dengan cara tetap berada dalam posisi duduk bersandar

selama 40 hari. Masyarakat sampai sekarang masih percaya bahwa dengan cara itu ibu

akan lebih cepat pulih dan dapat beraktivitas seperti sedia kala. Lepas dari semua

analisa medis mengenai bahayanya praktek ini, hasil survey ini menunjukkan bahwa

pengetahuan masyarakat mengenai salah satu cara perawatan pasca persalinan

dengan menggunakan tradisi masih cukup kuat.

Hal lain yang ditemukan dari hasil survey di Cirinten adalah kesadaran

masyarakat yang cukup tinggi mengenai pembatasan jumlah anak dan pengaturan

jarak kelahiran. Hasil survey di Cirinten menunjukkan sebanyak 71.7% ibu menyatakan

perlu untuk ikut KB pada masa nifas.

Sikap masyarakat tentang Kesehatan Ibu pada masa Kehamilan, Persalinan dan

Pasca Persalinan

Pengetahuan mengenai KIA seperti yang telah dijabarkan di atas

mempengaruhi sikap masyarakat tentang kesehatan Ibu pada masa kehamilan,

persalinan, dan pasca persalinan. Tabel di bawah ini menunjukkan sikap ibu terkait KIA

dari hasil survey pada 67 orang ibu di Kecamatan Cirinten:

Tabel.3.3.7.

Pernyataan Ibu terkait Pelayanan KIA

PERNYATAAN SIKAP

Positif Negatif

Penting pemeriksaan kehamilan sebanyak 4 kali 79.1 20.9%

Penting ukur tensi 97% 3%

Perlu tablet tambah darah 98.5% 1.5%%

Perlu upacara agar selamat 68.7% 31.3%

Melahirkan di rumah dan rumah sakit/puskesmas sama amannya

70.1% 29.9%

Kemampuan dukun sama baiknya dengan bidan 92.5% 7.5%

Perlu KB pasca nifas 92.5% 7.5%

Sumber: Data Primer

Kehamilan. Sikap ibu akan perlunya pemeriksaan kehamilan minimal 4 kali

semasa hamil menunjukkan kecenderungan yang positif. Meskipun apabila

dibandingkan dengan pengetahuan, terlihat sebuah penurunan menjadi 79.1%. Hal ini

Page 142: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

118

mungkin disebabkan oleh ketidaktahuan ibu mengenai apa saja yang harus dilakukan

pada waktu pemeriksaan kehamilan secara medis. Di sinilah perlunya petugas

kesehatan untuk menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh seorang ibu ketika masa

kehamilan mereka. Sikap yang positif juga ditunjukkan pada pernyataan ibu mengenai

pentingnya mengukur tekanan darah dan perlunya mengkonsumsi tablet penambah

darah (Fe). Sebanyak 97% ibu menyatakan bahwa tekanan darah penting untuk diukur

pada waktu hamil dan sebanyak 98.5% ibu menyatakan bahwa konsumsi tablet Fe

penting untuk menjaga kehamilan mereka.

Persalinan.Dalam hal ini kembali kendala geografis, ekonomi, dan akses pada

komunikasi, transportasi dan pelayanan kesehatan dapat menjelaskan sikap ibu pada

dalam hal pemilihan tempat bersalin. Sebanyak 70.1% ibu menyatakan bahwa bersalin

di rumah sama amannya dengan bersalin di fasilitas kesehatan. Hal ini menegaskan

bahwa dalam pandangan masyarakat pertolongan persalinan tidak semata-mata

dipandang dari ketersediaan alat-alat kesehatan yang lengkap dala sebuah fasilitas

kesehatan. Akan tetapi faktor psikologis dan rasionalitas gerakan tanggap darurat—

dalam hal ini persalinan—adalah kedua faktor yang sangat diperlukan oleh masyarakat

untuk mendapat pertolongan sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin.

Penegasan mengenai pentingnya mengikutsertakan tradisi yang telah dikenal

masyarakat secara turun-temurun dalam hal persalinan juga kembali muncul dari hasil

survey di sini. Dalam hal tradisi dalam bentuk upacara-upacara tertentu pernyattan ibu

menunjukkan sikap yang positif, dalam arti menegaskan bahwa upacara diperlukan

untuk keselamatan proses persalinan. Sebanyak 68.7% ibu menyatakan demikian. Ibu

juga menyatakan bahwa dukun memiliki kemampuan yang sama dengan bidan.

Sebanyak 92.5% ibu menyatakan demikian. Hal ini menunjukkan kepercayaan ibu

kepada dukun yang masih tinggi.

Page 143: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

119

3.3.4. Faktor Sosial BudayaMasyarakat Terkait Pemilihan

Penolong Persalinan dan Pemanfaatan PelayananJampersal

Faktor sosial budaya masyarakat mempengaruhi sistem pengambilan

keputusan pertolongan KIA, pandangan tentang dukun dan bidan sebagai penolong

persalinan yang biasa dimanfaatkan masyarakat.

Sistem Pengambilan Keputusan Pertolongan KIA

Berdasarkan hasil wawancara dan survey yang dilakukan di Cirinten, ditemukan

bahwa banyak pilihan masyarakat untuk bersalin bermacam-macam. Ada yang

memilih untuk bersalin di Fasilitas Kesehatan yang telah tersedia di Cirinten, namun

kebanyakan lebih memiih untuk bersalin di rumah. Hasil survey di Kecamatan Cirinten

menunjukkan bahwa dari 67 orang responden 67.2% memilih untuk melahirkan di

rumah, 14.9 % di rumah bidan/polindes, 13.4% di Puskesmas, dan 4.5 % di Rumah

Sakit yang dapat dijangkau dari Cirinten.

Alasan masyarakat untuk lebih memilih melahirkan di rumah adalah karena

lebih dekat dengan keluarga. Hal ini memang penting sekali mengingat ikatan

kekerabatan yang sangat kuat dalam pola hidup masyarakat di Cirinten. Selain itu

kondisi geografis Cirinten yang bergunung-gunung ditambah dengan kondisi jalan yang

rusak juga menyulitkan masyarakat untuk mencapai fasilitas kesehatan. Perlu sebuah

kendaraan khusus atau mungkin keahlian khusus untuk bisa menempuh perjalanan

antar desa dengan kondisi jalan yang buruk di Kecamatan ini.

Jarak antar desa di Kecamatan dengan luas 10.391km2 ini juga tidak bisa dibilang

dekat. Tabel di bawah ini menunjukkan jarak yang harus ditempuh oleh masyarakat

untuk pergi ke desa lain:

Page 144: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

120

Tabel.3.3.8.

Jarak Antar Desa di Kecamatan Cirinten Tahun 2011 (Dalam Km)

Desa

Par

akan

lima

Kad

ud

amas

Dat

arca

e

Kar

oya

Nan

gera

ng

Cir

inte

n

Kar

angn

un

ggal

Cem

pak

a

Bad

ur

Cib

aran

i

Parakanlima 7 17 0 2 4 9 3 2 26

Kadudamas 7 10 13 25 7 22 5 9 9

Datarcae 17 10 2 15 3 12 15 19 20

Karoya 20 13 2 12 5 9 8 2 2

Nangerag 32 25 15 12 18 3 30 34 7

Cirinten 14 7 3 5 18 15 4 6 18

Karangnunggal 29 22 12 9 3 15 27 31 8

Cempaka 3 5 15 18 30 12 27 4 34

Badur 2 9 19 22 34 16 31 4 39

Cibarani 36 29 20 22 7 18 8 34 39

Sumber: Profil Kecamatan Cirinten

Kondisi itu yang menyebabkan banyaknya masyarakat yang mengambil

keputusan untuk mendapatkan pertolongan persalinan ke dukun daripada bidan.

Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang anggota masyarakat berikut:

“Ya ke dukun karena dulu tidak ada pustu, dan jaraknya jauh dengan bidan, kalau paraji biasanya satu kampong, manggil paraji dulu karena dekat dengan rumah”

“kalau disini medannya susah karena jalannya susah, jadi bidan saja yg dipanggil ke rumah, kalau ada mobil biasanya di jemput, biasanya mobil puskesmasnya tidak ada ya melahirkan dirumah saja”

Alasan seperti yang diungkapkan masyarakat tersebut memang wajar. Karena,

terutama apabila dalam kondisi genting, di mana pertolongan cepat dibutuhkan maka

pertolongan terdekat lah yang akan dipilih. Dengan kondisi geografis yang sulit untuk

ditempuh dengan kendaraan bermotor, pertolongan cepat yang bisa didapatkan

dengan apapun yang ada. Salah satu contoh dari hal ini dapat dilihat dari peta di

bawah ini.

Page 145: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

121

Gambar.3.3.13.Peta Lokasi Poskesdes dan Dukun di Desa

Sumber: Data Primer

Dari gambar tersebut terlihat sebaran jumlah dukun berbanding dengan

fasilitas pelayanan kesehatan secara medis yang tidak seimbang. Jumlah dukun lebih

banyak daripada bidan. Apabila dibayangkan juga, apabila ada seorang ibu yang

sedang dalam masa mendekati masa persalinannya dan tinggal di daerah cibarani,

maka untuk ibu itu akan lebih baik untuk meminta pertolongan dari dukun terlebih

dahulu karena lokasinya yang lebih dekat daripada jika dia harus berjalan ke

poskesdes.

Peran suami dalam hal pengambilan keputusan mencari pertolongan KIA juga

sangat penting. Beberapa informan mengatakan suami cukup perhatian jika istrinya

hamil, dan ada juga yang biasa-biasa saja. Bentuk perhatian suami mereka

diantaranya adalah mengantar ke bidan atau puskesmas, mengantar ke dukun dan

membantu pekerjaan sehari-hari. Keluarga yang lain juga memberi perhatian seperti

orang tua bahkan para keluarga dekat turut menjaga agar jangan sampai terjadi

Page 146: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

122

keguguran kandungan. Berikut ini penjelasan beberapa orang suami dari hasil FGD

dalam penelitian ini tentang pencarian pertolongan KIA yang masih dilakukan selama

istrinya hamil.

“sebagian besar keputusan ada di orang tuanya dr istri, kdng dr suami tdk bs mengambil keputusan, diserahkan ke orang tua dr istri”

“kalau pengalamannya sy sama, kadang msh bertanya sm orang tua, jd yg mengambil keputusan orang tuannya”

Selain dari suami dan orang tua, kadang Paraji (dukun) dan tokoh masyarakat

juga mempengaruhi pengambilan keputusan dalam mencari pertolongan persalinan.

Seperti dikatakan oleh salah seorang petugas kesehatan berikut:

“pengaruh dari parajinya juga, dari toma, yang di anggap tertua untuk konsultasi persalinan,…”

Memang dalam kehidupan sehari-hari di Cirinten, ikatan kekerabatan antar

anggota masyarakat masih sangat kuat. Pola-pola budaya kolektif masyarakat

pedesaan masih terlihat sangat kental di sini. Dalam pola seperti ini, tokoh sentral atau

orang yang dituakan biasanya dapat mempengaruhi keputusan-keputusan yang dibuat

oleh anggota masyarakatnya, dalam hal ini keputusan mencari pertolongan persalinan.

Seorang Paraji atau tokoh masyarakat yang ada dalam lingkup warga setempat

biasanya adalah orang-orang yang mempunyai modal sosial baik dari status ekonomi

yang tinggi, usia, ataupun kemampuan-kemampuan khusus. Karena itulah pengaruh

dari Paraji, tokoh masyarakat atau orang yang (di)tua(kan) sering dapat mempengaruhi

keputusan masyarakat untuk memilih pertolongan persalinan, apakah itu dengan

pertolongan secara medis atau non medis.

Namun satu hal yang juga menarik untuk dilihat di sini, terkait dengan pilihan

masyarakat dalam mencari pertolongan KIA adalah adanya faktor kebanggaan tertentu

jika dapat memanfaatkan cara-cara tradisional. Ada sebuah anggapan dalam

masyarakat bahwa ketika pertolongan KIA diberikan oleh seorang yang mengetahui

adat dengan baik maka itu merupakan sebuah kebanggan tersendiri. Seorang petugas

kesehatan mengungkapkan:

“kalau menurut saya, kalo misalnya ada bersalin di bidan itu susah, jadi kalau bersalin tidak tahu siapa siapaCuma dengan paraji aja itu seperti bangga itu ibu yang melahirkan, merasa hebat tidak ketahuan dengan siapa siapa”.

Page 147: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

123

Satu hal lain yang juga muncul dan menjadi pertimbangan masyarakat untuk

menentukan siapa pihak yang pantas yang bisa memberikan pertolongan KIA untuk

mereka adalah pemahaman mengenai praktek kesehatan modern. Hal ini menarik

untuk dilihat karena ternyata di masyarakat Cirinten, ada ketakutan yang muncul dari

masyarakat akan praktek kesehatan modern. Mungkin karena mereka tidak tahu apa

saja yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam prakteknya. Hal ini bisa dilihat dari

pernyataan seorang warga berikut:

“selain itu pemikiran masyarakat masih polos-polos, katanya takut di jahit, kalau di paraji itu tidak”

Tentang Dukun di Mata Masyarakat

Dalam masyarakat, kesehatan seringkali tidak dapat didefinisikan sebagai

sebuah kondisi fisik yang sehat menurut definisi pengobatan modern (baca:

kedokteran). Upaya pencarian kesehatan, termasuk dalam hal Kesehatan Ibu dan Anak

seringkali sangat terpengaruh dengan kepercayaan, tradisi, norma-norma adat, dan

kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Merujuk pada konsep sehat yang

diajukan oleh Durch, dkk., dapat dipahami bahwa seseorang yang tidak mempunyai

kemampuan untuk berpartipasi dalam segala kegiatan yang ada dalam masyarakat,

dapat dikategorikan tidak sehat alias sakit. Menurut Calhoun (1994 dalam

Notosoedirjo, 2002:4), sakit dikategorikan menjadi 3, yaitu disease berdimensi

biologis, illness berdimensi psikologis, dan sickness berdimensi sosiologis. Lebih lanjut,

Colhoun (ibid) menjelaskan bahwa disease dapat diketahui melalui diagnosis, illness

merupakan konsep psikologis yang menunjuk pada perasaan, persepsi, dan

pengalaman subyektif seseorang tentang keadaan tubuh, sedangkan sickness

merupakan penerimaan sosial terhadap seseorang sebagai orang yang sedang

mengalami kesakitan. Berdasarkan tiga dimensi sakit yang disebutkan oleh Colhoun,

dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa ada tiga faktor yang dapat menentukan

apakah seseorang sedang mengalami kesakitan atau tidak. Tiga faktor tersebut adalah

healer (penyembuh), psikologis, dan sosiologis.

Ketiga hal tersebut dalam kehidupan sosial masyarakat Cirinten berikut dengan

upaya pencarian kesehatan yang mereka lakukan saling terkait satu sama lain. Healer

Page 148: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

124

(penyembuh) dalam hal ini dapat diartikan sebagai pihak pelayan kesehatan baik yang

bersifat primer (dokter, perawat, bidan, dsb) juga yang bersifat alternatif atau

tradisional. Sedangkan faktor psikologis dan sosiologis adalah kedua faktor yang

mempengaruhi pilihan masyarakat pada pelayanan kesehatan yang digunakan.

Di Kecamatan Cirinten terdapat beberapa jenis pengobat tradisional yang

sering dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk mendapatkan kesembuhan

mulai dari kesakitan yang sifatnya ringan seperti pegal-pegal, sampai dengan yang

sifatnya berat seperti patah tulang, bahkan pertolongan melahirkan. Jenis pengobat

tradisional di Cirinten dapat digolongkan seperti terlihat pada diagram berikut:

Gambar.3.3.14.Pengobat Tradisional di Kecamatan Cirinten Sumber: Profil Pengobatan Tradisional, Puskesmas Cirinten 2010

Selain itu, dalam hal Kesehatan Ibu dan Anak, masyarakat Cirinten masih

percaya pada pertolongan dukun yang dalam bahasa setempat dikenal dengan

sebutan Paraji. Kepercayaan ini dilandasi oleh tradisi yang kuat yang telah diwariskan

secara turun temurun. Secara tradisi, masyarakat telah memanfaatkan Paraji sejak

lama.

Menurut data dari Puskesmas Cirinten, saat ini terdapat 61 orang Paraji yang

tersebar di 10 desa di Kecamatan Cirinten. Satu hal menarik yang dapat dilihat di sini

adalah dari ke-61 orang Paraji tersebut jumlah terbanyak justru di daerah Ibu Kota

Kecamatan Cirinten. Di mana akses pada fasilitas umum termasuk fasilitas kesehatan

dapat dinikmati secara mudah oleh masyarakat Cirinten. Peta di bawah ini

menunjukkan persebaran Paraji berikut jumlahnya di setiap desa di Cirinten:

15

13

46

8

12

1

0 10 20 30 40 50

Pijat Urut

Patah tulang

Dukun Bayi/ Paraji

Dukun Sunat

Paranormal

Gurah

Page 149: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

125

Gambar3.3.15.Sebaran Paraji di Kecamatan Cirinten

Sumber: Data Primer

Paraji atau dukun bersalin ini memiliki posisi yang sangat penting dalam masyarakat

Cirinten. Mereka adalah orang-orang yang dihormati dalam kehidupan sehari-hari di

masyarakat. Biasanya paraji adalah seorang yang sudah cukup berumur. Mereka

biasanya berumur antara 35 tahun ke atas. Bahkan menurut cerita warga Cirinten, ada

seorang Paraji yang saat ini sudah berumur lebih dari 100 tahun. Dalam kepercayaan

setempat seseorang dapat menjadi Paraji karena keturunan atau mendapat suatu

pengalaman spiritual tertentu. Akan tetapi jika dilihat di Cirinten, saat ini hampir

seluruh Paraji yang terdapat di Cirinten adalah keturunan dari Paraji-paraji terdahulu.

Biasanya mereka adalah keturunan langsung dari Paraji terdahulu.

Berbeda dengan bidan, paraji memanfaatkan cara-cara tradisional untuk

memberikan pertolongannya kepada ibu. Cara-cara yang digunakan Paraji untuk

memberikan pertolongan lebih memanfaatkan alam dan kemampuan spiritual yang

Page 150: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

126

mereka miliki. Dalam prakteknya, Paraji memberikan pertolongan kepada ibu dalam

bentuk pijat, jampe-jampe, jamu, dan pemberian jimat-jimat tertentu.

“makan kunir, sambel pupuh (kunyit jahe nasi ditumbuk), ikan asin, nasi tumpeng lauknya ayam, pete bakar, pantangannya pisang ambon, jeruk, buah-buahan gak boleh, jamunya daun kembung, di rebus trus diminumkan itu hari pertama harus

ada semuanya, hari ke tiga juga harus ada semuanya”

Dari hasil survey yang dilakukan di Cirinten, berikut bentuk-bentuk pelayanan

dukun yang dimanfaatkan oleh masyarakat:

Tabel.3.3.9.

Jenis Pelayanan Dukun yang Diterima Masyarakat

No Jenis Pelayanan Ya Tidak

1 Pijat Ibu 97% 3%

2 Jamu 49.3% 50.7%

3 Upacara adat tertentu (jampe-jampe)

58.2% 41.2%

4 Perawatan Bayi 91% 9%

5 Pijat Bayi 22.4% 77.6%

Sumber: Data Primer

Untuk memanfaatkan jasa dukun, masyarakat harus mengeluarkan sedikit

biaya. Berdasarkan pengakuan masyarakat, biaya yang mereka keluarkan berkisar

antara Rp. 150.000,- sampai Rp. 250.000,- untuk pertolongan persalinan. Namun biaya

tersebut tidak menjadi patokan. Sifat hubungan transaksional antara masyarkat dalam

memanfaatkan jasa dukun di sini lebih pada hubungan kekeluargaan dan sukarela.

Dukun tidak akan meminta bayaran secara langsung kepada masyarakat yang

memanfaatkan jasanya. Akan tetapi masyarakat juga tidak serta merta menggunakan

jasa mereka secara gratis. Pasti ada imbalan yang diberikan kepada dukun untuk jasa

yang mereka berikan. Seringkali, imbalan itu tidak dibayarkan dalam bentuk uang,

akan tetapi dalam bentuk barang, hewan ternak, bahan makanan, atau pakaian

dengan nilai yang kira-kira sama dengan nominal tersebut.

Page 151: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

127

Tentang Bidan di Mata Masyarakat

Bidan adalah ujung tombak pertolongan KIA di Cirinten. Peran bidan sangatlah

penting dalam keselamatan ibu dan anak karena mereka lah yang mengetahui

bagaimana cara-cara yang tepat untuk menyampaikan pertolongan KIA secara medis

kepada masyarakat. Dari segi ketenagaan, saat ini Puskesmas Cirinten telah memiliki

tenaga bidan sebanyak 10 orang. Dari 10 orang bidan tersebut, 2 orang bidan

ditempatkan di puskesmas, 2 orang bidan ditempatkan di pustu, dan 6 lainnya

ditempatkan di desa-desa yang tersebar di seluruh Kecamatan Cirinten. Secara status

kepegawaian, 4 orang bidan di Cirinten telah menyandang status sebagai PNS,

sedangkan 6 orang bidan lainnya adalah bidan PTT dan praktek.

Dari segi jumlah, ketersediaan bidan di Cirinten tidak cukup untuk dapat

melayani 10 desa di Cirinten. Sampai saat ini hanya 6 desa yang sudah memiliki bidan,

sedangkan 4 desa lainnya tidak. Warga di 4 desa yang tidak memiliki bidan harus rela

untuk menempuh perjalanan yang jauh untuk mendapatkan pertolongan dari bidan,

baik dari bidan di desa terdekat atau bidan dari Pustu atau Puskesmas. Sedangkan

seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, kondisi geografis Cirinten tidaklah mudah

untuk ditempuh oleh warga.

Keenam bidan yang ditempatkan di desa-desa tinggal dalamrumah-rumah yang

menyatu dengan pemukiman penduduk. Dalam kesehariannya mereka berbaur dan

berinteraksi dengan warga setempat. Mereka berpartisipasi dalam aktivitas sehari-hari

masyarakat dan kelompok-kelompok sosial masyarakat. Singkatnya, mereka menyatu

dengan masyarakat. Hal ini adalah modal yang penting di mana kepercayaan

masyarakat akan terbangun lebih baik apabila mereka mengenal siapa pelaku

penolongnya.

Kebanyakan bidan di Cirinten masih berusia sangat muda, sekitar 20 tahunan.

Selain itu, beberapa dari mereka juga masih berstatu single atau belum menikah. Ini

merupakan sebuah tantangan tersendiri untuk bidan. Pertanyaan yang sering muncul

kemudian adalah: apakah mereka sudah cukup berpengalaman dalam menolong

menolong ibu yang bersalin? Kalau mereka sendiri belum pernah melahirkan,

bagaimana mereka bisa menolong orang melahirkan? Itulah tantangan berat yang

harus dihadapi bidan-bidan belia ini dalam mengupayakan pertolongan kepada

Page 152: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

128

masyarakat. Mereka harus menggaet kepercayaan masyarakat dengan usia mereka

yang sangat muda dan status mereka yang masih single. Di sisi lain mereka juga harus

berkompetisi dengan dukun-dukun yang ada di wilayah kerja mereka, yang notabene

berusia lebih tua dan berpengalaman lebih banyak daripada mereka. Pandangan

tersebut muncul berdasarkan pada pengalaman sehari-hari masyarakat.

Namun, tidak semua masyarakat menganggap bahwa muda pasti tidak

berpengalaman. Seperti yang dikatakan oleh salah seorang suami berikut:

“tidak ada (kekhawatiran), Cuma percaya saja yang penting istri dan anak selamat, tidak berfikiran yg aneh-aneh”

Secara garis besar, pandangan masyarakat terhadap bidan (apabila

dibandingkan dengan dukun) dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel. 3.3.10.

Persepsi Masyarakat terhadap Bidan dan Dukun

Bidan Paraji

Muda/ kurang berpengalaman Tua/ lebih berpengalaman

Pelayanan medis Full Service

Pelayanan sesuai jam kerja, menerima panggilan

Pelayanan 24 Jam, menerima panggilan

Mahal Tidak terlalu mahal

Lokasi jauh rumah penduduk Lokasi dekat dengan rumah penduduk

Ada jaminan keselamatan Tidak ada jaminan keselamatan

Sumber: Data Primer

Hubungan Antara Dukun dan Bidan

Kemitraan antara dukun dan bidan telah terjalin sejak lama. Menurut data

Puskesmas Cirinten, Seluruh dukun yang berjumlah 61 tersebut saat ini telah

mendapat pelatihan, dan mereka telah dilengkapi dengan dukun kit. Dan memang

program puskesmas mengarahkan bidan untuk membina dukun-dukun tersebut.

Pelatihan tersebut dimaksudkan untuk memberi pengetahuan kepada dukun

mengenai pertolongan persalinan yang aman.

Page 153: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

129

Selain mendapatkan pelatihan secara khusus mengenai KIA, para dukun di

Cirinten juga secara khusus dirangkul oleh Puskesmas untuk dapat bekerja sama

dengan bidan. Hal ini dimaksudkan untuk dapat melaksanakan program KIA secara

lebih responsif kepada masyarakat. Rasio jumlah dukun di Cirinten adalah 6:1,

ditambah dengan kondisi geografis yang sulit, sehingga memanfaatkan dukun untuk

dapat meningkatkan cakupan pelayanan KIA. Selain itu seperti yang telah diterangkan

di atas, dukun mempunyai posisi yang strategis dalam kehidupan masyarakat. Mereka

lah yang secara bertahun-tahun telah mendapatkan kepercayaan masyarakat sebelum

bidan-bidan datang di cirinten.

Akan tetapi tidak semua dukun dapat dirangkul oleh bidan. Pertama karena

jumlahnya yang terlalu banyak, dan kedua karena tidak semua dukun mau untuk

bekerja sama dengan bidan. Alasan kedua ini ditengarai lebih karena motif ekonomi.

Terdapat sebuah anggapan bahwa apabila dukun bekerja sama dengan bidan, maka

pendapatan mereka lebih sedikit daripada apabila mereka menolong sendiri.

Bentuk kerja sama antara dukun dengan bidan ini sampai saat ini masih bersifat

kekeluargaan saja. Belum ada sebuah kesepakatan bersama, atau MoU yang

diberlakukan untuk mendukung kerja sama antara dukun dengan bidan. Dalam

prakteknya bidan dapat merangkul dukun untuk dapat bekerja sama dengan

melakukan pendekatan secara personal. Mereka membuat pendekatan secara intens

dan berusaha membuat hubungan baik dengan para dukun. Dari hubungan baik yang

terjalin inilah kerja sama antara bidan dan dukun dapat berjalan. Namun, meskipun

kerja sama yang dilakukan oleh bidan dan dukun di sini bersifat kekelargaan, hal ini

tidak serta merta berarti tidak ada hubungan transaksional diantara keduanya. Pada

setiap pertolongan yang dijembatani oleh dukun, bidan memberikan semacam balas

jasa kepada dukun. Balas jasa ini diberikan dalam bentuk imbalan berupa uang.

Menurut bidan, uang yang diberikan kepada dukun untuk setiap bantuan yang mereka

berikan tidak memiliki standar jumlah, dalam arti sukarela. Berapapun yang diberikan

oleh bidan, dukun akan menerimanya. Akan tetapi jika dihitung secara rata-rata, nilai

yang secara umum diberikan oleh bidan kepada dukun kurang lebih Rp. 50.000,-.

Dalam hal pemberian pertolongan KIA—terutama pada saat persalinan—yang

diselenggarakan secara bersama antara dukun dengan bidan terdapat pembagian

Page 154: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

130

peran yang jelas. Bidan berperan dalam memberikan pertolongan secara medis kepada

Ibu, sedangkan dukun berperan dalam fungsi pengawasan, penjagaan, dan perawatan

ibu pasca persalinan. Dalam fungsi pengawasannya, dukun berperan dalam mengawasi

ibu semenjak masa kehamilan sampai saat-saat menjelang persalinan. Dalam hal ini,

biasanya dukun adalah orang yang menghubungi bidan ketika ada seorang ibu dalam

lingkungannya yang hendak melahirkan. Mereka biasanya hadir di lokasi di mana ibu

akan melahirkan lebih dulu daripada bidan.

Selain mengawasi dan menghubungi bidan, mereka juga akan menjaga ibu

dalam masa persalinan tersebut. Seperti yang dikatakan oleh suami ibu yang

melahirkan berikut:

“…. kalau untuk paraji hanya membantu bidan, sementara saja, tapi yang pasti memanggil bidan, parajinya yang nyuruh manggil bidan, karena sekarang paraji dan bidan kerjasama, untuk masalah obatnya juga bidan yg mengerti…”

Setelah bidan hadir dan pertolongan persalinan telah selesai dilakukan, biasanya

dukun akan tinggal untuk merawat ibu. Pada fase ini dukun biasanya meberi pelayanan

untuk ibu dan bayi baru lahir. Seperti yang dikatakan oleh seorang bidan berikut:

“…ikut membersihkan bayi, membersihkan ibunya, setelah melahirkan, biasanya ikut bantu masak, bikin jamu,biasanya ikut mendampingi saja”

Pada fase ini, dukun juga menjalankan fungsinya sebagai aktor yang menjalankan

adat dan tradisi yang masih dipercaya oleh masyarakat setempat dalam bidang KIA. Di

sini pelaksanaan prosesi-prosesi adat seperti yang teah dijelaskan di atas dijalankan

oleh ibu dengan bantuan seorang dukun. Jika dilihat memang pola kerja sama antara

dukun dan bidan dalam hal ini—lepas dari hubungan transaksional—merupakan

sebuah sinergi antara praktek pertolongan modern (baca: medis) dengan praktek

pertolongan tradisional dengan memanfaatkan adat dan tradisi yang telah dikenal oleh

masyarakat. Pembagian peran dan fungsi diantara keduanya dapat dilihat secara jelas.

Namun, bentuk kerja sama seperti yang telah dijelaskan tersebut tidak selalu

berjalan mulus. Secara ideal memang praktek pertolongan bersama ini dijalankan

seperti yang telah dijelaskan di atas. Akan tetapi kadang kala miskomunikasi dan

miskoordinasi diantara keduanya juga terjadi. Seperti yang diterangkan oleh bidan

dalam FGD berikut ini:

Page 155: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

131

“ biasanya kepercayaan, ada yg suruh ngasih minyak ke ibunya. kita kasih tahu sudah gak usah pakai minyak sayur. kadang ada jg yg pakai menyan dibakar, asapnya, itu sebelum bersalin”

“ biasanya walaupun yg bermitra, kadang ada yg sembunyi2, susah di bilangin”

3.3.5. Peran Tenaga Kesehatan Dalam Pelaksanaan Program Jampersal

Sosialiasi Jampersal

Jaminan Persalinan (Jampersal) adalah jaminan pembiayaan yang digunakan

untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan kehamilan,

pertolongan persalinan, pelayanan kesehatan nifas termasuk KB pascapersalinan dan

pelayanan bayi baru lahir. Sejak diluncurkan pada tahun 2011, Jampersal telah

dilaksanakan di seluruh kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Manfaatnya pun sudah

dapat dirasakan oleh masyarakat. Begitu pula di Kecamatan Cirinten—atau pada

umumnya di Kabupaten Lebak. Jampersal telah dirasakan manfaatnya sejak program

ini dilaunching pada tahun 2011. Setiap Ibu hamil yang hendak melahirkan atau

memeriksakan kehamilannya dapat memperoleh pelayanan secara gratis di

Puskesmas-puskesmas terdekat mereka.

Keberadaan Program Jampersal ini diakui meningkatkan cakupan pelayanan

KIA. Kecamatan Cirinten sendiri merupakan wilayah dengan cakupan Linakes yang

paling rendah dari seluruh Kecamatan di Kabupaten Lebak. Data dari Dinas Kesehatan

Kabupaten Lebak menunjukkan bahwa pada tahun 2010 cakupan Linakes di wilayah

Cirinten adalah 50.4%. Ini berarti bahwa hampir separuh jumlah ibu yang melahirkan

di wilayah ini ditangani oleh tenaga lain selain tenaga kesehatan. Data dari Puskesmas

Cirinten sendiri menunjukkan bahwa jumlah dukun di wilayah ini cukup banyak.

Keberadaan mereka lah yang menjadi kompetitor pelayanan KIA dari tenaga

kesehatan.

Hal lain diungkapkan oleh Kepala Puskesmas Cirinten. Dia mengatakan bahwa

semenjak adanya Jampersal, cakupan Linakes di wilayah kerjanya meningkat tajam.

“Kalau sebelum jampersal itu kita masih di bawah 50%, tepatnya sekitar 35%. Setelah ada jampersal, yang tahun kemarin aja sekitar 60. Banyak peningkatannya. Tapi nggak signifikan, tapi ada lah perubahan. Sedangkan

Page 156: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

132

sekarang target kabupaten aja linakes aja sekitar 75…. Tapi secara garis besarnya sebelum ada jampersal dan sesudah adanya ada perubahan bu”.

Meskipun masih belum dapat mencapai standar yang ditetapkan oleh

Kabupaten, Kepala Puskesmas Cirinten menyatakan bahwa Jampersal telah membawa

perubahan yang cukup baik.

Gambar. 3.3.16.Persalinan Gratis!

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Berbicara mengenai pengetahuan masyarakat mengenai Jampersal. Meskipun

program ini telah diperkenalkan secara meluas oleh pemerintah sejak tahun 2011,

Masyarakat Cirinten tidak mengetahui mengenai program Jampersal, yang mereka

ketahui hanyalah program persalinan gratis di puskesmas Cirinten. Hal ini disebabkan

juga karena masyarakat telah mengenai pelayanan gratis sebelum diluncurkannya

program Jampersal. Program jaminan-jaminan lain seperti Jamkesmas, atau kebijakan

daerah dalam Jamkesda telah memberikan pelayanan secara gratis untuk KIA kepada

masyarakat Cirinten. Sehingga dalam pikiran masyarakat, entah apapun programnya

yang penting gratis. Hal ini juga dapat dilihat dari pernyataan pihak Dinkes Kab. Lebak:

“Jamkesmas sdh pasti jampersal, tetapi kalau bukan jamkesmas jampersalnya juga naik. Kmd masy yang punya jamkesmas memanfaatkan jampersal yaitu orang yang nggak punya jaminan. Karena mutlak sesuai dengan pengumuman menkes pada waktu itu, semua akan dijamin persalinannya. Tidak harus orang/ penduduk kita. Bukan penduduk kab kita pun, masukk kab kita , diterima. Sebelah misalnya ada yang pindah ke bekasi, ttp pada saat melahirkan pindh ke orang tuanya disini, ya nggak apa-apa”.

Page 157: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

133

Program Jampersal sendiri sepertinya kurang disosialisasikan berdasarkan

namanya. Seperti terlihat pada gambar di atas, salah satu bentuk sosialisasi Jampersal

di wilayah Cirinten adalah dengan memasang spanduk besar bertuliskan pelayanan

persalinan gratis. Akan tetapi dalam spanduk tersebut tidak dituliskan pendanaan apa

yang digunakan untuk menggratiskan pelayanan tersebut.

Sosialiasi mengenai Jampersal sebenarnya telah dilakukan sejak program ini

diluncurkan. Pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak telah mensosialiasikan program

ini kepada seluruh Puskesmas di wilayah Lebak. Kepala Dinas Kesehatan menyatakan

bahwa Mereka juga telah membuat beberapa buah instruksi seperti pemasangan

spanduk persalinan gratis, sosialisasi melalui posyandu, dan pemasangan spanduk di

beberapa BPS yang dapat melayani persalinan dengan menggunakan Jampersal.

Pelaksanaan Pelayanan KIA dengan ProgramJampersal

Dari sisi pelaksanaan program pendanaan Jampersal, pihak Puskesmas Cirinten

mengaku sangat senang dengan keberadaan program ini. Program ini dapat

membantu masyarakat dengan segala kesulitannya. Seperti yang diungkapkan oleh

Kepala Puskesmas Cirinten berikut:

“Kalau jampersal sebenarnya bagus untuk masyarakat. Cuma untuk puskesmas yang menjadi kendala adalah jarak tempuh. Jarak tempuh ke fasilitas kesehatan. Jadi masyarakat, udah lah daripada jauh-jauh mending ke dukun”.

Namun keluhan mengenai pelaksanaan program ini muncul lebih pada

penyampaian pelayanan KIA. Seperti yang telah dijelaskan di atas, berbagai kendala

seperti kondisi geografis, kepercayaan masyarakat terhadap adat termasuk dukun,

kondisi ekonomi masyarakat, dan ketersediaan tenaga kesehatan masih melingkupi

pelaksanaan pelayanan KIA di wilayah ini. Sebagai puskesmas yang masih cukup baru,

sebenarnya Puskesmas Cirinten memiliki pengelolaan dan fasilitas yang cukup baik.

Namun keberadaan puskesmas ini dalam melaksanakan pelayanannya tidak terlepas

dari permasalahan yang melingkupinya.

Page 158: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

134

Pengelolaan Pelayanan KIA Menggunakan Jampersal

Dalam hal pengelolaan Jampersal, pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak

menunjuk bagian KIA dan KB sebagai verivikator laporan Jampersal dari Puskesmas.

Sedangkan pengelolaan dana berada di bawah tanggung jawab bendahara Dinas

Kesehatan. Secara prosedural pengelolaan Jampersal di Kabupaten Lebak telah

mengikuti arahan sesuai yang tercantum dalam Juknis Jampersal.

Pada tingkat Puskesmas, dana Jampersal yang mengalir di Cirinten dikelola oleh

Puskesmas secara langsung dengan pemegang tanggung jawab adalah Bidan

Koordinator. Pihak Puskesmas tidak memiliki keluhan apapun dalam hal pengelolaan

dana. Seperti yang diungkapkan oleh Kepala Puskesmas berikut:

“Kalau prosedurnya saya kira bagus sih bu. Prosedur untuk klaim-klaiman tidak ada masalah”

Permasalahan dalam hal pengelolaan ini kembali muncul karena kurangnya

tenaga di Puskesmas ini. Kurangnya tenaga kesehatan di Puskesmas ini memang

menjadi sebuah hambatan baik dalam pelayanan secara langsung kepada masyarakat

ataupun dalam hal manajerial puskesmas. Dalam hal ini bidan koordinator sebagai

bendahara Jampersal tingkat Puskesmas harus menanggung 3 macam beban tanggung

jawab yang berbeda.

“Tentu ada bu, seharusnya ada pengelola khusus. Kalau di kita ini masih ada tugas rangkap. Jadi ada satu orang petugas yang mengelola 3 program. Seperti bidan-bidan kan seharusnya khusus. Sedangkan di kita satu bidan itu sebagai bendahara, koordinator bidan, dan pengelola jampersal. Seharusnya kan ada tugas khusus.. Ibu Ida, ya bendahara Jampersal, ya penanggung jawab pustu, ya koordinator bidan”

Di tingkat Puskesmas Cirinten, hampir tidak ada kebijakan secara khusus yang

diberlakukan terkait penggunaan dana Jampersal. Dari setiap tindakan persalinan yang

dilakukan, seorang bidan hanya perlu menyisihkan dana sebesar Rp. 100.000,- untuk

manajemen Puskesmas. Selebihnya dana tersebut menjadi hak bidan sebagai imbalan

dari jasa pertolongannya. Pengeluaran lain dari dana tersebut lebih bersifat sukarela

(bidan biasanya memberikan Rp. 50.000,- kepada dukun).

Page 159: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

135

3.3.6. Hambatan Dan Dukungan Dalam Pelaksanaan Jampersal

Hambatan

Kondisi Geografis yang sulit. Kondisi geografis merupakan kendala utama bagi

masyarakat untuk mendapatkan pelayanan KIA dengan menggunakan Jampersal. Pada

beberapa bagian dari Kecamatan Cirinten akses jalan dan transportasi memang sudah

lancar. Jalan protokol Kecamatan memang sudah teraspal dan terawat dengan baik.

Akan tetapi kemudahan itu tidak merata. Sebagian besar wilayah Cirinten masih sedikit

sekali tersentuh pembangunan. Jalan-jalan di desa-desa yang tidak dilewati jalan

protokol masih berbatu-batu yang sebenarnya hanya layak dijadikan jalan setapak.

Sehingga penduduk yang tinggal di sana mengalami kesulitan untuk mengakses

transportasi yang lancar. Hal ini mengakibatkan akses ke pelayanan kesehatan juga

menjadi sulit. Masyarakat mengalami kesulitan untuk mendatangi pusat-pusat

pelayanan kesehatan ataupun lokasi di mana bidan tinggal, sebaliknya petugas

kesehatan juga mengalami kesulitan untuk mendatangi masyarakat di tempat tinggal

mereka. Oleh karena itu, pelayanan KIA dengan menggunakan Jampersal sulit untuk

dilaksanakan di fasilitas kesehatan.

Sarana Penerangan dan Komunikasi yang kurang lancar. Kondisi geografis yang

sulit tersebut diperparah dengan adanya kendala pada sarana listrik dan jaringan

komunikasi yang kurang lancar. Di Cirinten, hanya daerah yang dekat dengan Ibu Kota

Kecamatan yang dapat menikmati sarana listrik dan komunikasi secara lancar. Masih

terdapat beberapa daerah yang belum bisa menikmati kedua sarana ini dengan lancar.

Seperti wilayah desa Parakanlima atau Badur. Pada kedua desa tersebut sarana listrik

belum secara merata dapat dinikmati masyarakat. Masyarakat di sana juga tidak dapat

menggunakan telepon mereka—baik seluler maupun jaringan kabel—karena belum

ada jaringan yang masuk ke wilayah tersebut.

Registrasi Kependudukan. Salah satu penghambat lain yang muncul untuk

Pelayanan KIA dengan menggunakan jampersal adalah registrasi kependudukan.

Dalam hal ini kepemilikan atau pembaruan Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda

Penduduk (KTP.) Banyak penduduk Cirinten yang masih belum memiliki KK atau KTP.

Padahak kepemilikan KK atau KTP sangat diperlukan sebagai syarat untuk

mendapatkan Pelayanan KIA dengan memanfaatkan Jampersal.

Page 160: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

136

Kepercayaan pada adat yang masih kuat. Dalam pandangan masyarakat,

pemberlakuan adat pada saat kehamilan, persalinan, dan pasca persalinan sangat

penting untuk dilakukan. Masyarakat masih memiliki kepercayaan yang sangat kuat

pada bentuk-bentuk tradisi yang telah diajarkan secara turun-temurun oleh orang-

orang tua mereka. Beberapa tradisi itu memang tidak memiliki pengaruh yang besar

pada sampainya pelayananan KIA secara medis, khususnya dengan menggunakan

Jampersal. Akan tetapi terdapat beberapa tradisi juga yang dapat menghambat

pelayanan KIA secara medis. Salah satunya adalah tradisi Nyandak. Seperti yang telah

dijelaskan di atas, pada tradisi Nyandak ini, seorang ibu harus tinggal di dalam rumah

dalam posisi bersandar selama 40 hari. Hal ini dapat menyebabkan terhambatnya

pelayanan KIA pada waktu masa nifas untuk ibu. Selain itu, tradisi Nyandak ini dalam

pandangan medis juga dianggap berbahaya bagi kesehatan ibu.

Kepercayaan terhadap dukun (Paraji). Masyarakat Cirinten memiliki pandangan

bahwa pada masa kehamilan atau persalinan, dukun adalah penolong yang diharapkan

selalu ada untuk mereka. Meskipun sebagian besar masyarakat sudah memiliki

pemahaman bahwa persalinan yang aman adalah persalinan yang ditolong oleh bidan,

tetapi kehadiran dukun pada waktu persalinan tetap diharapkan. Dukun adalah orang

pertama yang akan dihubungi oleh keluarga ketika seorang ibu akan melahirkan.

Sebelum bidan. Sehingga sering sekali terjadi kasus ketika bidan datang untuk

menolong ibu, anak sudah lahir dengan bantuan dukun. Selain karena jumlahnya lebih

banyak daripada bidan, dari segi usia dan pengalaman memang dukun di Cirinten

dianggap lebih mumpuni daripada bidan-bidan yang masih sangat muda. Selain itu,

mereka memiliki posisi sosial yang penting juga dalam masyarakat. Sehingga keyakinan

masyarakat pada pertolongan dukun masih sangat kuat.

Selain itu, kondisi geografis dengan segala kesulitan yang muncul bersamanya juga

menjadi sebuah faktor yang menyebabkan banyaknya masyarakat yang masih memilih

menggunakan jasa dukun daripada bidan. Untuk mereka dukun lebih bisa diharapkan

untuk datang setiap waktu karena dekat dengan tempat tinggal mereka dan bisa

dipanggil kapanpun mereka mau, entah siang atau malam.

Page 161: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

137

Dukungan

Kepercayaan yang tinggi pada tokoh masyarakat. Tokoh masyarakat memiliki

peran yang sentral dalam kehidupan sehari-hari di Cirinten. Mereka adalah pemimpin-

pemimpin yang terpilih melalui proses demokratis atau mendapat status sosial

tersendiri karena modal sosial yang mereka miliki. Dalam hal ini, perkataan dari tokoh

masyarakat menjadi penting untuk diperhatikan. Termasuk dalam pelaksanaan

pelayanan KIA dengan menggunakan Jampersal. Dengan posisi mereka yang bagus

dalam masyarakat, mereka bisa lebih mengarahkan masyarakat untuk lebih

memanfaatkan pelayanan KIA dari tenaga-tenaga kesehatan di Cirinten.

Hubungan kekerabatan yang erat antar masyarakat.Dalam ruang lingkup

kehidupan pedesaan seperti di wilayah Cirinten, hubungan kekerabatan antar sesama

anggota masyarakatnya sangat kuat. Bentuk resiprositas sosial dan dasar hubungan-

hubungan yang membentuk harmoni dalam masyarakat sangatlah penting. Bentuk-

bentuk ini muncul dalam gotong royong dan sikap saling membantu dalam kehidupan

sehari-hari masyarakat Cirinten. Hal ini bisa menjadi suatu hal yang positif dalam

pelaksanaan pelayanan KIA dengan menggunakan Jampersal. Ketika kendala geografis,

komunikasi, dan akses transportasi yang terbatas muncul sebagai sebuah hambatan,

asas hubungan kekerabatan dalam kehidupan masyarakat Cirinten dapat menjadi

sebuah jawaban akan hal tersebut.

Hubungan baik antara Paraji-Bidan. Meskipun Paraji (dukun) kadang dianggap

sebagai penghambat sampainya pelayanan medis KIA kepada masyarakat, namun hal

lain terjadi di Cirinten. Terdapat sebuah sisi lain dari hubungan yang terjalin antara

dukun dan bidan. Di Cirinten, beberapa Paraji sudah bekerja sama dengan bidan. Kerja

sama mereka bisa dikatakan terjalin dengan baik. Dalam hal ini, Paraji sering menjadi

ujung tombak pertolongan kepada ibu terutama pada saat persalinan. Mereka adalah

orang-orang yang sering menghubungi bidan ketika hendak menolong persalinan.

Bentuk kerja sama antara bidan dan paraji ini sampai saat ini masih bersifat

kekeluargaan dan didasarkan atas hubungan dekat antara keduanya. Kerja sama ini

akan menjadi lebih baik apabila bisa lebih dilanggengkan dalam bentuk nota

kesepakatan bersama (MoU).

Page 162: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

138

3.4 Puskesmas Citangkil, Kota Cilegon

Kota Cilegon merupakan salah satu kota di Propinsi Banten yang berada di

ujung barat laut pulau jawa, dan terletak di tepi Selat Sunda. Kota ini dulunya

merupakan bagian dari wilayah kabupaten Serang dan sejak tanggal 27 april 1999

ditetapkan sebagai kotamadya dan selanjutnya menjadi kota sejak tahun 2001. Kota

Cilegon termasuk salah satu kota dengan cakupan penggunaan jaminan persalinan

rendah.

Data yang tersedia di Dinas Kesehatan kota Cilegon , sebagian besar cakupan

persalinan dilakukan oleh tenaga kesehatan. Dengan melakukan konsultasi dengan

kepala Dinas Kesehatan kota Cilegon didukung data dan pengalaman pelaksana

program Kesehatan Ibu dan Anak serta penanggungjawab maka ditetapkan kecamatan

Citangkil sebagai lokasi penelitian.

3.4.1 Gambaran Umum Kota Cilegon

Kota Cilegon dikenal sebagai kota industrI di kawasan Banten bagian barat dan

merupakan pintu gerbang utama yang menghubungkan Pulau Jawa dengan Pulau

Sumatera. Dengan Luas Wilayah 175,50 Km², Kota Cilegon terbagi dalam 8 Kecamatan

dan 43 Kelurahan.

Secara geografis, Kota Cilegon terletak pada koordinat 5º52’24” - 6º04’07”

Lintang Selatan dan 105º54’05” - 106º05’11” Bujur Timur yang dibatasi oleh :

Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Pulo Ampel dan Kecamatan Bojonegara Kabupaten Serang.

Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Mancak dan Kecamatan Anyar Kabupaten Serang

Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Sunda

Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Kramatwatu dan Kecamatan Waringin Kabupaten Serang

Secara umum keadaan morfologi Kota Cilegon terbagi atas tiga kelompok besar

yaitu morfologi mendatar, morfologi perbukitan dan morfologi perbukitan terjal.

Morfologi dataran pada umumnya terdapat diwilayah timur kota dan wilayah pantai

barat kota. Morfologi perbukitan landai sedang terdapat di wilayah tengah kota.

Sedangkan morfologi perbukitan terjal terdapat di sebagian wilayah utara dan

Page 163: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

139

sebagian kecil wilayah selatan kota.Wilayah dataran merupakan wilayah yang

mempunyai ketinggian kurang dari 500 meter di atas permukaan laut sampai wilayah

pantai dengan ketinggian 0-1,0 meter diatas permukaan laut. Wilayah perbukitan

terletak pada wilayah yang mempunyai ketinggian minimum 50 meter di atas

permukaan laut. Dibagian utara kecamatan Pulomerak, wilayah puncak Gunung Gede

memiliki ketinggian maksimum 551 meter.

Berdasarkan hasil estimasi penduduk Dinas Kesehatan Kota Cilegon tahun

2011, jumlah penduduk Kota Cilegon sebesar 378.886 orang dengan jumlah

penduduk miskin sebanyak 91.867 orang (24,3%) tidak terjadi perubahan dari tahun

sebelumnya. Terdiri dari 194.096 laki-laki dan 184.790 perempuan dengan rasio jenis

kelamin 95 artinya jumlahpenduduk laki – laki lima persen lebih banyak dibandingkan

jumlah penduduk perempuan atau setiap 90 perempuan terdapat 95 laki – laki (BPS

kota Cilegon, 2011). Jumlah Penduduk menurut jenis kelamin dan kelompok umur

dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini :

Perempuan Laki-laki

Gambar 3.4.1.Piramida Penduduk Kota Cilegon tahun 2011

Sumber: Profil Dinkes Kota Cilegon, 2011

Dari gambar 1 di atas terlihat bahwa ciri penduduk Kota Cilegon bersifat ekspansive

karena sebagian besar penduduk berada dalam kelompok umur muda. Jumlah

penduduk laki-laki dan wanita di tiap golongan umur hampir sama. Penduduk laki-laki

Kota Cilegon paling banyak berada di kelompok umur 0-4 tahun sedangkan wanita

paling banyak berada pada golongan umur 25-29 tahun sedangkan jumlahpenduduk

paling sedikit beradapada golongan umur 75 + tahun baik penduduk laki-laki maupun

wanita.

Page 164: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

140

Berdasarkan data dari BPS Kota Cilegon memiliki luas wilayah 175,51 km2 dan

kepadatan penduduk sebesar 2159Jiwa per km2. Dari 8 kecamatan yang ada,

kecamatan Citangkil menempati urutan pertama dalam jumlah penduduk terbesar

namun berada di posisi ketiga untuk luas wilayah, sedangkan Ciwandan menempati

urutan pertama yang memiliki luas wilayah terbesar namun berada di urutan kelima

untuk jumlah penduduk terbesar. Kecamatan yang memiliki kepadatan penduduk yang

paling besar berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Cilegon adalah

kecamatan Jombang yakni sebesar 5291 Jiwa per km2 sedangkan yang paling rendah

berada di kecamatan Ciwandan yang hanya sebesar 838Jiwa per km2(Tabel ..).

Tabel. 3.4.1.

Luas Wilayah, Kepadatan Penduduk Kota Cilegon Menurut Kecamatan Tahun 2011

No Kecamatan

Luas Wilayah

( Km² )

Jumlah Penduduk

Laki-laki Perempuan Total

Kepadatan Penduduk

Per Km2

1 Pulomerak 19,86 22,261 21,296 43,557 2193

2 Grogol 23,38 19,992 18,991 38,893 1667

3 Purwakarta 15,29 20,165 18,758 38,923 2546

4 Jombang 11,55 31,328 29,785 61,113 5291

5 Cibeber 21,49 23,860 23,287 47,147 2194

6 Cilegon 9,15 20,360 19,561 39,921 4363

7 Citangkil 22,98 33,706 32,119 65,825 2864

8 Ciwandan 51,81 22,424 20,993 43,417 838

TOTAL 175,51 194,096 184,790 378,886 2159

Sumber : BPS, 2011, Profil Dinkes Cilegon, 2011

Fasilitas Kesehatan dan Tenaga Kesehatan

Jumlah tenaga kesehatan yang ada di Dinas Kesehatan Kota Cilegon sebanyak

406 orang yang terdiri dari dokter umum 30 orang, dokter gigi 21 orang, Sarjana

Kesehatan Masyarakat 33 orang, Apoteker 6 orang, Bidan 120 orang, Perawat 13

orang, perawat gigi 8 orang, sanitarian 14 orang, nutrisionist 18 orang, asisten

Page 165: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

141

apoteker 9 orang, analis 10 orang dan rekam medis sebanyak 7 orang. Penempatan

bidan ke puskesmas terutama di daerah yang jauh perlu dipertimbangkan dengan

kompetensi disamping mempunyai keberanian karena beberapa bidan yang

menempuh pendidikan bidan karena disuruh orang tua, sehingga tidak bisa

melaksanakan tugas dengan baik (wawancara dengan Dinas Kesehatan Kota Cilegon).

Pada tahun 2011 jumlah rumah sakit di Kota Cilegon sebanyak 5 unit, yang

terdiri atas rumah sakit umum berjumlah 1 unit dan rumah sakit khusus (RSK)

sebanyak 3 unit, dan rumah sakit yang dikelola oleh swasta sebanyak 1 unit. Jumlah

puskesmas sebanyak 8 unit yang terdiri dari 3 unit puskesmas perawatan dan 5 unit

puskesmas non perawatan. Untuk meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan

terhadap masyarakat di wilayah puskesmas, didukung oleh 8 unit puskesmas

pembantu (pustu). Di samping itu juga tersedia 358 posyandu dengan rasio posyandu

terhadap jumlah balita adalah 0.92 per 100 balita serta 30 unit poskesdes.

Kesehatan Bayi dan Balita

Bayi. Dari laporan jumlah kematian bayi yang disampaikan dari masing-masing

Puskesmas, dapat diperkirakan bersumber dari fasilitas pelayanan kesehatan (facility

based) dan dari laporan masyarakat atau kader (community based).Pada tahun 2011

AKB Kota Cilegon menempati 0.01 % dari jumlah penduduk dengan jumlah kematian

sebanyak 38 Bayi atau 4.84 / 1000 KLH terjadi penurunan jumlah kasus dari 43 bayi

atau 6.16 / 1000 KLH.pada tahun 2010. Dari jumlah kematian seluruh bayi tersebut

dengan penyebab kematian paling banyak di Kecamatan Pulomerak dengan jumlah 10

Bayi terdiri dari 5 bayi laki – laki dan 5 bayi perempuan dan penyakit yang

menyebabkan kematian bayi adalah BBLR, asfiksia, dll. Dari hasil pelaporan dari 8

puskesmas se kota Cilegon dan hasil pelacakan di 4 rumah sakit ternyata semua

kematian neonatus, bayi dan balita di kota Cilegon meninggal di rumah sakit.

Pada tahun 2010 AKB kota Cilegon menempati 0.012 % dari jumlah penduduk

dengan jumlah kematian sebanyak 43 bayi atau 6.16 per 1000KLH terjadi peningkatan

dari tahun sebelumnya sebanyak 2.31 per 1000 KLH atau 17 kasus kematian bayi.

Page 166: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

142

Gambar. 3.4.2.Presentase Kematian Bayi di Kota Cilegon Tahun 2010

Angka Kematian Balita (AKABA).

Angka Kematian Anak Balita (0-4 th) adalah jumlah anak yang meninggal

sebelum mencapai umur 5 tahun yang dinyatakan sebagai angka per 1000 kelahiran

hidup. Angka kematian anak balita merepresentasikan peluang terjadinya kematian

pada fase antara kelahiran dan sebelum umur 5 tahun

Millenium Development Goals (MDGs) menetapkan nilai normative AKABA

yaitu sangat tinggi dengan nilai > 140, tinggi dengan nilai 71-140, sedang dengan nilai

20-70 dan rendah dengan nilai < 20.

AKABA di Kota Cilegon tahun 2011 sebesar 46 atau 5.86 per 1000 KLH terjadi

peningkatan dari tahun sebelumnya sebesar 5.58 per 1000 KLH atau 39 kasus

kematian. Angka ini didapat berdasarkan data kematian balita yang dilaporkan.

Kematian Ibu Bersalin (AKI).

Angka Kematian Ibu (AKI) juga menjadi salah satu indicator penting dalam

menentukan derajat kesehatan masyarakat. AKI menggambarkan jumlah wanita yang

meninggal dari suatu sebab kematian terkait dengan gangguan kehamilan atau

penanganannya (tidak termasuk kecelakaan ataukasus insidentil) selama kehamilan,

melahirkan dan dalam masa nifas (42 hari setelah melahirkan) tanpa

memperhitungkan lama kehamilan per 100.000 kelahiran hidup.

11

1

33

512

1 7

Pulomerak

Grogol

Purwakarta

Jombang

Cibeber

Cilegon

Citangkil

Ciwandan

Page 167: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

143

AKI juga dapat digunakan dalam pemantauan kematian terkait dengan

kehamilan. Indikator ini dipengaruhi status kesehatan secara umum, pendidikan dan

pelayanan selama kehamilan dan melahirkan. Sensitifitas AKI terhadap perbaikan

pelayanan kesehatan menjadikan indicator keberhasilan pembangunan sector

kesehatan.

Pertolongan persalinan salah satu indikator dari pemanfaatan pelayanan

kesehatan adalah pertolongan persalinan jadi indikator ini sangat penting dalam

menilai persalinan yang aman di daerah pedesaan pada umumnya pertolongan

persalinan ditolong oleh dukun terlatih.

Kematian ibu hamil biasanya disebabkan oleh kekurangan gizi, melahirkan,

keguguran biasanya juga disebabkan oleh Suspect Ruptura Uteri, perdarahan, partus

lama, resiko tinggi akibat umur, eklamasi, serta Post Sectio.

Rasio kematian ibu melahirkan di kota Cilegon tidak dapat dilakukan

perhitungan karena angka kelahiran di Kota Cilegon kurang dari 100.000 kelahiran

hidup, namun demikian bila diasumsikan maka angka AKI Kota Cilegon tahun 2011

adalah 76.50 atau 6 kasus kematian dari 7843 KLH, terjadi penurunan dart tahun 2010

adalah 121 atau 9 kasus kematian dari 6982 KLH.

3.4.2. Gambaran Umum Puskesmas Citangkil

Hasil kajian data dan konsultasi dengan kepala Dinas Kesehatan kota Cilegon

dan stafnya untuk menentukan lokasi penelitian dengan kriteria puskesmas dengan

cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan yang masih rendah, maka terpilih

puskesmas Citangkil yang berada di wilayah kecamatan Citangkil sebagai lokasi

penelitian.

Page 168: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

144

Gambar 3.4.3.Peta Wilayah Kecamatan Citangkil

Kecamatan Citangkil merupakan wilayah kerja Puskesmas Citangkil, termasuk

daerah pemukiman yang padat penduduk. Pada tahun 2011 jumlah penduduk 64.930

jiwa dengan jumlah KK kurang lebih16.008 KK dan laju pertambahan penduduknya

3,24 %. Sebagian besar penduduk memeluk agama Islam, dengan mata pencaharian

sebagian besar sebagai petani dan buruh pabrik.Pendidikan rata-rata penduduk adalah

Lulus SMP.Saat ini upaya-upaya pengembangan kesehatan masih cenderungsulit

Page 169: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

145

diterima oleh masyarakat, karena tingkat kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam

pembangunan bidang kesehatan masih kurang.

Puskesmas Citangkil terletak di daerah industri di Kecamatan Citangkil,

mempunyai luas wilayah 2,177,36 Ha dan dengan batas wilayah sebagai berikut :

Sebelah Utara : Kecamatan Purwakarta

Sebelah Timur : Kecamatan Cilegon

Sebelah Selatan : Kecamatan Mancak KabupatenSerang

Sebelah Barat : Kecamatan Ciwandan

Wilayah kerja UPTD Puskesmas Citangkil adalah Kecamatan Citangkil yang terdiri dari 7 Kelurahan yaitu :

Kelurahan Deringo : Luas 263,25 Ha

Kelurahan Samangraya : Luas 293,9 Ha

Kelurahan Lebak Denok : Luas 309,11 Ha

Kelurahan Tamanbaru : Luas 273,9 Ha

Kelurahan Kebonsari : Luas 225,16 Ha

Kelurahan Warnasari : Luas 652,20 Ha

Kelurahan Citangkil : Luas 159,84 Ha

Kecamatan Citangkil lebih dari separuh wilayahnya merupakan daerah

perkotaan, seperti daerah lain memiliki permasalahan social ekonomi. Sebagian besar

wilayah Kecamatan Citangkil adalah daerah pemukiman dan perkantoran dinas-dinas

maupun instansi pemerintah lainnya. Ada beberapa industri besar di Kecamatan

citangkil yng berdampak merugikan di bidang kesehatan yaitu polusi udara yang dapat

menyebabkan tingginya jumlah kejadian penyakit saluran pernafasan di masyarakat.

Sarana air bersih, jamban keluarga, sarana pembuangan air limbah masih merupakan

masalah di Kecamatan Citangkil. Wilayah kecamatan Citangkil dapat dilalui dengan

kendaraan roda dua dan empat, hal ini merupakan suatu keuntungan karena baik

petugas kesehatan, sarana kesehatan maupun masyarakat umum dapat menjangkau

semua wilayah Kecamatan Citangkil, yang tentu saja berdampak positif bagi

pencapaian dan keberhasilan program kesehatan.

Page 170: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

146

Angka Kematian Dan Angka Kesakitan

Berdasarkan data yang didapatkan dari program Kesehatan Ibu dan Anak,

terdapat kelahiran hidup sebanyak 1306 bayi, tanpa ada angka kelahiran mati, dan

pada tahun 2011 didapatkan kematian sebanyak 4 bayi (angka kematian sebesar 3,1

per 1.000 kelahiran hidup) dan 4 balita (angka kematian sebesar 3,1 per 1.000

kelahiran hidup). Sedangkan angka kematian ibu sebesar 76,6 per 100.000 kelahiran

hidup karena didapatkan 1 orang ibu yang meninggal karena perdarahan.

Angka kesakitan menurut pola penyakit semua golongan umur di Puskesmas

Citangkil pada tahun 2011 adalah penyakit ISPA, Faringitis akut, myalgia, gastritis dan

duodenitis, sakit kepala, dermatistis lainnya, hipertensi esensial primer, tonsillitis akut,

konjungtivitis dan suspek TB paru.

Kesehatan ibu dan anak perlu menjadi perhatian untuk menurunkan angka

kematian ibu dan angka kematian bayi sehingga target MDGs tercapai, program KIA

berusaha untuk meningkatkan cakupan kunjungan K1, K4, N1, persalinan oleh tenaga

kesehatan, penanganan komplikasi obstetri, penanganan neonatus resti, penanganan

balita sakit dengan manajemen terpadu balita sakit (MTBS), kunjungan anak

prasekolah (APRAS) dengan melihat pertumbuhan dan perkembangannya (SDIDTK)

dan kunjungan ke SMP/SMA untuk memberikan penyuluhan kesehatan reproduksi.

Dengan laju pertumbuhan penduduk Kecamatan Citangkil sebesar 3,24 %,

tugas Puskesmas dan lintas sektor terkait menjadi lebih berat untuk mensukseskan KB,

tetapi dengan dukungan pemerintah Pusat dengan program Jamperrsal diharapkan

dapat lebih meningkatkan kesadaran masyarakat untuk ber-KB.

Promosi Kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan

masyarakat, merubah cara pandang masyarakat, dan prilaku masyarakat untuk

menjaga dan melindungi diri sendiri maupun keluarganya agar selalu tetap sehat.

Dalam pelaksanaannya dilakukan melalui upaya petugas Puskesmas seperti

penyuluhan kelompok dan massa, talkshow di radio, promosi kesehatan pada website

Puskesmas (www.puskesmas-citangkil.blogspot.com), penjaringan kesehatan anak SD

dan setingkat pada usaha kesehatan sekolah (UKS) dan usaha kesehatan gigi sekolah

(UKGS) yang sudah mencapai 100 %. Kegiatan yang bersumber daya masyarakat

Page 171: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

147

seperti Kelurahan Siaga Aktif termasuk dalam program ini, Kecamatan Citangkil

mempunyai 5 Kelurahan Siaga Aktif dari 7 kelurahan yang ada (71,43 %), kelurahan

SamangRaya dan kelurahan Lebak Denok hanya merupakan Kelurahan Siaga karena

belum mempunyai sarana pelayanan kesehatan yang buka tiap hari kerja.

Program pengobatan di Puskesmas Citangkil dilakukan di dalam gedung yaitu

BP Umum, BP Gigi, KIA/KB, MTBS, Laboratorium, Obat, dan di luar gedung yaitu

Posyandu, Pusling, Posbindu, Pos UKK, Poskesdes, Polindes, Pustu, Poskestren. Jumlah

kunjungan rawat jalan Puskesmas Citangkil tahun 2011 adalah sebanyak 77890

kunjungan, meningkat dibandingkan tahun 2010 yaitu 74819 kunjungan.

Gambar 3.4.4.Puskesmas Citangkil (kiri) dan Pondok Kesehatan (kanan)

Di samping puskesmas induk, puskesmas Citangkil mempunyai 1 unit

puskesmas pembantu, pos persalinan kelurahan 2 unit, pos kesehatan kelurahan

(poskesdes) 2 unit, pos kesehatan pesantren 2 unit, posbindu 10 unit, puskesmas

keliling 10 unit, pos upaya kesehatan kerja 3 unit, posyandu 59 unit, dokter swasta 4

unit, bidan praktek swasta 35 buah, Balai pengobatan 5 unit dan RS bedah 1 unit.

Pada tahun 2011, rasio jumlah tenaga kesehatan terhadap penduduk di

puskesmas Citangkil berturut sebagai berikut dokter umum (1:32465), Dokter gigi

(1:32465), Bidan (1 : 4329), perawat (1 : 4329), Tenaga Gizi (1 : 32465), Tenaga

Sanitarian (1 : 64930), Tenaga Kesehatan Masyarakat (1 : 32465), Asisten Apoteker

(1:64930), Tenaga non kesehatan (1 : 8116).

Pembiayaan kesehatan Puskesmas bersumber dari anggaran Daerah dan Pusat,

yang bersumber dari anggaran Daerah adalah APBD Kota Cilegon dan Jaminan

Kesehatan Daerah (Jamkesda), sedangkan yang bersumber dari Pusat yaitu Bantuan

Page 172: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

148

Operasional Kesehatan (BOK), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), dan

Jaminan Persalinan (Jampersal). Anggaran kesehatan Puskesmas Citangkil tahun 2011

sebagai berikut: APBD Kota Cilegon (Rp. 185.797.000,-), Jamkesmas (Rp. 102.041.000,-

), BOK (Rp. 88.000.000,-). Pembiayaan kesehatan Puskesmas baik dari Daerah

maupun Pusat sangat mendukung pelaksanaan kegiatan Puskesmas yang bersifat

promotif dan preventif, yang dilengkapi juga oleh kegiatan kuratif dan rehabilitatifnya.

Dari tingkat social ekonomi, masyarakat di wilayah puskesmas Citangkil banyak

yg tidak mampu, bekerja sebagai ojek atau bekerja sebagai buruh bangunan. Jika

bekerja di perusahaan semua biaya kesehatan ditanggung oleh perusahaan termasuk

biaya persalinan tetapi dibatasi sampai anak kedua. Sehingga jika melahirkan anak

ketiga, dengan adanya jampersal menggunakan biaya jampersal. Kebanyakan

masyarakat di wilayah puskesmas Citangkil adalah muslim. Biasanya untuk

mempercepat proses melahirkan menggunakan rumput Fatimah, diminum agar cepat

lahir.

Tidak jauh berbeda degan kota Cilegon, masalah kekerabatan di wilayah

puskesmas Citangkil, jika ada masyarakat yang sakit diantarkan kadernya. Keberadaan

kader di wilyah puskesmas Citangkil disamping mengantarkan ibu yang akan

melahirkan juga melakukan sosialisasi dengan lurah, camat dan kadang-kadang

keluarganya konsultasi dengan pihak Dinas kesehatan tentang keadaan bayinya.

Pendidikan di kecamatan Citangkil cukup tinggi, Dari 16.791 penduduk yang

berusia 10 tahun ke atas, 638 orang berpendidikan S1, 570 orang tamat Diploma,

6008 orang tamat SMA, namun demikian juga terdapat 2.732 orng tidak/belum

pernah sekolah. Sebagian besar penduduk kecamatan Citangkil beragama Islam, tidak

berbeda dengan kecamatan lain yang ada di kota Cilegon yang dikenal dengan kota

yang mempunyai banyak masjid .

Masalah Kesehatan KIA dan Cakupan Pelayanan KIA/KB

Cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan di puskesmas Citangkil tahun 2011,

terdapat 92,40%. Kunjungan ibu hamil (K1) sebesar 101%, K4 94,98%, pelayanan ibu

nifas 93,11%.

Page 173: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

149

Sarana dan prasarana yang ada di puskesmas Citangkil yang merupakan

puskesmas non perawatan memiliki 2 unit pos kesehatan desa (poskesdes), 59 buah

posyandu aktif, terdapat 7 buah desa siaga dan yang termasuk desa siaga aktif

sejumlah 5 buah. Dengan jumlah tenaga kesehatan dokter umum 23 orang, dokter gigi

2 orang, bidan 15 orang, perawat 15 orang, tenaga kefarmasian 1 orang, tenaga gizi 2

orang, tenaga kesmas 2 orang dan tenaga sanitasi 1 orang. Berdasarkan data dari

Dinas Kesehatan Kota Cilegon, puskesmas Citangkil paling rendah cakupan persalinan

yang ditolong oleh tenaga kesehatan. Pada tahun 2012 mulai bulan Januari sampai

dengan Juni 2012 terdapat 130 persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan, di

samping itu terdapat 5 orang ibu bersalin yang ditolong oleh dukun. Akses ke

pelayanan kesehatan tidak menjadi masalah karena bisa dijangkau oleh roda

dua dan roda empat.

3.4.3. Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak

Pandangan tentang Ibu Hamil, Bersalin, Bayi/Anak

Menurut suami, perhatian terhadap isteri yang hamil berbeda jika dibandingkan

dengan bila isteri tidak hamil. Suami menjadi lebih perhatian kepada isteri mulai dari

pembagian tugas pekerjaan di rumah (pekerjaan yang berat dikerjakan oleh suami),

makanan lebih diperhatikan gizinya serta mengantar isteri bila pergi ke puskesmas

untuk memeriksakan kehamilannya serta mengantar untuk bersalin. Menurut

pengakuan salah seorang tokoh masyarakat:

Bapak-bapak disini (wilayah Citangkil) sangat peduli sekali, kebetulan yang punya transportasinya pak RT jadinya sangat peduli untuk mngantarkan ke puskesmas yang jaraknya jauh, ada juga yang bilang kalau lagi hamil suaminya tambah sayang

Kepercayaan yang Masih Berkembang

Kehamilan. Pada usia kehamilan 3 bulan atau 7 bulan biasanya dibuatkan

bubur atau rujak buah. Kepercayaan turun temurun yang masih ada, ibu hamil

membawa gunting dan silet yang diperoleh dari orang tua dengan maksud agar tidak

ada yang mengganggu. Ada juga kepercayaan tali hitam yang sebelumnya diberi doa

dan diletakkan di perut istri. Tali tersebut pemberian orang tua atau paraji/dukun.

Page 174: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

150

Kepercayaan tersebut masih ada tetapi tidak semuanya tergantung daerahnya karena

sekarang sudah modern. Pada usia kehamilan ibu 7 bulan biasanya juga dilakukan

acara selamatan, besar kecilnya acara tersebut biasanya tergantung dari kemampuan

masing-masing pihak keluarga. Pada acara tujuh bulanan tersebut menurut tradisi

dibuatkan bubur lolos. Berbeda dengan bentuk bubur pada umumnya, tekstur dan

warna bubur lolos mirip dengan dodol Betawi baik tekstur maupun warnanya. Dengan

rasa legit gurih, menjadikan bubur lolos menjadi menu wajib bagi mereka yang

melakukan upacara tujuh bulanan. Cara penyajiannya tidak diletakkan di wadah

seperti mangkok tetapi dibungkus daun.

Bubur lolos dianggap sebagai simbol agar proses melahirkan ibu nantinya

dimudahkan atau lancar dan biasa disebut lolos. Bubur lolos dibuat dari bahan-bahan

tepung beras, tepung ketan serta tepung kanji yang dicampur dengan gula merah dan

santan kental, sehingga membentuk adonan yang kenyal. Bubur lolos berbahan dasar

tepung beras, tepung ketan, serta tepung kanji, gula merah dan santan kental,

diimasak dengan cara diaduk di atas api sehingga membentuk adonan yang kenyal.

Sebelum dibungkus daun pisasng adonan bubur lolos diberi topping blondo yaitu

santan kental yang dimasak hingga hampir membentuk minyak. Selanjutnya adonan

tersebut dibungkus daun pisang yang salah satu sisinya tidak ditutup.

Gambar 3.4.5. Bubur lolos

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Di kota Cilegon, pantangan ada tetapi juga tergantung dari masing-masing

kepercayaan ibu hamil.Beberapa pantangan yang masih dilakukan oleh ibu hamil di

wilayah kecamatan Citangkil antara lain makan rujak, duduk di depan pintu,

Page 175: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

151

melangkahi bangkai, keluar rumah dan lain-lain.Rujak mempunyai rasa pedas dan

asam, kedua rasa ini disukai oleh ibu yang sedang hamil. Meskipun demikian, rujak

merupakan pantangan bagi sebagian masyarakat wilayah kecamatan Citangkil.

Pantangan yang lain ibu hamil berpantang duduk di depan pintu karena diyakini

menyebabkan proses kelahiran susah. Ibu hamil juga pantang melangkahi bangkai

karena menurut kepercayaan takut bayinya tidak bisa tumbuh besar, isamping itu ibu

hamil tidak boleh keluar rumah pada sore hari karena takut sawan. Ada pula

pantangan dari sebagian masyarakat untuk ibu hamil tidak boleh mengantongi

makanan karena menurut keyakinan jika bayinya laki-laki takut buah zakarnya besar.

Demikian juga jika ibu hamil duduk tidak boleh dialasi karena menurut kepercayaan

akan membuat ari-ari menempel. Pantangan bagi ibu hamil yang lain tidak boleh

makan cumi karena bisa menyebabkan bayi tidak punya anus serta ibu hamil tidak

boleh memakai selendang yang dilipat kebelakang karena diyakini membuat jalan lahir

tertutup. Namun demikian bila pantangan-pantangan tersebut diatas dipercaya oleh

ibu hamil dapat membuat masalah pada saat persalinan, maka boleh-boleh saja

dilaksanakan asal dapat diterima oleh akal sehat.

Anjuran bagi ibu hamil di kota Cilegon, membawa pisau lipat atau gunting serta

bangle setiap pergi, hal ini dimaksudkan agar tidak ada yang mengganggu.Menurut

kader dalam Focus Group Discussion (FGD) diperoleh informasi bahwa kadang kalau

menemani ibu hamil disuruh membawa gunting, silet, katanya biar tidak ada yang

mengganggu. Barang tersebut diberi oleh orang tua sendiri suatu kepercayaan yang

turun temurun. Namun demikian, ibu hamil dianjurkan boleh mengikuti ritual/tradisi

akan tetapi tidak usah memaksakan keadaan bila tidak mampu

Berikut beberapa ritual, tradisi atau adat terkait masa kehamilan yang masih

berlaku di masyarakat wilayah puskesmas Citangkil.

Page 176: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

152

Tabel 3.4.2.

Aktifitas Budaya pada Masa Kehamilan

Ritual, tradisi atau adat tertentu

Pantangan Anjuran

Tiga bulanan (Slametan agar bayi selamat)

Tujuh bulanan

Bikin bubur lolos (pada usia hamil 7 bulan)

Makan rujak

Duduk di depan pintu karena bisa menyebabkan proses kelahiran susah

Kerja berat

Melangkahi bangkai (takut bayinya tidak bisa tumbuh besar)

Keluar rumah sore hari (takut sawan)

Tidak boleh duduk di teras

Tidak boleh mengantongi makanan (jika bayinya laki-laki takut buah zakarnya besar)

Kalau duduk tidak boleh dialasi karena akan membuat ari-ari nempel

Tidak boleh makan nanas

Tidak boleh makan cumi (Bisa menyebabkan bayi tidak punya anus)

Tidak boleh pakai selendang dilipat ke belakang. Takut membuat jalan lahir tertutup

membawa pisau lipat/gunting kecil dan bengle setiap bergi

Boleh mengikuti ritual/tradisi akan tetapi tidak usah memaksakan keadaan bila tidak mampu

Bila pantangan-pantangan tersebut dipercaya oleh ibu dapat membuat masalah pada saat persalinan, maka boleh-boleh saja dilaksanakan asal dapat diterima oleh akal sehat

Sumber: Data Primer

Persalinan. Di kota Cilegon, tradisi/adat yang masih dilakukan oleh sebagian

masyarakat pada proses persalinan yaitu membuka jendela dan pintu agar supaya ibu

cepat melahirkan. Seperti penuturan seorang kader pada waktu FGD sebagai berikut:

“Saat melahirkan ada yang bilang, pintu dibuka, toples dibuka, tempat air seperti gentong dibuka, biar lahirnya lancar, itu kepercayaan mereka, itu sebelum tahun 2010. Kepercayaan itu masih ada tetapi tidak semuanya, tergantung daerahnya juga, kan sekarang sudah modern”.

Anjuran yang masih dianut oleh sebagian masyarakat wilayah Citangkil yaitu

minum rumput Fatimah sebelum proses persalinan agar supaya proses kelahiran lebih

cepat. Namun demikian dianjurkan boleh mengikuti tradisi akan tetapi tidak usah

memaksakan keadaan bila tidak mampu.

Page 177: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

153

Berikut ritual, tradisi atau adat terkait proses persalinan yang masih berlaku di

sebagian masyarakat wilayah puskesmas Citangkil.

Tabel. 3.4.3.

Aktifitas Budaya pada masa Persalinan

Ritual, Tradisi, atau adat tertentu Anjuran

- Membuka jendela dan pintu, toples, tempat air supaya cepat lahir

- Minum rumput fatimah supaya proses kelahiran lebih cepat - Boleh mengikuti tradisi akan tetapi tidak usah memaksakan keadaan bila tidak mampu

Sumber: Data Primer

Pasca persalinan. Di kota Cilegon masih terdapat ritual/tradisi yang

berhubungan ibu sesudah melahirkan )pasca persalinan) seperti suguh tamu, saweran,

buka tamu serta aqiqah, demikian juga pantangan terhadap ibu pasca melahirkan.

Pada waktu ibu baru melahirkan dan pulang ke rumah biasanya diadakan acara suguh

tamu yaitu menyiapkan makanan/minuman atau yang lebih dikenal dengan suguhan

untuk tamu yang datang menjenguk. Pada hari ketujuh setelah melahirkan dilakukan

aqiqoh atau sering disebut kekahan bagi keluarga yang mampu, tetapi ada juga yang

baru dilakukan setelah 40 hari.

Aqiqah merupakan sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wassalam yang

berkenaan dengan kelahiran anak muslim. Melaksanakan ‘aqiqah adalah salah satu

bentuk menghidupkan sunnah Beliau. Orang yang menghidupkan sunnah Beliau

tatkala manusia menjauhi dan membencinya, adalah bukti rasa cinta kepadanya, yang

jaminannya adalah surga. Pada aqiqoh tersebut ada yang dilakukan pengajian ada yang

tidak, di samping itu pada acara tersebut biasanya juga dilakukan upacara potong

rambut untuk bayi serta pemberian nama si bayi. Pemberian nama disesuaikan

dengan harapan dari orang tua agar kelakmenjadi anak yang baik karena di dalam

nama tersebut terkandung doa dan harapan. Pada acara aqiqah tersebut tidak ada

ketentuan apakah harus digundul atau tidak. Pencukuran tersebut harus dilakukan

dengan rata, tidak boleh hanya mencukur sebagian kepala dan sebagian yang lain di

biarkan. Semakin banyak rambut yang dicukur dan di timbang semakin besar pula

sedekahnya.

Page 178: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

154

Di wilayah puskesmas Citangkil, masih ada beberapa bayi yang dibedong.

Membedong merupakan istilah untuk ‘membungkus’ bayi dengan kain. Di beberapa

pustaka disebutkan bahwa beberapa manfaat membedong bayi, antara lain:

- membantu bayi agar tidak terganggu dengan gerakan kejut yang biasa dikenal

dengan refleks Moro

- Membantu bayi agar tetap hangat, terutama pada hari-hari pertama dalam

kehidupannya. Nantinya secara berangsur, tubuhnya akan menyesuaikan dengan

lingkungan sekitar, sehingga kain bedong tidak diperlukan lagi

- Membantu menenangkan bayi

Pada waktu bayi berusia 3 bulan dilakukan acara tiga bulanan agar bayi selamat. Selain

itu sebagai rasa syukur, masih ada beberapa kelompok masyarakat yang membuat

apem yang biasa disebut apeman. Di samping itu masih ada kepercayaan dari

sebagian masyarakat, jika terjadi gerhana bulan maka bayi harus bersembunyi di

kolong tempat tidur karena takut kulit bayi menjadi kehitaman.

Tabel 3.4.4.

Aktifitas Budaya Pasca Persalinan

Ritual, Tradisi, atau adat tertentu Pantangan

- Suguh tamu (Rasa syukur terhadap kelahiran bayi yang baru lahir dengan selamat) - Saweran (menyambut bayi baru lahir sebelum masuk ke dalam rumah) - Buka tamu (selamatan sambut bayi baru lahir) - Aqiqahan, yaitu syukuran atas kelahiran bayi yang lahir selamat dan memotong rambut si bayi untuk dibuang sawannya (rambut bawaan dari lahir) - Potong rambut - Digedog (posisi diluruskan sesuai dengan jalan lahir)

- Tidak boleh makan yang pedas atau es (dikawatirkan dapat mempengaruhi produksi ASI yang keluar)

Sumber: Data Primer

Pengetahuan Masyarakat tentang Kesehatan Ibu dan Anak

Tingkat pengetahuan kesehatan dilihat dari jenis pertanyaan dapat dibagi

menjadi 3 jenis yaitu pengetahuan tentang perawatan kehamilan (Ante Natal Care =

ANC), pengetahuan tentang persalinan dan pengetahuan tentang paska persalinan.

Page 179: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

155

Hasil survey menunjukkan tingkat pendidikan responden cukup tinggi yaitu 57,4%

berpendidikan SMA sampai dengan sarjana, 35,3% tamat SMP, dan 3,4% tamat SD ke

bawah. Pengetahuan tentang kesehatan diperoleh pada saat di posyandu baik oleh

tenaga kesehatan maupun oleh kader.

Kehamilan. Pengetahuan ibu tentang pemeriksaan kehamilan cukup baik, dari

hasil survei menunjukkan dari 68 orang ibu yang disurvei 64,7% memiliki pengetahuan

yang benar yaitu memeriksakan kehamilan paling tidak 4 kali selama kehamilan. Data

ini mendukung hasil FGD dengan suami yang sangat mendukung isteri untuk

memeriksakan kehamilan di posyandu.

Cakupan pemeriksaan kehamilan sudah baik yaitu 100% (n=68) ibu hamil

menerima pelayanan tenaga kesehatan untuk pemeriksaan/perawatan kehamilan oleh

tenaga kesehatan.

Pemahaman tentang pentingnya pemeriksaan tekanan darah sudah baik

terungkap dari data survey ibu, terbukti 95,6% mempunyai pengetahuan yang benar

bahwa pengukuran tekanan darah penting dilakukan saat pemeriksaan kehamilan

untuk mendeteksi adanya resiko kehamilan. Demikian juga pengetahuan tentang

imunisasi toxoid yang diberikan sebelum kehamilan dijawab benar oleh 57,4%

responden (n=68).

Persalinan. Pengetahuan masyarakat melalui tokoh masyarakat termasuk

kader dan suami pada FGD menunjukkan hasil cukup baik karena mereka mendukung

bahwa kemampuan bidan lebih baik daripada dukun. Pengetahuan ini didukung data

survey ibu yang menunjukkan bahwa 98,5% (n=68) merasa aman dan nyaman ditolong

oleh bidan. Namun demikian masyarakat nampaknya masih menyukai melahirkan di

rumah. Pernyataan ini didukung dengan data pengetahuan yang menunjukkan bahwa

57,4% ibu melahirkan di rumah lebih baik.

Pasca Persalinan. Aktifitas pasca persalinan baru boleh dilakukan setelah 3

hari, ternyata pernyataan yang “salah” ini dijawab oleh 48,5% responden (n=68),

demikian pula tentang larangan makan ikan laut dijawab benar oleh 76,5% responden.

Artinya hanya 23,5% saja dari responden yang mengetahui bahwa setelah bersalin ibu

Page 180: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

156

boleh mengkonsumsi ikan laut. Masih ada anggapan bahwa mengkonsumsi ikan laut

akan berdampak buruk bagi ASI.

Sikap Masyarakat tentang Kesehatan Ibu dan Anak

Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap

suatu stimulus atau objek. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas akan

tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku.Dalam penelitian ini, survey

mengenai sikap ibu dilihat dari 4 level. Dua (2) sikap mendukung/positif ditunjukkan

dengan penyataan setuju dan sangat setuju sedangkan dua sikap tidak

mendukung/negatif ditunjukkan dengan pernyataan sangat tidak setuju dan tidak

setuju.

Hasil survey ibu menunjukkan bahwa sikap ibu yang mendukung dan tidak

mendukung upaya pemeriksaan kehamilan, persalinan dan pasca persalinan seperti

terlihat dalam tabel berikut:

Page 181: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

157

Tabel. 3.4.5.

Sikap Terhadap Kehamilan, Persalinan dan Pasca Persalinan Kecamatan CitangkilTahun 2012

Pernyataan

Sikap

Mendukung (%) Tidak mendukung (%)

1. Pemeriksaan kehamilan

Penting periksa hamil 4 kali 57,4 42,6

Penting ukur tensi 100,0 0,0

Perlu tablet tambah darah 70,6 29,4

Perlu upacara agar selamat 79,4 20,6

2. Persalinan

Setuju, lahir di rumah tidak sama aman dengan lahir di RS

52,9 47,1

Setuju kemampuan dukun tidak sama baiknya dengan bidan

76,5 23,5

3. Pasca Persalinan

ASI beda dengan madu 61,8 38,2

Penting kolostrum untuk bayi 79,4 20,6

Perlu KB pasca nifas 72,1 27,9

Sumber: Data Primer

Kehamilan. Dalam pemeriksaan kehamilan sebanyak 4 kali sebanyak 57,4%

menyatakan sikap mendukung, namun ternyata persentasenya berkurang dari

banyaknya ibu yang memiliki pengetahuan yang benar mengenai pemeriksaan

kehamilan ini. Kesadaran pentingnya pemeriksaan kehamilan sudah diketahui oleh

sebagian besar suami. Oleh karena itu, mereka mendukung upaya isteri untuk

memeriksakan kehamilan dengan cara selalu mengingatkan isteri agar mentaati jadwal

pemeriksaan kehamilan yang dilakukan di posyandu, poskeskel atau bidan yang dekat

dengan tempat tinggal mereka.

Sikap mendukung juga ditunjukkan terhadap pentingnya mengukur tekanan

darah yaitu sebanyak 100,0%, dan persentasenya lebih besar dari pengetahuan benar

Page 182: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

158

mengenai pentingnya dilakukan pengukuran tekanan darah saat pemeriksaan

kehamilan untuk mendeteksi adanya resiko kehamilan.

Persentase sikap mendukung juga ditunjukkan pada sikap ibu terhadap

pemberian tablet tambah darah bagi ibu hamil sebesar 70,6%, namun ada

pengurangan persentase yang cukup besar dari persentase ibu mengenai pentingnya

tablet tambah darah untuk ibu hamil sebesar 98,5%. Hal ini menunjukkan meskipun

mereka tahu bahwa tablet tambah darah itu penting tetapi ada beberapa yang merasa

tidak memerlukn tablet tambah darah tersebut.

Sikap mendukung juga ditunjukkan ibu terhadap dilakukannya ritual atau

kepercayaan tertentu pada saat hamil, yang bisa dianggap bisa menyelamatkan bayi

yaitu sebesar 79,4%, meskipun terjadi pengurangan dari persentase pengetahuan ibu

tentang hal tersebut. Seperti penuturan dari suami pada waktu FGD sebagai berikut

”Namun demikian bila pantangan-pantangan tersebut diatas dipercaya oleh ibu hamil dapat membuat masalah pada saat persalinan, maka boleh-boleh saja dilaksanakan asal dapat diterima oleh akal sehat”.

Persalinan. Sikap ibu yang mendukung terhadap persalinan ditunjukkan oleh

52,9% menyatakan setuju lahir di rumah tidak sama aman dengan lahir di RS. Selain

itu 76,5% menyatakan setuju kemampuan dukun tidak sama baiknya dengan bidan.

Namun demikian masih ada yang menyatakan sebaliknya, hal ini disebabkan karena

pengaruh dari orang tua dimana masih ada pasangan suami isteri yang tinggal bersama

orang tua atau pada waktu melahirkan pulang ke rumah orang tuanya di desa.

Pasca Persalinan. Sikap ibu yang mendukung pasca persainan ditunjukkan oleh

sikap yang mendukung bahwa ASI berbeda dengan madu dan air kelapa, kolostrum

penting untuk bayi serta perlunya mengikuti KB setelah masa nifas. Hal ini

menunjukkan bahwa masyarakat sudah menyadari pentingnya pengaturan anak

melalui keikutsertaan KB, disamping memang merupakan salah satu persyaratan

program jampersal.

Praktek/Tindakan Kesehatan Ibu dan Anak

Praktek/tindakan pelaksanaan pemeriksaan kehamilan, persalinan dan pasca

persalinan tidak lepas dari pelayanan oleh bidan dan dukun.

Page 183: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

159

Kehamilan. Dari hasil wawancara dengan responden pada survey, terlihat

bahwa pemeriksaan kehamilan ke bidan dilakukan seluruh ibu yang disurvey (100,0%),

namun tidak meninggalkan kebutuhan untuk memeriksakan kehamilan ke dukun yang

dilakukan oleh 54,4% responden. Hasil pelayanan yang diterima oleh ibu dari bidan

dan dukun sebagai berikut:

Tabel 3.4.6.

Pelayanan yang Diterima oleh Ibu di Kecamatan Citangkil Tahun 2012

Jenis pelayanan oleh Bidan

‘Ya’ Menerima pelayanan Bidan

Jenis pelayanan oleh Dukun

‘Ya’ Menerima pelayanan Dukun

Periksa kehamilan 100,0 Periksa Kehamilan 54,4

Persalinan 100,0 Persalinan 8,8

Rawat Pasca Salin 91,2 Rawat pasca Salin 23,5

KB 95,6 Pijat Ibu 61,8

Pijat Bayi 7,4 Jamu Ibu 22,1

Buat Jamu Ibu 4,4 Rawat Bayi 33,8

Upacara 0,0 Buat Jamu Bayi 4,4

Upacara 2,9

Sumber: Data Primer

Pelayanan dukun pada saat hamil yang masih tinggi, didukung pernyataan

seperti yang disampaikan oleh dukun sebagai berikut:

“Ibu hamil tidak suka diurut, cuma urut badan kalau capek capek, biasanya cuma lihat posisi bayinya sudah dibawah atau belum”

Kebiasaan atau tradisi memeriksakan kehamilan ke dukun kemungkinan menjadi

penyebab masyarakat menggunakan jasanya. Informasi ini didukung survey ibu yang

menunjukkan alasan memeriksakan kehamilan ke dukun karena percaya (1,5%),

dianjurkan orang tua (4,4%), tradisi (39,7%) dan nyaman (8,8%).

Persalinan. Persalinan ke bidan dilakukan seluruh ibu yang disurvey (100,0%),

namun masih ada (8,8%) persalinan ditolong oleh dukun. Kebiasaan masyarakat

memanggil dahulu dukun sebelum memanggil bidan merupakan salah satu penyebab

Page 184: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

160

persalinan pertama ditolong oleh dukun. Hal ini didukung oleh hasil survey yang

menunjukkan penolong pertama persalinan adalah dokter (4,4%), bidan (86,8%) dan

dukun (8,8%).

Juga penuturan seorang dukun sebagai berikut:

“Saya dimintai tolong persalinan sendiri karena misalnya tidak keburu, biasanya ada, tapi tidak sering, tapi pernah ada, biasanya saya dipanggil ke rumah”’

Pasca persalinan. Pemeriksaan pasca melahirkan ke tenaga kesehatan

dilakukan oleh 91,2% responden (n=68). Hal ini didukung oleh hasil survey ibu yang

menunjukkan alasan pemeriksaan pasca melahirkan adalah 51,5% lebih percaya

tenaga kesehatan, lebih kompeten (20,62%) dan jarak dekat (10,32%). Sebanyak

95,6% responden mengikuti KB pasca melahirkan, hal ini menunjukkan bahwa mereka

sudah memikirkan dampak ekonomi keluarga dengan kehadiran bayi tersebut

mengingat kebutuhan hidup di kota membutuhkan biaya yang tinggi jika memiliki anak

lebih dari 2.

Alat kontrasepsi yang disukai oleh masyarakat kota Cilegon adalah suntik dan

implant sedangkan untuk IUD dan pil masyarakat menolak. Menurut informasi dari

hasil wawancara di Dinkes, diperoleh informasi bahwa di kota Cilegon jumlah akseptor

KB tidak ada perubahan baik sebelum atau sesudah adanya jampersal.

3.4.4. Faktor Sosial Budaya Masyarakat terkait Pemilihan Penolong Persalinan dan

Pemanfaatan Pelayanan Jampersal

Masalah kesehatan ibu dan anak baik kematian maupun kesakitan

sesungguhnya tidak lepas dari faktor sisial budaya serta lingkungan dimana ibu dan

anak tersebut berada.

Pengambilan Keputusan Pemilihan Penolong KIA

Seperti di kota/kabupaten lain, tidak semua pasangan suami istri menempati

rumah sendiri tetapi ada sebagian yang masih tinggal bersama orang tua atau mertua

mereka. Bagi pasangan yang tinggal di rumah sendiri pemilihan penolong persalinan

biasanya atas kesepakatan isteri dan suami. Sedangkan yang masih tinggal bersama

Page 185: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

161

orang tua atau mertua mereka biasanya orang tua/mertuamasih ikut berperan tetapi

untuk mengurus bayi. Seperti pernyataan seorang suami berikut ini:

“Pengambilan keputusan pada saat ibu melahirkan pilihan suami dan istri, orang tua ada perannya tapi untuk mengurus bayi”

Namun demikian menurut salah seorang suami peserta FGD mengatakan jika

pemilihan tempat persalinan yang dekat rumah dan murah.

Tentang Dukun Dimata Masyarakat

Saat ini masyarakat di wilayah kecamatan Citangkil sudah jarang

memanfaatkan dukun tetapi langsung ke bidan karena sudah ada kerjasama antara

dukun dengan bidan. Kebanyakan dukun sudah tua, ada yang berusia 80 tahun. Dukun

biasanya mengurut, menggendong bayi, tetapi bukan menolong persalinan.

Pengetahuan menjadi dukun diperoleh dari keturunan nenek, mulai mengurut,

memijat. Pada tahun 1992, dukun di wilayah Citangkil pernah mendapat pelatihan

sebagaimana pengakuan seorang dukun S:

“Dulu saya dengan bidan Nur Hadijah, dulu saya ikut sekolah dukun, seperti pelatihan selama 1 tahun, tahun 1992”

Di wilayah puskesmas Citangkil, dukun tidak menolong persalinan tetapi hanya

menemani bidan saja tetapi pada saat ibu akan melahirkan dukun yang membawa ke

bidan. Peran dukun hanya untuk membantu memandikan bayi setelah lahir. Seperti

penuturan salah satu kader di wilayah puskesmas Citangkil:

“….kalau dukun tidak membantu persalinan hanya menemani bidan saja, tapi saat bersalin dukun yang membawa ke bidan”

Menurut dukun, Ibu hamil tidak suka diurut, hanya mengurut badan jika terasa

pegal-pegal. Disamping itu dukun melihat posisi bayi sudah di bawah atau

belum.Tradisi atau kebiasaan ibu hamil pada usia kehamilan 7 bulan biasanya

membuat rujak, itu cuma syarat saja. Tidak ada tradisi minum kelapa muda pada usia

kehamilan 3 atau 4 bulan, demikian juga sambel campok. Tidak ada tradisi minum

jamu atau sambel campok setelah melahirkan karena biasanya sudah diberi obat dari

bidan. Ari-ari biasanya dicuci oleh dukun, kemudian menanam ari-ari tersebut di

halaman rumah. Kadang-kadang pada waktu menanam ari-ari tersebut diberi bunga,

tetapi sesuai dengan kemauan ibu yang melahirkan atau pihak keluarga sendiri, dukun

Page 186: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

162

hanya mengikuti. Dukun pernah diminta untuk menolong persalinan tetapi jika bayi

sudah keburu keluar, seperti penuturan salah seorang dukun berikut:

”Iya, saya pernah dimintai tolong untuk melakukan pertolongan persalinan sendiri misalnya tidak keburu biasanya ada, tetapi tidak sering, tapi pernah ada, biasanya saya dipanggil ke rumah”

Bidan Dimata Masyarakat

Kecamatan Citangkil terdiri dari 7 kelurahan, di masing-masing wilayah

terdapat bidan. Keberadaan bidan di wilayah tersebut lebih memudahkan masyarakat

untuk mendapatkan pelayanan kesehatan medis. Kebiasaan masyarakat untuk

melahirkan di rumah dengan memanggil bidan karena merasa nyaman serta rumahnya

jauh dari bidan meskipun sebelumnya juga memanggil dukun. Hal ini sesuai dengn

hasil survey bahwa masyarakat beranggapan melahirkan di rumah lebih baik (57,4%).

Masyarakat merasa aman ditolong oleh bidan karena mempunyai peralatan yang

banyak. Namun demikian setelah melhirkan baru ke dukun untuk memijat ibunya

karena merasa masih sakit. Seperti penuturan seorang bapak pada waktu FGD sebagai

berikut:

“Ya, kalau saya langsung ke dukun takut kalau terjadi yang tidak diinginkan, kalau bidan kan peralatannya banyak, jadi melahirkan di bidan, bidan saya panggil ke rumah, karena jauh dari rumah”.

“Melahirkan di bidan saja, tapi setelah melahirkan baru ke dukun untuk pijet ibunya, katanya masih sakit…..”

Namun demikian menurut survey masyarakat masih ada anggapan bahwa bidan dan

dukun sama kemampuannya (76,5%).

Kemitraan Dukun dan Bidan

Kemitraan dukun bidan sebenarnya sudah berlangsung lama.Dengan adanya

program jampersal, persalinan oleh dukun sudah jarang karena sudah ada kerjasama

antara bidan dan dukun. Dukun merasa bidan kasihan dengan dukun sehingga sering

diajak oleh bidan untuk menolong persalinan. Kerjasama bidan dengan dukun sudah

berlangsug kurang lebih 10 tahun. Bentuk kemitraan dukun dengan bidan, dukun

hanya menemani bidan, dukun memberikan informasi kepada bidan jika ada ibu yang

Page 187: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

163

akan melahirkan. Dalam pertolongan persalinan, bidan yang menolong persalinan,

setelah bayi lahir dukun merawat bayinya, sedangkan ibu diurus oleh bidannya.

Setelah membantu persalinan, dukun masih sering dating untuk memandikan bayi

serta sudah diberi tahu obatnya oleh bidan. Dengan adanya kerjasama antara dukun

dan bidan, maka menurut dukun tugasnya mnjadi lebih ringan, ada yang membantu

dan memberitahu caranya yang sebelumnya belum dimengerti. Antara bidan dan

dukun saling berbagi pengalaman, biasanya bidan member tahu tentang cara

menolong persalinan. Cara-cara membantu persalinan yang dipraktekkan oleh dukun

sesuai dengan yang diperoleh di pelatihan.

Gambar 3.4.6. Peta Sarana Cintangkil

Tidak ada perbedaan persepsi masyarakat tentang bayi yang meninggal/gagal

ditolong oleh bidan dan ditolong oleh dukun. Masyarakat bisa menilai dari segi

Page 188: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

164

kemampuan bidan dibandingkan dengan dukun dengan melihat kinerja bidan atau

dukun. Masih ada anggapan bahwa bayi berwarna biru saat lahir adalah wajar

sehingga bila kemudian terjadi kematian pada kondisi tersebut mereka tidak banyak

menuntut khususnya masyarakat yang kurang mampu. Berbeda dengan masyarakat

yang mampu, biasanya lebih berani dan banyak menuntut apabila terjadi kodisi ibu

atau bayi yng kurang baik.

Pemanfaatan Pelayanan Jampersal

Pelayanan jampersal tidak lepas dari pelayanan oleh bidan dan pelayanan di

fasilitas kesehatan sebagaimana disyaratkan dalam peraturan yang berlaku. Di wilayah

Citangkil masyarakat sudah memanfaatkan pelayanan oleh bidan namun tidak

dilaksanakan di fasilitas kesehatan tetapi dilakukan di rumah terutama bagi

masyarakat yang bertempat tinggal jauh dari fasilitas kesehatan. Cukup banyak

masyarakat yang bekerja di perusahaan di wilayah Citangkil baik sebagai karyawan

atau buruh perusahaan dimana kebutuhan akan kesehatan dijamin termasuk untuk

melahirkan meskipun hanya sampai anak kedua atau penduduk yang sudah

mempunyai asuransi lain. Hal ini merupakan salah satu hambatan dalam pemanfaatan

pelayanan jampersal. Sesuai dengan hasil survey terhadap ibu yang melahirkan antara

bulan Juni 2011 sampai dengan bulan Mei 2012 (n=70) menunjukkan bahwa

pemanfaatan untuk jampersal cukup sedikit (22,1%). Di samping adanya perusahaan di

wilayah Citangkil, ada sebagian masyarakat yang masih belum mengetahui adanya

program jampersal. Seperti penururan seorang bapak peserta FGD sebagai berikut:

“Saya tidak tahu kalau ada program jampersal, kalau saya tahu pasti ikut, dulu karena saya tidak tahu, itu membantu sekali apalagi untuk mengurangi biaya ekonomi”

Sementara bagi peserta jampersal sangat mendukung karena banyak

kemudahan dan keringanan dengan mengikuti program jampersal meskipun menurut

salah seorang peserta jampersal dalam pelaksanaannya masih membayar Rp. 25.000,-

untuk menebus obat.

Page 189: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

165

Pelayanan pemeriksaan kehamilan pada bidan pada umumnya dilakukan di

posyandu. Meskipun sudah memeriksakan diri ke bidan, masyarakat masih

membutuhkan dukun pada saat kehamilan untuk mengurut jika pegal-pegal atau

untuk memperbaiki posisi bayi dalam kandungan.

Pemanfaatan jampersal membutuhkan persyaratan yaitu dilakukan oleh tenaga

kesehatan dan dilaksanakan di fasilitas kesehatan, namun di lapangan ternyata ada

toleransi. Hal ini mengingat pemerintah belum mampu menyediakan fasilitas

kesehatan persalinan di masing-masing wilayah (kelurahan) secara merata dan di

samping alat kesehatan yang belum memadai.

Data survey di wilayah Citangkil menunjukkan bahwa dari 68 responden

menyatakan melahirka di rumah sebanyak 30,9%, 54,4% di rumah bidan atau pos

kesehatan kelurahan (poskeskel), 1,5% di puskesmas dan 13,2% di RS. Bila dilihat dari

penolong pertama dan terakhir persalinan, sebagian besar (86,8%) penolong

persalinan adalah bidan, demikian juga pada pertolongan terakhir persalinan sebagian

besar (88,2%) adalah bidan (Tabel 3.4.7). Tidak ada seorangpun penolong terakhir

adalah dukun. Hal ini sesuai dengan keberadaan bidan di setiap wilayah Citangkil baik

di pos kesehatan kelurahan maupun di rumah bidan. Dari hasil survey menunjukkan

alasan memilih penolong persalinan terakhir karena sebagian besar (72,1%) merasa

aman dan nyaman, 8,8% jarak dekat dan 7,4% mengatakan percaya dengan penolong

persalinan.

Tabel 3.4.7.

Penolong Pertama dan Penolong Terakhir Persalinan Citangkil 2012

Jenis Tenaga Penolong Pertama Persalinan (%)

Penolong Terakhir Persalinan (%)

Dokter 4,4 11,8

Bidan 86,8 88,2

Dukun 8,8 0

Sumber: Data Primer

Page 190: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

166

Pengetahuan tentang Jampersal

Pengetahuan tentang jampersal cukup tinggi. Pengetahuan tentang jampersal

banyak diperoleh dari media massa. Hasil survey masyarakat menunjukkan bahwa

sebagian besar (73,5%) ibu yang melahirkan periode Juni 2011 sampai dengan bulan

Mei 2012 memperoleh informasi dari media massa, 48,5% diperoleh dari tenaga

kesehatan, 29,4% dari petugas kelurahan serta 7,4% memperoleh dari baliho. Di

samping itu masyarakat sudah megetahui jika jampersal digunakan untuk ANC,

persalinan, masa nifas dan KB (89,7%).

Pembiayaan Kesehatan Ibu dan Anak

Pelayanan kesehatan ibu dan anak banyak dilaksanakan di puskesmas, bidan

wilayah atau posyandu. Dari sisi masyarakat (suami), dengan adanya program

jampersal sebagian besar pendapat masyarakat baik yang ikut jampersal maupun yang

tidak ikut jampersal sangat mendukung program tersebut. Seperti pendapat salah

seorang peserta Diskusi Kelompok Terarah berikut:

”Jampersal sangat mendukung masyarakat, karena banyak kemudahan dan keringanan....”

Namun demikian masih ada masyarakat yang tidak mengggunakan jampersal

karena merasa pelayanan yang diberikan tidak menyenangkan terutama jika dirujuk ke

rumah sakit. Di samping itu masih ada yang masih harus membayar meskipun sebesar

Rp. 25.000,- untuk biaya menebus obat. Sebaliknya bagi suami dari isteri yang tidak

menggunakan jampersal mengatakan bahwa mereka tidak tahu kalau ada program

jampersal.

Untuk memeriksakan kehamilan, salah seorang pengguna non jampersal

mengatakan persalinan di Klinik dengan biaya Rp. 1.300.000,- termasuk pengurusan

akte kelahiran. Jika mulai awal kehamilan sudah mengetahui kalau ada program

jampersal maka menurut salah seorang peserta non jampersal maka akan mengikuti

program tersebut karena program jampersal menurut peserta sangat membantu sekali

untuk mengurangi beban ekonomi. Pada saat ibu mulai hamil sebenarnya keluarga

sudah mempersiapkan biaya persalinan antara Rp. 600.000,- sampai dengan Rp.

700.000,-.

Page 191: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

167

Menurut petugas puskesmas, tidak semua suami tahu tentang program

jampersal, dan tidak semua masyarakat mempunyai KTP sehingga jika menggunakan

jampersal maka mereka menggunakan surat keterangan domisili. Masyarakat yang

tidak mempunyai jaminan kesehatan menggunakan dana jampersal. Jika ibu yang

melahirkan tidak dibiayai jamsostek tetap ikut jampersal tapi jika ikut jamsostek atau

asuransi lain dibiayai oleh jamsostek atau asuransi lain tersebut dan nanti diklaim ke

asuransi tersebut dengan syarat ada kwitansi yang selanjutnya diklaimkan.Tidak ada

gengsi dari masyarakat, yang penting gratis.

Penduduk yang tidak menggunakan jampersal adalah penduduk yang mampu,

atau penduduk yang yang sudah ditanggung biaya kesehatannya di perusahaan di

tempat penduduk bekerja seperti Krakatau Steel atau penduduk yang sudah

mempunyai asuransi lain.

3.4.5. Peran Tenaga Kesehatan dalam Pelaksanaan Program Jampersal

Sosialisasi Jampersal dari Dinas Kesehatan ke Puskesmas

Jampersal mulai disosialisasikan di kota Cilegon sejak tahun 2010. Sosialisasi

dilakukan di kecamatan, selain dihadiri aparat pemerintahan diwilayah kecamatan juga

dihadirii tokoh agama, tokoh masyarakat maupun suami.

Sosialisasi jampersal dilaksanakan oleh petugas jampersal pada saat pertemuan

dengan masyarakat, pertemuan dengan dukun, perteman dengan pak lurah yang

dilaksanakan di puskesmas. Pertemuan juga dihadiri oleh suami, tokoh agama dan

tokoh masyarakat. Sesuai dengan pembicaraan tim peneliti dengan Kepala Dinas

Kesehatan dengan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan yang menyampaikan :

”Kami sosialisasi jampersal dan dilaksanakan oleh petugas jampersal, pertemuan dihadiri oleh masyarakat, serta pak lurah dan di lakukan di puskesmas”

Pada awalnya tanggapan masyarakat ada yang miss (salah pengertian) karena

jika ada surat dari pusat langsung ke lurah, bahwa jampersal gratis sampai rumah

sakit. Beritanya simpang siur, di awal pertama diumumkan anak ke 3 gratis untuk

pegawai negeri sipil, seharusnya didasari dari sosialisasinya.

Page 192: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

168

Di kota Cilegon Program Jaminan Persalinan (Jampersal) ditindaklanjuti dengan

Peraturan Walikota nomor 29 tahun 2011 tanggal 17 Nopember 2012 tentang

Pemanfaatan Dana Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan

Persalinan (jampersal) tahun anggaran 2011. Peraturan Walikota tersbut terdiri dari 11

Bab meliputi Bab I Ketentuan Umum, Bab II maksud dan tujuan, Bab III Ruang Lingkup,

Bab IV Penyelenggaraan Peayanan Kesehatan Da, Bab V Peserta Program Jamkesmas

dan Jampersal, Bab VI Prosedur Pengajuan Klaim, Bab VII Besaran tariff Pelayanan, Bab

VIII Pemanfaatan dana, Bab IX Pelaporan dan Pertanggungjawaban Dana, bab X berisi

Pelaksanaan Pelayanan Jamkesmas dan Jampersal dan terakhir Bab XI Penutup.

Selanjutnya Peraturan Walikota Cilegon ditindaklanjuti dengan Keputusan

Kepala Dinas Kesehatan Kota Cilegon Nomor 800/018/Sekret tanggal 1 Juni 202

tentang Tim pengelola Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas),

Jaminan Persalinan dan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) tahun anggaran 2012.

Keputusan Kepala Dinas kesehatan tersebut berisi tentang Tim Pengelola

Penyelenggaraan Jamkesmas, Jampersal dan BOK, Pelaksanaan Tugas Tim Pengelola

mengacu pada Pedoman Pelaksanaan jamkesmas, dan Petunjuk Teknis Persalinan dan

petunjuk Teknis BOK. Dalam Keputusan Kepala Dinas tersebut juga diputuskan tentang

Honor Pennggungjawab dan sekretarist Jamkesmas dan jampersal dibebankan pada

Dana Dekonsentrasi Pusat pembiayann dan jaminan Kesehatan Sekretariat Jenderal

Kementerian Kesehatan Tahun Anggaran 2012, sedangkan Honor Sekretarian BOK

dibebankan pada Dana Tugas Pembantuan Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan

Ibu dan Anak tahun Anggaran 2012. Honor tersebut dibayarkan mulai 1 Januari

sampai dengan 31 Desember 2012.

Dengan dilaksanakannya Program jampersal, maka pada tanggal 2 Juli 2012,

Kepala Dinas Kesehatan Kota Cilegon menyampaikan daftar nama –nama Bidan

Praktek Swasta (BPS) dan Rumah Bersalin (RB) yang melayani program Jampersal.

Jumlah yang tercantum pada Surat pemberitahuan tersebut sebanyak 53 orang

dengan perincian 11 orang dari kecamatan Cibeber, 10 orang dari kecamatan

Jombang, 6 orang dari kecamatan Cilegon, 4 orang dari kecamatan Purwakarta, 5

orang dari kecamatan Grogol, 7 orang dari kecamatan Merak, 4 orang dari kecamatan

Citangkil serta 6 orang dari kecamatan Ciwandan.

Page 193: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

169

Sosialisasi dari Dinas Kesehatan ke Bidan Praktik Swasta pernah dilakukan tetapi untuk

sosialisasi ke masyarakat tidak pernah dilakukan secara khusus, tetapi ditumpangkan

dengan sosialisasi ke kader dan dukun.

Klaim Jampersal oleh Bidan di Kota Cilegon

Sesuai dengan peraturan yang ada, klaim untuk jampersal sebesar 500 ribu dan

langsung diberikan ke kepala seksinya. Di puskesmas melalui edaran, peraturan

tersebut dihentikan terutama untuk bidan pemerintah karena walaupun sore hari

juga menjadi tanggungjawab bidan desa. Untuk penanganan jampersal di daerah

sulit, bidan mendatangi ibu yang akan melahirkan. Dari tingkat social ekonomi, di kota

Cilegon banyak yg tidak mampu, kalau yg mampu banyak pengusaha. Walaupun

kerjanya hanya sopir perusahaan itu di tanggung, semuanya program itu bagus untuk

usaha.

Kerjasama dengan klinik untuk bidan yang mempunyai MoU dan bidan yang

praktek sore diluar jam kerja. Jumlah bidan yng bukan PNS di kota Cilegon sebanyak

kurang lebih 170 orang dan dukun sejumlah 104 orang. Pelatihan dukun dilakukan

sebelum tahun 2000 (1992 ??). Diharapkan dengan dilatih, dukun bisa bermitra

dengan bidan. Dulu ada program bidan desa menekan dukun, tetapi sekarang dukun

baru bermunculan. Jadi seharusnya anaknya dukun disekolahkan sebagai

bidan.Pekerjaan dukun biasanya mencuci ari-ari, dukun biasanya sabar, sementara

bidan kurang sabar.

Di Jakarta ada akademi Kebidanan, dimana lulusannya harus magang di RS, jadi

setelah magang ijasah baru dikeluarkan. Surat ini penting dimiliki karena bila

mendaftar PNS, seorang bidan harus menunjukkan surat magang.

Sosialisasi dari Puskesmas ke Masyarakat

Puskesmas Citangkil terletak bersebelahan dengan kantor kecamatan.

Sosialisasi tidak khusus tentang jampersal tetapi bersama dengan kegiatan lain yang

dilakukan di kecamatan. Salah satu tokoh masyarakat juga menyatakan ketidaktahuan

masyarakat mengenai program jampersal ini, mereka sebatas hanya mengetahui ada

pelayanan gratis. Namun demikian meskipun tidak mengetahui nama program,

masyarakat sebagian besar sudah memanfaatkannya.

Page 194: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

170

Pelaksanaan Program Jampersal

Masyarakat kota Cilegon mendapatkan pelayanan dasar gratis bila mempunyai

KTP kota Cilegon, sedangkan yang tidak mempunyai KTP kota Cilegon harus bayar,

berbeda dengan program jampersal jika mempunyai KTP diluar kota Cilegon masih bisa

dilayani kecuali untuk program KB.

Kebijakan Dinas Kesehatan di kota Cilegon, syarat jampersal tidak harus

melahirkan di bidan dan di fasilitas kesehatan, tetapi kalau melahirkan di bidan tetapi

tidak di fasilitasi kesehatan tetap di tanggung. Terutama jika ibu yang mau melahirkan

tinggal di gunung dan tidak mungkin turun, jadi bidan yang naik ke atas. Biaya

persalinan untuk jampersal Rp. 500.000,-, ANC 2 kali dan PNC 2 kali. Pelaksanaan ANC

biasanya memanggil bidan ke rumah dan bisa diklaim jampersal. Biasanya anak ke 3

untuk masyarakat yang mempunyai jaminan ASTEK juga pegawai negeri bisa

menggunakan dana jampersal.

Jika pasien harus dirujuk maka bidan desa harus membuat partograf, artinya

disitu bidan harus datang jam 9 malam, jadi harus sesuai. Bidan sendiri mau menolong,

tetapi pada saat mau dirujuk, pasien ketakutan akhirnya bayi langsung lahir. Karena

dianggap lahir normal oleh rumah sakit maka tidak dilayani dan pasien harus

membayar. Akhirnya dengan berat hati uang bidan disumbangkan untuk membiayai

mereka. Namun kasus demikian tidak banyak, hanya untuk masukan. Hal ini sesuai

dengan pernyataan yang disampaikan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kota Cilegon:

”Jampersal sendiri bagus untuk masyarakat Indonesia, siapapun boleh, tetapi dalam perjalanannya banyak yg harus di perbaiki. Permasalahan pelaksanaan jampersal biasanya pada waktu pasien dirujuk oleh bidan karena bidan sudah mampu untuk menolong. Dalam hal ini biasanya masyarakat disuruh untuk membayar”.

Pengelolaan Dana Jampersal di Tingkat Puskesmas

Pengelolaan jampersal terutama verifikasi keuangan ada di Dinas Kesehatan.

Pada tahun 2011 bidan mandiri masih digabung dengan puskesmas, namun sejak

tahun 2012 dengan adanya Permenkes yang baru, pengelolaannya dipisah. Di luar jam

kerja setelah jam 14.00 bidan PNS sudah bisa praktek sebagai bidan mandiri. Bidan

mandiri bisa langsung mengklaim tetapi untuk menjadi bidan mandiri ada persyaratan

Page 195: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

171

yaitu mempunyai STR (Surat Tanda Registrasi). Untuk memperoleh STR maka

persyaratannya mempunyai Surat Ijin Praktek dan APN. Selanjutnya untuk

mendapatkan MoU harus mmpunyai STR dan dan Surat Ijin Lokasi Praktik.

BPS (Bidan Praktek Swasta) ada 2, yaitu BPS murni dan Bidan puskesmas yang

menolong persalinan di luar jam kerja puskesmas. Jumlah bidan yang tercatat

sebanyak 53 orang. Untuk BPS murni persyaratannya harus membuat MoU. Uang

klaim yang diterima bidan praktek di luar jam kerja tidak dipotong sama sekali, kecuali

untuk pasien yang melahirkan di puskesmas langsung diserahkan ke puskesmas

melalui sekretaris.

3.4.6. Hambatan, Dukungan dan Harapan Pelaksanaan Jampersal

Lebih dari separuh wilayah kecamatan Citangkil merupakan daerah perkotaan,

merupakan daerah pemukiman dan perkantoran dinas-dinas maupun instansi

pemerintah lainnya. Fasilitas jalan yang ada cukup memadai, bisa dilalui kendaraan

roda dua dan roda empat, hal ini merupakan suatu keuntungan karena baik petugas

kesehatan, sarana kesehatan maupun masyarakat umum dapat menjangkau semua

wilayah Kecamatan Citangkil, yang tentu saja berdampak positif bagi pencapaian dan

keberhasilan program kesehatan.

Di setiap wilayah kelurahan terdapat bidan wilayah yang bertugas di pos

kesehatan kelurahan (poskeskel), sehingga masyarakat sangat terbantu dengan

keberadaan bidan tersebut jika sewaktu-waktu membutuhkan. Adanya tempat

pelayanan berupa posyandu, poskeskel, posbindu di pemukiman penduduk telah

mendekatkan jarak bidan dengan masyarakat. Cara ini memudahkan akses penduduk

dari sisi jarak dan waktu serta mengurangi biaya transportasi yang harus ditanggung.

Kedekatan ini akan lebih memungkinkan masyarakat mau datang ke fasilitas kesehatan

karena pelayanan di fasilitas kesehatan dianggap lebih aman dan tepat.Di samping itu

biasanya tariff yang diberikan kepada bidan tergantung dari kebijakan masing-masing

bidan wilayah, jika dilihat masyarakat tidak mampu maka uang yang diberikan

seadanya saja. Jumlah BPS (Bidan Praktek swasta) di kecamatan Citangkil ada 15

orang. 1 orang ikut MoU dan 3 orang dari puskesmas ikut MoU.

Page 196: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

172

Kemitraan antara bidan dan dukun berjalan dengan baik, dengan peran dan

tugas masing-msing. Jika ibu akan melahirkan memanggil dukun, maka dukun tersebut

akan mengantar ke bidan untuk mendapatkan pertolongan persalinan, sementara

dukun akan memandikan dan merawat bayi bila sudah lahir. Dengan adanya kemitraan

ini sudah jarang ibu yang melahirkan di dukun karena mereka langsung menghubungi

bidan.

Keberadaan kader di wilayah Citangkil sangat membantu dalam hal

pertolongan persalinan oleh bidan. Kader mempunyai peran mencari dan mencatat ibu

hamil pada setiap wilayah, per posyandu serta melakukan penyuluhan terhadap ibu-

ibu hamil, sosialisasi dengan lurah atau camat. Kadang-kadang dengan keluarganya

konsultasi dengan pihak Dinas kesehatan tentang keadaan bayinya, disamping

mengantar ke bidan bersama-sama dengan dukun / paraji. Biasanya untuk mengantar

ibu yang akan melahirkan tersebut dipilih kader yang tempat tinggalnya tidak jauh dari

ibu yang akan melahirkan. Bahkan warga sering memintatolong ke kader yang ada

untuk mengurus surat guna mengurus jampersal. Setiap 3 bulan sekali kader

menjembatani kegiatan donor darah.

Meskipun wilayah Citangkil termasuk daerah perkotaan, namun system

kekerabatan yang ada di wilayahnya cukup baik. Peran kader maupun tokoh

masyarakat yang ada di wilayah ini sangat peduli dengan masyarakat sekitar khususnya

terhadap ibu yang mau melahirkan. Dilakukan kerjasama dengan masyarakat yang

mempunyai kendaraan untuk mengantarkan ke RS atau puskesmas yang jauh. Sebagai

contoh bapak RT yang kebetulan mempunyai kendaraan bersedia mengantar ibu yang

mau melahirkan ke puskesmas yang jaraknya jauh.

Pendidikan merupakan hal yang utama dalam hal meningkatkan kesadaran dan

partisipasi masyarakat dalam pembangunan bidang kesehatan. Tingkat pendidikan di

wilayah Citangkil cukup tinggi, dari 16.791 penduduk yang berusia 10 tahun ke atas,

638 orang berpendidikan S1, 570 orang tamat Diploma, 6008 orang tamat SMA,

namun demikian juga terdapat 2.732 orang yang tidak/belum pernah sekolah.

Pendidikan tinggi telah mendukung penerimaan masyarakat khususnya ibu terhadap

pelayanan medis modern.

Page 197: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

173

Bidan yang pada pagi harinya adalah PNS di puskesmas, pada malam hari bisa

praktek sebagai BPS. Dengan adanya program jampersal maka masyarakat bisa

melahirkan di BPS dengan biaya jampersal. Sehingga dengan demikian dengan adanya

jampersal ada perubahan perilaku masyarakat untuk melahirkan di bidan termasuk

penggunaan KB setelah masa nifas. Sebagian masyarakat tidak ikut KB karena menurut

mereka dilarang agama untuk ber KB, ada yang dilarang suami sehingga pada waktu

control tidak mau disuntik KB.

Dilihat dari tingkat sosial ekonomi, masyarakat di wilayah puskesmas Citangkil

banyak yg tidak mampu, bekerja sebagai ojek atau bekerja sebagai buruh bangunan.

Demikian juga masyarakat yang tidak mempunyai jaminan kesehatan menggunakan

dana jampersal. Dengan adanya program jampersal akan sangat mendukung karena

program tersebut sangat bermanfaat bagi masyarakat kecamatan Citangkil khususnya

yang kurang mampu untuk mengurangi beban ekonomi keluarga. Di sisi lain dengan

adanya program jampersal yang gratis tersebut membuat masyarakat menjadi manja,

uang yang seharusnya untuk persiapan persalinan digunakan untuk selamatan yang

jumlahnya cukup besar.

Hambatan

Pada umumnya masyarakat senang dengan segala sesuatu yang bersifat gratis

seperti halnya program jampersal. Sehingga dalam pelaksanaan pelayanan KIA dengan

dana jampersal tidak ada hambatan yang berarti. Kesadaran untuk mendapat

pelayanan medis semakin meningkat ditunjang dengan adanya kemudahan pelayanan

gratis, sarana komunikasi melalui HP serta bidan berlokasi di setiap wilayah kelurahan.

Cukup banyak perusahaan-perusahaan yang tergolong besar di wilayah

Citangkil, dimana masyarakat bekerja baik sebagai karyawan maupun sebagai buruh.

Kebutuhan akan pelayanan kesehatan termasuk melahirkan ditanggung oleh

perusahaan sampai anak kedua. Sehingga masyarakat yang bekerja di perusahaan baru

menggunakan dana jampersal bila melahirkan anak ketiga dan seterusnya, demikian

juga bagi PNS bila melahirkan anak ketiga baru menggunakan dana jampersal.

Page 198: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

174

Masyarakat yang tergolong mampu dalam ekonomi biasanya melahirkan di

rumah sakit elit di kota Cilegon, sehingga program jampersal bisa dikatakan untuk

menolong masyarakat yang kurang mampu saja.

Sebagian masyarakat kota Cilegon dan wilayah Citangkil pada khususnya masih

membawa tradisi atau kepercayaan asal daerahnya terkait dengan kehamilan dan

persalinan. Biasanya untuk mempercepat proses melahirkan menggunakan rumput

Fatimah, diminum agar cepat lahir. Hal ini dapat menjadi penghambat penerimaan

terhadap pelayanan medis oleh bidan dan tenaga kesehatan lainnya.

Kurang Pengetahuan tentang Jampersal. Ketidak tahuan sebagian masyarakat

terhadap program jampersal merupakan salah satu hambatan terhadap pelayanan

medis oleh tenaga kesehatan dan tenaga kesehatan lainnya karena sebenarnya

masyarakat sangat menginginkan segala sesuatu yang bersifat gratis.

Kurang Puas terhadap Pelayanan RS. Dari hasil FGD dengan suami yang menggunakan

jasa jampersal, merasa kurang puas dengan pelayanan yang diberikan oleh pihak

rumah sakit. Ada perbedaan antara yang menggunakan program jampersal dan yang

tidak menggunakan program jampersal. Seperti pernyataan salah seorang bapak

peserta jampersal:

Untuk rujukan ke RS tidak ada keluhan, untuk pelayanannya kalau bisa jangan dibedakan, kelas 3, satu ruangan ada 16 orang, padahal itu sudah penuh.

Harapan

- Diperjelas petunjuk teknisnya (terutama masalah transport untuk rujukan ke

RS terutama untuk daerah terpencil, serta masaalah obat-obatan)

- Bentuk SPJ dibuat sesederhana mungkin karena di puskesmas banyak perawat,

bukan accounting, kadang2 program memang bagus tetapi belum tahu di lapangannya

seperti apa, tidak bisa di prediksi, terutama yg berkaitan dengan keuangan dan

administrasi, Jika berubah di tengah jalan bisa mengulang lagi, demikian juga staf yang

ada di Dinas kesehatan yang baru mendapat pelatihan tentang administrasi. Seperti

yang disampaikan pejabat dinas kesehatan kota Cilegon sebagai berikut:

Page 199: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

175

“tetapi belum tahu dilapangannya seperti apa, tidak bisa di prediksi, terutama yg berkaitan dengan Kita sebenarnya senang dengan bantuan Jampersal, tetapi untuk bentuk SPJ nya dikasih yang simple saja, krn kita di puskesmas banyak perawat, bukan accounting, kadang2 program memang bagus keuangan, administrasi, kalau berubah di tengah jalan bisa mengulang lagi, staf saya juga baru dilatih untuk administrasinya”

- Dari sisi masyarakat pengguna jampersal diharapkan agar tidak ada perbedaan

antara pelayanan jampersal dan non jampersal dan penanganan tenaga kesehata

diingkatkan.

Page 200: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

176

3.5 Puskesmas Semata, Kabupaten Landak

3.5.1. Gambaran Umum Kabupaten Landak

Kabupaten Landak merupakan wilayah pemekaran dari Kabupaten Pontianak di

Propinsi Kalimantan Barat. Diresmikan pada tanggal 4 Oktober, 1999. Ngabang

merupakan ibukota dari Kabupaten Landak, yang terletak diantara 1°00’ LU hingga

0°52’ LS serta 109°10’42” BT hingga 109°10’ BB.

Secara administrasi Kabupaten Landak berbatasan dengan Kabupaten Bengkayang di

sebelah utara; sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Pontianak; sebelah

timur berbatasan dengan Kabupaten Sanggau, dan sebelah barat berbatasan dengan

Kabupaten Pontianak.

Sumber: http://www.indonesianhistory.info/map/kalbar2007.html?zoomview=1

Ketersebaran desa di Kabupaten Landak tidak merata karena faktor geografis

dan luasnya wilayah. Kabupaten Landak terdiri dari 13 Kecamatan, dengan luas

wilayah 9.909,1 km2 atau 6,75% dari luas wilayah Propinsi Kalimantan Barat, dan

merupakan kabupaten dengan luas wilayah terkecil ketiga setelah Kabupaten

Pontianak dan Kota Pontianak.

NamaLandak berasaldari BahasaBelanda yang terbagi menjadi dua suku

kata, Landan Dak. LAN diambil dari bahasa inggris/belanda “land” yang berarti tanah

dan DAK yang mengacu pada arti Dayak, sebagai mayoritas penduduk asli di daeah

tersebut. Berdasarkan catatan sejarah bahwa kata "Dayak" ditulis oleh para penulis

Gambar 3.5.1. Peta Lokasi Kabupaten Landak

Keterangan:

Jumlah Kecamatan: 13

Luas wilayah : 9.909,1 Km2

Posisi : 1°00’ LU hingga 0°52’ LS serta 109°10’42” BT hingga 109°10’ BB.

Sarana Kesehatan: 12 puskesmas, 71 Puskesmas Pembantu (pustu), 141 poskesdes/polindes, 16 unit mobil pusling

Page 201: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

177

Belanda zaman itu dalam bentuk "Dyak" atau "Dyaker". Sementara kata "Land" berarti

"tanah". "Land-Dyak" sebenarnya bermakna "Tanah Dayak" yang kemudian diubah

menjadi "Landak". jadi Landak bisa berarti adalah pulau atau tempat bermukim dan

menetapnya suku Dayak.

Kabupaten Landak dapat dikategorikan sebagai kabupaten daerah hujan

dengan intensitas tinggi. Secara umum curah hujan rata-rata di Kabupaten Landak

sebesar 160 mm per bulan. Intensitas curah hujan yang cukup tinggi ini kemungkinan

dipengaruhi oleh daerah di Kabupaten Landak yang memang masih banyak berhutan

tropis yang diselingi oleh banyaknya perkebunan sawit. Dengan banyaknya lahan

perkebunan sawit menjadikan masyarakat di Kabupaten landak banyak yang bekerja di

sektor pertanian (82,88%), yang kemudian diikuti oleh sektor perdagangan (5,36%) dan

sektor-sektor lainnya seperti industri, konstruksi, angkutan, pertambangan, listrik,

telekomunikasi dan lain-lain.

Tabel 3.5.1

Wilayah Administratif Kecamatan di Kabupaten Landak Tahun 2010

No

Kecamatan

Jumlah Puskesmas

Jumlah Desa

Jumlah Dusun

1 Menjalin 1 8 26

2 Mempawah Hulu 1 17 52

3 Menyuke 1 16 83

4 Air Besar 1 16 34

5 Ngabang 2 19 71

6 Sengah Temila 3 14 69

7 Mandor 1 17 56

8 Meranti 1 6 25

9 Kuala Behe 1 11 28

10 Sebangki 1 5 27

11 Jelimpo 1 13 46

12 Sompak 1 7 21

13 Banyuke Hulu 1 7 17

Kabupaten Landak 16 156 555

Sumber: Kabupaten Landak dalam Angka Tahun 2011

Page 202: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

178

Dalam hal sarana dan prasarana kesehatan, Kabupaten Landak didukung oleh

16 Puskesmas dimana 12 puskesmas diantaranya merupakan puskesmas perawatan.

Selain itu Kabupaten landak juga mempunyai 71 Puskesmas Pembantu (pustu)dan 141

poskesdes/polindes serta ditunjang oleh sarana 16 unit mobil pusling yang masih

difungsikan.

Ketersebaran desa di Kabupaten Landak tidak merata karena faktor geografis

dan luasnya wilayah. Beberapa kecamatan yang memiliki jumlah desa relatif banyak,

yakni: Kecamatan Ngabang (19 desa), Kecamatan Mempawah Hulu (17 desa),

Kecamatan Mandor (17 desa). Sedangkankecamatan yang memiliki jumlah desa yang

relatif kecil, yakni: Kecamatan Sebangki ( 5 desa ), Kecamatan Meranti (6 desa),

Kecamatan Sompak ( 7 desa ), dan Banyuke Hulu ( 7 Desa ).

Kabupaten Landak masih tergolong jarang penduduknya. Pada tahun 2010,

kepadatan penduduk di Kab. Landak adalah 33 jiwa/ km2. Jumlah penduduk Kabupaten

Landak adalah 329.649 jiwa, terdiri dari 172.373 (52,28% ) orang laki-laki. dan 157.276

jiwa (47,71%) perempuan.

Tabel 3.5.2

Distribusi Penduduk, KK, Bayi, Balita dan BumilTahun 2010

No Kecamatan Penduduk Jumlah

Kk

Usia Reproduktif

L P Bayi Balita Bumil

1 Menjalin 9.712 8.886 3.872 408 2.764 514

2 Mempawah Hulu 17.291 15.491 6259 331 4.899 911

3 Menyuke 13.466 12.250 5403 93 4.053 754

4 Air Besar 11.764 10.160 5.082 175 3142 584

5 Ngabang 31.380 29.203 14.346 580 8.344 1.287

6 Sengah Temila 27.842 25.651 11.640 789 7.735 1.437

7 Mandor 14.638 13.749 6.576 34 3.944 734

8 Meranti 4.810 4.270 2.008 116 1.383 257

9 Kuala Behe 7.249 6.401 3.082 68 1.989 370

10 Sebangki 8.577 8.076 3.513 85 2.448 455

11 Jelimpo 12.242 11.096 5.411 423 3.469 645

12 Sompak 7.096 6.485 2.807 126 2.029 377

13 Banyuke Hulu 6.306 5.558 2.265 235 2.051 381

JUMLAH 172.373 157.276 72.264 3.463 48.250 8.706

Page 203: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

179

Masalah Kesehatan Ibu Dan Anak

Kesehatan merupakan salah satu indikator dalam mengukur tingkat

kesejahteraan suatu negara. Rakyat yang sehat merupakan salah satu modal untuk

menjadi negara yang kuat; kuat secara fisik, ekonomi, maupun social. Kesehatan ibu

dan anak merupakan cerminan keberhasilan suatu Negara dalam membangun

masyarakatnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah telah berusaha secara

terus-menerus untuk menjaga dan memantau kesehatan masyarakatnya, terutama

mereka yang tergolong rawan dan memiliki risiko tinggi yaitu ibu bayi dan anak balita.

Di Kabupaten Landak, program peningkatan kesehatan ibu dan anak

dilaksanakan melalui pemeriksaan kesehatan ibu hamil, pelayanan persalinan,

pelayanan paska persalinan hingga pelayanan keluarga berencana yang sesuai dengan

kebijakan pemerintah pusat. Program tersebut dilaksanakan melalui Program Jaminan

Persalinan Gratis yang disebut JAMPERSAL. Meskipun pelayanan program Jampersal

diberikan gratis oleh pemerintah, tidak mudah untuk dapat mencapai keberhasilannya

tanpa adanya upaya yang konsisten dan terus-menerus dilakukan oleh pemerintah

untuk memastikan masyarakat dapat menikmatinya sesuai dengan kebijakan yang

telah dikeluarkan. Untuk mengetahui hal tersebut, ada baiknya diketahui kondisi

kesehatan masyarakat sebelum pelaksanaan Jampersal dimulai. Informasi berikut

merupakan dasar yang dapat digunakan seberapa jauh program Jampersal dapat

berkontribusi berdasarkan hasil penelitian yang akan diuraikan dalam bab selanjutnya.

Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Tenaga Kesehatan

Pelayanan kesehatan di Kabupaten Landak dilaksanakan oleh tenaga kesehatan

yang tersebar di berbagai pelayanan kesehatan, tersedia 1 (satu) rumah sakit

pemerintah (RSUD Ngabang), 16 Puskesmas, 72 Pustu, 146 Polindes, 30 Poskesdes,

354 Posyandu dan 20 buah Pusling roda 4 untuk melayani seluruh penduduk.

Page 204: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

180

Tabel 3.5.3.

Jumlah Penduduk dan Distribusi Sarana Bangunan Fisik Kesehatan Menurut Puskesmas di Kabupaten Landak Tahun 2010

No

Kecamatan

Jumlah

Penduduk

Jumlah

PKM

Jumlah

Pustu

Jumlah

Poldes

Jumlah Pos’kdes

Jumlah

P’yand

1 Menjalin 18.598 1 4 8 2 38

2 Mempawah Hulu 32.782 1 7 17 3 56

3 Menyuke 25.716 1 6 16 3 17

4 Air Besar 21.924 1 7 13 2 18

5 Ngabang 60.583 2 12 16 3 42

6 Sengah Temila 53.493 3 7 12 4 93

7 Mandor 28.387 1 7 17 2 93

8 Meranti 9.080 1 1 6 1 32

9 Kuala Behe 13.650 1 4 11 2 6

10 Sebangki 16.653 1 4 5 2 13

11 Jelimpo 23.338 1 6 9 3 0

12 Sompak 13.581 1 4 5 2 11

13 Banyuke Hulu 11.864 1 3 7 1 7

Jumlah 329.649 16 72 146 30 354

Pada tahun 2010 jumlah tenaga kesehatan di seluruh Kabupaten Landak adalah

553 orang dengan ratio tenaga kesehatan untuk masyarakat per 100.000 penduduk

dalah 168. Hal ini berarti bahwa dari setiap 100.000 penduduk dilayani oleh 168

tenaga kesehatan, atau 1 orang tenaga kesehatan melayani 596 penduduk.

Page 205: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

181

Tabel 3.5.4

Jumlah dan Jenis Tenaga Kesehatan Kabupaten Landak Tahun 2010

No Tenaga Kesehatan Jumlah

1. Dokter Spesialis 1

2. Dokter Umum 21

3. Dokter Gigi 6

4. Bidan 143

5. Perawat 276

6. Perawat Gigi 17

7. Tenaga Kefarmasian 17

8. Analis Kesehatan 9

9. Tenaga Gizi 18

10. Tenaga Kesmas 12

11. Tenaga Sanitasi 22

12. Tenaga Teknisi Medis 10

13. Fisioterapis 1

Jumlah 553

Kesehatan Bayi dan Anak

Jumlah kelahiran hidup di Kabupaten Landak pada Tahun 2011 sebesar 5.193

bayi. Terdapat 16 bayi yang lahir mati. Angka lahir mati tersebut berdasarkan

laporkan program oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Landak.

Jumlah balita di Kabupaten Landak pada Tahun 2011 berdasarkan estimasi

jumlah penduduk yang tertulis dalam lampiran profil Kesehatan Kabupaten Landak

(laporan Ibu 2011) adalah 42.649 orang, yang terdiri dari 21.922 (51,4% ) anak laki-laki

dan 20.727 ( 48,6% ) anak perempuan.

Kesehatan Ibu, ANC dan Pertolongan Persalinan dan KB

- Pada Tahun 2011, jumlah pasangan usia subur (PUS) di Kabupaten Landak

sebanyak 57.134, dengan jumlah PUS yang tegolong miskin sebanyak 32,8%.

Page 206: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

182

- Jumlah kehamilan di Tahun 2011 sebanyak 7.874 kehamilan, dengan jumlah

kematian ibu sebanyak 7 orang kematian. Penyebab kematian terbanyak karena 3

terlambat dengan kasus perdarahan sebanyak 6 kasus kematian.

- Jumlah K1 di Tahun 2011 sebesar 5.882 bumil (74,7%), sedangkan K4 sebesar

5.691 (72,28%). Sedangkan untuk jumlah linakes di Tahun 2011 sebesar 5.409

kelahiran (71,96%). Jumlah persalinan yang dilakukan di fasilitas kesehatan sebanyak

1.907 (35,3%) sedangkan sisanya 3.502 persalinan (64,7%) tidak dilakukan difasilitas

kesehatan.

- Untuk kepesertaan KB, di Tahun 2011 jumlah akseptor KB di Kabupaten Landak

sebesar 11.152 akseptor, dimana sebagian besar akseptor memakai metode suntik dan

pil.

3.5.2. Gambaran Umum Puskesmas Semata

Hasil kajian data dan konsultasi dengan kepala Dinas Kesehatan dan stafnya untuk

menentukan lokasi penelitian dengan kriteria puskesmas dengan cakupan persalinan

oleh tenaga kesehatan yang masih rendah, maka terpilih kecamatan Semata, yang

merupakan pemekaran dari Puskesmas Ngabang.

Geografi

Puskesmas Semata berjarak sekitar 10 km dari pusat kota. Meskipun lokasinya

dipinggir jalan akses ke Pontianak, wilayah kerja Puskesmas Semata cukup luas dengan

persebaran penduduk yang sangat lebar antara kelompok-kelompok perkebunan /

hutan kelapa sawit.Luas wilayah kerja Puskesmas Semata Kecamatan Ngabang adalah 636,7

km², meliputi 9 desa dan terdiri dari 40 dusun. Puskesmas Semata Kecamatan Ngabang

terletak di 14 km dari ibu kota kabupaten atau di jalur sutra /jalan antar Negara .

Secara administratif wilayah kerja Puskesmas Semata berbatasan dengan:

a. Sebelah Utara berbatasan dengan kecamatan Menyuke

b. Sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan Sengah Temila

c. Sebelah Timur berbatasan dengan kecamatan Ngabang

d. Sebelah Selatan berbatasan dengan kecamatan Sui Ambawang

Page 207: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

183

Sebagian daerahnya adalah tanah sawah, tanah kering, hutan dan lain-lain,

sebagian besar daerahnya mudah dijangkau melalui darat dengan jalan beraspal dan

jalan dengan pengerasan, sedangkan daerah yang agak terpencil, jangkauannya

melalui sungai dan daerah pegunungan.

Demografi

Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Semata Kecamatan Ngabang

adalah 26.772 jiwa dengan 6.615 KK, sebagian besar terdiri dari suku Dayak, Melayu,

Jawa, Batak, Cina dan sebagian kecil adalah suku lainnya. Sekitar 25 % penduduknya

bermukim di daerah pusat pemerintahan dan perekonomian serta sisanya tersebar

merata di wilayah desa. Sebagian besar penduduknya berdekatan dengan tempat -

tempat pelayanan kesehatan ( Puskesmas, Puskesmas Pembantu dan Polindes ).

Tabel 3.5.5

Data Penduduk Wilayah Kerja Puskesmas Semata di Kabupaten Landak Tahun 2010

No Desa Dusu

n RT KK Rumah

Penddk

Bayi Balita Bumi

l Bulin

1. Amboyo Inti 4 14 1963 1963 6628 166 861 158 150

2. A. Selatan 12 36 1678 1678 6903 170 878 161 153

3. A. Utara 7 19 985 985 4660 102 522 96 91

4. Antan Rayan 4 11 658 658 2926 79 410 75 71

5. Amang 4 7 340 340 1410 38 193 36 39

6. Penyahu Dangku

2 4 192 192 830 40 207 38 35

7. Temiang Sawi 3 10 225 225 1174 79 408 74 71

8. Sebirang 2 6 199 199 742 39 201 37 36

9. Pak Mayam 2 6 375 375 1499 43 221 41 38

JUMLAH 40 113 6615 6615 26772 756 3901 716 684

Sosial Ekonomi Masyarakat

Tingkat pendidikan masyarakat rata-rata masih berpendidikan Sekolah Dasar,

penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan sebagian kecil adalah

pedagang dan pegawai negeri. Jumlah masyarakat yang tergolong miskin 13.593 jiwa

(50.8%) dari 26.772 jumlah penduduk).

Page 208: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

184

Sebenarnya di Kecamatan Ngabang terbagi dalam 2 wilayah kerja Puskesmas

yaitu Puskesmas Ngabang dan Puskesmas Semata dan di wilayah kerja Puskesmas

Semata terdapat 6 buah perusahaan bergerak dalam Perkebunan Kelapa Sawit,

sekarang ini banyak petani berusaha untuk memelihara perkebunannya yang hasilnya

dapat meningkatkan pendapatan dan secara tidak tidak langsung akan meningkatkan

ekonomi masyarakat. Usaha lainnya adalah peningkatan ekonomi bagi masyarakat

miskin melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat seperti : P2KP dan PPK

yaitu dalam usaha kelompok melalui Simpan Pinjam (SPP) sampai sekarang kegiatan

tersebut masih berjalan.

Penduduk yang berada di wilayah kerja Puskesmas Semata sebagian besar

masih percaya pada dukun sehingga pasien yang berobat di sarana kesehatan yang ada

rata – rata sebelumnya telah berobat ke dukun.

Untuk bidang keamanan dalam wilayah Puskesmas Semata dalam keadaan

kondusif sehingga roda pemerintahan, pembangunan dan ekonomi masyarakat

berjalan dengan lancar. Kepercayaan masyarakat terhadap dukun yang disertai

pendidikan yang rendah secara otomatis akan mempengaruhi pengetahuan

masyarakat dibidang kesehatan dan akan menghambat pembangunan dibidang

kesehatan, sedangkan kalau dilihat dari jumlah penduduk yang miskin maka

kemampuan untuk berobat masih dianggap menjadi masalah.

Derajat Kesehatan Masyarakat

Untuk mengetahui derajat kesehatan masyarakat yang ada di Kecamatan

Ngabang, Puskesmas Semata Kecamatan Ngabang menyajikan berdasarkan dari data

Mortalitas (kematian) dan data Morbiditas hasil kegiatan Puskesmas Semata

Kecamatan Ngabang pada tahun 2011. Data mortalitas meliputi data : Angka Kematian

Bayi, Angka Kematian Ibu dan Umur Harapan Hidup. Sedangkan morbiditas

berdasarkan angka kesakitan yang terjadi pada masyarakat dalam kurun waktu 1 tahun

yaitu pada tahun 2011.

Angka kematian bayi. Angka Kematian Bayi yang biasa dipergunakan yaitu

angka kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup. Pada tahun 2011 di Puskesmas Semata

Kecamatan Ngabang jumlah angka kelahiran hidup 638 bayi. Sedangkan angka

Page 209: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

185

kematian bayi berjumlah 6 kasus. Berarti angka kematian bayi pada tahun 2010 di

Puskesmas Semata Kecamatan Ngabang 2 per 1.000 kelahiran hidup (jadi setiap 1.000

kelahiran ada 3 bayi yang mati). Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan angka

kematian bayi nasional mencapai 35 per 1.000 bayi lahir hidup. Angka Kematian Bayi di

Puskesmas Semata Kecamatan Ngabang di sebabkan oleh Asfiksia dan Premature.

Angka kematian ibu Di Indonesia angka kematian ibu pada tahun 2007 adalah

228 per 100.000 kelahiran hidup (ini berdasarkan data SDKI, MDGs dan Bappenas

tahun 2007) . Sedangkan di Kabupaten Landak belum ada data angka kematian ibu

yang dilaporkan baik itu dari BPS atau dari organisasi lainnya. Di Puskesmas Semata

Kecamatan Ngabang angka kematian ibu diambil dari laporan yang dilaporkan oleh

bidan desa di polindes, petugas kesehatan di puskesmas pembantu, dan bidan di

puskesmas induk. Pada tahun 2011 ada 1 kasus kematian ibu nifas yang dilaporkan

disebabkan karena anemia.

Usia harapan hidup di Kalimantan Barat berdasarkan hasil Indonesia Human

Development Report (HDR) tahun 2005 rata-rata umur harapan hidup masyarakat

Kalimantan Barat adalah 68,08 tahun untuk perempuan dan 65,66 tahun untuk laki-

laki, angka ini di bawah angka nasional 69,7 tahun. Kabupaten Landak Usia Harapan

Hidup 64,5 tahun pada laki-laki, dan 67,7 tahun pada perempuan (berdasarkan data

UNFPA, BPS tahun 2005).

Masalah kesehatan ibu dan anak dan cakupan pelayanan

Pemeriksaan kehamilan. Terdapat perbedaan informasi mengenai

pemeriksaan ibu hamil berdasarkan data rekapitulasi Dinas Kesehatan 2011 untuk

Puskesmas Semata dengan Profil Puskesmas Semata 2011. Namun demikian, untuk

menjaga netralitas hasil penelitian, maka data sekunder ini disajikan berdasarkan

sumber datanya. Adapun kajian dan analisis dilakukan pada sub hasil penelitian dan

pembahasannya pada uraian selanjutnya.

Page 210: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

186

Tabel 3.5.6

Cakupan Pemeriksaan Kehamilan Tahun 2011 Berdasarkan Data Dinas Kesehatan dan Profil Puskesmas Semata

No

Indikator

Rekap Dinkes Data Profil

n % n %

1 Jumlah bumil 682 - 716 -

2 K1 526 76.68 556 77.65

3 K4 501 73.03 612 85

4 TT1 526 76.68 296 41.3

5 TT2 501 73.03 375 52.4

6 Fe1 526 76.68 684 95.5

7 Fe3 501 73.03 608 84.9

8 Deteksi Risti oleh Nakes 19 13.85 0 -

9 Rujukan Risti 2 1.4 0 -

Pertolongan persalinan. Berdasarkan rekapitulasi data dari Dinas Kesehatan

Kabupaten Landak, jumlah ibu bersalin di Puskesmas Semata selama Tahun 2011

adalah 654 orang, dan sebanyak 57,9% ditolong oleh tenaga kesehatan. Dari total yang

bersalin dengan tenaga kesehatan (379 orang), hanya 36,4% yang melahirkan di

fasilitas kesehatan (Puskesmas/Polindes). Sebagian besar 63,6% ibu bersalin dirumah

dengan pertolongan bidan. Data ini juga menunjukkan bahwa pertolongan persalinan

oleh dukun masih tinggi, yaitu 42,1%. Bila dilihat dari upaya pemerintah untuk

mencapai MDGs, maka kondisi persalinan di Puskesmas Semata tampaknya masih jauh

dari target pencapaian MDGs, yaitu persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan di

fasilitas pelayanan kesehatan.

Data dari rekapitulasi Dinas Kesehatan menunjukkan angka yang berbeda

dengan data Profil Puskesmas 2011 seperti paparan berikut ini. Pelayanan persalinan

yang dilakukan oleh petugas kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Semata Kecamatan

Ngabang mencakup 558 (86 %) sedangkan target adalah 684 (100 %). Kalau dilihat dari

pelayanan persalinan oleh petugas kesehatan belum mencapai target yang diinginkan.

Page 211: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

187

Bila dilihat pada tahun-tahun sebelumnya pertolongan persalinan oleh petugas

kesehatan pada tahun 2011 mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan jumlah

pencapaian tahun 2010 yaitu sebanyak (76,30 %) atau 528 Bulin.

Berdasarkan data-data tersebut, tampak adanya perbedaan cakupan yang

sangat lebar antara laporan Dinas Kesehatan 2011 dan Profil Puskesmas 2011,

sehingga sulit melakukan analisis mengenai kondisi yang sebenarnya. Namun hasil

pengumpulan data kuantitaif dan kualitatif dari studi ini diharapkan dapat memberikan

gambaran yang lebih mendekati secara community based.

Fasilitas Pelayanan dan Ketenagaan di Puskesmas Semata

Puskesmas Semata merupakan puskesmas induk dengan pelayanan rawat

jalan. Dengan cakupan wilayah yang cukup luas dan menyebar, Puskesmas Semata

dibantu oleh 7 puskesmas pembantu (pustu) yang tersebar di 6 (enam) buah desa, dan

dilengkapi dengan 7 buah polindes, masing-masing terletak di setiap desa yang ada,

dan 2 buah Poskesdes yang terletak di Desa Antan Rayan dan Amboyo Inti.

Jumlah seluruh tenaga penunjang kegiatan di Puskesmas Semata terdiri dari 43

orang. Semua karyawan sudah memiliki status sebagai PNS (38 orang) CPNS (3 orang)

dan PTT (1 orang).

Tabel 3.5.7

Komposisi ketenagaan di Puskesmas Semata

No Jenis Tenaga Jumlah

1 Dokter umum 1

2 Dokter gigi 1

3 Bidan 11

4 Perawat 21

5 Perawat gigi 1

6 Sanitarian 1

7 Gizi 2

8 Analis kesehatan 1

9 Pekarya kesehatan 3

10 Petugas kebersihan 1

Jumlah 43

Page 212: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

188

3.5.3. Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak

Dalam menyikapi persoalan kehamilan, persalinan, pasca persalinan dan

pemanfaatan program jampersal di Kabupaten Landak, masyarakat masih

mengkaitkannya dengan budaya atau kebiasaan yang berlaku dan melekat erat hingga

tercermin dalam kehidupan sehari-hari.

Pandangan yang Ada di Masyarakat tentang Ibu Hamil

Kehamilan merupakan suatu saat yang penuh arti dan banyak ditunggu oleh

setiap pasangan yang menikah. Demikian juga pendapat dari para informan yang

terkumpul dalam kegiatan diskusi kelompok terarah di Kab Landak.

Salah satu peserta FGD toma yg berinisial B mengatakan bahwa kehamilan itu

adalah anugrah yang musti dijaga dan dirawat sehingga menghasilakan anak yang

sehat. Tetapi peserta diskusi dari kelompok toma ada juga yang mengatakan,

“kehamilan itu adalah suatu keharusan...... Karena dengan kehamilan itu kita bisa meneruskan keturunan dan keluarga...makanya setiap orang yang menikah itu harus hamil. itu kan kebangaan keluarga juga...”

Tetapi ada juga suami yang mengikuti program jampersal mengatakan;

“ kehamilan itu kan sesuatu yang lumrah kalo kita sdh berkeluarga. Jadi menurut saya kehamilan itu sih ndak usah terlalu dibesar-besarkan. Wajar kok. Kita Cuma harus ngejaga nya aja biar tetap sehat. Ibunya sehat anakna juga sehat...kita juga harus rajin periksa ke bidan biar tetap sehat...”

Ada juga yang informan dari kelompok suami yang tidak mengikuti program jampersal

berpendapat;

”kalo istri hamil itu kan sebenarnya dia lagi keadaan lemah gitu... ndak kuat kerja..ndak bisa tahan lama-lama berdiri..jadi kita sebagai suami ya harus bantu istri..kalo kita sudah menikahi dia berarti kita juga harus bantu dia..masa istri ndak bisa apa-apa ndak kita bantu....”

Pandangan yang Ada di Masyarakat tentang Ibu Bersalin

Beragamnya pandangan masyarakat akan persalinan seorang ibu terungkap

dalam diskusi kelompok terarah yang dilakukan terhadap para bidan, para tokoh

Page 213: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

189

masyarakat, para suami pengguna program Jampersal dan para suami yang tidak

mengikuti program jampersal.

Salah seorang informan dari kelompok tokoh masyarakat mengatakan;

“persalinan itu sesuatu yang penting,pak. kita tidak boleh lengah karena itu menyangkut nyawa. Baik nyawa si ibu maupun si anak itu. Jadi menurut saya persalinan itu harus berada dalam suasana yang enak buat si ibu yang mau melahirkan..enak juga buat yang nolongnya....”

Sedangkan informan lain dari kelompok yang sama mengatakan:

“ melahirkan itu adalah peristiwa keluarnya si jabang bayi dari rahim ibu. Nah, sewaktu keluarnya itu yang harus di tolong oleh bidan atau dukun karena si ibu yang tidak kuat atau tidak tau caranya buat yang pertama. Jadi melahirkan itu harus di tolong,pak...kita juga bisa jadi penolongnya....”

Sedangkan dari kelompok bidan, salah seorang informan mengatakan bahwa

persalinan itu adalah hal yang lumrah karena dari setiap kehamilan yang terjadi pasti

akan ada proses persalinan, tapi yang membedakannya adalah bagaimana proses

bersalin itu dan siapa yang menolong persalinan tersebut agar tidak ada yang

meninggal baik si ibu maupun bayi yang baru dilahirkannya.

Pendapat dari kelompok suami yang tidak mengikuti program jampersal, salah

seorang informannya mengatakan;

“ melahirkan itu kan keluarnya si bayi dari rahin ibu, jadi ya keluar saja, kita tidak bisa apa-apa karena memang sudah seperti itu. Cumamemang sewaktu kelurnya itu sepertinya kita tidak bisa menolong si ibu, jdi kita minta tolong sama orang yang bisa nolong, orang yang...ngertilah buat begitu-begitu...biasanya sih bidan atau dukun ya pak,,,”

Pandangan tentang Keputusan Menentukan Tempat Bersalin dan Pembiayaannya

Ketika pembicaraan bergulir dan menanyakan pendapat para informan

mengenai keputusan siapa dan dimana seorang ibu bisa bersalin termasuk dengan

pembiayaannya, informan dari kelompok suami non jampersal berkata;

“yang musti memilih dan memutuskan itu ya suaminya pak. karena kan suami yang bertanggung jawab buat istrinya...lagipula siapalagi yang nentuin, masa istri yang menentukan sedangkan dia sendiri lagi sakit, ya kita inilah,pak yang menentukan tempatnya...”

Page 214: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

190

Para suami dari ibu yang tidak menggunakan Jampersal tampaknya tidak pernah

terpapar dengan Jampersal. Mereka secara bersamaan menyatakan bahwa suamilah

yang bertanggung jawab terhadap istri yang sedang sakit, sehingga merekalah yang

harus membuat keputusan kemana istri harus dibawa untuk bersalin. Sosialisasi

Jampersal kepada masyarakat sangat penting, dan tidak hanya melalui ibu yang

sedang hamil. Kalaupun ibu ketika hamil memperoleh informasi dari bidan bahwa ada

fasilitas Jampersal yang sifatnya gratis, tetapi dia tidak mengkomunikasikannya

dengan suami, tentu suami tidak akan memiliki alternative dan pengetahuan tentang

persalinan yang aman. Akhirnya mereka hanya pasrah dengan mengikuti tradisi dan

kebiasaan setempat (bersalin dengan dukun), yang dalam hal ini akan sangat

mengkhawatirkan provider kesehatan terhadap risiko yang mungkin terjadi dan

terkait dengan upaya pemerintah dalam penyelenggaraan Jampersal.

Berbeda halnya dengan pendapat para suami pengguna Jampersal seperti

kutipan dibawah ini:

“ sepertinya kalo urusan yang menentukan tempat melahirkan itu ya kita sama-sama pak. sama-sama istri, kan sebelum melahirkan itu kita tanya dia maunya dimana, kalo dia maunya di bidan atau dirumah saja ya itu kan terserah dari istri maunya dimana, soalnya kanpak, kalo melahirkan itu kan istri sendiri harus enak, harus nyaman gitu. Soalnya kalo nggak enak takut ada apa-apanya sama istri,pak...”

Dari hasil penggalian informasi tampak sekali bahwa suami dari para ibu

pengguna Jampersal tampak lebih komunikatif dengan istri. Para istri mungkin

menyampaikan apa yang mereka dengar dari bidan sekembalinya dari periksa hamil.

Suaminyapun cukup mengerti dengan informasi yang diperoleh dari istri. Ternyata

komunikasi tersebut membuahkan hasil yang positif terhadap kesehatan, artinya ada

transfer informasi berdasarkan sosialisasi yang diperoleh oleh ibu dari bidan ke suami.

Ini merupakan aspek positif; meskipun sosialisasi tidak dilakukan, komunikasi personal

dari bidan ke ibu juga membawa efektif.

Informasi tentang keputusan dalam menentukan tempat bersalin juga digali

dari tokoh masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk menggiring peserta pada penggalian

selanjutnya mengenai sosialisasi Jampeprsal.

Page 215: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

191

“melahirkan itukan diibaratkan sakit ya, pak. jadi memang harus di tolong. Yang berhak untuk menolongnya adalah orang yang punya kemampuan untuk menolong, yaitu bidan atau dukun, kalo di desa-desa mungkin lebih banyak dukun kali ya pak...nah yang menentukan dimananya ya kepala keluarga,pak. Karena kepala keluarga yang bertanggungjawab atas keluarga tersebut, termasuk bertanggungjawab sama istrinya...jadi menurut saya ya harus kepala kaluarga yang menentukan. Dan biasanya kepala keluarga itu kan laki-laki ....”

Tampak adanya sedikit distorsi informasi yang disebabkan oleh pengetahuan

tokoh masyarkat yang sudah lebih memahami arti persalinan. Mereka secara

diplomatis menyebut kemampuan menolong persalinan dapat dilakukan oleh bidan

ataupun dukun. Mereka secara eksplisit menyatakan bahwa kepala keluarga yang

biasanya membuat keputusan kemana istri sebaiknya dibawa ketika bersalin. Yang

dimaksud dengan kepala keluarga disini adalah suami dari ibu yang bersalin. Di wilayah

Puskesmas Ngabang pada umumnya, menurut tokoh masyarakat, ibu-ibu bersalin

dengan pertolongan dukun.

Untuk memperkuat informasi tentang keputusan dalam pencarian pertolongan

persalinan, maka triangulasi informasi dilakukan dengan para bidan. Bidan sebagai

informan kunci yang diharapkan dapat memberikan informasi lebih netral dan to the

poin karena menyangkut bidangnya. Hasil diskusi kelompok dengan bidan

menyatakan;

“Kalo disini sih pak biasanya ya kepala keluarga yang menentukan mau bersalin dimana. Kita nggak bisa memaksa mereka untuk bersalin di bidan, karena mereka punya keluarga dan ada yang bertanggungjawab. Biasanya sih kalo mereka tinggal sendiri, ya suaminya,pak. tapi kalo mereka tinggal sama orang tua ya biasanya orangtua yang mengatur meski ada suaminya. Biasanya juga suami Cuma menuruti orangtua,pak. ya menghormati orangtua lah....”

Informasi mengenai pembiayaan persalinan digali dari kelompok diskusi yang

sama yaitu suami ibu bersalin, tokoh masyarakat maupun bidan. Pendapat para tokoh

masyarakat adalah bahwa biaya persalinan merupakan biaya yang memang harus

dikeluarkan oleh setiap kepala keluarga karena berhubungan dengan risiko yang

ditanggung oleh istri yang besalin. Informasi yang diperoleh dari tokoh masyarakat

seperti dikutip dibawah ini:

Page 216: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

192

“ mengenai biaya,pak. itu sih mang harus dikeluarin oleh setiap suami. Karena selain sebagai kepala rumah tangga, suami juga harus bertanggungjawab atas kesehatan istrinya termasuk waktu melahirkan. Jadi dia harus membayar berapapun biaya yang diperlukan untuk istrinya melahirkan... jadi itu sih risiko jadi suami pak. kalo suaminya tidak mau membayar...ya kebangetan,pak....orang istri, istri dia kok malah orang lain yang suruh bayar....”

Pendapat yang senada dikeluarkan oleh kelompok suami yang mengikuti program

jampersal, salah seorang informannya mengatakan;

“ kalo musti bayar sih mang sudh harus kita bayar,pak...masak orang lain yang bayar...pake uang pak bayarnya...lebih praktis...”

Dalam diskusi kelompok terarah, bidan sebagai provider dan pemberi pelayanan

mengungkapkan bahwa biaya persalinan yang diterima dari masyarakat tidak

ditentukan, seperti kutipan yang disampaikan oleh salah seorang peserta diskusi:

“ kita sih ikhlas aja pak...mau di bayar syukur ndak di bayar juga ndak apa-apa. Orang kita ini kan sudah tau sama tau lah keadaan disini. Kita juga ndak pernah memaksa. Tapi sering juga sih kita dibayar..ya pake uang, ya pake beras, ya pake kain...tergantung dari yang ngasihnya juga,pak. seikhlasnya mereka aja...”.

Pengakuan para bidan sedikit berbeda dengan informan kunci yang diwawancara

selama di lapangan. Fakta dan solusi terhadap kondisi lapangan adalah lokasi Polindes

yang jauh, sehingga persalinan tidak dilakukan di fasilitas kesehatan. Hal ini merupakan

‘pelanggaran’ terhadap implementasi Jampersal; oleh karena itu, ada toleransi

kebijakan Jampersal terhadap kondisi ini, sepanjang persalinan dapat ditangani oleh

bidan (bukan dukun). Untuk itu, bidan masih tetap diijikan untuk melakukan claim

Jampersal. Dalam kondisi bidan dipanggil kerumah dan masih untuk menolong

persalinan ibu, maka biasanya keluarga dibebankan tambahan biaya sekitar Rp. 400 s/d

500 ribu sebagai kompensiasi dan transportasi bidan. Tarif persalinan umum (non

Jampersal) untuk bidan panggilan di wilayah Kabupaten Landak berkisar antara 1.1 –

1.5 juta rupiah. Sehingga dengan demikian, pendapatan bidan dalam menolonga

persalinan akan sepadan dengan penghasilan dari praktek swasta dan masyarakat

tetap membayar lebih murah dari biaya sebenarnya (tetapi bukan gratis).

Berkaitan dengan pertanyaan mengenai pembiayaan, ketika ditanyakan akan

upaya pemerintah dalam memberikan pelayanan gratis untuk ANC, persalinan, nifas

Page 217: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

193

termasuk neonatus dan KB pasca persalinan serta pelaksanaan program jampersal,

salah satu informan dari kelompok bidan berpendapat;

“pemerintah sebenarnya sudah bagus pak, kita sih sini kan sebagai pelaksana aja ya,pak. pelayanan gratis untuk persalinan, nifas dan KB temasuk jampersal itu sebenarnya bagus. Tapi kita disini ini sering juga kesulitan. Contohnya begini, program jampersal ini kan gratis biaya persalinan, tapi kalo kita bilang gratis ke masyarakat, masyarakat itu pikirannya gratis semuanya, ya persalinannya, ya obatnya, ya pembalutnya ya semuanya,pak. terus kalo untuk pelayanan nifas,pak. seringkali justru kita yang malah keluar uang. Bukannya kita yang dapat uang.......disini ini kan daerahnya begini ya pak (perkebunan sawit, jarak yang jauh, dan kondisi jalan yang tidak memadai), nah untuk mencapai ibu bersalin itu kadang kami harus berjalan jauh malah kadang harus menginap pula di desa terdekat. karena jauh dan susah itu lho,pak.....terus kalo mau naik ojek, ya uang dari mana...memang sih ada dana misalnya dari BOK atau dari yang lainnya, tapi itu semua kan ndak cukup pak untuk daerah seperti ini....pusling saja sudah rusak dan tidak bisa jalan,pak...”

Pengakuan bidan tersebut ada benarnya. Triangulasi dengan informan kunci

menyatakan bahwa hampir seluruh bidan juga melakukan pengurusan administrasi

hingga ke kepala desa untuk dapat melakukan claim Jampersal, karena masyarakat (ibu)

jarang sekali memiliki kartu identitas penduduk (KTP). Dalam pengurusan administrasi

ini bidan juga sekaligus akan membuatkan akte untuk si bayi. Informasi ini tidak hanya

diperoleh dari informan kunci, tetapi dari beberapa suami pengguna Jampersal maupun

non Jampersal yang mengikuti diskusi. Beberaoa bidan juga memberikan suplemen

seperti vitamin dan susu untuk ibu bersalin. Ketika informasi digali lebih lanjut

mengenai pemberian susu bubuk pada bayi, Bidan menyatakan, tidak memberikan susu

apapun untuk bayi yang baru lahir, dengan harapan Ibu tetap berusaha untuk

memberikan ASI sebagai susu terbaik untuk bayi.

Ketika pertanyaan tentang program Jampersal disampaikan kepada kelompok

tokoh masyarakat, mereka berpendapat bahwa program yang dikembangkan oleh

pemerintah sudah baik dan bermanfaat; namun diskusi mereka sedikit berkembang

dengan adanya keluhan dan rasa tidak puas terhadap pelaksana

programnya/puskesmas. Mereka mengeluhkan jam buka puskesmas yang terlalu siang

(diatas jam Sembilan) serta tidak adanya tenaga dokter dan petugas bidan yang tidak

ditempat serta pelayanan puskesmas yang kurang baik, seperti kutipan dibawah ini:

Page 218: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

194

“ untuk program pemerintah yang dijalankan di daerah ini, menurut saya sih sudah baik pak. hanya saja sepertinya pelaksaanaan disini nya saja yang kurang maksimal. Sebagai contohnya pak. pemerintah sudah menetapkan setiap puskesmas itu harus ada dokternya, harus ada bidannya, tapi coba bapak liat disini. Dokter aja nggak ada, bidan sih ada, tapi seringnya justru nggak ada. Jadi kalo kita butuh itu seringkali tidak bisa dilayani karena nggak ada tenaganya......”

Ketika pertanyaan yang sama disampaikan kepada kelompok kelompok suami

pengguna jampersal, pendapat mereka :

“sudah bagus pak, saya sih mendukung program pemerintah ini. ....buat jadi mudah aja pak. jadi kita juga nggak kebingungan lagi baut cari uangnya....ya kita kan pengen sehat, tapi kadang nggak ada uangnya...tapi dengan adanya jampersal ini sih saya setuju aja...”

Sebaliknya pendapat dari kelompok suami bukan pengguna Jampersal menyatakan;

“ kita ndak tau pak ada program pemerintah yang kaya gitu..kalo tau sih ya kita pengen juga ikut...kita ndak pernah dikasih tau...mungkin ibunya tau, karena sering ikut posyandu, tapi kami ini ndak tau pak.maklumlah,pak. kami ini kan bekerja, mencari nafkah, sedang istri kan di rumah. Jadi kami ndak tau apa-apa.....”

Salah seorang informal dari kelommpok ini juga mengatakan;

“… istri saya pengennya melahirkan di dukun, soalnya takut kalo pake bidan itu bayarnya mahal. tapi kalo ada program dari pemerintah begitu sih ya emang enaknya pake bidan aja....tapi ya tergantung istrinya juga lah,pak..”

Ketika ditanyakan mengenai alasan menggunakan dan tidak menggunakan program

jampersal, para informan dari kelompok-kelompok yang berbeda saling mengutarakan

pendapatnya. Untuk kelompok tokoh masyarakat ada informan yang mengatakan:

“kalo menurut saya,pak. kebanyakan orang pake jampersal atau jamkesmas atau apalah itu yang penting program pemerintah lah..itu karena mereka memang sudah tau apa yang mereka dapat dari program itu. Misalnya kalo kita sakit, nah kalo ada yang menanggung kaya pemerintah ini ya pastinya dia itu pake itu..tapi kalo dia ndak menggunakan fasilitas yang sudah disediakan ini ya itu sih pilihan mereka saja,pak......tapi mungkin juga mereka yang tidak menggunakan itu memang ndak mau menggunakan program itu...entah mereka ndak tau atau entah mereka memang ndak mau peduli.yang penting buat mereka sih istrinya melahirkan dengan selamat.itu saja...”

Pendapat tokoh masyarakat tersebut mencerminkan tidak adanya informasi

yang diketahui tentang Jampersal baik oleh tokoh masyarakat maupun masyarakatnya.

Namun jawaban tersebut juga mencerminkan ketidak-pedulian masyarakat tentang

fasilitas yang telah disediakan oleh pemerintah, disamping juga ketidak-tahuan

mereka. Untuk tipe masyarakat seperti ini, sosialisasi sepertinya perlu dilakukan; tidak

cukup hanya memberitahu ibu ketika mencari pelayanan pemeriksaan ibu hamil, tetapi

Page 219: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

195

juga ke para suami atau kepala rumah tangga. Ketidak-tahuan masyarakat tentang

fasilitas yang ada menyebabkan mereka mencari alternative yang lebih murah dan

lebih nyaman, sekalipun secara medis kita ketahui tidak aman.

Sedangkan dari kelompok suami yang menggunakan jampersal, ada yang mengatakan;

“ kami pake jampersal, terutama waktu istri saya melahirkan itu sebetulnya kami juga ndak tau pak. Cuma memang kemarin-kemarin istri saya waktu di posyandu dikasih tau sama bidannya kalo mau melahirkan itu dipuskesmas atau sama bidan.jangan pake dukun...katanya siih kalo melahirkan di bidan itu gratis,pak....kemarin-kemarin juga istri saya mau diperiksa sama bidang. Jadi ya sudah saja melahirkan di bidan.dan ternyata kata bu bidannya itu ada program jampersal dari pemerintah, jadi ya syukurlah, kami jadi lebih ringan soal biayaan...jadi bisa dipake ke yang lain gitu,pak......”

Pilihan penolong persalinan sangat tergantung kepada kondisi masyarakat.

Pemerintah memberikan fasilitas Jampersal dengan harapan bahwa masyarakat

bersalin dengan tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan. Kenyataannya, meskipun

dinyatakan gratis, masih banyak masyarakat yang memilih bersalin di dukun

dibandingkan dengan bidan. Adapun alasan yang disampaikan, menurut salah satu

informan dari suami bukan pengguna jampersal adalah sbb:

“ kita sih sebenarnya sama siapa aja nggak masalah,pak. Cuma istri kan maunya di dukun, jadi kita yang pilih dukun. Soalnya kata istri, dia lebih percaya sama dukun..lebih enak katanya..lagipula kalo didukun kita kan bisa lebih percaya karena dukun itu kan orang yang tinggal disini. Jadi kalo ada apa-apa kita bisa cepet gitu,pak...jadi nggak masalah kalo ada dukun.....”

Jawaban ini mencerminkan bahwa mereka tidak mengerti risiko dan bahaya yang

mungkin terjadi akibat persalinan. Persepsi mereka bahwa bidan ataupun dukun

memiliki kemampuan yang sama; tetapi dukun memiliki kelebihan karena merasa lebih

percaya, sudah kenal, dan tinggalnya dekat, sehingga bila terjadi sesuatu pertolongan

keluarga dan tetangga bisa lebih cepat.

Informasi dan hasil diskusi dengan kelompok bidan menyebutkan masih adanya

rasa percaya yang kuat terhadap dukun oleh masyarakat. Kepercayaan ini dilandasi

dari sudah saling mengenal antar dukun dengan ibu, kedekatan rasa dan tempat

tinggal serta dukun dapat melakukan pijatan kepada ibu

“susah,pak kalo disini. Di landak sini. Masyarakat masih banyak yang pergi ke dukun. Mau periksa atau mau melahirkan mereka banyak yang ke dukun. Mereka disini masih percaya dukun. Mereka bilang kalo mereka lebih percaya sama dukun karena biasanya dukun itu kan rumahnya dekat dengan rumah warga...lagipula

Page 220: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

196

kalo sama dukun kan masyarakat bisa suka minta dipijit. Apalagi kalo sehabis melahirkan, banyak yang minta pijit. Kita kan nggak bisa mijit. Itu lho pak...kadang masyarakat minta dipijit sekalgus buat di keatasin..itu lho pak..peranakannya yang minta di keatasin. Kata mereka biar nggak cepet hamil lagi...”

Pendapat yang agak berbeda disampaikan oleh salah seorang bidan bahwa

“ kadang dukunnya juga sih pak yang sepertinya nggak rela kalo pekerjaannya kita ambil. Mereka itu seperti takut sama kita. jadi kadang dukunnya juga yang suka nakut-nakutin warga kalo mau melahirkan di bidan....itu lho,pak. Dukun itu takut nggak ada lagi yang bisa ngasih uang kalo dia nggak tolong yang melahirkan...kan melahirkan di dukun itu kan menurut mereka lebih murah karena dukun kan biasanya pake obat-obatan dari daun-daunan. Jadi warga itu percaya kalo melahirkan ditolong dukun itu lebih aman....”

Dari pendapat tersebut secara implisit tampak adanya persaingan dukun dengan

bidan. Masyarakat sendiri tidak ada yang mengungkapkan pendapat seperti ini,

sehingga perlu adanya upaya yang inovatif untuk mendekatkan hubungan dukun-bidan

untuk bermitra. Pemerintah punya upaya, sebaliknya, masyarakat punya kehendak.

Belum tentu upaya baik masyarakat dapat ditanggapi secara baik, terutama bila

masyarakatnya masih terbelakang, dan banyak kepercayaan yang sifatnya negative

(missal: dukun punya kekuatan melalui pemberian air suci atau jampi-jampi).

Untuk menjembatani kondisi ini, ada baiknya dibuat suatu ‘pembinaan’ dukun

untuk memberikan peran yang cocok, misalnya menjadi penjaring ibu hamil, dijadikan

‘konsultan adat’ dalam kehamilan dengan memberikan materi-materi makanan sehat

untuk ibu hamil, perawatan kehamilan, perawatan bayi, dll, sehingga dukun merasa

diberi peran dan masyarakat juga merasa nyaman.

Hubungan antara Bidan-Dukun

Para bidan ini juga berpendapat bahwa hubungan mereka dengan dukun yang

ada di masyarakat itu sebenarnya cukup baik. banyak juga dukun yang menjadi mitra

para bidan dalam membantu persalinan warga. Banyak dukun yang menyerahkan

pertolongan ke bidan karena para dukun tersebut sebenarnya merasa bahwa mereka

sudah tidak bisa menolong lagi. tetapi banyak warga yang masih percaya dengan

mereka. Jadi jika ada yang membutuhkan pertolongan dukun bersalin, maka sebelum

Page 221: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

197

datang ke rumah warga yang memanggil tersebut, biasanya para dukun tersebut

menghubungi bidan dan mengajak bidan tersebut untuk pergi bersama ke rumah

warga.

Namun para bidan ini juga mengakui bahwa masih ada dukun yang memang

tidak mau meminta bantuan kepada bidan karena merasa tersaingi dalam hal

pekerjaannya. Pandangan ini senada dengan keterangan yang dikemukakan oleh salah

informan dari kelompok suami non jampersal yang mengatakan:

“kita lebih percaya dukun,pak dari pada bidan ....”

Atau pendapat yang dikemukakan oleh salah satu informan dari kelompok tokoh

masyarakat:

“disini, di landak ini budaya masih kuat,pak. masih banyak yang pake mejik. Disini orang-orang masih percaya sama yang begituan pak. jadi memang masih banyak yang pergi ke dukun. Karena selain mau minta di tolong juga sekalian minta di kasih perlindungan dari yang mau mengganggu...”

Kepercayaan yang bersifat negative seperti tersebut diatas sangat umum

pada masyarakat tradisional dan memiliki pendidikan rendah. Diperlukan

pendekatan social budaya untuk dapat merubah konsep masyarakat dalam

peningkatan kesehatan dan kesehatan yang lebih baik.

Hubungan antara bidan dengan aparat desa dan tokoh masyarakat

ditanyakan kepada bidan untuk dapat mengetahui seberapa jauh keterlibatan

perangkat desa dalam mensukseskan tujuan Jampersal. Hasilnya ternyata

cukup mengherankan, seperti yang diucapkan oleh seorang bidan dalam

diskusi kelompok terarah:

“Tidak ada,pak. kita tidak pernah berhubungan dengan para tokoh masyarakat. ini kan masalah kesehatan. jadi mereka itu ndak ngerti..lagipula mereka juga percuma pak dikasih tau...mereka ndak ngerti tapi merasa mereka yang paling benar saja...jadi kita-kita ini kadang sulit,pak karena tokoh masyarakatnya sendiri kadang suka menghalangi kita kalo mau periksa ibu-ibu apalagi kalo ada yang mau melahirkan. Tokoh masyarakatnya sendiri kadang ndak percaya sama bidan.......”

Terdapat kesenjangan yang cukup lebar antara bidan sebagai pelaksana

kegiatan dan aparat desa/tokoh masyarakat sebagai pemimpin lokal. Mereka masing-

masing memiliki arogansi sebagai ‘orang yang paling tahu’. Tentu ini membawa

Page 222: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

198

pengaruh yang tidak baik terhadap masyarakat. Seharusnya mereka bekerja saling

membahu, terlepas dari status dan kepangkatan, tetapi mereka bekerja untuk rakyat.

Bila kondisi ini tidak dicairkan, maka cita-cita untuk menjadikan masyarakat yang sehat

dan sejahtera melalui persalinan yang aman akan sulit tercapai dan dapat melampaui

target pencapaian MDGs.Untuk itu pemerintah harus mengkaji ulang implementasi

Jampersal yang tidak saja mengandalkan bidan sebagai ujung tombak, tetapi juga

melibatkan kepala desa dan tokoh masyarakat sebagai tim sukses, dan bahkan

memanfaatkan dukun sebagai pendamping ibu hamil/bersalin yang bermitra dengan

bidan.

Kepercayaan yang Masih Berkembang

Daerah Kabupaten Landak adalah salah satu daerah dimana masyarakatnya

masih menganut adanya kepercayaan-kepercayaan atau adat terutama yang berkaitan

dengan kehamilan, kelahiran dan pasca kelahiran seperti terungkap dalam keterangan

dibawah ini.

Masa Kehamilan. Seperti yang sudah diungkapkan sebelumnya bahwa bagi

para informan yang terdiri dari para tokoh masyarakat, para suami baik yang mengikuti

program jampersal maupun yang tidak mengikuti, dan para bidan, kehamilan

merupakan suatu hal yang istimewa. Karena merupakan suatu hal istimewa itu maka

menurut para informan, kehamilan itu harus dibarengi dengan cara-cara tertentu agar

tetap sehat baik untuk ibu yang mengandung, untuk bayi yang dikandung maupun bagi

suami dari ibu yang mengandung.

Banyak cara-cara yang dilakukan orang-orang di kabupaten landak untuk

menjaga kehamilan diantaranya adalah pengajian. Diadakannya pengajian (untuk yang

muslim) bagi ibu yang hamil terutama dalam trisemester pertama. Yang dimaksudkan

untuk ungkapan rasa syukur atas kehamilan yang ada sekaligus untuk mendoakan agar

janin dan ibu yang mengandungnya sehat. Ternyata pengajian ini juga dimaksudkan

untuk menjaga ibu dan janin dari gangguan “makhluk halus” yang mungkin dapat

mengganggu selama kehamilan. Sedangkan untuk selain muslim biasanya diadakan

pemberkatan di gereja dengan maksud yang sama.

Page 223: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

199

Di beberapa tempat di seperti di daerah Amboyo Utara, Amboyo Selatan,

masih banyak Ibu hamil yang biasanya akan dibekali beberapa benda seperti

gunting/pisau kecil/peniti/tusuk konde yang ujungnya diruncingkan yang

melambangkan senjata, bawang merah/putih/ carikan dari beberapa jenis dedaunan,

dan sedikit kemenyan/wewangian. Kesemuanya ini dimasukkan ke dalam

wadah/kantong kain kecil/balutan kain yang dianjurkan untuk dipakai/dipasangkan di

badan si ibu. Kesemua ini dimaksudkan untuk menjaga ibu dan janin dari berbagai

gangguan yang mungkin terjadi.

Selain itu bagi ibu hamil banyak sekali pantangan yang harus dihindari dengan

maksud agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan selama kehamilannya.

Pantangan itu diantaranya adalah; jangan melilitkan/melingkarkan handuk/kain di

leher agar nantinya di bayi tidak terlilit tali pusar, jangan keluar rumah selepas maghrib

kecuali sangat penting dan harus didampingi oleh suami untuk menghindari fitnah dan

gangguan mahkluk halus, jangan memakan makanan yang bisa merusak kandungan

seperti tape, ketan hitam, nanas, makanan terlalu keras/terlalu pedas/terlalu masam,

durian,. Jangan meminum air es karena takut bayinya nanti membesar, harus menjaga

sikap dan perilaku terhadap orang lain, dll.

Untuk para suami/keluarga pun ada pantangan/tabu yang sebaiknya dihindari,

seperti; tidak boleh berburu/memotong/membunuh hewan sembarangan, harus

menjaga sikap dan perilaku karena akan berpengaruh terhadap kandungan istrinya,

sebaiknya sampai di rumah sebelum maghrib untuk menjaga istrinya dll.

Masa Persalinan. Saat persalinan merupakan saat yang dinilai oleh masyarakat

di Kabupaten Landak sebagai saat yang penting sekaligus masa genting bagi seorang

ibu yang bersalin. Masa bersalin ini dinilai sebagai masa puncak atau ujung dari suatu

kehamilan yang bisa membahayakan kondisi dari ibu maupun bayi yang baru

dilahirkan. Karena itu pada saat bersalin ini terdapat beberapa adat/ritual pada

masyarakat yang mengiringi proses persalinan.

Ketika si ibu mau bersalin, biasanya suami dan atau keluarga nya menunggu

diluar ruangan tempat ibu bersalin atau bisa juga menunggu di lura rumah sembari

membaca doa-doa. Bagi yang muslim biasanya sembari membaca ayat-ayat Al Quran,

bagi yang non muslim biasanya membaca/melafalkan puji-pujian. Sedangkan bagi yang

Page 224: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

200

masih menganut kepercayaan kepada nenek moyang biasanya mereka berkumpul di

suatu ruangan sembari membaca puji-pujian sembari membakar

kemenyan/wewangian yang dimaksudkan untuk meminta pertolongan para leluhur

sekaligus untuk mengusir para makhluk halus yang sekiranya akan mengganggu proses

persalinan agar persalinan menjadi lancar dan tanpa adanya masalah baik bagi si ibu

maupun bagi bayi yang baru dilahirkan.

Bagi beberapa anggota masyarakat yang masih menganut kepercayaan kepada

para leluhur, ibu yang akan bersalin di minta untuk memakan beberapa jenis

dedaunan yang sudah disiapkan oleh dukun beranak yang dipercaya bisa memudahkan

dan melancarkan proses persalinan.

Ada kepercayaan dari masyarakat bahwa ketika ada yang mau bersalin, maka

dukun yang dibantu oleh suami dan keluarga membuka semua pintu, jendela, lubang

angin, dll. Hal ini dilakukan dengan maksud agar nantinya persalinan berlangsung

lancar tanpa ada “yang tertutup”/hambatan.

Pasca Persalinan. Bagi masyarakat di kabupaten Landak, pasca persalinan

dinilai sebagai saat dimana akhir dari sebuah proses kehamilan. Pasca persalinan juga

merupakan puncak kegembiraan karena bertambahnya jumlah anggota keluarga.

Namun pasca persalinan sampai usia bayi kira-kira 40 hari merupakan saat yang dinilai

genting. Hal ini karena bagi masyarakat di kabupaten Landak ada beberapa tradisi

Yang dilakukan sesudah proses kelahiran berlangsung.

Bila proses kelahiran ditangani dengan kemitraan anatara bidan-dukun, maka

Bayi yang baru dilahirkan biasanya ditangani oleh bidan sesuai dengan

prodesur/kaidah yang berlaku di dunia kesehatan. sedangkan ibu bersalin biasanya

ditangani oleh dukun. Dimana dukun biasanya membantu untuk membersihkan bekas-

bekas persalinan dan mambantu membersihkan tubuh si ibu bersalin tersebut.

Bagi warga masyarakat yang muslim yang mampu secara finansial biasanya

akan membuat selamatan yang dibarengi oleh tradisi Aqiqah sebagai ungkapan rasa

syukur atas kelahiran yang ada. Tapi bagi yang tidak mampu, biasanya akan diadakan

ritual sederhana dengan cara membaca ayat-ayat AlQuran secara sederhana yang

dilakukan oleh anggota keluarga saja (baik suami, bapak/ibu/mertua).Untuk yang

Page 225: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

201

beragama selain muslin biasanya akan diadakan pemberkatan di gereja. Namun bagi

nyang tidak mampu tidak ada ritual khusus yang diadakan di rumahnya, hanya

terkadang ada pendeta yang menyempatkan diri untuk mengunjungi rumah keluarga

yang baru bersalin tersebut.

Sedangkan bagi masyarakat yang menganut kepercayaan terhadap nenek

moyang biasanya mengadakan ritual/upacara yang dibarengi tari-tarian dan puji-pujian

terhadap nenek moyang yang dibarengi suguhan makanan yang terbuat dari daging

babi/aning sebagai ungkapan rasa syukur atas kelahiran ini.

Dari ketiga kelompok yang ada di masyarakat Landak, semuanya mempunyai

persepsi yang sama bahwa bayi yang baru dilahirkan termasuk ibunya sampai berusia

kurang lebih 40 hari mempunyai “wangi yang lebih harum dan tajam” sekaligus berada

dalam keadaan yang “sangat rentan” bila dibandingkan dengan ibu yang hamil. wangi

tersebut dianggap bisa menarik “makhluk halus” yang berada di sektar tempat tinggal

keluarga tersebut.

Bagi bayi yang baru dilahirkan perlakuan pertama yang didapati adalah

dilumurinya badan bayi oleh lumatan beberapa daun yang di dipersiapkan dan buat

oleh dukun. Setelah dilumuri baru bayi tersebut dibungkus kain agar hangat. Dalam

kebiasaan masyarakat di landak, bayi yang baru dilahirkan juga langsung di beri susu

ibunya, hanya saja air susu pertama yang keluar (kolostrum) biasanya dibuang dahulu

karena dianggap tidak bersih dan masih kotor karena warna nya yang tidak putih

melainkan agak kekuningan dan dinilai masih terlalu kental.

Bayi biasanya akan diberi susu sampai dengan usia sekitar tiga bulan. Setelah

itu banyak dari ibu si bayi memberikan makanan padat berupa bubur encer ataupun

air tajin (air yang berasal dari hasil memasak nasi). Tidak jarang pula ada ibu yang

memberikan madu kepada bayinya dengan alasan untuk memberikan kekuatan dan

tenaga bagi bayi tersebut.

Page 226: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

202

Evidence Based Kesehatan Ibu dan Anak di Kabupaten

Hasil pengumpulan data secara kuantitatif di Kabepatan Landak mengungkap

adanya perbedaan pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat dalam upaya

pencarian pelayanan kesehatan ibu dan anak, khususnya dalam pemanfaatan

Jampersal.

Pengetahuan. Pengetahuan ibu terkait pemeriksaan kehamilan di kabupaten

Landak menunjukkan keadaan seerti yang terlihat pada table di bawah ini.

Tabel. 3.5.8

Pengetahuan Ibu yang Masih “Kurang” terhadap ANC dan Fasilitas Jampersal

Pengetahuan yang Masih Kurang(n=69) N %

Manfaat suntikan Tetanus Toxoid 38 65,1 Risiko tinggi badan ibu terhadap persalinan 52 75.4 Tidak baik makan ikan laut setelah melahirkan 29 42.2 Bayi baru boleh diimunisasi setelah usia 1 bulan 17 24.6 Minum jamu dapat mengatur jarak anak 68 98.6 Jampersal gratis hanya untuk persalinan 9 13.0

Sumber: Data Primer

Pengetahuan tentang makanan sehat dan bergizi belum sepenuhnya diketahui

oleh ibu. Kondisi ini diperparah dengan adanya pantangan makan ikan laut, yang

merupakan sumber protein, setelah melahirkan. Pantangan ini tentu saja akan

berpengaruh terhadap kualitas ASI yang dikonsumsi bayi. Pengetahuan tentang

imunisasi juga masih kurang; sebanyak satu dari lima ibu menyebutkan bahwa bayi

baru boleh diimunisasi setelah usia 1 bulan. Masalah keluarga berencana tampaknya

sudah familiar di masyarakat. Ibu dapat menjawab dengan mudah singkatan dari KB

atau keluarga berencana, namun seringkali ibu tidak mengerti makna dan hakekatnya.

Hampir semua responden berpendapat bahwa minum jamu dapat mengatur jarak

anak. Dengan demikian, kewaspadaan terhadap tingginya angka kelahiran harus

diwaspadai, terlebih sebagian besar responden merasa senang dengan adanya

persalinan gratis yang disediakan oleh pemerintah. Pengetahuan responden tentang

Jampersal juga masih sangat terbatas, yakni fasilitas atau biaya persalinan gratis yang

disediakan oleh pemerintah.

Sikap.Selain pengetahuan ibu, sikap dan pendapat ibu dalam terhadap

beberapa kondisi dan pemanfaatan Jampersal juga dapat diketahui dari jawaban

Page 227: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

203

responden.Manfaat tablet tambah darah tampaknya tidak sepenuhnya dimengerti

oleh ibu-ibu di Kecamatan Ngabang, kabupaten Landak. Tablet tambah darah tidak

harus diberikan kepada ibu hamil dinyatakan oleh lebih dari separuh responden.

Tabel 3.5.9.

Sikap Ibu untuk Beberapa Kondisi Kehamilan dan Pemanfaatan Jampersal

Sikap Ibu Dan Pemanfaatan Jampersal

Setuju Tdk Setuju

N % N %

Tablet tambah darah harus diberikan pd bumil 28 40.6 41 59.4

Lahir dirumah sama amannya dengan di faskes 44 63.8 25 27.2

Kemampuan dukun sama dengan bidan dlm menolong persalinan

61 88.4 8 21.6

Kolostrum baik diberikan kepada bayi 19 27.5 50 72.5

Ibu perlu segera ber KB setelah masa nifas 13 18.8 56 81.2

Jampersal memberi kesempatan punya banyak anak 59 85.5 10 14.5

Sumber: Data Primer

Selanjutnya, sikap ibu dalam penolong persalinan dan tempat bersalin juga

masih lemah. Sebagian besar ibu setuju bahwa kemampuan dukun tidak berbeda

dengan bidan dalam menolong persalinan; bahkan mereka juga berpendapat bahwa

melahirkan dirumah sama amannya dengan melahirkan di fasilitas kesehatan. Dari

sikap ini dapat diasumsikan bahwa keberhasilan Jampersal masih jauh dari yang dapat

diharapkan dalam mencapai MDGs tanpa melakukan upaya-upaya percepatan yang

sifatnya radikal, berkesinambungan dan terintegrasi.

Sikap ibu dalam pemberian kolostrum yang merupakan sumber kekebalan

tubuh untuk bayi juga masih lemah. Lebih dari 70% ibu menyatakan tidak setuju untuk

memberikan kolostrum kepada bayinya. Bila dilihat dari jawaban-jawaban ibu,

tampaknya memang sebagian besar ibu bayi tidak tahu dan memiliki sikap yang

kurang baik tentang Jampersal, termasuk menganggap bahwa dengan adanya

Jampersal, ibu memiliki kesempatan untuk punya banyak anak.

Page 228: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

204

Tabel. 3.5.10

Pengalaman Ibu Dalam Persalinan dan Pemanfaatan Jampersal

Pengalaman Bersalin Terakhir Jumlah %

Biaya sendiri untuk periksa kehamilan ke Nakes 60 87.0 Persalinan dilakukan di rumah ibu 54 78.3 Bidan sebagai penolong persalinan 36 52.2 Biaya sendiri untuk persalinan ibu 56 81.2 Perawatan nifas tidak di fasilitas kesehatan 40 58.0 Frekwensi kunjungan neonates 1-2 kali 39 56.5 Biaya untuk periksa KB dengan uang sendiri 61 88.4 Tidak memanfaatkan jampersal karena tidak tahu 55 79.7

Sumber: Data Primer

Pengalaman ibu pada saat persalinan terakhir menunjukkan bahwa seluruh ibu

melakukan pemeriksaan kehamilan dengan membayar sendiri atau tidak

menggunakan fasilitas Jampersal. Sebagian besar persalinan dilakukan di rumah ibu,

meskipun juga ditolong oleh bidan. Alasan ibu melahirkan dirumah antara lain karena

ada rasa nyaman dan dekat dengan keluarga. Lokasi yang jauh membuat bidan harus

turun langsung menolong ke masyarakat. Hal ini juga didukung oleh keterbatasan alat

transportasi untuk mengangkut ibu ke polindes/puskesmas. Sebagian besar ibu (81%)

melahirkan tanpa menggunakan fasilitas Jampersal alias membayar sendiri.

Kunjungan neonatus dilakukan oleh lebih dari separuh responden, tetapi

frekwensinya belum maksimal. Masih terdapat 17.4% ibu yang tidak memeriksakan

bayinya sama sekali dengan alasan merasa tidak perlu atau bayi tidak sakit, dan

sebagian melakukan pemeriksaan bayi dengan dukun. Hasil wawancara terstruktur

untuk ibu yang baru melahirkan ini juga menunjukkan bahwa responden memasang

alat kontrasepsi dengan membayar sendiri (88.4%), dan hanya 10.1% yang mendapat

bantuan dari Jampersal.

Petunjuk teknis Jampersal menyatakan bahwa biaya pasang alat kontrasepsi

sudah termasuk dalam paket jampersal; namun bila dilihat dari dari jumlah ibu yang

memanfaatkan Jampersal dalam persalinan, hanya tujuh dari duabelas ibu yang

mendapat pelayanan KB gratis pada persalinan terdahulu. Hasil wawancara juga

menunjukkan bahwa sebagian besar ibu tidak mengetahui adanya jaminan persalinan

gratis dari pemerintah. Hal ini juga diketahui dari informasi pada saat dilakukan

Page 229: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

205

wawancara mendalam dengan masyarakat dan tokoh masyarakat ketika kunjungan

lapangan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar masyarakat

masih belum mengerti dengan adanya fasilitas persalinan gratis oleh pemerintah; dan

kalaupun mereka tahu, seringkali pengetahuan ibu tidak lengkap, sehingga masih

banyak ibu yang membuat keputusan/meminta kepada suaminya untuk melahirkan

dengan dukun saja.

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa keberhasilan Jampersal dalam

menurunkan angka kematian ibu/bayi dapat terkendala, khususnya untuk wilayah

kabupaten Landak, yang disebabkan oleh sosialisasi yang tidak jelas, adanya faktor

budaya yang sangat kuat dalam persalinan oleh dukun, serta faktor akses yang

disebabkan oleh faktor geografi dan ketersediaan transportasi.

3.5.4. Hambatan, Dukungan dan Harapan Pelaksanaan Jampersal

Dukungan

Dukungan terhadap upaya kegiatan Jampersal masih sebatas upaya yang

dilakukan oleh Puskesmas dan jajarannya saja. Niat baik pemerintah seharusnya dapat

dimanfaatkan sepenuhnya oleh masyarakat untuk dapat mengurangi kesenjangan

yang terjadi khususnya dalam menurunkan angka kematian ibu dan bayi, khususnya

pada masyarakat miskin dan marginal.

Peningkatan pemanfaatan Jampersal melalui pendekatan social budaya

memiliki peluang yang cukup strategis. Kebiasaan masyarakat bersalin dengan dukun

merupakan tradisi. Untuk merubah tradisi diperlukan setidaknya dua generasi

(misalnya: dari generasi nenek hingga cucu). Namun demikian, dengan terbukanya

akses media social seperti televisi, radio, internet, seharusnya perubahan dan

peralihan ke generasi berikutnya dapat diperpendek. Diperlukan berbagai

upaya/efforts yang kuat dari pelaksana kebijakan; tidak cukup hanya lintas program,

melainkan juga komitmen sektoral.

Persalinan dengan dukun, merupakan salah satu preference dari masyarakat

yang terlepas dari Jampersal. Meski demikian, melalui Jampersal preference ini

seharusnya masih dapat diakomodir yaitu melalui penguatan peran kemitraan bidan-

Page 230: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

206

dukun. Peran kemitraan ini tentunya perlu diatur dengan baik dan dimasukkan dalam

‘local system’ untuk menyelaraskan hubungan dukun-bidan. Fairness juga harus jelas,

untuk menjamin win-win solution, melalui kesepakatan pembagian peran bidan-dukun.

MIsalnya: dukun dijadikan saluran/kader yang dapat menjaring ibu hamil di wilayah-

wilayah kantong (local). Dukun membuat kelompok binaan yang dapat memotivasi ibu

untuk periksa ANC. Dukun boleh menjalankan profesinya dalam batas-batas tertentu,

misalnya pijat kahamilan yang aman, ritual, dan motivator gizi. Untuk itu, dukun juga

perlu dibekali secara substansi dan teknis (missal: pijat yang boleh dilakukan dan

tehnik memijatnya). Dukun juga dapat menjadi pendamping ibu hamil dalam bersalin,

dan dukungan moral/ritual.

Salah satu pendapat dukun dalam wawancara mendalam dengan salah seorang

dukun

“… mengape ye, masyarakat masih mau bersalin dengan saye, padahal di bidan kan orang melahirkan tidak bayar….Saye heran… Saye senang dengan adanya bidan… bahkan saye senang mendampingi ibu bersalin ke bidan di Puskesmas. Saye juga sering ikut membantu bidan memegang paha ibu ketika melahirkan…” (Dukun M, 67 tahun).

Peran suami juga perlu ditingkatkan. Berdasarkan hasil wawancara mendalam,

peranan suami di kabupaten Landak masih sebatas mempersiapkan material/uang dan

mengikuti keinginan istri dalam memilih tempat bersalin. Secara umum, budaya di

masyarakat Indonesia masih gender-inequalities. Sejauh konsep bersalin aman tidak

dimengerti oleh masyarakat (ibu, suami, orang tua, kerabat), maka keterbatasan pola

pikir menjadi basic-circumstance. Untuk itu perlu adanya pencerahan bagi suami,

bahkan mungkin sudah harus dimulai ketika mereka mempersiapkan pernikahan

(missal: melalui KUA). Bila ini dapat dilaksanakan, maka tidak hanya masalah

persalinan gratis dengan memanfaatkan Jampersal yang bisa diinformasikan,

melainkan juga bagaimana membentuk keluarga sehat, sejahtera dengan

menyusupkan konsep keluarga berencana.Dengan demikian, peran sosial budaya

secara tidak langsung akan dapat merubah konsep masyarakat dalam meningkatkan

kesehatan ibu dan anak yang dilahirkan.

Page 231: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

207

Hambatan

Persalinan dengan dukun merupakan kondisi sosial yang sudah diwariskan

secara turun temurun. Adanya paket Jampersal yang merupakan fasilitas pelayanan

gratis mulai dari pemeriksaan kehamilan, persalinan, perawatan nifas hingga

pemasangan KB seharusnya merupakan angin segar, khususnya bagi masyarakat yang

kurang mampu.Persaingan dukun-bidan dapat menjadi hambatan apabila tidak

dicarikan solusinya. Tidak adanya kerjasama dukun-bidan, menyebabkan dukun tidak

willing memotivasi ibu hamil untuk bersalin dengan Jampersal, meskipun dukun sendiri

merasa lebih nyaman bila ada bidan dalam proses persalinan. Sebelum adanya

Jampersal, persalinan oleh dukun harus dilaporkan kepada bidan, tetapi sejak

diberlakukannya jampersal, bidan maupun dukun berjalan masing-masing. Meskipun

dukun tahu ada fasilitas persalinan gratis, dukun tidak akan memberitahu ibu hamil

dengan asumsi (menurut pengakuan dukun WB-63 tahun ketika digali lebih

mendalam) bahwa ibu hamil tersebut sudah mendengarnya secara langsung dari

bidan. Ketika waktu bersalin sudah dekat, dukun baru bertanya ke ibu apakah mau

ditolong bidan atau dukun. Menurut dukun, seringkali ibu hamil yang menolak bersalin

ke Puskesmas/bidan, sehingga dukun tetap harus membantu melakukan persalinan

tersebut.

Belum tampak adanya upaya sector lain secara nyata, bahkan masalah

administrasi kependudukan masih belum siap; sebagai contoh ibu tidak memiliki KTP

atau keterangan domisili yang merupakan salah satu persyaratan bagi bidan untuk bisa

melakukan claim. Berdasarkan hal tersebut, maka bidan dengan terpaksa harus

melakukan pengurusan KTP atau keterangan domisili ke kantor desa. Dalam hal ini ada

mobilitas dari bidan, yang tentunya akan menambah beban tugas termasuk biaya.

Kondisi ini mengakibatkan adanya ongkos yang dibebankan kepada keluarga pasien

(karena diluar cakupan gratis Jampersal). Dalam kondisi seperti itu, bidan masih

memberikan pengurusan akte persalinan, yang meskipun tidak wajib dalam claim

Jampersal, tetapi merupakan dukungan moral dan reciprocal dalam membantu

masyarakat.

Hambatan juga dipandang dari sisi preference masyarakat. Preference atau

pilihan karena masyarakat lebih suka dan merasa lebih nyaman, dapat dijembatani

Page 232: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

208

melalui penyuluhan dan pembelajaran secara menyeluruh, tidak hanya kepada ibu

hamil, tetapi juga suami; bahkan, bila memungkinkan, dapat disisipkan melalui anak

sekolah agar ibunya atau anggota keluarganya yang hamil bersalin dengan bidan

karena bidan tahu secara teknis cara menolong persalinan dengan benar dan

mengurangi risiko kematian ibu maupun bayinya.

Harapan

Berdasarkan hasil wawancara mendalam, baik terhadap ibu, suami, tokoh

masyarakat, dukun, serta pelaksana program, masih banyak harapan yang

dikemukakan, terutama bagi masyarakat.Masyarakat tetap menginginkan adanya

peluang persalinan gratis, tidak perduli, apapun nama dan istilahnya, yang penting

masyarakat tetap merasakan bantuan yang diberikan oleh pemerintah.

Tokoh masyarakat merasakan perlu untuk diberikan informasi mengenai

Jampersal supaya bisa meneruskan informasinya kepada anggota masyarakat yang

membutuhkannya. Beberapa tokoh masyarakat dan juga suami ibu yang

melahirkan belum pernah mendengar Jampersal. Suami ibu pengguna Jampersal

menyatakan bahwa mendapatkan informasi persalinan gratis Jampersal dari

isterinya yang diberitahu oleh bidan; meskipun ada isteri yang tetap ingin bersalin

dengan dukun karena merasa lebih nyaman (sudah mengalami persalinan ditolong

dukun untuk dua anak sebelumnya) dan merasa takut dengan puskesmas/rumah

sakit.

Dukun tidak merasa tersaingi dengan kehadiran Jampersal, bahkan dukun merasa

nyaman bila dalam menolong persalinan didampingi oleh bidan. Untuk itu

mungkin perlu ada pembinaan antara dukun dengan bidan melalui pembagian

peran yang jelas, karena pemanfaatan Jampersal kepada masyarakat tidak bisa

dipaksakan, sementara pemerintah sendiri tetap berupaya untuk dapat

menurunkan angka/risiko kematian ibu dan bayi yang masih tinggi.

Pendapat bidan sebagai provider sangat positif. Bidan senang dapat melaksanakan

tugas dan membantu masyarakat untuk bersalin dengan aman, tetapi masih

membutuhkan dukungan yang lebih besar, terutama dalam hal administrasi

Page 233: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

209

(mempersiapkan kelengkapan administrasi kependudukan: KTP dan surat nikah),

masalah claim yang membutuhkan proses yang cukup lama, masalah lapangan

yang cukup sulit tanpa adanya sarana transportasi yang mendukung, dan budaya

masyarakat yang sudah terbiasa memanggil daripada mengantar ibu ke rumah

bidan.

Rasa aman ibu bersalin dan keluarga bila melahirkan dirumah merupakan budaya

yang tidak bisa dilepaskan begitu saja agar masyarakat bersalin dengan tenaga

medis di fasilitas pelayanan kesehatan. Bila dilihat dari perspektif masyarakat,

gratis saja tidak cukup, apalagi dukun juga dianggap memiliki kemampuan yang

sama dengan bidan.

Page 234: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

210

3.6. Puskesmas Karya Mulya, Kota Pontianak

3.6.1. Gambaran Umum Kota Pontianak

Kalimantan Barat yang ber-ibukota di Pontianak merupakan salah satu dari

empat propinsi yang mempunyai daerah terluas di Indonesia setelah Papua,

Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah, dengan luas sekitar 146.807 km² atau

sekitar 7,53% dari luas Indonesia.

Daerah Kalimantan Barat termasuk salah satu daerah yang dijuluki provinsi

"Seribu Sungai". Julukan ini selaras dengan kondisi geografis yang mempunyai ratusan

sungai besar dan kecil yang di antaranya dapat dan sering dilayari. Beberapa sungai

besar sampai saat ini masih merupakan urat nadi dan jalur utama untuk angkutan

daerah pedalaman di Kalimantan Barat, walaupun prasarana jalan darat telah dapat

menjangkau sebagian besar wilayah kecamatan yang ada.

Kalimantan Barat yang berada di 3º20' LS -2º30' LU dan 107º40'-114º 30' BT ini

berbatasan langsung dengan wilayah darat negara bagian Sarawak, Malaysia di bagian

utara. Di bagian selatan, berbatasan dengan Laut Jawa; sedangkan untuk bagian Barat,

Kalimantan Barat ini berbatasan dengan Laut Natuna, Selat Karimata serta

Semenanjung Malaysia dan untuk sebelah Timur, Kalimantan Barat ini berbatasan

dengan propinsi Kalimantan Timur dan Propinsi Kalimantan Tengah.Walaupun

sebagian kecil wilayah Kalimantan Barat merupakan perairan laut, akan tetapi

Kalimantan Barat juga memiliki puluhan pulau besar dan kecil yang sebagian tidak

berpenghuni, yang tersebar sepanjang Selat Karimata dan Laut Natuna yang

berbatasan dengan wilayah Provinsi Kepulauan Riau.

Kalimantan Barat yang berdiri sendiri dan menjadi provinsi pada tanggal 1

Januari 1957 berdasarkan Undang-undang Nomor 25 tahun 1956 tanggal 7 Desember

1956 ini mempunyai Iklim tropik basah, dengan curah hujan merata sepanjang tahun

dengan puncak hujan terjadi sekitar bulan Januari dan Oktober serta bersuhu udara

rata-rata antara 26,0 s/d 27,0 dan kelembaban rata-tara antara 80% s/d 90%.

Masyarakat yang berjumlah sebesar 4.477.348 yang mendiami wilayah

Kalimantan Barat ini terdiri atas beberapa suku, seperti; suku Dayak (33,75%), suku

Melayu (33,75%), suku Banjar (0,66%), suku Jawa (9,41%), suku Bugis (3,20%), rumpun

Page 235: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

211

Tionghoa (10,41%) dan suku lainnya (3,62%). Masyarakat di Kalimantan Barat

mayoritas memeluk agama Islam (57,6%), sedangkan pemeluk agama lainnya tersebar

dengan rincian; Katolik (24,1%), Protestan (10%), Buddha (6,4%), Hindu (0,2%) dan

lain-lain (1,7%).

Masyarakat Kalimantan Barat juga tersebar di 14 kabupaten/kota, di antaranya

adalah kabupaten Landak dan kota Pontianak yang merupakan tempat

dilaksanakannya penelitian mengenai peran sosial budaya dalam upaya meningkatkan

pemanfaatan program Jampersal.

Gambar. 3.6.1.Lambang Kota Pontianak

Kota Pontianak merupakan ibukota dari provinsi Kalimantan Barat. Kota

Pontianak ini juga dikenal sebagai kota Khatulistiwa karena kota ini dinilai dilalui oleh

garis lintang nol derajat bumi. Di sebelah utara kota Pontianak, tepatnya di daerah

Siantan, dibangun sebuah tugu yaitu tugu Khatulistiwa yang dibangun pada tempat

yang dilalui garis nol derajat bumi. Sehingga ada beberapa waktu dimana matahari

terletak pas tegak lurus di atas sehingga sama sekali tidak terlihat bayangan benda

yang terkena sinar matahari.

Kota yang terletak di titik koordinat 0° 02' 24" LU – 0° 01' 37" LS dan 109° 16'

25" – 109° 23' 04" BT serta dilalui oleh sungai Kapuas serta sungai Landak ini dipimpin

oleh seorang Walikota dan memiliki luas wilayah sebesar 107,82 km2, berpenduduk

sebesar 554.764 jiwa dengan tingkat kepadatan 5.145/km2 dan terbagi dalam 6

kecamatan yaitu Pontianak Selatan, Pontianak Timur, Pontianak Barat, Pontianak

Utara, Pontianak Kota dan Pontianak Tenggara serta 29 kelurahan/desa.

Page 236: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

212

Suku bangsa penduduk Kota Pontianak terdiri dari Cina (31.2%), Melayu

(26.1%), Bugis (13.1%), Jawa (11.7%), Madura (6.4%), Dayak dan lainnya. Sebagian

besar penduduk memeluk agama Islam (75.4%), sisanya memeluk agama Buddha

(12%), Katolik (6.1%), Protestan (5%), Konghucu (1.3%), Hindu (0.1%) dan lainnya

(0.1%). Hampir seluruh penduduk Kota Pontianak memahami dan menggunakan

Bahasa Indonesia dalam berkomunikasi. Namun bahasa ibu masing-masing juga umum

digunakan, antara lain Bahasa Melayu Pontianak, Bahasa Tiociu, Bahasa Khek, dan

bahasa daerah lainnya.

Sejarah pendirian Kota Pontianak yang dituliskan oleh seorang

sejarawan Belanda, VJ.Verth. VJ. Verth dalam bukunya Borneos Wester Afdeling

mengatakan bahwa pada tahun 1778, kolonialis Belanda dariBatavia memasuki

Pontianak dengan dipimpin oleh Willem Ardinpola. Belanda saat itu menempati

daerah di seberang istana kesultanan yang kini dikenal dengan daerah Tanah Seribu

atau Verkendepaal. VJ Verth menulis bahwa Syarif Abdurrahman, adalah putra

ulama Syarif Hussein bin Ahmed Alqadrie (atau dalam versi lain disebut sebagai Al

Habib Husin), yang meninggalkan Kerajaan Mempawah untuk mulai merantau. Di

perantauan, Syarif Abdurrahman menikah dengan adik sultan Banjarmasin dan

berhasil dalam perniagaan serta mengumpulkan cukup modal untuk mempersenjatai

kapal pencalang dan perahu lancangnya, dimana kemudian Syarif Abdurrahman mulai

melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda.

Dengan bantuan Sultan Passir, Syarif Abdurrahman kemudian berhasil

membajak kapal-kapal Belanda, kapal Inggris dan Perancis di Pelabuhan Passir dan di

dekat Bangka. Abdurrahman menemukan percabangan Sungai Landak dan kemudian

mengembangkan daerah itu menjadi pusat perdagangan yang makmur dan kemudian

mencoba membuka hutan di persimpangan Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan

Sungai Kapuas Besar untuk mendirikan balai dan rumah sebagai tempat tinggal di

sebuah pulau di Sungai Kapuas. Wilayah inilah yang kini bernama Pontianak yang

didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie pada hari Rabu, 23 Oktober 1771 (14 Rajab

1185 H) dimana Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya Masjid Jami'

(kini bernama Masjid Sultan Syarif Abdurrahman) dan Istana Kadariah yang sekarang

Page 237: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

213

terletak di Kelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur. Pada tahun 1778

(1192 H), Syarif Abdurrahman dikukuhkan menjadi Sultan Pontianak.

Menurut hikayat yang dipercaya oleh sebagian besar masyarakat, pemberian

nama Pontianak ini berkaitan dengan kisah Syarif Abdurrahman, yang sering diganggu

oleh hantu Kuntilanak ketika beliau menyusuri Sungai Kapuas. Menurut cerita, Syarif

Abdurrahman terpaksa melepaskan tembakan meriam untuk mengusir hantu tersebut.

Efek dari tembakan meriam yang berat tersebut menyebabkan meriam itu jatuh ke

sungai. Tempat dimana jatuhnya meriam tersebut ke sungai ditandai dan didirikan

wilayah kesultanan Syarif Abdurrahman. Peluru meriam yang ditembakkan untuk

mengusir hantu kuntilanak itu jatuh di dekat persimpang Sungai Kapuas dan Sungai

Landak, yang kini dikenal dengan nama Kampung Beting.

Berdasarkan besluit Pemerintah Kerajaan Pontianak tanggal 14 Agustus 1946

No. 24/1/1940 PK yang disahkan menetapkan status Pontianak sebagai

stadsgemeente. Pembentukan stadsgerneente bersifat sementara, maka Besluit

Pemerintah Kerajaan Pontianak diubah dan digantikan dengan Undang-undang

Pemerintah Kerajaan Pontianak diubah dan digantikan dengan Undang-undang

Pemerintah Kerajaan Pontianak tanggal 16 September 1949 No. 40/1949/KP.Dalam

undang-undang ini disebut Peraturan Pemerintah Pontianak dan membentuk

Pemerintah Kota Pontianak, sedangkan perwakilan rakyat disebut Dewan Perwakilan

Penduduk Kota Pontianak. Sesuai dengan perkembangan tata pemerintahan, maka

dengan Undang-undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953, bentuk Pemerintahan

Landschap Gemeente, ditingkatkan menjadi kota praja Pontianak. Pada masa ini

urusan pemerintahan terdiri dari Urusan Pemerintahan Umum dan Urusan

Pemeritahan Daerah.

Pemerintah Kota Praja Pontianak diubah dengan berdasarkan Undang-undang

No. 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden No.6 Tahun 1959 dan Penetapan Presiden No.5

Tahun 1960, Instruksi Menteri Dalam Negeri No.9 Tahun 1964 dan Undang-undang No.

18 Tahun 1965, maka berdasarkan Surat Keputusan DPRD-GR Kota Praja Pontianak No.

021/KPTS/DPRD-GR/65 tanggal 31 Desember 1965, nama Kota Praja Pontianak diganti

menjadi Kotamadya Pontianak, kemudian dengan Undang-undang No.5 Tahun 1974,

nama Kotamadya Pontianak berubah menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Pontianak.

Page 238: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

214

Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah di Daerah

mengubah sebutan untuk Pemerintah Tingkat II Pontianak menjadi sebutan

Pemerintah Kota Pontianak, sebutan Kotamadya Potianak diubah kemudian menjadi

Kota Pontianak.

Kota Pontianak karena terletak persis di lintasan garis khatulistiwa, beriklim

tropis dengan suhu tinggi sekitar 28-32°C di malam hari dan di siang hari. Dengan

wilayah yang beriklim tropis yang disertai suhu yang tinggi menyebabkan rata–

rata kelembaban nisbi dalam daerah Kota Pontianak maksimum 99,58% dan minimum

53% dengan rata–rata penyinaran matahari minimum 53% dan maksimum 73%.

Dengan keadaan demikian besarnya curah hujan di Kota Pontianak berkisar antara

3.000–4.000 mm per tahun. Curah hujan terbesar (bulan basah) jatuh pada

bulan Meidan Oktober, sedangkan curah hujan terkecil (bulan kering) jatuh pada bulan

Juli. Jumlah hari hujan rata-rata per bulan berkisar 15 hari.

Struktur tanah kota Pontianak merupakan lapisan tanah gambut bekas

endapan lumpur Sungai Kapuas dimana Lapisan tanah liat baru dicapai pada

kedalaman 2,4 meter dari permukaan laut.

3.6.2. Gambaran Umum Puskesmas Karya Mulya

Dari hasil kajian data dan setelah berkonsultasi dengan pengelola

jamkesmas/jamkesda dan Jampersal Dinas Kesehatan Kota Pontianak, untuk

menentukan lokasi penelitian dengan kriteria puskesmas dengan cakupan persalinan

oleh tenaga kesehatan yang masih rendah, maka terpilih Puskesmas Karya Mulya

sebagai lokasi penelitian.

Geografi

Puskesmas Karya Mulya adalah salah satu puskesmas yang terletak di daerah

perkotaan kota Pontianak. Puskesmas Karya Mulya di daerah sebelah Barat dari Kota

Pontianak, di daerah yang merupakan pengembangan Kota Baru Pontianak.

Puskesmas Karya Mulya berdiri berdasarkan UPTD Puskesmas Kecamatan Kota No.

Page 239: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

215

010/276/2010. Puskesmas Karya Mulya mempunyai wilayah kerja di sekitar kelurahan

Sei Bangkong yang terdiri dari 19 RW dan 87 RT. Puskesmas Karya Mulya menaungi

masyarakat sebanyak 15.343 jiwa yang terbagi dalam 4.162 KK dengan tingkat

kepadatan penduduk 3,67 setiap km2.

Seperti ciri daerah perkotaan lainnya, jalan menuju daerah Puskesmas Karya

Mulya cukup mulus, lebar dan lancar hanya saja akses sarana angkutan umum masih

belum ada. Menurut Kepala Puskesmas Karya Mulya, tidak adanya angkutan umum

yang melewati puskesmas dikarenakan daerah bagian barat kota Pontianak ini adalah

daerah pengembangan yang baru sehingga untuk trayek angkutan umum yang

melintasnya masih dalam kajian Pemda untuk merealisasikannya.

Puskesmas Karya Mulya berbatasan dengan:

sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Parit Tokaya Kecamatan Pontianak

Selatan;

sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Pal IX Kecamatan Kakap Kabupaten

Pontianak

sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Sei Bangkong Kecamatan Pontianak

Kota;

sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Punggur Kecamatan Kecamatan

Kakap Kabupaten Pontianak.

Puskesmas Karya Mulya membina 4 posyandu balita Madya, 5 posyandu balita

Purnama dan 2 posyandu Lansia ini juga mengkoordinir 4 klinik bersalin 6 praktek

dokter swasta dan 3 bidan praktek swasta seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 3.6.1

Fasilitas Kesehatan Puskesmas Karya Mulya

Binaan Puskesmas Jumlah

Posyandu Balita Madya 4

Posyandu Balita Purnama 5

Posyandu Lansia 2

Klinik bersalin 4

Praktek dokter swasta 6

Bidan praktek swasta 3

Page 240: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

216

Kependudukan

Penduduk di wilayah kerja puskesmas Karya Mulya sebagian besar adalah para

pekerja, baik pekerja di sektor formal seperti halnya Pegawai Negeri Sipil maupun

Pegawai Swasta dan pekerja di sektor informal seperti halnya buruh dan pedagang.

Para pekerja ini di dominasi oleh kaum lelaki sedangkan bagi kaum perempuan di

wilayah cakupan kerja Puskesmas Karya Mulya umumnya berprofesi sebagai Ibu

Rumah Tangga.

Daerah cakupan kerja puskesmas Karya Mulya karena merupakan daerah

perkotaan, maka terdiri dari campuran berbagai macam etnis yang ada di Pontianak.

Dari kesemua etnis yang ada ada beberapa etnis yang dominan diantaranya adalah

etnis Melayu, etnis Madura dan etnis Bugis-Makasar.

3.6.3. Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak

Pandangan tentang Ibu Hamil, Bersalin dan Bayi/Anak

Pandangan masyarakat Kota Pontianak akan ibu hamil, bersalin serta bayi/anak

berbeda dengan pandangan masyarakat yang berada di Kabupaten Landak. Pandangan

masyarakat kota Pontianak dirasa lebih realistis dan lebih permisif. Hal ini mungkin di

sebabkan karena mudahnya akses untuk mencapai pelayanan kesehatan yang

didukung banyak dan tersebarnya pusat-pusat pelayanan kesehatan berikut tenaga

kesehatannya. Berikut merupakan rinciannya:

Pandangan yang ada di masyarakat tentang ibu hamil

Kehamilan merupakan suatu hal yang wajar bagi setiap pasangan usia subur

yang sudah menikah. Namun pandangan yang diutarakan oleh para informan dari

kelompok suami yang mengikuti program Jampersal, suami yang tidak mengikuti

program Jampersal, para tokoh masyarakat dan bidan yang ada di kota Pontianak

berkenaan dengan ibu hamil tidaklah sama, seperti yang terangkum dibawah ini.

Pandangan tentang ibu hamil dari kelompok informan tokoh masyarakat

seperti yang diutarakan oleh salah seorang informannya adalah sebagai berikut:

Page 241: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

217

“kehamilan itu kan adalah suatu keadaan dimana ibu mengandung anak. Si ibu itu mengandung selama 9 bulan dan selama itu si ibu itu harus menjaga kesehatannya,kerena berhubungan dengan kesehatan anak atau bayi yang dikandungnya. Tapi bukan cuma si ibu yang menjaga kesehatan. Suami dari itu itu juga harus bisa membuat si ibu tersebut sehat.....”

Pendapat yang senada diungkapkan oleh salah seorang informan dari kelompok yang

sama:

“hamil itu kan tandanya sehat.nah kita ini khususnya si ibu itu harus bisa bagaimana caranya supaya sehat. Kita ini kan bisa dibilang sebagai pembimbing masyarakat ya,pak. jadi kita juga berkewajiban memberitahu apa yang sudah seharusnya dilakukan. Termasuk untuk urusan kehamilan ini....termasuk si suaminya itu pak..itu harus kita beritahu..kita bimbinglah bagaimana sebaiknya.....”

Pendapat senada juga diutarakan oleh para informan yang tergabung ke dalam

kelompok suami yang mengikuti program Jampersal ketika istrinya bersalin:

“kalo istri hamil itu kan berarti anugrah,pak. kita semua kan pengen punya anak,pak. jadi kalo istri kita ternyata hamil ya itu namanya anugrah. Berarti doa kita dikabulkan oleh Tuhan. Jadi kalo istri hamil itu ya harus di jaga baik-baik,pak. kta juga sebagai suami juga harus menjaga,pak. jangan sampe istri kita yang lagi hamil itu sakit atau kenapa-kenapa.itu juga tanggungjawab kita juga,pak sebagai suami....”

Sedangkan pendapat dari kelompok informan suami yang tidak mengikuti program

Jampersal juga berpendapat demikian:

“...... orang hamil itu kan berarti dia mengandung bayi dalam perutnya. jadi orang hamil itu berarti satu orang yang mempunyai dua nyawa. Berarti juga kita harus menjaga supaya dua nyawa yang ada di satu badan itu tidak ada masalah. Jadi kehamilan itu adalah keadaan dimana istri kita itu mengandung anak kita...Jadi sudah kewajiban dari kita juga untuk membantu dan mengawasinya...kan yang mengandung itu kan istri kita sendiri....hehehehehe......”

Pendapat dari informan yang tergabung dalam kelompok para bidan juga hampir

senada. Salah seorang informan mengatakan:

”....kehamilan itu adalah suatu proses pembentukan manusia yang baru hasil atau buah dari pernikahan antara laki-laki dengan perempuan. Kehamilan itu sebenarnya adalah keadaan dimana perempuan yang hamil berada dalam kondisi yang lemah karena adanya perubahan dalam tubuhnya. Kerena keadaan lemah itulah,maka kita harus menjaganya agar tetap bisa tumbuh dan berkembang serta sehat....kita ndak boleh sembarangan sewaktu hamil. ........semuanya ndak boleh sembarangan. Suami juga berperan,pak. ndak boleh sembarangan juga...jadi kehamilan itu bisa dibilang kerjasama ya,pak. antara suami dengan istri......ndak boleh sendiri-sendiri”.

Berdasarkan informasi yang didapati dari para informan dari empat kelompok

yang dimintai pendapatnya, didapati bahwa kehamilan merupakan suatu hal yang

Page 242: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

218

sebenarnya sangat diharapkan dan sangat diinginkan oleh para informan dan dianggap

sebagai suatu hal yang sangat rentan sekaligus berharga dan membanggakan. Untuk

itu kehamilan dilihat sebagai hal yang harus dilindungi baik dari segi fisik yang

mencakupi kesehatan ibu dan janin yang dikandungnya maupun dari segi psikologi

yang tersirat dari pendapat-pendapat yang mencantumkan peranan suami untuk

mendukung kehamilan istrinya.

Pandangan yang ada di masyarakat (para suami dan para tokoh masyarakat) tentang

ibu bersalin.

Setelah kehamilan yang memakan waktu sekitar 9 bulan, proses selanjutnya

adalah bersalin. Dimana bersalin ini juga mendapatkan perhatian lebih, baik dari pihak

ibu yang mengandung maupun, pihak suami atau keluarga dari ibu yang bersalin

maupun dari pihak tenaga kesehatan baik bidan ataupun dukun sebagai tenaga

penolong proses bersalin tersebut.

Ketika dimintai pendapatnya mengenai pandangan masyarakat akan ibu yang

bersalin, salah seorang informan dari kelompok suami yang tidak mengikuti program

Jampersal mengatakan:

“ melahirkan itu kan memang sudah begitu,pak seharusnya. Kalo istri hamil ya harus melahirkan,pak. tidak ada lagi. meskipun bayinya misalnya sudah meninggal waktu di perut, tetap harus melahirkan,pak. soalnya kan kalo memang sudah waktunya...ya...memang harus dilahirkan...”

Informan yang lain dari kelompok yang sama juga mengatakan:

“melahirkan itu kan memang sudah aturannya begitu. Kita tidak bisa menahan apalagi membuat tidak lahir. Itu sudah aturan Tuhan,pak. sudah takdir. Tapi memang kalo ada yang melahirkan itu memang harus kita tolong,pak...”

Dari kelompok bidan mengatakan bahwa bersalin itu merupakan suatu proses

persalinan yang harus dilalui oleh seorang ibu yang yang sudah cukup dalam usia

kehamilannya. Para bidan ini bependapat bahwa setiap persalinan itu harus ditolong

untuk mencegah agar si ibu tidak ada komplikasi dan masalah dalam proses

bersalinnya sehingga Ibu dan bayi yang dilahirkan bisa selamat dan sehat; sedangkan

Page 243: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

219

bagi kelompok para tokoh masyarakat di kota Pontianak, menganggap bahwa

persalinan itu adalah sebagai berikut:

“ persalinan itu adalah lumrah bagi wanita.apalagi bagi wanita yang hamil dan bersuami.......kehamilan dan persalinan itu harus dijaga agar tidak tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan...biasana sih kalo persalinan itu ditolong sama bidan,pak...bisa juga sama dukun. Tapi itu dulu atau kalo di pinggiran-pinggiran kota mungkin. Kan disana masih banyak dukun pak. soalnya kalo di kota sini kayaknya banyakan yang nolong persalinan itu bidan,pak...”

Pendapat informan lain dari kelompok para tokoh masyarakat juga adalah

sebagai berikut:

“ yang nolong persalinan itu, kita mungkin biasanya bilang melahirkan, ya pak..itu bidan sama dukun. Kalo melahirkan itu sendiri adalah keluarnya bayi yang selama sembilan bulan di kandung, keluar dari rahim ibu....itu susah pak...ya itu sih tergantung dari kondisi si ibu sendiri ya pak. tapi setau saya melahirkan itu susah sehingga proses melahirkan itu karena susahnya itu jadi bahaya.bahaya nuat si ibu maupun bahaya buat di bayi nya...untuk itu setiap melahirkan harus di tolong. Baik sama bidan maupun sama dukun..”

Ada juga informan tokoh masyarakat yang berpandangan bahwa ibu yang

bersalin itu harus dijaga. Berikut pendapatnya:

“ ...ibu yang melahirkan itu harus dijaga pak. kita nih para suaminya harus menjaganya. Ngejaganya mulai dari bulan ke tujuh sampe 40 hari setelah kelahiran. Karena kan biasanya kalo orang yang hamil itu kan apalagi kalo udah mau ngelahirin, “hawa”nya beda pak..jadi kita memang harus ngejagain..takut kenapa2.......”

Informan dari kelompok suami yang mengikuti program Jampersal mengatakan:

“...ibu yangbersalin adalah anugrah pak. anugrah buat kita.kita ini kan keluarga,pak. jadi kita juga kan pengen punya anak. Jadi kalo mnurut saya itu kalo ibu bersalin itu anugrah pak. sama kaya kehamilan. Kehamilan itu juga anugrah pak. Cuma bedanya kalo kehamilan itu buat ngebuktiin kalo kita berdua, baik suami atau istri itu sama-sama subur dan bisa menghasilkan...hahahaha...sedang kalo melahirkan itu bisa dibuat sebagai tanda kalo kita ini sudah mulai jadi ayah. Jadi bapak....bapak dari anak kita...jadi kita ini jadi bener-bener jadi bapak karena sudah ada anakna yang lahir...”

Page 244: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

220

Informan lain dari kelompok yang sama mengatakan:

“kalo melahirkan itu jihad,pak. dari agama juga kan dibilang kalo istri yang melahirkan itu sama dengan jihad. Apalagi kalo dia meninggal maka dia langsung masuk surga karena jihadnya itu...jadi kalo menurut saya, sudah sewajarnya kalo kita ini membantu istri kita yang melahirkan...bantuan itu kan bisa aja dengan kita menyediakan tempat yang terbaik, siap yang bisa nolong yang terbaik, penuhin kebutuhannya....termasuk kita ini ngejaga keselamatan istri kita,pak. ..makanya saya milih buat ngelahirin di bidan karena setau saya bidan itu bisa ngelakuin yang terbaik. Saya sih bukannya nggak percaya sama dukun, tapi menurut saya pribadi saya sih lebih sreg sama bidan...kan bidan peralatannya juga lebih bagus,pak dari dukun... “

Pandangan tentang anak/bayi.

Pandangan masyarakat kota Pontianak terhadap bayi dan balita terangkum

dalam narasi berikut. Bagi kelompok para tokoh masyarakat, bayi atau anak balita itu

adalah:

“ bayi yang baru lahir itu kan sama aja dengan anak,pak. anak kita sendiri jadi ya harus dirawat baik-baik. jangan sampe dia nantinya jadi jelek, jadi ndak bagus. Jadi ndak yang seperti kita harapkan. Jangan sampe seperti itu. Jadi harus kita perihara dan kita rawat baik-baik”

Atau ada juga informan dari kelompok yang sama yang mengatakan:

“ bayi yang baru lahir itu kan anamah pak. sama kaya bapak tadi, kalo bayi anak itu adalah titipan. Titipan Allah. Jadi kita tidak boleh menyia-nyiakan keberadaannya. Nggak boleh. Dosa itu kalo kita menyia-nyiakan anak...itukan darah daging kita sendiri pak.”

Atau:

“anak adalah calon penerus kita,pak.calon penerus dari keluarga. Kalo ndak ada anak berarti ndak ada yang menurin keluarga kita pak....”

Adapun dari kelompok bidan mengatakan bahwa:

“ bayi itu adalah hasil dari pernikahan antara laki-laki dengan perempuan. jadi bayi atau anak itu adalah buah dari adanya pernikahan. Sudah selayaknya kalo kita juga menjada dan merawat bayi tersebut agar bisa tumbuh dan menjadi besar. selain itu juga bisa menjadi pelengkap dari sebuah keluarga...”

Atau ada juga informan bidan yang berbicara seperti demikan:

“ anak atau bayi adalah sesuatu yang berharga bagi sebuah keluarga. Saking berharganya maka setiap kelahiran seorang bayi maka setiap keluarga pasti seneng. Bergembira pak. hehehehe.. itu pasti. Pasti seneng. Karena untuk mendapatkan bayi itu sendiri kan sudah susah,pak. bayangin aja,pak. untuk

Page 245: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

221

mendapatkan bayi ini kan butuh pengorbanan. Baik pengorbanan si ibu maupun si suami. Ndak boleh sembarangan......”

Bagi para suami baik yang mengikuti jampesal maupun yang tidak mengikuti program

Jampersal mempunyai pendapat yang hampir merata bahwa bayi atau anak adalah

pelengkap dari sebuah keluarga. Tanpa adanya bayi atau anak maka mereka menilai

bahwa keluarga tersebut tidaklah lengkap, seperti yang diungkapkan oleh salah

seorang informannya:

“ anak itu buat ngelengkapi keluarga,pak. kalo nggak ada anak gimana gitu,pak..kaya ada yang kurang gitu,pak....”

Atau:

“ anak itu sumber kebahagiaan,pak. kalo kita sama istri doang kayaknya masih ada kebahagiaan yang belum bisa di dapat. Nah anak itu kan bisa buat bahagia juga,pak...”

3.6.4. Faktor Sosial Budaya dalam Pemilihan Penolong Persalinan dan Pemanfaat

Program Jampersal

Pandangan tentang keputusan menentukan tempat bersalin dan

pembiayaannya (termasuk mengikuti program Jampersal). Ketika ditanyakan perihal

siapa saja yang menentukan tempat bersalin bagi istri yang akan bersalin, para suami

dari kelompok yang mengikuti program Jampersal mengatakan:

“ kalo untuk masalah yang menentukan dimana mau lahiran sih yang kita-kita ini,pak para suami. Biasanya disini memenag begitu. Suami yang menentukan. Kan kita juga sebagai kepala keluarga tapi kita juga waktu menentukan tempatnya ya kita tanya ma istri dulu. Dimana maunya istri. Dimana enaknya istri buat ngelahirin. Kalo udah tau tempatnya dimana, nah baru kita tentuin kalo memang harus disitu..”

Ada juga yang berpendapat seperti ini:

“ iya pak benar seperti itu. Biasanya kan kita tanya dulu ke istri mau ngelahirin dimana, ini sebelum neglahirin ya,pak. Kita nanyanya dia maunya dimana. Kalo dia enekan di bidan ya di bidan ngelahirinnya. Kalo enakan di dukun ya di dukun,pak. tapi karena disini udah jarang bidan, lagipula kan bidan banyak ma rumah sakit deket, ya kita tentuin aja mau di bidan mana atau mau di rumah sakit mana..kita sih Cuma ngikutin kemauan istri aja. Yang penting istri selamat dan anak selamat. Kalo sebenernya sih kita disini juga kayaknya kita lebih seneng kalo istri, bidan yang nanganin. Bukan dukun. Lagipula kan dukun udah jarang di kota sini sih...Kan bidan lebih deket. Jadi lebih gampang kalo kenapa-kenapa ma istri...”

Page 246: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

222

Pendapat senada juga dikeluarkan oleh kelompok para tokoh masyarakat yang

mengatakan:

“ disini banyak bidan. Puskesmas juga deket. Klinik ma rumah sakit juga deket. Terus kita kan hidup di kota besar. dimana-mana deket dan gampang. Jadi sepertinya kalo untuk urusan melahirkan ya sebaiknya kita serahkan saja sama bidan dan dokter pak. maksud nya seperti ini pak. di kota ini kan segalanya ada. Rumah sakit dan puskesmas juga ada. Nah kenapa kita nggak memanfaatkan fasilitas yang ada? Kenapa juga musti jauh-jauh ke dukun kalo di deket kita ada bidan yang bisa nolong ngelahirin? Jadi kita-kta pasti menyarankan kalo melahirin itu pake bidan aja. Nah perkara yang nentuin mau di bidan mana atau mau di rumah sakit mana ya pihak keluarga yang mau ngelahirin itu. Yang biasanya ditentuin sama suaminya sebagai yang paling bertanggung jawab atas istri tersebut.kalo nggak ada suami atau suaminya lagi nggak ada misalnya, ya pihak keluarga terdekatnya yang ngegantiin nentuin dimananya. Yang pentingkan semua selamet. Selamet si ibu maupun selamet si anak..”

Pendapat dari bidan mengenai pengambilan keputusan dalam menentukan

tempat bersalin menyatakan:

“ yang mengambil keputusan itu biasanya si suami. Tapi suami juga siasanya menanyakan dulu kepada istrinya mau bersalin dimana. Kalo sudah disetujui biasanya sang suami itu langsung membawa istri yang mau bersalin itu ke tempat yang sudah disepakati mereka. Tapi kalo misalnya istri tiba-tiba mau ngelahirin sedangkan dia lagi ndak ada di rumahnya, misalnya, ya biasanya mereka datang ke kita-kita ini (bidan)... kan sering tuh pak, lagi jalan-jalan ke kota ternyata dah kerasa dan mau melahirkan saat itu juga. Ya kalo begitu masak ndak kita tolong....”

Tapi lain lagi pertanyataan dari informan kelompok para suami yang tidak

mengikuti program Jampersal. Salah seorang diantaranya mengatakan:

“kita sih dimana saja pak. mau di dukun boleh mau di bidan juga boleh. Kita nggak memaksa,pak. tergantung istrinya mau dimana. tapi kalo misalnya bidan lebih deket ya kita bawa ke bidan, pak....”

Ada juga yang berpendapat seperti ini:

“ kita liat situasi dulu,pak. kalo si istri dah mau melahirkan ternyata yang ada bidan, ya kita bawa ke bidan pak, meski tadinya istri pengennya di dukun. Tapi kalo udah mau melahirkan itu kan yang bisa nolong Cuma bidan. Ya jadi ke bidan..yang penting ada yang nolong. Kaya istri saya, tadinya kan dia nggak mau ke bidan maunya ke dukun yang dideket rumah. Tapi kan waktu kita jalan ke kota sini ternyata dia sudah kerasa mau melahirkan. Jadi ya ke bidan terpaksa...”

Page 247: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

223

Sewaktu pertanyaan yang ditanyakan bergulir pada sistem pembiayaan

persalinan. Kelompok suami yang mengikuti Jampersal mengatakan bahwa mereka

sebenarnya tidak mengetahui akan adanya program Jampersal ini. mereka hanya

mengikuti keingingan dari istri-istri mereka yang sudah terbiasa dengan bidan karena

selalu memeriksakan kehamilannya di bidan. Jadi pada saat istri mereka bersalin, para

suami tidak mengetahui secara pasti bahwa ada program dari pemerintah yang

berkaitan dengan pembiayaan persalinan. Para suami tersebut pada umumnya

mengetahui bahwa mereka ikut program Jampersal setelah mereka ingin membayar

jasa persalinan yang sudah dilakukan oleh bidan atau puskesmas. Mereka diberitahu

bahwa mereka tidak perlu membayar persalinan karena sudah ditanggung oleh

pemerintah.

Ketidaktahuan akan program Jampersal ini juga diungkapkan oleh para tokoh

masyarakat yang mengatakan bahwa mereka tidak tahu sama sekali menganai

program tersebut, sehingga mereka tidak memberitahukan hal tersebut kepada

warganya. Para tokoh masyarakat ini merasa bahwa puskesmas tidak pernah

mensosialisasikan perihal Jampersal kepada mereka baik di tingkat kecamatan,

kelurahan, maupun pada saat adanya pertemuan-pertemuan warga.

Ketika ditanyakan perihal program Jampersal kepada kelompok informan

bidan, didapati keterangan bahwa menurut kelompok informan bidan, masyarakat

jarang yang mau menggunakan Jampersal karena masyarakat menganggap bahwa

persalinan itu merupakan suatu hal yang cukup berisiko dan tidak mau direpotkan

dengan berbagai birokrasi administrasi seperti keharusan menyediakan berkas-berkas

yang diperlukan dan masyarakat ingin mendapatkan yang terbaik serta bersedia

menyediakan biaya dan membayar biaya persalinan meskipun terbilang cukup mahal.

Lebih lanjut kelompok informan bidan ini juga mengatakan bahwa masyarakat

di kota Pontianak ini banyak juga masyarakat yang langsung datang dan

memanfaatkan fasilitas rumah sakit untuk bersalin meskipun memeriksakan

kehamilannya di Puskesmas atau di Posyandu. Para bidan berpendapat bahwa

masyarakat mengganggap bahwa peralatan yang ada dan lebih lengkap di rumah sakit

dapat membantu mengurangi risiko yang mungkin terjadi selama persalinan. Ada hal

yang menarik yang didapati dari keterangan para informan bidan ini perihal bersalin di

Page 248: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

224

rumah sakit. Para informan bidan mengatakan bahwa banyak anggota masyarakat

menganggap bahwa bersalin di Rumah Sakit dapat meningkatkan gengsi mereka di

lingkungan tempat masyarakat tersebut tinggal.

Hubungan bidan-dukun. Ketika ditanyakan perihal hubungan antara bidan

dengan dukun, para informan baik dari kelompok suami yang mengikuti Jampersal,

suami yang tidak mengukuti program jampersak, para tokoh masyarakat maupun para

bidan semua berpendapat bahwa hubungan bidan-dukun cukup harmonis. Para budan

mengatakan bahwa hubungan mereka dengan dukun cukup bagus karena sudah

diterapkannya program mitra antara dukun dengan bidan. Dukun sering meminta

bantuan bidan bila ada anggota masyarakat yang akan bersalin demikian juga bidan

yang meminta dukungan dukun bila memang dibutuhkan tenaga dukun tersebut.

Selain itu menurut informan para bidan, dukun di kota Pontianak ini umumnya sudah

berusia tua dan tidak ada regenerasi sehingga para dukun sering kesulitan dalam

menangani persalinan sehingga sering meminta pertolongan bidan. Sedangkan

informan para tokoh masyarakat mengatakan sering melihat bidan dan dukun

bersama-sama menolong warganya yang akan bersalin.

Kepercayaan yang masih berkembang. Kepercayaan masyarakat kota

Pontianak akan kehamilan, masa persalinan maupun pada masa sesudah persalinan

hampir sama dengan yang ada di kabupaten Landak. Hanya saja sesuai dengan

keadaan lingkungan, kondisi dan modernitas yang ada di kota Pontianak, maka

kepercayaan yang ada pada masyarakat kota Pontianak akan masa kehamilan,

persalinan dan pasca persalinan sudah mulai berkurang. Seperti halnya pada masa

kehamilan, masyarakat masih menerapkan hal-hal yang dianggap pamali seperti

halnya tidak boleh keluar rumah bagi ibu hamil bila sudah malam atau maghrib, tidak

boleh melilitkan handuk atau kain di leher. Begitu juga bagi para suaminya, karena

lahan berburu dan binatang buruan sudah tidak ada lagi di daerah perkotaan, maka

para suami dilarang membunuh binatang-binatang yang sekiranya ada di perkotaan

seperti halnya kucing, tikus, cecak dll. Sedangkan untuk makanan, bagi ibu hamil tidak

boleh mengkonsumsi makanan-makanan yang sekiranya bisa merangsang keadaan

janin seperti halnya durian, tape, nanas dll. Tapi di kota Pontianak Ibu Hamil tidak

Page 249: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

225

banyak yang dilarang mengkonsumsi ikan karena sudah banyak yang mengetahui

bahwa konsumsi ikan tidak mempengaruhi kehamilan.

Pada masa persalinan pun masyarakat di Kota Pontianak sudah mulai

berkurang kepercayaannya. Mereka masih membuka semua jendela, pintu dan

membuka semua yang terkunci yang ada di dalam rumah dengan harapan tidak ada

yang akan “menutupi” jalan lahir sehingga persalinan berjalan lancar. Mereka

melakukan hal tersebut lebih cenderung karena mengikuti anjuran orangtua saja

karena menghormati orangtua atau mengikuti adat saja tanpa adanya keinginan untuk

mengikuti cara tersebut. setelah ditanya lebih mendalam mereka juga menjawab

bahwa sebenarnya tanpa melakukan hal tersebut juga tidak membawa efek apa-apa

terhadap persalinannya karena sudah ditolong oleh bidan atau dokter dengan

peralatan yang lengkap. Seperti pernyataan dari kelompok suami yang mengikuti

Jampersal berikut ini:

“...kita memang ikut cara orangtua tapi sebenarnya sih itu nggak ada pengaruhnya...kan kkita di tolong sama bidan dan dokter..alat-alatnya juga dah canggih. Jadi kita tidak takut ada apa-apa.....”

Untuk masa pasca persalinan masyarakat kota Pontianak juga mulai berkurang

kepercayaannya. Jika dahulu ibu yang bersalin dilarang untuk untuk memakan pisang,

ikan, telur, dsb, maka sekarang ini mereka justru mengkonsumsi makanan-makanan

tersebut. jika dahulu para ibu yang bersalin dilarang memberikan air susunya yang

pertama kali keluar (kolostrum) karena ada anggapan susu kotor, sekarang malah

mereka memberikan air susu yang baru kelur tersebut kepada bayi mereka karena

mereka sudah tahu akan manfaat dari air susu tersebut. bagi ibu yang bersalin di kota

Pontianak sekarang sudah tidak terlalu sering mengkonsumsi dedaunan atau ramuan-

ramuan yang dahulu dipercaya untuk mempercepat pengembalian kondisi fisik dari si

ibu. Sekarang para ibu bersalin lebih memilih mengkonsumsi obat-obatan modern

ketimbang dedaunan atau ramuan. Seperti pendapat dari salah satu tokoh masyarakat

berikut ini;

“...sekarang ini,pak. disini ini para ibu yang melahirkan sudah jarang yang pake jejamuan. Selain sudah jarang daun bahan jamunya juga susah buatnya,pak...disini ini mana ada yang bisa buat?.... kao di kampung kan masih banyak pak. daunnya banya juga yang buatnya banyak....”

Page 250: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

226

Masalah Kesehatan Ibu dan Anak. Pengetahuan ibu di kota Pontianak tentang

kesehatan pada masa hamil, persalinan, dan pasca persalinan dapat terlihat dari pada

dua tabel berikut ini:

Tabel 3.6.2

Pengetahuan Responden

Pengetahuan (%)

Positif Negatif

Pentingnya memeriksakan kehamilan sebanyak 4 kali 50.0 50.0

Penting mengukur tek darah& risiko kehamilan 100.0 0.0

Perlu tablet tambah darah bagi Bumil 100.0 00.0

Perlu upacara agar selamat 5.7 94.3

Melahirkan di rumah lebih baik 11.4 88.6

Ditolong bidan lebih aman 71.0 29.0

Sumber: Data Primer

Tabel 3.6.3

Sikap Responden

SIKAP (%)

setuju Tidak setuju

Penting pemeriksaan kehamilan sebanyak 4x Perilaku Kesehatan Ibu penyataan setuju dan sangat setuju sedangkan 2 sikap negatif masyarakat.

65.7 34.3

Penting mengkur tekanan darah 100.0 0.0

Perlu tablet tambah darah 75.7 24.2

Perlu upacara agar selamat 10.0 90.0

Melahirkan di rumah dan rumah sakit/ puskesmas sama amannya

17.1 82.8

Kemampuan dukun sama baiknya dgn bidan 21.4 38.5

Kolostrum tidak untuk bayi 14.3 85.7

Sumber: Data Primer

Page 251: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

227

Dari tabel 1 dan tabel 2 di atas didapati bahwa ibu yang mengetahui akan

pentingnya pemeriksaan minimal 4 kali selama kehamilan memiliki jumlah yang sama

dengan jumlah ibu yang mengangap bahwa pemeriksaan kehamilan minimal 4 kali itu

kurang atau tidak penting. Pemahaman tidak pentingnya pemeriksaan kehamilan ini

berkaitan dengan budaya orang Kalimantan yang sepertinya sengaja menutupi

kehamilannya bila masih berusia muda. Ada anggapan dari masyarakat bahwa

kehamilan yang masih muda itu sebaiknya tidak disebarkan berita dan kondisinya

kepada orang lain. Mereka biasanya menyebarkan informasi kehamilan tersebut bila

usia kandungan sudah sekitar 6 bulan keatas atau sudah terlihat perubahan bentuk

tubuh dari si ibu yang mengandung. Menurut mereka hal ini dilakukan untuk

mencegah hamilan yang tidak jadi bila pada pada usia kehamilan muda sudah

disebarkan beritanya kepada orang lain. Hal ini sesuai dengan hasil yang didapat dalam

diskusi kelompok terarah terhadap kelompok informan para suami baik kelompok

suami yang mengikuti program Jampersal maupun kelompok suami yang tidak

mengikuti program Jampersal. Berikut pendapat dari salah seorang informan

kelompok suami yang tidak mengikuti program Jampersal:

“... kita ini takut,pak. takut kalo ndak jadi hamil. kan repot lagi kalo begitu,pak. kita bisa malu kalo ndak jadi hamil padahal kita sudah sebar berita ke masyarakat kalo istri hamil....”

Sedangkan pendapat dari kelompok suami yang mengikuti program Jampersal

adalah sebagai berikut:

“...kita ini punya kebiasaan kalo hamil tidak diberitahu dulu pak..tidak beritahu. Tetangga tidak, keluarga pun tidak, apalagi teman2...semua tidak. Takutnya ada apa2 sehingga kehamilan itu hilang. Tiidak jadi hamil....kan kasian pak sama istri kalo begitu....”

Dari tabel di atas didapati bahwa pengetahuan masyarakat akan pentingnya

mengukur tekanan darah serta perlunya tablet untuk menambah darah bagi ibu yang

hamil sudah baik, dimana seluruh responden menjawab dengan benar semua

pertanyaan yang diberikan.

Page 252: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

228

Dari tabel di atas juga diketahui bahwa masih ada masyarakat di kota Pontianak

yang mengganggap bahwa melahirkan atau melakukan persalinan di rumah itu sama

amannya dengan melakukan persalinan di tempat pelayanan kesehatan seperti halnya

rumah sakit atau di puskesmas. Mereka beranggapan bahwa melahirkan di rumah itu

aman karena bidan bisa datang kerumah dan juga karena bila bersalin di rumah, para

suami dan atau keluarga dari si ibu yang bersalin tersebut bisa cepat melakukan

tindakan yang diperlukan bila terjadi masalah akan persalinan yang dilakukan seperti

halnya cepat menghubungi keluarga, atau cepat menyiapkan segala keperluan yang

dibutuhkan sewaktu bersalin, contohnya seperti menyiapkan air panas, membeli

pembalut, menyiapkan kain dll. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang informan

yang tergabung dalam kelompok suami yang tidak mengikuti Jampersal berikut ini:

“ kalo di rumah kan kita bisa cepat pak. cepat masak air kalo diperluin, cepat kasih tau orang-orang kalo yang melahirkan ini butuh bantuan...kita kan biasanya kalo ada yang melahirkanb dirumah kan pada kumpul pak...semua kumpul...keluarga kumpul tetangga juga kumpul...takut ada apa-apa yang kita semua bisa saling bantu gitu pak...itu kalo lahir di rumah....ya bidan dipanggil,pak. ke rumah..yang nolong bidan.pak...”

Perihal pengaruh budaya khususnya pelaksanaan upacara atau ritual

berkenaan dengan kehamilan dan persalinan tidak begitu berpengaruh terhadap

masyarakat kota Pontianak. Ini terlihat dari banyaknya pendapat dan sikap masyarakat

yang mengatakan keselamatan atau keamanan dari suatu kehamilan dan persalinan

tidak tergantung dari suatu upacara atau ritual tapi lebih tergantung pada keadaan

kesehatan dari si ibu dan jenis perawatan yang didapati oleh ibu terserbut.

Pengetahuan masyarakat di kota pontianak ini juga didukung oleh sikap mereka

akan pentingnya menjaga kesehatan pada masa kehamilan, persalinan dan pasca

persalinan.

Untuk tindakan pelayanan dari para tenaga kesehatan dan para dukun yang

diterima oleh para responden di Kota Pontianak dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Page 253: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

229

Tabel 3.6.4

Pelayanan bidan/dokter (tenaga kesehatan) yang diterima responden

Pelayanan (%)

Ya tidak

Pelayanan Nakes 95.7 4.3

Pelayanan Nakes ANC 100.0 0.0

Pelayanan Nakes Persalinan 100.0 0.0

Pelayanan Nakes Pasca Pesalinan 78.6 21.4

Sumber: Data Primer

Jenis pelayanan yang diberikan oleh para tenaga kesehatan khususnya bidan

dan dokter yang diterima oleh para responden mencakup pelayanan oleh tenaga

kesehatan, pelayanan selama kehamilan, pelayanan selama persalinan dan pelayanan

sesudah persalinan. Selin itu tenaga kesehatan menurut para responden juga

memebrikan pelayanan Keluarga Berencana (KB) yang diikuti segera setelah masa nifas

bagi ibu yang bersalin berakhir. Setelah dilakukan wawancara secara mendalam

terhadap para bdan ternyata pelayanan pada fase pasca persalinan itu juga dibarengi

dengan kegiatan inisiasi dini menyusui yang diikuti oleh para ibu-ibu yang baru saja

bersalin.

Kegiatan inisiasi menyusui dini ini dilakukan oleh para bidan sebagai upaya untuk

menyadarkan para ibu pentingnya menyusui bayinya dengan air susunya sendiri dan

untuk memberikan pengertian akan pentingnya memberikan air susu ibu (ASI) secara

eksklusif atau selama enam bulan bagi bayi mereka.

Pelayanan oleh para tenaga kesehatan (nakes) ini mendapat tanggapan yang

positif dari para responden. Hal ini bisa dilihat dari tingginya persentase sikap

responden akan pelayanan yang sudah diberikan oleh para tenaga kesehatan. Untuk

pelayanan ANC dan persalinan, semua responden yang ditemui dan mengisi kuesioner

mempunyai sikap yang positif akan pelayanan tenaga kesehatan seperti yang terlihat

pada tabel di atas. Seperti informasi yang diberikan salah seorang informan dari

kelompok suami yang mengikuti program Jampersal:

Page 254: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

230

“ ..kalo saya malah saya sendiri yang suruh istri untuk periksa ke bidan. Saya rasa bidan lebih baik dari dukun. Jadi saya yakin, istri saya pastri periksa di bidan. Dan nayti juga saya mau melahirkan di bidan saja. Terserah mau di tempat bidan atau mau di tempat puskesmas. yang penting sama bidan yang sudah biasa periksa...”

Namun meski mempunyai kecenderungan untuk bersikap positif terhadap pelayanan

dari tenaga kesehatan, ada sebagian dari responden yang tidak berpendapat demikian

akan pelayanan yang telah diberikan oleh tenaga kesehatan. khususnya akan

pelayanan yang didapat oleh responden setelah melakukan persalinan. Responden

lebih memilih untuk merawat diri sendiri atau dengan bantuan keluarga. Namun ada

juga responden yang berpendapat bahwa setelah bersalin yang ditanganin oleh tenaga

kesehatan , maka setelah bersalin maka perawatannya akan dilakukan oleh dukun

yang memang sudah dipercaya oleh keluarga mereka.

Sikap responden untuk pelayanan yang diberikan oleh para dukun dapat dilihat

dari tabel berikut ini:

Tabel 3.6.5

Pelayanan Dukun Bersalin yang Diterima Responden

Pelayanan (%)

Ya Tidak

Pelayanan dukun ANC 8.6 91.4

Pelayanan dukun Persalinan 0,0 100.0

Pelayanan dukun Paca Persalinan 11.4 88.6

Pelayanan dukun rawat bayi 50.0 50.0

Sumber: Data Primer

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa responden yang ditemui di kota

Pontianak masih ada yang menaruh harapan untuk diberikan pelayanan kesehatan

oleh para dukun meski jumlahnya hanya sedikit. Pelayanan yang diharapkan itu

terutama pelayanan pada ibu sesudah melewati fase bersalin atau sesudah pasca

persalinan. Penggunaan tenaga dukun pada masa sesudah persalinan ini sangat

dipengaruhi oleh faktor kebiasaan dan budaya yang dianut responden dan keluarganya

meski para responden tersebut hidup di tengah daerah perkotaan.

Page 255: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

231

Penggunaan tenaga dukun pasca persalinan itu mencakup merawat si ibu

termasuk memberihkan tubuh, memberikan ramuan-ramuan yang sekiranya

diperlukan baik yang penggunaannya dioleskan maupun yang diminum, yang biasanya

dibantu dari pihak keluarga si ibu yang baru bersalin, terutama oleh ibu kandung, atau

ibu mertua, ataupun adik perempuan/kakak perempuan/ipar perempuan dari ibu

bersalin tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh salsal seorang informan dari

kelompok tokoh masyarakat:

“Kami masih pake dukun karena dukun yang tau bagaimana cara rawat ibu. Iya..rawat ibu terutama setelah melahirkan....dukun itu tau cararawat, tau cara apa yang bagus buat kesehatan ibu. Biasanya dukun menyiapkan daun-daun atau ramuan-ramuan buat si ibu...itu bisa dibalur atau di minum pak. terserah si dukunnya..dukun yang tau... ya biar cepet sehat saja,pak....kalo cepet seneng juga kita ikut seneng,pak...”

Dari hasil kuesioner yang didapat dari responden yang berada di kota

Pontianak, didapati bahwa terdapat kesamaan jumlah responden yang menjawab

antara mendapat pelayanan oleh tenaga kesehatan maupun yang mendapat

pelayanan oleh dukun akan bayi yang dilahirkan. Dalam hal perawatan bayi yang baru

lahir masyarakat menilai bahwa pelayanan yang diberikan dukun sama baiknya dengan

pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan.

Adanya anggota masyarakat di kota Pontianak yang masih menggunakan dukun

dalam hal perawatan bayinya juga berkaitan dengan adanya budaya yang masih

melekat di masyarakat. budaya tersebut diantaranya adalah masih dipercayanya

dukun untuk melindungi bayi dan balita dari makhluk-makhluk yang dipercaya dapat

mengganggu bayi dan balita sehingga menjadi rewel atau sakit, masih dipercayanya

dukun dalam melindungi keluarga yang mempunyai bayi atau balita dari gangguan

makhluk supranatural mengingat masih adanya kepercayaan di masyarakat bahwa ibu

yang baru bersalin dan bayi yang masih berusia di bawah 40 hari mempunyai “wangi”

yang khas yang kerap mengundang datangnya makhluk halus.

Faktor Sosial Budaya Masyarakat. Masyarakat kota Pontianak seperti yang

tergambar dalam masyarakat di wilayah kerja puskesmas Karya Mulya pada umumnya

Page 256: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

232

sudah mengerti akan arti penting dari kesehatan, termasuk kesehatan ibu dan anak

meski data yang ada di puskesmas menunjukkan bahwa pemeriksaan kehamilan pada

trisemester pertama dan kedua kurang dari 40%. Kecilnya angka serapan tersebut

dikarenakan banyaknya anggota masyarakat yang memeriksakan kehamilan pada

bidan praktek swasta atau pada dokter spesialis kandungan yang memang banyak dan

tersebar di seluruh wilayah kota Pontianak. Selain itu, letak puskesmas karya mulya

yang berdekatan dengan daerah kecamatan lain, maka banyak anggota masyarakat

yang tidak memeriksakan kehamilan mereka di puskesmas Karya Mulya karena

masyarakat lebih memilih memeriksakan kehamilannya di puskesmas yang sesuai

dengan wilayah administratif mereka.

Dari data yang ada di puskesmas juga didapati bahwa yang memeriksakan

kehamilan mereka di puskesmas adalah mereka yang berasal dari golongan

masyarakat bawah. Sedangkan bagi masyarakat dari golongan menengah ke atas tidak

pernah memeriksakan kehamilan di puskesmas.

Anggota masyarakat dari golongan masyarakat tersebut lebih menyukai

memeriksakan kehamilannya di bidan praktek swasta dan dokter spesialis kandungan

karena faktor pelayanan yang didapat dan faktor kenyamanannya. Faktor pelayanan

dan fasilitas yang diperoleh menjadi pembeda bagi anggota masyarakat untuk

memeriksakan kehamilan ke bidan praktek swasta jika dibandingkan dengan

pemeriksaan di puskesmas. Selain itu kenyamanan karena tidak banyaknya orang yang

mengantri untuk diperiksa kehamilannya serta bedanya tempat pemeriksaan

kehamilan, menjadi faktor yang juga berpengaruh terhadap banyaknya pemeriksaan

kehamilan di luar Puskesmas Karya Mulya, seperti pernyataan informan bidan berikut

ini:

“...banyaknya sih yang periksa ke bidan praktek langsung. Disana kan ada alat USG nya. Jadi ya itu andalannya..masyarakat kan pengenna yang canggih juga. Mereka juga pengen tau ,pengen liat gambarnya...jadi mereka banyak yang ke bidan daripada ke puskesmas”.

Mengenai penolong persalinan, masyarakat yang ada di wilayah kerja

Puskesmas Karya Mulya, umumnya melakukan persalinan dengan dibantu oleh tenaga

kesehatan, baik itu bidan maupun dokter, baik di puskesmas, rumah sakit ataupun di

Page 257: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

233

tempat bidan praktek swasta. Ini mereka lakukan karena tenaga dukun sudah jarang

ada. Masyarakat memang masih ada yang menggunakan tenaga dukun tapi hanya

terbatas pada etnis tertentu saja seperti etnis madura dan bugis. Tapi tenaga dukun

tersebut sering kali dimanfaatkan setelah persalinan berlangsung seperti

membersihkan bayi dan ibu setelah bersalin, merawat si ibu selama beberapa waktu.

Ada tradisi yang dijalankan oleh etnis Madura di kota Pontianak pada masa

setelah bersalin. Bagi anggota masyarakat dari etnis Madura, bersalin itu meski di

tangani oleh tenaga kesehatan cukup satu hari. Jadi hanya berselang beberapa jam

saja setelah bersalin, si ibu ataupun keluarganya akan memaksa untuk pulang ke

rumah dan melakukan perawatan ibu dan anak di rumah dengan bantuan dukun yang

terkadang memang sengaja didatangkan dari daerah asal mereka. Hal ini dilakukan

karena ada anggapan bahwa persalinan itu harus ditolong oleh dukun yang sudah

menolong keluarga tersebut secara turun temurun. Ini dimaksudkan agar tetap terjalin

tali silaturahmi antara anggota keluarga tersebut karena ditolong oleh orang dari

daerah yang sama (sekampung) dan menganggap bila ditolong atau dirawat oleh

bukan orang dari daerah yang sama akan memutuskan tali silaturahmi nantinya

dengan keluarganya.

Pemanfaatan Pelayanan Jampersal

Di daerah kota Pontianak dan daerah Kabupaten Landak, pemanfaatan

program jamkesmas masih jauh dari yang diharapkan. Selain karena topografi alam

serta wilayah di daerah kabupaten yang menyulitkan terlaksananya program ini,

namun faktor yang bisa mempengaruhi masyarakat di wilayah perkotaan dan wilayah

kabupaten adalah juga karena faktor ketidaktahuan masyarakat akan adanya program

Jampersal ini. Ketidaktahuan ini sebagian besar dikarenakan rendahnya kegiatan

sosialisasi mengenai program Jampersal ini baik oleh bidan, dokter, para kader

kesehatan dan kader posyandu, serta dari tenaga kesehatan lainnya. Selain itu juga

dikarenakan makin banyaknya serta makin lengkapnya fasilitas untuk membantu

memelihara kehamilan dan membantu persalinan sehingga masyarakat lebih memilih

untuk memeriksakan kehamilan mereka ke bidan praktek swasta ataupun ke dokter

spesialis meski dengan begitu mereka mengeluarkan dana yang tidak sedikit.

Page 258: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

234

Masyarakat rela untuk mengeluarkan uang untuk menjaga kehamilan, ketika pada saat

persalinan dan ketika pada saat setelah persalinan demi mendapatkan pelayanan yang

lebih nyaman dan dinilai lebih kecil dalam menanggung risiko yang akan dihadapi.

3.6.5. Hambatan, Dukungan dan Harapan dalam Pelaksanaan Jampersal

Dukungan

Dukungan yang ada dalam pelaksanaan program Jampersal di Kabupaten

Landak dan di Kota Pontianak adalah peran serta langsung dari pemerintah daerahnya,

terutama yang berada di wailayah kota Pontianak, dimana walikota dan bupati sendiri

yang mengawasi pelaksanaan program Jampersal ini. Selain itu juga dukungan

diwujudkan dalam penambahan jumlah rupiah hasil klaim yang dilakukan oleh tenaga

kesehatan yang menangani semua perihal persalinan serta mengeluarkan Perda

khusus mengenai program Jampersal ini seperti yang dilakukan oleh walikota

Pontianak.

Dukungan juga didapati dari semua tokoh masyarakat yang memang

menginginkan adanya fasilitas bagi kesejahteraan warganya. Selain dari para tokoh

masyarakat, dukungan juga didapati dari sikap dan perilaku serta kondisi dari

masyarakat perkotaan yang nota bene sudah terpapar akan informasi dan

telekomunikasi yang sangat bagus sehingga mudah untuk mengaplikasi segala bentuk

program kesehatan dimasyarakat. Perihal akses termasuk tersedianya sarana dan

prasarana di kota Pontianak juga merupakan dukungan yang bisa menjalankan

program Jampersal ini.

Hambatan

Masyarakat sebenarnya menginginkan mengikuti program Jampersal ini.

Namun masih banyak hambatan untuk pelaksanaan program tersebut. hambatan-

hambatan tersebut diantaranya adalah; akses yang sulit di jangkau yang dibarengi

tidak adanya sarana tranportasi dan prasarana jalan yang belum ada di wilayah

kabupaten Landak merupakan hambatan utama dalm menjalankan program Jampersal

Page 259: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

235

ini. Sulitnya akses yang disebabkan kontur dan topografi wilayah perkebunan sawit

sangat menyulitkan warga untuk mencapai tempat pelayanan kesehatan sehingga

pelaksanaan kegiatan Jampersal sangat terhambat. Sulitnya akses ini juga

mempengaruhi informasi yang didapat warga dan pemahaman warga akan program

Jampersal karena penyebaran informasi mengenai program Jampersal oleh tenaga

kesehatan juga mengalami hambatan.

Tenaga kesehatan tradisional (dukun) yang sering dimanfaatkan warga untuk

menolong persalinan bisa di golongkan kedalam hambatan yang terjadi dalam

pelaksanaan Jampersal terutama di daerah kabupaten Landak. Hal ini dikarenakan

adanya persaingan yang tidak kentara antara bidan dengan dukun. Adanya persaingan

ini dikarenakan masih belum relanya dukun untuk melepas sepenuhnya tanggung

jawab dalam membantu persalinan kepada bidan. Hal ini juga berkaitan erat dengan

pendapatan dukun yang diperoleh dari menolong persalinan.

Untuk daerah perkotaan, hambatan yang dirasakan justru berasal dari banyak

dan tersebarnya sarana pelayanan kesehatan seperti halnya rumah sakit, praktek

dokter spesialis dan bidan praktek swasta. Persalinan yang di anggap oleh masyarakat

merupakan sesuatu yang mengandung risiko tinggi serta pengalaman yang di dapat

jika berurusan dengan birokrasi juga menjadi penghambat masyarakat tidak mau

menggunakan program Jampersal ini dan memilih membayar lebih untuk

mendapatkan pelayanan kesehatan yang dinilai lebih bisa mengurangi risiko yang

mungkin dihadapi dalam setiap kehamilan, persalinan, serta pada keadaan sesudah

persalinan.

Penyebaran informasi akan program Jampersal ke masyarakat yang dilakukan

oleh para tenaga kesehatan khususnya para bidan baik yang berada di daerah

kabupaten maupun yang berada di wilayah perkotaan turut menjadi andil dalam

hambatan pelaksaanaan program Jampersal ini. Para bidan di wilayah kabupaten

umumnya enggan untuk menyebarluaskan informasi karena karena akses yang

ditempuh sulit dan mereka mengganggap masyarakat belum terlalu perlu untuk

mengetahui program ini. Masyarakat diberikan informasi mengani Jampersal ini pada

saat mereka datang saja di puskesmas. sedang untuk di posyandu dan di pertemuan

warga sama sekali tidak diberikan informasi mengenai Jampersal.

Page 260: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

236

“ Kami disini¸Pak sebenarnya lamas buat kasih info me kasyarakat. Kami sudah cape duluan sebelum kasih info. Jalannyanjauh,pak..sulit lagi...harus lewat kebun sawit...”

Selain itu, hambatan akan pelaksanaan Jampersal ini ada di dalam diri masyarakat itu

sendiri. Masyarakat masih menilai bahwa untuk memeriksakan kehamilan, untuk

bersalin dan untuk memeriksakan kondisi sesudah persalinan di puskesmas tidak

mendapatkan pelayanan yang maksimal dan tidak nyaman karena banyaknya orang.

Sehingga masyarakat lebih memilih untuk memeriksakan kehamilan, melakukan

persalinan dan memeriksakan kondisi setelah bersalin pada bidan praktek swasta,

dokter spesialis maupun langsung di rumah sakit.

Harapan

Pada dasarnya masyarakat baik yang beradadi kabupaten Landak maupun yang berada

di wilayah kota Pontianak sudah cukup puas dengan program Jampersal ini.

masyarakat menilai bahwa program ini sangat membantu terutama dalam kaitannya

dengan kemampuan finansial yang mereka miliki. Untuk itu masyarakat pada

umumnya berharap bahwa program Jampersal ini terus ada dan terus ditingkatkan

pelaksanaannya hingga bisa mencapai seluruh masyarakat.

Masyarakat juga berharap perlaksanaan Jampersal ini lebih diinformasikan sehingga

masyarakat bisa mengetahui, bisa memahami, dan bisa memanfaatkan program

tersebut, serta lebih disederhanakan lagi dalam mengurus administrasi yang

diperlukan dalam porgram Jampersal ini. Masyarakat terutama para tokoh masyarakat,

meminta agar mereka juga dilibatkan dalam setiap penyampaian program kesehatan

khususnya program Jampersal karena banyak manfaatnya bagi warga mereka, sepereti

yang tercakup dalam kutipan berikut ini:

“ ada baiknya juga kita-kita yang ada disini ini, para tokoh masyarakat disini ini juga diberitahu tentang program ini,pak. karena program ini kan banyak manfaatnya..masyarakat perlu itu. Dan saya sih percaya bahwa setiap program pemerintah itu pasti baik, cuma yang kurang itu kan sosialisasinya...kita juga kan jarang banget dilibatin...ya akibatnya begini ini....kita sendiri ndak tau ada program Jampersal ini...”

Page 261: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

237

3.7. Puskesmas Arungkeke, Kabupaten Jeneponto

3.7.1. Gambaran Kabupaten Jeneponto

Kabupaten Jeneponto atau yang biasa di sebut Butta Turatea merupakan salah

satu dari 24 Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Kabupaten

Jeneponto dengan ibukota Binamu memiliki luas sebesar 749,8 km2 dan terbagi

menjadi 11 kecamatan dengan 86 desa dan 27 kelurahan. Topografi daerah Kabupaten

Jeneponto terdiri dari: Bagian utara merupakan dataran tinggi dan ber bukit-bukit

dengan ketinggian 500-1.400 m dpl. Bagian tengah merupakan dataran dengan

ketinggian 100-150 m dpl. Sedangkan bagian selatan merupakan datran rendah

dengan ketinggian 0-150 m dpl. Adapun batas daerah kabupaten adalah sebagai

berikut:

o Sebelah utara : Kabupaten Goa dan Kabupaten Takalar

o Sebelah timur : Kabupaten Bantaeng

o Sebelah selatan : Laut Flores

o Sebelah barat :Kabupaten Takalar

Secara umum, kabupaten ini memang kurang subur dan cenderung kering.

Dari sepuluh kecamatan, hanya Kecamatan Kelara yang berada pada ketinggian

700 meter di atas permukaan laut. Kecamatan ini pun memiliki lima hingga enam

bulan basah dan dua hingga empat bulan lembab. Sembilan kecamatan lainnya,

selain berada pada ketinggian 0-500 meter dari permukaan laut, juga hanya

memiliki satu bulan basah dalam satu tahun. Selebihnya bulan kering. Hasil

pencatatan hari hujan dan curah hujan di Kecamatan Arungkeke menunjukkan

jumlah rata-rata hari hujan selama setahun sebanyak 9 hari sedangkan curah hujan

sebanyak 602 mm.

Page 262: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

238

Gambar 3.7.1. Gambar Peta Kabupaten Jeneponto

Ratio jenis kelamin memperihatkan perkembangan penduduk laki-laki dan

perempuan. Tahun 2011 adalah 95,57%. Laju pertumbuhan penduduk tahun 2011

rata-rata 1,01% (untuk Sulawesi Selatan periode 1998-2002 rata-rata 1,09% dan untuk

Indonesia pada periode 1990-2000 rata-rata 1,23%). Komposisi penduduk menurut

kelompok umur dapat menggambarkan tinggi rendahnya tingkat kelahiran, dan dapat

pula menggambarkan angka beban tanggungan, yaitu perbandingan jumlah penduduk

produktif (15-64tahun) dengan kelompok tidak produktif (0-14tahun dan 65tahun

keatas). Berdasarkan data BPS Kabupaten Jeneponto tahun 2011, penduduk 0-14tahun

sebesar 9,58%. Berikut merupakan tabel penduduk Jeneponto berdasarkan kecamatan

yang ada:

Page 263: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

239

Tabel 3.7.1

Jumlah Penduduk Jeneponto Berdasarkan Kecamatan Tahun 2011

No Kecamatan Jumlah Penduduk

1 Bangkala 50.361

2 Bangkala Barat 26.605

3 Tamalatea 40.757

4 Bontoramba 35.237

5 Binamu 52.948

6 Turatea 30.220

7 Batang 19.385

8 Arungkeke 18.416

9 Tarowang 22.562

10 Kelara 26.706

11 Rumbia 22.862

Jumlah 346.149

Sumber: http://jenepontokab.bps.go.id

Dari tabel di atas, kecamatan dengan penduduk terbanyak adalah kecamatan

Bangkala sedangkan kecamatan dengan penduduk paling sedikit adalah di Kecamatan

Arungkeke.

Penduduk Jeneponto sendiri mayoritas dihuni oleh Suku Jeneponto sebagai

suku asli dan ada lagi suku pendatang lain yang berasal dari kabupaten lain yang

berada di sekitar Jeneponto, seperti suku Bugis, suku Makassar, suku Toraja dan lain-

lainnya. Sedangkan agama mayoritas adalah agama Islam, sedangkan penduduk lain

yang beragama selain agama Islam biasanya yang berasal dari suku selain Jeneponto.

Penduduk yang beragama Kristen biasanya adalah penduduk yang berasal dari suku

Toraja. Sedikitnya penduduk yang memeluk agama selain Islam ditandai dengan tidak

adanya rumah ibadah agama lain selain masjid di kabupaten Jeneponto ini.

Page 264: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

240

Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Tenaga Kesehatandi Kabupaten Jeneponto

Pada tahun 2011 jumlah Puskesmas di Kabupaten Jeneponto sebanyak 18 unit,

polindes 2 unit dan poskesdes 51 unit. Beberapa puskesmas telah ditingkatkan menjadi

Puskesmas Perawatan. Dari 18 puskesmas, 9 di antaranya merupaka puskesmas

perawatan. Sedangkan puskesmas pembantu (pustu) adalah sarana pelayanan

kesehatan di desa dan kini jumlah pustu di Jeneponto adalah 56 unit.

Sedangkan untuk tenaga kesehatan di Kabupaten Jeneponto berikut rinciannya:

Dokter Umum : 33 orang

Dokter Spesialis : 2 orang

Dokter Gigi : 10 orang

Apoteker : 9 orang

Ahli gizi : 19 orang

Sarjana Kesehatan Masyarakat : 102 orang

Anestesi : 1 orang

Fisioterapi : 2 orang

Kebidanan : 97 orang

Analis Kesehatan : 17 orang

Perawat : 235 orang

Asisten Apoteker : 30 orang

Sanitarian : 15 orang

Penata Rontgen : 7 orang

Perekam Medik : 6 orang

Perawat Gigi : 26 orang

Kesehatan Bayi dan Anakdi Kabupaten Jeneponto

Angka kematian bayi di Kabupaten Jeneponto pada tahun 2011 sebesar 7,0 per

1000 kelahiran hidup dengan jumlah kematian bayi sebanyak 25 dari 3.256 jumlah

kelahiran hidup (AKB = 7.0 / 1000 KH). Sedangkan angka kematian balita (AKABA) pada

tahun 2011 sebanyak 2 balita dari 3.256 kelahiran hidup sehingga diperoleh angka

kematian balita.

Jumlah kunjungan neonatus (KN-1) di Kabupaten Jeneponto pada tahun 2011

sebanyak 5.864 (89.7%) sedangkan kunjungan neonatus 3 kali (KN lengkap) sebanyak

5.113 orang (78.2%). Persentase cakupan kunjungan bayi minimal 4 kali di Kabupaten

Jeneponto pada tahun 2011 sebanyak 5.127 bayi (78 %) dari 6.574 bayi.

Page 265: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

241

Kesehatan Ibu, ANC dan Pertolongan Persalinan dan KBdi Kabupaten Jeneponto

Upaya peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak terutama dititikberatkan pada

pertolongan persalinan dan pemeriksaan kehamilan. Hal tersebut sangat berperan

penting dalam menurunkan angka kematian bayi yang secara langsung berdampak

pada meningkatnya derajat kesehatan masyarakat.

a. Pertolongan Persalinan

Jumlah ibu hamil di Kabupaten Jeneponto pada tahun 2011 sebanyak 6.572

orang. Yang melahirkan dengan bantuan tenaga kesehatan sebanyak 6.378 orang

dan yang melahirkan dengan bantuan dukun sebesar 194%. Berikut tabel penolong

persalinan di Kabupaten Jeneponto yang dibagi berdasarkan wilayah Kecamatan

yang ada di Jeneponto:

Tabel 3.7.2 Penolong Persalinan Per Kecamatan di Kabupaten JenepontoTahun 2011

No Kecamatan Penolong Persalinan

Nakes Bidan

1 Bangkala 969 8

2 Bangkala Barat 607 9

3 Tamalatea 806 1

4 Bontoramba 611 55

5 Binamu 1.022 6

6 Turatea 533 21

7 Batang 358 3

8 Arungkeke 199 22

9 Tarowang 472 19

10 Kelara 464 14

11 Rumbia 357 36

Jumlah 6.378 194

Sumber: Profil Kesehatan Kabupaten Jeneponto 2012

Data terakhir yang diperolah dari jumlah ibu hamil pada tahun 2011 yaitu

cakupan K4 di Kabupaten Jeneponto adalah sebesar 98.1%.

Page 266: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

242

b. Pemberian Fe bagi Ibu Hamil

Cakupan ibu hamil yang mendapat 90 tablet Fe-1 di Kabupaten Jeneponto

pada tahun 2011 sebanyak 7.575 (100%), Fe-3 sebanyak 6.692 ibu hamil (93.56%).

c. Pelayanan Keluarga Berencana

Pada tahun 2011 dari 67.709 PUS terdapat 3.695 orang (5.5%) adalah

peserta KB baru. Dari 6.289 peserta KB baru, yang menggunakan Metode

Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) dan Non MKJP yang terdiri dari suntik (73.4%)

dan kemudian dilanjutkan pil (16.1%).

3.7.2. Gambaran Puskesmas Arungkeke

Kecamatan Arungkeke merupakan salah satu kecamatan dari 11 kecamatan

yang ada di Kabupaten Jeneponto, terletak di sebelah Timur. Kecamatan Arungkeke

memiliki luas wilayah sebesar 29.91 km2. Desa yang terluas adalah Desa Boronglamu

yaitu 7.23 km2 sedangkan yang paling kecil luas wilayahnya adalah Desa Arungkeke

Pallantikang yaitu 2.73 km2. Secara administrative pemerintahan terbagi atas 7 desa.

Puskesmas Arungkeke sendiri berada pada Kecamatan Arungkeke dengan jarak 11 km

dari pusat kota. Dari 7 desa yang ada di Kecamatan Arungkeke, 6 desa berada di

daerah pantai.

Menurut jaraknya, maka letak masing-masing desa ke ibukota Kecamatan dan

ibukota Kabupaten sangat bervariasi. Jarak desa ke ibukota Kecamatan maupun

Kabupaten berkisar anatara 4–14 km. Jarak terjauh adalah Arungkeke Pallantikang

yaitu sekitar 17 km dari ibukota Kabupaten, sedangkan untuk jarak terdekat adalah

Desa Kalumpang Loe. Selurah desa/kelurahan di Arungkeke tergolong desa

berkembang. Namun demikian masih ada 3 desa/kelurahan yang termasuk desa

tertinggal.

Batas-batas wilayah Kecamatan Arungkeke adalah sebagai berikut:

Sebelah timur berbatasan dengan laut Flores

Sebelah selatan berbatasan dengan laut Flores

Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Binamu

Page 267: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

243

Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Batang

Berdasarkan data BPS Kabupaten Jeneponto (2010), jumlah penduduk

Kecamatan Arungkeke saat ini adalah 18.233 jiwa yang terdiri dari 8.743 jiwa laki-laki

dan 9.490 jiwa perempuan. Tingkat kepadatan penduduk= 609/km2.

Gambar 3.7.2. Gambar Peta Kecamatan Arungkeke Sumber: http://4.bp.blogspot.com

Untuk pendidikan sendiri, sampai saat ini tidak ada data yang menunjukkan

tingkat pendidikan akhir dari keeseluruhan warja Jeneponto, termasuk warga yang

bertempat tinggal di kecamatan Arungkeke. Jika melihat data responden kuantitatif

dalam penelitian ini, maka akan didapatkan hasil yang sama mengenai latar belakang

pendidikan. Dari 70 orang responden ibu, kecenderungan pendidikan terakhir ibu

adalah tamat SD/sederajat yaitu sebanyak 37.1% dan diikuti tamat SMP/sederajat

(21.4%) dan tidak sekolah (20%). Begitupun juga dengan pendidikan terakhir suami

responden menunjukkan bahwa paling banyak memiliki pendidikan terakhir yaitu

tamatan SD/sederajat yaitu sebanyak 30% dan diikuti pendidikan tamat SMP/sederajat

(21.4%) dan tidak sekolah (20%).

Page 268: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

244

Rata-rata pendapatan per kapita penduduk Arungkeke belum ditemukan

datanya, baik di kantor Kecamatan maupun kantor Kelurahan serta di Kantor BPS.

Sesuai dengan Indikator Kesejahteraan Masyarakat Kota Makassar tahun 2010

pendapatan per kapita penduduk di Kabupaten Jeneponto pada tahun 2009, PDRB

menurut lapangan usaha atas dasar harga yang berlaku sebesar 1.559.951,69 juta

rupiah (meningkat sebesar 7,9% dari tahun2008). Berbicara mengenai pendapatan per

kapita penduduk maka indikator nya adalah pendapatan rumah tangga/bulan. Jika

melihat data responden penelitian, dari 70 orang maka diketahui bahwa pendapatan

rumah tangga cenderung paling banyak di kategori Rp.500.001,- s/d Rp. 1.000.000,-

yaitu sebanyak 44.3% diikuti kategori pendapatan <Rp 500.000,- (35.7%) dan kategori

pendapatan Rp. 1.000.001,- s/d Rp.2.000.000,- (11.4%). Pendapatan ini berkaitan juga

dengan pekerjaan yang dijalani oleh masyarakatnya. Sama halnya dengan pendapatan

rata-rata, tim peneliti juga tidak mendapatkan data mengenai pasti mengenai jenis

pekerjaan pada masyarakat Kecamatan ini, namun jika melihat dari data responden

penelitian maka pekerjaan yang paling banyak yang dilakukan oleh suami adalah:

pekerjaan di bidang jasa, seperti menjadi guru ataupun menjadi supir angkutan

ataupun menjadi supir becak motor (bentor), lalu setelah itu bekerja di sektor swasta

dan terakhir menjadi nelayan. Berbicara mengenai pendapatan rumah tangga maka

tidak akan lepas dari mata pencaharian mereka sebagai sumber pendapatan keluarga

untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Dilihat dari sumber mata pencaharian, dari data BPS tahun 2011, menunjukkan

bahwa dari jumlah penduduk yang bekerja, yaitu sebanyak 4.670 orang adalah petani

pangan, sedangkan peternak sebanyak sebanyak 287 orang. Tambak dan nelayan

sebanyak 835 orang. Penduduk yang bekerja di luar sektor pertanian antara lain

perdagangan sebanyak 618 orang, industri 506 orang, angkutan 680 orang dan jasa

263 orang. Adapun penduduk yang bekerja sebagai PNS dan ABRI sebanyak 266 orang.

Sedangkan dari data responden ibu, kami mendapatkan hasil bahwa 91.4% nya tidak

bekerja dan hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga saja, dan sisanya ada yang

bekerja sebagai petani dan PNS.

Page 269: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

245

Gambar 3.7.3. Mata Pencaharian Menangkap Ikan Sumber: Dokumentasi Peneliti

Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Tenaga Kesehatandi Kecamatan Arungkeke

Jumlah tenaga kesehatan di Kecamatan Arungkeke pada tahun 2012 sebanyak

25 orang. Berikut merupakan tabel gambaran tenaga kesehatan di masing-masing desa

yang ada di Kecamatan Arungkeke:

Tabel 3.7.3.

Persebaran Tenaga Kesehatan di Desa dalam Kecamatan ArungkekeTahun 2011

No Desa Dokter

Gigi

Dokter

Umum

Bidan Perawat

1 Kampala - - 1 -

2 Bulo-bulo - - 1 1

3 Palajau - 2 1 1

4 Kalumpang Loe - - 1 -

5 Arungkeke - 1 2 12

6 Boronglamu - - 1 -

7 Arungkeke Pallantikang - - 1 -

Jumlah - 3 8 14

Sumber: Profil Kesehatan Kabupaten Jeneponto 2012

Melihat tabel di atas maka dapat dikatakan setiap desa di Kecamatan

Arungkeke sudah memiliki tenaga kesehatan terkait dengan kesehatan ibu dan anak

yaitu bidan. Selain tenaga kesehatan medis professional terdapat juga dukun bayi yang

Page 270: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

246

dianggap bisa menolong persalinan atau yang biasa disebut sandro yang berjumlah 11

orang yang tersebar di 7 desa tersebut.

Kesehatan Bayi dan anak

Jumlah kematian bayi sebanyak 37 dari 215 jumlah kelahiran hidup Sedangkan

angka kematian balita (AKABA) pada tahun 2011 sebanyak 7 balita dari 215 kelahiran

hidup sehingga diperoleh angka kematian balita.

Dari jumlah kelahiran pada tahun 2011 yang berjumalah 215 tersebut.Jumlah

kunjungan neonatus (KN-1) di Kecamatan Arungkeke pada tahun 2011 sebanyak 184

(85.6%) sedangkan kunjungan neonatus 3 kali (KN lengkap) sebanyak 172 orang (80%).

Persentase cakupan kunjungan bayi minimal 4 kali di Kecamatan Arungkeke pada

tahun 2011 sebanyak 118 bayi (33.9 %) dari 348 bayi.

Kesehatan Ibu, ANC, Pertolongan Persalinan dan KB

a. Pertolongan Persalinan

Jumlah ibu bersalin di Kecamatan Arungkeke pada tahun 2011 sebanyak 362 orang

sebanyak 178 atau 55%-nya ditolong oleh tenaga kesehatan.

b. Pemeriksaan Ibu Hamil

Dari jumlah 379 orang ibu hamil, jumlah K1 adalah sebanyak 349 orang (92.1%) dan

yang melakukan K4 adalah sebesar 258 orang (68.1%). Untuk suntikan tetanus

toksoid maka yang mendapatkan TT1 sebesar 349 orang (92.1%) dan yang

mendapatkan TT2 sebesar 258 orang (68.1%). Untuk ibu hamil yang mendapatkan

fe 1 sebanyak 331 orang (87.34%) dan fe 3 sebanyak 245 orang (64.64%)

c. Pelayanan Keluarga Berencana

Pada tahun 2011 dari 3549 Pasangan Usia Subur terdapat 140 orang (3.9%) adalah

peserta KB baru. Peserta KB aktif sebesar 2.584 orang (72.8%).

3.7.3 Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak

Pandangan tentang ibu hamil, bersalin, bayi/anak

Masyarakat Jeneponto, kurang lebih memiliki pandangan yang sama dengan

masyarakat pada umumnya dalam situasi menunggu kehadiran seorang anak dalam

keluarga. Dalam masa kehamilan, ibu tentunya melakukan pencarian kesehatan, baik

Page 271: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

247

dengan pengobatan tradisional maupun pengobatan konvensional. Hal ini mereka

lakukan agar selama masa kehamilan mereka terus dapat sehat hingga sampai saatnya

nanti mereka akan melahirkan. Hal ini sejalan dengan pendapat Bapak Kepala

Puskesmas Arungkeke yang menyatakan bahwa kesadaran masyarakat di Kecamatan

Arungkeke ini terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahunnya:

“kesehatan, masyarakat itu semakin tahun semakin meningkat. Justru kenapa semakin tahun juga, kenapa semakin banyak juga orang yang berobat. Jadi apa semacam kesenjangan, disisi lain dikatakan bahwa kesadaran masyarakat itu menyangkut persoalan kesehatan itu semakin bagus, itu dilihat karena setiap bulannya itu selalu meningkat orang yang datang berobat sehingga, ada yang mengatakan berarti semakin hari semakin tahun ini orang semakin banyak yang sakit.”

Kesadaran mengenai pentingnya menjaga kesehatan pada sat kehamilan

tersebut bukan hanya dimiliki oleh ibu itu sendiri namun juga keluarga terdekatnya,

khususnya para suami. Dari hasil fgd yang dilakukan kepada para suami, maka dapat

dilihat bahwa para suami dari ibu hamil ini turut andil dalam proses menjaga

kesehatan istrinya. Para suami peserta Jampersal menyatakan bahwa ketika istri

mereka hamil mereka membantu meringankan pekerjaan dari para istri. Pekerjaan

yang dirasa membutuhkan tenaga banyak akan mereka gantikan, seperti mengangkut

air atau mengangkat benda lain yang berat. Selain itu mereka juga turut membantu

pekerjaan rumah tangga, seperti membantu mencuci baju, mengurus anak dan bahkan

memasak. Menurut pengakuan beberapa para suami juga menyatakan mereka

membantu istri mereka pada saat hamil saja, namun berlanjut hingga pada saatnya

nanti pada masa nifas, setelah ibu dilahirkan. Hal ini seperti yang diungkapan oleh

bapak N:

“Adapun peranan saya di saat istri hamil, saya membantu sebagai, kadang memasak kalay kadang sakit-sakitan. Anak saya ada 3. Tapi setelah melahirkan saya sebagai suami mengambil peranan untuk membantu semuanya, termasuk memasak, mencuci, membelikan susu untuk pertama karena belum keluar air susu istri.”

Para suami juga berperan pada saat proses pemeriksaan kesehatan itu sendiri

pada masa kesehatan, mereka berperan dalam menentukan pemeriksaan kehamilan,

bahkan beberapa di antaranya juga turut mengantarkan istrinya pada waktu

pemeriksaan, baik itu pergi ke dukun/sandro ataupun pergi ke puskesmas ataupun

Page 272: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

248

pustu yang ada di desa tempat mereka tinggal. Begitupun pada saat ibu akan

melahirkan, biasanya suami pada saat menjelang persalinan akan menemani istrinya

dan berjaga-jaga hingga pada saatnya waktu persalinan. Dan pada waktu persalinan

tersebut biasanya suami yang akan mengantarkan istrinya ke puskesmas jika akan

melahirkan dengan bidan ataupun pergi memanggil dukun untuk datang ke rumah

untuk menolong persalinan. Hal ini seperti apa yang dikatakan oleh informan suami

Bapak AM:

“Waktu istri saya mengandung saya selalu membantu apa yang dia kerjakan, kalau dia mau apa saya belikan. Kalau dia mau mencuci saya larang dia. Saya selalu membaca surat yaasin untuk kelancaran kelahiran anak saya. Ketika melahirkan saya panggil dukun.”

Selain itu sebagai kepala keluarga, seorang suami biasanya pada saat istri hamil

juga menyediakan dana, meskipun terbilang minim, untuk berjaga-jaga manakala

istrinya membutuhkan obat ataupun berjaga-jaga apabila nanti pada proses persalinan

membutuhkan biaya lebih.

Keluarga besar juga memberikan perhatian kepada ibu yang sedang hamil,

khususnya para orang tua. Orang tua cukup memberikan perhatian kepada anaknya

jika sedang hamil, khususnya para ibu. Kedekatan antara ibu hamil dengan orang tua

ataupun keluarga ditunjukkan dengan pilihan mereka untuk bersalin di tempat yang

dekat dengan keluarga besarnya, yang memang menjadi kebiasaan bagi para warga

Jeneponto. Tidak sedikit ibu hamil yang menemani suaminya merantau untuk bekerja,

ke Makassar ataupun kota/kabupaten lainnya,memilih untuk kembali ke kampungnya

berasal (Jeneponto) karena ingin ditemani keluarga besarnya pada saat melahirkan.

Hal ini seperti yang disebutkan oleh Kepala Bidang Binkes Dinkes Kab. Jeneponto:

“Itu sakit dia cenderung kembali ke kampungnya, orang sini cenderung sakit kembali ke keluarganya. Jadi dia pasti kembali ke kampungnya. Dia mau didampingi sama keluarganya termasuk melahirkan.”

Bentuk perhatian dari masyarakat tempat tinggal juga kini telah sedikit banyak

berperan, baik itu yang sifatnya bantuan pribadi atau bantuan dari organisasi

masyarakat yang ada di lingkungan sekitarnya. Bantuan pribadi antara lain adalah

meminjamkan kendaraan secara gratis manakala ada ibu yang mau memeriksakan diri

Page 273: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

249

ke puskesmas atau pada saat akan melahirkan. Sedangkan bentuk perhatian dari

organisasi masyarakat diberikan melalui penyuluhan-penyuluhan kesehatan yang

dilakukan untuk para warga, namun disayangkan berdasarkan fgd yang dilakukan oleh

tokoh masyarakat acara penyuluhan ini masih jarang dilakukan, namun ada juga desa

yang sudah menjalankanya secara rutin, seperti yang disebutkan oleh salah satu wakil

kepala Desa berikut ini:

“kalau di desa itu, letaknya kantor desa dekat jadi gampang mantaunya. Bersama kader bekerja sama memantau banyak nya ibu hamil sampai ibu nifas. Kader melaoprkan berapa ibu hamil yang hamil. Kebetulan saya juga pernah menjadi kader posyandu. Jadi masalah posyandu dan kesehatan saya perduli.”

Kepercayaan yang Masih Berkembang (Tradisi/Ritual/Kebiasaan)

Terkait dengan tradisi, ritual ataupun kepercayaan tertentu yang menyangkut

kesehatan ibu dan anak, mulai dari proses kehamilan hingga sampai setelah

melahirkan, sebagian masyarakat Jeneponto masih melakukannya, sedangkan

sebagian lainnya sudah tidak melaksanakannya lagi. Hal ini juga ditunjukkan data

kuantitatif dari hasil survey dengan responden mengenai masih atau tidak

dilakukannya tradisi/upacara/ritual oleh para responden berikut ini:

Tabel 3.7.4.

Pelaksaan Upacara/Tradisi/Ritual Berkaitan dengan KIA di Kec. Arungkeke

No Upacara/Tradisi/Ritual Tidak Ya

1 Masa Kehamilan 48.6 51.4

2 Masa Persalinan 94,3 5,7

3 Masa Nifas 95.7 4.3

4 Bayi Lahir 54.3 45.7

Sumber: Data Primer

Untuk yang masih melaksanakannya kebanyakan menjalani karena percaya

bahwa jika nanti tidak melaksanakannya maka akan mendatangkan akibat yang tidak

baik bagi seorang ibu ataupun calon anak ataupun anaknya, namun ada pula yang

tetap melaksanakannya bukan karena alasan tersebut namun karena dianggap sudah

tradisi turun temurun, yang akan terasa ada yang “kurang” jika tidak

melaksanakannya.

Page 274: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

250

Seperti dapat kita lihat pada tabel di atas maka secara garis besar, masyarakat

Jeneponto sudah tidak lagi melaksanakan tradisi/ritual/kebiasaan yang menyangkut

kesehatan ibu dan anak. Hanya pada masa persalinan saja yang masyarakatnya masih

banyak yang mengadakan ritual, sedangkan pada masa persalinan dan masa nifas

mayoritas tidak melakukan. Untuk upacara pada masa bayi lahir meskipun lebih

banyak persentase orang yang sudah tidak melaksanakan, namun persentase orang

yang masih melaksanakannya juga dapat dikatakan tidak sedikit.

Kepercayaan pada Masa Kehamilan. Pada masa kehamilan ada kepercayaan

berupa pantangan yang dipercayai masyarakat yang jika dilakukan akan

mengakibatkan hal yang tidak baik bagi kesehatan ibu hamil dan calon anaknya.

Pantangan-pantangan tersebut ada yang berupa pantangan berupa makanan dan ada

juga pantangan berupa perilaku.

Pantangan makanan antara lain:

Dilarang minum es karena dipercayai akan menyebabkan besarnya ukuran kepala

bayi di dalam perut yang bisa menyebabkan pada saatnya akan bersalin nanti akan

sulit untuk dikeluarkan.

Dilarang makan sayur daun kelor karena dipercaya akan memperlancar lendiri pada

kemaluan ibu yang akan mempersulit pada masa persalinan.

Dilarang makan udang karena dipercaya akan mengakibatkan posisi bayi semakin

mundur dari jalan lahir dan mengakibatkan persalinan tidak lancar

Dilarang makan yang pedes-pedes dan ikan laut terutama ikan toka-toka (ikan pari)

karena dipercayai nanti mengakibatkan lemahnya atau tidak kuatnya tulang

anaknya, sehingga anak sulit untuk mulai berjalan.

Berikut ini pantangan berupa perilaku, perilaku ini selain tidak boleh dilakukan

oleh ibu hamil juga ada yang tidak boleh dilakukan oleh suaminya:

ibu hamil dilarang tidur dipagi hari karena dipercayai akan menyebabkan banyak

darah keluar bila nanti melahirkan

Page 275: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

251

Ibu dilarang mengerjakan pemotongan, misalnya memotong, memotong ikan,

memotong rambut,memotong kuku dan sebagainya karena hal ini akan

menyebabkan anak yang dilahirkan cacat.

Para suami yang istrinya hamil dilarang mengerjakan pekerjaan membuat lubang,

misalnya menatah/melubangi kayu dan sebagainya karena dipercayai menyebabkan

anak yang dilahirkan sumbing

Ibu hamil harus makan di piring yang ukurannya kecil karena dipercayai nanti mulut

bayinya akan lebar

Sedangkan untuk ritual yang biasa dilakukan pada masa kehamilan, sama

dengan masyarakat di provinsi Sulawesi Selatan pada umumnya, yaitu upacara Pasili

atau Napasili. Pada sub bab hasil laporan di kota Makassar upacara ini juga dilakukan.

Perbedaannya adalah upacara Napasilli di kabupaten Jeneponto ini hanya dilakukan

untuk anak pertama dan ketiga saja. Upacara ini dilakukan pada saat ibu menginjak

usia kandungan 7 bulan. Upacara ini biasanya dipimpin oleh sandro setempat ataupun

tokoh agama. Sandro ataupun tokoh agama ini menjadi pemimpin dalam ritual ini

karena dianggap bisa mendoakan ibu agar selamat hingga pada masanya persalinan.

Meskipun dana yang disediakan cukup besar untuk acara Pasili ini, namun karena

sudah menjadi kebiasaan yang turun emurun dilakukan maka masyarakat masih

mengadakannya. Jika mereka tidak mampu maka biasanya keluarga juga memiliki

kewajiban untuk membantu padan saat acara. Ada yang menyumbangkan uang da

nada juga yang menyumbangkan bahan mentah untuk diolah sebagai makanan yang

akan disajikan pada saat upacara dan ada juga yang menyumbangkan makanan yang

sudah jadi.

Kepercayaan pada Masa Persalinan. Pada masa persalinan ini kebiasaan yang

ada di masyarakat adalah memanggil dukun untuk diminumkan air yang dianggap bisa

mengusir setan. Air yang sudah diberikan doa ataupun jampi oleh dukun ini dianggap

bisa mengusir setan yang bisa mengganggu persalinan yang biasa disebut dengan

Parakang.

Kepercayaan pada Masa Nifas. Pada masa nifas, hanya ada kepercayaan

berupa pantangan. Tidak ada ritual ataupun upacara yang harus dilakukan oleh ibu

Page 276: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

252

nifas Sama seperti pantangan pada masa hamil, kebanyakan masyarakat juga sudah

tidak menjalani pantangan-pantangan pada masa nifas ini. Ibu hanya dilarang untuk

bekerja berat hingga waktu nifas berakhir. Dan di masyarakat ada kepercayaan bahwa

ibu nifas harus banyaka makan sayur daun kelor dan kacang tanah yang dipercaya

dapat memperbanyak air susu ibu.

Kepercayaan pada Bayi yang Baru Lahir. Terdapat suatu kepercayaan baju bayi

yang khas pada masyarakat Jeneponto yaitu mngenai pakaian untuk bayi. Bayi

dianjurkan memakai turunan atau bekas dari kakaknya (pakaian bekas dari kakaknya),

sedangkan anak pertama mengambil/meminta dari saudara/famili lain atau tetangga

yang sebelumnya sudah memiliki anak dan dilarang untuk memakai baju yang baru

dibeli.Hal ini dipercayai karena memakai baju bekas bayi lain maka bayi itu akan sehat

sama dengan bayi sebelumnya.

Sedangkan untuk upacara untuk bayi baru lahir, karena masyarakat Jeneponto

hampir seluruhnya adalah masyarakat yang memeluk agama Islam, maka untuk

upacara bayi ini mengikuti kebiasaan umat Islam pada umumnya. Upacara ini adalah

upacara aqiqah yang diadakan setelah bayi kurang lebih menginjak usia 7 hari. Secara

simbolik, acara aqiqah ini dilakukan acara pemotongan kambing yang jumlahnya

disesuaikan dengan jenis kelamin dari sang bayi. Jika bayi perempuan kambing yang

dipotong sebanyak 1 ekor, sedangkan untuk bayi laki-laki makakambing yang dipotong

sebanyak 2 ekor. Biasanya dalam acara ini bayi juga akan dipotong rambutnya.

Untuk masyarakat pedesaan, maka acara aqiqah ini terbilang memakan biaya

yang cukup besar. Untuk kambing masing-masing kini harga berkisar di angka satu juta

rupiah. Belum lagi akan ada biaya tambahan untuk makanan yang harus mereka

sediakan untuk tamu-tamu yang diundang, apalagi biasanya di desa jika ada acara

maka yang empunya acara wajib mengundang masyarakat 1 desa atau bahkan

mengundang kerabat yang ada di luar desa dan berada di desa sekitar.

Dalam masyarakat, jika tidak mampu mengadakan aqiqah, karena terkait

dengan besaran biaya yang tadi sudah dijelaskan di atas maka ada ritual lain yang

dianggap bisa menggantikan acara tersebut yaitu acara yang disebut dengan Gamakki.

Perbedaannya dengan aqiqah, upacara Gamakki ini tidak harus memotong kambing

Page 277: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

253

dan keluarga hanya perlu menyediakan pisang ataupun onde-onde yang ditaruh di

dalam satu nampan.

Pengetahuan Masyarakat tentang Kesehatan Ibu pada masa Kehamilan, Persalinan

dan Pasca Persalinan

Untuk mengukur pengetahuan masyarakat ini maka penelitian ini

membantunya dengan melihatnya dari kuesioner yang telah dibagikan kepada 70

responden ibu yang dipilih secara random atau acak dan hal ini juga didukung oleh

hasil fgd yang telah dilakukan oleh bidan, suami dan juga tokoh masyarakat.Menurut

Bloom (1908, dalam Notoatmodjo: 2003), pengetahuan adalah hasil tahu dan ini

terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk

terbentuknya sikap dan juga tindakan/perilaku nyata seseorang. Pengetahuan ibu yang

coba dilihat disini adalah pengetahuan ibu pada saat hamil, pada saat persalinan dan

juga masa setelah melahirkan atau masa nifas.

Masa Kehamilan. Jika melihat data hasil kuesioner, maka dapat dikatakan bahwa

pada dasarnya pengetahuan ibu pada saat masa kehamilan sudah cukup baik, yaitu di

antaranya mereka sudah memiliki pengetahuan untuk memeriksakan kesehatan

kehamilan sebanyak 4 kali, memeriksakan tekanan darah dan meminum tablet

penambah darah. Hal ini terlihat pada hasil survey ibu dimana sebesar 97.1%

menyatakan bahwa mereka tahu bahwa selama masa kehamilan mereka harus

memeriksakan kehamilan sebanyak 4 kali; 100% tahu bahwa ibu hamil harus mengukur

tekanan darah dan 100% tahu bahwa ibu hamil harus meminum tablet penambah

darah.

Tingginya pengetahuan di masa kehamilan ini ternyata juga cukup diketahui

para suami, dimana dari hasil fgd mereka mengatakan tahu bahwa istrinya harus

memeriksakan kesehatannya, khususnya dengan melakukan pemeriksaan di

puskesmas. Sehingga dari pengetahuan tersebut mereka juga turut mendorong para

istrinya untuk rutin dalam melakukan pemeriksaan selama masa kehamilan.

Pengetahuan yang menarik yang dapat ditemukan adalah pengetahuan

mengenai kehamilan dikaiktkan dengan tradisi setempat, dimana ternyata dari seluruh

responden masih ada 78.6% ibu yang memiliki pengetahuan bahwa dalam kehamilan

Page 278: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

254

harus dilakukan upacara agar bayi yang dikandungnya selamat. Upacara yang biasa

dilakukan di daerah ini pada saat kehamilan adalah upacara Passili seperti yang sudah

dijelaskan pada sub bab sebelumnya.

Masa Persalinan. Untuk pengetahuan pada masa persalinan, dalam hal lokasi

pemilihan pertolongan persalinan, hanya 34.3% yang memiliki pengetahuan bahwa

melahirkan di dalam rumah lebih aman, sehingga 65.7% berarti menyatakan bahwa

melahirkan di rumah tidak lebih aman dan lebih aman jika bersalin di fasilitas

kesehatan. Hal ini sejalan dengan pengetahuan ibu mengenai penolong persalinan.

Sebesar 92.9% ibu memiliki pengetahuan bahwa melahirkan dengan bidan lebih aman.

Dari kedua angka tersebut kurang lebih menunjukkan bahwa dalam persalinan

ibu lebih percaya untuk ditolong oleh bidan, namun untuk penolongan persalinan

ternyata masih banyak yang lebih memilih untuk melakukannya di rumah sendiri.

Untuk pertolongan persalinan, pengetahuan ibu terbentuk karena beberapa faktor.

Faktor pengalaman dalam melahirkan, baik itu pengalamannya sendiri maupun

pengalaman keluarga atau kerabatnya dalam memilih penolong. Selain itu faktor

kenyamanan yang didapatkan ketika bersalin di rumah masih menjadi alasan kenapa

mereka lebih memilih di rumah. Hal ini tentunya tidak sejalan dengan program

pemerintah yang harus melakukan persalinan di fasilitas kesehatan.

Masa Setelah Persalinan. Pengetahuan ini melihat bagaimana pengetahuan

dalam melakukan aktivitas a kembali setelah melakukan persalinan. Dari hasil survei

menunjukkan bahwa 81.4% menyatakan bahwa adalah benar jika seorang ibu baru

bisa beraktivitas lagi setelah 3 hari sedangkan sisanya sebesar 18.6% menyatakan

bahwa adalah salah jika ibu dapat beraktivitas lagi setelah 3 hari melahirkan. Jika

melihat hal ini maka diperlukan agar petugas kesehatan harus memberikan

pengetahuan kepada ibu mengenai aktivitas setelah melahirkan. Meskipun melahirkan

normal dan cepat pulih, namun ibu harus diberikan pengetahuan mengenai batas-

batas aktivitas apa yang boleh dan tidak dibolehkan pada masa nifas tersebut. Hal ini

juga terkait dengan kepercayaan setempat dimana ibu belum boleh keluar sebelum

bayi berumur 40 hari.

Ibu pun memiliki jawaban yang benar mengenai makanan setelah persalinan,

meskipun di beberapa daerah banyak yang melarang ibu paska bersalin untuk tidak

Page 279: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

255

mengkonsumsi ikan laut namun dari pernyataan responden menyatakan bahwa salah

jika ibu dilarang memakan ikan laut setelah melahirkan.

Pengetahuan ibu dalam mengatur jarak anak setelah melahirkan adalah 84.3%

nya menyatakan bahwa salah jika mereka mengatur dengan menggunakan jamu.

Melihat angka ini maka dapat dikatakan bahwa dalam urusan pengaturan anak ibu kini

lebih percaya dengan alat KB yang telah disediakan pemerintah. Hal ini juga sesuai

dengan apa yang telah diungkapkan oleh Kepala Puskesmas Arungkeke tentang

lancarnya program KB di Kecamatan Arungkeke ini:

“Kalo KB disini tidak ada yang menolak malah dicari-cari... itu di gratiskan malah tidak ada yang mau datang sekali kalau beli malah kekurangan sekali disini.. Semuanya pokonya kalo KB tidak ada hambatan disini.”

Sikap Masyarakat tentang Kesehatan Ibu pada masa Kehamilan, Persalinan dan

Pasca Persalinan

Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap

suatu stimulus atau objek. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas akan

tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku. Atkinson, dkk (1993, dalam

Harahap & Andayani, 2004: 5) menyatakan sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi

terhadap suatu objek dengan cara tertentu, bentuk reaksinya dengan positif dan

negatif. Dalam penelitian ini, survey mengenai sikap ibu dilihat dari 4 level. 2 sikap

positif ditunjukkan dengan penyataan setuju dan sangat setuju sedangkan 2 sikap

negatif ditunjukkan dengan pernyataan sangat tidak setuju dan tidak setuju (Tabel

3.7.5).

Tabel 3.7.5.

Sikap Ibu terhadap Perilaku Kesehatan Ibu di Kec. Arungkeke

PERNYATAAN SIKAP

Positif Negatif

Penting pemeriksaan kehamilan sebanyak 4 kali 97.1 2.9

Penting ukur tensi 100 0

Perlu tablet tambah darah 1.4 98.6

Perlu upacara agar selamat 77.1 22.9

Melahirkan di rumah dan RS/pusk sama amannya 32.9 67.1

Kemampuan dukun sama baiknya dg bidan 20 80

Perlu KB pasca nifas 78.6 21.4

Sumber: Data Primer

Page 280: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

256

Masa Kehamilan. Pengetahuan yang positif cenderung membuat sikap yang juga

positif. Hal ini dapat terlihat dari sikap ibu yang positif terhadap perilaku pada masa

kehamilan dimana pengetahuannya juga positif, yaitu antara sikap terhadap

pemeriksaan kehamilan sebanyak 4 kali (sebanyak 97.1%), sikap terhadap pentingnya

mengukur tensi (sebanyak 100%) dan juga sikap yang berkaitan dengan tradisi

setempat yaitu mengenai sikap terhadap pentingnya mengadakan upacara agar ibu

dan anak selamat (sebanyak 77.1%).

Namun berbeda dengan pengetahuan ibu yang tinggi akan perlunya tablet

penambah darah, ternyata sikap ibu malah menunjukkan sikap negative, dimana

kebanyakan ibu tidak setuju jika harus meminum tablet penambah darah, yaitu sampai

mencapai angka 98.6%.

Masa Persalinan. Sikap ibu pada masa persalinan sebenarnya sudah cenderung

positif dalam melihat pelayanan kesehatan secara medis konvensional. Menurut

keterangan para tenaga kesehatan kini sudah lebih banyak warga yang memilih

persalingan dengan bantuan tenaga kesehatan dalam hal ini bidan. Namun memang

masih ada sebagian kecil di masyarakat yang masih memilih untuk dibantu dengan

bantuan dukun beranak atau yang biasa disebut dengan sanro. Sebanyak 80% orang

responden memiliki sikap dimana mereka menyatakan bahwa pada dasarnya

kemampuan dukun tidak sama dengan bidan nakes.

Begitu juga dengan tempat melahirkan, para ibu sebanyak 67.1% menyatakan

sikap dimana melahirkan di rumah tidak sama amannya dengan melahirkan di

puskesmas. Hal ini juga didukung oleh pernyataan suami yang mendukung istrinya

untuk melahirkan di puskesmas dibandingkan melahirkan di rumah dengan bantuan

dukun, seperti pernyataan bapak Su berikut ini:

“istri saya pas mau melahirkan, pas saat sakit itu saya tanya mau melahirkan dimana. Misalnya dia jawab ke dukun tapi saya dorong ke puskesmas karena dilayani dengan baik.”

Masa Setelah Persalinan. Sikap ibu setelah persalinan dilihat dari sikap ibu

terhadap perlunya KB setelah masa nifas. Tabel menunjukkan bahwa 78.6% memiliki

sikap positif terhadap KB. Sama seperti yang sudah disebutkan bahwa masyarakat

Page 281: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

257

Jeneponto secara umum sudah banyak yang mengikuti program Keluarga Berencana

ini. Meskipun ternyata untuk program KB ini, penduduk masih harus membayar

sebesar Rp. 15.000,- – Rp. 20.000,-. Hal ini menandakan bahwa masyarakat sudah

mulai mengerti tentang pentingnya jarak kehamilan sebagai bagian dari kesehatan

keluarga.

Tindakan/Praktek Kesehatan Ibu dan Anak

Di bawah ini merupakan tabel yang menggambarkan tindakan atau praktek

terkait dengan kesehatan ibu dan anak yang dilihat dari hasil kuesioner yang

disebarkan ke 70 orang ibu.

Tabel 3.7.6. Jenis Pelayanan Bidan dan Dukun di Kec. Arungkeke

Jenis Pelayanan oleh Bidan

Banyak Pemakai

Pelayanan

Jenis Pelayanan oleh Dukun

Banyak Pemakai

Pelayanan

Periksa Kehamilan 100 Periksa Kehamilan 57.1

Persalinan 80 Persalinan 28.6

Rawat Pasca Persalinan 95.7 Rawat Pasca Salin 38.6

KB 94.3 Pijat Ibu 74.3

Pijat Bayi 11.4 Rawat bayi 62.9

Sumber: Data Primer

Masa Kehamilan. Seperti dapat dilihat pada tabel di atas, bahwa mayoritas

responden sudah melakukan pemeriksaan kesehatan pada masa kehamilannya.

Sebanyak 97.1% memeriksakan kehamilannya ke bidan dan 78.6% memeriksakan

kehamilannya. Melihat angka persentase ini maka ada sebagian responden yang

memeriksakan kehamilan ke keduanya, dimana hal ini menandakan bahwa meskipun

sudah pergi ke bidan ada juga yang masih merasa kurang hingga harus memeriksakan

kehamilannya ke dukun juga. Pemeriksaan kehamilan pun sudah cukup baik dan sesuai

standar yang diajukan pemerintah, yaitu sebanyak 88.6% responden memeriksakan

kehamilan 4 atau lebih dari 4 kali.

Untuk pemilihan pelayan pemeriksaan masa kehamilan dengan nakes pun

menurut 65.7% responden dikarenakan alasan keamanan dan kenyaman yang

didapatkan. Keamanan dalam hal ini adalah keadaan kesehatan dari sang ibu dan calon

Page 282: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

258

anaknya. Hal ini juga ditegaskan oleh salah satu informan suami mengenai

pemeriksaan kehamilan istrinya dengan bidan:

“Kita sebagai suami membantu menjaga kesehatan. Umpamanya dia pusing-pusing ketika hamil harus memanggil bidan atau diperiksakan ke bidan.”

Sedangkan untuk alasan pemeriksaan ke dukun, tidak ada alasan yang menjadi

mayoritas dan jawabannya lebih variatif, namun secara garis besar ada 3 alasan dari

hasil kuesioner yang dapat dapat diambil. Alasan pertama adalah kenyamanan. Alasan

kenyamanan ini dikarenakan ada ibu yang lebih memilih untuk diperiksa di rumah,

dimana dukun bisa didatangkan ke rumah dan ibu tidak harus keluar rumah, lain

dengan pemeriksaan bidan yang cenderung dilakukan di puskesmas atau poskesdes.

Alasan kedua adalah tradisi, dimana dalam keluarga ada kebiasaan untuk

memeriksakan diri ke dukun karena dianggap memiliki kemampuan yang tidak dimiliki

oleh bidan. Biasanya pemeriksaan kehamilan yang dilakukan oleh dukun ini adalah

mengurut-urut perut bayi yang dianggap dapat membetulkan posisi bayi di dalam

perut agar nantinya mudah untuk melahirkan. Dan alasan ketiga adalah alasan disuruh

orang tua atau suami untuk memeriksakan ke dukun. Alasan ketiga ini bisa dikatakan

ada kaitannya dengan alasan kedua mengenai tradisini, dimana biasanya orang tua

yang masih memegang kuat akan tradisi sehingga akhirnya mendorong anaknya untuk

terus melaksanakannya.

Masa Persalinan. Melihat tabel maka dalam persalinan, mayoritas sudah

melahirkan dengan bidan yaitu sebanyak 80%. Namun masih ada juga melakukan

persalinan dengan bantuan dukun yaitu sebanyak 28.6%. Pada dasarnya di Jeneponto

sendiri pada umumnya, dan di Kecamatan Arungkeke pada khususnya masyarakat

sudah melahirkan dengan bantuan bidan. Sandro yang ada kini biasanya hanya

menjadi pendamping bidan saja dan untuk menjalani kebiasaan yang dipercayai bisa

memperlancar persalinan.Memang tidak sedikit juga masyarakat ketika akan bersalin

pergi memanggil sandro dulu. Jika sandro-nya sudah bekerjasama dengan bidan maka

biasanya sandro akan mengantarkan ibu ke bidan, namun ada juga yang tetap

melanjutkan pertolongan tanpa memanggil bidan atau memanggil bidan jika keadaan

ibu sudah gawat dan sandro merasa tidak mampu untuk menolongnya lagi. Para suami

dalam fgd juga kebanyakan sudah mengetahui kerjasama antara bidan dan dukun ini

Page 283: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

259

dalam menolong persalinan, dimana hal ini tentunya mereka anggap baik dalam

membantu kesehatan istri dan anak mereka:

“disini dukun sudah bekerja sama dengan bidan. Jadi kalaupun panggil dukun,

biasanya bidan juga ada. Bidan nya sampai bayi sudah lahir didatangkan dicek. “

Untuk tempat melahirkan sendiri ternyata persentase menunjukkan bahwa

paling banyak ibu melahirkan di rumah yaitu sebesar 48.6%. Hal ini karena masyarakat

Jeneponto senang jika pada saat bersalinan ditemani oleh keluarga besarnya, lain

halnya jika harus melahirkan di puskesmas dimana anggota keluarga yang hadir

terbatas. Hal ini juga diungkapan oleh koordinator bidan Ibu R mengenai melahirkan di

rumah:

“masih ada melahirkan dirumah, karenajadi tambah rame,semua saudaranya, tetangganya datang, yang nunggu kelaurga besar, kalo di rumah sakit paling hanya suami istri tidak banyak orang. Juga ada yang berpendapat dari pada lahir di tangan dukun mending di bidan.”

Paska Persalinan. Untuk paska persalinan ini, pada kuesioner dicoba dilihat

berapa banyak yang melakukan pemeriksaan pada masa nifas dan juga keikutsertaan

dalam program Keluarga Berencana. Untuk pemeriksaan paska melahirkan di

puskesmas itu sendiri mayoritas sebanyak 61.4% memeriksakan sebanyak 1-3 kali;

21.4% memeriksakan sebanyak 4 kali atau lebih dan hanya 17.1% yang tidak

memeriksakan sama sekali. Hal ini menandakan bahwa sebenarnya ibu sudah memiliki

cukup kesadaran untuk memeriksakan kehamilannya pada saat setelah melahirkan.

Sedangkan ada juga yang pergi ke dukun setelah persalinan untuk dilakukan urut atau

pijit yang diperuntukkan baik untuk ibu maupun bayinya. Dari hasil survey 74.3%

melakukan pijat untuk ibu dan sebesar 62.9% nya melakukan perawatan dengan bayi.

Sedang untuk KB, dari hasil ada 94.3% mengikuti KB melalui pelayanan yang

diberikan oleh bidan atau puskesmas. Hal ini menandakan bahwa mereka sudah

mengetahui konsep jarak anak. Untuk KB itu sendiri kebanyakan warga masih

menggunakan biaya sendiri yaitu sebanyak 78.6%.

Page 284: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

260

3.7.4. Faktor Sosial Budaya Masyarakat Dalam Pemilihan Penolong Persalinan

Pengambilan Keputusan Pertolongan KIA

Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan konteks sosial yang melingkupi

kehidupan di Kecamatan Arungkeke. Kondisi ekonomi, jenis pekerjaan penduduk,

kondisi alam, pengaruh-pengaruh modernisasi berikut cara hidup yang telah turun

temurun dikenal oleh masyarakat Arungkeke tentu saja mempengaruhi banyak hal

yang terkait dengan kehidupan sosial-budaya di wilayah ini. Hal itu juga berpengaruh

dalam hal pola pencarian kesehatan (health seaking behaviour)—dalam hal ini KIA—di

wilayah ini. Pilihan-pilihan masyarakat mengenai siapa orang yang mereka percaya

untuk dapat memberikan pertolongan KIA sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor

tersebut.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat persalinan yang dilakukan oleh

tenaga kesehatan di wilayah Arungkeke masih tergolong rendah. Hal ini juga bisa

dilihat dari data cakupan Jampersal yang kami peroleh dari Dinas Kesehatan

Jeneponto. Dalam data tersebut terlihat bahwa cakupan Jampersal di wilayah

Kecamatan Arungkeke adalah yang terendah dari seluruh Kecamatan di Kabupaten

Jeneponto. Keberadaan dukun dan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap

pelayanan kesehatan menjadi alasan umum yang bisa dijadikan penjelasan mengenai

hal ini. Akan tetapi alasan tersebut tidak serta merta dapat dijadikan sebuah fakta

mutlak sebagai penyebab dari rendahnya cakupan linakes dan Jampersal di Arungkeke.

Dalam hal pengambilan keputusan pertolongan KIA salah satunya. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat beragam alasan yang diungkapkan oleh

masyarakat dalam memutuskan siapa pihak yang pantas mereka pilih untuk dapat

memberikan pertolongan KIA. Salah satu dari alasan tersebut adalah faktor biaya. Ada

sebuah temuan dalam penelitian ini yang menyatakan bahwa salah satu alasan

mengapa masyarakat lebih memilih dukun sebagai penolong KIA adalah karena adanya

sebuah ketakutan akan biaya yang besar. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang

suami berikut ini:

“Kebanyakan orang kampung melahirkan pake dukun semua. Di kampung ini, arungkeke. Ini semua kan takut ke biaya, kebetulan saya dengar di tetangga saya, dia melahirkan di makasar, dia siapkan uang 5 juta tapi belum cukup. Kami petani-petani ini tidak bisa. Akhirnya ya ke dukun aja.”

Page 285: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

261

Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang suami dalam FGD tersebut. Salah

satu alasan mengapa mereka lebih memilih membawa istri mereka ke dukun adalah

ketakutan akan biaya yang mahal apabila mereka memilih puskesmas atau fasilitas

kesehatan lain. Anggapan tersebut muncul dari ketidakhuan mereka mengenai

pelayanan kesehatan di faskes. Selain itu faktor ekonomi menjadi pengaruh yang besar

dalam hal ini. Pekerjaan utama masyarakat Arungkeke sebagai seorang petani kurang

menjamin penghasilan yang besar atau dirasa cukup untuk menggunakan fasilitas

kesehatan (dalam pandangan masyarakat).

Namun selain karena faktor ekomoni, hubungan kekerabatan juga menjadi

sebuah pengaruh dalam menentukan pilihan pertolongan KIA. Masyarakat Arungkeke

adalah masyarakat pedesaan. Dalam pola budaya masyarakat pedesaan, pada

umumnya hubungan kekerabatan dan pola hidup kolektif masih sangat kuat

melingkupi pola kehiduan sehari-hari di dalamnya. Rendahnya sentuhan arus

modernitas, teknologi dan informasi, dan juga mobilitas sosial-politik dalam

masyarakat menjadi sebuah ciri yang sering ditemukan mewarnai kehidupan di wilayah

pedesaan. Sehingga jamak ditemukan pola bergantung antar masyarakat dalam

hubungan kekerabatan yang kuat menjadi sebuah ciri dalam struktur sosial di

pedesaan. Dalam kehidupan sosial di Arungkeke hal tersebut dapat dilihat sampai pada

tingkat struktur terkecil dalam masyarakat, yaitu keluarga. Dalam hal pengambilan

keputusan pertolongan KIA, hubungan kekerabatan dalam keluarga menjadi pengaruh

yang cukup kuat dalam menentukan pilihan-pilihan mereka. Dalam hal ini, pembagian

peran secara gender dalam keluarga berikut hirarki dalam struktur keluarga kemudian

menjadi hal menarik untuk dilihat dalam proses pengambilan keputusan tersebut.

Suami sebagai tonggak pemenuhan kebutuhan keluarga kemudian menjadi aktor

penentu yang cukup kuat dalam proses pengambilan keputusan ini. Seperti halnya

dengan keputusan-keputusan lain dalam sebuah keluarga, posisi sentral mereka

sebagai pencari nafkah dan tonggak perekonomian keluarga menjadi sebuah

pertimbangan yang kuat dalam membuat keputusan, termasuk memilih penolong KIA.

Seperti dalam pemilihan antara melahirkan di dukun atau di fasilitas kesehatan.

“istri saya pas mau melahirkan, pas saat sakit itu saya Tanya mau melahirkan dimana. Misalnya dia jawab ke dukun tapi saya dorong ke puskesmas karena dilayani dengan baik.”

Page 286: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

262

Seperti terlihat dalam kutipan wawancara di atas, pemilihan fasilitas kesehatan

sebagai tempat pertolongan KIA sangat dipengaruhi oleh posisi suami dalam keluarga.

Ketika pada awalnya sang istri menginginkan untuk memilih dukun sebagai

penolongnya, dorongan suami untuk lebih memilih faskes kemudian mempengaruhi

istri untuk mengubah keputusannya.

Namun hal itu tidak serta merta menyatakan bahwa sang suami selalu menjadi

aktor penentu utama dalam proses pengambilan keputusan tersebut. Tak jarang,

keputusan tersebut juga diserahkan kepada sang istri. Seperti terlihat dalam

wawancara berikut:

“tergantung kondisi, pada saat larut malam merasakan sakit, di antar ke puskesmas ga bisa, keburu lahir. Jadi saya lemparkan ke ibu, dia maunya gimana. Jadi biar istri saya yang putuskan.”

Satu hal menarik lainnya yang ditemukan dalam penelitian ini adalah adanya

faktor malu dalam masyarakat Arungkeke yang kemudian menjadi penentu dalam

pengambilan keputusan pertolongan KIA. Faktor malu tersebut muncul sebagai

manifestasi dari tabu yang ada dalam norma-norma masyarakat. Salah satunya adalah

adanya kasus hamil pra-nikah. Seperti terlihat dalam wawancara berikut:

“Banyak kasus seks bebas dan hamil duluan. Sehingga banyak yang ga mau ke puskesmas karena takut ketauan”

Dukun v.s Bidan di Mata Masyarakat Arungkeke

Dukun dalam masayarakat Jeneponto—atau secara umum bugis-makassar—

dikenal dengan sebutan Sandro. Keberadaan mereka dalam kehidupan masyarakat

telah dikenal sejak lama. Mereka adalah pelaku praktek budaya yang sejak lama telah

memainkan perannya dalam memberikan pertolongan kesehatan bagi Ibu dan Anak,

juga masyarakat Jeneponto secara umum.

Menurut data Puskesmas Arungkeke, saat ini di Kecamatan Arungkeke terdapat

9 orang dukun yang tersebar secara merata di 9 desa di Kecamatan Arungkeke. Seluruh

dukun tersebut telah mendapat pelatihan dan bermitra dengan bidan setempat. Akan

tetapi sebuah fakta lain disebutkan oleh masyrakat. Beberapa masyarakat dalam

wawancara kami menyatakan bahwa sebenarnya jumlah dukun yang berada di

Arungkeke lebih dari 9 orang. Mereka belum terdata oleh pihak puskesmas maupun

Dinas Kesehatan.

Page 287: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

263

Dalam pandangan masyarakat, keberadaan dukun atau sandro di wilayah

mereka masih sangat dibutuhkan. Terutama untuk memberikan pertolongan. Salah

satu alasan dari hal ini adalah terkait dengan kesiap-siagaan dukun dalam pandangan

masyarakat. Seorang dukun dapat dipanggil kapanpun, baik siang atau malam. Seperti

yang diungkapkan oleh salah seorang masyarakat berikut ini:

“Dukun masih diperlukan ada, karena dia standby per jam dan tengah malam bisa diganggu, sedangkan kalau pustu malam tidak. Jadi kalau malam susah juga, itu dukun juga bisa raba perut biar tau ini melahirkan susah atau tidak. Kalo siang si langsung ke pustu.”

Kesiap-siagaan pihak pemberi pertolongan KIA memang dirasa sangat penting

oleh masyarakat. Mereka membutuhkan pihak yang mampu memberikan pertolongan

kapanpun mereka membutuhkannya.

Alasan lain yang muncul dalam masayrakat dalam memanfaatkan dukun terkait

dengan hal yang tidak bisa mereka dapatkan dari tenaga kesehatan. Salah satunya

adalah pertolongan yang lebih sesuai dengan praktek-praktek budaya dan tradisi yang

telah mereka kenal turun temurun. Dalam hal ini, kemudian peran seorang dukun

menjadi penting. Mereka adalah orang yang lebih mengerti mengenai praktek budaya

dalam masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang anggota masyarakat

berikut:

“servisnya dukun bhub dengan budaya yang ada di masyarkat. Sehingga cocok dengan masyarat. Dukun itu kalo perlu lahir, masyarkat sering merasa akan diganggu oleh mahluk asil. Dia punya bacaan buat ngusuir setan”

Pelayanan dalam bentuk pelaksanaan tradisi berikut ritual-ritual tertentu yang

dapat dilakukan oleh dukun tersebut memberi efek ketenangan secara psikologis oleh

masyarakat.

Sebenarnya banyak masyarakat di Arungkeke yang telah memiliki pandangan

bahwa pertolongan KIA yang aman adalah yang dilakukan di faskes, oleh nakes.

Mereka percaya bahwa kemampuan tenaga kesehatan dan kelengkapan alat di fasilitas

kesehatan lebih menjamin keselamatan dari ibu. Mereka juga telah mengetahui bahwa

pihak penolong yang seharusnya mereka manfaatkan adalah seorang bidan.

Sedangkan pelayanan yang diberikan oleh dukun dianggap sebagai tambahan saja.

Page 288: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

264

“Dukun tuh bisa urut-urut setelah melahirkan. Saya panggil dukun. Tidak menolong persalinan tapi untuk menjaga kesehatan kami panggil dukun untuk pijat-pijat”

Dalam upaya Kesehatan Ibu dan Anak bian memang dipasang sebagai ujung

tombak pertolongan. Di Kecamatan Arungkeke sendiri, terdapat 8 orang bidan yang

bertugas. Satu orang bidan koordinator, dan 7 orang bidan yang masing-masing

ditempatkan di setiap desa di Kecamatan Arungkeke. Dalam keseharian tugasnya,

mereka lah yang bertugas memberi pelayanan terhadap Ibu dan Anak di setiap

wilayahnya. Namun dalam tugasnya, kondisi bidan tidak selalu bisa dikatakan mulus

tanpa hambatan. Salah satu hambatan yang muncul untuk bidan di Arungkeke adalah

minimnya fasilitas pendukung kerja mereka. Seperti fasilitas poskesdes yang juga

menjadi tempat tinggal mereka.

“Ada masalah di kampung sincini itu di poskesdes tidak ada air dan listrik sehingga bidan tidak tinggal disitu. Jadi kalau melahirkan malam jadi disarankan ke rumah sakit”

Permasalahan tersebut muncul sebagai akibat dari tidak meratanya

kesejahteraan di Kecamatan Arungkeke. Tidak semua desa di Arungkeke memiliki

tingkat kesejahteraan yang sama. Beberapa desa bisa dibilang kaya karena memiliki

potensi alam dan kondisi yang baik, akan tetapi beberapa desa yang lain justru

sebaliknya, kondisi kemiskinan, kekeringan, dan segenap permasalahan sosial masih

bisa ditemukan di mana-mana. Imbas dari hal tersebut juga mengenai poskesdes

sebagai fasilitas kesehatan yang dibangun oleh desa.

Gambar. 3.7.4. Sumbangan untuk Bidan Sumber: Dokumentasi Peneliti

Page 289: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

265

Selain mengalami kendala berupa dukungan fasilitas yang kurang memadai,

bidan di Arungkeke juga harus berhadapan dengan tantangan menjaring kepercayaan

masyarakat. Kebanyakan bidan di sini masih sangat muda, dan baru saja ditempatkan

di Kecamatan Arungkeke. Sehingga pandangan seperti pengalaman yang kurang,

kedewasaan yang kurang, dan lain sebagainya masih muncul melingkupi situasi kerja

mereka.

“dia meragukan bidan atas keselamatan. Bisa dijamin ga? Mending ke puskesmas atau ke rumah sakit. Ini dari segi alat medis yang pertama dan pengalaman bidan yang masih muda. Sehingga menjadi alasan dia tetapi setelah dia ke rumah sakit toh yang menangani disaiana anak-anak”

Terkait dengan hal itu kompetisi dengan pihak penolong lainnya kemudian

muncul. Bidan desa kembali harus berhadapan dengan dukun yang sudah lama

memainkan perannya menolong persalinan dalam masyarakat. Selain itu—dengan

adanya sarana transportasi yang lancar—bidan juga harus berhadapan dengan pilihan

masyarakat untuk mencari pertolongan di luar daerah mereka, seperti Makassar.

Dukungan tokoh masyarakat untuk pemanfaatan layanan bidan dan fasilitas

kesehatan sebenarnya cukup kuat. Mereka sering mengarahkan masyarakat baik

dalam situasi formal maupun informal. Melalui penyuluhan atau dalam kehidupan

sehari-hari dalam masyarakat. Bahkan beberapa kebijaksanaan juga dibuat oleh tokoh

masyarakat untuk mendorong masyarakat memanfaatkan pelayanan dari bidan.

“kita sudah wanti-wanti kalao tidak mau melahirkan di poskesdes, nanti urusan

administrasi kita ancam persulit. Kita sudah bilang sama bidan juga kalo dia ga

mampu segera dibawa ke rumah sakit saja. Pemerintah desa sudah mahal beli

tanah untuk poskesdes dan berjuang 3 tahun supaya poskesdes ada di situ.

Sehingga masyarakat tidak mau ya kita ancama secara administrasi.”

Hubungan antara Dukun dan Bidan

Salah satu upaya untuk menengahi persoalan kompetisi antara dukun dan

bidan adalah dengan dicanangkannya Program Kemitraan Dukun dan Bidan. Program

ini merupakan salah satu program sebagai upaya untuk meningkatkan cakupan

pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan. Definisi Kemitraan Bidan – Dukun

sendiri adalah suatu bentuk kerjasama bidan dan dukun yang saling menguntungkan

Page 290: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

266

dengan prinsip keterbukaan, kesetaraan dan kepercayaan dalam upaya untuk

menyelamatkan ibu dan bayi, dengan menempatkan bidan sebagai penolong

persalinan dan mengalihfungsikan dukun dari penolong persalinan menjadi mitra

dalam merawat ibu dan bayi pada masa nifas, dengan berdasarkan kesepakatan yang

telah dibuat antara bidan dan dukun serta melibatkan seluruh unsur/elemen

masyarakat yang ada.

Keberhasilan dari kegiatan kemitraan bidan – dukun adalah ditandai dengan

adanya kesepakatan antara Bidan dan dukun dimana dukun akan selalu merujuk setiap

ibu hamil dan bersalin yang datang. serta akan membantu bidan dalam merawat ibu

setelah bersalin dan bayinya. Sementara Bidan sepakat untuk memberikan sebagian

penghasilan dari menolong persalinan yang dirujuk oleh dukun kepada dukun yang

merujuk dengan besar yang bervariasi. Kesepakatan tersebut dituangkan dalam

peraturan tertulis disaksikan oleh pempinan daerah setempat (Kepala Desa, Camat)

Program Kemitraan Dukun dan Bidan di Kabupaten Jeneponto sendiri telah

dicanangkan sejak tahun 2007. Menurut Informasi Pihak Dinas Kesehatan Kab.

Jeneponto program yang dijalankan di sini banyak merujuk pada Kabupaten

tetangganya, yaitu Takalar yang notabene pada tahun ini dicanangkan sebagai

Kabupaten dengan Kemitraan Dukun-Bidan terbaik di Indonesia1.

Data dari Puskesmas Arungkeke menunjukkan bahwa seluruh dukun yang

berjumlah 9 orang di Kecamatan ini telah bermitra dengan Bidan Desa. Meskipun

menurut Dinkes Kab Jeneponto dan pihak Pihak Puskesmas Arungkeke program ini

cukup berhasil, namun wacana mengenai persaingan antara Dukun dan Bidan masih

muncul.

“dukun merasa kalau ada bidannya, peran dia ga utuh. Biasanya orang yang dikasih melahirkan dia mau memberi banyak tapi sedikit. Karena ada dukun merasa kalo ada bidan yang dikasih sama dia jadi berkurang.”

1Kemitraan dukun dan bidan di Kabupaten Takalar telah diatur dalam peraturan daerah kabupaten

tersebut. Bahkan pendanaannya telah diatur sedemikian rupa untuk dapat dianggarkan dari Anggaran Pembangunan Daerah tersebut

Page 291: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

267

3.7.5. Peran Tenaga Kesehatan dalam Pelaksanaan Jampersal

Sosialisasi Jampersal

Sosialisasi Jampersal dilakukan oleh pihak Dinas Kesehatan kepada pihak

Puskesmas. Setelah itu sosialisasi Jampersal bertumpu pada pihak puskesmas yang

memang menjadi fasilitas kesehatan untuk pelayan dasar bagi yang berhadapan

langsung dengan masyarakat di wilayah kerjanya. Sosialisasi mengenai Jampersal ini

juga terus menerus dilakukan oleh pihak puskemas, khususnya oleh para bidan yang

memang berhadapan langsung dalam melayani para ibu.

Sampai saat ini sosialisasi memang menjadi tanggung jawab dari para bidan

yang bertugas di masing-masing desa. Sosialisasi yang dilakukan juga sebatas

pemberitahuan kepada ibu pada acara-acara posyandu yang diadakan setiap bulannya,

dan dari situ diharapkan agar sosialisasi berjalan dari mulut ke mulut. Namun

berdasarkan hasil fgd dari tokoh masyarakat dan para suami bahwa selama ini belum

mengetahui apa itu Jampersal. Kebanyakan dari mereka hanya mengetahui bahwa

ketika pergi ke puskesmas mereka tidak harus mengeluarkan biaya, namun tidak

mengetahui apa nama program yang mengratiskan pemeriksaan kesehatan tersebut.

Para bidan juga mengakui bahwa bantuan aparat desa ataupun tokoh agama

dalam pensosialisasian program Jampersal ini ke masyarakat masih cukup kurang. Hal

ini dikarenakan musyawarah desa yang selama ini berjalan kurang mengikutsertakan

pihak puskesmas dan tenaga kesehatan, sehingga selama ini belum ada koordinasi dan

masih kurangnya kerjasama yang terjalin antara tenaga kesehatan dengan pihak aparat

desa. Bantuan sosialisasi biasanya dibantu oleh ibu-ibu yang menjadi kader posyandu

di desanya. Selain itu pesan yang berkaitan dengan kesehatan maupun program

kesehatan juga tak jarang dilakukan pada saat acara rutin yang dilakukan oleh pokja

yang diadakan oleh ibu-ibu PKK setempat.

Pelaksanaan Pelayanan KIA dengan Program Jampersal

Pelaksanaan pelayanan KIA dengan program Jampersal untuk kecamatan

Arungkeke ini terpusat di Puskesmas, yang dibantu juga dengan puskesmas pembantu

dan poskesdes yang ada di masing-masing desa. Semenjak kehadiran

Page 292: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

268

Jampersalmenurut Kepala Binkesmas yang membawahi program Jampersal Kabupaten

Jenponto menyatakan bahwa pelayanan kesehatan KIA setelah adanya program

Jampersal ini mengalami peningkatan, mulai dari pemeriksaan K1 hingga K4,

persalinan dan setelah persalinan.

Dalam pelaksanaan Jampersal ini mengalami kesulitan pada persalinan dimana

diwajibkan untuk dilakukannya hal tersebut di fasilitas kesehatan, sementara sampai

saat ini masyarakat masih lebih memilih dan lebih merasa nyaman jika bersalin di

rumahnya masing-masing. Hal ini seperti yang juga diutarakan oleh bidan koordinator

berikut ini:

“masih ada melahirkan dirumah, karenajadi tambah rame, semua saudaranya, tetangganya datang, yg nunggu kelaurga besar, klo di rumah sakit paling hanya suami istri tidak banyak orang.”

Faktor lainnya yang menjadi masalah adalah masalah geografis dimana masih

ada masyarakat yang cukup kesulitan dalam mencapai tempat fasilitas kesehatan.

Namun ada juga yang lebih memilih langsung untuk melahirkan di rumah sakit karena

justru rumahnya lebih dekat dan mudah aksesnya untuk langsung ke rumah sakit

dibandingkan ke puskesmas yang ada di desanya.

Masalah pelaksanaan program KIA juga terjadi karena fasilitas kesehatan yang

masih kurang memadai. Ada yang letaknya tidak strategis di desa yang membuat

masyarakat kesulitan mencapainya, dan ada juga yang kekurangan fasilitas penunjang

seperti air dan juga listrik. Sedangkan perhatian aparat desa terhadap fasilitas

kesehatan ini masih kurang diperhatikan.

Registrasi penduduk juga menjadi masalah dalam pelaksanaan program ini.

Masih banyak masyarakat yang tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau Kartu

Keluarga (KK) yang menjadi syarat dari program Jampersal ini. Hal ini seperti yang

diungkapkan oleh salah satu bidan berikut ini:

“yang dijadi masalah adalah jaminan kartu keluarga, ada ibu yang berkali-kali datang tapi ga diperlihatkan kartu keluarga. Ibunya yang ga mau, malas untuk urus KTP dan urus kartu keluarga.”

Page 293: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

269

Pengelolaan Pelayanan Jampersal

Dalam mengelola pelayanan Jampersal ini, di pihak Dinas Kesehatan Kabupaten

Jeneponto sendiri berada di bawah tanggung jawab dari Bidang Bina Kesehatan

Masyarakat. Pada bidang ini lah yang bertanggung jawab atas jalannya Jampersal yang

ada di Kabupaten Jeneponto, dari mulai melakukan sosialisasi hingga melakukan

verifikasi dari setiap berkas yang berasal dari desa-desa dari masiang-masing

kecamatan. Sedangkan untuk tingkat Puskemas Arungkeke berada pada Bagian

Kesehatan Ibu dan Anak dan Keluarga Berencana dan koordinator bidanlah yang

mengatur dan memeriksa segala bentuk administrasi yang terkait dengan Jampersal

yang berasal dari bidan-bidan yang ada di masing-masing desa.

Di tingkat Kabupaten Jeneponto, yang juga diterapkan di Puskesmas Arungkeke

tidak ada kebijakan secara khusus yang diberlakukan terkait penggunaan dana

Jampersal. Dana yang diklaimkan terhadap setiap jasa pelayanan, dari mulai

pemeriksaan hingga paska melahirkan, semuanya menjadi hak dari bidan yang

memberikan jasa, tanpa dipotong biaya apapun. Namun jika pada saat menolon

persalinan bidan dibantu oleh dukun maka ada kebijakan puskesmas dimana bidan

harus memberikan dukun tersebut intensif sebesar Rp. 50.000,-.

Untuk proses pengklaiman sendiri berjalan setiap bulannya, dengan bidan di

masing-masing desa melaporkan ke bidan koordinator yang nanti selanjutnya akan

diverifikasi ke pihak Dinas Kesehatan. Namun untuk cairnya uang ternyata keluar setiap

3 bulan sekali sehingga menjadi hambatan tersendiri bagi para bidan seperti

diungkapkan Kepala Puskesmas:

“Itulah karena biasa kita masukkan di pelayanan bulan depan, jadi pelayanan bulan ini misalkan sekarang bulan berapa bulan sembilan ini kan sementara berjalan nanti bulan sepuluh baru masuk. Gitu, bulan sepuluh baru dilaporkan, nanti bulan sepuluh bau dimasukkan laporan, jadi tidak begitu misalnya bulan ini begitu menurun tidak keluar uangnya. Itulah susahnya kenapa semua dana-dana ini tidak langsung ke puskesmas. Ini kan melalui verifikasi lagi ke dinas. Jadi kadang-kadang saya ini juga kasihan aneh juga kalo sampe 2,3 bulan baru keluar uangnya karena harus di klaim dulu baru diverifikasi. Semua dana-dana begitu semua melalui dinas kesehatan tapi baik itu jemkesmas, Jampersal tidak begitu misalnya.....”.

Page 294: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

270

3.7.6. Hambatan, Dukungan dan Harapan

Hambatan

1. Masih adanya tradisi/kepercayaan berkaitan dengan kesehatan ibu dan anak

Dengan adanya tradisi/kepercayaan yang dipercaya masyarakat berkaitan

dengan kesehatan ibu dan anak ini membuat peran sandro atau dukun bayi masih

cukup berperan dan membuat masih adanya masyarakat yang lebih

mempercayakan untuk melakukan persalinan dengan bantuan sandro tersebut

dibandingkan bersalin dengan bantuan bidan. Sandro dianggap memiliki

pengalaman yang lebih tinggi dan memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh

bidan yaitu kepercayaan untuk mengusir setan yang dianggap bisa membahayakan

kesehatan ibu dan anaknya.

2. Masih adanya pergaulan bebas di masyarakat

Adanya pergaulan bebas di masyarakat yang berdampak pada kehamilan di

luar nikah. Kehamilan di luar nikah ini membuat terkadang membuat ibu merasa

malu untuk memeriksakan kesehatan ke puskesmas, hingga pada saatnya bersalin

juga lebih memilih untuk bersalin dengan bantuan sandro.

3. Masih kurang baiknya infrastruktur jalan untuk ke fasilitas kesehatan

Di beberapa bagian wilayah di desa yang ada di wilayah Kecamatan

Arungkeke masih ditemui jalanan-jalanan yang keadaannya cukup buruk, yang sulit

dilalui oleh kendaraan. Ditambah lagi tidak ada kendaraan umum yang menunjang

agar masyarakat dapat pergi ke fasilitas kesehatan. Masyarakat harus mempunyain

kendaraan sendiri jika ingin mudah untuk pergi ke fasilitas kesehatan, sedangkan

belum semua masyarakat memiliki kendaraan pribadi. Hal ini juga yang membuat

masih ada masyarakat yang memilih ke dukun karena biasanya dukun mau datang

ke rumah untuk melakukan pmeriksaan atau membantu persalinan tanpa ibu harus

pergi keluar rumah.

4. Kurangnya kerjasama antara tenaga kesehatan dengan organisasi sosial

kemasyarakatan di masing-masing desa

Page 295: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

271

Berdasarkan fgd dengan bidan maupun para bidan, ternyata masih banyak

desa yang aparat desa atau tokoh masyarakatnya tidak berhubungan/tidak

memiliki komunikasi yang rutin dengan tenaga kesehatan sehingga banyak

informasi yang tidak sampai ke masyarakatnya, termasuk informasi mengenai

program Jampersal ini, bahkan banyak tokoh desa tidak mengetahui ada program

tersebut. Bisa dikatakan hanya beberapa orang saja dalam organisasi

kemasyarakatan tersebut yang mengetahui program Jampersal tersebut.

Musyawarah yang biasa dilakukan, untuk mempertemukan berbagai lintas sektor

diakui kini sudah tidak rutin dilaksanakan, sehingga fungsi organisasi sosial yang

ada di masyarakat sebagai agen sosialisasi program-program yang disediakan

pemetrintah tidak begitu berjalan dengan baik karena ketidaktahuan mengenai

program tersebut.

5. Masih banyaknya masyarakat yang belum KTP (registrasi kependudukan)

Masih banyak masyarakat yang belum mempunyai Kartu Tanda Penduduk

yang membuat adanya kesulitan dalam administrasi program Jampersal. KTP

sebagai syarat yang diwajibkan bagi masyarakat agar dapat menikmati program

Jampersal ini menjadi penghalang manakala warga tersebut tidak memiliki KTP.

Kesadaran masyarakat untuk mendaftarkan diri dalam registrasi kependudukan

bisa dikatakan masih kurang, sehingga pemerintah setempat juga masih perlu

menekankan kembali kepada pentingnya pembuatan KTP bagi keuntungan

masyarakat itu sendiri.

6. Ketidaktahuan Masyarakat tentang Jampersal

Selama ini masyarakat hanya sekedar mengetahui bahwa ada program

gratis jika mereka berobat atau datang ke puskesmas, namun tidak mengetahui

apa itu program Jampersal dan apa saja yang diberikan untuk ibu dalam program

tersebut, sehingga beberapa di antara mereka masih ada yang ragu untuk pergi ke

puskesmas, karena masih takut akan dikenakan biaya lagi. Selain itu masih ada

stigma bahwa menggunakan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah justru akan

merepotkan karena proses administrasi yang sulit.

7. Fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan kurang memadai

Page 296: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

272

Dari 7 desa yang ada di Kecamatan Arungkeke, masih ada beberapa desa yang

poskesdesnyamasih dianggap kurang layak dan letaknya berjauhan dengan rumah

penduduk. Ada poskesdes yang tidak dialiri listrik dan tidak ada aliran air ke

dalamnya. Hal ini juga mengakibatkan bidan yang tidak betah untuk terus tinggal di

pustu atau poskesdes tersebut hingga ketika suatu saat dibutuhkan, bidan tidak

selalu ada. Hal ini membuat masyarakat yang pada awalnya berniat pergi bersalin

dengan bidan terpaksa mengambil pilihan bersalin dengan

Dukungan

1. Pengetahuan Kesehatan dan Sikap yang Positif terhadap Kesehatan

Jika melihat dari hasil penelitian maka dapat dikatakan bahwa pada

dasarnya kini banyak ibu yang sudah mulai sadar dalam menjaga kesehatannya

manakala sedang hamil hingga pada saatnya persalinan. Begitupun juga dengan

para suaminya yang juga turut menjaga kesehatan istrinya yaitu salah satunya

dengan cara membantu meringankan pekerjaan istrinya ketika hamil serta

menganterkan istrinya ke fasilitas kesehatan.

2. Adanya hubungan yang terjalin antara bidan dan dukun bayi (sandro)

Dapat dikatakan bahwa kebanyakan sandro yang ada di kecamatan

Arungkeke sudah menjalin hubungan yang cukup dengan baik dengan para bidan,

yang akhirnya membentuk kerjasama antara kedua pihak tersebut. Kerjasama ini

membuat kini sudah banyak sandro yang turut mengantarkan ibu pada saat

pemeriksaan kehamilan. Selain itu dalam hal persalinan, meskipun masih ada

mayarakat yang memanggil sandro terlebih dahulu, namun kini banyak sandro

yang menyuruh keluarga memanggil bidan atau malah langsung mengantarkannya

untuk bersalin ke puskesmas.

3. Adanya hubungan antar masyarakat yang terjalin cukup baik

Masyarakat di Kecamatan Arungkeke sama dengan ciri masyarakat desa

lainnya yang memiliki hubungan di dalam masyarakat yang cukup baik. Hal ini

tentunya menjadi sesuatu yang positif dalam proses pencarian pengobatan

khususnya untuk ibu dan anak. Menurut fgd yang telah dilakukan, masyarakat

ketika membutuhkan pertolongan, yang terkait kesehatan, misalnya alat

Page 297: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

273

transportasi untuk melakukan pemeriksaan kehamilan atau melahirkan atau

membutuhkan uang untuk berobat, maka warga sekitar juga tak jarang turut

membantu. Apalagi di dalam masyarakat itu sendiri tak jarang ada hubungan

kekeluargaan yang mungkin terjadi karena ada hubungan pernikahan, sehingga

hubungannya lebih erat.

4. Majlis Taklim yang rutin diadakan

Salah satu acara yang diadakan rutin di hampir setiap desa adalah acara

pengajian atau majlis taklim. Dalam majelis taklim ini biasanya masyarakat banyak

yang berkumpul untuk mendengarkan ceramah dari tokoh agama setempat. Peran

tokoh agama dan acara pengajian ataupun majlis taklim ini sebenarnya bisa

menjadi ajang sosialisasi Jampersal ini, namun disayangkan fungsinya sampai saat

ini belum maksimal.

Harapan

Masyarakat terus mengharapkan bahwa program gratis untuk ibu hamil dan

bersalin ini akan tetap diadakan untuk ke depannya. Selain itu karena selama ini

mereka tidak mengetahui apa saja yang mereka dapatkan dari program Jampersal ini,

mereka berharap bahwa dari petugas kesehatan sendiri mau melakukan sosialisasi

yang sifatnya lebih jelas dan rutin sehingga masyarakat paham akan program tersebut.

Selain itu masyarakat mengharapkan akan adanya peningkatan fasilitas kesehatan.

Begitupun juga dengan bidan mereka harapkan dapat bekerja lebih baik dan selalu ada

di poskesdes atau pustu masing-masing desa.

Sedangkan dari para bidan sendiri tentunya juga berharap bahwa program ini akan

berlanjut karena tentunya dengan adanya Jampersal ini merupakan program yang juga

menguntungkan untuk mereka. Namun selain itu, meskipun sudah cukup puas dengan

tarif yang diberikan atas jasa pelayanan yang mereka lakukan, para bidan masih

berharap agar ke depannya tarif bisa ditingkatkan lagi. Selain itu para bidan

mengharapkan agar syarat administrasi berupa pengisian buku pemeriksaan kehamilan

yang harus mereka isi diperingkas isinya dan tidak terjadi pengulangan form-form

dalam buku tersebut.

Page 298: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

274

Selain itu, para bidan juga berharap bahwa ada dana khusus untuk intensif para

dukun beranak, yang mendampingi mereka pada saat menolong ibu dalam melakukan

persalinan. Hal ini karena sampai saat ini untuk intensif biasanya diberikan secara

sukarela kepada para dukun tersebut dengan besaran Rp. 50.000,-. Oleh karena itu

bidan berharap bahwa dana tersebut disediakan langsung dari anggaran pemerintah

melalui program Jampersal itu. Bidan juga berharap ada aturan khusus yang

diterapkan ke dukun, seperti apabila mereka tidak melibatkan bidan dalam persalinan

akan diberikan sanksi atau peringatan, supaya ke depannya mereka mau bekerjasama

dengan bidan.

Page 299: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

275

3.8. Puskesmas Kassi Kassi, Kota Makasar

3.8.1.GambaranUmum Kota Makassar

Kota Makassar biasa juga disebut Kota Daeng atau Kota Anging Mamiri.

Daeng adalah salah satu gelar dalam strata atau tingkat masyarakat di Makassar atau

di Sulawesi Selatan pada umumnya, Daeng dapat pula diartikan "kakak". Sedang

Anging Mamiri artinya “angin bertiup” adalah salah satu lagu asli daerah Makassar

yang sangat populer pada tahun 1960-an.

Secara geografis Kota Makassar berada pada koordinat antara 119º 18' 27,79" -

119º 32' 31,03" Bujur Timur dan antara 5º 3' 30,81" - 5º 14' 6.49" Lintang Selatan, atau

berada pada bagian barat daya Pulau Sulawesi dengan ketinggian dari permukaan laut

berkisar antara 0 - 25 m. Karena berada pada daerah khatulistiwa dan terletak di

pesisir pantai Selat Makassar, maka suhu udara berkisar antara 20º C - 36º C, curah

hujan antara 2.000 - 3.000 mm, dan jumlah hari hujan rata-rata 108 hari pertahun.

Iklim di kota Makassar hanya mengenal dua musim sebagaimana wilayah Indonesia

lainnya, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan berlangsung dari bulan

Oktober sampai April yang dipengaruhi muson barat - dalam bahasa Makassar disebut

bara’ -, dan musim kemarau berlangsung dari bulan Mei sampai dengan September

yang dipengaruhi angin muson timur – dalam bahasa Makassar disebut timoro -. Pada

musim kemarau, daerah Sulawesi Selatan pada umumnya sering muncul angin kencang

yang kering dan dingin bertiup dari timur, yang disebut angin barubu (fohn).

Kota Makassar sebagai ibukota Sulawesi Selatan secara geografis terletak di

Pesisir Pantai Barat bagian Selatan Sulawesi Selatan. Secara administratif Kota

Makassar mempunyai batas wilayah sebagai berikut:

Selatan : berbatasan dengan Kabupaten Gowa

Utara : berbatasan dengan Kabupaten Maros

Timur : berbatasan dengan Kabupaten Maros

Barat : berbatasan dengan Selat Makassar

Kota Makassar memiliki luas wilayah 175.77 km2 yang terbagi ke dalam 14

Kecamatan dan 143 Kelurahan. Selain memiliki wilayah daratan, Kota Makassar juga

memiliki wilayah kepulauan yang dapat dilihat sepanjang garis pantai kota Makassar.

Adapun pulau-pulau di wilayahnya merupakan bagian dari 2 kecamatan, yaitu Ujung

Page 300: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

276

Pandang dan Ujung Tanah. Pulaiu-pulau ini merupakan gugusan pulau-pulau karang

sebanyak 12 pulau, bagian dari gugusan pulau-pulau Sangkarang atau disebut juga

Pulau-pulau Pabbiring atau lebih dikenal dengan nama Kepulauan Spermonde. Pulau-

pulau tersebut adalah Pulau Lanjukang, Pulau Langkai, Pulau Lumu-lumu, Pulau Bone

Tambung, Pulau Kodirangeng, Pulau Barrang Lompo, Pulau Barrang Caddi, Pulau

Kodingareng Keke, Pulau Samalona, Pulau Lae-lae, Pulau Gusung dan Pulau Kayangan.

Jumlah penduduk Kota Makassar sampai dengan tahun 2011 tercatat 1.352.136

jiwa. TIngginya tingkat pertumbuhan penduduk Kota Makassar dimungkinkan akibat

terjadinya arus urbanisasi karena faktor ekonomi, melanjutkan pendidikan, di samping

karena daerah ini merupakan pusat pemerintahan dan pusat perdagangan di Kawasan

Timur Indonesia.

Suku yang dominan jumlahnya di kota Makassar adalah suku Makassar, Bugis,

Toraja, Mandar, Buton, Jawa, dan Tionghoa. Kebanyakan suku yang mendiami kota

Makassar memeluk agama Islam, sehingga bisa dikatakan agama Islam menjadi agama

mayoritas yang ada di Kota Makassar. Karena faktor ekonomi dan faktor pendidikan

maka banyak orang-orang yang merantau untuk bekerja atau pun melanjutkan

pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.

Gambar 3.8.1. Peta Makasar

Sumber: http://bahasa.makassarkota.go.id/

Page 301: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

277

Kota Makassar terdiri dari 14 Kecamatan, namun persebaran penduduknya

tidak merata. Angka kepadatan penduduk Kota Makassar adalah sebesar 7.693

jiwa/km2. Persebaran yang tidak merata tersebut dikarenakan konsentrasi penduduk

berbeda pada tiap kecamatan, serta kebijakan pemerintah tentang penetapan lokasi

untuk pengembangan kawasan industri. Berikut merupakan tabel kecamatan yang ada

di Makassar dengan jumlah penduduknya:

Tabel 3.8.1.

Jumlah Penduduk Kota Makassar Berdasarkan KecamatanTahun 2011

No Kecamatan Jumlah Penduduk

1 Ujung Tanah 47.133

2 Tallo 35.574

3 Bontoala 54.714

4 Wajo 29.639

5 Ujung Pandang 27.160

6 Makassar 82.478

7 Mamajang 59.560

8 Mariso 56.408

9 Tamalate 172.504

10 Rappocini 152.531

11 Panakkukang 142.729

12 Manggala 118.191

13 Biringkanaya 169.340

14 Tamalanrea 104.175

Jumlah 1.352.136

Sumber: Profil Kesehatan Makassar Tahun 2011

Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Tenaga Kesehatan

Tenaga kesehatan berdasarakan data ketenagaan di kota Makassar pada tahun

2011 maka jumlah pegawai adalah 1233 orang yang terdiri dari tenaga medis sebanyak

212 orang dan para medis sebanyak 1043 orang. Fasiitas kesehatan yang tersedia di

kota Makassar cukup banyak dan bervariasi jenisnya. Terdapat 38 puskesmas dan 44

pustu dengan 18 RS sebagai pusat rujukan. Untuk elayanan KIA selain di puskesmas

Page 302: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

278

dan RS umum, secara spesifik dilayanai oleh Rumah Sakit Bersalin (14 buah) dan

Rumah Bersalin(14 buah).

Pelayanan KIA banyak dilayani oleh bidan yang tersebar di berbagai fasilitas

pelayanan. Sebagian bidan melakukan praktek swasta dan terdapat 14 orang Bidan

Praktek Swasta (BPS). Keadaan sarana kesehatan di Kota Makassar seara lengkap

jumlahnya adalah sebagai berikut:

Tabel 3.8.2.

Sarana Kesehatan di Kota MakassarTahun 2011

Jenis Sarana Kesehatan Jumlah

Puskesmas 38

Puskesmas Pembantu 44

Puskesmas Keliling 38

Rumah Sakit 18

Rumah Sakit Bersalin 14

Rumah Bersalin 14

Bidan Praktek Swasta 14

Balai Pengobatan Gigi 9

Praktek Dokter Perorangan 143

Praktek Dokter Bersama 2

Sumber: Profil Kesehatan Makassar Tahun 2011

Masalah Kesehatan Bayi dan anak

Angka kematian bayi di kota Makassar pada tahun 2011 sebesar 6.9 per 1000

kelahiran hidup dengan jumlah kematian bayi sebanyak 179 dari 26.129 jumlah

kelahiran hidup (AKB = 6.9/1000 KH). Angka ini mengalami penurun setelah tahun

sebelumnya (2010) AKB sebesar 10.6 dari 1000 kelahiran hidup.

Angka kematian balita (AKABA) pada tahun 2011 sebanyak 71 balita dari 26.129

kelahiran hidup sehingga diperoleh angka kematian balita yaitu sebesar 2.7 per 1000

kelahiran hidup. Angka ini mengalami peningkatan setelah tahun sebelumnya angka

kematian bali sebesar 1.86 per 1000 kelahiran hidup.

Page 303: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

279

Upaya peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak terutama dititikberatkan pada

pertolongan persalinan dan pemeriksaan kehamilan. Hal tersebut sangat berperan

penting dalam menurunkan angka kematian bayi yang secara langsung berdampak

pada meningkatnya derajat kesehatan masyarakat.

Pertolongan Persalinan.Berdasarkan data yang diperoleh, jumlah persalinan

sepanjang tahun 2011 sebanyak 27.142 ibu bersalin dengan jumlah persalinan dengan

dibantu oleh tenaga kesehatan yaitu sebesr 96.3% yaitu sebanyak 26.129 ibu. Di kota

Makassar, AKI maternal pada tahun 2011 sebesar 11. 4 per 100.000 kelahiran hidup.

Tercatat 3 kasus kematian Ibu Maternal dari 26.129 kelahiran hidup yang disebabkan

karena pendarahan 2 kasus dan infeksi 1 kasus.

Pemeriksaan Kehamilan. Data terakhir yang diperolah dari jumlah ibu hamil

pada tahun 2011 yaitu sebesar 28.435 orang yang melakukan pemeriksaan kehamilan

sebanyak 4 kali sebanyak 26.879 orang atau sebesar 94.53%.Berdasarkan laporan

Dinas Kesehatan pada tahun 2011, dari 28.345 orang ibu hamil, yang mendapatkan

table fe1 sebanyak 27.298 dengan persentase 96%, sedangkan yang mendapatkan

tablet fe3 sebesar 27.617 dengan persentase 97.12%.

3.8.2. Gambaran Puskesmas Kassi-kassi

Kecamatan Rappocini merupakan salah satu dari 14 Kecamatan di Kota

Makassar yang berbatasan dengan Kecamatan Panakkukang di sebelah utara,

Kecamatan Panakkukang dan Kabupaten Gowa di sebelah timur, Kecamatan

Tamalanrea di sebelah selatan dan Kecamatan Mamajang dan Kecamatan Makassar di

sebelah barat. Kecamatan Rappocini merupakan daerah bukan pantai dengan

topografi ketinggian antara permukaan laut.Menurut jaraknya, letak masing-masing

kelurahan ke kecamatan berkisar 1 km sampai dengan jarak 5-10 km. Kecamatan

Rappocini ini terdiri dari 10 kelurahan dengan luas wilayah 9,23 km².Berdasarkan data

BPS Kota Makassar, Kecamatan Rappocini memiliki penduduk sebanyak 152.531 orang.

Sehingga kepadatan penduduk di Kecamatan ini adalah 16525.57 orang/km2.

Terkait dengan fasilitas kesehatan yang disediakan oleh pemerintah daerah,

maka di dalam kecamatan Rappocini terdapat 3 puskesmas, yaitu puskesmas Kassi-

Page 304: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

280

kassi, puskesmas Mangasa dan puskesmas Minasa Upa. Meskipun dalam kecamatan ini

terdapat 3 puskesmas, namun penduduk di Kecamatan Rapocini ini berada di bawah

tanggung jawab 1 puskesmas yaitu puskesmas Kassi-Kassi. Namun karena luas wilayah

yang terlalu luas, ada 1 wilayah di kecamatan Rappocini, yaitu Kelurahan Gunung sari

yang menjadi tanggung jawab puskesmas di Puskesmas Manasa dan bukan menjadi

tanggung jawab puskesmas Kassi-kassi. Hal ini dikarenakan letak kelurahan tersebut

lebih dekat dan lebih mudah untuk mengakses Puskesmas Manasa. Untuk

mempermudah penelitian, maka di kota Makassar ini peneliti membatasi dengan

mengambil Puskesmas Kassi-kassi sebagai lokasi penelitian ini dan masyarakat yang

menjadi subjek penelitian adalah masyarakat yang berada di bawah wilayah kerja

Puskesmas Kassi-Kassi, bukan keseluruhan warga Kecamatan Rappocini.

Gambar 3.8.2. Peta Wilayah Kerja Puskesmas Kassi Kassi

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Puskesmas Kassi-kassi dipilih sebagai lokasi penelitian untuk Kota Makassar oleh

DInas Kesehatan karena dirasa dapat mewakili atau cukup dapat menggambarkan

dinamika keadaan kesehatan pada wilayah perkotaan, khususnya berkaitan dengan

Page 305: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

281

pemakaian Jampersal.Puskesmas Kassi-kassi merupakan salah satu puskesmas

pemerintah Kota Makassar dan merupakan unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kota

Makassar. Dalam wilayah kerja Puskesmas Kassi-Kassi terdapat 78 posyandu, 3 pustu, 4

Rumah Bersalin dan 2 Rumah Sakit Swasta. Adapun batas wilayah kerja Puskesmas ini

adalah sebagai berikut:

Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Bara Baraya Karuwisi

Sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Panaikang Tamangapa

Sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Mangasa Jongaya

Sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Maricaya Parangtambung

Tenaga kesehatan yang ada di puskesmas Kasi-Kassi cukup lengkap dan jumlah

banyak.Adapun tenaga kesehatan yang ada di Puskesmas Kassi-Kassi adalah sebagai

berikut:

Tabel 3.8.3 Jumlah dan Jenis Tenaga di Puskesmas Kassi-KassiTahun 2011

Jenis Tenaga Jumlah

Dokter Umum 7 Dokter Spsialis 3 Dokter Gigi 2 Apoteker 1 Epidemiologi Kesehatan 1 Sarjana Kesmas 2 Sarjana keperawatan 4 Sarjanan Kes Lingkungan 2 D4 Keperawatan 2 Sarjana non Keperawatan 1 Akper 9 Kebidanan 11 AKG 2 Analis Kesehatan 1 Perawat 4 Perawat Gigi 1 Nutrsionis 2 Asisten Apoteker 3 Pranata Laboratorium 1 Petugas kebersihan 1

Sumber: Profil Kesehatan Puskesmas Kassi-kassi

Sarana kesehatan dasar yang ada di Puskesmas Kassi-Kassi adalah praktek

dokter, praktek dokter gigi, puskesmas, pustu, apotik dan toko obat. Selain itu ada

beberapa sarana kesehatan rujukan biasanya merujuk ke Rumah Sakit Umum atau

balai pengobatan tertentu. RS Umum yang sering menjadi Pusat Rujukan adalah RS

Page 306: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

282

Haji, RS Labuang Baji, RS Dr. Wahidin Sudiro Husodo, RS Bersalin Fatima, BP4, BKMM,

dan RS Kusta.

Selain tenaga kesehatan, ada juga tenaga kader sosial sebagai penyuluh

kesehatan untuk warga yang ada di wilayah Puskesmas Kassi-Kassi.Terdapat 325 kader

sosial di wilayah kerja Puskesmas dengan 78 posyandu.Jadi 1 posyandu kira-kira

dibantu oleh 4 sampai 5 orang kader. Berdasarkan keterangan dari para bidan yang

ada di puskesmas ini, hampir seluruh kader posyandu tersebut aktif dalam melakukan

penyuluhan kesehatan.

Puskesmas Kassi-kassi terletak di Kelurahan Kassi Kassi Kecamatan Rappocini

dengan luas wilayah kerja 7.32 Kha. Dari 9 kelurahan terdapat 76 RW dan 409 RT.

Pemanfaatan potensi lahan dan alih fungsi lahan terjadi sedemikian rupa, yang akan

membawa pengaruh terhadap kondisi dan perkembangan sosial ekonomi dan

keamanan masyarakat. Lahan yang berbentuk rawa-rawa di beberapa bagian

Kecamatan Rapoocini beralih fungsi menjadi pemukiman sementara atau darurat. Alih

fungsi lahan juga banyak terjadi pada sektor pemukiman dan perumahan yang

menjamur beberapa tahun terakhir sebagai akibat peningkatan jumlah penduduk yang

sangat pesat. Luas wilayah kerja Puskesmas Kassi-kassi seluruhnya dapat dilihat pada

tabel berikut

Tabel 3.8.4. Luas Wilayah Kerja Puskemas Kassi-kassi berdasarkan KecamatanTahun 2011

No Kelurahan Luas RW RT

1 Ballaparang 0.59 9 49

2 Rappocini 0.36 5 22

3 Buakana 0.77 7 40

4 TIdung 0.89 8 33

5 Bontomakkio 0.24 6 26

6 Kassi kassi 0.82 14 73

7 Mapala 0.50 13 56

8 Banta Bantaeng 1.27 8 72

9 Karunrung 1.52 9 38

Jumlah 7.32 79 409

Sumber: Profil Kesehatan Puskesmas Kassi-kassi

Page 307: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

283

Berdasarkan data, jumlah Kepala Keluarga (KK) tahun 2011 di wilayah kerja

Puskesmas Kassi-kassi adalah sebanyak 22.181 KK dengan jumlah total penduduk

sebanyak 111.841 orang. Sehingga kepadatan penduduk 145.090 jiwa/km2.

Tabel 3.8.5

Jumlah Penduduk Wilayah Kerja Puskesmas Kassi-kassi Berdasarkan Usia Per KecamatanTahun 2011

No Kelurahan

Jumlah Penduduk Menurut Umur

Jumlah 0–4 tahun 5–14 tahun

15-44 tahun

>45 tahun

1 Ballaparang 1.149 2.109 7.182 1.808 12.248

2 Rappocini 861 1.5777 5.339 1.347 9.124

3 Buakana 1.264 2.324 7.868 2.016 13.472

4 TIdung 1.420 3.137 8.862 2.233 15.652

5 Bontomakkio 547 1.000 3.381 854 5.782

6 Kassi kassi 1.458 2.677 9.087 2.289 15.511

7 Mappala 1.029 1.890 6.415 1.620 10.954

8 Banta Bantaeng 1.779 3.271 11.068 2.794 18.912

9 Karunrung 968 1.670 6.031 1.517 10.186

Jumlah 10.475 19.655 65.233 16.478 111.841

Sumber: Profil Kesehatan Puskesmas Kassi-kassi

Dari tabel di atas tersebut maka dapat dikatakan bahwa jumlah penduduk di

bawah wilayah kerja Puskesmas Kassi-kassi cukup banyak yaitu 111.841 orang.

Penduduk terbanyak ada pada Kelurahan Banta Bantaeng, sedangkan penduduk paling

sedikit ada di wilayah Kelurahan Bontomakkio.

Berdasarkan data statistik dari BPS Kota Makassar, Kecamatan Rappocini

memliki penduduk perempuan yang lebih banyak daripada jumlah penduduk laki-laki.

Berikut merupakan persentase penduduk, baik laki-laki dan perempuan, yang ada di

Kecamatan Rappocini dengan melihat tingkat pendidikan terakhirnya.

Page 308: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

284

Tabel 3.8.6 Tingkat Pendidikan Penduduk Kota Makassar Berdasarkan Jenis KelaminTahun 2011

No Tingkat Pendidikan Jenis Kelamin

Jumlah Laki-laki Perempuan

1 Tidak/belum pernah sekolah 1.200 3.117 4.317

2 Tidak/belum tamat SD 6.412 8.743 15.155

3 SD/MI 9.814 12.448 22.262

4 SLTP/MTs 9.322 10.879 20.201

5 SLTA/MA 19.521 19.318 38.839

6 AK/Diploma 1.281 2.253 3.534

7 Universitas 7.023 6.336 13.359

Jumlah 55.064 63.094 118.158

Sumber: Profil Kesehatan Makassar Tahun 2011

Melihat data tabel di atas, maka dapat dilihat bahwa mayoritas pendidikan

terakhir dari penduduk Rappocini adalah tamat SLTA/MA. Pada jenis kelamin laki-laki

terbanyak ada di kelompok tamat SLTA/MA, begitupun juga pada kelompok

perempuan. Pendidikan disini dilihat karena latar belakang pendidikan dapat

mempengaruhi perilaku seseorang, termasuk perilaku dalam pemilihan usia

perkawinan. Meskipun rata-rata kawin pertama dari tahun ke tahun datanya belum

ditentukan pada wilayah kerja Puskesmas Kassi-Kassi, namun berdasarkan data kota

Makassar dalam angka untuk tahun 2005 dimana pada umur 18 tahun terjadi

penurunan usia menikah. Sebaliknya pada umur perkawinan 19 tahun ke atas

meningkat. Hal ini menandakan sedang terjadinya pendewasaan usia kawin pada

perempuan di kota Makassar, termasuk di Kecamatan Rappocini. Hal ini sesuai dengan

latar belakang pendidikan perempuan tersebut. Kebanyakan dari mereka menikah

setelah menamatkan SMA dahulu yaitu pada kisaran umur 18 atau 19 tahun.

Mengenai latar belakang pendidikan ini, jika melihat data responden kuantitatif

dalam penelitian ini, maka akan didapatkan hasil yang sama mengenai latar belakang

pendidikan. Dari 70 orang responden ibu, kecenderungan pendidikan terakhir ibu

adalah tamat SMA/sederajat yaitu sebanyak 40% dan diikuti tamat SMP/sederajat

(27.1%) dan tamat SD/sederajat (20%). Begitupun juga dengan pendidikan terakhir

suami responden menunjukkan bahwa paling banyak memiliki pendidikan terakhir

Page 309: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

285

yaitu tamatan SMA/sederajat yaitu sebanyak 45.7% dan diikuti pendidikan tamat

SMP/sederajat (25.7%) dan tamat SD/sederajat (17.1%).

Rata-rata pendapatan per kapita penduduk wilayah kerja Puskesmas Kassi Kassi

belum ditemukan datanya, baik di kantor Kecamatan maupun kantor Kelurahan serta

di Kantor BPS. Sesuai dengan Indikator Kesejahteraan Masyarakat Kota Makassar

tahun 2010 pendapatan per kapita penduduk di Kota Makassar adalah Rp. 8.900.000,-

.Berbicara mengenai pendapatan per kapita penduduk maka indikator nya adalah

pendapatan rumah tangga/bulan. Jika melihat data responden penelitian, dari 70

orang maka diketahui bahwa pendapatan rumah tangga cenderung paling banyak di

kategori Rp.500.001,- s/d Rp. 1.000.000,- yaitu sebanyak 35.7% diikuti kategori

pendapatan <Rp 500.000,- (28.6%) dan kategori pendapatan Rp. 1.000.001,- s/d

Rp.2.000.000,- (17.1%). Pendapatan ini berkaitan juga dengan pekerjaan yang dijalani

oleh masyarakatnya.

Sama halnya dengan pendapatan rata-rata, tim peneliti juga tidak

mendapatkan data mengenai pasti mengenai jenis pekerjaan pada masyarakat

Kecamatan ini, namun jika melihat dari data responden penelitian maka pekerjaan

yang paling banyak yang dilakukan oleh suami adalah: pekerjaan di bidang jasa, seperti

menjadi guru ataupun menjadi supir angkutan ataupun menjadi supir becak motor

(bentor), lalu setelah itu bekerja di sector swasta dan terakhir menjadi nelayan.

Sedangkan untuk seorang istri kebanyakan di masyarakat kebanyakan tidak bekerja

dan hanya menjadi ibu rumah tangga saja. Mengenai keadaan ekonomi ini diperkuat

juga dengan pernyataan salah satu tokoh masyarakat yang ada di wilayah puskesmas

ini mengenai penduduk dan jenis pekerjaan yang banyak dilakukan oleh warganya:

“Masyarakat Rappocini ini kebanyakan berasal dari ekonomi rendah, kebanyakan

menengah ke bawah. Masyarakat kebanyakan masyarakat asli, sehingga tradisi

masih kuat. Dan yang datang di Rappocini keluarganya miskin juga. Seperti

banyak dari jeneponto. Kadang mereka itu pendatang, dia datang mencari nafkah

saja disini.Disini pendatang kebanyakan disini pada saat bukan musim tanam atau

musim panen, disinijadi tukang batu.”

Gambaran Kesehatan Ibu dan Anak di Puskesmas Kassi-Kassi

Puskesmas Kassi-Kassi dalam 18 kegiatan pokoknya memasukkan kegiatan

kesehatan ibu dan anak sebagai kegiatan pokok utama. Berbeda dengan 37 puskemas

Page 310: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

286

lainnya yang ada di kota Makassar, Puskesmas Kassi—Kassi ini menjadi satu-satunya

puskesmas, yang selain memiliki posyandu yang ditujukan untuk melayani bayi atau

balita, mereka memiliki apa yang disebut dengan posyandu bunda. Posyandu bunda ini

difokuskan adalah pada pelayanan untuk ibu hamil hingga pada saatnya ibu pada saat

setelah melahirkan atau hingga saat masa nifas dan juga pelayanan anak di bawah

umur dua tahun (baduta). Lain halnya dengan kegiatan posyandu anak atau balita yang

diadakan serentak di masing-masing kelurahan yang sama, posyandu bunda ini

memiliki jadwal di kelurahannya masing-masing yang sudah ditentukan sebelumnya

dan tentunya diadakan di posyandu pada masing-masing kelurahan tersebut.

Posyandu bunda ini setiap kelurahan memiliki penanggung jawab bidannya masing-

masing. Hal ini tentunya mempermudah target dari Puskesmas ini sendiri dalam

melaksanakan program KIA mereka, khususnya program untuk ibu.

Upaya peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak terutama dititikberatkan pada

pertolongan persalinan dan pemeriksaan kehamilan. Hal tersebut sangat berperan

penting karena dianggap dapat menurunkan angka kematian bayi yang secara

langsung berdampak pada meningkatnya derajat kesehatan masyarakat. Perhatian

Puskesmas yang tinggi terhadap kesehatan Ibu dan Anak ini terlihat juga pada ruang

bidan yang menempati salah satu ruangan di Puskesmas tersebut. Di ruangan tersebut

terlihat beberapa gambar dua peta wilayah kerja Kassi-kassi yang gunanyan untuk

memperlihatkan keadaan kesehatan ibu dan anak. Satu peta (ditunjukkan gambar 3)

adalah peta yang digunakan untuk melihat keadaan ibu pada masa persalinan. Dalam

peta ini diberi simbol yang berbeda untuk ibu yang melahirkan normal, beresiko

sedang dan juga beresiko tinggi. Sedangkan satu peta lagi (ditunjukkan gambar 4)

adalah peta untuk melihat status gizi pada bayi dan balita. Dari gambar tersebut kita

dapat melihat persebaran balita dengan gizi baik, buruk ataupun kurang.

Page 311: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

287

Gambar 3.8.3. Pemetaan Ibu Bersalin di Wilayah Kerja Puskesmas Kassi-kassi Sumber: Dokumentasi Peneliti

Dalam pertolongan persalinan, berdasarkan data yang diperoleh, jumlah

persalinan sepanjang tahun 2011 adalah sebanyak 623 orang dan dari total jumlah

tersebut banyak ibu bersalin dengan jumlah persalinan yang dibantu oleh tenaga

kesehatan yaitu sebesr 80.73% yaitu sebanyak 503 ibu.

Untuk pemeriksaan Kehamilan dari data terakhir yang diperolah dari jumlah ibu

hamil pada tahun 2011 yaitu sebesar 2.499 orang yang melakukan pemeriksaan

kehamilan periode 1 (K1) sebanyak 3.182 orang atau sebesar 127.3%. Sedangkan yang

melakukan k4 adalag sebanyak 2971 orang atau sebesar 118.80%.

Untuk pemberian Tablet Fe, berdasarkan laporan Dinas Kesehatan pada tahun

2011, dari 28.345 orang ibu hamil, yang mendapatkan table fe1 sebanyak 27.298

dengan persentase 96%, sedangkan yang mendapatkan tablet fe3 sebesar 27.617

dengan persentase 97.12%.

Page 312: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

288

Gambar 3.8.4. Pemetaan Gizi Bayi dan Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kassi-kassi Sumber: Dokumentasi Peneliti

Sedangkan untuk kesehatan bayi dan balita angka, kematian bayi di Puskesmas

Kassi Kassi pada tahun 2011 sebesar 9.3 per 1000 kelahiran hidup dengan jumlah

kematian bayi sebanyak 21 dari 2.256 jumlah kelahiran hidup. Sedangkan angka

kematian balita (AKABA) pada tahun 2011 sebanyak 19 per 1000 kelahiran hidup.

3.8.3. Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak

Pandangan tentang ibu hamil, bersalin, bayi/anak

Masyarakat kota Makassar seperti masyarakat perkotaan lainnya pada

dasarnya dapat dikatakan sudah memiliki kesadaran akan kesehatan yang cukup tinggi.

Mereka memiliki keinginan untuk memeriksakan kesehatan mereka ke tenaga

kesehatan modern atau professional. Begitupun juga halnya terkait dengan kesehatan

ibu dan anak. Pada bagian keadaan kesehatan ibu dan anak pada bagian sebelumnya

sudah dijelaskan bahwa angka pemeriksaan yang berkaitan dengan ibu dan anak cukup

tinggi.

Masyarakat di Kota Makassar memandang seorang ibu yang hamil sebagai

suatu keadaan dimana seorang perempuan harus menjaga kesehatannya agar ibu itu

Page 313: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

289

sendiri sehat hingga sampai anaknya nanti dilahirkan dengan selamat dan dalam

keadaan sehat wa’alfiat. Oleh karena itu ketika ibu sedang hamil keluarga sangat

mendukung agar ibu menjalani pemeriksaan pada tenaga kesehatan yang dianggap

paling baik yang bisa mereka jangkau sesuai dengan kebutuhan ekonomi mereka.

Para suami dalam fgd yang tim peneliti lakukan juga menyatakan memberikan

perlakuan yang lebih kepada istrinya manakala istrinya tersebut sedang dalam masa

hamil. Hal ini ditunjukkan oleh mereka dengan memberikan keringanan kepada istri

dalam melakukan pekerjaannya sehari-hari. Mengenai pekerjaan istri, seperti yang

ditemukan dalam survey penelitian ini, kebanyakan dari mereka karena berupa

pendatang yang merantau dari kabupaten lain sehingga banyak yang hanya menjadi

ibu rumah tangga saja dan kalaupun ada yang bekerja biasanya mereka menjadi buruh

harian lepas yang membantu pekerjaan rumah tangga orang lain, seperti menjadi

pengasuh anak ataupun menjadi buruh cuci. Selain itu ada juga ibu rumah tangga yang

memiliki usaha dengan membuka warung sembako di rumahnya. Oleh karena

pekerjaan sehari-harinya dapat dikatakan tidak begitu berat maka suami pun juga tidak

terlalu membatasi kegiatan yang dilakukan oleh istrinya manakala istrinya tersebut

sedang hamil. Namun perlakuan istimewa juga mereka berikan kepada istri mereka

yaitu dengan membantu mereka dalam pekerjaan rumah tangga yang dilakukan

sehari-hari di dalam rumah seperti yang diungkapankan oleh seorang suami berikut ini:

“ya itu istri pada saat hamil tidak boleh terlalu lelah, tidak boleh itu mengangkat barang yang terlalu berat. Sehingga ya kita bantulah sehari-hari membantu beberes rumah, jangan dia disuruh angkat barang yang terlalu berat. Kita bantulah itu.”

Selain membantu dalam hal pekerjaan sehari-hari, suami juga turut sudah

mengerti bahwa istri pada saat hamil membutuhkan makanan yang bergizi guna

menyehatkan diri dan calon anaknya. Namun untuk pemeriksaan pada saat hamil,

karena kebanyakan dari suami tersebut bekerja, maka untuk hal ini biasanya mereka

hanya sekedar tahu bahwa istrinya sudah melakukan pemeriksaan kesehatan,

sedangkan untuk menemani pada saat melakukan pemeriksaan tersebut biasanya istri

melakukannya sendiri atau pergi dengan ditemani ibu ataupun mertuanya yang juga

tinggal di rumah atau pergi dengan tetangga atau ibu hamil lain yang tinggal di sekitar

rumahnya.

Page 314: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

290

Berdasarkan keterangan salah satu bidan, masyarakat disini menaruh perhatian

yang cukup besar ketika dalam keluarga tersebut baru pertama kalinya memiliki anak,

sehingga mereka pasti melakukan pemeriksaan dengan rutin, baik itu di puskesmas,

maupun pergi ke dokter di rumah sakit atau swasta jika memang keadaan ekonominya

baik. Dengan melakukan pemeriksaan di dokter menurut mereka merupakan

keunggulan tersendiri karena memiliki kemampuan yang lebih dibandingkan jika

mereka memeriksakan kesehatan tersebut hanya dengan pergi ke puskesmas.

Perhatian kepada ibu ini juga diungkapkan oleh salah satu tokoh agama yaitu

dengan memberikan sosialisasi atau himbauan-himbauan kepada ibu agar rutin dalam

melakukan pemeriksaan kepada ibunya. Hal ini seperti yang diungkapkan pada saat fgd

berikut ini:

“setiap ada pertemuan apalagi perempuan itu kami dorong untuk slalu berhubungan dengan posyandu. Kami tokoh masyarakat mendorong saja agar ibu tidak terputus hubungan dengan posyandu, agar bayinya nanti juga sehat. kami menekankan juga daripada anak itu apalagi mengenai kb. Ini masyarakat kadang karena faktor kemalasan jadi kadang kami harus selalu mendorong agar ikut posyandu.”

Bentuk perhatian juga diberikan oleh keluarga khususnya orang tua dari

pasangan suami istri manakala cucu mereka akan dilahirkan dan juga setelah dilahirkan

dan akan diadakan acara aqiqah. Pada saat persalinan biasanya mereka datang dari

kabupaten mereka berasal untuk menemani hingga ibu itu melahirkan, atau malah ada

juga ibu yang akan bersalin itu kembali ke kampungnya karena meminta ditemani oleh

orang tuanya ataupun keluarga besarnya. Tak jarang juga orang tua yang memiliki

pekerjaan turut membantu anaknya dalam hal keuangan. Jika persalinan

membutuhkan biaya yang lebih, maka sebagai orang tua mereka turut memberikan

sumbangan kepada anaknya, begitupun pada saat acara aqiqah.Acara aqiqah ini

sendiri masih dijalankan oleh masyarakat sebagai tanda syukur karena anak sudah

dilahirkan dengan selamat. Karena biayanya yang cukup besar maka orang tua biasa

membantu menyumbang untuk diadakannya upacara tersebut, terlebih lagi kadang

acara ini juga menjadi ajang untuk menunjukkan kemampuan ekonomi seorang

keluarga, sehingga agar acara tersebut bisa diadakan semeriah mungkin, dengan

mengundang banyak orang maka orang tua turut menyumbang dana apalagi jika yang

dilahirkan merupakan cucu pertama.

Page 315: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

291

Kepercayaan yang Masih Berkembang (Tradisi/Ritual/Kebiasaan)

Pada dasarnya masyarakat yang ada di Kota Makassar sudah tidak mengikuti

lagi tradisi yang sifatnya tradisional atau kebiasaan yang dilakukan yang sifatnya turun

temurun/biasa dilakukan oleh keluarga atau suku darimana mereka berasal. Kini dapat

dikatakan hanya sebagiankecil di masyarakat yang tinggal di Kota Makassar yang masih

menjalani tradisi/upacara/ritual yang berkaitan dengan kesehatan, khususnya jika

dikaitkan dengan penelitian ini adalah kesehatan ibu dan anak. Berdasarkan informasi

dari hasil diskusi yang telah dilakukan oleh bidan, tokoh masyarakat serta para suami

menyatakan bahwa tradisi yang sifatnya tradisional ini biasanya hanya dilakukan di

wilayah pedesaan, sedangkan di kota besar seperti Makassar ini sudah jarang yang

melakukan. Hal ini juga ditunjukkan data kuantitatif dari hasil survey dengan

responden mengenai masih atau tidak dilakukannya tradisi/upacara/ritual oleh para

responden berikut ini:

Tabel 3.8.7

Pelaksanaan Upacara/Tradisi/Ritual Berkaitan dengan KIA di Kota Makassar

No Upacara/Tradisi/Ritual Tidak Ya

1 Masa Kehamilan 71.4% 28.6%

2 Masa Persalinan 90.0% 10.0%

3 Masa Nifas 95.7% 4.3%

4 Bayi Lahir 67.1% 32.9%

Sumber: Data Primer

Melihat data di atas, terlihat bahwa mayoritas sudah tidak melakukan

upacara/ritual pada keempat masa tersebut, terlebih lagi pada masa persalinan dan

masa nifas yang mencapai angka 90%, sedangkan untuk masa persalinan dan bayi lahir

persentasenya meskipun lebih besar di tidak, namun angkanya tidak setinggi masa

persalinan dan nifas. Berdasarkan hasil fgd pula, didapatkan pula mengapa tradisi itu

sudah tidak terlalu berjalan lagi karena sudah adanya pengetahuan-pengetahuan nilai

kesehatan modern yang sudah dimiliki oleh masyarakat, sehingga dalam menjalani

masa kehamilan hingga sampai masa bayi sudah dilahirkan, mereka tidak percaya lagi

akan pantangan-pantangan tersebut dan lebih memilih pergi ke tenaga kesehatan

dalam mencari kesehatan. Selain itu faktor ekonomi juga dapat mendukung atau

malah tidak mendukung pelaksanaan upacara tersebut. Dalam melaksanakan

Page 316: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

292

upacara/ritual tersebut biaya yang dikeluarkan oleh satu keluarga dapat dikatakan

cukup besar dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu maka hal ini

menjadi pertimbangan sendiri pada masyarakat perkotaan Makassar, yang dapat

dikatakan memiliki biaya hidup yang cukup tinggi. Masyarakat di bawah wilayah

Puskesmas Kassi-Kassi sendiri terdiri dari golongan menengah ke atas hingga

menengah ke bawah. Untuk golongan menengah ke bawah, dengan penghasilan yang

tidak tentu membuat mereka mempertimbangkan lagi untuk menjalani upacara

tersebut, karena uangnya lebih baik dialokasikan untuk keperluan sehari-hari. Namun

masih ada juga masyarakat menengah ke bawah yang menjalani upacara atau ritual

tertentu karena faktor kebiasaan keluarga yang tidak mungkin ditinggalkan, sehingga

meskipun uang yang mereka miliki tidak banyak namun tetap melaksanakan acara

tersebut.

Berdasarkan tabel persentase masih diadakan tradisi/ritual di atas, dapat

dilihat bahwa pada masa persalinan dan bayi lahir persentasenya meskipun lebih besar

di tidak, namun angkanya tidak setinggi masa persalinan dan nifas. Hal ini dikarenakan

masih adanya tradisi pada saat kehamilan dan bayi lahir yang masih berjalan di

beberapa daerah di sekotar kota Makassar. Tradisi yang masih berjalan untuk ibu pada

saat masa kehamilan adalah upacara passili sedangkan upacara pada saat bayi lahir

adalah upacara aqiqah.

Pantangan pada Masa Kehamilan

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, meskipun kebanyakan ibu tidak

menjalani pantangan-pantangan tertentu pada saat kehamilan namun masih ada

sebagian kecil yang masih menjalani pantangan-pantangan tertentu. Pantangan itu

antara lain:

Tidak boleh mandi sore dari jam 4 sore. Hal ini dipantang karena jika dilakukan

bisa terjadi dengan apa yang disebut masyarakat kembar darah yaitu akan

mengalami pendarahan atau darahnya nanti akan banyak.

Tidak boleh duduk dan makan di depan pintu. Hal ini tidak boleh dilakukan

karena dianggap bisa menghalangi jalan lahir.

Page 317: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

293

Tidak boleh makan nenas karena beresiko akan mengalami keguguran jika

mngkonsumsinya

Tidak boleh makan daun kelor karena dianggap jika mengkonsumsinya akan

menyebabkan sakit kepada ibu pada saat proses persalinan

Tidak boleh tidur siang karena akan memperbanyak darah yang akan

menyulitkan pada saat persalinan

Tidak boleh melilitkan handuk di leher karena nanti bayi di dalam kandungan

akan terlilit tali pusat di dalam perut

Tidak boleh makan terong karena dianggap kehamilannya akan keguuguran jika

mengkonsumsinya

Pantangan pada Masa Nifas

Sama halnya dengan pantangan pada masa hamil, kebanyakan masyarakat juga

sudah tidak menjalani pantangan-pantangan pada masa nifas. Hanya ada sebagian

kecil yang tetap menjalankan beberapa pantangan tertentu. Pantangan-pantangan

yang dilakukan juga adalah pantangan yang umum ditemukan pada saat ibu nifas di

daerah lain, yaitu antara lain adalah:

Ibu tidak boleh bekerja terlalu berat

Ibu tidak boleh berhubungan dengan suami sampai masa nifas berakhir

Kedua pantangan ini demi mencegah terjadinya pendarahan pada ibu yang sedang

menjalani nifas.

Berikut ini akan dijelaskan mengenai dua acara ataupun upacara yang masih

dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat yang berada di wilayah kerja Puskesmas

Kassi-kassi, yaitu upacara passilli dan juga acara aqiqah.

Upacara Passili

Upacara passili adalah upacara yang dilaksanakan pada saat usia kandungan ibu

memasuki bulan ketujuh. Dilakukan pada umur tujuh bulan karena pada umumnya

masyarakat menganggap bahawa angka bilangan 7 (tujuh) adalah angka keselamtan.

Angka bilangan 7 (tujuh) dalam bahasa Bugis disebut pitu (7) yang bermakna sentiasa

Page 318: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

294

sukses, selamat, berjaya. Upacara passili ini bisa disebut juga dengan maccera wettang

atau maccera babu. Upacara ini dilakukan oleh orang yang berasal dari suku Bugis dan

juga Makassar ataupun suku-suku di Sulawesi Selatan lainnya.Pada upacara ini, wanita

hamil dimandikan dengan air kembang ataupun memercikkan air dengan beberapa

helai daun ke bagian tubuh tertentu, mulai dari atas kepala, bahu, lalu turun ke perut.

Bahu menyimbolkan agar anak punya tanggung jawab yang besar dalam

kehidupannya. Demikian pula tata cara percikan air dari atas kepala turun ke perut, tak

lain agar anaknya nanti bisa meluncur seperti air, mudah dilahirkan dan kehidupannya

lancar bagai air.

Usai dimandikan, dilanjutkan dengan upacara makarawa babua yang berarti

memegang atau mengelus perut. Pernik-pernik pelengkap upacara ini lebih meriah lagi

ditambah lagi dengan beraneka macam panganan yang masing-masing memiliki

symbol tertentu. Panganan tersebut antara lain adalah berupa kue-kue tradisional

yang manis seperti onde-onde, cucuru, cangkuning, baje, yang terbuat dari ketan

dilengkapi dengan pisang raja dan buah-buahan yang kecut atau asinan yang dianggap

yang disukai oleh ibu hamil. Semua hidangan tersebut disajikan di atas pa’tapi

(nampan) dengan harapan akan terusir segala roh-roh jahat yang bisa berakibat buruk

pada kehamilan. Upacara tersebut biasanya dipimpin oleh seorang sanro (dukun) yang

membacakan doa keselamatan.

Tahap akhir upacara ini adalah suap-suapan yang dilakukan oleh dukun

ataupun pemuka agama kepada kedua pasangan tersebut (sebagai calon bapak dan

ibu. Dalam gambar sang dukun sedang menyuapin calon ibu, bergantian setelah dukun

atau pemuka agama lalu dilanjutkan pada orang tua ataupun mertua yang akan

menyuapi makanan kepada pasangan calon orang tua tersebut. Hal ini seperti

ditunjukkan oleh gambar berikut ini:

Page 319: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

295

Gambar 3.8.5. Ibu sedang Disuapi Makanan Pada Acara Passilli

Sumber: http://zipoer7.wordpress.com/2011/06/11/upacara-adat-mappassili/

Upacara ini dilakukan atau menjadi kebiasaan dari beberapa suku yang ada di

Sulawesi Selatan. Berdasarkan studi literatur, bukan hanya suku Makassar yang

melaksanakan upacara ini, namun juga suku Bugis, suku Bone dan juga suku

Jeneponto. Upacara ini sulit ditemui di kota Makassar karena juga faktor biasanya

upacara ini dilakukan keluarga di kampung mereka berasal, karena mereka biasanya

memilih untuk melakukannya dengan keluarga besar mereka, sekaligus kembali karena

sudah mendekati waktu akan melahirkan. Selain itu upacara yang biasanya dipimpin

oleh dukun ini membuat keluarga tidak mengadakannya di kota besar karena sudah

tidak adanya dukun yang ada di lingkungan sekitar mereka, kecuali mereka kembali ke

kampung masing-masing dimana dukun beranak atau sanro masih mudah ditemui.

Faktor ekonomi juga menjadi pertimbangan tersendiri dalam melakukan acara

ini. Karena memerlukan biaya yang cukup besar, bisa sampai mencapai angka 3 juta,

maka dengan penghasilan yang tidak begitu baik maka mereka lebih dari 3 juta, maka

mereka tidak lagi mengadakannya dan lebih memilih menabung untuk keutuhan yang

nantinya dibutuhkan manakala anak itu akan lahir. Sedangkan acara ini masih tetap

dilakukan di wilayah pedesaan karena meskipun dana yang dikeluarkan besar, tapi

faktor kebersamaan dan gotong royong yang masih kuat membuat keluarga yang akan

mengadakan acara ini terbantu secara keuangannya, karena keluarga dan kerabat

sekitarnya turut membantu dalam hal menyumbangkan panganan untuk disantap oleh

para tamu atau keluarga yang hadir pada acara tersebut.

Page 320: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

296

Tradisi Aqiqah

Tradisi aqiqah ini masih dilakukan oleh sebagian kecil orang yang tinggal di Kota

Makassar, yaitu kebanyakan yang berasal dari suku Bugis ataupun Suku Makassar.

Sebenarnya tradisi ini dipengaruhi oleh ajaran Islam yang memang dipeluk oleh

mayoritas suku Bugis ataupun Suku Makassar.

Aqiqah ini dilaksanakan manakala bayi baru dilahirkan yaitu dengan

menyembelih kambing yang nantinya dagingnya akan disajikan kepada keluarga atau

tamu yang datang ataupun disedekahkan kepada kerabat atau orang yang

membutuhkan. Banyaknya kambing yang disembelih tergantung jenis kelamin bayi

yang dilahirkan. Jika bayinya berjenis kelamin laki-laki maka kambing yang disembelih

sebanyak 2, sedangkan jika bayi berjenis kelamin perempuan maka kambing yang

disembelih hanya 1. Untuk pelaksanaannya sendiri, aqiqah dianjurkan dilakukan 7 hari

setelah anak itu dilahirkan, namun jika keluarga tidak mampu maka bisa ditangguhkan

sampai sebelum anak itu menginjak usia baligh. Dalam acara ini nanti bayi akan

dipotong rambutnya dan akan secara resmi diberikan nama oleh keluarganya.

Gambar 3.8.6. Acara Aqiqah untuk Anak Bayi

Sumber: http://makassarces.blogspot.com/2007/07/nur-naylah-nabighah-hadz-anshari.html

Besaran biaya yang dikeluarkan juga tergantung dari anak yang dilahirkan yaitu

karena adanya perbedaan jumlah kambing yang disesuaikan dengan jenis kelamin anak

yang dilahirkan. Untuk anak perempuan berarti minimal akan mengeluarkan uang

Page 321: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

297

sebesar 1 juta untuk 1 kambing dan minimal 2 juta untuk 2 kambing bagi anak laki-laki.

Belum lagi pengeluaran untuk panganan lain yang akan menjadi suguhan bagi para

tamu undangan serta membayar tokoh agama yang diundang untuk memimpinnya

jalannya acara ini.

Pengetahuan Masyarakat tentang Kesehatan Ibu dan Anak

Untuk mengukur pengetahuan masyarakat ini maka penelitian ini

membantunya dengan melihatnya dari kuesioner yang telah dibagikan kepada 70

responden ibu yang dipilih secara random atau acak dan hal ini juga didukung oleh

hasil fgd yang telah dilakukan oleh bidan, suami dan juga tokoh masyarakat.Menurut

Bloom (1908, dalam Notoatmodjo: 2003), pengetahuan adalah hasil tahu dan ini

terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk

terbentuknya sikap dan juga tindakan/perilaku nyata seseorang.

Pengetahuan ibu yang coba dilihat disini adalah pengetahuan ibu pada saat

hamil, pada saat persalinan dan juga masa setelah melahirkan atau masa nifas.

Masa Kehamilan. Pengetahuan ibu cukup baik dalam masa kehamilan ini.

Pemeriksaan hamil sebanyak 4 kali, sesuai standar pemeriksaan kehamilan sudah

mereka ketahui. Hal ini terlihat pada hasil survey ibu dimana sebesar 85.7%

menyatakan bahwa selama masa kehamilan mereka harus memeriksakan kehamilan

sebanyak 4 kali. Pemeriksaan kehamilan ini juga didukung oleh pendapat para suami,

dimana mereka biasanya juga mendukung pemeriksaan kehamilan. Dukungan dari

suami pun berbeda tergantung kemampuan mereka, ada yang hanya memberikan

dukungan moral namun ada juga yang memberikan dukungan dengan cara

mengantarkan langsung istrinya ke tempat pemeriksaan. Namun jika melihat

karakteristik dari penduduk Rappocini, kebanyakan suami jarang mengantarkan pada

saat pemeriksaan karena sibuk bekerja, sehingga biasanya istri pergi sendiri atau

diantarkan oleh ibu atau mertuanya.

Salah satu hal yang dilakukan pada saat pemeriksaan ibu hamil adalah

mengukur tekanan darah ibu hamil. Hal ini diperlukan agar bidan atau dokter dapat

mengetahui apakah kehamilan ibu ini beresiko atau tidak. Sehingga dari situ dicoba

dilihat bagaimana pengetahuan ibu tersebut mengenai fungsi dari mengukur tekanan

Page 322: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

298

darah tersebut. Hasil survei menunjukkan bahwa 100% ibu menunjukkan jawaban yang

benar. Hal ini menandakan bahwa ibu mengetahui gunanya pemeriksaan pada saat

kehamilan itu dilakukan.

Begitupun pula pengetahuan ibu mengenai fungsi dari diberikannya tablet

penambah darah (fe) bagi ibu yang sedang hamil. Hal ini terlihat dari besaran

persentase ibu yang menjawab benar yaitu sebanyak 95.7%.

Masa Persalinan. Pengetahuan ibu pada masa persalinan juga cukup baik.

Mereka sudah mengetahui bahwa dalam melakukan persalinan harus di fasilitas

kesehatan dan bukan melahirkan di rumah. Hal ini sesuai dengan pernyataan

pengetahuan mengenai persalinan tidak lebih baik jika dilakukan di rumah yaitu

sebanyak 94.3% dan 5.7% saja yang menyatakan bahwa persalinan itu lebih baik

dilakukan di rumah.

Selain itu ibu sebanyak 90.1% menyatakan bahwa melahirkan di bidan lebih

aman dibandingkan dengan menggunakan jasa dukun. Hal ini diperkuat dengan

dengan fakta bahwa memang sudah tidak ada lagi keberadaan dukun beranak yang

membantu ibu dalam melakukan persalinan. Hampir semua ibu yang melakukan yang

tinggal di kota Makassar bersalin dengan bantuan tenaga kesehatan, baik itu yang ada

di fasilitas kesehatan yang sudah disediakan oleh pemerintah maupun milik swasta.

Masa Setelah Persalinan. Pengetahuan ini mencoba melihat bagaimana ibu

melihat apakah mereka mengetahui kapan mereka sudah dapat melakukan aktivitas

seperti biasanya kembali setelah melakukan persalinan. Dari hasil survei menunjukkan

bahwa 51.4% menyatakan bahwa adalah benar jika seorang ibu baru bisa beraktivitas

lagi setelah 3 hari sedangkan sisanya sebesar 48.6% menyatakan bahwa adalah salah

jika ibu dapat beraktivitas lagi setelah 3 hari melahirkan. Jika melihat hal ini maka

diperlukan agar petugas kesehatan harus memberikan pengetahuan kepada ibu

mengenai aktivitas setelah melahirkan. Meskipun melahirkan normal dan cepat pulih,

namun ibu harus diberikan pengetahuan mengenai batas-batas aktivitas apa yang

boleh dan tidak dibolehkan pada masa nifas tersebut.

Ibu pun memiliki jawaban yang benar mengenai makanan setelah persalinan,

meskipun di beberapa daerah banyak yang melarang ibu paska bersalin untuk tidak

Page 323: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

299

mengkonsumsi ikan laut namun dari pernyataan responden menyatakan abahwa salah

jika ibu dilarang memakan ikan laut setelah melahirkan.

Sikap tentang Kesehatan Ibu dan Anak

Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap

suatu stimulus atau objek. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas akan

tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku. Atkinson, dkk (1993, dalam

Harahap & Andayani, 2004: 5) menyatakan sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi

terhadap suatu objek dengan cara tertentu, bentuk reaksinya dengan positif dan

negatif. Dalam penelitian ini, survey mengenai sikap ibu dilihat dari 4 level. 2 sikap

positif ditunjukkan dengan penyataan setuju dan sangat setuju sedangkan 2 sikap

negatif ditunjukkan dengan pernyataan sangat tidak setuju dan tidak setuju.

Hasil survey ibu ditunjukkan dari tabel di bawah ini:

Tabel 3.8.8.

Sikap Ibu terhadap Perilaku Kesehatan Ibu

PERNYATAAN SIKAP

Positif Negatif

Penting kehamilan sebanyak 4 kali 80% 20,0%

Penting ukur tensi 100% 0,0%

Perlu tablet tambah darah 57.1% 42.9%

Perlu upacara agar selamat 14.2% 85.8%

Melahirkan di rumah dan rumah sakit/puskesmas sama amannya

10% 90,0%

Kemampuan dukun sama baiknya dengan bidan

27.1% 72.9%

Penting kolostrom untuk bayi 77.1% 22.9%

Perlu KB pasca nifas 75,7% 24,3%

Sumber: Data Primer

Masa Kehamilan. Pengetahuan seseorang membentuk perilaku seseorang

dalam bertindak. Namun pengetahuan yang baik belum tentu selalu dapat

menghasilkan sikap yang positif, begitupun juga sebaliknya. Hal ini terjadi pula pada

sikap ibu pada saat kehamilan. Dalam pemeriksaan kehamilan sebanyak 4 kali ini

sebanyak 80% menyatakan sikap yang positif, namun ternyata persentasenya

berkurang dari banyaknya ibu yang memiliki pengetahuan benar mengenai

Page 324: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

300

pemeriksaan kehamilan ini. Sikap positif ini juga mendapat dukungan positif dari suami

dimana mereka juga mengingatkan kepada istrinya untuk melakukan pemeriksan pada

saat kehamilan, meskipun tidak tahu secara persis apa saja yang dilakukan dan

diberikan pada ibu pada saat pemeriksaan kehamilan tersebut, karena banyak para

suami yang tidak bisa mengantarkan istrinya untuk memeriksakan. Sedangkan sikap

positif juga ditunjukkan terhadap pentingnya mengukur tensi. Sikap positif ini sama

besarnya dengan pengetahuan ibu yaitu sebanyak 100%.

Persentase sikap positif ibu juga ditunjukkan pada sikap terhadap pemberian

tablet darah bagi ibu hamil yaitu sebanyak 57.1%. Namun ada pengurangan persentase

yang cukup besar dari persentase ibu mengenai pengetahuan pentingnya fe yang

menunjukkan angka 95.7%. Hal ini menandakan bahwa meskipun mereka sudah tahu

bahwa fe itu penting namun ternyata ada beberapa yang merasa tidak memerlukan

tablet tambah darah tersebut. Hal ini juga diutarakan oleh salah satu bidan berikut ini:

“ya itu sudah kami berikan tablet penambah darah kepada ibu. Tapi untuk diminum atau nggak nya kan kadang kita juga ga tahu. Karena kita kan ga terlalu perhatikan juga. Paling ya kita cuma mengingatkan saja kalau periksa.”

Selain itu mereka memiliki sikap yang cenderung negatif terhadap

dijalankannya upacara atau ritual tertentu yang dilakukan pada saat hamil, yang

dianggap bisa menyelamatkan bayi dan bayinya pada saat persalinan. Seperti yang

sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, kebanyakan dari mereka sudah tidak

melakukan upacara atau ritual tertentu pada saat kehamilan. Selain memang

lingkungan mereka memang sudah tidak mengadakan, beberapa menyatakan bahwa

uangnya lebih baik digunakan untuk kebutuhan sehari-hari ataupun untuk persiapan

kelahiran anak

Masa Persalinan. Sikap ibu yang positif mengenai persalinan ditunjukkan oleh

besaran persentase yaitu sebanyak 90% yang menyatakan tidak setuju jika melahirkan

di rumah sama amannya dengan melahirkan di dokter atau puskesmas. Selain itu

72.9% menyatakan ketidaksetujuan nya jika menyamakan kemampuan dukun dengan

bidan. Meskipun mayoritas mengatakan bahwa bidan lebih mampu dibandingkan

dengan dukun, namun masih ada sebagian kecil yang menyatakan dukun memiliki

kemampuan yang sama meskipun sudah tidak ada lagi dukun di Kota Makassar. Hal ini

dikarenakan masih ada pengaruhnya orang tua mereka yang ada di desa yang masih

Page 325: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

301

percaya akan kemampuan dukun dalam menolong persalinan, sehingga ibu, khususnya

yang orang tuanya masih tinggal di pedesaan (di luar Kota Makassar) membuat mereka

percaya bahwa dukun memiliki kemampuan yang sama dengan bidan, bahkan

mungkin lebih unggul dari bidan itu sendiri karena memiliki kemampuan doa-doa yang

dianggap mujarab.

Masa Setelah Persalinan. Sikap ibu yang dicoba dilihat disini terkait perilaku

setelah persalinan adalah mengenai pemakaian KB. Dari tabel 7 tersebut maka dapat

dikatakan 77.1% responden menyatakan bahwa setuju untuk melakukan KB. Hal ini

menandakan bahwa sebenernya masyarakat. sudah memiliki konsep keluarga

berencana.

Tindakan/Praktek Kesehatan Ibu dan Anak

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam bentuk tindakan (overt behavior).

Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung

atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas dan juga faktor

dukungan dari orang lain. Sikap tidaklah sama dengan perilaku (tindakan), dan

tindakan tidaklah selalu mencerminkan sikap seseorang, sebab seringkali terjadi bahwa

seseorang memperlihatkan tindakan yang bertentangan dengan sikapnya.

Masa Kehamilan. Melihat hasil survey yang dilakukan pada para responden

maka mayoritas sudah melakukan pemeriksaan sebanyak 4 kali, sesuai dengan standar

pemeriksaan kesehatan ibu hamil. Dari total 70 responden, hanya ada 1 yang tidak

memeriksakan kesehatannya ke tenaga kesehatan. Sedangkan 69 lainnya pergi

melakukan pemeriksaan dengan tenaga kesehatan. Alasan paling banyak sebagai

alasan mereka melakukan pemeriksaan kesehatan kepada nakes karena merasa aman

dan nyaman. Tingginya pemeriksaan dengan tenaga kesehatan ini dikarenakan akses

yang cukup mudah dan fasilitas yang cukup memadai. Ditambah pula dengan

dukungan suami, keluarga dan masyarakat untuk rutin melakukan pemeriksaan

dengan tenaga kesehatan.

Masa Persalinan. Melihat pengetahuan dan sikap sebelumnya, para ibu sudah

mengetahui bahwa persalinan akan lebih baik dilakukan dengan bantuan tenaga

kesehatan dan tidak dilakukan di rumah. Hasil survey menunjukkan bahwa penolong

Page 326: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

302

persalinan paling banyak dibantu oleh bidan yaitu 74.3% dan setelah itu adalah dengan

bantuan dokter sebanyak 22.9%. Alasan dipilihnya penolong persalinan tersebut

adalah kebanyakan karena faktor aman dan nyaman. Dan dari total responden tidak

ada yang melakukan persalinan dengan bantuan dukun. Seperti yang dikatakan oleh

salah satu bidan berikut ini:

tukang urut saja, dan dia juga bukan dukun. Jadi semua sudah melahirkan dengan bidan atau dengan dokter. Tinggal pilih saja disini mau melahirkan dimana.”

Masa Setelah Persalinan. Sebanyak 91.4% melakukan pemeriksaan paska

persalinan ke tenaga kesehatan. Hasil survey, menunjukkan bahwa 70% dari

responden sudah melakukan Kb paska persalinan. Mereka sudah mulai memikirkan

jumlah ideal anak dalam keluarga. Hal ini dikarenakan mereka sudah memikirkan

dampak ekonomi keluarga dengan adanya kehadiran anak tersebut. Sebagian besar

masyarakat kini hanya memiliki anak antara 2 dan 3, namun masih ada juga namun

dengan jumlah yang tidak banyak keluarga dengan jumlah anak yang lebih dari 4

orang.

3.8.4. Faktor Sosial Budaya Masyarakat terkait Pemilihan Penolong Persalinan dan

Pemanfaatan Pelayanan Jampersal

Pemilihan Penolong Kesehatan Ibu dan Anak

Masyarakat kota Makassar pada umumnya, dan masyarakat yang ada di dalam

wilayah kerja Puskesmas Kassi-Kassi pada khususnya bisa dikatakan hampir seluruhnya

sudah memaksimalkan fungsi fasilitas kesehatan dan juga tenaga kesehatan yang ada

di lingkungan tempat mereka tinggal.

Pada masa kehamilan, data dari puskemas menunjukkan bahwa pemeriksaan

pada trimester pertama dan trimester melebihi target ibu hamil yang ada di wilayah

kerja puskesmas. Angka persentase menunjukkan lebih dari 100%. Hal ini menandakan

bahwa masyakat yang hamil memeriksakan kesehatannya sebagian besar ke

puskesmas. Sedangkan sebagian kecil ada yang memilih untuk melakukan pemeriksaan

di bidan praktek swasta ataupun dokter atau rumah sakit swasta. Mengapa angka

menunjukkan lebih dari 100% karena ada juga pendatang dari tempat lain, baik itu dari

wilayah lain di Makassar ataupun yang berasal dari kabupaten lain di sekitar Makassar,

Page 327: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

303

yang tidak terdaftar sebagai warga masyarakat kecamatan Rappocini namun turut

memeriksakan kehamilannya di puskesmas ini.

Cukup maksimalnya kegiatan pemeriksaan kehamilan pada puskesmas di

kecamatan ini karena memang warga yang ada di sekitarnya kebanyakan adalah warga

yang membutuhkan pelayanan gratis karena kebanyakan dari mereka berasal dari

golongan menengah ke bawah ataupun pendatang dari kabupaten lain dan memiliki

pekerjaan kebanyakan seperti buruh, supir, ataupun karyawan swasta yang memiliki

penghasilan tidak terlalu tinggi. Sehingga pemilihan pemeriksaan kehamilan yang gratis

yang ada di puskesmas adalah pilihan utama mereka. Namun berdasarkan keterangan

bidan ada juga masyarakat dari golongan menengah ke bawah yang datang ke bidan

praktek swasta yang sebenarnya mengeluarkan biaya. Hal ini terjadi karena adanya

beberapa faktor, yaitu:

Pertama, faktor geografis. Letak bidan praktek swasta tersebar di beberapa wilayah di

kecamatan ini. Sehingga ada ibu yang memutuskan untuk pergi ke bidan praktek

swasta saja karena dirasa jarak tempuhnya lebih dekat dari tempat tinggal mereka jika

dibandingkan mereka harus ke puskesmas atau ke pustu.

Kedua, faktor kenyamanan. Pemeriksaan dilakukan ibu di bps karena dirasa lebih

nyaman jika dibandingkan melakukan pemeriksaan ke puskesmas atau pada saat

posyandu bunda dilakukan. Mereka merasa lebih nyaman untuk periksa di bps karena

pemeriksaan hanya sendiri dan tidak dilakukan secara beramai-ramai yang mereka

alami jika memeriksakan kehamilan di puskesmas.

Ketiga, faktor pelayanan. Faktor pelayanan ini juga ada kaitannya dengan alasan faktor

kedua yaitu dikarenakan faktor terlalu ramainya pengunjung di puskesmas. Mereka

memilih ke bps karena tidak harus mengantri untuk diperiksa. Fasilitas yang diberikan

oleh bps, yaitu berupa obat-obatan juga dirasa lebih lengkap dibandingkan dengan

yang diberikan oleh puskesmas. Faktor-faktor ini seperti yang diungkapkan oleh salah

satu bidan berikut ini:

“itu ada ibu yang maunya ke bps karena di bps itu kan ada 1 bidan saja, dia juga diperiksa sendiri. Lain kalau di puskesmas itu kan memang banyak orang. Apalagi kalau memang bidannya sudah dekat, lebih senang dia disitu

Page 328: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

304

Lain halnya dengan keluarga yang berada pada kalangan menengah ke atas,

biasanya mereka tidak mau memeriksakan diri ke puskesmas dan lebih memilih ke

dokter atau rumah sakit swasta. Faktor dipilihnya dokter atau rumah sakit swasta

karena juga dikarenakan beberapa faktor. Faktor kenyamanan dan pelayanan sebagai

alasan dipilihnya bps juga menjadi alasan mengapa ada yang melakukan pemeriksaan

di dokter atau rumah sakit swasta. Meskipun harga pemeriksaannya lebih besar

namun jika mereka lebih mudah dalam mendapatkan pelayanan maka mereka tidak

keberatan. Seperti yang diungkapkan salah satu bidan yang pada saat kehamilan

memeriksakan diri ke dokter praktek:

“itu dulu saya periksa saya males pake askes, karena birokrasinya ribet. Akhirnya saya ya ke dokter saja bayar sendiri. Ke dokter praktek tinggal masuk aja.”

Fasilitas yang diberikan juga lebih baik. Salah satunya adalah bisa dilakukan usg. Hal ini

seperti juga yang dikatakan oleh salah seorang suami:

“dulu istri saya bawa ke rumah sakit karena itu bisa di usg itu. Supaya keliatan anaknya seperti apa. Itu anak pertama saya.”

Faktor lainnya adalah faktor gengsi. Pada masyarakat menengah ke atas ini

pemeriksaan di tempat yang baik dan mahal akan menjadi kebanggan tersendiri,

bukan haya dikarenakan fasilitas yang baik namun menjadi prestige sendiri bagi suatu

keluarga. Hal ini terjadi pada masyarakat Kota Makassar secara umum seperti yang

diungkapan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kota Makassar berikut ini:

“anak pertama apalagi itu merupakan penghargaan yang harus dijaga. kehormatan keluarga, harus di rumah sakit yang bagus. kebanggaan keluarga. ga mungkin cucunya bupati melahirkan di puskesmas. Disini masyarakat kebanyakan makin mahal rumah sakitnya ya makin bangga lah. kalo aqiqah juga harus dilakukan semeriah mungkin. kadang meski keluarganya a mampu juga maunya

yang di rumah sakit.”

Berdasarkan kedua kutipan kalimat di atas juga tersirat bahwa ada perlakuan

istimewa yang diberikan kepada anak pertama dalam suatu keluarga. Biasanya pada

kehamilan untuk anak pertama tersebut keluarga mendapatkan pelayanan yang

terbaik untuk anaknya, sehingga tak jarang mereka lebih memilih untuk ke dokter

kandungan atau rumah sakit yang fasilitasnya lebih lengkap. Lain halnya pada

kehamilan ketiga, biasanya orang tua cenderung lebih cuek sehingga lebih malas untuk

memeriksakan kesehatannya, khususnya di masa kehamilan awal, biasanya mereka

baru memeriksakan pada saat memasui trisemester ketiga.

Page 329: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

305

Pemeriksaan ke dukun pun hampir sudah tidak dilakukan oleh para

masyarakat, hal ini dikarenakan memang sudah tidak adanya keberadaan dukun.

Pemeriksaan dukun biasanyan hanya dilakukan manakala ibu hamil pulang ke

kampungnya, dimana biasanya masih ada dukun di kampung asalnya.

Dalam penolong persalinan, seperti sudah disebutkan sebelumnya, bahwa

hampir 96.3% masyarakat di Makasar dan 80.73% penduduk yang berada di bawah

wilayah kerja Puskesmas Kassi-Kassi, melakukan persalinan dengan menggunakan

bantuan tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan ini baik dengan bidan maupun dokter,

yang ada di puskesmas, bidan praktek swasta, rumah sakit bersalin ataupun rumah

sakit baik milik pemerintah maupun milik swasta.

Pemilihan persalinan dengan menggunakan tenaga kesehatan ini dikarenakan

adanya kesadaran yang tinggi, yang sudah dimiliki oleh masyarakat, baik itu ibu itu

sendiri maupun suami beserta keluarganya, tentang persalinan dengan tenaga

kesehatan professional tersebut. Tenaga kesehatan professional juga dipilih karena

memang di wilayah perkotaan Makassar ini sudah dikatakan tidak ada lagi dukun

beranak atau yang oleh masyarakat biasa disebut dengan sanro. Sanro kini hanya bisa

ditemui wilayah-wilayah pedesaan yang ada di kabupaten yang ada di luar wilayah

Kota Makassar. Meskipun sanro sudah tidak ada, namun masih ada orang tua yang

dianggap memiliki kemampuan untuk bisa merawat ibu pada saat hamil atau merawat

anak setelah dilahirkan yaitu dengan perawatan berupa pijit tradisional. Orang tua

yang bisa melakukan perawatan tersebut pun sudah sangat sedikit jumlah nya dan sulit

ditemui di Kota Makassar ini.

Jika melihat persentase di atas tersebut, maka dapat dikatakan masih ada

sebagian kecil masyarakat yang ada di Puskesmas Kassi-Kassi yang melahirkan dengan

penolong persalinan yang bukan tenaga kesehatan dan memilih melahirkan dengan

bantuan dukun beranak atau sanro. Seperti telah disebutkan pada paragraph

sebelumnya, pada dasarnya memang sudah tidak ada sanro di Kota Makassar ini,

namun warga yang melahirkan dengan sanro itu melahirkan bukan di Kota Makassar

melainkan kembali ke tempat asalnya dia berada, yaitu kabupaten sekitar Makassar

tempat dia berada. Meskipun semakin banyak orang yang “lari” ke kota Makassar pada

saat akan bersalin, karena kota ini dianggap memiliki fasilitas kesehatan yang jauh

Page 330: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

306

lebih baik dari tempat dia berasal, namun ada warga yang memilih untuk bersalin

dengan ditemani oleh orang tua ataupun keluarganya yang ada di desa. Adanya tradisi

melahirkan atau bersalin dengan ditemani oleh orang tua atau keluarga itulah yang

membuat mereka akhirnya kembali ke kampungnya pada saat waktu sudah mendekati

waktunya mereka akan bersalin.

Kembali berbicara mengenai persalinan dengan menggunakan bantuan tenaga

kesehatan, berdasarkan data dari laporan Puskesmas Kassi-Kassi sebanyak 80.73%

melahirkan dengan tenaga kesehatan. Dari 80.73% ini tenaga kesehatan bukan hanya

tenaga kesehatan yang ada di fasilitas kesehatan seperti bidan puskesmas, namun ada

juga yang memilih dengan tenaga kesehatan seperti dokter yang ada di rumah sakit

ataupun bidan lain yang membuka praktek swasta.

Kurang lebih alasan pemilihan persalinan ini tidak jauh beda dengan alasan

yang telah diungkapkan mengenai pemilihan pemeriksaan kehamilan. Cukup banyak

orang yang melakukan persalinan di puskesmas. Bagi masyarakat, meskipun pada saat

pemeriksaan mereka rela mengeluarkan uang lebih, namun pada saat persalinan

masyarakat lebih banyak yang pergi ke puskesmas, karena jika bersalin di bps atau

rumah sakit akan mengeluarkan biaya yang lebih tinggi. Namun untuk masyarakat

menengah ke atas bersalin lebih baik dilakukan di rumah sakit swasta, karena selain

lebih percaya juga karena mendatangkan gengsi tersendiri. Berdasarkan keterangan

dari bidan juga ada kasus dimana ada masyarakat yang meskipun dari kalangan

menengah ke bawah memiliki gengsi tinggi yang membuat mereka ingin juga

melahirkan di rumah sakit, sehingga terkadang muncul beberapa kasus dimana ada

pasien yang meminta dirujuk ke rumah sakit meskipun persalinannya normal dan

seharusnya cukup dengan melakukan persalinan di puskesmas.

Lain halnya dengan wilayah pedesaan, dimana pilihan pelayanan kesehatan

khusus ibu biasanya kompetitor dari bidan adalah dukun, pada masyarakat perkotaan

hal itu tidak terjadi. Bidan yang ada di puskesmas bersaing dengan bidan praktek

swasta ataupun dokter praktek. Bidan praktek swasta itu sendiri ada yang dimiliki oleh

bidan PNS yang juga bekerja di puskesmas. Dalam kecamatan Rappocini ini kurang

lebih ada 10 praktek bidan swasta.

Page 331: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

307

Pada praktek bidan swasta ini tarifnya tidak sama antar praktek yang satu

dengan yang lainnya. Namun kisaran tarif yang dipasang untuk pemeriksaan adalah

kurang lebih sebesar Rp. 20.000,- sampai Rp. 30.000,-. Hal ini juga tergantung pada

jenis pemeriksaan dan obat yang diberikan kepada sang ibu. Sedangkan untuk tarif

persalinan juga berbeda, ada yang mengenakan tarif Rp. 600.000,- dan ada juga yang

memberikan tarif sebesar Rp. 1.500,000,-. Menurut bidan swasta ini terkadang dalam

menentukan tarif kepada pasien juga dilihat faktor ekonomi keluarganya. Terkadang

banyak juga orang dari menengah ke bawah yang datang ke bps, sehingga kadang

bidan merasa tidak tega dan memberikan potongan harga kepada pasien ini.

Untuk bidan puskesmas yang memiliki bps maka dibuatkanlah perjanjian

dimana bidan secara resmi menyatakan bahwa pekerjaannya tidak akan mengganggu

jam bekerja di puskesmas. Bahkan dalam beberapa kasus jika memang ada pasien yang

datang ke bps dan akan bersalin pada saat bidan bekerja di puskesmas, biasanya malah

bidan menyarankan untuk segera di bawa ke puskesmas saja, karena merupakan

bentuk komitmennya sebagai bidan di puskesmas. Namun jika tanda-tanda persalinan

masih harus menunggu beberapa jam lagi dan waktunya ada di luar jam kerja bidan

puskesmas, baru bidan menahan pasien di tempat prakteknya. Bidan juga tidak bisa

memaksakan kehendak dari pasiennya, meskipun terkadang sudah disarankan untuk

pergi ke puskesmas namun jika pasien tetap ingin melahirkan di bps-nya maka ia akan

mengiyakan.

Sejak tahun 2010, dimana walikota memiliki program persalinan gratis untuk

warga kota Makassar, bidan praktek swasta ini cukup mengalami penurunan oleh

jumlah pasien, khususnya pasien dari kalangan menengah ke bawah. Dengan adanya

penggratisan pada persalinan maka warga dari kalangan menengah ke bawah pergi ke

puskesmas, sedangkan keluarga yang keadaan ekonominya cukup baik tidak begitu

berpengaruh. Ada atau tidaknya program gratis dalam melakukan pemeriksaan

kehamilan dan persalinan nampaknya tidak memiliki pengaruh yang signifikan pada

kelompok menengah ke atas. Bagi mereka berobat ke praktek dokter atau rumah sakit

swasta tidak ada masalah dalam hal biayanya jika bisa mendapatkan fasilitas yang baik.

Page 332: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

308

Gambar 3.8.7. Fasilitas Persalinan di Bidan Praktek Swasta Sumber: Dokumentasi Peneliti

Secara umum pemegang keputusan terakhir dalam menentukan penolong

persalinan bagi ibu berbeda-beda setiap keluarganya. Berdasarkan fgd dengan suami

menyatakan bahwa keputusan ada di tangan istrinya sendiri, hal ini dikarenakan suami

menganggap istri-nya yang lebih mengetahui baiknya melahirkan dimana. Sedangkan

ada pula suami yang menyatakan bahwa keputusan ada di tangannya karena dianggap

sebagai kepala keluarga. Lalu ada pula yang menyatakan bahwa penentu penolong

persalinan juga banyak dipengaruhi oleh orang tua ataupun mertua, jika memang pada

saat menjelang proses persalinan hingga masa persalinan datang, orang tua mereka

berada 1 rumah. Karena kebanyakan pasangan suami istri pendatang ini tidak tinggal

bersama orang tuanya yang masih menetap di desa.

Pengetahuan tentang Jampersal

Meskipun pada dasarnya sudah mengetahui ada program persalinan gratis,

nampaknya masyarakat sendiri masih bingung dengan nama program apa yang

memberikan pelayanan gratis tersebut. Pada hasil survey dalam penilitian ini tim

penelitimelihat bagaimana pengetahuan ibu mengenai Jampersal itu sendiri. Ternyata

hasil menunjukkan bahwa lebih banyak responden yang menyatakan bahwa Jampersal

itu merupakan program untuk membantu persalinan saja, yaitu sebanyak 64.3%.

Kebanyakan para ibu tersebut tidak mengetahui bahwa Jampersal ini bukan hanya

melayani proses persalinan namun juga pada saat sebelum dan sesudah melahirkan.

Page 333: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

309

Hasil kuesioner sikap ibu juga menunjukkan bahwa ibu tidak mengetahui

bahwa program Jampersal ini diperuntukkan untuk segala kalangan. 80% responden

mengatakan bahwa mereka setuju jika Jampersal ini hanya diperuntukkan untuk orang

miskin atau menengah ke bawah saja.

Berikut ini merupakan tabel sumber informasi mengenai Jampersal yang

didapatkan oleh ibu yang menjadi responden (n=70)

Tabel 3.8.9

Sumber Informasi Jampersal

Sumber informasi Menyatakan ‘ya’ (%)

Media massa 50

Tenaga Kesehatan 57.1

Petugas desa/kelurahan 45.7

Poster 12.9

Sumber: Data Primer

Dengan melihat tabel sumber informasi tersebut, maka dapat dikatakan

mereka masih kurang dalam mendapatkan sosialiasi mengenai program Jampersal

tersebut. Untuk sosialisasi dari petugas kesehatan hanya 57.1% yang mendapatkannya.

Hal ini menandakan bahwa sebagian besar memang mendapatkan informasi dari

nakes, sesuai dengan pernyataan bidan berikut ini:

“sosialisasi semua sih ke kalangan. Itu biasanya kita kasih tau selalu di posyandu bunda, posyandu anak, Sosialisasi juga Sudah lintas sektoraldisini, kita sih bilang nya Jampersal sekalian sosialisasi mengenai Jamkesda mengenai perawatan kesehatan. Dulu kan memang persalinan gratis itu Jamkesda tapi sekarang Jamkesmas.”

Ketidaktahuan mengenai Jampersal ini juga ternyata masih banyak belum

diketahui oleh para suami dan juga para tokoh masyarakat. Ketika dilakukan fgd di

kedua kelompok, kebanyakan dari mereka mengetahui bahwa ada program yang

disebut dengan Jampersal. Program yang lebih popular yang beredar di masyarakat

adalah program Jamkesmas atau Jamkesda. Mereka hanya tahu bahwa jika pergi ke

puskesmas mereka tidak melakukan pemeriksaan tidak akan dikenakan biaya apapun.

Page 334: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

310

Salah satu tokoh masyarakat juga menyatakan ketidaktahuan masyarakat

mengenai program Jampersal ini, mereka sebatas hanya mengetahui ada pelayanan

gratis. Namun meskipun tidak mengetahui nama program, masyarakat sebagian besar

sudah memanfaatkannya seperti yang dikatakannya berikut ini:

“pelayanan gratis ini memang sudah dilaksanakan, barangkali hanya istilah saja

yang kita belum tahu. Kalau saya liat warga saya, itu warga 90% pake yang gratis.

10%-nya itu karena memang memilih untuk ke pelayanan lain yang mengeluarkan

biaya.”

Pembiayaan Pelayanan KIA

Berikut merupakan tabel yang menggambarkan sumber pembiayaan yang

dipakai keluarga dalam mendapatkan jenis pelayanan kia.

Tabel 3.8.10.

Sumber Biaya Pelayanan KIA

Jenis Pelayanan Sumber Biaya (%)

Sendiri/ Keluarga

Jampersal Jakesmas/

Jamkesda

Asuransi Lainnya

Sumber

Lain

ANC (n=70) 38.6 40 20 1.4 -

Persalinan (n=70) 18.6 47.1 30 2.9 1.4

Periksa Pasca Salin (n=25)

46.1 38.5 15.4 - -

Periksa Neonatus (n=35)

37.1 37.1 25.8 - -

KB (n=49) 68.7 22.9 6.2 2.2 -

Ket: untuk periksa pasca salin, neonatus dan kb n tidak sama dengan 70 karena jumlah n berdasarkan jumlah ibu yang melakukan tindakan, ibu yang tidak melakukan tidak dihitung Sumber: Data Primer

Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa dana Jampersal sudah cukup

dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, khususnya jenis pelayanan ANC, persalinan serta

pemeriksaan neonatus. Sedangkan untuk periksa paska salin dan KB, kebanyakan

responden menggunakan dana sendiri.

Jika melihat pembiayan pada saat pemeriksaan dapat dilihat persentase yang

menggunakan Jampersal dan dengan biaya sendiri tidak tidak terlalu jauh. Hal ini

sesuai dengan pembahasan sebelumnya dimana masyarakat memiliki keinginan pada

Page 335: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

311

saat memeriksakan kehamilan di tempat lain seperti di bps atau dokter praktek,

terlebih lagi jika anak yang sedang dikandung adalah anak pertama.

Sedangkan untuk persalinan biaya terbanyak menggunakan Jampersal dan

setelah itu diikuti dengan Jamkesmas. Hal ini menandakan bahwa masyarakat sudah

memanfaatkan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah dalam hal persalinan, baik

yang bersumber dari Jampersal maupun Jamkesmas. Tentunya hal ini didukung oleh

suami, karena dengan adanya persalinan gratis membuat beban ekonomi keluarga

yang menjadi tanggung jawab utama seorang suami sedikit berkurang.

3.8.5. Peran Tenaga Kesehatan dalam Pelaksanaan Jampersal

Sosialisasi Jampersal

Sosialisasi Jampersal pertama kali dilakukan oleh pihak Dinas Kesehatan kepada

pihak Puskesmas setelah juknis dari Pemerintah Pusat turun yaitu menurut keterangan

dari pengelola Jampersal yang ada di tingkatan kabupaten turun pada bulan Juni 2011.

Sosialisasi dari Dinas Kesehatan langsung ditujukan kepada puskesmas sebagai ujung

tombak pelayanan kesehatan dasar di masyarakat. Sosialiasi formal dengan cara

pertemuan antar para kepala puskesmas dan menjelaskan mengenai program ini.

Terlebih lagi sosialisasi ini harus dilakukan karena sebelumnya salah satu program

pemerintah daerah dengan menggunakan APBD sudah ada terkait dengan pelayanan

persalinan gratis. Dengan adanya Jampersal ini maka dana APBD tersebut dialihkan

untuk pelayanan kesehatan lainnya, sedangkan untuk persalinan semua akan

berpindah dengan menggunakan dana Jampersal.

Sosialisasi terus diupayakan pemerintah daerah kota dalam hal ini Dinas

Kesehatan supaya masyarakat yang menjadi sasaran program Jampersal ini

mengetahui dan dapat memaksimalkan fasilitas yang telah diberikan. Namun Kepala

Dinas Kesehatan Kota Makassar menyatakan bahwa sosialisasi program Jampersal ini

selalu berbarengan dengan sosialisasi Jamkesmas yang ditekankan untuk golongan

menengah ke bawah di Kota Makassar yang memang membutuhkan. Hal ini seperti

diungkapkan oleh beliau berikut ini:

“masyarakat itu kan tau ada Jamkesmas, dari daerah juga ada Jamkesda. sosialisasi itu untuk Jamkesmas kami terus lakukan dan ga pernah berhenti.

Page 336: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

312

karena pemahamannya harus terus kita lakukan, karena kan apalagi sasarannya memang orang menengah ke bawah. nah disitu ketika sosialisasi Jamkesmas, selalu juga kita masuk mengenai Jampersal.”

Sosialiasi pun dilakukan tentunya oleh pihak puskesmas sebagai pelayan dasar

yang berhadapan langsung dengan masyarakat di wilayah kerjanya. Sosialisasi

mengenai Jampersal ini juga terus menerus dilakukan oleh pihak puskemas, khususnya

oleh para bidan yang memang berhadapan langsung dalam melayani para ibu. Pertama

kali bidan mengenalkan program itu langsung dengan para ibu ketika dilakukan

pemeriksaan. Selain itu puskesmas memiliki agenda rutin untuk mengadakan

pertemuan di aula puskesmas yang dipimpin oleh kepala puskesmas dengan

mengundang pihak dari Dinas Kesehatan, tokoh masyarakat dan bahkan lintas program

untuk rapat koordinasi termasuk di dalamnya mensosialisasikan program-program

kesehatan.

Sosialiasi Jampersal juga tetap dilaksanakan oleh bidan puskesmas yang

memiliki bidan praktek swasta. Meskipun pada dasarnya bps sifatnya lebih komersil

namun bidan puskesmas pada saat praktek di tempatnya sendiri melihat jika ada

pasiennya yang berasal dari golongan menengah ke bawah malah akan mengajak

mereka untuk ke puskesmas dibandingkan mereka datang ke tempat mereka yang

membutuhkan biaya. Seperti yang dikatakan bidan berikut ini:

“itu saya kadang kalau liat orangnya dari kalangan bawah saya selalu suruh dia ke puskesmas saja. Biar gratis daripada dia kesini, kan kalau disini pasti bayar meskipun saya juga tidak menentukan tarif, saya sesuaikan juga sama yang datang kesini.”

Selain itu dalam melakukan sosialiasi, puskesmas dibantu sekali dengan

kehadiran para kader posyandu. Para kader yang juga biasanya terlibat juga dalam

kegiatan PKK ini banyak memberikan sosialiasi secara informal pada saat pertemuan-

pertemuan PKK ataupun pada saat pengajian yang rutin diadakan. Pihak puskesmas

khususnya para bidan sudah memiliki hubungan yang baik dengan para kader tersebut.

Pelaksanaan Pelayanan KIA dengan Program Jampersal

Pelaksanaan program KIA di Puskesmas Kassi-Kassi ini memang terpusat di

Puskesmas Kassi – Kassi, meskipun untuk pelayanan kesehatan secara umum terdapat

3 pustu yang terletak di Keluruhan Karunrung, Buakana dan juga Balla Parang. Hal ini

dilakukan karena para ibu tidak terlalu sulit untuk pergi ke puskesmas karena jaraknya

Page 337: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

313

yang tidak terlalu jauh ditunjang dengan banyak nya kendaraan umum dan baiknya

jalanan yang ada di lingkungan wilayah kerja puskemas ini.

Pelaksanaan Program KIA sendiri sebelum ada program Jampersal itu sendiri

diakui oleh para bidan sudah cukup tinggi dan baik pelaksanaannya, hal ini terjadi

karena sebelumnya sudah ada program Jampersal dan Jamkesda yang sangat

menolong sekali para warga, khususnya yang menengah ke bawah dalam

mendapatkan pelayanan kesehatan KIA. Karena sudah tingginya angka program KIA

tersebut maka kehadiran Jampersal memiliki pengaruh yang relatif kecil di masyarakat

itu sendiri, peningkatan kunjungan ke puskesmas memang mengalami peningkatan

namun tidak signifikan. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu bidan berikut ini:

“Gak ngaruh ada Jampersal gak ada Jampersal sama aja, sama-sama masyarakat ndak bayar.”

Namun tentunya hal ini berpengaruh kepada pihak puskesmas, khususnya

bidan karena dengan adanya dana Jampersal ini membuat mereka merasa dihargai

dengan dibayarnya mereka pada saat melakukan pemeriksaan atau melakukan

persalinan, dimana sebelumnya mereka tidak mendapatkan apa-apa. Semakin

banyaknya orang yang lari ke puskesmas karena ada pelayanan untuk ibu bersalin yang

gratis juga diutarakan oleh salah satu bidan praktek swasta berikut ini:

“sekarang sejak ada program gratis, tempat praktek saya lebih sepi. Satu bulan paling hanya sekali persalinam, bahkan kadang tidak ada. Semua sekarang ke puskesmas saja karena memang tidak bayar.”

Selain itu untuk pelaksanaan program khusus ibu hamil dan bersalin ini juga

terbantu karena adanya program posyandu bunda. Program ini semakin

meningkatkan kesadaran ibu dan memudahkan ibu untuk melakukan pemeriksaan

pada saat hamil hingga pemeriksaan bayi mereka hingga usia 2 tahun.

Pengelolaan Pelayanan Jampersal

Dalam mengelola pelayanan Jampersal ini, di pihak Dinas Kesehatan Kota

Makassar ini sendiri berada di bawah tanggung jawab dari Bidang BIna

Pengembangan Sumber Daya Kesehatan. Namun untuk verifikasinya ditunjuklah

langsung Kepala Seksi Kesehatan Keluarga yang berada pada Bidang Bina Kesehatan

Masyarakat. Sedangkan untuk tingkat Puskemas Kassi-Kassi berada pada Bagian KIA

Page 338: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

314

dan KB dan ditunjuk lah salah satu bidan sebagai penanggung jawab program

Jampersal ini. Bidan ini yang akan mengkoordinator seluruh bidan dalam proses

pengklaiman Jampersal ke tingkat dinas.

Kebijakan pengelolaan Jampersal di tingkat kota Makassar ini telah ditetapkan

Berdasarkan Peraturan Walikota Makassar tentang ‘Petunjuk Teknis Pemanfaatan

Dana Persalinan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat dan Jaminan Persalinan di

Kota Makassar tahun 2012. Di dalam peraturan ini tertuang Komponen Tarif Pelayanan

yang mengatur Besaran Tarif sekaligus Pengaturan Penggunaan. Dalam juknis ini

disampaikan rincian pemanfaatan biaya persalinan yaitu sebagai berikut:

1. Rawat Inap Persalinan (3 hari)

Akomodasi Rp. 60.000,-/hari

2. Jasa Visit (3 hari)

Visit Doktor Rp. 10.000,-/hari

Visit Kebidanan Rp. 60.000,-/hari

3. Tindakan Persalinan (Partus)

Jasa Medik Dokter Rp. 140.000,-/orang

Jasa Medik Bidan Rp. 120.000,-/orang

Sedangkan untuk rincian pemanfaatan ANC dan PNC, Puskesmas memiliki

aturan yaitu dari total biaya ANC dan PNC tersebut adalah 35% untuk jasa bidan

sedangkan 65%nya untuk jasa sarana dan ATK. Untuk proses pengklamian sendiri

dilakukan setiap bulannya dan selambat-lambatnya dalam waktu 2 bulan sekali oleh

bidan koordinator Jampersal.

3.8.6 Hambatan, Dukungan dan Harapan terhadap Program Jampersal

Dukungan

Dukungan dalam pelaksanaan Jampersal ini terdiri dari 2 macam, yaitu

dukungan yang berasal dari penerima program dan dukungan yang berasal dari

penyedia layanan, dalam hal ini puskesmas dan juga bidan. Berikut merupakan

dukungan dari masyarakat itu sendiri dalam pelaksanaan Jampersal:

Page 339: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

315

1) Pengetahuan yang cukup baik

Seperti yang sudah dijelaskan di bagian sebelumnya, kebanyakan dari

penduduk, baik laki-laki ataupun perempuan, memiliki pendidikan terakhir pada

tingkat menengah atas. Hal ini menandakan bahwa pendidikan masyarakat sudah

cukup baik, sehingga berdampak pada tingkat pengetahuan mereka mengenai

kesehatan, termasuk kesehatan ibu dan anak. Pendidikan seorang ibu hamil yang

cukup baik pada masa kehamilannya juga ditunjang oleh pendidikan suaminya yang

juga cukup baik. Sehingga jika kedua orang tua atau calon orang tua tersebut sama-

sama bekal pengetahuan yang cukup manakala seorang istri sedang hamil hingga pada

masanya anak itu dilahirkan.

Pengetahuan kesehatan yang baik ini membuat mereka memiliki kesadaran

yang amat tinggi untuk melakukan pemeriksaan kesehatan baik itu ke puskesmas,

pergi ke dokter ataupun langsung pergi ke Rumah Sakit yang ada di sekitar lingkungan

tempat tinggal mereka. Selain itu pengetahuan mereka akan kesehatan modern ini

juga berdampak pada perilaku mereka dalam menjaga kesehatan, yaitu salah satunya

adalah mengenai pantangan atau mitos-mitos tertentu dalam menjaga kesehatan ibu

dan anak. Hanya tinggal sedikitnya masyarakat yang menjalani pantangan atau percaya

pada mitos-mitos tersebut. Hal ini dikarenakan, selain memang budaya memang yang

sudah hilang, juga dikarenakan masyarakat sudah dapat memilih apa-apa saja yang

boleh dan tidak boleh dilakukan. Perilaku pantangan atau mitos yang pada dasarnya

tidak ada hubungannya dengan kesehatan sudah banyak mereka tinggalkan, begitu

juga dengan pantangan makanan tertentu tidak mereka jalankan apalagi makanan

tersebut memang berguna dan memiliki gizi yang baik bagi ibu hamil.

2) Arus informasi yang kuat

Kota Makassar yang merupakan salah satu kota terbesar di Indonesia tentunya

otomatis sarat akan masuknya sumber informasi dari mana saja, termasuk wilayah

Kecamatan Rappocini. Saratnya sumbernya informasi tersebut menambah

pengetahuan ibu mengenai kesehatan itu dan juga informasi mengenai program

pelayanan kesehatan ibu dan anak itu sendiri. Sebagian dari mereka mendapatkan

informasi adanya keberadaan program Jampersal ini dari media massa, baik itu televisi

maupun media cetak.

Page 340: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

316

3) Adanya pertemuan-pertemuan ataupun Majlis Taklim yang Rutin diadakan

Berdasarkan fgd yang dilakukan oleh para tokoh masyarakat, kegiatan PKK bagi

ibu-ibu cukup berjalan aktif dilakukan di Kecamatan Rappocini ini. Salah satu kegiatan

yang diadakan oleh ibu PKK ini adalah arisan dan juga pengajian atau majlis taklim

yang diadakan seminggu sekali. Sehingga dari hal tersebut maka sosialisasi mengenai

program-program untuk masyarakat cepat dapat disosialisasikan melalui pertemuan-

pertemuan informal tersebut. Selain itu setiap kegiatan posyandu akan diadakan,

biasanya pengumuman bukan hanya dilakukan oleh kader kepada ibu yang

bersangkutan, namun juga seringkali diumumkan sehari sebelumnya di masjid.

4) Aktifnya para kader posyandu

Kader posyandu dalam wilayah kerja puskesmas Kassi-Kassi ini berjumlah

kurang lebih 325 orang dan mayoritas terlibat aktif dalam melaksanakan tugasnya

sebagai kader. Kader ini menjadi agen sosialisasi yang cukup baik dalam memberikan

pengetahuan kepada sang ibu dalam penyuluhan-penyuluhan kesehatan. Selain itu

kader juga selalu memberitahukan mengenai program-program yang ada di Puskesmas

yang berguna bagi para ibu, sehingga informasi sampai ke masyarakat yang menjadi

sasaran program puskesmas. Selain itu kader juga selalu siap menemani ibu untuk

memeriksakan kesehatan jika tidak ada keluarga yang menemani.

5) Sarana Jalanan yang Baik dan Mudahnya Alat Transportasi

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh tim peneliti, maka dapat

dikatakan bahwa jalanan yang ada di lingkungan puskesmas Kassi-Kassi dan juga

wilayah yang ada di wilayah kerja Puskesmas Kassi-Kassi memiliki jalanan aspal yang

sudah sangat baik. Jalanan yang baik ini membuat masyarakat mudah dalam

melakukan pencarian kesehatan, khususnya untuk ibu dan anak.

Sarana jalanan yang baik ini juga ditunjang dengan mudah atau banyaknya alat

transportasi yang ada di wilayah ini. Banyak warga yang memiliki kendaraan pribadi,

minimal sepeda motor. Untuk kendaraan umum, becak motor dapat ditemui hampir di

setiap sudut jalan di wilayah ini, dengan harga yang relatif tidak mahal dan juga

bentuknya yang cukup aman dan nyaman, kendaraan ini memang menjadi kendaraan

Page 341: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

317

pilihan utama warga. Selain itu juga adanya angkot ataupun taksi juga sangat mudah

untuk ditemui di wilayah ini

Sedangkan faktor dukungan yang berasal dari penyedia layanan adalah sebagai

berikut:

1) Fasilitas dan program puskesmas yang baik

Puskesmas Kassi-Kassi merupakan puskesmas percontohan di Kota Makassar

ini. Fasilitasnya cukup besar dan juga ada layanan rawat inapnya. Selain itu didukung

dengan tenaga kesehatan yang jumlahnya sudah cukup untuk melayani masyarakat di

wilayah puskesmas yang dapat dikatakan cukup banyak.

Puskesmas ini juga memiliki program posyandu bunda selain program

posyandu regular. Program posyandu bunda ini khusus untuk melayani ibu hamil

hingga balita di bawah 2 tahun. Posyandu ini dilaksanakan rutin per bulannya di

masing-masing posyandu di kelurahan. Program ini mempermudah para tenaga

kesehatan untuk mengontrol dan melakukan pemeriksaan rutin kepada ibu dan anak.

Dengan program ini juga ibu dipermudah dalam melakukan pemeriksaan karena tidak

harus pergi ke puskesmas, cukup dengan pergi ke posyandu bunda tersebut.

Selain itu karena ada fasilitas rawat inap, maka di puskesmas ini ada bidan

ataupun perawat yang standby 24 jam. Ada nya shift kerja yang diterapkan agar

membantu fasilitas rawat inap ini, sehingga mempermudah ibu yang akan bersalin.

2) Sudah Ada Program Persalinan Gratis Dari Pemerintah Sebelumnya

Program Walikota Makassar terpilih mengenai persalinan bebas sudah berjalan

dari tahun 2010. Jadi pada dasarnya masyarakat yang ada di Kota Makassar sudah

cukup mengetahui bahwa ada persalinan gratis yang telah disediakan oleh pemerintah.

Syarat persalinan gratis yang dahulu diterapkan pemerintah daerah juga mensyaratkan

agar ANC ibu lengkap baru diberikan fasilitas persalinan gratis tersebut. Maka dari hal

tersebut kesadaran masyarakat mengenai pemeriksaan rutin pada saat kehamilan

sudah sangat baik. Ibu yang akan melahirkan pun sudah tidak segan untuk datang ke

puskesmas.

Page 342: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

318

Hambatan

Dalam pelaksanaan Jampersal ada beberapa hambatan yang ditemukan dalam

pelaksanaannya yaitu antara lain:

1) Masih kurang pahamnya masyarakat mengenai program Jampersal

Masyarakat kebanyakan hanya tahu bahwa ada program dimana persalinan

digratiskan. Namun mereka pada dasarnya masih belum tahu dana bantuan tersebut

dari pemerintah daerah ataupun pemerintah pusat. Selain itu banyak masyarakat yang

mengira bahwa Jampersal merupakan program yang hanya dikhususkan untuk

persalinan saja tanpa tahu bahwa sebenarnya program tersebut untuk mulai dari ibu

hamil hingga pada saat masa paska persalinan. Ketidaktahuan ini membuat masyarakat

terkadang ragu untuk memanfaatkan fasilitas dari pemerintah tersebut dan malah

memilih pihak swasta.

2) Banyaknya pendatang dan adanya arus migrasi

Penduduk Rappocini adalah pendatang yang berasal biasanya dari kabupaten di

sekitar kota Makassar. Terkadang pun kota Makassar ini dijadikan tempat

persinggahan atau tempat sementara mereka. Hal ini pada akhirnya berimbas pada

perilaku kia mereka, khususnya perilaku ANC. Dimana mereka tidak melakukan

keempat kunjungan pemeriksaan kehamilan di tempat yang sama. Hal ini membuat

bidan tidak bisa mengklaim hal tersebut karena tidak lengkap pemeriksaannya

3) Adanya gengsi di masyarakat

Masih adanya rasa gengsi di masyarakat membuat program Jampersal tidak

maksimal. Hal ini dikarenakan adanya golongan di masyarakat, khususnya golongan

menengah ke atas yang lebih memilih ke faktor swasta karena adanya gengsi, dimana

semakin bagus atau semakin mahal rumah sakit yang dijadikan tempat bersalin

menunjukkan status ekonomi seseorang. Sehingga dari hal tersebut biasanya

masyarakat tidak menggunakan fasilitas dari pemerintah yang ada di puskesmas

sebagai pelayanan dasar, namun langsung pergi ke swasta.

Page 343: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

319

Harapan

Pada dasarnya masyarakat sudah cukup puas akan adanya program Jampersal

ini. Pelaksanaannya pun dapat dikatakan cukup lancar dan yang terpenting menurut

masyarakat dapat membantu mereka dalam proses kehamilan hingga proses

persalinan. Meskipun para suami dan para tokoh masyarakat bisa dikatakan masih

belum mengerti benar program mengenai Jampersal ini namun mereka merasa

terbantu karena dapat membantu istri atau keluarga mereka dalam melakukan

pemeriksaan kehamilan dan persalinan dimana mereka tidak perlu lagi sekarang

mengeluarkan biaya sepeserpun. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu informan

suami berikut ini:

“istri saya periksa kesini.Melahirkan disini. tidak bayar apa-apa. Ya saya senang-senang aja. Jadi saya sebagai kepala keluarga, yang cari uang tidak perlu pikirkan lagi itu uangnya bagaimana karena tidak bayar itu.”

Oleh karena itu maka masyarakat berharap bahwa program itu terus berjalan

dalam waktu yang panjang dan terus diadakan dan bahkan mengalami peningkatan

fasilitasnya. Meskipun sudah dirasa cukup akan pertolongan pada pemeriksaan ANC

dan PNC serta persalinan namun ada informan yang mengatakan berharap bahwa ada

fasilitas lain yang diberikan yaitu berupa makanan tambahan yang bergizi bagi ibu yang

sedang hamil seperti yang diutarakan salah satu informan suami ini:

“itu kalau bisa, istri saya pada saat pemeriksaan dikasih makanan tambahan.”

Peningkatan tenaga kesehatan juga mereka harapkan lebih dapat

ditingkatkan lagi, sehingga pada saat pemeriksaan, istri mereka lebih cepat dan

tidak harus mengantri atau menunggu terlalu lama. Begitupun juga untuk rumah

sakit yang menjadi rujukan semoga lebih baik dalam pelayanannya dan tidak

menomorduakan pasien dengan menggunakan fasilitas Jampersal ini.

Selain itu masyarakat masih merasa syarat untuk mendapatkan pelayanan

Jampersal ini harus lebih dipermudah lagi. Selain syarat KTP ataupun KK, para suami

berharap bisa menggunakan fasilitas ini dengan juga memakai KTP mereka.

Page 344: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

320

Sedangkan untuk para bidan sebagai pemberi pelayanan kesehatan bagi ibu

dan anak, dan yang juga menjalankan program Jampersal ini mempunyai harapan-

harapan sendiri terkait dengan berjalannya program ini, harapan ini antara lain:

1. Untuk pemeriksaan ANC dan PNC tidak harus 1 paket selama 4 kali untuk bisa

diklaimkan. Hal ini terkait dengan banyak tidak lengkapnya ANC dan PNC dari

para warga. Dari total pemeriksaan ANC dan PNC biasanya hanya 10 hingga

20% saja yang bisa diklaimkan. Sedangkan sisanya berarti tidak bisa diklaimkan.

2. Besarnya tarif dalam setiap jenis pelayanan bisa lebih ditingkatkan. Hal ini

dikarenakan dari tarif yang ada sekarang para bidan menganggap hanya

mendapatkan porsi yang tidak begitu besar, sehingga mengharapkan adanya

penigkatan tarif.

3. Syarat klaim agar dipermudah dan tidak terlalu rumit. Hal ini dikarenakan

banyaknya pasien dan program yang berjalan di puskesmas ini, sehingga proses

administrasi sebagai syarat klaim membutuhkan waktu sendiri dalam

mengurusnya sedangkan bidan penanggung jawab Jampersal ini juga masih

harus melakukan pemeriksaan rutin bagi ibu dan anak, sehingga kewalahan

dalam melakukan proses administrasinya. Selain itu bidan ini juga berharap ada

pelatihan dalam mengurus syarat-syarat klaim Jampersal ini seperti yang

diungkapkannya berikut ini:

“Mungkin pengelola Jampersalnya mungkin apa gitu dibuatkan pelatihan apalagi biar tahu secara mendalam, meraba-raba saya soalnya selama ini. Ya itu jadi hambatan juga karena sebelumnya saya ga pernah kerja yang begini.”

4) Verifikator pada tingkat Dinas Kesehatan dapat bekerja lebih baik lagi. Selama ini

verifikator meski sudah bekerja dengan baik namun mengalami kesulitan karena

banyaknya proses klaim yang masuk dari berbagai puskesmas yang ada di Kota

Makassar. Proses verifikasi klaim Jampersal membutuhkan waktu, sedangkan

verifikator juga menjadi salah satu ketua subdit salah bidang di Dinas Kesehatan.

Sehingga dari hal tersebut diharapkan agar dibentuk tim verifikasi yang lebih baik

lagi, sehingga proses tidak terlalu lama dan hak bisa segera diterima oleh para

bidan yang ada di puskesmas.

Page 345: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

321

3.9. Puskesmas Parado, Kabupaten Bima

Kabupaten Bima merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara

Barat (NTB) yang terletak di pulau Sumbawa, salah satu pulau di provinsi NTB.

Kabupaten Bima termasuk salah satu Kabupaten dengan pemanfaatan dana Jaminan

Persalinan (Jampersal) yang cukup baik sesuai dengan laporan yang terkumpul

diDirektoratP2JK (Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan).

Data yang tersedia di dinas Kesehatan Kabupaten Bima menunjukkan bahwa

masih cukup banyak wilayah kecamatan dengan cakupan persalinan dengan bantuan

tenaga kesehatan yag masih rendah. Dengan melakukan konsultasi kepada kepala

Dinas Kesehatan Kabupaten Bima didukung data dan pengalaman pelaksana program

kesehatan Ibu dan Anak dan penanggung jawab Program Jampersal ditetapkan

kecamatan Parado sebagai lokasi penelitian. Salah satu wilayah tersebut adalah

kecamatan Parado. Kecamatan dengan penggolongan termasuk terpencil dan ada

salah satu desa yang masuk dalam wilayah sangat terpencil, menjadi sasaran

penelitian.

3.9.1. Gambaran Umum Kabupaten Bima

KabupatenBima adalah salah satu Kabupaten di provinsi Nusa tenggara Barat

(NTB).Kabupaten Bima merupakan salah satu Daerah Otonom di Provinsi Nusa

Tenggara Barat, terletak di ujung timur dari Pulau Sumbawa bersebelahan dengan Kota

Bima (pecahan dari Kota Bima). Kabupaten Bima secara geografis berada pada posisi

117°40”-119°10” Bujur Timur dan 70°30” Lintang Selatan..Secara topografis wilayah

Kabupaten Bima sebagian besar (70%) merupakan dataran tinggi bertekstur

pegunungan, terdapat lima gunung di Kabupaten Bima, sementara sisanya (30%)

adalah dataran rendah. Lahan kering mencapai lebih dari separo dataran rendah dan

sekitar 14% terdiri dari areal persawahan. Dilihat dari ketinggian dari permukaàn laut,

Kecamatan Donggo merupakan daerah tertinggi dengan ketinggian 500 m dari

permukaan laut, sedangkan daerah yang terendah adalah Kecamatan Sape dan

Sanggar yang mencapai ketinggian hanya 5 m dari permukaan laut.

Page 346: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

322

Kota Woha adalah ibukota Kabupaten Bima yang memiliki luas wilayah 4.374,65,

terdiri dari 7,22 persen lahan sawah dan 92,78 persen bukan lahan sawah. Kabupaten

Bima wilayahnya terus berkembang. Berlakunya otonomi daerah memberikan dampak

signifikan bagi Kabupaten Bima. Sejak tahun 2003, wilayah Kabupaten Bima terbagi

menjadi 2, yaitu Kabupaten Bima dan Kota Bima. Jumlah kecamatan dan desa semakin

berkembang, termasuk 9 Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT).Pada tahun 2005

Kabupaten Bima terdiri dari 14 kecamatan dan 153 desa, jumlah ini meningkat pada

tahun 2009 menjadi 18 kecamatan dan 177 desa dan menjadi20 kecamatan dan 191

desa pada tahun 2012. Cuaca di wilayah Bima cukup panas dengan suhu rata-rata 27,6

derajat Celsius dengan curah hujan (data tahun 2009) secara rata-rata mencapai 85,5

mm per bulan. Wilayah Kabupaten Bima sebagian besar merupakan lahan Hutan

Negara, yang mencapai 2 274,79 km2 ( 52 % dari total luas Kabupaten).

Pendidikan adalah salah satu cara untuk meningkatkan kualitas sumber daya

manusia. Pada tahun 2009, tercatat ada 666 sekolah di Kabupaten Bima. Menurut

jenjang pendidikan, sekolah di Kabupaten Bima terdiri dari 459 Sekolah Dasar (SD), 138

Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan 69 Sekolah Menengah Atas (SMA), dengan

rasio murid terhadap guru 10,55 artinya secara umum tiap guru mengajar 10 – 11

murid.

Gambar. 3.9.1. Peta Kabupaten Bima

Koordinat: 118°44'–119°22' BT dan 8°8'–8°57' LS

Page 347: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

323

Jumlah penduduk Kabupaten Bima pada tahun 2009 sebanyak 420.207 jiwa.

Jumlah ini meningkat 0,90 persen dari jumlah penduduk tahun 2008. Pertumbuhan

penduduk tahun 2005-2009 menunjukkan trend meningkat dengan laju pertumbuhan

di bawah satu persen. Piramida penduduk Kabupaten Bima tahun 2009 cenderung

berbentuk kerucut dengan struktur umur penduduk tergolong penduduk muda. Hal ini

menunjukkan telah terjadinya tingkat kelahiran yang tinggi di masa yang lalu tetapi

kemudian diiringi oleh tingkat kematian bayi yang tinggi pula sehingga menyebabkan

proporsi penduduk yang dapat hidup terus keusia dewasa dan menjadi tua lebih kecil.

Dari piramida tersebut juga dapat dilihat bahwa proporsi penduduk wanita lebih tinggi

dibandingkan laki-laki terutama pada kelompok umur 25-54 tahun.

Jika dilihat persebaran penduduk menurut kecamatan, terlibat penyebaran

yang tidak merata. Kecamatan Sape memiliki jumlah penduduk paling banyak, sekitar

11,98 persen dari total jumlah penduduk Kabupaten Bima disusul Kecamatan Bolo dan

Woha, masing-masing 9,97 persen dan 9,64 persen. Sementara itu, kecamatan dengan

jumlah penduduk paling sedikit (kurang dari 1 persen) adalah Kecamatan Lambitu yang

diikuti oleh Kecamatan Tambora. Proporsi tenaga kerja terbesar berada di sektor

Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan yaitu sebesar 69,10

persen dari total seluruh penduduk yang bekerja.

Gambar. 3.9.2. Piramida Penduduk Kabupaten Bima Sumber: BPS Kabupaten Bima

Page 348: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

324

Pembangunan yang dilakukan di segala bidang pada dasarnya adalah untuk

membentuk landasan dan struktur ekonomi yang kuat. Struktur perekonomian suatu

daerah mencerminkan kekuatan dan sekaligus ketergantungan suatu daerah terhadap

suatu sektor. Struktur perekonomian Kabupaten Bima masih didominasi oleh sektor

pertanian yang memiliki peranan 50,14 persen. Pendapatan Per Kapita Penduduk

Kabupaten Bima dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada Tahun 2009, pendapatan

perkapita penduduk mencapai Rp. 3.373.653,- meningkat 5,38 persen dibandingkan

tahun sebelumnya yang besarnya Rp. 3.201.262,-.

Pelayanan Kesehatan KIA di Kabupaten Bima

Terjadi trend peningkatan angka harapan hidup (AHH), dalam tahun 2007–

2009, penambahan usia harapan hidup menunjukkan telah terjadinya peningkatan

kemampuan penduduk dalam memperbaiki kualitas hidup dan kualitas lingkungan.

Peningkatan ini sebanding dengan peningkatan status sosio-ekonomi keluarga. Pada

tahun 2009 AHH penduduk Kabupaten Bima mencapai 62,62. Ini berarti bahwa secara

rata-rata seorang bayi yang baru lahir diperkirakan akan menjalani hidup selama 62,62

tahun. Akan tetapi, angka ini berada jauh dibawah rata-rata AHH Propinsi NTB.

Puskesmas dan puskesmas pembantu tersebar merata di seluruh kecamatan,

ditambah dengan dibangunnya sebuah RSU di Kecamatan Bolo.

Pelayanan kesehatan di KabupatenBimadilaksanakan oleh tenaga kesehatan

yang tersebar di berbagai pelayanan kehatan, tersedia1 RSU Pemerintah, 40

puskesmas terdiri dari 14 puskesmas perawatan yang keseluruhannya disiapkan

sebagai puskesmas PONED. Tersedia 73 pustu, 5 poskesdes dan 40 pusling serta 1780

posyandu untuk melayani seluruh penduduknya.

Pelaksanaan pelayanan persalinan gratis sudah disosialisasikan oleh Bupati

Kab.Bima sejak akhir 2010, tetapi saat itu masih dengan dana Jaminan Kesehatan

Masarakat (Jamkesmas) yang bersumber dari dana Pusat dan Jaminan Kesehatan

Daerah (Jamkesda) dengan sumber dana dari pemerintah daerah. Jadi masyarakat

yang tergolong miskin bisa bersalin dengan biaya gratis dengan menggunakan kartu

Jamkesmas (dibiayai dari Pusat). Bagi masyarakat miskin yang tidak memiliki kartu

Page 349: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

325

Jamkesmas ataupun Jamkesda, dapat memperoleh pelayanan gratis setelah meminta

surat keterangan miskin agar bisa dibiayai oleh Jamkesda. Saat itu dilakuan sosialisasi

terpadu dalam rangka bulan bakti gotong royong ke seluruh kecamatan dilanjutkan ke

desa bahkan beberapa dusun. Selanjutnya sosialisasi dilanjutkan oleh puskesmas dan

jaringannya termasuk melalui Kepala Desa/Dusun,Petugas Posyandu, termasuk pada

saat kegiatan supervisi dan pembinaan dari Dinkes di masing-masing program yang

dilaksanakan teradu 4 kali/tahun. Sosialisasi lintas sektor seperti rapat koordinasi

tingkat kecamatan, rapat koordinasi tingkat desa yang dilakukan 4-5 kali/tahun.

Kematian ibu maternal tidak terlihat perubahan rata-rata 9-10 kasus/tahun

dengan adanya Jampersal. Diduga karena kualitas rujukan kurang, mekanisme rujukan

masih rumit, faktor di luar kehamilan, sedangkan kematian bayi juga tetap dengan

kasus lahir mati, BBLR dan ISPA. Masalah KIA menjadi perhatian di Kabupaten Bima

karena masih kuatnya tradisi yang dipegang masyarakat. Masih ada masyarakat yang

tabu melahirkan di bidan dan masih ada 1400 dukun dan jumlah ini masih lebih banyak

dari jumlah bidan yang sekitar 500 orang melayani ibu hamil dan bersalin. Hal ini yang

menyebabkan angka persalinan dukun masih cukup tinggi. Tercatat tahun 2011 linakes

68%, angka yang meningkat dari tahun-tahun sebelumnya bahkan menurut Riskesdas

2007 angka persalinan di Kab. Bima masih sangat rendah.

Ketersediaan faskes masih kurang sedang kemampuan pendanaan pemerintah

juga kurang untuk pembangunan. Ketersediaan lahan untuk pembangunan gedung

cukup tersedia, oleh karena itu upaya yang dilakukan adalah dengan berusaha

mendapat dana dari DAK (Dana Alokasi Khusus), PNPM (Program Nasional

Pemberdayaan Masyarakat), dana bantuan dari luar negeri misal Jepang, dan dari

perusahaan yang beroperasi di Bima. Saat ini PNPM mandiri sudah membantu

sebagian pembangunan poskesdes sedang PNPM GSC (Generasi sehat Cerdas) belum

padahal PNPM GSC lebih luas dalam pemanfaatannya tidak hanya untuk infrastruktur

seperti pembngunan gedung. Saat ini sudah 117 desa dengan bangunan Poskesdes

(Pos Kesehatan Desa) dari 191 desa yang ada di Bima, jadi masih tersisa 74 desa tanpa

poskesdes. Menurut hasil wawancara dengan kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bima

diperoleh informasi bahwa kemampuan DAK untuk membangun Poskesdes hanya 5-7

Page 350: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

326

per tahun. Tahun 2012 ini PNPM membangun 4 poskesdes dan 1 pustu. Dinkes

mencoba minta dana untuk daerah terpencil berupa peralatan medis untuk pokesdes.

Saat ini semua puskesmas sudah diarahkan menjadi puskesmas perawatan

karena banyak pemukiman penduduk yang jauh dari RS. Semua puskesmas sudah

memiliki tenaga dokter bahkan direncanakan untuk menempatkan 2-3 orang dokter di

setiap puskesmas perawatan. Puskesmas PONEK di Kabupaten Bima ada 4 yaitu di

Kecamatan Sape, Moka, Bolo dan Bera. Tapi baru 2 (Sape dan Bolo) yang memiliki alat

dan SDM yang cukup. Di KabupatenBima sudah ada 2 dokter spesialis

obstetrikgenekologi dan 1 orang dokter spesialis anak, yang menjalankan tugasnya

antara lain melakukan kunjungan untuk memberikan pelayanan dan konsultasi ke

puskesmas PONEK 3 kali selama setahun.

KB paska salin tidak menjadi hambatan meski ada yang mau tapi juga ada yang

menolak tapi masyarakat sudah sadar. Justru ketersediaan alokon menjadi masalah

karena pihak BKKBN tidak menyerahkan ke petugas kesehatan sehingga seringkali

terjadi kekurangan alokon. Masyarakat juga masih harus membayar biaya suntik 10

ribu/kali suntik 3 bulanan dan implant sebesar 150 ribu. Padahal dari propinsi dan

kabupaten, alokon dinyatakan gratis. Penyediaan secara gratis baru 100% terjadi saat

pelayanan MOMEN (semacam safari KB). Penyuluhan KB paska persalinan terus

digalakkan.

Masalah sosial budaya seperti masih percaya dukun sudah tidak terlalu menjadi

hambatan. Saat ini selain bidan sudah ada di desa, dukun sudah bermitra dengan

bidan. Bahkan sudah didukung Peraturan Bupati yang mengharuskan bidan

memberikan 30 ribu dari biaya yang diterima. Dukun meski masih ada tetapi tidak

menjadi tujuan masyarakat. Persalinan ke dukun umumnya karena terpaksa misalkan

bayi sudah keluar dan lokasi jauh dari faskes dan bidan. Masalah sosial budaya justru

terkait dengan kecukupan gizi ibu maupun bayi/anak balita. Kasus balita KEK 23%,

bumil KEK 12% yang terjadi karena masih ada perilaku masyarakat mengutamakan

memberikan makanan kepada suami, ibu baru anak. Ibu hamil juga mengkonsumsi

makanan yang jumlah kalori dan gisinya tidak ditambah selama hamil karena takut

terlalu besar bayinya sehingga khawatir sulit keluar saat melahirkan. Hal ini juga dipicu

kemampuan membeli makanan karena pendapatan per kapita masyarakat Bima masih

Page 351: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

327

rendah dan harapan hidup masih di no.6 untuk NTB. Masyarakat juga konsumtif, lebih

mengutamakan membeli barang daripada makanan untuk mencukupi gizi. Bahkan

kesadaran anak adalah investasi.

Status kepegawaian di Kabupaten Bima, adalah PNS, Honor daerah, PTT,

sukarela. PNS daerah sangat sedikit karena kemampuan daerah rendah dalam

menggaji PNS. Namun karena adanya upaya menempatkan dokter di puskesmas di

daerah terpencil, dilakukan pengangkatan dokter secara otomatis untuk menjadi PNS.

Sedangkan untuk bidan tidak ada status pegawai Honda (Honda digaji

Rp.400.000/bulan) karena bidan ada kesempatan untuk mendapat dana melalui

Jampersal dan Jamkesmas/Jamkesda melalui peayanan KIA dan persalinan. Status

pegawai sukarela: honor diperoleh dengan cara memberikan pelayanan, mereka

mengejar status sebagai pegawai pemerintah dengan harapan bisa diangkat menjadi

PNS Dinkes tetapi tidak ada janji untuk mengangkat maupun memberi gaji. Di tingkat

puskesmas, mutasi pegawai sering terjadi dalam wilayah kecamatan. Mutasi antar

kecamatan tidak banyak karena harus melalui ijin bupati. Seringnya mutasi

menyebabkan hambatan ketersediaan tenaga.

DiKabupaten Bima terdapat 357 bidan yang berdinas di puskesmas dan

jaringannya. Mereka bekerja 24 jam sebagai bidan pemerintah sehingga tidak dikenal

pelayanan Bidan Praktek Swasta (BPS) bagi bidan yang sudah bekerja di pemerintah

Kabupaten Bima. Status bidan tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan yaitu

sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), Pegawai Tidak Tetap (PTT) dan pegawai sukarela

(bekerja tidak digaji, bersifat sukarela mengabdi). Dari sejumlah 357 orang bidan

terbagi menjadi 156 orang berstatus PNS; 81 orang PTT (74 PTT Pusat & 7 PTT Daerah)

dan 143 orang sukarelawan (tidak digaji).

Semua bidan yang ada di Kabupaten Bima di tampung sebagai pegawai oleh

Dinkes, dan selama bertugas 24 jam sehingga mereka tidak diijinkan berpraktek

swasta. Mereka bertugas 24 jam sebagai pegawai Dinkes. Pada awal Jampersal, LSM

melakukan pantauan pelayanan, bahkan melakukan laporan ke Bupati bila ada bidan

yang meminta biaya persalinan keada ibu yang ditolong. Ada beberapa orang dari etnis

Cina atau Arab tidak mau memanfaatkan Jampersal, mereka bersedia membayar biaya

persalinan kepada bidan sampai dengan 1 juta rupiah. Untuk kasus tersebut, agar

Page 352: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

328

bidan tidak kena sangsi akibat dianggap meminta biaya persalinan, ibu bersalin

tersebut membuat pernyataan bahwa mereka menolak menggunakan dana

Jamkesmas. Hal ini terkait ancaman Bupati yang akan memecat mereka bila meminta

biaya persalinan.

3.9.2. Gambaran Umum Kecamatan Parado

Wilayah Kecamatan Parado berjarak 56 km dari Kota Bima. Parado termasuk

daerah yang tergolong terpencil di Kabupaten Bima (Pemerintah Kabupaten Bima,

2011). Lokasinya di perbukitan dan untuk menuju ke wilayah tersebut dapat dilakukan

menggunakan angkutan umum berupa bis ukuran kecil. Bis antar kecamatan tersebut

dimanfaatkan untuk transportasi ke desa-desa yang dilewati. Dari kota Bima menuju

kecamatan Parado melewati jalan pedesaan yang diaspal dengan baik. Sepanjang jalan

yang dilalui cukup banyak masyarakat bersepeda motor yang lalu lalang. Bahkan saat

melewati pasar Tente, semakin banyak orang lalu lalang dengan bersepeda motor.

Benhur (kendaraan semacam pedati yang ditarik seekor kuda) tampak hilir mudik

mengangkut penumpang maupun barang yang diperjualbelikan di pasar.

Murid sekolah juga banyak memanfaatkan benhur untuk pulang dan pergi ke

sekolah. Saat pulang sekolah, bis penumpang tampak penuh sesak. Di atas atap bis

yang terbuka dengan sekitarnya dibatasi pipa segi empat mengelilingi atap bis, tampak

penuh sesak dengan murid sekolah berseragam. Mereka tampak ceria duduk

berdesakan sambil berbincang dengan teman tanpa mempedulikan bahaya yang bisa

mengancam apabila jatuh dari atap bis.

Di kiri kanan jalan tampak sawah terbentang dan di kelilingi perbukitan. Di sisi

kanan jalan, sawah tampak menghijau sedang di sisi kiri jalan tampak sawah

mengering karena tidak ditanami. Terlihat banyak bekas potongan batang padi di

sawah yang dibiarkan mengering. Pengairan yang sebagian besar mengandalkan

pengairan dari air hujan menyebabkan petani hanya bisa menanam padi satu kali

dalam satu tahun. Namun pada sisi kanan jalan tampak hijau karena petani masih bisa

menanam padi tiga kali setahun karena mereka memperoleh pengairan sawah yang

diperoleh dari bendungan Pelaparado.

Page 353: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

329

Melewati kecamatan Monta, jalanan mulai menanjak dan aspal jalan semakin

banyak berkurang. Jalan yang berkelok-kelok dengan aspal jalan yang berlubang disana

sini semakin menyulitkan mobil atau sepeda motor yang melewatinya. Batu kerikil

yang lepas akibat ausnya aspal menyulitkan pejalan dengan sepeda motor. Ban

mobilpun berputar dan selip akibat jalan yang sudah habis aspalnya tinggal kerikil yang

semburat kesana kemari. Semakin mendekati kecamatan Parado, di kanan jalan

terbentang hamparan cekungan dilingkupi bukit dan dam menjadi semacam danau

yang luas dengan air di dalamnya. Terlihat tulisan pintu masuk bendungan Pelaparado.

Bendungan dengan dinding tinggi menutup wilayah cukup luas yang menampung air

hujan tersebut berada di wilayah Monta, meskipun sebagian ada di wilayah kecamatan

Parado. Bendungan yang dibangun selama 5 tahun dimulai tahun 2005 dengan

meledakkan sebagian sisi bukit, telah menelan korban saat pembangunannya.

Air bendungan dimanfaatkan untuk mengairi sawah oleh petani di kecamatan

Monta. Sedang petani di kecamatan Parado yang lokasinya lebih tinggi dari bendungan

tidak dapat menikmati air pengairan dari bendungan. Perjalanan mendekati

Kecamatan Parado jalan semakin menanjak. Di jalan terlihat kera-kera kecil berlarian

dipinggir jalan atau melintas jalan. Mereka menunggu belas kasihan mobil yang lewat

untuk melempar makanan. Di musim kering semacam ini (bulan September 2012)

pohon-pohon buah tempat kera mencari makanan tidak berbuah sehingga kera-kera

tersebut harus mencari makanan dari pemberian masyarakat yang melewati jalanan

desa. Mendekati masuk wilayah kecamatan Parado, mulai tampak beberapa rumah di

tepi jalan. Rumah penduduk berupa rumah panggung menjadi ciri khas rumah-rumah

di Parado.

Kecamatan Parado adalah pemekaran dari Kecamatan Monta Selatan pada tahun

2005.Para berarti kampung sedangkan do artinya Selatan, jadi artinya kampong di

sebelah selatan. Kecamatan ini terdiri dari 5 desa yaitu Desa Parado Rato, Parado

Wane, Kanca, Kuta dan terjauh Desa Lere. Lokasinya yang dataran tinggi dan daerah

perbukitan menyebabkan daerah ini berhawa sejuk, bahkan pada tahun-tahun yang

lalu sangat dingin dan bila pagi hari udara berkabut menyelimuti seluruh kecamatan.

Namun sejak beberapa tahun terakhir, akibat illegal logging, udara semakin panas dan

hawa dingin serta kabut sudah sangat berkurang. Kecamatan berpenduduk sekitar

Page 354: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

330

9.000 orang menempati kecamatan dengan luas wilayah 25.31 km2. Wilayahnya

mempunyai batas sebelah Utara: Desa Pela kecamatan Monta; sebelah Selatan: lautan

Indonesia; sebelah Timur: desa Tolo Tangga kecamatan Monta; dan sebelah Barat:

Kecamatan Hu’u Kabupaten Dompu.Secara terperinci jumlah penduduk disetiap desa

dan kepadatan penduduknya adalah sebagai berikut ini:

Tabel.3.9.1

Jumlah Penduduk per Desa dan Kepadatan Penduduk di Kecamatan Parado Tahun 2010

NO Desa Jumlah

Penduduk

Jumlah KK Kepadatan

Penduduk

1 Parado Wane 2.896 856 49,75

2 Parado Rato 3.418 967 33,31

3 Kanca 1.032 265 47,55

4 Kuta 1.285 326 22,51

5 Lere 875 210 26,34

Jumlah 9.506 2.624 179,46

Tahun 2009 9.060 2.418 175,24

Sumber: Profil Puskesmas Parado Tahun 2010

Dari sejumlah penduduk tersebut, terdaftar sejumlah 4.232 yang memiliki kartu

Jamkesmas dan 1.217 memilik kartu Jamkesda Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

Melihat kenyataan tersebut dapat dikatakan bahwa jumlah penduduk Parado yang

tergolong miskin cukup besar yaitu lebih dari 50%. Profil Puskesmas Parado tahun

2010, tercatat kunjungan puskesmas sebanyak 1.694 yang memanfaatkan kartu

Jamkesmas atau Jamkesda.

Page 355: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

331

Mata pencaharian penduduk sebagian besar adalah petani, pegawai negeri,

pedagang dan wiraswasta. Parado yang terletak di daerah perbukitan, wilayahnya

sebagian adalah perkebunan dan ditumbuhi pohon kemiri milik kehutanan. Sebagian

lagi adalah kebun dan sawah pertanian milik penduduk. Daerah pertanian dengan

wilayah perbukitan menyebabkan jarak rumah dan sawah menjadi cukup jauh dan sulit

jangkauannya. Penduduk memilih menginap di dekat sawah bila saat menanam atau

panen tiba. Mereka akan menginap beberapa hari di rumah sederhana di tepi sawah

yang mereka bangun dan beberapa hari kemudian kembali ke rumah, demikian

dilakukan berulang kali sampai pekerjaan mereka selesai. Sebagian penduduk yang ada

di tepi pantai (Desa Lere dan Dusun Woro Desa Parado Wane) mencari nafkah dengan

mencari rumput laut. Ada beberapa lokasi di desa Lere yang masyarakatnya

mempunyai mata pencaharian mencari rumput laut di laut. Meskipun mata

pencaharian ini lebih sulit karena mereka harus menetap di sekitar pantai agar lebih

mudah mendapat hasil, sehingga terpaksa hidup terpisah dari perumahan penduduk.

Cara ini kurang banyak hasilnya dibandingkan cara lain, tetapi diminati karena hasil

bekerja mereka dapat segera dijual sehingga mereka segera mendapat uang kontan.

Uang kontan tersebut dapat dimanfaatkan untuk keperluan sehari-hari.

Pohon kemiri yang tumbuh di perbukitan, dapat mereka ambil bijinya dengan

bebas. Biji kemiri merupakan tambahan penghasilan sebagian besar penduduk Parado.

Saat biji kemiri mulai tua dan rontok, mereka pergi ke bukit dan menginap beberapa

hari disana untuk memungut biji kemiri. Beberapa hari kemudian mereka pulang ke

Gambar3.9.3. Suasana Perumahan di Salah Satu Desa Kecamatan Parado

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Page 356: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

332

rumah, dan kembali lagi ke atas bukit untuk memunguti biji kemiri. Demikian bolak

balik mereka lakukan pulang pergi dari desa ke bukit bahkan sampai beberapa bulan

untuk memungut biji kemiri. Biji kemiri berharga Rp. 5.000,- perkilo atau ada yang

menjual per 100 biji. Pengambilan biji kemiri dilakukan dengan mengambil biji yang

rontok dengan sendirinya. Atau memanjat ke atas pohon dan penggoyang cabang-

cabang pohon agar biji kemiri yang telah tua berjatuhan/rontok dan kemudian mereka

memungutinya.

Memelihara ternak sapi dan kambing merupakan salah satu matapencaharian

penduduk. Binatang ternak ini menjadi investasi masyarakat. Ternak umumnya hanya

dijual bila membutuhkan dana besar seperti untuk pergi haji, atau pendidikan anak-

anaknya ke perguruan tinggi. Mereka sangat membanggakan keamanan di Parado.

Keadaan ini dibuktikan dengan binatang ternak baik sapi atau kambing yang mereka

pelihara dengan cara dibiarkan berkeliaran secara liar. Binatang tersebut mencari

makanan sendiri, tanpa dimasukkan kandang. Pemiliknya cukup memberi tanda

binatang peliharaannya, dan mereka bisa mengambil ternaknya setiap saat

dibutuhkan.

Penduduk Parado berkomunikasi dengan bahasa Mbojo, bahasa daerah

setempat yang digunakan dalam kegiatan informal.Bahasa Mbojo memiliki keunikan

tersendiri. Dalam bahasa ini setiap kata tidak mengenal akhiran huruf mati, jadi setiap

kata selalu berakhir dengan huruf hidup. Komunikasi antar karyawan di perkantoran,

untuk hal–hal umum mereka bicarakan dalam bahasa mbojo, bahasa Indonesia baru

digunakan bila berbicara formal dalam pertemuan atau bicara dengan orang luar.

Sebagian besar masyarakat khususnya kaum muda yang pendidikannya lebih baik,

umumnya bisa berbahasa Indonesia, namun untuk penduduk yang berusia tua dan

tidak/jarang keluar dari desa cukup banyak yang tidak bisa dan tidak mengerti bahasa

Indonesia.

Penduduk Parado sebagian besar sudah melek huruf. Pendidikan menjadi

perhatian masyarakat. Sarana pendidikan di kecamatan Parado adalah 6 buah Sekolah

Dasar, 1 buah sekolah Madrasah Ibtidaiyah Negeri, 1 buah SLTP, 2 buah Madrasah

Tsanawiah, 2 Madrasah Aliyah, dan 1 buah Sekolah Menengah Atas. Menurut tokoh

masyarakat, mereka malu bila mempunyai anak yang tidak lulus sarjana. Mereka

Page 357: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

333

sangat bangga dengan pendidikan tinggi dan sangat membanggakan penduduk Parado

yang sukses di ibu kota dan kota besar sebagai orang yang berpengaruh dalam

pendidikan seperti professor, rektor dan orang berpangkat lainnya. Mereka

menganggap pendidikan adalah kebutuhan utama yang harus diraih, sedang untuk

kebutuhan lain mereka bisa menahan diri. Sebagian masyarakat masih menginginkan

untuk bisa menjadi pegawai negeri, dengan anggapan status PNS lebih baik daripada

pekerjaan lainnya. Untuk mencapai keinginan tersebut, mereka rela menjadi tenaga

sukarela di instnsi pemerintah tanpa mendapat gaji sama sekali.

Menurut pandangan tokoh masyarakat, penduduk Parado menunjung tinggi

kejujuran. Terbukti, mereka tanpa kaekawatiran membiarkan hewan ternak (sapi atau

kambing) untuk bebas berkeliaran mencari makan tanpa dikandang atau diletakan di

area tertentu. Mereka cukup member tanda pada telinga ternaknya masing-masing

dan tidak pernah dijumpai penduduk yang kehilangan ternaknya. Prinsip yang mereka

pegang ‘Bila kita menghianati keluarga sendiri, maka milik kita akan hilang dengan

sendirinya”. Masyarakat cukup baik sosial ekonominya. Kemampuan masyarakat

terlihat dari kemampuan membiayai pendidikan anak-anaknya ke kota bahkan ke luar

pulau. Menurut cerita para tokoh yang sudah tua, dahulu cukup banyak pendatang ke

Parado (saat itu adalah kecamatan Monta Selatan). Atas kebaikan masyarakat

setempat, pendatang diberi tanah (dipinjami) untuk digunakan bertani, bahkan ada

tanah yang diberikan. Mereka diterima dengan senang hati oleh penduduk setempat

dan diajak membngun Parado.

Gambar. 3.9.4. Benhur Angkutan Umum dengan Tenaga Kuda

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Page 358: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

334

Sarana umum penunjang yang ada adalah pasar dan terminal angkutan yang

terdapat di Desa Parado Rato. Terdapat 1 terminal kendaraan yang ada di Parado dan

1 buah pasar. Masyarakat menggunakan ojek sebagai angkutan umum dari desa ke

desa dan RT. Cukup banyak masyarakat yang sudah memiliki sendiri sepeda motor

untuk menjangkau tempat kerja, sekolah ataupun ke tempat umum lainnya. Untuk

menuju kecamatan lain, ada bis antar kecamatan meskipun tidak banyak. Untuk

mencapai tempat yang tidak terlalu jauh dalam desa, berjalan kaki sudah biasa

dilakukan masyarakat.

Perumahan penduduk pada umumnya mengelompok di sepanjang jalan desa

yang sudah diaspal. Rumah penduduk rata-rata berupa rumah panggung terbuat dari

kayu. Rumah jenis ini dirasa lebih sesuai dengan hawa dingin Parado. Rumah berjajar

sepanjang jalan. Rumah yang cukup luas pada umumnya hanya terdiri dari dua kamar

tidur, ruang tamu. Kamar mandi dan kakus pada umumnya adalah bangunan tersendiri

yang terpisah dari rumah panggung. Bahkan sebagian masyarakat tidak memiliki kakus,

dan membuang kotoran di kebun belakang rumah. Rumah pada umumnya dihuni oleh

satu keluarga satelit. Pada awal pernikahan umumnya pasangan muda masih

bergabung dengan orangtua, tapi lambat laun mereka berusaha untuk membuat

rumah dan hidup terpisah dengan orangtua.

Sarana perumahan sudah tersedia. Listrik yang sudah disediakan PLN,

menerangi rumah-rumah secara penuh. Sejak januari 2012, listrik sudah terpasang 24

jam. Berbeda dengan sebelumnya, listrik hanya tersedia setelah magrib sampai dengan

jam tujuh pagi. Bila sebelumnya penduduk mengandalkan listrik tenaga surya, seperti

masih tampak pada sebagian rumah, kini mereka bisa menikmati aliran listrik tanpa

ada giliran dan tidak terbatas waktu lagi. Air perpipaan sudah dapat dinikmati sebagian

masyarakat. Air sumur juga mudah diperoleh meskipun ada sebagian harus menggali

sumur agak dalam.

Masyarakat Kecamatan Parado, sebagian besar adalah suku Mbojo, hanya

sedikit pendatang dari luar Parado yang hidup, menetap di wilayah Parado. Hampir

100% masyarakat Parado beragama Islam. Masyarakat Parado seperti juga masyarakat

Bima pada umumnya sangat agamis terlihat dari banyaknya masjid. Bahkan pada saat

hari Jum’at saat shalat Jum’at jalan-jalan menuju masjid ditutup masyarakat dengan

Page 359: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

335

memberikan barikade. Sikap agamis ini bisa kita dari kegiatan yang dilakukan

masyarakat. Pertemuan-pertemuan ataupun kegiatan kesehatan memanfaatkan

masjid. Pengumuman posyandu, dan undangan kegiatan lain dilewatkan siaran di

masjid. Masjid juga banyak dijumpai diantara rumah-rumah penduduk. Masjid selain

cukup banyak juga cukup besar. Bahkan dalam kegiatan formal di Dinas Kesehatan dan

puskesmas, ada pertemuan rutin setiap jumat pagi berupa ceramah agama. Sedangkan

kegiatan senam pagi dilakukan pada hari Sabtu pagi.

Riwayat perkembangan Islam di Bima bisa dilihat melalui Museum Salahudin

yang menempati bekas keraton. Di dinding museum, terpampang pakaian kaum

wanita saat itu yang mengenakan semacam sarung untuk rok bagian bawah sedangkan

bagian atas menggunakan semacam ninja yang menutup wajah. Perilaku agamis sudah

mendarah daging, bahkan untuk menegur para gadis yang tidak berhijab daam suatu

pertemuan, cukup dengan memberikan pandangan tajam saja kepada mereka. Cara

berpakaian seperti yang diceritakan tersebut, masih dilakukan masyarakat di beberapa

daerah tertentu khususnya di pedesaan.

Pernikahan penduduk sudah mengikuti aturan pemerintah yaitu pernikahan

minimal perempuan usia 19 tahun dan laki-laki 25 tahun. Sudah jarang remaja yang

menikah muda. Mereka cukup sadar dengan tanggung jawab dalam rumah tangga.

Kalau saat dulu menurut cerita tokoh masyarakat (dalam FGD)umumnya suatu

keluarga memiliki anak sampai 6 orang, saat ini cukup 2-3 orang saja. Kesadaran ber-

KB sudah cukup tinggi diantara para pasangan muda.

Fasilitas Pelayanan Kesehatan di Kecamatan Parado

Untuk memberi pelayanan kepada masyarakat Parado, pemerintah telah

membangun Puskesmas Parado yang semula adalah puskesmas pembantu pada waktu

daerah tersebut masih masuk sebagai bagian dari kecamatan Monta Selatan.

Puskesmas ini terletak di tepi jalan besar. Gedung terlihat cukup besar dan luas, tetapi

temboknya terlihat kurang terawat. Penduduk kecamatan Pardo yang terdiri dari 5

desa dilayani oleh puskesmas Parado yang berlokasi di desa Parado Rato. Puskesmas

ini memiliki jaringan terdiri dari 2 puskesmas pembantu (Pustu) dan 3

Page 360: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

336

polindes/poskesdes dan 14 Posyandu. Pelayanan kesehatan tersebut melayani

penduduk di 15 dusun dan ada 1 praktek pribadi dokter (Kepala Puskesmas).

Gedung puskesmas berdampingan dengan Kantor Kecamatan dan Kantor

Dikpora (Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga). Puskesmas terdiri dari banyak

ruang yang menjorok kedalam. Gedung puskesmas di bagian belakang memanfaatkan

bekas ruang kelas gedung sekolah dijadikan ruang rawat inap dengan 5 (lima) tempat

tidur. Ruang bagian depan adalah ruang-ruang untuk pelayanan rawat jalan dan

pelayanan lain yang langsung berhubungan dengan masyarakat. Termasuk didalam

kompleks puskesmas banyak gedung-gedung terpisah yang dimanfaatkan untuk rumah

dokter (2 rumah), rumah untuk petugas puskesmas yang belum menikah, rumah

kepala bagian Tata Usaha dan petugas kesehatan lain.

Tabel 3.9.2. Puskesmas Parado dan Jaringannya Tahun 2012

No Desa Sarana Pelayanan Kesehatan Kepemilikan kartu

Jamkesmas Polindes/ Poskesdes

Pustu Posyandu

1 Paradowane 1 - 4 60%

2 Parado Rato - 5 80%

3 Kanca 1 2 100%

4 Kuta 1 - 2 70%

5 Lere 1 1 1 100%

JUMLAH 3 2 14

Sumber: Profil UKBM Puskesmas Parado

Gambar 3.9.5.Poskesdes Percontohan di desa Kuta, Kecamatan Parado (kiri) dan Salah Satu Polindes di Kecamatan Parado (kanan)

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Page 361: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

337

Tenaga kesehatan yang melayani di puskesmas ada 32 orang terdiri dari 16

PNS, 3 PTT, 1 pegawai honorer dan 12 orang sukarela serta 1 orang tenaga kontrak.

Polindes/Poskesdes dilayani oleh 1 bidan PTT dan 2 PNS dan 2 tenaga sukarela. Desa

Lere termasuk desa terpencil.Kader kesehatan membantu kegiatan posyandu di desa

dan tercatat ada 70 orang kader dengan jumlah kader aktif sebanyak 54 orang. Jumlah

dukun ada 15 orang dengan 11 orang dukun terlatih (pernah mengikuti pelatihan).

Ruang KIA yang ada di bagian tengah kompleks puskesmas diisi dengan tempat

tidur persalinan. Kesan kurangnya kebersihan ruang terlihat dari barang-barang yang

kurang rapi penempatannya, kayu tempat tidur yang berwarna putih kusam, dengan

bercak-bercak darah mengering yang tidak dibersihkan dengan sempurna. Kurangnya

kebersihan juga terlihat di ruang-ruang pelayanan serta rumah tinggal para petugas.

Barang-barang tergeletak di lantai dan di sudut ruang, masih terlihat sampah yang

dibuang sembarangan.

Dalam hal ketenagaan,terlihat ada kekurang harmonisan secara internal,

sehingga dalam hal ini menjadi hambatandalam penyelenggaraan pelayanan. Menurut

pandangan Kepala Puskesmas yang sudah berdinas selama 4 tahun, ada beberapa

tenaga puskesmas yang kurang mengikuti aturan puskesmas yang telah ditentukan dan

disepakati.Pengangkatan tenaga bidan sukarela yang dilakukan akhir-akhir ini

membantu penyelenggaraan pelayanan KIA di polindes dan mendekatkan jarak

petugas kesehatan kepada masyarakat.

3.9.3. Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak

Kesehatan ibu dan anak di wilayah Puskesmas Parado tercermin dari hasil

cakupan pelayanan KIA. Data tahun 2010 dari profil Puskesmas Parado, menunjukkan

bahwa 55,56% atau 130 orang ibu yang persalinannya ditolong oleh tenaga kesehatan.

Angka ini bahkan menurun dari tahun 2009 yang memberikan gambaran persalinan

oleh nakes sebesar 60,94%. Sampai dengan September 2010 tercatat pasangan usia

subur 1.163 pasangan, dan 732 diantaranya sebagai peserta KB aktif (62,94%). Namun

angka ini belum termasuk data pasangan yang mengikuti KB kepada dokter praktek

swasta dan bidan swasta. Gambaran ini adalah data terkini (tahun 2010) yang bisa

Page 362: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

338

diperoleh dalam profil puskesmas. Tidak diperoleh data puskesmas Parado untuk

tahun 2011.

Nilai-nilai yang berkembang dalam Masyarakat tentang Ibu Hamil, Ibu Bersalin dan

Bayi/Anak

Menurut tokoh masyarakat (toma) atau tokoh agama (Toga), masyarakat sangat

mengutamakan pendidikan. Mereka (tokoh masyarakat) akan merasa malu jika dalam

keluarganya tidak ada yang berpendidikan sarjana. Dari tokoh masyarakat yang hadir

pada FGD, sebagian besar memang mempunyai anak sarjana atau diri sendiri paling

tidak berpendidikan D3. Pengadakan dana pendidikan menjadi prioritas utama,

mereka menginvestasikan hartanya dalam bentuk hewan ternak, sawah atau ladang.

Ternak akan dijual bila membutuhkan biaya untuk pergi haji atau menyekolahkan anak.

Gambar.3.9.6. Tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama saat FGD Sumber: Dokumentasi Peneliti

Siklus kehidupan seseorang bermula dari lahirnya bayi, yang kemudian terus

tumbuh menjadi anak bawah lima tahun (balita), remaja, dewasa, tua, dan meninggal

dunia. Dalam kehidupan yang dijalani, individu tidak bisa lepas dari lingkungan

sekitarnya mulai dari keluarga dan lebih luas lagi masyarakat. Dalam suatu keluarga

yang umumnya terdiri dari ayah, ibu dan anak, terjadi interaksi antar anggota keluarga

khususnya yang berdiam dalam satu rumah. Keluarga di kecamatan Parado pada

umumnya terdiri dari keluarga inti. Tapi pada pasangan yang baru menikah, seringkali

Page 363: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

339

mereka masih tinggal bersama dengan orangtua pihak suami atau pihak isteri, sesuai

dengan kesepakatan keluarga.

Kehamilan merupakan kondisi yang sangat diidam-idamkan pasangan yang

menikah. Anak adalah harapan orangtua di masa datang sehingga harus dijaga secara

hati-hati dengan memberikan perlakuan yang baik kepada ibu hamil baik secara psikis

melalui lingkungan islami yang santun dan secara fisik melalui pemberian gizi yang baik

dan lingkungan yang sehat. Berikut pernyataan seorang tokoh agama tentang tindakan

yang seharusnya dilakukan oleh orangtua agar tidak berdampak terhadap anak dalam

kandungan.

“……, orang tuh yang gimana, dia yang sedang hamil, dia melihat singa, akhirnya timbul bulu singa, anaknya..sudah fakta itu, tapi tak tahu mana yang benar ..makanya dalam kehamilan ini, dijaga makanan, minuman, dan semuanya diatur, supaya bayi yang dilahirkan nanti, sehat dengan sempurna. Kalau tentang makanan itu, makanan yang halal. Yaitu yang kita isi dalam perut, kalau kita ada..suami… kita cari, apakah dimana ini, kita harus tahu betul usulnya, makanya oleh semua itu, itu kehamilan yang berkaitan dengan agama. Karena ini adalah janin yang pertama, karena semua yang kita lahirkan yang pertama itu adalah sebagai harapan”.

Masyarakat memberikan perhatian cukup baik kepada perempuan hamil.

Pembinaan kepada perempuan dan masyarakat pada umumnya tentang perawatan

kehamilan selalu disiarkan melalui ceramah-ceramah agama, seperti pernyataan Bapak

S yang menjabat sebagai kepala desa.

“melakukan sistem pembinaan,…....mulai dari ibu hamil, kami sebagai tokoh

masyarakat itu di setiap hari Jum’at..di setiap ceramah-ceramah itu ada kata-kata

yang menuju pada pembinaan …,..jadi ibu hamil itu dapat memahami dan

mengerti arti kehamilan itu, ketika sedang hamil..tentunya dia akan

memeriksakan kehamilan itu..dan itu hubungan kerja dengan kedokteran-

kedokteran yang ada di Parado dengan masyarakat di lingkungan ini memang

rutin dilakukan seperti itu..kemudian diluar kegiatan posyandu, juga

dilakukan..ada pembinaan kesehatan yang disampaikan…”.

Dalam perkembangannya, ibu akan mengalami kehamilan selama 9 (Sembilan)

bulan sampai pada akhirnya bayi dilahirkan. Isteri di kecamatan Parado, pada

umumnya ikut bekerja membantu suami baik di sawah atau ladang dan mencari kemiri

di hutan. Kehamilan meskipun ada perhatian berbeda tetapi dianggap bukan sebagai

suatu peristiwa yang perlu perhatian terlalu berbeda. Pada saat kehamilan, pada

Page 364: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

340

umumnya suami memberi perhatian yang lebih pada isteri. Perhatian ini lebih dari

biasanya terutama pada kehamilan pertama dan setelah kehamilan tua (menjelang

persalinan).

Menurut suami dalam FGD diperoleh informasi bahwa suami memperingatkan

agar isteri berhati-hati menjaga kehamilan, menganjurkan untuk makan makanan

bergizi. Pekerjaan berat dilarang dilakukan bila usia kehamilan sudah besar (trimester

3). Tetapi pada umumnya ibu-ibu hamil tetap melakukan kegiatan sehari-hari yang

biasa dilakukan seperti memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah dan

membantu kegiatan di ladang. Bahkan sebagian ibu tetap ikut suami bermalam di

kebun untuk mencari kemiri yang menjadi salah satu mata pencaharian mereka. Bapak

SS memberikan pernyataan apa yang dilakukannya kepada isteri yang sedang hamil.

“Istri tidak oleh kerja terlalu keras. Pada waktu hamil nggak pergi ke sawah, Selama ini kasih sayang ibuk oleh suaminya, dia tidak suruh mengerjakan istrinya, dia di Posyandu katanya diperiksa kandungannya, mau mandi disinikan air kekurangan, biasanya ibu ini yang ambil air dan dia tidak kekurangan sambil memposisikan kondisi istrinya.”

Perlakuan istimewa tidak banyak diperoleh kaum ibu, kebiasaan bekerja keras

tidak membuat mereka manja. Kegiatan rutin tetap dijalani. Mereka baru berhenti

melakukan kegiatan sampai dengan menjelang persalinan. Ibu yang masih kuat

beraktifitas akan tetap melakukannya, bahkan dipercaya aktifitas akan membuat

persalinan berjalan lancar.

Kehamilan meskipun sesuatu yang diharapkan tapi sebagian mesyarakat tidak

ingin memperlihatkan kehamilannya. Masyarakat malu jika dibawa ke puskesmas pada

siang hari karena malu dilihat orang. Kehamilan disembunyikan dengan tidak

menceritakan bahwa kelahiran sudah menjelang. Hal ini dilakukan untuk menghindar

dari orang jahat yg akan membuat kelahiran menjadi ‘sulit’. Kepercayaan terhadap hal-

hal ghaib masih berkembang meskipun ritual-ritual agama juga dilakukan baik di

rumah maupun masjid yang banyak dijumpai di desa. Dengan sifat kekeluargaan yang

masih tinggi, masyarakat selalu ingin berpartisipasi dalam setiap peristiwa penting

yang terjadi pada suatu keluarga seperti persalinan. Perhatian masyarakat kepada ibu

bersalin terlihat dari perhatian mereka dengan berbondong-bondong mengantar ibu

bersalin ke puskesmas.

Page 365: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

341

“ Ya biasanya itu buk, yang melahirkan satu tapi yang mengantarkan itu sampai

lima puluh orang. kebetulan juga kita dari rumah, airkan..kita disini kan kesulitan

air buk. Tetangga-tetangga itu sudah mengambil air, sudah ada yang ini,

mempersiapkan yang itu. Bukan hanya satu orang tapi semua seperti itu, jadi

kayak arisan modelnya. Nanti kalau sudah disana, ada yang nyiapin air, pokoknya

seperti itu sudah biasa.”

Kepercayaan yang masih berkembang

Penduduk Kecamatan Parado yang merupakan daerah pedesaan memiliki ciri

sebagai masyarakat desa seperti di kebanyakan lokasi lain. Ikatan kuat antar warganya

dengan interaksi sosial yang intim serta menjunjung kebersamaan, masih terlihat

dalam kehidupan masyarakat. Tradisi-tradisi leluhurnya masih dipegang kuat dan

dilaksanakan meskipun sudah berkurang seiring dengan meningkatnya teknologi yang

masuk dan tingkat pendidikan masyarakat yang meningkat. Terkait dengan

kepercayaan yang berhubungan dengan KIA, masih cukup kuat berkembang

dimasyarakat.Macam-macam pantangan, tabu, kebiasaan yang berhubungan dengan

kesehatan ibu dan anak dikenal dan dipraktekan oleh keluarga-keluarga di sana.

Meskipun dikatakan oleh tokoh masyarakat bahwa penddikan masyarakat sudah

baik dan sudah banyak sarjana serta lulusan SMA (38,6% pendidikan SMA – sarjana),

tetapi masyarakat masih banyak yang percaya kepada hal-hal yang tradisional dan

ghaib.Kemungkinan hal ini terkait dengan masih tingginya pemahaman ‘benar’ tentang

upacara. Ada 55.7% responden ibu yang menjawab bahwa upacara berpengaruh

terhadap persalinan yang selamat.

Dalam kehidupan masyarakat masih banyak proses kehidupan yang dikaitkan

dengan mitos, pantangan, dan tabu. Dalam masa kehidupan seorang perempuan di

Parado, berbagai ritual, tradisi, pantangan/tabu masih banyak dilakukan, secara

terperinci di bedakan dari 3 yaitu masa kehamilan, persalinan dan pasca persalinan.

Kenyataan ini didukung hasil survey terhadap 70 orang ibu yang melahirkan 1 tahun

terakhir.

Page 366: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

342

Tabel. 3.9.3 Responden yang melakukan Upacara Adat pada Saat Kehamilan, Persalinan dan Pasca

Persalinan di Kecamatan Parado

Siklus Reproduksi “Ya” Melakukan Upacara

Kehamilan 32,9%

Persalinan 27,1%

Paca Persalinan 21,4%

Sumber: Data Primer

Masa Kehamilan. Masa kehamilan khususnya bagi perempuan yang baru

pertama hamil, merupakan peristiwa yang dinanti-nantikan. Kehamilan sangat dijaga

dan keluarga biasanya juga mendukung melalui berbagai pantangan yang harus

dilakoni ibu hamil. Ada kepercayan yang berkembang bahwa ibu hamil tidak boleh

keluar malam hari, kecuali ada kepentingan seperti periksa ke bidan.Keadaan ini

terungkap dalam FGD dengan suami yang menceritakan hal-hal yang harus ditaati ibu

hamil agar terhindar dari kesulitan.

“Setelah magrib, ibu hamil harus tinggal di rumah. Ibu hamil tidak boleh melewati kuburan. Umpama kita dari sawah ya, lewat gerbang pertanian sana ya”.

Kepercayaan terhadap makhluk gaib yang dapat mengganggu kehamilan

dikenal masyarakat Parado. Untuk melindungi ibu hamil, mereka juga mengenal cara-

cara tertentu. Daun tula merupakan daun yang dipercaya dapat menolak bahaya. Daun

tersebut dibawa ibu hamil atau suami dan diletakkan di persimpangan jalan untuk

menolak bala bagi ibu hamil, seperti dinyatakan seorang suami Bapak .

“Jadi kalau ada jalan yang apa namanya bercabang itu kata orang tua-tua dulu, itu menghindari setan dan lain sebagainya itu harus disimpan daun-daunan itu, daun ‘Tula’, namanya. Jadi istilah daun Tula, jadi pagi itu disimpan”.

Daun tula harus diletakkan oleh perempuan hamil atau suaminya di cabang jalan.

“Di cabang, untuk tola balak supaya nggak diganggu-gangu lagi atau biar nggak diikuti.”

Masyarakat Parado masih percaya mistik dan takut dijampe-jampe orang yang

tidak suka.Pertolongan dukun untuk menghindarkan dari makhluk gaib, dilakukan

karena menganggap dukun mampu melakukan hal tersebut dengan cara disembur.

Page 367: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

343

Upaya meminta tolong dukun dilakukan oleh isteri yang sedang hamil seperti

diutarakan bapak JK.

“Kalau pas dukunnya itu tahu , suruh pakai...,biar dia sembur gitu sama di pinggangnya saja katanya. Kalau air nggak dikasih katanya, pas dibaca jampi-jampinya itu pas dia sembur itu disininya”.

Berbagai pantangan dan anjuran kepada ibu hamil pada umumnya dilakukan

dengan harapan kehamilan dapat berlangsung dengan baik dan bayi serta ibu selamat

sampai dengan persalinan. Meskipun tidak memahami makna dari pantangan, tetapi

bagi ibu hamil yang mendapat ‘perintah’ dari orangtua atau keluarga, mereka akan

mematuhinya.

Tradisi Kiri Loko (nujuh bulanan) masih dikenal dan dilakukan sebagian

masyarakat Parado. Tradisi tujuh bulanan ini juga bisa dijumpai pada berbagai etnik

lain di Indonesia. Upacara ini dilakukan saat usia kandungan memasuki usia tujuh

bulan. Pada usia kehamilan tersebut, janin dalam kandungan telah membentuk

menjadi manusia yang utuh dan siap untuk dilahirkan dalam beberapa bulan ke depan.

Tradisi ini dipercayamemberikan kekuatan dan semangat kepada calon ibu

menghadapi peristiwa besar dalam hidupnya.Dalam prosesinya banyak menggunakan

simbol-simboldan makna kehidupan dari setiap prosesnya. (Taufa, NI.2011)

Berikut beberapa pantangan dan anjuran yang masih berlaku di masyarakat

Parado:

Page 368: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

344

Tabel. 3.9.4. Pantangan dan Anjuran Bagi Ibu Hamil di Kecamatan Parado

Pantangan/Tabu Anjuran

Tidak boleh keluar rumah malam hari (setelah magrib)

Tidak boleh mandi sore hari

Tidak boleh mengikat rambut

Tidak boleh potong rambut saat hamil

Tidak boleh memakai kain/pakaian/handuk yang melilit badan/leher

Tidak boleh duduk di tengah pintu

Jika minum tidak boleh menyisakan air di gelas

Tidak boleh minum menggunakan gayung

Tidak boleh minum sprite

Tidak boleh minum es

Tidak boleh makan yang berminyak dan santan

Sering jalan kaki di pagi hari

Banyak jalan saat mendekati kelahiran

Makan sayur segar lebih banyak

Makan banyak buah

Minum air tuak/air kelapa

Makan lebih banyak

Istirahat yang cukup

Mandi 1 x sehari dengan waktu yang sama

Jangan bekerja berat

Persalinan. Adanya kepercayaan terhadap mistik menimbulkan ketakutan ibu

hamil menjelang bersalin dibawa ke puskesmas. Mereka menyatakan malu jika dilihat

orang, padahal sesungguhnya mereka tidak ingin kehamilannya diketahui orang lain

karena takut dijampe-jampe orang jahat. Pada saat menunggu persalinan, dukun juga

melakukan tradisi seperti sapuru yaitu menyembur bagian tubuh tertentu dari

perempuan hamil dengan ramuan yang dikunyah.

Berbagai tradisi masih hidup di masyarakat. Tradisi minta maaf isteri terhadap

suami dilakukan sebagai bakti seorang isteri dengan maksud agar nantinya persalinan

berjalan aman dan lancar. Tradisi sempuru yang dilakukan oleh dukun bertujuan

menghilangkan penat dan lelah (disemburkan ke punggung, pinggang dan kaki) serta di

dahi agar mata tidak menjadi terganggu pandangannya. Ramuan yang dikunyah dan

kemudian disembur, bervariasi tetapi pada umumnya adalah bahan ramuan yang

bersifat panas seperti daun sirih, buah pinang, kapur, dan kadang masih ditambah

jahe, bunga cengkih atau merica.

Page 369: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

345

Tabel. 3.9.5

Ritual, Pantangan dan Anjuran Bagi Ibu Bersalin di Kecamatan Parado

Ritual, tradisi, atau adat tertentu Pantangan/Tabu Anjuran

Ibu bersalin minta maaf kepada suami dan kedua orangtua agar persalinan aman dan selamat

Ujung rambut dimasukkan ke mulut ibu sehingga ibu muntah, merangsang keluarnya placenta

Sampuru: dukun menyembur ibu yang sedang dalam proses persalinan daun sirih, buah pinang dan kapur yang dikunyah. Disemburkan ke kening dengan maksud agar pandangan tidak miring (pusing). Menghilangkan sakit kepala saat bersalin.Disemburkan juga pada bahu, punggung, pinggang dan tumit

Memakai ramu-ramuan di kening untuk memberi rasa hangat pada tubuh ibu sehingga ibu tidak loyo dan mempercepat. proses persalinan (dapat juga dengan cara disembur dukun ramuan yang dikunyah disemburkan ke kening, bahu, pinggang, punggung dan tumit). Ramuan yang dipakai berupa: cengkih, jahe, merica.

Pintu rumah dibuka: dengan tujuan agar jalan lahir terbuka dan persalinan berjalan lancar

Suami menginjak kepala isteri 3 kali

Hangga lawa: minum air yang diberi do’a oleh dukun agar pintu lahir terbuka

Tidak boleh mengikat rambut agar anak tidak ada lilitan tali pusat

Semua yang terkunci, dibuka

Tidak boleh melilit kan handuk /sarung di leher saat persalinan

Minum minyak kelapa pada saat proses persalinan

Minum kecap pada saat proses persalinan untuk merangsang sakit perut /kontraksi rahim

Minum madu dan kuning telor

Minum air do’a supaya melahirkan dengan selamat

Makan daun sirih

Banyak berzikir dan istigfar

Keterangan ( Bhs. Indo = Bhs Bima)

Cengkeh = cengke; Merica = sahe jawa; Cabe jawa = sabia; Jahe = rea; Temulawak= temulawa; Kunyit = huni; Daun sirih = nahi; Kapur = afu; Pinang = U’a

Sumber: Data Primer

Pasca Persalinan. Berbagai kepercayaan juga dilakukan masyarakat setelah

terjadnya kelahiran.Di Masyarakat Parado yang sebagian besar (hampir seluruhnya)

dari etnik Mbojo, bayi sebelum usia tujuh hari tidak boleh turun dari rumah. Bagi ibu

melahirkan tidak masalah keluar rumah segera setelah melahirkan. Tradisi yang sudah

sejak lama ada tersebut masih berlangsung sampai sekarang seperti penuturan

seorang suami.

“Tradisi mungkin, sudah tradisi sejak dulu. Katanya sih nggak diperbolehkan, nggak tahu alasan apa juga, wong sudah ada di adat semua jadi, harus tujuuh hari tidak boleh di gendhong atau diluar, maksudnya diluar rumah. Hanya

Page 370: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

346

didalam rumah aja.Iya ada, apa namanya doa takaran, doa pas dikasih nama ‘Sapisan’ itu tujuh kali baru bisa diturunkan dari rumah”.

Sebagai umat Islam, tradisi aqiqoh, yaitu menyembelih hewan kambing (1 ekor

bagi anak perempuan, 2 ekor bagi anak laki-laki) dilakukan namun

waktupelaksanaannya tergantung kesiapan keluarga. Pada saat aqiqoh juga dilakukan

pemberian nama. Ritual ini biasanya dilakukan bersamaan dengan dengan acara

Cafisari, Bokasari dan Boru honggo. Menurut agama Islam sendiri kewajiban ini tidak

harus dilakukan segera setelah lahir, tapi bisa menunggu kemampuan orangtua

menyediakan kambing yang akan disembelih.

Kerukunan warga terlihat pada saat berlangsungnya upacara adat, tetangga

dan keluarga datang untuk membantu kegiatan selamatan tersebut. Keluarga ibu

bersalin, memasak kambing yang disembelih dibantu tetangga dan keluarga.

Disamping itu, kebiasaannya adalah memasak ketan sebanyak 20-30 kilo yang dimasak

dengan santan. Masyarakat bergotong royong memasak, dan juga datang sambil

membawa beras 1-2 kg untuk diberikan kepada keluarga yang baru mempunyai bayi.

“ …. disini juga ada istilah ‘Tikamii’, itu orang kayak arisan-arisan tadi itu. Jadi tiap rumah itu ada yang bawa beras ada yang satu kilo dua kilo, jadi dibawa. Nanti kalau ada acara rumah selanjutnya lagi, ya begitu lagi”.

Cafisariadalah salah satu upacara/kegiatan yang dilakukan di rumah ibu yang

baru melahirkan. Upacara dipimpin oleh dukun bersalin, dilakukan pada hari ke 7

paska persalinan dengan tujuan membersihkan tempat bersalin/rumah ibu

menggunakan beras kuning, air kelapa. Sejak saat itu, bayi sudah boleh dibawa keluar

dari rumah panggung. Hidangan makanan untuk tamu yang selalu disajikan adalah nasi

ketan. Saat itu, dukun diberi imbalan berupa ayam, beras atau uang, sesuai

kemampuan keluarga.

Page 371: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

347

Tabel. 3.9.6.

Ritual, Pantangan dan Anjuran Bagi Ibu Pasca Persalinan di Kecamatan Parado

Ritual, tradisi, atau adat tertentu Pantangan/Tabu Anjuran

Sempuru: dilakukan juga setelah persalinan. Pemberian bahan ramuan yang disemburkan dukun agar ibu tidak pegal-pegal, menghilangkan sakit kepala, atau agar pandangan tidak kabur.

Keramas ibu paska pesalinan : kelapa diparut diambil santannya, jeruk purut, temu giring, cabe jawa.

Bayi diadzani segera setelah lahir

Cafisari: upacara hari ke 7 kelahiran bayi

Bokasari: acara potong rambut, dilakukan pada hari 7 bersamaan dengan catisari.

Boru honggo: cukur rambut bayi pada hari ke tujuh

Bayi ditidur kan di atas alas kain tenun Bima sebanyak 7 lembar dan di bawah bantal biasanya disimpan benda tajam seperti pisau/keris

Aqiqah Penggunaan bawang putih pada bayi

dengan cara disematkan di baju menggunakan peniti, dengan maksud agar tidak diganggu makhluk gaib.

Bayi belum boleh keluar rumah sampai dengan tujuh hari

Tidak boleh keluar rumah sebelum 44 hari

Ibu banyak makan sayuran segar seperti sayur bening agar air susu banyak keluar

Makan ramuan penghangat badan

Pengetahuan Masyarakat tentang Kesehatan Ibudan Anak

Tingkat pengetahuan kesehatan dilihat berdasar jenis pertanyaan dapat dibagi

3 jenis yaitu pengetahuan tentang perawatan Kehamilan (Ante Natal Care = ANC),

pengetahuan tentang persalinan dan pengetahuan tentang paska persalinan.

Meskipun Parado termasuk kecamatan yang agak terpencil lokasinya, namun

kepedulian masyarakat terhadap pendidikan cukup baik. Kecamatan Parado yang

merupakan kecamatanpemekaran. Hasil survey menunjukkan tingkat pendidikan

responden yang cukup baik yaitu38,6% berpendidikan SMA sampai dengan sarjana,

27,1% SLTP, dan 34,3% tamat SD ke bawah. Memiliki tokoh masyarakat yang aktif

dalam bidang sosial termasuk kesehatan, melakukan penyuluhan melalui ceramah

agama dan pertemuan lain.

Page 372: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

348

“…… kita baru..2003 bu..mekar..baru beberapa tahun..tapi, puskesmas ini dibangun sebelum pemekaran kita..dengan kemitraan kita tokoh masyarakat itulah..ada istilah dulu..karena memang kita sadari, sebelum puskesmas ini datang, karena memang tingkat kehamilan ini..ibu hamil ini meninggal baik dia maupun bayi memang,…....tapi karena banyak faktornya, terutama dulu..pengetahuan,dan mereka belum sadar. Kalau awal-awal sulit bagi kami bu, karena teknologi saat ini belum dipahami..nah dengan kita dalam membuat ceramah agama.. hajatan...di khutbah dan pertemuan di beberapa kelompok masyarakat, kita sadarkan mereka..sehingga mereka sadar sendiri sekarang..mereka ke puskesmas..”

Pengetahuan masyarakat tentang kesehatan diperoleh dari berbagai cara, ada

ibu hamil yang mengikuti pelatihan tentang kehamilan dan persiapan persalinan, atau

melalui penyuluhan oleh kader yang dilakukan saat posyandu. Pengetahuan kesehatan

diperoleh melalui penyuluhan yang ada di desa, seperti diungkapkan oleh tokoh

masyarakat:

“Karena kan, apalagi sekarang dengan banyaknya penyuluhan kesehatan, dengan

pertemuan tingkat desa serta aktifnya kader-kader ketika Posyandu dikasih

penyuluhan. Bahkan ditiap-tiap Posyandu ada diadakan bubur PMT, jadi itu kan

tidak hanya untuk anak-anak ibu-ibu sekalian ibu bidan memberikan juga misalnya

penyuluhan-penyuluhan seputar dunia kehamilan, makanan apa yang harus

dikasih dan sebagainya.”

Selain itu, perolehan informasi juga didapat dalam pertemuan-pertemun yang

diselenggarakan oleh lintas sektor seperti disampaikan seorang tokoh agama.

“saya itu juga selalu aktif didalam mengikuti rapat lintas sektoral. Untuk penyuluhan yang berkaitan dengan bayi yang meninggal, kemudian nikah dibawah umur dan lain sebagainya yang diadakan oleh Puskesmas itu buk”.

Kehamilan.Pengetahuan ibu tentang pemeriksaan kehamilan terbukti cukup

baik. Pengetahuan tentang pemeriksaan hamil diketahui dari 63 orang ibu yang

disurvei atau 76,7 persen memiliki pengetahuan yang benar yaitu memeriksakan

kehamilan paling tidak 4 kali selama kehamilan. Data ini mendukung hasil FGD dengan

suami yang sangat mendukung isteri untuk memeriksakan kehamilan di posyandu,

bahkan sebagian suami mendukung dengan mengantarkannya.

Pada saat periksa di posyandu mereka mendapat tablet tambah darah yang

menurut pengakuan diminum 2 kali sehari meskipun sering lupa mengonsumsinya.

Namun adanya rumor yang tersebar di masyarakat tentang dampak minum tablet

tambah darah dapat menganggu perilaku minum tablet tambah darah pada ibu hamil.

Page 373: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

349

Rumor yang berkembang adalah ‘kalau minum tablet besi kepala bayi besar’. Rumor

tersebut bila tidak diimbangi dengan informasi yang benar dapat menganggu cakupan

pemeriksaan kehamilan yang sudah baik yaitu 98,6 % (n=70) ibu menerima pelayanan

tenaga kesehatan untuk perawatan kehamilan.

Pemahaman tentang pentingnya pemeriksaan tekanan darah sudah terungkap

dari data survey ibu, terbukti 96,7% mempunyai pengetahuan yang benar bahwa

pengukuran tekanan darah penting dilakukan saat pemeriksaan kehamilan untuk

mendeteksi adanya resiko kehamilan. Namun sayang tidak cukup banyak ibu yang

mempunyai pengetahuan ‘benar’ bahwa imunisasi Tetanus Toxoid seharusnya

diberikan sebelum kehamilan dan bukannya setelah persalinan karena hanya 40%

responden yang memberikan jawaban dengan benar.

Persalinan. Pengetahuan masyarakat melalui tokoh masyarakat/tokoh agama

dan suami pada FGD menunjukkan hasil cukup baik karena mereka mendukung bahwa

kemampuan bidan lebih baik daripada dukun. Pengetahuan ini didukung data survey

ibu yang menunjukan bahwa 90% responden memiliki pengetahuan ‘benar’ bahwa

bidan mampu menolong dengan lebih aman dibandingkan dukun. Namun masyarakat

tampaknya masih menyukai untuk melahirkan di rumah. Pernyataan ini didukung

dengan data pengetahuan yang menunjukkan bahwa 52,9% reponden (ibu) memiliki

pengetahuan yang benar bahwa melahirkan di rumah tidak sama amannya dengan

melahirkan di fasilitas kesehatan.

Pasca Persalinan. Aktifitas pasca persalinan baru boleh dilakukan setelah 3

hari, ternyata pernyataan yang ‘salah’ ini dijawab oleh 75,7% responden (70 orang),

demikian pula tentang larangan makan ikan laut, dijawab dengan salah oleh47,1 %.

Artinya, hanya 52,9% saja dari responden yang mengetahui bahwa setelah bersalin, ibu

boleh saja mengonsumsi ikan laut. Masih ada anggapan bahwa mengonsumsi ikan laut

akan berdampak buruk bagi ASI.

Page 374: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

350

Sikap Masyarakat tentang Kesehatan Ibu dan Anak

Hasil survey ibu menunjukkan bahwa sikap ibu yang mendukung upaya

pemeriksaan kehamilan, pesalinan dan pasca persalinan adalah sebagai terlihat pada

tabel di bawah ini:

Tabel. 3.9.7

Sikap Terhadap Pemeriksaan Kehamilan, Persalinan Dan Pasca Persalinan, Kecamatan Parado

Pernyataan Sikap

Mendukung (%) Tidak Mendukung (%)

1. PEMERIKSAAN KEHAMILAN

Penting periksa hamil 4 kali 77,1 22,9

Penting ukur tensi 97,1 2,9

Perlu tablet tambah darah 42,9 57,1

Perlu upacara agar selamat 35,7 64,3

2. PERSALINAN

Setuju lahir di rumah tidak

sama aman dengan lahir di RS

47,1 53,9

Setuju kemampuan dukun tidak

sama baiknya dengan bidan

50,0 50,0

3. PASCASALIN

ASI beda dengan madu 47,1 52,9

Penting kolostrom untuk bayi 74,3 25,7

Perlu KB pasca nifas 75,7 24,3

Kehamilan.Masyarakatrata-rata tidak memberikan perlakuan istimewa kepada

ibu hamil, tetapi sikap mereka khususnya suami dan anggota keluarga sedikit berbeda

pada ibu hamil khususnya di awal dan akhir kehamilan. Bila bisanya isteri selalu

membantu di suami memungut buah kemiri, ataupun bekerja di kebun, namun saat

isteri hamil biasanya isteri tidak diajak tinggal di hutan. Kebiasaan untuk mengajak

isteri tinggal di hutan beberapa waktu untuk memungut buah kemiri juga sedikit

dikurangi atau ditinggalkan, dengan maksud agar isteri yang hamil dapat beristirahat di

rumah. Seorang suami Bapak LK menyampaikan perlakuannya terhadap isteri yang

sedang hamil.

Page 375: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

351

”Ndak kita bawa istri, ….. tapi kalau jaman dulu itu kita bawa istri berkebun, sekarang juga nggak. Disana sudah ada kemajuan jaman lah, sudah tidak bawa istri berkebun. ….. Ndak, iya 4 bulan itu sampai 4 bulan itu aja, tapi kalau sudah sampai 4 bulan ndak. Artinya 2-3 hari sampai 4 hari itu pulang lagi. Nanti balik lagi jadi bisa tidur dirumah”.

Kesadaran pentingnya pemeriksaan kehamilan sudah diketahui oleh sebagian

besar suami. Oleh karena itu, mereka mendukung upaya isteri memeriksakan

kehamilan dengan cara selalu mengingatkan istri agar mentaati jadwal pemeriksaan.

Mereka memprioritas waktu pemeriksaan ibu hamil dengan memberi kesempatan istri

untuk memeriksakan diri di posyandu atau poskesdes yang dekat dengan tempat

tinggal mereka. Bagi mereka yang kebetulan sedang tinggal di hutan atau kebun

beberapa hari untuk bekerja, pada hari jadwal posyandu isteri diminta segera pulang

untuk pemeriksaan kehamilan. Berikut pernyataan tokoh masyarakat yang

menyampaikan kebiasaan masyarakat di desanya.

“Yang di pikirkan oleh Petugas Kesehatan itu apabila mereka ada jadwal Posyandu kan, mereka nggak tahu jadwalnya Posyandu. Ya kadang-kadang sudah mau jadwal Posyandu hari ini mereka baru kembali ke kampung besuk”.

Kebiasaan di Parado, ibu hamil tetap pergi ke sawah juga mengambil kemiri di

hutan sampai dengan umur kehamilan tertentu atau sampai ibu merasa sudah tidak

kuat lagi, seperti disampaikan seorang tokoh agama.

“….Sampai umur enam bulanan. Kalau biasanya disini itu, dari pagi sampai sore

itu suaminya ke sawah. Kalau istrinya itu pekerja rumah, ambil air semua itu

istrinya”.

Persalinan. Perhatian masyarakat kepada persalinan sangat baik.

Kegotongroyongan dan kepedualian tinggi untuk mengantar ibu ke tempat bidan

seperti disampaikan seorang bidan.

“Kalau disana masyarakatnya antusias sekali, misalnya kalau ada kelahiran itu bisa ribut banyak-banyak orang lalu mereka antar panggil bidan gitu”.

Khususnya bila ada komplikasi sehingga harus dirujuk, biasanya mereka akan

berbondong-bondong mengantar ke Rumah Sakit (RS). Demikian juga saat pulang,

mereka juga akan datang menjemput.

“Ya biasanya itu buk, yang melahirkan satu tapi yang mengantarkan itu sampai lima puluh orang. kebetulan juga kita dari rumah, airkan..kita disini kan kesulitan air buk. Tetangga-tetangga itu sudah mengambil air, sudah ada yang ini, mempersiapkan yang itu. Bukan hanya satu orang tapi semua seperti itu, jadi

Page 376: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

352

kayak arisan modelnya. Nanti kalau sudah disana, ada yang nyiapin air, pokoknya seperti itu sudah”.

Bila persalinan normal, biasanya mereka hanya tinggal satu hari di puskesmas,

langsung pulang. Mereka akan mengunjungi rumah ibu bersalin sambil membawa air

yang diperoleh dari orang tertentu yaitu air yang sudah diberi do’a sebagai upaya

menjaga kehamilan dan persalinan agar berlangsung aman dan selamat.

“….dirumah mereka bawa air”

Masyarakat menyadari pentingnya pengaturan jumlah anak melalui kepesetaan

KB. Masyarakat melalui suami setuju dengan KB, kalau itu merupakan persyaratan

Jampersal. Sebagai masyarakat agamis Islam, mereka menganggap tidak ada masalah

dengan KB, lagipula adanya tokoh masyarakat seharusnya mendukung upaya

pemerintah.Rata-rata penduduk sudah menggunakan KB, walaupun ada yang memiliki

anak lebih dari 4 orang. Pelayanan KB diperoleh dari bidan, namun seorang suami

menyatakan bahwa isterinya menggunakan KB IUD tetapi tidak cocok dan terjadi

perdarahan per vaginam.

“Saya kira nggak ada ibuk, justru tokoh-tokoh agama harus ngasih contoh, maksudnya karena anaknya sudah selang tiga tahun empat tahun. Saya, jarak anak saya dari yang kedua dan yang ketiga itu sebelas tahun.”

a) Praktek/Tindakan Kesehatan Ibu dan Anak

Praktek pelaksanaan pemeriksaan kehamilan, persalinan dan pasca persalinan

tidak lepas dari pelayanan oleh bidan dan dukun. Berikut ini hasil pelayanan yang

diterima oleh ibu dari bidan dan dukun.

Tabel. 3.9.8. Pelayanan yang Diterima Responden dari Bidan dan Dukun di Kec. Parado

Jenis Pelayanan oleh Bidan ‘Ya’ Terima Yan Bidan

Jenis Pelayanan oleh Dukun ‘Ya’ Terima Yan Dukun

Periksa Kehamilan 97,1% Periksa Kehamilan 78,6%

Persalinan 97,1% Persalinan 20,0%

Rawat Pasca Salin 82,9% Rawat Pasca Salin 8,6%

KB 72,9% Jamu Ibu 17,1%

Pijat Bayi 18,6% Rawat bayi 42,9%

Buat Jamu Ibu 4,3% Buat jamu Bayi 10,0%

Upacara 0,0% Upacara 20,0%

Sumber: Data Primer

Page 377: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

353

Keberadaan puskesmas, barulah dikenal semenjak pemekaran pada tahun

2003. Puskesmas yang semula adalah puskesmas pembantu telah dikembangkan

menjadi puskesmas perawatan dengan memanfaatkan bekas gedung sekolah yang

berada satu kompleks dengan gedung pustu. Puskesmas dilengkapi dengan

polindes/poskesdas dan posyandu sebagai temat pelayanan KIA.

Kehamilan. Pemeriksaan kehamilan ke bidan dilakukan hampir seluruh ibu

yang disurvei (97,1%) namun tidak menghapuskan kebutuhan untuk memeriksakan diri

ke dukun yang ternyata dilakukan oleh78,6% responden. Pemeriksaan dilakukan

kepada keduanya, baik bidan dan dukun karena kebutuhan yang berbeda. Kepada

bidan, mereka memerikakan secara medis yaitu periksa tekanan darah dan mendapat

obat. Kombinasi pemeriksaan ini dikemukakan seorang suami saat diskusi dpada FGD.

“Setiap bulan periksa ke bidan saat posyandu atau poskesdes, selain itu juga

dibawa ke sando”

Keberadaan dukun yang dekat dengan rumah ibu kemungkinan menjadi

penyebab masyarakat memanfaatkan jasanya. Informasi ini didukung data survey ibu

yang menunjukkan alasan memeriksakan kehamilan ke dukun karena tradisi (30%),

percaya (21,4%), anjuran orangtua atau suami (10%) dan arena rumah dekat (8,6%)

dianggap hanya mampu ditangani oleh dukun.Pemeriksaan kehamilan ke dukun masih

banyak dilakukan perempuan hamil di Parado bahkan dilakukan secara rutin seperti

pengakuan seorang suami.

Gambar 3.9.7 (samping) Seorang ibu dengan bayinya di atas tangga rumah. Gambar 3.9.8 (bawah) Rumah Panggung Sumber: Dokumentasi Peneliti

Page 378: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

354

“Periksa ke dukun sejak usia kandungan dua bulan, satu kali sebulan periksa”.

Persalinan. Para suami dan tokoh masyarakat menyatakan bahwa masyarakat

sudah sangat percaya terhadap bidan sebagai penolong persalinan. Persalinan dengan

penolong akhir bidan sebanyak 97,1%, namun bila ditelusur kepada penolong pertama,

ternyata dari jumlah tersebut 20% dengan penolong pertama dukun. Hal ini mungkin

terkait dengan kebiasaan masyarakat untuk mengundang dukun terlebih dahulu bila

ibu merasakan persalinan sudah menjelang. Ada kemungkinan bahwa 20% ibu

tersebut lahir ditolong dukun, sedang pemotongan tali pusat dilakukan oleh bidan. Hal

ini terkait pengakuan bidan yg menyatakan banyak dukun terlambat memanggil saat

ada persalinan.

“ di sini juga ada, mau melahirkan panggil dukun..baru panggil bu bidan.. ”,

Demikian pernyataan bapak R seorang tokoh masyarakat, dan diperkuat

pernyataan bapak TY seorang suami dengan anak 3 orang.

“ya...dukun terlatih juga..dulu memang..sebelum..kita jauh dengan puskesmas induk, jadi disini kan ada dua penilaiannya..pada bidan..dan juga dukun..tapi ada juga..ada beberapa orang yang masih percaya tentang keberadaan dukun terlatih itu..ya kita panggilkan, supaya sama-sama…”.

Meskipun masyarakat sudah condong memilih bidan sebagai penolong

persalinan, namun rumah masih menjadi tempat persalinan yang dipilih.Persalinan di

rumah seperti di Desa Lere yang terpencil masih banyak diminati masyarakat

khususnya yang lokasi rumahnya jauh dari Poskesdes. Ada beberapa alasan lain

mengapa melahirkan di rumah, seperti rasa malu dsb. Seperti dinyatakan suami

bernama BT.

“ jadi lihat lihat sikon Bu, biasanya kalau memang kondisinya ibu baru satu-dua kan malu..sehingga kadang-kadang melahirkan di rumah saja..sehingga bidan-bidan ini yang datang…”.

Kenyataan ini bisa dilihat dari hasil survey dengan ibu (n=70) di Parado,

ternyata 68 orang bersalin ditolong bidan, dan sebanyak 42,9% melahirkan di rumah,

35,7% di rumah bidan/polindes/poskesdes, 17,1% melahirkan di puskesmas dan 4,3%

di RS. Bidan juga mendukung kenyataan tersebut tahun 2010 akhir masih jarang ibu

yang melahirkan di sarana kesehatan, lebih banyak persalinan dilakukan di rumah, dan

kondisi ini mulai bergeser sejak tahun 2012, seperti dituturkan Bidan H.

Page 379: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

355

“Ya kalau disini memang persalinan itu, terbanyak itu di rumah. kalau akhir..,eh kalau awal 2012 baru banyak yang disarankan di Kesehatan. Kalau dulu mungkin pemahaman itu masih kurang apalagi disini jadi dari pendidikan itu masih sangat awam. Jadi pengetahuan mereka itu masih belum terlalu tahu untuk melahirkan dirumah. Dulu aja kita harus bertengkar,karena pernah ada kejadian kita baku saling apa sih saling tarik sarung itu kan saya minta sama bu Mil nya inpartu itu ayo melahirkan di sarana kesehatan kita melahirkan di Puskesmas”.

Perubahan ini terjadi setelah para bidan bahu membahu melakukan upaya

kemitraan Dukun dan bidan dikoordinir oleh bidan koordinator puskesmas serta

meningkatkan kesadaran ibu hamil melalui kelas penyuluhan yang dilakukan di

poskesdes/polindes seperti dituturkan seorang bidan dalam FGD.

“Ada juga bantuan, karena ada persalinan gratis juga dan ada dana bantuan dari dana BOK juga kita adakan kelas ibu seperti itu. ……, Itu ada kita kumpulkan ibu-ibu hamil, nah itu kayak kita kasih apa ya penyuluhan untuk mau melahirkan dengan bidan, melahirkan di sarana kesehatan. Jadi sedikit-sedikit pemahaman akhirnya alhamdulillah banyak kalau awal 2012 ini rata-rata melahirkan di sarana kesehatan ”.

Pasca persalinan.Setelah persalinan berlangsung, banyak hal yang harus

dilakukan keluarga antara lain merawat bayi yang baru lahir dan mungkin ibu belum

mampu melakukan aktifitas sehari-hari. Sebagaimana anjuran dalam kesehatan, ibu

pasca persalinan harus memeriksakan diri ke tenaga kesehatan paling tidak 4 kali. Hasil

data survey ibu di Parado menunjukkan bahwa 82,9% ibu memeriksakan diri sebanyak

1-4 kali pasca bersalin, sedang yang memeriksakan >=4 kali sebanyak 18,6%. Neonatus

yang diperiksakan 1-3 kali sebanyak 88,6%. Bukti tersebut menunjukkan bahwa

kesadaran ibu-ibu terhadap kesehatan dirinya sendiri dan bayinya sudah cukup baik.

Pengaturan jumlah anak melalui kepesertaan sebagai akseptor KB cukup

disadari oleh sebagian suami. Data survey menunjukkan 70% ibu mengikuti KB pasca

persalinan (kurang dari 42 hari setelah persalinan).

3.9.4. Faktor Sosial Budaya terkait Pemilihan Penolong Persalinan dan Pemanfaatan

Pelayanan Jampersal

Masalah kesehatan ibu dan anak baik kematian maupun kesakitan

sesungguhnya tidak lepas dari sosial budaya serta lingkungan dimana ibu dan anak

tersebut berada.Faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti konsep tentang

berbagai pantangan, anjuran, ritual, hubungan sebab akibat makanan dengan sehat-

Page 380: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

356

sakit, kebiasaan, memberikan dampak positip atau negatip. Masyarakat tradisional,

konsep budaya dapat dilihat dari perilaku berkaitan dengan kesehatan yang berbeda

dengan konsep modern yang berkembang. Sebagai contoh konsep modern yang

menekankan menyusui konsep ASI eksklusif selama 6 bulan tanpa pemberian makanan

lain selain ASI. Berbeda konsep tradisional suku tertentu yang bisa menggantikan ASI

dengan air kelapa muda atau air madu dan memberikan makanan padat pada usia bayi

yang masih dua bulan dengan tujuan agar bayi kenyang dan tidak rewel.

Perilaku budaya ini tidak lepas dari unsur-unsur budaya yang ada seperti

pengetahuan, geografi dan kependudukan. Dari gambaran sosial budaya yang ada di

kecamatan Parado, dapat digambarkan situasi wilayah yang diperkirakan

mempengaruhi perilaku terkait kesehatan ibu dan anak dalam peta berikut.

Gambar. 3.9.9. Peta Lokasi Dukun dan Sarana Kesehatan di Kecamatan Parado

Page 381: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

357

Pengambilan Keputusan

Sebagai masyarakat yang masih kental dengan budaya lokal, penduduk Parado

merupakan masyarakat dengan sikap terhadap agama yang masih sangat

kuat.Penghormatan terhadap orangtua masih sangat baik. Tokoh masyarakat menjadi

tempat mencari nasehat terkait dengan keputusan yang ingin diambil di tingkat

keluarga atau di tingkat masyarakat. Masih banyak yang mengacu aturan orangtua

dalam bertindak. Mereka,khususnya pasangan muda dan yang masih tinggal bersama

orangtua selalu mengikuti saran orangtua dalam pengambilan keputusan baik tentang

kesehatan maupun non kesehatan.

“….. dalam keluarga otomatis ya, kalau ada orang tuanya, ya orangtua..kalau ada ibu, ya ibu…..”

Sedikit berbeda dalam rumah tangga yang mandiri, pada umumnya keputusan

dalam rumah tangga adalah berdasar mufakat suami isteri dalam berbagai hal

termasuk dalam perawatan kehamilan, menentukan penolong persalinan dan

perawatan paska persalinan.

Dalam melakukan upaya perawatan kehamilan, biasanya istri melakukan

sendiri dengan melakukan pemeriksaan ke bidan di posyandu atau polindes. Bentuk

perhatian suami pada saat isteri hamil hamil antara lain mengingatkan isteri untuk

memeriksakan diri ke posyandu, tidak mengerjakan pekerjaan berat seperti

mengangkat air untuk keperluan rumah tangga, melakukan pekerjaan kebun yang

ringan saja, istirahat yang cukup dengan memperhatikan jam tidur. Suami juga

menganjurkan istri yang sedang hamil agar mengkonsumsi sayur dan buah. Beberapa

suami menyatakan mengetahui isterinya mengikuti pelatihan ibu hamil yang

diselenggarakan oleh bidan di polindes.

Penentuan bersalin di fasilitas kesehatan seringkali sulit dilakukan oleh karena

adanya anggapan bahwa bersalin ke faskes bisa menyebabkan persalinan dalam

keadaan gawat. Hal ini terkait dengan pengalaman sebelumnya yang diketahui

masyarakat, padahal menurut bidan hal tersebut terjadi akibat pertolongan dukun

yang akhirnya terlambat merujuk.

“Iya itu juga mungkin dari biayanya juga mikirnya tapi kita juga kasih penjelasan seperti ini. Jadi kalau mereka itu kalau ke Puskesmas itu memang pengalaman dari dulu-dulu. Kalau sudah dalam keadaan yang sangat gawat sekali baru mau ke

Page 382: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

358

sarana kesehatan. Jadi itu kebawa terus, jadi kalau dia ke sarana kesehatan, berarti dia sudah gawat. Itu pikirannya”.

Pengambilan keputusan bahkan bisa terjadi karena keadaan. Sebagai contoh

ibu G semula sudah berencana melahirkan dengan bantuan bidan tapi kemudian tetap

ke dukun karena rumah dukun lebih dekat dibanding rumah bidan. Meskipun

persalinan ditolong dukun, tetapi ibu G tetap memeriksakan kehamilan ke bidan, hal

ini karena pemeriksaan kehamilan waktunya bisa diatur sedang persalinan bisa terjadi

sewaktu-waktu.

“Gampang kalau melahirkan semuanya ketiga anaknya ini, mudah katanya makanya dia langsung ke dukun itu, karena dekat juga, …..sebetulnya sudah ada keinginan ke bidan”.

Pengambilan keputusan dalam pemilihan penolong persalinan maupun

perawatan kehamilan dan pasca persalinan tidak bisa lepas dari keberadaan dukun dan

bidan yang merupakan tokoh kunci pelayanan KIA. Oleh karena itu keberadaan dukun

dan bidan perlu dikupas lebih dalam lagi.

Dukun dalam Pandangan Masyarakat

Dukun masih cukup banyak dijumpai di kecamatan Parado. Di 5 desa yang ada,

jumlah dukun masih cukup banyak yaitu 17 orang dukun aktif. Jumlah yang cukup

besar dibandingkan dengan jumlah bidan yang ditugaskan di desa yang hanya

berjumlah 5 orang. Dukun masih diharapkan dan dibutuhkan masyarakat karena

masyarakat sudah biasa pergi ke dukun, seperti terungkap dalam FGD dengan Tokoh

Masyarakat.

“Karena sudah ada kebiasaan dari dulu untuk pergi ke dukun, tapi untuk periksa ke Puskesmas juga masih. Kadang-kadang kalau mereka ada dirumah, baru ibunya itu ada gerak-geraknya bayi itu pasti ke dukun, karena bidan itu jauh. Yang lebih dekat karena dukun itu kan juga terlatih, tidak sembarang ke dukun kan itu.”

Dukun pada masa lalu memperoleh pelatihan dari puskesmas sebagimana

pengakuan dukun S yang mendapat pelatihan pada tahun 1997. Dukun yang ada pada

umumnya adalah dukun yang sudah lama berpraktek, tidak ada dukun baru yang

muncul. Berdasar wawancara dengan dukun S, diperoleh informasi bahwa dukun yang

pernah mendapat pelatihan dari puskesmas, diberi peralatan untuk persalinan seperti

gunting, sarung tangan dan lainnya yang masih tersimpan dengan baik. Dukun terlatih

Page 383: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

359

ini merupakan orang-orang yang dipercaya masyarakat mempunyai kemampuan yang

cukup seperti disampaikan bapak G:

“Pada dasarnya semua nggak ada yang keberatan, karena dukun itu ada yang terlatih, ya dilatih oleh Puskesmas itu. “

Menurut pengakuan dukun, sejak tahun 2011 (sejak ada Jampersal), mereka

sudah tidak menolong persalinan lagi kecuali terpaksa. Dukun membantu bidan dalam

pertolongan persalinan. Dukun biasanya dihubungi terlebih dahulu oleh keluarga ibu

yang akan melahirkan, barulah bila saatnya telah tiba, atas petunjuk dari dukun

keluarga atau dukun atau kader akan menghubungi bidan.Saat awal tersebut, dukun

akan menunggu ibu menjelang persalinan sambil mengamati perkembangan proses

persalinan. Bila dirasa sudah waktunya maka bidan baru dihubungi. Hal ini karena

menurut anggapan masyarakat dukun mempunyai kemampuan mendeteksi kapan

persalinan akan terjadi. Berikut penjelasan dukun tentang tanda-tanda

inpartu(menjelang persalinan).

“ Mau lahir kalau telah keluar lendir campur darah yang kental, pinggang terasa pegal dan sakit, ….. “

Bila tanda-tanda tersebut sudah dirasakan ibu, maka saatnyalah untuk

memanggil bidan. Sarana hp menjadi penghubung utama antara dukun, bidan dan ibu

bersalin untuk saling berkomunikasi.

Gambar 3.9.10.

Peralatan Persalinan

Dukun yang Diperoleh

Saat Pelatihan

Sumber: Dokumentasi

Peneliti

Page 384: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

360

Pemanfaatan dukun atau Sando pada saat persalinan diduga terus berlangsung

karena kebiasaan setempat disamping peran dukun terkait ritual menjelang persalinan

dan kesediaan untuk menunggu ibu, seperti diutarakan seorang tokoh masyarakat.

“….dan sedikit untuk membantu..ya namanya di Parado ini ada sistim manunggu..ketika orang sedang..akan melahirkan..bersama dia melihat pada saat proses melahirkan, tidak malu mereka, ya dibantulah oleh bidan-bidan itu….”

Terkait dengan pemanfaatan dukun, kenyataan tersebut sesuai dengan alasan

yang berhasil dikumpulkan dari hasil survey kepada ibu yang melahirkan dalam kurun

waktu 1 tahun terakhir. Para ibu (55 orang) melakukan pemeriksaan kehamilan ke

dukun dengan alasan terbanyak karena percaya kepada dukun (38,2%) dankarena

tradisi (27,3%). Dari gambaran tersebut menunjukkan bahwa keberadaan dukun masih

melekat erat dalam kehidupan masyarakat melalui tradisi yang dianut masyarakat.

Kemampuan dukun dalam melakukan kegiatan tradisi sudah mulai berkurang

seiring kepercayaan masyarakat yang semakin meningkat kepada bidan. Masalah

persalinan biasa diselesaikan dukun dengan jampe-jampe dan memberikan ramuan

tradisional seperti diungkapkan seorang dukun saat diwawancara.

“Sekarang sudah tidak memberi jampe-jampe lagi, karena sudah diberi obat puskesmas”.

Ramuan yang dipergunakan untuk mempercepat lahirnya bayiterdiri dari air,

madu (2 sendok makan), kuning telur (1 buah) dan merica (7 butir). Ibu dalam proses

persalinan akan disembur dengan sirih, pinang, kapur sirih, cengkeh, merica dan jahe

yang dikunyah dukun. Bahan-bahan tersebut, setelah dikunyah,disemburkan ke

kening, perut dan pinggang. Kebiasaan ini walaupun mulai berkurang tetapi masih

Gambar 3.9.11.

Seorang Sando (Dukun

Bersalin) dengan Alat

Menginangnya

Sumber: Dokumentasi

Peneliti

Page 385: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

361

dilakukan. Dukun S yang menyatakan bahwa giginya sudah tidak kuat lagi menyatakan

tidak lagi mampu mengunyah bahan-bahan ramuan untuk disemburkan.

Ketrampilan dukun dalam mengatur posisi bayi dalam kandungan menjadi

salah satu alasan memanfaatkan dukun. Seorang suami menyatakan pernah

memanggil dukun untuk membetulkan posisi bayi dalam kandungan isterinya.

“Pernah, memang pernah tapi saat itu, sekitar tujuh bulan atau delapan bulan kadang kan anak-anak itu kan juga sudah gerak-gerak. Takutnya anaknya apa atau bagaimana akhirnya ke dukun itu. Untuk memposisikan posisi bayi”.

Dukun dirasakan masyarakat sangat ringan tangan karena mau datang setiap

hari membantu keluarga yang melahirkan. Dukun memandikan dan membersihkan

bayi selama 20 hari atau tergantung kebutuhan ibu bersalin. Biaya yang harus

dibayarkan kepada dukun juga tidak mahal, bahkan bisa dibayar bila sudah ada uang

atau saat pelaksanaan selamatan. Penuturan seorang ibu yang persalinannya ditolong

menggambarkan betapa sangat fleksibel pembayaran untuk dukun yang diduga

merupakan mengapa masih banyak orang memilihnya.

“Iya, tidak bayar….. pas tujuh hari pas waktu selamatan itu di kasih nasi ketan sama pisang gitu. Dibersiin sama dukunnya itu sama dua puluh hari, ibu sama bayinya.

Mereka dengan ikhlas membantu tanpa mengharap imbalan berlebihan.

Mereka mau datang setiap hari walaupun nantinya hanya diberi ketan dan pisang pada

saat selamatan 7 hari dan uang ala kadarnya.Alasan lain memilih jasa dukun antara lain

karena kedekatan rumah serta kesediaan dukun untuk menunggu ibumenanti saat saat

persalinan sampai dengan setelah persalinan.

“Iya katanya kalau sama dukun itu di tungguin, sama dukun itu sampai lahir.”

Berikut ini beberapa dukun dengan pengalamannya dalam menolong ibu hamil

dan bersalin:

(1) Ina SI(Ina = ibu), berusia sekitar 70 tahun sangat bangga menceritakan perannya

sebagai dukun merangkap kader kesehatan. Salah seorang puterinya sekarang

juga menjadi kader kesehatan. Selama ini pilihannya menjadi dukun adalah karena

ingin membantu orang dan menyenangkan orang lain agar mendapat pahala

sebanyak-banyaknya. Masalah rejeki yang diperoleh dari menolong ibu

melahirkan, bukanlah tujuan utamanya. Oleh karena itu, Ina SI tidak pernah

menentukan besaran biaya dari ibu atau keluarga yang ditolongnya.Masyarakat

Page 386: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

362

pada umumnya memberikan makanan atau beras atau gula dan bahan kebutuhan

sehari-hari sebagai imbalan jasanya merawat ibu dan bayi sebelum dan setelah

persalinan.

(2) Ina O. Diawal menjadi dukun atau sando, pernah mendapat pelatihan dukun di

rumah sakit sekitar tahun 1992. Bahkan, beliau juga memiliki peralatan (dukun kit)

yang masih disimpan dengan rapi. Peralatan berupa gunting, alat timbangan bayi,

benang, 2 sarung tangan digulung dalam kain blacu yang disimpan di tas plastik.

Alat-alat tersebut masih tampak terawat dengan baik. Bila “terpaksa” harus

menolong ibu yang melahirkan, untuk memotong tali pusat digunakan gunting

yang disiram air panas kemudian diikat dengan tali yang sudah disediakan.

(3) Dukun S, adalah seorang dukun yang sudah berusia cukup tua yaitu sekitar 75

tahun. Mekipun tua, badan kecilnya masih terlihat sehat dan kuat menaiki tangga

rumah panggungnya. Saat ini sudah tidak terlalu aktif menjalani aktifitas sebagai

dukun. Adanya bidan di desa telah mengurangi tanggung jawabnya menolong ibu

yang melahirkan. Tugasnya saat ini lebih pada menunggu ibu yang sudah inpartu

yaitu yang sudah merasakan perut yang ‘kencang’ karena akan melahirkan, dan

merawatnya setelah persalinan selama 7 hari. Selain menyucikan placenta bayi,

dan membersihkan ibu dan bayi dari darah persalinan, tugas lain adalah

melakukan sempuru saat persalinan dan setelah persalinan.

Beberapa pengalaman diungkapkan dukun dalam menolong membetulkan

posisi bayi dalam kandungan yang tidak normal. Posisi akan diatur sehingga diharapkan

nantinya ibu bisa melahirkan dengan mudah dan posisi kepala di bawah. Seorang

dukun menyatakan bahwa Ina dukun pernah didatangi ibu hamil 7 bulan yang posisi

bayinya dengan bokong di bawah. Dilakukan pengaturan letak/posisi bayi dalam perut

beberapa kali. Upaya tersebut berhasil, terbukti ibu tersebut melahirkan dengan posisi

kepala bayi keluar terlebih dahulu. Menurut pengakuan dukun, upaya memutar atau

letak/posisi bayi dalam kandungan bisa dilakukan karena masih 7 bulan. Bila sudah

menjelang persalinan (9 bulan) upaya memutar letak bayi sudah tidak mungkin

dilakukan lagi.

Dukun lain bahkan menceritakan pengalaman menolong bayi dengan letak

bokong, dan bisa dilahirkan dengan selamat. Bahkan ada yang lahir dengan tangan

Page 387: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

363

keluar, lalu dilakukan tindakan ‘reposisi’memasukkan tangan dan memutarnya

sehingga bayi dapat lahir dengan selamat. Keberanian dukun meolong persalinan

dibuktikan dari pengalaman seorang dukun (Ina O) yang menyatakan pernah

memasukkan tangan (merogoh) kedalam rahim ibu setelah melahirkan. Tangan yang

telah dibungkus sarung tangan masuk sampai setengah dari lengan bawah, dan

mengambil placenta yang tidak bisa lahir karena tali pusat tiba-tiba putus dan masuk

kedalam rahim. Dengan upaya merogoh tersebut, plasenta berhasil dikeluarkan.

Dukun menyatakan bahwa keadaan ibu baik-baik saja dan selamat.

Meskipun ada beberapa kesulitan, namun dari dukun-dukun yang diwawancara

menyatakan belum pernah mengalami persalinan yang berakhir dengan bayi dan ibu

meninggal dunia. Pada umumnya mereka menyatakan, dengan do’a-do’a maka

keselamatan ibu dan bayi menjadi terjaga. Minuman berupa air yang telah

didoakanoleh dukun juga banyak dimanfaatkan untuk melancarkan persalinan.

Di desa Lere yang letaknya terpencil dan dikelilingi bukit, dikenal seorang dukun

laki-laki. Dukun ini satu-satu dukun yang ada, sehingga bila tidak ada bidan maka

masyarakat terpaksa meminta bantuannya. Dalam pertolongan persalinan, dukun AB

tidak berhadapan langsung dengan ibu yang sedang dalam proses melahirkan. Bapak

AB akan memberi petunjuk kepada ibu dan keluarga yang menunggu, tentang apa

yang harus dilakukan dalam proses persalinan. Selanjutnya bila bayi dan placenta atau

ari-ari telah lahir maka bapak AB akan memotong tali pusat bayi. Di kalangan

masyarakat, bapak AB dikenal sebagai orang yang bisa memberikan do’a secara

langsung atau melalui air bagi ibu yang akan melahirkan. Beliau juga melakukan ritual

sembur atau biasa disebut ‘Sempuru’ kepada ibu melahirkan dengan cara mengunyah

daun sirih, kapur, buah pinang, jahe, cengkih merica. Semua bahan tersebut bersifat

panas, dikunyah kemudian disemburkan ke dahi, pinggang, punggung dan ujung kaki

dengan tujuan agar ibu yang menjelang melahirkan tidak ‘layu’ (lesu, lemas). Kadang

menjelang persalinan, ibu diberi minuman jamu terdiri dari telor dan madu yang

dipercaya akan menguatkan kontraksi rahim. Berikut pengalaman ibu KH saat saat

melahirkan anak pertama dibantu bapak AB.

“… saya diberi petunjuk untuk mendorong bagian atas perut saat perut kencang (kontraksi). Setelah bayi lahir dan ari-ari keluar, pak AB yang potong tali pusat bayi”

Page 388: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

364

Jadi dalam pertolongan persalinan ini, dukun tersebut tidak mengikuti proses

persalinan secara langsung, dia hanya melakukan ritual ‘sempuru’ dan memberikan air

yang telah diberi do’a. Kebiasaan ini berlangsung selama bidan desa kosong pada

perode tahun 2010-2011. Setelah ada penempatan bidan, masyarakat memilih

mengundang bidan saat melahirkan. Saat ini di desa Lere sudah dibangunkan Polindes,

sehingga masyarakat sudah dapat memanfaatkan untuk persalinan. Sebagian lagi

memilih mengundang bidan dan melakukan persalinan di rumah mengingat kondisi

geografi yang agak menyulitkan bila persalinan sudah menjelang.

Bidan dalam Pandangan Masyarakat.

Sejak sekitar tahun 2010 sudah ada perekrutan bidan baru secara bertahap di

wilayah puskesmas Parado. Bidan yang bertugas silih berganti, mungkin karena

wilayahnya terpencil sehingga tidak banyak bidan yang betah tinggal lama di

Parado.Mengatasi hal tersebut, selanjutnya bidan yang direkrut diutamakan berasal

dari putri daerah setempat, mereka merupakan lulusan baru D3 kebidanan sehingga

berusia masih muda (sekitar 20 tahun lebih). Keberadaan bidan di desa sebagian tidak

asing lagi bagi masyarakat karena merupakan penduduk setempat meskipun bukan

dari desa yang sama.

Dukun sebagai pelaku lama di bidang pertolongan persalinan tidak melakukan

penolakan karena sebagian sudah saling mengenal mengingat ada sebagian bidan

masih ada hubungan keluarga degan dukun. Menurut tokoh masyarakat, bidan baru

melakukan pendekatan dengan tokoh masyarakat sehingga mereka lebih mudah

diterima masyarakat setempat. Dukun bahkan mendukung keberadaan bidan karena

telah meringankan bebannya di desa mengingat usia yang sudah semakin tua.

“ …dengan adanya bidan merasa nyaman ….”

Adanya perekrutan bidan juga dirasakan sangat menguntungkan bagi masyarakat

setempat. Apalagi pembiayaan setelah ada program Jampersal menjadi gratis untuk

semua golongan masyarakat.

“Kami berterima kasih kepada Pemerintah untuk menempatkan bidan-bidan ini. Sehingga masyarakat itu akan terbantu semua, baik itu yang guru maupun yang lain-lain, sampai yang paling miskin pun sudah terbantu semua. Persoalan melahirkan itu kan tidak ada biaya sama sekali buk”.

Page 389: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

365

Seorang bidan dalam FGD menyatakan, bahwa ada dukun yang kadang-kadang

sengaja memanggilnya terlambat. Sebagai akibatnya, saat dia tiba di rumah ibu yang

bersalin, bayi sudah lahir ditangan oleh dukun, bidan hanya memotong tali pusat saja.

Biasanya, dukun akan beralasan karena lahirnya cepat. Berikut pernyataan seorang

bidan DF saat diskusi:

“Sering dukun menyampaikan ke suami untuk nanti saja menghubungi bidan, sehingga akhirnya saya datang terlambat, bayi sudah lahir….”

Hal mirip juga dinyatakan oleh seorang ibu yang melahirkan ditolong dukun,

meskipun keinginan semula adalah ditolong bidan tetapi gagal karena keburu terlahir.

“ Katanya itu dibilangin sama dukunnya iya, tapi nanti aja pas mau itu aja baru

panggil bidan. Dibilangin nanti-nanti dulu iya gitu. Jadi pas mau panggil bidan

langsung sudah lahir. Jadi pas datang bidan itu sudah keluar, sudah sampai ari-ari

itu juga sudah keluar”.

Ritual dukun menyemburkan sirih, kapur sirih dan pinang yang dikunyah ke

kening dan perut ibu yang akan melahirkan, dinyatakan seorang ibu yang diwawancara

sebagai penyebabrangsangan perut sehingga ibu melahirkan cepat(sebelum bidan

datang). Meskipun melahirkan dengan dukun, ibu hamil tetap memeriksakan diri ke

bidan di posyandu.

Keberadaan bidan sudah dapat diterima masyarakat, tetapi masih saja ada yang

melahirkan ditolong dukun. Seorang ibu yang melahirkan di dukun menyatakan bahwa

sebenarnya melahrkan di dukun karena terpaksa. Tujuan semula adalah bersalin di

bidan tetapi kemudian beralih ke dukun tanpa sengaja karena persalinan berjalan

sangat cepat, dan rumah dukun lebih dekat dibanding rumah bidan. Lagipula bidan

datang terlambat pada saat persalinan, bidan datang ke rumah untuk memotong tali

pusat.

Keberadaan bidan dirasakan semakin baik karena jumlahnya semakin banyak

dan mau bertempat di desa sehingga memudahkan masyarakat untuk mengakses

pelayanan bidan. Seorang suami menyataan senang bahwa bidan sudah mudah untuk

dipanggil bila dibutuhkan.

“Tahun-tahun kemarin mungkin bidan masih kurang, alhamdulillah sekarang bahkan satu desa sudah terdapat dua bidan. Makanya mempermudah, mereka karena punya kendaraan sistem sekarang kalau dulu masih belum punya HP,

Page 390: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

366

tapi sekarang sudah punya HP bisa tiggal di SMS atau di telepon biasanya datang”.

Kemitraan Dukun dan Bidan

Kemitraan dukun bidan sebenarnya telah berlangsung lama. Penggantian bidan

yang sering terjadi menyebabkan kemitraan ini tidak bisa langgeng. Bahkan sejak

vakumnya keberadaan bidan untuk beberapa saat menyebabkan masyarakat lebih

cenderung memanfaatkan tenaga dukun dalam perawatan kehamilan dan pertolongan

persalinan.

Penempatan bidan baru dimulai sekitar tahun 2010 secara merata di setiap

desa dan pembangunan polindes/poskesdes telah mengembalikan kemitraan yang

pernah terjalin. Bidan sebagai tenaga kesehatan yang ditempatkan di desa di

kecamatan Parado pada umumnya adalah bidan yang baru lulus, dengan usia yang

masih sangat muda. Tampilan mereka yang masih sangat belia, menyebabkan adanya

keragu-raguan dari masyarakat tentang kemampuan khususnya dalam memahami

budaya setempat. Kerja sama yang dilakukan bidan-dukun. Dukun juga menjembatani

antara ibu dan bidan karena sebagian ibu belum mengenal dengan baik bidan yang

menolongnya. Pembagian kerja dan pemahaman tentang tradisi dikemukakan oleh

seorag tokoh agama dalam FGD.

“…..disamping bidan-bidan kita ini…. mereka bidan-bidan muda.. dikaitkan dengan pengalaman, mereka masih jauh..tapi kalau dengan..bersama-sama dengan dukun terlatih ini...... apa yang harus dilakukan dan sebagainya..nggak terlalu jauh..seperti..memakai daun sirih…... karena terus terang aja nih, bidan-bidan yang masih muda nih…. kalau secara akademik mampu mereka.”

Meskipun bidan dianggap masih muda, namun mereka mengakui bahwa

kemampuan bidan lebih baik dibanding dukun dalam menolong persalinan. Oleh

karena itu, dalam pembagian tugas antara dukun dan bidan, bidan berperan sebagai

penolong persalinan sedangkan dukun membantu seperti menunggu ibu menjelang

persalinan, membersihkan ibu setelah persalinan, mencuci baju, memandikan bayi.

Berikut pernyataan seorang suami tentang tugas bidan dan dukun.

“kalau budaya di sini ini, kalau melahirkan memang seratus persen oleh bidan..kalau selama ini. dukun dipanggil sekali-kali hanya sifatnya membantu.”

Page 391: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

367

Dukun sudah sangat dikenal masyarakat sehingga masyarakat menganggapnya

sebagai orangtua sendiri, tempat berkeluh kesah dan meminta pertolongan.

Keberadaan dukun diantara masyarakat dan bidan menjadi jembatan sehingga ibu

bersalin tidak merasa malu dan asing dengan bidan.

“Bidan..maksudnya, periksa pertama itu… katakanlah dengan bidan…. pertama bertemu di sini (puskesmas).. agak malu dia, walaupun ibu memang sebagai dokter, nah di situlah masuk dukun terlatih, karena dianggap orang tuanya…..”

Sesuai dengan peraturan Kepala Dinas, ditetapkan bahwa untuk kerjasama

antara bidan dan dukun, dari dana yang diterimakan dari Jampersal, penggunaannya

antara lain adalah untuk biaya kemitraan dengan dukun yaitu sebesar Rp. 30.000,-.

Mengantisipasi hal ini, terkadang bidan harus mengeluarkan uang sendiri terlebih

dahulu.Meskipun sudah ada ketentuan, kenyataan di lapangan ada variasi pemberian

uang atau jasa dukun. Hal ini menyangkut penerimaan bidan yang tidak rutin setiap

bulan karena menunggu klaim biaya Jampersal turun yang biasa diajukan 2 kali setiap

tahun.

“Jika klaim dari Jampersal sudah keluar, uang yang diberikan ke dukun sebesar Rp. 20.000,- atau diberi gula 1 kg”.

Bidan diterima keberadaannya oleh dukun. Selain karena mereka adalah

penduduk setempat, bidan melakukan pendekatan kepada dukun dengan sering

berkunjung ke rumah dukun untuk sekedar bersilaturahmi.

Kemitraan bidan-dukun disambut dengan baik oleh dukun. Usia yang sudah

menua merupakan salah satu alasan. Ina SI yang berusia sekitar 70 tahun mengaku

Gambar.3.9.12. Bidan

Tampak Akrab dengan

Dukun Saat Wawancara

di Rumah Dukun

Sumber: Dokumentasi

Peneliti

Page 392: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

368

sudah tidak menolong persalinan lagi karena perannya sudah digantikan bidan B yang

bermitra dengannya. Menurutnya, bermitra lebih menyenangkan karena tanggung

jawabnya menjadi semakin ringan.Setelah ada kemitraan, tugasnya adalah merawat

ibu dan bayi termasuk memandikan bayi sampai dengan lepasnya tali pusat yang

terjadi sekitar 7 hari setelah lahir.

Mengingat banyak dukun yang sudah tua rata-rata di atas 50 tahun), dan tidak

ada pengganti dukun yang lebih muda, maka kerjasama dengan bidan dilakukan

dengan senang hati oleh dukun maupun bidan. Kemitraan ini semakin lancar dengan

adanya kader kesehatan yang turut berperan, khususnya membantu keluarga

memanggil bidan. Keberadaan dan kepemilikan telepon genggam (handphone/hp)

sangat membantu masyarakat untuk saling berkomunikasi. Dari pantauan dan

pengakuan warga, hampir setiap rumah paling tidak memiliki satu buah hp sebagai alat

komunikasi. Mengingat jarak rumah kadang cukup jauh, maka adanya telekomunikasi

yang murah dan terjangkau sangat menolong masyarakat. Bidan, dukun, kader

biasanya sudah memiliki nomor hp masing-masing sehingga bila membutuhkan bila

saling berkomunikasi dengan cepat. Hal ini terutama sangat dibutuhkan untuk daerah

yang terpencil seperti Desa Lere dan beberapa dusun yang lokasinya jauh dari

keramaian dan transportasinya cukup sulit.

Pembentukan kemitraan ini tidak bisa berlangsung dengan mudah. Hambatan

pada awal kegiatan dirasakan oleh bidan. Setelah melakukan pendekatan, hubungan

bidan-dukun saat ini sudah mencair.

“Kalau dulu jujur sih ada ya, sampai sekarang masih terasa sedikit kalau di Parado

Wane sedikit, Parado Rato juga”.

Dukun adalah pihak yang disegani oleh masyarakat dan perkataannya tidak

berani dibantah.Keputusan kapan memanggil bidan ada ditangan dukun dan keluarga

tidak berani melakukan tanpa perintah dukun. Hal ini yang menyebabkn kadangkala

bidan datang terlambat pada proses persalinan dan sulit mengajak ibu untuk bersalin

di polindes atau poskesdes.

“Ibu bersalin itu lebih takut ke dukun.Pas mau masuk kala dua baru memanggil

bidan. ….. Sampai sekarang, jadi itu kita yang paling berat. Jadi kita itu

kebanyakan nolong dirumah, jadi sebagian yang di poskesdes. Tapi yang paling

Page 393: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

369

banyak itu ibu dukun panggil bidan itu. sudah kita tidak bisa bawa dia ke sarana

kesehatan. Pas mepet-mepetnya itu yang masih kerasa ya sampai sekarang”.

Pemanfaatan Pelayanan Jampersal

Pelayanan Jampersal tak lepas dari pelayanan oleh bidan dan pelayanan di

fasilitas kesehatan sebagaimana disyaratkan dalam peraturan yang berlaku.Fakta di

Parado berkata lain, karena masih terbatasnya ketersediaan fasilitas kesehatan, masih

banyak ibu yang melahirkan di rumah. Kemudaham komunikasi dengan hp bisa

dilakukan kecuali di desa Lere yang terletak di perbukitan. Sinyal hp kadang sulit

diperoleh, sehingga terkadang ada kesulitan bila akan menggunakan hp untuk

menghubungi bidan. Keberadaan sarana telekomunikasi sebagai alat komunikasi telah

membantu peningkatan pemanfaatan Jampersal karena masyarakat menajdi sangat

mudah menghubungi bidan seperti dikemukakan seorang suami.

“…..karena waktu ketemu dengan ibu itu dikasih nomer HP nya bidan, jadi nanti ada apa-apa nanti tinggal di SMS atau di telepon …”.

Pelayanan KIA yang tidak bisa diakses, biasanya karena faktor biaya

transportasi yang harus ditanggung masyarakat bila rumahnya cukup jauh dari rumah

bidan atau puskesmas. Sehingga akhirnya ibu dan kelurganya mengundang dukun

untuk membantu persalinan. Menurut penuturan bidan dalam FGD, kebanyakan ibu

dengan pendidikan yang lebih rendah yang banyak pergi ke dukun. Pendidikan lebih

tinggi lebih mudah untuk diajak bersalin di fasilitas kesehatan.

Pelayanan pemeriksaan hamil pada bidan umumnya dilakukan ke posyandu.

Meskipun sudaah memeriksakan diri ke bidan, masyarakat masih membutuhkan dukun

pada saat kehamilan. Ibu hamilmasih banyak pergi ke dukun khususnya bila ada

keluhan di badan dan perut terkait dengan kehamilannya. Mereka datang ke dukun

untuk membetulkan letak bayi dalam kandungan, mereka menganggap kemampuan ini

dimiliki oleh dukun dan bukan bidan.

Masyarakat mengetahui bahwa pelayanan KIA termasuk pemeriksaan

kehamilan dan persalinan bisa diperoleh gratis, namun rasa masih percaya kepada

dukun menyebabkan mereka memeriksakan kehamilan ke bidan tetapi tetap memilih

dukun pada saat persalinan seperti pengalaman ibu H berikut ini. Meskipun senang

dengan program Jampersal tetapi ternyata pemanfaatan Jampersal belum maksimal.

Page 394: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

370

“ Iya tahu. Dia tahunya di bu Kader dan di Posyandu …..iya senang….., saya periksa ke bidan, makanya seperti tadi saya bilang lahirnya aja sama dukun”.

Disamping pelayanan gratis yang lebih meringankan secara ekonomi, para

suami juga senang dengan adanya Jampersal karena pelayanan yang diberikan dari hari

ke hari semakin baik bahkan terkadang mendapat tambahan susu dan vitamin dari

bidan.

“Alhamdulillah beban berkurang ya, karena kita percaya ini mungkin karena kita di kunjungi, … adakalanya ibu dikasih susu, vitamin dan sebagainya, …..”

Pelayanan KIA di desa Lere yang terpencil sudah semakin mudah diakses oleh

masyarakat karena bidan sudah ditempatkan di desa sejak awal tahun 2012. Dahulu

ada bidan yang di tempatkan tetapi kemudian di tarik ke puskesmas sebagai

koordinator bidan puskesmas. Menurut tokoh masyarakat, mereka senang adanya

bidan saat ini dengan adanya Jampersal. Perbedaannya, dulu ke bidan harus

membayar sekarang semua pelayanan bidan gratis. Bapak T, seorang suami yang

berasal dari desa Lere mengemukanan pengalamannya.

“…. enggak ada….cuman perbedaannya itu, kalau dulu itu….harus dengan biaya dulu..sekarang sudah gratis , masyarakat tuh takutnya dengan biaya ..sekarang mana ada lagi dengan biaya.”

Pemanfaan Jampersal membutuhkan persyaratan yaitu dilakukan oleh tenaga

kesehatan dan dilaksanakan difasilitas kesehatan, namun di lapangan ternyata ada

toleransi. Hal ini, mengingat pemerintah belum mampu menyediakan faskes persalinan

di desa (poskesdes) secara merata disamping sarana juga alat kesehatan dan tenaga

kesehatan belum lengkap. Peningkatan cakupan dengan adanya dana Jampersal terasa

sekali karena selama ini hambatan linakes adalah kemampuan ekonomi membayar

biaya nakes. Berikut data pemanfaatan yang ada di Kabupaten Bima pada tahun 2010

dan 2011.

Hasil pantauan bidan yang menyatakan hampir semua pelayanan persalinan

sudah memanfaatkan Jampersal, sesuai bila dicocokan dengan hasil survey yang

hampir semua jenis pelayanan KIA diperoleh masyarakat secara gratis baik melalui

Jampersal atau Jamkesmas/Jamkesda. Hasil diskusi juga memberikan gambaran,

bahwa pembiayaan Jampersal dan Jamkesmas masih sulit dibedakan oleh masyarakat.

Mereka umumnya hanya memahami bahwa pemerintah memberikan pelayanan

gratis. Berikut ini secara terperinci data pembiayaan pelayanan KIA.

Page 395: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

371

Tabel. 3.9.9.

Sumber Biaya Pelayanan KIA di Kecamatan Parado

Jenis Pelayanan Sumber Biaya (%)

Sendiri/ Keluarga

Jampersal Jakesmas/ Jamkesda

Lainnya

ANC 5,7 61,4 30,0 -

Persalinan 7,1 60,0 31,4 1,4

Periksa Pasca Salin 5,7 50,0 27,1 -

Periksa Neonatus 14,3 50,0 24,3 -

KB 41,4 17,1 7,1 4,3

Sumber: Data Primer

Data survey di Parado menunjukkan bahwa dari 70 responden menyatakan

melahirkan di rumah sebanyak 42,9%, sedangkan 35,7% di polindes/poskesdes, 17,1%

di puskesmas dan 4,3 di RS. Meskipun dikatakan bahwa 97,1 % persalinan ditolong

bidan tetapi perlu dicermati apakah persalinan tersebut murni ditolong bidan atau

ditolong dukun, setelah itu barulah bidan datang melakukan sisa pekerjaan dukun

yaitu memotong tali pusat. Hal ini terkait pengakuan responden yang mengatakan

penolong pertama adalah dukun sebanyak 20%.

Tabel. 3.9.10.

Penolong Pertama dan Terakhir Persalinan di KecamatanParado

Jenis Tenaga Penolong Pertama Penolong Terakhir

Dokter 2,9 % -

Bidan 71,4% 97,1%

Dukun 20,0% 2,9%

Suami/Keluarga 5,7% -

Lainnya - -

Sumber: Data Primer

Bila dilihat dari hasil survey terlihat bahwa persalinan yang ditolong

bidan/nakes yang dilaksanakan di faskes hanya 57,1%. Artinya, angka di Parado masih

lebih rendah dari hasil laporan di tingkat Kabupaten Bima tahun 2011 yang mencapai

70,41% (Lihat tabel di bawah).Tampaknya sudah baik persalinan oleh tenaga

Page 396: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

372

kesehatan di Parado, namun persalinan di fasilitas kesehatan masih perlu

diperjuangkan.

Tabel. 3.9.11.

Cakupan Persalinan oleh Linakes di Faskes Kabupaten Bima

Penolong dan Tempat

Persalinan

Cakupan

2010 2011 2012 (target)

Linakes 74,00% 88,00% 90,00%

Linakes di Faskes 55,06% 70,41% 80,00%

Sumber: Profil Kabupaten Bima Tahun 2011

Pengetahuan tentang Jampersal

Banyak masyarakat tidak memahami tentang Jampersal, bahkan belum pernah

mendengar tentang Jampersal seperti pengakuan seorang ibu yang diwawancara pada

persalinan terakhir melahirkan tanpa dana Jampersal. Dengan adanya sosialisasi

persalinan gratis dalam arti dibiayai melalui dana Jampersal, baik kelompok kaya atau

miskin banyak yang memanfaatkannya. Bahkan masyarakat sudah mengetahui bahwa

bila bersalin ke bidan tidak perlu membayar sesuai dengan peraturan pemerintah.

Namun tampaknya pengetahuan bahwa Jampersal adalah pelayanan gratis tidak hanya

persalinan tetapi juga untuk pemeriksaan kehamilan dan pasca persalinan hanya

diketahu oleh 37,1% responden ibu yang diwawancara di Parado.

Pengetahuan tentang Jampersal ternyata banyak diperoleh melalui tenaga

kesehatan khususnya bidan. Hasil survey terhadap ibu di Parado dapat mencerminkan

hal tersebut seperi tertuang dalam tabel berikut.

Tabel. 3.9.12.

Perolehan Informasi tentang Jampersaldi Kecamatan Parado

Sumber informasi Menyatakan ‘ya’ (%)

Media massa 11,4

Tenaga Kesehatan 78,6

Petugas desa 14,3

Poster 0,0

Sumber lainnya 8,6

Sumber: Data Primer

Page 397: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

373

Pembiayaan Kesehatan Ibu dan Anak. Pelayanan KIAbanyak dilaksanakan di

puskesmas dan bidan desa atau posyandu. Pelayanan gratis melalui Jamkesmas

(Jaminan Kesehatan Masyarakat) sudah dikenal masyarakat sejak lama. Menurut tokoh

masyarakat, sebagian besar penduduk setepat sudah memiliki kartu Jamkesmas, bagi

yang belum memiliki bisa meminta surat miskin kepada kepala desa untuk

dipergunakan bila dibutuhkan.

Terkait dengan pembiayaan KIA, para ibu biasa memeriksakan diri dan anak

balitanya di posyandu atau polindes dengan pembiayaan gratis. Jadi pada umumnya

masyarakat sudah memahami bahwa pelayanan KIA di posyandu diberikan secara

cuma-cuma sedangkan pelayanan pengobatan juga gratis dengan menunjukkan kartu

Jamkesmas. Istilah Jampersal tidak semua suami memahaminya, mereka hanya

menganggap seperti pelayanan Jamkesmas yang dari semula sudah dipahami sebagai

pelayanan gratis. Pelayanan gratis adalah alasan terbanyak yang dikemukakan

responden ibu yang di survey di Parado yaitu 77,5% disusul dengan ‘anjuran nakes’

sebanyak 12,2% dari 49 responden yang mengaku persalinannya menggunakan dana

Jampersal.

Suami sangat mendukung adanya dana Jampersal karena meringankan beban

biaya dalam persalinan.Bahkan mereka merasa malu karena dibantu tanpa

memberikan sesuatu apapun sebagai imbalan jasanya.

“Kadang juga kita sungkan ibu, dengan datangnya bidan dari jam sekian ke jam sekian, baru pulang hanya terima kasih”.

Menurut kepala puskesmas, di Bima tidak oleh bidan menerima uang dari

pasien walaupun hanya sedikit. Bila memaksa maka pasien harus membuat pernyataan

di atas meterai. Hal ini dikuatkan pernyataan seorang suami yang mendengar bidan

menolak menerima uang dari pasien, seperti yang disampaikan bidan saat menolong

persalinan di puskemas.

“kalaupun bapak kasih biaya ke kita, kita akan tidak bisa menerima, tidak berani menerima. mungkin biaya ada, biaya makan. Kalau istri kita melahirkan di Puskesmas, transport dll. Kalau biaya untuk persalinan kalau melahirkan tidak ada, untuk bidan tidak ada.

Meskipun menurut tokoh masyarakat rata-rata penduduk ekonominya baik,

tetapi berdasar fakta di lapangan masih banyak penduduk yang tergolong miskin

terbukti dari kepemilikan kartu Jamkesmas yang rata-rata lebih dari 50%. Disamping itu

Page 398: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

374

kemampuan masyarakat dalam pembiayaan kesehatan juga terungkap dari penuturan

bidan yang menyatakan ketidakmampuan pembiayaan kesehatan tatkala dilakukan

rujukan ke rumah sakit.

“Dari sisi ekonomi standar kayaknya buk, kalau pengalaman saya sendiri ya. Disini biasanya kalau ada pasien yang gawat kita kan lakukan rujukan ya. Kalau untuk biaya ibuk jelas itu gratis karena kan ada Jamkesmas semuanya ya. Tapi kalau biaya keluargannya kan nggak mungkin harus ada yang dampingin kan. Pasti kendala kita rujukan itu pasti nggak ada biaya. Setiap rujukan, selama-lama proses rujukan itu nggak ada biaya, itu selalu ya. ….. Ya kita juga mau apa, katanya ya sudah mending disini aja, kalau meninggal...,meninggal disini aja karena nggak punya biaya dia.”

Beban pembiayaan persalinan yang dirujuk cukup besaruntuk pembelian

makanan dan transport pengantar dari keluarga dan tetangga. Bidan menganjurkan

agar penunggu tidak perlu banyak (lima orang atau lebih) tapi cukup satu orang,

namun hal tersebut tidak bisa mereka laksanakan karena merasa tidak bisa menolak.

Upaya lain di masyarakat berupa iuran untuk tabulin juga sulit berlangsung.

Keterbatasan tingkat ekonomi terlihat karena untuk membayar tabulin (tabungan ibu

bersalin) yang hanya bernilai 2000 sampai dengan 5000 rupiah sebagian tidak mampu.

Menurut bidan, masyarakat pada umumnya tidak memiliki banyak uang cash, karena

kebutuhan sehari-hari sudah terpenuhi dari sekitarnya seperti beras dari sawahnya

masing-masing, sayur bisa dipetik dari kebun, ikan bisa mencari di sungai. Harta

kekayaan biasanya berupa misal ternak, yang untuk menguangkannya perlu waktu.

“ Ya lima, empat orang gitu kalau misal kita bawah itu bisa penuh itu keluarganya.jadi mandek jadi agak lama itu karena dari proses ekonominya katanya kurang katanya. Terus kan kita adakan ini juga buk apa Tabulin (Tabungan untuk ibu Bersalin) biasanya kan kita aktifkan itu, 5000 ya sebulan itu ya. Ada yang 2000, 3000 itu masih sangat susah juga karena kan pendapatan mereka tidak sampai begitu.”

3.9.5 Peran Tenaga Kesehatan dalam Pelaksanaan Jampersal

Sosialisasi Jampersal

Pada awal tahun 2011, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan

meluncurkan dana Jaminan Persalinan (Jampersal). Setelah tahun 2011 Jampersal

sudah benar-benar direalisir/diluncurkan, barulah dana persalinan dialihkan dari dana

Jamkesmas (khusus masyarakat miskin) ke dana Jampersal (April 2011). Program

Page 399: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

375

Jampersal seperti juga program Jamkesmas dan Jamkesda didukung dengan adanya

peraturan Bupati yang mendukung pengelolaan Jampersal. Dikeluarkan DPA (Dokumen

Penggunaan Anggaran) sebagai pedoman dalam penggunaan anggaran. Di tingkat

Dinas ditentukan bahwa pengelola program adalah Bidang Kesehatan Keluarga dengan

didukung tim verifikator. Pengaturan Jampersal cukup terperinci bahkan ada aturan

pemberian termasuk honor untuk dukun yang diserahkan oleh bidan (sebesar Rp.

30.000,-) setiap kali mengantar ibu bersalin ke bidan. Dana lain yang diperhitungkan

adalah dana ATK dan jasa medis.

Pada tahun 2011 di tingkat Kabupaten Bima tersedia dana

JamkesmasdanJampersal sebanyak 4 Milyar rupiah. Dana tersebut ternyata tidak

cukup karena untuk Jampersal telah menghabiskan 2,1 M digunakan membiayai

sekitar 10.500 bumil. Pada tahun 2012 terjadi peningkatan sasaran bumil yaitu menjadi

11.690 orang dan peningkatan biaya Jampersal menjadi Rp. 640.000,-/sasaran dari

semula Rp. 350.000,- untuk biaya pelayanan KIA lengkap (ANC, Persalinan, PNC, KB).

Hasil penghitungan, maka dibutuhkan sekitar 7,5 M. Berarti terjadi peningkatan 3 kali

lipat dari kebutuhaan tahun 2011.

“Disamping itu juga disosialisasi, lewat Rakordes, lewat rapat lintas sektoral.”

Sosialisasi di tingkat puskesmas tentang Jampersal sudah dilakukan tetapi

bukan melalui pertemuan khusus. Informasi yang disampaikan pada dasarnya hanya

lebih terfokus kepada adanya pelayanan gratis yang diberikan pemerintah melalui

puskesmas dan jaringannya. Bidan yang bertugas di desa baik di polindes/poskesdes

atau posyandu merupakan ujung tombak yang terdekat kepada masyarakat dalam

menyampaikan informasi adanya pelayanan persalinan gratis.

Dalam melaksanakan pelayanan, bidan banyak dibantu oleh kader posyandu,

bahkan di beberapa desa, upaya ini juga dibantu oleh dukun yang bermitra.

Pernyataan dukun S menunjukan perannya dalam mensosialisasikan persalinan gratis.

Selain itu sosialisasi dilakukan juga melalui media agama seperti ceramah agama, saat

khotbah Jum’at. Pesan-pesan tentang pelayanan persalinan gratis disisipkan dalam

ceramah. Meskipun dinyatakan bahwa sosialisasi sudah cukup luas, namun pada

kenyataannya dari 21 responden yang melahirkan tanpa biaya Jampersal menyatakan

tidak memanfaatkan Jampersal karena tidak tahu yaitu sebesar 76,1%, hanya 1 orang

Page 400: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

376

(4,8%) yang menyatakan tidak berhak, 1 orang (4,8%) merasa tidak puas dan 3 orang

(14,3%) karena alasan lainnya.

Pelaksanaan Pelayanan KIA dengan ProgramJampersal

Di wilayah Parado dengan 5 desa telah tersedia poskesdes 4 buah dari 5 desa

yang ada (Desa Parado Rato, Parado Wane, Kuta, Lere dan Kanca) karena puskesmas

terletak Parado Wane. Poskesdes di Desa Lere masih baru (tahun 2012) namun belum

ada sarana bagi bidan untuk tinggal di Poskesdes. Bidan di Desa Lere kebetulan berasal

dari setempat sehingga meskipun tidak tinggal di poskesdes tetapi mudah dihubungi

karena tinggal di Desa Lere. Desa ini baru dibangunkan poskesdes, namun sebelumnya

sudah tersedia puskesmas pembantu yang dilayani oleh seorag perawat. Sebelumnya

sudah ada bidan desa, tapi kemudian bidan ditarik ke puskesmas.

Di 5 desa kecamatan Parado, pelaksanaan pelayanan KIA sudah lebih mudah

diakses masyarakat karena sudah ada posyandu di seluruh wilyah desa. Kabupaten

Bima telah melaksanakan program Akino (Angka Kematian Nol), yang memberikan

pelayanan oleh pemerintah secara gratis. Di Kabupaten Bima tidak ada bidan praktek

swasta, berarti semua pelayanan KIA dilaksanakan oleh bidan pemerintah

denganJamkesmas Akino (Angka Kematian Ibu Nol), yang diselenggarakan secara

gratis. Meskipun demikian, masih ada saja bidan yang menyalahgunakan, dengan

meminta biaya pelayanan kepada pasien.

Pada saat kepala puskesmas baru datang (sekitar 4 tahun yang lalu), kesadaran

masyarakat untuk berobat ke tenaga medis sangat rendah, hal ini karena adanya

‘suntik keliling’. Masyarakat cenderung berobat ke dukun untuk diberi do’a atau ritual

lainnya. Keadaan sekarang sudah sangat berubah, dengan pemberian pengertian

kepada pasien dan melalui penyuluhan ke masyarakat, sekarang kesadaran berobat ke

tenaga medis sudah tinggi. Sekarang ada keluhan kesehatan sedikit misalnyakena

tusuk pisau sedikit saja datang ke UGD.

Pengelolaan Pelayanan Jampersal

Pelaksanaan Jampersal baru terealisir sejak tahun 2011 pertengahan, dan

secara keseluruhan setelah memasuki tahun 2012. Namun pelayanan gratis sudah

dinikmati masyarakat Parado sejak tahun 2010 ke belakang. Menurut bidan

Page 401: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

377

koordinator puskesmas, persalinan sebelum adanya Jampersal sudah gratis melalui

dana Jamkesmas. Pembiayaan persalinan di masing-masing desa yang menggunakan

Jamkesmas sebelum adanya Jampersal:

- Desa Lere : Jamkesmas 100%

- Desa Parado Rato : Jamkesmas 60%

- Desa Kanca : Jamkesmas 100%

- Desa Parado Wane : Jamkesmas 60%

- Desa Kuta : Jamkesmas 70%

Kebijakan pengelolaan Jampersal di tingkat Kabupaten telah ditetapkan.

Berdasar peraturan Bupati tentang ‘Penetapan Tarif Pelayanan Kesehatan Dasar bagi

Peserta Program Jamkesmas dan Jampersal pada Puskesmas dan Jaringannya serta

Fasilitas Kesehatan Lainnya’ (Swasta yang Bekerjasama) serta ‘Pengaturan

Penggunaannya’ di Kabupaten Bima Tahun Anggaran 2012. Di dalam peraturan ini

tertuang Komponen Tarif Pelayanan yang mengatur Besaran Tarif sekaligus Pengaturan

Penggunaan. Sebagai contoh, disebutkan bahwa paket persalin normal 1 kali sebesar

500.000 rupiah dengan atura penggunaan untuk honorarium petugas sebesar 375.000

rupiah, konsumsi sebesar 16.000 rupih, transport dukun 30.000 rupiah dan pembelian

bahan habis pakai 79.000 rupiah.

Masih ditemukan pada orang tertentu yang tetap ingin membayar dengan

alasan tidak mau menggunakan dana Jampersal. Keadaan ini menurut kepala

puskesmas Parado, karena karakter orang Bima yang suka gengsi. Pernyataan kepala

puskesmas yang bersasal dari Jakarta mendukung keadaan ini.

“Sudahlah,karakter Bima ini kan gengsi, kalau nggak bayar malu, punya duit saya,… nah gitu. Ya dihantam enam ratus, tujuh ratus ya itu dimasyarakat”.

Aturan pengelolaan keuangan yang diterima dalam pelayanan persalinan sudah

ada ketentuan termasuk bagi mitra bidan yaitu dukun bahkan secara tidak tertulis

adalah kader. Kader juga mendapat porsi biaya seperti yang diungkapkan kepala

puskesmas.

“… sekarang klaim, dari 550 pun sudah ada kriteria saya bilang. Wajib memberikan mitra kerja, apa itu dukun..,tiga puluh, maksimal dua puluh. Sudah ada juknisnya nggak boleh kalau nggak kamu sampaikan. Ada juga uang kader, yang membantu kalian, ya mungkin 5000-10.000,-ada”.

Page 402: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

378

Kecamatan Parado termasuk daerah terpencil sehingga tenaga bidan PTT

memperoleh gaji dengan insentif daerah terpencil dengan bedan yang cuku besar

dibanding bidan PTT non terpencil. Kondisi ini cukup membantu kinerja

bidankoordinator yang merupakan tenaga bidan PTT. Sebagai koordinator bidan

termasuk mengelolaJampersal, disediakan honor yang diambilkan dari dana BOK

sebesar Rp. 80.000,-/triwulan.Bidan yang lain adalah tenaga sukarela yang tidak bergaji

tetap, akan menerima honor berdasar hasil memberikan pelayanan KIA. Beberapa

tenaga dalam pengelolaan dana Jampersal di puskesmas.Menurut bidan, lebih enak

dengan adanya Jampersal meskipun masih menunggu klaim karena Jampersal adalah

dana yang sudah kepastian. Ditambah lagi untuk pelayanan kehamilan dan pasca

persalinan juga mendapat biaya sebesar Rp.20.000,-/kunjungan, mengingat sebelum

Jampersal biaya ANC dan PNC tidak ada (di gratiskan di posyandu dan faskes lainnya).

Pelayanan pasca persalinan termasuk KB, dan pemeriksaan neonates. Berdasar

informasi yang diperoleh di puskesmas, pelayanan KB masih ada beban biaya yang

harus dibayar oleh pasien yaitu KB suntik Rp. 10.000,- , Implant Rp. 20.000,-. Akseptor

IUD di wilayah Paradosangat jarang karena menurut tokoh masyarakat, ada keluhan

suami bila isteri menggunakan IUD yaitu suami merasa tidak nyaman saat

berhubungan seksual karena terganggu oleh ujung benang IUD.

3.9.6. Hambatan, Dukungan dan Harapan Pelaksanaan Jampersal

Ketaatan masyarakat kepada tokoh agama. Penduduk Parado mayoritas Islam

memiliki tokoh agama yang menjadi panutan penduduk. Tokoh agama adalah tokoh

masyarakat, orang yang terpilih oleh karena kearifannya, keilmuan agama, serta

kemampuannya memimpin umat melalui jalur agama. Tokoh agama sekaligus tokoh

masyarakat di Parado sangat menjunjung tinggi pendidikan dan pengetahuan, serta

menghargai orang yang berilmu seperti bidan sebagai orang yang berpengetahuan dan

ketrampilan kesehatan. Sikap yang positip ini mendukung penerimaan bidan dimata

masyarakat khususnya kaum ibu.

Pendekatan tokoh agama yang mayoritas adalah laki-laki, melalui suami, telah

memberikan dampak diterimanya metode kesehatan modern dalam perilaku

Page 403: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

379

masyarakat. Suami sebagai kepala rumah tangga, seringkali menjadi penentu

keputusan termasuk di bidang kesehatan. Keberpihakan suami kepada upaya

kesehatan melalui Jampersal, ada kemungkinan karena mereka diuntungkan secara

ekonomi. Melalui Jampersal, suami sebagai penanggung jawab ekonomi keluarga

merasa lebih ringan karena mendapat pelayanan KIA gratis. Suami adalah orang yang

lebih sering bersentuhan dengan tokoh agama melalui pertemuan agama, pertemuan

desa, dan kegiatan desa yang lain, sehingga pengaruh toma/toga yang membentuk

pengetahuan dan sikap suami yang kemudian diteruskan kepada isteri.

Pengaruh toga/toma terbukti, bidan yang memberi pelayanan dengan cara

medis modern dapat diterima masyarakat dengan mudah. Hanya butuh dua-tiga

tahun, masyarakat sudah menerima keberadaan pelayanan bidan khususnya dalam

pertolongan persalinan.

Tingkat pendidikan ibu. Hasilsurvey yang menggambarkan tingkat pendidikan

ibu cukup baik. Pendidikan tinggi, telah mendukung penerimaan masyarakat

khususnya ibu terhadap pelayanan medis modern. Pergeseran yang cukup cepat dari

kecenderungan memilih dukun beralih ke bidan merupakan prestasi yang luar biasa

dan tentunya ditunjang oleh pengetahuan dan sikap yang baik dari masyarakat secara

keseluruhan. Ibu sebagai pelaksana langsung dari kegiatan reproduksi (kehamilan

sampai dengan persalinan ) serta perawatan anak merupakan orang penentu

pemilihan penolong persalinan maupun kegiatan KIA lainnya, didukung dengan peran

suami.

Pengetahuan diketahui merupakan factor penting yang mendorong

dilakukannya suatu tindakan. Menurut teori perilaku, pengetahuan yang dapat

dicerminkan dari tingkat pendidikan, akan membuka peluang seseorang untuk

menentukan sikap dan praktek yang lebih positip berdasar tingkat pengetahuannya.

Namun demikian, masih banyak factor di luar pengetahuan yang juga berpengaruh

sebagai misal ketersediaan sarana prasarana yang dibutuhkan.

Kemampuan memanfaatkan teknologi komunikasi HP. Kecamatan Parado

adalah daerah yang tergolong terpencil. Untuk mencapai tempat tersebut tidak terlalu

mudah karena sarana transportasi terbatas dan membutuhkan biaya yang cukup

besar. Kesulitan semakin tinggi pada daerah tertentu seperti desa Lere yang berlokasi

Page 404: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

380

diperbukitan dengan sarana jalan yang jelek dan tidak ada transportasi umum.

Hambatan geografi ini menjadi penentu dalam kemudahan mengakses pelayanan KIA

oleh bidan.

Perkembangan teknologi komunikasi saat ini semakin baik dan telah dikenal

alat komunikasi yang disebut telepon seluler atau telepon genggam atau hand phone

atau HP. Masyarakat Parado sudah sangat akrab dengan penggunaan HP. Alat

komunikasi yang ringan dan bisa dibawa kemana-mana, serta harga HP dan biaya pulsa

yang relative murah, menjadikan alat ini primadona di masarakat. Kepemilikan HP

sudah hamper merata dalam keluarga, bahkan ada keluarga yang setiap individunya

memiliki HP secara pribadi. Kemudahan ini telah dimanfaatkan masyarakat Parado

untuk saling berkomunikasi di anatara mereka.

Pemanfaatan HP dalam bidang kesehatan sangat terasa di Parado. Bidan, ibu

sebagai konsumen pelayanan, dukun, kader, bisa saling berkomunikasi untuk

selanjutnya menentukan tindakan dan pertemuan. Komunikasi untuk memanggil bidan

atau dukun disaat-saat yang dibutuhkan telah memperpendek jarak dan menyingkat

waktu. Melalui hp, bidan di posisi manapun asal terjangkau oleh sinyal telepon seluler,

bisa dihubungi dan diminta datang di waktu-waktu yang dibutuhkan misalkan malam

hari saat proses persalinan terjadi. Bahkan ibu dukun yang sudah tua, sebagian juga

mau belajar dan mampu menggunakan hp.

Jaringan komunikasi. Ketersediaan jaringan komunikasi merupakan syarat

utama bahwa hp dapat difungsikan. Semakin luas dan bervariasinya provider,

menimbulkan persaingan bisnis tersendiri dan setiap provider berusaha memberikan

pelayanan sebaik mungkin dan se efisien mungkin. Kondisi ini membantu masyarakat

menentukan pilihan provider telekomunikasi yang paling menguntungkan dengan

biaya yang terjangkau.

Bidan dan polindes di setiap desa. Upaya pemerintah menyediakan pelayanan

KIA yang mudah diakses masyarakat adalah dengan cara menempatkan bidan di desa

dan menyediakan gedung serta peralatannya. Penempatan bidan di wilayah Parado

sudah terealisir sejak tahun 2011 sampai dengan 2012. Ketersediaan ini dengan

mengangkat bidan yang merupakan orang asli setempat merupakan tindakan yang

efektif dan efisien. Bidan yang merupakan penduduk setempat diharapkan lebih

Page 405: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

381

mudah beradaptasi bahkan sudah merupakan bagian dari masyarakat setempat

sehingga tidak mengalami hambatan budaya dalam pelaksanaan pelayanan KIA.

Tempat tinggal yang sudah dikenal, memudahkan bidan untuk merasa betah dan mau

mengabdi dengan sepenuh hati. Perpindahan bidan yang sering terjadi dapat menjadi

hambatan dalam kemitraan dan pengenalan masyarakat terhadap bidan. Dengan

mengenal sosok bidan secara utuh, memberikan kenyamanan masyarakat untuk

menerima dan mematuhi sebagai nasehat, tindakan yang diberikan bidan dalam

pelayanan.

Adanya tempat pelayanan berupa posyandu, polindes, poskesdes di

pemukiman penduduk telah mendekatkan jarak bidan dengan masyarakat. Cara ini,

memudahkan akses penduduk dari sisi jarak dan waktu serta mengurangi biaya

transportasi yang harus ditanggung.Kedekatan ini akan lebih memungkinkan

masyarakat mau datang ke fasilitas kesehatan karena tindakan/pelayanan kesehatan di

fasilitas kesehatan dianggap lebih aman dan tepat.

Pelayanan KIA gratis. Biaya pelayanan menjadi salah satu faktor penting yang

berpengaruh terhadap teraksesnya suatu pelayanan kesehatan. Status ekonomi

masyarakat Parado yang terkesan kurang digambarkan dari tingginya kepemilikan

kartu Jamkesmas. Adanya pelayanan gratis melalui Jampersal telah menjembatani

kesenjangan disisi ekonomi. Penerimaan masyarakat yang terkesan antusias (suami)

merupakan titik cerah dapat dicapainya pelayanan persalinan oleh nakes di faskes

sesuai dengan persyaratan Jampersal.

Pemahamanan tentang pelayanan gratis melalui Jampersal belum sepenuhnya

dipahami, karena masyarakat masih terfokus pada pelayanan Jamkesmas yang sudah

lama diterima. Menjadi tantangan pemerintah adalah agar pelayanan KIA dengan dana

Jampersal ini dapat berkesinambungan sehingga masyarakat bisa terus

menjangkaunya.

Hambatan

Tidak ada hambatan yang berarti dalam pelaksanaan pelayanan KIA dengan dana

Jampersal karena pada umumnya masyarakat senang memperoleh pelayanan KIA

secara gratis. Kesadaran untuk mendapat pelayanan medis semakin meningkat

Page 406: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

382

ditunjang adanya kemudahan berupa pelayanan gratis, sarana komunikasi melalui hp,

dan bidan yang berlokasi di desa.

Percaya pada adat dan tradisi. Masih kuatnyakepercayaan dan tradisi di

masyarakat terkait kehamilan, persalinan dapat menjadi factor penghambat

penerimaan terhadap pelayanan medis oleh bidan dan tenaga kesehatan lainnya.

Dukun masih dianggap sebagai orang yang tepat membantu pelaksanaan adat dan

tradisi. Pengalaman dan usia tua dukun menimbulkan keyakinan yang lebih tinggi dan

rasa nyaman terhadap dukun. Kepercayaan yang bertentangan dengan ilmu kesehatan

modern dapat menjadi penghambat kerja bidan apabila bidan kurang mampu

menyesuaikan diri. Kepercayaan yang masih kuat terhadap hal gaib atau mistis perlu

dicarikan penjelasan yang dapat diterima masyarakat apabila akan dihilangkan.

Keterlibatan tokoh masyarakat/ tokoh agama, dukun sebagai orang yang dipercaya,

perlu dilakukan melalui pendekatan mengikuti budaya yang ada di masyarakat.

Tradisi seperti sempuru, telah memanfaatkan bahan alam berkhasiat obat

sehingga bisa member manfaat kepada ibu sebagai konsumennya. Namun, cara-cara

yang kurang higienis (bahan ramuan disembur langsung dari mulut) dapat menjadi

media penularan penyakit. Penyuluhan untuk peningkatan perilaku sehat perlu

ditingkatkan agar secara sadar ibu sebagai sasaran tradisi mampu menolak perilaku

yang dapat merugikan kesehatannya. Tradisi pemberian air yang diberi do’a oleh toga

atau dukun, meskipun belum bisa diterima secara nalar, namun tradisi ini dinilai tidak

membahayakan. Bahkan bisa dikaji secara spiritual dan mental telah kemungkinan

memberikan ketenangan psikologis sehingga pelaku lebih mantap dan punya keyakina

terhadap suatu tindakan.

Daerah perbukitan/Terpencil. Belum semua persalinan dapat dilakukan di

fasilitas pelayanan seperti di polindes atau puskesmas. Hal ini terjadi karena masih ada

masyarakat yang tinggal di wilayah yang sulit terjangkau alat transportasi. Kesulitan

tersebut menyebabkan masyarakat enggan melahirkan di fasilitas kesehatan. Ditilik

dari peraturan yang ditetapkan, pelayanan dengan dana Jampersal seharusnya hanya

diberikan bila dilakukan oleh tenaga kesehatan dan dilakukan di fasilitas kesehatan.

Pada akhirnya petugas kesehatan mengikuti kehendak masyarakat mengingat kondisi

memang tidak memungkinkan.

Page 407: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

383

Kedekatan psikologis dengan dukun. Dukun pada umumnya adalah warga

setempat yang telah dikenal oleh warga sekitarnya karena telah menetap lama. Dukun

dipercaya masyarakat mampu dan bersedia untuk membantunya dalam hal ini adalah

terkait dengan KIA. Karena berasal dari satu suku yang mempunyai kebiasaan, adat

istiadat yang sama, membuat kedekatan psikologis antara dukun dengan warganya.

Oleh karena itu pada umumnya dukun melayani warga yang tinggal di desa atau dusun

yang sama.

Masih percayanya masyarakat kepada dukun menyebabkan masyarakat selalu

mengundang dukun saat menjelang persalinan untuk memberikan dukungan psikis,

spiritual karena umumnya dari agama yang sama maupun fisik karena dianggap

trampil dan berpengalaman di bidangnya. Hal inilah yang menyebabkan akhirnya

mendorong masyarakat selalu mendahulukan memanggil dukun disbanding bidan

dalam mengatasi keluhan selama kehamilan ataupun menghadapi persalinan. Berbagai

kepercayaan yang masih dianut masyarakat dan untuk pelaksanaan ritualnya

membutuhkan kehadiran dukun, menyebabkan masyarakat masih bergantung kepada

dukun.

Persalinan adalah suatu proses yang sangat individual. Ada persalinan yang

membutuhkan waktu lama dengan keluhan yang berbeda-beda. Ada pula persalinan

yang berlangsung sangat cepat, dengan tanda-tanda yang tidak terlalu dirasakan oleh

ibu. Menghadapi suatu proses yang baru dengan kondisi yang sulit diprediksi, seorang

ibu menjelang persalinan membutuhkan seseorang untuk mendampingi menghadapi

masa sulit tersebut. Untuk itu dibutuhkan orang yang telah dikenal secara baik

sehingga ibu hamil tersebut dapat mengungkapkan segala isi hati dan keluhan yang

dirasakan tanpa merasa malu atau enggan. Dukun bersalin menjadi orang yang

dituakan, dihormati dan dipercaya nasehatnya karena merupakan orang yang telah

berpengalaman bertahun-tahun bahkan berpuluh tahun di bidangnya.

Kedekatan ini akan berdampak baik apabila dukun mau mendukung upaya

pelayanan KIA yang secara formal diselenggarakan oleh puskesmas melalui tenaga

bidan. Dukun yang berpihak pada program pemerintah seperti yang ditemui di Parado,

tampaknya terjadi setelah adanya pelatihan yang diselenggarakan puskesmas.

Kegiatan ini telah meningkatkan harga diri dukun sehingga dukun bersedia mendukung

Page 408: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

384

dan menyetujui kemitraan dengan bidan-bidan muda yang relative belum

berpengalaman. Pembagian kerja dalam kemitraan bidan-dukun, dikatakan dukun

lebih menenteramkan hati karena mengurangi resiko yang harus ditanggung. Boleh

jadi pembagian kerja diterima dengan setengah hati atau terpaksa mengingat usia

dukun banyak yang sudah uzur sehingga ditinjau dari kemampuan fisik sudah

menurun.Terbukti, menurut keluhan bidan, beberapa dukun masih seringkali

terlambat memberitahu bidan dengan sengaja tentang persalinan yang sedang

berlangsung sehingga akhirnya ditolong oleh dukun.

Biaya jasa dukun. Dukun pada umumnya tidak menetapkan besaran biaya

sebagai imbalan jasa. Pemberian dari penerima jasa adalah atas dasar sukarela dengan

besaran yang bervariasi bahkan gratis. Pemberian masyarakat baik uang ataupun

barang, biasanya diterima dengan senang hati tanpa ada tawar menawar. Cara

pembiayaan ini sangat disukai masyarakat, karena bisa menyesuaikan dengan

kemampuan saat itu. Pembayaran bahkan dapat menunggu sampai mereka memiliki

uang. Pemberian uang atau barang (makanan dll) kadang disertakan saat adanya

upacara. Hal ini memberikan penghormatan tersendiri bagi dukun, karena

menunjukkan bahwa dukun bersalin digolongkan kepada orang yang disegani di

masyarakat. Pola pembiayaan seperti ini dapat mendorong masyarakat untuk terus

menggunakan jasa dukun, bahkan dalam kondisi terdesak, dukun menjadi tempat

tujuan pertama Karen tidak perlu menyediakan dana terlebih dahulu.

Sarana transportasi. Daerah yang jauh dari pemukiman akan menyulitkan untuk

menuju rumah bidan yang biasanya berlokasi di tempat yang memiliki fasilitas umum

lebih baik dan lengkap (air, listrik, sarana komunikasi, transportasi). Bagi penduduk

yang tinggal di daerah terisolir seperti yang dijumpai di desa Lere dan dusun Wane,

maka dibutuhkan transportasi khusus baik milik sendiri atau dengan cara sewa. Pada

kondisi mendesak, misal menjelang persalinan, maka keluarga kan cenderung menuju

peolong yang paling mudah dijangkau. Dukun pada umumnya juga dijumpai bertempat

tinggal di dusun terpencil, yang menjadi tujuan untuk perolehan pertolongan

persalinan maupun keluhan kesehatan lainnya.

Bidan tidak di tempat. Persalinan dapat terjadi setiap saat, berbeda dengan

pemeriksaan kehamilan yang bisa diatur waktunya. Oleh karea itu, bila saat persalinan

Page 409: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

385

tiba dan bidan tidak ada di tempat (rumah, polindes/poskesdes), maka dicarilah orang

terdekat yang bisa menolong yaitu dukun bersalin. Kegiatan bidan yang tidak hany di

tempat tetapi juga melakukan kunjungan rumah, melayani posyandu, melakukan

kegiatan di pukesmas dll., menyebabkan bidan tidak bisa stand by 24 jam di tempat.

Ketiadaan penolong persalinan (bidan) ini akan memicu masyarakat mencari rang yang

mudah dihubungi. Dukun yang kegiatannya lebih banyak di rumah, tentu akan lebih

mudah diakses disbanding bidan.

Harapan

Pelaksanaan Jampersal di kecamatan parado dapat berjalan lancar dalam arti

bisa diterima seluruh masyarakat. Jampersal yang dapat dimanfaatkan oleh semua

penduduk dari yang miskin sampai kaya, tetapi dari responden yang ditanya, ada 50%

saja yang mendukung bila Jampersal hanya untuk orang miskin.Manfaat Jampersal

sudah dirasakan oleh penduduk Parado karena memberi jalan untuk dapat dilayani

oleh bidan, sebagaimana yang disampaikan seorang suami dalam FGD tentang

Jampersal yang telah memudahkan akses kepada pelayanan KIA oleh bidan.

“Terima kasih ke pemerintah dengan adanya Jampersal karena mendekatkan bidan ke masyarakat. Kalau bisa seumur hidup”.

Masyarakat merasa tidak ada masalah dengan pelaksanaan Jampersal.Meskipun

tidak paham penerapan Jampersal seperti apa, namun mereka pada intinya puas

dengan pelayanan gratis dan tidak ada keluhan apapun.

“ Kalau persoalan tidak ada kami buk, kami berterima kasih kepada Pemerintah untuk menempatkan bidan-bidan ini. Sehingga masyarakat itu akan terbantu semua, baik itu yang guru maupun yang lain-lain, sampai yang paling miskin pun sudah terbantu semua. Persoalan melahirkan itu kan tidak ada biaya sama sekali buk”

Mereka bahkan mengharapkan ketersediaan Jampersal oleh pemerintah dapat

berlangsung selamanya.

“Bagus karena ada biaya yang gratis itu buk. Suka tidak suka kita jadi mudah. Enaknya biaya konsultasi bidan gratis, persalinan gratis, jadi semua enaklah”.

Pembiayaan yang gratis meringankan secara ekonomi khususnya bagi suami,

sehingga dana untuk kesehatan bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan keluarga yang

lain.

Page 410: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

386

“Pada saat kita membawa istri kita periksa, bahwa tidak ada lagi biaya.Sangat mudah, karena kita sebagai suami untuk biaya persalinan itu tidak ada. Jadi misalkan ada kebutuhan lain, maksudnya kalaupun ada dana bisa kita alihkan untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya”

Bidan sebagai tenaga yang langsung berhadapan dengan masyarakat dalam

memberikan pelayanan KIA juga memiliki harapan terhadap Jampersal yaitu,

- Tersedia dana penyuluhan untuk masyarakat, dana bisa digunakan untuk: Rapat

koordinasi desa yang diselenggarakan 2 kali dalam setahun dengan melibatkan

berbagai sector tidak hanya kesehatan.

- Klaim bisa dilaksanakan lebih sering bahkan kalau bisa setiap bulan. Saat ini klaim

dilakukan 2 kali setahun sehingga seakan-akan mereka menerima uang banyak

sekali, sehingga hal ini menyebabkan kecemburuan petugas kesehatan yang lain.

- Jampersal diharapkan bisa meningkatkan persalinan di fasilitas kesehatan setelah

mampu meningkatkan persalinan ke tenaga kesehatan yaitu dari kurang 50%

menjadi lebih dari 50 persen.

- Jampersal diharapkan akan meningkatkan pelayanan KIA lain seperti ANC, PNC

(berupa knjungan rumah) dan cakupan akseptor KB.

Page 411: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

387

3.10. Puskesmas Karang Pule, Kota Mataram

3.10.1. Gambaran Umum Kota Mataram

Kota Mataram merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara

Barat (NTB) yang terletak di pulau Sumbawa, salah satu pulau di provinsi NTB. Kota

Mataram termasuk salah satu kota dengan pemanfaatan dana Jaminan Persalinan

(Jampersal) yang cukup baik sesuai dengan laporan yang terkumpul di Bidang Bina

Kesga sebagai pengelola Dana Jampersal.

Data dinas Kesehatan kota Mataram menunjukkan bahwa total cakupan

persalinan oleh tenaga kesehatan pada tahun 2011 sudah mencapai target yaitu 90 %

dari seluruh persalinan, namun masih ada wilayah kecamatan dengan cakupan

persalinan oleh tenaga kesehatan yang masih rendah. Dengan melakukan konsultasi

kepada kepala Dinas Kesehatan kota Mataram didukung data dan hasil pelaksana

program kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan penanggung jawab Program Jampersal,

ditetapkan Kecamatan Karang Pule sebagai lokasi penelitian. Puskesmas Karang Pule

memiliki cakupan persalinan dukun yang masih cukup tinggi yaitu 3,9%. Hal ini

menimbulkan pertanyaan, mengapa di kota yang relatif mudah jangkauan ke fasilitas

kesehatan dan tersedianya pelayanan gratis, masih ada masyarakat yang memilih

bersalin ditolong dukun.

Kota Mataram adalah ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan

merupakan kota terbesar di propinsi ini. Kota ini terletak di Kabupaten Lombok Barat

dan terletak di sisi barat Pulau Lombok. Populasi terakhir berdasar data Sensus 2010

adalah 402.296. Selain melayani sebagai ibukota propinsi, Mataram juga telah menjadi

pusat pemerintahan, pendidikan, perdagangan, industri dan jasa.

Kondisi Geografi dan Topografi

Mataram sebagai Ibu Kota Propinsi Nusa Tenggara Barat, letaknya diapit antara

kabupaten Lombok Barat dan Selat Lombok. Secara geografis berada pada posisi

08°33' dan 08°38' Lintang Selatan dan antara 116°04' – 116°10' Bujur Timur.

Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Mataram Nomor 3 Tahun 2007, wilayah Kota

Mataram dengan luas 61,30 Km2 mengalami pemekaran menjadi 6 kecamatan di Kota

Page 412: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

388

Mataram, yaitu Ampenan, Cakranegara, Mataram, Pejanggik, Selaparang, Sekarbela

dan50 kelurahan serta 298 lingkungan. Bandara baru yang melayani penerbangan

internasional telah diresmikan dan berada di Kabupaten Lombok Tengah. Karena

keterlambatan dalam membuka baru Bandara Internasional Lombok di Lombok

Tengah, penutupan Bandara Selaparang di Ampenan tertunda. Bandara tua di

pinggiran kota ini terus digunakan untuk penerbangan domestik dan internasional

sampai penutupannya pada tanggal 30 September 2011.

Gambar 3.10.1. Peta Wilayah Kota Mataram

Sumber: Bappeda Kota Mataram

Batas-batas administrasi kota Mataram adalah sebagai berikut :

Sebelah Utara: Kecamatan Gunung Sari dan Kecamatan Lingsar KabupatenLombok

Barat.

Sebelah Selatan: Kecamatan Labuapi Kabupaten Lombok Barat

Sebelah Timur: Kecamatan Narmada dan Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok

Barat.

Sebelah Barat: Selat Lombok

Page 413: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

389

Jumlah, Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Penduduk per Kecamatan

Berdasarkan data yang ada di Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011, jumlah

penduduk Kota Mataram tercatat 406.910 jiwa, dengan kepadatan penduduk sebesar

6.638 jiwa/km², sedangkan jumlah penduduk dan kepadatan penduduk menurut

kecamatan di wilayah Kota Mataram tahun 2011 dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3.10.1

Luas Wilayah, Jumlah Desa/Kelurahan, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan di Kota Mataram Tahun 2011

No Kecamatan Luas

Wilayah

(Km2)

Jumlah Jumlah

Penduduk

Kepadatan

Penduduk/

Km2 Desa Kelurah

an

Desa+

Kel 1 Ampenan 9,46 - 10 10 79.574 8.412

2 Sekarbela 10,32 - 5 5 53.648 5.198

3 Selaparang 10,77 - 9 9 73.399 6.815

4 Mataram 10,76 - 9 9 73.845 6.863

5 Sandubaya 10,32 - 7 7 61.710 5.980

6 Cakranegara 9,67 - 10 10 64.734 6.694

Jumlah(Kab/Kota) 61,30 - 50 50 406.910 6.638

Sumber : BPS Kota Mataram Tahun 2011

Rata-rata kepadatan penduduk Kota Mataram adalah 6.638 jiwa/km². Jika

dirinci menurut kecamatan, maka kecamatan dengan kepadatan penduduk tertinggi

adalah Kecamatan Ampenan dengan kepadatan penduduk sebesar 8.412 jiwa/km²

sedangkan kecamatan yang kepadatan penduduknya paling rendah adalah Kecamatan

Sekarbela sebesar 5.198 Jiwa/km². Distribusi penduduk di Kota Mataram berdasarkan

Kelompok Umur tahun 2011 dapat dilihat pada grafik piramida di bawah ini:

Page 414: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

390

Piramida di atas menunjukan bahwa ciri penduduk Kota Mataram tahun 2011

bersifat ekspansif karena komposisi penduduk terbesar terdapat pada penduduk

dengan golongan muda, yaitu umur 20-24 tahun, umur 15-19 tahun dan umur 25-29

tahun. Selain itu terdapat kecenderungan perbedaan komposisi penduduk laki-laki dan

perempuan pada penduduk golongan umur 0-14 tahun dengan umur 15 tahun ke atas.

Pada penduduk dengan golongan umur 0-14 tahun komposisi penduduk laki-laki lebih

besar dari perempuan, sebaliknya pada penduduk dengan golongan umur 15 tahun ke

atas komposisi penduduk perempuan lebih besar daripada laki-laki.

Masalah Kesehatan

Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan salah satu indikator yang

menggambarkan derajat kesehatan masyarakat. Faktor yang mempengaruhi Angka

Kematian Bayi antara lain tingkat pengetahuan/pendidikan kedua orang tuanya, umur

perkawinan pertama, pola konsumsi, perilaku hidup sehat, keadaan sosial ekonomi,

adat istiadat, kebersihan lingkungan dan pelayanan kesehatan. Dalam Buku Indeks

Pembangunan Manusia (IPM) Kota Mataram Tahun 2010 dijelaskan bahwa angka

kematian bayi pada tahun 1999 adalah sebesar 53 bayi per 1.000 kelahiran hidup. Pada

tahun 2010 angka kematian bayi sudah berhasil ditekan hingga mencapai 38 bayi per

Gambar3.10.2

Komposisi Penduduk Menurut Umur dan Jenis KelaminKota Mataram Tahun 2011

Sumber : BPS Kota Mataram Tahun 2011

Page 415: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

391

1.000 kelahiran hidup. Sedangkan jumlah kasus kematian bayi pada tahun 2011

tercatat sebesar 38 kasus, jumlah ini menurun 1 kasus dibanding pada tahun 2010

yaitu sebanyak 39 kasus. Berikut ini adalah distribusi kematian bayi tahun 2010 dan

2011 berdasarkan puskesmas yang ada di Kota Mataram:

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

J

u

m

l

a

h

Amp Tj Krg Kr Pl Mtr Slpr Pgs Ckr Kr Tlw Ds

Cm

Puskesmas2010 2011

Jumlah kasus kematian bayi tertinggi di Puskesmas Karang Pule yaitu sebanyak

10 kasus, sedangkan Puskesmas Karang Taliwang tidak ada kasus. Proporsi kasus

kematian bayi menurut umur adalah 65,79% terjadi pada neonates (0-28 hari) dan

34,21% pada bayi 29 hari – 1 tahun. Penyebab kematian bayi tersebut sebagian besar

disebabkan karena BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) sebesar 25,00 %; Asfiksia sebesar

25,00% dan ISPA sebesar 17,86%.

Angka Kematian Ibu (AKI).Angka Kematian Ibu Kota Mataram tahun 2011

dilaporkan 106 per 100.000 kelahiran hidup. Di Kota Mataram pada tahun 2009

terdapat 14 kasus kematian ibu dan tahun 2010 kasus kematian ibu telah menurun

menjadi 7 kasus yang terdiri dari 4 kasus (57,14%) kematian ibu bersalin dan 3 kasus

(42,86%) kematian ibu nifas. Tahun 2011 terjadi peningkatan kematian ibu sebanyak

10 kasus terjadi karena perdarahan (2 kasus), infeksi (1 kasus), eklamsia (1 kasus), dan

6 kasus karena penyebab lainnya (PWS KIA, Dinkes Kota Mataram, 2011).

Cakupan K1 dan K4 serta Pertolongan Persalinan. Cakupan kunjungan Ibu

hamil K4 adalah cakupan ibu hamil yang mendapatkan pelayanan selama masa

kehamilan sesuai standar paling sedikit empat kali selama masa kehamilan. Tahun

Gambar3.10.3

Distribusi Jumlah Kematian Bayi (AKB) di Kota Mataram Tahun 2010-2011

Sumber: Bidang Pembinaan Kesehatan Keluarga Dikes Kota Mataram Tahun 2011

Page 416: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

392

2011 cakupan kunjungan ibu hamil K1 sebesar 100,40% dan K4 sebesar 97,33%

melebihi dari target sebesar 95%.

Tabel 3.10.2

Cakupan K1 dan K4 menurut Puskesmas Kota Mataram Tahun 2011

No Puskesmas Target Bumil

K1 K4

Jumlah % Jumlah %

1 Ampenan 1.531 1.543 100,78 1.525 99,61

2 Tanjung Karang 1.390 1.441 103,67 1.403 100,94

3 Karang Pule 1.102 1.117 101,36 1066 96,73

4 Mataram 1.113 1.075 96,59 1027 92,27

5 Selaparang 638 687 107,68 640 100,31

6 Pagesangan 1.953 1.887 96,62 1.869 95,70

7 Cakranegara 1.408 1.336 94,89 1.302 92,47

8 Karang Taliwang 741 777 104,86 717 96,76

9 Dasan Cermen 611 666 109,00 658 107,69

Kota Mataram 10.487 10.529 100,40 10.207 97,33

Sumber: Laporan PWS KIA tahun 2011

Selain cakupan K1 dan K4 indikator lain yang digunakan dalam pelayanan

kesehatan ibu dan anak adalah cakupan tenaga yang memberikan pertolongan pada

saat persalinan. Tenaga yang memberikan pertolongan persalinan dapat dibedakan

menjadi dua yaitu tenaga kesehatan dan tenaga non kesehatan (dukun). Tahun 2011

cakupan pertolongan persalinan oleh bidan/tenaga kesehatan yang memiliki

kompetensi menurut puskesmas adalah sebagai berikut:

Page 417: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

393

Tabel 3.10.3

CakupanPersalinan oleh Tenaga Kesehatan danTenaga Non Kesehatan Kota Mataram Tahun

2011

Sumber : Laporan PWS KIA tahun 2011

Dari tabel diatas diperoleh gambaran bahwa terjadinya peningkatan cakupan

persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dari 94,42% pada tahun

2010 menjadi 95,19% pada tahun 2011. Disamping itu cakupan persalinan oleh Tenaga

Non Kesehatan telah dapat diturunkan dari 1,25% pada tahun 2010 menjadi 0,70%

pada tahun 2011. Puskesmas dengan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan yang

memiliki kompetensi tertinggi adalah Puskesmas Dasan Cermen sebesar 118,6% dan

Puskesmas dengan cakupan persalinan oleh tenaga non kesehatan terbanyak adalah

Puskesmas Karang Pule sebesar 3,9%.

No Puskesmas Target

Bulin

Persalinan Nakes Persalinan Non

Nakes

Cakupan % Cakupan %

1 Ampenan 1.531 1.462 91,1 7 0,48

2 Tj. Karang 1.390 1.327 100,4 1 0,08

3

Karang Pule

1.102

1.052

94,7

41

3,9

4

Mataram

1.113

1.063

89,8

0

0

5

Selaparang

638

609

91,6

3

0,49

6

Pagesangan

1.953

1.864

94,6

4

0,21

7

Cakranegara

1.408

1.344

90,7

12

0,89

8

Kr.Taliwang

741 708

98,9

0

0

9 Dasan Cermen

611

518

118,6 2

0,39

10 Dasan Agung - - - - -

Kota Mataram 10.487 9.468 95,19 70 0,70

Tahun 2010 8.875 8.380 94,42 111 1,25

Tahun 2009 8.925 7.752 86,86 169 1,89

Page 418: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

394

Kunjungan Neonatal 3 (KN3), Neonatal Komplikasi dan Kunjungan Bayi

Kunjungan Neonatal (KN) adalah neonatus (bayi berumur 0 – 28 hari) yang

memperoleh pelayanan kesehatan sesuai standar oleh tenaga kesehatan yang memilki

kompetensi klinis minimal 3 kali selama bayi berumur 0 – 28 hari. Tahun 2011 tercatat

cakupan Kunjungan Neonatal (KN) minimal 3 kali cukup tinggi yaitu 97,21%.

Neonatus komplikasi tertangani adalah neonatus komplikasi yang mendapat

pelayanan oleh tenaga kesehatan yang terlatih, dokter dan bidan di sarana pelayanan

kesehatan. Cakupan neonatus komplikasi yang ditangani masih cukup rendah

meskipun telah mengalami peningkatan dari Tahun 2010 sebesar 26,82% menjadi

39,65% pada tahun 2011. Sedangkan cakupan kunjungan bayi adalah cakupan bayi (29

hari – 11 bulan) yang memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan standar oleh

dokter, bidan dan perawat yang memiliki kompetensi klinis kesehatan paling sedikit 4

kali disatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Tahun 2011 cakupan kunjungan

bayi minimal 4 kali di wilayah Kota Mataram cukup besar yaitu 99,42% dari target

sasaran bayi.

Tabel 3.10.4 Cakupan Kunjungan Neonatal 3 (KN3), Neonatal Komplikasi dan Kunjungan Bayi

Kota Mataram Tahun 2011

No Puskesmas

Target Kunjungan Neonatus 3

(KN3)

Neonatal Komplikasi tertangani

Kunjungan Bayi 4

Bayi Lahir Hidup

Bayi Jml % Jml % Jml %

1. Ampenan 1371 1392

1340

96,26 168 80,4 1332 95,69

2. Tj Karang 1315 1264 1248

98,73 97 51,1 1447 114,48

3. Karang Pule 1029 1002 971 96,91 66 44,0 979 97,70

4. Mataram 948 1012 932 92,09 46 30,3 861 85,08

5. Selaparang 550 580 555 95,69 36 41,4 550 94,83

6. Pagesangan 1777 1775 1726

97,24 21 7,9 1707 96,17

7. Cakranegara 1235 1280 1188

92,81 61 31,8 1405 109,77 8. Kr Taliwang 629 674 697 103,4

111 57 56,4 644 95,55

9. Ds. Cermen 608 556 612 110,07

15 18,1 555 99,82

10.

Dasan Agung - - - - - - - -

Kota

Mataram

9462 9535 926

9

97,21 567 39,65 9480 99,42

Tahun 2010 8.449 8.45

0

8.2

53

97,68 339 26,75 8.407 99,49

Sumber : Laporan PWS KIA (Anak) Tahun 2011

Page 419: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

395

Dari tabel 3.10.4 menunjukkan cakupan KN3 di wilayah Kota Mataram pada

tahun 2011 sebesar 97,21% dengancapaian cakupan KN3 tertinggi pada Puskesmas

Dasan Cermen sebesar 110,07% dan terendah yaitu Puskesmas Mataram sebesar

92,09%. Sedangkan cakupan Kunjungan Bayi minimal 4 kali sedikit mengalami

penurunan dari tahun 2010 sebesar 99,49% menjadi 99,42% pada tahun 2011.

Cakupan kunjungan bayi minimal 4 kali tertinggi pada Puskesmas Tanjung Karang

sebesar 114,48% dan terendah pada Puskesmas Mataram sebesar 85,08%.

3.10.2. Gambaran Umum Puskesmas Karang Pule

Puskesmas Karang Pule awalnya adalah sebagai Puskesmas Pembantu dari

Puskesmas Tanjung Karang. Sehubungan dengan meningkatnya kebutuhan pelayanan

kesehatan masyarakat maka Pustu Karang Pule tersebut dikembangkan menjadi

Puskesmas Karang Pule dan diresmikan pada bulan Januari Tahun 2002. Pembangunan

poskesdes didanai dari APBD (dana bagi hasil sukai tembakau di tingkat propinsi) akan

dibangun 2 poskesdes; ada 7 poskesdes akan dibangun dg dana DHS-2, sedang tanah

akan disediakan Pemda.

Kematian ibu yang masih tinggi di wilyah puskesmas Pule diduga karena

kurangnya kesadaran masyarakat dan perlunya peningkatan kualitas tenaga kesehatan

dokter dan bidan dalam menangani penyulit persalinan. Kepala Dinas kota Mataram

mengusulkan ada biaya selain Jampersal untuk digunakan meningkatkan kualitas bidan

dan dokter menangani masalah persalinan (KIA). Karena dibutuhkan refreshing

ketrampilan dan pengetahuan.

Page 420: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

396

Tabel 3.10.5

Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Puskesmas Karang Pule Tahun 2011

No Kelurahan Luas Wilayah Jml Penduduk

(Jiwa)

1 Karang Pule 106,7 Ha 11.856

2 Jempong Baru 510,50 Ha 12.212

3 Pagutan 186,393 Ha 8.348

4 Pagutan Timur 112,112 Ha 6.780

5 Pagutan Barat 91,32 Ha 10.211

Jumlah 1007,025 Ha. 49.407

Sumber: Kantor Lurah Sewilayah Puskesmas Karang Pule Tahun 2011

Puskesmas Karang Pule sebagai penyambung tangan Pemerintah yang secara

langsung menangani masalah kesehatan di masyarakat wilayah puskesmas terdiri dari

5 kelurahan yaitu 3 kelurahan dari Wilayah Kecamatan Mataram, dan 2 kelurahan

berasal darai wilayah Kecamatan Sekarbela. Wilayah Puskesmas Karang Pule terdiri

dari 5 kelurahan yaitu, Kelurahan Karang Pule, Kelurahan Pagutan, Kelurahan Pagutan

Timur, Kelurahan Pagutan Barat, Kelurahan Jempong Baru.

Luas Wilayah Puskesmas Karang Pule sekitar 1007,025 Hadengan jumlah

penduduk 49.407 jiwa.Batas-batas wilayah Puskesmas Karang Pule adalah sebelah

utara berbatasan dengan Kelurahan Pagesangan, wilayah kerja Puskesmas

Pagesangan; Sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Cakra Selatan, Wilayah kerja

Puskesmas Mataram; Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Lombok Barat;

Sebelah barat berbatasan dengan Pantai Mapak dan Kelurahan Tanjung Karang

wilayah kerja Puskesmas Tanjung Karang.

Kondisi di wilayah puskesmas Karang Pule tidak jauh berbeda dengan kondisi

secara umum di kota Mataram. Suhu udara di Kota Mataram berkisar antara 20.4 °C

sampai dengan 32.10 °C. Kelembapan maksimum 92% terjadi pada bulan Januari, April,

Oktober dan November, sedangkan kelembaban minimum 67% terjadi pada bulan

Oktober. Rata-rata penyinaran matahari maksimum pada bulan Februari. Sementara

jumlah hari hujan tertinggi terjadi pada bulan November sebanyak 27 hari, dengan

Page 421: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

397

curah hujan rata-rata mencapai 1.256,66 mm per tahun, dan jumlah hari relatif 110

hari per tahun.

Mata pencaharian dan tingkat ekonomi masyarakat di Karang Pule tidak berbeda

dengan kelurahan lain di kota Mataram yang bervariasi, mulai dari buruh tani, petani,

pedagang, pegawai negeri sipil, Polisi bahkan TNI. Pendidikan, masih cukup banyak

penduduk yang mempunyai tingkat pendidikan rendah bahkan perempuan tidak tamat

SD. Pendidikan yang rendah menyebabkan banyak perempuan menikah muda.

Islam adalah agama mayoritas penduduk Mataram disusul agama yang lain

yaitu Kristen, Katolik, Hindu, Buddha danKonghucu. Walaupun Islam merupakan

agama mayoritas di Mataram, namun kerukunan umat beragama dengan saling

menghormati, menghargai dan saling menolong untuk sesamanya cukup besar. Hal ini

sesuai dengan visi kota Mataram untuk mewujudkan Kota Mataram maju, religius dan

berbudaya.

Fasilitas kesehatan yang ada di wilayah puskesmas Karang Pule termasuk lokasi

dukun dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Gambar 3.10.4. Peta Fasilitas Kesehatan di Wilayah Puskesmas Karang Pule

Page 422: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

398

3.10.3. Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak

Pandangan tentang ibu hamil, bersalin, bayi/anak

Tuan Guru merupakan tokoh agama yang dihormati dan dijadikan panutan

setiap nasehat dan petuahnya. Dalam hal kepercayaan, masyarakat masih sangat

percaya terhadap kekuatan doa yang diberikan oleh Tuan Guru. Dalam setiap kejadian

baik kesehatan maupun non kesehatan, masyarakat sering memanfaatkan air minum

yang telah mendapat do’a dari Tuan Guru atau tokoh agama lain sebagai sarana untuk

memperoleh keselamatan. Peristiwa yang biasanya diberi air adalah bila ada masalah

kehamilan, persalinan, lama belum punya anak, masalah kesehatan pada bayi dll.

Peran Tuan Guru dalam ritual yang biasa dilakukan masyarakat adalah pemberi do’a

dan menyampaikan ceramah untuk acara Aqiqoh, cukuran, pemberian

nama,“Slamatan Perut”; tujuh bulanan, pembacaan surat Yusuf dan

Mariam,pemberian nama, diusulkan nama dengan urutan terkait Allah, Nabi/Rasul,

orang saleh.

Kepercayaan yang Masih Berkembang

Penduduk kota Mataram mayoritas beragama Islam, oleh karena itu

setiapperistiwa yang dikegiatan dimasyarakat banyak diwarnai dengan kegiatan

keislaman seperti pengajian, ceramah agama. Kepercayaan dalam tahap reproduksi

perempuan masih banyak diwarnai dengan kepercayaan, adat istiadat dan ritual.

Sebagaimana di berbagai daerah lain, kepercayaan, adat, ritual pada perempuan

dibedakan menjadi saat kehamilan, persalinan dan pasca persalinan. Hasil dari

wawancara responden di lapangan, menunjukkan hasil bahwa 68,6% melakukan ritual

saat hamil, 32,9% melakukan ritual saat persalinan, 71,4% saat nifas dan 90% ritual

untuk neonates.

Masa Kehamilan. Pengetahuan masyarakat dan ibu terhadap ibu hamil yang

berkembang di masyarakat Mataram, hamil merupakan yang alami bagi wanita yang

sudah bersuami, namun kepercayaan masyarakat terhadap ibu hamil cukup bervariasi

namun sikap dan perilaku masyarakat terhadap kepercayaan berkembang dimaksud

tetap berjalan secara alami, misalnya ibu hamil enam bulan dilakukan doa dengan

Page 423: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

399

sesajen dengan tujuan jabang bayinya selamat dalam persalinan, ada juga tadisi tujuh

bulanan.

Masyarakat Mataram yang mayoritas beragama Islam tidak dapat lepas dari

pengaruh ajaran agama. Tuan Guru sebagai tokoh agama yang sangat dihormati dan

dipercaya masyarakat adalah tokoh yang menjadi sumber pengetahuan berbagai

keadaan yang terjadi. Menurut Tuan Guru, kehamilan adalah kondisi yang perlu dijaga

karena ibu mengandung janin yang akan terus tumbuh menjadi manusia seutuhnya.

Menurut penjelasan tuan Guru, tahapan janin dalam kandungan dapat dibagi tiga

yaitu, pertama pada usia 0-40 hari masih berupa mani yang bertemu dengan sel telur,

tahap 40-120 hari, masih berupa gumpalan darah yang belum bernyawa atau masih

mati. Disusul tahap >120 hr – 9 bulan 10 hari, janin telah ditiupkan ruh berarti janin

sudah bernyawa atau hidup. Pada usia kandungan <120 hari, ibu terutama harus

menjaga makanan untuk pertumbuhan janin dalam kandungan. Pada usia kandungan >

120 hari, seorang ibu yang mengandung selain memperhatikan konsumsi makanan

untuk kebutuhan perkembangan bayi juga harus menjaga perilaku yang baik karena

janin sudah bernyawa dalam arti sudah dapat terpengaruh oleh perilaku ibu.

Anjuran pada kehamilan dan persalinan antara lain hindari pedas, kecut, dingin;

Makanan saat hamil diperhatikan, banyak membaca salawat dan menghindari yang

haram dalam segala hal. Pantangan yang diterapkan dipercaya untuk menghindari

keadaan yang tidak diinginkan atau yang membahayakan kehamilan dan persalinan.

Banyak tindakan yang dilarang dilakukan merupakan pertanda yang harus dijjauhi agar

tidak benar-benar terjadi. Sudah tidak ada pantangan dan penggunaan bawang

putih/merah untuk menolak bala seperti diungkapkan Ina Su (dukun bersalin).

Pantangan hamil muda: buah nanas, durian, mangga, nangka karena takut keguguran.

Hamil tua dan setelah bersalin tidak ada pantangan makanan, semua boleh

begitu ajaran dari bidan.Pantangan saat kehamilan tidak saja berlaku bagi ibu hamil,

dikenal pula pantangan bagi suami. Suami tidak boleh menyembelih hewan saat istri

melahirkan sampai dengan tali pusat lepas, dikenal pula pantangan bagi suami untuk

keluar rumah seperti pengakuan dukun Su, namun hal ini tidak dilakukan mengingat

suami harus bekerja mencari nafkah.

Page 424: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

400

Aktifitas budaya yang dilakukan masyarakat mempunyai maksud tertentu.

Sebagai contoh beberapa pantangan/ tabu mempunyai maksud sebagai berikut, Ibu

hamil tidak boleh merajut/menjahit dengan tangan karena bisa berakibat persalinan

tidak lancar/tertutup seperti kain yang dijahit; tidak boleh duduk ditengah pintu masuk

rumah karena berakibat persalinan tersendat/terhalang; tidak boleh mengalungkan

kain dileher karena akan mengakibatkan lilitan tali pusat; tidak boleh membersihkan

bulu ayam yang disembelih karena bisa menyebabkan bayi kejang-kejang; tidak boleh

mandi mengenakan kain basah-basahan agar pada saat bersalin air ketuban tidak

pecah duluan.

Tabel 3.10.6

Aktifitas Budaya pada Masa Kehamilandi Wilayah Puskesmas Karang Pule

Aktifitas Budaya pada Masa Kehamilan

Ritual, tradisi, atau adat tertentu

Pantangan/Tabu Anjuran

Tradisi enam bulanan

kehamilan. Acara ini

dilakukan untuk

mendoakan ibu dan

jabang bayinya agar

selamat dalam proses

persalinan. Tradisi

dilakukan dengan

membuat sesajen dan

dilakukan dengan

keluarga dekat saja.

Atau Tujuh bulanan

(tradisi sama dengan

enam bulanan)

Ibu hamil tidak boleh merajut/menjahit dengan tangan

Tidak boleh duduk ditengah pintu masuk rumah

Dilarang makan cumi –cumi

Dilarang makan menggunakan wadah penggorengan

Dilarang makan buah nanas, durian, mangga, nangka

Dilarang minum air es

Makanan yang dipantang nangka, salak, durian, nanas, mangga kueni, Sprite , kepiting , udang

Dilarang: mengalungkan kain dileher

membersihkan bulu ayam yang disembelih

mandi mengenakan kain basah-basahan

membunuh binatang

duduk bertopang dagu,

gigit buah tanpa pakai pisau.

terlalu sering tidur

Bila ada gerhana bulan, ibu hamil harus mandi besar/keramas

Kalau mendengar seorang ibu hamil atau keluarga meninggal, ibu hamil harus mandi besar

Pada Masyarakat Hindu Bali, cara bicara suami isteri harus lemah lembut tidak boleh marah-marah agar memberikan contoh kepada calon bayi

Suami tidak mencukur rambut atau tidak bercukur sampai isteri melahirkan.

Bila memasak nasi, panci/dandang agar segera disiram air

Bila terjadi gempa bumi, ibu hamil disarankan mandi di sungai besar

Duduk harus beralaskan kain (di pantat)

Sumber: Data Primer

Page 425: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

401

Masih dikenal pantangan bagi ibu hamil. Sedangkan pantangan terkait dengan

makanan antara lain dilarang makan cumi–cumi karena akan berakibat persalinan tidak

lancar (ada yang mengatakan plasenta lengket, ada yang mengatakan bayi seperti

cumi-cumi); makan buah nanas, durian, mangga, nangka dapat menyebabkan

keguguran.

Pada Masyarakat Hindu Bali, cara bicara suami isteri harus lemah lembut tidak

boleh marah-marah agar memberikan contoh kepada calon bayi. Selain ada anjuran

agar suami tidak mencukur rambut atau tidak bercukur sampai isteri melahirkan. Ini

sebagai pertanda bahwa suami yang rambutnya panjang artinya isterinya sedang hamil

sebagai isyarat agar suami tidak macam-macam sehingga akan memberikan rasa

tenang kepada isterinya. Anjuran lain, bila memasak nasi, panci/dandang agar segera

disiram air agar ibu tidak melahirkan kering atau air ketuban habis; duduk harus

beralaskan kain (di pantat) agar tidak terkena “kancing bumi”. Bila terjadi gempa bumi,

ibu hamil disarankan mandi di sungai besar agar persalinannya tidak mengalami

bahaya (bayi meninggal dalam perut).

Persalinan. Banyak aktifitas budaya yang berkembang pada masa persalinan di

masyarakat Mataram baik berupa mitos-mitos ataupun kebiasaan pijat seluruh tubuh

atau minum jamu dan anjuran-anjuran, yang bertujuan agar supaya ibu bersalin

dengan lancar tanpa halangan. Pantangan saat melahirkan yang masih dilakukan

misalnya, pintu-pintu di rumah tidak boleh tertutup, panci harus terbuka, gelang,

cincin harus dilepas.

Page 426: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

402

Tabel 3.10.7

Aktifitas Budaya pada Masa Persalinan di Wilayah Puskesmas Karang Pule

Aktifitas Budaya pada Masa Persalinan

Ritual, tradisi, atau adat tertentu Pantangan/Tabu Anjuran

Nujuh Bulanan: mandi kembang oleh dukun, bisa disertai mengundang makan bisa juga hanya ritual.

Air disiram pada perut ibu hamil dan jalan lahir dilakukan oleh suami

Minyak kelapa diminum, air dibasuh pada wajah perut dan diminum.

Minum jamu

Dilangkahi suami

Berorah/pijat seluruh badan

Tidak boleh banyak bergerak/ berjalan

Tidak boleh makan yang amis seperti ikan lauut

Jalan pelan-

pelan

Sumber: Data Primer

Sebagai masyarakat Islam yang menghormati tokoh agama (Tuan Guru), banyak

hal yang mereka lakukan dengan meminta tolong kepada Tuan Guru. Terkait dalam

persalinan, berikut beberapa peran Tuan Guru yang biasa terjadi di masyarakat kota

Mataram.

1. Pengajian, memimpin pengajian dan memberika ceramah serta do’a.

2. “Slamatan Perut”; tujuh bulanan, memimpin pembacaan surat Yusuf dan Mariam.

3. Aqiqoh, cukuran, pemberian nama: mendo’akan sang bayi.

4. Pemberian nama; mengusulkan nama seorang bayi, biasanya menggunakan nama

yang mempunyai arti memuliakan dengan urutan terkait Allah, Nabi/Rasul, orang

saleh

5. Pemberian air yang diberi do’a bila ada masalah kehamilan, persalinan, lama belum

punya anak

Menurut informasi dari dukun Ina Sa, masyarakat sudah tidak banyak lagi yang

minta jamu kepada dukun. Boreh (jamu luar dibalurkan ke badan) dan jamu sudah

tidak pernah dilakukan lagi. Bagi Ina Sa, hal tersebut menguntungkan baginya, selain

malas juga karena membuatnya sulit dan bahan dari kulit kayu sudah sulit diperoleh.

Menurutnya, ibu muda sekarang juga tidak mau minum jamu, mereka memilih minum

Page 427: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

403

obat yang lebih praktis serta ada anggapan bahwa orang yang minum jamu dianggap

“gawah” atau kampungan= bodoh.

Upacara yang masih dilakukan masyarakat pada masa setelah melahirkan adalah

1. Pedak Api (Padam api) upacara tujuh hari saat tali pusat lepas. Tidak ada acara

makan, hanya ritual. Ibu mandi keramas dengan memerikan santan pada rambut,

termasuk bayinya. Setelah itu dipakaikan benang melingkar perut ibu, benang

tersebut sebelumnya diberi doa-doa oleh dukun. Bila dukun tidak ada bisa

dilakukan oleh orang yang dituakan misalnya nenek. Setelah upacara ini, bayi baru

boleh diajak jalan keluar rumah. Pemberian nama juga bisa diberikan saat Pedak

Api, dan dapat dimintakan nama kepada Tuan Guru atau tokoh agama lain

2. Ruwahan: pesta Aqiqoh. Setelah pesta, dukun diberi dulang yang berisi makanan

dan sayur serta ikan dikirim ke rumah dukun.

3. Andang: pemberian kepada dukun setelah menolong ibu bersalin berupa wadah

berisi bers+ sirih + dibawahnya diselipi uang.

Kebiasaan masyarakat setelah hadir dalam suatu upacara ritual atau adat

terkait dengan persalinan adalah membawa berkat saat pulang. Berkat adalah

makanan saat pesta (sisa makanan dimakan bersama) yang dibawa pulang.

Pasca Persalinan. Banyak aktifitas budaya setempat (Mataram) yang

berkembang di masyarakat pada masa pasca persalinan yang bertujuan agar ibu cepat

pulih kesehatan dan dapat beraktifitas seperti sedia kala misalnya banyak makan

sayuran adalah banyak mengandung vitamin, ada hal-hal mitos yang berbau tahayul

misalnya Ibu Nifas tidak boleh menyahut bila dipanggil dari luar karena akan

“ketemuk”. Artinya, seseorang yang ditegur/disapa oleh makhluk gaib/jin yang

mengakibatkan sakit perut/gangguan kesehatan lainnya (pusing, muntah2).

Masih dikenal pantangan yang kurang baik terhadap ibu ibu bersalin misalnya

makan yang amis seperti ikan laut sebetulnya ikan laut merupakan sumber protein

hewani yang sangat diperlukan oleh ibu pada masa persalinan karena sumber protein

sangat diperlukan untuk mengembalikan kondisi ibu yang masih lemah pasca

persalinan dan zat protein yang sangat diperlukan untuk komponen imum untuk

mencegah penyakit.

Page 428: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

404

Dalam hal perilaku/tindakan pasca persalinan, ibu saat cebok (membersihkan

bagian intim wanita) tidak boleh tersentuh tangan karena dipercaya akan bengka

kemaluannya. Pandangan ini menyebabkan kebersihan bagian intim wanita menjadi

kurang baik mengingat daerah tersebut perlu pembersihan yang cukup baik akibat

adanya darah ataupun luka yang mungkin terjadi akibat persalinan.

Pedak api merupakan suatu upacara/ritual yang dilakukan pada ibu dan bayi

pasca persalinan setelah tali pusat putus.Bayi dan ibu akan diberikan gelang di tangan,

pinggang dan jempol kaki ibu dan bayi. Gelang dibuat dari benang warna warni dan

digulung kemudian diberikan sematan umbi (bawang putih/mera) yang dipercaya bisa

menolak gangguan jin, sedangkan gelang di pinggang ibu berguna agar perut tidak

sakit dan darah nifas lancar keluar. Bagi bayi, gelang perut berguna agar tidak sering

buang air besar.Upacara ini dipimpin belian/dukun/ibu yang dituakan. Ibu-ibu/para

tetangga akan dibagikan kelapa yang telah diiris dan telah didoakan oleh dukun/ belian

agar ibu yang hadir tidak sakit mata. Irisan kelapa ini akan digunakan untuk keramas,

pembagian kelapa ini tetap dilakukan meskipun ibu melahrkan di nakes. Pada upacara

ini sekaligus diberikan nama kepada bayi dan membuat bubur merah putih yang

dibagikan kepada tetangga.

Plasenta atau ari-ari merupakan bagian dari bayi yang mendapat perlakuan

khusus. Adik kakak (ari-ari) setelah ditanam (dicuci, dibungkus kain putih, diletakkan di

wadah tanah liat), harus diberikan lampu/lentera. Untuk anak laki-laki di atasnya

diberikan rokok dan sirih sedangkan bayi perempuan diberi lipstik dan bedak.

Dikenal pula ritual terkait dengan adat Hindu. Kepus Pusar=Molang malik

(hindu) sama dengan pedak api pada masyarakat suku Sasak. Pada adat Hindu,

upacara tidak dipimpin dukun tapi oleh keluarga sendiri dengn berdoa bersama dan

diberi air suci pada si bayi serta diberikan nama. Upacara ini berlangsung setelah tali

pusat putus antara hari 7–15.Roras Dine (12 hari), upacara ini dilakukan pada saat bayi

usia 12 hari, dengan ritual berdo’a bersama oleh keluarga dengan membuat sesajen

yang bertujuan untuk keselamatan bayi.Sebulan pitung dine (1 buan 7 hari): upacara

dilakukan saat bayi usia 1 bulan tujuh hari yang bertujuan untuk keselamatan bayi dan

sebagai rasa syukur bahwa bayi sudah melewati 1 bulan kehidupannya dan akan tetap

dirayakan setiap 35 hari (1 bulan bali=35 hr) sampai anak berusia 1,5 tahun. Upacara

dipimpin oleh pemangku keluarga, sedangkan upacara besar yang melibatkan pendeta

Page 429: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

405

dilakukan pada 3 bulanan dan 6 bulanan. Dilanjutkan dengan upacara 3 bulanan dan 6

bulanan.

Tabel 3.10.8

Aktifitas Budaya pada Masa Pasca Persalinan di Wilayah Puskesmas Karang Pule

Aktifitas Budaya pada Masa Pasca Persalinan

Ritual, tradisi, atau adat tertentu Pantangan/Tabu Anjuran

Belanger: upacara setelah putus tali pusat

= Pedak api = Beregek= Molang Malik (Hindu) ,

Ada yang menyebut sebagai upacara memerak (di lingkungan Patemon, Karang Buaya).

Adik kakak (Ari-ari) dilenterai

Ngurisan: memotong rambut bayi (kalau Hindu 6 bulan)

Semayut: buat banten yang isinya buah-buahan, jajan, do’a, saat bayi baru pulang dari tempat persalinan (RS/pusk/Polindes) Laki-laki 2 nare (nampan), perempuan 1 nare ( nampan)

UPACARA ADAT HINDU

Kepus Pusar=Molang malik sama dengan pedak api pada

masyarakat suku Sasak.

Roras Dine (12 hari)

Sebulan pitung dine (1 buan 7 hari)

3 bulanan: bayi diupaarakan dan dipakaikan perhiasan emas

6 bulanan: satu oton (ngurisan)

Ibu tidak boleh ke dapur (tidak boleh aktifitas rumah) sampai 1 bulan 7 hari

Tidak boleh makan makanan yang amis dan gatal seperti ikan laut, telor

Tidak makan makanan pedas

Tidak makanan yang licin seperti belut

Ibu Nifas tidak boleh menyahut bila dipanggil dari luar karena akan “ketemuk”. Artinya, seseorang yang ditegur/disapa oleh makhluk gaib/jin yang mengakibatkan sakit perut/gangguan kesehatan lainnya (pusing, muntah2)

Ibu nifas tidak boleh mengambil barang yang letaknya tinggi yang mengharuskan mengangkat tangan melebihi kepala karena akan meyebabkan bawah ketiaknya akan kembung

Banyak makan sayuran segar seperti sayur bening agar air susu banyak keluar

Makan ramuan penghangat badan

Banyak makan daun turi dan sagar , dianjurkan ortu

Sumber: Data Primer

Page 430: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

406

Pengetahuan, Sikap, Praktek/Tindakan tentang perilaku ANC, persalinan dan paska

persalinan terkait dengan pemanfaatan Jampersal

Pengetahuan, sikap, praktek/tindakan masyarakat terhadap perilaku

memeriksakan kehamilan (ANC) cukup baik dengan cukup tinggi angka ANC baik di

Puskesmas maupun di bidan praktek swasta walaupun masih ada ibu-ibu melahirkan

dengan pertolongan dukun dengan alasan anaknya sudah mbrojol di rumah dan ada

yang beralasan persalinan dengan dukun, akan merawat bayi dan ibu serta melakukan

upacara-upacara/ritual yang dilakukan sang dukun.

1. Acara budaya/keagamaan masih kuat

2. PHBS kurang terlihat dari perilaku saat pesta makan bersama dengan tangan di

nampan

3. Pantang makan berkuah saat hamil

4. Tidak boleh keluar rumah s/d 40 hari paska persalinan

Cukup banyak pengembangan pos kesehatan pesantren di Mataram. Melalui

poskestren, dimanfaatkan untuk menyadarkan masyarakat tentang pemahaman salah

tentang kematian anak yang akan menjemput ortu di sorga yang harus diiringi dengan

usaha maksimal dalam bidang kesehatan (Jamiul umah).

Tindakan /Praktek KIA

Masyarakat Karang Pule pada umumnya bila hamil maka memeriksakan

kandungannya baik di Puskesmas maupun di bidan praktek swasta. Telah terjalin

kerjasama bidan-dukun. Dukun juga menganjurkan ibu untuk melahirkan di fasilitas

kesehatan seperti puskesmas dan Rumah Sakit. Mengingat transportasi di kota

Mataram yang cukup mudah maka hampir seratus persen persalinan ditolong tenaga

kesehatan, namun belum seluruhnya melahirkan di fasilitas kesehatan seperti

pernyataan seorang dukun bahwa alasan tidak mau ke puskesmas biasanya karena

takut dijahit atau takut biaya. Sedangkan bagi keluarga kurang mampu, mereka dengan

senang hati mau diajak oleh dukun ke puskesmas terutama setelah ada pelayanan

gratis.

Dukun umumnya dikatakan dibutuhkan oleh orang dari golongan miskin saja

mengingat jasanya yang tidak mahal serta bisa dibayar kapan saja. Ada kalanya

Page 431: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

407

sebagian kecil ibu-ibu yang masih menggunakan jasa dukun mereka melakukan

pemeriksaan kandungannya pada dukun tentang letak janin atau memijat seluruh

tubuh. Namun demikian, namun bagi beberapa keluarga dengan sosial ekonomi

cukup/kaya, tetap membutuhkan pertolongan dukun untuk mengantarkan ibu

menjelang persalinan ke fasilitas kesehatan. Ina Su seorang dukun bersalin, akan

mengantar kemana mereka mau baik ke RS pemerintah, swasta atau ke puskesmas

sesuai keinginan mereka.

Persalinan di fasilitas kesehatan seperti puskesmas, polindes, sudah cukup

berhasil di puskesmas Karang Pule. Berdasar wawancara dengan seorang bidan, ibu

bersalin rata-rata hanya mau tinggal sebentar saat melahirkan yaitu 6 jam sampai 1

hari, dan setelah itu mereka segera pulang ke rumah. Makanan untuk ibu yang

melahirkan di fasilitas kesehatan pada umumnya membawa sendiri baik dari rumah

atau membeli. Bila ada permasalahan dalam kehamilan maupun persalinan maka

biasanya keluarga akan mencari air yang telah diberi doa oleh kian/Tuan Guru.

Pelayanan KIA berupa pemeriksaan kehamilan, persalinan, dan paska

persalinan dilakukan masyarakat Mataram dengan memanfaatkan tenaga bidan dan

atau dukun. Pelayanan persalinan ada yng ditolong oleh dukun meski sangat jarang,

karena sudah ada kemitraan dukun bidan. Dukun akan mendapat uang Rp. 50.000,-

diambilkan dana BOK bila membawa ibu bersalin ke bidan. Ada binaan oleh bidang

Kesehatan keluarga – Dinkes agar dukun agar tidak lagi menolong persalinan. Dukun

diharapkan hanya membantu menunggu dan merawat ibu menjelang persalinan dan

membantu paska persalinan. Beberapa dukun masih dimintai jampe-jampe oleh ibu

dan keluarga menjelang persalinan.

Pelayanan yang diterima masyarakat dari bidan dan dukun dapat dilihat pada

tabel berikut.

Page 432: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

408

Tabel 3.10.9 Pelayanan KIA yang diterima Ibu Hamil dari Bidan & Dukun di Wilayah Puskesmas Karang Pule

Jenis Pelayanan oleh Bidan

‘Ya’ Terima Yan Bidan

Jenis Pelayanan oleh Dukun

‘Ya’ Terima Yan Dukun

Periksa Kehamilan 98,6 Periksa Kehamilan 31,4

Persalinan 92,9 Persalinan 5,7

Rawat Pasca Persalinan 88,6 Rawat Pasca Salin 2,9

KB 84,3 Jamu Ibu 1,3

Pijat Bayi 5,7 Rawat bayi 24,3

Buat Jamu Ibu 2,9 Buat jamu Bayi 2,9

Upacara 1,4 Upacara 31,4

Lain-lain 12,9 Pijat ibu 47,1

Sumber: Data Primer

Pemeriksaan yang dilakukan ke nakes (bidan) selama kehamilan dan paska

persalinan dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3.10.10 Pemeriksaan yang dilakukan Ibu ke Tenaga kesehatan di Wilayah Puskesmas Karang Pule

Pemerikaan Nakes 0 kali 1-2 kali >= 4 kali

ANC 1,4 % 8,6% 90,0%

Pasca Hamil 11,4% 75,7% 18,6%

0 kali 1-2 kali >= 3 kali

Neonatus 15,7% 62,9% 21,4%

KB Pasca Nifas 80,0%

Sumber: Data Primer

3.10.4. Faktor Sosial Budaya Masyarakat dalam Pemilihan Penolong Persalinan

Pengambilan keputusan

Masih banyak perkawinan usia muda sekitar 15-16 tahun (perempuan) maupun

laki-laki.Ada istilah “dicolong” bagi calon istri. Pasangan yang sudah saling suka, maka

calon suami akan mencuri calon istri dan disembunyikan. Besoknya dengan perantara

kepala lingkungan atau RT, datang mengutarakan maksud. Keluarga perempuan bisa

minta tebusan uang, biasanya sekitar 3-4 juta, tapi bagi calon laki-laki bukan orang

Page 433: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

409

setempat bisa mahal sampai puluhan juta. Setelah sepakat dengan uang yang harus

dibayarkan, maka beberapa hari kemudian keluarga perempuan memberikan wali, dan

pasangan tersebut dinikahkan. Keluarga istri akan melakukan selamatan. Sedangkan

keluarga suami bisa mengadakan pesta besar-besaran.

Pengambilan keputusan bahwa istri melahirkan di bidan praktek

swasta/puskesmas/rumah sakit adalah suami sendiri tetapi biasanya tetap meminta

pertimbangan orang tua. Mertua lebih berpengaruh terhadap menantu yang

melahirkan, misalkan memberikan pantangan makanan. Ada yang hanya boleh makan

daun turi yang disayur bening dan ditambah krupuk.

Dukun dalam Pandangan Masyarakat

Dukun ada 16 dan masih ada dukun yang menurunkan ilmunya kepada 2 anak

perempuannya.Kader 1700 orang. Dukun di mata masyarakat Mataram masih

mempunyai arti. Dukun menjadi tempat meminta pertolongan saat menjelang

persalinan dan setelah persalinan dan penyelenggarakan ritual. Jadi meskipun sudah

ke bidan ataupun ke dokter persalinannya, masih membutuhkan dukun untuk

mendampingi menjelang dan saat persalinan dan membantu merawat plasenta, serta

ibu paska persalinan.

Kebutuhan masyarakat terhadap dukun dalam pemeriksaan kehamilan cukup

tinggi. Karena dari hampi seluruh responden yang melakukan pemeriksaan kehamilan

ke bidan (98,6%) ternyata yang memeriksakan diri ke dukun juga cukup tinggi yaitu

31,4%. Alasan memeriksakan kehamilan ke dukun, tertinggi 36,4% karena alasan

tradisi dan 31,8% karena anjuran orangtua atau suami.

Dukun atau biasa disapa dengan Ina (=ibu) juga diminta menolong mengobati

“Sakit Bongkor” atau sakit panas pada anak. Anak atau bayi, biasanya dibawa ke dukun

untuk dipijat. Anak yang dipijat sampai dengan anak tingkat Sekolah dasar, tapi

sebagian dukun juga memijat orang dewasa. Ibu bersalin biasanya mencari penolong

yang terdekat dukun atau kader setelah itu baru dicari bidan.

Dukun pada umumnya sudah bekerjasama dengan bidan, seorang dukun

mengaku sekitar 10 tahun yang lalu sudah bermitra dengan bidan.Ina Su adalah

seorang dukun.Biasanya pasien dibawa ke puskesmas karena jaraknya dekat

Page 434: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

410

denganrumah.Bila ada yang tidak mau, maka akan dibujuk bahkan setengah dipaksa

untuk datang ke puskesmas. Ina Sumengantar dan menunggu ibu bersalin di

puskesmas. Dia berperan sebagai penunggu sampai lahir dan merawat ibu serta bayi

sampai 7 hari. Ini dilakukan biasanya untuk anak pertama. Meski mengaku sudah tidak

menolong sejak kerjasama dengan bidan, tapi tahun kemarin mengaku masih

menolong 4 ibu melahirkan yang menurut dukun sudah tidak keburu dibawa ke

puskesmas. Tahun 2011 menolong melahirkan di rumah 1 orang, karena tidak mau

melahirkan di puskesmas maunya di rumah meski sudah dipaksa. Ditinggal, ternyata

lahir, sehingga dukun datang sudah lahir. Ina Su mampu mendeteksi saat persalinan

melalui keluarnya darah dan lendir dari jalan lahir disertai perut kencang terus

menerus.

Bidan di Mata Masyarakat

Bidan di mata masyarakat cukup berarti apalagi bidan yang sudah senior

banyak membantu pertolongan persalinan di tempat rumah bidan, dan bila ada

program Jampersal yang bersifat gratis maka makin banyak masyarakat yang

menggunakan jasa Jampersal dengan bidan praktek swasta yang sudah MOU dengan

Jampersal. Demikian pula persalinan di Puskesmas makin banyak diminati oleh

masyarakat karena mereka sudah percaya terhadap bidan.

Untuk mempermudah jangkauan antara bidan dengan masyarakat, bidan

banyak dibantu oleh kader kesehatan yang banyak di kota Mataram. Kader kesehatan

juga dilatih tentang kesehatan termasuk pengetahuan pelayanan KIA. Saat ini sudah

ada 300 kader sudah dilatih di seluruh kota Mataram. Upaya memperlancar

komunikasi dilakukan dengan menjalin hubungan antara bidan dengan kader. Bidan

memiliki nomor handphone (hp) kader atau langsung ibu hamil untuk mengontak ibu

yang hamil, sebaliknya ibu hamil/keluarga juga mempunyai no hp bidan.

Kepercayaan masyarakat terhadap kompetensi bidan dalam melakukan

pemeriksaan kehamilan seperti ditemukan hasil penelitian ini menunjukkan 56.5%

karena merasa mana dan nyaman serta 18,8% karena percaya terhadap kemampuan

Page 435: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

411

bidan. Sedangkan yang mengemukakan karena jarak dekat hanya 14,5% dari 70

responden yang diwawancara.

Hubungan Dukun dan Bidan

Hubungan dukun dan bidan sudah cukup baik fungsi dukun membantu bidan

dalam mengantarkan pasien ke tempat bidan atau puskesmas apabila mau melahirkan.

Biasanya para dukun diberi jasa transportasi walaupun masih ada masyarakat

menggunakan jasa dukun untuk menolong persalinan dengan alasan sudah tidak tahan

dan sudah keluar di rumah, tetapi sudah berangsur-angsur berkurang masyarakat

menggunakan jasa dukun untuk menolong persalinan.

Sistem Pembiayaan persalinan oleh masyarakat dan pemanfaatan pelayanan

Jampersal untuk kalangan yang cukup mampu maka pembiayaan persalinan oleh

masyarakat ditanggung oleh keluarga itu sendiri, namun untuk keluarga tidak mampu

atau yang sudah mengenal program Jampersal maka pembiayaan persalinan

ditanggung oleh pemerintah melalui program Jampersal.

Pelaksanaan Pelayanan KIA

Alasan utama memilih tenaga pemeriksa kehamilan sangat bervariasi. Mereka

bisa ikut program Jampersaldengan mememeriksakan kehamilan kepada bidan

dipuskesmas atau polindes terdekat. Bagi keluarga dengan ekonomi cukup bisa

memilih pemeriksaan pada bidan praktek swasta atau ke RS.

Pemilihan penolong persalinan

Pemilihan penolong persalinan juga bervariasi. Bagi ibu yang ikut program

Jampersal maka akan bersalin di puskesmas, bagi yang belum tahu program Jampersal,

pada umumnya mereka bersalin di bidan praktek swasta atau RS bagi yang mampu

atau mengalami kesulitan persalinan.

Penolong persalinan menurut hasil wawancara kepada responden ibu

ditampilkan dalam tabel 3.10.11 berikut ini. Sedangkan dari alasan penolong terakhir

Page 436: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

412

adalah 22,9% karena dirujuk, 38,6% dengan alas an aman dan nyaman, 14,3% karena

percaya dengan tenaga keehatan dan alasan lain sebesar 21,4%.

Tabel 3.10.11 Penolong Persalinan pertama dan Terakhir di Wilayah Puskesmas Karang Pule

Jenis Tenaga Penolong Pertama

Penolong Terakhir

Dokter 15,7 24,3

Bidan 74,3 68,6

Dukun 7,1 5,7

Suami/Kelg 0,0 0,0

Lainnya 2,9 1,4

Sumber: Data Primer

Pembiayaan Kesehatan (termasuk Pemanfaatan Jampersal) oleh masyarakat

Pembiayaan kesehatan bagi yang masyarakat ekonomi bawah pembiayaan bisa

melalui Jamkesmas, Jamkesda, tetapi sejak ada program Jampersal maka pembiayaan

persalinan di Puskesmas dibiayai Jampersal. Masyarakat sangat antusias dalam

pemanfaatan Jampersal karena gratis khususnya dari kelompok ekonomi bawah, tetapi

karena adanya ketidakpuasan terhadap pelayanan puskesmas, maka cukup banyak

ibu-ibu yang melahirkan di Bidan Praktek Swasta (BPS) seperti yang terungkap dalam

FGD.

Status persalinan yang diketahui dari hasil wawancara dengan 70 responden,

menunjukkan bahwa 77,1% melahirkan normal, 11,4% melahirkan dengan penyulit

dan dirujuk, 10% melahirkan dengan penyulit dan dilakukan operasi SC sedangkan

1,4% melahirkan dengn penyulit tapi tidak dirujuk. Dari data tersebut juga

menggambarkan bahwa sebagian besar melahirkan di puskesmas (45,7%), 35,7% di

Rumah Sakit, 11,4 % di rumah bidan/polindes. Meskipun di perkotaan yang cukup

mudah transportasinya, masih ditemui 5,7% melahirkan di rumah dan 1,4 %

melahirkan di rumah dukun.

Pembiayaan persalinan menurut pengakuan 70 responden menunjukkan

bahwa 60% dibiayai oleh Jampersal. Namun secara terperinci sumber biaya KIA

Page 437: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

413

menurut pengakuan responden yang terjadi pada 70 responden dapat dilihat pada

tabel berikut.

Tabel 3.10.12

Sumber Biaya Kesehatan KIA di Wilayah Puskesmas Karang Pule

Sumber: Data Primer

Biaya persalinan sebesar antara 700 ribu s/d 1 juta rupiah termasuk berat bagi

keluarga ekonomi rendah. Menurut seorang BPS yang melakukan MoU untuk

pelayanan dengan Jampersal menjelaskan bahwa bagi masyarakat tidak mampu

langsung diarahkan untuk melahirkan dengan dana Jampersal, tetapi bagi yang mampu

secara ekonomi mampu akan diarahkan dengan biaya mandiri. Menurut bidan,

pembiayaan dukun tidak selalu murah karena ada dukun yang mematok biaya

pelayanan yang cukup besar.

Pengetahuan tentang Jampersal

Walaupun sosialisai sudah cukup lama dilakukan oleh dinas kesehatan baik

melalui pamong dan lintas sektor, tetap saja banyak masyarakat yang belum tahu apa

itu Jampersal hal ini dapat diketahui melaui FGD suami yang istrinya melahirkan

dengan non Jampersal.

3.10.5. Peran Tenaga Kesehatan dalam Pelaksanaan Program Jampersal

Peran tenaga kesehatan dalam pelaksanaan Jampersal

Sumber Dana Pelayanan/Perawatan

ANC (%) Persalinan (%) Pasca Salin (%) Neonatus (%)

Sendiri/klg 36,2 20,0 28,6 11,4

Jampersal 49,3 61,4 52,9 58,6

Jamkesmas/ Jamkesda

14,5 15,7 7,1 14,3

Asuransi lain 0,0 1,4 0,0 0,0

Sumber lain 0,0 1,4 1,4 1,4

Tidak periksa 0,0 0,0 10,0 14,3

Page 438: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

414

Tenaga kesehatan yang paling berperan adalah bidan di puskesmas di

Puskesmas Karang Pule koordinatornya adalah bidan Sil, semua bidan yang PNS

melakukan pertolongan persalinan di puskesmas dengan biaya Jampersal target

persalinan di puskesmas sudah tercapai yaitu 80%, sedangkan bidan praktek swasta

juga bisa menerima persalinan Jampersal untuk administrasinya diserahkan kepada

bidan koordinator untuk menyelesaikan klaim biaya Jampersal ke Dinas kesehatan.

Sosialisasi Jampersal dari Dinkes ke Puskesmas

Persalinan gratis di kota Mataram sudah dimulai sejak 2010 dijamin dengan

danaJamkesmas khusus kelompok masyarakat miskin. Sejak diluncurkan Jampersal

pada tahun 2011, maka semua persalinan ditanggung Jampersal sedangkan rujukan

ditanggung oleh Jamkesmas atau asuransi lain misal Askes.

Sosialisasi Jampersalsudah dilakukan sejak akhir 2010. Perwali sebagai

pendukung sedang dalam proses. Baru di proses setelah ada teguran dari Irjen karena

belum ada perwali yang mendukung secara hukum. Penanganan Jampersal dilkukan di

bidang Promkes Dinkes karena terdapat seksi Pengembangan Jaminan Kesehatan

Masyarakat yang menangani Jamkesmas, Jampersal, BOK. Pelaksanaan Jampersal

tahun 2011, di kota Mataram diperoleh dana Jamkesmas dan Jampersal 2,9 M tapi

dikembalikan tidak terserap semua sehingga 0,8 M dikembalikan sehingga realisasi

90,6%.

Pada tahun 2012 permintaan besar anggaran untuk Jamkesmas dan

Jampersalsama dengan tahun 2011. Prosesnya penyerapan Jampersal melalui klaim

dari bidan puskesmas yang disampaikan ke Dinkes. Selanjutnya dilakukan verifikasi

oleh tim Dinkes dan bila sudah sesuai persyaratan akan diajukan ke Pemda. Dana

selanjutnya masuk ke kas Pemerintah Daerahdipotong 2% sebagai pendapatan Pemda

dan sisanya dikembalikan ke Dinkes. Dana tersebut akan diserahkan ke Puskesmas dan

dibagikan sesuai dengan kesepakatan yang telah disusun.

Sosialisasi dari Puskesmas ke Masyarakat

Sosialisasi Jampersal dari puskesmas ke tokoh-tokoh masyarakat ke parakader

telah dilakukan. Ada Da’i Kesehatan sebagai kepanjangan tangan antara lain untuk

sosialisasi kesehatan termasuk Jampersal. Saat ini ada 10 orang, terdiri dari tokoh

agama yang mendapat tambahan pengetahuan tentangnkesehatan. Tempat

Page 439: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

415

pertemuan biasanya di kelurahan, di pertemuanpertemuan lintas sektor, di kecamatan

juga pernah. Walaupun tidak khusus sosialisasi tapi ikut membicarakan, ikut

mensosialisasikan Jampersal.

“Waktu di kelurahan banyak respon sih, sosialisasi ini kan hanya untuk

mengingatkan mereka, agar mereka mengerti. Jadi mereka sudah punya

pengalaman juga, hubungannya sama dengan penerimaan mereka, kita yang

memberikan pelayanan, masalah identitas dia dulu ya, ya waktu Jamkesmas.

Waktu Jamkesmas juga kan menyerahkan KTP juga seperti sekarang ya,

menyebutkan identitas gitu ya”.

“…intinya nggak ada perbedaan sebenarnya untuk tingkat Puskesmas ya, tapi

kalau lihat cacat saya nggak tahu lagi ya kalau ada perbedaan. Kalau tingkat

Puskesmas kan sama itu semua. Fisiologis sama non fisiologis, jadi pertama

mungkin mereka mencari identitas diri dulu ya, mungkin Jamkesmas atau

Jamkesda. Nah seandainya nggak ada itu baru Jampersal ya, nah Jampersal itu

pakai identitas KTP. Intinyauntuk . Jampersal untuk semua penduduk baik yang

miskin maupun non miskin semua bisa menggunakan fasilitas Jampersal”

Pandangan dari Kabid Kesehatan Keluarga merasa bahwa kebijakan Jampersal

“kebablasan” karena disamaratakandisemua daerah Indonesia yang kondisi dan

situasinya berbeda-beda, dengan standar Jampersal melahirkan di faskes. Di beberapa

tempat, ada kendala transportasi sehingga dalam pengaturan pembiayaan

olehJampersal seharusnya mempertimbangkan lokasi. Pada masyarakat pedesaan

yang memiliki kebiasaan mengantar ibu bersalin secara rombongan dan menunggu di

puskesmas/RS, maka perlu dipertimbangkan biaya bagi keluarga yang menunggu ibu

bersalin. Perlu penyadaran ke masyarakat tentang makna gratis yang bukan berarti

tidak ada biaya tetapi “biaya yang ditanggung/disubsidi pemerintah”. Perlu ada skala

prioritas. Kebutuhan dana tersebut perlu dialokasikan melalui APBD.

Pengelolaaan Dana Jampersal di tingkat Puskesmas

Jampersal di tingkat Dinas kesehatan Kota Mataram telah dikelola, semula

dengan hanyaberdasar peraturan Menteri Kesehatan RI No

2562/MENKES/PER/XII/2011 tentang petunjuk tehnis Jaminan persalinan, telah

ditetapkan pemanfaatan dana di faskes tingkat pertama. Besaran Jasa Pelayanan

persalinan sebagaimana dibayarkan kepada pemberi pelayanan dengan

memperhatikan maksud pemberian insentif agar terjadi akselerasi tujuan program dan

Page 440: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

416

tujuan MDGs, terutama penurunan AKI bersalin. Dengan adanya keputusan tersebut

maka pada tanggal 10 Mei 2012, bidan koordinator se-kota Mataram dan difasilitasi

kepala Dinkes kota Mataram dan staf terkait, membuat kesepakatan.

Tabel 3.10.13 Besaran Pembagian Biaya Persalinan Bersumber dari Jampersal di Kota Mataram Tahun 2012

No Item Persalinan

Normal (Rp.500.000,-) Poned (Rp. 650.000,-)

% Jumlah % Jumlah

1 Pajak profesi 2 10.000 2 13.000

2 Jasa Medis

Visite dokter 5 25.000 4,61 30.000

Bidan penolong 65 325.000 63,07 410.000

Perawat - 2,61 17.000

Tindakan dokter - Ditentukan di

keterangan

Konsul dokter - 6,15 40.000

Jasa Non Medis

Kepala puskesmas 4 20.000 3,07 20.000

Bendahara 2 10.000 1,53 10.000

Bidan Koordinator 2 10.000 1,53 10.000

Puskesmas 7 35.000 5,38 35.000

Akomodasi 10

Makan pasien 3 15.000 15.000

Bhan habis pakai 4 20.000 20.000

Paket persalinan 4,6 23.000 23.000

ATK 0,8 4.000 4.000

Cleaning service 0,6 3.000 3.000

Keterangan: Jika ada tindakan dokter berupa vakum ekstraksi, curettage maka jasa diatur sbb. Jasa dokter 60% dar Rp.410.000,-= Rp 264.000,- Jasa bidan 44% dari Rp.410.000,- = Rp. 146.000

Pengelola dan Jampersal di tingkat puskesmas dilaksanakan dengan mengikuti

kesepakatan yang telah diambil oleh koordinator bidan puskesmas disaksikan oleh

kepala Dinas dan kepala puskesmas. Pengelolaan Jampersal dibawah koodiner bidan

puskesmas yang menangani klaim ke Dinas Kesehatan Kota, dan uangnya akan

diserahkan ke bidan yang menangani persalinan Jampersal baik yang di puskesmas,

puskesmas pembantu, poskesdes, atau bidan praktek swasta. Pelaksanaan Jampersal:

Verifikator Jampersal ada SK Ka Dinkes, ada di Dinkes sedang untuk yang dirujuk ada

verifikator independen di RS. Ada kesepakatan pihak puskesmas tentang pembaian

Page 441: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

417

dana persalinan (Rp. 500.000,-) yaitu pajak 2%; jasa pelayanan dokter, bidan, perawat

(85%); Akomodasi 13% (Cleaning servis, ATK, Promosi).

Di kota Mataram, sudah diberlakukan INA CBGs, rujukan persalinan sudah

ditanggung oleh Jamkesmas bagi yang tidak mampu. Adanya Jampersal, rujukan

persalinan meningkat sehingga beban pelayanan RS meningkat. Telah disusun

formularium obat, sehingga tidak ada pembebanan biaya bagi peserta Jamkesmas atau

Jampersal yang dirujuk ke RS. Rujukan, pertama di bawa ke puskesmas Ponek (ada 4)

bila puskesmas tidak mampu menangani akan dirujuk RS.

Kebijakan Internal Puskesmas

Dana untuk bidan itu tidak dikurangi dengan kesepakatan yang ada di Dinas. RP

500.000, ada kemitraan dengan dukun yang harus menyisakan untuk dukunnya,

diambilkan dari dana sendiri atau dari Jampersal, untuk kemitraandengan dukun,

misalkan melahirkan disana BPS (bidan praktek swasta), atau di puskesmas itu dipakai

untuk transport dukun Rp. 100.000,-. Honor untuk kader pengantar pasien yang

semula Rp.50.000 turun jadi Rp. 30.000. Uang Rp 100.000,- diberikan ke puskesmas

karena tindakan partusnya di Puskesmas masuk ke kas Puskesmas, bukan ke individu

tidak langsung di bagi.kebijakan dari Puskesmas tersebut masuk ke bagian Kesra dan

akan dibagi bersama biasanya satu tahun sekali, biasanya sebelum hari raya, itupun

hanya separuh. Kendala Jampersal yaitu kelambatan bidan mengajukan klaim dan

masih banyak yang tidak lengkap lampirannya.

3.10.6. Hambatan, Dukungan dan Harapan dalam Pelaksanaan Program Jampersal

Hambatan

Masyarakat yang akses rumahnya jauh dari Puskesmas maka persalinannya

biasanya di puskesmas lain atau RS yang dekat dengan rumahnya, masyarakat yang

pendidikan rendah dan pengetahuan mengenai pelayanan KIA biasanya persalinannya

masih minta tolong dukun apalagi ditambah dengan kepercayaan yang salah tentang

kehamilan, persalinan dan masa nifas, walaupun sudah jarang.

Dukungan

Kota Mataram khususnya Puskesmas Karang Pule relatif dekat kota mataram

transportasi cukup mudah dan daerah terjauh 7 km maka Pelaksanaan Jampersal di

Page 442: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

418

tingkat Puskesmas cukup berhasil didukung dengan adanya kepercayaan selama hamil

harus banyak makan sayur hal ini cukupbaik untuk kesehatan ibu yanghamil.

Harapan

Harapan dari masyarakat sosialisasi Jampersal lebih digiatkan karena masih

banyak masyarakat yang belum tahu. Harapan dari Kesehatan administrasi jangan

terlalu rumit karena harus mengisi formulir yang cukup banyak.

Kesimpulan

Pengetahuan masyarakat terhadap ibu hamil yang berkembang di masyarakat

Mataram, hamil merupakan yang alami bagi wanita yang sudah bersuami, namun

kepercayaan masyarakat terhadap ibu hamil cukup bervariasi namun sikap dan prilaku

masyarakat terhadap kepercayaan berkembang dimaksud tetap berjalan secara alami,

misalnya ibu hamil enam bulan dilakukan doa dengan sesajen dengan tujuan jabang

bayinya selamat dalam persalinan , ada juga tradisi tujuh bulanan.

Banyak aktifitas budaya yang berkembang pada masa persalinan di masyarakat

Mataram baik berupa mitos-mitos ataupun kebiasaan pijat seluruh tubuh atau minum

jamu dan anjuran-anjuran, yang bertujuan agar supaya ibu bersalin dengan lancer

tanpa halangan, akan tetapi ada pantangan yang kurang baik terhadap ibu ibu bersalin

misalnya makan yang amis seperti ikan laut sebetulnya ikan laut merupakan sumber

protein hewani yang sangat.

Banyak aktifitas budaya setempat (Mataram) yang berkembang di masyarakat

pada masa pasca persalinan yang bertujuan agar ibu cepat pulih kesehatan dan dapat

beraktifitas sedia kala misalnya banyak makan sayuran adalah banyak mengandung

vitamin, ada hal-hal mitos yang berbau tahayul misalnya Ibu Nifas tidak boleh

menyahut bila dipanggil dari luar karena akan “ketemuk”. Artinya, seseorang yang

ditegur/disapa oleh makhluk gaib/jin yang mengakibatkan sakit perut/gangguan

kesehatan lainnya (pusing, muntah muntah).

Pengambilan keputusan bahwa istri melahirkan di bidan praktek

swasta/puskesmas/rumah sakit adalah suami sendiri tetapi biasanya tetap meminta

pertimbangan orang tua. Dukun di mata masyarakat mataram masih mempunyai arti.

Dukun menjadi tempat meminta pertolongan saat menjelang persalinan dan setelah

Page 443: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

419

persalinan dan penyelenggarakan ritual. Hubungan dukun dan bidan sudah cukup baik

fungsi dukun membantu bidan dalam mengantarkan pasien ke tempat bidan atau

puskesmas apabila mau melahirkan.

Persalinan di Puskesmas makin banyak diminati oleh masyarakat dengan

program Jampersal, dan bila ada program Jampersal yang bersifat gratis maka makin

banyak masyarakat yang menggunakan jasa Jampersal dengan bidan praktek swasta

yang sudah MOU dengan Jampersal. Sistem Pembiayaan persalinan oleh masyarakat

dan pemanfaatan pelayanan Jampersal. Untuk kalangan yang cukup mampu maka

pembiayaan persalinan oleh masyarakat ditanggung oleh keluarga itu sendiri , namun

untuk keluarga tidak mampu atau mampu yang sudah mengenal program Jampersal

maka pembiayaan persalinan ditanggung oleh pemerintah melalui program Jampersal.

Walaupun sosialisai sudah cukup lama dilakukan oleh dinas kesehatan baik

melalui pamong dan lintas sector, tetap saja banyak masyarakat yang belum tahu apa

itu Jampersal hal ini dapat diketahui melaui FGD suami yang istrinya melahirkan

dengan non Jampersal.Sosialisasi sudah dilakukan sejak akhir 2010.Perwali sebagai

pendukung sedang dalam proses. Baru di proses setelah ada teguran dari Irjen karena

belum ada perwali yang mendukung secara hukum. Penanganan Jampersal dilakukan

oleh bidang Promkes Dinkes karena terdapat seksi Pengembangan Jaminan Kesehatan

Masyarakat yang menangani Jamkesmas, Jampersal, BOK.

Sosialisasi Jampersal dari puskesmas kepada tokoh-tokoh masyarakat ke

kaderkader juga tidak secra spesifik tetapi menumpang pada pertemuan yang

ada.Tempat pertemuan biasanya di kelurahan, di pertemuanpertemuan lintas sektor

tingkat kecamatan. Walaupun tidak khusus, sosialisasiJampersal disisipkan pada materi

pertemuan yang ada.

Saran

Perlunya sosialisasi Jampersal lebih luas kepada masyarakat baik melalui tokoh

masyarakat, lintas sector, media masa elektronik, media cetak. Perlu melibatkan

Rumah Sakit swasta, Rumah Bersalin Swasta dalam kegiatan Jampersal sebagai tempat

rujukan persalinan sulit yang tidak dapat ditangani Puskesmas Poned, dalam rangka

menurunkan Angka kematian ibu (AKI) dan Angka Kematian Anak (AKA).

Page 444: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

420

3.11. Puskesmas Mateketen, Kabupaten Halmahera Selatan

3.11.1. Gambaran Umum Kabupaten Halmahera Selatan

Kabupaten Halmahera Selatan adalah kabupaten baru yang merupakan

pemekaran dari Kabupaten Maluku Utara. Ibukota Kabupaten Halmahera Selatan

berada di Desa Labuha, Kecamatan Bacan yang terletak dipulau Bacan. Halmahera

Selatan terletak pada posisi 126° 45¹ sampai 129° 30¹ Bujur Timur dan 0° 30¹ sampai 2°

00¹ Lintang Utara.

Kabupaten Halmahera Selatan memiliki luas wilayah 40.236,72 km², yang terdiri

dari daratan seluas 8.779,32 km² dan lautan seluas 31.484,40 km², terletak di

Indonesia bagian Timur, tepatnya berbatasan dengan:

- Sebelah Utara dibatasi oleh Kota Tidore Kepulauan dan Kota Ternate

- Sebelah Selatan dibatasi oleh Laut Seram

- Sebelah Barat dibatasi Laut Maluku

- Sebelah Timur dibatasi oleh Laut Halmahera

Secara administratif Kabupaten Halmahera selatan terdiri dari 30 kecamatan

dan 249 (dua ratus empat puluh sembilan) desa.Iklim yang terdapat diwilayah

Kabupaten Halmahera Selatan adalah iklim tropis dan iklim musim. Peta klimatologi

hasil pencatatan Badan Meteorologi dan Geofisika Kabupaten Halmahera Selatan pada

tahun 2007 menunjukan suhu rata-rata berkisar antara 24,85°C – 27,70°C.

Gambar 3.11.1. Peta Wilayah Kabupaten Halmahera Selatan(Pulau Makian ada di bagian atas, kecil bundar berwarna putih)

Page 445: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

421

Jumlah penduduk Kabupaten Halmahera Selatan Tahun 2008 sebanyak 190.429

jiwa. Sebanyak 50.719 jiwa (26,63 %) termasuk penduduk miskin yang mendapat

pelayanan kesehatan disarana pelayanan kesehatan seperti Puskesmas dan Rumah

Sakit Pemerintah melalui pelayanan asuransi Kesehatan Keluarga Miskin (Jamkesmas).

Masyarakat diluar masyarakat miskin, diwadahi dalam bentuk Jamkesda.Dengan

demikian seluruh masyarakat di Kabupaten Halmahera Selatan memiliki perlindungan

kesehatan.

Pada tahun 2008 jumlah penduduk usia sekolah (7-12tahun) sebanyak 28.696

jiwa dan usia (13-15 tahun) sebanyak14.214 jiwa. Sedangkan pada tahun 2009

mengalami kenaikan jumlah usia sekolah (7-12tahun) sebanyak 35,865 jiwa dan usia

(13-15tahun) sebanyak 16.346 jiwa.Pertumbuhan ekonomi dilihat dari pertumbuhan

nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Tahun 2004 sampai dengan tahun 2008

rata–rata pada sektor pertanian sebagai penyumbang terbesar dengan kisaran 42%.

Perekonomian Kabupaten Halmahera Selatan didominasi lima sektor utama, yakni

sektor pertanian, perdagangan, hotel, restoran, serta sektor industri pengolahan.

Akses transportasi ke Labuha ibukota Kabupaten Halmahera Selatan dapat

ditempuh dengan pesawat udara dari bandara Sultan Babullah Ternate ke bandara

Oesman Sadik Labuha selama 20 – 25 menit. Dapat juga ditempuh dengan kapal laut

atau speedboat dari pelabuhan laut Ternate ke pelabuhan laut Labuha di Pulau Bacan

selama sekitar 8-10 jam tergantung cuaca.

Gambar 3.11.2. Peta Pulau Bacan Sumber: Dokumentasi Peneliti

Page 446: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

422

Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Tenaga Kesehatan

Peneliti hanya berhasil memperoleh data atau profil kabupaten Halmahera

Selatan tahun 2009 sedangkan profil kesehatan tahun 2010 dan 2011 belum dibuat. Di

dalam profil 2009 tersebut data yang tercantumpun tidak seluruhnya sampai dengan

tahun 2009 tapi ada yang masih terbatas sampai tahun 2007 dan 2008 saja. Menurut

profil 2009 tersebut pada tahun 2007 jumlah puskesmas 18 buah, puskesmas

pembantu 25 buah dan Polindes 88 buah. Tahun 2008 jumlah puskesmasmencapai 27

puskesmas dan97 polindes, puskesmas pembantu masih tetap 25 buah. Pada tahun

2008 tidak banyak penambahan jumlah pustu dan lebih ditekankan untuk

pembangunan polindes.Untuk tahun 2009 Sarana Kesehatan Kabupaten Halmahera

Selatansebagai berikut:

Gambar 3.11.3. Bandara OesmanSadik Labuha Halsel Sumber: Dokumentasi Peneliti

Gambar 3.11.4 Kantor Dinas Kesehatan Halsel Sumber: Dokumentasi Peneliti

Page 447: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

423

Tabel 3.11.1

Sarana Kesehatan Kabupaten Halmahera Selatan Tahun 2009

Tenaga kesehatankabupaten Halmahera Selatan tahun 2009 menunjukkan

jumlah tenaga medis sejumlah 13 orang, tenaga sanitasi 11 orang, kefarmasian 10

orang dan gizi 15 orang. Tenaga bidan sebagai tenaga inti dalam pelayanan KIA yang

disebar ke desa-desa ada sebanyak 79 orang sedangkan tenaga paramedis sebanyak

132 dan didukung 5 orang sarjana kesehatan masyarakat.

Kesehatan Ibu, ANC, Pertolongan Persalinan dan KB

Jumlah ibu hamil pada tahun 2007 sebesar 3.772 dan cakupan persalinan oleh

tenaga kesehatan 3.157 (84%). Tahun 2008 ibu hamil sebesar 5.383 dan cakupan

persalinan oleh tenaga kesehatan menurun sebanyak 2.333 (43,34%).Tahun 2009

jumlah ibu hamil 3.031 dan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan meningkat

menjadi 2.274 (51%). Tahun 2009, cakupan K4 bervariasi, puskesmas yang masih

rendah cakupan K4-nya adalah puskesmas Laluin (26%), karena Puskesmas Laluin baru

dimekarkan pada tahun pertengahan tahun 2008 dan cakupan tertinggi adalah

Puskesmas Labuha (90%).

Kejadian kematian ibu maternal kabupaten Halmahera Selatan terjadi

penurunan.Pada tahun 2007 sebesar 10 kasus, tahun 2008 masih sebesar 10 kasus,

dan tahun 2009 turun menjadi 5 kasus. Tahun 2007 jumlah neonatal Kabupaten

Halmahera Selatan sebesar 3.330 dan neonatal risti yang dirujuk sebesar 72 (2,16%)

dan ditangani oleh tenaga kesahatan sebesar 44 (1,83%). Tahun 2008 jumlah neonatal

2.918 dan neonatal risti yang dirujuk sebesar 10 (0,34%) dan ditangani oleh tenaga

No Sarana Kesehatan tahun 2009 Jumlah

1

2

3

4

5

6

Rumah Sakit Pemerintah

Rumah Sakit swasta

Puskesmas

Pustu

Polindes

Balai pengobatan

1

1

30

27

110

1

Page 448: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

424

kesehatan sebesar 85 (2,91%). Tahun 2009 jumlah neonatalsebesar 2.702, tidak

neonatal yang dirujuk.

Kepesertaan KB kabupaten Halmahera Selatan naik turun. Tahun 2006 peserta

KB Baru berjumlah 8.045 peserta (8.35% dari jumlah PUS) dan jumlah peserta KB

aktif9.604. Tahun 2007 jumlah peserta KB Baru naik 3.980 (50,61%) dan peserta KB

aktif 12.255 (17,58%). Tahun 2008 jumlah peserta KB Baru naik 2.716 (62,53%) dan

peserta KB aktif 14.733 peserta. Tahun 2009 jumlah peserta KB Baru3.107(turun

49,82%) dan peserta KB aktif 38.913 peserta.

3.11.2. Gambaran Umum Kecamatan Makian Barat

Pulau Makian terletak di Kabupaten Halmahera Selatan ke arah selatan kota

Ternate. Pulau Makian terbagi atas 2 kecamatan yaitu Kecamatan Makian (Makian

Dalam) dan kecamatan Makian Barat (Makian Luar) yang merupakan pecahan dari

kecamatan Makian. Perjalanan dari Ternate ke kec. Makian (nama ibukota

Ngofatioaha) dengan speedboat umum selama sekitar 1,5 jam. Dari

Ngofatioaha/Barumadehe ke Mateketen perjalanan dengan speedboat sekitar

setengah jam. Bisa juga dari Ternate langsung ke desa Mateketen Makian Barat

dengan speedboat umum sekitar 1,5 jam, namun speedboat umum Ternate–-

Mateketen jarang hanya ada dua buah, dalam satu hari satu kali perjalanan (satu

datang dan satu pergi) tidak sesering Ternate–Barumadehe. Puskesmas mempunyai

speedboat kecil (isi maks 5 orang) bantuan dari pemda Halsel, speed ini kalau

diperlukan untuk mengantar pasien rujukan atau persalinan tidak normal ke Ternate

dengan solar ditanggung oleh keluarga pasien.

Kondisi geografi di Kecamatan Makian: kesulitan transportasi, tidak ada

satupun kendaraan roda empat di kecamatan ini karena jalan darat antar desa belum

tembus dan susah naik turun gunung, sedangkan dengan perahu sering terkendala

cuaca. Kecamatan Makian Barat tergolong daerah sangat terpencil: tidak ada jalan

darat/jalan kaki, ada motor roda dua untuk kendaraan internal desa dan desa terdekat,

tidak ada kendaraan roda 4, tidak ada signal Hp, tidak ada jaringan listrik/PAM, tidak

ada jaringan internet, tidak ada hotel/losmen/wisma/mes, tidak ada warung makan,

Page 449: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

425

tidak ada pasar. Kendaraan lewat laut adalah dengan speedboat atau dengan perahu

antar desa atau ke Ternate tetapi jalannya tergantung cuaca dan pasang surut laut

yang sering berubah-ubah mendadak.

Puskesmas Mateketen terletak di Desa Mateketen Kecamatan Makian Barat

Kabupaten Halmahera Selatan yang terdiri dari 7 desa yang beberapa diantara desanya

dapat dijangkau dengan jalan kaki dan kendaraan bermotor, namun ada yang dengan

kendaraan laut. Nama 7 desa di wilayah kerja PKM Mateketen yaitu: Mateketen,

Malapat, Bobawae,Ombawa, Tegono, Talapaon dan Sebelei.

Mata pencaharian penduduk kecamatan Makian Barat adalah petani dan

nelayan. Penghasilan khas pulau Makian adalah buah Kenari yang ditanam dalam

jangka waktu lama baru berbuah. Kebiasaan penduduk dalam satu atau beberapa

Gambar 3.11. 5

Suasana dalam speedboat umum Ternate-Mateketen Sumber: Dokumentasi Peneliti

Gambar 3.11.6

Speedboat Milik Puskesmas di Pantai Makian Sumber: Dokumentasi Peneliti

Page 450: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

426

keluarga bernomaden apabila mereka mau membuka lahan baru untuk kebun,

biasanya ditanam singkong, ubi, pisang, pepaya. Semangat gotong royong masih tetap

mewarnai kehidupan penduduk Makian, terutama apabila ada kemalangan dan

kesukacitaan. Di pulau Makian 100% penduduk beragama Islam, dan masih

mempercayai hal-hal bersifat supranatural seperti roh halus dan sebagainya.

Masalah Kesehatan di Puskesmas Mateketen

Profil Kesehatan Puskesmas Mateketen Kecamatan Makian belum pernah

disusun. Data sekunder tentang kesehatan Kecamatan Makian tahun 2011-2012

diperoleh dari data Power Point Kepala Puskesmas yang pernah dipresentasikan di

Dinas Kesehatan Halsel dapat pertemuan pada awal dalam tahun 2012, antara lain

sebagai berikut.

Tabel 3.11.2

Jumlah Penduduk, Bayi, Balita & Bumil sebagai Sasaran Program KIA Tahun 2011

No Desa Jumlah Penduduk

Sasaran Bayi

Sasaran Balita

Sasaran Bumil

1

2

3

4

5

6

7

Malapat

Bobawae

Tegono

Ombawa

Mateketen

Talapaon

Sebelei

Total

788

650

276

248

515

591

1032

4100

18

15

6

6

12

14

24

95

79

65

25

28

52

59

103

411

20

16

6

7

13

15

26

103

Dari tabel di atas terlihat pada tahun 2011 Jumlah penduduk dalam wilayah

puskesmas Mateketen (kecamatan Makian Barat) sebesar 4100 jiwa, sasaran Bumil

sebesar 103 dan sasaran bayi 95, serta sasaran balita 411.

Pembiayaan kesehatan bersumber dari beberapa jaminan kesehatan yang

disediakan pemerintah antara lain Askes bagi PNS, Jaminan Kesehatan Daerah

(Jamkesda) dan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Distribusi kepesertaan

Page 451: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

427

Jaminan Kesehatan, jumlah penduduk dan sasaran progam Puskesmas

Mateketendapat dilihat pada tabel 3.11.3 berikut ini:

Tabel 3.11.3

Sumber Pembiayaan Kesehatan di Setiap Desa Kecamatan Makian

No Desa PNS Jamkesda Jamkesmas Jumlah

1 Malapat 13 538 112 663

2 Bobawae 12 591 205 808

3 Ombawa 7 195 208 410

4 Tegono 7 296 133 436

5 Mateketen 32 468 162 662

6 Talapaon 9 505 181 695

7 Sebelei 16 965 192 1173

Jumlah 96 3558 1292 4946

Pada tahun 2011 belum ada ibu yang menggunakan Jampersal. Dari tabel di atas

nampak kepesertaan Jaminan kesehatan paling banyak di Desa Sebelei dan paling

sedikit Desa Ombawa, karena jumlah penduduk di kedua desa tersebut paling banyak

dan paling sedikit di kecamatan Makian Barat, sedangkan Desa Mateketen sebagai

pusat kecamatan Makian Barat bukanlah termasuk desa yang besar/ramai.

Kondisi ketenagaan di puskesmas Mateketen tampak cukup minimal. Pada tahun

2011 jumlah tenaga yang bekerja di wilayah kerja Puskesmas Mateketen sebanyak 19

orang. Untuk tahun 2012 menurut Kapuskesmas jumlah seluruh tenaga di wilayah

kerja puskesmas ada 21 orang yaitu seorang Kepala Puskesmas, seorang dokter, bidan

sejumlah 9 orang, perawat 4 orang, seorang D-3 Gizi dan 5 orang tenaga administrasi

lainnya.Tidak dijumpai seorangpun bidan praktek swasta di wilayah kerja puskesmas.

Page 452: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

428

Gambar 3.11.6. Kepala Puskesmas (kaos putih)dengan Bidan, Perawatdan 3 peneliti Sumber: Dokumentasi Peneliti

3.11.3. Perilaku Masyarakat Terkait Kesehatan Ibu dan Anak

Pandangan Tentang Ibu Hamil, Bersalin, Bayi/anak

Masyarakat memandang kehamilan bagi wanita adalah suatu yang wajar

bahkan merupakan kewajiban wanita untuk menyambung keturunan. Selama hamil

ibu harus mengurus dirinya sendiri dan kesehatannya, suami tidak terlalu ikut campur,

namun pada saat akan melahirkan maka suami dan seluruh keluarga akan berkumpul

di rumah ibu. Menurut bidan, persalinan bagi masyarakat di wilayah kerja Puskesmas

Mateketen bukan hanya merupakan urusan keluarga kecil, namun juga merupakan

urusan suatu keluarga besar, untuk itu biasanya masayarakat desa ini memilih bersalin

di rumah dibandingkan di fasilitas kesehatan dimana seluruh keluarga dapat hadir

selama proses persalinan dan membantu setelah persalinan sebagai bentuk dukungan

kepada ibu bersalin.

Kepercayaan yang masih Berkembang

Masih banyak kepercayaan masyarakat yang berkembang di wilayah puskesmas

Mateketen berupa ritual, pantangan dan anjuran, dan disertai kepercayaan akibat

apabila melanggar pantangan atau tidak mengikuti anjuran.Menurut berbagai sumber

yang dikumpulkan dengan berbagai metode maka disimpulkan beberapa kepercayaan

atau tradisi terkait kehamilan dan persalinan di pulau Makian sebagai berikut.

Page 453: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

429

a) Kepercayaan pada Masa kehamilan.

Kepercayaan yang masih berkembang di masyarakat cukup banyak.

Kepercayaan berupa ritual, tradisi, adat istiadat dan pantangan atau tabu serta anjuran

dilakukan sebagian masyarakat. Data ini dikumpulkan dari hasil FGD, maupun hasil

wawancara saat melakukan pengumpulan data di lapangan kepada ibu yang bersalin

pada kurun waktu satu tahun terakhir.Beberapa maksud dari pantangan ini dilakukan

tanpa alasan yang tidak diketahui, atau merupakan kebiasaan sudah turun menurun.

Ada pula keercayaan bahwa bila melanggar pantangan tersebut bisa membuat bayinya

tidak sempurna/cacat dan ada pula yang dimaksudan untuk memperlancar persalinan.

Ritual, tradisi, atau adat tertentu. Penggunaan air “Amal”yaitu air yang sudah

dibacakan doa yang diguyurkan dibadan dan diminum oleh ibu bersalin dengan tujuan

agar segera lahir bayinya. Ritual ini dilakukan biasa dilakukan bilaproses persalinan

sulit dimana bayinya tidak keluar-keluar dan terjepit pada pintu vagina.

Pantangan dan tabu. Banyak pantangan dan tabu yang dikenal masyarakat dan

masih banyak dikerjakan. Melanggar pantangan atau tabu diperkirakan akan

menyebabkan teradinya resiko yang harus ditanggung oleh ibu atau bayinya. Beberapa

hal yang menjadi pantangan antara lain:

Bumil tidak boleh melewati tali jemuran

Bumil tidak boleh melilitkan handuk di leher, bila melanggar bayi akan terlilit tali

pusat.

Bumil tidak boleh minum es, karena membuat tubuh janin menjadi besar

Bumil tidak boleh keluar mulai sore dan malam hari

Bumil tidak boleh keluar kalau hari mendung

Bumil tidak boleh makan sayur terong, sayur lilin (sebangsa tebu), rica/cabe, sayur

bulu, ikan suntung, cumi-cumi, dan penyu

Kalau jalan kepala harus ditutup kain

Bumil dilarang kena air hujan

Bumil tidak boleh melempar-lempar binatang

Bumil tidak boleh berdiri di pintu

Bumil tidak boleh melewati kaki suami

Suami bumil tidak boleh memotong hewan

Page 454: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

430

Suami bumil tidak boleh melaut dan memotong ikan ketika mendekati persalinan

Dilarang melakukan pekerjaan berat

Jangan pergi ke laut sore dan menjelang magrib ini disebut Bobosal/Larangan

Tidak boleh melangkahi apabila ada suami tidur alasannya

Menjelang melahirkan dilarang bersetubuh, karena bisa menyebabkan kepala bayi

benjol-benjol.

Pantangan makanan bumil tidak ada kecuali dabu-dabu, boleh makan apa saja

terutama kacang ijo

Tidak boleh bertengkar dengan suami, dan suami juga dinasehatkan agar berbaik2

sama istri.

Sedangkan anjuran yang dilakanakan di masyarakat antara lain:

ibu selama hamil diberi obat kampung (ramuan) misalnya: daun balacai dan daun

kipas

Aktivitas dianjurkan agar dibawah usia kehamilan 5 bln berjalan dan aktivitas pelan2,

setelah itu boleh banyak gerak.

b) Kepercayaan pada saat persalinan

Pada saat proses persalinan mulai berlangsung, keluarga didukung oleh

lingungannya termasuk dukun melakukan kegiatan ritual, tradisi atau adat istiadat.

Berikut ini beberapa perilaku yang dilakukan masyarakat:

Perasan minyak kembang sepatu diberikan kepada ibu yang akan bersalin

Ramuan yang diberikan oleh dukun (mama biang) berupa ramuan dari daun-

daunan yang dicampur dengan minyak kelapa

Saat menolong persalinan, dukun memotong pada tali pusat/plasenta

menggunakan bambu kemudian luka bekas potongan tersebut diberi abu yang

sudah dipanaskan atau kunyit.

Cara lain yaitu dengan memanaskan tangan dukun di atas api kemudian

ditempelkan pada tali pusat bayi sambil diurut dengan perlahan, hal ini dilakukan

Untuk menipiskan tali pusat agar mudah putus.

Dukun mengatur penanaman ari-ari/plasenta di luar rumah oleh imam, apabila

bayi laki-laki sebelum dikuburkan akan diazankan sedangkan kalo perempuan

diqomatkan.

Penguburan plasenta kalau anak pertama ditanam di sebelah kanan rumah

sedangkan anak ke dua dan seterusnya bebas dikuburkan di lingkungan rumah.

Page 455: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

431

Potongan tali pusat bayi yang sudah lepas yaitu disimpan dan dibungkus dengan

kain putih. Apabila anak sakit panas maka tali pusat di celupkan ke dalam air dan

diminumkan sebagai obatnya

Tidak ditemui pantangan atau anjuran yang dilakukan ibu saat persalinan. Ritual

dan tradisi yang dilakukan menurut masyarakat adalah upaya agar persalinan lancar

dan dapat segera lahir

c) Kepercayaan untuk pasca persalinan

Beberapa tradisi dilakukan setelah persalinan yaitu tradisi bapanas dan tradisi

bakirah.Ritual bapanas dan bakirah ini dilakukan selang seling setiap satu hari selama

10 hari. Dukun yang membantu melakukan bakirah dan bapanas biasanya tidak

dibayar lagi karena sudah merupakan satu paket dengan membantu persalinan.

Setelah melakukan dua ritual ini diharapkan kondisi badan dapat kembali seperti

semula seperti ketika belum melahirkan.

Tradisi Bapanas. Ibu nifas memanaskan badan dengan tungku yang dibuat

dipinggir tempat tidur. Ritual bapanas dilakukan agar kandungan cepat kering, muka

tidak pucat dan kembali kuat. Ritual ini dilakukan oleh bufas didalam kamar, dan hanya

menggunakan sarung saja tanpa baju lain dengan duduk di antara bara yang dibuat

disamping tempat tidur sampai keringatan (seperti steam). Setelah bapanas

dilanjutkan dengan mandi atau yang biasa disebut dengan bakirah.

Tradisi Bakirah. Bufas mandi dengan mempergunakan air yang dicampur

dengan daun-daunan yang didapat dari hutan. Ritual mandi ini dibarengi dengan

pengurutan pada badan bufas dilakukan oleh mama biang (dukun).

Dukun yang melakukan pengobatan ibu hamil/persalinan/nifas dengan

membaca ayat-ayat suci pada segelas air lalu diminumkan pada ibu. Tidak diwajibkan

untuk adakan upacara ritual tertentu (selamatan), tapi bagi keluarga yang mau

mengadakan, akan disambut baik

Ada tiga tahap yaitu masa kehamilan, persalinan dan pasca persalinan yang

dipenuhi dengan perilaku atas dasar kepercayaan yang berkembang.Dari ketiga tahap

nilai kepercayaan, terlihat untuk ibu hamil paling banyak pantangannya. Sedangkan

Page 456: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

432

untuk ibu bersalin tidak ada pantangan tetapi banyak tradisi dan ritual. Untuk ibu

pasca persalinan hampir sama banyak baik pantangan maupun ritual/tradisi.

Pengetahuan, Sikap dan Praktek terkait Kesehatan Ibu dan Anak

Pengetahuan. Data tentang karakteristik, pengetahuan, sikap dan perilaku yang

diperoleh dari hasil wawancara terstruktur saat survey dengan responden ibu yang

bersalin mulai Juni 2011 sampai Mei 2012 di wilayah puskesmas Mateketen (sebanyak

50 orang). Data diperoleh dari kuesioner terstruktur yang dikumpulkan oleh para

enumerator lokal (4 orang). Selain ini didukung informasi yang diperoleh dari

wawancara mendalam dengan kepala Puskesmas dan bidan koordinator serta FGD

bidan.

Adapun karakteristik 50 ibu responden dalam penelitian ini antara lain

pendidikan ibu 78% SMP ke bawah. pekerjaan ibu 90% ibu rumah tangga, pekerjaan

suami (58%) petani dan 12% pegawai swasta. Menurut kepala Puskesmas mata

pencaharian/pekerjaan masyarakat tidak ada pengaruhnya langsung terhadap

pemanfaatan Jampersal, ada pengaruh pekerjaan ibu rumah tangga yang juga petani

ladang terhadap pelayanan posyandu untuk penimbangan bayi dan ANC. Sebagian

besar ibu responden mempunyai anak 2 (22%) dan 4 orang (20%), juga cukup banyak

ibu yang mempunyai anak 5 orang (16%). Pengeluaran keluarga rata-rata terbanyak

masuk kelompok 1 (paling rendah) 48% dan kelompok 2 (rendah) 36%. Semua ibu

100% menyatakan kondisi akses ke pelayanan kesehatan di kecamatan Makian Barat

tidak ada angkot, beca, delman, ojek, bis, bentor dan kedaraan umum lainnya untuk

ke petugas kesehatan bidan. Perjalanan ke RS Ternate dilakukan dengan jalan laut

sekitar 2-2,5 jam perjalanan dengan kondisi laut yang berubah-ubah tergantung cuaca

(kondisi bisa buruk dan bisa baik).

Menurut Kepala puskesmas tingkat pendidikan ibu masih rendah, banyak yang

tidak sekolah, SD, dan paling tinggi SMP, SMA di Mateketen hanya ada 1 buah dan

masih baru belum meluluskan. Karakteristik 50 orang ibu yang menjadi responden

dalam penelitian ini yaitu: pendidikan sebagian besar tamat SD (36.0%) dan tamat SMP

(32.0%), tidak sekolah 8%. Sama halnya dengan pendidikan suami yaitu tamat SD (36%)

dan tamat SMP (29%). Menurut kepala puskesmas dan bidan pengetahuan ibu tentang

Page 457: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

433

Jampersal masih rendah karena program ini masih baru, namun sudah disosialisasikan

oleh tim puskesmas (7 orang) ketika turun kunjungan ke rumah-rumah. Kalau ternyata

masyarakat masih banyak yang tidak tahu akan adanya Jampersal, menurut

kapuskesmas dan bidan koordinator Puskesmas karena ibu sering kali lupa atau tidak

mengerti akan makna maupun manfaat Jampersal.

Dari hasil wawancara dengan ibu ternyata pengetahuan ibu tentang KIA cukup

baik terhadap beberapa pertanyaan yang diajukan. Pertanyaan tentang apakah

persalinan di rumah lebih baik, sebanyak 64% menjawab salah (berarti

pengetahuannya baik). Begitu juga pertanyaan tentang frekuensi periksa hamil

minimal 4x selama kehamilan dan tekanan darah tinggi merupakan risiko kehamilan

ternyata sebanyak 90% menjawab benar (pengetahuan baik).Pertanyaan tentang

pertolongan persalinan bidan lebih aman sebanyak 66% menjawab benar

(pengetahuan baik). Pengetahuan tentang perkawinan dini di bawah 17 tahun jawaban

responden cukup baik 70% menjawab benar bahwa itu tidak baik. Namun untuk

pelayanan ANC (pemeriksaan hamil) oleh dukun sebanyak 88% ibu menjawab benar

(pengetahuan kurang). Begitu pula tentang aktivitas ibu pasca persalinan minimal

dilakukan setelah 3 hari sebanyak 72% ibu menjawab benar (pengetahuan kurang).

Sikap. Mengenai sikap terkait kesehatan ibu dan anakjawabannya bervariasi

positif (mendukunga kesehatan) dan negatif (tidak mendukung kesehatan) tergantung

pernyataannya. Sebagai contoh antara lain: pernyataan tentang Jampersal membantu

kehamilan, persalinan, nifas dan KB sebanyak 78% menjawab setuju dan sangat setuju

(sikap baik/positif). Namun untuk pernyataan bahwa Jampersal memberi kesempatan

banyak anak lebih dari separuh (54%) menjawab setuju dan sangat setuju (sikap

negatif). Mengenai pernyataan bahwa ASI dapat diganti dengan madu dan air kelapa

sebanyak 78% menjawab setuju dan tidak setuju (sikap negatif). Yang menarik

pernyataan tentang kemampuan bidan dan dukun sama sebanyak 94% menjawab

setuju dan sangat setuju (sikap tidak mendukung). Pernyataan tentang melahirkan di

rumah sama amannya dengan di RS sebanyak 72% menjawab setuju dan sangat setuju

(sikap negatif), meskipun dari pertanyaan terkait pengetahuan mereka menjawab

persalinan di rumah itu tidak lebih baik. Pernyataan tentang upacara ritual pasti akan

menyelamatkan ibu sebanyak 56% menyatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju

Page 458: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

434

(sikap positif). Pernyataan tentang Jampersal hanya untuk keluarga miskin sebanyak

76% menyatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju (positif).

Tindakan/Praktek.Pernyataan ibu tentang kehamilan, persalinan, pasca

persalinan dan KB sebagian besar ibu (86%) menyatakan ada/tersedia di pelayanan

kesehatan. Sebaliknya untuk pelayanan kesehatan pijat bayi, jamu, upacara ritual

sebagian besar menyatakan tidak ada di fasilitas pelayanan kesehatan. Untuk

pelayanan pemeriksaan kehamilan oleh bidan semua ibu menyatakan ada tersedia

begitu juga pelayanan oleh dukun juga sebagian besar (88%) menyatakan adatersedia.

Tabel 3.11.4 Pemeriksaan Kehamilan ke Tenaga Kesehatan di Kecamatan Makian Tahun 2012

Sumber: Data Primer

Sebagian ibu (50%) menyatakan memeriksakan kehamilannya ke nakes 1-3 kali

dengan alasan sebagian besar (60%) menyatakan alasan aman dan nyaman. Bagi ibu

yang tidak memeriksakan kehamilannya ke nakes alasannya karena merasa tidak perlu

dan jarak yang cukup jauh. Adapun alasan ibu memeriksakan kehamilannya ke dukun,

sebagian besar menyatakan karena jarak dekat (56%) dan karena tradisi (32%).

Mengenai biaya ke dukun 86% responden menyatakan tidak ada biaya. Ibu 70%

menyatakan ada acara ritual pada saat hamil.

Untuk status persalinan dari 50 orang ibu, terdapat 47 persalinan normal dan 3

orang ibu penyulit dirujuk ke RS di Ternate. Sebanyak 90% ibu menyatakan persalinan

dilakukan di rumah dan 5 orang di RS Ternate. Sedangkan untuk budaya gotong

royong, 50% ibu menyatakan ada kebersamaan dalam pembiayaan bahan bakar

speedboat dan bantuan dana bagi ibu yang dirujuk.

Memeriksakan kehamilan ke Nakes

Total 0 kali 1-3 kali >= 4 kali

10 25 15 50

20.0% 50.0% 30.0% 100.0%

Page 459: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

435

Tabel 3.11.5

Penolong Persalinan Pertama dan Terakhir di Kecamatan Makian Tahun 2012

Sumber: Data Primer

Dari tabel di atas terlihat lebih dari separuh ibu-ibu (56%) menyatakan

penolong pertama dan terakhir persalinan dengan bidan, kemudian baru dengan

dukun. Pernyataan dari hasil wawancara ibu-ibu ini bertentangan dengan hasil FGD

bidan, toma, suami yang menyatakan bahwa pertama bila ada tanda melahirkan ibu

pertama akan memanggil dukun dulu untuk memeriksa membacakan doa dan

sebagainya baru kemudian memanggil bidan. Hal ini kemungkinan karena jawaban ibu

yang dibuat benar tidak sesuai kenyataan atau ibu menganggap pemanggilan terhadap

dukun bukanlah pertolongan pertama dalam persalinan (kriteria penolong pertama

persalinan belum jelas). Alasan memilih penolong persalinan terakhir yaitu merasa

aman dan nyaman (68%), dengan 70% menyatakan sumber biaya persalinan dari

sendiri, 30% dari Jamkesda, dan tidak ada yang menyatakan dari Jampersal.

Untuk pemeriksaan pasca persalinan 36% ibu-ibu di faskes dan 36% dengan

dukun. Alasan utama periksa nifas ke faskes 40% menyatakan lebih dipercaya, dan

alasan utama tidak periksa ke faskes dengan alasan tidak perlu 34%. Alasan periksa ke

dukun karena jarak dekat dan sudah tradisi (26%). Hampir 100% menyatakan tidak ada

acara ritual dalam masa atau setelah masa nifas. Untuk peserta KB, Ibu-ibu 48%

menyatakan menggunakan KB pasca persalinan dengan sumber biaya dari diri sendiri

dan Jamkesda. Bagi yang tidak KB alasannya karena ingin punya anak lagi.

Penolong pertama persalinan

Total Dokter Bidan Dukun Suami/klg Lainnya

5 26 19 0 0 50

10.0% 52.0% 38.0% .0% .0% 100.0%

Penolong terakhir persalinan

Total Dokter Bidan Dukun suami/klg Lainnya

3 28 19 0 0 50

6.0% 56.0% 38.0% .0% .0% 100.0%

Page 460: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

436

3.11.4. Faktor Sosial Budaya Masyarakat dalam Pemilihan Penolong Persalinan dan

Pemanfaatan Pelayanan Jampersal

Pengambilan Keputusan Pemilihan Penolong KIA

Menurut Kapuskesmas dan bidan koordinator, masih kuatnya pengaruh orang

tua untuk memilih mama biang dari pada bidan untuk menolong persalinan karena

mama biang lebih berpengalaman dan bidan masih muda. Umumnya masyarakat di

Pulau Makian setelah pengantin perempuan menikah, mereka memilih tinggal dipihak

laki-laki (patrilokal). Penentuan pencarian pertolongan persalinan berbeda untuk

urutan anak sebagai berikut.

Ketika mengandung anak pertama, kelahirannya ditentukan oleh ibu mertua.

Ibu mertua akan memutuskan siapa yang akan membantu persalinan bagi menantu

mereka (Bidan atau Mama Biang), menentukan siapa yang membantu masa nifas bagi

menantu dan perawatan cucunya yang baru lahir. Menantu umumnya mengikuti

semua saran yang diberikan oleh ibu mertua mengingat mereka (suami istri) belum

mempunyai pengalaman tentang proses persalinan.

Ketika mengandung anak kedua dan seterusnya, penentuan pencarian

pertolongan persalinan diputuskan oleh suami, hal ini terjadi mengingat mereka

(suami dan istri) sudah memiliki pengalaman dalam persalinan anak pertama.

Pengambilan keputusan persalinan berasal dari pengalaman persalinan sebelumnya,

dimana dalam proses persalinan dan nifas terdahulu ibu sudah mengetahui apakah

pertolongan sebelumnya nyaman untuknya atau tidak.

Menurut Toma, yang memutuskan pencarian pertolongan persalinan

adalahsuami dan keluarga terdekat sedangkan mertua hanya memberi motivasi.

Menurut para suami, pengambil keputusan terkait persalinan adalah suami. Menurut

bidan berbagai alasan masyarakat untuk tidak mengikuti KB antara lain karena

suaminya tidak setuju, meskipun sebenarnya masyarakat sudah diberitahu bahwa

pasang KB dengan cuma-cuma, tetapi tampaknya masyarakat tidak yakin dan tidak

peduli. Umumnya mereka baru ikut KB karena merasa sudah tua untuk memiliki anak

lagi, dan jumlah anak sudah mencapai 6 orang. Kesimpulan keluarga yang paling

dominan dalam mengambil keputusan memilih pertolongan persalinan di Kecamatan

Page 461: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

437

Makin adalah suami, kedua ibu/mertua, istri menurut saja tidak ikut dalam prose

mengambil keputusan.

Dukun di Mata Masyarakat

Dukun Nahra sama sekali tidak bisa berbahasa Indonesia karena itu dipakai

penterjemah Perawat yang bekerja di Puskesmas, bicara dengan suara sudah kurang

jelas. Profil mama biang Nahra dan sebagian aktivitasnya adalah sebagai berikut:

“Saya Nahra sudah menjadi dukun beranak sejak usia muda sekitar 20an tahun

sampai sekarang, jadi profesi sebagai dukun sudah 70 tahunan. Sudah banyak

menolong ibu melahirkan, tidak terhidung, juga tidak dapat menghitung berapa

ibu yang ditolong dalam periode Juni 2011 s.d Mei 2012”

“Daerah operasi saya sebagai dukun di desa Talapau, Mateketen, dan Busuwa. Kalau ibu yang mau melahirkan biasanya ada utusan yang memanggil saya, lalu saya datang dengan berjalan kaki, tidak mau naik motor. Biasanya ibu yang mau melahirkan panggil dukun dulu baru bidan. Selain menolong persalinan saya juga dipanggil untuk memeriksa kehamilan, memijit dan menaikkan perut, rata-rata

selama hamil 3 kali, dan melakukan tradisi bakirah bapanas dimasa nifas”

Dukun yang kedua adalah mama biang Darma menuturkan tentang dirinya

sebagai berikut:

“Saya sudah menjadi dukun beranak sejak 4 tahun yang lalu. Ketika itu ikut ibu saya yang juga dukun bayi, namun setelah ikut ibu 1 tahun ibu saya meninggal. Saya meneruskan kegiatan tersebut sampai sekarang. Pada waktu ikut ibu dia belum berani potong tali pusat”

“Saya selalu menolong persalinan bersama2 bidan Masni atau bidan Ita. Bisa bidan dulu yang datang atau dukun. Kalau saya yang datang duluan maka saya yang menyambut persalinan, kemudian bidan datang untuk potong tali pusat. Disini persalinan selalu di rumah ibu, tidak di puskesmas. Saya kemudian urus ari-ari dan dikubur di pinggir rumah, lalu saya memijat ibu nifas dan memandikannya”

Menurut Kepala Puskesmas dan bidan, masyarakat lebih percaya dengan

kemampuan mama biang daripada kemampuan bidan. Pada saat partus, mama biang

akan meminta keluarga bulin untuk mencari bidan, tetapi keluarga sering kurang

menanggapi dengan berbagai alasan seperti sudah malam, tidak ada orang untuk

disuruh pergi panggil bidan, dan kemungkinan juga keluarga takut tidak mampu

membayar atau tidak enak tidak punya uang untuk membayar.Menurut salah seorang

Toma tentang lama perawatan oleh mama biang terungkap sebagai berikut.

Page 462: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

438

“Minimal selama 3 hari dibutuhkan untuk membantu merawat ibu dan bayinya dengan cara memijit, mandikan bayi dan membuatkan ramuan ramuan.......”

Pendapat tersebut didukung pendapat sebagian besar suami yang mengatakan

sebagai berikut.

“......yaaa..kami merasa pelayanan dukun/biang masih dibutuhkan terutama untuk meluruskan janin dalam kandungan 3 bulan dan 5 bulan”

“Menurut saya pelayanan biang tidak perlu lagi, cukup bidan saja, untuk perawatan ibu, bayi dan ari-aridapat diurus oleh keluarga terdekat dan ditanam oleh tokoh agama”

Menurut dukun sendiri, mereka dipanggil untuk memeriksa kehamilan, memijit

dan menaikkan perut, rata-rata selama hamil 3 kali. Kalau ibu yang mau melahirkan

biasanya ada utusan yang memanggil, lalu dukun datang dengan berjalan kaki atau

motor. Dukun sendiri tidak tahu mengapa ibu-ibu masih sering memanggilnya,

mungkin karena dukun sekalian mengurut dan memperbaiki rahimnya. Tentang siapa

yang duluan dipanggil bervariasi ada yang memanggil dukun dulu baru bidan dan

sebaliknya, terutama kalau bidan sedang tidak di tempat maka dipanggil dukun yang

selalu siap di tempatnya. Menurut pengakuan dukun mereka selalu berusaha

menolong persalinan bersama salah satu bidan. Kalau dukun yang datang terlebih

dahulu maka dukun yang menyambut persalinan, kemudian bidan datang untuk

memotong tali pusat.

Di Kecamatan Makian Barat hampir semua persalinan dilakukan di rumah ibu

(tidak di puskesmas). Dukun yang menangani plasenta, dikubur di pinggir rumah, dan

memijat ibu setelah persalinan. Dalam hal ini dukun mengemukakan alasan mengapa

ibu-ibu senang dengan pelayanannya:

“..... Begini bu, ibu-ibu senang memanggil sayamungkin karena saya siap setiap saat dipanggil meski tanpa dibayar. Selain itu saya juga mengobati dengan membaca-baca air dan ditiupkan ke kepala ibu. Begitu juga kalau ada ibu yang miskram yaa mereka juga memanggil saya. Selama ini sayamendapat uang dari ibu bersalin antara Rp 50.000,- sampai Rp 100.000,- termasuk pijat periksa perut, bersihkan kain-kain kotor, dan urus plasenta. Tapi saya tidak pernah dapat uang (tip) apapun dari bidan meski sama mengurus persalinan”.

Page 463: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

439

Ketika ditanyakan kepada ibu-ibu melalui kuesioner untuk menanyakan

pengetahuan dan sikap ibu, sebagian besar ibu-ibu responden kecamatan Makian

Barat menyatakan bahwa kemampuan bidan dan dukun dalam menolong persalinan

bagi mereka sama saja. Hal ini menunjukkan bahwa dukun masih tetap dibutuhkan

oleh ibu-ibu bahkan dianggap sama dengan bidan kemampuannya dalam menolong

persalinan

Bidan di Mata Masyarakat

Hampir semua peserta FGD Toma mengatakan pelayanan bidan dinilai sangat

baik. Menurut dukun meski hubungan dengan bidan cukup baik, tapi bidan tidak

memberi uang padanya karena pekerjaannya membantu bidan. Namun salah satu

bidan pernah mengatakan nanti akan diatur untuk kasih lagi perbulan 25 ribu. Para

suami juga menyatakan pelayanan bidan sudah bagus, hanya kadang kurang tersedia

obat di desa sehingga harus mengambil di puskesmas yang jauh dari desa, hal ini cukup

merepotkan.

Gambar 3.11.8 Wawancara Mendalam dengan Mama Biang (jilbab putih) Sumber: Dokumentasi Peneliti

Page 464: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

440

Menurut Kepala Puskesmas karena kondisi geografis, banyak persalinan yang

tidak bisa dibantu oleh bidan; misalnya lahir pada malam hari atau subuh. Bila bayi

lahir siang hari, alasan antara lain tidak ada orang yang bisa pergi untuk memanggil

bidan sehingga proses kelahiran diserahkan kepada dukun bersalin dan keluarga. Bidan

baru dipanggil pada saat harus potong tali pusat karena keluarga dan mama biang

tidak berani memotongnya. Bidan yang masih baru/muda, ibu malu diperiksa oleh

bidan muda, lebih suka ke dukun.

Pandangan dukun terhadap bidandalam menolong persalinan sebagai berikut.

“......bidan tidak ambil wudhu dulu sebelum menolong persalinan. Selain itu dalam menolong persalinan kalau saya potong tali pusat setelah bayi dan tembuninya keluar. Cara ini saya dapat dari turun temurun, tapi kalau bidan bayi keluar langsung dipotong baru dikeluarkan tembuninya......”.

Hubungan Dukun dan Bidan

Hubungan dan komunikasi bidan dan dukun di Makian Barat cukup baik dan

bermitra. Dukun berusaha melapor ke bidan meskipun hanya untuk potong tali

pusat.Sejauh ini menurut bidan tidak ada hubungan dukun terkait penyelenggaraan

KIA selain tentang Kunjungan kehamilan (K1). Umumnya ketika diketahui hamil

(terlambat buan), ibu hamil (bumil) umumnya tidak mau memeriksakan dirinya dengan

tenaga kesehatan (bidan) karena mereka malu, sehingga mereka memeriksakan diri

kepada dukun. Dukun biasanya memberitahukan kepada bidan tentang ibu-ibu yang

telah dinyatakan hamil (penemuan K1) juga membantu ibu hamil untuk datang ke

posyandu

Gambar 3.11.9 FGD dengan bidan di Puskesmas Mateketen Sumber: Dokumentasi Peneliti

Page 465: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

441

Beberapa tokoh masyarakat menyatakan:

“Tidak pernah terjadi persaingan antara bidan dan mereka malah bekerja sama bila ada ibu yang akan bersalin. Saat ibu merasakan sakit dan akan melahirkan pihak keluarga akan memanggil terlebih dahulu untuk memberikan dukungan dan Air Amal. Air amal diminta dari tokoh agama setempat dan sudah dibaca-bacakan lalu diminumkan kepada ibu yang akan melahirkan. Setelah bidan datang maka akan menyerahkan kepada bidan, dan cara ini sudah berlangsung cukup lama dan sudah menjadi kebiasaan”

Ketika ditanya kenapa selalu mama biang terlebih dahulu yang dipanggil.

Menurut salah satu kepala desa setempat, hal tersebutdisebabkan karena pernah 2

kali kasus kejadian yang diakibatkan oleh kesalahan dokter/bidan yang menyebabkan

masyarakat masih menggunakan mama biang, kasusnya sebagai berikut:

1. Pernah ada ibu hamil dikatakan oleh dokter puskesmas sebagai hamil kembar

namun ternyata setelah dirujuk/periksa ke Ternate hamilnya tidak kembar dan

disuruh kembali ke Mateketen melahirkan dirumah dan dibantu mama biangdan

tidak kembar

2. Bidan Mateketen merujuk ke Ternate seorang ibu katanya sudah akan melahirkan

dan letaknya sungsang, ternyata di Ternate dinyatakan masih lama proses

kelahirannya dan ibu hamil kembali ke Mateketen. Kemudian diperbaiki letak janin

oleh dukun dan ditolong melahirkan olehdukun dengan selamat. Keluarga agak

kesal karena pihak keluarga sudah mengeluarkan biaya untuk beli bahan bakar

speedboat puskesmas pulang pergi ke Ternate.

Di desa Malapat, mama biang juga selalu bekerja sama dengan bidan desa,

mama biang selalu hadir setiap ada proses persalinan namun persalinan tetap

dipegang oleh bidan, mama biang hanya berfungsi untuk mengurus ibu, merawat bayi

dan menanam plasentanya.

Peran Toma dan Suami

Menurut Toma, pada saat ada ibu mau melahirkan di mateketen adalah semua

keluarga berkumpul dari keluarga terdekat sampai tokoh masyarakat ini fungsinya

sebagai pemberi support untuk ibu hamil dan budaya ini dinamakan

Karo/Datang/Menunggu di rumah Ibu yang akan melahirkan dan seandainya terjadi

Page 466: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

442

suatu hal yang berkaitan dengan ibu yang menyangkut keselamatanya bisa langsung

panggil bidan atau biang. Menurut Kepala desa Mateketen tujuan dari Karo adalah:

Mengantisipasi/berdoa agar ibu yang akan melahirkan selamat,

Mengumpulkan uang/biaya untuk sekedar membantu biaya transport apabila

dirujuk ke Ternate, untuk beli bahan bakarnya karena speedboat disediakan oleh

puskesmas dan iuran tersebut secara spontan, bahan bakar dari puskesmas

Mateketen sebesar Rp. 500.000,-

Menurut para suami, peran tokoh masyarakat adalah:

Mengarahkan masyarakat untuk kegiatan Posyandu dan ibu ibu hamil agar

memeriksakan kehamilanya pada petugas kesehatan.

Apabila ada ibu yang akan melahirkan, maka bidan dan mama biang disiapkan oleh

tokoh masyarakat untuk mengantisipasi apabila terjadi hal hal yang berhubungan

dengan keselamatannya.

Masyarakat sekitar akan dengan sukarela mengumpulkan uang untuk membantu

keluarga tersebut.

Selalu mengingatkan ibu hamil agar sering jalan kaki kemudian dan menjelang 3

bulan kelahiran diberikan air kelapa dan air amal untuk diminum.

Tokoh masyarakat memberikan dukungan terhadap penyelenggaraan KIA baru

terbatas pada bantuan pengumpulan dana untuk ibu-ibu bersalin yang mengalami

komplikasi kelahiran dan membutuhkan bantuan transportasi menuju tempat

rujukan.

o

Gambar. 3.11.10 FGD Toma di Puskesmas Mateketen Sumber: Dokumentasi Peneliti

Gambar. 3.11.10 FGD Toma di Puskesmas Mateketen Sumber: Dokumentasi Peneliti

Page 467: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

443

Peran suami ditanyakan dalam FGD yang dihadiri oleh 6 orang suami dari ibu

yang melahirkan selama bulan Mei 2011 sampai dengan Juni 2012. Suami yang

diundang sebanyak 12 orang dari 7 desa tetapi yang hadir hanya 6 orang dari 4 desa

karena terkendala cuaca sehingga transportasi laut kurang lancar. Pendapat mereka

satu persatu diuraikan sebagai berikut.

Suami 1:

“Kelahiran anak ke 1 sampai ke 3 ditolong bidan. Kehamilan 4 yang terakhir ini terjadi kekeliruan oleh dokter puskesmas Mateketen pada waktu itu karena dinyatakan kembar, dikirim ke Ternate ternyata tidak kembar dan dikembalikan ke Mateketen dan melahirkan dengan bidan. Peran saya menenangkan istri agar tidak trauma dengan kejadian tersebut. Saya sendiri kurang yakin dengan sehingga tidak memanggil biang.....”

Suami kedua:

“Kehamilan pertama istri melahirkan di Ternate. Kelahiran kedua ditolong saya sendiri, bidan dan . Bidan dan biang terlambat datang sehingga saya yang menyambut kelahiran baru bidan datang memotong tali pusat dan biang membersihkan bayi/ibu, membersihkan ari-ari, memandikan bayi, memandikan ibu dengan adat Bakirah dan Bapanas. Bakirah adalah mandi dengan ramuan selama 3 hari, Bapanas adalah duduk dengan hanya memakai kain sarung di hadapan api kayu bakar. Untuk itu biang saya kasih uang 50-100 ribu”

Suami ketiga:

“....... anak saya ditolong lahir oleh bidan dan biang. Bidan menolong persalinan dan biang membersihkan, menyelesaikan ari-ari dan seterusnya”

Suami keempat:

“Anak pertama, kedua dan ketiga ditolong lahir oleh dan biang dikasih uang 50 ribu perkali persalinan karena pada waktu itu tidak ada bidan.

Anak ke 4 ditolong bidan bersama dengan biang. Bidan tidak dibayar ikut Jamkesda, biang diberi uang 150 ribu. Cerita awalnya dokter puskesmas Mateketen mengatakan bahwa letak bayi sunsang lalu dirujuk ke Ternate, ternyata tidak sunsang dan dikembalikan ke Mateketen, dan lahir normal. Saya merasa dirugikan dengan keputusan dokter tsb karena biaya, waktu dan tenaga yang sudah dikeluarkan karena kesalahan dokter”.

“Anak ke 5 lahir dengan bidan dan kata bidan ikut Jampersal. Sayapada waktu itu tidak tahu kalau persalinan gratis karena ikut Jampersal,saya kira ikut Jamkesda karena pada waktu itu bidan dan juga istri tidak menjelaskan kepada saya”.

Suami ke 5:

“Anak 1 ditolong bidan bersama dengan biang, untuk bidan gratis dan biang diberi uang 150 ribu’

Page 468: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

444

Suami ke 6:

“Untuk anak ke 1 sampai dengan ke 5, istri di Oba Halmahera melahirkan dengan bidan. Anak ke 6 – 7 ditolong oleh saya sendiri meskipun bidan ada dan rumahnya tidak jauh. Setelah bayi keluar baru saya suruh keluarga panggil bidan untuk potong tali pusat. Saya tidak panggil dukununtuk menolong persalinan karena kurang yakin dengan kemampuan dukun. Tidak panggil bidan karena saya kira tanpa bidan bayi akan lahir sendiri”

Gambaran Pencapaian KIA dan Peta Budaya

Berikut ini adalah lanjutan beberapa tabel yang dicopy dari power point kepala

puskesmas Mateketen yang telah dipresentasikannya dalam rapat tingkat kabupaten

Halmahera Selatan beserta analisis untuk setiap tabel.

Tabel. 3.11.6

Indikator Outcome Puskesmas Mateketen Tahun 2011

No Indikator Jumlah Sasaran

Pencapaian

1 2 3 4 5 6 7

8 9

10

Cakupan K4 Kom Kebidanan Yg Di Tangani Persalinan Nakes Pelayanan Nifas Cakupan Neonatus dgn Kompl yg Ditangani Kunjungan Bayi Desa Uci Hbo Bcg Dpt-Hb3 Polio 4 Campak Pelayanan Anak Balita Cakupan Yankesdes Miskin Cakupan Kb Aktif

101 20 96 96 14 96 7

93 93 93 93 93

403 1292 730

70 (69 %) 2 (10 %)

38 (40 %) 38 (40 %) 5 (36 %)

48 (50 %) 0

42 (45 %) 74 (80 %) 71 (76 %) 75 (81 %) 40 (43 %) 96 (24 %)

679 (53 %) 103 (14 %)

Dari tabel 3.11.2 terdahulu sasaran Bumil puskesmas Mateketen tercantum

sebesar 103, sasaran bayi 95 dan sasaran balita 411, namun pada tabel 3.11.6 di atas

sasaran bumil 101, bayi 96, dan balita 403. Berdasarkan tabel di atas untuk Kecamatan

Makian Barat Tahun 2011 cakupan K4 69%, persalinan Nakes dan pelayanan nifas 40%.

Menurut penjelasan kepala puskesmas Mateketen hampir semua persalinan tersebut

dilakukan di rumah, tidak ada yang di Puskesmas atau di polindes. Ada 2 orang ibu

Page 469: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

445

yang komplikasi kebidanan, dengan persentase yang tercantum sebesar 10% dari

sasaran komplikasi kebidanan (bukan dari jumlah bumil). Sedangkan tercantum

pelayanan bayi sebesar 50% dan pelayanan balita 24%.

Untuk rincian perdesa berdasarkan data dan penjelasan Kepala Puskesmas

Mateketen adalah sebagai berikut.

Gambar. 3.11.11. Cakupan K-1 Pada Puskesmas Mateketen Januari-November 2011

Dalam grafik di atas terlihat Desa Mateketan dan Desa Talapaon paling tinggi

capaian K1, sedangkan yang paling rendah Desa Sebelei dan Desa Malapat. Hampir

semua desa wilayah kerja Puskesmas Mateketen pencapaian K1 rendah karena

petugas belum memahami tentang kriteria dari K1, logistik dan sarana tidak ada, serta

peran serta masyarakat masih kurang. Hal ini disebabkan pemahaman tentang

pemeriksaan kehamilan rendah, kurangnya kerjasama lintas sektor terutama Kepala

Desa dan PKK Desa, dan kemitraan dengan dukun beranak belum berjalan dengan

baik. Pada desa yang pencapaiannya lebih tinggi (Desa Mateketen) disebabkan karena

petugas pro aktif, logistik dan sarana tersedia, ada peran serta masyarakat danakses ke

PKM dekat serta ada kerjasama lintas sektor, kader dan dengan dukun.

Cakupan K4 Puskesmas Mateketen berdasarkan kriteria desa dapat dilihat pada

gambar berikut.

0

20

40

60

80

100 85 8071 67 62

55

31

59

CAKUPAN K-1 PADA PKM MATEKETEN BULAN JANUARI s/d NOPEMBER TAHUN 2011

MATEKETEN TALAPAON TEGONO OMBAWA

BOBAWA MALAPAT SEBELEI PKM

Page 470: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

446

Gambar. 3.11.12

Cakupan K-4 Pada Puskesmas Mateketen Januari-November 2011

Dari gambar di atas, desa Talapaon adalah capaian K4 terendah, ini disebabkan

petugas yang ada tapi belum memahami tentang kriteria K4, logistik dan sarana tidak

ada, dan peran serta masyarakat masih kurang karena tingkat pendidikan yang rendah.

Selain itu masalah ekonomi sehingga masyarakat lebih mementingkan bekerja dari

pada urusan kesehatan dan mobilisasi penduduk yang tinggi. Untuk desaOmbawayang

capaian K4 lebih tinggi karena petugas Pro Aktif, meskipun logistik dan sarana tidak

tersedia, peran serta masyarakat cukup karena adanya kerjasama lintas sector, kader

dan dukun beranak.

Berikut adalah cakupan persalinan Nakes berdasarkan kriteria desa adalah

sebagai berikut.

83

77 75

6965

5753

69

CAKUPAN K-4 PADA PKM MATEKEKETEN BULAN JANUARI S/D NOPEMBER TAHUN 2011

OMBAWA MATEKETEN MALAPAT BOBAWA

SEBELAI TEGONO TALAPAON PKM

Page 471: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

447

Gambar. 3.11.13

Cakupan Linakes Puskesmas Mateketen Januari-November 2011

Pada gambar di atas nampak persalinan dengan tenaga kesehatan yang paling

tinggi adalah Desa Tegono dan Desa Mateketen, sedangkan yang paling rendah desa

Sebelei dan Desa Bobawa. Untuk Desa Sebelei capaian persalinan Nakes terendah

disebabkan karena meski petugasnyaada tapi hampir semua ibu melahirkan dengan

dukun, logistik dan sarana bidan Kit tidak ada. Peran serta masyarakat masih kurang

karena tingkat pendidikan yang rendah, masalah ekonomi sehingga masyarakat lebih

mementingkan pekerjaan dan mobilisasi tinggi. Capaian Linakes tertinggi adalah desa

Tegono disebabkanpetugas pro aktif meski logistik dan sarana: tidak tersedia, adanya

peran serta masyarakat dengan kerjasama kader, dukun beranak dan bidan desa.

Pengetahuan tentang Jampersal

Dari hasil wawancara terhadap 50 ibu responden hampir semua ibu (98%)

menyatakan tidak tahu tentang Jampersal baik dari sumber media, dari petugas

kesehatan, maupun dari petugas desa, baliho dan lainnya. Dengan demikian maka

persalinan terakhir ibu responden 98% menyatakan tidak menggunakan Jampersal

dengan alasan tidak tahu.

Page 472: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

448

Dalam FGD bidan pada saat puldat bulan September, diperoleh hasil

pengetahuan mereka tentang Jampersal cukup baik, mereka menyatakan program ini

dilaksanakan semenjak tahun 2011 pada awal tahun.

Tentang program persalinan gratis dukun sudah pernah mendengar dari bidan,

tetapi bidan tidak pernah menjelaskan secara terinci kalau periksa hamil dan nifas juga

gratis, serta tidak pernah meminta dukun untuk memberitahukan adanya program ini

untuk disampaikan pada ibu-ibu yang lain. Tentang persalinan gratis ini sikap dukun

setuju saja asalkan memang membantu seluruh masyarakat di kampungnya.

Pembiayaan Pelayanan KIA yang diterima Nakes

Menurut bidan desa, sebelum pelaksanaan Jampersal umumnya mereka

memperoleh pembayaran sebesar Rp. 50.000,-/persalinan sedangkan persalinan

dengan bantuan dukun sebesar Rp. 50.000,- Rp. 100.000,- mulai dari membantu proses

persalinan hingga perawatan ibu nifas dan perawatan bayi yang baru lahir.

Setelah itu ada kebijakan Jamkesmas dan Jamkesda. Kebijakan Jampersal

tumpang tindih dengan Jamkesda (turunan dari Jamkesmas). Keberadaan Jampersal

tidak mengagetkan penduduk lagi karena sebelumnya mulai 2006 memang berobat

apapun sudah gratis termasuk pemeriksaan kehamilan, persalinan dan masa nifas.

Pandangan masyarakat terhadap Jampersal biasa saja karena sebelumnya memang

persalinan sudah gratis melalui Jamkesda dan Jamkesmas.

Menurut Kepala Puskesmas setelah adanya Jampersal, ibu bersalin linakes

meningkat meskipun belum meningkat tajam. Klaim tahun 2011 tidak dilakukan karena

tidak ada lembar kohort, lembar kohort baru diterima dari Dinas Kesehatan pada bulan

Januari 2012. Untuk pemanfaatan Jampersal, mulai Januari – Juni 2012 ada 15

persalinan yang tercatat (komplit mulai ANC, bersalin, PNC, juga KB) dan diajukan

untuk Jampersal. Klaim untuk 6 orang baru keluar pada bulan September 2012

sedangkan 9 usulan tidak bisa diajukan karena tidak dilengkapi dengan berbagai

persyaratan klaim seperti KTP dan lembar kohort sehingga mereka dicatat untuk

diikutkan Jamkesda. Untuk ibu yang dirujuk ke RS di Ternate transportasi (speedboat)

pakai uang ibu dulu, lalu di klaim ke Dinkes, setelah dapat pengembalian dari dana

Jamkesmas maka dikembalikan ke ibu. Dari bulan Juli sampai Oktober ada 7 persalinan

Page 473: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

449

yang diajukan ikut Jampersal tetapi klaimnya belum keluar. Klaim yang diterima

dipotong 20% (sekitar Rp 140.000,-) untuk disetor ke kas daerah sehingga setiap

persalinan lengkap dengan ANC dan PNC, bidan menerima sekitar Rp 500.000,-

Pemanfaatan Jampersal dari Sisi Masyarakat

Tabel 3.11.7

Sumber Biaya Pemeriksaan Kehamilan dengan Tenaga Kesehatan di Wilayah Puskesmas Mateketen

Sumber biaya periksa hamil ke nakes

Total Sendiri/klg Jampersal

Jamkesmas/

Jamkesda

Asuransi

lain

Sumber

lain

45 0 5 0 0 50

90.0% .0% 10.0% .0% .0% 100.0%

Sumber: Data Penelitian

Tabel di atas menunjukkan pernyataan 50 ibu responden terkait sumber biaya

pemeriksaan kehamilan. Tidak ada ibu yang menyatakan bahwa biaya dari Jampersal

dan 90% menyatakan biaya sendiri. Ada kemungkinan beberapa ibu lupa atau tidak

mengerti bahwa mereka ikut program Jampersal.

Dari 6 suami yang hadir dalam FGD hanya 1 orang suami yang menyatakan

persalinan istrinya ikut Jampersal, itupun baru diketahui belakangan karena pada

waktu itu bidan dan juga istri tidak menjelaskan ke suami. Menurut informasi dari

kepala puskesmas ada 13 orang ibu yang sudah diajukan dalam program Jampersal, 5

di antaranya sudah keluar klaimnya.

3.11.5. Peran Tenaga Kesehatan dalam Pelaksanaan Jampersal

Sosialisasi Jampersal dari Dinas Kesehatan ke Puskesmas

Menurut staff Kadinkes Kabupaten Halmahera Selatan, sosialisasi Jampersal ke

Puskesmas dilakukan secara terintegrasi dengan program BOK dan Jamkesmas.

Sosialisasi Juknis dilakukan oleh pengelola Jampersal KB KIA; dan sosialisasi teknis

Page 474: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

450

dilakukan oleh bagian program antara lain melalui program kemitraan bidan-dukun,

refreshing bidan, dan review PWS/KIA. Sosialisasi untuk Puskesmas dilaksanakan pada

bulan Februari 2011 dengan mengundang kepala Puskesmas, bidan koordinator dan

bendahara Puskesmas. Sosialisasi sekaligus dilengkapi dengan distribusi instrument

berupa buku kohort, buku status ibu dan bayi, buku KIA, berkas klaim.

Sosialisasi lintas sektor dilakukan melalui pertemuan dengan Team KHPPIA

(Kelangsungan Hidup Pertumbuhan dan Perkembangan Ibu dan Anak) yang merupakan

program Bappeda. Dinas Kesehatan sebagai anggota Team sering melakukan

presentasi dan sosialisasi masalah Jampersal. Pertemuan DTPS-KIBBLA (Distrik Team

Problem Solving-Kesehatan Ibu Bayi Baru Lahir dan Anak) dibawah koordinasi Sekda.

Sosialisasi ke masyarakat melalui team DTPS yang sebelumnya sudah di

Training of Trainer oleh Dinas Kesehatan. Ada MOU di tingkat kabupaten untuk

melaksanakan program-program kesehatan secara lintas sektoral dan melalui LSM.

Selanjutnya sosialisasi langsung ke masyarakat harus dilakukan oleh Puskesmas dengan

memasukkan materi dan substansi dalam kegiatan BOK dan Jamkesmas.

Sosialisasi dari Puskesmas ke Masyarakat

Keberadaan Kepala Puskesmas ini mulai September 2011, sehingga

menurutnya keterpaparan terkait Jampersal baru mulai Januari 2012. Pada waktu itu

Kadinkes Halsel mengumpulkan seluruh Kapuskesmas ke Kabupaten Halsel penjelasan

tentang Jampersal. Sebelum keberadaan beliau dalam tahun 2011 memang sudah ada

sosialisasi Jampersal kepada seluruh kapuskesmas namun untuk Puskesmas Mateketen

belum berjalan. Sebagai follow up dari kebijakan baru ini maka Kapus langsung

mensosialisasikannya kepada seluruh bidan yang ada di wilayah Puskesmas Mateketen

dalam lokmin bulanan puskesmas. Seluruh bidan puskesmas saat ini sudah ada 9 orang

(2 PNS dan 7 PTT). 7 orang bidan ditempatkan di 7 desa yang ada di kecamatan Makian

Barat, 2 bidan di puskesmas. Rapat lintas sektoral dengan kades,PKK terkait sosialisasi

Jampersal sudah dilakukan bulan Februari 2012.

Menurut koordinator KIA KB Puskesmas yang diwawancarai:

“Belum pernah ada sosialisasi khusus Jampersal. Yang ada kegiatan rutin ANC, diinformasikan kepada ibu bahwa ada Jampersal untuk persalinan gratis,

Page 475: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

451

pemberian obat untuk ibu hamil serta pelayanan KB gratis. Juga tidak dilakukan sosialisasi untuk kunjungan paska persalinan (KN) kepada ibu”.

Selanjutnya menurut bidan koordinator:

“Sosialisasi dilakukan oleh Dinas kesehatan kepada para bidan dan bidan desa diseluruh Puskesmas di wilayah Dinas Kesehatan Halmahera Selatan. Bidan dan bidan desa kemudian melanjutkan informasi yang mereka dapatkan tersebut kepada masyarakat dilingkungan kerja kami masing- masing”

Pengelolaan PelayananKIA dengan ProgramJampersal

Untuk Kabupaten Halmahera Selatan pada awalnya klaim baru bisa diajukan

bila sudah ada anggaran, namun akhirnya tim verifikator kesulitan karena banyaknya

klaim yang harus diverifikasi. Karena itu sekarang klaim yang sudah dirapikan bidan

bisa diserahkan ke Dinas kesehatan dan langsung diverifikasi oleh tim sehingga

pekerjaan dapat dicicil. Selanjutnya berkas disimpan oleh tim verifikator sambil

menunggu dana cair sehingga tidak ada hambatan administratif lagi di Dinas

Kesehatan.

Jampersal di kabupaten Halsel mulai pada tahun 2011 dengan pembentukan

Tim Pengelola Jampersal di Dinas Kesehatan. Setelah sosialisasi maka Puskesmas mulai

melaksanakan/implementasi Jampersal Juni 2011. Karena tidak tersedianya alokasi

anggaran secara khusus, sosialisasi sering dilakukan secara terintegrasi dengan

program BOK dan Jamkesmas. Seperti disebutkan dalam Juknis Jampersal kegiatan ini

melibatkan lintas sektoral antara lain Bappeda, Inspektorat, Keuangan dan Sekretaris

Daerah. Integrasi Lintas Sektor ini memutuskan bahwa klaim Jampersal dan Jamkesmas

harus disetorkan ke Kas Daerah sebesar 20%.

Pelaksanaan program KIA di wilayah Puskesmas Mateketen dilaksanakan

seperti biasa (rutinitas sebelum adanya Jampersal). Pelayanan gratis dalam Jampersal

meliputi pelayanan ANC, persalinan dan pemasangan KB. Pemeriksaan PNC dilakukan

selama masa nifas untuk ibu dan bayi. Pemeriksaan nifas dilakukan sebanyak 3 kali,

yaitu pemeriksaan ibu pada 6-24 jam setelah persalinan, 8-14 hari dan 14-42 hari.

Pelayanan nifas diberikan kepada ibu dan bayi, bila ibu tidak pernah datang hingga

masa nifas melampau 42 hari, maka ibu akan dikunjungi oleh bidan.

Page 476: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

452

Rujukan dilakukan bila ada kasus dengan partus lama (>6 jam). Sejak tahun 2012,

terdapat 3 kasus kematian bayi yang disebabkan lahir premature, ketuban pecah dini

dan perdarahan. Bila bidan mengalami kesulitan atau kelahiran dengan penyulit, maka

ibu akan dirujuk ke RSUD provinsi di Kota Ternate karena lebih dekat daripada ke Pulau

Bacan. Pasien didampingi bidan, suami dan seorang keluarga lainnya. Dalam hal

rujukan, keluarga pasien dimintakan penggantian solar kurang lebih 50 liter atau

senilai Rp. 350.000,- Bidan mendapatkan upah dari claim Jampersal bila melakukan

rujukan.

Bidan tidak melengkapi kohort sehingga sulit untuk bisa claim Jampersal

(catatan: bidan tidak mengerti secara substansial makna daripada pengisian kohort,

dan juga memang tidak bisa mengisi). Buku KIA tidak sepernuhnya diisi. Dari salah satu

buku KIA yang diambil dalam penelitian ini, bagian/informasi yang terisi hanyalah

nama ibu, tnggal persalinan, umur kehamilan, catatan kunjungan ibu dalam ANC.

Untuk identitas keluarga, hanya sebagian kecil informasi yang terisi. Ada kesulitan

dalam pembuatan laporan karena untuk form ANC harus diulang kembali pada form

yang lain.Ketika pelaporan dibuat harus konsultasi berkali-kali hal ini menyulitkan

bidan dalam pembuatan dan penyerahan laporan serta klaim Jampersal.

Selain itu kemampuan bidan dalam berkomunikasi masih rendah; bidan tidak

pernah mengemukakan masalahnya dalam mini lokakarya yang dilakukan rutin setiap

bulan. Bayi tidak dilengkapi dengan timbangan bayi di desa sehingga bayi lahir tidak

ditimbang. Persyaratan rumit terutama terkait KTP ibu. Ibu-ibu disini tidak punya KTP,

maka solusinya dibuat KTP sementara oleh Kades. Selain itu dari Dinkes menekankan

untuk klaim Jampersal harus komplit mulai dari K1 – 4, bersalin dan KN 1-3, sedangkan

ibu jarang mau K1 dengan bidan, mereka pada awal kehamilan (3 bulan) biasa minta

diperiksa/diurut ke dukun. Reagen Sahli untuk pemeriksaan hemoglobin belum pernah

diberikan oleh Dinas Kesehatan, meskipun alat untuk pemeriksaan Hb sudah lengkap.

Alat (bidan kit) sangat kurang sehingga bidan banyak mengeluh. Untuk itu bidan

masing-masing menggunakan alat/kit yang dimiliki secara pribadi.

Tenaga bidan KIA di desa/lapangan sudah mencukupi, tetapi bidan di

puskesmas masih kurang, sehingga beban kerja bidan koordinator sangat banyak

Page 477: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

453

bertanggung jawab untuk beberapa kegiatan antara lain sebagai pengelola program

KIA, KB, Jampersal dan pemeriksaan kuman TB.

Menurut kepala puskesmas masalah lain yang dihadapi dalam merujuk pasien

yaitu:

“...... Begitulah, apabila speed puskesmas sedang digunakan untuk melaksanakan kegiatan sementara ada pasien yang harus dirujuk. Dalam hal ini maka keluarga

pasienlah yang harus berusaha mencari speed boat secara mandiri”

Kebijakan Dinas Kesehatan danPuskesmas terkait Pembiayaan Jampersal

Peraturan Bupati Halmahera Selatan hingga saat ini (disusun bulan Oktober

2011) masih berupa rancangan. Terdapat kendala teknis dan birokrasi dalam

menetapkan rancangan menjadi peraturan bupati (Perbup) sehingga hingga saat ini

rancangan tersebutlah yang dijadikan acuan. Kendala teknis antara lain: 1) waktu dari

team koordinasi; 2) hambatan dalam kesepahaman antara hukum dan keuangan.Perda

mencantumkan“Seluruh pendapatan pelayanan masuk ke kas daerah”. Isi rancangan

yaitu adanya bagi hasil/setoran dari pendapatan Jampersal ke kas daerah sebesar 20%.

Semua bidan puskesmas harus dapat menolong persalinan Jampersal. Tidak

ada keterlibatan bidan swasta maupun klinik dan RS swasta dalam pelaksanaan

Jampersal. Adapun keterlibatan bidan puskesmas dan RS berjalan seperti apa yang

tertulis dalam Juknis, terutama untuk persalinan bermasalah yang membutuhkan

rujukan.

Untuk itu antisipasi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan dalam hal ini yaitu

instruksi kepada Puskesmas untuk menyimpan dulu 20% klaim yang diterima, namun

ada beberapa Puskesmas sudah menyetor ke Kas Daerah.

Kebijakan Jampersal tumpang tindih dengan Jamkesda (turunan dari

Jamkesmas). Keberadaan Jampersal tidak mengagetkan penduduk lagi karena

sebelumnya mulai 2006 memang berobat apapun sudah gratis termasuk pemeriksaan

kehamilan, persalinan dan masa nifas. Pandangan masyarakat terhadap Jampersal

biasa saja karena sebelumnya memang persalinan sudah gratis melalui Jamkesda dan

Jamkesmas.

Sejak tahun 2010 klaim Jamkesmas sulit (sampai sekarang tidak keluar lagi) dan

masyarakat miskin yang mendapatkan kartu Jamkesmas berdasarkan data tahun 2008

Page 478: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

454

sudah tidak valid lagi. Menurut Dinkes keputusan pusat terkait rekap ulang Jamkesmas

belum keluar. Kapus merasa bersyukur dengan adanya Jampersal, mudah2an klaimnya

bisa lancar. Jamkesda juga lancar mulai 2006 – 2009 seluruh masyarakat pengobatan

gratis, namun klaim mulai 2010 sampai sekarang tidak keluar (apakah karena sudah

adanya Jampersal?). Untuk itu maka klaim ditutupi dari dana rutin APBD (3 bulanan, 10

juta/bln) dan dana BOK (15 – 16 juta/bln dan bln februari sebesar 30 juta tergantung

banyaknya kegiatan). Banyaknya kegiatan tergantung cuaca dan SDM puskesmas yang

ada. LS baru dilakukan 1 x dalam periode kapus ini hampir satu tahun, selanjutnya akan

dilakukan minimal persemester( per 3 bln masih sulit karena kendala transport/cuaca).

Menurut para bidan kecamatan Makian Barat sumber biaya persalinan sebelum

ada Jamkesda dan Jampersal sebagian besar dari pribadi/keluarga ibu. Dalam budaya

masyarakat Makian apabila ada saudara yang mengalami kesulitan dalam pembayaran

persalinan, mereka akan mengumpulkan uang semampu mereka untuk membayar

biaya persalinan tersebut. Namun sudah 6 tahun ini menurut Toma dan suami biaya

persalinan gratis dan tidak dipungut biaya apapun, hanya memberi sedekah kepada

mama biang. Biaya untuk bidan gratis tapi kalau mau boleh memberi 50 ribu sebagai

tanda terima kasih. Prinsip dukun tentang adanya program persalinan gratis dukun

setuju saja karena yang penting tujuannya menolong masyarakat dan ibu serta bayi

sehat-sehat saja.

Berkaitan dengan pengelolaan Dana Jampersal di tingkat Puskesmas, menurut

kepala puskesmas diatur dengan kebijakan internal puskesmas yaitu: 5% untuk

administrasi, 10% untuk bendahara Jampersal dan kapuskesmas yang mengurus klaim,

85% untuk bidan. Untuk bidan terserah bidan berapa kalau mau kasih dukun yang juga

membantu persalinan. Menurut kapuskesmas akan diupayakan kemitraan bidan

dukun, dukun akan diberi uang Rp 25.000, bila melaporkan ke bidan tentang adanya

ibu hamil 3 bulan pertama. Selain itu pada waktu bersalin (HB0) dukun juga diberikan

Rp 25.000 apabila segera melaporkan ke bidan dan bidan datang menolong. Dana

untuk dukun ini diambilkan dari dana BOK. Namun sampai sekarang menurut seorang

dukun, dia menolong persalinan tanpa dibayar oleh ibu maupun bidan. Kalau ibu minta

dipijat setelah persalinan barulah diberi uang 20 ribu. Tapi pada waktu hamil dukun

Page 479: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

455

dipanggil selama hamil rata-rata 2-3 kali untuk memijat menaikkan perut, kadang tidak

dibayar.

3.11.6. Hambatan, Dukungan dan Harapan terhadap Program Jampersal

Hambatan dan Dukungan

Pengaruh geografi/demografi. Kondisi demografi terkait persalinan: ibu-ibu di

Makian banyak berasal dari kampung Malifut (Halut)) sehingga kalau melahirkan

pulang ke kampungnya di Halut, tidak di desa ini sehingga jumlah persalinan di

Kecamatan Makian Barat tidak banyak.

Meskipun sekarang semua desa sudah ada bidan yang tinggal di desa, tetapi

tidak dilengkapi dengan bangunan polindes yang lengkap logistiknya sehingga bidan

yang masih muda tidak begitu kuat motivasinya untuk persalinan di tempatnya. Tidak

semua bidan siap menolong persalinan secara mandiri sehingga mereka melakukannya

secara partneran dengan rekan bidan lainnya.

Kendalanya adalah dalam sistem pendistribusian logistik yang masih sulit melalui laut

sehingga menambah bidan tidak confiden untuk menolong persalinan di polindes,

sementara itu dukun sudah dengan cepat dapat dipanggil dan percaya diri serta

memberikan pelayanan komprehensif fisik psikologis.

Kepercayaan/religi. Ada keyakinan masyarakat bahwa plasenta bisa keluar

sendiri, sehingga tidak perlu bantuan bidan. Umur bidan (muda) sangat menentukan

akses masyarakat untuk bersalin dengannya. Kalaupun diperlukan bidan hanya untuk

memotong tali pusat, sedangkan fungsi dukun banyak seperti menenangkan, memijat,

memberikan ramuan, mendoakan, mengurus/membersihkan ibu dan memandikan ibu

dan bayi. Menjalankan tradisi Bapanas Bakirah setelah persalinan sehingga tubuh ibu

dapat pulih kembali seperti semula. Menurut kepala puskesmas seluruh bidan di

puskesmas Mateketen adalah bidan baru tamat dan baru diangkat PNS yang masih

muda-muda. Kualitas SDM masih rendah sehingga sebagian ibu masih ada yang lebih

suka ke dukun (mama biang). Dukun kalau menolong persalinan ditunggui mulai dari

mules sampai bersalin dengan diurut untuk mengurangi rasa sakit, sedangkan bidan

setelah memeriksa tahap pembukaan, ditinggalkan dulu tidak ditunggui.

Page 480: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

456

Pendidikan/pengetahuan. Pendidikan masyarakat rendah, 78% ibu

berpendidikan SMP ke bawah sehingga kesadaran untuk akses ke fasilitas kesehatan

masih rendah. Pengetahuan tentang Jampersal yang tidak disosialisasikan dengan baik

membuat ibu, tokoh masyarakat, tokoh agama, suami tidak tahu apa Jampersal,

mereka hanya tahu kalau berobat selama hamil, bersalin, dan pasca persalinan

diberikan secara gratis, tidak tahu apakah dengan Jamkesda atau Jampersal. Ada suami

bahkan tidak tahu kalau istrinya gratis persalinan karena ikut Jampersal. Pandangan

ibu, toma dan suami setelah tahu Jampersal, mereka bersedia ikut asal tidak dipersulit

dengan segala macam persyaratan.

Dari aspek bidan, masih banyak bidan tidak mengerti secara substansi formulir dan

buku KIA yang dipersyaratkan dalam klaim, sehingga merasa persyaratan klaim repot

dan menjelimet.

Pencaharian/pekerjaan. Masyarakat type berpindah pada waktu membuka

lahan dan berkebun, sehingga seringkali bila sudah saatnya melahirkan, mereka

melahirkan di kebun yang jauh dari desa/komunitasnya, jauh dari bidan lalu dibantu

oleh “mama biang” atau dukun yang tidak terlatih.

Kekerabatan atau Orsosmas. Tidak ada LSM di Halmahera Selatan yang

‘concern’ terhadap kesehatan. Keterlibatan LS baru sebatas kehadiran dalam

pertemuan-pertemuan. Tidak ada tindak lanjut secara teknis dalam sosialisasi

Jampersal kemasyarakat. Pengaruh LS tidak signifikan dalam pelaksanaan Jampersal.

Di kecamatan Makian Barat belum ada kelompok dan masyarakat yang sudah

terorganisir untuk masalah kesehatan ibu dan anak sehingga program Jampersal tidak

dikenal dan pemanfaatan belum maksimal. Dukungan masyarakat masih sebatas

berkumpul dan bersiap membantu pada saat persalinan kalau perlu dirujuk.

Persyaratan Jampersal yang dianggap lebih rumit dibandingkan dengan Jamkesda

membuat ibu dan keluarga kurang begitu tertarik mempelajari Jampersal, yang penting

bagi mereka tetap gratis.

Dari penentuan kekuatan dan kelemahan internal serta peluang dan ancaman

eksternal maka dirumuskan beberapa alternatif rekomendasi sebagai berikut.

Memanfaatkan kemitraan bidan dan dukun untuk dapat

memaksimalkanpeningkatan kinerja bidan

Page 481: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

457

Memanfaatkan penilaian positif masyarakat terhadap bidan untuk meningkatkan

proaktif bidanke tengah masyarakat

Memanfaatkan speedboat puskesmas seoptimal mungkin untuk meminimalkan

ketidaktahuan masyarakat (penyuluhan)

Manfaatkan bidan-bidan yg proaktif untuk dapat meminimalkan persalinan di

rumahdengan menyiapkan peralatan persalinan di fasilitas kesehatan dan

hubungan baik dengan dukun untuk mengirim ibu ke fasilitas kesehatan

Manfaatkan dukungan masyarakat untuk mengatasi kurang percaya dirinya bidan

yang muda-muda dan belum banyak pengalaman untuk menolong persalinan

Manfaatkan hubungan baik dengan Tokoh masyarakat untuk mengatasi

mismanajemen puskesmas dalam bidang pemberdayaan masyarakat

Minimalkan tradisi/pantangan yang tidak mendukung kesehatan dengan bidan

lebih mendekatkan diri dengan dukun dan memberitahu dukun pelan-pelan.

Menghindari kurang mampunya bidan mengisi persyaratan untuk klaim

Jampersaldengan mengikuti pelatihan dan bertanya sharing antar bidan.

Harapan petugas dan masyarakat

1) Harapan Kadinkes dan staf Dinkes Halsel

Sebaiknya ada alokasi anggaran untuk Dinas Kesehatan langsung ke

masyarakat untuk dapat menilai kualitas pelayanan oleh bidan/puskesmas serta

kepuasan masyarakat terhadap pelayanan Jampersal yang telah diberikan.

Biaya persalinan disesuaikan dengan kondisi geografis karena Halsel merupakan

wilayah kepulauan sehingga perlu alokasi yang lebih besar dalam menangani

geografis. Contoh: dalam BOK Dinkes tidak memiliki wewenang dalam

menyesuaikan anggaran

Sebaiknya persyaratan claim lebih disederhanakan, cukup dengan buku KIA dan

partograph. Alasannya, banyak masyarakat ibu yang tidak punya KTP karena

dianggap tidak penting (karena ibu hanya memiliki peran domestic), sehingga

persyaratan claim menjadi tidak lengkap.

2) Harapan Kapuskesmas Mateketen

Page 482: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

458

Perlu kejelasan dan keseragaman tentang klaim Jampersal apakah harus

komplit mulai K1, ataukah bisa dipecah-pecah tergantung pelayanan apa yang

diterima ibu. Perlu pelatihan bidan (bidan yang ada belum siap pakai (lulusan

akbid Ternate). Gaji mereka langsung dari pusat ke rekeningnya, dan dapat

insentif dari Pemda sebesar Rp 350.000,-/bln, sudah cukup.

3) Harapan Koordinator KIA KB Jampersal Puskesmas Mateketen

Perlu keterlibatan aparat desa dalam memberikan motivasi kepada masyarakat

untuk memanfaatkan Jampersal.

4) Harapan bidan

Agar Jampersal hanya dapat diberikan kepada orang miskin saja, tidak

menyeluruh kepada seluruh golongan masyarakat agar tarif dapat dinaikan

menjadi 1 juta untuk setiap persalinan

5) Harapan ibu, Toma, suami

Saran khusus untuk Jampersal belum ada karena belum tahu. tahunya sejak

tahun 2006 pengobatan dan persalinan gratis. Masyarakat bersyukur dan

berterima kasih dgn Jampersal, agar tetap dilanjutkan

Agar jangan dibedakan kaya miskin, karena di Makian hampir sama kaya

miskinnya. Agar dipermudah persyaratannyaAgar Jampersal diberikan pada

seluruh masyarakat, kaya miskin di kecamatan Makian sama saja tidak jauh

beda, dan persyaratan untuk ikut Jampersal agar dipermudah.

Page 483: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

459

3.12. Puskesmas Kota Ternate, Kota Ternate

3.12.1. Gambaran Umum Kota Ternate

Kota Ternate adalah ibu kota dari bekas kerajaan Islam yang tertua di Indonesia

yang berdiri pada tahun 1257terletak dekat dengan kepulauan Halmahera, dan berada

di kaki Gunung Gamalama. Ternate menjadi kota otonom sejak tahun 2010 dan kini

menjadi ibukota sementara Provinsi Maluku Utara.

Kota Ternate terdiri dari tiga suku kata yaitu tara ano ate, yang berarti turun

kebawah dan pikatlah dia. Maksud dari kalimat itu adalah turun (dari dataran tinggi ke

dataran rendah) atau dari formadiayahi ke limau jore-jore, untuk memikat pendatang

agar mau menetap dipantai (diwilayah ini). Kata tara juga bisa berarti bawah (arah

selatan) yang berarti letak/posisi Kota Ternate pertama adalah dibagian selatan Kota

Ternate.

Letak Geografis, Kota Ternate

Kota Ternate terletak pada posisi 0° - 2° Lintang Utara dan 126° - 128° Bujur

Timur. Luas daratan Kota Ternate. Batas astronomis wilayah Kota Ternate berada

sebesar 250,85 km²,sementara lautannya 5.547,55 km². Kota Ternate berbatasan

dengan:

a. Sebelah Utara dengan Laut Maluku

b. Sebelah Selatan dengan Laut Maluku

c. Sebelah Timur dengan Selat Halmahera

d. Sebelah Barat dengan Laut Maluku

Selain itu, letak pulau Ternate adalah dekat dengan kota Manado ibukota

Propinsi Sulawesi Utara. Posisi strategis yang berhadapan dengan kawasan Dodinga,

sebuah persimpangan jalan di pulau Halmahera yang menyebabkan kota ini

berkembang dalam lajur perdagangan di daerah Maluku Utara. Wilayah Kota Ternate

merupakan daerah kepulauan yang terdiri dari 8 buah pulau , 5 pulau berukuran

sedang dan 3 pulau berukuran kecil yang hingga saat ini belum dihuni penduduk.

Adapun pulau-pulau tersebut adalah:

Page 484: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

460

Jumlah kecamatan : 7 buah

Jumlah Kelurahan : 77 buah

Jumlah Penduduk: : 190.178 jiwa

Sex ratio : 103,6

Jamkesmas : 18.786 Jiwa

Jamkesda :8.000 jiwa

Askes : 47.204 jiwa

Rumah Sakit : 6 Buah

Puskesmas : 8 buah

Pustu : 15 buah

Posyandu : 170 buah

Rumah Sakit : 6 Buah

Puskesmas : 8 buah

Pustu : 15 buah

Posyandu : 170 buah

Jamkesda :8.000 jiwa

Askes : 47.204 jiwa

Rumah Sakit : 6 Buah

Puskesmas : 8 buah

Pustu : 15 buah

a. Pulau Ternate : 111,80 km2

b. Pulau Hiri : 12.40 km

c. Pulau Moti : 24,60 km2

d. Pulau Mayau : 78,40 km2

e. Pulau Tifure : 22,10 km2

f. Pulau Makka : 0,50 km2, tidak berpenghuni

g. Pulau Mano : 0,50 km2, tidak berpenghuni

h. Pulau Gurida : 0,55 km2, tidak berpenghuni

Gambar 3.12.1. Peta Kota Ternate (atas) dan Gambaran Kota Ternate Secara Umum (bawah)

Pulau-pulau dalam wilayah Kota Ternate terletak dalam lingkup kawasan pantai

barat pulau Halmahera, melalui kepulauan Filipina, Sangihe Talaud dan Minahasa yang

dilingkupi lengkung. Sulawesi bagian utara. Seperti umumnya daerah kepulauan yang

mempunyai ciri banyak memiliki Desa/Kelurahan pantai, Kota Ternate pun demikian.

Dari seluruh Kelurahan yang ada di daerah ini bagian terbesarnya, 45 Kelurahan atau

71% berklasifikasi pantai dan 18 Kelurahan atau 29% nya bukan pantai.

Page 485: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

461

Pulau Ternate berbentuk bulat kerucut/strato volcano. Ciri Topografi

sebahagian besar dataran bergunung dan daerah berbukit, terdiri dari pulau vulkanis

dan pulau karang dengan kondisi jenis tanah :

Rogusal : Pulau Ternate, pulau Hiri dan pulau Moti

Rensikal : Pulau Mayau, pulau Tifure, pulau Makka, pulau Mano dan pulau

Gurida

Kondisi topografi Kota Ternate ditandai dengan tingkat ketinggian dari

permukaan laut yang beragam, namun secara sederhana dikelompokkan menjadi tiga

kategori yaitu : Rendah (0 -499 M), Sedang (500 - 699 M) dan Tinggi (lebih dari 700 M).

Berdasarkan klasifikasi tersebut, daerah ini memiliki kelurahan dengan tingkat

ketinggian dari permukaan laut dengan kriteria rendah sebanyak 53 atau 84%, sedang

sejumlah 6 atau 10% dan tinggi sebanyak 4 atau 6%.

Gambar 3.12.2. Gunung Gamalama

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Ibu kota Ternate berada di Ternate, memiliki 7 (tujuh) kecamatan, 77

kelurahan, yakni:

a. Kecamatan Kota Ternate Utara, 14 Kelurahan

b. Kecamatan Kota Ternate Selatan, 17 Kelurahan.

Page 486: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

462

c. Kecamatan Ternate Tengah, 15 Kelurahan

d. Kecamatan Pulau Ternate, 13 Kelurahan.

e. Kecamatan Moti, 6 Kelurahan

f. Kecamatan Pulau Batang Dua, 6 Kelurahan

g. Kecamatan Pulau Hiri, 6 Kelurahan

Keadaan Penduduk

Perkembangan penduduk Kota Ternate selama lima tahun terakhir mengalami

kecenderungan peningkatan khususnya di wilayah kecamatan Kota Ternate Selatan

dan kecamatan Kota Ternate Utara. Peningkatan ini disebabkan faktor urbanisasi,

migrasi maupun dari kawasan pulau Halmahera akibat konflik etnis beberapa waktu

yang lalu, dan migrasi dari regional lain dari Sulawesi, Ambon, Papua bahkan dari

Kalimantan, Jawa dan Sumatera.Meningkatnya arus urbanisasi dan migrasi juga

disebabkan oleh semakin terbukanya arus transportasi laut yang menghubungkan kota

Ternate dengan kawasan sekitarnya dan beberapa kota lainnya. Salah satu

permasalahan yang perlu diperhatikan dalam proses pembangunan kesehatan adalah

kependudukan yang mencakup antara lain jumlah, komposisi, dan distribusi penduduk.

Kesejahteraan dan peningkatan kualitas hidup penduduk menjadi fokus utama dari

berbagai program pembangunan yang dilaksanakan.

Jumlah Penduduk

Sumber data kependudukan dapat diperoleh dari hasil Sensus, Survei dan

Registrasi Penduduk. Sampai dengan akhir tahun 2011, jumlah penduduk Kota Ternate

berdasarkan data sebanyak 190.178 jiwa dengan tingkat penyebaran penduduk

menurut kecamatan dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Kecamatan Ternate Utara : 46.673 jiwa

b. Kecamatan Ternate Tengah : 53.323 jiwa

c. Kecamatan Ternate Selatan : 65.283 jiwa

d. Kecamatan Pulau Ternate : 15.046 jiwa

e. Kecamatan Pulau Hiri : 2.801 jiwa

f. Kecamatan Pulau Moti : 4.505 jiwa

g. Kecamatan Batang Dua : 2.547 jiwa

Page 487: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

463

Kepadatan Penduduk

Komposisi penduduk menurut penyebarannya secara geografis yang lazim

disebut distribusi penduduk tidak lain untuk mengetahui merata atau tidaknya

penyebaran penduduk dalam suatu wilayah. Informasi distribusi penduduk akan lebih

berarti jika menggunakan ukuran demografi lainnya yaitu kepadatan penduduk. Hal ini

penting mengingat diferensiasi jumlah penduduk antar wilayah dalam suatu daerah

tidak mutlak menggambarkankepadatan penduduknya. Suatu daerah yang memiliki

jumlah penduduk yang besar, belum tentu dirasakan padat bila wilayahnya juga luas.

Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dalam kurun waktu setahun, maka

kondisi Kota Ternate dirasakan semakin padat. Dengan luas wilayah daratan 250,85

km² dan jumlah penduduk sebanyak 190.178 jiwa maka kepadatan penduduk

Kota Ternate pada tahun 2011 sebesar 758 jiwa per km², hal ini berarti

mengalami peningkatan bila dibandingkan tahun 2010 yang berjumlah 740 jiwa per

km2

Rasio Jenis Kelamin, Rumah tangga dan Anggota Rumah tangga

Untuk mengetahui komposisi penduduk menurut jenis kelamin digunakan suatu

indikator yang disebut Rasio Jenis Kelamin yang menggambarkan banyaknya laki-laki

diantara 100 perempuan. Sesuai data tahun 2011 jumlah penduduk laki-laki 96.752

sedangkan jumlah penduduk perempuan 93.426 sehinggga rasio jenis kelamin Kota

Ternate adalah 103,6 yang berarti penduduk laki-laki lebih banyak daripada

perempuan.

Gambar 3.12.3. Suasana Kota Ternate Sumber: Dokumentasi Peneliti

Page 488: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

464

Pendidikan

Sarana pendidikan di Kota Ternate sangat memadai dengan tersedianya

sekolah mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai ke perguruan tinggi. Sampai

dengan tahun 2010 jumlah SD baik Negeri/ Inpres maupun swasta sebanyak 113 buah

dengan jumlah guru 1.374 orang, sementara peserta didiknya 19.076 orang. Selain itu

pada tahun 2010 juga terdapat 24 buah SLTP negeri dan swasta dengan jumlah guru

615 orang, serta murid sebanyak 6.918 orang. Untuk jenjangpendidikan SLTA jumlah

SMU negeri dan swasta sebanyak 15 buah dengan jumlah guru 526 orang serta murid

sejumlah 4.849 orang, Sedangkan jumlah SMK Negeri ditambah swasta sebanyak 8

buah, jumlah gurunya sebanyak 329 orang dan jumlah muridnya sebanyak 2.861

orang.Halaman 13

Sedangkan jumlah SMK Negeri ditambah swasta sebanyak 8 buah, jumlah

gurunya sebanyak 329 orang dan jumlah muridnya sebanyak 2.861orang. Seperti telah

disebutkan sebelumnya, di Kota Ternate juga tersedia sarana pendidikan untuk jenjang

pendidikan tinggi. Sampai dengan tahun 2010, terdapat 6 buah Perguruan Tinggi yaitu :

Universitas Khairun, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri, Universitas Muhammadiyah

Maluku Utara, AIKOM Ternate, STIKIP dan Politeknik Depkes Ternate dengan berbagai

disiplin ilmu atau fakultas yang tersedia.

Kualitas Sumber Daya Manusia perlu selalu ditingkatkan, salah satunya melalui

jalur pendidikan agar tercapai kemajuan bagi suatu bangsa yang sedang membangun.

Gambar 3.12.4. Pelabuhan Ternate dilatari Pulau Halmahera

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Page 489: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

465

Hal ini disebabkan dengan pendidikan kecerdasan dan keterampilan masyarakat akan

terwujud. Dengan kualitas sistem pendidikan yang baik maka Sumber Daya Manusia

akan meningkat sehingga partisipasi mereka dalam proses pembangunan di berbagai

sektor dapat diimplementasikan secara lebih optimal. Dibidang kesehatan dengan

tingkat pendidikan yang tinggi maka diharapkan meningkatkan pengetahuan

masyarakat kesehatan, khususnya meningkatnya kesadaran akan Perilaku Hidup Bersih

dan Sehat (PHBS).

Fasilitas Kesehatan dan Tenaga Kesehatan

Pemanfaatan sarana kesehatan dapat dilihat dari beberapa indikator antara lain

jumlah penduduk yang menggunakan sarana pelayanan kesehatan yaitu Rumah Sakit,

Rumah Bersalin, Puskesmas, BP/Balai Kesehatan, Praktek Dokter Perorangan, Praktek

Dokter Gigi, Praktek Dokter Kelompok

Untuk Kota Ternate, jumlah penduduk yang menggunakan sarana pelayan

kesehatan kesehatan (pemerintah dan swasta). Berdasarkan data kunjungan rawat

jalan dan rawat inap diperoleh jumlah kunjungan sebanyak 96724 kunjungan atau

tingkat penggunaan sebesar 50,86% dari total penduduk mengalami penurunan

dibandingkan tahun 2010 sebanyak 111.813 kunjunganatau tingkat penggunaan

sebesar 60,2 % dari total penduduk.Fasilitas yang ada di kota Ternate yaitu Rumah

Sakit (6 RSU, 1 RS Bersalin, 1 RS Khusus lainnya), 8 unit Puskesmas, 15 Puskesmas

Pembantu (Pustu), 11 Puskesmas Keliling (Pusling), 170 Posyandu, 13 Poskeskel

dengan gedung sendiri, 1 Balai Pengobatan/Klinik, 34 Apotik, 4 Toko Obat, 1 Instalasi

Farmasi Kota (IFK), 7 Praktek Dokter Bersama, 67 Dokter Praktek Perorangan.

Dari total penduduk sebanyak 190.178 jiwa, maka rasio tenaga medis per

100.000 penduduk sebesar 57,3 hal ini menunjukkan bahwa untuk setiap 100.000

penduduk dilayani oleh 57 dokter. Jumlah tenaga farmasi (Apoteker dan Asisten

Apoteker) 49,6 per 100.000 penduduk. Rasio tenaga perawat 216,6 per 100.000

penduduk, tenaga bidan sebesar 129,9 per 100.000 penduduk. Sedangkan Rasio

tenaga Kesmas 35,2 per 100.000 penduduk dan Sanitasi sebesar 8,9 per 100.000

Page 490: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

466

penduduk, sedangkan dan rasio tenaga teknisi medis sebesar 18,9 per 100.000

penduduk

Masalah Kesehatan Ibu dan Anak

Bayi. Jumlah bayi di kota ternate pada tahun 2011 adalah 2.542 jiwa,

sedangkan jumlah kelahiran hidup di ternate adalah 3.839 jiwa. Selisih dari jumlah

bayi yang sebesar 1.297 jiwa merupakan under reporting data, kondisi ini disebabkan

mobilitas penduduk di kota ternate sangat tinggi, banyak ibu yang berasal dari pulau-

pulau di Halmahera melahirkan di Kota Ternate untuk mencari fasilitas bersalin yang

lengkap. Sesudah bersalin para ibu biasanya membawa bayi mereka kembali ke

daerah asal.

Bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi lahir dengan berat badan

kurang dari 2500 gram. BBLR disebabkan antara lain karena ibu hamil yang kekurangan

gizi, kenaikan berat badan ibu kurang atau tidak sesuai dengan umur kehamilan, ibu

hamil yang masih remaja, ibu hamil merokok, ibu memiliki tekanan darah tinggi,

kurang darah (anemia) atau malaria kronik, pernah melahirkan bayi prematur

sebelumnya dan perdarahan pada saat kehamilan. Pada tahun 2011 jumlah Bayi Berat

Badan Lahir Rendah (BBLR) di Kota Ternate sebanyak 27 (1%) dari jumlah bayi yang

lahir sebanyak 3.839 bayi. Dari jumlah tersebut semuanya ditangani oleh tenaga

kesehatan. Penanganan BBLR ini sangat penting untuk mencegah terjadinya gizi buruk

yang akan berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan baik fisik maupun

kecerdasan anak.

Kunjungan neonatus di Kota Ternate sudah cukup tinggi, sekitar 98,3% untuk

KN1 dan 98,1% untuk KN2, sedangkan cakupan Imunisasi DPT, HO dan campak di Kota

ternate yaitu sebesar 97 % untuk DPT1+HB1 , 94,9 % untuk DPT 3+HB 3 sedangkan

untuk campak sebesar 94,3 %. Cakupan BCG dan polio III sebesar 98,93% dan 95,50%.

Dari jumlah bayi 2.542 jiwa, hanya 62,5 % yang memperoleh ASI ekslusif sebesar 1.590

jiwa.

Angka Kematian Bayi (AKB) atau Infant Mortality Rate (IMR) sangat erat

kaitannya dengan kualitas lingkungan hidup, sanitasi lingkungan dan keadaan gizi

Page 491: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

467

masyarakat. Angka kematian bayi di kota Ternate berjumlah 25 orang bayi dari 3.839

kelahiran hidup, atau 6,51 per 1000 kelahiran hidup. Kematian bayi ini disebabkan oleh

BBLR, Asfiksia, Sepsis, Ikterus dll angka kematian bayi meningkat dibandingkan pada

tahun 2010 yaitu sebesar 6,25 per 1000 kelahiran hidup.

Balita. Pada tahun 2011, dari 18.576 balita dengan golongan umur (0-59 bln)

yang ada di Kota Ternate yang dapat ditimbang sebanyak 6.964 balita dan dari jumlah

tersebut yang naik berat badannya sebanyak 4.222 balita (60,63%). Balita yang naik

berat badannya (N) adalah balita yang ditimbang (D) diposyandu maupun luar

posyandu dan berat badannya 2(dua) bulan berturut- turut naik mengikuti garis

pertumbuhan pada KMS. Dimana pemantauan berat badan balita dapat balita dapat

diketahui melalui kegiatan diposyandu maupun diluar posyandu. yang dilaksanakan

setiap bulan. Setiap anak harus memiliki Kartu Menuju Sehat (KMS) agar dapat

dipantau pertumbuhannya, selain itu juga kita dapat menentukan kenaikan berat

badannya setiap bulan. Dengan KMS terlihat apakah anak tersebut tumbuh dengan

baik sesuasi usianya.

Salah satu cara untuk memantau pertumbuhan adalah melalui penimbangan

berat badan di puskesmas atau posyandu, karena berat badan merupakan petunjuk

yang baik untuk mengetahui keadaan gizi dan kesehatan. Perubahan berat badan

dapat menunjukan gangguan kesehatan terutama pada usia balita. Pemantauan

pertumbuhan ini adalah suatu strategi operasional yang memberi kesempatan kepada

ibu-ibu untuk mengetahui secara visual keadaan pertumbuhan anaknya. Keadaan

gangguan pertumbuhan yang dialami anak dapat dipantau dengan melihat hasil

pencatatan pada Kartu menuju Sehat (KMS). Salah satu keadaan gangguan

pertumbuhan yang dialami anak adalah berat badan anak yang berada di bawah garis

merah atau dengan istilah Balita Bawah Garis Merah (BGM) yaitu keadaan dimana

berat badan anak kurang dari berat badan semestinya berdasarkan umur. Jika berat

badan anak berada pada BGM maka orang tua khususnya ibuharus melakukan

tindakan untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan anak baik melalui pemberian

makanan bergizi terutama makanan tinggi kalori dan protein serta dengan pola asuh

yang benar. Pada tahun 2011 di lingkungan kerja dinas kesehatan kota Ternate

Page 492: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

468

persentase tertinggi BGM terdapat di Puskesmas Kalumpang (15%) dan terendah di

Puskesmas Siko (2%).

Balita merupakan kelompok sasaran yang rentan terhadap berbagai masalah

Kesehatan khususnya masalah gizi. Salah satu masalah gizi pada anak Balita adalah

Kekurangan Vitamin A (KVA). KVA pada anak biasanya terjadi pada anak yang

menderita Kurang Energi Protein (KEP) atau gizi buruk sebagai akibat asupan gizi yang

sangat kurang.termasuk zat gizi mikro dalam hal ini vitamin A. dalam wilayahkota

ternate di tahun 2011 sebesar 84%. semua balita mendapat Vitamin A secara berkala

selama 6 bulan. karena beberapa hal antara lain masih tingginya mobilisasi penduduk

yang terjadi sehingga ada balita yang dalam satu tahun hanya mendapat satu kali

vitamin A, kondisi ini mempengaruhi cakupan program.

Gizi buruk masih merupakan masalah gizi utama pada balita. walaupun upaya

penanggulangannya terus dilakukan. Gizi buruk yang mendapat perawatan adalah Gizi

buruk dengan status gizi berdasarkan indeks berat badan menurut panjang badan atau

tinggi badan (dengan nilai Z-score < SD) dengan atau tanpa gejala klinis. Tindakan yang

diberikan kepada balita gizi buruk yang ditemukan mulai dari rujukan, klarifikasi dan

konfirmasi, pengobatan dan pemberian makanan tambahan disertai dengan

penyuluhan, baik rawat jalan mendapatkan perawatan khusus karena tidak hanya

meningkatkan angka kesakitan tetapi juga dapat berakibat fatal yang dapat

mengakibatkan kematian. terdapat di 17 kelurahan yang ada di delapan wilayah

puskesmas dalam Kota Ternate. Seluruh balita gizi buruk tersebut mendapat

perawatan (100%).

Angka Kematian Maternal. Menurut profil kesehatan indonesia tahun 2011,

wanita usia subur adalah wanita dalam antara usia 15-49 tahun. Angka Kematian Ibu

Maternal dapat menggambarkan status gizi dan kesehatan serta tingkat pelayanan

kesehatan terutama untuk ibu hamil, ibu melahirkan dan ibu nifas. Angka Kematian Ibu

yang ada diperoleh dari pencatatan dan pelaporan Puskesmas dan rumah sakit yang

ada di Kota Ternate, adapun jumlah Kematian Ibu di Kota Ternate pada tahun 2011

sebanyak 5 dari 3.839 kelahiran hidup atau 130 per 100.000 kelahiran hidup. Adapun

penyebab kematian ibu tersebut yaitu, Perdarahan, infeksi post partum dan hipertensi

pada kehamilan. Oleh karena itu, setiap ibu hamil dan ibu bersalin sebaiknya

Page 493: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

469

memeriksakan diri sejak dini secara rutin ke petugas kesehatan untuk mengetahui

kondisi kesehatan ibu dan bayi,sehingga diharapkan pada tahun 2015 kematian ibu

bisa diturunkan (tidak melebihi 102/100.000) kelahiran hidup) maka pencapaian MDGS

bisa tercapai.

Kunjungan Ibu Hamil. Kehamilan merupakan proses reproduksi yang normal,

tetapi tetap perlu perawatan diri yang khusus agar ibu dan janin dalam keadaan sehat,

karena itu kehamilan yang normal pun mempunyai risiko kehamilan, namun tidak

secara langsung meningkatkan risiko kematian ibu. Risiko tinggi pada kehamilan

merupakan keadaanpenyimpangan dari normal yang secara langsung menyebabkan

kesakitan dan kematian ibu maupun bayi. Oleh karena itu Diperlukan pelayanan

antenatal yang merupakan pelayanankesehatan oleh tenaga kesehatan. Untuk ibu

selama masa kehamilannya, yang dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan

antenatal yang ditetapkan (7 T)

Untuk melihat kemajuan maupun permasalahan permasalahan kesehatan pada

ibu hamil digunakan 2 indikator yang mudah dipahami yaitu pelayanan antenatal

(cakupan K1) yang menggambarkan pemerataan pelayanan kesehatan ibu dan anak,

dan cakupan ibu hamil (cakupan K4) yang menggambarkan efektifitas pelayanan KIA.

Presentase hasil cakupan kunjungan ibu hamil (cakupan K4) di Kota Ternate pada

tahun 2011, diketahui bahwa untuk pelayanan cakupan kunjungan ibu hamil (cakupan

K4) nampak bahwa Puskesmas Kota, Puskesmas Siko dan Puskesmas Kalumpang

mempunyai prosentasi tertinggi (97%) serta Puskesmas mayau memiliki prosentase

terendah yaitu 60 %.

Persalinan.Dalam program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dikenal beberapa

jenis tenaga yang memberikan pertolongan persalinan kepada masyarakat yaitu ;

dokter spesialis kebidanan, dokter umum, bidan dan perawat. Pada prinsipnya

penolong, persalinan harus memperhatikan hal-hal antara lain sterilisasi / pencegahan

infeksi, metode pertolongan persalinan yang sesuai standar pelayanan, merujuk kasus

yang memerlukan tingkat pelayanan yang lebih tinggi.

Cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan di Kota Ternate pada tahun 2011

rata-rata 90 % dengan kisaran terendah 58% di Puskesmas Mayau dan tertinggi di

Puskemas Kota yaitu 95%, menurut hasil FGD masyarakat dan indepth mama biang,

Page 494: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

470

peran mama biang juga menmama biang meningkatnya linakes . dimana kini

persalinan dengan bantuan mama biang sudah jauh berkurang sedangkan mama biang

saat ini hanya bertugas merawat ibu dan bayi paska bersalin.

Keluarga Berencana. Untuk meningkatkan peserta KB Baru, maka berbagai

upaya telah dilakukan antara lain penyuluhan kepada masyarakat khususnya Pasangan

Usia Subur ( PUS ) yang menjelaskan manfaat dari program KB serta alat-alat

kontrasepsi yang dapat digunakan

3.12.2. Gambaran Umum Puskesmas Kota Ternate

Puskesmas Kota Ternate terletak di Kecamatan Kota Ternate Tengah dalam

wilayah Kota Ternate Propinsi Maluku Utara dengan luas wilayah 10,7 km². Wilayah

kerja Puskesmas Kota Ternate terdiri atas 8 kelurahan yaitu: Kelurahan Marikurubu

4,15 km², Kelurahan Maliaro 5,13 km², Kelurahan Kampung Pisang 0,20 km², Kelurahan

Stadion 0,16 km², Kelurahan Takoma 0,20 km², Kelurahan Tanah Raja 0,26 km²,

Kelurahan Muhajirin 0,13 km², Kelurahan Kota Baru 0,47 km². Kelurahan dengan

wilayah terluas adalah kelurahan Maliaro.

Kontur wilayah kerja Puskesmas Kota Ternate bervariasi mulai dari pantai

hingga pegunungan, wilayah yang terdekat dari pantai adalah Kelurahan Muhajirin

sedangkan yang tertinggi terdapat di lereng Gunung Gamalama yaitu kelurahan

Marekurubu. Wilayah kerja Puskesmas Kota Ternate sebagian bersar terletak di

wilayah perdagangan dan pemerintahan, terutama di wilayah kelurahan Muhajirin

hampir sebagian besar wilayahnya merupakan kawasan Perdagangan, sedangkan

kawasan pemerintahan terletak di Kelurahan Maliaro. Di Wilayah ini dapat ditemukan

kawasan pemerintahan Kota Ternate.

Jumlah penduduk dalam wilayah kerja Puskesmas Kota dalam Tahun2011

adalah 25.399 jiwa terdiri dari laki-laki 12.987 jiwa (51%) dan perempuan sebanyak

12.412 (48,8%)yang tersebar dalam 8 kelurahan dengan jumlah penduduk terbanyak di

kelurahan Maliaro sebanyak 6.557 jiwa (26%) dan yang terkecil di kelurahan Tanah

Raja sebanyak 1.258 jiwa (5%).

Page 495: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

471

Berdasarkan kelompok umur, sebagian besar penduduk dalam usia produktif

(15-64 tahun) sebanyak 18.628 jiwa (73,3%) dan selebihnya sebanyak 6.771 jiwa

(26,7%) berusia dibawah 15 tahun dan berusia 65 tahun keatas. Kelompok umur 25-29

tahun merupakan kelompok umur terbanyak yaitu 3.256 jiwa yang terdiri dari laki-laki

sebanyak 1.595 jiwa dan perempuan sebanyak 1.661 jiwa.

Gambar 3.12.6. Puskesmas Kota Ternate

Sumber: Dokumentasi Peneliti

20%

26%

9%

7%

9%

5%

7% 17%MARIKURUBU

MALIARO

KP.PISANG

STADION

TAKOMA

TANAH RAJA

MUHAJIRIN

KOTA BARU

Gambar 3.12.5.

Persentase Jumlah Penduduk berdasar Kelurahan di Wilayah Kerja uskesmas Kota Ternate Tahun 2011

Sumber: Profil Dinas Kesehatan Kota Ternate

Page 496: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

472

Gambar 3.12.7. Loket Pendaftaran Puskesmas Kota Ternate

Sumber: Dokumentasi Peneliti

Kepadatan penduduk dalam wilayah kerja Puskesmas Kota Ternate adalah

2.374 /km² yang secara berurutan dari yang paling padat adalah kelurahan Muhajirin

yaitu 14.507/km², kelurahan Stadion 11.512 km², kelurahan Kampung pisang 11.165

km/², kelurahan Takoma 10.800 km², kelurahan Kota Baru 9.142 km², kelurahan Tanah

Raja 4.838 km², kelurahan Maliaro 1278 km², kelurahan Marikurubu 1.244 km².

Penduduk dalam wilayah kerja Puskesmas Kota ternate sebagian besar telah

melek huruf.Pada tahun 2011 persentase penduduk berumur 10 tahun keatas yang

melek huruf dalam wilayah kerja Puskesmas Kota Ternate yaitu 84,58% yang terdiri

dari laki-laki sebanyak 9.266 orang (84,08%) dan penduduk perempuan sebanyak 9.072

orang (85,10%). Sedangkan jumlah penduduk berumur 10 tahun keatas berdasarkan

tingkat pendidikan yang ditamatkan yaitu SD/MI sebanyak 2.456 orang, SMP/MTs

sebanyak 2.884 orang, SMA/SMK/MA sebanyak 9.984 orang, Diploma sebanyak 556

orang dan Univesitas sebanyak 1.556 orang.

Mayoritas penduduk di wilayah kerja Puskesmas Kota Ternate beragama Islam,

hal ini terlihat dari spanduk-spanduk yang tersebar di seluruh penjuru Kota Ternate

yang berisi, Ternate the true Islam. Pelaksanaan syariat Islam dilaksanakan dengan

tidak mengesampingkan minoritas agama di daerah tersebut.

Page 497: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

473

Derajat Kesehatan

Salah satu indikator yang paling menonjol dalam menilai derajat kesehatan

adalah Angka Kematian Bayi (AKB). Angka kematian bayi dihitung dari banyaknya

kematian bayi berusia kurang dari 1 tahun per kelahiran hidup pada waktu yang sama.

Jumlah kelahiran hidup selama tahun 2011 adalah sebanyak 562 orang yang terdiri

dari laki-laki 278 orang dan perempuan 284 orang. Tidak terdapat bayi lahir mati yang

dilaporkan selama tahun 2011.

Selama tahun 2011 terdapat 3 orang bayi (usia kurang dari 1 tahun) yang

meninggal yaitu di kelurahan Maliaro 1 orang, kelurahan Kampung Pisang 1 orang dan

kelurahan Tanah Raja 1 orang. Dengan demikian angka kematian bayi selama tahun

2011 dalam wilayah kerja Puskesmas Kota adalah 5,3 per 1000 kelahiran hidup

Angka kematian ibu merupakan indikator kesehatan yang cukup penting. Angka

kematian ibu diketahui dari jumlah kematian karena kehamilan, persalinan dan ibu

nifas per 100.000 kelahiran hidup dalam waktu tertentu.Kematian ibu dikelompokkan

menjadi 3, yaitu kematian ibu hamil, kematian ibu bersalin dan kematian ibu

nifas.Selama tahun 2011 terdapat 1 kematian ibu hamil dalam wilayah kerja

Puskesmas Kota Ternate yaitu di kelurahan Tanah Raja. Angka kematian ibu selama

tahun 2011 adalah 177,9 per 100.000 kelahiran hidup.

Jumlah bayi yang lahir hidup selama tahun 2011 adalah 562 orang yang terdiri

dari laki-laki 278 orang dan perempuan 284 orang. Dari 562 bayi baru lahir terdapat

70,6% yang ditimbang, yang terdiri dari laki-laki sebanyak 193 orang (69%) dan

perempuan sebanyak 204 orang (72%). Status gizi masyarakat selama tahun 2011

meliputi persentase kunjungan neonatus, persentase BBLR yang ditangani, status gizi

balita dan kecamatan bebas rawan gizi. Selama tahun 2011 terdapat 8 orang bayi

dengan berat lahir rendah (BBLR) yang terdiri dari laki-laki 4 orang dan perempuan 4

orang. Semua bayi BBLR telah mendapat penanganan.

Status gizi balita merupakan salah satu indikator yang menggambarkan tingkat

kesejahteraan masyarakat. Salah satu cara penilaian status gizi pada Balita adalah

dengan anthropometri yang diukur melalui indeks Berat Badan menurut umur (BB/U)

atau berat badan terhadap tinggi badan (BB/TB). Jumlah balita dengan gizi lebih

Page 498: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

474

sebanyak 5 orang (0,54%) di kelurahan Maliaro 2 orang, kelurahan Stadion 2 orang,

kelurahan Muhajirin 1 orang.Balita gizi baik sebanyak 856 orang (92,7%) yang

terbanyak di kelurahan Maliaro 212 (94%) dan yang paling sedikit di kelurahan Tanah

Raja yaitu 54 orang (87%). Balita Gizi kurang sebanyak 60 orang (6,5%) yang terbanyak

di kelurahan Marikurubu 15 orang (7%) dan paling sedikit di kelurahan Kampung

pisang 4 orang.Balita Gizi buruk sebanyak 2 orang (0,22%) di kelurahan Marikurubu

dan di kelurahan Tanah Raja.

Masalah Kesehatan Ibu dan Anak

Pelayanan Kesehatan pada Ibu Hamil

Masa kehamilan merupakan masa rawan kesehataan, baik kesehatan ibu yang

mengandung maupun janin yang dikandungnya sehingga dalam masa kehamilan perlu

dilakukan pemeriksaan secara teratur. Hal ini dilakukan guna menghindari gangguan

sedini mungkin dari segala sesuatu yang membahayakan terhadap kesehatan ibu dan

janin yang dikandungnya.

Pelayanan antenatal merupakan pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan

profesional (dokter spesialis kandungan dan kebidanan, dokter umum, bidan dan

perawat) kepada ibu hamil selama kehamilannya, yang mengikuti pedoman pelayanan

antenatal yang ada dengan titik berat pada kegiatan promotif dan preventif.

Selama tahun 2011 cakupan kunjungan ibu hamil K1 secara keseluruhan adalah

615 orang (100%), cakupan paling rendah di kelurahan Muhajirin yaitu 93,5%.

Sedangkan cakupan kunjungan ibu hamil K4 secara keseluruhan adalah 596 orang

(97%), cakupan paling rendah di kelurahan Muhajirin (91%).

Pemberian imunisasi pada ibu hamil adalah hal yang sangat penting. Selama

tahun 2011 persentase cakupan imunisasi TT pada ibu hamil adalah TT1 29%, TT2

30%, TT3 11%, TT4 2,7%, TT5 3%. TT.Persentase pemberian tablet Fe pada ibu hamil

baik Fe1 ( 30 tablet ) maupun Fe3 ( 90 tablet ) adalah Tablet Fe 1 99% dan Tablet Fe 3

100%.

Page 499: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

475

Pelayanan Persalinan

Proporsi persalinan yang ditangani oleh tenaga kesehatan (nakes) merupakan

salah satu upaya untuk penurunan angka kematian ibu dan bayi. Tenaga yang dapat

memberikan pertolongan persalinan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tenaga

profesional (dokter spesialis kebidanan, dokter umum, dan bidan) dan dukun bayi

(dukun bayi terlatih dan tidak terlatih).

Cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan adalah 559 (95%) dari 587 ibu

bersalin dalam wilayah Puskesmas Kota Ternate. Cakupan tertinggi di kelurahan

Maliaro dan Kota Baru (100%) dan paling rendah di kelurahan Muhajirin (72%), hal ini

disebabkan karena jumlah ibu hamil di kelurahan Muhajirin memang sedikit atau tidak

sesuai dengan target sasaran. Persentase bumil risiko tinggi (risti) atau dengan

komplikasi yang ditangani adalah 80% dari 124 perkiraan bumil risti.

Pelayanan Nifas

Cakupan ibu nifas yang mendapat pelayanan kesehatan adalah 553 (94%),

cakupan tertinggi di kelurahan Maliaro (99%) dan paling rendah di kelurahan Muhajirin

(73%). Pemberian vitamin A sangat penting terutama untuk bayi, balita dan ibu nifas.

Persentase vitamin A untuk bayi umur 6-11 bulan selama tahun 2011 adalah 79% yang

terdiri dari laki-laki 73% dan perempuan 85,7%. Persentase anak balita umur 1-4 tahun

yang mendapat vitamin A dua kali adalah 78,7% yang terdiri dari laki-laki 77,6% dan

perempuan adalah 80%. Sedangkan persentase ibu nifas yang mendapat viatamin A

adalah 96%.

Pelayanan Keluarga Berencana (KB)

Keluarga Berencana (KB) adalah suatu usaha untuk menjarangkan atau

merencanakan jumlah dan jarak kehamilah dengan memakai kontrasepsi. Kontrasepsi

atau anti kontrasepsi (conception control) adalah cara untuk mencegah terjadinya

konsepsi dengan menggunakan alat atau obat-obatan. Masa subur seorang wanita

memiliki peranan bagi terjadinya kehamilan sehingga peluang wanita melahirkan

menjadi cukup tinggi. Menurut hasil penelitian usia subur seorang wanita rata-rata 15

– 49 tahun walaupun sebagaian wanita mengalami menarche (haid pertama) pada usia

Page 500: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

476

9–10 tahun. Oleh karena itu untuk mengatur jumlah kelahiran atau menjarangkan

kelahiran, pasangan usia subur ini lebih diperioritaskan untuk menggunakan alat/cara

KB.

Peserta KB Baru adalah Pasangan usia subur yang baru pertama kali

menggunakan salah satu cara/alat dan/atau pasangan usia subur yang menggunakan

kembali salah cara/alat kontrasepsi setelah mereka berakhir masa kehamilan Cakupan

Peserta Aktif KB adalah Cakupan peserta aktif KB dibandingkan dengan jumlah

Pasangan Usia Subur suatu wilayah kerja pada kurun yang sama.

Peserta Keluarga Berencana baru selama tahun 2011 sebanyak 74 orang ( 1,5%)

dari 5.033 pasangan usia subur yang tercatat, sedangkan jumlah peserta KB aktif

sebanyak 4.143 orang (82%). Jika dibandingkan dengan target SPM maka persentase

peserta KB aktif telah melebihi target.Proporsi peserta KB baru menurut jenis

kontrasepsi yang dipergunakan untuk kategori MKJP adalah IUD (0%), MOP (0%),

MOW (0,1%), implan (0,3%) sedangkan untuk non MKJP adalah suntik (80%), PIL (16%),

kondom (3,4%), obat vagina (0%). Persentase peserta KB menurut jenis kontrasepsi

MKJP dan non MKJP adalah 100%.

Proporsi peserta KB aktif menurut jenis kontrasepsi yang dipergunakan untuk

kategori MKJP adalah IUD 1,3%, MOP (0), MOW (1,6%), implan ( 4,4%). Sedangkan non

MKJP adalah suntik ( 79,7%), pil (10,3%), kondom ( 2,6%), obat vagina (0%).Jika dilihat

dari data peserta KB yang menggunakan alat kontrasepsi maka yang terbanyak

menggunakan jenis kontrasepsi suntik.

Kunjungan Neonatus

Cakupan kunjungan neonatus 1 kali (KN 1) selama tahun 2011 adalah 100% dari

562 bayi lahir hidup. Jika dibandingkan dengan target SPM KN1 sudah mencapai

target.Cakupan kunjungan neonatus 3 kali (KN Lengkap) adalah 98%? Jika

dibandingkan dengan target SPM persentase cakupan KN Lengkap sudah mencapai

target.

Persentase neonatal risti/komplikasi yang ditangani adalah 83% yang terdiri

dari laki-laki 90% dan perempuan 75%. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada bumil

Page 501: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

477

dan neonatal risti yang tidak ditangani di puskesmas melainkan dirujuk ke RS untuk

mendapatkan penanganan yang lebih lanjut.

Kunjungan Bayi

Persentase cakupan kunjungan bayi (minimal 4 kali) selama tahun 2011 adalah

100% dari 559 bayi. Pelayanan imunisasi rutin pada bayi meliputi pemberian imunisasi

untuk bayi umur 0-1 tahun yaitu imunisasi BCG, DPT, Polio, Campak, HB.Imunisasi

adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja memberikan kekebalan (imunitas) pada

bayi atau anak sehingga terhindar dari penyakit. (Depkes, 2000).

Pencapaian Universal Child Immunization (UCI) pada dasarnya merupakan

proyeksi terhadap cakupan sasaran bayi yang telah mendapatkan imunisasi secara

lengkap. Bila cakupan UCI dikaitkan dengan batasan suatu wilayah tertentu, berarti

dalam wilayah tersebut juga digambarkan besarnya tingkat kekebalan masyarakat

(herd immunity) terhadap penularan PD3I. Suatu desa/kelurahan telah mencapai

target UCI apabila > 80% bayi di desa/kelurahan tersebut mendapat imunisasi lengkap.

Persentase cakupan pemberian imunisasi selama tahun 2011 dalam wilayah

Puskesmas Kota adalah cakupan imunisasi BCG adalah 100%, semua kelurahan sudah

melebihi target SPM. Cakupan imunisasi DPT1+HB1 adalah 96%, cakupan tertinggi di

kelurahan Tanah Raja dan yang terendah di kelurahan Muhajirin. Cakupan imunisasi

DPT3+HB3 adalah 92%, cakupan tertinggi di kelurahan Tanah Raja dan yang terendah

di kelurahan Muhajirin. Cakupan imunisasi Polio3 adalah 92%, cakupan tertinggi di

kelurahan Tanah Raja dan yang tertinggi di kelurahan Muhajirin. Sedangkan cakupan

imunisasi campak adalah 100% kecuali di kelurahan Muhajirin belum mencapai target.

Cakupan imunisasi bayi khusus untuk kelurahan Muhajirin jika berdasarkan

data sasaran estimasi maka terlihat bahwa pencapaian belum sesuai dengan target

SPM, tetapi jika berdasarkan dengan sasaran riil maka imunisasi bayi di kelurahan

Muhajirin sudah mencapai target. Hal ini dikarenakan penetapan sasaran bayi di

kelurahan Muhajirin terlalu tinggi padahal jumlah bayi di kelurahan tersebut jauh dari

sasaran yang ditetapkan.

Page 502: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

478

3.12.3. Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak

Pandangan masyarakat tentang kehamilan, Persalinan dan bayi

Kehamilan. Pada masyarakat kota Ternate, dibeberapa tempat (kelurahan

Marekurubu dan kelurahan Tanah Raja) di wilayah kerja Puskesmas kota ternate masih

beranggapan kehamilan merupakan proses yang tidak hanya berhubungan dengan

nalar manusia tapi juga berhubungan dengan hal gaib, seperti yang dikemukakan oleh

Fikry Hamzah Taslim, pemahaman budaya masyarakat ternate menganggap proses

kehamilan merupakan suatu proses kegaiban, dimana menurut pemahaman mereka

terjadinya kehamilan janin dalam kandungan tidak saja faktor hubungan seksual

antara suami istri, namun lebih merupakan intervensi “kegaiban” untuk

menjadikannya seorang manusia. Oleh Karena itu kehamilan harus dirawat dan dijaga

secara gaib pula1.

Masyarakat di Kota Ternate selain menganggap kehamilan merupakan hal

alami pada wanita yang berhubungan dengan hal gaib, tapi mereka sudah sadar akan

pentingnya pemeriksaan kehamilan pada tenaga kesehatan. Biasanya mereka

melakukan pemeriksaan kehamilan pertama kali melalui tenaga kesehatan baik di

puskesmas, Rumah sakit maupun bidan setempat. Hal tersebut sesuai dengan data

profil kesehatan Kota Ternate tahun 2011 bahwa kunjungan persalinan di wilayah kerja

Puskesmas Kota mempunyai cakupan K1 100 % sejalan dengan hasil penelitian ini, ANC

yang dilakukan oleh tenaga kesehatan sebesar 98,6 %

Dari hasil FGD dengan bapak non Jampersal dan bapak Jampersal, tugas bapak

ketika istri melahirkan adalah mengantarkan istri untuk melakukan pemeriksaan

kehamilan baik ke puskesmas maupun rumah sakit. Ketika bapak berhalangan

mengantarkan istri melakukan pemeriksaan kehamilan, maka peran itu akan

digantikan oleh saudara/ kerabat yang ada dekat dengan rumah mereka. Pekerjaan

rumah tangga yang menjadi tugas ibu hamil kini sudah beralih tugas menjadi

kewajiban suami, apabila pada saat itu suami berhalangan melaksanakan

kewajibannya maka suami akan membayar orang untuk menggantikan pekerjaan

suami, atau digantikan oleh kerabat lain yang tinggal dirumah tersebut (anak piara).

Tetapi ada beberapa informan yang masih beranggapan, pekerjaan rumah tangga yang

biasa dilakukan oleh ibu hamil harus tetap dikerjakan, hal ini disebabkan menurut

Page 503: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

479

konsepsi mereka ibu hamil yang tetap melakukan pekerjaan rumah tangga hingga

bersalin akan dimudahkan persalinannya.

Kegaiban dalam proses kehamilan ditandai dengan adanya upacara atau

ritualyang dibantu oleh dukun (mama biang). Ritual ini dapat di temukan mulai dari

ketika kehamilan, persalinan hingga masa nifas.Peran dukun (mama biang) dalam

perawatan kehamilan masih banyak ditemukan pada masyarakat Kota Ternate sepeti

yang dikemukakan oleh salah seorang informan mama biang, bahwa setiap ibu hamil

yang datang kepada mama biang ataupun sebaliknya. Ibu hamil yang biasanya minta

bantuan mama biang pada usia kehamilan 3 bulan, 5 bulan, 7 bulan, dan 9 bulan

(bulan ganjil). Bantuan masa hamil ini ditujukan untuk membuat badan ibu hamil selalu

bersih serta memberi semangat pada ibu hamil dalam menghadapi persalinan. Mama

biang melakukan perabaan dan perbaikan pada letak janin apabila melintang. Namun

sebelum memperbaikinya biasanya mama biang menganjurkan supaya ibu hamil

diperiksa dahulu ke dokter/bidan. Setelah benar bahwa letaknya melintang dan

dokter/bidan tidak mampu memperbaikinya (tidak bisa putar janin di dalam perut)

maka ibu hamil datang kembali ke mama biang untuk memperbaikinya serta

menjaganya terus setiap bulan diperiksa dan diperbaiki kalau masih melintang.

Gambar 3.12.8 FGD tokoh masyarakat di Puskesmas Kota Ternate Sumber: Dokumentasi Peneliti

Page 504: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

480

Gambar 3.12.9. Wawancara Mendalam dengan Mama Biang di kota Ternate Sumber: Dokumentasi Peneliti

Apabila ibu hamil baru menginjak usia kandungan 3 bulan, mama biang tidak

meraba perut ibu hamil tapi memberi kekuatan dengan memberikan air minum jernih

tanpa ramuan yang sudah dibaca2kan ayat suci alquran. Dan apabila kandungan sudah

menginjak usia 6 hingga 9 bulan, ibu diberikan air putih dengan ‘Rorona’ (campuran

ramuan dedaunan) serta diperiksa letak bayi dan dibetulkan apabila tidak dalam posisi

yang benar. Rorona adalah campuran dedauan yang diambil dari sekitar rumah dan

sekitar kampung misalnya daun degi2, kembang sepatu yang bertujuan untuk

mempersiapkan serta melancarkan persalinan.

Pemeriksaan kehamilan menjelang persalinan (K4) merupakan kunjungan

terakhir sebelum masa bersalin tiba. Ibu hamil di kota Ternate masih patuh untuk

memeriksakan kehamilannya hingga kunjungan terakhir (K4), hal ini seperti data yang

dikemukakan dalam profil kesehatan dinas kesehatan Kota Ternate. Kunjungan K4 di

Kota Ternate di lingkungan puskesmas kota sebesar 96,6% .

Dari hasil kunjungan K4 ini suami dapat mengambil keputusan penentu

persalinan bagi istri. Sebagai contoh pengalaman pribadi salah seorang informan

bapak non Jampersal. Seorang ibu hamil segera akan bersalin dan telah melakukan

pemeriksaan kehamilan (K4), dengan hasil harus dilakukan operasi sectio karena posisi

bayi sungsang. Berdasarkan hasil K4 tersebut suami melakukan diskusi dengan

Page 505: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

481

keluarga dan memperoleh hasil agar persalinan ibu tersebut dilakukan dengan

bantuan mama biang.

Persalinan. Persalinan merupakan kondisi antara hidup dan mati yang

merupakan kodrat bagi perempuan. Dalam menghadapi proses persalinan biasanya

terdapat ritual yang menyertakan do’a dan pengharapan agar baik ibu dan bayi yang

dilahirkan tetap sehat dan selamat. Ritual tiup-tiup menjadi perantara antara ibu

bersalin dibantu mama biang kepada Allah SWT.

Di Kota Ternate persalinan sudah banyak yang dibantu oleh tenaga kesehatan

baik bidan, maupun dokter spesialis hal ini sesuai dengan hasil penelitian ini dimana,

persalinan dibantu oleh dokter 15,7 %, dibantu oleh bidan 68,6 % serta dibantu oleh

mama biang 15,7%.Mama biang masih membantu persalinan di beberapa lokasi yaitu

Kelurahan Marekurubu dan Kelurahan Kotaraja. Fenomena ini terjadi karena di

kelurahan Marekurubu budaya dan ritual persalinan masih terasa kental

membutuhkan pertolongan mama biang. Mama biang juga diharapkan selain

membantu persalinan, juga melakukan perawatan nifas ibu dan bayi hingga 44 hari.

Kondisi yang hampir sama ditemukan juga di Kelurahan Kuta Raja, dimana sebagian

besar penduduk yang bermukim di tempat ini adalah pengontrak yang berasal dari

Pulau Halmahera dengan kepercayaan budaya persalinan yang dibantu dukun masih

kental.

Masyarakat kota Ternate sudah memanfaatkan persalinan di fasilitas

kesehatan seperti Rumah sakit (61,4 %), Puskesmas (4,3 %) sedangkan polindes (4,3%)

tapi persalinan yang dilakukan di rumah juga masih tinggi (28,6 %), faktor kenyamanan

dan kebutuhan akan dukungan dari keluarga menjadi salah satu alasan persalinan

dilakukan di rumah ibu bersalin (bulin).

Salah satu alasan persalinan dilakukan di rumah karena faktor kenyamanan

persalinan berkembang di masyarakat Kota Ternate terutama pada masyarakat yang

bertempat tinggal di Kelurahan Marekurubu dan Kota Raja. Mama biang merupakan

sosok yang akrab dengan keseharian masyarakat di kedua kelurahan itu. Persalinan

yang dibantu mama biang masih banyak ditemui di Kota Ternate hingga kini, selain

karena sudah tradisi (10 %) yang sudah diturunkan dari nenek moyang mereka, bahkan

ibu hamil adalah salah satu bayi yang dibantu kelahirannya oleh mama biang tersebut.

Page 506: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

482

Alasan yang lain adalah percaya (2,9%), jarak rumah dukun dan bumil dekat (2,9 %),

dianjurkan suami atau orang tua (2,9 %) serta memberikan rasa nyaman (1 %).

Pelaksana ritual tersebut masih menjadi bagian yang melekat dalam budaya

persalinan. Masyarakat Kota ternate setuju diadakan ritual momohon keselamatan

menjelang persalinan (25,7%) walaupun lebih banyak yang tidak setuju akan hal itu

(52,9%).Ritual juga banyak ditemukan pada persalinan yang dilakukan di rumah, ritual

tiup-tiup menjadi ritual pengantar persalinan. ritual tiup-tiup adalah ritual dilakukan

oleh mama biang dengan cara meniupkan do’a-do’a pada air putih yang diberikan

kepada ibu yang akan bersalin, ritual ini dilakukan untuk memperlancar persalinan.

Selain ritual diatas ada satu ritual yang dilakukan ketikakehamilan ibu masih berusia 6-

9 bulan yang bertujuan untuk memperlancar persalinan seperti ritual diberikan air

putih dengan ‘Rorona’.

Ketika saat bersalin tiba mama biang dan bidan dipanggil oleh anggota keluarga

bumil, mereka datang dan sudah mengerti akan tugas dan peran masing-masing

dalam membantu persalinan ibu. Bidan membantu persalinan ibu dan memotong tali

pusat, sedangkan dukun melakukan perawatan bayi dan ibu setelah bersalin. Seperti

yang dikemukakan seorang mama biang:

“sejak tahun 2010 tidak lagi menolong persalinan karena sudah dikatakan oleh bidan bahwa biang tidak boleh lagi menolong bersalinan, kecuali dengan bidan dan gratis”

Bayi. Masyarakat Kota Ternate merupakan masyarakat yang agamis, sesuai

dengan slogan Kota Ternate “The true Islam”, kehidupan sosial kemasyarakatan juga

terbalut dengan nilai-nilai islami yang kental. Seperti pandangan masyarakat tentang

anak masih berakar pada nilai-nilai Islam seperti anak merupakan titipan yang Allah

SWT berikan, sehingga harus dijaga dan dirawat dengan baik. Hal ini seperti yang dapat

dilihat pada hadist Rasulullah SAW yang diriwatkan oleh HR Tirmidzi dan Thabrani yaitu

“ tidaklah orang tua memberikan kepada anaknya pemberian yang lebih utama selain

dari pendidikan yang lebih baik’’1.

Mengingat betapa besarnya makna anak bagi orang tua maka ketika seorang

anak lahir pada masyarakat Ternate harus dijaga dan dirawat dengan ritual khusus

yang dilakukan 3 kali yaitu ketika usia kandungan 3 bulan, ritual kedua ketika

kandungan berusia antara 6-9 bulan dan yang terakhir ketika hendak bersalin. Ritual

Page 507: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

483

menginjak usia kandungan 3 bulan ritual dilaksanakan bertujuan untuk memohon

keselamatan bagi ibu hamil dan bayi dimana mama biang meniupkan air do’a pada

perut ibu. Dan apabila kandungan sudah menginjak usia 6 hingga 9 bulan, ritual

dilakukan bertujuan untuk mempersiapkan serta melancarkan persalinan bayi. Ritual

terakhir yaitu ketika masa persalinan tiba yaitu ritual tiup-tiup yang bertujuan untuk

memperlancar persalinan.

Keselamatan dan kesehatan anak merupakan salah satu tujuan terpenting

ketika persalinan dilakukan baik persalinan dibantu tenaga kesehatan ataupun oleh

mama biang. Ketika persalinan dibantu oleh tenaga kesehatan (bidan) perawatan bagi

bayi tetap dilakukan oleh mama biang, proses bakirah dan mapanas tetap dibantu

mereka. Hingga 40 hari proses perawatan dilakukan dengan tujuan agar bayi sehat

dan kuat.

Ritual terakhir yang dilakukan oleh mama biang sebagai penutup ketika bayi

berusia 40 hari. Yaitu membuang abu hasil pembakaran mapanas ke kebun pisang

yang diikuti dengan upacara selamatan dengan memberikan nasi kuning kepada 44

orang anak-anak. Ritual ini bertujuan memohon keselamatan bagi bayi kepada Allah

SWT.

Kepercayaan yang masih berkembang

Pantangan/tabu. Kehamilan merupakan berkah yang diberikan oleh Allah SWT

kepada ibu hamil, sehingga harus dijaga dan dirawat sedemikian rupa, ada beberapa

larangan yang harus dipatuhi oleh ibu hamil dan suami dalam bertindak/ beraktivitas

serta memilih makanan selama kehamilan. Larangan/tabu banyak disarankan oleh

orang tua/ Mertua dari ibu hamil juga oleh mama biang selaku perawat kehamilan dan

persalinan yang biasanya ada dalam masyarakat Kota Ternate. Saran yang diberikan

oleh mama biang dan orang tua merupakan sebuah jaminan kesehatan dan keselamat

janin bayi atas dijauhkan dari malapetaka selama hamil dan ketika dilahirkan seperti

kesulitan bersalin dan bayi cacat ketika lahir.

Penetapan pantangan/tabu sangat bervariasi dalam masyarakat Kota Ternate

tapi pada umumnya pantangan atau tabu ini dibagi menjadi pantangan terhadap

aktivitas yang dilakukan oleh ibu hamil dan suami, serta pantangan/tabu terhadap

Page 508: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

484

makanan tertentu yang dikonsumsi oleh sang ibu hamil dan bersalin yang masih dalam

masa nifas.

Gambar 3.12.10. FGD Suami Non Jampersaldi Rumah Warga Sumber: Dokumentasi Peneliti

Pantangan/tabu terhadap aktivitas atau tindakan yang dilakukan oleh ibu hamil

dan suami misalnya tidak boleh keluar setelah maghrib ketika ibu sedang hamil

bersalin, pantangan ini dilakukan mengingat kondisi ibu yang sedang hamil/bersalin

(masih dalam masa nifas) merupakan kondisi yang disukai oleh makhluk gaib yang

umumnya keluar pada saat waktu maghrib, sehingga untuk menghindarkan keadaan

yang tidak diinginkan mereka dilarang pada saat-saat itu. Tidak boleh melompati kaki

suami ketika sedang tidur, karena ditakutkan ketika melahirkan kotorannya (darah

nifas) banyak. Untuk menghindarkan kondisi itu ketika istri bangun dari tidur dan

hendak turun dari tempat tidur hendaknya membangunkan suami dahulu baru

kemudian turun dari tempat tidur.

Pantangan aktivitas yang lain yaitu tidak boleh melilitkan handuk dileher baik

ibu hamil dan suaminya karena ditakutkan nanti tali pusat bayi yang hendak dilahirkan

ibu akan terlilit di lehernya dan mempersulit proses persalinan yang dapat mengancam

jiwa ibu dan jiwa bayi. Suami tidak boleh menyembelih ayam serta membunuh

binatang lainya karena nanti bayi yang dilahirkan istrinya ditakutkan akan cacat.Tidak

boleh keluar dari rumah selama 44 hari setelah bersalin (ibu dan bayi), keadaan ini

menjadi suatu pantangan karena ibu bersalin masih dalam masa nifas, kondisi yang

Page 509: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

485

digemari mahluk gaib. Begitu juga bayi yang belum berusia 44 hari amat sangat rentan

denngan udara malam dan mahluk gaib. Ibu bersalin tidak boleh melakukan aktifitas

apapun selama 44 hari termasuk tidak boleh memasak karena mereka masih kotor

dan apabila memasak rasa masakannya menjadi tidak enak.

Sedangkan pantangan terhadap makanan biasanya hanya diberikan kepada ibu

hamil dan bersalin saja tidak kepada suami-suami mereka misalnya pantangan tidak

boleh makan durian karena akan mengakibatkan panas pada perut ibu yang dapat

mengakibatkan keguguran. Tidak boleh makan dan minum mempergunakan piring

dan gelas yang pecah ketika makan karena nanti anak yang dilahirkannya memiliki

cacat pada bibirnya (bibir sumbing). Tidak boleh makan tebu karena jadi akan cepat

mengantuk, sering tidur pada masyarakat Ternate ditakutkan akan membuat

persalinannya susah. Tidak boleh makan ikan dasar, karena ketika bersalin bau darah

nifasnya akan anyir.Tidak boleh makan cumi karena nanti ketika bersalin prosesnya

akan sulit (masuk-keluar tapi tidak lahir-lahir).

Ritual-ritual yang berhubungan dengan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)

Pada masyarakat Kota ternate ritual dalam persalinan baik sebelum maupun

sesudah masih mereka anggap penting, mengingat masih 47,1% masyarakat di wilayah

puskesmas kota Ternate yang melaksanakan ritual sebelum persalinan dan 61,4%

ketika persalinan dan 51,4% pasca persalinan dilakukan. Pada masyarakat Kota Ternate

ritual persalinan yang berhubungan dengan persalinan terbagi menjadi 2 prosesi,

prosesi sebelum bersalin dan prosesi sesudah bersalin. Pada prosesi sebelum bersalin

dilaksanakan pada masa kehamilan serta menjelang persalinan. Sedangkan prosesi

sesudah bersalin dilaksanakan setelah ibu bersalin hingga usia bayi 44 hari.

Prosesi ritual sebelum bersalin biasanya dilaksanakan sebanyak 3 kali oleh ibu

hamil yaitu :

Ritual ketika kehamilan berusia 3 bulan

Ketika ibu hamil menginjak usia kandungan 3 bulan, mama biang tidak meraba

perut ibu hamil tapi memberi kekuatan dengan memberikan air minum jernih

tanpa ramuan yang sudah dibaca-bacakan ayat suci Al Qur’an.

Ritual Ketika kehamilan berusia 6-9 bulan

Page 510: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

486

Ketika kandungan sudah menginjak usia 6 hingga 9 bulan, ibu diberikan air putih

dengan ‘Rorona’ (campuran ramuan dedaunan) serta diperiksa letak bayi dan

dibetulkan apabila tidak dalam posisi yang benar. Rorona adalah campuran

dedaunan yang diambil dari sekitar rumah dan sekitar kampung misalnya daun

degi-degi, kembang sepatu yang bertujuan untuk mempersiapkan serta

melancarkan persalinan.

Ritual Ketika menjelang Persalinan (ketika akan menunggu persalinan tiba)

Ketika ibu hamil sudah merasakan perut mulas dan hendak bersalin maka keluarga

memanggil mama biang (ketika persalinan dilakukan di rumah walaupun keluarga

sudah memanggil nakes, mama biang tetap dipanggil dan menyertai nakes) untuk

memberikan do’a kepada ibu bersalin. Do’a diberikan oleh mama biang dengan

cara meniupkan do’a-do’a pada air putih yang diberikan kepada ibu yang akan

bersalin, air ini diminum dan dibalurkan si sekujur badan ibu bersalin. Ritual ini

dilakukan untuk dengan tujuan untuk memperlancar serta memudahkan

persalinan.

Sedangkan prosesi ritual setelah persalinan dilakukan secara bertahap hingga

bayi yang dilahirkan berusia 44 hari, prosesi ini berkesinambungan terdiri dari 2

rangkaian upacara yaitu Ritual Bakirah dan Bapanas.

Ritual Bakirah dan Bapanas setelah persalinan sampai 44 hari, dimana biang datang

ke rumah ibu sebanyak 2 x seminggu. Pada awal masa nifas yang dilakukan adalah

pertama mengurus ari-ari (membersihkan dan menanam), memandikan bayi setiap

hari atau 2 x sehari) sampai lepas pusat, dan ibu juga dimandikan dengan cara

bakirah.

Bakirah yaitu air direbus mendidih dengan daun ramuan setelah mendidih ibu

(tanpa pakaian) ditutup dengan kain bersama air rebusan tadi, setelah selai

melakukan bakirah ibu nifas diberi minuman campuran serei, jahe kunyit untuk

membersihkan perut ibu dari darah kotor.

Tujuan dilakukan bakirah adalah supaya badan ibu kuat dan ringan, memulihkan

urat2 dan membersihkan darah setelah persalinan. Bakirah dilakukan secara rutin

segera setelah melahirkan sampai 44 hari, dilakukan pada hari ganjil yaitu mulai

hari ke 3, 5, 9, 11, setelah itu lompatan 5 hari yaitu hari ke 15, 20, 25, 30, 35, 40,

dan terakhir 44.

Page 511: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

487

Bapanas hanya dilakukan 1 x saja yaitu hari ke 5 setelah persalinan. Setengah batu

bata dibakar, dibungkus kain, daun tagaloto dan lapis kain lagi lalu ditaruh di

seputar perut ibu.pada Bayi mapanas dilakukan dengan cara mendekatkan tangan

ibu pada bara kemudian setelah tangan ibu panas di letakan pada badan bayi

sambil di elus-eluskan

Ritual yang dilakukan ketika bayi berusia 40 hari

Setelah 40 hari ritual bakirah dan mapanas, kegiatan harian untuk memanaskan

badan ibu dan bayi. Abu dari prosesi mapanas itu akan dikumpulkan hingga hari ke

40, abu itu kemudian akan dibuang dikebun pisang. Prosesi membuang abu ke

kebun pisang dilakukan dengan cara menempatkan abu tersebut pada tempurung

kelapa, yang kemudian akan dibawa oleh anak kecil (keluarga atau tetangga).

Dengan persyaratan sebagai berikut apabila yg dilahirkan anak perempuan maka

yang membawa abu tersebut adalah anak laki-laki sedangkan apabila yg dilahirkan

anak laki-laki maka yang membawa abu tersebut adalah anak perempuan.

Ritual yang dilakukan ketika bayi berusia 44 hari

Upacara tersebut merupakan kelanjutan dari upacara 40 hari diatas. Upacara ini

diawali dengan membagikan nasi kuning yang ditaruh di daun mangkokan, yang

dibuat sebanyak 44 buah. Nasi kuning ini akan dibagikan kepada 44 anak (keluarga

maupun tetangga). Upacara dilanjutkandengan pembacaan do’a yang dilakukan

oleh tokoh agama (ustad) yang mengiringi prosesi bayi yang untuk pertama kali

digendong keluar rumah selanjutnya setelah itu bayi kembali dibawa masuk

kedalam rumah.

Pengetahuan, Sikap dan Praktek terkait Kesehatan Ibu dan Anak

a. Pengetahuan

Untuk mengukur pengetahuan masyarakat ini maka penelitian ini

membantunya dengan melihatnya dari kuesioner yang telah dibagikan kepada 70

responden ibu yang dipilih secara random atau acak dan hal ini juga didukung oleh

hasil fgd yang telah dilakukan oleh bidan, suami dan juga tokoh masyarakat. Menurut

Bloom (1908, dalam Notoatmodjo: 2003), pengetahuan adalah hasil tahu dan ini

Page 512: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

488

terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk

terbentuknya sikap dan juga tindakan/perilaku nyata seseorang.

Pengetahuan ibu yang coba dilihat disini adalah pengetahuan ibu pada saat

hamil, pada saat persalinan dan juga masa setelah melahirkan atau masa nifas.

b. Sikap

Informasi sikap masyarakat terhadap kesehatan ibu dapat dibagi menjadi tiga

hal yaitu: sikap masyarakat terhadap kesehatan ibu pada masa kehamilan, masa

persalinan serta pada masa pasca persalinan.

Masa Kehamilan. Pengetahuan ibu relatif sedang mengenai informasi

kehamilan, seperti pemeriksaan kehamilan minimal 4 kali dari hasil penelitian ini 77%

melakukan dalam memahami memahami hal ini, 78% ibu mengetahui pentingnya

pengukuran tensi darah. Informasi mengenai imunisasi TT pada ibu yang dilakukan 2

kali selama masa kehamilan direspon postif oleh ibu sebesar 88%. Sedangka informasi

tentang tidak perlunya pemberian tablet penambah darah bagi ibu hamil memiliki

respon negatif sebesar 51,5%, sebagian masyarakat sudah memahami bahwa ketika

hamil dibutuhkan tablet penambah darah agar ibu tidak mengalami anemia dan HB

darah ibu dibawah 10, Kondisi ini menyebabkan meningkatkan resiko BBLR bayi yang

dilahirkan.

Ritual ketika masa kehamilan yang bertujuan untuk memohon keselamatan

kepada Allah SWT merupakan keharusan pada masyarakat Kota Ternate 45,7%

menyetujui hal tersebut, sedangkan yang menolak sebesar 54,3%. Sebagian

masyarakat Kota ternate masih menganggap ritual pra persalinan merupakan

rangkaian dari persalinan itu sendiri, sedangkan apabila meninggalkan ritual tersebut

ditakutkan terjadi bala ketika proses persalinan dilakukan.

Persalinan. Informasi mengenai aktifitas yang dilakukan pasca persalinan

memberikan penjelasan budaya persalinan yang melarang ibu bersalin keluar rumah

dan beraktivitas sebelum 40 hari. Sebagian ibu menganggap budaya ini harus

dilakukan setiap persalinan (48,6%) sedangkan yang menggap budaya itu sudah tidak

dapat diterapkan lagi (51,4%).

Page 513: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

489

Pengetahuan berupa informasi lain yang didapat dari penelitian ini

adalah tempat bersalin sebaiknya dilakuka di fasilitas kesehatan (77,1%) dibantu

tenaga kesehatan (92,9%), mereka tidak menyetujui mitos setelah bersalin dilarang

mengkonsumsi ikat laut (82,9%), serta menganggap penting Inisiasi menyusui dini

(87,1%)

Nifas (Pasca persalinan).Sikap ibu yang dicoba dilihat disini terkait perilaku

setelah persalinan adalah mengenai pemakaian KB. Sebagian ibu di kota ternate sudah

sadar kebutuhan menggunakan KB pasca nifas (50%), tapi sebagian masih

mengganggap menyusui adalah KB alami,ehingga mereka lebih memeilih tidak

mempergunakan KB(45,7%)

c.Tindakan/praktek KIA

Masa Kehamilan. Dilihat dari hasil penelitian mayoritas sudah melakukan

pemeriksaan sebanyak 4 kali, sesuai standar pemeriksaan kesehatan ibu hamil. Dari 70

responden, hanya 1 yang tidak memeriksakan kehamilannya ketenaga kesehatan.

Sedangkan 63memeriksakan pemeriksaan ketenaga kesehatan. Alasan paling banyak

sebagai alasan mereka melakukan pemeriksaan kesehatan kepada nakes karena

merasa aman dan nyaman (54,3%). Tingginya pemeriksaan dengan tenaga kesehatan

ini dikarenakan, percaya kepada pelayanan bidan (21,4%), jarak yang dekat dan

mudah dijangkau (8,6%), dianjurkan oleh suami/ orang tua (1,4%), kebiasaan setempat

(1,4%) dan lainnya (10%),

Masa Persalinan. Melihat pengetahuan dan sikap sebelumnya, para ibu sudah

mengetahui bahwa persalinan akan lebih baik dilakukan dengan bantuan tenaga

kesehatan dan tidak dilakukan di rumah. Hasil survey menunjukkan bahwa penolong

persalinan paling banyak dibantu oleh bidan yaitu 88% dan setelah itu adalah dengan

bantuan dokter sebanyak 11,5%, suami/keluarga 1,4% dan mama biang 5,7%. Alasan

dipilihnya penolong persalinan tersebut adalah kebanyakan karena faktor aman dan

nyaman.

Pasca Persalinan. Sebanyak 42,9% melakukan pemeriksaan paska persalinan ke

tenaga kesehatan. Hasil survey, menunjukkan bahwa 57,1% dari responden belum

melakukan Kb paska persalinan. Kesadaran akan menggunakan alat kontrasepsi masih

Page 514: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

490

rendah. Hal ini dikarenakan mereka masih mempergunakan mama biang yang

memberikan perawatan pasca persalinan pada ibu dan bayi. Ritual ini dilaksanakan

dengan tujuan agar ibu cepat pulih dari persalinan dan bayi sehat dan cepat besar.

3.12.4. Faktor sosial budaya masyarakat

Pengambil keputusan pemilihan penolong Persalinan

Sebagai masyarakat agamisyang memegang Al Qur’an arah dan hadist sebagai

arah kehidupan mereka. Dalam Al pada surah Al Israa ayat 23 “ Allah SWT telah

menetapkan agar kalian tidak beribadah melainkan kepada NYA dan hendaklah kalian

berbakti kepada kedua orang tua”. Ayat ini merupakan peganganer menghormati

serta berbakti kepada orang tua. Sikap ini diterapkan di setiap aspek kehidupan,

termasuk dalam pengambilan keputusan penting ketika persalinan tiba.

Pada masyarakat Kota Ternate pola pemukiman setelah menikah umumnya

adalah patrilokal, yaitu pengantin perempuan bermukim dirumah atau daerah

pengantin laki-laki. Kentalnya budaya patriarki dan menyebabkan orang tua dari pihak

laki-laki memegang peranan penting dalam pengambil keputusan penting dalam

rumah tangga anaknya begitu pula dengan penolong persalinan. Pengambilan

keputusan dalam pertolongan persalinan menjadi penting terutama persalinan ini

adalah persalinan pertama bagi. menantu mereka.

Beberapa hal yang menjadi alasan mertua dalam mengambil keputusan

penolong persalinan pada persalinan pertama seorang ibu adalah, rumah tangga

anaknya belum berpengalaman dalam hal persalinan, Mereka masih merupakan

keluarga muda yang bermukim dirumah atau di sekitar rumah keluarga pihak laki-laki,

biaya persalinan biasanya merupakan tanggungan pihak mertua

Pada anak kedua hingga anak terakhir pengambil keputusan penolong

persalinan adalah suami karena pasangan ini sudah dianggap mempunyai

pengalaman dalam menghadapi proses persalinan. Dalam beberapa hal tertentu

misalnya ketika kandungan istri mereka mengalami komplikasi (persalinan yang sulit)

dan harus dirujuk atau membutuhkan tindakan medis lebih lanjut seperti bedah sectio,

suami tetap meminta pertimbangan dari orang tua mengenai penolong persalinan bagi

istrinya, apakah tetap dengan bantuan tenaga kesehatan ataukah dibantu mama

biang.

Page 515: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

491

Sesuai hasil penelitian ini cakupan persalinan yang dibantu oleh tenaga

kesehatan di wilayah Puskesmas Kota Ternate sebesar 87,1 % . Sesuai dengan hasil

FGD masyarakat kota Ternate sudah menjadikan tenaga kesehatan (bidan) sebagai

rujukan terpercaya dalam persalinan. Walau masih ada 12.9% masyarakat yang

memilih mama biang sebagai pembantu persalinan mereka.

Mama Biang di Mata Masyarakat

Mama biang bagi masyarakat Kota Ternate tidak dapat dilepaskan dari prosesi

ritual pra persalinan dan pasca persalinan, karena pelaksana ritual tersebut adalah

mama biang. Dari hasil penenelitian ini sebesar 34,3 % dari jumlah responden masih

menganggap jasa pelayanan mama biang sangat diperlukan dalam pelaksanaan ritual

pra dan pasca melahirkan. Selain melaksanakan ritual masih ada 27,1% masyarakat

yang memanfaatkan jasa mama biang dalam pemeriksaan nifas pasca melahirkan.

Tugas mama biang yang lain adalah melakukan perawatan pada bayi baru lahir, hal ini

terjadi mengingat masih 52,9 % responden yang menganggap peran mama biang

dalam perawatan bayi baru lahir masih diperlukan, dan masih 21,7% ibu bersalin yang

melakukan kunjungan neonatus kepada mama biang, serta 54,3% mama biang

memberikan pelayanan pijat ibu setelah bersalin.

Alasan terbesar memilih mama biang sebagai penolong persalinan adalah mereka

mengenal mama biang dengan baik karena, karena mama biang tinggal dan bergaul

disekitar pemukiman mereka (7,1%), bahkan ketika ibu hamil bersalin dulu juga

dibantu oleh mama biang ini. Faktor pengalaman atas kinerja mama biang

menimbulkan rasa percaya pada ibu bersalin (2,9%). Alasan lain adalah anjuran orang

tua atau suami (4,3%) dan sudah menjadi tradisi dalam keluarga (7,1%).

Dalam membantu dan merawat persalinan baik untuk ibu dan bayi, mama

biang mendapat upah antara 2 – 4 juta rupiah. Biaya itu merupakan biaya persalinan

serta perawatan ibu dan bayi sampai dengan 40 hari. Besarnya biaya persalinan dan

perawatan ibu dan bayi bukan merupakan permintaan mama biang tapi merupakan

bentuk keikhlasan dan terima kasih dari keluarga ibu bersalin tersebut. besarnya

jumlah uang yang di terima mama biang, dibayarkan secara dicicil oleh ibu bersalin

terkadang mereka menerima uang per kunjungan ke rumah ibu. Hal ini seperti yang

dikemukakan oleh mama biang N sebagai berikut:

Page 516: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

492

“........pengganti sewa ojek dari 20 ribu sampai dengan 100 ribu perkali datang....”

Mama biang tidak pernah menentukan besar dari upah yang diterimanya

kepada keluarga ibu bersalin yang dibantunya. Yang terpenting ibu dan bayi yang dia

bantu sehat dan selamat.

Mama biang juga menjadi rujukan alternatif bagi masyarakat Kota Ternate,

ketika tenaga kesehatan (dokter spesialis kandungan, bidan) memberikan saran

tindakan yang kurang mereka setujui misalnya melakukan bedah sectio karena alasan

posisi bayi yang sungsang, sedangkan menurut mereka mama biang dapat membantu

persalinan tersebut tanpa tindakan bedah dengan hanya memutar posisi bayi yang

akan dilahirkan.

Bidan di Mata Masyarakat

Persalinan bagi masyarakat Kota Ternate identik dengan tenaga kesehatan

bidan, dalam setiap proses mulai dari kehamilan, persalinan hingga nifas tidak terlepas

dari peran bidan baik bidan puskesmas maupun bidan praktek swasta.

Peran bidan dalam persalinan merupakan kondisi umum pada masyarakat Kota

Ternate 98,5% mereka mempergunakan bidan sebagai rujukan pemeriksaan

kehamilan, 87,1% pembantu persalinan serta 74,3% rujukan untuk pemeriksaan nifas.

Kehamilan. Pemeriksaan kehamilan dibantu bidan sudah umum dilakukan oleh

ibu hamil di Kota Ternate, 2,9% Pemeriksaan kehamilan yang dibantu bidan dilakukan

1 kali oleh ibu hamil, pemeriksaan sebanyak 2 kali sebesar 20 % dan sebanyak 3-4 kali

sebesar 77,1%. Tingginya kesadaran pemeriksaan kehamilan pada masyarakat Kota

ternate turut menurunkan angka kematian pada ibu dan bayi.

Alasan pemanfaatan pelayanan bidan dalam pemeriksaan persalinan dengan

alasan aman dan nyaman (54,3%), percaya kepada pelayanan bidan (21,4%), jarak yang

dekat dan mudah dijangkau (8,6%), dianjurkan oleh suami/ orang tua (1,4%), kebiasaan

setempat (1,4%) dan lainnya (10%), walaupun begitu masih ada beberapa masyarakat

yang tidak memeriksakan kehamilannya baik pada bidan maupun mama biang dengan

alasan tidak perlu (2,9%) dan tidak terlalu mempercayai kemampuan bidan maupun

mama biang (1,4%).

Page 517: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

493

Sumber biaya dalam pemeriksaan kehamilan pada tenaga kesehatan adalah

biaya sendiri (45,7%), Jampersal (44,3%), Jamkesmas/Jamkesda (4,3%), asuransi (1,4%)

dan biaya lainnya (4,3%).

Persalinan. Persalinan sebagai proses hidup dan mati membutuhkan penolong

persalinan yang mampu memberikan kenyaman dan keamanan bagi ibu bersalin.

Tenaga kesehatan merupakan penolong persalinan yang memberikan dua hal diatas.

Persalinan yang dibantu tenaga kesehatan seperti bidan pada umumnya

dilakukan di fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas ataupun rumah

bidan/polindes. Pada masyarakat Kota Ternate tempat melahirkan di fasilitas

kesehatan terdiri dari Rumah sakit ( 61,4%), rumah bidan atau polindes (4,3%) serta

puskesmas (4,3%), sisanya masih melakukan persalinan di rumah (28,6%).

Sebagai penolong persalinan bidan merupakan penolong pertama persalinan

(68,6%) dan penolong terakhir persalinan (68,6%), dengan alasn aman dan nyaman

ditolong persalinannya oleh bidan (45,7%), percaya (27,1%), jarak jangkaunya dekat

dan mudah diakses (18,6%) serta merupakan merupakan rujukan bagi ibu bersalin

(7,1%)

Sumber biaya untuk bersalinan, pada umumnya ibu bersalin mengeluarkan dari

uang pribadi (70%), Jampersal (15,7%), Jamkesmas / Jamkesda (4,3%), asuransi (1,4%)

dan lainnya (8,6%).

Nifas. Periksaan pasca persalinan merupakan adalah rangkaian terakhir dalam

persalinan. Masyarakat Kota Ternate sebagian besar sudah melakukan pemeriksaan

nifas pada bidan atau tenaga kesehatan lainnya (dokter). Tapi beberapa masih ada

yang belum melepaskan peran mama biang dalam pemeriksaan nifas, mengigat mama

biang merupakan pelaksana ritual ketika nifas seperti bakirah dan mapanas, mereka

tidak mau mempergunakan jasa tenaga kesehatan dengan alasan tidak perlu (40%),

biaya tidak terjangkau (2,9%), sedangkan sisanya kurang mempercayai tenaga

kesehatan (1,4%). Jasa yang diberikan oleh mama biang tidak dapat digantikan oleh

tenaga kesehatan seperti bidan ataupun dokter. Beberapa lagi menggabungkan

pemeriksaan nifas antara tenaga kesehatan bidan atau dokter dengan mama biang,

dengan alasan selain agar memperoleh pelayanan dari tenaga kesehatan juga mereka

dapat melakukan ritual nifas bakirah dan mapanas. Walaupun dalam kondisi nyata

Page 518: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

494

bidan atau dokter melarang ibu bersalin melakukan mapanas karena akan beresiko

pada jahitan ibu bersalin.

Masyarakat Kota Ternate melakukan pemeriksaan nifas baik di fasilitas non

kesehatan maupun di fasilitas kesehatan, ataupun beberapa dari mereka

melakukannya didua tempat baik difasilitas kesehatan, maupun non kesehatan

dengan alasan ritual. Prosentase pemeriksaan yang dilakukan pada fasilitas kesehatan

(24,3%), di fasilitas non kesehatan (17,1%) sedangkan yang melakukan di kedua tempat

(2,9%).

Alasan menggunakan tenaga kesehatan ketika melakukan pemeriksaan pasca

persalinan adalah sebagai berikut, lebih percaya dengan pelayanan tenaga kesehatan

(22,9%), lebih kompeten dalam melakukkannya (15,7%) sedangkan atas anjuran

suamiatau orang tua dan sedangkan kemudahan akses dan jarak yang relatif lebih

dekat (1,4%).

Mengenai sumber biaya, sebagian besar ibu bersalin mengeluarkan uang

pribadi dalam melakukan pemeriksaan pasca persalinan (24,3%), dengan biaya

Jampersal (14,3%), dengan biaya Jamkesmas atau Jamkesda (2,9%) sedangkan dari

biaya lainnya (2,9%).

Hubungan Mama Biang dan Bidan

Hubungan antara mama biang dan bidan sudah terjalin dengan baik dan sudah

terbentuk kemitraan. Menurut mama biang hubungan dengan bidan selalu

mendukung dalam proses persalinan, bahkan terkadang mama biang menyarankan ibu

bersalin untuk melakukan pemeriksaan di bidan karena biayanya tidak mahal.

Kemitraan antara mama biang dan bidan yang sudah terjalin dengan baik,

terkadang bidan memberikan sedikit uang kepada mama biang ketika mama biang

memberitahukan apabila terjadi persalinan serta bersama-sama membantu persalinan

tersebut. hubungan yang terjalin baik juga membuat mama biang tidak ragu lagi untuk

meminta pertolongan pengobatan kepada bidan apabila sedang sakit .

Pelaksanaan Pelayanan KIA dengan Sumber BiayaJampersal

Pelaksanaan pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA) di wilayah puskesmas

Kota Ternate sudah berjalan dengan baik walaupun pelayanan persalinan tidak dapat

didapatkan di puskesmas itu sendiri, dengan alasan sudah banyak rumah sakit yang

Page 519: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

495

dapat melayani pesalinan di sekitar wilayah kerja puskesmas, serta tidak memadainya

fasilitas persalinan yang terdapat di puskesmas maupun polindes.

Terkendalanya pelayanan persalinan di wilayah kerja puskesmas selain karena

fasilitas yang kurang memadai juga karena figur bidan desa yang kurang membaur

dengan masyarakat, selain karena luasnya wilayah kerja juga karena cepatnya

perpindahan penduduk di wilayah tersebut.

Alasan yang lain adalah di beberapa tempat di wilayah kerja Puskesmas Kota

Ternate, bidan desa tidak menetap di wilayah kerjanya tapi tinggal diwilayah kerja

puskesmas lain. Kondisi ini menimbulkan sulitnya penanganan persalinan pada ketika

bidan sedang tidak stand by on duty, masyarakat umumnya mencari pertolongan

persalinan di Rumah sakit terdekat atau mereka malah mencari pertolongan ke tempat

mama biang. Sulitnya akses dan jauhnya jarak memperparah kondisi ini terutama di

Kelurahan Marekurubu, wilayah tertinggi di wilayah kerja Puskesmas Kota Ternate.

Pelayanan persalinan gratis sudah beberapa tahun terakhir dapat di jumpai di

wilayah kerja Puskesmas Kota Ternate, dimulai dari pelayanan persalinan gratis dengan

biaya Jamkesmas dan Jamkesda. Masyarakat dan beberapa bidan mengetahui

pengguna Jamkesmas dan Jamkesda memperoleh pelayanan persalinan gratis hanya di

rumah sakit umum daerah Ternate saja, sedangkan fasilitas kesehatan lain seperti

puskesmas dan polindes mereka kurang paham.

Diwilayah kerja Puskesmas Kota Ternate, ibu bersalin yang menggunakan

Jampersal untuk proses persalinan hanya sebesar 17,1 % dan sisanya sebesar 82,9%

masih menggunakan biaya sendiri, Jamkesmas, asuransi maupun sumber biaya yang

lain. Kondisi ini disebabkan mengenai Jampersal, sebagian masyarakat tidak

mengetahui pelaksanaan program yang disosialisasikan oleh tenaga kesehatan

(41,4%), mereka mendapatkan informasi tersebut dari media masa (17,1%) dari

sumber yang lain (8,6%) sedangkan dari aparat desa (2,9%). Kurangnya informasi ini

mengakibatkan program ini kurang dimanfaatkan oleh ibu bersalin.

Pembiayaan KIA

Pembiayaan persalinan dari mulai pemeriksaan pra persalinan, persalinan

dengan mempergunanakan Jampersal masih relatif rendah, sebagian besar

masyarakat Kota Ternate masih menggunakan uang pribadi. Ketidaktauan adanya

Page 520: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

496

program Jampersal menjadi alasan yang utama rendahnya pemanfaatan Jampersal.

Dapat dilihat pada pemeriksaan pra persalinan pemanfaatan dengan biaya Jampersal

hanya 44,5%, dibandingkan mempergunakan biaya pribadi 45,7%. Sedangkan pada

persalinan pemanfaatan dengan mempergunakan biaya Jampersal hanya sebesar

Jampersal 15,7%, sedangkan pembiayaan dengan uang pribadi (70%). Pemanfaatan

Jampersal dalam pemeriksaan dengan menggunakan pembiayaan dengan biaya

Jampersal (14,3%) sedangkan yang mempergunakan uang pribadi (24,3%).

Selain alasan ketidaktahuan akan adanyan pemanfaatan Jampersal alasan yang

lain adalah ketidakpuasan akan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh pemerintah.

Masyarakat menganggap semua program kesehatan yang gratis dari pemerintah

mempunyai kualitas pelayanan dan obat-obatan yang lebih rendah dibandingkan

pelayanan yang mereka dapatkan dengan mengeluarkan dana pribadi.

Menurut Bidan desa ataupun bidan praktek swasta menganggap pembiayaan

persalinan mempergunakan Jampersal terlalu merepotkan karena ada beberapa

persyaratan yang harus dikumpulkan dan memakan waktu. Keluhan para bidan

tentang administrasi Jampersal adalah sulitnya memperoleh surat domisili, hal ini

mengingat banyak ibu bersalin merupakan warga di luar Kota Ternate yang terkadang

tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP).

Selain alasan tentang administrasi Jampersal, masalah tarif juga tidak bisa

dikesampingkan. Banyak bidan praktek swasta (BPS) yang mengeluh tentang kecilnya

tarif Jampersal yang diberikan kepada BPS. Beberapa BPS masih menerima persalinan

dengan Klaim Jampersal tapi lebih banyak dari mereka yang menolak melakukan kerja

sama dengan Dinas kesehatan mengenai persalinan dengan Jampersal.

Puskesmas sebagai rujukan tingkat kecamatan dalam pelaksanaan program

persalinan seperti Jampersal sudah menetapkan standar operasional presedur (SOP)

pelaksanaan pertolongan persalinan terutama yang persalinan dengan Jampersal, hal

ini diperkuat dengan juknis Jampersal yang dikeluarkan oleh Kementrian Kesehatan.

Tapi dengan keterbatasan fasilitas, kondisi bidan desa yang tinggal di wilayah kerja

serta kurang dikenalnya bidan dilingkungan kerja mereka mengakibatkan Jampersal

kurang dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Kota Ternate.

Page 521: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

497

Pengetahuan tentang Jampersal

Program Jampersal sudah disosialisasikan oleh kementrian kesehatan sejak

awal tahun 2010 dan berlaku secara umum mulai Mey 2010, tapi hingga kini di wilayah

kerja Puskesmas Kota Ternate belum tersosialisasikan dengan baik. Hal ini disebabkan

masyarakat tidak tahu adanya program Jampersal (55,7%), mereka menganggap tidak

berhak memperoleh program ini. Menurut mereka program Jampersal hanya

diperuntukan bagi masyarakat dengan ekonomi menengah kebahwah saja (15,7%),

menganggap prosedural untuk mengikuti program ini rumit (8,6%), faktor gengsi juga

memberi kontribusi tidak mengikuti program Jampersal (1,4%0 dan alasan lainnya

(2,9%).

Informai Jampersal hanya diperoleh sebagian masyarakat saja, informasi yang

mereka dari tenaga kesehatan (41,4%), informasi tersebut dari media masa (17,1%)

dari sumber yang lain (8,6%) sedangkan dari aparat desa (2,9%). Tenaga kesehatan

belum memahami program Jampersal secara menyeluruh. Dari hasil observasi sambil

lalu sebagian masih menganggap Jampersal sama dengan Jamkesmas, hal ini terjadi

mengingat selain Jamkesmas provinsi maluku utara menyediakan Jamkesda untuk

masyarakat. Sehingga persalinan untuk sebagian masyarakat sudah gratis, sehingga

ketika Jampersal diluncurka mereka anggap masih merupakan program yang lama

(Jamkesda).

Dari hasil wawancara sambil lalu ibu bersalin dan suami sangat ingin melakukan

persalinan dengan biaya dari Jampersal, tapi mereka kurang mengerti prosedurnya,

sedangkan bidan tidak menginformasikan hal ini. Informasi yang sama didapat dari

tokoh masyarakat, sebagian mereka kurang mengerti ptogram Jampersal ini, kecuali

tokoh masyarakat yang berkecimpung sebagai kader posyandu.

3.12.5. Peran Tenaga Kesehatan dalam Pelaksanaan Jampersal

Tenaga kesehatan memegang peranan penting dalam pelaksanaan program

Jampersal, mengingat persyaratan persalinan yang dapat diklaim menggunakan dana

Jampersal adalah bersalin di tenaga kesehatan dan dilakukan di fasilitas

kesehatan.Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kota Ternate, persalinan dibantu oleh

tenaga kesehatan kini mencapai angka 90% dan 52% tenaga kesehatan

mempergunakan Jampersal. Pelaksanaan program Jampersal sangat membantu

Page 522: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

498

Pemerintah daerah, mengingat 26.000 jiwa penduduk miskin Kota Ternate menjadi

tanggung jawab Pemerintah Kota Ternate. Dari jumlah 26.000 jiwa itu, 18.000 jiwa

merupakan Jamkesmas sebanyak sedangkan 8000 jiwa pengguna Jamkesda.

Pelaksanaan Jampersal dan Jamkesda saling melengkapi satu sama lain, apabila

persalinana dilakukan di Rumah sakit swasta maka persalinan akan ditanggung oleh

Jampersal, sedangkan untuk 8.000 masyarakat pemegang Jamkesda apabila akan

melahirkan di rumah sakit swasta maka akan ditanggung oleh Jamkesda.

Pelaksanaan Jampersal di tingkat puskesmas menelurkan Kebijakan lokal yang

dilaksanakan adalah pelaksanaan persalinan tidak hanya dilakukan di puskesmas saja,

tapi juga di poskeskel, selain karena fasilitas di puskesmas tidak memungkinkan

dilakukan persalinan, jarak dan kondisi geografis juga mempersulit ruang gerak bidan.

Persalinan dengan mama biang masih banyak dilakukan oleh mama biang tapi lambat

laun mulai terkikis karena mental masyarakat yang berorientasi pada pelayanan

Rumah sakit serta makin turunnya jumlah mama biang.

Beberapa hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan Jampersal di Kota Ternate,

dibagi menjadi dua hal, Hambatan teknis dan hambatan administratif. Hambatan

teknis dalam pelaksanaan Jampersal adalah sebagai berikut:

Bidan desa tidak bermukim di wilayah kerja sehingga menyulitkan masyarakat saat

membutuhkan pertolongan persalinan.

Interaksi bidan dan masyarakat yang kurang akrab sehingga menyulitkan bidan

dalam mensosialisasikan program

Konflik kepentingan bidan dalam sosialisasi Jampersal, karena

berhubungan dengan tarif pelayanan bidan

Rendahnya pengetahuan mengenai Jampersal yang dimiliki oleh bidan.

Keterbatasan puskesmas terutama dalan hal sarana dan fasilitas persalinan,

sehingga persalinan tidak dilakukan di puskesmas.

Sedangkan hambatan administrasi dalam pelaksanaan Jampersal adalah

kesulitan dalam memperoleh KTP dari ibu bersalin. Banyak ibu bersalin berasal dari

daerah-daerah sekitar ternate seperti dari Pulau Halmahera yang tidak memiliki kartu

penduduk, sedangkan dalam proses klaim jamersal dibutuhkan kartu identitas Berupa

KTP atau surat domisili. Surat domisili terpaksa diurus oleh bidan yang membantu

Page 523: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

499

persalinan, tidak jarang bidan harus mengeluarkan uang sebesar Rp. 25.000,- untuk

memperoleh surat domisili ibu bersalin.

Hambatan administrasi lainnya adalah banyaknya form yang harus diisi sebagai

persyaratan klaim, terkadang form yang diisi terlalu banyak karena ada beberapa form

yang diisi dua kali pada saat ANC dan bersalin.

Sosialisasi Jampersal

Sosialisasi yang dilakukan oleh dinas kesehatan ke puskesmas Sosialisasi

Jampersal di dinas kesehatan kepada kepala puskesmas dilakukan januari tahun 2011,

Sosialisasi di tingkat puskesmas dilakukan sekitar Februari 2011 untuk para bidan

kelurahan (8 bidan), dilanjutkan dengan sosialisasi ke masyarakat oleh para bidan

setiap kali turun ke lapangan (misal: dalam kegiatan posyandu dan pertemuan lintas

sektoral tingkat kecamatan. Mengingat penduduk Ternate 95% muslim karena itu

peran tokoh agama sangat menentukan. Prinsip dinkes hak masyarakat dipenuhi dulu

baru kewajibannya apa. Sosialisasi pada ibu dilakukan pada kelas ibu hamil. Sosialisasi

Lintas sektoral melalui pertemuan 3 bulan sekali di kantor kecamatan dengan dana

BOK, untuk internal puskesmas sosialisasi dilakukan dalam lokmin sebulan sekali.

Sosialisasi oleh ibu-ibu PKK melalui arisan kelurahan. Sosialisasi dari pemda melalui

media cetak

Sosialisasi KB Jampersal melalui bidan pada waktu ANC di posyandu atau

puskesmas, ada kelas ibu hamil sebulan sekali di luar jadwal posyandu di setiap

kelurahan. Diterapkan sejak April 2011 oleh bidan kelurahan di poskeskel, pelaksanaan

sosialisasi berjalan lancar. Kendala yang dihadapi berkisar asalah data, mengingat

Jumlah yang ikut KB PNC melalui Jampersal belum dapat diberikan karena datanya

campur dengan nama peserta yang ikut KB dengan program lain (Jamkesmas,

Jamkesda). Ibu-ibu yang bukan PNC Jampersal lagi dan yang bukan peserta Jamkesmas

ataupun Jamkesda harus bayar apabila hendak mengikuti KB (termasuk pasien umum).

Pelaksanaan Program Jampersal

Pelaksaan program Jampersal dilakukan di ternate sejak bulan juni 2011 dan

terus dilaksanakan hingga kini, pelaksanaan Jampersal di lakukan di dua fasilitas

kesehatan, di puskesmas dan fasilitas kesehatan turunannya dan di rumah sakit.

Page 524: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

500

Pelaksanaan Jampersal di puskesmas dan fasilitas kesehatan turunannya dilakukan

oleh bidan desa. Persalinan yang dibantu oleh bidan desa dilakukan baik di puskesmas

dan pustu atau puskeskel. Pada lokasi penelitian di Puskesmas Kota ternate persalinan

tidak dilakukan di puskesmas dan di beberapa pustu karena keterbatasan fasilitas alat

bantu persalinan, sehingga beberapa ada yang bersalin di rumah sakit terdekat

ataupun di rumah ibu bersalin.

Pelaksanaan Jampersal tidak hanya berlaku pada bidan desa yang bertugas di

puskesmas tapi sudah menjalin kerjasama dengan bidan praktek swasta di wilayah

Kota Ternate (mengingat bidan praktek swasta tidak ada yg berada dalam wilayah

kerja Puskesmas kota Ternate). Bentuk kerjasama antara dinas kesehatan dan bidan

praktek swasta berlandaskan MOU kerjasama. Beberapa bidan praktek swasta sudah

menolong persalinan dengan menggunakan Jampersal. Mereka membuka klinik

bersalin bersama misalnya dengan nama Klinik Atia, padahal didalamnya ada beberapa

bidan dan bekerja sama dengan dukun. Dukun dibayar untuk mengantar ibu ke klinik

tanpa menunggu dari klaim Jampersal. Tapi masih banyak yang tidak mau melakukan

kerjasama hal ini dikarenakan ruitnyaa klaim persalinan yang harus menyertakan

banyak persyaratan serta kecilnya nilai klaim yang tidak sebanding dengan tarif praktek

dari bidan praktek swasta tersebut.

Pembiayaan

Masyarakat yang melakukan pemeriksaan kehamilan, persalinan dan

pemeriksaan nifas di tenaga kesehatan, sebagian besar mempergunakan uang pribadi

untuk membayar pelayanan tersebut. Hal ini dalapat dilihat sebagai berikut :

Kehamilan. Pada mayarakat kota ternate, mereka sudah memandang tenaga

kesehatan sebagai penolong persalinan, dan mereka tidak segan mengeluarkan uang

pribadi demi memperoleh pelayanan kehamilan. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan

uang pribadi dalam membayar pelayanan persalinan (45,7%), mempergunaan dana

Jampersal (44,3%), Jamkesmas/ jamkeda (4,3%), asuransi (1,4%) dan sumber yang lain

(4,3%). Dari hasil ini terlihat masyarakat Kota ternate sudah menganggap Jampersal

merupakan salah satu fasilitas pendanaan bagi pemeriksaan kehamilan.

Persalinan. Seperti pemeriksaan kehamilan, ketika persalinan datang

masyarakat Kota Ternate sudah menganggap tenaga kesehatan sebagai penolong

Page 525: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

501

persalinan terakhir bagi persalinan, hal ini dapat dilihat kesadaran masyarakat

membayar pelayanan persalinan dengan uang pribadi (70%), menggunakan Jampersal

(15,7%), Jamkesmas dan Jamkesda (4,3%), asuransi (1,4%), serta dari dana lainnya

(8,6%). Dapat dilihat dari hasil ini mereka sudah sadar mempergunakan bantuan nakes

bahkan mereka mempergunakan uang pribadi untuk membayar pelayanan tersebut.

Nifas. Pelayanan nifas sudah disadari oleh masyarakat Kota Ternate, walaupun

ada beberapa masyarakat yang masih mempergunakan mama biang dalam

pemeriksaan nifas. Sebagian besar masyarakat yang memanfaatkan pelayanan

pemeriksaan nifas melalukan pembayaran dengan uang pribadi (24,3%), dengan

mempergunakan Jampersal ( 14,3%), dengan Jamkesmas/Jamkesda (2,9%) sedangkan

dengan sumber dana lain (2,9%).

Kebijakan Internal Puskesmas

Pelaksanaan Jampersal sendiri dilingkungan Dinas Kesehatan Kota Ternate

mengacu pada petunjuk teknis pelaksanaan Jampersal yang telah dibuat oleh

Kementerian Kesehatan, tidak ada kebijakaan lokal yang di buat oleh Dinas Kesehatan

Kota Ternate, tapi di puskesmas kota kebijakan lokalnya yang dilaksanakan adalah

PelaksanaanJampersal di tingkat puskesmas menelurkan Kebijakan lokal yang

dilaksanakan adalah pelaksanaan persalinan tidak hanya dilakukan di puskesmas saja,

tapi juga di poskeskel, selain itu persalinan juga dilakukan di rumah ibu bersalin tapi

tetap dibantu oleh bidan, hal ini terjadi karena fasilitas di puskesmas tidak

memungkinkan dilakukan persalinan, jarak dan kondisi geografis juga mempersulit

ruang gerak bidan. Persalinan dengan mama biang masih banyak dilakukan oleh

mama biang tapi lambat laun mulai terkikis karena mental masyarakat yang

berorientasi pada pelayanan Rumah sakit serta makin turunnya jumlah mama biang.

3.10.6. Hambatan, Dukungan dan Harapan terhadap Program Jampersal

Dalam pelaksanaan program Jampersal didapatkan faktor-faktor pendukung

yang dapat meningkatkan akselerasi program Jampersal pada masyarakat Kota

Ternate. Dibawah ini terdapat faktor-faktor pendukung tersebut,

Page 526: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

502

Berkurangnya jumlah mama biang. Pada masyarakat Kota Ternate profesi

mama biang sudah sulit ditemukan begitu juga dengan dua mama biang yang

diwawancarai pada wawancara mendalam menyatakan sebagai berikut:

“punya anak 9 orang (6 laki, 2 perempuan, 1 meninggal). Namun sampai sekarang belum ada anak2nya yang tertarik untuk belajar atau meneruskan profesi.”

Kini sudah sulit menemukan anak muda yang mau meruskan pekerjaan sebagai

mama biang, meeka kurang tertarik dengan jenis pekerjaan ini dengan alasan

pekerjaan ini sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman.

Berkurangnya jumlah mama biang menyebabkan ibu-ibu bersalin lebih memilih

bidan sebagai penolong persalinan dan mama biang hanya menjadi pelaksana ritual

persalinan saja.

Kepercayaan terhadap medis tinggi. Pada masyarakat Kota Ternate,

kepercayaan terhadap medis relatif tinggi, mereka memahami tenaga kesehatan

merupakan rujukan terpercaya (21,4%), terutama berhubungan dengan pemeriksaan

pra persalinan hingga pasca persalinan. Kompetensi tenaga kesehatan menyebabkan

perasaan aman dan nyaman (54,3%).

Masyarakat tetap melakukan pemeriksaan persalinan dari mulai pra persalinan

hingga persalinan, terkadang masyarakat memilih bersalin pada biang karena tidak

setuju dengan tindakan yang dilakukan oleh dokter kandungan. Bedah sectio karena

posisi bayi sungsang merupakan salah satu tindakan yang kurang disetujui oleh suami

dan keluarga ibu bersalin. Dalam pemikiran mereka mama biang dapat memutar posisi

bayi kemudian membantu persalinan ibu dengan cara normal. Kondisi diatas bukan

berarti mereka tidak percaya dengan kompetensi dokter melainkan karena mencari

alternatif rujukan yang tidak melalui prosedur bedah.

Keaktifan dari kader Posyandu. Bidan Desa yang tidak bermukim di wilayah

kerja dan kurang dikenal oleh masyarakat membuat terkendalanya sosialisasi

program-program baru. Kader posyandu menjembatani kondisi ini. Biasanya kader

posyandu memberikan informasi awal kepada bidan desa tentang kehamilan baru

diwilayah kerjanya.

Page 527: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

503

Tugas mereka selain membantu bidan desa dalam pelaksanakan posyandu, juga

menjadi motivator bagi masyarakat dalam melakukan pemeriksaan persalinan dan

melakukan persalinan aman dibantu bidan.

Keaktifan masyarakat dalam mengikuti asuransi kesehatan di tempat kerja.

Masyarakat Kota Ternate sudah menyadari bahwa asuransi kesehatan menjadi

penolong kondisi-kondisi darurat dan persalinan. Kondisi ini turut mendorong

masyarakat ternate untuk bergabung dengan asuransi pada tempat kerja masing-

masing. Persalinan bagi anak 1 dan 2 tidak menjadi kendala bagi masyarakat karena

masih ditanggung oleh asuransi kesehatan dari tempat kerja.

Hambatan

Pengetahuan masyarakat tentang Jampersal masih rendah. Di Kota Ternate

persalinan gratis sudah bukan merupakan hal yang baru, sejak Jamkesmas persalinan

gratis bagi pemilik kartu Jamkesmas sudah menjadi hal yang lumrah. Provinsi Maluku

Utara juga mengeluarkan jaminan kesehatan daerah (Jamkesda) yang juga

memberikan kemudahan persalinan gratis. Bahkan tanpa Jamkesmas dan Jamkesda

kemudahan persalinan tetap diperoleh dengan hanya menyerahkan SKTM (surat

keterangan tidak mampu) dari pejabat desa terkait.

Hal ini menyebabkan keberadaan program persalinan gratis seperti Jampersal

kurang terlalu diperhatikan, mengingat persalinan gratis sudah mereka kenal beberapa

tahun belakangan. Anggapan masyarakat persalinan gratis seperti Jamkesmas,

Jamkesda dan pengguna SKTM dikhususkan untuk masyarakat menengah kebawah.

ketidaktahuan perbedaan antara program Jampersal ini dengan program

terdahulu (Jamkesmas, Jamkesda dan pengguna SKTM) membuat mereka tidak

memanfaatkan program persalinan ini, sedangkan mereka melakukan pemeriksaan

pasca persalinan di puskesmas dan rumah sakit tapi informasi tentang Jampersal tidak

mereka peroleh.

Bidan yang tidak bermukim diwilayah kerja. Dalam pelaksanaan pelayanan di

tiap puskesmas, bidan merupakan ujung tombak pelayanan persalinan, dimana bidan

diwajibkan tinggal dan bermukim di wilayah kerjanya. Kondisi disamping adalah kondisi

ideal tapi dalam kenyataannya bidan di wilayah kerja Puskesmas Kota Ternate masih

banyak yang tidak tinggal dan bermukim di wilayah kerja, ketika kondisi darurat

Page 528: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

504

persalinan terjadi wilayah yang mempunyai akses yang sulit seperti di Kelurahan

Marekurubu. Masyarakat umumnya mencari pertolongan ke mama biang yang tinggal

diwilayah mereka, rasa nyaman dan terjadinya bonding emosional menjadi alasan

mayarakat memilih mama biang sebagai pembantu persalinan dibanding pergi ke

rumah sakit yang jauh dari tempat tinggal mereka.

Konflik kepentingan bidan dalam sosialisasi Jampersal. Peran bidan terutama

desa yang bertugad di puskesmas mempunyai tanggung jawab untuk mensukseskan

program pemerintah terutama Jampersal. Mereka wajib membantu persalinan dengan

tarif yang sudah di tentukan oleh kementrian Kesehatan, tapi kondisi ini menjadi rumit

mengingat selain bekerja di puskesmas, mereka membuka praktek persalinan swasta

dengan tarif yang lebih tinggi daripada tarif puskesmas.

Kondisi rumit ini membuat bidan ini mengalami dilema profesi, dan membuat

sosialisasi kurang berjalan dengan baik. Keadaan ini makin diperparah dengan

prosedur klaim yang berbelit dan menyulitkan bidan. Banyaknya kertas laporan yang

harus diserahkan dengan syarat-syarat yang belum tentu dimiliki oleh ibu bersalin

seperti KTP, mengingat di Kota Ternate banyak ibu bersalin yang berasal dari wilayah

sekitar yang terkadang tidak menetap.

Berbagai hal diatas menimbulkan keengganan bidan melaksanakan program

serta melakukan sosialisasi Jampersal. Pengetahuan bidan tentang Jampersal

terkadang juga masih rendah mengingat mereka masih menganggap program ini tidak

ada bedanya dengan program Jamkesmas ataupun Jamkesda.

Interaksi bidan dan masyarakat yang kurang akrab. Tempat tinggal bidan yang

tidak pada wilayah kerjanya membuat komunikasi antara bidan dan masyarakat tidak

terlalu akrab, bahkan dari hasil FGD dengan bapak non Jampersal, mereka kurang

mengenal bidan yang bertugas di wilayah rumah mereka.

Hubungan antara bidan dan masyarakat yang kurang akrab menyebabkan

masyarakat enggan untuk melakukan pemeriksaan kehamilan bahkan bersalin dengan

bidan tersebut. Mereka menganggap bidan adalah orang asing yang bertugas di

wilayah mereka.

Kondisi ini makin diperparah dengan luasnya wilayah kerja bidan, terutama di

Kelurahan Marekurubu, wilayah kerja dengan topografi yang bervariasi dari mulai

wilayah yang datar hingga wilayah yang berada didekat puncak Gunung Gamalama.

Page 529: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

505

Kontur wilayah ini terkadang menyulitkan bidan dalam pelaksanaan tugasnya,

mengingat beberapa tempat terkadang sulit dijangkau dan licin dalam kondisi hujan.

Peran mama biang pada pelaksanaan ritual persalinan.Dalam budaya

persalinan masyarakat Kota Ternate, ritual pra persalinan hingga pasca persalinan

membutuhkan jasa dari mama biang, peran dan fungsi dari mama biang tidak dapat

digantikan oleh tenaga kesehatan. Kondisi ini membuat masyarakat sangat tergantung

dengan keberadaan mama biang.Mama biang selalu menyertai ibu melalaui

kehamilan, persalinan bahkan hingga ibu bersalin menyelesaikan masa nifasnya.

Keakraban, rasa nyaman dan tradisi adalah faktor yang terus melestarikan peran

mama biang dalam persalinan.

Ritual persalinan adalah salah satu cara agar ibu hamil diberikan kelancaran

dalam persalinan, agar tidak ada kesulitan selama proses persalinan. Sedangkan ketika

nifas ritual dilakukan supaya ibu bersalin cepat pulih, dan segera sehat serta kuat

dalam beraktivitas, setelah melewati proses persalinan. Perawatan dilakukan

bertahap dengan melakukan berbagai ritual mandi dan di panaskan serta dipijat baik

ibu nifas maupun bayinya.

Otoritas mertua dalam menentukan penolong persalinan.Mertua selaku orang

tua memiliki otoritas penuh dalam membantu menantunya menyiapkan penolong

persalinan, biasanya mertua masih memegang nilai-nilai tradisi dengan tujuan agar

dapat mempermudah persalinan. Penentuan penolong persalinan yang dilakukan oleh

mertua, biasanya diarahkan kepada mama biang, karena mama biang dapat

membantu ritual-ritual yang dilakukan selama persalinan. Dalam kondisi tertentu

suami juga memanggil tenaga kesehatan (bidan) untuk membantu persalinan

mengawasi persalinan.

Penentuan penolong persalinan banyak dilakukan oleh mertua ketika ibu

bersalin untuk pertama kalinya karena masih dianggap kurang berpengalaman.

Sedangkan untuk kehamilan anak kedua dan seterusnya dilakukan oleh suami, apabila

terjadi kondisi darurat suami tetap meminta orang tuanya untuk memutuskan

penolong persalinan bagi istrinya.

Page 530: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

506

Harapan

Jampersal masih merupakan program yang kurang dikenal oleh masyarakat.

Sosialisasi Jampersal belum mengena keseluruh lapisan masyarakat dan masih terasa

setengah hati. Kondisi ini disebabkan bidan memiliki konflik kepentingan, dimana

banyak dari mereka yang membuka praktek swasta dengan tarif yang berbeda jauh

apabila mereka menolong persalinan dengan biaya Jampersal. Selain dari konflik

kepentingan, sosialisasi Jampersal terkendala karena bidan masih menganggap

Jampersal adalah program pemerintah yang hampir sama dengan Jamkesmas atau

Jamkesda dan hanya dikhususkan untuk masyarakat miskin.

Tokoh masyarakat sendiri memiliki keterbatasan pengetahuan tentang

Jampersal, sehingga untuk terkendala untuk membantu sosialisasi program ini ke

masyarakat.

Harapan masyarakat adalah sosialisasi yang disampaikan lebih gencar lagi,

sosialisasi dilakukan dengan melibatkan pejabat wilayah terkait, karena selama ini

informasi Jampersal dari mereka masih minim. Sosialisasi Jampersal yang dilakukan

oleh bidan dan kader di Posyandu dapat melibatkan tokoh agama dan masyarakat

dengan cara menginformasikan program ini melalui pengajian, arisan, kegiatan

keagaamaan lainnya yang tidak hanya pada kelompok ibu-ibu tapi juga bapak-bapak.

Dari sisi bidan, program Jampersal diharapkan lebih mempermudah proses

klaim, karena persyaratan administrasi yang harus menyertakan KTP sedangkan ibu

bersalin di wilayah mereka masih banyak berasal dari daerah diluar Kota Ternate yang

tidak memiliki KTP. Proses pembuatan surat domisili sebagai pengganti KTP diharapkan

lebih dipermudah, sebaiknya ada insentif untuk pengurusan administrasi ini karena

bidan harus mengeluarkan uang untuk membuat surat domisili.

Selain dari persyaratan administrasi diatas, diharapkan persyaratan untuk klaim

juga lebih disederhanakan, karena bidan keberatan dengan form persyaratan yang

banyak dan bidan harus menyediakan itu semua, sementara tidak ada uang

penggantian untuk foto kopi.

Harapan yang lain adalah tarif yang ditingkatkan, agar bidan praktek, swasta

juga mau melakukan kerjasama dengan dinas kesehatan dalam meningkatkan program

Jampersal. Naiknya besaran tarif juga diharapkan dapat memotivasi bidan dalam

pelayanan persalinan menggunakan program Jampersal.

Page 531: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

507

Proses klaim juga diharapkan dapat di percepat sehingga dana Jampersal dapat

segera diterima oleh bidan pada bulan berikutnya, hal ini untuk memotivasi bidan agar

meningkatkan kinerja pelayanan persalinan dengan Jampersal.

Page 532: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

508

BAB 4

PEMBAHASAN

Unsur yang dikaji terkait KIA dan Jampersal dibatasi pada 5 unsur saja yaitu

pendidikan dan pengetahuan, kepercayaan, mata pencaharian, organisasi sosial

masyarakat dan tehnologi. Pembahasan disesuaikan dengan tujun khusus penelitian.

4.1. Nilai dan Kepercayaan

Nilai dan norma menjadi pegangan seseorang dalam mengatur tingkah lakunya.

Norma menjadi ukuran, pedoman,aturan atau kebiasaan agar orang dapat melakukan

penilaian apakah sesuatu termasuk benar atau salah. Dalam hal kesehatan ibu dan

anak, perilaku yang terlihat masih cukup banyak diwarnai dengan religi ataupun

kepercayaan yang masih dianut. Di lokasi penelitian dengan masyarakat yang masih

memegang erat aturan agama (misal. Aceh, Bima dengan mayoritas pemeluk agama

Islam) maka tindakan yang mereka lakukan seringkali dikaitkan dengan nilai-nilai dalam

ajaran agama Islam. Sebagai misal, upacara empat bulan kehamilan, dikaitkan dengan

ajaran agama Islam bahwa roh ditiupkan pada usia janin 120 hari.

Upacara pemberian nama dan kelahiran bayi dikaitkan dengan ajaran Islam

telihat di lokasi penelitian yang mayoritas berpenduduk muslim. Adanya upacara

Aqiqoh berupa menyembelih hewan bagi bayi yang baru lahir, satu ekor bagi bayi

perempuan dan 2 ekor bagi bayi laki-laki. Hewan yang disembelih pada umumnya

adalah kambing. Aqiqoh ini dilakukan dengan adanya hadist yang diriwayatkan oleh

Tirmidzi, Rasulullah bersabda:”anak-anak tergadai (tertahan) dengan aqiqohnya,

disembelih hewan untuknya ada hari ketujuh dcukur kepalanya dan diberi nama”.

Oleh karena itu, dalam acara Aqiqoh yang diperoleh informasi selalu dikaitkan degan

ritual memotong rambut dan pemberian nama.

Nilai seringkali bermuatan normatif, sehingga meskipun seseorang adalah

pemeluk agama Islam, tetapi norma yang berlangsung di masyarakat kadangkala

tercampur dengan kepercayaan yang sudah mengakar di masyarakat yang dipengaruhi

oleh agama atau kepercayaan lain misalkan animisme atau Hindu. Masyarakat Parado-

Page 533: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

509

Bima meskipun menerapkan ajaran agama Islam, namun dalam perilaku nya

mencampurkan dengan kepercayaan lain. Mereka melakukan ajaran Islam seperti

Aqiqoh, tetapi juga melakukan upacara seperti empat bulanan, tujuh bulanan yang

bernuansa Hindu. Percampuran antara kepercayaan dari beberapa agama ini seringkali

sudah tidak dapat dibedakan lagi dan masyarakat tidak lagi mengaitkan dengan agama,

artinya baik pemeluk Muslim, Kristen atau Hindu sama–sama melakuan adat “tujuh

bulan”.

Kepercayaan tentang hal-hal yang secara rasional tidak dapat dipertanggung

jawabkan masih sering dilakukan, seperti tindakan membuka pintu dan jendela saat

proses persalinan berlangsung dengan maksud agar persalinan berjalan lancer dengan

terbukanya jalan lahir, pantangan melilitkan handuk di leher saat isteri hamil agar tidak

terjadi lilitan tali usat pada bayi dalam rahim, dan masih banyak lainnya. Semua

tindakan tersebut, dilakukan tanpa ada tuntunan agama yang mereka anut tetapi lebih

kepada kepercayaan yang telah berlangsung turun menurun sehingga menjadi sesuatu

yang sudah mendarah daging, dilakukan tanpa pertimbangan rasional lagi.

Tradisi-tradisi yang berlangsung masih banyak dilakukan masyarakat baik di

perdesaan daripada di perkotaan. Tradisi dikaitkan dengan masa kehamilan, persalinan

dan pasca persalinan hasil penelitian ini menunjukkan masih banyak dilakukan

khususnya pada masa kehamilan dan pasca persalinan seperti yang terlihat pada data

kuantitatif. Kepercayaan terhadap hal yang bersifat gaib masih banyak dijumpi

meskipun secara umum, kehidupan keagamaan juga dilakukan. Sebagai contoh

masyarakat desa di Gayo Lues, Bima, Landak, Lebak, masih mempercayai adanya

manusia beracun, roh-roh yang akan mengganggu kehamilan dan persalinan.

Masyarakat menghindarinya melalui larangan atau pantangan.

Page 534: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

510

Tabel 4.1.1 Distribusi Responden yang Melakukan Ritual/Upacara Saat Kehamilan, Persalinan, Pasca

Persalinan di 12 Kabupaten/Kota Tahun 2012

Sumber: Data Primer

Hasil penelitian menggambarkan bahwa pengetahuan masyarakat tentang

upacara untuk keselamatan, masyarakat desa lebih banyak yang percaya bahwa

upacara akan memberi keselamatan dibandingkan masyarakat di perkotaan.

Masyarakat kota yang dicirikan dengan sudah tidak terlalu memperhatikan tradisi,

tampaknya tidak terjadi di kota Cilego, Mataram, dan Ternate. Kemungkinan,

meskipun sudah tergolong perkotaan, tetapi masyarakat kota-kota tersebut sedang

terjadi pergeseran budaya dan tradisi masih melekat pada sebagian masyarakat karena

tradisi yang dilakukan tersebut adalah wujud budaya dari masyarakat setempat.

Berbeda di Banda Aceh, Makassar dan Pontianak, masyarakat cenderung tidak lagi

melakukan upacara tradisi lagi. Kota Aceh yang mengalami bencara Tsunami pada

akhir tahun 2004, selanjutnya banyak didatangi donor luar negeri dan masyarakat luar

Aceh, dapat menjadi salah satu keadaan yang berpengaruh. Kegiatan yang dilakukan

kepada ibu dan bayi saat ini hanya dikaitkan dengan ritual keagamaan. Kota Makassar

dan Pontianak, sebagai kota perdagangan kemungkinan terpapar dengan dunia luar

menjadi pengaruh utama terjadinya pergeseran budaya tradisional ke budaya modern.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat desa masih banyak

dikuasai oleh adat istiadat lama. Kebiasaan untuk melahirkan didampingi oleh dukun

merupakan adat yang sudah sangat lama dilakukan masyarakat desa. Meskipun bidan

Kab/Kota “Ya” Melakukan Ritual/Upacara (%)

Kehamilan Persalinan Pasca Salin

Kab. Lebak 65.7 47.8 85.1

Kota Cilegon 57.4 22.1 45.6

Kab. Bima 32.9 27.1 21.4

Kota Mataram 68.6 32.9 71.4

Kab. HalSel 70.0 38.0 4.0

Kota Ternate 47.1 38.6 48.6

Kab. Gayo Lues 58.2 49.1 54.5

Kota Banda Aceh 21.4 7.1 12.9

Kab. Landak 13.0 18.8 37.7

Kota Pontianak 24.3 12.9 20.0

Kab. Jeneponto 48.6 5.7 4.3

Kota Makasar 28.6 10.0 4.3

Page 535: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

511

sudah ditempatkan di desa dan mulai dipercaya untuk membantu persalinan, tetapi

dukun tetap diharapkan mendampingi proses persalinan baik sebelum sampai sesudah

persalinan. Hal ini karena interaksi sosial penduduk desa lebih intim dan langgeng

sehingga menimbulkan ikatan batin yang kuat antar warga desa. Dukun adalah bagian

dari warga yang sudah sangat mereka kenal dan percaya, sehingga pendampingan oleh

dukun memberikan ketenangan batin bagi ibu yang melahirkan maupun keluarganya.

Kepercayaan terhadap mistik atau gaib atau roh, seringkali mendorong

perilaku yang merugikan. Kepercayaan bahwa seorang ibu hamil tidak boleh melewati

kuburan (di Cirinten) menghalangi seorang ibu hamil untuk memeriksakan kehamilan

ke puskesmas. Ibu bersalin dipercaya memiliki bau wangi (di Landak) sehingga menarik

makhluk halus, sehingga untuk menghindarinya, ibu tidak boleh keluar rumah selama

40 hari. Kepercayaan ini dapat diduga mempengaruhi ibu dan bayi tidak memeriksakan

diri ke petugas kesehatan dan bayi tidak diimunisasi. Di Bima, larangan setelah lahir

bayi (neonatus) keluar dari rumah panggung sampai usia7 hari atau sampai dilakukan

upacara cukur rambut, dapat menjadi penyebab bayi terlambat diimunisasi BCG atau

vaksin hepatitis.

Mengenai unsur kebudayaan, dalam bukunya pengantar Ilmu Antropologi,

Koentjaraningrat, mengambil sari dari berbagai kerangka yang disusun para sarjana

Antropologi, mengemukakan bahwa ada tujuh unsur kebudayaan yang dapat

ditemukan pada semua bangsa di dunia yang kemudian disebut unsur-unsur

kebudayaan universal, antaralain : Bahasa, Sistem Pengetahuan, Organisasi Sosial,

Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi, Sistem Mata Pencaharian, Sistem Religi, dan

Kesenian. Dalam konteks Kesehatan Ibu dan Anak di lokasi penelitian khususnya di

desa, wujud-wujud budaya ini muncul dalam tradisi-tradisi yang secara turun temurun

telah dikenal oleh masyarakat dan masih berkembang sampai saat ini.

Adat istiadat tradisi yang dijumpai dalam penelitian ini juga dijumpai di

kelompok masyarakat yang lain. Keterlibatan keluarga masih sangat kuat dalam

pelaksanaan upacara. Meskipun di perkotaan juga melaksanakan upacara adat, namun

beberpa informan mengatakan hanya untuk meghormati orangtua yang

menganjurkan. Disamping itu, hal ini pada umumnya terjadi pada keluarga muda yang

belum mandiri, masih ada ketergantungan secara ekonomi maupun emosi kepada

Page 536: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

512

orangtua. Dapat dipahami, bahwa dengan adanya perubahan pengetahuan, perolehan

informasi, perubahan sosial ekonomi, menyebabkan pelaksanaan upacara semakin

berkurang di masyarakat perkotaan.

Masyarakat desa di lokasi penelitian masih sangat kuat terlibat dalam suatu

upacara. Ketidak pedulian akan menyebabkan dirinya tersingkir. Masyarakat Cirinten

akan berbondong-bondong menghadiri upacara ibu hamil 7 bulan atau aqiqoh bayi

yang baru lahir. Keterlibatan murni masyarakat tradisional dalam mendukung

pemeliharaan kesehatan juga tampak pada penduduk Iban di Kalimantan. Pada

upacara pengobatan dan persalinan tidak hanya melibatkan keluarga si sakit tetapi

seluruh penghuni rumah panjang yang berpenghuni sampai 12 unit keluarga. Seluruh

penghuni wajib mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan untuk upacara persalinannya

(Foster (1986:3). Hal ini terkait hasil penelitia ini yang menunjukkan bahwa gotong

royong dalam penyiapan upacara masih dilakukan masyarakat meskipun tidak banya.

Sudah menjadi kebiasaan di pedesan, tetangga akan saling membantu keluarga yang

memiliki hajatan selamatan atau upacara adat misalkan dengan membantu kegiatan di

dapur, menyumbang beras, gula, atau membawakan sesuatu kepada ibu yang bru

melahirkan. Pada ibu yang melahirkan, mereka saling mengunjungi dengan

memberikan sekedar uang dalam amplop.

Kontrol sosial pada suatu kelompok komunitas berupa adat dan agama masih

banyak dijumpai di masyarakat perdesaan. Kedekatan fisik yang terjadi pada penduduk

di desa telah meningkatkan peluang interaksi dan membentuk kegiatan bersama yang

memungkinkan pembentukan kelompok sosial. Oleh karena itu, seringkali di

masyarakat dilakukan kegiatan sosial yang kadang tidak masuk akal pemikiran

masyarakat kota yang lebih mengutamakan kepentigan pribadi/individual. Masyarakat

desa seringkali melakukan upacara selamatan yang terkadang menyedot biaya yang

tinggi dibandingkan dengan penghasilannya. Kegiatan ini tetap dilakukan untuk

mengikuti kebiasaan setempat sehingga tetap diterima dalam kelompok yang juga

melakukan hal sama.

Upacara ini masih sangat umum dilakukan di daerah pedesaan. Keadaan ini

sesuai dengan hasil penelitian Lestari Handayani (1998), yang menemukan masih

tingginya pelaksanaan upacara di Tulung Agung – Jawa Timur. Ibu yang melahirkan

Page 537: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

513

ditolong dukun, cenderung lebih banyak yang melakukan upacara, pantangan dan

selamatan disbanding yang ditolong bidan. Hasil uji statistik, menunjukan bahwa ibu

yang melaksanakan upacara tradisi cenderung memilih penolong persalinan dukun.

Adat atau ritual yang hampir mirip dilakukan di 12 lokasi penelitian adalah upacara

kehamilan saat usia 7 bulan. Perhatian keluarga terhadap kehamilan usia 7 bulan

dilakukan dengan melakukan upacara berupa mengundang untuk melakukan do’a dan

ritual adat yang pada intinya mengharapkan keselamatan bagi ibu dan bayi.

Sebagaimana diketahui bahwa dalam ilmu kedokteran usia kehamilan ditentukan

dalam waktu minggu yang dibagi dalam 3 trimester. Seorang bayi diperkirakan sudah

tumbuh sempurna pada usia kehamilan 28 minggu (7 bulan) ke atas sehingga bila lahir

sudah mampu untuk bertahan hidup. Bayi secara normal akan lahir pada usia

kehamilan 38-40 minggu, di bawah usia tersebut akan disebut pre mature. Jadi, dalam

hal ini, perhatian masyarakat terhadap kehamilan sudah cukup baik, karena

menunjukan ada kehati-hatian dan kepedulian terhadap ibu hamil. Pandangan budaya

etnis Betawi di desa Ragunan mempercayai upacara nujuh bulan kehamilan untuk

mendapatkan rasa aman, mensyukuri nikmat dan memohon keselamatan bagi bayi

yang ada dalam kandungan dan kelak menjadi anak saleh, berbudi luhur dan patuh

pada orang tua (Gularso , Endang P, 1998) bahwa usia kandungan tujuh bulan adalah

usia tua, sedang usia kehamilan delapan bulan adalah muda.

Namun sayang, perhatian ini tidak selalu diiringi dengan perilaku kesehatan

yang benar. Masih cukup banyak ibu hamil yang tidak melakukan pemeriksaan

kehamilan secara teratur sesuai dengan saran petugas kesehatan yaitu minimal 4 kali

dengan frekuensi 1 x pada trimester I, 1 x pada trimester II dan 2 x pada trimester III.

Perhatian ini juga terkait dengan kegiatan sehari-hari ibu. Sebagian ibu hamil masih

bekerja dan melakukan pekerjaan berat sampai mendekati persalinan. Bahkan

sebagian ibu, terpaksa melahirkan di kebun atau perkebunan yang jauh dari

pemukiman penduduk dan ditolong oleh dukun karena harus membantu suami.

Pantangan tentang makanan juga masih dijumpai. Penelitian Lestari Handayani (1997)

di Tulung Agung-Jawa Timur menemukan adanya pantangan makanan bagi ibu hamil

demikian juga dengan penelitian Alex J. Ulaen di Sangihe Talaud-Sulawesi Utara (1998).

Dipercaya bahwa makanan ikan laut tertentu (gurita, sotong, pari, hiu) harus dipantang

Page 538: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

514

agar bayi yang lahir tidak ada kelainan bentuk tubuh yang aneh seperti bentuk ikan

tersebut. Meskipun jarak waktu penelitian hampir 20 tahun, namun dalam penelitian

ini juga tetap dijumpai pantangan makanan bagi ibu hamil dan psca bersalin yang

dapat merugikan kesehatan ibu dan bayi.

Banyaknya ibu yang kurang menyadari pentingnya pemeriksaan kehamilan,

menyebabkan tidak terdeteksinya risiko tinggi yang mungkin dialami mereka.

Akibatnya, risiko baru diketahui saat persalinan, dan tentu saja dapat berakibat fatal

yaitu kematian baik ibu atau bayi. Dalam penelitian ini, pengetahuan masyarakat

tentang kehamilan tampaknya cukup bagus dan keadaan ini hamper merata disemua

tempat meskipun ada perbedaan tingkat pendidikan ibu yang cukup tinggi. Teori

perilaku banyak yang menyatakan adanya hubungan antara pengetahuan dengan

perilaku pemeriksaan kehamilan (NIH, 2005).

Kepercayaan sebagai unsur budaya tidaklah mudah untuk mengubahnya. Unsur

ini sulit diterima masyarakat khususnya bila menyangkut ideologi dan falsafah hidup.

Di beberapa budaya yang dipelajari dalam penelitian ini, penerimaan terhadap

pengobatan modern atau medis sudah cukup baik termasuk penerimaan terhadap

pelayanan bidan yang menangani persalinan dan perawatan dengan cara-cara

moderen. Dalam penerimaan pelayanan medis, generasi muda (ibu-ibu muda) lebih

mudah untuk menerimanya karena pada diri mereka norma-norma tradisi belum

menetap dalam jiwa. Keterpaparan mereka terhadap dunia luar melalui jaringan

komunikasi seperti televisi, internet, telepon, telah memberikan wawasan baru

disamping wawasan yang diperoleh dari lingkungan desa. Berbeda dengan generasi tua

yang telah lama mengenal cara-cara tradisional secara mendarah daging, sehingga

mereka lebih sulit menerima cara-cara baru yang dibawa oleh bidan. Unsur tradisi ini

mereka teruskan ke generasi berikutnya (ibu-ibu muda) yang mungkin ‘terpaksa’

mengikuti anjuran orangtua mengingat mereka masih tergantung baik secara fisik,

financial maupun psikis dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam pemilihan

penolong persalinan.

Berbeda dengan kelompok masyarakat perkotaan yang lebih bersifat

individualistik sehingga kedekatan satu sama lain sudah berkurang. Status sosialnya

Page 539: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

515

yang heterogen dengan mata pencaharian penduduk yang berbagai macam serta

kompetitif, tidak bergantung kepada alam membuat masyarakat kota lebih dinamis.

Pada umumnya keterikatan terhadap tradisi sangat kecil. Masyarakat kota

Banda Aceh, Pontianak dan Makasar sudah jarang yang melakukan ritual dan upacara.

Di Banda Aceh sudah sangat sulit mendapatkan dukun demikian juga di Pontianak.

Bahkan masyarakat etnik Madura yang tinggal di wilayah tersebut harus

mendatangkan dukun dari daerah asalnya untuk membantu ibu bersalin agar dapat

melakukan adat istiadat yang biasa dilakukan di daerahnya, bahkan untuk melakukan

kontrol sosial diperlukan suatu kekuatan lain berupa hukum dan pendapat umum.

Namun demikian, kota Mataram berbeda keadaannya. Meski termasuk kota yang

banyak didatangi turis dan termasuk daerah tujuan wisata, ternyata cukup tinggi

melakukan ritual adat istiadat serta masih banyak dukun yang dijumpai diperkotaan.

Hal ini ada kemungkinan mempengaruhi keberadaan dukun di tengah masyarakat.

Sarana dan prasarana serta fasilitas yang cukup banyak tersedia didukung

pendidikan yang umumnya lebih tinggi dari masyarakat desa serta paparan informasi

yang mudah menyebabkan masyarakat kota percaya dengan manfaat teknologi dan

ilmu pengetahuan. Hal ini memudahkan masyarakat lebih mudah menerima

pembaharuan seperti keberadaan bidan dengan teknis kebidanan modern.

Ada tujuh wujud atau unsur budaya yaitu sistem mata pencaharian, sistem

teknologi (peralatan dan perlengkapan hidup), sistem kekerabatan dan organisasi

sosial, bahasa, kesenian, sistem kepercayaan, serta sistem ilmu dan

pengetahuan(Ratna, 2008). Dari contoh-contoh dan fakta yang dikumpulkan dalam

penelitian ini terlihat bahwa sistem kepercayaan sebagai salah satu wujud budaya,

masih nyata terlihat dan muncul dalam tradisi-tradisi yang secara turun temurun telah

dikenal oleh masyarakat. Meskipun peradaban modern mulai masuk ke desa, teknologi

modern juga sudah dikenal tetapi kepercayaan berupa adat istiadat masih berkembang

sampai saat ini dan mempengaruhi perilaku dalam upaya kesehatan ibu dan anak.

Dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 52 Tahun 2009 tentang

Kependudukan, menyebutkan bahwa ‘penduduk memiliki hak untuk mempertahankan

dan mengembangkan nilai-nilai adat yang hidup dalam masyarakat’. Dalam hal ini,

pemerintah wajib mendukung dengan memfasilitasi kebutuhan pelestarian budaya.

Page 540: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

516

Meskipun menurut pandangan medis perilaku tradisional masyarakat tersebut

dianggap irasional, namun adat istiadat tersebut telah memberikan ketenangan batin

bagi seseorang yang akan berdampak positip terhadap kondisi psikis. Pada proses

persalinan terutama pada persalinan pertama akan menimbulkan stress fisik dan

psikis. Kondisi psikis yang baik akan berdampak positip terhadap kekuatan tubuh

menghadapi rasa nyeri pada proses persalinan. Teknik penanganan terhadap stress

pun berkembang semakin banyak. Menurut teori yang berkembang saat ini yaitu

psikoneuroimunologi penanganan stress dapat dilakukan dengan cara ini. Cara ini

berpijak pada aliran utama psikologi seperti psikoanalisis, perilaku dan humanistik,

hingga pada penggalian pada konsep-konsep tradisional dan spiritual seperti

penggunaan doa, dzikir, terapi air, terapi seni dan lain sebagainya(Perawat on line,

http://ppnisumenep.org/psikoneuroimunologi). Kehamilan dan persalinan merupakan

keadaan yang beresiko terhadap kesehatan ibu, sehingga kondisi psikis (disamping

kondisi fisik yang prima) yang baik akan semakin mendukung ketahanan tubuh

menghadapi kehamilan dan persalinan. Dengan demikian, kepercayaan terhadap adat

istiadat tidak selalu bersifat negatif terhadap upaya KIA, bahkan sebagian adat

mendukung upaya menjaga keselamatan ibu dan bayi. Sekarang, tergantung

bagaimana masyarakat memaknai adat istiadat, pantangan dan anjuran yang masih

dipercayai. Mengenai wujud kebudayaan ini, Elly M.Setiadi dkk (2008) berupa budaya

ideal mempunyai fungsi mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada

tindakan, kelakuan dan perbuatan manusia. Budaya ini berupa.sistem sosial

menyangkut tindakan dan kelakuan berpola dari manusia untuk melakukan upaya

persalinan aman.

4.2.Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Ibu

Undang-Undang RI No. 36 tahun 2004 tentang Kesehatan mencantumkan

Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) adalah pelayanan kesehatan ibu dan anak yang meliputi

pelayanan ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, keluarga berencana, kesehatan reproduksi,

pemeriksaan bayi, anak balita dan anak prasekolah sehat. Untuk itu dalam

pembangunan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), pelayanan persalinan merupakan

program pemerintah yang seharusnya dinikmati oleh banyak anggota masyarakat yang

Page 541: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

517

membutuhkan.

Strategi Pembangunan Kesehatan (Kementerian Kesehatan RI, 2011) yaitu

meningkatkanakses masyarakat tehadap pelayanan kesehatan yang

berkualitas.Sasaran utama strategis adalah 1) Setiap orang miskin mendapatkan

pelayanan kesehatan yang bermutu; 2) Setiap bayi, anak, dan kelompok masyarakat

risiko tinggi terlindungi dari penyakit; di setiap desa tersedia SDM kesehatan yang

kompeten; 3) Di setiap desa tersedia cukup obat esensial dan alat kesehatan dasar; 4)

Setiap Puskesmas dan jaringannya dapat menjangkau dan dijangkau seluruh

masyarakat di wilayah kerjanya; 5) Pelayanan kesehatan di setiap rumah sakit,

Puskesmas dan jaringannya memenuhi standar mutu.

Tingkat pendidikan formal yang ada di responden perdesaan pada penelitian ini

umumnya lebih rendah dibandingkan resonden di perkotaan kecuali di kabupaten

Bima. Pentingnya pendidikan di mata masyarakat telah mendorong masyarakat di

Parado-Bima untuk berusaha mencapai tingkat pendidikan dengan memprioritaskan

dalam pengaturan pengeluaran keluarga. Hasil wawancara dengan responden terkait

dengan pengetahuan tentang pemeriksaan kehamilan, minum tablet Fe saat hamil

suntikan Tetanus Toksoid dapt diduga tidak terkait dengan pendidikan responden

(pendidikan baik bila lulus SMA ke atas). Secara keseluruhan di desa maupun kota,

pengetahuan tentang kehamilan cukup baik khususnya tentang pentingnya tablet Fe

maupun perlunya pemeriksaan kehamilan minimal 4 kali selama kehamilan (tanpa

memperhitungkan trimester kehamilan). Pengetahuan tentang suntikan TT kurang baik

bahkan di kabupaten Jeneponto dan Kota Makassar menunjukkan angka yang tidak

menggembirakan.

Teori perilaku dikatakan bahwa pengetahuan memiliki peran dalam perilaku

seseorang namun masih banyak faktor lain yang berpengaruh. Penelitian sejenis oleh

Lestari Handayani (1997) menunjukan bahwa uji statistik menunjukan bahwa

responden dengan pengetahuan ‘benar’ memiliki hubungan bermakna terhadap

pemilihan penolong persalinan. Penelitian ini juga menunjukan pengetahuan

responden yang ‘baik’ dan bila dikaitkan dengan pemilihan penolong persalinan

terlihat bahwa bidan menjadi pilihan sebagian besar responden.

Page 542: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

518

Tabel 4.2.1 Distribusi Tingkat Pendidikan Formal dan Pengetahuan tentang KIA

Saat Kehamilan Responden di 12 Kabupaten/Kota Tahun 2012

Kab/Kota n Pendidikan Formal Baik (%)

Pengetahuan

ANC >=4x (%)

Minum Tablet Fe (%)

TT sebelum persalinan (%)

Kab. Lebak 67 7.5 79.1 98.5 64.2

Kota Cilegon 68 57.4 64.3 98.5 57.4

Kab. Bima 70 38.6 64.7 94.3 40.0

Kota Mataram 70 22.9 84.3 98.6 44.3

Kab. Halmahera Selatan 50 24.0 75.7 80.0 72.0

Kota Ternate 70 71.5 90.0 98.6 52.9

Kab. Gayo Lues 55 14.7 85.5 96.4 20.0

Kota Banda Aceh 70 72.8 74.3 92.9 45.7

Kab. Landak 69 31.8 79.7 97.1 44.9

Kota Pontianak 70 52.9 50.0 100.0 67.1

Kab. Jeneponto 70 21.4 97.1 100.0 0.0

Kota Makasar 70 47.1 85.7 95.7 35.7

Sumber: Data Primer

Hasil data kualitatif, juga menyatakan bahwa kepercayan terhadap kompetensi

bidan sudah diakui disbanding dukun dalam menolong persalinan. Diperkirakan

penerimaan informasi dipengaruhi keaktifan petugas kesehatan. Sudah meluasnya

pemanfaatan teknologi informasi seperti televisi, internet, radio, telepon genggam

(hp), di desa atau kota, diakui bidan, dukun, kader maupun masyarakat telah

membantu tersampaikannya informasi kesehatan ke masyarakat dan memudahkan

komunikasi diantara mereka.

Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan merupakan salah satu upaya

menurunkan AKI dan AKB. Pemanfaatan Jampersal mensyaratkan persalinan ditolong

tenaga kesehatan dan dilakukan di fasilitas kesehatan. Pengetahuan tentang

keamanan persalinan ternyata hampir semua responden di 12 lokasi penelitian

memiliki pengetahuan yang cukup bagus tentang “persalinan aman bila ditolong

bidan”. Namun sikap tidak setuju terhadap kompetensi bidan yang lebih baik dari

dukun yaitu pada responden di Halmahera Selatan dan Gayo Lues dan bila dirunut,

mereka tetap memilih nakes sebagai penolong persalinan. Bila dilihat dari kondisi

Page 543: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

519

daerah, maka keempat lokasi penelitian ini persalinan nakes sekitar 60% (Lebak,

Landak, Gayo Lues, Halsel) termasuk daerah yang sulit akses ke bidan dan faskes.

Terlihat hal yang berbeda adalah Bima, meskipun lokasi sulit, tetapi tingkat

pendidikan dan pengetahuan yang baik ternyata dapat lebih memilih memanfaatkan

bidan sebagai penolong persalinan. Dalam hal ini, dapat diduga bahwa masyarakat

desa sudah memiliki pengetahuan cukup dan sudah mengakui kompetensi bidan

sebagai penolong persalinan. Pengetahuan tentang persalinan aman dapat dilihat

secara terperinci pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.2.2.

Distribusi Tingkat Pendidikan Formal dan Pengetahuan, Sikap, Praktektentang Persalinan Aman pada Responden di 12 Kabupaten/Kota Tahun2012

Kab/Kota n Pengetahuan (%) Sikap (%) Praktek (%)

Aman ditolong Bidan

Setuju Bidan lebih kompeten

dari dukun

Nakes Penolong Persalinan

Akhir

Kab. Lebak 67 94.0 41.8 64.2

Kota Cilegon 68 98.5 76.5 100.0

Kab. Bima 70 90.0 50.0 97.1

Kota Mataram 70 94.3 82.9 92.9

Kab. HalSel 50 66.0 6.0 62.0

Kota Ternate 70 95.7 82.9 92.9

Kab. Gayo Lues 55 83.6 10.9 65.5

Kota Banda Aceh 70 92.9 82.9 100.0

Kab. Landak 69 71.0 88.4 56.5

Kota Pontianak 70 100.0 78.6 97.1

Kab. Jeneponto 70 92.9 80.0 82.8

Kota Makasar 70 94.3 72.9 100.0

Sumber: Data Primer

Seringkali pihak medis meng ‘klaim’ bahwa persalinan “aman” bila dilakukan

oleh tenaga medis (bidan atau dokter) di fasilitas kesehatan baik puskesmas/klinik

bersalin atau rumah sakit. Namun sebenarnya peru diketahui definisi “aman” bagi

wanita dalam melahirkan agar sinkron antara ‘provider side” dan ‘consumer side’.

Dibeberapa lokasi penelitian, jumlah persalinan yang dilakukan di rumah masih cukup

tinggi seperti di Halmahera Selatan (90,0%), Gayo Lues (89,1%), Landak (78,3%), Lebak

Page 544: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

520

(67,2%), Jeneponto (48,6%), Bima (42,9%). Bila dilihat dari pengetahuan tentang

keamanan persalinan di rumah tampaknya ada kesesuaian antara pengetahuan yang

‘kurang’ tentang keamanan persalinan di rumah dengan perilaku persalinan di rumah.

Tabel 4.2.3 Distribusi Responden yang memiliki Pengetahuan “benar” tentang tidak aman melahirkan di

rumah dan Tempat Persalinan di 12 Kabupaten/Kota Tahun 2012

Kabupaten/ Kota n Pengetahuan “benar” (%)

Tempat Persalinan (%)

Tak Aman Melahirkan di Rumah

Persalinan Terakhir di Faskes

Lahir Rumah

Kab. Lebak 67 29.9 32,8 67.2

Kota Cilegon 68 57.4 69,1 30.9

Kab. Bima 70 52.9 57,1 42.9

Kota Mataram 70 87.1 92,9 5.7

Kab. HalSel 50 64.0 10,0 90.0

Kota Ternate 70 77.1 70,0 28.6

Kab. Gayo Lues 55 9.1 10,9 89.1

Kota Banda Aceh 70 65.7 94,3 5.7

Kab. Landak 69 29.0 20,3 78.3

Kota Pontianak 70 88.6 97,1 .0

Kab. Jeneponto 70 65.7 51,4 48.6

Kota Makasar 70 94.3 92,9 .0

Sumber: Data Primer

Masih besarnya persalinan di rumah ini bila merujuk kondisi di Inggris

menunjukan posisi mirip bahkan lebih rendah (Landak, Gayo Lues, Halmahera Selatan)

dengan kondisi persalinan di Inggris tahun 1930 dengan 33,2% persalinan di rumah.

Perkembangan di Inggris menunjukan peningkatan persalinan di RS dari tahun ke

tahun (Hunt, Sheila, 2006). Pergeseran tempat persalinan di rumah ke fasilitas

kesehatan tersebut kurang terlihat di daerah perdesan penelitian ini kemungkinan

terutama karena lokasi yang sulit transportasi. Bukti lain, di kota-kota dalam penelitian

ini yang memiliki sarana transportasi lebih baik, responden cenderung memilih

melahirkan di faskes daripada responden yang tinggal di desa.

Keluhan mahalnya biaya persalinan bidan menjadi salah satu masalah seperti

yang terungkap di kabupaten Lebak. Sejak adanya pelayanan gratis melalui Jampersal,

diakui membantu meringankan beban biaya. Melihat peluang tersebut, maka bila

Jampersal atau adanya jaminan biaya lain yang memberikan pelayanan gratis dapat

Page 545: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

521

berkelanjutan maka kemungkinan akan terjadi pergeseran perilaku dapat lebih cepat

terjadi. Mengubah perilku membutuhkan waktu karena perilaku KIA masyarakat

merupakan salah satu wujud budaya. Wujud kebudayaan ini, menurut Elly M.Setiadi

dkk (2007), sifatnya abstrak, tak dapat diraba, dipegang ataupun difoto, dan

tempatnya ada di alam pikiran warga masyarakat dimana kebudayaan yang

bersangkutan itu hidup. Budaya ideal berupa melahirkan di faskes ditolong oleh nakes

mempunyai fungsi mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada tindakan,

kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat sebagai upaya memperoleh

persalinan aman. Kepercayaan yang diyakini masyarakat desa atau kota mendasari

perilaku termasuk kaitannya dengan kesehatan.

Pengetahuan, sikap yang baik dan mendukung bukan harga mati yang mampu

mendorong seseorang untuk bertindak positif. Masih banyak faktor lain yang

mendukung perilaku khususnya dalam upaya persalinan. Alam dan lingkungan yang

sulit telah membatasi komunikasi secara langsung bidan dan masyarakat, sehingga

sulit untuk mengakses bidan pada saat dibutuhkan. Keberadaan hp dengan teknologi

yang mudah dan terjangkau, memungkinkan masyarakat desa berkomunikasi misalkan

memanggil bidan dan dukun sehingga dapat didatangkan pada waktu dibutuhkan.

4.3. Pemilihan Penolong Persalinan (Terkait Sosial Budaya) dan Pemanfaatan

Pelayanan Jampersal

Pertolongan persalinan menurut Sarwono P. (1999: 273) bertujuan untuk

membantu mengelola persalinan secara sistematis, benar dan aman, sehingga ibu dan

bayi selamat dengan trauma sekecil mungkin. Bidan adalah tenaga kesehatan yang

diharapkan mampu melaksanakan tujuan tersebut dengan cara ditempatkan di fasilitas

kesehatan yang terdekat kepada masyarakat. Pemilihan bidan sebagai penolong

persalinan terlihat sudah cukup merata di desa dan kota lokasi penelitian. Hasil

penelitian menunjukan bahwa meski penolong sudah bergeser ke bidan namun

pelayanan dukun tetap dibutuhkan khususnya untuk perawatan kehamilan dan pasca

persalinan.

Page 546: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

522

Fakta di beberapa lokasi penelitian menunjukkan masih banyak ibu maupun

suami dan tokoh masyarakat menganggap bahwa kehamilan sebagai hal biasa dan

kodrati. Mereka merasa tidak perlu memeriksakan diri ke bidan atau dokter. Banyak

dijumpai khususnya di tempat dukun masih banyak dijumpai, ibu hamil memeriksakan

kehamilan dukun dengan alasan dukun bisa membetulkan posisi bayi dalam

kandungan. Perilaku ibu dalam pencarian perawat atau penolong pada masa

kehamilan, persalinan dan pasca persalinan merupakan salah satu wujud budaya

kesehatan. Budaya yang diwujudkan dalam bentuk perilaku dinamakan sistem sosial,

karena menyangkut tindakan dan kelakuan berpola dari manusia itu sendiri.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa di daerah pedesaan masih ada yang

lebih memilih dukun daripada bidan sebagai penolong persalinan. Pemilihan dukun

bersalin tidak banyak bergeser dari penelitian lain yang sudah pernah dilakukan.

Beberapa alasan antara lain lokasi yang dekat dengan tempat tinggal, mengerti dan

memahami adat, mau merawat ibu dan bayi baik saat kehamilan sampai dengan

persalinan, biaya yang terjangkau (Wahit Iqbal Mubarak, 2012). Pemilihan penolong

persalinan sangat erat kaitannya dengan rasa percaya terhadap penolong. Dalam

sistem sosial, terdapat aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi dan berhubungan

serta bergaul satu dengan lainnya seperti dukun dan warga di sekitarnya. Di beberapa

kabupaten lokasi penelitian, masyarakat beranggapan dukun adalah orang yang

dipercaya dan dianggap tepat membantu ibu saat kehamilan dan persalinan. Dukun

adalah orang yang sudah sangat mereka kenal, disamping dukun menolong dengan

biaya yang terjangkau menjadi pendorong mereka memilih dukun.

Secara rinci tujuan pertolongan persalinan yaitu pertama, mempersiapkan fisik

dan mental ibu dalam menghadapi proses persalinan. Kedua, mendeteksi secara dini

kelainan yang timbul dalam proses persalinan. Ketiga, mengelola persalinan dengan

benar, keempat, mengurangi komplikasi dan trauma akibat kelahiran, dan kelima,

menjalin kerjasama yang baik antara penolong dan ibu (IBI, 1993). Disamping itu,

pemahaman dukun terhadap pelaksanaan adat dan ritual menjadi salah satu

pendorong ditambah kesediaan dukun merawat ibu dan bayi setelah persalinan

dengan variasi waktu dan lama pelaksanaanmenyesuaikan adat setempat. Mereka

bahkan bersedia membantu merawat ibu dan bayi selama 44 hari dengan datang

Page 547: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

523

setiap hari ke rumah ibu bersalin, sesuatu pelayanan yang tidak mungkin diharapkan

dari bidan. Jadi dalam hal ini, dukun telah turut membantu ibu hamil mempersiapkan

fisik selama kehamilan dan khususnya mental pada saat menegangkan yaitu proses

persalinan. Dukun memberikan wejangan masalah adat istiadat, perilaku yang harus

dilakukan dan yang dihindari sehingga memberikan ketenangan jiwa. Sebagaimana

dikemukakan oleh Grantley Dick-Read dalam Hunt, Sheila (2006) tentang pendekatan

psikologis untuk relaksasi yang sangat membantu meredakan nyeri secara alami dalam

proses persalinan. Disamping itu, anggapan kemampuan dukun mendeteksi gangguan

letak janin dan mengaturnya kembali, merupakan upaya yang dihrapkan masyarakat

(tujuan 2), serta menjadi jembatan antara ibu dan bidan pada pertolongan kemitraan

yang banyak dilakukan (tujuan 5).

Fakta yang ditemukan dalam penelitian ini mirip dengan penelitian Lestari

Handayani (1997) yang melihat keterkaitan penolong persalinan dengan kepercayaan.

Secara bermakna, terbukti bahwa responden pelaksana tradisi terkait kehamilan dan

peralinan cenderung memilih dekun sebagai penolong persalinan. Di Jawa Barat,

dalam suatu penelitian ditemukan alasan yang sama. Pemilihan dukun beranak (paraji)

sebagai penolong persalinan disebabkan alasan yang hampir sama yaitu karena dukun

sudah dikenal secara dekat oleh masyarakat, biaya pelayanan yang murah, mengerti

dan dapat membantu dalam upacara adat yang berkaitan dengan kelahiran anak serta

merawat ibu dan bayi sampai 40 hari (Meiwita B. Iskandar. et al. 1996).

Hasil FGD penelitian ini mengungkapkan bahwa masih ada pandangan bahwa

dukun memiliki kompetensi yang sama dengan bidan dalam menolong persalinan

sehingga mendorong memilih dukun sebagai penolong persalinan. Persalinan adalah

proses alamiah, merupakan anggapan yang umum dan diakui. Dengan demikian, ada

yang beranggapan bahwa bayi dan plasenta dapat lahir dengan sendirinya sehingga

keberadaan bidan hanya dibutuhkan untuk memotong tali pusat. Sedangkan dalam

proses persalinan, dukun lebih diharapkan memberikan kekuatan batin dan

memberikan arahan kepada ibu dalam menjalani proses alamiah tersebut.

Kebutuhan akan pelayanan dukun meskipun persalinan ditolong bidan yang

dijumpai pada penelitian ini tampaknya tidak banyak berbeda dibandingkan penelitian

oleh Lestari pada tahun 1994 di Tulung Agung (Lestari Handayani, 1997). Bidan

Page 548: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

524

seringkali tidak diikutkan dalam kegiatan upacara, sebagai gantinya mereka

mengundang dukun untuk membacakan do’a dan mantera, memimpin pelaksanaan

upacara dan memberikan pemahaman tetang makna upacara adat.

Disamping itu, geografi tempat tinggal yang sulit dan jauh dari fasilitas

kesehatan menyebabkan keterbatasan jangkauan pelayanan kesehatan di daerah-

daerah tertentu. Kondisi ini menjadi mendorong masyarakat desa dengan fasilitas

kehidupan dan sarana trasportasi terbatas cenderung memilih dukun sebagai

penolong persalinan. Kondisi alam sebagai penyebab sulitnya akses pelayanan bidan

dijumpai di Tulung Agung, sehingga masyarakat memilih dukun untuk menolong

persalinan (Lestari Handayani, 1997).

Persalinan yang diakui sebagai proses ‘alamiah’ terkadang mengalami hambatan

dalam perjalanannya. Pada proses yang ‘aman’ maka persalinan akan berlangsung

dengan sukses yaitu ibu sehat dan bayi lahir selamat. Pada proses yang ‘abnormal’

hasil persalinan sangat ditentukan oleh penolong persalinan. Kurang seimbangnya

interaksi antara kondisi kesehatan ibu hamil dengan kemampuan penolong persalinan

sangat menentukan hasil dari suatu persalinan apakah kematian atau bertahan

hidup. Pada keadaan ini, seringkali persalinan harus dilakukan di fasilitas kesehatan

yang cukup lengkap peralatan dan tenaga ahlinya (dokter/dokter spesialis kebidanan).

Adanya budaya berunding masih banyak dilakukan dan budaya ini dapat

mengakibatkan terjadi keterlambatan pertolongan persalinan yang dapat berakibat

fatal pada ibu bila keputusan tidak segera diambil. Kematian ibu bersalin mendapat

tanggapan yang berbeda-beda. Di perkotaan, kematian ibu dianggap merupakan

tanggung jawab pihak bidan/dokter sebagai penolong persalinan karena pada

umumnya mereka mempercayakan kepada tindakan medis. Masih banyak daerah yang

menganggap kematian ibu dalam persalinan adalah suatu yang wajar bahkan

masyarakat desa cenderung pasrah bahkan beranggapan merupakan jalan menuju

syurga bagi si ibu. Tetapi penelitian lain mengemukakan bahwa ada juga yang

menganggap kematian ibu sebagai suatu peristiwa yang mengerikan karena arwahnya

dapat menjadi leak atau kuntilanak (Meiwita B.,1996).

Peralihan dari persalinan ”alami” di rumah yang diarahkan ke fasilitas kesehatan

sebenarnya merupakan suatu pergeseran seperti terungkap dalam penolakan

Page 549: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

525

perempuan Inggris terhadap ”kealamiahan” persalinan karena keinginan melahirkan di

Rumah Sakit. Beberapa hal yang akan diperoleh perempuan bila melahirkan di RS,

antara lain mendapatkan obat pereda nyeri akibat proses persalinan dan tersedianya

berbagai tehnik paliatif (Hunt, Sheila, 2006). Hal ini karena telah dikembangkan obat-

obatan pereda nyeri yang dapat dimanfaatkan dalam persalinan. Bahkan ada

kecenderungan persalinan dengan tindakan bedah Sectio Caesar berdasar permintaan

ibu karena berbagai alasan. Keuntungan lain adalah, ibu pasca persalinan dapat

beristirahat beberapa hari untuk pemulihan kesehatan dalam arti untuk

’membebaskan diri dari tanggung jawab dan tekanan dalam rumah tangga’ (Hunt,

Sheila, 2006). Sebagaimana diketahui, di beberapa keluarga, ibu adalah penanggung

jawab urusan rumah tangga tanpa memedulikan kondisinya setelah melahirkan. Di

beberapa budaya ibu bersalin dilakukan di tempat persalinan khusus yang terpisah dari

pemukiman penduduk.

Pemanfaatan Jampersal antara lain terhambat oleh persyaratan berupa KTP

(Kartu Tanda Penduduk) yang seharusnya dimiliki oleh setiap penduduk yang berusia

17 tahun ke atas. Menilik Undang-undang yang berlaku, penduduk memiliki hak untuk

mendapat identitas diri sebagai warganegara sesuai dengan ketentuan undang-undang

(UU Kependudukan no 52, 2009). Dari pengamatan dan hasil FGD, masih banyak

penduduk belum memiliki kesadaran pentingnya KTP sebagai identitas diri. Penduduk

tidak memiliki KTP terjadi khususnya penduduk yang tinggal di desa terpencil

sedangkan di kota terjadi pada penduduk musiman (di perkotaan) yang tidak memiliki

Kartu Penduduk Sementara. Alasan yang dikemukakan antara lain proses pengurusan

yang panjang, dirasakan berbelit dan biaya yang harus ditanggung, sehingga untuk

memenuhi persyaratan sebagai peserta Jampersal mereka harus menggantinya

dengan surat domisili yang dapat diperoleh di tingkat Kelurahan/kantor desa. Diakui

(FGD) sebenarnya persyaratan ringan karena mereka bisa memperoleh pelayanan

meskipun bukan penduduk setempat (Kemkes, 2011). Persyaratan tersebut meskipun

tampaknya ringan namun menyebabkan keengganan. Proses yang lama, dianggap

berbelit dan membutuhkan biaya menyebabkan sebagian keluarga memutuskan tidak

memanfaatkan Jampersal dan beralih ke dukun terdekat.

Berdasar pengakuan responden penelitian tentang biaya pelayanan KIA oleh

Page 550: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

526

nakes (bidan), yang dibiayai Jampersal cukup besar di kabupaten Lebak, Bima,

Jeneponto, kota Mataram. Sedang di tempat yang lain cenderung rendah (Lihat tabel

4.3.1). Kurangnya informasi tentang Jampersal merupakan salah satu alasan rendahnya

pemanfaatan Jampersal sesuai dengan hasil wawancara maupun FGD. Masyarakat

kurang memahami persyaratan Jampersal, siapa saja yang berhak, pelayanan yang bisa

diperoleh, bahkan sebagian mereka sama sekali belum pernah mendengar tentang

Jampersal. Masyarakat hanya tahu bahwa ada pelayanan kesehatan gratis, yang

dianggap sebagai dana Jamkesmas. Masyarakat sangat mendukung pelayanan

persalinan karena sebagian menganggap bahwa pelayanan ke nakes tergolong mahal

(sekitar 700 ribu sampai satu juta rupiah). Bahkan di Pontianak terjadi kecenderungan

masyarakat langsung ke RS untuk bersalin karena jaraknya cukup dekat dari rumah.

Pilihan tersebut sesuai dengan pandangan masyarakat tentang fasilitas pelayanan

seperti polindes/poskesdes dan puskesmas yang dianggap secara fisik kurang

memuaskan.

Pemerintah yang mengupayakan untuk menjamin pelayanan persalinan melalui

Jampersal, tampaknya harus mawas diri agar upaya tersebut dapat dimanfaatkan

secara maksimal. Adanya pengakuan ”tidak paham tentang Jampersal” oleh suami dan

tokoh masyarakat (FGD) mengindikasikan sosialisasi Jampersal kurang maksimal. Tidak

mudah mengubah pilihan penolong persalinan meskipun biaya gratis melalui

Jampersal telah disiapkan. Kendala budaya dapat menjadi kendala peralihan penolong

persalinan seperti tercermin dari penelitian di Papua.Suatu penelitian pada suku

Amungme dan Kamoro Kabupaten Mimika Papua menunjukkan bahwa perilaku

memilih penolong persalinan didasari atas budaya kedua suku. Kendala untuk minta

pertolongan Nakes antara lain karena tema budaya yang menganggap tabu membuka

aurat (paha) di depan orang yang belum dikenal, dan meyakini bahwa darah dan

kotoran persalinan dapat mengakibatkan penyakit yang mengerikan pada kaum laki-

laki dan anak-anak, karena itu mereka melakukan persalinan di hutan/rimba atau di

bagian belakang rumah (kamar mandi, dapur). Selain itu ibu mempunyai tanggung

jawab dan aktivitas ibu sehari-hari dalam mencari bahan makanan untuk seluruh

keluarga sehingga mereka tidak punya waktu untuk mencari atau menunggu bidan. Ibu

juga merasakan dengan pelayanan dukun lebih kekeluargaan dan lebih bisa dipercaya

Page 551: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

527

serta dukun setiap saat siap melayani mereka. Pelayanan yang diberikan bidan

memerlukan biaya yang sulit dijangkau ditambah lagi dengan bidan jarang di tempat

dan sikap bidan yang kurang akrab. Kesimpulannya budaya di Papua lambat berubah,

meskipun PT Freeport Indonesia menanggung segala biaya pelayanan kesehatan bagi

kedua suku Papua ini mulai dari pemeriksaan kehamilan sampai dengan pasca

persalinan dan pengobatan tetapi karena hambatan faktor budaya ternyata masih

banyak ibu-ibu yang tetap tidak minta pertolongan petugas kesehatan (Qomariah Alwi,

2005).

Tabel 4.3.1. Persentase ”Ya” Pembiayaan Jampersal untuk Periksa Kehamilan, Persalinan,

Periksa Ibu Nifas, Periksa Neonatus, Periksa KB di 12 Kabupaten/Kota Tahun 2012

Kabupaten/Kota Pembiayaan Jampersal

Hamil Bersalin Nifas Neonatus KB

Kab. Lebak 67.7 56.7 53.7 55.2 3.0

Kota Cilegon 22.1 19.1 20.6 16.2 7.4

Kab. Bima 63.2 60.0 50.0 50.0 17.1

Kota Mataram 49.3 61.4 52.9 58.6 21.4

Kab. HalSel .0 .0 .0 .0 .0

Kota Ternate 45.6 15.7 14.3 14.3 7.1

Kab. Gayo Lues 21.2 12.7 7.3 14.5 1.8

Kota Banda Aceh 10.1 20.0 5.7 2.9 1.4

Kab. Landak 11.8 18.8 8.7 8.7 10.1

Kota Pontianak 24.6 68.6 7.1 2.9 .0

Kab. Jeneponto 85.5 62.9 68.6 60.0 10.0

Kota Makasar 39.1 47.1 14.3 18.6 15.7

Sumber: Data Primer

4.4. Peran TenagaPelayanan Kesehatan dalam Pelaksanaan Program Jampersal

Kebijakan penempatan bidan di desa telah berlangsung sejak akhir tahun 1990

(Indonesia, 1989)dengan tujuan menyediakan tenaga yang ’kompeten’ dalam

menolong persalinan. Bagi masyarakat perkotaan, yang memiliki sifat keterbukaan dan

mempercayai teknologi serta ilmu pengetahuan, lebih mudah menerima kehdiran

bidan sebagai tenaga yang membantu persalinan dengan keilmuan kebidanan.

Berbeda dengan masyarakat desa yang lebih tertutup. Bidan sebagai orang baru,

kehadirannya akan dipandang dengan curiga. Mereka membutuhkan waktu untuk

mengenal dan mempercayai bidan sebagai bagian dari kelompoknya. Secara perlahan,

masyarakat desa mulai bisa menerima keberadaan bidan dan mengakui kemampuan

bidan dalam menolong persalinan. Kepercayaan kepada bidan tampaknya masih

Page 552: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

528

terkendala terbukti masih digunakan dukun meskipun sudah ada bidan di desa karena

kebutuhan membantu upacara. Berikut pelayanan upacara yang diterima ibu dari

dukun atau bidan di 12 lokasi penelitian.

Tabel 4.4.1 Pernyataan ”Ya” untuk Pelayanan Upacara yang Diterima

Responden dari Bidan/Nakes atau Dukun

Kabupaten/ Kota n “Ya” Menerima Pelayanan Upacara (%)

Bidan/Nakes Dukun

Kab. Lebak 67 1.5 58.2

Kota Cilegon 68 0.0 2.9

Kab. Bima 70 0.0 20.0

Kota Mataram 70 1.4 31.4

Kab. HalSel 50 10.0 28.0

Kota Ternate 70 4.3 31.4

Kab. Gayo Lues 55 18.2 65.5

Kota Banda Aceh 70 0.0 0.0

Kab. Landak 69 0.0 17.4

Kota Pontianak 70 1.4 5.7

Kab. Jeneponto 70 0.0 11.4

Kota Makasar 70 5.7 11.4

Sumber: Data Primer

Kepercayaan terhadap adat istiadat menyebabkan masyarakat masih

membutuhkan dukun untuk membantu pelaksanaan adat istiadat. Seperti yang

dikemukakan Wahit Iqbal Mubarak (2012) bahwa masyarakat desa memiliki ciri toleran

terhadap nilai-nilai budayanya sendiri, dan menjadi kurang toleran terhadap bidan

yang ditempatkan di desa membawa budaya luar yang kurang dikenal. Mereka

berharap bidan mampu menyesuaikan dengan budaya mereka. Jadi tampaknya

mereka akan lebih mudah menerima bidan yang paham budayanya dan mau mengikuti

aturan adat yang sudah berlaku turun temurun seperti yang terjadi di kabupaten Bima.

Melihat kenyataan tersebut, khususnya di wilayah dukun masih menjadi pilihan,

bidan perlu memiliki pengetahuan budaya masyarakat terkait KIA agar lebih mudah

diterima masyarakat. Bidan yang ditugaskan sebagai ujung tombak pelayanan KIA di

masyarakat, dengan menguasai budaya masyarakat akan memiliki kemampuan (Wahid

Iqbal Mubarak, 2012):

1. Kepekaan terhadap budaya umum dan KIA di masyarakat tempat bertugas,

sehingga bidan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan baru terutama

terkait dengan profesinya

Page 553: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

529

2. Memiliki wawasan luas tentang kemanusiaan dan budaya sehingga sehingga

mampu mengembangkan daya kritis terkait hal tersebut. Kondisi sosial budaya

yang bervariasi menjadi tantangan bidan untuk menemukan jalan keluar yang

efektif efisien tanpa meninggalkan budaya lokal. Melibatkan kekuatan budaya

setempat akan memuluskan upaya pelayanan KIA yang sesuai dengan harapan

masyarakat.

3. Bersikap dan bertindak profesional kepada masyarakat khususnya untuk bidang

kesehatan dengan tetap disiplin pada keilmuannya tetapi dapat beradaptasi di

daerah tempat bekerja dan tidak melakukan pengkotakan terhadap kesukuan dan

agama.

4. Mampu menjadi jembatan bagi masyarakat tingkat bawah dalam

menginformasikan pesan kesehatan khususnya KIA (promosi KIA). Kerjasama

dengan kader kesehatan, dukun bersalin merupakan peluang bidan belajar budaya

setempat agar dapat menyampaikan pesan kesehatan.

5. Bidan adalah menangani persalinan normal, sedangkan persalinan ”berisiko” dan

abnormal dirujuk ke dokter/dokter spesialis kebidanan. Bidan harus mampu secara

profesional berkomunikasi sebagai akademisi dengan keilmuan medis dan

kebidanan antara sesama bidan maupun dengan dokter.

Penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan bidan bisa diterima masyarakat

tergantung personalitas bidan. Bidan yang bisa mengambil hati masyarakat, rendah

hati, bisa bahasa setempat dan menguasai adat istiadat lebih mudah diterima

(Widayatun, 1999). Salah satu hambatan akses pelayanan kebidanan adalah biaya.

Jaminan Persalinan (Jampersal) merupakan penataan sub sistem pembiayaan

persalinan (dan pelayanan KIA lainnya) dalam bentuk pemberian pelayanan cuma-

cuma atau gratis untuk pelayanan persalinan dengan prosedur tertentu yang harus

diikuti baik oleh masyarakat sebagai pengguna dan tenaga kesehatan sebagai

pelaksana. Upaya ini apabila berhasil diharapkan akan membantu penurunan AKI dan

AKB. Untuk terlaksananya strategi ini dengan baik perlu sosialisasi, orientasi,

kampanye, pelatihan untuk semua pihak terkait sehingga konsep dan program

Jampersal agar dapat dipahami.

Page 554: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

530

Bidan sebagai tenaga kesehatan kebidanan menjadi tumpuan pelaksanaan

Jampersal. Bidan adalah pelaksanan pelayanan KIA terdepan dengan menempatkan di

desa/kelurahan. Bidan memberikan pelayanan KIA tidak saja di polindes atau

poskesdes tetapi seringkali harus merangkap bergiliran bertugas di puskesmas.

Tugasnya dimasyarakat memaksa bidan harus jemput bola memberikan layanan di

rumah. Bidan juga berkewajiban menyelenggarakan posyandu di daerahnya disamping

melaksanakan tugas pelayanan pengobatan bila kondisi mengharuskan. Promosi

kesehatan juga menjadi bebannya disamping penugasan lain oleh kepala puskesmas.

Karena tugas-tugas tersebut, mobilitas bidan tinggi, sehingga kadangkala bidan tidak

berada di tempat pelayanan saat dibutuhkan masyarakat.

Tergambarkandalam penelitian ini perannya yang tinggi sebagai informan dan

motivator Jampersal, karena sebagian besar masyarakat menyatakan bahwa perolehan

informasi tentang jamperal dan keikutsertaan Jampersal berasal dari bidan. Namun

kesadaran sosialisasi bidan terkadang terbentur oleh kepentingan bidan yang berperan

ganda yaitu sebagai pegawai pemeritah dan peran sebaai BPS. Kepentingan yang

bercabang ini dapat mendorong bidan yang berperan ganda tidak/kurang

mensosialisasikan Jampersal agar mereka dapat memperoleh keuntungan dari

posisinya sebagai pegawai pemerintah dan BPS. Keadaan ini lebih tampak pada

perkotaan dibanding pedesaan karena kesempatan untuk memiliki peran ganda lebih

mudah diperoleh di perkotaan.

Kebijakan di Indonesia yang memungkinkan seorang tenaga kesehatan

khususnya dokter, bidan, perawat berperan ganda baik sebagai pegawai pemerintah

dan swasta perlu ditinjau kembali atau dilakukan pembenahan dengan persyaratan

yang ketat. Di beberapa daerah keberadaan tenaga kesehatan yang terbatas dan

penggajian yang kurang layak menyebabkan mereka melakukan upaya memperoleh

penghasilan tambahan dengan membuka praktek swasta. Di banyak negara tetangga

seperti Singapura, Malaysia, Thailand, memberikan kebijakan bahwa tenaga kesehatan

pemerintah hanya bisa berpraktek pelayanan di fasilitas pemerintah saja. Dengan cara

demikian tidak akan terjadi konflik kepentingan.

Selama ini telah dilakukan kebijakan pemerintah yang mengatur Izin praktik

bidan. Izin ini mengatur persyaratan izin praktik mandiri atau bekerja pada fasilitas

kesehatan pemerintah. Kewenangan yang diijinkan adalah pelayanan KIA berupa

Page 555: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

531

pelayanan kesehatan ibu, pelayanan kesehatan anak dan pelayanan kesehatan

reproduksi termasuk KB (Indonesia, 2010). Kenyataannya bidan desa mendapat beban

bermacam-macam termasuk memberikan pelayanan pengobatan. Sebenarnya prinsip

pelayanan kebidanan di desa adalah pelayanan yang multi disiplin meliputi ilmu

kesehatan masyarakat, kedokteran, sosial, pikologi, komunikasi, kebidanan dan

lainnya.Bidan tetap berpedoman pada standar dan etika profesi yang menjunjung

tinggi harkat dan martabat manusia. Disamping itu, bidan harus senantiasa

memperhatikan dan memberi penghargaan terhadap nilai-nilai yang berlaku di

masyarakat, sepanjang tidak merugikan dan tidak bertentangan dengan prinsip

kesehatan (Joesran. 2012).

Tenaga bidan di desa dengan beberapa kekhususan Tenaga PTT untuk daerah

terpencil memperoleh tambahan insentif, sebagai contoh di kabupaten Bima, desa

Lere telah ditempatkan bidan PTT daerah terpencil. Namun karena tuntutan keadaan,

bidan tersebut ditugaskan sebagai bidan koordinator yang mengelola Jampersal (gaji

tetap sebagai bidan PTT terpencil) dan sebagai gantinya ditempatkan bidan ”sukarela”.

Dalam hal ini sebenarnya telah terjadi ketidaksesuaian penempatan dan penggajian.

Bidan dalam hal pelayanan sebenarnya telah mendapat perlakuan istimewa untuk

kasus tertentu. Bidan telah mendapat gaji rutin bulanan dengan insentif, tetapi dengan

adanya Jampersal telah mendapat tambahan penghasilan dari penolong persalinan

meskipun dilaksanakan saat jam kerja. Berbeda kodisinya dengan perawat yang tidak

ada tambahan penghasilan secara resmi seperti halnya bidan. Namun beberapa bidan

yang berstatus sukarela atau honorer, nasibnya tidak sebaik bidan PNS atau PTT.

Mereka tidak boleh praktek swasta dan baru mendapat honor dari dana Jampersal.

Kepercayaan kepada bidan terlihat semakin membaik bila dilihat dari hasil

penelitian ini. Namun tampaknya kendala biaya sebagai salah satu faktor yang

berhubungan dengan pemanfaatan tenaga bidan tidak sepenuhnya benar. Cukup

banyak masyarakat yang belum memanfaatkan Jampersal dalam memanfaatkan bidan.

Bila digali dari data kualitatif, terlihat masih banyaknya masyarakat yang tidak paham

tentang Jampersal. Mereka lebih memahami tentang Jamkesmas atau Jamkesda dan

bagi masyarakat istilah apapun tidak terlalu penting, yang diperlukan oleh masyarakat

adalah biaya ’Gratis’.

Page 556: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

532

Persyaratan ’melahirkan di faskes’ tidak seluruhnya diterapkan dalam

pemanfaatan Jampersal. Toleransi kepada masyarakat di wilayah sulit terjangkau

masih diberlakukan. Cukup banyak masyarakat yang melahirkan di rumah khususnya di

Landak, Gayo Lues dan Halmahera Selatan. Pemahaman bahwa melahirkan sebagai

proses alami menyebabkan rumah dianggap tempat yang cukup aman. Disamping

banyaknya kejadian kematian ibu saat persalinan yang terjadi di puskesmas atau RS

semakin menguatkan pandangan ini. Keadaan ini terjadi juga di Inggris pada masa tahu

1930 an. Disana banyak terjadi persalinan yang kemudian berakhir dengan infeksi yang

menyebabkan kematian ibu. Disini, masyarakat melihat bahwa rumah sakit tidak selalu

terjamin kebersihannya dari kuman penyakit (Hunt, Sheila. 2006).

Penyelenggaraan upaya kesehatan tidak hanya dilaksanakan oleh pemerintah

tetapi juga oleh pihak swasta. Keberadaan bidan swasta di kota menjadi alternatif

pilihan penolong persalinan. Bidan Praktek Swasta (BPS) dapat dibedaka menjadi dua,

pertama bidan murni praktek swasta, dan kedua adalah bidan pegawai pemerintah

yang menjadi BPS di luar jam kerja. Adanya desentralisasi menyebabkan bervariasi

peraturan Daerah dalam mengelola pelayanan kebidanan mealui Jampersal. Peraturan

yang berlaku juga mempengaruhi pemanfaatan Jampesal dalam pelayanan persalinan.

Bidan sebagai petugas kesehatan, tampaknya sudah bisa diterima oleh masyarakat

desa maupun kota, terbukti dalam penelitian ini tidak terlihat perbedaan yang berarti

dalam penerimaan pelayanan dari bidan (tabel 4.4.2).

Tabel 4.4.2 Persentase Responden yang Menyatakan ”Ya” menerima Pelayanan dari Bidan

di 12 kabupaten/Kota Tahun 2012

No Kabupaten/ Kota “Ya” Menerima Pelayanan dari Bidan (%)

Kehamilan Persalinan Pasca Salin KB

1 Kab. Lebak 97.0 86.6 86.6 92.5

2 Kota Cilegon 100.0 100.0 100.0 98.5

3 Kab. Bima 97.1 97.1 88.6 72.9

4 Kota Mataram 98.6 92.9 88.6 84.3

5 Kab. Halmahera Selatan 80.0 86.0 90.0 84.0

6 Kota Ternate 97.1 87.1 74.3 72.9

7 Kab. Gayo Lues 94.5 85.5 83.6 85.5

8 Kota Banda Aceh 98.6 100.0 84.3 84.3

9 Kab. Landak 98.6 62.3 85.5 98.6

10 Kota Pontianak 98.6 100.0 78.6 95.7

11 Kab. Jeneponto 98.6 80.0 95.7 94.3

12 Kota Makasar 98.6 98.6 91.4 71.4

Sumber: Data Primer

Page 557: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

533

Persalinan dipandang sebagai ruang lingkup pribadi sehingga kerahasiaannya

perlu dijaga dan rumah adalah tempat paling aman untuk melindungi kerahasiaan

tersebut. Membawa ibu bersalin ke puskesmas, Rumah sakit atau klinik bersalin lain,

berarti membawa persalinan ke lingkup publik. Adanya kesan bahwa persalinan yang

dilakukan di faskes berarti ada ’sesuatu yang abnormal’ merupakan penyebab sebagian

orang memilih bersalin di rumah. Tidak bergesernya pandangan ini menunjukan

kegagalan pihak kesehatan meyakinkan masyarakat bahwa faskes akan memberikan

sarana yang lebih baik daripada di rumah.

Persyaratan ’melahirkan di faskes’ dalam pemanfaatan Jampersal dinilai

peneliti sudah tepat dengan memberikan toleransi tersebut. Sudah ada

kecenderungan untuk memanfaatkan bidan perlu didukung dengan memberikan

solusi lain terhadap hambatan yang mungkin terjadi dalam mengakses bidan seperti

biaya, jarak, komunikasi. Komunikasi sebagian sudah teratasi dengan adanya hp, jarak

juga dapat teratasi dengan adanya jalan yang sedikit demi sedikit mulai dibangun dan

ketersediaan sepeda motor bagi bidan. Biaya gratis menjadi dambaan sebagian

masyarakat khususnya yang kurang mampu.

Tabel 4.4.3 Persentase Responden yang Menjawab ”Ya” untuk Tempat Persalinan di Faskes, Nakes sebagai

Penolong Terakhir Persalinan dan Sumber Biaya Persalinan (%)

Kabupaten/ Kota n Persalinan Terakhir di Faskes

Nakes sebagai Penolong Terakhir Persalinan

Biaya persalinan (Gratis)

Jampersal Jamkesmas/ Jamkesda

Kab. Lebak 67 32,8 64.2 56.7 4.5

Kota Cilegon 68 69,1 100.0 19.1 5.9

Kab. Bima 70 57,1 97.1 60.0 31.4

Kota Mataram 70 92,9 92.9 61.4 15.7

Kab. HalSel 50 10,0 62.0 .0 30.0

Kota Ternate 70 70,0 92.9 15.7 4.3

Kab. Gayo Lues 55 10,9 65.5 12.7 7.3

Kota Banda Aceh 70 94,3 100.0 20.0 44.3

Kab. Landak 69 20,3 56.5 18.8 .0

Kota Pontianak 70 97,1 97.1 68.6 .0

Kab. Jeneponto 70 51,4 82.8 62.9 1.4

Kota Makasar 70 92,9 100.0 47.1 30.0

Sumber: Data Primer

Page 558: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

534

Adanya Jampersal ternyata dibeberapa tempat belum termanfaatkan dengan

baik (Lihat tabel 4.4.3). Ketidaktahuan menjadi penyebab utama akibat kurang

informasi yang diperoleh. Mengingat bidan menjadi tumpuan informasi utama di desa,

maka keaktifan bidan menyebar informasi menjadi andalan utama seperti yang

terungkap dalam penelitian ini. Kerjasama perlu dibangun dengan kader kesehatan

seperti yang terjadi di kota Mataram akan memudahkan penyebaran informasi. Di

Bima, para pemuka agama dan perangkat desa menyatakan sering menyampaikan

tentang kesehatan dalam kegiatan sehari-hari, namun bila disandingkan dengan

pernyataan suami (FGD), tampaknya peran tokoh masyarakat dan tokoh agama di

kabupaten Bima masih belum dirasakan dalam penyampiana tentang Jampersal.

4.5. Hambatan, Dukungan Dan Harapan Dalam Pelaksanaan Program Jampersal

Pelaksanaan Jampersal telah dimulai sejak tahun 2011(Kementerian Kesehatan,

2011)dan mengalami perbaikan pada awal tahun 2012 dalam penyelenggaraannya.

Penyelenggaraan ini tidak selalu berjalan lancar di setiap daerah karena adanya

persyaratan yang harus dilakukan pemerintah melalui Dinas Kesehatan setempat.

Persyaratan baik di pihak pelaksana pelayanan (bidan) dan pengguna (ibu usia

produktif) mendapat perlakuan berbeda-beda di setiap lokasi. Mengingat adanya

perbedaan psosial budaya secara umum di perdesaan (kabupaten) dan perkotaan

(kota) maka untuk hambatan, dukungan dan harapan tentang program Jampersal

dibedakan untuk kabupaten dan kota.

4.5.1. Sosial Budaya di Wilayah Kabupaten

Kondisi sosial budaya dapat mempengaruhi pemanfaatan Jampersal untuk

pelayanan KIA khususnya pertolongan persalinan. Secara detail dapat dilihat pada

tabel 4.5.1 dan 4.5.2 yang berisi budaya di desa dan kota (Lihat lampiran).

a. Hambatan

Geografi. Daerah penelitian di kabupaten dengan kriteria persalinan oleh

dukun masih tinggi, terpilih di kecamatan yang jangkauannya cukup sulit. Kondisi alam

dengan keterbatasan infrastruktur berupa jalan, aliran listrik, air dan alat transportasi

menjadi penghalang akses masyarakat kepada bidan dan fasilitas kesehatan.

Hambatan ini di daerah tertentu diperberat lagi oleh ketiadaan jaringan komunikasi

Page 559: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

535

satelit. Komunikasi melalui telepon kabel saat ini sudah tergantikan oleh

teleponsesuler yang menggunakan satelit sehingga lebih memudahkan masyarakat

saling berkomunikasi. Masyarakat yang di wilayah tidak terjangkau oleh provider

telekomunikasi (sinyal sulit), mendapat kesulitan berhubungan dengan tenaga

kesehatan (bidan).

Tingkat Pendidikan. Hambatan dalam pemanfaatan nakes di faskes

menggunakan dan Jampersal terhalang oleh ketidahtahuan. Pendidikan rendah banyak

dijumpai di pedesaan(kecuali di kabupaten Bima)menjadi penghambat pemahaman

untuk perubhan perilaku. Perubahan ini dipengaruhi oleh karakteristik individu seperti

pengetahuan, sikap, kepercayaan dan personality traits (NIH, 2005). Perubahan ini juga

akan dipengaruhi oleh hubungan atara individu dengan kelompoknya, dan pada tingkat

komunitas dipengaruhi olehperaturan Pemda setempat dan norma serta interaksi

sosial serta peraturan Jampersal secara umum.

Mata pencaharian pada umumnya pertanian, perkebunan dan nelayan.

Wilayah yang luas dengan transportasi minim menyebabkan penduduk dalam bekerja

memilih menginap di sekitar lokasi bekerja. Hal ini menyebabkan sebagian penduduk

meninggalkan rumah sampai berhari-hari tinggal disekitar kebun/sawah/ladang, atau

menempati rumah yang terpencil di wilyah perkebunan. Jauhnya lokasi tempat tinggal

dari pemukiman, semakin menjauhkan jarak terhadap tenaga kesehatan dan fasilitas

kesehatan.

Kepercayaan tinggi terhadap dukun serta anggapan kemampuan dukun

terhada ritual dan adat istiadat mendorong untuk memilih dukun untuk merawat dan

menolong terkait KIA. Dukun juga dianggap memiliki kekuatan spiritual tinggi sehingga

mampu mendo’akan, membacakan mantera sebagai bagian dari ritual adat yang

dilakukan.Meskipun sebenarnya kepercayaan terhadap bida sudah baik, namun

kedekatan baik secara fisik dan emosi dengan dukun menyebabkan perilaku persalinan

di dukun masih tetap tinggi dan khususnya persalinan di rumah masih banyak

dilakukan.

Kepercayaan kepada adat masih kuat dan kepercayaan terhadap gaib dan

mistik menyebabkan masyarakat banyak menyelenggarakan adat istiadat dengan

maksud untuk memberikan ketenangan batin dan keselamatan ibu dan bayi.

Kepercayaan tertentu menghalangi kontak ibu atau bayi dengan bidan sehingga terjadi

Page 560: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

536

keterlambatan pelayanan oleh nakes. Kepercayaan tersebut juga berdampak terhadap

keterlambatan penanganan persalinan ‘abnormal’ yang dapat menyebabkan kematian

ibu dan bayi.

Registrasi kependudukan. Kurang taat penduduk terhadap aturan pemerintah

seperti kepemilikan KTP, menyebabkan hambatan dalam pemenuhan persyaratan

sebagai pengguna Jampersal. Kesadaran kurang tentang pentingnya identitas diri

dapat terjadi karena pendidikan rendah, tidak ada informasi, kesulitan dalam

pengurusan, ketiadaan biaya, akses ke kantor lurah dan kecamatan sulit.

Keberadaan bidan menjadi hambatan dalam pemanfaatan Jampersal. Bidan

dengan luas wilayah kerja satu desa kadang harus bertanggung jawab untuk desa di

sekitarnya. Kondisi wilayah kerja memaksa bidan harus bergerak mendatangi rumah

penduduk untuk memberikan pelayanan menyebabkan keberadaannya di polindes

atau poskesdes menjadi tidak dapt diharapkan. Fasilitas poskesdes yang tidak memdai

juga menjadi penghambat bidan bersedia bertempat tinggal di desa disamping

berbagai alas an lain seperti kelurga, keamanan dll.

b. Dukungan

Pendidikandan pengetahuan. Pendidikan menempati nilai tinggi di mata

masyarakat Bima menyebabkan banyak orangtua berusaha memberikan pendidikan

tinggi. Pendidikan tinggi diharapkan akan berpengaruh terhadap pengetahuan, sikap

dan perilaku kesehatan. Bila dilihat hasil pengumpulan data, terbukti responden

Parado-kabupaten Bima, memiliki pengetahuan baik dan berperilaku baik terkait

dengan kesehatan ibu dan anak.

Tokoh masyarakat. Masyarakat desa masih kuat adat istiadat dengan

menghormati tokoh-tokoh yang ada di masyarakat. Perangkat desa seperti kepala

desa, aparatur pemerintah, kiai atau tokoh agama lain adalah orang yang dipercaya

pandangan dan pendapatnya. Dukun juga mendapat tempat tersendiri di masyarakat.

Kepercayaan yang tinggi pada tokoh masyarakat akan membantu penyelesaian

masalah kesehatan bila tokoh tersebut mampu menjadi panutan dan mendukung upya

kesehatan serta memberi pemahaman yang benar kepada masyarakat.

Ciri masyarakat desa memiliki interaksi kuat diantara sesama penduduk dan

hubungan kekerabatan yang erat antar masyarakat. Keadaan ini akan memudahkan

Page 561: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

537

penggerakan masyarakat karena sifat kegotong-royongan dan tolong menolong yang

masih tinggi. Rasa saling terikat satu sama lain menyebabkan kepedulian antar

penduduk cukup tinggi. Antar warga biasanya saling mengenal dan saling

menghormati. Dalam proses peyelanggaraan upaya kesehatan masyarakat dapat

berperan dalam menelaah masalah penentuan rencana, pelaksana kegiatan dengan

upaya perawatan kehamilan dan pertolongan persalinan, penilaian hasil perawatan

kesehatan, serta pengembangan upaya kesehatan selanjutnya. Dalam hal KIA, kegiatan

masyarakat tersebut lebih bersifat promotif dan preventif. Dengan upaya penggerakan

masyarakat akan meningkatkan kemampuan pemimpin/tokoh masyarakat dalam

merintis dan menggerakkan upaya persalinan aman, meningkatkan kemampuan

organisasi masyarakat dalam penyelenggaraan upaya persalinan aman, meningkatkan

kemampuan masyarakat dan organisasi masyarakat dalam menggali, menghimpun dan

mengelola sarana dan masyarakat. Serta merangsang dan memotivasi masyarakat

untuk dapat mengali potensi yang ada pada desa dan masyarakat setempat.

Interaksi sosial.Hubungan baik antara Dukun-Bidan telah terbangun. Kemitraan

dukun-bidan di berbagai desa dengan sifat saling menghormati ditemukan di hampir

semua lokasi penelitian. Hubungan ini menjadi jembatan antara cara-cara tradisional

yang dianut oleh dukun dan cara-ara medis modern yang diterapkan bidan.

Masyarakat desa saat ini sudah mempercayai kompetensi bidan dalam menangani

persalinan tetapi juga masih melaksanakan adat istiadat yang didukung oleh dukun.

Hubungan baik ini menimbulkan pembagian tugas yang meskipun tidak tertulis tetapi

dapat berlangsung baik, bidan lebih fokus sebagai penolong persalinan sedangkan

dukun merawat dan menyediakan keperluan ibu dan bayi.

Bidan di desa. Penempatan bidan di desa dengan penyediaan

polindes/poskesdes telah mendekatkan pelayanan kepada masyarakat meski di

beberapa lokasi masih terjadi hambatan akses ke bidan. Adanya perkembangan

teknologi komunikasi telah memjembatani hambatan tersebut, bidan menjadi lebih

mudah dihubungi melalui telepon seluler oleh dukun atau kader atau oleh ibu dan

keluarga. Penyediaan fasilitas kesehatan di desa belum seutuhnya diterima karena

keterbatasan sarana prasarana faskes, disamping penempatan lokasi yang kurang

strategis.

Page 562: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

538

Pembiayaan gratis. Jampersal telah memberikan peluang masyarakat

menerima pelayanan KIA gratis. Peluang ini terutama dirasakan oleh masyarakat dari

seluruh golongan ekonomi. Meskipun biaya persalinan sebenarnya sudah ditanggung

oleh Jamkesmas dan Jamkesda bagi masyarakat miskin, namun bagi golongan

menengah masih ada yang merasakan beban biaya persalinan khususnya pada kasus

yang harus dirujuk.

c. Harapan

Masyarakat:

Persyaratan peserta Jampersal. Meskipun belum semua masyarakat menikmati

Jampersal, namun upaya ini sangat bermanfaat sehingga masyarakat mengharapkan

keberlangsungan Jampersal. Keberlanjutan Jampersal tanpa batasan, tidak hanya

untuk kelompok miskin tapi untuk semua golongan ekonomi. Agar pemanfaatan

semakin baik maka mereka berharap agar persyaratan tidak sulit. KTP yang menjadi

syarat kepesertaan, seharusnya merupakan syarat yang ringan karena merupakan

identitas penduduk. Tetapi karena ternyata banyak masyarakat tidak memiliki KTP,

maka pemerintah setempat harus tanggap dan memberikan kemudahan pengurusan

KTP secara keseluruhan kepada penduduk setempat. Kemudahan pembuatan KTP

secara berkelompok melalui RT dan RW, bebas biaya resmi maupun non resmi, selesai

dalam waktu pendek, akan membuka kesadaran masyarakat. Sosialisasi tentang

pentingnya identitas penduduk, perlu dilakukan mengingat saat ini pemerintah telah

berproses melakukan e-KTP (elektronik KTP) yang berlaku di seluruh Indonesia.

Transportasi. Kondisi sarana prasarana transportasi sebagai kewajiban

pemerintah perlu direalisir secara merata. Jangkauan transportasi akan memudahkan

masyarakat menuju faskes sehingga persyaratan bahwa harus melahirkan di faskes

dapat dipenuhi. Disamping transportasi, komunikasi yang lebih lancar akan

memudahkan menghubungi bidan bila dibutuhkan.

Bidan siaga. Kesiapan siagaan bidan setip kali dibutuhkan menjadi harapan

masyarakat. Bidan harus memberi pelayanan bagi seluruh masyarakat desa, kadang

juga harus memberikan pelayanan pengobatan yang bukan kompetensinya. Disamping

itu pelayanan ke rumah juga menjadi tuntutan sebagian masyarakat. Pada desa

dengan penduduk padat dan banyak masalah kesehatan serta jumlah sasaran

Page 563: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

539

pelayanan yang besar akan membebani bidan. Dalam kondisi tersebut, bidan tidak

dapat selalu siap di faskes. Bahkan seringkali bidan harus meninggalkan desa untuk

merujuk, bertugas di puskesmas atau menyelesaikan administrasi pelayanan. Harapan

masyarakat dapat diantisipasi dengan menambah jumlah bidan di desa menurut

beban kerja dan jumlah sasaran pelayanan.

Adanya sanksi bagi bidan yang meninggalkan desa tanpa alasan, diharapkan

diterapkan sehingga bidan bisa lebih bertanggung jawab. Mengingat alasan bidan

tidak siap di faskes juga bervariasi, maka seharusnya masyarakat sebagai penyedia

polindes lebih memperhatikan dan memenuhi kebutuhan sarana prasarana di

polindes. Termasuk didalamnya listrik, air, dan keamanan bidan di faskes.

Bidan:

Klaim biaya Jampersal.Jampersal adalah cara baru pembiayaan persalinan yang

sebenarnya merupakan peralihan Jamkesmas/Jamkesda. Pembiayaan Jampersal

berdasar klaim yang diajukan bidan ke Dinas Kesehatan. Proses ini ternyata memakan

waktu disamping penyertaan lampiran-lampiran. Proses klaim dirasakan terlalu lama,

sehingga mereka menerima honor cukup lama bahkan ada yang setiap 6 bulan, bidan

berharap proses klaim bisa lebih cepat, dan pengisian formulir sebagai lampiran klaim

dapat disederhanakan.

Sosialiasi Jampersal. Banyak masyarakat belum paham tentang Jampersal dan

persyaratannya. Sosialisasi Jampersal dirasakan kurang dan perlu dilakukan langsung

ke masyarakat. Aparat desa/kelurahan diharapkan dapat membantu. Informasi dapat

diperluas dengan kerjasama lintas sector seperti kantor desa, LSM danlainnya sehingga

tidak menjadi beban seluruhnya bagi bidan di desa. Mengingat selama ini biaya

penyuluhan dan sosialisasi tidak tercukupi, maka ke depan diharapkan Jampersal juga

menanggung biaya sosilisasi dan penyuluhan.

4.5.2. Sosial Budaya di Wilayah Kota

a. Dukungan

Geografi. Kota yang terpilih dalam pemilihan ini merupakan daerah dengan

fasilitas yang cukup baik meskipun telah dipilih kota dengan kriteria persalinan oleh

dukun masih tinggi/Jampersal kurang termanfaatkan. Ketersediaan infrastruktur

Page 564: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

540

berupa jalan, dan alat transportasi umum, aliran listrik, air bersih cukup merata

dirasakan penduduk sehingga mendukung akses masyarakat kepada bidan dan fasilitas

kesehatan. Jaringan komunikasi berupa kabel dan satelit tersedia secara merata

sehingga penduduk dapat saling berhubungan dengan mudah mesipun tanpa tatap

muka. Komunikasi melalui telepon kabel saat ini sudah tergantikan oleh telepon seluler

yang menggunakan satelit sehingga lebih memudahkan masyarakat saling

berkomunikasi. Keadaan ini semakin memudahkan masyarakat mendatangi fasilitas

kesehatan untuk memperoleh pelayanan kebidanan dari bidan atau dokter.

Tingkat Pendidikan. Tingkat pendidikan formal masyarakat kota pada

umumnya cukup tinggi. Pengetahuan dan sikap yang baik tentang kesehatan

mendukung perilaku benar terhadap pertolongan persalinan yaitu dengan

pemanfaatan nakes di faskes. Pendidikan yang baik menyebabkan masyarakat lebih

mudah memahami suatu pengetahuan tertentu sehingga cenderung lebih mudah

penerima pembaharuan. Penerimaan ini dipengaruhi oleh karakteristik individu kota

seperti pengetahuan, sikap, kepercayaan dan personality traits (NIH, 2005). Perubahan

ini juga akan dipengaruhi oleh hubungan atara individu dengan kelompoknya, dan

pada tingkat komunitas dipengaruhi oleh peraturan Pemda setempat dan norma serta

interaksi sosial serta peraturan Jampersal secara umum.

Mata pencaharian pada umumnya sebagai pegawai baik pemerintah maupun

swasta dan berdagang. Wilayah kota pada umumnya terbatas dengan pengaturan yang

lebih tertata sesuai dengan peruntukan melayani penduduk. Transportasi umum

mudah diperoleh di kota sehingga mobilitas masyarakat lebih cepat dan luas. Tawaran

lapangan pekerjaan di kota pada umumnya lebih baik sehingga menjadi perebutan

tidak hanya warga setempat tetapi juga dari luar kota. Hal ini menyebabkan penduduk

lebih heterogen, banyak pendatang baik dari kota atau dari desa mencari pekerjaan.

Kepadatan penduduk dan persaingan lebih ketat terjadi, menyebabkan masyarakat

kurang punya waktu untuk melakukan kegiatan sosial. Hal ini menyebabkan sebagian

penduduk kurang peduli lingkungannya dengan sifat individualistik menyebabkan

penduduk kota sulit diajak bergotong royong. Banyak pekerja yang memiliki jaminan

dari perusahaan memberikan pilihan dalam penggunaan fasilitas kesehatan dan

jaminan kesehatan yang digunakan. Oleh karena itu didalam penelitian ini, Cilegon

Page 565: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

541

sebagai kota industri menjamin warga yang bekerja di perindustrian sehingga

pemanfaatan Jampersal tidak maksimal.

Kepercayaan terhadap dukun sudah berkurang. Keberadaan dukun di kota

sudah tidak banyak lagi seiring dengan semakin banyak tenaga kesehatan yang

berpraktek baik di fasilitas kesehatan pemerintah maupun swasta. Kepercayaan

terhadap nakes sudah baik sehingga menggeser kepercayaan terhadap dukun. Upacara

adat istiadat meskipun masih banyak dilakukan tetai lebih kepada ritual tanpa

pemahaman dan kurang mempercayai. Ritual sudah tidak lengkap dilaksanakan dan

beranggapan hanya sebagi pemborosan secara ekonomi. Dukun tetap dipakai jasanya

untuk merawat dan menolong terkait KIA oleh sebagian masyarakat. Dukun tidak

lagidianggap memiliki kekuatan spiritual tinggi yang memberikan do’a dan mantera,

karena masyarakat sudah tidak terlalu percaya dengan mantera sebagai bagian dari

ritual adat.Meskipun sebenarnya kepercayaan terhadap dukun masih ada, namun

kedekatan emosi dengan dukun sudah tidak terlalu kuat karena mereka memiliki

alternative penolong yang lain yang ditawarkan dalam pelayanan lainnya di klinik-

klinik. Hal ini menyebabkan perilaku persalinan di dukun sudah berkurang termasuk

persalinan di rumah.

Kepercayaan kepada adat sudah berkurang termasuk dan kepercayaan

terhadap gaib dan mistik. Masyarakat kota lebih berpikir secara logis dan realistik

dengan mengedepankan ilmu pengetahuan. Penyelenggaraan adat istiadat yang dinilai

tidak bermanfaat hanya dilakukan sekedar melestarikan budaya dan media untuk

mengabarkan kegembiraan dan agar mendapat dukungan dari lingkungan tentang

kehamiln yang dialami atau kelahiran bayi. Keadaan ini menyebabkan tidak ada lagi

halangan ibu untuk melakukan kegiatan kesehatan di rumah seperti pergi ke tempat

pemeriksaan kesehatan, melakukan persalinan di puskesmas atau RS dan

memeriksakan diri setelah persalinan maupun memeriksakan bayi untuk mendapat

imunisasi. Lingkungan perkotaan ini diduga telh mempengaruhi kemauan persalinan

ke fasilitas kesehatan. Segolongan masyarakat tertentu bahkan ada kecenderungan

menghendaki persalinan dengan rasa sakit seminimal mungkin. Rumah sakit atau klinik

bersalin menjadi tujuan karena tersedia pelayanan modern yang menjanjikan

ketersediaan obat dan teknologi untuk meringankan kesakitan saat melahirkan dan

lebih menjamin sterilitas peralatan dan tempat .

Page 566: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

542

Registrasi kependudukan. Penduduk lebih tertib dengan aturan pemerintah

seperti kepemilikan KTP, menyebabkan hambatan dalam pemenuhan persyaratan

sebagai pengguna Jampersal jarang ada. Meskipun bila penduduk musiman, mereka

dengan mudah dapat menyelesaikan pengurusan Kartu Penduduk Musiman dengan

mudah. Kesadaran tentang pentingnya identitas diri mempermudah pemanfaatan

Jampersal. Adanya identitas penduduk yang lengkap juga akan memudahkan Pemda

dalam merencanakan program kesehatan termasuk Jampersal.

Keberadaan bidan merupakan persyaratan dalam pemanfaatan Jampersal.

Bidan di perkotaan pada umumnya jumlah lebih banyak dan terdapat pilihan di fasilitas

pelayanan kebidanan milik pemerintah atau swasta. Pilihan faskes disesuaikan dengan

kemampuan ekonomi masyarakat. Bagi yang tidak memiliki jaminan kesehatan dari

tempat bekerja, dapat memanfaatkan pelayanan gratis Jampersal atau

Jamkesmas/Jamkesda. Kondisi wilayah kerja di kota umumnya mudah dijangkau

dengan transportasi pribadi atau umum sehingga konsumen tidak kesulitan untuk

datang ke pelayanan bidan. Dengan kesediaan ibu mendatangi faskes maka bidan

tidak perlu mendatangi rumah penduduk untuk memberikan pelayanan. Fasilitas

pelayanan KIA yang memadai juga menjadi penunjang masyarakat senang untuk

datang ke faskes ehingga persyaratan pemanfaatan Jamersal lebih mudah bagi

masyarakat perkotaan.

Pembiayaan gratis. Jampersal telah memberikan peluang masyarakat

menerima pelayanan KIA gratis. Peluang ini terutama dirasakan oleh masyarakat dari

seluruh golongan ekonomi. Meskipun biaya persalinan sebenarnya sudah ditanggung

oleh Jamkesmas dan Jamkesda bagi masyarakat miskin, namun bagi golongan

menengah masih ada yang merasakan beban biaya persalinan khusunya pada kasus

yang harus dirujuk.

b. Hambatan

Mobilitas penduduk dan urbanisasi. Kota menjadi tempat tujuan penduduk

dari luar guna mendapatkan lapangan pekerjaan. Serbuan penduduk ke kota bisa

berdampak negatif bila kota tidak mampu menampungnya sehingga pendatang akan

menjadi beban pemerintah kota termasuk di bidang kesehatan. Pengangguran dan

Page 567: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

543

masyarakat pendatang dari kelompok buruh akan mencari tempat tinggal seadanya

yang dapat menimbulkan di daerah kumuh dan miskin. Tempat ini cenderung padat,

fasilitas umum minim, tidak teratur dan tidak memenuhi syarat sanitasi lingkungan

yang baik sehingga yang membutuhkan bantuan finansial dari pemerintah kota.

Kelompok warga di daerah kumuh ini pada akhirnya harus bergantung kepada bantuan

pemerintah dalam kesehatan, namun sayang tidak semua mengetahui adanya Jaminan

persalinan.

Tokoh masyarakat. Masyarakat kota lebih patuh kepada aturan formal

pemerintah dibandingkan terhadap tokoh informal. Peraturan dan hukum pemerintah

menjadi panutan untuk mengatur kehidupan warganya. Norma-norma meskipun

masih ada tetapi sudah tidak banyak lagi diterapkan dalam kehidupan warga kota.

Tokoh masyarakat informal tidak terlalu menjadi panutan. Dukun masih ada meskipun

tidak sebanyak di pedesaan, dan kebutuhan akan jasa dukun lebih banyak untuk

membantu perawatan ibu dan anak. Dibeberapa tempat seperti di kota Mataram,

Tuan Guru (identik dengan Kiai) adalah tokoh agama yang masih didengar dan jadi

panutn. Mereka bahkan mau terlibat dalam upaya kesehatan tetapi juga memberikan

dukungan do’a dan pemberian air do’a.Kepercayaan yang tinggi pada tokoh

masyarakat ini membantu penyelesaian masalah kesehatan melalui jalur psikologis

karena tokoh tersebut mampu mendukung upaya persalinan aman karena mereka juga

menganjurkan untuk bersalin di tenaga kesehatan.

Ciri masyarakat kota memiliki interaksi yang formal dan lebih bersifat individu

dalam menyelesaikan segala persoalan. Hubungan kekerabatan yang erat antar

masyarakat sudah berkurang, keakraban biasa terjalin berdasar kesamaan

kepentingan. Keadaan ini menyebabkan tidak mudah menggerakkan masyarakat

karena kesibukan masing-masing dalam perekonomian dan melalui jalur formal biasa

warga diatur. Sifat kegotongroyongan dan tolong menolong sudah mulai luntur. Antar

tetangga kadang tidak saling mengenal khususnya di daerah perumahan elit.

Kemitraan bidan–dukun. Dibeberapa kota, dukun masih banyak

dijumpai.Hubungan baik antara dukun bersalin-bidan biasanya telah terbangun melalui

puskesmas atau dengan perantara kader kesehatan. Dalam usaha meningkatkan mutu

pelayanan kebidanan dan kesehatan anak terutama di desa maka tenaga kesehatan

(medis) seperti bidan harus menjalin kerjasama yang baik dengan tenaga non medis

Page 568: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

544

seperti dukun. Bidan juga bekerja sama dengan kader posyandu melakukan kunjungan

rumah mencari sasaran ibu hamil dan sosialisasi pentingnya pemeriksaan kehamilan

serta memotivasi ibu hamil agar rutin memeriksakan kehamilan(Joesran. 2012).

Di beberapa tempat bahkan masih ada yang melahirkan di dukun khususnya

pada masyarakat miskin. Tujuan menjadi dukun sebagai mata pencaharian dapat

menghalangi posisioning dukun sebagai mitra bidan yang hanya merawat ibu dan bayi.

Keberadaan bidan yang dianggap mengurangi atau mengambil sumber penghasilan

akan mengancam kemitraan tersebut. Masyarakat kota sebagian masih mempercayai

ritual/adat istiadat didukung oleh dukun. Dukun yang kurang mendukung program

pemerintah dan merasa terancam penghasilannya akan mengarahkan ibu agar bersalin

dengan bantuannya.

Bidan Paktek Swasta. BPS lumrah dijumpai di perkotaan. BPS yang berpraktek

ganda yaitu bekerja di faskes pemerintahdan swasta memiliki dua kepentingan. Dalam

hal ini, dapat terjadi konflik kepentingan mengingat di beberapa tempat klaim

persalinan Jampersal lebih rendah dibanding tarif persalinan BPS. Pemikiran ekonomi,

akan mendorong BPS untuk lebih mementingkan praktek swasta karena dianggap lebih

menguntungkan.

c. Harapan

Masyarakat:

Persyaratan Peserta Jampersal. Masyarakat kelompok termarginalkan/

kelompok miskin sangat mengharapkan pelayanan gratis. Meskipun belum semua

masyarakat menikmati Jampersal, namun upaya ini sangat bermanfaat sehingga

masyarakat mengharapkan keberlangsungan Jampersal. Keberlanjutan Jampersal

tanpa batasan, tidak hanya untuk kelompok miskin tapi untuk semua golongan

ekonomi. KTP yang menjadi syarat kepesertaan, bagi penduduk musiman dianggap

sebagai kendala karena sebagian mereka tidak memiliki Kartu Penduduk Musiman.

Namun kepengurusan di kota pada umumnya lebih mudah karena kantor kelurahan

biasanya terjangkau dan biaya yang dibutuhkan tidak terlalu besar.

Kualitas pelayanan. Pelayanan dengan kualitas baik menjadi harapan

masyarakat. Sarana prasarana puskesmas diharapkan lebih baik sehingga mampu

Page 569: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

545

memberikan pelayanan persalinan dengan lebih baik. Keberadaan tenaga tidak

sekedar bidan tetapi adanya dokter spesialis kebidanan akan lebih baik dalam

memberikan pelayanan pemeriksaan kehamilan dan mendeteksi risiko kehamilan.

Masyarakat kota lebih menuntut pelayanan yang lebih lengkap seperti tersedia USG,

ruang rawat inap yang lebih bersih dan bagus. Pelayanan yang ramah juga menjadi

harapan masyarakat serta tidak membedakan dengan pelayanan kepada ibu bersalin

dengan sumber biaya mandiri atau biaya perusahaan.

Masih banyak keluhan masyarakat desa terhadap bidan, antara lain bidan

kurang memahami budaya setempat, kurang mampu berinteraksi dengan masyarakat.

Mengatasi hal tersebut, erlu penambahan pengetahuan bidan melalui pendidikan

bidan, kurikulum bidan perlu ditambah dengan materi “pendekatan budaya

masyarakat” dan melakukan kerja praktek di perdesaan. Penempatan bidan di desa

harus diiringi dengan orientasi dan pembimbingan untuk pengenalan wilayah kerja

yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan setempat.

Kemitraan dukun-bidan. Masyarakat masih membutuhkan pelayanan dukun

karena masih kuatnya tradisi pelayanan komprehensif yang dilakukan oleh dukun.

Kemitraan bidan-dukun telah berjalan tetapi masih belum jelas pembagian tugas

antara bidan dan dukun. Pembinaan dukun dan koordinasi antara bidan dan dukun

untuk memperjelas pembagian tugas antara bidan dan dukun sangat diperlukan

dengan mengalihkan tugas dukun dalam membantu persalinan oleh bidan diarahkan

kepada perawatan ibu dan bayi secara higienis.

Bidan siaga. Kesiapan bidan di puskesmas atau poskesdes menjadi harapan

mengingat proses persalinan bisa terjadi sewaktu-waktu. Bidan diharapkan mampu

mendeteksi kehamilan berisiko sehingga dapat merujuk secepat mungkin bila

terdeteksi adanya kemungkinan persalinan abnormal yang perlu mendapat

penanganan dokter di rumah sakit.

Bidan:

Pendanaan. Daerah sulit membutuhkan biaya transportasi khusus. Saran:

Pendanaan Jampersal perlu memberikan biaya transportasi ibu bersalin menuju

fasilitas kesehatan. Adanya kemitraan dukun–bidan dapat menjadi masalah bila

mengurangi pendapatan dukun, maka perlu dipikirkan jasa dukun. Jasa untuk dukun

Page 570: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

546

telah dipikirkan oleh beberapa daerah dan diatur secara formal dalam peraturan

daerah.

Klaim biaya Jampersal.Jampersal adalah cara baru pembiayaan persalinan yang

sebenarnya merupakan peralihan Jamkesmas/Jamkesda. Pembiayaan Jampersal

berdasar klaim yang diajukan bidan ke Dinas kesehatan. Proses ini ternyata memakan

waktu disamping penyertaan lampiran-lampiran. Proses klaim dirasakan terlalu lama,

sehingga mereka menerima honor cukup lama bahkan ada yang setiap 6 bulan, bidan

berharap proses klaim bisa lebih cepat, dan pengisian formulir sebagai lampiran klain

dapat disederhanakan.

Sosialiasi Jampersal. Banyak masyarakat belum paham tentang Jampersal dan

persyaratannya. Sosialisasi Jampersal dirasakan kurang dan perlu dilakukan langsung

ke masyarakat. Sosialisasi Jampersal lebih banyak mengandalkan bidan saja sebagai

agen sosialisasi namun di beberapa tempat terjadi konflik kepentingan. Aparat

desa/kelurahan diharapkan dapat membantu. Informasi dapat diperluas dengan

kerjasama lintas sektor seperti kantor desa, LSM danlainnya sehingga tidak menjadi

beban seluruhnya bagi bidan di desa. Mengingat selama ini biaya penyuluhan dan

sosialisasi tidak tercukupi, maka ke depan diharapkan Jampersal juga menanggung

biaya sosialisasi dan penyuluhan.

Peran Sosial Budaya dalam Peningkatan Pemanfaatan Jampersal

Budaya dapat berubah, budaya merupakan suatu alasan kuat bagi manusia untuk

beradaptasi dalam meraih kesuksesan (Phillip, 1991:36). Kroeber menyatakan

lingkungan manusialah yang menyaring diterima atau tidaknya budaya luar yang

masuk (Rambo, 1983: 3). Pernyataan ini didukung oleh Swartz & David (1992: 52)

bahwa kebudayaan selalu disesuaikan dengan lingkungan yang juga sering berubah

dan mempengaruhi manusia dalam memecahkan masalah kehidupan dan berinteraksi

misalnya dalam mencari dan memasak makanan, mengasuh anak, berkomunikasi,

berorganisasi, kontrol sosial, memanfaatkan/memodifikasi lingkungan dan sebagainya.

Terkait dengan Jampersal, masyarakat melakukan penyesuaian pencarian

pelayanan KIA dengan adanya pembiayaan yang didukung pemerintah. Persyaratan

Page 571: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

547

berupa persalinan oleh bidan dan dilakukan di fasilitas kesehatan dapat menjadi

kendal bagi masyarakat yang tidak terbiasa dengan perawatan medis oleh tenaga

kesehatan. Masyarakat tradisional masih memilih cara-cara tradisional dalam

perawatan kesehatan secara perlahan terpapar cara-cara modern yang berasal dari

luar wilayahnya dan dari pengaruh budaya modern. Dalam proses kulturasi dan

sosialisasi seseorang atau kelompok menggunakan budayanya sendiri atau budaya

yang datang dari luar untuk pengambilan keputusan tindakan apa yang dilakukan.

Perilaku atau tindakan yang dipilih secara sadar maupun tidak sadar, aktif atau pasif

dengan pertimbangan tingkat keberhasilan dari tindakan disebut perilaku atau strategi

beradaptasi (Bennet, 1976: 1).

Dengan adanya Jampersal masyarakat ekonomi rendah merasa dibantu dalam

pembiayaan persalinan dan kesadaran untuk mendapat pelayanan medis semakin

meningkat. Diketahui pula ada kelemahan dengan adanya Jampersal

yaitumenyebabkan sebagian masyarakat kurang peduli terhadap biaya persalinan dan

perawatan kehamilan. Dana yang semula dipersiapkan untuk kesehatan, dialihkan

untuk keperluan penyelenggaran adat istiadat yang terkesan berlebihan dibanding

kemampuan secara ekonomi. Bahkan Jampersal dimanfaatkan oleh sebagian

masyarakat yang sudah memiliki asuransi (Askes dan Jaminan Kesehatan dari

perusahaan) untuk melahirkan anak ketiga dan selanjutnya.

Page 572: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

548

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

Jaminan persalinan diselenggarakan pemerintah dalam upaya memfasilitasi

masyarakat agar mendapat pelayanan pertolongan persalinan aman oleh tenaga

kesehatan yang dilakukan di fasilitas kesehatan agar capaian target MDGs tahun 2015

bisa terwujud. Peran sosial budaya dapat mempengaruhi pemanfaatan Jampersal

melalui beberapa hal yaitu sosialisasi, kepesertaan, pendanaan, pelayanan dan

ketenagaan melalui 5 unsur budaya. Berikut perincian unsur budaya yang berpengaruh

terhadap pemanfaatan Jampersal.

5.1. Sosialisasi

1. Pendidikan dan pengetahuan, yang baik akan lebih memudahkan pemahaman

terhadap suatu informasi. Keberadaan media informasi seperti televisi, radio,

surat kabar akan memberikan kemudahan penyampaian informasi KIA dan

Jampersal.

2. Kepercayaan: hambatan pada masyarakat (Gayo) yang masih percaya

santet/gaib, masyarakat menolak paham baru (misal informasi tentang

kesehatan/Jampersal) kehadiran orang belum dikenal

3. Mata pencaharian: bekerja di perkebunan/ladang yang lokasinya jauh

menyebabkan banyak masyarakat menghabiskan waktu di ladang atau kebun

sehingga kurang terpapar oleh informasi

4. Orsosmas: Interaksi masyarakat yang baik akan memudahkan diterimanya suatu

informasi tentang KIA dan Jampersal. Informasi yang diterima ibu bila dapat

diterima dengan baik oleh suami akan mendorong kemungkinan persalinan

kepada nakes mengingat di masyarakat perdeaan, suami adalah pengambil

keputusan.

5. Teknologi komunikasi: teknologi informasi tidak banyak dimanfaatkan dalam

proses penyampaian Jampersal dan KIA. Informasi lebih banyak diterima secara

langsung dengan cara tatap muka yang terjadi antara bidan dengan ibu saat pada

saat pelayanan KIA.

Page 573: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

549

Saran:

1. Bidan sebagai sumber informasi harus mampu menjalin hubungan yang baik

dengan masyarakat sasaran (ibu), tokoh masyarakat dan organisasi massa.

2. Perlu pembekalan pengetahuan budaya kepada bidan melalui orientasi sebelum

melaksanakan tugas di masyarakat.

3. Menghindari konflik kepentingan bidan puskesmas yang berpraktek swasta

dengan memberikan kompensasi kepada bidan.

5.2. Kepesertaan

1. Pengetahuan/Pendidikan yang baik akan meningkatkan pemahamanan tentang

manfaat Jampersal serta prosedur dan persyaratan yang harus dipenuhi. Banyak

masyarakat belum pernah mendengar tentang Jampersal, termasuk tokoh

masyarakat dan perangkat desa (hasil FGD).

2. Mata Pencaharian. Petani, pekerja kebun, nelayan, buruh perkebunan/pertanian

(kelompok ekonomi kurang) tidak memanfaatkan akibat ketidak tahuan terhadap

Jampersal dan persyaratannya.

3. Kepercayaan tidak terkait dengan kepesertaan

4. Orsosmas: aparat tidak mempersiapkan masyarakat untuk memanfaatkan

Jampersal. Hal ini kemungkinan karena tidak adanya sosialisasi yang terintegrasi

antara bidang kesehatan/puskesmas dengan kelurahan. Kepemilikan KTP di

daerah pedesaan cukup banyak sehingga harus mengurus kartu domisili.

5. Tehnologi: program pemerintah untuk menyelenggarakan e- KTP merupakan

sarana untuk mempermudah masyarakat ikut serta dalam Jampersal karena

identitas diri terdaftar secara nasional.

Saran:

1. Sosialisasi lebih luas dan detil termasuk prosedur dan persaratan menjadi peserta

Jampersal melalui tokoh masyarakat (contoh: Lurah, ketua RW/RT, dll) dan

pemuka agama (kiai, pendeta). Pemanfaatan dukun sebagai penyampai pesan

Jampersal dengan membangun peran kemitraan yang harmonis dengan bidan.

2. Untuk meningkatkan pemanfaatan Jampersal maka perlu adanya kerjasama

puskesmas dengan pihak desa dan kecamatan, bahkan seharusnya dimulai dari

strata yang paling tinggi (Kementerian).

Page 574: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

550

3. Perlu peningkatan dan kecepatan penyelenggaraan e-KTP yang merata hingga di

tingkat desa.

5.3. Pendanaan

1. Pengetahuan/Pendidikan:

Pengetahuan yang baik membuat masyarakat mampu memprioritaskan

pembelanjaan uang, sehingga ada upaya untuk menglokasikan sebagian

penghasilan untuk kepentingn kesehatan.

2. Mata pencaharian:

Pendanaan sangat erat kaitannya dengan geofrafis. Untuk melayani ibu di daerah

perdesaan yang sulit, tidak memungkinkan untuk mendatangi fasilitas kesehatan

sehingga bidan yang dijemput untuk melahirkan di rumah ibu. Masalah semakin

kompleks apabila dukun yang dicari oleh masyarakat sehingga harapan ersalinan

oleh nakes di faskes menjadi semakin tidak terpenuhi. Daerah perdesaan di

daerah sulit membutuhkan biaya transportasi khusus.

3. Jasa dukun masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat khususnya dalam

perawatan kehamilan dan pasca persalinan. Adanya kemitraan dukun – bidan,

maka perlu dipikirkan jasa dukun.

Saran:

1. Pendanaan Jampersal perlu memberikan biaya transportasi ibu bersalin menuju

fasilitas kesehatan.

2. Ada alokasi dana Jampersal jasa pelayanan dukun. Sumber dana dapat

memanfaatkan BOK atau dana pemerintah daerah yang lain.

5.4. Pelayanan dan Ketenagaan

1. Pendidikan dan pengetahuan masih rendah tentang KIA dan Jampersal. Masih

banyak masyarakat menggunakan dukun untuk memeriksakan kehamilan.

Keadaan ini cukup memprihatinkan mengingat pemerintah telah menyediakan

Jampersal yang memberikan pelayanan dengan tenaga professional (bidan).

Masih ada persepsi bahwa dukun lebih kompeten dalam mendeteksi kehamilan

dan mengatur letak janin dalam rahim. Pemeriksaan kehamilan oleh bidan

Page 575: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

551

mengikuti standar K4 masih belum mencapai target. Termasuk dalam hal ini

adalah persalinan dan pasca persalinan.

2. Masih ada persepsi dari masyarakat bahwa kemampuan dukun lebih dari bidan

dalam hal mengadopsi kepercayaan dan spiritual yang diyakini masyarakat

misalkan: bersuci (mengambil air wudhu) sebelum menolong persalinan,

membaca do’a atau mantra pada saat menolong persalinan. Masyarakat masih

membutuhkan pelayanan dukun karena masih kuatnya tradisi pelayanan

komprehensif yang dilakukan oleh dukun. Kemitraan bidan-dukun telah berjalan

tetapi masih belum jelas pembagian tugas antara bidan dan dukun. Masih banyak

keluhan masyarakat desa terhadap bidan, antara lain bidan kurang memahami

budaya setempat, kurang mampu berinteraksi dengan masyarakat.

3. Persalinan di rumah terjadi karena lokasi rumah penduduk yang terpencil jauh

dari fasilitas kesehatan (poskesdes, polindes, pustu, puskesmas). Selain minimnya

sarana transportasi juga.

4. Persepsi yang salah tentang keamanan persalinan di rumah juga menyebabkan

masyarakat memilih untuk melahirkan di rumah.

Saran:

1. Pemahaman tentang risiko kehamilan melalui kegiatan yang ada di masyarakat

seperti, konseling pra nikah, disisipkan pada ritual pernikahan.

2. Peran serta masyarakat misalkan ojek siaga, ambulan desa, rumah singgah.

3. Kurikulum bidan perlu ditambah degan materi “pendekatan budaya masyarakat”

dan melakukan kerja praktek di perdesaan.

4. Bidan mampu memenuhi keinginan masyarakat terkait dengan kepercayaan dan

spiritual melalui pembagian peran dalam kemitraan dengan dukun. Dukun

memimpin ritual persalinan sementara bidan menangani proses persalinan

secara medis.

5. Penempatan bidan di desa harus diiringi dengan orientasi dan pembimbingan

untuk pengenalan wilayah kerja yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan setempat.

Page 576: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

552

DAFTAR PUSTAKA

Alex J. Ulaen. Pantangan bagi Wanita Hamil dan Perawatan Persalinan di Kepulauan Sangihe dan Talaud, Sulawesi Utara. Dalam: Kehamilan, Kelahiran, Perawatan Ibu dan Bayi dalam Konteks Budaya. Enyunting, Meutia F. Swasono. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Bambang S. Mintarjo. 1997. Manusia dan Nilai Budaya. Jakarta: Penerbit Universitas

Trisakti, Swartz, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI, 2006. Panduan Penyusunan

Proposal-Protokol, Penilaian Proposal dan Laporan Akhir Penelitian. Jakarta: Badan Litbang Kesehatan

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI, 2011. Pedoman Riset

Operasional Intervensi Kesehatan Ibu dan anak Berbasis Budaya lokal Tahun 2012 Bennet, J.W. Ecological Transition. (http: //www.ca.uky.edu/ Chyntia A, Shinta, 2003. Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Faktor Sosial Budaya dengan

Pemilihan Penolong Persalinan di Wilayah Kerja Puskesmas Sayung I Kecamatan

Sayung Kabupaten Demak Tahun 2002. http://eprints.undip.ac.id/5631/1/1882.pdf.

Diakses 5 Mei 2012.

Croyle, Robert T. 2005. Theory at a Glance. A Guide for Health Promotion Practice (second Edition). USA: The National Cancer Institute.

DDA Kab. Jeneponto. http://jenepontokab.bps.go.id. Diakses November 2012 DDA Kota Makassar. makassarkota.bps.go.id/. Diakses November 2012 Direktorat Bina Kesehatan Ibu. 2011 Suplemen Jampersal, Tahun 2011. Kementerian

Kesehatan RI Foster, George M dan Barbara Gallatin Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan. Penerjemah

Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swasono, Jakarta: Handayani, Lestari, et al.1997. Menuju Pelayanan Persalinan Terpadu. Yogyakarta: Pusat

Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada. Hunt, Sheila; Anthea Symonds. 2006. Konsep Sosial Kebidanan. Jakarta: ECG

Indonesia. 2009. Undang-undang Republik Indonesia No 52 tahun 2009 tentang

Kependudukan. Jakarta: Kementerian Dalam Negeri. Iskandar, Meiwita B., et al, 1996 Mengungkap Misteri Kematian Ibu di Jawa Barat, Depok,

Pusat Penelitian Kesehatan Lembaga Penelitian, Universitas Indonesia Kementerian Kesehatan RI.

2007. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007. Badan Litbangkes Kemenkes RI

Page 577: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

553

2010. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010. Jakarta. Badan Litbangkes Kemenkes RI 2011. Buku Saku Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan (PDBK) Tahun

2011. Kementerian Kesehatan RI 2011. Buku I. Pedoman Umum Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan

(PDBK) Tahun 2011 2011. Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan Tahun 2011. Kementerian Kesehatan RI 2011. Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kesehatan Tahun 2010 – 2014.

Jakarta: Kementerian Kesehatan. 2011. Permenkes No. 631/Menkes/PER/III/2011 tentang Petunjuk Teknis Jaminan

Persalinan dan Surat Edaran Menkes RI Nomor TU/Menkes/391/II/2011 tentang Jaminan Persalinan. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

2011. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

2562/MENKES/PER/XII/2011 Tentang Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan. Kementerian Kesehattan Republik Indonesia.

Koentjaraningrat.1992.Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan.Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama, Green, Lawrence. 1980. Health Education Planning, A Diagnostic Approuch. The John Hopkins

University: Mayfield Publishing Co. Gularso , Endang P. 1998. Kelahiran Anak dalam Tradisi Orang Betawi di Desa Ragunan, Jakarta

Selatan. Dalam: Kehamilan, Kelahiran, Perawatan Ibu dan Bayi dalam Konteks Budaya. Enyunting, Meutia F. Swasono. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Indonesia, 1989. Panduan bidan di tingkat desa. Bagian I. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Indonesia, 2010. Peraturan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Nomor/1464/Per/Menkes/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan Joesran. 2012. Definisi bidan di desa dan program bidan desa.

http://joesrhan.blogspot.com/2012/02/definisi-bidan-desa-dan-program-bidan.html. Diakses tanggal 15 Januari 2013.

Lawrence S. Cunningham, John J. Reich. Culture and Values, Volume II: A Survey of the

Humanities with Readings amazon.com Marc J. and Jordan David K. 1992. Culture: The Anthropological Perspective. New York:

John Wiley & Sons McCarthy, James and Deborah Maine. 1992. A Framework for analyzing the determinants

of Maternal Mortality. Geneva: WHO

Page 578: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

554

Meiwita B. Iskandar. et al. 1996. Mengungkap Misteri Kematian Ibu di Jawa Barat. Jakarta: Pusat Penelitian Kesehatan Lembaga Pendidikan UI.

National Cancer Institute. 2005. Theory at a Glance. A Guide for Health romotion Practice

(Second Edition). USA: NIH Publication Perawat on line. Psikoneuroimunologi. Penelitian Antar Disiplin Psikologi, Neurologi,

dan Imunologi. http://ppnisumenep.org/psikoneuroimunologi.Diakses 15 Januari 2013 Peta Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Sumber: http://4.bp.blogspot.com. Diakses Oktober 2012 Phillip, Conrad. 1991. Cultural Anthropology. New York: McGraw-Hill Inc. Qomariah Alwi. 2005 Budaya Suku Amungme dan Suku Kamoro Papua dalam Pemeliharaan

Kehamilan dan Persalinan, Jakarta: Disertasi Rambo, A. Terry. 1983.Conceptual Approaches to Human Ecology. Honolulu: East-West Center. Reddy, P.H, 1990 "Dietary Practices during Pregnancy, Lactation and Infancy: Implications for

Health", Health Transition: The Culture. Sosial and Behavioral determinants of Health, volume II. Disunting oleh John C. Caldwell, et al., Canberra: Health Transition Centre

Setiadi, Elly M. 2007. Pengantar Sosiologi. Kencana. Jakarta.

Upacara Adat Mappasili. http://zipoer7.wordpress.com/2011/06/11/upacara-adat-mappassili/. Diakses November 2012

Wahid Iqbal Mubarak, Nurul Chahayatin, Iga Mainur, 2012. Ilmu sosial budaya dasar

kebidanan: pengantar dan teori. Jakarta: ECG

Wibowo, Adik, 1993 Kesehatan Ibu di Indonesia: Status "Praesens" dan Masalah yang dihadapi di lapangan. Makalah yang dibawakan pada Seminar " Wanita dan Kesehatan", Pusat Kajian Wanita FISIP UI, di Jakarta

Widayatun. Program penempatan bidan di Idesa di Indonesia dan Tingkat Pemanfaatan

Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak. Buletin Pengkajian Masalah Kependudukan dan

Pembangunan X (1-3) 1999.

Profil Kesehatan: Profil Kesehatan Kabupaten Gayo Lues

Profil Kesehatan Puskesmas Pintu Rime

Profil Kesehatan Kota Banda Aceh

Profil Kesehatan Kabupaten lebak

Profil Kesehatan Puskesmas Cirinten

Profil Kesehatan Kota Cilegon

Page 579: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

555

Profil Kesehatan Puskesmas Citangkil

Profil Kesehatan Kabupaten Landak

Profil Kesehatan Puskesmas Semata

Profil Kesehatan Kota Pontianak

Profil Kesehatan Puskesmas Karya Mulya

Profil Kesehatan Kabupaten Jeneponto

Profil Kesehatan Puskesmas Arungkeke

Profil Kesehatan Kota Makasar

Profil Kesehatan Puskesmas Kasi Kasi

Profil Kesehatan Kabupaten Bima

Profil Kesehatan Puskesmas Parado

Profil Kesehatan Kota Mataram

Profil Kesehatan Puskesmas Karang Pule

Profil Kesehatan Kabupaten Halmahera Selatan

Profil Kesehatan Puskesmas Mateketen

Profil Kesehatan Kota ternate

Profil Kesehatan Puskesmas Kota Ternate

Page 580: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

556

LAMPIRAN

Tabel 4.5.1. Lima Unsur Budaya di 6 Desa (Kabupten) terkait KIA di Lokasi Penelitian

Kecamatan/ Kabupaten

Unsur Budaya

Pengetahuan/ Pendidikan

Mata pencaharian

Nilai/ Kepercayaan

Orsosmas/kekerabatan

Peralatan/ Teknologi

Kec. Pining Gayo Lues

Tingkat

pendidikan

kurang

Pengetahuan

KIA baik

(kesulitan menangkap dan mengikuti program baru. Tidak mau mengikuti persyaratan Jampersal)

Perkebunan

sereh wangi,

coklat, kemiri,

ladang ganja

terbaik

(Sibuk

bekerja,

kurang

terpapar

dengan

sosialisasi

Jampersal)

Ritual Islam +

kepercayaan

animisme (ilmu

njma + ilmu

hitam), air

suluh, Nite

(Masyarakat

curiga dengan

orang baru dan

informasi baru.

Kurang yakin

dengan Nakes

dan Jampersal

karena dukun

ada ritual dan

tidak dibayar)

Interaksi antar

masy baik

Interaksi dg

bidan baik

Interaksi

dukun-bidan

baik

(Toma, dukun

tidak paham

Jampersal,

tidak berperan

dalam

mendukung

pemanfaatan

Jampersal)

Listrik ada

siang saja, air

tanah, sebag

perpipaan, TV

ada, signal

tidak ada,

daerah

terpencil

(Masyarakat

sulit

mendapat

informasi

Jampersal

melalui media,

sulit Tranport

rujukan

Kec. Cirinten Lebak

Tingkat pendidikan kurang Pengetahuan KIA baik

Perkebunan cengkeh, pertanian yang jauh

Banyak ritual Islam, keagamaan, Jimat

Interaksi masy dgn bidan baik Interaksi bidan-dukun baik.

Listrik ada, TV ada air sungai, Ada yang tdk dpt signal HP, daerah terpencil tdk ada kendaraan roda 4

Kec. Ngabang Landak

Tingkat

pendidikan

kurang

Pengetahuan

KIA baik

Berkebun,

menginap

Ritual Kristen,

Mitos

interaksi

suami-istri

bagus, info

Jampersal bisa

tersampaikan

Tidak ada

signal hp.

Saluran siaran

TV ada

Kec. Makian Barat Halmahera Selatan

Tingkat

pendidikan

kurang

Pengetahuan

KIA cukup

Petani kenari,

cengkeh, pala,

pedagang di

Ternate

Islam, banyak

mitos, percaya

gaib, Air amal,

bapanas, bakira

Interaksi

masyarakat-

dukun baik

Interaksi

masy-bidan

baik

Interaksi

dukun-bidan

cukup

Listrik genset

(malam), air

bagus,

transportasi

jalan, roda 2,

daerah

terpencil

Page 581: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

557

Kec. Parado Bima

Tingkat

pendidikan

baik, persepsi

tingkat

pendidikan

penting

Pengetahuan

baik

Hutan kemiri,

pertanian

lokasi jauh

dari rumah

Banyak Ritual

Islam, percaya

hal gaib,

sempuru

(ramuan

sembur), air

do’a

Interaksi

masyarakat-

dukun baik

Interaksi

bidan –dukun

baik

Interaksi

masy-bidan

kurang, bidan

baru

ditempatkan

Listrik 24 jam,

air lancar,

signal hp

sebagian tidak

ada

Kec.

Arungkeke

Jeneponto

Tingkat

pendidikan

dan

Pengetahuan

cukup

Nelayan,

petani garam

Banyak Ritual

Islam, Percaya

gaib, jampi,

manusia jadi-

jadian, air do’a,

tiup-tiup.

Interaksi masy

masy-bidan

cukup

Interaksi

masy-dukun

baik

Interaksi

dukun-bidan

baik

Listrik 24 jam,

air mudah,

signal hp, TV

bagus

Page 582: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

558

Tabel 4.5.2. Lima Unsur Budaya di 6 Kota terkait KIA di Lokasi Penelitian

KOTA BUDAYA

Pengetahuan/ Pendidikan

Mata pencaharian

Nilai & Kepercayaan

Orsosmas Teknologi

1 Banda Aceh Pendidikan baik, pengetahuan baik

Pedagang, PNS,

Ritual Islam + tidak banyak kepercayaan, tradisi, budaya dukun masih ada/jarang tetapi dari luar daerah (Bugis, Madura)

Interaksi masy baik, Inter dg bidan baik, Dukun jarang Toma tidak paham Jampersal,

Listrik (+), TV (+), air perpipaan, transportasi mudah

2 Cilegon Pendidikan baik, Pengetahuan KIA bagus

Industri/buruh, pedagang, PNS

Ritual Islam >> keagamaan, Jimat, kepercayaan, Budaya dukun masih tetapi dukun sudah tua tidak ada regenerasi

Interaksi masy baik , dg bidan baik. Interaksi bidan-dukun baik. Dukun jarang, tdk melakukan sosialisasi, mobilitas tinggi warga pendatang

Listrik (+), TV (+), air perpipaan, transportasi mudah

3 Pontianak Pendidikan kurang, pengetahuan KIA baik

Buruh, PNS, pedagang,

Ritual Kristen <<, Mitos >> tdk menganggu pemanfaatan jamp

-interaksi suami-istri bagus, shg info jamp tersampaikan, dukun jarang -Toma tdk terlalu berperan

Listrik (+), TV (+), air perpipaan, transportasi mudah, angkutan umum (-) belum merata

4 Ternate Pendidikan baik, Pengetahuan baik,

Petani cengkeh, PNS, pedagang

Islam, Mitos>>, ritual adat kuat, percaya gaib, budaya dukun, tiup-tiup, Air amal, bapanas, bakira, Ritual 44 hari

Interak masy baik, masy-dukun baik, masy-bidan kurang baik, dukun-bidan: kurag, peran Toma thd kes kurang

Listrik (+), TV (+), air perpipaan, transportasi mudah kecuali Marekurubu (bukit)

5 Mataram Pendidikan baik, Tk pendidikan penting, Pengetahuan baik

PNS, wiraswasta, pedagang

Ritual Islam (+), percaya hal gaib, air do’a, masih ada dukun

Interksi masy baik, budaya dukun masih banyak, masyarakat dukun baik, bidan –dukun baik , masy-bidan kurang, bidan baru ditempatkan , bidan dari masy setempat, tuan

Listrik (+), Saluran TV (+), air perpipaan, transportasi mudah

Page 583: Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jampersal

559

guru sebagai rujukan

6 Makassar Pendidikan , Pengetahuan cukup

Pedagang/ wiraswasta, PNS

Ritual Islam >>, Dukun tidak ada

Interaks masy Baik, masy-bidan: cukup,

Listrik (+), TV (+), air perpipaan, transportasi mudah

-