PERAN INTERNATIONAL ATOMIC ENERGY AUTHORITY (IAEA...

133
PERAN INTERNATIONAL ATOMIC ENERGY AUTHORITY (IAEA) TERHADAP PELANGGARAN PENGEMBANGAN TENAGA NUKLIR UNTUK TUJUAN DAMAI MENURUT HUKUM INTERNASIONAL SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung Oleh : Ari Haryadi NPM : 10040004001 Dibawah Bimbingan: Irawati, S.H.,M.H FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG 2011

Transcript of PERAN INTERNATIONAL ATOMIC ENERGY AUTHORITY (IAEA...

PERAN INTERNATIONAL ATOMIC ENERGY AUTHORITY

(IAEA) TERHADAP PELANGGARAN PENGEMBANGAN

TENAGA NUKLIR UNTUK TUJUAN DAMAI MENURUT

HUKUM INTERNASIONAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Islam Bandung

Oleh : Ari Haryadi NPM : 10040004001

Dibawah Bimbingan: Irawati, S.H.,M.H

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

2011

MOTTO

“Jangan sekali-kali merasa kesepian di atas jalan kebenaran hanya karena sedikit orang yang berada disana”

-Ali Bin Abi Thalib-

Artinya : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”

--(QS Al Baqarah : 164)-

“Skripsi ini penulis persembahkan kepada Alm. Ayahanda tercinta semoga amal

ibadahnya di terima di sisi Allah SWT “

i

ABSTRAK

International Atomic Energy Agency (IAEA) memiliki wewenang dalam mengawasi negara-negara yang memiliki kekuatan nuklir, ada negara yang terang-terangan tidak mau tunduk dan tidak mau terlibat kedalam Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT), ada pula negara yang secara diam-diam melakukan pengembangan senjata nuklir. Penelitian ini dilaksanakan dengan metode yang di gunakan adalah Deskriftif Analisis dan pendekatan penelitian ini adalah pendekatan secara Yuridis Normatif.

International Atomic Energy Agency (IAEA) memiliki kewenangan untuk membuat standar keselamatan penggunaan energi nuklir (Safeguard) untuk tujuan damai yang akan gunakan oleh negara sebagaimana di atur di dalam Article III dari Statuta IAEA, serta di atur pula di dalam Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) Artikel III Ayat 1-3 yang merupakan perjanjian internasional yang mencerminkan suatu sifat mengikat antara Negara yang menciptakan hak dan kewajiban secara hukum diantara para pihak yang mengadakan persetujuan mengenai masalah-masalah yang di maksudkan di dalam perjanjian tersebut.

Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) sebagai perjanjian internasional yang di buat dalam kerangka organisasi internasional memiliki batas-batas. Batas-Batas tersebut sebagaimana diatur dalam pasal 5 konvensi wina 1969 yaitu bahwa perjanjian internasional merupakan instrumen pokok dari organisasi internasional tanpa harus mengurangi arti dari setiap aturan yang relevan dari organisasi tersebut, dengan kata lain bahwa pembentukan Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) tidak bertentangan dengan Statuta IAEA.

ii

ABSTRACT

International Atomic Energy Agency (IAEA) has the authority in overseeing the countries that have nuclear power, there are states which openly do not want to bow and not get involved into the Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT), there is also a country that is secretly to develop nuclear weapons. The research was carried out by the method used is descriptive analysis and the approach of this research is normative juridical approach.

International Atomic Energy Agency (IAEA) has the authority to make the safety standards of use of nuclear energy (Safeguard) for peaceful purposes to be used by the state as the set in Article III of the Statute of the IAEA, and the set also in the Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) Article III Section 1-3 which is an international treaty that reflects the binding properties between the State which creates legal rights and obligations among the parties who entered into agreements on matters which are intended in the agreement.

Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) as an international treaty that created within the framework of international organizations have boundaries. The limits are as provided in article 5 of the 1969 Vienna Convention treaty was the principal instrument of an international organization without prejudice of any relevant rules of the organization, in other words that the formation of the Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) does not contradict with the IAEA Statute.

iii

KATA PENGANTAR

Bismilahirrahmanirrahim

Alhamdullilahirrabil’alamin, segala puji dan syukur bagi Allah SWT,

karena rahmat dan keridhaan-nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang

berjudul “Peran International Atomic Energy Agency (IAEA) Terhadap

Pelanggaran Pengembangan Tenaga Nuklir Untuk Tujuan Damai Menurut

Hukum Internasional” Tidak lupa penulis panjatkan Shalawat dan salam kepada

Nabi besar Muhammad SAW beserta Ahlul Bait-nya yang suci dalam

memperjuangkan ajaran Allah hingga sampai akhir hidup penulis akan tetap

pegang teguh ajaran yang disampaikan beliau.

Keberhasilan penulis ini tidak lepas dari dukungan dan bantuan berbagai

pihak. Karena itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Dr. Asyhar Hidayat., S.H.,M.H selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Islam Bandung;

2. Ibu Irawati.,S.H.,M.H, sebagai dosen pembimbing yang telah

meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam penyusunan

skripsi ini;

3. Dr. Oentong Wahyoe, S.H.,M.H, sebagai dosen penelaah yang telah

memberikan saran, kritik dan arahannya kepada penulis;

4. Ahmad S Abdullah, SH.,MH selaku dosen wali selama penulis

menempuh studi di Fakultas Hukum;

iv

5. Drs. Arinto Nurcahyo M.Hum yang telah menyempatkan waktunya

disela-sela kesibukannya untuk berbagi cerita filsafat dengan penulis;

6. Bpk Husni Syam S.H., L.L.M terima kasih sudah mau berbagi

pengalaman hidup selama perkuliahan;

7. Seluruh dosen-dosen Fakultas Hukum Unisba yang telah memberikan

pengetahuan kepada penulis;

8. Terima kasih kepada seluruh Staff Akademik Fakultas Hukum

Unisba;

9. Adikku (Heru Hamdani, Angga Adi Guna Saputra, dan Tia Purnama

Sari) cinta dan kasih sayang untuk kalian bertiga. Abang (Ade)

semoga masih ingat sama kami berempat. Ua Mumu, Ua Yadi, Mang

Mulyani, Bibi Ety, Ua Ocih, Mang Supdi, Bibi Euis, dan Eni atas doa

dan nasehat-nasehatnya kepada penulis;

10. Keluarga besar di Pangandaran-Ciamis, Bogor, Jakarta dan

Pandeglang-Banten yang selalu mendorong penulis untuk

menyelesaikan studi di Fakultas Hukum;

11. Sahabat-sahabat di Komunitas Music Hardcore Pandeglang-Bom

Active Crew (Agus, Sakmad, Husein, Fanny, Ozy, dan Desta) yang

selalu mendukung penulis semoga bisa berkumpul kembali;

12. Kawan-kawan seperjuangan di organisasi kemahasiswaan: Himpunan

Mahasiswa Islam (HMI), Fordismapelar Periode 2005-2007, Asrama

Kumandang-Bandung, BEM-FH Unisba Periode 2004-2006, Studi

Philosophie and Social Science (SPSS), dan International Law Student

v

Forum (ILSF) Periode 2005-2006 yang banyak memberikan

pengetahuan dan pengalaman kepada penulis;

13. Kawan-kawan seperjuangan Mahasiswa Fakultas Hukum UNISBA

Angkatan 2002, 2003 dan 2004, akhirnya dapat menyelesaikan studi

di fakultas hukum bersama-sama;

14. Kawan-kawan alumni Fakultas Syariah Unisba Rangga, Rantau, Iwan,

Iman, dan Emil terima kasih atas Share wacana keislamnannya;

15. Kawan-kawan di UNPAD: Fuad, Angga De lova, Isni, Nandang,

Adang, Asep, Yunik, Azhar Riyadi dan Satria. Senang bisa kenal

kalian;

16. Kawan-kawan UPI: Ade Chandra Waskita, Heru, Edison dan

Suryanto, sukses selalu;

17. Terima kasih kepada Mas Imam yang sudah mau mengajari penulis

Logika secara intensif;

18. Kawan-kawan senior Himpunan Mahasiswa Islam HMI se-Cabang

Bandung, maaf kalo kalian sering aku lawan dan terima kasih atas

pembelajarannya selama ini;

19. Fakhrozi Derriyan S.H (Kojek), Yudi (Jim`s), Surya S.H

(superheroes) S.H, Riki Arya Putra S.H dan Mugia Rachman S.H

terima kasih untuk peminjaman komputer dan notebooknya selama

penulis mengerjakan skripsi serta mau nongkrong di kosn penulis

yang sempit berlama-lama (Tuhan bersama kita);

vi

20. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terkasih Constantin

Safira S.H yang selama ini membantu penulis baik secara materil

maupun moril. Semoga kesabaran membuahkan hasil yang

membahagiakan.

Terima kasih yang tak terhingga kepada Almarhum Ayahanda (Bapak

Samid) tercinta yang telah lebih dulu meninggalkan kami sekeluarga, semoga

amal ibadah ayahanda di terima di sisi Allah SWT, terima kasih juga yang tak

terhingga dan tak terukur oleh apapun penulis sampaikan kepada ibunda (Tita

Rosita) tercinta yang selalu mencurahkan hati dan hari-harinya untuk mengurus

kami buah hati kalian. Sayang dan bakti ananda untukmu.

Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis

dan umumnya bagi yang membacanya. Penulis mengharapkan saran dan kritik

yang membangun untuk perbaikan di masa yang akan datang

Wassalamu`alaikum Wr.Wb

Bandung, Agustus 2011

Ari Haryadi

vii

DAFTAR ISI

Hal

LEMBAR PENGESAHAAN

MOTTO

LEMBAR PERSEMBAHAN

ABSTRAK........................................................................................................... i

ABSTRACT................................................................................................. ii

KATA PENGANTAR......................................................................................... iii

DAFTAR ISI....................................................................................................... vii

BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang............................................................................................ 1

B. Identifikasi Masalah.................................................................................... 6

C. Tujuan Penelitian........................................................................................ 7

D. Kegunaan Penelitian................................................................................... 7

E. Kerangka Pemikiran................................................................................... 7

F. Metode Penelitian...................................................................................... 17

G. Sistematika Penelitian............................................................................... 18

BAB II WEWENANG INTERNATIONAL ATOMIC ENERGY AGENCY (IAEA) DALAM MENGAWASI PENGGUNAAN TENAGA NUKLIR UNTUK TUJUAN DAMAI OLEH NEGARA-NEGARA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

A. Sejarah Pembentukan International Atomic Energy Agency (IAEA) Sebagai Badan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa ............................... 20

B. International Atomic Energy Agency (IAEA) Sebagai Subyek Hukum Internasional.............................................................................................. 24

C. Pembentukan Perjanjian Internasional Oleh International Atomic Energy Agency (IAEA).......................................................................................... 39

BAB III PERAN INTERNATIONAL ATOMIC ENERGY AGENCY (IAEA) SEBAGAI SUBYEK HUKUM INTERNASIONAL YANG MENGATUR

viii

PENGEMBANGAN TENAGA NUKLIR UNTUK TUJUAN DAMAI MENURUT STATUTA IAEA

A. Struktur Organisasi International Atomic Energy Agency (IAEA) Sebagai Badan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa............................................. 55

B. Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) Sebagai Sumber Hukum Internasional Yang Mengatur Pengembangan Tenaga Nuklir Untuk Tujuan Damai........................................................................................................ 70

C. Resolusi Yang Dikeluarkan Oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Terkait Pelanggaran Pengembangan Nuklir Untuk Tujuan Damai........................................................................................................ 76

BAB IV PERAN INTERNATIONAL ATOMIC ENERGY AGENCY (IAEA) TERHADAP PELANGGARAN PENGEMBANGAN TENAGA NUKLIR UNTUK TUJUAN DAMAI MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

A. Peran International Atomic Energy Agency (IAEA) Terhadap Pelanggaran Pengembangan Tenaga Nuklir Untuk Tujuan Damai............................... 84

B. Pengaturan Pengembangan Tenaga Nuklir Menurut Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT)..................................................................... 101

C. Penerapan Sanksi Terhadap Pelanggaran Pengembangan Tenaga Nuklir Untuk Tujuan Damai............................................................................... 109

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan................................................................................................. 115

B. Saran........................................................................................................ 116

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Energi nuklir adalah tipe teknologi yang penggunaannya harus secara

terkendali. Kecelakaan yang diakibatkan penggunaan energi nuklir sangat

berbahaya serta berakibat fatal bagi kehidupan1. Menyadari akibat nuklir tersebut

yang sangat berbahaya bagi kehidupan mahluk hidup, Negara-negara sepakat

melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk membentuk badan khusus yang

menangani masalah nuklir, badan khusus yang di maksud adalah International

Atomic Energy Agency (IAEA).

International Atomic Energy Agency (IAEA) merupakan badan khusus

yang otonom dibawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),

International Atomic Energy Agency (IAEA) bertujuan untuk mengembangkan

dan memperluas pemanfaatan sumber daya nuklir untuk berbagai tujuan yang

bersifat damai, serta menjadi badan pengawas untuk negara-negara yang ikut

menandatangani atau menyatakan diri terikat kedalam Nuclear Non-Proliferation

Treaty (NPT)2.

International Atomic Energy Agency (IAEA) dalam melaksanakan

perannya harus berhadapan dengan berbagai macam negara. Ada negara yang

1 Akibat penggunaan nuklir dalam jumlah yang begitu besar dapat mengakibatkan reaksi berantai

yang dapat menghancurkan sebuah kota atau wilayah dengan radius yang cukup luas serta dapat menghasilkan ledakan, panas, api, radiasi, dan cahaya yang intensif. Setengah dari korban yang tewas dari penggunaan nuklir pada dasarnya meninggal dua hingga lima tahun setelah ledakan nuklir akibat radiasi. Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/teknologi_nuklir, 16 November 2010.

2 Adel El-gorary, Ahmadinnejad: The Nuclear Savior of Teheran, Pustaka Iman, Jakarta, 2008.hlm.278-279.

2

terang-terangan tidak mau tunduk dan tidak mau terlibat kedalam Nuclear Non-

Proliferation Treaty (NPT), ada pula negara yang secara diam-diam melakukan

pengembangan nuklir bukan untuk damai3.

Negara yang memiliki program senjata nuklir merupakan negara-negara

yang tergabung kedalam Group Nuklir. Group Nuklir merupakan anggota dari

International Atomic Energy Agency (IAEA) yang memiliki program senjata

nuklir yang terdiri atas Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Prancis, dan Cina yang

ikut menanda tangani perjanjian pelarangan untuk transfer senjata nuklir. Di

samping itu, ada pula beberapa negara yang memiliki kemampuan untuk

mengembangkan senjata nuklir seperti Iran, Jerman, Kanada, Belanda, Italia,

Belgia, Spanyol, Swedia, Polandia, Korea Selatan, Indonesia dan Jepang yang

memiliki Reaktor Atom untuk Produksi Uranium lebih dari level 3,5%, juga

terdapat sejumlah negara yang lebih dulu mengembangkan program nuklir namun

belum pernah mencapai tahap kesempurnaan, sedangkan untuk mencapai

kesempurnaan memproduksi senjata nuklir dibutuhkan uranium level 92% dari

uranium 2354.

Ketegangan menyangkut program nuklir dimulai semenjak dunia

mengenal uji coba senjata nuklir pada era perang dunia. Selama kurun waktu

perang berlangsung tercatat Amerika Serikat paling banyak menggelar uji coba

nuklir yakni 1.030 kali pengujian. Amerika Serikat meledakkan senjata nuklir

pertama kali dalam sebuah percobaan dengan nama "Trinity", dekat Alamogordo,

New Mexico, pada tanggal 16 Juli 1945. Percobaan ini untuk menguji cara

3 Muhamad Awan, Rahasia Nuklir Israel, Navila Idea, Yogyakarta, 2010,hlm.37 4 Adel El-Gogary, op.cit,hlm.277-278

3

peledakkan nuklir yang kemudian menyusul diledakannya Bom Uranium, “Little

Boy” di kota Hiroshima diikuti dengan peledakkan Bom Plutonium “Fat Man” di

Nagasaki, pada tanggal 6 Agustus 1945, kedua bom nuklir tersebut diledakan di

wilayah negara Jepang. Menyusul uji coba nuklir berikutnya di lakukan oleh Uni

Soviet dengan 1715 kali pengujian dengan meledakkan senjata fisi nuklir

pertamanya, Prancis 210 kali pengujian, Inggris 45 kali pengujian, dan Cina 43

kali pengujian. Serta dalam kurun waktu tahun 1945 sampai tahun 1996, didunia

telah terjadi 2.044 kali uji coba senjata nuklir yang dilakukan di berbagai lokasi di

dunia5. Delapan tahun berselang setelah uji coba bom atom, Presiden Amerika

Serikat pada waktu itu, Dwight D Eisenhower, mengutarakan gagasan pentingnya

penggunaan atom untuk tujuan damai6. Sejak uji coba peledakkan tersebut, tidak

ada senjata nuklir yang dilepaskan secara ofensif. Namun, perlombaan untuk

mengembangkan senjata nuklir terjadi pada tahun-tahun berikutnya7.

Penegaskan urgensi perlucutan senjata nuklir adalah karena negara pemilik

senjata nuklir adalah ancaman sejati perdamaian dan keamanan dunia. Negara

pemilik senjata nuklir bukan hanya tidak menepati komitmen internasional,

bahkan kini sedang bergerak untuk mempercanggih senjata penghancur massal

dan mengancam pihak lain baik yang tidak memiliki teknologi nuklir sama sekali

atau pun negara-negara yang kemampuan teknologi nuklirnya tidak sama dengan

negara pemilik senjata nuklir. Produksi dan kepemilikan senjata nuklir merupakan

tindakan yang senantiasa bertentangan dengan kemanusiaan. Tanpa senjata nuklir

dunia bisa mewujudkan stabilitas, keamanan dan perdamaian permanen. Dengan 5 Lina Nursanty, Uji Coba Senjata Nuklir, Pikiran Rakyat,19 Oktober 2009,hlm.25 6 http://bataviase.co.id/detailberita, 22 November 2010 7 http://en.wikipedia.org/wiki/teknologi_nuklir, 19 November 2010

4

demikian, tuntutan masyarakat internasional hanya bisa diwujudkan dengan

pemahaman yang baik atas kondisi yang ada saat ini dimana negara-negara yang

memiliki program nuklir harus bertujuan untuk damai8.

Perang nuklir dalam skala yang besar akan menjadi bencana bukan hanya

bagi pihak yang terlibat perang tetapi juga pada umat manusia dan tidak akan

menghasilkan apapun bagi manusia. Jika semua senjata nuklir yang ada sudah di

hancurkan dan ada perjanjian untuk tidak membuat yang baru, maka perang

senjata nuklir dapat dihindari9.

Dalam masyarakat internasional dewasa ini, perjanjian internasional

memainkan peranannya yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan

pergaulan antar Negara untuk tercapaianya keamanan dan ketertiban dunia.

Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) sebagai suatu instrumen yuridik yang

menampung kehendak dan persetujuan negara atau subyek hukum internasional

pada hakekatnya merupakan sumber hukum internasional yang utama dalam

pengembangan teknologi nuklir untuk tujuan damai.

Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) dapat menjadi harapan baru bagi

masyarakat internasional agar terhindar dari bahaya perang nuklir, serta

memanfaatkan pengembangan tersebut secara damai. Perjanjian tersebut

ditandatangani oleh lima Negara bersenjata nuklir atau yang disebut Nuclear

Weapon States (NWS) yang terdiri dari Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Prancis,

dan Cina, serta bersama 189 negara lainnya yang disebut sebagai Non-Nuclear

8 http://indonesian.irib.ir/:strategi-iran-lucuti-senjata-nuklir-dunia-nuklir, 22 Novemver 2010 9 Bertrand Russel, Akal Sehat Dan Ancaman Nuklir, Ikon Teralitera, malang, 2002,hlm.23-24

5

Weapon States (NNWS)10. Semenjak berlakunya Nuclear Non-Proliferation

Treaty (NPT) pada tanggal 5 maret 1970 yang telah diratifikasi oleh Inggris, Uni

Soviet, Amerika Serikat, dan 40 negara lainnya. sampai kurang lebih tiga dekade

perjalanannya, perjanjian tentang pengembangan program tenaga nuklir untuk

damai justru lebih banyak menimbulkan ketimpangan stabilitas keamanan dunia

yang di cita-citakannya11. Sejauh ini telah ada 191 negara yang masih terikat ke

dalam Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) di bawah pengawasan

International Atomic Energy Agency (IAEA) 12.

Meskipun Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) bersifat internasional,

namun masih ada Negara yang tidak ikut menandatangani dan tidak menjalankan

perjanjian tersebut atau tidak mau tunduk terhadap perjanjian. Terdapat tiga

Negara yang melakukan pengembangan nuklir namun tidak termasuk kedalam

Negara penandatangan Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) serta memiliki

instalasi pengembangan senjata nuklir, negara tersebut antara lain India, Pakistan

dan Israel yang memiliki hampir 300 hulu ledak nuklir13.

Pelanggaran terhadap Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) sebagai

perjanjian internasional apabila diselidiki sebabnya sering mempunyai alasan atau

latar belakang yang cukup kuat, pelanggaran yang dilakukan tidak lagi dengan

begitu saja dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran hukum internasional14.

Sebagai mana yang terjadi pada negara anggota Nuclear Non-Proliferation Treaty

10 Ari Nursanty, Masalah Nuklir Tak Kunjung Berakhir, Pikiran Rakyat,29 Desember 2009. 11 Javad Zarif, Sanksi Atas Iran: Zero-Sum Game, Bulletin SY`IAR, Edisi Muharam 1428H, 23

Desember 2007. 12 http://en.wikipedia.org/wiki/Nuclear_Non-Proliferation_Treaty, 12 oktober 2010. 13 Muhamad Awan, op.cit,hlm,43 14 Mochtar Kusumaatmaadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003,hlm.66

6

(NPT) yang di kenakan sanksi berupa resolusi oleh Dewan keamanan Perserikatan

Bangsa-Bangsa (DK PBB) untuk menghentikan program nuklirnya. Namun masih

tetap melakukan aktifitasnya dalam melakukan pengembangan teknologi nuklir.

Terkait Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) tersebut sebagai

perjanjian yang di buat oleh para pihak atau negara-negara dalam kerangka

organisasi internasional merupakan sumber hukum internasional untuk

pengembangan program nuklir tujuan damai bagi negara-negara yang terikat

kedalam perjanjian, Sehingga pengembangan program nuklir dapat di gunakan

untuk tujuan damai, demi kesejahteraan masyarakat internasional.

Berdasarkan uraian kasus diatas, penulis bermaksud untuk meneliti dan

menganalisisnya kedalam bentuk karya tulis ilmiah dengan judul:

“PERAN INTERNATIONAL ATOMIC ENERGY AGENCY (IAEA)

TERHADAP PELANGGARAN PENGEMBANGAN TENAGA NUKLIR

UNTUK TUJUAN DAMAI MENURUT HUKUM INTERNASIONAL”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian diatas dan untuk memudahkan pembahasan maka

dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana Peran International Atomic Energy Agency (IAEA) terhadap

pelanggaran pengembangan tenaga nuklir untuk tujuan damai Menurut

Hukum Internasional?

2. Bagaimana Pengaturan pengembangan tenaga Nuklir Menurut Nuclear

Non-Proliferation Treaty (NPT)?

7

3. Bagaimana penerapan Sanksi terhadap pelanggaran pengembangan tenaga

Nuklir untuk tujuan Damai?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis peran dari International Atomic

Energy Agency (IAEA) dalam mengawasi pengembangan tenaga nuklir

untuk tujuan damai.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis sejauhmana Nuclear Non-

Proliferation Treaty (NPT) telah di terapkan oleh negara-negara di dalam

melakukan pengembangan nuklir untuk tujuan damai.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis sanksi terhadap pelanggaran

pengembangan nuklir untuk tujuan damai.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah :

1. Kegunaan Teoritis

Berguna bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya mengenai mata

kuliah hukum perjanjian internasional.

2. Kegunaan Praktis

Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan pengetahuan

bagi penulis, instansi-instansi pemerintah, swasta, lembaga swadaya

masyarakat, serta masyarakat yang berminat.

E. Kerangka Pemikiran

8

Organisasi internasional merupakan bentuk kerja sama yang bersifat

internasional yang bertujuan untuk memelihara perdamaian dan keamanan dunia.

Suatu organisasi internasional baru ada bila negara-negara menghendakinya dan

kehendak tersebut di tuangkan di dalam perjanjian internasional, organisasi

internasional di sebut juga sebagai subyek buatan karena keberadaannya adalah

sebagai akibat kehendak bersama negara-negara15.

Subyek hukum dari suatu sistem hukum adalah semua yang menurut

ketentuan hukum diakui mempunyai kemampuan untuk bertindak. Didalam

hukum internasional subyek-subyek tersebut termasuk negara, organisasi

internasional dan kesatuan-kesatuan lainnya16.

Organisasi internasional dapat pula berkedudukan sebagai badan hukum

internasional. Badan hukum internasional adalah badan yang berkedudukan

sebagai subyek internasional publik yang dapat dibebani hak dan kewajiban. Hak

dan kewajiban badan hukum internasional dibatasi oleh tugas organisasi

tersebut17.

Organisasi internasional dalam pengertian yang luas adalah bentuk

kerjasama antar pihak-pihak yang bersifat internasional. organisasi Internasional

disini adalah organisasi internasional publik yang anggota-anggotannya terdiri

Negara-negara, karena itu disebut juga organisasi antar pemerintah (inter-

govermental organization), namun pada umumnya disebut sebagai organisasi

internasional dan agar organisasi internasional tersebut mempunyai status publik,

15Boer Mauna, Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2005., hlm.467 16Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional, Alumni, Bandung,

1997,hlm 45 17Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2010,

hlm.172-173

9

maka harus di bentuk dengan suatu persetujuan internasional atau lazim disebut

instrument pokok (constituent instrumen)18.

Instrument pokok (constituent instrumen) dapat memuat asas dan tujuan

organisasi internasional, menetapkan landasan kerja dan arah kegiatan organisasi

tersebut. Tujuan organisasi internasional juga menentukan kepentingan yang

dikelola organisasi internasional. Cara kerja organisasi internasional menentukan

cara dalam melakukan bagian pekerjaannya, baik yang berupa pembuat keputusan

maupun yang berupa pelaksanaan keputusan19. Penetapan asas dan tujuan tersebut

merupakan sumber hukum bagi organisasi internasional untuk melakukan

perannya sebagai subyek hukum internasional untuk menjaga perdamaian dan

keamanan dunia.

Sifat heterogen masyarakat internasional telah semakin meningkatkan

perjanjian-perjanjian internasional sebagai sumber hukum utama dari hukum

internasional umum20. Persetujuan bersama yang dirumuskan dalam perjanjian

internasional merupakan sumber hukum untuk mengatur kegiatan Negara-negara

atau subyek hukum internasional lainnya di dunia. Bentuk persetujuan bersama

yang dirumuskan dalam sebuah perjanjian internasional merupakan sumber

hukum untuk mengatur kegiatan Negara-negara atau subyek hukum internasional

lainnya di dunia.

Sumber hukum dipakai sebagai arti dasar berlakunya hukum. sumber

hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan yang mengikat dan

18 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Perjanjian Internasional, PT. Tatanusa, Jakarta, 2008 ,hlm.39 19 Sugeng Istanto, op.cit, hlm.173 20G.J.H Van Hoof, Pemikiran Kembali Sumber Hukum Internasional, Alumni, Bandung,2000,

hlm.40

10

memaksa sehingga apabila aturan itu dilanggar akan menimbulkan sanksi yang

tegas dan nyata bagi pelanggarnya21. Sedangkan Hans Kelsen dalam buku teori

hukum murni menyatakan bahwa22 :

“istilah sumber hukum digunakan bukan hanya untuk menyebut metode-metode pembentukan hukum, tetapi juga digunakan untuk mengkarakterisasi landasan bagi validitas hukum”. Sumber hukum Internasional, sebagaimana mana hukum pada umumnya,

mengenal sumber hukum formil dan sumber hukum materil. Sumber hukum

formil adalah sumber hukum yang memberikan kekuatan hukum pada suatu

peraturan tertentu, sedangkan sumber hukum materil adalah dari mana subtansi

hukum diambil23. Menurut J.G Starke, sumber hukum materil hukum

internasional dapat didefinisikan sebagai berikut 24:

“Bahan-bahan aktual yang digunakan oleh para ahli hukum internasional untuk menetapkan hukum yang berlaku bagi suatu peristiwa atau situasi tertentu”. Sumber hukum adakalanya diartikan lain, menurut Mochtar

Kusumaadmatja, ada sumber hukum dalam arti yang ketiga yaitu 25:

“Sumber hukum yang meneliti faktor kausal atau penyebab yang turut membantu dalam pembentukan kaidah. sumber hukum dalam artian ketiga lebih terletak dalam bidang luar hukum (ekstra yuridis), sebagaimana juga masalah sumber hukum materil merupakan sumber hukum ekstra yuridis yakni pada hakekatnya merupakan persoalan falsafah” Doktrin sumber hukum internasional dapat berfungsi juga menyiratkan

suatu pendekatan Softlaw. Pendekatan Softlaw merupakan sumbangan yang

cukup besar terhadap doktrin hukum internasional. Softlaw sedikit banyak

21 Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, P.T Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm.91 22 Hans kelsen, Teori Hukum Murni, Rimdi Press, Bandung. 1995,hlm.133 23 G.J.H Van Hoof, op.cit, hlm.418 24 Boer Mauna, op.cit., hlm.8 25 Mochtar Kusumaadmatja, op.cit, hlm 115

11

memperkuat persepsi suatu perkembangan kearah keaneka ragaman yang

bertambah besar dalam sumber hukum yang menuntut pandangan yang lebih jauh

akan sangat jauh dalam intensitasnya. Sebagaimana menurut Mcnair bahwa26 :

“Softlaw mencoba menggambarkan implikasi-implikasi hukum dari instrumen-instrumen yang secara hukum tidak mengikat, terutama juga mengenai hubungannya dengan peraturan-peraturan hukum yang mapan (full fledged legal rules”).” Pendekatan terhadap sumber-sumber hukum internasional dilakukan

untuk memiliki kepastian dan kejelasan hubungan hukum antara hubungan-

hubungan masyarakat internasional.

Sumber-sumber hukum internasional dapat dilihat di dalam Pasal 38

Statuta Mahkamah Internasional, yaitu terdiri atas 27:

1. International convention, whether general or particular establishing rules expressly recognized by the constesting states;

2. International custom , as evidence of a general practice accepted as law;

3. The general principles of law recognized by civilized nations; 4. Subject to the provisions of article 59, judicial decision and the

teaching of the most highly qualified publicist of the various nations, as subsidiary means for the determinations of rules of law.

Perjanjian internasional yang dibentuk oleh negara-negara di dalam suatu

Organisasi Internasional menjadikan Organisasi Internasional memiliki

kedudukan sebagai subyek dalam hukum internasional yaitu sebagai Organisasi

Antar-Pemerintah (intergoverment organization) bukan non government

orgsanization28.

26 G.J.H Van Hoof, loc.cit, hlm.384 27 Sugeng Istanto, loc.cit, hlm. 20 28Sefriani, Hukum Internasional: Sebuah Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,

2010,hlm.144

12

Perjanjian internasional atau dalam bahasa Inggris-nya disebut dengan

“treaties” dan dalam bahasa Prancis disebut dengan “traiter” yang berarti

” perundingan” dimaksudkan sebagai instrumen internasional yang mempunyai

sifat mengikat. Instrumen hukum semacam itu mencerminkan suatu sifat

kontraktual antara Negara atau antar Negara dengan organisasi internasional yang

menciptakan hak dan kewajiban secara hukum diantara para pihak yang

mengadakan persetujuan mengenai masalah-masalah yang di maksudkan di dalam

perjanjian tersebut29.

Menurut Boer Mauna, Perjanjian Internasional diartikan sebagai berikut30 :

“Semua perjanjian yang dibuat oleh Negara sebagai salah satu subyek hukum internasional yang diatur oleh sumber hukum internasional dan berisikan ikatan-ikatan yang mempunyai akibat-akibat hukum”. Perjanjian internasional sebagai suatu perjanjian antara dua Negara atau

lebih yang dimana untuk mencari hubungan yang di atur oleh hukum

internasional.

Perjanjian Internasional Menurut Oppenheim adalah 31 :

“Perjanjian internasional merupakan persetujuan yang bersifat kontraktual antar Negara atau organisasi Negara yang menimbulkan hak dan kewajiban secara hukum bagi para pihak”. Pasal 2 ayat (1) Konvensi Wina 1969 tentang perjanjian internasional

menetapkan pengertian perjanjian internasional, yaitu:

““treaty” means an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation;”

29 Sumaryo Suryokusumo, Hukum ….op.cit, hlm.17 30 Boer Mauna, loc.cit, hlm.85 31 Sumaryo Suryokusumo, Hukum…..loc.cit,hlm.29

13

“Perjanjian” diartikan sebagai suatu persetujuan internasional yang dibuat antar Negara didalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, Apakah itu disusun dalam satu instrumen tunggal, dua atau lebih instrumen yang terkait dan apapun bentuknya yang dibuat secara khusus;”

Perjanjian-perjanjian yang dibuat antara Negara dalam organisasi

internasional atau antar organisasi internasional dapat pula kita lihat batasan-

batasannya di dalam Pasal 5 Konvensi Wina 1969, yaitu:

“The present Convention applies to any treaty which is the constituent instrument of an international organization and to any treaty adopted within an international organization without prejudice to any relevant rules of the organization.” “konvensi ini ditetapkan pada setiap perjanjian yang merupakan instrument pokok dari organisasi internasional dan pada setiap perjanjian yang disahkan dalam lingkungan suatu organisasi internasional tanpa mengurangi arti dari setiap aturan yang relevan dari organisasi tersebut” Kapasitas dalam membuat suatu perjanjian internasional tidaklah asli dan

bersifat parsial dalam artian kapasitas tersebut berasal dari kehendak Negara-

negara anggota yang dirumuskan dalam konstitusi suatu organisasi internasional

dan organisasi tersebut hanya dapat melakukan kegiatan dibidang yang termasuk

kedalam wewenangnya32.

Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) sebagai salah satu perjanjian

internasional dibuat dan ditandatangani oleh Negara-negara yang mengikatkan

diri kedalam perjanjian tersebut merupakan sumber hukum yang menjadi dasar

bagi Negara peserta dalam melakukan pengembangan tenaga nuklir. Perjanjian

tersebut merupakan dasar dimana pada akhirnya mengkerucut kepada sebuah

badan khusus yang bersifat sebagai pengawas dan penanggung jawab

32 Boer Mauna, loc.cit. hlm.86.

14

dilaksanakannya perjanjian tersebut yaitu Internasional Atomic Energy Agency

(IAEA).

Pengaturan mengenai pelarangan untuk penggunaan dan mengedarkan

senjata nuklir di atur dalam Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) Article I

yang di tujukan untuk negara-negara bersenjata nuklir (NWS) yaitu menyatakan:

“Each nuclear-weapon State Party to the Treaty undertakes not to transfer to any recipient whatsoever nuclear weapons or other nuclear explosive devices or control over such weapons or explosive devices directly, or indirectly; and not in any way to assist, encourage, or induce any non-nuclear-weapon State to manufacture or otherwise acquire nuclear weapons or other nuclear explosive devices, or control over such weapons or explosive devices”. “Setiap Negara bersenjata nuklir (NWS) dilarang untuk mengedarkan senjata nuklir atau bahan peledak dalam bentuk apapun kepada siapapun. NWS juga dilarang untuk mengatur peredaran senjata atau bahan peledak nuklir baik secara langsung maupun tidak langsung. NWS juga dilarang untuk mendukung, mendorong atau membujuk negara tidak bersenjata nuklir (NNWS) untuk mengembangkan atau menerima senjata nuklir. NWS dilarang pula untuk mendukung, mendorong atau membujuk NNWS untuk mengedarkan senjata nuklir atau bahan peledak nuklir”

Pengaturan untuk pelarangan penggunaan serta peredaran senjata nuklir

yang di tujukan bagi negara yang tidak bersenjata nuklir (NNWS) diatur dalam

Article II Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) yaitu yang menyatakan :

“Each non-nuclear-weapon State Party to the Treaty undertakes not to receive the transfer from any transferor whatsoever of nuclear weapons or other nuclear explosive devices or of control over such weapons or explosive devices directly, or indirectly; not to manufacture or otherwise acquire nuclear weapons or other nuclear explosive devices; and not to seek or receive any assistance in the manufacture of nuclear weapons or other nuclear explosive devices”. “Setiap negara tidak bersenjata nuklir (NNWS) dibawah kendali traktat dilarang untuk menerima peredaran nuklir dari pengedar manapun; atau dari NWS baik secara langsung maupun tidak langsung NNWS dilarang untuk mengembangkan atau menerima bantuan dalam rangka mengembangkan senjata nuklir atau bahan peledak nuklir”

15

Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) pun tidak mengatur mengenai

sanksi bagi pelanggaran pengembangan teknologi nuklir. Perjanjian hanya

mengatur Negara pemilik teknologi nuklir yang terikat oleh perjanjian untuk

bernegosiasi atas langkah-langkah yang berkaitan dengan penghentian senjata

nuklir dan pelucutan senjata dengan itikad baik sebagaimana tercantum dalam

Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) Artickel VI yang menyatakan :

“Each of the Parties to the Treaty undertakes to pursue negotiations in good faith on effective measures relating to cessation of the nuclear arms race at an early date and to nuclear disarmament, and on a treaty on general and complete disarmament under strict and effective international control”. “Negara yang terikat dalam traktat ini sanggup bernegosiasi atas langkah yang berkaitan dengan penghentian senjata nuklir dan pelucutan senjata nuklir dengan itikad baik. Hal yang sama juga pada perjanjian tentang pelucutan senjata di bawah kontrol dunia internasional”

Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) sebagai sumber hukum dalam

mengawasi pengembangan program tenaga nuklir yang dilakukan oleh suatu

Negara peserta perjanjian memiliki kekuatan mengikat bagi setiap anggota

perjanjian tersebut. Sebagaimana ajaran Anziloti, perjanjian internasional

mengikat Negara-negara anggota perjanjian tersebut berdasarkan prinsip pacta

sunt servanda33. Pengikatan diri dari suatu Negara untuk masuk ke dalam

perjanjian diatur dalam Article IX ayat 1 Nuclear Non-Prolieration Treaty (NPT)

yang menyatakan:

“This Treaty shall be open to all States for signature. Any State which does not sign theTreaty before its entry into force in accordance with paragraph 3 of this Article may accede to it”

33 Sugeng Istanto, loc.cit, hlm.91

16

“Perjanjian ini harus terbuka bagi semua Negara untuk tanda tangan. Setiap negara yang tidak menandatangani perjanjian sebelum berlakunya sesuai dengan ayat 3 Pasal ini dapat menyatakan keikutsertaannya kapanpun”

Prinsip mengenai mengikatnya perjanjian bagi Negara peserta diatur di

dalam Pasal 26 Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional yaitu

berbunyi:

“Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith.” “setiap perjanjian yang berlaku adalah mengikat terhadap para pihak perjanjian tersebut dan harus dilaksanakan oleh mereka dengan itikad baik”. Hak dan kewajiban yang ditetapkan oleh suatu perjanjian internasional

pada prinsipnya tidak dialihkan kepada pihak lain oleh Para pihak yang

mengikatkan diri pada perjanjian tersebut. Disini berlaku prinsip Pacta Tertiis

Nee Nocent Nee Prosunt yang berarti bahwa perjanjian tidak dapat menimbulkan

hak-hak dan kewajiban-kewajiban pada Negara ketiga34.

Prinsip Pacta Tertiis Nee Nocent Nee Prosunt merupakan prinsip umum di

dalam konvensi atau perjanjian internasional yang menyatakan hanya pihak dari

konvensi atau perjanjian internasional yang terikat dengan perjanjian tersebut.

Prinsip ini diatur dalam pasal 34 Konvenasi Wina 1969 tentang perjanjian

internasional yang menyatakan sebagai berikut :

“a treaty does not create either obligation or right for a third state without its consent” “suatu perjanjian tidak menciptakan baik kewajiban maupun hak bagi negara ketiga tanpa kesepakatan”

34 Boer Mauna, loc.cit, hlm.143

17

F. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian dalam penulisan ini adalah Deskriftif Analisis35 yaitu

menggambarkan peran dari Internasional Atomic Energy Agency (IAEA)

dan menggambarkan Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) yang

berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan

hukum positif yang menyangkut permasalahan yang dibahas.

2. Metode Pendekatan

Pendekatan penelitian ini adalah penulis melakukan pendekatan secara

Yuridis Normatif. Pendekatan Yuridis Normatif yang disebut juga dengan

penelitian hukum doktrin yaitu melakukan pembahasan terhadap

permasalahan yang dilandasi oleh teori-teori, buku-buku, serta peraturan-

peraturan yang berlaku.

3. Tahap Penelitian

Penelitian dilakukan dengan penelitian kepustakaan, dalam upaya mencari

data yang bersifat sekunder dengan menggunakan bahan hukum primer.

Bahan hukum primer ini antara lain bahan pustaka yang berisikan ilmu

pengetahuan ilmiah yang baru atau mutakhir, yang mencakupi buku-buku,

karangan ilmiah, majalah, teori-teori hukum, peraturan-peraturan

internasional dan sumber-sumber lainnya. Ditambah dengan bahan hukum

tersier yang memberikan petunjuk kepada bahan hukum sekunder dan

35Rony Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, PT.Ghalia Indonesia,

Jakarta, 1998,hlm.97

18

bahan hukum primer yang lebih dikenal dengan nama bahan acuan bidang

hukum atau bahan rujukan bidang hukum36.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan

penelitian studi dokumen dengan cara mengumpulkan data, buku-

buku,literatur, peraturan internasional, peraturan perundang-undangan dan

dokumen-dokumen yang ada hubungannya dengan pokok bahasan skripsi

ini.

5. Metode Analisis Data

Data-data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif artinya data-data yang

diperoleh disusun secara sistematis, untuk mencapai penjelasan masalah

yang akan dibahas dengan tidak menggunakan rumus dan data statistik.

G. Sistematika Penelitian

BAB I Merupakan pendahuluan yang memaparkan tentang latar belakang

penulisan, identifikasi masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka

pemikiran, metode penelitian, sistematika penelitian dan daftar pustaka.

BAB II Terdiri dari materi-materi yang berkaitan dengan permasalahan

yang akan dibahas, diantaranya materi tentang sejarah pembentukan International

Atomic Energy Agency (IAEA), Peran International Atomic Energy Agency

(IAEA) sebagai organisasi yang mengawasi penggunaan tenaga nuklir oleh

negara-negara, International Atomic Energy Agency (IAEA) Sebagai Subyek

36Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,

PT.RajaGrasindo Persada,1983,hlm.33

19

Hukum Internasional, dan Pembentukan Perjanjian Internasional Oleh

International Atomic Energy Agency (IAEA).

BAB III menguraikan mengenai struktur organisasi International Atomic

Energy Agency (IAEA), Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) dan resolusi-

resolusi atas pelanggaran pengembangan tenaga nuklir untuk tujuan damai.

BAB IV penulis melakukan analisis terhadap pandangan hukum perjanjian

internasional mengenai peran International Atomic Energy Agency (IAEA) serta

kekuatan hukum perjanjian internasional Nuclear Non-Proliferation Treaty.

BAB V Merupakan Bab terakhir atau penutup yang terdiri dari kesimpulan

dan saran

20

BAB II

WEWENANG INTERNATIONAL ATOMIC ENERGY AGENCY (IAEA)

DALAM MENGAWASI PENGGUNAAN TENAGA NUKLIR UNTUK

TUJUAN DAMAI OLEH NEGARA-NEGARA MENURUT HUKUM

INTERNASIONAL

A. Sejarah Pembentukan International Atomic Energy Agency (IAEA)

Sebagai Badan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Badan Tenaga Atom Internasional atau International Atomic Energy

Agency (IAEA) didirikan pada tahun 1957 sebagai organisasi otonom antar

pemerintah yang berada dalam lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

International Atomic Energy Agency (IAEA) bertugas mempercepat dan

memperluas peranan program teknologi tenaga atom untuk perdamaian, kesehatan

dan kesejahteraan dunia, serta menjamin bantuan yang diberikan atau yang

disediakan tidak digunakan sedemikian rupa untuk tujuan militer36. International

Atomic Energy Agency (IAEA) diciptakan sebagai tanggapan atas ketakutan dan

harapan yang dihasilkan dari penemuan energi nuklir.

Pada tanggal 8 Desember 1953 Presiden Amerika Serikat Dwight D.

Eisenhower mengusulkan di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

agar membentuk sebuah organisasi untuk memajukan penggunaan energi nuklir

untuk tujuan damai dan untuk memastikan energi nuklir tersebut tidak

36 Lihat Safeguard IAEA dan pengembangan penerapannya dalam pemanfaatan nuklir untuk

damai (bagian 1) http://www.infonuklir.com/keamanan_keselamatan/non_proliferation/, 18 Februari 2011.

21

menjalankan apa saja untuk segala macam tujuan militer. Usulan ini membantu

dalam pembentukan Statuta IAEA yang disetujui oleh 81 negara dengan suara

bulat pada bulan Oktober 1956 yang mana Statuta tersebut menguraikan adanya

tiga pilar kerja dari badan verifikasi nuklir yaitu keamanan, keselamatan dan

transfer teknologi nuklir. Selanjutnya pada tahun 1957 di Sidang Umum PBB,

Eisenhower mencanangkan pemanfaatan nuklir untuk maksud damai yang dikenal

dengan istilah Atom for Peace37.

Tahun 1961 dibukanya Laboratorium International Atomic Energy Agency

(IAEA) di Seibersdorf, Austria dengan tujuan untuk menciptakan saluran

penelitian nuklir global. International Atomic Energy Agency (IAEA)

menandatangani perjanjian trilateral dengan Monako dan Lembaga Oseanografi

yang dipimpin oleh Jacques Cousteau untuk penelitian tentang efek radioaktivitas

di laut, suatu tindakan yang akhirnya mengarah pada penciptaan Laboratorium

Lingkungan Laut International Atomic Energy Agency (IAEA). Usulan

Eisenhower memimpin penciptaan dari International Atomic Energy Agency

(IAEA) dan membantu untuk membentuk kerjasama internasional dalam

penggunaan energi nuklir sipil selesai sampai tahun 197838.

Di tahun 1967 dibentuk suatu perjanjian nuklir antara negara-negara di

Amerika Latin yang diberi nama Treaty for the Prohibition of Nuclear Weapons

in Latin America atau lebih dikenal dengan nama Tlatelolco Treaty. Sebagaimana

halnya Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT), Tlatelolco Treaty mengharuskan

37David Fischer, History of the International Atomic Energy Agency: the First Forty Years, IAEA

Publisher, Vienna, 1997. Hlm. 9

38http://www.iaea.org/about/history.html, 19 Februari 2011

22

anggota-anggotanya untuk menandatangani Safeguards Agreements dengan

International Atomic Energy Agency (IAEA). Begitu juga dengan Treaty of

Bangkok (untuk kawasan Asia Tenggara). Traktat Zona bebas senjata nuklir di

Pasifik Selatan (Treaty of Rarotonga) dan the Treaty of Pelindaba (untuk

Afrika)39.

Tahun 1970 menunjukkan bahwa Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT)

akan diterima oleh hampir semua negara-negara industri dan oleh sebagian besar

negara-negara berkembang. Pada saat yang sama, prospek tenaga nuklir

meningkat secara dramatis. Teknologi ini telah jatuh tempo dan tersedia secara

komersial, dan krisis minyak tahun 1973 meningkatkan daya tarik opsi energi

nuklir. Fungsi International Atomic Energy Agency (IAEA) menjadi jelas lebih

penting pada proses berlangsungnya program pengembangan tenaga nuklir untuk

tujuan damai dan segera mendapat perhatian utama dan antusias dari seluruh

dunia yang berlangsung hampir selama dua dekade. Pada awal 1980-an,

permintaan baru pembangkit listrik tenaga nuklir telah menurun tajam di

kebanyakan negara Barat, dan menyusut hingga hampir nol di negara-negara

setelah kecelakaan Chernobyl 198640.

Tahun 1988 Organisasi Pangan dan Pertanian PBB serta International

Atomic Energy Agency (IAEA) bergabung dengan instansi lain untuk membasmi

39http://www.infonuklir.com/readmore/keamanan_keselamatan/non_proliferation/,20februari 2011

40 http://www.iaea.org/About/history.html, 21 februari 2011

23

menyebar penyakit ternak mematikan. Teknologi radiasi yang berbasis untuk

membasmi cacing ini dikembangkan di Laboratorium Badan Seibersdorf41.

Pada awal 1990, akhir Perang Dingin dan akibatnya peningkatan dalam

keamanan internasional hampir menghilangkan bahaya konflik nuklir global.

kepatuhan luas untuk perjanjian regional menekankan status bebas senjata nuklir

di wilayah Amerika Latin, Afrika dan Asia Tenggara, serta Pasifik Selatan.

Hingga pada tahun 1995, Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) yang dibuat

permanen tersebut di tahun berikutnya yaitu pada tahun 1996 perjanjian larangan

uji komprehensif oleh Majelis Umum PBB disetujui dan terbuka untuk

penandatanganan. Sedangkan kegiatan nuklir militer yang berada di luar lingkup

aturan International Atomic Energy Agency (IAEA) itu sekarang yang diterima

akan menangani beberapa masalah yang diwariskan oleh perlombaan senjata

nuklir, verifikasi penggunaan damai atau penyimpanan bahan nuklir dari senjata

dibongkar dan surplus militer stok bahan fisil untuk menentukan risiko yang

ditimbulkan oleh limbah nuklir dari kapal perang nuklir yang dibuang di Kutub

Utara, dan verifikasi keselamatan bekas lokasi pengujian nuklir di Asia Tengah

dan Pasifik.42

Pada Final Dokumen tahun 2000, Negara-negara peserta menegaskan

bahwa perlindungan International Atomic Energy Agency (IAEA) adalah rezim

non-proliferation nuclear yang memainkan pilar fundamental hingga diperlukan

peran dalam pelaksanaan perjanjian dan membantu untuk menciptakan

41 David Fischer, loc.cit. Hlm. 9

42 http://www.iaea.org/About/history.html, 21 februari 2011

24

lingkungan yang kondusif untuk perlucutan senjata nuklir dan kerjasama nuklir

dalam beberapa tahun terakhir, pekerjaan International Atomic Energy Agency

(IAEA) telah difokuskan kepada beberapa dimensi tambahan yang cukup

mendesak diantaranya adalah terhadap ancaman terorisme nuklir, fokus dari

rencana tindakan baru multi-faceted43.

B. International Atomic Energy Agency (IAEA) Sebagai Subyek Hukum

Internasional

Organisasi yang dalam bahasa Yunani yaitu ὄργανον (organon atau Alat)

adalah suatu kelompok orang yang ada di dalam suatu wadah yang memiliki suatu

tujuan bersama. Sedangkan di dalam kajian mengenai organisasi sering disebut

studi organisasi (organizational studies), perilaku organisasi (organizational

behaviour), atau analisa organisasi (organization analysis). Stephen P. Robbins

menyatakan bahwa44:

“Organisasi adalah kesatuan (entity) sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja atas dasar yang relative dan terus menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau sekelompok tujuan”. Selain organisasi yang di maksudkan di atas yang terdiri dari kelompok

orang yang ada di dalam suatu wadah yang memiliki tujuan yang sama, terdapat

organisasi yang keanggotaannya terdiri atas negara-negara yang di dalamnya

memiliki tujuan bersama yang di sebut sebagai organisasi internasional45.

43 http://www.iaea.org/About/history.html, 24 februari 2011

44 Stephen P.Robbins, Teori Organisasi Struktur, Desain, dan Aplikasi, Arcan, Jakarta, 1994, hlm.4

45 http://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi, 09 Desember 2010

25

Istilah organisasi internasional menurut J.G Starke di kenal dengan kata

“lembaga internasional”, yang artinya yaitu 46:

“kata “lembaga” digunakan dalam arti yang luas sebagai “Nomen Generalissimum” (nama umum) bagi timbulnya berbagai asosiasi negara dalam perusahaan-perusahaan umum”. Menurut Teuku May Rudy, Organisasi internasional di definisikan sebagai

berikut47 :

“Pola kerjasama yang melintasi batas-batas negara dengan didasari struktur organisasi yang sejelas dan lengkap serta diharapkan atau di proyeksikan untuk berlangsung serta melaksanakan fungsinya secara berkesinambungan dan melembaga guna mengusahakan tercapainya tujuan-tujuan yang diperlukan serta disepakati bersama, baik antara pemerintah dengan pemerintah maupun antara sesama kelompok non-pemerintah pada negara yang berbeda”.

Pengertian organisasi internasional diatas merupakan pengertian organisasi

internasional yang didasari oleh struktur yang menunjang fungsi dan tujuan

organisasi internasional dan tidak hanya menyangkut akan organisasi antara

pemerintah dengan pemerintah namun juga organisasi antar sesama kelompok

non-pemerintah antar negara.

Sedangkan pengertian lain tentang organisasi internasional menurut Boer

Mauna adalah48 :

“Himpunan negara-negara yang terikat dalam suatu perjanjian internasional yang dilengkapi dengan suatu anggaran dasar dan organ-organ bersama serta mempunyai suatu personalitas yuridik yang berbeda dari yang dimiliki oleh negara-negara anggotanya”.

46 J.G Starke, Pengantar Hukum Internasionl 2, Aksara Persada Indonesia, Jakarta. 1989. Hlm.289

47 Teuku May Rudy, Administrasi dan Organisasi Internasional, PT. Eresco, Bandung,1993. hlm.3

48 Boer Mauna, op,cit., hlm.463

26

Pengertian dari Boer Mauna pada dasarnya lebih menekankan kepada adanya

keterikatan negara-negara kedalam organisasi internasional melalui perjanjian

internasional yang dilengkapi dengan anggaran dasar dan organ-organ bersama,

dan yang lebih penting pengertian ini memasukan personalitas yuridik dan

membedakan personalitas tersebut dengan personalitas negara anggota.

Konvensi Wina 1969 tentang perjanjian internasional dalam Pasal 2 ayat

(1) huruf (i), mengartikan organisasi internasional sebagai berikut :

“International Organization” means an intergovernmental organization” “Organisasi Internasional adalah suatu organisasi antar pemerintahan”

Pasal 2 Ayat (1) Huruf (i) Konvensi Wina 1969 tentang perjanjian internasioal

tersebut memberikan suatu definisi yang cukup sempit karena hanya membatasi

diri pada hubungan antar pemerintah. Definisi ini juga tidak memberikan

penjelasaan mengenai syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi oleh suatu

organisasi untuk dapt dinamakan organisasi internasional dalam arti kata yang

sebenarnya49.

Merujuk Pengertian atas Organisasi internasional tersebut di atas pada

dasarnya tidak dapat ditetapkan unsur-unsur dari suatu organisasi internasional,

hal ini dikarena terlalu luasnya pengertian tersebut sehingga dapat masuk kedalam

segala unsur. Sedangkan unsur-unsur suatu organisasi internasional dapat di lihat

dari beberapa hal, menurut Teuku May Rudy unsur-unsur tersebut antara lain50:

1. Kerjasama yang ruang lingkupnya melintasi batas negara; 2. Mencapai tujuan bersama yang disepakati;

49 Boer Mauna, loc,cit., hlm.462

50 Teuku May Rudy, loc,cit, hlm.3-4

27

3. Dilakukan baik antara pemerintah maupun non-pemerintah; 4. Struktur organisasi yang jelas dan lengkap; 5. Melaksanakan fungsi secara berkesinambungan.

Pentingnya memasukan unsur dari pengertian organisasi yaitu untuk menetapkan

ruang lingkup dari kewenangan organisasi internasional serta menentukan

fungsinya sebagai subyek hukum internasional dan membedakannya dari subyek

hukum internasional yang lain.

Pengertian atas subyek hukum dari suatu sistem hukum dapat diartikan

sebagaimana bahwa semua yang menurut ketentuan hukum diakui mempunyai

kemampuan untuk bertindak. Didalam hukum internasional, subyek-subyek

tersebut termasuk negara, organisasi internasional dan kesatuan-kesatuan

lainnya51.

Benih-benih Organisasi Internasional termasuk gagasan-gagasan

pemikirannya sudah mulai tumbuh sejak zaman yunani kuno, yaitu ketika mulai

berkembangnya sistem negara-kota di Yunani Kuno (Acient Greece)52. Model

pertama dari organisasi internasional adalah munculnya Liga Amphictyonic

(Amphictyonic League) yang di buat antar negara-negara kota, walaupun tujuan ke

12 negara-kota dan wilayah kesukuan yang menjadi anggotanya bersifat

keagamaan yaitu mempertahankan tempat Suci Delphi53. Namun pada

pertengahan abad ke-17 perkembangan organisasi internasional tidak saja di

wujudkan dalam berbagai konferensi internasional yang kemudian melahirkan

51 Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus………op,cit. hlm 45

52 Teuku May Rudy, loc,cit. hlm.12-13

53 ibid. hlm.14

28

persetujuan-persetujuan, tetapi lebih dari itu telah melembaga dalam berbagai

variasi dari Komisi (Commission), Sarekat (Union), Dewan (Council), Liga

(League), Persekutuan (Association), Perserikatan Bangsa-Bangsa (United

Nations), Persemakmuran (Commonwealth), Masyarakat (Community), Kerjasama

(Coorperation), dan lain-lain54.

Pemikiran-pemikiran kearah pembentukan organisasi kerjasama regional

dan internasional mulai tumbuh setelah perjanjian perdamaian Westphalia (1648)

yang cukup dikenal sebagai awal pengakuan terhadap sistem negara bangsa dan

sistem perimbangan, kemudian sampai kepada Konferensi Den Haag (Hague

Confrence) 1899 dan 1907, perjanjian di Versailles (1919) yang diejawantahkan

kedalam pembentukan Liga Bangsa-Bangsa dan perjanjian San Fransisco (1945)

yang membentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa55.

Organisasi internasional yang ruang lingkupnya mendunia (Global) mulai

berkembangan pada abad ke XX56. Organisasi internasional pun sering

diidentikan dengan sudut pandang Government-Oriented karena dalam melakukan

hubungan internasional yang berperan aktif adalah aktor negara yang dalam hal

ini merupakan perwakilan resmi dari sebuah negara. Faktor yang diasosiasikan

dengan kebanyakan organisasi internasional terdiri dari pertemuan paripurna dari

keseluruhan anggota (biasa disebut majelis atau konferensi), sebuah pertemuan

secara teratur oleh segelintir anggota (biasanya berkaitan dengan Power pada

54Sumaryo Suryokusumo, Hukum Organisasi Internasional, Penerbit Universitas Indonesia,

Jakarta, 1990. hlm.2

55Teuku May Rudy, loc,cit. hlm.12-13

56Ibid.

29

organisasi tersebut), dan sebuah sekretariat permanen untuk mendukung kegiatan

administratif organisasi internasional tersebut57.

Organisasi internasional memiliki arti ganda, yakni dalam arti luas dan

sempit. Organisasi Internasional dalam pengertian yang luas adalah bentuk

kerjasama antar pihak-pihak yang bersifat internasional. organisasi Internasional

disini adalah organisasi internasional publik yang anggota-anggotannya terdiri

Negara-negara, karena itu disebut juga organisasi antar pemerintah (Inter-

Govermental Organization), sedangkan organisasi internasional yang dalam arti

yang sempit maksudnya adalah organisasi yang hubungannya melintasi batas

negara dimana keanggotaannya khusus diwakili oleh komponen tertentu dari suatu

negara58.

Sebagaimana subyek hukum lainya, organisasi internasional pun memiliki

ciri-ciri. Menurut Leroy Bennet ciri-ciri dari organisasi internasional adalah

sebagai sebagai berikut 59:

1) A permanent organization to carry on a continuing set of function; 2) Voluntary membership of eligible parties; 3) Basic instrument stating goals, structure, and methods of operation; 4) A broadly representative consultative conference organ; 5) Permanent secretariat to carry on continuous administrative, research,

and information functions.

1) Suatu organisasi permanen untuk melakukan suatu fungsi secara terus menerus;

2) Keanggotaan Sukarela pihak yang memenuhi syarat;

57Adita Bella Lastania, Definisi Organisasi Internasional Menurut Clive Archer,

www.google.com/14 November 2010/ Definisi-Organisasi-Internasional-Clive Archer/.

58http://petikdua.wordpress.com/definisi-dan-analisis-definisi-organisasi-kerjasama-internasional/ 11 november 2009/ .

59A.Leroy Bennet, International Organization, (New Jersey; Prentice-Hall, iNc, 1979), hlm.3 disadur dari buku Sumaryo Suryokusumo, Hukum Organisasi ….op.cit. hlm.14

30

3) Dasar instrumen yang menyatakan tujuan, struktur, dan metode operasi;

4) Suatu organ konferensi konsultatif perwakilan secara luas; 5) Sekretariat Tetap untuk melakukan penelitian secara terus menerus,

administratif, dan fungsi informasi.

Legislasi internasional pada hakekatnya merupakan proses perkembangan

organisasi internasional dalam menghimpun peraturan-peraturan internasional

yang terkait dengan bidang dari organisasi tersebut. Fungsi legislatif pun dalam

suatu sistem organisasi internasional terkait masalah pelaksanaan keputusan-

keputusan yang mengikat secara hukum terhadap keputusan keputusan yang

dikeluarkan oleh organisasi internasional tersebut yang di kaitkan dengan sangsi,

sedangkan organisasi internasional itu sendiri bukan sebagai badan yang

mempunyai wewenang supra-nasional60.

Adapun menurut taraf kewenangannya (kekuasaan) organisasi

internasional terdiri atas61 :

1. Organisasi Supra-Nasional (Supra-National Organization). Kedudukan dan kewenangan organisasi internasional berada diatas Negara-negara anggota, namun bentuk “Supra-National Organization” belum pernah terrealisasikan dalam sejarah dunia modern. Hal ini dikarenakan di dunia saat ini menganut pola banyak negara (Multi-State System), masing-masing berdaulat dan sederajat satu sama lain.

2. Organisasi Kerja-Sama (Co-Operative Organization). Kedudukan dan kewenangan organisasi internasional tidaklah lebih tinggi dibandingkan negara-negara anggotanya dan organisasi adalah wadah kerjasama berdasarkan kesepakatan anggota.

Kedudukan dan Kewenangan dari organisasi internasional tersebut diatas harus

dimiliki oleh organisasi internasional, hal ini dikarenakan agar adanya pembedaan

terhadap kedudukan dan kewenangan dari organisasi internasional dengan

60 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Organisasi……loc.cit, hlm.4-5

61 Teuku May Rudy, loc,cit. hlm.7

31

Negara-negara anggotanya yang merupakan sebagai suatu wadah kerjasama

dibidang tertentu.

Struktur organisasi internasional menentukan pembagian kerja dalam

kesatuan kerja sama untuk mecapai tujuan organisasi internasional. Pembagian

kerja itu setidak-tidaknya terdiri dari organ-organ yang menetapkan kebijakan dan

organ yang melaksanakan kebijakan. Pembagian yang dimaksud menentukan

tugas dan wewenang organ tersebut62. Dilengkapinya organisasi internasional

dengan organ-organ permanen, wewenang dan sasaran tertentu tidak jarang dapat

menimbulkan terjadinya fenomena Retroaksi yaitu organisasi-organisasi

internasional, karena status yuridiknya yang otonom dapat mempengaruhi sikap

negara-negara anggotanya atau dengan kata lain dapat memaksa negara-negara

anggotanya63.

Selain dilengkapi dengan organ-organ permanen, wewenang dan sasaran

tertentu yang dapat mempengaruhi atau memaksa negara-negara anggotanya

terdapat pula fungsi dari organisasi internasional. adapun Fungsi dari organisasi

internasional terbagi menjadi tiga yaitu64 :

1. Organisasi Politikal (Political Organization), yaitu organisasi yang dalam kegiatannya menyangkut masalah-masalah politik dalam hubungan internasional dan merupakan organisasi yang bersifat politik jika ada sangkut paut (sekecil apapun) dengan masalah perdamaian dan keamanan.

2. Organisasi Administratif (Administrative Organization), yaitu organisasi yang sepenuhnya hanya melaksanakan kegiatan teknis secara administratif.

62 Sugeng Istanto, loc.cit, hlm.172-173

63 Boer Mauna, loc,cit., hlm.464

64 Teuku May Rudy, op.cit. hlm.8-9

32

3. Organisasi Peradilan (Judicial Organization), yaitu organisasi yang menyangkut penyelesaian sengketa pada berbagai bidang atau aspek (politik, ekonomi, sosial, hukum dan budaya) menurut prosedur hukum dan melalui proses peradilan (sesuai dengan ketentuan internasional dan perjanjian-perjanjian internasional).

Hubungan antara negara dalam kerangka organisasi internasional pada

prinsipnya adalah untuk lebih terjaminnya pencapaian kepentingan masing-

masing negara ataupun warga negara dari negara-negara yang tergabung dalam

organisasi internasional, agar kepentingan itu tidak terganggu bahkan lebih jauh

lagi demi tercapainya tujuan bersama secara efisien dan efektif dari negara-

negara yang tergabung kedalam suatu organisasi internasional65.

Proses administratif dan tata hukum Organisasi internasional tidak sama

dengan masyarakat atau satuan-satuan secara nasional. Organisasi internasional

terdiri dari keanggotaan negara-negara, tetapi secara hukum tidak dibenarkan

untuk mengunakan personalitas hukum negara-negara anggotanya. International

Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai subyek hukum internasional perlu

mempunyai keabsahan sebagai satuan tersendiri, bukan sekedar

mengatasnamakan negara-negara anggotanya66.

Personalitas dari suatu subyek hukum organisasi internasional adalah

tindakan dalam kapasitasnya sebagai organisasi internasional, untuk melakukan

tindakan-tindakan sesuai dengan ketentuan yang termuat didalam instrument

pokok yang dimiliki oleh organisasi internasional tersebut67.

65 Ibid, hlm.48

66 Ibid. hlm.22

67 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Organisasi……loc.cit, hlm.12

33

Pembentukan Organisasi Internasional pada waktu merumuskan piagam di

dalam Konferensi Internasional di San Fransisco pada bulan April 1945 tidak

secara khusus di cantumkan masalah personalitas hukum68. Personalitas hukum

secara khusus termuat di dalam Charter Of The United Nation Pasal 10469, yaitu :

“the organization shall enjoy in the territory of each or its members such legal capacity as may be necessary for exercise of its functions and the fulfilment of its purpose”. "Organisasi harus menikmati di wilayah masing-masing kapasitas hukum anggotanya tersebut yang mungkin diperlukan untuk pelaksanaan fungsi dan memenuhi tujuannya"

Pada dasarnya tidak semua organisasi internasional memiliki personalitas

hukum atau tidak lebih cenderung di ukur berdasarkan kriteria objektif. Schermers

berpendapat bahwa untuk dapat memiliki personalitas hukum maka suatu

organisasi internasional harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut 70:

1. Dibentuk oleh suatu perjanjian internasional; 2. Memiliki organ yang terpisah dari negara-negara anggotanya; 3. Diatur oleh hukum internasional publik.

Personalitas hukum International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai

subyek hukum internasional terpisah dari personalitas hukum masing-masing

68 Ibid, hlm.112

69 Dari pasal 104 Charter Of The United Nation, personalitas hukum organisasi internasional dibagi menjadi dua pengertian yaitu personalitas hukum dalam kaitannya dengan hukum negara dimana negara itu menjadi tuan rumah atau markas besar Organisasi Internasional dan personalitas hukum dalam kaitannya dengan negara-negara atau subyek hukum internasional….ibid. hlm.113

70 Lihat H.G Schermers, International Institutional Law, Sijthoff, Leyden, 1980, p.12-23. Disadur dari buku Boer Mauna, loc,cit., hlm.475

34

negara anggotanya, Terdapat syarat-syarat bagi suatu organisasi internasional

untuk memiliki personalitas hukum sendiri, yaitu71:

1. Merupakan himpunan (keanggotaan) negara-negara, yang bersifat tetap (permanent), serta dilengkapi dengan struktur organisasi yang lengkap. Dengan kata lain, bukan sekedar komite Ad-Hoc yang biasannya berfungsi sementara atau jangka-waktu tertentu;

2. Memiliki perbedaan dalam hal kewenangan hukum dan tujuan organisasi antara organisasi itu dengan negara anggotanya; Adanya kewenangan hukum organisasi itu yang dapat diterima (oleh pihak lain) serta diterapkan dalam melaksanakan kegiatan pada ruang-lingkup internasional, bukan sekedar kegiatan di dalam ruang lingkup nasional salah satu atau masing-masing negara anggotanya. Dengan kata lain, diakui sebagai suatu kesatuan tersendiri (bukan sekedar pengelompokan beberapa negara) dalam transaksi atau hubungan dengan pihak lain.

Selain Syarat-syarat personalitas hukum secara umum di atas maka

personalitas hukum yang menyangkut dengan hal-hal yang lebih khusus harus di

lengkapi oleh72:

1. Kemampuan mengadakan perjanjian (The Treaty-Making Power); 2. Adanya hak dan kewenangan secara hukum untuk memiliki asset-asset

berupa barang, modal, bangunan, peralatan (milik organisasi), serta status khusus bagi personalia yang diberi kepercayaan atau amanat (diakreditasi) atas nama organisasi;

3. Kemampuan mengajukan tuntutan (claim) terhadap negara anggota dan juga negara bukan anggota, jika terhadap hal yang merugikan organisasi internasional;

4. “Locus Standi” untuk mengajukan perkara kepengadilan internasional dan berdasarkan jurisdiksi internasional;

5. Adanya perlindungan fungsional terhadap staf dan personalia; 6. Hak organisasi yang disertai pengakuan atau penerimaan oleh negara

atau organisasi lain untuk mengirim perwakilan menghadiri berbagai konferensi internasional yang berkenaan.

71 Teuku May Rudy, loc,cit. hlm.23.

72 Ibid.

35

Batasan personalitas hukum yang tekait dengan Judicial Personality dalam

General Convention On The Privileges And Immunities Of The United Nations

Pasal 1 Ayat 1 yaitu antara lain 73:

“The United Nations shall possess juridical personality. It shall have the capacity :

a) To contract; b) To acquire and dispose of immovable property; c) To institute legal proceedings.

"Perserikatan Bangsa-bangsa akan memiliki kepribadian yuridis. Ini harus mempunyai kapasitas sebagai berikut:

a) Untuk kontrak; b) Untuk memperoleh dan memberikan hak milik yang tidak dapat

dipindahkan; c) Untuk menjalankan proses hukum

Berbeda dari negara, personalitas hukum organisasi internasional sebagai

subyek hukum internasional dibatasi oleh prinsip specialitas, yang artinya bahwa

suatu organisasi internasional hanya dapat melaksanakan kapasitas yuridik yang

dimilikinya dalam batas-batas dan untuk tujuan yang telah ditetapkan oleh piagam

konstitutif organisasi internasional. Untuk itu maka, personalitas hukum yang

dimiliki oleh organisasi internasional adalah bersifat fungsional74.

Walaupun personalitas hukum bagi International Atomic Energy Agency

(IAEA) sebagai organisasi internasional tidak di cantumkan dalam instrument

pokok namun sebagai subyek hukum internasional, International Atomic Energy

Agency (IAEA) tidak perlu akan kehilangan personalitas hukum-nya, karena

73 Resolusi Majelis Umum PBB 22A, (1) tanggal 13 februari 1946. Lihat juga Resolusi Majelis

Umum PBB yang (II) tanggal 12 novemver 1947 mengenai Convention On The Privilage And Immunities of Specialized Agencies, pasal 2 ayat 3 mengenai Personalitas Yurisdiksi dari badan-badan khusus PBB. Disadur dari buku Sumaryo Suryokusumo, Hukum Organisasi……op.cit.hlm.112

74 Boer Mauna, loc,cit, hlm.480

36

sebagai organisasi internasional, International Atomic Energy Agency (IAEA)

akan mempunyai kapasitas untuk melakukan prestasi hukum sesuai dengan aturan

dan prinsip hukum internasional75. Organisasi internasional yang memiliki

personalitas hukum akan mempunyai kapasitas hukum untuk melakukan prestasi

hukum sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional dan dapat

mengembangkan serta memperluas fungsinya dalam rangka mencapai tujuan-

tujuan utamannya76.

Personalitas hukum internasional memungkinkan suatu organisasi

internasional mengajukan gugatan hukum, dan sebaliknya juga diberi tanggung

jawab bagi perbuatan yang menyalahi hukum. Sebagaimana Doctrine Of Implied

Power yang dimana menyatakan bahwa kemampuan yang terkandung dalam

personalitas hukum internasional dalam melakukan perbuatan hukum dinyatakan

secara tegas atau implisit sehingga memungkinkan organisasi itu melaksanakan

fungsi-fungsinya secara efektif77.

Pembahasan mengenai International Atomic Energy Agency (IAEA)

sebagai subyek hukum internasional tidak terlepas pula dari aspek-aspek hukum

organisasi internasional, aspek-aspek tersebut seperti misalnya aspek filosofis,

aspek administratif dan aspek hukum dari organisasi internasional itu sendiri.

aspek filosofis menyangkut nilai-nilai historis, memperbandingkan tema-tema

pokok perdamaian dari organisasi internasional serta tema-tema lainnya yang

75 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Organisasi……loc.cit, hlm.112

76 Setyo Widagdo, Masalah-Masalah Hukum Internasional Publik, Bayumedia Publisher, Malang, 2008. Hlm.178

77 Ibid, hlm.181

37

dianut dan falsafah yang mendasari organisasi internasional. aspek administratif

lebih banyak menentukan tingkat personalitas dan kapasitas organisasi

internasional. Sedangkan dilihat dari aspek hukumnya organisasi internasional

lebih menitik beratkan pada masalah-masalah konstitusional dan prosedural

seperti misalnya wewenang dan pembatasan-pembatasan (restrictions) baik

terhadap organisasi internasional itu sendiri maupun anggotanya sebagaimana

termuat di dalam ketentuan-ketentuan instrumen dasar organisasi internasional,

termasuk perkembangan organisasi internasional secara praktis78.

International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai kehendak bersama

negara-negara merupakan subyek hukum internasional buatan. Didalam hukum

internasional subyek-subyek tersebut termasuk negara, organisasi internasional

dan kesatuan-kesatuan lainnya79. Sebagai subyek hukum internasional

International Atomic Energy Agency (IAEA) berkedudukan sebagai badan hukum

internasional. Badan hukum internasional ini dapat di artikan sebagai suatu badan

yang dapat dibebani hak dan kewajiban serta berkedudukan sebagai subyek

internasional publik. Hak dan kewajiban badan hukum internasional dibatasi oleh

tugas dari organisasi tersebut80.

Struktur hukum dari International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai

subyek hukum internasional sangat bervariasi yang kadang sebagian besar

bergantung pada suatu unsur kontinuitas yang diwakili oleh suatu sekretaris atau

78 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Organisasi……op.cit,hlm.5-11

79 Sumaryo Suryokusumo, Studi Kasus……,loc.cit, hlm 45

80 Sugeng Istanto, loc.cit, hlm. 173

38

biro sekretariat. Ada tiga hal umum yang penting terkait status hukum menurut

J.G Starke yaitu81 :

1. Fungsi lembaga-lembaga internasional tertentu diarahkan terutama untuk mengilhami kerjasama antara negara-negara, yakni yang disebut aktivitas-aktivitas “promosional”, dan hanya pada tingkatan kedua untuk melaksanakan secara langsung suatu kewajiban penting, yakni yang disebut aktvitas-aktivitas “operasional”.

2. Dalam segi operasional lembaga internasional berkuasa hanya untuk mengusut (menginvestigasi) atau merekomendasikan bukan membuat keputusan-keputusan yang mengikat.

3. Pada umumnya lembaga-lembaga internasional dilepaskan dari suatu konferensi internasional, dalam arti bahwa suatu keputusan organik akhirnya bergantung pada keputusan mayoritas negara-negara anggota.

Organisai internasional sebagai subyek hukum dapat mempunyai

hubungan bukan hanya diantara organisai internasional itu sendiri, tetapi juga

dengan subyek-subyek hukum internasional lainnya, termasuk negara. Terdapat

dua macam hubungan yang dapat menimbulkan pembentukan peraturan hukum

internasional diantara subyek-subyek hukum internasional, yaitu 82:

1. Hubungan antar negara-negara dan organisasi internasional; 2. Hubungan di antara organisasi internasional itu sendiri.

Adapun bubarnya International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai

organisasi internasional dapat dilihat dari beberapa alasan, alasan yang utama

ialah karena tugas yang dilaksanakanya sudah selesai dan karena tugasnya

diambil alih oleh organisasi internasional lain. Pembubaran pun dapat di tetapkan

berdasarkan ketentuan anggaran dasarnya, keputusan rapat anggotanya,

perjanjian internasional dengan organisasi internasional lain atau kemacetan

81 J.G Starke, op.cit, Hlm.290

82 Ibid. hlm.291

39

organisasi internasional tersebut83. Sedangkan menurut J.G Starke Suatu

organisasi internasional dapat bubar di karenakan beberapa hal yaitu antra lain84:

1. Jika diciptakan hanya untuk jangka waktu terbatas, setelah jangka waktu tersebut habis;

2. Jika bersifat peralihan, setelah situasi tersebut lewat atau setelah tujuan tercapai, untuk mana organisasi tersebut didirikan;

3. Oleh keputusan para anggota, secara eksplisit atau implisit. Keputusan tersebut tidak harus berdasarkan suara bulat, tetapi sudah cukup berdasarkan suara mayoritas termasuk suara negara-negara besar.

Kedudukan International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai subyek

hukum internasional tidak dapat di ragukan lagi untuk saat ini, meskipun pada

awalnya belum ada kepastian mengenai hal ini. Meski struktur dan pekerjaan

International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai organisasi internasional

mencakupi kegiatan-kegitannya secara materil, namun tetap memberikan

sumbangan bagi perkembangan hukum internasional sampai saat ini melalui

kesepakatan-kesepakatan yang di buatnya.

C. Pembentukan Perjanjian Internasional Oleh International Atomic

Energy Agency (IAEA)

Cepatnya perkembangan masyarakat internasional telah semakin

meningkatkan perjanjian-perjanjian internasional sebagai sumber hukum utama

dari hukum internasional umum. Perjanjian-perjanjian yang di sepakati bersama

yang dirumuskan dalam perjanjian internasional merupakan sebagai suatu sumber

hukum untuk mengatur kegiatan negara-negara atau subyek hukum internasional

lainnya di dunia. Bentuk persetujuan bersama yang dirumuskan dalam sebuah

83 Sugeng Istanto, op.cit, hlm.172-173

84 J.G Starke, loc.cit. Hlm.314-315

40

perjanjian internasional tersebut merupakan sumber hukum untuk mengatur

kegiatan Negara-negara atau subyek hukum internasional lainnya di dunia85.

Sumber hukum dapat pula dipakai sebagai arti dasar berlakunya hukum itu

sendiri. sumber hukum merupakan sebagai sesuatu yang menimbulkan aturan

yang mengikat dan memaksa sehingga apabila aturan itu dilanggar akan

menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata bagi pelanggarnya86. Sedangkan

menurut Hans Kelsen, menyangkut arti dari sumber hukum itu sendiri menyatakan

bahwa87 :

“Istilah sumber hukum digunakan bukan hanya untuk menyebut metode-metode pembentukan hukum, tetapi juga digunakan untuk mengkarakterisasi landasan bagi validitas hukum”. Sebagaimana mana hukum pada umumnya, dalam hukum internasional

mengenal sumber hukum formil dan sumber hukum materil. Sumber hukum

formil diartikan sebagai sumber hukum yang memberikan kekuatan hukum pada

suatu peraturan tertentu, sedangkan sumber hukum materil diartikan dalam

pengertian dari mana subtansi hukum diambil88. Sedangkan menurut J.G Starke,

sumber hukum materil dari hukum internasional dapat didefinisikan sebagai

berikut 89:

“Bahan-bahan aktual yang digunakan oleh para ahli hukum internasional untuk menetapkan hukum yang berlaku bagi suatu peristiwa atau situasi tertentu”.

85 G.J.H Van Hoof, op.cit, hlm.40

86 Ishaq, op.cit, hlm.91

87 Hans Kelsen, op.cit,hlm.133

88 G.J.H Van Hoof, loc.cit, hlm.418

89 Boer Mauna, loc.cit., hlm.8

41

Sedangkan menurut Mochtar Kusumaadmatja, Sumber hukum

internasional adakalanya diartikan lain yaitu sebagai sumber hukum dalam arti

yang ketiga. Sumber hukum internasional dalam arti yang ke tiga ini di pahami

sebagai90:

“Sumber hukum yang meneliti faktor kausal atau penyebab yang turut membantu dalam pembentukan kaidah. sumber hukum dalam artian ketiga lebih terletak dalam bidang luar hukum (ekstra yuridis), sebagaimana juga masalah sumber hukum materil merupakan sumber hukum ekstra yuridis yakni pada hakekatnya merupakan persoalan falsafah”. Terhadap adanya sumber hukum internasional tersebut di atas maka

doktrin sumber hukum internasional berfungsi didalam menyiratkan suatu

pendekatan yaitu pendekatan Hardlaw dan Softlaw. Pendekatan Hardlaw adalah

pendekatan yang dapat ditinjau pada penerapan dari subtansi materil perjanjian

internasional itu sendiri. Seperti implementasi dari perjanjian internasional di

bidang pengembangan tenaga nuklir untuk tujuan damai yaitu Nuclear Non-

Proliferation Treaty (NPT) terhadap negara-negara peserta yang terikat dalam

perjanjian tersebut. Sedangkan Pendekatan Softlaw adalah merupakan suatu

sumbangan yang cukup besar terhadap doktrin hukum internasional yang secara

hukum tidak mengikat. Pendekatan Softlaw sebagaimana menurut Mcnair yang

menyatakan bahwa91 :

“Softlaw mencoba menggambarkan implikasi-implikasi hukum dari instrumen-instrumen yang secara hukum tidak mengikat, terutama juga mengenai hubungannya dengan peraturan-peraturan hukum yang mapan (full fledged legal rules).”

90 Mochtar Kusumaadmatja, loc.cit, hlm 115

91 G.J.H Van Hoof, loc.cit, hlm.384

42

Pendekatan Softlaw dapat di lihat dari resolusi-resolusi yang di keluarkan

oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) yang menyangkut

dengan pelanggaran penggunaan nuklir untuk tujuan damai seperti Resolusi 1747

yang merupakan perluasan dari Resolusi 1737 yang berisi agar dalam 60 hari

Negara yang dinyatakan telah melanggar Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT)

harus dapat menghentikan program nuklirnya92.

Urutan penyebutan sumber hukum tidak menggambarkan urutan

pentingnya masing-masing sumber hukum itu sebagai sumber hukum formal, hal

ini dikarenakan tidak diaturnya urutan di dalam Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah

Internasional, namun satu-satunya klasifikasi yang dapat di buat menurut Mochtar

Kusumaadmatja bahwa sumber hukum formal di bagi dua golongan yaitu93 :

1. Sumber hukum utama atau primer yang meliputi ketiga golongan sumber hukum yang tersebut terdahulu;

2. Sumber hukum tambahan atau subsidier yaitu keputusan-keputusan pengadilan dan ajaran sarjana hukum yang paling terkemuka dari berbagai negara.

Hukum internasional sebagai sebagai fondasi hubungan antar Negara

mengikuti perkembangan, lahirnya faktor-faktor baru dalam hubungan

internasional juga ikut mempengaruhi sendi-sendi hukum internasional

tradisional, antara lain di tandai dengan94:

92 Resolusi 1737 dan 1747 adalah resolusi yang dikeluarkan bagi negara Iran yang merupakan

anggota dari International Atomic Energy Agency (IAEA) oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) lihat Rumadi, Iran Pasca Resolusi DK PBB, KOMPAS, 30 april 2007.

93 Mochtar Kusumaadmatja, loc.cit, hlm 116

94Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian International: Kajian Teori dan Praktek Indonesia, Rafika Aditama, Bandung, 2009. Hlm.2

43

1. Subjek hukum yang diakui oleh hukum internasional tidak lagi hanya Negara, melainkan juga organisasi-organisasi internasional;

2. Hukum internasional tidak lagi mengatur tingkah laku suatu Negara terhadap Negara lain, melainkan juga mengatur perbuatan Negara terhadap dirinya sendiri.

3. Negara tidak lagi memiliki kedaulatan hukum karena hukum internasional telah menempatkan diri sebagai rujukan bagi hukum nasional dalam pengertian bahwa hukum nasional harus compatible dengan hukum internasional.

Perubahan tersebut diatas merupakan merupakan perubahan yang

berdasarkan dengan karakter pergaulan internasional yang semakin tidak

mengenal batas-batas wilayah Negara serta berpeluang untuk melahirkan perkara-

perkara hukum yang bersifat lintas Negara.

Perjanjian internasional merupakan instrument pokok yang harus dimiliki

oleh organisasi internasional dan memerlukan ratifikasi dari semua anggotanya.

Instrumen pokok ini dapat berupa piagam, covenant, final act, treaty, statute,

deklarasi, constitution dan lain-lain95.

Persetujuan di antara negara-negara, setiap jenis instrument atau dokumen,

atau pembicaraan lisan sekalipun melibatkan perbuatan yang dilakukan oleh

negara-negara dapat merupakan suatu traktat. Istilah traktat “treaty” sudah

merupakan istilah umum (nomen generalissimum) dalam hukum internasional,

dan bisa berarti persetujuan diantara organisasi-organisasi internasional saja

(interse), atau diantara suatu organisasi internasional di satu pihak dan suatu

negara atau beberapa negara di pihak lain96.

95 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Organisasi……op.cit.hlm.12

96 J.G Starke, loc.cit. hlm.118

44

Pembentukan Perjanjian internasional (bahasa Inggris-nya disebut dengan

“treaties” dan dalam bahasa Prancis disebut dengan “traiter” yang berarti

” perundingan”) dimaksudkan sebagai instrumen hukum internasional yang

mempunyai sifat mengikat bagi negara-negara yang menjadi peserta perjanjanjian.

Instrumen hukum internasional semacam itu mencerminkan adanya suatu sifat

kontraktual antara Negara atau antar Negara dengan organisasi internasional yang

menciptakan hak dan kewajiban secara hukum diantara para pihak yang

mengadakan persetujuan mengenai masalah-masalah yang di maksudkan di dalam

perjanjian tersebut97.

Perjanjian internasional memiliki beberapa macam nama, beberapa

diantaranya menunjukan perbedaan prosedur atau derajat formalitas. Selain istilah

traktat (treaty) itu sendiri terdapat sejumlah istilah lain seperti : Konvensi

(convention), Protokol (protocol), Persetujuan (agreement), Arrangement, Proses

Verbal (proces verbal), Statuta (statute), Deklarasi (declaration), Modus Vivendi,

Pertukaran Note (exchange of note or of letter), Ketentuan Penutup (final act),dan

Ketentuan Umum (general act)98.

Sementara itu menurut Ian Browlie, Komisi Hukum Internasional telah

memberi konsep definisi “treaty” sebagai berikut99:

“Any international agreement in written form, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation (treaty, convention, protocol, covenant, charter, statute, act, declaration, concordat, exchange of note, agreed minute,

97 Sumaryo Suryokusumo, Hukum ….loc.cit, hlm.17

98 J.G Starke, loc.cit. hlm.123

99Ian Brownlie, Principle of Public International Law, Oxford University Prees, United States, Tahun 2008. Hlm.608-609

45

memorandum of agreement, modus Vivendi or any other appellation), concluded between two or more states or other subject of international law and governed by international law”. “perjanjian internasional yang mana saja dalam bentuk tertulis, apakah mewujudkan dalam satu instrument atau dua atau lebih instrument yang berhubungan dan apapun khusus penunjukan (treaty, convention, protocol, covenant, charter, statute, act, declaration, concordat, exchange of note, agreed minute, memorandum of agreement, modus Vivendi atau panggilan yang lain) menyimpulkan antara dua atau lebih Negara atau subjek hukum internasional yang lain dan pengaturannya oleh hukum internasional.

Definisi tersebut diatas merupakan suatu pendefinisian yang umum bagi arti

“treaty” itu sendiri, hal ini karena Komisi Hukum Internasional telah memasukan

unsur tertulis dalam perjanjian internasional serta dibuat oleh dua Negara atau

lebih atau subjek hukum lainnya yang diatur oleh hukum internasional.

Menurut standar kerjanya suatu perjanjian, Lord Macnair memberikan

definisi “treaty” sebagai berikut100:

“a written agreement by which two or more states or international organisations create or intend to create a relation between themselves operating within the sphere of international law”. “persetujuan tertulis yang dibuat oleh dua atau lebih negara atau organisasi internasional yang bermaksud untuk menciptakan hubungan diantara mereka beroperasi di bawah bidang hukum internasional”.

Walaupun menurut definisi yang telah diperoleh cukup luas, namun dengan

menunjuk kepada hal-hal tertentu maka pengertian tersebut perlu di masukan agar

dapat menunjukan kepada hal yang pokok, sangat tepat menganggap bahwa

perjanjian berisikan persetujuan hal yang tidak menjalankan inti yang tidak

berbelit-belit, perjanjian tersebut hanya mengenai kesepakatan antar negara, hal

100 John O`brien, International Law, Cavendish Publishing Limited, London, 2002.hlm.325-326

46

ini karena bertujuan untuk memulai memisahkan perjanjian mengenai organisasi

internasional serta pengertian tersebut harus menunjukan kepada perjanjian yang

di atur oleh hukum internasional.

Perjanjian internasional sebagai suatu perjanjian antara dua Negara atau

lebih yang mana bertujuan untuk mencari hubungan yang di atur oleh hukum

internasional. Sedangkan perjanjian Internasional menurut Boer Mauna, diartikan

sebagai berikut101:

“Semua perjanjian yang dibuat oleh Negara sebagai salah satu subyek hukum internasional yang diatur oleh sumber hukum internasional dan berisikan ikatan-ikatan yang mempunyai akibat-akibat hukum”.

Pengaturan atas hubungan yang diatur oleh hukum internasional tersebut terdapat

dalam negara sebagai subyek hukum, dalam pengertian perjanjian internasional

tersebut Boer Mauna tidak memasukan organisasi internasional sebagai subyek

hokum yang memiliki personalitas hukum untuk membentuk perjanjian

internasional.

Sedangkan adanya sifat kontraktual di dalam Perjanjian Internasional

menjadi hal yang perlu di masukan ke dalam perjanjian internasional. Perjanjian

internasional Menurut Oppenheim diartikan sebagai berikut102 :

“Perjanjian internasional merupakan persetujuan yang bersifat kontraktual antar Negara atau organisasi Negara yang menimbulkan hak dan kewajiban secara hukum bagi para pihak”.

Perjanjian internasional dalam pengertian ini lebih menunjukan sifat mengikatnya

(kontraktual) suatu perjanjian yang di buat oleh negara-negara yang menimbulkan

101 Boer Mauna, loc.cit, hlm.85

102 Sumaryo Suryokusumo, Hukum perjanjian…..loc.cit,hlm.29

47

hak dan kewajiban bagi negara-negara yang terikat atau mengikatkan diri ke

dalam perjanjian secara hukum.

Perjanjian Internasional menurut Teuku May Rudy diartikan sebagai

berikut103:

“perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan hukum tertentu".

Hal yang dapat kita garis bawahi dari pengertian diatas yaitu kata “anggota

masyarakat bangsa-bangsa” yang cakupannya sukup luas dimana pengertian

tersebut juga termasuk di dalamnya perjanjian antar negara dan perjanjian antar

suatu organisasi internasional dengan organisasi internasional lainnya.

Pasal 2 ayat (1) Konvensi Wina 1969 tentang perjanjian internasional

menetapkan pengertian perjanjian internasional, yaitu:

““treaty” means an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation;” “Perjanjian” diartikan sebagai suatu persetujuan internasional yang dibuat antar Negara didalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, Apakah itu disusun dalam satu instrumen tunggal, dua atau lebih instrumen yang terkait dan apapun bentuknya yang dibuat secara khusus;” Secara fungsional dilihat dari segi sumber hukum, maka perngertian

perjanjian internasional dapat di bedakan kedalam dua golongan yaitu “Treaty

Contract” dan “Law Making treaties”. Yang di maksud dengan “Treaty Contract“

adalah perjanjian-perjanjian seperti suatu kontrak atau perjanjian dalam hukum

103T. May Rudy, Hukum Internasional 1, PT.Rafika Aditama,Bandung, 2006.hlm.4

48

perdata yang mengakibatkan hak dan kewajiban antara pihak-pihak yang

mengadakan perjanjian itu saja. Sedangkan “Law Making Treaties” dimaksudkan

sebagai perjanjian yang meletakkan ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah

hukum bagi masyarakat internasional secara keseluruhan104.

Menurut Damos Dumoli Agusman, terdapat beberapa kriteria dasar yang

harus dipenuhi oleh suatu dokumen perjanjian untuk dapat ditetapkan sebagai

perjanjian internasional, yaitu105 :

1. Perjanjian tersebut harus berkarakter internasional (an international agreement) sehingga tidak termasuk perjanjian-perjanjian yang berskala nasional seperti perjanjian-perjanjian antarnegara bagian atau antara pemerintahan daerah dari suatu Negara nasional;

2. Perjanjian tersebut harus dibuat oleh Negara dan/atau organisasi internasional (by subject of international law), sehingga tidak mengcakup perjanjian yang sekalipun bersifat internasional namun oleh Non-subject hukum internasional, seperti perjanjian antara Negara dengan perusahaan multinasional;

3. Pejanjian tersebut tunduk kepada rezim hukum internasional (governed by internastional law).

Bentuk dan peristilahan mengenai perjanjian internasional pada

prakteknya tidak sistematis dan mengandung banyak ketidak seragaman, sebab

utama dari ketidak seragaman dan ketidak sistematisan ini karena beberapa faktor,

faktor utamanya adalah perjanjian internasional adalah peninggalan tradisi dan

bentuk-bentuk diplomatik lama yang sulit disesuaikan dengan kehidupan

internasional modern negara-negara untuk dapat menstandarisasikan pemakaian

104 Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Hukum Internasional : Bunga Rampai, Alumni, Bandung, 2003.

Hlm.108

105 Damos Dumoli Agusman, op.cit.hlm.20

49

perjanjian internasional. Adapun bentuk-bentuk utama dari perjanjian

internasional adalah sebagai berikut106 :

1. Bentuk yang digunakan oleh kepala negara. Dalam hal ini perjanjian di rancang sebagai suatu persetujuan diantara kepala-kepala negara dan kewajiban-kewajibannya dinyatakan mengikat sebagai “pihak agung yang berjanji”. Bentuk seperti ini hampir tidak pernah lagi digunakan sekarang dan hanya dipakai untuk konvensi-konvensi khusus dan bersifat rahasia;

2. Bentuk antar-pemerintah. Perjanjian seperti ini dirancang sebagai suatu persetujuan diantara para pemerintah. Bentuk ini pada pokoknya tidak mengandung perbedaan, namun, bentuk ini biasa digunakan untuk persetujuan-persetujuan yang bersifat teknis dan non-politis;

3. Bentuk antar negara. Perjanjian dirancang secara tegas atau tersirat sebagai suatu persetujuan diantara negara-negara yang dimana penandatangannya sering disebut dengan “para pihak”;

4. Perjanjian dapat dirundingkan dan ditandatangani oleh para menteri dari setiap negara peserta, pada umumnya oleh menteri-menteri luar negeri;

5. Perjanjian dapat merupakan suatua persetujuan antar-departemen yang ditandatangani oleh para wakil departemen pemerintah, seperti misalnya oleh para wakil administrasi dari negara-negara peserta;

6. Perjanjian dapat diadakan di antara para tokoh politik dari negara-negara peserta.

Memandang perjanjian internasional hanya sebagai suatu persetujuan

belaka akan mempersempit fungsi dan arti pentingnya dalam bidang hukum

internasional. Tujuan “Treaty” atau perjanjian internasional adalah untuk

meletakkan kewajiban-kewajiban yang mengikat bagi negara-negara peserta.

Treaty atau perjanjian internasional merupakan instrument utama untuk memulai

atau mengembangkan kerjasama internasional107.

Perjanjian-perjanjian yang dibuat antara Negara dalam organisasi

internasional atau dalam lingkungan organisasi internasional memiliki batasan-

106 J.G Starke, op.cit. hlm.121

107 Ibid. hlm.119

50

batasan tertentu yang dapat kita lihat di dalam Pasal 5 Konvensi Wina 1969

tentang perjanjian internasional, yaitu:

“The present Convention applies to any treaty which is the constituent instrument of an international organization and to any treaty adopted within an international organization without prejudice to any relevant rules of the organization.” “konvensi ini ditetapkan pada setiap perjanjian yang merupakan instrument pokok dari organisasi internasional dan pada setiap perjanjian yang disahkan dalam lingkungan suatu organisasi internasional tanpa mengurangi arti dari setiap aturan yang relevan dari organisasi tersebut” Organisasi internasional harus mempunyai kekuasaan membuat traktat

atau perjanjian, karena diperlukan untuk menjalankan fungsi-fungsi dari

organisasi internasional tersebut. Sejumlah besar badan internasional secara De

Facto telah mengadakan traktat-traktat baik diantara mereka sendiri maupun

dengan negara-negara serta kesatuan-kesatuan lainnya108.

Adanya Kapasitas yang di miliki oleh organisasi internasional dalam

membuat suatu perjanjian internasional tidaklah asli dan bersifat parsial, hal ini

dapat diartian bahwa kapasitas tersebut berasal dari adanya kehendak negara-

negara anggota dan kehendak-kehendak tersebut dirumuskan dalam konstitusi

organisasi internasional sehingga organisasi tersebut hanya dapat melakukan

kegiatan dibidang yang termasuk kedalam wewenangnya109.

Perjanjian internasional yang di buat oleh negara-negara peserta perjanjian

dapat menimbulkan kewajiban-kewajiban yang dapat mengikat bagi negara-

negara peserta tersebut. Mengikatnya perjanjian internasional ini dapat dikaitkan

108J.G Starke, loc.cit. hlm.315

109 Boer Mauna, loc.cit. hlm.86.

51

terhadap ajaran dari Anzilotti yang mana berpendapat bahwa kekuatan mengikat

dari suatu perjanjian terletak pada adagium latin yaitu Pacta Sunt Servanda yang

berarti bahwa negara-negara harus melaksanakan perjanjian dengan itikad baik

terhadap segala kewajiban mereka yang ada atau di atur didalam perjanjian

tersebut. Apabila suatu negara telah mengikatkan diri terhadap perjanjian maka

negara tersebut tidak boleh menarik diri secara sepihak dari kewajiban-

kewajibannyatanpa persetujuan negara-negara peserta110.

Pembuatan perjanjian internasional dapat kita bagi kedalam tiga tahap

yaitu111:

1. Perundingan (Negotiation), dilakukan berdasarkan pada penunjukan surat kuasa dari wakil sah dari suatu negara atau pemerintahan untuk mengadakan perjanjian internasional (letter of credence) diberikan kepada credencial committee.

2. Penandatanganan (Signature), persetujuan suatu negara untuk mengikatkan diri kepada suatu perjanjian, dapat diberikan dengan berbagai cara dan tergantung dari persetujuan antar negara-negara peserta pada waktu perjanjian itu diadakan. Persetujuan untuk mengikatkan diri dapat dilakukan dengan suatu penandatanganan ratifikasi, pernyataan turut serta atau menerima suatu perjanjian.

3. Pengesahan (Ratification), terdapat tiga sistem peratifikasian perjanjian internasional yaitu: a. Sistem dimana ratifikasi semata-mata dilakukan oleh badan

eksekutif; b. Sistem dimana ratifikasi semata-mata dilakukan oleh badan

legislatif; c. Sistem campuran dimana baik badan eksekutif maupun legislatif

memainkan suatu peranan dalam proses ratifikasi perjanjian.

Pengaturan menyangkut Prinsip mengikatnya suatu perjanjian

internasional bagi Negara peserta diatur di dalam Pasal 26 Konvensi Wina 1969

tentang Perjanjian Internasional yaitu berbunyi:

110 J.G Starke, op.cit. 121

111 T. May Rudy, Hukum Internasional 1,….op.cit.hlm.44

52

“Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith.” “setiap perjanjian yang berlaku adalah mengikat terhadap para pihak perjanjian tersebut dan harus dilaksanakan oleh mereka dengan itikad baik”. Peserta perjanjian pada umumnya hanya negara-negara yang memenuhi

persyaratan sebagai negara berdaulat dari sudut hukum internasional atau

organisasi-organisasi internasional. Setiap hak dan kewajiban yang ditetapkan

oleh suatu perjanjian internasional pada prinsipnya tidakdapat dialihkan kepada

pihak lain (negara ketiga) oleh para pihak yang mengikatkan diri pada perjanjian

tersebut. Disini hal ini maka berlaku prinsip Pacta Tertiis Nee Nocent Nee

Prosunt yang berarti bahwa perjanjian tidak dapat menimbulkan hak-hak dan

kewajiban-kewajiban pada Negara ketiga112.

Prinsip Pacta Tertiis Nee Nocent Nee Prosunt diatur dalam pasal 34

Konvenasi Wina 1969 tentang perjanjian internasional yang menyatakan sebagai

berikut :

“a treaty does not create either obligation or right for a third state without its consent” “suatu perjanjian tidak menciptakan baik kewajiban maupun hak bagi negara ketiga tanpa kesepakatan”

Prinsip Pacta Tertiis Nee Nocent Nee Prosunt ini merupakan suatu prinsip umum

yang ada di dalam suatu konvensi atau perjanjian internasional yang mana

menyatakan bahwa hanya pihak yanng ikut dalam konvensi atau perjanjian

internasional tersebut yang terikat untuk melaksanakan hak dan kewajiban sebagai

112 Boer Mauna, loc.cit, hlm.143

53

negara peserta. Pihak lain (negara ketiga) tidak terikat pada konvensi atau

perjanjian internasional.

Adagium Pacta Tertiis Nee Nocent Nee Prosunt mendapat dukungan

dalam praktek negara-negara dan di dalam ketentuan Pasal 34 Konvensi Wina

1969 tentang perjanjian internasional, tetapi ada pengecualian dari aturan umum

ini, yakni113:

1) Perjanjian yang ditujukan untuk memberi hak-hak kepada pihak ketiga dengan pernyataan atau persetujuan yang diandaikan dari mereka seperti perjanjian tentang penyelesaian sengketa. Tetapi jika para peserta bermaksud untuk memberikan hak-hak dari pihak ketiga itu banyak bergantung pada keadaan setiap kasus. Pasal 34 konvensi wina 1969 tentang perjanjian internasional mengandung suatu prinsip umum yang meliputi perjanjian-perjanjian yang ditujukan untuk memberikan hak-hak kepada pihak ketiga;

2) Perjanjian-perjanjian multilateral dan bilateral yang memuat hukum kebiasaan internasional akan berlaku juga bagi negara-negara yang bukan peserta, tetapi posisi yang sebenarnya adalah bahwa negara-negara yang bukan peserta tidak diikat oleh perjanjian melainkan oleh hukum kebiasaan walaupun formulasi akhir dari hukum tersebut dalam perjanjian mungkin cukup penting;

3) Perjanjian-perjanjian multilateral yang meciptakan praturan hukum internasional yang baru dapat mnegikat negara-negara yang bukan peserta dengan cara yang sama dengan semua peraturan hukum internasional atau de facto dapat ditetapkan oleh mereka dalam instrumen-instrumen baku;

4) Beberapa Konvensi multilateral yang dimaksudklan untuk berlaku umu dapat menentukan ketentuan-ketentuan bagi negara-negara yang bukan peserta;

5) Pasal 34 Konvensi Wina 1969 tentang perjanjian internasional menyatakan bahwa dari suatu ketentuan perjanjian lahir kewajiban bagi pihak ketiga jika para peserta memaksudkan ketentuan tersebut sebagai sarana utuk menetapkan kewajiban dan pihak ketiga secara eksplisit menerima kewajiban itu secara tertulis.

Konvensi Wina 1969 tentang perjanjian internasional memberikan persyaratan

yang berat bagi adanya kewajiban bagi negara ketiga yang lahir atas dasar

113 J.G Starke, loc.cit. hlm.126-128

54

perjanjian internasional dibandingkan dengan syarat pemberian hak kepada negara

ketiga.

Terdapat dua cara yang dapat mengakibatkan negara ketiga menjadi terikat

pada suatu perjanjian internasional, menurut Yudha Bhakti Ardhiwisastra yaitu

antara lain114:

1. Asas doktrin yang mengecualikan prinsip “pacta tertiis” sehingga negara ketiga dapat menikmati hak dan dibebani kewajiban atas dasar suatu perjanjian;

2. Adanya hubungan antara perjanjian internaional dengan hukum kebiasaan internasional yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban bagi negara ketiga.

Dari kedua cara yang mengakibatkan terikatnya negara ketiga kedalam perjanjian

internasional ini, maka dapat dilihat bahwa setiap kebijakan atas hak

pengembangan tenaga nuklir di negara ketiga tidak harus dilihat dari perjanjian itu

mengikat atau tidak tetapi dapat dilihat dari kebiasaan internasional yang tentu

dapat menimbulkan hak dan kewajiban bagi negara ketiga dalam pengembangan

tenaga nuklir untuk tujuan damai

114 Yudha Bhakti Ardhiwisastra, loc.cit. hlm.154

55

BAB III

PERAN INTERNATIONAL ATOMIC ENERGY AGENCY (IAEA) SEBAGAI

SUBYEK HUKUM INTERNASIONAL YANG MENGATUR

PENGEMBANGAN TENAGA NUKLIR UNTUK TUJUAN DAMAI

MENURUT STATUTA IAEA

A. Struktur Organisasi International Atomic Energy Agency (IAEA)

Sebagai Badan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa

International Atomic Energy Agency (IAEA) dalam menjalankan perannya

untuk mempromosikan kerjasama internasional antara negara anggota serta dalam

kedudukannya yang khusus untuk menjalankan kecenderungan dunia terhadap

persoalan dan tantangan keamanan nuklir serta perlindungan melalui berbagai

macam keseragaman karena aktivitas nuklir, International Atomic Energy Agency

(IAEA) berhubungan dengan penegakkan dari standar keselamatan dan petunjuk

keselamatan yang akan gunakan115.

International Atomic Energy Agency (IAEA) terdiri dari empat Kepala

sekretariat berkedudukan di Vienna International Center, Wina (Austria).

Penghubung kerja dan kantor regionalnya yang berlokasi di New York, Toronto,

Canada dan Jepang, sedangkan pusat penelitian dan labolatorium ilmiah terletak

di Wina dan Seibersdorf (Austia), Monaco dan Trieste (Italy). Sekretariat tersebut

terdiri dari anggota yang berjumlah 2200 orang yang didalamnya terdiri atas

profesional multidisiplin ilmu pengetahuan dan didukung lebih dari 90 negara.

115 Tomihiro Taniguchi, A Global Challenge: Nuclear Activities Are Increasingly Multinational,

No Longer Confined To The Borders Of One Country, IAEA Bulletin, Vol 50-2, May 2009.

56

Perwakilan di pimpin oleh seorang Direktur Jenderal dan enam wakil Direktur

Jenderal pada tiap bagian besar departemen116.

International Atomic Energy Agency (IAEA) yang di pimpin oleh direktur

jenderal yang mana membawahi Office of External Relations and Policy

Coordination, Office of Internal Oversight Services, Office of Legal Affairs,

Secretariat of the Policy-making Organs dan enam departemen yang membantu

direktur jenderal dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Departemen-departemen

tersebut antara lain adalah117:

1. Department Of Technical Cooperation yang memiliki tugas dalam

menjaga kerjasama dan memantau beberapa wilayah tertentu yang

dimana membawahi lima divisi yaitu : Division Of Programme Support

And Coordination yang mana divisi ini membawahi seksi yang bertugas

melakukan pengembangan kemitraan dan jaminan asuransi, seksi

tersebut antara lain Strategy and Partnership Section, Finance and

Information Management Section dan Quality Assurance Section.

Division For Africa yang mana membawahi dua seksi yaitu African

Section 1 dan African Section 2. Division For Asia And The Pacific

membawahi dua seksi yaitu Asia and The Pasific Section 1 dan Asia

and The Pasific Section 2. Division For Latin America membawahi

Latin American Section 1 dan Latin American Section 2 dan Division

For Europe membawahi Europe Section 1 dan Europe Section 2.

116 http:// www.iaea.org/home/about us.html, 21 Februari 2011 117 Organchart of International Atomic Energy Agency, http:// www.iaea.org/home/about us.html,

September 2010

57

2. Department Of Nuclear Energy bertugas memantau standar energi

nuklir dunia yang mana dalam kegiatannya di bantu oleh Planning And

Economic Studies Section, Inis And Nuclear Knowledge Management

Section, dan IAEA Library.

Department Of Nuclear Energy ini membawahi dua divisi utama yaitu:

Division Of Nuclear Fuel Cycleand Waste Technology dibantu oleh tiga

seksi yaitu Nuclear Fuel Cycle And Materials Section, Waste

Technology Section dan Research Reactor Section. Sedangkan

Division Of Nuclear Power membawahi Nuclear Power Engineering

Section dan Nuclear Power Technology Development Section.

3. Department Of Nuclear Safety And Security ini merupakan departemen

yang menetapkan standar kelesamatan nuklir dunia yang dimana dalam

setiap kegiatannya di bantu oleh tiga seksi yaitu Safety And Security

Coordination Section, Office Of Nuclear Security dan Incident And

Emergency Centre. Department Of Nuclear Safety And Security ini

membawahi dua divisi yaitu antara lain: Division Of Radiation,

Transport And Waste Safety di bantu oleh tiga seksi yaitu Regulatory

Infrastructure And Transport Safety Section, Radiation Safety And

Monitoring Section dan Waste And Environmental Safety Section.

Sedangkan untuk Division Of Nuclear Installation Safety dalam

kegiatannya membawahi lima seksi yaitu antara lain: Operational

Safety Section, Safety Assessment Section, Regulatory Activities Section,

58

Research Reactor Safety Section dan International Seismic Safety

Centre.

4. Department Of Management ini bertugas untuk mengatur atau

mengelola perkembangan dan informasi nuklir dunia yang dimana

membawahi enam divisi sekaligus termasuk Office Of Procurement

Services yang merupakan pembantu dalam setiap kegiatan dalam

departemen tersebut. enam divisi tersebut yaitu antara lain: Division Of

Human Resources terdiri dari empat seksi Human Resources Planning

Section, Staff Administration Section, Recruitment And Staff

Development Section, dan Vic Medical Service. Division Of Information

Technology dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh empat seksi

yaitu Customer Services Section, Systems Services Section, Business

Solutions Section, dan Network And Telecommunications Section.

Division Of General Services membawahi empat seksi antara lain

Facilities Management Section, Seibersdorf Facility Management

Section, Archives And Records Management Section dan Travel And

Transportation Section dan satu Vic Commissary. Division Of

Conference And Document Services dalam melaksanakan tugasnya di

bantu oleh sembilan seksi yaitu Conference Services Section, Document

Support Section, English Translation Section, French Translation

Section, Spanish Translation Section, Russian Translation Section,

Arabic Translation Section, Chinese Translation Section dan Publishing

Section.

59

Division Of Budget And Finance dalam melaksanakan fungsinya dalam

hal pembiayaan di bantu oleh lima seksi yaitu Finance And Accounting

Section, Financial Policy And Systems Section, Programme And Budget

Section, General Accounts Payable Section dan Staff Accounts Payable

Section. Divisi terakhir dari Department Of Management adalah

Division Of Public Information yang mana di bantu dua seksi yaitu

Media And Outreach Section dan News And Information Section.

5. Department Of Nuclear Sciences And Applications ini yang melakukan

penelitian dan pengembangan nuklir untuk tujuan damai yang mana

membawahi empat divisi dan di bantu oleh Research Contracts

Administration Section dan Programme Of Action For Cancer Therapy

Office. Sedangkan ke empat divisi tersebut yaitu : Division Of Physical

And Chemical Sciences yang mana dalam tugasnya di bantu oleh

Physics Section, Industrial Applications And Chemistry Section,

Nuclear Data Section dan Isotope Hydrology Section.

Divisiong Of Human Health membawahi empat seksi yang dapat

membantu melaksanakan tugas-tugas divisi yaitu Nuclear Medicine

Section, Applied Radiation Biology And Radiotherapy Section,

Dosimetry And Medical Radiation Physics Section, dan Nutritional And

Health-Related Environmental Studies Section. International Atomic

Energy Agency (IAEA) Environment Laboratories (Nael), Monaco,

penempatan atas tugas di labolatorium International Atomic Energy

Agency (IAEA) terdiri dari Radiometrics Laboratory, Radioecology

60

Laboratory, Marine Environmental Studies Laboratory, dan Terrestrial

Environment Laboratory.

Joint FAO/IAEA Division Of Nuclear Techniques In Food And

Agriculture terdapat lima seksi yaitu antara lain: Soil And Water

Management And Crop Nutrition Section, Plant Breeding And Genetics

Section, Animal Production And Health Sectio, Insect Pest Control

Section dan Food And Environmental Protection Section.

6. Department Of Safeguards ini menetapkan standar keamanan suatu

perencanaan perkembangan nuklir dan penetapan standar operasi

keselamatan yang dimana membawahi enam divisi dan di bantu oleh

Effectiveness Evaluation Section dan Office Of Safeguards Analytical

Services. Sedangkan enam divisi tersebut antara lain: Division Of

Concepts And Planning yang mana memiliki tugas membuat konsep

dan perencanaan dalam menentukan standar keselamatan bagi

penggunaan tenaga nuklir untuk tujuan damai. Dalam melaksanakan

tugasnya Division Of Concepts And Planning di bantu oleh empat seksi

Concepts Andapproaches Section, Process Design Section, Programme

And Resources Section dan Training Section.

Division Of Technical Support divisi yang mana menentukan

pendukung teknik dalam menentukan standar keselamatan yang mana

terdiri atas empat seksi yaitu Inspection Logistics Section, Technical

Support Coordination Section, Surveillance, Seals And Remote

61

Monitoring Section dan Attended And Unattended Nondestructive Assay

Section.

Division Of Operations B merupakan divisi yang memiliki tugas-tugas

menurut kategorisasi tertentu yang di bantu oleh lima seksi yaitu antara

lain Coordination And Support Section, Section OB1, Section OB2,

Section OB3 dan Section OB4 sebagaimana Division Of Operations B,

Division Of Operations A memiliki kategorisasi operasi khusus namun

dalam divisi ini mencakup Tokyo Regional Office, adapun seksinya

terdiri dari Coordination And Support Section, Section OA1, Section

OA2 dan Section OA3.

Division Of Information Management memberikan informasi terhadap

penataan dari standar keselamatan yang membawahi empat seksi yaitu

Information Architecture And Projects Section, Information Collection

And Analysis Section, Declared And Statistical Information Analysis

Section dan Customer Services And Operations Section. Sedangkan

untuk Division Of Operations C terbagi ke dalam lima seksi yaitu

Coordination And Support Section, Section OC1, Section OC2, Section

OC3, dan Section OC4.

Aktivitas International Atomic Energy Agency (IAEA) dalam

melaksanakan kinerjanya di bidang pengawasan nuklir tidak lepas dari ketentuan-

ketentuan yang ada di dalam Statuta IAEA, yang dimana menjadikanya sebagai

pedoman organisasi untuk menjalankan kewenanganya sebagai organisasi yang

62

melakukan pengamanan terhadap penyelenggaraan pengembangan energi nuklir

di dunia.

Pengamanan yang ditetapkan dalam Statuta IAEA yang dirancang

terutama untuk menutup pabrik nuklir individu atau pasokan bahan bakar,

jelas tidak memadai untuk mencegah proliferasi. Ada dukungan yang

berkembang untuk pengamanan internasional, mengikat secara hukum,

komitmen dan komprehensif untuk menghentikan penyebaran lebih lanjut

senjata nuklir. Dengan mengikuti konvensi tanggung jawab nuklir internasional

lainnya pada tingkatan di seluruh dunia (yang dimana terbuka untuk semua

negara) termasuk juga beberapa ketentuan yang terkait tangggung jawab

pengembangan nuklir seperti118:

a. The 1963 Vienna Convention on Civil Liability for Nuclear Damage119,

direvisi pada tahun 1997 (the Vienna Convention): yang terdiri dari 32

peserta perjanjian pada konvensi wina 1963; Protocol 1997120

peninjauan ulangnya belum juga di katakan memaksa;

b. The 1997 Convention on Supplementary Compensation for Nuclear

Damage121 belum juga dikatakan memaksa;

c. The 1988 Joint Protocol Relating to the Application of the Vienna

Convention and the Paris Convention (the Joint Protocol)122: yang

terdiri dari 24 perserta perjanjian.

118Carlton Stoiber…[et al.], Handbook On Nuclear Law, IAEA Publishing, Vienna, 2009. hlm.110 119Vienna Convention on Civil Liability for Nuclear Damage, INFCIRC/500, IAEA,Vienna (1996). 120Protocol to Amend the Vienna Convention on Civil Liability for Nuclear Damage,

INFCIRC/566, IAEA,Vienna (1998). 121Convention on Supplementary Compensation for Nuclear Damage, INFCIRC/567, IAEA,Vienna

(1998).

63

Statuta IAEA disetujui pada tanggal 23 Oktober 1956 dan mulai berlaku

pada tanggal 29 Juli 1957 oleh Konferensi Statuta Badan Energi Atom

Internasional, yang diselenggarakan di Markas Besar perserikatan bangsa-bangsa

(PBB). Statuta telah diubah tiga kali yaitu Pada 31 Januari 1963, bulan Juni 1973

dan pada 28 Desember 1989 yang mana dilakukannya amandemen di bagian

pengantar dari ayat A.l. Semua perubahan pun telah dimasukkan ke dalam teks

Statuta, yang akibatnya menggantikan semua edisi sebelumnya123.

Mengenai perizinan dan pengawasan tenaga nuklir secara damai pada

prinsipnya, Statuta IAEA mengatur dalam bentuk pengawasan kerjasama

internasional, baik antar satu anggota dengan anggota lainnya atau satu anggota

dengan anggota yang satu kelompok dalam International Atomic Energy Agency

(IAEA). Sesuai dengan tujuan di bentuknya International Atomic Energy Agency

(IAEA) yaitu mencari cara untuk mempercepat dan memperbesar kontribusi

energi atom untuk perdamaian, kesehatan dan kesejahteraan seluruh dunia. Serta

menjamin, sejauh International Atomic Energy Agency (IAEA) mampu

memberikan bantuan kepada negara-negara anggota atau atas permintaan atau di

bawah pengawasan atau kontrol tidak digunakan sedemikian rupa untuk lebih

lanjut tujuan militer124.

Pengaturan perizinan terkait penyebaran energi nuklir meliputi kegiatan-

kegiatan awal dibidang penggunaan tenaga nuklir sampai dengan anggota tersebut

bermaksud mengubah jumlah, bentuk serta komposisi dari bahan-bahan dan

122Joint Protocol Relating to the Application of the Vienna Convention and the Paris Convention,

INFCIRC/402, IAEA,Vienna (1992). 123 Lihat http://www.iaea.org/publication/historisofstatutaIAEA/english/.html, 21 Februari 2011 124 Lihat Artikel II Statuta IAEA

64

fasilitas-fasilitas yang tersedia dalam proyek-proyek serta apabila anggota tersebut

bermaksud mengakhiri kegiatannya dibidang penggunaan tenaga nuklir. Dalam

rangka melaksanakan fungsi-fungsi lainya dibidang nuklir, didalam Statuta IAEA

mengatur struktur organisasi yang dimana terdiri dari tiga bagian utama yaitu :

Sidang Umum, Dewan Gubernur, dan Direktur Jenderal125.

Sidang umum adalah sidang tahunan yang dihadiri oleh semua negara

anggota, diselenggarakan oleh direktur jenderal atas permintaan dewan gubernur

atau atas permintaan dari mayoritas negara anggota. Adapun tugas-tugas sidang

umum International Atomic Energy Agency (IAEA) antara lain126:

1. Membahas laporan tahunan dari dewan gubernur;

2. Menyetujui atau menolak anggaran biaya yang sudah

direkomendasikan dewan gubernur baik sebagian atau seluruhnya;

3. Menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada PBB

sebagaimana yang telah ditetapkan dalam perjanjian antara PBB dan

International Atomic Energy Agency (IAEA), kecuali pertanggung

jawaban itu oleh PBB dikembalikan kepada dewan gubernur beserta

rekomendasinya;

4. Membuat dan menyetujui perjanjian antara International Atomic

Energy Agency (IAEA) dengan PBB atau dengan organisasi-organisasi

lainnya seperti yang dutetapkan dalam Article XVI Statuta IAEA.

Sidang umum dapat menolak dan mengembalikan persetujuan-

125 Lihat Statuta IAEA, Article IV Membership, Article V General Conference, Article Vl Board

of Governors dan Article VII Staff 126 Lihat Statuta IAEA Article V.

65

persetujuan beserta rekomendasi-rekomendasi itu kepada dewan

gubernur.

Tugas sidang umum lainya yaitu Memilih anggota dewan gubernur,

Membuat persetujuan mengenai penerimaan anggota, Membekukan hak-hak dan

kewajiban-kewajiban anggota, Membuat peraturan-peraturan yang berkaitan

dengan pembatasan wewenang dewan gubernur, Membuat amandemen-

amandemen terhadap Statuta IAEA serta Memilih dan menetapkan direktur

jenderal127.

Secara administratif direktur jenderal adalah pimpinan tertinggi

International Atomic Energy Agency (IAEA), yang dimana diangkat oleh dewan

gubernur dengan persetujuan dari sidang umum untuk masa jabatannya selama

empat tahun128. Dalam setiap keputusan oleh dewan gubernur memiliki dua

wewenang utama yaitu wewenang yang ditetapkan secara umum yang dimana

ditetapkan untuk melaksanakan tugas-tugas International Atomic Energy Agency

(IAEA) sesuai dengan tanggung jawab terhadap sidang umum dan wewenang

yang ditetapkan secara khusus dimana ditetapkannya suatu bentuk kepanitiaan

atau mengangkat seorang untuk mewakilinya di dalam organisasi-organisasi lain

yang ada hubungannya dengan International Atomic Energy Agency (IAEA).

Statuta IAEA mengatur fungsi-fungsi yang harus dilaksanakan oleh

lembaga-lembaga International Atomic Energy Agency (IAEA) terutama Dewan

Gubernur dan Direktur Jenderal, antara lain129:

127 Lihat Statuta IAEA Article V S/D XVII Paragraf A 128 Lihat Statuta IAEA Article VII 129 Lihat Statuta IAEA Article V S/D VI

66

1. Mendorong dan membantu penelitian serta pengembangkan dan

mempraktekan pelaksanaan tenaga nuklir untuk maksud damai

diseluruh dunia, untuk itu International Atomic Energy Agency (IAEA)

dapat bertindak sebagai mediator dalam menjamin pelaksanaan

service, suplai bahan, peralatan fasilitas dari salah satu anggota kepada

angota yang lain.

2. Melakukan pengawasan dan pengendalian agar tenaga nuklir yang

dimiliki dan dikelola oleh para anggota baik yang diperoleh dari

perjanjian bilteral maupun multilateral tidak digunakan untuk tujuan

militer.

3. Menetapkan standar keselamatan dan kesehatan serta memperkecil

bahaya sampai ketingkat paling rendah untuk melindungi kehidupan

dan harta benda, bersama-sama dengan lembaga-lembaga atau

organisasi khusus yang ada di PBB.

4. Mengarahkan kegiatan-kegiatan dibidang tenaga nuklir agar sesuai

dengan prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan dari PBB dalam memajukan

perdamaian dan kerjasama internasional yang telah diberi wewenang

untuk mengadakan pelucutan senjata dalam usaha melindungi seluruh

masyarakat internasional.

5. Menentukan penggunaan bahan tenaga nuklir secara efisien dan secara

umum dapat memberikan keuntungan yang lebih besar terhadap

wilayah di seluruh dunia dalam peran serta memikul tanggung jawab

67

atas kepentingan-kepentingan khusus bagian-bagaian dunia yang

sedang berkembang.

6. Menyampaikan laporan tahunan kepada majelis umum PBB dan

dewan keamanan, juga kepada dewan ekonomi dan sosial serta bagian-

bagian dari perserikatan bangsa-bangsa (PBB) atas setiap masalah

yang termasuk wewenang dari lembaga-lembaga yang ada dalam

perserikatan bangsa-bangsa (PBB).

7. Dalam hal International Atomic Energy Agency (IAEA) melaksanakan

bantuan terhadap para anggotannya baik untuk kepentingan politik,

ekonomi ataupun militer tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-

ketentuan yang telah ditetapkan oleh statuta.

Konsep ”Safeguards” pada hakekatnya telah diperkenalkan untuk pertama

kali oleh Amerika Serikat dengan meluncurkan skema yang lebih luas yang

dikenal dengan Baruch Plan, yang merupakan nama yang diambil dari salah satu

nama delegasi Amerika Serikat yang mempresentasikan skema tersebut. Skema

tersebut dibuat dalam rangka mencegah penggunaan senjata nuklir, dengan titik

berat pada tanggung jawab negara dalam perkembangan penggunaan energi nuklir

untuk maksud damai130. Skema Baruch Plan bertujuan untuk

menginternasionalisasi semua penggunaan energi nuklir yang dimana bila

dipergunakan akan mencegah terjadinya perlombaan senjata nuklir131.

130 Safeguard IAEA dan pengembangan penerapannya dalam pemanfaatan nuklir untuk damai

(bagian 1-2) lihat juga http://www.infonuklir.com/keamanan_keselamatan/non_proliferation/, 21 februari 2011.

131 Bertrand Russel, op.cit,hlm.97-98

68

Safeguards memberi tanggung jawab ganda bagi International Atomic

Energy Agency (IAEA), yaitu selain untuk mempromosikan penggunaan energi

nuklir untuk maksud damai dan aman, juga untuk menjamin kepastian bahwa

energi nuklir tidak disalahgunakan untuk tujuan perang (bukan damai). Statuta

IAEA memberikan kuasa kepada International Atomic Energy Agency (IAEA)

untuk membuat dan mengatur usaha perlindungan (Safeguards)132.

Dalam Article III.A.5 dari Statuta IAEA juga memberi kuasa untuk

mempergunakan “Safeguards” atas permohonan negera peserta untuk setiap

penetapan bilateral dan multilateral dan permintaan atau permohonan dari negara

kepada setiap aktivitas negara dibidang energi nuklir133. Didalam skema yang

paling luas, usaha perlindungan (Safeguards) terdiri dari tiga fungsi yaitu:

pembukuan (Accountancy), penahanan (Containment) dan pengawasan

(survaillance) dan pemeriksaan (inspection). Langkah pembukuan (Accountancy)

membutuhkan negara untuk melaporkan kepada International Atomic Energy

Agency (IAEA) terhadap tipe dan jumlah materi yang dapat dibelah jadi atom

(Material Fissionable) yang berada dibawah kendali.

Kemampuan suatu negara untuk menyediakan informasi yang akurat dan

tepat pada waktunya yang disebut dengan State System For Accounting and

Control (SSAC) yang mampu melakukan pekerjaan sesuai alur material yang

relevan. penahanan (Containment) dan pengawasan (Survaillance) langkahnya

mengerahkan melalui International Atomic Energy Agency (IAEA) oleh pengguna

untuk menutup tempat material nuklir dan memfilmkan atau menayangkannya di 132 Lihat Statuta IAEA Artikel III.A.5, Artikel XI tentang Agency Project, Dan Artikel XII tentang

Safeguard 133 Carlton Stoiber…[et al.], loc.cit..hlm.121

69

dokumen televisi daerah pusat fasilitas nuklir tersebut berada untuk menetapkan

apakah yang tak diberi kuasa pergerakan bahan-nya telah akurat.

Pemeriksaan (Inspection) diselenggarakan oleh pengawas International

Atomic Energy Agency (IAEA) untuk memeriksa dan menyatakan jumlah bahan

nuklir dimana mereka melaporkan bahwa tidak ada bahan nuklir di negara

tersebut. Aktivitas pemeriksaan termasuk mengecek atau memeriksa kelengkapan

serta meninjau ulang fasilitas arsip dan dengan bebas mengukur bahan atau daftar

bahan yang lain termasuk dokumen pembukuan pokok dengan usaha

perlindungan134. Pemeriksaan serta pengawasan yang di lakukan oleh

International Atomic Energy Agency (IAEA) secara teknis merujuk kepada

Fundamental Safety Principles yang mana di buat sebagai suatu standar dalam

kategorisasi keselamatan atau perlindungan pengembangan tenaga nuklir untuk

tujuan damai135.

Pemakaian istilah “Safeguard Inspection” yang secara implisit kemudian

diatur dalam Statuta IAEA. Adapun tujuan yang hendak di capai oleh Safeguard

Infection antara lain 136:

1. Eksternal safeguard yaitu pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan dibidang penggunaan tenaga nuklir yang dilakukan oleh negara-negara anggota.

2. Internal atau Auto Safeguard yaitu pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan penggunaan tenaga nuklir yang dimiliki International Atomic Energy Agency (IAEA) sendiri.

134 Ibid.hlm.122. 135 Strategies And Processes For The Establishment Of Iaea Safety Standards (SPESS) Version 1.1

Lihat http:// www.iaea.org/home/about us.html, 10 Maret 2011 136 Paul Szazs, The law And Practices of The Atomic Energy Authority, IAEA, legal series No.7,

hlm.532-533

70

Apabila terjadinya sengketa terhadap pelanggaran pengembangan nuklir

untuk tujuan damai, International Atomic Energy Agency (IAEA) dapat

menggunakan cara negosiasi yang merujuk kepada Mahkamah internasional serta

memperdayakan Konferensi Umum dan Dewan Gubernur tunduk pada

persetujuan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, untuk meminta

Mahkamah Internasional untuk memberikan pendapatnya mengenai setiap

masalah hukum yang timbul dalam ruang lingkup kegiatan pengembangan energi

nuklir137.

Dengan disetujui dan berlakunya Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT)

sebagai usaha perlindungan dalam pengembangan tenaga nuklir untuk tujuan

damai maka kedudukan International Atomic Energy Agency (IAEA) menjadi

semakin kuat dalam penerapannya untuk melakukan pengawasan dibidang

penggunaan tenaga nuklir yang menjadi dasar utama adanya pengawasan nuklir

oleh International Atomic Energy Agency (IAEA).

B. Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) Sebagai Sumber Hukum

Internasional Yang Mengatur Pengembangan Tenaga Nuklir Untuk

Tujuan Damai

Perjanjian Non-proliferasi Nuklir (bahasa Inggris: Nuclear Non-

Proliferation Treaty atau disingkat NPT) adalah suatu perjanjian internasional

yang ditandatangani pada 1 Juli 1968 yang membatasi kepemilikan senjata nuklir.

Sebagian besar negara berdaulat (187 negara) mengikuti perjanjian ini, walaupun

dua di antara tujuh negara yang memiliki senjata nuklir dan satu negara yang 137 Lihat Artikel XVII Statuta IAEA

71

mungkin memiliki senjata nuklir belum meratifikasi perjanjian ini. Perjanjian ini

diusulkan oleh Irlandia dan pertama kali ditandatangani oleh Finlandia138.

Di Berlakukannya Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) pada tanggal

5 maret 1970 dengan cara diratifikasi oleh Inggris, Uni Soviet, Amerika Serikat,

dan 40 negara lainnya hingga tiga dekade perjalanannya, cukup berpengaruh

terhadap pengembangan program tenaga nuklir untuk damai yang telah berjalan

cukup lama dan menciptakan stabilitas keamanan dunia yang aman dan damai

seperti yang di cita-citakan pada wal di bentuknya perjanjian tersebut139. Sejauh

ini telah ada 191 negara yang masih terikat ke dalam Nuclear Non-Proliferation

Treaty (NPT) di bawah pengawasan International Atomic Energy Agency (IAEA).

Instrumen internasional lain yang menjadi acuan untuk melengkapi

Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) yang dimana menyediakan tambahan

untuk suatu tindakan mewakili aspirasi politik suatu negara di suatu wilayah atau

regional tertentu untuk mengikuti perjanjian dalam memaksa atau dalam proses

ratifikasi, antara lain140:

a. The Treaty for the Prohibition of Nuclear Weapons in Latin America

(the Tlatelolco Treaty), yang mana telah terbuka untuk tanda tangan

pada tahun 1967141;

b. The South Pacific Nuclear Free Zone Treaty (the Rarotonga Treaty),

yang mana termasuk hal yang memaksa pada tahun 1986142;

138 http://en.wikipedia.org/wiki/Nuclear_Non-Proliferation_Treaty, 14 februari 2011 139 Javad Zarif, Sanksi Atas Iran: Zero-Sum Game, Bulletin SY`IAR, Edisi Muharam 1428H, 23

Desember 2007. 140 Carlton Stoiber…et al, op.cit.hlm.122 141 Treaty for the Prohibition of Nuclear Weapons in Latin America, United Nations Document

A/6663, United Nations, New York (1967)

72

c. The Southeast Asia Nuclear Weapon-Free Zone Treaty (the Bangkok

Treaty), yang mana termasuk hal yang memaksa pada tahun 1997143;

d. The African Nuclear-Weapon-Free Zone Treaty (the Pelindaba

Treaty), yang mana telah terbuka untuk tanda tangan pada tahun

1996144.

Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) menetapkan atas adanya suatu

penggolongan terhadap negara yang bersenjatakan nuklir yang disebut derngan

Nuclear Weapon States (NWS) dan negara-negara yang tidak memiliki senjata

nuklir yang disebut dengan Non-Nuclear Weapon States (NNWS). Mengenai

pelarangan untuk penggunaan dan mengedarkan senjata nuklir di atur dalam

Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) yang di tujukan untuk negara-negara

bersenjata nuklir (NWS) yang dimana dilarang untuk mengedarkan senjata nuklir

atau bahan peledak dalam bentuk apapun juga dilarang untuk mengatur peredaran

senjata atau bahan peledak nuklir baik secara langsung maupun tidak langsung145.

Bagi Setiap negara yang tidak memiliki senjata nuklir Non-Nuclear

Weapon States (NNWS) dibawah kendali traktat dilarang untuk menerima

peredaran nuklir dari pengedar manapun; atau dari Nuclear Weapon States (NWS)

baik secara langsung maupun tidak langsung, Non-Nuclear Weapon States

142 South Pacific Nuclear Free Zone Treaty, INFCIRC/331, IAEA,Vienna (1986). 143 Southeast Asia Nuclear Weapon-Free Zone Treaty, Association of Southeast Asian Nations,

Jakarta (1997). 144African Nuclear-Weapon-Free Zone Treaty, United Nations Document A/50/426, United

Nations, New York (1995). 145 Lihat Article I-II, Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT)

73

(NNWS) pun dilarang untuk mengembangkan atau menerima bantuan dalam

rangka mengembangkan senjata nuklir atau bahan peledak nuklir146.

Setiap Non-Nuclear Weapon States (NNWS) dibawah kendali traktat

dilarang untuk menerima perlindungan (safeguard), sebagaimana kesepakatan

untuk di negosiasikan dan di putuskan oleh International Atomic Energy Agency

(IAEA) berdasarkan anggaran dasar International Atomic Energy Agency (IAEA).

Tujuannya yaitu untuk adanya verifikasi pemenuhan dari kewajiban terhadap

Non-Nuclear Weapon States (NNWS) dengan maksud mencegah pengalihan

energi nuklir atau bahan peledak nuklir lainnya147. Serta pengontrolan terhadap

setiap penyediaan sumber atau fisi khusus dan peralatan atau bahan khusus yang

dirancang atau di persiapkan untuk memproses, penggunaan atau produksi

material yang di kirim oleh Non-Nuclear Weapon States (NNWS) untuk tujuan

damai148.

Sedangkan tujuannya yang lain dibentuknya perlindungan atau safeguard

yaitu untuk menghindari adanya hambatan perkembangan ekonomi dan teknologi

para penandatangan Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) atau kerjasama

internasional dalam kegiatan pengembangan tenaga nuklir demi perdamaian,

tujuan ini pun sesuai dengan Statuta IAEA Pasal IV (C)149.

Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) pun tidak mengatur mengenai

sanksi bagi pelanggaran pengembangan teknologi nuklir. Perjanjian hanya

mengatur Negara pemilik teknologi nuklir yang terikat oleh perjanjian untuk

146 Lihat Article II, Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) 147 Lihat Article III Ayat (1), Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) 148

Lihat Article III Ayat (2), Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) 149 Lihat Article III Ayat (3), Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT)

74

bernegosiasi atas langkah-langkah yang berkaitan dengan penghentian senjata

nuklir dan pelucutan senjata dengan itikad baik150. Hal yang sama pun berlaku

pada perjanjian tentang pelucutan senjata dibawah kontrol dunia internasional.

Mengikatnya Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) sebagai sumber

hukum dalam mengawasi pengembangan program tenaga nuklir yang dilakukan

oleh suatu Negara peserta perjanjian memiliki kekuatan mengikat bagi setiap

anggota perjanjian tersebut. Negara dapat terikat kedalam perjanjian melalui

beberapa cara menurut Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) seperti

misalnya151:

1. Negara tersebut menyatakan keikut sertaanya kedalam perjanjian;

2. Melalui ratifikasi oleh negara penandatangan traktat;

3. Traktat mulai berlaku pada tanggal penyimpanan bukti ratifikasi atau

kesepakatan mereka.

Sejak konferensi Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) Pada Tahun

1995 International Atomic Energy Agency (IAEA) pun menetapkan tiga komisi

yang dapat menjangkau Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT), yaitu152 :

1. Komisi Utama I: Penanganan keamanan dan pelucutan senjata. Komisi

ini bertugas untuk meninjau ulang pasal I dan II Nuclear Non-

Proliferation Treaty (NPT) tentang komitmen non-proliferation negara

pendukung.

150 Lihat Artickel VI, Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) 151 Lihat Artickel IX Ayat 1-6, Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) 152Lihat http://www.iaea.org/publication/factsheets/html atau lihat juga Muhamad Awan,

loc.cit.hlm,37.

75

2. Komisi Utama II: Penanganan zona bebas nuklir, perlindungan, dan

Non-Proliferasi. Komisi ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan

pasal III (verifikasi dan perlindungan International Atomic Energy

Authority (IAEA) atas semua kawasan dunia), pasal I dan II (komitmen

non-proliferasi yang berkaitan dengan verifikasi nuklir demi

perdamaian), dan pasal VII (penciptaan zona bebas nuklir).

3. Komisi Utama III: Penggunaan energy nuklir demi perdamaian.

Komisi ini bertugas untuk memeriksa pelaksanaan pasal III

(pencegahan keterhambatan perkembangan teknologi dan ekonomi

negara-negara pendukung Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT)),

pasal IV (promosi penggunaan energy nuklir untuk perdamaian), dan

pasal V (pemakaian nuklir) dan paragraf pembukaan NPT.

Maka untuk dapat menghadapi hal tersebut International Atomic Energy

Agency (IAEA) pun menerapkan empat model pengawasan dalam hal penerapan

Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT), yaitu 153:

1. Inspeksi Ad Hoc, infeksi ini berupa verifikasi atas laporan negara yang

menandatangani Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT). Inspeksi ini

juga meliputi pengawasan atas perdagangan bahan-bahan nuklir dunia

internasional;

2. Inspeksi Rutin, inspeksi ini adalah inspeksi yang sering dilakukan.

Inspeksi ini terbatas pada fasilitas nuklir atau tempat yang memiliki

bahan-bahan nuklir;

153 Ibid.

76

3. Inspeksi Khusus, dilakukan apabila International Atomic Energy

Authority (IAEA) mendapat informasi tambahan mengenai

penyelewengan nuklir untuk damai di sebuah negara. Inspeksi ini pun

bisa merupakan lanjutan dari inspeksi rutin;

4. Kunjungan Perlindungan, kunjungan ini dilakukan untuk pengawasan

atas kemungkinan pelanggaran Nuclear Non-Prolifertion Treaty

(NPT).

Keempat model pengawasan ini pun menjadikan International Atomic Energy

Agency (IAEA) sebagai organisasi internasional yang cukup konsisten dalam

menjalankan fungsi dan perannya untuk menjaga terjadinya pelanggaran terhadap

penggunaan energi nuklir untuk tujuan damai.

C. Resolusi Yang Dikeluarkan Oleh Dewan Keamanan Perserikatan

Bangsa-Bangsa Terkait Pelanggaran Pengembangan Nuklir Untuk

Tujuan Damai

Pelanggaran terhadap pengembangan energi nuklir membuat masyarakat

internasional menjadi lebih waspada terhadap peredaran senjatan nuklir. Hal ini

dapat dilihat dengan dikeluarkannya resolusi-resolusi oleh Dewan keamanan

Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) yang terkait dengan pengembangan

tenaga nuklir.

Resolusi yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-

Bangsa (DK PBB) terkait pelanggaran pengembangan tenaga nuklir yaitu

Resolusi 1696 kemudian lebih lengkapnya dimasukan kedalam Resolusi 1737

77

pada tahun 2006 yang kemudian menyusul dengan dikeluarkannya dua Resolusi

yaitu Resolusi 1747 pada tahun 2007 dan Resolusi 1929 pada tahun 2010 terkait

penghentian pengembangan tenaga nuklir yang di lakukan oleh negara peserta

Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT), yaitu Negara Iran.

Sedangkan untuk Korea Utara dalam rincian program nuklirnya,

terungkapan program nuklir Pyongyang yang memiliki ribuan mesin sentrifugal

untuk pengayakan uranium, pembangunan reaktor air ringan tengah dalam

kemajuan aktif dan sebuah pabrik pengayaan uranium dengan beberapa ribu

sentrifugal yang bertujuan untuk mengamankan pasokan bahan bakar, oleh

International Atomic Energy Agency (IAEA) sedang dilakukan tahapan verifikasi

agar tidak terjadi ekspansi senjata nuklir oleh negara korea utara dan penjatuhan

sangsi atau Resolusi jika terbukti melanggar perjanjian Non-Proliferasi nuklir154.

Dalam wawancaranya Direktur Jenderal International Atomic Energy

Agency (IAEA) meminta protokol tambahan, yang memberikan kewenangan lebih

untuk menjalankan kewenangan yang lebih membuat International Atomic Energy

Agency (IAEA) agar bisa berbuat maksimal bagi kenyamanan dunia. Dengan

protokol yang ada, Iran cuma wajib melapor ke Dewan Keamanan Perserikatan

Bangsa-Bangsa (DK PBB). Bila Iran menyatakan fasilitas pengolahan nuklirnya

untuk tujuan damai, tak ada masalah buat Timur Tengah. International Atomic

154 Lihat http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip, Selasa, 30 November 2010

78

Energy Agency (IAEA) punya kecurigaan Iran dikarenakan meningkatkan

pengayaan uranium secara terus-menerus155.

Resolusi 1737 berisikan antara lain menegaskan bahwa Iran boleh lebih

jauh menunda menggunakan atau penerimaan atas pengembangan reaktor nuklir

yang diperlukan oleh gubernur jenderal dewan pengurus International Atomic

Energy Agency (IAEA) sebagaimana di cantumkan dalam Resolusi dengan Nomor

Seri GOV/2006/14, Resolusui tersebut secara esensial untuk membangun

kepercayaan didalam maksud damai secara khusus karena program nuklir dan

memutuskan pertanyaan yang terkemuka. Selain itu Resolusi 1737 juga

memutuskan dalam keadaan bahwa Iran boleh tanpa lebih lanjut menunda

menangguhkan mengikuti proliferation aktivitas nuklirnya dengan memperhatikan

hal-hal sebagai berikut156:

1. Semua yang berhubungan dengan memperkaya dan aktivitas

memproses ulang, termasuk riset dan pembangunan akan dilakukan

verifikasi oleh International Atomic Energy Agency (IAEA).

2. Dalam Mengerjakan atau menjalankan semua yang berhubungan

dengan proyek air berat (heavy water-related projects), termasuk

pembangunan reaktor riset modern oleh air-berat (heavy water) akan di

verifikasi oleh International Atomic Energy Agency (IAEA).

155 Wawancara Mohammed El-Baradei ketika masih menjabat sebagai Direktur Jenderal IAEA

pada 25 januari 2010 lihat http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip, 22 januari 2011. 156 Lihat Resolusi DK PBB 1737 tahun 2006

79

Selain itu Resolusi 1737 juga memutuskan bahwa semua Negara juga

harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah penyediaan

bagi Iran atas bantuan teknis atau pelatihan, bantuan keuangan, investasi, broker

atau layanan lain, dan transfer sumber daya keuangan atau jasa, terkait dengan

penjualan, persediaan, transfer, pembuatan atau penggunaan dilarang, bahan,

peralatan, barang dan teknologi yang ditetapkan. Serta semua Negara akan

membekukan dana, aset keuangan lainnya dan ekonomi sumber daya yang berada

di wilayah mereka pada tanggal Penerapan resolusi atau pada waktu

sesudahnya157,

Resolusi 1747 yang merupakan perluasan dari Resolusi 1737 yang

dikeluarkan oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) yang

berisi agar dalam 60 hari Negara tersebut harus dapat menghentikan program

nuklirnya. Permintaan dalam waktu 60 hari ini merupakan laporan lebih lanjut

dari Direktur Jenderal International Atomic Energy Agency (IAEA) tentang

apakah Iran telah membentuk suspensi penuh dan berkelanjutan semua kegiatan

disebutkan dalam Resolusi 1737 (2006), serta pada proses Iran kepatuhan dengan

semua langkah yang diperlukan oleh Dewan International Atomic Energy Agency

(IAEA) dan dengan yang lain ketentuan Resolusi 1737 (2006) dan resolusi ini,

kepada Dewan Gubernur International Atomic Energy Agency (IAEA) dan secara

paralel kepada Dewan Keamanan untuk dipertimbangkan;158.

157 Lihat Ayat 12 dari Resolusi DK PBB 1737 tahun 2006 158 Lihat Ayat 12 Resolusi DK PBB 1747

80

Adapun hal yang harus di sampaikan oleh negara tersebut sesuai di dalam

Resolusi 1747 yaitu terdiri antara lain 159:

1. Bahwa negara akan menunda pelaksanaan langkah-langkah jika dan

untuk selama Iran menghentikan semua kegiatan pengayaan dan

pemrosesan kembali terkait, termasuk penelitian dan pengembangan,

sebagaimana yang dijabarkan oleh International Atomic Energy Agency

(IAEA), untuk memungkinkan negosiasi dengan itikad baik dalam

Untuk mencapai hasil awal dan saling dapat diterima;

2. Bahwa negara ini akan menghentikan tindakan yang ditentukan

sebagaimana yang di cantumkan dalam pasal-pasal sebelumnya datri

resolusi DK PBB 1747 bahwa Iran telah sepenuhnya memenuhi

kewajibannya yang relevan berdasarkan resolusi Dewan Keamanan dan

memenuhi persyaratan Dewan Gubernur International Atomic Energy

Agency (IAEA), seperti ditegaskan oleh Dewan International Atomic

Energy Agency (IAEA);

3. Menegaskan bahwa Iran tidak mematuhi Resolusi 1737 (2006) dan

Resolusi 1747.

Resolusi 1747 dan Resolusi 1929 Menegaskan kembali komitmen

International Atomic Energy Agency (IAEA) untuk Nuclear Non-Proliferation

Treaty (NPT) mengingat bahwa laporan terakhir oleh Direktur Jenderal

International Atomic Energy Agency (IAEA) (GOV/2007/8) dari 22 Februari 2007

159 Lihat Ayat 13 Resolusi DK PBB 1747

81

dan menyesalkan bahwa, seperti yang ditunjukkan di dalamnya, yaitu negara Iran

yang merupakan Negara yang masuk ke dalam Nuclear Non-Proliferation Treaty

(NPT) telah gagal memenuhi Resolusi 1696 (2006) dan Resolusi 1737 (2006)160,

Resolusi Dewan Gubernur International Atomic Energy Agency (IAEA)

(GOV/2006/14), yang menyatakan bahwa solusi untuk masalah nuklir Iran akan

memiliki kontribusi untuk upaya mewujudkan tujuan Timur Tengah bebas dari

senjata pemusnah massal, termasuk sarana pengiriman mereka, International

Atomic Energy Agency (IAEA) bertekad untuk memberikan efek terhadap

keputusan dengan mengadopsi langkah yang tepat untuk membujuk Iran untuk

mematuhi Resolusi 1696 (2006) dan Resolusi 1737 (2006) dan dengan

persyaratan International Atomic Energy Agency (IAEA), dan juga untuk

menghambat perkembangan sensitif teknologi Iran untuk mendukung program

nuklir dan rudal, hingga seperti waktu sebagai Dewan Keamanan menentukan

bahwa tujuan dari Resolusi ini telah dipenuhi, Mengingat persyaratan dari

Amerika untuk bergabung dalam mengusahakan bantuan timbal balik dalam

melaksanakan langkah-langkah yang diputuskan oleh Dewan Keamanan..

International Atomic Energy Agency (IAEA) melalui Resolusi Dewan

Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) 1747 Menggarisbawahi bahwa

tidak ada dalam Resolusi tersebut yang mengharuskan Negara untuk menolak

perusahaan memiliki warga negara masuk ke wilayahnya, dan bahwa semua

Negara harus dalam pelaksanaan ayat didalam resolusi, memperhitungkan

pertimbangan kemanusiaan termasuk kewajiban agama, serta kebutuhan untuk 160 Lihat Resolusi DK PBB 1747 dan Resolusi DK PBB 1926

82

memenuhi Tujuan dari resolusi 1737 (2006), termasuk di mana Pasal XV dari

Statuta IAEA161.

Dalam Anex II dari Resolusi 1747 terdapat komitmen dari negara iran dan

International Atomic Energy Agency (IAEA) dalam proses menangani masalah

nuklir iran. Adapun komitmen-komitmen tersebut menyangkut Unsur-unsur

perjanjian jangka panjang yang dimana tujuannya adalah untuk mengembangkan

hubungan dan kerjasama dengan Iran, atas dasar saling menghormati dan

pembentukan kepercayaan dunia internasional terhadap eksklusif sifat damai dari

program nuklir Republik Islam Iran. Mengusulkan agar segera mulai untuk

menegosiasi perjanjian yang komprehensif dengan Iran. Perjanjian akan disimpan

oleh International Atomic Energy Agency (IAEA) dan disahkan dalam resolusi

Dewan Keamanan. Untuk menciptakan kondisi yang tepat untuk negosiasi, serta

langkah yang ditempuh oleh International Atomic Energy Agency (IAEA)

adalah162:

1. Menegaskan hak Iran untuk mengembangkan energi nuklir untuk tujuan

damai sesuai dengan kewajibannya berdasarkan Nuclear Non-

Proliferation Treaty (NPT), dan dalam konteks ini menegaskan kembali

dukungan International Atomic Energy Agency (IAEA) untuk

pengembangan program energi nuklir sipil Iran;

2. Berkomitmen untuk mendukung secara aktif membangun reaktor air

ringan baru di Iran melalui proyek-proyek kerjasama internasional,

161 Lihat Ayat 3 Resolusi DK PBB 1747. 162 Lihat ANEX II dari Resolusi DK PBB 1747

83

sesuai dengan Statuta IAEA dan Nuclear Non-Proliferation Treaty

(NPT);

3. Setuju untuk menangguhkan pembahasan program nuklir Iran di

Keamanan Dewan pada pembukaan kembali perundingan.

Adapun komitmen dari Negara iran dalam menindak lanjuti keluarnya resolusi

oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) yaitu antara lain

terkait komitmennya untuk menangani semua keprihatinan yang beredar dari

International Atomic Energy Agency (IAEA) melalui penuh kerjasama dengan

International Atomic Energy Agency (IAEA), prasangka terhadap semua kegiatan

pengayaan dan pengolahan ulang terkait harus diverifikasi oleh International

Atomic Energy Agency (IAEA), seperti yang diminta oleh Dewan Gubernur

International Atomic Energy Agency (IAEA) dan Dewan Keamanan, dan

berkomitmen untuk melanjutkan negosiasi ini selama ini, serta melanjutkan

pelaksanaan Protokol Tambahan. Wilayah kerja sama di masa depan yang

tercakup dalam negosiasi pada jangka panjang perjanjian163.

163 Lihat ANEX II dari Resolusi DK PBB 1747

84

BAB IV

PERAN INTERNATIONAL ATOMIC ENERGY AGENCY (IAEA)

TERHADAP PELANGGARAN PENGEMBANGAN TENAGA NUKLIR

UNTUK TUJUAN DAMAI MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

A. Peran International Atomic Energy Agency (IAEA) Terhadap

Pelanggaran Pengembangan Tenaga Nuklir Untuk Tujuan Damai

Gagasan awal dibentuknya International Atomic Energy Agency (IAEA)

yang disampaikan oleh Dwight D. Eisenhower pada tanggal 8 Desember 1953 di

depan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa merupakan sebagai tanggapan

atas ketakutan dan harapan dari masyarakat dunia atas ditemukannya energi

nuklir. Reaksi atas ketakutan dan harapan ini kemudian menjadi suatu dasar untuk

memajukan penggunaan energi nuklir untuk tujuan damai, dan memastikan energi

nuklir tersebut tidak digunakan untuk segala macam dari tujuan militer.

Dibentuknya International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai

organisasi internasional yang Anggota-anggotanya terdiri dari negara-negara,

merupakan organisasi antar pemerintah (Inter-Govermental Organization). Inter-

Govermental Organization pada umumnya disebut sebagai organisasi

internasional yang mempunyai status hukum internasional publik, sebagai

organisasi agar dapat memiliki status hukum internasional publik, International

Atomic Energy Agency (IAEA) harus dibentuk berdasarkan persetujuan

internasional atau lazim disebut instrument pokok (Constituent Instrumen).

Instrument pokok tersebut adalah Statuta IAEA yang mana menentukan

85

International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai organisasi internasional dan

memiliki status hukum internasional publik.

Pembentukan International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai

organisasi internasional secara umum dapat ditinjau melalui aspek-aspek hukum

organisasi internasional, aspek-aspek tersebut seperti aspek filosofis yang mana

aspek ini menyangkut nilai-nilai filosofis dan nilai-nilai historis yang menjadi

suatu dasar atas dibentuknya organisasi internasional tersebut. Nilai-nilai tersebut

seperti adanya itikad baik dari negara-negara yang berdaulat untuk menjaga

keamanan dan kedamaian dunia dari terjadinya pelanggaran pengembangan

tenaga nuklir dan demi terciptanya nuklir untuk tujuan damai.

Selain aspek filosofis, organisasi internasional juga memiliki aspek

administratif yang lebih banyak menentukan tingkat personalitas dan kapasitas

organisasi internasional itu sendiri dalam upaya memenuhi unsur-unsur dari

dibentuknya organisasi internasional tersebut. Aspek administratif tersebut dapat

dilihat dari adanya instrumen pokok dari International Atomic Energy Agency

(IAEA) itu sendiri yaitu Statuta IAEA yang mengatur mengenai fungsi dan

keanggotaan dari International Atomic Energy Agency (IAEA) serta persetujuan

yang di buat dalam kerangka International Atomic Energy Agency (IAEA) dimana

merupakan persetujuan internasional yang mengikat bagi negara-negara

anggotanya dan pembentukan International Atomic Energy Agency (IAEA)

sebagai organisasi internasional di atur oleh hukum internasional.

86

Sedangkan dilihat dari aspek hukumnya, organisasi internasional lebih

menitik beratkan pada masalah-masalah konstitusional dan prosedural seperti

misalnya wewenang dan pembatasan-pembatasan atau restrictions baik terhadap

organisasi internasional itu sendiri maupun anggotanya sebagaimana termuat di

dalam ketentuan-ketentuan instrumen dasar organisasi internasional. Aspek

hukum dari International Atomic Energy Agency (IAEA) dapat dilihat dalam

Statuta IAEA Artikel I- XXIII serta lampiran atau ANNEX komisi persiapan

pembentukan International Atomic Energy Agency (IAEA) yang mana dilihat dari

aspeknya merupakan aspek hukum dalam menitik beratkan pada masalah-masalah

konstitusional dan prosedural, baik itu penetapan aturan kerjasama di bidang

pengembangan nuklir maupun prosedur standar dari penggunaan tenaga nuklir.

Gagasan dibentuknya International Atomic Energy Agency (IAEA)

sebagai organisasi internasional dapat dilihat pula pada dasar terpenuhinya suatu

unsur organisasi internasional secara umum yang mana International Atomic

Energy Agency (IAEA) layak dikatakan sebagai organisasi internasional. Unsur

dari terbentuknya organisasi internasinonal tersebut antara lain seperti kerjasama

yang ruang lingkupnya melintasi batas negara atau adanya kerjasama antar negara,

kerjasama tersebut dilakukan antar negara anggota International Atomic Energy

Agency (IAEA) maupun yang bukan negara anggota, adanya upaya pencapaian

tujuan bersama yang disepakati antar negara-negara dalam kerangka organisasi

internasional, memiliki struktur organisasi yang jelas dan lengkap, dan organisasi

internasional tersebut melaksanakan fungsinya secara berkesinambungan. Dari

unsur-unsur tersebut diatas berdasarkan unsur pembentukannya, International

87

Atomic Energy Agency (IAEA) telah memenuhi unsur-unsur sebagai organisasi

internasional publik yang ruang lingkupnya melintasi batas negara serta memiliki

struktur organisasi yang jelas dan keberadaan International Atomic Energy

Agency (IAEA) diakui oleh hukum internasional.

Selain unsur organisasi internasional secara umum tersebut diatas,

International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai organisasi internasional

memiliki ciri-ciri sebagai organisasi internasional. Ciri-ciri yang dimaksud antara

lain seperti International Atomic Energy Agency (IAEA) merupakan sebagai

organisasi internasional yang dibentuk secara permanen untuk melakukan suatu

fungsi secara terus menerus, keanggotaan dari International Atomic Energy

Agency (IAEA) yaitu negara-negara secara sukarela yang memenuhi syarat

sebagai negara anggota, adanya tujuan dari organisasi, struktur organisai serta

metode operasi yang termuat di dalam Statuta IAEA sebagai dasar instrumen

pokok dari organisasi, International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai suatu

organisasi perwakilan negara-negara dalam kerjasama di bidang pengembangan

tenaga nuklir, serta memiliki sekretariat tetap untuk melakukan penelitian secara

terus menerus, kegiatan secara administratif dan sekretariat tersebut berperan

sebagai pusat informasi bagi negara-negara anggotanya.

Pembentukan International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai

organisasi internasional tersebut menjadikan International Atomic Energy Agency

(IAEA) sebagai subyek hukum internasional, subyek hukum dari suatu sistem

hukum adalah semua yang menurut ketentuan hukum diakui mempunyai

kemampuan untuk bertindak, hal ini sebagaimana penulis jelaskan dalam Bab II

88

sebagai subyek hukum internasional, organisasi internasional memiliki beberapa

unsur sebagai subyek hukum internasional seperti adanya kerjasama yang ruang

lingkupnya melintasi batas negara, adanya pencapaian tujuan bersama yang telah

di sepakati oleh negara-negara anggota serta memiliki struktur organisasi yang

jelas dan lengkap sebagai penunjang dalam melaksanakan fungsi-fungsinya secara

berkesinambungan. Hal ini cukup penting bahwa penetapan atas unsur-unsur dari

organisasi internasional tersebut adalah untuk menetapkan ruang lingkup dari

kewenangan organisasi internasional tersebut, serta menentukan fungsinya

sebagai subyek hukum internasional dan membedakannya dari subyek hukum

internasional yang lainnya.

International Atomic Energy Agency (IAEA) dalam melaksanakan

perannya sebagai organisasi internasional, pada dasarnya memiliki kewenangan

sebagai organisasi supra-nasional atau Supra-National Organization, yang mana

kewenangan organisasi supra-nasional tersebut menjadikan organisasi

internasional, dalam hal ini International Atomic Energy Agency (IAEA),

memiliki kedudukan yang berada di atas negara-negara anggotanya seperti

misalnya adanya kewenangan dalam membuat ketentuan yang sesuai dengan

instrumen pokok atau Statuta IAEA dalam pembentukan Nuclear Non-

Proliferation Treaty (NPT) yang kemudian di sepakati oleh negara-negara

anggota. Kewenangan lain yang dimiliki oleh organisasi internasional yaitu

kewenangan sebagai organisasi kerjasama atau co-operative organization, yang

mana organisasi internasional tersebut berperan sebagai suatu wadah kerjasama

yang berdasarkan atas kesepakatan negara-negara anggotanya, hal ini didasarkan

89

pada persamaan kedaulatan bagi seluruh anggotanya dan untuk memastikan

bahwa semua anggota menggunakan hak dan kewajibannya dalam melakukan

upaya kerjasama dalam menjaga kedamaian dunia, maka kedudukan dan

kewenangan organisasi internasional, dalam hal ini International Atomic Energy

Agency (IAEA), tidaklah lebih tinggi dibandingkan negara-negara anggotanya.

Dalam pembentukannya, International Atomic Energy Agency (IAEA)

memiliki struktur organisasi sebagai penunjang dalam menjalankan perannya

sebagai organisasi internasional. Struktur tersebut yang mana telah di jelaskan

dalam Bab II berfungsi untuk menentukan pembagian kerja dalam kesatuan kerja

sama demi tercapainya tujuan organisasi internasional. Struktur organisasi sebagai

penunjang bagi organisasi internasional dalam menjalankan perannya memiliki

fungsi lain yaitu fungsi organisasi yang menjalankan kegiatannya menyangkut

masalah politik dalam hubungan internasional terkait kemanan dan perdamaian

dunia merupakan fungsi organisasi internasional yang bersifat politik atau disebut

political organization, fungsi dalam menjalankan kegiatan teknis secara

administratif seperti penetapan keanggotaan negara dalam organisasi internasional

merupakan fungsi administratif organisasi atau disebut administratif organization

dan fungsi yang menyangkut upaya penyelesaian sengketa yang terjadi di

berbagai bidang menurut proses hukum disebut dengan fungsi hukum organisasi

atau disebut judicial organization, terkait pelaksanaan fungsi judicial

organization, International Atomic Energy Agency (IAEA) telah menjalankan

fungsi tersebut terhadap adanya dugaan pelanggaran perjanjian non-proliferasi

nuklir yang telah disepakati oleh negara-negara anggota International Atomic

90

Energy Agency (IAEA) untuk diajukan ke Dewan Keamanan Perserikatan

Bangsa-Bangsa (DK PBB).

Ketiga fungsi tersebut diatas dapat menentukan suatu proses personalitas

hukum dari subyek hukum internasional. Personalitas hukum tersebut adalah

suatu tindakan di dalam kapasitasnya sebagai organisasi internasional dan untuk

melaksanakan tindakan-tindakan tersebut harus sesuai dengan ketentuan yang

termuat di dalam instrument pokok yang dimiliki oleh organisasi internasional

tersebut. Keberadaan personalitas hukum dari suatu organisasi internasional tidak

sama dengan personalitas hukum negara-negara anggotanya. agar dapat memiliki

personalitas hukum, organisasi internasional harus memenuhi syarat yang dimana

organisasi tersebut dibentuk oleh suatu perjanjian internasional yang menjadi

instrumen pokok bagi organisasi internasional tersebut, organisasi internasional

tersebut memiliki organ yang tepisah dari negara-negara anggotanya serta

organisasi internasional tersebut dibentuk oleh hukum internasional publik.

International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai organisasi

internasional publik tidak dibenarkan untuk menggunakan personalitas hukum

negara-negara anggotanya. Keterpisahan antar pesonalitas hukum International

Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai organisasi internasional dengan negara-

negara anggotanya secara umum dikarenakan International Atomic Energy

Agency (IAEA) merupakan himpunan (keangotaanya) negara-negara yang bersifat

tetap serta di lengkapi dengan struktur organisasi yang lengkap, hal ini dapat di

lihat dalam struktur organisasi International Atomic Energy Agency (IAEA) serta

Statuta IAEA yang memiliki perbedaan dengan negara-negara anggotanya dalam

91

hal kewenangannya, dimana adanya kewenangan hukum dan tujuan dari

International Atomic Energy Agency (IAEA) yang dapat diterima serta di terapkan

dalam melaksanakan kegiatan dalam ruang lingkup internasional.

International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai organisasi

internasional memiliki personalitas hukum berdasarkan kriteria objektifnya

karena memenuhi syarat-syarat seperti adanya perjanjian internasional yang

mengatur pembentukan organisasi internasional tersebut yaitu sebagaimana

tercantum dalam Statuta IAEA Artikel I terkait pembentukan International Atomic

Energy Agency (IAEA), organ-organ yang ada di dalam International Atomic

Energy Agency (IAEA) tersebut terpisah dari negara-negara anggotanya dalam hal

ini organ tersebut berada di bawah tanggung jawab Direktur Jenderal, dan yang

menjadi hal utama yaitu keberadaan International Atomic Energy Agency (IAEA)

tersebut diatur oleh hukum internasional publik.

Selain personalitas hukum secara umum, sebagai organisasi internasional,

International Atomic Energy Agency (IAEA) memiliki personalitas hukum yang

lebih khusus menyangkut kewenangan dan fungsi organisasi sesuai dengan Statuta

IAEA yaitu Artikel III mengenai fungsi dari International Atomic Energy Agency

(IAEA) itu sendiri seperti memiliki kemampuan mengadakan perjanjian, dalam

hal ini dibentuknya Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) sebagai hasil dari

adanya kewenangan International Atomic Energy Agency (IAEA) dalam

mengadakan perjanjian. Adanya hak dan kewenangan secara hukum untuk

memiliki aset-aset milik organisasi dan status khusus bagi personalia yang

dilakukan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA) kepada negara

92

pemilik nuklir serta mampu mengajukan tuntutan terhadap negara anggota juga

bukan kepada negara anggota, mengajukan perkara kepengadilan internasional

berdasarkan yurisdiksi internasional, perlindungan fungsional personalia dimana

para personalia International Atomic Energy Agency (IAEA) dalam melakukan

pemeriksaan terhadap reaktor nuklir memiliki hak dan kewenangan selama masa

tugasnya sebagaimana yang di atur di dalam Statuta IAEA Artikel XV

menyangkut kapasitas hukum hak istimewa dan kekebalan yang diperlukan untuk

menjalankan fungsinya dan pengiriman perwakilan untuk dapat menghadiri

konferensi yang berkaitan.

International Atomic Energy Agency (IAEA) merupakan organisasi

internasional publik yang berada di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-

Bangsa yang di bentuk untuk menciptakan program nuklir untuk tujuan damai

sebagaimana diatur dalam Statuta IAEA Artikel II yang mana International

Atomic Energy Agency (IAEA) dapat mencari cara untuk mempercepat dan

memperbesar kontribusi energi atom untuk perdamaian, kesehatan dan

kesejahteraan bagi seluruh dunia. Langkah yang dilakukan oleh International

Atomic Energy Agency (IAEA) ini dapat dilihat di dalam Nuclear Non-

Proliferation Treaty (NPT) dan penetapan INES (International Nuclear And

Radiological Event Scale).

Personalitas hukum yang di miliki International Atomic Energy Agency

(IAEA) pada dasarnya bersifat fungsional artinya personalitas hukum tersebut di

batasi oleh prinsip specialitas yang dimana organisasi hanya dapat melaksanakan

kapasitas yuridik yang dimilikinya di dalam batas-batas dan tujuan yang telah di

93

tetapkan oleh piagam konstitutif organisasi internasional. Batas-batas dan tujuan

yang di tetapkan dalam statuta menentukan personalitas hukum International

Atomic Energy Agency (IAEA). Meski pun di dalam Statuta IAEA tidak

dicantumkan personalitas hukum secara pasti, sebagai organisasi internasional

yang merupakan subyek hukum internasional, International Atomic Energy

Agency (IAEA) tidak perlu kehilangan personalitas hukum karena International

Atomic Energy Agency (IAEA) memiliki kapasitas untuk dapat melakukan

prestasi hukum sesuai dengan aturan dan prinsip hukum internasional, demi

terciptanya keamanan, dan ketertiban masyarakat dunia.

International Atomic Energy Agency (IAEA) dalam melaksanakan

fungsinya secara berkesinambungan untuk dapat melakukan pemeriksaan,

pemantauan dan pengembangan memiliki beberapa kewenangan yang dimana

berbeda dengan subyek hukum yang lain. International Atomic Energy Agency

(IAEA) memiliki kewenangan sebagai mana dalam Statuta IAEA Artikel III A.1-7

yang telah menentukan bahwa untuk membuat ketentuan sesuai dengan Statuta

bagi bahan, jasa, peralatan, dan fasilitas serta dapat memenuhi kebutuhan

penelitian, pengembangan dan aplikasi praktis energi atom untuk tujuan damai

termasuk produksi tenaga listrik, dengan mempertimbangkan kebutuhan di bawah

wilayah di dunia yang sedang berkembang.

Membangun dan mengatur perlindungan yang dirancang untuk

memastikan bahan-bahan fisi, layanan, fasilitas, peralatan, dan informasi yang

disediakan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA) dan menerapkan

perlindungan atas permintaan para pihak, untuk setiap pengaturan bilateral atau

94

multilateral maupun permintaan suatu negara untuk semua itu aktivitas negara di

bidang energi atom sebagaimana di atur dalam Artikel III A.5 merupakan suatu

landasan bagi International Atomic Energy Agency (IAEA) dalam menjalankan

kewenangannya untuk menetapkan suatu pengaturan internasional di bidang

pengembangan energi nuklir untuk tujuan damai.

Aktivitas International Atomic Energy Agency (IAEA) dalam

melaksanakan kinerjanya di bidang pengawasan nuklir tidak lepas dari ketentuan-

ketentuan Statuta IAEA, penetapan kewenangan (kuasa) International Atomic

Energy Agency (IAEA) sebagai organisasi internasional berdasarkan kepada

instrument pokok Artikel III.A.5 dan Artikel XI yang dimana International

Atomic Energy Agency (IAEA) memiliki kewenangan terhadap penerapan

safeguard atas permohoan negara peserta untuk setiap perjanjian atau kesepakatan

bilateral dan multilateral. Sistem safeguards dilaksanakan terhadap reaktor

penelitian dan reaktor eksperimental sesuai dokumen International Atomic Energy

Agency (IAEA) INFIRC/26 dan dokumen IAEA INFCIRC/66/Rev.2,

International Atomic Energy Agency (IAEA) kemudian membuat peraturan yang

lebih luas lagi yaitu safeguards yang dapat menjangkau reaktor untuk segala jenis,

termasuk didalamnya pengawasan kepada reprocessing plants dan seluruh fuel

fabrication plants.

Sebagai organisasi internasional yang menjalankan perannya untuk dapat

mempromosikan kerjasama intenasional antara negara-negara anggotanya serta

dalam kedudukannya yang khusus untuk menjalankan kecenderungan dunia

terhadap persoalan dan tantangan keamanan nuklir dan sebagaimana di atur dalam

95

Statuta IAEA Artikel XII yang berhubungan dengan penegakan standar

keselamatan dan petunjuk keselamatan yang akan digunakan oleh International

Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai organisasi internasional sehingga dapat

melaksanakan fungsinya secara berkesinambungan dalam pemeriksaan,

pemantauan dan pengembangan energi nuklir serta adanya kewenangan sebagai

organisasi yang kedudukannya berada dia atas negara-negara anggotanya, hal ini

dapat dilihat dalam pelaksanaan terhadap adanya indikasi pelanggaran

pengembangan energi nuklir oleh negara anggota untuk tujuan militer.

Kewenangan supra-nasioal organization dari International Atomic Energy

Agency (IAEA) ini yang belum dapat terealisasi dikarenakan didunia saat ini

menganut pola banyak negara (multi-state system) masing-masing negara

berdaulat dan sederajat satu sama lain. Sedangkan International Atomic Energy

Agency (IAEA) dalam wewenangnya tidaklah lebih tinggi dibandingkan negara-

negara anggotanya dan International Atomic Energy Agency (IAEA) hanya

sebagai wadah kejasama internasional berdasarkan kesepakatan negara-negara

anggotanya.

Kewenangan dalam membuat atau menentukan aturan bagi pengembangan

tenaga nuklir, di dalam Statuta IAEA terdapat pengaturan terkait dengan

Safeguards yang dimana memberikan tanggung jawab ganda bagi International

Atomic Energy Agency (IAEA), tanggung jawab ini yaitu selain untuk

mempromosikan penggunaan energi nuklir untuk maksud damai dan aman, juga

untuk menjamin kepastian bahwa energi nuklir tidak disalahgunakan untuk tujuan

perang (bukan damai). Statuta memberikan kuasa kepada International Atomic

96

Energy Agency (IAEA) untuk membuat dan mengatur usaha perlindungan

safeguards tersebut sebagaimana tercantum di dalam Artikel XII. Hal inilah yang

menjadi prioritas dalam kinerja dari International Atomic Energy Agency (IAEA)

itu sendiri.

Sebagai organisasi internasional yang memiliki kewenangan untuk

membuat perjanjian internasional, International Atomic Energy Agency (IAEA)

merujuk kepada Pasal 5 Konvensi Wina 1969 dan sesuai dengan tujuan dari di

bentuknya International Atomic Energy Agency (IAEA) untuk mencipatakan

“atom for peace”. perjanjian internasional yang ditetapkan merupakan instrument

pokok dari organisasi internasional dan pada setiap perjanjian yang disahkan

dalam lingkungan suatu organisasi internasional tanpa mengurangi arti dari setiap

aturan yang relevan dari organisasi tersebut.

International Atomic Energy Agency (IAEA) selain dilengkapi oleh organ-

organ permanen, wewenang dan sasaran tertentu juga fungsi-fungsi tertentu

seperti dalam kegiatan yang menyangkut masalah-masalah politik dalam

hubungan internasional apabila ada keterkaitan dengan masalah perdamaian dan

keamanan maka International Atomic Energy Agency (IAEA) dapat

mengoptimalkan fungsi politik International Atomic Energy Agency (IAEA)

sebagai organisasi internasional yang di atur di dalam Statuta IAEA yaitu Artikel

V, Artikel VIII, Artikel XVI. Dalam melaksanakan fungsi yang sepenuhnya hanya

untuk kegiatan seperti penyusunan laporan kegiatan pengawasan, pemeriksaan

dan penetapan standar tenaga nuklir secara administrasi maka fungsi dari

International Atomic Energy Agency (IAEA) ini disebut dengan fungsi

97

administratif International Atomic Energy Agency (IAEA) yang dimana fungsi ini

di atur dalam Statuta IAEA Artikel IV, Artikel VI, Artikel VII, Artikel IX, Artikel

Xl, Artikel XIV, dan Artikel XXI.

Sedangkan fungsi International Atomic Energy Agency (IAEA) yang

menyangkut masalah penyelesaian sengketa menurut prosedur hukum dan melalui

proses hukum disebut dengan fungsi peradilan organisasi yang dimana fungsi ini

tidak jarang melibatkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (MU PBB)

dan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Hal ini dapat

dilihat dalam menghadapi kasus pelanggaran pengembangan nuklir oleh negara

Iran, Judicial Organization yang di gunakan oleh International Atomic Energy

Agency (IAEA) dalam menyelesaikan masalah pelanggaran pengembangan tenaga

nuklir tersebut sesuai dengan Statuta IAEA Artikel XVII tentang Settlement Of

Disputes atau penyelesaian sengketa yang dimana International Atomic Energy

Agency (IAEA) lebih memperdayakan Konferensi Umum dan Dewan Gubernur

yang tunduk pada persetujuan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa

mengenai setiap masalah hukum yang timbul dalam ruang lingkup kegiatan

International Atomic Energy Agency (IAEA), dan membawa permasalah

pelanggaran kepada dewan keamanan perserikatan bangsa-bangsa (DK PBB).

Terhadap fungsi-fungsi tersebut di atas, terdapat struktur yang menunjang

fungsi dan tujuan organisasi yang tidak hanya menyangkut organisasi antar

pemerintah dengan pemerintah tetapi juga terdapat struktur penunjang yang terdiri

atas direktur jenderal yang membawahi enam departemen yang membantu

direktur jendral di dalam melaksanakan tugas-tugas. Struktur penunjang tersebut

98

diatur dalam Statuta IAEA Artikel IV yang menyangkut keanggotaan, Artikel V

menyangkut General Conference, Artikel VI menyangkut Board Of Governors

dan Artikel VII tentang Staff. Struktur penunjang tersebut merupakan salah satu

syarat untuk diakuinya International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai

organisasi internasional publik.

Dilengkapinya International Atomic Energy Agency (IAEA) dengan

struktur, staff, wewenang dan tujuan tidak jarang dapat menimbulkan terjadinya

Fenomena Retroaksi bagi International Atomic Energy Agency (IAEA) karena

status yuridiknya yang otonom dapat mempengaruhi sikap negara-negara

anggotanya atau dengan kata lain dapat memaksa negara-negara anggotanya untuk

dapat mematuhi segala ketentuan-ketentuan yang di buat oleh International

Atomic Energy Agency (IAEA) itu sendiri sehingga tidak jarang menimbulkan

masalah yang berkepanjangan dan bahkan menimbulkan konflik atau perang.

Seperti halnya dikeluarkanya resolusi oleh dewan perserikatan bangsa-bangsa

bagi negara anggota International Atomic Energy Agency (IAEA).

Sehubungan dengan pengaturan Safeguards, International Atomic Energy

Agency (IAEA) mempunyai hak dan tanggung jawab yang relevan dengan proyek

atau pengaturan tersebut seperti membentuk staf inspektur yang bertujuan

mengambil langkah-langkah yang memadai untuk mencegah sumber dan bahan

fisi khusus yang digunakan atau dihasilkan dalam operasi sendiri dari yang

digunakan sebagai kelanjutan dari setiap tujuan militer. Badan harus mengambil

segera tindakan perbaikan untuk memperbaiki setiap ketidaksesuaian atau

kegagalan untuk mengambil tindakan yang memadai. Staf inspektur juga memiliki

99

tanggung jawab untuk memperoleh dan memverifikasi. Inspektur harus

melaporkan ketidakpatuhan kepada Direktur Jenderal yang kemudian

menyampaikan laporan kepada Dewan Gubernur. Sehingga dewan gubernur dapat

membawa setiap ada masalah ketidak patuhan ke dewan keamanan dan majelis

umum perserikatan bangsa-bangsa sesuai dengan Statuta IAEA Artikel XII

tentang Agency Safeguards atau Badan perlindungan.

Konsep dasar mengenai Safeguards yang lebih baik melalui International

Atomic Energy Agency (IAEA) mulai diformulasikan dan diterapkan. Meskipun

masih berjalan lambat karena masih tergantung pada kemauan masing-masing

negara untuk menerima Safeguards tersebut seperti inspeksi dan tipe atau fasilitas

yang di inspeksi mulai meningkat. Hal ini di karenakan aspek hukumnya

organisasi internasional lebih menitik beratkan pada masalah-masalah

konstitusional dan prosedural seperti misalnya wewenang dan pembatasan-

pembatasan (Restrictions) baik terhadap organisasi internasional itu sendiri

maupun anggotanya sebagaimana termuat di dalam ketentuan-ketentuan

instrumen dasar organisasi internasional, termasuk perkembangan organisasi

internasional secara praktis.

Pada tahap awal pelaksanaannya, fungsi pengawasan International Atomic

Energy Agency (IAEA) lebih terkonsentrasi kepada perdagangan nuklir

internasional yang diakui mempunyai peranan penting dalam proliferasi nuklir.

Akan tetapi dengan penerapan Safeguards dalam perdagangan internasional,

komoditi nuklir ternyata menjadi lebih meningkat terutama dalam kaitan dengan

transfer teknologi nuklir. Untuk itu pengaturan terhadap pengawasan perdagangan

100

nuklir internasional diatur dalam Statuta IAEA yaitu Artikel X yang dimana

mengatur tentang pelayanan, peralatan, dan fasilitas anggota sehingga dapat

membuat suatu layanan yang tersedia sehingga di mungkinkan adanya suatu

peralatan dan fasilitas dalam memenuhi tujuan dan fungsi International Atomic

Energy Agency (IAEA). Sedangkan pengaturan terhadap komoditi nuklir

internasional diatur dalam Statuta IAEA Artikel Xl mengenai proyek-proyek

International Atomic Energy Agency (IAEA) untuk nuklir bertujuan damai, peran

dan fungsi pengaturannya menyangkut pengaturan proses dari proyek-proyek

International Atomic Energy Agency (IAEA) dalam melakukan kepada

perdagangan nuklir internasional.

Menyangkut penyelesaian sengketa menurut prosedur hukum dan melalui

proses hukum bagi negara anggota yang melanggar perjanjian yang di buat,

sebagaimana tercantum dalam Statuta IAEA Artikel XIX menyangkut penundaan

hak negara anggota dalam melakukan proses pengembangan energi nuklir

diwilayahnya yang terus-menerus melanggar ketentuan-ketentuan Statuta IAEA

atau perjanjian apapun yang di buat sesuai dengan apa yang termuat dalam Statuta

IAEA dapat terkendala dari pelaksanaan hak dan kewajiban keanggotaan oleh

Konferensi Umum dengan mayoritas dua pertiga anggota yang hadir dan

pemungutan suara atas rekomendasi oleh Dewan Gubernur. Ketentuan atas

kendala pelaksanaan hak dan kewajiban bagi negara peserta ini oleh konferensi

umum terkadang membuat supra-nasional organization yang dimiliki oleh

International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai organisasi internasional

tidak dapat diterapkan kepada negara-negara anggota dari International Atomic

101

Energy Agency (IAEA) itu sendiri seperti upaya atas pemberlakuan sangsi bagi

negara yang melanggar peraturan atau statuta.

Dalam melaksanakan perannya untuk mengadakan upaya keselamatan

dalam pengembangan energi nuklir, International Atomic Energy Agency (IAEA)

kemudian membentuk suatu perjanjian internasional untuk menjalankan perannya

tersebut demi menjaga keamanan dan kedamaian dunia di bidang penggunaan

energi nuklir untuk tujuan damai. pembentukan perjanjian internasional ini

merupakan salah satu kewenangan dari International Atomic Energy Agency

(IAEA) dalam melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan ketentuan yang

termuat didalam instrumen pokok yang dimiliki oleh organisasi internasional

tersebut seperti pembentukan perjanjian non-proliferasi nuklir yang di buat oleh

negara-negara anggota dari International Atomic Energy Agency (IAEA).

B. Pengaturan Pengembangan Tenaga Nuklir Menurut Nuclear Non-

Proliferation Treaty (NPT)

Perjanjian Non-proliferasi Nuklir (bahasa Inggris: Nuclear Non-

Proliferation Treaty) merupakan suatu perjanjian yang di tandatangani pada 1 Juli

1968 yang kemudian berlaku pada tanggal 5 maret 1970, tujuan di buatnya

perjanjian ini adalah untuk membatasi kepemilikan senjata nuklir oleh negara-

negara. Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) merupakan suatu perjanjian yang

dibuat dalam kerangka organisasi internasional khususnya yang dibuat dalam

kerangka International Atomic Energy Agency (IAEA). Nuclear Non-

102

Proliferation Treaty (NPT) sebagai suatu perjanjian internasional merupakan

salah satu sumber hukum internasional terkait penggunaan energi nuklir.

Pembentukan perjanjian Non-proliferasi Nuklir atau Nuclear Non-

Proliferation Treaty (NPT) ini memenuhi beberapa kriteria dasar sebagai suatu

dokumen perjanjian untuk dapat ditetapkan sebagai perjanjian internasional

seperti Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) memiliki karakter internasional

(an international agreement) dan tidak termasuk dalam perjanjian yang berskala

nasional seperti perjanjian-perjanjian antarnegara bagian atau antara pemerintahan

daerah dari suatu negara nasional, Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) dibuat

oleh Negara dan/atau organisasi internasional (by subject of international law)

bukan perjanjian antara Negara dengan perusahaan multinasional, dan yang lebih

penting adalah Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) tunduk kepada rezim

hukum internasional (governed by internastional law).

Perjanjian internasional yang dibuat oleh negara-negara dalam kerangka

organisasi internasional diatur oleh sumber hukum internasional, berisikan ikatan-

ikatan yang mempunyai akibat-akibat hukum bagi negara-negara tersebut. Akibat-

akibat hukum tersebut menunjukan sifat mengikatnya dari suatu perjanjian, serta

menimbulkan hak dan kewajiban bagi negara-negara yang terikat atau

mengikatkan diri ke dalam perjanjian. Secara hukum Nuclear Non-Proliferation

Treaty (NPT) merupakan sumber hukum internasional yang mengikat bagi negara

dan memiliki kekuatan hukum yang dibentuk oleh organisasi internasional dalam

kerangka International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai organisasi

internasional.

103

Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) merupakan perjanjian

internasional yang mencerminkan suatu sifat mengikat antara Negara yang

menciptakan hak dan kewajiban secara hukum diantara para pihak yang

mengadakan persetujuan mengenai masalah-masalah yang di maksudkan di dalam

perjanjian tersebut. Sifat mengikatnya ini merupakan suatu persetujuan tertulis

yang dibuat oleh dua atau lebih negara atau organisasi internasional yang

bermaksud untuk menciptakan hubungan diantara mereka yang beroperasi di

bawah bidang hukum internasional. Hal ini dilandasi oleh Pasal 2 ayat (1)

Konvensi Wina 1969 tentang perjanjian internasional yang dimana telah

menetapkan pengertian perjanjian internasional sebagai instrumen hukum.

Sebagaimana penulis jelaskan di dalam Bab III bahwa Instrumen hukum yang

terkait dan menjadi acuan bagi eksistensi Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT)

antara lain seperti The Treaty for the Prohibition of Nuclear Weapons in Latin

America dimana merupakan perjanjian pelarangan senjata nuklir yang di buat

dalam wilayah Amerika, The South Pacific Nuclear Free Zone Treaty (the

Rarotonga Treaty), perjanjian ini merupakan perjanjian zona bebas senjata nuklir

untuk wilayah laut selatan, The Southeast Asia Nuclear Weapon-Free Zone Treaty

(the Bangkok Treaty) perjanjian yang di buat untuk pelarangan senjata nuklir di

zona asia tenggara, sedangkan untuk wilayah afrika dalam menetapkan wilatah

bebas senjata nuklir di atur dalam The African Nuclear-Weapon-Free Zone Treaty

(the Pelindaba Treaty). Perjanjian-perjanjian inilah yang kemudian menjadi

langkah awal terbentuknya Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT).

104

Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) sebagai perjanjian yang di buat

dalam kerangka organisasi internasional memiliki batas-batas. Batas-batas

tersebut penulis jelaskan di dalam Bab II bahwa perjanjian dalam batas-batasnya

merujuk kepada Pasal 5 konvensi wina 1969 yaitu bahwa Nuclear Non-

Proliferation Treaty (NPT) merupakan instrumen pokok dari organisasi

internasional tanpa harus mengurangi arti dari setiap aturan yang relevan dari

organisasi tersebut, dengan kata lain bahwa pembentukan Nuclear Non-

Proliferation Treaty (NPT) tidak bertentangan dengan Statuta IAEA.

Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) yang di buat tidak serta merta

menjadi perjanjian internasional, hal ini mesti dilihat bahwa agar bisa menjadi

perjanjian internasional harus memenuhi beberapa kriteria dasar suatu dokumen

perjanjian untuk dapat ditetapkan sebagai perjanjian internasional. Kriteria

tersebut antara lain perjanjian tersebut harus berkarakter internasional sehingga

tidak termasuk perjanjian-perjanjian yang berskala nasional seperti perjanjian-

perjanjian antarnegara bagian atau antara pemerintahan daerah dari suatu negara

nasional, Perjanjian tersebut harus dibuat oleh Negara dan/atau organisasi

internasional, sehingga tidak mencakup perjanjian yang sekalipun bersifat

internasional namun oleh bukan subjek hukum internasional, seperti perjanjian

antara Negara dengan perusahaan multinasional, serta pejanjian tersebut tunduk

kepada rezim hukum internasional.

Selain dari ketiga kriteria tersebut di atas, seperti yang penulis jelaskan di

dalam Bab II bahwa Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) sebagai perjanjian

internasional dalam pembentukannya dibagi ke dalam beberapa tahapan yaitu

105

perundingan (negotiation) sebagai langkah awal untuk mengadakan perjanjian

yang dimana di dasarkan kepada penunjukan surat kuasa dari wakil sah suatu

negara, tahap penandatanganan (signature) yaitu dimana merupakan persetujuan

suatu negara untuk mengikatkan diri kepada suatu perjanjian dan dapat diberikan

dengan berbagai cara tergantung dari persetujuan antar negara peserta, dan yang

terakhir adalah pengesahan (ratifikasi) yang merupakan tindakan dimana negara

mengikatkan diri kepada perjanjian. Mengenai kapankah suatu persetujuan terikat

kedalam perjanjian dinyatakan dengan cara ratifikasi sebagaimana diatur dalam

Pasal 14 Konvensi Wina 1969 yang merumuskan syarat-syaratnya dan kemudian

diterapkan di dalam Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT), tindakan tersebut

merupakan tindakan internasional dimana negara mengikatkan diri kepada

perjanjian tersebut.

Dari ke tiga keriteria tersebutlah dapat dilihat bahwa Nuclear Non-

Proliferation Treaty (NPT) merupakan suatu perjanjian internasional yang

tentunya mengikat negara-negara untuk tunduk kepada perjanjian tersebut

sebagaimana yang di cantumkan dalam Pasal 26 Konvensi Wina 1969 tentang

Perjanjian Internasional mengenai prinsip mengikatnya perjanjian bagi Negara

peserta perjanjian. Perjanjian internasional merupakan sumber hukum

internasional yang melalui pendekatan Hardlaw. Hardlaw yaitu merupakan suatu

pendekatan terhadap Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) yang dapat ditinjau

pada penerapan dari subtansi materil perjanjian internasional atau Nuclear Non-

Proliferation Treaty (NPT) itu sendiri.

106

Negara-negara yang telah menandatangani Nuclear Non-Proliferation

Treaty (NPT) sebagai negara non-senjata nuklir dan mempertahankan status

tersebut memiliki catatan baik untuk tidak mengembangkan senjata nuklir. Di

beberapa wilayah, fakta bahwa negara-negara tetangga bebas dari senjata nuklir

mengurangi tekanan bagi negara tersebut untuk mengembangkan senjata nuklir

sendiri, biarpun negara tetangga tersebut diketahui memiliki program tenaga

nuklir damai yang bisa memicu kecurigaan. Dalam hal ini, Nuclear Non-

Proliferation Treaty (NPT) bekerja sebagaimana mestinya. mengikatnya

perjanjian bagi negara-negara peserta tentu merupakan suatu sumber hukum

dalam perangkat Hardlaw. Mengikatnya Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT)

ini dapat dilihat dalam Artikel I dan II yang dimana negara-negara peserta yang

terikat ke dalam perjanjian digolongkan ke dalam negara yang bersenjatakan

nuklir yang disebut derngan Nuclear Weapon States (NWS) dan negara-negara

yang tidak memiliki senjata nuklir yang disebut dengan Non-Nuclear Weapon

States (NNWS).

Pembukaan perjanjian menerangkan bahwa negara-negara pemilik senjata

nuklir berusaha mencapai rencana untuk mengurangi dan membekukan simpanan

mereka, dan Artikel IV dari Perjanjian menyatakan dalam perlucutan umum dan

lengkap di bawah kendali internasional yang tegas dan efektif merupakan upaya

dari International Atomic Energy Agency (IAEA) melalui Nuclear Non-

Proliferation Treaty (NPT) untuk membatasi negara-negara pemilik senjata

nuklir. Doktrin serangan dan bentuk ancaman lainnya bisa dianggap sebagai

107

bujukan atau godaan oleh negara-negara yang tidak memiliki senjata nukllir untuk

membuat dan mengembangkan nuklir untuk tujuan militer.

Mengikatnya Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) sebagai sumber

hukum dalam mengawasi pengembangan program tenaga nuklir yang dilakukan

oleh suatu Negara-negara dapat dilihat dalam Artickel IX Ayat 1-6 Nuclear Non-

Proliferation Treaty (NPT) yang dimana Negara tersebut menyatakan keikut

sertaanya kedalam perjanjian, Melalui ratifikasi oleh negara penandatangan

traktat,dan penyimpanan bukti ratifikasi atau kesepakatan. Dibuat dan

mengikatnya perjanjian bagi Negara-negara peserta yang ikut menandatangani

serta meratifikasinya, hal ini sesuai dengan adagium Pacta Sunt Servanda yang

berarti negara-negara harus melaksanakan dengan itikad baik segala kewajiban

mereka yang ada didalam perjanjian.

Dibolehkannya sebuah negara untuk mundur dari perjanjian diatur dalam

Artikel X Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) dimana jika terjadi hal-hal

penting, yang berhubungan dengan subjek perjanjian, telah mengacaukan

kepentingan utama negara tersebut, memberikan pemberitahuan tiga bulan

sebelumnya dan negara tersebut harus memberikan alasannya keluar dari

perjanjian mengatakan jika salah satu negara anggotanya berperang, maka

perjanjian ini tidak lagi berlaku. Artinya negara tersebut dapat keluar tanpa

pemberitahuan. Argumen ini dibutuhkan untuk mendukung kesepakatan senjata

nuklir, namun sebenarnya bertolakbelakang dengan Perjanjian Non-Proliferasi ini.

108

Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) dalam proses pembentukan dan

penerapannya menekankan kepada prinsip Pacta Tertiis Nee Nocent Nee Prosunt

yang berarti bahwa perjanjian tidak dapat menimbulkan hak-hak dan kewajiban-

kewajiban pada negara ketiga. Hal ini dapat dilihat dengan tidak di keluarkanya

sanksi terhadap tiga negara yang tidak menjadi anggota dan tidak ikut menanda

tangani Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) tersebut. Sebagai prinsip umum,

Pacta Tertiis Nee Nocent Nee Prosunt ini diatur dalam Pasal 34 Konvenasi Wina

1969 tentang perjanjian internasional yang dimana suatu perjanjian internasional

tidak dapat menciptakan hak maupun kewajibannya kepada negara ketiga tanpa

ada kesepakatan atau persetujuan negara tersebut. Namun, terdapat pengecualian

dari Pasal 34 Konvensi Wina 1969 yang dimana perjanjian-perjanjian multilateral

dan bilateral yang memuat hukum kebiasaan internasional akan berlaku juga bagi

negara-negara yang bukan peserta, tetapi posisi yang sebenarnya adalah bahwa

negara-negara yang bukan peserta tidak diikat oleh perjanjian melainkan oleh

hukum kebiasaan walaupun formulasi akhir dari hukum tersebut dalam perjanjian

serta perjanjian-perjanjian multilateral yang meciptakan peraturan hukum

internasional yang baru dapat mengikat negara-negara yang bukan peserta dengan

cara yang sama dengan semua peraturan hukum internasional atau de facto dapat

ditetapkan oleh mereka dalam instrumen-instrumen baku.

Adanya pengecualian terhadap Pasal 34 Konvensi Wina 1969 tentang

perjanjian internasional dapat dilihat dalam dua cara yaitu adanya Asas doktrin

yang mengecualikan prinsip “pacta tertiis” sehingga negara ketiga dapat

menikmati hak dan dibebani kewajiban atas dasar suatu perjanjian dan adanya

109

hubungan antara perjanjian internasional dengan hukum kebiasaan internasional

yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban bagi negara ketiga.

C. Penerapan Sanksi Terhadap Pelanggaran Pengembangan Tenaga Nuklir

Untuk Tujuan Damai

Disahkanya Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) sebagai suatu

instrumen yuridis bagi International Atomic Energy Agency (IAEA) untuk

melaksanakan peran dan fungsinya didalam melakukan pengawasan terhadap

pengembangan penggunaan energi nuklir untuk tujuan damai tidak dapat di

terapkan secara maksimal. Dengan di keluarkanya sanksi oleh Dewan Keamanan

Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) bagi negara anggota International Atomic

Energy Agency (IAEA) terkait pelanggaran pengembangan nuklir untuk tujuan

damai mengambarkan bahwa perjanjian atau Nuclear Non-Proliferation Treaty

(NPT) tersebut tidak berjalan secara maksimal.

Sebagaimana diatur dalam Statuta IAEA Artikel XVI terkait peran dari

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangasa (DK PBB) yang memiliki

hubungan dengan peran International Atomic Energy Agency (IAEA) yang mana

kedudukannya tersebut berada di atas International Atomic Energy Agency

(IAEA) memiliki fungsi sebagai badan pertimbangan terhadap laporan badan

resolusi tentang tindakan yang akan diambil oleh International Atomic Energy

Agency (IAEA) menyangkut masalah penyelesaian sengketa dan pemberian sanksi

terhadap setiap pelanggaran di bidang nuklir. Selain fungsi di atas, Dewan

Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) juga memiliki peran untuk

110

membangun hubungan politik antar negara di dalam kerangka organisasi jika

keterkaitan dengan masalah perdamaian dan keamanan dunia. Sedangkan di lihat

dari fungsi administrasinya, Dewan Keamanan Perseriktatan Bangsa-Bangsa (DK

PBB) dengan pelanggaran pengembangan tenaga nuklir berperan menerima

penyampaian laporan pertanggung jawaban dan mengembalikan laporan

pertanggung jawaban beserta rekomendasi-rekomendasinya terhadap setiap

masalah sebagaimana yang telah di tetapkan dalam Statuta IAEA.

Pelanggaran terhadap pengembangan energi nuklir membuat masyarakat

internasional menjadi lebih waspada terhadap peredaran senjata nuklir. Resolusi

yang berisikan antara lain menegaskan bahwa negara yang dianggap telah

melanggar Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) harus menunda menggunakan

atau penerimaan atas pengembangan reaktor nuklir yang diperlukan oleh gubernur

jenderal dewan pengurus International Atomic Energy Agency (IAEA)

sebagaimana di cantumkan dalam resolusi yang mana secara esensial untuk

membangun kepercayaan didalam maksud damai secara ekslusive karena

program nuklir.

Penjatuhan resolusi kepada negara iran merupakan suatu tindakan hukum

berupa pendekatan Softlaw. Pendekatan Softlaw sedikit banyak memperkuat

persepsi suatu perkembangan hukum internasional kearah keaneka ragaman yang

bertambah besar dalam sumber hukum yang menuntut pandangan yang lebih jauh

akan sangat jauh dalam intensitasnya. Resolusi pertama yang di jatuhkan adalah

Resolusi 1696 yang kemudian lebih lengkapnya dimasukan kedalam resolusi

berikutnya yaitu Resolusi 1737 pada tahun 2006. Selang beberapa tahun

111

penjatuhan resolusi tersebut dikarenakan tidak adanya kerjasama yang baik antara

International Atomic Energy Agency (IAEA) dengan negara Iran yang di duga

melakukan pelanggaran terhadap pengembanagan energi nuklir untuk tujuan

damai, maka menyusul kemudian dikeluarkannya dua Resolusi yaitu Resolusi

1747 pada tahun 2007 dan Resolusi 1929 pada tahun 2010.

Penjatuhan resolusi tersebut merupakan sebagai doktrin sumber hukum

internasional yang dimana menyiratkan pendektan Softlaw, Softlaw mencoba

menggambarkan implikasi-implikasi hukum dari instrumen-instrumen yang secara

hukum tidak mengikat, terutama juga mengenai hubungannya dengan peraturan-

peraturan hukum yang mapan (full fledged legal rules). Hubungan dengan

peraturan yang mapan merujuk kepada doktrin sumber hukum Hardlaw dimana

berupa perjanjian internasional atau Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT).

Komitmen dari Negara iran dalam menindak lanjuti keluarnya resolusi

oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) yaitu antara lain

terkait komitmennya untuk menangani semua keprihatinan yang beredar dari

masyarakat internasional melalui kerjasama penuh dengan International Atomic

Energy Agency (IAEA), di lakukan diverifikasi oleh International Atomic Energy

Agency (IAEA), seperti yang diminta oleh Dewan Gubernur International Atomic

Energy Agency (IAEA) dan Dewan Keamanan, dan berkomitmen untuk

melanjutkan negosiasi serta melanjutkan pelaksanaan Protokol Tambahan.

Tindakan yang dilakukan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA)

merupakan tindakan terhadap penerapan konsep safeguard yang sebagaimana

tercantum di dalam Statuta IAEA Artikel III.A.5, Artikel XI tentang Agency

112

Project, Dan Artikel XII tentang Safeguard, sementara itu pengaturan mengenai

sanksi terhadap pelanggaran penggunaan energi nuklir untuk tujuan damai tidak

diatur di dalam Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) itu sendiri, Perjanjian

hanya mengatur Negara pemilik teknologi nuklir yang terikat oleh perjanjian

untuk bernegosiasi atas langkah-langkah yang berkaitan dengan penghentian

senjata nuklir dan pelucutan senjata dengan itikad baik.

Langkah-langkah terkait dikeluarkanya resolusi membentuk empat model

pengawasan yang dimana International Atomic Energy Agency (IAEA) dalam

melaksanakan di patuhinya resolusi yang telah di keluarkan oleh dewan keamanan

bertujuan agar negara yang telah di jatuhkan sanksi tersebut di awasi dalam

melakukan pengembangan teknologi nuklirnya secara khusus, serta dapat

menjalankan pengembangan teknologi untuk tujuan damai. Keempat model

pengawasan sangat perlu karena sulit bagi negara yang sudah punya senjata

nuklir untuk melucuti senjatanya sendiri, atau mengawasi pengembangan

teknologinya sehingga hanya mengarah pada pemakaian energi nuklir semata.

Masalah ini bukan soal isu teknologinya, tapi pada kemauan politik dan persepsi

negosiasi dan itikad baik negara Iran dan International Atomic Energy Agency

(IAEA) terhadap ancaman dan keamanan negara. Negara Iran sadar perlu jaminan

keamanan, sewaktu-waktu senjata itu diperlukan. Karena itu, perlu bahwa negara-

negara pemilik senjata itu perlu mengkonkretkan langkah untuk membebaskan

dunia dari senjata nuklir.

Tidak diaturnya sanksi dalam Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT)

membuat peran International Atomic Energy Agency (IAEA) menjadi lebih sulit,

113

hal ini dikarenakan International Atomic Energy Agency (IAEA) sendiri pada

dasarnya tidak mengeluarkan sanksi, namun hanya menjalankan fungsi

pengawasan terhadap negara yang di duga telah melanggar Nuclear Non-

Proliferation Treaty (NPT). Dalam hal pemberian sanksi International Atomic

Energy Agency (IAEA) membawanya ke dewan keamanan perserikatan bangsa-

bangsa sebagai organisasi internasional yang berada di atas International Atomic

Energy Agency (IAEA) itu sendiri sebagaimana diatur dalam Statuta IAEA

Artikel XVII untuk menggunakan cara negosiasi terhadap negara yang diduga

telah melanggar Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) sebagai instrumen

internasional tidak di jalankan oleh International Atomic Energy Agency (IAEA)

sehingga resolusi atau sanksi yang di berikan terhadap negara iran tersebut dapat

bersifat sepihak, karena dewan keamanan hanya menentukan suara, sedangkan

fungsi pemeriksaan, pengawasan dan penentuan terhadap adanya penggunaan

energi nuklir di lakukan sepenuhnya oleh International Atomic Energy Agency

(IAEA).

Resolusi sebagai suatu langkah tegas dalam melakukan pengawasan

terhadap pengembangan energi nuklir untuk tujuan damai merupakan suatu

landasan dan acuan terhadap pelanggaran yang telah di lakukan oleh negara

anggota, namun resolusi tersebut hanya lebih bersifat teknis, sedangkan hal-hal

yang menyangkut mengenai subtansi dari Nuclear Non-Proliferation Treaty

(NPT) tidak semuanya di laksanakan secara tegas dan mengikat. Pada

kenyataannya, hampir semua negara Non-Nuclear Weapon States (NNWS) yang

tidak berapiliasi dengan negara Nuclear Weapon States (NWS) terus bersiasat

114

agar nuklir masing-masing Non-Nuclear Weapon States (NNWS) dapat

berkembang.

Ketidak tegasan ini dapat membuat negara-negara baik itu Nuclear

Weapon States (NWS) maupun Non-Nuclear Weapon States (NNWS) dalam

menghadapi masalah nuklir dapat menghadapi kebuntuan, sehingga kebijakan

“brinkmanship’ dapat diambil secara sepihak. Kebijakan ini merupakan kebijakan

dimana praktik politik luar negeri yang akan terus maju sepanjang masih

memungkinkan walaupun harus menentang bahaya sampai pada saatnya harus

berhenti. Kebijakan ini merupakan bentuk ke tidak tegasan baik dari Nuclear Non-

Proliferation Treaty (NPT) sebagai produk hukum International Atomic Energy

Agency (IAEA) serta tidak di patuhinya setiap resolusi yang di keluarkan oleh DK

PBB.

Ketidak patuhan negara yang telah di jatuhkan sanksi oleh Dewan

Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) menjadi suatu titik balik bagi

peran dan fungsi International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai organisasi

internasional untuk bisa lebih mengoptimalkan pengawasannya di bidang

pengembangan tenaga nuklir untuk tujuan damai, sehingga dapat tercipta “Atom

For Peace” sebagai tujuan awal dibentuknya organisasi tersebut, serta yang lebih

penting adalah dunia dapat terhindarkan dari bencana perang nuklir.

115

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab

sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

A. Simpulan

1. Sebagai organisasi internasional, International Atomic Energy Agency

(IAEA) berperan dalam mencari cara mempercepat dan memperbesar

kontribusi pengembangan energi nuklir untuk tujuan damai, serta

melakukan pengawasan dan pengontrolan pengembangan energi nuklir

sehingga tidak di gunakan untuk tujuan militer. Peran tersebut sesuai

dengan Statuta IAEA Pasal II, melakukan verifikasi terhadap negara yang

melakukan pelanggaran pengembangan energi nuklir sesuai dengan fungsi

International Atomic Energy Agency (IAEA) yang terdapat dalam Statuta

IAEA Pasal III, serta membuat penetapan safeguard atau standar

keselamatan terhadap negara yang akan melakukan pengembangan energi

nuklir untuk tujuan damai sebagai mana diatur pula dalam Nuclear Non-

Proliferation Treaty (NPT) Artikel III Ayat 1-3.

2. Menurut Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) Artikel III Ayat 1-3,

International Atomic Energy Agency (IAEA) memainkan peranan yang

sangat penting dalam melakukan pengawasan terhadap pengembangan

energi nuklir untuk tujuan damai. International Atomic Energy Agency

116

(IAEA) memiliki kewenangan terhadap negara yang melakukan

pengembangan energi nuklir yang tidak sesuai dengan ketentuan yang

berlaku, Kewenangan International Atomic Energy Agency (IAEA) dalam

perjanjian tersebut hanyalah bersifat fungsional administratif, bukan

bersifat fungsional jurisdiksi.

3. Resolusi yang dikeluarkan yaitu Resolusi 1696 dan kemudian dimasukan

kedalam Resolusi 1737, menyusul dengan dikeluarkannya dua Resolusi

lain yaitu Resolusi 1747 dan Resolusi 1929 terkait penghentian

pengembangan tenaga nuklir oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-

Bangsa (DK PBB), Resolusi tersebut dikeluarkan sebagai suatu langkah

tegas yang dilakukan dan merupakan suatu kewenangan yang bersifat

jurisdiksi, namun Resolusi tersebut hanya lebih bersifat teknis, sedangkan

hal-hal yang menyangkut mengenai pemberian sangsi atau Resolusi dalam

Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) sendiri tidak di atur secara tegas.

B. Saran

1. Sebagaimana diatur di dalam Statuta IAEA Pasal II tentang fungsi dari

International Atomic Energy Agency (IAEA), untuk lebih mengoptimalkan

perannya tersebut maka perlu adanya pengawasan yang secara intensif atas

standar keselamatan serta kerjasama dari negara yang memiliki instalasi

nuklir agar dalam melakukan pengembangan energi nuklir terbuka kepada

masyarakat internasional, khususnya kepada International Atomic Energy

Agency (IAEA) sebagai lembaga yang berwenang atas program

pengembangan tenaga nuklir untuk tujuan damai sehingga tidak terjadi

117

kecurigaan yang akan berdampak kepada penjatuhan sangsi atau Resolusi

serta terciptanya keamanan dan ketertiban dunia.

2. Perlunya pengaturan sangsi di dalam Nuclear Non-Proliferation Treaty

(NPT) sehingga dapat memiliki efek tegas di dalam perjanjian tersebut

sebagai suatu instrumen hukum internasional dan termasuk cara-cara

dalam menyelesaikan sengketa atas dugaan adanya pelanggaran

pengembangan energi nuklir untuk tujuan damai.

3. Dalam penerapan sangsi terhadap pelanggaran pengembangan tenaga

nuklir untuk tujuan damai diperlukan kerjasama dari berbagai pihak, yang

mana dalam hal ini International Atomic Energy Agency (IAEA) dan

negara-negara anggotanya, serta dilakukannya verifikasi dan pengawasan

secara intensif sehingga penerapan sangsi dapat menjadi suatu landasan

bagi negara yang mencoba mengembangkan teknologi nuklirnya untuk

tujuan damai agar tidak melanggar Nuclear Non-Proliferation Treaty

(NPT).

DAFTAR PUSTAKA

REFERENSI BUKU

Adel El-Gorary, Ahmadinnejad: The Nuclear Savior of Tehran, Pustaka Iman,

Jakarta. Tahun 2008.

Bertrand Russell, Akal Sehat Dan Ancaman Nuklir, Ikon Terlitera, Yogyakarta.

Tahun 2002.

Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era

Dinamika Global, Alumni, Bandung, Cetakan Ke-II. Tahun

2005.

Carlton Stoiber…[et al.], Handbook On Nuclear Law, IAEA Publishing, Vienna.

Tahun 2009

___________________, Handbook On Nuclear Law: Implementing Legislation,

IAEA Publishing. Tahun 2010.

David Fischer, History Of The International Atomic Energy Agency The First

Forty Years, IAEA, Vienna, The Agency. Tahun 1997.

D.W Bowett Q.C.LL.D, Hukum Organisasi Internasional, Sinar Grafika, Jakarta.

Tahun 1995.

Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian International: Kajian Teori dan

Praktek Indonesia, PT. Rafika Aditama, Bandung. Tahun 2009.

G.J.H Van Hoof, Pemikiran Kembali Sumber Hukum Internasional, Alumni,

Bandung. Tahun 2000.

Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Rimdi Press, Bandung. Tahun 1995.

Ian Brownlie, Principle of Public International Law, Oxford University Prees,

United States. Tahun 2008.

Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, P.T Sinar Grafika, Jakarta. Tahun 2009.

J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional, Aksara Persada, Jakarta. Tahun

1989.

John O`brien, International Law, Cavendish Publishing Limited, London. Tahun

2002.

Mochtar Kusumaatmaadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung.

Tahun 2003.

Muhamad Awan, Rahasia Nuklir Israel, Navila Idea, Yogyakarta. Tahun 2010.

Rony Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, PT.Ghalia

Indonesia, Jakarta. Tahun 1998.

Sefriani, Hukum Internasional: Sebuah Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta. Tahun 2010.

Setyo Widagdo, Masalah-Masalah Hukum Internasional Publik, Bayumedia

Publisher, Malang. Tahun 2008.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan

Singkat, PT.RajaGrasindo Persada. Tahun 1983.

Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Universitas Atmajaya Yogyakarta,

Yogyakarta. Tahun 2010.

Sumaryo Suryokusumo, Hukum Organisasi Internasional, Penerbit Universitas

Indonesia, Jakarta. Tahun 1990.

__________________, Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional, Alumni,

Bandung. Tahun 1997.

___________________, Hukum Perjanjian Internasional, PT. Tatanusa, Jakarta.

Tahun 2008.

Teuku May Rudy, Administrasi dan Organisasi Internasional, PT. Eresco,

Bandung. Tahun 1993.

________________, Hukum Internasional 1, PT. Rafika Aditama, Bandung.

Tahun 2006.

Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Hukum Internasional: Bunga Rampai, Alumni,

Bandung. Tahun 2003.

Peraturan-Peraturan

Vienna Convention On The Law Of Treaties 1969

Statute International Atomic Energy Agency (STATUTA IAEA)

Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT)

Security Council Resolution 1696 (Tahun 2006)

Security Council Resolution 1737 (Tahun 2006)

Security Council Resolution 1747 (Tahun 2007)

Security Council Resolution 1929 (tahun 2010)

Sumber Lainnya

Ari Nursanty, Masalah Nuklir Tak Kunjung Berakhir, Pikiran Rakyat, 29

Desember 2009.

IAEA Bulletin, The International Legal Framework for Nuclear Security, IAEA

International Law Series No. 4, Vienna, Austria, January 2011.

IAEA, Amendment To The Convention On The Physical Protection Of Nuclear

Material, IAEA International Law Series No. 2, Vienna,

Austria, 2006.

IAEA, Joint Convention On The Safety of Spent Fuel Management and on the

Safety of Radioactive Waste Management, IAEA International

Law Series No.1, Vienna, Austria. 2006

IAEA, Nuclear Safety Review for the Year 2009, IAEA Bulletin, Vienna, Austria,

July 2010

Javad Zarif, Sanksi Atas Iran: Zero-Sum Game, Bulletin SY`IAR, Edisi Muharam

1428H, 23 Desember 2007.

Lina Nursanty, Uji Coba Senjata Nuklir, Pikiran Rakyat,19 Oktober 2009

Peter Kaiser..(Editor), Keys To Security, IAEA Bulletin, Division of Public

Information IAEA, Vienna, Austria. 2010

Resolusi DK PBB 1747: OKI Memahami Sikap Indonesia Soal Iran, Kompas, 5

April 2007.

Rumadi, Iran Pasca Resolusi DK PBB, Kompas, 30 April 2007.

Tariq Rauf and Zoryana Vovchok, A Secure Nuclear Future: Several Mechanisms

Are Under Consideration to Guarantee Assurances of Supply of

Nuclear Fuel to States, IAEA Bulletin, Vol 51-1, Austria,

September 2009.

Tomihiro Taniguchi, A Global Challenge: Nuclear Activities Are Increasingly

Multinational, No Longer Confined To The Borders Of One

Country., IAEA Bulletin, Vol 50-2, Austria, May 2009.

Vilmos Cserveny, Road to Disarmament, Vol 51-1, IAEA Bulletin, Austria,

September 2009

Sumber Internet

Adita Bella Lastania, Definisi Organisasi Internasional Menurut Clive Archer,

http://www.google.com/14 November 2010;

http://bataviase.co.id/detailberita, 22 November 2010;

http://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi, 09 Desember 2010

http://en.wikipedia.org/wiki/Nuclear_Non-Proliferation_Treaty, 06 desember

2010;

http://indonesian.irib.ir/:strategi-iran-lucuti-senjata-nuklir-dunia-nuklir,

22Novemver 2010;

http://petikdua.wordpress.com/2009/11/11/definisi-dan-analisis-definisi-

organisasi-kerjasama-internasional;

http://wbw-wbw.blogspot.com/2010/08/negara-negara-pengguna-nuklir-di-

dunia.html;

http://www.iaea.org/statute-IAEA/pdf;

http://www.world-nuclear.org/info.html.12 januari 2011.