Peran Bedah Dalam Penatalaksanaan TB Paru

11
PERAN BEDAH DALAM PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS dr. Wuryantoro, SpB, SpBTKV PENDAHULUAN Tuberculosis (TB) telah dikenal sebagai penyakit infeksi yang mematikan selama beraba-abad. 1 Penyakit ini merupakan penyebab utama kematian karena penyakit infeksi di seluruh belahan dunia, dan telah menginfeksi hampir sepertiga populasi dunia. 2 Di Indonesia sendiri, prevalensi TB pada tahun 2008 mencapai 244 per 100.000 penduduk. 3 Kematian karena diperkirakan mencapai angka 2 juta orang per tahunnya. Sembilan pulu delapan kematian karena TB ini terjadi di negara berkembang dan 25% di antaranya tak terhindarkan. 2, 4 Sebagian besar kasus TB terjadi karena reaktivasi penyakit laten pada keadaan gangguan imunitas seperti pada HIV, geriatri, pecandu alkohol atau stress mayor (trauma atau pembedahan). 2 Masalah TB ini semakin kompleks dengan meningkatnya kasus-kasus multidrug- resistant (MDR-) dan extensively drug-resistant (XDR-) beberapa tahun belakangan ini. 1 Di manusia, infeksi TB kebanyakan disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, dan sebagian kecil kasus oleh Mycobacterium bovis. Infeksi paru merupakan manifestasi klinis awal yang banyak dijumpai yang kemudian menyebar secara limfogen maupun hematogen. Setelah terinhalasi ke dalam tubuh, pola penyebaran kuman TB sangat sulit untuk diprediksi. Bakteri alveolar bertumbuh secara bebas atau setelah fagositosis oleh makrofag (biasanya di subpleura atau di paru-paru tengah), dilanjutkan dengan penyebaran makrofag secara limfo-hematogen ke KGB mediastinum dan ekstrapulmonal. Telah banyak diketahui bahwa tuberkulosis dapat mempengarahui hampir seluruh jaringan dan sistem organ, dengan jumlah manifestasi ekstrapulmonal antara seperlima dan seperempat kasus. 2 Dalam kasus TB, bedah dapat berperan dalam diagnosis mapun terapi. Sejarah terapi bedah pada TB terus berkembang sejak era isolasi dan sanatorium sampai ke bermacam-macam teknik collapse therapy, dan sekarang ke era reseksi. 5 Kira-kira 2% kasus TB dan 15% kasus TB sputum positif memerlukan terapi bedah. 6 SEJARAH PEMBEDAHAN PADA TUBERKULOSIS 1

description

bahan bagus tentang tuberkulosis paru

Transcript of Peran Bedah Dalam Penatalaksanaan TB Paru

Page 1: Peran Bedah Dalam Penatalaksanaan TB Paru

PERAN BEDAH DALAM PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS

dr. Wuryantoro, SpB, SpBTKV

PENDAHULUAN

Tuberculosis (TB) telah dikenal sebagai penyakit infeksi yang mematikan selama beraba-abad.1 Penyakit ini merupakan penyebab utama kematian karena penyakit infeksi di seluruh belahan dunia, dan telah menginfeksi hampir sepertiga populasi dunia.2 Di Indonesia sendiri, prevalensi TB pada tahun 2008 mencapai 244 per 100.000 penduduk.3 Kematian karena diperkirakan mencapai angka 2 juta orang per tahunnya. Sembilan pulu delapan kematian karena TB ini terjadi di negara berkembang dan 25% di antaranya tak terhindarkan.2, 4

Sebagian besar kasus TB terjadi karena reaktivasi penyakit laten pada keadaan gangguan imunitas seperti pada HIV, geriatri, pecandu alkohol atau stress mayor (trauma atau pembedahan). 2

Masalah TB ini semakin kompleks dengan meningkatnya kasus-kasus multidrug-resistant (MDR-) dan extensively drug-resistant (XDR-) beberapa tahun belakangan ini.1

Di manusia, infeksi TB kebanyakan disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, dan sebagian kecil kasus oleh Mycobacterium bovis. Infeksi paru merupakan manifestasi klinis awal yang banyak dijumpai yang kemudian menyebar secara limfogen maupun hematogen. Setelah terinhalasi ke dalam tubuh, pola penyebaran kuman TB sangat sulit untuk diprediksi. Bakteri alveolar bertumbuh secara bebas atau setelah fagositosis oleh makrofag (biasanya di subpleura atau di paru-paru tengah), dilanjutkan dengan penyebaran makrofag secara limfo-hematogen ke KGB mediastinum dan ekstrapulmonal. Telah banyak diketahui bahwa tuberkulosis dapat mempengarahui hampir seluruh jaringan dan sistem organ, dengan jumlah manifestasi ekstrapulmonal antara seperlima dan seperempat kasus.2

Dalam kasus TB, bedah dapat berperan dalam diagnosis mapun terapi. Sejarah terapi bedah pada TB terus berkembang sejak era isolasi dan sanatorium sampai ke bermacam-macam teknik collapse therapy, dan sekarang ke era reseksi.5 Kira-kira 2% kasus TB dan 15% kasus TB sputum positif memerlukan terapi bedah.6

SEJARAH PEMBEDAHAN PADA TUBERKULOSIS

Pembedahan pada TB paru merupakan salah satu peletak dasar dalam berkembangnya pelayanan bedah toraks. Sebelum dikembangkannya OAT, terapi TB paru dilakukan secara bedah dengan membuka kavitas tuberkulosa (“cavern”) atau dikenal sebagai kavernostomi. Kemudian dikembangkan pula upaya bedah untuk mengurangi volume paru yang terinfeksi atau “collapse therapy”(torakoplasti).2 Teknik ini secara tidak sengaja diamati oleh Gorgio, yang melaporkannya pada tahun 1696, pada pasien TB yang secara drastis mengalami perbaikan klinisnya setelah dadanya tertusuk pedang, dan mengalami pneumotoraks.

Tindakan eksternal untuk menghasilkan pneumotoraks ini kemudian diusulkan oleh Carson, pada tahun 1822, bertujuan untuk mengistirahatkan paru yang terinfeksi. Baru pada tahun 1890, Forlanini berhasil menemukan bahwa paru yang kolaps memiliki korelasi dengan perbaikan kondisi pasien TB. Temuan ini mengakhir era kebuntuan dalam penanganan tuberkulosis, dan menandai

1

Page 2: Peran Bedah Dalam Penatalaksanaan TB Paru

dimulainya era terapi aktif. Dalam perkembangannya, diperkenalkan pula terapi-terapi lain yaitu dekortikasi, plombage dan reseksi.4

Dengan berkembangnya kemoterapi OAT pada tahun 1960-an, penatalaksanaan tuberkulosis mulai bergeser dari pembedahan ke medikamentosa. Horsfall pada tahun 1975 bahkan menyebutkan bahwa pembedahan hanya bermanfaat pada sebagian kecil pasien, antara lain7:

1. Pasien dengan kavitas yang mengalami resistensi obat

2. Lesi coin dengan diagnosis yang meragukan antara tuberkuloma dan keganasan

3. Hemoptisis rekuren karena bronkiektasis

4. Empiema tuberkulosa kronik

5. Pneumonitis berulang

6. Kavitas dengan misetoma dan hemoptisis

7. Alasan sosial seperti pasien yang tidak kooperatif, pecandu alkohol, pelaut

8. Infeksi mycobacterium atipik yang secara umum resisten terhadap OAT

Namun demikian, beberapa tahun belakangan ini mulai terlihat peningkatan insiden kasus MDR-TB yang disebabkan antara lain karena tidak selesainya OAT inisial, infeksi HIV dan penyalahgunaan obat terlarang yang memicu penurunan imunitas. Oleh karena sulitnya mengontrol MDR-TB hanya dengan terapi medis, pembedahan kembali muncul sebagai salah satu pilihan terapi.2, 8

INDIKASI

Peningkatan kasus MDR-TB secara global dan munculnya kasus-kasus baru XDR-TB telah mendefinisikan ulang peran bedah dalam tuberkulosis.9 Secara umum, peran bedah dalam penatalaksanaan tuberkulosis paru adalah2, 4, 5, 9:

1. Menegakkan diagnosa kasus-kasus yang gagal terdiagnosa dengan cara lain

2. Terapi MDR-TB dan kasus gagal terapi medis

3. Terapi komplikasi, baik karena TB maupun karena operasi sebelumnya, seperti pada fistula bronko-pleura (FBP), hemoptisis atau empiema.

Intervensi bedah, pada kasus yang terseleksi dengan baik, disertai dengan pemberian OAT lini ke-2 tampaknya merupakan pilihan yang paling masuk akal saat ini, karena terapi medis tunggal hanya menghasilkan penyembuhan antara 44 % to 77%, dibandingkan dengan 90% keberhasilan dengan terapi kombinasi.10

Diagnosis

Histologi paru yang diambil melalui biopsi transbronkial dapat mengidentifikasi TB pada 58% kasus sputum negatif. Sementara itu, biopsi perkutan lesi di parenkim paru dapat menegakkan diagnosis TB sampai 90% kasus, terutama bila targetnya adalah suatu tuberkuloma. Dengan

2

Page 3: Peran Bedah Dalam Penatalaksanaan TB Paru

dikembangkannya Video-Assisted Thoracoscopy Surgery (VATS), prosedur diagnostik untuk membedakan tuberkuloma dengan proses keganasan juga dapat dikerjakan dengan penurunan waktu penggunaan WSD, waktu tinggal di rumah sakit dan berkurangnya nyeri pasca operasi.

MDR-TB

MDR-TB merupakan masalah medis yang kompleks.4 Definisi dari MDR-TB adalah TB yang disebabkan oleh organisme yang resisten terhadap isoniazid dan rifampisin.11-14 Keberadaan XDR-TB, yaitu MDR-TB yang juga resisten terhadap florokuinolon dan setidaknya satu dari tiga obat injeksi lini kedua (amikacin, capreomycin atau kanamycin), semakin memperbesar masalah.1, 14 Hasil pengobtan XDR-TB secara bermakna lebih buruk dari MDR-TB.14

Beberapa faktor yang berperan dalam meningkatnya prevalensi MDR-TB, antara lain1:

1. Infeksi TB laten asimtomatik

2. kondisi imunokompromais

3. Lamanya terapi yang harus dijalani pasien TB

4. Masih sedikitnya program kontrol TB di banyak negara

5. Tingginya laju perpindahan penduduk antara negara dan benua

Prevalensi MDR-TB primer dan didapat di seluruh dunia masing-masing 7,6% dan 17,1%. Pengobatan MDR-TB memakan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit, sayangnya, dengan angka keberhasilan terapi yang masihrendah dan tingginya angka relaps, toksisitas, morbiditas dan mortalitas. Kombinasi kemoterapi dan pembedahan merupakan pilihan yang efektif dalam upaya mengontrol MDR-TB dan juga non-tuberculous mycobacterial (NTM).12,15 Chiang et al melaporkan response rate mencapai 92% pada pasien dengan kronik MDR-TB.11 Sedangkan Dravniece et al melaporkan kesembuhan sebesar 47% terapi bedah pada XDR-TB.16 Pembedahan dikerjakan pada pasien dengan penyakit yang masih terbatas untuk membuang beban bakterial bakterial yang mempengaruhi efektifitas terapi.15 Pada pasien-pasien ini, pembedahan akan meningkatkan hasil akhir pengobatan MDR-TB. Namun demikian, penting untuk disadari bahwa pembedahan pada kasus semacam ini memiliki tingkat kesulitan yang relatif tinggi karena biasanya disertai kerusakan paru yang luas dan penurunan faal paru yang berat.11

Indikasi bedah pada MDR-TB dirumuskan sebagai berikut10:

1. Risiko tinggi kegagalan terapi / relaps, termasuk riwayat 2 atau lebih relaps saat dalam terapi dan sputum positif persisten walaupun sudah menjalani terapi 4-6 bulan

3

Page 4: Peran Bedah Dalam Penatalaksanaan TB Paru

2. Lesi terlokalisasi

3. Intoleransi terhadap terapi medikamentosa

4. Kelainan bilateral dengan lesi kavitas pada salah satu sisi dan lesi infitrat pada sisi lain.

Pada kasus kelainan bilateral ini, walaupun reseksi paru merupakan terapi pilihan, seringkali hal tersebut tidak mampu laksana. Karenanya, terapi bedah lain seperti torakoplasti menjadi pilihan.4

HemoptisisPembedahan tidak serta merta dikerjakan pada kondisi darurat pada hemoptisis karena

tuberkulosis paru. 4 Tindakan semacam itu hanya dikerjakan bila terjadi hemoptisis masif berulang. 2,

4 Di luar itu, terapi konservatif seperti posisi tidur dengan sisi paru yang lebih baik berada di atas, antibiotik, bed-rest dan sedasi dapat dikerjakan sambil mempersiapkan pembedahan elektif.4

Beberapa terapi non bedah yang bisa dipertimbangkan pada kasus hemoptisis TB antara lain adalah4:

- Pemasangan ETT untuk mengamankan jalan napas, penghisapan sekret dan bronkoskopi- Tamponade endobronkial dengan kateter Fogarty- Fotokoagulasi laser (Nd-yag atau argon)- Agen hemostatik endobronkial- Embolisasi selektif arteri bronkialis. Meskipun demikain, sampai saat ini pembedahan masih merupakan terapi definitif dan

kuratif pada hemoptisis masif rekuren.4

EmpiemaDrainase pada tempat yang tepat dan durasi yang adekuat merupakan kunci sukses

penanganan empiema. Jika drainase tertutup dengan WSD gagal setelah 3-4 minggu, terapi bedah perlu dipertimbangkan.4

TIPE PEMBEDAHAN

Ada dua jenis pembedahan yang dapat dikerjakan pada tubekulosis paru, yaitu reseksi dan non-reseksi.6 Pilihan tindakan tersebut bergantung pada kondisi klinis masing-masing pasien. Namun secara umum, beberapa hal perlu ditekankan dalam hal teknis. Pembedahan pada tuberkulosis paru merupakan prosedur yang rumit, melibatkan diseksi yang harus dikerjakan secara hati-hati karena perlekatan jaringan yang hebat. Pasien dibaringkan dalam posisi torakotomi posterolateral. Reseksi iga mungkin diperlukan untuk memperluas lapangan operasi. Torakotomi muscle sparring dianggap sebagai prosedur ideal untuk kasus-kasus TB.2

Evaluasi pre-operatif dengan bronkoskopi sebaiknya rutin dikerjakan.2, 4 Bahkan, bronkoskopi kadangkala diperlukan pasca operasi untuk mengeluarkan sekret yang kental atau bekuan darah dari trakeo-bronkoal.4

Selang endotrakeal lumen ganda merupakan alat standar yang memungkinkan dokter anestesi untuk mengkolapskan atau mengembangkan paru sesuai kebutuhan ahli bedah. Diseksi

4

Page 5: Peran Bedah Dalam Penatalaksanaan TB Paru

struktur vaskuler di hilum atau di dekat fissura memerlukan kombinasi diseksi tajam dan tumpul yang baik. Penutupan bronkus dengan stapler sangat membantu, dari segi waktu yang lebih singkat dan hasil akhir yang lebih baik.2

Gambar 1. Torakotomi posterolateral dengan persiapan flap otot (arie P, Eachempati S. Surgery in the management of tuberculosis. In: Schaaf H, Zumla A, editors. Tuberculosis: A comprehensive clinical

reference: Saunders Elsevier; 2009. p. 515-13.)

Pembedahan Reseksi

Tujuan utama pembedahan pada TB paru adalah untuk mengangkat semua kelainan makroskopis, baik dengan reseksi baji (pada beberapa kasus), lobektomi atau pneumonektomi.2

Reseksi baji dapat dikerjakan pada lesi berukurang diameter kurang atau sama dengan 3 cm, dan berlokasi di perifer atau dekat dengan fisura. Untuk MDR-TB refrakter yang terlokalisasi, diseksi perlahan disertai reseksi area yang terlokalisir tersebut mungkin merupakan pilihan terapi untuk mempertahankan fungsi paru. Pneumonektomi seyogyanya hanya dikerjakan bila seluruh paru telah terlibat atau paru yang tersisa terlalu kecil untuk dapat mengisi seluruh hemitoraks2. Adalah lebih bijaksana untuk selalu mempertimbangkan kemungkinan pneumonektomi walaupun pre operatif tampaknya lobektomi dimungkinkan, karena seringkali tindakan yang disebut belakangan mungkin tidak mampu laksana saat operasi.7

Pembedahan Non Reseksi

Pembedahan non reseksi terutama diindikasikan untuk pasien TB dengan empiema, baik karena perjalanan penyakit maupun sebagai komplikasi dari pembedahan sebelumnya.2, 4-6 Beragam teknik telah dikembangkan antara lain debridemen dengan VATS, dekortikasi, torakoplasti dan torakostomi (open window).

Debridemen dengan VATS mulai berkembang sejak pertengahan 1990, dengan angka keberhasilan 68% sampai 93%.17 Teknik ini merupakan prosedur pilihan saat ini, terlepas dari etiologi yang mendasari empiema. 2 Keberhasilan debridemen dengan VATS sangat dipengaruhi oleh stadium empiema.17 Pasien dengan fibrosis berat memerlukan torakotomi.2

Dekortikasi dikerjakan pada pasien dengan paru-paru yang tidak bisa mengembang karena pleural peel yang tebal, dan seyogyanya hanya dilakukan pada pasien yang siap untuk operasi mayor.6, 17 Tindakan ini telah terbukti dapat meningkatkan kapasitas vital (VC) dan volume ekpiratori

5

Page 6: Peran Bedah Dalam Penatalaksanaan TB Paru

paksa detik pertama (FEV1). 6 Plombage kadangkala diperlukan setelah dekortikasi untuk mengisi rongga yang terbentuk pasca dekortikasi. Pilihan plombage yang dapat dikerjakan antara lain air plombage, muscle plombage atau omental plombage.6

Pada torakoplasti, dilakukan dekostalisasi parsial dinding toraks untuk meng-obliterasi rongga pleura. Tindakan ini dipilih jika paru tidak mampu mengembang karena fistula yang terlalu besar atau beratnya penyakit.4 Torakoplasti disertai apikolisis pada kasus gagal terapi yang tidak dapat menjalani reseksi dilaporkan dapat mencapai status sputum negatif.5

Torakostomi, dikenal sebagai teknik Eloesser, dikerjakan pada pasien yang tidak bisa menjalani torakoplasti atau penyakitnya tidak terkontrol dengan debridemen VATS.17 Dapat bertindak sebagai terapi definitif maupun terapi perantara sebelum tindakan lain. Pembersihan secara mekanik dapat difasilitasi oleh teknik ini.6, 17 Namun demikian, sebagai akibatnya, fungsi paru akan mengalmi penurunan yang bermakna.2

Disamping untuk empiema, pembedahan reseksi juga dikerjakan pada pasien yang tidak mampu menjalani pembedahan mayor. Teknik yang dikerjakan adalah kavernostomi menurut Monaldi (tanpa muscle plug) atau Teramatsu (dengan muscle plug). Pada teknik ini, caverne dibuka dan didebridemen, dilanjutkan dengan penjahitan bronkus yang semula terhubung dengan caverne.6

KAJIAN PERIOPERATIF

Sebelum pasien menjalani pembedahan, ada beberapa syarat yang harus diperhatikan. Informed consent yang jelas harus diberikan kepada pasien dan keluarganya, berkenaan dengan penyakit yang mendasari, tujuan pembedahan, risiko anestesi dan pembedahan serta hasil jangka pendek dan jangka panjang yang diharapkan.

Adekuatnya OAT sebelum pembedahan juga menjadi prasyarat utama, untuk menjamin kesembuhan dalam jangka panjang.4,8 Reseksi paru pada MDR-TB akan berhasil hanya jika pasien telah mengkonsumsi obat dalam dosis yang cukup.4

Waktu operasi yang diterima secara umum adalah setelah 3 bulan pemberian OAT lini ke-dua secara adekuat dan telah mencapai supresi bakterial yang optimal.2, 10 Idealnya, pasien harus mencapai status sputum negatif sebelum pembedahan. Pembedahan yang sifatnya darurat mungkin diperlukan pada kasus hemoptisis atau fistula bronko-pleura.2

Kebiasaan merokok harus dihentikan setidaknya tiga minggu sebelum pembedahan. Fisioterapi pasca pembedahan seperti bernapas dalam, batuk dan latihan bahu diajarkan kepada pasien sebelum pembedahan dikerjakan, sembari memberitahu pasien akan kemungkinan timbulnya nyeri pasca pembedahan. Pasien harus diupayakan “sekering” mungkin sebelum pembedahan, dalam arti minimalnya produksi sputum maupun pus (pada kasus empiema). Peningkatan status nutrisi difasilitasi dengan bed rest dan diit adekuat selama perawatan di rumah sakit.4

Aspek lain yang tak kalah penting adalah pengkajian risiko pembedahan dan cadangan faal paru.8 Pasien yang akan menjalani pembedahan haruslah memiliki fungsi paru yang adekuat di samping lesi yang terlokalisir. Dua hal ini saling terkait, karena pasien dengan penyakit yang sudah meluas jarang sekali memiliki fungsi paru yang masih baik.7 Reseksi paru akan menyebabkan penurunan vascular bed paru dan meningkatkan risiko gagal jantung kanan akut. Selain itu, inflamasi

6

Page 7: Peran Bedah Dalam Penatalaksanaan TB Paru

pasca operasi akan merangsang timbulnya acute respiratory distress syndrome (ARDS). Lebih lanjut, lobektomi dan pneumonektomi pada TB termasuk prosedur dengan risiko tinggi dan secara teknis membahayakan karena rongga toraks penuh dengan perlekatan, jaringan parut dan area sepsis kronik.8 Untuk mencegah komplikasi pasca operasi, seperti ARDS, gagal jantung kanan dan hipoksia, disusunlah berbagai protokol pengkajian preoperatif untuk reseksi paru.

Fungsi paru yang harus dinilai sebelum pembedahan antara lain mekanika bernapas, fungsi parenkim dan interaksi kardio-pulmonal. Data-data ini dapat menjadi dasar untuk merencanakan tindakan baik intra- maupun pasca-bedah dan sebagai bahan pertimbangan sebelum mengambil keputusan-keputusan intra operatif di luar rencana awal.18

Volume ekspirasi paksa menit pertama (FEV1) dan kapasitas vital (VC) serta volume paru dapat dinilai dengan spirometri. Angka predictive post-operative (ppo) dan predicted contralateral (pcl) dapat dihitung dengan memasukkan angka-angka tersebut ke dalam persamaan. FEV1-ppo = preoperative FEV1.0 × (1 – kontribusi fungsional parenkim yang akan direseksi). Sementara FEV1-pcl = preoperative FEV1.0 × fraksi aliran darah sisi kontralateral.19 Jika ppoFEV1 > 40%, maka ekstubasi langsung di ruang operasi dimungkinkan dengan pertimbangan bahwa pasien sadar, hangat dan nyaman. Pasien dengan ppoFEV1 30-40% tanpa penyakit penyerta dan fungsi kardio-respirasi yang baik dapat diekstubasi segera setelah pembedahan selesai. Namun jika terdapat gangguan fungsi kardio-respirasi, dianjurkan untuk melakukan weaning bertahap. Pasien dengan ppoFEV1 20-30% sebaiknya diekstubasi setelah proses weaning kecuali jika pasien mendapatkan analgetik epidural adekuat.18

Hasil akhir dari pembedahan pada TB akan baik jika pengelolaan pasca operasi dikerjakan dengan baik pula. Perawatan pasca operasi sebaiknya dilakukan di unit rawat intensif (ICU). Antibiotik dan analgetik rutin diberikan, sementara transfusi darah diberikan sesuai kebutuhan. Latihan bernapas harus dimulai sejak dini sesuai dengan toleransi pasien. Spirometri insentif merupakan salah satu metode yang biasa digunakan. Perawatan WSD juga penting untuk diperhatikan, dan WSD dilepas hanya jika produksinya sudah minimal.4 OAT diteruskan sampai 18-24 bulan pasca bedah.10

KOMPLIKASI

Sebagai hasil dari pemilihan pasien yang hati-hati, kajian perioperatif yang baik dan pemberian OAT yang adekuat, morbiditas dan mortalitas pembedahan pada MDR-TB dapat diturunkan. Mortalitas pasca operasi MDR-TB bervariasi antara 0% sampai 3,3% dan insiden kompliasi antara 12% sampai 30%, terutama FBP, empiema, perdarahan pasca operasi, gagal napas dan infeksi.12 Analisa kesintasan Kaplan-Meir oleh Wang et al (Gbr 1) memperlihatkan bahwa TB endobronchial dan pneumonektomi sama-sama menurunkan disease free survival.12

7

Page 8: Peran Bedah Dalam Penatalaksanaan TB Paru

Gambar 2. Kaplan-Meir memperkirakan disease free survival antara (kiri) pasien dengan empat tipe penyakit dan (p = 0.013) and (kanan) pasien dengan pnemonektomi vs lobektomi (p=0.021) (Wang H, Lin H, Jiang G. Pulmonary

resection in the treatment of multidrug-resistant tuberculosis Ann Thorac Surg 2008;86:1640-5)

FBP mungkin adalah komplikasi yang paling sering terjadi pasca operasi, terkait dengan MDR-TB, dengan insiden 0-16,7%. Sementara itu, Siraishi et al menemukan insiden komplikasi stump bronkial yang lebih tinggi pada pasien dengan NTM dibandingkan MDR-TB, yang terkait dengan prevalensi sputum positif yang lebih tinggi pada NTM.15 Komplikasi ini lebih sering terjadi di sisi kanan, terkait dengan panjang bronkus utama kanan yang lebih pendek dari bronkus utama kiri, sehingga kuman banyak bersarang di tempat tersebut. Padahal saat pembedahan, ahli bedah biasanya melakukan diseksi justru di tempat kuman-kuman tersebut berkumpul. Akibatnya, risiko fistulasi pada stump bronkial akan meningkat.

Untuk mencegah komplikasi ini, digunakan flap otot, pleura atau perikardial untuk memperkuat jahitan stump bronkial. Upaya mempertahankan aliran darah ke bronkus sangat penting dalam proses penyembuhan stump bronkial, sebagaimana juga upaya untuk menghindari diseksi pada daerah devaskuler dengan menggunakan kauter diatermi. Wang et al menunjukkan bahwa tindakan membungkus stump bronkial dengan flap pleura atau perikardium akan menurunkan secara bermakna insiden FBP pasca bedah.12

KESIMPULAN

Pembedahan, dengan seleksi pasien yang baik dan pengkajian perioperatif yang adekuat, memiliki peran penting dalam tatalaksana tuberkulosis paru, terutama pada MDR-TB dan kasus dengan komplikasi.

DAFTAR PUSTAKA

8