Peper-Demam-Typoid.doc

60
REFERAT “DEMAM TYPHOID” Oleh : MIRZA HELTOMI, S.ked 08310196 Pembimbing : dr. Mahbub Muhammady,Sp.A.M.sc KEPANITRAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ANAK RSUD TASIKMALAYA FAKULTAS KEDOKTERAN

Transcript of Peper-Demam-Typoid.doc

Page 1: Peper-Demam-Typoid.doc

REFERAT

“DEMAM TYPHOID”

Oleh :

MIRZA HELTOMI, S.ked

08310196

Pembimbing : dr. Mahbub Muhammady,Sp.A.M.sc

KEPANITRAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ANAK

RSUD TASIKMALAYA FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MALAHAYATI

BANDARLAMPUNG

2013

Page 2: Peper-Demam-Typoid.doc

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah

melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga referat yang berjudul “Demam

Typhoid” ini bisa selesai tepat pada waktu yang telah ditentukan.

Referat ini disusun untuk memenuhi tugas di stase Anak pada Kepaniteraan

Klinik Senior di RSUD Tasikmalaya. Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada dr. Mahbub Muhammady, Sp.A, M.sc selaku pembimbing di stase

Anak yang telah memberikan bimbinganya, sehingga saya dapat menyelesaikan referat

ini dengan baik. Dan tidak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada teman-teman

yang ikut membantu dalam penulisan referat ini.

Referat ini tentunya tidak luput dari kesalahan ataupun kekurangan, oleh karena

itu kritik dan saran yang sangat membangun sangat saya harapkan demi perbaikan

kedepannya. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa Fakultas kedokteran

khususnya dan bagi pembaca serta masyarakat pada umumnya.

Tasikmalaya ,23 mei 2013

Mirza Heltomi, S.ked

Page 3: Peper-Demam-Typoid.doc

A. Latar Belakang

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut pada usus

halus yang disebabkan oleh Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi).

Demam tifoid ditandai dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai

gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.

( Pramitasari, OP.2013)

Demam typoid salah satu sindrom klinis dari demam entrik yang dihasilkan

organisme Salmonella tertentu. Demam typoid atau typus abdominalis banyak

ditemukan dalam kehidupan masyarakat, baik diperkotaan maupun pedesaan.

Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kualitas yang mendalam dari Higieni

pribadi dan sanitasi lingkungan seperti, Higienie perorangan dan higieni penjamah

makanan yang rendah, lingkungan yang kumuh, kebersihan tempat – tempat umum

(rumah makan, restorant) yang kurang serta prilaku masyarakat yang tidak

mendukung untuk hidup sehat.(KMK no 364 menkes.2006)

Angka kejadian demam tifoid (typhoid fever) diketahui lebih tinggi pada

negara yang sedang berkembang di daerah tropis, sehingga tak heran jika demam

tifoid atau tifus abdominalis banyak ditemukan di negara kita. Di Indonesia sendiri,

demam tifoid masih merupakan penyakit endemik dan menjadi masalah kesehatan

yang serius. Demam tifoid erat kaitannya dengan higiene perorangan dan sanitasi

lingkungan. (Hadinegoro.2011)

Insiden sangat menurun dinegara maju. Di Amerika Serikat sekitar 400

kasus demam typoid dilaporkan setiap tahun, memeberikan insiden tahunan kurang

dari 0,2 per 100.000, yang serupa dengan insiden tahunan di Eropa dan Jepang. Di

Page 4: Peper-Demam-Typoid.doc

Eropa Selatan insiden tahunan adalah 4,3 – 14,5 per 100.000. Di Negara yang sedang

berkembang S. typhi sering merupakan isolat Salmonella yang paling sering, dengan

insiden yang dapat mencapai 500 per 100.00 (0,5%) dan angka mortalitas tinggi.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memperkirakan bahwa 12,5 juta kasus

terjadi setiap tahun diseluruh dunia (tidak termasuk Cina). (Ilmu Kesehatan Anak

Nelson 2000)

Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus demam tifoid

di seluruh dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu kematian tiap tahunnya.

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi menular yang dapat terjadi pada anak

maupun dewasa. Anak merupakan yang paling rentan terkena demam tifoid,

walaupun gejala yang dialami anak lebih ringan dari dewasa. Di hampir semua

daerah endemik, insidensi demam tifoid banyak terjadi pada anak usia 5-19 tahun.

(Hadinegoro.2011)

Di Indonesia, typoid jarang dijumpai secara epidemis tapi bersifat endemis

dan banyak dijumpai di kota – kota besar. Tidak ada perbedaan yang nyata insidens

typoid pada pria dengan wanita. Insiden tertinggi didapatkan pada remaja dan

dewasa muda. Simanjuntak (1990) mengemukakan bahwa insiden typoid di

Indonesia masih sangat tinggi berkisar 350 – 810 per 100.000 penduduk. Demikian

juga dari telaah kasus demam typoid di rumah sakit besar di Indonesia, menunjukan

angka kesakitan cenderung meningkat setiap tahun dengan rata – rata 500/100.000

penduduk. Angka kematian diperkirakan sekitar 0,6 – 5 % sebagai akibat dari

keterlambatan mendapaat pengobatan serta tinggi biaya pengobatan. (KMK no 364

menkes.2006)

Page 5: Peper-Demam-Typoid.doc

Demam tifoid endemis di negara berkembang khususnya Asia Tenggara.

Sebuah penelitian berbasis populasi yang melibatkan 13 negara di berbagai benua,

melaporkan bahwa selama tahun 2000 terdapat 21.650.974 kasus demam tifoid

dengan angka kematian 10%. Insidens demam tifoid pada anak tertinggi ditemukan

pada kelompok usia 5-15 tahun. Indonesia merupakan salah satu negara dengan

insidens demam tifoid, pada kelompok umur 5-15 tahun dilaporkan 180,3 per

100,000 penduduk.(Sondang Sidabutar & Hindra irawan Satari.2010)

Di Negara yang telah maju typoid masih ada, bersifat sporadic terutama

sehubungan dengan kegiatan wisata ke Negara –negara yang sedang berkembang. Di

USA insiden typoid tidak berbeda antara laki - laki dan wanita. Karier intestinal

kronik lebih banyak dijumpai pada perempuan dengan perbandingan 3,65:1 dengan

laki – laki. Kurang lebih 85% karier ini dijumpai pada wanita diatas 50 tahun. Secara

umum insidens tifoid dilaporkan 75% didapatkan pada umur kurang dari 30 tahun.

Pada anak – anak biasanya diatas 1 tahun dan terbanyak di atas 5 tahun dan

manisfestasi klinik lebih ringan. (KMK no 364 menkes.2006)

Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2009, demam tifoid atau

paratifoid menempati urutan ke-3 dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di

rumah sakit tahun 2009 yaitu sebanyak 80.850 kasus, yang meninggal 1.747 orang

dengan Case Fatality Rate sebesar 1,25%. Sedangkan berdasarkan Profil Kesehatan

Indonesia tahun 2010 demam tifoid atau paratifoid juga menempati urutan ke-3 dari

10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit tahun 2010 yaitu sebanyak

41.081 kasus, yang meninggal 274 orang dengan Case Fatality Rate sebesar 0,67 %.

( Pramitasari, OP.2013)

Page 6: Peper-Demam-Typoid.doc

Menurut Riset Kesehatan Dasar Nasional tahun 2007, prevalensi tifoid

klinis nasional sebesar 1,6%. Sedang prevalensi hasil analisa lanjut ini sebesar 1,5%

yang artinya ada kasus tifoid 1.500 per 100.000 penduduk Indonesia.

( Rikesdas.2007)

Sembilan puluh enam persen (96%) kasus demam typoid disebabkan S.

typhi, sisanya S. paratyphi. Perbedaan antara demam tifoid pada anak dan dewasa

adalah mortalitas (kematian) demam tifoid pada anak lebih rendah bila dibandingkan

dengan dewasa. Risiko terjadinya komplikasi fatal terutama dijumpai pada anak

besar dengan gejala klinis berat, yang menyerupai kasus dewasa. Demam tifoid pada

anak terbanyak terjadi pada umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai gejala klinis

ringan. (Hadinegoro.2011)

B. Definisi Demam Typoid

Demam typoid (Typus abdominalis) adalah penyakit infeksi akut yang

biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu

minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. (IKA UI.vol 2.

2007)

Demam typoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut pada

usus yang disebabkan oleh Salmonella enterica serotype typhi (salmonella typhi),

ditandai dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran

pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran. ( Pramitasari, OP.2013)

Demam typoid adalah salah satu yang mencakup dari demam enterik yang

merupakan sindrom klinis sistemik yang dihasilkan oleh organism Salmonella

tertentu. Istilah ini mencakup istilah demam yang disebabkan baik oleh S. typhi dan

Page 7: Peper-Demam-Typoid.doc

demam paratifoid, yang disebabkan oleh S. paratyphi A, B, C , dan kadang serotype

Salmonella lain. Demam typoid , jenis demam yang paling sering dan cenderung

untuk menjadi lebih berat dari pada bentuk yang lain. (Ilmu Kesehatan Anak Nelson

2000)

Jadi demam typoid adalah salah satu bagian dari istilah yang mencakup dari

demam enterik yang disebabkan oleh kuman Salmonella serotype typhi yang bersifat

infeksi sistemik akut ditandai dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai

gangguan saluran pencernaan dengan ataupun tanpa gangguan kesadaran.

C. Etiologi Demam Typoid

Salmonella typhosa, Basil gram negative, bergerak dengan rambut getar,

tidak berspora, mempunyai sekurang – kurangnya tiga macam antigen, yaitu antigen

O (somatik, terdiri dari zat kompleks Lipopolisakarida) antigen H (flagella), antigen

Vi. (IKA UI.vol 2. 2007)

Disebabkan oleh serotype Salmonella typhi dari Salmonella yang berasal

dari Family Enterobakteriasiae. Salmonella ini adalah motil, tidak membentuk spora

tidak berkapsul, termasuk batang gram negative. Kebanyakan strain meragi glukosa,

manosa, dan manitol untuk menghasilkan asam dan gas, tetapi mereka tidak meragi

laktosa dan sukrosa. Organisme ini tumbuh secara aerobic dan mampu tumbuh

secara anaerobic fakultatif. Dapat dibunuh dengan pemanasan sampai 130oF (54,4oC)

selama 1 jam atau 140oF (60oC) selama 15 menit. (Ilmu Kesehatan Anak Nelson

2000)

Page 8: Peper-Demam-Typoid.doc

Basil penyebab tifoid adalah Salmonella typhi dan paratyphi dari genus

Salmonella. Basil ini adalah gram negative, bergerak, tidak berkapsul, tidak

membentuk spora, tetapi memiliki fimbria, bersifat aerob dan anerob fakultatif.

Ukuran antara (2-4) x 0,6µm, suhu optimal untuk tumbuh adalah 37 oC dengan PH

antar 6 – 8, basil ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti

didalam air, es, sampah dan debu. Sedangkan reservoir satu – satunya adalah

manusia yaitu seorang yang sedang sakit atau karier. Basil ini di bunuh dengan

pemanasan ( suhu 60 oC) selam 15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan

khlorinisasi. Masa inkubasi tifoid 10 – 14 hari dan pada anak, masa inkubasi ini lebih

bervariasi berkisar 5 – 40 hari, dengan perjalanan penyakit kadang – kadang juga

tidak teratur. (KMK no 364 menkes.2006)

Kuman ini meragikan glukosa, manitol dan maltose dengan disertai

pembentukan asam dan gas kecuali salmonella typhi yang hanya membuat asam

tanpa pembentukan gas. Tidak membuat indol, tetapi reaksi metal merah positif.

Tidak menghidrolisis urea dan pembentukan H2S. (KMK no 364 menkes.2006)

Page 9: Peper-Demam-Typoid.doc

Telah lama dikenal bahwa basil Salmonella Typhi dan Paratyphi ini

mempunyai struktur yang dapat diketahui secara serologis. (KMK no 364

menkes.2006)

Antigen somatik (O)

Merupakan kompleks fosfolipid protein polisakarida yang tahan terhadap

pendidihan, alkhol dan asam. Aglutinasi O berlangsung lebih lambat dan bersifat

kurang imunogenik, namun mempunyai nilai diagnosis yang tinggi. Titer antibody

yang timbul oleh antigen O ini selalu lebih rendah dari titer antibodi H.

Antigen Flagel (H)

Merupakan protein termolabil dan bersifat sangat imunogenik. Antigen ini

rusak dengan pendidihan dan alkhol, tetapi tidak rusak oleh formaldehid.

Antigen Vi

Merupakan antigen permukaan dan bersifat termolabil. Antibody yang

terbentuk dan menetap lama dalam darah dapat memberi petunjuk bahwa individu

tersebut sebagai pembawa kuman (karier). Antigen Vi terdapat pada S. typhi, S.

paratyphi C, dan S. Dublin.

Page 10: Peper-Demam-Typoid.doc

Jadi demam typoid disebabkan oleh kuman dari genus Salmonella dari

serotype Typhi yang paling banyak hamper 96 % dengan sisanya oleh serotype

Paratyphi, yang cenderung lebih berat.

D. Patogenesis

Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella paratyphi

kedalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman.

Ukuran inokulum yang diperlukan untuk menyebabkan penyakit pada relawan adalah

105 – 109 organisme S. typhi. Sebagian kuman dimusnakan dalam lambung

tergantung asiditas asam lambung ini merupakan penentu penting kerentanan

terhadap Salmonella, dan sebagian lolos masuk kedalam usus selanjutnya

berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik

maka kuman akan menembus sel – sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke

lamina propia, yang terlebih dahulu kumat melekat di mikrovilli tepi bersekat illeum.

Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel – sel fagosit

terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup didalam makrofag karena monosit tidak

mampu menghancurkan basili pada proses penyakit dan selanjutnya dibawa ke

plaque pyeri ileum distal dan membawa organisme ini kedalam kelenjar getah

bening mesentrika (Limfanodi Mesentrika). Selanjutnya melalui ductus torasikus

kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk kedalam sirkulasi darah

( mengakibatkan Bakterimia pertama dan asimtomatik) dan menyebar keseluruh

organ Retikuloendothelial tubuh terutama Hati dan Limpa dan Sumsum tulang. Di

organ – organ ini kuman meninggalkan sel – sel fagosit dan kemudian berkembang

biak diluar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk kedalam sirkulasi darah

Page 11: Peper-Demam-Typoid.doc

lagi mengakibatkan bakterimia kedua kalinya dengan disertai tanda – tanda dan

gejala penyakit infeksi sistemik. (Djoko widodo.2006 dan Ilmu Kesehatan Anak

Nelson 2000)

Didalam hati, kuman masuk kedalam kandung empedu karena rentan

terinfeksi dari aliran darah atau melalui System Biliaris berkembang biak.

Multiplikasi lokal dalam dinding kandung empedu menghasilkan sejumlah besar

salmonella, yang selanjutnya mencapai usus melalui empedu bersama cairan empedu

yang dieskresikan secara “ intermittent” kedalam lumen usus. Sebagian kuman

dikeluarkan melalui feses sebagian lagi masuk kedalam sirkulasi setelah menembus

usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan

hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa

mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi

sistemik seperti; demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas

vascular, gangguan mental, dan koagulasi. (Djoko widodo.2006)

Di dalam plaque peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan hyperplasia

jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,

hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Pendarahan saluran cerna dapat terjadi

akibat erosi pembuluh darah sekitar plaque peyeri yang sedang mengalami nekrosis

dan hyperplasia akibat akumulasi sel – sel mononuclear di dinding usus. Proses

patologis jaringan limfoid dapat berkembang hingga kelapisan otot, serosa usus, dan

dapat menimbulkan perforasi. Endotoksin dapat menempel direseptor endothel

kapiler dengan akibatnya timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,

kardiovaskular, pernapasan dan gangguan organ lainnya. (Djoko widodo.2006)

Kuman salmonella typhi, paratyphi masuk kesaluran cerna melalui makanan

Page 12: Peper-Demam-Typoid.doc

1.1. Skema Patofisiologi Demam Typhoid

E. Patologi

Gangguan nutrisi kurang dari kebetulan tubuh

Sebagian hidup dan menetap

Sebagian dimusnahkan asam lambung

Sebagian masuk usus halus

Peningkatan asam lambung

Intake kurang (madequat)

Di ileum terminalis di limfoid plaque peyeri

Mual, muntah

pendarahan

perforasi

Peritonitis

Nyeri tekan

Gangguan rasa nyaman

Masuk aliran limfe

Masuk dalam kelenjar limfoid mesentrial

Menembus dan masuk aliran darah

Masuk dan bersaing di hati dan limpa

Hepatomegali, splenomegali

Demam Typoid

Dilepas zat pirogen oleh leukosit pada jaringan

yang meradang

Infeksi salmonella typhi, paratyphi dan endotoksin

Gangguan rasa nyaman; panas peningkatan suhu

Sebagian menembus lamina propia

Page 13: Peper-Demam-Typoid.doc

Hiperplasia lempeng plaque peyeri dengan nekrosis dan pengelupasan epitel

yang menutupi, yang menimbulkan ulkus adalah khas. Jaringan mukosa dan limfatik

saluran usus teradang dan nekrosis berat. Ulserasi menyembuh tanpa jaringan parut

adalah lazim. Striktur dan penyumbatan usus sebenarnya tidak pernah terjadi sesudah

demam tipoid. Dapat terjadi pendarahan , lesi radang kadang - kadang dapat

menembus tunika muskularis dan serosa usus dan menyebabkan perforasi. Limfanodi

mesentrika, hati dan limpa hyperemia dan biasanya menunjukan daerah nekrosis

setempat. Hyperplasia jaringan endothelial dengan proliferasi sel mononuclear

merupakan penemuan dominan. Respon mononuclear dapat ditemukan pada sumsum

tulang yang disertai dengan daerah nekrosis fokal. Radang vesika falae adalah

setempat, tidak tetap dan pertengahan dalam proporsi terhadap luasnya multiplikasi

bakteri lokal. Bronchitis lazim. Radang juga dapat ditemukan dalam bentuk abses

terlokalisasi, pneuomonia, atritis septik, osteomielitis, pielonefritis, endoftalmitis,

dan meningitis. (Ilmu Kesehatan Anak Nelson 2000)

F. Manisfestasi Klinis

Masa inkubasi biasanya 7 – 14 hari, tetapi dapat berkisar antara 3 – 30 hari,

tergantung terutama pada besarnya inokulum yang tertelan. Manisfestasi klinis

demam typoid tergantung umur. (Ilmu Kesehatan Anak Nelson 2000)

a. Anak Usia Sekolah dan Remaja

Mulainya gejala tersembunyi. Gejala awal demam, malaise, anoreksia,

mialgia, nyeri kepala dan nyeri perut berkembang selama 2 – 3 hari. Walaupun

diare berkonsistensi sop kacang mungkin ada selama awal perjalanan penyakit,

konstipasi kemudian menjadi gejala yang lebih mencolok. Mual dan muntah

Page 14: Peper-Demam-Typoid.doc

adalah jarang dan memberi kesan komplikasi, terutama jika terjadi pada minggu

kedua atau ketiga. Batuk dan epitaksis mungkin ada. Kelesuan berat dapat terjadi

pada beberapa anak. Demam yang terjadi secara bertingkat menjadi tidak berturun

– turun dan tinggi dalam 1 minggu, sering mencapai 40o C (1040F). (Ilmu

Kesehatan Anak Nelson 2000)

Selama minggu kedua penyakit, demam tinggi bertahan dan kelelahan,

anoreksia dan batuk, dan gejala – gejala perut bertambah parah. Penderita tampak

sangat sakit, bingung dan lesu, mengigau, dan pingsan (stupor) mungkin ada.

Tanda tanda fisik adalah bradikardi relative yang tidak seimbang dengan

tingginya demam. Hepatomegali dan splenomegali dan perut kembung dengan

nyeri difus amat lazim. Pada sekitar 50% penderita dengan demam tipoid, ruam

macula atau macula popular (yaitu bintik merah) tampak pada sekitar hari ke 7

sampai hari ke 10. Lesi biasanya berdiri sendiri, eritematosa, dan diameter 1 – 5

mm, lesi agak timbul dan pada penekanan pucat. Mereka tampak dalam kelompok

10 – 15 lesi pada dada bagian bawah dan abdomen dan berakhir 2 – 3 hari. Pada

penyembuhan meninggalkan warna kulit kecoklatan.(Ilmu Kesehatan Anak

Nelson 2000)

b. Bayi dan Anak Muda (< 5 tahun)

Relatif jarang pada kelompok umur ini. Walaupun sepsis klinis dapat

terjadi, penyakit pada saat datang ringan, membuatnya sukar didiagnosa dan

mungkin tidak terdiagnosa. Demam ringan, malaise, salah interprestasi sebagai

sindrom virus, ditemukan pada bayi dengan tipoid terbukti secara biakan. Diare

lebih lazim pada anak muda dengan demam tipoid dari pada orang dewasa,

Page 15: Peper-Demam-Typoid.doc

membawa pada diagnosis Gastroentritis akut. Yang lain datang dengan tanda –

tanda dan gejala infeksi saluran nafas bawah.( Ilmu Kesehatan Anak Nelson 2000)

c. Neonatus

Disamping kemampuannya menyebabkan absorbsi dan persalinan

premature, demam tipoid selama kehamilan dapat ditularkan secara vertical.

Penyakit neonatus biasanya mulai dalam tiga hari persalinan. Muntah, diare, dan

kembung sering ada. Suhu bervariasi dapat setinggi 40,5 0C. dapat terjadi kejang –

kejang. Hepatomegali, ikterus, anoreksia, dan kehilangan berat badan mungkin

nyata. (Ilmu Kesehatan Anak Nelson 2000)

Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10 14 hari. Gejala – gejala

klinis yang timbul sangat bervariasi dan ringan sampai dengan yang berat, dari yang

asimptomatik sampai gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga

kematian. Masa inkubasi yang tersingkat empat hari jika infeksi terjadi melalui

makanan , sedangkan yang lama sampai 30 hari jika infeksi melalui minuman.

Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak

enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat. (Djoko widodo.2006

& IKA UI.vol 2. 2007)

Kemudian menyusul gejala klinis yang menyusul yang biasa ditemukan, yaitu:

1. Demam

Pada kasus – kasu yang khas demam berlangsung selama tiga minggu , bersifat

febris remiten dan suhu tidak beberapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu

tubuh berangsur – angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun tiap pagi hari

dan meningkat lagi pada sore hari dan malam hari. Dalam minggu kedua,

Page 16: Peper-Demam-Typoid.doc

penderita terus dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu badan

berangsur – angsur turun dan normal kembali pada akhir mingggu ketiga.(IKA

UI.vol 2. 2007)

2. Gangguan Pada Saluran Pencernaan

Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah – pecah

(ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya

kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan

perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri perabaan.

Biasanya didapat konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat

terjadi diare.(IKA UI.vol 2. 2007)

3. Gangguan kesadaran

Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu

apatis sampai samnolen, jarang terjadi spoor, koma atau gelisah.( IKA UI.vol 2.

2007)

G. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam

tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu: (Prasetyo., Ismoedijanto, 2010)

a. Pemeriksaan Darah Tepi

Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit

normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan

hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan

aneosinofilia dan limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut. Penelitian oleh

beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta

Page 17: Peper-Demam-Typoid.doc

laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai

perkiraan yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita

demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif

menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid.

Sebuah normokromik, anemia normositik sering berkembang setelah

beberapa minggu sakit dan berhubungan dengan kehilangan darah usus atau

penekanan sumsum tulang. Jumlah leukosit darah sering rendah dalam kaitannya

dengan demam dan toksisitas, tapi ada rentang yang luas dalam jumlah; leukopenia,

biasanya tidak kurang dari 2.500 sel/mm3, sering ditemukan setelah 1 atau 2 minggu

penyakit. Ketika abses piogenik berkembang, leukositosis dapat mencapai 20.000-

25.000 / mm3. Trombositopenia mungkin mencolok dan bertahan selama 1 minggu.

Hasil tes fungsi hati sering terganggu. Proteinuria adalah umum. Leukosit tinja dan

darah tinja sangat umum.

b. Identifikasi Kuman melalui Isolasi / Biakan

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S.

typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum

atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan

lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit,

sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses. Hasil biakan yang

positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan

demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil biakan meliputi:

(1) jumlah darah yang diambil

Page 18: Peper-Demam-Typoid.doc

(2) perbandingan volume darah dari media empedu

(3) waktu pengambilan darah

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak

kecil dibutuhkan. 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan

untuk kultur hanya sekitar 0.5-1mL.Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih

sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat

menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila

dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya.

Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan

media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang

sangat minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu

pengambilan spesimen yang tidak tepat. Walaupun spesifisitasnya tinggi,

pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala

berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk

dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.

c. Identifikasi Kuman Melalui Uji Serologi

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis

demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S.

typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan

untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa

antikoagulan. Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan

Page 19: Peper-Demam-Typoid.doc

mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi

masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas

pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen,

jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen

tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal)

dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan

penyakit). (Whardani dkk.2005)

Berikut adalah macam-macam uji serologis yang dapat membantu

menegakan diagnosis demam tifoid :

1. Uji Widal

Tes ini mengukur tingkat antibodi terhadap agglutinating O dan H

antigen. Tingkat diukur dengan menggunakan dua kali lipat pengenceran serum

dalam tabung uji yang besar. Biasanya, O antibodi muncul pada hari 6-8 dan

antibodi H pada hari 10-12 setelah onset penyakit. Tes ini biasanya dilakukan

pada serum akut (pada kontak pertama dengan pasien). Sebuah serum sembuh

sebaiknya juga dapat dikumpulkan sehingga titrasi dipasangkan dapat

dilakukan. Dalam prakteknya, bagaimanapun, ini sering sulit. Setidaknya 1 ml

darah harus dikumpulkan setiap kali untuk memiliki jumlah yang cukup serum.

Dalam keadaan luar biasa tes dapat dilakukan pada plasma tanpa efek buruk

pada hasilnya.(WHO, V&B.2003)

Tes hanya memiliki sensitivitas dan spesifisitas moderat. Hal ini dapat

menjadi negatif pada 30% kasus budaya terbukti demam tifoid. Ini mungkin

karena terapi antibiotik sebelumnya yang telah menumpulkan respon antibodi.

Page 20: Peper-Demam-Typoid.doc

Di sisi lain, S. typhi saham O dan H antigen dengan serotipe Salmonella lain

dan memiliki cross-bereaksi dengan epitop Enterobacteriacae lain, dan ini

dapat menyebabkan hasil positif palsu. Hasil tersebut juga dapat terjadi dalam

kondisi klinis lain, misalnya malaria, tifus, bakteremia yang disebabkan oleh

organisme lain, dan sirosis. Di daerah endemisitas sering ada tingkat latar

belakang rendah antibodi dalam populasi normal. Menentukan yang sesuai

cut-off untuk hasil positif bisa sulit karena itu bervariasi antara daerah dan

antar waktu di daerah tertentu. (WHO, Vaccines and Biologicals.,2003)

Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan

sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi

agglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-

beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam

jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang

masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.

Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide

test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan

digunakan dalam prosedur. (Whardani dkk.2005)

penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit

tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan. Penelitian

pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas

masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40 dengan nilai prediksi

positif sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar 99.2%.14 Beberapa

penelitian pada kasus demam tifoid anak dengan hasil biakan positif, ternyata

Page 21: Peper-Demam-Typoid.doc

hanya didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas

sebesar 76-83%. penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang

lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan.

(Whardani dkk.2005).

Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas

dan spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40 dengan

nilai prediksi positif sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar

99.2%.14 Beberapa penelitian pada kasus demam tifoid anak dengan hasil

biakan positif, ternyata hanya didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-

74% dan spesifisitas sebesar 76-83%. yang digunakan. (Whardani dkk.2005)

Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta

sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam

penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang

positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid

(penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh

dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena

belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk

mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline

titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti

Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak

sehat.(Whardani dkk.2005)

2. Test Tubex

Page 22: Peper-Demam-Typoid.doc

Test Tubex adalah pemeriksaan diagnostic in vitro semikuantitatif yang

cepat dan mudah untuk deteksi demam tifoid akut. Pemeriksaan ini

mendeteksi antibody IgM terhadap antigen 09 LPS Salmonella typhi.

Sensistivitas dan spesifikasi pemeriksaan adalah > 95 % dan >93 %. (WHO,

Vaccines and Biologicals.,2003)

Prinsip pemeriksaan yang digunakan adalah Inhibtion Magnetic

Binding Immunoassay (IMBI). Antibody IgM terhadap antigen 09 LPS

dideteksi melalu kemampuannya untuk menghambat antara kedua tipe partikel

reagen yaitu indikator mikrosfer lateks yang disensitisasi dengan anti

monoclonal anti 09 (reagen berwarna biru) dan mikrosfer magnetic yang

disensitisasi dengan L Salmonella typhi (reagen berwarna coklat). Setelah

sedimentasi partikel dengan kekuatan magnet konsentrasi partikel indikator

yang tersisa dalam cairan menunjukan daya inhibisi. Tingkat inhibisi yang

dihasilkan adalah setara dengan konsentrasi antibody Igm Salmonella Typhi

dalam sampel yang dibaca secara visual dengan membandingkan warna akhir

reaksi terhadap skala warna. (WHO, Vaccines and Biologicals.,2003)

Keunggulan Pemeriksaan Tubex TF: (WHO, Vaccines and

Biologicals.,2003)

1. Mendeteksi secara dini infeksi akut akibat Salmonella Typhi, karena

antibody IgM muculnya pada hari 3 – 4 terjadinya demam

2. Mempunyai sensitivitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella (>95%)

3. Hanya dibutuhkan sampel darah sedikit

4. Hasil dapat diperoleh lebih cepat.

Page 23: Peper-Demam-Typoid.doc

Interprestasi hasil dari tes tubex TF adalah: (WHO, Vaccines and

Biologicals.,2003)

1. <2 – 3 menunjukan Negatif Borderline, tidak menunjukan infeksi Demam

tipoid pengukuran tidak dapat disimpulkan. Lakukan pengambilan darah

ulang 3 – 5 hari kemudian

2. 4 – 5 menunjukan Positif, indikasi infeksi Demam tipoid

3. > 6 menunjukan Positif, dengan indikasi Kuat infeksi Demam tipoid

Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang

sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel

yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan

dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya

ditemukan pada Salmonella serogrup D. ( Gunawan, SG, dkk. 2007)

Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya

mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam

waktu beberapa menit. Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan

tes TUBEX® ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes

ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.

( Gunawan, SG, dkk. 2007)

Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100%

dan spesifisitas 100%.15 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78%

dan spesifisitas sebesar 89%.9 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal,

dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan

sederhana, terutama di Negara berkembang.

Page 24: Peper-Demam-Typoid.doc

3. Metode Enzim Immuniassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi

spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap

IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan

deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase

pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi

demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan

tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi.

Pada metode Typhidot-M® yang merupakan modifikasi dari metode

Typhidot® telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan

pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M

spesifik.

Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-

tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan

dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur

positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan

bahwa Typhidot-M ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama

dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan

akurat. Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan

spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi

silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan

membrane nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus

sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai

Page 25: Peper-Demam-Typoid.doc

fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman.

Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan

nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan

bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam

setelah penerimaan serum pasien.

4. Metode Enzime-Linked Immunirbent Assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk

melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG

terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji

ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam

spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk

(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73%

pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang.

Pada penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada

sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95%

pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%.18 Penelitian oleh Fadeel dkk

(2004) terhadap sampel. urine penderita demam tifoid mendapatkan

sensitivitas uji ini sebesar 100% pada deteksi antigen. Vi serta masing-masing

44% pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd.

Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan

penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama

bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu

diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.

Page 26: Peper-Demam-Typoid.doc

5. Dipstick

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda

dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi

dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S.

typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM antihuman immobilized

sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah

distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di

tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.

Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini

sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5%

bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan

nilai prediksi positif sebesar 94.6%.20 Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002)

terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar

90% dan spesifisitas sebesar 96%.21 Penelitian oleh Hatta dkk (2002)

mendapatkan rerata sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada

pemeriksaan serial yang menunjukkan adanya serokonversi pada penderita

demam tifoid.22 Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat

diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang

menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat

dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat

pemeriksaan kultur secara luas.

H. Gold Standar Diagnosis

Page 27: Peper-Demam-Typoid.doc

Diagnosis pasti demam tifoid ditegakkan dengan ditemukannya kuman

Salmonella typhi dari biakan darah, urin, tinja, sumsum tulang atau dari aspirat

duodenum. Tetapi pemeriksaan tersebut membutuhkan waktu yang lama sehingga

secara klinik tidak menjadi patokan untuk memberikan terapi. Dengan demikian

secara praktis diagnosis klinis demam tifoid telah dapat ditegakkan berdasarkan

gejala klinik, pemeriksaan darah tepi, dan pemeriksaan serologis. Macam-macam

spesimen yang digunakan untuk kultur : (Prasetyo., Ismoedijanto, 2010):

1. Kultur & Identifikasi S.typhi dalam darah

1) Baku emas (mahal, waktu lama)

2) Waktu pengambilan: mg I demam

3) Prosedur pemàkaian isolasi kuman, identifikasi dgn biokimia, tes serologik

4) (-) palsu : waktu tdk tepat, pemakaian antimikroba, spesimen sedikit

5) Sensitiviti terhadap pasien dengan kultur positif mencapai 65.3% pada hari ke

6-7 demam (43.5% /hari ke 4-6, 92.9% /hari ke 7–9 & 100% /hari ke 10)

2. Kultur Kultur & Identifikasi S.typhi dalam tinja

1) Waktu pengambilan: mg II & III demam

2) Spesimen : tinja segar, tdk tercampur urin, wadah steril, px < 2 jam

3) Prosedur pem à isolasi kuman, identifikasi dgn biokimia, tes serologik

4) Hasil (+) à mendukung dx jika gejala klinis (+)

3. Kultur & Identifikasi S.typhi dalam urin

1) Waktu pengambilan: mg II & III demam

2) Spesimen : urin porsi tengah, pagi, wadah steril

3) Prosedur pem à isolasi kuman, identifikasi dgn biokimia, tes serologik

Page 28: Peper-Demam-Typoid.doc

I. Penegakan Diagnosis

Pada pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan adanya penurunan kadar

hemoglobin, trombositopenia, kenaikan LED, aneosinofilia, limfopenia, leukopenia,

leukosit normal, hingga leukositosis.( Dimas.S.H.2012)

Gold standard untuk menegakkan diagnosis demam tifoid adalah

pemeriksaan kultur darah (biakan empedu) untuk Salmonella typhi. Pemeriksaan

kultur darah biasanya akan memberikan hasil positif pada minggu pertama penyakit.

Hal ini bahkan dapat ditemukan pada 80% pasien yang tidak diobati antibiotik.

Pemeriksaan lain untuk demam tifoid adalah uji serologi Widal dan deteksi antibodi

IgM Salmonella typhi dalam serum.( Dimas.S.H.2012)

Uji serologi widal mendeteksi adanya antibodi aglutinasi terhadap antigen O

yang berasal dari somatik dan antigen H yang berasal dari flagella Salmonella typhi.

Diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan apabila ditemukan titer O aglutinin sekali

periksa mencapai ≥ 1/200 atau terdapat kenaikan 4 kali pada titer sepasang. Apabila

hasil tes widal menunjukkan hasil negatif, maka hal tersebut tidak menyingkirkan

kemungkinan diagnosis demam tifoid.( Dimas.S.H.2012)

J. Diagnosis Banding

bila terdapat demam yang lebih dari satu minggu sedangkan penyakit yang

dapat menerangkan penyebab demam tersebut belum jelas, perlulah dipertimbangkan

pula seperti penyakit – penyakit berikut ini; influenza, tuberculosis pneumonia

lobaris, malaria. ( IKA UI.vol 2. 2007)

selama stadium awal demam diagnosis klinis dapat terkelirukan dengan

gastroenteritis, sindrom virus, bronchitis atau brokopneumonia, selanjutnya diagnosis

Page 29: Peper-Demam-Typoid.doc

banding meliputi sepsis dengan bakteri pathogen lainnya; infeksi yang disebabkan

mikroorganisme intraseluler seperti Tuberkulosis, Bruselosis, Tularemia,

Leptospirosis, dan penyakit Riketcsia. Infeksi virus seperti mononucleosis infeksiosa

dan hepatitis anikterik dan keganasan seperti leukemia dan limfoma. (Ilmu

Kesehatan Anak Nelson 2000)

K. Komplikasi

Komplikasi demam tifoid dapat dibagi di dalam :

Komplikasi intestinal

1. Perdarahan usus

2. Perforasi usus

3. Ileus paralitik

Komplikasi ekstraintetstinal

1. Komplikasi kardiovaskular: kegagalan sirkulasi perifer (renjatan/sepsis),

miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.

2. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia dan atau koagulasi

intravaskular diseminata dan sindrom uremia hemoltilik.

3. Komplikasi paru: penuomonia, empiema dan peluritis.

4. Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis.

5. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis.

6. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis.

7.Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, mengingismus, meningitis, polyneuritis

perifer, sindrim Guillain-Barre, psikosis dan sindrom katatonia

Page 30: Peper-Demam-Typoid.doc

Pada anak-anak dengan demam tifoid, komplikasi lebih jarang terjadi. Komplikasi

lebih sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan umum, bila

perawatan pasien kurang sempurna.

DAFTAR PUSTAKA

Page 31: Peper-Demam-Typoid.doc

Pramitasari, OP.2013,. Faktor Resiko Kejadian Penyakit Demam Tifoid Pada Penderita

Yang Dirawat di RSUD Ungaran. Jurnal Kesehatan Masyarakat 2013, Volume 2,

Nomor 1 tahun 2013,. Diakses pada tanggal 5 februari 2015 di

http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm

KMK.,No. 364/MENKES/SK/V/2006., Tentang Pedoman Pengendalian Demam

Typoid. Diakses pada 5 februari 2015.,

http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes/KMK%20No.%20364%20ttg

%20Pedoman%20Pengendalian%20Demam%20Tifoid.pdf

Hadinegoro.,SR.,Prof.DR.dr SpA.,2011. Demam Tifoid Pada Anank : Apa Yang Perlu

Diketahui?. Jurnal Manajement Modern dan Kesehatan Masyarakat 2011. Diakses

pada 5 februari 2015 di www.Itokindo.org

Sidabutar.S & Satari.I.H.,2010.,Pilihan Terapi Demam Tipoid Pada Anak.,dikutip dari Textbook : Ochiai RL, Camilo J, Acosta CJ, Holliday DMC, Baiqing D, Bhattacharya SK, dkk. Study of typhoid fever in five Asian countries: disease burden and implications for controls. Bull World Health Organ 2008;86:260-8.

Ilmu Kesehatan Anak Nelson.Vol.2/editor, Richard E.Berhman, Robert M.Kliegmann,

Ann M.Ed 15. Jakarta.1999

Ilmu Kesehatan Anak FKUI.Vol2/editor, Rusepno Hasan, Husein Alatas.cetakan

kesebelas. Jakarta 2007

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI.2007.,Riset Kesehatan Dasar Tahun

2007., Jakarta.,2007

Djoko Widodo.2006.,Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Ed. IV.,Jakarta 2006.

Prasetyo, Risky Vitria., Ismoedijanto. 2010. Metode diagnostik demam tifoid pada

anak. Divisi tropik dan penyakit infeksi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/

RSU dr.Soetomo Surabaya

Wardhani, puspa., Prihatani., Probohusodo, M.Y. 2005. Kemampuan uji tabung widal

menggunakan antigen import dan antigen lokal. ndonesian Journal of Clinical

Pathology and Medical Laboratory, Vol. 12, No. 1, Nov 2005: 31-37

Page 32: Peper-Demam-Typoid.doc

Gunawan, SG, dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: FKUI.

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2006, Standar Pelayanan

Medik, PB PABDI, Jakarta.

Dimas.S.H.2012.,Demam Typoid. Jurnal Kesehatan Kedokteran Universitas Islam

Indonesia. Mengutif dari.,Cammie F. Lesser, Samuel I. Miller, 2005. Salmonellosis.

Harrison’s Principles of Internal Medicine (16th ed), 897-900.

Dimas.S.H.2012.,Demam Typoid. Jurnal Kesehatan Kedokteran Universitas Islam

Indonesia. Mengutif dari.,Chambers, H.F., 2006. Infectious Disease: Bacterial and

Chlamydial. Current Medical Diagnosis and Treatment (45th ed), 1425-1426.

Dimas.S.H.2012.,Demam Typoid. Jurnal Kesehatan Kedokteran Universitas Islam

Indonesia. Mengutif dari.,Brusch, J.L., 2010, Typhoid Fever.

http://emedicine.medscape.com/article/231135-overview.

Dimas.S.H.2012.,Demam Typoid. Jurnal Kesehatan Kedokteran Universitas Islam

Indonesia. Mengutif dari.,Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008, Buku Ajar Infeksi

dan Pediatri Tropis (2nd ed), Badan Penerbit IDAI, Jakarta.

WHO, Vaccines and Biologicals.,2003.,The Diagnosis, Treatment and Prevention of

Thypoid Feve. Dikutif dari Textbook : Clegg A, Passey M, Omena MK, Karigifa K.,

Sueve N. Re evaluation of the Widal agglutination test in response to the changing

pattern of typhoid fever in the highlands of Papua New Guinea. Acta Tropica

1994;57(4):255-63

WHO, Vaccines and Biologicals.,2003.,The Diagnosis, Treatment and Prevention of Thypoid Feve. Dikutif dari Textbook : Lim PL, Tam FCH, Cheong YM, Yegathesan M. One-step 2 minute test to detect typhoid-specific antibodies based on particle separation in tubes. Journal of Clinical Microbiology 1998; 36(8): 2271-8.

I. KETERANGAN UMUM

Nama : R

Page 33: Peper-Demam-Typoid.doc

Jenis kelamin : Laki-laki

Umur : 6 tahun

Alamat : Kp. KB Sawo Rt 03/07, Ciparay, Bandung

Agama : Islam

Tanggal masuk RSHS : 06 April 2006

Tanggal pemeriksaan : 11 April 2006

II. ANAMNESIS

Keluhan utama :

Panas badan

Anamnesis Khusus :

Sejak 8 hari sebelum masuk rumah sakit, penderita mengalami panas badan yang

awalnya tidak begitu tinggi, namun semakin lama panas semakin tinggi terutama pada malam

hari. Pada pagi harinya demam turun namun panasnya belum hilang.

Demam tidak disertai menggigil,

Demam tidak disertai batuk pilek,

Demam tidak disertai batuk lebih dari 3 minggu, maupun riwayat berat badan yang

sulit naik.

Demam tidak disertai sesak,

Demam tidak disertai kejang maupun penurunan kesadaran,

Demam tidak disertai gangguan buang air kecil,

Demam tidak disertai dengan penurunan berat badan yang tiba-tiba,

Demam tidak disertai bintik-bintik perdarahan maupun nyeri sendi.

Page 34: Peper-Demam-Typoid.doc

Sehari sebelum masuk rumah sakit, penderita juga mengalami mencret, dengan

frekuensi 7 kali sehari, tiap mencret kira-kira sebanyak ¼ gelas belimbing. Mencret berupa

cairan kekuningan tidak disertai darah ataupun lendir. Mencret tidak berwarna kehitaman dan

tidak disertai muntah.

Karena keluhannya, penderita dibawa ke dokter umum, diberi 4 macam obat berbentuk

sirup (ibu penderita tidak tahu nama obatnya), masing-masing diberikan 3x1 cth (sendok teh).

Namun karena tidak ada perbaikan, penderita dibawa berobat ke RSHS.

Riwayat kontak dengan penderita batuk lama atau berdarah disangkal. Riwayat berat

badan sulit naik disangkal. Riwayat pernah berkunjung ke tempat endemis malaria disangkal.

Penghuni rumah berjumlah 5 orang, mempunyai 1 MCK. Sumber air minum adalah air ledeng

yang dimasak terlebih dahulu. Anak suka jajan jajanan di sekolah.

Anamnesis imunisasi :

- BCG : 1x

- Polio : 3x

- DPT : 3x

- Hepatitis B : 3x

- Morbili : 1x

III. PEMERIKSAAN FISIK

A. KESAN UMUM

Keadaan umum

Kesan sakit : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos Mentis

Page 35: Peper-Demam-Typoid.doc

Tinggi Badan : 108 cm

Berat Badan : 17 Kg

Status gizi : Baik (98% NCHS)

Tanda Vital

Tekanan Darah : 110/70 mmHg

Nadi : 80 x/menit

Respirasi : 34 x/menit

Suhu : 36,2 0C

B. PEMERIKSAAN KHUSUS

1. Status Dermatologikus : Rose spot a/r Thorax bawah dan Abdomen atas (-)

Edema (-)

Akral : hangat

2. Kepala

Rambut : tidak kusam dan tidak mudah dicabut

Muka : simetris, flushing (-)

Mata (ODS) :

Palpebra : tidak ada kelainan

Page 36: Peper-Demam-Typoid.doc

Konjungtiva : tidak anemis

Sklera : tidak ikterik

Hidung : Pernafasan Cuping Hidung (-), Sekret -/-

Telinga : tidak ada kelainan, sekret -/-

Mulut : Bibir dan mukosa mulut : tidak ada kelainan

Sianosis perioral : (-)

Gigi : tidak ada kelainan

Gusi : perdarahan gusi (-)

Mukosa : tidak ada kelainan

Lidah : typhoid tongue (-), tepi tidak hiperemis, tremor (-)

Tonsil : T1-T1, pharyng tenang tidak hiperemis

2. Leher : KGB leher tidak teraba membesar

Retraksi supra strenal (-)

3. Thorax

Bentuk dan gerak simetris

Retraksi intercostal (-)

I. Pulmo

A. Inspeksi

Bentuk dan gerak : simetris

B.Palpasi

Vocal Fremitus: kiri=kanan

C.Perkusi : Sonor, kiri = kanan,

Page 37: Peper-Demam-Typoid.doc

D. Auskultasi : VBS kiri = kanan,

Crakles : -/-; Wheezing :-/-

Vocal resonanse : tidak meningkat

II. Jantung

A. Inspeksi : iktus kordis tampak

B. Palpasi : iktus kordis teraba di ICS V LMCS, kuat mengangkat

C. Perkusi :

batas kanan jantung : Linea Sternalis

batas kiri jantung: 1 cm Linea Mid Clavicula Sinistra ke arah medial

D. Auskultasi : bunyi jantung S1 S2 murni reguler , Thrill (-), mur mur (-)

Frekuensi Ictus cordis 80x/menit

Bradikardia relatif (-)

5. Abdomen

A. Inspeksi : Datar

Retraksi epigastrium (-)

Kontur usus (-)

B.Palpasi : Lembut

Hepar dan Lien tidak teraba membesar

Nyeri tekan epigastrium (-)

C.Perkusi : Timpani, ruang traube kosong

D. Auskultasi : Bising Usus (+) normal

6. Ekstremitas

Page 38: Peper-Demam-Typoid.doc

Tidak ada deformitas

Capillary refill : < 2 detik

7. Pemeriksaan Neurologikus

Kuduk kaku (-)

Rangsang Meningeal : kaku kuduk (-)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hematologi : (Tanggal 03 April 2006)

Hb : 10,3 gr/dl

Leukosit : 4.400/mm3

Hematokrit : 33%

Trombosit : 129.000/mm3

Tes Widal : (Tanggal 03 April 2006)

S. typhi H : 1/320

S. typhi O : 1/320

Pemeriksaan urine rutin : (Tanggal 03 April 2006)

Berat jenis : 1,020

pH : 6,0

Protein : 75 mg/dl

Page 39: Peper-Demam-Typoid.doc

Reduksi : negatif

bilirubin : negatif

urobilinogen : negatif

nitrit : negatif

keton : 150 mg/dl (++++)

eritrosit : negatif

leukosit : 0 – 1 /lpb

epitel : 1 - 2 /lpb

Hitung jenis leukosit (Tanggal 06 April 2006)

Basofil : 0

Eosinofil : 0

Batang : 0

Segmen : 49

Limfosit : 51

Monosit : 0

V. DIFERENSIAL DIAGNOSIS

Demam thypoid e.c. Salmonella thyphii

Demam thypoid e.c. Salmonella parathyphii

VI. DIAGNOSIS KERJA

Page 40: Peper-Demam-Typoid.doc

Demam thypoid

VII. USUL PEMERIKSAAN

Kultur Salmonella thyphii

Kultur Salmonella parathyphii

VIII. PENATALAKSANAAN

A. Umum

Bedrest / istirahat relatif

Diet makanan lunak dan mudah dicerna, serta rendah serat

B. Khusus

Kloramfenikol: 4x425mg/hari, p.o, diberikan dalam 10 – 14 hari

Paracetamol 3x250mg (bila suhu >38,50C)

C. Pencegahan

Vaksinasi thypoid Ty - 21a, @ 1 kapsul peroral , 1 jam setelah makan pada hari ke 1, 3 ,

dan 5

Sanitasi pribadi :

- Cuci tangan sebelum makan

- Awasi kebiasaan jajan

VIII. PROGNOSIS

Page 41: Peper-Demam-Typoid.doc

Quo ad vitam : ad bonam

Quo ad fungsionam : ad bonam