Peper-Demam-Typoid.doc
-
Upload
de-hidayat -
Category
Documents
-
view
28 -
download
12
Transcript of Peper-Demam-Typoid.doc
REFERAT
“DEMAM TYPHOID”
Oleh :
MIRZA HELTOMI, S.ked
08310196
Pembimbing : dr. Mahbub Muhammady,Sp.A.M.sc
KEPANITRAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ANAK
RSUD TASIKMALAYA FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDARLAMPUNG
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga referat yang berjudul “Demam
Typhoid” ini bisa selesai tepat pada waktu yang telah ditentukan.
Referat ini disusun untuk memenuhi tugas di stase Anak pada Kepaniteraan
Klinik Senior di RSUD Tasikmalaya. Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dr. Mahbub Muhammady, Sp.A, M.sc selaku pembimbing di stase
Anak yang telah memberikan bimbinganya, sehingga saya dapat menyelesaikan referat
ini dengan baik. Dan tidak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada teman-teman
yang ikut membantu dalam penulisan referat ini.
Referat ini tentunya tidak luput dari kesalahan ataupun kekurangan, oleh karena
itu kritik dan saran yang sangat membangun sangat saya harapkan demi perbaikan
kedepannya. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa Fakultas kedokteran
khususnya dan bagi pembaca serta masyarakat pada umumnya.
Tasikmalaya ,23 mei 2013
Mirza Heltomi, S.ked
A. Latar Belakang
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut pada usus
halus yang disebabkan oleh Salmonella enterica serotype typhi (Salmonella typhi).
Demam tifoid ditandai dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai
gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.
( Pramitasari, OP.2013)
Demam typoid salah satu sindrom klinis dari demam entrik yang dihasilkan
organisme Salmonella tertentu. Demam typoid atau typus abdominalis banyak
ditemukan dalam kehidupan masyarakat, baik diperkotaan maupun pedesaan.
Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kualitas yang mendalam dari Higieni
pribadi dan sanitasi lingkungan seperti, Higienie perorangan dan higieni penjamah
makanan yang rendah, lingkungan yang kumuh, kebersihan tempat – tempat umum
(rumah makan, restorant) yang kurang serta prilaku masyarakat yang tidak
mendukung untuk hidup sehat.(KMK no 364 menkes.2006)
Angka kejadian demam tifoid (typhoid fever) diketahui lebih tinggi pada
negara yang sedang berkembang di daerah tropis, sehingga tak heran jika demam
tifoid atau tifus abdominalis banyak ditemukan di negara kita. Di Indonesia sendiri,
demam tifoid masih merupakan penyakit endemik dan menjadi masalah kesehatan
yang serius. Demam tifoid erat kaitannya dengan higiene perorangan dan sanitasi
lingkungan. (Hadinegoro.2011)
Insiden sangat menurun dinegara maju. Di Amerika Serikat sekitar 400
kasus demam typoid dilaporkan setiap tahun, memeberikan insiden tahunan kurang
dari 0,2 per 100.000, yang serupa dengan insiden tahunan di Eropa dan Jepang. Di
Eropa Selatan insiden tahunan adalah 4,3 – 14,5 per 100.000. Di Negara yang sedang
berkembang S. typhi sering merupakan isolat Salmonella yang paling sering, dengan
insiden yang dapat mencapai 500 per 100.00 (0,5%) dan angka mortalitas tinggi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memperkirakan bahwa 12,5 juta kasus
terjadi setiap tahun diseluruh dunia (tidak termasuk Cina). (Ilmu Kesehatan Anak
Nelson 2000)
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus demam tifoid
di seluruh dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu kematian tiap tahunnya.
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi menular yang dapat terjadi pada anak
maupun dewasa. Anak merupakan yang paling rentan terkena demam tifoid,
walaupun gejala yang dialami anak lebih ringan dari dewasa. Di hampir semua
daerah endemik, insidensi demam tifoid banyak terjadi pada anak usia 5-19 tahun.
(Hadinegoro.2011)
Di Indonesia, typoid jarang dijumpai secara epidemis tapi bersifat endemis
dan banyak dijumpai di kota – kota besar. Tidak ada perbedaan yang nyata insidens
typoid pada pria dengan wanita. Insiden tertinggi didapatkan pada remaja dan
dewasa muda. Simanjuntak (1990) mengemukakan bahwa insiden typoid di
Indonesia masih sangat tinggi berkisar 350 – 810 per 100.000 penduduk. Demikian
juga dari telaah kasus demam typoid di rumah sakit besar di Indonesia, menunjukan
angka kesakitan cenderung meningkat setiap tahun dengan rata – rata 500/100.000
penduduk. Angka kematian diperkirakan sekitar 0,6 – 5 % sebagai akibat dari
keterlambatan mendapaat pengobatan serta tinggi biaya pengobatan. (KMK no 364
menkes.2006)
Demam tifoid endemis di negara berkembang khususnya Asia Tenggara.
Sebuah penelitian berbasis populasi yang melibatkan 13 negara di berbagai benua,
melaporkan bahwa selama tahun 2000 terdapat 21.650.974 kasus demam tifoid
dengan angka kematian 10%. Insidens demam tifoid pada anak tertinggi ditemukan
pada kelompok usia 5-15 tahun. Indonesia merupakan salah satu negara dengan
insidens demam tifoid, pada kelompok umur 5-15 tahun dilaporkan 180,3 per
100,000 penduduk.(Sondang Sidabutar & Hindra irawan Satari.2010)
Di Negara yang telah maju typoid masih ada, bersifat sporadic terutama
sehubungan dengan kegiatan wisata ke Negara –negara yang sedang berkembang. Di
USA insiden typoid tidak berbeda antara laki - laki dan wanita. Karier intestinal
kronik lebih banyak dijumpai pada perempuan dengan perbandingan 3,65:1 dengan
laki – laki. Kurang lebih 85% karier ini dijumpai pada wanita diatas 50 tahun. Secara
umum insidens tifoid dilaporkan 75% didapatkan pada umur kurang dari 30 tahun.
Pada anak – anak biasanya diatas 1 tahun dan terbanyak di atas 5 tahun dan
manisfestasi klinik lebih ringan. (KMK no 364 menkes.2006)
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2009, demam tifoid atau
paratifoid menempati urutan ke-3 dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di
rumah sakit tahun 2009 yaitu sebanyak 80.850 kasus, yang meninggal 1.747 orang
dengan Case Fatality Rate sebesar 1,25%. Sedangkan berdasarkan Profil Kesehatan
Indonesia tahun 2010 demam tifoid atau paratifoid juga menempati urutan ke-3 dari
10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit tahun 2010 yaitu sebanyak
41.081 kasus, yang meninggal 274 orang dengan Case Fatality Rate sebesar 0,67 %.
( Pramitasari, OP.2013)
Menurut Riset Kesehatan Dasar Nasional tahun 2007, prevalensi tifoid
klinis nasional sebesar 1,6%. Sedang prevalensi hasil analisa lanjut ini sebesar 1,5%
yang artinya ada kasus tifoid 1.500 per 100.000 penduduk Indonesia.
( Rikesdas.2007)
Sembilan puluh enam persen (96%) kasus demam typoid disebabkan S.
typhi, sisanya S. paratyphi. Perbedaan antara demam tifoid pada anak dan dewasa
adalah mortalitas (kematian) demam tifoid pada anak lebih rendah bila dibandingkan
dengan dewasa. Risiko terjadinya komplikasi fatal terutama dijumpai pada anak
besar dengan gejala klinis berat, yang menyerupai kasus dewasa. Demam tifoid pada
anak terbanyak terjadi pada umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai gejala klinis
ringan. (Hadinegoro.2011)
B. Definisi Demam Typoid
Demam typoid (Typus abdominalis) adalah penyakit infeksi akut yang
biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu
minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. (IKA UI.vol 2.
2007)
Demam typoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut pada
usus yang disebabkan oleh Salmonella enterica serotype typhi (salmonella typhi),
ditandai dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran
pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran. ( Pramitasari, OP.2013)
Demam typoid adalah salah satu yang mencakup dari demam enterik yang
merupakan sindrom klinis sistemik yang dihasilkan oleh organism Salmonella
tertentu. Istilah ini mencakup istilah demam yang disebabkan baik oleh S. typhi dan
demam paratifoid, yang disebabkan oleh S. paratyphi A, B, C , dan kadang serotype
Salmonella lain. Demam typoid , jenis demam yang paling sering dan cenderung
untuk menjadi lebih berat dari pada bentuk yang lain. (Ilmu Kesehatan Anak Nelson
2000)
Jadi demam typoid adalah salah satu bagian dari istilah yang mencakup dari
demam enterik yang disebabkan oleh kuman Salmonella serotype typhi yang bersifat
infeksi sistemik akut ditandai dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai
gangguan saluran pencernaan dengan ataupun tanpa gangguan kesadaran.
C. Etiologi Demam Typoid
Salmonella typhosa, Basil gram negative, bergerak dengan rambut getar,
tidak berspora, mempunyai sekurang – kurangnya tiga macam antigen, yaitu antigen
O (somatik, terdiri dari zat kompleks Lipopolisakarida) antigen H (flagella), antigen
Vi. (IKA UI.vol 2. 2007)
Disebabkan oleh serotype Salmonella typhi dari Salmonella yang berasal
dari Family Enterobakteriasiae. Salmonella ini adalah motil, tidak membentuk spora
tidak berkapsul, termasuk batang gram negative. Kebanyakan strain meragi glukosa,
manosa, dan manitol untuk menghasilkan asam dan gas, tetapi mereka tidak meragi
laktosa dan sukrosa. Organisme ini tumbuh secara aerobic dan mampu tumbuh
secara anaerobic fakultatif. Dapat dibunuh dengan pemanasan sampai 130oF (54,4oC)
selama 1 jam atau 140oF (60oC) selama 15 menit. (Ilmu Kesehatan Anak Nelson
2000)
Basil penyebab tifoid adalah Salmonella typhi dan paratyphi dari genus
Salmonella. Basil ini adalah gram negative, bergerak, tidak berkapsul, tidak
membentuk spora, tetapi memiliki fimbria, bersifat aerob dan anerob fakultatif.
Ukuran antara (2-4) x 0,6µm, suhu optimal untuk tumbuh adalah 37 oC dengan PH
antar 6 – 8, basil ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti
didalam air, es, sampah dan debu. Sedangkan reservoir satu – satunya adalah
manusia yaitu seorang yang sedang sakit atau karier. Basil ini di bunuh dengan
pemanasan ( suhu 60 oC) selam 15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan
khlorinisasi. Masa inkubasi tifoid 10 – 14 hari dan pada anak, masa inkubasi ini lebih
bervariasi berkisar 5 – 40 hari, dengan perjalanan penyakit kadang – kadang juga
tidak teratur. (KMK no 364 menkes.2006)
Kuman ini meragikan glukosa, manitol dan maltose dengan disertai
pembentukan asam dan gas kecuali salmonella typhi yang hanya membuat asam
tanpa pembentukan gas. Tidak membuat indol, tetapi reaksi metal merah positif.
Tidak menghidrolisis urea dan pembentukan H2S. (KMK no 364 menkes.2006)
Telah lama dikenal bahwa basil Salmonella Typhi dan Paratyphi ini
mempunyai struktur yang dapat diketahui secara serologis. (KMK no 364
menkes.2006)
Antigen somatik (O)
Merupakan kompleks fosfolipid protein polisakarida yang tahan terhadap
pendidihan, alkhol dan asam. Aglutinasi O berlangsung lebih lambat dan bersifat
kurang imunogenik, namun mempunyai nilai diagnosis yang tinggi. Titer antibody
yang timbul oleh antigen O ini selalu lebih rendah dari titer antibodi H.
Antigen Flagel (H)
Merupakan protein termolabil dan bersifat sangat imunogenik. Antigen ini
rusak dengan pendidihan dan alkhol, tetapi tidak rusak oleh formaldehid.
Antigen Vi
Merupakan antigen permukaan dan bersifat termolabil. Antibody yang
terbentuk dan menetap lama dalam darah dapat memberi petunjuk bahwa individu
tersebut sebagai pembawa kuman (karier). Antigen Vi terdapat pada S. typhi, S.
paratyphi C, dan S. Dublin.
Jadi demam typoid disebabkan oleh kuman dari genus Salmonella dari
serotype Typhi yang paling banyak hamper 96 % dengan sisanya oleh serotype
Paratyphi, yang cenderung lebih berat.
D. Patogenesis
Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella paratyphi
kedalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman.
Ukuran inokulum yang diperlukan untuk menyebabkan penyakit pada relawan adalah
105 – 109 organisme S. typhi. Sebagian kuman dimusnakan dalam lambung
tergantung asiditas asam lambung ini merupakan penentu penting kerentanan
terhadap Salmonella, dan sebagian lolos masuk kedalam usus selanjutnya
berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik
maka kuman akan menembus sel – sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke
lamina propia, yang terlebih dahulu kumat melekat di mikrovilli tepi bersekat illeum.
Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel – sel fagosit
terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup didalam makrofag karena monosit tidak
mampu menghancurkan basili pada proses penyakit dan selanjutnya dibawa ke
plaque pyeri ileum distal dan membawa organisme ini kedalam kelenjar getah
bening mesentrika (Limfanodi Mesentrika). Selanjutnya melalui ductus torasikus
kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk kedalam sirkulasi darah
( mengakibatkan Bakterimia pertama dan asimtomatik) dan menyebar keseluruh
organ Retikuloendothelial tubuh terutama Hati dan Limpa dan Sumsum tulang. Di
organ – organ ini kuman meninggalkan sel – sel fagosit dan kemudian berkembang
biak diluar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk kedalam sirkulasi darah
lagi mengakibatkan bakterimia kedua kalinya dengan disertai tanda – tanda dan
gejala penyakit infeksi sistemik. (Djoko widodo.2006 dan Ilmu Kesehatan Anak
Nelson 2000)
Didalam hati, kuman masuk kedalam kandung empedu karena rentan
terinfeksi dari aliran darah atau melalui System Biliaris berkembang biak.
Multiplikasi lokal dalam dinding kandung empedu menghasilkan sejumlah besar
salmonella, yang selanjutnya mencapai usus melalui empedu bersama cairan empedu
yang dieskresikan secara “ intermittent” kedalam lumen usus. Sebagian kuman
dikeluarkan melalui feses sebagian lagi masuk kedalam sirkulasi setelah menembus
usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan
hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa
mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi
sistemik seperti; demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas
vascular, gangguan mental, dan koagulasi. (Djoko widodo.2006)
Di dalam plaque peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan hyperplasia
jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Pendarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi pembuluh darah sekitar plaque peyeri yang sedang mengalami nekrosis
dan hyperplasia akibat akumulasi sel – sel mononuclear di dinding usus. Proses
patologis jaringan limfoid dapat berkembang hingga kelapisan otot, serosa usus, dan
dapat menimbulkan perforasi. Endotoksin dapat menempel direseptor endothel
kapiler dengan akibatnya timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,
kardiovaskular, pernapasan dan gangguan organ lainnya. (Djoko widodo.2006)
Kuman salmonella typhi, paratyphi masuk kesaluran cerna melalui makanan
1.1. Skema Patofisiologi Demam Typhoid
E. Patologi
Gangguan nutrisi kurang dari kebetulan tubuh
Sebagian hidup dan menetap
Sebagian dimusnahkan asam lambung
Sebagian masuk usus halus
Peningkatan asam lambung
Intake kurang (madequat)
Di ileum terminalis di limfoid plaque peyeri
Mual, muntah
pendarahan
perforasi
Peritonitis
Nyeri tekan
Gangguan rasa nyaman
Masuk aliran limfe
Masuk dalam kelenjar limfoid mesentrial
Menembus dan masuk aliran darah
Masuk dan bersaing di hati dan limpa
Hepatomegali, splenomegali
Demam Typoid
Dilepas zat pirogen oleh leukosit pada jaringan
yang meradang
Infeksi salmonella typhi, paratyphi dan endotoksin
Gangguan rasa nyaman; panas peningkatan suhu
Sebagian menembus lamina propia
Hiperplasia lempeng plaque peyeri dengan nekrosis dan pengelupasan epitel
yang menutupi, yang menimbulkan ulkus adalah khas. Jaringan mukosa dan limfatik
saluran usus teradang dan nekrosis berat. Ulserasi menyembuh tanpa jaringan parut
adalah lazim. Striktur dan penyumbatan usus sebenarnya tidak pernah terjadi sesudah
demam tipoid. Dapat terjadi pendarahan , lesi radang kadang - kadang dapat
menembus tunika muskularis dan serosa usus dan menyebabkan perforasi. Limfanodi
mesentrika, hati dan limpa hyperemia dan biasanya menunjukan daerah nekrosis
setempat. Hyperplasia jaringan endothelial dengan proliferasi sel mononuclear
merupakan penemuan dominan. Respon mononuclear dapat ditemukan pada sumsum
tulang yang disertai dengan daerah nekrosis fokal. Radang vesika falae adalah
setempat, tidak tetap dan pertengahan dalam proporsi terhadap luasnya multiplikasi
bakteri lokal. Bronchitis lazim. Radang juga dapat ditemukan dalam bentuk abses
terlokalisasi, pneuomonia, atritis septik, osteomielitis, pielonefritis, endoftalmitis,
dan meningitis. (Ilmu Kesehatan Anak Nelson 2000)
F. Manisfestasi Klinis
Masa inkubasi biasanya 7 – 14 hari, tetapi dapat berkisar antara 3 – 30 hari,
tergantung terutama pada besarnya inokulum yang tertelan. Manisfestasi klinis
demam typoid tergantung umur. (Ilmu Kesehatan Anak Nelson 2000)
a. Anak Usia Sekolah dan Remaja
Mulainya gejala tersembunyi. Gejala awal demam, malaise, anoreksia,
mialgia, nyeri kepala dan nyeri perut berkembang selama 2 – 3 hari. Walaupun
diare berkonsistensi sop kacang mungkin ada selama awal perjalanan penyakit,
konstipasi kemudian menjadi gejala yang lebih mencolok. Mual dan muntah
adalah jarang dan memberi kesan komplikasi, terutama jika terjadi pada minggu
kedua atau ketiga. Batuk dan epitaksis mungkin ada. Kelesuan berat dapat terjadi
pada beberapa anak. Demam yang terjadi secara bertingkat menjadi tidak berturun
– turun dan tinggi dalam 1 minggu, sering mencapai 40o C (1040F). (Ilmu
Kesehatan Anak Nelson 2000)
Selama minggu kedua penyakit, demam tinggi bertahan dan kelelahan,
anoreksia dan batuk, dan gejala – gejala perut bertambah parah. Penderita tampak
sangat sakit, bingung dan lesu, mengigau, dan pingsan (stupor) mungkin ada.
Tanda tanda fisik adalah bradikardi relative yang tidak seimbang dengan
tingginya demam. Hepatomegali dan splenomegali dan perut kembung dengan
nyeri difus amat lazim. Pada sekitar 50% penderita dengan demam tipoid, ruam
macula atau macula popular (yaitu bintik merah) tampak pada sekitar hari ke 7
sampai hari ke 10. Lesi biasanya berdiri sendiri, eritematosa, dan diameter 1 – 5
mm, lesi agak timbul dan pada penekanan pucat. Mereka tampak dalam kelompok
10 – 15 lesi pada dada bagian bawah dan abdomen dan berakhir 2 – 3 hari. Pada
penyembuhan meninggalkan warna kulit kecoklatan.(Ilmu Kesehatan Anak
Nelson 2000)
b. Bayi dan Anak Muda (< 5 tahun)
Relatif jarang pada kelompok umur ini. Walaupun sepsis klinis dapat
terjadi, penyakit pada saat datang ringan, membuatnya sukar didiagnosa dan
mungkin tidak terdiagnosa. Demam ringan, malaise, salah interprestasi sebagai
sindrom virus, ditemukan pada bayi dengan tipoid terbukti secara biakan. Diare
lebih lazim pada anak muda dengan demam tipoid dari pada orang dewasa,
membawa pada diagnosis Gastroentritis akut. Yang lain datang dengan tanda –
tanda dan gejala infeksi saluran nafas bawah.( Ilmu Kesehatan Anak Nelson 2000)
c. Neonatus
Disamping kemampuannya menyebabkan absorbsi dan persalinan
premature, demam tipoid selama kehamilan dapat ditularkan secara vertical.
Penyakit neonatus biasanya mulai dalam tiga hari persalinan. Muntah, diare, dan
kembung sering ada. Suhu bervariasi dapat setinggi 40,5 0C. dapat terjadi kejang –
kejang. Hepatomegali, ikterus, anoreksia, dan kehilangan berat badan mungkin
nyata. (Ilmu Kesehatan Anak Nelson 2000)
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10 14 hari. Gejala – gejala
klinis yang timbul sangat bervariasi dan ringan sampai dengan yang berat, dari yang
asimptomatik sampai gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga
kematian. Masa inkubasi yang tersingkat empat hari jika infeksi terjadi melalui
makanan , sedangkan yang lama sampai 30 hari jika infeksi melalui minuman.
Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak
enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat. (Djoko widodo.2006
& IKA UI.vol 2. 2007)
Kemudian menyusul gejala klinis yang menyusul yang biasa ditemukan, yaitu:
1. Demam
Pada kasus – kasu yang khas demam berlangsung selama tiga minggu , bersifat
febris remiten dan suhu tidak beberapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu
tubuh berangsur – angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun tiap pagi hari
dan meningkat lagi pada sore hari dan malam hari. Dalam minggu kedua,
penderita terus dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu badan
berangsur – angsur turun dan normal kembali pada akhir mingggu ketiga.(IKA
UI.vol 2. 2007)
2. Gangguan Pada Saluran Pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah – pecah
(ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya
kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan
perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri perabaan.
Biasanya didapat konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat
terjadi diare.(IKA UI.vol 2. 2007)
3. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu
apatis sampai samnolen, jarang terjadi spoor, koma atau gelisah.( IKA UI.vol 2.
2007)
G. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu: (Prasetyo., Ismoedijanto, 2010)
a. Pemeriksaan Darah Tepi
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit
normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan
hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan
aneosinofilia dan limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut. Penelitian oleh
beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta
laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai
perkiraan yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita
demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif
menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid.
Sebuah normokromik, anemia normositik sering berkembang setelah
beberapa minggu sakit dan berhubungan dengan kehilangan darah usus atau
penekanan sumsum tulang. Jumlah leukosit darah sering rendah dalam kaitannya
dengan demam dan toksisitas, tapi ada rentang yang luas dalam jumlah; leukopenia,
biasanya tidak kurang dari 2.500 sel/mm3, sering ditemukan setelah 1 atau 2 minggu
penyakit. Ketika abses piogenik berkembang, leukositosis dapat mencapai 20.000-
25.000 / mm3. Trombositopenia mungkin mencolok dan bertahan selama 1 minggu.
Hasil tes fungsi hati sering terganggu. Proteinuria adalah umum. Leukosit tinja dan
darah tinja sangat umum.
b. Identifikasi Kuman melalui Isolasi / Biakan
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S.
typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum
atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan
lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit,
sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses. Hasil biakan yang
positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan
demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi:
(1) jumlah darah yang diambil
(2) perbandingan volume darah dari media empedu
(3) waktu pengambilan darah
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak
kecil dibutuhkan. 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan
untuk kultur hanya sekitar 0.5-1mL.Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih
sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat
menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila
dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit
dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya.
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan
media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang
sangat minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu
pengambilan spesimen yang tidak tepat. Walaupun spesifisitasnya tinggi,
pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala
berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk
dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.
c. Identifikasi Kuman Melalui Uji Serologi
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis
demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S.
typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan
untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa
antikoagulan. Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan
mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi
masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas
pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen,
jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen
tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal)
dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan
penyakit). (Whardani dkk.2005)
Berikut adalah macam-macam uji serologis yang dapat membantu
menegakan diagnosis demam tifoid :
1. Uji Widal
Tes ini mengukur tingkat antibodi terhadap agglutinating O dan H
antigen. Tingkat diukur dengan menggunakan dua kali lipat pengenceran serum
dalam tabung uji yang besar. Biasanya, O antibodi muncul pada hari 6-8 dan
antibodi H pada hari 10-12 setelah onset penyakit. Tes ini biasanya dilakukan
pada serum akut (pada kontak pertama dengan pasien). Sebuah serum sembuh
sebaiknya juga dapat dikumpulkan sehingga titrasi dipasangkan dapat
dilakukan. Dalam prakteknya, bagaimanapun, ini sering sulit. Setidaknya 1 ml
darah harus dikumpulkan setiap kali untuk memiliki jumlah yang cukup serum.
Dalam keadaan luar biasa tes dapat dilakukan pada plasma tanpa efek buruk
pada hasilnya.(WHO, V&B.2003)
Tes hanya memiliki sensitivitas dan spesifisitas moderat. Hal ini dapat
menjadi negatif pada 30% kasus budaya terbukti demam tifoid. Ini mungkin
karena terapi antibiotik sebelumnya yang telah menumpulkan respon antibodi.
Di sisi lain, S. typhi saham O dan H antigen dengan serotipe Salmonella lain
dan memiliki cross-bereaksi dengan epitop Enterobacteriacae lain, dan ini
dapat menyebabkan hasil positif palsu. Hasil tersebut juga dapat terjadi dalam
kondisi klinis lain, misalnya malaria, tifus, bakteremia yang disebabkan oleh
organisme lain, dan sirosis. Di daerah endemisitas sering ada tingkat latar
belakang rendah antibodi dalam populasi normal. Menentukan yang sesuai
cut-off untuk hasil positif bisa sulit karena itu bervariasi antara daerah dan
antar waktu di daerah tertentu. (WHO, Vaccines and Biologicals.,2003)
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan
sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi
agglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-
beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam
jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang
masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide
test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan
digunakan dalam prosedur. (Whardani dkk.2005)
penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit
tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan. Penelitian
pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas
masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40 dengan nilai prediksi
positif sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar 99.2%.14 Beberapa
penelitian pada kasus demam tifoid anak dengan hasil biakan positif, ternyata
hanya didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas
sebesar 76-83%. penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang
lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan.
(Whardani dkk.2005).
Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas
dan spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40 dengan
nilai prediksi positif sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar
99.2%.14 Beberapa penelitian pada kasus demam tifoid anak dengan hasil
biakan positif, ternyata hanya didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-
74% dan spesifisitas sebesar 76-83%. yang digunakan. (Whardani dkk.2005)
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta
sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam
penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang
positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid
(penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh
dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena
belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk
mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline
titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti
Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak
sehat.(Whardani dkk.2005)
2. Test Tubex
Test Tubex adalah pemeriksaan diagnostic in vitro semikuantitatif yang
cepat dan mudah untuk deteksi demam tifoid akut. Pemeriksaan ini
mendeteksi antibody IgM terhadap antigen 09 LPS Salmonella typhi.
Sensistivitas dan spesifikasi pemeriksaan adalah > 95 % dan >93 %. (WHO,
Vaccines and Biologicals.,2003)
Prinsip pemeriksaan yang digunakan adalah Inhibtion Magnetic
Binding Immunoassay (IMBI). Antibody IgM terhadap antigen 09 LPS
dideteksi melalu kemampuannya untuk menghambat antara kedua tipe partikel
reagen yaitu indikator mikrosfer lateks yang disensitisasi dengan anti
monoclonal anti 09 (reagen berwarna biru) dan mikrosfer magnetic yang
disensitisasi dengan L Salmonella typhi (reagen berwarna coklat). Setelah
sedimentasi partikel dengan kekuatan magnet konsentrasi partikel indikator
yang tersisa dalam cairan menunjukan daya inhibisi. Tingkat inhibisi yang
dihasilkan adalah setara dengan konsentrasi antibody Igm Salmonella Typhi
dalam sampel yang dibaca secara visual dengan membandingkan warna akhir
reaksi terhadap skala warna. (WHO, Vaccines and Biologicals.,2003)
Keunggulan Pemeriksaan Tubex TF: (WHO, Vaccines and
Biologicals.,2003)
1. Mendeteksi secara dini infeksi akut akibat Salmonella Typhi, karena
antibody IgM muculnya pada hari 3 – 4 terjadinya demam
2. Mempunyai sensitivitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella (>95%)
3. Hanya dibutuhkan sampel darah sedikit
4. Hasil dapat diperoleh lebih cepat.
Interprestasi hasil dari tes tubex TF adalah: (WHO, Vaccines and
Biologicals.,2003)
1. <2 – 3 menunjukan Negatif Borderline, tidak menunjukan infeksi Demam
tipoid pengukuran tidak dapat disimpulkan. Lakukan pengambilan darah
ulang 3 – 5 hari kemudian
2. 4 – 5 menunjukan Positif, indikasi infeksi Demam tipoid
3. > 6 menunjukan Positif, dengan indikasi Kuat infeksi Demam tipoid
Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel
yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan
dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya
ditemukan pada Salmonella serogrup D. ( Gunawan, SG, dkk. 2007)
Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya
mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam
waktu beberapa menit. Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan
tes TUBEX® ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes
ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.
( Gunawan, SG, dkk. 2007)
Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100%
dan spesifisitas 100%.15 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78%
dan spesifisitas sebesar 89%.9 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal,
dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan
sederhana, terutama di Negara berkembang.
3. Metode Enzim Immuniassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi
spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap
IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan
deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase
pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi
demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan
tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi.
Pada metode Typhidot-M® yang merupakan modifikasi dari metode
Typhidot® telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan
pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M
spesifik.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-
tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan
dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur
positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan
bahwa Typhidot-M ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama
dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan
akurat. Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi
silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan
membrane nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus
sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai
fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman.
Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan
nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan
bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam
setelah penerimaan serum pasien.
4. Metode Enzime-Linked Immunirbent Assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk
melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG
terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji
ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam
spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk
(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73%
pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang.
Pada penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada
sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95%
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%.18 Penelitian oleh Fadeel dkk
(2004) terhadap sampel. urine penderita demam tifoid mendapatkan
sensitivitas uji ini sebesar 100% pada deteksi antigen. Vi serta masing-masing
44% pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd.
Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan
penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama
bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu
diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.
5. Dipstick
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda
dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi
dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S.
typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM antihuman immobilized
sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah
distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di
tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini
sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5%
bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan
nilai prediksi positif sebesar 94.6%.20 Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002)
terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar
90% dan spesifisitas sebesar 96%.21 Penelitian oleh Hatta dkk (2002)
mendapatkan rerata sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada
pemeriksaan serial yang menunjukkan adanya serokonversi pada penderita
demam tifoid.22 Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat
diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang
menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat
dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat
pemeriksaan kultur secara luas.
H. Gold Standar Diagnosis
Diagnosis pasti demam tifoid ditegakkan dengan ditemukannya kuman
Salmonella typhi dari biakan darah, urin, tinja, sumsum tulang atau dari aspirat
duodenum. Tetapi pemeriksaan tersebut membutuhkan waktu yang lama sehingga
secara klinik tidak menjadi patokan untuk memberikan terapi. Dengan demikian
secara praktis diagnosis klinis demam tifoid telah dapat ditegakkan berdasarkan
gejala klinik, pemeriksaan darah tepi, dan pemeriksaan serologis. Macam-macam
spesimen yang digunakan untuk kultur : (Prasetyo., Ismoedijanto, 2010):
1. Kultur & Identifikasi S.typhi dalam darah
1) Baku emas (mahal, waktu lama)
2) Waktu pengambilan: mg I demam
3) Prosedur pemàkaian isolasi kuman, identifikasi dgn biokimia, tes serologik
4) (-) palsu : waktu tdk tepat, pemakaian antimikroba, spesimen sedikit
5) Sensitiviti terhadap pasien dengan kultur positif mencapai 65.3% pada hari ke
6-7 demam (43.5% /hari ke 4-6, 92.9% /hari ke 7–9 & 100% /hari ke 10)
2. Kultur Kultur & Identifikasi S.typhi dalam tinja
1) Waktu pengambilan: mg II & III demam
2) Spesimen : tinja segar, tdk tercampur urin, wadah steril, px < 2 jam
3) Prosedur pem à isolasi kuman, identifikasi dgn biokimia, tes serologik
4) Hasil (+) à mendukung dx jika gejala klinis (+)
3. Kultur & Identifikasi S.typhi dalam urin
1) Waktu pengambilan: mg II & III demam
2) Spesimen : urin porsi tengah, pagi, wadah steril
3) Prosedur pem à isolasi kuman, identifikasi dgn biokimia, tes serologik
I. Penegakan Diagnosis
Pada pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan adanya penurunan kadar
hemoglobin, trombositopenia, kenaikan LED, aneosinofilia, limfopenia, leukopenia,
leukosit normal, hingga leukositosis.( Dimas.S.H.2012)
Gold standard untuk menegakkan diagnosis demam tifoid adalah
pemeriksaan kultur darah (biakan empedu) untuk Salmonella typhi. Pemeriksaan
kultur darah biasanya akan memberikan hasil positif pada minggu pertama penyakit.
Hal ini bahkan dapat ditemukan pada 80% pasien yang tidak diobati antibiotik.
Pemeriksaan lain untuk demam tifoid adalah uji serologi Widal dan deteksi antibodi
IgM Salmonella typhi dalam serum.( Dimas.S.H.2012)
Uji serologi widal mendeteksi adanya antibodi aglutinasi terhadap antigen O
yang berasal dari somatik dan antigen H yang berasal dari flagella Salmonella typhi.
Diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan apabila ditemukan titer O aglutinin sekali
periksa mencapai ≥ 1/200 atau terdapat kenaikan 4 kali pada titer sepasang. Apabila
hasil tes widal menunjukkan hasil negatif, maka hal tersebut tidak menyingkirkan
kemungkinan diagnosis demam tifoid.( Dimas.S.H.2012)
J. Diagnosis Banding
bila terdapat demam yang lebih dari satu minggu sedangkan penyakit yang
dapat menerangkan penyebab demam tersebut belum jelas, perlulah dipertimbangkan
pula seperti penyakit – penyakit berikut ini; influenza, tuberculosis pneumonia
lobaris, malaria. ( IKA UI.vol 2. 2007)
selama stadium awal demam diagnosis klinis dapat terkelirukan dengan
gastroenteritis, sindrom virus, bronchitis atau brokopneumonia, selanjutnya diagnosis
banding meliputi sepsis dengan bakteri pathogen lainnya; infeksi yang disebabkan
mikroorganisme intraseluler seperti Tuberkulosis, Bruselosis, Tularemia,
Leptospirosis, dan penyakit Riketcsia. Infeksi virus seperti mononucleosis infeksiosa
dan hepatitis anikterik dan keganasan seperti leukemia dan limfoma. (Ilmu
Kesehatan Anak Nelson 2000)
K. Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi di dalam :
Komplikasi intestinal
1. Perdarahan usus
2. Perforasi usus
3. Ileus paralitik
Komplikasi ekstraintetstinal
1. Komplikasi kardiovaskular: kegagalan sirkulasi perifer (renjatan/sepsis),
miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
2. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia dan atau koagulasi
intravaskular diseminata dan sindrom uremia hemoltilik.
3. Komplikasi paru: penuomonia, empiema dan peluritis.
4. Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis.
5. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis.
6. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis.
7.Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, mengingismus, meningitis, polyneuritis
perifer, sindrim Guillain-Barre, psikosis dan sindrom katatonia
Pada anak-anak dengan demam tifoid, komplikasi lebih jarang terjadi. Komplikasi
lebih sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan umum, bila
perawatan pasien kurang sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
Pramitasari, OP.2013,. Faktor Resiko Kejadian Penyakit Demam Tifoid Pada Penderita
Yang Dirawat di RSUD Ungaran. Jurnal Kesehatan Masyarakat 2013, Volume 2,
Nomor 1 tahun 2013,. Diakses pada tanggal 5 februari 2015 di
http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm
KMK.,No. 364/MENKES/SK/V/2006., Tentang Pedoman Pengendalian Demam
Typoid. Diakses pada 5 februari 2015.,
http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes/KMK%20No.%20364%20ttg
%20Pedoman%20Pengendalian%20Demam%20Tifoid.pdf
Hadinegoro.,SR.,Prof.DR.dr SpA.,2011. Demam Tifoid Pada Anank : Apa Yang Perlu
Diketahui?. Jurnal Manajement Modern dan Kesehatan Masyarakat 2011. Diakses
pada 5 februari 2015 di www.Itokindo.org
Sidabutar.S & Satari.I.H.,2010.,Pilihan Terapi Demam Tipoid Pada Anak.,dikutip dari Textbook : Ochiai RL, Camilo J, Acosta CJ, Holliday DMC, Baiqing D, Bhattacharya SK, dkk. Study of typhoid fever in five Asian countries: disease burden and implications for controls. Bull World Health Organ 2008;86:260-8.
Ilmu Kesehatan Anak Nelson.Vol.2/editor, Richard E.Berhman, Robert M.Kliegmann,
Ann M.Ed 15. Jakarta.1999
Ilmu Kesehatan Anak FKUI.Vol2/editor, Rusepno Hasan, Husein Alatas.cetakan
kesebelas. Jakarta 2007
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI.2007.,Riset Kesehatan Dasar Tahun
2007., Jakarta.,2007
Djoko Widodo.2006.,Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Ed. IV.,Jakarta 2006.
Prasetyo, Risky Vitria., Ismoedijanto. 2010. Metode diagnostik demam tifoid pada
anak. Divisi tropik dan penyakit infeksi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/
RSU dr.Soetomo Surabaya
Wardhani, puspa., Prihatani., Probohusodo, M.Y. 2005. Kemampuan uji tabung widal
menggunakan antigen import dan antigen lokal. ndonesian Journal of Clinical
Pathology and Medical Laboratory, Vol. 12, No. 1, Nov 2005: 31-37
Gunawan, SG, dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: FKUI.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2006, Standar Pelayanan
Medik, PB PABDI, Jakarta.
Dimas.S.H.2012.,Demam Typoid. Jurnal Kesehatan Kedokteran Universitas Islam
Indonesia. Mengutif dari.,Cammie F. Lesser, Samuel I. Miller, 2005. Salmonellosis.
Harrison’s Principles of Internal Medicine (16th ed), 897-900.
Dimas.S.H.2012.,Demam Typoid. Jurnal Kesehatan Kedokteran Universitas Islam
Indonesia. Mengutif dari.,Chambers, H.F., 2006. Infectious Disease: Bacterial and
Chlamydial. Current Medical Diagnosis and Treatment (45th ed), 1425-1426.
Dimas.S.H.2012.,Demam Typoid. Jurnal Kesehatan Kedokteran Universitas Islam
Indonesia. Mengutif dari.,Brusch, J.L., 2010, Typhoid Fever.
http://emedicine.medscape.com/article/231135-overview.
Dimas.S.H.2012.,Demam Typoid. Jurnal Kesehatan Kedokteran Universitas Islam
Indonesia. Mengutif dari.,Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008, Buku Ajar Infeksi
dan Pediatri Tropis (2nd ed), Badan Penerbit IDAI, Jakarta.
WHO, Vaccines and Biologicals.,2003.,The Diagnosis, Treatment and Prevention of
Thypoid Feve. Dikutif dari Textbook : Clegg A, Passey M, Omena MK, Karigifa K.,
Sueve N. Re evaluation of the Widal agglutination test in response to the changing
pattern of typhoid fever in the highlands of Papua New Guinea. Acta Tropica
1994;57(4):255-63
WHO, Vaccines and Biologicals.,2003.,The Diagnosis, Treatment and Prevention of Thypoid Feve. Dikutif dari Textbook : Lim PL, Tam FCH, Cheong YM, Yegathesan M. One-step 2 minute test to detect typhoid-specific antibodies based on particle separation in tubes. Journal of Clinical Microbiology 1998; 36(8): 2271-8.
I. KETERANGAN UMUM
Nama : R
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 6 tahun
Alamat : Kp. KB Sawo Rt 03/07, Ciparay, Bandung
Agama : Islam
Tanggal masuk RSHS : 06 April 2006
Tanggal pemeriksaan : 11 April 2006
II. ANAMNESIS
Keluhan utama :
Panas badan
Anamnesis Khusus :
Sejak 8 hari sebelum masuk rumah sakit, penderita mengalami panas badan yang
awalnya tidak begitu tinggi, namun semakin lama panas semakin tinggi terutama pada malam
hari. Pada pagi harinya demam turun namun panasnya belum hilang.
Demam tidak disertai menggigil,
Demam tidak disertai batuk pilek,
Demam tidak disertai batuk lebih dari 3 minggu, maupun riwayat berat badan yang
sulit naik.
Demam tidak disertai sesak,
Demam tidak disertai kejang maupun penurunan kesadaran,
Demam tidak disertai gangguan buang air kecil,
Demam tidak disertai dengan penurunan berat badan yang tiba-tiba,
Demam tidak disertai bintik-bintik perdarahan maupun nyeri sendi.
Sehari sebelum masuk rumah sakit, penderita juga mengalami mencret, dengan
frekuensi 7 kali sehari, tiap mencret kira-kira sebanyak ¼ gelas belimbing. Mencret berupa
cairan kekuningan tidak disertai darah ataupun lendir. Mencret tidak berwarna kehitaman dan
tidak disertai muntah.
Karena keluhannya, penderita dibawa ke dokter umum, diberi 4 macam obat berbentuk
sirup (ibu penderita tidak tahu nama obatnya), masing-masing diberikan 3x1 cth (sendok teh).
Namun karena tidak ada perbaikan, penderita dibawa berobat ke RSHS.
Riwayat kontak dengan penderita batuk lama atau berdarah disangkal. Riwayat berat
badan sulit naik disangkal. Riwayat pernah berkunjung ke tempat endemis malaria disangkal.
Penghuni rumah berjumlah 5 orang, mempunyai 1 MCK. Sumber air minum adalah air ledeng
yang dimasak terlebih dahulu. Anak suka jajan jajanan di sekolah.
Anamnesis imunisasi :
- BCG : 1x
- Polio : 3x
- DPT : 3x
- Hepatitis B : 3x
- Morbili : 1x
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. KESAN UMUM
Keadaan umum
Kesan sakit : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tinggi Badan : 108 cm
Berat Badan : 17 Kg
Status gizi : Baik (98% NCHS)
Tanda Vital
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Respirasi : 34 x/menit
Suhu : 36,2 0C
B. PEMERIKSAAN KHUSUS
1. Status Dermatologikus : Rose spot a/r Thorax bawah dan Abdomen atas (-)
Edema (-)
Akral : hangat
2. Kepala
Rambut : tidak kusam dan tidak mudah dicabut
Muka : simetris, flushing (-)
Mata (ODS) :
Palpebra : tidak ada kelainan
Konjungtiva : tidak anemis
Sklera : tidak ikterik
Hidung : Pernafasan Cuping Hidung (-), Sekret -/-
Telinga : tidak ada kelainan, sekret -/-
Mulut : Bibir dan mukosa mulut : tidak ada kelainan
Sianosis perioral : (-)
Gigi : tidak ada kelainan
Gusi : perdarahan gusi (-)
Mukosa : tidak ada kelainan
Lidah : typhoid tongue (-), tepi tidak hiperemis, tremor (-)
Tonsil : T1-T1, pharyng tenang tidak hiperemis
2. Leher : KGB leher tidak teraba membesar
Retraksi supra strenal (-)
3. Thorax
Bentuk dan gerak simetris
Retraksi intercostal (-)
I. Pulmo
A. Inspeksi
Bentuk dan gerak : simetris
B.Palpasi
Vocal Fremitus: kiri=kanan
C.Perkusi : Sonor, kiri = kanan,
D. Auskultasi : VBS kiri = kanan,
Crakles : -/-; Wheezing :-/-
Vocal resonanse : tidak meningkat
II. Jantung
A. Inspeksi : iktus kordis tampak
B. Palpasi : iktus kordis teraba di ICS V LMCS, kuat mengangkat
C. Perkusi :
batas kanan jantung : Linea Sternalis
batas kiri jantung: 1 cm Linea Mid Clavicula Sinistra ke arah medial
D. Auskultasi : bunyi jantung S1 S2 murni reguler , Thrill (-), mur mur (-)
Frekuensi Ictus cordis 80x/menit
Bradikardia relatif (-)
5. Abdomen
A. Inspeksi : Datar
Retraksi epigastrium (-)
Kontur usus (-)
B.Palpasi : Lembut
Hepar dan Lien tidak teraba membesar
Nyeri tekan epigastrium (-)
C.Perkusi : Timpani, ruang traube kosong
D. Auskultasi : Bising Usus (+) normal
6. Ekstremitas
Tidak ada deformitas
Capillary refill : < 2 detik
7. Pemeriksaan Neurologikus
Kuduk kaku (-)
Rangsang Meningeal : kaku kuduk (-)
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hematologi : (Tanggal 03 April 2006)
Hb : 10,3 gr/dl
Leukosit : 4.400/mm3
Hematokrit : 33%
Trombosit : 129.000/mm3
Tes Widal : (Tanggal 03 April 2006)
S. typhi H : 1/320
S. typhi O : 1/320
Pemeriksaan urine rutin : (Tanggal 03 April 2006)
Berat jenis : 1,020
pH : 6,0
Protein : 75 mg/dl
Reduksi : negatif
bilirubin : negatif
urobilinogen : negatif
nitrit : negatif
keton : 150 mg/dl (++++)
eritrosit : negatif
leukosit : 0 – 1 /lpb
epitel : 1 - 2 /lpb
Hitung jenis leukosit (Tanggal 06 April 2006)
Basofil : 0
Eosinofil : 0
Batang : 0
Segmen : 49
Limfosit : 51
Monosit : 0
V. DIFERENSIAL DIAGNOSIS
Demam thypoid e.c. Salmonella thyphii
Demam thypoid e.c. Salmonella parathyphii
VI. DIAGNOSIS KERJA
Demam thypoid
VII. USUL PEMERIKSAAN
Kultur Salmonella thyphii
Kultur Salmonella parathyphii
VIII. PENATALAKSANAAN
A. Umum
Bedrest / istirahat relatif
Diet makanan lunak dan mudah dicerna, serta rendah serat
B. Khusus
Kloramfenikol: 4x425mg/hari, p.o, diberikan dalam 10 – 14 hari
Paracetamol 3x250mg (bila suhu >38,50C)
C. Pencegahan
Vaksinasi thypoid Ty - 21a, @ 1 kapsul peroral , 1 jam setelah makan pada hari ke 1, 3 ,
dan 5
Sanitasi pribadi :
- Cuci tangan sebelum makan
- Awasi kebiasaan jajan
VIII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad fungsionam : ad bonam