PENYUSUNAN STANDAR KOMPETENSI APARATUR SIPIL...

download PENYUSUNAN STANDAR KOMPETENSI APARATUR SIPIL NEGARAdkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/Kajian-Penyusunan-Standar... · Aparatur Sipil Negara di Pemerintah Daerah dalam Menghadapi

If you can't read please download the document

Transcript of PENYUSUNAN STANDAR KOMPETENSI APARATUR SIPIL...

  • PENYUSUNAN

    STANDAR KOMPETENSI

    APARATUR SIPIL NEGARA

    DI PEMERINTAH DAERAH

    DALAM MENGHADAPI ASEAN ECONOMIC COMMUNITY

    PUSAT KAJIAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA

    2015

    PEDULI INOVATIF INTEGRITAS PROFESIONAL

  • i

    PENYUSUNAN STANDAR KOMPETENSI APARATUR SIPIL

    NEGARA DI PEMERINTAH DAERAH DALAM MENGHADAPI

    ASEAN ECONOMIC COMMUNITY

    PUSAT KAJIAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

    LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA

    2015

  • ii

    Penyusunan Standar Kompetensi Aparatur Sipil Negara di Pemerintah Daerah

    dalam Menghadapi ASEAN Economic Community

    Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah, 2015

    Editor | Widhi Novianto

    Tim Penyusun | Ridwan Rajab, Ani Suprihartini, Widhi Novianto, Edy Sutrisno,

    Tony Murdianto Hidayat, Maria Dika, Rico Hermawan, Rusman Nurjaman, Tri

    Murwaningsih, Nurlina, Dewi Prakarti Utami, Rita Dwi Kartika Utami, M. Imam

    Alfie Syarien

    Desain Sampul | Maria Dika

    Layout | Maria Dika, Tony Murdianto Hidayat

    Gambar sampul diperoleh dari:

    http://coverdocument.blogspot.com/2014/06/background-cover-a4_2509.html

    http://duniaperpustakaan.com/wp-content/uploads/2013/06/kerjasama.jpg

    Diterbitkan oleh

    Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah

    Lembaga Administrasi Negara

    Jalan Veteran Nomor 10 Jakarta Pusat 10110

    Telp. (021) 3868201-05 Ext. 112-116, Fax. (021) 3866857

    Email: [email protected] Web: dkk.lan.go.id

    Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

    Widhi Novianto (Editor).

    Cetakan I, Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah LAN RI, Jakarta.

    x + 218; 15,8 cm x 24,1 cm

    ISBN: 978-979-1301-33-6

    http://coverdocument.blogspot.com/2014/06/background-cover-a4_2509.htmlhttp://duniaperpustakaan.com/wp-content/uploads/2013/06/kerjasama.jpgmailto:[email protected]

  • iii

    SAMBUTAN

    KEPALA LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA

    Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, selaku

    Kepala Lembaga Administrasi Negara RI, saya menyambut baik dan

    menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Pusat Kajian

    Desentralisasi dan Otonomi Daerah Lembaga Administrasi Negara yang

    telah berhasil menyelesaikan Kajian Penyusunan Standar Kompetensi

    Aparatur Sipil Negara di Pemerintah Daerah dalam Menghadapi ASEAN

    Economic Community.

    Sebagai sebuah konsep integrasi ekonomi ASEAN, ASEAN

    Economic Community (AEC) akan menjadi babak baru dimulainya

    hubungan antarnegara ASEAN. Berkaitan dengan hal ini, sudah

    seharusnya Pemerintah melakukan berbagai upaya mempersiapkan diri

    menghadapi AEC. Pemerintah sebagai penyelenggara negara yang

    memiliki fungsi dalam hal regulasi maupun pelayanan memegang

    peranan yang sangat penting dalam merespons dinamika tersebut.

    Implikasi pelaksanaan AEC tidak hanya terjadi pada tataran Pemerintah

    Pusat, namun juga Pemerintah Daerah sehingga daerah seharusnya

    memiliki daya saing yang kuat dan mampu bersaing pada era arus bebas

    barang, jasa, dan investasi tersebut.

    Di sektor pemerintahan sendiri, Undang-Undang Nomor 5 Tahun

    2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) memberikan semangat

    perubahan bahwa ASN merupakan suatu profesi dan diisi oleh sumber

    daya manusia yang memiliki kompetensi. Berdasarkan UU tersebut, ASN

    harus memiliki kompetensi manajerial, kompetensi teknis, dan

    kompetensi sosial-kultural.

    Menyadari adanya tantangan menghadapi AEC dan implementasi

    UU Aparatur Sipil Negara, Lembaga Administrasi Negara melalui Pusat

    Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah memandang perlu untuk

    melakukan kajian Penyusunan Standar Kompetensi Aparatur Sipil Negara

  • iv

    di Pemerintah Daerah dalam menghadapi AEC. Kajian ini berfokus pada

    penyusunan standar kompetensi teknis bidang perindustrian dan

    perdagangan bagi pemangku Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT). Kompetensi

    teknis menjadi fokus karena dalam hal meningkatkan daya saing

    menghadapi AEC, ASN semestinya memiliki kompetensi teknis yang

    mampu merespons lingkungan strategis dan tidak hanya berdasarkan

    tugas fungsi jabatan saja. Sedangkan, bidang perindustrian dan

    perdagangan merupakan isu penting yang perlu terus diperkuat dalam

    menghadapi arus bebas barang dan jasa yang berlaku pada AEC.

    Dalam rangka mempersiapkan diri menghadapi AEC tersebut,

    kajian ini memberikan deskripsi kondisi daerah, identifikasi kompetensi

    teknis yang relevan berdasarkan lingkungan strategis di level kebijakan

    dan praktis, serta rencana aksi sebagai tindak lanjut kajian ini.

    Akhir kata, semoga hasil kajian ini dapat bermanfaat dan

    memberikan khazanah yang berguna bagi setiap pembaca khususnya

    dan stakeholders LAN pada umumnya.

    Jakarta, Desember 2015

    Dr. Adi Suryanto, M.Si

  • v

    KATA PENGANTAR

    Integrasi kawasan ASEAN akan memasuki babak baru dengan

    diberlakukannya ASEAN Economic Community (AEC). Penelitian ini

    berargumen bahwa negara justru semakin penting dalam konteks

    integrasi ekonomi di kawasan. Negara berfungsi untuk meregulasi

    kebijakan-kebijakan domestik, mengefektifkan pelayanan publik, dan

    memfasilitasi pemerataan ekonomi agar tidak muncul ketimpangan.

    Dalam konteks AEC, peran-peran tersebut membutuhkan aparatur yang

    siap untuk menghadapi integrasi ekonomi regional. Namun demikian,

    masih terdapat sejumlah catatan yang menunjukkan bahwa daya saing

    institusional pemerintah masih belum kompatibel dengan AEC.

    Komitmen pemerintah untuk membenahi birokrasi dimanifestasikan pada

    Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

    Lahirnya UU tersebut merupakan tonggak keberhasilan reformasi

    birokrasi dan juga lahirnya Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berbasis

    profesionalisme dan kompetensi, serta memenuhi kualifikasi dalam

    menjalankan jabatannya. UU tersebut mengatur bahwa ASN harus

    memiliki 3 (tiga) kompetensi, meliputi kompetensi teknis, kompetensi

    manajerial, dan kompetensi sosial kultural. Sejalan dengan implementasi

    Undang-Undang Aparatur Sipil Negara dalam konteks AEC, maka

    diperlukan penyusunan kompetensi Aparatur Sipil Negara, khususnya

    kompetensi teknis bagi Aparatur Sipil Negara Jabatan Pimpinan Tinggi di

    Pemerintah Daerah dalam menghadapi liberalisasi ekonomi. Dalam hal

    ini sektor perdagangan dan perindustrian dipilih karena isu di kedua

    sektor tersebut sangat krusial dalam pelaksanaan AEC dan Indonesia

    masih cukup tertinggal dari Negara-negara ASEAN lainnya.

    Penyusunan standar kompetensi ASN di Pemerintah Daerah ini menarik

    karena selain mempertimbangkan tugas dan fungsi ASN seperti yang

    selama ini dilakukan, proses penyusunan standar kompetensi juga

    mempertimbangkan isu-isu strategis yang dihadapi ASN di Pemerintah

    Daerah, seperti AEC Blueprint, Nawa Cita, aspek lingkungan strategis

    sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah

  • vi

    Nasional (RPJMN 2015-2019), dan Rencana Pembangunan Jangka

    Menengah Daerah (RPJMD) pada lokus kajian.

    Hasil kajian ini memberikan deskripsi kondisi empiris yang harus dihadapi

    oleh JPT di Pemerintah Daerah, identifikasi kompetensi teknis yang

    relevan dibutuhkan pada bidang perindustrian dan perdagangan, serta

    rencana aksi sebagai tindak lanjut kajian.

    Kami atas nama tim kajian mengucapkan terima kasih dan penghargaan

    setinggi-tingginya kepada Kementerian Perdagangan, Kementerian

    Perindustrian, Badan Kepegawaian Negara, Provinsi Kepulauan Riau,

    Provinsi Jawa Timur, Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Nusa Tenggara

    Barat, ASEAN Studies Center UGM, KADIN Indonesia, KADIN Daerah,

    CORE Indonesia, serta semua pihak yang telah bersedia bekerja sama

    dalam penyusunan kajian ini.

    Akhir kata, semoga kajian ini dapat bermanfaat bagi pemerintah pusat,

    pemerintah daerah, dan masyarakat luas. Kritik dan saran untuk

    penyempurnaan buku ini sangat kami harapkan.

    Jakarta, Desember 2015

    Sri Hadiati WK, S.H., M.B.A

    Deputi Bidang Kajian Kebijakan

    Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia

  • vii

    DAFTAR ISI

    Halaman Sampul ....................................................................................................... i

    Sambutan Kepala Lembaga Administrasi Negara RI .................................. iii

    Kata Pengantar .......................................................................................................... v

    Daftar Isi ....................................................................................................................... vii

    Daftar Tabel ............................................................................................................... ix

    Daftar Gambar ........................................................................................................... xii

    Daftar Grafik ............................................................................................................... xiii

    BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

    A. Latar Belakang .................................................................................... 1

    B. Tujuan .................................................................................................. 7

    C. Metode Penelitian ............................................................................ 8

    D. Framework Kajian .............................................................................. 10

    BAB 2 PENDEKATAN KONSEPTUAL ......................................................... 13

    A. Negara dan Pasar dalam Globalisasi ......................................... 13

    B. Competitive and Representative Government ...................... 17

    C. State Capacity dan Reinventing Peran Aparatur Sipil

    Negara .................................................................................................. 20

    D. Tinjauan terhadap Rencana Pembangunan Jangka

    Menengah 2015-2019 ..................................................................... 24

    BAB 3 TEMUAN LAPANGAN KEPULAUAN RIAU ................................ 37

    A. Deskripsi Kondisi Daerah ............................................................... 37

    B. Pencapaian di Bidang Ekonomi .................................................. 40

    C. Tinjauan Terhadap RPJMD ........................................................... 54

    D. Tinjauan Kebijakan Perekonomian Daerah ............................. 57

    E. Validasi Standar Kompetensi Teknis .......................................... 64

    BAB 4 TEMUAN LAPANGAN JAWA TIMUR .......................................... 79

    A. Deskripsi Kondisi Daerah ............................................................... 79

    B. Pencapaian di Bidang Ekonomi .................................................. 81

    C. Tinjauan Terhadap RPJMD ........................................................... 90

    D. Tinjauan Terhadap Kebijakan Perekonomian Daerah ......... 100

    E. Validasi Standar Kompetensi Teknis .......................................... 110

  • viii

    BAB 5 TEMUAN LAPANGAN SULAWESI UTARA ................................. 125

    A. Deskripsi Kondisi Daerah ................................................................ 125

    B. Pencapaian di Bidang Ekonomi .................................................. 129

    C. Tinjauan Terhadap RPJMD ............................................................ 140

    D. Tinjauan Kebijakan Perekonomian Daerah .............................. 145

    E. Validasi Standar Kompetensi Teknis .......................................... 154

    BAB 6 TEMUAN LAPANGAN NUSA TENGGARA BARAT ................. 168

    A. Deskripsi Kondisi Daerah ................................................................ 168

    B. Pencapaian di Bidang Ekonomi .................................................. 172

    C. Tinjauan Terhadap RPJMD ............................................................ 177

    D. Tinjauan Kebijakan Perekonomian Daerah .............................. 181

    E. Validasi Standar Kompetensi Teknis .......................................... 184

    BAB 7 Identifikasi Kompetensi Teknis ...................................................... 195

    A. Identifikasi Kompetensi Teknis ..................................................... 195

    B. Jenis Kompetensi Teknis ................................................................ 205

    BAB 8 Penutup ..................................................................................................... 209

    A. Kesimpulan .......................................................................................... 209

    B. Rekomendasi dan Rencana Aksi ................................................. 210

    Referensi ............................................................................................. 213

  • ix

    DAFTAR TABEL

    Tabel 1.1 Kerjasama Ekonomi Bilateral, Multilateral, dan Regional

    yang Melibatkan Indonesia per 2014 ....................................... 3

    Tabel 1.2 AEC Scorecard Key Deliverables Phases I-III (2008-2013) 3

    Tabel 1.3 Faktor Paling Bermasalah di Indonesia dalam Global

    Competitiveness Report ................................................................ 5

    Tabel 2.1 Matriks RPJMN 2014-2019 Buku II ............................................ 26

    Tabel 3.1 Distribusi Persentase PDRB dengan Migas Atas Dasar

    Harga Konstan menurut Lapngan Usaha di Kepulauan

    Riau Tahun 2008-2013 ................................................................... 39

    Tabel 3.2 Jumlah Perusahaan Industri Besar-Sedang di Provinsi

    Kepulauan Riau Tahun 2011-2014 ............................................. 44

    Tabel 3.3 Capaian Kinerja Urusan Perindustrian di Provinsi

    Kepualaun Riau Tahun 2011-2014 ............................................. 45

    Tabel 3.4 10 Jenis Komoditi Ekspor Terbesar Provinsi Kepulauan

    Riau Tahun 2013 ............................................................................... 46

    Tabel 3.5 10 Jenis Komoditi Impor Terbesar Provinsi Kepualauan

    Riau Tahun 2013 ............................................................................... 48

    Tabel 3.6 10 Jenis Komoditi Ekspor Terbesar Provinsi Kepulauan

    Riau Tahun 2014 ............................................................................... 50

    Tabel 3.7 10 Jenis Komoditi Impor Terbesar Provinsi Kepulauan

    Riau Tahun 2014 ............................................................................... 52

    Tabel 3.8 Identifikasi Kompetensi Teknis Berbasis RPJMD Provinsi

    Kepualaun Riau ................................................................................ 54

    Tabel 3.9 Identifikasi Kompetensi Teknis Berbasis RPJMD Provinsi

    Kepulauan Riau ................................................................................. 56

    Tabel 4.1 Produksi Tanaman Tahunan dan Musiman Provinsi

    Jawa Timur Tahun 2009-2013 ..................................................... 80

    Tabel 4.2 Kinerja Perdagangan Jawa Timur Tahun 2010-2013 .......... 82

    Tabel 4.3 Jumlah Industri di Jawa Timur Tahun 2009-2013 ................ 84

    Tabel 4.4 Realisasi Nilai Ekspor Jawa Timur (Migas dan Non

    Migas) ................................................................................................... 85

    Tabel 4.5 Realisasi Nilai Ekspor Jawa Timur ............................................... 85

  • x

    Tabel 4.6 Realisasi Nilai Ekspor Jawa Timur Per 10 Kelompok

    Komoditi Utama ................................................................................ 86

    Tabel 4.7 Realisasi Nilai Ekspor Jawa Timur Per 10 Negara Tujuan

    Utama .................................................................................................... 86

    Tabel 4.8 Realisasi Nilai Impor Jawa Timur (Migas dan Non

    Migas) ................................................................................................... 87

    Tabel 4.9 Realisasi Nilai Impor Jawa Timur Per Gol. Penggunaan

    Barang ................................................................................................... 88

    Tabel 4.10 Realisasi Nilai Impor Jawa Timur Per 10 Kelompok

    Komoditi Utama ................................................................................ 88

    Tabel 4.11 Realisasi Nilai Impor Non Migas Jawa Timur Per 10

    Provinsi Utama ................................................................................... 89

    Tabel 4.12 Identifikasi Kompetensi Teknis Berbasis RPJMD provinsi

    Jawa Timur Tahun 2014-2019 ...................................................... 92

    Tabel 5.1 Nilai dan Kontribusi Sektor dalam PDRB 2006-2010

    Atas Dasar Harga Konstan 2000 Provinsi Sulawesi Utara .. 130

    Tabel 5.2 Nilai dan Kontribusi Sektor dalam PDRB 2006-2010

    Atas Dasar Harga Berlaku Provinsi Sulawesi Utara .............. 131

    Tabel 5.3 Perkembangan Kontribusi Sektor dalam PDRB 2006-

    2011 Atas dasar Harga Berlaku (Hb) dan Harga Konstan

    (Hk) Provinsi Sulawesi Utara ......................................................... 132

    Tabel 5.4 Pertumbuhan Konstribusi Sektor dalam PDRB 2006-

    2010 Atas Dasar Harga Berlaku (Hb) dan Harga Konstan

    (Hk) Provinsi Sulawesi Utara ......................................................... 135

    Tabel 5.5 Matriks Kontribusi Terhadap PDRB Total Pertumbuhan

    Ekonomi Sub Sektoral Provinsi Sulawesi Utara 2005-

    2009 ....................................................................................................... 136

    Tabel 5.6 Identifikasi Kompetensi Teknis Berbasis RPJMD ................... 140

    Tabel 6.1 PDRB Provinsi NTB Tahun 2011-2014 Termasuk Sub

    Sektor Pertambangan Non Migas .............................................. 172

    Tabel 6.2 PDRB Provinsi NTB Tahun 2011-2014 Tanpa Sub Sektor

    Pertambangan Non Migas ............................................................ 173

    Tabel 6.3 PDRB Menurut Lapangan Usaha Provinsi NTB Atas

    Dasar harga Konstan 2010 ............................................................ 174

  • xi

    Tabel 6.4 Volume dan Nilai Ekspor Dirinci Menurut Negara

    Tujuan 2013 ........................................................................................ 176

    Tabel 6.5 Masalah, Isu Strategis, dan Jenis Kompetensi Berbasis

    RPJMD Provinsi NTB Tahun 2013-2018 ................................... 179

    Tabel 7.1 Identifikasi Jenis Kompetensi Berbasis Konsepsi ................. 195

    Tabel 7.2 Identifikasi Jenis Kompetensi Berbasis AEC Blueprint ........ 196

    Tabel 7.3 Identifikasi Kompetensi Teknis Berbasis RPJMN 2014-

    2019 dan RPJMD di Beberapa Lokus Kajian ........................... 198

    Tabel 7.4 Identifikasi Jenis Kompetensi Teknis Berbasis

    Pembagian Urusan Perdagangan dan Perindustrian.......... 202

    Tabel 7.5 Jenis Kompetensi Teknis ................................................................ 205

  • xii

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 1.1 Framework Kajian ........................................................................... 10

    Gambar 3.1 Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi Provinsi

    Kepulauan Riau dengan Nasional Tahun 2008-2013 ........ 40

    Gambar 2.1 Dampak Pendapatan Rendah dan Perubahan Lahan ... 22

    Gambar 2.2 Grafik Produksi CPO Indonesia Tahun 2013......................... 23

    Gambar 2.3 Grafik Perbandingan Luasan Smallholders dan

    Perusahaan ........................................................................................ 25

    Gambar 2.4 The Policy Process as a Hierarchy ............................................ 27

    Gambar 3.1 Grafik Luas Areal Tanaman Kelapa Sawit, Kelapa, dan

    Karet Provinsi Riau Tahun 2009-2013 ................................... 40

    Gambar 3.2 Grafik Luas Areal Tanaman Kelapa Sawit, Kelapa,

    Karet Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2012 Provinsi

    Riau ..................................................................................................... 45

    Gambar 3.3 Grafik Produksi Kelapa Sawit, Kelapa, dan Karet Tahun

    2009-2013 di Provinsi Riau ......................................................... 46

    Gambar 4.1 Formulir Standar Daftar Usaha Budidaya Tanaman

    Perkebunan ....................................................................................... 56

    Gambar 4.2 Grafik Perbandingan Produktivitas .......................................... 59

    Gambar 5.1 Review Institusional ....................................................................... 89

    Gambar 5.2 Petani Mandiri dalam Sistem Pasar Investasi ....................... 98

    Gambar 6.1 Model Skema Kemitraan.............................................................. 111

    Gambar 6.2 Institutional Arrangement dalam Pemberdayaan

    Petani Mandiri Kelapa Sawit ....................................................... 123

    Gambar 6.3 Usulan Kelembagaan Petani ....................................................... 126

  • xiii

    DAFTAR GRAFIK

    Grafik 3.1 Rekapitulasi Persentase Relevansi Kompetensi Teknis

    Provinsi Kepulauan Riau .............................................................. 65

    Grafik 4.1 Rekapitulasi Persentase Relevansi Kompetensi Teknis

    Provinsi Jawa Timur ....................................................................... 112

    Grafik 5.1 Rekapitulasi Persentase Relevansi Kompetensi Teknis

    Provinsi Sulawesi Utara ................................................................ 155

    Grafik 6.1 Rekapitulasi Persentase Relevansi Kompetensi Teknis

    Provinsi NTB ..................................................................................... 184

  • 1

    BAB 1

    PENDAHULUAN

    A. LATAR BELAKANG

    Setelah krisis ekonomi yang melanda khususnya kawasan Asia

    Tenggara, para Kepala Negara ASEAN dalam KTT ASEAN ke-9 di Bali

    pada tahun 2003 meyepakati pembentukan komunitas ASEAN (ASEAN

    Community) dalam bidang Keamanan Politik (ASEAN Political-Security

    Community), Ekonomi (ASEAN Economic Community), dan Sosial Budaya

    (ASEAN Socio-Culture Community) yang dikenal dengan Bali Concord II.

    Untuk pembentukan ASEAN Economic Community (AEC) pada tahun

    2015, ASEAN menyepakati perwujudannya diarahkan pada integrasi

    ekonomi kawasan yang implementasinya mengacu pada AEC Blueprint.

    AEC Blueprint merupakan pedoman bagi negara-negara Anggota

    ASEAN dalam mewujudkan AEC 2015. AEC Blueprint memuat empat pilar

    utama, yaitu: (1) ASEAN sebagai pasar tunggal dan berbasis produksi

    tunggal yang didukung dengan elemen aliran bebas barang, jasa,

    investasi, tenaga kerja terdidik dan aliran modal yang lebih bebas; (2)

    ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi tinggi, dengan

    elemen peraturan kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan

    intelektual, pengembangan infrastruktur, perpajakkan dan e-commerce;

    (3) ASEAN sebagai kawasan dengan pengembangan ekonomi yang

    merata dengan elemen pengembangan usaha kecil dan menengah, dan

  • 2

    prakarsa integrasi ASEAN; (4) ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi

    secara penuh dengan perekonomian global dengan elemen pendekatan

    yang koheren dalam hubungan ekonomi di luar kawasan, dan

    meningkatkan peran serta dalam jejaring produksi global.

    Sesuai dengan empat pilar utama AEC tersebut, negara-negara

    ASEAN telah melakukan persiapan yang diawali dengan

    diberlakukannya penghapusan hambatan tarif menjadi 0% pada tahun

    2010 oleh negara-negara ASEAN 6 (Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina,

    Singapura, dan Thailand). Akan tetapi, perencanaan para elite politik

    negara ASEAN melalui pilar-pilar tersebut nyatanya menimbulkan

    permasalahan utama dalam pencapaian regionalisasi ekonomi ASEAN,

    yaitu ketimpangan signifikan antara dua pilar pertama dengan dua pilar

    yang terakhir. Laporan tahunan pembentukan AEC tahap II misalnya,

    menunjukkan bahwa target integrasi dengan pasar global telah tercapai

    85,7% sementara target peningkatan daya saing regional dan

    pemerataan pembangunan baru tercapai berturut-turut 67,9% dan

    66,7% (ASEAN Secretariat, 2012). Dengan kata lain, upaya ASEAN untuk

    membebaskan pasarnya dengan berbagai kesepakatan pasar bebas

    dengan negara-negara di luar kawasan jauh lebih akseleratif daripada

    memperkuat daya saing internal kawasan ASEAN itu sendiri.

    Kendati secara regional pencapaian empat pilar utama AEC

    masih menemui ganjalan, data Perdagangan pada tahun 2014

    menunjukkan bahwa share perdagangan intra-ASEAN menunjukkan

    angka yang cukup menjanjikan pada masing-masing share perdagangan

    ke negara-negara ASEAN, yaitu di atas 15%. Hal ini berarti bahwa

    regionalisme ekonomi di Asia Tenggara merupakan hal yang krusial bagi

    masing-masing negara ASEAN.

    Seiring dengan perkembangan konstelasi ekonomi global,

    Indonesia tetap terus berupaya mendorong peningkatan kerjasama

    internasional baik di forum bilateral, regional, maupun multilateral. Salah

    satunya adalah melalui peningkatan peran dan kemampuan Indonesia

    dalam melakukan diplomasi ekonomi. Pada tingkat bilateral, saat ini

    telah ada kesepakatan kerjasama ekonomi antara IndonesiaJepang,

    IndonesiaKorea Selatan, IndonesiaAustralia serta Indonesia dengan

  • 3

    negara-negara European Free Trade Association (EFTA) seperti gambar

    berikut ini.

    Tabel 1.1.

    Pada tingkat regional, kerjasama ekonomi ASEAN semakin

    meningkat sejak dimulainya integrasi ekonomi regional dalam ASEAN

    Free Trade Area (AFTA) hingga kepada pembentukan AEC yang akan

    diimplementassikan secara penuh pada tanggal 31 Desember 2015.

    Perkembangan persiapan implementasi AEC yang diukur melalui

    scorecard menunjukkan bahwa Indonesia telah mencapai 82,4% dari 431

    butir penilaian pada scorecard AEC. Capaian tersebut di atas rata-rata

    ASEAN yang saat ini mencapai 82,1% dari 229 Key Deliverables prioritas

    yang ditargetkan selesai pada tahun 2015.

    Tabel 1.2.

  • 4

    Tantangan kerjasama ekonomi internasional antara lain: 1) masih

    belum selarasnya antara diplomasi politik dan diplomasi ekonomi; 2)

    belum optimalnya kualitas koordinasi lintas sektor dan seluruh pihak

    terkait dalam proses penyiapan dan implementasi hasil-hasil kerjasama

    ekonomi internasional; serta 3) belum optimalnya pemanfaatan

    kesepakatan kerjasama ekonomi internasional dalam mencapai

    kepentingan nasional terutama untuk mendorong pertumbuhan

    ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

    Awareness dan preparedness pemerintah menjadi kunci penting

    dalam memenangkan AEC. Studi lain yang dilakukan oleh Pusat Studi

    ASEAN (2014) menunjukkan bahwa pemerintah daerah masih

    memfokuskan diri pada pelaku ekonomi yang berbasis ekspor.

    Padahal dampak AEC nantinya tidak hanya dirasakan pelaku ekspor,

    namun juga pelaku ekonomi yang menggunakan bahan baku impor,

    maupun pelaku ekonomi lokal yang memproduksi barang yang sama

    dengan negara lain di ASEAN. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa

    rendahnya kesiapan pelaku ekonomi terhadap AEC ditentukan oleh

    pendekatan pemerintah dan aparaturnya yang kurang komprehensif.

    Dalam konteks AEC, aparatur memerlukan penyesuaian-

    penyesuaian institusional untuk menghadapi tantangan baru yang akan

    muncul di lingkungan ASEAN (Hill dan Menon, 2012; Aksaranee dan

    Arunanondchai, 2005). Penyesuaian tersebut antara lain terkait

    dengan liberalisasi di sektor perdagangan dan jasa yang membuat

    pemerintah tidak hanya harus mereposisi kebijakan-kebijakan

    ekonominya, tetapi juga memastikan semua komponen aparatur siap

    dengan perubahan struktural ini.

    Terkait dengan kompetensi misalnya, dalam menghadapi AEC,

    Kasali (2014) mengisyaratkan perlunya penyesuaian kapasitas internal

    organisasi. AEC memberikan paradigma baru, sebuah transformasi dari

    cara pandang siapa yang mampu beradaptasi akan bertahan menjadi

    siapa yang cepat, dialah pemenangnya. Menurut Kasali, tantangan

    seperti AEC tadi memerlukan sebuah kapasitas yang dibangun secara

    berkelanjutan agar organisasi mampu merespon peurbahan dengan

    waktu yang efisien, tangkas, dan efektif. Kasali menyebutnya sebagai

  • 5

    agility dan dynamic capability, yaitu kualitas sensorik yang cepat

    dalam mengidentifikasi ancaman maupun kesempatan.

    Namun demikian, pemerintah saat ini masih punya beberapa

    persoalan serius. Catatan ASEAN Competitiveness Fundamentals (2013)

    memperlihatkan bahwa Indonesia masih cukup tertinggal dalam hal

    pengembangan infrastruktur makroekonomi dan masih belum memiliki

    institusi yang responsif terhadap perkembangan ekonomi regional.

    Dengan kata lain, daya saing institusional pemerintah masih belum

    kompatibel dengan AEC. Akibatnya, indeks daya saing Indonesia masih

    cukup rendah di sektor infrastruktur (terendah dari ASEAN-5),

    perkembangan pasar tenaga kerja (terendah dari ASEAN-5), serta cukup

    minim dalam hal pengembangan institusional (hanya lebih baik daripada

    Thailand yang baru saja mengalami kudeta militer).

    Beberapa fakta di atas mengisyaratkan pentingnya Indonesia

    untuk mempersiapkan kapasitas pemerintah dalam menghadapi AEC.

    Secara garis besar, Indonesia memiliki peluang sebagai negara tujuan

    investasi di ASEAN karena share Foreign Direct Investment (FDI) yang

    tinggi serta market size yang sangat besar. Dari persepsi Investor,

    Indonesia adalah the most favorable country sebagai ekonomi pasar

    yang besar dan tenaga kerja yang juga cukup menjanjikan (ASEAN

    Business Outlook, 2015). Namun demikian, selama ini ada problem

    institusional yang belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan kerangka

    Good Governance. Data Global Competitiveness Report empat tahun

    terakhir menunjukkan bahwa masalah paling krusial yang dihadapi di

    Indonesia dalam menjaga daya saingnya adalah permasalahan di sektor

    publik, baik berupa inefisiensi, maupun korupsi. Kondisi ini tentunya

    akan mengganggu iklim untuk berbisnis akibat ekonomi biaya tinggi.

    Tabel 1.3.

    Faktor Paling Bermasalah di Indonesia dalam Global Competitiveness Report

    No 2010 2011 2012 2013

    1 Inefisiensi Birokrasi Korupsi Inefisiensi Birokrasi Korupsi

    2 Korupsi Inefisiensi Birokrasi Korupsi Inefisiensi Birokrasi

  • 6

    No 2010 2011 2012 2013

    3 Infrastruktur Infrastruktur Infrastruktur Infrastruktur

    4 Akses Pembiayaan Ketidakstabilan

    Politik

    Etika Kerja Buruk Akses Pembiayaan

    5 Inflasi Akses Pembiayaan Peraturan

    Ketenagakerjaan

    Peraturan

    Ketenagakerjaan

    Sumber: Global Competitiveness Report, 2013, diolah.

    Dengan berpijak pada kerangka Competitive and

    Representative Government, penelitian ini ingin berargumen bahwa

    negara justru semakin penting dalam konteks regionalisasi ekonomi di

    kawasan (lihat Nesadurai, 2003; Nesadurai, 2013). Negara berfungsi

    untuk meregulasi kebijakan-kebijakan domestik, mengefektifkan

    pelayanan publik, dan memfasilitasi pemerataan ekonomi agar tidak

    muncul ketimpangan (lihat Shin, 2005). Dalam konteks AEC, peran-peran

    tersebut membutuhkan aparatur yang siap untuk menghadapi integrasi

    ekonomi regional. Oleh sebab itu, secara lebih spesifik, penelitian ini

    ingin melihat bagaimana dan dalam kapasitas apa negara bisa berperan

    dalam menghadapi AEC, dengan mengambil studi kasus empat daerah

    di Indonesia.

    Penelitian ini berpegang pada tiga argumen penting mengapa

    sektor perdagangan dan perindustrian menjadi fokus penelitian.

    Pertama, isu perdagangan dan perindustrian adalah salah satu dari

    empat elemen penting dalam AEC yang akan dihadapi oleh Indonesia.

    Cetak Biru AEC (2007) telah menyatakan bahwa ASEAN akan

    menginisiasi sebuah pasar dan basis produksi tunggal yang salah satu

    substansi pentingnya adalah arus bebas perdagangan barang dan jasa.

    Konsekuensinya, isu perdagangan menjadi penting untuk direspons

    oleh semua kalangan di Indonesia. Di samping itu, Cetak Biru tersebut

    juga menyatakan bahwa salah satu target AEC adalah integrasi dengan

    ekonomi global dan kawasan ekonomi yang sangat kompetitif. Hal

    tersebut mengimplikasikan masing-masing negara untuk mendorong

    investasi untuk mendorong competitiveness (WEF, 2013). Dengan

    demikian, variabel perdagangan dan perindustrian menjadi penting

    untuk direspons dalam menghadapi AEC.

  • 7

    Kedua, secara komparatif, Indonesia cukup tertinggal dari

    negara-negara anggota ASEAN lain dalam dua isu ini. Data indeks

    ASEAN Competitiveness Fundamentals menunjukkan bahwa Indonesia

    tertinggal dari Singapura dan Malaysia dalam inovasi, pertumbuhan

    pasar keuangan, serta infrastruktur pasar barang dan jasa. Padahal

    tiga variabel ini penting dalam menopang industri dan perdagangan

    barang dan jasa di ASEAN sehingga pemerintah perlu memperhatikan

    kesiapan dalam menghadapi pertumbuhan di dua sektor ini agar

    Indonesia bisa punya daya saing dalam menghadapi AEC.

    Ketiga, isu perdagangan dan industri adalah dua isu yang krusial

    bagi negara- negara Middle Power seperti Indonesia, karena isu ini

    menunjukkan daya saing (competitiveness) Indonesia di tingkat global.

    Dengan pertumbuhan ekonomi dan market size yang cukup besar,

    Indonesia berpotensi untuk menjadi sasaran ekspansi perdagangan

    dalam skema liberalisasi di kawasan maupun global. Jika pemerintah

    tidak mempersiapkan diri menyambut hal ini, Indonesia akan dirugikan

    karena hanya akan menyediakan tenaga kerja murah dan konsumsi

    karena market size-nya yang besar. Oleh sebab itu, mempersiapkan

    sektor perdagangan dan perindustrian menjadi penting. Tanpa diikuti

    oleh produktivitas dari sektor perdagangan dan perindustrian, Indonesia

    akan kehilangan daya saingnya dalam pasar global dan kawasan. Pada

    titik inilah pemerintah bisa memfasilitasi semua elemen untuk

    memperkuat daya saing dengan menumbuhkan knowledge economy

    sebagai fondasi ekonomi menghadapi integrasi ekonomi (Irawati dan

    Rutten, 2014).

    B. TUJUAN

    1. Mengidentifikasi kompetensi ASN Jabatan Pimpinan Tinggi Pemda

    yang dibutuhkan dalam menghadapi AEC dengan

    mempertimbangkan permasalahan, kebutuhan, mandat kebijakan,

    dan tantangan dalam menghadapi AEC.

    2. Menyusun standar kompetensi ASN Jabatan Pimpinan Tinggi Pemda

    dalam menghadapi AEC.

  • 8

    C. METODE PENELITIAN

    1. Rencana Metode Analisis Data

    Kajian ini bertujuan mengidentifikasi kompetensi yang seharusnya

    dimiliki oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) pemerintah daerah dalam

    menghadapi AEC 2015, terutama terkait dengan sektor perdagangan

    dan industri. Hasil identifikasi kedua faktor tersebut kemudian

    menjadi basis bagi Tim Peneliti untuk menyusun standar kompetensi

    ASN JPT di pemerintah daerah yang terkait dengan kompetensi

    manajerial, sosial kultural, dan teknis.

    2. Metode Pengumpulan Data

    Guna mencapai tujuan tersebut, kajian ini menggunakan

    pendekatan yang melibatkan serangkaian aktivitas, yakni:

    a. Pemetaan Literatur dan Regulatory Mapping. Pemetaan literatur

    bertujuan mengindentifikasi hasil-hasil riset terdahulu tentang

    pemahaman dan kesiapan ASN Pemda dalam menghadapi AEC.

    Sementara itu, regulatory mapping digunakan untuk memetakan

    sejauh mana regulasi dan kebijakan dari level pusat hingga daerah

    terkait sektor perdagangan dan perindustrian, serta kebijakan

    terkait dengan perencanaan (RPJMN dan RPJMD). Proses ini juga

    mendeteksi sejauhmana dan bagaimana pemerintah pusat dan

    daerah menterjemahkan isu AEC ke dalam penyusunan standar

    kompetensi.

    b. Penelitian Lapangan. Dilakukan untuk memperoleh gambaran

    terkait dengan kondisi existing ASN pemerintah daerah yang

    akan secara langsung berinteraksi dalam arena AEC. Kondisi yang

    dipetakan terutama terkait dengan pemahaman tentang AEC,

    peluang dan tantangan yang dihadapi dalam konteks AEC, serta

    aspek-aspek yang diperlukan untuk mengantisipasi dan

    memaksimalkan peluang dalam AEC. Hasil penelitian lapangan

    tersebut dijadikan dasar dalam penyusunan standar kompetensi

    ASN pemerintah daerah yang akan difokuskan dalam kajian ini,

    yaitu Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Di samping

  • 9

    pemerintah, pemahaman dan kesiapan juga akan dilihat di

    kalangan pengusaha yang diwakili oleh Kamar Dagang dan

    Indus t r i (KADIN) di setiap daerah. Proses analisis stakeholders

    ini diselenggarakan di empat provinsi, yaitu: Provinsi Kepulauan

    Riau, Sulawesi Utara, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat.

    Proses penggalian data dilakukan dengan menyelenggarakan

    Diskusi Terbatas dan wawancara mendalam dengan para aktor

    kunci di masing-masing daerah.

    c. Observasi. Dilakukan untuk melihat secara langsung kesiapan

    pemerintah maupun masyarakat di keempat ibu kota provinsi

    obyek studi dalam menghadapi AEC. Observasi dilakukan untuk

    melihat potensi perindustrian dan perdagangan di masing-masing

    daerah.

    Secara garis besar, penelitian ini mengambil sampel-sampel kota

    yang berada di pulau Jawa dan 2 kota yang berada di wilayah

    perbatasan dan merupakan wilayah Kawasan Ekonomi Khusus yang

    memiliki karakteristik khas sebagai kota tujuan perdagangan serta

    berpotensi untuk berhadapan langsung dengan AEC. Provinsi

    Jawa Timur dipilih karena karakteristiknya sebagai area industri dan

    perdagangan dengan potensi investasi di sektor industri pengolahan

    (lihat BPS 2014). Provinsi Kepulauan Riau dipilih karena

    karakteristiknya sebagai area perdagangan bebas (free trade zone)

    dan dengan demikian akan menjadi salah satu area penting dalam

    integrasi ekonomi kawasan (lihat BPS Kepulauan Riau, 2014). Provinsi

    Sulawesi Utara dipilih karena karakteristiknya sebagai kepulauan

    yang berbatasan dengan Filipina dan memiliki Kawasan Ekonomi

    Khusus, dengan potensi sektor ekspor dan impor (lihat RPJMD

    Provinsi Sulawesi Utara 2010-2015). Sedangkan Provinsi Nusa

    Tenggara Barat dipilih karena karakteristiknya sebagai destinasi

    wisata dan mewakili koridor ekonomi Bali-Nusa Tenggara.

    3. Analisis dan Pengolahan Data. Berbagai data dan informasi yang

    telah diperoleh kemudian dirumuskan dalam field note yang akan

    menjadi bahan diskusi dalam merumuskan laporan penelitian dan

    rekomendasi praktis pada pemerintah.

  • 10

    D. FRAMEWORK KAJIAN

    Gambar 1.1. Framework Kajian

    Riset Desain dalam kajian ini disusun dengan mempertimbangkan

    berbagai aspek antara lain :

    a. Tinjauan Konseptual

    Kerangka Competitive and Representative Government yang

    diajukan pada poin di atas pada dasarnya memerlukan kapasitas

    penyelenggara negara yang prima. Secara teoretik, penelitian ini

    akan menggunakan bingkai Competitive and Representative

    Government untuk mendefinisikan kapasitas-kapasitas tertentu

    yang harus dimiliki oleh negara dan dijalankan oleh

    Kompetensi

    Manajerial

    Kompetensi

    Teknis

    Pengumpulan Data

    Kuesioner & FGD di Pusat

    Draft awal

    Standar

    Kompetensi

    Validasi Standar

    Kompetensi

    Tinjauan

    Lingkungan

    Strategis

    Tinjauan

    Yuridis

    AEC

    Blueprint

    Riset Desain Penyusunan Standar

    Kompetensi ASN Pemda

    Tinjauan

    Konseptual

    Standar Kompetensi

    Kompetensi

    Sosial - Kultural

  • 11

    penyelenggara negara. Sebagaimana diulas pada bagian

    sebelumnya, Competitive and Representative Government

    memerlukan kapasitas negara yang bisa menghadapi kompetisi

    di tingkat regional/global tetapi juga mampu membangun

    legitimasi internal di tingkat domestik (Bretton, 2007).

    b. AEC Blueprint

    AEC Blueprint merupakan pedoman bagi negara-negara Anggota

    ASEAN dalam mewujudkan AEC 2015. AEC Blueprint memuat

    empat pilar utama, yaitu: (1) ASEAN sebagai pasar tunggal dan

    berbasis produksi tunggal yang didukung dengan elemen aliran

    bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik dan aliran

    modal yang lebih bebas; (2) ASEAN sebagai kawasan dengan daya

    saing ekonomi tinggi, dengan elemen peraturan kompetisi,

    perlindungan konsumen, hak atas kekayaan intelektual,

    pengembangan infrastruktur, perpajakkan dan e-commerce; (3)

    ASEAN sebagai kawasan dengan pengembangan ekonomi yang

    merata dengan elemen pengembangan usaha kecil dan

    menengah, dan prakarsa integrasi ASEAN, (4) ASEAN sebagai

    kawasan yang terintegrasi secara penuh dengan perekonomian

    global dengan elemen pendekatan yang koheren dalam

    hubungan ekonomi di luar kawasan, dan meningkatkan peran

    serta dalam jejaring produksi global.

    c. Tinjauan Yuridis

    Peraturan Perundang-undangan yang relevan dijadikan

    pertimbangan dalam kajian ini antara lain:

    Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur

    Sipil Negara;

    Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 Tentang

    Perindustrian;

    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang

    Perdagangan;

    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang

    Pemerintahan Daerah.

  • 12

    d. Tinjauan Lingkungan Strategis

    Penyusunan standar kompetensi yang dibutuhkan Aparatur Sipil

    Negara (ASN) di Pemda dalam menghadapi ASEAN Economic

    Community mempertimbangkan Nawa Cita (9 Program Prioritas

    Pemerintahan Jokowi) dan aspek lingkungan strategis

    sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka

    Menengah Nasional (RPJMN 2015-2019) dan Rencana

    Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) pada lokus

    kajian.

    Riset Desain berikut dengan instrumen jenis kompetensi di

    bidang perindustrian dan perdagangan yang telah disusun,

    selanjutnya didiskusikan dengan narasumber antara lain :

    Kementerian Perdagangan

    Kementerian Perindustrian

    Badan Kepegawaian Negara

    Kamar Dagang dan Industri (KADIN)

    Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia

    Kegiatan berikutnya adalah melakukan penelitian lapangan di

    beberapa lokus, yaitu: Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Jawa

    Timur, Provinsi Sulawesi Utara, dan Provinsi Nusa Tenggara Barat

    dalam rangka melakukan validasi jenis-jenis kompetensi di

    bidang perdagangan dan perindustrian.

    Berdasarkan hasil validasi dilakukan penyempurnaan jenis-jenis

    kompetensi yang dibutuhkan Aparatur Sipil Negara Jabatan

    Pimpinan Tinggi di Pemerintah Daerah dalam menghadapi

    ASEAN Economic Community.

  • 13

    BAB 2

    PENDEKATAN KONSEPTUAL

    A. NEGARA DAN PASAR DALAM GLOBALISASI

    Kajian tentang penyusunan standar kompetensi Aparatur Sipil

    Negara di Pemerintah, secara teoretik, akan terkait dengan perdebatan

    tentang posisi negara dan pasar di tengah politik regional dan global

    yang terintegrasi (Pusat Studi ASEAN UGM, 2015). Dalam konteks AEC,

    integrasi yang terjadi sangat terkait dengan proses ini, ketika Asia

    Tenggara sebagai sebuah kawasan mengalami pengurangan-

    pengurangan hambatan dalam arus ekonomi, termasuk barang dan

    jasa (Nesadurai, 2003; ASEAN, 2007). Oleh sebab itu, penting untuk

    memetakan terlebih dulu, secara teoretik, hubungan antara negara dan

    pasar dalam kajian tentang globalisasi.

    Secara teoretik, ada dua posisi pendekatan tentang negara dan

    pasar dalam literatur- literatur tentang globalisasi (Held, 2010) dalam

    (Pusat Studi ASEAN UGM, 2015). Pertama, pendekatan yang melihat

    globalisasi sebagai proses. Dalam perspektif ini, globalisasi dilihat

    sebagai proses yang niscaya dalam politik global, akibat jatuhnya Uni

    Soviet yang mengakhiri perang dingin, adanya proses globalisasi

    produksi, serta hilangnya batas-batas negara bangsa akibat

    perkembangan teknologi informasi yang kian massif (Friedman, 1999; cf.

    Fuchs, 2001). Adanya integrasi ekonomi global, yang ditandai oleh

    menguatnya peran institusi-institusi internasional dalam pembangunan

  • 14

    (terutama di dunia ketiga) dan maraknya proyek-proyek regionalisme

    menjadi salah satu argumen penting dari perspektif ini (Deshpande,

    2002). Perspektif ini melihat globalisasi sebagai manifestasi dari akhir

    sejarah karena tidak ada lagi perseteruan politik global yang

    membuat integrasi global terhalang, sehingga menjadikan globalisasi

    menjadi mungkin (cf. Fukuyama, 1993).

    Kata kunci untuk melihat globalisasi dalam perspektif ini adalah

    negarabangsa yang kehilangan relevansinya. Pandangan ini tentu

    sangat dipengaruhi oleh pandangan ekonomipolitik liberal neo-

    institusionalis yang sangat percaya dengan supremasi pasar

    dalam ekonomi-politik internasional dan menganggap negara sebagai

    penghalang bagi terciptanya mekanisme pasar (lihat Wunderlich, 2007;

    cf. Nesadurai, 2003: 22). Merujuk pada konsep de-teritorialisasi,

    pandangan ini percaya bahwa dengan adanya arus bebas perdagangan,

    terutama di wilayah barang dan jasa, negara tidak lagi memiliki kuasa

    untuk mengintervensi perekonomian dan menjadikan pasar bisa

    berjalan secara optimal (Nesadurai, 2003: 23). Namun demikian,

    perspektif ini juga menuai kritik. Walaupun sangat menitikberatkan

    pada pasar, perspektif ini sebetulnya juga tidak bisa lepas dari

    negara. Posisi negara, dalam perspektif ini, bukan lagi dalam

    kerangka negara yang memiliki kuasa tertentu atas ekonomi,

    melainkan regulatory state, yakni negara yang memainkan

    fungsinya sebagai regulator dalam perekonomian, menjadikan

    regulasi-regulasi tersebut sesuai dengan kebutuhan pasar dan

    menjadikan pasar bermain dalam koridor regulasi tersebut (Jayasuriya,

    2004). Dalam perspektif yang berbeda, globalisasi juga mengisyaratkan

    munculnya knowledge economy yang berporos pada institusi,

    jaringan, dan dukungan inovasi yang juga, secara tidak langsung,

    membutuhkan peran negara di dalamnya (Irawati dan Rutten, 2014).

    Hal yang sama juga berlaku dalam konteks ASEAN. Tidak mungkin

    melepaskan integrasi ekonomi di Asia Tenggara dengan peran

    negara karena pada dasarnya justru negara-lah yang membangun

    inisiatif untuk membangun proyek integrasi ekonomi kawasan

    (Nesadurai, 2003; Jayasuriya, 2004). Dengan demikian, asumsi bahwa

  • 15

    globalisasi menihilkan peran negara tidak sepenuhnya benar, terutama

    dalam konteks AEC.

    Kedua, pendekatan yang melihat globalisasi sebagai sebuah

    proyek politik global. Pendekatan ini percaya bahwa globalisasi adalah

    sebuah proyek politik yang didorong oleh institusi kepengaturan global

    dan melibatkan kepentingan negara juga di dalamnya (Nesadurai, 2003;

    lihat Joseph, 2010). Konsekuensinya, pendekatan ini percaya bahwa

    dalam lanskap politik global yang semakin terintegrasi, negara penting

    untuk meregulasi pasar dan memberdayakan sumber daya yang

    ada di dalamnya. Dalam perspektif ini, globalisasi mensyaratkan

    negara sebagai regulator dan perangkat institusional untuk mendorong

    inovasi dan knowledge economy. Negara sebagai regulator berarti

    negara memiliki kuasa untuk mengarahkan proses-proses integrasi

    regional sejauh kemampuannya untuk melahirkan perangkat-perangkat

    aturan main bagi kelompok bisnis (Jayasuriya, 2004). Hal ini menjadi

    penting karena integrasi ekonomi global pada dasarnya ditandai oleh

    globalisasi produksi yang, pada titik tertentu, mengharuskan negara

    untuk mempersiapkan sumber daya manusia siap pakai untuk

    menjawab tantangan-tantangan global yang ada (Irawati, 2014).

    Kata kunci dalam pendekatan ini adalah peran negara sebagai

    regulatory state (Hameiri, 2010). Proses state-building dalam perspektif

    ini tidak lagi diarahkan pada upaya untuk mendisiplinkan proses-proses

    ekonomi dan politik dengan kekuatan koersif yang ia miliki, tetapi

    lebih diarahkan pada proses mengatur dan memberikan koridor

    agar mekanisme pasar dapat berlangsung secara optimal. Secara lebih

    spesifik, negara sebagai regulatory state bertugas untuk menyiapkan

    proses-proses ekonomi untuk mampu berhadapan dengan globalisasi

    ekonomi, termasuk dalam konteks ini integrasi ekonomi kawasan.

    Dengan demikian, paradigma state-building sedikit demi sedikit

    bergeser menjadi capacity building (Hameiri, 2010: 3). Artinya, peran

    negara lebih diarahkan bukan untuk membangun kekuasaan politik

    yang bersifat koersif, melainkan membangun kapasitas (internal

    maupun eksternal) agar sejalan dengan integrasi ekonomi

    regional/global. Kompleksitas ekonomi yang ada, dalam perspektif ini,

  • 16

    menjadikan negara pada titik tertentu sebagai aktor pasar, baik di

    tingkat global ataupun regional (Nesadurai, 2013).

    Dengan melihat globalisasi sebagai proyek (begitu juga dengan

    integrasi ekonomi regional), maka penting bagi kita untuk

    memposisikan ulang peran negara dalam trayektori regionalisme di

    Asia Tenggara. Dengan berpijak pada asumsi bahwa (1)

    regionalisme adalah bagian tak terpisahkan dari globalisasi dan (2)

    pada dasarnya globalisasi adalah proyek politik yang melibatkan negara

    di dalamnya, penelitian ini akan berargumen bahwa regionalisme

    ekonomi di Asia Tenggara, dengan hadirnya AEC, adalah proyek politik

    yang tak terpisahkan dari negara. Dilacak dari akar pendiriannya,

    AEC sangat kental dengan peran yang kompleks antara negara dan

    aktor-aktor bisnis yang saling menegosiasikan kepentingan satu sama

    lain. Untuk itu, perlu adanya perspektif yang mampu (1) memahami

    transformasi dalam ekonomi regional (2) mampu memahami dan

    menempatkan posisi negara dalam trayektori regionalisme ekonomi di

    Asia Tenggara.

    Secara teoretik, regionalisme sendiri diwarnai oleh perdebatan

    dua perspektif yang saling berkontestasi dalam mendefinisikan

    proyek integrasi regional. Perspektif pertama yang berporos pada

    pandangan state-centric melihat bahwa pada dasarnya regionalisme

    berakar dari negara-negara yang memiliki satu kepentingan bersama

    dan menegosiasikan kepentingan tersebut dalam forum ekonomi

    regional (Wunderlich, 2007). Perspektif ini kemudian dikenal sebagai

    liberal intergovernmentalism, yang berporos pada kepentingan negara

    untuk mendefinisikan regionalisme di kawasan (Wunderlich, 2007; lihat

    juga Moravcsik, 2002). Perspektif kedua yang dikenal sebagai

    supranasionalisme lebih percaya pada gagasan dan ide besar yang

    mendorong adanya integrasi ekonomi regional. Melampaui liberal

    intergovernmentalism, perspektif ini percaya bahwa walaupun integrasi

    regional didorong oleh negara, pada dasarnya mereka akan sampai

    pada sebuah konstruksi supra-nasional yang meniscayakan adanya

    pembentukan satu institusi baru yang melampaui negara-bangsa

    (Wunderlich, 2007). Adanya penyatuan mata uang tunggal dan

  • 17

    terbentuknya Komisi Eropa via Perjanjian Maastricht sering menjadi

    argument dari perspektif ini.

    Penelitian ini ingin meletakkan AEC dalam dua perdebatan ini.

    Walaupun pada dasarnya ASEAN merupakan organisasi

    intergovernmental dan proses-proses perundingan yang ada di

    dalamnya juga masih berporos pada negara, beberapa poin dalam

    cetak biru AEC mengisyaratkan adanya integrasi dengan ekonomi

    global (ASEAN, 2007). Dengan berpijak pada asumsi

    intergovernmentalism dalam integrasi regional, penelitian ini

    mencoba untuk menghadirkan negara sebagai salah satu entitas

    yang bisa bersinergi dengan entitas lain (termasuk bisnis) untuk

    membangun kerangka integrasi ekonomi regional. Oleh sebab itu,

    penelitian ini mencoba untuk menghadirkan sebuah perspektif baru

    tentang pemerintahan yang di satu sisi kompetitif (mampu

    meletakkan dirinya secara sinergis dalam kerangka ekonomi politik

    regional) dan secara internal representatif (mampu menghadirkan

    legitimasi politiknya di tingkat domestik).

    B. COMPETITIVE AND REPRESENTATIVE GOVERNMENT

    Sebagaimana telah dianalisis pada bagian sebelumnya,

    paradigma lama dalam perdebatan negara dan pasar yang meletakkan

    interaksi keduanya dalam posisi diametrikal alias saling meniadakan

    (historically and politically divided) sudah sedikit banyak ditinggalkan

    dan digeser oleh sebuah cara pandang baru yang melihat bahwa

    negara dan pasar bisa bekerja bersama dalam logika functional co-

    existence, bahkan mutually reinforcing (lihat misalnya Hirsch, 1995)

    dalam (Pusat Studi ASEAN UGM, 2015). Di satu sisi, pasar global (dan

    regional) mendikte negara untuk look down terhadap integrasi pasar

    regional dan di sisi lain hal ini mengisyaratkan adanya institusi-

    institusi baru di kawasan yang harus diadaptasi oleh negara (lihat

    Nesadurai, 2003). Artinya, peran negara dalam AEC menjadi penting

    untuk bisa beradaptasi, dan kemudian bersinergi dengan entitas bisnis

  • 18

    (baik bisnis besar maupun kecil) di dalam lanskap ekonomi regional

    yang kompetitif sembari di saat bersamaan juga menjaga representasi

    dan legitimasi politik di tingkat domestik.

    Oleh karena itu, pertanyaan sekaligus tantangan yang lebih

    mengedepan bukanlah apakah harus memilih negara atau pasar

    melainkan bagaimana meletakkan keduanya dalam sebuah continuum

    hubungan. Pola hubungan baru tersebut dengan segala

    kontroversinya jelas membutuhkan kualifikasi baru, terutama dari sisi

    negara yang tidak harus menjadi pasar untuk bisa berpikir dan

    bertindak seperti pasar. Dari berbagai literatur yang bisa dirangkum,

    kualifikasi baru ini disebut competitive and representative government.

    Secara sederhana, kedua kualifikasi tersebut dapat dijelaskan

    sebagai berikut. Ketika berhadapan dengan tuntutan pasar dalam

    konteks globalisasidan AEC menjadi bagian darinyamaka wacana

    dominan yang muncul adalah menyiapkan dan menciptakan

    pemerintah yang kompetitif. Ini merupakan tipikal pemerintah yang

    tidak hanya bekerja berbasis logika dasar teritorialitas di tengah mulai

    memudarnya batas-batas jurisdiksi, tetapi juga ditandai oleh otonomi

    relatif terhadap aktor dan faktor di sekitarnya (Hirsch, 1995). Tegasnya,

    pemerintah hadir sebagai aktor yang harus bertarung dengan aktor-

    aktor lain, tidak melulu dalam konteks menundukkan, tetapi juga

    melayaninya. Konsep ini, sayangnya, diterjemahkan secara

    serampangan dalam menempatkan negara ketika berhadapan dengan

    pasar. Dalam banyak situasi, negara secara operasional dipaksa untuk

    melakukan berbagai hal guna memfasilitasi bekerjanya pasar. Dengan

    kata lain, logika dan tuntutan pasar dijadikan pijakan untuk menilai

    kompetitif tidaknya sebuah negara (Farazmand, 2013). Hal itu dapat

    dilihat dari tuntutan kepada pemerintah untuk menghadirkan rezim

    perijinan usaha atau investasi yang murah dari sisi biaya, cepat dari sisi

    waktu, sederhana dan sisi proses, dan seterusnya. Lembaga-lembaga

    internasional seperti Bank Dunia dan World Economic Forum sangat

    gencar mengkampanyekan ini dan tidak segan-segan turun tangan

    memberikan bantuan dan tekanan kepada negara-negara yang

    dianggap business-hostile. Dengan kata lain, competitive state sudah

  • 19

    direduksi menjadi sekedar state competitiveness sehingga negara

    kehilangan makna hakikinya.

    Di tengah memudarnya makna competitive state, dibutuhkan

    suplemen ideologi untuk mengembalikan negara atau pemerintah

    pada jalurnya. Oleh karena itu, konsep competitive state perlu

    diperkuat atau dipertegas lagi dengan kualifikasi tambahan yang

    disebut representative state (lihat misalnya Colas, 2003; Farazmand,

    2010). Meminjam konsep representative bureaucracy, konsep

    representative state terutama mengacu pada kualifikasi aktor dari

    representasi di mana negara hadir secara konkret untuk melayani

    masyarakat yang memberikan mandat kepadanya. Jika konsep

    competitive state terutama diarahkan untuk melayani aktor-aktor di

    lingkup jurisdiksinya investasi asing, perusahaan multinasional,

    lembaga-lembaga internasional, dan NGOs internasional maka

    konsep representative state memberikan perhatian pada aktor dan

    kepentingan domestiknya.

    Bagaimana kedua kualifikasi tersebut bisa bekerja secara

    bersamaan? Mengikuti logika demokrasi, basis pijakan negara dan

    pemerintah adalah lingkup domestiknya. Lingkup global di luar batas

    jurisdiksinya lebih diperlakukan sebagai perluasan arena perwujudan

    kepentingan domestiknya. Dalam konteks ini pula, tuntutan

    kepentingan aktor-aktor global harus ditundukkan di bawah

    kepentingan domestiknya. Konsepsi yang demikian sama sekali tidak

    dikembangkan untuk mewadahi naluri-naluri ultra-nasionalis.

    Sebaliknya, ia semata-mata didesain untuk memastikan agar

    kepentingan domestik benar-benar menjadi basis pijakan pertarungan

    sebuah negara di arena global ataupun dengan aktor-aktor global di

    ranah lokal.

    Pada level yang lebih operasional, implementasi kedua

    kuafilikasi negara tersebut bisa menjembatani hasrat sebuah

    pemerintah untuk mengikatkan dirinya pada berbagai komitmen global

    tanpa harus kehilangan basis pijakan lokalnya. Sebaliknya, pertarungan

    pada ranah global atau pada tingkat lokal dengan aktor-aktor global

  • 20

    menjadi bagian dari strategi untuk mengamankan kepentingan

    domestiknya. Secara pragmatis, inilah pilihan yang paling ideal.

    Banyak negara yang kehilangan legitimasi dan kepercayaan

    masyarakatnya karena hanya melulu melayani kepentingan aktor-

    aktor global (Comptom, 2000; Ivanova dan Castellano, 2011).

    Beberapa negara juga kehilangan peluang dan pada akhirnya

    tertinggal justru ketika ia mencoba menutup diri dari percaturan

    global secara rapat. Tuntutan ini mengharuskan sektor publik

    melakukan berbagai pembenahan serius, mulai dari aspek makro

    kelembagaan hingga aspek mikro individual, baik yang bersifat

    strategis maupun yang bersifat teknis (Farazmand, 2009; Cheung,

    2009; Bowornwathana, 2009). Pada jantung dari pembenahan tersebut

    adalah aspek kapasitas (lihat misalnya Hameiri, 2007; Leindenberg,

    1999; Weiss, 1998). Walaupun banyak pihak merujuk pada struktur

    sebagai biang kerok berbagai persoalan, proposal perubahan seringkali

    menghadapi jalan buntu. Sambil menunggu perombakan struktural

    yang bersifat jangka panjang, solusi inkremental bisa ditemukan pada

    strategi dan agensi.

    C. STATE CAPACITY DAN REINVENTING PERAN

    APARATUR SIPIL NEGARA

    Kerangka Competitive and Representative Government (Pusat

    Studi ASEAN UGM, 2015) yang diajukan pada poin di atas pada

    dasarnya memerlukan kapasitas penyelenggara negara yang prima.

    Secara teoretik, penelitian ini akan menggunakan bingkai Competitive

    and Representative Government untuk mendefinisikan kapasitas-

    kapasitas tertentu yang harus dimiliki oleh negara. Sebagaimana diulas

    pada bagian sebelumnya, Competitive and Representative Government

    tidak hanya memerlukan kapasitas negara yang bisa menghadapi

    kompetisi di tingkat regional/global, tetapi juga mampu

    membangun legitimasi internal di tingkat domestik (Bretton, 2007). Hal

    ini membutuhkan konseptualisasi mengenai apa saja kapasitas yang

    perlu dimiliki oleh negara.

  • 21

    Proyek integrasi ekonomi regional secara teoretik

    melahirkan satu konsep baru dalam paradigma pengelolaan negara,

    yakni regulatory state. Model pengelolaan negara ini membutuhkan

    pergeseran dalam paradigma penyelenggaraan negara dari state-

    building menjadi capacity building (Hameiri, 2010; Irawati dan Rutten,

    2004). Sebagai regulator, negara memerlukan kemampuan untuk

    melakukan manajemen risiko dan krisis untuk menyelamatkan

    perekonomian ketika pasar tidak mampu berjalan secara optimal

    (Hameiri, 2010). Di sisi lain, negara juga dituntut untuk beradaptasi

    dengan knowledge economy yang beriringan dengan regionalisasi

    produksi dan bisnis di kawasan. Dalam model knowledge economy, ada

    tiga elemen yang diperlukan: (1) institusi untuk mendukung inovasi; (2)

    jaringan untuk mengembangkan dan mentransfer pengetahuan (ke

    dalam inovasi); serta (3) dukungan infrastruktur inovasi untuk

    mendorong perusahaan untuk berinovasi (Irawati dan Rutten, 2004).

    Dalam konteks ini, kapasitas negara dan aparatur di dalamnya

    sangat penting untuk mendukung inovasi, baik yang diinisiasi oleh

    aparatur, entitas bisnis, maupun komunitas-komunitas masyarakat

    kreatif.

    Sebagai contoh, kapasitas negara diperlukan untuk membiayai

    research and development yang berskala besar. Negara perlu

    mendorong riset karena sumber daya yang dimiliki (seperti instiusi

    perguruan tinggi atau lembaga riset negara) memiliki kapasitas untuk

    melakukan riset-riset dasar, berskala besar, dan siap digunakan untuk

    industri. Pada titik ini, skema triple helix menjadi penting untuk

    menghubungkan negara dalam sistem knowledge economy (Kroll and

    Schiller, 2014). Contoh yang lain, negara juga penting untuk

    memastikan rantai produksi berjalan secara optimal serta

    memberdayakan kelompok- kelompok usaha kecil menengah untuk

    mampu bersaing dalam skala regional (Permana, Rachman, dan

    Sulistyastuti, 2014). Dalam konteks yang lebih luas, negara juga

    menjadi aktor yang penting untuk menegosiasikan kepentingannya

    dalam forum-forum yang tidak hanya mengikutsertakan negara, tetapi

    juga aktor bisnis. Artinya, kapasitas diplomasi yang dimiliki oleh negara

    tidak hanya ditujukan hanya pada perundingan yang melibatkan negara,

  • 22

    tetapi juga dengan pasar (Nesadurai, 2013) dalam (Pusat Studi ASEAN

    UGM, 2015). Pada konteks ini, perlu adanya reposisi paradigma

    penyelenggaraan negara untuk menghadapi proyek integrasi ekonomi

    regional. Dengan demikian, dalam lanskap integrasi ekonomi regional

    tersebut, posisi negara menjadi penting untuk membangun kapasitas

    dalam empat hal penting. Pertama, kapasitas regulatory, yakni

    kapasitas untuk membuat aturan-aturan, norma, dan koridor yang

    memastikan pasar bisa berjalan secara optimal dan risiko-risiko yang

    berpotensi muncul dalam hal tersebut dapat diantisipasi. Kedua,

    kapasitas pengetahuan, yakni kapasitas untuk merespons perubahan-

    perubahan yang terjadi di tingkat global/regional dan

    menghubungkan pengetahuan tersebut, secara institusional, dengan

    para pemangku kepentingan (stakeholders). Ketiga, kapasitas

    pemberdayaan stakeholders, yakni kapasitas untuk memperkuat

    kapasitas pemangku kepentingan yang tidak memiliki kapasitas skill,

    pengetahuan, serta akses terhadap modal yang membuat mereka gagal

    berkompetisi dalam pasar regional/global. Keempat, kapasitas

    negosiasi, yakni kapasitas untuk bisa berhubungan dengan kekuatan

    ekonomi lain, baik di dalam maupun luar negeri, serta

    membangun kerjasama yang bisa menguntungkan untuk

    pengembangan ekonomi domestik.

    Dalam konteks Indonesia yang menerapkan desentralisasi,

    keempat kapasitas ini perlu diturunkan menjadi daftar kapasitas yang

    bisa diimplementasikan, baik oleh pemerintah daerah maupun

    pemerintah pusat. Keberadaan lembaga riset seperti Lembaga

    Administrasi Negara atau instansi terkait akan menjadi sangat krusial

    dalam memastikan kapasitas-kapasitas tersebut bisa diimplementasikan

    dalam pengembangan kapasitas aparatur negara di berbagai

    tingkatannya.

    Pertanyaan mendasar kemudian muncul di aras yang lebih

    mikro, bagaimana aparatur negara harus menyikapi integrasi ekonomi

    regional? Tantangan bagi administrator publik telah berkembang

    secara paradigmatis dari peran tradisional sebagai pembentuk enabling

    environment seperti regulasi, infrastruktur, pendidikan dan pelatihan;

  • 23

    membentuk prakondisi bagi ekonomi pasar yang efektif seperti

    menjaga kompetisi yang sehat, menjamin keterbukaan informasi,

    penegakan hukum, dan minimalisasi dampak eksternalitas (Klinger,

    2004) menuju peran non-tradisional Governing on The Edges. Dengan

    pendekatan baru tersebut, Mintzberg (2004) dalam Abonyi & Slyke

    (2010) menekankan pada kebutuhan untuk menghubungkan

    pemerintah dengan lingkungan global yang kompleks, dinamis, dan

    saling terkait. Paradigma Governing on The Edges memerlukan

    kolaborasi yang efektif antara pemerintah dengan sektor privat dalam

    membentuk kebijakan yang mampu memberikan insentif bagi dunia

    bisnis namun di saat yang sama merupakan pendekatan yang

    mengedepankan aspek akuntabilitas publik. Secara umum, Governing

    on The Edges berpegang erat pada prinsip (1) linking ketimbang

    commanding; (2) convincing daripada controlling; (3) enabling,

    partnering versus doing.

    Sebenarnya ada dua problem utama yang harus diselesaikan

    dalam memecahkan masalah inkompatibilitas aparatur negara dengan

    tantangan seperti AEC. Chen dan Neo (2007) melalui pendekatan

    dynamic governance menjelaskan problem tersebut sebagai pertama,

    ketidakmampuan organisasi publik dalam memahami perubahan yang

    terjadi di sekitarnya dan kedua, sulitnya membuat penyesuaian-

    penyesuaian institusional sehingga organisasi tetap efektif dalam

    merespon perubahan.

    Dalam konteks AEC, permasalahan pertama bisa diartikan

    sebagai problem awareness. Aparatur negara perlu menjadi yang

    terdepan untuk memahami aturan main perdagangan bebas dan

    investasi di ASEAN, membaca dan menerjemahkannya menjadi

    serangkaian peluang dan tantangan yang perlu diantisipasi oleh seluruh

    elemen masyarakat. Aspek kedua adalah unsur preparedness dalam

    tataran pragmatis tentang bagaimana aparatur melakukan

    penyesuaian. Penyesuaian misalnya dalam hal kelembagaan, dengan

    aturan main baru di tingkat regional apakah perlu direspon dengan

    lembaga yang ramping dan ringkas sehingga gerak organisasi menjadi

    tangkas. Ataukah diperlukan organisasi yang besar, merespon banyak

  • 24

    permasalahan sehingga pendekatan terhadap AEC menjadi lebih

    komprehensif.

    Konseptualisasi peran aparatur negara dalam menghadapi AEC

    juga bisa dilihat dalam kapabilitas seperti apakah aparatur negara telah

    memiliki mindset untuk thinking ahead, thinking again, dan thinking

    across (Chen & Neo, 2007) dalam (Pusat Studi ASEAN UGM, 2015).

    Aparatur harus berpikir ke depan (thinking ahead), menyadari bahwa

    dalam lanskap ekonomi baru ide, kreativitas dan pengetahuan

    merupakan faktor produksi atau input yang sangat penting. Dalam

    skema liberalisasi perdagangan jasa AEC, hanya tenaga kerja

    bersertifikasi dengan skill khusus yang dapat memaksimalkan

    kesempatan mobilitas tenaga kerja.

    Selanjutnya, thinking again yang berarti aparatur harus

    mampu meninjau ulang kebijakan yang sudah ada apakah mampu

    menjawab tantangan yang berkembang sehingga kebijakan dapat

    berkinerja lebih baik dari sebelumnya. Dalam hal ini, penyesuaian atau

    adaptasi kebijakan tidak hanya sebuah reaksi pasif dari tekanan

    eksternal tapi merupakan pendekatan proaktif terhadap inovasi,

    kontekstualisasi dan eksekusi kebijakan.

    Thinking across berarti kemampuan dan keterbukaan untuk

    belajar dari pengalaman institusi lainnya di luar batas-batas organisasi

    sehingga ide baru dapat diperkenalkan dalam sebuah institusi.

    Kemampuan ini juga memerlukan kapasitas aparatur untuk

    bekerjasama dengan institusi lainnya di luar batas-batas administratif

    birokrasi.

    D. TINJAUAN TERHADAP RENCANA PEMBANGUNAN

    JANGKA MENENGAH 2015-2019

    Perwujudan pembangunan ekonomi dalam periode tahun 2015-

    2019 dirancang dengan menekankan pemahaman mengenai dasar untuk

    memulihkan harga diri bangsa dalam pergaulan antar bangsa yang

  • 25

    sederajat dan bermartabat, yakni berdaulat dalam bidang politik,

    berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan,

    yang tertuang dalam Trisakti. Dalam mewujudkan kemandirian ekonomi

    menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan di dalam

    pengelolaan keuangan negara dan sebagai pelaku utama dalam

    pembentukkan produksi dan distribusi nasional.

    Pembangunan di bidang ekonomi ditujukan untuk mendorong

    perekonomian Indonesia ke arah yang lebih maju, yang mampu

    menciptakan peningkatan kesejahteraan rakyat. Tercapainya peningkatan

    kesejahteraan rakyat ini harus didukung oleh berbagai kondisi penting

    yang meliputi: (1) terciptanya pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi

    secara berkelanjutan; (2) terciptanya sektor ekonomi yang kokoh; serta

    (3) terlaksananya pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan.

    Sebagaimana diuraikan sebelumnya, bahwa dalam penyusunan standar

    kompetensi Aparatur Sipil Negara dalam menghadapi ASEAN Economic

    Community mempertimbangkan berbagai isu strategis, sasaran, arah

    kebijakan dan strategi di bidang ekonomi (buku II) sebagaimana

    dituangkan dalam RPJMN 2015-2019 sebagai berikut.

  • 26

    Tabel 2.1.

    Matriks RPJMN 2014-2019 Buku II

    No Bidang Isu Strategis Sasaran Arah Kebijakan Strategi

    1 Industri Re-Industrialisasi yang

    Berkelanjutan

    (1) Deindustrialisasi

    (2) Populasi dan

    Struktur Industri

    Lemah

    (3) Bahan mentah

    diekspor,

    sementara bahan

    setengah jadi

    diimpor.

    (4) Ketergantungan

    pada impor tinggi

    (5) Produktivitas

    Rendah

    (6) Industri

    Terkonsentrasi di

    Pulau Jawa dan

    Sumatera

    Pertumbuhan industri Tahun

    2015-2019 ditargetkan lebih

    tinggi dari pertumbuhan PDB

    dengan sasaran sebagaimana

    ditunjukkan dalam Tabel 3.21.

    Untuk mencapai sasaran

    tersebut, jumlah industri

    berskala menengah dan besar

    perlu meningkat sekitar 9.000

    unit usaha selama 5 tahun ke

    depan

    (1) Pengembangan

    Perwilayahan Industri di luar

    Pulau Jawa: (1)Wilayah Pusat

    Pertumbuhan Industri

    terutama yang berada

    dalam Koridor ekonomi;

    (2)Kawasan Peruntukan

    Industri; (3)Kawasan Industri;

    dan (4) Sentra IKM

    (1) Memfasilitasi pembangunan 14

    Kawasan Industri (KI)

    (2) Membangun paling tidak satu

    kawasan industri di luar Pulau

    Jawa

    (3) Membangun 22 Sentra Industri Kecil

    dan Menengah (SIKIM)

    (4) Berkoordinasi dengan para

    pemangku kepentingan dalam

    membangun infra-struktur utama

    (jalan, listrik, air bersih, telekomunikasi,

    pengolah limbah, dan logistik),

    infrastruktur pendukung tumbuhnya

    industri, dan sarana pendukung kualitas

    kehidupan (Quality Working Life) bagi

    pekerja.

    (2) Penumbuhan Populasi

    Industri

    (1) Mendorong investasi untuk industri

    pengolah sumber daya alam, baik hasil

    pertanian maupun hasil pertambangan

    (hilirisasi)

    (2) mendorong investasi industri

    penghasil barang konsumsi kebutuhan

    dalam negeri, penghasil bahan baku,

    bahan setengah jadi, komponen dan

  • 27

    No Bidang Isu Strategis Sasaran Arah Kebijakan Strategi

    sub-assembly

    (3) Memanfaatkan kesempatan dalam

    jaringan produksi global baik sebagai

    perusahaan subsidiary, contract

    manufacturer, maupun sebagai

    independent supplier (Integrasi ke

    Global Production Network).

    (4) Pembinaan industri kecil dan

    menengah (Pembinaan IKM) agar

    dapat terintegrasi dengan rantai nilai

    industri pemegang merek

    (Original Equipment Manufacturer,

    OEM) di dalam negeri dan dapat

    menjadi basis penumbuhan populasi

    industri besar dan sedang.

    (3) Peningkatan Daya Saing

    dan Produktivitas (Nilai

    Ekspor dan

    Nilai Tambah Per Tenaga

    Kerja)

    (1) Peningkatan Efisiensi Teknis

    (2) Peningkatan Penguasaan Iptek /

    Inovasi

    (3) Peningkatan Penguasaan dan

    Pelaksanaan Pengembangan Produk

    Baru (New Product Development) oleh

    industri domestik.

    (4) Pembangunan Faktor Input

    (5) Peningkatan kemudahan, kepastian

    dan perlindungan usaha.

  • 28

    No Bidang Isu Strategis Sasaran Arah Kebijakan Strategi

    2 Perdagangan

    DN

    Mendorong

    Perdagangan Dalam

    Negeri

    (1) Masih terdapatnya

    kelangkaan stok

    dan disparitas

    harga bahan pokok

    yang tinggi

    (2) Belum optimalnya

    aktivitas

    perdagangan

    dalam negeri

    (3) Masih rendahnya

    minat masyarakat

    terhadap produk

    domestik.

    (4) Belum optimalnya

    upaya pelindungan

    konsumen

    Pertumbuhan PDB riil sub

    kategori perdagangan besar

    dan eceran menjadi sebesar

    8,2 persen di tahun 2019

    Meningkatkan aktivitas

    perdagangan dalam negeri

    yang lebih efisien dan

    berkeadilan

    (1) Pembenahan

    sistem distribusi

    bahan pokok dan

    sistem logistik

    rantai pasok agar

    lebih efisien dan

    lebih andal serta

    pemberian

    insentif

    perdagangan

    domestik

    sehingga dapat

    mendorong

    peningkatan

    produktivitas

    ekonomi dan

    mengurangi

    kesenjangan

    antar wilayah

    (1) Meningkatkan

    ketersediaan

    sarana dan

    prasarana

    perdagangan

    Terjaganya koefisien variasi

    harga barang kebutuhan

    pokok antar waktu rata-rata di

    bawah 9,0 persen per tahun.

    (2) Pembenahan

    iklim usaha

    perdagangan

    yang lebih

    kondusif

    (2) Meningkatkan

    kualitas sarana

    perdagangan

    (terutama pasar

    rakyat)

    Terjaganya koefisien variasi

    harga barang kebutuhan

    pokok antar wilayah rata-rata

    di bawah 13,6 persen per

    tahun

    (3) Penguatan

    perlindungan

    konsumen dan

    standardisasi

    produk lokal di

    (3) Meningkatkan

    aktivitas

    perdagangan

    antar wilayah di

    Indonesia

  • 29

    No Bidang Isu Strategis Sasaran Arah Kebijakan Strategi

    Pembangunan/revitalisasi 5000

    pasar rakyat, yang didukung

    oleh pemberdayaan terpadu

    nasional pasar rakyat

    pusat dan di

    daerah

    (4) Meningkatkan

    kapasitas pelaku

    usaha dagang

    kecil menengah

    (5) Meningkatkan

    iklim usaha

    perdagangan

    konvensional dan

    non konvensional

    yang lebih

    kondusif

    (6) Mendorong

    penggunaan

    produk domestik

    (7) Meningkatkan

    perlindungan

    konsumen

    (8) Menerapkan

    Standar Nasional

    Indonesia (SNI)

    secara konsisten,

    baik untuk produk

    impor maupun

    produk domestik

    (9) Meningkatkan

    efektivitas

    pengelolaan impor

    untuk menjaga

    stabilitas pasar

  • 30

    No Bidang Isu Strategis Sasaran Arah Kebijakan Strategi

    domestik,

    (10) Mendorong

    Perdagangan

    Berjangka

    Komoditi

    (11) Mendorong

    pengembangan

    Sistem Resi

    Gudang dan Pasar

    Lelang

    (12) Meningkatkan

    kuantitas dan

    kualitas sarana

    dan prasarana

    penunjang

    perdagangan

    3 Perdagangan

    LN

    Peningkatan Daya

    Saing Ekspor

    (1) Sebagian besar

    ekspor merupakan

    komoditas Primer.

    (2) Masih rendahnya

    tingkat diversifikasi

    pasar tujuan

    ekspor.

    (3) Masih rendahnya

    Pertumbuhan ekspor produk

    non-migas rata-rata sebesar

    11,6 persen per tahun

    (1) Menjaga dan

    meningkatkan pangsa pasar

    produk Indonesia di pasar

    ekspor utama (market

    maintenance)

    (1) Meningkatkan kemampuan

    diplomasi perdagangan

    Rasio ekspor jasa terhadap

    PDB rata-rata sebesar 3,0

    persen per tahun

    (2) Meningkatkan peran perwakilan

    dagang di luar negeri

    Peningkatan pangsa ekspor

    produk manufaktur menjadi

    sebesar 65 persen

    (2) Meningkatkan pangsa

    pasar ekspor di pasar

    prospektif (market creation)

    (1) Memanfaatkan kerjasama

    perdagangan yang ada dan

    meningkatkan kerjasama perdagangan

    bilateral

    (2) Meningkatkan peran perwakilan

  • 31

    No Bidang Isu Strategis Sasaran Arah Kebijakan Strategi

    daya saing ekspor

    jasa

    (4) Meningkatnya

    hambatan non tarif.

    (5) Fasilitasi ekspor

    yang belum

    optimal

    dagang di luar negeri

    (3) Meningkatkan promosi ekspor

    (4) Meningkatkan pemanfaatan Rantai

    Nilai Global dan Jaringan Produksi

    Global yang menghasilkan barang dan

    jasa berorientasi ekspor

    (3) Mengidentifikasi peluang

    pasar ekspor produk dan

    jasa potensial (product

    creation)

    (1) Meningkatkan efektivitas market

    intelligence

    (2) Meningkatkan kapasitas dan

    kemampuan calon eksportir dan

    eksportir pemula

    (3) Meningkatkan sosialisasi dan

    diseminasi informasi mengenai produk

    potensial kepada seluruh produsen

    atau pelaku usaha potensial

    (4) Meningkatkan daya saing produk

    nasional

    (5) Meningkatkan kuantitas dan kualitas

    ekspor sektor jasa prioritas dalam

    rangka mendorong ekspor non-migas,

    meningkatkan efisiensi ekonomi dan

    produktivitas ekonomi serta

    meningkatkan fasilitasi perdagangan

    (4) Meningkatkan fasilitasi

    ekspor dan impor untuk

    mendukung daya saing

    produk nasional (export

    (1) Meningkatkan efektivitas

    manajemen impor

    (2) Mengoptimalkan fasilitas safeguards

    dan pengamanan perdagangan lainnya

  • 32

    No Bidang Isu Strategis Sasaran Arah Kebijakan Strategi

    facilitation and import

    management)

    (3) Melakukan evaluasi terhadap

    pelaksanaan Free Trade Agreements

    (FTA) yang sudah dilakukan

    (4) Meningkatkan upaya pemantauan

    produk dan jasa luar negeri yang

    berpotensi mengancam daya saing

    produk lokal di pasar domestik

    (5) Mengembangkan fasilitasi

    perdagangan yang lebih efektif

    4 Kerjasama

    Ekonomi

    Internasional

    Kerjasama Ekonomi

    Internasional

    (peningkatan

    kerjasama

    internasional baik di

    forum bilateral,

    regional, maupun

    multilateral)

    (1) menurunnya jumlah

    hambatan tarif dan non-tarif di

    negara-negara yang menjadi

    pasar ekspor utama dan

    prospektif

    Indonesia;

    Mendorong kerja sama

    ekonomi internasional yang

    lebih selektif dengan

    mengutamakan

    kepentingan

    nasional dalam rangka

    mendorong pertumbuhan

    ekonomi yang

    berkelanjutan, khususnya

    melalui peningkatan ekspor,

    pariwisata, dan investasi,

    bagi peningkatan

    kesejahteraan masyarakat.

    (1) Perumusan strategi diplomasi

    ekonomi nasional yang lebih

    komprehensif untuk mendukung kerja

    sama ekonomi internasional yang

    dapat mendorong penurunan

    hambatan non tarif, pembukaan pasar

    prospektif, dan menarik investasi asing

    langsung (foreign direct investment),

    serta menciptakan koherensi antara

    kebijakan kerja sama ekonomi

    internasional dengan kebijakan

    pembangunan

    nasional dan daerah.

    (2) meningkatnya pemanfaatan

    skema perundingan kerjasama

    ekonomi internasional yang

    telah disepakati

    (2) Penyusunan kriteria dalam

    menentukan prioritasi (seleksi) kerja

    sama ekonomi internasional dalam lima

    tahun ke depan, yang menguntungkan

    dan sesuai dengan kepentingan

    nasional.

  • 33

    No Bidang Isu Strategis Sasaran Arah Kebijakan Strategi

    (3) mengurangi dampak

    negatif implementasi hasil

    kesepakatan

    kerjasama ekonomi

    internasional;

    (3) Pemantauan, kaji ulang, dan

    evaluasi terhadap perjanjian kerjasama

    ekonomi internasional yang telah

    berjalan maupun yang tengah dalam

    proses negosiasi

    (4) meningkatnya produktivitas

    para pelaku usaha di pasar

    prospektif Indonesia

    (4) Peningkatan koordinasi antar

    lembaga pemerintah, antara lembaga

    pemerintah dengan kalangan dunia

    usaha, akademisi, LSM, dan masyarakat

    dalam proses perumusan strategi

    diplomasi ekonomi, serta implementasi

    dan pemanfaatan kerja sama ekonomi

    internasional yang telah disepakati.

    (5) Peningkatan kemampuan

    identifikasi kepentingan nasional untuk

    diperjuangkan dalam forum kerja sama

    ekonomi internasional, baik dalam

    forum bilateral, regional, maupun

    multilateral sehingga tercipta koherensi

    efektif antara diplomasi politik dan

    diplomasi ekonomi dengan program-

    program pembangunan di tingkat

    pusat dan daerah

    (6) Pembentukan tim diplomasi lintas

    sektor/instansi yang mewakili Indonesia

    dalam memperjuangkan kepentingan

    nasional pada negosiasi kerja sama

    ekonomi internasional baik bilateral,

    regional, dan multilateral.

  • 34

    No Bidang Isu Strategis Sasaran Arah Kebijakan Strategi

    (7) Peningkatan kerja sama ekonomi

    internasional yang lebih luas dan

    menguntungkan bagi Indonesia dalam

    rangka membuka penetrasi ekspor ke

    pasar prospektif sambil tetap menjaga

    dan mempertahankan pasar ekspor

    utama Indonesia.

    (8)

    Peningkatan

    daya saing

    perekonomian

    nasional untuk

    menghadapi

    implementasi

    dan

    peningkatan

    pemanfaatan

    Indonesia

    dalam AEC

    2015

    (1) Peningkatan peran

    aktif berbagai

    pemangku

    kepentingan, baik

    dari pemerintah

    pusat, pemerintah

    daerah, maupun

    kalangan

    dunia usaha dalam

    mengoptimalkan

    manfaat dari

    implementasi

    (2) Peningkatan peran

    dan fungsi Sekretariat

    Nasional ASEAN,

    Komite Nasional

    ASEAN, Pusat Studi

    ASEAN, dan ASEAN

    Economic Community

    Center (AEC Center).

  • 35

    No Bidang Isu Strategis Sasaran Arah Kebijakan Strategi

    (3) Peningkatan

    efektivitas sosialisasi,

    komunikasi, serta

    layanan edukasi

    terhadap masyarakat

    dan para pelaku bisnis

    mengenai

    pemahaman dan

    pemanfaatan AEC

    (4) Peningkatan daya

    saing nasional dalam

    rangka menghadapi

    dan meningkatkan

    pemanfaatan AEC

    2015 perlu didukung

    pula oleh peningkatan

    iklim usaha dan

    investasi yang

    kondusif, peningkatan

    daya saing produk

    unggulan Indonesia,

    peningkatan

    infrastruktur,

    peningkatan daya

    saing sumber daya

    manusia, serta

    peningkatan kapasitas

    UKM.

  • 36

    No Bidang Isu Strategis Sasaran Arah Kebijakan Strategi

    (9) Pembentukan aliansi strategis

    dengan negara-negara kekuatan

    ekonomi baru dalam membentuk

    skema perdagangan yang lebih adil

    dan menguntungkan serta mendorong

    reformasi lembaga-lembaga keuangan

    internasional.

    (10) Peningkatan dialog dan kerja sama

    teknis di bidang ekonomi dengan

    negara-negara tetangga di kawasan

    Asia Timur dan Asia Tenggara guna

    memperkuat integritas kawasan serta

    menjamin kestabilan politik dan

    ekonomi kawasan dan nasional.

    (11) Penyusunan road map kerangka

    kerja sama ekonomi maritim dalam

    rangka mendukung pembangunan,

    pengelolaan, dan pemanfaatan wilayah

    maritim Indonesia yang lebih baik.

  • 37

    BAB 3

    TEMUAN LAPANGAN

    KEPULAUAN RIAU

    A. DESKRIPSI KONDISI DAERAH

    Beberapa wilayah di Provinsi Kepulauan Riau memiliki potensi

    untuk dikembangkan sebagai kawasan budidaya seperti perikanan,

    pertanian, pariwisata, industri, pertambangan dan lain-lain. Sesuai

    dengan RTRW Provinsi Kepulauan Riau, Kawasan peruntukan hutan

    produksi meliputi Kawasan Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Produksi

    Konversi. Luas kawasan hutan produksi di Provinsi Kepulauan Riau adalah

    49.441 Ha, Kawasan Hutan Produksi Terbatas seluas 164.209 Ha dan

    Kawasan Hutan Produksi Konversi seluas 265.806 Ha yang tersebar di

    seluruh wilayah Kabupaten/Kota Provinsi Kepulauan Riau.

    Rencana kawasan peruntukan pertanian di Provinsi Kepulauan

    Riau seluas 84.332 Ha. Kawasan pertanian ini terdiri dari kawasan

    budidaya tanaman pan