Penyebab Daan Kronologis Tawuran Sma 70

4
JAKARTA - Di bilangan Bulungan, Blok M, Jakarta Selatan berdiri dua sekolah menengah atas (SMA) negeri, SMAN 6 dan SMAN 70. Para siswa kedua sekolah kerap berbangga hati menuntut ilmu di almamater mereka. Pasalnya, SMAN 6 dan SMAN 70 mendapat predikat sekolah unggulan. Tentu saja, predikat tersebut sejatinya lekat dengan hal akademik. Tetapi pada kenyataannya, gaya hidup dan pergaulan sebagian besar pelajar SMAN 6 dan SMAN 70 ikut menyumbang rasa kepemilikan yang berlebihan atas almamater mereka. Perasaan berlebihan inilah yang meletupkan api permusuhan di kedua sekolah yang bertetangga tersebut. Sejak era 1980-an, kedua sekolah yang lokasinya dekat dengan pusat perbelanjaan dan tongkrongan anak muda ini sering terlibat aksi tawuran, mulai dari yang kecil-kecilan hingga dalam skala besar. Tidak hanya merusak jalan dan sarana umum di sekitar lokasi tawuran, aksi mereka juga sering kali menumbalkan korban luka-luka hingga merenggut nyawa. Tragisnya, korban tawuran bukan semata-mata para pelaku, tetapi juga orang-orang tidak bersalah yang berada pada waktu dan tempat yang salah. Kebrutalan generasi penerus bangsa di kedua sekolah ini terakhir pecah pada 24 September 2012. Siang itu, lima siswa SMAN 6 melepas lelah sehabis mengerjakan ujian di kedai gulai tikungan (gultik) dekat sekolah. Tiba-tiba, kelimanya diserang sekira 20 siswa SMAN 70. Di antara kelompok siswa penyerang terlihat ada yang membawa arit. Penyerangan satu arah ini hanya berlangsung 15 menit tapi berakibat cukup fatal. Dua siswa terluka, dan salah satunya dibacok di bagian dada. Sang korban, Alawy Yusianto Putra (15), sempat dilarikan ke Rumah Sakit Muhammadiyah. Namun, nyawa siswa kelas X SMAN 6 itu tidak tertolong. Polisi pun memeriksa saksi-saksi, termasuk guru SMAN 6 dan SMAN 70. Proses penyelidikan dan penyidikan polisi kemudian mengerucut ke satu nama, Fitra Ramadhani alias Doyok. Pelajar berusia 19 tahun itu akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Tidak hanya itu, SMAN 70 juga mengeluarkannya dari sekolah. Meski demikian, pihak sekolah menampik tindakan ini diambil sehubungan status tersangka Fitra. Kepala Sekolah SMAN 70 Saksono Liliek Susanto menegaskan, rapat guru menetapkan keputusan tersebut karena nilai sanksi yang diterima Fitra sudah melampaui 150. Sesuai peraturan sekolah, siswa yang mengantongi nilai sanksi lebih dari 150 harus dikeluarkan. Selain Fitra, polisi juga menetapkan enam tersangka lainnya. Namun, karena nilai sanksi pelanggaran mereka belum mencapai 150, maka sekolah belum mengeluarkan keenam siswa tersebut. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) M Nuh yang turun tangan langsung menangani kasus ini menyerahkan sepenuhnya upaya hukum kepada pihak kepolisian dan institusi terkait lainnya. Bahkan, Mendikbud mendukung pelaku penusukan hingga

description

Penyebab Terjadinya Tawuran Antar Pelajar Anneahira

Transcript of Penyebab Daan Kronologis Tawuran Sma 70

Page 1: Penyebab Daan Kronologis Tawuran Sma 70

JAKARTA - Di bilangan Bulungan, Blok M, Jakarta Selatan berdiri dua sekolah menengah atas (SMA) negeri, SMAN 6 dan SMAN 70. Para siswa kedua sekolah kerap berbangga hati menuntut ilmu di almamater mereka. Pasalnya, SMAN 6 dan SMAN 70 mendapat predikat sekolah unggulan. Tentu saja, predikat tersebut sejatinya lekat dengan hal akademik. Tetapi pada kenyataannya, gaya hidup dan pergaulan sebagian besar pelajar SMAN 6 dan SMAN 70 ikut menyumbang rasa kepemilikan yang berlebihan atas almamater mereka. 

Perasaan berlebihan inilah yang meletupkan api permusuhan di kedua sekolah yang bertetangga tersebut. Sejak era 1980-an, kedua sekolah yang lokasinya dekat dengan pusat perbelanjaan dan tongkrongan anak muda ini sering terlibat aksi tawuran, mulai dari yang kecil-kecilan hingga dalam skala besar. Tidak hanya merusak jalan dan sarana umum di sekitar lokasi tawuran, aksi mereka juga sering kali menumbalkan korban luka-luka hingga merenggut nyawa. Tragisnya, korban tawuran bukan semata-mata para pelaku, tetapi juga orang-orang tidak bersalah yang berada pada waktu dan tempat yang salah. 

Kebrutalan generasi penerus bangsa di kedua sekolah ini terakhir pecah pada 24 September 2012. Siang itu, lima siswa SMAN 6 melepas lelah sehabis mengerjakan ujian di kedai gulai tikungan (gultik) dekat sekolah. Tiba-tiba, kelimanya diserang sekira 20 siswa SMAN 70. Di antara kelompok siswa penyerang terlihat ada yang membawa arit. Penyerangan satu arah ini hanya berlangsung 15 menit tapi berakibat cukup fatal. Dua siswa terluka, dan salah satunya dibacok di bagian dada. Sang korban, Alawy Yusianto Putra (15), sempat dilarikan ke Rumah Sakit Muhammadiyah. Namun, nyawa siswa kelas X SMAN 6 itu tidak tertolong. 

Polisi pun memeriksa saksi-saksi, termasuk guru SMAN 6 dan SMAN 70. Proses penyelidikan dan penyidikan polisi kemudian mengerucut ke satu nama, Fitra Ramadhani alias Doyok. Pelajar berusia 19 tahun itu akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Tidak hanya itu, SMAN 70 juga mengeluarkannya dari sekolah. 

Meski demikian, pihak sekolah menampik tindakan ini diambil sehubungan status tersangka Fitra. Kepala Sekolah SMAN 70 Saksono Liliek Susanto menegaskan, rapat guru menetapkan keputusan tersebut karena nilai sanksi yang diterima Fitra sudah melampaui 150. Sesuai peraturan sekolah, siswa yang mengantongi nilai sanksi lebih dari 150 harus dikeluarkan.  Selain Fitra, polisi juga menetapkan enam tersangka lainnya. Namun, karena nilai sanksi pelanggaran mereka belum mencapai 150, maka sekolah belum mengeluarkan keenam siswa tersebut. 

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) M Nuh yang turun tangan langsung menangani kasus ini menyerahkan sepenuhnya upaya hukum kepada pihak kepolisian dan institusi terkait lainnya. Bahkan, Mendikbud mendukung pelaku penusukan hingga menyebabkan tewasnya Alawy di penjara sesuai hukum yang berlaku

Penyebab Tawuran 

Sebagian besar siswa SMAN 6 dan SMAN 70 pelaku tawuran percaya, tawuran sudah menjadi budaya sekolah mereka. Tidak heran, para siswa pun menganggap tindak penyerangan kepada siswa sekolah lain sebagai hal yang lumrah karena sudah dilakukan para senior mereka secara turun 

Page 2: Penyebab Daan Kronologis Tawuran Sma 70

temurun sejak puluhan tahun lalu. 

Selain itu, siswa kedua sekolah percaya, mereka memiliki batas-batas tertentu atas wilayah sekolah masing-masing. Setiap sekolah dilarang memasuki teritori sekolah lain. Misalnya, siswa SMAN 6 dilarang memasuki Jalan Bulungan, yang menjadi wilayah SMAN 70. Sebaliknya, Jalan Mahakam menjadi wilayah terlarang bagi siswa SMAN 70 karena merupakan teritori SMAN 6. Pelanggaran batas teritori juga bisa menyulut tawuran. Faktor inilah yang ditengarai menjadi penyebab penyerangan siswa SMAN 70 terhadap lima siswa SMAN 6 tadi. 

Penyebab utama tawuran adalah eksistensi siswa kedua sekolah. Sementara itu, pencetus tawuran bisa jadi bermacam-macam, seperti saling ejek, siapa menyerang lebih dulu, dan lainnya; tergantung situasi yang sedang dihadapi. 

Pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina Mohammad Abduhzen mengingatkan, masalah ini sebenarnya sudah berlarut dan mencerminkan situasi umum tentang pendidikan dan anak muda Indonesia sekarang. "Perkelahian dua sekolah tersebut sudah sangat berlarut, dan seharusnya ada agenda serius dalam menyelesaikannya," kata Abduhzen kepada Okezone.  

Menurutnya, penyebab kasus tawuran antara dua "musuh bebuyutan"  ini tidaklah tunggal, melainkan kompleks. Salah satunya, sistem pembelajaran di sekolah yang berorientasi pada materi pelajaran karena harus mencapai target lulus ujian nasional. Karena guru harus mengejar target kurikulum, maka tak ada ruang atau waktu bagi pengembangan berpikir atau nalar anak. Kondisi ini juga menyebabkan mudahnya anak-anak terjerat pada perekrutan radikalisme.

Upaya penyelesaian 

Menurut Kepala SMAN 6 Kadarwati Mardiutama, pihak sekolah sudah melakukan banyak langkah pencegahan tawuran, terutama dari segi sikap dan disiplin para siswa. Pihak sekolah juga memasang kamera pengintai di sejumlah sudut sekolah untuk mengawasi perilaku anak didiknya. 

"Tidak hanya itu, para guru ikut bertugas menjaga di luar sekolah seperti di tikungan Gultik, bundaran patung tangan, atau persimpangan antara Jalan Mahakam dan Bulungan saat masuk dan pulang sekolah," ujarnya. 

Kadarwati juga dengan tegas membubarkan kelompok-kelompok yang didirikan siswa untuk mencegah budaya senioritas  di sekolah. Namun dia juga tidak menampik bahwa bentuk-bentuk senioritas masih terjadi meski dalam skala kecil. 

Sementara itu, Kepala SMAN 70 Bulungan Saksono Liliek Susanto menilai, penyebab tawuran bukan semata-mata faktor sekolah, tetapi juga dari internal siswa pelaku. Faktor lainnya, pengaruh lingkungan sekitar misalnya dari tayangan televisi dan perilaku teman-teman sebaya. 

Saksono percaya, penyelesaian masalah tawuran pun harus dilakukan secara seksama. "Untuk mencegah tawuran, perlu kerjasama semua pihak dimulai dari keluarga, sekolah, alumni, pemerintah, penegak hukum, dan psikolog," kata Saksono.  

Page 3: Penyebab Daan Kronologis Tawuran Sma 70

Sementara itu, menurut Mendikbud M Nuh, fokus utama penyelesaian kasus tawuran tersebut adalah pada rekonsiliasi kedua belah sekolah. "Proses ini tentu melibatkan semua pemangku kepentingan," ujar Nuh. 

Kemendikbud sendiri menetapkan langkah-langkah yang diharapkan dapat meredam aksi tawuran antarpelajar ini. Selama satu bulan setelah insiden, seluruh pemangku kepentingan diharapkan berpartisipasi menciptakan keamanan dan kenyamanan, serta menunda semua kegiatan yang bersifat massal. Langkah selanjutnya adalah mengaktifkan pos terpadu, termasuk memasang kamera pengintai dan menempatkan petugas piket di pos tersebut. 

Selain itu, Kemendikbud juga mencanangkan pembinaan khusus kepada pihak-pihak yang potensial menyulut kerusuhan, misalnya dengan mengikutsertakan mereka dalam kegiatan bela negara bersama TNI. Sementara dari segi internal, setiap sekolah diimbau untuk menata kembali sekolah masing-masing, seperti memastikan tidak ada gap di antara para siswa atau membuat tanda khusus sebagai pembeda angkatan.

Kasus tawuran lainnya 

Sepanjang 2012, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat 82 siswa tewas akibat 147 kasus tawuran antarpelajar.  Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya, yakni 128 kasus. 

Sebagian besar pelaku tawuran adalah pelajar SMA. Tetapi ironisnya, tren tawuran telah bergeser ke kelompok usia SMP dan SD. 

Bila diruntut, hampir setiap bulan aksi tawuran antarpelajar merebak, terutama di Ibu Kota. Aksi tawuran bisa meletus hanya berselang satu minggu setelah tawuran di lokasi lain. Bahkan, kematian Alawy tidak menyurutkan langkah pelajar di kawasan Manggarai, Jakarta Selatan, untuk bentrok. Tragisnya, aksi ini juga merenggut nyawa satu pelajar, Denny Januar.  

Pengamat pendidikan Abduhzen menilai, penyelesaian kasus tawuran antarsekolah bukan sebatas reposisi kepala sekolah atau relokasi sekolah. Pendekatan yang sebaiknya dilakukan justru pada pembenahan sistem pembelajaran yang lebih mengedepankan penanaman nilai-nilai  sosial yang baik.

Namun perlu diingat, penanaman nilai-nilai itu bukan dengan "nasihat-nasihat", apalagi indoktrinasi seperti yang sering terjadi dalam pembelajaran di Tanah Air. Penekanannya, kata Abduhzen, adalah menghargai anak sebagai manusia yang memiliki kemampuan berpikir. "Oleh sebab itu mengajar berpikir atau menalar adalah sangat penting. Sebab, fondasi nilai-nilai ada pada kemampuan berpikir dengan 'akal sehat'," tutur Abduhzen. (rfa) - See more at: http://kaleidoskop.okezone.com/read/2012/12/26/349/737149/large#sthash.LDHEn2As.dpuf