Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus...

93
PENINGKATAN KUALITAS NUTRITIF PUTAK MELALUI FERMENTASI CAMPURAN Trichoderma reesei dan Aspergillus niger SEBAGAI PAKAN RUMINANSIA MARITJE ALEONOR HILAKORE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

description

Animal Science

Transcript of Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus...

Page 1: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

PENINGKATAN KUALITAS NUTRITIF PUTAK

MELALUI FERMENTASI CAMPURAN

Trichoderma reesei dan Aspergillus niger SEBAGAI PAKAN RUMINANSIA

MARITJE ALEONOR HILAKORE

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

Page 2: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Peningkatan Kualitas Nutritif

Putak melalui Fermentasi Campuran Trichoderma reesei dan Aspergillus niger

sebagai Pakan Ruminansia adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi

Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi

manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi ini.

Bogor, September 2008

Maritje Aleonor Hilakore

NIM D061030171

Page 3: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

ABSTRACT

MARITJE A HILAKORE. Improving Putak Nutritive Quality Using Mixed

Culture Trichoderma reesei and Aspergillus niger As Ruminant Feed.

Under the supervisions of SURYAHADI, KOMANG G WIRYAWAN, and

DJUMALI MANGUNWIDJAJA

Putak is a local feed in East Timor, East Nusa Tenggara Province. It is obtained

from the pit of palm tree which is called gewang tree (Corypha elata robx). Putak

contains high carbohydrate and fiber but low in protein. The evaluation of putak

potency as a feed source and co-cultured of Trichoderma reesei and Aspergillus

niger as an inoculants to improve the nutritive quality of the putak for use in goats

diets were carried out in a series of 3 experiments. The first experiment was

conducted to determine the inoculum optimum level and incubation time of each

microbe on nutrient composition. Aspergillus niger contained 2.4 x 107 g

-1 cfu

with inoculum levels were 0.5, 1.0, 1.5 and 2.0% (w/w), whereas Trichoderma

reesei contained 1.98 x 105 g

-1 cfu and 5.0, 7.5, 10% (w/w) inoculum levels.

Incubation time were 2, 3 and 4 days. This study showed that the best content of

crude protein and true protein was at three days incubation and the inoculum level

was 1.5% (w/w) for A.niger, while, T.reesei at four days and 7.5% (w/w)

inoculum. Second experiment conducted to determine delay time to combine both

microbes in mixed culture on nutrient composition and rumen fermentability. The

best result of this study was when A.niger was inoculated two days after T.reesei,

where crude protein and true protein was higher and crude fiber was lower than

monoculture. Level of volatile fatty acids (VFA) and ammonia ( N-NH3) were

suitable to support microbial production. The last experiment to test goats

response to diets containing putak fermentation and fed on rice straw based ration

on daily gain, ration and rice straw consumption, N retention and fiber

digestibility. The result showed that using 40% putak fermentation in goat diets

give the best response to all variables measured.

Key words : Corypha, putak, A.niger, T.reesei, Mixed culture

Page 4: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

ABSTRAK

MARITJE ALEONOR HILAKORE. Peningkatan Kualitas Nutritif Putak melalui

Fermentasi Campuran Trichoderma reesei dan Aspergillus niger sebagai Pakan

Ruminansia. Dibimbing oleh SURYAHADI, KOMANG G WIRYAWAN dan

DJUMALI MANGUNWIDJAJA.

Putak merupakan nama pakan lokal di Pulau Timor, Provinsi Nusa Tenggara

Timur yang diperoleh dari isi (empulur) batang pohon gewang (Corypha elata

robx), mengandung pati serta serat kasar tinggi dan protein yang rendah.

Penelitian yang bertujuan guna memperbaiki kualitas putak melalui kultur

campuran Trichoderma reesei dan Aspergillus niger sebagai pakan kambing

dilaksanakan dalam tiga tahap. Percobaan pertama dilakukan untuk mendapatkan

level kultur serta lama inkubasi optimum dari masing-masing kapang terhadap

perubahan komposisi nutrisi putak. Konsentrasi masing-masing kultur, A.niger

adalah 2.4 x 107

cfu per g dengan level yang dicobakan 0.5, 1.0, 1.5 dan 2.0%

(b/b), sedangkan T.reesei 1.98 x 105 cfu per g dan level 5.0, 7.5 dan 10.0% (b/b).

Lama inkubasi yang dicobakan 2, 3 dan 4 hari. Hasil percobaan menunjukkan

level kultur dan lama inkubasi optimum adalah 1.5% dan 3 hari untuk A.niger

serta level 7.5% dan 4 hari untuk T.reesei berdasarkan peningkatan kadar protein

kasar dan protein murni substrat tertinggi. Percobaan kedua dilakukan untuk

menentukan waktu pencampuran terbaik dari kedua kapang dalam kultur

campuran yang diukur dari kadar nutrien serta fermentabilitas in vitro substrat.

Lama penundaan yang dicobakan adalah 0, 1 dan 2 hari. Berdasarkan peubah

yang diukur maka hasil terbaik dari percobaan ini adalah bilamana A.niger

diinokulasikan setelah fermentasi T.reesei berjalan 2 hari, dan hasil tahap ini lebih

tinggi dari tahap sebelumnya (kultur tunggal). Percobaan tahap 3 dilakukan untuk

mengkaji respon ternak terhadap pemberian putak fermentasi hasil perlakuan

terbaik percobaan tahap 2, yang diukur dari konsumsi dan kecernaan nutrien,

pertambahan bobot badan harian serta efisiensi penggunaan ransum. Hasil

penelitian memperlihatkan bahwa dengan penggunaan 40% putak fermentasi

dalam konsentrat memberi respon yang positip terhadap konsumsi ransum basal

dan semua peubah dibanding penggunaan 10% putak tanpa olah. Hasil tersebut

menunjukkan bahwa fermentasi campuran T.reesei dan A.niger dapat

meningkatkan kualitas nutritif putak serta penggunaannya dalam ransum tanpa

memberi dampak negatif terhadap pertumbuhan ternak.

Kata kunci : Corypha, putak, kultur campuran, A.niger, T.reesei

Page 5: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

RINGKASAN

MARITJE A HILAKORE. Peningkatan Kualitas Nutritif Putak melalui

Fermentasi Campuran Trichoderma reesei dan Aspergillus niger sebagai

Pakan Ruminansia. Dibimbing oleh SURYAHADI, KOMANG G

WIRYAWAN dan DJUMALI MANGUNWIDJAJA.

Putak adalah nama pakan lokal di Pulau Timor Provinsi Nusa Tenggara

Timur yang diperoleh dari isi (empulur) batang pohon gewang (Corypha elata

robx). Kandungan pati dan serat kasar yang tinggi tetapi rendah protein

merupakan kendala utama penggunaannya sebagai pakan. Proses pengolahan

biologi melalui fermentasi dapat memberi hasil yang positif terhadap kualitas

bahan. Kapang Trichoderma reesei dan Aspergillus niger secara kultur tunggal

sering digunakan dalam pengolahan pakan karena kemampuannya dalam

degradasi selulosa maupun pati menjadi protein.

Penggunaan kultur campuran dalam fermentasi dapat memberi hasil yang

lebih menguntungkan. Penerapan teknologi kultur campuran pada prinsipnya

adalah meniru kondisi hidup mikroorganisme pada habitat alaminya. Pada habitat

alaminya, beberapa organisme hidup bersama memiliki hubungan yang dapat

saling merugikan dan juga saling menguntungkan atau tidak saling

mempengaruhi. Kondisi tersebut yang diadopsi dalam penelitian penerapan kultur

campuran (Hesseltine 1991). Potensi T. reesei menghasilkan enzim

selobiohidrolase dan A. niger dalam menghasilkan enzim selobiase yang

bermanfaat dalam degradasi substrat menjadi protein sel untuk meningkatkan

kandungan protein putak yang dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini.

Penelitian dilakukan dalam tiga tahap. Tahap I, Optimasi Proses

Fermentasi Putak secara Tunggal oleh T.reesei atau A.niger, bertujuan mengkaji

kemampuan masing-masing kapang secara tunggal pada level kultur dan lama

inkubasi yang berbeda guna meningkatkan kualitas nutrien putak terutama kadar

protein kasar (PK), protein murni (PM), serta serat kasar (SK). Level kultur yang

dicobakan terdiri dari 4 level A1, A2, A3 dan A4 adalah 0.5, 1.0, 1.5 dan 2.0% (b/b)

untuk A.niger dengan kepadatan koloni per gram adalah 2.4 x 107

sedangkan level

T1, T2, dan T3 masing-masing 5.0, 7.5 dan 10% (b/b) untuk T.reesei dengan

kepadatan koloni 1.98 x 105. Lama inkubasi (W) pada masing-masing kapang

adalah 2, 3, dan 4 hari (W2,W3 dan W4 ). Hasil percobaan menunjukkan, kadar

PK, PM serta SK terbaik diperoleh T.reesei masing-masing adalah 20.60, 13.25

dan 9.08%, pada level kultur T2 (1.48 x 106 ) setelah 4 hari inkubasi, sedangkan

A.niger 19.81, 12.53 dan 12.22%, pada level A3 (0.36 x 108 ) dengan 3 hari lama

inkubasi.

Percobaan tahap II, Fermentasi Kultur Campuran T.reesei dan A.niger

dengan Putak sebagai Substrat bertujuan untuk mengkaji kemampuan kedua

kapang secara bersama-sama dalam meningkatkan kualitas kimiawi maupun

fermentabilitas in vitro. Pada tahap ini dicobakan 12 kombinasi level masing-

masing kapang tahap sebelumnya dengan penundaan pencampuran 0 (D0), 1 (D1)

dan 2 hari (D2). D0 adalah T.reesei dan A.niger diinokulasikan bersamaan, tanpa

penundaan; D1 adalah pencampuran A.niger dilakukan setelah fermentasi T.reesei

berjalan satu (1) hari; dan adalah pencampuran A.niger dilakukan setelah

fermentasi T.reesei berjalan dua (2) hari. Hasil optimal yang diperoleh untuk PK,

Page 6: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

78

PM dan SK adalah 23.62, 14.92 dan 10.17% bilamana pencampuran A.niger

dilakukan setelah fermentasi T.reesei berjalan 2 hari (D2) pada kombinasi level

A.niger 1.5% dan T.reesei 7.5% (A3T2). Hasil tersebut lebih baik daripada kultur

tunggal. Hasil uji in vitro menunjukkan kisaran konsentrasi asam lemak terbang

(VFA) dan amonia (NH3) masing-masing adalah 91.14 – 119.58 mM dan 14.94 –

19.04 mM, berada pada kisaran optimum untuk mendukung pertumbuhan

mikroorganisme rumen.

Percobaan tahap III, Respon Ternak Kambing Jantan Lokal terhadap

Pemberian Putak Fermentasi, bertujuan untuk menguji tingkat pemberian putak

fermentasi hasil percobaan terbaik Tahap II yakni 0, 10, 20, 30 dan 40% dalam

konsentrat terhadap kinerja ternak kambing lokal jantan yang diberi jerami padi

ad libitum sebagai pakan dasar. Semakin tinggi penggunaan putak fermentasi

(mencapai 40%), kinerja ternak kambing meningkat lebih baik yang terdeteksi

dari retensi nitrogen, konsumsi dan kecernaan nutrien, pertambahan bobot badan

harian (PbbH ) dan efisiensi penggunaan ransum

Fermentasi kultur campuran menggunakan T.reesei dan A.niger pada

putak sebagai substrat memberikan hasil yang lebih baik dibanding fermentasi

kultur tunggal T.reesei atau A.niger. Peningkatan kualitas nutrisi tersebut

terdeteksi dengan terjadinya peningkatan penampilan produksi ternak.

Kata kunci : Corypha, putak, kultur campuran, A.niger, T.reesei

Page 7: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008

Hak cipta dilindungi

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik,

atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar

IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh

Karya tulis dalam bentuk apapun, tanpa izin IPB

Page 8: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

PENINGKATAN KUALITAS NUTRITIF PUTAK

MELALUI FERMENTASI CAMPURAN

Trichoderma reesei dan Aspergillus niger SEBAGAI PAKAN RUMINANSIA

MARITJE ALEONOR HILAKORE

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Ilmu Ternak

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

Page 9: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.AgrSc

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Abdullah M Bamualim, MSc

2. Dr. Ir. Dwierra Evvyernie, MS. MSc

Page 10: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

Judul Disertasi : Peningkatan Kualitas Nutritif Putak melalui Fermentasi

Campuran Trichoderma reesei dan Aspergillus niger

sebagai Pakan Ruminansia

Nama : Maritje Aleonor Hilakore

NIM : D061030171

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Suryahadi, DEA

Ketua

Dr. Ir. Komang G. Wiryawan Prof. Dr. Ir. Djumali Mangunwidjaja, DEA

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Departemen INTP Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr.Ir. Idat Galih Permana, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

Tanggal Ujian : 7 November 2008 Tanggal Lulus :

Page 11: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

PRAKATA

Puji dan syukur penulis persembahkan kepada Allah Bapa didalam Jesus

Kristus Tuhan, karena oleh kekuatan serta hikmatNYA karya ilmiah ini dapat

diselesaikan. Karya penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan mengoptimalkan

potensi pakan lokal seperti putak yang sangat potensil tetapi masih mengalami

kendala dalam penggunaan akibat keterbatasan kandungan nutrien yang

dimilikinya. Oleh karena itu topik penelitian ini diberi judul Peningkatan Kualitas

Nutritif Putak melalui Fermentasi Campuran Trichoderma reesei dan Aspergillus

niger sebagai Pakan Ruminansi.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus penulisan sampaikan

kepada Dr. Ir. Suryahadi, DEA, Dr. Ir. Komang G Wiryawan serta Prof. Dr. Ir.

Djumali Mangunwidjaja, DEA, selaku pembimbing, yang telah meluangkan

waktu memberi arahan serta koreksi selama proses penyelesaian penulisan ini.

Ucapan terima kasih yang sama juga penulis sampaikan kepada Rektor IPB,

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan Fapet IPB dan seluruh staf Dosen Fapet

atas kesempatan memperoleh ilmu dan wawasan yang telah diberikan. Terima

kasih juga kepada Departemen Pendidikan Nasional melalui DITJEN DIKTI atas

beasiswa yang diberikan dalam mengikuti pendidikan di IPB.

Terima kasih yang sama juga disampaikan kepada Rektor Universitas

Nusa Cendana dan Dekan Fakultas Peternakan atas kesempatan mengikuti

pendidikan yang diberikan. Juga kepada Direktur Politeknik Pertanian Negeri

Kupang atas ijin menggunakan fasilitas Laboratorium selama proses penelitian

ini.

Page 12: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada teman-teman se perjuangan, Thom

Mata Hine sekeluarga, Poppy Ralahalu, Insun Sangaji, Yan Masrikat, James yang

dengan tulus membantu berupa saran dan masukan-masukan yang sangat

bermanfaat selama proses penulisan.Untuk papa dan mama serta adik-adik

tersayang Buang, Aty, Jacqualine, Ledy, Seny, Boby dan Evy, yang selalu setia

dan tekun mendukung dengan doa yang tulus, terima kasih. Dan yang paling akhir

dan yang sangat tak terlupakan buat suami tercinta Adrianus Boeky serta buah

hati kami tersayang Daniella Leonor Adelin, Melida Andrea dan Elena Giardini

Adinda, tulisan ini dipersembahkan untukmu berempat atas pengorbanan luar

biasa yang diberikan selama pendidikan. Tuhan memberkati kita sekalian

Kiranya karya sederhana ini bermanfaat.

Bogor, September 2008

Maritje Aleonor Hilakore

Page 13: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada tanggal

4 Pebruari 1961, sebagai anak kedua dari empat saudara dari ayah Romelus

Hilakore (Alm) dan ibu Mathelda Talo. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas

Peternakan Universitas Nusa Cendana, lulus tahun 1984. Pada tahun 1985 - 1987

mengikuti program Pendidikan Calon Pengajar Politeknik Pertanian (PEDCA) di

Universitas Padjadjaran Bandung. Pada tahun 1994, penulis diterima di Program

Magister Program Studi Ilmu Ternak Program Pasacasarjana IPB dengan

Beasiswa TMPD Ditjen Dikti, dan menyelesaikannya pada tahun 1997.

Kesempatan melanjutkan program doktor diperoleh pada tahun 2003 dengan

Beasiswa BPPS Ditjen Dikti Depdiknas.

Saat ini penulis terdaftar sebagai dosen tetap Jurusan Nutrisi dan Makanan

Ternak Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana sejak 1 Maret 1985.

Page 14: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL……………………………………………..... iii

DAFTAR GAMBAR ………………………………………….. iv

DAFTAR LAMPIRAN.. …………………………………….. ..

v

PENDAHULUAN ………………………………………………… 1

Latar Belakang …………………………………………... .. 1

Tujuan …………………………………………………. .. .. 4

Hipotesis ………………………………………………….. . 4

Manfaat …………………………………………………….. 4

TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………… 5

Pohon Gewang (Corypha elata robx) dan Produksinya….. . 5

Fermentasi dan Medium Fermentasi ................................... 7

Trichoderma reesei ............................................................ . 11

Aspergillus niger ................................................................. 12

Fermentasi Kultur Campuran .............................................. 14

Sumber Nutrien pada Ruminansia ........................................ 16

Metabolisme Protein pada Ruminansia ............................... 17

Metabolisme Karbohidrat pada Ruminansia ....................... 19

Ternak Kambing Kacang ..................................................... 22

BAHAN DAN METODA .............................................................. 24

Penyiapan Proses Fermentasi ............................................................ 24

Percobaan I : Optimasi Proses Fermentasi Putak oleh T.reesei

dan A.niger ................................................................. 26

Percobaan II : Fermentasi Kultur Campuran T.reesei dan A.niger dalam

Putak sebagai Substrat ............................................... 27

Percobaan III : Respon Ternak Kambing Lokal Jantan terhadap

Pemberian Putak Fermentasi..................................... 27

HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 34

Percobaan I : Optimasi Proses Fermentasi Putak oleh T.reesei

dan A.niger .......................................................... .... 34

Kualitas Nutrien Putak hasil Fermentasi oleh A.niger ..... ...... 36

Kualitas Nutrien Putak hasil Fermentasi oleh T.reesei............ 41

Percobaan II : Fermentasi Kultur Campuran T.reesei dan A.niger

pada Medium Putak .................................................. 45

Protein...................................................................................... 45

Kecernaan Bahan Kering dan Organik .................................. 50

Total Asam Lemak Atsiri (VFA) dan Amonia (NH3)............ 51

Page 15: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

Percobaan III : Respon Ternak Kambing Lokal Jantan terhadap

Pemberian Putak Fermentasi .................................... 53

Konsumsi Nutrien ................................................................... 55

Konsumsi Bahan Kering dan Organik ................................... 55

Kecernaan Nutrien (BO,BK,Protein dan SK) ......................... 56

Retensi Nitrogen ................................................................... 60

Pertambahan Bobot Badan .................................................... 60

Efisiensi Penggunaan Ransum ............................................... 62

SIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 64

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 66

LAMPIRAN .................................................................................... 72

Page 16: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Komposisi bahan pakan konsentrat percobaan... ......... 28

2 Komposisi nutrien konsentrat percobaan................... 28

3 Rataan kadar nutrien putak hasil fermentasi oleh A.niger

dengan level kultur dan lama inkubasi berbeda ...................... 37

4 Rataan kadar nutrien putak hasil fermentasi oleh T.reesei

dengan level kultur dan lama inkubasi berbeda ..................... 43

5 Komposisi nutrien putak fermentasi kultur campuran

A.niger dan T.reesei dengan lama penundaan pencampuran

2 hari (D2) .......................................................................... 47

6 Komposisi nutrien putak sebelum dan sesudah fermentasi. ...... 50

7 Fermentabilitas in vitro putak fermentasi campuran

A.niger dan T.reesei dengan lama penundaan pencampuran

2 hari .. ................................................................................ 52

8 Rataan konsumsi nutrien ransum ........................................... 54

9 Rataan kecernaan nutrien ransum.......................................... 56

10 Kadar VFA total dan partial dan NH3 cairan rumen dari

pakan konsentrat ................................................................. 57

11 Pengaruh ransum perlakuan terhadap pertumbuhan

dan efisiensi ransum ....................................................... 63

12 Perhitungan ekonomis pakan terhadap pertumbuhan

ternak percobaan ............................................................. 63

Page 17: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman

1 Pohon gewang (Corypha elata robx) ....................................... 6

2 Metabolisme protein pada ruminansia ...................................... 18

3 Metabolisme karbohidrat pada ruminansia ............................... 21

4 Kambing kacang ......................................................................... 23

5 Proses penyiapan putak dari batang pohon gewang .................... 25

6 Kultur hasil biakan pada substrat putak ....................................... 26

7 Putak hasil fermentasi A.niger umur 1 dan 3 hari ....................... 36

8 Putak hasil fermentasi T.reesei umur 2 dan 4 hari ....................... 43

9 Putak fermentasi campuran T.reesei dan A.niger siap panen ........ 46

10 Komposisi nutrien putak sebelum dan sesudah fermentasi .......... 48

Page 18: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Komposisi nutrien putak fermentasi campuran T.reesei dan

A.niger dengan lama penundaan pencampuran berbeda…........... 71

2 Fermentabilitas in vitro putak fermentasi campuran T.reesei dan

A.niger dengan lama penundaan pencampuran berbeda… ........ 72

3 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh

level kultur A.niger terhadap kadar protein kasar putak ........... 73

4 Daftar analisis sdik ragam dan uji Duncan pengaruh

level kultur A.niger terhadap kadar protein murni putak ......... 75

5 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh

level kultur A.niger terhadap kadar bahan kering putak ........ 77

6 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh

level kultur A.niger terhadap kadar bahan organik putak ........ 79

7 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh

level kultur A.niger terhadap kadar serat kasar putak ............. 81

8 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh

level kultur T.reesei terhadap kadar protein kasar putak .......... 83

9 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh

level kultur T.reesei terhadap kadar protein murni putak ......... 85

10 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh level

kultur T.reesei terhadap kadar bahan kering putak ........ 89

11 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh level

kultur T.reesei terhadap kadar bahan organik putak ............ 91

12 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh

level kultur T.reesei terhadap kadar serat kasar putak ......... 93

13 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh

kultur campuran T.reesei dan A.niger terhadap

kadar protein kasar putak ..................................................... 96

Page 19: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

14 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh

kultur campuran T.reesei dan A.niger terhadap

kadar protein murni putak .................................................... 97

15 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh

kultur campuran T.reesei dan A.niger terhadap

kadar serat kasar putak ....................................................... 98

16 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh

kultur campuran T.reesei dan A.niger terhadap

kecernaan bahan kering putak ............................................ 99

17 Daftar analisis aidik ragam dan uji Duncan pengaruh

kultur campuran T.reesei dan A.niger terhadap

kecernaan bahan organik putak ............................................ 100

18 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh

kultur campuran T.reesei dan A.niger terhadap

kadar total VFA................................................................... 101

19 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh

kultur campuran T.reesei dan A.niger terhadap

kadar amonia putak ....................................................... 102

20 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh

ransum perlakuan terhadap konsumsi jerami padi 103

21 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh

ransum perlakuan terhadap konsumsi bahan kering ........... 104

22 Daftar analisis Sidik ragam dan uji Duncan pengaruh

ransum perlakuan terhadap konsumsi bahan organik....... 105

23 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh

ransum perlakuan terhadap konsumsi protein.............. 106

24 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh

ransum perlakuan terhadap konsumsi serat kasar ......... 107

25 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh

ransum perlakuan terhadap konsumsi ransum

per kg bobot badan 0.75

.................................................... 108

Page 20: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

26 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh

ransum perlakuan terhadap konsumsi jerami padi

per kg bobot badan 0.75

................................................. 109

27 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh

ransum perlakuan terhadap konsumsi bahan kering

per kg bobot badan 0.75

............................................. 110

28 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh

ransum perlakuan terhadap konsumsi bahan organik

per kg bobot badan 0.75

................................................... 111

29 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh

ransum perlakuan terhadap konsumsi protein kasar

per kg bobot badan 0.75

.................................................. 112

30 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh

ransum perlakuan terhadap konsumsi serat kasar

per kg bobot badan 0.75

............................................... 113

31 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh

ransum perlakuan terhadap kecernaan Bahan kering...... 114

32 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh

ransum perlakuan terhadap kecernaan bahan organik ...... 115

33 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh

ransum perlakuan terhadap kecernaan protein................. 116

34 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh

ransum perlakuan terhadap kecernaan serat kasar........... 117

35 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh

ransum perlakuan terhadap retensi nitrogen ..................... 118

36 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh

ransum perlakuan terhadap pertambahan bobot badan........ 119

37 Daftar analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh

ransum perlakuan terhadap efisiensi ransum ...................... 120

Page 21: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Potensi peternakan di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sangat besar

yang ditunjukkan oleh populasi ternak ruminansia khususnya, sebanyak 700 363

ekor ruminansia besar (sapi dan kerbau), dan 571 014 ekor ruminansia kecil

(kambing dan domba). Pulau Timor merupakan salah satu daerah di NTT yang

memiliki populasi ternak tertinggi yaitu 427 343 ekor ruminansia besar dan

178 427 ekor ruminansia kecil atau sekitar 61% dan 31% dari populasi ternak di

NTT (Ditjennak 2007). Kendala utama pengembangan adalah ketersediaan dan

kualitas pakan.

Kondisi alam yang kering (8 – 9 bulan kering) mengakibatkan kontinuitas

ketersediaan pakan sangat fluktuatif sehingga pertumbuhan ternak sangat

tergantung pada musim. Padang penggembalaan umum seluas 24 382.04 ha

(Ditjennak 2007) yang merupakan tulang punggung sumber pakan ruminansia

utamanya, hanya bisa diandalkan selama kurang lebih 3 - 4 bulan. Hasil penelitian

Bamualim et al. (1993) menunjukkan bahwa pada musim kemarau, bobot ternak

di P. Timor akan mengalami penyusutan sebanyak 50% dari bobot yang dicapai

selama musim hujan. Dalam keadaan demikian memaksimumkan sumber pakan

lokal merupakan solusi terbaik.

Salah satu pakan lokal yang cukup dikenal masyarakat setempat adalah

Putak. Putak diperoleh dari isi (empulur) batang pohon gewang (Corypha elata

robx) dan telah lama digunakan sebagai pakan sumber karbohidrat meski dalam

jumlah terbatas. Menurut perkiraan sekitar 5 – 10% dari luasan padang

penggembalaan yang ada di P.Timor ditumbuhi pohon gewang. Nulik et al.

(1988) melaporkan bahwa dengan tinggi pohon rata-rata 13 meter (12.9 ± 3.3 )

dapat dihasilkan sebanyak 663 ± 124 kg putak basah atau 396 kg berat kering

(kadar air 40%).

Sebagai pakan, putak sangat potensial karena ketersediaannya cukup

disamping tidak bersaing dengan manusia karena tidak digunakan untuk makanan

manusia. Penggunaan putak sebagai pakan belum maksimal akibat keterbatasan

nutrisi yang dikandungnya seperti, protein yang rendah ( 2.23%) serta serat kasar

Page 22: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

2

tinggi (12.04%), disamping unsur-unsur nutrien lainnya yang juga minim tetapi

kandungan energinya tinggi (4 210 kkal/g) (Ginting 2000).

Upaya yang telah dilakukan guna memaksimalkan pengguaan putak

sebagai pakan telah dilakukan melalui penelitian misalnya, melalui suplementasi

urea sebagai sumber nitrogen bagi ternak ruminansia selama musim kemarau

(Bamualim et al. 1993, Kana Hau et al. 1993). Pembuatan produk pemasakan

putak-urea (Purea) yang dilakukan Wie Lawa (1996) dapat meningkatkan

kecernaan in vitro. Penelitian pengolahan secara biologis yakni fermentasi putak

oleh Saccharomyces cereviciae sebagaimana dilaporkan hasilnya oleh Ginting

(2000), nyata meningkatkan kadar protein kasar putak dari 2.23 % menjadi 8.94%

meski tidak berpengaruh terhadap penurunan kadar serat kasar (12.02% vs

11.97%) setelah diinkubasi selama 14 hari dengan respon pertumbuhan terbaik

dari ternak babi adalah pada penggunaan 10% menggantikan jagung.

Pengolahan biologi yang bertujuan meningkatkan kualitas suatu bahan

sebagai pangan maupun pakan telah lama dikenal dan dilakukan, namun sejauh ini

hanya dengan penggunaan kultur tunggal. Padahal menurut Hesseltine (1991),

fermentasi biakan campuran dapat memberikan hasil yang lebih menguntungkan

dibanding biakan tunggal karena komponen metabolit yang dihasilkan masing-

masing mikroba dalam substrat yang sama akan saling menunjang dan

melengkapi kebutuhan lingkungan yang baik bagi pertumbuan mikroba-mikroba

tersebut.

Penerapan teknologi kultur campuran pada prinsipnya adalah meniru

kondisi hidup mikroorganisme pada habitat alaminya. Pada habitat alaminya,

organisme yang hidup bersama memiliki hubungan yang bisa saling merugikan

dan juga saling menguntungkan atau tidak saling mempengaruhi. Kondisi tersebut

yang ingin diadopsi dalam penelitian penerapan kultur campuran.

Trichoderma reesei merupakan salah satu jenis kapang yang banyak

diteliti terutama karena kemampuannya menghasilkan enzim selulase seperti

endoglukanase dan selobiohidrolase tetapi sedikit memproduksi selobiase (Panda

et al. 1989, Juhasz et al. 2003, Pakula et al. 2005). Aspergillus niger memiliki

kemampuan lebih dalam menghasilkan enzim selobiase atau β-glukosidase

dibanding T.reesei (Panda et al. 1989, Saha 1991) disamping itu kapang juga

Page 23: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

3

menghasilkan banyak macam enzim ekstraseluler, seperti α-amilase,

glukoamilase, α- dan β- glukosidase serta selulase (Saha 1991), oleh karena itu

sering digunakan dalam pengolahan pangan untuk pengkayaan protein dari bahan

berpati (Moo-Young 1983).

Menurut Hesseltine (1991) bahwa kultur campuran memungkinkan

penggunaan substrat yang bervariasi dalam hal komposisi bahan sehingga akan

memungkinkan mikroba selulolitik tidak hanya menggunakan selulosa saja tetapi

juga pati maupun gula. Kapang selulolitik bersama-sama kapang pengguna pati

dan gula akan memberikan proses yang lebih efisien dalam menghasilkan

biomassa yang lebih tinggi dalam waktu yang lebih singkat.

Hasil-hasil penelitian kultur campuran yang pernah dilakukan

menunjukkan hasil yang lebih baik dibanding kultur tunggal, dalam hal biomassa

sel maupun produk fermentasi. Seperti yang dilaporkan oleh Correa et al. (1999),

bahwa jumlah biomassa sel dan aktifitas enzim-enzim selulase lebih tinggi pada

biakan campuran T. reesei dan A. niger dibanding kultur tunggal dengan substrat

bagas tebu. Selanjutnya Saha (1991) menggunakan kultur campuran A.niger dan

S.cereviciae pada substrat kentang menghasilkan etanol yang lebih tinggi. Panda

et al. (1989) melaporkan, laju pertumbuhan kapang T. reesei dan A. wentii lebih

baik pada biakan campuran daripada biakan terpisah. Demikian juga Viesturs

et al. (1980) yang dikutip Moo-Young (1983) memperoleh kadar protein murni

18% pada jerami gandum yang difermentasi oleh T.liqnorum dan Candida

lipolytica selama 5 hari pada suhu inkubasi 30oC, sedangkan T. liqnarum sendiri

hanya menghasilkan 11%.

Teknologi fermentasi merupakan teknologi yang murah dan aman dalam

menjawab masalah keterbatasan nutrisi terutama protein substrat dan telah banyak

dilakukan baik dalam penelitian maupun di masyarakat terutama menggunakan

kultur tunggal. Sedangkan kultur campuran yang juga dapat memberi hasil yang

lebih baik karena dapat memaksimumkan peran masing-masing mikrob dalam

proses fermentasi guna mendapatkan hasil yang lebih baik dan waktu yang

singkat, belum umum dilakukan.

Page 24: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

4

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk :

a. Mengkaji kemampuan T reesei dan A. niger secara kultur tunggal dalam

memperbaiki kualitas nutrien putak terutama kadar protein dan serat kasar.

b. Mengkaji kemampuan T reesei dan A. niger secara kultur campuran dalam

memperbaiki kualitas nutrien putak terutama kadar protein dan serat kasar

serta pengaruhnya terhadap fermentabilitas in vitro.

c. Mengkaji respon ternak kambing lokal jantan terhadap penggunaan putak

terfermentasi dengan kultur campuran T reesei dan A. niger sebagai pakan

penyusun konsentrat berdasarkan parameter pertumbuhan, jumlah

konsumsi ransum dan nutrien serta kecernaan nutrien, efisiensi

penggunaan ransum.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

1. Fermentasi putak dengan kapang A.niger maupun T.reesei secara tunggal

dapat meningkatkan kualitas putak

2. Kultur campuran A.niger dan T.reesei akan lebih baik kemampuannya

dalam meningkatkan kualitas putak fermentasi dibanding dengan kultur

tunggal

3. Penggunaan putak hasil fermentasi sebagai pakan akan memberi respon

positif terhadap pertumbuhan ternak.

Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan dapat :

1. Memberi informasi mengenai manfaat putak yang difermentasi sebagai

sumber pakan baru yang prospektif

2. Memberi informasi tentang keuntungan fermentasi menggunakan kultur

campuran, sebagai alternatif teknologi tepat guna tentang pemanfaatan

pakan lokal

Page 25: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

5

TINJAUAN PUSTAKA

Pohon Gewang ( Corypha elata robx) dan Produksinya

Pohon gewang (Corypha elata robx) merupakan genus palam-palaman.

Khusus di Nusa Tenggara Timur, tanaman ini banyak dijumpai terutama di

P. Timor dan Rote. Tumbuh baik pada dataran rendah (kurang dari 400 m dpl),

tinggi batang mencapai 15 meter dan tumbuh secara tunggal, batang besar dan

lurus, tahan kering dan dapat tumbuh dengan baik pada tanah kurang subur

dengan pH 6 – 8.

Isi (empulur) batang gewang telah lama dikenal masyarakat setempat

dengan nama putak dan digunakan sebagai pakan sumber karbohidrat untuk

ternak ruminansia maupun non ruminansia terutama ternak babi. Putak sangat

potensil sebagai pakan karena tidak digunakan sebagai pangan, demikian juga

jumlah dan ketersediaannya masih cukup terjamin. Berdasarkan data yang

dilaporkan Ditjennak (2007) bahwa luas padang penggembalaan alam di P. Timor

adalah 24 382 04 ha dan diperkirakan sekitar 5 – 10% dari luasan tersebut

ditumbuhi pohon gewang. Nulik et al. (1988) melaporkan bahwa dengan tinggi

pohon rata-rata 13 meter (12.9 ± 3.3 ), dapat dihasilkan sebanyak 663 ± 124 kg

putak basah atau 396 kg berat kering (kadar air 40%). Waktu terbaik untuk

pemotongan adalah saat tanaman menjelang berbunga yang dapat diketahui dari

posisi pelepah daun paling bawah membentuk garis horisontal.

Tingginya kadar serat kasar serta minimnya kandungan protein serta

nutrisi lainnya menjadi kendala penggunaan pakan lokal ini sebagai sumber pakan

alternatif yang prospektif. Penggunannya sebagai pakan masih sangat terbatas.

Penelitian pemberian putak sebagai pakan juga terbatas baru pada ternak

ruminansia yakni sebagai pakan sumber karbohidrat mudah tersedia yang

dikombinasikan dengan penambahan urea sebagai sumber nitrogen. Pengolahan

lainnya dengan membuat produk gabungan pati dari putak dengan urea (purea)

serta pengolahan secara biologis melalui fermentasi sebagai pakan babi, namun

pemanfaatannya sebagai pakan belum maksimal.

Page 26: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

6

Gambar 1 Pohon gewang (Corypha elata robx)

Penerapan teknologi pengolahan untuk meminimalisir keterbatasan yang

dimiliki putak yang pernah dilakukan misalnya, dengan penambahan urea;

(Bamualim et al. 1993, Nulik et al. 1993, Kana Hau et al. 1993), pembuatan

produk pemasakan putak-urea (Purea) (Wie Lawa 1996), semuanya sebagai

pakan ruminansia, serta pengolahan secara biologis, yaitu fermentasi dengan

Saccharomyces cereviciae (Ginting 2000) untuk pakan ternak babi.

Bamualim et al. (1993) melaporkan penelitian yang dilakukan pada ternak

sapi dengan pemberian putak dicampur urea sebanyak 30 g/e/h diperoleh tingkat

penurunan bobot badan selama musim kemarau adalah sebesar -0.16 kg/e/h

dibanding pemberian jerami yang mencapai -0.39 kg/e/h, sedangkan pada musim

hujan tingkat pertambahan bobot badan mencapai 370 g/e/h vs jerami 170 g/e/h.

Hasil penelitian lainnya dilakukan oleh Kana Hau et al. (1993) pada ternak

kambing yang diberi jerami sebagai pakan dasar, suplemen putak dan urea tidak

menyebabkan perbedaan konsumsi pakan dasar akan tetapi kecernaan bahan

kering meningkat dari 45.1% menjadi 62.6%, dengan pertambahan bobot harian

42 g/e/h. Penelitian lain seperti dilakukan oleh Wie Lawa (1996) yakni membuat

produk pemasakan putak-urea dapat meningkatkan nilai nutrisi in vitro dengan

hasil terbaik adalah pada perlakuan lama pemasakan 2 jam dengan level

penambahan urea 4% BK. Selanjutnya Hilakore et al. (1999) mencoba

Page 27: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

7

penggunaan Purea (produk pemasakan putak-urea) pada ternak kambing jantan

lokal yang diberi rumput alam sebagai hijauan tunggal dengan maksimal

penggunaan purea 20% memberikan pertambahan bobot badan sebesar 36 g/e/h.

Penelitian pengolahan secara biologis yakni fermentasi putak oleh

Saccharomyces cereviciae sebagaimana dilaporkan hasilnya oleh Ginting (2000).

Level kultur terbaik adalah sel 0.75 x 106 unit sel, dan lama inkubasi 2 minggu

menghasilkan kenaikan kadar protein kasar nyata lebih baik (8.92%) dari pada

kontrol (2.63%), tetapi tidak berpengaruh terhadap kadar serat kasar (12.01 %

turun menjadi 11.97%). Maksimal penggunaannya untuk ternak babi adalah 10%

menggantikan jagung.

Fermentasi dan Medium Fermentasi

Fermentasi merupakan aktifitas mikroorganisme untuk memperoleh energi

yang dibutuhkan dalam metabolisme dan pertumbuhannya melalui pemecahan

atau katabolisme terhadap senyawa-senyawa organik secara aerob dan anaerob,

dimana enzim dari mikroorganisme menstimulasi reaksi oksidase, reduksi,

hidrolisis dan reaksi kimia lainnya, sehingga terjadi perubahan kimia pada suatu

substrat organik dengan menghasilkan produk tertentu.

Fermentasi dapat terjadi karena adanya aktifitas mikrob penyebab

fermentasi pada substrat organik yang sesuai. Terjadinya fermenasi menurut

Winarno (1981), dapat menyebabkan perubahan sifat bahan sebagai akibat dari

pemecahan kandungan bahan (pangan) tersebut. Hasil fermentasi terutama

tergantung pada jenis substrat, macam mikroba dan kondisi sekelilingnya yang

mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme mikrob tersebut. Menurut

Rachman (1989), pemilihan jenis mikrob dalam proses fermentasi merupakan

salah satu unsur penentu terhadap berhasil atau tidaknya proses fermentasi

bersangkutan.

Proses fermentasi akan terjadi apabila terdapat aktifitas enzim. Dalam

proses fermentasi, peranan substrat yang digunakan sangat besar. Faktor yang ikut

mempengaruhi pemilihan substrat untuk fermentasi adalah ketersediaan, sifat

fermentasi dan harga substrat (Fardiaz 1988). Selain itu senyawa-senyawa sumber

karbon dan nitrogen merupakan komponen paling penting dalam medium

Page 28: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

8

fermentasi, karena sel-sel mikroba dan berbagai produk fermentasi sebagian besar

terdiri dari unsur-unsur karbon dan nitrogen.

Makanan produk fermentasi biasanya memiliki nilai nutrisi yang lebih

tinggi dibanding bahan makanan asalnya. Hal ini disebabkan mikroba telah

memecah komponen kompleks menjadi zat-zat yang lebih sederhana sehingga

lebih mudah dicerna. Pada proses fermentasi akan terjadi perubahan-perubahan

terhadap komposisi kimia antara lain kandungan lemak, karbohidrat, asam amino,

mineral dan vitamin sebagai akibat dari aktifitas dan perkembang biakan

mikroorganisme selama fermentasi berlangsung (Winarno 1992).

Menurut jenis mediumnya proses fermentasi dibagi menjadi dua macam

yaitu fermentasi medium padat dan fermentasi medium cair. Fermentasi medium

padat adalah suatu jenis fermentasi yang menyerupai habitat alami dimana terjadi

degradasi komponen kimia padat oleh mikrob dalam media yang cukup

mengandung air tanpa ada air bebas dalam sistem fermentasi tersebut (Murthy

et al. 1993, Correa et al. 1998). Selanjutnya, fermentasi media cair adalah

proses fermentasi yang substratnya larut atau tersuspensi di dalam fase cair

(Fardiaz 1988).

Pada dasarnya fermentasi medium padat didasarkan pada pembentukan

ekosistem untuk pertumbuhan mikroba yang diinokulasikan. Sifat porositas

medium merupakan faktor penting dalam menunjang pertumbuhan mikroba yang

ditumbuhkan. Medium dengan porositas yang baik akan memungkinkan penetrasi

udara ke dalam bagian medium sehingga pertumbuhan dapat terjadi di seluruh

bagian medium (Hardjo et al. 1989 ).

Fermentasi media padat memiliki beberapa keuntungan seperti :

a). menggunakan substrat tunggal seperti biji-bijian utuh atau limbah padat yang

mengandung karbohidrat, protein dan lain-lain dan hanya ditambahkan air;

b). kepekatan produk yang dihasilkan lebih tinggi; c) pertumbuhan kapang

menyerupai habitatnya di alam; d) tidak diperlukan kontrol pH dan suhu yang

teliti. Kelemahan jenis fermentasi ini adalah terbatasnya jenis mikrob yang dapat

digunakan, kebutuhan inokulum cukup besar serta agak sulit dalam pengaturan

kadar air, pH, dan lainnya (Muchtadi et al. 1992).

Page 29: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

9

Beberapa keuntungan fermentasi medium padat dibanding medium cair

adalah penggunaan substrat alami yang sifatnya tunggal, persiapan inokulum lebih

sederhana, dapat menghasilkan produk dengan kepekatan yang lebih tinggi,

kontrol terhadap kontaminan lebih mudah, kondisi inkubasi hampir menyerupai

kondisi alami sehingga tidak memerlukan kontrol suhu dan pH yang teliti dan

aerasi dapat berlangsung lebih optimum karena ruang lebih besar, fermentasi

media padat memiliki produktivitas yang tinggi serta hasil yang sama dapat

terulang pada kondisi yang sama (Setiawiharja 1984, Hardjo et al. 1989 ).

Knapp dan Howell (1975) mengemukakan bahwa faktor yang perlu

diperhatikan dalam pelaksanaan proses fermentasi medium padat adalah : 1) sifat

medium, terutama yang berhubungan dengan derajat kristalisasi dan polimerisasi

2). sifat organisme, karena masing-masing mikroba memiliki kemampuan yang

berbeda dalam memecahkan komponen medium untuk keperluan metabolisme

3). kinetika metabolisme dan enzim, karena pada umumnya produksi enzim pada

medium padat bersifat non konstitutif sehingga represi katabolik dan

penghambatan oleh produk akhir menjadi aspek yang sangat penting dalam

menguraikan medium.

Proses fermentasi medium padat dapat dikatakan sebagai proses

pengkayaan protein (protein enrichment) bahan dengan menggunakan

mikroorganisme tertentu. Proses pengkayaan protein identik dengan pembuatan

protein sel tunggal akan tetapi pada pengkayaan tidak dilakukan pemisahan sel

mikrob dari substrat (Gushairiyanto 2004).

Secara umum medium fermentasi menyediakan semua nutrien yang

dibutuhkan mikrob untuk memperoleh energi, pertumbuhan, bahan pembentuk sel

dan biosintesa produk-produk metabolisme, tergantung kepada jenis mikroba dan

produk yang akan dihasilkan maka setiap fermentasi memerlukan medium yang

juga tertentu.

Dalam pertumbuhannya, mikroorganisme membutuhkan zat-zat untuk

sintesa komponen sel dan menghasilkan energi untuk menghasilkan ATP yang

berasal dari karbohidrat dan atau protein. Menurut Peppler (1973), penambahan

bahan-bahan sumber nutrien ke dalam media fermentasi dapat menyokong dan

merangsang pertumbuhan mikroorganisme. Selanjutnya Fardiaz (1988)

Page 30: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

10

mengemukakan bahwa nitrogen mempunyai fungsi fisiologis bagi

mikroorganisme yaitu merupakan bagian dari protein, asam nukleat dan koenzim,

sedangkan karbon merupakan bagian dari senyawa organik sel.

Menurut Fardiaz (1988) bahwa laju pertumbuhan mikroorganisme

dipengaruhi oleh konsentrasi komponen-komponen penyusun media

pertumbuhannya. Karbon adalah elemen terbanyak dalam sel mikroorganisme

meliputi kira-kira 50% dari biomassanya, karena itu sumber karbon merupakan

bahan terbesar yang harus tersedia dalam media karena merupakan sumber nutrien

utama dalam pertumbuhan mikrob.

Dikemukakan oleh Wang et al. (1979) bahwa konsentrasi sumber nutrien

juga mempunyai batas maksimum, garam ammonium dan nitrat mulai

menimbulkan penghambatan pada konsentrasi lima gram per liter dan garam

phospat pada 10 gram per liter. Oleh karena itu Litchfield (1979) menyarankan

penambahan nutrien ke dalam substrat dilakukan pada range yang sesuai antara

unsur karbon dan nitrogen. Dalam hubungan dengan peningkatan kadar protein

substrat (PST), tergantung kepada jenis mikrob, dimana ratio C terhadap N (C : N

ratio) dapat berkisar antara 20 : 1 tetapi ratio C : N yang paling sering digunakan

adalah antara 5 : 1 hingga 15 : 1

Efisiensi penggunaan sumber karbon seperti karbohidrat dalam fermentasi

dapat bertambah bila dilakukan pemanasan. Pemanasan dapat merubah bentuk

fisik bahan padat dan kering menjadi lebih lunak serta meningkatkan kadar air

bahan. Disamping itu pemanasan juga mengakibatkan terjadi gelatinisasi terutama

pada karbohidrat dan menyebabkan pati menjadi lebih mudah dihidrolisis

sehingga proses pertumbuhan mikroorganisme yang diinokulasikan menjadi lebih

baik (Ginting 2000).

Produk fermentasi menurut Gushairiyanto (2004) dapat dikelompokkan

menjadi empat macam yaitu sel mikrobia/biomassa sel, senyawa molekul

besar/enzim, metabolit primer (asam amino, nukleatida, vitamin dan asam

organik) dan metabolit sekunder (antibiotik, toksin,alkoloid dan hormon

tanaman). Sel mikrob secara komersil dapat berfungsi sebagai : 1). makanan

ternak atau yang dikenal sebagai protein sel tunggal (PST); 2). sebagai alat

Page 31: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

11

konversi, proses yang dapat mengubah suatu senyawa menjadi senyawa lain oleh

enzim yang dihasilkan oleh sel tersebut.

Besarnya pemanfaatan sumber pati bagi sintesa protein menurut Wang

et al. (1979), dipengaruhi oleh beberapa proses yang berlangsung dalam sistem

fermentasi itu sendiri yaitu a), proses penguraian pati menjadi monomer

sederhana; b), proses penguraian urea menjadi NH3 sebagai sumber nitrogen siap

pakai; dan c), proses pembentukan protein melalui ikatan karbon-amonia

(R-NH3). Ketiga proses di atas harus terjadi sinergi dan serentak agar diperoleh

hasil yang maksimal.

Keuntungan penggunaan mikroorganisme dalam mencerna pakan terutama

substrat berserat menurut Suhartati et al. (2003) adalah tidak menimbulkan

pencemaran lingkungan dibanding penggunaan bahan kimia atau perlakuan

lainnya. Selain itu secara ekonomis lebih murah dan penanganan lebih mudah.

Sedangkan menurut Winarno (1992) bahwa keuntungan pengolahan dengan cara

fermentasi yaitu memperbanyak jumlah mikroorganisme dan menggiatkan

metabolisme di dalam substrat sehingga substrat mempunyai nilai gizi lebih tinggi

daripada asal.

Trichoderma reseei

Trichoderma merupakan salah satu dari banyak kapang lain yang dapat

menghasilkan enzim selulase dan telah digunakan dalam penelitian degradasi

enzimatik bahan-bahan berselulosa menjadi glukosa. Menurut Frazier dan

Westhoff (1978) bahwa Trichoderma aktif dalam proses dekomposisi selulosa.

Bagian-bagian yang menjadi cirinya adalah miselium berseptat, konidiofora

bercabang banyak, membentuk konidia bulat atau oval berwarna hijau terang dan

membentuk bola-bola berlendir.

Trichoderma reesei telah lama dikenal sebagai mikroba selulolitik yang

potensial dalam memecah selulosa bentuk kristalin dan amorf (Simpson dan

Oldman 1984). Pada sistem selulase, enzim selulase yang dihasilkan genus

Trichoderma adalah endoglukanase, eksoglukanase atau selobiohidrolase serta

sedikit selobiase atau β-glukosidase.

Page 32: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

12

Selobiohidrolase merupakan selulase utama yang diproduksi oleh T.reesei

dan meliputi lebih dari 80% protein selulase. Enzim ini memecah selulosa

menjadi selobiosa sebagai satu-satunya produk akhir hidrolisis. Selobiohidrolase

dihambat secara kompetitif oleh selobiosa (Juhasz et al. 2003).

Kapang T.reesei menghasilkan enzim selulolitik seperti endo dan ekso-

glukanase (selobiohidrolase) juga memberikan keuntungan dalam hal produksi

protein. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Pakula et al. (2005) bahwa kapang

mampu memproduksi enzim dalam jumlah yang tinggi, dan produksi ini setara

dengan 40 g/l protein ekstraseluler. Selobiohidrolase I (CBH I) merupakan

komponen enzim terbanyak yang diproduksikan dan menyumbang ke dalam

substrat sekitar 60% dari total protein yang disekresikan.

Kondisi optimum yang dibutuhkan T.reesei untuk bertumbuh berbeda

dengan untuk produksi enzim. Selama fase pertumbuhan, terjadi akumulasi massa

sel dan setelah massa sel mencapai konsentrasi optimum, produksi enzim baru

dimulai. Temperatur dan pH yang optimum pada kedua fase ini juga berbeda

yakni untuk pertumbuhan adalah 31-35oC dan pH 4 sedangkan untuk produksi

enzim 26-28oC dengan pH 3. Aerasi merupakan faktor yang sangat penting pada

semua fase oleh karena oksigen diperlukan untuk metabolisme energi agar produk

fermentasi yang dihasilkan maksimal (Tsao et al. 1983).

Aspergillus niger

Aspergillus niger merupakan salah satu kapang genus Aspergillus, famili

Moniliaceae, ordo Moniliales, dan subdivisi Eumycophyta yang bersifat aerobik

sehingga dalam pertumbuhannya memerlukan oksigen dalam jumlah yang cukup

dan untuk pertumbuhan memerlukan suhu optimum sekitar 35 - 37oC (Frazier and

Westhoff 1981) sedangkan untuk menghasilkan enzim selulase diperlukan suhu

25 - 28 o

C (Enari 1983).

Ditambahkan oleh Laskin dan Heuber ( 1978) bahwa A.niger disebut juga

sebagai jamur hitam karena warnanya yang coklat kehitaman. Berkembang biak

secara vegetatif dan generatif dengan spora (Dwidjoseputro 1984), serta dapat

tumbuh pada suhu 35 – 37oC atau lebih dengan suhu maksimum 65

oC dan pH

2.8 – 8.8. Untuk pertumbuhannya A. niger menggunakan nutrisi yang ada di

Page 33: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

13

sekitarnya misalnya molekul-molekul sederhana seperti gula yang terlarut dapat

langsung diserap oleh hifa, tetapi polimer-polimer seperti pati dan selulosa akan

dipecah terlebih dahulu oleh enzim-enzim ekstraseluler yang dihasilkannya

menjadi molekul sederhana baru diserap (Moore and Landacker 1983). Miselium

dapat bersifat vegetatif dan reproduktif. Sebagian besar miselium vegetatif

menembus ke dalam medium untuk mendapatkan makanan sedangkan miselium

reproduksi bertanggung jawab dalam pembentukan spora dan biasanya tumbuh

menjulang ke udara (Pelczar 1986).

Aspergillus niger merupakan jenis kapang yang menghasilkan banyak

macam enzim ekstraseluler, seperti α-amilase, glukoamilase, α- dan

β- glukosidase serta selulase (Saha 1991). Senada dengan hal di atas Kompiang

et al. (1995) menyatakan bahwa A.niger memproduksi enzim pendegradasi pati

yang akan memecah pati menjadi glukosa yang selanjutnya digunakan sebagai

sumber karbon oleh kapang selama proses fermentasi. A. niger juga merupakan

kapang aerobik yang dapat menghasilkan enzim selulase untuk membantu

pencernaan dan memperbaiki efisiensi penggunaan pakan (Kompiang et al. 1994).

Dalam kaitannya dengan enzim selulase, genus Trichoderma memproduksi enzim

selobiohidrolase merupakan komponen terbanyak, sedangkan pada enzim selulase

dari genus Aspergillus, komponen terbanyak adalah enzim β-glukosidase (Gong

dan Tsao 1979). Enzim ini berperan dalam hirolisis selobiose menjadi glukosa.

Moo-Young et al. (1983) melaporkan bahwa, fermentasi media padat

dengan menggunakan kultur A.niger pada substrat beras menghasilkan 400 g

protein serta aktifitas amylase 1380 U/ml pada lama inkubasi tiga hari.

Konsentrasi ini 80 kali lebih tinggi dari pada yang dihasilkan dengan fermentasi

terrendam.

Menurut Valdivia et al. (1983) bahwa dalam fermentasi yang bertujuan

menghasilkan protein sel tunggal, maka penggunaan bahan yang mengandung pati

adalah yang terbaik. Sedangkan A.niger merupakan kapang yang paling sering

dipilih dalam fermentasi karena kemampuannya yang baik dalam biokonversi pati

menjadi protein.

Page 34: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

14

Fermentasi Kultur Campuran

Penggunaan dua atau lebih mikroba sebagai inokulum dalam proses

fermentasi disebut sebagai biakan campuran, yang diklasifikasikan oleh

Hesseltine (1991) ke dalam empat jenis yakni : (1) monokultur; bila hanya satu

strain mikrob yang digunakan; (2) multikultur, bila menggunakan lebih dari satu

mikrob termasuk bila digunakan dua spesies yang berbeda; (3) unimultikultur,

bila menggunakan dua atau lebih strain dari spesies yang sama; (4) polikultur, bila

menggunakan banyak mikrob yang berbeda.

Menurut Hesseltine (1991), penerapan teknologi kultur campuran pada

prinsipnya adalah meniru kondisi hidup mikroorganisme pada habitat alaminya.

Organisme-organisme tersebut hidup bersama dalam hubungan yang bisa saling

merugikan, juga saling menguntungkan atau tidak saling mempengaruhi.

Selanjutnya Correa et al. (1999) memberi contoh pada fermentasi pangan oriental

sebagai contoh terbaik dalam menggambarkan kelebihan fermentasi kultur

campuran.

Menurut Correa et al. (1999), kesesuaian atau kecocokan strain dan

kebutuhan nutrien yang sama merupakan faktor yang sangat menentukan

keberhasilan biakan campuran karena interaksi sinergis antara pasangan mikrob

yang sesuai dapat mengatasi keterbatasan nutrisi substrat.

Fermentasi biakan campuran dapat memberikan hasil yang lebih

menguntungkan dibanding biakan tunggal karena komponen metabolit yang

dihasilkan masing-masing mikrob dalam substrat yang sama akan saling

menunjang dan melengkapi kebutuhan lingkungan yang baik bagi pertumbuan

mikrob-mikrob tersebut (Hesseltine 1991). Ditambahkan selanjutnya bahwa ada

beberapa keuntungan dari biakan campuran seperti: a) memberikan peningkatan

hasil yang lebih baik; b) lebih stabil dan dengan cepat akan normal kembali bila

kondisi tumbuhnya terganggu; c) resisten terhadap kontaminan; d) lebih mampu

menggunakan substrat berkualitas sangat rendah. Sedangkan kerugiannya adalah :

a) produk dari kultur campuran lebih bervariasi dalam jumlah dan komposisi; b)

sulit mendeteksi terjadinya kontaminasi; c) sulit mengontrol keseimbangan

optimum antara mikrob yang terlibat.

Page 35: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

15

Penggunaan polisakarida seperti selulosa, hemiselulosa dan pati dalam

fermentasi campuran untuk menghasilkan enzim, protein sel tunggal, etanol,

biogas dan sebagainya yang pernah dilakukan, disimpulkan bahwa ada berragam

enzim yang dibutuhkan dalam degradasi polisakarida dan bekerja secara sinergis

dalam degradasi bahan-bahan tersebut secara efisien. Disamping itu produk akhir

dari masing-masing mikrob dalam medium dapat membatasi proses fermentasi,

dan dalam kultur campuran pengaruh tersebut dapat diminimalisir karena masing-

masing mikroba dapat memanfaatkan produk akhir yang dihasilkan sehingga

proses fermentasi akan berlangsung pada kondisi yang lebih sesuai.

Komponen utama tanaman seperti selulosa dan hemiselulosa dapat

didegradasi secara efisien oleh enzim selulase yakni endo-β-glukanase, exo-β-

glukanase dan β-glukosidase. T.reesei merupakan kapang yang sangat potensil

dalam menghasilkan enzim endo- dan exo-glukanase tetapi jumlah β-glukosidase

lebih sedikit dari pada yang dibutuhkan untuk hidrolisis selulosa yang efisien

menjadi glukosa (Panda et al. 1989, Juhasz et al. 2003, Pakula et al. 2005).

Selanjutnya Saha (1991) dan Juhasz et al. (2003 ) menyatakan bahwa A.niger

memiliki kemampuan yang tinggi dalam menghasilkan β-glukosidase. Menurut

Enari (1983) bahwa enzim selobiase atau β-glukosidase yang dihasilkan oleh

T.reesei sangat sensitif terhadap inhibisi produk akhir dibandingkan enzim yang

sama dari A.niger. Dengan demikian maka kombinasi kedua kapang ini akan

meningkatkan efisiensi degradasi selulosa yang pada gilirannya meningkatkan

kualitas substrat.

Laporan hasil-hasil penelitian berkaitan dengan penggunaan kedua mikrob

di atas dalam kultur campuran, ternyata memberikan hasil yang lebih baik

daripada kultur tunggal. Jumlah biomassa sel dan aktifitas enzim-enzim selulase

lebih tinggi pada biakan campuran T. reesei dan A. niger dengan substrat bagas

tebu (Correa et al. 1999). Demikian juga halnya dengan laju pertumbuhan kapang

T. reesei dan A. wentii lebih baik pada biakan campuran daripada biakan terpisah

(Panda et al. 1989). Viesturs et al. (1980) dalam Moo-Young (1983), memperoleh

kadar 18% protein murni pada jerami gandum yang difermentasi oleh T.liqnorum

dan Candida lipolytica selama 5 hari pada suhu inkubasi 30oC, sedangkan

T. liqnarum sendiri hanya menghasilkan 11%. Penelitian lain oleh Saha (1991)

Page 36: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

16

menggunakan kultur campuran A.niger dan S.cereviciae pada substrat kentang

menghasilkan etanol yang lebih tinggi. Mishra et al. (2004) melaporkan, pada

pengolahan air limbah industri kentang, biomassa sel biakan campuran A.foetidus

dan A. niger lebih tinggi dibanding pada masing-masing kultur tunggal.

Sumber Nutrien pada Ternak Ruminansia

Kelompok ternak ruminansia memiliki keunikan dalam hal pemanfaatan

sumber-sumber pakan yang sangat beragam secara kualitas. Proses pencernaan

fermentatif yang terjadi di dalam lambung depan dan dengan kapasitas yang

sangat besar sangat menguntungkan ternak ini karena : (1) pakan dapat diubah dan

tersedia dalam bentuk produk fermentasi yang mudah diserap, (2) ternak

ruminansia menjadi mampu memanfaatkan pakan serat dalam jumlah lebih

banyak dan lebih efisien.

Kebutuhan nutrien pada ternak ruminansia dipenuhi dari 3 sumber, yakni :

nutrien hasil fermentasi rumen, nutrien pakan yang lolos degradasi rumen, serta

dari mikroba rumen yang masuk usus halus dan mengalami pencernaan. Ternak

yang mendapat ransum dengan bahan utama pakan serat berkualitas rendah,

pemenuhan kebutuhan nutrien diharapkan berasal dari mikroba rumen dan produk

fermentasi seperti asam lemak volatil (VFA) ( Sutardi 1995). Oleh karena itu

ternak yang mendapat ransum pakan serat berkualitas rendah, salah satu aspek

penting yang perlu ditingkatkan adalah pertumbuhan mikroba.

Untuk pertumbuhan mikroba yang optimal, semua nutrien prekursor

seperti energi, nitrogen, asam-asam amino, mineral dan vitamin harus tersedia

dalam konsentrasi yang optimum di dalam rumen. Sebagaimana yang

dikemukakan oleh Huber dan Kung (1981) bahwa efisiensi fermentasi dan sintesis

protein mikroba rumen dapat dimaksimumkan bila semua nutrien prekursor

tersedia dalam jumlah yang cukup. Hal ini bermakna suplementasi suatu nutrien

harus diselaraskan dengan ketersediaan nutrien lainnya.

Laju pertumbuhan mikroba rumen sangat tergantung pada ketersediaan

karbohidrat dan nitrogen. Laju pencernaan karbohidrat merupakan salah satu

faktor penentu produksi protein mikroba rumen karena disamping sebagai sumber

kerangka karbon juga merupakan sumber energi. Produk fermentasi pencernaan

Page 37: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

17

karbohidrat oleh mikroba rumen yakni VFA merupakan sumber energi utama bagi

ruminansia. Kadar VFA antara 8 –16 Mmol/100 ml cairan rumen telah mencukupi

kebutuhan sintesis protein mikrob rumen yang optimal (Sutardi 1995).

Kandungan nitrogen, baik yang bersumber dari nitrogen bukan protein

(NPN) maupun protein murni, juga sangat berguna untuk merangsang

pertumbuhan mikroba. Konsentasi NH3 rumen sebesar 5 mg% atau 3,57 mM

cukup untuk pertumbuhan mikroba (Satter dan Roffler 1976).

Metabolisme Protein pada Ruminansia

Laju pertumbuhan mikroba rumen sangat tergantung kepada ketersediaan

karbohidrat dan sumber nitrogen yang tersedia dalam rumen. Laju pencernaan

unsur-unsur tersebut merupakan faktor penentu produksi protein mikroba.

Menurut Sutardi (1979), protein pakan di dalam rumen akan mengalami hidrolisis

menjadi asam-asam amino dan oligopeptida. Selanjutnya asam amino akan

mengalami katabolisme dan menghasilkan amonia, VFA dan CO2.

Proses proteolisis oleh mikrob rumen menghasilkan peptida dan asam

amino (Nolan 1993) yang bisa digunakan oleh sebagian mikrob rumen untuk

pertumbuhannya (Wallace dan Cotta 1988). Oleh karena tidak semua peptida dan

asam amino yang terbentuk dalam rumen digunakan oleh mikroba, sebagian akan

mengalir ke usus halus. Hal ini terbukti dari penelitian yang dilakukan oleh Russel

et al. (1992) bahwa pemberian ransum yang berkualitas tinggi pada sapi perah,

30% dari NAN (Non Amonia Nitrogen) yang masuk ke dalam usus halus dalam

bentuk peptida dan asam amino.

Kadar amonia dalam rumen merupakan petunjuk antara proses degradasi

dan proses sintesis protein oleh mikrob rumen. Jika pakan defisiensi protein atau

proteinnya tahan degradasi, konsentrasi amonia dalam rumen akan rendah dan

pertumbuhan mikrob rumen menjadi lambat sehingga menyebabkan turunnya

kecernaan pakan (McDonalld et al. 1988). Bila kecepatan degradasi melebihi

kecepatan sintesis protein mikrob akan terjadi akumulasi NH3 dalam rumen.

Amonia yang berlebihan akan diserap oleh dinding rumen masuk ke dalam aliran

darah, sebagian akan difiltrasi oleh ginjal dan dikeluarkan melalui urine dan

sebagian lagi masuk ke rumen melalui dinding rumen dan saliva, yang kemudian

Page 38: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

18

akan menjadi sumber nitrogen lagi pada sintesis protein mikrob (Preston and Leng

1987, Tillman et al. 1988, Preston and Leng 1987, Nolan 1993 ).

Gambar 2 Metabolisme protein pada ruminansia (Kempton et al. 1978)

Protein pakan Protein endogen

Asam amino NH3

Protein mikrob

diabsorbsi

RUMEN

Protein

endogen Protein

mikrob Protein

pakan

USUS HALUS

Tak

terdegradasi

Asam amino diabsorbsi

Protein tak

tercerna

Protein endogen

feses

NH3

Protein mikrob

diabsorbsi

SEKUM

Page 39: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

19

Amonia merupakan sumber nitrogen utama bagi sintesis asam amino pada

mikroorganisme rumen. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa nutrisi protein

ternak ruminansia sangat tergantung kepada proses sintesis protein mikrob rumen.

Protein mikrob rumen mempunyai kualitas yang sangat baik, dan menurut

Sniffen dan Robinson (1987) bahwa sumbangan protein asal mikrob rumen

terhadap kebutuhan asam amino ternak ruminansia mencapai 40–80% dan fraksi

nitrogen total asam-asam amino (TAAN= total amino acids nitrogen) yang masuk

usus sebagian besar berasal dari protein mikrob rumen. Artinya bahwa

keberhasilan memacu pertumbuhan mikrob rumen akan sangat besar pengaruhnya

terhadap terpenuhinya kebutuhan asam amino ternak inang.

Kebutuhan asam amino ternak ruminansia dipenuhi dari protein pakan

yang lolos degradasi dalam rumen kemudian mengalami pencernaan dan diserap

dalam usus. Selain itu juga berasal dari protein mikrob rumen yang tercerna dan

terserap dalam usus, serta berasal dari cadangan protein tubuh (protein

endogenous).

Menurut Buttery (1976) jumlah protein pakan yang mengalami degradasi

dalam rumen cukup banyak dan laju degradasi tergantung kepada kelarutan

protein dan laju aliran digesta. Variasi derajat ketahanan protein terhadap

degradasi mikrob rumen sangat besar yakni antara 12-90%.

Metabolisme Karbohidrat pada Ruminansia

Karbohidrat merupakan komponen utama dalam ransum ruminansia yakni

mencapai 60 – 75% dari total bahan kering ransum dimana dalam makanan kasar

(hijauan) sebagian besar terdapat dalam bentuk selulosa dan hemiselulosa,

sedangkan dalam konsentrat umumnya terdapat dalam bentuk pati (Sutardi 1979).

Senada dengan pernyataan tersebut Russel dan Hespel (1981) menyatakan bahwa

pakan ternak ruminansia sebagian besar berupa polimer kompleks seperti selulosa,

hemiselulosa, pektin, pati dan lain-lain sehingga menyebabkan jenis pakan

ruminansia memiliki nilai kelarutan yang rendah.

Proses metabolisme yang terjadi dalam retikulorumen sangat kompleks.

Partikel pakan yang terutama berupa polimer karbohidrat, mengalami degradasi

(hidrolisis) menjadi bentuk monomer. Bentuk monomer tersebut oleh mikroba

Page 40: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

20

rumen difermentasi menjadi piruvat melalui lintasan Embden Meyerhoff dan

lintasan pentosa fosfat. Piruvat adalah bentuk produk intermedier yang akan

segera dimetabolis untuk membentuk produk utama pencernaan fermentatif dalam

rumen, yaitu asam lemak rantai pendek (short chain fatty acids) atau lebih dikenal

sebagai asam lemak terbang (volatile fatty acids = VFA) (France dan Siddons

1993).

Karbohidrat dalam rumen mengalami dua tahap pencernaan yaitu

pencernaan oleh enzim ekstraseluler dan intraseluler mikrob. Tahap pencernaan

oleh enzim ekstraseluler, karbohidrat yang masuk rumen difermentasi menjadi

monomer berupa oligosakarida, disakarida dan gula sederhana. Tahap kedua,

monomer difermentasi lebih lanjut oleh enzim intraseluler membentuk piruvat

melalui jalur Embden Meyerhoff dan pentosa fosfat (Baldwin dan Allison 1983,

France dan Siddons 1993). Piruvat merupakan produk intermedier akan

dimetabolisasi menjadi VFA. Perubahan asam piruvat menjadi VFA melalui

beberapa lintasan. Oksidasi asam piruvat menjadi asam asetat dan butirat terjadi

melalui lintasan asetil-KoA, untuk pembentukan asam propionat ada dua lintasan

yaitu lintasan suksinat dan laktat atau akrilat (Baldwin dan Allison 1983, France

dan Siddons 1993).

Proses fermentasi karbohidrat dalam rumen menghasilkan energi dalam

bentuk VFA mencapai 80% dan 20% merupakan energi yang terbuang dalam

bentuk gas CO2, CH4 dan energi dalam bentuk ATP (France dan Siddons 1993).

Energi dalam bentuk ATP hanya 6.2% dari total energi yang hilang. Hanya energi

dalam bentuk ATP ini yang digunakan oleh mikrob rumen untuk pertumbuhannya

sedangkan VFA merupakan produk sampingan dari aktifitas mikrob rumen

(Hvelpund 1991). Menurut Clark dan Davis (1983) dalam Erwanto (1995), pada

kondisi pola produksi VFA utama dalam cairan rumen 65% asetat, 25% propionat

dan 10% butirat, maka energi yang berasal dari pakan (heksosa) yang muncul

dalam bentuk VFA mencapai 75%, sisanya berupa gas metan 12.4%, sebagai

panas fermentasi 6.4% dan sekitar 6.2% dimanfaatkan oleh mikroba rumen

sebagai sumber energi dalam bentuk ATP. Hal tersebut menurut Sutardi (1995)

mencerminkan bahwa mikroba rumen memproduksi VFA bukan untuk

kepentingannya melainkan sebagai proses electron sink dalam menjaga potensial

Page 41: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

21

redoks dalam rumen, sehingga tetap berada dalam kisaran yang layak bagi

pertumbuhan dan perkembangan mikrob rumen sendiri.

Laju pertumbuhan mikrob rumen sangat tergantung kepada ketersediaan

karbohidrat. Laju pencernaan karbohidrat merupakan salah satu faktor penentu

produksi protein mikroba rumen. Selain sebagai sumber kerangka karbon,

karbohidrat adalah sumber energi bagi mikrob rumen dalam bentuk ATP

(Adenosine Tryphosphate) (Sutardi 1979). Selanjutnya menurut Russel dan

Wallace (1988) bahwa pertumbuhan mikrob rumen proporsional terhadap jumlah

ATP yang dihasilkan dari katabolisme energi. Maksimum sintesis sel mikrob yang

dihasilkan dalam rumen mendekati 25 gram per mol ATP.

Gambar 3 Metabolisme karbohidrat pada ruminansia (France and Siddons 1993)

Selulosa Pati Pektin Hemiselulosa

Pentosa

Heksosasa

Piruvat

Format

CO2 + H2O

Metan

Asetil Ko-A

Asetat Butirat Propionat

LINTASAN

AKRILAT

LINTASAN PENTOSA

LINTASAN

EMBDEN MEYERHOFF

LINTASAN

SUKSINAT

Page 42: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

22

Asam lemak terbang rumen terdiri dari asam asetat (CH3COOH), asam

propionat (CH3CH2COOH), asam butirat (CH3(CH2)2COOH), asam valerat

(CH3(CH2)3COOH) dan asam-asam lemak rantai cabang (asam iso-butirat, asam

2-metilbutiat dan isovalerat). Asam-asam lemak rantai cabang berasal dari

katabolisme protein. Gas produk fermentasi meliputi gas CO2, CH4 dan H2 akan

dikeluarkan dari rumen melalui proses eruktasi (Sutardi 1979). Ternak kambing

memproduksi gas CO2 sekitar 90 liter dan gas CH4 sekitar 30 liter per hari

(Czerkawski 1986).

Ternak Kambing Kacang

Kambing kacang adalah kambing lokal yang banyak terdapat di Indonesia,

termasuk tipe daging dengan bobot badan dewasa jantan sekitar 25 kg dan betina

20 kg. Kemampuan adaptasinya terhadap lingkungan dan pakan sangat baik, serta

lebih efisien dalam menggunakan pakan menjadikan ternak ini sangat digemari

untuk diternakkan (Devendra dan Burns 1994).

Selain merumput, kambing juga memakan berbagai jenis hijauan sehingga

membedakannya dengan sapi maupun domba. Kambing juga mampu merumput di

padang dengan rumput yang terlalu pendek bagi ternak sapi dan di tempat-tempat

yang kurang tersedia pakan atau hijauan berkualitas baik bahkan mengkonsumsi

serat kasar yang tidak dapat dicerna oleh domba (Devendra dan Burns 1994).

Konsumsi bahan kering ternak kambing relatif lebih banyak untuk ukuran

tubuhnya yakni 5 – 7% dari bobot badan, juga lebih efisien dalam mencerna

pakan yang mengandung serat kasar dibanding sapi dan domba (Luginbuhl dan

Poore 2005). Konsumsi bahan kering kambing pedaging daerah tropis beragam

antara 1.8 – 3.8% bobot badan, atau setara dengan konsumsi bahan kering 40.5 –

127.3 g/kg bobot badan0.75

. Konsumsi bahan kering juga dipengaruhi oleh

pemberian hijauan saja atau bersama dengan konsentrat, oleh karena penambahan

konsentrat protein tinggi pada hijauan rendah protein berpengaruh terhadap

konsumsi. Konsumsi bahan kering kambing kacang yang hanya diberi hijauan

berkisar antara 1.4 – 1.7% bobot badan atau setara dengan 43.5 – 46.9g/kg bobot

badan , sedangkan bila ditambah konsentrat maka konsumsi dapat mencapai 2.5%

bobot badan atau 63.4 g/kg bobot badan0.75

(Devendra dan Burns 1994).

Page 43: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

23

Menurut NRC (1981), konsumsi bahan kering ternak kambing berkisar antara

2 – 3%, sedangkan menurut Peterson (2005) adalah 3.5 – 5.0% namun pada

umumnya antara 3.0 – 3.8% bobot badan.

Page 44: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu

Penelitian telah dilaksanakan dari Pebruari 2006 sampai dengan Januari

2008, yang terdiri dari serangkaian percobaan: (I) optimasi proses fermentasi

putak oleh T.reesei dan A.niger, (II) fermentasi kultur campuran T.reesei dan

A.niger dalam putak sebagai substrat, (III) respon ternak kambing jantan lokal

terhadap pemberian putak fermentasi.

Pelaksanaan percobaan I dan II adalah uji in vitro dilaksanakan di

Laboratorium Biotek Politeknik Pertanian Negeri Kupang dan Balitnak Ciawi

Bogor sedangkan percobaan III yaitu uji in vivo dilaksanakan di peternakan rakyat

di kelurahan Lasiana, Kecamatan Lasiana, Kota Kupang, dengan menggunakan 20

ekor ternak kambing jantan lokal.

Putak diperoleh dari penjual putak di Desa NoElbaki Kecamatan Kupang

Tengah Kabupaten Kupang. Semua bahan pakan yang digunakan seperti jerami

padi, dedak padi, jagung kuning, bungkil kelapa adalah bahan lokal yang

diperoleh dari pasar tradisional setempat, sedangkan daun gamal diambil dari

sekitar lokasi peternakan tempat percobaan dilaksanakan selama musim hujan dan

dikeringkan.

Penyiapan Proses Fermentasi

a. Penyiapan Putak

Putak yang digunakan adalah dalam bentuk cacahan berukuran ±1,0x1,5

cm, setelah dicacah dijemur matahari selama 3 hari agar tidak berjamur. Putak

kering ini selanjutnya digunakan dalam pembuatan putak fermentasi.

b.Penyiapan Larutan Inokulum

Kultur murni T. reesei strain FNCC 6012 dan A. niger strain FNCC 6041

diperoleh dari Laboratorium Pangan dan Gizi PAU UGM Yogyakarta.

Selanjutnya dilakukan penyegaran dengan cara dipelihara pada PDA (potato

dextrose agar) miring selama 7 hari, kemudian spora dipanen dengan cara

menambahkan 9 ml aquades steril dan disentrifus pada kecepatan 1500 rpm

selama 15 menit, supernatan digunakan dalam pembuatan bubuk inokulum.

Page 45: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

25

Gambar 5 Proses penyiapan putak dari batang pohon gewang hingga menjadi

putak cacah

c.Pembuatan Bubuk Inokulum.

Sebanyak 100 g putak direndam dalam air selama 30 menit kemudian

ditiriskan, dimasukkan kedalam plastik tahan panas. Sebanyak 2 g mineral

KH2PO4, 4.62 g (NH4)2SO4 dan 3.15 g Urea dicampur air menjadi 100 ml

kemudian dimasukkan kedalam plastik berisi putak, selanjutnya disterilisasi dalam

autoclave pada tekanan 1 Atm selama 30 menit. Setelah dingin diletakkan dalam

baki plastik steril, kemudian dicampurkan 9 ml larutan inokulum dan diinkubasi

pada suhu kamar selama 5 hari, selanjutnya dikeringkan dalam oven dengan suhu

40oC selama 3 hari, kemudian digiling untuk digunakan sebagai kultur. Hasil

propagasi diperoleh jumlah koloni (cfu) per gram kultur masing-masing untuk

T.reesei adalah 1.98x105

dan A.niger 2.4x107 cfu/g.

Page 46: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

26

Kultur T. reesei Kultur A. niger

Gambar 6 Kultur hasil pembiakan pada substrat putak

Percobaan I : Optimasi Proses Fermentasi Putak oleh Trichoderma reesei dan

Aspergillus niger

Untuk mengkaji kemampuan masing-masing kapang secara kultur tunggal

dalam memperbaiki kualitas substrat, maka percobaan dilaksanakan dengan

membandingkan beberapa level inokulan dan lama waktu fermentasi dalam

meningkatkan nilai nutrien putak yang paling optimum. Oleh karena itu pada

T. reesei dicobakan 9 kombinasi yakni 3 level kultur T1 , T2 dan T3 yaitu 5, 7.5

dan 10% (b/b), sedangkan untuk A.niger terdapat 12 kombinasi yaitu empat (4)

kombinasi level kultur A1, A2, A3 dan A4 yakni : 0.5, 1.0, 1.5 dan 2% (b/b)

masing-masing dengan tiga lama inkubasi W2, W3 dan W4 yaitu 2, 3 dan 4 hari.

Penyiapan putak dan larutan mineral sama seperti pada pembuatan bubuk

inokulum. Putak yang telah dicampur larutan mineral dikukus selama 30 menit.

Setelah dingin diletakkan dalam baki steril dan dicampur bubuk kultur sesuai

perlakuan, diaduk hingga rata kemudian ditutup dan diinkubasi sesuai lama waktu

perlakuan. Produk hasil fermentasi, selanjutnya dikukus selama 15 menit untuk

menghentikan proses fermentasi kemudian dikeringkan untuk dianalisa komposisi

nutrien melalui analisa Proksimat.

Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola

faktorial 3X3 pada T.reesei dan 4X3 pada A.niger dengan masing-masing 3 kali

ulangan. Faktor A adalah level inokulan dan faktor B adalah lama waktu inkubasi.

Page 47: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

27

Peubah yang dikaji adalah kadar komposisi nutrien substrat (Proksimat) dan

protein murni

Percobaan II : Fermentasi Kultur Campuran T.reesei dan A.niger dalam

Putak sebagai Substrat

Percobaan bertujuan mengkaji kemampuan mikroba secara bersama-sama

untuk meningkatkan kualitas putak. Salah satu faktor yang menentukan dalam

fermentasi campuran adalah waktu pencampuran, karena masing-masing mikrob

mempunyai kemampuan fisiologis yang berbeda. Berdasarkan pengamatan

pertumbuhan T.reesei dan A.niger secara tunggal serta hasil terbaik yang

diperoleh pada percobaan I, maka ditentukan lama waktu penundaan

pencampuran kedua kapang pada kultur campuran adalah 0, 1 dan 2 hari.

Penundaan pencampuran 0 hari (D0), adalah bila kultur T.reesei dan A.niger

dinokulasikan pada waktu yang bersamaan; penundaan pencampuran 1 hari (D1)

bila inokulasi kultur A.niger dilakukan setelah fermentasi T.reesei berjalan 1 hari;

dan penundaan pencampuran 2 hari (D2) bila inokulasi dengan kultur A.niger

dilakukan setelah fermentasi T.reesei berjalan 2 hari.

Percobaan dirancang dengan RAL dengan 12 kombinasi perlakuan dan 3

ulangan, masing-masing untuk D0, D1 dan D2. Pengukuran peubah dilakukan

melalui analisis Proksimat untuk komposisi nutrien putak fermentasi, protein

murni, serta fermentabilitas in vitro VFA, NH3, KcBK, KcBO.

Percobaan III Respon Pertumbuhan Kambing Jantan Lokal terhadap

Pemberian Putak Fermentasi

Tujuan percobaan adalah memperoleh tingkat penggunaan putak hasil

fermentasi campuran (hasil terbaik percobaan 2) dalam konsentrat yang dapat

menunjang pertumbuhan optimum ternak kambing yang diberi jerami padi

sebagai hijauan tunggal. Ternak yang digunakan adalah 20 ekor kambing kacang

(lokal) jantan periode pertumbuhan berumur antara 7 – 10 bulan. Semua petak

kandang yang digunakan dilengkapi dengan harness untuk koleksi feses dan urin.

Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan

Page 48: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

28

4 ulangan. Perlakuan terdiri dari 5 macam ransum dengan tingkat penggunaan

putak fermentasi (PF) yang berbeda yaitu, R0, R1, R2, R3 dan R4. Sebelum

pelaksanaan penelitian semua ternak diberi obat cacing dan vitamin. Ransum

perlakuan terdiri dari :

R0 = jerami padi + konsentrat yang mengandung 10% putak tanpa olah

R1 = jerami padi + konsentrat yang mengandung 10% putak fermentasi

R2 = jerami padi + konsentrat yang mengandung 20% putak fermentasi

R3 = jerami padi + konsentrat yang mengandung 30% putak fermentasi

R4 = jerami padi + konsentrat yang mengandung 40% putak fermentasi

Percobaan berlangsung selama 12 minggu yang terdiri dari dua minggu

pra penelitian (preliminary period) dan 10 minggu pengumpulan data (collecting

period). Pemberian ransum berdasarkan kebutuhan bahan kering ternak yaitu 3%

bobot badan. Konsentrat disusun isoenergi–protein yakni protein 17% dan TDN

75% dengan ratio pemberian hijauan dan konsentrat 40 % : 60 %, hijauan adalah

jerami padi sedangkan konsentrat adalah campuran jagung, dedak halus, bungkil

kelapa, tepung daun gamal serta putak terfermentasi sesuai perlakuan. Komposisi

bahan pakan konsentrat perlakuan hasil perhitungan disajikan pada Tabel 1

sedangkan kandungan nutrien hasil analisis proksimat disajikan pada Tabel 2.

Perubahan konsumsi pakan diamati secara berkala dari perubahan bobot

badan melalui penimbangan pada setiap minggu. Jerami padi dan air minum

diberikan secara ad libitum. Konsentrat diberikan sebanyak 60% dari kebutuhan

BK yakni 3% bobot badan. Peubah yang diamati adalah pertambahan bobot badan

harian, efisiensi penggunaan ransum, konsumsi dan kecernaan nutrien serta retensi

nitrogen.

Pembuatan Putak Fermentasi

Untuk pembuatan putak fermentasi dalam jumlah banyak yang akan

digunakan sebagai bahan campuran konsentrat, dilakukan prosedur yang sama

dengan tahap sebelumnya. Satu kilogram putak ditambah 1000 ml larutan nutrien

(ammoniumsulfat, kaliumphosphat dan urea), dikukus 30 menit, setelah dingin

dimasukkan baki plastik dicampur kultur T. reesei sebanyak 75g dengan ketebalan

Page 49: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

29

media 4 cm, kemudian diinkubasi selama dua (2) hari, pada hari ketiga dicampur

lagi dengan 15 g kultur A. niger selanjutnya diinkubasi lagi selama 2 hari.

Setelah masa inkubasi selesai putak fermentasi dikukus 15 menit untuk

menghentikan proses fermentasi selanjutnya dijemur matahari selama 2 hari

kemudian digiling untuk dicampur dalam ransum.

Tabel 1. Komposisi bahan makanan konsentrat percobaan

Bahan (%)

R0

R1

R2

R3

R4

Dedak padi 15.19 36.44 41.97 47.51 53.04

Jagung kuning 17 14 11 8 5

Putak tanpa olah 10 0 0 0 0

Putak fermentasi 0 10 20 30 40 Daun gamal kering 16.16 6.45 4.45 2.45 0.46

Bungkil kelapa 41.66 33.11 22.57 12.04 1.5

Jumlah 100 100 100 100 100

Vitamin 2 2 2 2 2

Tabel 2 Komposisi nutrien konsentrat percobaan

Nutrien (%)

R0

R1

R2

R3

R4

Bahan kering 88.76 88.84 89.74 88.12 89.45

Bahan organik 81.35 80.43 81.05 81.47 82.74

Protein 17.38 17.73 17.21 17.11 17.05

Lemak 11.24 11.16 10.26 9.88 8.55

Serat kasar 8.67 9.28 9.08 8.81 9.61

Abu 7.41 8.41 8.69 8.65 8.71

Energi (kkal) 4228 4041 4043 3847 3601

Bahan Kering 88.7 88.4 89 89.5 90

Protein kasar 17 17 17 17 17

TDN 75 75 75 75 75

Pengukuran Peubah

Fermentasi in vitro

Teknik fermentasi in vitro yang digunakan adalah metode batch culture

(GLP 1966). Sebanyak 3 gram sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi

kemudian ditambahkan 24 ml cairan inokulum dari rumen kambing dengan

menggunakan stomach tube dan 36 ml larutan penyangga McDougall lalu dikocok

yang sebelumnya dijenuhkan dengan CO2 agar pH berkisar antara 6.8 - 6.9.

Sebelum difermentasi isi fermentor juga dialiri CO2 agar terjadi suasana anaerob

dan kemudian fermentor ditutup rapat dengan tutup karet berventilasi. Selanjutnya

diinkubasi dalam shaker bath pada temperatur 40oC. Proses fermentasi dihentikan

Page 50: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

30

dengan menggunaan 0.2 ml HgCl2 jenuh, kemudian sampel cairan rumen tersebut

diambil untuk dianalisis konsentrasi VFA dan NH3.

Pengukuran Asam Lemak Terbang (VFA) Total

Penentuan kadar VFA dengan cara penyulingan sesuai General Laboratory

Procedure (1966). Sebanyak 5 ml supernatan dimasukkan ke dalam tabung

khusus dan ditambahkan 1 ml H2SO4 15% lalu ditutup. Tabung dihubungkan

dengan labu pendingin tegak dan labu yang berisi air dan dipanaskan. Hasil

distilasi ditampung dalam erlenmeyer yang berisi 5 ml NaOH 0.5 N. Proses

distilasi berakhir bila distilat yang ditampung mencapai volume 300 ml, kemudian

ditambahkan 1 – 2 tetes indikator penopthalien dan dititer dengan HCl 0.5 N

hingga warnanya berubah dari merah jambu menjadi bening. VFA Total dihitung

dengan rumus :

VFA = { ( a – b ) x N HCl x 1000/5 mM }

Dimana :

a = ml HCl yang diperlukan untuk titrasi blanko ( 5 ml NaOH)

b = ml HCl yang diperlukan unutk titrasi hasil distilasi

Pengukuran VFA partial ditentukan dengan metode gas kromatografi.

Pengukuran VFA Partial

Analisis konsentrasi VFA individual dengan menggunakan teknik

kromatografi gas. Cairan rumen diambil dengan stomach tube segera disentrifuse

pada kecepatan 10.000 rpm selama 15 menit pada suhu 4oC kemudian diambil

supernatannya. Sebanyak 2 ml supernatan dipipet ke dalam tabung plastik kecil

yang tertutup. Selanjtnya ke dalam tabung tersebut ditambahkan sebanyak 30 mg

5-sulphosalicylic acid (C6H3(OH)SO3H2H2O) lalu dikocok, selanjutnya

disentrifus 3000 rpm selama 10 menit pada suhu 4oC lalu disaring dengan milipori

untuk memperoleh cairan jernih. Cairan ini kemudian diinjeksi sebanyak 1 ml ke

gas kromatograph. Sebelum injeksi terlebih dahulu diinjeksikan larutan standar

VFA. Kondisi alat : kolom (packing 10% sp-1200/1% H3PO4, 80/100 mesh

Chromosorb WAW) suhu 105oC, suhu injector 160

oC, suhu detector (FID) 200

oC,

Page 51: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

31

kecepatan grafik 0,5 cm/menit, laju aliran gas N2 30ml/menit, laju aliran gas H2

30 ml/menit dan laju aliran gas O2 300 ml/menit.

Perhitungan konsentrasi VFA sample menggunakan rumus :

C (cM) = Tinggi sampel / tinggi standar x konsentrasi standar

Pengukuran Kadar N-NH3

Kadar N-NH3 ditentukan dengan teknik Mikro Difusi Conway (General

Laboratory Procedure 1966). Cairan rumen diambil dengan stomach tube,

masukkan dalam termos. Timbang 1 g sampel, masukan dalam tabung fermentasi

(dibuat duplo), tambahkan larutan McDougall 12 ml (suhu 39oC, pH 6.6 – 6.8)

selanjutnya tambahkan 8 ml cairan rumen lalu aliri gas CO2 selama 30 detik,

ditutup dengan penutup karet berventilasi, kemudian tabung dimasukkan dalam

waterbath bersuhu 39 – 40oC, fermentasi selama 1 jam. Setelah itu penutup

tabung dibuka, ditambahkan HgCl2 dan disentrifus pada kecepatan 10 000 rpm.

Sebanyak 1 ml supernatan diletakkan pada salah satu sekat cawan Conway

dan 1 ml Na2CO3 jenuh pada sekat yang lainnya. Pada cawan kecil bagian tengah

diisi asam borat (HBO3) berindikator merah methil, mulut cawan diolesi vaselin

dan ditutup selanjutnya digoyang-goyang agar kedua cairan bercampur, biarkan

pada suhu kamar selama 24 jam. Selanjutnya amonia yang terikat asam borat

dititrasi dengan H2SO4 0.005 N sampai titik awal perubahan warna biru menjadi

kemerah-merahan. Kadar N-NH3 dihitung dengan rumus :

N-NH3 = ( ml titrasi x N H2SO4 x 1000) mM

Kecernaan Bahan Kering (KcBK) dan Organik (KcBO)

Kecernaan bahan kering dan bahan organik in vitro dilakukan dengan

metode Tilley and Terry (1966). Sebanyak 1 g sample dimasukkan dalam tabung

fermentor, ditambah dengan saliva buatan (larutan McDougall) 12 ml pada suhu

39oC dan pH 6.5 – 6.9 dan cairan rumen 8 ml, diinkubasikan secara anaerob

selama 24 jam dalam shakerbath. Setelah itu tutup tabung dibuka dan

ditambahkan 0.2 ml HgCL2 jenuh untuk membunuh mikroba. Tabung kemudian

disentrifus pada kecepatan 10 000 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang dan

endapan ditambahkan 20 ml larutan pepsin 0.2 % dalam suasana asam.

Page 52: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

32

Inkubasikan dalam suasana anaerob selama 24 jam. Endapan disaring dengan

kertas saring no. 41. Analisis kadar bahan kering dan organiknya dengan analisis

proksimat (AOAC 1980). Sebagai blanko digunakan cairan rumen tanpa

perlakuan.

Koefisien Cerna dihitung dengan rumus :

BK awal – (BK residu – BK blanko)

KcBK = ------------------------------------------------- x 100

BK awal

BO awal – (BO residu – BO blanko)

KcBO = ------------------------------------------------ x 100

BO awal

Protein Murni

Nilai protein murni dianalisis dengan metode yang dimodifikasi dari

metode Kjeldahl. Untuk mengetahui nilai protein murni dilakukan 2 macam

analisis nitrogen, yaitu: kandungan nitrogen total (Kjeldahl) dan kandungan

nitrogen terlarut, yaitu menentukan kandungan nitrogen yang terlarut dalam air,

untuk mengetahui “nitrogen non-protein” yang mungkin berasal dari nitrogen

anorganik yang tidak dimanfaatkan selama proses fermentasi. Protein sejati

(murni) diperoleh dengan cara mengurangi protein kasar dengan protein terlarut.

Percobaan in vivo

Konsumsi Ransum dan Pertambahan Bobot Badan Harian

Konsumsi ransum diketahui dengan mengurangi jumlah pemberian dan

sisa setiap hari, dan pertambahan bobot badan adalah selisih bobot minggu

penimbangam dengan minggu sebelumnya. Penimbangan dilakukan tiap minggu.

Konsumsi Nutrien

Konsumsi nutrien diperoleh dengan menimbang pakan yang diberikan

dikalikan dengan kandungan nutrien (BK, BO, PK) kemudian dikurangi sisa

pakan dikalikan dengan kandungan nutrien sisa pakan tersebut.

Page 53: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

33

Kecernaan Nutrien

Kecernaan ditentukan dengan mengurangi nutrien yang dikonsumsi

dengan yang terdapat dalam feses dengan analisa proksimat, sedang energi diukur

dengan Bomb kalorimeter. Feses dikoleksi total selama 24 jam selama 10 hari,

diambil 5% sampel, dikeringkan dan dikomposit untuk analisis nutrien.

Kecernaan ransum/nutrisi ( metode koleksi total)

KC = I – F / I x 100%

Dimana : Nutrien = BO, BK, Protein kasar, lemak kasar serat kasar

I = Jumlah nutrien yang dikonsumsi

F = Jumlah nutrien yang terbuang dalam feses

Analisis Data

Semua data yang diperoleh diolah dan dianalisa keragaman menggunakan

ANOVA dan dilanjutkan dengan uji Duncan (Duncan’s Multiple Random Tests =

DMRT) menurut petunjuk Gasperz (1991) serta Mattjik dan Sumertajaya (2006).

Data dalam tabel disajikan dalam nilai rataan dan standar deviasi.

Page 54: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

HASIL DAN PEMBAHASAN

Percobaan I : Optimasi Proses Fermentasi Putak oleh Kapang Trichoderma

reesei dan Aspergillus niger

Pengamatan Umum Proses Fermentasi

Faktor lingkungan fisik seperti kadar air substrat, suhu ruang inkubasi,

bentuk dan ukuran partikel substrat, keseimbangan dan ketersediaan nutrien serta

konsentrasi inokulum, merupakan faktor yang berpengaruh terhadap fungsi fisik

dan aktifitas fisiologis mikrob selama proses fermentasi media padat.

Kadar air awal substrat adalah 75%, pada kadar air tersebut pertumbuhan

kapang terlihat cukup baik, berarti kadar air tidak menjadi faktor penghambat

aktifitas metabolisme kedua kapang. Hasil penelitian Sinurat et al. (1998) pada

fermentasi lumpur sawit oleh A.niger, diperoleh adanya peningkatan protein sejati

substrat lebih tinggi bila kadar air awal substrat 60% daripada 50%. Sedangkan

menurut Yang et al. (1993), kadar air substrat pada awal fermentasi yang baik

dalam menghasilkan protein tertinggi adalah lebih besar dari 68%.

Suhu merupakan faktor lain yang ikut mempengaruhi efisiensi konversi

substrat menjadi massa sel (protein). Suhu kamar inkubasi pada saat percobaan

berlangsung berkisar 29 – 32oC dengan kelembaban udara 62 – 78%. Pengaruh

suhu juga pernah dilaporkan Sinurat et al. (1998) pada penelitian dengan lumpur

sawit dimana kadar protein sejati lebih tinggi pada suhu inkubasi 32oC dibanding

29oC. Suhu optimum pertumbuhan A.niger maupun T.reesei menurut Frazier dan

Westhoff (1981) adalah antara 35 - 37 o

C.

Sifat porositas medium merupakan faktor yang penting dalam menunjang

pertumbuhan mikrob yang diinokulasikan. Medium dengan porositas yang baik

memungkinkan penetrasi udara ke dalam bagian medium sehingga pertumbuhan

kapang dapat terjadi pada seluruh bagian medium. Porositas medium percobaan

cukup baik karena di dukung oleh bentuk serta ukuran partikel medium. Cacahan

putak berukuran ±1.0x1.5cm cukup ideal dalam mendukung porositas medium

untuk terjadinya penetrasi oksigen yang dibutuhkan kapang guna merangsang

proses metabolismenya. Moo-Young (1983) serta Tsao dan Chiang (1983)

menyatakan bahwa aerasi sangat penting bagi pertumbuhan dan produksi enzim,

Page 55: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

35

sebab oksigen dibutuhkan dalam metabolisme energi untuk menjamin biosintesa

selulase, selanjutnya menurut Moo-Young (1983) bahwa tekanan O2 (pO2) yang

tinggi dapat menstimulir produksi enzim amilase.

Menurut Aunstrup et al. (1979) bahwa pertumbuhan mikrob dipengaruhi

secara langsung oleh nutrien yang ada di dalam medium. Rasio karbon dan

nitrogen yang sesuai sangat diperlukan dalam pertumbuhan kapang. Selanjutnya

dikemukakan oleh Litchfield (1979) bahwa rasio C : N untuk pertumbuhan

kapang adalah 20 : 1 akan tetapi rasio 5 : 1 hingga 15 : 1 paling sering digunakan

Dikemukakan lebih lanjut oleh Moo-Young (1983) bahwa indikator penting

regulasi nutrisional terhadap pertumbuhan kapang pada fermentasi substrat padat

adalah ketersediaan unsur C dan N lebih penting daripada rasio. Artinya bahwa

rasio C : N, 13:1, sebagaimana pada percobaan ini mampu mendukung kebutuhan

pertumbuhan kapang yang diinokulasikan hingga hari ke tiga untuk A.niger dan

hari ke empat untuk T.reesei.

Laju pertumbuhan kapang A.niger dalam substrat cukup cepat terlihat dari

waktu inkubasi satu hari, pada permukaan substrat telah nampak miselium putih,

berarti kapang telah memasuki fase tumbuh eksponensial. Hari kedua inkubasi

seluruh permukaan substrat telah tertutup miselium putih keabu-abuan serta mulai

nampak adanya spora, dan pada hari ketiga spora berwarna hitam telah menutupi

hampir seluruh permukaan substrat. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan

maksimal dari A.niger pada substrat ini terjadi pada hari kedua, sama dengan pada

substrat ampas sagu sebagaimana yang dilaporkan oleh Supriyati et al. (1995).

Sebaliknya dengan T.reesei, pertumbuhannya lebih lambat karena pada hari kedua

setelah inokulasi baru terlihat adanya miselium putih tipis, dan hari keempat mulai

tumbuh spora yang ditunjukkan dengan terbentuknya warna hijau pada permukaan

substrat. Jaelani (2007) melaporkan bahwa maksimal pertumbuhan jumlah koloni

kapang T.reesei terjadi pada 60 jam setelah inokulasi.

Hari ketiga inkubasi kapang pada A.niger dan empat hari pada T.reesei

mungkin telah berada pada fase stasioner pertumbuhan. Kemungkinan tersebut

didasarkan pada kadar protein terutama protein murni putak yang maksimum,

disamping itu pertumbuhan spora juga telah menutupi permukaan substrat. Fase

stasioner merupakan fase dimana jumlah kapang tidak bertambah akibat jumlah

Page 56: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

36

kapang yang tumbuh sama dengan jumlah yang mati. Menurut Fardiaz (1988)

bahwa fase stasioner terjadi karena nutrien dalam medium sudah sangat berkurang

juga karena terjadi akumulasi metabolit yang dapat menghambat pertumbuhan.

Alexopolous et al. (1997) menyatakan bahwa awal pembentukan spora

mengisyaratkan proses metabolisme kapang menjadi minimal serta produksi

enzim juga mulai berhenti. Sporulasi merupakan respon kapang terhadap kondisi

lingkungan tumbuh yang kurang menguntungkan yang dapat disebabkan oleh

kekurangan nutrien, perubahan suhu, pH dan faktor lainnya. Dengan demikian,

dapat dikemukakan bahwa pada medium seperti putak, waktu inkubasi tiga hari

merupakan waktu yang optimum bagi proses fermentasi oleh A.niger, dan empat

hari pada T.reesei.

Kualitas Nutrien Putak Hasil Fermentasi oleh A.niger

Hasil analisis proksimat substrat sebelum dan sesudah difermentasi dengan

kapang A.niger disajikan pada Tabel 3. Secara keseluruhan, hasil tersebut

menunjukkan bahwa jumlah kultur mempangaruhi lama inkubasi.

Gambar 7 Putak fermentasi A.niger umur 1 hari dan 3 hari

Protein Kasar

Kadar protein kasar (PK) putak pada level kultur A3 (3.6 x 107 per gram)

adalah 19.81% nyata lebih tinggi (P≤0.05) dibandingkan level A1 (1.2 x 107) dan

A2 (2.4 x 107 ) masing-masing 16.36 dan 17.67% tetapi tidak beda dengan level

A4 (4.8 x 107) yaitu 19.52% pada lama inkubasi yang sama maupun semua

perlakuan lama inkubasi. Pada level kultur rendah lama inkubasi nyata

mempengaruhi kadar protein substrat, karena masih terjadi kenaikan kadar protein

Page 57: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

37

hingga inkubasi hari keempat dan nyata lebih tinggi dibanding dua dan tiga hari

inkubasi. Hal ini mungkin disebabkan masa adaptasi yang lebih lama pada level

kultur rendah seperti dikemukakan oleh Fardiaz (1988) bahwa jumlah awal sel

yang semakin tinggi akan mempercepat masa adaptasi, disamping itu pemanfaatan

nutrien yang tersedia dalam substrat juga rendah akibat kepadatan kultur yang

longgar.

Tabel 3 Rataan kadar nutrien putak hasil fermentasi oleh A. niger

dengan level kultur dan lama inkubasi yang berbeda

Level A.niger ( %)

2.4x107 cfu/g

Lama

Inkubasi

(hari)

Kadar Nutrien Putak (% BK)

(A) (W) PK PM SK BK BO

0 14.17 3.25 9.70 91.05 84.11

2 15.47a 7.86

a 7.49

a 93.56

b 87.23

b

0.5 (A1) 3 16.36a 9.28

a 10.79

c 93.68

c 87.0

b

4 17.15a 9.92

a 9.46

a 92.19

b 85.52

d

2 16.70 b 9.59

b 8.91

b 93.15

b 86.69

b

1.0 (A2) 3 17.67b 10.67

b 9.96

a 92.72

b 86.07

b

4 18.18b 10.64

a 9.39

a 91.58

a 84.96

c

2 17.47c 9.01

b 11.85

d 92.25

b 85.84

b

1.5 (A3) 3 19.81c 12.53

c 12.22

d 92.24

b 85.51

b

4 19.73c 11.18

a 10.00

a 91.59

a 84.84

b

2 18.78d 9.47

b 9.55

c 91.34

a 84.20

a

2.0 (A4) 3 19.52c 10.69

b 10.47

c 90.70

c 83.38

a

4 19.16c 11.25

b 10.52

a 90.4

a 82.84

a

Superscript dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata

(P<0.05) antara lama inkubasi.

Level kultur A3 dengan lama inkubasi tiga hari (W3) menghasilkan protein

kasar terbaik yakni 19.81% dari sebelumnya 2.53%. Oleh karena itu lama

inkubasi dan level kultur ini (A3W3) merupakan perlakuan terbaik dalam

memperbaiki kualitas (PK, PM dan SK) putak. Kandungan pati substrat yang

cukup tinggi turut menunjang terjadinya konversi putak menjadi protein yang

tercermin dari tingginya peningkatan protein putak. Pati mudah dimanfaatkan oleh

kapang, karena A. niger merupakan jenis kapang yang juga mampu

menghasilkan banyak macam enzim ekstraseluler, seperti α-amilase, selulase,

Page 58: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

38

glukoamilase, α- dan β- glukosidase, sehingga terjadinya peningkatan protein

kasar tersebut boleh jadi karena terkonversinya pati menjadi protein. Proses

biokonversi pati sebagai sumber karbon serta adanya sumber nitrogen bukan

protein (NBP) asal ammonium sulfat dan urea yang ditambahkan ke dalam media

menyebabkan proses metabolisme kapang berjalan selaras dalam mendukung

pertumbuhan kapang sehingga meningkatkan kandungan protein kasar substrat.

Hasil tersebut sejalan dengan yang dikemukakan oleh Kompiang et al.

(1995) bahwa A.niger memproduksi enzim pendegradasi pati yang akan memecah

pati menjadi glukosa yang selanjutnya digunakan sebagai sumber karbon oleh

kapang selama proses fermentasi. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini lebih

tinggi dari yang dilaporkan oleh Ginting (2000) dengan menggunakan khamir

Saccharomyces cerevisiae pada substrat yang sama yakni 8.92% (dari 2.53%).

Supriyati et al. (1993) melaporkan hasil penelitiannya menggunakan umbi ketela

pohon kupas sebagai medium fermentasi oleh A.niger dengan kenaikan protein

kasar dari 1.73% menjadi 18.44%. Selanjutnya hasil penelitian Biyatmoko (2002)

pada ampas sagu juga meningkatkan protein kasar dari 5.19 menjadi 13.19%

dengan lama inkubasi tiga hari. Penelitian Gushairiyanto (2004) pada kulit

singkong yang difermentasi A.niger selama empat hari mengalami peningkatan

kadar protein kasar dari 4.41 menjadi 15.81%.

.

Protein Murni

Kadar protein murni (PM) pada level kultur A3 sebesar 12.53%, nyata

berbeda (P≤0.05) dari level A1 ( 9.28%) dan A2 (10.67%) tetapi tidak berbeda

(P>0.05) dengan level A4 (10.69). Artinya bahwa pada level tersebut jumlah

kultur dan ketersediaan nutrien substrat berada pada level optimum bagi

berlangsungnya proses metabolisme guna mendukung pertumbuhan kapang

hingga pada hari ketiga inkubasi. Sebagaimana dikemukakan oleh Fardiaz (1988),

pertumbuhan adalah pertambahan jumlah massa sel atau organisme, selanjutnya

dengan adanya kenaikan jumlah massa sel kapang akibat pertumbuhan akan

meningkatkan kadar protein medium (Wang et al. 1979). Kadar PM yang

dihasilkan menunjukkan peningkatan protein sesungguhnya yang dapat digunakan

oleh ternak yang bukan berasal dari nitrogen bukan protein.

Page 59: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

39

Lechninger (1991) menyatakan bahwa sumber N anorganik dimanfaatkan

oleh mikrob dalam sintesis protein setelah terlebih dahulu diubah menjadi

amonium dan karbondioksida oleh enzim ureasenya dan selanjutnya digunakan

untuk membentuk asam amino.

Kandungan pati putak yang tinggi serta adanya sumber nitrogen an

organik asal amonium sulfat dan urea yang ditambahkan ke dalam substrat

menyebabkan proses konversi pati menjadi protein sel berlangsung seimbang

dalam meningkatkan kualitas putak. Sebagaimana dinyatakan oleh Wang et al.

(1979) bahwa besarnya pemanfaatan sumber pati bagi sintesa protein dipengaruhi

oleh beberapa proses yang berlangsung dalam sistem fermentasi itu sendiri, yaitu

a), proses penguraian pati menjadi monomer sederhana; b), proses penguraian

urea menjadi NH3 sebagai sumber nitrogen siap pakai; dan c), proses

pembentukan protein melalui ikatan karbon-amonia (R-NH3). Ketiga proses diatas

harus terjadi secara sinergi dan serentak agar diperoleh hasil yang maksimal.

Peningkatan protein murni di atas lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh

Biyatmoko (2002) menggunakan kapang A.niger pada ampas sagu yang dapat

meningkatkan protein murni dari 2.16% menjadi 9.55%. Demikian juga yang

dilaporkan oleh Sinurat et al. (1998) dengan menggunakan lumpur sawit sebagai

substrat menunjukkan pertumbuhan kapang dalam menghasilkan protein sejati

terbaik (dari 10.44% menjadi 16.70%). Perbedaan tersebut mungkin disebabkan

perbedaan jenis maupun kualitas substrat. Penggunaan bahan yang mengandung

pati untuk menghasilkan protein sel tunggal merupakan pilihan, oleh karena pati

lebih cepat dan mudah didegradasi dan dimanfaatkan oleh banyak kelompok

mikrob (Valdivia et al. 1983) dimana kadar pati bahan berpengaruh terhadap

kadar protein yang dihasilkan.

.

Bahan Kering

Tabel 3 menunjukkan terjadi peningkatan kadar BK dan BO, hal ini

mungkin dapat dijelaskan bahwa secara numerik ada peningkatan tetapi secara

absolut terjadi penurunan kedua komponen tersebut, oleh karena saat percobaan

tidak dilakukan penimbangan akhir terhadap sampel.

Page 60: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

40

Bahan kering maupun bahan organik merupakan sumber nutrien bagi

kapang dan penggunaannya sangat dipengaruhi oleh kemampuan metabolisme

serta daya larut unsur nutrien tersebut. Kapang memanfaatkan nutrien yang

tersedia dalam medium untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhannya dimana

molekul-molekul sederhana yang larut sekitar hifa dapat langsung dimanfaatkan,

sedangkan komponen yang lebih kompleks seperti protein, selulosa, pati dan

lain-lain harus didegradasi terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam sel

(Rahman 1992).

Peningkatan suhu medium selama proses fermentasi merupakan tanda

adanya kegiatan metabolisme kapang yang ditumbuhkan dan hal ini terlihat dari

banyaknya titik-titik air yang menempel pada dinding wadah. Meningkatnya suhu

medium menyebabkan terjadinya penguapan air substrat dan selanjutnya

mempengaruhi komposisi substrat secara keseluruhan.

Bahan Organik

Kehilangan bahan organik pada proses fermentasi disebabkan bahan

organik dirombak oleh enzim mikroba guna memenuhi kebutuhan energi bagi

pertumbuhan kapang dan akan dihasilkan panas, air dan karbondioksida,

akibatnya terjadi perubahan komposisi bahan.

Data juga memperlihatkan bahwa level kultur dan lama inkubasi yang

makin tinggi menyebabkan kehilangan BK dan BO juga makin banyak. Pada level

kultur A4 dengan lama inkubasi W2, W3, dan W4, berturut-turut adalah 91.34,

90.70 dan 90.41% sedangkan pada level A1, 93.56, 93.68 dan 92.19%. Waktu

inkubasi yang makin panjang akan memberi kesempatan kepada kapang untuk

merombak BO yang tersedia dalam substrat.

Serat Kasar

Perubahan kadar serat kasar sebelum dan sesudah difermentasi

menunjukkan peningkatan khususnya pada level kultur terpilih (A3) yaitu 12.22%

dari sebelumnya 9.7%, dan nyata (P≤0.05) lebih tinggi dari level rendah A1

(10.79%) atau A2 (9.96%) tetapi sama dengan A4 (10.47%). Hal ini dapat terjadi

Page 61: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

41

karena pertumbuhan kapang ikut menyumbangkan serat kasar yang berasal dari

miselium sehingga makin banyak massa sel makin tinggi kadar serat.

Kadar serat substrat yang meningkatt merupakan indikasi adanya

pertumbuhan kapang. Menurut Fardiaz (1988) bahwa kapang adalah organisme

eukariotik yang tumbuh dengan cara perpanjangan hifa. Dikemukakan lebih lanjut

oleh Gandjar et al. (2006) bahwa salah satu komponen penting dinding sel kapang

adalah kitin dan kitosan. Dalam analisis proksimat komponen tersebut terhitung

sebagai serat kasar. Dengan demikian akibat pertumbuhan akan meningkatkan

serat dalam substrat. Selain itu perombakan media untuk memperoleh nutrien bagi

pertumbuhan kapang menyebabkan terjadi perubahan komposisi media karena

terjadi kehilangan komponen non serat selama proses inkubasi. Kehilangan

tersebut menyebabkan komposisi medium secara kseluruhan ikut berubah.

Meski demikian peningkatan serat kasar yang terjadi hanya kecil,

kemungkinan karena serat kasar dalam substrat juga didegradasi oleh kapang

mengingat A.niger merupakan mikrob selulolitik yang juga mampu mendegradasi

serat meski pertumbuhannya sendiri menyumbangkan serat kasar ke dalam

substrat.

Meningkatnya serat kasar putak akibat fermentasi juga dilaporkan oleh

Ginting (2000) yakni dari 12.01 menjadi 12.12%. Perbedaan ini mungkin sebagai

akibat dari perbedaan jenis mikrob yang digunakan. Selanjutnya penelitian

Biyatmoko (2002) menggunakan A.niger menyebabkan kadar serat ampas sagu

meningkat dari 24.18% menjadi 25.95% setelah inkubasi tiga hari. Demikian juga

penelitian Supriyati et al. (1995) pada ampas sagu terjadi peningkatan dari

18.48% menjadi 22.29%. Berbeda dengan hasil-hasil di atas, penelitian Suryahadi

dan Amrullah (1989) menggunakan kapang A.niger dapat menurunkan kadar serat

kasar onggok dari 14.24% menjadi 13.72%.

Kualitas Nutrien Putak Hasil Fermentasi oleh T.reesei

Protein Kasar

Secara umum A.niger maupun T.reesei mempunyai kecenderungan yang

sama dalam hal kemampuan memperbaiki kualitas substrat. Kadar protein kasar

Page 62: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

42

putak pada level kultur T2 (1.485 x 106) dengan lama inkubasi empat hari (W4)

sebesar 20.60%, nyata lebih tinggi (P≤0.05) dari level T1 (0.99 x 106) dan T3

(1.98 x106) masing-masing 17.40 dan 20.53%. Nilai tersebut lebih tinggi dari

yang dilaporkan Suhartati et al. (2003) menggunakan T.reesei pada fermentasi

pod coklat mampu meningkatkan kadar protein kasar dari 5.53% menjadi 6.5%,

juga Jaelani (2007) pada fermentasi bungkil inti sawit dapat meningkatkan kadar

protein kasar dari 16.5% menjadi 24.37%. Demikian halnya dengan Noviati

(2002) yang menggunakan T.harzianum juga mampu meningkatkan protein kasar

ampas tahu dari 24.57% menjadi 32.83% setelah diinkubasi enam hari. Perbedaan

tersebut mungkin disebabkan jenis dan komposisi substrat yang digunakan.

Gambar 8 Putak fermentasi T.reesei pada umur 2 hari (kiri) dan 4 hari (kanan)

Tabel 4 menunjukkan bahwa pada level kultur rendah (T1) membutuhkan

waktu inkubasi lebih lama daripada level tinggi, berarti pada kultur rendah

membutuhkan fase adaptasi (lag) yang lebih lama. Dikemukakan oleh Fardiaz

(1988) bahwa jumlah awal sel mempengaruhi kecepatan fase adaptasi. Hal ini

menunjukkan bahwa konsentrasi kultur awal yang tinggi memungkinkan

pertumbuhan juga semakin besar. Pertumbuhan mikrob yang cepat juga turut

meningkatkan kandungan protein substrat karena banyak terbentuk miselium.

Page 63: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

43

Tabel 4 Rataan kadar nutrien putak hasil fermentasi oleh T.reesei

dengan level kultur dan lama inkubasi yang berbeda Level T.reesei

(%)

1.98x105 cfu/g

Lama

Inkubasi

(hari)

Kadar Nutrien Putak (%BK)

T W PK PM SK BK BO

0 14.17 3.25 9.70 91.05 84.11

2 15.60a 4.95

a 7.14

a 95.22

b 90.62

c

5.0 (T1) 3 16.45a 5.82

a 8.32

b 95.62

b 90.54

a

4 17.40a 7.32

a 6.61

a 94.61

c 87.95

c

2 17.74b 7.83

b 8.03

b 93.60

a 88.87

b

7.5 (T2) 3 19.52b 11.32

c 8.60

c 92.77

a 86.25

a

4 20.60b 13.25

b 9.08

b 92.63

b 85.78

b

2 19.29c 10.60

c 7.05

a 93.86

a 87.49

a

10.0 (T3) 3 20.44c 11.04

c 7.93

a 92.87

a 86.17

a

4 20.33b 12.09

b 10.57

c 90.79

a 83.26

a

Superscript dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan interaksi nyata

(P<0.05) antar perlakuan

Laju pertumbuhan kapang yang cepat tergambar dari terjadinya

peningkatan kadar protein kasar medium. Pada level kultur rendah (T1), laju

pertumbuhan kapang juga lambat yang ditandai oleh peningkatan kadar protein

yang kecil dan masih terus bertambah hingga inkubasi hari ke-4. Akibat

rendahnya kepadatan kultur dalam medium maka tingkat pemanfaatan nutrien

yang tersedia juga melebihi kebutuhan sehingga pertumbuhan kapang masih terus

terjadi hingga hari keempat inkubasi. Sebaliknya dengan perlakuan level T2 dan

T3 dimana pertumbuhan terjadi lebih cepat, pemanfaatan sumber-sumber nutrien

juga tinggi oleh karena itu lebih cepat mencapai fase stasioner yang mungkin

disebabkan persediaan nutrien mulai berkurang serta terjadi akumulasi zat-zat

metabolik yang dapat menghambat pertumbuhan.

Kemampuan kapang T.reesei menghasilkan enzim selulolitik seperti Endo

dan Ekso-glukanase (selobiohidrolase) memberikan keuntungan dalam hal

produksi protein. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Pakula et al. (2005)

bahwa kapang mampu memproduksi enzim dalam jumlah yang tinggi, dan

produksi ini setara dengan 40 g/l protein ekstraseluler. Selobiohidrolase I (CBHI)

merupakan komponen enzim terbanyak yang diproduksikan dan menyumbang

ke dalam substrat sekitar 60% dari total protein yang disekresikan. Artinya bahwa

Page 64: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

44

disamping protein massa sel yang disumbangkan pada medium juga dihasilkan

protein ekstraseluler dari enzim.

Protein Murni

Peningkatan kandungan protein kasar sejalan dengan peningkatan protein

murni. Hal tersebut disebabkan kapang dapat memanfaatkan sumber-sumber

nutrien yang tersedia dalam substrat bagi pertumbuhannya. Dikemukakan oleh

Rahman (1992) bahwa akibat pertumbuhan mikrob dalam substrat kadar protein

substrat meningkat.

Kadar PM terbaik 13.25%, diperoleh dari level kultur yang sama dengan

protein kasar yakni T2 dan W4 dan nyata lebih tinggi bila dibanding T1W4 (7.32%)

atau T3W4 (12.09%). Hal ini menunjukkan proses konversi pati menjadi protein

sel kapang juga terjadi dengan baik pada T.reesei. Menurut Valdivia et al. (1983)

bahwa penggunaan bahan berpati dalam menghasilkan protein sel tunggal

merupakan pilihan yang tepat karena pati mudah digunakan oleh banyak mikrob.

Proses sterilisasi medium dengan cara dikukus turut menunjang

ketersediaan substrat sebagai sumber nutrien bagi mikrob yang ditumbuhkan.

Sebagaimana dikemukakan oleh Isaac dan Jennings (1995) bahwa efisiensi

penggunaan sumber karbon seperti karbohidrat dalam fermentasi dapat bertambah

bila dilakukan pemanasan. Pemanasan dapat mengubah bentuk fisik bahan padat

dan kering menjadi lebih lunak serta meningkatkan kadar air bahan. Disamping

itu pemanasan juga mengakibatkan terjadi gelatinisasi terutama pada karbohidrat

dan menyebabkan pati menjadi lebih mudah dihidrolisis sehingga proses

pertumbuhan mikroorganisme yang diinokulasikan menjadi lebih baik.

Serat Kasar

Fermentasi putak dengan T.reesei pada level terpilih (T2W4) menyebabkan

penurunan kadar serat kasar substrat yakni 9.70% sebelum difermentasi menjadi

9.08% setelah difermentasi. Hal ini berbeda dengan kapang A.niger yang kadar

serat kasar substrat lebih tinggi setelah difermentasikan. Secara keseluruhan kadar

serat kasar hasil fermentasi dengan T.reesei lebih rendah daripada dengan A.niger.

Page 65: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

45

Kenyataan ini menunjukkan kemampuan kapang dalam menghasilkan

enzim selulase untuk mendegradasi komponen selulosa yang ada dalam medium.

Enzim selobiohidrolase (C1 =CBH) yang dihasilkan kapang berfungsi untuk

menghidrolisis selulosa yang ada dalam substrat. Fungsi utama enzim ini adalah

mendegradasi selulosa menjadi selobiosa. Seperti dikemukakan bahwa

Trichoderma reesei merupakan kapang yang sangat potensil dalam menghasilkan

enzim endo- dan ekso-glukanase (Panda et al. 1988, Pakula et al. 2000, Pakula

et al. 2005) dan enzim ini akan mendegradasi selulosa menjadi selobiosa sebagai

satu-satunya produk akhir hidrolisis (Tsao dan Chiang 1983, Juhasz et al. 2003),

tetapi akumulasi selobiosa dalam medium dapat menghambat kerja enzim yang

bersangkutan.

Bahan Kering dan Organik

Kemampuan kapang memanfaatkan BK dan BO sebagai sumber nutrien

sama dengan kapang sebelumnya. Kehilangan BK dan BO sangat tergantung pada

jumlah kultur serta lama inkubasi. Hal ini dapat dipahami karena untuk

pertumbuhannya kapang memerlukan nutrien dan nutrien tersebut ada dalam BO

atau BK yang mana semakin tinggi volume kultur maka perombakan BO terutama

juga makin banyak. Demikian juga dengan bertambahnya waktu inkubasi maka

makin banyak kesempatan bagi kapang untuk mendegradasi unsur-unsur organik

substrat guna memenuhi kebutuhannya untuk bertumbuh sehingga mengakibatkan

berkurangnya kedua unsur tersebut, disamping faktor lain dari proses fermentasi

itu sendiri.

Percobaan II : Fermentasi Kultur Campuran A.niger dan T.reesei dalam

Putak sebagai Substrat

Protein

Rataan komposisi nutrien putak hasil fermentasi kultur campuran seperti

tergambar pada Tabel 5. Secara keseluruhan menunjukkan bahwa jumlah awal

kultur yang tinggi menyebabkan laju pertumbuhan kapang juga lebih cepat yang

ditandai oleh tingginya kadar protein substrat. Demikian halnya dengan kadar BK

dan BO yang juga semakin berkurang dengan makin besarnya level kultur. Hal

Page 66: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

46

tersebut terjadi karena dalam pertumbuhannya, kapang merombak komponen

substrat dalam memenuhi kebutuhan pertumbuhannya.

Gambar 9 Putak fermentasi campuran T.reesei dan A.niger siap panen

Berdasarkan pengamatan tahap sebelumnya terhadap kemampuan tumbuh

masing-masing kultur dalam substrat yang dicobakan (putak), dimana A.niger

lebih cepat tumbuh dibanding T.reesei, maka pada perlakuan penundaan

pencampuran kedua kultur, T.reesei yang terlebih dahulu diinokulasikan. Kultur

campuran T.reesei dan A.niger diperoleh dengan cara penundaan pencampuran

pada nol, satu, dan dua hari. Hasil analisis terhadap komposisi nutrien putak

terfermentasi (PF) serta fermentabilitas rumen in vitro tersaji pada Tabel 5 dan 7.

Pada semua peubah yang diukur, secara keseluruhan menunjukkan hasil yang

lebih baik bila dilakukan penundaan pencampuran dua hari, yakni bila A.niger

diinokulasikan setelah fermentasi T.reesei berjalan 2 hari (D2).

Kombinasi kultur T2A3 (level 7.5% T.resei dan 1.5% A.niger) dengan D2

(dua hari lama penundaan pencampuran) menghasilkan kadar protein kasar

23.62% dan murni 14.92%, terbaik dan nyata lebih tinggi (P≤0.05) dari semua

kombinasi level yang dicobakan. Hasil tersebut juga lebih baik daripada kultur

tunggal masing-masing kapang seperti pada Percobaan I.

Peningkatan kadar protein substrat dengan kombinasi level kultur rendah

(T1 dan A1 atau A2) terlihat hanya kecil perubahannya yakni berkisar antara

18.61 – 18.81% dan 10.02 – 11.79% masing-masing untuk kadar PK dan PM. Hal

ini menunjukkan kombinasi level kultur rendah membutuhkan waktu inkubasi

yang lebih panjang akibat masa adaptasi (fase lag) yang juga lebih lama.

Page 67: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

47

Sebaliknya dengan kombinasi kultur tinggi (T2 dan A3 atau A4) peningkatan

kadar kedua unsur di atas lebih baik yakni berkisar antara 22.71 – 23.62% dan

13.39 – 14.92% masing-masing untuk PK dan PM.

Menurut Fardiaz (1988) bahwa jumlah awal sel yang semakin tinggi akan

mempercepat fase adaptasi, demikian juga semakin tinggi kecepatan pertumbuhan

akan meningkatkan jumlah massa sel. Fenomena ini menggambarkan bahwa

kombinasi level T.reesei dan A.niger yang sesuai pada fermentasi campuran

menggunakan putak sebagai substrat perlu dipertimbangkan agar efek sinergisme

dalam proses fermentasi menjadi lebih bermanfaat.

Tabel 5 Komposisi nutrien putak fermentasi campuran A.niger dan T.reesei

dengan lama penundaan pencampuran 2 hari (D2)

Kombi-

nasi

Lama

delay

(hari)

Peubah (% BK)

BK

BO

PK

PM

SK

0 91.05 84.11 14.17 3.25 9.70

T1A1 2 92.52 ± 0.26 84.94 ± 0.25 18.61±0.48 11.79 ± 0.47 9.19 ± 0.03

T2A1 2 91.56 ± 0.74 83.91 ± 0.72 18.01±2.61 13.01 ± 0.17 9.54 ± 0.05

T3A1 2 92.42 ± 0.06 84.06 ± 0.03 19.20±0.32 11.94 ± 0.51 10.26 ±0.01

T1A2 2 92.40 ± 0.07 84.65 ± 0.02 18.81±0.26 10.02 ± 0.74 9.56 ± 0.02

T2A2 2 91.47 ± 0.45 82.62 ± 0.35 22.41±0.15 11.88 ± 0.13 9.08 ± 0.03

T3A2 2 91.17 ± 0.03 82.11 ± 0.02 21.72±0.13 14.58 ± 0.12 9.70 ± 0.02

T1A3 2 91.83 ± 0.02 84.46 ± 0.03 19.09±0.35 12.59 ± 0.63 9.4 ± 0.00

T2A3 2 90.78 ± 0.13 82.90 ± 0.22 23.62±0.27 14.92 ± 0.27 10.17 ±0.01

T3A3 2 90.30 ± 0.07 82.04 ± 0.09 22.21±0.15 12.89 ± 0.16 10.06 ±0.05

T1A4 2 92.55 ± 0.23 84.61 ± 0.22 19.31±0.28 13.10 ± 0.28 9.06 ± 0.00

T2A4 2 91.29 ± 0.09 83.13 ± 0.05 22.71±0.06 13.39 ± 0.05 10.24 ±0.07

T3A4 2 90.58 ± 0.11 81.72 ± 0.05 19.54±0.07 13.28 ± 0.12 9.07 ± 0.02

Aspergillus niger tergolong kapang yang cepat tumbuh dan mudah

beradaptasi, sebaliknya T.reesei lebih lambat, dengan demikian inokulasi T.reesei

dua (2) hari mendahului A.niger (perlakuan D2) tidak mempengaruhi laju

pertumbuhan masing-masing kapang tetapi menunjukkan adanya sinergi

metabolik antar spesies dalam memanfaatkan komponen substrat dan hasil

metabolit untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya sesuai kelebihan masing-masing

kapang. Efek sinergisme tersebut mungkin berjalan dengan baik dan optimum

pada kombinasi T2A3 yang dapat diprediksikan dari kadar protein kasar dan murni

Page 68: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

48

pada kombinasi ini yang terbaik dari kombinasi-kombinasi lainnya. Diduga bahwa

kombinasi level tersebut adalah optimum dalam memanfaatkan sumber-sumber

nutrien yang ada, disamping itu tidak terjadi akumulasi metabolit yang dapat

mengganggu aktifitas masing-masing mikrob di dalam medium karena metabolit

tersebut digunakan oleh mikroba lainnya yang hidup bersama dalam medium.

Gambar 10 Komposisi nutrien putak sebelum dan sesudah fermentasi

Trichoderma reesei potensil dalam menghasilkan enzim endoglukanase

Cx=CMC-ase), eksoglukanase (cellobiohydrolase) yang akan menghidrolisis

selulosa menjadi selobiosa. Akumulasi selobiosa dalam medium akan

menghambat aktifitas kedua enzim tersebut. A.niger potensil dalam menghasilkan

enzim β-glukosidase. Enzim ini berperan dalam hidrolisis selobiosa menjadi

glukosa (Juhasz et al. 2003, Pakula et al. 2005). Oleh karena itu kombinasi kedua

kapang dapat bersinergi dalam proses degradasi selulosa secara sempurna.

Dikemukakan lebih lanjut oleh Juhasz et al. (2003) bahwa interaksi antara dua

spesies mikrob yang berbeda dapat dieksploitir dalam menghasilkan produk

fermentasi yang lebih baik. Interaksi ini terbukti pada kadar protein kasar maupun

murni yang lebih tinggi pada kultur campuran dibanding kultur tunggal masing-

masing kapang.

Faktor-faktor fisik medium seperi aerasi, suhu, serta ketersediaan nutrien

cukup seimbang turut menunjang interaksi metabolisme pada kedua kapang.

Alasan ini didasarkan pada jumlah nutrien dalam substrat kultur campuran sama

dengan kultur tunggal, selanjutnya pada level terbaik kultur tunggal (T2 dan A3 )

2.5

14.17

19.81 20.6

23.62

3.25

9.7 9.0810.17

13.2514.92

12.53

9.24

12.22

0

5

10

15

20

25

Awal Tanpa

Kultur

An Tr An+Tr

PK

PM

SK

Page 69: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

49

kombinasi level tersebut juga yang terbaik dalam kultur campuran (T2A3).

Moo-Young (1983) mengemukakan bahwa tekanan O2 (pO2) meningkat dapat

menstimulir produksi enzim amilase. Artinya bahwa kebutuhan oksigen kapang

cukup, sehingga proses metabolisme pati dalam substrat menjadi glukosa dapat

berjalan baik guna menunjang pertumbuhan kapang yang lebih baik. Hommel

(1993) mengemukakan bahwa glukosa merupakan sumber karbon dan energi

utama bagi sebagian besar mikrob.

Perlakuan sterilisasi terhadap substrat bukan hanya untuk membunuh

mikrob lain yang tidak diinginkan tetapi juga ikut menyebabkan longgarnya

ikatan partikel pati sehingga lebih mudah diinvasi oleh enzim ekstraseluler kapang

terutama dalam pertumbuhan awal. Menurut Sofyan (1989) bahwa apabila

suspensi pati dipanaskan hingga 65oC atau lebih maka akan terjadi pengembangan

serta penguraian granula pati sehingga akan lebih mudah dicerna.

Akibat perlakuan yang dikenakan serta sinergisme yang terjalin di antara

kapang dalam substrat menyebabkan mikrob cukup mendapatkan nutrien bagi

pertumbuhan dan dapat dilihat dari kualitas putak yang dihasilkan pada fermentasi

campuran lebih baik ditinjau dari peningkatan kadar PK dan PM serta penurunan

kadar SK. Fermentasi medium padat didasarkan pada pembentukan ekosistim

untuk pertumbuhan mikrob yang diinokulasikan. Sifat porositas medium

merupakan faktor yang penting dalam menunjang pertumbuhan mikrob yang

ditambahkan. Medium dengan porositas yang baik dapat memungkinkan penetrasi

udara ke dalam bagian medium sehingga pertumbuhan dapat terjadi di seluruh

bagian medium. Hal di atas diduga dari jumlah dan komposisi nutrien medium

yang sama dengan kultur tunggal, meskipun kepadatan kultur meningkat ternyata

dapat memberikan kondisi yang kondusif bagi pertumbuhan mikrob tersebut.

Kombinasi kultur yang lebih tinggi seperti T3A4 mempengaruhi

pertumbuhan kapang akibat ketidak seimbangan antara faktor nutrisi dan jumlah

sel dalam medium. Efek sinergisme antar kultur juga mungkin kurang bermanfaat

karena kepadatan kultur yang tinggi dan tidak diimbangi dengan ketersediaan

nutrien sehingga terjadi persaingan dalam memanfaatkan sumber nutrisi yang

tersedia, akibatnya pertumbuhan kapang menjadi terhambat. Dengan demikian

Page 70: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

50

dapat dikatakan bahwa, pada fermentasi campuran, kombinasi jumlah kultur yang

sesuai menyebabkan penggunaan substrat menjadi produk lebih efisien.

Faktor nutrisi biasanya merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan

mikrob terutama pada medium padat. Kultur campuran memungkinkan

penggunaan substrat yang bervariasi dalam hal komposisi bahan sehingga kapang

selulolitik tidak hanya menggunakan selulosa saja tapi bisa juga pati. Oleh karena

itu kapang amilolitik seperti A.niger bersama selulolitik seperti T.reesei dapat

menghasilkan biomassa yang lebih tinggi dalam waktu yang singkat seperti hasil

percobaan ini.

Gambar 10 menggambarkan tahapan perubahan substrat (putak) sebelum

dan sesudah fermentasi secara tunggal oleh T.reesei (Tr) atau A.niger (An) serta

dalam kultur campuran T.reesei dan A.niger (Tr+An). Data memperlihatkan

perubahan kualitas substrat yang cukup signifikan akibat fermentasi baik pada

kultur tunggal maupun campuran. Sebagaimana dikemukakan oleh Winarno

(1992) bahwa substrat hasil fermentasi lebih baik dari substrat sebelumnya.

Fermentabilitas in vitro Putak Hasil Fermentasi Campuran

Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik

Tabel 7 menunjukkan fermentabilitas putak fermentasi secara in vitro.

Kecernaan bahan kering dan bahan organik PF hasil percobaan cukup tinggi, yaitu

82.96 – 89.15% dan 80.12 – 89.73%. Nilai kecernaan merupakan indikator

adanya aktifitas mikrob rumen. Tingginya angka tersebut memberi indikasi bahwa

produk dapat memberikan pengaruh baik terhadap aktifitas mikroba rumen.

Angka kecernaan bahan kering maupun organik putak dalam percobaan ini lebih

tinggi dibandingkan produk gabungan urea-putak dalam penelitian yang dilakukan

Wie Lawa (1996) yakni sebesar 73.09% dan 62.03% masing-masing untuk

kecernaan bahan kering dan organik bila produk dimasak selama 2 jam dan

ditambahkan urea 4% BK. Perbedaan ini membuktikan peran kapang pada proses

fermentasi dalam mengkonversi substrat menjadi komponen nutrisi yang lebih

sederhana dan mudah dicerna.

Page 71: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

51

Selama proses fermentasi berlangsung, mikroorganisme menghasilkan

enzim untuk memecah komponen kompleks seperti selulosa atau polisakarida

lainnya menjadi bentuk yang lebih sederhana, oleh sebab itu menurut Winarno

(1992) bahwa makanan produk fermentasi memiliki nilai yang lebih baik dari

asalnya. Hal tersebut dapat terjadi karena mikroorganisme, selain bersifat

katabolik yaitu memecah senyawa kompleks menjadi sederhana, tetapi juga

karena mikroorganisme dapat mensintesa beberapa vitamin yang dapat

menstimulir pertumbuhan mikrob.

Bagi ternak ruminansia, tingginya tingkat kecernaan suatu bahan pakan

merupakan faktor penentu produksi mikrob rumen karena di dalam rumen pakan

akan lebih tersedia dan lebih mudah difermentasi guna menjamin ketersediaan

nutrien yang dibutuhkan mikrob rumen dalam proses prolifikasi sel yang pada

gilirannya merupakan sumber protein berkualitas tinggi bagi ternak inang.

Sebagaimana dikemukakan oleh Savvant et al. (1985) bahwa besarnya bahan

organik yang didegradasi merupakan indikator sintesa protein mikroba apabila

tersedia cukup N dan mineral. Fermentabilitas BO dan BK ransum dicerminkan

oleh produksi ammonia dan asam lemak terbang (VFA). Produksi VFA

menggambarkan fermentabilitas ransum atau pakan karena VFA merupakan hasil

proses fermentasi dan merupakan sumber energi utama bagi ruminansia (Owen

dan Begen1983, Preston dan Leng 1991).

Total Asam Lemak Terbang (VFA) dan Ammonia (N-NH3)

Rataan kadar VFA total, NH3, KcBK dan KcBO putak fermentasi

sebagaimana terlihat pada Tabel 7 untuk semua kombinasi perlakuan dengan lama

penundaan pencampuran dua hari (D2). Data lengkap peubah-peubah tersebut

dengan lama penundaan pencampuran 0, 1 dan 2 hari ada pada Lampiran 1 dan 2.

Konsentrasi asam lemak terbang (VFA) hasil percobaan berkisar antara

91.1 – 119.6 mM dan berada pada kisaran normal untuk menunjang pertumbuhan

mikrob rumen yang optimum sebagaimana dikemukakan oleh Sutardi (1995)

yakni 80 – 160 mM VFA. Hasil tersebut menunjukkan kualitas putak hasil

fermentasi sangat baik ditinjau dari fermentabilitas. Hal ini didukung oleh

kecernaan BK maupun BO yang juga tinggi. Pencernaan BO erat kaitannya

Page 72: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

52

dengan produksi VFA dan sintesa protein mikrob, dengan demikian tingginya

kadar VFA pakan menggambarkan potensinya untuk mengubah amonia menjadi

protein mikrob. Fermentasi karbohidrat dalam rumen menghasilkan VFA sebagai

produk utama guna menyediakan energi dan karbon bagi pertumbuhan dan

mempertahankan komunitas mikrob.

Tabel 7 Fermentabilitas in vitro putak fermentasi campuran A.niger

dan T.reesei dengan lama penundaan pencampuran 2 hari

Kombinasi

Lama

delay

(hari)

Peubah

KcBK (%) KcBO (%) N-NH3 (mM) VFA Total mM)

T1A1 2 82.96 ± 0.11 82.19 ± 0.13 14.94 ± 0.18 91.14 ± 1.52

T2A1 2 88.73 ± 1.29 89.20 ± 1.2 16.14 ± 0.4 114.05 ± 2.17

T3A1 2 89.25 ± 0.41 89.73 ± 0.82 16.4 ± 0.48 108.33 ± 0.06

T1A2 2 89.15 ± 0.24 88.93 ± 0.11 15.53 ± 0.39 94.94 ± 1.11

T2A2 2 89.92 ±0.83 89.74 ± 0.13 16.95 ± 0.89 100.63 ± 5.61

T3A2 2 84.44 ± 0.36 84.21 ± 0.57 18.46 ± 0.11 112.47 ± 1.33

T1A3 2 84.43 ± 0.12 83.89 ± 0.32 15.87 ± 0.39 108.07 ± 1.99

T2A3 2 84.89 ± 0.74 80.12 ± 0.07 19.04 ± 0.09 107.82 ± 5.23

T3A3 2 87.47 ± 0.03 87.62 ± 0.17 18.51 ± 0.28 119.58 ± 3.12

T1A4 2 86.15 ± 0.56 84.98 ± 0.13 16.69 ± 0.17 99.01 ± 0.63

T2A4 2 88.36 ± 0.34 88.72 ± 0.14 18.65 ± 0.45 108.08 ± 1.95

T3A4 2 84.66 ± 0.03 80.72 ± 0.04 19.09 ± 0.59 117.18 ± 0.46

Sebaliknya kadar NH3 14.9 – 19.0 mM lebih tinggi dari yang disarankan

Sutardi (1979) yakni 4 – 12 mM. Kadar amonia yang cukup tinggi ini mungkin

disebabkan tingginya kandungan sumber nitrogen bukan protein yang masih

tersisa dalam putak disamping kadar protein putak akibat fermentasi, sehingga

perombakannya dalam rumen menghasilkan amonia yang tinggi. Kemungkinan

lainnya adalah karena pada pengukuran in vitro, sebagaimana hasil ini diperoleh,

proses fermentasi berlangsung dalam tabung sehingga aktifitas penyerapan hanya

terbatas pada penggunaannya oleh mikroorganisme dan tidak ada yang terserap

melalui dinding rumen atau terbuang lewat urine, sehingga amonia yang terbentuk

terakumulasi dan cenderung meningkat. Menurut Sutardi (1979) bahwa dalam

merombak protein, mikrob rumen tidak mengenal batas karena produksi akan

terus terjadi meskipun kadarnya dalam rumen sudah cukup tinggi.

Tingginya konsentrasi amonia di atas mencerminkan kecepatan produksi

pencernaan nitrogen asal putak yang juga menunjukkan tingginya fermentabilitas

Page 73: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

53

pakan tersebut. Kecukupan menyediakan amonia untuk pertumbuhan mikrob

rumen merupakan salah satu patokan dalam mengevaluasi protein pakan pada

ruminansia. Peningkatan populasi mikrob sangat menguntungkan bagi hewan

ternak, sebab selain meningkatkan kecernaan pakan dalam rumen, ternak juga

akan mendapat pasokan mikrob yang telah mati dan mengalir ke usus.

Amonia, bersama dengan VFA merupakan bahan utama pembentuk

protein mikrob yang berguna bagi induk semang. Dengan demikian, ditinjau dari

kadar amonia dan VFA substrat maka dapat dikatakan bahwa putak hasil

fermentasi dapat menyediakan prekursor nutrien yang baik untuk menunjang

sintesis protein mikrob rumen. Dengan demikian kemungkinan PF dapat

digunakan sebagai konsentrat tunggal dalam menciptakan ekosistim rumen yang

baik bagi perkembangbiakan mikroorganisme rumen, cukup terbuka.

Fermentabilitas suatu pakan diukur dari kemampuannya dalam

menghasilkan VFA yang ditunjang oleh ketersediaan NH3 yang cukup dalam

rumen. Menurut Suryahadi dan Amrullah (1984) bahwa sebagian besar mikroba

rumen menggunakan ammonia (NH3) untuk prolifikasi terutama untuk sintesa

protein tubuhnya. Sedangkan ketersediaan karbohidrat asal pakan akan dihidrolisa

menjadi VFA sebagai sumber energi. Hal tersebut menunjukkann hubungan

antara kedua unsur ini dalam menunjang pertumbuhan yang optimum bagi mikrob

rumen.

Hasil terbaik pada percobaan II yakni putak hasil fermentasi campuran

T.reesei dan A.niger yakni kombinasi T2A3 selanjutnya digunakan dalam uji

biologis dengan menggunakan ternak kambing jantan lokal sebagai ternak coba.

Percobaan III : Respon Ternak Kambing Jantan Lokal terhadap Pemberian

Putak Fermentasi

Konsumsi Pakan Basal

Jerami padi merupakan pakan basal yang diberikan secara ad libitum

kepada ternak percobaan. Perlakuan menyebabkan peningkatan konsumsi pakan

basal (jerami padi), dimana secara statistik perlakuan R4 yakni konsentrat yang

mengandung 40% putak terfermentasi nyata lebih tinggi (P<0.05) dari R0, R1, dan

Page 74: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

54

R2 tetapi tidak beda dengan R3. Hasil penelitian Bamualim et al. (1993) pada

sapi Bali Timor yang diberi jerami padi dan suplemen putak ditambah urea

menyebabkan berkurangnya konsumsi jerami dari 2.16 menjadi 1.87kg/e/h,

demikian halnya pada ternak kambing dari 215 menjadi 190 g/e/h (Kana Hau

et al. (1993). Hal ini menggambarkan kemampuan putak terfermentasi (PF) bukan

hanya sebatas menyediakan nitrogen dan sumber karbon yang dibutuhkan

ekosistem rumen tetapi mungkin prekusor nutrien lainnya seperti asam amino dan

vitamin sehingga kondisi rumen menjadi lebih kondusif dalam memacu

pertumbuhan mikrob rumen sebagaimana pernyataan McAllan dan Smith (1983)

serta Wallace et al. (2001) bahwa meskipun mikroba selulolitik dikenal mampu

menggunakan amonia sebagai sumber nitrogen utama, protein (true protein)

dalam ransum lebih baik dibanding urea dalam memacu perumbuhan mikrob.

Meningkatnya pertumbuhan mikrob rumen akan diikuti oleh meningkatnya

kecernaan pakan serta pergerakan makanan dalam saluran pencernaan menjadi

lebih cepat dan pada akhirnya ternak akan terangsang untuk mengkonsumsi

ransum. Leng (1991) mengemukakan bahwa tingkat konsumsi sangat dipengaruhi

oleh koefisien cerna, kualitas ransum, fermentasi dalam rumen serta status

fisiologis ternak.

Perbedaan konsumsi pakan basal pada percobaan ini menyebabkan

perbedaan konsumsi ransum serta nutrien lainnya karena konsentrat diberikan

dalam jumlah yang sama pada seluruh ternak perlakuan.

Tabel 8 memperlihatkan rataan konsumsi ransum dan nutrien (bahan

kering, bahan organik dan protein), yang ditampilkan berdasarkan konsumsi nyata

(as fed) serta berdasarkan bobot metabolis. Terlihat bahwa perlakuan

mempengaruhi konsumsi bahan kering dan bahan organik serta nutrien lainnya,

karena meningkatnya penggunaan PF mengakibatkan peningkatan konsumsi

nutrien baik secara as fed maupun bobot metabolis.

Bahan Kering dan Bahan Organik

Konsumsi bahan kering merupakan salah satu ukuran dalam mengetahui

konsumsi zat-zat makanan oleh ternak yang dideposit dalam tubuh. Rataan

jumlah konsumsi bahan kering per ekor per hari berkisar antara 408.04 g (R0) –

Page 75: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

55

463.13 g (R4). Jumlah konsumsi R3 dan R4 nyata (P<0.05) lebih tinggi dari

perlakuan R0, R1 dan R2, demikian halnya dengan konsumsi bahan organik.

Konsumsi bahan kering ransum pada percobaan ini masih lebih tinggi daripada

yang dilaporkan Gushairiyanto (2004) yang berkisar antara 353.52 - 430.84 g

pada kambing kacang yang diberi 30% kulit umbi ketela pohon yang difermentasi

dengan A.niger tetapi lebih rendah dari hasil penelitian Uhi (2005) yakni 533.23 -

572.98 g pada domba yang diberi 30% suplemen katalitik gelatin sagu sebagai

sumber protein

Tabel 8 Rataan konsumsi nutrien ternak kambing

PEUBAH

PERLAKUAN

R0 R1 R2 R3 R4

Berdasarkan konsumsi pakan (g/e/h)

Kons.Ransm

455.69±7.99a

461.60±7.37a

476.15±3.38b

498.10 ±3.06

c

510.75±6.83 c

Kons Jerami

163.80±1.8 a 168.34±9.35

a 187.02±8.04

b 214.19±14.04

c 218.59±19.18

c

Kons. BK

408.04 ± 7.08a

411.13±3.69 a 425.92±3.5

b 457.02 ± .85

c 463.13 ± 3.87

d

Kons. BO

326.88±5.4 a

329.35±2.8a 342.44 ±1.46

b 368.71 ±4.87

c 374.02±2.44

d

Kons. PK

49.69± 0.24 a

50.58 ±0.49b 50.65 ±0.43

b 51.41 ±0.22

c 51.80 ±0.13

d

Kons. SK

53.76±1.38a 56.27±0.85

b 58.77±0.16

c 64.93 ± 1.47

d 67.53±0.73

e

Berdasarkan bobot metabolis (g/kg BB0.75

/h)

Kons.Ransm

57.6±2.5a

59.43±4.5a

58.33±1.9a

61.97 ±5.5

ab

63.28±1.5b

Kons Jerami

20.67±1.0 a 21.71±2.5

a 22.94±1.8

ab 26.58±1.1

bc 27.03±1.6

c

Kons. BK

51.58±2.33a

52.93±3.89 b 52.20±2.40

b 56.79 ± .1.82

c 57.40± 2.25

c

Kons. BO

42.58±2.02a

43.68±3.06a 43.19 ±1.82

b 47.07 ±1.86

c 47.6±1.43

d

Kons. PK

6.28±0.35a

6.51 ±0.50a 6.21 ±0.23

a 6.39 ±0.29

ab 6.42 ±0.20

b

Kons. SK

6.79±0.27a 7.24±0.56

b 7.20±0.28

b 8.07 ± 0.24

b 8.37±0.33

c

Ket :1. R0 =10% putak tanpa olah dalam konsentrat; R1= 10% putak terfermentasi dalam

konsentrat; R2 = 20% putak terfermentasi dalam konsentrat; R3 = 30% putak

terfermentasi dalam konsentrat ; R4 = 40% putak terfermentasi dalam konsentrat

2. Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05)

antara perlakuan

Page 76: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

56

Data konsumsi nutrien berdasarkan bobot metabolis (BB0.75

) seperti tersaji

dalam Tabel 8 memperlihatkan kecenderungan yang sama dengan konsumsi ril

pemberian. Hal tersebut menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruhi positip

terhadap konsumsi nutrien. Putak fermentasi mengandung protein organik berupa

protein sel tunggal (PST) dan kadarnya bertambah seiring peningkatan kadar PF

dalam ransum. Disamping mengandung protein berkualitas tinggi sebagai sumber

nitrogen untuk mikrob, putak fermentasi juga masih mengandung sumber nitrogen

lain yakni nitrogen bukan protein dari urea dan amonium sulfat yang tidak

termanfaatkan oleh kapang saat proses fermentasi putak berlangsung. Disamping

itu karbohidrat mudah tersedia dalam bentuk pati yang dapat dimanfaatkan oleh

mikrob rumen sebagai sumber kerangka karbon dalam proses prolifikasi sel.

Akibatnya, populasi mikrob rumen mungkin bertambah sehingga pencernaan

ransum meningkat, pergerakan ingesta meningkat, ternak mau mengkonsumsi

lebih banyak jerami padi sebagai sumber hijauan tunggal yang tersedia.

Dugaan di atas didukung oleh hasil percobaan tahap sebelumnya (Tahap

II) dimana kadar VFA dan NH3 putak terfermentasi terpilih untuk uji respon

ternak masing-masing adalah 107.82 mM dan 19.04 mM, berada pada kisaran

normal untuk menunjang pertumbuhan mikrob rumen yang optimum.

sebagaimana yang dkemukakan oleh Sutardi (1979) yakni kisaran VFA 80 – 160

mM dan konsentrasi NH3 berkisar antara 4.00 – 12.00 mM. Hasil penelitian lain

seperti yang dilaporkan Mehrez et al. (1977) bahwa untuk memaksimumkan laju

fermentasi diperlukan konsentrasi amonia yang lebih tinggi yakni 16.78 mM.

Sedangkan Leng (1991) berpendapat bahwa kebutuhan amonia sangat bergantung

kepada jenis pakan. Konsentrasi amonia yang lebih tinggi diperlukan bila ternak

mendapatkan pakan dengan kecernaan rendah seperti jerami padi.

Kecernaan Nutrien

Unsur-unsur nutrien yang terdapat dalam ransum tidak seluruhnya dapat

dicerna, diserap dan digunakan oleh ternak sehingga ada yang dikeluarkan melalui

feses dan. urine. Rataan kecernaan nutrien ransum perlakuan disajikan pada

Tabel 9.

Page 77: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

57

Tabel 9 Rataan kecernaan nutrien

PEUBAH PERLAKUAN

R0 R1 R2 R3 R4 Kecernaan BK (%) 63.89 ±0.31

a 65.4 ±5.49

a 68.33±1.05

b 72.48±1.77

c 72.75 ±1.55

c

Kecernaan BO,(%) 70.96 ±4.19a 71.67±1.79

a 73.30±1.14

b 74.63±0.92

b 77.12 ±1.40

c

Kecernaan PK, (%) 67.80 ±0.65a 69.19±1.05

a 71.23±0.24

a 74.50±1.09

b 76.65 ±0.88

b

Kecernaan SK (%) 38.80± 0.69a 39.75± 1.67

b 45.34±1.09

c 52.20±3.35

d 60.31±8.03

e

Retensi N (g/e/h) 10.80±0.56a 10.22± 0.65

a 12.04±0.35

b 12.89± 0.53

c 12.98± 0.45

c

Ket :1. R0 =10% putak tanpa olah dalam konsentrat; R1= 10% putak terfermentasi dalam

konsentrat; R2 = 20% putak terfermentasi dalam konsentrat; R3 = 30% putak

terfermentasi dalam konsentrat ; R4 = 40% putak terfermentasi dalam konsentrat

2. Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05)

antara perlakuan

Bahan Kering

Nilai rataan kecernaan bahan kering adalah 63.89% pada perlakuan tanpa

putak terfermentasi dan tertinggi 72.75% pada perlakuan dengan kadar 40% putak

terfermentasi. Kisaran nilai tersebut berada di atas nilai kecernaan yang dianggap

cukup baik untuk ruminansia menurut Djajanegara (1983) yaitu sekitar 50 – 55%.

Nilai ini lebih tinggi dari yang dilaporkan Kana Hau et al. (1993) yang berkisar

antara 45. hingga 67.4% masing-masing pada ternak kambing yang diberi jerami

padi saja serta jerami padi ditambah suplemen putak dan urea. Juga lebih tinggi

dari kambing yang diberi ransum dengan 10% kulit umbi ketela pohon hasil

fermentasi dengan A.niger yakni 62.56 – 69. 61% (Gushairiyanto 2004).

Tampak dari Tabel 9, pengaruh ransum perlakuan terhadap kecernaan

bahan kering dimana ransum dengan kadar 30 dan 40% putak fermentasi berbeda

nyata (P<0.05) dari perlakuan 0, 10 dan 20%. Hal ini mengindikasikan bahwa

penggunaan putak terfermentasi yang makin tinggi dalam konsentrat

menyebabkan perbaikan mutu ransum menjadi lebih baik. Kecernaan bahan

secara in vitro (Percobaan tahap II) juga menunjukkan hasil yang saling

menunjang.

Ransum perlakuan memberikan pengaruh positif terhadap kecernaan

nutrien (bahan kering, bahan organik, protein kasar, serat kasar), yakni dengan

bertambahnya kadar putak fermentasi dalam ransum maka kecernaan secara

keseluruhan ikut meningkat. Tingginya nilai kecernaan menunjukkan tingginya

aktifitas mikrob dalam rumen karena salah satu cara mengukur adanya aktivitas

mikroba rumen adalah dari nilai kecernaan komponen nutrien dalam ransum.

Aktifitas mikrob meningkat berarti populasinya meningkat karena

Page 78: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

58

pertumbuhannya dipacu oleh NH3 dan VFA yang disediakan oleh putak

terfermentasi, akibatnya enzim pencerna nutrien yang dihasilkan juga menjadi

lebih banyak dalam mencerna komponen nutrisi yang ada.

Bahan Organik

Tabel 9 memperlihatkan rataan kecernaan bahan organik akibat perlakuan

yaitu terrendah pada R0 (70.96%) seterusnya hingga tertinggi pada R4 (77.12%).

Nilai ini lebih tinggi dari kecernaan bahan organik pada kambing yang diberi 10%

kulit umbi ketela pohon dan rumput gajah yakni 67.98% (Gushairiyanto 2004).

Tingginya nilai kecernaan bahan organik menunjukkan bahan organik yang

terdapat dalam putak mengalami degradasi secara sempurna baik dalam rumen

maupun dalam usus, sedang yang tidak tercerna adalah jaringan jerami padi yang

sulit didegradasi akibat kuatnya ikatan ligno-selulosa maupun hemiselulosa. Hasil

ini turut didukung oleh kecernaan bahan kering yang juga makin tinggi sejalan

dengan meningkatnya kadar putak terfermentasi dalam konsentrat.

Protein

Nilai kecernaan protein sejalan dengan kecernaan bahan kering dan bahan

organik yang semakin meningkat dengan bertambahnya kadar putak terfermentasi.

Tabel 9 memperlihatkan bahwa kecernaan protein yang paling rendah adalah

perlakuan tanpa putak terfermentasi (R0) yaitu 67.80% dan yang paling tinggi

adalah R4 yang mengandung 40% putak terfermentasi yakni 76.65%. Artinya

bahwa putak fermentasi mampu merangsang pertumbuhan mikrob proteolitik

rumen yang merombak komponen protein pakan.

Pemanasan merupakan salah satu cara guna melindungi protein berkualitas

tinggi dari degradasi rumen tetapi tetap dapat dicerna dalam usus halus. Guna

menghentikan proses fermentasi pada putak sebelum digunakan sebagai bahan

pakan, maka dilakukan pengukusan. Perlakuan tersebut kemungkinan

menyebabkan protein bahan tahan degradasi rumen. Islam et al. (2002)

menyatakan bahwa pemanasan terhadap bahan pakan dapat menyebabkan protein

atau pati bahan mengalami denaturasi sehingga akan melalui rumen ke organ

berikutnya tanpa mengalami degradasi oleh mikrob. Dengan demikian putak

Page 79: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

59

fermentasi mampu memasok protein pasca rumen yang juga tinggi karena protein

murni putak hasil fermentasi mampu dicerna oleh enzim pepsin dan pancreas

sebagaimana dikemukakan oleh Huang dan Kinsella (2005) bahwa protein asal

kapang memiliki tingkat kecernaan yang tinggi dalam usus halus. Selanjutnya

Spark et al. (2006) menyatakan bahwa protein kapang memiliki kualitas yang

tinggi yang dapat dibuktikan dengan tingkat kecernaan N serta Retensi N yang

juga tinggi. Pernyataan di atas terbukti dari nilai retensi N (Tabel 9) yang juga

terus meningkat sejalan dengan bertambahnya penggunaan putak fermentasi

dalam ransum.

Hasil ini lebih baik dari yang dilaporkan oleh Uhi (2005) yakni 43.13%

pada domba yang diberi 20% suplemen katalitik gelatin sagu dan NPN dengan

ransum dasar rumput kualitas rendah, juga 61.29% pada kambing yang diberi

kulit umbi ketela pohon hasil fermentasi A.niger (Gushairiyanto 2004).

Serat Kasar

Sebagaimana nilai kecernaan nutrien sebelumnya yang semakin baik

bersamaan dengan bertambahnya putak terfermentasi (PF), kecernaan serat juga

menunjukkan hal serupa yaitu nilai terendah hingga tertinggi berturut-turut adalah

pada perlakuan tanpa putak terfermentasi R0 (PF 0%), R1 (PF 10%), R2 (PF 20%),

R3(PF 30%), dan R4 (PF 40%), yaitu 38.8, 39.75, 45.34, 52.20, dan 60.31% dan

secara statistik menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05), dimana peningkatan

level PF diikuti meningkatnya kecernaan serat ransum.

Hasil percobaan sebelumnya (Tahap I dan II) menunjukkan kadar protein

kasar dan murni PF cukup tinggi. Protein tersebut diduga merupakan sumber asam

amino di antaranya valin, iso-leusin dan leusin. Ketiga asam amino tersebut dalam

rumen akan mengalami dekarboksilasi dan deaminasi menjadi asam lemak rantai

cabang yaitu isobutirat, 2-metilbutirat dan isovalerat, dimana ketiganya sangat

dibutuhkan untuk merangsang pertumbuhan mikroorganisme rumen. Dalam

hubungannya dengan dugaan tersebut, Wallace et al. (2001) menyatakan bahwa

meskipun bakteri selulolitik rumen dapat menggunakan urea sebagai sumber N

guna sintesa protein, hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa asam amino

merupakan nutrien yang signifikan dalam merangsang pertumbuhan bakteri

Page 80: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

60

selulolitik. Populasi bakteri yang meningkat akan mengakibatkan banyak

diproduksikan ensim selulase sehingga kecernaan serat pakan turut meningkat

Oleh karenanya pertumbuhan mikrob perlu dirangsang pertumbuhannya, karena

dengan meningkatnya jumlah mikrob selulolitik rumen, proses pencernaan pakan

terutama pakan serat ikut meningkat. Sutardi (1997) mengemukakan bahwa

semakin baik pertumbuhan mikrob rumen semakin tinggi nilai manfaat pakan

serat.

Retensi Nitrogen

Perbedaan antara jumlah N yang dikonsumsi dengan N yang dikeluarkan

tubuh melalui feses dan urine merupakan gambaran ketersediaan N dan efisiensi

pemanfaatannya oleh ternak. Data menunjukkan penggunaan PF yang semakin

meningkat dalam ransum mengakibatkan nilai retensi N juga meningkat. Rataan

retensi nitrogen terendah adalah perlakuan R1 (10.22 g/e/h) dan tertinggi adalah

R4 (12.98 g/e/h). Nilai retensi nitrogen pada R3 dan R4 sama dan nyata lebih tinggi

(P<0.05) dibanding R2 serta R1 dan R0. Artinya bahwa pada level pemberian PF

lebih dari 30% menyebabkan retensi nitrogen meningkat yang juga berarti terjadi

deposit protein dalam bentuk daging yang makin tinggi. Tingginya nilai retensi

nitrogen yang diperoleh sejalan dengan tingkat konsumsi dan kecernaan nutrien

yang lebih tinggi sehingga pasokan protein untuk membentuk jaringan lebih tinggi

dan diwujudkan oleh rataan pertambahan bobot yang juga lebih baik pada

perlakuan tersebut. Nilai di atas lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh

Simanihuruk (2005) pada kambing kacang yang diberi ransum mengandung 15%

kulit buah markisa (PK ransum 14.13%) yakni 8.42%, tetapi lebih rendah dari

hasil penelitian Kaunang (2004) pada domba yang diberi pakan hijauan yang

dipupuk belerang yakni 20.13%.

Pertambahan Bobot Badan

Tabel 11 menunjukkan pertambahan bobot ternak percobaan. Pertambahan

bobot badan merupakan manifestasi dari akumulasi konsumsi ransum, kecernaan

zat-zat makanan, fermentasi, metabolisme dan penyerapan nutrien oleh tubuh

ternak. Pertambahan bobot badan harian hasil percobaan berkisar antara 51.40 g

Page 81: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

61

pada perlakuan tanpa putak terfermentasi (R0) hingga 54.54 g pada perlakuan

level 40% putak terfermentasi (R4).

Hasil analisis statistik menunjukkan perlakuan berpengaruh nyata (P≤0.05)

terhadap pertambahan bobot badan. Hasil tersebut menunjukkan manfaat putak

fermentasi dalam memperbaiki kecernaan nutrien ransum serta menyediakan

nutrien sehingga kebutuhan pertumbuhan ternak terpenuhi, terlihat dari

penggunaan hingga level 40% putak terfermentasi dalam konsentrat masih belum

sampai pada taraf yang mengganggu pertumbuhan dan data kecernaan juga

mendukung hal tersebut.

Meski demikian, bila dicermati dari hasil pertambahan bobot badan ternak

masih tergolong kecil. Hal ini disebabkan kebutuhan bahan kering ternak tidak

terpenuhi. Penyebabnya adalah tidak terpenuhinya konsumsi bahan kering asal

hijauan yakni jerami padi. Komposisi ransum percobaan adalah 60% konsentrat

dan 40% hijauan dengan perhitungan kebutuhan BK/e/h adalah 3% dari bobot

badan. Sebagai pakan jerami padi memiliki kelemahan baik secara kualitas

maupun palatabilitas. Oleh karena sifat jerami yang bulky maka membatasi

kemampuan konsumsi ternak sebagaimana dikemukakan oleh Sutardi (1979)

bahwa kemampuan maksimal ternak dalam mengkonsumsi jerami padi hanya

2.5% dari bobot badan. Data konsumsi pada Tabel 8 memperlihatkan konsumsi

ransum berdasarkan bobot metabolis berkisar 57.6 – 63.2 g/kg bobot metabolis

lebih rendah dari yang dikemukakan oleh Devendra dab Burns (1994) yakni

sebanyak 63.4g/kg bobot badan 0.75

.

Hasil pertambahan bobot badan yang diperoleh ini lebih tinggi dari

penelitian Gushairiyanto (2004) yang berkisar antara 37.3g pada kambing kacang

yang mendapat ransum yang mengandung 30% kulit umbi ketela pohon

terfermentasi, demikian juga yang dilaporkan oleh Kana Hau et al. (1993) yakni

42 g/e/h pada ternak kambing yang diberi ransum jerami padi dan putak tambah

urea serta penelitian Hilakore et al. (1999) yakni 36 g/e/h dengan pemberian

ransum yang mengandung 20% produk pemasakan putak-urea. Dikemukakan oleh

Devendra dan Burns (1994) bahwa kambing periode tumbuh dengan bobot awal

10 kg, pertambahan bobot badannya yaitu 55 g/e/h, juga NRC (1981) pada ternak

Page 82: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

62

kambing dengan bobot awal 20 kg maka pertambahan bobot badan minimal

adalah 50 g/e/h.

Kecernaan nutrien yang juga makin tinggi mendukung peningkatan bobot

badan. Akibat kecernaan yang meningkat pasokan nutrisi untuk ternak ikut

bertambah sehingga perletakan jaringan juga bertambah yang terwujud dalam

pertambahan bobot badan. Peningkatan ini disebabkan meningkatnya proses

fermentasi rumen, konsumsi dan kecernaan nutrien.

Efisiensi Penggunaan Ransum

Berdasarkan data efisiensi dan konversi ransum yang meskipun sama antar

perlakuan, ada beberapa hal positif yang diperoleh yakni (1) penggunaan putak

fermentasi dalam ransum jauh lebih banyak (40%) dibanding sebelum diolah yang

hanya 10%; (2) penggunaan putak fermentasi dapat meminimalisir penggunaan

bahan pakan lain terutama sumber protein atau bahan pangan seperti jagung. Hal-

hal tersebut akan dapat memberi keuntungan ekonomis pada usaha ternak.

Tabel 11 Pengaruh ransum perlakuan terhadap pertumbuhan dan

efisiensi ransum

PEUBAH

PERLAKUAN

R0 R1 R2 R3 R4 Berat Awal (kg) 11.77±1.29 11.52±1.51 12.40±0.85 12.03±0.97 11.91±0.75

Berat akhir (kg) 15.82±1.27 15.48±1.50 16.46±0.83 16.16±1.06 16.21±0.69

LajuPertmbhan (kg) 4.04±0.04 a 3.96±0.04

a 4.06±0.04

a 4.13±0.13

a 4.30± 0.11

a

PBB, (g/e/h) 51.4±0.59 b 50.4±0.43

a 51.64±0.62

b 52.49±1.69

b 54.54±1.20

c

Konversi Ransum 8.87±0.22 a 9.20±0.20

a 9.22±0.17

a 9.36±0.74

a 9.37±0.24

a

EPR 0.11±0.003 a 0.11±0.002

a 0.11±0.002

a 0.11±0.10

a 0.11±0.003

a

Ket :1. R0 =10% putak tanpa olah dalam konsentrat; R1= 10% putak terfermentasi dalam

konsentrat; R2 = 20% putak terfermentasi dalam konsentrat; R3 = 30% putak

terfermentasi dalam konsentrat ; R4 = 40% putak terfermentasi dalam konsentrat

2. Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05)

antara perlakuan

Efisiensi penggunaan pakan merupakan rasio antara pertambahan bobot

badan dengan jumlah pakan yang dikonsumsi, dengan demikian kegunaannya

adalah untuk mengukur efisiensi ternak dalam mengubah pakan menjadi produk.

Tabel 11 menunjukkan tingkat efisiensi penggunaan ransum yang sama (P>0.05)

pada semua perlakuan yang dicobakan yakni 11%. Hasil tersebut mencerminkan

Page 83: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

63

bahwa konsumsi ransum akibat penambahan putak terfermentasi hingga mencapai

40% memberikan pengaruh yang sama dengan tanpa putak fermentasi dalam

meningkatkan pertambahan bobot badan. Hal ini disebabkan penyusunan ransum

percobaan yang isoprotein-energi mengakibatkan efisiensi penggunaan protein

dan karbohidrat oleh mikrob rumen sama antar perlakuan. Demikian juga dengan

nilai konversi ransum yang tidak berbeda antar perlakuan.

Keuntungan ekonomis dapat dilihat dari harga ransum paling rendah

adalah pada perlakuan R4 (40% PF) yakni Rp 936/kg dibanding Rp 1 124/kg pada

perlakuan R0 (0% PF) dengan nilai keuntungan juga tertinggi yakni Rp 1 073

sedangkan Rp 948/e/h pada R0. Maknanya adalah penggunaan 40% putak

fermentasi dalam komposisi ransum ternak kambing tidak mempengaruhi

performans pertumbuhan ternak tapi memberikan keuntungan yang lebih besar,

mengingat biaya pakan merupakan biaya terbesar dalam manajemen usaha ternak.

Perbedaan harga ransum diakibatkan perbedaan komposisi ransum perlakuan.

Tabel 11 Pengaruh ransum perlakuan terhadap pertumbuhan dan

efisiensi ransum

PEUBAH

PERLAKUAN

R0 R1 R2 R3 R4 Berat Awal (kg) 11.77±1.29 11.52±1.51 12.40±0.85 12.03±0.97 11.91±0.75

Berat akhir (kg) 15.82±1.27 15.48±1.50 16.46±0.83 16.16±1.06 16.21±0.69

LajuPertmbhan (kg) 4.04±0.04 a 3.96±0.04

a 4.06±0.04

a 4.13±0.13

a 4.30± 0.11

a

PBB, (g/e/h) 51.4±0.59 b 50.4±0.43

a 51.64±0.62

b 52.49±1.69

b 54.54±1.20

c

Konversi Ransum 8.87±0.22 a 9.20±0.20

a 9.22±0.17

a 9.36±0.74

a 9.37±0.24

a

EPR 0.11±0.003 a 0.11±0.002

a 0.11±0.002

a 0.11±0.10

a 0.11±0.003

a

Ket :1. R0 =10% putak tanpa olah dalam konsentrat; R1= 10% putak terfermentasi dalam

konsentrat; R2 = 20% putak terfermentasi dalam konsentrat; R3 = 30% putak

terfermentasi dalam konsentrat ; R4 = 40% putak terfermentasi dalam konsentrat

2. Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05)

antara perlakuan

Income Over Feed Cost (IOFC) seperti tergambar pada Tabel 12

merupakan analisis ekonomi sederhana yang digunakan untuk melihat keuntungan

dari usaha ternak kambing. Pendapatan kotor diperoleh dari pendapatan yang

diperoleh dari nilai jual ternak setelah dikurangi biaya pakan. Nilai tersebut

dipengaruhi oleh jumlah konsumsi pakan, harga bahan pakan, besarnya

pertambahan bobot badan harian yang dihasilkan.

Page 84: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

64

Tabel 12 Perhitungan ekonomis pakan terhadap pertumbuhan ternak

percobaan

Parameter Ransum Perlakuan

R0 R1 R2 R3 R4

Harga ransum/

kg- (Rp)

1 124 1 192 1 106 1 022 936

Total biaya

ransum (Rp/e/h)

337 361 334 314 290

Nilai ternak (Rp) 1 285 1 260 1 291 1 312 1 363

IOFC

Rp/ekor

948

899

957

998

1 073 Ket : Harga bahan per kg (Rp): jagung 3000, dedak 1000, putak tanpa olah 500, PF 600, bungkil

kelapa 1000, daun gamal 250 dan jerami padi 100. Harga jual ternak Rp. 25 000 per kg hidup

(harga yang berlaku pada tahun 2007)

Berdasarkan Tabel 12 terlihat nilai IOFC semakin tinggi seiring dengan

makin bertambahnya penggunaan putak fermentasi (PF) hingga 40% dalam

ransum. Hal ini memperlihatkan bahwa ransum yang mengandung PF

memberikan keuntungan cukup baik yang dilihat dari mutu pakan itu sendiri

maupun penghasilan peternak.

Page 85: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

65

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Fermentasi putak dengan kultur tunggal T.reesei atau A.niger dapat

meningkatkan kualitas substrat yang ditandai dengan meningkatnya kadar

protein kasar masing-masing kapang menjadi 20. 60 dan 19.81% , protein

murni 13.25 dan 12.53% serta diikuti peningkatan kadar serat kasar

12.22% pada A.niger tetapi turun menjadi 9.08% pada T.reesei.

2. Fermentasi campuran T.reesei dan A.niger dengan lama penundaan

pencampuran dua hari dapat memperbaiki kualitas substrat lebih tinggi

jika dibanding kultur tunggal ditinjau dari kadar protein kasar 23.62%,

protein murni 14.92% dan serat kasar 10.17%.

3. Penggunaan putak fermentasi dapat mencapai 40% dalam campuran

konsentrat, jauh lebih tinggi dibanding 10% putak tanpa fermentasi

(kontrol) serta memberi respon yang lebih baik terhadap performans

ternak ditinjau dari konsumsi dan kecernaan nutrien, retensi nitrogen,

serta pertambahan bobot badan harian

4. Penggunaan pakan lokal seperti putak dapat ditingkatkan dalam ransum

melalui proses pengolahan biologi secara fermentasi campuran dan dapat

diaplikasikan pada ruminansia.

Saran

Berdasarkan hasil yang diperoleh yang berhubungan dengan kualitas

nutrien maupun fermentabilitas substrat maka perlu dikaji lebih lanjut kemampuan

putak fermentasi sebagai konsentrat tunggal pada ruminansia. Demikian juga

penggunaannya dengan hijauan yang berbeda serta jenis ternak ruminansia yang

juga berbeda.

Page 86: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

DAFTAR PUSTAKA

Alexopolous JC, Mins CW, Blackwell M. 1996. Introductory Mycology. New

York. J Willey and Sons.

Aunstrup K.1979. Production, Isolation and Economic of Extracellulair Enzymes.

Di dalam: Wingart LE, Katzir EK, Godstein, editor. Applied Biochemistry

Bioengineering Enzyms Technology. New York: Academic Press.

Baldwin RL, Allison MJ. 1983. Rumen Metabolism. J Anim Sci 57 Suppl.

2:461-477.

Bamualim A, Kale Taek J, Nulik J,Wirdahayati RB. 1993. Pengaruh suplemen

daun kedondong hutan (Lannea grandis), turi (Sesbania grandiflora),

putak (Corypha gebanga) dan putak campur urea terhadap pertumbuhan

ternak sapi bali di musim kemarau. Publikasi Wilayah Kering 1:1-5

Biyatmoko D. 2002. Penggunaan ampas sagu fermentasi dalam ransum itik alabio

jantan [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Buttery PJ.1976. Protein Synthesis in the Rumen: Its Implication in the Feeding of

Non-Protein Nitrogen to Ruminants. Di dalam: Swan H, Broster WH,

editor. Principles of Cattle Production. London: Butterworth

Cheng KJ, McAllister TA, Kudo H, Forsberg CW, Costerton JW. 1991.

Microbial Strategy in Feed Digestion. Di dalam: Ho YW, Wong HK,

Abdullah N, Tajuddin ZA, editor. Recent Advances on the Nutrition of

Herbivores. Kualalumpur: Malaysian Soc.Anim Prod.

Correa GM, Portal L, Moreno P, Tengerdy RP. 1999. Mixed culture solid

substrate fermentation of Trichoderma reesei and Aspergillus niger on

sugar cane bagasse. Bioresource Technology 68:173-178.

Danial M. 1996. Evaluasi potensi hidrolitik enzim selulase dan glukoamilase dari

campuran filtrat kultur Aspergillus niger dan Trichoderma koningii [thesis].

Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Devendra C, Burns M. 1994. Produksi Kambing di Daerah Tropis. Terjemahan

Harya Putra. Bandung: ITB Press

[Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan 2007. Statistik Peternakan. Jakarta:

Dirjen Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian RI

Dwidjoseputro D. 1985. Dasar-dasar Mikrobiologi. Malang: CV Djembatan.

Enari TM. 1983. Microbial Cellulase. Di dalam : Fogarty WM, editor. Microbial

Enzymes and Biotechnology. New York: Applied Sci. Publisher.

Page 87: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

67

Erwanto. 1995. Optimalisasi sistim fermentasi rumen melalui suplementasi sulfur,

defaunasi, reduksi emisi metan dan stimulasi pertumbuhan mikroba pada

ternak ruminansia [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut

Pertanian Bogor.

Fardiaz S. 1988. Fisiologi Fermentasi. Bogor: Pusat Antar Universitas IPB.

France J, Siddons RC. 1993. Volatile Fatty Acids Productions. Di dalam: Forbes

JM, France J, editor. Quantitative Aspect of Ruminant Digestion and

Metabolism. CAB International

Frazier WC, Westhoff DC. 1981. Food Microbiology. New York: Tata McGrow-

Hill Publ. Co. Ltd.

Gandjar I, Sjamsuridzal W, Oetari A. 2006. Mikologi Dasar dan Terapan. Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia

Gaspersz V. 1991. Metode Perancangan Percobaan. Bandung: CV Armico

Ginting MU. 2000. The influence of fermented putak in pig diets digestibility and

growth performance of weanling pigs [disertasi]. Gottingen/Germany:

Institute of Animal Physiology and Animal Nutrition Georg-August-

University

.

Gong CS, Tsao GT. 1979. Cellulase and Biosynthesis Regulation. Di dalam:

Pearlman D, editor. Animal Report on Fermentation Process. New York:

Academic Press

Gushairiyanto. 2004. Detoksikasi dan fermentasi kulit umbi ketela pohon dengan

kapang Aspergillus niger serta implikasinya terhadap performan kambing

kacang jantan [disertasi]. Bandung: Program Pascasarjana, Universitas

Padjadjaran.

Hartono L. 2002. Perancangan proses dan penggandaan skala produksi

biosurfaktan oleh isolat lokal Bacillus sp. BMN 14 dengan substrat tetes

tebu [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Henning PH, Steyn DG, Meissner HH. 1991. The effect of energy and nitrogen

supply pattern on rumen bacterial growth in vitro. Anim Prod

51:165-175.

Hesseltine C W. 1991. Mixed-Culture Fermentations: An Introduction to Oriental

Food Fermentations. Di dalam : Zeikus JG, Johnson EA, editor. Mixed

Cultures in Biotechnology. New York: McGraw-Hill Inc.

Howard MD, Muntifering RB, Howard MM, Hayek MG. 1992. Effect of time and

level energy supplementation on intake and digestability of low quality tall

fescue hay by sheep. Can J Anim Sci 72:51-60.

Page 88: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

68

Huang YT, Kinsella JE. 2006. Effects of phosphorylation on emulsifying and

foaming properties and digestibility of yeast protein. J Food Sci

52:1684-1688

Huber JT, L Kung Jr. 1981. Protein and non protein utilization in dairy cattle.

J Dairy Sci 75:2165-2168

Hvelpund,T. 1991. Volatile fatty acids and protein production in rumen. Di

dalam: Jouany, editor. Rumen Microbial Metabolism and Ruminal

Digestion. Paris INRA

Islam MR, Ishida M, Ando S, Nishida T. 2002. In sittu dry matter and

Phosphorous disappearance of diffrerent feeds for ruminants. Asian-Aust J

Anim Sci 15:793-799

Jaelani A. 2007. Hidrolisis bungkil inti sawit oleh kapang Trichoderma reesei

sebagai pendegradasi polisakarida mannan dan pengaruhnya terhadap

penampilan ayam pedaging [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana,

Institut Pertanian Bogor.

Juhasz T, Kozma K, Zsolt Szengyel, Reczey K. 2003. Production of

β-glucosidase in mixed culture of Aspergillus niger BKMF 1305 and

Trichoderma reesei RUT C30. Food Technol Biotechnol 41:49-53.

Kana Hau D, Bamualim A, Kale Taek J, Nulik J. 1993. Pengaruh suplemen putak,

putak campur urea dan biji kapas terhadap pertumbuhan ternak kambing

yang diberi jerami padi di musim kemarau. Publikasi Wilayah Kering

1:49-52.

Kaunang ChL. 2004. Respon ruminansia terhadap pemberian hijauan pakan yang

di pupuk air belerang [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut

Pertanian Bogor.

Kempton TJ, Nolan JV, Leng RA.1978. Principles for the use non-protein

nitrogen and by-pass protein in diets of ruminant. World Anim Review

12:84-92.

Kompiang IP, Sinurat A, Supriyati. 1995. Pengaruh protein enriched sagu/limbah

sagu terhadap kinerja ayam pedaging [laporan penelitian].

Laskin AI, Heubert AL.1978. Handbook of Food Technology. Wesport: AVI.

Lawa EDW. 1996. Pengaruh lama pemasakan campuran tepung putak (Corypha

gebanga) dengan berbagai level urea terhadap nilai nutrisi in vitro [thesis].

Bandung: Program Pascasarjana, Universitas Padjadjaran.

Leng RA. 1991. Applications of Biotechnology to Nutrition of Animals in

Developing Countries. Rome: FAO

Page 89: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

69

Litchfield JH. 1979. Production of Single-Cell Protein for Use in Food or Feed.

Di dalam : Peppler HJ, Perlman D, editor. Microbial Technology. New

York. Academic Press.

Luginbuhl JM, Poore MH. 2005. Nutrition of Meat Goats. EAH Webmaster,

Department of Animal Science, NCSU. www.ncsu.edu/forage/nutpubs.htm

[12 Sept 2006]

Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi

SAS dan Minitab. Bogor: IPB Press

McAllan AB, Smith RH. 1983. Factors influencing the digestion of dietary

carbohydrates between the mouth and abomasums of steers. Br J Nutr

50:445-450

McDonalld P, Edward RA, Greenhalgh JFD. 1988. Animal Nutrition. New York:

Longman Inc.

Mehrez AZ, Orskov ER.1977. A study of the artificial fiber bag technique for

determining the digestibility of feed in the rumen. J Agric Sci Camb

88: 645-650

Mishra BK, Anju A, Lata. 2004. Optimization of a biological process for treating

potato chips industry wastewater using a mixed culture of Aspergillus

foetidus and A. niger. Bioresource Technology. 94:9-12.

Montenecourt BS. 1983. Strain Improvement for the Production of Microbial

Enzymes for Biomass Conversion. Di dalam: Ferranti MP, Fiechter A,

editor. Production and Feeding of Single Cell Protein. London and New

York: Applied Sci Publishers.

Moore E, Landecker. 1982. Fundamentals of Fungi. New Jersey: Prentice Hall

Inc.

Moo-Young M, Moreira AR, Tengerdy RP. 1983. Priciples of Solid-Substrate

Fermentation. Di dalam: Smith JE, Berry DR, Bjorn K, editor. The

Filamentous Fungi. Vol 4 Fungal Technology. London: Edward Arnold

Publs.

Muchtadi D, Palupi NS, Astawan M. 1992. Enzim dalam Industri Pangan. Bogor:

PAU IPB.

Nolan JV. 1993. Nitrogen Kinetics. Di dalam: Forbes JM dan France J, editor.

Quantitative Aspect of Ruminant Digestion and Metabolism. CAB

International.

Page 90: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

70

Noviati A. 2002. Fermentasi Bahan Pakan Limbah Industri Pertanian dengan

Menggunakan Trichoderma harzianum [skripsi]. Bogor: Jurusan Ilmu

Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan, IPB.

[NRC] Nutrient Requirements of Domestic Animals. 1981 Nutrient Requirements

of Goats.Washington DC National Academy Press.

Nulik J, Fernandez PTh, Bamualim A. 1988. Pemanfaatan dan produksi putak

sebagai sumber energi makanan ternak sapi dan kambing. Laporan

Penelitian Komponen Teknologi Peternakan, Main Base Kupang 1987 –

1988. Proyek NTASP. BPPP Deptan.

Nurjanah. 2006. Evaluasi nutrisi hijauan lahan gambut Kalimantan Tengah pada

kambing kacang [thesis]. Bogor: Sekolah Pasacsarjana, IPB

Nur YS. 1993. Penggunaan kultur campuran terhadap peningkatan nilai gizi

onggok sebagai pakan broiler. [thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, IPB

Pakula TM, Uusitalo J, Saloheimo M, Salonen K, Robert JA, Penttilä M. 2000.

Monitoring the kinetics of glycoprotein synthesis snd secretion in the

filamentous fungus Trichoderma reesei: cellobiohydrolase I (CBHI) as a

model protein. Microbiology 146:223-232.

__________, Laxell M, Huuskonen A, Uusitalo J, Saloheimo M, Penttilä M

2003. The effects of drugs inhibiting protein secretion in the filamentous

fungus Trichoderma reesei. The Journal of Biological Chemistry

278: 45011-45020.

__________, Salonen K, Uustalo J, Penttilä M. 2005. The effect of specific

growth rate on protein synthesis and secretion in the filamentous fungus

Trichoderma resei. Microbiology 151:135-143.

Panda T, Bisaria VS, Ghose TK. 1989. Method to estimate growth of

Trichoderma reesei and Aspergillus wentii in mixed culture on cellulosic

substrates. Appl Environ Microbiol 55:1044-1046.

Pantoja J, Firkins JL, Estridge ML, Hull BL. 1994. Effects of fat saturation and

source of fiber on site of nutrient digestion and milk production by lactating

dairy cows. J Dairy Sci 77:2341-2356.

Pelczar MJ, Chan ECS. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi. Ratna Siri Hadioetomo,

editor. Terjemahan dari: Element of Microbiology. Bagian Mikrobiologi

Fakultas Pertanian IPB.

Peterson PR. 2005. Forage for goat production. Blacksburg: Dept. Virginia Tech.

University. www.boergoat.htm [12 Sept 2006]

Page 91: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

71

Preston TR, Leng RA. 1987. Matching Ruminant Production System with

Available Resources in the Tropics. Armidale: Penambul Books

Puastuti W. 2005. Tolok ukur mutu protein ransum dan relevansinya dengan

retensi nitrogen serta pertumbuhan domba [disertasi]. Bogor: Sekolah

Pascasarjana, IPB.

Russel JB, Connor JDO, Fox DG, Van Soest PJ, Sniffen CJ. 1992. A net

carbohydrate and protein system for evaluating cattle diets: I. Ruminal

fermentation. J Anim Sci 70:3551-3561

Rachman Ansori. 1992. Pengantar Teknologi Fermentasi. Bogor: PAU IPB

Saha BC. 1991. Mixed Cultures in Enzymatic Degradation of Polysaccharides.

Di dalam : Zeikus JG, Johnson EA, editor. Mixed Cultures in

Biotechnology. New York: McGraw-Hill Inc.

Satter LD, Roffler RE. 1981. Influence of Nitrogen and Carbohydrates Inputs on

Rumen Fermentation. Di dalam: Haresign W, Cole DJA, editor.

Recent Developments in Ruminants Nutrition. London: Butterworth

Senez JC. 1983. Protein Enrichment of Starchy Materials by Solid State

Fermentation. Di dalam: Ferranti MP, Fiechter A, editor. Production and

Feeding of Single Cell Protein. London and New York: Applied Sci

Publishers.

Setiawiharja B. 1984. Fermentasi Media Padat dan Manfaatnya. Jakarta

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia.

Shurtleff W, Aoyagi A. 1979. The Book of Tempeh : A Super Soy Food from

Indonesia. New York : Harper and Row.

Simanihuruk K. 2005. Pemanfaatan kulit buah markisa (Passiflora edulis Sims f.

edulis Deg) sebagai campuran pakan pelet komplit untuk kambing kacang

[thesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, IPB

Sinurat AP, Purwadaria T, Rosida J, Surachman H, Hamid H, Kompiang IP. 1998.

Pengaruh suhu ruang fermentasi dan kadar air substrat terhadap nilai gizi

produk fermentasi lumpur sawit. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner (JITV)

3:225-229.

Sniffen CJ, Robinson PH. 1987. Microbial growth and flow as influenced by

dietary manipulations. J Dairy Sci 70:425-442.

Spark M, Paschertz H, Kamphues J. 2005. Yeast (different sources and level) as

protein source in diets of reared piglets: effects on protein digestibility and

N-metabolism). J Anim Physiology and Anim Nutrition 89:184-188.

Page 92: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

72

Suhartati F.M, Suryapratama W, Ning Iriyanti. 2003. Sintesis asam amino

metionin pada Trichoderma reesei dan pengaruhnya terhadap sintesis

protein mikroba rumen. Jurnal Peternakan dan Lingkungan 9:12-16.

Supriyati, Pasaribu T, Hamid H, Sinurat A. 1999. Fermentasi bungkil inti sawit

secara substrat padat menggunakan Aspergillus niger. JTIV 3:165-170

Suryahadi, I K Amrullah. 1989. Pembuatan “Ogrea” sebagai pakan dari hasil

ikutan tanaman dan pengolahan ubi kayu yang difermentasi dengan

Aspergillus niger [laporan penelitian]. Bogor: DP4M IPB.

Sutardi T. 1979. Ketahanan protein bahan makanan terhadap degradasi oleh

mikroba rumen dan manfaatnya bagi peningkatan produktivitas ternak.

Pros. Seminar Penelitian dan Penunjang Peternakan. Bogor: LPP IPB

_________. 1995. Peningkatan produksi ternak ruminansia melalui amoniasi

pakan serat bermutu rendah, defaunasi dan suplementasi sumber protein

tahan degradasi dalam rumen [laporan penelitian]. Bogor: DP4M IPB.

Tamminga S, Doreau M. 1991. Lipids and rumen digestion. Di dalam: JP Jouany,

editor. Rumen Microbial Metabolism and Ruminal Digestion. Paris: INRA.

Tillman AD, Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Prawirokusumo S, Lebdosoekojo S.

1986. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta: Gajah Mada University

Press.

Torres EF, Cordova LJ, Garcia RM, Gutierrez RM. 1998. Kinetics of growth of

Aspergillus niger during submerged, agar surface and solid state

fermentations process. Biochemistry 33:103-107.

Tsao GT, Lin-Chang Chiang. 1983. Principles of Solid-Substrate Fermentation.

Di dalam: Smith JE, Berry DR, Bjorn K, editor. The Filamentous Fungi.

Vol 4 Fungal Technology. London: Edward Arnold Publs.

Uhi HT. 2005. Suplemen katalitik berbahan dasar gelatin sagu, NPN dan mineral

mikro untuk ruminansia di daerah marjinal [disertasi]. Bogor: Sekolah

Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Valdivia AR, de la Torre M, Campillo CC. 1983. Solid State Fermentation of

Cassava with Rhizopus Oligosporus NRRL 2710. Di dalam: Ferranti MP,

Fiechter A, editor. Production and Feeding of Single Cell Protein. London

and New York: Applied Sci Publishers.

Wallace RJ, Cotta AM. 1997. Metabolism of nitrogen containing compounds.

Di dalam: Hobson PN, Stewart CS, editor. The Rumen Microbial

Ecosystem. London: Blackie Academic & Professional.

Page 93: Peningkatan Kualitas Nutritif Putak Melalui Fermentasi Campuran Trichoderma Reesei Dan Aspergillus Niger Sebagai Pakan Ruminansia

73

_________, Newbold CJ, Bequette BJ, MacRae JC, Lobley GE. 2001. Increasing

the flow of protein from ruminal fermentation. Review. Asian-Aust J Anim

Sci 14:885-893.

Wang DTC, Conney CL, Demain AL, Dunnill P, Humpherey AF, Lilly MD.

1979. Fermentation and Enzymes Technology. New York: John Willey and

Sons.

Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia