PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM...

87
i PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI PERATURAN DAERAH SERTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh : MUHAMMAD RIYADH RAFSANJANI IS DOMUT NIM: 11150480000080 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Transcript of PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM...

Page 1: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

i

PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH

DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI PERATURAN DAERAH

SERTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

MUHAMMAD RIYADH RAFSANJANI IS DOMUT

NIM: 11150480000080

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Page 2: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

ii

Page 3: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

iii

Page 4: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

iv

Page 5: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

v

ABSTRAK

Muhammad Riyadh Rafsanjani. NIM 11150480000080. PENGUATAN

KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM

PENGAWASAN DAN EVALUASI PERDA SERTA RAPERDA. Program

Studi Ilmu Hukum. Fakultas Syariah dan Hukum. Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta,1440H/2019 M. ix + 78 halaman.

Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan pengawasan perda oleh DPD.

Secara khusus skripsi ini mencoba mendalami kesesuaian dari kewenangan DPD

dalam mengawasi dan mengevaluasi perda serta raperda terhadap konsep otonomi

daerah, disamping itu juga skripsi ini mencoba membahas tindak lanjut dari hasil

pengawasan dan evaluasi perda serta raperda tersebut. Pemerintah Daerah melalui

otonomi yang telah diberikandiberikan berwenang membentuk dan mengawasi

perda sehingga terjadinya tumpang tindih pengawasan antara DPD dan DPRD.

Metode penelitian dalam penelitian ini menggunakan pendekatan

perundang-undangan (Statute Approach). Jenis penelitian yang digunakan dalam

penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metoda

pengumpulan data berupa studi kepustakaan.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pengawasan dan evaluasi oleh DPD

sudah sesuai dengan konsep otonomi daerah mengingat negara indonesia

merupakan negara kesatuan sehingga Indonesia tidak menganut otonomi mutlak

selain itu juga kewenangan DPD tersebut masih sangat lemah karena tindak lanjut

dari pengawasan dan evaluasi tersebut hanyalah bersifat rekomendasi sehingga

tidak ada kewajiban bagi pemerintah daerah untuk menjalankannya.

Kata Kunci : Penguatan Kewenangan, Pengawasan, Evaluasi, Dewan Perwakilan

Daerah, Peraturan daerah, Rancangan peraturan daerah.

Pembimbing Skripsi : Abdul Qodir, S.H., M.Hum.

M. Ishar Helmi, S.Sy., S.H., M.H.

Sumber rujukan : Tahun 1961- Tahun 2018

Page 6: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

vi

KATA PENGANTAR

بسم هللا الرحن الرحيم

Puji syukur kepada Allah SWT berkat Rahmat, Hidayah, dan Karunia-Nya

kepada kita semua sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

“PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM

PENGAWASAN DAN EVALUASI PERDA SERTA RAPERDA”.

Peneliti menyadari dalam penyusunan proposal skripsi ini tidak akan selesai

tanpa bantuan dari berbagai pihak. Karena itu pada kesempatan ini peneliti ingin

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syari’ah

dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajarannya.

2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi

Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum., Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Abdul Qodir, S.H., M. Hum. dan Muhammad Ishar Helmi, S.H. M.H.

pembimbing skripsi yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan

pikiran untuk membimbing peneliti dalam menyelesaikan skripsi,

sehingga dapat terselesaikan dengan baik.

5. Pimpinan Pusat Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah membantu dalam menyediakan fasilitas

yang memadai untuk peneliti mengadakan studi kepustakaan guna

menyelesaikan skripsi ini. Karena, Tanpa bantuannya dalam

menyediakan fasilitas yang memadai untuk peneliti, maka skripsi ini

tidak akan dapat dilanjutkan untuk diteliti oleh peneliti.

6. Semua pihak yang telah terlibat secara langsung maupun tidak langsung

dalam proses penulisan skripsi ini, yang tidak dapat peneliti sebutkan

satu persatu. Hanya doa serta ucapan terimakasih yang dapat peneliti

Page 7: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

vii

sampaikan, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan-kebaikan

kalian.

Besar harapan peneliti agar skripsi ini dapat memberikan manfaat yang

berarti bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya pada bidang hukum tata

negara. Kritik dan saran yang membangun sangat peneliti harapkan dari para

pembaca sehingga dapat menyempurnakan penelitian ini.

Jakarta, 20 September 2019

M. Riyadh Rafsanjani

Page 8: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..........................................................ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ...................................... iii

LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................iv

ABSTRAK ............................................................................................................ v

KATA PENGANTAR ............................................................................................vi

DAFTAR ISI ........................................................................................................viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah....................................................................... 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah .............................. 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 10

D. Metode Penelitian ................................................................................11

E. Sistematika Penulisan ..........................................................................13

BAB II PENGAWASAN PERDA DAN RAPERDA

A. Kerangka Konseptual............................................................................14

B. Kerangka Teoritis ..................................................................................15

1. Teori Negara Kesatuan ..................................................................... 15

2. Teori Hierarki Peraturan Perundang-Undangan ............................... 19

3. Teori Pengawasan ............................................................................. 26

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ................................................... 29

BAB III DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA

A. Eksistensi Dewan Perwakilan Daerah.................................................31

Page 9: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

ix

B.Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah di Indonesia

........................................................................................................... .37

C. Peran dan Fungsi Dewan Perwakilan Daerah Menurut Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2018 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD

.............................................................................................................41

BABaIVaKEWENANGAN DPD DALAM MENGAWASI DAN

MENGEVALUASI PERDA SERTA RAPERDA

A. Penguatan Kewenangan DPD RI dalam Melakukan Pengawasan dan

Evaluasi Perda serta Raperda ............................................................ 52

B. Kesesuaian Pengawasan Perda dan Raperda oleh DPD RI berdasarkan

konsep otonomi daerah ....................................................................... 59

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................70

B. Rekomendasi ......................................................................................71

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................73

Page 10: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagai bentuk organisasi kehidupan bersama dalam masyarakat, negara

selalu menjadi pusat cabang ilmu pengetahuan yang menjadikan negara sebagai

objek kajiannya. Misalnya, ilmu politik, ilmu negara, ilmu hukum tata negara,

ilmu hukum kenegaraan, hukum administrasi, dan ilmu administrasi

pemerintahan. Salah satu masalah pokok yang menjadi pusat perhatian ilmu

politik dan ilmu hukum tata negara sepanjang sejarah adalah mekanisme

hubungan antara negara dan rakyat dalam suatu negara. Kepentingan negara

biasanya diwakili oleh pemerintah, sedangkan kepentingan rakyat

terlembagakan melalui parlemen.1

Secara sederhana kedaulatan rakyat dapat diartikan kekuasaan tertinggi ada

di tangan rakyat. Namun, bukan berarti permasalahan kedaulatan rakyat menjadi

sederhana, sebab ternyata perjuangan ke arah tercapainya kedaulatan rakyat itu

sendiri sangat panjang dan banyak korban. Secara historis upaya akan

keberadaan kedaulatan rakyat itu terus dilakukan, misalnya Plato yang

beranggapan bahwa kedaulatan rakyat dapat terwujud dalam suatu pemerintahan

yang dipimpin oleh orang yang bijaksana, sehingga ia sangat menganjurkan agar

pemerintahan itu dilakukan oleh filosof yang diyakininya bisa bertindak

bijaksana.

Sementara menurut John Locke Untuk tercapainya kedaulatan rakyat maka

kekuasaan yang ada dalam negara harus dipisahkan ke dalam dua aspek

kekuasaan. Senada dengan pemikiran ini Montesquieu merumuskan trias

politica, yang memisahkan kekuasaan menjadi tiga aspek. Legislatif, Eksekutif,

dan Yudikatif. Jimly menjelaskan, konsep kedaulatan rakyat diwujudkan melalui

1 Jimly Assiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada, 2013), h. 9.

Page 11: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

2

instrument-instrument hukum dan sistem kelembagaan Negara dan pemerintah

sebagai institusi hukum yang tertib. Oleh karena itu produk hukum yang

dihasilkan haruslah mencerminkan perwujudan prinsip kedaulatan rakyat.

Pemerintahan Indonesia secara formal mengakui bahwa: “Kekuasaan adalah di

tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan

Rakyat”, oleh karenanya menurut Usep Ranuwijaya (1982) segala putusan

lembaga tidak bisa dibatalkan oleh lembaga negara yang lain.2

Prinsip kedaulatan rakyat yang terwujud dalam peraturan perundang-

undangan tercermin dalam struktur dan mekanisme kelembagaan negara dan

pemerintahan untuk menjamin tegaknya sistem hukum dan berfungsinya sistem

demokrasi. Dari segi kelembagaan, prinsip kedaulatan rakyat biasanya

diorganisasikan melalui sistem pemisahan kekuasaan dan pembagian

kekuasaan.3

Demokrasi merupakan bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu

negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara)

atas Negara untuk dijalankan oleh pemerintah Negara tersebut. Negara

demokrasi ditandai dengan adanya partisipasi rakyat dalam menentukan siapa

yang akan mewakili dalam menyalurkan aspirasi rakyat dan ditandai penuh

dengan ikut andilnya warga Negara dalam pembuatan kebijakan-kebijakan

publik.4

Pada saat Indonesia Merdeka tahun 1945, hal yang terpikir oleh perancang

UUD bahwa dalam parlemen Indonesia diidealkan berkamar tunggal

(unikameral) yang didasarkan pada teori kedaulatan rakyat dengan Majelis

2 Nike K. Rumoko, “Kedaulatan dan Kekuasaan Dalam UUD 1945 Dalam Pembentukan

Hukum Di Indonesia”, Jurnal Hukum Unsrat, Vol 23 No. 9, (April, 2017) h. 2. 3 Zahratul Idami, “Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Setelah Adanya Keputusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012”, Jurnal Ilmu Hukum, No. 63, Th. XVI (Agustus,

2014), h. 303. 4 Dewi Wulansari, “Hubungan Pengetahuan Politik Pemilih Pemula dengan Partisipasi

Politik (Studi Korelasional Pada Pemilu Legislatif 2009 di Desa Sukarapih”), Artikel, Jurnal

Konstitusi, Vol I, No. 1 (November 2009), Mahkamah Konstiusi Republik Indonesia, Jakarta, h.

26.

Page 12: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

3

Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai Lembaga Tertinggi Negara yang

anggotanya terdiri dari anggota DPD yang dipilih melalui pemilu dan juga terdiri

dari utusan daerah-daerah dan utusan golongan-golongan khususnya golongan

ekonomi, yang sistem rekruitmennya dibayangkan tidak sama dengan sistem

rekruitmen anggota DPR sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 Ayat (1) UUD

1945 sebelum amandemen “MPR terdiri atas anggota DPR ditambah dengan

utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan golongan, menurut aturan yang

ditetapkan dengan Undang-Undang.” Pengaturan yang longgar dalam UUD

1945 tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan perundang-

undangan.5

Ide pembentukan DPD3 dalam kerangka sistem legislatif Indonesia

memang tidak terlepas dari ide pembentukan struktur dua kamar parlemen atau

bikameral. Dengan struktur bikameral itu diharapkan proses legislasi dapat

diselenggarakan dengan sistem double check yang memungkinkan representasi

seluruh rakyat secara relatif dapat disalurkan dengan basis sosial yang lebih luas.

Dewan Perwakilan Rakyat merupakan representasi politik sedangkan DPD

mencerminkan teritorial atau regional.6

Untuk mengakomodasikan kepentingan daerah secara efektif dan adil dalam

rangka pembuatan keputusan politik yang bersifat nasional untuk

memberdayakan potensi daerah, dibutuhkan sebuah lembaga. Lembaga ini

mempunyai kewenangan kewenangan tertentu. Salah satu pendapat mengenai

hal tersebut dikemukakan oleh Syafroedin Bahar. ”Untuk menjaga integrasi

bangsa maka diperlukan suatu lembaga yang dapat memberikan masukan,

pertimbangan dan bahkan pengawasan terbatas.”Oleh karena itu muncul Dewan

Perwakilan Daerah”.7

5 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2011), h. 13. 6 Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,

(Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 139. 7 Saafroedin Bahar dan A.B Tangadililing, Integrasi Nasional: Teori, Masalah dan

Strategi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999), h. 59.

Page 13: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

4

Keberadaan DPD dapat dikatakan merupakan pertemuan dari dua gagasan,

yaitu demokratisasi dan upaya mengakomodasi kepentingan daerah demi

terjaganya integrasi nasional. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Sri Sumantri

Martosoewignjo dan Mochamad Isnaeni Ramdhan yang menyatakan bahwa

pembentukan DPD tidak terlepas dari dua hal, yaitu; Pertama, adanya tuntutan

demokratisasi pengisian anggota lembaga agar selalu mengikutsertakan rakyat

pemilih. Keberadaan Utusan Daerah dan Utusan Golongan dalam komposisi

Majelis Permusyawaratan Rakyat digantikan dengan keberadaan DPD. Kedua,

karena adanya tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah yang jika tidak

dikendalikan dengan baik akan berujung pada tuntutan separatisme. DPD

dibentuk sebagai representasi kepentingan rakyat di daerah.8

DPD lahir sebagai bagian dari upaya untuk memastikan bahwa wilayah atau

daerah harus memiliki wakil untuk memperjuangkan kepentingan secara utuh di

tataran nasional, yang sekaligus berfungsi menjaga keutuhan NKRI. Selain itu

juga menurut Ginanjar Kartasasmita kehadiran DPD mengadung makna bahwa

sekarang ada lembaga yang mewakili kepentingan lintas golongan atau

komunitas yang sarat dengan pemahaman akan budaya yang karakteristik

daerah.9

Pada perjalanannya, gagasan tentang parlemen bikameral yang baik itu

ternyata kemudian tidak sesuai dengan awal pembentukan DPD karena

kompromi-kompromi dan menonjolnya kepentingan politik selama proses

amandemen. Meskipun kedudukannya merupakan salah satu lembaga negara

yang sejajar dengan Dewan Perwakilan Rakyat, Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Badan

Pemeriksa Keuangan, DPD yang anggota-anggotanya dipilih langsung melalui

pemilu ternyata di dalam konstitusi hanya diberi fungsi yang sangat sedikit dan

nyaris tidak berarti. Berbeda dengan Dewan Perwakilan Rakyat yang diatur

8 Muchamad Ali Safa’at, “Dewan Perwakilan Daerah sebagai Lembaga Perwakilan Daerah

dan Proses Penyerap Aspirasi”, Artikel Jurnal Hukum, (Maret 2014), h. 1. 9 Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Konstitusi Republik Indonesia,... h. 3.

Page 14: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

5

dalam tujuh pasal (pasal 9, 11, 13, 14 ,19 sampai dengan pasal 22 B) DPD hanya

diatur dalam dua pasal (pasal 22 C dan pasal 22D). Di dalam konstitusi hasil

perubahan memang tidak disebutkan istilah parlemen sehingga tidak mudah

menjadikan DPR dan DPD sebagai kamar-kamar dari parlemen dua kamar. Jika

di UUD NRI 1945 disebutkan secara tegas bahwa DPR mempunyai fungsi

legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan, maka DPD tidak mempunyai

fungsi-fungsi tersebut sepenuhnya.10

Pada pasal 22D UUD NRI Tahun 1945 terlihat jelas bahwa konstitusi sangat

membatasi kewenangan DPD, sehingga kewenangannya sangat terbatas dan

sangat lemah, bahkan dapat dikatakan Konstitusi membuat lembaga DPD seperti

singa ompong, kewenangan DPD hanya berkisar pada usulan dalam Rancangan

Undang-Undang (RUU) itupun hanya dalam permasalahan otonomi daerah.

Sementara itu peran DPR sangat kuat, hal ini berbeda dengan sistem bikameral

di negara negara demokrasi yang menganut sistem presidensial seperti halnya

dua kamar yang dianut oleh konstitusi Amerika Serikat yang mengatur posisi

senat dan house of representative (DPR), yang sama-sama kuat.11

Hal ini sangat berbeda jauh dengan sistem bikameral yang ada di indonesia

dimana menurut UUD 1945 pasca amandemen yang menyebutkan bahwa hanya

DPR yang mempunyai kekuasan membuat undang-undang, sedang DPD hanya

berwenang mengajukan RUU ke DPR. Itu pun hanya terbatas pada hal-hal yang

berkaitan dengan otonomi daerah dan hubungan pusat dan daerah. Hal ini sangat

berbeda jauh dengan cita-cita awal dibentuknya lembaga perwakilan daerah,

sebagaimana yang dipaparkan diatas, yang menyatakan bahwa cita-cita awal

dibentuknya DPD sebagai wadah check and balances di lembaga legislatif yang

selama ini terlihat begitu sentralistik.12

10 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum tata negara Pasca Amandemen Konstitus, Cet.

Ketiga, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persadam 2013), h. 69-70. 11 T.A. legowo DKK, Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia (Jakarta: Forum

Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, 2005) h. 132. 12 T.A. legowo DKK, Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia,... h. 160.

Page 15: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

6

Kewenangan yang terbatas itulah yang belakangan ini membuat DPD

mendapat sorotan dari banyak pihak untuk diberikan penguatan supaya sesuai

dengan “ruh” sistem bikameral yaitu adanya checks and balances antara dua

lembaga perwakilan tersebut. Di samping itu kewenangan terbatas itu juga yang

membuat DPD tidak optimal kinerjanya dan melaksanakan kewenangannya

karena adanya pembatasan dalam konstitusi.13

Kewenangan DPD ini kemudian dipertegas oleh Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun

2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Disebutkan

dalam pasal 249 Ayat (1) kewenangan DPD yaitu mengajukan Rancangan

Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, ikut membahas

Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, mengawasi

pelaksanaan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, dan

kewenangan baru yang dimiliki DPD untuk mengawasi dan mengevaluasi perda

dan raperda yang dicantumkan pada huruf J.

Dapat dilihat didalam huruf J bahwa terdapatnya penambahan wewenang

oleh peraturan perundang kepada DPD yaitu melakukan pemantauan dan

evaluasi atas rancangan peraturan daerah dan peraturan daerah. Di Indonesia

sendiri terdapat dua lembaga yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang

undangan untuk melakukan evaluasi terhadap peraturan daerah. Yang pertama

ialah Presiden melalui menteri dalam negeri yang disebut dengan eksekutive

review yang kedua ialah Mahkamah Agung yang disebut dengan judicial review.

Eksekutive review ini berkaitan dengan aspek legalitas dari peraturan

perundang-undangan yang dibentuk oleh lembaga eksekutif misalnya Peraturan

Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Menteri, apakah bertentangan

tidak dengan peraturan perundang-undangan tingkat atasnya yang merupakan

13 Soebardjo, “Dewan Perwakilan Daerah Menurut UUD 1945 Dan Penerapan Sistem

Bikameral Dalam Lembaga Perwakilan Indonesia”, Jurnal Hukum, No. 1 VOL.14 (Januari

2007), h. 142.

Page 16: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

7

sumber dari pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut. Termasuk

dalam pengertian executive review adalah pengujian yang dilakukan terhadap

peraturan perundang-undangan tingkat daerah (Perda dan peraturan

pelaksanaannya). Khusus pengujian peraturan perundang-undangan tingkat

daerah ini erat kaitannya dengan teori pemencaran kekuasaan dalam bentuk

desentralisasi atau otonomi daerah. Bahkan dalam beberapa Undang-Undang

Pemerintahan Daerah yang pernah atau sedang berlaku di Indonesia diatur pula

pengujian terhadap rancangan Peraturan Daerah (executive preview) dalam

rangka pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan otonomi daerah

(pengawasan preventif).14

Namun, pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015

menyatakan Pasal 251 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang

Pemerintahan Daerah terkait dengan kewenangan pembatalan peraturan daerah

kabupaten/kota tidak lagi bisa dibatalkan Menteri Dalam Negeri atau gubernur.

Melengkapi putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor

56/PUU-XIV/2016 menyatakan pemerintah pusat juga tidak lagi memiliki

kewenangan untuk melakukan pembatalan peraturan daerah provinsi. Putusan

tersebut tidak serta merta menyelesaikan persoalan terkait dengan kewenangan

pembatalan peraturan daerah, hal ini dikarenakan putusan Mahkamah Konstitusi

hanya berlaku bagi peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah

kabupaten/kota dalam putusan itu juga MK menyatakan, demi kepastian hukum

dan sesuai dengan UUD 1945 menurut Mahkamah, pengujian atau pembatalan

perda menjadi ranah kewenangan konstitusional Mahkamah Agung.

Kemudian setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018

Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adanya penambahan

14 Machmuz Aziz, Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Dalam Sistem Peraturan

Perundang-Undangan Indonesia, Jurnal Konstitusi, No. 5 Volume 7, (Oktober 2010), h. 147.

Page 17: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

8

wewenangan baru kepada DPD RI sebagaimana tercantum dalam pasal 249 ayat

1 huruf J yang berbunyi “melakukan pemantauan dan evaluasi rancangan

peraturan daerah dan peraturan daerah”. Kewenangan tersebut menjadikan DPD

dapat mengevaluasi perda dan raperda, seiring dengan adanya penambahan

kewenangan tersebut timbul permasalahan.

Permasalahan pertama, ialah kewenangan DPD dalam mengawasi perda

dan raperda bertentangan dengan konstitusi, didalam Pasal 22D ayat (3) UUD

1945 menjelaskan bahwa objek pengawasan oleh DPD ialah pelaksanaan

Undang-undang yang berkaitan dengan daerah, frasa pelaksanaan Undang-

undang dapat dimaknai sejauh mana Undang-undang tersebut dilaksanakan,

sehingga fungsi pengawasan DPD tidak dapat menyentuh materi muatan dalam

Perda.

Kedua, UUD 1945 telah memberikan dua mekanisme pengujian peraturan

perundang-perundang melalui pengadilan yang dikenal dengan judicial review,

mekanisme judicial review yang pertama adalah pengujian Undang-undang

terhadap UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi, berikut mekanisme kedua

pengujian Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-undang terhadap

Undang-undang oleh Mahkamah Agung. Hadirnya kewenangan DPD dalam

mengevaluasi perda ini mengakibatkan tumbang tindihnya kewenangan antara

DPD dengan Mahkamah agung dalam menguji perda.

Ketiga, kewenangan DPD dalam mengevaluasi raperda pun dapat

mengakibatkan tubrukan kewenangan dengan pemerintah pusat dikarenakan

dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah rancangan peraturan daerah yang

telah disetujui bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Kepala

Daerah harus mendapat nomor register dari Menteri Dalam Negeri untuk

Raperda Provinsi dan Gubernur untuk Raperda Kabupaten.

Keempat, Pengawasan dan Evaluasi dapat dimaknai sangat luas sehingga

dapat menimbulkan tubrukan kewenangan dengan Pemerintan Daerah sebagai

penyelenggara daerah.

Page 18: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

9

Dari permasalahan di atas, peneliti merasa perlu diteliti lebih lanjut dalam

sebuah tulisan yang berjudul penguatan kewenangan Dewan Perwakilan

Daerah dalam mengawasi dan mengevaluasi perda serta raperda

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Adapun masalah yang diidentifikasi oleh peneliti dalam penelitian skripsi

ini adalah sebagai berikut:

a. Lemahnya pengawasan dan evaluasi dpd terhadap perda serta raperda.

b. Terjadinya benturan kepentingan antara Pemerintah Pusat dengan DPD

dalam hal evaluasi Raperda.

c. Ketidak jelasan ruang lingkup terhadap pengawasan dan evaluasi oleh

DPD dapat menimbulkan pemaknaan yang luas.

d. Pengawasan Raperda oleh DPD bertentangan dengan konstitusi

dikarenakan pengawasan DPD hanya sebatas pelaksaan Undang-undang

yang berkaitan dengan otonomi daerah.

e. Lemahnya kewenangan DPD dalam Pengawasan dan Evaluasi Perda dan

Raperda.

2. Pembatasan Masalah

Untuk mempermudah pembahasan dalam skripsi ini, maka peneliti

membatasinya pada lemahnya kewenangan DPD dalam melakukan

pengawasan dan evaluasi peraturan daerah serta raperda.

3. Perumusan Masalah

Dari penjelasan di atas, jelas bahwa kewenangan DPD ini masih rancu

dan banyak terdapat ketidak pastian didalamnya, selain itu kewenangan DPD

ini dianggap sebagai bentuk campur tangan pemerintahan pusat terhadap

Page 19: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

10

daerah. Masalah utama yang jadi fokus pembahasan adalah lemahnya

kewenangan DPD dalam melakukan pengawasan dan evaluasi perda serta

raperda. Dari permasalahan di atas peneliti rinci dalam bentuk pertanyaan

penelitian sebagai berikut:

a. Bagaimana proses penguatan kewenangan DPD RI dalam melakukan

pengawasan dan evaluasi perda serta raperda?

b. Apakah pengawasan dan evaluasi DPD terhadap peraturan daerah dan

rancangan perda sudah sesuai dengan konsep otonomi daerah di

Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk meliti permasalahan tentang kewenangan

DPD dalam mengawasi dan mengevaluasi perda dan raperda. Secara khusus

tujuan penelitian ini juga untuk menjawab pertanyan mengenai:

a. Untuk menjelaskan proses penguatan kewenangan DPD RI dalam

melakukan pengawasan dan evaluasi perda serta raperda

b. Untuk menjelaskan kesesuaian pengawasan dan evaluasi DPD terhadap

perda dan raperda terhadap konsep otonomi daerah di Indonesia

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat:

a. Manfaat Akademik

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran

mengenai kewenangan DPD dan menjadi bahan diskusi serta rujukan

bagi para akademisi, politisi, dan praktisi hukum yang ingin membahas

lebih lanjut terkait DPD.

Page 20: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

11

b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini di harapkan mampu memperlihatkan bagaimana

sesungguhnya tugas dan kewenangan DPD dalam melakukan

pengawasan dan evaluasi peratuan daerah.

H. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian dalam peneliti skripsi ini adalah penelitian hukum

normatif. Peneliti menjelaskan secara lengkap, rinci, jelas, dan sistematis

tentang beberapa aspek yang diteliti dalam perundang-undangan.15

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

perundang-undangan (Statute Approach) dan. Dalam metode pendekatan

Statute Approach peneliti perlu memahami hierarki, asas-asas dalam

peraturan perundang-undangan. Statute Approach adalah pendekatan dengan

menggunakan legislasi dan regulasi.

3. Bahan Hukum

1. Bahan Hukum Primier, berupa ketentuan ketentuan hukum dan peraturan

perundang undangan, catatan catatan resmi dalam risalah pembuatan

peraturan perundang undangan dan putusan-putusan hakim. Dalam

penelitian ini sumber data primier meliputi :

a) UUD NRI 1945;

b) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis

15 Muh. Abdul Kadir, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT. citra Aditya, 2004),

h. 101.

Page 21: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

12

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

2. Bahan Hukum Sekunder, berupa buku buku, jurnal, kamus hukum,

komentar komentar putusan terkait dengan kewenangan Dewan

Perwakilan Daerah.

3. Bahan Hukum Tertier, berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

dan juga Kamus Hukum yang menjelaskan mengenai bahan hukum

peneliti.

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Didalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti

yaitu studi kepustakaan, peneliti mengumpulkan data-data yang berasal dari

Undang-Undang, Putusan Hakim, dan berbagai buku yang terkait dengan

penelitian ini.

5. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Teknik pengelolaan data yang peneliti gunakan dengan cara deskriptif

kualitatif dengan mengumpulkan bahan hukum penelitian kemudian bahan

hukum tersebut disederhanakan kebagian bagian yang diperlukan,

setelahnya peneliti menarik kesimpulan dari data-data tersebut.

6. Teknik Penulisan

Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan peneliti dalam skripsi ini

disesuakan kaidah-kaidah penulisan karya ilimiah dan buku “Pedoman

Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta 2017”

I. Sistematika Penelitian

Untuk menjelaskan isi skripsi secara menyeluruh secara terstruktur dan

sistematis maka skripsi ini disusun dengan sistematika penelitian yang terdiri

dari lima bab sebagai berikut:

Page 22: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

13

BAB I : Bab ini merupakan pendahuluan, yang berisi latar belakang,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat

penelitian, metode penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB II : Merupakan kajian yang berisi kerangka konseptual, kerangka teori,

dan Tinjauan (Review) kajian terdahulu mengenai Penguatan

kewenangan, Dewan Perwakilan Daerah, Perda dan raperda, teori

negara kesatuan, teori hierarki, serta teori pengawasan.

BAB III : Didalam bab ini penulis menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan

Dewan Perwakilan Daerah di Indonesai yang memuat eksistensi DPD

di Indonesia, Kedudukan DPD di Indonesia serta tugas dan fungsi

DPD.

BAB IV : Bab ini merupakan inti dari penelitian skripsi didalam bab ini peneliti

memaparkan hasil analisis peneliti mengenai penguatan kewenangan

DPD dalam melakukan pengawasan dan evaluasi perda serta raperda,

serta kesesuaian kewenangan pengawasan dan evaluasi DPD terhadap

perda berdasarkan konsep otonomi daerah.

BAB V : Bab ini merupakan bab terakhir dalam penilitian didalam bab ini

berisikan kesimpulan dari bab bab sebelumnya dan juga dalam bab ini

berisikan rekomendasi.

Page 23: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

14

BAB II

PENGAWASAN PERDA DAN RAPERDA

A. Kerangka Konseptual

Kerangka konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan

antara konsep-konsep khusus yang ingin atau akan diteliti.

Oleh karena itu untuk memperoleh gambaran tentang definisi dan makna maka

peneliti :

1. Penguatan Kewenangan

Penguatan kewenangan dalam hal ini kewenangan pengawasan dan

evaluasi yang dimiliki DPD dengan memberi penegasan dan pengembangan

kewenangan dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan oleh DPD

terhadap perda dan raperda.

2. Dewan Perwakilan Daerah

Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (disingkat DPD RI atau

DPD), sebelum 2004 disebut Utusan Daerah, adalah lembaga tinggi negara

dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang anggotanya merupakan

perwakilan dari setiap provinsi yang dipilih melalui Pemilihan Umum.

3. Pengawasan dan Evaluasi

Merupakan kewenangan yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Daerah

dalam melakukan perbuatan pengawasan, pengamatan, pencatatan, dan

penilaian terhadap peraturan daerah dan rancangan peraturan daerah.

4. Peraturan Daerah

Peraturan Daerah (Perda) adalah peraturan yang dibuat oleh pemerintah

daerah provinsi dan kabupaten atau kota. Perda termasuk dalam peraturan

perundang-undangan karena sejalan dengan Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan Daerah dibuat untuk

Page 24: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

15

melaksanakan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Perda juga dibuat

dalam rangka melaksanakan kebutuhan daerah.

5. Rancangan peraturan daerah

Merupakan peraturan daerah yang masih berbentuk rancangan sebelum

diundangkan, rancangan peraturan daerah meliputi proses perencanaan,

proses penyusunan, serta pembahasan oleh kepala daerah dan DPRD.

B. Kerangka Teori

1. Teori Negara Kesatuan

Negara kesatuan dapat dipahami sebagai suatu negara dimana

pemerintahan pusat memegang kendali tertinggi dalam penyelenggaraan

negara, untuk menjalankan tugasnya secara efektif olehkarenanya

pemerintahan pusat diawasi dan dibatasi oleh Undang-Undang. Secara

organisasional seluruh unit pemerintah yang dibentuk dibawah pemerintahan

pusat harus tunduk kepada pemerintahan pusat berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.1

Fred Isjwara dalam bukunya mengemukakan bahwa negara kesatuan

merupakan negara adalah bentuk negara kenegaraan yang paling kokoh

dibandingkan dengan negara federal ataupun konfederasi, dikarenakan dalam

negara kesatuan terdapat persatuan (Union) serta kesatuan (Unity).2

Negara kesatuan dapat dibedakan kedalam dua bentuk yaitu negara kesatuan

dengan sistem sentralisasi dan negara kesatuan dengan sistem desentralisasi3

a. Negara Kesatuan bersistem sentralisasi

1 Sadu Wasistiono, “Kajian Hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah

(Tinjauan dari Sudut Pandang Manajemen Pemerintahan)", Jurnal Administrasi Pemerintahan

Daerah, Volume I, Edisi Kedua 2004, h. 9. 2 Fred Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Cetakan Kelima, (Bandung, Binacipta, 1974), h.

188. 3 Samidjo, Ilmu Negara, (Bandung, CV Armico 2002), h. 164.

Page 25: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

16

Dalam negara kesatuan bersistem sentralisasi seluruh urusan dalam

negara langsung diatur oleh pemerintahan pusat, sehingga pemerintahan

daerah menjalankan instruksi dari pemerintahan pusat.

b. Negara Kesatuan bersistem desentralisasi

Didalam negara kesatuan dengan sistem desentralisasi, daerah-daerah

diberikan kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri, karena tiap

daerah memiliki kebutuhan-kebutuhan yang berbeda (Otonomi Daerah) yang

disebut daerah otonom.

Dalam negara kesatuan bagian-bagian negara disebut dengan daerah, istilah

tersebut adalah istilah teknis untuk menyebut suatu bagian teritorial yang memiliki

pemerintahan sendiri dalam negara tersebut.4

Kata daerah ( gebiedsdeel ) dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa ada

sebuah lingkungan yang terbentuk dengan membagi kesatuan didalam

lingkungannya yang disebut dengan wilayah ( gebied ), atau dengan kata lain

daerah bermakna bagian atau unsur dari satu kesatuan lingkungan yang lebih

besar. Adanya pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah

otonom menurut Sri Soemantri adalah suatu wewenang yang diberikan bukan

karena ditetapkan oleh konstitusinya melainkan karena hal itu adalah hakikat

dalam negara kesatuan.5

Pemerintah pusat kepada daerah otonom adalah suatu wewenang yang

diberikan bukan karena ditetapkan oleh konstitusinya melainkan karena hal itu

adalah hakikat negara kesatuan. Alasan pemerintah pusat mendominasi

pelaksanaan pemerintahan dengan mengesampingkan hak pemerintah daerah

untuk terlibat langsung adalah untuk menjaga kesatuan dan integritas negaranya,

sehingga terkadang menyebabkan hubungan pemerintah pusat dan daerah menjadi

kurang baik dan memunculkan gagasan mengenai perubahan bentuk negara

menjadi negara federal.6

4 Ni'matul Huda, SH,M.Hum, Desentralisasi Asimetris dalam NKRI, (Bandung, Nusa

Media, Cetakan 1, 2014), h .3. 5 Ni'matul Huda, SH,M.Hum, Desentralisasi Asimetris dalam NKRI,... h.3. 6 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Pusat Studi Hukum

Fakultas Hukum UII, 2001), h. 32.

Page 26: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

17

Pemencaran penyelenggaraan negara dan pemerintahan dalam satuan-

satuan teritorial dapat berbentuk dekonsentrasi teritorial, satuan otonomi teritorial

atau federal. Paling tidak ada 3 perbedaan bentuk hubungan pemencaran

penyelenggaraan negara dan pemerintahan:

a. Hubungan pusat dan daerah berdasarkan dekonsentrasi teritorial

b. Hubungan pusat dan daerah berdasarkan otonomi teritorial

c. Hubungan pusat dan daerah berdasarkan federal

Bentuk negara kesatuan Republik Indonesia merupakan amanat

UndangUndang Dasar 1945. Pasal 1 Ayat (1) dengan tegas menyatakan bahwa

"Negara Indonesia ialah negara kesatuan, yang berbentuk Republik". Prinsip

yang terkandung pada negara kesatuan ialah, bahwa yang memegang tampuk

kekuasaan tertinggi atas segenap urusan negara adalah Pemerintah Pusat (central

government) tanpa adanya gangguan oleh delegasi atau pelimpahan kekuasaan

kepada pemerintah daerah (local government).7

Tanggungjawab pelaksanaan pemerintahan tetap berada di tanagan

pemerintah pusat, namun dikarenakan salah satu asas yang dipergunakan dalam

sistem pemerintahan di Indonesia adalah asas negara kesatuan yang

didesentralisasikan maka ada tugas-tugas yang diurus sendiri oleh daerah

sehingga lahirlah hubungan kewenangan dan pengawasan antara pusat dan

daerah.8

Negara kesatuan adalah landasan batas dan isi dari otonomi sehingga

muncul aturan yang mengatur mekanisme keseimbangan tuntutan kesatuan

dengan tuntutan otomi kemudian memunculkan kemungkinan spanning dari

kondisi tarik menarik antara dua kecenderungan tersebut.

7 B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi

Manusia, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2003),h. 91. 8 Ni'matul Huda, SH,M.Hum, Desentralisasi Asimetris dalam NKRI,... , h. 3.

Page 27: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

18

C.F. Strong mengemukakan tiga ciri negara kesatuan, yang seharusnya juga

tergambar di negara kesatuan yang desentralistis, sebagai berikut ini:9

1. Adanya supremasi dari Dewan Perwakilan Rakyat Pusat Dalam negara

kesatuan hanya ada satu lembaga legislatif atau pembentuk undang-

undang yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Pusat. Dewan ini mempunyai

supremasi dalam menjalankan fungsi perundang-undangan

(regelgeving), sehingga produk yang dibuatnya merupakan produksi

hukum yang berderajat lebih tinggi dibanding dengan produk hukum

yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat di Daerah.

2. Tidak adanya badan-badan lainnya yang berdaulat. Ciri ini menegaskan

bahwa dalam negara kesatuan tidak ada lembaga lain yang memegang

kedaulatan selain dewan perwakilan rakyat yang berkedudukan di pusat.

Dengan demikian daerah hanya menjalankan kewenangan yang

diberikan oleh pusat.

3. Kekuasaan tertinggi ada di Pemerintah Pusat. Dalam negara kesatuan

yang didesentralisasikan, meskipun kekuasaan pemerintah dapat

dilimpahkan kepada pemerintah daerah namun keputusan terakhir tetap

berada di pemerintah pusat. Dalam negara kesatuan hanya ada satu

pemerintah, yaitu pemerintah pusat. Pemerintah daerah dibentuk hanya

untuk memudahkan dan mengoptimalkan pelaksanaan urusan

pemerintah yang ada di daerah agar lebih sesuai dengan kebutuhan

masyarakat daerah.

Bentuk NKRI diselenggarakan dengan otonomi daerah yang seluas-luasnya

sehingga daerah berhak mengatur daerahnya berdasarkan potensi dan kekayaan

yang dimilikinya akan tetapi tetap dengan sokongan dan pengawasan pemerintah

pusat.10

9 C.F.Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern Kajian Tentang Sejarah & Bentuk-

bentuk Konstitusi Dunia,(Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004),h. 65. 10 Astim Riyanto, Aktualisasi Negara Kesatuan Setelah Perubahan Atas Pasal 18 Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Bandung: Disertasi Program Pascasarjana

Universitas Padjadjaran, 2006), h. 405.

Page 28: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

19

2. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan

Lahirnya hierarki Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, secara

filosofis tidaklah dapat dilepaskan dari adanya sebuah konsep negara hukum

klasik (rechstaat ataupun rule of law). Konsep negara hukum klasik

sebagaimana digagaskan oleh Albert Venn Dicey menghasilkan salah satu

kesimpulan bahwa supremasi hukum dihadirkan untuk menjadi sebuah

perlawanan terhadap pemerintahan yang sewenang-wenang, yang selanjutnya

Dicey menegaskan, “it means in the first place, the absolute supremacy or

predominance of regular law as opposed to the influence of arbitrary power, and

excludes the existence or arbitrariness, of prerogative, or even of wide

discretionary authority on the part of government11. Sehingga penegasan

mengenai hal-hal yang penting dalam pemerintahan dituangkan kedalam bentuk

hukum dan hukum menjadi kekuasaan tertinggi.

Konsep tersebut seiring dengan perkembangan zaman, perlahan terus

mendapat perbaikan, hal ini dikarenakan pada supremasi hukum tersebut

dijelmakan dalam suara parlemen (supremasi parlemen) yang memegang

peranan penting sebagai pusat politik melalui manifestasi demokrasi perwakilan

yang mewakili seluruh rakyat dengan sistem aturan mayoritas (majority rule)12,

yang hal tersebut menimbulkan konsekuensi logis bahwa dengan dianutnya

sistem berdasarkan mayoritas, akan ada hak-hak minoritas yang akan

tersingkirkan. Sehingga seiring perkembangan zaman, konsep negara hukum

dibanyak negara saat ini, telah bergeser dari supremasi parlemen menjadi sebuah

konsep supremasi konstitusi, yakni UUD 1945 sebagai hukum fundamental atau

statefundamentalnorm.

Konstitusi (tertulis) mengatur sebuah mekanisme-mekanisme sistem

perwakilan ataupun pemerintahan yang demokratis kedalam sebuah aturan-

aturan tertulis didalam konstitusi itu sendiri yang hal tersebut jika dilihat dalam

UUD 1945 diwujudkan dalam Pasal 1 Ayat (2) dan (3) UUD 1945 yang secara

11 Albert Venn Dicey, Introduction To The Study Of The Law Of The Constitution, (London:

Macmillan, 1961, 10th Ed), h. 202. 12 Alec Stone Sweet, “Constitutional Courts and Parliamentary Democracy (Special Issue

On Delegation)”, (West European Politics, Volume 25, Nomor 1, Januari 2002), h. 78-79.

Page 29: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

20

rasio legis akan sampai pada kesimpulan bahwa, negara demokrasi yang

dijalankan menurut Undang-Undang Dasar 1945 atau negara demokrasi

konstitusional (constitutional democratic of state). Konsep negara demokrasi

konstitusional tersebut yang terilhami dari pandangan Immanuel Kant (karena

menggunakan tradisi Eropa Kontinental) mengutarakan unsur-unsurnya yakni,

perlindungan hak asasi manusia, pemisahan dan pembagiaan kekuasaan,

pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan peradilan

adminsitrasi dalam perselisihan.13

Peraturan Perundang-Undangan (hukum tertulis) yang merupakan salah

satu unsur hukum sebagaimana dikemukakan Immanuel Kant ialah kerangka

hukum dari yang tertinggi (konstitusi) dan sampai yang terendah bertujuan untuk

sebuah implementasi dari kepastian hukum, yang menjadikan konstitusi sebagai

sumber hukum baik formil maupun materil dari segala pembentukan peraturan

perundang-undangan dibawahnya agar tidak bertentangan peraturan diatasnya

dan juga sekaligus sebagai bentuk pengawasan terhadap lembaga-lembaga

negara agar tidak keluar dari apa yang telah diamanatkan didalam konstitusi yang

berujung pada pelanggaran hak-hak asasi rakyat yang telah tertuang didalam

konstitusi, karena sejatinya konstitusi diartikan sebagai bentuk daripada

penyertaan mendasar suatu bangsa tentang hal yang mereka anggap sebagai nilai

dasar (hak asasi manusia) dan mereka tunduk terhadap konstitusi yang mereka

buat sendiri begitu juga dengan negara.14

Konstitusi sebagai hukum tertulis tersebut diadopsi dalam konsepsi dari

yang tertinggi hingga yang terendah, yang hal tersebut berasal dari teori

stufenbau (stufenbau theory) atau teori hierarki peraturan perundang-undangan

sebagaimana digagaskan oleh Hans Kelsen, bahwa konsep daripada suatu

norma, bersumber dari norma yang lebih tinggi hingga pada puncak norma

hukum dasar (Staatsfundamentalnorm), norma hukum dasar tersebut terilhami

dari konsep filosofis atau norma dasar yang bersifat abstrak dari sebuah negara

13 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), h.

3. 14 I Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi (Dasar Pemikiran, Kewenangan, dan

Perbandingan dengan Negara Lain), (Jakarta: Konstitusi Press, 2018), h. 18.

Page 30: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

21

tersebut yang disebut dengan kaidah dasar atau norma dasar (Grundnorm) yang

memiliki konsepsi abstrak dan menjadi sumber hukum materil dalam setiap

pembentukan norma hukum dasar dan norma-norma dibawahnya.15

Teori hierarki peraturan perundang-undangan tersebut kemudian

dikembangkan lebih lanjut Hans Nawiasky, yang menyatakan bahwa konsepsi

peraturan perundang-undangan tersebut, tidaklah tepat jika norma dasar

(Grundnorm) yang disebutkan oleh Hans Kelsen tersebut disebut sebagai norma

dasar, melainkan Hans Nawiasky menyatakan bahwa yang disebut norma dasar

adalah konsep living law yang tidak akan dapat diubah ataupun berubah. Norma

dasar tersebut sebagaimana disebutkan oleh Hans Kelsen, lebih lanjut disebutkan

oleh Hans Nawiasky ialah sebagai norma hukum dasar (statefundamentalnorm)

yang menjadi dasar terbentuknya sebuah aturan dibawahnya seperti konstitusi

(staatgrundgezetz)16. Akan tetapi, konsepsi yang ditawarkan oleh Hans

Nawiasky justru tidaklah relevan dengan apa yang terimplementasi oleh

Undang-Undang, karena pada dasarnya sebagaimana disebutkan dalam Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan, bahwa Pancasila disebutkan sebagai norma dasar karena dijadikan

sebagai sumber dari segala sumber hukum negara yang tidak hanya menjadi

pedoman pada pembentukan UUD 1945, melainkan seluruh peraturan yang ada

dibawah UUD 1945 itu sendiri.

Implikasi daripada dianutnya sebuah peraturan perundang-undangan,

artinya sebuah norma mempunyai sebab (timbul) nya norma tersebut, dan

menjadi dasar (timbul) nya norma lainnya yakni dibawahnya, hal itu karena

menurut Adolf Melker, bahwa suatu norma hukum memiliki dua sisi berbeda,

yaitu hukum mengarah keatas saat bersumber dari hukum diatasnya dan

kebawah saat norma hukum tersebut menjadi dasar pembentukan norma

dibawahnya17 Pembentukan-pembentukan peraturan perundang-undangan

15 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York, Rusell & Rusell, 1945), h.

113. 16 Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta:

Konstitusi Press, 2006), h. 170. 17 Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan),

(Yogyakarta: PT Kanisius, 2007), h. 41.

Page 31: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

22

demikian, seperti hal nya pembentukan konstitusi atau pembentukan norma

hukum dibawahnya harus selaras dengan norma diatasnya sebagai konsekuensi

logis daripada adanya hirarki peraturan perundang-undangan dibawah tersebut.

Jika peraturan dibawah konstitusi langsung seperti Undang-Undang atau

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut harus tetap

konstitusional dengan konstitusi, dan jika peraturan perundang-undangan

dibawah undang-undang harus tetap legal dengan undang-undang diatasnya.

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dibawah konstitusi sejatinya

tidak hanya berdasarkan konstitusi sebagai hukum formil, melainkan juga

pancasila sebagai sumber hukum materil atau sebagai living law yang harus terus

hidup dan dihidupkan dalam setiap kehidupan berbangsa dan bernegara, yang

hal tersebut merupakan syarat mutlak dalam sebuah pembentukan suatu

peraturan. Penyertaan Pancasila sebagai hukum materil dalam setiap peraturan

perundang-undangan, berakhir pada pemaknaan oleh setiap unsur-unsur negara

terhadap peraturan perundang-undangan bahwa sebuah hukum tidak hanya

sebatas teks-teks semata, melainkan terdapat nilai-nilai yang terkandung didalam

hukum itu sendiri18 yang disebut sebagai hukum materil atau living law melalui

manifestasi Pancasila, konsepsi Pancasila merupakan sumber (materil) dari

segala sumber hukum telah diakomodir didalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor

12 Tahun 2011.

Hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, didalam Pasal 7 disebutkan bahwa yang

menjadi hukum negara tertinggi ialah UUD 1945, diikuti dengan TAP MPR, UU

atau Perppu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan daerah.

UUD 1945 memuat hukum dasar negara yang berisi jaminan terhadap hak-hak

asasi warga negara, susunan ketatanegaraan yang fundamental, dan pembagian,

pembatasan tugas ketatanegaraan yang bersifat mendasar19, Undang-Undang

memuat sebuah norma yang bersifat nasional dan merupakan pendelegasian

18 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara,

2007), h. 20. 19 Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: Penerbit Alumni,

2006), h. 60.

Page 32: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

23

langsung dari UUD 1945 dan merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal

policy) dari pembentuk undang-undang, lebih lanjut mengenai materi muatan

Undang-Undang, harus memuat pemahaman negara berdasarkan atas hukum dan

berdasarkan sistem konstitusi.

Makna pemahaman negara berdasarkan atas hukum, harus memuat

Polizeistaat yakni sebuah pemahaman akan sebuah terbentuknya Undang-

Undang bukan berasal dari pemerintahan yang absolut, melainkan dari rakyat.

Rechstaat sebagai yang diartikan negara hukum penjaga malam, yakni

melakukan perlindungan terhadap hak asasi manusia dan pembagian atau

pemisahan kekuasaan. Rechstaat formal yang didasarkan pada perlindungan hak

asasi manusia, pemisahan atau pembagian kekuasaan, prinsip pemerintahan

berdasarkan undang-undang yang tentunya dibuat atas nama kedaulatan rakyat,

serta adanya peradilan administrasi, dan yang terakhir adalah Rechstaat material

atau sosial yang diartikan sebagai prinsip pemerintahan yang menciptakan

kemakmuran rakyat yang ditujukan dalam tujuan negara pada alinea keempat

preambule UUD 1945.20

Selanjutnya adalah materi muatan Peraturan Pemerintah ialah

pendelegasian daripada apa yang telah ditentukan oleh undang-undang,

selanjutnya Peraturan Presiden yang dalam hal ini ialah menjalankan apa yang

telah menjadi perintah undang-undang, melaksanakan Peraturan Pemerintah,

ataupun sebagai penyelenggaraan kekuasaan pemerintah (eksekutif). Setelah

peraturan-peraturan yang disebutkan sebelumnya, peraturan daerah merupakan

peraturan yang paling rendah, hal ini dikarenakan sifatnya yang tidak nasional

dan dibentuk bukan oleh pemerintahan pusat, namun oleh pemerintahan daerah.

Peraturan daerah sejatinya berisi hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan

otonomi daerah sebagaimana diamanatkan melalui Pasal 18 UUD 1945, yang hal

tersebut dapat dimaknai sebagai kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi

kewenangan yang tidak hanya berbicara mengenai pengalihan kewenangan

20 Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi, dan Materi

Muatan,… h. 237.

Page 33: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

24

pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah, tetapi juga ditujukan untuk

mendorong tumbunya kemandirian pemerintahan daerah sendiri sebagai penentu

yang akan menentukan keberhasilan kebijakan otonomi daerah itu sendiri21 dan

juga merupakan penjabaran lebih lanjut daripada peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi daripada konsekuensi negara kesatuan yang berbasiskan

otonomi daerah, sementara TAP MPR itu sendiri merupakan sebuah bentuk

hukum dalam peraturan perundang-undangan yang tidak dapat dikeluarkan

kembali, di satu sisi hal ini dikarenakan MPR baik melalui UUD 1945 ataupun

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD

tidak lagi memiliki wewenang untuk mengeluarkan produk hukum demikian

yang bersifat mengatur (regelling) dan mengikat untuk lembaga lain, melainkan

TAP MPR yang dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2011 ialah Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan

Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majels Permusyawaratan Rakyat

Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sanoau

Tahun 2002, artinya ketentuan tersebut bermaksud menerapkan isi konstitusi

didalam Aturan Tambahan Pasal I UUD 1945 yang mengharuskan MPR untuk

melakukan peninjauan kembali terhadap ketetapan-ketetapannya.

Setelah mencermati materi-materi muatan hierarki peraturan perundang-

undangan yang merupakan sebuah kumpulan peraturan dari yang tertinggi

hingga terendah, maka akan timbul permasalahan dimana sebuah peraturan

setidaknya pernah mengalami kecacatan baik dari segi formil maupun

materilnya, hal ini dikarenakan sebuah peraturan tersebut dikeluarkan oleh

lembaga negara yang merupakan bagian dari suprastruktur politik yang

merupakan konsep dari negara sebagai organisasi kekuasaan. Sebagai organisasi

kekuasaan pastinya tidak terlepas dari apa yang telah dikatakan Lord Acton,

“Power Tends to Corrupt and Absolut Power, Corrupt Absolutely”22 yang hal

tersebut dapat saja bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, terlebih

21 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h.

227. 22 Sri Soemantri, Hukum Tata Negara Indonesia Pemikiran dan Pandangan, (Bandung:

PT. Remaja Rosdakarya, 2014), h. 8.

Page 34: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

25

konsepsi negara hukum yang dianut Indonesia, mengharuskan adanya supremasi

hukum yang terpusat pada UUD 1945 sebagai supreme of the land. konsekuensi

daripada supremasi hukum (konstitusi) tersebut mengharuskan adanya sebuah

pengadilan yang dapat melakukan penafsiran terhadap hukum itu sendiri,

terlebih proses penafisran terhadap konstitusi karena pada dasarnya menafsirkan

konstitusi ialah pada hakikatnya mempertahankan konstitusi sebagai hukum

dasar yang akan dijadikan acuan oleh peraturan-peraturan dibawahnya untuk

tidak bertentangan dengan konstitusi itu sendiri23. Jika dikontekstualisasikan

dengan kewenangan yang ada saat ini, maka untuk mengadili peraturan

perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang

adalah kewenangan Mahkamah Agung dan kewenangan mengadili Undang-

Undang terhadap UUD 1945 adalah kewenangan MK, yang hal tersebut

disediakan semata-mata ditujukan untuk menegakkan prinsip konstitusi itu

sendiri sebagai hukum fundamental negara Indonesia. Lebih lanjut Alec Stone

Sweet menegaskan “… a constitutionally established, independent organ of the

state whose central purpose is defend the normative superiority of the

constitutional law within the judicial order24” yang hal tersebut menegaskan

penting adanya sebuah kewenangan hakim untuk menilai sebuah

konstitusionalitas daripada produk hukum yang dikeluarkan oleh lembaga

negara sebagai konsekuensi dari prinsip negara hukum yang dianut Indonesia

melalui Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 yang berbunyi baha “Negara Indonesia adalah Negara Hukum

3. Teori Pengawasan

Pengawasan diartikan sebagai proses untuk memastikan bahwa tujuan dari

organisasi berjalan sesuai dengan tujuannya

Pengawasan terhadap pemerintahan daerah terdiri atas pengawasan hirarki

dan pengawasan fungional. Pengawasan hirarki berarti pengawasan terhadap

23 I Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi (Dasar Pemikiran, Kewenangan, dan

Perbandingan dengan Negara Lain),… h. 67. 24 I Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi (Dasar Pemikiran, Kewenangan, dan

Perbandingan dengan Negara Lain),… h. 51.

Page 35: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

26

pemerintah daerah yang dilakukan oleh otoritas yang lebih tinggi. Pengawasan

fungsional adalah pengawasan terhadap pemerintah daerah, yang dilakukan

secara fungsional baik oleh departemen sektoral maupun oleh pemerintahan

yang menyelenggarakan pemerintahan umum (departemen dalam negeri).25

Menurut Bagir Manan sebagaiman dikutip oleh Hanif Nurcholis,

menjelaskan bahwa hubungan antara pemeritah pusat dengan pemerintah daerah

sesuai dengan UUD 1945 adalah hubungan yang desentralistik. Artinya bahwa

hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah hubungan

antara dua badan hukum yang diatur dalam undang-undang terdesentralisasi,

tidak semata-mata hubungan antara atasan dan bawahan. Dengan demikian

pengawasan terhadap pemerintahan daerah dalam sistem pemerintahan

Indonesia lebih ditujukan untuk memperkuat otonomi daerah, bukan untuk

”mengekang” dan ”membatasi”. Selanjutnya, pengawasan yang dikemukakan

oleh Victor M. Situmorang, pengawasan adalah setiap usaha dan tindakan dalam

rangka mengetahui sejauh mana pelaksanaan tugas yang dilaksanakan menurut

ketentuan dan sasaran yang hendak dicapai.26

Tipe- Tipe Pengawasan Dilihat dari tipenya, pengawasan ini memiliki tiga

tipe pengawasan, yaitu : 27

a. Pengawasan pendahuluan (steering controls). Pengawasan ini

direncanakan untuk mengatasi masalah-masalah atau

penyimpanganpenyimpangan dari standar atau tujuan dan

memungkinkan koreksi dibuat sebelum suatu kegiatan tertentu

diselesaikan.

b. Pengawasan yang dilakukan bersama dengan pelaksanaan kegiatan

(Concurrent Contrls). Pengawasan ini dilakukan selama suatu kegiatan

berlangsung. Tipe pengawasan ini merupakan proses dimana aspek

25 Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah,(Jakarta:

Penerbit Grasindo, 2007) h. 312. 26 Makmur, Efektivitas Kebijakan Kelembagaan Pengawasan,(Bandung: Refika Aditama,

2011), h. 176. 27 Makmur, Efektivitas Kebijakan Pengawasan,... h. 176.

Page 36: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

27

tertentu harus dipenuhi dahulu sebelum kegiatan-kegiatan bisa

dilanjutkan atau menjadi semacam peralatan “double check” yang lebih

menjamin ketetapan pelaksanaan suatu kegiatan.

c. Pengawasan umpan balik yaitu pengawasan yang megukur hasil-hasil

dari kegiatan tertentu yang telah diselesaikan. Menurut Handayaningrat

Pengawasan ialah suatu proses dimana pimpinan ingin mengetahui

apakah hasil pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan oleh bawahannya

sesuai dengan rencana, perintah, tujuan atau kebijaksanaan yang telah

ditentukan.

Melihat dari tipe-tipe pengawasan tersebut maka suatu pemerintah yang

baik perlu melakukan pengawasan terhadap bawahanya dengan melihat proses

pelaksanaan program atau hasil dari kegiatan yang telah diselesaikan.

Dalam melakukan pengawasan terdapatdua proses pengawasan yang dapat

dilakukan yaitu dengan cara preventif dan represif serta aktif dan pasif.

a. Pengawasan Preventif dan Refressif Pengawasan terhadap

penyelenggaraan pemerintah daerah dilakukan secara preventif dan

secara represif. Pengawasan prefentif dilakukan sebelu suatu keputusan

pemernerintah daerah mulai berlaku dan terhadap peraturan Daerah

sebelum peraturan itu diundangkan pengawasan preventif tidak

dilakukan terhadap semua keputusan atau peraturan mengenai hal-hal

tertentu, yang menurut ketentuan dalam Peraturan Pemerintah atau

Undang-Undangbaru dapat berlaku sesudah memperoleh pengesahan

dari pejabat yang berwenang. Wujud dari pengawasan preventif ialah

memberi pengesahan atau tidak pengesahan. Pengawasan secara

repressif dapat dilakukan pada setiap saat dan terhadap semua

keputusan dan Peraturan Daerah. Wujud dari pengawasan represif ialah

membatalkan atau menangguhkan berakunya suatu Peraturan Daerah.

Menangguhkan merupakan suatu tindakan persiapan dari suatu

pembatalan, akan tetapi yang demikian itu tidak berarti bahwa setiap

Page 37: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

28

pembatalan harus selalu didahului oleh suatu penangguhan, ataudengan

perkataan lain, pembatalan dapat dilakukan tanpa adanya penangguhan

lebih dahulu. Instansi yang berwenang menjalankan pengawasan adalah

pejabat berwenang.28

b. Pengawasan Aktif dan Pasif Pengawasan dekat (aktif) dilakukan

sebagai bentuk “Pengawasan yang dilaksanakan di tempat kegiatan

yang bersangkutan “Hal ini berbeda dengan pengawasan jauh (pasif)

yang dilakukan melalui, “ Penelitian dan pengujian terhadap surat-surat

pertanggungjawaban yang disertai dengan bukti-bukti penerimaan dan

pengeluaran”. Disisi lain, Pengawasan berdasarkan pemeriksaan

kebenaran formil menurut hak (rechmatigheid) adalah “pemeriksaan

terhadappengeluaran apakah telah sesuai dengan peraturan, tidak

kadaluarsa, dan hak itu terbukti kebenaranya”. Sementara, hak

berdasarkan kebenaran materil mengenai maksaud tujuan pengeluaran

( doelmatighid) adalah “pemeriksaan terhadap pengeluaran apakah

telah memenuhi prinsip ekonomi, yaitu pengeluaran tersebut diperlukan

dan beban biaya yang sederhana mungkin.”29

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

1. Skripsi milik Lina Puji Lestari30

Pada skripsi ini persamaan pembahasan mengenai kewenangan DPD dalam

pengawasan dan evaluasi perda serta raperda, namun tidak membahas

mengenai penguatan kewenangan DPD tersebut, fokus pembahasan pada

skripsi ini ialah pada kewenangan DPD dalam pengawasan dan evaluasi perda

sera raperda ditinjau berdasarkan fiqh siyasah. Sehingga ada perbedaan yang

28 Irwan Soejito, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Jakarta: PT Rineke

Cipta, 1990), h. 148. 29 Irwan Soejito, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah..., h. 149. 30 Lina Puji Lestari, “Kewenangan DPD RI dalam melakukan pemantauan dan evaluasi

perda menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 dan Fiqh Siyasah”, (Surabaya: UIN Sunan

Ampel, 2018)

Page 38: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

29

signifikan antara skripsi peneliti yang membahas mengenai penguatan DPD

tersebut.

2. Skripsi milik Siti Amiati31

Pada skripsi ini peneliti membahas mengenai kedudukan DPD dalam

melakukan legislasi dengan mengkaji berdasarkan prinsip keadilan dan

persamaan dalam Al-Quran. Persamaan dengan penelitian terdahulu ialah

membahas lembaga DPD namun penelitian terdahulu tidak membahas

megenai kewenangan DPD dalam melakukan pengawasan dan evaluasi perda

sertara perda.

3. Skripsi milik Bagus Setiawan32

Pada skripsi ini fokus pembahasannya ialah pada kedudukan DPD dalam

sistem ketata negaraan berdasarkan persfektif Siyasah Dusturiyah, kesamaan

dengan peneliti sebelumnya yaitu sama-sama membahas mengenai DPD,

namun dalam penelitian sebelumnya tidak membahas mengenai kewenangan

DPD dalam melakukan pengawasan dan evaluasi perda serta raperda.

4. Jurnal milik Firman Manan33

Dalam jurnal ini membahas mengenai kedudukan DPD sebagai kamar kedua

parlemen namun dalam jurnal tersebut tidak membahas mengenai

kewenangan DPD dalam melakukan pengawasan dan evaluasi perda serta

raperda.

5. Buku milik Trimedya Panjaitan34

31 Siti Amiati, “Kedudukan DPD RI Dalam Proses Legislasi Perspektif Prinsip Keadilan

dan Prinsip Persamaan Dalam Al-Quran”, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2017). 32 Bagus Setiawan, “Kedudukan DPD RI Dalam Sistem Tata Negara Indonesia Perspektif

Siyasah Dusturiyah”, (Lampung: UIN Raden Intan, 2017) 33 Firman Manan, “Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dalam Sistem

Pemerintahan Republik Indonesia”, Jurnal Ilmu Pemerintahan, Vol., 1 No. 1, (April 2015). 34 Trimedya Panjaitan, Parlemen dan Penegak Hukum di Indonesia, (Jakarta: Exposes,

2016)

Page 39: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

30

Dalam buku ini membahas terkait peran parlemen sebagai pembentuk hukum

dalam penegakan hukum di Indonesia, namun dalam buku ini tidak

membahas mengenai kewenangan pengawasan dan evaluasi DPD terhadap

perda serta raperda.

Page 40: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

31

BAB III

DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA

A. Eksistensi Dewan Perwakilan Daerah

DPD lahir dipengaruhi oleh dua arus besar pemikiran yang menginstalasi

lembaga baru pada legislatif Indonesia. Arus pertama: terlihat adanya reformasi,

khususnya demokrasi yang sudah berjalan lama hingga transfer pemerintahan

dari Suharto ke B.J. Habibi. Kedua: adanya otonomi daerah yang mereaksi

sentralisasi pemerintahan pada dua rezim.1 Kedua arus inilah pada yang pada

akhirnya melahirkan tatanan konstitusi baru, dimana DPD RI menjadi lembaga

baru yang dibentuk atas hasil amandemen konstitusi.2

Kedua latar belakang tersebut dapat terlihat dengan jelas dari proses

pembahasan Perubahan UUD 1945. Berkaca dari masa lalu di mana salah satu

cara melestarikan otoritarianisme adalah dengan memperkuat dukungan dari

MPR dan DPR dengan cara mengisi sebagian besar anggota MPR dengan cara

pengangkatan, muncullah tuntutan agar semua anggota lembaga perwakilan,

yaitu DPR dan MPR, dipilih oleh rakyat. Bahkan pendapat ini mengemuka

hampir di setiap forum Uji Sahih Rancangan Perubahan UUD 1945 yang

dilakukan di 13 daerah. Pendapat bahwa semua anggota lembaga perwakilan

harus dipilih oleh rakyat dapat dilihat di antaranya dalam sidang Komisi A MPR

RI pada rapat Komisi A tanggal 5 November 2001.3

Latar belakang kedua terbentuknya DPD adalah untuk mengakomodasikan

kepentingan daerah dalam kebijakan nasional demi menjaga integrasi nasional.

1 John Pieris dan Aryanti Baramulis Putri, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia:

studi, analisis, kritik, dan solusi kajian hukum dan politik, (Jakarta: Pelangi Cendekia, 2006), h.

102. 2 M. Yusuf, Dewan Perwakilan Daerah: Arsitektur Histori, Pera dan Fungsi DPD RI

Terhadap Daerah di Era Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h. 23. 3 Muchamad Ali Safa’at, “Dewan Perwakilan Daerah sebagai Lembaga Perwakilan Daerah

dan Proses Penyerap Aspirasi”, Artikel Jurnal Hukum, Vol. 1 No. 1 h. 2.

Page 41: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

32

Kecenderungan sentralisasi kekuasaan pada masa Orde Baru telah melahirkan

ketimpangan antara pusat dengan daerah yang banyak melahirkan kekecewaan

dan ketidakadilan kepada daerah. Masalah ini menguat dengan isu disintegrasi

bangsa dalam bentuk ancaman beberapa daerah untuk memisahkan diri dari

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Isu ini selanjutnya bergeser ke arah

pewacanaan negara federal dan berujung pada pemberian otonomi yang luas,

nyata, dan bertanggungjawab melalui Undang-Undang 22 Tahun 1999.4

Bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Dewan

Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) diharapkan menjadi salah satu

kamar dari sistem parlemen dua kamar (bicameral) dalam format baru

perwakilan politik Indonesia. Jika DPR RI merupakan parlemen yang mewakili

penduduk yang diusung oleh partai politik, sementara DPD adalah parlemen

yang mewakili wilayah atau daerah dalam hal ini propinsi tanpa mewakili dari

suatu komunitas atau sekat komunitas di daerah (antara lain yang berbasis

ideologi atau parpol), melainkan figur-figur yang bisa mewakili seluruh elemen

yang ada di daerah.5

Upaya lain untuk menjaga integrasi nasional adalah dengan memberikan

ruang kepada daerah ikut serta menentukan kebijakan nasional yang

menyangkut masalah daerah melalui Utusan Daerah yang disempurnakan

menjadi lembaga tersendiri. Oleh karena itu DPD dapat dikatakan sebagai upaya

institusionalisasi representasi teritorial keterwakilan wilayah.6

Perhatian besar terhadap fungsi legislasi dan pengawasan DPD RI

memfungsikansikan lembaga negara ini dapat menjalankan kedua fungsi itu

4 Muchamad Ali Safa’at, “Dewan Perwakilan Daerah sebagai Lembaga Perwakilan Daerah

dan Proses Penyerap Aspirasi”,... h. 2. 5 Miki Pirmansyah, “Eksistensi Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem Bikameral di

Indoneisa”, Jurnal Cita Hukum, Vol.1 No. 1 (Juni 2014), h. 164. 6 Dody Nur Andriyan, “Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Dalam Perspektif

Teori Bicameralisme” Volkgeist Jurnal Ilmu Hukum dan Konstitusi, Vol. 1 No. 1 (Juni 2018) h.,

58.

Page 42: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

33

dengan baik dan berhasil. Dalam struktur kekuasaan legislatif yang baru di

Indonesia, DPD RI, lahir sebagai konsekuensi dari proses reformasi kekuasaan

legislatif. Dengan legitimasi yang kuat dan dan besar dari pada konstituennya,

sangatlah wajar bila harapan mereka di tingkat nasional. DPD RI dijadikan

sebagai jembatan sebagai penghubung pusat dari daerah. Mengingat DPD RI

sebagai perwakilan Ruang/Distrik bukan wakil kelompok atau partai seperti

DPR RI.7

Dalam hal berdirinya DPD RI penulis meminjam argumentasi yang ditulis

oleh Mahfud MD dalam bukunya berjudul politik hukum di Indonesia bahwa

hukum merupakan produk politik.8 Alasan tersebut lahir ditandai dengan adanya

determinasi antara politik dan hukum, politik determinasi hukum begitu juga

sebaliknya hukum determinasi politik. Itu merupakan konsekuensi logis karena

proses amandemen konstitusi dilaksanakan oleh Dewan legislatif lama yang

didominasi oleh Partai Politik yang belum selesai direformasi, tanpa melibatkan

DPD RI yang ketika itu memang belum terbentuk.

Kajian mengenai pembentukan DPD RI berawal dari perubahan UUD 1945

yang melahirkan konstitusi baru. Menjadi ketertarikan tersendiri karena,

pertama: dalam sejarah indonesia baru pertama kali mengamandemen UUD

1945. Kedua: merupakan usaha untuk memformat demokrasi indonesia. Ketiga:

terjadinya pro dan kontra antar fraksi di MPR RI. Keempat, terjadi perdebatan

sejauh mana amandemen tersebut dilakukan. Kelima: adanya dinamika yang

melibatkan masyarakat sipil seperti LSM, tim ahli konstitusi, akademisi dan

lainnya.9 Melihat adanya dua kelompok di MPR RI maka dapat digolongkan

7 John Pieris dan Aryanti Baramulis Putri, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia:

studi, analisis, kritik, dan solusi kajian hukum dan politik,...h. 24. 8 Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 5. 9 Valina Singka Subekti, Menyusun konstitusi transisi : pergulatan kepentingan dan

pemikiran dalam proses perubahan UUD 1945, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,2008), h. 8.

Page 43: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

34

menjadi, Pertama: reformis progresif, yang menginginkan amandemen luas, dan

kedua: reformis moderat, yang menginginkan amandemen terbatas.10

Sistem bikameral adalah wujud Institusional dari lembaga perwakilan atau

parlemen sebuah Negara yang terdiri atas dua kamar (Majelis). Majelis yang

anggotanya dipilih dan mewakili rakyat yang berdasarkan jumlah penduduk

secara generik disebut majelis pertama atau majelis rendah dan dikenal juga

sebagai lembaga perwakilan. Majelis yang anggotanya dipilih atau diangkat

dengan dasar lain (bukan jumlah penduduk) disebut sebagai majelis kedua atau

majelis tinggi dan disebagian negara disebut senat.11

Sejalan dengan tuntutan demokrasi guna memenuhi rasa keadilan

masyarakat di daerah, memperluas serta meningkatkan semangat dari kapasitas

partisipasi daerah dalam kehidupan nasional serta untuk memperkuat Negara

Kesatuan Republik Indonesia, maka dalam rangka pembaharuan konstitusi,

MPR RI membentuk sebuah lembaga perwakilan baru, yakni Dewan Perwakilan

Daerah Republik Indonesia.

Secara teoritis, konsep keterwakilan dalam sistem perwakilan rakyat terdiri

atas dua jenis, yaitu keterwakilan dalam gagasan (representation in ideas) dan

keterwakilan dalam kehadiran (representation in presence). Keterwakilan

penduduk di DPR atau the Lower House pada dasarnya merupakan keterwakilan

dalam gagasan karena pemilihan terhadap partai atau calon anggota legislatif

semata-mata berdasarkan atas program, prefensi, dan aspirasi politik yang

mereka ajukan dan disetujui rakyat yang memilihnya. Kelemahan keterwakilan

ini adalah anggota DPR atau the Lower House lebih banyak mengklaim sebagai

wakil rakyat sehingga tidak pernah jelas siapa yang mewakili rakyat.12

10 Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta:

Rajawali Pers, 2010), h. 71. 11 Ginandjar Kartasasmita, “Dewan Perwakilan Daerah Dalam Perspektif

Ketatanegaraan Indonesia”, Jurnal Majelis, Vol. 1, No. 1, (Agustus 2009), h. 78. 12 Joko J Prihatmoko, Pemilu 2004 dan Konsolidasi Demokrasi, (Semarang: LP2I dan

LP3M Unwahas, 2003), h. 116.

Page 44: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

35

Karena itu muncul tuntutan bahwa keterwakilan gagasan harus dilengkapi

dengan keterwakilan dalam kehadiran yaitu rakyat, melalui calon yang

dipilihnya sendiri, hadir mewakili dirinya sendiri dalam lembaga perwakilan,

yang terwujud dalam DPD atau the After House. Keterwakilan ini tidak hanya

tampak dalam tuntutan bahwa kelompok masyarakat tertentu terwakili oleh

kehadiran wakilnya sendiri (seperti kelompok perempuan oleh wakil perempuan

) tetapi juga tampak pada calon perseorangan yang dicalonkan dan dipilih dari

dan oleh para warga masyarakat.13

Setelah melalui perdebatan sepanjang 1999-2000 kompromi politik di

antara fraksi-fraksi di Panitia Ad-Hoc 1 MPR baru dicapai pada proses

amandemen ketiga pada 2001, yaitu kesepakatan untuk membentuk DPD yang

anggota-anggota dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu, setiap

provinsi diwakili empat orang, jumlah keseluruhan anggota tidak lepas dari

sepertiga anggota DPR, serta dengan kewenangan legislasi yang terbatas.

Format DPD seperti inilah yang kemudian muncul melalui Pasal 22C dan 22D

UUD 1945 hasil amandemen ketiga. Tidak mengherankan jika sebagian

akademisi seperti Denny Indrayana dan Saldi Isra cenderung berpendapat bahwa

struktur parlemen nasional hasil amandemen konstitusi lebih merupakan

parlemen yang bersistem “trikameral” yakni terdiri atas MPR, DPR, dan DPD

yang masing-masing terpisah ketimbang suatu parlemen dengan sistem

bikameral.14

Situasi dan kondisi politik terkhusus pada zaman pemerintahan Orde Lama

dan Orde Baru merupakan fenomena penting, untuk melihat pergerakan politik

dan sistem demokrasi yang telah menyebabkan terpuruknya bangsa dan negara

Indonesia/ setidaknya dapat diungkapkan kehidupan politik pemerintahan Orde

Lama dan Orde Baru dalam menjalankan pemerintahan. Hasil inilah yang

berhubungan dengan terbentuknya DPD RI. Adapun proses terbentuknya DPD

13 Joko J Prihatmoko, Pemilu 2004 dan Konsolidasi Demokrasi,... h. 117. 14 Syamsuddin Haris, Kantor Anggota DPD RI dan Hubungan Dengan Daerah, (Jakarta:

UNDP Indonesia, 2010), h. 26.

Page 45: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

36

RI tidak terlepas dari masa-masa sebelumnya. Berikut akan dijelaskan latar

belakang lahirnya DPD RI berdasarkan fenomena politik yang terjadi sepanjang

pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru.

Pertama: Perjalan lembaga legislatif indonesia cukup panjang sejak tahun

1918 hingga sekarang, konsep quasi/bicameral atau dua kamar legislatif

Indonesia telah mulai diterapkan sejak tahun 1918. Kemudian pada tahun 1950

sempat diberlakukan sistem yang hampir mendekati sistem dua kamar pada

lembaga legislatif namun tidak berjalan lama karena berakhir dengan adanya

dekrit presiden 5 juli 1959 yang mengamanatkan untuk kembali ke UUD 1945.

Dekrit tersebut mengakibatkan reorganisasi lembaga negara yang sudah ada

ataupun belum ada. Konstituante yang melaksanakan kewenangan MPR untuk

membuat UUD yang baru telah dibubarkan dan secepat mungkin akan dibentuk

MPRS. Sedangkan mengenai DPR yang telah ada sebelumnya menurut

ketentuan didalalm pasal II aturan peralihan mengubah DPR hasilpemilu

berdasarkan UUDS 1950 menjadi DPR menurut UUD 1945.15

DPD merupakan representasi penduduk dalam satu wilayah (ruang) yang

akan mewakili kepentingan-kepentingan daerah dalam proses pengambilan

keputusan-keputusan politik penting di tingkat nasional. Sebagai lembaga

legislatif, Dewan Perwakilan Daerah juga menjadi lembaga kontrol terhadap

jalannya roda pemerintahan, sehingga Dewan Perwakilan Daerah benar-benar

sebagai lembaga wakil rakyat.16

Pembentukan DPD semula dimaksudkan dalam rangka merefomasi

struktur parlemen Indonesia menjadi dua kamar (bikamera l) yang terdiri atas

DPR dan DPD. Dengan struktur bikameral itu diharapkan proses legislasi dapat

diselenggarakan berdasarkan sistem double-check yang memungkinkan

representasi kepentingan seluruh rakyat dengan basis sosial yang lebih luas.

15 Charles Simabura, Parlemen Indonesia Lintasan Sejarah dan Sistemnya,... h. 107. 16 Hasanuddin Rahman Daeng Naja, Dewan Perwakilan Daerah: Bikameral Setengah Hati,

(Yogyakarta: Media Pressindo, 2006), h. 26.

Page 46: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

37

DPR merupakan cerminan representasi politik sedangkan DPD mencerminkan

prinsip representasi teritorial atau regional.17

DPD diharapkan mampu memberikan kontribusi politiknya dalam

menyuarakan kepentingan daerah, walau perannya dalam parlemen tidak sesuai

dengan yang diinginkan oleh daerah karena peran yang diberikan oleh konstitusi

terlalu kecil. Pada masa mendatang DPD perlu diberikan peran yang lebih

maksimal lagi, terutama dalam proses legislasi, yaitu mempunyai hak untuk

mengusulkan dan memveto atau menolak suatu undang-undang dan hak-hak

lain yang berfungsi melengkapi fungsi parlemen.18

B. Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah di Indonesia

Berdasarkan teori organ Negara, kedudukan lembaga Negara dibagi

menjadi 2 (dua) golongan yaitu sebagai lembaga Negara utama (state main

organ) dan lembaga bantu (state auxiliary organ). Lembaga utama mengacu

kepada paham trias politica yang memisahkan kekuasaan menjadi tiga poros

(eksekutif, legislative, dan yudikatif), lembaga Negara utama yaitu lembaga

Negara yang dibentuk dan diberi kewenangan langsung oleh UUD (konstitusi),

sementara lembaga Negara bantu yaitu lembaga Negara yang dibentuk dan

diberi kewenangan oleh undang-undang semata.

Mengacu pada teori organ tersebut, sesuai UUD NRI Tahun 1945 maka

yang dapat dikategorikan sebagai lembaga negara utama adalah MPR, Presiden

dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan

Daerah (DPD) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA),

Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY), dalam hal ini

kedudukan DPD sebagai lembaga legislatif sejajar ataupun setara dengan DPR

yaitu sebagai lembaga negara utama,dikarenakan nama dan kewenangan DPD

17 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformis,

(Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 138. 18 Markus Gunawan, Buku Pintar Calon anggota & anggota legislatif, DPR, DPRD, &

DPD, (Jakarta: Visimedia, 2008), h. 25.

Page 47: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

38

termuat secara eksplisit dalam UUD NRI Tahun 1945. Sebagaimana diatur pada

Bab VIIA tentang DPD pasal 22C dan 22D UUD NRI 1945.

Dalam hal ini dengan membentuk kamar kedua yaitu DPD merupakan

langkah yang tepat. Sebab dengan adanya lembaga ini, setiap kepentingan

daerah di Indonesia akan dapat terakomodir dengan memperjuangkan

kepentingan-kepentingannya di tingkat pusat. Dengan demikian hak-hak rakyat

akan terpenuhi dan dapat memperkuat kesatuan diantara daerah-daerah dalam

satuan NKRI. Lembaga DPD dibentuk untuk lebih mengembangkan

demokratisasi di Indonesia. DPD dibentuk untuk menampung aspirasi daerah

agar mempunyai wadah dalam menyuarakan kepentingannya dalam sistem

ketatanegaraan republik Indonesia.19

Mengingat negara Indonesia mengadopsi sistem dua kamar maka bisa

dikatakan DPR RI adalah kamar pertama dan DPD RI merupakan kamar kedua

sebagai wakil daerah. Konstruksi ini didasarkan pada realita bahwa Indonesia

merupakan Negara yang terdiri dari beberapa daerah. Dengan demikian

diperlukan para wakil yang memperjuangkan kepentingan daerah. Oleh karena

itu prinsip dasar dalam di dalam menentukan jumlah para wakil yang mewakili

daerah tidak didasarkan pada jumlah penduduk sebagaimana di DPR RI/DPRD

Provinsi, Kabupaten/Kota. Sebagaimana terlihat dari hasil pemilihan umum

2004 dan tahun 2009, masing-masing daerah diwakili oleh empat anggota DPD

RI. Tidak memandang daerah itu memiliki penduduk kecil atau besar.20

Hasil amandemen ke 3 (tiga) UUD 1945 telah mendudukan DPD sebagai

lembaga legislatif. DPD bersanding dengan lembaga DPR dalam komposisi

keanggotaan MPR. Montesquieu sendiri berpendapat bahwa badan perwakilan

rakyat atau lembaga legislatif harus dijalankan oleh badan yang terdiri atas kaum

19 Dwi Amalia Agustin, Rahmania Hidayah, Veren Yonita Elvitaningsih, “Kedudukan

Dewan Perwakilan Daerah Sebagai Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik

Indonesia”, Jurnal Lontar Merah, Vol 1 No. 1 (2018), h. 11. 20 M. Yusuf, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (Arsitek Histori, Peran dan

Fungsi DPD RI terhadap Daerah Di Era Otonomi Daerah)... h. 13.

Page 48: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

39

bangsawan dan orang-orang yang dipilih untuk mewakili rakyat, yang masing-

masing memiliki majelis dan pertimbangan mereka sendiri-sendiri, juga

pandangan dan kepentingan sendiri-sendiri.21 Pernyataan tersebut

mengindikasikan bahwa badan perwakilan seharusnya tidak hanya dijalankan

oleh satu badan saja tetapi dimungkinkan untuk lebih, demi mengakomodir

seluruh kebutuhan rakyat.

Kedudukan DPD sebagai lembaga legislatif sejajar ataupun setara dengan

DPR, karena nama dan kewenangan DPD secara eksplisit termuat dalam UUD

NRI Tahun 1945. Sebagaimana diatur pada Bab VIIA tentang DPD pasal 22C

dan 22D UUD NRI 1945, disebutkan bahwa :

Pasal 22C UUD NRI 1945 sebagaimana ditegaskan :

Ayat (1) “Anggota dewan perwakilan daerah dipilih dari setiap provinsi melalui

pemilihan umum”.

Ayat (2) “Anggota dewan perwakilan daerah dari setiap provinsi jumlahnya

sama dan jumlah seluruh anggota dewan perwakilan daerah itu tidak

lebih dari sepertiga jumlah anggota dewan perwakilan rakyat”.

Ayat (3) “Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali dalam

setahun”.

Ayat (4) “Susunan dan kedudukan dewan perwakilan daerah diatur dengan

undang-undang”.

Kewenangan yang dimiliki DPD sebagai lembaga legislatif sebagaimana diatur

pada Pasal 22D UUD NRI 1945 menyatakan bahwa:

Ayat (1)“Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan

Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan

otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan

pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya

21 Efriza, Studi Parlemen dan lanskap politik Indonesia, (Malang: Setara Press, 2014), h.

167.

Page 49: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

40

alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan

perimbangan keuangan pusat dan daerah”.

Ayat (2) “Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang

yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah;

pembentukan; pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan

sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta

perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan

pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan

undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan

rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan

dan agama”

Ayat (3)“Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas

pelaksanaan undang-undang mengenai; otonomi daerah,

pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat

dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber ekonomi

lainnya”.

Dibentuknya lembaga DPD sejalan dengan semangat untuk

mengakomodasi keterlibatan daerah dalam pengambilan kebijakan nasional dan

juga sesuai dengan prinsip check and balances yang ingin di terapkan oleh

pemerintah pada waktu itu.22

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) merupakan lembaga perwakilan daerah

yang berkedudukan sebagai lembaga negara setingkat dengan kedudukan

lembaga negara lainnya, hanya kewenangannya yang berbeda. Istilah kedudukan

menunjukkan pada status yaitu keadaan tingkatan organ, badan atau negara.

Dalam hal, ini berarti bahwa DPD sebagai lembaga perwakilan mempunyai

tingkatan yang sama dengan lembaga negara yang lainnya. Kedudukan diartikan

22 M. Yusuf, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (Arsitek Histori, Peran dan

Fungsi DPD RI terhadap Daerah Di Era Otonomi Daerah)... h. 35.

Page 50: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

41

sebagai posisi suatu lembaga negara dibandingkan dengan lembaga negara lain,

sedangkan posisi yang dimaksud adalah didasarkan pada fungsi utamanya. Maka

dari pengertian ini berdasarkan UUD 1945 setelah mengalami perubahan, tidak

lagi dikenal adanya lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara,

malainkan dikenal hanya lembaga negara, hal ini berarti bahwa semua lembaga

negara mempunyai kedudukan yang sama, hanya perbedaannya terletak pada

fungsi masing-masing; Dengan demikian kedudukan DPD sama dengan MPR,

DPR, BPK, Presiden, MA dan MK.23

C. Peranan dan Fungsi Dewan Perwakilan Daerah Menurut Undnag-

Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD

1. Fungsi Pengawasan

Keberadaan DPD RI tidak terlepas dari bermacam persoalan koordinasi

lembaga-lembaga negara di Indonesia ditunjukan untuk mendapat sistem

kelembagaan yang ideal dalam memperkuat aspirasi daerah kepusat dengan

kondisi masyarakat di daerah. Harapan hadirnya DPD RI dapat menciptakan

keseimbangan ekonomi dan politik yang lebih adil dan sederajat antara

pusat dan daerah,24 dengan demikian tentu dihasilkan pemerataan

pembangunan di daerah-daerah. Sebagai negara kepulauan dengan

komposisi etnis yang beragam, hal yang mustahil jika hanya di akomodasi

oleh satu lembaga saja. Maka perlu lembaga khusus yang memperhatikan

dan memperjuangkan aspirasi daerah.

Hal ini senada dengan latar belakang dibentuknya DPD RI yang

berkeinginan untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus

memberi peran kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik

terutama yang berkaitan dengan kepentingan pembangunan daerah.

23 Parlindungan Pasaribu, “Kedudukan dan Fungsi Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, Yuriska Jurnal Ilmiah Hukum, Vol. 2 No. 2 ( Agustus

2010), h. 54. 24 Valina Singka Subekti, Menyusun konstitusi transisi : pergulatan kepentingan dan

pemikiran dalam proses perubahan UUD 1945,... h. 318.

Page 51: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

42

Keinginan tersebut berangkat dari pemikiran bahwa pengambilan keputusan

yang sentralistik ternyata berimplikasi kepada tidak meratanya

pembangunan di daerah-daerah.

Dalam bidang pengawasan, fungsi DPD RI dapat diamanati pada Pasal

22D UUD 1945 sebagaimana berikut:

“Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas

pelaksanaan Undang-Undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan,

pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah,

pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,

pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan,

dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan

Perwakilan Rakyat sebaai bahan pertimbangan untuk ditindak lanjuti”.

Lebih lanjut fungsi pengawasan DPD RI diatur lebih dalam Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD

sebagaimana berikut:

a. Dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang

mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan

penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan

sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan

APBN, pajak, pendidikan, dan agama;

b. Menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang

mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan

penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan

sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan

undang-undang APBN, pajak, pendidikan, dan agama kepada DPR

sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti;

c. Menerima hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari BPK sebagai

bahan membuat pertimbangan kepada DPR tentang rancangan

undang-undang yang berkaitan dengan APBN;

Page 52: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

43

d. Memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota

BPK;

e. Melakukan pemantauan dan evaluasi atas rancangan peraturan daerah

dan peraturan daerah

Peran dan fungsi DPD RI dalam UUD NRI 1945 dan Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2018 dan tidak terlalu memberikan harapan baru dalam

membangun sebuah paradigma pengawasan modern, yang sebenarnya bisa

membaharui paradigma pengawasan konservatif yang pernah dilakukan

pada rezim orde baru.25 Pengawasan yang dimiliki DPD RI hanya bersifat

formal prosedur, yang menyangkut pelaksanaan Undang-undang tertentu.

Secara substansial, DPD RI tidak memiliki kewenangan untuk mengawasi

kebijakan-kebijakan pemerintahan secara langsung, yang terkait dengan

pelaksanaan Undang-undang tertentu bagi kepentingan pembangunan

daerah.

Peran DPD RI sebagai fungsi pengawas diidentifikasikan sangat minim

karena tidak dari Undang-Undang tersebut di atas sama sekali tidak

memiliki hak untuk menindak lanjuti pengawasannya seperti melakukan

evaluasi secara atraktif. Betapa tidak DPD RI hanya sebatas melakukan

pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang yang selanjutnya hasil

pengawasan tersebut disampaikan kepada DPR RI untuk ditindak lanjuti,

posisi seperti ini mencerminkan bahwa DPD RI sama sekali tidak memiliki

otoritas dan kewenangan.

Fungsi pengawasan dan akuntabilitas untuk menyusun mekanisme dan

prosedur rapat-rapat kerja DPD RI dengan Pemerintah sebagai tindak lanjut

atas pelaksanaan fungsi pengawasan DPD RI, serta komunikasi Anggota

DPD dan DPRD untuk menyusun mekanisme dan prosedur hubungan DPD

25 John Pieris dan Aryanti Baramulis Putri, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia:

studi, analisis, kritik, dan solusi kajian hukum dan politik,...h. 131.

Page 53: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

44

RI dengan DPRD dalam rangka penyerapan dan tindak lanjut aspirasi

daerah dan resolusi/solusi atas permasalahan daerah.26

Paradigma seperti ini diperkirakan tidak akan mendatangkan manfaat

dalam mekanisme check and balance, setidaknya terhadap pemerintah yang

melaksanakan semua undang-undang itu. Lemahnya fungsi kontrol DPD RI

bisa mendorong dan membiarkan lemahnya peranan dan fungsi kritis

korektif anggota DPD RI dalam melaksanakan fungsi pengawasan secara

profesional. Dengan mengemban fungsi pengawasan terbatas itu,

diprediksikan, pemerintah eksekutif yang bertugas melaksanakan semua

undang-undang yang berhubungan dengan kepentingan daerah

dimungkinkan untuk tidak melaksanakan undang-undang tersebut

sebagaimana mestinya. Di dalam bidang pembinaan dan pengawasan adalah

sebenarnya lebih ditekankan pada kegiatan memfasilitasi dalam

pemberdayaan daerah otonom, serta agar memberikan peran kepada DPRD

dalam mewujudkan fungsinya sebagai badan pengawas terhadap

pelaksanaan otonomi daerah maka peraturan daerah yang ditetapkan daerah

otonom, tidak memerlukan pengesahan terlebih dahulua oleh pejabat yang

berwenang.27 Sebagai salah satu contoh pengawasan otonomi daerah

terdapat ketimpangan dalam tugas selain DPD RI, Mendagri dan DPR RI

juga melakukan pengawasan akan tetapi, batasan mengenai pengawasan

tersebut tidak secara jelas diatur dalam Undang-Undang.28

Kontrol pusat atas daerah dilakukan dengan mekanisme pengawasan

yang kelihatannya memperlihatkan formulasi cukup ketat dengan

mekanisme pengawasan preventif, represif, dan pengawasan umum. Peran

26 Siti Nurbaya Bakar, Kiprah DPD RI 2004-2009, http://dpd.go.id/2009/11/kiprah-

dpd-ri-2004-2009/11/Kiprah-dpd-ri-2004-2009/, (25 Maret 2019). 27 Siswanto, Hukum Pemerintahan Daerah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h. 115. 28 John Pieris dan Aryanti Baramulis Putri, Dewan Perwakilan Daerah Republik

Indonesia: studi, analisis, kritik, dan solusi kajian hukum dan politik,...h. 72.

Page 54: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

45

pusat cukup dominan dalam menentukan salah sah atau tidaknya peraturan

daerah yang dibuat oleh pemerintah daerah dan DPRD.29

2. Fungsi Anggaran

Di dalam UUD 1945 tidak dijelaskan secara eksplisit dalam merumuskan

fungsi anggaran yang dimiliki oleh DPD RI. Namun setidaknya Fungsi

anggaran DPD RI dicantumkan dalam UUD 1945:

“Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang

yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah;

pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan

sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan

keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada

Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran

pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang

pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang

berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama”.

Lebih lanjut fungsi anggaran DPD RI diatur daalm Undang-Undang RI

Nomor 2 Tahun 2018 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD

a. ikut membahas bersama presiden dan DPR Rancangan Undang-

Undang yang berkaitan dengan hal sebagaiana dalam huruf a;

b. ikut membahas bersama Presiden dan DPR Rancangan Undang-

Undang yang diajukan oleh presiden atau DPR, yang berkaitan

dengan hal sebagaimana di maksud dalam huruf a;

c. memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-

undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan

dengan pajak, pendidikan dan agama;

29 Siswanto, Hukum Pemerintahan Daerah,...h., 115.

Page 55: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

46

Dilihat dari sudut pandang hukum tata negara Indonesia fungsi anggaran

yang diemban oleh DPD RI hanya sebatas pengajuan usul dan pembahasan

RUU.30 Jika dibandingkan dengan kewenangan yang dimiliki DPR RI, DPR

RI memiliki kewenangan yang jauh lebih besar karena secara konstitusional

DPR RI mendapat kewenangan dari UUD 1945, dalam hal pengajuan,

pembahasan dan menyetujui Undang-Undang.

Penetapan APBN merupakan kehendak, kewajiban dan disetujui oleh

pemerintah dan DPD. Hal ini terlihat karena penetapan APBN diatur oleh

kedua lembaga tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam UD 1945: “apabila

DPR tidak menyetujui rancangan APBN yang diusulkan oleh presiden,

pemerintah menjalankan APBN yang lalu”31. RUU APBN dirumuskan oleh

presiden dengan alasan bahwa lembaga eksekutiflah yang lebih memahami

kebutuhan yang akan dikeluarkan negara, hal ini bukan berarti parlemen

tidak begitu memahami akan tetapi, harus diakui pemerintahan yang selalu

terlibat dan mengikuti perkembangan pembangunan maupun kebijakan

anggaran. Sambil memperhatikan juga UUD 1945: “RUU APBN diajukan

oleh presiden untuk dibahas bersama DPR dengan pertimbangan DPD”.

Untuk mewujudkan proporsional pembagian anggaran yang diberikan

pemerintah pusat kepada daerah sering muncul protes yang menyangkut

aspek ketidak adilan dan pemerataan, dapat diperhatikan berdasarkan

hubungan interpersonal dan dapat juga dilihat dari sudut antar daerah. Kasus

yang terjadi dana yang diberikan dari pusat ke daerah sangat tidak sebanding

dengan dana disetorkan dari daerah ke pusat dan anggaran potensi daerah

tersebut. Sumatera utara misalnya, pada tahun 2010 jumlah DAK dan DAU

yang diterima daerah ini sebesar RP. 13 triliun lebih, jumlah tersebut sangat

tidak sebanding dengan sumbangan yang diberikan Sumut kepusat yang

30 M. Djadijono dan Efriza, Wakil Rakyat Tidak Merakyat, (Bandung: Alfabeta, 2011),

h. 202. 31 M. Djadijono dan Efriza, Wakil Rakyat Tidak Merakyat,...h. 210.

Page 56: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

47

jumlahnya mencapai angka Rp 235 triliun.32untuk mewujudkan cita-cita

proporsi yang ideal dan berkeadilan tentu bukan hal yang mudah,

bagaimanapun juga yang mengendalikan dana tersebut adalah pusat maka

sebagaimana yang dikatakan oleh David E Apter dengan melalui sarana

kekuasaan,33perwakilan daerahlah hal tersebut dapat diusahakan.

Peran anggaran sebagaimana penjelasan di atas terlihat dalam Undang-

Undang Dasar 1945:

“Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari

pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-

undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

“Rancangan undang-undang anggaran pendapatan belanja negara

diajukan oleh presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat

dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah”.

“Apabila dewan perwakilan rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran

pendapat dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, pemerintah

menjalankan anggaran pendapatan dan belanja tahun yang lalu”.

Penyusunan APBN harus dilihat perkembangan indikator ekonomi

makro yang dijadikan dasar penyusunan APBN, meliputi: pertama,

pertumbuhan ekonomi. Kedua, inflasi. Ketiga, nilai rupiah. Keempat,

produksi minyak nasional.34 Peran DPR dan DPD disini sangat menentukan

arah keuangan negara dan posisi tersebut sangat ditentukan oleh kedua

lembaga ini, meskipun dalam posisi DPD terletak sebagai lembaga memiliki

wewenang yang disubordinasi oleh kamar pertama pada lembaga legislatif.

32 Bungaran Antonius Simanjuntak, Otonomi Daerah, Etnonasionalisme, dan Masa

Depan Indonesia,(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), h. 56. 33 David E Apter, Pengantar Analisa Politik, (Jakarta: Rajawali Pers, 1985), h. 121. 34 M. Djadijono dan Efriza, Wakil Rakyat Tidak Merakyat,...h. 211.

Page 57: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

48

Apabila dilakukan analisis yuridis maka sesungguhnya fungsi anggaran

DPD RI selain mengajukan RUU tentang APBN juga melakukan

pembahasan RUU yang berkaitan dengan APBN dan melakukan

pengawasan atas Undang-Undang tersebut. Memberikan pertimbangan dan

mengetahui hasil pemeriksaan terhadap keuangan negara dan memberikan

pertimbangan terhadap DPR. Fungsi yang diberikan tersebut sangat terbatas

dan baik secara prosedural maupun secara substansial, fungsi-fungsi

tersebut tidak memberikan pengaruh yang berarti untuk meningkatkan tugas

dan kewenangan DPD. Meskipun demikian setidaknya proses penggodokan

APBN harus melibatkan kedua lembaga yang ada di legislatif.

3. Fungsi Legislasi

Keberadaan dewan perwakilan daerah dilihat dari tinjauan perubahan

ketatanegaraan terdapat pada perubahan ketiga UUD 1945:

“Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan

Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur

lebih lanjut dengan undang-undang”.

Rumusan semula Pasal 2;

“Majelis permusyawaratan rakyat terdiri atas anggota-anggota dewan

perwakilan rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah

dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-

undang”.

Sebagai Institusi negara yang baru lahir sebagai konsekuensi amandemen

UUD 1945, peran DPD belum memberikan peran yang cukup berarti,

setidaknya karena empat hal. Pertama, belum dirumuskan dengan baik;

fungsi, wewenang, tugas dan hak DPD, dan juga hak dari anggota-anggota

DPD, sekalipun hal tersebut telah tertuang dalam UUD 1945 maupun

Undang-Undang RI Nomor 27 Tahun 2009. Kedua, sebagai lembaga baru

tentunya masih dicari sebuah sistem yang memungkinkan berperannya DPD

secara optimal. Ketiga, lembaga-lembaga negara sudah ada sebelumnya,

Page 58: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

49

khususnya DPR RI belum sepenuhnya memberikan peran yang menentukan

bagi DPD RI. Amandemen ketiga UUD 1945 mengubah wajah legislatif

Indonesia menjadi dua lembaga yaitu: DPR RI dan DPD RI. Meskipun pada

dasarnya yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang hanyalah

DPR RI, yang patut untuk diperhatikan DPD RI berperan dalam memberi

pertimbangan dalam bidang tertentu.

Namun, setidaknya dalam perwujudan demokrasi bangsa telah dianggap

cukup dewasa, hal ini terlihat dalam pemilihan anggota dijelaskan pada

Pasal 22C UUD 1945. Pemilihan anggota DPD RI telah dilakukan dengan

pemilihan umum. Kaitannya dengan fungsi legislasi DPD RI dijelaskan

dalam UUD 1945 bahwa:

“Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan

Perwakilan Rakyat rancangan yang berkaitan dengan otonomi daerah,

pembentukan, pemekaran dan gabungan daerah, hubungan pusat dan

daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi

lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan

daerah.”

Lebih lanjut fungsi DPD RI tersebut diatur dalam Undang-Undang RI

Nomor 2 Tahun 2018:

“Dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang

berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,

pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan

sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang

berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah”

“Ikut membahas bersama Presiden dan DPR Rancangan Undang-Undang

yang berkaitan dengan hal sebagaimana dalam huruf a.”

“Ikut membahas bersama Presiden dan DPR Rancangan Undang-Undang

yang diajukan oleh presiden atau DPR, yang berkaitan dengan hal

sebagaimana dalam huruf a.”

Page 59: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

50

“Memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang

tentang APBN dan rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan

Pajak, pendidikan dan agama.:

Sepintas lalu, yang dimaksud: “DPD ikut membahas RUU” frase ini

secara legal mengamanahkan peran kepada DPD, padahal tidak demikian.

Ketentuan ini menguatkan pendirian, DPD tidak memiliki hak inisiatif dan

mandiri dalam pembentukan Undang-Undang sekalipun yang berkaitan

dengan daerah. Bahkan bagian yang justru sangat melemahkan DPD terlihat

jelas pada frase: dapat memberikan pertimbangan.

Di dalam histori kehadiran DPD RI yang berkeinginan untk lebih

mengangkat aspirasi daerah berbeda dengan kenyataan kemudian setelah

DPD RI lahir, alasan keberadaan DPD RI juga diungkapkan oleh Subardjon

didalam bukunya yang berjudul “Wakil Rakyat Tidak Merakyat” adalah

untuk meningkatkan dinamika demokrasi, akselerasi pembangunan serta

kemajuan daerah, bahkan untuk melibatkan daerah dalam setiap perumusan

kebijakan nasional bagi kepentingan negara dan daerah.35

Memang tidak dapat dielakkan perjuangan untuk mengangkat peran

utusan daerah dalam komposisi MPR RI menjadi lembaga perwakilan

daerah tidak terlepas dari intervensi politik. Dalam hal ini diungkapkan oleh

Mahfud MD bahwa: politik determinan atas hukum begitu juga sebaliknya

hukum determinasi politik, dalam arti hukum dalam arti konstitusi

merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang

saling berinteraksi bahkan saling bersaingan.36 Pernyataan ini lahir dengan

argumentasi proses perancangan, pembahasan dan pengesahan produk

hukum dibahas oleh lembaga legislatif (DPR) yang mana keanggotaanya

35 Subardjo, Dewan Perwakilan Daerah menurut UUD NRI 1945 dan penerapan sistem

bikameral dalam lembaga perwakilan Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 159. 36 Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia,... h. 16.

Page 60: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

51

terdiri dari parpol yang memiliki kepentingan khusus dan takut akan

kehilangan kekuasaan karena diambil alih oleh DPD RI.

Melihat formulasi tersebut di atas dapat dilakukan bahwa kehadiran DPD

tampak tampak jelas bertolak belakang dengan latar pemikiran

pembentukan DPD RI dan pada awal perubahan UUD 1945. Keinginan

memperkuat peran daerah pada akhirnya hanya sebatas proses pengisian

saja. Jika dicermati sebelumnya anggota utusan daerah diangkat dengan

mekanisme penujukan oleh DPRD dan Gubernur, saat ini melalui pemilihan

umum untuk pengisian anggota DPD RI. Dengan demikian dapat dikatakan

bahwa amandemen UUD 1945 telah mengaburkan paradigma Check and

balances, ungkapan ini berangkat dari argumentasi bahwa sebelum

amandemen UUD 1945 Utusan Daerah yang berada di dalam komposisi

MPR RI memiliki hak suara yang sama, karena bersama dengan anggota

DPR RI dalam pengambilan kebijakan.

Setelah adanya perubahan UUD 1945 dengan lahirnya DPD RI sebagai

pengganti Utusan Daerah, malah semakin melemahkan posisi DPD RI dan

bahkan tidak memiliki wewenang sedikitpun untuk mengeksekusi sebuah

kebijakan yang berkaitan dengan daerah. Sebagai contoh pemekaran

daerah, DPD RI hanya dapat mengajukan RUU pemekaran daerah.37

37 H.R. Makagansa, Tantangan Pemekaran Daearah, (Yogyakarta: Fuspad, 2008), h.

17.

Page 61: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

52

BAB IV

KEWENANGAN DPD DALAM MENGAWASI DAN

MENGEVALUASI PERDA DAN RAPERDA

A. Penguatan Kewenangan DPD RI dalam Melakukan Pengawasan dan

Evaluasi Perda serta Raperda

Indonesia merupakan negara yang menganut sistem hukum berjenjang

dimana peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukan dijadikan

rujukan oleh peraturan dibawahnya, begitu juga sebaliknya peraturan

perundang-undangan dibawah tidak boleh bertentangan dengan aturan

diatasnya, dalam hal ini kita dapat mengacu pada teori hierarki perundang-

undangan sebagaimana digagaskan oleh hans kelsen, konsep stufenbau theory

menjelaskan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah

berjenjang, hubungan antara norma yang mengatur perbuatan dengan norma

lain tersebut dapat disebut sebagai hubungan super dan sub-ordinasi dalam

konteks spasial. Norma yang menentukan pembuatan norma lain adalah

superior, sedangkan norma yang dibuat inferior. Pembuatan yang ditentukan

oleh norma yang lebih tinggi menjadi alasan validitas keseluruhan tata hukum

yang membentuk kesatuan.

Teori hans kelsen tentang hukum berjenjang kemudian dikembangkan lebih

lanjut oleh muridnya yang bernama hans nawiasky, teori tersebut diberi nama

theorie von stufenufbau der rechtsordnung, hans nawiasky berpendapat bahwa

norma dasar yang disebut oleh hans kelsen sebagai peraturan perundang-

undangan tidaklah tepat, nawiasky berpendapat bahwa norma dasar merupakan

living law yaitu norma yang hidup didalam masyarakat yang tidak akan dapat

diubah ataupun berubah, living law inilah yang menjadi dasar dari setiap

peraturan-perundang-undangan di Indonesia.1

1 Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta:

Konstitusi Press, 2006), h. 168.

Page 62: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

53

Konsekuensi logis dari penerapan sistem hukum berjenjang yaitu dengan

membuat mekanisme yang menjaga dan menjamin agar sistem hukum

berjenjang tersebut sesuai dengan semestinya, mekanisme tersebut dapat berupa

pengujian oleh lembaga judicial dimana peraturan perundang-undangan yang

lebih rendah dapat dibatalkan apabila bertentangan dengan peraturan yang lebih

tinggi, mekanisme berikutnya dapat berupa pengawasan oleh pemerintah pusat

dan juga DPD, pengawasan ini merupakan langkah preventif dimana sebelum

dibentuknya peraturan perundang-undangan dalam hal ini raperda pemerintah

dan DPD lebih dulu mengevaluasi perda-perda yang masih dalam tahap

pembahasan tersebut agar tidak lebih dulu diberlakukan.

Selaku lembaga tinggi negara lainnya, DPD memiliki tugas dan wewenang

yakni dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan

menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR sebagai bahan pertimbangan

untuk ditindaklanjuti. Lebih lanjut fungsi pengawasan DPD RI diatur lebih

dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang MPR, DPR, DPD, dan

DPRD sebagaimana berikut:

a. Dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang

mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan

daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan

sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan,

dan agama;

b. Menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang

mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan

daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan

sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan undang-undang APBN,

pajak, pendidikan, dan agama kepada DPR sebagai bahan pertimbangan

untuk ditindaklanjuti;

Page 63: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

54

c. Menerima hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari BPK sebagai

bahan membuat pertimbangan kepada DPR tentang rancangan undang-

undang yang berkaitan dengan APBN;

d. Memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK;

e. Melakukan pemantauan dan evaluasi atas rancangan peraturan daerah dan

peraturan daerah

Pasca diberlakukannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang

MPR, DPR, DPD, dan DPRD, DPD memiliki kewenangan baru dalaam

mengawasi dan mengevaaluasi perda dan raperda, tugas ini diberikan lantaran

banyaknya perda-perda yang bermasalah sehingga menghambat masuknya

investasi, berdasarkan data kementerian dalam negeri, sejak lahirnya otonomi

daerah di Indonesia Pemerintah pusat telah membatalkan lebih dari 4.000 perda

bermasalah, hal ini sangat jauh berbeda dengan Mahkamah Agung yang

membatalkan kurang dari 100 perda sejak lahirnya otonomi daerah.

Untuk menindak lanjuti hal tersebut DPD mengadakan rapat paripurna

untuk mencari pola yang tepat dalam mengawasi dan mengevaluasi perda serta

raperda, dalam rapat paripurna tersebut DPD membentuk panitia urusan legislasi

daerah (PULD) yang diatur dalam Peraturan Dewan Perwakilan Daerah

Republik Indonesia, PULD bertugas menilai raperda dan perda kota maupun

raperda dan perda provinsi yang bertentangan dengan peraturan diatasnya baik

itu peraturan presiden, peraturan pemerintah ataupun Undang-Undang.

PULD merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap, keanggotaan

PULD berisikan anggota DPD dari masing-masing provinsi sebagai bentuk

keterwakilan setiap daerah di Indonesia, keanggotaan PULD terdiri atas

pimpinan PULD dan anggota PULD, pimpinan PULD tersusun atas ketua dan

wakil ketua sebanyak tiga orang yang dipilih dari dan oleh anggota PULD

sendiri untuk masa jabatan satu tahun.

Setiap anggota DPD berhak mengajukan diri sebagai calon pimpinan PULD

mekanisme pemilihan pimpinan PULD melalui musyawarah mufakat dan

Page 64: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

55

apabila tidak mencapai mufakat maka setiap anggota PULD memilih empat

nama calon pimpinan, calon dengan suara terbanyak di tetapkan sebagai

pimpinan terpilih.

Dalam hal pemberhentian pimpinan PULD, pimpinan dapat diberhentikan

dengan alasan meninggal dunia, mengundurkan diri sebagai pimpinan atau

anggota dan diberhentikan, apabila terjadi kekosongan pimpinan maka PULD

mengadakan rapat pleno untuk memilih pemimpin pengganti.

Pelaksanaan pengawasan dilakukan oleh anggota DPD dimasing-masing

provinsi daerah pemilihan, dalam melaksanakannya anggota DPD pertama-tama

mengumpulkan data-data yang dibutuhkan terkait raperda, perda provinsi, perda

kabupaten, dan perda kabupaten kota, cara anggota DPD mengumpulkan data

melalui rapat kerja bersama pemerintahan daerah dan/atau DPRD Provinsi,

kabupaten/ Kota, data-data yang dihimpun oleh anggota DPD meliputi:

1. Perencanaan peyusunan program pembentukan Perda;

2. Penyusunan rancangan Perda;

3. Pembentukan Perda;

4. Penyusunan rencana strategis daerah; dan

5. Penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah.

Hasil pengumpulan data-data tersebut kemudian dibahas dalam rapat

anggota provinsi dimasing-masing daerah pemilih untuk disepakati bersama

setelahnya disampaikan kepada PULD.

Hasil pengawasan yang dilakukan oleh anggota DPD dimasing-masing

daerah pemilihan kemudian dihimpun oleh PULD dan selanjutnya akan

diidentifikasi permasalahan-permasalahan yang dalam perda dan raperda

tersebut, yang menjadi tolak ukur PULD dalam mengidentifikasi masalah yaitu:

1. Kesesuaian Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan

Page 65: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

56

Jenis Peraturan Perundang-Undangan suatu negara dapat berbeda

beda antara yang dikeluarkan pada suatu masa tertentu dengan masa yang

lain. Hal ini dapat terjadi karena penentuan jenis peraturan perundang-

undangan dan bagaimana tata urutannya sangat tergantung pada

penguasa dan kewenangannya untuk membuat suatu keputusan yang

berbentuk peraturan perundang-undangan. Selanjutnya penguasa dan

kewenangan tersebut ditentukan oleh sistem ketatanegaraan yang dianut

oleh Negara yang bersangkutan. Indonesia sendiri jenis peraturan

perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2011 yang terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

2. Materi Muatan Perda

Materi muatan perda merupakan materi yang terkandung dalam

dalam suatu peraturan daerah yang disusun sesuai dengan teknik

peyusunan peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 14 Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011 dijelaskan bahwa Materi muatan

Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi

materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas

pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau

penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang undangan yang lebih tinggi.

3. Kejelasan Rumusan

Page 66: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

57

Kejelasan rumusan dimaksudkan bahwa setiap Peraturan

Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan

Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah,

serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak

menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya;

4. Adanya Potensi Disharmoni

Disharmoni dimaksudkan adanya ketidak selarasan antar

peraturan perundang-undangan, seringkali pemerintah daerah dalam

membuat aturan melampui batas kewenangan yang diberikan

sebagimana amanat otonomi daerah. Berdasarkan teori hierarki peraturan

perundang-undangan peraturan yang dibawah tidaklah boleh

bertentangan dengan peraturan yang ada diatasnya atau Lex superior

derogat legi inferiori. Ketidak selarasan dalam hal peraturan perundang-

undangan mengakibatkan terjadinya ketidakpastian hukum

5. Efektifitas Implementasi

Efektifitas implementasi merupakan ukuran sejauh mana aturan

tersebut terlaksana sesuai dengan target dan tujuannya dibentuknya

aturan tersebut.

Setelah melakukan identifikasi masalah PULD kemudian melakukan

evaluasi terhadap perda dan raperda yang ditelah himpun oleh anggota PULD,

hasil daripada evaluasi PULD tersebut akan dilaporkan kedalam rapat paripurna

sebagai bahan rekomendasi.

Hasil daripada keputusan paripurna merupakan keputusan bulat setiap

anggota DPD yang kemudian akan direkomendasikan kepada DPR, Pemerintah

Pusat, dan/atau Pemerintah Daerah.

Page 67: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

58

Berdasarkan uraian diatas mekanisme pengawasan dan evaluasi oleh DPD

dan digambarkan sebagai berikut:

Dapat dilihat bahwa kewenangan evaluasi yang dilakukan DPD tidak sampai

kepada tahap pembatalan peraturan, karena pembatalan perda sudah jelas

menjadi kewenangan Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 24A

ayat (1) UUD NRI 1945 sebagaimana berbunyi: “Mahkamah Agung berwenang

mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah

undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya

yang diberikan oleh undang-undang.” Akan menimbulkan tumpang tindih

kewenangan apabila DPD dapat membatalkan perda, kewenangan DPD ini

hanya bersifat konsultif dan rekomendasi.

Sifat konsultif tersebut ini menjadikan pengawasan dan evaluasi DPD masih

sangat lemah karena tidak ada kewajiban bagi pemerintah daerah untuk

Anggota DPD melakukan pengawasan dimasing-masing provinisi daerah

pemilihan

Hasil Pengawasan diberikan kepada PULD

untuk dianalisis dan dievaluasi

Hasil evaluasi yang dilakukan oleh PULD

dilaporkan dalam sidang paripurna sebagai bahan

rekomendasi

Hasil rekomendasi akan diberikan kepada

Pemerintah Pusat, DPR, dan Pemerintah Daerah

Pemerintah Pusat, DPR, dan Pemerintah Daerah menindak lanjuti hasil

rekomendasi DPD

Page 68: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

59

menjalankan rekomendasi dari DPD tersebut, oleh karena untuk memperkuat

kewenangan tersebut diperlukan aturan tambahan untuk mewajibkan pemerintah

menjalankan rekomendasi yang diberikan DPD, sehingga fungsi kritis yang

dimiliki DPD sebagai perwakilan daerah di pusat dapat berjalan secara optimal.

B. Pengawasan dan Evaluasi DPD Terhadap Perda Berdasarkan Konsep

Otonomi Daerah

Dewan Perwakilan daerah disingkat sebagai DPD merupakan lembaga

tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang anggotanya

merupakan representasi penduduk dalam satu wilayah yang mewakili

kepentingan-kepentingan daerah dalam pengambilan keputusan ditingkat

nasional yang dipilih melalui pemilihan umum. Sebelum 2004 DPD disebut

sebagai utusan golongan yang merupakan bagian dari MPR.2

DPD dibentuk melalui amandemen ketiga UUD 1945 yang disahkan pada

sidang paripurna ke-7 MPR pada tahun 2001, lahirnya DPD dilatar belakangi

oleh tuntutan demokrasi untuk memenuhi keadilan bagi masyarakat daerah

selain itu juga dikarenakan adanya otonomi daerah merubah sistem sentralisasi

menjadi desentralisasi. Tujuan dibentuknya DPD dimaksudkan untuk

memperkuat ikatan daerah dalam negara kesatuan, namun dilihat dari

kewenangan DPD yang sangat terbatas dibandingkan dengan DPR dal UUD NRI

1945 membuat DPD tidak sesuai dengan maksud pembentukannya.3

Dalam teori organ negara kedudukan lembaga negara dibagi menjadi dua

golongan yaitu lembaga Negara utama dan lembaga Negara pembantu. Lembaga

negara utama terdiri atas Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif yang mengacu

kepada teori trias politika, lembaga utama negara juga diberikan kewenangan

oleh konstitusi yang mana dalam hal ini UUD NRI 1945 sedangkan lembaga

2 Dewan Perwakilan Daerah, https://id.wikipedia.org /wiki/Dewan_Perwakilan_Daerah

_Republik_Indonesia 3 John Pieris dan Aryanti Baramulis Putri, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia:

studi, analisis, kritik, dan solusi kajian hukum dan politik, (Jakarta: Pelangi Cendekia, 2006), h.

101.

Page 69: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

60

Negara pembantu kewenangannya dibentuk dan diberikan oleh UU. Dilihat dari

teori tersebut dapat disimpulkan bahwa kedudukan DPD adalah sebagai lembaga

Negara utama karena DPD sendiri dibentuk dan diberikan kewenangan oleh

UUD NRI 1945.4

Kewenangan DPD sendiri di atur dalam Pasal 22D UUD NRI 1945 yang

terdiri dari kewenangan dalam hal legislasi, anggaran dan pengawasan.bunyi

dari pasal 22D UUD NRI 1945 sebagaimana berikut:

Ayat (1)“Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan

Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan

otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan

pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya

alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan

perimbangan keuangan pusat dan daerah”.

Ayat (2) “Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang

yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah;

pembentukan; pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan

sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta

perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan

pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan

undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan

rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan

dan agama”

Ayat (3)“Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas

pelaksanaan undang-undang mengenai; otonomi daerah,

pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat

4 I Gede Pantja Astawa, Kajian Teoritik dan Normatif tentang Penyelenggaraan Negara di

Indonesia dalam Interaksi Konstitusi dan Politik: Kontekstualisasi Pemikiran Sri Soemantri,

(Bandung: PSKN FH UNPAD, 2016) h. 66.

Page 70: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

61

dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber ekonomi

lainnya”.

Dalam hal legislasi DPD hanya dapat mengajukan RUU yang berkaitan

dengan otonomi daerah serta membahas bersama dengan DPR mengenai RUU

tersebut tanpa dapat ikut serta dalam pengesahan suatu Undang-Undang. Dalam

hal ini terlihat sangat jelas bahwa kewenangan DPD sangat terbatas dalam UUD

NRI 1945 sehingga DPD dapat dikatakan sebagai lembaga penunjang DPR

dalam hal legislasi.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (Undang-Undang MD3) resmi diberlakukan pada

Maret 2018. Undang-Undang ini memberikan kewenangan baru kepada DPD

dalam hal pengawasan yang diatur dalam Pasal 249 Ayat (1) sebagaimana

berbunyi:

a. Mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi

daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,

pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta

yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah kepada

Dewan Perwakilan Rakyat;

b. Ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan hal

sebagaimana dimaksud dalam huruf a;

c. Menyusun dan menyampaikan daftar inventaris masalah rancangan

undang-undang yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat atau

Presiden yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf

a;

d. Memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas

rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang

yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;

Page 71: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

62

e. Dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang

mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan

daerah hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan

sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan,

dan agama;

f. Menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang

mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan

daerah hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan

sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan,

dan agama kepada DPR sebagai pertimbangan untuk ditindak lanjuti;

g. Menerima hasil pemeriksaan atas keuangan Negara dari Badan Pemeriksa

Keuangan sebagai bahan untuk membuat pertimbangan kepada Dewan

Perwakilan Rakyat tentang rancangan undang-undang yang berkaitan

dengan APBN;

h. Memberi pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam

memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan;

i. Menyusun program legislasi nasional yang berkaitan dengan otonomi

daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah hubungan

pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya

ekonomi lainnya, serta berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat

dan daerah, dan;

j. Melakukan pemantauan dan evaluasi atas rancangan peraturan daerah

dan peraturan daerah.

Dapat dilihat dalam Pasal 249 Ayat (1) huruf J yang berbunyi “melakukan

pemantauan dan evaluasi rancangan peraturan daerah dan peraturan daerah”.

Penambahan kewenangan ini dianggap sebagai angin segar bagi DPD RI hal ini

untuk memperkuat posisi DPD RI sebagai perwakilan daerah dipusat.

Kewenangan tersebut dilatar belakangi karena adanya putusan Mahkamah

Konstitusi No. 137/PUU-XIII/2015 yang menghilangkan kewenangan Menteri

Page 72: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

63

dalam negeri untuk membatalkan perda, dalam putusan MK tersebut

menyatakan demi kepastian hukum dan kesesuain dengan UUD 1945, maka

kewenangan pemerintah pusat untuk menguji atau membatalkan perda telah

dicabut dan menjadi ranah kewenangan konstitusional Mahkamah Agung.

Munculnya kewenangan DPD dalam melakukan evaluasi terhadap perda

merupakan penafsiran lebih lanjut terhadap kewenangan DPD dalam melakukan

pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang: otonomi daerah; pembentukan,

pemekaran dan penggabungan daerah; hubungan pusat dan daerah; pengelolaan

sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; pelaksanaan anggaran dan

belanja negara; pajak; pendidikan; agama.

Perda merupakan peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah,

untuk perda provinsi disetujui oleh gubernur sedangkan perda kabupaten/kota

disetujui oleh bupati/walikota. Materi muatan perda berisikan aturan-aturan

dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, tugas pembantuan serta

penafsiran lebih lanjut oleh Undang-Undang.

Otonomi daerah sendiri merupakan kewajiban yang diberikan kepada

daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri secara mandiri dan

masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Awal

pemberiannya otonomi daerah bertujuan meningkatkan kesejahteraan

masyarakat daerah, meningkatkan pelayanan umum, serta meningkatkan daya

saing daerah.

Lahirnya otonomi daerah yang bersifat desentralisasi tidak lain karena

tuntutan dari berbagai pihak atas buruknya sistem pemerintah yang dilaksanakan

secara sentralistik, sistem sentralistik saat orde baru banyak menimbulkan

kesenjangan dan ketimpangan yang besar antara daerah dengan kota kota besar

seperti jakarta.

Dilihat bersama dalam pasal 18 Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Negara

Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah

Page 73: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

64

provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten,

dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-

undang”. Pasal tersebut menjadi dasar lahirnya otonomi daerah di Indonesia,

frasa “dibagi” dalam pasal 18 dimaknai bahwa negara Indonesia sebagai negara

kesatuan menganut sistem pembagian kekuasaan dan pemisahan kekuasan yaitu

antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah, kedua pemerintahan

tersebut bersinergi dalah hal kewenangan dan pengawasan sebagai konsekuensi

negara kesatuan.

Dalam melaksanakan otonomi daerah pemerintahan daerah memiliki

prinsip-prinsip penyelenggaraan otonomi daerah antara lain:

1. Prinsip otonomi yang seluas luasnya

Prinsip otonomi seluas-luasnya memiliki arti bahwa daerah diberi

kewenangan untuk mengurus dan mengatur segala urusan rumah

tangganya sendiri diluar dari urusan pemerintah pusat sesuai dengan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

2. Prinsip otonomi nyata

Prinsip otonomi nyata merupakan merupakan prinsip bahwa untuk

menangani urusan pemerintah dilaksanakan sesuai dengan tugas,

wewenang, dan kewajiban yang nyata telah ada dan berpotensi untuk

tumbuh, hidup, dan berkembang sesuai dengan potensi ditiap daerah.

3. Prinsip otonomi yang bertanggung jawab

Prinsip otonomi yang bertanggung jawab mengandung arti bahwa

dalam menyelenggarakan otonomi daerah harus sesuai dengan maksud

dan tujuan pemberian otonomi, yaitu memberdayakan potensi daerah dan

mensejahterakan rakyat.

4. Prinsip Otonomi yang dinamis

Page 74: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

65

Prinsip otonomi yang dinamis artinya bahwa pelaksanaan otonomi

daerah terus bergerak maju mengikuti perkembangan dunia saat ini.

5. Prinsip keserasian

Prinsip keserasian dalam artian dalam membangun daerah harus

memperhatikan keseimbangan penggunaan sumber daya alam dengan

dampak yang diakibatkan, dengan tidak terlalu berlebihan yang

berdampak pada kerugian masyarakat sendiri.

Dapat kita lihat bersama dalam Pasal 1 Ayat (1) UUD 1945, bahwa

Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Dalam konsep

negara kesatuan yang memegang kekuasaan tertinggi atas urusan negara ialah

pemerintahan pusat tanpa adanya suatu delegasi atau pelimpahan kepada

pemerintahan daerah. Dalam negara kesatuan dikenal dengan asas bahwa urusan

negara tidak dibagi antara pemerintah pusat dan daerah, sehingga segala urusan

negara sudah mutlak menjadi urusan pemerintah pusat.

Dalam negara kesatuan pelaksanaan tugas pemerintah pada dasarnya

menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Namun berbeda dengan indonesia

yang menganut bentuk negara kesatuan dengan sistem desentralisasi, sehingga

ada hal hal yang tertentu yang diurus sendiri oleh pemerintahan daerah, sehingga

menimbulkan hubungan timbal balik yang melahirkan adanya hubungan

kewenangan dan pengawasan.5

Konsep otonomi daerah saat ini secara yuridis di Indonesia, tidaklah dapat

dilepaskan untuk melaksanakan kebijakan yang secara umum benar-benar

otonom, hal tersebut dikarenakan konsep otonomi daerah yang berada di

Indonesia masih mengacu kepada kerangka negara kesatuan. Hal tersebut dapat

dilihat kedudukan kepada daerah yang memiliki dua peran penting sekaligus,

yang pertama sebagai kepada daerah yang menjalankan otonomi daerah sesuai

asas desentralisasi dan yang kedua sebagai wakil dari pemerintah pusat dalam

5 Ni’matul Huda, Hukum Tata negara Indonesia, (Jakarta: Grafindo Persada, 2005), h. 92.

Page 75: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

66

menjalankan tugas pembantuan melalui mekanisme dekonsentrasi. Tugas

pembantuan yang dijalankan oleh kepada daerah tercantum dalam Pasal 18 Ayat

(6) UUD 1945 yang berbunyi “Pemerintahan daerah berhak menetapkan

peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan

tugas pembantuan”.

Bukti lain bahwa daripada pemerintah daerah merupakan perpanjangan

tangan dari pemerintah pusat dapat dilihat dalam Pasal 264 ayat (5) Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, dalam pasal

tersebut ditegaskan bahwa konsep rencana pembangunan jangka panjang daerah

(RPJPD), rancangan pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD), dan

rencana pembangunan tahun daerah atau rencana kerja pemerintah daerah

(RKPD), harus tetap dikendalikan serta dievaluasi oleh pemerintah pusat untuk

diselaraskan, hal tersebut mengindikasikan bahwa kebijakan-kebijakan

pemerintahan daerah tidak selama benar benar bersifat otonom dalam hal arah

pembangunan.

C.S.T Kansil menjelaskan negara kesatuan merupakan negara yang merdeka

dan berdaulat dimana hanya memiliki satu pemerintah dalam satu negara yang

mengatur seluruh daerah. Negara kesatuan dapat dibagi menjadi dua, yang

pertama negara kesatuan dengan sistem sentralisasi, dimana segala urusan

negara diatur dan diurus langsung oleh pemerintahan pusat, yang kedua adalah

negara kesatuan dengan sistem desentralisasi dimana pemerintah pusat

memberikan kesempatan kepada pemerintahan daerah untuk mengurusi urusan

pemerintah dimasing-masing daerahnya. Sedangkan yang menjadi perbedaan

antara negara kesatuan bersistem desentralisasi dengan negara federal yaitu

sejauh mana pemberian otonomi tersebut. Dalam negara kesatuan bersistem

desentralisasi pemerintah daerah dapat mengurus rumah tangganya sendiri

namun dalam hal ini pemerintahan pusat dapat mengawasi pemerintahan daerah,

Page 76: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

67

fungsi pengawasan inilah yang menjadi hubungan timbal balik antara

pemerintahan pusat dan daerah.6

Hubungan pemerintahan pusat dengan daerah dalam hal pengawasan dan

evaluasi merupakan suatu proses kegiatan yang dilaksanakan untuk menjamin

pemerintah daerah berjalan sesuai dengan rencana nasional dan ketentuan-

ketentuan peraturan perundang-undangan. Secara umum apabila ditinjau

berdasarkan hukum administrasi negara menurut Prajudi Atmosudirdjo7

pengawasan diartikan sebagai kegiatan yang membandingkan apa yang

dijalankan, dilaksanakan atau diselenggarakan sesuai dengan apa yang

dikehendaki, direncanakan atau diperintahkan.

Pengawasan baku terhadap pemerintahan daerah dibagi kedalam dua jenis,

yaitu:

1. Pengawasan Preventif

Pengawasan preventif merupakan pengawasan yang bersifat

mencegah. Mencegah dalam hal ini dimaknai agar suatu kebijakan yang

dikeluarkan oleh pemerintahan daerah supaya tidak bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pengawasan preventif merupakan pengawasan yang dilakukan oleh

Mendagri dan Gubernur sebagai pemerintah pusat atau Dewan

Perwakilan Daerah, pengawasan tersebut dilakukan sesuai dengan

tingkatan, untuk perda kabupaten/kota dilakukan oleh Gubernur

sedangkan perda provinsi dilakukan oleh Mendagri.

Pengawasan preventif oleh pemerintah pusat dapat berupa evaluasi

terhadap rancangan perda khususnya rancangan perda tentang Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Perubahan Anggaran Pendapat

6 C.S.T. Kansil, Hukum Tata Pemerintahan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia), 1985,

h. 71.

7 Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia), 1983, h.

81.

Page 77: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

68

Belanja Daerah (PAPBD) Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Raperda

tentang Tata Ruang sesuai dengan Pasal 264 Ayat (1) Undang-Undang

Nomor 23Tahun 2014.

Pengawasan preventif pada perda merupakan konsekuensi dari

bentuk negara kesatuan bersistem desentralisasi, sehingga pemerintah

pusat melakukan cara-cara tertentu seperti halnya pengawasan preventif

kepada pemerintahan daerah agar urusan pemerintahan pusat dapat

diselenggarakan dengan tertib serta untuk menghindari terjadinya

tubrukan kewenangan antara pemerintah pusat dengan daerah.

2. Pengawasan Represif

Pengawasan represif merupakan pengawasan yang berupa

penangguhan atau pembatalan terhadap kebijakan perda yang telah

disahkan yang dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan diatasnya. Pengawasan represif ini bertujuan untuk

mengontrol pemerintahan daerah karena apabila otonomi daerah

diberikan secara luas dikhawatirkan dapat berdampak pada pemisahan

diri (Separation) diri dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pengawasan represif dilakukan saat produk hukum yang dihasilkan

memiliki akibat hukum baik dalam otonomi ataupun tugas pembantuan.

Model pengawasan represif sendiri dijalankan oleh Mahkamah

Agung yang dikenal dengan judicial review atau pengujian peraturan

perundang-undangan. Pengawasan represif yang dijalankan oleh MA

dapat berupa pembatalan perda dan yang menjadi tolak ukur MA dalam

membatalkan perda adalah Undang-Undang. Sehingga ketika perda

tersebut bertentangan dengan Undang-Undang maka MA berwenang

untuk membatalkan perda tersebut.

Pemerintah pusat adalah penyelenggara pemerintahan Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang berkedudukan ditingkat negara, pemerintahan pusat

terbagi dengan tiga cabang kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Page 78: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

69

Lembaga eksekutif adalah lembaga yang ditetapkan untuk menjadi pelaksana

dari peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh legislatif, eksekutif dalam

hal ini adalah presiden dan para pembantu presiden yang terdiri atas wakil

presiden dan menteri. Berikutnya lembaga legislatif, lembaga legislatif

merupakan lembaga yang bertugas dan berwenang untuk membuat dan

merumuskan UUD 1945 dan Undang-Undang, di Indonesia lembaga legislatif

terdiri atas DPR, DPD, dan MPR. DPR berisikan anggota partai politik yang

mencalonkan diri sebagai peserta pemilu yang sudah terpilih saat pemilu,

berbeda dengan DPD yang anggotanya berisikan perwakilan-perwakilan ditiap

daerah yang ada di Indonesia yang sudah terpilih melalui pemilu, sedangkan

MPR terdiri atas anggota DPR dan DPD. Yang terakhir adalah lembaga

yudikatif, tugas daripada yudikatif yaitu mengawal serta mengawasi proses

berjalannya UUD 1945, di tingkat negara lembaga yudikatif dijalankan oleh

MA, MK, dan KY. MA adalah lembaga yudikatif yang bertugas

menyelenggarakan peradilan demi penegakan hukum yang adil. MK adalah

lembaga yudikatif yang bertugas mengawal dan melindungi konstitusi dan yang

terakhir adalah KY, KY bertugas untuk menjaga dan menegakan kehormatan,

keluhuran serta perilaku hakim.

Jika peneliti melihat cabang-cabang kekuasaan dalam pemerintah pusat,

maka peneliti memahami bahwa kedudukan DPD dalam ketatanegaraan

Indonesia merupakan bagian daripada pemerintahan pusat.

Dilihat dari kedudukan DPD sebagai bagian dari pemerintahan pusat

peneliti mengkaji berdasarkan teori negara kesatuan, peneliti melihat bahwa

peran DPD dalam mengawasi dan mengevaluasi perda adalah bentuk hubungan

timbal balik antar pemerintah pusat dengan daerah, Peran DPD dalam

mengawasi perda sebagai jembatan antara pemerintahan pusat dengan daerah

dalam mengharmonisasikan hukum nasional sehingga perda sebagai instrumen

terkuat dalam menjalankan otonomi daerah tetap perlu pengawasan oleh

pemerintahan pusat sebagaimana peneliti bahas sebelumnya bahwa konsep

otonomi daerah dalam negara kesatuan tidak dapat dijalankan secara sepenuhnya

Page 79: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

70

mengingat pemerintahan pusat memegang kendali tertinggi dalam

penyelenggaraan negara, dengan demikian dapat peneliti simpulkan bahwa

pengawasan dan evaluasi yang dilakukan oleh DPD sudah sesuai dengan konsep

otonomi daerah yang ada di Indonesia.

Page 80: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

71

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian hasil penelitian skripsi yang sudah dijelaskan

secara terperinci dalam bab-bab sebelumnya, maka peneliti dapat menarik

kesimpulan sebagai berikut:

1. Kewenangan DPD dalam mengawasi perda serta raperda hanya bersifat

konsultif sehingga tidak ada kewajiban bagi pemerintah daerah untuk

menjalankan rekomendasi oleh DPD. Sifat konsultif tersebutlah yang

membuat pengawasan DPD masih sangat lemah, oleh karenanya untuk

memperkuat kewenangan tersebut diperlukannya aturan yang mewajibkan

pemerintahan daerah untuk menjalan rekomendasi yang diberikan oleh DPD

sehingga wewenang pengawasan dan evaluasi tersebut dapat bekerja secara

maksimal.

2. Kewenangan DPD dalam mengawasi dan mengevaluasi perda dan raperda

yang diatur dalam pasal 249 Undang-Undang No. 2 Tahun 2018 Tentang

MPR, DPR, DPD dan DPRD sudah sesuai dengan konsep otonomi daerah di

Indonesia, dimana konsep otonomi daerah di Indonesia tidaklah murni

otonomi karena Indonesia merupakan negara kesatuan, dan ditinjau

berdasarkan teori negara kesatuan, pemerintahan pusat memegang kendali

penuh atas penyelenggaraan negara disetiap daerahnya, sehingga

pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah tidak dapat terpisahkan,

pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah pusat merupakan hubungan

timbal balik. Peran DPD sebagai pemerintahan pusat dalam hal ini sebagai

jembatan dalam mengharmonisasikan hukum nasional.

B. Rekomendasi

Berdasarkan seluruh pemaparan yang peneliti bahas di bab-bab sebelumnya

maka di akhir peneliti ingin menyampaikan pesan, yaitu:

Page 81: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

72

1. Berdasarkan hasil peneletian ini peneliti berharap adanya aturan tambahan

yang mewajibkan Pemerintah Daerah untuk menjalankan hasil rekomendasi

yang diberikan oleh DPD RI, sehingga kewenangan DPD RI dalam

melakukan pengawasan dapat berjalan secara maksimal.

2. Peneliti juga berharap penelitian ini dapat memberikan sumbangsih

pemikiran bagi pembaca untuk melakukan penelitian terkait lembaga negara

di Indonesia yang nantinya dijadikan sebagai pertimbangan pemerintah

untuk membuat kebijakan yang lebih baik.

Page 82: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

73

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Apter, David E, Pengantar Analisa Politik, Jakarta: Rajawali Pers, 1985.

Asshiddiqie, Jimly. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca

Reformasi, Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah

Konstitusi RI. 2006.

..............., Pengantar Ilmu Hukum tata negara, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

2013.

.............., Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta: Sinar Grafika,

2011.

..............., Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta: Sinar Grafikas, 2011.

..............., Model-Model Pengujian Konstitusi di Berbagai Negara, Jakarta:

Konstitusi Press, 2005.

.............., Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta: Konstitusi Pers, 2006.

Bahar, Saafroedin dan Tangadililing, A.B. Integrasi Nasional: Teori, Masalah dan

Strategi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999.

Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Konstitusi Republik Indoneisa.

Dicey, Albert Venn, Introduction To The Study Of The Law The Constitution,

London: Macmilan, 1961.

Djadijono, Muhammad, dan Efriza, Wakil Rakyat Tidak Merakyat, Bandung:

Alfabeta, 2011.

Efriza, Studi Parlemen dan lanskap politik Indonesia, Malang: Setara Press, 2004.

El-Muhtaj, Majda. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Jakarta:

Kencana, 2017.

Page 83: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

74

Gunawan, Markus, Buku Pintar Calon Anggota & Anggota Legislatif, DPD,

DPRD, & DPD, Jakarta: Visimedia, 2008.

Handoyo, B. Hestu Cipto, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi

Manusia, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2003.

Haris, Syamsudin, Kantor Anggota DPD RI dan Hubungan Dengan Daerah,

Jakarta, UNDP Indonesia, 2010.

HR, Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,

2006.

Huda, Ni’matul, Desentralisasi Asimetris dalam NKRI, Bandung: Nusa Media,

2004.

Indrati, Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi, dan Materi

Muatan), Yogyakarta: PT. Kanisius, 2007.

Isjwara, Fred, Pengantar Ilmu Politik, Bandung: Binacipta, 1974.

Kadir, Abdul, Muh., Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: PT. citra Aditya,

2004.

Kelsen, Hans, General Theory Of Law and State, New York: Russel & Russel,

1945.

Kusnardi, Moh. dan Ibrahim Harmaily, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta:

Pusat: Sinar Bakti, 1988.

Makagansa, H.R., Tantangan Pemekaran Daerah, Yogyakarta: Fuspad, 2008.

Makmur, Efektivitas Kebijakan Kelembagaan Pengawasan, Bandung: Refika

Aditama, 2011.

Manan, Bagir, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: Pusat Studi

Hukum Fakultas Hukum UII, 2011.

MD, Moh. Mahfud, Perdebatan Hukum tata negara Pasca Amandemen Konstitusi,

Cet. Ketiga, Jakarta: PT Raja Grafindo Persadam, 2013.

Page 84: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

75

......................, Politik Hukum di indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.

Moertopo, Ali, Strategi Politik Nasional, Strategi Politik Nasional, Jakarta:

Yayasan Proklamasi, 1973.

Naja, HR Daeng, Dewan Perwakilan Daerah: Bikameral Setengah Hati,

Yogyakarta: Media Pressindo, 2004.

Nurcholis, Hanif, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Jakarta:

Penerbit Grasindo, 2007

Palguna, I Dewa Gede, Mahkamah Konstitusi ( Dasar Pemikiran, Kewenangan dan

Perbandingan dengan Negara Lain), Jakarta: Konstitusi Press, 2018.

Pieris, John dan Putri, Aryanti Baramulis, Dewan Perwakilan Daerah Republik

Indonesia: studi, analisis, kritik, dan solusi kajian hukum dan politik, Jakarta:

Pelangi Cindekia, 2006.

Prihatmoko, Joko, Pemilu 2004 dan Konsolidasi Demokrasi, Semarang: LP2I dan

LP3M Unwahas, 2003.

Rahardjo, Satjipto, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: PT Kompas Media

Nusantara, 2007.

Riyanto, Astim, , Aktualisasi Negara Kesatuan Setelah Perubahan Atas Pasal 18

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bandung:

Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, 2006.

Samidjo, Ilmu Negara, Bandung: CV Armico, 2002.

Silalahi, Ulber, Metode Penelitian Sosial, Bandung: PT Rafika Aditama, 2009.

Simabura, Charles, Parlemen Indonesia Lintasan Sejarah dan Sistemnya, Jakarta:

Rajawali Pers, 2011.

Simanjuntak, Bungaran Antonius, Otonomi Daerah, Etnonasionalisme, dan Masa

Depan Indonesia, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010.

Siswanto, Hukum Pemerintah Daerah, Jakarta: Sinar Grafika, 2014.

Page 85: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

76

Soejito, Irwan, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Jakarta: PT

Rineke Cipta, 1990.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia

Press, 1986.

Soemantri, Sri, Hukum Tata Negara Indonesia Pemikiran dan Pandangan,

Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014.

Strong, C.F., Konstitusi-Konstitusi Politik Modern Kajian Tentang Sejarah &

Bentuk-bentuk Konstitusi Dunia,Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004.

Subardjo, Dewan Perwakilan Daerah menurut UUD NRI 1945 dan Penerapan

sistem bikemeral dalam Lembaga Perwakilan Indonesia,

T.A, Legowo, DKK, Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia, Jakarta: Forum

Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, 2015.

Yusuf, Muhammad, Dewan Perwakilan Daerah: Arsitektur Histori, Pera dan

Fungsi DPD RI Terhadap Daerah di Era Otonomi Daerah, Yogyakarta:

Graha Ilmu, 2013.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) tahun 1946 setelah

amandemen.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

Jurnal

Adriyan, Nur, Dody, “Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Dalam

Perspektif Teori Bicameralisme”, Volkgeist Jurnal Ilmu Hukum dan

Konstitusi, No. 1 Vol 1, 2018.

Page 86: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

77

Agustin, Dwi Amalia, DKK, “Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah Sebagai

Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”, Jurnal

Lontar Merah, No. 1 Vol. 1, 2018.

Aziz, Machmuz, “Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Dalam Sistem

Peraturan Perundang-Undangan Indonesia”, Jurnal Konstitusi, No. 5 Volume

7, 2010

Huda, Ni’matul, “Kedudukan Peraturan Daerah Dalam Hierarki Peraturan

Perundang-Undangan” Jurnal Hukum, No. 1, Vol, 13, 2008.

Idami, Zahratul, “Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Setelah Adanya

Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012”, Jurnal Ilmu

Hukum, No. 63, Th. XVI, 2014.

Kartasasmita, “Dewan Perwakilan Daerah Dalam Perspektif Ketatanegaraan

Indonesia”, Jurnal Majelis, No. 1, Vol 1, 2009.

Pasaribu, Parlindungan, “Kedudukan dan Fungsi Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, Yuriska Jurnal Ilmiah Hukum, No.

2 Vol. 2, 2010.

Rumoko, K. Nikke “Kedaulatan dan Kekuasaan Dalam UUD 1945 Dalam

Pembentukan Hukum Di Indonesia”, Jurnal Hukum Unsrat, Vol 23 No. 9,

2017

Safa’at, Ali, Muchamad. “Dewan Perwakilan Daerah sebagai Lembaga Perwakilan

Daerah dan Proses Penyerap Aspirasi”, Artikel Jurnal Hukum, 2014.

Soebardjo, “Dewan Perwakilan Daerah Menurut UUD 1945 Dan Penerapan Sistem

Bikameral Dalam Lembaga Perwakilan Indonesia”, Jurnal Hukum, Vol.14,

No. 1 2007.

Sweet, Stone Alec, “Constitutional Court and Parliamentary Democracy (Special

Issue On Delegation)”, West European Politics, Vol. 25, No. 1, 2002.

Page 87: PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI

78

Wasistiono, Sadu, “Kajian Hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah

Daerah”, Jurnal Administrasi Pemerintahan Daerah, Volume I, Edisi Kedua

2004.

Wulansari, Dewi. “Hubungan Pengetahuan Politik Pemilih Pemula dengan

Partisipasi Politik (Studi Korelasional Pada Pemilu Legislatif 2009 di Desa

Sukarapih)”, Artikel, Jurnal Konstitusi, Vol I, Mahkamah Konstiusi Republik

Indonesia, Jakarta, 2009.