PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM...
Transcript of PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM...
i
PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH
DALAM PENGAWASAN DAN EVALUASI PERATURAN DAERAH
SERTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
MUHAMMAD RIYADH RAFSANJANI IS DOMUT
NIM: 11150480000080
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
ii
iii
iv
v
ABSTRAK
Muhammad Riyadh Rafsanjani. NIM 11150480000080. PENGUATAN
KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM
PENGAWASAN DAN EVALUASI PERDA SERTA RAPERDA. Program
Studi Ilmu Hukum. Fakultas Syariah dan Hukum. Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta,1440H/2019 M. ix + 78 halaman.
Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan pengawasan perda oleh DPD.
Secara khusus skripsi ini mencoba mendalami kesesuaian dari kewenangan DPD
dalam mengawasi dan mengevaluasi perda serta raperda terhadap konsep otonomi
daerah, disamping itu juga skripsi ini mencoba membahas tindak lanjut dari hasil
pengawasan dan evaluasi perda serta raperda tersebut. Pemerintah Daerah melalui
otonomi yang telah diberikandiberikan berwenang membentuk dan mengawasi
perda sehingga terjadinya tumpang tindih pengawasan antara DPD dan DPRD.
Metode penelitian dalam penelitian ini menggunakan pendekatan
perundang-undangan (Statute Approach). Jenis penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metoda
pengumpulan data berupa studi kepustakaan.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pengawasan dan evaluasi oleh DPD
sudah sesuai dengan konsep otonomi daerah mengingat negara indonesia
merupakan negara kesatuan sehingga Indonesia tidak menganut otonomi mutlak
selain itu juga kewenangan DPD tersebut masih sangat lemah karena tindak lanjut
dari pengawasan dan evaluasi tersebut hanyalah bersifat rekomendasi sehingga
tidak ada kewajiban bagi pemerintah daerah untuk menjalankannya.
Kata Kunci : Penguatan Kewenangan, Pengawasan, Evaluasi, Dewan Perwakilan
Daerah, Peraturan daerah, Rancangan peraturan daerah.
Pembimbing Skripsi : Abdul Qodir, S.H., M.Hum.
M. Ishar Helmi, S.Sy., S.H., M.H.
Sumber rujukan : Tahun 1961- Tahun 2018
vi
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحن الرحيم
Puji syukur kepada Allah SWT berkat Rahmat, Hidayah, dan Karunia-Nya
kepada kita semua sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“PENGUATAN KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DALAM
PENGAWASAN DAN EVALUASI PERDA SERTA RAPERDA”.
Peneliti menyadari dalam penyusunan proposal skripsi ini tidak akan selesai
tanpa bantuan dari berbagai pihak. Karena itu pada kesempatan ini peneliti ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syari’ah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajarannya.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi
Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum., Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Abdul Qodir, S.H., M. Hum. dan Muhammad Ishar Helmi, S.H. M.H.
pembimbing skripsi yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan
pikiran untuk membimbing peneliti dalam menyelesaikan skripsi,
sehingga dapat terselesaikan dengan baik.
5. Pimpinan Pusat Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah membantu dalam menyediakan fasilitas
yang memadai untuk peneliti mengadakan studi kepustakaan guna
menyelesaikan skripsi ini. Karena, Tanpa bantuannya dalam
menyediakan fasilitas yang memadai untuk peneliti, maka skripsi ini
tidak akan dapat dilanjutkan untuk diteliti oleh peneliti.
6. Semua pihak yang telah terlibat secara langsung maupun tidak langsung
dalam proses penulisan skripsi ini, yang tidak dapat peneliti sebutkan
satu persatu. Hanya doa serta ucapan terimakasih yang dapat peneliti
vii
sampaikan, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan-kebaikan
kalian.
Besar harapan peneliti agar skripsi ini dapat memberikan manfaat yang
berarti bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya pada bidang hukum tata
negara. Kritik dan saran yang membangun sangat peneliti harapkan dari para
pembaca sehingga dapat menyempurnakan penelitian ini.
Jakarta, 20 September 2019
M. Riyadh Rafsanjani
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..........................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ...................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................iv
ABSTRAK ............................................................................................................ v
KATA PENGANTAR ............................................................................................vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah....................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah .............................. 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 10
D. Metode Penelitian ................................................................................11
E. Sistematika Penulisan ..........................................................................13
BAB II PENGAWASAN PERDA DAN RAPERDA
A. Kerangka Konseptual............................................................................14
B. Kerangka Teoritis ..................................................................................15
1. Teori Negara Kesatuan ..................................................................... 15
2. Teori Hierarki Peraturan Perundang-Undangan ............................... 19
3. Teori Pengawasan ............................................................................. 26
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ................................................... 29
BAB III DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA
A. Eksistensi Dewan Perwakilan Daerah.................................................31
ix
B.Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah di Indonesia
........................................................................................................... .37
C. Peran dan Fungsi Dewan Perwakilan Daerah Menurut Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2018 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
.............................................................................................................41
BABaIVaKEWENANGAN DPD DALAM MENGAWASI DAN
MENGEVALUASI PERDA SERTA RAPERDA
A. Penguatan Kewenangan DPD RI dalam Melakukan Pengawasan dan
Evaluasi Perda serta Raperda ............................................................ 52
B. Kesesuaian Pengawasan Perda dan Raperda oleh DPD RI berdasarkan
konsep otonomi daerah ....................................................................... 59
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................70
B. Rekomendasi ......................................................................................71
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................73
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai bentuk organisasi kehidupan bersama dalam masyarakat, negara
selalu menjadi pusat cabang ilmu pengetahuan yang menjadikan negara sebagai
objek kajiannya. Misalnya, ilmu politik, ilmu negara, ilmu hukum tata negara,
ilmu hukum kenegaraan, hukum administrasi, dan ilmu administrasi
pemerintahan. Salah satu masalah pokok yang menjadi pusat perhatian ilmu
politik dan ilmu hukum tata negara sepanjang sejarah adalah mekanisme
hubungan antara negara dan rakyat dalam suatu negara. Kepentingan negara
biasanya diwakili oleh pemerintah, sedangkan kepentingan rakyat
terlembagakan melalui parlemen.1
Secara sederhana kedaulatan rakyat dapat diartikan kekuasaan tertinggi ada
di tangan rakyat. Namun, bukan berarti permasalahan kedaulatan rakyat menjadi
sederhana, sebab ternyata perjuangan ke arah tercapainya kedaulatan rakyat itu
sendiri sangat panjang dan banyak korban. Secara historis upaya akan
keberadaan kedaulatan rakyat itu terus dilakukan, misalnya Plato yang
beranggapan bahwa kedaulatan rakyat dapat terwujud dalam suatu pemerintahan
yang dipimpin oleh orang yang bijaksana, sehingga ia sangat menganjurkan agar
pemerintahan itu dilakukan oleh filosof yang diyakininya bisa bertindak
bijaksana.
Sementara menurut John Locke Untuk tercapainya kedaulatan rakyat maka
kekuasaan yang ada dalam negara harus dipisahkan ke dalam dua aspek
kekuasaan. Senada dengan pemikiran ini Montesquieu merumuskan trias
politica, yang memisahkan kekuasaan menjadi tiga aspek. Legislatif, Eksekutif,
dan Yudikatif. Jimly menjelaskan, konsep kedaulatan rakyat diwujudkan melalui
1 Jimly Assiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2013), h. 9.
2
instrument-instrument hukum dan sistem kelembagaan Negara dan pemerintah
sebagai institusi hukum yang tertib. Oleh karena itu produk hukum yang
dihasilkan haruslah mencerminkan perwujudan prinsip kedaulatan rakyat.
Pemerintahan Indonesia secara formal mengakui bahwa: “Kekuasaan adalah di
tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat”, oleh karenanya menurut Usep Ranuwijaya (1982) segala putusan
lembaga tidak bisa dibatalkan oleh lembaga negara yang lain.2
Prinsip kedaulatan rakyat yang terwujud dalam peraturan perundang-
undangan tercermin dalam struktur dan mekanisme kelembagaan negara dan
pemerintahan untuk menjamin tegaknya sistem hukum dan berfungsinya sistem
demokrasi. Dari segi kelembagaan, prinsip kedaulatan rakyat biasanya
diorganisasikan melalui sistem pemisahan kekuasaan dan pembagian
kekuasaan.3
Demokrasi merupakan bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu
negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara)
atas Negara untuk dijalankan oleh pemerintah Negara tersebut. Negara
demokrasi ditandai dengan adanya partisipasi rakyat dalam menentukan siapa
yang akan mewakili dalam menyalurkan aspirasi rakyat dan ditandai penuh
dengan ikut andilnya warga Negara dalam pembuatan kebijakan-kebijakan
publik.4
Pada saat Indonesia Merdeka tahun 1945, hal yang terpikir oleh perancang
UUD bahwa dalam parlemen Indonesia diidealkan berkamar tunggal
(unikameral) yang didasarkan pada teori kedaulatan rakyat dengan Majelis
2 Nike K. Rumoko, “Kedaulatan dan Kekuasaan Dalam UUD 1945 Dalam Pembentukan
Hukum Di Indonesia”, Jurnal Hukum Unsrat, Vol 23 No. 9, (April, 2017) h. 2. 3 Zahratul Idami, “Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Setelah Adanya Keputusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012”, Jurnal Ilmu Hukum, No. 63, Th. XVI (Agustus,
2014), h. 303. 4 Dewi Wulansari, “Hubungan Pengetahuan Politik Pemilih Pemula dengan Partisipasi
Politik (Studi Korelasional Pada Pemilu Legislatif 2009 di Desa Sukarapih”), Artikel, Jurnal
Konstitusi, Vol I, No. 1 (November 2009), Mahkamah Konstiusi Republik Indonesia, Jakarta, h.
26.
3
Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai Lembaga Tertinggi Negara yang
anggotanya terdiri dari anggota DPD yang dipilih melalui pemilu dan juga terdiri
dari utusan daerah-daerah dan utusan golongan-golongan khususnya golongan
ekonomi, yang sistem rekruitmennya dibayangkan tidak sama dengan sistem
rekruitmen anggota DPR sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 Ayat (1) UUD
1945 sebelum amandemen “MPR terdiri atas anggota DPR ditambah dengan
utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan golongan, menurut aturan yang
ditetapkan dengan Undang-Undang.” Pengaturan yang longgar dalam UUD
1945 tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan perundang-
undangan.5
Ide pembentukan DPD3 dalam kerangka sistem legislatif Indonesia
memang tidak terlepas dari ide pembentukan struktur dua kamar parlemen atau
bikameral. Dengan struktur bikameral itu diharapkan proses legislasi dapat
diselenggarakan dengan sistem double check yang memungkinkan representasi
seluruh rakyat secara relatif dapat disalurkan dengan basis sosial yang lebih luas.
Dewan Perwakilan Rakyat merupakan representasi politik sedangkan DPD
mencerminkan teritorial atau regional.6
Untuk mengakomodasikan kepentingan daerah secara efektif dan adil dalam
rangka pembuatan keputusan politik yang bersifat nasional untuk
memberdayakan potensi daerah, dibutuhkan sebuah lembaga. Lembaga ini
mempunyai kewenangan kewenangan tertentu. Salah satu pendapat mengenai
hal tersebut dikemukakan oleh Syafroedin Bahar. ”Untuk menjaga integrasi
bangsa maka diperlukan suatu lembaga yang dapat memberikan masukan,
pertimbangan dan bahkan pengawasan terbatas.”Oleh karena itu muncul Dewan
Perwakilan Daerah”.7
5 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2011), h. 13. 6 Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
(Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 139. 7 Saafroedin Bahar dan A.B Tangadililing, Integrasi Nasional: Teori, Masalah dan
Strategi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999), h. 59.
4
Keberadaan DPD dapat dikatakan merupakan pertemuan dari dua gagasan,
yaitu demokratisasi dan upaya mengakomodasi kepentingan daerah demi
terjaganya integrasi nasional. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Sri Sumantri
Martosoewignjo dan Mochamad Isnaeni Ramdhan yang menyatakan bahwa
pembentukan DPD tidak terlepas dari dua hal, yaitu; Pertama, adanya tuntutan
demokratisasi pengisian anggota lembaga agar selalu mengikutsertakan rakyat
pemilih. Keberadaan Utusan Daerah dan Utusan Golongan dalam komposisi
Majelis Permusyawaratan Rakyat digantikan dengan keberadaan DPD. Kedua,
karena adanya tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah yang jika tidak
dikendalikan dengan baik akan berujung pada tuntutan separatisme. DPD
dibentuk sebagai representasi kepentingan rakyat di daerah.8
DPD lahir sebagai bagian dari upaya untuk memastikan bahwa wilayah atau
daerah harus memiliki wakil untuk memperjuangkan kepentingan secara utuh di
tataran nasional, yang sekaligus berfungsi menjaga keutuhan NKRI. Selain itu
juga menurut Ginanjar Kartasasmita kehadiran DPD mengadung makna bahwa
sekarang ada lembaga yang mewakili kepentingan lintas golongan atau
komunitas yang sarat dengan pemahaman akan budaya yang karakteristik
daerah.9
Pada perjalanannya, gagasan tentang parlemen bikameral yang baik itu
ternyata kemudian tidak sesuai dengan awal pembentukan DPD karena
kompromi-kompromi dan menonjolnya kepentingan politik selama proses
amandemen. Meskipun kedudukannya merupakan salah satu lembaga negara
yang sejajar dengan Dewan Perwakilan Rakyat, Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Badan
Pemeriksa Keuangan, DPD yang anggota-anggotanya dipilih langsung melalui
pemilu ternyata di dalam konstitusi hanya diberi fungsi yang sangat sedikit dan
nyaris tidak berarti. Berbeda dengan Dewan Perwakilan Rakyat yang diatur
8 Muchamad Ali Safa’at, “Dewan Perwakilan Daerah sebagai Lembaga Perwakilan Daerah
dan Proses Penyerap Aspirasi”, Artikel Jurnal Hukum, (Maret 2014), h. 1. 9 Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Konstitusi Republik Indonesia,... h. 3.
5
dalam tujuh pasal (pasal 9, 11, 13, 14 ,19 sampai dengan pasal 22 B) DPD hanya
diatur dalam dua pasal (pasal 22 C dan pasal 22D). Di dalam konstitusi hasil
perubahan memang tidak disebutkan istilah parlemen sehingga tidak mudah
menjadikan DPR dan DPD sebagai kamar-kamar dari parlemen dua kamar. Jika
di UUD NRI 1945 disebutkan secara tegas bahwa DPR mempunyai fungsi
legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan, maka DPD tidak mempunyai
fungsi-fungsi tersebut sepenuhnya.10
Pada pasal 22D UUD NRI Tahun 1945 terlihat jelas bahwa konstitusi sangat
membatasi kewenangan DPD, sehingga kewenangannya sangat terbatas dan
sangat lemah, bahkan dapat dikatakan Konstitusi membuat lembaga DPD seperti
singa ompong, kewenangan DPD hanya berkisar pada usulan dalam Rancangan
Undang-Undang (RUU) itupun hanya dalam permasalahan otonomi daerah.
Sementara itu peran DPR sangat kuat, hal ini berbeda dengan sistem bikameral
di negara negara demokrasi yang menganut sistem presidensial seperti halnya
dua kamar yang dianut oleh konstitusi Amerika Serikat yang mengatur posisi
senat dan house of representative (DPR), yang sama-sama kuat.11
Hal ini sangat berbeda jauh dengan sistem bikameral yang ada di indonesia
dimana menurut UUD 1945 pasca amandemen yang menyebutkan bahwa hanya
DPR yang mempunyai kekuasan membuat undang-undang, sedang DPD hanya
berwenang mengajukan RUU ke DPR. Itu pun hanya terbatas pada hal-hal yang
berkaitan dengan otonomi daerah dan hubungan pusat dan daerah. Hal ini sangat
berbeda jauh dengan cita-cita awal dibentuknya lembaga perwakilan daerah,
sebagaimana yang dipaparkan diatas, yang menyatakan bahwa cita-cita awal
dibentuknya DPD sebagai wadah check and balances di lembaga legislatif yang
selama ini terlihat begitu sentralistik.12
10 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum tata negara Pasca Amandemen Konstitus, Cet.
Ketiga, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persadam 2013), h. 69-70. 11 T.A. legowo DKK, Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia (Jakarta: Forum
Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, 2005) h. 132. 12 T.A. legowo DKK, Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia,... h. 160.
6
Kewenangan yang terbatas itulah yang belakangan ini membuat DPD
mendapat sorotan dari banyak pihak untuk diberikan penguatan supaya sesuai
dengan “ruh” sistem bikameral yaitu adanya checks and balances antara dua
lembaga perwakilan tersebut. Di samping itu kewenangan terbatas itu juga yang
membuat DPD tidak optimal kinerjanya dan melaksanakan kewenangannya
karena adanya pembatasan dalam konstitusi.13
Kewenangan DPD ini kemudian dipertegas oleh Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Disebutkan
dalam pasal 249 Ayat (1) kewenangan DPD yaitu mengajukan Rancangan
Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, ikut membahas
Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, mengawasi
pelaksanaan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, dan
kewenangan baru yang dimiliki DPD untuk mengawasi dan mengevaluasi perda
dan raperda yang dicantumkan pada huruf J.
Dapat dilihat didalam huruf J bahwa terdapatnya penambahan wewenang
oleh peraturan perundang kepada DPD yaitu melakukan pemantauan dan
evaluasi atas rancangan peraturan daerah dan peraturan daerah. Di Indonesia
sendiri terdapat dua lembaga yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang
undangan untuk melakukan evaluasi terhadap peraturan daerah. Yang pertama
ialah Presiden melalui menteri dalam negeri yang disebut dengan eksekutive
review yang kedua ialah Mahkamah Agung yang disebut dengan judicial review.
Eksekutive review ini berkaitan dengan aspek legalitas dari peraturan
perundang-undangan yang dibentuk oleh lembaga eksekutif misalnya Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Menteri, apakah bertentangan
tidak dengan peraturan perundang-undangan tingkat atasnya yang merupakan
13 Soebardjo, “Dewan Perwakilan Daerah Menurut UUD 1945 Dan Penerapan Sistem
Bikameral Dalam Lembaga Perwakilan Indonesia”, Jurnal Hukum, No. 1 VOL.14 (Januari
2007), h. 142.
7
sumber dari pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut. Termasuk
dalam pengertian executive review adalah pengujian yang dilakukan terhadap
peraturan perundang-undangan tingkat daerah (Perda dan peraturan
pelaksanaannya). Khusus pengujian peraturan perundang-undangan tingkat
daerah ini erat kaitannya dengan teori pemencaran kekuasaan dalam bentuk
desentralisasi atau otonomi daerah. Bahkan dalam beberapa Undang-Undang
Pemerintahan Daerah yang pernah atau sedang berlaku di Indonesia diatur pula
pengujian terhadap rancangan Peraturan Daerah (executive preview) dalam
rangka pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan otonomi daerah
(pengawasan preventif).14
Namun, pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015
menyatakan Pasal 251 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah terkait dengan kewenangan pembatalan peraturan daerah
kabupaten/kota tidak lagi bisa dibatalkan Menteri Dalam Negeri atau gubernur.
Melengkapi putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor
56/PUU-XIV/2016 menyatakan pemerintah pusat juga tidak lagi memiliki
kewenangan untuk melakukan pembatalan peraturan daerah provinsi. Putusan
tersebut tidak serta merta menyelesaikan persoalan terkait dengan kewenangan
pembatalan peraturan daerah, hal ini dikarenakan putusan Mahkamah Konstitusi
hanya berlaku bagi peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah
kabupaten/kota dalam putusan itu juga MK menyatakan, demi kepastian hukum
dan sesuai dengan UUD 1945 menurut Mahkamah, pengujian atau pembatalan
perda menjadi ranah kewenangan konstitusional Mahkamah Agung.
Kemudian setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adanya penambahan
14 Machmuz Aziz, Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Dalam Sistem Peraturan
Perundang-Undangan Indonesia, Jurnal Konstitusi, No. 5 Volume 7, (Oktober 2010), h. 147.
8
wewenangan baru kepada DPD RI sebagaimana tercantum dalam pasal 249 ayat
1 huruf J yang berbunyi “melakukan pemantauan dan evaluasi rancangan
peraturan daerah dan peraturan daerah”. Kewenangan tersebut menjadikan DPD
dapat mengevaluasi perda dan raperda, seiring dengan adanya penambahan
kewenangan tersebut timbul permasalahan.
Permasalahan pertama, ialah kewenangan DPD dalam mengawasi perda
dan raperda bertentangan dengan konstitusi, didalam Pasal 22D ayat (3) UUD
1945 menjelaskan bahwa objek pengawasan oleh DPD ialah pelaksanaan
Undang-undang yang berkaitan dengan daerah, frasa pelaksanaan Undang-
undang dapat dimaknai sejauh mana Undang-undang tersebut dilaksanakan,
sehingga fungsi pengawasan DPD tidak dapat menyentuh materi muatan dalam
Perda.
Kedua, UUD 1945 telah memberikan dua mekanisme pengujian peraturan
perundang-perundang melalui pengadilan yang dikenal dengan judicial review,
mekanisme judicial review yang pertama adalah pengujian Undang-undang
terhadap UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi, berikut mekanisme kedua
pengujian Peraturan Perundang-undangan dibawah Undang-undang terhadap
Undang-undang oleh Mahkamah Agung. Hadirnya kewenangan DPD dalam
mengevaluasi perda ini mengakibatkan tumbang tindihnya kewenangan antara
DPD dengan Mahkamah agung dalam menguji perda.
Ketiga, kewenangan DPD dalam mengevaluasi raperda pun dapat
mengakibatkan tubrukan kewenangan dengan pemerintah pusat dikarenakan
dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah rancangan peraturan daerah yang
telah disetujui bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Kepala
Daerah harus mendapat nomor register dari Menteri Dalam Negeri untuk
Raperda Provinsi dan Gubernur untuk Raperda Kabupaten.
Keempat, Pengawasan dan Evaluasi dapat dimaknai sangat luas sehingga
dapat menimbulkan tubrukan kewenangan dengan Pemerintan Daerah sebagai
penyelenggara daerah.
9
Dari permasalahan di atas, peneliti merasa perlu diteliti lebih lanjut dalam
sebuah tulisan yang berjudul penguatan kewenangan Dewan Perwakilan
Daerah dalam mengawasi dan mengevaluasi perda serta raperda
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Adapun masalah yang diidentifikasi oleh peneliti dalam penelitian skripsi
ini adalah sebagai berikut:
a. Lemahnya pengawasan dan evaluasi dpd terhadap perda serta raperda.
b. Terjadinya benturan kepentingan antara Pemerintah Pusat dengan DPD
dalam hal evaluasi Raperda.
c. Ketidak jelasan ruang lingkup terhadap pengawasan dan evaluasi oleh
DPD dapat menimbulkan pemaknaan yang luas.
d. Pengawasan Raperda oleh DPD bertentangan dengan konstitusi
dikarenakan pengawasan DPD hanya sebatas pelaksaan Undang-undang
yang berkaitan dengan otonomi daerah.
e. Lemahnya kewenangan DPD dalam Pengawasan dan Evaluasi Perda dan
Raperda.
2. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam skripsi ini, maka peneliti
membatasinya pada lemahnya kewenangan DPD dalam melakukan
pengawasan dan evaluasi peraturan daerah serta raperda.
3. Perumusan Masalah
Dari penjelasan di atas, jelas bahwa kewenangan DPD ini masih rancu
dan banyak terdapat ketidak pastian didalamnya, selain itu kewenangan DPD
ini dianggap sebagai bentuk campur tangan pemerintahan pusat terhadap
10
daerah. Masalah utama yang jadi fokus pembahasan adalah lemahnya
kewenangan DPD dalam melakukan pengawasan dan evaluasi perda serta
raperda. Dari permasalahan di atas peneliti rinci dalam bentuk pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimana proses penguatan kewenangan DPD RI dalam melakukan
pengawasan dan evaluasi perda serta raperda?
b. Apakah pengawasan dan evaluasi DPD terhadap peraturan daerah dan
rancangan perda sudah sesuai dengan konsep otonomi daerah di
Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk meliti permasalahan tentang kewenangan
DPD dalam mengawasi dan mengevaluasi perda dan raperda. Secara khusus
tujuan penelitian ini juga untuk menjawab pertanyan mengenai:
a. Untuk menjelaskan proses penguatan kewenangan DPD RI dalam
melakukan pengawasan dan evaluasi perda serta raperda
b. Untuk menjelaskan kesesuaian pengawasan dan evaluasi DPD terhadap
perda dan raperda terhadap konsep otonomi daerah di Indonesia
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat:
a. Manfaat Akademik
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran
mengenai kewenangan DPD dan menjadi bahan diskusi serta rujukan
bagi para akademisi, politisi, dan praktisi hukum yang ingin membahas
lebih lanjut terkait DPD.
11
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini di harapkan mampu memperlihatkan bagaimana
sesungguhnya tugas dan kewenangan DPD dalam melakukan
pengawasan dan evaluasi peratuan daerah.
H. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian dalam peneliti skripsi ini adalah penelitian hukum
normatif. Peneliti menjelaskan secara lengkap, rinci, jelas, dan sistematis
tentang beberapa aspek yang diteliti dalam perundang-undangan.15
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
perundang-undangan (Statute Approach) dan. Dalam metode pendekatan
Statute Approach peneliti perlu memahami hierarki, asas-asas dalam
peraturan perundang-undangan. Statute Approach adalah pendekatan dengan
menggunakan legislasi dan regulasi.
3. Bahan Hukum
1. Bahan Hukum Primier, berupa ketentuan ketentuan hukum dan peraturan
perundang undangan, catatan catatan resmi dalam risalah pembuatan
peraturan perundang undangan dan putusan-putusan hakim. Dalam
penelitian ini sumber data primier meliputi :
a) UUD NRI 1945;
b) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis
15 Muh. Abdul Kadir, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT. citra Aditya, 2004),
h. 101.
12
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
2. Bahan Hukum Sekunder, berupa buku buku, jurnal, kamus hukum,
komentar komentar putusan terkait dengan kewenangan Dewan
Perwakilan Daerah.
3. Bahan Hukum Tertier, berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
dan juga Kamus Hukum yang menjelaskan mengenai bahan hukum
peneliti.
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Didalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti
yaitu studi kepustakaan, peneliti mengumpulkan data-data yang berasal dari
Undang-Undang, Putusan Hakim, dan berbagai buku yang terkait dengan
penelitian ini.
5. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Teknik pengelolaan data yang peneliti gunakan dengan cara deskriptif
kualitatif dengan mengumpulkan bahan hukum penelitian kemudian bahan
hukum tersebut disederhanakan kebagian bagian yang diperlukan,
setelahnya peneliti menarik kesimpulan dari data-data tersebut.
6. Teknik Penulisan
Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan peneliti dalam skripsi ini
disesuakan kaidah-kaidah penulisan karya ilimiah dan buku “Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta 2017”
I. Sistematika Penelitian
Untuk menjelaskan isi skripsi secara menyeluruh secara terstruktur dan
sistematis maka skripsi ini disusun dengan sistematika penelitian yang terdiri
dari lima bab sebagai berikut:
13
BAB I : Bab ini merupakan pendahuluan, yang berisi latar belakang,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat
penelitian, metode penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB II : Merupakan kajian yang berisi kerangka konseptual, kerangka teori,
dan Tinjauan (Review) kajian terdahulu mengenai Penguatan
kewenangan, Dewan Perwakilan Daerah, Perda dan raperda, teori
negara kesatuan, teori hierarki, serta teori pengawasan.
BAB III : Didalam bab ini penulis menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan
Dewan Perwakilan Daerah di Indonesai yang memuat eksistensi DPD
di Indonesia, Kedudukan DPD di Indonesia serta tugas dan fungsi
DPD.
BAB IV : Bab ini merupakan inti dari penelitian skripsi didalam bab ini peneliti
memaparkan hasil analisis peneliti mengenai penguatan kewenangan
DPD dalam melakukan pengawasan dan evaluasi perda serta raperda,
serta kesesuaian kewenangan pengawasan dan evaluasi DPD terhadap
perda berdasarkan konsep otonomi daerah.
BAB V : Bab ini merupakan bab terakhir dalam penilitian didalam bab ini
berisikan kesimpulan dari bab bab sebelumnya dan juga dalam bab ini
berisikan rekomendasi.
14
BAB II
PENGAWASAN PERDA DAN RAPERDA
A. Kerangka Konseptual
Kerangka konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan
antara konsep-konsep khusus yang ingin atau akan diteliti.
Oleh karena itu untuk memperoleh gambaran tentang definisi dan makna maka
peneliti :
1. Penguatan Kewenangan
Penguatan kewenangan dalam hal ini kewenangan pengawasan dan
evaluasi yang dimiliki DPD dengan memberi penegasan dan pengembangan
kewenangan dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan oleh DPD
terhadap perda dan raperda.
2. Dewan Perwakilan Daerah
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (disingkat DPD RI atau
DPD), sebelum 2004 disebut Utusan Daerah, adalah lembaga tinggi negara
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang anggotanya merupakan
perwakilan dari setiap provinsi yang dipilih melalui Pemilihan Umum.
3. Pengawasan dan Evaluasi
Merupakan kewenangan yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Daerah
dalam melakukan perbuatan pengawasan, pengamatan, pencatatan, dan
penilaian terhadap peraturan daerah dan rancangan peraturan daerah.
4. Peraturan Daerah
Peraturan Daerah (Perda) adalah peraturan yang dibuat oleh pemerintah
daerah provinsi dan kabupaten atau kota. Perda termasuk dalam peraturan
perundang-undangan karena sejalan dengan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan Daerah dibuat untuk
15
melaksanakan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Perda juga dibuat
dalam rangka melaksanakan kebutuhan daerah.
5. Rancangan peraturan daerah
Merupakan peraturan daerah yang masih berbentuk rancangan sebelum
diundangkan, rancangan peraturan daerah meliputi proses perencanaan,
proses penyusunan, serta pembahasan oleh kepala daerah dan DPRD.
B. Kerangka Teori
1. Teori Negara Kesatuan
Negara kesatuan dapat dipahami sebagai suatu negara dimana
pemerintahan pusat memegang kendali tertinggi dalam penyelenggaraan
negara, untuk menjalankan tugasnya secara efektif olehkarenanya
pemerintahan pusat diawasi dan dibatasi oleh Undang-Undang. Secara
organisasional seluruh unit pemerintah yang dibentuk dibawah pemerintahan
pusat harus tunduk kepada pemerintahan pusat berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.1
Fred Isjwara dalam bukunya mengemukakan bahwa negara kesatuan
merupakan negara adalah bentuk negara kenegaraan yang paling kokoh
dibandingkan dengan negara federal ataupun konfederasi, dikarenakan dalam
negara kesatuan terdapat persatuan (Union) serta kesatuan (Unity).2
Negara kesatuan dapat dibedakan kedalam dua bentuk yaitu negara kesatuan
dengan sistem sentralisasi dan negara kesatuan dengan sistem desentralisasi3
a. Negara Kesatuan bersistem sentralisasi
1 Sadu Wasistiono, “Kajian Hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah
(Tinjauan dari Sudut Pandang Manajemen Pemerintahan)", Jurnal Administrasi Pemerintahan
Daerah, Volume I, Edisi Kedua 2004, h. 9. 2 Fred Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Cetakan Kelima, (Bandung, Binacipta, 1974), h.
188. 3 Samidjo, Ilmu Negara, (Bandung, CV Armico 2002), h. 164.
16
Dalam negara kesatuan bersistem sentralisasi seluruh urusan dalam
negara langsung diatur oleh pemerintahan pusat, sehingga pemerintahan
daerah menjalankan instruksi dari pemerintahan pusat.
b. Negara Kesatuan bersistem desentralisasi
Didalam negara kesatuan dengan sistem desentralisasi, daerah-daerah
diberikan kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri, karena tiap
daerah memiliki kebutuhan-kebutuhan yang berbeda (Otonomi Daerah) yang
disebut daerah otonom.
Dalam negara kesatuan bagian-bagian negara disebut dengan daerah, istilah
tersebut adalah istilah teknis untuk menyebut suatu bagian teritorial yang memiliki
pemerintahan sendiri dalam negara tersebut.4
Kata daerah ( gebiedsdeel ) dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa ada
sebuah lingkungan yang terbentuk dengan membagi kesatuan didalam
lingkungannya yang disebut dengan wilayah ( gebied ), atau dengan kata lain
daerah bermakna bagian atau unsur dari satu kesatuan lingkungan yang lebih
besar. Adanya pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah
otonom menurut Sri Soemantri adalah suatu wewenang yang diberikan bukan
karena ditetapkan oleh konstitusinya melainkan karena hal itu adalah hakikat
dalam negara kesatuan.5
Pemerintah pusat kepada daerah otonom adalah suatu wewenang yang
diberikan bukan karena ditetapkan oleh konstitusinya melainkan karena hal itu
adalah hakikat negara kesatuan. Alasan pemerintah pusat mendominasi
pelaksanaan pemerintahan dengan mengesampingkan hak pemerintah daerah
untuk terlibat langsung adalah untuk menjaga kesatuan dan integritas negaranya,
sehingga terkadang menyebabkan hubungan pemerintah pusat dan daerah menjadi
kurang baik dan memunculkan gagasan mengenai perubahan bentuk negara
menjadi negara federal.6
4 Ni'matul Huda, SH,M.Hum, Desentralisasi Asimetris dalam NKRI, (Bandung, Nusa
Media, Cetakan 1, 2014), h .3. 5 Ni'matul Huda, SH,M.Hum, Desentralisasi Asimetris dalam NKRI,... h.3. 6 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Pusat Studi Hukum
Fakultas Hukum UII, 2001), h. 32.
17
Pemencaran penyelenggaraan negara dan pemerintahan dalam satuan-
satuan teritorial dapat berbentuk dekonsentrasi teritorial, satuan otonomi teritorial
atau federal. Paling tidak ada 3 perbedaan bentuk hubungan pemencaran
penyelenggaraan negara dan pemerintahan:
a. Hubungan pusat dan daerah berdasarkan dekonsentrasi teritorial
b. Hubungan pusat dan daerah berdasarkan otonomi teritorial
c. Hubungan pusat dan daerah berdasarkan federal
Bentuk negara kesatuan Republik Indonesia merupakan amanat
UndangUndang Dasar 1945. Pasal 1 Ayat (1) dengan tegas menyatakan bahwa
"Negara Indonesia ialah negara kesatuan, yang berbentuk Republik". Prinsip
yang terkandung pada negara kesatuan ialah, bahwa yang memegang tampuk
kekuasaan tertinggi atas segenap urusan negara adalah Pemerintah Pusat (central
government) tanpa adanya gangguan oleh delegasi atau pelimpahan kekuasaan
kepada pemerintah daerah (local government).7
Tanggungjawab pelaksanaan pemerintahan tetap berada di tanagan
pemerintah pusat, namun dikarenakan salah satu asas yang dipergunakan dalam
sistem pemerintahan di Indonesia adalah asas negara kesatuan yang
didesentralisasikan maka ada tugas-tugas yang diurus sendiri oleh daerah
sehingga lahirlah hubungan kewenangan dan pengawasan antara pusat dan
daerah.8
Negara kesatuan adalah landasan batas dan isi dari otonomi sehingga
muncul aturan yang mengatur mekanisme keseimbangan tuntutan kesatuan
dengan tuntutan otomi kemudian memunculkan kemungkinan spanning dari
kondisi tarik menarik antara dua kecenderungan tersebut.
7 B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi
Manusia, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2003),h. 91. 8 Ni'matul Huda, SH,M.Hum, Desentralisasi Asimetris dalam NKRI,... , h. 3.
18
C.F. Strong mengemukakan tiga ciri negara kesatuan, yang seharusnya juga
tergambar di negara kesatuan yang desentralistis, sebagai berikut ini:9
1. Adanya supremasi dari Dewan Perwakilan Rakyat Pusat Dalam negara
kesatuan hanya ada satu lembaga legislatif atau pembentuk undang-
undang yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Pusat. Dewan ini mempunyai
supremasi dalam menjalankan fungsi perundang-undangan
(regelgeving), sehingga produk yang dibuatnya merupakan produksi
hukum yang berderajat lebih tinggi dibanding dengan produk hukum
yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat di Daerah.
2. Tidak adanya badan-badan lainnya yang berdaulat. Ciri ini menegaskan
bahwa dalam negara kesatuan tidak ada lembaga lain yang memegang
kedaulatan selain dewan perwakilan rakyat yang berkedudukan di pusat.
Dengan demikian daerah hanya menjalankan kewenangan yang
diberikan oleh pusat.
3. Kekuasaan tertinggi ada di Pemerintah Pusat. Dalam negara kesatuan
yang didesentralisasikan, meskipun kekuasaan pemerintah dapat
dilimpahkan kepada pemerintah daerah namun keputusan terakhir tetap
berada di pemerintah pusat. Dalam negara kesatuan hanya ada satu
pemerintah, yaitu pemerintah pusat. Pemerintah daerah dibentuk hanya
untuk memudahkan dan mengoptimalkan pelaksanaan urusan
pemerintah yang ada di daerah agar lebih sesuai dengan kebutuhan
masyarakat daerah.
Bentuk NKRI diselenggarakan dengan otonomi daerah yang seluas-luasnya
sehingga daerah berhak mengatur daerahnya berdasarkan potensi dan kekayaan
yang dimilikinya akan tetapi tetap dengan sokongan dan pengawasan pemerintah
pusat.10
9 C.F.Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern Kajian Tentang Sejarah & Bentuk-
bentuk Konstitusi Dunia,(Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004),h. 65. 10 Astim Riyanto, Aktualisasi Negara Kesatuan Setelah Perubahan Atas Pasal 18 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Bandung: Disertasi Program Pascasarjana
Universitas Padjadjaran, 2006), h. 405.
19
2. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan
Lahirnya hierarki Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, secara
filosofis tidaklah dapat dilepaskan dari adanya sebuah konsep negara hukum
klasik (rechstaat ataupun rule of law). Konsep negara hukum klasik
sebagaimana digagaskan oleh Albert Venn Dicey menghasilkan salah satu
kesimpulan bahwa supremasi hukum dihadirkan untuk menjadi sebuah
perlawanan terhadap pemerintahan yang sewenang-wenang, yang selanjutnya
Dicey menegaskan, “it means in the first place, the absolute supremacy or
predominance of regular law as opposed to the influence of arbitrary power, and
excludes the existence or arbitrariness, of prerogative, or even of wide
discretionary authority on the part of government11. Sehingga penegasan
mengenai hal-hal yang penting dalam pemerintahan dituangkan kedalam bentuk
hukum dan hukum menjadi kekuasaan tertinggi.
Konsep tersebut seiring dengan perkembangan zaman, perlahan terus
mendapat perbaikan, hal ini dikarenakan pada supremasi hukum tersebut
dijelmakan dalam suara parlemen (supremasi parlemen) yang memegang
peranan penting sebagai pusat politik melalui manifestasi demokrasi perwakilan
yang mewakili seluruh rakyat dengan sistem aturan mayoritas (majority rule)12,
yang hal tersebut menimbulkan konsekuensi logis bahwa dengan dianutnya
sistem berdasarkan mayoritas, akan ada hak-hak minoritas yang akan
tersingkirkan. Sehingga seiring perkembangan zaman, konsep negara hukum
dibanyak negara saat ini, telah bergeser dari supremasi parlemen menjadi sebuah
konsep supremasi konstitusi, yakni UUD 1945 sebagai hukum fundamental atau
statefundamentalnorm.
Konstitusi (tertulis) mengatur sebuah mekanisme-mekanisme sistem
perwakilan ataupun pemerintahan yang demokratis kedalam sebuah aturan-
aturan tertulis didalam konstitusi itu sendiri yang hal tersebut jika dilihat dalam
UUD 1945 diwujudkan dalam Pasal 1 Ayat (2) dan (3) UUD 1945 yang secara
11 Albert Venn Dicey, Introduction To The Study Of The Law Of The Constitution, (London:
Macmillan, 1961, 10th Ed), h. 202. 12 Alec Stone Sweet, “Constitutional Courts and Parliamentary Democracy (Special Issue
On Delegation)”, (West European Politics, Volume 25, Nomor 1, Januari 2002), h. 78-79.
20
rasio legis akan sampai pada kesimpulan bahwa, negara demokrasi yang
dijalankan menurut Undang-Undang Dasar 1945 atau negara demokrasi
konstitusional (constitutional democratic of state). Konsep negara demokrasi
konstitusional tersebut yang terilhami dari pandangan Immanuel Kant (karena
menggunakan tradisi Eropa Kontinental) mengutarakan unsur-unsurnya yakni,
perlindungan hak asasi manusia, pemisahan dan pembagiaan kekuasaan,
pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan peradilan
adminsitrasi dalam perselisihan.13
Peraturan Perundang-Undangan (hukum tertulis) yang merupakan salah
satu unsur hukum sebagaimana dikemukakan Immanuel Kant ialah kerangka
hukum dari yang tertinggi (konstitusi) dan sampai yang terendah bertujuan untuk
sebuah implementasi dari kepastian hukum, yang menjadikan konstitusi sebagai
sumber hukum baik formil maupun materil dari segala pembentukan peraturan
perundang-undangan dibawahnya agar tidak bertentangan peraturan diatasnya
dan juga sekaligus sebagai bentuk pengawasan terhadap lembaga-lembaga
negara agar tidak keluar dari apa yang telah diamanatkan didalam konstitusi yang
berujung pada pelanggaran hak-hak asasi rakyat yang telah tertuang didalam
konstitusi, karena sejatinya konstitusi diartikan sebagai bentuk daripada
penyertaan mendasar suatu bangsa tentang hal yang mereka anggap sebagai nilai
dasar (hak asasi manusia) dan mereka tunduk terhadap konstitusi yang mereka
buat sendiri begitu juga dengan negara.14
Konstitusi sebagai hukum tertulis tersebut diadopsi dalam konsepsi dari
yang tertinggi hingga yang terendah, yang hal tersebut berasal dari teori
stufenbau (stufenbau theory) atau teori hierarki peraturan perundang-undangan
sebagaimana digagaskan oleh Hans Kelsen, bahwa konsep daripada suatu
norma, bersumber dari norma yang lebih tinggi hingga pada puncak norma
hukum dasar (Staatsfundamentalnorm), norma hukum dasar tersebut terilhami
dari konsep filosofis atau norma dasar yang bersifat abstrak dari sebuah negara
13 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), h.
3. 14 I Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi (Dasar Pemikiran, Kewenangan, dan
Perbandingan dengan Negara Lain), (Jakarta: Konstitusi Press, 2018), h. 18.
21
tersebut yang disebut dengan kaidah dasar atau norma dasar (Grundnorm) yang
memiliki konsepsi abstrak dan menjadi sumber hukum materil dalam setiap
pembentukan norma hukum dasar dan norma-norma dibawahnya.15
Teori hierarki peraturan perundang-undangan tersebut kemudian
dikembangkan lebih lanjut Hans Nawiasky, yang menyatakan bahwa konsepsi
peraturan perundang-undangan tersebut, tidaklah tepat jika norma dasar
(Grundnorm) yang disebutkan oleh Hans Kelsen tersebut disebut sebagai norma
dasar, melainkan Hans Nawiasky menyatakan bahwa yang disebut norma dasar
adalah konsep living law yang tidak akan dapat diubah ataupun berubah. Norma
dasar tersebut sebagaimana disebutkan oleh Hans Kelsen, lebih lanjut disebutkan
oleh Hans Nawiasky ialah sebagai norma hukum dasar (statefundamentalnorm)
yang menjadi dasar terbentuknya sebuah aturan dibawahnya seperti konstitusi
(staatgrundgezetz)16. Akan tetapi, konsepsi yang ditawarkan oleh Hans
Nawiasky justru tidaklah relevan dengan apa yang terimplementasi oleh
Undang-Undang, karena pada dasarnya sebagaimana disebutkan dalam Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, bahwa Pancasila disebutkan sebagai norma dasar karena dijadikan
sebagai sumber dari segala sumber hukum negara yang tidak hanya menjadi
pedoman pada pembentukan UUD 1945, melainkan seluruh peraturan yang ada
dibawah UUD 1945 itu sendiri.
Implikasi daripada dianutnya sebuah peraturan perundang-undangan,
artinya sebuah norma mempunyai sebab (timbul) nya norma tersebut, dan
menjadi dasar (timbul) nya norma lainnya yakni dibawahnya, hal itu karena
menurut Adolf Melker, bahwa suatu norma hukum memiliki dua sisi berbeda,
yaitu hukum mengarah keatas saat bersumber dari hukum diatasnya dan
kebawah saat norma hukum tersebut menjadi dasar pembentukan norma
dibawahnya17 Pembentukan-pembentukan peraturan perundang-undangan
15 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York, Rusell & Rusell, 1945), h.
113. 16 Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta:
Konstitusi Press, 2006), h. 170. 17 Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan),
(Yogyakarta: PT Kanisius, 2007), h. 41.
22
demikian, seperti hal nya pembentukan konstitusi atau pembentukan norma
hukum dibawahnya harus selaras dengan norma diatasnya sebagai konsekuensi
logis daripada adanya hirarki peraturan perundang-undangan dibawah tersebut.
Jika peraturan dibawah konstitusi langsung seperti Undang-Undang atau
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut harus tetap
konstitusional dengan konstitusi, dan jika peraturan perundang-undangan
dibawah undang-undang harus tetap legal dengan undang-undang diatasnya.
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dibawah konstitusi sejatinya
tidak hanya berdasarkan konstitusi sebagai hukum formil, melainkan juga
pancasila sebagai sumber hukum materil atau sebagai living law yang harus terus
hidup dan dihidupkan dalam setiap kehidupan berbangsa dan bernegara, yang
hal tersebut merupakan syarat mutlak dalam sebuah pembentukan suatu
peraturan. Penyertaan Pancasila sebagai hukum materil dalam setiap peraturan
perundang-undangan, berakhir pada pemaknaan oleh setiap unsur-unsur negara
terhadap peraturan perundang-undangan bahwa sebuah hukum tidak hanya
sebatas teks-teks semata, melainkan terdapat nilai-nilai yang terkandung didalam
hukum itu sendiri18 yang disebut sebagai hukum materil atau living law melalui
manifestasi Pancasila, konsepsi Pancasila merupakan sumber (materil) dari
segala sumber hukum telah diakomodir didalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011.
Hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, didalam Pasal 7 disebutkan bahwa yang
menjadi hukum negara tertinggi ialah UUD 1945, diikuti dengan TAP MPR, UU
atau Perppu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan daerah.
UUD 1945 memuat hukum dasar negara yang berisi jaminan terhadap hak-hak
asasi warga negara, susunan ketatanegaraan yang fundamental, dan pembagian,
pembatasan tugas ketatanegaraan yang bersifat mendasar19, Undang-Undang
memuat sebuah norma yang bersifat nasional dan merupakan pendelegasian
18 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara,
2007), h. 20. 19 Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: Penerbit Alumni,
2006), h. 60.
23
langsung dari UUD 1945 dan merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal
policy) dari pembentuk undang-undang, lebih lanjut mengenai materi muatan
Undang-Undang, harus memuat pemahaman negara berdasarkan atas hukum dan
berdasarkan sistem konstitusi.
Makna pemahaman negara berdasarkan atas hukum, harus memuat
Polizeistaat yakni sebuah pemahaman akan sebuah terbentuknya Undang-
Undang bukan berasal dari pemerintahan yang absolut, melainkan dari rakyat.
Rechstaat sebagai yang diartikan negara hukum penjaga malam, yakni
melakukan perlindungan terhadap hak asasi manusia dan pembagian atau
pemisahan kekuasaan. Rechstaat formal yang didasarkan pada perlindungan hak
asasi manusia, pemisahan atau pembagian kekuasaan, prinsip pemerintahan
berdasarkan undang-undang yang tentunya dibuat atas nama kedaulatan rakyat,
serta adanya peradilan administrasi, dan yang terakhir adalah Rechstaat material
atau sosial yang diartikan sebagai prinsip pemerintahan yang menciptakan
kemakmuran rakyat yang ditujukan dalam tujuan negara pada alinea keempat
preambule UUD 1945.20
Selanjutnya adalah materi muatan Peraturan Pemerintah ialah
pendelegasian daripada apa yang telah ditentukan oleh undang-undang,
selanjutnya Peraturan Presiden yang dalam hal ini ialah menjalankan apa yang
telah menjadi perintah undang-undang, melaksanakan Peraturan Pemerintah,
ataupun sebagai penyelenggaraan kekuasaan pemerintah (eksekutif). Setelah
peraturan-peraturan yang disebutkan sebelumnya, peraturan daerah merupakan
peraturan yang paling rendah, hal ini dikarenakan sifatnya yang tidak nasional
dan dibentuk bukan oleh pemerintahan pusat, namun oleh pemerintahan daerah.
Peraturan daerah sejatinya berisi hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan
otonomi daerah sebagaimana diamanatkan melalui Pasal 18 UUD 1945, yang hal
tersebut dapat dimaknai sebagai kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi
kewenangan yang tidak hanya berbicara mengenai pengalihan kewenangan
20 Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi, dan Materi
Muatan,… h. 237.
24
pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah, tetapi juga ditujukan untuk
mendorong tumbunya kemandirian pemerintahan daerah sendiri sebagai penentu
yang akan menentukan keberhasilan kebijakan otonomi daerah itu sendiri21 dan
juga merupakan penjabaran lebih lanjut daripada peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi daripada konsekuensi negara kesatuan yang berbasiskan
otonomi daerah, sementara TAP MPR itu sendiri merupakan sebuah bentuk
hukum dalam peraturan perundang-undangan yang tidak dapat dikeluarkan
kembali, di satu sisi hal ini dikarenakan MPR baik melalui UUD 1945 ataupun
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
tidak lagi memiliki wewenang untuk mengeluarkan produk hukum demikian
yang bersifat mengatur (regelling) dan mengikat untuk lembaga lain, melainkan
TAP MPR yang dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 ialah Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan
Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majels Permusyawaratan Rakyat
Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sanoau
Tahun 2002, artinya ketentuan tersebut bermaksud menerapkan isi konstitusi
didalam Aturan Tambahan Pasal I UUD 1945 yang mengharuskan MPR untuk
melakukan peninjauan kembali terhadap ketetapan-ketetapannya.
Setelah mencermati materi-materi muatan hierarki peraturan perundang-
undangan yang merupakan sebuah kumpulan peraturan dari yang tertinggi
hingga terendah, maka akan timbul permasalahan dimana sebuah peraturan
setidaknya pernah mengalami kecacatan baik dari segi formil maupun
materilnya, hal ini dikarenakan sebuah peraturan tersebut dikeluarkan oleh
lembaga negara yang merupakan bagian dari suprastruktur politik yang
merupakan konsep dari negara sebagai organisasi kekuasaan. Sebagai organisasi
kekuasaan pastinya tidak terlepas dari apa yang telah dikatakan Lord Acton,
“Power Tends to Corrupt and Absolut Power, Corrupt Absolutely”22 yang hal
tersebut dapat saja bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, terlebih
21 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h.
227. 22 Sri Soemantri, Hukum Tata Negara Indonesia Pemikiran dan Pandangan, (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2014), h. 8.
25
konsepsi negara hukum yang dianut Indonesia, mengharuskan adanya supremasi
hukum yang terpusat pada UUD 1945 sebagai supreme of the land. konsekuensi
daripada supremasi hukum (konstitusi) tersebut mengharuskan adanya sebuah
pengadilan yang dapat melakukan penafsiran terhadap hukum itu sendiri,
terlebih proses penafisran terhadap konstitusi karena pada dasarnya menafsirkan
konstitusi ialah pada hakikatnya mempertahankan konstitusi sebagai hukum
dasar yang akan dijadikan acuan oleh peraturan-peraturan dibawahnya untuk
tidak bertentangan dengan konstitusi itu sendiri23. Jika dikontekstualisasikan
dengan kewenangan yang ada saat ini, maka untuk mengadili peraturan
perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang
adalah kewenangan Mahkamah Agung dan kewenangan mengadili Undang-
Undang terhadap UUD 1945 adalah kewenangan MK, yang hal tersebut
disediakan semata-mata ditujukan untuk menegakkan prinsip konstitusi itu
sendiri sebagai hukum fundamental negara Indonesia. Lebih lanjut Alec Stone
Sweet menegaskan “… a constitutionally established, independent organ of the
state whose central purpose is defend the normative superiority of the
constitutional law within the judicial order24” yang hal tersebut menegaskan
penting adanya sebuah kewenangan hakim untuk menilai sebuah
konstitusionalitas daripada produk hukum yang dikeluarkan oleh lembaga
negara sebagai konsekuensi dari prinsip negara hukum yang dianut Indonesia
melalui Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang berbunyi baha “Negara Indonesia adalah Negara Hukum
3. Teori Pengawasan
Pengawasan diartikan sebagai proses untuk memastikan bahwa tujuan dari
organisasi berjalan sesuai dengan tujuannya
Pengawasan terhadap pemerintahan daerah terdiri atas pengawasan hirarki
dan pengawasan fungional. Pengawasan hirarki berarti pengawasan terhadap
23 I Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi (Dasar Pemikiran, Kewenangan, dan
Perbandingan dengan Negara Lain),… h. 67. 24 I Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi (Dasar Pemikiran, Kewenangan, dan
Perbandingan dengan Negara Lain),… h. 51.
26
pemerintah daerah yang dilakukan oleh otoritas yang lebih tinggi. Pengawasan
fungsional adalah pengawasan terhadap pemerintah daerah, yang dilakukan
secara fungsional baik oleh departemen sektoral maupun oleh pemerintahan
yang menyelenggarakan pemerintahan umum (departemen dalam negeri).25
Menurut Bagir Manan sebagaiman dikutip oleh Hanif Nurcholis,
menjelaskan bahwa hubungan antara pemeritah pusat dengan pemerintah daerah
sesuai dengan UUD 1945 adalah hubungan yang desentralistik. Artinya bahwa
hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah hubungan
antara dua badan hukum yang diatur dalam undang-undang terdesentralisasi,
tidak semata-mata hubungan antara atasan dan bawahan. Dengan demikian
pengawasan terhadap pemerintahan daerah dalam sistem pemerintahan
Indonesia lebih ditujukan untuk memperkuat otonomi daerah, bukan untuk
”mengekang” dan ”membatasi”. Selanjutnya, pengawasan yang dikemukakan
oleh Victor M. Situmorang, pengawasan adalah setiap usaha dan tindakan dalam
rangka mengetahui sejauh mana pelaksanaan tugas yang dilaksanakan menurut
ketentuan dan sasaran yang hendak dicapai.26
Tipe- Tipe Pengawasan Dilihat dari tipenya, pengawasan ini memiliki tiga
tipe pengawasan, yaitu : 27
a. Pengawasan pendahuluan (steering controls). Pengawasan ini
direncanakan untuk mengatasi masalah-masalah atau
penyimpanganpenyimpangan dari standar atau tujuan dan
memungkinkan koreksi dibuat sebelum suatu kegiatan tertentu
diselesaikan.
b. Pengawasan yang dilakukan bersama dengan pelaksanaan kegiatan
(Concurrent Contrls). Pengawasan ini dilakukan selama suatu kegiatan
berlangsung. Tipe pengawasan ini merupakan proses dimana aspek
25 Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah,(Jakarta:
Penerbit Grasindo, 2007) h. 312. 26 Makmur, Efektivitas Kebijakan Kelembagaan Pengawasan,(Bandung: Refika Aditama,
2011), h. 176. 27 Makmur, Efektivitas Kebijakan Pengawasan,... h. 176.
27
tertentu harus dipenuhi dahulu sebelum kegiatan-kegiatan bisa
dilanjutkan atau menjadi semacam peralatan “double check” yang lebih
menjamin ketetapan pelaksanaan suatu kegiatan.
c. Pengawasan umpan balik yaitu pengawasan yang megukur hasil-hasil
dari kegiatan tertentu yang telah diselesaikan. Menurut Handayaningrat
Pengawasan ialah suatu proses dimana pimpinan ingin mengetahui
apakah hasil pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan oleh bawahannya
sesuai dengan rencana, perintah, tujuan atau kebijaksanaan yang telah
ditentukan.
Melihat dari tipe-tipe pengawasan tersebut maka suatu pemerintah yang
baik perlu melakukan pengawasan terhadap bawahanya dengan melihat proses
pelaksanaan program atau hasil dari kegiatan yang telah diselesaikan.
Dalam melakukan pengawasan terdapatdua proses pengawasan yang dapat
dilakukan yaitu dengan cara preventif dan represif serta aktif dan pasif.
a. Pengawasan Preventif dan Refressif Pengawasan terhadap
penyelenggaraan pemerintah daerah dilakukan secara preventif dan
secara represif. Pengawasan prefentif dilakukan sebelu suatu keputusan
pemernerintah daerah mulai berlaku dan terhadap peraturan Daerah
sebelum peraturan itu diundangkan pengawasan preventif tidak
dilakukan terhadap semua keputusan atau peraturan mengenai hal-hal
tertentu, yang menurut ketentuan dalam Peraturan Pemerintah atau
Undang-Undangbaru dapat berlaku sesudah memperoleh pengesahan
dari pejabat yang berwenang. Wujud dari pengawasan preventif ialah
memberi pengesahan atau tidak pengesahan. Pengawasan secara
repressif dapat dilakukan pada setiap saat dan terhadap semua
keputusan dan Peraturan Daerah. Wujud dari pengawasan represif ialah
membatalkan atau menangguhkan berakunya suatu Peraturan Daerah.
Menangguhkan merupakan suatu tindakan persiapan dari suatu
pembatalan, akan tetapi yang demikian itu tidak berarti bahwa setiap
28
pembatalan harus selalu didahului oleh suatu penangguhan, ataudengan
perkataan lain, pembatalan dapat dilakukan tanpa adanya penangguhan
lebih dahulu. Instansi yang berwenang menjalankan pengawasan adalah
pejabat berwenang.28
b. Pengawasan Aktif dan Pasif Pengawasan dekat (aktif) dilakukan
sebagai bentuk “Pengawasan yang dilaksanakan di tempat kegiatan
yang bersangkutan “Hal ini berbeda dengan pengawasan jauh (pasif)
yang dilakukan melalui, “ Penelitian dan pengujian terhadap surat-surat
pertanggungjawaban yang disertai dengan bukti-bukti penerimaan dan
pengeluaran”. Disisi lain, Pengawasan berdasarkan pemeriksaan
kebenaran formil menurut hak (rechmatigheid) adalah “pemeriksaan
terhadappengeluaran apakah telah sesuai dengan peraturan, tidak
kadaluarsa, dan hak itu terbukti kebenaranya”. Sementara, hak
berdasarkan kebenaran materil mengenai maksaud tujuan pengeluaran
( doelmatighid) adalah “pemeriksaan terhadap pengeluaran apakah
telah memenuhi prinsip ekonomi, yaitu pengeluaran tersebut diperlukan
dan beban biaya yang sederhana mungkin.”29
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
1. Skripsi milik Lina Puji Lestari30
Pada skripsi ini persamaan pembahasan mengenai kewenangan DPD dalam
pengawasan dan evaluasi perda serta raperda, namun tidak membahas
mengenai penguatan kewenangan DPD tersebut, fokus pembahasan pada
skripsi ini ialah pada kewenangan DPD dalam pengawasan dan evaluasi perda
sera raperda ditinjau berdasarkan fiqh siyasah. Sehingga ada perbedaan yang
28 Irwan Soejito, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Jakarta: PT Rineke
Cipta, 1990), h. 148. 29 Irwan Soejito, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah..., h. 149. 30 Lina Puji Lestari, “Kewenangan DPD RI dalam melakukan pemantauan dan evaluasi
perda menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 dan Fiqh Siyasah”, (Surabaya: UIN Sunan
Ampel, 2018)
29
signifikan antara skripsi peneliti yang membahas mengenai penguatan DPD
tersebut.
2. Skripsi milik Siti Amiati31
Pada skripsi ini peneliti membahas mengenai kedudukan DPD dalam
melakukan legislasi dengan mengkaji berdasarkan prinsip keadilan dan
persamaan dalam Al-Quran. Persamaan dengan penelitian terdahulu ialah
membahas lembaga DPD namun penelitian terdahulu tidak membahas
megenai kewenangan DPD dalam melakukan pengawasan dan evaluasi perda
sertara perda.
3. Skripsi milik Bagus Setiawan32
Pada skripsi ini fokus pembahasannya ialah pada kedudukan DPD dalam
sistem ketata negaraan berdasarkan persfektif Siyasah Dusturiyah, kesamaan
dengan peneliti sebelumnya yaitu sama-sama membahas mengenai DPD,
namun dalam penelitian sebelumnya tidak membahas mengenai kewenangan
DPD dalam melakukan pengawasan dan evaluasi perda serta raperda.
4. Jurnal milik Firman Manan33
Dalam jurnal ini membahas mengenai kedudukan DPD sebagai kamar kedua
parlemen namun dalam jurnal tersebut tidak membahas mengenai
kewenangan DPD dalam melakukan pengawasan dan evaluasi perda serta
raperda.
5. Buku milik Trimedya Panjaitan34
31 Siti Amiati, “Kedudukan DPD RI Dalam Proses Legislasi Perspektif Prinsip Keadilan
dan Prinsip Persamaan Dalam Al-Quran”, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2017). 32 Bagus Setiawan, “Kedudukan DPD RI Dalam Sistem Tata Negara Indonesia Perspektif
Siyasah Dusturiyah”, (Lampung: UIN Raden Intan, 2017) 33 Firman Manan, “Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dalam Sistem
Pemerintahan Republik Indonesia”, Jurnal Ilmu Pemerintahan, Vol., 1 No. 1, (April 2015). 34 Trimedya Panjaitan, Parlemen dan Penegak Hukum di Indonesia, (Jakarta: Exposes,
2016)
30
Dalam buku ini membahas terkait peran parlemen sebagai pembentuk hukum
dalam penegakan hukum di Indonesia, namun dalam buku ini tidak
membahas mengenai kewenangan pengawasan dan evaluasi DPD terhadap
perda serta raperda.
31
BAB III
DEWAN PERWAKILAN DAERAH DI INDONESIA
A. Eksistensi Dewan Perwakilan Daerah
DPD lahir dipengaruhi oleh dua arus besar pemikiran yang menginstalasi
lembaga baru pada legislatif Indonesia. Arus pertama: terlihat adanya reformasi,
khususnya demokrasi yang sudah berjalan lama hingga transfer pemerintahan
dari Suharto ke B.J. Habibi. Kedua: adanya otonomi daerah yang mereaksi
sentralisasi pemerintahan pada dua rezim.1 Kedua arus inilah pada yang pada
akhirnya melahirkan tatanan konstitusi baru, dimana DPD RI menjadi lembaga
baru yang dibentuk atas hasil amandemen konstitusi.2
Kedua latar belakang tersebut dapat terlihat dengan jelas dari proses
pembahasan Perubahan UUD 1945. Berkaca dari masa lalu di mana salah satu
cara melestarikan otoritarianisme adalah dengan memperkuat dukungan dari
MPR dan DPR dengan cara mengisi sebagian besar anggota MPR dengan cara
pengangkatan, muncullah tuntutan agar semua anggota lembaga perwakilan,
yaitu DPR dan MPR, dipilih oleh rakyat. Bahkan pendapat ini mengemuka
hampir di setiap forum Uji Sahih Rancangan Perubahan UUD 1945 yang
dilakukan di 13 daerah. Pendapat bahwa semua anggota lembaga perwakilan
harus dipilih oleh rakyat dapat dilihat di antaranya dalam sidang Komisi A MPR
RI pada rapat Komisi A tanggal 5 November 2001.3
Latar belakang kedua terbentuknya DPD adalah untuk mengakomodasikan
kepentingan daerah dalam kebijakan nasional demi menjaga integrasi nasional.
1 John Pieris dan Aryanti Baramulis Putri, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia:
studi, analisis, kritik, dan solusi kajian hukum dan politik, (Jakarta: Pelangi Cendekia, 2006), h.
102. 2 M. Yusuf, Dewan Perwakilan Daerah: Arsitektur Histori, Pera dan Fungsi DPD RI
Terhadap Daerah di Era Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h. 23. 3 Muchamad Ali Safa’at, “Dewan Perwakilan Daerah sebagai Lembaga Perwakilan Daerah
dan Proses Penyerap Aspirasi”, Artikel Jurnal Hukum, Vol. 1 No. 1 h. 2.
32
Kecenderungan sentralisasi kekuasaan pada masa Orde Baru telah melahirkan
ketimpangan antara pusat dengan daerah yang banyak melahirkan kekecewaan
dan ketidakadilan kepada daerah. Masalah ini menguat dengan isu disintegrasi
bangsa dalam bentuk ancaman beberapa daerah untuk memisahkan diri dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Isu ini selanjutnya bergeser ke arah
pewacanaan negara federal dan berujung pada pemberian otonomi yang luas,
nyata, dan bertanggungjawab melalui Undang-Undang 22 Tahun 1999.4
Bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) diharapkan menjadi salah satu
kamar dari sistem parlemen dua kamar (bicameral) dalam format baru
perwakilan politik Indonesia. Jika DPR RI merupakan parlemen yang mewakili
penduduk yang diusung oleh partai politik, sementara DPD adalah parlemen
yang mewakili wilayah atau daerah dalam hal ini propinsi tanpa mewakili dari
suatu komunitas atau sekat komunitas di daerah (antara lain yang berbasis
ideologi atau parpol), melainkan figur-figur yang bisa mewakili seluruh elemen
yang ada di daerah.5
Upaya lain untuk menjaga integrasi nasional adalah dengan memberikan
ruang kepada daerah ikut serta menentukan kebijakan nasional yang
menyangkut masalah daerah melalui Utusan Daerah yang disempurnakan
menjadi lembaga tersendiri. Oleh karena itu DPD dapat dikatakan sebagai upaya
institusionalisasi representasi teritorial keterwakilan wilayah.6
Perhatian besar terhadap fungsi legislasi dan pengawasan DPD RI
memfungsikansikan lembaga negara ini dapat menjalankan kedua fungsi itu
4 Muchamad Ali Safa’at, “Dewan Perwakilan Daerah sebagai Lembaga Perwakilan Daerah
dan Proses Penyerap Aspirasi”,... h. 2. 5 Miki Pirmansyah, “Eksistensi Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem Bikameral di
Indoneisa”, Jurnal Cita Hukum, Vol.1 No. 1 (Juni 2014), h. 164. 6 Dody Nur Andriyan, “Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Dalam Perspektif
Teori Bicameralisme” Volkgeist Jurnal Ilmu Hukum dan Konstitusi, Vol. 1 No. 1 (Juni 2018) h.,
58.
33
dengan baik dan berhasil. Dalam struktur kekuasaan legislatif yang baru di
Indonesia, DPD RI, lahir sebagai konsekuensi dari proses reformasi kekuasaan
legislatif. Dengan legitimasi yang kuat dan dan besar dari pada konstituennya,
sangatlah wajar bila harapan mereka di tingkat nasional. DPD RI dijadikan
sebagai jembatan sebagai penghubung pusat dari daerah. Mengingat DPD RI
sebagai perwakilan Ruang/Distrik bukan wakil kelompok atau partai seperti
DPR RI.7
Dalam hal berdirinya DPD RI penulis meminjam argumentasi yang ditulis
oleh Mahfud MD dalam bukunya berjudul politik hukum di Indonesia bahwa
hukum merupakan produk politik.8 Alasan tersebut lahir ditandai dengan adanya
determinasi antara politik dan hukum, politik determinasi hukum begitu juga
sebaliknya hukum determinasi politik. Itu merupakan konsekuensi logis karena
proses amandemen konstitusi dilaksanakan oleh Dewan legislatif lama yang
didominasi oleh Partai Politik yang belum selesai direformasi, tanpa melibatkan
DPD RI yang ketika itu memang belum terbentuk.
Kajian mengenai pembentukan DPD RI berawal dari perubahan UUD 1945
yang melahirkan konstitusi baru. Menjadi ketertarikan tersendiri karena,
pertama: dalam sejarah indonesia baru pertama kali mengamandemen UUD
1945. Kedua: merupakan usaha untuk memformat demokrasi indonesia. Ketiga:
terjadinya pro dan kontra antar fraksi di MPR RI. Keempat, terjadi perdebatan
sejauh mana amandemen tersebut dilakukan. Kelima: adanya dinamika yang
melibatkan masyarakat sipil seperti LSM, tim ahli konstitusi, akademisi dan
lainnya.9 Melihat adanya dua kelompok di MPR RI maka dapat digolongkan
7 John Pieris dan Aryanti Baramulis Putri, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia:
studi, analisis, kritik, dan solusi kajian hukum dan politik,...h. 24. 8 Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 5. 9 Valina Singka Subekti, Menyusun konstitusi transisi : pergulatan kepentingan dan
pemikiran dalam proses perubahan UUD 1945, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,2008), h. 8.
34
menjadi, Pertama: reformis progresif, yang menginginkan amandemen luas, dan
kedua: reformis moderat, yang menginginkan amandemen terbatas.10
Sistem bikameral adalah wujud Institusional dari lembaga perwakilan atau
parlemen sebuah Negara yang terdiri atas dua kamar (Majelis). Majelis yang
anggotanya dipilih dan mewakili rakyat yang berdasarkan jumlah penduduk
secara generik disebut majelis pertama atau majelis rendah dan dikenal juga
sebagai lembaga perwakilan. Majelis yang anggotanya dipilih atau diangkat
dengan dasar lain (bukan jumlah penduduk) disebut sebagai majelis kedua atau
majelis tinggi dan disebagian negara disebut senat.11
Sejalan dengan tuntutan demokrasi guna memenuhi rasa keadilan
masyarakat di daerah, memperluas serta meningkatkan semangat dari kapasitas
partisipasi daerah dalam kehidupan nasional serta untuk memperkuat Negara
Kesatuan Republik Indonesia, maka dalam rangka pembaharuan konstitusi,
MPR RI membentuk sebuah lembaga perwakilan baru, yakni Dewan Perwakilan
Daerah Republik Indonesia.
Secara teoritis, konsep keterwakilan dalam sistem perwakilan rakyat terdiri
atas dua jenis, yaitu keterwakilan dalam gagasan (representation in ideas) dan
keterwakilan dalam kehadiran (representation in presence). Keterwakilan
penduduk di DPR atau the Lower House pada dasarnya merupakan keterwakilan
dalam gagasan karena pemilihan terhadap partai atau calon anggota legislatif
semata-mata berdasarkan atas program, prefensi, dan aspirasi politik yang
mereka ajukan dan disetujui rakyat yang memilihnya. Kelemahan keterwakilan
ini adalah anggota DPR atau the Lower House lebih banyak mengklaim sebagai
wakil rakyat sehingga tidak pernah jelas siapa yang mewakili rakyat.12
10 Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2010), h. 71. 11 Ginandjar Kartasasmita, “Dewan Perwakilan Daerah Dalam Perspektif
Ketatanegaraan Indonesia”, Jurnal Majelis, Vol. 1, No. 1, (Agustus 2009), h. 78. 12 Joko J Prihatmoko, Pemilu 2004 dan Konsolidasi Demokrasi, (Semarang: LP2I dan
LP3M Unwahas, 2003), h. 116.
35
Karena itu muncul tuntutan bahwa keterwakilan gagasan harus dilengkapi
dengan keterwakilan dalam kehadiran yaitu rakyat, melalui calon yang
dipilihnya sendiri, hadir mewakili dirinya sendiri dalam lembaga perwakilan,
yang terwujud dalam DPD atau the After House. Keterwakilan ini tidak hanya
tampak dalam tuntutan bahwa kelompok masyarakat tertentu terwakili oleh
kehadiran wakilnya sendiri (seperti kelompok perempuan oleh wakil perempuan
) tetapi juga tampak pada calon perseorangan yang dicalonkan dan dipilih dari
dan oleh para warga masyarakat.13
Setelah melalui perdebatan sepanjang 1999-2000 kompromi politik di
antara fraksi-fraksi di Panitia Ad-Hoc 1 MPR baru dicapai pada proses
amandemen ketiga pada 2001, yaitu kesepakatan untuk membentuk DPD yang
anggota-anggota dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu, setiap
provinsi diwakili empat orang, jumlah keseluruhan anggota tidak lepas dari
sepertiga anggota DPR, serta dengan kewenangan legislasi yang terbatas.
Format DPD seperti inilah yang kemudian muncul melalui Pasal 22C dan 22D
UUD 1945 hasil amandemen ketiga. Tidak mengherankan jika sebagian
akademisi seperti Denny Indrayana dan Saldi Isra cenderung berpendapat bahwa
struktur parlemen nasional hasil amandemen konstitusi lebih merupakan
parlemen yang bersistem “trikameral” yakni terdiri atas MPR, DPR, dan DPD
yang masing-masing terpisah ketimbang suatu parlemen dengan sistem
bikameral.14
Situasi dan kondisi politik terkhusus pada zaman pemerintahan Orde Lama
dan Orde Baru merupakan fenomena penting, untuk melihat pergerakan politik
dan sistem demokrasi yang telah menyebabkan terpuruknya bangsa dan negara
Indonesia/ setidaknya dapat diungkapkan kehidupan politik pemerintahan Orde
Lama dan Orde Baru dalam menjalankan pemerintahan. Hasil inilah yang
berhubungan dengan terbentuknya DPD RI. Adapun proses terbentuknya DPD
13 Joko J Prihatmoko, Pemilu 2004 dan Konsolidasi Demokrasi,... h. 117. 14 Syamsuddin Haris, Kantor Anggota DPD RI dan Hubungan Dengan Daerah, (Jakarta:
UNDP Indonesia, 2010), h. 26.
36
RI tidak terlepas dari masa-masa sebelumnya. Berikut akan dijelaskan latar
belakang lahirnya DPD RI berdasarkan fenomena politik yang terjadi sepanjang
pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru.
Pertama: Perjalan lembaga legislatif indonesia cukup panjang sejak tahun
1918 hingga sekarang, konsep quasi/bicameral atau dua kamar legislatif
Indonesia telah mulai diterapkan sejak tahun 1918. Kemudian pada tahun 1950
sempat diberlakukan sistem yang hampir mendekati sistem dua kamar pada
lembaga legislatif namun tidak berjalan lama karena berakhir dengan adanya
dekrit presiden 5 juli 1959 yang mengamanatkan untuk kembali ke UUD 1945.
Dekrit tersebut mengakibatkan reorganisasi lembaga negara yang sudah ada
ataupun belum ada. Konstituante yang melaksanakan kewenangan MPR untuk
membuat UUD yang baru telah dibubarkan dan secepat mungkin akan dibentuk
MPRS. Sedangkan mengenai DPR yang telah ada sebelumnya menurut
ketentuan didalalm pasal II aturan peralihan mengubah DPR hasilpemilu
berdasarkan UUDS 1950 menjadi DPR menurut UUD 1945.15
DPD merupakan representasi penduduk dalam satu wilayah (ruang) yang
akan mewakili kepentingan-kepentingan daerah dalam proses pengambilan
keputusan-keputusan politik penting di tingkat nasional. Sebagai lembaga
legislatif, Dewan Perwakilan Daerah juga menjadi lembaga kontrol terhadap
jalannya roda pemerintahan, sehingga Dewan Perwakilan Daerah benar-benar
sebagai lembaga wakil rakyat.16
Pembentukan DPD semula dimaksudkan dalam rangka merefomasi
struktur parlemen Indonesia menjadi dua kamar (bikamera l) yang terdiri atas
DPR dan DPD. Dengan struktur bikameral itu diharapkan proses legislasi dapat
diselenggarakan berdasarkan sistem double-check yang memungkinkan
representasi kepentingan seluruh rakyat dengan basis sosial yang lebih luas.
15 Charles Simabura, Parlemen Indonesia Lintasan Sejarah dan Sistemnya,... h. 107. 16 Hasanuddin Rahman Daeng Naja, Dewan Perwakilan Daerah: Bikameral Setengah Hati,
(Yogyakarta: Media Pressindo, 2006), h. 26.
37
DPR merupakan cerminan representasi politik sedangkan DPD mencerminkan
prinsip representasi teritorial atau regional.17
DPD diharapkan mampu memberikan kontribusi politiknya dalam
menyuarakan kepentingan daerah, walau perannya dalam parlemen tidak sesuai
dengan yang diinginkan oleh daerah karena peran yang diberikan oleh konstitusi
terlalu kecil. Pada masa mendatang DPD perlu diberikan peran yang lebih
maksimal lagi, terutama dalam proses legislasi, yaitu mempunyai hak untuk
mengusulkan dan memveto atau menolak suatu undang-undang dan hak-hak
lain yang berfungsi melengkapi fungsi parlemen.18
B. Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah di Indonesia
Berdasarkan teori organ Negara, kedudukan lembaga Negara dibagi
menjadi 2 (dua) golongan yaitu sebagai lembaga Negara utama (state main
organ) dan lembaga bantu (state auxiliary organ). Lembaga utama mengacu
kepada paham trias politica yang memisahkan kekuasaan menjadi tiga poros
(eksekutif, legislative, dan yudikatif), lembaga Negara utama yaitu lembaga
Negara yang dibentuk dan diberi kewenangan langsung oleh UUD (konstitusi),
sementara lembaga Negara bantu yaitu lembaga Negara yang dibentuk dan
diberi kewenangan oleh undang-undang semata.
Mengacu pada teori organ tersebut, sesuai UUD NRI Tahun 1945 maka
yang dapat dikategorikan sebagai lembaga negara utama adalah MPR, Presiden
dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA),
Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY), dalam hal ini
kedudukan DPD sebagai lembaga legislatif sejajar ataupun setara dengan DPR
yaitu sebagai lembaga negara utama,dikarenakan nama dan kewenangan DPD
17 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformis,
(Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 138. 18 Markus Gunawan, Buku Pintar Calon anggota & anggota legislatif, DPR, DPRD, &
DPD, (Jakarta: Visimedia, 2008), h. 25.
38
termuat secara eksplisit dalam UUD NRI Tahun 1945. Sebagaimana diatur pada
Bab VIIA tentang DPD pasal 22C dan 22D UUD NRI 1945.
Dalam hal ini dengan membentuk kamar kedua yaitu DPD merupakan
langkah yang tepat. Sebab dengan adanya lembaga ini, setiap kepentingan
daerah di Indonesia akan dapat terakomodir dengan memperjuangkan
kepentingan-kepentingannya di tingkat pusat. Dengan demikian hak-hak rakyat
akan terpenuhi dan dapat memperkuat kesatuan diantara daerah-daerah dalam
satuan NKRI. Lembaga DPD dibentuk untuk lebih mengembangkan
demokratisasi di Indonesia. DPD dibentuk untuk menampung aspirasi daerah
agar mempunyai wadah dalam menyuarakan kepentingannya dalam sistem
ketatanegaraan republik Indonesia.19
Mengingat negara Indonesia mengadopsi sistem dua kamar maka bisa
dikatakan DPR RI adalah kamar pertama dan DPD RI merupakan kamar kedua
sebagai wakil daerah. Konstruksi ini didasarkan pada realita bahwa Indonesia
merupakan Negara yang terdiri dari beberapa daerah. Dengan demikian
diperlukan para wakil yang memperjuangkan kepentingan daerah. Oleh karena
itu prinsip dasar dalam di dalam menentukan jumlah para wakil yang mewakili
daerah tidak didasarkan pada jumlah penduduk sebagaimana di DPR RI/DPRD
Provinsi, Kabupaten/Kota. Sebagaimana terlihat dari hasil pemilihan umum
2004 dan tahun 2009, masing-masing daerah diwakili oleh empat anggota DPD
RI. Tidak memandang daerah itu memiliki penduduk kecil atau besar.20
Hasil amandemen ke 3 (tiga) UUD 1945 telah mendudukan DPD sebagai
lembaga legislatif. DPD bersanding dengan lembaga DPR dalam komposisi
keanggotaan MPR. Montesquieu sendiri berpendapat bahwa badan perwakilan
rakyat atau lembaga legislatif harus dijalankan oleh badan yang terdiri atas kaum
19 Dwi Amalia Agustin, Rahmania Hidayah, Veren Yonita Elvitaningsih, “Kedudukan
Dewan Perwakilan Daerah Sebagai Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia”, Jurnal Lontar Merah, Vol 1 No. 1 (2018), h. 11. 20 M. Yusuf, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (Arsitek Histori, Peran dan
Fungsi DPD RI terhadap Daerah Di Era Otonomi Daerah)... h. 13.
39
bangsawan dan orang-orang yang dipilih untuk mewakili rakyat, yang masing-
masing memiliki majelis dan pertimbangan mereka sendiri-sendiri, juga
pandangan dan kepentingan sendiri-sendiri.21 Pernyataan tersebut
mengindikasikan bahwa badan perwakilan seharusnya tidak hanya dijalankan
oleh satu badan saja tetapi dimungkinkan untuk lebih, demi mengakomodir
seluruh kebutuhan rakyat.
Kedudukan DPD sebagai lembaga legislatif sejajar ataupun setara dengan
DPR, karena nama dan kewenangan DPD secara eksplisit termuat dalam UUD
NRI Tahun 1945. Sebagaimana diatur pada Bab VIIA tentang DPD pasal 22C
dan 22D UUD NRI 1945, disebutkan bahwa :
Pasal 22C UUD NRI 1945 sebagaimana ditegaskan :
Ayat (1) “Anggota dewan perwakilan daerah dipilih dari setiap provinsi melalui
pemilihan umum”.
Ayat (2) “Anggota dewan perwakilan daerah dari setiap provinsi jumlahnya
sama dan jumlah seluruh anggota dewan perwakilan daerah itu tidak
lebih dari sepertiga jumlah anggota dewan perwakilan rakyat”.
Ayat (3) “Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali dalam
setahun”.
Ayat (4) “Susunan dan kedudukan dewan perwakilan daerah diatur dengan
undang-undang”.
Kewenangan yang dimiliki DPD sebagai lembaga legislatif sebagaimana diatur
pada Pasal 22D UUD NRI 1945 menyatakan bahwa:
Ayat (1)“Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
21 Efriza, Studi Parlemen dan lanskap politik Indonesia, (Malang: Setara Press, 2014), h.
167.
40
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah”.
Ayat (2) “Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang
yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah;
pembentukan; pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan
pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan
undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan
dan agama”
Ayat (3)“Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas
pelaksanaan undang-undang mengenai; otonomi daerah,
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat
dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber ekonomi
lainnya”.
Dibentuknya lembaga DPD sejalan dengan semangat untuk
mengakomodasi keterlibatan daerah dalam pengambilan kebijakan nasional dan
juga sesuai dengan prinsip check and balances yang ingin di terapkan oleh
pemerintah pada waktu itu.22
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) merupakan lembaga perwakilan daerah
yang berkedudukan sebagai lembaga negara setingkat dengan kedudukan
lembaga negara lainnya, hanya kewenangannya yang berbeda. Istilah kedudukan
menunjukkan pada status yaitu keadaan tingkatan organ, badan atau negara.
Dalam hal, ini berarti bahwa DPD sebagai lembaga perwakilan mempunyai
tingkatan yang sama dengan lembaga negara yang lainnya. Kedudukan diartikan
22 M. Yusuf, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (Arsitek Histori, Peran dan
Fungsi DPD RI terhadap Daerah Di Era Otonomi Daerah)... h. 35.
41
sebagai posisi suatu lembaga negara dibandingkan dengan lembaga negara lain,
sedangkan posisi yang dimaksud adalah didasarkan pada fungsi utamanya. Maka
dari pengertian ini berdasarkan UUD 1945 setelah mengalami perubahan, tidak
lagi dikenal adanya lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara,
malainkan dikenal hanya lembaga negara, hal ini berarti bahwa semua lembaga
negara mempunyai kedudukan yang sama, hanya perbedaannya terletak pada
fungsi masing-masing; Dengan demikian kedudukan DPD sama dengan MPR,
DPR, BPK, Presiden, MA dan MK.23
C. Peranan dan Fungsi Dewan Perwakilan Daerah Menurut Undnag-
Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD
1. Fungsi Pengawasan
Keberadaan DPD RI tidak terlepas dari bermacam persoalan koordinasi
lembaga-lembaga negara di Indonesia ditunjukan untuk mendapat sistem
kelembagaan yang ideal dalam memperkuat aspirasi daerah kepusat dengan
kondisi masyarakat di daerah. Harapan hadirnya DPD RI dapat menciptakan
keseimbangan ekonomi dan politik yang lebih adil dan sederajat antara
pusat dan daerah,24 dengan demikian tentu dihasilkan pemerataan
pembangunan di daerah-daerah. Sebagai negara kepulauan dengan
komposisi etnis yang beragam, hal yang mustahil jika hanya di akomodasi
oleh satu lembaga saja. Maka perlu lembaga khusus yang memperhatikan
dan memperjuangkan aspirasi daerah.
Hal ini senada dengan latar belakang dibentuknya DPD RI yang
berkeinginan untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus
memberi peran kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik
terutama yang berkaitan dengan kepentingan pembangunan daerah.
23 Parlindungan Pasaribu, “Kedudukan dan Fungsi Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, Yuriska Jurnal Ilmiah Hukum, Vol. 2 No. 2 ( Agustus
2010), h. 54. 24 Valina Singka Subekti, Menyusun konstitusi transisi : pergulatan kepentingan dan
pemikiran dalam proses perubahan UUD 1945,... h. 318.
42
Keinginan tersebut berangkat dari pemikiran bahwa pengambilan keputusan
yang sentralistik ternyata berimplikasi kepada tidak meratanya
pembangunan di daerah-daerah.
Dalam bidang pengawasan, fungsi DPD RI dapat diamanati pada Pasal
22D UUD 1945 sebagaimana berikut:
“Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas
pelaksanaan Undang-Undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan,
pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan,
dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan
Perwakilan Rakyat sebaai bahan pertimbangan untuk ditindak lanjuti”.
Lebih lanjut fungsi pengawasan DPD RI diatur lebih dalam Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD
sebagaimana berikut:
a. Dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang
mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan
sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan
APBN, pajak, pendidikan, dan agama;
b. Menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang
mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan
undang-undang APBN, pajak, pendidikan, dan agama kepada DPR
sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti;
c. Menerima hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari BPK sebagai
bahan membuat pertimbangan kepada DPR tentang rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan APBN;
43
d. Memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota
BPK;
e. Melakukan pemantauan dan evaluasi atas rancangan peraturan daerah
dan peraturan daerah
Peran dan fungsi DPD RI dalam UUD NRI 1945 dan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2018 dan tidak terlalu memberikan harapan baru dalam
membangun sebuah paradigma pengawasan modern, yang sebenarnya bisa
membaharui paradigma pengawasan konservatif yang pernah dilakukan
pada rezim orde baru.25 Pengawasan yang dimiliki DPD RI hanya bersifat
formal prosedur, yang menyangkut pelaksanaan Undang-undang tertentu.
Secara substansial, DPD RI tidak memiliki kewenangan untuk mengawasi
kebijakan-kebijakan pemerintahan secara langsung, yang terkait dengan
pelaksanaan Undang-undang tertentu bagi kepentingan pembangunan
daerah.
Peran DPD RI sebagai fungsi pengawas diidentifikasikan sangat minim
karena tidak dari Undang-Undang tersebut di atas sama sekali tidak
memiliki hak untuk menindak lanjuti pengawasannya seperti melakukan
evaluasi secara atraktif. Betapa tidak DPD RI hanya sebatas melakukan
pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang yang selanjutnya hasil
pengawasan tersebut disampaikan kepada DPR RI untuk ditindak lanjuti,
posisi seperti ini mencerminkan bahwa DPD RI sama sekali tidak memiliki
otoritas dan kewenangan.
Fungsi pengawasan dan akuntabilitas untuk menyusun mekanisme dan
prosedur rapat-rapat kerja DPD RI dengan Pemerintah sebagai tindak lanjut
atas pelaksanaan fungsi pengawasan DPD RI, serta komunikasi Anggota
DPD dan DPRD untuk menyusun mekanisme dan prosedur hubungan DPD
25 John Pieris dan Aryanti Baramulis Putri, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia:
studi, analisis, kritik, dan solusi kajian hukum dan politik,...h. 131.
44
RI dengan DPRD dalam rangka penyerapan dan tindak lanjut aspirasi
daerah dan resolusi/solusi atas permasalahan daerah.26
Paradigma seperti ini diperkirakan tidak akan mendatangkan manfaat
dalam mekanisme check and balance, setidaknya terhadap pemerintah yang
melaksanakan semua undang-undang itu. Lemahnya fungsi kontrol DPD RI
bisa mendorong dan membiarkan lemahnya peranan dan fungsi kritis
korektif anggota DPD RI dalam melaksanakan fungsi pengawasan secara
profesional. Dengan mengemban fungsi pengawasan terbatas itu,
diprediksikan, pemerintah eksekutif yang bertugas melaksanakan semua
undang-undang yang berhubungan dengan kepentingan daerah
dimungkinkan untuk tidak melaksanakan undang-undang tersebut
sebagaimana mestinya. Di dalam bidang pembinaan dan pengawasan adalah
sebenarnya lebih ditekankan pada kegiatan memfasilitasi dalam
pemberdayaan daerah otonom, serta agar memberikan peran kepada DPRD
dalam mewujudkan fungsinya sebagai badan pengawas terhadap
pelaksanaan otonomi daerah maka peraturan daerah yang ditetapkan daerah
otonom, tidak memerlukan pengesahan terlebih dahulua oleh pejabat yang
berwenang.27 Sebagai salah satu contoh pengawasan otonomi daerah
terdapat ketimpangan dalam tugas selain DPD RI, Mendagri dan DPR RI
juga melakukan pengawasan akan tetapi, batasan mengenai pengawasan
tersebut tidak secara jelas diatur dalam Undang-Undang.28
Kontrol pusat atas daerah dilakukan dengan mekanisme pengawasan
yang kelihatannya memperlihatkan formulasi cukup ketat dengan
mekanisme pengawasan preventif, represif, dan pengawasan umum. Peran
26 Siti Nurbaya Bakar, Kiprah DPD RI 2004-2009, http://dpd.go.id/2009/11/kiprah-
dpd-ri-2004-2009/11/Kiprah-dpd-ri-2004-2009/, (25 Maret 2019). 27 Siswanto, Hukum Pemerintahan Daerah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h. 115. 28 John Pieris dan Aryanti Baramulis Putri, Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia: studi, analisis, kritik, dan solusi kajian hukum dan politik,...h. 72.
45
pusat cukup dominan dalam menentukan salah sah atau tidaknya peraturan
daerah yang dibuat oleh pemerintah daerah dan DPRD.29
2. Fungsi Anggaran
Di dalam UUD 1945 tidak dijelaskan secara eksplisit dalam merumuskan
fungsi anggaran yang dimiliki oleh DPD RI. Namun setidaknya Fungsi
anggaran DPD RI dicantumkan dalam UUD 1945:
“Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang
yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah;
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran
pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang
pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama”.
Lebih lanjut fungsi anggaran DPD RI diatur daalm Undang-Undang RI
Nomor 2 Tahun 2018 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
a. ikut membahas bersama presiden dan DPR Rancangan Undang-
Undang yang berkaitan dengan hal sebagaiana dalam huruf a;
b. ikut membahas bersama Presiden dan DPR Rancangan Undang-
Undang yang diajukan oleh presiden atau DPR, yang berkaitan
dengan hal sebagaimana di maksud dalam huruf a;
c. memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-
undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan pajak, pendidikan dan agama;
29 Siswanto, Hukum Pemerintahan Daerah,...h., 115.
46
Dilihat dari sudut pandang hukum tata negara Indonesia fungsi anggaran
yang diemban oleh DPD RI hanya sebatas pengajuan usul dan pembahasan
RUU.30 Jika dibandingkan dengan kewenangan yang dimiliki DPR RI, DPR
RI memiliki kewenangan yang jauh lebih besar karena secara konstitusional
DPR RI mendapat kewenangan dari UUD 1945, dalam hal pengajuan,
pembahasan dan menyetujui Undang-Undang.
Penetapan APBN merupakan kehendak, kewajiban dan disetujui oleh
pemerintah dan DPD. Hal ini terlihat karena penetapan APBN diatur oleh
kedua lembaga tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam UD 1945: “apabila
DPR tidak menyetujui rancangan APBN yang diusulkan oleh presiden,
pemerintah menjalankan APBN yang lalu”31. RUU APBN dirumuskan oleh
presiden dengan alasan bahwa lembaga eksekutiflah yang lebih memahami
kebutuhan yang akan dikeluarkan negara, hal ini bukan berarti parlemen
tidak begitu memahami akan tetapi, harus diakui pemerintahan yang selalu
terlibat dan mengikuti perkembangan pembangunan maupun kebijakan
anggaran. Sambil memperhatikan juga UUD 1945: “RUU APBN diajukan
oleh presiden untuk dibahas bersama DPR dengan pertimbangan DPD”.
Untuk mewujudkan proporsional pembagian anggaran yang diberikan
pemerintah pusat kepada daerah sering muncul protes yang menyangkut
aspek ketidak adilan dan pemerataan, dapat diperhatikan berdasarkan
hubungan interpersonal dan dapat juga dilihat dari sudut antar daerah. Kasus
yang terjadi dana yang diberikan dari pusat ke daerah sangat tidak sebanding
dengan dana disetorkan dari daerah ke pusat dan anggaran potensi daerah
tersebut. Sumatera utara misalnya, pada tahun 2010 jumlah DAK dan DAU
yang diterima daerah ini sebesar RP. 13 triliun lebih, jumlah tersebut sangat
tidak sebanding dengan sumbangan yang diberikan Sumut kepusat yang
30 M. Djadijono dan Efriza, Wakil Rakyat Tidak Merakyat, (Bandung: Alfabeta, 2011),
h. 202. 31 M. Djadijono dan Efriza, Wakil Rakyat Tidak Merakyat,...h. 210.
47
jumlahnya mencapai angka Rp 235 triliun.32untuk mewujudkan cita-cita
proporsi yang ideal dan berkeadilan tentu bukan hal yang mudah,
bagaimanapun juga yang mengendalikan dana tersebut adalah pusat maka
sebagaimana yang dikatakan oleh David E Apter dengan melalui sarana
kekuasaan,33perwakilan daerahlah hal tersebut dapat diusahakan.
Peran anggaran sebagaimana penjelasan di atas terlihat dalam Undang-
Undang Dasar 1945:
“Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari
pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-
undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
“Rancangan undang-undang anggaran pendapatan belanja negara
diajukan oleh presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat
dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah”.
“Apabila dewan perwakilan rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran
pendapat dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, pemerintah
menjalankan anggaran pendapatan dan belanja tahun yang lalu”.
Penyusunan APBN harus dilihat perkembangan indikator ekonomi
makro yang dijadikan dasar penyusunan APBN, meliputi: pertama,
pertumbuhan ekonomi. Kedua, inflasi. Ketiga, nilai rupiah. Keempat,
produksi minyak nasional.34 Peran DPR dan DPD disini sangat menentukan
arah keuangan negara dan posisi tersebut sangat ditentukan oleh kedua
lembaga ini, meskipun dalam posisi DPD terletak sebagai lembaga memiliki
wewenang yang disubordinasi oleh kamar pertama pada lembaga legislatif.
32 Bungaran Antonius Simanjuntak, Otonomi Daerah, Etnonasionalisme, dan Masa
Depan Indonesia,(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), h. 56. 33 David E Apter, Pengantar Analisa Politik, (Jakarta: Rajawali Pers, 1985), h. 121. 34 M. Djadijono dan Efriza, Wakil Rakyat Tidak Merakyat,...h. 211.
48
Apabila dilakukan analisis yuridis maka sesungguhnya fungsi anggaran
DPD RI selain mengajukan RUU tentang APBN juga melakukan
pembahasan RUU yang berkaitan dengan APBN dan melakukan
pengawasan atas Undang-Undang tersebut. Memberikan pertimbangan dan
mengetahui hasil pemeriksaan terhadap keuangan negara dan memberikan
pertimbangan terhadap DPR. Fungsi yang diberikan tersebut sangat terbatas
dan baik secara prosedural maupun secara substansial, fungsi-fungsi
tersebut tidak memberikan pengaruh yang berarti untuk meningkatkan tugas
dan kewenangan DPD. Meskipun demikian setidaknya proses penggodokan
APBN harus melibatkan kedua lembaga yang ada di legislatif.
3. Fungsi Legislasi
Keberadaan dewan perwakilan daerah dilihat dari tinjauan perubahan
ketatanegaraan terdapat pada perubahan ketiga UUD 1945:
“Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan
Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur
lebih lanjut dengan undang-undang”.
Rumusan semula Pasal 2;
“Majelis permusyawaratan rakyat terdiri atas anggota-anggota dewan
perwakilan rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah
dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-
undang”.
Sebagai Institusi negara yang baru lahir sebagai konsekuensi amandemen
UUD 1945, peran DPD belum memberikan peran yang cukup berarti,
setidaknya karena empat hal. Pertama, belum dirumuskan dengan baik;
fungsi, wewenang, tugas dan hak DPD, dan juga hak dari anggota-anggota
DPD, sekalipun hal tersebut telah tertuang dalam UUD 1945 maupun
Undang-Undang RI Nomor 27 Tahun 2009. Kedua, sebagai lembaga baru
tentunya masih dicari sebuah sistem yang memungkinkan berperannya DPD
secara optimal. Ketiga, lembaga-lembaga negara sudah ada sebelumnya,
49
khususnya DPR RI belum sepenuhnya memberikan peran yang menentukan
bagi DPD RI. Amandemen ketiga UUD 1945 mengubah wajah legislatif
Indonesia menjadi dua lembaga yaitu: DPR RI dan DPD RI. Meskipun pada
dasarnya yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang hanyalah
DPR RI, yang patut untuk diperhatikan DPD RI berperan dalam memberi
pertimbangan dalam bidang tertentu.
Namun, setidaknya dalam perwujudan demokrasi bangsa telah dianggap
cukup dewasa, hal ini terlihat dalam pemilihan anggota dijelaskan pada
Pasal 22C UUD 1945. Pemilihan anggota DPD RI telah dilakukan dengan
pemilihan umum. Kaitannya dengan fungsi legislasi DPD RI dijelaskan
dalam UUD 1945 bahwa:
“Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat rancangan yang berkaitan dengan otonomi daerah,
pembentukan, pemekaran dan gabungan daerah, hubungan pusat dan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah.”
Lebih lanjut fungsi DPD RI tersebut diatur dalam Undang-Undang RI
Nomor 2 Tahun 2018:
“Dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah”
“Ikut membahas bersama Presiden dan DPR Rancangan Undang-Undang
yang berkaitan dengan hal sebagaimana dalam huruf a.”
“Ikut membahas bersama Presiden dan DPR Rancangan Undang-Undang
yang diajukan oleh presiden atau DPR, yang berkaitan dengan hal
sebagaimana dalam huruf a.”
50
“Memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang
tentang APBN dan rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan
Pajak, pendidikan dan agama.:
Sepintas lalu, yang dimaksud: “DPD ikut membahas RUU” frase ini
secara legal mengamanahkan peran kepada DPD, padahal tidak demikian.
Ketentuan ini menguatkan pendirian, DPD tidak memiliki hak inisiatif dan
mandiri dalam pembentukan Undang-Undang sekalipun yang berkaitan
dengan daerah. Bahkan bagian yang justru sangat melemahkan DPD terlihat
jelas pada frase: dapat memberikan pertimbangan.
Di dalam histori kehadiran DPD RI yang berkeinginan untk lebih
mengangkat aspirasi daerah berbeda dengan kenyataan kemudian setelah
DPD RI lahir, alasan keberadaan DPD RI juga diungkapkan oleh Subardjon
didalam bukunya yang berjudul “Wakil Rakyat Tidak Merakyat” adalah
untuk meningkatkan dinamika demokrasi, akselerasi pembangunan serta
kemajuan daerah, bahkan untuk melibatkan daerah dalam setiap perumusan
kebijakan nasional bagi kepentingan negara dan daerah.35
Memang tidak dapat dielakkan perjuangan untuk mengangkat peran
utusan daerah dalam komposisi MPR RI menjadi lembaga perwakilan
daerah tidak terlepas dari intervensi politik. Dalam hal ini diungkapkan oleh
Mahfud MD bahwa: politik determinan atas hukum begitu juga sebaliknya
hukum determinasi politik, dalam arti hukum dalam arti konstitusi
merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang
saling berinteraksi bahkan saling bersaingan.36 Pernyataan ini lahir dengan
argumentasi proses perancangan, pembahasan dan pengesahan produk
hukum dibahas oleh lembaga legislatif (DPR) yang mana keanggotaanya
35 Subardjo, Dewan Perwakilan Daerah menurut UUD NRI 1945 dan penerapan sistem
bikameral dalam lembaga perwakilan Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 159. 36 Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia,... h. 16.
51
terdiri dari parpol yang memiliki kepentingan khusus dan takut akan
kehilangan kekuasaan karena diambil alih oleh DPD RI.
Melihat formulasi tersebut di atas dapat dilakukan bahwa kehadiran DPD
tampak tampak jelas bertolak belakang dengan latar pemikiran
pembentukan DPD RI dan pada awal perubahan UUD 1945. Keinginan
memperkuat peran daerah pada akhirnya hanya sebatas proses pengisian
saja. Jika dicermati sebelumnya anggota utusan daerah diangkat dengan
mekanisme penujukan oleh DPRD dan Gubernur, saat ini melalui pemilihan
umum untuk pengisian anggota DPD RI. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa amandemen UUD 1945 telah mengaburkan paradigma Check and
balances, ungkapan ini berangkat dari argumentasi bahwa sebelum
amandemen UUD 1945 Utusan Daerah yang berada di dalam komposisi
MPR RI memiliki hak suara yang sama, karena bersama dengan anggota
DPR RI dalam pengambilan kebijakan.
Setelah adanya perubahan UUD 1945 dengan lahirnya DPD RI sebagai
pengganti Utusan Daerah, malah semakin melemahkan posisi DPD RI dan
bahkan tidak memiliki wewenang sedikitpun untuk mengeksekusi sebuah
kebijakan yang berkaitan dengan daerah. Sebagai contoh pemekaran
daerah, DPD RI hanya dapat mengajukan RUU pemekaran daerah.37
37 H.R. Makagansa, Tantangan Pemekaran Daearah, (Yogyakarta: Fuspad, 2008), h.
17.
52
BAB IV
KEWENANGAN DPD DALAM MENGAWASI DAN
MENGEVALUASI PERDA DAN RAPERDA
A. Penguatan Kewenangan DPD RI dalam Melakukan Pengawasan dan
Evaluasi Perda serta Raperda
Indonesia merupakan negara yang menganut sistem hukum berjenjang
dimana peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukan dijadikan
rujukan oleh peraturan dibawahnya, begitu juga sebaliknya peraturan
perundang-undangan dibawah tidak boleh bertentangan dengan aturan
diatasnya, dalam hal ini kita dapat mengacu pada teori hierarki perundang-
undangan sebagaimana digagaskan oleh hans kelsen, konsep stufenbau theory
menjelaskan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah
berjenjang, hubungan antara norma yang mengatur perbuatan dengan norma
lain tersebut dapat disebut sebagai hubungan super dan sub-ordinasi dalam
konteks spasial. Norma yang menentukan pembuatan norma lain adalah
superior, sedangkan norma yang dibuat inferior. Pembuatan yang ditentukan
oleh norma yang lebih tinggi menjadi alasan validitas keseluruhan tata hukum
yang membentuk kesatuan.
Teori hans kelsen tentang hukum berjenjang kemudian dikembangkan lebih
lanjut oleh muridnya yang bernama hans nawiasky, teori tersebut diberi nama
theorie von stufenufbau der rechtsordnung, hans nawiasky berpendapat bahwa
norma dasar yang disebut oleh hans kelsen sebagai peraturan perundang-
undangan tidaklah tepat, nawiasky berpendapat bahwa norma dasar merupakan
living law yaitu norma yang hidup didalam masyarakat yang tidak akan dapat
diubah ataupun berubah, living law inilah yang menjadi dasar dari setiap
peraturan-perundang-undangan di Indonesia.1
1 Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta:
Konstitusi Press, 2006), h. 168.
53
Konsekuensi logis dari penerapan sistem hukum berjenjang yaitu dengan
membuat mekanisme yang menjaga dan menjamin agar sistem hukum
berjenjang tersebut sesuai dengan semestinya, mekanisme tersebut dapat berupa
pengujian oleh lembaga judicial dimana peraturan perundang-undangan yang
lebih rendah dapat dibatalkan apabila bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi, mekanisme berikutnya dapat berupa pengawasan oleh pemerintah pusat
dan juga DPD, pengawasan ini merupakan langkah preventif dimana sebelum
dibentuknya peraturan perundang-undangan dalam hal ini raperda pemerintah
dan DPD lebih dulu mengevaluasi perda-perda yang masih dalam tahap
pembahasan tersebut agar tidak lebih dulu diberlakukan.
Selaku lembaga tinggi negara lainnya, DPD memiliki tugas dan wewenang
yakni dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan
menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR sebagai bahan pertimbangan
untuk ditindaklanjuti. Lebih lanjut fungsi pengawasan DPD RI diatur lebih
dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD sebagaimana berikut:
a. Dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang
mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan
sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan,
dan agama;
b. Menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang
mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan undang-undang APBN,
pajak, pendidikan, dan agama kepada DPR sebagai bahan pertimbangan
untuk ditindaklanjuti;
54
c. Menerima hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari BPK sebagai
bahan membuat pertimbangan kepada DPR tentang rancangan undang-
undang yang berkaitan dengan APBN;
d. Memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK;
e. Melakukan pemantauan dan evaluasi atas rancangan peraturan daerah dan
peraturan daerah
Pasca diberlakukannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD, DPD memiliki kewenangan baru dalaam
mengawasi dan mengevaaluasi perda dan raperda, tugas ini diberikan lantaran
banyaknya perda-perda yang bermasalah sehingga menghambat masuknya
investasi, berdasarkan data kementerian dalam negeri, sejak lahirnya otonomi
daerah di Indonesia Pemerintah pusat telah membatalkan lebih dari 4.000 perda
bermasalah, hal ini sangat jauh berbeda dengan Mahkamah Agung yang
membatalkan kurang dari 100 perda sejak lahirnya otonomi daerah.
Untuk menindak lanjuti hal tersebut DPD mengadakan rapat paripurna
untuk mencari pola yang tepat dalam mengawasi dan mengevaluasi perda serta
raperda, dalam rapat paripurna tersebut DPD membentuk panitia urusan legislasi
daerah (PULD) yang diatur dalam Peraturan Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia, PULD bertugas menilai raperda dan perda kota maupun
raperda dan perda provinsi yang bertentangan dengan peraturan diatasnya baik
itu peraturan presiden, peraturan pemerintah ataupun Undang-Undang.
PULD merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap, keanggotaan
PULD berisikan anggota DPD dari masing-masing provinsi sebagai bentuk
keterwakilan setiap daerah di Indonesia, keanggotaan PULD terdiri atas
pimpinan PULD dan anggota PULD, pimpinan PULD tersusun atas ketua dan
wakil ketua sebanyak tiga orang yang dipilih dari dan oleh anggota PULD
sendiri untuk masa jabatan satu tahun.
Setiap anggota DPD berhak mengajukan diri sebagai calon pimpinan PULD
mekanisme pemilihan pimpinan PULD melalui musyawarah mufakat dan
55
apabila tidak mencapai mufakat maka setiap anggota PULD memilih empat
nama calon pimpinan, calon dengan suara terbanyak di tetapkan sebagai
pimpinan terpilih.
Dalam hal pemberhentian pimpinan PULD, pimpinan dapat diberhentikan
dengan alasan meninggal dunia, mengundurkan diri sebagai pimpinan atau
anggota dan diberhentikan, apabila terjadi kekosongan pimpinan maka PULD
mengadakan rapat pleno untuk memilih pemimpin pengganti.
Pelaksanaan pengawasan dilakukan oleh anggota DPD dimasing-masing
provinsi daerah pemilihan, dalam melaksanakannya anggota DPD pertama-tama
mengumpulkan data-data yang dibutuhkan terkait raperda, perda provinsi, perda
kabupaten, dan perda kabupaten kota, cara anggota DPD mengumpulkan data
melalui rapat kerja bersama pemerintahan daerah dan/atau DPRD Provinsi,
kabupaten/ Kota, data-data yang dihimpun oleh anggota DPD meliputi:
1. Perencanaan peyusunan program pembentukan Perda;
2. Penyusunan rancangan Perda;
3. Pembentukan Perda;
4. Penyusunan rencana strategis daerah; dan
5. Penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah.
Hasil pengumpulan data-data tersebut kemudian dibahas dalam rapat
anggota provinsi dimasing-masing daerah pemilih untuk disepakati bersama
setelahnya disampaikan kepada PULD.
Hasil pengawasan yang dilakukan oleh anggota DPD dimasing-masing
daerah pemilihan kemudian dihimpun oleh PULD dan selanjutnya akan
diidentifikasi permasalahan-permasalahan yang dalam perda dan raperda
tersebut, yang menjadi tolak ukur PULD dalam mengidentifikasi masalah yaitu:
1. Kesesuaian Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan
56
Jenis Peraturan Perundang-Undangan suatu negara dapat berbeda
beda antara yang dikeluarkan pada suatu masa tertentu dengan masa yang
lain. Hal ini dapat terjadi karena penentuan jenis peraturan perundang-
undangan dan bagaimana tata urutannya sangat tergantung pada
penguasa dan kewenangannya untuk membuat suatu keputusan yang
berbentuk peraturan perundang-undangan. Selanjutnya penguasa dan
kewenangan tersebut ditentukan oleh sistem ketatanegaraan yang dianut
oleh Negara yang bersangkutan. Indonesia sendiri jenis peraturan
perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 yang terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
2. Materi Muatan Perda
Materi muatan perda merupakan materi yang terkandung dalam
dalam suatu peraturan daerah yang disusun sesuai dengan teknik
peyusunan peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 14 Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 dijelaskan bahwa Materi muatan
Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi
materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas
pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau
penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang undangan yang lebih tinggi.
3. Kejelasan Rumusan
57
Kejelasan rumusan dimaksudkan bahwa setiap Peraturan
Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan
Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah,
serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya;
4. Adanya Potensi Disharmoni
Disharmoni dimaksudkan adanya ketidak selarasan antar
peraturan perundang-undangan, seringkali pemerintah daerah dalam
membuat aturan melampui batas kewenangan yang diberikan
sebagimana amanat otonomi daerah. Berdasarkan teori hierarki peraturan
perundang-undangan peraturan yang dibawah tidaklah boleh
bertentangan dengan peraturan yang ada diatasnya atau Lex superior
derogat legi inferiori. Ketidak selarasan dalam hal peraturan perundang-
undangan mengakibatkan terjadinya ketidakpastian hukum
5. Efektifitas Implementasi
Efektifitas implementasi merupakan ukuran sejauh mana aturan
tersebut terlaksana sesuai dengan target dan tujuannya dibentuknya
aturan tersebut.
Setelah melakukan identifikasi masalah PULD kemudian melakukan
evaluasi terhadap perda dan raperda yang ditelah himpun oleh anggota PULD,
hasil daripada evaluasi PULD tersebut akan dilaporkan kedalam rapat paripurna
sebagai bahan rekomendasi.
Hasil daripada keputusan paripurna merupakan keputusan bulat setiap
anggota DPD yang kemudian akan direkomendasikan kepada DPR, Pemerintah
Pusat, dan/atau Pemerintah Daerah.
58
Berdasarkan uraian diatas mekanisme pengawasan dan evaluasi oleh DPD
dan digambarkan sebagai berikut:
Dapat dilihat bahwa kewenangan evaluasi yang dilakukan DPD tidak sampai
kepada tahap pembatalan peraturan, karena pembatalan perda sudah jelas
menjadi kewenangan Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 24A
ayat (1) UUD NRI 1945 sebagaimana berbunyi: “Mahkamah Agung berwenang
mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya
yang diberikan oleh undang-undang.” Akan menimbulkan tumpang tindih
kewenangan apabila DPD dapat membatalkan perda, kewenangan DPD ini
hanya bersifat konsultif dan rekomendasi.
Sifat konsultif tersebut ini menjadikan pengawasan dan evaluasi DPD masih
sangat lemah karena tidak ada kewajiban bagi pemerintah daerah untuk
Anggota DPD melakukan pengawasan dimasing-masing provinisi daerah
pemilihan
Hasil Pengawasan diberikan kepada PULD
untuk dianalisis dan dievaluasi
Hasil evaluasi yang dilakukan oleh PULD
dilaporkan dalam sidang paripurna sebagai bahan
rekomendasi
Hasil rekomendasi akan diberikan kepada
Pemerintah Pusat, DPR, dan Pemerintah Daerah
Pemerintah Pusat, DPR, dan Pemerintah Daerah menindak lanjuti hasil
rekomendasi DPD
59
menjalankan rekomendasi dari DPD tersebut, oleh karena untuk memperkuat
kewenangan tersebut diperlukan aturan tambahan untuk mewajibkan pemerintah
menjalankan rekomendasi yang diberikan DPD, sehingga fungsi kritis yang
dimiliki DPD sebagai perwakilan daerah di pusat dapat berjalan secara optimal.
B. Pengawasan dan Evaluasi DPD Terhadap Perda Berdasarkan Konsep
Otonomi Daerah
Dewan Perwakilan daerah disingkat sebagai DPD merupakan lembaga
tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang anggotanya
merupakan representasi penduduk dalam satu wilayah yang mewakili
kepentingan-kepentingan daerah dalam pengambilan keputusan ditingkat
nasional yang dipilih melalui pemilihan umum. Sebelum 2004 DPD disebut
sebagai utusan golongan yang merupakan bagian dari MPR.2
DPD dibentuk melalui amandemen ketiga UUD 1945 yang disahkan pada
sidang paripurna ke-7 MPR pada tahun 2001, lahirnya DPD dilatar belakangi
oleh tuntutan demokrasi untuk memenuhi keadilan bagi masyarakat daerah
selain itu juga dikarenakan adanya otonomi daerah merubah sistem sentralisasi
menjadi desentralisasi. Tujuan dibentuknya DPD dimaksudkan untuk
memperkuat ikatan daerah dalam negara kesatuan, namun dilihat dari
kewenangan DPD yang sangat terbatas dibandingkan dengan DPR dal UUD NRI
1945 membuat DPD tidak sesuai dengan maksud pembentukannya.3
Dalam teori organ negara kedudukan lembaga negara dibagi menjadi dua
golongan yaitu lembaga Negara utama dan lembaga Negara pembantu. Lembaga
negara utama terdiri atas Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif yang mengacu
kepada teori trias politika, lembaga utama negara juga diberikan kewenangan
oleh konstitusi yang mana dalam hal ini UUD NRI 1945 sedangkan lembaga
2 Dewan Perwakilan Daerah, https://id.wikipedia.org /wiki/Dewan_Perwakilan_Daerah
_Republik_Indonesia 3 John Pieris dan Aryanti Baramulis Putri, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia:
studi, analisis, kritik, dan solusi kajian hukum dan politik, (Jakarta: Pelangi Cendekia, 2006), h.
101.
60
Negara pembantu kewenangannya dibentuk dan diberikan oleh UU. Dilihat dari
teori tersebut dapat disimpulkan bahwa kedudukan DPD adalah sebagai lembaga
Negara utama karena DPD sendiri dibentuk dan diberikan kewenangan oleh
UUD NRI 1945.4
Kewenangan DPD sendiri di atur dalam Pasal 22D UUD NRI 1945 yang
terdiri dari kewenangan dalam hal legislasi, anggaran dan pengawasan.bunyi
dari pasal 22D UUD NRI 1945 sebagaimana berikut:
Ayat (1)“Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah”.
Ayat (2) “Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang
yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah;
pembentukan; pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan
pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan
undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan
dan agama”
Ayat (3)“Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas
pelaksanaan undang-undang mengenai; otonomi daerah,
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat
4 I Gede Pantja Astawa, Kajian Teoritik dan Normatif tentang Penyelenggaraan Negara di
Indonesia dalam Interaksi Konstitusi dan Politik: Kontekstualisasi Pemikiran Sri Soemantri,
(Bandung: PSKN FH UNPAD, 2016) h. 66.
61
dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber ekonomi
lainnya”.
Dalam hal legislasi DPD hanya dapat mengajukan RUU yang berkaitan
dengan otonomi daerah serta membahas bersama dengan DPR mengenai RUU
tersebut tanpa dapat ikut serta dalam pengesahan suatu Undang-Undang. Dalam
hal ini terlihat sangat jelas bahwa kewenangan DPD sangat terbatas dalam UUD
NRI 1945 sehingga DPD dapat dikatakan sebagai lembaga penunjang DPR
dalam hal legislasi.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Undang-Undang MD3) resmi diberlakukan pada
Maret 2018. Undang-Undang ini memberikan kewenangan baru kepada DPD
dalam hal pengawasan yang diatur dalam Pasal 249 Ayat (1) sebagaimana
berbunyi:
a. Mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah kepada
Dewan Perwakilan Rakyat;
b. Ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan hal
sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. Menyusun dan menyampaikan daftar inventaris masalah rancangan
undang-undang yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat atau
Presiden yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf
a;
d. Memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas
rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang
yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
62
e. Dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang
mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
daerah hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan
sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan,
dan agama;
f. Menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang
mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
daerah hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan
sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan,
dan agama kepada DPR sebagai pertimbangan untuk ditindak lanjuti;
g. Menerima hasil pemeriksaan atas keuangan Negara dari Badan Pemeriksa
Keuangan sebagai bahan untuk membuat pertimbangan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat tentang rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan APBN;
h. Memberi pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam
memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
i. Menyusun program legislasi nasional yang berkaitan dengan otonomi
daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah hubungan
pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat
dan daerah, dan;
j. Melakukan pemantauan dan evaluasi atas rancangan peraturan daerah
dan peraturan daerah.
Dapat dilihat dalam Pasal 249 Ayat (1) huruf J yang berbunyi “melakukan
pemantauan dan evaluasi rancangan peraturan daerah dan peraturan daerah”.
Penambahan kewenangan ini dianggap sebagai angin segar bagi DPD RI hal ini
untuk memperkuat posisi DPD RI sebagai perwakilan daerah dipusat.
Kewenangan tersebut dilatar belakangi karena adanya putusan Mahkamah
Konstitusi No. 137/PUU-XIII/2015 yang menghilangkan kewenangan Menteri
63
dalam negeri untuk membatalkan perda, dalam putusan MK tersebut
menyatakan demi kepastian hukum dan kesesuain dengan UUD 1945, maka
kewenangan pemerintah pusat untuk menguji atau membatalkan perda telah
dicabut dan menjadi ranah kewenangan konstitusional Mahkamah Agung.
Munculnya kewenangan DPD dalam melakukan evaluasi terhadap perda
merupakan penafsiran lebih lanjut terhadap kewenangan DPD dalam melakukan
pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang: otonomi daerah; pembentukan,
pemekaran dan penggabungan daerah; hubungan pusat dan daerah; pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; pelaksanaan anggaran dan
belanja negara; pajak; pendidikan; agama.
Perda merupakan peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah,
untuk perda provinsi disetujui oleh gubernur sedangkan perda kabupaten/kota
disetujui oleh bupati/walikota. Materi muatan perda berisikan aturan-aturan
dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, tugas pembantuan serta
penafsiran lebih lanjut oleh Undang-Undang.
Otonomi daerah sendiri merupakan kewajiban yang diberikan kepada
daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri secara mandiri dan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Awal
pemberiannya otonomi daerah bertujuan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat daerah, meningkatkan pelayanan umum, serta meningkatkan daya
saing daerah.
Lahirnya otonomi daerah yang bersifat desentralisasi tidak lain karena
tuntutan dari berbagai pihak atas buruknya sistem pemerintah yang dilaksanakan
secara sentralistik, sistem sentralistik saat orde baru banyak menimbulkan
kesenjangan dan ketimpangan yang besar antara daerah dengan kota kota besar
seperti jakarta.
Dilihat bersama dalam pasal 18 Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah
64
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten,
dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-
undang”. Pasal tersebut menjadi dasar lahirnya otonomi daerah di Indonesia,
frasa “dibagi” dalam pasal 18 dimaknai bahwa negara Indonesia sebagai negara
kesatuan menganut sistem pembagian kekuasaan dan pemisahan kekuasan yaitu
antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah, kedua pemerintahan
tersebut bersinergi dalah hal kewenangan dan pengawasan sebagai konsekuensi
negara kesatuan.
Dalam melaksanakan otonomi daerah pemerintahan daerah memiliki
prinsip-prinsip penyelenggaraan otonomi daerah antara lain:
1. Prinsip otonomi yang seluas luasnya
Prinsip otonomi seluas-luasnya memiliki arti bahwa daerah diberi
kewenangan untuk mengurus dan mengatur segala urusan rumah
tangganya sendiri diluar dari urusan pemerintah pusat sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
2. Prinsip otonomi nyata
Prinsip otonomi nyata merupakan merupakan prinsip bahwa untuk
menangani urusan pemerintah dilaksanakan sesuai dengan tugas,
wewenang, dan kewajiban yang nyata telah ada dan berpotensi untuk
tumbuh, hidup, dan berkembang sesuai dengan potensi ditiap daerah.
3. Prinsip otonomi yang bertanggung jawab
Prinsip otonomi yang bertanggung jawab mengandung arti bahwa
dalam menyelenggarakan otonomi daerah harus sesuai dengan maksud
dan tujuan pemberian otonomi, yaitu memberdayakan potensi daerah dan
mensejahterakan rakyat.
4. Prinsip Otonomi yang dinamis
65
Prinsip otonomi yang dinamis artinya bahwa pelaksanaan otonomi
daerah terus bergerak maju mengikuti perkembangan dunia saat ini.
5. Prinsip keserasian
Prinsip keserasian dalam artian dalam membangun daerah harus
memperhatikan keseimbangan penggunaan sumber daya alam dengan
dampak yang diakibatkan, dengan tidak terlalu berlebihan yang
berdampak pada kerugian masyarakat sendiri.
Dapat kita lihat bersama dalam Pasal 1 Ayat (1) UUD 1945, bahwa
Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Dalam konsep
negara kesatuan yang memegang kekuasaan tertinggi atas urusan negara ialah
pemerintahan pusat tanpa adanya suatu delegasi atau pelimpahan kepada
pemerintahan daerah. Dalam negara kesatuan dikenal dengan asas bahwa urusan
negara tidak dibagi antara pemerintah pusat dan daerah, sehingga segala urusan
negara sudah mutlak menjadi urusan pemerintah pusat.
Dalam negara kesatuan pelaksanaan tugas pemerintah pada dasarnya
menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Namun berbeda dengan indonesia
yang menganut bentuk negara kesatuan dengan sistem desentralisasi, sehingga
ada hal hal yang tertentu yang diurus sendiri oleh pemerintahan daerah, sehingga
menimbulkan hubungan timbal balik yang melahirkan adanya hubungan
kewenangan dan pengawasan.5
Konsep otonomi daerah saat ini secara yuridis di Indonesia, tidaklah dapat
dilepaskan untuk melaksanakan kebijakan yang secara umum benar-benar
otonom, hal tersebut dikarenakan konsep otonomi daerah yang berada di
Indonesia masih mengacu kepada kerangka negara kesatuan. Hal tersebut dapat
dilihat kedudukan kepada daerah yang memiliki dua peran penting sekaligus,
yang pertama sebagai kepada daerah yang menjalankan otonomi daerah sesuai
asas desentralisasi dan yang kedua sebagai wakil dari pemerintah pusat dalam
5 Ni’matul Huda, Hukum Tata negara Indonesia, (Jakarta: Grafindo Persada, 2005), h. 92.
66
menjalankan tugas pembantuan melalui mekanisme dekonsentrasi. Tugas
pembantuan yang dijalankan oleh kepada daerah tercantum dalam Pasal 18 Ayat
(6) UUD 1945 yang berbunyi “Pemerintahan daerah berhak menetapkan
peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan
tugas pembantuan”.
Bukti lain bahwa daripada pemerintah daerah merupakan perpanjangan
tangan dari pemerintah pusat dapat dilihat dalam Pasal 264 ayat (5) Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, dalam pasal
tersebut ditegaskan bahwa konsep rencana pembangunan jangka panjang daerah
(RPJPD), rancangan pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD), dan
rencana pembangunan tahun daerah atau rencana kerja pemerintah daerah
(RKPD), harus tetap dikendalikan serta dievaluasi oleh pemerintah pusat untuk
diselaraskan, hal tersebut mengindikasikan bahwa kebijakan-kebijakan
pemerintahan daerah tidak selama benar benar bersifat otonom dalam hal arah
pembangunan.
C.S.T Kansil menjelaskan negara kesatuan merupakan negara yang merdeka
dan berdaulat dimana hanya memiliki satu pemerintah dalam satu negara yang
mengatur seluruh daerah. Negara kesatuan dapat dibagi menjadi dua, yang
pertama negara kesatuan dengan sistem sentralisasi, dimana segala urusan
negara diatur dan diurus langsung oleh pemerintahan pusat, yang kedua adalah
negara kesatuan dengan sistem desentralisasi dimana pemerintah pusat
memberikan kesempatan kepada pemerintahan daerah untuk mengurusi urusan
pemerintah dimasing-masing daerahnya. Sedangkan yang menjadi perbedaan
antara negara kesatuan bersistem desentralisasi dengan negara federal yaitu
sejauh mana pemberian otonomi tersebut. Dalam negara kesatuan bersistem
desentralisasi pemerintah daerah dapat mengurus rumah tangganya sendiri
namun dalam hal ini pemerintahan pusat dapat mengawasi pemerintahan daerah,
67
fungsi pengawasan inilah yang menjadi hubungan timbal balik antara
pemerintahan pusat dan daerah.6
Hubungan pemerintahan pusat dengan daerah dalam hal pengawasan dan
evaluasi merupakan suatu proses kegiatan yang dilaksanakan untuk menjamin
pemerintah daerah berjalan sesuai dengan rencana nasional dan ketentuan-
ketentuan peraturan perundang-undangan. Secara umum apabila ditinjau
berdasarkan hukum administrasi negara menurut Prajudi Atmosudirdjo7
pengawasan diartikan sebagai kegiatan yang membandingkan apa yang
dijalankan, dilaksanakan atau diselenggarakan sesuai dengan apa yang
dikehendaki, direncanakan atau diperintahkan.
Pengawasan baku terhadap pemerintahan daerah dibagi kedalam dua jenis,
yaitu:
1. Pengawasan Preventif
Pengawasan preventif merupakan pengawasan yang bersifat
mencegah. Mencegah dalam hal ini dimaknai agar suatu kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintahan daerah supaya tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengawasan preventif merupakan pengawasan yang dilakukan oleh
Mendagri dan Gubernur sebagai pemerintah pusat atau Dewan
Perwakilan Daerah, pengawasan tersebut dilakukan sesuai dengan
tingkatan, untuk perda kabupaten/kota dilakukan oleh Gubernur
sedangkan perda provinsi dilakukan oleh Mendagri.
Pengawasan preventif oleh pemerintah pusat dapat berupa evaluasi
terhadap rancangan perda khususnya rancangan perda tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Perubahan Anggaran Pendapat
6 C.S.T. Kansil, Hukum Tata Pemerintahan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia), 1985,
h. 71.
7 Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia), 1983, h.
81.
68
Belanja Daerah (PAPBD) Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Raperda
tentang Tata Ruang sesuai dengan Pasal 264 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 23Tahun 2014.
Pengawasan preventif pada perda merupakan konsekuensi dari
bentuk negara kesatuan bersistem desentralisasi, sehingga pemerintah
pusat melakukan cara-cara tertentu seperti halnya pengawasan preventif
kepada pemerintahan daerah agar urusan pemerintahan pusat dapat
diselenggarakan dengan tertib serta untuk menghindari terjadinya
tubrukan kewenangan antara pemerintah pusat dengan daerah.
2. Pengawasan Represif
Pengawasan represif merupakan pengawasan yang berupa
penangguhan atau pembatalan terhadap kebijakan perda yang telah
disahkan yang dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan diatasnya. Pengawasan represif ini bertujuan untuk
mengontrol pemerintahan daerah karena apabila otonomi daerah
diberikan secara luas dikhawatirkan dapat berdampak pada pemisahan
diri (Separation) diri dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pengawasan represif dilakukan saat produk hukum yang dihasilkan
memiliki akibat hukum baik dalam otonomi ataupun tugas pembantuan.
Model pengawasan represif sendiri dijalankan oleh Mahkamah
Agung yang dikenal dengan judicial review atau pengujian peraturan
perundang-undangan. Pengawasan represif yang dijalankan oleh MA
dapat berupa pembatalan perda dan yang menjadi tolak ukur MA dalam
membatalkan perda adalah Undang-Undang. Sehingga ketika perda
tersebut bertentangan dengan Undang-Undang maka MA berwenang
untuk membatalkan perda tersebut.
Pemerintah pusat adalah penyelenggara pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berkedudukan ditingkat negara, pemerintahan pusat
terbagi dengan tiga cabang kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif.
69
Lembaga eksekutif adalah lembaga yang ditetapkan untuk menjadi pelaksana
dari peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh legislatif, eksekutif dalam
hal ini adalah presiden dan para pembantu presiden yang terdiri atas wakil
presiden dan menteri. Berikutnya lembaga legislatif, lembaga legislatif
merupakan lembaga yang bertugas dan berwenang untuk membuat dan
merumuskan UUD 1945 dan Undang-Undang, di Indonesia lembaga legislatif
terdiri atas DPR, DPD, dan MPR. DPR berisikan anggota partai politik yang
mencalonkan diri sebagai peserta pemilu yang sudah terpilih saat pemilu,
berbeda dengan DPD yang anggotanya berisikan perwakilan-perwakilan ditiap
daerah yang ada di Indonesia yang sudah terpilih melalui pemilu, sedangkan
MPR terdiri atas anggota DPR dan DPD. Yang terakhir adalah lembaga
yudikatif, tugas daripada yudikatif yaitu mengawal serta mengawasi proses
berjalannya UUD 1945, di tingkat negara lembaga yudikatif dijalankan oleh
MA, MK, dan KY. MA adalah lembaga yudikatif yang bertugas
menyelenggarakan peradilan demi penegakan hukum yang adil. MK adalah
lembaga yudikatif yang bertugas mengawal dan melindungi konstitusi dan yang
terakhir adalah KY, KY bertugas untuk menjaga dan menegakan kehormatan,
keluhuran serta perilaku hakim.
Jika peneliti melihat cabang-cabang kekuasaan dalam pemerintah pusat,
maka peneliti memahami bahwa kedudukan DPD dalam ketatanegaraan
Indonesia merupakan bagian daripada pemerintahan pusat.
Dilihat dari kedudukan DPD sebagai bagian dari pemerintahan pusat
peneliti mengkaji berdasarkan teori negara kesatuan, peneliti melihat bahwa
peran DPD dalam mengawasi dan mengevaluasi perda adalah bentuk hubungan
timbal balik antar pemerintah pusat dengan daerah, Peran DPD dalam
mengawasi perda sebagai jembatan antara pemerintahan pusat dengan daerah
dalam mengharmonisasikan hukum nasional sehingga perda sebagai instrumen
terkuat dalam menjalankan otonomi daerah tetap perlu pengawasan oleh
pemerintahan pusat sebagaimana peneliti bahas sebelumnya bahwa konsep
otonomi daerah dalam negara kesatuan tidak dapat dijalankan secara sepenuhnya
70
mengingat pemerintahan pusat memegang kendali tertinggi dalam
penyelenggaraan negara, dengan demikian dapat peneliti simpulkan bahwa
pengawasan dan evaluasi yang dilakukan oleh DPD sudah sesuai dengan konsep
otonomi daerah yang ada di Indonesia.
71
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian hasil penelitian skripsi yang sudah dijelaskan
secara terperinci dalam bab-bab sebelumnya, maka peneliti dapat menarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Kewenangan DPD dalam mengawasi perda serta raperda hanya bersifat
konsultif sehingga tidak ada kewajiban bagi pemerintah daerah untuk
menjalankan rekomendasi oleh DPD. Sifat konsultif tersebutlah yang
membuat pengawasan DPD masih sangat lemah, oleh karenanya untuk
memperkuat kewenangan tersebut diperlukannya aturan yang mewajibkan
pemerintahan daerah untuk menjalan rekomendasi yang diberikan oleh DPD
sehingga wewenang pengawasan dan evaluasi tersebut dapat bekerja secara
maksimal.
2. Kewenangan DPD dalam mengawasi dan mengevaluasi perda dan raperda
yang diatur dalam pasal 249 Undang-Undang No. 2 Tahun 2018 Tentang
MPR, DPR, DPD dan DPRD sudah sesuai dengan konsep otonomi daerah di
Indonesia, dimana konsep otonomi daerah di Indonesia tidaklah murni
otonomi karena Indonesia merupakan negara kesatuan, dan ditinjau
berdasarkan teori negara kesatuan, pemerintahan pusat memegang kendali
penuh atas penyelenggaraan negara disetiap daerahnya, sehingga
pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah tidak dapat terpisahkan,
pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah pusat merupakan hubungan
timbal balik. Peran DPD sebagai pemerintahan pusat dalam hal ini sebagai
jembatan dalam mengharmonisasikan hukum nasional.
B. Rekomendasi
Berdasarkan seluruh pemaparan yang peneliti bahas di bab-bab sebelumnya
maka di akhir peneliti ingin menyampaikan pesan, yaitu:
72
1. Berdasarkan hasil peneletian ini peneliti berharap adanya aturan tambahan
yang mewajibkan Pemerintah Daerah untuk menjalankan hasil rekomendasi
yang diberikan oleh DPD RI, sehingga kewenangan DPD RI dalam
melakukan pengawasan dapat berjalan secara maksimal.
2. Peneliti juga berharap penelitian ini dapat memberikan sumbangsih
pemikiran bagi pembaca untuk melakukan penelitian terkait lembaga negara
di Indonesia yang nantinya dijadikan sebagai pertimbangan pemerintah
untuk membuat kebijakan yang lebih baik.
73
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Apter, David E, Pengantar Analisa Politik, Jakarta: Rajawali Pers, 1985.
Asshiddiqie, Jimly. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI. 2006.
..............., Pengantar Ilmu Hukum tata negara, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
2013.
.............., Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta: Sinar Grafika,
2011.
..............., Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta: Sinar Grafikas, 2011.
..............., Model-Model Pengujian Konstitusi di Berbagai Negara, Jakarta:
Konstitusi Press, 2005.
.............., Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta: Konstitusi Pers, 2006.
Bahar, Saafroedin dan Tangadililing, A.B. Integrasi Nasional: Teori, Masalah dan
Strategi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999.
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Konstitusi Republik Indoneisa.
Dicey, Albert Venn, Introduction To The Study Of The Law The Constitution,
London: Macmilan, 1961.
Djadijono, Muhammad, dan Efriza, Wakil Rakyat Tidak Merakyat, Bandung:
Alfabeta, 2011.
Efriza, Studi Parlemen dan lanskap politik Indonesia, Malang: Setara Press, 2004.
El-Muhtaj, Majda. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Jakarta:
Kencana, 2017.
74
Gunawan, Markus, Buku Pintar Calon Anggota & Anggota Legislatif, DPD,
DPRD, & DPD, Jakarta: Visimedia, 2008.
Handoyo, B. Hestu Cipto, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi
Manusia, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2003.
Haris, Syamsudin, Kantor Anggota DPD RI dan Hubungan Dengan Daerah,
Jakarta, UNDP Indonesia, 2010.
HR, Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2006.
Huda, Ni’matul, Desentralisasi Asimetris dalam NKRI, Bandung: Nusa Media,
2004.
Indrati, Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi, dan Materi
Muatan), Yogyakarta: PT. Kanisius, 2007.
Isjwara, Fred, Pengantar Ilmu Politik, Bandung: Binacipta, 1974.
Kadir, Abdul, Muh., Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: PT. citra Aditya,
2004.
Kelsen, Hans, General Theory Of Law and State, New York: Russel & Russel,
1945.
Kusnardi, Moh. dan Ibrahim Harmaily, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta:
Pusat: Sinar Bakti, 1988.
Makagansa, H.R., Tantangan Pemekaran Daerah, Yogyakarta: Fuspad, 2008.
Makmur, Efektivitas Kebijakan Kelembagaan Pengawasan, Bandung: Refika
Aditama, 2011.
Manan, Bagir, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: Pusat Studi
Hukum Fakultas Hukum UII, 2011.
MD, Moh. Mahfud, Perdebatan Hukum tata negara Pasca Amandemen Konstitusi,
Cet. Ketiga, Jakarta: PT Raja Grafindo Persadam, 2013.
75
......................, Politik Hukum di indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.
Moertopo, Ali, Strategi Politik Nasional, Strategi Politik Nasional, Jakarta:
Yayasan Proklamasi, 1973.
Naja, HR Daeng, Dewan Perwakilan Daerah: Bikameral Setengah Hati,
Yogyakarta: Media Pressindo, 2004.
Nurcholis, Hanif, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Jakarta:
Penerbit Grasindo, 2007
Palguna, I Dewa Gede, Mahkamah Konstitusi ( Dasar Pemikiran, Kewenangan dan
Perbandingan dengan Negara Lain), Jakarta: Konstitusi Press, 2018.
Pieris, John dan Putri, Aryanti Baramulis, Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia: studi, analisis, kritik, dan solusi kajian hukum dan politik, Jakarta:
Pelangi Cindekia, 2006.
Prihatmoko, Joko, Pemilu 2004 dan Konsolidasi Demokrasi, Semarang: LP2I dan
LP3M Unwahas, 2003.
Rahardjo, Satjipto, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara, 2007.
Riyanto, Astim, , Aktualisasi Negara Kesatuan Setelah Perubahan Atas Pasal 18
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bandung:
Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, 2006.
Samidjo, Ilmu Negara, Bandung: CV Armico, 2002.
Silalahi, Ulber, Metode Penelitian Sosial, Bandung: PT Rafika Aditama, 2009.
Simabura, Charles, Parlemen Indonesia Lintasan Sejarah dan Sistemnya, Jakarta:
Rajawali Pers, 2011.
Simanjuntak, Bungaran Antonius, Otonomi Daerah, Etnonasionalisme, dan Masa
Depan Indonesia, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010.
Siswanto, Hukum Pemerintah Daerah, Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
76
Soejito, Irwan, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Jakarta: PT
Rineke Cipta, 1990.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia
Press, 1986.
Soemantri, Sri, Hukum Tata Negara Indonesia Pemikiran dan Pandangan,
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014.
Strong, C.F., Konstitusi-Konstitusi Politik Modern Kajian Tentang Sejarah &
Bentuk-bentuk Konstitusi Dunia,Bandung: Nuansa dan Nusamedia, 2004.
Subardjo, Dewan Perwakilan Daerah menurut UUD NRI 1945 dan Penerapan
sistem bikemeral dalam Lembaga Perwakilan Indonesia,
T.A, Legowo, DKK, Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia, Jakarta: Forum
Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, 2015.
Yusuf, Muhammad, Dewan Perwakilan Daerah: Arsitektur Histori, Pera dan
Fungsi DPD RI Terhadap Daerah di Era Otonomi Daerah, Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2013.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) tahun 1946 setelah
amandemen.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
Jurnal
Adriyan, Nur, Dody, “Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Dalam
Perspektif Teori Bicameralisme”, Volkgeist Jurnal Ilmu Hukum dan
Konstitusi, No. 1 Vol 1, 2018.
77
Agustin, Dwi Amalia, DKK, “Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah Sebagai
Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”, Jurnal
Lontar Merah, No. 1 Vol. 1, 2018.
Aziz, Machmuz, “Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Dalam Sistem
Peraturan Perundang-Undangan Indonesia”, Jurnal Konstitusi, No. 5 Volume
7, 2010
Huda, Ni’matul, “Kedudukan Peraturan Daerah Dalam Hierarki Peraturan
Perundang-Undangan” Jurnal Hukum, No. 1, Vol, 13, 2008.
Idami, Zahratul, “Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Setelah Adanya
Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012”, Jurnal Ilmu
Hukum, No. 63, Th. XVI, 2014.
Kartasasmita, “Dewan Perwakilan Daerah Dalam Perspektif Ketatanegaraan
Indonesia”, Jurnal Majelis, No. 1, Vol 1, 2009.
Pasaribu, Parlindungan, “Kedudukan dan Fungsi Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, Yuriska Jurnal Ilmiah Hukum, No.
2 Vol. 2, 2010.
Rumoko, K. Nikke “Kedaulatan dan Kekuasaan Dalam UUD 1945 Dalam
Pembentukan Hukum Di Indonesia”, Jurnal Hukum Unsrat, Vol 23 No. 9,
2017
Safa’at, Ali, Muchamad. “Dewan Perwakilan Daerah sebagai Lembaga Perwakilan
Daerah dan Proses Penyerap Aspirasi”, Artikel Jurnal Hukum, 2014.
Soebardjo, “Dewan Perwakilan Daerah Menurut UUD 1945 Dan Penerapan Sistem
Bikameral Dalam Lembaga Perwakilan Indonesia”, Jurnal Hukum, Vol.14,
No. 1 2007.
Sweet, Stone Alec, “Constitutional Court and Parliamentary Democracy (Special
Issue On Delegation)”, West European Politics, Vol. 25, No. 1, 2002.
78
Wasistiono, Sadu, “Kajian Hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah
Daerah”, Jurnal Administrasi Pemerintahan Daerah, Volume I, Edisi Kedua
2004.
Wulansari, Dewi. “Hubungan Pengetahuan Politik Pemilih Pemula dengan
Partisipasi Politik (Studi Korelasional Pada Pemilu Legislatif 2009 di Desa
Sukarapih)”, Artikel, Jurnal Konstitusi, Vol I, Mahkamah Konstiusi Republik
Indonesia, Jakarta, 2009.