KEWENANGAN LEGISLASI DEWAN PERWAKILAN...
Transcript of KEWENANGAN LEGISLASI DEWAN PERWAKILAN...
KEWENANGAN LEGISLASI DEWAN PERWAKILAN DAERAH
PASCA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014
TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu
Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
SRI ANDRIYANI
NIM: 1111048000017
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1436 H/2015 M
i
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil asli karya saya yang diajukan untuk
memenuhui salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum
(S.H) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Sumber-sumber yang saya gunakan dalam penulisan yang telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa hasil karya saya ini bukan asli karya
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Juni 2015
Sri Andriyani
ii
ABSTRAK
Sri Andriyani. NIM 1111048000017. KEWENANGAN LEGISLASI DEWAN
PERWAKILAN DAERAH PASCA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG
NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD.
Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436
H/2015 M. x + 73 halaman. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui kewenangan
legislasi Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dibatasi, untuk
mengetahui implikasi dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-
X/2012, dan mengetahui kewenangan legislasi Dewan Perwakilan Daerah Pasca
Regulasi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD. Latar belakang skripsi ini adalah sebagai salah satu lembaga legislatif
dalam parlemen Indonesia selain DPR adalah DPD, namun dalam pelaksanaannya
dari mulai pembentukan Dewan Perwakilan Daerah pada amandemen Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ketiga hingga saat ini
keberadaan DPD tidak begitu nyata karena kewenangan yang diberikan oleh UUD
1945 masih sangat terbatas. Metode penelitian yang digunakan oleh penulis
adalah metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan
perundang-undangan (statute approach), pendekatan sejarah (historical
approach), dan pendekatan komparatif (comparative approach). Selanjutnya ada
tiga bahan hukkum yang digunakan, yakni bahan hukum primer, sekunder, dan -
non-hukum. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dalam pembentukan
undang-undang No. 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPD ini telah
terjadi inkonstituional baik dalam muatan formil maupun materiil karena undang-
undang ini ada yang tidak sesuai dengan UUD 1945 dan putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012, bahkan Undang-undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang masuk dalam
judicial review di Mahkamah Konstitusi belum juga di revisi sehingga
menyulitkan DPD untuk melaksanakan kewenangan legislasinya.
Kata Kunci : Parlemen, Undang-undang, Kewenangan Legislasi
Pembimbing : Dr. H. JM Muslimin, MA.
Daftar Pustaka : Tahun 1981 s.d. Tahun 2015
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. yang
senantiasa memberikan bimbingan dan petunjuk sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “KEWENANGAN LEGISLASI DEWAN
PERWAKILAN DAERAH PASCA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG
NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN DPRD”. Shalawat
serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW.
yang telah membawa umat manusia dari zaman kebodohan kepada zaman yang
penuh dengan ilmu pengetahuan ini. Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak
mendapatkan bantuan, arahan, serta bimbingan dari berbagai pihak, sehingga
dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Dr. Asep Saepuddin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. Asep Syaifuddin Hidayat, SH., MH. dan Drs. Abu Tahmrin, SH.,
M.Hum. selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Dr. H. JM Muslimin, MA. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
bersedia menjadi pembimbing dalam penulisan skripsi ini dengan penuh
kesabaran dan memberikan masukan serta meluangkan waktunya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
iv
4. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
khususnya bapak Nur Rohim Yunus, LL.M. yang telah memberikan motivasi,
masukan, bimbingan dan memberikan ilmunya dengan tulus ikhlas semoga
ilmu pengetahuan yang diberikan dapat bermanfaat bagi penulis.
5. Staf dan pegawai Perpustakaan Fakultas dan Perpustakaan Utama yang telah
menyediakan buku-buku yang lengkap dan bermanfaat untuk menunjang
proses perkuliahan. Serta staf dan pegawai Fakultas Syariah dan Hukum yang
telah membantu penulis dalam perkuliahan baik dalam hal administrasi
maupun hal lainnya.
6. Kedua orang tua tercinta yaitu Ayahanda Nawiri dan Ibunda Asmah. Terima
kasih atas doa, motivasi, dukungan serta kasih sayang yang selama ini
diberikan sehingga penulis dapat melanjutkan pendidikan hingga Perguruan
Tinggi Negeri. Begitu pula dengan kakak-kakak tercinta yaitu Nawiyah,
Munawaroh dan Abdul Ajat. Terima kasih atas dukungan, perhatian dan kasih
sayang kalian kepada adik yang paling kecil ini.
7. Teman-teman seperjuangan Fanny Fatwati Putri, Lisanul Fikri, Waldan
Mufathir, dan Juli Andreansyah yang selama ini telah menjadi sahabat,
keluarga, susah dan senang bersama, serta berjuang bersama. Serta tidak lupa
abang yang selalu menasihati kami ketika kami salah yaitu Muhammad
Caesal Regia serta mengkader kami hingga sejauh ini.
v
8. Teman-teman ilmu hukum tahun angkatan 2011 yaitu, Fanny, Ida, Novita,
Ummu, Shinta, Tazkiya, Tami, Endang, Dhurifah, Chairunnisa, Hilda, Santi,
Inggrit, Pratiwi dan teman-teman dari hukum kelembagaan negara maupun
hukum bisnis yang tidak mungkin disebutkan semua. Terima kasih atas
kebersamaan kalian selama ini dan semoga tali silaturahmi kita tidak terputus.
9. Kawan-kawan, Kanda, Yunda serta Adinda di HMI Komisariat Fakultas
Syariah dan Hukum dan Lembaga Kajian dan Bantuan Hukum HMI Cabang
Ciputat yang telah menjadi tempat untuk berproses dan memberikan pelajaran
baik dalam organisasi maupun keilmuan.
10. Yunda-yunda yang hebat yaitu, ka Lini, Ka Naila, Ka Zakia, Ka Adis, dan Ka
caca yang telah memberikan banyak ilmu yang bermanfaat bagi penulis dan
tetap menjadi keluarga cemara yang kecil namun bahagia.
11. Yunda-yunda KOHATI Komfaksy, yaitu Ifa’ Afifah, Nurul Rizkillah, Furba
Indah, dan lainnya yang telah membantu berbagai hal dan KOHATI Cabang
Ciputat yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat.
12. Adinda-adinda Ilmu Hukum tercinta, yaitu Muhammad Yusuf, Rama, Atma,
Murtadlo, Rajiv, Khaidir Musa, Raden, Ryan, Falah, Wulida, Dina dan
lainnya yang tidak disebutkan satu-persatu. Terima kasih atas kebersamaan
kalian dan semoga tetap kompak selalu.
vi
13. Teman-teman KKN Fajar Nusantara 2014, yaitu Mentari, Fanny, Febrina,
Feny, Bibah, Akbar, Ibnoe, Reza, Didit, Sony, Ka Abdi, Husni, dan Dzul.
Terima kasih atas dukungan, motivasi, dan kebersamaan kalian selama ini.
14. Teman-teman Himpunan Mahasiswa Kota Tangerang Selatan
(HIMAKOTAS), yaitu Sopian Hadi Permana, M. Faisal Husen, Irfan
Zharfandy, Rizki Ahmad, Mutiarani Zahra, dan lain sebagainya. Terima kasih
atas motivasi dan dukungan kalian.
Atas seluruh bantuan dari semua pihak baik material maupun
immaterial, penulis berdoa semoga Allah SWT. memberi balasan yang berlipat.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya
dan bagi pembaca umumnya.
Jakarta, Juni 2015
Sri Andriyani
vii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIAN UJIAN .................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... iii
ABSTRAK ............................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR .............................................................................................. v
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................................. 5
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah .......................................................... 5
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................. 6
E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu ......................................................... 7
F. Metodelogi Penelitian .............................................................................. 9
G. Sistematika Penulisan ............................................................................. 12
BAB II LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT
A. Teori Kedaulatan Rakyat ........................................................................ 14
B. Teori Keterwakilan .................................................................................. 18
C. Teori Lembaga Perwakilan ..................................................................... 20
viii
BAB III KEDUDUKAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH SEBELUM
PERUBAHAN UNDANG-UNDANG
A. Konsep Dewan Perwakilan Daerah Pra-Amandemen UUD 1945. ......... 29
B. Konsep Dewan Perwakilan Daerah Pasca Amandemen UUD 1945....... 38
BAB IV KEDUDUKAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH SETELAH
PERUBAHAN UNDANG-UNDANG
A. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 ........ 45
B. Analisis Kewenangan Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Pasca
Berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 ............................ 50
C. Penguatan Sistem Bikameral Dalam Tata Negara Indonesia ................. 55
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................ 63
B. Saran .................................................................................................. 65
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 66
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
(selanjutnya disebut: UUD NRI 1945) menyebutkan bahwa Majelis Permusyawaratan
Rakyat (selanjutnya disebut: MPR) terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(selajutnya disebut: DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (selanjutnya disebut: DPD)
yang dipilih langsung melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan
undang-undang.
Hubungan di dalam MPR ini membentuk sistem bikameral yang bertujuan
untuk menciptakan hubungan check and balances di dalam lembaga legislatif itu
sendiri. Gagasan ini menghendaki agar parlemen terdiri dari lembaga representasi
politik (political representation) yakni DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan
lembaga representasi territorial atau regional (regional representation) yakni DPD
(Dewan Perwakilan Daerah).1
Pembentukan DPD ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada
masyarakat daerah untuk berperan aktif di dalam pemerintahan, sejalan dengan ide
1 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta:
Rajawali Pres, 2011) Cet. Ke-2, h. 68.
2
untuk menerapkan otonomi daerah. Tetapi DPD hanya diberi otoritas yang sangat
terbatas, apalagi kalau dibandingkan dengan kekuasaan DPR.2
Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah forum bersama antara DPR dan DPD.
Namun antara DPR dengan DPD terdapat ketimpangan, yaitu pada pasal 22C UUD
1945 menyebutkan bahwa jumlah anggota DPD tidak lebih dari sepertiga anggota
DPR.3 Dan dalam hal kewenangan DPD yang diatur dalam UUD NRI 1945 adalah
sebagai berikut:
(1) DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah.
(2) Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
a. Ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
2 Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, (Jakarta: PT
Mizan Pustaka, 2007), h. 372.
3 Yeny AS, Fungsi Legislasi DPD RI Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-
X/2012, Jurnal Lex Publica, Vol. 1, No. 1, Januari 2014.
3
b. Memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN, RUU yang
berkaitan dengan pajak, RUU yang berkaitan dengan pendidikan, dan RUU
yang berkaitan dengan agama.
(3) DPD dapat melakukan pengawasan atas:
a. Pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, hubungan pusat
dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi dalinnya,
pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan,
dan agama; serta
b. Menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan
pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
Menurut Jimly Asshiddiqie pembahasan mengenai kewenangan DPD dalam
UUD 1945 terlihat jelas bahwa DPD tidak mempunyai kewenangan membentuk
undang-undang, tetapi hanya dapat mengusulkan rancangan undang-undang kepada
DPR. Oleh karena itu, kedudukan DPD hanya bersifat penunjang atau auxiliary
terhadap fungsi DPR di bidang legislasi, sehingga DPD paling jauh hanya sebagai co-
legislator, dari pada legislator yang sepenuhnya.4 Kewenangan-kewenangan DPD
sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 22 D ayat (1) dan (2) UUD 1945
sangat terbatas dan dapat menyebabkan DPD hanya sebagai formalitas konstitusional
4 Agus Haryadi, Bivitri Susanti, dkk, Bikameral Bukan Federal, (Jakarta: Kelompok DPD di
MPR, 2010, cet. Ke-10), h. xvi.
4
belaka disebabkan oleh kompromi yang melatarbelakangi pelaksanaan amandemen.5
Mengenai kewenangan legislasi oleh DPD ini sudah diputuskan oleh Mahkamah
Konstitusi (selanjutnya disebut: MK).
Dewan Perwakilan Daerah mengajukan uji materi UU No. 27 tahun 2009
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan undang-undang No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terhadap UUD 1945 ke MK.
Hasil dari uji materi ini adanya Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 yang
memutuskan bahwa DPD mempunyai kedudukan yang sama dengan DPR dan
Presiden untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang tertentu untuk menyusun
program legislasi nasional (prolegnas) di lingkungan DPD dan ikut membahas RUU
tertentu tersebut dari awal hingga akhir tahapan, namun DPD tidak memberi
pengesahan atau persetujuan pada RUU tersebut untuk menjadi UU.
Setelah adanya putusan ini tidak secara serta merta dapat diterapkan dalam
perumusan Undang-undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD (MD3). Pada undang-undang ini kewenangan DPD dalam melakukan legislasi
belum terakomodir dengan baik serta secara kelembagaan DPD masih belum
dianggap menjadi lembaga legislatif oleh DPR. Serta dalam proses pembentukan UU
No.17 Tahun 2014 ini terkesan buru-buru karena sudah berdekatan dengan masa
pemilihan umum 2014.
5 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta:
Pustaka LP3ES Indonesia), h. 68.
5
Oleh sebab itu, penulis bermaksud melakukan penelitian skripsi terhadap
permasalahan kewenangan DPD dengan judul “KEWENANGAN LEGISLASI
DEWAN PERWAKILAN DAERAH PASCA BERLAKUNYA UNDANG-
UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MPR, DPR, DPD, DAN
DPRD”
B. Identifikasi Masalah
Berkaitan dengan kewenangan legislasi Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
sebagaimana yang telah diuraikan diatas, maka penulis menarik beberapa pokok yang
dijadikan permasalahan, yaitu :
1. Berkenaan dengan masih belum jelasnya sistem perwakilan yang dianut
oleh Indonesia;
2. Tentang tugas dan wewenang Dewan Perwakilan Daerah terkait dengan
fungsi legislasi;
3. Kekuasaan pembentukan Undang-undang;
4. Upaya memperluas kewenangan Dewan Perwakilan Daerah;
5. Usul amandemen kelima Undang-Undang Dasar 1945.
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Mengingat kewenangan DPD ada beberapa bagian, oleh karena itu
permasalahan penelitian ini akan dibatasi dan hanya membahas tentang
6
kewenangan legislasi DPD pasca berlakunya Undang-undang No. 17 Tahun
2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
2. Rumusan Masalah
Agar penelitian ini berjalan dengan sistematis, maka perlu dibuat rumusan
masalah sebagai berikut:
a. Mengapa kewenangan legislasi Dewan Perwakilan Daerah dibatasi?
b. Bagaimana implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-
X/2012?
c. Bagaimana kewenangan legislasi Dewan Perwakilan Daerah pasca
berlakunya UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang dan rumusan masalah, maka disusun
tujuannya sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui kewenangan legislasi Dewan Perwakilan Daerah sampai
dibatasi.
b. Untuk mengetahui implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
92/PUU-X/2012.
c. Untuk mengetahui kewenangan legislasi Dewan Perwakilan Daerah pada
UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
7
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk:
a. Manfaat Akademis
Peneltian ini berguna untuk memberikan informasi dan kontribusi bagi
kalangan intelektual, pelajar, praktisi, akademisi, institusi, dan masyarakat
umum tentang fungsi legisalsi DPD di parlemen pasca berlakunya UU No. 17
Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu untuk dijadikan bahan pertimbangan baik
Lembaga Pemerintahan maupun lembaga legislatif di Indonesia.
c. Masyarakat Umum
Penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberi penjelasan bagi
masyarakat umum agar senantiasa memiliki perhatian terhadap lembaga
negara ini.
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Dalam penelitian atau pembuatan skripsi, terkadang ada tema yang berkaitan
dengan penelitian yang peneliti teliti sekalipun arah dan tujuan yang diteliti berbeda.
Dari penelitian ini, penulis menemukan beberapa sumber kajian lain yang telah lebih
dahulu membahas terkait dengan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
8
Sumber pembahasan ini diambil dari buku Bikameral Bukan Federal penulis
Agus Haryadi, Bivitri Susanti, dkk dari kelompok DPD di MPR RI yang membahas
segala permasalahan yang ada di DPD.
Adapun skripsi yang pernah membahas seputar Dewan Perwakilan Daerah
diantaranya adalah:
1. Eksistensi Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem Bikameral Di Indonesia,
Penulis Miki Firmansyah dari Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang membahas tentang DPD dalam Hukum
Ketatanegaraan Indonesia dalam ruang lingkup tata negara terkait dengan sistem
bikameral di Indonesia. Sedangkan skripsi yang diteliti oleh penulis adalah
terkait Kewenangan Legislasi Dewan Perwakilan Daerah.
2. Revitalisasi Dewan Perwakilan Daerah Dalam Peningkatan Otonomi Daerah
Provinsi Banten, Penulis Ade Nubzatus Tsaniyah dari Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang membahas
tentang usaha penggiatan kembali (Revitalisasi) kewenangan, peran dan fungsi
DPD dalam peningkatan otonomi daerah, terutama Provinsi Banten. Sedangkan
skripsi yang diteliti oleh penulis adalah mengenai kewenangan legislasi oleh
Dewan Perwakilan Daerah dalam lingkup nasional.
3. Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Rancangan Undang-Undang Otonomi
Daerah Analisis Putusan MK 92/PUU/-X/2013, Penulis Fikri Abdullah dari
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta yang membahas tentang peran DPD dalam mengawal dan menjembatani
9
kepentingan daerah, untuk mengefektifkan peran-peran DPD serta
mengembalikan hak-hak konstusional lembaga tersebut kepada Mahkamah
Konstitusi. Sedangkan skripsi yang diteliti oleh penulis adalah setelah adanya
putusan Mahkamah Konstitusi dengan menggunakan Undang-Undang MD3
yang terbaru.
F. Metode Penelitian
Untuk memperoleh data yang akan dibutuhkan untuk menyusun skripsi ini,
maka penulis menggunakan metode:
1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
Yuridis Normatif (Penelitian Hukum Normatif). Nama lain dari penelitian hukum
normatif adalah penelitian hukum doktriner, juga di sebut dengan penelitian
hukum perpustakaan atau studi dokumen. Disebut penelitian hukum doktriner
karena penelitian ini dilakukan atau ditunjukan hanya pada peraturan-peraturan
yang tertulis atau bahan hukum lain. Sebagai penelitian perpustakaan atau studi
dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang
bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.6
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan penelitian ini adalah:
6 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek (Jakarta: Sinar Grafika, 2008, Cet.
Ke-4), h. 13-14.
10
a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach)
Bahwa penelitian ini menjadikan peraturan perundang-undangan sebagai
pokok kajian, yaitu peraturan yang berkaitan dengan kewenangan DPD
termasuk di dalamnya dikaji pula putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
92/PUU-X/2012.
b. Pendekatan Sejarah (Historical Approach)
Pendekatan ini dilakukan untuk memahami hukum secara lebih mendalam
tentang suatu sistem atau lembaga, dalam hal ini sejarah mengenai lembaga
perwakilan rakyat di Indonesia yang lebih difokuskan kepada lembaga Dewan
Perwakilan Daerah.
c. Pendekatan Komparatif (Comparative Approach)
Pendekatan ini dilakukan dengan cara mengkaji dan membandingkan
kewenangan legislasi Dewan Perwakilan Daerah dalam parlemen Indonesia
dengan lembaga di negara lain yang mirip dengan Dewan Perwakilan Daerah.
3. Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga jenis, yaitu:
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a) UUD 1945 NRI Tahun 1945
b) Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD
11
c) Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD
d) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Peraturan Perundang-
Undangan
e) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012.
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari buku-
buku hukum lainnya, Skripsi hukum tata negara, Tesis hukum tata negara,
Disertasi hukum tata negara, dan Jurnal ataupun materi-materi mengenai
hukum yang berkaitan dengan tema Kewenangan Legislasi DPD Pasca
Berlakunya UU No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
3. Bahan non-hukum
Merupakan bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna
terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus Hukum,
Ensiklopedia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Media Massa dan lain-lain.
4. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder
maupun bahan non hukum diuraikan dan dihubungan sedemikian rupa, sehingga
ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab
permasalahan yang telah dirumuskan. Cara mengolahnya dengan mengumpulkan
data-data yang diperoleh dari pendekatan yang dilakukan oleh penulis yakni
12
pendekatan udang-undang, pendekatan sejarah dan pendekatan kasus, kemudian
dihubungkan dengan pendapat para ahli ahli hukum. Dari sini akan ditemukan
jawaban yang berkaitan dengan permasalahan kewenangan legislasi Dewan
Perwakilan Daerah.
G. Sistematika Penulisan
Skripsi disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-
masing bab terdiri dari atas beberapa sub, hal ini dapat membantu dan mempermudah
untuk mengetahui dan memahaminya. Adapun sistematika yang dimaksud adalah
sebagai berikut:
BAB I Berisi pendahuluan, yang memuat tentang Latar Belakang Masalah,
Identifikasi Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan
Manfaat Penelitian, Tinjauan (Review) Studi Terdahulu, Metode
Penelitian, serta Sistematika Penulisan.
BAB II Berisi tentang tinjauan teori yang berisikan Teori Tentang Kontrak Sosial,
Teori Tentang Kesejahteraan Masyarakat, Teori Tentang Keterwakilan
dan Teori Tentang Check and Balances.
BAB III Berisi tentang Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah Sebelum Perubahan
Undang-Undang yang teridiri atas Konsep Dewan Perwakilan Daerah
Sebelum Amandemen UUD 1945, Konsep Dewan Perwakilan Daerah
Pasca Amandemen UUD 1945.
13
BAB IV Berisi tentang Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah Pasca Perubahan
Undang-Undang yang berisikan mengenai Implikasi Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 92/PUU-X 2012, Analisis Kewenangan Legislasi
Dewan Perwakilan Daerah Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta Penguatan
Dewan Perwakilan Daerah Dalam Tata Negara Indonesia.
BAB V merupakan bab Penutup, dalam bab ini akan menguraikan tentang
kesimpulan dan saran. Dalam kesimpulan akan diuraikan secara ringkas
mengenai jawaban-jawaban dari pokok permasalahan yang sebagaimana
telah diuraikan pada bab pendahuluan. Kemudian saran yang berisi
masukan-masukan dari penulis terkait dengan kewenangan legislasi
Dewan Perwakilan Daerah pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014. Serta saran penulis mengenai penguatan sistem bikameral di
Indonesia.
14
BAB II
LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT
A. TEORI KEDAULATAN RAKYAT
Kata kedaulatan berasal dari kata sovereignty (bahasa Inggris), souverainete
(bahasa Prancis), sovranus (bahasa Italia). Kata-kata asing tersebut diturunkan dari
kata Latin superanus yang berarti “yang tertinggi” (supreme).1
Jean Bodin orang yang pertama memberi bentuk ilmiah pada teori kedaulatan,
(souvereiniteit). Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi untuk menentukan hukum dan
negara. sifat-sifat kedaulatan itu, tunggal, asli, abadi, dan tidak terbagi.2 Jeremy
Bentham menjelaskan bahwa kedaulatan memiliki dua ciri, yaitu, (1) kedaulatan tidak
didapatkan atau diterapkan dengan menunjuk pada moralitas atau prinsip moral.
Kedaulatan semata-mata berdasarkan pada kenyataan sosial, kebiasaan untuk patuh;
dan (2) dalam menganalisis kedaulatan, kuncinya ialah konsep tentang kebiasaan dan
kepatuhan personal.3
Teori-teori yang berkembang terkait kedaulatan diantaranya adalah teori
kedaulatan Tuhan, teori kedaulatan raja, teori kedaulatan negara, teori kedaulatan
hukum, dan teori kedaulatan rakyat.
1 Ni‟matul Huda, Ilmu Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 169.
2 Abu Daud Busroh, Ilmu Negara (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010, Cet. Ke-7), h. 69.
3 Efriza, Ilmu Politik: Dari Ilmu Politik Sampai Sistem Pemerintahan, (Bandung:
ALFABETA, 2013, cet. Ke-3), h. 58.
15
Teori kedaulatan Tuhan mengatakan bahwa kekuasaan tertinggi itu yang
memiliki atau ada pada Tuhan.4 Ajaran ini menganggap Tuhan sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi dalam negara. dalam prakteknya kedaulatan Tuhan ini dapat pula
menjelma dalam hukum yang harus dipatuhi oleh kepala negara atau dapat pula
menjelma dalam kekuasaan raja sebagai kepala negara yang mengklaim wewenang
untuk menetapkan hukum atas nama Tuhan.5
Menurut ajaran Marsillius, raja itu adalah wakil Tuhan untuk melaksanakan
kedaulatan atau memegang kedaulatan di dunia. Karena raja-raja merasa berkuasa
untuk berbuat apa saja menurut kehendaknya dengan alasan bahwa perbuatannya itu
sudah menjadi kehendak Tuhan. Raja merasa tidak bertanggung jawab kepada
siapapun kecuali pada Tuhan. Bahkan raja merasa merkuasa menetapkan kepercayaan
atau agama yang harus dianut oleh rakyatnya atau warga negaranya.6
Teori kedaulatan negara menyatakan bahwa kedaulatan itu tidak ada pada
Tuhan (God-souvereiniteit), tetapi ada pada negara. Negaralah yang menciptakan
hukum, jadi segala sesuatu harus tunduk kepada negara. Negara di sini dianggap
sebagai suatu keutuhan yang menciptakan peraturan-peraturan hukum, jadi adanya
hukum itu karena adanya negara, dan tiada satu hukumpun yang berlaku jika tidak
dikehendaki negara.7
4 Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 1981, cet. Ke-2), h. 152.
5 Efriza, Ilmu Politik: Dari Ilmu Politik Sampai …, h. 59.
6 Ni‟matul Huda, Ilmu Negara,…, h. 178.
7 Soehino, Ilmu Negara,…, h. 154.
16
Menurut teori kedaulatan hukum atau Rechts-souvereiniteit segalanya
berdasarkan hukum karena yang berdaulat adalah hukum, kekuasaan diperoleh dari
peraturan yang sudah ditetapkan oleh hukum.8 Karena baik raja atau penguasa
maupun rakyat atau warganegara, bahkan negara itu sendiri semuanya tunduk kepada
hukum. Semua sikap, tingkah laku dan perbuatannya harus sesuai atau menurut
hukum.9
Gagasan mengenai konsep kedaulatan rakyat adalah Jean Jacques Rousseau
yang lebih dikenal dengan teori perjanjian masyarakat (Kontrak Sosial). Menurut
Rousseau negara terjadi karena adanya perjanjian dalam masyarakat. Perjanjian itu
timbul disebabkan masyarakat sadar bahwa kepentingan bersama tidak dapat
dilaksanakan sendiri-sendiri.10
Tetapi perlu diingat bahwa yang dimaksud dengan
rakyat oleh Rosseau itu bukan penjumlahan daripada individu-individu di dalam
negara itu, dan yang mempunyai kehendak, kehendak mana diperolehnya dari
individu-individu itu melalui perjanjian masyarakat yang oleh Rosseau kehendak tadi
disebut kehendak umum, yang dianggap mencerminkan kemauan dan kehendak
umum.11
8 Efriza, Ilmu Politik: Dari Ilmu Politik Sampai …, h. 59.
9 Soehino, Ilmu Negara,…, h. 156.
10 Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, (Bandung:
Fokus Media, 2003), h. 28.
11 Soehino, Ilmu Negara …., h. 160.
17
Yang dimaksud oleh Rosseau dengan kedaulatan rakyat pada prinsipnya
adalah cara atau sistem yang bagaimanakah pemecahan sesuatu soal menurut cara
atau sistem tertentu yang memenuhi kehendak umum. Jadi kehendak umum hanyalah
khayalan saja yang bersifat abstrak, dan kedaulatan adalah kehendak umum.12
Teori kontak sosial ini telah meletakkan landasan yang kuat bagi terbentuknya
konsep Negara dan Pemerintah, serta konsep Kedaulatan Rakyat. Ide kekuasaan ada
ditangan rakyat dan dijalakan pemerintah mulanya dikemukakan oleh Epicurus dan
dikembangkan oleh Marsilius yang menjelaskan proses terciptanya pemerintah
sebagai pelaksana kedaulatan rakyat bermula ketika terjadi penyerahan tugas (Pactum
Subjectiones) dalam bentuk konsesi (Consession).13
“Kekuasaan negara yang tertinggi itu ada pada rakyat, sebab rakyatlah yang
berhak membuat peraturan-peraturan hukum atau undang-undang. Hal itu
disebabkan karena negara itu merupakan kesatuan dari orang-orang yang
bebas, yang merdeka, jadi perimbangan antara kekuasaan rakyat dengan
kekuasaan raja melaksanakan kedaulatan rakyat”.14
Teori tersebut menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, karena
di samping rakyat ada pemerintah. Fungsi pemerintahan adalah melindungi warga
negara dan harta benda yang dimilikinya, mencegah tindakan agresif dari pihak-pihak
yang berkuasa terhadap mereka yang lemah. Berdasarkan hal tersebut,
diwujudkannya melalui lembaga perwakilan rakyat, baik itu Parlemen, Majelis
12
Abu Daud Busroh, Ilmu Negara,…., h. 74.
13 Paimin Napitupulu, Menuju Perwakilan Politik, (Bandung: PT. Alumni, 2007), h. 5.
14 Paimin Napitupulu, Menuju Perwakilan Politik …, h. 5-6.
18
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Senate, House of Commons, dan lain sebagainya.
Lembaga tersebut yang membatasi kekuasaan pemerintah yang mewujudkan
kedaulatan rakyat. Lembaga-lembaga tersebut melakukan kegiatan legislasi, yaitu
mengatur dan membentuk seperangkat peraturan yang mengikat semua pihak, rakyat,
dan pemerintah. Kewajiban pemerintah adalah menjalankan dan menegakkan aturan
tersebut.15
B. TEORI KETERWAKILAN
Alfred de Grazia dalam tulisannya mengenai Perwakilan Politik bahwa
perwakilan diartikan sebagai hubungan di antara dua pihak, yaitu wakil dengan
terwakil di mana wakil memegang kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan
yang berkenaan dengan kesepakatan yang dibuatnya dengan terwakil.16
Dalam hal
melaksanakan kewenangan ini, rakyat yakin nahwa segala kehendak dan
kepentingannya akan diperhatikan di dalam melaksanakan kekuasaan negara. Cara
melaksanakan kekuasaan negara ialah senantiasa mengingat kehendak dan keinginan
rakyat. Jadi, tiap tindakan dalam melaksanakan kekuasaan negara tidak bertentangan
dengan kehendak dan kepentingan rakyat, bahwa sedapat mungkin berusaha
memenuhi segala keinginan rakyat.17
15
Afan Ghaffar, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, (Yogyakarta: Pustakapelajar,
2006, Cet. Ke-VI), h. 282.
16 Arbi Sanit, Perwakilan Politik Di Indonesia, (Jakarta: CV. Rajawali, 1985), h. 1
17 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia 2,
(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003, cet. Ke-2), h. 43-44.
19
Teori keterwakilan yang dikembangkan oleh George Jellinek adalah teori
Mandat. 18
Dalam teori mandat, si wakil dianggap duduk di Lembaga Perwakilan
karena mendapat mandat dari rakyat sehingga disebuut mandataris. Ajaran ini muncul
di Prancis sebelum revolusi dan dipelopori oleh Rosseau dan diperkuat oleh Petion.
Sesuai dengan perkembangan zaman, maka teori mandate inipun menyesuaikan diri
dengan kebutuhan zaman. Pertama kali lahir teori mandat ini disebut sebagai:
1. Mandat Imperatif
Menurut ajaran ini si wakil bertugas dan bertindak di Lembaga Perwakilan sesuai
dengan instruksi yang diberikan oleh yang diwakilinya. Si wakil tidak boleh
bertindak diluar instruksi tersebut dan apabila ada hal-hal baru yang tidak
terdapat dalam instruksi tersebut, maka si wakil harus mendapat instruksi baru
yang diwakilinya baru dapat melaksanakannya.
2. Mandat Bebas
Ajaran ini dipelopori oleh Abbe Sieyes di Prancis dan Black Stone di Inggris.
Ajaran ini berpendapat bahwa si wakil dapat berindak tanpa tergantuk instruksi
yang diwakilinya. Menurut ajaran ini si wakil adalah orang-orang yang
terpercaya dan terpilih serta memiliki kesadaran hukum masyarakat yang
diwakilinya, sehingga si wakil dapat bertindak atas nama mereka yang
diwakilinya atau atas nama rakyat.
18
Abu Daud Busroh, Ilmu Negara,…., h. 144.
20
3. Mandat Representative
Disini si wakil dianggap bergabung dalam suatu Lembaga Perwakilan
(Parlemen). Rakyat memilih dan memberikan mandat pada lembaga
perwakilan (parlemen), sehingga si wakil sebagai individu tidak ada hubungan
dengan pemiliknya apalagi pertanggungjawabannya. Lembaga perwakilan
(parlemen) inilah yang bertanggung jawab kepada rakyat.
Menurut John Stuart Mill, yaitu satu-satunya pemerintahan yang sepenuhnya
dapat memenuhi tuntuan suatu kondisi sosial adalah yang di dalamnya seluruh warga
dapat berpartisipasi; yang setiap partisipasinya berguna, bahkan dalam fungsi publik
yang terkecil; yang di mana pun partisipasinya itu seharusnya besar yang diberikan
tingkat perbaikan umum masyarakat; dan pada akhirnya yang tak lebih diharapkan
adalah pengakuan semua warga negara untuk berbagi kekuasaan memerintah negara.
Namun dalam sebuah masyarakat yang melebihi kota kecil, ketika semua tidak dapat
berpartisipasi secara pribadi dalam segala hal selain hanya pada beberapa bagian
urusan publik yang sangat kecil, tampaknya tipe ideal untuk suatu pemerintahan yang
sempurna haruslah berupa perwakilan.19
C. TEORI LEMBAGA PERWAKILAN
Sistem pemerintahan yang demokratis yang dilaksanakan dalam sistem
perwakilan, keberadaan lembaga perwakilan rakyat dipandang sebagai suatu
19
Efriza, Ilmu Politik: Dari Ilmu Politik Sampai …, h. 112.
21
keniscayaan dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan ini. Lembaga negara ini
merupakan badan yang berwenang sebagai pelaksana kekuasaan negara dalam hal
menentukan kebijakan umum yang mengikat seluruh rakyat. Lembaga perwakilan
atau lembaga legislatif saat ini banyak negara disebut dengan nama parlemen.20
Perbincangan teoritis mengenai struktur organisasi parlemen ini biasanya
dikenal dengan adanya dua sistem, yaitu sistem unikameral dan bikameral. Sistem
unikameral terdiri atas satu kamar, sedangkan sistem bikameral mempunyai dua
kamar yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri-sendiri.21
1. Sistem Unikameral
Dalam susunan lembaga perwakilan satu kamar (unikameral) tidak dikenal
dengan adanya kamar (chamber) yang terpisah berupa Majelis Rendah (lower
house) dan Majelis Tinggi (upper house). Dalam model unikameral, hanya ada
satu kamar di lembaga legislatif. Dalam kutipannya Jimly Ashiddiqie
menyebutkan bahwa majelis legislatif dalam sistem unikameral itu terpusat pada
satu badan legislatif tertinggi dalam struktur negara. isi aturan mengenai tungsi
dan tugas parlemen unikameral ini beragam dan bervariasi dari satu negara ke
negara lain, tetapi pada pokoknya serupa bahwa secara kelembagaan fungsi
20
Reni Dwi Purnomowati, Implementasi Sistem Bikameral Dalam Parlemen Indonesia,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2005), h. 10.
21 Reni Dwi Purnomowati, Implementasi Sistem Bikameral...., h. 11.
22
legislatif tertinggi diletakkan sebagai tanggung jawab satu badan tertinggi yang
dipilih oleh rakyat.22
Negara-negara yang berukuran kecil lebih menyukai untuk satu kamar
daripada dua kamar, seperti masalah keseimbangan kekuatan politik sangat kecil
kesulitannya untuk memecahkannya daripada dalam suatu negara besar. Di
negara-negara kesatuan sosialis, sistem bikameral dipandang membawa pada
komplikasi-komplikasi, penundaan-penundaan, dan biaya-biaya, dengan sedikit
kompensasi yang menguntungkan.23
Meskipun mampu menjalankan fungsi legislasi, model unikameral ini
kurang mampu menggagas idealitas fungsi lembaga parlemen. Tanpa kamar
satunya kontrol adalah cabang kekuasaan lainnya. Tanpa mekanisme kontrol
internal tersebut, kualitas fungsi parlemen dalam hal legislasi, representasi,
kontrol, anggran maupun pengisian jabatan publik menjadi berkurang. Namun
demikian, menurut Dahlan Thaib, kelebihan sistem unikameral akan lebih capat
meloloskan undang-undang karena hanya ada satu kamar badan perwakilan.24
Proses legislasi dalam model unikameral pada sistem pemerintahan hanya
menyisakan kemungkinan saling kontrol antara kamar tunggal legislatif dengan
eksekutif. Karena selesai di satu kamar, proses legislasi di lembaga legislatif bisa
22
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013, cet.
Ke-2), h.233.
23 Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia ...., h. 59-60
24 Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi…, h. 234.
23
keluar dari kemungkinan terjadinya deadlock antarkamar seperti di sistem
bikameral. Tidak hanya itu, jika presiden menolak (veto) rancangan undang-
undang yang telah disetujui lembaga legislatif, penolakan legislatif (override)
cukup diputuskan di satu kamar saja. Artinya, proses legislasi dalam sistem
unikameral menjadi lebih sederhana dan cepat jika dibandingkan dengan
lembaga legislatif bikameral.25
2. Sistem Bikameral
Teori klasik Aristoteles dan Polybius yang mengargumentasikam bahwa
pemerintahan yang baik adalah gabunngan antara prinsip demokrasi dan oligarki.
Lalu kemudian, dikemukakan oleh Robert L. Madex, Jeremy Bentham-lah yang
paling pertama mengeluarkan istilah lembaga legislatif bikameral.
Definisi bikameralisme yang dikemukakan oleh Giovani Sartori
sebagaimana yang dikutip oleh Denny Indrayana adalah:26
“Bikameralisme besebrangan dengan unikameralisme, dengan alasan bahwa
dua kamar adalah satu perangkat kontrol yang aman, dan bahwa konsentrasi
semua kekuasaan legislatif pada satu lembaga saja tidak hanya berbahaya
tetapi juga tidak bijaksana karena dua mata lebih baik daripada hanya satu
mata saja”.
Pilihan atas model dua kamar (bikameral) dalam lembaga perwakilan rakyat
dijelaskan C.F. Strong dengan mengutip pendapat Lord Bryce bahwa no lesson
25
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi…, h. 234.
26 Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945, Antara Mitos dan Pembongkaran, (Jakarta:
Mizan, 2007), h. 272.
24
of constitutional history bas been more deeply imbided than that which teaches
the use of second chamber.27
Mengikuti argumentasi itu, Lord Bryce mengatakan
bahwa kamar kedua (second chamber) mempunyai empat fungsi, yaitu: (a)
revision of legislation, (b) initiation of noncontroversional bills, (c) delaying
legislation of fundamental constitutional importance so as ‘to enable the opinion
of the nation to be adequately expressed upon it’ dan (d) public debate.28
Dengan adanya kamar kedua, monopoli legislasi dalam satu kamar dapat
dihindari. Karenanya, lembaga legislatif dua kamar mencegah pengesahan
undang-undang secara tergesa-gesa dan tidak direncanakan dengan matang oleh
majelis, perasaan sebagai kekuasaan yang tak terbatas pada pihak satu majelis,
kesadaran sebagai satu-satunya kekuasaan untuk dimintai nasihat dapat
menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan dan tirani, sebaliknya setiap saat harus
ada pusat resistensi terhadap kekuasaan yang dominan dalam suatu negara.29
Bikemeral diartikan sebagai sistem yang terdiri atas dua kamar berbeda dan
biasanya dipergunakan istilah majelis tinggi (upper house) dan majelis rendah
(lower house). Masing-masing kamar mencerminkan keterwakilan dari kelompok
kepentingan masyarakat baik secara politik, teritorial ataupun fungsional.30
27
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi ..., h. 235.
28 Reni Dwi Purnomowati, Implementasi Sistem Bikameral Dalam Parlemen Indonesia,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2005), h. 15
29 Charles Simabura, Palemen Indonesia: Lintasan Sejarah dan Sistemnya, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2011), h. 10.
30 Charles Simabura, Palemen Indonesia…, h. 36
25
Sehingga saat ini sistem bikameral diketegorikan dalam dua kelompok besar,
yaitu bikameral kuat (strong bicameralism) dan bikameral lunak (soft
bicameralism). Pada strong bicameralism dalam arti kedua kamar dilengkapi
dengan kewenangan yang sama-sama kuat dan saling mengibangi satu sama lain.
Sedangkan soft bicameralism diartikan bahwa kedua kamar tidak memiliki
kewenangan yang sama kuat.31
Ada dua alasan para penyusun konstitusi memilih sistem bikameral. Alasan
pertama adalah untuk membangun sebuah mekanisme pengawasan dan
keseimbangan (check and balances) serta untuk pembahasan sekali lagi dalam
bidang legislatif. Alasan yang kedua adalah untuk membentuk perwakilan untuk
menampung kepentingan tertentu yang biasanya tidak cukup terwakili oleh
majelis pertama. Secara khusus bikameral telah dipergunakan untuk menjamin
perwakilan yang memadai untuk daerah-daerah di dalam lembaga legislatif.
Hasil dari kesenjangan representasi di majelis kedua amat bervariasi di dalam
berbagai sistem di dunia.32
Menurut Arent Lijphart,33
ada enam perbedaan antara kamar pertama dan
kamar kedua. Dari enam perbedaan tersebut, terdapat tiga hal yang secara khusus
penting dalam membedakan apakah bikameralisme adalah suatu institusi yang
31
Jimly Ashiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Konpress,
2006), h. 186.
32 Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia …, h. 61.
33 Charles Simabura, Palemen Indonesia …., h. 41.
26
signifikan. ketiga perbedaan yang signifikan tersebut diantaranya adalah,
Pertama, kamar kedua cenderung lebih kecil dari kamar pertama. Kedua, adalah
masa jabatan legislatif kamar kedua cenderung lebih lama daripada di kamar
pertama. Ketiga, ciri-ciri umum yang lain dari kamar kedua dipilih dengan cara
pemilihan umum bertahap (staggered election)
Sistem bikameral dapat digolongkan sebagai „kuat‟ (strong) dan „lunak‟
(soft). Dalam membagi antara parlemen kuat dan lemah Arent Lijphart
membedakan menjadi tiga ciri sebagai berikut.34
Pertama, kekuasaan yang
diberikan secara formal oleh konstitusi terhadap kedua kamar tersebut. Pola yang
umum terhadap kamar kedua adalah bahwa kamar kedua cenderung subordinat
terhadap kamar kedua. Sebagai contoh, suara negatif (negatives votes) mereka
pada pengusulan legislasi seringkali diabaikan oleh kamar pertama, dan dalam
paling banyak sistem parlementer kabinet bertanggungjawab secara ekslusif
kepada kamar pertama.
Kedua, kepentingan politik yang sesungguhnya dari kamar kedua tidak
hanya tergantung dari kekuasaan formalnya (dalam konstitusi), tetapi juga
bagaimana metode seleksi mereka. Semua kamar pertama paling banyak dipilih
secara langsung oleh pemilih, tetapi anggota kamar kedua paling banyak dipilih
secara tidak langsung (biasanya dibawah tingkatan dari pemerintah nasional).
Kamar kedua yang dipilih secara langsung kurang mempunyai legitimasi
34
Reni Dwi Purnomowati, Implementasi Sistem Bikameral …, h. 21.
27
demokratis, sehingga pengaruh politik yang sebenarnya diberikan kepada kamar
pemilihnya (popular election). Sebaliknya, pemilihan langsung kamar kedua
mungkin akan mengimbangi beberapa tingkat untuk kekuasaan yang dibatasi.
Berdasarkan kedua kriteria diatas, yaitu kekuasaan formal relatif terhadap dua
kamar dan legitimasi demokrasi dari kamar kedua, legislasi bikameral dapat
diklasifikasikan semagai simetris dan asimetris bikameral. Kamar yang secara
simetris adalah bila kekuasaan yang diberikan konstitusi sama atau hanya secara
moderat tidak sama dalam hal ini.
Ketiga, perbedaan yang krusial antara dua kamar legislatif bikameral adalah
kamar kedua mungkin dipilih dengan cara atau desain yang berbeda juga sebagai
perwakilan (overrepresent) minoritas yang tertentu/khusus.
Sistem bikameral dapat digolongkan sebagai „kuat‟ atau „lunak‟. Andrew S.
Ellis menggolongkannya sebagai berikut.35
Dalam sistem yang „kuat‟, pembuatan
undang-undang biasanya dimulai dari majelis manapun, dan harus
dipertimbangkan oleh kedua kamar majelis dalam forum yang sama sebelum bisa
disahkan. Dalam sistem „lunak‟, majelis yang satu memiliki status yang lebih
tinggi dari yang lain. Misalnya majelis pertama mungkin dapat
mengesampingkan penolakan atau amandemen RUU yang diajukan oleh majelis
kedua. Hal ini menyaratkan tingkat dukungan yang lebih tinggi, seperti mayoritas
absolut dari anggota-anggotanya, atau dua pertiga mayoritas dari anggota yang
35
Reni Dwi Purnomowati, Implementasi Sistem Bikameral …, h. 23.
28
hadir dan memberikan. Majelis kedua juga bisa dilarang atau dibatasi secara
ketat dalam menolak atau melakukan amandemen RUU Keuangan (money bills).
Bila dalam majelis kedua merupakan perwakilan dari daerah-daerah, kekuatan
dari majelis kedua bisa saja, bervariasi tergantung dari apakah RUU yang
diperdebatkan berkaitan langsung dengan daerah-daerah tersebut. Dan sebuah
sesi bersama (joint session) dari kedua majelis dapat digunakan sebagai
mekanisme untuk menyelesaikan konflik sehingga sebagian besar anggota dari
majelis kedua memiliki timbangan/porsi yang lebih besar dalam pengambilan
keputusan akhir.
29
BAB III
KEDUDUKAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH
SEBELUM PERUBAHAN UNDANG-UNDANG
A. KONSEP DEWAN PERWAKILAN DAERAH SEBELUM AMANDEMEN
UUD 1945
Lembaga perwakilan daerah sudah pernah terbentuk di Indonesia yang terdapat
dalam konstitusi RIS.1 Pada masa RIS, negara tetap berdasarkan pada Kedaulatan
Rakyat. Pernyataan tersebut dinyatakan dalam Konstitusi RIS pada Pasal 1 ayat (2)
bahwa: Kedaulatan Rakyat dilaksanakan oleh Pemerintah bersama dengan DPR dan
senat. Berdasarkan ketentuan ini rakyat tetap diposisikan sebagai pemilik dan
pemegang kedaulatan, namun kedaulatan rakyat tersebut dilaksanakan oleh
pemerintah bersama dengan DPR dan senat.2
Untuk di bidang legislasi, pasal 127 a Konstitusi RIS menyebutkan bahwa:
kekuasaan perundang-undangan federal dilakukan oleh pemerintah bersama-sama
dengan DPR dan Senat, dan Pasal 128 ayat (1): Usul pemerintah tentang undang-
undang disampaikan kepada DPR dengan amanat presiden dan dikirim serentak
1 Pada tanggal 27 Desember 1945, di Amsterdam, Belanda, menghasilkan sebuah perjanjian
antara Indonesia dan Kerajaan Belanda dalam KMB (Konferensi Meja Bundar) yaitu Republik
Indonesia Serikat (RIS) dengan konstitusinya yang disebut Konstitusi RIS. Lihat Charles Simambura,
Palemen Indonesia…, h. 57.
Konstitusi RIS adalah konstitusi negara federasi dengan sistem parlementer, yang sama halnya UUDs
1945, juga masih bersifat sementara. Lihat Hendarmin Ranadireksa, Dinamika Konstitusi Indonesia,
(Bandung: Fokusmedia, 2009, edisi kedua), h. 49.
2 Charles Simambura, Palemen Indonesia…, h. 57.
30
kepada senat untuk diketahui, Ayat (2): Senat berhak mengajukan usul undang-
undang kepada DPR. Apabila senat menggunakan hak ini, maka hal itu diberitahukan
serentak kepada presiden, dengan menyampaikan salinan usul itu, dan Ayat (4) : DPR
berhak mengajukan usul undang-undang kepada pemerintah.
Berdasarkan ketentuan tersebut, Konstitusi RIS 1949 meneguhkan praktik
pemerintahan parlementer (sistem tanggungjawab menteri) seperti yang termaktub
dalam Maklumat 14 November. Lembaga legislatifnya merupakan badan perwakilan
dengan sistem dua kamar (bicameral system) sehingga fungsi legislasi dilakukan
secara bersama-sama antara pemerintah dan DPR serta senat.3
Sesudah reformasi, keinginan membentuk badan legislasi bikameral muncul
berkaitan dengan sistem politik yang sentralistik dan jarang memerhatikan aspirasi
daerah. Lembaga legislatif pada masa lalu cenderung pasif dan tidak memerhatikan
kebijakan pemerintah pusat terutama yang berkaitan dengan daerah. Sehingga sistem
bikameral dimunculkan kembali pada perubahan ke-3 dan ke-4 UUD 1945.4
Gagasan awal yang meyertai perubahan UUD 1945 bertolak dari keinginan
untuk merubah sistem perwakilan dari satu kamar (unicameral system) menjadi
sistem dua kamar (Bicameral System). Di banyak negara, dua kamar parlemen dalam
sistem bikameral itu terdiri dari Majelis Tinggi (Upper House). Di beberapa negara,
majelis rendah biasanya diberi wewenang untuk mengambil prakarsa mengajukan
3 Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi,… , h. 115.
4 Reni Dwi Purnomowati, Implementasi Sistem Biksmeral dalam Parlemen Indonesia, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2005), h. 138.
31
rencana anggaran dan pendapatan negara, sedangkan Majelis Tinggi berperan dalam
perumusan kebijaksanaan luar negeri. Pada prinsipnya, kedua kamar majelis dalam
sistem bikameral itu memiliki kedudukan yang sederajat. Satu sama lain tidak saling
membawahi, baik secara politik maupun secara legislatif. Undang-undang tidak dapat
ditetapkan tanpa persetujuan bersama yang dilakukan oleh suatu panitia bersama
ataupun melalui sidang gabungan di antara kedua majelis itu.5
Salah satu konsekuensi dari gagasan dua kamar (yang terdiri dari DPR dan
DPD), diperlukan penamaan wadah bagi Badan Perwakilan yang mencerminkan dua
unsur perwakilan tersebut seperti negara-negara yang menganut bicameral system.
Sehubungan dengan itu, maka nama yang digagaskan untuk badan perwakilan dua
kamar di Indonesia adalah tetap menggunakan nama Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR).6
Perubahan terhadap UUD 1945, dimulai pada tahun 1999, perubahan
konstitusi dalam kerangka reformasi kelembagaan merupakan bagian penting kearah
perwujudan apa yang dikenal sebagai consolidated democrazy.7
Untuk pertama kalinya perubahan UUD 1945 dilakukan pada tangggal 19
Oktober 1999 oleh MPR karena adanya penyimpangan pelaksanaan UUD 1945 pada
masa lalu bukan hanya terjadi karena faktor politik atau kepemimpinan nasional saja
5 Ni’matul Huda, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, (Jakarta: Rajawali Pers,
2008), h. 228.
6 Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia …, h. 4.
7 Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia …, h. 31.
32
namun juga diakibatkan oleh rumusan UUD 1945 yang memberikan peluang untuk
itu. UUD 1945 telah dijadikan instrumen politik yang ampuh untuk membenarkan
berkembangnya otoritarianisme dan menyuburkan praktik-praktik korupsi, kolusi,
dan nepotisme di sekitar kekuasaan presiden.8
Pembahasan perubahan pertama UUD 1945 tentang MPR sebagai salah satu
materi perubahan Undang-Undang Dasar. Pandangan-pandangan umum dari fraksi-
fraksi di MPR menyimpulkan beberapa poin penting dalam rangka menata lembaga
perwakilan. Poin tersebut antara lain:9
1. Reorientasi pelaksanaan kedaulatan rakyat yang selama ini berada di tangan
MPR.
2. Penataan ulang lembaga negara yaitu lembaga tinggi dan lembaga tertinggi
3. Menciptakan hubungan yang seimbang dan demokratis (check and balances).
4. Menata ulang struktur MPR yang mulai mengarah pada pemikiran penguatan
peran utusan daerah.
5. Belum membahas konsep parlemen bikameral secara mendalam.
Pembahasan perubahan kedua UUD 1945 dilakukan oleh PAH I BP MPR10
.
PAH I bersidang antara 1999 sampai 2000 dan mengadakan sidang sebanyak 51 kali.
8 Charles Simambura, Palemen Indonesia …, h. 77.
9 Charles Simambura, Palemen Indonesia …, h. 82.
10 Panitia Ad Hoc I BP MPR adalah panitia yang disiapkan oleh Badan Pekerja (BP) MPR
untuk membahas dan mempersiapkan Rancangan Ketetapan (Rantap) dan Rancangan Keputusan
(Rantus) serta acara sidang MPR, Badan Pekerja (BP) MPR terdiri dari 45 orang anggota tetap dan 45
orang anggota pengganti.
33
Pembahasan materi perubahan UUD 1945 mulai dilakukan pada rapat ke-3 PAH I
yang dilaksanakan pada 6 Desember 1999 yang dipimpin oleh Ketua PAH I Jakob
Tobing dengan agenda Pengantar Musyawarah fraksi-fraksi.11
Pada perubahan kedua ini, keinginan untuk membentuk lembaga parlemen
dengan sistem bikameral semakin menguat. Terungkap dalam persidangan dan rapat-
rapat yang dilakukan PAH I, lebih menitik beratkan pada pembahasan mengenai
komposisi Majelis Permusyawaratan Rakyat. Perdebatan yang terjadi mengenai
sistem bikameral ini tidak hanya melibatkan anggota PAH I MPR saja, namun juga
mengundang komponen civil society lainnya. Selain itu juga dibahas hasil dan
masukan dari daerah tersebut merupakan hasil kunjungan ke beberapa daerah.12
Usulan mengenai pembaharuan kelembagaan MPR di antaranya berupa
penghapusan utusan golongan peninjauan ulang wewenang MPR dan hak-hak
anggota MPR. Usulan tersebut disampaikan oleh F-PDU melalui juru bicaranya
Asnawi Latief meliputi:
Pertama, utusan daerah adalah utusan yang mewakili daerah bukan urusan
partai politik, unsur birokrasi tidak boleh menjadi utusan daerah. Utusan
daerah dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu yang bersamaan dengan
anggota DPR dan DPRD.
Kedua, utusan golongan dihapuskan dari keanggotaan MPR.
Ketiga, MPR hanya dapat melakukan wewenang yang telah tercantum dalam
UUD.13
11
Naskah Konferhensif Perubahan UUD 1945Negara Republik Indonesia, Buku III Jilid 1,
Sekjen MPR, Jakarta, h. 89.
12 Charles Simambura, Palemen Indonesia …, h. 99.
13 Naskah Konferhensif Perubahan UUD 1945 …, h. 91.
34
Pada rapat ke-7 PAH I BP MPR pada tanggal 13 Desember 1999 yang
dipimpin oleh ketua PAH I Jakob Tobing dengan agenda melakukan dengar pendapat
dengan para pakar, antara lain Roeslan Abdulgani, Dr. Pranarka, dan Dahlan
Ranuwihardjo tentang MPR hanya Roeslan Abdulgani yang mengemukakan
pemikirannya:
…kalau utusan daerah dijadikan kuat, maka kita datang pada senat sehingga
kita nanti mempunyai bicameral system, satu DPR, satu senat. Yang senat ini
adalah terdiri dari, umpamanya dua dari tiap-tiap provinsi atau tiga orang dari
tiap provinsi. Tidak melihat besar kecilnya sehingga dengan begitu kita nanti
mempunyai bicameral system yang bisa kita jalankan itu semua…14
Mengenai komposisi MPR Dahlan Ranuwidjoyo pada intinya mengemukakan
bahwa dasar kehadiran utusan golongan adalah untuk mencerminkan representasi
fungsional di samping representasi secara politik yang dimiliki oleh DPR. Begitu pula
dengan utusan daerah kehadirannya dalam rangka mencerminkan keterwakilan secara
teriotorial. Namun demikian, ini tidak berarti dikatakan bikameral karena jika
bikameral kedudukannya sama dan sederajat.15
Dari pemaparan para pakar kelihatan
bahwa komposisi MPR yang terdiri dari DPR ditambah utusan golongan dan daerah
adalah dalam rangka untuk meng-akomodir keterwakilan seluruh rakyat Indonesia
baik secara fungsional, teritorial, dan politik. Namun, desain kelembagaannya tidak
menganut sistem bikameral.16
14
Naskah Konferhensif Perubahan UUD 1945 …, h. 100.
15 Naskah Konferhensif Perubahan UUD 1945 …, h. 104.
16 Charles Simambura, Palemen Indonesia …., h. 102.
35
Pembahasan mengenai struktur dan komposisi MPR lebih banyak dilakukan
pada rapat ke-33 PAH I BP MPR yang membahas usulan fraksi tentang rumusan
perubahan Bab II. Theo L Sambuaga juru bicara F-PG mengemukakan hal sebagai
berikut.
…Fraksi Partai Golkar ingin mengusulkan agar Majelis Permusyawaratan
Rakyat terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Utusan Daerah
dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum yang dilaksanakan secara
berkala… Saudara ketua dan anggota yang terhormat. Dengan sistem
parlementer dua kamar (bikameral) sebagaimana yang diusulkan, diharapkan
penyelenggaraan kehidupan bernegara akan terselenggara lebih demokratis
dan checks and balances lebih terjamin… Selanjutnya kami telah
mempersiapkan sistematika baru, yaitu Bab II tentang Sistematika Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Bab III tentang Sistematika Dewan Perwakilan
Rakyat, dan Bab IV tentang Sistematika Dewan Utusan Daerah.17
F-PPP melalui juru bicaranya menyampaikan usulan rumusan mengenai
komposisi Majelis Perwakilan Rakyat sebanyak delapan buah. Khusus usul rumusan
mengenai komposisi MPR menjadi rumusan pertama. Usulan rumusannya berbunyi
bahwa Majelis Perwakilan Rakyat terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
amggota Dewan Utusan Daerah yang masing-masing dipilih melalui pemilihan
umum yang diatur dengan undang-undang.18
Pada pembahasan ketiga Undang-undang Dasar 1945 khusus mengenai materi
tentang MPR pada rapat ke-12, 29 Maret 2001. Pembahasan tersebut ddengan agenda
mendengarkan keterangan tim ahli yakni Nazarudin Syamsudin yang menyatakan:
17
Naskah Konferhensif Perubahan UUD 1945 …, h. 152.
18 Naskah Konferhensif Perubahan UUD 1945…, h. 153.
36
….Kemudian menyangkut Bab II Pasal 2, Perumusan yang dibuat oleh Badan
Pekerja itu kalau kit abaca respons daripada tim secara leeterlijk tulisannya
tidak setuju, diganti dengan yang baru. Jadi sana ada ide-ide yang kami
sepakati sehingga usul kami adalah sebai berikut: “Majelis Permusyawaratan
Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota dewan
Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum.”19
Selanjutnya, anggota tim ahli yaitu Prof. Jimly Asshiddiqie yang menyatakan
pendapat tentang struktur MPR, bahwa:
Kami berpendapat, pertama, struktur parlemen kita sebaiknya di masa yang
akan datang kita kembangkan menjadi bikameral dengan konsekuensi MPR
sebagai lembaga tertinggi negara itu mengalami penyesuaian. Majelis
Permusyawaratan Rakyat akan menjadi nama dari persidangan bersama antara
MPR dan DPD. MPR yang telah menjadi forum tersebut berwenang
melakukan dua hal. Jadi masih ada sisa kewenangan yang masih harus
diputuskan dalam joint session.20
Artinya MPR merupakan rapat gabungan
dari DPR dan DPD…
Kemudian Maswadi Rauf memberikan tanggapan yang memperjelas
mengenai konsep bikameralisme yang sudah disampaikan. Menurut beliau bahwa:
19
Naskah Konferhensif Perubahan UUD 1945 …, h. 204.
20 Sebagai lembaga gabungan/joint session antara DPR dan DPD, MPR mempunyai
konsekuensi atas perubahan dari lembaga permanen, perbedaannya dari lembaga permanen menjadi
lembaga gabungan diantaranya adalah:
1) MPR sebagai lembaga permanen
Kepermanenan lembaga MPR ini membawa MPR sebagai institusi yang pada akhirnya akan
memiliki perangkat penuh sebagai sebuah lembaga seutuhnya, yaitu:
a) Kelengkapan administrasi dan organisasional anggota individu;
b) Kesekretariatan tersendiri dengan pengurusnya untuk menjalankan fungsinya sebagai sebuah
lembaga yang mandiri;
c) Kode etik dan badan kehormatannya sendiri;
d) Sistem penggajian anggota (anggaran).
2) MPR sebagai sidang gabungan (joint session)
Pengertian MPR sebagai sidang gabungan adalah bahwa MPR tidak lagi merupakan sebuat
lembaga yang bersifat mandiri. Ia hanya forum pertemuan antara dua lembaga negara, yaitu DPD
dan DPR. ketika sidang berlangsung, baik anggota DPR dan DPD yang bersidang bersama-sama
tersebut, tetap sebagai anggota DPR dan DPD. Mereka tidak tergabung menjadi satu dalam
sebuah lembaga lain (MPR). Lihat Reni Dwi Purnomowati, Implementasi Sistem …, h.175-176.
37
…saya ingin mempersoalkan bikameralisme. Kesimpulan yang bisa diambil
berdasarkan pendapat sebelumnya adalah bahwa bikameralisme yang strong
itu tidak ada kaitannya dengan bentuk negara. Sehingga meskipun kita negara
kesatuan, bikameralisme yang strong lembaga legislatif dengan dua itu masih
tetap bisa dibenarkan.
Bagi Indonesia, bikameralisme yang strong ini sebuah kebutuhan yang sangat
mendesak, mengingat berbagai macam daerah dengan tingkat perkembangan
dengan tingkat kepentingan sehingga sebenarnya bikameralisme yang kuat itu
dimaksudkan untuk bisa memperjuangkan lebih baik aspirasi kepentingan
yang berkembang di berbagai daerah, sehingga bikameralisme yang kuat ini
bisa kita anggap sebagai bagian dari usaha untuk memperkuat negara
kesatuan… karena yang diton-jolkan adalah fungsi, oleh karena itu MPR RI
dimasukkan ke dalam fungsi yang menjalankan fungsi legislasi…21
Dengan demikian, pilihan atas strong bicameral ataupun weak bicameral,
sama sekali tidak ada hubungannya dengan konsep negara kesatuaan. Antara negara
kesatuan maupun negara federal dapat saja menerapkan salah satu pilihan.22
Sesuai dengan kesepakatan awal bahwa perubahan dimaksudkan untuk
meneguhkan sistem pemerintahan presidensial, maka langkah yang ditempuh adalah
memberdayakan keberadaan lembaga perwakilan sebagai perwujudan kedaulatan
rakyat dengan jalan mengubah sistem dan kelembagaan. Di dalam negara yang
menganut sistem presidensial lazimnya kedaulatan rakyat diwujudkan melalui
lembaga perwakilan dengan sistem dua kamar (bicameral system). Oleh karena itu,
semua pakar yang menggeluti masalah ketatanegaraan menghendaki bahwa lembaga
21
Naskah Konferhensif Perubahan UUD 1945…, h. 215.
22 Charles Simambura, Palemen Indonesia …, h. 131.
38
perwakilan yang akan dibentuk setelah proses amandemen terhadap UUD 1945 juga
menganut sistem dua kamar.23
B. KONSEP DEWAN PERWAKILAN DAERAH PASCA AMANDEMEN UUD
1945
Setelah beberapa kali mencoba bentuk pemerintahan dan mengganti konstitusi
di Indonesia. Hingga akhirnya kembali kepada UUD 1945 dan setelah orde baru
berakhir, masyarakat menginginkan adanya reformasi dalam kelembagaan negara
sehingga dilakukannya Amandemen UUD 1945, pada perubahan ketiga UUD 1945
lembaga perwakilan merubah kamarnya dari unikameral menjadi bikameral.
UUD 1945 mengatur hubungan kewenangan dan mekanisme kerja
antarlembaga dalam penyelenggaraan negara. prinsip kedaulatan rakyat yang
terwujud dalam struktur dan mekanisme kelembagaan negara dan pemerintahan untuk
menjamin tegaknya sistem hukum dan berfungsinya sistem demokrasi.24
Pasca amandemen UUD 1945 para ahli berbeda pendapat tentang parlemen
Indonesia, ada yang berargumen bahwa parlemen Indonesia adalah bikameral yang
lemah (weak bicameralism), namun ada pula yang menyatakan Indonesia bukanlah
parlemen bikameral, melainkan trikameral. Saldi Israa misalnya berpandangan bahwa
dengan adanya kewenangan yang masih dimiliki MPR, di samping kewenangan
23
Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia…, h. 139.
24 A. M. Fatwa, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2009), h. 9.
39
konstitusional yang dimiliki DPR dan DPD, maka sebenarnya Indonesia menganut
sistem parlemen tiga kamar.25
Menurut Jimly Asshiddiqie, unsur anggota DPR didasarkan atas prosedur
perwakilan politik (political representation), sedangkan anggota DPD yang
merupakan cerminan dari prinsip (regional representation) dari tiap-tiap daerah
provinsi.26
Adanya penambahan lembaga perwakilan daerah dimaksudkan untuk:
Pertama, memperkuat ikatan daeraah-daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah; kedua,
meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam
perumusan kebijakan nasional berkaitan dengan negara dan daerah; dan ketiga,
mendorong percepatan demokrasi, pembangunan, dan kemajuan daerah secara serasi
dan seimbang.27
Berdasarkan landasan konstitusional UUD 1945 NRI Dewan Perwakilan
Daerah memilliki beberapa aturan dasar. Aturan dasar tersebut diantaranya Pasal 1
ayat (1) bahwa MPR terdiri atas anggota-anggota DPR dan anggota-anggota DPD
yang dipilih melalui pemilihan umum. Dalam pasal ini menyatakan bahwa adalah
posisi anggota DPD juga masuk dalam bagian MPR.
25
Denny Indrayana, Negara Antara Ada dan Tiada: Reformasi Hukum dan Ketatanegaraan,
(Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2008), h. 16
26 Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD
1945, (Yogyakarta: FH UII Press, 2005), h. 38 dan 49.
27 A.M. Fatwa, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945 …, h. 314.
40
Selanjutnya dalam Pasal 22 C UUD 1945 yang mengatur tentang keanggotaan
serta kedudukan DPD. Disebutkan bahwa ayat (1) Anggota DPD terpilih dari setiap
provinsi melalui pemilihan umum. Ayat (2) Jumlah DPD dari setiap provinsi
jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari sepertiga
jumlah anggota DPR. Ayat (3) DPD bersidang sedikitnya satu kali dalam setahun.
Dan ayat (4) Susunan dan kedudukan DPD diatur dengan undang-undang.
Berbeda dengan DPR yang merupakan representasi jumlah penduduk, DPD
merupakan representasi wilayah provinsi. Banyaknya anggota DPD dari setiap
provinsi ditentukan sebanyak empat orang. Dengan demikian, setiap provinsi tanpa
memandang luas dan kepadatan penduduknya akan mendapat jatah kursi DPD
sebanyak empat orang.28
Kewenangan DPD diatur dalam Pasal 22 D UUD 1945 yaitu ayat (1) DPD
dapat mengajukan kepada DPR Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Ayat
(2) DPD ikut membahas Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta
28
T.A. Legowo, dkk, Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia, (Jakarta: FORMAPPI,
2005), h. 135.
41
memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU anggaran pendapatan belanja
negara dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama. Selajutnya
ayat (3) DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang
mengenai; otonomi daerah, hubungan pusat daerah, pembentukan dan pemekaran
serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara dan undang-
undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama serta menyampaikan
hasil pengawasan itu kepada DPR sebagai pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Dan
pada ayat (4) Anggota DPD dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat
dan tata caranya diatur dalam undang-undang.
Kemudian adalah bab tentang Pemilihan Umum pada Pasal 22E yang
mengatur bahwa keanggotaan DPD juga dipilih melalui sistem ini. Yakni pada ayat
(2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden
dan Wakil Presiden dan DPRD. Dijelaskan bahwa pada ayat (3) Peserta pemilihan
umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik. Dan pada ayat
(4) Peserta pemilihan untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan. Ayat (3) dan
(4) inilah yang membedakan antara keanggotaan DPR dan DPD bahwa DPR
mewakili partai politik sementara DPD berasal dari perseorangan yang mewakili
daerah konstituen.
Kewenangan DPD juga terkait pengawasan keuangan negara, maka dalam
Pasal 23E ayat (2) disebutkan bahwa Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan
kepada DPR, DPD dan DPRD, sesuai dengan kewenangannya. Serta dalam Pasal 23F
42
ayat (1) Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh DPR dengan
memperhatikan pertimbangan DPD dan diresmikan oleh Presiden.
Selain landasan yuridisnya dari UUD 1945, terdapat beberapa undang-undang
yang mengatur tentang DPD. Diantaranya adalah UU No. 11 Tahun 2012 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan dalam UU No. 27 Tahun 2009
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang direvisi menjadi UU No. 17 Tahun 2014.
Pengaturan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah beriringan dengan tugas
dan fungsinya berdasarkan ketentuan Pasal 22D UUD 1945 yang dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:29
1. Dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang
DPD dapat mengajukan RUU kepada DPR dalam bidang-bidang tertentu yang
berkaitan dengan Otonomi Daerah, Hubungan Pusat dan Daerah, Pembentukan
dan Pemekaran serta Penggabungan Daerah, Pengembangan Sumber Daya Alam
dan Sumber Daya Ekonomi lainnya, Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
2. Ikut membahas Rancangan Undang-Undang
DPD boleh ikut membahas RUU tanpa boleh ikut menetapkan dan memutuskan
RUU menjadi UU. RUU yang bisa diikuti pembahasannya oleh DPD yakni yang
berkaitan dengan Otonomi Daerah, Hubungan Pusat dan Daerah, Pembentukan
dan Pemekaran serta Penggabungan Daerah, Pengelolaan Sumber Daya Alam
dan Sumber Daya Ekonomi lainnya, Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
29
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pascaamandemen Konstitusi, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2011) h. 70.
43
3. Memberi Pertimbangan
DPD diberi kewenangan untuk memberikan pertimbangan atau RUU yang
berkaitan dengan Rancangan APBN, Pajak, Pendidikan, dan Agama serta
memberikan pertimbangan (diluar RUU) dalam pemilihan anggota Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK)
4. Dapat melakukan Pengawasan
DPD juga dapat melakukan pegawasan dalam pelaksanaan bidang-bidang:
Otonomi Daerah, Hubungan Pusat dan Daerah, Pembentukan dan Pmekaran serta
Penggabungan Daerah, Pengembangan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya
Ekonomi lainnya, Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, APBN, Pajak,
Pendidikan, dan Agama.
Kewenangan-kewenangan yang diatur dalam UUD 1945 masih sangat
terbatas itu menimbulkan konsep bikameral yang lemah (weak bicameralism) karena
menempatkan DPD pada persoalan daerah dan hanya sebagai penasihat DPR.30
Kewenangan yang minim tersebut seolah-olah tak bergigi, DPD tidak memiliki posisi
tawar yang kuat dalam mengubah legislasi di negara ini. Jika dibiarkan tanpa ada
upaya pemberdayaan dan perbaikan pendukung legal formalnya lembaga ini, maka
tidak mustahil lembaga ini nantinya hanya sebagai penghias struktur ketatanegaraan
sebagaimana yang dialami oleh Dewan Pertimbangan Agung (DPA) selama ini.31
30
Indra J. Piliang, dkk, Untuk Apa DPD RI, (Jakarta: Kelompok DPD di MPR RI, 2006, Cet.
Ke-2), h. 23.
31 T.A. Legowo, M. Djadijono, dkk, Lembaga Perwakilan …, h. 161.
44
Meskipun dalam bidang pengawasan, keberadaan DPD itu bersifat utama
(main constitutional) yang sama penting dengan DPR, tetapi dalam bidang legislasi,
fungsi DPD itu hanyalah sebagai co-legislator disamping DPR. sifat tugasnya di
bidang legislasi hanya menunjang (auxiliary agency) tugas konstitusional DPR.
Dalam proses pembentukan suatu undang-undang atau legislasi, DPD tidak
mempunyai kekuasaan untuk memutuskan atau berperan dalam proses pengambilan
keputusan sama sekali. Padahal, persyaratan dukungan untuk menjadi anggota DPD
jauh lebih berat daripada persyaratan dukungan menjadi anggota DPR. Artinya,
kualitas legitimasi anggota DPD itu sama sekali tidak diimbangi secara sepadan oleh
kualitas kewenangan sebagai wakil rakyat daerah (regional representatives).32
Fungsi dan kewenangan yang dimiliki sangat terbatas seperti itu maka
sebenarnya DPD dapat dikatakan tidak mempunyai fungsi ketatanegaraan yang
berarti. Peran-perannya yang sering dilakukan untuk menyampaikan aspirasi rakyat
daerah terhadap pusat sebenarnya dapat dilakukan oleh Ormas dan LSM atau media
massa. DPD hanya menjadi penting kalau terjadi sesuatu yang akan jarang terjadi dan
sifatnya insidental berdasarkan UUD 1945, yakni terjadinya perubahan atas UUD
1945 dan terjadinya impeachment terhadap Presiden/Wapres yang prosesnya sampai
ke MPR.33
32
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara (Jakarta: Sinar
Grafika, 2012, Cet. Ke-2), h.121.
33 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pascaamandemen Konstitusi, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2011) h. 72.
45
BAB IV
KEDUDUKAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH
PASCA PERUBAHAN UNDANG-UNDANG
A. IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 92/PUU-X/2012
Ketentuan Pasal 22D UUD 1945 menempatkan posisi Dewan Perwakilan
Daerah dalam ketatanegaraan Indonesia yang menganut sistem bikameral merupakan
lembaga legislatif. Namun, kewenangan yang diberikan UUD tersebut tidak
menempatkan DPD dalam arti lembaga legislatif yang sesungguhnya melainkan
hanya sebagai penunjang dari lembaga legislatif yang utama yakni DPR.
Kewenangan dimiliki DPD saat ini pernah diteliti oleh salah seorang peneliti
dari Australian National University yaitu Stephen Sherlock. Dia menilai bahwa DPD
merupakan contoh yang tidak lazim dalam praktik lembaga perwakilan rakyat dengan
sistem bikameral karena merupakan kombinasi dari lembaga dengan kewenangan
yang amat terbatas dan legitimasi tinggi (represents the odd combination of limited
power and high legitimacy). Kombinasi ini menurutnya merupakan contoh yang tidak
lazim dalam praktik sistem bikameral mana pun di dunia.1
Pada tahun 2012 yang lalu anggota Dewan Perwakilan Daerah yang diwakili
oleh Irman Gusman, La Ode Ida, dan Gusti Kanjeng Ratu Kemas (selaku pimpinan
1 Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi (Jakarta: Rajawali Pers, 2013, Cet. Ke-2), h. 257.
46
DPD RI) mengajukan uji materil Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun1945 ke Mahkamah Mahkamah Konstitusi.
Konsekuensi dari Putusan Mahkamah Konstitusi menimbulkan perubahan atas
kedudukan dan peran DPD. Isi putusan itu diantaranya adalah:2
1) RUU dari DPD setara dengan RUU dari DPR dan Presiden terkait dengan
pengajuan usul RUU, MK memutuskan beberapa hal, yaitu:
a) Kedudukan DPD sama dengan DPR dan Presiden dalam hal mengajukan
RUU,
b) DPD mengusulkan sesuai dengan bidang tugas,
c) DPD dapat mengajukan RUU diluar prolegnas, dan
d) Usul RUU DPD tidak menjadi RUU DPR.
2) Pembahasan RUU dilakukan dengan tiga pihak yang setara (tripartit), yaitu
Presiden, DPR, dan DPD, MK berpendapat bahwa:
a) Pembahasan dari DPD harus diberlakukan sama dengan RUU dari Presiden
dan DPR,
b) Terhadap RUU dari Presiden, Presiden diberikan kesempatan memberikan
penjelasan, sedangkan DPR dan DPD memberikan pandangan,
2 Yenny AS, Fungsi Legislasi DPD RI Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-
X/2012, Jurnal Lex Publica, Vol. 1 No. 1, Januari 2014.
47
c) Terhadap RUU dari DPR, DPR diberikan kesempatan untuk memberikan
penjelasan, sedangkan Presiden dan DPD memberikan pandangan.
d) Hal yang sama juga diperlakukan terhadap RUU dari DPD yaitu DPD
diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan sedangan DPR dan
Presiden memberikan pandangan.
e) Pembahasan RUU dari DPD harus diperlakukan sama dengan RUU dari
Presiden dan DPR.
f) Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) diajukan oleh masing-masing lembaga
negara (DPR, DPD, Pemerintah).
Implikasi dari adanya putusan itu dari Mahkamah Konstitusi terhadap DPD,
bahwa kedudukan DPD bukan lagi subordinat dari DPR melainkan DPD setara
kedudukannya dengan DPR dan Presiden,3 dalam hal pengajuan RUU mengenai
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengembangan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, perimbangan keuangan pusat dan daerah. Sebelumnya, pada pasal 102 ayat
(1) huruf d dan huruf e UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan telah mereduksi kewenangan legislasi DPD sebagai sebuah
lembaga negara menjadi setara dengan kewenangan legislasi anggota, komisi, dan
gabungan komisi DPR.
Sebagaimana yang dilakukan Amerika Serikat dalam House of Representative
(DPR) dan Senat (DPD), semua rancangan undang-undang yang telah melewati DPR
3 Yenny AS, Fungsi Legislasi DPD RI Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi…
48
dan Senat sebelum menjadi undang-undang harus dimajukan ke presiden untuk
mendapatkan pengesahan. Jika sepakat dengan rancangan undang-undang (bill) yang
telah disetujui lembaga legislatif, presiden akan mendatangani rancangan undang-
undang itu menjadi undang-undang. Jika menolak, presiden mengembalikannya
kepada DPR dan Senat dengan memberikan alasan-alasan penolakan dalan jumlah
untuk tenggat waktu 10 hari (tidak dihitung hari Minggu). Selanjutnya, DPR dan
Senat mempelajari keberatan-keberatan presiden dengan dukungan suara minimal dua
pertiga di masing-masing kamar lembaga legislatif, DPR, dan Senat dapat menolak
(override) penolakan presiden.4
Begitupula dengan sistem bikameral di Inggris, misalnya House of Commons
(sebagai lower house) jauh lebih dominan dalam fungsi legislasi dibanting House of
Lords (sebagai upper house), semua rancangan undang-undang harus melewati kedua
kamar yang ada sebelum ditandatangani menjadi undang-undang (all Bills go through
both Houses before becoming Ads) oleh Ratu Inggris. Dalam hal penundaan, House
of Lords tidak dibenarkan menunda lebih dari dua sesi persidangan parlemen atau
lebih dari satu tahun (bills cannot be delayed by the House of Lords for more than
two parliamentary sessions, or one calendar year).5
Konsekuensi dari putusan MK tersebut adalah proses legislasi model tripartit,
yakni DPR, DPD, dan Presiden, yang setara sejak awal hingga akhir tahapan
Pembicaraan Tingkat I (kegiatannya adalah pengantar musyarawarah, pembahasan
4 Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, ...., h. 88.
5 Agus Haryadi, Bikameral Bukan Federal, (Jakarta: Kelompok DPD di MPR RI, 2006), h. 5.
49
daftar inventarisasi masalah, dan pendapat mini). Artinya, MK memutuskan DPD
berhak dan/atau berwenang mengusulkan RUU tertentu dan membahasnya sejak awal
hingga akhir tahapan Pembicaraan Tingkat I. Pada Pembicaraan Tingkat II, DPD
menyampaikan pendapatnya sebelum persetujuan atau pengesahan RUU menjadi UU
antara DPR dan Presiden dalam rapat paripurna DPR. Jadi, DPD tidak terlibat
pengesahan RUU menjadi undang-undang (UU).6
Penyusunan Prolegnas sebagai instrumen perencanaan program
pembentukan Undang-undang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hak
dan/atau kewenangan untuk mengajukan RUU yang dimiliki DPD. Berdasarkan
Pasal 16 dan Pasal 17 UU No. 12 Tahun 2011, perencanaan penyusunan Undang-
undang dilakukan dalam Prolegnas yang merupakan skala prioritas program
pembentukan Undang-undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional.
Dengan demikian, RUU yang tidak masuk dalam Prolegnas tidak menjadi prioritas
untuk dibahas. Apabila DPD tidak terlibat atau tidak ikut serta menentukan
Prolegnas, maka sangat mungkin DPD tidak dapat melaksanakan wewenangnya
untuk mengajukan RUU sebagaimana dimaksud Pasal 22D ayat (1) UUD 1945,
karena dapat saja RUU tersebut tidak menjadi prioritas sehingga tidak akan
dibahas.7
6 http://www.dpd.go.id/artikel-dpd-ri-menyelenggarakan-press-gathering- diakses pada
tanggal 19 Juni 2015.
7 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Perkara 92/PUU-X/2012, h. 249.
50
B. ANALISIS KEWENANGAN LEGISLASI DPD PASCA BERLAKUNYA
UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014
DPD dibentuk untuk menampung aspirasi daerah agar mempunyai
wadah dalam menyuarakan kepentingannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Secara formal konstitusional, DPD mulai terbentuk sejak disahkannya Perubahan
Ketiga UUD 1945 dalam Rapat Paripurna MPR Ke-7 Sidang Tahunan MPR
Tahun 2001 tanggal 9 November 2001. Namun secara faktual, kelahiran DPD
baru terjadi pada tanggal 1 Oktober 2004.8
Salah satu tugas dari sebuah lembaga legislatif adalah membuat aturan-aturan
atau legislasi. Begitupun dengan DPD yang merupakan lembaga negara yang
mempunyai kewenangan legislasi. Walaupun kewenangan legislasi DPD sejak awal
berdirinya tidak mencerminkan sebuah lembaga legislatif yang seutuhnya dan tak
lebih dari lembaga lain seperti LSM, yakni “dapat mengajukan rancangan undang-
undang (RUU) kepada DPR”, itu pun terbatas pada masalah otonomi daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi, serta perimbangan keuangan pusat-
daerah.9
Berbeda dengan Amerika Serikat, menurut penelitian Arent Lijphart Amerika
Serikat dikategorikan sebagai Strong bicameralism, karena mempunyai Symmetrical
8 Robert Endi Jaweng, Mengenal DPD-RI Sebuah Gambaran Awal, (Jakarta:Institute For
Local Development (ILD), 2005), h. 155.
9 Agus Haryadi, dkk, Bikameral Bukan Federal, (Jakarta: Kelompok DPD di MPR, 2006), h.
41.
51
Chambers dengan kekuasaan yang diberikan konstitusi sama denga kamar pertama,
dan juga mempunyai legitimasi demokratis karena dipilih secara langsung, dan juga
incongruent karena berbeda dalam komposisinya House of Representative sebagai
perwakilan politik, sedangkan senat sebagai perwakilan negara bagian.10
Setelah adanya putusan MK No. 92/PUU-X/2012 yang telah memutuskan
beberapa kewenangan DPD yang sedikit lebih baik di bidang legislasi. Tidak lama
setelah itu disahkannya UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Namun di undang-undang tersebut masih ada beberapa pasal yang inkonstitusional
atas apa yang telah ditetapkan oleh MK. Serta pembentukan undang-undang ini juga
inkonstitusional secara materil maupun formil.
Menurut I Wayan Sudirta (anggota DPD asal Provinsi Bali) menerangkan
bahwa inkonstitusional formil diantaranya, (1) UU MD3 melanggar tata cara dalam
melaksanakan perintah pendelegasian pembentukan peraturan sebagaimana yang
ditegaskan dalam konstitusi, seharusnya dibentuk UU MPR, UU DPR, dan UU DPD
secara tersendiri; (2) Dalam paragraf 1 pembentukan UU Pasal 162-174 UU MD3
yaitu seluruh ketentuan paragraf ini harus masuk dalam UU Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (UU P3), karena dalam pendelegasian Pasal 22A UUD 1945
menegaskan: Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang
diatur dengan undang-undang; (3) proses pembentukan UU MD3 melanggar
ketentuan Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang memberikan wewenang
10
Reni Dwi Purnomowati, Implementasi Sistem Bikameral Dalam Parlemen Indonesia,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2005), h. 58.
52
konstitusional DPD mengajukan dan ikut membahas RUU. Dalam hal ini DPD tidak
diikutsertakan dalam proses pembentukan UU MD3. 11
Pada pembahasan RUU perubahan UU No. 27 Tahun 2009 tentang MD3 Zaid
Badjeber menyatakan bahwa:
“Dalam pembentukan undang-undang sudah ada putusan MK bahwa yang
dihadapi antar lembaga bukan lawan fraksi. Ini bagimana meluruskan ini,
iyakan ada putusan MK begitu bahwa dalam pembahasan undang-undang
antar lembaga, jadi DPR berhadapan dengan Presiden dalam bidang tertentu
plus DPD.” 12
Pada rapat dengar pendapat DPR dalam pembahasan UU MD3 ini pimpinan
DPD yang diwakili oleh La Ode Ida menyampaikan bahwa terkait kewenangan DPD
dalam hal mengajukan rancangan undang-undang, ikut membahas rancangan undang-
undang, serta keterlibatan DPD dalam menyusun prolegnas dan mekanisme Perpu
harus mengikuti putusan MK.13
Namun, pada saat pembahasan RUU MD3 ini keikut
sertaan DPD hanya pada rapat dengar pendapat tidak secara tripartit yakni antara
Pemerintah, DPR dan DPD.
Menurut Ni’matul Huda pembentukan UU No. 17 Tahun 2014 cacat formil
(prosedural). Sebab, materi yang sudah di batalkan MK melalui putusan nomor
92/PUU-X/2012 kembali dimuat dalam UU MD3 itu. Dia menyatakan bahwa:
11
Diakses dari http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2014/08/15/293135/dpd-ajukan-
permohonan-pengujian-uu-md3-ke-mahkamah-konstitusi pada tanggal 16 Mei 2015.
12 Risalah Sidang DPR Rapat Dengar Pendapat Umum pada Selasa 20 Mei 2014.
13 Risalah Sidang DPR Rapat Dengar Pendapat pada Rabu, 4 Juni 2014.
53
“Pengabaian DPR dan Presiden yang tidak melibatkan DPD dalam
pembahasan UU MD3 dapat dipandang pelecehan terhadap putusan MK.
Dengan demikian, pembentukan UU MD3 itu telah cacat prosedural yang
mengabaikan putusan MK dan melanggar konstitusi.” 14
Pasal-pasal dalam UU MD3 yang inkonstitusional secara materiil yakni yang
berkaitan dengan fungsi legislasi terdapat dalam Pasal 166 ayat (1) dan ayat (2) dan
Pasal 167 ayat (1), Pasal 276 ayat (1), Pasal 277 ayat (1), Pasal 165, Pasal 71 huruf c,
Pasal 170 ayat (5), Pasal 171 ayat (1), Pasal 249 huruf b.
Berdasarkan Pasal 166 ayat (1) UU MD3 bahwa: Rancangan undang-undang
dapat diajukan oleh DPD berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Kata “dapat diajukan” berbeda dengan aturan yang ada dalam Pasal 22D ayat
(1) UUD 1945 yang menyatakan DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah. Kata “diajukan” dengan “mengajukan” menurut kamus
besar bahasa Indonesia berbeda maknanya, mengajukan berarti mengemukakan (usul
dapat berasal atas inisiatif sendiri), sedangkan kalau diajukan berarti dikemukakan
(usul berdasarkan dari pihak lain).
14 http://hukumonline.com/berita/baca/lt5458a152d420b/dpd-berharap-uu-md3-selaras-
dengan-putusan-mk diakses pada tanggal 21 Juni 2014.
54
Begitupun dengan Pasal 166 ayat (2) UU MD3 yang menyatakan bahwa:
Rancangan undang-undang sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) beserta
naskah akademik disampaikan secara tertulis oleh Pimpinan DPD kepada Pimpinan
DPR. Hal senada yang tertuang dalam Pasal 277 ayat (2) yang mengatur bahwa RUU
dari DPD beserta naskah akademik disampaikan dengan surat pengantar pimpinan
DPD kepada Pimpinan DPR dengan tembusan kepada Presiden. Pasal ini dapat
memotong hak konstitusinal terhadap DPD karena RUU yang diajukan DPD bisa
disaring oleh pimpinan DPR sebelum disampaikan kepada Presiden.
Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa DPD dapat mengajukan RUU
di luar prolegnas, namun dalam Pasal 276 ayat (1) UU MD3 menyatakan bahwa DPD
dapat mengajukan RUU berdasarkan program legislasi nasional. Hal ini
menimbulkan ruang gerak DPD menjadi terbatas karena dalam RUU yang berasal
dari DPD yang tidak masuk dalam prolegnas tidak akan dibahas oleh DPR.
Kesempatan DPD untuk dapat terlibat intensif dalam pembahasan RUU yaitu
dengan adanya frasa “ikut membahas” yang terdapat dalam Pasal 22D ayat (2) UUD
1945. Frasa “ikut membahas” ini menunjukkan bahwa DPD merupakan lembaga
pelengkap dalam fungsi legislasi. Peran DPD dalam fungsi legislasi untuk rancangan
undang-undang tertentu lebih tepat disebut sebagai ko-pembahas karena pembahas
utama tetap dilakukan oleh DPR dan Presiden.15
Begitupun dengan Pasal 170 UU
15
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi …, h. 257.
55
MD3 bahwa DPD dapat terlibat pembahasan hanya pada Tingkat I artinya DPD
hanya dapat diundang sebelum pembahasan sesungguhnya dimulai.
Kewenangan legislasi DPD dari beberapa yang sudah diperluas melalui
putusan MK tidak menutup kemungkinan akan dihambat penerapannya oleh DPR
karena UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(P3) dan UU MD3 yang tidak menerapkan putusan MK ini tidak segera di revisi.
Sesuai dengan yang telah diungkapan I Wayan Sudirta bahwa dalam paragraf 1
pembentukan UU Pasal 162-174 UU MD3 yaitu seluruh ketentuan paragraf ini harus
masuk dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3).
C. PENGUATAN SISTEM BIKAMERAL DALAM TATA NEGARA INDONESIA
Perubahan keempat UUD 1945 menjadikan parlemen Indonesia seolah-oleh
menjadi dua kamar (bikameral). Namun, pada susunan perlemen Indonesia yang
terdiri dari MPR, DPR, dan DPD tidak tergambar susunan keanggotaan DPR dan
DPD konsep bikameral. Dalam sistem bikameral, bukan keanggotaannya yang
menajdi unsur, melainkan badannya yakni DPR dan DPD. Kalau anggota yang
menjadi unsur sistem bikameral, maka MPR merupakan badan yang berdiri sendiri di
luar DPR dan DPD.
Sistem lembaga parlemen Indonesia mirip dengan Amerika Serikat, dimana
badan legislatifnya dinamakan Congress dan terdiri dari dua kamar, yaitu senat dan
56
House of Representative.16
Antara senat dan House of Representative mempunyai
fungsi legislasi yang seimbang dan bisa melakukan check and balances.17
Ketika fraksi-fraksi menyampaikan usulan perubahan ketiga UUD 1945 dalam
rapat ke-32 PAH I BP MPR pada 17 Mei 2000 dan pembahasan usulan perubahan
UUD 1945 dalam rapat ke-33 PAH I BP MPR tanggal 22 Mei 2000 masalah DPD
dalam kaitannya komposisi keanggotaan MPR. Fraksi PDKB menyampaikan
pendapat bahwa MPR adalah lembaga negara yang terdiri atas anggota DPR dang
anggota-anggota DPD.18
Beberapa fraksi sepakat dengan pendapat ini, misalanya
Fraksi Reformasi dan Fraksi PKB. Namun, Fraksi PDI-P MPR merupakan
permusyawaratan bersama dari segenap anggota DPR bersama segenap anggota
DPD.19
Walaupun pembahasan ini belum manyangkut kepada konsep bikameral,
melainkan baru pembahasan mengenai pengisian MPR yang terdiri dari anggota DPR
dan anggota DPD. Dan beberapa fraksi setuju dengan perubahan kelembagaan di
MPR, lalu pembahasan dilanjutkan mengenai kewenangan DPD.
Usulan Fraksi PDI-P menempatkan DPD dengan kewenangan yang terbatas,
yaitu hanya memberikan persetujuan atas Rancangan Undang-Undang APBN.
16
Reni Dwi Purnomowati, Implementasi Sistem Bikameral...., h. 56.
17 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Indonesia Pascaamandemen
Konstitusi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011, Cet. Ke-2), h. 69.
18 Risalah Rapat ke-32 PAH I BP MPR, tanggal 17 Mei 2000, h. 29.
19 Risalah Rapat ke-32 PAH I BP MPR, …, h. 89.
57
Namun, Fraksi FG berbeda pendapat akan hal ini, Fraksi FG menginginkan lembaga
perwakilan rakyat untuk semakin demokratis dan menjunjung tinggi kedaulatan
rakyat serta memberikan kewenangan yang lebih luas kepada daerah karena luas
wilayahnya Indonesia. Disamping itu, DPR dan DPD sama-sama menjalankan fungsi
legislasi dan fungsi pengawasan.20
Usulan yang disampaikan oleh Fraksi FG memberikan pengaruh yang besar
untuk membentuk sebuah lembaga perwakilan rakyat menjadi sistem yang lebih
demokratis serta menginginkan adanya kewenangan yang sama antara DPR dan DPD
yang dapat menimbulkan sistem check and balances antara perwakilan dari rakyat
dengan perwakilan dari daerah.
Namun, beberapa fraksi yang pada saat itu ikut membahas tidak semuanya
menginginkan kewenangan yang sama antara DPR dengan DPD. Seperti yang
diungkapkan oleh Zain Badjeber (Fraksi PPP) bahwa DPD diberikan wewenang
untuk memberikan wewenang untuk memberikan pertimbangan mengenai rancangan
undang-undang tertentu, seperti RAPBN atau rancangan undang-undang tertentu
yang mempunyai kaitan langsung dengan kepentingan daerah. Karena pembahasan
suatu undang-undang oleh dua badan akan semakin lambat untuk diselesaikan.21
Kemudian pada saat itu ada beberapa pendapat yang mengemukakan bahwa
Indonesia tidak cocok menganut sistem bikameralisme melainkan unikameralisme hal
20
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, ..., h. 241.
21 Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, …, h. 244.
58
itu tidak beralasan. Meski lazimnya sistem ini dipergunakan di negara federal, pada
kenyataannya hal ini tidak berhubunngan dengan bentuk negara. pada akhirnya sistem
perwakilan ini dipergunakan berhubungan dengan kebutuhan pragmatis sebuah
negara dengan memperhitungkan berbagai aspek politik yang mendukung hal
tersebut.22
Keberadaan kamar kedua berfungsi menepis monopoli hak legislasi yang kini
hanya dipegang DPR, khususnya yang berkaitan dengan kepentingan daerah. Selain
itu, penting menangkal lahirnya undang-undang yang tidak merefleksikan aspirasi
daerah aatau mengutip CF. Strong: untuk mencegah lahirnya undang-undang secara
tergesa-gesa oleh satu majelis.23
Dengan begitu banyaknya arus politik ketika perubahan UUD 1945 ini
dilaksanakan, sehingga penetapan DPD yang menjadi bagian dari lembaga negara
untuk mengurusi daerah di parlemen namun tidak diikuti oleh pengaturan yang jelas
dan tidak mempunyai kekuasaan yang signifikan. DPD hanya dapat memberikan
masukan pertimbangan, usul ataupun saran, sedangkan yang berhak memutuskan
adalah DPR. Sesuai dengan Pasal 22D, Pasal 22E dan Pasal 22F UUD 1945.
Setelah perubahan keempat UUD 1945 membuat kedudukan DPR dan DPD
tidak sama kuat yang dalam hal ini DPD hanya sebagai Dewan Pertimbangan DPR
karena kedudukannya hanya sebagai memberikan pertimbangan kepada DPR. Bahkan
22
Indra J. Piliang, dkk, Untuk Apa DPD RI, (Jakarta: Kelompok DPD di MPR RI, Cet. Ke-2),
h. 62.
23 23
Agus Haryadi, dkk, Bikameral Bukan Federal ...., h. 139.
59
dalam Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 melemahkan posisi DPD dalam bidang legislasi
karena hanya dapat memberikan pertimbangan kepada DPR mengenai RUU APBN,
serta RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, pajak, pendidikan, dan agama.
Harusnya, pada jaman sekarang ini, pembahasan mengenai otonomi daerah, pajak,
pendidikan, dan agama dibahas bersama dengan DPD karena masalah seperti itu
bukan hanya menyangkut politik negara melainkan kepentingan daerah. Kelemahan
lain dari kewenangan yang diberikan saat ini oleh UUD 1945 adalah tidak
dimilikinya hak persetujuan dan hak tolak oleh DPD terhadap suatu RUU yang
dibahas. Sehingga DPD tidak dapat berbuat banyak untuk dapat menyampaikan
aspirasi-aspirasi daerah dalam suatu undang-undang.
Kehadiran DPD yang seharusnya memberikan solusi terhadap sistem politik
yang sentralistik justru keberadaan DPD tidak mempunyai fungsi seperti yang
diharapkan karena tak lebih dari sekedar aksesori demokrasi dalam sistem
perwakilan. Hal ini dapat dilihat dari pasal-pasal tersebut yang mengatur tentang
kewenangan DPD. Pada kewenangan DPD sangat terasa unsur diskriminatifnya
apalagi dengan ekspektasi masyarakat untuk berpartisipasi secara luas dan
kompetitif.24
Untuk mengefektifkan posisi DPD dalam memperjuangkan kepentingan
daerah, serta dalam rangka meningkatkan peran DPD dalam sistem ketatanegaraan
Republik Indonesia khususnya dalam mengembangkan sistem check and balances
24
Reni Dwi Purnomowati, Implementasi Sistem …, h. 5.
60
antarlembaga negara, pada tanggal 8 Juni 2006 DPD RI mengajukan usul perubahan
ketentuan Pasal 22D UUD 1945. Berikut ini adalah rumusan usul perubahan UUD
1945 yang diajukan oleh DPD.25
1. Ayat (2) diusulkan untuk diubah sehingga berbunyi:
(2) Dewan Perwakilan Daerah dapat menyetujui atau menolak rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan
daerah; pembentukan, pmekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat
dan daerah yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat; serta
memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan
undang-undang anggaran pendapat dan belanja negara dan rancangan undang-
undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
2. Setelah ayat (2) ditambahkan ayat (3) baru, yaitu:
(3) Jika Dewan Perwakilan Daerah menolak rancangan undang-undang
yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, rancangan undang-
undang itu tidak dapat diajukan lagi pada masa sidang Dewan Perwakilan
Rakyat selanjutnya.
3. Ayat (3) lama menjadi ayat (4) dengan perubahan sehingga berbunyi:
(4) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan
undang-undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan
25
Indra J. Piliang, dkk, Untuk Apa DPD RI …, h. 72.
61
penggabungan daera, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainny, pelaksanaan pendapatan dan belanja negara,
pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasan itu kepada
Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah.
4. Ayat (4) lama menjadi ayat (5) yang berbunyi:
Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya, yang
syarat-syarat dan tata caranya diatur undang-undang.
Perjuangan untuk dapat melakukan perubahan UUD 1945 ini tidaklah mudah,
dalam Pasal 37 UUD 1945 perlu agenda sidang MPR dan diajukan sekurang-
kurangnya oleh sepertiga anggota MPR. Selanjutnya, untuk mengubah pasal-pasal
UUD 1945, sidang MPR harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua pertiga anggota
MPR. Serta untuk mengubah pasal itu dapat terwujud apabila memperoleh
persetujuan sekurang-kurangnya 50 persen ditambah satu anggota MPR.26
Ini
merupakan perjuangan yang panjang dan sulit untuk dapat dilakukan DPD karena
prosedur ini harus menggalang dukungan dari DPR yang kebanyakan dari anggota
DPR tidak ingin posisi DPD menjadi sama kuat dengan DPR.
Namun, ada empat alasan mengapa kelompok amandemen fobia cenderung
alergi dengan kemungkinan usulan amandemen UUD 1945 yang diusung DPD
sebagai salah satu payung legal politik untuk memperkuat eksistensinya di parlemen.
Pertama, terukanya kesempatan untuk melakukan amandemen UUD 1945 kembali
akan menstimulasi kelompok lain untuk mengusulkan hal yang sama, seperti usulan
26
Agus Haryadi, dkk, Bikameral Bukan Federal, ...., h. 21.
62
agar Syariat Islam masuk ke dalam UUD 1945, isu federalisme, dan hal-hal yang
menyangkut penyelenggaraan negara lainnya.27
Kedua, dibukanya kemungkinan adanya amandemen kembali yang akan
mengikis semangat dari UUD 1945. Hal yang dianggap sebagai sebuah kesalahan
besar apabila semangat dan ruh UUD 1945 pada akhirnya digantikan oleh pasal-pasal
yang bersifat pragmatis.
Ketiga, memperkuat eksistensi DPD sama saja membuka ruang bagi
kemungkinan munculnya semangat kedaerahan yang diasumsikan sebagai bentuk-
bentuk federalisme sehingga memosisikan DPD sekuat DPR hanya akan merangkai
dan membuka jalan bagi tumbuhnya semangat federalisme dan hal-hal yang berbau
kedaerahan.
Keempat, memperkuat eksistensi DPD juga berarti akan membuat perdebatan
pemutusan suatu produk hukum maupun politik menjadi semangat kompleks,
panjang, dan kecenderungan akan membangun tangga birokrasi baru bagi setiap
produk yang dihasilkan parlemen. Tak heran apabila kemudian DPR hanya
memberikan wewenang yang terbatas pada DPD, karena berbagai alasan dan
kemungkinan politik yang akan terjadi.
27
Agus Haryadi, dkk, Bikameral Bukan Federal, ...., h. 93-94.
63
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang sudah diteliti oleh penulis mengenai kewenagan
legislasi Dewan Perwakilan Daerah Pasca Berlakunya Undang-undang Nomor 17
Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, maka berikut ini adalah jawaban
dari rumusan masalah yang sudah dibuat.
1. Kewenangan legislasi Dewan Perwakilan Daerah dibatasi karena pada saat
pembentukan Dewan Perwakilan Daerah ketika amandemen ketiga UUD 1945
terjadi kompromi kelompok-kelompok yang tidak menginginkan negara kesatuan
akan menjadi negara federal, sebagaimana yang telah terjadi di beberapa negara
karena negara yang menganut sistem bikameral yang kuat adalah negara-negara
federal. Padahal tidak selalu negara yang menganut sistem bikameral adalah
negara federal. Selain itu ada pertentangan dari kelompok-kelompok tertentu
yang tidak ingin menghendaki perubahan UUD 1945 selalu menimbulkan sistem
politik yang tidak demokratis. Serta ada yang menghendaki agar UUD 1945
dipertahankan sebagaimana adanya karena merupakan hasil karya pendiri negara
yang sudah sangat baik. Ketika mengamandemen pasal terkait MPR,
ditetapkanlah bahwa MPR hanya terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD
yang seolah-oleh menampung gagasan bikameral, tetapi ketika mengamandemen
64
pasal-pasal tentang DPR dikuatkanlah fungsi DPR sebagai lembaga negara yang
memegang kekuasaan membentuk UU tanpa bersama DPD. Itulah sebabnya
DPD kemudian hanya menjadi pelengkap diantara lembaga negara yang ada.
2. Implikasi dari adanya putusan itu dari Mahkamah Konstitusi terhadap DPD,
bahwa kedudukan DPD bukan lagi subordinat dari DPR melainkan DPD setara
kedudukannya dengan DPR dan Presiden, dalam hal pengajuan RUU mengenai
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengembangan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, perimbangan keuangan pusat dan daerah.
3. Kewengan legislasi Dewan Perwakilan Daerah pasca berlakunya Undang-undang
Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPR bahwa dalam
pembuatan undang-undang ini telah terjadi inkonstitusional secara formil,
seharusnya DPD dapat ikut serta membahas secara bersama dengan DPR dan
Presiden terkait kewenangan DPD di undang-undang tersebut. Serta terjadi
inkonstitusi dalam materiilnya yang justru bertentangan dengan putusan
mahkamah konstitusi. Pasal-pasal dalam UU MD3 yang inkonstitusional secara
materiil yakni yang berkaitan dengan fungsi legislasi terdapat dalam Pasal 166
ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 167 ayat (1), Pasal 276 ayat (1), Pasal 277 ayat
(1), Pasal 165, Pasal 71 huruf c, Pasal 170 ayat (5), Pasal 171 ayat (1), Pasal 249
huruf b. Kewenangan legislasi DPD dari beberapa yang sudah diperluas melalui
putusan MK tidak menutup kemungkinan akan dihambat penerapannya oleh
DPR karena UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
65
undangan (P3) dan UU MD3 yang tidak menerapkan putusan MK ini tidak
segera di revisi.
B. SARAN
Penulis berharap untuk lembaga perwakilan rakyat segera merevisi UU No. 17
Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta UU No. 11 Tahun 2012
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan karena berawal dari undang-
undang tersebut apa yang sudah di putuskan oleh Mahkamah Konstitusi dapat
terealisasi dengan baik. Walaupun masih belum dapat mengesahkan suatu RUU
menjadi sebuah RUU yang disepakati bersama antara DPR, DPD, dan Presiden.
Jika pada saat awal perubahan UUD 1945 banyak pihak yang menganggap
bahwa suatu sistem strong bicameralism dapat mengarah Negara Kesatuan Republik
Indonesia menjadi sebuah negara yang Federal, namun kenyataannya sekarang adalah
check and balances sebuah lembaga negara itu baik dilaksanakan guna memperbaiki
sebuah sistem yang dapat saling mengawasi dan tidak ada lembaga yang lebih
mendominasi.
Maka dari itu, perlu diadakan perubahan UUD 1945 yang kelima, karena
situasi dan kondisi politik saat ini sudah lebih stabil dibanding ketika awal reformasi.
Serta urgensinya sebuah format kelembagaan yang baru akan menjadikan Negara
Republik Indonesia ini lebih demokratis dan akan mementingkan kepentingan
rakyatnya di daerah-daerah sehingga meminimalisir rasa kesenjangan antara
masyarakat di daerah maupun di kota.
66
DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Ashiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konpress.
2006.
_______________. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta: Sekretariat
Jendral dan Kepaniteraan MK. 2006.
_______________. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam
UUD 1945. Yogyakarta: FH UII Press. 2005.
_______________. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi. Jakarta: Konstitusi Press. 2006.
Daud Busroh, Abu. Ilmu Negara. Cet. Ke-7. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2010.
Efriza. Ilmu Politik: Dari Ilmu Politik Sampai Sistem Pemerintahan. Cet. Ke-3.
Bandung: ALFABETA. 2013.
Fatwa, A. M. Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas. 2009.
Ghaffar, Afan. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Cet.IV. Yogyakarta:
Pustakapelajar. 2006.
Harahap, Krisna. Konstitusi Republik Indonesia Menuju Perubahan Ke-5. Cet.3
Jakarta: PT. Grafitri Budi Utami. 2009.
Haryadi, Agus, dkk. Bikameral Bukan Federal. Jakarta: Kelompok DPD di MPR.
2010.
67
Huda, Ni’matul. UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang. Jakarta: Rajawali Pres.
2008.
_____________. Ilmu Negara. Jakarta: Rajawali Pers. 2010.
Indrayana, Denny. Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran.
Jakarta: PT Mizan Pustaka. 2007.
_______________. Negara Antara Ada dan Tiada: Reformasi Hukum dan
Ketatanegaraan. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. 2008.
Isra, Saldi. Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Legislasi Parlementer dalam
Sistem Presidensial Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. 2010.
Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil. Hukum Tata Negara Republik Indonesia 2.
cet. Ke-2. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003.
Jaweng, Robert Endi. Mengenal DPD-RI Sebuah Gambaran Awal. Jakarta: Institute
For Local Development (ILD). 2005.
Legowo, T.A. dkk, Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia. Jakarta: FORMAPPI.
2005.
Mahfud MD, Moh. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi.
Jakarta: Rajawali Pers. 2010.
_______________. Perdebatan Hukum Tata Negara: Pascaamandemen Konstitusi.
Jakarta: Rajawali Pers. 2011.
Manan, Abdul. Aspek-Aspek Pengubah Hukum. Jakarta: Kencana, 2009.
Napitupulu, Paimin. Menuju Perwakilan Politik. Bandung: PT. Alumni. 2007.
68
Piliang, Indra J. dkk. Untuk Apa DPD RI. Jakarta: Kelompok DPD di MPR RI. 2006.
Purnomowati, Reni Dwi. Implementasi Sistem Bikameral dalam Parlemen Indonesia.
Jakarta: Rajawali Pers. 2005.
Ranadireksa, Hendarmin. Dinamika Konstitusi Indonesia. Bandung: Fokusmedia,
2009.
Sanit, Arbi. Perwakilan Politik Di Indonesia. Jakarta: CV. Rajawali. 1985.
Simabura, Charles. Palemen Indonesia: Lintasan Sejarah dan Sistemnya. Jakarta:
Rajawali Pers. 2011.
Soehino. Ilmu Negara. Cet. Ke-2. Yogyakarta: Liberty. 1981.
Strong, C.F. Konstitusi Konstitusi Politik Modern: Kajian Tentang Sejarah &
Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia. Bandung: Nusa Media. 2008.
Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika. 2008.
Yuhana, Abdy. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945.
Bandung: Fokus Media. 2003.
Yuliandri. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik. Cet.
IV. Jakarta: Rajawali Pers. 2013.
JURNAL:
AS, Yeny. Fungsi Legislasi DPD RI Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
92/PUU-X/201. Jurnal Lex Publica. Vol. 1. No. 1. Januari 2014.
69
PERUNDANG-UNDANGAN:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
WEBSITE:
http://www.dpd.go.id/artikel-dpd-ri-menyelenggarakan-press-gathering-
http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2014/08/15/293135/dpd-ajukan-
permohonan-pengujian-uu-md3-ke-mahkamah-konstitusi
http://hukumonline.com/berita/baca/lt5458a152d420b/dpd-berharap-uu-md3-selaras-
dengan-putusan-mk
http://civicseducation.files.wordpress.com/2008/03/ruu.jpg
SUMBER LAIN:
Naskah Konferhensif Perubahan UUD 1945 Negara Republik Indonesia. Buku III
Jilid 1. Sekjen MPR. Jakarta.
Risalah Rapat ke-32 PAH I BP MPR. tanggal 17 Mei 2000.
70
Naskah Akademik RUU Perubahan Atas UU No. 27 Tahun 2009 Tentang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD.
Risalah Sidang Rapat Dengar Pendapat DPR Panitia Khusus Rancangan Undang-
Undang tentang Perubahan Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD pada Selasa, 20 Mei 2014.
Risalah Sidang DPR Rapat Kerja Panitia Khusus Rancangan Undang-undang
Tentang Perubahan Atas UU No. 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD,
dan DPRD pada Senin, 7 Juli 2014.
Risalah Sidang DPR Rapat Dengar Pendapat Panitia Khusus Rancangan Undang-
undang Tentang Perubahan Atas UU No. 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD pada Rabu, 4 Juni 2014.