KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT MELAKUKAN...
Transcript of KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT MELAKUKAN...
i
KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT MELAKUKAN FIT
AND PROPER TEST CALON HAKIM AGUNG PASCA PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI NO.27/PUU-XI/2013
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
MUHAMAD CAESAL REGIA
1110048000041
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438H/2017M
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu syarat memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti hasil saya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, Juli2017
Muhamad Caesal Regia
v
KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, berkat rahmat
dan hidayat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam
tercurahkan kepada Rasulullah SAW, keluarga dan sahabatnya.
Selanjutnya, penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tak
terhingga kepada semua pihak yang membantu kelancaran penulisan skripsi ini,
baik berupa dorongan moril maupun materil. Karena penulis yakin tanpa bantuan
dan dukungan tersebut, sulit rasanya bagi penulis untuk menyelesaikan penulisan
skripsi ini.
Disamping itu, izinkan penulis untuk menyampaikan ucapan terima kasih
dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) Bapak Dr. Asep Saepudin
Jahar,M.A. Serta para pembantu dekan Fakultas Syariah dan Hukum
(FSH) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta Ketua Program Studi Ilmu
Hukum Bapak Dr. H. Asep Syarifudin Hidayat, S.H., M.H. dan Sekretaris
Program Studi Ilmu Hukum Bapak Drs. Abu Tamrin, S.H., M. Hum
beserta seluruh staffnya.
2. Bapak Drs. Abu Tamrin, S.H.,M.Hum yang telah meluangkan waktunya
untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan
ilmunya kepada penulis, semoga Bapak dan Ibu dosen selalu dalam rahmat
dan lindungan Allah SWT. Sehingga ilmu yang telah diajarkan dapat
bermanfaat dikemudian hari.
4. Ungkapan terima kasih dan penghargaan yang sangat spesial penulis hatur
kan dengan rendah hati dan rasa hormat kepada kedua orang tua penulis
yang tercinta, Ayahanda Mutaufik dan Ibunda Idup Kurniati serta adik
peneliti Aisyah Caesal Finia yang dengan segala pengorbananya tak akan
vi
pernah penulis lupakan atas jasa-jasa mereka. D’oa restu, nasihat dan
petunjuk dari mereka kiranya merupakan dorongan moril yang paling
efektif bagi studi peneliti hingga saat ini.
5. Kawan-kawan Mahasiswa UIN khususnya kawan-kawan seperjuangan
Program Studi Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara
Angkatan 2010. Ahmad Ilham Adha, Syamsul Arifin Billah, Mustafa Aqib
Bintoro yang selalu memberikan support kepada penulis, beserta adik-
adik Himpunan Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Ryan Adhi tama,
Khaidir Musa, Khairul Falah, Raden Ramandha yang selalu memberikan
semangat dalam mengerjakan skripsi penulis dan juga sahabat, teman, adik
sekaligus keluarga di Kampus UIN tercinta, Waldan Mufathir, Fanny
Fatwati Putri, Yuli Andreansyah, Lisanul Fikri dan Sri Andriyani yang
selalu memberikan motivasi untuk segera terselesaikannya skripsi ini.
6. Seseorang terdekat dan terkasih R. Wulida Misdillah yang selelu
mendukung penyelesaian skripsi ini dan semua pihak yang tidak bisa saya
sebutkan satu-persatu.
Akhirnya peneliti berharap semoga amal baik dari semua pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini mendapat kan balasan pahala
dari rahmat Allah SWT. Semoga apa yang telah ditulis dalam skripsi ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak. Amin ya Rabbala’lamin.
Peneliti berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat dijadikan
rujukan penyusunan skripsi selanjutnya.
Wassalamu’alaikumWr. Wb.
Jakarta, Juli 2017
Peneliti
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ...................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................... iv
KATA PENGANTAR ............................................................................... vi
DAFTAR ISI ............................................................................................. vii
ABSTRAK ................................................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN ................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................... 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ................................. 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................ 4
D. Tinjauan (Review) kajian terdahulu ................................. 6
E. Metode Penelitian............................................................. 7
F. SistematikaPenulisan ..................................................... 12
BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KEDUDUKAN DAN
KEWENANGAN LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT
DAN KEKUASAAN KEHAKIMAN
A. Pemisahan Kekuasaan ................................................... 15
B. Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia ..................... 20
C. Kekuasaan Kehakiman .................................................. 27
BAB III LANDASAN YURIDIS PELAKSANAAN FIT AND PROPER
TEST BAGI ANGGOTA DPR
A. Profil Lembaga DPR dan Mahkamah Konstitusi ........... 42
1. Profil Lembaga DPR ......................................... 42
2. Profil Mahkamah Konstitusi ............................. 47
B. Pengertian Fit And Proper Test ..................................... 49
C. Fit and Proper Test dalam Fungsi dan Kewenangan
viii
DPR Terhadap Pengangkatan Calon Hakim Agung ..... 50
D. Mekanisme dalam Seleksi Pengangkatan Calon
Hakim Agung ................................................................ 53
BAB IV IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NO.27/PUU-XI/2013 TERHADAP KEWENANGAN DPR
MELAKUKAN FIT AND PROPER TEST
A. Posisi Kasus Kewenangan Fit and Proper Test
Terhadap Pengangkatan Calon Hakim Agung ................ 60
I. Profil Penggugat ................................................. 60
II. Kasus Gugatan pada Kewenganan Fit and
Proper Test Terhadap Pengangkatan Calon
Hakim Agung ...................................................... 61
B. Analisis Kasus Kewenganan Fit and Proper
Test Terhadap Pengangkatan Calon Hakim Agung ........ 65
I. Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 27/PUU- XI/2013 tentang Seleksi
Calon Hakim Agung ............................................ 65
II. Kewenangan Komisi Yudisial (KY) Pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
27/PUU- XI/2013 tentang Seleksi Calon
Hakim Agung ..................................................... 66
III. Pendapat Para Ahli Hukum ................................. 68
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................... 70
B. Saran ............................................................................. 71
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ix
ABSTRAK
MUHAMAD CAESAL REGIA. NIM 1110048000041. KEWENANGAN
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT MELAKUKAN FIT AND PROPER TEST
CALON HAKIM AGUNG PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NO.27/PUU-XI/2013. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Kelembagaan
Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1438 H/
2017 M. x + 72 halaman + 3 halaman Daftar Pustaka + Lampiran.
Penelitian ini menggaungkan upaya sistem pemerintahan di Indonesia
yang menganut presidensil, agar dapat terlaksana dengan baik demi terciptanya
tujuan nasional yang bebas dari unsur-unsur kepentingan golongan atau bisa
dikatakan dewasa ini ialah kepentingan politik semata. Kewenangan Dewan
Perwakilan Rakyat yang mempunyai wewenang untuk melakukan fit and proper
test dirasa sangat memiliki banyak intervensi sehingga hal ini dapat menggangu
jalannya penetapan hakim agung yang seharusnya menjadi cepat dan efektif demi
terselenggaranya penegakkan hukum. Tidak main-main, intervensi yang
dilakukan oleh lembaga politik tersebut pun, sebelum keluarnya Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-XI/2013 ialah menyetujui calon hakim agung
tersebut dengan mekanisme seleksi dan test yang dalam hal ini dapat
dilakukannya sebuah politisasi terhadap mekansime itu sendiri. Namun, setelah
keluarnya putusan tersebut, frasa ‘menyetujui’ dipertegas oleh Mahkamah
Konstitusi dari yang tadinya dapat melakukan seleksi dan test dalam pelaksanaan
mekanismenya, menjadikanya sebatas menyetujui tanpa adanya mekanisme
tersebut.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah Yuridis
Normatif, ialah penelitian yang berdasarkan pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach). Produk hukum yang
digunakan ialah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-XI/2013.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwasannya berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-XI/2013 telah mempertegas secara yuridis
mekanisme pemilihan hakim dalam hal ini DPR tidak dapat intervensi lebih dalam
terkait dengan penetapan hakim. Dan munculnya putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut juga menjadikan Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 memiliki relevansi yang
tepat dalam pelaksanaanya sehubungan dengan UU No.3 Tahun 2009 Tentang
Mahkamah Agung.
Kata Kunci : Kewenangan DPR, Fit and Proper Test, Hakim Agung,
Putusan Mahakamah Konstitusi.
x
Pembimbing : Drs. Abu Tamrin, S.H., M. Hum
Daftar Pustaka : Tahun 1942 Sampai Tahun 2015
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sistem ketatanegaraan Indonesia, UUD 1945 dengan jelas
membedakan cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif,
eksekutif dan yudikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah
Agung (MA), serta Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga-lembaga
negara.1 Lembaga-lembaga negara tersebut merupakan hasil dari empat kali
perubahan UUD 1945, yang dapat dikatakan bahwa sistem konstitusi
Indonesia telah menganut doktrin pemisahan kekuasaan (separation of
powers). Salah satu bukti mengenai sistem konstitusi Indonesia telah
menganut doktrin pemisahan kekuasaan (separation of powers) adalah
Hubungan antar lembaga (tinggi) negara itu bersifat saling mengendalikan
satu sama lain sesuai dengan prinsip check and balances.2
Sistem check and balances merupakan salah satu tuntutan dan
gagasan reformasi untuk menghindari pemusatan kekuasaan pada satu
lembaga dan agar dapat membangun sistem politik dan ketatanegaraan yang
1Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen
UUD 1945, Ed. 1, Cet. 2 , (Jakarta: Prenada Media, 2011), h. 178-179.
2Jimly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Ed. 1, Cet. 5 , (Jakarta:
Rajawali Pers, 2013), h. 291-292.
2
demokratis.3 Sistem check and balances dibutuhkan untuk mewujudkan
tatanan penyelenggaraan negara yang memberi kewenangan antar cabang
kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, yudikatif) untuk saling mengontrol
dan menyeimbangkan pelaksanaan kekuasaannya masing-masing. Dengan
konsep check and balancestentu pasti adanya pengawasan dari satu
kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya di antara cabang-cabang kekuasaan
eksekutif, legislatif dan yudikatif, sehingga dapat saling mengimbangi dalam
kesetaraan dan kesederajatan demi tercapainya harmonisasi kekuasaan berada
dalam keseimbangan untuk mencegah kesewenang-wenangan atau
penyalahgunaan kekuasaan.4
Sistem check and balances ini menjadi pedoman pelaksanaan salah
satu fungsi pengawasan parlemen yang dilaksanakan oleh DPR dalam rangka
pengawasan terhadap pengangkatan pejabat publik (control of political
appoinment of public officials) dalam bentuk persetujuan atau penolakan,
ataupun dalam bentuk pemberian pertimbangan oleh DPR pada proses
pengisian jabatan Hakim Agung. Hal ini tercantum pada pasal 24A ayat (3)
UUD 1945 bahwa “Calon Hakim Agung diusulkan Komisi Yudisial kepada
Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya
ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden”.5
3 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi, Ed. 1-2, Cet. 2, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 67.
4Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, (Jakarta: Erlangga, 1980),
h.251.
5Jimly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Ed. 1, Cet. 5 , (Jakarta:
Rajawali Pers, 2013), h. 302.
3
Kewenangan DPR dalam pengangkatan calon Hakim Agung
mengalami perubahan pasca putusan Mahkamah Konstutusi No. 27/PUU-
XI/2013. Diputuskan bahwa frasa pemilihan yang terdapat pada pasal 8 ayat
(4) UU No. 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung sepanjang tidak
dimaknai “persetujuan”, dan frasa “3 (tiga) nama calon” pada pasal 8 ayat
(3) sepanjang tidak dimaknai “1 (satu) nama calon” tidak memiliki kekuatan
hukum tetap. Ini berakibat pada kewenangan DPR mengalami perubahan
yang sebelumnya dapat memilih dengan melakukan fit and proper test
terhadap calon-calon yang diajukan oleh Komisi Yudisial hanya menjadi
menyetujui atau tidak menyetujui dari satu calon yang diajukan. Namun pada
tahun 2014 pengangkatan calon Hakim Agung dalam persetujuan oleh DPR
tetap melakukan fit and proper test terhadap calon Hakim Agung yang
diusulkan oleh Komisi Yudisial yakni, Hakim Suhadjono, Hakim Maria Anna
Samyati, dan Hakim Sunarto. Jika dilihat dari putusan Mahkamah Konstitusi
di atas bahwa DPR hanya dapat melakukan persetujuan atau tidak terhadap
calon Hakim Agung yang diusulkan tidak lagi melakukan fit and proper test.
Berlatar belakang dari permasalahan di atas maka peneliti mengambil
inisiatif untuk meniliti lebih dalam tentang permasalahan ini yang kemudian
diberi judul “Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Melakukan Fit And
Proper Test Calon Hakim Agung Pasca Putusan Mahkamah Konsititusi
No. 27/PUU-XI/2013”.
4
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan mengenai permasalahan tentang
pengangkatan calon Hakim Agung, maka ruang lingkup permasalahan
peneliti batasi hanya dilihat dari kewenangan fit and proper test calon
Hakim oleh DPR yang ditinjau dari segi yuridis, yaitu berdasarkan pada
UUD 1945, dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-XI/2013,
dan teori-teori yang berkaitan dengan permasalahan.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah di
atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Apakah DPR Berwenang Melakukan Fit And Proper Test Calon
Hakim Agung Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-
XI/2013?
b. Apa Dampak Dewan Perwakilan Rakyat Tidak Patuh Terhadap
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-XI/2013?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Setiap penelitian memerlukan suatu penelitian yang dapat
memberikan arah pada penelitian yang dilakukan. Berdasarkan uraian
latar belakang dan permasalahan diatas, maka disusun tujuan penelitian
sebagai berikut:
5
a. Untuk mengetahui kewenangan DPR dalam melakukan fit and
propert test calon Hakim Agung.
b. Untuk mengetahui dampak Dewan Perwakilan Rakyat tidak
patuh terhadap putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-
XI/2013.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian yang dilakukan terkait
dengan nilai guna dari penelitian dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat teoritis berupa
sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya
bidang hukum kelembagaan negara mengenai kewenangan DPR dalam
pengangkatan calon Hakim Agung Pasca Putusan Mahkamah Kontitusi
No. 27/PUU-XI/2013.
b. Manfaat Praktis
Penulisan penelitian ini diharapkan dapat membantu jika suatu saat
dihadapkan pada kasus serupa yang berkaitan dengan kewenangan DPR
dalam pengangkatan calon Hakim Agung Pasca Putusan Mahkamah
Kontitusi No. 27/PUU-XI/2013, sehingga dapat dimengerti mengenai
pengaturan-pengaturan yang terdapat didalamnya dan menjadi jalan
keluar untuk menyelesaikan masalah yang terkait dengan hal tersebut di
atas.
6
D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu
Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini, peneliti
menyertakan beberapa hasil penelitian terdahulu sebagai perbandingan
tinjauan kajian materi yang akan dibahas, sebagai berikut:
Skripsi yang disusun oleh Liza Farihah, tahun 2012, yang berjudul
“Analisis Hubungan Komisi Yudisial Dengan Mahkamah Agung Dalam
Rekrutmen Hakim Agung (Studi Kasus Seleksi Calon Hakim Agung Tahun
2012).” Penelitian tersebut menjelaskan tentang Komisi Yudisial dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia, serta hubungan Komisi Yudisial dan
Mahkamah Agung dalam rekrutmen hakim agung dan pelaksanaannya.
Perbedaan skripsi penulis dengan skripsi yang disusun oleh Liza Farihah
terletak pada penelitian yang dilakukan. Skripsi Liza Farihah meneliti tentang
kedudukan Komisi Yudisial dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dan
hubungan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung dalam pengangkatan calon
Hakim Agung sedangkan penulis meniliti kewenangan DPR dalam
pengangkatan calon Hakim Agung dan azas legalitas fit and proper test calon
Hakim Agung oleh DPR pasca putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-
XI/2013.
Skripsi yang disusun oleh Prim Fahru Razi yang berjudul “Sengketa
Kewenangan Pengawasan Antara Mahkamah Agung Dan Komisi Yudisial”.
Perbedaan skripsi peneliti dengan skripsi yang disusun oleh Prim Fahru Razi
terletak pada penelitian yang dilakukan. Skripsi yang disusun oleh Prim
Fahru Razi meneliti tentang sengketa kewenangan antara Komisi Yudisial
7
dan Mahkamah Agung, sedangkan jika dikaitkan dengan skripsi peneliti
dalam hal kewenangan Komisi Yudisial berbeda dalam masalah yang diteliti.
Peneliti meneliti kewenangan Komisi Yudisial dan implikasi terhadap
kewenangan DPR dalam pengangkatan calon Hakim Agung pasca putusan
Mahkamah Kontitusi No. 27/PUU-XI/2013.
Jurnal yang disusun oleh Hendra Mahasiswa Universitas Padjajaran,
yang berjudul Reafirmasi system pemerintahan Presidensial dan Model
Pertanggung jawaban Presidendial dalam perubahan UUD 1945, Penelusuran
sebab dan konsekuensi.Jurnal ini sedikit membahas konsekuensi daripada
reafirmasi system pemerintahan presidensial terhadap kebijakan DPR dalam
pengangkatan calon hakim agung.
E. Metode Penelitian
Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas:
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Ditinjau dari sudut penelitian hukum terdapat dua jenis metode
penelitian, yaitu, penelitian hukum normatif atau kepustakaan dan
penelitian hukum sosiologis atau empiris. Penelitian hukum normatif
yang diteliti hanya bahan pustaka atau data sekunder. Pada penelitian
hukum sosiologis atau empiris yang diteliti adalah data sekunder, untuk
kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer di lapangan
atau terhadap masyarakat.6
6 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum cet ke-3, (Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia, 1942), h. 51.
8
Penulisan skripsi ini, peneliti menggunakan metode penelitian
hukum normatif yaitu suatu penelitian yang ditinjau melalui aspek
hukum, peraturan-peraturan yang kemudian dihubungkan dengan
kenyataan atau praktek yang terjadi di lapangan. Penulis juga mencari
fakta-fakta yang akurat tentang peristiwa konkrit yang menjadi objek
penelitian. Penelitian ini dilakukan dan ditujukan pada peraturan-
peraturan tertulis dan bahan-bahan lain, serta menelaah peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.
Bila dilihat dari sifatnya adalah penelitian deskriptif. Penelitian
deskriptif adalah penelitian yang bertujuan menggambarkan secara tepat
sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk
menentukan frekuensi suatu gejala,7 yang dalam hal ini yaitu
memberikan data mengenai kewenangan DPR dalam pengangkatan calon
Hakim Agung Pasca Putusan Mahkamah Kontitusi No. 27/PUU-
XI/2013.
2. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini, peneliti menggunakan metode pengumpulan data
melalui studi dokumen atau kepustakaan (library research) yaitu dengan
melakukan penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-
buku yang berkaitan dengan Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah
Agung,ilmu perundang-undangan, dan peraturan-peraturan mengenai
7 Sri Mamuji, et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), h. 4.
9
pengangkatan calon Hakim Agung, Putusan Mahkamah Kontitusi No.
27/PUU-XI/2013, pendapat sarjana, surat kabar, artikel, kamus, dan juga
berita dari internet.
3. Pendekatan Penelitian
Penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Pendekatan-
pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah
pendekatan undang-undang (statue approach), pendekatan kasus (case
approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan
komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual
(conceptual approach).8
Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi
dari beberapa aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari
jawabannya. Pada penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan
perundang-undangan (statue approach), pendekatan kasus (case
approach), dan pendekatan historis (historical approach).
a. Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach)
Pendekatan perundang-undangan disini yakni Undang-Undang Dasar
1945, Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah
Agung, Undang-Undang Nomor. 18 Tahun 2011 Tentang Komisi
Yudisial, Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 2011 Tentang Mahkamah
Konstitusi, Undang-Undang Nomor. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR,
DPD, DPRD.
8 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 93.
10
b. Pendekatan Kasus (Case Approach)
Pendekatan kasus disini yakni meneliti kejadian atauperistiwa perihal
pengangkatan calon Hakim Agung.
c. Pendekatan Historis (Historical Approach)
Pendekatan historis ini dengan melihat kembali sejarah
kewenanganDPR dalam pengangkatan calon Hakim Agung.
4. Data dan Sumber Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer, data
sekunder, dan data tersier. Pada umumnya data primer mengandung data
aktual yang didapat dari penelitian lapangan dengan berkomunikasi
dengan anggota-anggota masyarakat dilokasi tempat penelitian
dilakukan. Termasuk didalamnya yaitu buku-buku atau dokumentasi
yang diperoleh peneliti dilapangan, walaupun sifatnya merupakan data
sekunder.9
Data sekunder adalah data-data yang diperoleh peneliti dari
penelitian kepustakaan dan dokumentasi yang merupakan hasil penelitian
dan pengolahan orang lain, yang sudah tersedia dalam bentuk buku-buku
9 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum cet ke-3, (Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia), 1942, h. 65.
11
atau dokumentasi yang biasanya disediakan di perpustakaan atau milik
pribadi peneliti.10
Ciri-ciri umum dari data sekunder adalah:
a. Pada umumnya data sekunder dalam keadaan siap terbuat dan
dapat dipergunakan dengan segera.
b. Baik bentuk maupun isi data sekunder, telah dibentuk dan diisi
oleh peneliti-peneliti terdahulu, sehingga peneliti kemudian
tidak mempunyai pengawasan terhadap pengumpulan,
pengolahan, analisa, maupun konstruksi data.
c. Tidak terbatas oleh waktu maupun tempat.
Data sekunder antara lain mencakup dokumen resmi, buku-buku,
hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, dan
seterusnya.11
Data tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan atas data primer dan sekunder, misalnya
ensiklopedia, kamus, website, atau sumber yang lain yang mencakup
pada pokok permasalahan materi.
5. Metode Pengolahan Dan Analisis Data
Metode pengolahan data dilakukan secara komprehensif tentang
Kewenangan DPR menurut UUD 1945 dengan menganalisis Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-XI/2013yang selanjutnya diteliti
10
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat Cet.3, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), h. 1.
11
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas
Indonesia, 2005), h. 12.
12
dengan pendekatan yang digunakan. Metode analisis data yang
digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode analisis data
kualitatif.
Metode analisis kualitatif adalah bekerja dengan data,
mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat
dikelola, mensintetiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan
apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang
dapat diceritakan kepada orang lain. Dapat ditarik kesimpulan untuk
menjawab permasalahan yang ada.
6. Metode Penulisan
Penyusunan penelitian ini peneliti menggunakan metode penulisan
sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman
Penulisan Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, tahun 2012.
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun menjadi lima bab, masing-masing bab terdiri dari
beberapa sub bab, diawali dengan pendahuluan dan diakhiri dengan
kesimpulan serta saran-saran yang dianggap perlu. Adapun penyusunan
skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I. Pendahuluan.
Bab ini berisi mengenai latar belakang masalah yang akan
menjelaskan alasan pemilihan judul penulisan hukum. Bab
13
ini juga memaparkan pembatasan dan rumusan masalah
yang akan diteliti, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
(review) studi terdahulu, metode penelitian dansistematika
penulisan.
BAB II. Tinjauan Umum Kewenangan DPR Dan Mekanisme
PengangkatanCalon Hakim Agung.
Bab ini akan diuraikan mengenai teori pemisahan
kekuasaan (separation of power), kewenangan DPR dalam
pemerintahan Indonesia, dan mekanisme pengangkatan
calon hakim agung.
BAB III. Landasan Yuridis Pelaksanaan Fit And Proper Test Bagi
Anggota DPR
Bab ini akan diuraikan implikasi hukum putusan Mahkamah
Konstitusi, posisi kasus, dissenting opinion, alasan dan
pertimbangan hukum majelis hakim, dan amar putusan.
BAB IV. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-
Xi/2013 Terhadap Kewenangan DPR Melakukan Fit
And Proper Test
Bab ini berisi pembahasan dan analisa data yang berusaha
dikumpulkan untuk mengkaji secara ilmiah terhadap data
yang telah dikumpul selama penelitian dilakukan, dimana
pada bab ini ditelaah dan dianalisa mengenai fit anda
14
proper test calon Hakim Agung oleh DPR pada tahun 2014
dan kewenangannya Pasca Putusan Mahkamah Kontitusi
No. 27/PUU-XI/2013.
BAB V. Penutup.
Bab ini berisi mengenai kesimpulan yang dapat ditarik yang
mengacu pada hasil penelitian sesuai dengan perumusan
masalah yang telah ditetapkan dan saran-saran yang akan
lahir setelah pelaksanaan penelitian dan pengulasannya
dalam skripsi.
15
BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN
LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT DAN KEKUASAAN KEHAKIMAN
A. Pemisahan Kekuasaan
Teori pemisahan kekuasaan (separation of power), oleh Immanuel
Kant disebut sebagai doktrin Trias Politica yang berarti “Politik Tiga
Serangkai”, doktrin ini mulai terkenal setelah pecahnya Revolusi Prancis
pada tahun 1789, tak lama kemudian orang paham tentang kekuasaan yang
tertumpuk ditangan raja menjadi lenyap.1 Ketika itu timbul gagasan baru
mengenai pemisahan kekuasaan oleh Montesquieu dalam bukunya L‟esprit
Des Lois. Dasar pemikiran Trias Politika sudah pernah dikemukakan oleh
Aristoteles dan kemudian juga pernah dikembangkan oleh Jhon Locke.2
Ciri khas teori pemisahan kekuasaan (separation of power) dalam era
modern saat ini ialah bersifat demokratis, pemerintah yang terbatas
kekuasaannya tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap hukum,
dan warganya. Maka dengan demikian pembatasan atas kekuasaan
pemerintah tercantum dalam konstitusi, pemerintahan yang berdasarkan
konstitusi (constitutional government) sama dengan limited government atau
restrained goverment (pemerintahan dengan kekuasaan yang terbatas).
1 C.S.T. Kansil dan Christine S.T Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia,
Cet. I, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2008). h. 74-75.
2 Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat; Kajian Sejarah Perkembangan
Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, Cet. Ke-2, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Nusantara, 2004), h. 200-203.
16
Dalam teori ini ada beberapa istilah yang banyak menjadi perdebatan
para ilmuan, yang berhubungan erat dengan pemisahan kekuasaan
(separation of power) adalah distribusi kekuasaan (distribution of power) dan
penempatan (division of power) yang dalam arti sekilas tampak mirip,
Soepomo misalnya menegaskan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin
trias politica dalam arti paham pemisahan kekuasaan (separation of power),
ala Montesquieu, melainkan menganut sistim pembagian kekuasaan
(distribution of power).3Separation of power oleh O. Hood Phillips dan yang
lainnya diartikan sebagai the distribution of the various power of government
among different organs. Dengan kata lain separation of power diidentikkan
dengan distribution of power, oleh karena itu, istilah tersebut dapat
dipertukarkan maknanya satu sama lain. Misalnya Arthur Mass,
menggunakan istilah division of power sebagai genus yang terbagi menjadi
capital division of power dan territorial division of power.4Tentu alasan
mengapa kekuasaan itu harus dipisahkan satu sama lain agar tidak tercipta
pemerintahan sewenang-wenang, hal ini jugadikatakan oleh sejarawan
inggris, Lord Acton dengan dalilnya “Power tends corrupt, but absolute
power corrupt absolutly”.5 Karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi
dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang
3 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Jilid II, (Jakarta: Seketariat Jendral dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 23.
4Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Jilid II.h. 19-20.
5 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. Ke-6, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2013), h. 107.
17
bersifat „checks and balances‟ dalam kedudukan yang sederajat dan saling
mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga
dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan ke dalam beberapa organ yang
tersusun secara vertikal. Dengan begitu, kekuasaan tidak tersentralisasi dan
terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan
terjadinya kesewenang-wenangan.6
Dengan begitu, ajaran ini bukan lagi ajaran yang baru, bagi
Montesquieu secara garis besar pemisahan kekuasaan sebagai berikut :
Pertama, terciptanya masyarakat yang bebas. Keinginan seperti ini muncul
karena Montesquieu hidup dalam kondisi sosial dan politik yang tertekan
dibawah kekuasaan Raja Lodewijk XIV yang memerintah secara absolut.
Kedua, jalan untuk mencapai masyarakat yang bebas adalah pemisahan antara
kekuasaan legislatif dengan kekuasaan eksekutif. Montesquieu tidak
membenarkan jika kedua fungsi berada di satu orang atau badan karena
dikhawatirkan akan melaksanakan pemerintahan tirani. Ketiga, kekuasaan
yudisial harus dipisah dengan fungsi legislatif. Hal ini dimaksudkan agar
hakim dapat bertindak secara bebas dalam memeriksa dan memutus perkara.7
Ketiga kekuasaan tersebut, menurut Monstesquieu, harus terpisah satu
sama lain, mulai dari fungsi maupun mengenai alat perlengkapannya.
6 Jimly Asshiddiqie, Konsep Negara Hukum, dalam (Artikel Hukum) “Gagasan
Hukum Indonesia”, (www.docudesk.com), h. 10.
7 Suwoto Mulyosudarmo, Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik
Indonesia (Suatu Penelitian Segi-Segi Teoritik dan Yuridik Pertanggung Jawaban
Kekuasaan), (Surabaya: Disertasi Doktor Pascasarjana Universitas Airlangga, 1990), h. 58-
59.
18
Pendapat tersebut tentu berbeda dengan Jhon Locke yang memasukan
kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif. Montesquieu memandang
kekuasaan yudikatif harus berdiri sendiri karena kekuasaan tersebut
dianggapnya sangat penting. Pemikirannya seperti itu tidak bisa dilepaskan
dari pengalamannya menjadi hakim, dimana kekuasaan yudikatif sangat
berbeda dengan kekuasaan eksekutif. Sebaliknya oleh Montesquieu,
kekuasaan hubungan luar negeri yang disebut oleh Jhon Locke “federatif”
dimasukkannya kedalam kekuasaan eksekutif. 8
Menurut C. F.Strong, fenomena pembagian pembagian kekuasaan
seperti itu dikarenakan adanya proses normal dari spesialisasi fungsi.
Fenomena ini bisa diamati pada semua bidang pemikiran dan tindakan yang
disebabkan peradaban bergerak semakin maju, bertambahnya bidang aktifitas,
dan karena organ-organ pemerintahan menjadi semakin kompleks.9 Strong
melihat pada mulanya raja adalah pembuat dan pelaksana undang-undang,
disamping ia juga bertidak sebagai hakim. Namun dalam perkembangannya
tidak dapat dihindari tumbuhnya tendensi untuk mendelegasikan kekuasaan-
kekuasaan tesebut sehingga menghasilkan adanya pembagian kekuasaan.10
8 Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara, Cet. Ke-2, (Jakarta: Aksara Baru,
1978), h. 6.
9 Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan
UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju,Cet ke-1,(Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2009), h. 12. 10
Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan
UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju,Cet ke-1, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2009), h. 12.
19
Tapi dari hal yang benang merah dari teori ini, lebih tepat untuk
memakai pendekatan G. Marshall, yang membedakan ciri-ciri doktrin
pemisahan kekuasaan (separation of power) kedalam lima aspek, yaitu :
1) Differentiation
2) Legal incompatibility of office holding
3) Isolation, imunity, independence
4) Check and balances
5) Co-ordinate status and lack of accountability.
Pertama, doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power)itu
bersifat membedakan fungsi-fungsi kekuasaan legislatif, eksekutif, dan
yudisial. Legislator membuat aturan, eksekutor melaksanakannya, sedangkan
pengadilan menilai konflik yang terjadi dalam pelaksanaan aturan itu dan
menerapkan norma aturan itu untuk menyelesaikan konflik atau perselisihan.
Kedua, doktrin pemisahan kekuasaan menghendaki orang yang menduduki
lembaga legislatif tidak boleh merangkap jabatan diluar cabang legislatif.
Meskipun demikian dalam praktek sistem pemerintahan parlemen, hal ini
tidak diterapkan secara konsisten. Para menteri pemerintahan cabinet di
Inggris justru dipersyaratkan harus berasal dari mereka yang duduk sebagai
anggota parlemen.
Ketiga, doktrin pemisahan kekuasaan juga menentukan bahwa
masing-masing organ tidak boleh turut campur atau melakukan intervensi
terhadap organ yang lain dengan demikian independensi masing-masing
20
cabang dapat terjamin dengan sebaik-baiknya. Keempat, dalam doktrin
pemisahan kekuasaan itu, juga paling penting adalah adanya prinsip check
and balances, dimana setiap cabang mengendalikan dan mengimbangi
kekuatan cabang-cabang kekuasaan lain. Dengan adanya perimbangan yang
saling mengendalikan tersebut, diharapkan agar tidak terjadi penyalahgunaan
kekuasaan dimasing-masing organ yang bersifat independen itu. Kelima,
adalah prinsip ko-ordinasi dan kesederajatan, yaitu semua (organ) atau
lembaga tinggi negara yang menjalankan fingsi legislatif, eksekutif dan
yudisial mempunya kedudukan sederajat dan mempunya hubungan yang
bersifat co-ordinatif, tidak bersifat sub-ordinatif satu dengan yang lainnya.11
Maka dari tiap-tiap pembagian kekuasaan tersebut harus ada hukum yang
mengatur secara detil agar kedudukan dan kekuasaannya tidak tumpang-
tindih dan saling mengintervensi antara satu dengan yang lain.
B. Lembaga Perwakilan Rakyat Di Indonesia
Secara umum, seringkali terjadi percampuran dalam menggunakan
istilah “bentuk pemerintahan” dan “sistem pemerintahan”. Padahal dalam
ilmu negara, kedua istilah tersebut mempunyai perbedaan mendasar. Menurut
Hans Kelsen, dalam teori politik klasik, bentuk pemerintahan diklasifikasikan
menjadi monarki dan republik.12
Dikatakan oleh Kurnardi dan Harmaily
Ibrahim, paham L. Duguit dalam buku “Traite‟ de Droit Constitutionel”
(1923) lebih lazim untuk membedakan kedua bentuk tersebut. Selanjutnya
11
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Jilid II, h. 21-22. 12
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Jilid II,h. 75.
21
dijelaskan, jika kepala negara diangkat berdasarkan hak waris atau keturunan
maka disebut dengan monarki. Sedangkan jika kepala negara dipilih melalui
pemilihan umum untuk masa jabatan tertentu maka bentuk negaranya disebut
republik.13
Sementara itu dalam ilmu negara umum (algemeine staatslehre) yang
dimaksud dengan sistem pemerintahan ialah sistem hukum ketatanegaraan,
baik yang berbentuk monarki maupun republik, yaitu mengenai hubungan
antarpemerintah dan badan yang mewakili rakyat. Ditambahkan Mahfud,
sistem pemerintahan dipahami sebagai suatu sistem hubungan tata kerja
antarlembaga-lembaga negara.14
Usep Ranawijaya menegaskan bahwa sistem
pemerintahan merupakan sistem hubungan antara eksekutif dan legislatif.15
Kekuasaan membuat undang-undang harus terletak dalam suatu badan
yang berhak khusus untuk itu. Jika penyusunan undang-undang tidak
diletakkan pada suatu badan tertentu, maka mungkinlah tiap golongan atau
tiap orang mengadakan undang-undang demi kepentingannya sendiri. Di
dalam negara demokrasi yang peraturan perundangang-undangan harus
berdasarkan kedaulatan rakyat, maka badan perwakilan rakyat yang harus
13
Kurnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet.
Ke-7, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
1980), h. 166.
14
Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta:
UII Press, 1993), h. 83.
15
Usep Ranawijaya, Hukum Tata Negara Indonesia: Dasar-Dasarnya, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1983), h. 72.
22
dianggap sebagai badan yang mempunyai kekuasaan tertinggi untuk
menyusun undang-undang ialah yang dinamakan “legislatif”. Legislatif ini
adalah yang terpenting sekali dalam susunan kenegaraan, karena undang-
undang adalah ibarat tiang yang menegakkan hidup perumahan negara dan
sebagai alat yang menajdi pedoman hidup bagi masyarakat dan negara.16
Sebagai bahan pembentuk undang-undang maka legislatif itu hanyalah
berhak untuk mengadakan undang-undang saja, tidak boleh
melaksanakannya. Untuk menjalankan undang-undang itu haruslah
diserahkan kepada suatu badan lain. Kekuasaan untuk melaksanakan undang-
undang adalah “eksekutif”. Perubahan UUD 1945 membawa perubahan yang
cukup mendasar mengenai sistem perwakilan dalam ketatanegaraan
Indonesia. Paling tidak ada tiga aspek mendasar mengenai lembaga
perwakilan rakyat setelah perubahan UUD 1945, yaitu : mengenai struktur
kelembagaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, fungsi dan
kewenangannya serta pengisian anggota lembaga perwakilan.
Ada tiga lembaga perwakilan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan
Dewan Perwakilan Daerah. MPR memiliki fungsi yang sama sekali berbeda
dengan DPR dan DPD, sedangkan DPR dan DPD memiliki fungsi yang
hampir sama, hanya saja DPD memiliki fungsi dan peran yang sangat
terbatas.
16
C.S.T. Kansil dan Christine S.T Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia,
Cet. Pertama, (Jakarta, PT Rineka Cipta, 2008). h. 75.
23
Jika dilihat dari jumlah lembaga perwakilan rakyat maka sistem
perwakilan yang dianut bukanlah sistem bikameral karena ada tiga lembaga
perwakilan rakyat. Sedangkan jika hanya melihat DPR dan DPD maka kedua
lembaga perwakilan ini merupakan bentuk sistem bikameral akan tetapi
bukanlah sistem bikameral yang murni (strong bicameral). Menurut peneliti,
sistem perwakilan Indonesia menganut sistem Trikameral, dimana ada tiga
lembaga tinggi Negara selain DPR dan DPD yaitu MPR, yang mana
mempunyai peranan dan fungsi yang berbeda dengan DPR dan DPD, yaitu
melakukan amandemen terhadap Undang-undang Dasar 1945. Keanggotaan
DPR adalah representasi rakyat diseluruh Indonesia secara proporsional
melalui partai politik (political representation) dan DPD sebagai representasi
dari daerah (daerah provinsi) dari seluruh Indonesia (regional representation)
memiliki posisi yang sama sebagaimana tercermin dari jumlah anggota DPD
yang sama banyaknya dari setiap provinsi.
Selanjutnya sebagaimana pasal 20A UUD 1945 kedudukan lembaga
ini adalah kuat, dewan ini tidak bisa dibubarkan dan/atau dibekukan oleh
Presiden (berlainan dengan sistem parlementer). Oleh karena itu Dewan
Perwakilan Rakyat dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden,
dan jika Dewan menganggap bahwa Presiden sungguh-sungguh melanggar
haluan negara yang telah ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Majelis dapat diundang untuk persidangan istimewa supaya bisa meminta
24
pertanggungjawaban Presiden.17
Seperti tertuangdalam pasal 7A UUD 1945
bahwa “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalammasa
jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan
Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum
berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan tindakan pidana
berat lainny, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi
memenuhi syarat Presiden dan Wakil Presiden”.
Selanjutnya sebagai wujud dari mekanisme check and balances antara
DPR dengan Presiden dalam beberapa pasal berikut ini diatur perihal terkait
dengan fungsi pengawasan DPR terhadap Presiden :
1. Pasal 11 ayat (1) Presiden dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian
dan perjanjian dengan negara lain.
2. Pasal 11 ayat (2) Presiden dalam mebuat perjanjian
internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau
pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.
3. Pasal 13 ayat (2) dalamhal mengangkat Duta, presiden
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
17
B.N. Marbun, DPRI-RI : Pertumbuhan dan Cara Kerjanya, (Jakarta: Pustaka
Pelajar,2004), h. 189.
25
4. Pasal 13 ayat (3) Presiden meneriman penempatan duta negara
lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan
Rakyat.
5. Pasal 14 ayat (2) Presiden memberi amnesti18
dan abolisi19
dengan mempertimbangkan keputusan DPR.
Secara umum, dapat dipahami oleh masyrakat bahwa fungsi DPR
meliputi fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi budgeting, diantara
ketiga fungsi itu, yang paling pokok adalah inisiatif pembuatan undang-
undang. DPR juga dilengkapi dengan Hak sebagai anggota DPR yang diatur
dalam pasal 20A, berbunyi sebagai berikut :
1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi
anggaran, dan fungsi pengawasan.
2) Dalam hal melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam
pasal-pasal lain undang-undang dasar ini, Dewan Perwakilan
18
Amnesti adalah hak kepala negara untuk memberikan pengampunan, artinya tidak
memberlakukan proses hukum terhadap warga negara yang telah melakukan kesalahan pada
negara sepertipemberontakan bersenjatamelawan pemerintahan yang sah untuk melepaskan
diri dari negara, atau mendirikan negara baru secara sepihak, atau terhadap gerakan politik
untuk menggulingkankekuasaan negara yang sah (kudeta, coup d‟etat). Amnesti umumnya
diberlakukan untuk kasusbernuansa politik dan oleh karenanya umumnya bersifat masal
(amnesti umum). Lihat Mexsasai Indra, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung:
PT Refika Aditama, 2011), h. 139.
19
Abolisi adalah hak kepala negara untuk meniadakan putusan hukum atau
meniadakan proses hukum. Melalui abolisi putusan atau proses hukum dianggap tidak pernak
ada atau tidak pernah terjadi. Lihat Mexsasai, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, h.
140.
26
Rakyat mempunyai hak interpelasi (meminta keterangan), hak
angket20
, dan hak menyatakan pendapat.
3) Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-undang
Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai
hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul21
dan pendapat
serta imunitas.
4) Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan
hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-
undang.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjadikan DPR berfungsi secara
optimal sebagai lembaga perwakilan rayat sekaligus memperkokoh
pelaksanaan checks and balances oleh DPR. Akan tetapi perubahan ini justru
telah menggeser executive heavy kearah legislative heavy sehingga terkesan
bukan keseimbangan yang dituju melalui perubahan UUD 1945, tetapi DPR
ingin memusatkan kekuasaan ditangannya.22
20
Hak angket adalah, hak mengadakan penyelidikan dalam peristilahan DPR biasa
disebut hak angket “enquete” yakni hak DPR untuk mengajukan usul penyelidikan mengenai
sesuatu hal sesuai ketentuan undang-undang. Syarat mengajukan hak ini adalah diajukan oleh
sejumlah anggota DPR sesuai dengan ketentuan undang-undang. Lihat B.N. Marbun, DPR-RI
: Pertumbuhan dan Cara Kerjanya, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 208.
21
Hak usul adalah hak inisiatif mengajukan Rancangan Undang-undang dalam B.N.
Marbun, DPRI-RI : Pertumbuhan dan Cara Kerjanya, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h.
214.
22
Ni‟matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi Revisi, Cet. Ke-5, (Jakarta:
PT. Rajagrafindo Persada, 2010), h. 171-172.
27
C. Kekuasaan Kehakiman
Pasal 24 ayat (1)Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa
“kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.Selain
itu menurut Pasal 24 ayat (2) menyebutkan bahwa “kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan
oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Pada saat yang sama dimasukkan
ketentuan baru ke dalam pasal 24B yakni tentang Komisi Yudisial yang
dituangkan di dalam empat ayat. Mahkamah Konstitusi dimunculkan sebagai
lembaga negara dengan hak melakukan pengujian (judicial review, atau lebih
spesifik melakukan constitusional review) UU terhadap UUD serta tugas
khusus lain yaitu forum prevelegiatum atau peradilan khusus untuk memutus
pendapat DPR bahwa Presiden/Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat
serta memutus pendapat DPR bahwa DPR telah melanggar hal-hal tertentu
yang disebutkan di dalam UUD sehingga dapat diproses untuk
diberhentikan.23
Mahkamah Konstitusi juga memutus sengketa kewenangan antar
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus
pembubaran parpol, dan memutus sengketa hasil pemilu. Sedangkan
23
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi, Cet, ke-2 , (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 119.
28
Mahkamah Agung mengadili perkara-perkara peraturan perundang-undangan
di bawah UU terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.24
Sebagai badan penyelenggara negara, susunan kekuasaan kehakiman berbeda
dengan susunan badan penyelenggara negara yang lain. Kekuasaan
kehakiman terdiri atas kekuasaan kehakiman tertinggi dan kekuasaan
kehakiman tingkatan lebih rendah. Selain itu pengembangan juga dilakukan
dengan di dalam lembaga kehakiman, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi ditambah dengan lembaganegara mandiri (state auxiliary
institution) Komisi Yudisial.25
Sedangkan badan penyelenggara negara yang
lain hanya terdiri atas satu susunan. Tidak ada susunan badan MPR, DPR,
Presiden dan BPK, tingkatan yang lebih rendah.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah
mengintroduksi suatu lembaga baru yang dibentuk pada tahun 2004,
berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu Komisi
Yudisial. Komisi Yudisial ditentukan dalam Pasal 24B UUD 1945, sebagai
berikut:
1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim.
24
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca. h. 120.
25
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca. h. 121.
29
2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan
pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela.
3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur
dengan undang-undang.
Implementasi Pasal 24B UUD 1945, yaitu diundangkannya Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial. Komisi Yudisial
mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman
yang merdeka melalui pencalonan hakim agung, serta pengawasan terhadap
hakim yang transparan dan partisipatif guna menegakkan kehormatan dan
keluhuran martabat, serta menjaga perilaku hakim. Disebutkan dalam pasal 2
UU No. 18 Tahun 2011 bahwa “Komisi Yudisial merupakan lembaga negara
yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari
campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya”.
Selanjutnya pasal 13 UU No. 18 Tahun 2011 menyebutkan bahwa
“Komisi Yudisial mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan Hakim
Agung kepada DPR, dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat,
serta menjaga perilaku hakim”. Dari rincian fungsi masing-masing lembaga
tersebut di atas dapat terlihat bahwa hubungan di antara Presiden, DPR dan
Mahkamah Agung, dikembangkan secara seimbang melalui mekanisme
„checks and balances‟. Melalui mekanisme „checks and balances‟ tersebut,
30
ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan judisial yang tercermin
dalam tiga lembaga tersebut dapat saling mengendalikan dan saling
mengimbangi, sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan di antara satu
sama lain. Menurut Jimly Asshiddiqie, maksud dibentuknya Komisi Yudisial
dalam struktur kekuasaan Kehakiman Indonesia adalah agar warga
masyarakat diluar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam
proses pengangkatan, penilaian kinerja, dan kemungkinan pemberhentian
hakim.26
Kekuasaan kehakiman yang dijalankan oleh Mahkamah Agung
bersama-sama badan-badan peradilan yang berada di bawahnya, Mahkamah
Agung di Indonesia merupakan kelanjutan dari ”Het hooggerechts hof for
Indonesie”, (Mahkamah Agung Pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia)
yang didirikan berdasarkan RO tahun 1842.27
Tugas dan fungsi yang
diberikan kepada Mahkamah Agung berdasarkan UU No. 3 tahun 2009
danperaturan perundang-undangan lainnya yang berlaku saat ini ialah :
a. Tugas Judisiil, yaitu tugas untuk menyelenggarakan peradilan yang
meliputi :
1) Memeriksa dan memutuskan perkara kasasi;
2) Sengketa Yudisdiksi;
26
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pascareformasi, (Jakarta: Sekretaris Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006).
27 A. Mukti Arto, Konsepsi Ideal Mahkamah Agung, Cet-I, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001), h. 181.
31
3) Permohonan peninjauan kembali putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. Tugas judicial review terhadap peraturan perundang-undang di bawah
undang-undang.
c. Tugas pengawasan terhadap pengadilan di bawahnya.
d. Tugas penasihatan.
e. Tugas lain yang diberikan berdasarkan Undang-undang.28
Mahkamah Agung berfungsi sebagai kekuasaan untuk memeriksa dan
mengadili serta memberikan putusan atas perkara-perkara yang diserahkan
kepadanya untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung dan dalam
ketetapan MPR RI NO. III/MPR/1978 pada pasal 11 terdapat suatu ketentuan
yang berisi pelimpahan kekuasaan/wewenang dari MPR kepada Mahkamah
Agung. Pasal ini berisi empat poin, yaitu :
1. Mahkamah Agung adalah Badan pelaksana kekuasaan kehakiman
yang merdeka terlepas dari pengaruh kakuasaan pemerintah
danpengaruh-pengaruh lainnya.
2. Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan hukum
kepada lembaga tinggi negara lainnya.
3. Mahkamah Agung memberikan nasihat hukum kepada Presiden
dalam pemberian/penolakan grasi.
28
A. Mukti Arto, Konsepsi Ideal Mahkamah Agung, Cet-I, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001), h. 181.
32
4. Mahkamah Agung berwenang menguji secara materiil hanya
terhadap peraturan-peraturan perundang-undangan.29
Badan yang memegang kekuasaan kehakiman dan peradilan ini harus
dapat bekerja dengan baik dalam tugas-tugasnya, sehingga dihasilkan
putusan-putusan yang objektif dan tidak memihak dengan senantiasa
menjunjung tinggi hukum dan keadilan. Karenanya badan ini harus bebas dari
pengaruh kekuasaan lain atau pengaruh kekuasaan pemerintahan.
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, terlepas
dari pengaruh kekuasaan pemerintah, seperti dikehendaki Pasal 24 UUD
1945.30
Hal ini berarti, kekuasaan kehakiman yang merdeka atau
independensi kekuasaan kehakiman, telah diatur secara konstitusional dalam
UUD 1945. Dari konsep negara hukum seperti yang digariskan oleh
konstitusi, maka dalam rangka melaksanakan Pasal 24 UUD 1945, harus
secara tegas melarang kekuasaan eksekutif dan legislatif untuk membatasi
atau mengurangi wewenang kekuasaan kehakiman yang merdeka yang telah
dijamin oleh konstitusi tersebut. Dengan demikian kekuasaan kehakiman
yang merdeka sebagai upaya untuk menjamin dan melindungi kebebasan
29
A. Mukti Arto, Konsepsi Ideal Mahkamah Agung, Cet-Pertama, (Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2001), h. 184.
30
Banyak yang menafsirkan bahwa dalam perkataan merdeka dan terlepasdari
„pengaruh‟ kekuasaan pemerintah itu, terkandung pengertian yang bersifat fungsional dan
sekaligus institusional. Tetapi, ada yang hanya membatasi pengertian perkataan itu secara
fungsional saja, yaitu bahwa kekuasaan pemerintah tidak boleh melakukan intervensi yang
bersifat mempengaruhi jalannya proses pengambilan keputusan dalam penyelesaian perkara
yang dihadapi oleh hakim.
33
rakyat dari kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari pemerintah dan
DPR.
Seorang anggota DPR mengemukakan dengan tepat dalam perdebatan
akhir tahun 1960-an bahwa hanya ada dua pilihan bagi Mahkamah Agung
dalam organisasi yudisial : “bisa menjadi piramida menara, atau malah
sebuah menara dari sekian menara”. Pengibaratan yang pertama menunjuk
pada sebuah struktur dimana Mahkamah Agung berfungsi sebagai pengadilan
tertinggi bagi semua pengadilan. Sedangkan ibarat yang kedua membatasi
fungsi yudisialnya hanya pada pengadilan umum, kurang lebihnya mengikuti
sistem kolonial.31
Untuk memahami asas kekuasaan kehakiman yang merdeka, tidak
terlepas dari doktrin Montesquieu mengenai tujuan dan perlunya „pemisahan‟
kekuasaan, yaitu untuk menjamin adanya dan terlaksananya kebebasan politik
anggota masyarakat negara. Montesquieu memberikan artike bebasan
politiksebagai“a tranquility of mind arising from the opinion each person has
of his safety. In order to have this liberty, it is requisite the government be so
constituted as one man need not be afraid of another”.32
Kebebasan politik
ditandai adanya rasa tenteram, karena setiap orang merasa dijamin
keamanannya atau keselamatannya. Untuk mewujudkan kebebasan politik
tersebut maka badan pemerintahan harus ditata sedemikian rupa agar orang
31
Sebastian Pompe, Runtuhnya Instirusi Mahkamah Agung,Cet-I, (Jakarta: Lembaga
Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, 2012), h. 262.
32
Montesquieu, The Spirit of the Law, translated by Thomas Nugent, (New York:
Hafner Press, 1949), h.151; lihat pula Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Republik
Indonesia, (Bandung: LPPM-UNISBA, 1995), h. 3.
34
tidak merasa takut padanya, seperti halnya setiap orang tidak merasa takut
terhadap orang lain di sekitarnya.
Penataan badan negara atau pemerintahan yang akan menjamin
kebebasan tersebut, menurut Montesquieu dilakukan dengan cara pemisahan
badan pemerintahan ke dalam tiga cabang kekuasaan. Tanpa pemisahan itu,
maka tidak akan ada kebebasan. Dikemukakan oleh Montesquieu dalam „The
Spirit of The Laws‟ dalam pembenaran doktrin pemisahan kekuasaan
(separation of power), bahwa: “When the legislative and executive powers
are united in the same person, or in the same body of magistrates, there can
be no liberty; because apprehensions may arise; lest the same monarch or
senate should enact tyranical laws, to execute than in a tyranical manner.
Again, there is no liberty, if the judiciary power be not separated from the
legislative and executive. Were it joined with the legislative, the live and
liberty of the subject would be exposed to arbitrary control; for the judge
would be then the legislator. Were it joined to executive power, the judge
might behave with violence and oppression. There would be an end of
everything, were to some man, or the somebody, weather of the nobbles or of
the people, to the exercise those three powers, that of enacting laws, that of
executing the public resolution and of trying the causes of individuals”.33
33
Montesquieu, The Spirit of the Law, translated by Thomas Nugent, (New York:
Hafner Press, 1949), h.174, lihat pula Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah
Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: 1997), h. 77 ; Lihat pula Judith N. Skhlar,
Montesquieu, (Oxford: Oxford University Press, 1986) terjemah Angelina S. Maran,
Montesquieu Penggagas Trias Politica, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1996) ; lihat pula
Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, (Bandung: LPPM-UNISBA,
1995), h. 2-3.
35
Apabila kekuasaan kehakiman digabungkan dengan kekuasaan
legislatif, maka kehidupan dan kebebasan seseorang akan berada dalam suatu
kendali yang dilakukan secara sewenang-wenang. Di lain pihak, kalau
kekuasaan kehakiman bersatu dengan kekuasaan eksekutif, maka hakim
mungkin akan selalu bertindak semena-mena dan menindas. Dengan
demikian, ditinjau dari ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power),
kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan bagian dari upaya untuk
menjamin kebebasan dan mencegah kesewenang-wenangan.
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia tidak dianut ajaran pemisahan
kekuasaan (separation of power) „Trias Politica‟ seperti yang dikemukakan
oleh Montesquieu. Tetapi dengan perubahan UUD 1945 dapat dikatakan
bahwa Indonesia sedang membangun doktrin hukum mengenai pemisahan
kekuasaan (separation of powers) dan kewenangan masing-masing kekuasaan
dimungkinkan adanya pengawasan (check) terhadap kewenangan kekuasaan
lainnya sehingga dapat saling mengimbangi dalam kesetaraan dan
kesederajatan, agar tercipta harmonisasi kekuasaan (harmonization of
powers) berada dalam keseimbangan (balances), atau „check and balances
among of powers‟, untuk mencegah timbulnya kesewenang-wenangan atau
penyalahgunaan kekuasaan.34
Dalam membangun doktrin-doktrin hukum sedemikian ini, dapat
dikatakan sebagai inti dari keseluruhan reformasi berbagai bidang di
34
Kenneth J. Meier, Politics And The Bureaucracy, Policymaking in the Fourth
Branch of Government, (California: Belmont, Duxbury Press, 1979), h. 18-19.
36
Indonesia.35
Dengan konsep check and balances dimungkinkan adanya
pengawasan dari satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya di antara
cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudisial, sehingga dapat
saling mengimbangi dalam kesetaraan dan kesederajatan demi tercapainya
harmonisasi kekuasaan berada dalam keseimbangan untuk mencegah
kesewenang-wenangan atau penyalahgunaan kekuasaan. Doktrin-doktrin
hukum dalam keseluruhan reformasi tersebut, kemudian memunculkan
pemikiran penggunaan konsep check and balances,berkenaan dengan
kewenangan pengawasan terhadap kekuasaan kehakiman.
Kekuasaan kehakiman yang merdeka dapat dikatakan sebagai suatu
refleksi dari„Universal Declaration of Human Rights‟, dan„International
Covenant on Civil and Political Rights‟,36
yang di dalamnya diatur
mengenai“independent and impartial judiciary“. Di dalam Universal
Declaration of Human Rights, dinyatakan dalam Article 10,“Every one is
entitled in full equality to a fair and public hearing by in independent and
impartial tribunal in the determination of his rights and obligations and of
any criminal charge against him”. Setiap orang berhak dalam persamaan
sepenuhnya didengar kansuaranya di muka umum dan secara adil oleh
35
Jimly Asshiddiqie, Kekuasaan Kehakiman Di Masa Depan, Makalah Seminar,
Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat, (Jakarta: 2000) ; lihat pula Jimly
Asshiddiqie, Reformasi Menuju Indonesia Baru: Agenda Restrukturisasi Organisasi Negara,
Pembaruan Hukum Dan Keberdayaan Masyarakat Madani, Makalah Kongres Mahasiswa
Indonesia Sedunia, (Chicago, Amerika Serikat: 2000).
36
Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, (Jakarta: Erlangga, 1980), h.
251; International Covenant on Civil and Political Rights, Adopted and opened for signature,
ratification and accession by General Assembly resolution 2200 A (XXI) of 16 December
1966, Entry Into Force: 23rd
March 1976, inaccordance with Article 49.
37
pengadilan yang merdeka dan tidak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak
dan kewajibannya dan dalam setiap tuntutan pidana yang ditujukan
kepadanya. Di dalam International Covenant on Civil and Political Rights,
dalam Article 14 dinyatakan, “… in the determination of any criminal charge
against him, or of his rights and obligations in a suit at law, everyone shall
be entitled to a fair and public hearing by a competent, independent and
impartial tribunal established by law”.
Unsur-unsur yang dapat ditarik dari rumusan di atas yakni
menghendaki: (i) adanya suatu peradilan (tribunal) yang ditetapkan oleh
suatu perundang-undangan; (ii) peradilan itu
harus independent, tidak memihak (impartial) dan competent;
dan (iii) peradilan diselenggarakan secara jujur (fair trial) dan pemeriksaan
sec araterbuka(public hearing). Semua unsur-unsur tersebut tercantum dalam
penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 sebelum perubahan dan
diimplementasikan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo.
Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999, seperti telah dicabut dan digantikan
dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, dan diganti lagi dengan
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, dikatakan oleh
Russell dalam„Toward a General Theory of Judicial Independence‟: “A
theory of judicial independence that is realistic and analytically useful cannot
38
be concerned with every inside and outside influence on judges”.37
Dalam hal
hakim yang bebas dalam proses peradilan, menurutKelsen: “The judges are,
for instance, ordinarily „independent‟ that is, they are subject only to the laws
and not to the orders (instructions) of superior judicial or administrative
organs”.38
Dalam proses peradilan hakim hanya tunduk kepada hukum dan
tidak tunduk kepada perintah atau instruksi dari organ yudisial atau
administratif yang lebih tinggi. Betapa pentingnya kekuasaan kehakiman,
Harold J. Laski dalam“Elements of Politics” mengemukakan, “Certainly no
man can over estimate the importance of the mechanism of justice”. 39
Dalam
kaitannya kekuasaan kehakiman yang merdeka, Scheltema dalam „De
Rechtsstaat‟, mengemukakan: “Beslissing van rechtsgeschillen door en
onafhankelijkerechter is de basis vooreengoed functionerendrechts system.
Wil men ookgaranderendat de overheidzichhoudtaan het geldenderecht,
danzalonafhankelijkerechter over klachten van burgers dienaangaandem
oetenoordelen. Aandezeeiswordt in onsvoldaan.”40
37
Russell, Peter H., and David M. O‟Brien, Judicial Independence In The Age Of
Democracy, Critical perspectives from around the world, (Toronto: Constitutionalism &
Democracy Series, McGraw-Hill, 1985), h. 12.
38
Hans Kelsen, General Theory of Law And State, translated by Anders Wedberg,
(New York: Russell & Russell A Division of Atheneum Publishers, 1961), h. 275.
39
Harold J. Laski, AGrammar of Politics, (London: George, Allen & Unwin Ltd,
1957), h. 541 ; dalam Soerjono Soekanto dan R. Otje Salman, Disiplin Hukum dan Disiplin
Sosial, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 113-114; lihat pula Wirjono Prodjodikoro,
Asas-asas Ilmu Negara dan Politik, (Bandung: Eresco, 1981), h. 89-90.
40
M. Scheltema, De Rechtsstaat, dalam J.W.M. Engels (et al), De Rechtsstaat
Herdacht, (Zwolle: Tjeen Willink, 1989) h. 17; dalam Bagir Manan, 1995, Op.Cit., h. 5-6.
39
Dalam penyelesaian sengketa hukum oleh suatu kekuasaan kehakiman
yang merdeka (hakim yang bebas), merupakan dasar bagi berfungsinya
sistem hukum dengan baik. Dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka,
setiap orang akan mendapat jaminan bahwa pemerintah akan bertindak sesuai
dengan hukum yang berlaku, dan dengan hanya berdasarkan hukum yang
berlaku itu kekuasaan kehakiman yang merdeka bebas memutus suatu
perkara.
Di Indonesia kekuasaan kehakiman diatur dalam berbagai undang-
undang sesuai dengan lingkungan peradilan masing-masing. Berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, dalam Pasal 1 Undang-undang
Nomor 48 tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman, memberikan batasan
mengenai ruang lingkup „merdeka‟, yaitu bahwa kekuasaan kehakiman
adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi
terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Kebebasan dalam
melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak, karena tugas hakim
adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila,
sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.
Kekuasaan kehakiman yang merdeka bukan berarti bahwa kekuasaan
kehakiman dapat dilaksanakan sebebas-bebasnya tanpa rambu-rambu
pengawasan, oleh karena dalam aspek beracara di pengadilan dikenal adanya
asas umum untuk berperkara yang baik (general principles of proper
40
justice),41
dan peraturan-peraturan yang bersifat prosedural atau hukum acara
yang membuka kemungkinan diajukannya berbagai upaya hukum. Dengan
demikian dalam hal fungsi kehakiman adalah keseluruhan rangkaian kegiatan
berupa mengadili suatu perkara sengketa yang individual konkret dan dalam
kaitannya dengan konsep kekuasaan kehakiman yang merdeka, yang dalam
konteks hukum meliputi wewenang, otoritas, hak dan kewajiban, maka
kekuasaan kehakiman dapat diartikan sebagai kekuasaan, hak dan kewajiban
untuk menentukan apa dan bagaimana norma hukum terhadap kasus konflik-
individual-konkret yang diajukan kepadanya, maka kekuasaan kehakiman
terikat pada peraturan-peraturan yang bersifat prosedural yang disebut
Hukum Acara.
Kekuasaan kehakiman yang merdeka yaitu terwujud dalam kebebasan
hakim dalam proses peradilan, dan kebebasan hakim dalam menjalankan
kewenangannya ini, ada rambu-rambu aturan hukum formal dan hukum
material, serta norma-norma tidak tertulis yang disebut asas umum
penyelenggaraan peradilan yang baik (general principles of proper
justice).42
Dengan kata lain, kekuasaan peradilan terikat pada aturan hukum
41
UU No.48 Tahun 2009, Bab II Badan Peradilan dan Asasnya, Pasal 10 s/d Pasal
26. Asas umum penyelenggaraan peradilan yang baik, yaitu asas kebebasan; asas larangan
menolak memeriksa dan mengadili perkara; asas hakim aktif; asas kesamaan; asas
penyelesaian perkara secara tuntas; dan asas pengawasan peradilan; (kesimpulan seminar
“Pemberdayaan dan tanggungjawab Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam
melaksanakan kekuasaan kehakiman yang mandiri”, diselenggarakan oleh IKAHI, tanggal
22 Maret 2000 di Jakarta, Varia Peradilan, No.178, Juli 2000, h.118. 42
Bab II Badan Peradilan dan Asasnya, Pasal 10 s/d Pasal 26, UU No.48 Tahun
2009, tentang Kekuasaan Kehakiman; Lihat pula Kesimpulan seminar “Pemberdayaan dan
Tanggungjawab Mahkamah Agung Republik Indonesia Dalam Melaksanakan Kekuasaan
Kehakiman Yang Mandiri”, IKAHI, Varia Peradilan, No.178, Juli 2000, h.118.
41
material dan peraturan-peraturan yang bersifat prosedural yakni hukum acara.
Dengan demikian aturan hukum material dan peraturan-peraturan yang
bersifat prosedural, dapat dikatakan sebagai batas normatif terhadap
kebebasan kekuasaan peradilan atau kebebasan hakim dalam proses
peradilan.
Kekuasaan kehakiman merupakan suatu mandat kekuasaan negara
yang dilimpahkan kepada kekuasaan kehakiman. Mandat kekuasaan negara
untuk sepenuhnya mewujudkan hukum dasar yang terdapat dalam rechtsidee
untuk diwujudkan dalam suatu keputusan hukum yang individual dan
konkret, untuk diterapkan pada suatu perkara hukum yang juga individual
konkret.43
Dengan perkataan lain, kekuasaan kehakiman dapat diartikan
sebagai kewenangan dan kewajiban untuk menentukan apa dan bagaimana
norma hukum terhadap kasus konflik-individual-konkret yang diajukan
kepadanya dengan memperhatikan hukum dasar negara.44
Dengan demikian dalam sistem hukum nasional yang berlaku,
penyelesaian hukum dalam perkara yang individual konkret hanya ada pada
satu tangan yaitu pada kekuasaan kehakiman. Hal demikian berlaku tidak saja
untuk perkara-perkara konkret yang berkaitan dengan persengketaan hukum
43
Moh. Koesnoe, 1997, Yuridisme Yang Dianut Dalam Tap MPRS No.XIX/1966,
Varia Peradilan, No.143 Tahun XII, h. 138.
44
Lihat Paulus Effendie Lotulung, Kemandirian Kekuasaan Kehakiman Dalam
Konteks Pembagian Kekuasaan Dan Pertanggungan Jawab Politik, dalam Seminar Hukum
Nasional Ke-VII Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani, (BPHN Departemen
Kehakiman, 1999), h. 156-170.
42
yang terjadi di antara sesama warga negara, tetapi juga berlaku untuk perkara-
perkara yang menyangkut sengketa antara warga negara dan pemerintah.45
45
Sunaryati Hartono, Apakah The Rule of Law It ?, (Bandung: Alumni, 1982), h. 45.
42
BAB III
LANDASAN YURIDIS PELAKSANAAN FIT AND PROPER TEST
BAGI ANGGOTA DPR
A. Profil Lembaga DPR dan Mahkamah Konstitusi
1. Profil Lembaga DPR
Sejarah terbentuknya DPR RI secara garis besar dapat dibagi
menjadi tiga periode:
1. Volksraad (Masa Penjajahan Belanda)
2. Masa perjuangan Kemerdekaan
3. Dibentuknya Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) adalah cikal
bakal terbentuknya Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia.
Pada masa penjajahan Belanda, terdapat lembaga semacam
parlemen bentukan Penjajah Belanda yang dinamakan Volksraad.Pada
tanggal 8 Maret 1942 Belanda mengakhiri masa penjajahan selama 350
tahun di Indonesia.Pergantian penjajahan dari Belanda kepada Jepang
mengakibatkan keberadaan Volksraad secara otomatis tidak diakui lagi,
dan bangsa Indonesia memasuki masa perjuangan Kemerdekaan.1
Sejarah DPR RI dimulai sejak dibentuknya Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) oleh Presiden pada tanggal 29 Agustus 1945 (12
hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia) di Gedung
Kesenian, Pasar Baru Jakarta.Tanggal peresmian KNIP (29 Agustus
1www.dpr.go.id/tentang/sejarah-dpr
43
1945) dijadikan sebagai Tanggal dan Hari Lahir DPR RI. Dalam Sidang
KNIP yang pertama telah menyusun pimpinan sebagai berikut:
1. Ketua : Mr. Kasman Singodimedjo
2. Wakil Ketua I : Mr. Sutardjo Kartohadikusumo
3. Wakil Ketua II : Mr. J. Latuharhary
4. Wakil Ketua III : Adam Malik2
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), adalah lembaga negara dalam
sistem ketatanegaraan Republik Indonesia yang merupakan lembaga
perwakilan rakyat dan memegang kekuasaan membentuk Undang-
Undang. DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.DPR
terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum, yang dipilih
berdasarkan hasil Pemilihan Umum.Anggota DPR berjumlah 550
orang.Masa jabatan anggota DPR adalah 5 tahun, dan berakhir
bersamaan pada saat anggota DPR yang baru mengucapkan sumpah/janji.
Lihat: jumlah kursi DPR setiap periode pemilu Tugas dan wewenang
DPR antara lain3 :
Terkait dengan fungsi legislasi, DPR memiliki tugas dan
wewenang:
1. Menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas);
2www.dpr.go.id/tentang/sejarah-dpr
3www.dpr.go.id/tentang/sejarah-dpr
44
2. Menyusun dan membahas Rancangan Undang-Undang
(RUU);
3. Menerima RUU yang diajukan oleh DPD (terkait
otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah;
pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah;
pengelolaan SDA dan SDE lainnya; serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah);
4. Membahas RUU yang diusulkan oleh Presiden ataupun
DPD;
5. Menetapkan UU bersama dengan Presiden;
6. Menyetujui atau tidak menyetujui peraturan pemerintah
pengganti UU (yang diajukan Presiden) untuk ditetapkan
menjadi UU
Terkait dengan fungsi anggaran, DPR memiliki tugas dan
wewenang:
1. Memberikan persetujuan atas RUU tentang APBN
(yang diajukan Presiden)
2. Memperhatikan pertimbangan DPD atas RUU tentang
APBN dan RUU terkait pajak, pendidikan dan agama
3. Menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan negara yang
disampaikan oleh BPK
45
4. Memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan
aset negara maupun terhadap perjanjian yang
berdampak luas bagi kehidupan rakyat yang terkait
dengan beban keuangan negara
Terkait dengan fungsi pengawasan, DPR memiliki tugas dan
wewenang:
1. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU,
APBN dan kebijakan pemerintah
2. Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang
disampaikan oleh DPD (terkait pelaksanaan UU
mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran
dan penggabungan daerah, pengelolaan SDA dan SDE
lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan dan
agama).
Tugas dan wewenang DPR lainnya, antara lain:
1. Menyerap, menghimpun, menampung dan
menindaklanjuti aspirasi rakyat
2. Memberikan persetujuan kepada Presiden untuk: (1)
menyatakan perang ataupun membuat perdamaian
dengan Negara lain; (2) mengangkat dan
memberhentikan anggota Komisi Yudisial.
46
3. Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal:
(1) pemberian amnesti dan abolisi; (2) mengangkat duta
besar dan menerima penempatan duta besar lain
4. Memilih Anggota BPK dengan memperhatikan
pertimbangan DPD
5. Memberikan persetujuan kepada Komisi Yudisial
terkait calon hakim agung yang akan ditetapkan
menjadi hakim agung oleh Presiden
6. Memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi untuk
selanjutnya diajukan ke Presiden
Anggota DPR memiliki hak interpelasi, hak angket, dan hak
menyatakan pendapat.Anggota DPR juga memiliki hak mengajukan
RUU, mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat,
membela diri, hak imunitas, serta hak protokoler.Menurut Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susduk MPR, DPR, DPD, dan
DPRD, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, DPR berhak
meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga
masyarakat untuk memberikan keterangan. Jika permintaan ini tidak
dipatuhi, maka dapat dikenakan panggilan paksa (sesuai dengan
peraturan perundang-undangan). Jika panggilan paksa ini tidak dipenuhi
tanpa alasan yang sah, yang bersangkutan dapat disandera paling lama 15
hari (sesuai dengan peraturan perundang-undangan).
47
2. Profil Mahkamah Konstitusi
Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali
dengan diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen
konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat
(2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil
Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001. Ide
pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan pemikiran
hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20.4
Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam
rangka menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah
Agung (MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana
diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan
Keempat.DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-
Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan
mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan
disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).Dua hari kemudian, pada
tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor
147/M Tahun 2003 hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang
4 www.mahkamahkonstitusi.go.id
48
dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di
Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003.Lembaran perjalanan MK
selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada tanggal 15
Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai
salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945.5
Kedudukan, kewenangan dan kewajibannya adalah sebagai
berikut6:
a. Kedudukan
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara
yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum dan
keadilan
b. Kewenangan
Mahkamah Konstitusi RI mempunyai 4 (empat) kewenangan
dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Dasar 1945.
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Memutus Sengketa kewenangan lembaga negara yang
5www.mahkamahkonstitusi.go.id
49
kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
3. Memutus pembubaran partai politik, dan
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
c. Kewajiban
Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas
pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
diduga:
1. Telah melakukan pelanggaran hukum berupa
a) penghianatan terhadap negara;
b) korupsi;
c) penyuapan;
d) tindak pidana lainnya;
2. atau perbuatan tercela, dan/atau
3. tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
B. Pengertian Fit And Proper Test
Pada dasarnya kata “Fit” dan “Proper” dalam bahasa inggris adalah
kata sifat yang memiliki arti sama, yaitu pantas, patut, atau layak. Sehingga
secara sederhana banyak yang mengartikan Fit and Proper Test sebagai tes
50
kepantasan, kepatutan dan kelayakan, yang dipadatkan dalam kalimat tes
kemampuan dan kepatutan.7
Sebagai sarana penyaringan dan konfigurasiproses perekrutan pejabat
publik di era reformasi ini berubah, hal tersebut ditandai dengan keadaan
dimana legislatif tampil sebagai lembaga yang sangat kuat (powerful). Pada
masa Orde baru kekuasaan pemerintah begitu kuat dan DPR RI lemah, maka
setelah era reformasi keadaan menjadi sebaliknya, kekuasaan legislatif
menjadi lebih kuat daripada kekuasaan eksekutif.8
C. Fit and Proper Test dalam Fungsi dan Kewenangan DPR Terhadap
Pengangkatan Calon Hakim Agung
Pasal yang menjadi pijakan DPR pada kasus kewengangan Fit and
Proper Test, pada pengangkatan Calon Hakim Agung terdapat dalam pasal
24A ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan: “calon hakim agung diusulkan
Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan
persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh presiden”,
dalam UUD 1945 telah diatur bahwa hanya Komisi Yudisial yang memiliki
wewenang dalam memilih calon Hakim Agung yang kemudian di setujui oleh
DPR dan kemudian dilantik oleh Presiden. Komisi Yudisial memiliki
wewenang yang telah ditentukan oleh undang-undang. Hal ini sejalan dengan
ketentuan pasal 13 UU Nomor 18Tahun 2011 yaitu: Komisi Yudisial
7TitikTriwulan, KonstruksiHukum Tata Negara,(Jakarta: Kencana, 2011),h. 87-88.
8Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislatif, h. 54.
51
berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim. Menurut Jimly Asshiddiqie, maksud dibentuknya
Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan Kehakiman Indonesia adalah agar
warga masyarakat diluar struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan
dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja, dan kemungkinan
pemberhentian hakim.9
Dalam hal pengangkatan Hakim Agung yang melibatkan DPR, yang
juga melakukan fungsi pengawasan dan kewenangan untuk menyetujui, hal
ini juga diatur mengenai proses pemilihannya yang terdapat dalam Keputusan
DPR RI No. 08/DPR RI/I/2005 2006 tentang Tata Tertib DPR RI yang
berbunyi:
Pasal 154
1. Apabila suatu peraturan perundang-undangan menentukan agar
DPR RI melakukan/menganjurkan atau memberikan persetujuan
atas calon untuk mengisi suatu jabatan, rapat paripurna
menugaskan kepada Badan Musyawarah untuk menjadwalkan
dan menugaskan pembahasan kepada komisi terkait.
2. Tata cara pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di
tetapkan oleh komisi yang bersangkutan meliputi:
a. Penelitian administrasi
b. Penyampaian visi dan misi
9Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara
Pascareformasi, (Jakarta: Sekretaris Jendral dan KepaniteraanMahkamah Konstitusi RI, 2006).
52
c. Uji kelayakan (Fit and Proper Test)
d. Penentuan urutan calon
Tuntutan Undang-undang untuk memberikan predikat good
governance kepada Negara dengan amanat Undang-undang No. 28 tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN
yang dibebankan kepada DPR RI yang diatur dalam Undang-Undang no. 22
tahun 2003 Tentang SUSDUK.10
Dalam perundang-undangan dapat kita
temukan juga pasal mengenai pengusulan calon Hakim Agung dari Komisi
Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dipilih kemudian oleh
DPR, pada Undang-Undang No.3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung
menyebutkan:
1) Pasal 8 ayat (2) UU MA menyebutkan:
“Calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon yang
diusulkan oleh Komisi Yudisial”;
2) Pasal 8 ayat (3) UU MA menyebutkan:
“Calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipilih oleh Dewan
Perwakilan Rakyat 1 (satu) orang dari 3 (tiga) nama calon
untuk setiap lowongan;
10
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, hal.173.
53
3) Pasal 8 ayat (4) UU MA menyebutkan:
“Pemilihan calon hakim agung sebagaimana dimaksudkan
pada ayat (3) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari
sidang terhitung sejak tanggal nama calon diterima oleh
Dewan Perwakilan Rakyat”.
Dalam rentetan pasal yang disebut diatas dapat kita temukan bahwa
Komisi Yudisial memiliki kewenangan dalam memilih calon Hakim Agung
dan menilai rekam jejak, kelayakan serta kepatutannya, dan
mempertimbangkan tentang kelayakannya menduduki jabatan sebagai Hakim
Agung. DPR juga memiliki kewengan untuk memberikan persetujuan dengan
nama-nama calon Hakim Agung yang diajukan oleh Komisi Yudisial yang
selanjutnya naik pada tingkatan selanjutnya untuk ditetapkan menjadi Hakim
Agung oleh Presiden.
Keterlibatan lembaga perwakilan rakyat dengan adanya hak untuk
memberikan atau tidak memberikan persetujuan ataupun pertimbangan ini
dapat disebut juga hak untuk konfirmasi (right to confirm) lembaga legislatif.
Dengan adanya hak ini, lembaga perwakilan dapat ikut mengendalikan atau
mengawasi kinerja para pejabat publik dimaksud dalam menjalankan tugas
dan kewenangannya masing-masing agar sesuai dengan ketentuan
konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
D. Mekanisme dalam Seleksi Pengangkatan Calon Hakim Agung
Permasalahan pengangkatan hakim agung di belahan dunia manapun
54
memang mengundang tarik ulur kekuasaan yang rumit, hingga setiap negara-
negara dibelahan dunia sana melakukan cara atau mekanisme yang berbeda-
beda pula sesuai dengan kebutuhan hukum di lingkungannya. Perlu diketahui
bahwa mekanisme yang digunakan di Indonesia dengan pengusulan,
persetujuan dan pengangkatan, sedikit banyak memang mirip atau malah
mengadopsi mekanisme pengangkatan hakim agung pada Supreme Court di
Amerika Serikat, belum ada yang memastikan penyebabnya. Di negeri
tersebut, hakim agung (yang notabene hanya 9 saja jumlahnya)
akandiusulkan oleh Presiden. Usulan presiden ini diperoleh melalui
serangkaian proses seleksiyang sangat ketat dan teliti, kemudian diajukan
kepada senat.11
Dalam undang-undang juga telah ditentukan tugas pokok Komisi
Yudisial dalam pengangkatan calon Hakim Agung, ialah memilih calon
Hakim Agung lalu mengusulkannya kepada DPR untuk mendapatkan
persetujuan yang selanjutnya ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden.
Sejak kehadiran KY, pengangkatan calon hakim agung di samping berasal
dari hakim karir, juga berasal dari non karir, seperti praktisi hukum,
akademisi hukum dan lain-lain selama memenuhi syarat yang ditetapkan oleh
peraturan perundang-undangan.12
Dalam melaksanakan wewenang untuk
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc, KY mempunyai
11
Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial
Sebagai Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca
Amandemen UUD 1945, h.121.
12
Komisi Yudisial Republik Indonesia, Mengenal Lebih Dekat Komisi Yudisial,
(Jakarta: Pusat Data dan Layanan Informasi Komisi Yudisial, 2012), h. 24.
55
tugas yang tercantum dalam Pasal 14 UU Nomor 18 Tahun 2011 Tentang
Komisi Yudisial, yaitu:
1. Melakukan pendaftaran calon hakim agung;
2. Melakukan seleksi terhadap calon hakim agung;
3. Menetapkan calon hakim agung;
4. Mengajukan calon hakim agung ke DPR.
Pelaksanaan proses seleksi dilaksanakan dalam jangka waktu paling
lama enam (6) bulan sejak KY menerima pemberitahuan dari MA mengenai
lowongan hakim agung. Calon hakim agung yang dapat mengikuti seleksi di
KY dapat berasal dari MA, pemerintah dan masyarakat. Berikut uraian proses
seleksi calon hakim agung oleh KY:
1. Pendaftaran Calon Hakim Agung
Pendaftaran seleksi dilakukan setelah mendapat
pemberitahuan pengisian jabatan hakim agung dari MA.Maka
sesuai dengan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011
tentang Komisi Yudisial, dalam jangka waktu paling lama 15 (lima
belas) hari sejak menerima pemberitahuan mengenai lowongan
hakim agung, KY mengumumkan pendaftaran penerimaan calon
hakim agung selama 15 (lima belas) hariberturut-turut.
Untuk mendaftar, seseorang harus memenuhi persyaratan
untuk dapat diangkat sebagai hakim agung sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah
Agung dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi
56
Yudisial sebagaimana diuraikan dalam tabel di bawah ini:13
Tabel 1 Persyaratan Hakim Agung
Hakim Karier Non Karier
1 Warga Negara Indonesia 1 Warga Negara Indonesia
2 Bertakwa Kepada Tuhan Yang Maha
Esa
2 Bertakwa Kepada Tuhan
Yang Maha Esa
3 Berijazah megister di bidang hukum
dengan dasar sarjana hukum atau
sarjana lain yang yang mempunyai
keahlian di bidang hukum
3 Berijazah doctor di bidang hukum
dengan dasar sarjana hukum atau
sarjana lain yang yang mempunyai
keahlian di bidang hukum 4 Berusia sekurang-kurangnya 45
tahun
4 Berusia sekurang-kurangnya
45 tahun 5 Mampu secara rohani dan jasmani
untuk menjalankan tugas
dankewajiban
5 Mampu secara rohani dan jasmani
untuk menjalankan tugas dan
kewajiban 6 Berpengalaman paling sedikitnya 20
tahun menjadi hakim, termasuk
paling sedikit 3 tahun
menjadi hakim tinggi, dan
6 Berpengalaman dalam profesi
hukum dan/atau akademisi
hukum sekurang-kurangnya
20 tahun, dan
7 Tidak pernah dijatuhi sanksi
pemberhentian sementara akibat
melakukan pelanggaran kode etik
dan/atau pedoman perilaku hakim.
7 Tidak pernah dijatuhi pidana
penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum
tetap karena melakukan
tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 5 tahun
atau lebih.
13
Komisi Yudisial Republik Indonesia, 8 Tahun Komisi Yudisial Mengukuhkan
Sinergitas Memperkokoh Kewenangan, (Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2013), h. 63.
57
Setelah masa pendaftaran ditutup, KY melakukan seleksi
persyaratan administrasi. Seleksi tahap ini dilakukan dengancara
penelitian terhadap persyaratan administrasi calon hakim agung.
Kemudian KY mengumumkan daftar nama calonhakim agung
yang lolos seleksi persyaratan administrasi dalam jangka waktu paling
lama 15 (lima belas) hari.
Sejak pengumuman kelulusan persyaratan administrasi
dilakukan, masyarakat diberikan kesempatan memberi informasi
ataupendapat terhadap calon hakim tersebut dalam jangka waktu
selama 30 (tiga puluh) hari.Setelah jangka waktu habis, KY
melakukan penelitian atas informasi atau pendapat tersebut juga
dalam jangka waktu 30 (tiga puluh hari).
2. Seleksi Calon Hakim Agung
Setelah melewati proses seleksi administrasi, calon hakim
agung akan menjalankan serangkaian seleksi meliputi: karya profesi,
pembuatan karya tulis di tempat, penyelesaian kasus hukum, profile
assessment, klarifikasi, pemeriksaan kesehatan, pembekalan dan
wawancara terbuka.14
a. Karya Profesi
Setiap calon wajib menyerahkan karya profesinya kepada
panitia, yang berupa: 1) bagi calon dari jalur hakim karier
14
Komisi Yudisial Republik Indonesia, 8 Tahun Komisi Yudisial
Mengukuhkan Sinergitas Memperkokoh Kewenangan, h. 64.
58
menyerahkan putusan pengadilan tingkat banding pada saat yang
bersangkutan menjadi ketua atau majelis dalam menangani dan
memutus perkara. 2) bagi calon dari jalur non karier berprofesi jaksa,
menyerahkan tuntutan jaksa (dakwaan), profesi pengacara
menyerahkan pembelaan (pledoi), profesi akademisi dan profesi
hukum lainnya menyerahkan hasil karya / publikasi ilmiah.
b. Pembuatan Karya Tulis diTempat
Pada proses ini para peserta seleksi diwajibkan untuk
membuat suatu karya tulis yang secara langsung dikerjakan di
tempat pelaksanaan dengan tema dan judul yang telah ditentukan
oleh panitia
c. Pendapat Hukum
Setiap calon wajib menjawab soal kasus Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) dan kasus hukum dalam
bentuk membuat putusan kasasi/peninjauan kembali (judicial
review) yang telah disiapkan oleh panitia.
d. Penilaian Kepribadian (ProfileAssessment)
Dalam rangka mengukur dan menilai kelayakan
kepribadian calon hakim untuk diangkat menjadi hakim agung,
dalam proses ini dilakukan self assessment, profile
assessment, investigasi dan klarifikasi. Untuk mengetahui track
record calon hakim agung.
e. Pemeriksaan Kesehatan, Pembekalan dan Wawancara Terbuka.
59
Calon yang telah lulus dari rangkaian seleksi kualitas dan
kepribadian tadi, akan mengikuti wawancara terbuka yang
meliputi: visi misi, komitmen dan program jika terpilih,
pemahaman Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH),
wawasan dan pengetahuan hukum serta klarifikasi LHKPN dan
laporan dari masyarakat.
Selanjutnya nama-nama calon Hakim Agung tersebut
diajukan kepada DPR untuk memperoleh persetujuan sebagaimana
ditentukan oleh pasal 24A ayat (3). Namun hal tersebut berbuntut
panjang ketika DPR menafsirkan fungsi pengawasannya dengan
melakukan pemilihan seperti yang dilakukan oleh Komisi Yudisial
(fit an proper test), dan sengaja menggunakan pasal yang diatur
secara berbeda sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum, hal
ini bisa dilihat dalam pasal 8 ayat (2), ayat (3) UUD 1945, dan ayat
(4) Undang-Undang No.3 Tahun 2009 Tentang Mahkamahh
Agung, dan pasal 18 ayat (4) Undang-Undang No.18 Tahun 2011
Tentang Komisi Yudisial yang mana dasarnya diatur dalam pasal
24 ayat (3) UUD 1945.
60
BAB IV
IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.27/PUU-XI/2013
TERHADAP KEWENANGAN DPR MELAKUKAN FIT AND PROPER
TEST
A. Posisi Kasus Kewenangan Fit and Proper Test Terhadap Pengangkatan
Calon Hakim Agung
I. Profil Penggugat
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa terdapat kontroversi
meninjau kewenangan DPR dalam hal pengangkatan Hakim Agung,
sehingga memicu beberapa sarjana hukum untuk melakukan Judicial
Review diantaranya : Dr. Made Dharma Weda, S.H., M.H. sebagai
pemohon I, Dr. R.M. Panggabean,S.H., M.H sebagai pemohon II,
Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 25 Januari
2013, memberi kuasa kepada Yuherman, SH., MH., MKn., Viktor
Santoso Tandiasa, SH., Wahyudi, SH., Wahyu nugroho, SHI., MH.,
Ridwan Bakar, SH., Bahraen, SH.,MH., Jermiah U.H. Limbong, S.H.,
Triya Indra Rahmawan, S.H., MH., Maria Louisa, S.H., Erwin
Natoesmal Oemar, S.H., Maruli Tua Rajagukguk, S.H., Feri Amsari,
SH., MH., Refki Saputra, S.H., Febridiansyah, S.H., Reza Syawawi,
S.H., Veri Junaidi, S.H., Edy Halomoan Gurning, S.H., Febi Yonesta,
S.H., Jamil Mubarok, S.H., dan Donal Fariz, S.H., para advokat
dan/atau Pengacara Publik pada LKBH Usahid Jakarta, ICW, ILR,
LBH Jakarta, YLBHI, MTI, TIl, Perludem, PUSaKO Universitas
Andalas, dan KRHN, yang tergabung dalam Koalisi Mayarakat Untuk
61
Peradilan Profesional, yang beralamat di LKBH Usahid Jalan Prof.
Dr. Soepomo, SH., Nomor 84, Tebet, Jakarta Selatan, baik secara
sendiri- sendiri maupun bersama-sama bertindak untuk dan atas nama
pemberi kuasa yang selanjutnya disebut sebagai para pemohon, dan
dalam kasus ini berintikan tentang pencarian keadilan atas
ketidakjelasan hukum mengenai mekanisme pengangkatan Calon
Hakim Agung, maka para pemohon menggugat kewenangan DPR
dalam kewengannya melakukan Fit and Propert Test, sebagai
mekanisme untuk memilih calon Hakim Agung kepada Mahkamah
Konstitusi, yang berakibat pada pengurangan kewenangan DPR
dalam hal “memilih” Calon Hakim Agung dirubah menjadi cukup
hanya sekedar “menyetujui”.1
II. Kasus Gugatan pada Kewenganan Fit and Proper Test Terhadap
Pengangkatan Calon Hakim Agung
Dalam sidang tersebut sejatinya membahas mengenai 3 (tiga)
bentuk pengangkatan pejabat publik yang melibatkan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), karena seringkali menimbulkan salah
tafsir dan seringkali dipolitisasi dalam beberapa kasus pengangkatan
jabatan publik, dikarenakan terdapat 3 (tiga) kosakata serta
pemaknaan yang berbeda antara satu, dengan yang lain dalam
1Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon
Hakim Agung di DPR Pengujian Pasal 8 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009.
62
prosesnya yakni, melalui Pertimbangan, Persetujuan dan pemilihan
yang diantaranya dapat dilihat pada ketentuan di bawah ini :2
a) Pengangkatan pejabat publik dengan mekanisme
pertimbangan terdapat dalam Pasal 13 ayat (2) UUD
1945 yang menyebutkan bahwa:
“Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.”;
b) Pengangkatan pejabat publik dengan mekanisme
pemilihan terdapat dalam Pasal 23F ayat(1) yang
menyatakan bahwa:
“Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh
Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan
diresmikan oleh Presiden”.;
c) Pengangkatan pejabat publik dengan mekanisme
persetujuan terdapat dalam Pasal 24A ayat (3) UUD
1945 yang menyebutkan bahwa: “Calon hakim agung
diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan
2Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013
tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR, h. 7.
63
Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya
ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.
Atas alasan tersebut diajukannya permohonan pengujian terhadap
Pasal8 ayat (2), ayat(3),danayat (4) UU MA dan Pasal 18 ayat (4) UU
KY terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Oleh sebab itu, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk
memeriksa dan mengadili permohonan a quo, mengenai mekanisme
pengangkatan hakim agung menurut Pasal 24 A ayat (3) UUD 1945
ditetapkan oleh Presiden setelah menerima calon hakim agung yang
disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sebenarnya DPR dalam kapasitasnya sebagai representasi rakyat
dan lembaga yang diberikan hak hanya memberikan persetujuan atas
calon hakim agung yang diajukan oleh Komisi Yudisial (KY). Namun
pengangkatan hakim agung yang demikian, telah diatur secara
menyimpang dalam undang-undang Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) dan Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY). Padahal UU MA dan
UU KY merupakan Undang-Undang yang sejatinya dimaksudkan
sebagai pelaksanaan dari Pasal 24A ayat(3) UUD 1945 tersebut.3
3 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon
Hakim Agung di DPR, h. 3.
64
Menurut Pasal 8 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU MA dan Pasal
18 ayat (4) UUKY, DPR bukan memberikan persetujuan terhadap calon
hakim agung yang diusulkan oleh KY sebagaimana yang diatur dan
dikehendaki oleh UUD 1945, tetapi melakukan pemilihan terhadap calon
hakim agung tersebut. Pengaturan oleh kedua Undang-Undang tersebut
bukan hanya melanggar konstitusi dan menimbulkan ketidakpastian
hukum, tapi juga memaksa KY untuk mengajukan calon hakim agung
melebihi jumlah lowongan hakim agung yang dibutuhkan. Disamping itu
pemilihan calon hakim agung oleh DPR juga berpotensimenganggu
independensi calon hakim agung yang bersangkutan karena mereka
dipilih oleh DPR yang nota bene adalah lembaga politik.
Atas alasan tersebut diajukan permohonan kepada Mahkamah
Konstitusi untuk mengadili pada tingkat pertama. Untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar dan memutuskan
sengketa kewengangan lembaga negara, yang kewengannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar, dengan kewengangan MK yang
sebgaimana diatur dalam pasal 10 ayat (4) undang-undang nomor 24
tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) bahwa “Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk: (a) menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945";
65
B. Analisis Kasus Kewenganan Fit and Proper Test Terhadap
Pengangkatan Calon Hakim Agung
I. Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU- XI/2013 tentang Seleksi
Calon Hakim Agung
Polemik undang-undang tentang kewenangan DPR sebenarnya
bukan hanya persoalan yang sederhana, wakil rakyat yang memiliki
kewenangan dalam fungsi pengawasan seringkali diterjemahkan dalam
fungsi menunjuk dan memilih seseorang untuk mengisi jabatan publik.
Masalah lain yang juga tidak kalah seriusnya adalah jabatan-jabatan yang
diisi melalui pemilihan oleh rakyat tetapi dengan cara yang tidak
langsung (indirectly elected officials), yaitu melalui lembaga perwakilan
rakyat, khusus Dewan Perwakilan Rakyat. Sekarang jumlah jabatan yang
diisi dengan cara pemilihan oleh DPR dewasa ini terus bertambah
banyak.
Setiap Undang-Undang yang memperkenalkan pembentukan
lembaga-lembaga atau komisi-komisi negara yang baru selalu dikaitkan
dengan kewenangan DPR untuk melakukan pemilihan para komisioner
atau anggotanya. Bahkan, ada pula pemilihan ketua komisi Negara,
seperti Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga dipilih oleh
DPR. Pengisian jabatan para komisioner hampir semua lembaga baru
yang dibentuk di masa pasca reformasi selalu melibatkan peran DPR
untuk memilihnya, sehingga memakan banyak sekali tenaga, waktu, dan
66
biaya bagi DPR yang berdampak negatif bagi kinerja DPR sebagai
keseluruhan dalam bidang tugas utamanya, yaitu legislasi, pengawasan,
dan anggaran pembangunan.4
II. Kewenangan Komisi Yudisial (KY) Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 27/PUU- XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim
Agung
Kewenangan Komisi Yudisial masih sama sebelum atau setelah
keluarnya amar putusan Mahkamah Konstitusi. Hanya saja yang berbeda
dari prosesnya, jika sebelumnya KY menyerahkan 3 (tiga) nama untuk
satu lowongan calon Hakim Agung, maka setelah putusan MK, peraturan
tersebut berubah, KY hanya menyerahkan 1 (satu) nama untuk setiap 1
(satu) lowongan calon Hakim Agung. Hal ini sesuai dengan amar putusan
MK pada bagian 5 (lima) angka 1.7 dan 4, yaitu:5
Pasal 8 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung selengkapnya menjadi:
(2) Calon hakim agung sebagaimana dimaksud
4 Jimly Asshiddiqie, Liberalisasi Pengisian Jabatan Publik, disampaikan
dalam rangka Konferensi Hukum Tata Negara ke-2, (Padang: UNAND, September
2015), h. 9.
5 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi
Calon Hakim Agung di DPR Pengujian Pasal 8 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. h. 53.
67
pada ayat (1)b disetujui oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dari nama calon yang diusulkan oleh
Komisi Yudisial.
(3) Calon hakim agung yang diusulkan oleh
Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat 1 (satu) orang dari 1
(satu) nama calon untuk setiap lowongan
(4) Persetujuan calon hakim agung
sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan paling lama 30 (tiga puluh)
hari sidang terhitung sejak tanggal nama
calon diterima Dewan Perwakilan
Rakyat.
Pencalonan Hakim Agung, menurut ketentuan Pasal 24A ayat (3),
diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapatkan
persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh
Presiden. Semula, UU tentang Komisi Yudisial ditentukan bahwa calon
hakim agung yang diajukan kepada DPR sebanyak 2 kali jumlah yang
dibutuhkan. Akan tetapi, dengan putusan Mahkamah Konstitusi,
ketentuan demikian diubah menjadi sebanyak calon yang dibutuhkan
untuk ditetapkan menjadi Hakim Agung. Dengan demikian,
mekanismenya sama dengan pengajuan calon Kepala POLRI dan calon
68
Panglima TNI yang diajukan oleh Presiden hanya 1 calon untuk
mendapatkan persetujuan atau penolakan oleh DPR.
Inilah yang dimaksud dengan peran DPR untuk mengkonfirmasi
atau “the right to confirm”, bukan “the right to elect” dan apalagi “the
right to test” para calon hakim agung seperti sebelumnya. Dengan
demikian, apa yang sudah dilakukan oleh Komisi Yudisial dapat benar-
benar berharga dan Komisi Yudisial pun mendapatkan amanat yang lebih
besar dan berarti dalam mempromosikan para hakim yang baik menjadi
Hakim Agung dan memilih dari banyak kemungkinan calon untuk
diajukan kepada DPR untuk disetujui atau ditolak.6
III. Pendapat Para Ahli Hukum
Keterlibatan DPR dalam pengangkatan pejabat publik seringkali
menimbulkan masalah, yang juga kadang mengganggu sifat indenpendesi
dari institusi tersebut, sebab DPR sendiri adalah lembaga politik yang
peranannya diatur dalam undang-undang dalam rangka melakukan
fungsinya. Keterlibatan DPR dalam rekrutmen pejabat publik itu
sebenarnya hanya varian saja dari fungsi pengawasan yang dimiliki oleh
DPR sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945.
Menurut Jimly Asshiddiqie, dalam praktik di Amerika Serikat,
misalnya, hal itu dikaitkan dengan hak untuk memberikan konfirmasi
atas pengangkatan pejabat publik tertentu oleh Presiden (right to confirm)
6 Jimly Asshiddiqie, Liberalisasi Pengisian Jabatan Publik, disampaikan
dalam rangka Konferensi Hukum Tata Negara ke-2, (Padang: UNAND, September
2015), h. 13.
69
sebagai bagian dari fungsi pengawasan politik terhadap berjalannya
proses pemerintahan. Namun, dalam praktik di Indonesia pengertian
“right to confirm” itu cenderung menyimpang fungsinya yang bersifat
politik menjadi sangat teknis. Dalam praktik, “the right to confirm” itu
berkembang menjadi “the right to elect”, dan lebih teknis lagi menjadi
“right to select” dan bahkan “right to test”.7
Dampak negatifnya tentu semakin banyak dan luas. Produktifitas
program legislasi terus menurun, baik kuantitas maupun kualitasnya,
nuansa politis dalam proses rekrutmen pejabat-pejabat teknis juga
menjadi semakin tidak terhindarkan mempengaruhi kinerja lembaga-
lembaga negara, seperti Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung,
Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Komisi Yudisial, Komisi
Pemberantasan Korupsi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dan
komisi-komisi negara lainnya. Karena itu, keterlibatan DPR-RI dalam
rekrutmen pejabat publik ini perlu dievaluasi secara menyeluruh, cukup
dibatasi untuk jabatan-jabatan tertentu saja, dan cukup dibatasi dalam
pengertian “right to confirm” saja.8
7 Jimly Asshiddiqie, Liberalisasi Pengisianjabatan Publik, disampaikan dalam
rangka Konferensi Hukum Tata Negara ke-2, di UNAND, Padang, September 2015,
hal. 8
8 Jimly Asshiddiqie, Liberalisasi Pengisian Jabatan Publik, disampaikan
dalam rangka Konferensi Hukum Tata Negara ke-2, (Padang:UNAND, September
2015), h. 9.
70
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian-uraian yang telah dipaparkan, dapat penulis kemukakan
kesimpulan sebagai jawaban atas dua pertanyaan yang terdapat pada Bab I
bagian rumusan masalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-XI/2013
DPR tidak memiliki kewenangan untuk melakukan fit and proper test
terhadap calon Hakim Agung, tetapi hanya memiliki kewenangan
untuk memberikan persetujuan terhadap calon Hakim Agung yang
diajukan oleh Komisi Yudisial sebagaimana pasal 8 ayat (2), (3), dan
(4) Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung
pasca putusaan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-XI/2013 bahwa :
(2) Calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)b
disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon yang
diusulkan oleh Komisi Yudisial, (3) Calon hakim agung yang
diusulkan oleh Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat 1 (satu) orang dari 1 (satu)
nama calon untuk setiap lowongan, (4) Persetujuan calon hakim
agung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lama 30
(tiga puluh) hari sidang terhitung sejak tanggal nama calon diterima
Dewan Perwakilan Rakyat.
71
2. Dampak Dewan Perwakilan Rakyat tidak patuh terhadap putusan
Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-XI/2013 adalah melemahkan
peranan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang melakukan
pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 yang putusannya
tidak memiliki kepastian hukum, meragukan kompetensi hakim
Mahkamah Konstitusi yang melahirkan suatu putusan atas perkara
yang digugat, membuang anggaran untuk mengadakan suatu fit and
proper test terhadap calon hakim agung yang bukan kewenangan
Dewan Perwakilan Rakyat, terakhir adalah melanggar hak-hak
konstitusional dari para calon hakim agung.
B. Saran
1. DPR pada kewenangannya dalam proses pengisian jabatan Hakim
Agung harus mengikuti aturan berdasarkan UU No. 3 Tahun 2009
Tentang Mahkamah Agung pasca putusan Mahkamah Konstitusi No.
27/PUU-XI/2013.
2. Pada dasarnya sistem check and balances bertujuan untuk
mewujudkan tatanan penyelenggaraan negara yang memberi
kewenangan antar cabang kekuasaan negara (legislatif, eksekutif,
yudikatif) untuk saling mengontrol dan menyeimbangkan pelaksanaan
kekuasaannya masing-masing. Untuk itu tiidak boleh ada lembaga
yang kewenangannya dominan terhadap lembaga lain agar tidak
terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Maka aturan-aturan yang
menjadikan salah satu lembaga dominan terhadap lembaga lain yang
72
tidak sesuai dengan UUD 1945 harus dihapuskan atau batal demi
hukum.
3. Sebagaimana pasal 24 ayat (1) UUD 1945 bahwa “Kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan”
harus diaplikasikan dengan baik oleh undang-undang, agar kekuasaan
kehakiman betul-betul menjadi kekuasaan yang merdeka tanpa adanya
intervensi dari pihak manapun dengan tujuan tegaknya hukum dan
keadilan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Alder, John, and Peter English. Constitutional and Administrative Law, London: Macmillan,
1989.
Asshiddiqie, Jimly. Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta: Seketariat Jendral dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI, 2006.
Asshiddiqie, Jimly. Kekuasaan Kehakiman Di Masa Depan, Makalah Seminar, Pusat
Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat, Jakarta, 2000.
Asshiddiqie, Jimly. Konsep Negara Hukum, dalam (Artikel Hukum) “Gagasan Hukum
Indonesia”.
Asshiddiqie, Jimly. Liberalisasi Pengisian Jabatan Publik, disampaikan dalam rangka
Konferensi Hukum Tata Negara ke-2, Padang: UNAND, September 2015.
Ashiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Ed. 1, Cet. 5, Jakarta: Rajawali Pers,
2013.
Asshiddiqie, Jimly. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pascareformasi,
Jakarta: Sekretaris Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.
Asshiddiqie, Jimly. Reformasi Menuju Indonesia Baru: Agenda Restrukturisasi Organisasi
Negara, Pembaruan Hukum Dan Keberdayaan Masyarakat Madani, Makalah
Kongres Mahasiswa Indonesia Sedunia, Chicago, Amerika Serikat, 2000.
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia,
Bandung: 1997.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. Ke-6, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2013.
Effendie Lotulung, Paulus. Kemandirian Kekuasaan Kehakiman Dalam Konteks Pembagian
Kekuasaan Dan Pertanggungan Jawab Politik, dalam Seminar Hukum Nasional Ke-
VII Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani, BPHN Departemen Kehakiman,
1999.
Ghoffar, Abdul. Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD
1945 dengan Delapan Negara Maju, Cet ke-1, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2009.
Hartono, Sunaryati. Apakah The Rule of Law It?, Bandung: Alumni, 1982.
Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi Revisi, Cet. Ke-5, Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada, 2010.
Indra, Mexsasai. Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: PT Refika Aditama,
2011.
J. Meier, Kenneth . Politics And The Bureaucracy, Policymaking in the Fourth Branch of
Government, California: Belmont, Duxbury Press, 1979.
J. Laski, Harold. AGrammar of Politics, London: George, Allen & Unwin Ltd, 1957.
Kansil, C.S.T, dan Christine S.T Kansil. Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Cet. I,
Jakarta: PT Rineka Cipta, 2008.
Kurnardi dan Harmaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet. Ke-7,
Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
1980), h. 166.
Kelsen, Hans. General Theory of Law And State, translated by Anders Wedberg, New York:
Russell & Russell A Division of Atheneum Publishers, 1961.
Koesnoe, Moh. Yuridisme Yang Dianut Dalam Tap MPRS No.XIX/1966, Varia Peradilan,
No.143 Tahun XII, 1997.
Komisi Yudisial Republik Indonesia. 8 Tahun Komisi Yudisial Mengukuhkan Sinergitas
Memperkokoh Kewenangan, Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2013.
Mahfud MD, Moh. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta: UII Press,
1993.
Mahfud MD, Moh. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Ed. 1-2,
Cet. 2,Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Mahmud Marzuki, Peter. Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2010.
Mamuji, et.al., Sri. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Manan, Bagir. Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Bandung: LPPM-UNISBA, 1995.
Marbun, B.N. DPRI-RI : Pertumbuhan dan Cara Kerjanya, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Montesquieu. The Spirit of the Law, translated by Thomas Nugent, New York: Hafner Press,
1949.
Mukti Arto, A. Konsepsi Ideal Mahkamah Agung, Cet-I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
O. Hood Paul Jackson, Philips, and Patricia Leopold. Constitutional and Administrative Law,
Ed. 8, London: Sweet and Maxwell, 2001.
Peter H, Russell, and David M. O’Brien, Judicial Independence In The Age Of Democracy,
Critical perspectives from around the world, Toronto: Constitutionalism &
Democracy Series, McGraw-Hill, 1985.
Pompe, Sebastian. Runtuhnya Instirusi Mahkamah Agung, Cet-I, Jakarta: Lembaga Kajian
dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, 2012.
Prodjodikoro, Wirjono. Asas-asas Ilmu Negara dan Politik, Bandung: Eresco, 1981.
Ranawijaya, Usep. Hukum Tata Negara Indonesia: Dasar-Dasarnya, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1983.
S. Maran, Angelina. Montesquieu Penggagas Trias Politica, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,
1996.
Seno Adji, Oemar. Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta: Erlangga, 1980.
Scheltema, M, De Rechtsstaat, dalam J.W.M. Engels (et al), Zwolle: Tjeen Willink, 1989.
Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat
Cet.3, Jakarta: Rajawali Pers, 1990.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum cet ke-3, Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 1942.
Soekanto, Soerjono, dan R. Otje Salman. Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996.
Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat; Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran
Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, Cet. Ke-2, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Nusantara, 2004.
Suny, Ismail. Pembagian Kekuasaan Negara, Cet. Ke-2, Jakarta: Aksara Baru, 1978.
Triwulan Tutik, Titik. Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai
Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca
Amandemen UUD 1945.
Triwulan Tutik, Titik. Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD
1945, Ed. 1, Cet. 2, Jakarta: Prenada Media, 2011.
PERUNDANG-UNDANGAN:
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung.
Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 Tentang Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang No. 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial.
Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD.
WEBSITE:
www.dpr.go.id
www.mahkamahkonstitusi.go.id