Penggunaan Antibiotika Yang Rasional Pada Infeksi Saluran ...
Transcript of Penggunaan Antibiotika Yang Rasional Pada Infeksi Saluran ...
Penggunaan Antibiotika Yang Rasional Pada Infeksi Saluran
Napas Bawah
Cleopas Martin Rumende
Secara anatomi saluran napas dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu saluran napas
atas yang terdiri dari hidung, faring, dan struktur disekitarnya serta saluran napas
bawah yang dimulai dari laring, trakea, bronkus dan cabang-cabangnya hingga
parenkim paru.1
Menurut National Institute for Health and Care Excellence
(NICE), infeksi saluran napas bagian bawah didefinisikan sebagai suatu penyakit
akut (durasi sakit ≤ 21 hari), dengan batuk sebagai gejala utama disertai minimal 1
gejala infeksi saluran napas bawah lain yaitu demam, peningkatan produksi
sputum, sesak, wheezing, rasa tidak nyaman atau nyeri pada dada, dan tidak ada
kondisi lain yang dapat menjelaskan gejala tersebut.2 Pneumonia, bronkitis akut
dan PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis) eksarsebasi akut termasuk dalam
definisi ini.2
Pada makalah ini, penggunaan antibiotik pada infeksi saluran napas
bawah lebih ditekankan pada penyakit pneumonia.
Pneumonia adalah infeksi pada parenkim paru yang menurut pedoman
American Thoracic Society (ATS) dan Infectious Diseases Society of America
(IDSA) tahun 2007 diklasifikasikan menjadi 4 katagori yaitu Community-acquired
pneumonia (CAP), Hospital-acquired pneumonia (HAP), Healthcare-associated
Pneumonia (HCAP) dan Ventilator-associated pneumonia (VAP).3,4,5
Community-acquired pneumonia adalah pneumonia yang diperoleh akibat
paparan kuman di komunitas dan bukan dari lingkungan rumah sakit atau fasilitas
kesehatan.3 Hospital-acquired pneumonia (HAP) adalah pneumonia yang terjadi
setelah dirawat > 48 jam di rumah sakit.4 Ventilator-associated pneumonia adalah
pneumonia yang terjadi setelah 48-72 jam pasien diintubasi dan menggunakan
ventilator.4
Definisi baku HCAP belum ada, tetapi ATS merekomendasikan bahwa
HCAP pasien pneumonia dengan faktor risiko seperti yang dapat dilihat pada
tabel 1.3,4
Lebih lanjut HAP, VAP dan HCAP dapat dikelompokkan kedalam
pneumonia nosokomial karena infeksi yang didapat berkaitan dengan kondisi
lingkungan di rumah sakit. Penggolongan pneumonia menjadi penting karena
pengobatan pneumonia harus disesuaikan dengan etiologi infeksi dimana masing-
masing jenis pneumonia umumnya didominasi oleh jenis bakteri tertentu.
Tabel 1. Faktor risiko infeksi oleh kuman MDR pada HAP, VAP dan HCAP4
Pemakaian antibiotik pada 90 hari terakhir
Di rawat di rumah sakit ≥ 5 hari
Tingginya frekuensi resistensi antibiotik di masyarakat atau di rumah sakit
tersebut
Faktor risiko HCAP
o Dirawat di rumah sakit ≥ 2 hari dalam 90 hari terakhir
o Tinggal di panti jompo
o Terapi infus di rumah (termasuk antibiotik)
o Hemodialisa dalam 30 hari
o Perawatan luka di rumah
o Anggota keluarga terinfeksi patogen multiresisten
o Penyakit immunosupresi atau pemberian immunoterapi
Penyebab lain yang perlu juga mendapat perhatian yaitu adanya virus-virus
tertentu sebagai penyebab pneumonia yaitu coronavirus yang menyebabkan
Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) dan Middle East Respiratory
Syndrome (MERS) serta virus influenza sebagai penyebab avian influenzae yang
dapat menimbulkan komplikasi primary viral pneumonia. 3 Karena etiologi utama
pneumonia adalah bakteri dan pemeriksaan kultur untuk mengidentifikasinya
memerlukan waktu 3 sampai 5 hari, maka pemberian antibiotik empiris menjadi
sangat penting.5 Antibiotik empiris yang diberikan harus disesuaikan dengan pola
kuman dan resistensinya, dan dari penelitian ditemukan adanya perbedaan etiologi
antara pneumonia komunitas dan pneumonia nosokomial.3,4,5
Pada CAP bakteri yang mendominasi adalah Streptococcus pneumoniae,
Mycoplasma pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan Chlamydia pneumoniae.3
Pada pneumonia nosokomial jenis etiologinya dipengaruhi oleh ada tidaknya
risiko terinfeksi bakteri MDR (Multi Drug Resistant) seperti yang dapat dilihat
pada tabel 1. Hospital-acquired pneumonia juga dibedakan menjadi early onset
(pneumonia terjadi <5 hari perawatan di rumah sakit) dan late onset (pneumonia
terjadi ≥5 hari perawatan di rumah sakit), pada HAP yang late onset pemberian
antibiotik harus mencakup spektrum yang lebih luas dan dapat mengatasi bakteri
MDR.4
Pneumonia nosokomial tanpa risiko terinfeksi bakteri MDR biasanya
disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenzae, Methicillin-
sensitif S. aureus, dan bakteri batang enterik gram negatif yang umumnya masih
sensitif dengan berbagai jenis antibiotik yaitu Escherichia coli, Klebsiella
pneumonia, Enterobacter species, Proteus species dan Serratia marcescens.4
Pneumonia nosokomial dengan risiko terinfeksi bakteri MDR biasanya
disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa ,Klebsiella pneumonia (ESBL),
Acinetobacter species dan Methicillin-resistant Staphylococus aureus (MRSA).4
Quartin (2013) melaporkan hasil analisis retrospektif terhadap 1184 pasien
(HCAP = 199, HAP = 379, VAP = 606) yang sebagian besar berasal dari rumah
sakit di Amerika Serikat, dimana Pseudomonas aeruginosa merupakan penyebab
tersering dari pneumonia nosokomial [HCAP, 22/199 (11.1%); HAP, 28/379
(7.4%); VAP, 57/606 (9.4%)], diikuti dengan Klebsiella dan Acinetobacter spp.6
Hasil yang berbeda didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh Rumende
(2008) dimana dari 209 isolat yang berasal dari darah, saluran napas atas dan
saluran napas bawah pasien VAP di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo,
Acinetobacter anitratus merupakan jenis bakteri terbanyak dengan jumlah 68
isolat (32,5%), diikuti dengan Pseudomonas aeruginosa sebanyak 34 isolat
(16,3%) dan Klebsiella pneumoniae sebanyak 22 isolat (10,5%).7
Demikian juga
dengan Saragih (2013) yang melaporkan 201 pasien dengan VAP di RSCM,
didapatkan hasil kultur sputum terbanyak adalah Acinetobacter spp. (38,7%),
Klebsiella pneumonia (25%), dan Pseudomonas spp. (13,7%).8
Mekanisme terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotik tergantung
pada jenis bakteri.9 Menurut Peleg and Hooper terdapat beberapa mekanisme
resistensi antibiotik seperti tampak pada gambar 1.9 Mekanisme-mekanisme
tersebut adalah :
1. Penutupan celah atau pori (loss of porins) pada dinding sel bakteri yang
mengakibatkan penurunan kemampuan antibiotik untuk melintasinya
sehingga kerja obat menjadi tidak efektif. Antibiotika yang kerjanya
dihambat dengan mekanisme ini adalah dari golongan karbapenem.
2. Peningkatan produksi betalaktamase dalam periplasmik yang dapat
merusak struktur betalaktam sehingga menghambat kerja antibiotika dari
golongan β-laktam tersebut.
3. Peningkatan aktivitas pompa transmembran bakteri (efflux pump) yang
akan mendorong kembali antibiotik untuk keluar sebelum bekerja.
Antibiotika yang menjadi tidak efektif akibat adanya efflux pump ini
adalah dari golongan β-laktam, quinolon, aminoglikosida, tetrasiklin dan
klorampenikol.
4. Modifikasi enzim-enzim yang merupakan tempat target kerja antibiotik
sehingga tidak dapat berinteraksi. Antibiotika yang menjadi tidak efektif
akibat modifikasi enzim ini adalah dari golongan aminoglikosida dan
quinolon.
5. Mutasi tempat kerja yang merupakan target dari antibiotik sehingga
efektifitasnya menjadi berkurang. Antibiotika yang dihambat akibat
adanya mutasi ini adalah dari golongan quinolon.
6. Modifikasi atau mutasi ribosom, sehingga mencegah penggabungan
antibiotik yang dapat menghambat sintesis protein bakteri. Antibiotika
yang menjadi tidak efektif akibat adanya mutasi ini adalah dari golongan
tetrasiklin dan aminoglikosida.
7. Mutasi struktur lipopolisakarida pada dinding kuman. Antibiotika yang
menjadi tidak efektif akibat adanya mutasi lipoporisakarida ini adalah dari
golongan polimiksin.
Gambar1. Mekanisme Resistensi Bakteri Gram Negatif8
Dengan mengetahui pola kuman penyebab pneumonia beserta
resistensinya maka diharapkan sementara menunggu hasil kultur dapat diberikan
terapi empiris dengan pemilihan jenis antibiotik yang lebih tepat. Jika hasil kultur
bakteri sudah didapatkan maka selanjutnya dilakukan penyesuaian jenis antibiotik
dengan mempertimbangkan respons klinis yang ada.4 Pemilihan jenis antibiotika
untuk terapi empiris CAP dapat dilihat pada tabel 2. Yang harus diperhatikan
adalah bahwa antibiotika yang diberikan pada CAP harus dapat mengatasi baik
patogen yang tipikal maupun yang atipikal yaitu Chlamydia, Mycoplasma dan
Legionella. Selain itu masalah resistensi juga harus dipertimbangkan terutama
pada pasien dengan faktor risiko. Menurut ATS/IDSA faktor risiko resisten obat
pada CAP dibagi menjadi 2 yaitu risiko terinfeksi oleh Drug-resistant S.
pneumoniae (DRSP) dan risiko terinfeksi oleh bakteri pseudomonas yang
multidrugs resistant (MDR). Faktor risiko terinfeksi oleh bakteri DRSP adalah
pasien dengan usia >65 tahun, penggunaan antibiotik dalam 3 bulan terakhir,
alkoholisme, kondisi imunosupresif, penyakit komorbid seperti diabetes,
malignansi, dan penyakit kronis pada ginjal, hati, paru dan jantung).5
Tabel 2. Pilihan antibiotika empiris pada CAP
Rawat Jalan Rawat Inap, Non-ICU
1. Pasien yang sebelumnya sehat dan tanpa riwayat pemberian antibiotik selama 3 bulan terakhir :
Makrolid (klarithromisin oral 500 mg 2 x/hari atau azithromisin oral 500 mg dihari pertama, kemudian 250 mg 1 x/hari) atau
Doksisiklin oral 100 mg 2 x/hari 2.Dengan komorbiditas atau dengan riwayat pemberian antibiotik dalam 3 bulan terakhir, pilihan antibiotika yang dapat diberikan :
Respiratory quinolone (moksifloksasin 400 mg 1 x/hari), levofloksasin (750 mg 1x/hari) atau
β-laktam (dosis tinggi amoksisilin 1 g 3x/hari) atau amoksisilin/asam klavulanat (2 g 2x/hari).
Alternatif lain : seftriakson 1-2 g 1x/hari, cefpodoksim 200 mg 2x/hari, sefuroksim 500 mg 2x/hari, ditambah makrolid
Respiratory quinolone (moksifloksasin iv 400 mg 1x/hari) atau levofloksasin iv 750 mg 1x/hari)
β-laktam (seftriakson iv 1-2 g 1x/hari), ampisillin iv 1-2 g 4-6 x/hari, sefotaksim iv 1-2 g 3x/hari) ertapenem 1 g 1x/hari) ditambah makrolid (klarithromisin atau azithromisin oral atau azithromisin iv, hari pertama 1 g 1x/hari, kemudian 500 mg 1x/hari)
Perhatian khusus Rawat Inap, ICU
Jika ada dugaan Pseudomonas :
β-laktam antipseudomonas (Piperasillin/tazobaktam 4.5 g 4x/hari, sefepim 1-2 g 2x/hari, imipenem 500 mg 4x/hari, meropenem 1 g 3x/hari ditambah siprofloksasin (400 mg iv 2 x/hari) atau levofloxacin iv 750 mg 1x/hari)
β-laktam seperti di atas ditambah aminoglikosid (amikasin (15 mg/kg 1 x/hari) atau tobramisin (1.7 mg/kg 1x/hari) ditambah azithromycin
β-laktam seperti di atas ditambah aminoglikosid dan antipneumococcal quinolone
Jika ada dugaan CA-MRSA :
Tambahkan linezolid iv 600 mg 2 x/hari atau vankomisin dengan dosis awal 15 mg/kg 2x/hari, selanjutnya dosis dapat disesuaikan.
β-laktam (seftriakson iv 2 g 1x/hari, ampisillin-sulbaktam iv 2 g 3x/hari), atau sefotaksim iv 1-2 g 3x/hari) ditambah azithromisin atau kuinolon (seperti pada rawat inap, non-ICU diatas)
Lama pemberian antibiotik untuk pasien CAP minimal 5 hari, bebas
demam selama 48-72 jam, dan secara klinis stabil.5 Pemberian antibiotik tersebut
dapat diperpanjang bila ditemukan adanya infeksi ekstrapulmonal lainnya.5
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam memilih antibiotik adalah spektrum
antibiotik, mekanisme kerja, farmakokinetik/farmakodinamik (PK/PD), harga,
ketersediaan obat dan pola kuman di rumah sakit setempat. Setiap golongan
antibiotika mempunyai spektrum dan mekanisme kerja yang berbeda. Golongan
β-laktam (penisilin, sefalosporin dan karbapenem) bekerja dengan menghambat
sintesis dinding sel bakteri dan mempunyai spektrum yang beragam tergantung
dari jenisnya.10,11
Golongan sefalosporin yang aktif terhadap kuman pseudomonas
aeruginosa adalah seftazidim, sefoperazon dan cefepim.10
Golongan kuinolon
bekerja dengan menghambat DNA gyrase pada inti sel bakteri sehingga
menyebabkan kerusakan untaian DNA.10,11
Antibiotika golongan kuinolon dapat
dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu respiratory quinolone/antipneumococcal
quinolone dan non-respiratory quinolone atau lebih dikenal sebagai kuinolon
antipseudomonas. Respiratory quinolone mempunyai spektrum antibakteri yang
luas termasuk juga untuk patogen atipik sedangkan non-respiratory quinolone
terutama aktif untuk bakteri gram negatif termasuk Pseudomonas, sedangkan
untuk bakteri gram positif seperti Streptococcus pneumonia efektifitasnya
terbatas.10
Yang termasuk golongan respiratory quinolone adalah levofloksasin,
moksifloksasin dan gemifloksasin, sedangkan non-respiratory quinolone adalah
siprofloksasin. Golongan makrolid bekerja dengan mengikat subunit ribosom 50S
pada sitoplasma sehingga menghambat sintesis protein.10,11
Golongan makrolid
seperti Azitromisin dapat mengatasi infeksi oleh bakteri atipikal seperti
Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae dan Legionella pneumophlla.10
Golongan Polimiksin memiliki aktivitas bakterisidal melalui interaksi dengan
molekul lipopolisakarida (LPS) di membran luar bakteri gram negatif.12
Interaksi
tersebut akan menggangu ikatan kalsium (Ca2+
) dan magnesium (Mg2+
) yang
berfungsi menjaga kestabilan membrane sel.12
Golongan polimiksin hanya aktif
untuk bakteri gram negatif termasuk yang penting sebagai etiologi pneumonia
nosokomial seperti Acinetobacter spp, Klebsiella pneumoniae dan Pseudomonas
aeruginosa.10,11,13
Cara pemberian antibiotik juga harus disesuaikan dengan karakter
farmakokinetik dan farmakodinamik (PK/PD) obat tersebut.14
Terdapat 3
karakteristik PK/PD dalam pemberian antibiotika yaitu Cmax/MIC (dose
dependent) dimana efektifitas antibiotik ditentukan oleh perbandingan antara
konsentrasi maksimal obat dengan MIC nya, yang termasuk disini adalah
antibiotika golongan aminoglikosida. Karakteristik yang lain adalah T > MIC
(time dependent) dimana efektifitas antibiotika ditentukan oleh lamanya
konsentrasi obat yang berada diatas MIC. Termasuk dalam karakteristik ini adalah
antibiotika golongan betalaktam. Karakteristik terakhir yaitu AUC/MIC dimana
efektifitas antibiotik ditentukan oleh konsentrasi dan waktu, dan yang termasuk
dalam karakter ini adalah antibiotika golongan vankomisin dan kuinolon.10,14
Dengan memahami PK/PD antibiotika yang diberikan, efektifitas dalam
pengobatan akan menjadi lebih baik, terutama dalam menghadapi resistensi
bakteri, misalnya meropenem jika diberikan secara extended infusion ternyata
mempunyai angka kesembuhan klinis yang lebih baik jika dibandingkan dengan
pemberian secara bolus.14
Pemberian antibiotika pada pneumonia nosokomial disesuaikan dengan
ada tidaknya faktor risiko infeksi oleh kuman MDR seperti yang disebutkan
diatas. Regimen pemberian antibiotika empiris untuk HAP,VAP dan HCAP dapat
dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Pilihan antibiotika empiris pada HAP-VAP-HCAP
Dengan faktor risiko MDR pathogens Tanpa faktor risiko MDR pathogens
1. β-laktam : Seftazidim iv 2 g 3x/hari atau sefepim iv 2 g 2-3x/hari atau piperasillin /tazobaktam 4.5 g 4x/hari atau imipenem 500 mg 4x/hari atau 1 g 3x/hari) atau meropenem 1 g 3x/hari ditambah :
2. Gentamisin atau tobramysin iv 7 mg/kg 1 x/hari atau amikasin 20 mg/kg 1 x/hari atau siprofloksasin iv 400 mg 3x/hari atau Levofloksasin 750 mg 1x/hari
ditambah : 3. Linezolid iv 600 mg 2x/hari atau Vankomisin dengan dosis awal 15 mg/kg 2x/hari,selanjutnya dosis dapat disesuaikan.
Seftriakson 2 g 1x/hari atau sefotaksim 2 g 3-4x/hari atau moksifloksasin iv 400 mg 1x/hari, siprofloksasin 400 mg 3x/hari), atau levoflokasin iv 750 mg 1x/hari atau ampisillin/sulbaktam 1v 3 g 4x/hari atau ertapenem iv 1 g 1x/hari.
Untuk mengatasi infeksi oleh bakteri MDR, diberikan terapi kombinasi
antibiotik yang masing-masing bekerja dengan cara yang berbeda pada sel bakteri
sehingga diharapkan dapat memberikan efek sinergistik dalam membunuh bakteri
serta mencegah timbulnya resistensi. Dengan mengetahui perangkat apa atau
mekanisme resistensi yang mana pada bakteri yang dapat menyebabkan timbulnya
resistensi, maka diharapkan dapat diberikan antibiotika yang sesuai. Untuk
mengatasi infeksi oleh bakteri A. baumanii yang mengalami mutasi akibat
kehilangan porin pada dinding sel, maka diberikan antibiotika lain seperti
golongan polimiksin yang dapat bekerja tanpa membutuhkan porin. Dengan
rusaknya stabilitas membran sel akibat polimiksin memungkinkan antibiotika
golongan karbapenem untuk tetap dapat bekerja sehingga timbulah sinergisme
antara kedua antibiotika tersebut.15
Dalam dekade terakhir, bakteri extensively drug resistant (XDR) telah
menjadi perhatian dunia. Definisi bakteri XDR menurut European Centre for
Disease Prevention and Control (ECDC) adalah bakteri yang memiliki kepekaan
hanya terhadap ≤ 2 golongan antibiotika.16
Hingga saat ini belum adanya pedoman
standar pemberian antibiotika untuk mengatasi infeksi oleh bakteri XDR baik
lokal maupun internasional. Pemberian kombinasi antibiotika sejauh ini hanya
didasarkan pada hasil uji in vitro, dan penelitian retrospektif serta kohort
prospektif.
Polimiksin B dianggap masih menjadi pilihan untuk mengatasi XDR
karena angka resistensinya terhadap bakteri gram negatif lebih rendah. Pemberian
polimiksin B yang dikombinasikan dengan golongan karbapenem khususnya
doripenem secara in vitro, terbukti dapat menghasilkan efek sinergisme untuk
mengeradikasi bakteri gram negatif MDR dan XDR.15,17,18,19
Pada sebuah studi meta-analisis mengenai kombinasi polimikisin dengan
karbapenem secara in vitro menunjukkan hasil yang cukup baik dimana
didapatkan efek sinergime hingga 77% pada kuman Acinetobacter baumannii,
44% pada Klebsiella pneumoniae, dan 50% pada Pseudomonas aeruginosa
dengan nilai antagonisme yang kecil.19
Dari
golongan karbapenem tersebut,
doripenem menunjukkan sinergisme yang paling baik pada ketiga kuman.19
Yoon dkk. (2003) melakukan penelitian in vitro untuk melihat sinergisme
antara polimiksin B dengan imipenem dan rifampisin pada kuman Acinetobacter
baumannii yang resisten terhadap berbagai macam obat.15
Hasil yang didapat
adalah kombinasi polimiksin B (0,25-0,5 µg/ml) dengan imipenem 8 µg/ml
memberikan efek bakterisidal pada 7 dari 8 isolat yang diujikan.15
Urban dkk. (2009) melakukan penelitian in vitro untuk melihat sinergisme
antara polimiksin B, doripenem dan rifampisin pada kuman Acinetobacter
baumannii, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella pneumonia dan Escherichia coli
yang resisten terhadap berbagai macam obat.17
Hasil yang didapat adalah bahwa
dengan kombinasi polimiksin B ditambah doripenem dan rifampisin yang masing-
masing diberikan dengan konsentrasi ¼ dari MIC, ternyata aktifitas
bakterisidalnya didapat pada 90 % isolat.17
Berdasakan data ini maka pemberian
kombinasi 3 obat tersebut mungkin dapat dipertimbangkan untuk mengatasi
infeksi akibat kuman MDR.17
Lee dkk. (2013) melakukan penelitian in vitro
untuk melihat efek
bakterisidal kombinasi polimiksin dengan doripenem pada kuman Klebsiella
pneumonia yang memproduksi KPC (Klebsiella pneumonia carbapenemase).18
Hasil yang didapat adalah dengan kombinasi polimiksin B (0,125-0,5 µg/ml) dan
doripenem (6 µg/ml), efek bakterisidal terjadi dalam 4 jam dan bertahan selama
24 jam. Sedangan pada kelompok yang diberikan polimiksin saja, efek
bakterisidal terjadi dalam 12 jam tetapi koloni kemudian tumbuh kembali secara
signifikan dalam waktu 24 jam.18
Bakteri yang sebelumnya peka dengan golongan
polimiksin, jika diberikan monoterapi dengan polimiksin saja, maka resistensi
akan timbul setelah 24 jam.18
Dari penelitian ini disimpulkan bahwa kombinasi
polimiksin dengan doripenem dapat dipertimbangkan untuk mengatasi infeksi
oleh Klebsiella pneumonia yang resisten terhadap karbapanem, tanpa perlu
meningkatkan dosis secara agresif. 18
Mangoni dkk melakukan uji klinis dengan randomisasi untuk melihat
efektifitas monoterapi colistin dibandingan dengan terapi kombinasi colistin
ditambah rifampisin pada pasien dengan infeksi berat akibat kuman Acinetobacter
baumannii yang XDR.20
Hasil yang didapat adalah dari 210 subjek, tidak
ditemukan perbedaan bermakna pada besarnya angka kematian selama 30 hari
dari kedua jenis terapi tersebut (p=0,95), serta tidak ditemukan juga perbedaan
yang bermakna dalam lamanya perawatan di rumah sakit. Namun demikian
didapatkan perbedaan yang bermakna dalam kecepatan eradikasi kuman, dimana
eradikasi kuman menjadi lebih cepat pada subjek yang diberi terapi kombinasi
(p=0,034).20
Pada penelitian ini disimpulkan bahwa penambahan rifampisin secara
rutin pada pemberian colistin belum dianjurkan, walaupun dapat meningkatkan
kecepatan eradikasi bakteri yang XDR. 2
Kesimpulan
1. Pemberian antibiotik yang rasional harus mempertimbangkan dosis,
spektrum antibiotik, farmakodinamik dan farmakokinetik, harga obat dan
ketersediaan obat.
2. Pemberian antibiotik empiris pada pneumonia harus disesuaikan dengan
pola bakteri penyebab dan resistensinya, jenis pneumonianya apakah
komunitas atau nosokomial serta ada tidaknya faktor risiko infeksi oleh
kuman MDR.
3. Pemberian antibiotik secara kombinasi bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan eridaksi bakteri karena adanya efek sinergisme antar
antibiotik.
4. Pedoman ATS/IDSA memberikan pilihan antibiotika empiris pada CAP-
HAP-VAP-HCAP, baik untuk bakteri yang masih suseptibel maupun yang
sudah dicurigai MDR.
5. Belum ada pedoman baku pemberian antibiotika pada pneumonia yang
disebabkan oleh bakteri XDR. Polimiksin B yang dikombinasikan dengan
golongan karbapenem khususnya doripenem dapat dipertimbangkan
pilihan terapi.
Daftar Pustaka
1. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology. 12nd
ed. Hoboken: John Wiley & Sons, Inc; 2009. p.874-911.
2. National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE). Pneumonia:
Diagnosis and Management of Community and Hospital-Acquired
Pneumonia in Adults. London,UK: National Institute for Health and
Clinical Excellence; 2014. NICE Clinical Guideline No. 191.
3. Kasper DL, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J.
Harrison's Principles of Internal Medicine. 19th ed. New York: McGraw-
Hill Medical Publishing Division; 2015.
4. American Thoracic Society. Guidelines for the Management of Adults
with Hospital-acquired, Ventilator-associated, and Healthcare-associated
Pneumonia. Am J Respir Crit Care Med Vol 171; 2005. p. 388–416.
5. Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, Bartlett JG, Campbell GD, Dean
NC, et al. Infectious Diseases Society of America/American Thoracic
Society consensus guidelines on the management of community-acquired
pneumonia in adults. Clinical infectious diseases : an official publication
of the Infectious Diseases Society of America. 2007;44 Suppl 2:S27-72.
6. Quartin A, Scerpella E, Puttagunta S, Kett D. A comparison of
microbiology and demographics among patients with healthcare-
associated, hospital-acquired, and ventilator-associated pneumonia: a
retrospective analysis of 1184 patients from a large, international study.
BMC Infectious Diseases. 2013;13(1):561.
7. Rumende CM. Pola resistensi kuman penyebab VAP di RSCM tahun
2006-2007 [disertasi]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2008.
8. Saragih RJ. Faktor-Faktor Prediktor Mortalitas Pada Pasien Ventilator-
Associated Pneumonia di RSCM [Tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia;
2013.
9. Peleg AY, Hooper DC. Hospital-Acquired Infections Due to Gram-
Negative Bacteria. New England Journal of Medicine. 2010;362(19):1804-
13.
10. Whalen K, Finkel R, Panavelil TA. Lippincott Illustrated Reviews:
Pharmacology. 6th Ed. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2015.
11. Brunton LL, Parker KL, Blumenthal DK, Buxton IL. Goodman &
Gilman's The Pharmacological Basis of Therapeutics. 11th ed. New York:
McGraw-Hill; 2008.
12. Zavascki AP, Goldani LZ, Li J, Nation RL. Polymyxin B for the treatment
of multidrug-resistant pathogens: a critical review. The Journal of
antimicrobial chemotherapy. 2007;60(6):1206-15.
13. Nation RL, Li J, Cars O, Couet W, Dudley MN, Kaye KS, et al.
Framework for optimisation of the clinical use of colistin and polymyxin
B: the Prato polymyxin consensus. The Lancet Infectious
Diseases.15(2):225-34.
14. Grgurich PE, Hudcova J, Lei Y, Sarwar A, Craven DE. Management and
prevention of ventilator-associated pneumonia caused by multidrug-
resistant pathogens. Expert review of respiratory medicine. 2012;6(5):533-
55.
15. Yoon J, Urban C, Terzian C, Mariano N, Rahal JJ. In Vitro Double and
Triple Synergistic Activities of Polymyxin B, Imipenem, and Rifampin
against Multidrug-Resistant Acinetobacter baumannii. Antimicrobial
agents and chemotherapy. 2004;48(3):753-7.
16. Magiorakos AP, Srinivasan A, Carey RB, Carmeli Y, Falagas ME, Giske
CG, et al. Multidrug-resistant, extensively drug-resistant and pandrug-
resistant bacteria: an international expert proposal for interim standard
definitions for acquired resistance. Clinical microbiology and infection :
the official publication of the European Society of Clinical Microbiology
and Infectious Diseases. 2012;18(3):268-81.
17. Urban C, Mariano N, Rahal JJ. In vitro double and triple bactericidal
activities of doripenem, polymyxin B, and rifampin against multidrug-
resistant Acinetobacter baumannii, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella
pneumoniae, and Escherichia coli. Antimicrobial agents and
chemotherapy. 2010;54(6):2732-4.
18. Lee GC, Burgess DS. Polymyxins and Doripenem Combination Against
KPC-Producing Klebsiella pneumoniae. Journal of clinical medicine
research. 2013;5(2):97-100.
19. Zusman O, Avni T, Leibovici L, Adler A, Friberg L, Stergiopoulou T, et
al. Systematic review and meta-analysis of in vitro synergy of polymyxins
and carbapenems. Antimicrobial agents and chemotherapy.
2013;57(10):5104-11.
20. Durante-Mangoni E, Signoriello G, Andini R, Mattei A, De Cristoforo M,
Murino P, et al. Colistin and rifampicin compared with colistin alone for
the treatment of serious infections due to extensively drug-resistant
Acinetobacter baumannii: a multicenter, randomized clinical trial. Clinical
infectious diseases : an official publication of the Infectious Diseases
Society of America. 2013;57(3):349-58.