Penggunaan Antibiotika Yang Rasional Pada Infeksi Saluran ...

14
Penggunaan Antibiotika Yang Rasional Pada Infeksi Saluran Napas Bawah Cleopas Martin Rumende Secara anatomi saluran napas dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu saluran napas atas yang terdiri dari hidung, faring, dan struktur disekitarnya serta saluran napas bawah yang dimulai dari laring, trakea, bronkus dan cabang-cabangnya hingga parenkim paru. 1 Menurut National Institute for Health and Care Excellence (NICE), infeksi saluran napas bagian bawah didefinisikan sebagai suatu penyakit akut (durasi sakit ≤ 21 hari), dengan batuk sebagai gejala utama disertai minimal 1 gejala infeksi saluran napas bawah lain yaitu demam, peningkatan produksi sputum, sesak, wheezing, rasa tidak nyaman atau nyeri pada dada, dan tidak ada kondisi lain yang dapat menjelaskan gejala tersebut. 2 Pneumonia, bronkitis akut dan PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis) eksarsebasi akut termasuk dalam definisi ini. 2 Pada makalah ini, penggunaan antibiotik pada infeksi saluran napas bawah lebih ditekankan pada penyakit pneumonia. Pneumonia adalah infeksi pada parenkim paru yang menurut pedoman American Thoracic Society (ATS) dan Infectious Diseases Society of America (IDSA) tahun 2007 diklasifikasikan menjadi 4 katagori yaitu Community-acquired pneumonia (CAP), Hospital-acquired pneumonia (HAP), Healthcare-associated Pneumonia (HCAP) dan Ventilator-associated pneumonia (VAP). 3,4,5 Community-acquired pneumonia adalah pneumonia yang diperoleh akibat paparan kuman di komunitas dan bukan dari lingkungan rumah sakit atau fasilitas kesehatan. 3 Hospital-acquired pneumonia (HAP) adalah pneumonia yang terjadi setelah dirawat > 48 jam di rumah sakit. 4 Ventilator-associated pneumonia adalah pneumonia yang terjadi setelah 48-72 jam pasien diintubasi dan menggunakan ventilator. 4 Definisi baku HCAP belum ada, tetapi ATS merekomendasikan bahwa HCAP pasien pneumonia dengan faktor risiko seperti yang dapat dilihat pada tabel 1. 3,4 Lebih lanjut HAP, VAP dan HCAP dapat dikelompokkan kedalam pneumonia nosokomial karena infeksi yang didapat berkaitan dengan kondisi lingkungan di rumah sakit. Penggolongan pneumonia menjadi penting karena

Transcript of Penggunaan Antibiotika Yang Rasional Pada Infeksi Saluran ...

Penggunaan Antibiotika Yang Rasional Pada Infeksi Saluran

Napas Bawah

Cleopas Martin Rumende

Secara anatomi saluran napas dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu saluran napas

atas yang terdiri dari hidung, faring, dan struktur disekitarnya serta saluran napas

bawah yang dimulai dari laring, trakea, bronkus dan cabang-cabangnya hingga

parenkim paru.1

Menurut National Institute for Health and Care Excellence

(NICE), infeksi saluran napas bagian bawah didefinisikan sebagai suatu penyakit

akut (durasi sakit ≤ 21 hari), dengan batuk sebagai gejala utama disertai minimal 1

gejala infeksi saluran napas bawah lain yaitu demam, peningkatan produksi

sputum, sesak, wheezing, rasa tidak nyaman atau nyeri pada dada, dan tidak ada

kondisi lain yang dapat menjelaskan gejala tersebut.2 Pneumonia, bronkitis akut

dan PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis) eksarsebasi akut termasuk dalam

definisi ini.2

Pada makalah ini, penggunaan antibiotik pada infeksi saluran napas

bawah lebih ditekankan pada penyakit pneumonia.

Pneumonia adalah infeksi pada parenkim paru yang menurut pedoman

American Thoracic Society (ATS) dan Infectious Diseases Society of America

(IDSA) tahun 2007 diklasifikasikan menjadi 4 katagori yaitu Community-acquired

pneumonia (CAP), Hospital-acquired pneumonia (HAP), Healthcare-associated

Pneumonia (HCAP) dan Ventilator-associated pneumonia (VAP).3,4,5

Community-acquired pneumonia adalah pneumonia yang diperoleh akibat

paparan kuman di komunitas dan bukan dari lingkungan rumah sakit atau fasilitas

kesehatan.3 Hospital-acquired pneumonia (HAP) adalah pneumonia yang terjadi

setelah dirawat > 48 jam di rumah sakit.4 Ventilator-associated pneumonia adalah

pneumonia yang terjadi setelah 48-72 jam pasien diintubasi dan menggunakan

ventilator.4

Definisi baku HCAP belum ada, tetapi ATS merekomendasikan bahwa

HCAP pasien pneumonia dengan faktor risiko seperti yang dapat dilihat pada

tabel 1.3,4

Lebih lanjut HAP, VAP dan HCAP dapat dikelompokkan kedalam

pneumonia nosokomial karena infeksi yang didapat berkaitan dengan kondisi

lingkungan di rumah sakit. Penggolongan pneumonia menjadi penting karena

pengobatan pneumonia harus disesuaikan dengan etiologi infeksi dimana masing-

masing jenis pneumonia umumnya didominasi oleh jenis bakteri tertentu.

Tabel 1. Faktor risiko infeksi oleh kuman MDR pada HAP, VAP dan HCAP4

Pemakaian antibiotik pada 90 hari terakhir

Di rawat di rumah sakit ≥ 5 hari

Tingginya frekuensi resistensi antibiotik di masyarakat atau di rumah sakit

tersebut

Faktor risiko HCAP

o Dirawat di rumah sakit ≥ 2 hari dalam 90 hari terakhir

o Tinggal di panti jompo

o Terapi infus di rumah (termasuk antibiotik)

o Hemodialisa dalam 30 hari

o Perawatan luka di rumah

o Anggota keluarga terinfeksi patogen multiresisten

o Penyakit immunosupresi atau pemberian immunoterapi

Penyebab lain yang perlu juga mendapat perhatian yaitu adanya virus-virus

tertentu sebagai penyebab pneumonia yaitu coronavirus yang menyebabkan

Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) dan Middle East Respiratory

Syndrome (MERS) serta virus influenza sebagai penyebab avian influenzae yang

dapat menimbulkan komplikasi primary viral pneumonia. 3 Karena etiologi utama

pneumonia adalah bakteri dan pemeriksaan kultur untuk mengidentifikasinya

memerlukan waktu 3 sampai 5 hari, maka pemberian antibiotik empiris menjadi

sangat penting.5 Antibiotik empiris yang diberikan harus disesuaikan dengan pola

kuman dan resistensinya, dan dari penelitian ditemukan adanya perbedaan etiologi

antara pneumonia komunitas dan pneumonia nosokomial.3,4,5

Pada CAP bakteri yang mendominasi adalah Streptococcus pneumoniae,

Mycoplasma pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan Chlamydia pneumoniae.3

Pada pneumonia nosokomial jenis etiologinya dipengaruhi oleh ada tidaknya

risiko terinfeksi bakteri MDR (Multi Drug Resistant) seperti yang dapat dilihat

pada tabel 1. Hospital-acquired pneumonia juga dibedakan menjadi early onset

(pneumonia terjadi <5 hari perawatan di rumah sakit) dan late onset (pneumonia

terjadi ≥5 hari perawatan di rumah sakit), pada HAP yang late onset pemberian

antibiotik harus mencakup spektrum yang lebih luas dan dapat mengatasi bakteri

MDR.4

Pneumonia nosokomial tanpa risiko terinfeksi bakteri MDR biasanya

disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenzae, Methicillin-

sensitif S. aureus, dan bakteri batang enterik gram negatif yang umumnya masih

sensitif dengan berbagai jenis antibiotik yaitu Escherichia coli, Klebsiella

pneumonia, Enterobacter species, Proteus species dan Serratia marcescens.4

Pneumonia nosokomial dengan risiko terinfeksi bakteri MDR biasanya

disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa ,Klebsiella pneumonia (ESBL),

Acinetobacter species dan Methicillin-resistant Staphylococus aureus (MRSA).4

Quartin (2013) melaporkan hasil analisis retrospektif terhadap 1184 pasien

(HCAP = 199, HAP = 379, VAP = 606) yang sebagian besar berasal dari rumah

sakit di Amerika Serikat, dimana Pseudomonas aeruginosa merupakan penyebab

tersering dari pneumonia nosokomial [HCAP, 22/199 (11.1%); HAP, 28/379

(7.4%); VAP, 57/606 (9.4%)], diikuti dengan Klebsiella dan Acinetobacter spp.6

Hasil yang berbeda didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh Rumende

(2008) dimana dari 209 isolat yang berasal dari darah, saluran napas atas dan

saluran napas bawah pasien VAP di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo,

Acinetobacter anitratus merupakan jenis bakteri terbanyak dengan jumlah 68

isolat (32,5%), diikuti dengan Pseudomonas aeruginosa sebanyak 34 isolat

(16,3%) dan Klebsiella pneumoniae sebanyak 22 isolat (10,5%).7

Demikian juga

dengan Saragih (2013) yang melaporkan 201 pasien dengan VAP di RSCM,

didapatkan hasil kultur sputum terbanyak adalah Acinetobacter spp. (38,7%),

Klebsiella pneumonia (25%), dan Pseudomonas spp. (13,7%).8

Mekanisme terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotik tergantung

pada jenis bakteri.9 Menurut Peleg and Hooper terdapat beberapa mekanisme

resistensi antibiotik seperti tampak pada gambar 1.9 Mekanisme-mekanisme

tersebut adalah :

1. Penutupan celah atau pori (loss of porins) pada dinding sel bakteri yang

mengakibatkan penurunan kemampuan antibiotik untuk melintasinya

sehingga kerja obat menjadi tidak efektif. Antibiotika yang kerjanya

dihambat dengan mekanisme ini adalah dari golongan karbapenem.

2. Peningkatan produksi betalaktamase dalam periplasmik yang dapat

merusak struktur betalaktam sehingga menghambat kerja antibiotika dari

golongan β-laktam tersebut.

3. Peningkatan aktivitas pompa transmembran bakteri (efflux pump) yang

akan mendorong kembali antibiotik untuk keluar sebelum bekerja.

Antibiotika yang menjadi tidak efektif akibat adanya efflux pump ini

adalah dari golongan β-laktam, quinolon, aminoglikosida, tetrasiklin dan

klorampenikol.

4. Modifikasi enzim-enzim yang merupakan tempat target kerja antibiotik

sehingga tidak dapat berinteraksi. Antibiotika yang menjadi tidak efektif

akibat modifikasi enzim ini adalah dari golongan aminoglikosida dan

quinolon.

5. Mutasi tempat kerja yang merupakan target dari antibiotik sehingga

efektifitasnya menjadi berkurang. Antibiotika yang dihambat akibat

adanya mutasi ini adalah dari golongan quinolon.

6. Modifikasi atau mutasi ribosom, sehingga mencegah penggabungan

antibiotik yang dapat menghambat sintesis protein bakteri. Antibiotika

yang menjadi tidak efektif akibat adanya mutasi ini adalah dari golongan

tetrasiklin dan aminoglikosida.

7. Mutasi struktur lipopolisakarida pada dinding kuman. Antibiotika yang

menjadi tidak efektif akibat adanya mutasi lipoporisakarida ini adalah dari

golongan polimiksin.

Gambar1. Mekanisme Resistensi Bakteri Gram Negatif8

Dengan mengetahui pola kuman penyebab pneumonia beserta

resistensinya maka diharapkan sementara menunggu hasil kultur dapat diberikan

terapi empiris dengan pemilihan jenis antibiotik yang lebih tepat. Jika hasil kultur

bakteri sudah didapatkan maka selanjutnya dilakukan penyesuaian jenis antibiotik

dengan mempertimbangkan respons klinis yang ada.4 Pemilihan jenis antibiotika

untuk terapi empiris CAP dapat dilihat pada tabel 2. Yang harus diperhatikan

adalah bahwa antibiotika yang diberikan pada CAP harus dapat mengatasi baik

patogen yang tipikal maupun yang atipikal yaitu Chlamydia, Mycoplasma dan

Legionella. Selain itu masalah resistensi juga harus dipertimbangkan terutama

pada pasien dengan faktor risiko. Menurut ATS/IDSA faktor risiko resisten obat

pada CAP dibagi menjadi 2 yaitu risiko terinfeksi oleh Drug-resistant S.

pneumoniae (DRSP) dan risiko terinfeksi oleh bakteri pseudomonas yang

multidrugs resistant (MDR). Faktor risiko terinfeksi oleh bakteri DRSP adalah

pasien dengan usia >65 tahun, penggunaan antibiotik dalam 3 bulan terakhir,

alkoholisme, kondisi imunosupresif, penyakit komorbid seperti diabetes,

malignansi, dan penyakit kronis pada ginjal, hati, paru dan jantung).5

Tabel 2. Pilihan antibiotika empiris pada CAP

Rawat Jalan Rawat Inap, Non-ICU

1. Pasien yang sebelumnya sehat dan tanpa riwayat pemberian antibiotik selama 3 bulan terakhir :

Makrolid (klarithromisin oral 500 mg 2 x/hari atau azithromisin oral 500 mg dihari pertama, kemudian 250 mg 1 x/hari) atau

Doksisiklin oral 100 mg 2 x/hari 2.Dengan komorbiditas atau dengan riwayat pemberian antibiotik dalam 3 bulan terakhir, pilihan antibiotika yang dapat diberikan :

Respiratory quinolone (moksifloksasin 400 mg 1 x/hari), levofloksasin (750 mg 1x/hari) atau

β-laktam (dosis tinggi amoksisilin 1 g 3x/hari) atau amoksisilin/asam klavulanat (2 g 2x/hari).

Alternatif lain : seftriakson 1-2 g 1x/hari, cefpodoksim 200 mg 2x/hari, sefuroksim 500 mg 2x/hari, ditambah makrolid

Respiratory quinolone (moksifloksasin iv 400 mg 1x/hari) atau levofloksasin iv 750 mg 1x/hari)

β-laktam (seftriakson iv 1-2 g 1x/hari), ampisillin iv 1-2 g 4-6 x/hari, sefotaksim iv 1-2 g 3x/hari) ertapenem 1 g 1x/hari) ditambah makrolid (klarithromisin atau azithromisin oral atau azithromisin iv, hari pertama 1 g 1x/hari, kemudian 500 mg 1x/hari)

Perhatian khusus Rawat Inap, ICU

Jika ada dugaan Pseudomonas :

β-laktam antipseudomonas (Piperasillin/tazobaktam 4.5 g 4x/hari, sefepim 1-2 g 2x/hari, imipenem 500 mg 4x/hari, meropenem 1 g 3x/hari ditambah siprofloksasin (400 mg iv 2 x/hari) atau levofloxacin iv 750 mg 1x/hari)

β-laktam seperti di atas ditambah aminoglikosid (amikasin (15 mg/kg 1 x/hari) atau tobramisin (1.7 mg/kg 1x/hari) ditambah azithromycin

β-laktam seperti di atas ditambah aminoglikosid dan antipneumococcal quinolone

Jika ada dugaan CA-MRSA :

Tambahkan linezolid iv 600 mg 2 x/hari atau vankomisin dengan dosis awal 15 mg/kg 2x/hari, selanjutnya dosis dapat disesuaikan.

β-laktam (seftriakson iv 2 g 1x/hari, ampisillin-sulbaktam iv 2 g 3x/hari), atau sefotaksim iv 1-2 g 3x/hari) ditambah azithromisin atau kuinolon (seperti pada rawat inap, non-ICU diatas)

Lama pemberian antibiotik untuk pasien CAP minimal 5 hari, bebas

demam selama 48-72 jam, dan secara klinis stabil.5 Pemberian antibiotik tersebut

dapat diperpanjang bila ditemukan adanya infeksi ekstrapulmonal lainnya.5

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam memilih antibiotik adalah spektrum

antibiotik, mekanisme kerja, farmakokinetik/farmakodinamik (PK/PD), harga,

ketersediaan obat dan pola kuman di rumah sakit setempat. Setiap golongan

antibiotika mempunyai spektrum dan mekanisme kerja yang berbeda. Golongan

β-laktam (penisilin, sefalosporin dan karbapenem) bekerja dengan menghambat

sintesis dinding sel bakteri dan mempunyai spektrum yang beragam tergantung

dari jenisnya.10,11

Golongan sefalosporin yang aktif terhadap kuman pseudomonas

aeruginosa adalah seftazidim, sefoperazon dan cefepim.10

Golongan kuinolon

bekerja dengan menghambat DNA gyrase pada inti sel bakteri sehingga

menyebabkan kerusakan untaian DNA.10,11

Antibiotika golongan kuinolon dapat

dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu respiratory quinolone/antipneumococcal

quinolone dan non-respiratory quinolone atau lebih dikenal sebagai kuinolon

antipseudomonas. Respiratory quinolone mempunyai spektrum antibakteri yang

luas termasuk juga untuk patogen atipik sedangkan non-respiratory quinolone

terutama aktif untuk bakteri gram negatif termasuk Pseudomonas, sedangkan

untuk bakteri gram positif seperti Streptococcus pneumonia efektifitasnya

terbatas.10

Yang termasuk golongan respiratory quinolone adalah levofloksasin,

moksifloksasin dan gemifloksasin, sedangkan non-respiratory quinolone adalah

siprofloksasin. Golongan makrolid bekerja dengan mengikat subunit ribosom 50S

pada sitoplasma sehingga menghambat sintesis protein.10,11

Golongan makrolid

seperti Azitromisin dapat mengatasi infeksi oleh bakteri atipikal seperti

Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae dan Legionella pneumophlla.10

Golongan Polimiksin memiliki aktivitas bakterisidal melalui interaksi dengan

molekul lipopolisakarida (LPS) di membran luar bakteri gram negatif.12

Interaksi

tersebut akan menggangu ikatan kalsium (Ca2+

) dan magnesium (Mg2+

) yang

berfungsi menjaga kestabilan membrane sel.12

Golongan polimiksin hanya aktif

untuk bakteri gram negatif termasuk yang penting sebagai etiologi pneumonia

nosokomial seperti Acinetobacter spp, Klebsiella pneumoniae dan Pseudomonas

aeruginosa.10,11,13

Cara pemberian antibiotik juga harus disesuaikan dengan karakter

farmakokinetik dan farmakodinamik (PK/PD) obat tersebut.14

Terdapat 3

karakteristik PK/PD dalam pemberian antibiotika yaitu Cmax/MIC (dose

dependent) dimana efektifitas antibiotik ditentukan oleh perbandingan antara

konsentrasi maksimal obat dengan MIC nya, yang termasuk disini adalah

antibiotika golongan aminoglikosida. Karakteristik yang lain adalah T > MIC

(time dependent) dimana efektifitas antibiotika ditentukan oleh lamanya

konsentrasi obat yang berada diatas MIC. Termasuk dalam karakteristik ini adalah

antibiotika golongan betalaktam. Karakteristik terakhir yaitu AUC/MIC dimana

efektifitas antibiotik ditentukan oleh konsentrasi dan waktu, dan yang termasuk

dalam karakter ini adalah antibiotika golongan vankomisin dan kuinolon.10,14

Dengan memahami PK/PD antibiotika yang diberikan, efektifitas dalam

pengobatan akan menjadi lebih baik, terutama dalam menghadapi resistensi

bakteri, misalnya meropenem jika diberikan secara extended infusion ternyata

mempunyai angka kesembuhan klinis yang lebih baik jika dibandingkan dengan

pemberian secara bolus.14

Pemberian antibiotika pada pneumonia nosokomial disesuaikan dengan

ada tidaknya faktor risiko infeksi oleh kuman MDR seperti yang disebutkan

diatas. Regimen pemberian antibiotika empiris untuk HAP,VAP dan HCAP dapat

dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Pilihan antibiotika empiris pada HAP-VAP-HCAP

Dengan faktor risiko MDR pathogens Tanpa faktor risiko MDR pathogens

1. β-laktam : Seftazidim iv 2 g 3x/hari atau sefepim iv 2 g 2-3x/hari atau piperasillin /tazobaktam 4.5 g 4x/hari atau imipenem 500 mg 4x/hari atau 1 g 3x/hari) atau meropenem 1 g 3x/hari ditambah :

2. Gentamisin atau tobramysin iv 7 mg/kg 1 x/hari atau amikasin 20 mg/kg 1 x/hari atau siprofloksasin iv 400 mg 3x/hari atau Levofloksasin 750 mg 1x/hari

ditambah : 3. Linezolid iv 600 mg 2x/hari atau Vankomisin dengan dosis awal 15 mg/kg 2x/hari,selanjutnya dosis dapat disesuaikan.

Seftriakson 2 g 1x/hari atau sefotaksim 2 g 3-4x/hari atau moksifloksasin iv 400 mg 1x/hari, siprofloksasin 400 mg 3x/hari), atau levoflokasin iv 750 mg 1x/hari atau ampisillin/sulbaktam 1v 3 g 4x/hari atau ertapenem iv 1 g 1x/hari.

Untuk mengatasi infeksi oleh bakteri MDR, diberikan terapi kombinasi

antibiotik yang masing-masing bekerja dengan cara yang berbeda pada sel bakteri

sehingga diharapkan dapat memberikan efek sinergistik dalam membunuh bakteri

serta mencegah timbulnya resistensi. Dengan mengetahui perangkat apa atau

mekanisme resistensi yang mana pada bakteri yang dapat menyebabkan timbulnya

resistensi, maka diharapkan dapat diberikan antibiotika yang sesuai. Untuk

mengatasi infeksi oleh bakteri A. baumanii yang mengalami mutasi akibat

kehilangan porin pada dinding sel, maka diberikan antibiotika lain seperti

golongan polimiksin yang dapat bekerja tanpa membutuhkan porin. Dengan

rusaknya stabilitas membran sel akibat polimiksin memungkinkan antibiotika

golongan karbapenem untuk tetap dapat bekerja sehingga timbulah sinergisme

antara kedua antibiotika tersebut.15

Dalam dekade terakhir, bakteri extensively drug resistant (XDR) telah

menjadi perhatian dunia. Definisi bakteri XDR menurut European Centre for

Disease Prevention and Control (ECDC) adalah bakteri yang memiliki kepekaan

hanya terhadap ≤ 2 golongan antibiotika.16

Hingga saat ini belum adanya pedoman

standar pemberian antibiotika untuk mengatasi infeksi oleh bakteri XDR baik

lokal maupun internasional. Pemberian kombinasi antibiotika sejauh ini hanya

didasarkan pada hasil uji in vitro, dan penelitian retrospektif serta kohort

prospektif.

Polimiksin B dianggap masih menjadi pilihan untuk mengatasi XDR

karena angka resistensinya terhadap bakteri gram negatif lebih rendah. Pemberian

polimiksin B yang dikombinasikan dengan golongan karbapenem khususnya

doripenem secara in vitro, terbukti dapat menghasilkan efek sinergisme untuk

mengeradikasi bakteri gram negatif MDR dan XDR.15,17,18,19

Pada sebuah studi meta-analisis mengenai kombinasi polimikisin dengan

karbapenem secara in vitro menunjukkan hasil yang cukup baik dimana

didapatkan efek sinergime hingga 77% pada kuman Acinetobacter baumannii,

44% pada Klebsiella pneumoniae, dan 50% pada Pseudomonas aeruginosa

dengan nilai antagonisme yang kecil.19

Dari

golongan karbapenem tersebut,

doripenem menunjukkan sinergisme yang paling baik pada ketiga kuman.19

Yoon dkk. (2003) melakukan penelitian in vitro untuk melihat sinergisme

antara polimiksin B dengan imipenem dan rifampisin pada kuman Acinetobacter

baumannii yang resisten terhadap berbagai macam obat.15

Hasil yang didapat

adalah kombinasi polimiksin B (0,25-0,5 µg/ml) dengan imipenem 8 µg/ml

memberikan efek bakterisidal pada 7 dari 8 isolat yang diujikan.15

Urban dkk. (2009) melakukan penelitian in vitro untuk melihat sinergisme

antara polimiksin B, doripenem dan rifampisin pada kuman Acinetobacter

baumannii, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella pneumonia dan Escherichia coli

yang resisten terhadap berbagai macam obat.17

Hasil yang didapat adalah bahwa

dengan kombinasi polimiksin B ditambah doripenem dan rifampisin yang masing-

masing diberikan dengan konsentrasi ¼ dari MIC, ternyata aktifitas

bakterisidalnya didapat pada 90 % isolat.17

Berdasakan data ini maka pemberian

kombinasi 3 obat tersebut mungkin dapat dipertimbangkan untuk mengatasi

infeksi akibat kuman MDR.17

Lee dkk. (2013) melakukan penelitian in vitro

untuk melihat efek

bakterisidal kombinasi polimiksin dengan doripenem pada kuman Klebsiella

pneumonia yang memproduksi KPC (Klebsiella pneumonia carbapenemase).18

Hasil yang didapat adalah dengan kombinasi polimiksin B (0,125-0,5 µg/ml) dan

doripenem (6 µg/ml), efek bakterisidal terjadi dalam 4 jam dan bertahan selama

24 jam. Sedangan pada kelompok yang diberikan polimiksin saja, efek

bakterisidal terjadi dalam 12 jam tetapi koloni kemudian tumbuh kembali secara

signifikan dalam waktu 24 jam.18

Bakteri yang sebelumnya peka dengan golongan

polimiksin, jika diberikan monoterapi dengan polimiksin saja, maka resistensi

akan timbul setelah 24 jam.18

Dari penelitian ini disimpulkan bahwa kombinasi

polimiksin dengan doripenem dapat dipertimbangkan untuk mengatasi infeksi

oleh Klebsiella pneumonia yang resisten terhadap karbapanem, tanpa perlu

meningkatkan dosis secara agresif. 18

Mangoni dkk melakukan uji klinis dengan randomisasi untuk melihat

efektifitas monoterapi colistin dibandingan dengan terapi kombinasi colistin

ditambah rifampisin pada pasien dengan infeksi berat akibat kuman Acinetobacter

baumannii yang XDR.20

Hasil yang didapat adalah dari 210 subjek, tidak

ditemukan perbedaan bermakna pada besarnya angka kematian selama 30 hari

dari kedua jenis terapi tersebut (p=0,95), serta tidak ditemukan juga perbedaan

yang bermakna dalam lamanya perawatan di rumah sakit. Namun demikian

didapatkan perbedaan yang bermakna dalam kecepatan eradikasi kuman, dimana

eradikasi kuman menjadi lebih cepat pada subjek yang diberi terapi kombinasi

(p=0,034).20

Pada penelitian ini disimpulkan bahwa penambahan rifampisin secara

rutin pada pemberian colistin belum dianjurkan, walaupun dapat meningkatkan

kecepatan eradikasi bakteri yang XDR. 2

Kesimpulan

1. Pemberian antibiotik yang rasional harus mempertimbangkan dosis,

spektrum antibiotik, farmakodinamik dan farmakokinetik, harga obat dan

ketersediaan obat.

2. Pemberian antibiotik empiris pada pneumonia harus disesuaikan dengan

pola bakteri penyebab dan resistensinya, jenis pneumonianya apakah

komunitas atau nosokomial serta ada tidaknya faktor risiko infeksi oleh

kuman MDR.

3. Pemberian antibiotik secara kombinasi bertujuan untuk meningkatkan

kemampuan eridaksi bakteri karena adanya efek sinergisme antar

antibiotik.

4. Pedoman ATS/IDSA memberikan pilihan antibiotika empiris pada CAP-

HAP-VAP-HCAP, baik untuk bakteri yang masih suseptibel maupun yang

sudah dicurigai MDR.

5. Belum ada pedoman baku pemberian antibiotika pada pneumonia yang

disebabkan oleh bakteri XDR. Polimiksin B yang dikombinasikan dengan

golongan karbapenem khususnya doripenem dapat dipertimbangkan

pilihan terapi.

Daftar Pustaka

1. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology. 12nd

ed. Hoboken: John Wiley & Sons, Inc; 2009. p.874-911.

2. National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE). Pneumonia:

Diagnosis and Management of Community and Hospital-Acquired

Pneumonia in Adults. London,UK: National Institute for Health and

Clinical Excellence; 2014. NICE Clinical Guideline No. 191.

3. Kasper DL, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J.

Harrison's Principles of Internal Medicine. 19th ed. New York: McGraw-

Hill Medical Publishing Division; 2015.

4. American Thoracic Society. Guidelines for the Management of Adults

with Hospital-acquired, Ventilator-associated, and Healthcare-associated

Pneumonia. Am J Respir Crit Care Med Vol 171; 2005. p. 388–416.

5. Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, Bartlett JG, Campbell GD, Dean

NC, et al. Infectious Diseases Society of America/American Thoracic

Society consensus guidelines on the management of community-acquired

pneumonia in adults. Clinical infectious diseases : an official publication

of the Infectious Diseases Society of America. 2007;44 Suppl 2:S27-72.

6. Quartin A, Scerpella E, Puttagunta S, Kett D. A comparison of

microbiology and demographics among patients with healthcare-

associated, hospital-acquired, and ventilator-associated pneumonia: a

retrospective analysis of 1184 patients from a large, international study.

BMC Infectious Diseases. 2013;13(1):561.

7. Rumende CM. Pola resistensi kuman penyebab VAP di RSCM tahun

2006-2007 [disertasi]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2008.

8. Saragih RJ. Faktor-Faktor Prediktor Mortalitas Pada Pasien Ventilator-

Associated Pneumonia di RSCM [Tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia;

2013.

9. Peleg AY, Hooper DC. Hospital-Acquired Infections Due to Gram-

Negative Bacteria. New England Journal of Medicine. 2010;362(19):1804-

13.

10. Whalen K, Finkel R, Panavelil TA. Lippincott Illustrated Reviews:

Pharmacology. 6th Ed. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2015.

11. Brunton LL, Parker KL, Blumenthal DK, Buxton IL. Goodman &

Gilman's The Pharmacological Basis of Therapeutics. 11th ed. New York:

McGraw-Hill; 2008.

12. Zavascki AP, Goldani LZ, Li J, Nation RL. Polymyxin B for the treatment

of multidrug-resistant pathogens: a critical review. The Journal of

antimicrobial chemotherapy. 2007;60(6):1206-15.

13. Nation RL, Li J, Cars O, Couet W, Dudley MN, Kaye KS, et al.

Framework for optimisation of the clinical use of colistin and polymyxin

B: the Prato polymyxin consensus. The Lancet Infectious

Diseases.15(2):225-34.

14. Grgurich PE, Hudcova J, Lei Y, Sarwar A, Craven DE. Management and

prevention of ventilator-associated pneumonia caused by multidrug-

resistant pathogens. Expert review of respiratory medicine. 2012;6(5):533-

55.

15. Yoon J, Urban C, Terzian C, Mariano N, Rahal JJ. In Vitro Double and

Triple Synergistic Activities of Polymyxin B, Imipenem, and Rifampin

against Multidrug-Resistant Acinetobacter baumannii. Antimicrobial

agents and chemotherapy. 2004;48(3):753-7.

16. Magiorakos AP, Srinivasan A, Carey RB, Carmeli Y, Falagas ME, Giske

CG, et al. Multidrug-resistant, extensively drug-resistant and pandrug-

resistant bacteria: an international expert proposal for interim standard

definitions for acquired resistance. Clinical microbiology and infection :

the official publication of the European Society of Clinical Microbiology

and Infectious Diseases. 2012;18(3):268-81.

17. Urban C, Mariano N, Rahal JJ. In vitro double and triple bactericidal

activities of doripenem, polymyxin B, and rifampin against multidrug-

resistant Acinetobacter baumannii, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella

pneumoniae, and Escherichia coli. Antimicrobial agents and

chemotherapy. 2010;54(6):2732-4.

18. Lee GC, Burgess DS. Polymyxins and Doripenem Combination Against

KPC-Producing Klebsiella pneumoniae. Journal of clinical medicine

research. 2013;5(2):97-100.

19. Zusman O, Avni T, Leibovici L, Adler A, Friberg L, Stergiopoulou T, et

al. Systematic review and meta-analysis of in vitro synergy of polymyxins

and carbapenems. Antimicrobial agents and chemotherapy.

2013;57(10):5104-11.

20. Durante-Mangoni E, Signoriello G, Andini R, Mattei A, De Cristoforo M,

Murino P, et al. Colistin and rifampicin compared with colistin alone for

the treatment of serious infections due to extensively drug-resistant

Acinetobacter baumannii: a multicenter, randomized clinical trial. Clinical

infectious diseases : an official publication of the Infectious Diseases

Society of America. 2013;57(3):349-58.