pengendalian gulma

3
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas yang mempunyai posisi strategis dalam perekonomian Indonesia. Industri gula merupakan salah satu sumber pendapatan bagi petani yang tinggal di sekitar pabrik gula dan beberapa tenaga kerja yang terlibat dalam pengolahan gula. Selain itu, komoditas gula juga dapat mempengaruhi devisa negara karena adanya sistem ekspor-impor. Menurut Dirjen Perkebunan mengenai statistik perkebunan tebu yang dipublikasikan tahun 2010, pada kurun waktu 2000 2008 rata-rata nilai impor gula hablur Indonesia mencapai 1.47 juta ton per tahun, sedangkan rata-rata nilai ekspor turunan produk gula lainnya sebesar 1,894 ton per tahun. Tingginya nilai impor dikarenakan laju pertumbuhan gula dalam negeri tidak diimbangi oleh laju pertumbuhan penduduk dan industri makanan-minuman. Kebutuhan gula nasional untuk tahun 2010 diperkirakan mencapai 4.8 juta ton sedangkan produksi gula dalam negeri diasumsikan mencapai 2.8 juta ton (Ditjenbun 2009). Hasil produksi ini merupakan gabungan dari tiga pengusahaan perkebunan tebu nasional yaitu Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar Negara (PBN) dan Perkebunan Besar Swasta (PBS). Diakui bahwa sebenarnya luas panen dan produksi tebu setiap tahun semakin meningkat, namun cukup memprihatinkan jika mengingat sejarah pergulaan nasional yang mengalami kejayaan pada tahun 1930-an yang mencapai produktivitas gula 14.79 ton/ha, sedangkan pada tahun 2008 produktivitas hanya mencapai 6.11 ton/ha. Sumbangsih terbesar untuk pergulaan nasional berasal dari perkebunan rakyat yang mencapai sekitar 53% (tabel 1). Besarnya persentase ini tidak terlepas dari program pemerintah yang menerapkan perubahan sistem penanaman tebu dari penyewaaan lahan petani oleh pabrik gula, menjadi pengusaha tanaman tebu yang dilakukan oleh petani di lahannya sendiri. Program ini dikenal dengan nama Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang sesuai dengan Inpres No.9 Tahun 1975. Penyuluhan dan pengawasan pelaksanannya perlu ditingkatkan lagi, karena selain dapat memantapkan produksi gula juga dapat meningkatkan pendapatan petani. Tabel 1. Rekapitulasi luas panen dan produksi tebu menurut pengusahaan (Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009) *) : angka sementara **) : angka estimasi Adanya TRI yang dijalankan dengan baik dapat menumbuhkembangkan kesadaran petani untuk menanam tebu dilahannya sendiri. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi produsen gula yang terus meningkatkan perkebunan rakyatnya. Berdasarkan Dirjen Perkebunan, pada tahun 2006 PR PBN PBS Jumlah PR PBN PBS Jumlah 2000 171279 64133 105248 340660 790573 234288 665143 1690004 2001 178887 87687 77867 344441 813538 310949 600980 1725467 2002 196509 79975 74238 350722 967160 297685 490509 1755354 2003 172015 87251 76459 335725 839028 370476 422414 1631918 2004 184283 78205 82305 344793 1028681 383892 639071 2051644 2005 211479 80383 89924 381786 1193653 423421 624668 2241742 2006 213876 87227 95338 396441 1028681 383892 639071 2051644 2007 249487 81655 96657 427799 1514529 424692 684565 2623786 2008 252783 82222 101500 436505 1536209 396186 736033 2668428 2009* 255313 80069 108450 443832 1546511 410948 892310 2849769 2010** 256710 80959 108481 446150 1553915 412611 894577 2861103 Luas Panen (Ha) Produksi (Ton) Tahun

Transcript of pengendalian gulma

Page 1: pengendalian gulma

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gula merupakan salah satu komoditas yang mempunyai posisi strategis dalam perekonomian

Indonesia. Industri gula merupakan salah satu sumber pendapatan bagi petani yang tinggal di sekitar

pabrik gula dan beberapa tenaga kerja yang terlibat dalam pengolahan gula. Selain itu, komoditas

gula juga dapat mempengaruhi devisa negara karena adanya sistem ekspor-impor. Menurut Dirjen

Perkebunan mengenai statistik perkebunan tebu yang dipublikasikan tahun 2010, pada kurun waktu

2000 – 2008 rata-rata nilai impor gula hablur Indonesia mencapai 1.47 juta ton per tahun, sedangkan

rata-rata nilai ekspor turunan produk gula lainnya sebesar 1,894 ton per tahun. Tingginya nilai impor

dikarenakan laju pertumbuhan gula dalam negeri tidak diimbangi oleh laju pertumbuhan penduduk

dan industri makanan-minuman. Kebutuhan gula nasional untuk tahun 2010 diperkirakan mencapai

4.8 juta ton sedangkan produksi gula dalam negeri diasumsikan mencapai 2.8 juta ton (Ditjenbun

2009). Hasil produksi ini merupakan gabungan dari tiga pengusahaan perkebunan tebu nasional yaitu

Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar Negara (PBN) dan Perkebunan Besar Swasta (PBS).

Diakui bahwa sebenarnya luas panen dan produksi tebu setiap tahun semakin meningkat, namun

cukup memprihatinkan jika mengingat sejarah pergulaan nasional yang mengalami kejayaan pada

tahun 1930-an yang mencapai produktivitas gula 14.79 ton/ha, sedangkan pada tahun 2008

produktivitas hanya mencapai 6.11 ton/ha. Sumbangsih terbesar untuk pergulaan nasional berasal dari

perkebunan rakyat yang mencapai sekitar 53% (tabel 1). Besarnya persentase ini tidak terlepas dari

program pemerintah yang menerapkan perubahan sistem penanaman tebu dari penyewaaan lahan

petani oleh pabrik gula, menjadi pengusaha tanaman tebu yang dilakukan oleh petani di lahannya

sendiri. Program ini dikenal dengan nama Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang sesuai dengan Inpres

No.9 Tahun 1975. Penyuluhan dan pengawasan pelaksanannya perlu ditingkatkan lagi, karena selain

dapat memantapkan produksi gula juga dapat meningkatkan pendapatan petani.

Tabel 1. Rekapitulasi luas panen dan produksi tebu menurut pengusahaan

(Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009)

*) : angka sementara

**) : angka estimasi

Adanya TRI yang dijalankan dengan baik dapat menumbuhkembangkan kesadaran petani

untuk menanam tebu dilahannya sendiri. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi produsen gula

yang terus meningkatkan perkebunan rakyatnya. Berdasarkan Dirjen Perkebunan, pada tahun 2006

PR PBN PBS Jumlah PR PBN PBS Jumlah

2000 171279 64133 105248 340660 790573 234288 665143 1690004

2001 178887 87687 77867 344441 813538 310949 600980 1725467

2002 196509 79975 74238 350722 967160 297685 490509 1755354

2003 172015 87251 76459 335725 839028 370476 422414 1631918

2004 184283 78205 82305 344793 1028681 383892 639071 2051644

2005 211479 80383 89924 381786 1193653 423421 624668 2241742

2006 213876 87227 95338 396441 1028681 383892 639071 2051644

2007 249487 81655 96657 427799 1514529 424692 684565 2623786

2008 252783 82222 101500 436505 1536209 396186 736033 2668428

2009* 255313 80069 108450 443832 1546511 410948 892310 2849769

2010** 256710 80959 108481 446150 1553915 412611 894577 2861103

Luas Panen (Ha) Produksi (Ton)Tahun

Page 2: pengendalian gulma

2

jumlah petani tebu rakyat di Jawa Barat sebanyak 7,152 kepala keluarga, sedangkan tahun 2010

estimasi jumlah petani tebu rakyat sebanyak 15,437 kepala keluarga (tabel 2). Meningkatnya jumlah

petani tebu di Jawa Barat ternyata tidak diikuti oleh produksi rata-rata, sejak tahun 2008 mengalami

penurunan hingga tahun 2009. Beberapa indikasi disebabkan oleh faktor-faktor di lapangan seperti

pada saat musim tanam (masalah bibit, biaya garap, dan pengorganisasian petani dalam produksi),

pada saat panen (giliran tebang, pengangkutan, penetapan rendemen dan pemasaran gula bagian petani

(IAGI 1975). Permasalahan lainnya ketika dalam proses budidaya tebu, para petani tebu tidak/ belum

mendapatkan bimbingan teknis mengenai tebu baik prapanen maupun pascapanen (IAGI 1975).

Tabel 2. Rekapitulasi Perkebunan Tebu Rakyat Provinsi Jawa Barat tahun 2008

(Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009)

*) : angka sementara

**) : angka estimasi

Pada tahun 2010 tebu rakyat sudah mulai diberlakukan di kabupaten Bogor, hal ini tergolong

baru karena berdasarkan Tabel 2 tahun sebelumnya belum ada perkebunan tebu rakyat.

Berkembangnya perkebunan tebu di provinsi Jawa Barat ini diharapkan dapat mampu memenuhi

kebutuhan gula domestik, sehingga Indonesia dapat mengurangi impor gula. Diakui bahwa untuk

memproduksi gula, diperlukan biaya yang besar, usaha yang keras untuk mengefisiensikan kerja

pabrik dan sistem pengelolaan kebun yang baik. Salah satu kendala dalam pengelolaan kebun adalah

adanya gangguan pada masa pertanaman, diantaranya gangguan oleh gulma yang makin sulit

dikendalikan. Kelebatan tumbuhan gulma dan adanya beberapa spesies gulma baru menimbulkan

masalah dalam pengendaliannya. Berbagai spesies gulma tumbuh dan mengganggu sejak tebu

ditanam atau dikepras, sampai tebu hendak ditebang. Gangguan lainnya adalah gulma akan bersaing

dalam hal mendapatkan air, unsur hara, sinar matahari dan ruang gerak pertumbuhan tebu.

Pertumbuhan gulma yang lebat dan yang menutupi tajuk tebu seringkali menjadi penyebab rendahnya

bobot hasil tebu . Keberadaan gulma pada tanaman tebu dapat menurunkan produksi sebesar 15.0 –

53.7% (Kuntohartono, 1998). Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa gulma yang dibiarkan

tumbuh dan tidak disiangi pada tanaman tebu dapat menurunkan hasil panen bobot tebu berkisar

antara 9.2 – 13.1% (Marjayanti et al. 1991) dan 25% (Moenandir 1990). Untuk keluar dari masalah

hasil pertanaman tebu ini, kiranya perlu dipikirkan cara yang diharapkan cukup jitu untuk

Produksi Rerata produksi Jumlah petani

Tanam Panen (ton) (kg/ha) (KK)

Subang 355 355 1797 5062 92

Cirebon 8681 8681 43544 5016 7877

Kuningan 997 997 5278 5294 1227

Majalengka 1268 1268 5037 3972 750

Sumedang 155 155 744 4800 85

Garut - - - - -

Indramayu 105 105 368 3505 38

Jumlah Tahun 2006 9931 9931 56816 5721 7152

Jumlah Tahun 2007 11628 11563 61035 5278 14469

Jumlah Tahun 2008 11561 11561 56768 4910 10069

Jumlah Tahun 2009* 12014 12014 56645 4715 15236

Jumlah Tahun 2010** 12928 12654 59702 4718 15437

Luas areal (ha)Kabupaten

Page 3: pengendalian gulma

3

mengatasinya; antara lain penerapan metoda pengendalian yang mampu menghentikan pertumbuhan

jenis gulma.

Konsep pengendalian sejauh mungkin harus diserahkan pada tebunya sendiri untuk mampu

melawan dan bersaing dengan gulma, sedangkan usaha untuk pengendalian gulma secara langsung

dilakukan terutama pada saat tebu belum mampu mengatasinya sendiri. Prinsip utama dalam

pengendalian gulma adalah melakukan upaya untuk mengurangi populasi gulma sebelum gulma itu

merugikan pertanaman tebu, dan dilakukan dengan berbagai cara. Berdasarkan pengalaman populasi

gulma hanya dapat diturunkan secara efektif dengan lebih dari satu cara pengendalian. Oleh karena

itu, pengendalian gulma harus dilakukan secara terpadu dengan mengkombinasikan berbagai metoda

yang ada, seperti dengan cara biologis, kimia, mekanis atau kombinasi dari cara-cara tersebut.

Pengendalian gulma secara kimia adalah pengendalian gulma dengan menggunakan bahan

kimia yang dapat menekan pertumbuhan gulma, bahan kimianya disebut pestisida dan pestisida untuk

mengendalikan gulma disebut herbisida. Aplikasi pestisida dapat dilakukan dengan cara

penyemprotan (spraying), pengasapan (fogging), penghembusan (dusting), pencelupan (dipping),

fumigasi, injeksi, penyiraman, penaburan dan pestisida butiran (Djojosumarto 2008). Penyemprotan

merupakan cara yang paling umum dilakukan oleh para pelaku pertanian. Pada penyemprotan ini,

cairan atau larutan dipecah menjadi butiran-butiran halus sehingga dapat disebarkan secara merata

pada daerah permukaan ataupun ruang yang dilindungi.

Pengendalian gulma secara mekanis merupakan usaha menekan pertumbuhan gulma dengan

cara merusak bagian-bagian tanaman sehingga gulma tersebut mati atau pertumbuhannya terhambat.

Teknik pengendalian ini hanya mengandalkan kekuatan fisik atau mekanik alat yang digunakan.

Aplikasi dalam teknik pengendalian gulma secara makanis dapat dilakukan melalui pengolahan tanah

(land preparation), penggenangan, pencabutan (hand pulling), pembabatan (mowing), pembakaran

(burning) (Sukman 2002). Alat-alat sederhana yang digunakan dalam teknik pengendalian gulma ini

meliputi sabit, garpu, cangkul, kored, celandak, garu dengan hewan penggerak dan lain-lain,

sedangkan alat-alat berat yang lebih modern seperti traktor dengan instrumen-instrumen penting yang

dapat diubah-ubah sesuai dengan keperluan dan kondisi lapangan.

Banyaknya jenis metoda pengendalian gulma di atas maka perlu ditelaah lebih lanjut ketika

akan mengaplikasikannya, hal ini untuk menentukan metoda pengendalian gulma yang paling sesuai

dengan keadaan tanaman yang dibudidayakan dan lingkungan sekitar. Areal yang sudah lama tidak

digunakan untuk budidaya tanaman membuat keadaan areal dipenuhi oleh berbagai vegetasi gulma.

Pengolahan tanah yang telah dilakukan untuk membuka lahan siap tanam sekaligus membenamkan

gulma ke dalam tanah, ternyata belum mampu menghentikan pertumbuhan kembali gulma pada areal

tersebut. Gulma sudah mulai tumbuh kembali pada masa kritis pertumbuhan tebu, bahkan ketinggian

gulma lebih tinggi daripada tinggi tanaman tebu. Menurut Kuntohartono, 1987, masa kritis

pertumbuhan tebu merupakan masa tebu untuk bertunas dan fase anakan sehingga harus terhindar dari

persaingan dengan gulma.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu dicari metoda pengendalian yang mampu

menekan pertumbuhan kembali gulma selama mungkin atau minimalnya selama masa kritis

pertumbuhan tebu.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji berbagai metoda pengendalian gulma yaitu secara

kimia, mekanis dan kombinasi dalam kaitannya dengan efektivitas pengendalian gulma di kebun tebu.