PENGEMBANGAN MODEL TELEKONEKSI BERBASIS INDEKS MJO DAN …

13
PENGEMBANGAN MODEL TELEKONEKSI BERBASIS INDEKS MJO DAN MONSUN SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PERILAKU HUJAN EKSTRIM DI INDONESIA Putri Wulandari 1 , Halmar Halide 2 , Eddy Hermawan 3 , Paharuddin 4 1 Mahasiswa Program Studi Geofisika FMIPA UNHAS 2 Guru Besar bidang Hidro-meteorologi Jurusan Fisika FMIPA UNHAS 3 Peneliti Utama Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN Bandung 4 Staf Pengajar bidang Geomatika Program Studi Geofisika FMIPA UNHAS Email: [email protected] ABSTRAK Interaksi antar fenomena iklim secara simultan mempengaruhi variabilitas curah hujan Indonesia. Penelitian ini mengarah pada pengembangan model telekoneksi ketika fenomena Madden-Julian Oscillation (MJO) dan monsun saling menguatkan, kemudian melihat dampaknya pada perilaku hujan ekstrim di selatan khatulistiwa, yakni Makassar, Semarang dan Palembang. Data yang digunakan yaitu indeks OLR 100BT, AUSMI, RMMI, dan curah hujan dalam skala pentad dari Desember 1999 Maret 2018. Karakteristik data ditinjau dari hasil analisis spektral, sedangkan MJO diwakili oleh penyaringan indeks OLR pada periode 30-90 harian. Prediksi curah hujan ekstrim 5 harian dengan model regresi berganda (MR), chaos, dan persisten diverifikasi berdasar ukuran deterministik (korelasi Pearson, RMSE) dan probabilistik (Peirce score). Hasilnya menunjukkan bahwa model telekoneksi yang sesuai antara fenomena MJO dan monsun menggunakan ARIMA musiman (3,0,1)(1,1,0) 73 . Berdasarkan hasil verifikasi kuantitatif, 42,2% anomali curah hujan Makassar saat musim basah dipengaruhi oleh model telekoneksi. Adapun wilayah Semarang dan Palembang masing masing sebesar 51,6% dan 58,6%. Pengaruh model telekoneksi cenderung berkurang sepanjang bujur menuju wilayah timur Indonesia. Model prediksi curah hujan ekstrim 5 harian menghasilkan nilai yang cukup baik untuk Makassar, namun underestimate di wilayah Semarang dan Palembang. Kata kunci: ARIMA; hujan ekstrim; Madden-Julian Oscillation; Monsun; Telekoneksi; 1. PENDAHULUAN Keunikan dari segi geografis, fisio- grafis, dan astronomis menjadikan Benua Maritim Indonesia (BMI) rentan terhadap perubahan cuaca/iklim (Hermawan, 2010). Terletak di area tropis, dengan konsekuensi menerima radiasi matahari terbanyak meng- akibatkan kawasan ini berperan penting mengendalikan cuaca dan iklim global. Hujan merupakan unsur iklim dominan BMI, dengan parameter atmosfer yang sulit diprediksi karena keberagaman dalam skala ruang dan waktu (As-syakur et al., 2011). Interaksi dua atau lebih fenomena atmosfer secara simultan dapat saling menguatkan atau mereduksi. Dari beberapa fenomena global yang mempengaruhi variabilitas iklim Benua Maritim, Madden-Julian Oscillation adalah fenomena intra-musiman yang menarik perhatian. MJO ditemukan oleh Roland Madden & Paul Julian (1971) sebagai osilasi yang bergerak ke arah timur di sepanjang ekuator dan berdampak pada intensitas hujan wilayah yang dilaluinya. Fenomena ini berkaitan erat dengan pembentukan awan-

Transcript of PENGEMBANGAN MODEL TELEKONEKSI BERBASIS INDEKS MJO DAN …

Page 1: PENGEMBANGAN MODEL TELEKONEKSI BERBASIS INDEKS MJO DAN …

PENGEMBANGAN MODEL TELEKONEKSI BERBASIS INDEKS MJO DAN

MONSUN SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PERILAKU HUJAN EKSTRIM DI

INDONESIA

Putri Wulandari1, Halmar Halide

2, Eddy Hermawan

3, Paharuddin

4

1Mahasiswa Program Studi Geofisika FMIPA UNHAS

2Guru Besar bidang Hidro-meteorologi Jurusan Fisika FMIPA UNHAS

3Peneliti Utama Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN Bandung

4Staf Pengajar bidang Geomatika Program Studi Geofisika FMIPA UNHAS

Email: [email protected]

ABSTRAK

Interaksi antar fenomena iklim secara simultan mempengaruhi variabilitas curah hujan

Indonesia. Penelitian ini mengarah pada pengembangan model telekoneksi ketika fenomena

Madden-Julian Oscillation (MJO) dan monsun saling menguatkan, kemudian melihat

dampaknya pada perilaku hujan ekstrim di selatan khatulistiwa, yakni Makassar, Semarang

dan Palembang. Data yang digunakan yaitu indeks OLR 100BT, AUSMI, RMMI, dan curah

hujan dalam skala pentad dari Desember 1999 – Maret 2018. Karakteristik data ditinjau dari

hasil analisis spektral, sedangkan MJO diwakili oleh penyaringan indeks OLR pada periode

30-90 harian. Prediksi curah hujan ekstrim 5 harian dengan model regresi berganda (MR),

chaos, dan persisten diverifikasi berdasar ukuran deterministik (korelasi Pearson, RMSE) dan

probabilistik (Peirce score). Hasilnya menunjukkan bahwa model telekoneksi yang sesuai

antara fenomena MJO dan monsun menggunakan ARIMA musiman (3,0,1)(1,1,0)73

.

Berdasarkan hasil verifikasi kuantitatif, 42,2% anomali curah hujan Makassar saat musim

basah dipengaruhi oleh model telekoneksi. Adapun wilayah Semarang dan Palembang masing

– masing sebesar 51,6% dan 58,6%. Pengaruh model telekoneksi cenderung berkurang

sepanjang bujur menuju wilayah timur Indonesia. Model prediksi curah hujan ekstrim 5

harian menghasilkan nilai yang cukup baik untuk Makassar, namun underestimate di wilayah

Semarang dan Palembang.

Kata kunci: ARIMA; hujan ekstrim; Madden-Julian Oscillation; Monsun; Telekoneksi;

1. PENDAHULUAN

Keunikan dari segi geografis, fisio-

grafis, dan astronomis menjadikan Benua

Maritim Indonesia (BMI) rentan terhadap

perubahan cuaca/iklim (Hermawan, 2010).

Terletak di area tropis, dengan konsekuensi

menerima radiasi matahari terbanyak meng-

akibatkan kawasan ini berperan penting

mengendalikan cuaca dan iklim global.

Hujan merupakan unsur iklim dominan

BMI, dengan parameter atmosfer yang sulit

diprediksi karena keberagaman dalam skala

ruang dan waktu (As-syakur et al., 2011).

Interaksi dua atau lebih fenomena atmosfer

secara simultan dapat saling menguatkan atau

mereduksi. Dari beberapa fenomena global

yang mempengaruhi variabilitas iklim Benua

Maritim, Madden-Julian Oscillation adalah

fenomena intra-musiman yang menarik

perhatian. MJO ditemukan oleh Roland

Madden & Paul Julian (1971) sebagai osilasi

yang bergerak ke arah timur di sepanjang

ekuator dan berdampak pada intensitas hujan

wilayah yang dilaluinya. Fenomena ini

berkaitan erat dengan pembentukan awan-

Page 2: PENGEMBANGAN MODEL TELEKONEKSI BERBASIS INDEKS MJO DAN …

awan Cb yang dikenal sebagai Super Cloud

Cluster (SCC).

Dari hasil kajian Sperber & Slingo

(2002) mengenai propagasi dan struktur

vertikal MJO periode Nopember - Maret di

sekitar Indonesia terlihat bahwa MJO aktif ke

arah timur, khususnya lapisan 850 hPa.

Penelitian lain oleh Chang et al., (2005)

menunjukkan adanya asimetri spasial curah

hujan di wilayah Asia Tenggara saat monsun

Asia (Desember, Januari, Februari) dan

monsun Australia (Juni, Juli, Agustus).

Akibatnya dua fenomena global dalam skala

berbeda berpeluang terjadi secara bersamaan.

Karakteristik, struktur, mekanisme, dan

propagasi MJO telah diteliti sejak tiga

dekade lalu dengan memanfaatkan data

radar, radiosonde, dan Outgoing Longwave

Radiation (OLR). Adapun monitoring MJO

untuk keperluan prediksi menggunakan data

indeks Real Multivariate MJO (RMM)

(Wheeler and Hendon, 2004).

Seto (2002) menyatakan bahwa ada pola

hubungan yang baik antara Intra-Seasonal

Variation (ISV); aktivitas pertumbuhan awan

dan angin zonal, menggunakan pengamatan

radar secara kontinyu. Evana (2009)

menyebutkan data RMM1 dan RMM2 dapat

digunakan untuk memprediksi fenomena

MJO di Indonesia, serta berkaitan erat

dengan curah hujan ekstrim di Jakarta pada

tahun 2002. Secara lokal, fenomena MJO,

propagasi, struktur vertikal dan pengaruhnya

pada curah hujan di kawasan barat Indonesia,

khususnya Kototabang telah diteliti oleh

Hermawan (2010). Ada banyak kajian

mengenai peran MJO dan monsun secara

terpisah sebagai fenomena dalam sistem

iklim kawasan tropis. Namun, peran dan

dampak fenomena tersebut jika terjadi secara

simultan terhadap curah hujan di Indonesia

belum terungkap jelas.

Menurut database BNPB (Badan

Nasional Penanggulangan Bencana), jumlah

kejadian bencana alam di Indonesia dari

tahun 1815 s/d Mei 2018 masih didominasi

oleh bencana hidro-meteorologi, dimana

banjir menempati posisi teratas dengan 8911

kejadian. Dalam dekade terakhir, perilaku

hujan ekstrim perlu dikaji mendalam,

mengingat curah hujan adalah unsur penting

dalam identifikasi potensi bencana hidro-

meteorologis, khususnya banjir dan longsor

(Suryantoro dkk., 2016).

Meskipun musim hujan dan kemarau

berlangsung periodik, namun distribusi dan

panjang musim tidak selalu sama setiap

tahun. Intensitas yang melebihi ambang

normal dengan durasi panjang menjadi ciri

khusus hujan ekstrim. Adakalanya surplus

hujan tidak hanya terjadi di musim basah,

namun seringkali ditemui saat musim kering.

Sehingga, analisis terhadap fenomena iklim

global intra-musiman perlu dipertimbangkan.

Oleh karena itu, dilakukan kajian lebih

lanjut mengenai pengaruh MJO saat ber-

interaksi dengan monsun terhadap perilaku

hujan ekstrim di Indonesia, khususnya

wilayah selatan khatulistiwa, karena kuat

dugaan wilayah ini berada dibawah kendali

monsun Australia yang termanifestasi dalam

indeks AUSMI. Studi ini mengambil lokasi

di Makassar, Semarang dan Palembang yang

bertipe hujan monsunal. Fokus penelitian

hanya saat MJO dan monsun sefase, tanpa

melibatkan pengaruh fenomena global lain.

Secara spesifik, penelitian ini bertujuan

menentukan model telekonenksi yang sesuai

antara fenomena MJO dan monsun, yang

mana masing-masing diwakili oleh indeks

OLR dan AUSMI. Kemudian, menganalisis

pengaruh model telekoneksi terhadap

anomali curah hujan di masing-masing

wilayah, serta memprediksi dan verifikasi

skill model curah hujan ekstrim 5 harian

selama empat step kedepan di tiap wilayah

menggunakan model regresi berganda (MR),

chaos, dan persisten.

Page 3: PENGEMBANGAN MODEL TELEKONEKSI BERBASIS INDEKS MJO DAN …

2. METODE PENELITIAN

Data yang digunakan adalah data curah hujan

observasi permukaan dan keluaran satelit

GSMaP, TRMM 3B42 V7, dan CHIRPS.

Adapun data indeks terdiri dari RMMI, OLR

dan angin zonal lapisan 850 hPa dengan

masing-masing periode sebagai berikut:

a) Data curah hujan harian Stasiun Klima-

tologi Klas I Palembang, Stasiun Meteo-

rologi Maritim Tanjung Mas Semarang,

dan Stasiun Meteorologi Maritim Paotere

Makassar selama 35 tahun (1983-2017)

untuk analisis karakteristik hujan, serta

periode 2000-2018 untuk validasi dan

koreksi data satelit hujan.

b) Data curah hujan perjam dari satelit

GSMaP Near Real-Time dengan resolusi

spasial 0.1o

x 0.1o

selama periode

Desember 1999-Maret 2018 yang diakses

melalui ftp://hokusai.eorc.jaxa.jp/

c) Data curah hujan harian dari satelit

TRMM 3B42 V7 dengan resolusi spasial

0.25o x 0.25

o selama periode Desember

1999-Maret 2018 yang diakses di website

NASA GESDIC.

d) Data curah hujan harian CHIRPS dengan

resolusi spasial 0.5o x 0.5

o selama periode

Desember 1999-Maret 2018 yang diakses

di website IRI.

e) Data indeks RMM harian periode

Desember 1999-Maret 2018 diunduh dari

Bureau of Meteorological Australia.

f) Data indeks OLR global 5 harian periode

Desember 1999-Maret 2018 diperoleh dari

http://www.cpc.ncep.noaa.gov/

g) Data angin zonal lapisan 850 hPa hasil

reanalisis NCEP NCAR CDAS-1 selama

periode Desember 1999-Maret 2018

diperoleh di website IRI.

Ekstraksi Data Satelit.

Masing-masing data satelit yang digunakan

memiliki format NetCDF dalam grid wilayah

Indonesia, 6oLU-11

oLS dan 95

oBT-141

oBT.

Untuk memperoleh data di titik yang

bersesuaian dengan stasiun hujan permukaan,

dilakukan ekstrak data menjadi ASCII file.

Semua data curah hujan baik perjam maupun

harian diakumulasi menjadi data 5 harian.

Karakteristik Curah Hujan Tiap Wilayah

Data harian stasiun hujan diolah menjadi data

bulanan. Pola curah hujan tiap wilayah di-

peroleh dari rata-rata klimatologi (1988-

2017) dan dasawarsa (1988-1997, 1992-

2001, 1996-2005, 2000-2009, 2004-2013,

2008-2017),sedangkan karakteristik temporal

curah hujan berdasar hasil analisis spektral;

Power Spectral Density dan Wavelet.

Koreksi Data Curah Hujan

Data satelit hujan digunakan sebagai

alternatif pemeriksaan kualitas data curah

hujan, karena resolusi spasial, temporal, ca-

kupan wilayah, serta kelengkapan data yang

baik. Sehingga keterbatasan data observasi

(data tidak terukur/kosong) dapat diatasi.

Sebelum digunakan dalam model prediksi,

data satelit hujan dikoreksi dan validasi

dengan data observasi tiap wilayah. Proses

ini berfokus pada observasi hujan dengan

kelengkapan data diatas 75% saat November

– Maret (NDJFM) dimana dua fenomena

yang diamati berpotensi aktif. Komparasi

data observasi dan masing-masing satelit,

menghasilkan scatterplot dan nilai koefisien

determinasi (R2). Satelit dengan nilai R

2 >

0.5 terpilih untuk dibuatkan persamaan

regresi tiap bulan. Nilai R2 ~ 1 pada data

bulanan digunakan untuk mengoreksi seluruh

dataset curah hujan observasi. Selanjutnya,

dihitung anomali curah hujan pentad tiap

wilayah sejak Desember 1999 – Maret 2018.

Transformasi dan Penyaringan Data OLR

Sebagai radiasi gelombang panjang yang

dipantulkan ke luar angkasa, Outgoing

Page 4: PENGEMBANGAN MODEL TELEKONEKSI BERBASIS INDEKS MJO DAN …

Longwave Radiation (OLR) merekam hampir

seluruh fenomena atmosfer dari skala harian

hingga tahunan. Oleh karena itu, untuk

menganalisis fenomena MJO, maka data

indeks OLR terutama 100BT difilter dengan

periode cut-off 30 dan 90 harian,

sebagaimana dilakukan oleh Balbeid et al.

(2015). Hal ini bertujuan memunculkan

sinyal MJO yang berosilasi dalam rentang

30-90 harian. Filter yang digunakan yakni

bandpass filter dengan metode Butterworth.

Sebelum dilakukan penyaringan, mula-mula

data indeks OLR ditransformasi ke dalam

kawasan frekuensi menggunakan fast fourier

transform (FFT).

Analisis Deret Waktu ARIMA

Metode ARIMA (Autoregressive Integrated

Moving Average) digunakan untuk

menentukan model telekoneksi yang sesuai

antara fenomena MJO dan monsun. Kedua

fenomena tersebut direpresentasi oleh indeks

OLR dan AUSMI 5 harian. Sebelum

dianalisis, data telekoneksi dibagi menjadi

training sets (Januari 2000 – Desember

2017) dan testing sets (Januari - Maret 2018).

Tahap awal yaitu identifikasi stasioneritas

data dengan plot data deret waktu, fungsi

autokorelasi (ACF), dan autokorelasi parsial

(PACF) dari data training sets. Selanjutnya

menentukan orde proses AR dan MA dari

pola PACF dan ACF. Kemudian menduga

parameter model berdasarkan kriteria least

square. Lalu uji diagnostik yang terdiri dari

uji signifikansi parameter dan uji residual

white noise. Penetapan model ARIMA untuk

peramalan baru dapat dilakukan jika model

lolos uji. Namun, bila uji diagnostik belum

terpenuhi, proses looping parameter model

baru kembali dilakukan. Setelah ditemukan

parameter model yang tepat, selanjutnya

hasil peramalan divalidasi menggunkan

testing sets berdasarkan ukuran statistik sum

square error (SSE), mean square error

(MSE), root mean square error (RMSE), dan

korelasi Pearson (r).

Analisis Pengaruh Model Telekoneksi

Model telekoneksi diaplikasikan terhadap

anomali curah hujan pentad setiap wilayah.

Hal ini dilakukan guna melihat pengaruh

model terhadap fluktuasi curah hujan.

Analisis ini menggunakan metode verifikasi

kualitatif dan kuantitaf berdasarkan hasil plot

time series dan nilai percent correct dari

tabel verifikasi dikotomi. PC(+) diperoleh

bila kedua fenomena berinteraksi positif dan

berdampak pada peningkatan curah hujan.

Hal sebaliknya terjadi ketika PC(-). Adapun

PC(0) menunjukkan respon yang berlawanan,

ketika model bernilai positif (negatif) dan

anomali curah hujan negatif (positif).

Model Prediksi Curah Hujan Ekstrim

Prediksi curah hujan ekstrim pentad

menggunakan model regresi berganda (MR),

Chaos, dan Persisten. Penentuan prediktor

model MR mengacu pada hasil cross-

correlation lag signifikan antara variabel

respon (Yt), anomali curah hujan pentad

terkoreksi terhadap variabel bebas (X1), OLR

100BT dan (X2) AUSMI pentad. Adapun

model chaos dan persisten hanya meng-

gunakan input anomali curah hujan pentad

pada waktu-waktu sebelumnya.

Verifikasi Skill Model Prediksi

Verifikasi berujuan menilai kualitas prediksi

dengan membandingkan antara hasil prediksi

dan observasi secara kualitatif maupun

kuantitatif (Halide, 2009). Skill prediksi da-

lam penelitian ini menggunakan pendekatan

deterministik dan probabilistik. Pendekatan

deterministik terdiri dari korelasi Pearson

dan RMSE yang didefinisikan sebagai

(Wilks, 1995 dalam Halide and Ridd, 2008):

𝑟 = 𝑝𝑚 − 𝑝 𝑜𝑚 − 𝑜 𝑛𝑚=1

𝑝𝑚 − 𝑝 2𝑛𝑚=1 𝑜𝑚 − 𝑜 2𝑛

𝑚=1

... (1)

Page 5: PENGEMBANGAN MODEL TELEKONEKSI BERBASIS INDEKS MJO DAN …

Sedangkan root mean square error (RMSE)

dirumuskan (Wilks, 1995 dalam Halide and

Ridd, 2008):

Dimana dan adalah prediksi dan

observasi pada waktu-m (m = 1, 2, ..., n).

sedangkan ̅ dan ̅ merupakan nilai rata-rata

dari prediksi dan observasi.

Pendekatan probabilistik diukur dengan

Peirce score, untuk menghitung persentase

kebenaran prediksi curah hujan ekstrim

berdasarkan Yes/No Forecast

Tabel 1. Tabel kontigensi yes/no forecast (Halide and

Ridd, 2008)

Adapun formula untuk skill model prediksi

dan error dihitung dari (Stephenson, 2000

dalam Halide and Ridd, 2008):

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1. Pola curah hujan Makassar, Semarang dan Palembang

745

530

348

179 97 67 41 12 39

90

201

667

0

200

400

600

800

1000

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

Akumulasi Hujan Bulanan (mm) Makassar StaMet Maritim Paotere rata-rata klimatologis 1988-2017 dan rata-rata dasawarsa 1988 - 1997, 1992 - 2001, 1996 - 2005, 2000 - 2009, 2004 -

2013, dasawarsa 2008 - 2017 Rata2-Klimatologis-1988-2017 Rata2-Dasawarsa(1)-1988-1997Rata2-Dasawarsa(2)-1992-2001 Rata2-Dasawarsa(3)-1996-2005Rata2-Dasawarsa(4)-2000-2009 Rata2-Dasawarsa(5)-2004-2013Rata2-Dasawarsa(1)-2008-2017 Poly. (Rata2-Dasawarsa(3)-1996-2005)

420 367

193 187 143

117 82

50 87

159

224 238

00

100

200

300

400

500

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

Akumulasi Hujan Bulanan (mm) StaMet Maritim Tanjung Mas rata-rata klimatologis 1988-2017 dan rata-rata dasawarsa 1988 - 1997, 1992 - 2001, 1996 - 2005, 2000 - 2009, 2004 - 2013,

dasawarsa 2008 - 2017 Rata2-Klimatologis-1988-2017 Rata2-Dasawarsa(1)-1988-1997Rata2-Dasawarsa(2)-1992-2001 Rata2-Dasawarsa(3)-1996-2005Rata2-Dasawarsa(4)-2000-2009 Rata2-Dasawarsa(5)-2004-2013Rata2-Dasawarsa(6)-2008-2017 Poly. (Rata2-Dasawarsa(6)-2008-2017)

238 217

388 351

176 133

78 106 121

237

370 333

00

100

200

300

400

500

600

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

Akumulasi Hujan Bulanan (mm) StaKlim Klas 1 Palembang rata-rata klimatologis 1988-2017 dan rata-rata dasawarsa 1988 - 1997, 1992 - 2001, 1996 - 2005, 2000 - 2009, 2004 - 2013,

dasawarsa 2008 - 2017 Rata2-Klimatologis-1988-2017 Rata2-Dasawarsa(1)-1988-1997Rata2-Dasawarsa(2)-1992-2001 Rata2-Dasawarsa(3)-1996-2005Rata2-Dasawarsa(4)-2000-2009 Rata2-Dasawarsa(5)-2004-2013Rata2-Dasawarsa(6)-2008-2017 Poly. (Rata2-Klimatologis-1988-2017)

Forecast Observed

Yes No

Yes a (hit) b (false alarm)

No c (miss) d (correct rejection) 𝑅𝑀𝑆𝐸 = 1

𝑛 𝑝𝑚 − 𝑜𝑚 2𝑛

𝑚=1

1/2

... (2)

𝑒𝑃𝑆𝑆 = 𝑛2 – 4 𝑎 + 𝑐 𝑏 + 𝑑 𝑥 𝑃𝑆𝑆2

4𝑛 𝑎 + 𝑐 𝑏 + 𝑑

12

𝑃𝑆𝑆 = 𝑎𝑑 – 𝑏𝑐 / 𝑎 + 𝑐 𝑏 + 𝑑 ... (3)

... (4)

Page 6: PENGEMBANGAN MODEL TELEKONEKSI BERBASIS INDEKS MJO DAN …

Gambar 1 menunjukkan pola curah hujan

tiga lokasi kajian. Dari hasil analisis secara

klimatologis maupun dasawarsa diperoleh

curah hujan Makassar bertipe monsunal,

membentuk huruf U dengan dasar melebar.

Perbedaan tegas antar puncak musim hujan

(Desember-Februari) dan kemarau (Juli-

Sepetember) terlihat jelas (hal yang sama

diperoleh Fhidayatullah, 2017), dimana saat

musim penghujan, curah hujan tergolong

tinggi (500-750 mm) dan sangat rendah di

musim kemarau. Pola yang sama juga

ditemui pada curah hujan Semarang, namun

dengan dasar lebih sempit dan menyerupai

huruf V. Hampir sepanjang tahun

Semarang mengalami hujan, yang

mengakibatkan peralihan antar kedua

musim tidak cukup tegas. Adapun

wilayah Palembang sedikit berbeda,

karena memiliki dua puncak curah

hujan maksimum (bimodal) yang

identik dengan tipe ekuatorial.

Puncak hujan pertama terjadi pada

Maret (388 mm), sedangkan puncak

kedua (370 mm) pada Nopember.

Bila diperhatikan lebih detail,

akumulasi hujan maksimum terjadi periode

Nopember-April dan minimum pada Mei-

September. Hasil ini mirip dengan pola curah

hujan klimatologi wilayah Bandung yang

dikelompokkan menjadi monsunal, namun

seolah-olah bertipe ekuatorial dalam

penelitian Suryantoro dkk., 2016.

Karakteristik Temporal Curah Hujan

Hasil analisis PSD menunjukkan osilasi

dominan curah hujan di Makassar (garis

biru), Semarang (garis merah) dan

Palembang (garis kuning) sekitar 12 bulanan

(Annual Oscillation/AO) yang berkaitan

dengan fenomena monsun. Sehingga

mengindikasikan curah hujan di ketiga lokasi

penelitian bertipe monsunal. Selain itu,

ditemukan pula osilasi 6 bulanan (Semi-

Annual Oscillation/SAO) di Makassar dan 4

bulanan di Palembang.

Gambar 2. Analisis spektral curah hujan bulanan

selama Januari 1983-Maret 2018

Energi spektral terbesar, yakni 3,8 x 109

Watt/Hz dihasilkan oleh curah hujan

Makassar yang menunjukkan lokasi tersebut

memiliki akumulasi hujan bulanan tertinggi

Most Predominant

Peak Oscillation

~12 Month

Sama halnya dengan

analisis spektral PSD pada

gambar 2, wavelet curah

hujan Makassar juga mem-

perlihatkan pola dominan

satu tahunan yang dicirikan

colorbar berwarna merah.

Intensitas hujan diatas rata-

rata terjadi pada 1988,

1989, 1994-1996, 1998-

2002, 2007-2010, dan

2012-2015. Gambar 3. Analisis wavelet curah hujan bulanan Makassar selama

Januari 1983-Maret 2018

Page 7: PENGEMBANGAN MODEL TELEKONEKSI BERBASIS INDEKS MJO DAN …

Gambar 4. Boxplot curah hujan bulanan Makassar selama Januari 1983-Maret 2018

Distribusi curah hujan ekstrim berdasar bulan

digambarkan melalui boxplot. Grafik ini

menampilkan statistik deskriptif sebaran data

curah hujan menjadi nilai minimum, kuartil

pertama, median, kuartil ketiga, dan nilai

maksimum. Gambar 4 menunjukkan boxplot

curah hujan bulanan Makassar. Crosshair (+)

berwarna merah adalah nilai-nilai ekstrim.

Secara umum, hujan ekstrim tidak hanya

terjadi pada puncak hujan maksimum

(Desember-Februari), namun juga saat

musim kemarau (Juli-September) dan

peralihan (April, Oktober, Nopember).

Akumulasi hujan terbesar sepanjang Januari

1983-Maret 2018 terjadi pada Januari 1999

(1277 mm), sedangkan akumulasi terendah

saat Januari 1998 (167 mm).

Koreksi Curah Hujan Pentad

Koreksi data curah hujan dilakukan pada

periode hujan maksimum dimana jumlah hari

hujan dengan kelengkapan data diatas 75%.

Periode Nopember 2014 – Maret 2015

memenuhi syarat untuk dilakukan komparasi

data curah hujan observasi dan masing-

masing satelit. Gambar 5 menunjukkan time

series curah hujan observasi dan satelit

pentad untuk wilayah Makassar. Garis

berwarna biru mewakili data observasi

permukaan, sedangkan garis merah, hijau dan

kuning secara berurut menunjukkan data

satelit GSMaP, TRMM dan CHIRPS.

Terlihat bahwa satelit TRMM memiliki

kemiripan pola dengan data observasi

dibanding dua data satelit lainnya.

0

50

100

150

200

250

300

350

04

-No

v-1

40

9-N

ov-

14

14

-No

v-1

41

9-N

ov-

14

24

-No

v-1

42

9-N

ov-

14

04

-Des

-14

09

-Des

-14

14

-Des

-14

19

-Des

-14

24

-Des

-14

29

-Des

-14

03

-Jan

-15

08

-Jan

-15

13

-Jan

-15

18

-Jan

-15

23

-Jan

-15

28

-Jan

-15

02

-Feb

-15

07

-Feb

-15

12

-Feb

-15

17

-Feb

-15

22

-Feb

-15

27

-Feb

-15

04

-Mar

-15

09

-Mar

-15

14

-Mar

-15

19

-Mar

-15

24

-Mar

-15

29

-Mar

-15

Time Series Curah Hujan Pentad Makassar Periode November 2014 - Maret 2015

BMKG GSMaP TRMM CHIRPS

Gambar 5. Komparasi curah hujan observasi dan pentad

satelit di Makassar periode November 2014-Maret 2015

Gambar 6. Scatterplot curah hujan observasi

pentad dengan masing-masing satelit

Page 8: PENGEMBANGAN MODEL TELEKONEKSI BERBASIS INDEKS MJO DAN …

Hal ini diperkuat oleh hasil scatterplot curah

hujan pentad pada gambar 6, dimana ukuran

koefisien determinasi R2 > 0.5 dianggap

cukup representatif dalam menggambarkan

curah hujan observasi di lokasi kajian.

Satelit GSMaP (R2

= 0.51) dan TRMM (R2

=

0.65) memenuhi syarat. Namun, data satelit

TRMM digunakan untuk koreksi karena

menghasilkan nilai R2 terbesar. Selanjutnya

analisis regresi dilakukan untuk masing-

masing data bulanan selama Nopember 2014

– Maret 2015.

Tabel 2. Persamaan regresi dan koefisien determinasi

Lokasi Persamaan regresi R2

Makassar y = 0.917x + 10.08 0.99

Semarang y = 0.812x + 8.88 0.88

Palembang y = 0.757x – 2.91 0.86

Hasilnya menunjukkan bahwa persamaan

regresi bulan Maret 2015 dengan nilai R2 =

0.99 digunakan untuk mengoreksi dataset

curah hujan Makassar. Sedangkan untuk

wilayah Semarang dan Palembang masing-

masing menghasilkan nilai R2 = 0.88 dan R

2

= 0.86 pada bulan Nopember 2014,

sebagaimana disajikan dalam tabel 2.

Gambar 7. Pentad curah hujan BMKG, TRMM, dan

koreksi tiap wilayah (Nopember 2014-Maret 2018)

Filter Indeks OLR

Berdasarkan hasil FFT indeks OLR,

diperoleh osilasi 30 – 90 harian berada dalam

rentang frekuensi 466.2 sampai 153.1.

sehingga filterisasi hanya dilakukan pada

frekuensi tersebut. Data deret waktu sebelum

dan setelah dilakukan proses penyaringan

ditunjukkan oleh gambar 8.

Gambar 8. Time series indeks OLR sebelum dan

setelah filter (Januari 2000 – Maret 2018)

Model Telekoneksi ARIMA

Model telekoneksi yang digunakan dalam

peramalan indeks MJO dan monsun adalah

ARIMA musiman (3,0,1)(1,1,0)73

dengan

estimasi parameter pada tabel 3. Adapun

hasil prediksi untuk satu tahun kedepan

ditunjukkan oleh garis merah pada gambar 9.

Area berwarna abu-abu tua dan muda

merupakan batas kepercayaan 95% dan 80%.

Tabel 3. Estimasi parameter model ARIMA

Gambar 9. Prediksi indeks telekoneksi satu tahun

kedepan menggunakan ARIMA (3,0,1)(1,1,0)73

AR(1) AR(2) AR(3) MA(1) SAR(1)

1= 1.13 2= -0.45 3= 0.002 1= -0.43 1= -0.46

Page 9: PENGEMBANGAN MODEL TELEKONEKSI BERBASIS INDEKS MJO DAN …

Pengaruh Model Telekoneksi

Model telekoneksi ARIMA diaplikasikan

terhadap anomali curah hujan pentad ter-

koreksi. Dalam kasus ini, ditampilkan time

series anomali curah hujan terkoreksi beserta

model ARIMA (3,0,1)(1,1,0)73

. Diagram

batang berwarna merah mewakili anomali

curah hujan Makassar, sedangkan warna

hijau dan kuning masing-masing anomali

curah hujan Semarang dan Palembang.

Adapun garis warna biru menunjukkan mo-

del telekoneksi ARIMA. Garis kotak putus-

putus berwarna hitam adalah interaksi antar

MJO dan Monsun Australia. Selain itu juga

ditampilkan diagram Hovmoller OLR, curah

hujan dan akumulasinya pada gambar 10.

Gambar 10. (A) time series anomali curah hujan terkoreksi tiap lokasi serta model telekoneksi (B) diagram

hovmoller OLR harian NOAA/ESRL Physical Sciences Division (C) akumulasi curah hujan harian NDJFM

2003-2004 (D) diagram hovmoller curah hujan DJF 2003-2004

Banjir Palembang (25/12) Banjir Palembang

(29/11)

-11

-6

-1

4

9

14

-50

50

150

250

350

04

-11

-03

09

-11

-03

14

-11

-03

19

-11

-03

24

-11

-03

29

-11

-03

04

-12

-03

09

-12

-03

14

-12

-03

19

-12

-03

24

-12

-03

29

-12

-03

03

-01

-04

08

-01

-04

13

-01

-04

18

-01

-04

23

-01

-04

28

-01

-04

02

-02

-04

07

-02

-04

12

-02

-04

17

-02

-04

22

-02

-04

27

-02

-04

03

-03

-04

08

-03

-04

13

-03

-04

18

-03

-04

23

-03

-04

28

-03

-04

ARIMA Model and Rainfall Anomaly NDJFM 2003-2004

AnomCH Makassar AnomCH Semarang AnomCH Palembang ARIMA Model

A

B

C

D

Page 10: PENGEMBANGAN MODEL TELEKONEKSI BERBASIS INDEKS MJO DAN …

Verifikasi pengaruh model telekoneksi

terhadap anomali curah hujan secara

kuantitatif menggunakan nilai percent

correct (PC). Hal ini dilakukan pada anomali

curah hujan dan model telekoneksi yang

berada di dalam kotak dengan garis hitam

putus-putus. Secara umum diperoleh bahwa

rata-rata PC(-) memberikan nilai yang lebih

besar dibanding PC (+) di tiap wilayah, yang

berarti telekoneksi negatif berpengaruh besar

terhadap penurunan curah hujan. Untuk

Makassar, 42,2% anomali curah hujannya

dapat dijelaskan oleh model telekoneksi.

9,2% saat anomali hujan dan telekoneksi

bernilai positif, dan 33,2% ketika keduanya

bernilai negatif. Sebanyak 51,6% anomali

curah hujan Semarang dapat dijelaskan oleh

model telekoneksi, dengan 11,6% ketika

bernilai positif dan 40% saat bernilai negatif.

Adapun Palembang, 58,6% anomali curah

hujan dapat dijelaskan oleh model tele-

koneksi. 5,1% saat anomali hujan dan

telekoneksi bernilai positif, sedangkan 53,5%

ketika keduanya negatif.

Tabel 4. 1 Verifikasi pengaruh model telekoneksi

Model Prediksi Curah Hujan Ekstrim

Prediksi curah hujan ekstrim selama 4 step

kedepan menggunakan model regresi

berganda (MR), chaos dan persisten. Gambar

11 menunjukkan fluktuasi model prediksi

curah hujan 5 harian di Makassar. Data

observasi curah hujan terkoreksi diwakili

oleh bulatan berwarna orens, sedangkan

model prediksi MR, chaos dan persisten

masing-masing ditampilkan dalam garis

berwarna biru, kuning, dan hijau. Adapun

garis berwarna merah adalah batas ekstrim

curah hujan 90th

.

Fase Aktif MJO Makassar Semarang Palembang

PC(+) PC(-) PC(0) PC(+) PC(-) PC(0) PC(+) PC(-) PC(0)

NDJFM 2000-2001 33.3 0.0 66.7 33.3 16.7 50.0 0.0 16.7 83.3

NDJFM 2003-2004 16.7 33.3 50.0 0.0 33.3 66.7 0.0 66.7 33.3

NDJFM 2005-2006 14.3 28.6 57.1 57.1 28.6 14.3 14.3 42.9 42.9

NDJFM 2006-2007 0.0 50.0 50.0 0.0 50.0 50.0 33.3 50.0 16.7

NDJFM 2007-2008 0.0 16.7 83.3 16.7 33.3 50.0 0.0 83.3 16.7

NDJFM 2011-2012 0.0 57.1 42.9 0.0 71.4 28.6 0.0 85.7 14.3

NDJFM 2012-2013 28.6 42.9 28.6 0.0 28.6 71.4 0.0 57.1 42.9

NDJFM 2014-2015 0.0 28.6 71.4 0.0 57.1 42.9 0.0 57.1 42.9

NDJFM 2015-2016 0.0 33.3 66.7 0.0 33.3 66.7 0.0 33.3 66.7

NDJFM 2016-2017 8.3 50.0 41.7 8.3 50.0 41.7 8.3 58.3 33.3

NDJFM 2017-2018 0.0 25.0 75.0 12.5 37.5 50.0 0.0 37.5 62.5

Rata-rata 9.2% 33.2% 57.6% 11.6% 40.0% 48.4% 5.1% 53.5% 41.4%

A

Page 11: PENGEMBANGAN MODEL TELEKONEKSI BERBASIS INDEKS MJO DAN …

Gambar 11. Time series model prediksi MR, chaos dan persisten curah hujan pentad Makassar (A) lead-1 (B)

lead-2 (C) lead-3 dan (D) lead-4

Dari 3 model untuk setiap lokasi kajian,

hanya model chaos dan MR yang cukup baik

mengikuti pola data, meskipun belum

berhasil memprediksi secara tepat. Adapun

model persisten yang dibentuk dari curah

hujan pentad sebelumnya, memperlihatkan

pola bergeser terhadap waktu pengamatan.

Secara umum, hasil plot time series curah

hujan ekstrim menunjukkan nilai yang cukup

baik untuk Makassar, sedangkan dua lokasi

lainnya yang tidak ditampilkan memberikan

hasil kurang signifikan (underestimate).

B

C

D

Page 12: PENGEMBANGAN MODEL TELEKONEKSI BERBASIS INDEKS MJO DAN …

Gambar 12. Verifikasi skill 3 model prediksi curah hujan ekstrim di Makassar, Semarang, dan Palembang

Gambar 12 menunjukkan verifikasi skill tiga

model prediksi curah hujan ekstrim 5 harian

di Makassar, Semarang, dan Palembang.

Ukuran deterministik yang terdiri dari nilai

korelasi Pearson dan RMSE disajikan dalam

grafik di sisi kiri dan tengah. Adapun ukuran

probabilistik yakni Peirce score tergambar

dalam grafik di sisi kanan. Model MR, chaos

dan persisten secara berurut diwakili garis

berwarna hijau, kuning, dan merah. Akurasi

prediksi lead-1 model MR di Makassar

menghasilkan nilai cukup tinggi (r = 0,58 dan

RMSE = 50,55). Adapun lead-1 model chaos

di Makassar menghasilkan nilai tinggi (r =

0,85 dan RMSE = 35,20). Sedangkan model

persisten di wilayah yang sama hanya mem-

berikan nilai r = 0,49 dan RMSE = 61,77

untuk lead 1 pentad. Seiring dengan me-

ningkatnya step peramalan, maka nilai

akurasi cenderung menurun.

4. KESIMPULAN

Model telekoneksi yang sesuai untuk indeks

MJO dan AUSMI pentad periode Januari

2000-Desember 2017 adalah ARIMA (3,0,1)

(1,1,0)73

. Verifikasi kuantitatif menunjukkan

42,2% anomali curah hujan Makassar di-

pengaruhi oleh model telekoneksi, sedangkan

wilayah Semarang dan Palembang yakni

51,6% dan 58,6%. Secara umum, pengaruh

model cenderung berkurang sepanjang bujur

menuju timur Indonesia. Prediksi curah hujan

ekstrim 5 harian menggunakan model MR,

chaos, dan persisten menghasilkan nilai yang

cukup baik di Makassar. Namun, under-

estimate di Semarang dan Palembang. Dari

tiga model prediksi, model chaos yang

memiliki nilai korelasi tertinggi dan mampu

bertahan hingga 4 pentad kedepan. Sedang-

kan model MR dengan r berkisar 0,52 – 0,58

hanya bertahan hingga lead 3.

Page 13: PENGEMBANGAN MODEL TELEKONEKSI BERBASIS INDEKS MJO DAN …

Daftar Pustaka

As-syakur, A.R., Tanaka, T., Prasetia, R.,

Swardika, I.K., & Kasa, I.W. 2011.

Comparison of TRMM multisatellite

precipitation analysis (TMPA) products

and daily-monthly gauge data over Bali.

International Journal of Remote Sensing,

32(24), 8969-8982.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

http://bnpb.cloud/dibi/ [24 Mei 2018]

Balbeid, N., Atmadipoera, A.S., &

Koropitan, A.F. 2015. Respon Suhu

Permukaan Laut (SPL) dan Klorofil-a

terhadap Madden Julian Oscillation

(MJO) di Laut Indonesia. Jurnal Ilmu

dan Teknologi Kelautan Tropis, 7(2),

553-572.

Chang, C.P., Wang, Z., McBride, J., & Liu,

C.H. 2005. Annual Cycle of Southeast

Asia-Maritime Continent Rainfall and

The Asymmetric Monsoon Transition. J.

of Clim, 18(2), 287-301.

Evana, L. 2009. Pengembangan Model

Prediksi Madden Julian Oscillation

(MJO) berbasis pada Hasil Analisis Data

Real Time Multivariate MJO (RMM1

dan RMM2). [Skripsi]. Institut Pertanian

Bogor: Bogor

Fhidayatullah, D.M. 2017. Analisis

Fenomena Kemarau Basah di Wilayah

Makassar, Pontianak dan Pekanbaru

berbasis Indeks Madden Julian

Oscillation. [Skripsi]. Universitas

Hasanuddin: Makassar.

Fhidayatullah, D.M. 2017. Analisis

Fenomena Kemarau Basah di Wilayah

Makassar, Pontianak dan Pekanbaru

berbasis Indeks Madden Julian

Oscillation. [Skripsi]. Universitas

Hasanuddin: Makassar.

Halide, H. 2009. Esensi Prediksi. Makassar :

Pustaka Pena Press Makassar.206pp.

Halide, H., & Ridd, P. 2008. Complicated

ENSO models do not significantly

outperform very simple ENSO models.

Int. J. Climatol. 28: 219-233.

Hermawan, Eddy. 2010. Analisis Struktur

Vertikal MJO terkait dengan Aktivitas

Super Cloud Clusters (SCCs) di

Kawasan Barat Indonesia. Jurnal Sains

Dirgantara, 8(1), 25-42.

Madden, R.A & Julian P. 1971. Detection of

a 40-50 day oscillation in the zonal wind

in the tropical Pacific. J Atmos Sci 28:

702-708.

Physical Sciences Division Boulder

Colorado, NOAA/ESRL

https://www.esrl.noaa.gov/psd/map/time

_plot/ [1 September 2018]

Seto TH. 2002. Pengamatan Osilasi Madden

Julian dengan radar atmosfer equator

(EAR) di Bukittinggi Sumatera Barat.

Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca

3:121-124.

Sperber, K.R & J.M Slingo. 2002.

Propagation and Vertical Structure of

Madden-Julian Oscillation. Center for

Global Atmospheric Modeling and Dept.

Of Meteorology at the University of

Reading, England.

Stephenson, D.B. 2000. Use of the “Odds

ratio” for diagnosing forecast skill.

Weather Forecast 15, 221-232.

Suryantoro, A., Sinatra, T., Nafiisyanti, A., &

Gammamerdianti. 2016. Analisis variasi

temporal hujan di Bandung berbasis data

permukaan dan satelit GPM terkait

dengan identifikasi bencana

hidrometeorologis. Prosiding Pertemuan

Ilmiah Tahunan Kebencanaan Ke-3.

Wheeler, M.C., & Hendon HH. 2004. An all-

season real-time multivariate MJO

index: development of an index for

monitoring and prediction. Month

Weather Rev 132:1917-1932.

Wilks, DS. 1995. Statistical Methods in the

Atmospheric Sciences. San Diego:

Academic Press.