pengelolaan lahan gambut tanpa bakar dengan teknologi wanatani

4
PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT TANPA BAKAR DENGAN TEKNOLOGI WANATANI (AGROFORESTRY) PENGALAMAN AKHMAD TAMANURUDDIN USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN Oleh: Indra Nugraha Berbagai tanaman sayur tumbuh subur di lahan se- luas 1,75 hektar di wilayah Kalampangan, Palangka Raya. Selain cabe, bayam, juga jagung, di lahan gam- but ini tumbuh beberapa tanaman keras (karet) dan buah-buahan seperti pisang, rambutan dan jeruk. Adalah Akhmad Tamanuruddin, sang pemilik lahan tersebut. Bertahun-tahun ia mencoba berbagai cara untuk mengubah gambut menjadi lahan subur sebagai sumber penghidupannya. Yang menarik, pengelolaan lahan ini dilakukan tanpa membakar. Keberhasilan Bapak Akhmad Tamanuruddin dalam menyuburkan lahan gambut ini menjadi bukti dan jawaban atas ang- gapan banyak pihak bahwa lahan gambut akan subur jika lebih dahulu dilakukan pembakaran. Bapak Akhmad tamanuddin merupakan transmigran pertama asal Ngawi, Jawa Timur yang ditempatkan di Palangka Raya tahun 1980. Dengan usia yang relatif muda (26 tahun), ketika itu beliau merasa tertan- “Melarang petani untuk tidak membakar lahan tidaklah bijak- sana ketika tidak diberikan jalan keluar. Membakar adalah pilihan terakhir agar penghidupannya tetap berjalan. Meski sebenarnya dibenci oleh petani “ USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN 1

Transcript of pengelolaan lahan gambut tanpa bakar dengan teknologi wanatani

Page 1: pengelolaan lahan gambut tanpa bakar dengan teknologi wanatani

PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT TANPA BAKAR DENGAN TEKNOLOGI WANATANI (AGROFORESTRY)PENGALAMAN AKHMAD TAMANURUDDIN

USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN

Oleh: Indra Nugraha

Berbagai tanaman sayur tumbuh subur di lahan se- luas 1,75 hektar di wilayah Kalampangan, Palangka Raya. Selain cabe, bayam, juga jagung, di lahan gam-but ini tumbuh beberapa tanaman keras (karet) dan buah-buahan seperti pisang, rambutan dan jeruk. Adalah Akhmad Tamanuruddin, sang pemilik lahan tersebut. Bertahun-tahun ia mencoba berbagai cara untuk mengubah gambut menjadi lahan subur sebagai sumber penghidupannya. Yang menarik, pengelolaan lahan ini dilakukan tanpa membakar. Keberhasilan Bapak Akhmad Tamanuruddin dalam menyuburkan lahan gambut ini menjadi bukti dan jawaban atas ang-gapan banyak pihak bahwa lahan gambut akan subur jika lebih dahulu dilakukan pembakaran.

Bapak Akhmad tamanuddin merupakan transmigran pertama asal Ngawi, Jawa Timur yang ditempatkan di Palangka Raya tahun 1980. Dengan usia yang relatif muda (26 tahun), ketika itu beliau merasa tertan-

“Melarang petani untuk tidak membakar lahan tidaklah bijak-sana ketika tidak diberikan jalan keluar. Membakar adalah pilihan terakhir agar penghidupannya tetap berjalan. Meski sebenarnya dibenci oleh petani “

USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN 1

Page 2: pengelolaan lahan gambut tanpa bakar dengan teknologi wanatani

tang untuk berhasil sebagai transmigran. Baginya, ke-pindahannya ke Palangka Raya dianggap sebagai hi-jrah untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan keluarganya. “Malu jika gagal di kampung orang. Bagi saya, jika sudah niat pantang untuk kembali. Apapun risikonya harus dijalani “, demikian ujar lelaki kelahi-ran Ngawi, 6 September 1954. Karena itu, pada awal kedatangannya beliau harus berjibaku berusaha sekuat tenaga untuk mengubah lahan gambut agar bisa didayagunakan. Meski hal ini bukan perkara mu-dah. Dengan bantuan pemerintah berupa bahan pangan (beras, kecap dan ikan asin) untuk 2 tahun, beliau bertekad lahan yang dimiliki bisa ditanami se-belum bantuan pemerintah berakhir.

Bertahan Hidup

Namun apa yang dibayangkan dan dipikirkan tidaklah sesuai dengan kenyataan yang ada. Lahan 2 hektar yang digunakan untuk rumah dan pekarangan selu-as seperempat hektar dan sisanya untuk lahan usaha, kondisinya jauh dari memuaskan. Masih banyak pu-ing-puing kayu sisa penebangan dengan ukuran yang besar. “Sedikit demi sedikit saya kumpulkan supaya lah-annya bersih, dan secara bertahap dicangkul dan diker-jakan secara manual. Pakai cangkul, kapak, juga pa-rang,” ujar lelaki yang akrab disapa Taman saat ditemui Tim LESTARI. Saat itu, hampir semua jenis tanaman pada awalnya sulit tumbuh di lahan gambut. Terma-suk di lahan pekarangan. Mengingat kadar asamnya masih tinggi. Keadaan inilah yang mendorong ma- syarakat melakukan pembakaran agar kayu-kayu sisa pembukaan lahan cepat hilang dan unsur haranya dapat mempercepat kesuburan lahan. Baik warga lokal maupun transmigran melakukan pembakaran karena memang tidak membutuhkan biaya tinggi. Terlebih waktu itu tidak ada larangan dari pemerin-tah.

Sekalipun banyak warga masyarakat yang memba- kar lahan untuk memulai pengelolaan lahan, beliau justru konsisten tidak membakar lahannya. Dengan berbagai daya dan upaya, beliau berusaha mengusa-hakan lahan gambutnya dapat ditanami untuk mem-bantu memenuhi kebutuhan pangannya, meskipun hanya untuk satu jenis tanaman padi. “Saya punya keyakinan bahwa lahan seperti apapun, kalau diday-agunakan pasti akan subur. Jadi saya pelajari watak-watak dari setiap jenis tanah yang ada. Kira-kira apa yang dimaui oleh tanah itu harus kita pelajari. Memang pengetahuan saya tentang gambut terbatas. Ibarat dengan binatang, kalau kita mencintai dan memper-lakukan tanah dengan baik, Insya Allah akan berhasil,” katanya.

Memang pembakaran adalah cara paling murah, mu-dah dan cepat untuk mengusahakan lahan gambut dapat ditanami. Terlebih bagi petani yang terbatas sumberdayanya (uang dan keterampilan). Bagi war-ga transmigran, ikut membakar lahan untuk menda- patkan abu adalah pilihan terbaik karena bantuan pangan (jatah hidup) dari pemerintah akan berak- hir. Dengan membakar kayu-kayu yang ada, kemudi-an abunya ditebar di lahan yang akan ditanami. Cara tersebut cukup efektif membuat tanaman tumbuh. Hanya risikonya, bahan baku untuk mendapatkan abu semakin berkurang. Kayu semakin sulit didapat, hing-ga warga juga terpaksa membakar kelakai. Namun cara ini membuat abu yang didapat semakin sedikit. Bahkan tidak jarang untuk mendapatkan kayu, warga membakar kawasan hutan yang dilindungi dan lo-kasinya semakin jauh. Padahal produksi yang dihasil-kan tidak banyak. Untuk tanaman padi, rata-rata 2 ton/hektar.

Keadaan inilah yang membuat banyak warga trans- migran seangkatan dengan beliau yang putus asa. Setidaknya hampir 50 persen transmigran yang bera-

USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN 2

Foto: Taman, petani agroforestri yang sukes kelola lahan gam-but tanpa membakar.

Page 3: pengelolaan lahan gambut tanpa bakar dengan teknologi wanatani

da di Kalampangan waktu itu akhirnya memutuskan untuk kembali ke tanah Jawa. Sebab, bantuan pangan yang diberikan pemerintah sudah mulai berkurang, sementara hasil tanaman tidak sebanding dengan biaya dan sumberdaya yang dikeluarkan. Bahkan di beberapa lokasi, sejumlah lahan terbengkalai karena tidak dapat digarap. Pak Taman mengatakan, “selama lima tahun tinggal di sini praktis tidak ada rumput yang tumbuh. Setelah ada kelakai dan pakis yang kemudian dikupas, dicangkul di atasnya dan dijadikan abu untuk ditaburkan di lahan. Sehingga tumbuhlah rumput. Ha-nya pembakaran ini dapat dikendalikan hingga tidak sampai menjalar kemana-mana. Kalau dikumpulkan abu itu paling-paling dapat tiga ember saja.” katanya.

Namun Bapak Taman tak melakukan hal tersebut. Beliau berkeyakinan tak ingin merusak lahan. Se-bab menurutnya, lahan jika terus menerus dibakar akan mengakibatkan konstruksinya rusak. Permukaan tanah akan terus menurun. Karena itu lah, beliau mencari berbagai cara untuk tetap menanam tanpa membakar. Mengingat permukaan tanah yang sema-kin menurun, akan merusak ekosistem dan ekologi, serta kondisi hidrologi. Beliau menyadari risiko ini sehingga langkah yang diambil adalah dengan cara membeli tanah subur untuk ditaburkan sebagai un-sur hara.

Beliau membeli tanah subur dari kawasan Tangkil-ing dan Kereng yang dicampur dengan pupuk kimia maupun organik. Kemudian ditaburkan di lahan gam-but. Meskipun pada awal mempraktikkan hal terse-but tidak juga membuahkan hasil, tidak menyurutkan beliau untuk terus berusaha. Motivasi menjadi trans-migran sukses inilah yang menjadi modal beliau un-tuk tidak pantang menyerah. Kemudian beliau men-gubah cara pengolahan lahannya. Tanah subur yang dibeli tak lantas ditabur begitu saja. Beliau terlebih dahulu melubangi lahan gambut yang akan ditanami menjadi semacam pot tanaman. Ketika akan mena-

nam, segenggam tanah subur yang sudah dicampur pupuk dimasukkan ke dalamnya kemudian didiamkan selama dua minggu. Setelah itu, beliau mulai mena-nam bibit berbagai jenis sayuran.

“Rupanya kalau langsung ditabur jadi pemborosan be-sar. Media tanah juga tidak langsung ditanami. Sebab kan ada unsur kapur yang panas dan akan menjadikan tanaman mati. Setiap menanam begitu. Sehingga la-ma-lama bisa subur seperti sekarang ini. Kalau habis menggunakan tanah subur ini, jangan dibakar. Karena tanah subur bisa mati dan jadi bata. Terus menerus diberi kapur dan pupuk kandang,” ujarnya.

Bapak Taman mengatakan, dengan metode pengo-lahan lahan yang dilakukan memang membutuhkan waktu dan proses yang cukup lama. Butuh kesaba-ran yang ekstra. Apalagi ketika awal mempraktikkan berkali-kali mengalami kegagalan. Bahkan beliau se-benarnya juga hampir menyerah dan berniat untuk pulang ke Jawa. Dengan modal yang sudah tidak ada, akhirnya beliau bekerja sebagai kuli bangunan. Upah hasil kerjanya dikumpulkan untuk ongkos pulang ke Jawa. Namun teringat tekadnya untuk berhasil, maka beliau tidak larut dengan keputusasaannya. Bahkan keinginan tersebut akhirnya tak sempat terjadi. Beliau mengenang, “suatu malam di tahun 1981, saya dengar siaran RRI Palangka Raya. Dinas Pendidikan membuka penerimaan tenaga guru. Keesokan hari, saya memu-tuskan ikut mendaftar berbekal ijazah SLA”.

Rupanya nasib baik menghampiri Taman. Setelah mengikuti berbagai seleksi, beliau diterima menjadi tenaga pengajar di Sekolah Dasar. Lahan garapan ti-dak terolah selama beberapa tahun sebab beliau di-tugaskan di Kabupaten Muara Teweh, jauh dari Kota Palangka Raya. Lahan garapan akhirnya dikuasakan kepada kelompok petani yang ada di Kalampangan. Hanya sekali dalam setahun, beliau rutin mengunjun-gi lahannya agar tak hilang dan sebagai bentuk kecin-

USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN 3

Foto: Taman sedang menggarap lahannya

Page 4: pengelolaan lahan gambut tanpa bakar dengan teknologi wanatani

taannya pada lahannya. Setelah lima tahun menjadi guru Sekolah Dasar di Muara Teweh, beliau dipindah-kan ke Palangka Raya. Sambil terus mengajar, beliau aktif melakukan berbagai percobaan untuk membuat lahannya menjadi subur dan dapat ditanami.

“Tahun 1990-an baru mulai terlihat kesuburannya. Sekalipun diusahakan selama 10 tahun, namun dari segi biaya – sesungguhnya lebih murah dibanding membakar. Kupas bakar itu nilai ekonominya tinggi. Itu kalau membakar tenaganya dan upahnya berapa juta? Nah itu pun setelah dikupas bakar, dicangkul lagi. Ka-lau saya berpikir itu lebih mahal, karena kalau tanah sudah menurun, maka kesuburannya sulit dipulihkan” paparnya.

Buah dari Kesabaran

Biaya yang dibutuhkan Bapak Taman untuk mengolah lahan seluas 1,75 hektar meliputi pembelian tanah subur dua truk sebesar Rp. 1,5 juta, 20 sak kapur seharga Rp. 1 juta dan biaya lain adalah pupuk, dise-suaikan dengan kebutuhan. Namun biaya yang dike-luarkan tersebut jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan hasil tani yang melimpah. Beliau mengaku mendapat banyak keuntungan dengan konsep wa-natani yang dikembangkan dengan tanpa membakar. Dari hasil tanaman yang dijual, rata-rata keuntungan yang diperoleh sekitar Rp. 2 juta perbulan.

Beliau mengemukakan, “ciri-ciri tanah yang subur ada-lah rumput berkembang baik. Pasti itu. Sebaliknya jika tanah yang tidak subur, jangankan tanaman, rumput pun enggan hidup. Itu rumput saya semprot dengan herbisida agar kering. Kalau sudah lapuk, membuat tanah menjadi gembur. Jadi herbisida kalau disem-protkan selain mematikan gulma, juga tanah menjadi gembur. Rumput dan kotoran itu jika tidak dibersihkan jangan dianggap petani itu pemalas. Karena rumput dan kotoran akan berproses menjadi unsur hara. Jadi sudah tinggal pelapukan saja.”

Keberhasilan Bapak Taman mengembangkan lahan-nya dengan tanpa membakar membutuhkan wak-tu 20 tahun. Menurutnya 10 tahun pertama adalah tahapan paling kritis karena pada periode ini mer-upakan pra-kondisi untuk mengubah karakter lahan yang asam. Dibutuhkan sumberdaya cukup dan kes-abaran dari petani. Mengingat meski berbagai input diberikan, tidak menutup kemungkinan juga akan gagal. Terutama ancaman api dari lokasi petani yang mengolah lahan dengan membakar. Lahan menun-jukkan tanda-tanda tanah menjadi subur itu setelah sepuluh tahun. Memang tidak langsung melainkan berkembang sedikit demi sedikit. Beliau merasa puas akan kesuburan lahannya menjelang tahun 1990-an, setelah keberhasilan penanaman bawang dan seledri.

Bapak Taman mengakui bahwa kesuksesannya men-emukan metode pengolahan lahan tanpa bakar ti-dak terlepas dari banyak belajar. Namun yang tidak

kalah penting adalah modal kesabaran dan pantang menyerah. Sebab menurutnya manusia hidup diberi otak dan daya pikir. Beliau belajar bertahun-tahun dengan mengamati dari berbagai kegagalan yang di-alami. Beliau mengibaratkan bahwa sebagai kekayaan, tanah itu seperti anak yang harus dijaga, dirawat dan dicintai. “Misalnya jika ada kegagalan, perlu dicari penyebabnya. Apakah kurang subur, kena penyakit, dan lainnya. Sehingga dapat segera dicarikan solusinya. Ti-dak selalu harus pakai pupuk dan obat-obatan. Jadi saya itu belajar dari pengalaman, ilmu saya adalah fak-ta di lahan”, kata kakek empat cucu tersebut.

Bapak Taman telah membuktikan kemampuannya mengolah gambut sebagai lahan budidaya pertanian yang subur tanpa harus membakar. Banyak warga masyarakat baik di Kalampangan maupun wilayah lain yang tertarik untuk menerapkan cara pengo-lahan yang dilakukan beliau. Hanya saja terbentur dengan ketersediaan sumber daya dan infrastruk-tur yang memadai. Mahalnya biaya untuk membeli tanah yang subur, kapur dan pupuk dan dukungan sarana pengangkut dan tiadanya dukungan pemer-intah, membuat petani tetap membakar untuk men-golah lahannya. Beliau mengatakan, “melarang petani untuk tidak membakar lahan tidaklah bijaksana ketika tidak diberikan jalan keluar. Membakar adalah pilihan terakhir agar penghidupannya tetap berjalan. Meski se-benarnya dibenci oleh petani“.

USAID LESTARI: CERITA DARI LAPANGAN 4