PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT BERKELANJUTAN:...
Transcript of PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT BERKELANJUTAN:...
233
PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT BERKELANJUTAN: STUDI KASUS PENGEMBANGAN KARET DAN TANAMAN SELA DI DESA JABIREN KABUPATEN PULANG PISAU KALIMANTANTENGAH
M. A. Firmansyah, W. A. Nugroho dan M.S. Mokhtar
Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah, Jl.
G. Obos Km. 5 Palangkaraya 7311, Kalimantan Tengah, Kotak Pos 122 Telp/Fax: 0536 – 320662 ([email protected], http://kalteng.litbang.deptan.go.id)
Abstrak. Pemanfaatan gambut untuk tanaman karet telah lama dilakukan oleh masyarakat
di Kalimantan Tengah. Setelah terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut skala luas ,
pemanfaatan lahan gambut untuk tanaman karet makin meningkat terutama pada bekas
areal kebakaran tersebut. Demplot ICCTF di Desa Jabiren, Kecamatan Jabiren Raya,
Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah merupakan area bekas kebakaran hebat
dikawasan gambut pada tahun 2005. Lokasi tersebut merupakan lahan gambut dengan
kriteria ketebalan sangat dalam yaitu antara 5 hingga 7 meter, dan tingkat kematangan
bervariasi antara hemik dan saprik. Karet yang berasal dari biji (GT-1) ditanam pada
tahun 2006. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh bahan ameliorasi
(pugam A, pugam T, pupuk kandang ayam, tanah mineral dan kontrol) terhadap
karakterisit ik agronomis tanaman karet dan tanaman sela yang telah dilaksanakan selama
1 tahun penelitian yaitu dari bulan Januari 2011 – bulan Maret 2012. Setiap petak
perlakuan memiliki ukuran 35 x 180 m terdiri dari 7 lorong karet dengan jarak tanam
karet 3x5 m. Penanaman tanaman sela d ilakukan pada lo rong antara barisan tanaman karet
(lebar 5 m) yaitu untuk padi, d igantikan jagung, dan terakhir nanas. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pertambahan lingkar batang karet selama periode waktu satu tahun
sekitar 10 cm d iperoleh pada perlakuan pugam T, dan kontrol, dan pugam A, sedangkan
pada perlakuan pupuk kandang ayam sekitar 8,45 cm, dan perlakuan Tanah Mineral hanya
sebesar 7,17 cm. Pemanfaatan lorong antara barisan karet umur 5 tahun menunjukkan
bahwa respon tanaman nanas lebih dapat beradaptasi (tumbuh dengan baik) dibandingkan
tanaman padi dan jagung. Berdasarkan parameter agronomis yaitu pertambahan tinggi
tanaman nanas menunjukkan bahwa setelah 6 bulan tanam, perlakuan Pugam A
merupakan yang tertinggi mencapai 30,7 cm, sedangkan berdasarkan parameter
pertambahan lebar tajuk dan jumlah daun, perlakuan pupuk kandang ayam adalah yang
tertinggi, masing-masing mencapai 82,8 cm dan 10 helai. Pengembangan tanaman padi
atau jagung tidak dapat berproduksi pada sela karet berumur 5, sedangkan pengembangan
tanaman nanas terlihat cukup dapat beradaptasi terhadap naungan dari tajuk karet.
Katakunci: Gambut, Hevea brasiliensis, Kalimantan Tengah.
Abstract. Utilization of peat for the rubber plants have been carried out by people in
Central Kalimantan. Upon the occurrence of large-scale forest and peat fires, peat
utilization for rubber trees increasing, especially in the former area of the fire. ICCTF
Demonstration plots in the Jabiren village, Jabiren Raya District, Pulang Pisau Regency,
Central Kalimantan was the area of the former peat fires region in 2005. Location was a
18
M.A. Firmansyah et al.
234
peatland with the criteria in the thickness is very deep, between 5 to 7 meters, and level of
maturity varies between hemic and sapric. Rubber derived from the seeds (GT-1) were
planted in 2006. The purpose of this study was to determine the effect of material
amelioration (pugam A, pugam T, chicken manure, soil mineral and control) of the
agronomic characteristics of rubber plants and between plants that have been
implemented during the one year of the study, from January 2011 - March 2012. Each
treatment plot had a size of 35 x 180 m consists of seven rubber aisle with rubber planting
distance 3 x 5 m. Planting carried out in the aisle between the rows of rubber trees (width
5 m), namely for rice, corn was replaced, and the last pineapple. The results showed that
the rubber stem circumference increment for a period of one year is about 10 cm is
obtained at Pugam T treatment, and control, and Pugam A, while in Chicken Manure
treatment of about 8.45 cm, and mineral land treatment amounted to only 7.17 cm.
Utilization aisle between rows of rubber age 5 years showed that the response of the
pineapple plant is more able to adapt (grow well) compared to rice and corn. Based on
the agronomic parameters of high accretion pineapple plant showed that after 6 months
of planting, the treatment pugam A is the highest reached 30.7 cm, while based on the
parameter increment width and number of leaf canopy, Chicken Manure treatment is the
highest, reaching respectively 82,8 cm and 10 strands. Development of rice or corn crops
can not produce at the age of 5 between the rubber, while the development of the
pineapple plant looks quite able to adapt to the shade of the canopy of rubber.
Keywords:Peat, Hevea brasiliensis, Central Kalimantan
PENDAHULUAN
Masyarakat lokal di Kalimantan Tengah yang hidup di agroekosistem lahan gambut telah
memiliki kearifan lokal dalam mengelola lahan tersebut secara berkelanjutan. Berbagai
teknologi sederhana mulai dari pembuatan handil, tabat , pengendalian api ketika
pembukaan lahan, sampai pemilihan jen is tanaman telah terbukt i mampu menjaga
kelestarian lahan tersebut. Namun sejak d imulainya Proyek Pengembangan Lahan
Gambut Satu Juta Hektar (PLG) di Kalimantan Tengah tahun 1995, kearifan loka l
terpinggirkan dan degradasi yang umumnya tergolong berat dikawasan tersebut muncul
dan dampaknya masih terasa sampai sekarang. Pemicu utama dari degradasi gambut
dikawasan PLG salah satunya adalah pembuatan kanal-kanal yang lebar, dalam, serta
panjang terhubung ke berbagai sungai besar di Kalimantan Tengah menyebabkan
terjadinya drainase berlebihan di ekosistem gambut.
Beberapa tahun terakhir issue tentang perubahan iklim global sangat kuat
disuarakan dunia internasional disebabkan adanya peningkatan kadar gas rumah kaca di
atmosfer. Indonesia dituding sebagai salah satu negara emitor terbesar menyumbang gas
rumah kaca, yang mana sumber emisi Indonesia tersebut sebagian besar (2/3) berasal dari
lahan gambut. Hal ini tergambar dari indikasi luasnya degradasi lahan gambut di
Indonesia termasuk dikawasan ex PLG d i Kalimantan Tengah.
Pengelolaan lahan gambut berkelanjutan: studi kasus
235
Menyikapi issue tersebut pemerintah RI berupaya menunjukkan komitmen serius
dalam penurunan gas rumah kaca. Upaya penanaman pohon terbukti mampu memberikan
peningkatan penambatan CO2 (Balitanah, 2004; Agus dan Hussein, 2004). Penanaman
pohon pada lahan gambut yang terdegradasi tentunya sejalan dengan prinsip dasar
tersebut. Penambatan karbon mendekati no l pada sistem padi dan sekitar 9 t ha-1 tahun-1
untuk tanaman sagu, karet atau sawit. Namun karena sawit memerlukan drainase yang
relatif dalam, maka penambatan karbon oleh tanaman sawit jauh leb ih rendah
dibandingkan dengan emisi karena dekomposisi gambut. Dengan demikian, gabungan dari
tanaman yang menambat CO2 dalam jumlah banyak serta toleran dengan drainase dangkal
atau tanpa drainase seperti sagu dan karet, merupakan pilihan utama untuk konservasi
lahan gambut (Agus dan Subiksa, 2008). Upaya lain adalah aplikasi bahan amelioran yang
kaya kation polivalen seperti Fe+++
yang ada pada jenis-jenis pupuk gambut (Pugam)
efektif dalam menekan emisi CO2 antara 36-47 % bila dibandingkan dengan Kontrol (Las
et al. 2011).
Tahun 2011 Kementerian Pertanian bekerjasama dengan Bappenas melaksanakan
kegiatan Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) yaitu suatu wadah untuk
mengelo la bantuan internasional yang masuk ke Indonesia untuk kegiatan yang
menyangkut dengan perubahan iklim. ICCTF melakukan kegiatan di empat provinsi salah
satunya di Kalimantan Tengah. Kegiatan ICCTF di Kalimantan Tengah dilakukan di
gambut dalam yang terdegradasi yang dimanfaatkan untuk tanaman karet dan sela
(ICCTF, 2011).
Makalah in i bertujuan untuk memahami aspek agronomi d i demplot ICCTF
Kalimantan Tengah melalu i pengelolaan lahan gambut untuk tanaman karet dan tanaman
sela.
BAHAN DAN METODE
Lokasi ICCTF di Kalimantan Tengah terletak di Desa Jabiren, Kecamatan Jabiren Raya,
Kabupaten Pulang Pisau, tepatnya di Jl. Trans Kalimantan km 55 arah Palangka Raya ke
Banjarmasin, pada koordinat geografis 02o51’48.6” LS dan 114
o17’00.2” BT. Lokasi
demplot ICCTF dapat ditempuh dengan jalan darat dan disambung dengan angkutan
klotok menyusuri Sungai Jabiren yaitu anak Sungai Kahayan, menuju kearah barat sejauh
2 km. Luas lokasi demplot sekitar 5 ha dan areal pengembangan seluas 25 ha.
Karakterisasi lokasi demplot dan pemetaan tanah serta pemasangan peralatan
pengukur muka air tanah, Rambu Ukur (R1-R4) dan AWS dilakukan oleh Balai Besar
Penelit ian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian, Bogor pada bulan Maret
2011.
M.A. Firmansyah et al.
236
Pohon karet di demplot ICCTF diberi 4 perlakuan amelioran: Pugam A (PA),
Pugam T (PT), pupuk kandang ayam (Pukan), tanah mineral (TM) dan kontrol (K). Setiap
blok amelioran terdiri dari 7 – 8 lorong, lebar antar lorong tanaman karet 5 m, dan jarak di
dalam lorong 3 m, panjang lorong yang diberi perlakuan 180 m, sehingga setiap blok
perlakuan terdapat 420 – 480 pohon karet. Dosis amelioran yang digunakan tiap pohon
adalah PA 1 kg ph-1
, PT 1 kg ph-1
, Pukan 4 kg ph-1
, TM 10 kg ph-1
, serta K. Pemberian
amelioran tersebut dibagi 2 tahap, yaitu tahap awal 50% dan 6 bulan kemudian 50%.
Parameter yang diamat i adalah ukuran lingkar batang, tinggi tanaman, dan lebar tajuk.
Tanaman sela yang ditanam pertama adalah padi ladang varietas Situ Patenggang
dan Situ Bagendit, tanam Januari 2011, jarak tanam 15 x 25 cm. Perlakuan yang dikaji
adalah PA 750 kg ha-1
, PT 750 kg ha-1
, Pukan 4 t ha-1
, TM 2 t ha-1
. Pupuk anorganik yang
diberikan dengan dosis 135 kg ha-1
Urea, 90 kg ha-1
KCl, dan 80 kg ha-1
SP-36. Parameter
yang diamati adalah tinggi tanaman.
Tanaman sela yang ditanam periode kedua adalah jagung Sukmaraga, tanam Mei
2011, dengan jarak tanam 25 x 75 cm. Perlakuan yang digunakan sama dengan perlakuan
tanaman sela pertama. Dosis pupuk anorganik sebesar 250 kg ha-1
Urea, 100 kg ha-1
KCl,
dan 200 kg ha-1
SP-36. Parameter yang diamat i adalah berat p ipilan kering.
Tanaman sela periode ketiga dip ilih nanas, tanam Oktober 2011 diberikan
bersamaan dengan pemupukan dasar yang pertama, yaitu PA 30 gr tnm-1
, PT 30 gr tnm-1
,
Pukan 120 gr tnm-1
, TM 120 gr tnm-1
. Perlakuan diberikan setelah tanaman nanas mulai
adaptasi sekitar umur 1 bulan. Pupuk dasar anorganik diberikan sebanyak 3 ons yaitu pada
1 bulan setelah tanam (November 2011) dan 3 bulan kemudian (Februari 2012), yaitu
Urea: SP-36:KCl dengan perbandingan 2:1:1. Parameter yang diamati adalah tinggi
tanaman, lebar tajuk, dan jumlah helai daun. Data-data yang diperoleh selanjutnya
dianalisis menggunakan analisis statistik deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Gambut dan Karbon Tersimpan
Lokasi demplot ICCTF wilayah Kalimantan Tengah seluas 5 ha merupakan lahan
gambut yang memiliki kedalaman antara 5 – 7 m, dengan tingkat kematangan hemist
hingga saprist. Klasifikasi tanah di areal Demplot ICCTF Jabiren terdiri 4 satuan peta
tanah, dengan cadangan karbon bervariasi (Tabel 1).
Pengelolaan lahan gambut berkelanjutan: studi kasus
237
Tabel 1. Jenis Tanah dan Cadangan Karbon di Demplot ICCTF Jab iren
SPT Sub Group Tanah Luas
(Ha)
Bobot Isi/BD
(g/cc)
Cadangan Karbon
(ton)
1
2
3
4
Typic Haplohemist
Sapric Haplohemist
Fibrik Haplohemist
Typic Haplosaprist
1,71
0,78
2,01
0,51
0,22
0,22-0,23
0,21-0,22
0,21-0,22
11.198
3.767
8.607
2.833
Jumlah 26.404
Sumber: Hidayat et. al (2011)
Kondisi Hidrologi dan Iklim
Karakteristik muka air tanah di demplot ICCTF Jabiren berdasarkan jarak
piezometer dari saluran drainase (sungai Jabiren) d isajikan pada Gambar 1. Dari Gambar
1 terlihat bahwa kerakteristik muka air tanah memiliki bentuk cembung, dimana muka air
cenderung dalam (jauh dari permukaan tanah) pada posisi mendekati saluran,sedangkan
pada bulan kering (yaitu Agustus) kondisi muka air tanah berada pada kondisi terdalam
>100 cm dari permukaan tanah (Gambar 1).
Gambar 1. Kondisi muka air tanah pada piezometer berdasarkan jarak dari Sungai
Jabiren
Kondisi curah hujan di Jabiren adalah monsoonal dengan perbedaan yang jelas
antara bulan basah dan bulan kering. Selama pengamatan yaitu bulan April-September
sifat hujan di lokasi, berdasarkan stasiun AWS Telemetri adalah di bawah normal.
Kondisi curah hujan demikian mengakibatkan pasokan air dari saluran dan sungai sangat
rendah (Runtunuwu et al. 2011). Perbedaan muka air Sungai Jabiren pada jarak 50 m dari
arah hulu ke hilir menggambarkan secara tidak langsung mengalirnya air dar i kubah
gambut eks PLG melalui Sungai Jabiren ke Sungai Kahayan (Gambar 2 - 3)
M.A. Firmansyah et al.
238
Gambar 2. Kondisi muka air Sungai Jabiren dari arah hulu (R3) ke Hilir (R1) dengan
jarak 50 m
Gambar 3. Perbedaan elevasi muka air Sungai Jab iren dari arah Hulu (R3) ke Hil ir (R1)
dengan jarak antar Rambu 50 m
Kondisi Tanaman Utama - Karet
Hasil pengamatan lingkar batang karet selama kurun waktu 1 tahun disajikan pada
Gambar 4 dan 5. Berdasarkan Gambar 4, terjadi peningkatan lingkar batang diseluruh
perlakuan dan kontrol. Kenaikan lingkar batang karet selama satu tahun secara rata-rata
10 cm.
Gambar 4. Kondisi lingkar batang karet kurun waktu 1 tahun
Pengelolaan lahan gambut berkelanjutan: studi kasus
239
Nampak bahwa selama 1 tahun pengamatan agronomis terhadap parameter lingkar
batang karet pada perlakuan PT memiliki pertambahan lingkar batang tertinggi yaitu
10,16 cm, d isusul oleh kontrol sebesar 10,02 cm, PA sebesar 9,79, Pukan sebesar 8,45 cm,
dan TM sebesar 7,17 cm (Gambar 5). Sedangkan parameter lebar tajuk tanaman karet
mencapai lebih 5 m (Gambar 6), hal ini secara otomatis menyebabkan kondisi naungan di
sela tanaman karet makin rapat.
Gambar 5. Pertambahan lingkar batang karet (April 2011 s/d Maret 2012)
Gambar 6. Kondisi lebar tajuk tanaman karet dari Maret hingga November 2011
Kondisi Agronomis Tanaman Sela - Padi
Padi ladang Situ Patenggang dan Situ Bagendit yang dicoba diintroduksikan pada
lorong antara barisan tanaman karet mengalami kegagalan. Hal ini disebabkan kondisi
tanah masih mentah dengan lapisan moss sangat tebal, sehingga perakaran padi sedikit
mencapai tanah gambut. Upaya replanting telah dilakukan, namun tidak menunjukkan
M.A. Firmansyah et al.
240
hasil yang menggembirakan (Gambar 7-8). Meskipun beberapa bagian padi telah
mengeluarkan bulir, namun kebanyakan bulir tersebut hampa.
Gambar 7. Kondisi padi umur 3 bulan setelah tanam hasil replanting (Maret 2011)
dengan latar belakang AWS
Gambar 8. Tinggi padi Situbagendit hasil replanting (3 bulan setelah tanam)
Pengelolaan lahan gambut berkelanjutan: studi kasus
241
Kondisi Agronomis Tanaman Sela - Jagung
Tanaman jagung ditanam dengan tugal pada bulan Mei 2011, varietas yang
digunakan adalah Sukmaraga, karena jenis ini tahan terhadap kemasaman tanah yang
tinggi (Gambar 9). Perlakuan amelioran yang terbaik terhadap pertumbuhan dan produksi
jagung adalah Pukan, yang mana produksi pipilan kering kurang lebih 150 kg ha-1
sela
karet. Pada perlakuan PA dan PT produksi terlihat seimbang yaitu 57 kg ha-1
sela karet,
sedangkan pada perlakuan TM dan K tidak mampu berproduksi (Gambar 10).
Gambar 9. Kondisi jagung sedang dipupuk ke-2
Gambar 10. Produksi jagung Sukmaraga.
M.A. Firmansyah et al.
242
Kondisi di atas disebabkan terutama karena saat pengisian tongkol telah memasuki
musim kemarau, sehingga menekan fase produksi. Walaupun pemupukan telah digunakan
dengan dosis 250 kg ha-1
Urea, 200 kg ha-1
SP-36, dan 100 kgha-1
KCl namun upaya ini
terlihat belum maksimal disebabkan karena kondisi tanah gambut masih mentah dengan
moss cukup tebal, sehingga pemupukan belum berdampak positif dalam meningkatkan
produksi jagung.
Kondisi Agronomis Tanaman Sela Nanas
Parameter agronomis yaitu pertambahan tinggi tanaman yang diamati
menunjukkan bahwa setelah 6 bulan setelah tanam, perlakuan PA adalah yang tertinggi
yaitu mencapai 30,7 cm (Gambar 11-12), sedangkan parameter pertambahan lebar tajuk
dan jumlah daun, perlakuan Pukan adalah yang tertinggi, masing-masing mencapai 82,8
cm dan 10 helai.
Gambar 11. Pertambahan tinggi tanaman nanas.
Gambar 12. Kondisi tanaman nanas (April 2012) .
Pengelolaan lahan gambut berkelanjutan: studi kasus
243
KESIMPULAN
Pemberian amelioran Pugam T mampu mendukung pertambahan lingkar batang karet
tertinggi. Sedangkan Pukan ayam berpengaruh tertinggi terhadap tinggi tanaman padi Situ
Bagendit, produksi jagung Sukmaraga dapat mencapai lebih dari 150 kg ha-1
, serta lebar
tajuk dan jumlah daun tanaman nanas, masing-masing mencapai 82,8 cm dan 9,7 helai.
SARAN
Pemanfaatan lorong sela antar barisan tanaman karet berumur > 3 tahun sebaiknya
menggunakan tanaman yang tahan naungan seperti nanas bukan tanaman pangan.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F dan E. Husein. 2004. Mult ifungsi pertanian Indonesia. Balai Penelit ian Tanah.
Bogor. 22 hal.
Agus, F. dan I G.M. Subiksa. 2008. Lahan gambut: potensi untuk pertanian dan aspek
lingkungan. Balai Penelitian Tanah. Bogor. 36 hal.
Balitanah. 2004. Mult ifungsi pertanian, konsep modern dalam memahami pertanian secara
utuh, adil dan bijaksana. Balai Penelit ian Tanah. Bogor. 6 hal.
Hidayat, A., Hikmatullah, Sukarman, dan Wachyunto. 2011. Laporan Akhir Survai dan
Identifikasi sumberdaya lahan lokasi demplot di Kalimantan Tengah, Kalimantan
Selatan, Riau dan Jambi (Final Draft). Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumber Daya Lahan Pertanian. Bogor. 93 hal.
ICCTF. 2011. Penelit ian dan pengembangan teknologi pengelolaan lahan gambut
berkelan jutan untuk meningkatkan sekuestrasi karbon dan mitigasi gas rumah kaca.
BBSDLP-ICCTF BAPPENAS. 13 hal.
Las, I., P. Setyanto, K. Nugroho, A. Mulyani, dan F. Agus. 2011. Perubahan iklim dan
pengelolaan lahan gambut berkelanjutan. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian. 24 hal.
Runtunuwu, E., B. Kartiwa, Kharmilasari, K. Sudarman, W.T Nugroho, dan A.
Firmansyah. 2011. Dinamika elevasi muka lahan dan saluran di lahan gambut.
Riset Geologi dan Pertambangan. 21(2):63-74.
M.A. Firmansyah et al.
244