PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN...
Transcript of PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN...
ISBN : 978-602-72894-4-4
PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN DAN BERBASIS BUDAYA
PENULIS: Kaler Surata Utari Vipriyanti Deden Ismail Arnawa Widnyana Sumantra Eka Martiningsih Ayu esti Dyah
Unmas Press
EDITOR: Sukamerta Adi Sustrawan
2
DIPERSEMBAHKAN KARENA KECINTAAN KAMI TERHADAP ALAM DAN BUDAYA BALI
TERIMA KASIH DISAMPAIKAN KEPADA:
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI ATAS DANA
HIBAH PASCA YANG TELAH DIBERIKAN
UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR
3
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
LEMBAR UCAPAN TERIMA KASIH
Special Contributor:
Prof Akhmad Fauzi, PhD (in confirmation)………..……………………1 - 10
Prof Steven Lansing, PhD (in confirmation)..………………………….11 - 12
Prof Ibrahim Bin Ngah, PhD (in confirmation)..………………………21 – 30
BAB I
WISATA EDUKASI: STRATEGI PENGEMBANGAN WISATA
BERKELANJUTAN LANSKAP SAKRAL TRADISIONAL DAS TUKAD
PAKERISAN HULU ……………………………………………………31 -51
Oleh: Prof. Dr. Sang Putu Kaler Surata, MS
1. Pendahuluan (wisata edukasi, pendidikan untuk kehidupan berkelanjutan,
dan konservasi warisan budaya nenek moyang) 31
2. Berbagai Jenis Wisata Edukasi (termasuk ecotourism, agrotourism,
spiritual tourism) 35
3. Pasar Wisata Edukasi (Global, regional danlokal) 37
4. Sistem Ekologi Sosial Lanskap Sakral Tradisional DAS Pakerisan Hulu 40
5. Aset Komunitas DAS Pakerisan Hulu untuk Wisata Edukasi 43
6. Potensi Permasalahan dan Solusi 47
7. Penutup (kesimpulan dan implementasi) 51
BAB II
KUALITAS AIR SEBAGAI INDIKATOR PENGELOLAAN DAS
PEKERISAN BERKELANJUTAN ……………………………52 - 71
Oleh: Ayu Esti, MSi dan Dr. Ir. Utari Vipriyanti, MSi
1. Pendahuluan 52
2. Curah Hujan dan Kualitas Air 52
3. Tingkat Pencemaran Air 59
4. Sumber Pencemar 68
5. Upaya Upaya menekan Pencemaran 69
6. Penutup 71
4
BAB III
DEBIT AIR DAN PENGGUNAAN LAHAN DI DAS TUKAD
PAKERISAN …………………………………………………….72 - 88
Oleh: Dyah, MSi dan Dr. Ir. Utari Vipriyanti, Msi
1. Pendahuluan 72
2. Analisis Hidrologi 72
3. Analisis Hidrograf SSN 75
4. Analisis Limpasan 78
5. Analisis Perubahan Tata Guna Lahan 84
6. Penutup 88
BAB IV
BIODIVERSITY DI DAS TUKAD PAKERISAN ……….89 – 101
Oleh: Dr. I Ketut Widnyana, MSi
1. Pendahuluan 89
2. Sungai dan Daerah Aliran Sungai 90
3. Keanekaragaman Tumbuhan 92
4. Komposisi Tumbuhan dan Struktur Vegetasi 94
5. Kelimpahan dan Keanekaragaman Jenis Vegetasi 97
6. Upaya Perlindungan 98
7. Potensi Permasalahan DAS Pakerisan dan Alternatif Solusi 100
8. Penutup 101
BAB V
INVENTARISASI DAN REVITALISASI LAHAN KRITIS DI
DAS PAKERISAN ……………………….. ……………102 – 122
Oleh: Nyoman Utari Vipriyanti, MSi
1. Pendahuluan 102
2. Penggunaan Lahan di Daerah Penelitian 104
3. Kebutuhan Lahan oleh Masyarakat 108
4. Tingkat Kekritisan Lahan 112
6. Penutup 113
BAB VI
PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERBASIS
MODAL SOSIAL…………………………………………..123 – 145
Oleh: Dr. Ir. Nyoman Utari Vipriyanti, MSi dan Dr. Ir. I Ketut
Arnawa, MP
5
1. Pendahuluan 123
2. DAS Pakerisan dan Kekayaan Modal Sosialnya 124
3. Pariwisata: Peluang ataukah Ancaman bagi Pengembangan Warisan Budaya
Dunia 130
4. Penguatan Trust, Social Norm dan Networking sebagai dasar Pengelolaan
DAS Pakerisan 137
5. Penutup 145
BAB VII
PERUBAHAN IKLIM DAN TANTANGAN BAGI SEKTOR
PERTANIAN DAS PAKERISAN….…………………….146 -170
Oleh: Dr. I Ketut Sumantra, MP dan Prof. Dr. IGN Alit Wiswasta
1. Pendahuluan 146
2. Ketahanan Pangan dan Perubahan Iklim 147
3. Variabilitas Iklim di DAS Pakerisan 150
4. Neraca Air Lahan di DAS Pakerisan 156
5. Strategi Menghadapi Perubahan Iklim 165
6. Penutup 170
BAB VIII
PEMETAAN LAHAN KRITIS DAS PAKERISAN UNTUK DAYA
DUKUNG LAHAN BERKELANJUTAN …………………………….171– 195
Oleh: Dr. I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS
1. Pendahuluan 171
2. Permasalahan Lahan kritis 172
3. Pengelolaan DAS Terpadu 180
4. Metode Pengukuran Lahan Kritis 187
5. Strategi Penanganan Lahan Kritis DAS Pakerisan 192
6. Penutup 195
BAB IX
NORMA DAN HUKUM ADAT DI DAS
PAKERISAN………………………………………………………….195 - 215
Oleh: Dr. Anak Agung Sudiana, MH dan Dr. Nyoman Utari
Vipriyanti, MSi
1. Pengertian Norma dan Hukum Adat 195
2. Kekayaan Desa Adat dalam Tinjauan Hukum Adat 196
3. Memaknai Peran Sungai dan DAS dalam Wilayah Desa Adat 205
4. Penutup 215
6
BAB X
TRI HITA KARANA: FALSAFAH PENETAPAN DAS
PAKERISAN SEBAGAI WARISAN BUDAYA DUNIA UNESCO
PERSPEKTIF KESEHATAN ……………………………216 - 230
Oleh: Dr. Ir. I Gusti Ayu Ari Agung, S.Ag, M.Kes
1. Pendahuluan 216
2. THK: Konsep Kesehatan Masyarakat Hindu Bali 217
3. THK: Meningkatkan Kualitas Modal Manusia dari sisi Perspektif
Kesehatan 224
4. THK dalam Kesehatan Lingkungan DAS Tukad Pakerisan Sebagai
Warisan Budaya Unesco. 229
5. Penutup 230
BAB XI DAMPAK PEMANASAN GLOBAL TERHADAP
KARAKTERISTIK DAS PAKERISAN ……………231- 254
Oleh : Dr. Ir. I Ketut Arnawa, MP dan Lusia, SP, M.Si
1. Pendahuluan 231
2. Fungsi , Karakteristik dan Kelembagaan DAS 233
3. Pemanasan Global 237
4. Dampak Pemanasan Global Terhadap Karakteristik
DAS 242
5. Penutup 254
DAFTAR PUSTAKA
GLOSARIUM
7
KATA PENGANTAR
Puji syukur Tim penyusun panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha
Esa atas karunia dan rahmat beliau sehingga penulisan draft buku yang
berjudul “Pengelolaan Daerah Aliran Sungai yang Berkelanjutan” dapat
diselesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. Buku ini
mengungkap berbagai hal mengenai Daerah Aliran Sungai (DAS) Tukad
Pakerisan secara detail dan menarik. Tujuan penulisan buku ini adalah
menggugah pembaca umumnya dan masyarakat Bali kuhusnya agar lebih
memperhatikan kawasan DAS Tukad Pakerisan mengingat kawasan ini telah
ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) oleh UNESCO.
Penetapan kawasan DAS Tukad Pakerisan sebagai WBD menjadi dua
sisi mata uang. Sisi pertama memberi kebanggaan bagi masyarakat Bali
karena menjadi petunjuk adanya warisan budaya yang bernilai tinggi bagi
masyarakat dunia. Sisi kedua menunjukkan kewajiban yang melekat di
dalamnya sehingga masyarakat Bali tidak boleh lengah dalam
pemeliharaannya. Kengganan dan kelalaian dalam menjaga anugrah tersebut
akan mencoreng kita di mata dunia.
Semoga buku ini mampu menjadi salah satu document tentang DAS
Pakerisan yang nantinya sangat bermanfaat bagi generasi penerus bangsa.
Segala kekurangan dan kekhilafan dalam tulisan ini adalah milik tim
penyusun. Oleh karenanya, tim penulis mohon maaf yang sebesar besarnya.
Denpasar, Agustus 2016
Tim penyusun
8 BAB I
WISATA EDUKASI: STRATEGI PENGEMBANGAN WISATA
BERKELANJUTAN LANSKAP SAKRAL TRADISIONAL DAS TUKAD
PAKERISAN HULU …………………………………………………………31
-51
Oleh: Prof. Dr. Sang Putu Kaler Surata, MS
Pendahuluan
Penetapan Subak Pulagan Gianyar Bali (bersama dengan beberapa kawasan lain di Bali) sebagai situs Warisan Budaya Dunia (WBD), menunjukkan subak tersebut merupakan kawasan strategis internasional, karena memiliki berbagai nilai universal luar biasa, yang melewati batas perbedaan agama, negara, sistem politik dan generasi (UNESCO, 2012). Beberapa dari nilai tersebut adalah implementasi Tri Hita Karana (hubungan harmonis antara Tuhan, manusia dan lingkungan), sistem demokrasi yang egaliter, dan peranan dari jejaring kerja pura subak dalam mengkoordinasikan praktek bertani secara berkelanjutan melalui pendekatan sosio-spiritual, yaitu meyakini bahwa sumberdaya air merupakan pemberian Tuhan, karena itu wajib dibagi kepada semua anggota subak.
Dengan demikian, Subak Pulagan tepat dikembangkan sebagai model kegiatan rehabilitasi dan konservasi melalui pariwisata. Apalagi di sekitar kawasan tersebut terdapat berbagai tinggalan sejarah dan atraksi budaya yang unik, menarik dan dapat mendidik pengunjung; belum terancam oleh aktivitas destruktif terutama oleh tekanan wisatawan massal (sebagaimana yang dialami oleh sebagian besar destinasi wisata di Bali); kaya dengan keanekaragaman hayati dan budaya; merupakan lokasi yang ideal untuk jalan kaki, naik sepeda, pengamatan burung, dan susur sungai; berada dalam jalur wisata Ubud dan Kaldera Gunung Batur; serta berdampingan dengan destinasi wisata yang telah dikenal luas (seperti Pura Gunung Kawi, Pura Tirta Empul, dan Istana Negara Tampaksiring).
Akan tetapi, sampai saat ini para petani (dan masyarakat di sekitarnya) belum dipersiapkan untuk menerima manfaat yang optimal dari pertumbuhan wisata. Hasil wawancara informal tim peneliti mengindikasikan bahwa tingkat kesadaran para petani terhadap manfaat konservasi warisan budaya dalam memperbaiki tingkat kehidupan masih rendah. Hal itu diperparah lagi oleh belum adanya akses, pelatihan dan pendampingan yang intensif bagi petani untuk meningkatkan pendapatan mereka, terutama melalui diversifikasi dan inovasi sistem bercocok tanam padi. Jika upaya peningkatan kapasitas sumberdaya dari komunitas lokal
9
tidak segera dilakukan, dikhawatirkan kawasan Subak Pulagan mengalami dampak destruktif yang permanen dan tidak terpulihkan, baik yang diakibatkan oleh tekanan wisatawan massal di sekitarnya, kelangkaan sumber daya air, praktek bertani yang tidak bersabahat dengan lingkungan, maupun ancaman kehilangan generasi penerus karena generasi muda lokal tidak bersedia bekerja dalam sektor pertanian (Gaard, 2008; Temudo, 2011; Vipriyanti & Surata, submitted).
Pengembangan kawasan subak Pulagan menjadi wisata edukasi berbasis revitalisasi sistem pertanian itik-padi (STIP) merupakan sebuah solusi untuk melibatkan komunitas lokal (terutama petani) dalam membangkitkan nilai ekonomi kawasan. Di samping menyediakan pilihan edukasi yang menarik dan menghibur, wisata edukasi berbasis STIP juga memberikan pembelajaran kepada wisatawan tentang sinergi antara fungsi ekonomi, ekologi dan sosio-spiritual dalam sistem praktek bertani traditional yang berkelanjutan. Jan Reynold (2009) menggunakan sistem STIP di Bali dalam mengilustrasikan hubungan antara siklus padi dan siklus kehidupan sebagai implementasi keseimbangan antara azas manfaat dan azas lestari dalam praktek bertani secara keberlanjutan. Pengembangan wisata edukasi selaras pula dengan strategi pelaksanaan MP3EI, yaitu pertama mengembangkan potensi ekonomi wilayah terutama meningkatkan pendapatan petani melalui jasa kepada wisatawan, dan nilai tambah ekonomi dari diversifikasi dan inovasi STIP; kedua, memperkuat konektivitas lokal, nasional dan global melalui eksplorasi, identifikasi, pengemasan, dan promosi nilai universal luar biasa WBD, dan sistem STIP dalam mendidik pengunjung dan masyarakat lokal (terutama generasi muda) tentang prinsip berpikir global dan bertindak lokal; ketiga, meningkatkan kemampuan petani lokal dan perguruan tinggi dalam mengembangkan model pembangunan komprehensif dengan ciri layak secara ekonomi, diterima oleh masyarakat lokal, teknologi yang dihasilkan mudah diaplikasikan, dan bersahabat dengan lingkungan.
Tujuan jangka panjang kegiatan adalah untuk mengembangkan model wisata edukasi alternatif berbasis revitalisasi keunggulan lokal dalam praktek bertani inovatif yang berkelanjutan. Sedangkan tujuan jangka pendek kegiatan adalah menciptakan model kawasan wisata edukasi yang terfokus pada sistem pertanian terintegrasi itik padi (STIP). Target khusus yang ingin dicapai, terbangun menjadi model wisata edukasi STIP yang unik dan atraktif pada lanskap WBD Subak Pulagan.
Mengapa Edutourism?
10
Sampai saat ini, sebagian besar pendekatan dalam pengembangan
destinasi wisata diawali dari penilaian terhadap kebutuhan kawasan yang
akan dibangun. Akan tetapi metode tersebut tidak tepat lagi karena
cenderung mendefinisikan ―apa yang kurang‖ dibanding membangun ―apa
yang sudah ada‖. Kegiatan ini terfokus pada upaya mengidentifikasi dan
kemudian memanfaatkan berbagai aset masyarakat dalam memecahkan
masalah, dengan mendorong pemangku kepentingan (terutama komunitas
lokal) untuk secara bersama-sama berinvestasi dalam mencari solusi yang
berbasis pada masyarakat.
Pada satu sisi kegiatan berupaya mengembangkan diversifikasi usaha
dalam bidang pertanian dan pariwisata, pada sisi yang lain secara bertahap
mendorong generasi muda mengambil peranan aktif dalam mengambil
keputusan, mulai dari perencanaan, proses, evaluasi, dan pengembangan.
Hal itu untuk mengantisipasi agar kegiatan mampu menimbulkan dampak
ekonomi jangka panjang, melalui pembentukan pemimpin (dan pekerja)
baru, pembukaan peluang kerja dan pengembangan usaha secara mandiri.
Penciptaan model inovatif dalam wisata edukasi STIP mempertemukan
kebutuhan bidang pariwisata, pertanian, dan pendidikan sambil tetap
berupaya melindungi kawasan WBD. Dengan demikian, kecederungan
ketiga sektor bekerja sendiri dan tidak mau saling bertukar informasi dapat
dihindari, karena selain tidak efisien, juga dapat menghambat
pengembangan budaya produktif.
Strategi yang akan dilakukan adalah meningkatkan kapasitas komunitas
lokal (terutama petani) dalam meningkatkan pendapatan secara
berkelanjutan, melalui pelibatan, pendidikan, pelatihan dan pendampingan
dalam diversifikasi dan inovasi sistem STIP, akses terhadap pasar, promosi,
komersialiasi produk, dan jasa wisata. Karena itu, peningkatan kapasitas
mahasiswa-petani menjadi cultural interpreter (pemandu wisata yang secara
langsung mempraktekan pertanian inovatif dan berkelanjutan, serta mampu
mengkomunikasikannya kepada wisatawan secara atraktif dan interpretatif)
merupakan prioritas dalam penelitian ini.
Subak Pulagan sebagai Warisan Budaya Dunia
Subak Pulagan terletak di sebelah barat Tukad Pakerisan Gianyar Bali
dengan luas lahan 103 hektar yang digarap lebih dari 200 petani. Pada
Tahun 2012 UNESCO telah menetapkan subak Pulagan termasuk WBD
bersama dengan beberapa kawasan lain di Bali (UNESCO, 2012). Hal itu
didasarkan atas pertimbangan bahwa Subak Pulagan merupakan contoh luar
biasa dari sistem budaya yang unik dan masih tetap lestari sehingga layak
dipertahankan. Sebagai lanskap pertanian tradisional, Subak Pulagan
mempresentasikan gambaran fisik dari interaksi yang kompleks dan dinamis
antara manusia dan sistem alam. Lanskap demikian sering mengalami
berbagai gangguan dan cekaman, tetapi petani memiliki kemampuan yang
lentur untuk beradaptasi sesuai perubahan eksternal, menghasilkan pangan
sesuai dengan daya dukung lingkungan lokal, dan menjadikan pembelajaran
serta inovasi sebagai target luaran (Darnhofer et al., 2010). Oleh sebab itu,
agro-ekosistem (seperti Subak Pulagan) bukan hanya menghasilkan pangan
11
tetapi juga menyediakan habitat hidup, area berkembangbiak, berlindung,
mencari makanan, dan berbagai jasa lain, yang memberikan kontribusi
terhadap keberlanjutan keanekaragaman hayati di kawasan tersebut (Luo et
al., 2014).
Kecenderungan pertanian modern yang lebih mengutamakan dampak
ekonomi tanpa mempertimbangkan integritas lingkungan menjadi tantangan
bagi kelestarian WBD Subak Pulagan. Sebagaimana kondisi kawasan
pertanian di Bali, Subak Pulagan mengalami ancaman tekanan wisata, alih
fungsi lahan, praktek bertani monokultur yang mereduksi keanekaragaman
hayati terbukti sering menimbulkan berbagai dampak ekonomi, ekologi dan
sosial-budaya (Meyerson & Rearser, 2002; Gaard, 2008). Ancaman yang
paling serius adalah kehilangan generasi petani karena mahasiswa, siswa
dan generasi lainnya tidak lagi tertarik terlibat dalam kegiatan bertani
(Lorenzen & Lorenzen, 2011; Surata & Vipriyanti, submitted). Padahal
Subak Pulagan (dengan berbagai nilai dan konsep ketahanan pangan dan
ketahanan budaya merupakan salah satu inti dari budaya sebuah bangsa,
yang bisa dijadikan pilar dalam pembangunan masa depan sebagai mata
rantai kesinambungan dari masa lalu (Surata 2013a).
Oleh karena itu, pendidikan dan pelatihan menjadi komponen penting
dalam konservasi agro-ekosistem untuk mencapai ekosistem yang sehat,
ekonomi yang sejahtera dan sistem sosial yang inklusif (Flora, 2008). Pada
waktu ketahanan pangan masih bertumpu pada produktivtas lanskap budaya
pertanian tradisional, anak-anak dan generasi muda belajar tentang sistem
bertani, budaya dan merayakan ritual keagamaan melalui pendidikan dan
pelatihan langsung oleh orang tua, komunitas lokal, dan lingkungan
sekitarnya. Istilah modern untuk kegiatan demikian disebut pendidikan
berbasis pada tempat (place-based education), atau pendidikan dengan
menggunakan lingkungan lokal sebagai titik awal untuk meningkatkan
pemahaman terhadap materi pembelajaran (Taptamat, 2011), meningkatkan
konmitmen pelajar untuk memberikan jasa sosial kepada masyarakat (Sobel,
2004), dan mengembangkan kepekaan siswa terhadap lingkungan lokal
tempat tinggal mereka (Meichtry & Smith, 2007).
Sistem Pertanian Terintegrasi Itik-padi
Hasil penelitian di berbagai negara juga menunjukkan bahwa STIP
dapat memberikan berbagai dampak positif terhadap pendapatan petani dan
ekosistem padi sawah. Quan et al., (2008) meneliti tentang pengaruh
pertanian itik-padi terhadap lingkungan air dalam sawah di Cina. Mereka
menemukan suhu dan pH permukaan air menurun, sebaliknya unsur
nitrogen, fosfor dan kalium dibanding pertanian konvensional (Quan et al.,
2008). Dengan begitu berarti sistem itik-padi memperbaiki lingkungan air
dan suplai nutrisi, mengoptimalkan lingkungan ekologi sawah, dan
mendorong pertumbuhan serta perkembangan tanaman padi (Quan et al.,
2008). Sistem itik-padi juga efektif dalam mengendalikan gulma dan hama
penyakit tanaman sehingga biaya pengendalian gulma dan insekta dapat
dihemat, peningkatan panen gabah dan menyediakan sumber pendapatan
tambahan dan peningkatan status gizi petani miskin (Yu et al., 2008; Wang
et al., 2008; Hossain et al., n.d).
12
Yang tidak kalah penting, sistem tumpangsari itik-padi berperan dalam
menurunkan pemanasan global, terutama gas metana yang merupakan gas
rumah kaca. Hal itu ditunjukkan oleh hasil penelitian Fu et al. (2008), yang
menemukan gerakan itik mengaduk -aduk a i r dan l ap isan
permukaan t anah menyebabkan oksigen terlarut di dalam air
meningkat; makin banyak itik maka oksigen terlarut makin banyak pula.
Populasi bakteri metanogenik dalam ekosistem itik-padi menurun sangat
drastis dibanding sistem tanam padi monokultur sehingga menghasilkan
produksi metana yang rendah; ketiga, makin banyak itik maka produksi
metana makin menurun (Fu et al., 2008). Hal itu disebabkan oleh
kandungan oksigen dalam air yang meningkat telah menghambat
pertumbuhan populasi bakteri metanogen.
Furono (seorang petani dari Jepang, yang sejak lama melakukan sistem
bercocok tanam itik-padi) menghasilkan beras organik berkualitas tinggi
sejak lebih 25 tahun lalu (Mamemachi, 2002). Bersama dengan beberapa
temannya, Furuno mengembangkan metode-Aigamo, yaitu teknik bertani
itik-padi untuk membersihkan gulma, menyuburkan tanah, dan
menambahkan ikan, dan Azolla microphylla (yang bersimbiosis dengan
bakteri alga biru-hijau) untuk meningkatkan produktivitas pertanian (Ho,
1999).
Dengan demikian pengembangan STIP akan membentuk agro-
ekosistem kompleks dengan berbagai manfaat (1) menghilangkan biaya
untuk membeli pupuk kimia buatan pabrik karena pupuk kompos yang
berasal dari kotoran itik dan ikan cukup bagi tanaman padi untuk
menghasilkan biji; (2) itik membantu membersihkan gulma sehingga
menghilangkan kesan bahwa bertani secara organik membutuhkan waktu
kerja yang lebih lama, terutama dalam membersihkan gulma dengan
menggunakan tenaga manusia; (3) itik dan ikan memangsa berbagai insekta
dan menimbulkan cekaman bagi populasi hama pengganggu, sehingga tidak
diperlukan lagi biaya untuk membeli insektisida guna mengendalikan
populasi hama dan penyakit tanaman; (4) meningkatkan kuantitas dan
kualitas produksi beras organik karena tidak lagi menggunakan pupuk dan
pestisida buatan.
Wisata Edukasi: Pembelajaran dalam Habitat Alami berbasis pada Rekreasi
Wisata edukasi merupakan kegiatan kepariwisataan yang mengarah
kepada pendidikan formal dan informal, serta pembelajaran tentang
keberlanjutan dalam lingkungan alami yang unik, memiliki nilai sejarah dan
kaya dengan keanekaragaman budaya. Tujuan utama wisata edukasi adalah
untuk melibatkan wisatawan dalam memperoleh pembelajaran secara
langsung dari kunjungan mereka ke lokasi wisata tertentu. Karena itu, wisata
edukasi sering pula disebut dengan pembelajaran dalam habitat alami berbasis
pada rekreasi (recreation-based in-situ learning), yang mengintegrasikan
pendidikan dengan pariwisata dengan cara mempromosikan pembelajaran
sepanjang hidup; menjanjikan pengalaman belajar yang menyenangkan
sambil membangun pengetahuan baru; meningkatkan ketrampilan dan
memperluas cakrawala berpikir bagi wisatawan (Setiawan et al., n.d.).
13
Wisata edukasi terdiri atas berbagai tipe, mencakup ekowisata, wisata budaya,
pertukaran siswa antara berbagai institusi, wisata sekolah, wisata dengan
minat tertentu, kursus singkat, konferensi, festival, program pendidikan orang
dewasa yang berkelanjutan, dan wisata sejarah.
Sementara itu, Surata dan Seniwati (2006) dan Surata (2007) menemukan
kemampuan menggambar dan mengarang siswa sekolah dasar meningkat
setelah mereka memperoleh pengalaman perjalanan dan belajar sains lansung
di kawasan subak. Hasil penelitian tentang pengembangan wisata edukasi
pada komunitas tradisional di kawasan Urban Brasilia memberikan manfaat
kepada komunitas lokal (dalam bentuk pendapatan, kepuasan dan
peningkatan budaya) dan siswa sebagai pengunjung (berupa pengalaman unik
berinteraksi langsung dengan komunitas tradisional telang meningkatkan
pemahaman dan penghargaan terhadap budaya lokal) (Vieira, 2014).
Sementara itu, hasil penelitian Abubakar et al., (2014) menemukan bahwa
wisata edukasi terkait erat dengan toleransi dan perilaku komunitas lokal
yang tidak diskriminatif.
Dengan begitu, model wisata edukasi yang terfokus lokasi khusus (place-
centered edutrip) sangat tepat dikembangkan di Subak Pulagan. Hal itu
disebabkan Subak Pulagan merupakan subak berusia tua dengan berbagai
tinggalan budaya dan praktek sosio-spiritual yang masih tetap lestari,
berlokasi di jalur wisata utama, para petani (dan komunitas lokal) memiliki
toleransi yang tinggi terhadap wisatawan (sebagaimana citra ramah-tamah
terhadap wisata di Bali), berpeluang besar bagi peningkatan pendapatan
ekonomi, sekaligus memperkuat integrasi lingkungan dan inklusi sosial-
budaya.
Daftar Pustaka Abubakar, M.A., Shneikat, B.H.T., & Oday, A. (2014). Motivational factors for
educational tourism: A case study in Northern Cyprus. Tourism Management
Perspectives, 11, 58-62.
(https://www.researchgate.net/publication/262051773).
Darnhofer, I., Fairweather,J. & Moller, H. (2010). Assessing a farm’s
sustainability:Insights from resilience thinking. International Journal of
Agricultural Sustainability, 8(3), 186-198.
Falk I & Surata S.P.K. (2007). Real social capital in Bali: Is it difference from
literature? Rural Society: The Journal of Social Capital and Rural Society,
17(3):201-312. http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.5172/rsj.351.17.3.308.
Flora, C.B., (2008). Social Capital and Community Problem Solving Combining
Local and Scientific Knowledge to Fight Invasive Species. Kritis and
Learning Communities. Special co-publication, 30-39.
Fu, Z., Huang, H., Liao, X., Hu, Y., Xiea, W., & He, B. (2008). Effect of ducks
on CH4 emission from paddy soils and its mechanism research in the rice-
duck ecosystem. Acta Ecologica Sinica, 28(5), 2107-2114.
(http://www.ecologica.cn/stxben/ch/reader/create_pdf
14 Gaard, G. (2008). Toward an ecopedagogy of children’s environmental literature.
Green Theory & Praxis: The Journal of Ecopedagogy, 4(2), 11-24. DOI:
10.3903/gtp.2008.2.3
Ho, Mae-wan. (1999). One bird – ten thousand treasures. How the duck in the
paddy fields can feed the world. (http://www.ratical.org/co-
globalize/MaeWanHo/bird99.pdf).
Hosssain, S.T., Sugimoto, H., & Ahmed, G.J.U. (n.d.). Effect of integrated rice-
duck farming on rice yield, farm productivity, and rice-provisioning ability of
farmers. Asian Journal of Agriculture and Development, 2(1), 79-86.
(http://ageconsearch.umn.edu/bitstream/165782/2/AJAD_2005_2_1&2_7Hos
sain.pdf).
Lorenzen, R.P. & Lorenzen, S. (2011). Changing realities – perspectives on
Balinese rice cultivation. Human Ecology, 39, 29-42. DOI: 10.1007/s10745-
010-9345-z.
Luo, Y., H. Fu, & Traore, S. (2014). Biodiversity conservation in rice paddies in
China:Toward ecological sustainability. Sustainability 6, 6107-6124.
DOI:10.3390/su6096107.
Mamemachi, Y. (18 Juli 2015). Ducks in rice paddies under spotlights.
(www.detourjapan.com/furuno.html).
Meichtry, Y. & Smith, J. (2007). The impact of a place-based professional
development program on teacher’ confidence, attitudes, and classroom
practices. The Journal of Environmental Education, 38(2), 15-31.
Meyerson, L.A. & Reaser, J.K. (2002). Biosecurity: Moving toward a
comprehensive approach. Bioscience, 52(7), 592-600.
Reynold, J. (2009). Cycle of rice. A story of sustainable farming. New York: Lee
& Low Books Inc.
Setiawan, F., Hussain, R.M., Hussin, F.H., & Yann, L.B. (n.d.). L E I S U R E.
Learning via edutourism: In-situ recreation-based education. 1st International
Malaysian Educational Technology Convention, hlm. 766-772
Sobel, D. (2004). Place-based education: Connecting classrooms & communities.
Great Barrington, MA: Orion Society.
Surata, S.P.K. & Vipriyanti, N.U. Comparing Knowledge, Attitudes, and
Behaviors among Balinese Teachers, Student Teachers, and Students toward
the Subak Cultural Landscape. The Journal of Environmental Education
(submitted).
Surata, S.P.K., Arnawa, I. K., Jayantini, I. G. A. S. (2012). Ekopedagogi:
Pelibatan mahasiswa calon guru dalam integrasi lansekap budaya subak dan
MapPack ke dalam kurikulum jenjang pendidikan dasar. Proceeding Seminar
Nasional Cakrawala Pendidikan Berkualitas. (http://www.dikti.go.id/wp-
content/uploads/2012/10/Proceeding-Seminar-Nasional.pdf)
Surata, S.P.K. & Agung, T. (2010). Local food eco-literacy: A Strategy for
building ecotone between ethno-culture and scientific knowledge of food
security. Dalam J. Jompa, R. Basuki, Suraji, M. Tesoro, & E.T. Lestari
(Eds.), Proceedings of International Symposium of Small Island and Coral
Reefs (hal, 306-315).
15 Surata, S.P.K. Jayantini, G.A.R.S., Lansing, J.S. (2015). Engaging Student
Teachers in Designing Ecopedagogy Learning Modules for Bali’s Subak
Cultural Landscape. NACTA JOURNAL, 52 (2): 139-143
(http://www.nactateachers.org/component/attachments/download/2254.html).
Surata, S.P.K., Arnawa, I.K., Widnyana, I K., Raka, I D.N., & Maduriana,I M.
(2014a). Implementasi Tri Dharma Perguruan tinggi secara terpadu melalui
elaborasi konsep Perampian Pura Kehen Bangli-Bali. Majalah Aplikasi Ipteks
NGAYAH, 5(1): 25-30.
Surata, S.P.K. Jayantini, G.A.R.S., Lansing, J.S. (2014b). Exploring community
capital of the Balinese subak cultural heritage: a content analysis of
participatory maps. International Journal of Technical Research and
Applications, 2(7): 28-34. e-ISSN: 2320-8163, http://www.ijtra.com/ijtra-
special-issue07.php
Surata, S.P.K., Jayantini, I G.A.S.R. (2014c). Participatory Mapping: Developing
Collaborative Learning for Educating Youth to Understanding Their Cultural
Landscape Heritage, pp 198-202 in Proceedings of the 2nd AsiaEngage
Regional Conference 2014. Directorate of Research and Community
Enggagement Universitas Indonesia.
Surata, S.P.K. (2015). Rekontekstualisasi Multifungsi Lanskap Budaya Pertanian
dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Paper presented as keynote speaker at
Seminar Nasional ―Mewujudkan Ketahanan Pangan melalui Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Peningakatan Ketahanan Hayati‖ hosted by Faperta
Undana at Kupang 29 October 2015.
Surata, S.P.K. (2013a). Lanskap budaya subak. Belajar dari masa lalu untuk
membangun masa depan. Denpasar: Unmas Press.
Surata, S.P.K. (2013b). Pembelajaran lintas budaya: Penggunaan subak sebagai
model ―ecopedagogy‖. Jurnal Kajian Bali, 3(2), 181-198.
(http://ojs.unud.ac.id/index.php/kajianbali/article/view/15687).
Surata, S.P.K. (2007). Subak sebagai model bagi pendidikan lingkungan: Analisis
karangan siswa sekolah dasar di Bali. Jurnal Lingkungan Hidup Bumi Lestari,
6 (2), 65-72.
Surata, S.P.K. & Seniwati, N.P. (2006). Kegiatan menggambar berbasis subak
sebagai model pendidikan lingkungan bagi siswa sekolah dasar di Bali.
Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran, 13(2),166-174.
Quan, G.M., Zhang, J.E., Chen, R., & Xu, R.B. (2008). Effects of rice-duck
farming on paddy field water environment. Ying Yong Sheng Tai Xue Bao
(Abstrak). (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19102319).
Taptamat, N. (2011). The effects of place — based activities on Conceptual
understandings and discourse Practices of ninth graders in science classroom,
Khamtakla rachaprachasongkhroa school, Sakon Nakhon, Thailand.
International Journal of Arts & Sciences, 4(8), 361–398.
Temudo, M.P. (2011). Planting knowledge, harvesting agro-biodiversity: A case
study of Southern Guinea-Bissau rice farming. Human Ecology. 9, 309–321.
DOI 10.1007/s10745-011-9404-0.
16 UNESCO (2012). Cultural Landscape of Bali Province: the Subak System as
a Manifestation of the Tri Hita Karana Philosophy
(http://whc.unesco.org/en/list/1194).
Yu, S.M., Zhu, L.F., Quayang, Y.N., Xu, D.H., & Jin, Q.Y. (2008). Effects of
rice-duck farming on biotic populations in paddy field. Ying Yong Sheng Tai
Xue Bao (Abstrak). (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19102319 .
Vieira, O.A.D. (2014). Developing edu-tourism in an urban indigenous
community: The case of Aldeia Bananal (Brasília – DF – Brazil). Tesis
master pada Mittuniversetetet Sweden. (http://www.diva-
portal.se/smash/get/diva2:755191/FULLTEXT01.pdf)
Vipriyanti, N.U. (2014). Tourism development program for coastal and marine
sustainable development at Gerokgak District, Buleleng Regency, Bali
Province. Journal of Agricultural Economics and Development, 3(3), 47-51.
(http://academeresearchjournals.org/journal/jaed).
Vipriyanti, N.U. (2013). Kontribusi Prima Tani Terhadap Pengembangan Usaha
Pertanian Terintegrasi Ditinjau dari Perspektif Ekonomi Lingkungan. Jurnal
Alam Lestari, 2(1). ISSN: 2302-5514
Vipriyanti, N.U. (2008a). Kontribusi Pariwisata terhadap Sektor Pertanian Di Bali.
Ekonomi dan Pembangunan, 9(1).
Vipriyanti, N.U. (2008b). Model Produksi Beras untuk Peningkatan Kontribusi
Pertanian terhadap Perekonomian Bali. Ekonomi dan Pembangunan, 9(3).
Vipriyanti, N.U & Rustiadi, E. (2007). Revitalizing Social, Empowering Local
Potentials Reducing Powerty in Forest Area at Bali Province. Poster paper
presented for presentation at The International Conference on Poverty
Reduction and Forests: Tenure, Market and Policy Reforms, 3-7 September
2007, Bangkok. (repository.ipb.ac.id/handle/123456789/28359).
Wang, Q., Huang, P., Zhen, R., Jing, L., Tang, H., & Zhang, C. (2008). Effect of
rice-duck mutualism on nutrition ecology of paddy field and rice quality.
Ying Yong Sheng Tai Xue Bao (Abstrak).
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19102319).
17 BAB II
KUALITAS AIR SEBAGAI INDIKATOR PENGELOLAAN DAS
PAKERISAN BERKELANJUTAN
Oleh: Ayu Esti, MSi dan Dr, Ir. Nyoman Utari Vipriyanti, MSi
Pendahuluan
Air adalah sumber daya alam yang terbarukan dan tersedia dimana-mana.
Kuantitas maupun kualitas air ditentukan oleh keberadaan suatu wilayah maupun
ketersediaannya secara geografis maupun menurut musim. Oleh sebab itu,
peningkatan penggunaannya mengakibatkan intervensi manusia terhadap sumber
daya air makin besar. Hal tersebut memungkinkan terjadinya perubahan tatanan
dan siklus hidrologi wilayah seperti semakin tidak meratanya sebaran dan
keberadaan air, secara spasial maupun temporal serta penurunan mutu air. Selain
itu, efisiensi pemanfaatan dan penggunaan air semakin rendah dan seringkali
mengabaikan wilayah aliran air tersebut berasal atau daerah aliran sungai (DAS)
(Ismail. 2009). Bab ini menyajikan mengenai kualitas airsebagai indicator
pengelolaan DAS yang berkelanjutan.
Curah Hujan dan Kualitas Air
Curah Hujan
Curah Hujan DAS Pakerisan berupa curah bulanan selama 10 tahun terakhir
(2005-2014) yang diperoleh dari Stasiun Penakar Curah Hujan di wilayah DAS
Pakerisan. Jumlah curah hujan dan hari hujan tahunan pada masing-masing
Stasiun Pengamat Curah Hujan DAS Pakerisan disajikan pada Tabel 1. Curah
hujan rata-rata tahunan selama 10 tahun dari Stasiun pengamat curah hujan pada
BPP Kecamatan Kintamani sebesar 2.003 mm tahun-1
dengan 89 hari hujan.
Curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus sebesar 3 mm bulan-1
dengan 1
hari hujan dan tertinggi pada bulan Januari sebesar 341 mm bulan-1
dengan 14 hari
hujan. Curah hujan rata-rata tahunan selama 10 tahun dari Stasiun pengamat
curah hujan pada BPP Kecamatan Tampaksiring sebesar 2.644 mm tahun-1
dengan
123 hari hujan. Curah hujan terendah terjadi pada bulan Juni sebesar 107 mm
bulan-1
dengan 9 hari hujan dan tertinggi terjadi pada bulan Desember sebesar 322
mm bulan-1
dengan 14 hari hujan.
Curah hujan rata-rata tahunan selama 10 tahun dari Stasiun pengamat curah
hujan pada Dinas Pertanian, Perhutanan dan Perkebunan Kabupaten Gianyar
sebesar 2.132 mm tahun-1
dengan 103 hari hujan. Curah hujan terendah terjadi
pada bulan September sebesar 66 mm bulan-1
dengan 4 hari hujan dan tertinggi
terjadi pada bulan Desember sebesar 283 mm bulan-1
dengan 14 hari hujan.
18 Jumlah curah hujan bulanan dan hari hujan rata-rata selama 10 tahun (2005-2014)
di Sub DAS Telagawaja sebagaimana disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah Curah Hujan dan Hari Hujan Tahunan pada Masing-masing
Stasiun Pengamat Curah Hujan DAS Pakerisan
CH (mm) HH (hari) CH (mm) HH (hari) CH (mm) HH (hari)
1 2 3 4 5 6 7 8
1 2005 1.355 72 2.433 121 1.725 96
2 2006 1.347 52 2.516 121 1.871 87
3 2007 1.676 61 2.697 130 2.268 87
4 2008 1.423 60 2.402 156 2.425 113
5 2009 2.446 76 3.654 118 2.233 101
6 2010 3.128 147 4.172 126 3.690 160
7 2011 2.192 122 2.044 103 1.747 96
8 2012 2.499 112 2.064 108 2.075 109
9 2013 2.276 101 2.214 154 1.998 92
10 2014 1.693 89 2.246 90 1.292 87
20.033 892 26.440 1.227 21.324 1.028
2.003 89 2.644 123 2.132 103
Sumber : Hasil pengolahan data curah hujan
Keterangan:
CH
HH
: Jumlah curah hujan
: Jumlah hari hujan
Dinas P3 Kab. Gianyar
Lokasi Stasiun Pengamat Curah Hujan
BPP Kec. Kintamani BPP Kec. Tampaksiring
Jumlah
Jumlah rata-rata
Tahun
Pengamatan
No
Data curah hujan dari 3 stasiun pengamat curah hujan yang ada disekitar
wilayah DAS pakerisan tersebut yaitu di Bagian Hulu Stasiun BPP Kecamatan
Kintamani, BPP Kecataman Tampakasiring dan Dinas P3 Kabupaten Gianyar
akan digunakan untuk menghitung nilai erosivitas hutan yang akan digunakan
untuk menentukan tingkat erosi yang terjadi di wilayah DAS Pakerisan.
Besarnya curah hujan, intensitas dan distribusi hujan mementukan dispersi
hujan terhadap tanah, jumlah dan kekuatan aliran permukaan serta tingkat
kerusakan erosi (Arsyad, 2010). Berdasarkan data curah hujan di atas, tipe iklim
menurut Schmidht ferguson (perbandingan antara bulan basah dan bulan kering),
tipe iklimnya termasuk tipe iklim C-D (agak basah-sedang). Tipe iklim C terletak
dibagian hulu DAS Pakerisan sedangkan tipe iklim D terletak di bagian hilir DAS
Pakerisan. Dengan kondisi seperti itu maka wilayah DAS Pakerisan merupakan
wilayah yang subur dan cocok untuk budidaya pertanian.
19
Tabel 2. Jumlah Curah Hujan Bulanan dan Hari Hujan Rata-rata selama 10 Tahun (2005-2014) DAS Pakerisan
CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH
1 2
1 BPP Kintamani 341 14 322 12 337 13 170 7 83 5 34 2 10 2 3 1 9 1 27 1 97 5 236 12
2 BPP Kec. Tampaksiring 322 15 261 12 210 11 171 8 153 7 107 9 156 6 50 4 135 5 146 6 179 7 332 14
3 Dinas P3 Kab. Gianyar 283 14 185 9 151 8 138 8 120 7 148 5 101 7 43 4 66 4 99 5 225 5 218 12
946 42 768 32 698 32 478 23 356 19 289 15 268 15 97 9 210 10 272 12 501 18 786 37
315 14 256 11 233 11 159 8 119 6 96 5 89 5 32 3 70 3 91 4 167 6 262 12
Sumber : Hasil pengolahan data curah hujan
Keterangan:
CH
HH
12 13 14
Oktober Nopember Desember
Jumlah
No Lokasi Stasiun Curah
Hujan
Bulan pengamatan (2005-2014)
Januari Eebruari Maret April Mei Juni Juli
3 4
Jumlah rata-rata
: Jumlah curah hujan (mm)
: Jumlah hari hujan
Agustus September
5 6 7 8 9 10 11
20 Penutupan Lahan
Hasil interpretasi citra landsat 8 untuk wilayah DAS Pakerisan diperoleh 4
(empat) jenis penutupan lahan yaitu vegetasi tetap, kebun campuran, sawah dan
pemukiman. Jenis penutupan dan luas masing-masing penutupan lahan
sebagaimana disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Jenis dan Luas Penutupan Lahan pada DAS Pakerisan
No Jenis Penutupan Lahan Luas (Ha) %
1 2 3 4
1 Vegetasi Tetap 32,58 0,36
2 Kebun Campuran 3.405,32 37,45
3 Sawah 4.592,00 50,51
4 Pemukiman 1.061,99 11,68
Jumlah 9.091,89 100,00
Sumber : Hasil interpretasi Citra Landsat, 2015
Kualitas Air
Sampel air diambil pada tiga titik yaitu di bagian hulu, tengah dan hilir.
Pengambilan sampel menggunakan alat sederhana yaitu botol plastik dan botol
kaca steril untuk pengambilan sampel uji Faecal Coliform dan Total Coliform.
Secara detail lokasi pengambilan sampel yaitu :
1. Untuk bagian hulu sampel air diambil di sekitar Pura Mengening, Banjar
Manukaya, Desa Manukaya Kecamatan Tampak Siring pada tanggal 1, 8, dan
15 Desember 2014 dengan koordinat 8°25'0.80"S, 115°18'57.54"E. Peta
Lokasi dapat dilihat pada Gambar 6.
Sumber : Google Earth,2015
Gambar 1. Lokasi Pengambilan Sampel Di Hulu
2. Pada bagiang tengah dari Tukad Pakerisan, sampel diambil di Banjar
Pacung, Desa Pejeng Kelod, Gianyar pada tanggal 1, 8, dan 15 Desember
2014 dengan koordinat 8°31'0.32"S, 115°18'19.83"E. Peta Lokasi dapat
dilihat pada Gambar 7.
Sumber : Google Earth, 2015
Gambar 2. Lokasi Pengambilan Sampel Di Tengah
3. Pada bagian hilir dari Tukad Pakerisan, sampel diambil di Banjar
Medahan, Desa Medahan, Gianyar pada tanggal 1, 8, dan 15 Desember
2014dengan koordinat 8°34'59.21"S, 115°20'59.54"E. Peta Lokasi dapat
dilihat pada Gambar 8.
Sumber : Google Earth, 2015
Gambar 3. Lokasi Pengambilan Sampel Di Hilir
47
Tingkat Pencemaran Air
a. Hasil Uji Sampel Air
Uji kualitas air dilakukan di Lab. Analitik Universitas Udayana, dimana
sampel yang diuji berjumlah 9 buah yaitu 3 buah di hulu, 3 buah di tengah dan 3
buah di hilir dari 9 buah sampel tersebut kemudian dirata-ratakan. Hasil uji
kualitas air rata-rata dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil Uji Kualitas Air Tukad Pakerisan
Sumber : Hasil Uji Lab, 2015
Berdasarkan data pada Tabel 4 terlihat bahwa sampel air yang diambil di
hulu sungai yang memenuhi ketentuan air kelas 1 berdasarkan Pergub Bali No. 8
tahun 2007 dimana semua parameter pengujian memenuhi syarat batas. Untuk
sampel air di bagian tengah pada parameter kekeruhan yaitu sebesar 10.47 ntu
melebihi batas dari air baku kelas 1 yaitu 5 ntu. Begitu juga dengan sampel air
yang diambil di bagian hilir untuk kekeruhan, faecal coliform dan total coli
menunjukkan angka yang berada di atas syarat batas. Faecal Coliform pada
bagian hilir terdapat paling banyak dikarenakan pada bagian atas atau hulu dari
daerah ini adalah wilayah Kota Gianyar dimana banyak pemukiman di daerah
tersebut.
(1) Suhu
Suhu dari hasil pengukuran di lapangan diperoleh semakin meningkat makin
ke hilir yaitu dari 25.20 C menjadi 26.25
0 C. Gambar 9 menunjukkan kondisi suhu
dari hulu sampai hilir.
Sumber : Hasil Perhitungan, 2015
Gambar 4. Suhu Air Berdasarkan Lokasi
Hulu Tengah Hilir Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4
1 Suhu °C 25.2 25.7 26.25 Deviasi 3 Deviasi 3 Deviasi 3 Deviasi 3
2 DHL 378 377 391 2250 2250 2250 2250
3 TSS Mg/ l 0.230667 0.697333 1.312333 50 50 400 400
4 Kekeruhan NTU 4.343333 10.46667 32.55 5 - - -
5 pH - 7.05 7.036667 7.095 6 s/d 9 6 s/d 9 6 s/d 9 6 s/d 9
6 DO Mg/ l 6.79 7.326667 5.84 6 4 3 1
7 BOD Mg/ l 0.58 1.256667 1.64 2 3 6 12
8 COD Mg/ l 2.666667 5.85 7.786667 10 25 50 100
9 PO4 (Fosfat) Mg/ l 0.093333 0.136667 0.205 0.2 0.2 1 5
10 Faecal Coliform JML/100 ML 36 36 61.33333 50 1000 2000 2000
11 Total Koli JML/100 ML 436.6667 1533.333 15000 500 5000 10000 10000
NO PARAMETER SATUANTUKAD PEKERISAN PERGUB BALI NO 8 TH 2007
mos/cm
25,2 25,7 26,25 24
26
28
Hulu Tengah Hilir
suh
u (
0C
)
Lokasi
Suhu
48
Gambar 4. menunjukkan bahwa suhu daerah hulu lebih rendah dibandingkan
di hilir dikarenakan udara melingkupi permukaan bumi hingga ketinggian sekitar
560 km. Kumpulan udara yang melingkupi bumi ini disebut juga atmosfer. Salah
satu sifat udara adalah lentur, bagaikan karet yang bisa dimampatkan. Karena
pengaruh gaya gravitasi bumi, setiap lapisan udara akan menindih lapisan udara di
bawahnya. Akibatnya, udara yang posisinya lebih rendah akan lebih mampat
daripada udara yang posisinya lebih tinggi. Jika udara memampat, itu artinya
kerapatannya membesar. Istilah lain yang juga sering digunakan adalah tekanan.
Jika udara memampat, tekanannya akan membesar.Udara di dataran rendah lebih
mampat daripada udara di dataran tinggi. Jika udara semakin mampat, itu artinya
jumlah partikel udara semakin banyak per satuan volumenya. Dengan demikian,
jumlah partikel udara di dataran rendah lebih banyak daripada jumlah partikel
udara di dataran tinggi.
Perubahan suhu udara pada satu tempat dengan tempat lainnya bergantung
pada ketinggian tempat dan letak lintang. Perbedaan suhu karena perbedaan
ketinggian jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan perubahan suhu karena
perbedaan letak lintang. Semakin tinggi suhu tempat, maka suhu udara semakin
rendah. Oleh karena itulah, suhu udara di daerah hulu lebih rendah daripada di
daerah hilir.
Ketika matahari menyinari bumi, itu artinya matahari memberi energi pada
segala sesuatu disinari, termasuk partikel udara. Masing-masing partikel udara
tersebut menerima energi sinar matahari yang relatif sama. Dengan demikian,
semakin banyak partikel udaranya, semakin banyak pula energi sinar matahari
yang terserap. Energi-energi yang terserap tersebut kemudian akan berubah
menjadi panas. Karena jumlah partikel udara di dataran tinggi lebih sedikit
daripada jumlah partikel udara di dataran rendah, maka jumlah energi matahari
yang terserap di dataran tinggi akan lebih sedikit, sehingga panas yang terbentuk
tidak sebanyak panas di dataran rendah.
Kecepatan angin juga mempengaruhi suhu udara pada suatu
tempat.Kecepatan akan terus meningkat sejalan dengan meningkatnya ketinggian
suatu tempat. Apabila topografi suatu tempat itu tinggi maka tekanan udaranya
akan menurun, dan kita ketahui bahwa angin bergerak dari tekanan tinggi ke
tekanan yang rendah sehingga pada dataran tinggi kecepatan angin akan semakin
kencang. Semakin tinggi kecepatan angin maka suhu udara juga meningkat.
b. Daya Hantar Listrik
Daya hantar listrik dari sampel air yang diambil semua sampel baik dari hulu
sampai hilir memenuhi syarat kelas 1 dimana diperoleh nilai daya hantar listrik
rata-rata di hulu 378 ntu kemudian pada bagian tengah turun menjadi 377 ntu dan
di bagian hilir meningkat menjadi 391 ntu. Gambar 10 menunjukkan kondisi
daya hantar listrik rata-rata dari hulu sampai hilir.
49
Sumber : Hasil Perhitungan, 2015
Gambar 5. Nilai Daya Hantar Listrik Berdasarkan Lokasi
Gambar 5 menunjukkan bahwa peningkatan nilai daya hantar listrik dari hulu
ke hilir, hal ini disebabkan karena jumlah ion-ion yang menyebabkan daya hantar
listrik lebih banyak pada wilayah hilir. Bila kadar DHL pada suatu badan sungai
semakin tinggi akan dapat mengganggu kualitas air sungai.
c. Total Suspended Solid (TSS)
Nilai TSS yang memenuhi kualitas air kelas 1 adalah 50 mg/l. Dari hasil
laboratorium diperoleh bahwa nilai TSS seluruh sampel memenuhi kualitas air
kelas 1 berdasarkan Pergub Bali No. 8 Tahun 2007. Kondisi nilai TSS dari hulu
sampai hilir diperlihatkan Gambar 6.
Sumber : Hasil Perhitungan, 2015
Gambar 6. Nilai TSS Berdasarkan Lokasi
Gambar 6 menunjukkan bahwa nilai TSS semakin meningkat dari hulu ke
hilir dimana hal ini diakibatkan semakin ke hilir semakin banyak buangan limbah
yang masuk ke badan sungai baik itu dari perumahan dan industri dan juga dari
lingkungan sekitarnya yang apabila dilihat pada bagian tengah Tukad Pakerisan
378 377
391
370
375
380
385
390
395
Hulu Tengah Hilir
Day
a H
anta
r L
istr
ik
Lokasi
Daya Hantar Listrik
0,23
0,70
1,31
0,00
0,50
1,00
1,50
Hulu Tengah Hilir
TSS
(m
g/l)
Lokasi
TSS
50
melewati Kota Gianyar yang penduduknya cukup padat apabila dibandingkan
dengan di hulu sehingga potensi untuk terjadinya pembuangan limbah ke sungai
semakin tinggi.
d. Kekeruhan
Batas angka kekeruhan yang disyaratkan untuk kualitas air kelas 1
berdasarkan Pergub Bali No. 8 tahun 2007 adalah 5 ntu. Dari sampel air yang
diambil di Tukad Pakerisan hanya sampel air yang diambil di hulu yang
memenuhi tingkat kekeruhan kualitas 1 yaitu sebesar 4.33 ntu sedangkan sampel
air di tengah dan di hilir tidak memenuhi syarat. Gambar 12 menunjukkan nilai
kekeruhan dari hulu sampai hilir.
Sumber : Hasil Perhitungan, 2015
Gambar 7. Nilai Kekeruhan Dari Lokasi Pengambilan Sampel
Gambar 7 menunjukkan bahwa nilai kekeruhan makin ke hilir nilainya makin
besar yang menandakan tingkat kekeruhan semakin ke hilir semakin keruh. Hal
ini dikarenakan semakin ke hilir tingkat pencemaran dan larutan sedimen yang
tersuspensi semakin banyak yang membuat air menjadi semakin keruh.
f. pH
Berdasarkan Pergub Bali no. 8 Tahun 2007 nilai pH untuk kualitas air kelas 1
adalah 6 sampai dengan 9. Dari sampel air diambil diperoleh seluruh sampel
memenuhi syarat pH untuk kualitas air kelas 1. Hal ini menunjukkan bahwa
tingkat keasaman atau pH air di Tukad Pakerisan masih tergolong baik. Nilai pH
dari hulu sampai hilir dapat dilihat pada Gambar 8.
Sumber : Hasil Perhitungan, 2015
Gambar 8. Nilai pH AirBerdasarkan Lokasi
4,34 10,47 32,55 0,00
50,00
Hulu Tengah Hilir
Kek
eru
han
(n
tu)
Lokasi
Kekeruhan
7,05 7,04
7,095
77,1
Hulu Tengah Hilir
pH
Lokasi
pH
51
Gambar 8. menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai pH terutama di
bagian hilir sungai yang memiliki nilai pH paling tinggi. Hal ini disebabkan di
bagian hilir terjadi penumpukan zat-zat yang terlarut yang semakin menumpuk.
g. Dissolved Oxygen (DO) atau Oksigen Terlarut
Berdasarkan Pergub Bali no. 8 Tahun 2007 dimana untuk nilai DO air kelas 1
adalah sebesar 6 mg/l. Dari hasil penelitian diperoleh nilai DO di hulu dan tengah
memenuhi syarat dengan nilai DO masing-masing sebesar 6.79 mg/l dan 7.33
mg/l namun di bagian hilir tidak memenuhi syarat karena nilai DO adalah sebesar
5.84 mg/l. Nilai DO menunjukkan kandungan oksigen yang terdapat dalam air
sehingga apabila nilai DO semakin kecil maka kualitas air akan semakin buruk.
Gambar 14 menunjukkan nilai DO dari hulu sampai hilir.
Sumber : Hasil Perhitungan, 2015
Gambar 9. Nilai DO AirBerdasarkan Lokasi
Gambar 9. menunjukkan bahwa semakin ke hilir pencemaran yang terjadi
semakin tinggi. Dimana hal ini dikarenakan DO atau kadar oksigen terlarut
menyatakan kandungan oksigen di dalam air. Kemampuan air dalam melarutkan
oksigen sangat tergantung pada suhu air, tekanan gas oksigen dan kemurnian air.
Oksigen terlarut (dissolved oxygen, disingkat DO) merupakan salah satu
parameter penting dalam analisis kualitas air. Nilai DO yang biasanya diukur
dalam bentuk konsentrasi ini menunjukan jumlah oksigen (O2) yang tersedia
dalam suatu badan air. Semakin besar nilai DO pada air, mengindikasikan air
tersebut memiliki kualitas yang bagus. Sebaliknya jika nilai DO rendah, dapat
diketahui bahwa air tersebut telah tercemar. Pengukuran DO juga bertujuan
melihat sejauh mana badan air mampu menampung biota air seperti ikan dan
mikroorganisme.
Selain itu kemampuan air untuk membersihkan pencemaran juga ditentukan
oleh banyaknya oksigen dalam air.. Di dalam air, oksigen memainkan peranan
dalam menguraikan komponen-komponen kimia menjadi komponen yang lebih
sederhana. Oksigen memiliki kemampuan untuk beroksida dengan zat pencemar
seperti komponen organik sehingga zat pencemar tersebut tidak membahayakan.
Oksigen juga diperlukan oleh mikroorganisme, baik yang bersifat aerob serta
anaerob, dalam proses metabolisme. Dengan adanya oksigen dalam air,
mikroorganisme semakin giat dalam menguraikan kandungan dalam air.
6,79 7,33 5,84 0
10
Hulu Tengah Hilir
DO
(m
g/j)
Lokasi
DO
52
h. Biologycal Oxygen Demand (BOD)
Nilai BOD berdasarkan Pergub Bali No. 8 Tahun 2007 untuk kualitas air
kelas 1 adalah 2 mg/l. Dari hasil penelitian diperoleh nilai BOD sampel di hulu,
tengah, dan hilir semuanya memenuhi syarat kualitas air kelas 1. Hal ini
menunjukkan kandungan oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-
bahan buangan organik masih cukup baik. Nilai BOD makin ke hilir semakin
besar yang menandakan semakin banyak oksigen yang dibutuhkan untuk
mengoksidasi bahan organik yang menunjukkan bahan organik yang semakin
banyak terdapat di air. Nilai BOD dari hulu sampai hilir dapat dilihat pada
Gambar 10.
Sumber : Hasil Perhitungan, 2015
Gambar 10. Nilai BOD AirBerdasarkan Lokasi
Gambar 10 menunjukkan bahwa dengan semakin meningkatnya nilai BOD
menandakan bahwa pencemaran dari bahan-bahan organik semakin tinggi. Hal ini
dikarenakan penguraian zat organis adalah peristiwa alamiah, kalau sesuatu badan
air dicemari oleh zat organik, bakteri dapat menghabiskan oksigen terlarut, dalam
air selama proses oksidasi tersebut yang bisa mengakibatkan kematian ikan-ikan
dalam air dan keadaan menjadi anaerobik dan dapat menimbulkan bau busuk pada
air.
i. Chemical Oxygen Demand (COD)
Nilai COD berdasarkan Pergub Bali No. 8 Tahun 2007 untuk kualitas air
kelas 1 adalah 10 mg/l. Dari hasil penelitian diperoleh nilai COD dari sampel di
hulu, tengah, dan hilir semua memenuhi syarat kualitas air kelas 1. Angka COD
merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat organik yang secara alamiah
dapat dioksidasi melalui proses biologis dan dapat menyebabkan berkurangnya
oksigen terlarut dalam air.. Nilai COD dari hulu sampai hilir dapat dilihat pada
Gambar 11.
Sumber : Hasil Perhitungan, 2015
Gambar 11. Nilai COD Air Berdasarkan Lokasi
0,58 1,26 1,64 0
2
Hulu Tengah Hilir
BO
D (
mg/
l)
Lokasi
BOD
2,67 5,85 7,79 0,0010,00
Hulu Tengah Hilir
CO
D (
mg/
l)
Lokasi
COD
53
Gambar 11. menunjukkan bahwa nilai COD semakin meningkat dari hulu
menuju hilir. Hal ini dapat menyatakan bahwa zat-zat organik yang menyebabkan
pencemaran di Tukad Pakerisan semakin meningkat. Kondisi ini disebabkan
karena alur Tukad Pakerisan semakin ke hilir semakin padat akan penduduk dan
industri sehingga potensi terjadinya pembuangan limbah organik ke badan sungai
akan semakin tinggi disamping adanya pencemaran yang tidak disengaja salah
satunya adalah kondisi septik tank yang tidak baik sehingga terjadi kebocoran dan
kebiasaan masyarakat untuk membuang sampah ke sungai yang masih sulit untuk
dihindari.
j. Fosfat (PO4)
Nilai PO4 berdasarkan Pergub Bali No. 8 Tahun 2007 untuk kualitas air kelas
1 adalah 0.2 mg/l. Dari hasil penelitian diperoleh nilai PO4 di hulu dan tengah
memenuhi syarat kualitas air kelas 1 yaitu masing-masing sebesar 0.09 mg/l dan
0.14 mg/l sedangkan karena nilai PO4 di hilir sebesar 0.21 mg/l tidak memenuhi
syarat. Berdasarkan Gambar 12 dapat dilihat nilai PO4 dari hulu sampai hilir.
Sumber : Hasil Perhitungan, 2015
Gambar 12. Nilai PO4Berdasarkan Lokasi
Gambar 12 menunjukkan bahwa nilai PO4 semakin ke hilir semakin besar
maka hal ini menunjukkan kondisi cemaran fosfat yang semakin banyak. Hal ini
disebabkan karena adanya pemanfaatan kawasan daerah hilir untuk pertanian dan
dalam melaksanakan aktivitasnya petani menggunakan pupuk N, P, K dan
pestisida dalam membasmi hama padi di sawah. Menurut keterangan salah satu
petani di Desa Medahan, jika tidak menggunakan pestisida dalam membasmi
hama, maka padi akan mati diserang hama.
Selain itu, fosfat dapat memasuki sungai melalui air buangan penduduk dan
industri yang menggunakan bahan detergen, seperti industri logam dan sebagainya.
Fosfat organis terdapat dalam air buangan penduduk (tinja) dan sisa makanan.
Keberadaan senyawa fosfat dalam air sangat berpengaruh terhadap
keseimbangan ekosistem perairan. Bila kadar fosfat dalam air rendah (< 0,01 mg
P/L), pertumbuhan ganggang akan terhalang, keadaan ini dinamakan oligotrop.
0,09 0,14
0,21
0,00
0,05
0,10
0,15
0,20
0,25
Hulu Tengah Hilir
PO
4 (
mg/
l)
Lokasi
PO4 (Fosfat)
54
Sebaliknya bila kadar fosfat dalam air tinggi, pertumbuhan tanaman dan ganggang
tidak terbatas lagi (kedaaan eutrop), sehingga dapat mengurangi jumlah oksigen
terlarut air. Hal ini tentu sangat berbahaya bagi kelestarian ekosistem perairan.
k. Faecal Coliform
Nilai faecal coliform berdasarkan Pergub Bali No. 8 Tahun 2007 untuk
kualitas air kelas 1 adalah 50 JML/100 ml. Dari hasil penelitian diperoleh nilai
faecal coliform untuk sampel di hulu dan tengah memenuhi syarat kualitas air
kelas satu yaitu dengan besaran yang sama 36 JML/100 ml sedangkan untuk
sampel di hilir tidak memenuhi syarat kualitas air kelas 1 dikarenakan nilai faecal
coliform sebesar 61.33 JML/100 ml. Berdasarkan gambar 13 menunjukkan nilai
faecal coliform dari hulu sampai hilir.
Sumber : Hasil Perhitungan, 2015
Gambar 13. Nilai Faecal Coliform Berdasarkan Lokasi
Gambar 13 menunjukkan bahwa kondisi pencemaran dari bakteri tinja yang
semakin ke hilir semakin memburuk. Hal ini diakibatkan karena daerah hilir
sangat dekat dengan Kota Gianyar yang mana di daerah tersebut banyak terdapat
industri dan perumahan.
Keberadaan bakteri faecal coliform di lingkungan akuatik menunjukkan
bahwa air telah terkontaminasi dengan feces manusia atau hewan lain. Pada saat
ini terjadi air sumber mungkin telah terkontaminasi oleh patogen atau bakteri
yang menyebabkan penyakit atau virus yang juga bisa ada dalam feces. Kehadiran
kontaminasi tinja merupakan indikator bahwa ada potensi resiko kesehatan bagi
individu terkena air ini. bakteri koliform tinja atau faekal mungkin terjadi dalam
lingkungan air sebagai akibat dari meluapnya air limbah domestik atau sumber
nonpoint (tanpa diketahui asalnya) dari limbah manusia dan hewan.
l. Total Coliform
Nilai total coliform berdasarkan Pergub Bali No. 8 Tahun 2007 untuk
kualitas air kelas 1 adalah 500 JML/100 ml. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa
hanya sampel air di hulu yang memenuhi syarat kualitas air kelas satu dengan
nilai 436.67 JML/100 ml sedangkan untuk sampel di tengah dan hilir tidak
memenuhi syarat. Hal ini menunjukkan semakin ke hilir kualitas air berdasarkan
36,00 36,00 61,33
0,00
50,00
100,00
Hulu Tengah Hilir
Fae
cal C
oli
form
(J
ML
/10
0m
l)
Lokasi
Faecal Coliform
55
jumlah bakteri coliform semakin buruk. Nilai total coliform dari hulu ke hilir
dapat dilihat pada Gambar 14.
Sumber : Hasil Perhitungan, 2015
Gambar 14. Nilai Total Coliform Berdasarkan Lokasi
Gambar 14 menunjukkan bahwa nilai total coliform yang semakin meningkat
dari hulu ke hilir. Kenaikan angka total coliform ini dikarenakan semakin
padatnya penduduk sehingga kegiatan pembuangan limbah semakin intensif
begitu juga padatnya industri yang memiliki potensi membuang limbahnya ke
sungai.
m. Indeks Pencemaran
Penentuan status mutu air sungai didasarkan pada metode indeks pencemaran.
Indeks pencemaran ditentukan dengan nilai standar seperti di bawah ini :
0 < IP < 1 memenuhi kriteria mutu
1 < IP < 5 tercemar ringan
5 < IP < 10 tercemar sedang
IP > 10 tercemar berat
Nilai indeks pencemaran pada penelitian ini dihitung pada wilayah hulu, tengah,
dan hilir. Hasil perhitungan indeks pencemaran menunjukkan bahwa nilai indeks
pencemaran di daerah hulu adalah 0.67 dapat digolongkan mutu air sungai di
bagian hulu memenuhi kriteria mutu. Kondisi ini juga terlihat secara visual di
lapangan dimana air yang mengalir di hulu masih sangat jernih dan tidak berbau.
436,67 1533,33 15000,00
0,00
10000,00
20000,00
Hulu Tengah Hilir
To
tal
Co
lifo
rm
(JM
L/1
00
ml)
Lokasi
Total Coliform
56
Tabel 5. Nilai Indeks Pencemaran Di Hulu
Parameter
Ci Lix Ci/Lix Ci/Lix baru
Fisika
DHL 378.00 2250 0.17 0.17
TSS 0.23 50 0.004613 0.004613
Kekeruhan 4.34 5 0.87 0.694
Kimia
pH 7.05 6 s/d 9 0.30 0.30
DO 6.79 6 1.13 0.107887
BOD 0.58 2 0.29 0.29
COD 2.67 10 0.27 0.27
PO4 (Fosfat) 0.09 0.2 0.47 0.47
Biologi Faecal Coliform 36.00 50 0.72 0.72
Total Coliform 436.67 500 0.87 0.87
(Ci/Lix)R 0.39
(Ci/Lix)M 0.87
PIj 0.676071
Sumber : Hasil Perhitungan, 2015
Berdasarkan pada Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai indeks pencemaran yang
diperoleh di bagian tengah sungai adalah sebesar 2.513 yaitu di atas 1 dan di
bawah 5 sehingga dapat digolongkan bahwa pencemaran yang terjadi di daerah
tengan adalah tercemar ringan. Tabel 7 menunjukkan nilai indeks pencemaran
sebesar 6.068 dimana apabila mengacu pada standar mutu air maka dapat
dikatakan bahwa kualitas air di bagian hilir termasuk tercemar sedang.
Tabel 6. Nilai Indeks Pencemaran di Tengah
Parameter
Ci Lix Ci/Lix
Ci/Lix
baru
Fisika
DHL 377.00 2250 0.17 0.17
TSS 0.70 50 0.013947 0.013947
Kekeruhan 10.47 5 2.09 2.604
Kimia
pH 7.04 6 s/d 9 0.31 0.31
DO 7.33 6 1.22 0.067956
BOD 1.26 2 0.63 0.63
COD 5.85 10 0.59 0.59
PO4 (Fosfat) 0.14 0.2 0.68 0.68
Biologi Faecal Coliform 36.00 50 0.72 0.72
Total Coliform 1533.33 500 3.07 3.433
(Ci/Lix)R 0.92
(Ci/Lix)M 3.43
57
Parameter
Ci Lix Ci/Lix
Ci/Lix
baru
PLj 2.513611 Sumber : Hasil Perhitungan, 2015
Nilai indeks pencemaran dari hulu ke hilir semakin naik dimana berarti
makin ke hilir maka air semakin tercemar. Kondisi ini terjadi dikarenakan
semakin ke hilir perkembangan penduduk semakin tinggi dimana pada daerah
tengah adalah Kota Gianyar yang memiliki kepadatan penduduk dan industri
cukup besar. Kenaikan tingkat indeks pencemaran dari hulu ke hilir dapat dilihat
pada Gambar 15.
Tabel 7. Nilai Indeks Pencemaran Di Hilir
Parameter
Ci Lix Ci/Lix
Ci/Lix
baru
Fisika
DHL 391.00 2250 0.17 0.17
TSS 1.31 50 0.026247 0.026247
Kekeruhan 32.55 5 6.51 5.068
Kimia
pH 7.10 6 s/d 9 0.27 0.27
DO 5.84 6 0.97 0.178571
BOD 1.64 2 0.82 0.82
COD 7.79 10 0.78 0.78
PO4 (Fosfat) 0.21 0.2 1.03 1.054
Biologi Faecal Coliform 61.33 50 1.23 1.444
Total Coliform 15000.00 500 30.00 8.386
(Ci/Lix)R 1.82
(Ci/Lix)M 8.39
PLj 6.06754 Sumber : Hasil Perhitungan, 2015
Gambar 15 menunjukkan bahwa kenaikan nilai indeks pencemaran
dikarenakan parameter-parameter pencemaran seperti TSS, Kekeruhan, BOD,
COD, PO4, Total Coliform dan Faecal Coliform mengalami kenaikan dan nilai
DO mengalami penurunan, dimana nilai DO menurun menandakan kandungan
oksigen di air yang semakin menipis.
58
Sumber : Hasil Perhitungan, 2015
Gambar 15. Nilai Indeks Pencemaran Berdasarkan Lokasi
Sumber Pencemar Di Tukad Pakerisan
Hasil survei yang dilakukan terhadap masyarakat dan data hasil uji kualitas
air maka penyebab pencemaran yang terjadi di Tukad Pakerisan ada beberapa hal
antara lain.
1. Sumber Pencemar di Wilayah Hulu
Sumber pencemaran di lokasi ini adalah kegiatan pertanian, peternakan babi
skala rumah tangga, industri jasa laundry skala kecil dan perilaku masyarakat
yang membuang sampah sembarangan, terutama di sekitar Pura Tampak Siring
(Gambar 21). Selain itu, banyak masyarakat yang masih mandi dan mencuci
pakaian di sungai. Limbah cair yang dihasilkan yaitu limbah sabun yang
mengandung gugus sulfonat. Limbah cair yang dihasilkan industri laundry skala
kecil tidak diolah terlebih dahulu, namun langsung dibuang ke saluran air di
sekitar lokasi.
2. Sumber Pencemar di Wilayah Tengah
Sumber pencemaran di wilayah tengah adalah didominasi oleh kegiatan
pertanian dan perkembangan industri skala kecil, misalnya industri jasa laundry,
industri batako, bengkel service motor,industri pencucian kendaraan bermotor
skala kecil, dan villa atau home stay. Jenis industri yang ada di bagian tengah
dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Jenis Industri dan Usaha Di Desa Pejeng Kelod (Bagian Tengah)
Jenis Industri Jumlah
Kerajinan Kayu Ukir 10 unit
Jasa Laundry skala kecil 5 unit
0,68
2,51
6,06
0,00
2,00
4,00
6,00
8,00
Hulu Tengah HilirInd
eks
Pen
cem
aran
Lokasi
Indeks Pencemaran
59
Cuci Sepeda Motor 3 unit
Villa/home stay 2 unit
Industri Batako 3 unit Sumber : Hasil Survei, 2015
Industri laundry skala kecil dan industri pencucian kendaraan bermotor skala
kecil membuang limbah sabun tanpa mengalami pengolahan terlebih dahulu.
Limbah cair yang dihasilkan dibuang ke saluran drainase di sekitar lokasi.
Wilayah tengah meliputi daerah yang padat dengan pemukiman penduduk
sehingga menerima limbah yang cukup besar. Limbah cair yang dihasilkan dari
rumah tangga mengandung susunan senyawa organik, baik alami maupun sintetis.
Untuk industri kerajinan kayu ukir, masyarakat tidak membuang limbah hasil
sisa ukir namun digunakan untuk memasak, misalnya untuk memasak ayam bakar
dan ikan bakar. Untuk industri batako, air limbah sisa pengolahan yang
mengandung semen dapat mengalir ke sungai dan mencemari air.
3. Sumber Pencemar di Wilayah Hilir
Sumber pencemaran di wilayah hilir adalah didominasi oleh kegiatan
pertanian dan perkembangan industri. Jenis industri di bagian hilir dapat dilihat
pada Tabel 9.
Tabel 9. Jenis Industri Di Desa Medahan (Wilayah Hilir)
Jenis Industri Jumlah
Kerajinan Batu 7 unit
Laundry 10 unit
Cuci Sepeda Motor 3 unit
Batako 5 unit
Hotel 6 unit
Pabrik Semen 2 unit
Kafe 6 unit
Pabrik Beton 1 unit Sumber : Hasil Survei, 2015
Di wilayah hilir, banyak terdapat industri industri skala kecil seperti industri
jasa laundry dan usaha pencucian kendaraan bermotor. Limbah sabun yang
dihasilkan usaha laundry skala kecil dan usaha pencucian kendaraan bermotor
memiliki kecenderungan untuk mencemari air Tukad Pakerisan dikarenakan
limbahnya tidak mengalami pengolahan terlebih dahulu dan limbahnya dibuang
ke saluran drainase di sekitar lokasi. Disamping itu, ada tempat pemandian umum
yang sehari-hari digunakan oleh masyarakat untuk mandi dan mencuci pakaian
dan kendaraan bermotor.
Usaha kafe yang terdapat di Desa Medahan memiliki potensi untuk
mencemari Tukad Pakerisan walaupun dari hasil wawancara dikatakan bahwa
sudah memiliki septik tank namun apabila tidak terawat akan rentan terhadap
60
kebocoran. Hal yang sama juga terjadi pada usaha hotel, pabrik beton, dan pabrik
semen dimana dikatakan bahwa tiap-tiap industri tersebut telah memiliki
pengolahan limbah tersendiri sebelum dibuang ke sungai namun apabila tidak ada
pengawasan yang lebih lanjut maka kualitas hasil olahan limbah yang dibuang ke
sungai bisa jadi belum memenuhi syarat kelayakan.
Limbah rumah tangga juga berpotensi untuk mencemari sungai. Wilayah hilir
juga meliputi pemukiman penduduk yang cukup padat sehingga berpotensi
sebagai sumber pencemar.
Meningkatnya nilai BOD, faecal coliform, dan total coliform sebagai bukti
bahwa di bagian tengah dan hilir telah tercemari oleh bakteri yang diakibatkan
oleh aktifitas manusia di sekitarnya.
Pupuk kimia (berdasarkan hasil survey) masih banyak digunakan oleh
masyarakat dalam bidang pertanian dibandingkan dengan pupuk organik. Selain
harganya lebih murah juga dikarenakan penggunaannya yang lebih mudah. Sisa
dari penggunaan pupuk kimia akan mengendap di tanah yang mana apabila terjadi
hujan maka tanah yang terlarut bersama pupuk kimia tersebut hanyut dan jatuh ke
Tukad Pakerisan yang akan mencemari air. Semakin meningkatnya nilai PO4 atau
fosfat merupakan bukti bahwa terdapat sisa-sisa pupuk kimia yang ikut larut di
Tukad Pakerisan.
Penggunaan Pestisida (berdasarkan hasil survey) dikatakan bahwa banyak
petani yang menggunakan pestisida untuk tanaman mereka. Sisa-sisa pestisida
akan melekat pada tanaman dan di atas tanah dimana apabila terjadi hujan sisa-
sisa pestisida tersebut akan hanyut dan apabila sampai di badan sungai akan
mencemari sungai. Hal ini terbukti dari meningkatnya nilai COD yang memiliki
arti bahwa terdapat kandungan kimia yang terlarut di dalam air di Tukad
Pakerisan.
Gambar 16. Sampah Di Sekitar Pura Tampak Siring
Gambar 17. Sampah Di Sekitar Jembatan Tukad Pakeris
61
Penutup
Masyarakat memiliki persepsi yang positif dan netral terhadap kualitas air di
Tukad Pakerisan sehingga dapat dinyatakan bahwa kondisi air di Tukad Pakerisan
sampai saat ini masih cukup baik. Sampel air yang diambil di hulu sungai yang
memenuhi ketentuan air kelas 1 berdasarkan Pergub Bali No. 8 tahun 2007
dimana semua parameter pengujian memenuhi syarat batas. Kualitas mutu air
sungai makin ke hilir makin memburuk yang terlihat dari makin besarnya nilai
indeks pencemaran semakin ke hilir. Penyebab pencemaran di Tukad Pakerisan
antara lain industri dan usaha, pengunaan pupuk kimia dan pestisida, dan
pembuangan sampah di sungai.
62
BAB III
DEBIT AIR DAN PENGGUNAAN LAHAN DI DAS TUKAD
PAKERISAN
Oleh: Dyah, MSi dan Dr. Ir. Nyoman Utari Vipriyanti, MSi
Pendahuluan
Air memiliki peran penting bagi kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan.
Semua makhluk hidup memerlukan air. Salah satu sumber air yang dapat
dimanfaatkan oleh makhluk hidup adalah sungai. Air sungai akan tersedia secara
berkelanjutan apabila daerah aliran sungai tersebut terjaga dan terpelihara.
Demikian pula dengan DAS Tukad Pakerisan. Manfaat air sungai Tukad
Pakerisan tidak hanya untuk kegiatan sehari hari masyarakat namun juga
bermanfaat sebagai air suci dalam acara keagamaan dan pertanian. Sumber air
Tukad Pakerisan adalah sumber air tanah dan hujan. Tulisan ini akan membahas
mengenai debit air Tukad Pakerisan dan kaitannya dengan Penggunaan lahan di
DAS Tukad Pakerisan
1. Analisis Hidrologi a. Uji Konsistensi Data Hujan
Uji konsistensi data hujan dilakukan untuk melihat perubahan data hujan
apakah terjadi perubahan yang terlalu berlebihan atau tidak. RAPS digunakan
sebagai alat analisis untuk uji konsistensi dalam penelitian ini. Uji konsistensi
dilakukan pada ketiga buah stasiun hujan yaitu stasiun hujan Gianyar, Pengotan,
dan Tampak Siring. Hasil uji konsistensi dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Uji Konsistensi RAPS
Stasiun Hujan Hasil Uji Konsistensi
Pengotan Konsisten
Gianyar Konsisten
Tampak Siring Konsisten Sumber : hasil perhitungan, 2015
Hasil analisis uji konsistensi dengan RAPS di tiga stasiun hujan di DAS
pakerisan menunjukkan bahwa data hujan yang dimiliki dari tahun 1998 sampai
2013 konsisten sehingga tidak diperlukan untuk melakukan perbaikan pada data
hujan. Data konsisten dalam hal ini berarti data hujan dari stasiun hujan Tampak
Siring, Pengotan, dan Gianyar dapat dikatakan dalam kondisi yang baik.
b. Hujan Kawasan
Untuk melakukan analisis alih ragam hujan menjadi aliran maka perlu
dilakukan analisis hujan kawasan untuk melakukan konversi data hujan yang
diperoleh dari stasiun hujan menjadi hujan suatu kawasan atau melakukan
konversi hujan titik menjadi hujan area. Hasil analisis dilakukan dengan
63
menggunakan tiga buah stasiun hujan yaitu Pengotan, Tampak Siring, dan
Gianyar dan menggunakan metode poligon thiessen untuk alat analisis hujan
kawasan. Nilai koefisien thiessen yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Koefisien Thiessen DAS Tukad Pakerisan
Sta. Hujan
Luas
(km2)
Koef.
Thiessen
Gianyar 23.70 0.35
Tampak Siring 30.61 0.45
Pengotan 14.22 0.21
Total 68.54 1 Sumber : hasil perhitungan, 2015
Tabel 2 secara berturut turut menunjukkan bahwa stasiun hujan Tampak
Siring memiliki luasan pengaruh hujan sebesar 30.61 km2 dengan koefisien
thiessen 0.45, stasiun hujan Gianyar dengan koefisien thiessen sebesar 0.35. Hal
ini disebabkan oleh posisi DAS Tukad Pakerisan yang sebagian besar berada di
daerah Kabupaten Gianyar terutama di Kecamatan Tampak Siring dan Kecamatan
Gianyar. Hasil perhitungan hujan kawasan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 32. Hujan Kawasan
No. Tahun
Hujan Kawasan
(mm)
1 1998 148.57
2 1999 97.64
3 2000 110.94
4 2001 117.39
5 2002 94.28
6 2003 125.63
7 2004 106.92
8 2005 118.81
9 2006 89.05
10 2007 113.82
11 2008 60.16
12 2009 74.12
13 2010 73.38
14 2011 127.68
15 2012 154.57
16 2013 87.70 Sumber : hasil perhitungan, 2015
Tabel 3 menunjukkan bahwa pada DAS Tukad Pakerisan curah hujan
tertinggi yang pernah terjadi selama 16 tahun terakhir sejak tahun 1998 hingga
2013 adalah 154.57 mm Tahun 2012 dan curah hujan terendah yaitu 60.16 mm
pada tahun 2008.
64
c. Analisis Frekuensi
Frekuensi hujan adalah besarnya kemungkinan suatu besaran hujan disamai
atau dilampaui. Periode ulang (return period) diartikan sebagai waktu hipotetik
dimana debit atau hujan dengan besaran tertentu dicapai atau bahkan dilampaui.
Misalnya, hujan dengan periode ulang 25 tahun berarti dalam 25 tahun
kemungkinan hujan dengan besaran yang sama atau dilampaui akan terjadi sekali.
Atau dalam kata lain, ada kemungkinan dalam jangka waktu 1000 tahun akan
terjadi 40 kali kejadian hujan 25 tahunan, dan bukan berarti akan terjadi setiap 25
tahun secara teratur. Pada penelitian ini dilakukan analisis frekuensi untuk kala
ulang 5, 10, 20, dan 50 tahun. Statistik dasar dari data hujan DAS Tukad
Pakerisan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Statistik Dasar Data Hujan DAS Tukad Pakerisan
m m/(N+1) Tahun Hujan
(mm)
Ln [Hujan
(mm)]
1 0.059 2012 154.568 5.041
2 0.118 1998 148.567 5.001
3 0.176 2011 127.681 4.850
4 0.235 2003 125.629 4.833
5 0.294 2005 118.813 4.778
6 0.353 2001 117.393 4.766
7 0.412 2007 113.820 4.735
8 0.471 2000 110.935 4.709
9 0.529 2004 106.917 4.672
10 0.588 1999 97.637 4.581
11 0.647 2002 94.280 4.546
12 0.706 2006 89.048 4.489
13 0.765 2013 87.702 4.474
14 0.824 2009 74.115 4.306
15 0.882 2010 73.385 4.296
16 0.941 2008 60.164 4.097
Jumlah Data = 16 16
Rerata = 106.291 4.636
Simpangan Baku = 26.351 0.259
Koef.Skewness = 0.116 -0.441
Kurtosis = -0.398 -0.190
Sumber : hasil perhitungan,2015
Tabel 4 menunjukkan bahwa secara statistik deskriptif dari data hujan
yang digunakan dalam perhitungan diperoleh jumlah data hujan yang digunakan
adalah 16 buah dengan rata-rata hujan maksimum tahunan sebesar 106.291 mm
dengan simpangan baku sebesar 26.351 mm.
65
Sumber : hasil perhitungan, 2015
Gambar 1. Grafik Statistik Dasar Data Hujan DAS Tukad Pakerisan
Gambar 1 menunjukkan bahwa hujan dengan tinggi 160 mm memiliki
peluang terjadi hanya kurang lebih 10% dibandingkan dengan hujan dengan tinggi
60 mm memiliki peluang terjadi hampir 100% atau dengan kata lain hujan dengan
tinggi 60 mm pada waktu musim hujan seringkali muncul.
2. Uji Distribusi Frekwensi
a. Uji Smirnov Kolmogorov
Hasil uji keempat jenis distribusi dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil Uji Smirnov Kolmogorov
Sumber : hasil perhitungan, 2015
Hasil uji smirnov Kolmogorov menunjukkan semua jenis distribusi
diterima atau dapat digunakan dalam analisis frekuensi karena memiliki nilai lebih
kecil dari delta kritik yaitu 0.330 namun dipilih distribusi normal. Hal ini
dikarenakan nilai Delta Max yang diperoleh oleh jenis distribusi normal memiliki
nilai paling kecil yaitu 0.065.
b. Uji Chi Square
Hasil uji Chi Kuadrat berdasarkan distribusi normal dapat dilihat di Tabel 6.
-50
0
50
100
150
200
0% 20% 40% 60% 80% 100%
Huja
n (
mm
) m/(N+1)
P(x>=X) Delta P P(x>=X) Delta P P(x>=X) Delta P P(x>=X) Delta P
154.568 1 0.059 0.033 0.025 0.059 0.000 0.052 0.007 0.044 0.015
148.567 2 0.118 0.054 0.063 0.080 0.038 0.069 0.048 0.065 0.052
127.681 3 0.176 0.208 0.032 0.205 0.028 0.180 0.003 0.210 0.034
125.629 4 0.235 0.232 0.004 0.223 0.012 0.197 0.039 0.231 0.004
118.813 5 0.294 0.317 0.023 0.292 0.002 0.263 0.031 0.310 0.016
117.393 6 0.353 0.337 0.016 0.308 0.045 0.279 0.074 0.328 0.025
113.820 7 0.412 0.388 0.024 0.352 0.060 0.322 0.089 0.375 0.037
110.935 8 0.471 0.430 0.041 0.389 0.082 0.361 0.110 0.415 0.056
106.917 9 0.529 0.491 0.039 0.444 0.085 0.420 0.109 0.473 0.056
97.637 10 0.588 0.629 0.040 0.583 0.005 0.575 0.013 0.610 0.022
94.280 11 0.647 0.676 0.029 0.635 0.012 0.635 0.012 0.659 0.012
89.048 12 0.706 0.744 0.038 0.714 0.008 0.727 0.021 0.731 0.025
87.702 13 0.765 0.760 0.005 0.734 0.031 0.750 0.014 0.749 0.016
74.115 14 0.824 0.889 0.065 0.898 0.075 0.932 0.108 0.893 0.070
73.385 15 0.882 0.894 0.012 0.905 0.023 0.938 0.056 0.899 0.017
60.164 16 0.941 0.960 0.019 0.981 0.040 0.995 0.054 0.971 0.030
Delta Max = 0.065 Delta Max = 0.085 Delta Max = 0.110 Delta Max = 0.070
0.330 diterima diterima diterima diterima
Hitungan kelayakan
Delta Kritik =
4. Log Pearson III1. Normal 2. Log Normal 3. GumbelHujan (mm) m m/(N+1)
66
Tabel 6. Uji Chi Kuadrat Untuk Distribusi Normal
1. DISTRIBUSI NORMAL
Kelas P(x>=X) Ef Hujan (mm) Of Ef-Of
(Ef-
Of)2/Ef
1 0.200 000 <P<= 000 3.200 128.469 2 1.200 0.450
2 0.400 000 <P<= 000 3.200 112.967 5 -1.800 1.013
3 0.600 000 <P<= 001 3.200 99.615 2 1.200 0.450
4 0.800 001 <P<= 001 3.200 84.113 4 -0.800 0.200
5 1.000 001 <P<= 001 3.200 60.164 3 0.200 0.013
Jumlah Ef = 16.000 Jumlah Of = 16 Chi2 = 2.125
Derajad Kebebasan = 2.000 Chi Kritik = 5.991 diterima
Sumber : hasil perhitungan, 2015
Tabel 6 menunjukkan nilai Chi kuadrat sebesar 2.125 dimana nilai tersebut
lebih kecil dibandingkan dengan Chi kritik sebesar 5.991 sehingga hipotesa awal
mengenai jenis distribusi dapat diterima. Hasil uji Chi Kuadrat berdasarkan
distribusi log normal dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Uji Chi Kuadrat Untuk Distribusi Log Normal
2. DISTRIBUSI LOG NORMAL
Kelas P(x>=X) Ef Hujan (mm) Of Ef-Of
(Ef-
Of)2/Ef
1 0.200 000 <P<= 000 3.200 128.258 2 1.200 0.450
2 0.400 000 <P<= 000 3.200 110.109 6 -2.800 2.450
3 0.600 000 <P<= 001 3.200 96.550 2 1.200 0.450
4 0.800 001 <P<= 001 3.200 82.888 3 0.200 0.013
5 1.000 001 <P<= 001 3.200 60.164 3 0.200 0.013
Jumlah Ef = 16.000 Jumlah Of = 16 Chi2 = 3.375
Derajad Kebebasan = 2.000 Chi Kritik = 5.991 diterima
Sumber : hasil perhitungan, 2015
Tabel 7 menunjukkan nilai Chi kuadrat sebesar 3.375 dimana nilai tersebut
lebih kecil dibandingkan dengan Chi kritik sebesar 5.991 sehingga hipotesa awal
mengenai jenis distribusi dapat diterima. Hasil uji Chi Kuadrat berdasarkan
distribusi gumbel dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 menunjukkan nilai Chi kuadrat sebesar 0.875 dimana nilai tersebut
lebih kecil dibandingkan dengan Chi kritik sebesar 5.991 sehingga hipotesa awal
mengenai jenis distribusi dapat diterima. Hasil uji Chi Kuadrat berdasarkan
distribusi log pearsson III dapat dilihat pada Tabel 9.
67
Tabel 8. Uji Chi Kuadrat Untuk Distribusi Gumbel
3. DISTRIBUSI GUMBEL
Kelas P(x>=X) Ef Hujan (mm) Of Ef-Of
(Ef-
Of)2/Ef
1 0.200 000 <P<= 000 3.200 125.250 4 -0.800 0.200
2 0.400 000 <P<= 000 3.200 108.233 4 -0.800 0.200
3 0.600 000 <P<= 001 3.200 96.228 2 1.200 0.450
4 0.800 001 <P<= 001 3.200 84.654 3 0.200 0.013
5 1.000 001 <P<= 001 3.200 60.164 3 0.200 0.013
Jumlah Ef = 16.000 Jumlah Of = 16 Chi2 = 0.875
Derajad Kebebasan = 2.000 Chi Kritik = 5.991 diterima
Sumber : hasil perhitungan, 2015
Tabel 9 menunjukkan nilai Chi kuadrat sebesar 2.125 dimana nilai tersebut
lebih kecil dibandingkan dengan Chi kritik sebesar 5.991 sehingga hipotesa awal
mengenai jenis distribusi dapat diterima. Tabel 10 sampai Tabel 13 diperoleh hasil
uji Chi Kuadrat untuk jenis distribusi frekuensi yang sesuai adalah Gumbel. Hal
ini terjadi dikarenakan nilai chi kuadrat pada jenis distribusi gumbel paling kecil
yaitu sebesar 0.875
Tabel 9. Uji Chi Kuadrat Untuk Distribusi Log Pearsson III
4. DISTRIBUSI LOG PEARSON III
Kelas P(x>=X) Ef Hujan (mm) Of Ef-Of
(Ef-
Of)2/Ef
1 0.200 000 <P<= 000 3.200 128.702 2 1.200 0.450
2 0.400 000 <P<= 000 3.200 112.000 5 -1.800 1.013
3 0.600 000 <P<= 001 3.200 98.346 2 1.200 0.450
4 0.800 001 <P<= 001 3.200 83.520 4 -0.800 0.200
5 1.000 001 <P<= 001 3.200 60.164 3 0.200 0.013
Jumlah Ef = 16.000 Jumlah Of = 16 Chi2 = 2.125
Derajad Kebebasan = 1.000 Chi Kritik = 3.841 diterima
Sumber : hasil perhitungan, 2015
Melihat perbedaan dari kedua jenis uji maka dipilih hasil uji dari Chi
Kuadrat dimana uji ini melakukan uji pada semua kelas data dari terendah sampai
tertinggi sedangkan pada uji Smirnov Kolmogorov hanya menguji simpangan
terbesar data dari sekian banyak seri data hujan. Dengan demikian distribusi
gumbel digunakan untuk menghitung hujan kala ulang 5, 10, 20, dan 50 tahun.
Hasil analisis frekuensi untuk memperoleh hujan kala ulang dapat dilihat pada
Tabel 10.
68
Tabel 10 Hasil Analisis Frekuensi Data Hujan DAS Tukad Pakerisan
P(x>=X) T (tahun) KT XT
20.00% 5.000 0.719 125.250
10.00% 10.000 1.305 140.668
5.00% 20.000 1.866 155.458
2.00% 50.000 2.592 174.602
Sumber : hasil perhitungan, 2015
Tabel 10 menunjukkan bahwa makin besar kala ulang maka makin besar
pula debit rencana yang dihitung. Pada debit kala ulang 5 tahun (Q5) diperoleh
debit sebesar 125.25 m3/det dan pada debit kala ulang 50 tahun (Q50) diperoleh
debit 174.602.
3. Analisis Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu
Hidrograf satuan sintetik nakayasu digunakan dalam penelitian di DAS Tukad
Pakerisan dikarenakan parameter yang relatif sederhana sehingga mudah untuk
diaplikasikan dan HSS Nakayasu cukup baik digunakan pada DAS-DAS di Bali.
Grafik HSS Nakayasu untuk DAS Tukad Pakerisan dapat dilihat pada gambar 12.
Sumber : hasil perhitungan, 2015
Gambar 2. Grafik HSS Nakayasu DAS Tukad Pakerisan
Gambar 2 dapat dilihat bahwa pada hidrograf satuan sintetik Nakayasu di
DAS Tukad Pakerisan diperoleh bahwa waktu puncak (peak time) adalah 4 jam
dan waktu turun (recession) adalah lebih dari 10 jam dengan debit puncak sebesar
3.3 m3/det.
4. Analisis Koefisien Limpasan (C)
Koefisien limpasan dalam penelitian ini dianalisis pada tahun 2002, 2006,
2008 dan 2012 untuk mengetahui perbedaan besaran koefisien limpasan pada
empat tahun tersebut yang kemudian akan digunakan untuk menghitung banjir
rencana. Hasil perhitungankoefisien limpasan dapat dilihat pada Gambar 3.
0,00
2,00
4,00
0 2 4 6 8 10 12 14
Debit (
m3/d
et)
Waktu (Jam)
Gambar Ordinat HSS NAKAYASU
69
Sumber : hasil perhitungan, 2015
Gambar 3. Nilai C Pada DAS Tukad Pakerisan
Gambar 3 terlihat bahwa nilai koefisien limapasan (C) terjadi kenaikan
dari tahun 2002 sampai tahun 2012. Perubahan nilai C yang meningkat dari tahun
2002 sampai tahun 2012 akan berpengaruh terhadap besaran debit rencana yang
akan menjadi semakin besar. Hal ini diakibatkan berkurangnya daerah resapan
dimana luas sawah, ladang dan tanaman berkurang menyebabkan air hujan yang
jatuh semakin sedikit yang terinfiltrasi ke dalam tanah dan semakin banyak yang
menjadi limpasan langsung. Tabel 11 menunjukkan hasil perhitungan nilai C
yang lebih detail.
Tabel 11. Hasil Perhitungan Nilai Koefisien Limpasan (C)
Tahun Nilai C
2002 0.449
2006 0.451
2008 0.455
2012 0.456 Sumber : hasil perhitungan, 2015
Tabel 15 terlihat bahwa nilai C pada tahun 2002 sebesar 0.449 lalu
meningkat dari tahun 2006 sampai tahun 2012 menjadi 0.456 atau sebesar 0.007.
Peningkatan nilai C sebesar 0,007 tidak terlalu besar. Hal ini dikarenakan
perubahan tata guna lahan dari area terbuka menjadi pemukiman tidak terlalu
signifikan apabila dibandingkan dengan luas keseluruhan DAS Tukad Pakerisan
yaitu 68.54 km2.
Hujan Jam Jaman
Perhitungan hujan jam-jaman diperlukan karena data hujan yang diperoleh
adalah data hujan harian dimana untuk perhitungan debit banjir rencana
dibutuhkan data hujan setiap jam. Hujan jam-jaman di DAS Tukad Pakerisan
diasumsikan rata-rata terjadi selama 6 jam. Hasil perhitungan hujan jam-jaman
dapat dilihat pada Gambar 4.
0,4450,4500,4550,460
2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012 2014N
ilai
C
Tahun
Nilai C
70
Sumber : hasil perhitungan,2015
Gambar 4. Grafik Distribusi Hujan Jam-jaman DAS Tukad Pakerisan
Gambar 4 dapat dilihat bahwa hujan jam-jaman yang terjadi di DAS
Tukad Pakerisan selama enam jam berdistribusi seperti itu, dimana pada jam 1
hujan yang terjadi memiliki porsi 55% dari hujan rancangan lalu pada jam kedua
dan seterusnya terus menurun. Model distribusi ini digunakan dalam penelitian
dikarenakan pola distribusi hujan yang terjadi di Bali sebagian besar mengikuti
pola ini dimana hujan yang terjadi akan deras lalu perlahan-lahan mulai menurun
dan berhenti.
Hujan Efektif
Hasil penelitian terhadap hujan efektif dianalisis berdasarkan nilai koefisien
limpasan (C). Dengan adanya dua buah koefisien limpasan yaitu tahun 2002, 2006,
2008 dan 2012 maka hal yang sama juga berlaku untuk hujan efektif yaitu
terdapat dua buah hujan efektif yaitu tahun 2002, 2006, 2008 dan 2012. Sejak Tahun 2002 hingga Tahun 2012 nilai hujan efektif semakin meningkat. Hal ini
dikarenakan nilai koefisien limpasan (C) yang semakin meningkat sehingga hujan
yang menjadi limpasan langsung akan semakin besar.
Debit Rencana
Debit banjir rencana dihitung dengan melakukan perkalian antara distribusi
hujan efektif jam-jaman dengan hidrograf satuan sintetik Nakayasu. Hasil analisis
dapat dilihat pada Gambar 5.
Sumber : hasil perhitungan, 2015
Gambar 5. Perubahan Debit Rencana Di DAS Tukad Pakerisan
150
250
350
2000 2005 2010 2015
Deb
it (
m3
/det
)
Tahun
Debit Rencana DAS Tukad Pakerisan
Q5
Q10
Q20
Q50
71
Gambar 5 menunjukkan bahwa makin besar kala ulang maka makin besar
pula debit Tukad Pakerisan dan seiring berjalannya tahun dari 2002 ke tahun 2012
debit banjir rencana bertambah besar. Hal ini diakibatkan semakin tingginya nilai
koefisien limpasan (C) dimana perubahan tata guna lahan memiliki kontribusi
penting. Semakin sedikitnya daerah resapan menyebabkan air hujan yang jatuh
semakin sedikit yang mengalami infiltrasi dan semakin banyak yang menjadi
limpasan langsung dan jatuh ke badan Tukad Pakerisan.
Tabel 12. Perubahan Debit Rencana DAS Tukad Pakerisan
Kala
Ulang
Debit (m3/det) Selisih
(m3/det) 2002 2006 2008 2012
5 173.82 174.5943 176.1428 176.53 2.71
10 195.218 196.0871 197.8263 198.261 3.043
20 215.743 216.7036 218.6256 219.106 3.363
50 242.31 243.3895 245.5482 246.088 3.778 Sumber : hasil perhitungan, 2015
Tabel 12 menunjukkan bahwa dari tahun 2002 sampai tahun 2012 debit
banjir rencana semakin bertambah dimana untuk kala ulang 5 tahun terjadi
peningkatan debit sebesar 2.71 m3/det dan yang tertinggi adalah pada kala ulang
50 tahun dimana terjadi peningkatan debit sebesar 3.778 m3/det. Hal ini akan
memberikan pengaruh yang signifikan dalam perencanaan bangunan air yang
memerlukan data debit rencana sebagai dasar perencanaan, dimana dengan adanya
alih fungsi lahan yang terjadi apabila diabaikan terus menerus maka resiko
bangunan air yang sudah dibangun dengan data dasar debit rencana pada tahun
yang lama akan semakin meningkat dikarenakan kondisi DAS Tukad Pakerisan
sudah tidak seperti dulu lagi.
2. Perubahan Tata Guna Lahan
Penggunaan lahan di DAS Tukad Pakerisan selama rentang waktu 2002,
2006, 2008, dan 2012 dapat dilihat menggunakan kombinasi data dari BPS, Peta
Bakosurtanal, dan Peta citra satelit google earth. Penggunaan berbagai jenis data
tersebut untuk melakukan konfirmasi kondisi tata guna lahan yang sebenarnya
ada di lapangan.
Penggunaan berbagai macam sumber data tersebut diperoleh perubahan
tata guna lahan seperti ditunjukkan Gambar 6.
72
Sumber : hasil perhitungan, 2015
Gambar 6. Perbandingan Penggunaan Masing-masing Jenis Lahan Di DAS Tukad
Pakerisan
Gambar 6 menunjukkan bahwa sejak tahun 2002 hingga tahun 2012 luas
lahan yang dipergunakan untuk sawah, ladang, dan tanaman mengalami
penurunan namun di sisi lain luas lahan yang digunakan untuk pemukiman selalu
meningkat. Pertambahan lahan untuk pemukiman terjadi dengan merubah lahan
produktif yaitu sawah dan ladang menjadi rumah. Pertambahan lahan untuk
pemukiman ini terjadi sebagian besar di desa Buruan, Abian Base, Bitera, dan
Serongga. Pertambahan penduduk ini disebabkan desa-desa tersebut terletak di
Pusat Kota Gianyar sehingga terjadi peningkatan kebutuhan pemukiman yang
cukup tinggi.
Di bagian utara DAS Tukad Pakerisan sebagian besar terdiri dari
kebun/ladang dan tanaman dimana tidak terjadi penambahan pemukiman yang
signifikan seperti di selatan dari DAS Tukad Pakerisan. Hal ini diakibatkan begian
utara dari DAS Tukad Pakerisan merupakan kawasan pedesaan dimana mayoritas
masyarakat pada daerah tersebut bekerja sebagai petani di ladang. Bagian utara
DAS Tukad Pakerisan merupakan kawasan yang berbukit dimana tidak
dimungkinkan untuk persawahan dikarenakan sumber air tidak ada sehingga
ladang, kebun, dan tanaman menjadi pilihan masyarakat untuk bercocok tanam.
Gambar 7 dan Gambar 8 menunjukkan peta penggunaan lahan di tahun 2002 dan
tahun 2012.
0,00
10,00
20,00
30,00
2000 2005 2010 2015LU
AS
(KM
2)
TAHUN
PERBANDINGAN PENGGUNAAN LAHAN
Sawah
Pemukiman
Tanaman
ladang
73
Gambar 7. Peta Tata Guna Lahan Tahun 2012
Gambar 8. Peta Tata Guna Lahan Tahun 2002
Untuk melihat lebih detail bagaimana perubahan penggunaan lahan yang
ada di DAS Tukad Pakerisan dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 dapat dilihat
bahwa luas lahan yang digunakan untuk persawahan yang pada tahun 2002 seluas
24.01 km2 terus menurun menjadi 23.21 km
2 atau menurun sebesar 0.8 km
2.
Demikian juga untuk luas lahan yang digunakan untuk tanaman dan ladang turun
dari tahun 2002 ke tahun 2012 secara berurutan yaitu 0.1 dan 0,7 km2. Penurunan
yang paling besar terjadi daerah sawah lalu kemudian disusul oleh ladang.
Perubahan Tata Guna Lahan
74
Tabel 13. Perubahan Penggunaan Lahan Di DAS Tukad Pakerisan
No.
Jenis
Penggunaan
Lahan
Tahun Selisih
2002 2006 2008 2012
Luas
(km2)
Luas
(km2)
Luas
(km2)
Luas
(km2) Luas (km2)
1 Sawah 24.01 23.81 23.34 23.21 -0.80
2 Pemukiman 11.47 11.79 12.81 13.07 1.61
3 Tanaman 24.51 24.46 24.45 24.41 -0.10
4 Ladang 8.55 8.48 7.94 7.85 -0.70
Sumber : hasil perhitungan, 2015
Di sisi lain pada daerah yang digunakan untuk pemukiman terjadi
peningkatan luas lahan dari tahun 2002 sebesar 11.47 km2 menjadi 13.07 km
2
pada tahun 2012 dimana terjadi peningkatan sebesar 1.61 km2. Apabila dilihat
maka dapat dikatakan peningkatan daerah yang digunakan untuk pemukiman
merupakan alih fungsi dari sawah, tanaman, dan ladang.
5. Pengaruh Perubahan Tata Guna Lahan Terhadap Debit Banjir
Perubahan tata guna lahan yang terjadi di DAS Tukad Pakerisan
mempengaruhi nilai koefisien limpasan atau dengan kata lain semakin banyak
pemukiman yang menggusur areal terbuka seperti ladang dan sawah maka makin
sedikit air hujan yang terserap ke tanah sehingga potensi meningkatnya banjir
semakin besar. Untuk mengetahui perubaha tata guna lahan terhadap debit banjir,
dalam penelitian ini digunakan analisa korelasi dan analisis regresi sederhana..
Variabel dependen (Y) adalah debit banjir dan variabel independent terdiri dari
empat jenis yaitu sawah (X1), pemukiman (X2), tanaman (X3), ladang (X4).
Debit banjir yang digunakan adalah debit banjir rata-rata tahunan yang diperoleh
dari AWLR atau stasiun pengukur debit yang diperoleh dari Balai Wilayah Sungai
Bali Penida. Tabel 14 menunjukkan hasil analisis korelasi.
Tabel 14. Data Untuk Analisis Korelasi Parsial
Tahu
n
Debit
(m3/de
t)
X1
(Sawa
h)
(km2)
X2
(Pemukiman)(k
m2)
X3
(Tanaman)(k
m2)
X4
(Ladang)(km2)
2002 0.49 24.014 11.468 24.510 8.548
2006 0.51 23.814 11.790 24.460 8.480
2008 0.23 23.340 12.810 24.450 7.940
2012 0.88 23.214 13.075 24.410 7.848 Sumber : hasil perhitungan, 2015
75
1. Analisa Korelasi Parsial
Penelitian ini menggunakan analisa korelasi untuk mengetahui hubungan
antara perubahan debit banjir dan perubahan tata guna lahan seperti sawah,
pemukiman, tanaman, dan ladang. Hasil analisis disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15. Hasil Analisa Korelasi Di DAS Tukad Pakerisan
Debit Sawah Pemukiman Tanaman Ladang
Debit 1.000 -0.256 0.259 -0.501 -0.223
Sawah -0.256 1.000 -0.999 0.907 0.990
Pemukiman 0.259 -0.999 1.000 -0.893 -0.995
Tanaman -0.501 0.907 -0.893 1.000 0.845
Ladang -0.223 0.990 -0.995 .0845 1.000
Sumber : hasil perhitungan, 2015
Tabel 15 menunjukkan bahwa koefisien korelasi sawah, tanaman, dan
ladang terhadap debit memiliki nilai negatif antara lain sawah -0.256, tanaman
-0.501, dan ladang -0.223 dimana hal ini memiliki arti semakin berkurang luas
lahan ketiga jenis lahan tersebut memiliki kontribusi negatif terhadap debit banjir
atau semakin berkurang luas lahan tersebut akan menaikkan nilai debit banjir.
Koefisien korelasi antara lahan yang digunakan untuk pemukiman dengan
debit banjir memiliki nilai 0,259 yang memiliki arti berkorelasi positif. Hal ini
menyatakan bahwa ada kecenderungan semakin bertambahnya pemukiman maka
debit di Tukad Pakerisan akan semakin besar. Apabila dilihat dari penafsiran
terhadap besarnya koefisien korelasi yang umum digunakan menurut Sugiyono
(1999) yaitu:
r = 0 -0,40 berarti korelasinya lemah
r = 0,40 - 0,60 berarti korelasinya sedang
r = 0,60 - 0,80 berarti korelasinya kuat
r = 0,80 - 1 berarti korelasinya kuat dan sempurna
Korelasi yang diperoleh oleh masing-masing parameter apabila dilihat
berdasarkan penafsiran kekuatan korelasi maka dapat dikatakan bahwa untuk
sawah memiliki korelasi yang lemah, tanaman memiliki korelasi yang sedang,
ladang memiliki korelasi yang lemah, dan pemukiman memiliki korelasi yang
lemah.
Berdasarkan koefisien korelasi yang diperoleh maka dapat dinyatakan
bahwa dengan semakin berkurangnya lahan sawah, tanaman, dan ladang
diakibatkan adanya alih fungsi lahan menjadi pemukiman akan meningkatkan
debit pada Tukad Pakerisan. Hal ini harus secara serius disikapi oleh pihak-pihak
terkait karena berkaitan erat dengan keberlangsungan Tukad Pakerisan serta
bangunan-bangunan air yang ada di dalamnya selain juga kelestarian DAS Tukad
Pakerisan sebagai warisan budaya dunia akan terganggu.
2. Analisa Regresi Linier Sederhana
Data yang digunakan adalah data debit yang diperoleh dari AWLR pada
tahun 2002, 2006, 2008, dan 2012 yang diperoleh dari Balai Wilayah Sungai Bali
Penida dan data lahan terbuka yang merupakan gabungan dari sawah, ladang, dan
76
tanaman. Tabel 16 menunjukkan data yang digunakan untuk analisis regresi
sederhana.
Tabel 16. Data Untuk Analisa Regresi Linier Sederhana
Tahun Debit
(m3/det)
Lahan
Terbuka
2002 0.49 57.072
2006 0.51 56.754
2008 0.23 55.730
2012 0.88 55.472 Sumber : hasil perhitungan, 2015
Hasil analisa regresi linier sederhana diperoleh bahwa nilai a = 5.489 dan
b = -0.088 sehingga dapat dirumuskan persamaan Y = 5.489-0.88 X dimana Y
adalah debit dan X adalah lahan terbuka. Persamaan diatas berarti dengan
meningkatnya luas lahan maka debit akan menurun.
3. Analisa Korelasi
Hubungan variabel-variabel yang akan dianalisis dibawah ini adalah debit
rata-rata tahunan dengan data luas lahan terbuka di DAS Tukad Pakerisan. Oleh
karena kedua variabel yang akan dihubungkan telah diketahui, yakni data luas
lahan terbuka sebagai X, dan debit rata-rata Tukad Pakerisan Y, dengan
menggunakan rumus korelasi:
rn XY X Y
n X X n Y Y
( ) ( )( )
( ) ( ) ( ) ( )2 2 2 2
Kriteria dari korelasi tersebut adalah :
r = 0 -0,40 berarti korelasinya lemah
r = 0,40 - 0,60 berarti korelasinya sedang
r = 0,60 - 0,80 berarti korelasinya kuat
r = 0,80 - 1 berarti korelasinya kuat dan sempurna
Berdasarkan perhitungan pada lampiran 16, diperoleh nilai koefisien
korelasi sebesar 0,256 ini berarti antara luas lahan terbuka dengan debit Tukad
Pakerisan terdapat hubungan lemah.
4. Analisa Determinasi
Seperti diketahui bahwa luas lahan terbuka mempunyai hubungan yang lemah
terhadap debit banjir Tukad Pakerisan. Hal ini ditunjukkan oleh hasil korelasinya
yaitu sebesar 0,256. Tetapi untuk mengetahui seberapa besar luas lahan
terbukadapat mempengaruhi debit Tukad Pakerisan, hal ini perlu dicari dengan
analisis determinasi yang merupakan kuadrat (pangkat dua) dari pada korelasi
dikalikan seratus persen. Dengan analisis determinasi ini akan diketahui seberapa
besar perubahan tata guna lahan mempengaruhi perubahan debit di Tukad
Pakerisan (yang dalam hal ini ditentukan dengan prosentase).Adapun rumus dari
pada determinasi adalah:
D = r2 x 100%
77
Dari rumus diatas akan dapat dicari besarnya pengaruh secara relatif
dariperubahan tata guna lahan terhadap debit banjir di Tukad Pakerisan, yaitu :
D = r2 x 100%
= 0,065 x 100%
= 6.5%
Perhitungan analisis determinasi menunjukkan hasil yaitu sebesar 6.5%.
Ini menunjukkan bahwa luas lahan terbuka mempunyai pengaruh sebesar 6.5%
dalam perubahan nilai besaran debit Tukad Pakerisan. Sedangkan sisanya sebesar
93.5% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain diluar luas lahan terbuka, yang dalam
penelitian ini tidak dibahas. Hal ini disebabkan karena peristiwa banjir merupakan
peristiwa alam yang memiliki kompleksitas sendiri. Banyak hal yang
mempengaruhi terjadinya banjir tidak hanya lahan terbuka namun hujan,
perubahan iklim, jenis tanah, kondisi masyarakat, dan yang lainnya dapat
berpengaruh terhadap terjadinya banjir.
5. Uji t
Analisis ini digunakan untuk menguji koefisien korelasi (r) tersebut diatas,
apakah dari hasil perhitungan nilai r sebesar 0,256 itu benar atau diperoleh secara
kebetulan, yang selanjutnya perlu diuji dengan t test. Rumus yang digunakan
adalah :
Sbi
bit
Untuk mendasari perhitungan r yang sebesar 0,256 tersebut digunakan tingkat
kesalahan 5%.
Untuk itu perlu dua kriteria uji, yaitu :
H0 Jika r = 0, Berarti korelasi tidak ada pengaruh antara perubahan lahan terbuka
dan debit.
Hi Jika r > 0, Berarti korelasi ada pengaruh antara perubahan lahan terbuka dan
debit.
Perhitungan : Derajat kebebasan = n - 2
= 4 – 2 = 2
Level of significant = 5% diperoleh t-hitung sebesar -0.374. Dilihat dari t-
tabel dengan level of significant 5% dan dengan degree of freedom (derajat
kebebasan) 10, maka t-tabel adalah sebesar 2.920.Untuk dapat membuktikan Ho
diterima atau ditolak maka dapat digunakan kriteria uji :
Terima Ho Jika t 2.920
Tolak Ho Jika t > 2.920
Dengan melihat hasil dari pada analisis di atas, maka diperoleh thitung
sebesar -0.374 terletak pada daerah penerimaan Ho. Sesuai dengan kriteria diatas,
maka Ho diterima, ini berarti korelasi tersebut diatas tidak signifikan, atau dengan
kata lain ada pengaruh perubahan lahan terbuka tidak signifikan dengan
perubahan debit.
78
Penutup Luas lahan persawahan mengalami penurunan pada tahun 2012 dibandingkan
tahun 2002 sebesar 0.8 km2. Demikian pula halnya dengan luas lahan yang
digunakan untuk tanaman dan ladang turun dari tahun 2002 ke tahun 2012 secara
berurutan yaitu 0.1 dan 0,7 km2. Sebaliknya terjadi pada lahan pemukiman yang
mengalami peningkatan sebesar 1.61 km2. Terdapat korelasi negatif antara sawah,
tanaman, dan ladang terhadap debit, artinya semakin berkurang luas lahan
sawah,tanaman dan ladang maka debit banjir akan cenderung meningkat namun
memiliki korelasi yang lemah.
Tulisan ini menunjukkan bahwa luas lahan terbuka seperti sawah, ladang, dan
tanaman mulai menurun dimana akan berpengaruh terhadap debit banjir walaupun
tidak signifian namun pemerintah terkait perlu merumuskan kebijakan untuk
mempertahankan lahan terbuka agar tidak terus berkurang. Perlu dilakukan
penelitian yang lebih intensif mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi debit
banjir di DAS Tukad Pakerisan. Perlu adanya penambahan data perubahan tata
guna lahan guna memperoleh hasil uji korelasi yang lebih teliti
79
BAB IV
BIODIVERSITY DI DAS TUKAD PAKERISAN
Oleh: Dr. Ir. I Ketut Widnyana, MSi
Pendahuluan
Air merupakan kebutuhan bagi mahluk hidup terutama untuk manusia, hewan dan
tumbuh-tumbuhan, dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, maka
aktifitas penggunaan sumber daya air juga semakin meningkat, maka sumber daya
air perlu ditingkatkan pelestariannya dengan menjaga keseimbangan siklus air di
bumi yang dikenal sebagai siklus hidrologi. Proses siklus hidrologi di alam
bermanfaat sebagai sumber daya yang dapat diperbaharui, secara nyata kuantitas
sumber daya air di bumi relatif tetap, sedangkan kualitasnya makin hari makin
menurun.
Pentingnya posisi DAS sebagai unit perencanaan yang utuh merupakan
konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumberdaya hutan,
tanah dan air. Kurang tepatnya perencanaan dapat menimbulkan adanya degradasi
DAS yang mengakibatkan buruk seperti yang dikemukakan di atas. Dalam upaya
menciptakan pendekatan pengelolaan DAS secara terpadu, diperlukan
perencanaan secara terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan dengan mempertimbangkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan.
Dengan demikian bila ada bencana, apakah itu banjir maupun kekeringan,
penanggulangannya dapat dilakukan secara menyeluruh yang meliputi DAS mulai
dari daerah hulu sampai hilir.
Bantaran sungai mempunyai peran penting dalam ekosistem. Keberadaannya
sangat berpengaruh bagi lingkungan. Namun masyarakat masih banyak yang
belum mengerti fungsi dari bantaran sungai. Bantaran sungai biasanya ditumbuhi
oleh berbagai macam tanaman. Jika tumbuhan ini dihilangkan maka akan terjadi
berbagai macam masalah lingkungan misalnya tanah longsor, erosi tebing sungai,
banjir dan lain sebagainya (Indriana, 2009).
Apabila bantaran sungai tidak ditumbuhi oleh tanaman maka saat musim
penghujan, air yang mengalir deras dari daratan akan mengalir ke sungai bersama
dengan material tanah yag tererosi, maka air sungai menjadi keruh sehingga
penetrasi (masuknya) sinar matahari terhadap tumbuhan air menjadi lama dan
dapat mengganggu proses fotosintesis. Selain itu, material tanah yang jatuh ke
badan sungai, lambat laun akan menjadikan sungai menjadi dangkal. Tampang
sungai menjadi sempit, dan sungai tidak mampu lagi menyalurkan air yang
melewatinya dan akhirnya meluap, menjadi banjir.
Bantaran sungai dengan beton berarti menutup seluruh suplai air tanah dari tebing
sungai. Perlu disadari bahwa di sepanjang tepi sungai terdapat jutaan mata air,
baik yang berskala mikro (kecil) maupun makro (besar). Mata air inilah sebagai
pensuplai aliran dasar sungai. Dengan pembetonan, umumnya mata air ini akan
mati. Matinya jutaan mata air ini, menyebabkan debit sungai di musim kemarau
akan berkurang, lahan disekitar sungai menjadi kering dan pada saat musim
penghujan akan terjadi banjir karena tampang sungai yang kecil, pembetonan juga
80
tidak ramah lingkungan, serta memerlukan pemeliharaan terus menerus
(Chrismanto, 2010).
Upaya strategis untuk pemulihan peranan fungsi ekosistem di daerah bantaran
sungai. Salah satu yang dapat dilakukan yaitu ―restorasi ekologi‖ sebagai salah
satu bentuk tindakan konservasi biologis daerah yang dilindungi. Hal ini
mengingat bahwa restorasi ekologi pada dasarnya merupakan bentuk dari
manajemen konservasi, sebagai upaya untuk mengembalikan habitat tertentu atau
ekosistem ke suatu kondisi semirip mungkin dengan keadaan sebelum terjadi
degradasi. Metode perlindungan bantaran dengan mengusung konsep eko
hidraulik dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan vegetasi yang berada pada
lingkungan setempat seperti tanaman tebing. Hal ini dilakukan dengan cara batang
tanaman sepanjang 60 cm dimasukkan ke dalam tanah dengan diurug diatasnya.
Dengan ini maka tanaman akan kuat untuk mengikat tebing sungai. Tebing sungai
tanpa tumbuhan sebaiknya ditanami secepat mungkin (Maryono, 2005).
Sungai dan Daerah Aliran Sungai
Sungai merupakan perairan mengalir (lotik) yang dicirikan oleh arus yang searah
dan relatif kencang, dengan kecepatan berkisar 0,1–1,0 m/detik, serta sangat
dipengaruhi oleh waktu, iklim, bentang alam (topografi dan kemiringan), jenis
batuan dasar dan curah hujan. Semakin tinggi tingkat kemiringan, semakin besar
ukuran batuan dasar dan semakin banyak curah hujan, pergerakan air semakin
kuat dan kecepatan arus semakin cepat. Sungai bagian hulu dicirikan dengan
badan sungai yang dangkal dan sempit, tebing curam dan tinggi, berair jernih dan
mengalir cepat. Badan sungai bagian hilir umumnya lebih lebar, tebingnya curam
atau landai badan air dalam, keruh dan aliran air lambat (Mulyanto, 2007).
Menurut Newson (1997) sungai merupakan bagian lingkungan yang paling cepat
mengalami perubahan jika terdapat aktifitas manusia di sekitarnya. Sungai
sebagai penampung dan penyalur air yang datang dari daerah hulu atas, akan
sangat terpengaruh oleh tata guna lahan dan luasnya daerah aliran sungai,
sehingga pengaruhnya akan terlihat pada kualitas air sungai (Odum, 1996).
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan unit alam berupa kawasan yang dibatasi
oleh pemisah topografis berupa punggung-punggung bukit yang menampung,
menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang jatuh diatasnya ke sungai utama
(Sunarti 2008) dan kemudian menyalurkannya ke laut (Asdak 1995). Wilayah
daratan tersebut dinamakan Daerah Tangkapan Air (DTA atau catchment area)
yang merupakan suatu ekosistem dengan unsur utamanya terdiri atas sumber daya
alam (tanah, air, dan vegetasi) dan sumber daya manusia sebagai pemanfaat
sumber daya alam (Asdak 1995).
Menurut Undang-undang NO. 7 Tahun 2004 tentang SDA DAS, Daerah Aliran
Sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan
sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan
mengalirkan yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami,
yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai
dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Sub DAS
adalah bagian dari DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui
81
anak sungai ke sungai utama. Setiap DAS terbagi habis ke dalam Sub DAS-Sub
DAS.
Daerah aliran sungai (DAS) dapat diartikan sebagai kawasan yang dibatasi oleh
pemisah topografis yang menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan
yang jatuh di atasnya ke sungai yang akhirnya bermuara ke danau dan laut.
DAS merupakan ekosistem yang terdiri dari unsur utama vegetasi, tanah, air dan
manusia dengan segala upaya yang dilakukan di dalamnya. Sebagai suatu
ekosistem, di DAS terjadi interaksi antara faktor biotik dan fisik yang
menggambarkan keseimbangan masukan dan keluaran berupa erosi dan
sedimentasi. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa pengertian DAS adalah
sebagai berikut (Soerjono, 1987):
1. Suatu wilayah daratan yang menampung, menyimpan kemudian
mengalirkan air hujan ke laut atau danau melalui suatu sungai utama.
2. Suatu daerah aliran sungai yang dipisahkan dengan daerah lain oleh
pemisah topografis sehingga dapat dikatakan seluruh wilayah daratan
terbagi atas beberapa DAS.
3. Unsur-unsur utama di dalam suatu DAS adalah sumber daya alam
(tanah, vegetasi, dan air) yang merupakan sasaran dan manusia yang
merupakan pengguna sumber daya yang ada.
4. Unsur utama (sumber daya alam dan manusia) di DAS membentuk
suatu ekosistem dimana peristiwa yang terjadi pada suatu unsur akan
mempengaruhi unsur lainnya.
Daerah aliran sungai dapat dibedakan berdasarkan bentuk atau pola dimana
bentuk ini akan menentukan pola hidrologi yang ada. Corak atau pola DAS
dipengaruhi oleh faktor geomorfologi, topografi dan bentuk wilayah DAS.
Klasifikasi bentuk DAS sebagai berikut (Triatmodjo, 2001):
1. DAS bulu burung. Anak sungainya langsung mengalir ke sungai utama.
DAS atau Sub-DAS ini mempunyai debit banjir yang relatif kecil
karena waktu tiba yang berbeda.
2. DAS Radial. Anak sungainya memusat di satu titik secara radial
sehingga menyerupai bentuk kipas atau lingkaran. DAS atau sub-DAS
radial memiliki banjir yang relatif besar tetapi relatif tidak lama.
3. Das Paralel. DAS ini mempunyai dua jalur sub-DAS yang bersatu.
Gambar 18. Jenis-Jenis Bentuk DAS
DAS merupakan kumpulan dari beberapa Sub-DAS. Sub-DAS merupakan suatu
wilayah kesatuan ekosistem yang terbentuk secara alamiah, air hujan meresap atau
mengalir melalui sungai. Manusia dengan aktivitasnya dan sumberdaya tanah, air,
82
flora serta fauna merupakan komponen ekosistem di Sub-DAS yang saling
berinteraksi dan berinterdependensi (Triatmodjo, 2001).
Tukad pakerisan merupakan salah satu sungai besar yang melintasi 4 (empat)
kecamatan di kabupaten Gianyar dengan panjang 34,5 km yang merupakan situs
warisan dunia. Jumlah bendung yang ada disungai adalah 23 buah yang mengairi
sawah seluas 3650,92 ha, dengan debit rata-rata adalah 1751,5 m3/dt yang berasal
dari sumber mata air tetap sebanyak 15 buah (Dinas PU Kabupaten Gianyar,
2012). Melihat hal diatas maka dapat dikatakan fungsi dari sungai Tukad
Pakerisan sangat penting dikarenakan banyak kepentingan yang ada disana selain
sebagai sumber air minum yang dikelola oleh PDAM juga banyak digunakan
untuk irigasi untuk subak. Dari hasil survei awal diperoleh gambaran bahwa
kondisi bantaran sungai yang sudah semakin terdesak oleh pemukiman dan
industri. Hal ini terlihat makin jelas ke arah hilir, dimana banyak pemukiman
warga yang di sepanjang sungai memanfaatkan bantaran sungai sebagai halaman
belakang rumah sehingga terlihat banyak sampah dan banyak tumbuhan yang
dipotong untuk memperluas lahan.
Keanekaragaman Tumbuhan: DAS dan DAS Tukad Pakerisan
Tumbuhan yang ada di muka bumi sangat banyak jumlahnya maupun
jenisnya. Perkiraan para ahli botani tentang jumlah tumbuhan yang hidup di muka
bumi adalah ½ juta jenis bahkan ada yang memperkirakan sekitar 2 juta.
Keanekaragaman pada jenis tumbuhan tertentu dapat bertambah atau
berkurang dari waktu ke waktu. Perubahan keanekaragaman tumbuhan tersebut
dapat disebabkan oleh salah satu atau beberapa faktor berikut misalnya:
6. Faktor genetik karena setiap spesies tumbuhan memiliki sifat genetik tertentu
yang diperoleh dari induknya dan akan diwariskan kepada generasi
penerusnya.
7. Faktor mutasi yaitu perubahan komposisi genetik yang terjadi karena adanya
kondisi lingkungan yang ekstrem menimpa tumbuhan tersebut, misalnya
adanya sinar radioaktif, dan ultraviolet. Radiasi tersebut pada frekuensi
tertentu dapat menyebabkan perubahan kromosom sehingga memungkinkan
munculnya variasi baru spesies tumbuhan tersebut. Selain secara alamiah
mutasi dapat juga dilakukan melalui eksperimen laboratorium dengan
memperlakukan sinar radioaktif pada tumbuhan.
8. Faktor adaptasi yaitu penyesuaian diri tumbuhan terhadap kondisi
lingkungannya. Tumbuhan yang memiliki daya adaptasi yang kuat terhadap
berbagai kondisi lingkungan cenderung lebih besar variabilitasnya jika
dibandingkan dengan tumbuhan yang daya adaptasinya rendah. Adaptasi
tumbuhan terhadap lingkungan ekstrem dalam waktu yang lama
menyebabkan adanya perubahan bentuk dan fungsi organ tertentu.
9. Faktor kompetisi yaitu persaingan antara dua individu yang hidup pada
lingkungan yang sama. Ketatnya persaingan ditentukan oleh ketersediaan
sumber daya dalam lingkungannya. Jika sumber daya berada dalam keadaan
terbatas, maka persaingan cenderung mengarah pada agresivitas untuk
menyingkirkan pesaingnya. Meskipun demikian persaingan tidak selalu
mengarah kepada agresivitas, karena di hutan primer yang lebat dengan
83
populasi tumbuhan yang saling tumpang tindih, memungkinkan terjadinya
protokooperasi. Kedua peristiwa tersebut dapat memacu peningkatan atau
penurunan keanekaragaman tumbuhan (Arrijani, 2003).
Dengan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi keanekaragaman flora,
dapat diketahui jenis, asal maupun penyebarannya.
1. Pohon asli Indonesia
Misalnya: cempaka, trengguli, turi, ketapang, asam, kenanga, kapuk, waringin,
perca, duku, manggis, durian, dan lain-lain.
2. Berasal dari Benua Asia
Misalnya: teh dari Tiongkok dan India, kopi dari Arabia.
3. Berasal dari Benua Afrika
Misalnya: pisang kipas, kelapa sawit, dan flamboyan.
4. Berasal dari Benua Amerika
Misalnya: alamanda, enceng gondok, kembang merak, bougenville, nanas,
jambu monyet, dan tomat.
Persebaran tumbuh-tumbuhan di permukaan bumi berdasarkan sebagai berikut:
1. Berdasarkan Keadaan Iklim
Persebaran tumbuh-tumbuhan yang sangat dipengaruhi oleh keadaan iklim
setempat, antara lain sebagai berikut:
a. Iklim Laut Sedang
Daerah iklim laut sedang meliputi: Eropa Barat Laut, Islandia Selatan,
Kalifornia Utara, Chili Selatan, Tasmania, Victoria Selatan, Australia
Selatan, Selandia Baru, Pantai Pasifik Barat, dan Amerika Utara.
Flora asli: hutan lebat
Tanaman: bunga-bungaan, buah-buahan, dan bit gula.
b. Iklim Kontinental Humid
Daerah iklim kontinental humid meliputi: Argentina, Amerika Selatan
bagian barat, Tiongkok Utara dan Mancuria, Eropa Tenggara termasuk
Ukraina dan Kaukasus Utara.
c. Iklim Musim
Daerah iklim musim meliputi: Nigeria Utara, Jawa, Kuba, Thailand,
Tiongkok Selatan, Indo China, Amerika Tengah, Hindia Barat, dan
Florida.
Flora alami: padang rumput atau sabana dan pohon-pohon berdaun lebar.
Tanaman budaya: gandum, kapas, nanas, teh, kopi, kentang, dan kacang
tanah.
d. Tropika Arid
Daerahnya meliputi: padang pasir tropika di seluruh dunia yang hampir
tidak didiami orang, kecuali di sekitar oase.
Flora: kaktus, semak-semak, dan rumput-rumput kasar.
Hasil tanaman budaya di sekitar oase: gandum, kapas, padi, kurma, dan
buah-buahan.
e. Subtropika Humid
Daerah iklim subtropika humid meliputi: Afrika, Australia, Brazillia,
India, Tiongkok, Mexico, Rusia bagian selatan, Laut Tengah, dan Amerika
Serikat bagian selatan.
Tanaman budaya: tembakau, kapas, sutera, dan rami.
f. Subtropika Kering
84
Daerahnya: Dataran Tinggi Turki, Spanyol, Australia, Pegunungan Atlas,
Afrika Tengah, Afrika Selatan, Mexico, dan Amerika Serikat barat daya.
Tumbuh-tumbuhan: buah anggur, pohon zaitun, dan jeruk.
2. Berdasarkan Tinggi Tempat (Junghun)
Persebaran daerah tumbuh-tumbuhan berdasarkan tinggi tempat dan
dihubungkan dengan berbagai tanaman pertanian dan perkebunan oleh J.W.
Junghun antara lain sebagai berikut:
a. 0 - 650 m dengan temperatur 26,5°C- 22,5°C merupakan daerah panas
dengan tanaman yang cocok ialah tebu, tembakau, padi, karet, kakao,
kapuk, dan bambu.
b. 650 - 2.500 m daerah sedang, temperatur 22,5°C - 18,7°C daerah hutan
dan pertanian jagung, padi, pinang, kopi, aren, teh, dan kina.
c. 2.500 - 3.000 m daerah dingin. Temperatur rata-rata 18,7°C - 13°C daerah
hutan kabut dengan pohon cemara dan pinus.
d. 3.000 - 4.500 m tidak ada tanaman karena sangat dingin dan merupakan
batas salju. Contoh pada Puncak Jaya Wijaya dengan temperatur rata-rata
antara 8°C - 0°C.
3. Berdasarkan Tinggi Tempat (Lanpoole)
Lanpoole membedakan daerah tumbuh-tumbuhan berdasarkan tinggi tempat
yang berakibat adanya perbedaan suhu seperti berikut:
a. Hutan dataran rendah (0 - 300 m)
Hutan ini mempunyai jenis-jenis pohon besar, lurus, dan tinggi dengan
pangkal berakar kuat.
b. Hutan kaki gunung (300 - 1.650 m)
Pohon di hutan ini lebih pendek daripada hutan di dataran rendah.
c. Hutan lumut (1.650 - 2.250 m)
Pohon-pohonnya mempunyai daun lebih kecil atau mempunyai daun-daun
berbentuk jarum.
d. Hutan lumut (1.500 - 2.000 m sebagai batas bawah dan 2.500 - 3.000 m
sebagai batas teratas)
Rata-rata temperatur sekitar 1000C. Kelembabannya sangat tinggi
sehingga banyak kabut. Pohon-pohonnya rendah, batang dan dahannya
tertutup oleh tumbuh-tumbuhan lumut.
e. Hutan gunung tinggi (3.000 - 3.500 m)
Pohon-pohonnya lebih tinggi daripada hutan lumut. Biasanya hidup
bergerombol dan dipisahkan oleh padang rumput.
Komposisi Tumbuhan dan Struktur Vegetasi
Komposisi Tumbuhan
Komposisi tumbuhan merupakan susunan dan jumlah jenis yang terdapat
dalam suatu komunitas (Polunin, 1990). Komposisi suatu tumbuhan pada setiap
ekosistem dapat bervariasi, bergantung pada kondisi habitatnya. Lebih lanjut,
Polunin (1990) menyatakan bahwa tumbuhan hanya dapat hidup di tempat yang
sesuai bagi jenis tumbuhan tersebut. Jenis tumbuhan yang berbeda akan
memerlukan kondisi yang berbeda pula. Berdasarkan pendapat tersebut tampak
85
jelas bahwa kondisi setempat merupakan faktor utama dalam membatasi
penyebaran jenis tumbuhan tertentu.
Komposisi vegetasi merupakan salah satu konsep yang cukup penting dalam
kajian ekologi tumbuhan. Odum (1993) menyatakan suatu komunitas, dan
kestabilan ini dapat terjadi apabila ada keseimbangan antara jenis penyusun
komunitas dengan lingkungan.
Untuk menggambarkan komposisi suatu komunitas tumbuhan, dapat dikaji
melalui beberapa parameter komunitas, seperti jumlah jenis dan nilai penting.
Untuk menentukan nilai penting, diperlukan indikator komunitas lain, yaitu
densitas, frekuensi, dominasi dan nilai relatif masing-masing parameter tersebut.
Struktur Vegetasi
Vegetasi terdapat berbagai jenis tumbuhan di seluruh wilayah atau daerah.
Suatu tipe vegetasi menggambarkan suatu daerah dari segi penyebaran tumbuhan,
baik berdasarkan ruang maupun waktu. Ekosistem rawa, ekosistem hutan,
ekosistem lamun pada laut dangkal, dan padang rumput dapat dijadikan suatu
contoh tipe vegetasi. Suatu tipe vegetasi kadang kala dibagi lagi ke dalam
beberapa komunitas seperti jenis predominan, disebut asosiasi yaitu sekumpulan
beberapa jenis tumbuhan yang tumbuh bersama-sama di suatu lingkungan.
Komunitas tumbuhan biasanya ditandai oleh jenis-jenis yang dominan (Odum,
1993).
Vegetasi terbentuk oleh atau terdiri atas semua jenis tumbuhan dalam suatu
wilayah (flora) dan memperhatikan pola distribusi menurut ruang (spatial) dan
waktu (temporal). Vegetasi menggambarkan perpaduan berbagai jenis tumbuhan
di suatu daerah atau wilayah. Jika suatu wilayah berukuran luas, vegetasinya
terdiri atas beberapa bagian vegetasi atau komunitas tumbuhan yang menonjol,
sehingga terdapat berbagai tipe vegetasi. Tiap tipe vegetasi bercirikan oleh bentuk
pertumbuhan dan tumbuhan karakteristik. Contoh bentuk pertumbuhan termasuk
herba tahunan, pohon selalu hijau berdaun lebar, semak yang merangsang pada
waktu kering, tumbuhan dengan umbi atau rhizome, tumbuhan selalu hijau
berdaun jarum, rumput menahun, dan semak kerdil (Hardjosuwarno, 1989).
Hilangnya vegetasi dapat mengubah kimiawi tanah, sehingga sebagian hara
kurang terikat dengan partikel-partikel tanah tercuci, maka dapat diketahui bahwa
pengrusakan vegetasi tidak saja meningkatkan erosi oleh angin dan air. Tetapi
juga ketandusan akibat hilangnya kesuburan tanah yang tertinggal (Suwarsono,
1986). Setiap komunitas tumbuhan yang stabil mempunyai susunan vertikal atau
stratifikasi jenis-jenis. Kesan ini cocok bagi pinggiran hutan dimana penyinaran
yang kuat mengakibatkan bagian tepi sangat lebar, tetapi bagian dalam hutan
dapat dilihat dari pinggir (misalnya batas tepi hutan yang mendadak karena
penebangan baru) akan terlihat bahwa hutan dapat dibagi menjadi lima lapisan
atau lebih yang cukup jelas dan secara konvensional diberi nama lapisan A sampai
E (Richard, 1952 dalam Junus, dkk., 1984).
1. Lapisan pohon dengan tinggi lebih dari 30 meter (lapisan A). Lapisan ini
membentuk kanopi bagi lapisan di bawahnya. Atau mungkin juga diwakili
oleh pohon-pohon yang menyendiri atau mencuat (emergent) di atas kanopi
semua.
Lapisan pohon dengan tinggi 20-30 meter (lapisan B) yang merupakan
lapisan kurang memerlukan cahaya atau tahan naungan.
86
2. Lapisan pohon-pohon kecil dengan tinggi 4-20 meter (lapisan C). Banyak
diantara lapisan pohon-pohon pada lapisan ini adalah anakan jenis-jenis
pohon-pohon kecil mencirikan lapisan ini.
3. Lapisan perdu (lapisan D) yang terdiri atas perdu, pohon-pohon muda, terna
tinggi, dan paku-pakuan besar. Tinggi rata-rata 1- 4 meter.
4. Lapisan permukaan tanah (lapisan E) yang biasanya terdiri atas terna dan
perdu-perdu kecil yang jarang dengan tinggi kurang dari 1 meter.
Dansereau (1957) dalam Muller-Dombois dan Ellenberg (1974)
mengemukakan bahwa ekologi vegetasi paling sedikit membagi struktur vegetasi
dalam 5 level yaitu: (1) fisiognomi vegetasi, (2) struktur biomassa, (3) struktur
bentuk hidup, (4) struktur floristik, dan (5) struktur tegakan, sedangkan Kershaw
dan Looney (1985) membedakan struktur vegetasi menjadi 3 komponen yaitu:
1. Struktur vertikal, meliputi tingkat pertumbuhan jenis-jenis tumbuhan mulai
dari tingkat anakan sampai tingkat pohon.
2. Struktur horizontal (distribusi spatial populasi jenis dan individu), yaitu
individu yang pertumbuhannya menyebar pada kawasan tersebut.
3. Struktur kuantitatif meliputi kelimpahan atau keanekaragaman jenis, dengan
distribusi dari masing-masing jenis yang mencakup densitas, frekuensi,
dominansi dan sebagainya.
Komunitas
Komunitas merupakan unit dasar penyusun suatu vegetasi yang didefinisikan
sebagai kumpulan organisme hidup yang saling berinteraksi baik diantara
organisme maupun dengan lingkungannya (Oosting, 1956 dalam Analuddin,
1997).
Menurut Odum (1993) bahwa komunitas biotik adalah kumpulan berbagai
populasi yang hidup dalam daerah atau habitat fisik, serta merupakan satu
kesatuan yang teratur dan mempunyai sifat-sifat tambahan terhadap komponen-
komponen individu dan fungsi-fungsi sebagai unit transformasi metabolik yang
berinteraksi. Lebih lanjut, Dansereau (1957) dalam Muller-Dombois dan
Ellenberg (1974) mengemukakan bahwa komunitas tumbuhan sebagai organisme
secara spatial dan temporal dengan perbedaan integrasi.
Komunitas tumbuhan adalah satuan atau unit yang membentuk suatu vegetasi.
Komunitas terbentuk tidak sekedar persatuan tumbuhan secara acak yang hanya
berdasarkan kesempatan semata-mata, tetapi komunitas tumbuhan berupa suatu
organisme kompleks dengan komposisi floristik secara tipikan dengan sistem
morfologi tertentu, serta merupakan hasil interaksi populasi jenis menurut waktu
yang lama (Hardjosuwarno, 1989).
Di luar pengaruh interaksi dalam komunitas, tumbuh-tumbuhan saling
memberi tempat, habitat dan lingkungan secara bersama. Jadi integrasi dalam
komunitas adalah fenomena yang telah terbentuk dengan perbedaan tingkat
organisme komunitas yang terintegrasi baik, mempunyai resistansi tertentu
terhadap goncangan lingkungan, serta perubahan lingkungan spesifik yang juga
dapat menyebabkan tanggapan yang dapat dilihat dalam suatu komunitas
(Hardjosuwarno, 1989).
Alechin (1927) dalam Muller-Dombois dan Ellenberg (1974) membedakan
dua cara menentukan komunitas tumbuhan di lapangan yaitu: (a) tumbuhan dapat
membentuk kelompok terbuka, dan (b) tumbuhan dapat membentuk kelompok
tertutup. Dalam bentuk kelompok tertutup peneliti dapat membedakan
87
penempatan tanpa integrasi tegakan murni secara temporal atau permanen. Lebih
lanjut dijelaskan bahwa komunitas termasuk dalam tegakan populasi campuran
yang terdapat dalam bentuk tertutup.
Komunitas tumbuhan terdiri atas unit-unit atau tegakan. Tegakan merupakan
unit agak homogen yang dapat dibedakan dengan jelas oleh komposisi, umur,
struktur, tempat tumbuhan, atau geografi. Barbour et al, (1999) mengemukakan
bahwa tegakan merupakan tempat atau lokasi suatu penelitian dilakukan.
Struktur tegakan dapat dilihat berdasarkan perbedaan beberapa hal antara lain
struktur umur atau stadium perkembangan. Struktur umur populasi dapat
dikelompokkan berdasarkan ukuran kelas, kelas tinggi untuk herba dan semai
serta kelas diameter untuk diameter pohon. Struktur umur suatu tegakan dengan
umur yang sama dapat didasarkan pada beberapa kriteria seperti diameter batang.
Pendekatan yang sama dapat dilakukan pada stand tidak seumur, namun individu-
individu yang tertua tidak lebih besar atau dominan setara (Smith, 1990 dalam
Analuddin, 1997).
Kelimpahan dan Keanekaragaman Jenis Vegetasi
Penilaian Kelimpahan dan Keanekaragaman Jenis
Dalam komunitas alami biasanya ada beberapa jenis yang melimpah dan ada
jenis yang jarang, walaupun polanya tetap namun akan berbeda apabila populasi
itu diperbandingkan. Loveless (1987) menyatakan bahwa komunitas merupakan
suatu pengelompokkan acak dari populasi. Suatu lokasi dengan banyak objek
yang tidak identik nampak secara statistik berstruktur, bahkan berbeda secara acak
dan tidak berinteraksi.
Adanya beberapa keterbatasan dalam penafsiran kelimpahan secara visual
maka metode kuantitatif dengan maksud untuk menghilangkan pertimbangan
subjektif pengamat. Metode kuantitatif untuk menilai kelimpahan berpijak pada
pengamatan kelimpahan yang sesungguhnya dalam sejumlah cuplikan (contoh)
luas komunitas dan kemudian hasilnya digunakan untuk menaksir kelimpahan
dalam komunitas secara keseluruhan. Sejalan dengan hal ini, Loveless (1989)
menyatakan bahwa karena cuplikan-cuplikan yang dianggap mewakili
keseluruhan komunitas maka cuplikan tersebut harus diambil secara acak. Metode
pencuplikan secara acak diterapkan untuk menghilangkan kecenderungan yang
disengaja atau tidak disengaja.
Lebih lanjut Loveless (1989) menyatakan bahwa ada tiga metode yang
biasanya dipakai untuk menyatakan kelimpahan secara kuantitatif dan nama yang
harus digunakan tergantung pada tujuan atau untuk apa informasi itu diperlukan
dan waktu yang tersedia untuk pencuplikan vegetasi. Ketiga metode adalah:
1. Kerapatan
Kerapatan (densitas) suatu jenis adalah jumlah individu rata-rata persatuan
luas. Kerapatan dihitung dengan menghitung jumlah individu setiap jenis
dalam kuadrat yang luasnya ditentukan. Kemudian perhitungan ini
dilanjutkan di tempat-tempat yang tersebar secara acak. Hasil-hasil dari
semua kuadrat ini dijumlahkan dan dihitung kerapatan untuk setiap jenis.
2. Persentase Penutupan
88
Persentase penutupan didefinisikan sebagai persentase tanah yang ditutupi
oleh bagian tumbuhan tertentu yang ada di atas tanah. Sifat penutupan ini
dengan mudah dapat dipahami dengan mengatakan bahwa apabila suatu
komunitas yang terdiri atas bagian permukaan tanah yang ditutup oleh
bayangan yang merupakan penutup atas jenis tersebut.
3. Frekuensi
Frekuensi ditentukan dengan mencatat kehadiran dan ketidakhadiran
(bukan jenis individu) suatu jenis dalam sederetan kuadrat yang disebar
secara acak. Jumlah jenis dalam suatu komunitas disebut kekayaan jenis
(jenis richenes) tidak cukup meletakkan keanekaragaman karena sama
pentingnya dengan kelimpahan relative ―relative abundance‖ dari masing-
masing populasi.
Upaya Perlindungan
Upaya Perlindungan Sungai 1. Metode konvensional
Longsoran pada tebing sungai merupakan salah satu persoalan yang sering
terjadi dalam wilayah sungai. Hal ini merupakan efek dari meningkatnya
kecepatan air dan debit air yang melewati sugai tersebut. Maka dari itu perlu
dilakukan suatu upaya untuk mencegah terjadinya longsoran pada tebing juga
sekaligus menjaga daerah sempadan sungai. Berbagai metode dapat dilakukan
dalam usaha perlindungan tebing sungai. Cara konvensional yang dapat dilakukan
yaitu perkerasan tebing dengan pasangan batu atau dengan beton.
Konstruksi ini menutup seluruh permukaan tebing. Cara lain yaitu dengan
membuat krib di sepanjang aliran sungai terutama pada daerah belokan sungai.
Dengan adanya krib ini dapat mencegah erosi pada tebing sekaligus dapat
menahan sedimen yang terbawa dari hulu. Dengan demikian lama kelamaan
daerah sempadan sungai bertambah luas (Balai Sungai, 2003).
2. Konsep Ekohidrolika
Upaya strategis untuk pemulihan peranan fungsi ekosistem di daerah
sempadan sungai. Salah satu yang dapat dilakukan yaitu ―restorasi ekologi‖
sebagai salah satu bentuk tindakan konservasi biologis daerah yang dilindungi.
Hal ini mengingat bahwa restorasi ekologi pada dasarnya merupakan bentuk dari
manajemen konservasi, sebagai upaya untuk mengembalikan habitat tertentu atau
ekosistem, ke suatu kondisi semirip mungkin dengan keadaan sebelum terjadi
degradasi. Usaha perbaikan yang dapat dilakukan pada badan sungai yaitu dengan
melakukan perlindungan pada dasar sungai. Hal ini bertujuan untuk mencegah
terjadinya erosi pada alur sungai. Erosi pada dasar sungai merupakan hal yang
alamiah terjadi, namun jika hal ini dibiarkan terus terjadi maka akan
menyebabkan erosi yang semakin parah. Usaha perlindungan dasar sungai yang
dapat dilakukan dengan mengacu pada konsep ekohidrolika yaitu (Balai Sungai,
2003):
a. Bendung rendah pada dasar sungai dengan menggunakan kayu mati. Bendung
rendah dari kayu mati ini merupakan komponen struktur sungai yang
berfungsi secara hidraulik sebagai retensi dan mencegah erosi dasar sungai.
89
b. Bendung rendah dengan batu lepas. Bendung rendah ini dimaksudkan agar
muka air naik dan timbul terjunan yang membentuk kolam. Dengan adanya
bendung rendah ini akan menyebabkan terjadinya turbulensi sehingga
meningkatkan kandungan oksigen dalam air dan mengurangi energi potensial
aliran sehingga erosi dapat dikurangi.
c. Perlindungan dasar sungai dengan menggunakan batu-batu lepas. Hal ini
dilakukan pada daerah sungai yang tererosi secara intensif. Cara
penanganannnya yaitu dengan menyusun batu pada dasar sungai dengan
konstruksi menyerupai ripple dan pool.
Dari segi teknis usaha yang dapat dilakukan untuk melindungi dasar sungai secara
buatan yaitu dengan membangun cek dam di sepanjang aliran sungai. Hal ini
bertujuan untuk menahan erosi di hulu sungai sehingga mengurangi sedimentasi
di hilir. Metode perlindungan tebing dengan mengusung konsep eko hidraulik
dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan vegetasi yang berada pada lingkungan
setempat. Beberapa metode penahan tebing dengan menggunakan vegetasi
setempat yaitu:
a. Batang pohon yang tak teratur. Pohon tumbang yang ada dan belum dipotong
dahan dan rantingnya dapat dipasang pada bagian yang longsor dengan cara
diletakkan membujur di sepanjang tebing yang longsor.
b. Ikatan batang dan ranting pohon membujur. Hal ini dilakukan dengan cara
dahan dan ranting pohon dapat diikat memanjang dan dipasang dengan patok
di sepanjang kaki tebing sungai. Fungsinya untuk menahan kemungkinan
longsornya tebing akibat arus air.
c. Ikatan batang dan ranting pohon dengan batu dan tanah di dalamnya.
Prinsipnya sama dengan ikatan batang, hanya di bagian dalam ikatan tersebut
diisi dengan batu dan tanah. Hal ini dimaksudkan agar ikatan tersebut
menjadi berat sehingga tidak terbawa arus dan mempermudah tumbuhnya
batang dan ranting tersebut
d. Pagar datar. Pagar ini dibuat setinggi 50 cm dan dipasang di dasar sungai
dengan bagian atas dibawah tinggi muka air rata-rata.
e. Penutupan bantaran sungai. Penutup bantaran sungai dapat dibuat dari
bermacam-macam bahan seperti alang-alang, mantang-mantang, jerami
kering, rumput gajah kering, dan lain-lain. Di bagian bawahnya dipasang
ikatan batang pohon untuk penahan.
f. Tanaman bantaran sungai. Hal ini dapat dilakukan pada bantaran sungai yang
terjal. Hal ini dilakukan dengan cara batang tanaman sepanjang 60 cm
dimasukkan ke dalam tanah dengan diurug diatasnya. Dengan ini maka
tanaman akan kuat untuk mengikat tebing sungai.
g. Penanaman bantaran sungai. Bantaran sungai tanpa tumbuhan sebaiknya
ditanami secepat mungkin. Tanaman yang paling baik dan sering dijumpai
serta cukup kuat menahan bantaran sungai yaitu bambu. Tanaman ini selain
berfungsi sebagai penahan bantaran sungai juga sebagai retensi aliran
sehingga kecepatan aliran dan banjir di hulu dapat dikurangi.
h. Tanaman antara pasangan batu kosong. Hal ini dilakukan untuk memperkuat
pasangan batu dan batu tersebut kuat terikat pada tebing sungai.
i. Krib penahan arus. Krib ini dapat dibuat dari batu dan akar pohon. Dengan
krib ini maka akan terjadi sedimentasi di sekitar krib, khususnya di belakang
krib. Dengan sedimentasi ini maka krib di belakang tebing akan terlindungi.
90
Upaya Perlindungan Bantaran Sungai
Bantaran sungai adalah area yang dibatasi oleh tepi sungai dan tanggul
sungai. Bantaran sungai juga sering disebut dengan sempadan sungai. Walaupun
ada sedikit perbedaan. Sempadan sungai adalah daerah bantaran banjir ditambah
lebar longsoran tebing sungai. Secara hidraulik, sempadan sungai merupakan
daerah bantaran banjir yang berfungsi memberi kemungkinan luapan air banjir
kesamping kanan kiri sungai sehingga kecepatan air ke hilir dapat dikurangi
(Maryono, 2005).
Bantaran sungai adalah daerah yang terletak pada kedua sisi dan disepanjang
alur sungai dimana terletak antara tepi alur sungai sampai pada kaki tanggul
sebelah dalam (Syarief, 2008). Menurut Maryono (2005), vegetasi di bantaran
sungai memiliki fungsi secara ekologi maupun secara hidraulik. Fungsi vegetasi
secara hidraulik antara lain sebagai berikut:
1. Untuk menjaga stabilitas tebing sungai, baik dari gempuran arus air, dari
energi mekanik hujan, dan dari peresapan air ke pori-pori rekahan tebing
sungai
2. Ranting, cabang dan daun-daun tumbuhan di pinggir sungai berperan
sebagai komponen pemecahan energi mekanik air maupun air hujan
3. Sebagai pengarah arus dan pengarah aliran sekunder memanjang sungai
4. Sebagai komponen stabilitas tebing sungai sekaligus sebagai barrier untuk
mengurangi erosi samping sungai, baik erosi akibat gerusan tebing maupun
erosi dari aliran permukiman di samping kanan dan kiri sungai.
Fungsi ekologi vegetasi pinggir sungai adalah sebagai berikut:
1. Sebagai tempat hidup hewan dan tumbuhan sungai
2. Sebagai tempat penyelamatan dari fauna sungai ketika banjir
3. Sebagai komponen peneduh sungai sehingga membatasi perkembangan
tumbuhan air, menjaga suhu air relatif rendah dan stabil, mengurangi laju
penguapan air, serta membatasi kehilangan kandungan oksigen terlarut
(Dissolved oxygen, DO).
4. Sebagai komponen penggembur sekaligus pengikat tanah tebing sungai.
5. Sebagai pengikat zat hara dalam tanah sehingga mengurangi kehilangan zat
hara tanah pinggir sungai akibat pencucian (leaching)
6. Sebagai pemasok bahan makanan bagi fauna berupa daun, buah, serta bagian
tumbuhan yang telah tua dan jauh ke perairan untuk kemudian membusuk.
Perdu dan herba yang hidup dibantaran sungai merupakan habitat bagi hewan
sungai dengan perannya sebagai peredam kecepatan aliran air, pelindung dari
sinar matahari dan penyedia bahan makanan. Dengan berkurangnya kecepatan
aliran air, hewan sungai menggunakan zona tersebut sebagai tempat berlindung,
tempat bersandar dan tempat meletakkan telur. Dengan berkurangnya intensitas
sinar matahari, maka suhu air akan relatif rendah dan kandungan oksigen terlarut
dan relatif tinggi.
Keberadaan tumbuhan di bantaran sungai diperuntukkan sebagai
perlindungan atau konservasi DAS (Daerah Aliran Sungai). Pemukiman yang
berdiri di atas bantaran sungai harus dibatasi keberadaannya. Karena dapat
mengurangi daerah resapan air. Akibat dari hilangnya tumbuhan dibantaran
sungai adalah meningkatnya sedimentasi dan kekeruhan badan air sehingga
menurunkan kualitasnya (Arisandi, 2001).
91
Sedimen meliputi tanah dan pasir yang umumnya masuk ke badan air akibat
erosi atau banjir. Sedimen dapat mengakibatkan pendangkalan badan air.
Keberadaan sedimen di dalam air mengakibatkan terjadinya peningkatan
kekeruhan air. Hal ini menghambat penetrasi sinar matahari sehingga proses
fotosintesis dapat terganggu. Hal ini memperlambat laju penambahan oksigen
terlarut di dalam air (Mulia, 2005).
Dampak diubahnya bantaran sungai sebagai pemukiman adalah (i)
terkikisnya lapisan humus tanah bantaran sungai; (ii) sedimentasi yang
meningkatkan kekeruhan air TSS (total suspended soil); (iii) hilangnya
keanekaragaman tumbuhan yang belum diketahui banyak oleh masyarakat. Selain
itu manfaat adanya bantaran sungai adalah sebagai kawasan resapan air penyaring
sedimentasi run off air hujan sebelum masuk ke badan sungai (Arisandi, 2001).
Potensi Permasalahan DAS dan Upaya Pemecahan Masalah
DAS Tukad Pakerisan merupakan situs warisan budaya dunia sehingga
kelestariannya patut dijaga. Meningkatnya kondisi perekonomian
masyarakat akan meningkatkan alih fungsi lahan dimana bantaran sungai
yang dulu ditumbuhi oleh tanaman-tanaman alami berganti menjadi lahan
produktif seperti sawah atau kebun sehingga seringkali fungsi alami
tanaman sebagai penahan laju erosi air sungai juga hilang.
Inventarisasi tanaman yang ada di sekitar DAS Tukad Pakerisan menjadi
penting untuk melihat jenis tanaman pelindung bantaran sungai yang
terdapat pada bantaran Tukad Pakerisan dimana akan dilihat tanaman yang
memiliki akar yang cukup kuat untuk menahan erosi dan bagaimana
keanekaragaman tanaman jenis pohon yang memiliki akar yang kuat pada
DAS Tukad Pakerisan.
Penutup
Pengelolaan DAS dapat dianggap sebagai suatu sistem dengan input manajemen
dan input alam untuk menghasilkan barang dan jasa yang diperlukan baik di
tempat (on site) maupun di luar (off-site). Secara ekonomi ini berarti bentuk dari
proses produksi dengan biaya ekonomi
92
BAB V
INVENTARISASI DAN REVITALISASI LAHAN KRITIS DI
DAS PAKERISAN
Oleh: Dr. Ir. Nyoman Utari Vipriyanti, MSi dan Dr. Ir. Deden
Ismail, MS
Pendahuluan
Perubahan tata guna lahan terjadi hampir di seluruh wilayah di Bali,
termasuk di Daerah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan. Semakin pesatnya
perkembangan industri pariwisata dan jumlah penduduk di Kabupaten Gianyar
menyebabkan kebutuhan lahan semakin besar. Hal ini menyebabkan lahan-lahan
produktif mulai terdesak dan berubah fungsi menjadi perumahan ataupun fasilitas
pariwisata. Hal ini dapat ditunjukkan dalan data BPS tahun 2003. Luas lahan
sawah sebesar 4037 Ha dan pada tahun 2012 berkurang menjadi 4020 Ha.
Demikian juga terjadi peningkatan luas tanah yang dipergunakan untuk
permukiman yaitu tahun 2003 seluas 1838 Ha bertambah menjadi 1845 Ha di
tahun 2014.
Tukad Pakerisan merupakan salah satu sungai besar yang melintasi 4
(empat) kecamatan di kabupaten Gianyar dengan panjang 34,5 km yang
merupakan situs warisan dunia. Jumlah bendung yang ada disungai adalah 23
buah yang mengairi sawah seluas 3650,92 ha, dengan debit rata – rata
adalah 1751,5 m3/dt yang berasal dari sumber mata air tetap sebanyak 15
buah (Dinas PU Kabupaten Gianyar, 2012). Melihat hal diatas maka dapat
dikatakan fungsi dari Tukad Pakerisan sangat penting dikarenakan banyak
kepentingan yang ada disana selain sebagai sumber air minum yang dikelola oleh
PDAM juga banyak digunakan untuk irigasi untuk subak. Terjadinya alih fungsi
lahan menjadi pemukiman maupun fasilitas pariwisata di DAS Tukad Pakerisan
merupakan hal yang menarik untuk dilakukan dikaji.
Penggunaan Lahan DAS di Daerah Penelitian
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Gianyar Tahun
2010-2014 diketahui bahwa penggunaan lahan oleh masyarakat umumnya
digunakan untuk lahan sawah, tegalan, permukiman, perkebunan dan penggunaan
lahan lainnya.
Dalam Tahun 2010 diketahui luas lahan sawah di daerah penelitian adalah
seluas 489,00 hektar kemudian di Tahun 2011 mengalami penurunan luas lahan
6,00 hektar sehingga menjadi 483,00 hektar dan di Tahun 2013 dan Tahun 2014
menjadi 482,00 hektar, dengan demikian rata-rata penurunan luas lahan sawah di
daerah penelitian dari Tahun 2010 hingga Tahun 2014 adalah sebesar 1,75 hektar
per tahun.
Penggunaan lahan untuk tegalan juga diketahui mengalami penurunan luas
lahan, dimana Tahun 2010 diketahui luas awal lahan untuk tegalan adalah 975,79
93
hektar, kemudian di Tahun 2014 menurun menjadi 967,50 hektar, artinya dalam
kurun waktu Tahun 2010 hingga Tahun 2014 luas lahan tegalan mengalami
penurunan rata-rata sebesar 2,07 hektar per tahun.
Menurunnya luas lahan sawah dan tegalan diatas disebabkan oleh adanya
perubahan penggunaan lahan oleh masyarakat, baik untuk permukiman ataupun
untuk penggunaan lahan lainnya seperti tempat usaha, perdagangan, toko, industri
dan lain-lainnya.
Tabel 1. Perkembangan Penggunaan Lahan di Daerah Penelitian
No Tahun
Luas
Wiyah
(Km2)
Penggunaan Lahan (Ha)
Sawah Tegalan Permukiman Perkebunan Lainnya
1 Tahun 2010 21,37 489,00 975,79 194,97 - 477,24
2 Tahun 2011 21,37 483,00 969,15 197,97 - 486,88
3 Tahun 2012 21,37 483,00 968,75 198,37 - 486,84
4 Tahun 2013 21,37 482,00 967,76 202,52 - 484,68
5 Tahun 2014 21,37 482,00 967,50 202,52 - 484,98
Keterangan : Lokasi Penelitian di Desa Manukaya, Belega dan Medahan
Sumber : Diolah dari data BPS Tahun 2010-2014
Perubahan penggunaan lahan lainnya juga mengalami peningkatan,
dimana Tahun 2010 luas lahan penggunaan lainnya adalah sebesar 477,24 hektar
dan di Tahun 2014 meningkat menjadi 484,98 hektar, sehingga perkembangan
penggunaan lahan untuk penggunaan lainnya diketahui mengalami peningkatan
rata-rata sebesar 1,94 hektar per tahun. Tabel 4 dan Gambar 1 menunjukkan
perkembangan penggunaan lahan dan prosentase rata-rata perubahan penggunaan
lahan.
Keterangan : Lokasi Penelitian di Desa Manukaya, Belega dan Medahan
Sumber : Diolah dari data BPS Tahun 2010-2014
- 100,00 200,00 300,00 400,00 500,00 600,00 700,00 800,00 900,00
1.000,00
Tahun2010
Tahun2011
Tahun2012
Tahun2013
Tahun2014
Sawah
Tegalan
Permukiman
Lainnya
94
Gambar 1. Grafik Perkembangan Penggunaan Lahan di Daerah Penelitian
Berdasarkan data BPS Kabupaten Gianyar Tahun 2010-2014 diketahui
bahwa penggunaan lahan untuk permukiman cenderung mengalami peningkatan,
dimana dalam Tahun 2010 diketahui bahwa luas lahan permukiman adalah
sebesar 194,97 hektar dan ditahun 2014 meningkat menjadi 202,52 hektar,
sehingga dalam kurun waktu Tahun 2010 hingga Tahun 2014 luas lahan
permukiman di daerah penelitian telah mengalami peningkatan rata-rata sebesar
1,89 hektar per tahun.
Tabel 2. Prosentase Perkembangan Penggunaan Lahan di Daerah Penelitian
No Tahun
Persentase Perubahan Penggunaan Lahan (Ha)
Sawah Tegalan Permukiman Lainnya
1 Tahun 2010-2011 (6,00) (6,64) 3,00 9,64
2 Tahun 2011-2012 0 (0,40) 0,40 0,04
3 Tahun 2012-2013 (1,00) (0,99) 4,15 2,16
4 Tahun 2013-2014 0 (0,26) 0 0,30
5 Rata-Rata (1,75) (2,07) 1,89 1,94
Keterangan : Lokasi Penelitian di Desa Manukaya, Belega dan Medahan
Sumber : Diolah dari data BPS Tahun 2010-2014
Kebutuhan Lahan oleh Masyarakat
Perkembangan tata guna lahan tentunya sangat dipengaruhi oleh
kebutuhan jenis penggunaan lahan oleh masyarakat yang bermukim di kawasan
tersebut. Meningkatnya jumlah penduduk di suatu kawasan mengakibatkan
semakin padatnya jumlah hunian rumah tinggal dalam satu keluarga maupun
dalam satu areal pekarangan permukiman, sehingga membutuhkan lahan
permukiman yang baru.
Kebutuhan lahan baru bagi masyarakat tidak semata-mata hanya untuk
rumah tinggal atau permukiman bagi masyarakat tetapi juga menyangkut
kebutuhan lahan untuk pengembangan perekonomian mereka seperti kebutuhan
lahan untuk perdagangan, industri, pendidikan, fasilitas umum dan lain-lainnya.
Sehingga atas dasar hal tersebut, maka dalam penelitian ini kebutuhan
penggunaan lahan bagi masyarakat telah dipetakan sesuai dengan perkembangan
guna lahan di lokasi penelitian yang dapat dikelompokan seperti Tabel 3.
95
Tabel 3. Pemetaan Kebutuhan Penggunaan Lahan Oleh Masyarakat
No Kondisi Penggunaan Lahan Saat Ini Pemetaan Kebutuhan Penggunaan Lahan
1 Lahan Sawah Lahan Pertanian (Sawah)
2 Tegalan/Perkebunan Tegalan/Kebun Campur
3 Permukiman Permukiman
4 Lainnya Tempat Usaha/Perdagangan
Hutan Rakyat
Akomodasi/Hotel/Villa
Industri
Ruang Terbuka Hijau/Kawasan Jalur Hijau
Kawasan Pendidikan, Jasa & Pemerintahan
Keterangan : Lokasi Penelitian di Desa Manukaya, Belega dan Medahan
Sumber : Diolah dari data BPS dan hasil pengamatan lapangan.
Penutupan Vegetasi
Persentase penutupan vegetasi diperoleh dari hasil perbandingan luas lahan
bervegetasi permanen dengan luas DAS. Data penutupan lahan dengan vegetasi
permanen diperoleh dari data hasil interpretasi citra satelit berupa citra landsat 8
dan hasil survey lapangan. Jenis penutupan vegetasi pada DAS Pakerisan
sebagaimana disajikan pada Tabel 4.
Berdasarkan Tabel 4 di atas secara beurutan jenis penutupan vegetasi di
DAS Pakerisan sebagai berikut : sawah seluas 4.592,00 ha atau 50,51 %, kebun
campuran sedang seluas 2.845,25 ha atau 31,29 %, pemukinan seluas 1.061,99 ha
atau 11,68 %, kebun campuran rapat seluas 334,94 ha atau 3,68 %, kebun
campuran jarang seluas 225,13 ha atau 2,48 % dan vegetasi tetap rapat seluas
32,58 atau 0,36 %.
96
Tabel 4. Jenis Penutupan Vegetasi di Wilayah DAS Pakerisan
No. Kabupaten Kecamatan Desa
VT1 KC1 KC2 Kc3 S P Jumlah (ha)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
1 Bangli Kintamani Batur Tengah 32,58 - 42,23 - - - 74,81
Bayunggede - - 104,17 - - - 104,17
Sekardadi - 84,27 297,75 - - - 382,02
Susut Penglumbaran - 62,55 329,36 - - 391,91
Sulahan - - 284,85 - - 284,85
Susut - - 79,22 78,23 157,45
Tiga - 95,81 360,81 - - - 456,62
2 Gianyar Blahbatu Bedulu - - - - 57,45 - 57,45
Belega - - - - 210,20 51,99 262,19
Blahbatuh - - - - 100,56 63,92 164,48
Bona - - - - 166,62 54,15 220,77
Buruan - - - - 54,02 74,51 128,53
Keramas - - - - 353,44 71,23 424,67
Medahan - - - - 380,37 47,92 428,29
Pering - - - 29,99 551,28 69,96 651,23
Saba - - - 36,33 119,52 155,85
Gianyar Abianbase - - - - 169,26 41,97 211,23
Bakbakan - - - - 252,68 57,34 310,02
Beng - - - - 80,65 80,65
Bitera - - - 33,99 280,69 80,49 395,17
Gianyar - - - - 53,02 176,00 229,02
Lebih - - - - 128,81 128,81
Jenis Penutupan Lahan
97
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Petak - - - 72,45 152,93 225,38
Petak Kaja - - - - 130,49 35,24 165,73
Samplangan - - - - 36,84 36,84
Serongga - - - - 204,60 40,63 245,23
Siangan - - 49,82 52,37 310,54 26,07 438,80
Sumita - - 27,16 - 53,12 80,28
Suwat - - - - 254,46 254,46
Tampak Siring Manukaya - 92,31 867,34 - 44,64 28,87 1.033,16
Pejeng Kangin - - 156,76 - 117,99 37,12 311,87
Pejeng Kelod - - 116,09 - 27,52 42,44 186,05
Tampaksiring - - 129,69 - 222,07 62,14 413,90
32,58 334,94 2.845,25 225,13 4.592,00 1.061,99 9.091,89
Prosentase (%) 0,36 3,68 31,29 2,48 50,51 11,68 100,00
Sumber data : Hasil Interpretasi Citra Landsat dan Hasil survey lapangan
Keterangan :
VT1 : Vegetasi Tetap Rapat
KC1 : Kebun Campuran Rapat
KC2 : Kebun Campuran Sedang
KC3 : Kebun Campuran Jarang
S : Sawah
P : Pemukiman
Jumlah
98
Jenis penutupan lahan yang merupakan vegetasi tetap adalah kebun
campuran sedang seluas 2.845,25 ha atau 31,29 %, kebun campuran rapat seluas
334,94 ha atau 3,68 %, kebun campuran jarang seluas 225,13 ha atau 2,48 % dan
vegetasi tetap rapat seluas 32,58 atau 0,36 %. Sehingga luas total penutupan
vegetasi permanen di DAS Pakerisan seluas 3.437,90 ha atau 37,81 %. Persentase
penutupan vegetasi sebagai berikut :
3.437,9
PPV =
9.091,89
= 37,81 %
Hasil perhitungan di atas menunjukan bahwa persentase penutupan
vegetasi di DAS Pakerisan sebesar 37,81 %, termasuk kelas buruk dengan skor
1,25 sehingga nilai total persentase penutupan vegetasi di DAS Pakerisan adalah
12,5.
Keadaan penutupan vegetasi di DAS Pakerisan termasuk ketegori kelas
buruk, hal ini dapat dimaklumi dikarenakan di wilayah DAS Pakerisan didominasi
lahan sawah. Sehingga dalam penghitungan persentase penutupan vegetasi yang
dihitung hanya berupa lahan dengan vegetasi permanen saja, sedangkan sawah
tidak dihitung.
Tingkat Kekritisan Lahan
1. Kawasan Hutan Lindung
Mengacu pada Peraturan Direktur Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan
Perhutanan Sosial Nomor : P.4/V-SET/2013 tanggal 26 Juli 2013 tentang
Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis sebagaimana tabel 3.13. Berdasarkan
arahan klasifikasi fungsi kawasan di wilayah DAS Pakerisan dan hasil tumpang
susun diperoleh unit lahan yang berfungsi sebagai kawasan hutan lindung
sebanyak 1 unit dengan luas 32,58 ha. Dari hasil analisis klasifikasi tingkat
kekritisan lahan pada unit lahan tersebut diperoleh hasil berupa unit lahan tersebut
adalah potensial kritis dengan nilai total skor 430.
1. Kawasan Lindung Di Luar Kawasan Hutan
Kawasan lindung di luar kawasan hutan merupakan kawasan dengan
kondisi curah hujan yang tinggi, tanah yang mudah tererosi dan topografi yang
curam. Di wilayah DAS Pakerisan kawasan lindung di luar kawasan hutan berada
di bagian hulu dan tengah DAS Pakerisan, ini dapat dipahami dikarenakan
wilayah hulu dan tengan dari DAS Pakerisan merupakan wilayah dengan
intensitas hujan yang tinggi dan topografi yang curam. Berdasarkan arahan
klasifikasi fungsi kawasan di wilayah DAS Pakerisan, kawasan lindung di luar
kawasan hutan di wilayah DAS Pakerisan seluas 795,78 ha dan terbagi ke dalam
12 unit lahan.
Hasil analisis tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung di luar
kawasan hutan di wilayah DAS Pakerisan adalah tidak terdapat kriteria tingkat
kekritisan lahan sangat kritis, kritis dan tidak kritis. Kriteria tingkat kekritisan
lahan agak kritis sebanyak 8 unit lahan seluas 488,55 ha (61,39 %) yaitu unit
99
lahan nomor : 3, 7, 9, 21, 23, 26, 27 dan 29. Kriteria tingkat kekritisan lahan
potensial kritis sebanyak 4 unit lahan seluas 307,23 ha (38,61 %) yaitu unit lahan
nomor : 5, 18, 19 dan 20.
2. Kawasan Budidaya Pertanian
Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama
untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber
daya manusia, dan sumber daya buatan. Berdasarkan arahan klasifikasi fungsi
kawasan di wilayah DAS Pakerisan kawasan budidaya pertanian di wilayah DAS
Pakerisan sebanyak 87 unit lahan seluas 8.263, 53 ha.
Berdasarkan hasil analisis klasifikasi tingkat kekritisan lahan pada
kawasan budidaya pertanian di wilayah DAS Pakaerisan adalah tidak terdapat
kriteria tingkat kekritisan lahan sangat kritis dan kritis. Kriteria tingkat kekritisan
lahan agak kritis sebanyak 15 unit lahan seluas 997,68 ha (12,07 %) yaitu unit
lahan nomor : 4, 6, 8, 10, 11, 12, 13, 15, 16, 32, 33, 34, 35, 84 dan 85. Kriteria
tingkat kekritisan lahan potensial kritis sebanyak 16 unit lahan seluas 1.611, 86 ha
(19,51 %) yaitu unit lahan nomor : 2, 22, 24, 25, 28, 30, 31, 36, 76, 77, 78, 79, 80,
81, 82, dan 83.
Kriteria tingkat kekritisan lahan tidak kritis sebanyak 56 unit lahan seluas
5.653, 99 ha (68,42 %) yaitu unit lahan nomor : 14, 17, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43,
44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65,
66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97,
98, 99 dan 100.
Secara keseluruhan tingkat kekritisan lahan di DAS Pakerisan adalah tidak
kritis seluas 5.653,99 ha (62,19 %), potensiial kritis seluas 1.951,67 ha (21,47 %)
dan agak kritis seluas 1.486,23 ha (16,35 %). Sebaran dan tingkat kekritisan lahan
per arahan klasifikasi fungsi kawasan dan per wilayah desa pada DAS Pakerisan
disajikan sebagaimana Tabel 5. Secara lengkap peta tingkat kekritisan lahan DAS
Pakerisan sebagaiman tersaji pada Gambar 2.
100
Tabel 5. Sebaran Tingkat Kekritisan Lahan Per Arahan Klasifikasi Fungsi Kawasan dan Per Masing-Masing Wilayah Desa pada DAS
Pakerisan
No. Kabupaten Kecamatan Desa
TK PK AK Jumlah
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Hutan Lindung Bangli Kintamani Batur Tengah 32,58 - 32,58 - 32,58
Jumlah Hutan Lindung 32,58 - 32,58 - 32,58
2 Lindung Luar Kawasan Hutan Bangli Kintamani Batu Tengah 42,23 - - 42,23 42,23
Sekardadi 299,03 - 84,27 214,76 299,03
Susut Penglumbaran 121,91 - 62,55 59,36 121,91
Tiga 175,34 - 95,81 79,53 175,34
Gianyar Tampaksiring Manukaya 157,27 64,60 92,67 157,27
Jumlah Lindung Luar Kawasan Hutan 795,78 - 307,23 488,55 795,78
3 Budidaya Pertanian Bangli Kintamani Bayunggede 104,17 - 32,21 71,96 104,17
Sekardadi 82,99 - 82,99 - 82,99
Susut Penglumbaran 270,00 - 135,45 134,55 270,00
Sulahan 284,85 - 180,00 104,85 284,85
Susut 157,45 78,23 36,01 43,21 157,45
Tiga 281,28 - 281,28 - 281,28
Gianyar Blahbatuh Bedulu 57,45 57,45 - - 57,45
Belega 262,19 262,19 - - 262,19
Blahbatuh 164,48 164,48 - - 164,48
Bona 220,77 220,77 - - 220,77
Buruan 128,53 128,53 - - 128,53
Keramas 424,67 424,67 - - 424,67
Medahan 428,29 428,29 - - 428,29
Arahan Klasifikasi Fungsi Kawasan Luas (Ha) Tingkat Kekritisan Lahan
101
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Pering 651,23 621,24 - 29,99 651,23
Saba 155,85 119,52 - 36,33 155,85
Gianyar Abianbase 211,23 211,23 - - 211,23
Bakbakan 310,02 310,02 - - 310,02
Beng 80,65 80,65 - - 80,65
Bitera 395,17 361,18 - 33,99 395,17
Gianyar 229,02 229,02 - - 229,02
Lebih 128,81 128,81 - - 128,81
Petak 225,38 152,93 - 72,45 225,38
Petak Kaja 165,73 165,73 - - 165,73
Samplangan 36,84 36,84 - - 36,84
Serongga 245,23 245,23 - - 245,23
Siangan 438,8 336,61 49,82 52,37 438,80
Sumita 80,28 53,12 27,16 - 80,28
Suwat 254,46 254,46 - - 254,46
Tampaksiring Manukaya 875,89 73,51 465,37 337,01 875,89
Pejeng Kangin 311,87 155,11 156,76 - 311,87
Pejeng Kelod 186,05 69,96 116,09 - 186,05
Tampaksiring 413,90 284,21 48,72 80,97 413,90
Jumlah Budidaya Pertanian 8.263,53 5.653,99 1.611,86 997,68 8.263,53
Jumlah DAS Pekerisan 9.091,89 5.653,99 1.951,67 1.486,23 9.091,89
Sumber : Hasil pengolahan data
Keterangan : TK : Tidak Kritis, PK : Potensial Kritis, AK : Agak kritis
102
Gambar 2. Peta Tingkat Kekritisan Lahan DAS Pakerisan
B. Upaya Penanganan Lahan Kritis
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa meskipun yang dominan merupakan
lahan yang tidak kritis yaitu seluas 5.653,99 ha (68,42 %), tetapi juga terdapat lahan
potensial kritis seluas 1.951,67 ha (19,51 %) dan lahan agak kritis seluas 1.486,23 ha
(12,07 %). Lahan yang agak kritis dan potensial kritis tersebut tersebar di bagian hulu
dan tengah pada DAS Pakerisan, jika lahan agak kritis dan potensial kritis ini tidak
ditangani dengan baik maka dapat berubah menjadi lahan kritis atau sangat kritis. Hal
ini perlu mendapatkan prioritas penanganan, baik oleh pemerintah, swasta, dan
masyarakat mengingat DAS Pakerisan memiliki suatu peran dan fungsi yang sangat
strategis yaitu fungsi konservasi, dimana DAS Pakerisan tersebut juga merupakan
DAS yang telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia, dimana
kekritisan lahan di hulu dana atau tengah dapat mengancam keberadaan fungsi
hidrologis yang diperlukan masyarakat.
Lahan potensial kritis merupakan lahan yang belum termasuk kritis berada
setingkat dibawah ambang batas kekritisan lahan. Lahan tersebut akan menjadi kritis
apabila salah satu atau semua faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya lahan kritis
meningkat kearah yang lebih buruk. Sebagai contoh, apabila suatu lahan yang telah
berada dalam kategori lahan potensial kritis dengan penutupan lahan perkebunan
apabila diubah menjadi lahan pertanian musiman maka lahan tersebut akan menjadi
meningkat kekritisan lahannya (Mahmud, 2007).
Untuk menjaga agar tidak terjadi pergeseran atau perubahan status lahan
potensial kritis menjadi lahan agak kritis, maka perlu segera ditangani. Upaya
penanganan lahan agak kritis dan potensial kritis di DAS Pakerisan, dilakukan dengan
melihat semua faktor yang menyebabkan terjadinya lahan kritis tersebut.
Faktor penutupan lahan pada kawasan lindung di luar kawasan hutan, upaya
yang dapat dilakukan yaitu pada tutupan lahan jarang melalui penanaman
rumput/strip rumput, pertanaman campuran, penanaman menurut kontur, strip, dan
lorong, agroforestry, sedang pada tutupan lahan sedang melalui kegiatan pengkayaan
tanaman dan pemanfaatan lahan bawah tegakan.
Faktor produktivitas lahan pada kawasan budidaya, upaya yang dapat
dilakukan yaitu peningkatan produktivitas lahan melalui pengembangan komoditi
103
unggulan, penggunaan varietas unggul, penggunaan pupuk organik dan anorganik,
intensifikasi pertanian, dan tumpang sari.
Faktor manajemen pada kawasan hutan lindung, upaya yang dapat dilakukan
yaitu rekonstruksi dan pemetaan batas kawasan hutan secara berkala, patroli
pengamanan dan pengawasan kawasan hutan secara rutin, penambahan personil
pengamanan dan pengawasan kawasan hutan (jagawana), melibatkan aparat desa,
baik desa dinas maupun desa adat dalam pengamanan kawasan hutan dan penyuluhan
secara kontinyu oleh instansi terkait.
Faktor manajemen pada kawasan lindung di luar kawasan hutan dan kawasan
budidaya, upaya yang dapat dilakukan yaitu melalui konservasi tanah mekanik
berupa: pembuatan teras gulud, teras kredit, teras bangku, teras individu, dan teras
kebun.
Penutup Lahan kritis adalah lahan dengan kategori sangat kritis dan kritis (Keputusan
Gubernur Bali No. 1030/02-C/HK/2014 tanggal 29 April 2014 tentang Luasan Lahan
Kritis di Propinsi Bali Tahun 2013). Hal ini dimaksudkan bahwa untuk penanganan
lahan kritis perlu dibuat skala prioritas mengingat keterbatasan pemerintah dalam
pembiayaan rehabilitasi lahan kritis tersebut, namun demikian bukan berarti lahan
dengan kategori agak kritis dan potensial kritis tidak perlu ditangani. Penanganan
pada lahan tersebut diharapkan harus dilakukan secara swadaya oleh masyarakat atau
partisipasi pihak lain melalui bantuan bibit dari pemerintah atau swasta.
104
BAB VI
PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERBASIS MODAL
SOSIAL
Oleh: Dr. Ir. Nyoman Utari Vipriyanti, MSi dan Dr. Ir. I Ketut
Arnawa, MP
Pendahuluan
Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disebut DAS adalah suatu wilayah
daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang
berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan
ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis
dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas
daratan. (PP No 37 tentang Pengelolaan DAS, Pasal 1)
Daerah aliran sungai (DAS) digambarkan pula sebagai suatu wilayah daratan
yang secara topografik dibatasi oleh punggung – punggung gunung yang menampung
dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai
utama (Asdak, 2001). DAS merupakan suatu ekosistem yang terdiri dari komponen
abiotik dan biotik yang saling mempengaruhi. Pengelolaan suatu DAS harus
memperhatikan komponen–komponen yang terdapat di dalam DAS sehingga dapat
diketahui tingkat kemampuan DAS terhadap bahaya erosi. Komponen DAS terdiri
dari lingkungan alam, sosial dan budaya. Bab ini akan menyajikan pembahasan
mengenai lingkungan sosial dan budaya di daerah aliran sungai (DAS) khususnya
modal sosial dalam pengelolaan DAS.
Pengelolaan Darah Aliran Sungai
Menurut Asdak (1999), Pada salah satu bentuk model pengelolaan DAS,
pengelolaan DAS hulu-hilir yang dikaitkan dengan masalah ekonomi-sosial-budaya,
pengembangan wilayah dalam bentuk ekologis maupun administratif, yang menuju
pada optimalisasi penggunaan lahan dan mengefisienkan pemanfaatan sumber daya
air melalui perbaikan kelembagaan, teknologi, serta penyediaan pendanaan, yang
dapat dijabarkan sebagai berikut.
Gambar 1. Model Pengelolaan DAS (sumber Asdak 1999),
105
Selama ini metodologi perencanaan DAS secara terpadu kurang
memperhatikan aspekaspek yang mengintegrasikan berbagai kepentingan kegiatan
pembangunan, misalnya antara kepentingan pengembangan pertanian, kepentingan
industri, kepentingan daya dukung lingkungan (ecological demands). Perkembangan
pembangunan di bidang permukiman, pertanian, perkebunan, industri, eksploitasi
SDA berupa penambangan, dan eksploitasi hutan menyebabkan penurunan kondisi
hidrologis suatu DAS yang menyebabkan kemampuan DAS untuk berfungsi sebagai
penyimpan air pada musim hujan dan kemudian dipergunakan melepas air pada
musim kemarau. Ketika air hujan turun pada musim penghujan air akan langsung
mengalir menjadi aliran permukaan yang seringkali menyebabkan banjir dan
sebaliknya pada musim kemarau aliran air menjadi sangat kecil bahkan pada
beberapa kasus sungai tidak terdapat aliran air.
Pentingnya posisi DAS sebagai unit pengelolaan yang utuh merupakan
konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumberdaya hutan,
tanah dan air. Kurang tepatnya perencanaan dapat menimbulkan adanya degradasi
DAS yang mengakibatkan lahan menjadi gundul, tanah/lahan menjadi kritis dan erosi
pada lereng-lereng curam. Pada akhirnya proses degradasi tersebut dapat
menimbulkan banjir yang besar di musim hujan, debit sungai menjadi sangat rendah
di musim kemarau, kelembaban tanah di sekitar hutan menjadi berkurang di musim
kemarau sehingga dapat menimbulkan kebakaran hutan, terjadinya percepatan
sedimen pada waduk-waduk dan jaringan irigasi yang ada, serta penurunan kualitas
air. Asdak (1999)
Pada prinsipnya kebijakan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) secara
terpadu merupakan hal yang sangat penting dalam rangka mengurangi dan
menghadapi permasalahan sumberdaya air baik dari segi kualitas dan kuantitasnya.
Kebijakan ini oleh karenanya merupakan bagian terintegrasi dari kebijakan
lingkungan yang didasarkan pada data akademis maupun teknis, beragamnya kondisi
lingkungan pada beberapa daerah dan perkembangan ekonomi dan sosial sebagai
sebagai suatu keseluruhan dimana perkembangan daerah. Dengan beragamnya
kondisi, maka beragam dan spesifik juga solusinya. Keberagaman ini harus
diperhitungkan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan untuk memastikan
bahwa perlindungan dan penggunaan DAS secara berkelanjutan ada dalam suatu
rangkaian kerangka kerja (framework).
Gambaran Geografis, Sosial dan Budaya DAS Tukad Pakerisan
Lokasi Tukad Pakerisan berada di Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Bangli,
alirannya melintasi desa-desa yang memiliki latar belakang warisan budaya tinggi. DAS Tukad Pakerisan terbentuk dari endapan tufa dan endapan lahar Buyan-Beratan dan Batur. Berdasarkan aspek hidrogeologi DAS ini, di bagian kecil di daerah hulu kondisi geologi terbentuk dari tanah dengan kandungan air sangat sedikit kurang lebih 0,1 l/dt. Sebagian besar di bagian hulu kondisi tanah mempunyai kandungan air tanah kurang dari 1 l/dt. Pada zone tengah mempunyai kondisi tanah dengan kandungan air sedang kira-kira 5 l/dt. Sedangkan pada zone paling hilir mempunyai kandungan air besar 10 l/dt.
Topografi
Secara umum topografi kawasan studi mulai dari datar (3% - 8%), kemudian landai (0% - 3%), dan dibeberapa tempat bergelombang/agak
106
miring dengan kemiringan (9%). Untuk kedua DAS dari zone yang paling hulu mempunyai kemiringan relatif datar antara 3% - 8% sedangkan pada zone tengah mempunyai kondisi topografi bergelombang dengan kemiringan antara 8 % sampai 15 %. Pada daerah tebing Tukad mempunyai kemiringan curam di atas 50 %.
Bagian hilir Tukad Pakerisan merupakan daerah dengan topografi yang datar (0% - 3%) sampai jarak 10 km dari muara, dengan ketinggian antara 50 m sampai dengan 150 m di atas permukaan laut. Alur Sungai
Daerah Aliran Tukad Pakerisan memiliki luas total 68,54 km2, yang berada
dimasing-masing kecamatan meliputi: Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli 6,227
km2, Kecamatan Bangli Kabupaten Bangli 1,233 km
2, Kecamatan Susut Kabupaten
Bangli 9,666 km2, Kecamatan Tampaksiring Kabupaten Gianyar 18,760 km
2,
Kecamatan Gianyar Kabupaten Gianyar 28,670 km2, Kecamatan Blahbatuh
Kabupaten Gianyar 3,987 km2, dengan panjang Tukad utama 45,22 km.
Tukad Pakerisan memiliki satu Tukad utama dan 95 anak Tukad dengan 32
diantaranya merupakan tukad musiman seperti, Tukad Geria, Tukad Junk, Tukad
Melet, Tukad Pakerisan dan Tukad Tingge. Jumlah Tukad Kontinyu 63 diantaranya,
Tukad Geria, Tukad Janu, Tukad Latung, Tukad Lutung, Tukad Malet, Tukad
Melange, Tukad Melangi, Tukad Pakerisan, Tukad Tabu, yang kesemuanya bermuara
di Samudra Indonesia.
Sosial Ekonomi dan Budaya
Terdapat 30 desa yang terkait dengan DAS Tukad Pakerisan dengan luas wilayah
132,14 Km 2 dengan jumlah penduduk secara keseluruhan mencapai 167.434 jiwa.
Kepadatan penduduk secara keseluruhan mencapai 1267 orang/Km2
a. Sex Ratio (SR)
Perbandingan penduduk laki-laki dengan perempuan tidak menunjukkan
perbedaan yang mencolok atau hampir seimbang. Pada akhir Desember 2013
jumlah penduduk di Kabupaten Gianyar 427.889 jiwa dengan proporsi 216.274
jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 211.615 jiwa perempuan sehingga sex ratio
penduduk di Kabupaten Gianyar adalah sebesar 102.
b. Tingkat Pendidikan Penduduk
Tingkat pendidikan penduduk rata rata lulus SD (SLTP, SLTA, Sarjana
Muda/Diploma dan Sarjana) mencapai 66.73% %, sedangkan pendidikan
penduduk yang setingkat SD mencapai 15.79% dan penduduk yang tidak
berpendidikan adalah sisanya atau 17.47%. Walaupun demikian, berdasarkan
perhitungan secara rinci tingkat pendidikan penduduk per kecamatan, tampaknya
pendidikan penduduk di daerah Kecamatan Tampaksiring perlu mendapat
perhatian untuk ditingkatkan dalam rangka meningkatkan kualitas sumberdaya
manusia menuju pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Analisis kondisi sosial ekonomi bertujuan untuk mengetahui perubahan atau dinamika sosial dan ekonomi masyarakat sebelum, selama dan setelah adanya kegiatan pengelolaan DAS, baik secara swadaya maupun melalui program bantuan. Berdasarkan peran/pengaruh kondisi sosial ekonomi terhadap kondisi daya dukung DAS maka bobot kondisi sosial ekonomi ini adalah 20, sedangkan untuk masing-masing sub kriteria adalah sebagai berikut:
107
tekanan penduduk (10), tingkat kesejahteraan penduduk (7) dan keberadaan dan penegakan aturan (3). 1. Tekanan Penduduk
Tekanan penduduk didekati dengan indeks ketersediaan lahan yang merupakan perbandingan antara luas lahan pertanian dengan jumlah keluarga petani di dalam DAS. Data luas lahan pertanian diperoleh dari data penutupan lahan dan data jumlah keluarga petani bersumber dari Badan Pusat Statistik Provinsi Bali Tahun 2014 dan sebaran jumlah penduduk di wilayah DAS Pakerisan sebagaimana lampiran 2. Kondisi tekanan penduduk di wilayah DAS Pakerisan sebagaimana perhitungan berikut :
A IKL = P 7.997,32 ha = 9.627 kk = 1,20 ha/kk
Hasil perhitungan di atas menunjukan bahwa di wilayah DAS Pakerisan tekanan penduduk terhadap lahan pertanian masih termasuk kategori kelas sedang, dinama nilai hasil perbandingannya sebesar 1,20 ha/kk. Nilai total tekanan penduduk di wilayah DAS Pakerisan adalah 10.
Kondisi tekanan penduduk terhadap lahan pertanian yang sedang maka perlu upaya untuk mencari alternatif pekerjaan lain selain usaha pertanian, sehingga diharapkan dengan adanya pekerjaan lain maka tekanan terhadap lahan pertanian akan berkurang. 2. Tingkat kesejahteraan penduduk (TKP)
Dalam analisis ini tingkat kesejahteraan penduduk akan didekati dengan persentase perbandingan keluarga miskin dengan jumlah kepala keluarga. Data jumlah keluarga miskin dan jumlah kepala keluarga bersumber dari Badan Pusat Statistik Provinsi Bali Tahun 2014. Perhitungan tingkat kesejahteraan penduduk berdasarkan jumlah keluarga miskin sebagai berikut :
Jumlah KK miskin TKP = Jumlah Total KK
2.001 TKP = 45.030
= 4,4 %
Hasil perhitungan di atas menunjukan bahwa tingkat kesejahteraan
penduduk di wilayah DAS Pakerisan masih sangat tinggi, ini dapat dilihat dari persentase keluarga miskin yang hanya 4,4 % dari jumlah kepala keluarga yang
x 100 %
x 100 %
108
ada di wilayah DAS Pakerisan. Nilai 4,4 % tersebut maka tingkat kesejateraan penduduk di wilayah DAS Pakerisan termasuk ke dalam kelas sangat baik sehingga total nilai adalah 3,5.
3. Keberadaan dan penegakan norma
Keberadaan norma masyarakat, baik formal maupun informal, yang berkaitan dengan konservasi tanah dan air sangat diperlukan. Adanya norma tersebut dan pelaksanaannya secara luas dalam kehidupan masyarakat diharapkan memberikan dampak yang baik dalam peningkatan daya dukung DAS. Data mengenai keberadaan dan penegakan norma di wilayah DAS Pakerisan diperoleh dari Balai Pengelolaan DAS Unda Anyar, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berupa laporan Identifikasi Kelembagaan yang Mendukung Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Provinsi Bali.
Berdasarkan laporan tersebut diketahui bahwa di wilayah DAS Pakerisan terdapat norma atau aturan di masyarakat yang berkaitan dengan konservasi tanah dan air. Pelaksanaan dari norma atau aturan di lapangan telah dipraktekan secara luas, ini dapat dilihat dari penerapan pembuatan teras yang bertujuan untuk menahan laju erosi, selain itu kegiatan penanaman tanaman kayu-kayuan diantara tanaman semusim juga merupakan upaya konservasi tanah dan air. Berdasarkan data tersebut kelas keberadaan dan penegakan norma di wilayah DAS Pakerisan termasuk sangat baik dengan skor 0,5 sehingga nilai total adalah 1,5.
Kelembagaan/Institusi
Pranata sosial yang terdapat di sepajang DAS Tukad Pakerisan dapat
dikelompokan menjadi pranata yang bersifat formal, seperti keberadaan desa
dinas atau kelurahan. Desa Dinas/Kelurahan adalah suatu lembaga desa yang
dipimpin oleh seorang kepala desa atau lurah yang memfokuskan kegiatannya
pada bidang administrasi kepemerintahan formal atau kedinasan serta
pembangunan yang bersifat umum. Lembaga sosial yang bersifat tradisional
diantaranya desa adat dan subak.Desa adat adalah suatu lembaga tradisional yang
warganya diikat oleh kesatuan wilayah tempat tinggal yang sama, serta adanya
ikatan kahyangan desa (kahyangan tiga : Pura Puseh, Pura Desa dan Pura Dalem)
serta awig-awig (aturan adat) yang sama.
Keberadaan dan penegakan norma
Analisis keberadaan dan penegakan aturan dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya norma masyarakat, baik formal maupun informal, yang berkaitan dengan konservasi tanah dan air dan tingkat pelaksanaan dari norma dimaksud dalam kehidupan bermasyarakat. Adanya norma tersebut dan pelaksanaannya secara luas dalam kehidupan masyarakat diharapkan memberikan dampak yang baik dalam peningkatan daya dukung DAS. Data yang diperoleh merupakan data sekunder dari laporan instansi terkait.
Perhitungan analisis keberadaan dan penegakan norma sebagaiman tersaji pada Tabel 1.
109
Tabel 1. Analisis keberadaan dan penegakan norma
No. Nilai Skor Kelas 1. Ada, dipraktekkan luas 0,50 Sangat Baik 2. Ada, dipraktekkan terbatas 0,75 Baik 3. Ada, tapi tidak dipraktekkan lagi 1,00 Sedang 4. Tidak ada norma pro-konservasi 1,25 Buruk 5. Ada norma kontra konservasi 1,50 Sangat Buruk
Sumber : Kementerian Kehutanan, 2014
Kondisi Pengelolaan Sumber Daya Air DAS Pekerisan di Kabupaten Bangli
Kondisi suatu sumber daya air DAS Pekerisan di Kabupaten Bangli sangat
tergantung dari pengelolaan/manajemennya, baik dalam pengelolaan sumberdaya
alam (hutan, tanah dan air) maupun sumberdaya manusianya. Pengelolaan sumber
daya air DAS Pekerisan di Kabupaten Bangli dinilai belum optimal, hal ini
ditunjukkan oleh masih banyak wilayah yang mengalami kerusakan. Hal itu
diantaranya disebabkan oleh pengelolaan lahan yang belum mengikuti kaidah-kaidah
konservasi tanah dan air, pembangunan vila di sepanjang tukad Pekerisan yang
melanggar sempadan sungai dan jurang, kurangnya pemahaman masyarakat tentang
pengelolaan/ pelestarian DAS, pelanggaran sempadan sungai dan lain-lain.
Kurangnya pemahaman tentang pengelolaan/kelestarian DAS, penebangan
kayu pada daerah yang terjal, pembangunan sarana penunjang pariwisata hotel/vila,
restoran di sempadan sungai dan jurang, cenderung mendorong masyarakat hanya
mementingkan masalah ekonomi sesaat, tanpa mempedulikan dan memelihara
lingkungan sekitar, akibatnya masyarakat akan menggunakan lahannya tidak sesuai
fungsi/kemampuannya (lahan miring yang seharusnya digunakan untuk tanaman yang
memiliki fungsi hidrologis, tetapi digunakan untuk tanaman semusim) dan terjadinya
alih fungsi lahan. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya degradasi sumberdaya hutan
dan lahan, penutupan lahan yang minim, serta konservasi tanah yang kurang memadai.
Minimnya penutupan lahan menyebabkan air hujan akan langsung jatuh dipermukaan
tanah (energi kinetiknya besar) yang dapat menghancurkan agregat tanah, sehingga
mudah terbawa / terangkut bersama aliran permukaan. Keadaan ini akan meyebabkan
tingginya erosi dan sedimentasi, tanah longsor, banjir dan kekeringan yang pada
gilirannya akan menurunkan produktivitas tanah dan mengganggu tata air DAS.
Sisi ekonomi, jumlah/kepadatan penduduk sangat berpengaruh terhadap kondisi
lahan, karena semakin besar jumlah/kepadatan dan distribusi penduduk maka semakin
besar pula kebutuhan terhadap air.
Laju pertumbuhan penduduk pada setiap wilayah harus dapat dikendalikan sekecil
mungkin. Hal itu disebabkan karena setiap pertambahan penduduk akan menuntut
pertambahan kebutuhan akan sumberdaya alam. Adapun sumberdaya alam itu sendiri
cenderung habis dan kalau pun ada beberapa sumberdaya alam yang dapat dipulihkan
maka untuk memulihkan keberadaannya cenderung memerlukan waktu puluhan tahun.
Disamping itu dalam pelaksanaan pengelolaan DAS, sering dijumpai masalah
sulitnya melaksanakan tindakan secara terpadu antar berbagai sektor atau stakes
holder dalam DAS. Hal ini dibebabkan belum jelas dan tegasnya kewenangan dan
fungsi masing-masing sektor instansi terkait akibat adanya otonomi daerah di
110
kabupaten/kota. Oleh karena itu perlu dibentuk suatu lembaga sebagai wadah yang
dapat mengkoordinasikan berbagai kegiatan yang perkait dengan pengelolaan DAS.
Di tingkat provinsi lembaga tersebut sudah terbentuk, yaitu berupa Forum DAS
Provinsi Bali. Namun di kabupaten yang ada di Bali belum semuanya membentuk
Forum DAS.
Pengelolaan Sumber Daya Air DAS Pekerisan di Kabupaten Gianyar
1. Tujuan dan Sasaran Pengelolaan Sumber Daya Air DAS Pekerisan di
Kabupaten Gianyar
Tabel 4.5 Tujuan dan Sasaran Pengelolaan Sumber Daya Air
No
.
Masalah Tujuan Sasaran
1. Pembangunan fasilitas
pariwisata (hotel dan
vila) pada sempadan
sungai/ jurang
Mencegah alih fungsi
lahan dan menggunakan
lahan sesuai fungsi dan
daya dukungnya
DAS Pekerisan
(sempadan sungaidan
jurang)
2. Masyarakat kurang
paham tentang
kelestarian DAS
Menyadarkan masyarakat
tentang arti pentingnya
pengelolaan / kelestarian
DAS
Kelompok tani di
wilayah DAS Pekerisan
3. Rusaknya bangunan
bendung irigasi
Perbaikan bangunan
bendung irigasi
Subak di wilayah DAS
Pekerisan
4. Alih fungsi lahan Mencegah alih fungsi
lahan, penataan
pemanfaatan lahan
Kawasan lindung
utamanya, dalam
kawasan hutan
5. Degradasi hutan dan
lahan
Rehabilitasi sumberdaya
hutan dan lahan
Lahan kritis di DAS
Pekerisan
6. Erosi dan longsor Mencegah dan menahan
erosi, sedimentasi pada
badan-badan tukad,
menekan erosi dan
longsor
Lahan kritis dan rawan
longsor di DAS
Pekerisan
7. Galian C tanpa ijin Mencegah penambangan
pasir tanpa ijin
Desa Batur Kec.
Kintamani
8. Penebangan kayu di
daerah yang terjal
Mencegah/mengurangi
longsor
Di kecamatan
Tampaksiring
9. Pembuangan sampah
dan limbah ke tukad
Menertibkan dan
menekan dampak
pembuangan sampah dan
limbah
Daerah permukiman
dan alur tukad
10. Rendahnya pendapatan
dan partisipasi
masyarakat dalam
pengelolaan DAS
Meningkatkan
pendapatan dan
partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan DAS
Wilayah permukiman
DAS Pekerisan
11. Kelembagaan yang Membangun koordinasi Seluruh lembaga suasta
111
belum terkoordinasi kelembagaan antara hulu
dan hilir
dan lembaga
pemerintah di DAS
Pekerisan
12. Pemanfaatan kearipan
lokal belum optimal
Revitalisasi kearipan
lokal dalam pengelolaan /
pelestarian DAS
Kelompok tani di DAS
Pekerisan
Sumber: RPJM kabupaten dan Provinsi serta hasil wawancara dengan stakeholders
terkait
Penutup
112
BAB VII
PENGELOLAAN DAS DAN TANTANGAN BAGI SEKTOR
PERTANIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI PEKERISAN
Oleh: Dr. Ir. Utari Vipriyanti, MSi dan Dr. Ir. Deden Ismail, MSi
Pendahuluan
Pengelolaan DAS adalah upaya dalam mengelola hubungan timbal balik
antara sumber daya alam dengan sumber daya manusia di dalam DAS dan segala
aktivitasnya untuk mewujudkan kemanfaatan sumber daya alam bagi kepentingan
pembangunan dan kelestarian ekosistem DAS serta kesejahteraan masyarakat. Pada
hakekatnya pengeelolaan DAS merupakan perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan
sumberdaya alam berbasis ekosistem DAS untuk kesejahteraan manusia dan
kelestarian ekosistem DAS itu sendiri. Kegiatan pengelolaan DAS tersebut
menimbulkan dampak baik positif maupun negatif yang diantaranya dapat dilihat
melalui indikator aliran air di DAS yang bersangkutan. Adanya keterkaitan antara
kegiatan pengelolaan sumberdaya DAS dan dampak yang ditimbulkannya
memungkinkan untuk mengukur keberlanjutan pengelolaan sumberdaya yang
dilakukan. Hal ini yang melandasi digunakannya ekosistem DAS sebagai satuan
terbaik dalam pengelolaan sumberdaya berbasis ekosistem.
Keberadaan sumberdaya alam yang berbeda seringkali menempati wilayah
atau bentang alam yang sama, misalnya deposit bahan tambang dan mineral di dalam
kawasan hutan. Hal ini seringkali membawa konsekuensi terjadinya tumpang-tindih
kepentingan dan kewenangan pengaturan pengelolaan sumberdaya alam oleh instansi
yang berbeda. Berbagai konflik yang terkait dengan pengelolaan atau pemanfaatan
sumberdaya alam DAS, juga disebabkan karena belum adanya perangkat hukum yang
mengatur pengelolaan sumberdaya DAS.
Selain itu, konflik pemanfaatan sumberdaya seringkali terkait dengan belum
berjalannya keterpaduan antar sektor dan antar wilayah dalam kegiatan perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, pemantauan dan evaluasi pengelolaan DAS. Oleh karena
itu, pengelolaan sumberdaya di DAS yang sama oleh berbagai instansi yang berbeda
memerlukan koordinasi pengelolaan sumberdaya tersebut. Untuk mencapai efektivitas
koordinasi dalam pengelolaan sumberdaya DAS secara terpadu diperlukan payung
hukum peraturan perundang-undangan yang jelas sebagai acuan instansi-instansi
terkait dalam pelaksanaan tugasnya.
Prinsip-prinsip dasar dalam pengelolaan DAS (Departemen Kehutanan, 2009)
adalah :
a. Pengelolaan DAS dilaksanakan secara terpadu didasarkan atas DAS sebagai satu
kesatuan ekosistem, satu rencana, dan satu sistem pengelolaan;
b. Pengelolaan DAS terpadu melibatkan para pemangku kepentingan, terkoordinasi,
menyeluruh, dan berkelanjutan;
c. Pengelolaan DAS terpadu bersifat adaptif terhadap perubahan kondisi yang
dinamis sesuai dengan karakteristik DAS;
d. Pengelolaan DAS terpadu dilaksanakan dengan pembagian tugas dan fungsi, beban
biaya dan manfaat antar para pemangku kepentingan secara adil;
113
e. Pengelolaan DAS terpadu berlandaskan pada azas akuntabilitas.
Pengelolaan DAS terpadu adalah rangkaian upaya perumusan tujuan,
sinkronisasi program, pelaksanaan dan pengendalian pengelolaan sumberdaya DAS
lintas para pemangku kepentingan secara partisipatif berdasarkan kajian kondisi
biofisik, ekonomi, sosial, politik dan kelembagaan guna mewujudkan tujuan
pengelolaan DAS. Beberapa hal yang mengharuskan pengelolaan DAS
diselenggarakan secara terpadu (Departemen Kehutanan, 2009) adalah :
a. Terdapat keterkaitan antar berbagai kegiatan dalam pengelolaan sumberdaya dan
pembinaan aktivitasnya;
b. Melibatkan berbagai disiplin ilmu yang mendasari dan mencakup berbagai bidang
kegiatan;
c. Batas DAS tidak selalu berhimpitan/bertepatan dengan batas wilayah administrasi
pemerintahan;
d. Interaksi daerah hulu sampai hilir yang dapat berdampak negatif maupun positif
sehingga memerlukan koordinasi antar pihak.
Tujuan pengelolaan DAS terpadu sangat ditentukan oleh karakteristik biofisik,
sosial ekonomi, budaya dan kelembagaan yang ada pada tiap DAS. Secara umum
tujuan pengelolaan DAS terpadu yaitu : (1) Mewujudkan kondisi tata air DAS yang
optimal meliputi kuantitas, kualitas dan distribusi menurut ruang dan waktu; (2)
Mewujudkan kondisi lahan yang produktif sesuai dengan daya dukung dan daya
tampung lingkungan DAS secara berkelanjutan; (3) Mewujudkan kesadaran,
kemampuan dan partisipasi aktif para pihak dalam pengelolaan DAS yang lebih baik;
(4) Mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat (Departemen Kehutanan,
2009).
A. Monitoring dan Evaluasi DAS
Setiap daerah aliran sungai (DAS) memiliki karakteristik atau ciri, atau
kualitas yang khas yang dicirikan oleh parameter-parameter yang berkaitan dengan
keadaan morfometri, topografi, tanah, geologi, vegetasi, tata guna (penggunaan) lahan,
hidrologi, dan manusia. DAS merupakan suatu ekosistem sehingga setiap masukan
(inputs) ke dalam ekosistem dapat dievaluasi proses yang telah dan sedang
berlangsung dengan memperhitungkan keluaran (outputs) dari ekosistem tersebut
(Asdak, 1995).
Dalam sistem tata air ekosistem DAS, komponen masukannya berupa curah
hujan, sedangkan komponen luarannya terdiri dari debit air dan sedimen yang
terangkut. DAS merupakan prosesor yang terdiri dari komponen alami yang sulit
dikelola (morfometri DAS, geologi, dan sebagian sifat fisik tanah) dan komponen
yang relatif mudah dikelola (vegetasi, kesuburan, dan struktur tanah, dan lereng
mikro). Dalam memenuhi kehidupannya, manusia melakukan intervensi terhadap
sumberdaya alam dalam DAS, yang merupakan masukan, baik berupa teknologi
maupun sistem sosial ekonomi dan kelembagaan yang terbangun. Secara skematis
sistem DAS sebagai basis pemantauan dan evaluasi tata air dapat digambarkan seperti
pada gambar 1.
Jika ekosistem DAS tersebut dipandang sebagai suatu sistem pengelolaan
maka komponen-komponen DAS bisa dipilah atas faktor-faktor masukan, prosesor,
dan luaran. Setiap masukan ke dalam ekosistem DAS dapat diprakirakan proses yang
telah, sedang, dan akan terjadi melalui monitoring dan evaluasi luaran (hasil) dari
DAS tersebut, sebagaimana terlihat pada Gambar 1. Masukan ke dalam DAS dapat
berupa curah hujan yang bersifat alami dan manajemen yang merupakan bentuk
114
intervensi manusia terhadap sumber daya alam seperti teknologi yang tertata dalam
struktur sosial ekonomi dan kelembagaan (Kementerian Kehutanan, 2014).
Sumber : Kementerian Kehutanan, 2014
Gambar 1. Ekosistem DAS sebagai Basis Pengelolaan
Sifat alami dan intervensi manusia yang merupakan perwujudan pengelolaan
atas sumberdaya alam DAS akan mempengaruhi laju siklus air dalam sistem ekologi
DAS. Pengelolaan DAS yang dilakukan melalui kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan,
diarahkan untuk menghambat proses siklus air melalui pengelolaan lahan, yakni
dengan praktek konservasi tanah dan air secara vegetatif dan mekanis, sehingga air
hujan yang jatuh bisa dihambat untuk lebih banyak dimanfaatkan bagi kehidupan di
bumi daripada dibiarkan lebih banyak yang menjadi limpasan atau banjir.
Pertumbuhan vegetasi akan memberikan perlindungan tanah terhadap
pengikisan dan memperbesar air masuk ke dalam tanah atau memperkecil limpasan
permukaan melalui peran perakaran, seresah, dan tajuk. Sedangkan sifat alami seperti
morfometri DAS, geologi, dan sifat fisik tanah (kecuali struktur dan porositas)
merupakan faktor yang sulit dikelola, namun perlu dipahami sebagai dasar
penyusunan perencanaan pengelolaan. Penggunaan lahan dalam wilayah DAS tidak
hanya lahan pertanian atau non hutan tetapi seluruh bentuk penggunaan lahan,
termasuk hutan, pemukiman, dan perkebunan. Dengan demikian watak tata air DAS
(luaran) sangat beragam, tergantung dari hasil interaksi seluruh faktor penyusun
daerah tangkapan air (prosesor) dengan karakteristik hujan yang jatuh di atasnya
(masukan).
B. Lahan Kritis Dalam DAS
Dalam Undang-Undang 37 tahun 2014 tentang Konservasi Tanah dan Air
disebutkan bahwa lahan adalah bagian daratan dari permukaan bumi sebagai suatu
lingkungan fisik yang meliputi tanah beserta faktor yang mempengaruhi
penggunaannya seperti iklim, relief, aspek geologi, dan hidrologi yang terbentuk
secara alami maupun akibat pengaruh manusia. Sedangkan lahan kritis adalah lahan
yang fungsinya kurang baik sebagai media produksi untuk menumbuhkan tanaman
yang dibudidayakan atau yang tidak dibudidayakan.
Pengelolaan lahan merupakan suatu upaya yang dimaksudkan agar lahan dapat
berfungsi optimal sebagai media pengatur tata air dan produksi. Bentuk pengelolaan
lahan yang baik adalah dapat menciptakan suatu keadaan yang mirip dengan keadaan
alamiahnya (Kartasapoetra, 1985 dalam Arsyad, 2010).
Lahan merupakan bagian bentang alam (landscape) yang mencakup
pengertian dari fisik termasuk iklim, topografi (relief), hidrologi, dan keadaan
115
vegetasi alami (natural vegetation) yang semuanya secara potensial berpengaruh
terhadap penggunaan lahan (Djaenudin, 1999).
Kemampuan penggunaan lahan merupakan kesanggupan lahan untuk
memberikan hasil penggunaan pertanian pada tingkat produksi tertentu. Pemanfaatan
lahan yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air
menyebabkan terjadinya degradasi lahan yang pada akhirnya akan menimbulkan
lahan kritis.
C. Erosi dan Sedimentasi
Erosi adalah hilangnya atau terkikisnya tanah atau bagian-bagian tanah dari
suatu tempat oleh air atau angin. Erosi menyebabkan hilangnya lapisan tanah yang
subur dan baik untuk pertumbuhan tanaman serta berkurangnya kemampuan tanah
untuk menyerap dan menahan air. Tanah yang terangkut tersebut akan terbawa masuk
akan terbawa masuk sumber air yang dinamai sedimen, akan diendapkan di tempat
yang aliran airnya melambat; di dalam sungai, waduk, danau, saluran irigasi, di atas
tanah pertanian dan sebagainya. Dengan demikian, maka kerusakan yang ditimbulkan
oleh peristiwa erosi terjadi di dua tempat, yaitu (1) pada tanah tempat erosi terjadi,
dan (2) pada tempat tujuan akhir tanah yang terangkut tersebut diendapkan. Dampak
erosi tanah di tempat kejadian erosi dan di luar tempat kejadian erosi disajikan pada
Tabel 2.1 (Arsyad, 2010).
Erosi dan pengangkutan sedimen yang dilakukan oleh air merupakan suatu
proses penting dalam pembentukan suatu daerah aliran sungai dan mempunyai
konsekuensi ekonomi serta lingkungan yang penting. Erosi dan sedimentasi secara
alami akan mempengaruhi pembentukan lanskap (landscape) suatu DAS dan
sebaliknya bentuk dan kondisi fisik DAS akan sangat berpengaruh terhadap laju erosi
dan sedimentasi (Linsley dkk., 1996).
Masalah utama dalam usaha tani di lahan kering berlereng adalah terjadinya
erosi tanah bila tidak disertai dengan tindakan konservasi (Suwardjo dkk., 1981).
Erosi sangat merugikan produktivitas lahan karena dalam waktu relatif singkat, tanah
lapisan atas yang subur hilang. Sebagai contoh, tanah Latosol (Inceptisol) pada
kemiringan lahan 14% di Citayam, Bogor, yang ditanami tanaman semusim tanpa
tindakan konservasi tanah, mengalami kehilangan tanah setebal 2,50 cm/tahun dan
penurunan produktivitas lahan setelah dua tahun. Jika tanah yang hilang setebal 10 cm,
maka produksi dapat menurun lebih dari 50% meskipun dilakukan pemupukan
lengkap (Suwardjo, 1981). Kerusakan tanah karena hilangnya unsur hara dapat
diperbaiki dengan menambahkan pupuk yang tepat, tetapi kerusakan tanah akibat
hilangnya fungsi produksi dan hidrologi memerlukan proses rehabilitasi yang relatif
lama.
Tabel 2.1. Dampak Erosi Tanah
Bentuk
Dampak
Dampak di Tempat Kejadian
Erosi
Dampak di Luar Tempat
Kejadian Erosi
- Langsun
g
- Kehilangan lapisan tanah yang
relatif kaya unsur hara dan
bahan organik, dan memiliki
sifat-sifat fisik yang baik bagi
- Pelumpuran atau
sedimentasi dan
pendangkalan waduk,
sungai, saluran irigasi,
116
tempat akar tanaman
berjangkar
- Meningkatnya penggunaan
energi untuk berproduksi
- Kemerosotan produktivitas
tanah atau bahkan menjadi
tidak dapat digunakan untuk
berproduksi
- Kerusakan bangunan
konservasi dan bangunan
lainnya
- Pemiskinan petani penggarap
dan/atau pemilik tanah
muara sungai, pelabuhan
dan badan air lainnya
- Tertimbunnya lahan
pertanian, jalan dan rumah
atau bangunan lainnya
- Menghilangnya mata air
dan memburuknya kualitas
air
- Kerusakan ekosistem
perairan (tempat bertelur
ikan, terumbu karang dan
sebagainya)
- Kehilangan nyawa oleh
banjir dan tertimbun
longsor
- Meningkatnya areal banjir
dan frekuensi serta
lamanya waktu banjir di
musim hujan, dan
meningkatnya ancaman
kekeringan pada musim
kemarau
- Tidak
Langsung
- Berkurangnya alternatif
penggunaan lahan
- Timbulnya dorongan atau
tekanan untuk membuka lahan
baru dengan membabat hutan
- Timbulnya keperluan
penyediaan dana untuk
perbaikan bangunan
konservasi yang rusak
- Kerugian sebagai akibat
memendeknya umur guna
waduk dan saluran irigasi
dan tidak berfungsinya
badan air lainnya
Sumber : Arsyad, 2010
Erosi adalah hilangnya atau terkikisnya tanah atau bagian-bagan tanah dari
suatu tempat yang diangkut oleh air atau angin ke tempat lain. Proses pengendapan
sedimen yang dihasilkan oleh proses erosi yang terbawa oleh aliran air di suatu
tempat disebut sedimentasi (Arsyad , 2010).
Lebih lanjut Arsyad (2010) menyatakan bahwa erosi adalah akibat interaksi
kerja antara faktor-faktor iklim, topografi, tumbuhan (vegetasi), dan manusia terhadap
tanah yang dinyatakan dalam persamaan deskriptif berikut :
E = f (i, r, v, t, m)
dimana E adalah besarnya erosi, i adalah iklim, r adalah topografi, v adalah tumbuhan,
t adalah tanah, dan m adalah manusia. Persamaan di atas mengandung dua jenis
peubah, yaitu (1) faktor-faktor yang dapat diubah oleh manusia seperti tumbuhan
yang tumbuh di atas tanah (v), sebagian sifat tanah (t) yaitu kesuburan tanah,
ketahanan agregat, dan kapasitas infiltrasi tanah, dan satu unsur topografi (r) yaitu
117
panjang lereng, dan (2) faktor-faktor yang tidak dapat diubah manusia seperti iklim (i),
tipe tanah, dan kecuraman lereng. Penyelesaian masalah erosi secara efektif
bergantung pada hasil analisis terhadap setiap faktor dan hubungan antara faktor-
faktor tersebut.
Tanah dan bagian-bagian tanah yang terangkut oleh air dari suatu tempat
yang mengalami erosi pada suatu daerah aliran sungai (DAS) dan masuk ke dalam
suatu badan air secara umum disebut sedimen (Arsyad, 2010). Sedimen yang terbawa
masuk ke dalam sungai hanya sebagian saja dari tanah yang tererosi dari tempatnya.
Sebagian lagi dari tanah yang terbawa erosi akan mengendap pada suatu tempat di
lahan di bagian bawah tempat erosi pada DAS tersebut. Nisbah antara jumlah
sedimen yang terangkut ke dalam sungai terhadap jumlah erosi yang terjadi di dalam
DAS disebut Nisbah Pelepasan Sedimen (Sediment Delivery Ratio).
Sedimen yang dihasilkan oleh proses erosi dan terbawa oleh aliran air akan
diendapkan pada suatu tempat yang kecepatan airnya melambat atau terhenti.
Peristiwa pengendapan ini dikenal dengan peristiwa atau proses sedimentasi, yaitu
proses yang bertanggung jawab atas terbentuknya dataran-dataran aluvial yang luas
dan banyak terdapat di dunia, merupakan suatu keuntungan oleh karena dapat
memberikan lahan untuk perluasan pertanian atau pemukiman. Akan tetapi, sedimen
yang dihasilkan oleh erosi yang cepat pada tanah-tanah yang salah kelola lebih
banyak menimbulkan kerugian atau malapetaka bagi kehidupan manusia. Sedimen
yang terendapkan di dalam saluran, sungai, waduk, dan muara sungai akan
menyebabkan pendangkalan badan air tersebut, yang dapat menimbulkan kerugian
karena mengurangi fungsi badan air itu sendiri (Arsyad, 2010).
Faktor-faktor yang mempengaruhi sedimentasi adalah jumlah dan intensitas
hujan, formasi geologi dan jenis tanah, tata guna lahan, topografi, erosi di bagian
hulu, limpasan, karakteristik sedimen, dan hidrolika saluran. Menurut Breussers
(1974 dalam Setiawan 1999), sedimen dapat dibagi dalam dua kelompok berdasarkan
mekanisme pergerakannya sebagai berikut :
a. Suspended load, dimana partikel sedimen bergerak tersuspensi dalam aliran air
b. Bed load, dimana partikel sedimen bergerak secara menggelinding dan melompat.
Menurut kondisi asalnya (White., 1987, dalam Setiawan. 1999) sedimen dapat
dibagi dalam :
a. Bed materials transport, dimana material berasal dari saluran itu sendiri
b. Wash load, dimana material tidak hanya berasal dari sedimen bed materials,
tetapi ditambah oleh material dari luar saluran.
Dalam proses degradasi DAS, kejadian erosi dan sedimentasi adalah
merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Sedimentasi adalah merupakan
proses lebih lanjut dari kejadian erosi, yaitu ketika hasil erosi terangkut oleh aliran air
menuju ke alur sungai dan terangkut hingga terendapkan di tempat lain. Hal tersebut
dapat diartikan bahwa semakin tinggi laju erosi maka semakin tinggi pula laju
sedimentasi yang akan terjadi. Namun demikian tidak semua sedimen hasil erosi akan
masuk ke sungai dan terbawa ke luar daerah tampung atau daerah aliran sungai
(Karsun, 2014).
D. Klasifikasi Fungsi Kawasan
Dalam Undang-Undang RI Nomor 41 tahun 1999 menyebutkan bahwa hutan
adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam
hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu
dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Lebih lanjut dikatakan, kawasan hutan adalah
wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk
118
dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Hutan berdasarkan statusnya terdiri
dari hutan negara dan hutan hak. Hutan menurut fungsinya terdiri dari hutan
konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Hutan konservasi adalah kawasan
hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Hutan lindung adalah
kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem
penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi,
mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Hutan produksi adalah
kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan (Karsun,
2014).
Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam,
sumberdaya buatan, dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan
pembangunan berkelanjutan. Ruang lingkup kawasan lindung meliputi kawasan yang
memberikan perlindungan kawasan bawahnya, kawasan perlindungan setempat,
kawasan suaka alam, dan kawasan rawan bencana alam. Kawasan budidaya adalah
wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi
dan potensi sumber daya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan
(Departemen Kehutanan, 2009)
Rahim (2000) menjelaskan, untuk mengatur lahan-lahan di Indonesia sesuai
dengan peraturannya, Menteri Pertanian mengeluarkan Surat Keputusan Nomor.
837/Kpts/II/1980. Undang-undang Tata Ruang UU No. 24 tahun 1992, mengatur
lahan-lahan di Indonesia kedalam satu atau lebih dari kategori peruntukan baik
sebagai kawasan lindung, kawasan penyangga, kawasan budidaya tanaman tahunan,
kawasan budidaya tanaman semusim, dan kawasan pemukiman.
Ada tiga faktor yang dinilai dalam menentukan arahan klasifikasi fungsi
kawasan, meliputi : 1) lapangan menurut kemiringannya, 2) jenis tanah menurut
kepekaannya dan 3) curah hujan harian rata-rata (Karsun, 2014).
Daya Dukung DAS Tukad Pakerisan
Tabel 4.3. Analisis Daya Dukung DAS Tukad Pakerisan
No Kriteria/Sub Kriteria Bobot Nilai
1. Kondisi Lahan 40 35
a. Persentase Lahan Kritis 20 10
b. Persentase Penutupan Vegetasi 10 12,5
c. Indeks Erosi 10 12,5
2. Kondisi Tata Air 20 17,25
a. Koefisien Rejim Aliran (KRA) 5 3,75
b. Koefisien Aliran Tahunan (KAT) 5 2,5
c. Muatan Sedimen 4 6
d. Banjir 2 3
e. Indeks Penggunaan Air (IPA) 4 2
3. Kondisi Sosial Ekonomi 20 15
a. Tekanan Penduduk 10 10
119
b. Tingkat Kesejahteraan Penduduk 7 3,5
c. Keberadaan dan Penegakan Norma 3 1,5
4. Investasi Bangunan 10 7,5
a. Klasifikasi Kota 5 3,75
b. Klasifikasi Nilai Bangunan Air 5 3,75
5. Pemanfaatan Ruang Wilayah 10 5
a. Kawasan Lindung 5 2,5
b. Kawasan Budidaya 5 2,5
Jumlah Nilai 79,75
Sumber Data : Hasil Pengolahan Data Primer dan Sekunder
Tabel 4.4. Klasifikasi Kondisi Daya Dukung DAS
No. Nilai Kategori
1 DDD ≤ 70 Sangat Baik
2 70 < DDD ≤ 90 Baik
3 90 < DDD ≤ 110 Sedang
4 110 < DDD ≤ 130 Buruk
5 DDD > 130 Sangat Buruk
Sumber : Kementerian Kehutanan, 2014
Berdasarkan tabel 4.3 di atas hasil analisis daya dukung di DAS Pakerisan
diperoleh nilai sebesar 79,75 dan berdasarkan klasifikasi kondisi daya dukung DAS
sebagaimana tabel 4.4, maka kondisi daya dukung DAS Pakerisan termasuk katergori
―Baik‖. Kondisi yang masih baik tersebut diharapkan pengelolaan DAS Pakerisan ke
depan akan lebih baik lagi. Upaya-upaya yang dapat dilakukan baik oleh pemerintah,
swasta maupun masyarakat dalam rangka tetap menjaga kelestarian DAS Pakerisan
sebagai berikut :
1. Meningkatkan koordinasi antar sektor, antar instansi dan antar daerah
2. Menghilangkan egosektoral antar instansi/lembaga/daerah
3. Meningkatkan pemahaman semua pihak tentang artinya pentingnya pengelolaan
DAS
4. Meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS
5. Mengendalikan alih fungsi lahan
6. Melakukan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang bertujuan untuk
memulihkan lahan kritis.
120
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad,S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Bogor : IPB Press
Arsyad, Sintanala.2000.Konservasi Tanah dan Air. UPT Produksi Media Informasi
Lembaga Sumberdaya Informasi. IPB.
Asdak,Chay.2001.Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.Gadjah Mada
University Press : Bandung
Bras,R.L.1990.Hydrology : An Introduction to Hydrology Science. Addison Wesley.
Castellarin,A.,Burn, D.H.,Brath.A.2001.Assesing The Effectiveness of Hydrologycal
Similarity Measures for Flood Frequency Analysis :Journal of Hydrology.
Chow,VenTe.,Maidment. David R., May S., Larry W. 1988.Applied
Hydrology.Singapore :McGraw Hill International Editions, Civil Engineering
Series
Dinas PU Kabupaten Gianyar. 2012.Buku Profil Bidang Sumber Daya Air,
Pertambangan dan Enerji, Dinas PU Kabupaten Gianyar.
Islam, A.dan Kumar, A.2003.HYDRO : A Program for Frequency Analysis of
Rainfall Data. IE (I) Journal-AG Vol 84.
Jayadi, R.2000.Hidrologi I-Pengenalan Hidrologi. Yogyakarta : Jurusan Teknik Sipil,
Fakultas teknik, Universitas Gadjah Mada.
Jayadinata,Johara.T.1999.Tata Guna Tanah dalam PerencanaanPerdesaan,
Perkotaan danWilayah. Bandung: ITB.
Kepakisan dan Jayanthi.2010. Peradaban Air Sepanjang Tukad Pakerisan (Sejak Era
Bali Kuno Hingga Kini). Bali : Madyapadma
Konig, A.,Sægrov, S.,and Schilling, W.2002.Damage assessment for urban
flooding.USA : Ninth International Conference on Urban Drainage. Portland,
Oregon
Linsley, Ray K.Jr., Franzini, Joseph B.1979. Water Resources Engineering, Third
Edition.Tokyo. Japan : McGraw Hill International Book Company
Munich Reinsurance.2002.Topics: Annual review: Natural catastrophes 2002.
Munich Reinsurance.
Notodiharjo, M.,dkk.1998.Drainase Perkotaan.Jakarta: Jurusan TeknikSipil
Universitas Tarumanegara.
Pelling, M.2003.The Vulnerability of Cities. Natural Disasters and Social Resilience.
London. UK: EarthscanPublications Ltd
Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional
Siladharma, I.G.B., Yekti, M.I., Permana, G.I. 2007. Pengaruh Perubahan Tata Guna
Lahan Terhadap Debit Banjir. Berkala Ilmiah Teknik Keairan, Vol. 13, No. 3.,
Juli 2007.
Smith, K.,and Ward, R.1998. Floods: physical processes and human impacts. John
Wiley.,Chichester.1998. No. of pages: 382. Earth Surf. Process. Landforms.
Soemarto, CD. 1987. Hidrologi Teknik.Surabaya: Usaha Nasional
Sosrodarsono, Suyono. & Takeda, 1983. Hidrologi Untuk Pengairan. Jakarta:
Penerbit Pradnya Paramita
Sri Harto BR. 2001. Some Typical Catchment Parameters And Flow Components Of
Rivers On The Island Of Java.Forum Teknik., Jilid 25 No. 23.
Sri Harto BR.2000.Hidrologi : Teori, Masalah, Penyelesaian. Yogyakarta: Nafiri
Offset
Sri Harto. 1993.Analisis Hidrologi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
121
Sugiono, Soetomo.2002.Dari Urbanisasi ke Morfologi Kota. Mencari Konsep
Pembangunan Tata Ruang Kota yang Beragam.Semarang: Undip Press.
Sugiyono. 1999. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: CY Alfabeta
Suripin. 2003.Sistem Drainase Perkotaan Yang Berkelanjutan.Yogyakarta: Andi.
Tjahjati, Soegijoko Budhy., dkk.1997.Bunga Rampai PerencanaanPembangunan di
Indonesia. Jakarta: P.T. Gramedia Widiasarana.
Triatmojo,Bambang.2001.Diktat Kuliah Hidrologi. Yogyakarta: Jurusan Teknik Sipil,
Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada.
Viessman, W., Lewis, G.L., & Knapp, J.W., 1988. Introduction To Hydrology. USA:
Harper & Row Publishers, Inc.
122
231
BAB XI.
DAMPAK PEMANASAN GLOBAL TERHADAP KARAKTERISTIK DAS
PAKERISAN
Oleh : Dr. Ir. I Ketut Arnawa, MP dan Lusia, SP, M.Si
1. Pendahuluan
Pemanasan Global merupakan masalah yang harus dihadapi manusia sekarang
dan bukan lagi masalah masa depan. Kejadian ini adalah dampak akumulasi jangka
panjang dari polusi atmosfer akibat aktivitas manusia sehingga menyebabkan
lepasnya gas rumah kaca ke atmosfer dengan laju yang sangat tinggi yang kemudian
berdampak pada perubahan iklim. Kejadian iklim seperti banjir, kemarau panjang,
angin kencang sudah dirasakan semakin sering terjadi akhir-akhir ini dengan
intensitas yang tinggi. Kejadian ini semakin menimbulkan dampak yang semakin
besar dengan tingginya tingkat kerusakan lingkungan (Boer dkk, 2010).
Kegiatan manusia telah menyebabkan terjadinya peningkatan emisi Gas
Rumah Kaca (GRK) yang menimbulkan terjadinya fenomena pemanasan global dan
mengakibatkan terjadinya perubahan iklim. Perubahan iklim, terutama unsur suhu dan
curah hujan sangat berpengaruh pada kondisi hidrologis (Myatt et al.,2003). Perubahan iklim dan dampaknya terhadap lingkungan belakangan ini menjadi isu
penting sejak sekitar tahun 1990-an. Perubahan iklim ini identik dengan
meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan
seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang
ekstrim, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi (Myatt et al.,2003). Pembuktian-pembuktian ilmiah menunjukkan bahwa selama beberapa dekade
belakangan ini telah terjadi perubahan iklim global yang dominan disebabkan oleh
emisi karbon dari aktivitas manusia (Intergovernmental Panel and Climate Change,
2001, 2007).
Pemanasan global (global warming) pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan
temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse
effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida
(CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan chloroflurocarbon (CFC) sehingga
energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Berbagai literatur menunjukkan
kenaikan temperatur global – termasuk Indonesia – terjadi pada kisaran 1,5–40°C
pada akhir abad 21 (Foley, 1993).
Boer dan Perdinan (2008) menunjukkan bahwa berdasarkan hasil penelusuran
terhadap database bencana alam intenasional (International Disaster Database)
banyak bencana alam yang masuk ke dalam kategori bencana global sebanyak 345
bencana. Sekitar 60% dari bencana alam tersebut ialah bencana alam akibat kejadian
iklim ekstrim seperti banjir, kekeringan, kebakaran hutan, angin kencang/badai, tanah
longsor, gelombang pasang tinggi dan meledaknya penyakit. Temuan ini sejalan
dengan hasil kajian Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC, 2007)
bahwa pemanasan global akan meningkatkan frekuensi dan intensitas kejadian iklim
ekstrim.
Di Indonesia, kejadian iklim ekstrim seringkali berasosiasi dengan fenomena
El Nino Southern Osciallation (ENSO). El Nino Southern Oscillation (ENSO)
merupakan salah satu kejadian iklim ekstrim di wilayah Pasifik Tropis yang
memainkan peranan penting dalam mengendalikan keragaman iklim di Indonesia,
232
khususnya curah hujan (CH) yaitu kemarau panjang pada tahun-tahun El Niño dan
hujan jauh diatas normal pada tahun-tahun La Niña (Boer dkk, 2010).
Naylor, dkk (2007) menunjukkan bahwa ada pengaruh pemanasan global
terhadap perubahan musim di Pulau Jawa. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
untuk daerah di selatan khatulistiwa akan mengalami penurunan curah hujan
sedangkan di utara khatulistiwa akan mengalami kenaikan curah hujan. Hasil proyeksi
Naylor, dkk (2007) menunjukkan bahwa dalam 40 tahun mendatang, terjadinya
pemanasan global akan menyebabkan awal musim hujan di Jawa Tengah akan
mengalami kemunduran dengan curah hujan yang cenderung turun sedangkan akhir
musim hujan akan lebih cepat dengan curah hujan yang cenderung naik. Hal ini
berimplikasi pada semakin meningkatnya risiko kekeringan pada musim kemarau dan
resiko banjir atau bahaya longsor pada musim hujan. WWF (2007) menyatakan
perubahan distribusi curah hujan tersebut menyebabkan berbagai potensi bencana
alam yang dipicu oleh curah hujan menjadi semakin tinggi, seperti : banjir, longsor,
peluapan sungai, dan penyebaran vektor penyakit, sedangkan pada kondisi curah
hujan yang mengecil dapat terjadi potensi bencana seperti : kekeringan, gagal panen,
kekurangan air bersih, dan berbagai permasalahan sosial yang mungkin timbul,
seperti monopoli air di DAS Citarum.
Kerusakan lingkungan khususnya kerusakan tutupan hutan di wilayah
tangkapan air hujan akan menambah dampak terhadap terjadinya perubahan iklim.
Pada tahun 1984, Daerah Aliran Sungai (DAS) yang rusak baru sekitar 22 DAS dan
pada tahun 1998 jumlahnya meningkat menjadi 58 DAS. Di Jawa, antara tahun 1992
dan 1998, jumlah DAS yang rusak meningkat tajam dan kemudian setelah tahun 1998
sebagian dari DAS ini sudah direhabilitasi (Boer dkk, 2010). Kerusakan DAS akan
mengakibatkan meningkatnya risiko terjadinya kekeringan pada musim kemarau dan
banjir khususnya pada daerah hilir pada musim penghujan.
Salah satu DAS di Provinsi Bali yang perlu mendapat perhatian pemerintah
dan masyarakat Kabupaten Gianyar adalah DAS Tukad Pakerisan. Daerah Aliran
Sungai (DAS) Tukad Pakerisan yang merupakan warisan budaya dunia (world
cultural heritage) yang ditetapkan oleh UNESCO dengan nomor C 1194 dan
merupakan perlindungan kawasan strategis berupa Istana Presiden Republik
Indonesia. DAS Tukad Pakerisan melewati dua kabupaten di Bali yaitu Kabupaten
Bangli dan Kabupaten Gianyar. Tukad yang memiliki panjang 34,50 km dengan DAS
68,54 km2 ini disepanjang alirannya terdapat situs Tirtha Empul, Candi Yeh
Mangening, Candi Tebing Gunung Kawi, Campuhan, Tampak Siring, Candi Tebing
Kerobokan, Candi Pengukur-ukuran serta Candi Tebing Tegal Linggah (Kepakisan
dan Jayanthi, 2010).
DAS Tukad Pakerisan menyediakan sumber daya alam yang banyak
memberikan manfaat bagi penduduk di sekitarnya, antara lain sebagai sumber daya
pertanian, sumber air bersih maupun pemanfaatan air lainnya. Berbagai akitivitas
masyarakat di sepanjang DAS Tukad Pakerisan berpengaruh pada kondisi kualitas
dan kuantitas DAS Tukad Pakerisan. Selain itu perubahan iklim (peningkatan suhu
serta curah hujan) berpengaruh pada kondisi hidrologi DAS Tukad Pakerisan.
DAS Tukad Pakerisan bagian tengah (dusun Malet) memiliki tingkat
kerentanan/kerawanan longsor dan banjir sampai pada kelas rawan (BPDAS Unda
Anyar, 2009). Kondisi ini terjadi karena dusun Malet mempunyai kemiringan lebih
dari 40% dan terjadi perubahan vegetasi dari tanaman hutan menjadi tanaman
hortikultura.
233
2. Fungsi, Karakteristik dan Kelembagaan DAS
2.1 Fungsi DAS
Fungsi DAS dapat ditinjau dari dua sisi yaitu : (1) sisi ketersediaan (supply)
yang mencakup kuantitas aliran sungai (debit), waktu, kualitas aliran sungai ; (2) sisi
permintaan (demand) yang mencakup tersedianya air bersih, tidak terjadinya bencana
banjir, tanah longsor serta genangan lumpur (Rahayu, 2009).
Fungsi hidrologis DAS sangat dipengaruhi jumlah curah hujan yang diterima,
geologi yang mendasari dan bentuk lahan. Fungsi hidrologis yang dimaksud termasuk
kapasitas DAS menurut Farida et al. (2005) yaitu untuk : (1) mengalirkan air; (2)
menyangga kejadian puncak hujan; (3) melepas air secara bertahap; (4) memelihara
kualitas air; dan (5) mengurangi pembuangan massa (seperti tanah longsor). Aktivitas
yang mempengaruhi komponen DAS di bagian hulu akan mempengaruhi kondisi
DAS bagian tengah dan hilir. Batas DAS secara administratif hanya dapat tercakup
dalam satu kabupaten hingga melintas batas provinsi dan negara. Suatu DAS yang
sangat luas dapat terdiri dari beberapa sub DAS yang kemudian dapat dikelompokkan
lagi menjadi DAS bagian hulu, DAS bagian tengah dan DAS bagian hilir (Dephut,
2003). Fungsi dari setiap sub DAS tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, DAS bagian hulu dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi
lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan. DAS
bagian hulu dicirikan sebagai daerah dengan lanskap pegunungan dengan variasi
topografi, mempunyai curah hujan yang tinggi dan sebagai daerah konservasi untuk
mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi. DAS bagian hulu
mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata air, karena itu
setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak di daerah hilir
dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen sistem aliran airnya.
Kedua, DAS bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai
yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi,
yang antara lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan
menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana
pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau.
Ketiga, DAS bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang
dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang
diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air,
ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta
pengelolaan air limbah. Bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan yang relatif
landai dengan curah hujan yang lebih rendah. Semakin ke hilir, mutu air, kontinuitas,
kualitas dan debit akan semakin berkurang kualitasnya dibandingkan dengan DAS
bagian hulu. Hal ini terjadi karena badan air di hulu tercemari oleh kegiatan-kegiatan
manusia baik domestik maupun industri, sehingga badan air di bagian hilir mengalami
kondisi dan kualitas yang kurang baik. Keberadaan sektor kehutanan di daerah hulu
yang terkelola dengan baik dan terjaga keberlanjutannya dengan didukung oleh
prasarana dan sarana di bagian tengah akan dapat mempengaruhi fungsi dan manfaat
DAS di bagian hilir, baik untuk pertanian, kehutanan maupun untuk kebutuhan air
bersih bagi masyarakat secara keseluruhan.
2.2. Karakteristik DAS
Karakteristik DAS adalah suatu sifat yang khas yang melekat pada DAS
tersebut. Karakteristik DAS terbagi dalam dua bagian, yaitu karakteristik statis dan
karakteristik dinamis. Karakteristik statis merupakan variabel dasar yang tidak mudah
berubah dan akan sangat menentukan proses hidrologi yang terjadi pada DAS tersebut.
234
Dalam hal ini karakteristik DAS meliputi variabel morfologi dan morfometri DAS.
Selain itu terdapat pula karakteristik DAS yang bersifat dinamik, yaitu variabel yang
akan mempengaruhi percepatan perubahan kondisi hidrologi di dalam DAS. Variabel
yang termasuk dalam karakteristik dinamis DAS adalah meterologi/klimatologi,
penutup/penggunaan lahan, kondisi sosekbud masyarakat di dalam DAS, dan kondisi
kelembagaan pengelola DAS (Kementrian Kehutanan, 2013).
Karakteristik Meteorologi DAS (Iklim)
1) Curah Hujan
Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang
datar, tidak menguap, tidak meresap dan tidak mengalir. Curah hujan 1 (satu)
milimeter artinya dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar tertampung
air setinggi satu milimeter atau tertampung air sebanyak satu liter. Satuan curah hujan
selalu dinyatakan dalam satuan millimeter atau inchi namun untuk di Indonesia satuan
curah hujan yang digunakan adalah dalam satuan millimeter (mm). Hujan merupakan
input air yang masuk dalam suatu DAS, oleh karena itu mengetahui besarnya curah
hujan sangat penting. Untuk dapat mengetahui besarnya curah hujan yang terjadi
diperlukan data curah hujan yang diperoleh melalui stasiun-stasiun hujan, baik yang
dikelola oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Kementerian
Kehutanan ataupun dinas/instansi lain yang bersangkutan (Kementrian Kehutanan,
2013).
2) Intensitas Hujan
Intensitas hujan adalah banyaknya curah hujan persatuan jangka waktu tertentu.
Apabila dikatakan intensitasnya besar berarti hujan lebat dan kondisi ini sangat
berbahaya karena berdampak dapat menimbulkan banjir, longsor dan efek negatif
terhadap tanaman. Intensitas hujan harian selama 1 tahun adalah rata-rata intensitas
hujan setiap harinya selama 1 tahun, sedangkan intensitas hujan tahunan, total dari
seluruh intensitas hujan sepanjang tahun.
3) Kelembaban
Kelembaban adalah banyaknya kadar uap air yang ada di udara. Dalam
kelembaban dikenal beberapa istilah, seperti : (1) Kelembaban mutlak adalah masa
uap air yang berada dalam satu satuan udara; (2) Kelembaban spesifik merupakan
perbandingan massa uap air di udara dengan satuan massa udara; (3) Kelembaban
relatif merupakan perbandingan jumlah uap air di udara dengan jumlah maksimum
uap air yang dikandung udara pada temperatur tertentu (Kartasapoetra, 2004).
Salah satu fungsi utama kelembaban udara adalah sebagai lapisan pelindung
permukaan bumi. Kelembaban udara dapat menurunkan suhu dengan cara menyerap
atau memantulkan sekurang-kurangnya setengah radiasi matahari gelombang pendek
yang menuju permukaan bumi dan menahan keluarnya radiasi matahari gelombang
panjang dari permukaan bumi pada waktu siang dan malam hari (Asdak, 1995).
Keadaan kelembaban di atas permukaan bumi berbeda-beda. Pada umumnya,
kelembaban tertinggi ada di khatulistiwa sedangkan yang terendah pada lintang 40o.
Kelembaban udara tertinggi dicapai pada musim hujan dan terendah pada musim
kemarau. Kelembaban dipengaruhi oleh adanya pohon pelindung terutama apabila
pohonnya rapat (Kartasapoetra, 2004).
4) Suhu
Suhu adalah derajat panas atau dingin yang diukur berdasarkan skala tertentu
dengan menggunakan termometer. Satuan suhu yang biasa digunakan adalah derajat
celcius (oC), sedangkan di Inggris dan beberapa negara lainnya dinyatakan dalam
derajat Fahrenheit (oF) (Kartasapoetra, 2004).
235
Faktor-faktor yang mempengaruhi suhu di permukaan bumi antara lain : (1)
Jumlah radiasi yang diterima per tahun, per hari dan per musim; (2) Pengaruh daratan
atau lautan; (3) Pengaruh ketinggian tempat; (4) Pengaruh angin secara tidak langsung,
misalnya angin yang membawa panas dari sumbernya secara horizontal; (5) Pengaruh
panas laten yaitu panas yang disimpan dalam atmosfer; (6) Penutup tanah, yaitu tanah
yang ditutup vegetasi yang mempunyai temperature yang lebih rendah dari pada tanah
tanpa vegetasi; (7) Tipe tanah, tanah gelap indeks suhunya lebih tinggi; (8) Pengaruh
sudut datang sinar matahari. Sinar yang tegak lurus akan membuat suhu lebih panas
dari pada yang datangnya miring (Kartasapoetra, 2004).
Suhu udara merupakan unsur cuaca dan iklim yang sangat penting dan berubah
sesuai dengan tempat. Tempat yang terbuka, suhunya akan berbeda dengan tempat
yang bergedung, demikian pula suhu di ladang berumput berbeda dengan ladang yang
dibajak (Tjasjono, 1995).
a. Tanah
Tanah sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur iklim yaitu hujan, suhu dan
kelembaban (Kartasapoetra, 2004).Tipe dan distribusi tanah dalam suatu daerah aliran
sungai sangat berpengaruh dalam mengontrol aliran bawah permukaan (subsurface
flow) melalui infiltrasi. Variasi dalam t ipe tanah dengan kedalaman dan luas tertentu
akan mempengaruhi karakteristik infiltrasi dan timbunan kelembaban tanah (soil
moisture storage) (Kementrian Kehutanan, 2013).
Jenis tanah dengan tekstur pasir akan mempunyai tingkat infiltrasi yang lebih
tinggi dibandingkan dengan jenis tanah bertekstur lempung. Dengan demikian jenis
tanah dengan tekstur pasir (kasar) akan mempunyai limpasan permukaan yang lebih
kecil dari pada jenis tanah dengan tekstur lempeng (halus). Untuk kondisi ini, DAS
yang dominan dengan jenis tanah bertekstur halus lebih mudah terjadi erosi dari pada
DAS yang dominan dengan jenis tanah bertekstur kasar (Kementrian Kehutanan,
2013).
b. Vegetasi
Vegetasi menghalangi curah hujan yang jatuh, sehingga air hujan tidak jatuh
langsung di permukaan tanah, akibatnya daya penghancur air hujan berkurang.
Vegetasi juga dapat berfungsi untuk menghambat aliran permukaan dan
memperbanyak air terinfiltrasi. Penggunaan lahan yang paling efektif untuk
mengurangi erosi adalah hutan namun rumput-rumputan yang tumbuh rapat dapat
berfungsi sama efektifnya (Rahayu, 2009).
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan daerah resapan air yang dapat
mengatur sistem tata air. Secara alami kualitas DAS dipengaruhi oleh faktor biofisik
pembentuk tanah yaitu relief, topografi, fisiografi, iklim, tanah, air dan vegetasi (Tan,
1991). Namun penggunaan lahan yang berkaitan erat dengan aktivitas manusia
menyebabkan keseimbangan ekosistem DAS terganggu.
Pemanfaatan lahan biasanya secara langsung menyebabkan perubahan tata guna
lahan di suatu wilayah. Perubahan tata guna lahan seringkali tidak disertai dengan
tindakan pencegahan kerusakan lahan sehingga lahan semakin terdegradasi ditandai
dengan tingginya tingkat erosi dan sedimentasi serta rendahnya resapan air hujan.
Alih fungsi lahan oleh manusia umumnya mengubah vegetasi dan pengelolaan lahan
(Yusmandhany, 2004).
c. Sosial Ekonomi Masyarakat
Karakteristik DAS ditentukan pula oleh manusianya, maka aspek sosial,
ekonomi dan budaya masyarakat mempunyai peranan penting untuk dijadikan
prioritas utama dalam pengelolaan DAS. Kondisi sosial ekonomi masyarakat akan
mempengaruhi kondisi suatu DAS (Kementrian Kehutanan, 2013).
236
Zaeni (1987) mengatakan bahwa penanggulangan DAS tidak hanya bertumpu
pada kawasan hutan saja, akan tetapi meliputi kawasan budidaya tanaman dan
kawasan pemukiman, yang umumnya adalah daerah pedesaan. Pelibatan masyarakat
pedesaan tersebut dalam pengelolaan DAS memerlukan pendekatan khusus yang
harus dilandasi oleh pengetahuan sosiologi yang mapan. Sugihen dalam Wibowo
(2003) mengatakan bahwa hubungan antara manusia dengan tanah di pedesaan dapat
dibagi dua, yaitu bertani sebagai suatu gaya hidup (a way of life) dan bertani sebagai
mata pencaharian (a way of making a living). Bertani sebagai suatu gaya hidup hanya
sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidup, akan tetapi bertani sebagai suatu mata
pencaharian, disini ada unsur mencari keuntungan sehingga ada kemungkinan untuk
mengeksploitir lahan yang ada. Dalam mengkaji unsur-unsur sosial, ekonomi dan
budaya yang terkait dengan pengelolaan DAS, ilmu pengetahuan yang berbasis pada
ilmu geografi dan lingkungan yang dikembangkan diantaranya oleh Edward Buckle
dari Inggris (1821-1862) dan Le Play dari Perancis dalam Soekanto (1977), yang
menyatakan bahwa masyarakat hanya mungkin timbul dan berkembang apabila ada
tempat berpijak dan tempat hidup bagi masyarakat tersebut. Ajaran dan teorinya
mengungkapkan adanya korelasi antara tempat tinggal dengan aneka ragam
karakteristik kehidupan sosial.
Dari uraian-uraian terdahulu dapat disimpulkan bahwa keadaan sosial ekonomi
masyarakat meliputi : tingkat ketergantungan penduduk terhadap lahan, yang terdiri
dari luas pemilikan lahan, status pemilikan lahan, diversifikasi mata pencaharian,
distribusi alokasi waktu kerja dan tradisi/ kebiasaan khusus. Tingkat adopsi petani
terhadap teknologi konservasi dan keberadaan dan aktifitas kelembagaan yang ada
(Departemen Kehutanan, 1998)..
2.3. Kelembagaan DAS
Peran Lembaga Pemerintah dan Lembaga Adat Dalam Konservasi DAS
Pengembangan kelembagaan merupakan bagian dari strategi pengelolaan suatu
DAS. Dengan adanya pengembangan kelembagaan diharapkan dapat menggerakkan
para pihak untuk berperan secara aktif dalam pengelolaan lingkungan di suatu DAS.
Di samping itu, dengan penguatan kelembagaan maka pembagian peran menjadi lebih
jelas. Masing-masing pihak akan mengetahui dengan pasti wewenang dan tanggung
jawabnya, sehingga sistem pengelolaan suatu DAS dapat dilaksanakan secara optimal.
Dalam hal ini pihak pemerintah kabupaten/kota berperan sebagai ujung tombak dalam
pelayanan kepada masyarakat dan lebih kompeten dalam upaya pemberdayaan
masyarakat dan upaya pengembangan kelembagaan masyarakat (Giyarsih, 2010).
Sinergisme Fungsi Kelembagaan DAS
Sinergisme fungsional kelembagaan antar institusi dalam ruang/wilayah/daerah
yang sama dalam pengelolaan suatu DAS perlu diatur untuk menentukan tugas dan
wewenang, sehingga penanganan program pembangunan dapat dilaksanakan dengan
baik. Walaupun dalam beberapa hal terkendala dengan alokasi dana, tenaga, dan
waktu namun apabila job descriptions telah jelas terumuskan, maka semua tindakan
yang dilakukan oleh institusi yang berbeda akan bersifat komplementer dengan tujuan
akhir yang sama (Kementrian Kehutanan, 2013).
237
3. Pemanasan Global
Kenaikan suhu muka bumi global atau biasa dikenal dengan istilah pemanasan
global (global warming) disebabkan oleh timbunan gas-gas rumah kaca seperti
karbon dioksida, metana, nitrat oksida dan klorofluorokarbon di atmosfer (Foley,
1993). Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) 2007
menyatakan bahwa kegiatan manusia ikut berperan dalam pemanasan global sejak
pertengahan abad ke-20.
IPCC (2007) menyatakan bahwa pemanasan global dapat menyebabkan
perubahan yang signifikan dalam sistem fisik dan biologis seperti peningkatan
intensitas badai tropis, perubahan pola presipitasi, salinitas air laut, perubahan pola
angin, masa reproduksi hewan dan tanaman, distribusi spesies dan ukuran populasi,
frekuensi serangan hama dan wabah penyakit, serta mempengaruhi berbagai
ekosistem yang terdapat di daerah dengan garis lintang yang tinggi, lokasi yang tinggi
serta ekosistem-ekosistem pantai.
Pemanasan global mengakibatkan perubahan iklim dan kenaikan frekuensi
maupun intensitas kejadian cuaca ekstrim (kekeringan dan curah hujan ekstrim) yang
pada gilirannya akan menimbulkan resiko bencana iklim yang lebih besar (IPCC,
2007).
Fenomena pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim juga akan
mengakibatkan terjadinya perubahan sosial/kependudukan dan budaya. Berbagai
kajian sosial menemukan bahwa pola hubungan sosial berkaitan sangat erat dengan
pola iklim. Dengan kata lain, pola sosial dan budaya dipengaruhi secara langsung oleh
kondisi iklim setempat (Kementrian Negra Lingkungan Hidup, 2007).
3.1. Penyebab Terjadinya Pemanasan Global
Terjadinya pemanasan global dapat dipengaruhi oleh adanya aktivitas manusia
maupun aktivitas alam itu sendiri (alamiah). Aktivitas manusia yang diperkirakan
berkontribusi pada kenaikan suhu bumi antara lain adalah aktivitas yang
meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) maupun aktivitas yang
mempercepat terjadinya penipisan lapisan ozon (Bratasida, 2002).
Beberapa aktivitas yang ditengarai menghasilkan GRK (CO2, CH4 dan N2O)
adalah : (1) Aktivitas yang menghasilkan gas CO2 (karbon dioksida) seperti kegiatan
penggunaan bahan bakar kayu, minyak bumi, gas alam dan batu bara oleh industri,
kendaraan bermotor dan rumah tangga serta pembakaran hutan; (2) Kegiatan yang
menghasilkan gas CH4 (metan) seperti kegiatan proses produksi dan pengangkutan
barubara, minyak bumi dan kegiatan pembakaran biomas yang tidak sempurna serta
kegiatan penguraian oleh bakteri di tempat pembuangan akhir (TPA), ladang padi dan
peternakan; (3) Kegiatan yang menghasilkan gas N2O (nitrat oksida) hasil dari
pemakaian pupuk nitrogen yang berlebihan di dalam usaha penanaman padi, aktivitas
industri yang menggunakan limbah padat sebagai bahan bakar alternatif dan
penggunaan bahan bakar minyak bumi (Bratasida, 2002).
Kegiatan yang menghasilkan bahan perusak ozon (BPO) antara lain adalah
kegiatan industri pendingin udara (kulkas dan air conditioner), pesawat terbang,
katalisator proses industri, bahan pencegah kebakaran dan fumigasi yang
menggunakan CFC, Halon, Aerosol, Solvent dan Metil Bromida (Bratasida, 2002).
Meningkatnya GRK dan BPO di atmosfer diakibatkan oleh menurunnya
kemampuan alam di dalam menyerap karbon. Aktivitas penggundulan hutan serta
pola penggunaan lahan yang tidak berwawasan lingkungan akan mengurangi
238
kemampuan alamiah alam dalam menyerap karbon yang ada di atmosfer (Bratasida,
2002).
3.2. Dampak Pemanasan Global
Beberapa dampak negatif yang akan terjadi akibat pemanasan global antara
lain adalah : mencairnya lapisan es di kutub, kenaikan muka air laut (ditunjukkan oleh
laporan IPCC bahwa selama 100 tahun terakhir air laut mengalami kenaikan sebesar
10 – 25 cm), hilangnya pulau-pulau kecil dan tergenangnya kawasan pesisir dan
pantai, kerusakan terumbu karang akibat meningkatnya suhu air laut, abrasi pantai,
munculnya gejala alam El Nino/Enso, menurunnya produktivitas lahan, banjir dan
kekeringan, kebakaran hutan, munculnya daerah kritis baru dan berjangkitnya wabah
penyakit (Bratasida, 2002).
Berdasarkan data kejadian bencana yang dicatat dalam the OFDA/CRED
International Disaster Database (2007), sepuluh kejadian bencana terbesar di
Indonesia yang terjadi dalam periode waktu antara 1907 dan 2007 terjadi setelah
tahun 1990-an dan sebagian besar merupakan bencana yang terkait dengan iklim
khususnya banjir, kekeringan, kebakaran hutan dan ledakan penyakit.
3.3. Perubahan Iklim
Perubahan iklim secara umum didefinisikan sebagai perubahan variable iklim
(temperatur/suhu udara, kelembaban udara, tekanan atmosfer, kondisi awan, intensitas
sinar matahari, curah hujan dan angin) yang terjadi secara berangsur-angsur dalam
jangka waktu antara 50-100 tahun (Tjasjono, 1987).
Perubahan iklim dan dampaknya terhadap lingkungan saat ini telah menjadi
perhatian dunia. Tahun 1988, the United Nations Environment Program (UNEP) dan
the World Meteorological Organization (WMO) membentuk Intergovernmental
Panel on Climate Change (IPCC) yang bertujuan untuk menetapkan dan
mengevaluasi aspek-aspek sain, teknis dan sosial-ekonomi yang menyebabkan iklim
dan menetapkan opsi untuk adaptasi dan mitigasi. Sampai saat ini, ratusan anggota
internasional tergabung dalam tiga kelompok kerja dan mempelajari berbagai aspek
termasuk perubahan iklim, pengurangan kerentanan dan emisi gas rumah kaca.
Laporan IPCC terbaru dipublikasikan tahun 2007 tentang perubahan iklim
(Kementrian Lingkungan Hidup, 2012).
Tahun 1992 Earth Summit di Rio de Janeiro yang dihadiri oleh lebih dari 150
negara menandatangani ―The United Nations Framework Convention on Climate
Change (UNFCCC)‖, yang mendefinisikan perubahan iklim sebagai “a change of
climate which is attributed directly or indirectly to human activity that alters the
composition of the global atmosphere and which is in addition to natural climate
variability observed over comparable time periods.”
Pemanasan global yang disebabkan oleh gas-gas rumah kaca secara jelas telah
dan akan terus mempengaruhi iklim dunia. IPCC (2001) menyatakan bahwa
perubahan iklim merujuk pada variasi rata-rata kondisi iklim suatu tempat atau pada
variabilitasnya yang nyata secara statistik dalam jangka waktu yang panjang, minimal
30 tahun. Lebih lanjut dikatakan bahwa selama 100 tahun terakhir (1906-2005) suhu
permukaan bumi rata-rata telah naik sekitar 0,740C, dengan pemanasan yang lebih
besar pada daratan dibandingkan lautan.
Perubahan iklim memberikan dampak positif dan negatif bagi semua sektor
kehidupan manusia. Namun demikian, sebagian besar dampak yang ditimbulkan
adalah dampak negatif. Perubahan iklim cenderung meningkatkan intensitas curah
239
hujan pada musim hujan dan penurunan curah hujan yang sangat tajam pada musim
kemarau (Kementrian Negara Lingkungan Hidup, 2007).
Secara umum perubahan iklim akan membawa perubahan kepada parameter
cuaca yaitu temperatur, curah hujan, tekanan, kelembaban udara, laju serta arah angin
dan radiasi matahari. Perubahan pada curah hujan akan berdampak pada sektor-sektor
yang terkait dengan air yaitu sumber daya air, pertanian, infrastruktur (termasuk
pemukiman, transportasi, pembangkit listrik tenaga air dan penataan ruang),
perikanan, rawa dan lahan gambut serta pantai (Kementrian Negara Lingkungan
Hidup, 2007).
Dampak perubahan iklim terhadap sektor-sektor terkait sumber daya air antara
lain (Kementrian Negara Lingkungan Hidup, 2007) :
a. Meningkatnya kejadian cuaca dan iklim ekstrim yang berpotensi
menimbulkan banjir, tanah longsor dan kekeringan.
b. Menurunnya kontribusi tenaga air pada penyediaan energi secara keseluruhan.
c. Bertambahnya panjang pantai yang terkena erosi.
d. Meningkatnya ancaman intrusi air laut yang dapat mengakibatkan : penurunan
kuantitas dan kualitas pasokan air baku selama musim kemarau yang akan
berdampak pada bertambahnya biaya untuk pengolahan air minum, ancaman
pada sumber air minum karena kenaikan muka air laut, dapat merusak fungsi
sawah sebagai lahan pertanian dan merusak fungsi sungai sebagai sumber air
tawar, kerusakan pada struktur bangunan, penurunan produksi perikanan
akibat kekurangan pasokan air tawar terutama di musim kemarau, masalah-
masalah sosial, ekonomi dan lingkungan pada daerah yang terkena dampak.
e. Meningkatnya kerentanan kebakaran pada lahan gambut akibat peningkatan
temperatur dan berkurangnya curah hujan dimusim kemarau.
f. Meningkatnya ancaman atas keanekaragaman hayati akibat perubahan tata
guna dan tutupan lahan dan tekanan akibat meningkatnya jumlah penduduk.
3.4. Perubahan Iklim Global
Perubahan iklim global saat ini diprediksi naik secara signifikan akibat emisi
gas rumah kaca yang memperangkap energi panas dari atmosfer bumi sehingga
menimbulkan peningkatan suhu (Foley, 1993). Peristiwa ini menyebabkan sebuah
pemanasan global dari suhu permukaan udara mencapai 0,60C sepanjang abad 20.
Secara umum, tahun 1990 an merupakan dekade terhangat dan tahun 1998 merupakan
tahun terhangat (Foley, 1993).
Informasi terakhir yang dikeluarkan oleh IPCC (2007) memperlihatkan tahun
1995-2006 menduduki ranking tahun terhangat dan terjadi peningkatan dua kali
dalam 100 tahun terakhir. Hal ini mengkonfirmasi bahwa terjadi peningkatan tren
pemanasan global. IPPC (2001) mencatat perubahan iklim global dan dampak yang
ditimbulkan sampai dengan abad ke-20 termasuk :
a. Naiknya suhu global sekitar 0.6 – 2.0oC sejak 1850. Saat ini tren peningkatan
terjadi lebih cepat dibandingkan 1000 tahun lalu.
b. Waktu musim kemarau lebih panjang akibat El Nino – Southern Oscillation
(ENSO) terjadi lebih sering sejak pertengahan 1970-an.
c. Naiknya curah hujan sebesar 0,5 – 1% setiap dekade curah hujan lebat juga
meningkat sebesar 2 – 4%.
d. Penurunan penutupan es di kutub dan peningkatan mencairnya es
240
e. Penyerapan panas oleh laut dan peningkatan paras muka laut antara 0,1-0,2 m,
sebagian besar akibat peningkatan panas dan mencairnya es. Muka air laut
diperkirakan naik sampai 90 cm pada tahun 2100.
3.5. Perubahan Iklim Nasional dan Regional
Temperatur Udara Permukaan dan Curah Hujan
Tanda-tanda pemanasan global sudah mulai terlihat di Indonesia. Dalam
sepuluh tahun terakhir, terjadi tiga kali musim kemarau yang amat panjang (Foley,
1993). Curah hujan tahunan telah turun sebesar 2 – 3% di wilayah Indonesia dengan
pengurangan tertinggi terjadi selama periode Desember – Pebruari, yang merupakan
musim terbasah dalam setahun. Curah hujan di beberapa bagian di Indonesia
dipengaruhi kuat oleh kejadian El Nino dan kekeringan umumnya telah terjadi selama
kejadian El Nino terakhir dalam tahun 1982/1983, 1986/1987 dan 1997/1998 (Lapan,
2009).
Beberapa kajian untuk wilayah Indonesia telah dilakukan berdasarkan observasi
perubahan curah hujan dan suhu di berbagai lokasi, diantaranya untuk Kota Jakarta.
Dari rata-rata bulanan terdapat tren kenaikan temperature di kota Jakarta dari tahun
1900 hingga tahun 2000.
Temperatur Permukaan Laut
Interaksi udara-air diketahui mempunyai pengaruh terhadap kontrol suhu.
Sebagai salah satu faktor dari air laut adalah suhu permukaan air (Sea Surface
Temperature/SST) mempunyai peranan penting dalam membentuk suhu global.
Pickard and Emery (1990) menyebutkan bahwa variasi SST tergantung dari aliran
panas yang masuk dan keluar dari massa air, yang disebut dengan debit panas (heat
budget), yang bervariasi terhadap waktu, tempat dan faktor-faktor eksternal lainnya
seperti pemanasan global dan ENSO. Penelitian tentang SST di pantai Panjang,
sebelah selatan kota Malang (Sartimbul et al, 2009) menunjukkan terjadinya
penurunan suhu muka air rata-rata sebesar 0.4ºC selama kurang dari 7 tahun (2002-
2008).
Variasi Pola Iklim
El Nino dan La Nina merupakan gejala yang menunjukkan perubahan iklim.
El Nino yaitu naiknya suhu di Samudera Pasifik sampai 310C sehingga membawa
kekeringan di Indonesia. Siklus kejadian El Nino berlangsung antara 7 sampai 10
tahun (Foley, 1993). Biasanya suhu air permukaan laut di daerah tersebut dingin
karena adanya up-welling (arus dari dasar laut menuju permukaan). Menurut bahasa
setempat El Nino berarti bayi laki-laki karena munculnya di sekitar hari Natal (akhir
Desember). Di Indonesia, anginmonsun (muson) yang datang dari Asia dan membawa
banyak uap air, sebagian besar juga berbelok menuju daerah tekanan rendah di pantai
barat Peru – Ekuador. Akibatnya, angin yang menuju Indonesia hanya membawa
sedikit uap air sehingga terjadilah musim kemarau yang panjang. Dampak El Nino
terhadap kondisi cuaca global diperkirakan menyebabkan (Wardhana, 2010) : (1)
Angin pasat timuran melemah; (2) Sirkulasi Monsoon melemah; (3) Akumulasi curah
hujan berkurang di wilayah Indonesia, Amerika Tengah dan Amerika Selatan bagian
Utara. Cuaca di daerah ini cenderung lebih dingin dan kering; (4) Potensi hujan
terdapat di sepanjang Pasifik Ekuatorial Tengah dan Barat serta wilayah Argentina.
Cuaca cenderung hangat dan lembab.
241
Dampak El Nino terhadap kondisi cuaca Indonesia akan menyebabkan curah
hujan di sebagian besar wilayah Indonesia berkurang, tingkat berkurangnya curah
hujan ini sangat tergantung dari intensitas El Nino tersebut. Namun karena posisi
geografis Indonesia yang dikenal sebagai benua maritim, maka tidak seluruh wilayah
Indonesia dipengaruhi oleh fenomena El Nino (Kementrian Negara Lingkungan
Hidup, 2007).
Curah hujan yang tinggi disebabkan oleh fenomena kebalikan dari El Nino yaitu
La Nina. La Nina adalah gejala menurunnya suhu permukaan Samudera Pasifik yang
membawa angin serta awan hujan ke Australia dan Asia bagian Selatan termasuk
Indonesia. La Nina yang terjadi membawa curah hujan yang tinggi disertai angin
topan (Foley, 1993).
Hujan
Presipitasi termasuk di dalamnya adalah hujan, hujan salju, kabut, embun dan
hujan es. Hujan merupakan sumber dari semua air yang mengalir di sungai dan di
dalam tampungan baik diatas maupun dibawah permukaan. Jumlah dan variasi debit
sungai tergantung pada kedalaman, jumlah, intensitas dan distribusi hujan. Terdapat
hubungan antara debit sungai dan curah hujan yang jatuh di DAS yang bersangkutan
dimana hujan yang jatuh ke permukaan bumi akan masuk ke dalam tanah sebagai air
tanah dan sisanya akan mengalir sebagai limpasan permukaan yang kemudian akan
bermuara ke sungai. Apabila data pencatat debit tidak ada, data pencatatan hujan
dapat digunakan untuk memperkirakan sebit aliran (Bambang Triatmodjo, 2006).
Butir-butir air yang kecil makin membesar karena kondensasi dan karena saling
menyatu dengan sesamanya selama terbawa oleh udara yang turbulen, sampai cukup
besar sehingga gaya gravitasi mengakibatkan butir-butir air ini jatuh sebagai hujan.
Pada waktu jatuhnya butir-butir air ini terjadi proses evaporasi sehingga ukuran
butiran air mengecil dan terbawa kembali menjadi aerosol melalui aliran udara
turbulen. Kekuatan arus udara + 0,5 cm/s cukup untuk membawa 10μm butir air.
Kristal es dengan berat yang sama dapat terbawa dengan kecepatan yang lebih rendah
karena memiliki ukuran yang lebih besar. Siklus kondensasi dari jatuhnya butir air,
evaporasi dan naiknya butir air ke udara terjadi rata-rata 10 kali sebelum mencapai
ukuran kritis + 0,1 mm, dimana cukup besar untuk jatuh sebagai hujan (Chow et al,
1988).
Tipe hujan menurut cara naiknya udara ke atas dapat dibagi menjadi tiga, yaitu
sebagai berikut (Bras, 1990) :
1. Hujan konvektif, terjadi di daerah tropis pada musim kemarau dimana udara yang
berada dekat dengan permukaan tanah mengalami pemanasan yang intensif.
Pemanasan menyebabkan rapat massa berkurang, sehingga udara basah naik ke
atas dan mengalami pendinginan sehingga terjadi pendinginan dan kondensasi.
2. Hujan siklonik, terjadi jika massa udara yang relatif ringan bertemu dengan massa
udara yang relatif berat, maka udara panas yang lembab dan ringan akan bergerak
ke atas udara yang dingin dan berat sehingga terjadilah kondensasi dan terjadilah
hujan. Hujan siklonik mempunyai sifat terjadi dalam waktu pendek dan
penyebaran terbatas.
3. Hujan orografik, jika massa udara lembab terangkat ke atas oleh angin yang
terangkat karena adanya gunung, pegunungan, daratan tinggi sehingga terbentuk
awan dan hujan.
242
Salah satu bentuk presipitasi yang terpenting di Indonesia adalah hujan.
Menurut Soemarto (1987), terdapat lima buah unsur dari hujan yang harus ditinjau,
yaitu :
a. Intensitas hujan, adalah laju hujan yaitu tinggi air persatuan waktu, misalnya :
mm/menit, mm/jam, mm/hari.
b. Lama waktu (duration) , adalah lamanya curah hujan (durasi) dalam menit
atau jam.
c. Kedalaman hujan, adalah jumlah atau banyaknya hujan yang dinyatakan
dalam ketebalan air di atas permukaan datar, dalam mm.
d. Frekuensi, adalah frekuensi kejadian, biasanya dinyatakan dengan waktu
ulang (return period).
e. Luas, adalah luas geografis curah hujan.
4. Dampak Pemanasan Global Terhadap Karakteristik DAS
4.1. Curah Hujan
Rata-rata curah hujan bulanan selama 10 tahun terakhir dari tahun 2003-2012 di
DAS Tukad Pakerisan diperoleh pada lokasi pengamatan/stasiun Tampaksiring yang
disajikan pada Tabel 1 dibawah ini.
Tabel 1.
Rata-rata Curah Hujan di DAS Tukad Pakerisan Tahun 2003-2012
THN BULAN
JAN
(mm)
PEB
(mm)
MAR
(mm)
APR
(mm)
MEI
(mm)
JUN
(mm)
JULI
(mm)
AGT
(mm)
SEP
(mm)
OKT
(mm)
NOP
(mm)
DES
(mm)
2003 1002,5 106,5 214,5 275,5 238,5 17,5 187,5 28,0 222,5 215,0 169,5 358,5
2004 522,0 - 173,0 78,5 32,5 69,0 51,0 72,0 434.0 91,0
2005 324,5 114,5 348,5 83,0 15,0 - 67,0 47,0 241,0 530,0
2006 468,0 490,0 380,0 286,0 61,0 259,0 38,0 - - - - 160,5
2007 142,5 269,5 369,0 193,0 230,0 328,0 100,0 169,5 23,5 62,0 200,5 477,5
2008 213,5 359,0 370,0 98,5 336,0 35,0 20,0 56,5 32,5 250,5 460,5 177,5
2009 651,5 590,5 167,0 129,5 460,0 40,0 325,0 5,0 447,0 273,5 209,0 248,0
2010 257,0 168,0 164,5 385,5 257,0 204,0 426,5 263,0 921,5 435,0 171,0 481,0
2011 263,5 211,5 158,0 270,5 129,5 68,5 79,0 - 71,0 87,0 269,0 412,5
2012 575,5 227,5 360,5 94,5 202,0 - 158,0 7,5 - 217,5 228,0 430,0
Sumber : Balai Besar Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Wil. III Denpasar
Hasil analisis data curah hujan tahun 2003 s/d 2012 di DAS Tukad Pakerisan
dengan menggunakan metode Schmidt-Fergusson, ditemukan iklim DAS Tukad
Pakerisan digolongkan kedalam iklim Tipe A sangat basah, dengan nilai Q=0,090.
Rata-rata curah hujan bulanan di DAS Tukad Pakerisan ditunjukkan pada Gambar 1,
rata-rata curah hujan bulanan tertinggi terjadi pada Januari mencapai 389, 85 mm
kemudian ada kecendrungan akan semakin menurun dan terendah terjadi pada bulan
Agustus hingga mencapai 64,55 mm, selanjutnya akan semakin meningkat dan
puncaknya pada bulan Desember curah hujan tahunan mencapai 336,65 mm.
Dampak pemanasan global menunjukan adanya siklus rata-rata curah hujan bulanan
yang berbeda dengan pola rata-rata curah hujan umumnya yang terjadi khususnya di
Bali maupun di Indonesia, yaitu musim kemarau April-Oktober, yaitu yang identik
dengan curah hujan yang rendah, dan September – Maret dengan curah hujan yang
tinggi.
243
Pemanasan global telah berdampak terhadap turunnya hujan sepanjang tahun dengan
rata-rata curah hujan lebih besar dari 100 mm, yang disebut sebagai bulan basah,
kecuali pada bulan Agustus 64,55 mm kurang dari 100 mm yang disebut bulan kering.
Pemanasan global telah memicu penguapan yang cukup besar baik di darat maupun
di laut yang berpotensi terjadinya hujan sepanjang tahun. Curah hujan yang terus
menerus berdampak kurang baik terhadap karakteristik fisik DAS, ketika air hujan
yang jatuh secara terus menerus dan permukaan tanah sudah tidak mampu menyerap
secara maksimum atau sudah jenuh, maka air hujan akan mengalir sebagai aliran
permukaan yang berpotensi besar dapat menimbulkan erosi. Tenaga kinetik air hujan
mendorong proses terkelupasnya partikel-partikel tanah bagian atas, sehingga
terjadinya erosi. Semakin besar diameter air hujan, semakin besar tenaga kinetik yang
ditimbulkan dan semakin besar pula potensi erosi yang ditimbulkan.
Gambar 1.
Rata-rata curah hujan bulanan (mm) di DAS Tukad Pakerisan
Dari Tahun 2003 – 2012
Demikian pula rata-rata curah hujan bulanan setiap tahunnya menunjukan,
rata-rata curah hujan yang tinggi setiap tahunnya seperti ditampilkan pada Gambar 2,
rata-rata curah hujan bulanan tidak sesuai dengan musim. Seperti bulan Pebruari
adalah musim hujan, tetapi pada bulan tersebut rata-rata curah hujannya ada yang
lebih rendah, yaitu di bawah 100 mm, bahkan tidak ada hujan sama sekali yaitu pada
tahun 2004, tetapi sebaliknya bulan Mei, Juli dan Agustus adalah musim kemarau,
tetapi kenyataannya terjadi hujan dengan rata-rata curah hujan lebih besar dari 100
mm bahkan sampai lebih dari 400 mm, terjadi pada tahun 2010. Pemanasan global
telah berdampak terhadap berubahnya pola curah hujan di DAS Tukad Pakerisan, dan
kalau tidak dilakukan pengelolaan DAS yang bijaksana dan berkelanjutan baik oleh
pemerintah maupun masyarakat akan berdampak tidak baik terhadap karakteristik
fisik DAS Pakerisan. Oleh karena itu program-program yang diimplementasikan di
DAS Pakerisan harus menunjukkan adanya optimasi pemanfaatan sumberdaya secara
efisien, dorongan pelaksanaan konservasi sumberdaya alam dalam DAS.
Jan Peb. Mar Apr Mei Juni Juli Agt Sep Okt Nop Des
389,85
253,3
305,35
181,55 210,2
103,05
143,35
64,55
176,9 161,25
238,25
336,65
244
Gambar 2.
Rata-rata curah hujan bulanan (mm) setiap tahun di
DAS Tukad Pakerisan, Tahun 2003-2012
Pemanasan global telah mempunyai dampak terhadap tingginya rata-rata
curah hujan per tahun selama dua belas tahun, yaitu lebih besar dari 100 mm, dan
ketidak beraturan curah hujan yang terjadi di DAS Pakerisan. Dampak pemanasan
Global menunjukkan tingginya rata-rata curah hujan setiap tahunnya di DAS Tukad
Pakerisan, seperti ditampilkan pada Gambar 3. Pada tahun 2003 rata-rata curah hujan
per tahunnya mencapai 253 mm, kemudian tahun 2004 turun lebih dari separuhnya,
yaitu 126,9 mm, kemudian ada kecendrungan meningkat, tapi peningkatannya rendah,
dan meningkat cukup besar terjadi pada tahun 2009 dan 2010, kemudian menurun
pada tahun 2011, walaupun pada tahun 2012 meningkat menjadi 208,4 mm, tetapi
masih lebih rendah dari curah hujan pada tahun 2003
Gambar 3.
Rata-rata curah hujan per tahun di DAS Tukad Pakerisan
Tahun 2003-2012
0
200
400
600
800
1000
1200
Jan Peb. Mar Apr Mei Juni Juli Agt Sep Okt Nop Des
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
253,0
126,9 147,5 178,5
213,4 200,8
295,5 344,5
168,3 208,4
Series1
245
4.2. Intensitas Hujan/Curah Hujan Maksimum
Intensitas hujan/curah hujan maksimum adalah banyaknya curah hujan per
satuan jangka waktu tertentu. Apabila intensitas hujan besar, maka akan terjadi hujan
lebat yang kemudian dapat menimbulkan erosi dan banjir. Intensitas hujan/curah
hujan maksimum selama 10 tahun terakhir dari tahun 2003-2012 di DAS Tukad
Pakerisan diperoleh pada lokasi pengamatan/stasiun Tampaksiring yang disajikan
pada Tabel 2. Curah hujan maksimum pada tahun 2003, 2005 dan 2007 terjadi pada
Bulan Januari (106,5 mm; 134,0 mm; dan 175,0 mm). Pada tahun 2004, curah hujan
maksimum terjadi pada Bulan Maret (241,0 mm). Tahun 2006, curah hujan
maksimum terjadi pada Bulan April (90,0 mm). Tahun 2007, curah hujan maksimum
terjadi pada Bulan Desember (125,0 mm). Tahun 2008, cutah hujan maksimum terjadi
pada Bulan Nopember (120,0 mm). Tahun 2010, curah hujan tertinggi terjadi pada
Bulan April (135,0 mm). Pada tahun 2011 dan 2012 curah hujan maksimum terjadi
pada Bulan Desember (75,0 mm dan 107,0 mm).
Tabel 2.
Rata-rata Intensitas Hujan di DAS Tukad Pakerisan
Tahun 2003-2012
THN BULAN
JAN
(mm)
PEB
(mm)
MAR
(mm)
APR
(mm)
MEI
(mm)
JUN
(mm)
JULI
(mm)
AGT
(mm)
SEP
(mm)
OKT
(mm)
NOP
(mm)
DES
(mm)
2003 106,5 29,0 71,5 57.0 81.0 17.5 64.0 9.0 97.5 67.0 51.0 101.0
2004 241,5 - 79.0 42.5 30.0 34.0 37.0 32.0 85.0 27.0
2005 134,0 71,0 72,0 20.0 12.0 - 67.0 27.0 65.0 109.0
2006 70,0 81,0 51,0 90.0 24.0 84.0 17.0 - - - - 59.0
2007 46,0 60,5 66,0 35.0 79.0 71.0 63.0 29.0 10.5 27.0 75.0 125.0
2008 104,0 54,0 53,0 25,0 78,0 21,0 7,5 24,5 23,5 49,0 120,0 32,0
2009 175,0 96,0 76,0 50,5 98,0 34,0 171,0 2,0 75,0 97,0 133,0 121,0
2010 48,0 75,0 74,0 135,0 87,5 76,0 125,0 80,0 100,0 45,0 38,0 70,0
2011 43,0 44,5 45,0 50,0 32,0 26,0 52,0 - 57,0 55,0 46,0 75,0
2012 57,0 43,5 40,5 32,0 33,0 - 65,0 7,5 - 89,0 71,0 107,0
Keterangan :
- : tidak ada hujan
: (kosong) tidak ada data
Sumber : Balai Besar Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Wil. III Denpasar
Dampak pemanasan global di DAS Tukad Pakerisan juga nampak pada
intensitas curah hujan yang tidak mengikuti musim (Gambar 4, seperti intensitas
hujan bulan Mei, seharusnya intesitas hujan rendah, karena pada bulan Mei
merupakan awal musim kemarau, tetapi kenyataannya intensitas hujannya tinggi
mencapai 66,84 mm, demikian juga pada bulan Juli, intensitas hujan tinggi mencapai
78,52 mm, padahal bulan Juli adalah musim kemarau, intensitas hujan seharusnya
rendah. Intensitas curah hujan yang tidak mengikuti musim, berdampak terhadap
sulitnya memprediksi dalam pembuatan perencanaan pengelolaan DAS. Intensitas
curah hujan yang tidak mengikuti musim juga berdampak terhadap kesulitan petani
dalam pembuatan perencanaan musim tanam pada aktivitas usahataninya.
246
Gambar : 4.
Rata-rata Intesitas Curah Hujan di DAS Tukad Pakerisan
Tahun 2003-2012
4.3. Suhu
Suhu udara rata-rata bulanan selama 10 tahun terakhir dari tahun 2003-2012
pada DAS Tukad Pakerisan diperoleh pada lokasi pengamatan/stasiun geofisika
Sanglah-Kodya Denpasar yang disajikan pada Tabel 3 dibawah ini.
Tabel 3.
Rata-Rata Suhu Udara Bulanan di DAS Tukad Pakerisan
Tahun 2003-2012
THN BULAN
JAN
(0C)
PEB
(0C)
MAR
(0C)
APR
(0C)
MEI
(0C)
JUN
(0C)
JULI
(0C)
AGT
(0C)
SEP
(0C)
OKT
(0C)
NOP
(0C)
DES
(0C)
2003 27,8 28,1 28,0 28,0 27,5 26,6 25,7 25,5 26,1 27,3 28,4 27,8
2004 28,3 28,2 28,3 28,4 27,5 26,2 25,9 25,6 26,2 27,5 28,8 27,9
2005 28,0 28,3 28,6 28,3 27,4 25,5 26,9 26,4 27,1 27,9 28,0 27,2
2006 27,5 28,0 27,7 27,8 27,5 26,6 25,9 25,8 26,1 27,6 29,0 28,7
2007 28,2 28,7 28.1 28,1 28,1 27,2 26,4 26,2 26,8 28,2 28,4 27,8
2008 27,7 27,6 27,1 27,7 27,3 26,5 26,1 26,5 27,0 28,2 27,9 27,7
2009 27,6 27,5 28,0 28,6 27,8 27,1 26,9 26,7 26,6 27,8 28,5 28,6
2010 28,5 28,1 29,0 27,9 28,5 27,6 27,3 27,4 27,5 28,1 28,5 27,6
2011 27,4 27,7 27,7 27,4 27,8 26,3 26,1 26,0 26,6 27,4 27,7 27,8
2012 27,2 27,9 27,5 28,1 27,6 26,8 25,9 25,8 26,3 28,0 28,7 28,1
Sumber : Balai Besar Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Wil. III Denpasar
Untuk mengetahui suhu rata-rata setiap tahunnya (tahun 2003 s/d 2012) yaitu
dengan menjumlahkan suhu rata-rata bulanan yang selanjutya dibagi 12. Suhu
terendah terjadi pada tahun 2011 yaitu 27,1580C dan tertinggi pada tahun 2010
mencapai 280C. Suhu sangat berpengaruh terhadap kapasitas udara dalam
menampung uap air. Meningkatnya suhu udara, meningkat pula kapasaitas udara
dalam menampung uap air. Sebaliknya ketika udara bertambah dingin, gumpalan
awan menjadi bertambah besar, dan pada gilirannya, akan jatuh sebagai air hujan.
JAN PEB MAR APR MEI JUN JULI AGT SEP OKT NOP DES
78,76
61,28 61,94
53,85
66,84
37,89
78,52
23,47
43,72
58,30
78,77
87,51
Series1
247
Seperti nampak dalam Gambar 5. Semakin tinggi suhu udara maka semakin besar
curah hujan yang terjadi. Suhu udara di DAS Tukad Pakerisan paling tinggi
ditemukan pada tahun 2010, yaitu 280 C dan sejalan dengan rata-rata curah hujan
tertinggi ditemukan pada tahun 2010 yaitu mencapai 344,5 mm.
Gambar 5.
Rata-rata Suhu Tahunan di DAS Tukad Pakerisan
Tahun 2003- 2012
Demikian pula rata-rata suhu bulanan akan berbanding lurus dengan rata-rata
curah hujan yang terjadi seperti nampak pada Gambar 6. Semakin tinggi suhu udara
ada kecendrungan semakin tinggi pula curah hujan yang terjadi. Suhu udara tinggi
diawali dari bulan Januari sampai Mei. Kalau mengikuti musim seharusnya sampai
bulan April, berarti curah hujan akan tinggi pada bulan Januari sampai April, karena
bulan Mei merupakan awal musim kemarau, tetapi karena suhu udara relatif masih
tinggi pada bulan Mei, maka curah hujan pada bulan Mei ditemukan masih tinggi
yiatu, 210,2 mm, lebih besar dari 100 mm. Selanjutnya bulan Oktober sampai
Desember suhu udara mulai naik yang sejalan dengan tingginya rata-rata curah hujan
di DAS Tukad Pakerisan pada bulan-bulan tersebut. Suhu maksimum ditemukan pada
Nopember
Gambar 6.
Rata-rata Suhu Udara Bulanan di DAS Tukad Pakerisan
Tahun 2003 – 2012
26,6
26,8
27
27,2
27,4
27,6
27,8
28
Series1
25
25,5
26
26,5
27
27,5
28
28,5
Series1
248
4.4. Kelembaban
Data kelembaban selama 10 tahun terakhir dari tahun 2003-2012 di DAS
Tukad Pakerisan diperoleh pada lokasi pengamatan/stasiun geofisika Sanglah-Kodya
Denpasar yang disajikan pada Tabel 7. Salah satu fungsi utama kelembaban udara
adalah sebagai lapisan pelindung permukaan bumi. Kelembaban udara dapat
menurunkan suhu dengan cara menyerap atau memantulkan sekurang-kurangnya,
setengah radiasi matahari gelombang pendek yang menuju ke permukaan bumi.
Kelembaban juga membantu menahan keluarnya radiasi matahari gelombang panjang
dari permukaan bumi pada waktu siang dan malam hari. Pada Tabel 7 dapat dilihat,
kelembaban tinggi terjadi pada musim hujan, yaitu mulai bulan Januari (81 %)
sampai April (80 %), kemudian bulan Mei (79 %), adalah awal musim kemarau mulai
menurun agak rendah, dan kelembaban paling rendah terjadi pada bulan Agustus
(77 %), selanjutnya mulai naik, rata-rata kelembaban udara pada bulan September,
Oktober dan Nopember relatif sama (78 %) , kemudian bulan Desember kembali naik
menjadi 81 %.
Tabel 4.
Rata-rata Kelembaban Udara di DAS Tukad Pakerisan Tahun 2003-2012
THN BULAN
JAN
(%)
PEB
(%)
MAR
(%)
APR
(%)
MEI
(%)
JUN
(%)
JULI
(%)
AGT
(%)
SEP
(%)
OKT
(%)
NOP
(%)
DES
(%)
2003 82 81 79 81 78 79 80 79 81 79 81 82
2004 79 80 81 78 80 75 79 77 79 77 67 82
2005 79 78 78 78 75 78 76 77 77 79 77 82
2006 82 78 81 80 78 77 76 73 74 74 73 77
2007 78 75 79 80 78 80 78 77 75 77 79 80
2008 80 80 81 79 78 78 76 78 78 80 82 81
2009 82 81 77 77 81 76 77 77 82 78 76 78
2010 80 82 75 83 83 81 82 82 83 82 81 84
2011 83 81 81 83 80 78 78 77 78 82 83 85
2012 88 88 88 81 81 77 78 75 76 74 78 81
Rata-
rata
81 80 80 80 79 78 78 77 78 78 78 81
Sumber : Balai Besar Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Wil. III Denpasar
Besarnya kelembaban inilah yang menstimulasi curah hujan yang terjadi di
DAS Tukad Pakerisan, rata-rata kelembaban udara relatif tinggi ditemukan pada
bulan Januari sampai Mei, seperti nampak pada Gambar 4. Bulan Mei adalah awal
musim kemarau, tetapi karena rata-rata kelembaban udara masih tinggi, maka curah
hujan pada bulan Mei masih tinggi (bulan basah). Rata-rata kelembaban udara yang
relatif tinggi sepanjang tahun di DAS Tukad Pakerisan, mempunyai dampak
terhadap perkembangan organisme terutama jamur dari penyakit tumbuhan. Hal ini
berhubungan erat dengan keadan vegetasi, semakin tinggi kelembaban udara di DAS
Tukad Pakerisan, maka kecendrungan kerusakan vegetasi karena serangan jamur
semakin tinggi, dan berdampak terhadap menurunnya kemampuan vegetasi sebagai
penutup tanah di DAS Tukad Pakerisan, karena rusaknya tajuk dan daun vegetasi
yang berfungsi sebagai penutup tanah di DAS. Menurunnya kemampuan vegetasi
sebagai penutup tanah akan berpengaruh terhadap karakteristik sifat fisik DAS. Oleh
249
karena itu perencanaan pengelolaan DAS Tukad Pakerisan perlu mempertimbangkan
faktor kelembaban udara dan dampak kerusakan vegetasi yang ditimbulkannya.
Gambar 7.
Rata-rata kelembaban Udara di DAS Tukad Pakerisan
Tahun 2003 - 2012
Rata-rata kelembaban udara berbanding lurus dengan rata-rata curah hujan
yang terjadi di DAS, semakin tinggi kelembaban udara, semakin tinggi pula curah
hujan yang terjadi, karena kelembaban udara menstimulasi proses terjadinya hujan,
seperti nampak pada Gambar 8. Rata-rata kelembaban udara paling tinggi pada tahun
2010, yaitu 82 % dan jika dikaitkan dengan Gambar 3, rata-rata curah hujan pada
tahun 2010 adalah juga paling tinggi, yaitu mencapai 344,5 mm.
Gambar 8 .
Rata-rata kelembaban Udara Tahunan di DAS Tukad Pakerisan
Tahun 2003 – 2012
75
76
77
78
79
80
81
82
Series1
74
75
76
77
78
79
80
81
82
83
Series1
250
4.5. Tanah
Jenis tanah secara umum yang terdapat di DAS Tukad Pakerisan terdiri dari :
regosol coklat kekuningan dan regosol humus dengan kedalaman tanah lebih dari 90
cm. Sesuai dengan perjalanan waktu, geologi atau batuan akan mengalami pelapukan
membentuk tanah, yaitu akumulasi tubuh alam bebas yang menduduki sebagian besar
permukaan bumi, yang mampu menumbuhkan tanaman dan memiliki sifat-sifat
sebagai akibat pengaruh iklim dan jasad hidup yang bertindak terhadap bahan induk
dalam keadaan relatif tertentu selama jangka waktu tertentu.
Jenis tanah Regosol merupakan jenis tanah yang terbentuk dari bahan induk
material vulkanis piroklastis atau pasir pantai. Jenis tanah Regosol merupakan jenis
tanah yang masih muda (recent), belum banyak mengalami deferensiasi horizon,
tekstur pasir, struktur berbutir tunggal, konsistensi lepas-lepas, pH umumnya netral
dan mempunyai tingkat kesuburan sedang. Hasil analisis tekstur tanah di DAS Tukad
Pakerisan bervariasi, dari lempung liat berdebu, lempung berdebu,sampai lempung
ditunjukkan pada Tabel 5.
Tabel 5.
Analisis Tekstur Tanah Tukad Pakerisan Tahun 2012
No.
Sampel
Tekstur
Pasir (%) Debu (%) Liat (%) Keterangan
1 16,350 50,400 33,250 Lempung liat berdebu
2 25,890 50,190 23,920 Lempung berdebu
3 39,930 43,950 16,120 Lempung
4 49,850 41,320 8,840 Lempung
5 46,750 37,410 15,850 Lempung
Sumber : Analisis Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UNUD
Pada Tabel 5, menunjukkan bahwa sebagaian besar tanah di DAS Tukad
Pakerisan adalah bertekstur lempung, yang mengindikasikan bahwa kemampuan daya
pegang air tanah tersebut relatif rendah, berarti tanah tersebut gampang erosi, dan
relatif kurang subur. Oleh karena itu pengelolaan DAS Tukad Pakerisan harus
direncanakan dengan baik, terutama vegetasi yang berfungsi sebagai penutupan lahan
harus terjaga dengan baik, dihindari seminimal mungkin tanah-tanal gundul di
sepanjang DAS. Namun demikian jika dilihat dari kelas struktur tanahnya (Tabel 6)
sebagian besar termasuk struktur kelas 4, yang mengindikasikan bahwa struktur tanah
di DAS Tukad Pakerisan, tahan terhadap erosi. Dan hanya sebagian kecil termasuk
kelas struktur kelas 3 (granuler kasar /coarse granular)
Tabel 6.
Type Struktur dan Kelas Struktur Tanah DAS Tukad Pakerisan
Tahun 2012 No.
Sampel
Type (bentuk) struktur tanah Kelas struktur Tanah
1 Gumpal bersudut (angular blocky) 4
2 Granuler kasar (coarse granular) 3
3 Gumpal bersudut (angular blocky) 4
4 Gumpal membulat (subangular blocky) 4
5 Gumpal bersudut (angular blocky) 4
Sumber : Analisis Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UNUD
251
4.6. Vegetasi
Penggunaan lahan di DAS Tukad Pakerisan sebagai belukar/semak, kebun,
pemukiman, dan tegalan atau ladang. Ada beberapa jenis tanaman yang ditanam pada
tegalan atau ladang antara lain seperti ditampilkan dalam Tabel 7 : tanaman
kehutanan (bambu sebanyak 16,49 Ha, tanaman Albesia sebanyak 11,62 Ha, Mahoni
sebanyak 14,40 Ha dan Jati Mas sebanyak 5,21 Ha), tanaman Perkebunan (kopi
sebanyak 4,75 Ha dan Kelapa sebanyak 4,15 Ha) dan tanaman Hortikultura (Jeruk
sebanyak 6,15 Ha dan tanaman campuran berupa sayuran, umbi-umbian dan pisang
sebanyak 9,85 Ha). Tabel 7 dan Gambar 9 juga menjelaskan vegetasi sebagai
penutupan lahan dikategorikan dalam kemampuan ilfiltrasi aktual agak besar
termasuk kelas II (77,97% ) dan agak kecil katagori kelas IV (22,03)
Tabel 7.
Vegetasi Tanaman sebagai Penutup Tanah di DAS
Tukad Pakerisan Tahun 2012
No
Jenis Vegetasi
Luas (Ha)
Persen (%)
Kelas/Infiltrasi
1 Bambu 16,49 22,71 II
2 Albesia 11,62 16,00 II
3 Mahoni 14,40 19,83 II
4 Jati Mas 5,21 7,17 II
5 Perkebunan Kopi 4,75 6,54 II
6 Kelapa 4,15 5,71 II
7 Hortikultura 6,15 8,47 IV
8 Sayuran, umbi-umbian 9,85 13,56 IV
Total 72,62 100,00
Sumber : Analisis Data Sekunder
Vegetasi berpengaruh terhadap infiltrasi lewat tiga bentuk, yaitu perakaran
dan pori-pori memperbesar permeabilitas tanah, vegetasi menahan runoff. Tajuk
pohon mengubah tenaga erosivitas jatuhan hujan yaitu mengubah kecepatan dan
ukuran butir tetes hujan. Oleh karena itu walaupun curah hujan yang cukup tinggi di
DAS Pakerisan, vegetasi penutupan tanah akan dapat mengurangi aliran permukaan
air yang berpotensi mendatangkan erosi, oleh karena itu perlu dipertahankan dan
dihindari alih fungsi lahan dari tanaman kehutanan menjadi tanaman hortikultura
.
Gambar 9.
Tingkat infiltrasi aktual vegetasi di DAS Tukad Pakerisan
Tahun 2012
Infiltrasi aktual agak
besar 78%
Infiltrasi aktual agak
kecil 22%
252
4.7. Sosial Ekonomi Masyarakat
Tingkat ketergantungan petani terhadap lahan, tingkat adopsi petani terhadap
teknologi konservasi dan aktivitas kelembagaan yang ada dilakukan dengan metode
survei pada lokasi penelitian. Survei memakai kuesioner yang diantar langsung
kepada responden. Aspek tingkat ketergantungan penduduk/petani terhadap lahan
(pertanian) mencakup pekerjaan sampingan selain petani, status kepemilikan lahan,
jenis tanaman yang ditanam dan alokasi waktu kerja.
Tabel 8.
Pekerjaan Sampingan selain Petani di DAS Tukad Pakerisan
Tahun 2013
No. Jenis Pekerjaan Jumlah
(orang)
Persen
(%)
1 PNS, Karyawan 1 2,00
2. Buruh tani/penyakap 0 0,00
3. Buruh bangunan, tukang 12 22,00
4. Pedangang 7 14,00
5. Lainnya ( Pengrajin ) 31 62,00
Total 44 100,00
Sumber : Analisis data primer
Dari Tabel 8 tersebut terlihat ada beberapa pekerjaan yang dilakukan selain
sebagai petani yaitu sebagai PNS/karyawan, buruh bangunan/tukang, pedagang dan
pengrajin. Terdapat 31 orang (62,00 %) mempunyai pekerjaan sampingan sebagai
pengrajin, yang sebagian besar menggunakan bahan baku tanaman kehutanan Albesia,
oleh karena itu perlu dilakukan penyuluhan bagaimana mempertahankan vegetasi
penutupan lahan, sehingga perlu dibuat perencanan yang baik, antara kegiatan
penanaman dan panen (penebangan), perlu diperkenalkan sistem tebang pilih untuk
mengurangi resiko penurunan ilfiltrasi aktual tanaman vegetasi.
Tabel 9
Status Kepemilikan Lahan di DAS Tukad Pakerisan Tahun 2013
No.
Status Kepemilikan Lahan
Jumlah
Luas
Petani
(orang)
Persen
(%)
(Ha)
1. Milik Sendiri 50 100,00 0,50 – 1,70
2. Penyakap - - -
3. Gadai - - -
4. Sewa - - -
5. Lainnya - - -
Total 50 100,00
Berdasarkan Tabel 9, lahan di DAS Tukad Pakerisan status kepemilikannya
adalah milik sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa dukungan petani untuk
mempertahankan kelestarian lahan cukup tinggi, karena petani sangat
menggantungkan hidupnya dari kegiatan berusahatani dari lahan miliknya sendiri.
253
Selanjutnya didukung oleh jumlah jam kerja petani di lahannya adalah lebih dari 4
(empat) jam per hari. Seperti ditunjukkan pada Tabel 10
.
Tabel 10
. Pengaturan Jam Kerja Petani di DAS Tukad Pakerisan Tahun 2013
No. Jam Kerja Jumlah
Petani (orang) Persen
(%)
1. < 1 Jam - -
2. 1 Jam - -
3. 2 Jam - -
4. 3 Jam 5 10,00
5 > 4 Jam 45 90,00
Total 50 100,00
Aspek tingkat adopsi petani terhadap tekhnologi konservasi mencakup teknik
konservasi dan air secara vegetatif dan teknik konservasi tanah dan air secara mekanis
seperti terlihat pada Tabel 11 berikut ini.
Tabel 11.
Tingkat Adospsi Petani Terhadap Tekhnologi Baru/Teknik Konservasi di DAS
Tukad Pakerisan Tahun 2013
No. Jenis Teknik Konservasi Dilakukan Tidak dilakukan
1. Konservasi tanah dan air secara
vegetatif
- Tanaman penutup tanah
50 orang (100%)
-
- Pertanaman dalam strip - -
- Pertanaman berganda 50 orang (100%) -
- Penggunaan mulsa - -
- Penghutanan kembali 50 orang (100%) -
2. Konservasi tanah dan air secara
mekanis
- Pengolahan tanah 50 orang (100%) -
- Pengolahan tanah menurut kontur 29 orang (58%) 21 orang (42%)
- Guludan 32 orang (64%) 18 orang (36%)
- Terras 15 orang (30%) 35 orang (70%)
- Saluran pembuangan air 47 orang (94%) 3 orang (6%)
Berdasarkan Tabel 11, teknik konservasi tanah dan air yang dilakukan secara
vegetatif adalah dengan menanam tanaman penutup tanah (tanaman yang sengaja
ditanam untuk melindungi tanah dari erosi) dan melakukan pertanaman berganda
yaitu penanaman dengan sistem tumpang sari yang bertujuan untuk meningkatkan
produktivitas lahan. Sedangkan teknik konservasi tanah dan air yang dilakukan secara
mekanis meliputi : pengolahan tanah, guludan (tumpukan tanah yang dibuat
memanjang memeotong kemiringan lahan), Teras (timbunan tanah yang dibuat
melintang memotong kemiringan lahan dan saluran pembuangan air dengan tujuan
menghindari terkonsentrasinya aliran permukaan di sembarang tempat.
Aspek keberadaan dan aktivitas kelembagaan yang ada ditekankan terutama
pada keberadaan bentuk dan fungsi serta aktivitas kelembagaan dalam pengelolaan
254
Daerah Aliran Sungai (DAS). Dari hasil survei dengan menggunakan kuesioner, maka
di DAS Tukad Pakerisan tidak ada kelembagaan khusus yang menangani tentang
Daerah Aliran Sungai (DAS). Oleh karena itu perlu dibentuk kelembagaan yang
khusus menangani DAS atau memfungsikan kelembagaan yang ada seperti subak
yang diberikan pembinaan dalam bentuk penyuluhan.
5. Penutup
Iklim DAS Tukad Pakerisan digolongkan kedalam iklim Tipe A sangat basah,
dengan nilai Q=0,090, rata-rata curah hujan tinggi lebih besar dari 100 mm, kecuali
pada bulan Agustus 64,55 mm. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari
mencapai 389,85 mm, intensitas hujan maksimum terjadi pada bulan Desember 87,55
mm. Intensitas hujan tidak mengikuti musim, pada bulan Mei masih ditemukan
intensitas hujan mencapai 66,84 mm. Rata-rata suhu tertinggi di DAS Tukad
Pakerisan terjadi pada bulan Nopember 28,39 oC dan terendah pada bulan Agustus
26,19 oC. Kelembaban tinggi terjadi pada musim hujan, yaitu mulai bulan Januari
(81 %) sampai April (80 %), kemudian bulan Mei (79 %), adalah awal musim
kemarau mulai menurun agak rendah, dan kelembaban paling rendah terjadi pada
bulan Agustus (77 %), selanjutnya mulai naik, rata-rata kelembaban udara pada bulan
September, Oktober dan Nopember relatif sama (78 %) , kemudian bulan Desember
kembali naik menjadi 81 %. Sebagaian besar tanah di DAS Tukad Pakerisan adalah
bertekstur lempung, yang mengindikasikan bahwa kemampuan daya pegang air tanah
tersebut relatif rendah, berarti tanah tersebut mudah erosi, dan relatif kurang subur.
Struktur tanah DAS Tukad Pakerisan sebagian besar termasuk struktur kelas 4,
yang mengindikasikan bahwa struktur tanah di DAS Tukad Pakerisan, tahan terhadap
erosi. Vegetasi penutupan lahan dikategorikan dalam kemampuan infiltrasi aktual
agak besar termasuk kelas II (77,97% ) dan agak kecil katagori kelas IV (22,03).
Dukungan petani untuk mempertahankan kelestarian DAS cukup tinggi, karena petani
sangat menggantungkan hidupnya dari kegiatan berusahatani dari lahan DAS Tukad
Pakerisan. . Karakteristik DAS yang paling berpengaruh terhadap perilaku DAS
Tukad Pakerisan adalah tingginya curah hujan yang terjadi sepanjang tahun.
Pemanasan global telah berdampak terhadap berubahnya pola curah hujan di
DAS Tukad Pakerisan, dan kalau tidak dilakukan pengelolaan DAS yang bijaksana
dan berkelanjutan baik oleh pemerintah maupun masyarakat akan berdampak tidak
baik terhadap karakteristik fisik DAS Pakerisan. Oleh karena itu program-program
yang diimplementasikan di DAS Pakerisan harus menunjukkan adanya optimasi
pemanfaatan sumberdaya secara efisien, dorongan pelaksanaan konservasi
sumberdaya alam dalam DAS
Vegetasi berpengaruh terhadap infiltrasi lewat tiga bentuk, yaitu perakaran
dan pori-pori memperbesar permeabilitas tanah, vegetasi menahan runoff. Tajuk
pohon mengubah tenaga erosivitas jatuhan hujan yaitu mengubah kecepatan dan
ukuran butir tetes hujan. Oleh karena itu walaupun curah hujan yang cukup tinggi di
DAS Pakerisan, vegetasi penutupan tanah akan dapat mengurangi aliran permukaan
air yang berpotensi mendatangkan erosi, oleh karena itu perlu dipertahankan dan
dihindari alih fungsi lahan dari tanaman kehutanan menjadi tanaman hortikultura.
255
Daftar Pustaka
Arnawa, I Ketut, I Made Budiasa, Dian Tariningsih., 2008. Dukungan Sosial Ekonomi
Masyarakat dan Daya Dukung Biofisik terhadap keberhasilan Rehabilitasi
Lahan Dan Konservasi Tanah di Daerah Aliran Sungai Saba Daya Bali.
Penelitian Hibah Bersaing.
Asdak, C., 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Penerbit Gajah
Mada University Press, Yogyakarta
Adnyana, I W Sandi., 2006. Study of Monitoring Land Use Cahanges and Erosion in
the Highland of Bali. Ph..D. Thesis Graduate School of Science and
Technoloy, CHIBA University, Japan
Boer, Rizaldi dan Perdinan. 2008. Adaptation to climate variability and climate
change: Its socio-economic aspect. Paper presented at the EEPSEA
Conference On Climate Change: Impacts, Adaptation, And Policy In South
East Asia With A Focus On Economics, Socio-Economics And Institutional
Aspects, 13-15 February 2008, Bali.
Bratasida, I., 2002. Tinjauan Dampak Pemanasan Global Dari Aspek Lingkungan
Hidup, Seminar Nasional ―Pengaruh Pemanasan Global Terhadap Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil‖, Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKRTN), 30-31
Oktober, Hotel Horison, Jakarta.
Chow, Ven Te., Maidment, David R., May S., Larry W., 1988, Applied Hydrology,
McGraw Hill International Editions, Civil Engineering Series, Singapore.
Departemen Kehutanan, 2003. Laporan Tahunan. Balai Pengelolaan DAS Unda
Anyar, Denpasar.
Departemen Kehutanan, 2004. Laporan Hasil Monitoring dan Evaluasi Rehabilitasi
Hutan dan Lahan Tahun 2004. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan
Perhutanan Sosial Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Unda Anyar,
Denpasar
Departemen Kehutanan, 2009. Laporan Identifikasi Karakteristik DAS SWP DAS
OOS Jinah. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial
Balai Pengelolaan DAS Unda Anyar, Denpasar.
Departemen Pekerjaan Umum, 2009. Peningkatan Penataan Kawasan Kawasan DAS
Tukad Pakerisan di Kabupaten Gianyar. Materi Pembahasan, Laporan Fakta
dan Analisa. Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Bali.
Dewa Raka., I Ketut Widnyana, I Made Nada., 2013. Model Penanggulangan Erosi
dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Dalam Upaya Kesesuian Lahan dan
Rehabilitasi Lahan Kritis di Bali.
256
Foley, 1993. Pemanasan Global. Yayasan Obor Indonesia, Konphalindo, Panos.
Jakarta.
IPCC (ed.), 2001. Climate Change 2001. The Scientific Basis.Contribution of
Working Group III to the Third Assessment Report of the Intergovernmental
Panel on Climate Change. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). 2007. Climate change 2007.
Synthesis report. Contribution of Working Groups I, II and III to the Fourth
Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change.
Kartasapoetra, 2004. Klimatologi : Pengaruh Iklim Terhadap Tanah dan Tanaman.
Penerbit PT. Bumi Aksara Jakarta.
Kartodihardjo, H., et al. 2002. Peningkatan Kapasitas Pengelolaan DAS Ciliwung
Untuk Pengendalian Banjir di Ibukota Jakarta.
Kementrian Kehutanan, 2013. Pedoman Identifikasi Karakteristik DAS. Direktorat
Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial.
Kementrian Negara Lingkungan Hidup, 2007. Rencana Aksi Nasional dalam
Menghadapi Perubahan Iklim. Jakarta, Nopember 2007.
Kementrian Negara Lingkungan Hidup, 2012. Konvensi-Konvensi Tentang
Perubahan Iklim. Jakarta, 22 April 2012.
Komaruddin, 2008. Penilaian Tingkat Bahaya Erosi di Sub Daerah Aliran Sungai
Cileungsi, Bogor. Jurnal Agrikultura. Volume 19 Nomor 3. ISSN 0853-2885.
Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Bandung.
Lembaga Penelitian Unpad, 1994. Aspek Sosial Ekonomi Dalam Pengelolaan DAS
Terpadu. Ddalam Lokarya Pencaran Pengelolaan DAS Terpadu Ditjen RRL
Departemen Kehutanan, Cisarua 24-25 Maret 1994.
Manan, S. 1992. Perkembangan Hidrologi Hutan dan Pembangunan Hutan
Berwawasan Lingkungan di Indonesia. Makalah Simposium 25 Tahun
Perkembangan Hidrologi di Indonesia . LIPI-Puslitbang Pengairan
Departemen Pekerjaan Umum Jakarta.
Mario, Ketut., 2004. Arahan Penggunaan Lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS)
Banyumala, Buleleng. Bumi Lestari Jurnal Lingkungan Hidup Volume 4
Nomor 1 Februari 2004. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lemlit Unud,
Denpasar.
Naylor, R.L., Battisti, D.S. Vimont, D.J., Falcon, W.P. and Burke, M.B. 2007.
Assessing risks of climate variability and climate change for Indonesian rice
agriculture. Proceeding of the National Academic of Science. 114:7752-7757.
257
Rahayu, Widodo RH, van Noordwijk M, Suryadi I dan Verbist B. 2009. Monitoring
Air di Daerah Aliran Sungai. Bogor, Indonesia. World Agroforestry Center –
Southeast Asia Regional Office. 104 p.
Setyarso, A., 1999. Analisis Kebijaksanaan Pemanfaatan Sumber Daya Alam.
Makalah pada Lokakarya Nasional Kebijaksanan Pengelolaan DAS, Bogor.
Sejati, K. 2011. Pemanasan Global, Pangan dan Air. Masalah, Solusi dan Perubahan
Konstelasi Geopolitik Dunia. Gajah Mada University Press.
Sodiq, 2013. Pemanasan Global. Dampak Terhadap Kehidupan Manusia dan Usaha
Penanggulangannya. Penerbit Graha Ilmu Yogyakarta.
Sugiono, 1999. Metode Penelitian Bisnis. Penerbit CV. Alfabeta, Bandung.
Suwedi, N. 2005. Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Dampak Pemanasan
Global. Jurnal Teknologi Lingkungan. Vol.6 No.2. Pusat Pengkajian dan
Penerapan Teknologi Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi.
Tan. K. H. 1991. Dasar-Dasar Kimia Tanah. Terjemahan Goenadi. D.H. Gajah Mada
University Press. Yogyakarta.
Tjasjono, 1995. Klimatologi Umum. Penerbit ITB Bandung.
Wardhana, W. 2010. Dampak Pemanasan Global. Penerbit Andi, Yogyakarta.
Wibowo, S., 2003. Kebijakan Pengelolaan DAS Bersama Masyarakat. Surili,
Bandung.
Wibowo, S., 2004. Masalah Degradasi Lahan dan Upaya Rehabilitasi Hutan dan
Lahan. Prosiding Kongres Nasional V Masyarakat Konservasi Tanah dan Air
Indonesia dan Seminar Degradasi Hutan dan Lahan. Yogyakarta, 10 – 11
Desember 2004
258