PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN...

125
ISBN : 978-602-72894-4-4 PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN DAN BERBASIS BUDAYA PENULIS: Kaler Surata Utari Vipriyanti Deden Ismail Arnawa Widnyana Sumantra Eka Martiningsih Ayu esti Dyah Unmas Press EDITOR: Sukamerta Adi Sustrawan

Transcript of PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN...

Page 1: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

ISBN : 978-602-72894-4-4

PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN DAN BERBASIS BUDAYA

PENULIS: Kaler Surata Utari Vipriyanti Deden Ismail Arnawa Widnyana Sumantra Eka Martiningsih Ayu esti Dyah

Unmas Press

EDITOR: Sukamerta Adi Sustrawan

Page 2: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

2

DIPERSEMBAHKAN KARENA KECINTAAN KAMI TERHADAP ALAM DAN BUDAYA BALI

TERIMA KASIH DISAMPAIKAN KEPADA:

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI ATAS DANA

HIBAH PASCA YANG TELAH DIBERIKAN

UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR

Page 3: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

3

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR

LEMBAR UCAPAN TERIMA KASIH

Special Contributor:

Prof Akhmad Fauzi, PhD (in confirmation)………..……………………1 - 10

Prof Steven Lansing, PhD (in confirmation)..………………………….11 - 12

Prof Ibrahim Bin Ngah, PhD (in confirmation)..………………………21 – 30

BAB I

WISATA EDUKASI: STRATEGI PENGEMBANGAN WISATA

BERKELANJUTAN LANSKAP SAKRAL TRADISIONAL DAS TUKAD

PAKERISAN HULU ……………………………………………………31 -51

Oleh: Prof. Dr. Sang Putu Kaler Surata, MS

1. Pendahuluan (wisata edukasi, pendidikan untuk kehidupan berkelanjutan,

dan konservasi warisan budaya nenek moyang) 31

2. Berbagai Jenis Wisata Edukasi (termasuk ecotourism, agrotourism,

spiritual tourism) 35

3. Pasar Wisata Edukasi (Global, regional danlokal) 37

4. Sistem Ekologi Sosial Lanskap Sakral Tradisional DAS Pakerisan Hulu 40

5. Aset Komunitas DAS Pakerisan Hulu untuk Wisata Edukasi 43

6. Potensi Permasalahan dan Solusi 47

7. Penutup (kesimpulan dan implementasi) 51

BAB II

KUALITAS AIR SEBAGAI INDIKATOR PENGELOLAAN DAS

PEKERISAN BERKELANJUTAN ……………………………52 - 71

Oleh: Ayu Esti, MSi dan Dr. Ir. Utari Vipriyanti, MSi

1. Pendahuluan 52

2. Curah Hujan dan Kualitas Air 52

3. Tingkat Pencemaran Air 59

4. Sumber Pencemar 68

5. Upaya Upaya menekan Pencemaran 69

6. Penutup 71

Page 4: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

4

BAB III

DEBIT AIR DAN PENGGUNAAN LAHAN DI DAS TUKAD

PAKERISAN …………………………………………………….72 - 88

Oleh: Dyah, MSi dan Dr. Ir. Utari Vipriyanti, Msi

1. Pendahuluan 72

2. Analisis Hidrologi 72

3. Analisis Hidrograf SSN 75

4. Analisis Limpasan 78

5. Analisis Perubahan Tata Guna Lahan 84

6. Penutup 88

BAB IV

BIODIVERSITY DI DAS TUKAD PAKERISAN ……….89 – 101

Oleh: Dr. I Ketut Widnyana, MSi

1. Pendahuluan 89

2. Sungai dan Daerah Aliran Sungai 90

3. Keanekaragaman Tumbuhan 92

4. Komposisi Tumbuhan dan Struktur Vegetasi 94

5. Kelimpahan dan Keanekaragaman Jenis Vegetasi 97

6. Upaya Perlindungan 98

7. Potensi Permasalahan DAS Pakerisan dan Alternatif Solusi 100

8. Penutup 101

BAB V

INVENTARISASI DAN REVITALISASI LAHAN KRITIS DI

DAS PAKERISAN ……………………….. ……………102 – 122

Oleh: Nyoman Utari Vipriyanti, MSi

1. Pendahuluan 102

2. Penggunaan Lahan di Daerah Penelitian 104

3. Kebutuhan Lahan oleh Masyarakat 108

4. Tingkat Kekritisan Lahan 112

6. Penutup 113

BAB VI

PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERBASIS

MODAL SOSIAL…………………………………………..123 – 145

Oleh: Dr. Ir. Nyoman Utari Vipriyanti, MSi dan Dr. Ir. I Ketut

Arnawa, MP

Page 5: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

5

1. Pendahuluan 123

2. DAS Pakerisan dan Kekayaan Modal Sosialnya 124

3. Pariwisata: Peluang ataukah Ancaman bagi Pengembangan Warisan Budaya

Dunia 130

4. Penguatan Trust, Social Norm dan Networking sebagai dasar Pengelolaan

DAS Pakerisan 137

5. Penutup 145

BAB VII

PERUBAHAN IKLIM DAN TANTANGAN BAGI SEKTOR

PERTANIAN DAS PAKERISAN….…………………….146 -170

Oleh: Dr. I Ketut Sumantra, MP dan Prof. Dr. IGN Alit Wiswasta

1. Pendahuluan 146

2. Ketahanan Pangan dan Perubahan Iklim 147

3. Variabilitas Iklim di DAS Pakerisan 150

4. Neraca Air Lahan di DAS Pakerisan 156

5. Strategi Menghadapi Perubahan Iklim 165

6. Penutup 170

BAB VIII

PEMETAAN LAHAN KRITIS DAS PAKERISAN UNTUK DAYA

DUKUNG LAHAN BERKELANJUTAN …………………………….171– 195

Oleh: Dr. I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS

1. Pendahuluan 171

2. Permasalahan Lahan kritis 172

3. Pengelolaan DAS Terpadu 180

4. Metode Pengukuran Lahan Kritis 187

5. Strategi Penanganan Lahan Kritis DAS Pakerisan 192

6. Penutup 195

BAB IX

NORMA DAN HUKUM ADAT DI DAS

PAKERISAN………………………………………………………….195 - 215

Oleh: Dr. Anak Agung Sudiana, MH dan Dr. Nyoman Utari

Vipriyanti, MSi

1. Pengertian Norma dan Hukum Adat 195

2. Kekayaan Desa Adat dalam Tinjauan Hukum Adat 196

3. Memaknai Peran Sungai dan DAS dalam Wilayah Desa Adat 205

4. Penutup 215

Page 6: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

6

BAB X

TRI HITA KARANA: FALSAFAH PENETAPAN DAS

PAKERISAN SEBAGAI WARISAN BUDAYA DUNIA UNESCO

PERSPEKTIF KESEHATAN ……………………………216 - 230

Oleh: Dr. Ir. I Gusti Ayu Ari Agung, S.Ag, M.Kes

1. Pendahuluan 216

2. THK: Konsep Kesehatan Masyarakat Hindu Bali 217

3. THK: Meningkatkan Kualitas Modal Manusia dari sisi Perspektif

Kesehatan 224

4. THK dalam Kesehatan Lingkungan DAS Tukad Pakerisan Sebagai

Warisan Budaya Unesco. 229

5. Penutup 230

BAB XI DAMPAK PEMANASAN GLOBAL TERHADAP

KARAKTERISTIK DAS PAKERISAN ……………231- 254

Oleh : Dr. Ir. I Ketut Arnawa, MP dan Lusia, SP, M.Si

1. Pendahuluan 231

2. Fungsi , Karakteristik dan Kelembagaan DAS 233

3. Pemanasan Global 237

4. Dampak Pemanasan Global Terhadap Karakteristik

DAS 242

5. Penutup 254

DAFTAR PUSTAKA

GLOSARIUM

Page 7: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

7

KATA PENGANTAR

Puji syukur Tim penyusun panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha

Esa atas karunia dan rahmat beliau sehingga penulisan draft buku yang

berjudul “Pengelolaan Daerah Aliran Sungai yang Berkelanjutan” dapat

diselesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. Buku ini

mengungkap berbagai hal mengenai Daerah Aliran Sungai (DAS) Tukad

Pakerisan secara detail dan menarik. Tujuan penulisan buku ini adalah

menggugah pembaca umumnya dan masyarakat Bali kuhusnya agar lebih

memperhatikan kawasan DAS Tukad Pakerisan mengingat kawasan ini telah

ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) oleh UNESCO.

Penetapan kawasan DAS Tukad Pakerisan sebagai WBD menjadi dua

sisi mata uang. Sisi pertama memberi kebanggaan bagi masyarakat Bali

karena menjadi petunjuk adanya warisan budaya yang bernilai tinggi bagi

masyarakat dunia. Sisi kedua menunjukkan kewajiban yang melekat di

dalamnya sehingga masyarakat Bali tidak boleh lengah dalam

pemeliharaannya. Kengganan dan kelalaian dalam menjaga anugrah tersebut

akan mencoreng kita di mata dunia.

Semoga buku ini mampu menjadi salah satu document tentang DAS

Pakerisan yang nantinya sangat bermanfaat bagi generasi penerus bangsa.

Segala kekurangan dan kekhilafan dalam tulisan ini adalah milik tim

penyusun. Oleh karenanya, tim penulis mohon maaf yang sebesar besarnya.

Denpasar, Agustus 2016

Tim penyusun

Page 8: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

8 BAB I

WISATA EDUKASI: STRATEGI PENGEMBANGAN WISATA

BERKELANJUTAN LANSKAP SAKRAL TRADISIONAL DAS TUKAD

PAKERISAN HULU …………………………………………………………31

-51

Oleh: Prof. Dr. Sang Putu Kaler Surata, MS

Pendahuluan

Penetapan Subak Pulagan Gianyar Bali (bersama dengan beberapa kawasan lain di Bali) sebagai situs Warisan Budaya Dunia (WBD), menunjukkan subak tersebut merupakan kawasan strategis internasional, karena memiliki berbagai nilai universal luar biasa, yang melewati batas perbedaan agama, negara, sistem politik dan generasi (UNESCO, 2012). Beberapa dari nilai tersebut adalah implementasi Tri Hita Karana (hubungan harmonis antara Tuhan, manusia dan lingkungan), sistem demokrasi yang egaliter, dan peranan dari jejaring kerja pura subak dalam mengkoordinasikan praktek bertani secara berkelanjutan melalui pendekatan sosio-spiritual, yaitu meyakini bahwa sumberdaya air merupakan pemberian Tuhan, karena itu wajib dibagi kepada semua anggota subak.

Dengan demikian, Subak Pulagan tepat dikembangkan sebagai model kegiatan rehabilitasi dan konservasi melalui pariwisata. Apalagi di sekitar kawasan tersebut terdapat berbagai tinggalan sejarah dan atraksi budaya yang unik, menarik dan dapat mendidik pengunjung; belum terancam oleh aktivitas destruktif terutama oleh tekanan wisatawan massal (sebagaimana yang dialami oleh sebagian besar destinasi wisata di Bali); kaya dengan keanekaragaman hayati dan budaya; merupakan lokasi yang ideal untuk jalan kaki, naik sepeda, pengamatan burung, dan susur sungai; berada dalam jalur wisata Ubud dan Kaldera Gunung Batur; serta berdampingan dengan destinasi wisata yang telah dikenal luas (seperti Pura Gunung Kawi, Pura Tirta Empul, dan Istana Negara Tampaksiring).

Akan tetapi, sampai saat ini para petani (dan masyarakat di sekitarnya) belum dipersiapkan untuk menerima manfaat yang optimal dari pertumbuhan wisata. Hasil wawancara informal tim peneliti mengindikasikan bahwa tingkat kesadaran para petani terhadap manfaat konservasi warisan budaya dalam memperbaiki tingkat kehidupan masih rendah. Hal itu diperparah lagi oleh belum adanya akses, pelatihan dan pendampingan yang intensif bagi petani untuk meningkatkan pendapatan mereka, terutama melalui diversifikasi dan inovasi sistem bercocok tanam padi. Jika upaya peningkatan kapasitas sumberdaya dari komunitas lokal

Page 9: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

9

tidak segera dilakukan, dikhawatirkan kawasan Subak Pulagan mengalami dampak destruktif yang permanen dan tidak terpulihkan, baik yang diakibatkan oleh tekanan wisatawan massal di sekitarnya, kelangkaan sumber daya air, praktek bertani yang tidak bersabahat dengan lingkungan, maupun ancaman kehilangan generasi penerus karena generasi muda lokal tidak bersedia bekerja dalam sektor pertanian (Gaard, 2008; Temudo, 2011; Vipriyanti & Surata, submitted).

Pengembangan kawasan subak Pulagan menjadi wisata edukasi berbasis revitalisasi sistem pertanian itik-padi (STIP) merupakan sebuah solusi untuk melibatkan komunitas lokal (terutama petani) dalam membangkitkan nilai ekonomi kawasan. Di samping menyediakan pilihan edukasi yang menarik dan menghibur, wisata edukasi berbasis STIP juga memberikan pembelajaran kepada wisatawan tentang sinergi antara fungsi ekonomi, ekologi dan sosio-spiritual dalam sistem praktek bertani traditional yang berkelanjutan. Jan Reynold (2009) menggunakan sistem STIP di Bali dalam mengilustrasikan hubungan antara siklus padi dan siklus kehidupan sebagai implementasi keseimbangan antara azas manfaat dan azas lestari dalam praktek bertani secara keberlanjutan. Pengembangan wisata edukasi selaras pula dengan strategi pelaksanaan MP3EI, yaitu pertama mengembangkan potensi ekonomi wilayah terutama meningkatkan pendapatan petani melalui jasa kepada wisatawan, dan nilai tambah ekonomi dari diversifikasi dan inovasi STIP; kedua, memperkuat konektivitas lokal, nasional dan global melalui eksplorasi, identifikasi, pengemasan, dan promosi nilai universal luar biasa WBD, dan sistem STIP dalam mendidik pengunjung dan masyarakat lokal (terutama generasi muda) tentang prinsip berpikir global dan bertindak lokal; ketiga, meningkatkan kemampuan petani lokal dan perguruan tinggi dalam mengembangkan model pembangunan komprehensif dengan ciri layak secara ekonomi, diterima oleh masyarakat lokal, teknologi yang dihasilkan mudah diaplikasikan, dan bersahabat dengan lingkungan.

Tujuan jangka panjang kegiatan adalah untuk mengembangkan model wisata edukasi alternatif berbasis revitalisasi keunggulan lokal dalam praktek bertani inovatif yang berkelanjutan. Sedangkan tujuan jangka pendek kegiatan adalah menciptakan model kawasan wisata edukasi yang terfokus pada sistem pertanian terintegrasi itik padi (STIP). Target khusus yang ingin dicapai, terbangun menjadi model wisata edukasi STIP yang unik dan atraktif pada lanskap WBD Subak Pulagan.

Mengapa Edutourism?

Page 10: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

10

Sampai saat ini, sebagian besar pendekatan dalam pengembangan

destinasi wisata diawali dari penilaian terhadap kebutuhan kawasan yang

akan dibangun. Akan tetapi metode tersebut tidak tepat lagi karena

cenderung mendefinisikan ―apa yang kurang‖ dibanding membangun ―apa

yang sudah ada‖. Kegiatan ini terfokus pada upaya mengidentifikasi dan

kemudian memanfaatkan berbagai aset masyarakat dalam memecahkan

masalah, dengan mendorong pemangku kepentingan (terutama komunitas

lokal) untuk secara bersama-sama berinvestasi dalam mencari solusi yang

berbasis pada masyarakat.

Pada satu sisi kegiatan berupaya mengembangkan diversifikasi usaha

dalam bidang pertanian dan pariwisata, pada sisi yang lain secara bertahap

mendorong generasi muda mengambil peranan aktif dalam mengambil

keputusan, mulai dari perencanaan, proses, evaluasi, dan pengembangan.

Hal itu untuk mengantisipasi agar kegiatan mampu menimbulkan dampak

ekonomi jangka panjang, melalui pembentukan pemimpin (dan pekerja)

baru, pembukaan peluang kerja dan pengembangan usaha secara mandiri.

Penciptaan model inovatif dalam wisata edukasi STIP mempertemukan

kebutuhan bidang pariwisata, pertanian, dan pendidikan sambil tetap

berupaya melindungi kawasan WBD. Dengan demikian, kecederungan

ketiga sektor bekerja sendiri dan tidak mau saling bertukar informasi dapat

dihindari, karena selain tidak efisien, juga dapat menghambat

pengembangan budaya produktif.

Strategi yang akan dilakukan adalah meningkatkan kapasitas komunitas

lokal (terutama petani) dalam meningkatkan pendapatan secara

berkelanjutan, melalui pelibatan, pendidikan, pelatihan dan pendampingan

dalam diversifikasi dan inovasi sistem STIP, akses terhadap pasar, promosi,

komersialiasi produk, dan jasa wisata. Karena itu, peningkatan kapasitas

mahasiswa-petani menjadi cultural interpreter (pemandu wisata yang secara

langsung mempraktekan pertanian inovatif dan berkelanjutan, serta mampu

mengkomunikasikannya kepada wisatawan secara atraktif dan interpretatif)

merupakan prioritas dalam penelitian ini.

Subak Pulagan sebagai Warisan Budaya Dunia

Subak Pulagan terletak di sebelah barat Tukad Pakerisan Gianyar Bali

dengan luas lahan 103 hektar yang digarap lebih dari 200 petani. Pada

Tahun 2012 UNESCO telah menetapkan subak Pulagan termasuk WBD

bersama dengan beberapa kawasan lain di Bali (UNESCO, 2012). Hal itu

didasarkan atas pertimbangan bahwa Subak Pulagan merupakan contoh luar

biasa dari sistem budaya yang unik dan masih tetap lestari sehingga layak

dipertahankan. Sebagai lanskap pertanian tradisional, Subak Pulagan

mempresentasikan gambaran fisik dari interaksi yang kompleks dan dinamis

antara manusia dan sistem alam. Lanskap demikian sering mengalami

berbagai gangguan dan cekaman, tetapi petani memiliki kemampuan yang

lentur untuk beradaptasi sesuai perubahan eksternal, menghasilkan pangan

sesuai dengan daya dukung lingkungan lokal, dan menjadikan pembelajaran

serta inovasi sebagai target luaran (Darnhofer et al., 2010). Oleh sebab itu,

agro-ekosistem (seperti Subak Pulagan) bukan hanya menghasilkan pangan

Page 11: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

11

tetapi juga menyediakan habitat hidup, area berkembangbiak, berlindung,

mencari makanan, dan berbagai jasa lain, yang memberikan kontribusi

terhadap keberlanjutan keanekaragaman hayati di kawasan tersebut (Luo et

al., 2014).

Kecenderungan pertanian modern yang lebih mengutamakan dampak

ekonomi tanpa mempertimbangkan integritas lingkungan menjadi tantangan

bagi kelestarian WBD Subak Pulagan. Sebagaimana kondisi kawasan

pertanian di Bali, Subak Pulagan mengalami ancaman tekanan wisata, alih

fungsi lahan, praktek bertani monokultur yang mereduksi keanekaragaman

hayati terbukti sering menimbulkan berbagai dampak ekonomi, ekologi dan

sosial-budaya (Meyerson & Rearser, 2002; Gaard, 2008). Ancaman yang

paling serius adalah kehilangan generasi petani karena mahasiswa, siswa

dan generasi lainnya tidak lagi tertarik terlibat dalam kegiatan bertani

(Lorenzen & Lorenzen, 2011; Surata & Vipriyanti, submitted). Padahal

Subak Pulagan (dengan berbagai nilai dan konsep ketahanan pangan dan

ketahanan budaya merupakan salah satu inti dari budaya sebuah bangsa,

yang bisa dijadikan pilar dalam pembangunan masa depan sebagai mata

rantai kesinambungan dari masa lalu (Surata 2013a).

Oleh karena itu, pendidikan dan pelatihan menjadi komponen penting

dalam konservasi agro-ekosistem untuk mencapai ekosistem yang sehat,

ekonomi yang sejahtera dan sistem sosial yang inklusif (Flora, 2008). Pada

waktu ketahanan pangan masih bertumpu pada produktivtas lanskap budaya

pertanian tradisional, anak-anak dan generasi muda belajar tentang sistem

bertani, budaya dan merayakan ritual keagamaan melalui pendidikan dan

pelatihan langsung oleh orang tua, komunitas lokal, dan lingkungan

sekitarnya. Istilah modern untuk kegiatan demikian disebut pendidikan

berbasis pada tempat (place-based education), atau pendidikan dengan

menggunakan lingkungan lokal sebagai titik awal untuk meningkatkan

pemahaman terhadap materi pembelajaran (Taptamat, 2011), meningkatkan

konmitmen pelajar untuk memberikan jasa sosial kepada masyarakat (Sobel,

2004), dan mengembangkan kepekaan siswa terhadap lingkungan lokal

tempat tinggal mereka (Meichtry & Smith, 2007).

Sistem Pertanian Terintegrasi Itik-padi

Hasil penelitian di berbagai negara juga menunjukkan bahwa STIP

dapat memberikan berbagai dampak positif terhadap pendapatan petani dan

ekosistem padi sawah. Quan et al., (2008) meneliti tentang pengaruh

pertanian itik-padi terhadap lingkungan air dalam sawah di Cina. Mereka

menemukan suhu dan pH permukaan air menurun, sebaliknya unsur

nitrogen, fosfor dan kalium dibanding pertanian konvensional (Quan et al.,

2008). Dengan begitu berarti sistem itik-padi memperbaiki lingkungan air

dan suplai nutrisi, mengoptimalkan lingkungan ekologi sawah, dan

mendorong pertumbuhan serta perkembangan tanaman padi (Quan et al.,

2008). Sistem itik-padi juga efektif dalam mengendalikan gulma dan hama

penyakit tanaman sehingga biaya pengendalian gulma dan insekta dapat

dihemat, peningkatan panen gabah dan menyediakan sumber pendapatan

tambahan dan peningkatan status gizi petani miskin (Yu et al., 2008; Wang

et al., 2008; Hossain et al., n.d).

Page 12: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

12

Yang tidak kalah penting, sistem tumpangsari itik-padi berperan dalam

menurunkan pemanasan global, terutama gas metana yang merupakan gas

rumah kaca. Hal itu ditunjukkan oleh hasil penelitian Fu et al. (2008), yang

menemukan gerakan itik mengaduk -aduk a i r dan l ap isan

permukaan t anah menyebabkan oksigen terlarut di dalam air

meningkat; makin banyak itik maka oksigen terlarut makin banyak pula.

Populasi bakteri metanogenik dalam ekosistem itik-padi menurun sangat

drastis dibanding sistem tanam padi monokultur sehingga menghasilkan

produksi metana yang rendah; ketiga, makin banyak itik maka produksi

metana makin menurun (Fu et al., 2008). Hal itu disebabkan oleh

kandungan oksigen dalam air yang meningkat telah menghambat

pertumbuhan populasi bakteri metanogen.

Furono (seorang petani dari Jepang, yang sejak lama melakukan sistem

bercocok tanam itik-padi) menghasilkan beras organik berkualitas tinggi

sejak lebih 25 tahun lalu (Mamemachi, 2002). Bersama dengan beberapa

temannya, Furuno mengembangkan metode-Aigamo, yaitu teknik bertani

itik-padi untuk membersihkan gulma, menyuburkan tanah, dan

menambahkan ikan, dan Azolla microphylla (yang bersimbiosis dengan

bakteri alga biru-hijau) untuk meningkatkan produktivitas pertanian (Ho,

1999).

Dengan demikian pengembangan STIP akan membentuk agro-

ekosistem kompleks dengan berbagai manfaat (1) menghilangkan biaya

untuk membeli pupuk kimia buatan pabrik karena pupuk kompos yang

berasal dari kotoran itik dan ikan cukup bagi tanaman padi untuk

menghasilkan biji; (2) itik membantu membersihkan gulma sehingga

menghilangkan kesan bahwa bertani secara organik membutuhkan waktu

kerja yang lebih lama, terutama dalam membersihkan gulma dengan

menggunakan tenaga manusia; (3) itik dan ikan memangsa berbagai insekta

dan menimbulkan cekaman bagi populasi hama pengganggu, sehingga tidak

diperlukan lagi biaya untuk membeli insektisida guna mengendalikan

populasi hama dan penyakit tanaman; (4) meningkatkan kuantitas dan

kualitas produksi beras organik karena tidak lagi menggunakan pupuk dan

pestisida buatan.

Wisata Edukasi: Pembelajaran dalam Habitat Alami berbasis pada Rekreasi

Wisata edukasi merupakan kegiatan kepariwisataan yang mengarah

kepada pendidikan formal dan informal, serta pembelajaran tentang

keberlanjutan dalam lingkungan alami yang unik, memiliki nilai sejarah dan

kaya dengan keanekaragaman budaya. Tujuan utama wisata edukasi adalah

untuk melibatkan wisatawan dalam memperoleh pembelajaran secara

langsung dari kunjungan mereka ke lokasi wisata tertentu. Karena itu, wisata

edukasi sering pula disebut dengan pembelajaran dalam habitat alami berbasis

pada rekreasi (recreation-based in-situ learning), yang mengintegrasikan

pendidikan dengan pariwisata dengan cara mempromosikan pembelajaran

sepanjang hidup; menjanjikan pengalaman belajar yang menyenangkan

sambil membangun pengetahuan baru; meningkatkan ketrampilan dan

memperluas cakrawala berpikir bagi wisatawan (Setiawan et al., n.d.).

Page 13: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

13

Wisata edukasi terdiri atas berbagai tipe, mencakup ekowisata, wisata budaya,

pertukaran siswa antara berbagai institusi, wisata sekolah, wisata dengan

minat tertentu, kursus singkat, konferensi, festival, program pendidikan orang

dewasa yang berkelanjutan, dan wisata sejarah.

Sementara itu, Surata dan Seniwati (2006) dan Surata (2007) menemukan

kemampuan menggambar dan mengarang siswa sekolah dasar meningkat

setelah mereka memperoleh pengalaman perjalanan dan belajar sains lansung

di kawasan subak. Hasil penelitian tentang pengembangan wisata edukasi

pada komunitas tradisional di kawasan Urban Brasilia memberikan manfaat

kepada komunitas lokal (dalam bentuk pendapatan, kepuasan dan

peningkatan budaya) dan siswa sebagai pengunjung (berupa pengalaman unik

berinteraksi langsung dengan komunitas tradisional telang meningkatkan

pemahaman dan penghargaan terhadap budaya lokal) (Vieira, 2014).

Sementara itu, hasil penelitian Abubakar et al., (2014) menemukan bahwa

wisata edukasi terkait erat dengan toleransi dan perilaku komunitas lokal

yang tidak diskriminatif.

Dengan begitu, model wisata edukasi yang terfokus lokasi khusus (place-

centered edutrip) sangat tepat dikembangkan di Subak Pulagan. Hal itu

disebabkan Subak Pulagan merupakan subak berusia tua dengan berbagai

tinggalan budaya dan praktek sosio-spiritual yang masih tetap lestari,

berlokasi di jalur wisata utama, para petani (dan komunitas lokal) memiliki

toleransi yang tinggi terhadap wisatawan (sebagaimana citra ramah-tamah

terhadap wisata di Bali), berpeluang besar bagi peningkatan pendapatan

ekonomi, sekaligus memperkuat integrasi lingkungan dan inklusi sosial-

budaya.

Daftar Pustaka Abubakar, M.A., Shneikat, B.H.T., & Oday, A. (2014). Motivational factors for

educational tourism: A case study in Northern Cyprus. Tourism Management

Perspectives, 11, 58-62.

(https://www.researchgate.net/publication/262051773).

Darnhofer, I., Fairweather,J. & Moller, H. (2010). Assessing a farm’s

sustainability:Insights from resilience thinking. International Journal of

Agricultural Sustainability, 8(3), 186-198.

Falk I & Surata S.P.K. (2007). Real social capital in Bali: Is it difference from

literature? Rural Society: The Journal of Social Capital and Rural Society,

17(3):201-312. http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.5172/rsj.351.17.3.308.

Flora, C.B., (2008). Social Capital and Community Problem Solving Combining

Local and Scientific Knowledge to Fight Invasive Species. Kritis and

Learning Communities. Special co-publication, 30-39.

Fu, Z., Huang, H., Liao, X., Hu, Y., Xiea, W., & He, B. (2008). Effect of ducks

on CH4 emission from paddy soils and its mechanism research in the rice-

duck ecosystem. Acta Ecologica Sinica, 28(5), 2107-2114.

(http://www.ecologica.cn/stxben/ch/reader/create_pdf

Page 14: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

14 Gaard, G. (2008). Toward an ecopedagogy of children’s environmental literature.

Green Theory & Praxis: The Journal of Ecopedagogy, 4(2), 11-24. DOI:

10.3903/gtp.2008.2.3

Ho, Mae-wan. (1999). One bird – ten thousand treasures. How the duck in the

paddy fields can feed the world. (http://www.ratical.org/co-

globalize/MaeWanHo/bird99.pdf).

Hosssain, S.T., Sugimoto, H., & Ahmed, G.J.U. (n.d.). Effect of integrated rice-

duck farming on rice yield, farm productivity, and rice-provisioning ability of

farmers. Asian Journal of Agriculture and Development, 2(1), 79-86.

(http://ageconsearch.umn.edu/bitstream/165782/2/AJAD_2005_2_1&2_7Hos

sain.pdf).

Lorenzen, R.P. & Lorenzen, S. (2011). Changing realities – perspectives on

Balinese rice cultivation. Human Ecology, 39, 29-42. DOI: 10.1007/s10745-

010-9345-z.

Luo, Y., H. Fu, & Traore, S. (2014). Biodiversity conservation in rice paddies in

China:Toward ecological sustainability. Sustainability 6, 6107-6124.

DOI:10.3390/su6096107.

Mamemachi, Y. (18 Juli 2015). Ducks in rice paddies under spotlights.

(www.detourjapan.com/furuno.html).

Meichtry, Y. & Smith, J. (2007). The impact of a place-based professional

development program on teacher’ confidence, attitudes, and classroom

practices. The Journal of Environmental Education, 38(2), 15-31.

Meyerson, L.A. & Reaser, J.K. (2002). Biosecurity: Moving toward a

comprehensive approach. Bioscience, 52(7), 592-600.

Reynold, J. (2009). Cycle of rice. A story of sustainable farming. New York: Lee

& Low Books Inc.

Setiawan, F., Hussain, R.M., Hussin, F.H., & Yann, L.B. (n.d.). L E I S U R E.

Learning via edutourism: In-situ recreation-based education. 1st International

Malaysian Educational Technology Convention, hlm. 766-772

Sobel, D. (2004). Place-based education: Connecting classrooms & communities.

Great Barrington, MA: Orion Society.

Surata, S.P.K. & Vipriyanti, N.U. Comparing Knowledge, Attitudes, and

Behaviors among Balinese Teachers, Student Teachers, and Students toward

the Subak Cultural Landscape. The Journal of Environmental Education

(submitted).

Surata, S.P.K., Arnawa, I. K., Jayantini, I. G. A. S. (2012). Ekopedagogi:

Pelibatan mahasiswa calon guru dalam integrasi lansekap budaya subak dan

MapPack ke dalam kurikulum jenjang pendidikan dasar. Proceeding Seminar

Nasional Cakrawala Pendidikan Berkualitas. (http://www.dikti.go.id/wp-

content/uploads/2012/10/Proceeding-Seminar-Nasional.pdf)

Surata, S.P.K. & Agung, T. (2010). Local food eco-literacy: A Strategy for

building ecotone between ethno-culture and scientific knowledge of food

security. Dalam J. Jompa, R. Basuki, Suraji, M. Tesoro, & E.T. Lestari

(Eds.), Proceedings of International Symposium of Small Island and Coral

Reefs (hal, 306-315).

Page 15: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

15 Surata, S.P.K. Jayantini, G.A.R.S., Lansing, J.S. (2015). Engaging Student

Teachers in Designing Ecopedagogy Learning Modules for Bali’s Subak

Cultural Landscape. NACTA JOURNAL, 52 (2): 139-143

(http://www.nactateachers.org/component/attachments/download/2254.html).

Surata, S.P.K., Arnawa, I.K., Widnyana, I K., Raka, I D.N., & Maduriana,I M.

(2014a). Implementasi Tri Dharma Perguruan tinggi secara terpadu melalui

elaborasi konsep Perampian Pura Kehen Bangli-Bali. Majalah Aplikasi Ipteks

NGAYAH, 5(1): 25-30.

Surata, S.P.K. Jayantini, G.A.R.S., Lansing, J.S. (2014b). Exploring community

capital of the Balinese subak cultural heritage: a content analysis of

participatory maps. International Journal of Technical Research and

Applications, 2(7): 28-34. e-ISSN: 2320-8163, http://www.ijtra.com/ijtra-

special-issue07.php

Surata, S.P.K., Jayantini, I G.A.S.R. (2014c). Participatory Mapping: Developing

Collaborative Learning for Educating Youth to Understanding Their Cultural

Landscape Heritage, pp 198-202 in Proceedings of the 2nd AsiaEngage

Regional Conference 2014. Directorate of Research and Community

Enggagement Universitas Indonesia.

Surata, S.P.K. (2015). Rekontekstualisasi Multifungsi Lanskap Budaya Pertanian

dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Paper presented as keynote speaker at

Seminar Nasional ―Mewujudkan Ketahanan Pangan melalui Pengelolaan

Sumberdaya Alam dan Peningakatan Ketahanan Hayati‖ hosted by Faperta

Undana at Kupang 29 October 2015.

Surata, S.P.K. (2013a). Lanskap budaya subak. Belajar dari masa lalu untuk

membangun masa depan. Denpasar: Unmas Press.

Surata, S.P.K. (2013b). Pembelajaran lintas budaya: Penggunaan subak sebagai

model ―ecopedagogy‖. Jurnal Kajian Bali, 3(2), 181-198.

(http://ojs.unud.ac.id/index.php/kajianbali/article/view/15687).

Surata, S.P.K. (2007). Subak sebagai model bagi pendidikan lingkungan: Analisis

karangan siswa sekolah dasar di Bali. Jurnal Lingkungan Hidup Bumi Lestari,

6 (2), 65-72.

Surata, S.P.K. & Seniwati, N.P. (2006). Kegiatan menggambar berbasis subak

sebagai model pendidikan lingkungan bagi siswa sekolah dasar di Bali.

Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran, 13(2),166-174.

Quan, G.M., Zhang, J.E., Chen, R., & Xu, R.B. (2008). Effects of rice-duck

farming on paddy field water environment. Ying Yong Sheng Tai Xue Bao

(Abstrak). (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19102319).

Taptamat, N. (2011). The effects of place — based activities on Conceptual

understandings and discourse Practices of ninth graders in science classroom,

Khamtakla rachaprachasongkhroa school, Sakon Nakhon, Thailand.

International Journal of Arts & Sciences, 4(8), 361–398.

Temudo, M.P. (2011). Planting knowledge, harvesting agro-biodiversity: A case

study of Southern Guinea-Bissau rice farming. Human Ecology. 9, 309–321.

DOI 10.1007/s10745-011-9404-0.

Page 16: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

16 UNESCO (2012). Cultural Landscape of Bali Province: the Subak System as

a Manifestation of the Tri Hita Karana Philosophy

(http://whc.unesco.org/en/list/1194).

Yu, S.M., Zhu, L.F., Quayang, Y.N., Xu, D.H., & Jin, Q.Y. (2008). Effects of

rice-duck farming on biotic populations in paddy field. Ying Yong Sheng Tai

Xue Bao (Abstrak). (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19102319 .

Vieira, O.A.D. (2014). Developing edu-tourism in an urban indigenous

community: The case of Aldeia Bananal (Brasília – DF – Brazil). Tesis

master pada Mittuniversetetet Sweden. (http://www.diva-

portal.se/smash/get/diva2:755191/FULLTEXT01.pdf)

Vipriyanti, N.U. (2014). Tourism development program for coastal and marine

sustainable development at Gerokgak District, Buleleng Regency, Bali

Province. Journal of Agricultural Economics and Development, 3(3), 47-51.

(http://academeresearchjournals.org/journal/jaed).

Vipriyanti, N.U. (2013). Kontribusi Prima Tani Terhadap Pengembangan Usaha

Pertanian Terintegrasi Ditinjau dari Perspektif Ekonomi Lingkungan. Jurnal

Alam Lestari, 2(1). ISSN: 2302-5514

Vipriyanti, N.U. (2008a). Kontribusi Pariwisata terhadap Sektor Pertanian Di Bali.

Ekonomi dan Pembangunan, 9(1).

Vipriyanti, N.U. (2008b). Model Produksi Beras untuk Peningkatan Kontribusi

Pertanian terhadap Perekonomian Bali. Ekonomi dan Pembangunan, 9(3).

Vipriyanti, N.U & Rustiadi, E. (2007). Revitalizing Social, Empowering Local

Potentials Reducing Powerty in Forest Area at Bali Province. Poster paper

presented for presentation at The International Conference on Poverty

Reduction and Forests: Tenure, Market and Policy Reforms, 3-7 September

2007, Bangkok. (repository.ipb.ac.id/handle/123456789/28359).

Wang, Q., Huang, P., Zhen, R., Jing, L., Tang, H., & Zhang, C. (2008). Effect of

rice-duck mutualism on nutrition ecology of paddy field and rice quality.

Ying Yong Sheng Tai Xue Bao (Abstrak).

(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19102319).

Page 17: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

17 BAB II

KUALITAS AIR SEBAGAI INDIKATOR PENGELOLAAN DAS

PAKERISAN BERKELANJUTAN

Oleh: Ayu Esti, MSi dan Dr, Ir. Nyoman Utari Vipriyanti, MSi

Pendahuluan

Air adalah sumber daya alam yang terbarukan dan tersedia dimana-mana.

Kuantitas maupun kualitas air ditentukan oleh keberadaan suatu wilayah maupun

ketersediaannya secara geografis maupun menurut musim. Oleh sebab itu,

peningkatan penggunaannya mengakibatkan intervensi manusia terhadap sumber

daya air makin besar. Hal tersebut memungkinkan terjadinya perubahan tatanan

dan siklus hidrologi wilayah seperti semakin tidak meratanya sebaran dan

keberadaan air, secara spasial maupun temporal serta penurunan mutu air. Selain

itu, efisiensi pemanfaatan dan penggunaan air semakin rendah dan seringkali

mengabaikan wilayah aliran air tersebut berasal atau daerah aliran sungai (DAS)

(Ismail. 2009). Bab ini menyajikan mengenai kualitas airsebagai indicator

pengelolaan DAS yang berkelanjutan.

Curah Hujan dan Kualitas Air

Curah Hujan

Curah Hujan DAS Pakerisan berupa curah bulanan selama 10 tahun terakhir

(2005-2014) yang diperoleh dari Stasiun Penakar Curah Hujan di wilayah DAS

Pakerisan. Jumlah curah hujan dan hari hujan tahunan pada masing-masing

Stasiun Pengamat Curah Hujan DAS Pakerisan disajikan pada Tabel 1. Curah

hujan rata-rata tahunan selama 10 tahun dari Stasiun pengamat curah hujan pada

BPP Kecamatan Kintamani sebesar 2.003 mm tahun-1

dengan 89 hari hujan.

Curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus sebesar 3 mm bulan-1

dengan 1

hari hujan dan tertinggi pada bulan Januari sebesar 341 mm bulan-1

dengan 14 hari

hujan. Curah hujan rata-rata tahunan selama 10 tahun dari Stasiun pengamat

curah hujan pada BPP Kecamatan Tampaksiring sebesar 2.644 mm tahun-1

dengan

123 hari hujan. Curah hujan terendah terjadi pada bulan Juni sebesar 107 mm

bulan-1

dengan 9 hari hujan dan tertinggi terjadi pada bulan Desember sebesar 322

mm bulan-1

dengan 14 hari hujan.

Curah hujan rata-rata tahunan selama 10 tahun dari Stasiun pengamat curah

hujan pada Dinas Pertanian, Perhutanan dan Perkebunan Kabupaten Gianyar

sebesar 2.132 mm tahun-1

dengan 103 hari hujan. Curah hujan terendah terjadi

pada bulan September sebesar 66 mm bulan-1

dengan 4 hari hujan dan tertinggi

terjadi pada bulan Desember sebesar 283 mm bulan-1

dengan 14 hari hujan.

Page 18: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

18 Jumlah curah hujan bulanan dan hari hujan rata-rata selama 10 tahun (2005-2014)

di Sub DAS Telagawaja sebagaimana disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah Curah Hujan dan Hari Hujan Tahunan pada Masing-masing

Stasiun Pengamat Curah Hujan DAS Pakerisan

CH (mm) HH (hari) CH (mm) HH (hari) CH (mm) HH (hari)

1 2 3 4 5 6 7 8

1 2005 1.355 72 2.433 121 1.725 96

2 2006 1.347 52 2.516 121 1.871 87

3 2007 1.676 61 2.697 130 2.268 87

4 2008 1.423 60 2.402 156 2.425 113

5 2009 2.446 76 3.654 118 2.233 101

6 2010 3.128 147 4.172 126 3.690 160

7 2011 2.192 122 2.044 103 1.747 96

8 2012 2.499 112 2.064 108 2.075 109

9 2013 2.276 101 2.214 154 1.998 92

10 2014 1.693 89 2.246 90 1.292 87

20.033 892 26.440 1.227 21.324 1.028

2.003 89 2.644 123 2.132 103

Sumber : Hasil pengolahan data curah hujan

Keterangan:

CH

HH

: Jumlah curah hujan

: Jumlah hari hujan

Dinas P3 Kab. Gianyar

Lokasi Stasiun Pengamat Curah Hujan

BPP Kec. Kintamani BPP Kec. Tampaksiring

Jumlah

Jumlah rata-rata

Tahun

Pengamatan

No

Data curah hujan dari 3 stasiun pengamat curah hujan yang ada disekitar

wilayah DAS pakerisan tersebut yaitu di Bagian Hulu Stasiun BPP Kecamatan

Kintamani, BPP Kecataman Tampakasiring dan Dinas P3 Kabupaten Gianyar

akan digunakan untuk menghitung nilai erosivitas hutan yang akan digunakan

untuk menentukan tingkat erosi yang terjadi di wilayah DAS Pakerisan.

Besarnya curah hujan, intensitas dan distribusi hujan mementukan dispersi

hujan terhadap tanah, jumlah dan kekuatan aliran permukaan serta tingkat

kerusakan erosi (Arsyad, 2010). Berdasarkan data curah hujan di atas, tipe iklim

menurut Schmidht ferguson (perbandingan antara bulan basah dan bulan kering),

tipe iklimnya termasuk tipe iklim C-D (agak basah-sedang). Tipe iklim C terletak

dibagian hulu DAS Pakerisan sedangkan tipe iklim D terletak di bagian hilir DAS

Pakerisan. Dengan kondisi seperti itu maka wilayah DAS Pakerisan merupakan

wilayah yang subur dan cocok untuk budidaya pertanian.

Page 19: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

19

Tabel 2. Jumlah Curah Hujan Bulanan dan Hari Hujan Rata-rata selama 10 Tahun (2005-2014) DAS Pakerisan

CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH CH HH

1 2

1 BPP Kintamani 341 14 322 12 337 13 170 7 83 5 34 2 10 2 3 1 9 1 27 1 97 5 236 12

2 BPP Kec. Tampaksiring 322 15 261 12 210 11 171 8 153 7 107 9 156 6 50 4 135 5 146 6 179 7 332 14

3 Dinas P3 Kab. Gianyar 283 14 185 9 151 8 138 8 120 7 148 5 101 7 43 4 66 4 99 5 225 5 218 12

946 42 768 32 698 32 478 23 356 19 289 15 268 15 97 9 210 10 272 12 501 18 786 37

315 14 256 11 233 11 159 8 119 6 96 5 89 5 32 3 70 3 91 4 167 6 262 12

Sumber : Hasil pengolahan data curah hujan

Keterangan:

CH

HH

12 13 14

Oktober Nopember Desember

Jumlah

No Lokasi Stasiun Curah

Hujan

Bulan pengamatan (2005-2014)

Januari Eebruari Maret April Mei Juni Juli

3 4

Jumlah rata-rata

: Jumlah curah hujan (mm)

: Jumlah hari hujan

Agustus September

5 6 7 8 9 10 11

Page 20: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

20 Penutupan Lahan

Hasil interpretasi citra landsat 8 untuk wilayah DAS Pakerisan diperoleh 4

(empat) jenis penutupan lahan yaitu vegetasi tetap, kebun campuran, sawah dan

pemukiman. Jenis penutupan dan luas masing-masing penutupan lahan

sebagaimana disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Jenis dan Luas Penutupan Lahan pada DAS Pakerisan

No Jenis Penutupan Lahan Luas (Ha) %

1 2 3 4

1 Vegetasi Tetap 32,58 0,36

2 Kebun Campuran 3.405,32 37,45

3 Sawah 4.592,00 50,51

4 Pemukiman 1.061,99 11,68

Jumlah 9.091,89 100,00

Sumber : Hasil interpretasi Citra Landsat, 2015

Kualitas Air

Sampel air diambil pada tiga titik yaitu di bagian hulu, tengah dan hilir.

Pengambilan sampel menggunakan alat sederhana yaitu botol plastik dan botol

kaca steril untuk pengambilan sampel uji Faecal Coliform dan Total Coliform.

Secara detail lokasi pengambilan sampel yaitu :

1. Untuk bagian hulu sampel air diambil di sekitar Pura Mengening, Banjar

Manukaya, Desa Manukaya Kecamatan Tampak Siring pada tanggal 1, 8, dan

15 Desember 2014 dengan koordinat 8°25'0.80"S, 115°18'57.54"E. Peta

Lokasi dapat dilihat pada Gambar 6.

Sumber : Google Earth,2015

Gambar 1. Lokasi Pengambilan Sampel Di Hulu

Page 21: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

2. Pada bagiang tengah dari Tukad Pakerisan, sampel diambil di Banjar

Pacung, Desa Pejeng Kelod, Gianyar pada tanggal 1, 8, dan 15 Desember

2014 dengan koordinat 8°31'0.32"S, 115°18'19.83"E. Peta Lokasi dapat

dilihat pada Gambar 7.

Sumber : Google Earth, 2015

Gambar 2. Lokasi Pengambilan Sampel Di Tengah

3. Pada bagian hilir dari Tukad Pakerisan, sampel diambil di Banjar

Medahan, Desa Medahan, Gianyar pada tanggal 1, 8, dan 15 Desember

2014dengan koordinat 8°34'59.21"S, 115°20'59.54"E. Peta Lokasi dapat

dilihat pada Gambar 8.

Sumber : Google Earth, 2015

Gambar 3. Lokasi Pengambilan Sampel Di Hilir

Page 22: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

47

Tingkat Pencemaran Air

a. Hasil Uji Sampel Air

Uji kualitas air dilakukan di Lab. Analitik Universitas Udayana, dimana

sampel yang diuji berjumlah 9 buah yaitu 3 buah di hulu, 3 buah di tengah dan 3

buah di hilir dari 9 buah sampel tersebut kemudian dirata-ratakan. Hasil uji

kualitas air rata-rata dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil Uji Kualitas Air Tukad Pakerisan

Sumber : Hasil Uji Lab, 2015

Berdasarkan data pada Tabel 4 terlihat bahwa sampel air yang diambil di

hulu sungai yang memenuhi ketentuan air kelas 1 berdasarkan Pergub Bali No. 8

tahun 2007 dimana semua parameter pengujian memenuhi syarat batas. Untuk

sampel air di bagian tengah pada parameter kekeruhan yaitu sebesar 10.47 ntu

melebihi batas dari air baku kelas 1 yaitu 5 ntu. Begitu juga dengan sampel air

yang diambil di bagian hilir untuk kekeruhan, faecal coliform dan total coli

menunjukkan angka yang berada di atas syarat batas. Faecal Coliform pada

bagian hilir terdapat paling banyak dikarenakan pada bagian atas atau hulu dari

daerah ini adalah wilayah Kota Gianyar dimana banyak pemukiman di daerah

tersebut.

(1) Suhu

Suhu dari hasil pengukuran di lapangan diperoleh semakin meningkat makin

ke hilir yaitu dari 25.20 C menjadi 26.25

0 C. Gambar 9 menunjukkan kondisi suhu

dari hulu sampai hilir.

Sumber : Hasil Perhitungan, 2015

Gambar 4. Suhu Air Berdasarkan Lokasi

Hulu Tengah Hilir Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4

1 Suhu °C 25.2 25.7 26.25 Deviasi 3 Deviasi 3 Deviasi 3 Deviasi 3

2 DHL 378 377 391 2250 2250 2250 2250

3 TSS Mg/ l 0.230667 0.697333 1.312333 50 50 400 400

4 Kekeruhan NTU 4.343333 10.46667 32.55 5 - - -

5 pH - 7.05 7.036667 7.095 6 s/d 9 6 s/d 9 6 s/d 9 6 s/d 9

6 DO Mg/ l 6.79 7.326667 5.84 6 4 3 1

7 BOD Mg/ l 0.58 1.256667 1.64 2 3 6 12

8 COD Mg/ l 2.666667 5.85 7.786667 10 25 50 100

9 PO4 (Fosfat) Mg/ l 0.093333 0.136667 0.205 0.2 0.2 1 5

10 Faecal Coliform JML/100 ML 36 36 61.33333 50 1000 2000 2000

11 Total Koli JML/100 ML 436.6667 1533.333 15000 500 5000 10000 10000

NO PARAMETER SATUANTUKAD PEKERISAN PERGUB BALI NO 8 TH 2007

mos/cm

25,2 25,7 26,25 24

26

28

Hulu Tengah Hilir

suh

u (

0C

)

Lokasi

Suhu

Page 23: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

48

Gambar 4. menunjukkan bahwa suhu daerah hulu lebih rendah dibandingkan

di hilir dikarenakan udara melingkupi permukaan bumi hingga ketinggian sekitar

560 km. Kumpulan udara yang melingkupi bumi ini disebut juga atmosfer. Salah

satu sifat udara adalah lentur, bagaikan karet yang bisa dimampatkan. Karena

pengaruh gaya gravitasi bumi, setiap lapisan udara akan menindih lapisan udara di

bawahnya. Akibatnya, udara yang posisinya lebih rendah akan lebih mampat

daripada udara yang posisinya lebih tinggi. Jika udara memampat, itu artinya

kerapatannya membesar. Istilah lain yang juga sering digunakan adalah tekanan.

Jika udara memampat, tekanannya akan membesar.Udara di dataran rendah lebih

mampat daripada udara di dataran tinggi. Jika udara semakin mampat, itu artinya

jumlah partikel udara semakin banyak per satuan volumenya. Dengan demikian,

jumlah partikel udara di dataran rendah lebih banyak daripada jumlah partikel

udara di dataran tinggi.

Perubahan suhu udara pada satu tempat dengan tempat lainnya bergantung

pada ketinggian tempat dan letak lintang. Perbedaan suhu karena perbedaan

ketinggian jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan perubahan suhu karena

perbedaan letak lintang. Semakin tinggi suhu tempat, maka suhu udara semakin

rendah. Oleh karena itulah, suhu udara di daerah hulu lebih rendah daripada di

daerah hilir.

Ketika matahari menyinari bumi, itu artinya matahari memberi energi pada

segala sesuatu disinari, termasuk partikel udara. Masing-masing partikel udara

tersebut menerima energi sinar matahari yang relatif sama. Dengan demikian,

semakin banyak partikel udaranya, semakin banyak pula energi sinar matahari

yang terserap. Energi-energi yang terserap tersebut kemudian akan berubah

menjadi panas. Karena jumlah partikel udara di dataran tinggi lebih sedikit

daripada jumlah partikel udara di dataran rendah, maka jumlah energi matahari

yang terserap di dataran tinggi akan lebih sedikit, sehingga panas yang terbentuk

tidak sebanyak panas di dataran rendah.

Kecepatan angin juga mempengaruhi suhu udara pada suatu

tempat.Kecepatan akan terus meningkat sejalan dengan meningkatnya ketinggian

suatu tempat. Apabila topografi suatu tempat itu tinggi maka tekanan udaranya

akan menurun, dan kita ketahui bahwa angin bergerak dari tekanan tinggi ke

tekanan yang rendah sehingga pada dataran tinggi kecepatan angin akan semakin

kencang. Semakin tinggi kecepatan angin maka suhu udara juga meningkat.

b. Daya Hantar Listrik

Daya hantar listrik dari sampel air yang diambil semua sampel baik dari hulu

sampai hilir memenuhi syarat kelas 1 dimana diperoleh nilai daya hantar listrik

rata-rata di hulu 378 ntu kemudian pada bagian tengah turun menjadi 377 ntu dan

di bagian hilir meningkat menjadi 391 ntu. Gambar 10 menunjukkan kondisi

daya hantar listrik rata-rata dari hulu sampai hilir.

Page 24: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

49

Sumber : Hasil Perhitungan, 2015

Gambar 5. Nilai Daya Hantar Listrik Berdasarkan Lokasi

Gambar 5 menunjukkan bahwa peningkatan nilai daya hantar listrik dari hulu

ke hilir, hal ini disebabkan karena jumlah ion-ion yang menyebabkan daya hantar

listrik lebih banyak pada wilayah hilir. Bila kadar DHL pada suatu badan sungai

semakin tinggi akan dapat mengganggu kualitas air sungai.

c. Total Suspended Solid (TSS)

Nilai TSS yang memenuhi kualitas air kelas 1 adalah 50 mg/l. Dari hasil

laboratorium diperoleh bahwa nilai TSS seluruh sampel memenuhi kualitas air

kelas 1 berdasarkan Pergub Bali No. 8 Tahun 2007. Kondisi nilai TSS dari hulu

sampai hilir diperlihatkan Gambar 6.

Sumber : Hasil Perhitungan, 2015

Gambar 6. Nilai TSS Berdasarkan Lokasi

Gambar 6 menunjukkan bahwa nilai TSS semakin meningkat dari hulu ke

hilir dimana hal ini diakibatkan semakin ke hilir semakin banyak buangan limbah

yang masuk ke badan sungai baik itu dari perumahan dan industri dan juga dari

lingkungan sekitarnya yang apabila dilihat pada bagian tengah Tukad Pakerisan

378 377

391

370

375

380

385

390

395

Hulu Tengah Hilir

Day

a H

anta

r L

istr

ik

Lokasi

Daya Hantar Listrik

0,23

0,70

1,31

0,00

0,50

1,00

1,50

Hulu Tengah Hilir

TSS

(m

g/l)

Lokasi

TSS

Page 25: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

50

melewati Kota Gianyar yang penduduknya cukup padat apabila dibandingkan

dengan di hulu sehingga potensi untuk terjadinya pembuangan limbah ke sungai

semakin tinggi.

d. Kekeruhan

Batas angka kekeruhan yang disyaratkan untuk kualitas air kelas 1

berdasarkan Pergub Bali No. 8 tahun 2007 adalah 5 ntu. Dari sampel air yang

diambil di Tukad Pakerisan hanya sampel air yang diambil di hulu yang

memenuhi tingkat kekeruhan kualitas 1 yaitu sebesar 4.33 ntu sedangkan sampel

air di tengah dan di hilir tidak memenuhi syarat. Gambar 12 menunjukkan nilai

kekeruhan dari hulu sampai hilir.

Sumber : Hasil Perhitungan, 2015

Gambar 7. Nilai Kekeruhan Dari Lokasi Pengambilan Sampel

Gambar 7 menunjukkan bahwa nilai kekeruhan makin ke hilir nilainya makin

besar yang menandakan tingkat kekeruhan semakin ke hilir semakin keruh. Hal

ini dikarenakan semakin ke hilir tingkat pencemaran dan larutan sedimen yang

tersuspensi semakin banyak yang membuat air menjadi semakin keruh.

f. pH

Berdasarkan Pergub Bali no. 8 Tahun 2007 nilai pH untuk kualitas air kelas 1

adalah 6 sampai dengan 9. Dari sampel air diambil diperoleh seluruh sampel

memenuhi syarat pH untuk kualitas air kelas 1. Hal ini menunjukkan bahwa

tingkat keasaman atau pH air di Tukad Pakerisan masih tergolong baik. Nilai pH

dari hulu sampai hilir dapat dilihat pada Gambar 8.

Sumber : Hasil Perhitungan, 2015

Gambar 8. Nilai pH AirBerdasarkan Lokasi

4,34 10,47 32,55 0,00

50,00

Hulu Tengah Hilir

Kek

eru

han

(n

tu)

Lokasi

Kekeruhan

7,05 7,04

7,095

77,1

Hulu Tengah Hilir

pH

Lokasi

pH

Page 26: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

51

Gambar 8. menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai pH terutama di

bagian hilir sungai yang memiliki nilai pH paling tinggi. Hal ini disebabkan di

bagian hilir terjadi penumpukan zat-zat yang terlarut yang semakin menumpuk.

g. Dissolved Oxygen (DO) atau Oksigen Terlarut

Berdasarkan Pergub Bali no. 8 Tahun 2007 dimana untuk nilai DO air kelas 1

adalah sebesar 6 mg/l. Dari hasil penelitian diperoleh nilai DO di hulu dan tengah

memenuhi syarat dengan nilai DO masing-masing sebesar 6.79 mg/l dan 7.33

mg/l namun di bagian hilir tidak memenuhi syarat karena nilai DO adalah sebesar

5.84 mg/l. Nilai DO menunjukkan kandungan oksigen yang terdapat dalam air

sehingga apabila nilai DO semakin kecil maka kualitas air akan semakin buruk.

Gambar 14 menunjukkan nilai DO dari hulu sampai hilir.

Sumber : Hasil Perhitungan, 2015

Gambar 9. Nilai DO AirBerdasarkan Lokasi

Gambar 9. menunjukkan bahwa semakin ke hilir pencemaran yang terjadi

semakin tinggi. Dimana hal ini dikarenakan DO atau kadar oksigen terlarut

menyatakan kandungan oksigen di dalam air. Kemampuan air dalam melarutkan

oksigen sangat tergantung pada suhu air, tekanan gas oksigen dan kemurnian air.

Oksigen terlarut (dissolved oxygen, disingkat DO) merupakan salah satu

parameter penting dalam analisis kualitas air. Nilai DO yang biasanya diukur

dalam bentuk konsentrasi ini menunjukan jumlah oksigen (O2) yang tersedia

dalam suatu badan air. Semakin besar nilai DO pada air, mengindikasikan air

tersebut memiliki kualitas yang bagus. Sebaliknya jika nilai DO rendah, dapat

diketahui bahwa air tersebut telah tercemar. Pengukuran DO juga bertujuan

melihat sejauh mana badan air mampu menampung biota air seperti ikan dan

mikroorganisme.

Selain itu kemampuan air untuk membersihkan pencemaran juga ditentukan

oleh banyaknya oksigen dalam air.. Di dalam air, oksigen memainkan peranan

dalam menguraikan komponen-komponen kimia menjadi komponen yang lebih

sederhana. Oksigen memiliki kemampuan untuk beroksida dengan zat pencemar

seperti komponen organik sehingga zat pencemar tersebut tidak membahayakan.

Oksigen juga diperlukan oleh mikroorganisme, baik yang bersifat aerob serta

anaerob, dalam proses metabolisme. Dengan adanya oksigen dalam air,

mikroorganisme semakin giat dalam menguraikan kandungan dalam air.

6,79 7,33 5,84 0

10

Hulu Tengah Hilir

DO

(m

g/j)

Lokasi

DO

Page 27: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

52

h. Biologycal Oxygen Demand (BOD)

Nilai BOD berdasarkan Pergub Bali No. 8 Tahun 2007 untuk kualitas air

kelas 1 adalah 2 mg/l. Dari hasil penelitian diperoleh nilai BOD sampel di hulu,

tengah, dan hilir semuanya memenuhi syarat kualitas air kelas 1. Hal ini

menunjukkan kandungan oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-

bahan buangan organik masih cukup baik. Nilai BOD makin ke hilir semakin

besar yang menandakan semakin banyak oksigen yang dibutuhkan untuk

mengoksidasi bahan organik yang menunjukkan bahan organik yang semakin

banyak terdapat di air. Nilai BOD dari hulu sampai hilir dapat dilihat pada

Gambar 10.

Sumber : Hasil Perhitungan, 2015

Gambar 10. Nilai BOD AirBerdasarkan Lokasi

Gambar 10 menunjukkan bahwa dengan semakin meningkatnya nilai BOD

menandakan bahwa pencemaran dari bahan-bahan organik semakin tinggi. Hal ini

dikarenakan penguraian zat organis adalah peristiwa alamiah, kalau sesuatu badan

air dicemari oleh zat organik, bakteri dapat menghabiskan oksigen terlarut, dalam

air selama proses oksidasi tersebut yang bisa mengakibatkan kematian ikan-ikan

dalam air dan keadaan menjadi anaerobik dan dapat menimbulkan bau busuk pada

air.

i. Chemical Oxygen Demand (COD)

Nilai COD berdasarkan Pergub Bali No. 8 Tahun 2007 untuk kualitas air

kelas 1 adalah 10 mg/l. Dari hasil penelitian diperoleh nilai COD dari sampel di

hulu, tengah, dan hilir semua memenuhi syarat kualitas air kelas 1. Angka COD

merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat organik yang secara alamiah

dapat dioksidasi melalui proses biologis dan dapat menyebabkan berkurangnya

oksigen terlarut dalam air.. Nilai COD dari hulu sampai hilir dapat dilihat pada

Gambar 11.

Sumber : Hasil Perhitungan, 2015

Gambar 11. Nilai COD Air Berdasarkan Lokasi

0,58 1,26 1,64 0

2

Hulu Tengah Hilir

BO

D (

mg/

l)

Lokasi

BOD

2,67 5,85 7,79 0,0010,00

Hulu Tengah Hilir

CO

D (

mg/

l)

Lokasi

COD

Page 28: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

53

Gambar 11. menunjukkan bahwa nilai COD semakin meningkat dari hulu

menuju hilir. Hal ini dapat menyatakan bahwa zat-zat organik yang menyebabkan

pencemaran di Tukad Pakerisan semakin meningkat. Kondisi ini disebabkan

karena alur Tukad Pakerisan semakin ke hilir semakin padat akan penduduk dan

industri sehingga potensi terjadinya pembuangan limbah organik ke badan sungai

akan semakin tinggi disamping adanya pencemaran yang tidak disengaja salah

satunya adalah kondisi septik tank yang tidak baik sehingga terjadi kebocoran dan

kebiasaan masyarakat untuk membuang sampah ke sungai yang masih sulit untuk

dihindari.

j. Fosfat (PO4)

Nilai PO4 berdasarkan Pergub Bali No. 8 Tahun 2007 untuk kualitas air kelas

1 adalah 0.2 mg/l. Dari hasil penelitian diperoleh nilai PO4 di hulu dan tengah

memenuhi syarat kualitas air kelas 1 yaitu masing-masing sebesar 0.09 mg/l dan

0.14 mg/l sedangkan karena nilai PO4 di hilir sebesar 0.21 mg/l tidak memenuhi

syarat. Berdasarkan Gambar 12 dapat dilihat nilai PO4 dari hulu sampai hilir.

Sumber : Hasil Perhitungan, 2015

Gambar 12. Nilai PO4Berdasarkan Lokasi

Gambar 12 menunjukkan bahwa nilai PO4 semakin ke hilir semakin besar

maka hal ini menunjukkan kondisi cemaran fosfat yang semakin banyak. Hal ini

disebabkan karena adanya pemanfaatan kawasan daerah hilir untuk pertanian dan

dalam melaksanakan aktivitasnya petani menggunakan pupuk N, P, K dan

pestisida dalam membasmi hama padi di sawah. Menurut keterangan salah satu

petani di Desa Medahan, jika tidak menggunakan pestisida dalam membasmi

hama, maka padi akan mati diserang hama.

Selain itu, fosfat dapat memasuki sungai melalui air buangan penduduk dan

industri yang menggunakan bahan detergen, seperti industri logam dan sebagainya.

Fosfat organis terdapat dalam air buangan penduduk (tinja) dan sisa makanan.

Keberadaan senyawa fosfat dalam air sangat berpengaruh terhadap

keseimbangan ekosistem perairan. Bila kadar fosfat dalam air rendah (< 0,01 mg

P/L), pertumbuhan ganggang akan terhalang, keadaan ini dinamakan oligotrop.

0,09 0,14

0,21

0,00

0,05

0,10

0,15

0,20

0,25

Hulu Tengah Hilir

PO

4 (

mg/

l)

Lokasi

PO4 (Fosfat)

Page 29: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

54

Sebaliknya bila kadar fosfat dalam air tinggi, pertumbuhan tanaman dan ganggang

tidak terbatas lagi (kedaaan eutrop), sehingga dapat mengurangi jumlah oksigen

terlarut air. Hal ini tentu sangat berbahaya bagi kelestarian ekosistem perairan.

k. Faecal Coliform

Nilai faecal coliform berdasarkan Pergub Bali No. 8 Tahun 2007 untuk

kualitas air kelas 1 adalah 50 JML/100 ml. Dari hasil penelitian diperoleh nilai

faecal coliform untuk sampel di hulu dan tengah memenuhi syarat kualitas air

kelas satu yaitu dengan besaran yang sama 36 JML/100 ml sedangkan untuk

sampel di hilir tidak memenuhi syarat kualitas air kelas 1 dikarenakan nilai faecal

coliform sebesar 61.33 JML/100 ml. Berdasarkan gambar 13 menunjukkan nilai

faecal coliform dari hulu sampai hilir.

Sumber : Hasil Perhitungan, 2015

Gambar 13. Nilai Faecal Coliform Berdasarkan Lokasi

Gambar 13 menunjukkan bahwa kondisi pencemaran dari bakteri tinja yang

semakin ke hilir semakin memburuk. Hal ini diakibatkan karena daerah hilir

sangat dekat dengan Kota Gianyar yang mana di daerah tersebut banyak terdapat

industri dan perumahan.

Keberadaan bakteri faecal coliform di lingkungan akuatik menunjukkan

bahwa air telah terkontaminasi dengan feces manusia atau hewan lain. Pada saat

ini terjadi air sumber mungkin telah terkontaminasi oleh patogen atau bakteri

yang menyebabkan penyakit atau virus yang juga bisa ada dalam feces. Kehadiran

kontaminasi tinja merupakan indikator bahwa ada potensi resiko kesehatan bagi

individu terkena air ini. bakteri koliform tinja atau faekal mungkin terjadi dalam

lingkungan air sebagai akibat dari meluapnya air limbah domestik atau sumber

nonpoint (tanpa diketahui asalnya) dari limbah manusia dan hewan.

l. Total Coliform

Nilai total coliform berdasarkan Pergub Bali No. 8 Tahun 2007 untuk

kualitas air kelas 1 adalah 500 JML/100 ml. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa

hanya sampel air di hulu yang memenuhi syarat kualitas air kelas satu dengan

nilai 436.67 JML/100 ml sedangkan untuk sampel di tengah dan hilir tidak

memenuhi syarat. Hal ini menunjukkan semakin ke hilir kualitas air berdasarkan

36,00 36,00 61,33

0,00

50,00

100,00

Hulu Tengah Hilir

Fae

cal C

oli

form

(J

ML

/10

0m

l)

Lokasi

Faecal Coliform

Page 30: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

55

jumlah bakteri coliform semakin buruk. Nilai total coliform dari hulu ke hilir

dapat dilihat pada Gambar 14.

Sumber : Hasil Perhitungan, 2015

Gambar 14. Nilai Total Coliform Berdasarkan Lokasi

Gambar 14 menunjukkan bahwa nilai total coliform yang semakin meningkat

dari hulu ke hilir. Kenaikan angka total coliform ini dikarenakan semakin

padatnya penduduk sehingga kegiatan pembuangan limbah semakin intensif

begitu juga padatnya industri yang memiliki potensi membuang limbahnya ke

sungai.

m. Indeks Pencemaran

Penentuan status mutu air sungai didasarkan pada metode indeks pencemaran.

Indeks pencemaran ditentukan dengan nilai standar seperti di bawah ini :

0 < IP < 1 memenuhi kriteria mutu

1 < IP < 5 tercemar ringan

5 < IP < 10 tercemar sedang

IP > 10 tercemar berat

Nilai indeks pencemaran pada penelitian ini dihitung pada wilayah hulu, tengah,

dan hilir. Hasil perhitungan indeks pencemaran menunjukkan bahwa nilai indeks

pencemaran di daerah hulu adalah 0.67 dapat digolongkan mutu air sungai di

bagian hulu memenuhi kriteria mutu. Kondisi ini juga terlihat secara visual di

lapangan dimana air yang mengalir di hulu masih sangat jernih dan tidak berbau.

436,67 1533,33 15000,00

0,00

10000,00

20000,00

Hulu Tengah Hilir

To

tal

Co

lifo

rm

(JM

L/1

00

ml)

Lokasi

Total Coliform

Page 31: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

56

Tabel 5. Nilai Indeks Pencemaran Di Hulu

Parameter

Ci Lix Ci/Lix Ci/Lix baru

Fisika

DHL 378.00 2250 0.17 0.17

TSS 0.23 50 0.004613 0.004613

Kekeruhan 4.34 5 0.87 0.694

Kimia

pH 7.05 6 s/d 9 0.30 0.30

DO 6.79 6 1.13 0.107887

BOD 0.58 2 0.29 0.29

COD 2.67 10 0.27 0.27

PO4 (Fosfat) 0.09 0.2 0.47 0.47

Biologi Faecal Coliform 36.00 50 0.72 0.72

Total Coliform 436.67 500 0.87 0.87

(Ci/Lix)R 0.39

(Ci/Lix)M 0.87

PIj 0.676071

Sumber : Hasil Perhitungan, 2015

Berdasarkan pada Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai indeks pencemaran yang

diperoleh di bagian tengah sungai adalah sebesar 2.513 yaitu di atas 1 dan di

bawah 5 sehingga dapat digolongkan bahwa pencemaran yang terjadi di daerah

tengan adalah tercemar ringan. Tabel 7 menunjukkan nilai indeks pencemaran

sebesar 6.068 dimana apabila mengacu pada standar mutu air maka dapat

dikatakan bahwa kualitas air di bagian hilir termasuk tercemar sedang.

Tabel 6. Nilai Indeks Pencemaran di Tengah

Parameter

Ci Lix Ci/Lix

Ci/Lix

baru

Fisika

DHL 377.00 2250 0.17 0.17

TSS 0.70 50 0.013947 0.013947

Kekeruhan 10.47 5 2.09 2.604

Kimia

pH 7.04 6 s/d 9 0.31 0.31

DO 7.33 6 1.22 0.067956

BOD 1.26 2 0.63 0.63

COD 5.85 10 0.59 0.59

PO4 (Fosfat) 0.14 0.2 0.68 0.68

Biologi Faecal Coliform 36.00 50 0.72 0.72

Total Coliform 1533.33 500 3.07 3.433

(Ci/Lix)R 0.92

(Ci/Lix)M 3.43

Page 32: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

57

Parameter

Ci Lix Ci/Lix

Ci/Lix

baru

PLj 2.513611 Sumber : Hasil Perhitungan, 2015

Nilai indeks pencemaran dari hulu ke hilir semakin naik dimana berarti

makin ke hilir maka air semakin tercemar. Kondisi ini terjadi dikarenakan

semakin ke hilir perkembangan penduduk semakin tinggi dimana pada daerah

tengah adalah Kota Gianyar yang memiliki kepadatan penduduk dan industri

cukup besar. Kenaikan tingkat indeks pencemaran dari hulu ke hilir dapat dilihat

pada Gambar 15.

Tabel 7. Nilai Indeks Pencemaran Di Hilir

Parameter

Ci Lix Ci/Lix

Ci/Lix

baru

Fisika

DHL 391.00 2250 0.17 0.17

TSS 1.31 50 0.026247 0.026247

Kekeruhan 32.55 5 6.51 5.068

Kimia

pH 7.10 6 s/d 9 0.27 0.27

DO 5.84 6 0.97 0.178571

BOD 1.64 2 0.82 0.82

COD 7.79 10 0.78 0.78

PO4 (Fosfat) 0.21 0.2 1.03 1.054

Biologi Faecal Coliform 61.33 50 1.23 1.444

Total Coliform 15000.00 500 30.00 8.386

(Ci/Lix)R 1.82

(Ci/Lix)M 8.39

PLj 6.06754 Sumber : Hasil Perhitungan, 2015

Gambar 15 menunjukkan bahwa kenaikan nilai indeks pencemaran

dikarenakan parameter-parameter pencemaran seperti TSS, Kekeruhan, BOD,

COD, PO4, Total Coliform dan Faecal Coliform mengalami kenaikan dan nilai

DO mengalami penurunan, dimana nilai DO menurun menandakan kandungan

oksigen di air yang semakin menipis.

Page 33: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

58

Sumber : Hasil Perhitungan, 2015

Gambar 15. Nilai Indeks Pencemaran Berdasarkan Lokasi

Sumber Pencemar Di Tukad Pakerisan

Hasil survei yang dilakukan terhadap masyarakat dan data hasil uji kualitas

air maka penyebab pencemaran yang terjadi di Tukad Pakerisan ada beberapa hal

antara lain.

1. Sumber Pencemar di Wilayah Hulu

Sumber pencemaran di lokasi ini adalah kegiatan pertanian, peternakan babi

skala rumah tangga, industri jasa laundry skala kecil dan perilaku masyarakat

yang membuang sampah sembarangan, terutama di sekitar Pura Tampak Siring

(Gambar 21). Selain itu, banyak masyarakat yang masih mandi dan mencuci

pakaian di sungai. Limbah cair yang dihasilkan yaitu limbah sabun yang

mengandung gugus sulfonat. Limbah cair yang dihasilkan industri laundry skala

kecil tidak diolah terlebih dahulu, namun langsung dibuang ke saluran air di

sekitar lokasi.

2. Sumber Pencemar di Wilayah Tengah

Sumber pencemaran di wilayah tengah adalah didominasi oleh kegiatan

pertanian dan perkembangan industri skala kecil, misalnya industri jasa laundry,

industri batako, bengkel service motor,industri pencucian kendaraan bermotor

skala kecil, dan villa atau home stay. Jenis industri yang ada di bagian tengah

dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Jenis Industri dan Usaha Di Desa Pejeng Kelod (Bagian Tengah)

Jenis Industri Jumlah

Kerajinan Kayu Ukir 10 unit

Jasa Laundry skala kecil 5 unit

0,68

2,51

6,06

0,00

2,00

4,00

6,00

8,00

Hulu Tengah HilirInd

eks

Pen

cem

aran

Lokasi

Indeks Pencemaran

Page 34: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

59

Cuci Sepeda Motor 3 unit

Villa/home stay 2 unit

Industri Batako 3 unit Sumber : Hasil Survei, 2015

Industri laundry skala kecil dan industri pencucian kendaraan bermotor skala

kecil membuang limbah sabun tanpa mengalami pengolahan terlebih dahulu.

Limbah cair yang dihasilkan dibuang ke saluran drainase di sekitar lokasi.

Wilayah tengah meliputi daerah yang padat dengan pemukiman penduduk

sehingga menerima limbah yang cukup besar. Limbah cair yang dihasilkan dari

rumah tangga mengandung susunan senyawa organik, baik alami maupun sintetis.

Untuk industri kerajinan kayu ukir, masyarakat tidak membuang limbah hasil

sisa ukir namun digunakan untuk memasak, misalnya untuk memasak ayam bakar

dan ikan bakar. Untuk industri batako, air limbah sisa pengolahan yang

mengandung semen dapat mengalir ke sungai dan mencemari air.

3. Sumber Pencemar di Wilayah Hilir

Sumber pencemaran di wilayah hilir adalah didominasi oleh kegiatan

pertanian dan perkembangan industri. Jenis industri di bagian hilir dapat dilihat

pada Tabel 9.

Tabel 9. Jenis Industri Di Desa Medahan (Wilayah Hilir)

Jenis Industri Jumlah

Kerajinan Batu 7 unit

Laundry 10 unit

Cuci Sepeda Motor 3 unit

Batako 5 unit

Hotel 6 unit

Pabrik Semen 2 unit

Kafe 6 unit

Pabrik Beton 1 unit Sumber : Hasil Survei, 2015

Di wilayah hilir, banyak terdapat industri industri skala kecil seperti industri

jasa laundry dan usaha pencucian kendaraan bermotor. Limbah sabun yang

dihasilkan usaha laundry skala kecil dan usaha pencucian kendaraan bermotor

memiliki kecenderungan untuk mencemari air Tukad Pakerisan dikarenakan

limbahnya tidak mengalami pengolahan terlebih dahulu dan limbahnya dibuang

ke saluran drainase di sekitar lokasi. Disamping itu, ada tempat pemandian umum

yang sehari-hari digunakan oleh masyarakat untuk mandi dan mencuci pakaian

dan kendaraan bermotor.

Usaha kafe yang terdapat di Desa Medahan memiliki potensi untuk

mencemari Tukad Pakerisan walaupun dari hasil wawancara dikatakan bahwa

sudah memiliki septik tank namun apabila tidak terawat akan rentan terhadap

Page 35: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

60

kebocoran. Hal yang sama juga terjadi pada usaha hotel, pabrik beton, dan pabrik

semen dimana dikatakan bahwa tiap-tiap industri tersebut telah memiliki

pengolahan limbah tersendiri sebelum dibuang ke sungai namun apabila tidak ada

pengawasan yang lebih lanjut maka kualitas hasil olahan limbah yang dibuang ke

sungai bisa jadi belum memenuhi syarat kelayakan.

Limbah rumah tangga juga berpotensi untuk mencemari sungai. Wilayah hilir

juga meliputi pemukiman penduduk yang cukup padat sehingga berpotensi

sebagai sumber pencemar.

Meningkatnya nilai BOD, faecal coliform, dan total coliform sebagai bukti

bahwa di bagian tengah dan hilir telah tercemari oleh bakteri yang diakibatkan

oleh aktifitas manusia di sekitarnya.

Pupuk kimia (berdasarkan hasil survey) masih banyak digunakan oleh

masyarakat dalam bidang pertanian dibandingkan dengan pupuk organik. Selain

harganya lebih murah juga dikarenakan penggunaannya yang lebih mudah. Sisa

dari penggunaan pupuk kimia akan mengendap di tanah yang mana apabila terjadi

hujan maka tanah yang terlarut bersama pupuk kimia tersebut hanyut dan jatuh ke

Tukad Pakerisan yang akan mencemari air. Semakin meningkatnya nilai PO4 atau

fosfat merupakan bukti bahwa terdapat sisa-sisa pupuk kimia yang ikut larut di

Tukad Pakerisan.

Penggunaan Pestisida (berdasarkan hasil survey) dikatakan bahwa banyak

petani yang menggunakan pestisida untuk tanaman mereka. Sisa-sisa pestisida

akan melekat pada tanaman dan di atas tanah dimana apabila terjadi hujan sisa-

sisa pestisida tersebut akan hanyut dan apabila sampai di badan sungai akan

mencemari sungai. Hal ini terbukti dari meningkatnya nilai COD yang memiliki

arti bahwa terdapat kandungan kimia yang terlarut di dalam air di Tukad

Pakerisan.

Gambar 16. Sampah Di Sekitar Pura Tampak Siring

Gambar 17. Sampah Di Sekitar Jembatan Tukad Pakeris

Page 36: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

61

Penutup

Masyarakat memiliki persepsi yang positif dan netral terhadap kualitas air di

Tukad Pakerisan sehingga dapat dinyatakan bahwa kondisi air di Tukad Pakerisan

sampai saat ini masih cukup baik. Sampel air yang diambil di hulu sungai yang

memenuhi ketentuan air kelas 1 berdasarkan Pergub Bali No. 8 tahun 2007

dimana semua parameter pengujian memenuhi syarat batas. Kualitas mutu air

sungai makin ke hilir makin memburuk yang terlihat dari makin besarnya nilai

indeks pencemaran semakin ke hilir. Penyebab pencemaran di Tukad Pakerisan

antara lain industri dan usaha, pengunaan pupuk kimia dan pestisida, dan

pembuangan sampah di sungai.

Page 37: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

62

BAB III

DEBIT AIR DAN PENGGUNAAN LAHAN DI DAS TUKAD

PAKERISAN

Oleh: Dyah, MSi dan Dr. Ir. Nyoman Utari Vipriyanti, MSi

Pendahuluan

Air memiliki peran penting bagi kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan.

Semua makhluk hidup memerlukan air. Salah satu sumber air yang dapat

dimanfaatkan oleh makhluk hidup adalah sungai. Air sungai akan tersedia secara

berkelanjutan apabila daerah aliran sungai tersebut terjaga dan terpelihara.

Demikian pula dengan DAS Tukad Pakerisan. Manfaat air sungai Tukad

Pakerisan tidak hanya untuk kegiatan sehari hari masyarakat namun juga

bermanfaat sebagai air suci dalam acara keagamaan dan pertanian. Sumber air

Tukad Pakerisan adalah sumber air tanah dan hujan. Tulisan ini akan membahas

mengenai debit air Tukad Pakerisan dan kaitannya dengan Penggunaan lahan di

DAS Tukad Pakerisan

1. Analisis Hidrologi a. Uji Konsistensi Data Hujan

Uji konsistensi data hujan dilakukan untuk melihat perubahan data hujan

apakah terjadi perubahan yang terlalu berlebihan atau tidak. RAPS digunakan

sebagai alat analisis untuk uji konsistensi dalam penelitian ini. Uji konsistensi

dilakukan pada ketiga buah stasiun hujan yaitu stasiun hujan Gianyar, Pengotan,

dan Tampak Siring. Hasil uji konsistensi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Uji Konsistensi RAPS

Stasiun Hujan Hasil Uji Konsistensi

Pengotan Konsisten

Gianyar Konsisten

Tampak Siring Konsisten Sumber : hasil perhitungan, 2015

Hasil analisis uji konsistensi dengan RAPS di tiga stasiun hujan di DAS

pakerisan menunjukkan bahwa data hujan yang dimiliki dari tahun 1998 sampai

2013 konsisten sehingga tidak diperlukan untuk melakukan perbaikan pada data

hujan. Data konsisten dalam hal ini berarti data hujan dari stasiun hujan Tampak

Siring, Pengotan, dan Gianyar dapat dikatakan dalam kondisi yang baik.

b. Hujan Kawasan

Untuk melakukan analisis alih ragam hujan menjadi aliran maka perlu

dilakukan analisis hujan kawasan untuk melakukan konversi data hujan yang

diperoleh dari stasiun hujan menjadi hujan suatu kawasan atau melakukan

konversi hujan titik menjadi hujan area. Hasil analisis dilakukan dengan

Page 38: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

63

menggunakan tiga buah stasiun hujan yaitu Pengotan, Tampak Siring, dan

Gianyar dan menggunakan metode poligon thiessen untuk alat analisis hujan

kawasan. Nilai koefisien thiessen yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Koefisien Thiessen DAS Tukad Pakerisan

Sta. Hujan

Luas

(km2)

Koef.

Thiessen

Gianyar 23.70 0.35

Tampak Siring 30.61 0.45

Pengotan 14.22 0.21

Total 68.54 1 Sumber : hasil perhitungan, 2015

Tabel 2 secara berturut turut menunjukkan bahwa stasiun hujan Tampak

Siring memiliki luasan pengaruh hujan sebesar 30.61 km2 dengan koefisien

thiessen 0.45, stasiun hujan Gianyar dengan koefisien thiessen sebesar 0.35. Hal

ini disebabkan oleh posisi DAS Tukad Pakerisan yang sebagian besar berada di

daerah Kabupaten Gianyar terutama di Kecamatan Tampak Siring dan Kecamatan

Gianyar. Hasil perhitungan hujan kawasan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 32. Hujan Kawasan

No. Tahun

Hujan Kawasan

(mm)

1 1998 148.57

2 1999 97.64

3 2000 110.94

4 2001 117.39

5 2002 94.28

6 2003 125.63

7 2004 106.92

8 2005 118.81

9 2006 89.05

10 2007 113.82

11 2008 60.16

12 2009 74.12

13 2010 73.38

14 2011 127.68

15 2012 154.57

16 2013 87.70 Sumber : hasil perhitungan, 2015

Tabel 3 menunjukkan bahwa pada DAS Tukad Pakerisan curah hujan

tertinggi yang pernah terjadi selama 16 tahun terakhir sejak tahun 1998 hingga

2013 adalah 154.57 mm Tahun 2012 dan curah hujan terendah yaitu 60.16 mm

pada tahun 2008.

Page 39: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

64

c. Analisis Frekuensi

Frekuensi hujan adalah besarnya kemungkinan suatu besaran hujan disamai

atau dilampaui. Periode ulang (return period) diartikan sebagai waktu hipotetik

dimana debit atau hujan dengan besaran tertentu dicapai atau bahkan dilampaui.

Misalnya, hujan dengan periode ulang 25 tahun berarti dalam 25 tahun

kemungkinan hujan dengan besaran yang sama atau dilampaui akan terjadi sekali.

Atau dalam kata lain, ada kemungkinan dalam jangka waktu 1000 tahun akan

terjadi 40 kali kejadian hujan 25 tahunan, dan bukan berarti akan terjadi setiap 25

tahun secara teratur. Pada penelitian ini dilakukan analisis frekuensi untuk kala

ulang 5, 10, 20, dan 50 tahun. Statistik dasar dari data hujan DAS Tukad

Pakerisan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Statistik Dasar Data Hujan DAS Tukad Pakerisan

m m/(N+1) Tahun Hujan

(mm)

Ln [Hujan

(mm)]

1 0.059 2012 154.568 5.041

2 0.118 1998 148.567 5.001

3 0.176 2011 127.681 4.850

4 0.235 2003 125.629 4.833

5 0.294 2005 118.813 4.778

6 0.353 2001 117.393 4.766

7 0.412 2007 113.820 4.735

8 0.471 2000 110.935 4.709

9 0.529 2004 106.917 4.672

10 0.588 1999 97.637 4.581

11 0.647 2002 94.280 4.546

12 0.706 2006 89.048 4.489

13 0.765 2013 87.702 4.474

14 0.824 2009 74.115 4.306

15 0.882 2010 73.385 4.296

16 0.941 2008 60.164 4.097

Jumlah Data = 16 16

Rerata = 106.291 4.636

Simpangan Baku = 26.351 0.259

Koef.Skewness = 0.116 -0.441

Kurtosis = -0.398 -0.190

Sumber : hasil perhitungan,2015

Tabel 4 menunjukkan bahwa secara statistik deskriptif dari data hujan

yang digunakan dalam perhitungan diperoleh jumlah data hujan yang digunakan

adalah 16 buah dengan rata-rata hujan maksimum tahunan sebesar 106.291 mm

dengan simpangan baku sebesar 26.351 mm.

Page 40: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

65

Sumber : hasil perhitungan, 2015

Gambar 1. Grafik Statistik Dasar Data Hujan DAS Tukad Pakerisan

Gambar 1 menunjukkan bahwa hujan dengan tinggi 160 mm memiliki

peluang terjadi hanya kurang lebih 10% dibandingkan dengan hujan dengan tinggi

60 mm memiliki peluang terjadi hampir 100% atau dengan kata lain hujan dengan

tinggi 60 mm pada waktu musim hujan seringkali muncul.

2. Uji Distribusi Frekwensi

a. Uji Smirnov Kolmogorov

Hasil uji keempat jenis distribusi dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil Uji Smirnov Kolmogorov

Sumber : hasil perhitungan, 2015

Hasil uji smirnov Kolmogorov menunjukkan semua jenis distribusi

diterima atau dapat digunakan dalam analisis frekuensi karena memiliki nilai lebih

kecil dari delta kritik yaitu 0.330 namun dipilih distribusi normal. Hal ini

dikarenakan nilai Delta Max yang diperoleh oleh jenis distribusi normal memiliki

nilai paling kecil yaitu 0.065.

b. Uji Chi Square

Hasil uji Chi Kuadrat berdasarkan distribusi normal dapat dilihat di Tabel 6.

-50

0

50

100

150

200

0% 20% 40% 60% 80% 100%

Huja

n (

mm

) m/(N+1)

P(x>=X) Delta P P(x>=X) Delta P P(x>=X) Delta P P(x>=X) Delta P

154.568 1 0.059 0.033 0.025 0.059 0.000 0.052 0.007 0.044 0.015

148.567 2 0.118 0.054 0.063 0.080 0.038 0.069 0.048 0.065 0.052

127.681 3 0.176 0.208 0.032 0.205 0.028 0.180 0.003 0.210 0.034

125.629 4 0.235 0.232 0.004 0.223 0.012 0.197 0.039 0.231 0.004

118.813 5 0.294 0.317 0.023 0.292 0.002 0.263 0.031 0.310 0.016

117.393 6 0.353 0.337 0.016 0.308 0.045 0.279 0.074 0.328 0.025

113.820 7 0.412 0.388 0.024 0.352 0.060 0.322 0.089 0.375 0.037

110.935 8 0.471 0.430 0.041 0.389 0.082 0.361 0.110 0.415 0.056

106.917 9 0.529 0.491 0.039 0.444 0.085 0.420 0.109 0.473 0.056

97.637 10 0.588 0.629 0.040 0.583 0.005 0.575 0.013 0.610 0.022

94.280 11 0.647 0.676 0.029 0.635 0.012 0.635 0.012 0.659 0.012

89.048 12 0.706 0.744 0.038 0.714 0.008 0.727 0.021 0.731 0.025

87.702 13 0.765 0.760 0.005 0.734 0.031 0.750 0.014 0.749 0.016

74.115 14 0.824 0.889 0.065 0.898 0.075 0.932 0.108 0.893 0.070

73.385 15 0.882 0.894 0.012 0.905 0.023 0.938 0.056 0.899 0.017

60.164 16 0.941 0.960 0.019 0.981 0.040 0.995 0.054 0.971 0.030

Delta Max = 0.065 Delta Max = 0.085 Delta Max = 0.110 Delta Max = 0.070

0.330 diterima diterima diterima diterima

Hitungan kelayakan

Delta Kritik =

4. Log Pearson III1. Normal 2. Log Normal 3. GumbelHujan (mm) m m/(N+1)

Page 41: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

66

Tabel 6. Uji Chi Kuadrat Untuk Distribusi Normal

1. DISTRIBUSI NORMAL

Kelas P(x>=X) Ef Hujan (mm) Of Ef-Of

(Ef-

Of)2/Ef

1 0.200 000 <P<= 000 3.200 128.469 2 1.200 0.450

2 0.400 000 <P<= 000 3.200 112.967 5 -1.800 1.013

3 0.600 000 <P<= 001 3.200 99.615 2 1.200 0.450

4 0.800 001 <P<= 001 3.200 84.113 4 -0.800 0.200

5 1.000 001 <P<= 001 3.200 60.164 3 0.200 0.013

Jumlah Ef = 16.000 Jumlah Of = 16 Chi2 = 2.125

Derajad Kebebasan = 2.000 Chi Kritik = 5.991 diterima

Sumber : hasil perhitungan, 2015

Tabel 6 menunjukkan nilai Chi kuadrat sebesar 2.125 dimana nilai tersebut

lebih kecil dibandingkan dengan Chi kritik sebesar 5.991 sehingga hipotesa awal

mengenai jenis distribusi dapat diterima. Hasil uji Chi Kuadrat berdasarkan

distribusi log normal dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Uji Chi Kuadrat Untuk Distribusi Log Normal

2. DISTRIBUSI LOG NORMAL

Kelas P(x>=X) Ef Hujan (mm) Of Ef-Of

(Ef-

Of)2/Ef

1 0.200 000 <P<= 000 3.200 128.258 2 1.200 0.450

2 0.400 000 <P<= 000 3.200 110.109 6 -2.800 2.450

3 0.600 000 <P<= 001 3.200 96.550 2 1.200 0.450

4 0.800 001 <P<= 001 3.200 82.888 3 0.200 0.013

5 1.000 001 <P<= 001 3.200 60.164 3 0.200 0.013

Jumlah Ef = 16.000 Jumlah Of = 16 Chi2 = 3.375

Derajad Kebebasan = 2.000 Chi Kritik = 5.991 diterima

Sumber : hasil perhitungan, 2015

Tabel 7 menunjukkan nilai Chi kuadrat sebesar 3.375 dimana nilai tersebut

lebih kecil dibandingkan dengan Chi kritik sebesar 5.991 sehingga hipotesa awal

mengenai jenis distribusi dapat diterima. Hasil uji Chi Kuadrat berdasarkan

distribusi gumbel dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 menunjukkan nilai Chi kuadrat sebesar 0.875 dimana nilai tersebut

lebih kecil dibandingkan dengan Chi kritik sebesar 5.991 sehingga hipotesa awal

mengenai jenis distribusi dapat diterima. Hasil uji Chi Kuadrat berdasarkan

distribusi log pearsson III dapat dilihat pada Tabel 9.

Page 42: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

67

Tabel 8. Uji Chi Kuadrat Untuk Distribusi Gumbel

3. DISTRIBUSI GUMBEL

Kelas P(x>=X) Ef Hujan (mm) Of Ef-Of

(Ef-

Of)2/Ef

1 0.200 000 <P<= 000 3.200 125.250 4 -0.800 0.200

2 0.400 000 <P<= 000 3.200 108.233 4 -0.800 0.200

3 0.600 000 <P<= 001 3.200 96.228 2 1.200 0.450

4 0.800 001 <P<= 001 3.200 84.654 3 0.200 0.013

5 1.000 001 <P<= 001 3.200 60.164 3 0.200 0.013

Jumlah Ef = 16.000 Jumlah Of = 16 Chi2 = 0.875

Derajad Kebebasan = 2.000 Chi Kritik = 5.991 diterima

Sumber : hasil perhitungan, 2015

Tabel 9 menunjukkan nilai Chi kuadrat sebesar 2.125 dimana nilai tersebut

lebih kecil dibandingkan dengan Chi kritik sebesar 5.991 sehingga hipotesa awal

mengenai jenis distribusi dapat diterima. Tabel 10 sampai Tabel 13 diperoleh hasil

uji Chi Kuadrat untuk jenis distribusi frekuensi yang sesuai adalah Gumbel. Hal

ini terjadi dikarenakan nilai chi kuadrat pada jenis distribusi gumbel paling kecil

yaitu sebesar 0.875

Tabel 9. Uji Chi Kuadrat Untuk Distribusi Log Pearsson III

4. DISTRIBUSI LOG PEARSON III

Kelas P(x>=X) Ef Hujan (mm) Of Ef-Of

(Ef-

Of)2/Ef

1 0.200 000 <P<= 000 3.200 128.702 2 1.200 0.450

2 0.400 000 <P<= 000 3.200 112.000 5 -1.800 1.013

3 0.600 000 <P<= 001 3.200 98.346 2 1.200 0.450

4 0.800 001 <P<= 001 3.200 83.520 4 -0.800 0.200

5 1.000 001 <P<= 001 3.200 60.164 3 0.200 0.013

Jumlah Ef = 16.000 Jumlah Of = 16 Chi2 = 2.125

Derajad Kebebasan = 1.000 Chi Kritik = 3.841 diterima

Sumber : hasil perhitungan, 2015

Melihat perbedaan dari kedua jenis uji maka dipilih hasil uji dari Chi

Kuadrat dimana uji ini melakukan uji pada semua kelas data dari terendah sampai

tertinggi sedangkan pada uji Smirnov Kolmogorov hanya menguji simpangan

terbesar data dari sekian banyak seri data hujan. Dengan demikian distribusi

gumbel digunakan untuk menghitung hujan kala ulang 5, 10, 20, dan 50 tahun.

Hasil analisis frekuensi untuk memperoleh hujan kala ulang dapat dilihat pada

Tabel 10.

Page 43: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

68

Tabel 10 Hasil Analisis Frekuensi Data Hujan DAS Tukad Pakerisan

P(x>=X) T (tahun) KT XT

20.00% 5.000 0.719 125.250

10.00% 10.000 1.305 140.668

5.00% 20.000 1.866 155.458

2.00% 50.000 2.592 174.602

Sumber : hasil perhitungan, 2015

Tabel 10 menunjukkan bahwa makin besar kala ulang maka makin besar

pula debit rencana yang dihitung. Pada debit kala ulang 5 tahun (Q5) diperoleh

debit sebesar 125.25 m3/det dan pada debit kala ulang 50 tahun (Q50) diperoleh

debit 174.602.

3. Analisis Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu

Hidrograf satuan sintetik nakayasu digunakan dalam penelitian di DAS Tukad

Pakerisan dikarenakan parameter yang relatif sederhana sehingga mudah untuk

diaplikasikan dan HSS Nakayasu cukup baik digunakan pada DAS-DAS di Bali.

Grafik HSS Nakayasu untuk DAS Tukad Pakerisan dapat dilihat pada gambar 12.

Sumber : hasil perhitungan, 2015

Gambar 2. Grafik HSS Nakayasu DAS Tukad Pakerisan

Gambar 2 dapat dilihat bahwa pada hidrograf satuan sintetik Nakayasu di

DAS Tukad Pakerisan diperoleh bahwa waktu puncak (peak time) adalah 4 jam

dan waktu turun (recession) adalah lebih dari 10 jam dengan debit puncak sebesar

3.3 m3/det.

4. Analisis Koefisien Limpasan (C)

Koefisien limpasan dalam penelitian ini dianalisis pada tahun 2002, 2006,

2008 dan 2012 untuk mengetahui perbedaan besaran koefisien limpasan pada

empat tahun tersebut yang kemudian akan digunakan untuk menghitung banjir

rencana. Hasil perhitungankoefisien limpasan dapat dilihat pada Gambar 3.

0,00

2,00

4,00

0 2 4 6 8 10 12 14

Debit (

m3/d

et)

Waktu (Jam)

Gambar Ordinat HSS NAKAYASU

Page 44: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

69

Sumber : hasil perhitungan, 2015

Gambar 3. Nilai C Pada DAS Tukad Pakerisan

Gambar 3 terlihat bahwa nilai koefisien limapasan (C) terjadi kenaikan

dari tahun 2002 sampai tahun 2012. Perubahan nilai C yang meningkat dari tahun

2002 sampai tahun 2012 akan berpengaruh terhadap besaran debit rencana yang

akan menjadi semakin besar. Hal ini diakibatkan berkurangnya daerah resapan

dimana luas sawah, ladang dan tanaman berkurang menyebabkan air hujan yang

jatuh semakin sedikit yang terinfiltrasi ke dalam tanah dan semakin banyak yang

menjadi limpasan langsung. Tabel 11 menunjukkan hasil perhitungan nilai C

yang lebih detail.

Tabel 11. Hasil Perhitungan Nilai Koefisien Limpasan (C)

Tahun Nilai C

2002 0.449

2006 0.451

2008 0.455

2012 0.456 Sumber : hasil perhitungan, 2015

Tabel 15 terlihat bahwa nilai C pada tahun 2002 sebesar 0.449 lalu

meningkat dari tahun 2006 sampai tahun 2012 menjadi 0.456 atau sebesar 0.007.

Peningkatan nilai C sebesar 0,007 tidak terlalu besar. Hal ini dikarenakan

perubahan tata guna lahan dari area terbuka menjadi pemukiman tidak terlalu

signifikan apabila dibandingkan dengan luas keseluruhan DAS Tukad Pakerisan

yaitu 68.54 km2.

Hujan Jam Jaman

Perhitungan hujan jam-jaman diperlukan karena data hujan yang diperoleh

adalah data hujan harian dimana untuk perhitungan debit banjir rencana

dibutuhkan data hujan setiap jam. Hujan jam-jaman di DAS Tukad Pakerisan

diasumsikan rata-rata terjadi selama 6 jam. Hasil perhitungan hujan jam-jaman

dapat dilihat pada Gambar 4.

0,4450,4500,4550,460

2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012 2014N

ilai

C

Tahun

Nilai C

Page 45: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

70

Sumber : hasil perhitungan,2015

Gambar 4. Grafik Distribusi Hujan Jam-jaman DAS Tukad Pakerisan

Gambar 4 dapat dilihat bahwa hujan jam-jaman yang terjadi di DAS

Tukad Pakerisan selama enam jam berdistribusi seperti itu, dimana pada jam 1

hujan yang terjadi memiliki porsi 55% dari hujan rancangan lalu pada jam kedua

dan seterusnya terus menurun. Model distribusi ini digunakan dalam penelitian

dikarenakan pola distribusi hujan yang terjadi di Bali sebagian besar mengikuti

pola ini dimana hujan yang terjadi akan deras lalu perlahan-lahan mulai menurun

dan berhenti.

Hujan Efektif

Hasil penelitian terhadap hujan efektif dianalisis berdasarkan nilai koefisien

limpasan (C). Dengan adanya dua buah koefisien limpasan yaitu tahun 2002, 2006,

2008 dan 2012 maka hal yang sama juga berlaku untuk hujan efektif yaitu

terdapat dua buah hujan efektif yaitu tahun 2002, 2006, 2008 dan 2012. Sejak Tahun 2002 hingga Tahun 2012 nilai hujan efektif semakin meningkat. Hal ini

dikarenakan nilai koefisien limpasan (C) yang semakin meningkat sehingga hujan

yang menjadi limpasan langsung akan semakin besar.

Debit Rencana

Debit banjir rencana dihitung dengan melakukan perkalian antara distribusi

hujan efektif jam-jaman dengan hidrograf satuan sintetik Nakayasu. Hasil analisis

dapat dilihat pada Gambar 5.

Sumber : hasil perhitungan, 2015

Gambar 5. Perubahan Debit Rencana Di DAS Tukad Pakerisan

150

250

350

2000 2005 2010 2015

Deb

it (

m3

/det

)

Tahun

Debit Rencana DAS Tukad Pakerisan

Q5

Q10

Q20

Q50

Page 46: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

71

Gambar 5 menunjukkan bahwa makin besar kala ulang maka makin besar

pula debit Tukad Pakerisan dan seiring berjalannya tahun dari 2002 ke tahun 2012

debit banjir rencana bertambah besar. Hal ini diakibatkan semakin tingginya nilai

koefisien limpasan (C) dimana perubahan tata guna lahan memiliki kontribusi

penting. Semakin sedikitnya daerah resapan menyebabkan air hujan yang jatuh

semakin sedikit yang mengalami infiltrasi dan semakin banyak yang menjadi

limpasan langsung dan jatuh ke badan Tukad Pakerisan.

Tabel 12. Perubahan Debit Rencana DAS Tukad Pakerisan

Kala

Ulang

Debit (m3/det) Selisih

(m3/det) 2002 2006 2008 2012

5 173.82 174.5943 176.1428 176.53 2.71

10 195.218 196.0871 197.8263 198.261 3.043

20 215.743 216.7036 218.6256 219.106 3.363

50 242.31 243.3895 245.5482 246.088 3.778 Sumber : hasil perhitungan, 2015

Tabel 12 menunjukkan bahwa dari tahun 2002 sampai tahun 2012 debit

banjir rencana semakin bertambah dimana untuk kala ulang 5 tahun terjadi

peningkatan debit sebesar 2.71 m3/det dan yang tertinggi adalah pada kala ulang

50 tahun dimana terjadi peningkatan debit sebesar 3.778 m3/det. Hal ini akan

memberikan pengaruh yang signifikan dalam perencanaan bangunan air yang

memerlukan data debit rencana sebagai dasar perencanaan, dimana dengan adanya

alih fungsi lahan yang terjadi apabila diabaikan terus menerus maka resiko

bangunan air yang sudah dibangun dengan data dasar debit rencana pada tahun

yang lama akan semakin meningkat dikarenakan kondisi DAS Tukad Pakerisan

sudah tidak seperti dulu lagi.

2. Perubahan Tata Guna Lahan

Penggunaan lahan di DAS Tukad Pakerisan selama rentang waktu 2002,

2006, 2008, dan 2012 dapat dilihat menggunakan kombinasi data dari BPS, Peta

Bakosurtanal, dan Peta citra satelit google earth. Penggunaan berbagai jenis data

tersebut untuk melakukan konfirmasi kondisi tata guna lahan yang sebenarnya

ada di lapangan.

Penggunaan berbagai macam sumber data tersebut diperoleh perubahan

tata guna lahan seperti ditunjukkan Gambar 6.

Page 47: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

72

Sumber : hasil perhitungan, 2015

Gambar 6. Perbandingan Penggunaan Masing-masing Jenis Lahan Di DAS Tukad

Pakerisan

Gambar 6 menunjukkan bahwa sejak tahun 2002 hingga tahun 2012 luas

lahan yang dipergunakan untuk sawah, ladang, dan tanaman mengalami

penurunan namun di sisi lain luas lahan yang digunakan untuk pemukiman selalu

meningkat. Pertambahan lahan untuk pemukiman terjadi dengan merubah lahan

produktif yaitu sawah dan ladang menjadi rumah. Pertambahan lahan untuk

pemukiman ini terjadi sebagian besar di desa Buruan, Abian Base, Bitera, dan

Serongga. Pertambahan penduduk ini disebabkan desa-desa tersebut terletak di

Pusat Kota Gianyar sehingga terjadi peningkatan kebutuhan pemukiman yang

cukup tinggi.

Di bagian utara DAS Tukad Pakerisan sebagian besar terdiri dari

kebun/ladang dan tanaman dimana tidak terjadi penambahan pemukiman yang

signifikan seperti di selatan dari DAS Tukad Pakerisan. Hal ini diakibatkan begian

utara dari DAS Tukad Pakerisan merupakan kawasan pedesaan dimana mayoritas

masyarakat pada daerah tersebut bekerja sebagai petani di ladang. Bagian utara

DAS Tukad Pakerisan merupakan kawasan yang berbukit dimana tidak

dimungkinkan untuk persawahan dikarenakan sumber air tidak ada sehingga

ladang, kebun, dan tanaman menjadi pilihan masyarakat untuk bercocok tanam.

Gambar 7 dan Gambar 8 menunjukkan peta penggunaan lahan di tahun 2002 dan

tahun 2012.

0,00

10,00

20,00

30,00

2000 2005 2010 2015LU

AS

(KM

2)

TAHUN

PERBANDINGAN PENGGUNAAN LAHAN

Sawah

Pemukiman

Tanaman

ladang

Page 48: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

73

Gambar 7. Peta Tata Guna Lahan Tahun 2012

Gambar 8. Peta Tata Guna Lahan Tahun 2002

Untuk melihat lebih detail bagaimana perubahan penggunaan lahan yang

ada di DAS Tukad Pakerisan dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 dapat dilihat

bahwa luas lahan yang digunakan untuk persawahan yang pada tahun 2002 seluas

24.01 km2 terus menurun menjadi 23.21 km

2 atau menurun sebesar 0.8 km

2.

Demikian juga untuk luas lahan yang digunakan untuk tanaman dan ladang turun

dari tahun 2002 ke tahun 2012 secara berurutan yaitu 0.1 dan 0,7 km2. Penurunan

yang paling besar terjadi daerah sawah lalu kemudian disusul oleh ladang.

Perubahan Tata Guna Lahan

Page 49: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

74

Tabel 13. Perubahan Penggunaan Lahan Di DAS Tukad Pakerisan

No.

Jenis

Penggunaan

Lahan

Tahun Selisih

2002 2006 2008 2012

Luas

(km2)

Luas

(km2)

Luas

(km2)

Luas

(km2) Luas (km2)

1 Sawah 24.01 23.81 23.34 23.21 -0.80

2 Pemukiman 11.47 11.79 12.81 13.07 1.61

3 Tanaman 24.51 24.46 24.45 24.41 -0.10

4 Ladang 8.55 8.48 7.94 7.85 -0.70

Sumber : hasil perhitungan, 2015

Di sisi lain pada daerah yang digunakan untuk pemukiman terjadi

peningkatan luas lahan dari tahun 2002 sebesar 11.47 km2 menjadi 13.07 km

2

pada tahun 2012 dimana terjadi peningkatan sebesar 1.61 km2. Apabila dilihat

maka dapat dikatakan peningkatan daerah yang digunakan untuk pemukiman

merupakan alih fungsi dari sawah, tanaman, dan ladang.

5. Pengaruh Perubahan Tata Guna Lahan Terhadap Debit Banjir

Perubahan tata guna lahan yang terjadi di DAS Tukad Pakerisan

mempengaruhi nilai koefisien limpasan atau dengan kata lain semakin banyak

pemukiman yang menggusur areal terbuka seperti ladang dan sawah maka makin

sedikit air hujan yang terserap ke tanah sehingga potensi meningkatnya banjir

semakin besar. Untuk mengetahui perubaha tata guna lahan terhadap debit banjir,

dalam penelitian ini digunakan analisa korelasi dan analisis regresi sederhana..

Variabel dependen (Y) adalah debit banjir dan variabel independent terdiri dari

empat jenis yaitu sawah (X1), pemukiman (X2), tanaman (X3), ladang (X4).

Debit banjir yang digunakan adalah debit banjir rata-rata tahunan yang diperoleh

dari AWLR atau stasiun pengukur debit yang diperoleh dari Balai Wilayah Sungai

Bali Penida. Tabel 14 menunjukkan hasil analisis korelasi.

Tabel 14. Data Untuk Analisis Korelasi Parsial

Tahu

n

Debit

(m3/de

t)

X1

(Sawa

h)

(km2)

X2

(Pemukiman)(k

m2)

X3

(Tanaman)(k

m2)

X4

(Ladang)(km2)

2002 0.49 24.014 11.468 24.510 8.548

2006 0.51 23.814 11.790 24.460 8.480

2008 0.23 23.340 12.810 24.450 7.940

2012 0.88 23.214 13.075 24.410 7.848 Sumber : hasil perhitungan, 2015

Page 50: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

75

1. Analisa Korelasi Parsial

Penelitian ini menggunakan analisa korelasi untuk mengetahui hubungan

antara perubahan debit banjir dan perubahan tata guna lahan seperti sawah,

pemukiman, tanaman, dan ladang. Hasil analisis disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15. Hasil Analisa Korelasi Di DAS Tukad Pakerisan

Debit Sawah Pemukiman Tanaman Ladang

Debit 1.000 -0.256 0.259 -0.501 -0.223

Sawah -0.256 1.000 -0.999 0.907 0.990

Pemukiman 0.259 -0.999 1.000 -0.893 -0.995

Tanaman -0.501 0.907 -0.893 1.000 0.845

Ladang -0.223 0.990 -0.995 .0845 1.000

Sumber : hasil perhitungan, 2015

Tabel 15 menunjukkan bahwa koefisien korelasi sawah, tanaman, dan

ladang terhadap debit memiliki nilai negatif antara lain sawah -0.256, tanaman

-0.501, dan ladang -0.223 dimana hal ini memiliki arti semakin berkurang luas

lahan ketiga jenis lahan tersebut memiliki kontribusi negatif terhadap debit banjir

atau semakin berkurang luas lahan tersebut akan menaikkan nilai debit banjir.

Koefisien korelasi antara lahan yang digunakan untuk pemukiman dengan

debit banjir memiliki nilai 0,259 yang memiliki arti berkorelasi positif. Hal ini

menyatakan bahwa ada kecenderungan semakin bertambahnya pemukiman maka

debit di Tukad Pakerisan akan semakin besar. Apabila dilihat dari penafsiran

terhadap besarnya koefisien korelasi yang umum digunakan menurut Sugiyono

(1999) yaitu:

r = 0 -0,40 berarti korelasinya lemah

r = 0,40 - 0,60 berarti korelasinya sedang

r = 0,60 - 0,80 berarti korelasinya kuat

r = 0,80 - 1 berarti korelasinya kuat dan sempurna

Korelasi yang diperoleh oleh masing-masing parameter apabila dilihat

berdasarkan penafsiran kekuatan korelasi maka dapat dikatakan bahwa untuk

sawah memiliki korelasi yang lemah, tanaman memiliki korelasi yang sedang,

ladang memiliki korelasi yang lemah, dan pemukiman memiliki korelasi yang

lemah.

Berdasarkan koefisien korelasi yang diperoleh maka dapat dinyatakan

bahwa dengan semakin berkurangnya lahan sawah, tanaman, dan ladang

diakibatkan adanya alih fungsi lahan menjadi pemukiman akan meningkatkan

debit pada Tukad Pakerisan. Hal ini harus secara serius disikapi oleh pihak-pihak

terkait karena berkaitan erat dengan keberlangsungan Tukad Pakerisan serta

bangunan-bangunan air yang ada di dalamnya selain juga kelestarian DAS Tukad

Pakerisan sebagai warisan budaya dunia akan terganggu.

2. Analisa Regresi Linier Sederhana

Data yang digunakan adalah data debit yang diperoleh dari AWLR pada

tahun 2002, 2006, 2008, dan 2012 yang diperoleh dari Balai Wilayah Sungai Bali

Penida dan data lahan terbuka yang merupakan gabungan dari sawah, ladang, dan

Page 51: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

76

tanaman. Tabel 16 menunjukkan data yang digunakan untuk analisis regresi

sederhana.

Tabel 16. Data Untuk Analisa Regresi Linier Sederhana

Tahun Debit

(m3/det)

Lahan

Terbuka

2002 0.49 57.072

2006 0.51 56.754

2008 0.23 55.730

2012 0.88 55.472 Sumber : hasil perhitungan, 2015

Hasil analisa regresi linier sederhana diperoleh bahwa nilai a = 5.489 dan

b = -0.088 sehingga dapat dirumuskan persamaan Y = 5.489-0.88 X dimana Y

adalah debit dan X adalah lahan terbuka. Persamaan diatas berarti dengan

meningkatnya luas lahan maka debit akan menurun.

3. Analisa Korelasi

Hubungan variabel-variabel yang akan dianalisis dibawah ini adalah debit

rata-rata tahunan dengan data luas lahan terbuka di DAS Tukad Pakerisan. Oleh

karena kedua variabel yang akan dihubungkan telah diketahui, yakni data luas

lahan terbuka sebagai X, dan debit rata-rata Tukad Pakerisan Y, dengan

menggunakan rumus korelasi:

rn XY X Y

n X X n Y Y

( ) ( )( )

( ) ( ) ( ) ( )2 2 2 2

Kriteria dari korelasi tersebut adalah :

r = 0 -0,40 berarti korelasinya lemah

r = 0,40 - 0,60 berarti korelasinya sedang

r = 0,60 - 0,80 berarti korelasinya kuat

r = 0,80 - 1 berarti korelasinya kuat dan sempurna

Berdasarkan perhitungan pada lampiran 16, diperoleh nilai koefisien

korelasi sebesar 0,256 ini berarti antara luas lahan terbuka dengan debit Tukad

Pakerisan terdapat hubungan lemah.

4. Analisa Determinasi

Seperti diketahui bahwa luas lahan terbuka mempunyai hubungan yang lemah

terhadap debit banjir Tukad Pakerisan. Hal ini ditunjukkan oleh hasil korelasinya

yaitu sebesar 0,256. Tetapi untuk mengetahui seberapa besar luas lahan

terbukadapat mempengaruhi debit Tukad Pakerisan, hal ini perlu dicari dengan

analisis determinasi yang merupakan kuadrat (pangkat dua) dari pada korelasi

dikalikan seratus persen. Dengan analisis determinasi ini akan diketahui seberapa

besar perubahan tata guna lahan mempengaruhi perubahan debit di Tukad

Pakerisan (yang dalam hal ini ditentukan dengan prosentase).Adapun rumus dari

pada determinasi adalah:

D = r2 x 100%

Page 52: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

77

Dari rumus diatas akan dapat dicari besarnya pengaruh secara relatif

dariperubahan tata guna lahan terhadap debit banjir di Tukad Pakerisan, yaitu :

D = r2 x 100%

= 0,065 x 100%

= 6.5%

Perhitungan analisis determinasi menunjukkan hasil yaitu sebesar 6.5%.

Ini menunjukkan bahwa luas lahan terbuka mempunyai pengaruh sebesar 6.5%

dalam perubahan nilai besaran debit Tukad Pakerisan. Sedangkan sisanya sebesar

93.5% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain diluar luas lahan terbuka, yang dalam

penelitian ini tidak dibahas. Hal ini disebabkan karena peristiwa banjir merupakan

peristiwa alam yang memiliki kompleksitas sendiri. Banyak hal yang

mempengaruhi terjadinya banjir tidak hanya lahan terbuka namun hujan,

perubahan iklim, jenis tanah, kondisi masyarakat, dan yang lainnya dapat

berpengaruh terhadap terjadinya banjir.

5. Uji t

Analisis ini digunakan untuk menguji koefisien korelasi (r) tersebut diatas,

apakah dari hasil perhitungan nilai r sebesar 0,256 itu benar atau diperoleh secara

kebetulan, yang selanjutnya perlu diuji dengan t test. Rumus yang digunakan

adalah :

Sbi

bit

Untuk mendasari perhitungan r yang sebesar 0,256 tersebut digunakan tingkat

kesalahan 5%.

Untuk itu perlu dua kriteria uji, yaitu :

H0 Jika r = 0, Berarti korelasi tidak ada pengaruh antara perubahan lahan terbuka

dan debit.

Hi Jika r > 0, Berarti korelasi ada pengaruh antara perubahan lahan terbuka dan

debit.

Perhitungan : Derajat kebebasan = n - 2

= 4 – 2 = 2

Level of significant = 5% diperoleh t-hitung sebesar -0.374. Dilihat dari t-

tabel dengan level of significant 5% dan dengan degree of freedom (derajat

kebebasan) 10, maka t-tabel adalah sebesar 2.920.Untuk dapat membuktikan Ho

diterima atau ditolak maka dapat digunakan kriteria uji :

Terima Ho Jika t 2.920

Tolak Ho Jika t > 2.920

Dengan melihat hasil dari pada analisis di atas, maka diperoleh thitung

sebesar -0.374 terletak pada daerah penerimaan Ho. Sesuai dengan kriteria diatas,

maka Ho diterima, ini berarti korelasi tersebut diatas tidak signifikan, atau dengan

kata lain ada pengaruh perubahan lahan terbuka tidak signifikan dengan

perubahan debit.

Page 53: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

78

Penutup Luas lahan persawahan mengalami penurunan pada tahun 2012 dibandingkan

tahun 2002 sebesar 0.8 km2. Demikian pula halnya dengan luas lahan yang

digunakan untuk tanaman dan ladang turun dari tahun 2002 ke tahun 2012 secara

berurutan yaitu 0.1 dan 0,7 km2. Sebaliknya terjadi pada lahan pemukiman yang

mengalami peningkatan sebesar 1.61 km2. Terdapat korelasi negatif antara sawah,

tanaman, dan ladang terhadap debit, artinya semakin berkurang luas lahan

sawah,tanaman dan ladang maka debit banjir akan cenderung meningkat namun

memiliki korelasi yang lemah.

Tulisan ini menunjukkan bahwa luas lahan terbuka seperti sawah, ladang, dan

tanaman mulai menurun dimana akan berpengaruh terhadap debit banjir walaupun

tidak signifian namun pemerintah terkait perlu merumuskan kebijakan untuk

mempertahankan lahan terbuka agar tidak terus berkurang. Perlu dilakukan

penelitian yang lebih intensif mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi debit

banjir di DAS Tukad Pakerisan. Perlu adanya penambahan data perubahan tata

guna lahan guna memperoleh hasil uji korelasi yang lebih teliti

Page 54: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

79

BAB IV

BIODIVERSITY DI DAS TUKAD PAKERISAN

Oleh: Dr. Ir. I Ketut Widnyana, MSi

Pendahuluan

Air merupakan kebutuhan bagi mahluk hidup terutama untuk manusia, hewan dan

tumbuh-tumbuhan, dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, maka

aktifitas penggunaan sumber daya air juga semakin meningkat, maka sumber daya

air perlu ditingkatkan pelestariannya dengan menjaga keseimbangan siklus air di

bumi yang dikenal sebagai siklus hidrologi. Proses siklus hidrologi di alam

bermanfaat sebagai sumber daya yang dapat diperbaharui, secara nyata kuantitas

sumber daya air di bumi relatif tetap, sedangkan kualitasnya makin hari makin

menurun.

Pentingnya posisi DAS sebagai unit perencanaan yang utuh merupakan

konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumberdaya hutan,

tanah dan air. Kurang tepatnya perencanaan dapat menimbulkan adanya degradasi

DAS yang mengakibatkan buruk seperti yang dikemukakan di atas. Dalam upaya

menciptakan pendekatan pengelolaan DAS secara terpadu, diperlukan

perencanaan secara terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan

lingkungan dengan mempertimbangkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan.

Dengan demikian bila ada bencana, apakah itu banjir maupun kekeringan,

penanggulangannya dapat dilakukan secara menyeluruh yang meliputi DAS mulai

dari daerah hulu sampai hilir.

Bantaran sungai mempunyai peran penting dalam ekosistem. Keberadaannya

sangat berpengaruh bagi lingkungan. Namun masyarakat masih banyak yang

belum mengerti fungsi dari bantaran sungai. Bantaran sungai biasanya ditumbuhi

oleh berbagai macam tanaman. Jika tumbuhan ini dihilangkan maka akan terjadi

berbagai macam masalah lingkungan misalnya tanah longsor, erosi tebing sungai,

banjir dan lain sebagainya (Indriana, 2009).

Apabila bantaran sungai tidak ditumbuhi oleh tanaman maka saat musim

penghujan, air yang mengalir deras dari daratan akan mengalir ke sungai bersama

dengan material tanah yag tererosi, maka air sungai menjadi keruh sehingga

penetrasi (masuknya) sinar matahari terhadap tumbuhan air menjadi lama dan

dapat mengganggu proses fotosintesis. Selain itu, material tanah yang jatuh ke

badan sungai, lambat laun akan menjadikan sungai menjadi dangkal. Tampang

sungai menjadi sempit, dan sungai tidak mampu lagi menyalurkan air yang

melewatinya dan akhirnya meluap, menjadi banjir.

Bantaran sungai dengan beton berarti menutup seluruh suplai air tanah dari tebing

sungai. Perlu disadari bahwa di sepanjang tepi sungai terdapat jutaan mata air,

baik yang berskala mikro (kecil) maupun makro (besar). Mata air inilah sebagai

pensuplai aliran dasar sungai. Dengan pembetonan, umumnya mata air ini akan

mati. Matinya jutaan mata air ini, menyebabkan debit sungai di musim kemarau

akan berkurang, lahan disekitar sungai menjadi kering dan pada saat musim

penghujan akan terjadi banjir karena tampang sungai yang kecil, pembetonan juga

Page 55: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

80

tidak ramah lingkungan, serta memerlukan pemeliharaan terus menerus

(Chrismanto, 2010).

Upaya strategis untuk pemulihan peranan fungsi ekosistem di daerah bantaran

sungai. Salah satu yang dapat dilakukan yaitu ―restorasi ekologi‖ sebagai salah

satu bentuk tindakan konservasi biologis daerah yang dilindungi. Hal ini

mengingat bahwa restorasi ekologi pada dasarnya merupakan bentuk dari

manajemen konservasi, sebagai upaya untuk mengembalikan habitat tertentu atau

ekosistem ke suatu kondisi semirip mungkin dengan keadaan sebelum terjadi

degradasi. Metode perlindungan bantaran dengan mengusung konsep eko

hidraulik dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan vegetasi yang berada pada

lingkungan setempat seperti tanaman tebing. Hal ini dilakukan dengan cara batang

tanaman sepanjang 60 cm dimasukkan ke dalam tanah dengan diurug diatasnya.

Dengan ini maka tanaman akan kuat untuk mengikat tebing sungai. Tebing sungai

tanpa tumbuhan sebaiknya ditanami secepat mungkin (Maryono, 2005).

Sungai dan Daerah Aliran Sungai

Sungai merupakan perairan mengalir (lotik) yang dicirikan oleh arus yang searah

dan relatif kencang, dengan kecepatan berkisar 0,1–1,0 m/detik, serta sangat

dipengaruhi oleh waktu, iklim, bentang alam (topografi dan kemiringan), jenis

batuan dasar dan curah hujan. Semakin tinggi tingkat kemiringan, semakin besar

ukuran batuan dasar dan semakin banyak curah hujan, pergerakan air semakin

kuat dan kecepatan arus semakin cepat. Sungai bagian hulu dicirikan dengan

badan sungai yang dangkal dan sempit, tebing curam dan tinggi, berair jernih dan

mengalir cepat. Badan sungai bagian hilir umumnya lebih lebar, tebingnya curam

atau landai badan air dalam, keruh dan aliran air lambat (Mulyanto, 2007).

Menurut Newson (1997) sungai merupakan bagian lingkungan yang paling cepat

mengalami perubahan jika terdapat aktifitas manusia di sekitarnya. Sungai

sebagai penampung dan penyalur air yang datang dari daerah hulu atas, akan

sangat terpengaruh oleh tata guna lahan dan luasnya daerah aliran sungai,

sehingga pengaruhnya akan terlihat pada kualitas air sungai (Odum, 1996).

Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan unit alam berupa kawasan yang dibatasi

oleh pemisah topografis berupa punggung-punggung bukit yang menampung,

menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang jatuh diatasnya ke sungai utama

(Sunarti 2008) dan kemudian menyalurkannya ke laut (Asdak 1995). Wilayah

daratan tersebut dinamakan Daerah Tangkapan Air (DTA atau catchment area)

yang merupakan suatu ekosistem dengan unsur utamanya terdiri atas sumber daya

alam (tanah, air, dan vegetasi) dan sumber daya manusia sebagai pemanfaat

sumber daya alam (Asdak 1995).

Menurut Undang-undang NO. 7 Tahun 2004 tentang SDA DAS, Daerah Aliran

Sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan

sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan

mengalirkan yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami,

yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai

dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Sub DAS

adalah bagian dari DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui

Page 56: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

81

anak sungai ke sungai utama. Setiap DAS terbagi habis ke dalam Sub DAS-Sub

DAS.

Daerah aliran sungai (DAS) dapat diartikan sebagai kawasan yang dibatasi oleh

pemisah topografis yang menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan

yang jatuh di atasnya ke sungai yang akhirnya bermuara ke danau dan laut.

DAS merupakan ekosistem yang terdiri dari unsur utama vegetasi, tanah, air dan

manusia dengan segala upaya yang dilakukan di dalamnya. Sebagai suatu

ekosistem, di DAS terjadi interaksi antara faktor biotik dan fisik yang

menggambarkan keseimbangan masukan dan keluaran berupa erosi dan

sedimentasi. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa pengertian DAS adalah

sebagai berikut (Soerjono, 1987):

1. Suatu wilayah daratan yang menampung, menyimpan kemudian

mengalirkan air hujan ke laut atau danau melalui suatu sungai utama.

2. Suatu daerah aliran sungai yang dipisahkan dengan daerah lain oleh

pemisah topografis sehingga dapat dikatakan seluruh wilayah daratan

terbagi atas beberapa DAS.

3. Unsur-unsur utama di dalam suatu DAS adalah sumber daya alam

(tanah, vegetasi, dan air) yang merupakan sasaran dan manusia yang

merupakan pengguna sumber daya yang ada.

4. Unsur utama (sumber daya alam dan manusia) di DAS membentuk

suatu ekosistem dimana peristiwa yang terjadi pada suatu unsur akan

mempengaruhi unsur lainnya.

Daerah aliran sungai dapat dibedakan berdasarkan bentuk atau pola dimana

bentuk ini akan menentukan pola hidrologi yang ada. Corak atau pola DAS

dipengaruhi oleh faktor geomorfologi, topografi dan bentuk wilayah DAS.

Klasifikasi bentuk DAS sebagai berikut (Triatmodjo, 2001):

1. DAS bulu burung. Anak sungainya langsung mengalir ke sungai utama.

DAS atau Sub-DAS ini mempunyai debit banjir yang relatif kecil

karena waktu tiba yang berbeda.

2. DAS Radial. Anak sungainya memusat di satu titik secara radial

sehingga menyerupai bentuk kipas atau lingkaran. DAS atau sub-DAS

radial memiliki banjir yang relatif besar tetapi relatif tidak lama.

3. Das Paralel. DAS ini mempunyai dua jalur sub-DAS yang bersatu.

Gambar 18. Jenis-Jenis Bentuk DAS

DAS merupakan kumpulan dari beberapa Sub-DAS. Sub-DAS merupakan suatu

wilayah kesatuan ekosistem yang terbentuk secara alamiah, air hujan meresap atau

mengalir melalui sungai. Manusia dengan aktivitasnya dan sumberdaya tanah, air,

Page 57: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

82

flora serta fauna merupakan komponen ekosistem di Sub-DAS yang saling

berinteraksi dan berinterdependensi (Triatmodjo, 2001).

Tukad pakerisan merupakan salah satu sungai besar yang melintasi 4 (empat)

kecamatan di kabupaten Gianyar dengan panjang 34,5 km yang merupakan situs

warisan dunia. Jumlah bendung yang ada disungai adalah 23 buah yang mengairi

sawah seluas 3650,92 ha, dengan debit rata-rata adalah 1751,5 m3/dt yang berasal

dari sumber mata air tetap sebanyak 15 buah (Dinas PU Kabupaten Gianyar,

2012). Melihat hal diatas maka dapat dikatakan fungsi dari sungai Tukad

Pakerisan sangat penting dikarenakan banyak kepentingan yang ada disana selain

sebagai sumber air minum yang dikelola oleh PDAM juga banyak digunakan

untuk irigasi untuk subak. Dari hasil survei awal diperoleh gambaran bahwa

kondisi bantaran sungai yang sudah semakin terdesak oleh pemukiman dan

industri. Hal ini terlihat makin jelas ke arah hilir, dimana banyak pemukiman

warga yang di sepanjang sungai memanfaatkan bantaran sungai sebagai halaman

belakang rumah sehingga terlihat banyak sampah dan banyak tumbuhan yang

dipotong untuk memperluas lahan.

Keanekaragaman Tumbuhan: DAS dan DAS Tukad Pakerisan

Tumbuhan yang ada di muka bumi sangat banyak jumlahnya maupun

jenisnya. Perkiraan para ahli botani tentang jumlah tumbuhan yang hidup di muka

bumi adalah ½ juta jenis bahkan ada yang memperkirakan sekitar 2 juta.

Keanekaragaman pada jenis tumbuhan tertentu dapat bertambah atau

berkurang dari waktu ke waktu. Perubahan keanekaragaman tumbuhan tersebut

dapat disebabkan oleh salah satu atau beberapa faktor berikut misalnya:

6. Faktor genetik karena setiap spesies tumbuhan memiliki sifat genetik tertentu

yang diperoleh dari induknya dan akan diwariskan kepada generasi

penerusnya.

7. Faktor mutasi yaitu perubahan komposisi genetik yang terjadi karena adanya

kondisi lingkungan yang ekstrem menimpa tumbuhan tersebut, misalnya

adanya sinar radioaktif, dan ultraviolet. Radiasi tersebut pada frekuensi

tertentu dapat menyebabkan perubahan kromosom sehingga memungkinkan

munculnya variasi baru spesies tumbuhan tersebut. Selain secara alamiah

mutasi dapat juga dilakukan melalui eksperimen laboratorium dengan

memperlakukan sinar radioaktif pada tumbuhan.

8. Faktor adaptasi yaitu penyesuaian diri tumbuhan terhadap kondisi

lingkungannya. Tumbuhan yang memiliki daya adaptasi yang kuat terhadap

berbagai kondisi lingkungan cenderung lebih besar variabilitasnya jika

dibandingkan dengan tumbuhan yang daya adaptasinya rendah. Adaptasi

tumbuhan terhadap lingkungan ekstrem dalam waktu yang lama

menyebabkan adanya perubahan bentuk dan fungsi organ tertentu.

9. Faktor kompetisi yaitu persaingan antara dua individu yang hidup pada

lingkungan yang sama. Ketatnya persaingan ditentukan oleh ketersediaan

sumber daya dalam lingkungannya. Jika sumber daya berada dalam keadaan

terbatas, maka persaingan cenderung mengarah pada agresivitas untuk

menyingkirkan pesaingnya. Meskipun demikian persaingan tidak selalu

mengarah kepada agresivitas, karena di hutan primer yang lebat dengan

Page 58: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

83

populasi tumbuhan yang saling tumpang tindih, memungkinkan terjadinya

protokooperasi. Kedua peristiwa tersebut dapat memacu peningkatan atau

penurunan keanekaragaman tumbuhan (Arrijani, 2003).

Dengan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi keanekaragaman flora,

dapat diketahui jenis, asal maupun penyebarannya.

1. Pohon asli Indonesia

Misalnya: cempaka, trengguli, turi, ketapang, asam, kenanga, kapuk, waringin,

perca, duku, manggis, durian, dan lain-lain.

2. Berasal dari Benua Asia

Misalnya: teh dari Tiongkok dan India, kopi dari Arabia.

3. Berasal dari Benua Afrika

Misalnya: pisang kipas, kelapa sawit, dan flamboyan.

4. Berasal dari Benua Amerika

Misalnya: alamanda, enceng gondok, kembang merak, bougenville, nanas,

jambu monyet, dan tomat.

Persebaran tumbuh-tumbuhan di permukaan bumi berdasarkan sebagai berikut:

1. Berdasarkan Keadaan Iklim

Persebaran tumbuh-tumbuhan yang sangat dipengaruhi oleh keadaan iklim

setempat, antara lain sebagai berikut:

a. Iklim Laut Sedang

Daerah iklim laut sedang meliputi: Eropa Barat Laut, Islandia Selatan,

Kalifornia Utara, Chili Selatan, Tasmania, Victoria Selatan, Australia

Selatan, Selandia Baru, Pantai Pasifik Barat, dan Amerika Utara.

Flora asli: hutan lebat

Tanaman: bunga-bungaan, buah-buahan, dan bit gula.

b. Iklim Kontinental Humid

Daerah iklim kontinental humid meliputi: Argentina, Amerika Selatan

bagian barat, Tiongkok Utara dan Mancuria, Eropa Tenggara termasuk

Ukraina dan Kaukasus Utara.

c. Iklim Musim

Daerah iklim musim meliputi: Nigeria Utara, Jawa, Kuba, Thailand,

Tiongkok Selatan, Indo China, Amerika Tengah, Hindia Barat, dan

Florida.

Flora alami: padang rumput atau sabana dan pohon-pohon berdaun lebar.

Tanaman budaya: gandum, kapas, nanas, teh, kopi, kentang, dan kacang

tanah.

d. Tropika Arid

Daerahnya meliputi: padang pasir tropika di seluruh dunia yang hampir

tidak didiami orang, kecuali di sekitar oase.

Flora: kaktus, semak-semak, dan rumput-rumput kasar.

Hasil tanaman budaya di sekitar oase: gandum, kapas, padi, kurma, dan

buah-buahan.

e. Subtropika Humid

Daerah iklim subtropika humid meliputi: Afrika, Australia, Brazillia,

India, Tiongkok, Mexico, Rusia bagian selatan, Laut Tengah, dan Amerika

Serikat bagian selatan.

Tanaman budaya: tembakau, kapas, sutera, dan rami.

f. Subtropika Kering

Page 59: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

84

Daerahnya: Dataran Tinggi Turki, Spanyol, Australia, Pegunungan Atlas,

Afrika Tengah, Afrika Selatan, Mexico, dan Amerika Serikat barat daya.

Tumbuh-tumbuhan: buah anggur, pohon zaitun, dan jeruk.

2. Berdasarkan Tinggi Tempat (Junghun)

Persebaran daerah tumbuh-tumbuhan berdasarkan tinggi tempat dan

dihubungkan dengan berbagai tanaman pertanian dan perkebunan oleh J.W.

Junghun antara lain sebagai berikut:

a. 0 - 650 m dengan temperatur 26,5°C- 22,5°C merupakan daerah panas

dengan tanaman yang cocok ialah tebu, tembakau, padi, karet, kakao,

kapuk, dan bambu.

b. 650 - 2.500 m daerah sedang, temperatur 22,5°C - 18,7°C daerah hutan

dan pertanian jagung, padi, pinang, kopi, aren, teh, dan kina.

c. 2.500 - 3.000 m daerah dingin. Temperatur rata-rata 18,7°C - 13°C daerah

hutan kabut dengan pohon cemara dan pinus.

d. 3.000 - 4.500 m tidak ada tanaman karena sangat dingin dan merupakan

batas salju. Contoh pada Puncak Jaya Wijaya dengan temperatur rata-rata

antara 8°C - 0°C.

3. Berdasarkan Tinggi Tempat (Lanpoole)

Lanpoole membedakan daerah tumbuh-tumbuhan berdasarkan tinggi tempat

yang berakibat adanya perbedaan suhu seperti berikut:

a. Hutan dataran rendah (0 - 300 m)

Hutan ini mempunyai jenis-jenis pohon besar, lurus, dan tinggi dengan

pangkal berakar kuat.

b. Hutan kaki gunung (300 - 1.650 m)

Pohon di hutan ini lebih pendek daripada hutan di dataran rendah.

c. Hutan lumut (1.650 - 2.250 m)

Pohon-pohonnya mempunyai daun lebih kecil atau mempunyai daun-daun

berbentuk jarum.

d. Hutan lumut (1.500 - 2.000 m sebagai batas bawah dan 2.500 - 3.000 m

sebagai batas teratas)

Rata-rata temperatur sekitar 1000C. Kelembabannya sangat tinggi

sehingga banyak kabut. Pohon-pohonnya rendah, batang dan dahannya

tertutup oleh tumbuh-tumbuhan lumut.

e. Hutan gunung tinggi (3.000 - 3.500 m)

Pohon-pohonnya lebih tinggi daripada hutan lumut. Biasanya hidup

bergerombol dan dipisahkan oleh padang rumput.

Komposisi Tumbuhan dan Struktur Vegetasi

Komposisi Tumbuhan

Komposisi tumbuhan merupakan susunan dan jumlah jenis yang terdapat

dalam suatu komunitas (Polunin, 1990). Komposisi suatu tumbuhan pada setiap

ekosistem dapat bervariasi, bergantung pada kondisi habitatnya. Lebih lanjut,

Polunin (1990) menyatakan bahwa tumbuhan hanya dapat hidup di tempat yang

sesuai bagi jenis tumbuhan tersebut. Jenis tumbuhan yang berbeda akan

memerlukan kondisi yang berbeda pula. Berdasarkan pendapat tersebut tampak

Page 60: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

85

jelas bahwa kondisi setempat merupakan faktor utama dalam membatasi

penyebaran jenis tumbuhan tertentu.

Komposisi vegetasi merupakan salah satu konsep yang cukup penting dalam

kajian ekologi tumbuhan. Odum (1993) menyatakan suatu komunitas, dan

kestabilan ini dapat terjadi apabila ada keseimbangan antara jenis penyusun

komunitas dengan lingkungan.

Untuk menggambarkan komposisi suatu komunitas tumbuhan, dapat dikaji

melalui beberapa parameter komunitas, seperti jumlah jenis dan nilai penting.

Untuk menentukan nilai penting, diperlukan indikator komunitas lain, yaitu

densitas, frekuensi, dominasi dan nilai relatif masing-masing parameter tersebut.

Struktur Vegetasi

Vegetasi terdapat berbagai jenis tumbuhan di seluruh wilayah atau daerah.

Suatu tipe vegetasi menggambarkan suatu daerah dari segi penyebaran tumbuhan,

baik berdasarkan ruang maupun waktu. Ekosistem rawa, ekosistem hutan,

ekosistem lamun pada laut dangkal, dan padang rumput dapat dijadikan suatu

contoh tipe vegetasi. Suatu tipe vegetasi kadang kala dibagi lagi ke dalam

beberapa komunitas seperti jenis predominan, disebut asosiasi yaitu sekumpulan

beberapa jenis tumbuhan yang tumbuh bersama-sama di suatu lingkungan.

Komunitas tumbuhan biasanya ditandai oleh jenis-jenis yang dominan (Odum,

1993).

Vegetasi terbentuk oleh atau terdiri atas semua jenis tumbuhan dalam suatu

wilayah (flora) dan memperhatikan pola distribusi menurut ruang (spatial) dan

waktu (temporal). Vegetasi menggambarkan perpaduan berbagai jenis tumbuhan

di suatu daerah atau wilayah. Jika suatu wilayah berukuran luas, vegetasinya

terdiri atas beberapa bagian vegetasi atau komunitas tumbuhan yang menonjol,

sehingga terdapat berbagai tipe vegetasi. Tiap tipe vegetasi bercirikan oleh bentuk

pertumbuhan dan tumbuhan karakteristik. Contoh bentuk pertumbuhan termasuk

herba tahunan, pohon selalu hijau berdaun lebar, semak yang merangsang pada

waktu kering, tumbuhan dengan umbi atau rhizome, tumbuhan selalu hijau

berdaun jarum, rumput menahun, dan semak kerdil (Hardjosuwarno, 1989).

Hilangnya vegetasi dapat mengubah kimiawi tanah, sehingga sebagian hara

kurang terikat dengan partikel-partikel tanah tercuci, maka dapat diketahui bahwa

pengrusakan vegetasi tidak saja meningkatkan erosi oleh angin dan air. Tetapi

juga ketandusan akibat hilangnya kesuburan tanah yang tertinggal (Suwarsono,

1986). Setiap komunitas tumbuhan yang stabil mempunyai susunan vertikal atau

stratifikasi jenis-jenis. Kesan ini cocok bagi pinggiran hutan dimana penyinaran

yang kuat mengakibatkan bagian tepi sangat lebar, tetapi bagian dalam hutan

dapat dilihat dari pinggir (misalnya batas tepi hutan yang mendadak karena

penebangan baru) akan terlihat bahwa hutan dapat dibagi menjadi lima lapisan

atau lebih yang cukup jelas dan secara konvensional diberi nama lapisan A sampai

E (Richard, 1952 dalam Junus, dkk., 1984).

1. Lapisan pohon dengan tinggi lebih dari 30 meter (lapisan A). Lapisan ini

membentuk kanopi bagi lapisan di bawahnya. Atau mungkin juga diwakili

oleh pohon-pohon yang menyendiri atau mencuat (emergent) di atas kanopi

semua.

Lapisan pohon dengan tinggi 20-30 meter (lapisan B) yang merupakan

lapisan kurang memerlukan cahaya atau tahan naungan.

Page 61: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

86

2. Lapisan pohon-pohon kecil dengan tinggi 4-20 meter (lapisan C). Banyak

diantara lapisan pohon-pohon pada lapisan ini adalah anakan jenis-jenis

pohon-pohon kecil mencirikan lapisan ini.

3. Lapisan perdu (lapisan D) yang terdiri atas perdu, pohon-pohon muda, terna

tinggi, dan paku-pakuan besar. Tinggi rata-rata 1- 4 meter.

4. Lapisan permukaan tanah (lapisan E) yang biasanya terdiri atas terna dan

perdu-perdu kecil yang jarang dengan tinggi kurang dari 1 meter.

Dansereau (1957) dalam Muller-Dombois dan Ellenberg (1974)

mengemukakan bahwa ekologi vegetasi paling sedikit membagi struktur vegetasi

dalam 5 level yaitu: (1) fisiognomi vegetasi, (2) struktur biomassa, (3) struktur

bentuk hidup, (4) struktur floristik, dan (5) struktur tegakan, sedangkan Kershaw

dan Looney (1985) membedakan struktur vegetasi menjadi 3 komponen yaitu:

1. Struktur vertikal, meliputi tingkat pertumbuhan jenis-jenis tumbuhan mulai

dari tingkat anakan sampai tingkat pohon.

2. Struktur horizontal (distribusi spatial populasi jenis dan individu), yaitu

individu yang pertumbuhannya menyebar pada kawasan tersebut.

3. Struktur kuantitatif meliputi kelimpahan atau keanekaragaman jenis, dengan

distribusi dari masing-masing jenis yang mencakup densitas, frekuensi,

dominansi dan sebagainya.

Komunitas

Komunitas merupakan unit dasar penyusun suatu vegetasi yang didefinisikan

sebagai kumpulan organisme hidup yang saling berinteraksi baik diantara

organisme maupun dengan lingkungannya (Oosting, 1956 dalam Analuddin,

1997).

Menurut Odum (1993) bahwa komunitas biotik adalah kumpulan berbagai

populasi yang hidup dalam daerah atau habitat fisik, serta merupakan satu

kesatuan yang teratur dan mempunyai sifat-sifat tambahan terhadap komponen-

komponen individu dan fungsi-fungsi sebagai unit transformasi metabolik yang

berinteraksi. Lebih lanjut, Dansereau (1957) dalam Muller-Dombois dan

Ellenberg (1974) mengemukakan bahwa komunitas tumbuhan sebagai organisme

secara spatial dan temporal dengan perbedaan integrasi.

Komunitas tumbuhan adalah satuan atau unit yang membentuk suatu vegetasi.

Komunitas terbentuk tidak sekedar persatuan tumbuhan secara acak yang hanya

berdasarkan kesempatan semata-mata, tetapi komunitas tumbuhan berupa suatu

organisme kompleks dengan komposisi floristik secara tipikan dengan sistem

morfologi tertentu, serta merupakan hasil interaksi populasi jenis menurut waktu

yang lama (Hardjosuwarno, 1989).

Di luar pengaruh interaksi dalam komunitas, tumbuh-tumbuhan saling

memberi tempat, habitat dan lingkungan secara bersama. Jadi integrasi dalam

komunitas adalah fenomena yang telah terbentuk dengan perbedaan tingkat

organisme komunitas yang terintegrasi baik, mempunyai resistansi tertentu

terhadap goncangan lingkungan, serta perubahan lingkungan spesifik yang juga

dapat menyebabkan tanggapan yang dapat dilihat dalam suatu komunitas

(Hardjosuwarno, 1989).

Alechin (1927) dalam Muller-Dombois dan Ellenberg (1974) membedakan

dua cara menentukan komunitas tumbuhan di lapangan yaitu: (a) tumbuhan dapat

membentuk kelompok terbuka, dan (b) tumbuhan dapat membentuk kelompok

tertutup. Dalam bentuk kelompok tertutup peneliti dapat membedakan

Page 62: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

87

penempatan tanpa integrasi tegakan murni secara temporal atau permanen. Lebih

lanjut dijelaskan bahwa komunitas termasuk dalam tegakan populasi campuran

yang terdapat dalam bentuk tertutup.

Komunitas tumbuhan terdiri atas unit-unit atau tegakan. Tegakan merupakan

unit agak homogen yang dapat dibedakan dengan jelas oleh komposisi, umur,

struktur, tempat tumbuhan, atau geografi. Barbour et al, (1999) mengemukakan

bahwa tegakan merupakan tempat atau lokasi suatu penelitian dilakukan.

Struktur tegakan dapat dilihat berdasarkan perbedaan beberapa hal antara lain

struktur umur atau stadium perkembangan. Struktur umur populasi dapat

dikelompokkan berdasarkan ukuran kelas, kelas tinggi untuk herba dan semai

serta kelas diameter untuk diameter pohon. Struktur umur suatu tegakan dengan

umur yang sama dapat didasarkan pada beberapa kriteria seperti diameter batang.

Pendekatan yang sama dapat dilakukan pada stand tidak seumur, namun individu-

individu yang tertua tidak lebih besar atau dominan setara (Smith, 1990 dalam

Analuddin, 1997).

Kelimpahan dan Keanekaragaman Jenis Vegetasi

Penilaian Kelimpahan dan Keanekaragaman Jenis

Dalam komunitas alami biasanya ada beberapa jenis yang melimpah dan ada

jenis yang jarang, walaupun polanya tetap namun akan berbeda apabila populasi

itu diperbandingkan. Loveless (1987) menyatakan bahwa komunitas merupakan

suatu pengelompokkan acak dari populasi. Suatu lokasi dengan banyak objek

yang tidak identik nampak secara statistik berstruktur, bahkan berbeda secara acak

dan tidak berinteraksi.

Adanya beberapa keterbatasan dalam penafsiran kelimpahan secara visual

maka metode kuantitatif dengan maksud untuk menghilangkan pertimbangan

subjektif pengamat. Metode kuantitatif untuk menilai kelimpahan berpijak pada

pengamatan kelimpahan yang sesungguhnya dalam sejumlah cuplikan (contoh)

luas komunitas dan kemudian hasilnya digunakan untuk menaksir kelimpahan

dalam komunitas secara keseluruhan. Sejalan dengan hal ini, Loveless (1989)

menyatakan bahwa karena cuplikan-cuplikan yang dianggap mewakili

keseluruhan komunitas maka cuplikan tersebut harus diambil secara acak. Metode

pencuplikan secara acak diterapkan untuk menghilangkan kecenderungan yang

disengaja atau tidak disengaja.

Lebih lanjut Loveless (1989) menyatakan bahwa ada tiga metode yang

biasanya dipakai untuk menyatakan kelimpahan secara kuantitatif dan nama yang

harus digunakan tergantung pada tujuan atau untuk apa informasi itu diperlukan

dan waktu yang tersedia untuk pencuplikan vegetasi. Ketiga metode adalah:

1. Kerapatan

Kerapatan (densitas) suatu jenis adalah jumlah individu rata-rata persatuan

luas. Kerapatan dihitung dengan menghitung jumlah individu setiap jenis

dalam kuadrat yang luasnya ditentukan. Kemudian perhitungan ini

dilanjutkan di tempat-tempat yang tersebar secara acak. Hasil-hasil dari

semua kuadrat ini dijumlahkan dan dihitung kerapatan untuk setiap jenis.

2. Persentase Penutupan

Page 63: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

88

Persentase penutupan didefinisikan sebagai persentase tanah yang ditutupi

oleh bagian tumbuhan tertentu yang ada di atas tanah. Sifat penutupan ini

dengan mudah dapat dipahami dengan mengatakan bahwa apabila suatu

komunitas yang terdiri atas bagian permukaan tanah yang ditutup oleh

bayangan yang merupakan penutup atas jenis tersebut.

3. Frekuensi

Frekuensi ditentukan dengan mencatat kehadiran dan ketidakhadiran

(bukan jenis individu) suatu jenis dalam sederetan kuadrat yang disebar

secara acak. Jumlah jenis dalam suatu komunitas disebut kekayaan jenis

(jenis richenes) tidak cukup meletakkan keanekaragaman karena sama

pentingnya dengan kelimpahan relative ―relative abundance‖ dari masing-

masing populasi.

Upaya Perlindungan

Upaya Perlindungan Sungai 1. Metode konvensional

Longsoran pada tebing sungai merupakan salah satu persoalan yang sering

terjadi dalam wilayah sungai. Hal ini merupakan efek dari meningkatnya

kecepatan air dan debit air yang melewati sugai tersebut. Maka dari itu perlu

dilakukan suatu upaya untuk mencegah terjadinya longsoran pada tebing juga

sekaligus menjaga daerah sempadan sungai. Berbagai metode dapat dilakukan

dalam usaha perlindungan tebing sungai. Cara konvensional yang dapat dilakukan

yaitu perkerasan tebing dengan pasangan batu atau dengan beton.

Konstruksi ini menutup seluruh permukaan tebing. Cara lain yaitu dengan

membuat krib di sepanjang aliran sungai terutama pada daerah belokan sungai.

Dengan adanya krib ini dapat mencegah erosi pada tebing sekaligus dapat

menahan sedimen yang terbawa dari hulu. Dengan demikian lama kelamaan

daerah sempadan sungai bertambah luas (Balai Sungai, 2003).

2. Konsep Ekohidrolika

Upaya strategis untuk pemulihan peranan fungsi ekosistem di daerah

sempadan sungai. Salah satu yang dapat dilakukan yaitu ―restorasi ekologi‖

sebagai salah satu bentuk tindakan konservasi biologis daerah yang dilindungi.

Hal ini mengingat bahwa restorasi ekologi pada dasarnya merupakan bentuk dari

manajemen konservasi, sebagai upaya untuk mengembalikan habitat tertentu atau

ekosistem, ke suatu kondisi semirip mungkin dengan keadaan sebelum terjadi

degradasi. Usaha perbaikan yang dapat dilakukan pada badan sungai yaitu dengan

melakukan perlindungan pada dasar sungai. Hal ini bertujuan untuk mencegah

terjadinya erosi pada alur sungai. Erosi pada dasar sungai merupakan hal yang

alamiah terjadi, namun jika hal ini dibiarkan terus terjadi maka akan

menyebabkan erosi yang semakin parah. Usaha perlindungan dasar sungai yang

dapat dilakukan dengan mengacu pada konsep ekohidrolika yaitu (Balai Sungai,

2003):

a. Bendung rendah pada dasar sungai dengan menggunakan kayu mati. Bendung

rendah dari kayu mati ini merupakan komponen struktur sungai yang

berfungsi secara hidraulik sebagai retensi dan mencegah erosi dasar sungai.

Page 64: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

89

b. Bendung rendah dengan batu lepas. Bendung rendah ini dimaksudkan agar

muka air naik dan timbul terjunan yang membentuk kolam. Dengan adanya

bendung rendah ini akan menyebabkan terjadinya turbulensi sehingga

meningkatkan kandungan oksigen dalam air dan mengurangi energi potensial

aliran sehingga erosi dapat dikurangi.

c. Perlindungan dasar sungai dengan menggunakan batu-batu lepas. Hal ini

dilakukan pada daerah sungai yang tererosi secara intensif. Cara

penanganannnya yaitu dengan menyusun batu pada dasar sungai dengan

konstruksi menyerupai ripple dan pool.

Dari segi teknis usaha yang dapat dilakukan untuk melindungi dasar sungai secara

buatan yaitu dengan membangun cek dam di sepanjang aliran sungai. Hal ini

bertujuan untuk menahan erosi di hulu sungai sehingga mengurangi sedimentasi

di hilir. Metode perlindungan tebing dengan mengusung konsep eko hidraulik

dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan vegetasi yang berada pada lingkungan

setempat. Beberapa metode penahan tebing dengan menggunakan vegetasi

setempat yaitu:

a. Batang pohon yang tak teratur. Pohon tumbang yang ada dan belum dipotong

dahan dan rantingnya dapat dipasang pada bagian yang longsor dengan cara

diletakkan membujur di sepanjang tebing yang longsor.

b. Ikatan batang dan ranting pohon membujur. Hal ini dilakukan dengan cara

dahan dan ranting pohon dapat diikat memanjang dan dipasang dengan patok

di sepanjang kaki tebing sungai. Fungsinya untuk menahan kemungkinan

longsornya tebing akibat arus air.

c. Ikatan batang dan ranting pohon dengan batu dan tanah di dalamnya.

Prinsipnya sama dengan ikatan batang, hanya di bagian dalam ikatan tersebut

diisi dengan batu dan tanah. Hal ini dimaksudkan agar ikatan tersebut

menjadi berat sehingga tidak terbawa arus dan mempermudah tumbuhnya

batang dan ranting tersebut

d. Pagar datar. Pagar ini dibuat setinggi 50 cm dan dipasang di dasar sungai

dengan bagian atas dibawah tinggi muka air rata-rata.

e. Penutupan bantaran sungai. Penutup bantaran sungai dapat dibuat dari

bermacam-macam bahan seperti alang-alang, mantang-mantang, jerami

kering, rumput gajah kering, dan lain-lain. Di bagian bawahnya dipasang

ikatan batang pohon untuk penahan.

f. Tanaman bantaran sungai. Hal ini dapat dilakukan pada bantaran sungai yang

terjal. Hal ini dilakukan dengan cara batang tanaman sepanjang 60 cm

dimasukkan ke dalam tanah dengan diurug diatasnya. Dengan ini maka

tanaman akan kuat untuk mengikat tebing sungai.

g. Penanaman bantaran sungai. Bantaran sungai tanpa tumbuhan sebaiknya

ditanami secepat mungkin. Tanaman yang paling baik dan sering dijumpai

serta cukup kuat menahan bantaran sungai yaitu bambu. Tanaman ini selain

berfungsi sebagai penahan bantaran sungai juga sebagai retensi aliran

sehingga kecepatan aliran dan banjir di hulu dapat dikurangi.

h. Tanaman antara pasangan batu kosong. Hal ini dilakukan untuk memperkuat

pasangan batu dan batu tersebut kuat terikat pada tebing sungai.

i. Krib penahan arus. Krib ini dapat dibuat dari batu dan akar pohon. Dengan

krib ini maka akan terjadi sedimentasi di sekitar krib, khususnya di belakang

krib. Dengan sedimentasi ini maka krib di belakang tebing akan terlindungi.

Page 65: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

90

Upaya Perlindungan Bantaran Sungai

Bantaran sungai adalah area yang dibatasi oleh tepi sungai dan tanggul

sungai. Bantaran sungai juga sering disebut dengan sempadan sungai. Walaupun

ada sedikit perbedaan. Sempadan sungai adalah daerah bantaran banjir ditambah

lebar longsoran tebing sungai. Secara hidraulik, sempadan sungai merupakan

daerah bantaran banjir yang berfungsi memberi kemungkinan luapan air banjir

kesamping kanan kiri sungai sehingga kecepatan air ke hilir dapat dikurangi

(Maryono, 2005).

Bantaran sungai adalah daerah yang terletak pada kedua sisi dan disepanjang

alur sungai dimana terletak antara tepi alur sungai sampai pada kaki tanggul

sebelah dalam (Syarief, 2008). Menurut Maryono (2005), vegetasi di bantaran

sungai memiliki fungsi secara ekologi maupun secara hidraulik. Fungsi vegetasi

secara hidraulik antara lain sebagai berikut:

1. Untuk menjaga stabilitas tebing sungai, baik dari gempuran arus air, dari

energi mekanik hujan, dan dari peresapan air ke pori-pori rekahan tebing

sungai

2. Ranting, cabang dan daun-daun tumbuhan di pinggir sungai berperan

sebagai komponen pemecahan energi mekanik air maupun air hujan

3. Sebagai pengarah arus dan pengarah aliran sekunder memanjang sungai

4. Sebagai komponen stabilitas tebing sungai sekaligus sebagai barrier untuk

mengurangi erosi samping sungai, baik erosi akibat gerusan tebing maupun

erosi dari aliran permukiman di samping kanan dan kiri sungai.

Fungsi ekologi vegetasi pinggir sungai adalah sebagai berikut:

1. Sebagai tempat hidup hewan dan tumbuhan sungai

2. Sebagai tempat penyelamatan dari fauna sungai ketika banjir

3. Sebagai komponen peneduh sungai sehingga membatasi perkembangan

tumbuhan air, menjaga suhu air relatif rendah dan stabil, mengurangi laju

penguapan air, serta membatasi kehilangan kandungan oksigen terlarut

(Dissolved oxygen, DO).

4. Sebagai komponen penggembur sekaligus pengikat tanah tebing sungai.

5. Sebagai pengikat zat hara dalam tanah sehingga mengurangi kehilangan zat

hara tanah pinggir sungai akibat pencucian (leaching)

6. Sebagai pemasok bahan makanan bagi fauna berupa daun, buah, serta bagian

tumbuhan yang telah tua dan jauh ke perairan untuk kemudian membusuk.

Perdu dan herba yang hidup dibantaran sungai merupakan habitat bagi hewan

sungai dengan perannya sebagai peredam kecepatan aliran air, pelindung dari

sinar matahari dan penyedia bahan makanan. Dengan berkurangnya kecepatan

aliran air, hewan sungai menggunakan zona tersebut sebagai tempat berlindung,

tempat bersandar dan tempat meletakkan telur. Dengan berkurangnya intensitas

sinar matahari, maka suhu air akan relatif rendah dan kandungan oksigen terlarut

dan relatif tinggi.

Keberadaan tumbuhan di bantaran sungai diperuntukkan sebagai

perlindungan atau konservasi DAS (Daerah Aliran Sungai). Pemukiman yang

berdiri di atas bantaran sungai harus dibatasi keberadaannya. Karena dapat

mengurangi daerah resapan air. Akibat dari hilangnya tumbuhan dibantaran

sungai adalah meningkatnya sedimentasi dan kekeruhan badan air sehingga

menurunkan kualitasnya (Arisandi, 2001).

Page 66: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

91

Sedimen meliputi tanah dan pasir yang umumnya masuk ke badan air akibat

erosi atau banjir. Sedimen dapat mengakibatkan pendangkalan badan air.

Keberadaan sedimen di dalam air mengakibatkan terjadinya peningkatan

kekeruhan air. Hal ini menghambat penetrasi sinar matahari sehingga proses

fotosintesis dapat terganggu. Hal ini memperlambat laju penambahan oksigen

terlarut di dalam air (Mulia, 2005).

Dampak diubahnya bantaran sungai sebagai pemukiman adalah (i)

terkikisnya lapisan humus tanah bantaran sungai; (ii) sedimentasi yang

meningkatkan kekeruhan air TSS (total suspended soil); (iii) hilangnya

keanekaragaman tumbuhan yang belum diketahui banyak oleh masyarakat. Selain

itu manfaat adanya bantaran sungai adalah sebagai kawasan resapan air penyaring

sedimentasi run off air hujan sebelum masuk ke badan sungai (Arisandi, 2001).

Potensi Permasalahan DAS dan Upaya Pemecahan Masalah

DAS Tukad Pakerisan merupakan situs warisan budaya dunia sehingga

kelestariannya patut dijaga. Meningkatnya kondisi perekonomian

masyarakat akan meningkatkan alih fungsi lahan dimana bantaran sungai

yang dulu ditumbuhi oleh tanaman-tanaman alami berganti menjadi lahan

produktif seperti sawah atau kebun sehingga seringkali fungsi alami

tanaman sebagai penahan laju erosi air sungai juga hilang.

Inventarisasi tanaman yang ada di sekitar DAS Tukad Pakerisan menjadi

penting untuk melihat jenis tanaman pelindung bantaran sungai yang

terdapat pada bantaran Tukad Pakerisan dimana akan dilihat tanaman yang

memiliki akar yang cukup kuat untuk menahan erosi dan bagaimana

keanekaragaman tanaman jenis pohon yang memiliki akar yang kuat pada

DAS Tukad Pakerisan.

Penutup

Pengelolaan DAS dapat dianggap sebagai suatu sistem dengan input manajemen

dan input alam untuk menghasilkan barang dan jasa yang diperlukan baik di

tempat (on site) maupun di luar (off-site). Secara ekonomi ini berarti bentuk dari

proses produksi dengan biaya ekonomi

Page 67: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

92

BAB V

INVENTARISASI DAN REVITALISASI LAHAN KRITIS DI

DAS PAKERISAN

Oleh: Dr. Ir. Nyoman Utari Vipriyanti, MSi dan Dr. Ir. Deden

Ismail, MS

Pendahuluan

Perubahan tata guna lahan terjadi hampir di seluruh wilayah di Bali,

termasuk di Daerah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan. Semakin pesatnya

perkembangan industri pariwisata dan jumlah penduduk di Kabupaten Gianyar

menyebabkan kebutuhan lahan semakin besar. Hal ini menyebabkan lahan-lahan

produktif mulai terdesak dan berubah fungsi menjadi perumahan ataupun fasilitas

pariwisata. Hal ini dapat ditunjukkan dalan data BPS tahun 2003. Luas lahan

sawah sebesar 4037 Ha dan pada tahun 2012 berkurang menjadi 4020 Ha.

Demikian juga terjadi peningkatan luas tanah yang dipergunakan untuk

permukiman yaitu tahun 2003 seluas 1838 Ha bertambah menjadi 1845 Ha di

tahun 2014.

Tukad Pakerisan merupakan salah satu sungai besar yang melintasi 4

(empat) kecamatan di kabupaten Gianyar dengan panjang 34,5 km yang

merupakan situs warisan dunia. Jumlah bendung yang ada disungai adalah 23

buah yang mengairi sawah seluas 3650,92 ha, dengan debit rata – rata

adalah 1751,5 m3/dt yang berasal dari sumber mata air tetap sebanyak 15

buah (Dinas PU Kabupaten Gianyar, 2012). Melihat hal diatas maka dapat

dikatakan fungsi dari Tukad Pakerisan sangat penting dikarenakan banyak

kepentingan yang ada disana selain sebagai sumber air minum yang dikelola oleh

PDAM juga banyak digunakan untuk irigasi untuk subak. Terjadinya alih fungsi

lahan menjadi pemukiman maupun fasilitas pariwisata di DAS Tukad Pakerisan

merupakan hal yang menarik untuk dilakukan dikaji.

Penggunaan Lahan DAS di Daerah Penelitian

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Gianyar Tahun

2010-2014 diketahui bahwa penggunaan lahan oleh masyarakat umumnya

digunakan untuk lahan sawah, tegalan, permukiman, perkebunan dan penggunaan

lahan lainnya.

Dalam Tahun 2010 diketahui luas lahan sawah di daerah penelitian adalah

seluas 489,00 hektar kemudian di Tahun 2011 mengalami penurunan luas lahan

6,00 hektar sehingga menjadi 483,00 hektar dan di Tahun 2013 dan Tahun 2014

menjadi 482,00 hektar, dengan demikian rata-rata penurunan luas lahan sawah di

daerah penelitian dari Tahun 2010 hingga Tahun 2014 adalah sebesar 1,75 hektar

per tahun.

Penggunaan lahan untuk tegalan juga diketahui mengalami penurunan luas

lahan, dimana Tahun 2010 diketahui luas awal lahan untuk tegalan adalah 975,79

Page 68: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

93

hektar, kemudian di Tahun 2014 menurun menjadi 967,50 hektar, artinya dalam

kurun waktu Tahun 2010 hingga Tahun 2014 luas lahan tegalan mengalami

penurunan rata-rata sebesar 2,07 hektar per tahun.

Menurunnya luas lahan sawah dan tegalan diatas disebabkan oleh adanya

perubahan penggunaan lahan oleh masyarakat, baik untuk permukiman ataupun

untuk penggunaan lahan lainnya seperti tempat usaha, perdagangan, toko, industri

dan lain-lainnya.

Tabel 1. Perkembangan Penggunaan Lahan di Daerah Penelitian

No Tahun

Luas

Wiyah

(Km2)

Penggunaan Lahan (Ha)

Sawah Tegalan Permukiman Perkebunan Lainnya

1 Tahun 2010 21,37 489,00 975,79 194,97 - 477,24

2 Tahun 2011 21,37 483,00 969,15 197,97 - 486,88

3 Tahun 2012 21,37 483,00 968,75 198,37 - 486,84

4 Tahun 2013 21,37 482,00 967,76 202,52 - 484,68

5 Tahun 2014 21,37 482,00 967,50 202,52 - 484,98

Keterangan : Lokasi Penelitian di Desa Manukaya, Belega dan Medahan

Sumber : Diolah dari data BPS Tahun 2010-2014

Perubahan penggunaan lahan lainnya juga mengalami peningkatan,

dimana Tahun 2010 luas lahan penggunaan lainnya adalah sebesar 477,24 hektar

dan di Tahun 2014 meningkat menjadi 484,98 hektar, sehingga perkembangan

penggunaan lahan untuk penggunaan lainnya diketahui mengalami peningkatan

rata-rata sebesar 1,94 hektar per tahun. Tabel 4 dan Gambar 1 menunjukkan

perkembangan penggunaan lahan dan prosentase rata-rata perubahan penggunaan

lahan.

Keterangan : Lokasi Penelitian di Desa Manukaya, Belega dan Medahan

Sumber : Diolah dari data BPS Tahun 2010-2014

- 100,00 200,00 300,00 400,00 500,00 600,00 700,00 800,00 900,00

1.000,00

Tahun2010

Tahun2011

Tahun2012

Tahun2013

Tahun2014

Sawah

Tegalan

Permukiman

Lainnya

Page 69: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

94

Gambar 1. Grafik Perkembangan Penggunaan Lahan di Daerah Penelitian

Berdasarkan data BPS Kabupaten Gianyar Tahun 2010-2014 diketahui

bahwa penggunaan lahan untuk permukiman cenderung mengalami peningkatan,

dimana dalam Tahun 2010 diketahui bahwa luas lahan permukiman adalah

sebesar 194,97 hektar dan ditahun 2014 meningkat menjadi 202,52 hektar,

sehingga dalam kurun waktu Tahun 2010 hingga Tahun 2014 luas lahan

permukiman di daerah penelitian telah mengalami peningkatan rata-rata sebesar

1,89 hektar per tahun.

Tabel 2. Prosentase Perkembangan Penggunaan Lahan di Daerah Penelitian

No Tahun

Persentase Perubahan Penggunaan Lahan (Ha)

Sawah Tegalan Permukiman Lainnya

1 Tahun 2010-2011 (6,00) (6,64) 3,00 9,64

2 Tahun 2011-2012 0 (0,40) 0,40 0,04

3 Tahun 2012-2013 (1,00) (0,99) 4,15 2,16

4 Tahun 2013-2014 0 (0,26) 0 0,30

5 Rata-Rata (1,75) (2,07) 1,89 1,94

Keterangan : Lokasi Penelitian di Desa Manukaya, Belega dan Medahan

Sumber : Diolah dari data BPS Tahun 2010-2014

Kebutuhan Lahan oleh Masyarakat

Perkembangan tata guna lahan tentunya sangat dipengaruhi oleh

kebutuhan jenis penggunaan lahan oleh masyarakat yang bermukim di kawasan

tersebut. Meningkatnya jumlah penduduk di suatu kawasan mengakibatkan

semakin padatnya jumlah hunian rumah tinggal dalam satu keluarga maupun

dalam satu areal pekarangan permukiman, sehingga membutuhkan lahan

permukiman yang baru.

Kebutuhan lahan baru bagi masyarakat tidak semata-mata hanya untuk

rumah tinggal atau permukiman bagi masyarakat tetapi juga menyangkut

kebutuhan lahan untuk pengembangan perekonomian mereka seperti kebutuhan

lahan untuk perdagangan, industri, pendidikan, fasilitas umum dan lain-lainnya.

Sehingga atas dasar hal tersebut, maka dalam penelitian ini kebutuhan

penggunaan lahan bagi masyarakat telah dipetakan sesuai dengan perkembangan

guna lahan di lokasi penelitian yang dapat dikelompokan seperti Tabel 3.

Page 70: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

95

Tabel 3. Pemetaan Kebutuhan Penggunaan Lahan Oleh Masyarakat

No Kondisi Penggunaan Lahan Saat Ini Pemetaan Kebutuhan Penggunaan Lahan

1 Lahan Sawah Lahan Pertanian (Sawah)

2 Tegalan/Perkebunan Tegalan/Kebun Campur

3 Permukiman Permukiman

4 Lainnya Tempat Usaha/Perdagangan

Hutan Rakyat

Akomodasi/Hotel/Villa

Industri

Ruang Terbuka Hijau/Kawasan Jalur Hijau

Kawasan Pendidikan, Jasa & Pemerintahan

Keterangan : Lokasi Penelitian di Desa Manukaya, Belega dan Medahan

Sumber : Diolah dari data BPS dan hasil pengamatan lapangan.

Penutupan Vegetasi

Persentase penutupan vegetasi diperoleh dari hasil perbandingan luas lahan

bervegetasi permanen dengan luas DAS. Data penutupan lahan dengan vegetasi

permanen diperoleh dari data hasil interpretasi citra satelit berupa citra landsat 8

dan hasil survey lapangan. Jenis penutupan vegetasi pada DAS Pakerisan

sebagaimana disajikan pada Tabel 4.

Berdasarkan Tabel 4 di atas secara beurutan jenis penutupan vegetasi di

DAS Pakerisan sebagai berikut : sawah seluas 4.592,00 ha atau 50,51 %, kebun

campuran sedang seluas 2.845,25 ha atau 31,29 %, pemukinan seluas 1.061,99 ha

atau 11,68 %, kebun campuran rapat seluas 334,94 ha atau 3,68 %, kebun

campuran jarang seluas 225,13 ha atau 2,48 % dan vegetasi tetap rapat seluas

32,58 atau 0,36 %.

Page 71: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

96

Tabel 4. Jenis Penutupan Vegetasi di Wilayah DAS Pakerisan

No. Kabupaten Kecamatan Desa

VT1 KC1 KC2 Kc3 S P Jumlah (ha)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

1 Bangli Kintamani Batur Tengah 32,58 - 42,23 - - - 74,81

Bayunggede - - 104,17 - - - 104,17

Sekardadi - 84,27 297,75 - - - 382,02

Susut Penglumbaran - 62,55 329,36 - - 391,91

Sulahan - - 284,85 - - 284,85

Susut - - 79,22 78,23 157,45

Tiga - 95,81 360,81 - - - 456,62

2 Gianyar Blahbatu Bedulu - - - - 57,45 - 57,45

Belega - - - - 210,20 51,99 262,19

Blahbatuh - - - - 100,56 63,92 164,48

Bona - - - - 166,62 54,15 220,77

Buruan - - - - 54,02 74,51 128,53

Keramas - - - - 353,44 71,23 424,67

Medahan - - - - 380,37 47,92 428,29

Pering - - - 29,99 551,28 69,96 651,23

Saba - - - 36,33 119,52 155,85

Gianyar Abianbase - - - - 169,26 41,97 211,23

Bakbakan - - - - 252,68 57,34 310,02

Beng - - - - 80,65 80,65

Bitera - - - 33,99 280,69 80,49 395,17

Gianyar - - - - 53,02 176,00 229,02

Lebih - - - - 128,81 128,81

Jenis Penutupan Lahan

Page 72: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

97

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Petak - - - 72,45 152,93 225,38

Petak Kaja - - - - 130,49 35,24 165,73

Samplangan - - - - 36,84 36,84

Serongga - - - - 204,60 40,63 245,23

Siangan - - 49,82 52,37 310,54 26,07 438,80

Sumita - - 27,16 - 53,12 80,28

Suwat - - - - 254,46 254,46

Tampak Siring Manukaya - 92,31 867,34 - 44,64 28,87 1.033,16

Pejeng Kangin - - 156,76 - 117,99 37,12 311,87

Pejeng Kelod - - 116,09 - 27,52 42,44 186,05

Tampaksiring - - 129,69 - 222,07 62,14 413,90

32,58 334,94 2.845,25 225,13 4.592,00 1.061,99 9.091,89

Prosentase (%) 0,36 3,68 31,29 2,48 50,51 11,68 100,00

Sumber data : Hasil Interpretasi Citra Landsat dan Hasil survey lapangan

Keterangan :

VT1 : Vegetasi Tetap Rapat

KC1 : Kebun Campuran Rapat

KC2 : Kebun Campuran Sedang

KC3 : Kebun Campuran Jarang

S : Sawah

P : Pemukiman

Jumlah

Page 73: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

98

Jenis penutupan lahan yang merupakan vegetasi tetap adalah kebun

campuran sedang seluas 2.845,25 ha atau 31,29 %, kebun campuran rapat seluas

334,94 ha atau 3,68 %, kebun campuran jarang seluas 225,13 ha atau 2,48 % dan

vegetasi tetap rapat seluas 32,58 atau 0,36 %. Sehingga luas total penutupan

vegetasi permanen di DAS Pakerisan seluas 3.437,90 ha atau 37,81 %. Persentase

penutupan vegetasi sebagai berikut :

3.437,9

PPV =

9.091,89

= 37,81 %

Hasil perhitungan di atas menunjukan bahwa persentase penutupan

vegetasi di DAS Pakerisan sebesar 37,81 %, termasuk kelas buruk dengan skor

1,25 sehingga nilai total persentase penutupan vegetasi di DAS Pakerisan adalah

12,5.

Keadaan penutupan vegetasi di DAS Pakerisan termasuk ketegori kelas

buruk, hal ini dapat dimaklumi dikarenakan di wilayah DAS Pakerisan didominasi

lahan sawah. Sehingga dalam penghitungan persentase penutupan vegetasi yang

dihitung hanya berupa lahan dengan vegetasi permanen saja, sedangkan sawah

tidak dihitung.

Tingkat Kekritisan Lahan

1. Kawasan Hutan Lindung

Mengacu pada Peraturan Direktur Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan

Perhutanan Sosial Nomor : P.4/V-SET/2013 tanggal 26 Juli 2013 tentang

Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis sebagaimana tabel 3.13. Berdasarkan

arahan klasifikasi fungsi kawasan di wilayah DAS Pakerisan dan hasil tumpang

susun diperoleh unit lahan yang berfungsi sebagai kawasan hutan lindung

sebanyak 1 unit dengan luas 32,58 ha. Dari hasil analisis klasifikasi tingkat

kekritisan lahan pada unit lahan tersebut diperoleh hasil berupa unit lahan tersebut

adalah potensial kritis dengan nilai total skor 430.

1. Kawasan Lindung Di Luar Kawasan Hutan

Kawasan lindung di luar kawasan hutan merupakan kawasan dengan

kondisi curah hujan yang tinggi, tanah yang mudah tererosi dan topografi yang

curam. Di wilayah DAS Pakerisan kawasan lindung di luar kawasan hutan berada

di bagian hulu dan tengah DAS Pakerisan, ini dapat dipahami dikarenakan

wilayah hulu dan tengan dari DAS Pakerisan merupakan wilayah dengan

intensitas hujan yang tinggi dan topografi yang curam. Berdasarkan arahan

klasifikasi fungsi kawasan di wilayah DAS Pakerisan, kawasan lindung di luar

kawasan hutan di wilayah DAS Pakerisan seluas 795,78 ha dan terbagi ke dalam

12 unit lahan.

Hasil analisis tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung di luar

kawasan hutan di wilayah DAS Pakerisan adalah tidak terdapat kriteria tingkat

kekritisan lahan sangat kritis, kritis dan tidak kritis. Kriteria tingkat kekritisan

lahan agak kritis sebanyak 8 unit lahan seluas 488,55 ha (61,39 %) yaitu unit

Page 74: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

99

lahan nomor : 3, 7, 9, 21, 23, 26, 27 dan 29. Kriteria tingkat kekritisan lahan

potensial kritis sebanyak 4 unit lahan seluas 307,23 ha (38,61 %) yaitu unit lahan

nomor : 5, 18, 19 dan 20.

2. Kawasan Budidaya Pertanian

Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama

untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber

daya manusia, dan sumber daya buatan. Berdasarkan arahan klasifikasi fungsi

kawasan di wilayah DAS Pakerisan kawasan budidaya pertanian di wilayah DAS

Pakerisan sebanyak 87 unit lahan seluas 8.263, 53 ha.

Berdasarkan hasil analisis klasifikasi tingkat kekritisan lahan pada

kawasan budidaya pertanian di wilayah DAS Pakaerisan adalah tidak terdapat

kriteria tingkat kekritisan lahan sangat kritis dan kritis. Kriteria tingkat kekritisan

lahan agak kritis sebanyak 15 unit lahan seluas 997,68 ha (12,07 %) yaitu unit

lahan nomor : 4, 6, 8, 10, 11, 12, 13, 15, 16, 32, 33, 34, 35, 84 dan 85. Kriteria

tingkat kekritisan lahan potensial kritis sebanyak 16 unit lahan seluas 1.611, 86 ha

(19,51 %) yaitu unit lahan nomor : 2, 22, 24, 25, 28, 30, 31, 36, 76, 77, 78, 79, 80,

81, 82, dan 83.

Kriteria tingkat kekritisan lahan tidak kritis sebanyak 56 unit lahan seluas

5.653, 99 ha (68,42 %) yaitu unit lahan nomor : 14, 17, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43,

44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65,

66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97,

98, 99 dan 100.

Secara keseluruhan tingkat kekritisan lahan di DAS Pakerisan adalah tidak

kritis seluas 5.653,99 ha (62,19 %), potensiial kritis seluas 1.951,67 ha (21,47 %)

dan agak kritis seluas 1.486,23 ha (16,35 %). Sebaran dan tingkat kekritisan lahan

per arahan klasifikasi fungsi kawasan dan per wilayah desa pada DAS Pakerisan

disajikan sebagaimana Tabel 5. Secara lengkap peta tingkat kekritisan lahan DAS

Pakerisan sebagaiman tersaji pada Gambar 2.

Page 75: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

100

Tabel 5. Sebaran Tingkat Kekritisan Lahan Per Arahan Klasifikasi Fungsi Kawasan dan Per Masing-Masing Wilayah Desa pada DAS

Pakerisan

No. Kabupaten Kecamatan Desa

TK PK AK Jumlah

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1 Hutan Lindung Bangli Kintamani Batur Tengah 32,58 - 32,58 - 32,58

Jumlah Hutan Lindung 32,58 - 32,58 - 32,58

2 Lindung Luar Kawasan Hutan Bangli Kintamani Batu Tengah 42,23 - - 42,23 42,23

Sekardadi 299,03 - 84,27 214,76 299,03

Susut Penglumbaran 121,91 - 62,55 59,36 121,91

Tiga 175,34 - 95,81 79,53 175,34

Gianyar Tampaksiring Manukaya 157,27 64,60 92,67 157,27

Jumlah Lindung Luar Kawasan Hutan 795,78 - 307,23 488,55 795,78

3 Budidaya Pertanian Bangli Kintamani Bayunggede 104,17 - 32,21 71,96 104,17

Sekardadi 82,99 - 82,99 - 82,99

Susut Penglumbaran 270,00 - 135,45 134,55 270,00

Sulahan 284,85 - 180,00 104,85 284,85

Susut 157,45 78,23 36,01 43,21 157,45

Tiga 281,28 - 281,28 - 281,28

Gianyar Blahbatuh Bedulu 57,45 57,45 - - 57,45

Belega 262,19 262,19 - - 262,19

Blahbatuh 164,48 164,48 - - 164,48

Bona 220,77 220,77 - - 220,77

Buruan 128,53 128,53 - - 128,53

Keramas 424,67 424,67 - - 424,67

Medahan 428,29 428,29 - - 428,29

Arahan Klasifikasi Fungsi Kawasan Luas (Ha) Tingkat Kekritisan Lahan

Page 76: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

101

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Pering 651,23 621,24 - 29,99 651,23

Saba 155,85 119,52 - 36,33 155,85

Gianyar Abianbase 211,23 211,23 - - 211,23

Bakbakan 310,02 310,02 - - 310,02

Beng 80,65 80,65 - - 80,65

Bitera 395,17 361,18 - 33,99 395,17

Gianyar 229,02 229,02 - - 229,02

Lebih 128,81 128,81 - - 128,81

Petak 225,38 152,93 - 72,45 225,38

Petak Kaja 165,73 165,73 - - 165,73

Samplangan 36,84 36,84 - - 36,84

Serongga 245,23 245,23 - - 245,23

Siangan 438,8 336,61 49,82 52,37 438,80

Sumita 80,28 53,12 27,16 - 80,28

Suwat 254,46 254,46 - - 254,46

Tampaksiring Manukaya 875,89 73,51 465,37 337,01 875,89

Pejeng Kangin 311,87 155,11 156,76 - 311,87

Pejeng Kelod 186,05 69,96 116,09 - 186,05

Tampaksiring 413,90 284,21 48,72 80,97 413,90

Jumlah Budidaya Pertanian 8.263,53 5.653,99 1.611,86 997,68 8.263,53

Jumlah DAS Pekerisan 9.091,89 5.653,99 1.951,67 1.486,23 9.091,89

Sumber : Hasil pengolahan data

Keterangan : TK : Tidak Kritis, PK : Potensial Kritis, AK : Agak kritis

Page 77: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

102

Gambar 2. Peta Tingkat Kekritisan Lahan DAS Pakerisan

B. Upaya Penanganan Lahan Kritis

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa meskipun yang dominan merupakan

lahan yang tidak kritis yaitu seluas 5.653,99 ha (68,42 %), tetapi juga terdapat lahan

potensial kritis seluas 1.951,67 ha (19,51 %) dan lahan agak kritis seluas 1.486,23 ha

(12,07 %). Lahan yang agak kritis dan potensial kritis tersebut tersebar di bagian hulu

dan tengah pada DAS Pakerisan, jika lahan agak kritis dan potensial kritis ini tidak

ditangani dengan baik maka dapat berubah menjadi lahan kritis atau sangat kritis. Hal

ini perlu mendapatkan prioritas penanganan, baik oleh pemerintah, swasta, dan

masyarakat mengingat DAS Pakerisan memiliki suatu peran dan fungsi yang sangat

strategis yaitu fungsi konservasi, dimana DAS Pakerisan tersebut juga merupakan

DAS yang telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia, dimana

kekritisan lahan di hulu dana atau tengah dapat mengancam keberadaan fungsi

hidrologis yang diperlukan masyarakat.

Lahan potensial kritis merupakan lahan yang belum termasuk kritis berada

setingkat dibawah ambang batas kekritisan lahan. Lahan tersebut akan menjadi kritis

apabila salah satu atau semua faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya lahan kritis

meningkat kearah yang lebih buruk. Sebagai contoh, apabila suatu lahan yang telah

berada dalam kategori lahan potensial kritis dengan penutupan lahan perkebunan

apabila diubah menjadi lahan pertanian musiman maka lahan tersebut akan menjadi

meningkat kekritisan lahannya (Mahmud, 2007).

Untuk menjaga agar tidak terjadi pergeseran atau perubahan status lahan

potensial kritis menjadi lahan agak kritis, maka perlu segera ditangani. Upaya

penanganan lahan agak kritis dan potensial kritis di DAS Pakerisan, dilakukan dengan

melihat semua faktor yang menyebabkan terjadinya lahan kritis tersebut.

Faktor penutupan lahan pada kawasan lindung di luar kawasan hutan, upaya

yang dapat dilakukan yaitu pada tutupan lahan jarang melalui penanaman

rumput/strip rumput, pertanaman campuran, penanaman menurut kontur, strip, dan

lorong, agroforestry, sedang pada tutupan lahan sedang melalui kegiatan pengkayaan

tanaman dan pemanfaatan lahan bawah tegakan.

Faktor produktivitas lahan pada kawasan budidaya, upaya yang dapat

dilakukan yaitu peningkatan produktivitas lahan melalui pengembangan komoditi

Page 78: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

103

unggulan, penggunaan varietas unggul, penggunaan pupuk organik dan anorganik,

intensifikasi pertanian, dan tumpang sari.

Faktor manajemen pada kawasan hutan lindung, upaya yang dapat dilakukan

yaitu rekonstruksi dan pemetaan batas kawasan hutan secara berkala, patroli

pengamanan dan pengawasan kawasan hutan secara rutin, penambahan personil

pengamanan dan pengawasan kawasan hutan (jagawana), melibatkan aparat desa,

baik desa dinas maupun desa adat dalam pengamanan kawasan hutan dan penyuluhan

secara kontinyu oleh instansi terkait.

Faktor manajemen pada kawasan lindung di luar kawasan hutan dan kawasan

budidaya, upaya yang dapat dilakukan yaitu melalui konservasi tanah mekanik

berupa: pembuatan teras gulud, teras kredit, teras bangku, teras individu, dan teras

kebun.

Penutup Lahan kritis adalah lahan dengan kategori sangat kritis dan kritis (Keputusan

Gubernur Bali No. 1030/02-C/HK/2014 tanggal 29 April 2014 tentang Luasan Lahan

Kritis di Propinsi Bali Tahun 2013). Hal ini dimaksudkan bahwa untuk penanganan

lahan kritis perlu dibuat skala prioritas mengingat keterbatasan pemerintah dalam

pembiayaan rehabilitasi lahan kritis tersebut, namun demikian bukan berarti lahan

dengan kategori agak kritis dan potensial kritis tidak perlu ditangani. Penanganan

pada lahan tersebut diharapkan harus dilakukan secara swadaya oleh masyarakat atau

partisipasi pihak lain melalui bantuan bibit dari pemerintah atau swasta.

Page 79: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

104

BAB VI

PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERBASIS MODAL

SOSIAL

Oleh: Dr. Ir. Nyoman Utari Vipriyanti, MSi dan Dr. Ir. I Ketut

Arnawa, MP

Pendahuluan

Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disebut DAS adalah suatu wilayah

daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang

berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan

ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis

dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas

daratan. (PP No 37 tentang Pengelolaan DAS, Pasal 1)

Daerah aliran sungai (DAS) digambarkan pula sebagai suatu wilayah daratan

yang secara topografik dibatasi oleh punggung – punggung gunung yang menampung

dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai

utama (Asdak, 2001). DAS merupakan suatu ekosistem yang terdiri dari komponen

abiotik dan biotik yang saling mempengaruhi. Pengelolaan suatu DAS harus

memperhatikan komponen–komponen yang terdapat di dalam DAS sehingga dapat

diketahui tingkat kemampuan DAS terhadap bahaya erosi. Komponen DAS terdiri

dari lingkungan alam, sosial dan budaya. Bab ini akan menyajikan pembahasan

mengenai lingkungan sosial dan budaya di daerah aliran sungai (DAS) khususnya

modal sosial dalam pengelolaan DAS.

Pengelolaan Darah Aliran Sungai

Menurut Asdak (1999), Pada salah satu bentuk model pengelolaan DAS,

pengelolaan DAS hulu-hilir yang dikaitkan dengan masalah ekonomi-sosial-budaya,

pengembangan wilayah dalam bentuk ekologis maupun administratif, yang menuju

pada optimalisasi penggunaan lahan dan mengefisienkan pemanfaatan sumber daya

air melalui perbaikan kelembagaan, teknologi, serta penyediaan pendanaan, yang

dapat dijabarkan sebagai berikut.

Gambar 1. Model Pengelolaan DAS (sumber Asdak 1999),

Page 80: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

105

Selama ini metodologi perencanaan DAS secara terpadu kurang

memperhatikan aspekaspek yang mengintegrasikan berbagai kepentingan kegiatan

pembangunan, misalnya antara kepentingan pengembangan pertanian, kepentingan

industri, kepentingan daya dukung lingkungan (ecological demands). Perkembangan

pembangunan di bidang permukiman, pertanian, perkebunan, industri, eksploitasi

SDA berupa penambangan, dan eksploitasi hutan menyebabkan penurunan kondisi

hidrologis suatu DAS yang menyebabkan kemampuan DAS untuk berfungsi sebagai

penyimpan air pada musim hujan dan kemudian dipergunakan melepas air pada

musim kemarau. Ketika air hujan turun pada musim penghujan air akan langsung

mengalir menjadi aliran permukaan yang seringkali menyebabkan banjir dan

sebaliknya pada musim kemarau aliran air menjadi sangat kecil bahkan pada

beberapa kasus sungai tidak terdapat aliran air.

Pentingnya posisi DAS sebagai unit pengelolaan yang utuh merupakan

konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumberdaya hutan,

tanah dan air. Kurang tepatnya perencanaan dapat menimbulkan adanya degradasi

DAS yang mengakibatkan lahan menjadi gundul, tanah/lahan menjadi kritis dan erosi

pada lereng-lereng curam. Pada akhirnya proses degradasi tersebut dapat

menimbulkan banjir yang besar di musim hujan, debit sungai menjadi sangat rendah

di musim kemarau, kelembaban tanah di sekitar hutan menjadi berkurang di musim

kemarau sehingga dapat menimbulkan kebakaran hutan, terjadinya percepatan

sedimen pada waduk-waduk dan jaringan irigasi yang ada, serta penurunan kualitas

air. Asdak (1999)

Pada prinsipnya kebijakan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) secara

terpadu merupakan hal yang sangat penting dalam rangka mengurangi dan

menghadapi permasalahan sumberdaya air baik dari segi kualitas dan kuantitasnya.

Kebijakan ini oleh karenanya merupakan bagian terintegrasi dari kebijakan

lingkungan yang didasarkan pada data akademis maupun teknis, beragamnya kondisi

lingkungan pada beberapa daerah dan perkembangan ekonomi dan sosial sebagai

sebagai suatu keseluruhan dimana perkembangan daerah. Dengan beragamnya

kondisi, maka beragam dan spesifik juga solusinya. Keberagaman ini harus

diperhitungkan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan untuk memastikan

bahwa perlindungan dan penggunaan DAS secara berkelanjutan ada dalam suatu

rangkaian kerangka kerja (framework).

Gambaran Geografis, Sosial dan Budaya DAS Tukad Pakerisan

Lokasi Tukad Pakerisan berada di Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Bangli,

alirannya melintasi desa-desa yang memiliki latar belakang warisan budaya tinggi. DAS Tukad Pakerisan terbentuk dari endapan tufa dan endapan lahar Buyan-Beratan dan Batur. Berdasarkan aspek hidrogeologi DAS ini, di bagian kecil di daerah hulu kondisi geologi terbentuk dari tanah dengan kandungan air sangat sedikit kurang lebih 0,1 l/dt. Sebagian besar di bagian hulu kondisi tanah mempunyai kandungan air tanah kurang dari 1 l/dt. Pada zone tengah mempunyai kondisi tanah dengan kandungan air sedang kira-kira 5 l/dt. Sedangkan pada zone paling hilir mempunyai kandungan air besar 10 l/dt.

Topografi

Secara umum topografi kawasan studi mulai dari datar (3% - 8%), kemudian landai (0% - 3%), dan dibeberapa tempat bergelombang/agak

Page 81: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

106

miring dengan kemiringan (9%). Untuk kedua DAS dari zone yang paling hulu mempunyai kemiringan relatif datar antara 3% - 8% sedangkan pada zone tengah mempunyai kondisi topografi bergelombang dengan kemiringan antara 8 % sampai 15 %. Pada daerah tebing Tukad mempunyai kemiringan curam di atas 50 %.

Bagian hilir Tukad Pakerisan merupakan daerah dengan topografi yang datar (0% - 3%) sampai jarak 10 km dari muara, dengan ketinggian antara 50 m sampai dengan 150 m di atas permukaan laut. Alur Sungai

Daerah Aliran Tukad Pakerisan memiliki luas total 68,54 km2, yang berada

dimasing-masing kecamatan meliputi: Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli 6,227

km2, Kecamatan Bangli Kabupaten Bangli 1,233 km

2, Kecamatan Susut Kabupaten

Bangli 9,666 km2, Kecamatan Tampaksiring Kabupaten Gianyar 18,760 km

2,

Kecamatan Gianyar Kabupaten Gianyar 28,670 km2, Kecamatan Blahbatuh

Kabupaten Gianyar 3,987 km2, dengan panjang Tukad utama 45,22 km.

Tukad Pakerisan memiliki satu Tukad utama dan 95 anak Tukad dengan 32

diantaranya merupakan tukad musiman seperti, Tukad Geria, Tukad Junk, Tukad

Melet, Tukad Pakerisan dan Tukad Tingge. Jumlah Tukad Kontinyu 63 diantaranya,

Tukad Geria, Tukad Janu, Tukad Latung, Tukad Lutung, Tukad Malet, Tukad

Melange, Tukad Melangi, Tukad Pakerisan, Tukad Tabu, yang kesemuanya bermuara

di Samudra Indonesia.

Sosial Ekonomi dan Budaya

Terdapat 30 desa yang terkait dengan DAS Tukad Pakerisan dengan luas wilayah

132,14 Km 2 dengan jumlah penduduk secara keseluruhan mencapai 167.434 jiwa.

Kepadatan penduduk secara keseluruhan mencapai 1267 orang/Km2

a. Sex Ratio (SR)

Perbandingan penduduk laki-laki dengan perempuan tidak menunjukkan

perbedaan yang mencolok atau hampir seimbang. Pada akhir Desember 2013

jumlah penduduk di Kabupaten Gianyar 427.889 jiwa dengan proporsi 216.274

jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 211.615 jiwa perempuan sehingga sex ratio

penduduk di Kabupaten Gianyar adalah sebesar 102.

b. Tingkat Pendidikan Penduduk

Tingkat pendidikan penduduk rata rata lulus SD (SLTP, SLTA, Sarjana

Muda/Diploma dan Sarjana) mencapai 66.73% %, sedangkan pendidikan

penduduk yang setingkat SD mencapai 15.79% dan penduduk yang tidak

berpendidikan adalah sisanya atau 17.47%. Walaupun demikian, berdasarkan

perhitungan secara rinci tingkat pendidikan penduduk per kecamatan, tampaknya

pendidikan penduduk di daerah Kecamatan Tampaksiring perlu mendapat

perhatian untuk ditingkatkan dalam rangka meningkatkan kualitas sumberdaya

manusia menuju pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Analisis kondisi sosial ekonomi bertujuan untuk mengetahui perubahan atau dinamika sosial dan ekonomi masyarakat sebelum, selama dan setelah adanya kegiatan pengelolaan DAS, baik secara swadaya maupun melalui program bantuan. Berdasarkan peran/pengaruh kondisi sosial ekonomi terhadap kondisi daya dukung DAS maka bobot kondisi sosial ekonomi ini adalah 20, sedangkan untuk masing-masing sub kriteria adalah sebagai berikut:

Page 82: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

107

tekanan penduduk (10), tingkat kesejahteraan penduduk (7) dan keberadaan dan penegakan aturan (3). 1. Tekanan Penduduk

Tekanan penduduk didekati dengan indeks ketersediaan lahan yang merupakan perbandingan antara luas lahan pertanian dengan jumlah keluarga petani di dalam DAS. Data luas lahan pertanian diperoleh dari data penutupan lahan dan data jumlah keluarga petani bersumber dari Badan Pusat Statistik Provinsi Bali Tahun 2014 dan sebaran jumlah penduduk di wilayah DAS Pakerisan sebagaimana lampiran 2. Kondisi tekanan penduduk di wilayah DAS Pakerisan sebagaimana perhitungan berikut :

A IKL = P 7.997,32 ha = 9.627 kk = 1,20 ha/kk

Hasil perhitungan di atas menunjukan bahwa di wilayah DAS Pakerisan tekanan penduduk terhadap lahan pertanian masih termasuk kategori kelas sedang, dinama nilai hasil perbandingannya sebesar 1,20 ha/kk. Nilai total tekanan penduduk di wilayah DAS Pakerisan adalah 10.

Kondisi tekanan penduduk terhadap lahan pertanian yang sedang maka perlu upaya untuk mencari alternatif pekerjaan lain selain usaha pertanian, sehingga diharapkan dengan adanya pekerjaan lain maka tekanan terhadap lahan pertanian akan berkurang. 2. Tingkat kesejahteraan penduduk (TKP)

Dalam analisis ini tingkat kesejahteraan penduduk akan didekati dengan persentase perbandingan keluarga miskin dengan jumlah kepala keluarga. Data jumlah keluarga miskin dan jumlah kepala keluarga bersumber dari Badan Pusat Statistik Provinsi Bali Tahun 2014. Perhitungan tingkat kesejahteraan penduduk berdasarkan jumlah keluarga miskin sebagai berikut :

Jumlah KK miskin TKP = Jumlah Total KK

2.001 TKP = 45.030

= 4,4 %

Hasil perhitungan di atas menunjukan bahwa tingkat kesejahteraan

penduduk di wilayah DAS Pakerisan masih sangat tinggi, ini dapat dilihat dari persentase keluarga miskin yang hanya 4,4 % dari jumlah kepala keluarga yang

x 100 %

x 100 %

Page 83: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

108

ada di wilayah DAS Pakerisan. Nilai 4,4 % tersebut maka tingkat kesejateraan penduduk di wilayah DAS Pakerisan termasuk ke dalam kelas sangat baik sehingga total nilai adalah 3,5.

3. Keberadaan dan penegakan norma

Keberadaan norma masyarakat, baik formal maupun informal, yang berkaitan dengan konservasi tanah dan air sangat diperlukan. Adanya norma tersebut dan pelaksanaannya secara luas dalam kehidupan masyarakat diharapkan memberikan dampak yang baik dalam peningkatan daya dukung DAS. Data mengenai keberadaan dan penegakan norma di wilayah DAS Pakerisan diperoleh dari Balai Pengelolaan DAS Unda Anyar, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berupa laporan Identifikasi Kelembagaan yang Mendukung Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Provinsi Bali.

Berdasarkan laporan tersebut diketahui bahwa di wilayah DAS Pakerisan terdapat norma atau aturan di masyarakat yang berkaitan dengan konservasi tanah dan air. Pelaksanaan dari norma atau aturan di lapangan telah dipraktekan secara luas, ini dapat dilihat dari penerapan pembuatan teras yang bertujuan untuk menahan laju erosi, selain itu kegiatan penanaman tanaman kayu-kayuan diantara tanaman semusim juga merupakan upaya konservasi tanah dan air. Berdasarkan data tersebut kelas keberadaan dan penegakan norma di wilayah DAS Pakerisan termasuk sangat baik dengan skor 0,5 sehingga nilai total adalah 1,5.

Kelembagaan/Institusi

Pranata sosial yang terdapat di sepajang DAS Tukad Pakerisan dapat

dikelompokan menjadi pranata yang bersifat formal, seperti keberadaan desa

dinas atau kelurahan. Desa Dinas/Kelurahan adalah suatu lembaga desa yang

dipimpin oleh seorang kepala desa atau lurah yang memfokuskan kegiatannya

pada bidang administrasi kepemerintahan formal atau kedinasan serta

pembangunan yang bersifat umum. Lembaga sosial yang bersifat tradisional

diantaranya desa adat dan subak.Desa adat adalah suatu lembaga tradisional yang

warganya diikat oleh kesatuan wilayah tempat tinggal yang sama, serta adanya

ikatan kahyangan desa (kahyangan tiga : Pura Puseh, Pura Desa dan Pura Dalem)

serta awig-awig (aturan adat) yang sama.

Keberadaan dan penegakan norma

Analisis keberadaan dan penegakan aturan dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya norma masyarakat, baik formal maupun informal, yang berkaitan dengan konservasi tanah dan air dan tingkat pelaksanaan dari norma dimaksud dalam kehidupan bermasyarakat. Adanya norma tersebut dan pelaksanaannya secara luas dalam kehidupan masyarakat diharapkan memberikan dampak yang baik dalam peningkatan daya dukung DAS. Data yang diperoleh merupakan data sekunder dari laporan instansi terkait.

Perhitungan analisis keberadaan dan penegakan norma sebagaiman tersaji pada Tabel 1.

Page 84: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

109

Tabel 1. Analisis keberadaan dan penegakan norma

No. Nilai Skor Kelas 1. Ada, dipraktekkan luas 0,50 Sangat Baik 2. Ada, dipraktekkan terbatas 0,75 Baik 3. Ada, tapi tidak dipraktekkan lagi 1,00 Sedang 4. Tidak ada norma pro-konservasi 1,25 Buruk 5. Ada norma kontra konservasi 1,50 Sangat Buruk

Sumber : Kementerian Kehutanan, 2014

Kondisi Pengelolaan Sumber Daya Air DAS Pekerisan di Kabupaten Bangli

Kondisi suatu sumber daya air DAS Pekerisan di Kabupaten Bangli sangat

tergantung dari pengelolaan/manajemennya, baik dalam pengelolaan sumberdaya

alam (hutan, tanah dan air) maupun sumberdaya manusianya. Pengelolaan sumber

daya air DAS Pekerisan di Kabupaten Bangli dinilai belum optimal, hal ini

ditunjukkan oleh masih banyak wilayah yang mengalami kerusakan. Hal itu

diantaranya disebabkan oleh pengelolaan lahan yang belum mengikuti kaidah-kaidah

konservasi tanah dan air, pembangunan vila di sepanjang tukad Pekerisan yang

melanggar sempadan sungai dan jurang, kurangnya pemahaman masyarakat tentang

pengelolaan/ pelestarian DAS, pelanggaran sempadan sungai dan lain-lain.

Kurangnya pemahaman tentang pengelolaan/kelestarian DAS, penebangan

kayu pada daerah yang terjal, pembangunan sarana penunjang pariwisata hotel/vila,

restoran di sempadan sungai dan jurang, cenderung mendorong masyarakat hanya

mementingkan masalah ekonomi sesaat, tanpa mempedulikan dan memelihara

lingkungan sekitar, akibatnya masyarakat akan menggunakan lahannya tidak sesuai

fungsi/kemampuannya (lahan miring yang seharusnya digunakan untuk tanaman yang

memiliki fungsi hidrologis, tetapi digunakan untuk tanaman semusim) dan terjadinya

alih fungsi lahan. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya degradasi sumberdaya hutan

dan lahan, penutupan lahan yang minim, serta konservasi tanah yang kurang memadai.

Minimnya penutupan lahan menyebabkan air hujan akan langsung jatuh dipermukaan

tanah (energi kinetiknya besar) yang dapat menghancurkan agregat tanah, sehingga

mudah terbawa / terangkut bersama aliran permukaan. Keadaan ini akan meyebabkan

tingginya erosi dan sedimentasi, tanah longsor, banjir dan kekeringan yang pada

gilirannya akan menurunkan produktivitas tanah dan mengganggu tata air DAS.

Sisi ekonomi, jumlah/kepadatan penduduk sangat berpengaruh terhadap kondisi

lahan, karena semakin besar jumlah/kepadatan dan distribusi penduduk maka semakin

besar pula kebutuhan terhadap air.

Laju pertumbuhan penduduk pada setiap wilayah harus dapat dikendalikan sekecil

mungkin. Hal itu disebabkan karena setiap pertambahan penduduk akan menuntut

pertambahan kebutuhan akan sumberdaya alam. Adapun sumberdaya alam itu sendiri

cenderung habis dan kalau pun ada beberapa sumberdaya alam yang dapat dipulihkan

maka untuk memulihkan keberadaannya cenderung memerlukan waktu puluhan tahun.

Disamping itu dalam pelaksanaan pengelolaan DAS, sering dijumpai masalah

sulitnya melaksanakan tindakan secara terpadu antar berbagai sektor atau stakes

holder dalam DAS. Hal ini dibebabkan belum jelas dan tegasnya kewenangan dan

fungsi masing-masing sektor instansi terkait akibat adanya otonomi daerah di

Page 85: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

110

kabupaten/kota. Oleh karena itu perlu dibentuk suatu lembaga sebagai wadah yang

dapat mengkoordinasikan berbagai kegiatan yang perkait dengan pengelolaan DAS.

Di tingkat provinsi lembaga tersebut sudah terbentuk, yaitu berupa Forum DAS

Provinsi Bali. Namun di kabupaten yang ada di Bali belum semuanya membentuk

Forum DAS.

Pengelolaan Sumber Daya Air DAS Pekerisan di Kabupaten Gianyar

1. Tujuan dan Sasaran Pengelolaan Sumber Daya Air DAS Pekerisan di

Kabupaten Gianyar

Tabel 4.5 Tujuan dan Sasaran Pengelolaan Sumber Daya Air

No

.

Masalah Tujuan Sasaran

1. Pembangunan fasilitas

pariwisata (hotel dan

vila) pada sempadan

sungai/ jurang

Mencegah alih fungsi

lahan dan menggunakan

lahan sesuai fungsi dan

daya dukungnya

DAS Pekerisan

(sempadan sungaidan

jurang)

2. Masyarakat kurang

paham tentang

kelestarian DAS

Menyadarkan masyarakat

tentang arti pentingnya

pengelolaan / kelestarian

DAS

Kelompok tani di

wilayah DAS Pekerisan

3. Rusaknya bangunan

bendung irigasi

Perbaikan bangunan

bendung irigasi

Subak di wilayah DAS

Pekerisan

4. Alih fungsi lahan Mencegah alih fungsi

lahan, penataan

pemanfaatan lahan

Kawasan lindung

utamanya, dalam

kawasan hutan

5. Degradasi hutan dan

lahan

Rehabilitasi sumberdaya

hutan dan lahan

Lahan kritis di DAS

Pekerisan

6. Erosi dan longsor Mencegah dan menahan

erosi, sedimentasi pada

badan-badan tukad,

menekan erosi dan

longsor

Lahan kritis dan rawan

longsor di DAS

Pekerisan

7. Galian C tanpa ijin Mencegah penambangan

pasir tanpa ijin

Desa Batur Kec.

Kintamani

8. Penebangan kayu di

daerah yang terjal

Mencegah/mengurangi

longsor

Di kecamatan

Tampaksiring

9. Pembuangan sampah

dan limbah ke tukad

Menertibkan dan

menekan dampak

pembuangan sampah dan

limbah

Daerah permukiman

dan alur tukad

10. Rendahnya pendapatan

dan partisipasi

masyarakat dalam

pengelolaan DAS

Meningkatkan

pendapatan dan

partisipasi masyarakat

dalam pengelolaan DAS

Wilayah permukiman

DAS Pekerisan

11. Kelembagaan yang Membangun koordinasi Seluruh lembaga suasta

Page 86: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

111

belum terkoordinasi kelembagaan antara hulu

dan hilir

dan lembaga

pemerintah di DAS

Pekerisan

12. Pemanfaatan kearipan

lokal belum optimal

Revitalisasi kearipan

lokal dalam pengelolaan /

pelestarian DAS

Kelompok tani di DAS

Pekerisan

Sumber: RPJM kabupaten dan Provinsi serta hasil wawancara dengan stakeholders

terkait

Penutup

Page 87: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

112

BAB VII

PENGELOLAAN DAS DAN TANTANGAN BAGI SEKTOR

PERTANIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI PEKERISAN

Oleh: Dr. Ir. Utari Vipriyanti, MSi dan Dr. Ir. Deden Ismail, MSi

Pendahuluan

Pengelolaan DAS adalah upaya dalam mengelola hubungan timbal balik

antara sumber daya alam dengan sumber daya manusia di dalam DAS dan segala

aktivitasnya untuk mewujudkan kemanfaatan sumber daya alam bagi kepentingan

pembangunan dan kelestarian ekosistem DAS serta kesejahteraan masyarakat. Pada

hakekatnya pengeelolaan DAS merupakan perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan

sumberdaya alam berbasis ekosistem DAS untuk kesejahteraan manusia dan

kelestarian ekosistem DAS itu sendiri. Kegiatan pengelolaan DAS tersebut

menimbulkan dampak baik positif maupun negatif yang diantaranya dapat dilihat

melalui indikator aliran air di DAS yang bersangkutan. Adanya keterkaitan antara

kegiatan pengelolaan sumberdaya DAS dan dampak yang ditimbulkannya

memungkinkan untuk mengukur keberlanjutan pengelolaan sumberdaya yang

dilakukan. Hal ini yang melandasi digunakannya ekosistem DAS sebagai satuan

terbaik dalam pengelolaan sumberdaya berbasis ekosistem.

Keberadaan sumberdaya alam yang berbeda seringkali menempati wilayah

atau bentang alam yang sama, misalnya deposit bahan tambang dan mineral di dalam

kawasan hutan. Hal ini seringkali membawa konsekuensi terjadinya tumpang-tindih

kepentingan dan kewenangan pengaturan pengelolaan sumberdaya alam oleh instansi

yang berbeda. Berbagai konflik yang terkait dengan pengelolaan atau pemanfaatan

sumberdaya alam DAS, juga disebabkan karena belum adanya perangkat hukum yang

mengatur pengelolaan sumberdaya DAS.

Selain itu, konflik pemanfaatan sumberdaya seringkali terkait dengan belum

berjalannya keterpaduan antar sektor dan antar wilayah dalam kegiatan perencanaan,

pelaksanaan, pengawasan, pemantauan dan evaluasi pengelolaan DAS. Oleh karena

itu, pengelolaan sumberdaya di DAS yang sama oleh berbagai instansi yang berbeda

memerlukan koordinasi pengelolaan sumberdaya tersebut. Untuk mencapai efektivitas

koordinasi dalam pengelolaan sumberdaya DAS secara terpadu diperlukan payung

hukum peraturan perundang-undangan yang jelas sebagai acuan instansi-instansi

terkait dalam pelaksanaan tugasnya.

Prinsip-prinsip dasar dalam pengelolaan DAS (Departemen Kehutanan, 2009)

adalah :

a. Pengelolaan DAS dilaksanakan secara terpadu didasarkan atas DAS sebagai satu

kesatuan ekosistem, satu rencana, dan satu sistem pengelolaan;

b. Pengelolaan DAS terpadu melibatkan para pemangku kepentingan, terkoordinasi,

menyeluruh, dan berkelanjutan;

c. Pengelolaan DAS terpadu bersifat adaptif terhadap perubahan kondisi yang

dinamis sesuai dengan karakteristik DAS;

d. Pengelolaan DAS terpadu dilaksanakan dengan pembagian tugas dan fungsi, beban

biaya dan manfaat antar para pemangku kepentingan secara adil;

Page 88: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

113

e. Pengelolaan DAS terpadu berlandaskan pada azas akuntabilitas.

Pengelolaan DAS terpadu adalah rangkaian upaya perumusan tujuan,

sinkronisasi program, pelaksanaan dan pengendalian pengelolaan sumberdaya DAS

lintas para pemangku kepentingan secara partisipatif berdasarkan kajian kondisi

biofisik, ekonomi, sosial, politik dan kelembagaan guna mewujudkan tujuan

pengelolaan DAS. Beberapa hal yang mengharuskan pengelolaan DAS

diselenggarakan secara terpadu (Departemen Kehutanan, 2009) adalah :

a. Terdapat keterkaitan antar berbagai kegiatan dalam pengelolaan sumberdaya dan

pembinaan aktivitasnya;

b. Melibatkan berbagai disiplin ilmu yang mendasari dan mencakup berbagai bidang

kegiatan;

c. Batas DAS tidak selalu berhimpitan/bertepatan dengan batas wilayah administrasi

pemerintahan;

d. Interaksi daerah hulu sampai hilir yang dapat berdampak negatif maupun positif

sehingga memerlukan koordinasi antar pihak.

Tujuan pengelolaan DAS terpadu sangat ditentukan oleh karakteristik biofisik,

sosial ekonomi, budaya dan kelembagaan yang ada pada tiap DAS. Secara umum

tujuan pengelolaan DAS terpadu yaitu : (1) Mewujudkan kondisi tata air DAS yang

optimal meliputi kuantitas, kualitas dan distribusi menurut ruang dan waktu; (2)

Mewujudkan kondisi lahan yang produktif sesuai dengan daya dukung dan daya

tampung lingkungan DAS secara berkelanjutan; (3) Mewujudkan kesadaran,

kemampuan dan partisipasi aktif para pihak dalam pengelolaan DAS yang lebih baik;

(4) Mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat (Departemen Kehutanan,

2009).

A. Monitoring dan Evaluasi DAS

Setiap daerah aliran sungai (DAS) memiliki karakteristik atau ciri, atau

kualitas yang khas yang dicirikan oleh parameter-parameter yang berkaitan dengan

keadaan morfometri, topografi, tanah, geologi, vegetasi, tata guna (penggunaan) lahan,

hidrologi, dan manusia. DAS merupakan suatu ekosistem sehingga setiap masukan

(inputs) ke dalam ekosistem dapat dievaluasi proses yang telah dan sedang

berlangsung dengan memperhitungkan keluaran (outputs) dari ekosistem tersebut

(Asdak, 1995).

Dalam sistem tata air ekosistem DAS, komponen masukannya berupa curah

hujan, sedangkan komponen luarannya terdiri dari debit air dan sedimen yang

terangkut. DAS merupakan prosesor yang terdiri dari komponen alami yang sulit

dikelola (morfometri DAS, geologi, dan sebagian sifat fisik tanah) dan komponen

yang relatif mudah dikelola (vegetasi, kesuburan, dan struktur tanah, dan lereng

mikro). Dalam memenuhi kehidupannya, manusia melakukan intervensi terhadap

sumberdaya alam dalam DAS, yang merupakan masukan, baik berupa teknologi

maupun sistem sosial ekonomi dan kelembagaan yang terbangun. Secara skematis

sistem DAS sebagai basis pemantauan dan evaluasi tata air dapat digambarkan seperti

pada gambar 1.

Jika ekosistem DAS tersebut dipandang sebagai suatu sistem pengelolaan

maka komponen-komponen DAS bisa dipilah atas faktor-faktor masukan, prosesor,

dan luaran. Setiap masukan ke dalam ekosistem DAS dapat diprakirakan proses yang

telah, sedang, dan akan terjadi melalui monitoring dan evaluasi luaran (hasil) dari

DAS tersebut, sebagaimana terlihat pada Gambar 1. Masukan ke dalam DAS dapat

berupa curah hujan yang bersifat alami dan manajemen yang merupakan bentuk

Page 89: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

114

intervensi manusia terhadap sumber daya alam seperti teknologi yang tertata dalam

struktur sosial ekonomi dan kelembagaan (Kementerian Kehutanan, 2014).

Sumber : Kementerian Kehutanan, 2014

Gambar 1. Ekosistem DAS sebagai Basis Pengelolaan

Sifat alami dan intervensi manusia yang merupakan perwujudan pengelolaan

atas sumberdaya alam DAS akan mempengaruhi laju siklus air dalam sistem ekologi

DAS. Pengelolaan DAS yang dilakukan melalui kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan,

diarahkan untuk menghambat proses siklus air melalui pengelolaan lahan, yakni

dengan praktek konservasi tanah dan air secara vegetatif dan mekanis, sehingga air

hujan yang jatuh bisa dihambat untuk lebih banyak dimanfaatkan bagi kehidupan di

bumi daripada dibiarkan lebih banyak yang menjadi limpasan atau banjir.

Pertumbuhan vegetasi akan memberikan perlindungan tanah terhadap

pengikisan dan memperbesar air masuk ke dalam tanah atau memperkecil limpasan

permukaan melalui peran perakaran, seresah, dan tajuk. Sedangkan sifat alami seperti

morfometri DAS, geologi, dan sifat fisik tanah (kecuali struktur dan porositas)

merupakan faktor yang sulit dikelola, namun perlu dipahami sebagai dasar

penyusunan perencanaan pengelolaan. Penggunaan lahan dalam wilayah DAS tidak

hanya lahan pertanian atau non hutan tetapi seluruh bentuk penggunaan lahan,

termasuk hutan, pemukiman, dan perkebunan. Dengan demikian watak tata air DAS

(luaran) sangat beragam, tergantung dari hasil interaksi seluruh faktor penyusun

daerah tangkapan air (prosesor) dengan karakteristik hujan yang jatuh di atasnya

(masukan).

B. Lahan Kritis Dalam DAS

Dalam Undang-Undang 37 tahun 2014 tentang Konservasi Tanah dan Air

disebutkan bahwa lahan adalah bagian daratan dari permukaan bumi sebagai suatu

lingkungan fisik yang meliputi tanah beserta faktor yang mempengaruhi

penggunaannya seperti iklim, relief, aspek geologi, dan hidrologi yang terbentuk

secara alami maupun akibat pengaruh manusia. Sedangkan lahan kritis adalah lahan

yang fungsinya kurang baik sebagai media produksi untuk menumbuhkan tanaman

yang dibudidayakan atau yang tidak dibudidayakan.

Pengelolaan lahan merupakan suatu upaya yang dimaksudkan agar lahan dapat

berfungsi optimal sebagai media pengatur tata air dan produksi. Bentuk pengelolaan

lahan yang baik adalah dapat menciptakan suatu keadaan yang mirip dengan keadaan

alamiahnya (Kartasapoetra, 1985 dalam Arsyad, 2010).

Lahan merupakan bagian bentang alam (landscape) yang mencakup

pengertian dari fisik termasuk iklim, topografi (relief), hidrologi, dan keadaan

Page 90: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

115

vegetasi alami (natural vegetation) yang semuanya secara potensial berpengaruh

terhadap penggunaan lahan (Djaenudin, 1999).

Kemampuan penggunaan lahan merupakan kesanggupan lahan untuk

memberikan hasil penggunaan pertanian pada tingkat produksi tertentu. Pemanfaatan

lahan yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air

menyebabkan terjadinya degradasi lahan yang pada akhirnya akan menimbulkan

lahan kritis.

C. Erosi dan Sedimentasi

Erosi adalah hilangnya atau terkikisnya tanah atau bagian-bagian tanah dari

suatu tempat oleh air atau angin. Erosi menyebabkan hilangnya lapisan tanah yang

subur dan baik untuk pertumbuhan tanaman serta berkurangnya kemampuan tanah

untuk menyerap dan menahan air. Tanah yang terangkut tersebut akan terbawa masuk

akan terbawa masuk sumber air yang dinamai sedimen, akan diendapkan di tempat

yang aliran airnya melambat; di dalam sungai, waduk, danau, saluran irigasi, di atas

tanah pertanian dan sebagainya. Dengan demikian, maka kerusakan yang ditimbulkan

oleh peristiwa erosi terjadi di dua tempat, yaitu (1) pada tanah tempat erosi terjadi,

dan (2) pada tempat tujuan akhir tanah yang terangkut tersebut diendapkan. Dampak

erosi tanah di tempat kejadian erosi dan di luar tempat kejadian erosi disajikan pada

Tabel 2.1 (Arsyad, 2010).

Erosi dan pengangkutan sedimen yang dilakukan oleh air merupakan suatu

proses penting dalam pembentukan suatu daerah aliran sungai dan mempunyai

konsekuensi ekonomi serta lingkungan yang penting. Erosi dan sedimentasi secara

alami akan mempengaruhi pembentukan lanskap (landscape) suatu DAS dan

sebaliknya bentuk dan kondisi fisik DAS akan sangat berpengaruh terhadap laju erosi

dan sedimentasi (Linsley dkk., 1996).

Masalah utama dalam usaha tani di lahan kering berlereng adalah terjadinya

erosi tanah bila tidak disertai dengan tindakan konservasi (Suwardjo dkk., 1981).

Erosi sangat merugikan produktivitas lahan karena dalam waktu relatif singkat, tanah

lapisan atas yang subur hilang. Sebagai contoh, tanah Latosol (Inceptisol) pada

kemiringan lahan 14% di Citayam, Bogor, yang ditanami tanaman semusim tanpa

tindakan konservasi tanah, mengalami kehilangan tanah setebal 2,50 cm/tahun dan

penurunan produktivitas lahan setelah dua tahun. Jika tanah yang hilang setebal 10 cm,

maka produksi dapat menurun lebih dari 50% meskipun dilakukan pemupukan

lengkap (Suwardjo, 1981). Kerusakan tanah karena hilangnya unsur hara dapat

diperbaiki dengan menambahkan pupuk yang tepat, tetapi kerusakan tanah akibat

hilangnya fungsi produksi dan hidrologi memerlukan proses rehabilitasi yang relatif

lama.

Tabel 2.1. Dampak Erosi Tanah

Bentuk

Dampak

Dampak di Tempat Kejadian

Erosi

Dampak di Luar Tempat

Kejadian Erosi

- Langsun

g

- Kehilangan lapisan tanah yang

relatif kaya unsur hara dan

bahan organik, dan memiliki

sifat-sifat fisik yang baik bagi

- Pelumpuran atau

sedimentasi dan

pendangkalan waduk,

sungai, saluran irigasi,

Page 91: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

116

tempat akar tanaman

berjangkar

- Meningkatnya penggunaan

energi untuk berproduksi

- Kemerosotan produktivitas

tanah atau bahkan menjadi

tidak dapat digunakan untuk

berproduksi

- Kerusakan bangunan

konservasi dan bangunan

lainnya

- Pemiskinan petani penggarap

dan/atau pemilik tanah

muara sungai, pelabuhan

dan badan air lainnya

- Tertimbunnya lahan

pertanian, jalan dan rumah

atau bangunan lainnya

- Menghilangnya mata air

dan memburuknya kualitas

air

- Kerusakan ekosistem

perairan (tempat bertelur

ikan, terumbu karang dan

sebagainya)

- Kehilangan nyawa oleh

banjir dan tertimbun

longsor

- Meningkatnya areal banjir

dan frekuensi serta

lamanya waktu banjir di

musim hujan, dan

meningkatnya ancaman

kekeringan pada musim

kemarau

- Tidak

Langsung

- Berkurangnya alternatif

penggunaan lahan

- Timbulnya dorongan atau

tekanan untuk membuka lahan

baru dengan membabat hutan

- Timbulnya keperluan

penyediaan dana untuk

perbaikan bangunan

konservasi yang rusak

- Kerugian sebagai akibat

memendeknya umur guna

waduk dan saluran irigasi

dan tidak berfungsinya

badan air lainnya

Sumber : Arsyad, 2010

Erosi adalah hilangnya atau terkikisnya tanah atau bagian-bagan tanah dari

suatu tempat yang diangkut oleh air atau angin ke tempat lain. Proses pengendapan

sedimen yang dihasilkan oleh proses erosi yang terbawa oleh aliran air di suatu

tempat disebut sedimentasi (Arsyad , 2010).

Lebih lanjut Arsyad (2010) menyatakan bahwa erosi adalah akibat interaksi

kerja antara faktor-faktor iklim, topografi, tumbuhan (vegetasi), dan manusia terhadap

tanah yang dinyatakan dalam persamaan deskriptif berikut :

E = f (i, r, v, t, m)

dimana E adalah besarnya erosi, i adalah iklim, r adalah topografi, v adalah tumbuhan,

t adalah tanah, dan m adalah manusia. Persamaan di atas mengandung dua jenis

peubah, yaitu (1) faktor-faktor yang dapat diubah oleh manusia seperti tumbuhan

yang tumbuh di atas tanah (v), sebagian sifat tanah (t) yaitu kesuburan tanah,

ketahanan agregat, dan kapasitas infiltrasi tanah, dan satu unsur topografi (r) yaitu

Page 92: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

117

panjang lereng, dan (2) faktor-faktor yang tidak dapat diubah manusia seperti iklim (i),

tipe tanah, dan kecuraman lereng. Penyelesaian masalah erosi secara efektif

bergantung pada hasil analisis terhadap setiap faktor dan hubungan antara faktor-

faktor tersebut.

Tanah dan bagian-bagian tanah yang terangkut oleh air dari suatu tempat

yang mengalami erosi pada suatu daerah aliran sungai (DAS) dan masuk ke dalam

suatu badan air secara umum disebut sedimen (Arsyad, 2010). Sedimen yang terbawa

masuk ke dalam sungai hanya sebagian saja dari tanah yang tererosi dari tempatnya.

Sebagian lagi dari tanah yang terbawa erosi akan mengendap pada suatu tempat di

lahan di bagian bawah tempat erosi pada DAS tersebut. Nisbah antara jumlah

sedimen yang terangkut ke dalam sungai terhadap jumlah erosi yang terjadi di dalam

DAS disebut Nisbah Pelepasan Sedimen (Sediment Delivery Ratio).

Sedimen yang dihasilkan oleh proses erosi dan terbawa oleh aliran air akan

diendapkan pada suatu tempat yang kecepatan airnya melambat atau terhenti.

Peristiwa pengendapan ini dikenal dengan peristiwa atau proses sedimentasi, yaitu

proses yang bertanggung jawab atas terbentuknya dataran-dataran aluvial yang luas

dan banyak terdapat di dunia, merupakan suatu keuntungan oleh karena dapat

memberikan lahan untuk perluasan pertanian atau pemukiman. Akan tetapi, sedimen

yang dihasilkan oleh erosi yang cepat pada tanah-tanah yang salah kelola lebih

banyak menimbulkan kerugian atau malapetaka bagi kehidupan manusia. Sedimen

yang terendapkan di dalam saluran, sungai, waduk, dan muara sungai akan

menyebabkan pendangkalan badan air tersebut, yang dapat menimbulkan kerugian

karena mengurangi fungsi badan air itu sendiri (Arsyad, 2010).

Faktor-faktor yang mempengaruhi sedimentasi adalah jumlah dan intensitas

hujan, formasi geologi dan jenis tanah, tata guna lahan, topografi, erosi di bagian

hulu, limpasan, karakteristik sedimen, dan hidrolika saluran. Menurut Breussers

(1974 dalam Setiawan 1999), sedimen dapat dibagi dalam dua kelompok berdasarkan

mekanisme pergerakannya sebagai berikut :

a. Suspended load, dimana partikel sedimen bergerak tersuspensi dalam aliran air

b. Bed load, dimana partikel sedimen bergerak secara menggelinding dan melompat.

Menurut kondisi asalnya (White., 1987, dalam Setiawan. 1999) sedimen dapat

dibagi dalam :

a. Bed materials transport, dimana material berasal dari saluran itu sendiri

b. Wash load, dimana material tidak hanya berasal dari sedimen bed materials,

tetapi ditambah oleh material dari luar saluran.

Dalam proses degradasi DAS, kejadian erosi dan sedimentasi adalah

merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Sedimentasi adalah merupakan

proses lebih lanjut dari kejadian erosi, yaitu ketika hasil erosi terangkut oleh aliran air

menuju ke alur sungai dan terangkut hingga terendapkan di tempat lain. Hal tersebut

dapat diartikan bahwa semakin tinggi laju erosi maka semakin tinggi pula laju

sedimentasi yang akan terjadi. Namun demikian tidak semua sedimen hasil erosi akan

masuk ke sungai dan terbawa ke luar daerah tampung atau daerah aliran sungai

(Karsun, 2014).

D. Klasifikasi Fungsi Kawasan

Dalam Undang-Undang RI Nomor 41 tahun 1999 menyebutkan bahwa hutan

adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam

hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu

dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Lebih lanjut dikatakan, kawasan hutan adalah

wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk

Page 93: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

118

dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Hutan berdasarkan statusnya terdiri

dari hutan negara dan hutan hak. Hutan menurut fungsinya terdiri dari hutan

konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Hutan konservasi adalah kawasan

hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan

keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Hutan lindung adalah

kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem

penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi,

mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Hutan produksi adalah

kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan (Karsun,

2014).

Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama

melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam,

sumberdaya buatan, dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan

pembangunan berkelanjutan. Ruang lingkup kawasan lindung meliputi kawasan yang

memberikan perlindungan kawasan bawahnya, kawasan perlindungan setempat,

kawasan suaka alam, dan kawasan rawan bencana alam. Kawasan budidaya adalah

wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi

dan potensi sumber daya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan

(Departemen Kehutanan, 2009)

Rahim (2000) menjelaskan, untuk mengatur lahan-lahan di Indonesia sesuai

dengan peraturannya, Menteri Pertanian mengeluarkan Surat Keputusan Nomor.

837/Kpts/II/1980. Undang-undang Tata Ruang UU No. 24 tahun 1992, mengatur

lahan-lahan di Indonesia kedalam satu atau lebih dari kategori peruntukan baik

sebagai kawasan lindung, kawasan penyangga, kawasan budidaya tanaman tahunan,

kawasan budidaya tanaman semusim, dan kawasan pemukiman.

Ada tiga faktor yang dinilai dalam menentukan arahan klasifikasi fungsi

kawasan, meliputi : 1) lapangan menurut kemiringannya, 2) jenis tanah menurut

kepekaannya dan 3) curah hujan harian rata-rata (Karsun, 2014).

Daya Dukung DAS Tukad Pakerisan

Tabel 4.3. Analisis Daya Dukung DAS Tukad Pakerisan

No Kriteria/Sub Kriteria Bobot Nilai

1. Kondisi Lahan 40 35

a. Persentase Lahan Kritis 20 10

b. Persentase Penutupan Vegetasi 10 12,5

c. Indeks Erosi 10 12,5

2. Kondisi Tata Air 20 17,25

a. Koefisien Rejim Aliran (KRA) 5 3,75

b. Koefisien Aliran Tahunan (KAT) 5 2,5

c. Muatan Sedimen 4 6

d. Banjir 2 3

e. Indeks Penggunaan Air (IPA) 4 2

3. Kondisi Sosial Ekonomi 20 15

a. Tekanan Penduduk 10 10

Page 94: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

119

b. Tingkat Kesejahteraan Penduduk 7 3,5

c. Keberadaan dan Penegakan Norma 3 1,5

4. Investasi Bangunan 10 7,5

a. Klasifikasi Kota 5 3,75

b. Klasifikasi Nilai Bangunan Air 5 3,75

5. Pemanfaatan Ruang Wilayah 10 5

a. Kawasan Lindung 5 2,5

b. Kawasan Budidaya 5 2,5

Jumlah Nilai 79,75

Sumber Data : Hasil Pengolahan Data Primer dan Sekunder

Tabel 4.4. Klasifikasi Kondisi Daya Dukung DAS

No. Nilai Kategori

1 DDD ≤ 70 Sangat Baik

2 70 < DDD ≤ 90 Baik

3 90 < DDD ≤ 110 Sedang

4 110 < DDD ≤ 130 Buruk

5 DDD > 130 Sangat Buruk

Sumber : Kementerian Kehutanan, 2014

Berdasarkan tabel 4.3 di atas hasil analisis daya dukung di DAS Pakerisan

diperoleh nilai sebesar 79,75 dan berdasarkan klasifikasi kondisi daya dukung DAS

sebagaimana tabel 4.4, maka kondisi daya dukung DAS Pakerisan termasuk katergori

―Baik‖. Kondisi yang masih baik tersebut diharapkan pengelolaan DAS Pakerisan ke

depan akan lebih baik lagi. Upaya-upaya yang dapat dilakukan baik oleh pemerintah,

swasta maupun masyarakat dalam rangka tetap menjaga kelestarian DAS Pakerisan

sebagai berikut :

1. Meningkatkan koordinasi antar sektor, antar instansi dan antar daerah

2. Menghilangkan egosektoral antar instansi/lembaga/daerah

3. Meningkatkan pemahaman semua pihak tentang artinya pentingnya pengelolaan

DAS

4. Meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS

5. Mengendalikan alih fungsi lahan

6. Melakukan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang bertujuan untuk

memulihkan lahan kritis.

Page 95: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

120

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad,S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Bogor : IPB Press

Arsyad, Sintanala.2000.Konservasi Tanah dan Air. UPT Produksi Media Informasi

Lembaga Sumberdaya Informasi. IPB.

Asdak,Chay.2001.Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.Gadjah Mada

University Press : Bandung

Bras,R.L.1990.Hydrology : An Introduction to Hydrology Science. Addison Wesley.

Castellarin,A.,Burn, D.H.,Brath.A.2001.Assesing The Effectiveness of Hydrologycal

Similarity Measures for Flood Frequency Analysis :Journal of Hydrology.

Chow,VenTe.,Maidment. David R., May S., Larry W. 1988.Applied

Hydrology.Singapore :McGraw Hill International Editions, Civil Engineering

Series

Dinas PU Kabupaten Gianyar. 2012.Buku Profil Bidang Sumber Daya Air,

Pertambangan dan Enerji, Dinas PU Kabupaten Gianyar.

Islam, A.dan Kumar, A.2003.HYDRO : A Program for Frequency Analysis of

Rainfall Data. IE (I) Journal-AG Vol 84.

Jayadi, R.2000.Hidrologi I-Pengenalan Hidrologi. Yogyakarta : Jurusan Teknik Sipil,

Fakultas teknik, Universitas Gadjah Mada.

Jayadinata,Johara.T.1999.Tata Guna Tanah dalam PerencanaanPerdesaan,

Perkotaan danWilayah. Bandung: ITB.

Kepakisan dan Jayanthi.2010. Peradaban Air Sepanjang Tukad Pakerisan (Sejak Era

Bali Kuno Hingga Kini). Bali : Madyapadma

Konig, A.,Sægrov, S.,and Schilling, W.2002.Damage assessment for urban

flooding.USA : Ninth International Conference on Urban Drainage. Portland,

Oregon

Linsley, Ray K.Jr., Franzini, Joseph B.1979. Water Resources Engineering, Third

Edition.Tokyo. Japan : McGraw Hill International Book Company

Munich Reinsurance.2002.Topics: Annual review: Natural catastrophes 2002.

Munich Reinsurance.

Notodiharjo, M.,dkk.1998.Drainase Perkotaan.Jakarta: Jurusan TeknikSipil

Universitas Tarumanegara.

Pelling, M.2003.The Vulnerability of Cities. Natural Disasters and Social Resilience.

London. UK: EarthscanPublications Ltd

Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

Nasional

Siladharma, I.G.B., Yekti, M.I., Permana, G.I. 2007. Pengaruh Perubahan Tata Guna

Lahan Terhadap Debit Banjir. Berkala Ilmiah Teknik Keairan, Vol. 13, No. 3.,

Juli 2007.

Smith, K.,and Ward, R.1998. Floods: physical processes and human impacts. John

Wiley.,Chichester.1998. No. of pages: 382. Earth Surf. Process. Landforms.

Soemarto, CD. 1987. Hidrologi Teknik.Surabaya: Usaha Nasional

Sosrodarsono, Suyono. & Takeda, 1983. Hidrologi Untuk Pengairan. Jakarta:

Penerbit Pradnya Paramita

Sri Harto BR. 2001. Some Typical Catchment Parameters And Flow Components Of

Rivers On The Island Of Java.Forum Teknik., Jilid 25 No. 23.

Sri Harto BR.2000.Hidrologi : Teori, Masalah, Penyelesaian. Yogyakarta: Nafiri

Offset

Sri Harto. 1993.Analisis Hidrologi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Page 96: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

121

Sugiono, Soetomo.2002.Dari Urbanisasi ke Morfologi Kota. Mencari Konsep

Pembangunan Tata Ruang Kota yang Beragam.Semarang: Undip Press.

Sugiyono. 1999. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: CY Alfabeta

Suripin. 2003.Sistem Drainase Perkotaan Yang Berkelanjutan.Yogyakarta: Andi.

Tjahjati, Soegijoko Budhy., dkk.1997.Bunga Rampai PerencanaanPembangunan di

Indonesia. Jakarta: P.T. Gramedia Widiasarana.

Triatmojo,Bambang.2001.Diktat Kuliah Hidrologi. Yogyakarta: Jurusan Teknik Sipil,

Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada.

Viessman, W., Lewis, G.L., & Knapp, J.W., 1988. Introduction To Hydrology. USA:

Harper & Row Publishers, Inc.

Page 97: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

122

Page 98: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

231

BAB XI.

DAMPAK PEMANASAN GLOBAL TERHADAP KARAKTERISTIK DAS

PAKERISAN

Oleh : Dr. Ir. I Ketut Arnawa, MP dan Lusia, SP, M.Si

1. Pendahuluan

Pemanasan Global merupakan masalah yang harus dihadapi manusia sekarang

dan bukan lagi masalah masa depan. Kejadian ini adalah dampak akumulasi jangka

panjang dari polusi atmosfer akibat aktivitas manusia sehingga menyebabkan

lepasnya gas rumah kaca ke atmosfer dengan laju yang sangat tinggi yang kemudian

berdampak pada perubahan iklim. Kejadian iklim seperti banjir, kemarau panjang,

angin kencang sudah dirasakan semakin sering terjadi akhir-akhir ini dengan

intensitas yang tinggi. Kejadian ini semakin menimbulkan dampak yang semakin

besar dengan tingginya tingkat kerusakan lingkungan (Boer dkk, 2010).

Kegiatan manusia telah menyebabkan terjadinya peningkatan emisi Gas

Rumah Kaca (GRK) yang menimbulkan terjadinya fenomena pemanasan global dan

mengakibatkan terjadinya perubahan iklim. Perubahan iklim, terutama unsur suhu dan

curah hujan sangat berpengaruh pada kondisi hidrologis (Myatt et al.,2003). Perubahan iklim dan dampaknya terhadap lingkungan belakangan ini menjadi isu

penting sejak sekitar tahun 1990-an. Perubahan iklim ini identik dengan

meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan

seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang

ekstrim, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi (Myatt et al.,2003). Pembuktian-pembuktian ilmiah menunjukkan bahwa selama beberapa dekade

belakangan ini telah terjadi perubahan iklim global yang dominan disebabkan oleh

emisi karbon dari aktivitas manusia (Intergovernmental Panel and Climate Change,

2001, 2007).

Pemanasan global (global warming) pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan

temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse

effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida

(CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan chloroflurocarbon (CFC) sehingga

energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Berbagai literatur menunjukkan

kenaikan temperatur global – termasuk Indonesia – terjadi pada kisaran 1,5–40°C

pada akhir abad 21 (Foley, 1993).

Boer dan Perdinan (2008) menunjukkan bahwa berdasarkan hasil penelusuran

terhadap database bencana alam intenasional (International Disaster Database)

banyak bencana alam yang masuk ke dalam kategori bencana global sebanyak 345

bencana. Sekitar 60% dari bencana alam tersebut ialah bencana alam akibat kejadian

iklim ekstrim seperti banjir, kekeringan, kebakaran hutan, angin kencang/badai, tanah

longsor, gelombang pasang tinggi dan meledaknya penyakit. Temuan ini sejalan

dengan hasil kajian Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC, 2007)

bahwa pemanasan global akan meningkatkan frekuensi dan intensitas kejadian iklim

ekstrim.

Di Indonesia, kejadian iklim ekstrim seringkali berasosiasi dengan fenomena

El Nino Southern Osciallation (ENSO). El Nino Southern Oscillation (ENSO)

merupakan salah satu kejadian iklim ekstrim di wilayah Pasifik Tropis yang

memainkan peranan penting dalam mengendalikan keragaman iklim di Indonesia,

Page 99: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

232

khususnya curah hujan (CH) yaitu kemarau panjang pada tahun-tahun El Niño dan

hujan jauh diatas normal pada tahun-tahun La Niña (Boer dkk, 2010).

Naylor, dkk (2007) menunjukkan bahwa ada pengaruh pemanasan global

terhadap perubahan musim di Pulau Jawa. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa

untuk daerah di selatan khatulistiwa akan mengalami penurunan curah hujan

sedangkan di utara khatulistiwa akan mengalami kenaikan curah hujan. Hasil proyeksi

Naylor, dkk (2007) menunjukkan bahwa dalam 40 tahun mendatang, terjadinya

pemanasan global akan menyebabkan awal musim hujan di Jawa Tengah akan

mengalami kemunduran dengan curah hujan yang cenderung turun sedangkan akhir

musim hujan akan lebih cepat dengan curah hujan yang cenderung naik. Hal ini

berimplikasi pada semakin meningkatnya risiko kekeringan pada musim kemarau dan

resiko banjir atau bahaya longsor pada musim hujan. WWF (2007) menyatakan

perubahan distribusi curah hujan tersebut menyebabkan berbagai potensi bencana

alam yang dipicu oleh curah hujan menjadi semakin tinggi, seperti : banjir, longsor,

peluapan sungai, dan penyebaran vektor penyakit, sedangkan pada kondisi curah

hujan yang mengecil dapat terjadi potensi bencana seperti : kekeringan, gagal panen,

kekurangan air bersih, dan berbagai permasalahan sosial yang mungkin timbul,

seperti monopoli air di DAS Citarum.

Kerusakan lingkungan khususnya kerusakan tutupan hutan di wilayah

tangkapan air hujan akan menambah dampak terhadap terjadinya perubahan iklim.

Pada tahun 1984, Daerah Aliran Sungai (DAS) yang rusak baru sekitar 22 DAS dan

pada tahun 1998 jumlahnya meningkat menjadi 58 DAS. Di Jawa, antara tahun 1992

dan 1998, jumlah DAS yang rusak meningkat tajam dan kemudian setelah tahun 1998

sebagian dari DAS ini sudah direhabilitasi (Boer dkk, 2010). Kerusakan DAS akan

mengakibatkan meningkatnya risiko terjadinya kekeringan pada musim kemarau dan

banjir khususnya pada daerah hilir pada musim penghujan.

Salah satu DAS di Provinsi Bali yang perlu mendapat perhatian pemerintah

dan masyarakat Kabupaten Gianyar adalah DAS Tukad Pakerisan. Daerah Aliran

Sungai (DAS) Tukad Pakerisan yang merupakan warisan budaya dunia (world

cultural heritage) yang ditetapkan oleh UNESCO dengan nomor C 1194 dan

merupakan perlindungan kawasan strategis berupa Istana Presiden Republik

Indonesia. DAS Tukad Pakerisan melewati dua kabupaten di Bali yaitu Kabupaten

Bangli dan Kabupaten Gianyar. Tukad yang memiliki panjang 34,50 km dengan DAS

68,54 km2 ini disepanjang alirannya terdapat situs Tirtha Empul, Candi Yeh

Mangening, Candi Tebing Gunung Kawi, Campuhan, Tampak Siring, Candi Tebing

Kerobokan, Candi Pengukur-ukuran serta Candi Tebing Tegal Linggah (Kepakisan

dan Jayanthi, 2010).

DAS Tukad Pakerisan menyediakan sumber daya alam yang banyak

memberikan manfaat bagi penduduk di sekitarnya, antara lain sebagai sumber daya

pertanian, sumber air bersih maupun pemanfaatan air lainnya. Berbagai akitivitas

masyarakat di sepanjang DAS Tukad Pakerisan berpengaruh pada kondisi kualitas

dan kuantitas DAS Tukad Pakerisan. Selain itu perubahan iklim (peningkatan suhu

serta curah hujan) berpengaruh pada kondisi hidrologi DAS Tukad Pakerisan.

DAS Tukad Pakerisan bagian tengah (dusun Malet) memiliki tingkat

kerentanan/kerawanan longsor dan banjir sampai pada kelas rawan (BPDAS Unda

Anyar, 2009). Kondisi ini terjadi karena dusun Malet mempunyai kemiringan lebih

dari 40% dan terjadi perubahan vegetasi dari tanaman hutan menjadi tanaman

hortikultura.

Page 100: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

233

2. Fungsi, Karakteristik dan Kelembagaan DAS

2.1 Fungsi DAS

Fungsi DAS dapat ditinjau dari dua sisi yaitu : (1) sisi ketersediaan (supply)

yang mencakup kuantitas aliran sungai (debit), waktu, kualitas aliran sungai ; (2) sisi

permintaan (demand) yang mencakup tersedianya air bersih, tidak terjadinya bencana

banjir, tanah longsor serta genangan lumpur (Rahayu, 2009).

Fungsi hidrologis DAS sangat dipengaruhi jumlah curah hujan yang diterima,

geologi yang mendasari dan bentuk lahan. Fungsi hidrologis yang dimaksud termasuk

kapasitas DAS menurut Farida et al. (2005) yaitu untuk : (1) mengalirkan air; (2)

menyangga kejadian puncak hujan; (3) melepas air secara bertahap; (4) memelihara

kualitas air; dan (5) mengurangi pembuangan massa (seperti tanah longsor). Aktivitas

yang mempengaruhi komponen DAS di bagian hulu akan mempengaruhi kondisi

DAS bagian tengah dan hilir. Batas DAS secara administratif hanya dapat tercakup

dalam satu kabupaten hingga melintas batas provinsi dan negara. Suatu DAS yang

sangat luas dapat terdiri dari beberapa sub DAS yang kemudian dapat dikelompokkan

lagi menjadi DAS bagian hulu, DAS bagian tengah dan DAS bagian hilir (Dephut,

2003). Fungsi dari setiap sub DAS tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, DAS bagian hulu dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi

lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan. DAS

bagian hulu dicirikan sebagai daerah dengan lanskap pegunungan dengan variasi

topografi, mempunyai curah hujan yang tinggi dan sebagai daerah konservasi untuk

mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi. DAS bagian hulu

mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata air, karena itu

setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak di daerah hilir

dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen sistem aliran airnya.

Kedua, DAS bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai

yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi,

yang antara lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan

menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana

pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau.

Ketiga, DAS bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang

dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang

diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air,

ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta

pengelolaan air limbah. Bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan yang relatif

landai dengan curah hujan yang lebih rendah. Semakin ke hilir, mutu air, kontinuitas,

kualitas dan debit akan semakin berkurang kualitasnya dibandingkan dengan DAS

bagian hulu. Hal ini terjadi karena badan air di hulu tercemari oleh kegiatan-kegiatan

manusia baik domestik maupun industri, sehingga badan air di bagian hilir mengalami

kondisi dan kualitas yang kurang baik. Keberadaan sektor kehutanan di daerah hulu

yang terkelola dengan baik dan terjaga keberlanjutannya dengan didukung oleh

prasarana dan sarana di bagian tengah akan dapat mempengaruhi fungsi dan manfaat

DAS di bagian hilir, baik untuk pertanian, kehutanan maupun untuk kebutuhan air

bersih bagi masyarakat secara keseluruhan.

2.2. Karakteristik DAS

Karakteristik DAS adalah suatu sifat yang khas yang melekat pada DAS

tersebut. Karakteristik DAS terbagi dalam dua bagian, yaitu karakteristik statis dan

karakteristik dinamis. Karakteristik statis merupakan variabel dasar yang tidak mudah

berubah dan akan sangat menentukan proses hidrologi yang terjadi pada DAS tersebut.

Page 101: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

234

Dalam hal ini karakteristik DAS meliputi variabel morfologi dan morfometri DAS.

Selain itu terdapat pula karakteristik DAS yang bersifat dinamik, yaitu variabel yang

akan mempengaruhi percepatan perubahan kondisi hidrologi di dalam DAS. Variabel

yang termasuk dalam karakteristik dinamis DAS adalah meterologi/klimatologi,

penutup/penggunaan lahan, kondisi sosekbud masyarakat di dalam DAS, dan kondisi

kelembagaan pengelola DAS (Kementrian Kehutanan, 2013).

Karakteristik Meteorologi DAS (Iklim)

1) Curah Hujan

Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang

datar, tidak menguap, tidak meresap dan tidak mengalir. Curah hujan 1 (satu)

milimeter artinya dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar tertampung

air setinggi satu milimeter atau tertampung air sebanyak satu liter. Satuan curah hujan

selalu dinyatakan dalam satuan millimeter atau inchi namun untuk di Indonesia satuan

curah hujan yang digunakan adalah dalam satuan millimeter (mm). Hujan merupakan

input air yang masuk dalam suatu DAS, oleh karena itu mengetahui besarnya curah

hujan sangat penting. Untuk dapat mengetahui besarnya curah hujan yang terjadi

diperlukan data curah hujan yang diperoleh melalui stasiun-stasiun hujan, baik yang

dikelola oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Kementerian

Kehutanan ataupun dinas/instansi lain yang bersangkutan (Kementrian Kehutanan,

2013).

2) Intensitas Hujan

Intensitas hujan adalah banyaknya curah hujan persatuan jangka waktu tertentu.

Apabila dikatakan intensitasnya besar berarti hujan lebat dan kondisi ini sangat

berbahaya karena berdampak dapat menimbulkan banjir, longsor dan efek negatif

terhadap tanaman. Intensitas hujan harian selama 1 tahun adalah rata-rata intensitas

hujan setiap harinya selama 1 tahun, sedangkan intensitas hujan tahunan, total dari

seluruh intensitas hujan sepanjang tahun.

3) Kelembaban

Kelembaban adalah banyaknya kadar uap air yang ada di udara. Dalam

kelembaban dikenal beberapa istilah, seperti : (1) Kelembaban mutlak adalah masa

uap air yang berada dalam satu satuan udara; (2) Kelembaban spesifik merupakan

perbandingan massa uap air di udara dengan satuan massa udara; (3) Kelembaban

relatif merupakan perbandingan jumlah uap air di udara dengan jumlah maksimum

uap air yang dikandung udara pada temperatur tertentu (Kartasapoetra, 2004).

Salah satu fungsi utama kelembaban udara adalah sebagai lapisan pelindung

permukaan bumi. Kelembaban udara dapat menurunkan suhu dengan cara menyerap

atau memantulkan sekurang-kurangnya setengah radiasi matahari gelombang pendek

yang menuju permukaan bumi dan menahan keluarnya radiasi matahari gelombang

panjang dari permukaan bumi pada waktu siang dan malam hari (Asdak, 1995).

Keadaan kelembaban di atas permukaan bumi berbeda-beda. Pada umumnya,

kelembaban tertinggi ada di khatulistiwa sedangkan yang terendah pada lintang 40o.

Kelembaban udara tertinggi dicapai pada musim hujan dan terendah pada musim

kemarau. Kelembaban dipengaruhi oleh adanya pohon pelindung terutama apabila

pohonnya rapat (Kartasapoetra, 2004).

4) Suhu

Suhu adalah derajat panas atau dingin yang diukur berdasarkan skala tertentu

dengan menggunakan termometer. Satuan suhu yang biasa digunakan adalah derajat

celcius (oC), sedangkan di Inggris dan beberapa negara lainnya dinyatakan dalam

derajat Fahrenheit (oF) (Kartasapoetra, 2004).

Page 102: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

235

Faktor-faktor yang mempengaruhi suhu di permukaan bumi antara lain : (1)

Jumlah radiasi yang diterima per tahun, per hari dan per musim; (2) Pengaruh daratan

atau lautan; (3) Pengaruh ketinggian tempat; (4) Pengaruh angin secara tidak langsung,

misalnya angin yang membawa panas dari sumbernya secara horizontal; (5) Pengaruh

panas laten yaitu panas yang disimpan dalam atmosfer; (6) Penutup tanah, yaitu tanah

yang ditutup vegetasi yang mempunyai temperature yang lebih rendah dari pada tanah

tanpa vegetasi; (7) Tipe tanah, tanah gelap indeks suhunya lebih tinggi; (8) Pengaruh

sudut datang sinar matahari. Sinar yang tegak lurus akan membuat suhu lebih panas

dari pada yang datangnya miring (Kartasapoetra, 2004).

Suhu udara merupakan unsur cuaca dan iklim yang sangat penting dan berubah

sesuai dengan tempat. Tempat yang terbuka, suhunya akan berbeda dengan tempat

yang bergedung, demikian pula suhu di ladang berumput berbeda dengan ladang yang

dibajak (Tjasjono, 1995).

a. Tanah

Tanah sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur iklim yaitu hujan, suhu dan

kelembaban (Kartasapoetra, 2004).Tipe dan distribusi tanah dalam suatu daerah aliran

sungai sangat berpengaruh dalam mengontrol aliran bawah permukaan (subsurface

flow) melalui infiltrasi. Variasi dalam t ipe tanah dengan kedalaman dan luas tertentu

akan mempengaruhi karakteristik infiltrasi dan timbunan kelembaban tanah (soil

moisture storage) (Kementrian Kehutanan, 2013).

Jenis tanah dengan tekstur pasir akan mempunyai tingkat infiltrasi yang lebih

tinggi dibandingkan dengan jenis tanah bertekstur lempung. Dengan demikian jenis

tanah dengan tekstur pasir (kasar) akan mempunyai limpasan permukaan yang lebih

kecil dari pada jenis tanah dengan tekstur lempeng (halus). Untuk kondisi ini, DAS

yang dominan dengan jenis tanah bertekstur halus lebih mudah terjadi erosi dari pada

DAS yang dominan dengan jenis tanah bertekstur kasar (Kementrian Kehutanan,

2013).

b. Vegetasi

Vegetasi menghalangi curah hujan yang jatuh, sehingga air hujan tidak jatuh

langsung di permukaan tanah, akibatnya daya penghancur air hujan berkurang.

Vegetasi juga dapat berfungsi untuk menghambat aliran permukaan dan

memperbanyak air terinfiltrasi. Penggunaan lahan yang paling efektif untuk

mengurangi erosi adalah hutan namun rumput-rumputan yang tumbuh rapat dapat

berfungsi sama efektifnya (Rahayu, 2009).

Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan daerah resapan air yang dapat

mengatur sistem tata air. Secara alami kualitas DAS dipengaruhi oleh faktor biofisik

pembentuk tanah yaitu relief, topografi, fisiografi, iklim, tanah, air dan vegetasi (Tan,

1991). Namun penggunaan lahan yang berkaitan erat dengan aktivitas manusia

menyebabkan keseimbangan ekosistem DAS terganggu.

Pemanfaatan lahan biasanya secara langsung menyebabkan perubahan tata guna

lahan di suatu wilayah. Perubahan tata guna lahan seringkali tidak disertai dengan

tindakan pencegahan kerusakan lahan sehingga lahan semakin terdegradasi ditandai

dengan tingginya tingkat erosi dan sedimentasi serta rendahnya resapan air hujan.

Alih fungsi lahan oleh manusia umumnya mengubah vegetasi dan pengelolaan lahan

(Yusmandhany, 2004).

c. Sosial Ekonomi Masyarakat

Karakteristik DAS ditentukan pula oleh manusianya, maka aspek sosial,

ekonomi dan budaya masyarakat mempunyai peranan penting untuk dijadikan

prioritas utama dalam pengelolaan DAS. Kondisi sosial ekonomi masyarakat akan

mempengaruhi kondisi suatu DAS (Kementrian Kehutanan, 2013).

Page 103: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

236

Zaeni (1987) mengatakan bahwa penanggulangan DAS tidak hanya bertumpu

pada kawasan hutan saja, akan tetapi meliputi kawasan budidaya tanaman dan

kawasan pemukiman, yang umumnya adalah daerah pedesaan. Pelibatan masyarakat

pedesaan tersebut dalam pengelolaan DAS memerlukan pendekatan khusus yang

harus dilandasi oleh pengetahuan sosiologi yang mapan. Sugihen dalam Wibowo

(2003) mengatakan bahwa hubungan antara manusia dengan tanah di pedesaan dapat

dibagi dua, yaitu bertani sebagai suatu gaya hidup (a way of life) dan bertani sebagai

mata pencaharian (a way of making a living). Bertani sebagai suatu gaya hidup hanya

sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidup, akan tetapi bertani sebagai suatu mata

pencaharian, disini ada unsur mencari keuntungan sehingga ada kemungkinan untuk

mengeksploitir lahan yang ada. Dalam mengkaji unsur-unsur sosial, ekonomi dan

budaya yang terkait dengan pengelolaan DAS, ilmu pengetahuan yang berbasis pada

ilmu geografi dan lingkungan yang dikembangkan diantaranya oleh Edward Buckle

dari Inggris (1821-1862) dan Le Play dari Perancis dalam Soekanto (1977), yang

menyatakan bahwa masyarakat hanya mungkin timbul dan berkembang apabila ada

tempat berpijak dan tempat hidup bagi masyarakat tersebut. Ajaran dan teorinya

mengungkapkan adanya korelasi antara tempat tinggal dengan aneka ragam

karakteristik kehidupan sosial.

Dari uraian-uraian terdahulu dapat disimpulkan bahwa keadaan sosial ekonomi

masyarakat meliputi : tingkat ketergantungan penduduk terhadap lahan, yang terdiri

dari luas pemilikan lahan, status pemilikan lahan, diversifikasi mata pencaharian,

distribusi alokasi waktu kerja dan tradisi/ kebiasaan khusus. Tingkat adopsi petani

terhadap teknologi konservasi dan keberadaan dan aktifitas kelembagaan yang ada

(Departemen Kehutanan, 1998)..

2.3. Kelembagaan DAS

Peran Lembaga Pemerintah dan Lembaga Adat Dalam Konservasi DAS

Pengembangan kelembagaan merupakan bagian dari strategi pengelolaan suatu

DAS. Dengan adanya pengembangan kelembagaan diharapkan dapat menggerakkan

para pihak untuk berperan secara aktif dalam pengelolaan lingkungan di suatu DAS.

Di samping itu, dengan penguatan kelembagaan maka pembagian peran menjadi lebih

jelas. Masing-masing pihak akan mengetahui dengan pasti wewenang dan tanggung

jawabnya, sehingga sistem pengelolaan suatu DAS dapat dilaksanakan secara optimal.

Dalam hal ini pihak pemerintah kabupaten/kota berperan sebagai ujung tombak dalam

pelayanan kepada masyarakat dan lebih kompeten dalam upaya pemberdayaan

masyarakat dan upaya pengembangan kelembagaan masyarakat (Giyarsih, 2010).

Sinergisme Fungsi Kelembagaan DAS

Sinergisme fungsional kelembagaan antar institusi dalam ruang/wilayah/daerah

yang sama dalam pengelolaan suatu DAS perlu diatur untuk menentukan tugas dan

wewenang, sehingga penanganan program pembangunan dapat dilaksanakan dengan

baik. Walaupun dalam beberapa hal terkendala dengan alokasi dana, tenaga, dan

waktu namun apabila job descriptions telah jelas terumuskan, maka semua tindakan

yang dilakukan oleh institusi yang berbeda akan bersifat komplementer dengan tujuan

akhir yang sama (Kementrian Kehutanan, 2013).

Page 104: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

237

3. Pemanasan Global

Kenaikan suhu muka bumi global atau biasa dikenal dengan istilah pemanasan

global (global warming) disebabkan oleh timbunan gas-gas rumah kaca seperti

karbon dioksida, metana, nitrat oksida dan klorofluorokarbon di atmosfer (Foley,

1993). Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) 2007

menyatakan bahwa kegiatan manusia ikut berperan dalam pemanasan global sejak

pertengahan abad ke-20.

IPCC (2007) menyatakan bahwa pemanasan global dapat menyebabkan

perubahan yang signifikan dalam sistem fisik dan biologis seperti peningkatan

intensitas badai tropis, perubahan pola presipitasi, salinitas air laut, perubahan pola

angin, masa reproduksi hewan dan tanaman, distribusi spesies dan ukuran populasi,

frekuensi serangan hama dan wabah penyakit, serta mempengaruhi berbagai

ekosistem yang terdapat di daerah dengan garis lintang yang tinggi, lokasi yang tinggi

serta ekosistem-ekosistem pantai.

Pemanasan global mengakibatkan perubahan iklim dan kenaikan frekuensi

maupun intensitas kejadian cuaca ekstrim (kekeringan dan curah hujan ekstrim) yang

pada gilirannya akan menimbulkan resiko bencana iklim yang lebih besar (IPCC,

2007).

Fenomena pemanasan global yang mengakibatkan perubahan iklim juga akan

mengakibatkan terjadinya perubahan sosial/kependudukan dan budaya. Berbagai

kajian sosial menemukan bahwa pola hubungan sosial berkaitan sangat erat dengan

pola iklim. Dengan kata lain, pola sosial dan budaya dipengaruhi secara langsung oleh

kondisi iklim setempat (Kementrian Negra Lingkungan Hidup, 2007).

3.1. Penyebab Terjadinya Pemanasan Global

Terjadinya pemanasan global dapat dipengaruhi oleh adanya aktivitas manusia

maupun aktivitas alam itu sendiri (alamiah). Aktivitas manusia yang diperkirakan

berkontribusi pada kenaikan suhu bumi antara lain adalah aktivitas yang

meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) maupun aktivitas yang

mempercepat terjadinya penipisan lapisan ozon (Bratasida, 2002).

Beberapa aktivitas yang ditengarai menghasilkan GRK (CO2, CH4 dan N2O)

adalah : (1) Aktivitas yang menghasilkan gas CO2 (karbon dioksida) seperti kegiatan

penggunaan bahan bakar kayu, minyak bumi, gas alam dan batu bara oleh industri,

kendaraan bermotor dan rumah tangga serta pembakaran hutan; (2) Kegiatan yang

menghasilkan gas CH4 (metan) seperti kegiatan proses produksi dan pengangkutan

barubara, minyak bumi dan kegiatan pembakaran biomas yang tidak sempurna serta

kegiatan penguraian oleh bakteri di tempat pembuangan akhir (TPA), ladang padi dan

peternakan; (3) Kegiatan yang menghasilkan gas N2O (nitrat oksida) hasil dari

pemakaian pupuk nitrogen yang berlebihan di dalam usaha penanaman padi, aktivitas

industri yang menggunakan limbah padat sebagai bahan bakar alternatif dan

penggunaan bahan bakar minyak bumi (Bratasida, 2002).

Kegiatan yang menghasilkan bahan perusak ozon (BPO) antara lain adalah

kegiatan industri pendingin udara (kulkas dan air conditioner), pesawat terbang,

katalisator proses industri, bahan pencegah kebakaran dan fumigasi yang

menggunakan CFC, Halon, Aerosol, Solvent dan Metil Bromida (Bratasida, 2002).

Meningkatnya GRK dan BPO di atmosfer diakibatkan oleh menurunnya

kemampuan alam di dalam menyerap karbon. Aktivitas penggundulan hutan serta

pola penggunaan lahan yang tidak berwawasan lingkungan akan mengurangi

Page 105: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

238

kemampuan alamiah alam dalam menyerap karbon yang ada di atmosfer (Bratasida,

2002).

3.2. Dampak Pemanasan Global

Beberapa dampak negatif yang akan terjadi akibat pemanasan global antara

lain adalah : mencairnya lapisan es di kutub, kenaikan muka air laut (ditunjukkan oleh

laporan IPCC bahwa selama 100 tahun terakhir air laut mengalami kenaikan sebesar

10 – 25 cm), hilangnya pulau-pulau kecil dan tergenangnya kawasan pesisir dan

pantai, kerusakan terumbu karang akibat meningkatnya suhu air laut, abrasi pantai,

munculnya gejala alam El Nino/Enso, menurunnya produktivitas lahan, banjir dan

kekeringan, kebakaran hutan, munculnya daerah kritis baru dan berjangkitnya wabah

penyakit (Bratasida, 2002).

Berdasarkan data kejadian bencana yang dicatat dalam the OFDA/CRED

International Disaster Database (2007), sepuluh kejadian bencana terbesar di

Indonesia yang terjadi dalam periode waktu antara 1907 dan 2007 terjadi setelah

tahun 1990-an dan sebagian besar merupakan bencana yang terkait dengan iklim

khususnya banjir, kekeringan, kebakaran hutan dan ledakan penyakit.

3.3. Perubahan Iklim

Perubahan iklim secara umum didefinisikan sebagai perubahan variable iklim

(temperatur/suhu udara, kelembaban udara, tekanan atmosfer, kondisi awan, intensitas

sinar matahari, curah hujan dan angin) yang terjadi secara berangsur-angsur dalam

jangka waktu antara 50-100 tahun (Tjasjono, 1987).

Perubahan iklim dan dampaknya terhadap lingkungan saat ini telah menjadi

perhatian dunia. Tahun 1988, the United Nations Environment Program (UNEP) dan

the World Meteorological Organization (WMO) membentuk Intergovernmental

Panel on Climate Change (IPCC) yang bertujuan untuk menetapkan dan

mengevaluasi aspek-aspek sain, teknis dan sosial-ekonomi yang menyebabkan iklim

dan menetapkan opsi untuk adaptasi dan mitigasi. Sampai saat ini, ratusan anggota

internasional tergabung dalam tiga kelompok kerja dan mempelajari berbagai aspek

termasuk perubahan iklim, pengurangan kerentanan dan emisi gas rumah kaca.

Laporan IPCC terbaru dipublikasikan tahun 2007 tentang perubahan iklim

(Kementrian Lingkungan Hidup, 2012).

Tahun 1992 Earth Summit di Rio de Janeiro yang dihadiri oleh lebih dari 150

negara menandatangani ―The United Nations Framework Convention on Climate

Change (UNFCCC)‖, yang mendefinisikan perubahan iklim sebagai “a change of

climate which is attributed directly or indirectly to human activity that alters the

composition of the global atmosphere and which is in addition to natural climate

variability observed over comparable time periods.”

Pemanasan global yang disebabkan oleh gas-gas rumah kaca secara jelas telah

dan akan terus mempengaruhi iklim dunia. IPCC (2001) menyatakan bahwa

perubahan iklim merujuk pada variasi rata-rata kondisi iklim suatu tempat atau pada

variabilitasnya yang nyata secara statistik dalam jangka waktu yang panjang, minimal

30 tahun. Lebih lanjut dikatakan bahwa selama 100 tahun terakhir (1906-2005) suhu

permukaan bumi rata-rata telah naik sekitar 0,740C, dengan pemanasan yang lebih

besar pada daratan dibandingkan lautan.

Perubahan iklim memberikan dampak positif dan negatif bagi semua sektor

kehidupan manusia. Namun demikian, sebagian besar dampak yang ditimbulkan

adalah dampak negatif. Perubahan iklim cenderung meningkatkan intensitas curah

Page 106: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

239

hujan pada musim hujan dan penurunan curah hujan yang sangat tajam pada musim

kemarau (Kementrian Negara Lingkungan Hidup, 2007).

Secara umum perubahan iklim akan membawa perubahan kepada parameter

cuaca yaitu temperatur, curah hujan, tekanan, kelembaban udara, laju serta arah angin

dan radiasi matahari. Perubahan pada curah hujan akan berdampak pada sektor-sektor

yang terkait dengan air yaitu sumber daya air, pertanian, infrastruktur (termasuk

pemukiman, transportasi, pembangkit listrik tenaga air dan penataan ruang),

perikanan, rawa dan lahan gambut serta pantai (Kementrian Negara Lingkungan

Hidup, 2007).

Dampak perubahan iklim terhadap sektor-sektor terkait sumber daya air antara

lain (Kementrian Negara Lingkungan Hidup, 2007) :

a. Meningkatnya kejadian cuaca dan iklim ekstrim yang berpotensi

menimbulkan banjir, tanah longsor dan kekeringan.

b. Menurunnya kontribusi tenaga air pada penyediaan energi secara keseluruhan.

c. Bertambahnya panjang pantai yang terkena erosi.

d. Meningkatnya ancaman intrusi air laut yang dapat mengakibatkan : penurunan

kuantitas dan kualitas pasokan air baku selama musim kemarau yang akan

berdampak pada bertambahnya biaya untuk pengolahan air minum, ancaman

pada sumber air minum karena kenaikan muka air laut, dapat merusak fungsi

sawah sebagai lahan pertanian dan merusak fungsi sungai sebagai sumber air

tawar, kerusakan pada struktur bangunan, penurunan produksi perikanan

akibat kekurangan pasokan air tawar terutama di musim kemarau, masalah-

masalah sosial, ekonomi dan lingkungan pada daerah yang terkena dampak.

e. Meningkatnya kerentanan kebakaran pada lahan gambut akibat peningkatan

temperatur dan berkurangnya curah hujan dimusim kemarau.

f. Meningkatnya ancaman atas keanekaragaman hayati akibat perubahan tata

guna dan tutupan lahan dan tekanan akibat meningkatnya jumlah penduduk.

3.4. Perubahan Iklim Global

Perubahan iklim global saat ini diprediksi naik secara signifikan akibat emisi

gas rumah kaca yang memperangkap energi panas dari atmosfer bumi sehingga

menimbulkan peningkatan suhu (Foley, 1993). Peristiwa ini menyebabkan sebuah

pemanasan global dari suhu permukaan udara mencapai 0,60C sepanjang abad 20.

Secara umum, tahun 1990 an merupakan dekade terhangat dan tahun 1998 merupakan

tahun terhangat (Foley, 1993).

Informasi terakhir yang dikeluarkan oleh IPCC (2007) memperlihatkan tahun

1995-2006 menduduki ranking tahun terhangat dan terjadi peningkatan dua kali

dalam 100 tahun terakhir. Hal ini mengkonfirmasi bahwa terjadi peningkatan tren

pemanasan global. IPPC (2001) mencatat perubahan iklim global dan dampak yang

ditimbulkan sampai dengan abad ke-20 termasuk :

a. Naiknya suhu global sekitar 0.6 – 2.0oC sejak 1850. Saat ini tren peningkatan

terjadi lebih cepat dibandingkan 1000 tahun lalu.

b. Waktu musim kemarau lebih panjang akibat El Nino – Southern Oscillation

(ENSO) terjadi lebih sering sejak pertengahan 1970-an.

c. Naiknya curah hujan sebesar 0,5 – 1% setiap dekade curah hujan lebat juga

meningkat sebesar 2 – 4%.

d. Penurunan penutupan es di kutub dan peningkatan mencairnya es

Page 107: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

240

e. Penyerapan panas oleh laut dan peningkatan paras muka laut antara 0,1-0,2 m,

sebagian besar akibat peningkatan panas dan mencairnya es. Muka air laut

diperkirakan naik sampai 90 cm pada tahun 2100.

3.5. Perubahan Iklim Nasional dan Regional

Temperatur Udara Permukaan dan Curah Hujan

Tanda-tanda pemanasan global sudah mulai terlihat di Indonesia. Dalam

sepuluh tahun terakhir, terjadi tiga kali musim kemarau yang amat panjang (Foley,

1993). Curah hujan tahunan telah turun sebesar 2 – 3% di wilayah Indonesia dengan

pengurangan tertinggi terjadi selama periode Desember – Pebruari, yang merupakan

musim terbasah dalam setahun. Curah hujan di beberapa bagian di Indonesia

dipengaruhi kuat oleh kejadian El Nino dan kekeringan umumnya telah terjadi selama

kejadian El Nino terakhir dalam tahun 1982/1983, 1986/1987 dan 1997/1998 (Lapan,

2009).

Beberapa kajian untuk wilayah Indonesia telah dilakukan berdasarkan observasi

perubahan curah hujan dan suhu di berbagai lokasi, diantaranya untuk Kota Jakarta.

Dari rata-rata bulanan terdapat tren kenaikan temperature di kota Jakarta dari tahun

1900 hingga tahun 2000.

Temperatur Permukaan Laut

Interaksi udara-air diketahui mempunyai pengaruh terhadap kontrol suhu.

Sebagai salah satu faktor dari air laut adalah suhu permukaan air (Sea Surface

Temperature/SST) mempunyai peranan penting dalam membentuk suhu global.

Pickard and Emery (1990) menyebutkan bahwa variasi SST tergantung dari aliran

panas yang masuk dan keluar dari massa air, yang disebut dengan debit panas (heat

budget), yang bervariasi terhadap waktu, tempat dan faktor-faktor eksternal lainnya

seperti pemanasan global dan ENSO. Penelitian tentang SST di pantai Panjang,

sebelah selatan kota Malang (Sartimbul et al, 2009) menunjukkan terjadinya

penurunan suhu muka air rata-rata sebesar 0.4ºC selama kurang dari 7 tahun (2002-

2008).

Variasi Pola Iklim

El Nino dan La Nina merupakan gejala yang menunjukkan perubahan iklim.

El Nino yaitu naiknya suhu di Samudera Pasifik sampai 310C sehingga membawa

kekeringan di Indonesia. Siklus kejadian El Nino berlangsung antara 7 sampai 10

tahun (Foley, 1993). Biasanya suhu air permukaan laut di daerah tersebut dingin

karena adanya up-welling (arus dari dasar laut menuju permukaan). Menurut bahasa

setempat El Nino berarti bayi laki-laki karena munculnya di sekitar hari Natal (akhir

Desember). Di Indonesia, anginmonsun (muson) yang datang dari Asia dan membawa

banyak uap air, sebagian besar juga berbelok menuju daerah tekanan rendah di pantai

barat Peru – Ekuador. Akibatnya, angin yang menuju Indonesia hanya membawa

sedikit uap air sehingga terjadilah musim kemarau yang panjang. Dampak El Nino

terhadap kondisi cuaca global diperkirakan menyebabkan (Wardhana, 2010) : (1)

Angin pasat timuran melemah; (2) Sirkulasi Monsoon melemah; (3) Akumulasi curah

hujan berkurang di wilayah Indonesia, Amerika Tengah dan Amerika Selatan bagian

Utara. Cuaca di daerah ini cenderung lebih dingin dan kering; (4) Potensi hujan

terdapat di sepanjang Pasifik Ekuatorial Tengah dan Barat serta wilayah Argentina.

Cuaca cenderung hangat dan lembab.

Page 108: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

241

Dampak El Nino terhadap kondisi cuaca Indonesia akan menyebabkan curah

hujan di sebagian besar wilayah Indonesia berkurang, tingkat berkurangnya curah

hujan ini sangat tergantung dari intensitas El Nino tersebut. Namun karena posisi

geografis Indonesia yang dikenal sebagai benua maritim, maka tidak seluruh wilayah

Indonesia dipengaruhi oleh fenomena El Nino (Kementrian Negara Lingkungan

Hidup, 2007).

Curah hujan yang tinggi disebabkan oleh fenomena kebalikan dari El Nino yaitu

La Nina. La Nina adalah gejala menurunnya suhu permukaan Samudera Pasifik yang

membawa angin serta awan hujan ke Australia dan Asia bagian Selatan termasuk

Indonesia. La Nina yang terjadi membawa curah hujan yang tinggi disertai angin

topan (Foley, 1993).

Hujan

Presipitasi termasuk di dalamnya adalah hujan, hujan salju, kabut, embun dan

hujan es. Hujan merupakan sumber dari semua air yang mengalir di sungai dan di

dalam tampungan baik diatas maupun dibawah permukaan. Jumlah dan variasi debit

sungai tergantung pada kedalaman, jumlah, intensitas dan distribusi hujan. Terdapat

hubungan antara debit sungai dan curah hujan yang jatuh di DAS yang bersangkutan

dimana hujan yang jatuh ke permukaan bumi akan masuk ke dalam tanah sebagai air

tanah dan sisanya akan mengalir sebagai limpasan permukaan yang kemudian akan

bermuara ke sungai. Apabila data pencatat debit tidak ada, data pencatatan hujan

dapat digunakan untuk memperkirakan sebit aliran (Bambang Triatmodjo, 2006).

Butir-butir air yang kecil makin membesar karena kondensasi dan karena saling

menyatu dengan sesamanya selama terbawa oleh udara yang turbulen, sampai cukup

besar sehingga gaya gravitasi mengakibatkan butir-butir air ini jatuh sebagai hujan.

Pada waktu jatuhnya butir-butir air ini terjadi proses evaporasi sehingga ukuran

butiran air mengecil dan terbawa kembali menjadi aerosol melalui aliran udara

turbulen. Kekuatan arus udara + 0,5 cm/s cukup untuk membawa 10μm butir air.

Kristal es dengan berat yang sama dapat terbawa dengan kecepatan yang lebih rendah

karena memiliki ukuran yang lebih besar. Siklus kondensasi dari jatuhnya butir air,

evaporasi dan naiknya butir air ke udara terjadi rata-rata 10 kali sebelum mencapai

ukuran kritis + 0,1 mm, dimana cukup besar untuk jatuh sebagai hujan (Chow et al,

1988).

Tipe hujan menurut cara naiknya udara ke atas dapat dibagi menjadi tiga, yaitu

sebagai berikut (Bras, 1990) :

1. Hujan konvektif, terjadi di daerah tropis pada musim kemarau dimana udara yang

berada dekat dengan permukaan tanah mengalami pemanasan yang intensif.

Pemanasan menyebabkan rapat massa berkurang, sehingga udara basah naik ke

atas dan mengalami pendinginan sehingga terjadi pendinginan dan kondensasi.

2. Hujan siklonik, terjadi jika massa udara yang relatif ringan bertemu dengan massa

udara yang relatif berat, maka udara panas yang lembab dan ringan akan bergerak

ke atas udara yang dingin dan berat sehingga terjadilah kondensasi dan terjadilah

hujan. Hujan siklonik mempunyai sifat terjadi dalam waktu pendek dan

penyebaran terbatas.

3. Hujan orografik, jika massa udara lembab terangkat ke atas oleh angin yang

terangkat karena adanya gunung, pegunungan, daratan tinggi sehingga terbentuk

awan dan hujan.

Page 109: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

242

Salah satu bentuk presipitasi yang terpenting di Indonesia adalah hujan.

Menurut Soemarto (1987), terdapat lima buah unsur dari hujan yang harus ditinjau,

yaitu :

a. Intensitas hujan, adalah laju hujan yaitu tinggi air persatuan waktu, misalnya :

mm/menit, mm/jam, mm/hari.

b. Lama waktu (duration) , adalah lamanya curah hujan (durasi) dalam menit

atau jam.

c. Kedalaman hujan, adalah jumlah atau banyaknya hujan yang dinyatakan

dalam ketebalan air di atas permukaan datar, dalam mm.

d. Frekuensi, adalah frekuensi kejadian, biasanya dinyatakan dengan waktu

ulang (return period).

e. Luas, adalah luas geografis curah hujan.

4. Dampak Pemanasan Global Terhadap Karakteristik DAS

4.1. Curah Hujan

Rata-rata curah hujan bulanan selama 10 tahun terakhir dari tahun 2003-2012 di

DAS Tukad Pakerisan diperoleh pada lokasi pengamatan/stasiun Tampaksiring yang

disajikan pada Tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1.

Rata-rata Curah Hujan di DAS Tukad Pakerisan Tahun 2003-2012

THN BULAN

JAN

(mm)

PEB

(mm)

MAR

(mm)

APR

(mm)

MEI

(mm)

JUN

(mm)

JULI

(mm)

AGT

(mm)

SEP

(mm)

OKT

(mm)

NOP

(mm)

DES

(mm)

2003 1002,5 106,5 214,5 275,5 238,5 17,5 187,5 28,0 222,5 215,0 169,5 358,5

2004 522,0 - 173,0 78,5 32,5 69,0 51,0 72,0 434.0 91,0

2005 324,5 114,5 348,5 83,0 15,0 - 67,0 47,0 241,0 530,0

2006 468,0 490,0 380,0 286,0 61,0 259,0 38,0 - - - - 160,5

2007 142,5 269,5 369,0 193,0 230,0 328,0 100,0 169,5 23,5 62,0 200,5 477,5

2008 213,5 359,0 370,0 98,5 336,0 35,0 20,0 56,5 32,5 250,5 460,5 177,5

2009 651,5 590,5 167,0 129,5 460,0 40,0 325,0 5,0 447,0 273,5 209,0 248,0

2010 257,0 168,0 164,5 385,5 257,0 204,0 426,5 263,0 921,5 435,0 171,0 481,0

2011 263,5 211,5 158,0 270,5 129,5 68,5 79,0 - 71,0 87,0 269,0 412,5

2012 575,5 227,5 360,5 94,5 202,0 - 158,0 7,5 - 217,5 228,0 430,0

Sumber : Balai Besar Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Wil. III Denpasar

Hasil analisis data curah hujan tahun 2003 s/d 2012 di DAS Tukad Pakerisan

dengan menggunakan metode Schmidt-Fergusson, ditemukan iklim DAS Tukad

Pakerisan digolongkan kedalam iklim Tipe A sangat basah, dengan nilai Q=0,090.

Rata-rata curah hujan bulanan di DAS Tukad Pakerisan ditunjukkan pada Gambar 1,

rata-rata curah hujan bulanan tertinggi terjadi pada Januari mencapai 389, 85 mm

kemudian ada kecendrungan akan semakin menurun dan terendah terjadi pada bulan

Agustus hingga mencapai 64,55 mm, selanjutnya akan semakin meningkat dan

puncaknya pada bulan Desember curah hujan tahunan mencapai 336,65 mm.

Dampak pemanasan global menunjukan adanya siklus rata-rata curah hujan bulanan

yang berbeda dengan pola rata-rata curah hujan umumnya yang terjadi khususnya di

Bali maupun di Indonesia, yaitu musim kemarau April-Oktober, yaitu yang identik

dengan curah hujan yang rendah, dan September – Maret dengan curah hujan yang

tinggi.

Page 110: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

243

Pemanasan global telah berdampak terhadap turunnya hujan sepanjang tahun dengan

rata-rata curah hujan lebih besar dari 100 mm, yang disebut sebagai bulan basah,

kecuali pada bulan Agustus 64,55 mm kurang dari 100 mm yang disebut bulan kering.

Pemanasan global telah memicu penguapan yang cukup besar baik di darat maupun

di laut yang berpotensi terjadinya hujan sepanjang tahun. Curah hujan yang terus

menerus berdampak kurang baik terhadap karakteristik fisik DAS, ketika air hujan

yang jatuh secara terus menerus dan permukaan tanah sudah tidak mampu menyerap

secara maksimum atau sudah jenuh, maka air hujan akan mengalir sebagai aliran

permukaan yang berpotensi besar dapat menimbulkan erosi. Tenaga kinetik air hujan

mendorong proses terkelupasnya partikel-partikel tanah bagian atas, sehingga

terjadinya erosi. Semakin besar diameter air hujan, semakin besar tenaga kinetik yang

ditimbulkan dan semakin besar pula potensi erosi yang ditimbulkan.

Gambar 1.

Rata-rata curah hujan bulanan (mm) di DAS Tukad Pakerisan

Dari Tahun 2003 – 2012

Demikian pula rata-rata curah hujan bulanan setiap tahunnya menunjukan,

rata-rata curah hujan yang tinggi setiap tahunnya seperti ditampilkan pada Gambar 2,

rata-rata curah hujan bulanan tidak sesuai dengan musim. Seperti bulan Pebruari

adalah musim hujan, tetapi pada bulan tersebut rata-rata curah hujannya ada yang

lebih rendah, yaitu di bawah 100 mm, bahkan tidak ada hujan sama sekali yaitu pada

tahun 2004, tetapi sebaliknya bulan Mei, Juli dan Agustus adalah musim kemarau,

tetapi kenyataannya terjadi hujan dengan rata-rata curah hujan lebih besar dari 100

mm bahkan sampai lebih dari 400 mm, terjadi pada tahun 2010. Pemanasan global

telah berdampak terhadap berubahnya pola curah hujan di DAS Tukad Pakerisan, dan

kalau tidak dilakukan pengelolaan DAS yang bijaksana dan berkelanjutan baik oleh

pemerintah maupun masyarakat akan berdampak tidak baik terhadap karakteristik

fisik DAS Pakerisan. Oleh karena itu program-program yang diimplementasikan di

DAS Pakerisan harus menunjukkan adanya optimasi pemanfaatan sumberdaya secara

efisien, dorongan pelaksanaan konservasi sumberdaya alam dalam DAS.

Jan Peb. Mar Apr Mei Juni Juli Agt Sep Okt Nop Des

389,85

253,3

305,35

181,55 210,2

103,05

143,35

64,55

176,9 161,25

238,25

336,65

Page 111: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

244

Gambar 2.

Rata-rata curah hujan bulanan (mm) setiap tahun di

DAS Tukad Pakerisan, Tahun 2003-2012

Pemanasan global telah mempunyai dampak terhadap tingginya rata-rata

curah hujan per tahun selama dua belas tahun, yaitu lebih besar dari 100 mm, dan

ketidak beraturan curah hujan yang terjadi di DAS Pakerisan. Dampak pemanasan

Global menunjukkan tingginya rata-rata curah hujan setiap tahunnya di DAS Tukad

Pakerisan, seperti ditampilkan pada Gambar 3. Pada tahun 2003 rata-rata curah hujan

per tahunnya mencapai 253 mm, kemudian tahun 2004 turun lebih dari separuhnya,

yaitu 126,9 mm, kemudian ada kecendrungan meningkat, tapi peningkatannya rendah,

dan meningkat cukup besar terjadi pada tahun 2009 dan 2010, kemudian menurun

pada tahun 2011, walaupun pada tahun 2012 meningkat menjadi 208,4 mm, tetapi

masih lebih rendah dari curah hujan pada tahun 2003

Gambar 3.

Rata-rata curah hujan per tahun di DAS Tukad Pakerisan

Tahun 2003-2012

0

200

400

600

800

1000

1200

Jan Peb. Mar Apr Mei Juni Juli Agt Sep Okt Nop Des

2003

2004

2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

253,0

126,9 147,5 178,5

213,4 200,8

295,5 344,5

168,3 208,4

Series1

Page 112: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

245

4.2. Intensitas Hujan/Curah Hujan Maksimum

Intensitas hujan/curah hujan maksimum adalah banyaknya curah hujan per

satuan jangka waktu tertentu. Apabila intensitas hujan besar, maka akan terjadi hujan

lebat yang kemudian dapat menimbulkan erosi dan banjir. Intensitas hujan/curah

hujan maksimum selama 10 tahun terakhir dari tahun 2003-2012 di DAS Tukad

Pakerisan diperoleh pada lokasi pengamatan/stasiun Tampaksiring yang disajikan

pada Tabel 2. Curah hujan maksimum pada tahun 2003, 2005 dan 2007 terjadi pada

Bulan Januari (106,5 mm; 134,0 mm; dan 175,0 mm). Pada tahun 2004, curah hujan

maksimum terjadi pada Bulan Maret (241,0 mm). Tahun 2006, curah hujan

maksimum terjadi pada Bulan April (90,0 mm). Tahun 2007, curah hujan maksimum

terjadi pada Bulan Desember (125,0 mm). Tahun 2008, cutah hujan maksimum terjadi

pada Bulan Nopember (120,0 mm). Tahun 2010, curah hujan tertinggi terjadi pada

Bulan April (135,0 mm). Pada tahun 2011 dan 2012 curah hujan maksimum terjadi

pada Bulan Desember (75,0 mm dan 107,0 mm).

Tabel 2.

Rata-rata Intensitas Hujan di DAS Tukad Pakerisan

Tahun 2003-2012

THN BULAN

JAN

(mm)

PEB

(mm)

MAR

(mm)

APR

(mm)

MEI

(mm)

JUN

(mm)

JULI

(mm)

AGT

(mm)

SEP

(mm)

OKT

(mm)

NOP

(mm)

DES

(mm)

2003 106,5 29,0 71,5 57.0 81.0 17.5 64.0 9.0 97.5 67.0 51.0 101.0

2004 241,5 - 79.0 42.5 30.0 34.0 37.0 32.0 85.0 27.0

2005 134,0 71,0 72,0 20.0 12.0 - 67.0 27.0 65.0 109.0

2006 70,0 81,0 51,0 90.0 24.0 84.0 17.0 - - - - 59.0

2007 46,0 60,5 66,0 35.0 79.0 71.0 63.0 29.0 10.5 27.0 75.0 125.0

2008 104,0 54,0 53,0 25,0 78,0 21,0 7,5 24,5 23,5 49,0 120,0 32,0

2009 175,0 96,0 76,0 50,5 98,0 34,0 171,0 2,0 75,0 97,0 133,0 121,0

2010 48,0 75,0 74,0 135,0 87,5 76,0 125,0 80,0 100,0 45,0 38,0 70,0

2011 43,0 44,5 45,0 50,0 32,0 26,0 52,0 - 57,0 55,0 46,0 75,0

2012 57,0 43,5 40,5 32,0 33,0 - 65,0 7,5 - 89,0 71,0 107,0

Keterangan :

- : tidak ada hujan

: (kosong) tidak ada data

Sumber : Balai Besar Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Wil. III Denpasar

Dampak pemanasan global di DAS Tukad Pakerisan juga nampak pada

intensitas curah hujan yang tidak mengikuti musim (Gambar 4, seperti intensitas

hujan bulan Mei, seharusnya intesitas hujan rendah, karena pada bulan Mei

merupakan awal musim kemarau, tetapi kenyataannya intensitas hujannya tinggi

mencapai 66,84 mm, demikian juga pada bulan Juli, intensitas hujan tinggi mencapai

78,52 mm, padahal bulan Juli adalah musim kemarau, intensitas hujan seharusnya

rendah. Intensitas curah hujan yang tidak mengikuti musim, berdampak terhadap

sulitnya memprediksi dalam pembuatan perencanaan pengelolaan DAS. Intensitas

curah hujan yang tidak mengikuti musim juga berdampak terhadap kesulitan petani

dalam pembuatan perencanaan musim tanam pada aktivitas usahataninya.

Page 113: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

246

Gambar : 4.

Rata-rata Intesitas Curah Hujan di DAS Tukad Pakerisan

Tahun 2003-2012

4.3. Suhu

Suhu udara rata-rata bulanan selama 10 tahun terakhir dari tahun 2003-2012

pada DAS Tukad Pakerisan diperoleh pada lokasi pengamatan/stasiun geofisika

Sanglah-Kodya Denpasar yang disajikan pada Tabel 3 dibawah ini.

Tabel 3.

Rata-Rata Suhu Udara Bulanan di DAS Tukad Pakerisan

Tahun 2003-2012

THN BULAN

JAN

(0C)

PEB

(0C)

MAR

(0C)

APR

(0C)

MEI

(0C)

JUN

(0C)

JULI

(0C)

AGT

(0C)

SEP

(0C)

OKT

(0C)

NOP

(0C)

DES

(0C)

2003 27,8 28,1 28,0 28,0 27,5 26,6 25,7 25,5 26,1 27,3 28,4 27,8

2004 28,3 28,2 28,3 28,4 27,5 26,2 25,9 25,6 26,2 27,5 28,8 27,9

2005 28,0 28,3 28,6 28,3 27,4 25,5 26,9 26,4 27,1 27,9 28,0 27,2

2006 27,5 28,0 27,7 27,8 27,5 26,6 25,9 25,8 26,1 27,6 29,0 28,7

2007 28,2 28,7 28.1 28,1 28,1 27,2 26,4 26,2 26,8 28,2 28,4 27,8

2008 27,7 27,6 27,1 27,7 27,3 26,5 26,1 26,5 27,0 28,2 27,9 27,7

2009 27,6 27,5 28,0 28,6 27,8 27,1 26,9 26,7 26,6 27,8 28,5 28,6

2010 28,5 28,1 29,0 27,9 28,5 27,6 27,3 27,4 27,5 28,1 28,5 27,6

2011 27,4 27,7 27,7 27,4 27,8 26,3 26,1 26,0 26,6 27,4 27,7 27,8

2012 27,2 27,9 27,5 28,1 27,6 26,8 25,9 25,8 26,3 28,0 28,7 28,1

Sumber : Balai Besar Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Wil. III Denpasar

Untuk mengetahui suhu rata-rata setiap tahunnya (tahun 2003 s/d 2012) yaitu

dengan menjumlahkan suhu rata-rata bulanan yang selanjutya dibagi 12. Suhu

terendah terjadi pada tahun 2011 yaitu 27,1580C dan tertinggi pada tahun 2010

mencapai 280C. Suhu sangat berpengaruh terhadap kapasitas udara dalam

menampung uap air. Meningkatnya suhu udara, meningkat pula kapasaitas udara

dalam menampung uap air. Sebaliknya ketika udara bertambah dingin, gumpalan

awan menjadi bertambah besar, dan pada gilirannya, akan jatuh sebagai air hujan.

JAN PEB MAR APR MEI JUN JULI AGT SEP OKT NOP DES

78,76

61,28 61,94

53,85

66,84

37,89

78,52

23,47

43,72

58,30

78,77

87,51

Series1

Page 114: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

247

Seperti nampak dalam Gambar 5. Semakin tinggi suhu udara maka semakin besar

curah hujan yang terjadi. Suhu udara di DAS Tukad Pakerisan paling tinggi

ditemukan pada tahun 2010, yaitu 280 C dan sejalan dengan rata-rata curah hujan

tertinggi ditemukan pada tahun 2010 yaitu mencapai 344,5 mm.

Gambar 5.

Rata-rata Suhu Tahunan di DAS Tukad Pakerisan

Tahun 2003- 2012

Demikian pula rata-rata suhu bulanan akan berbanding lurus dengan rata-rata

curah hujan yang terjadi seperti nampak pada Gambar 6. Semakin tinggi suhu udara

ada kecendrungan semakin tinggi pula curah hujan yang terjadi. Suhu udara tinggi

diawali dari bulan Januari sampai Mei. Kalau mengikuti musim seharusnya sampai

bulan April, berarti curah hujan akan tinggi pada bulan Januari sampai April, karena

bulan Mei merupakan awal musim kemarau, tetapi karena suhu udara relatif masih

tinggi pada bulan Mei, maka curah hujan pada bulan Mei ditemukan masih tinggi

yiatu, 210,2 mm, lebih besar dari 100 mm. Selanjutnya bulan Oktober sampai

Desember suhu udara mulai naik yang sejalan dengan tingginya rata-rata curah hujan

di DAS Tukad Pakerisan pada bulan-bulan tersebut. Suhu maksimum ditemukan pada

Nopember

Gambar 6.

Rata-rata Suhu Udara Bulanan di DAS Tukad Pakerisan

Tahun 2003 – 2012

26,6

26,8

27

27,2

27,4

27,6

27,8

28

Series1

25

25,5

26

26,5

27

27,5

28

28,5

Series1

Page 115: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

248

4.4. Kelembaban

Data kelembaban selama 10 tahun terakhir dari tahun 2003-2012 di DAS

Tukad Pakerisan diperoleh pada lokasi pengamatan/stasiun geofisika Sanglah-Kodya

Denpasar yang disajikan pada Tabel 7. Salah satu fungsi utama kelembaban udara

adalah sebagai lapisan pelindung permukaan bumi. Kelembaban udara dapat

menurunkan suhu dengan cara menyerap atau memantulkan sekurang-kurangnya,

setengah radiasi matahari gelombang pendek yang menuju ke permukaan bumi.

Kelembaban juga membantu menahan keluarnya radiasi matahari gelombang panjang

dari permukaan bumi pada waktu siang dan malam hari. Pada Tabel 7 dapat dilihat,

kelembaban tinggi terjadi pada musim hujan, yaitu mulai bulan Januari (81 %)

sampai April (80 %), kemudian bulan Mei (79 %), adalah awal musim kemarau mulai

menurun agak rendah, dan kelembaban paling rendah terjadi pada bulan Agustus

(77 %), selanjutnya mulai naik, rata-rata kelembaban udara pada bulan September,

Oktober dan Nopember relatif sama (78 %) , kemudian bulan Desember kembali naik

menjadi 81 %.

Tabel 4.

Rata-rata Kelembaban Udara di DAS Tukad Pakerisan Tahun 2003-2012

THN BULAN

JAN

(%)

PEB

(%)

MAR

(%)

APR

(%)

MEI

(%)

JUN

(%)

JULI

(%)

AGT

(%)

SEP

(%)

OKT

(%)

NOP

(%)

DES

(%)

2003 82 81 79 81 78 79 80 79 81 79 81 82

2004 79 80 81 78 80 75 79 77 79 77 67 82

2005 79 78 78 78 75 78 76 77 77 79 77 82

2006 82 78 81 80 78 77 76 73 74 74 73 77

2007 78 75 79 80 78 80 78 77 75 77 79 80

2008 80 80 81 79 78 78 76 78 78 80 82 81

2009 82 81 77 77 81 76 77 77 82 78 76 78

2010 80 82 75 83 83 81 82 82 83 82 81 84

2011 83 81 81 83 80 78 78 77 78 82 83 85

2012 88 88 88 81 81 77 78 75 76 74 78 81

Rata-

rata

81 80 80 80 79 78 78 77 78 78 78 81

Sumber : Balai Besar Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Wil. III Denpasar

Besarnya kelembaban inilah yang menstimulasi curah hujan yang terjadi di

DAS Tukad Pakerisan, rata-rata kelembaban udara relatif tinggi ditemukan pada

bulan Januari sampai Mei, seperti nampak pada Gambar 4. Bulan Mei adalah awal

musim kemarau, tetapi karena rata-rata kelembaban udara masih tinggi, maka curah

hujan pada bulan Mei masih tinggi (bulan basah). Rata-rata kelembaban udara yang

relatif tinggi sepanjang tahun di DAS Tukad Pakerisan, mempunyai dampak

terhadap perkembangan organisme terutama jamur dari penyakit tumbuhan. Hal ini

berhubungan erat dengan keadan vegetasi, semakin tinggi kelembaban udara di DAS

Tukad Pakerisan, maka kecendrungan kerusakan vegetasi karena serangan jamur

semakin tinggi, dan berdampak terhadap menurunnya kemampuan vegetasi sebagai

penutup tanah di DAS Tukad Pakerisan, karena rusaknya tajuk dan daun vegetasi

yang berfungsi sebagai penutup tanah di DAS. Menurunnya kemampuan vegetasi

sebagai penutup tanah akan berpengaruh terhadap karakteristik sifat fisik DAS. Oleh

Page 116: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

249

karena itu perencanaan pengelolaan DAS Tukad Pakerisan perlu mempertimbangkan

faktor kelembaban udara dan dampak kerusakan vegetasi yang ditimbulkannya.

Gambar 7.

Rata-rata kelembaban Udara di DAS Tukad Pakerisan

Tahun 2003 - 2012

Rata-rata kelembaban udara berbanding lurus dengan rata-rata curah hujan

yang terjadi di DAS, semakin tinggi kelembaban udara, semakin tinggi pula curah

hujan yang terjadi, karena kelembaban udara menstimulasi proses terjadinya hujan,

seperti nampak pada Gambar 8. Rata-rata kelembaban udara paling tinggi pada tahun

2010, yaitu 82 % dan jika dikaitkan dengan Gambar 3, rata-rata curah hujan pada

tahun 2010 adalah juga paling tinggi, yaitu mencapai 344,5 mm.

Gambar 8 .

Rata-rata kelembaban Udara Tahunan di DAS Tukad Pakerisan

Tahun 2003 – 2012

75

76

77

78

79

80

81

82

Series1

74

75

76

77

78

79

80

81

82

83

Series1

Page 117: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

250

4.5. Tanah

Jenis tanah secara umum yang terdapat di DAS Tukad Pakerisan terdiri dari :

regosol coklat kekuningan dan regosol humus dengan kedalaman tanah lebih dari 90

cm. Sesuai dengan perjalanan waktu, geologi atau batuan akan mengalami pelapukan

membentuk tanah, yaitu akumulasi tubuh alam bebas yang menduduki sebagian besar

permukaan bumi, yang mampu menumbuhkan tanaman dan memiliki sifat-sifat

sebagai akibat pengaruh iklim dan jasad hidup yang bertindak terhadap bahan induk

dalam keadaan relatif tertentu selama jangka waktu tertentu.

Jenis tanah Regosol merupakan jenis tanah yang terbentuk dari bahan induk

material vulkanis piroklastis atau pasir pantai. Jenis tanah Regosol merupakan jenis

tanah yang masih muda (recent), belum banyak mengalami deferensiasi horizon,

tekstur pasir, struktur berbutir tunggal, konsistensi lepas-lepas, pH umumnya netral

dan mempunyai tingkat kesuburan sedang. Hasil analisis tekstur tanah di DAS Tukad

Pakerisan bervariasi, dari lempung liat berdebu, lempung berdebu,sampai lempung

ditunjukkan pada Tabel 5.

Tabel 5.

Analisis Tekstur Tanah Tukad Pakerisan Tahun 2012

No.

Sampel

Tekstur

Pasir (%) Debu (%) Liat (%) Keterangan

1 16,350 50,400 33,250 Lempung liat berdebu

2 25,890 50,190 23,920 Lempung berdebu

3 39,930 43,950 16,120 Lempung

4 49,850 41,320 8,840 Lempung

5 46,750 37,410 15,850 Lempung

Sumber : Analisis Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UNUD

Pada Tabel 5, menunjukkan bahwa sebagaian besar tanah di DAS Tukad

Pakerisan adalah bertekstur lempung, yang mengindikasikan bahwa kemampuan daya

pegang air tanah tersebut relatif rendah, berarti tanah tersebut gampang erosi, dan

relatif kurang subur. Oleh karena itu pengelolaan DAS Tukad Pakerisan harus

direncanakan dengan baik, terutama vegetasi yang berfungsi sebagai penutupan lahan

harus terjaga dengan baik, dihindari seminimal mungkin tanah-tanal gundul di

sepanjang DAS. Namun demikian jika dilihat dari kelas struktur tanahnya (Tabel 6)

sebagian besar termasuk struktur kelas 4, yang mengindikasikan bahwa struktur tanah

di DAS Tukad Pakerisan, tahan terhadap erosi. Dan hanya sebagian kecil termasuk

kelas struktur kelas 3 (granuler kasar /coarse granular)

Tabel 6.

Type Struktur dan Kelas Struktur Tanah DAS Tukad Pakerisan

Tahun 2012 No.

Sampel

Type (bentuk) struktur tanah Kelas struktur Tanah

1 Gumpal bersudut (angular blocky) 4

2 Granuler kasar (coarse granular) 3

3 Gumpal bersudut (angular blocky) 4

4 Gumpal membulat (subangular blocky) 4

5 Gumpal bersudut (angular blocky) 4

Sumber : Analisis Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UNUD

Page 118: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

251

4.6. Vegetasi

Penggunaan lahan di DAS Tukad Pakerisan sebagai belukar/semak, kebun,

pemukiman, dan tegalan atau ladang. Ada beberapa jenis tanaman yang ditanam pada

tegalan atau ladang antara lain seperti ditampilkan dalam Tabel 7 : tanaman

kehutanan (bambu sebanyak 16,49 Ha, tanaman Albesia sebanyak 11,62 Ha, Mahoni

sebanyak 14,40 Ha dan Jati Mas sebanyak 5,21 Ha), tanaman Perkebunan (kopi

sebanyak 4,75 Ha dan Kelapa sebanyak 4,15 Ha) dan tanaman Hortikultura (Jeruk

sebanyak 6,15 Ha dan tanaman campuran berupa sayuran, umbi-umbian dan pisang

sebanyak 9,85 Ha). Tabel 7 dan Gambar 9 juga menjelaskan vegetasi sebagai

penutupan lahan dikategorikan dalam kemampuan ilfiltrasi aktual agak besar

termasuk kelas II (77,97% ) dan agak kecil katagori kelas IV (22,03)

Tabel 7.

Vegetasi Tanaman sebagai Penutup Tanah di DAS

Tukad Pakerisan Tahun 2012

No

Jenis Vegetasi

Luas (Ha)

Persen (%)

Kelas/Infiltrasi

1 Bambu 16,49 22,71 II

2 Albesia 11,62 16,00 II

3 Mahoni 14,40 19,83 II

4 Jati Mas 5,21 7,17 II

5 Perkebunan Kopi 4,75 6,54 II

6 Kelapa 4,15 5,71 II

7 Hortikultura 6,15 8,47 IV

8 Sayuran, umbi-umbian 9,85 13,56 IV

Total 72,62 100,00

Sumber : Analisis Data Sekunder

Vegetasi berpengaruh terhadap infiltrasi lewat tiga bentuk, yaitu perakaran

dan pori-pori memperbesar permeabilitas tanah, vegetasi menahan runoff. Tajuk

pohon mengubah tenaga erosivitas jatuhan hujan yaitu mengubah kecepatan dan

ukuran butir tetes hujan. Oleh karena itu walaupun curah hujan yang cukup tinggi di

DAS Pakerisan, vegetasi penutupan tanah akan dapat mengurangi aliran permukaan

air yang berpotensi mendatangkan erosi, oleh karena itu perlu dipertahankan dan

dihindari alih fungsi lahan dari tanaman kehutanan menjadi tanaman hortikultura

.

Gambar 9.

Tingkat infiltrasi aktual vegetasi di DAS Tukad Pakerisan

Tahun 2012

Infiltrasi aktual agak

besar 78%

Infiltrasi aktual agak

kecil 22%

Page 119: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

252

4.7. Sosial Ekonomi Masyarakat

Tingkat ketergantungan petani terhadap lahan, tingkat adopsi petani terhadap

teknologi konservasi dan aktivitas kelembagaan yang ada dilakukan dengan metode

survei pada lokasi penelitian. Survei memakai kuesioner yang diantar langsung

kepada responden. Aspek tingkat ketergantungan penduduk/petani terhadap lahan

(pertanian) mencakup pekerjaan sampingan selain petani, status kepemilikan lahan,

jenis tanaman yang ditanam dan alokasi waktu kerja.

Tabel 8.

Pekerjaan Sampingan selain Petani di DAS Tukad Pakerisan

Tahun 2013

No. Jenis Pekerjaan Jumlah

(orang)

Persen

(%)

1 PNS, Karyawan 1 2,00

2. Buruh tani/penyakap 0 0,00

3. Buruh bangunan, tukang 12 22,00

4. Pedangang 7 14,00

5. Lainnya ( Pengrajin ) 31 62,00

Total 44 100,00

Sumber : Analisis data primer

Dari Tabel 8 tersebut terlihat ada beberapa pekerjaan yang dilakukan selain

sebagai petani yaitu sebagai PNS/karyawan, buruh bangunan/tukang, pedagang dan

pengrajin. Terdapat 31 orang (62,00 %) mempunyai pekerjaan sampingan sebagai

pengrajin, yang sebagian besar menggunakan bahan baku tanaman kehutanan Albesia,

oleh karena itu perlu dilakukan penyuluhan bagaimana mempertahankan vegetasi

penutupan lahan, sehingga perlu dibuat perencanan yang baik, antara kegiatan

penanaman dan panen (penebangan), perlu diperkenalkan sistem tebang pilih untuk

mengurangi resiko penurunan ilfiltrasi aktual tanaman vegetasi.

Tabel 9

Status Kepemilikan Lahan di DAS Tukad Pakerisan Tahun 2013

No.

Status Kepemilikan Lahan

Jumlah

Luas

Petani

(orang)

Persen

(%)

(Ha)

1. Milik Sendiri 50 100,00 0,50 – 1,70

2. Penyakap - - -

3. Gadai - - -

4. Sewa - - -

5. Lainnya - - -

Total 50 100,00

Berdasarkan Tabel 9, lahan di DAS Tukad Pakerisan status kepemilikannya

adalah milik sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa dukungan petani untuk

mempertahankan kelestarian lahan cukup tinggi, karena petani sangat

menggantungkan hidupnya dari kegiatan berusahatani dari lahan miliknya sendiri.

Page 120: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

253

Selanjutnya didukung oleh jumlah jam kerja petani di lahannya adalah lebih dari 4

(empat) jam per hari. Seperti ditunjukkan pada Tabel 10

.

Tabel 10

. Pengaturan Jam Kerja Petani di DAS Tukad Pakerisan Tahun 2013

No. Jam Kerja Jumlah

Petani (orang) Persen

(%)

1. < 1 Jam - -

2. 1 Jam - -

3. 2 Jam - -

4. 3 Jam 5 10,00

5 > 4 Jam 45 90,00

Total 50 100,00

Aspek tingkat adopsi petani terhadap tekhnologi konservasi mencakup teknik

konservasi dan air secara vegetatif dan teknik konservasi tanah dan air secara mekanis

seperti terlihat pada Tabel 11 berikut ini.

Tabel 11.

Tingkat Adospsi Petani Terhadap Tekhnologi Baru/Teknik Konservasi di DAS

Tukad Pakerisan Tahun 2013

No. Jenis Teknik Konservasi Dilakukan Tidak dilakukan

1. Konservasi tanah dan air secara

vegetatif

- Tanaman penutup tanah

50 orang (100%)

-

- Pertanaman dalam strip - -

- Pertanaman berganda 50 orang (100%) -

- Penggunaan mulsa - -

- Penghutanan kembali 50 orang (100%) -

2. Konservasi tanah dan air secara

mekanis

- Pengolahan tanah 50 orang (100%) -

- Pengolahan tanah menurut kontur 29 orang (58%) 21 orang (42%)

- Guludan 32 orang (64%) 18 orang (36%)

- Terras 15 orang (30%) 35 orang (70%)

- Saluran pembuangan air 47 orang (94%) 3 orang (6%)

Berdasarkan Tabel 11, teknik konservasi tanah dan air yang dilakukan secara

vegetatif adalah dengan menanam tanaman penutup tanah (tanaman yang sengaja

ditanam untuk melindungi tanah dari erosi) dan melakukan pertanaman berganda

yaitu penanaman dengan sistem tumpang sari yang bertujuan untuk meningkatkan

produktivitas lahan. Sedangkan teknik konservasi tanah dan air yang dilakukan secara

mekanis meliputi : pengolahan tanah, guludan (tumpukan tanah yang dibuat

memanjang memeotong kemiringan lahan), Teras (timbunan tanah yang dibuat

melintang memotong kemiringan lahan dan saluran pembuangan air dengan tujuan

menghindari terkonsentrasinya aliran permukaan di sembarang tempat.

Aspek keberadaan dan aktivitas kelembagaan yang ada ditekankan terutama

pada keberadaan bentuk dan fungsi serta aktivitas kelembagaan dalam pengelolaan

Page 121: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

254

Daerah Aliran Sungai (DAS). Dari hasil survei dengan menggunakan kuesioner, maka

di DAS Tukad Pakerisan tidak ada kelembagaan khusus yang menangani tentang

Daerah Aliran Sungai (DAS). Oleh karena itu perlu dibentuk kelembagaan yang

khusus menangani DAS atau memfungsikan kelembagaan yang ada seperti subak

yang diberikan pembinaan dalam bentuk penyuluhan.

5. Penutup

Iklim DAS Tukad Pakerisan digolongkan kedalam iklim Tipe A sangat basah,

dengan nilai Q=0,090, rata-rata curah hujan tinggi lebih besar dari 100 mm, kecuali

pada bulan Agustus 64,55 mm. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari

mencapai 389,85 mm, intensitas hujan maksimum terjadi pada bulan Desember 87,55

mm. Intensitas hujan tidak mengikuti musim, pada bulan Mei masih ditemukan

intensitas hujan mencapai 66,84 mm. Rata-rata suhu tertinggi di DAS Tukad

Pakerisan terjadi pada bulan Nopember 28,39 oC dan terendah pada bulan Agustus

26,19 oC. Kelembaban tinggi terjadi pada musim hujan, yaitu mulai bulan Januari

(81 %) sampai April (80 %), kemudian bulan Mei (79 %), adalah awal musim

kemarau mulai menurun agak rendah, dan kelembaban paling rendah terjadi pada

bulan Agustus (77 %), selanjutnya mulai naik, rata-rata kelembaban udara pada bulan

September, Oktober dan Nopember relatif sama (78 %) , kemudian bulan Desember

kembali naik menjadi 81 %. Sebagaian besar tanah di DAS Tukad Pakerisan adalah

bertekstur lempung, yang mengindikasikan bahwa kemampuan daya pegang air tanah

tersebut relatif rendah, berarti tanah tersebut mudah erosi, dan relatif kurang subur.

Struktur tanah DAS Tukad Pakerisan sebagian besar termasuk struktur kelas 4,

yang mengindikasikan bahwa struktur tanah di DAS Tukad Pakerisan, tahan terhadap

erosi. Vegetasi penutupan lahan dikategorikan dalam kemampuan infiltrasi aktual

agak besar termasuk kelas II (77,97% ) dan agak kecil katagori kelas IV (22,03).

Dukungan petani untuk mempertahankan kelestarian DAS cukup tinggi, karena petani

sangat menggantungkan hidupnya dari kegiatan berusahatani dari lahan DAS Tukad

Pakerisan. . Karakteristik DAS yang paling berpengaruh terhadap perilaku DAS

Tukad Pakerisan adalah tingginya curah hujan yang terjadi sepanjang tahun.

Pemanasan global telah berdampak terhadap berubahnya pola curah hujan di

DAS Tukad Pakerisan, dan kalau tidak dilakukan pengelolaan DAS yang bijaksana

dan berkelanjutan baik oleh pemerintah maupun masyarakat akan berdampak tidak

baik terhadap karakteristik fisik DAS Pakerisan. Oleh karena itu program-program

yang diimplementasikan di DAS Pakerisan harus menunjukkan adanya optimasi

pemanfaatan sumberdaya secara efisien, dorongan pelaksanaan konservasi

sumberdaya alam dalam DAS

Vegetasi berpengaruh terhadap infiltrasi lewat tiga bentuk, yaitu perakaran

dan pori-pori memperbesar permeabilitas tanah, vegetasi menahan runoff. Tajuk

pohon mengubah tenaga erosivitas jatuhan hujan yaitu mengubah kecepatan dan

ukuran butir tetes hujan. Oleh karena itu walaupun curah hujan yang cukup tinggi di

DAS Pakerisan, vegetasi penutupan tanah akan dapat mengurangi aliran permukaan

air yang berpotensi mendatangkan erosi, oleh karena itu perlu dipertahankan dan

dihindari alih fungsi lahan dari tanaman kehutanan menjadi tanaman hortikultura.

Page 122: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

255

Daftar Pustaka

Arnawa, I Ketut, I Made Budiasa, Dian Tariningsih., 2008. Dukungan Sosial Ekonomi

Masyarakat dan Daya Dukung Biofisik terhadap keberhasilan Rehabilitasi

Lahan Dan Konservasi Tanah di Daerah Aliran Sungai Saba Daya Bali.

Penelitian Hibah Bersaing.

Asdak, C., 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Penerbit Gajah

Mada University Press, Yogyakarta

Adnyana, I W Sandi., 2006. Study of Monitoring Land Use Cahanges and Erosion in

the Highland of Bali. Ph..D. Thesis Graduate School of Science and

Technoloy, CHIBA University, Japan

Boer, Rizaldi dan Perdinan. 2008. Adaptation to climate variability and climate

change: Its socio-economic aspect. Paper presented at the EEPSEA

Conference On Climate Change: Impacts, Adaptation, And Policy In South

East Asia With A Focus On Economics, Socio-Economics And Institutional

Aspects, 13-15 February 2008, Bali.

Bratasida, I., 2002. Tinjauan Dampak Pemanasan Global Dari Aspek Lingkungan

Hidup, Seminar Nasional ―Pengaruh Pemanasan Global Terhadap Pesisir dan

Pulau-Pulau Kecil‖, Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKRTN), 30-31

Oktober, Hotel Horison, Jakarta.

Chow, Ven Te., Maidment, David R., May S., Larry W., 1988, Applied Hydrology,

McGraw Hill International Editions, Civil Engineering Series, Singapore.

Departemen Kehutanan, 2003. Laporan Tahunan. Balai Pengelolaan DAS Unda

Anyar, Denpasar.

Departemen Kehutanan, 2004. Laporan Hasil Monitoring dan Evaluasi Rehabilitasi

Hutan dan Lahan Tahun 2004. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan

Perhutanan Sosial Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Unda Anyar,

Denpasar

Departemen Kehutanan, 2009. Laporan Identifikasi Karakteristik DAS SWP DAS

OOS Jinah. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial

Balai Pengelolaan DAS Unda Anyar, Denpasar.

Departemen Pekerjaan Umum, 2009. Peningkatan Penataan Kawasan Kawasan DAS

Tukad Pakerisan di Kabupaten Gianyar. Materi Pembahasan, Laporan Fakta

dan Analisa. Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Bali.

Dewa Raka., I Ketut Widnyana, I Made Nada., 2013. Model Penanggulangan Erosi

dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Dalam Upaya Kesesuian Lahan dan

Rehabilitasi Lahan Kritis di Bali.

Page 123: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

256

Foley, 1993. Pemanasan Global. Yayasan Obor Indonesia, Konphalindo, Panos.

Jakarta.

IPCC (ed.), 2001. Climate Change 2001. The Scientific Basis.Contribution of

Working Group III to the Third Assessment Report of the Intergovernmental

Panel on Climate Change. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). 2007. Climate change 2007.

Synthesis report. Contribution of Working Groups I, II and III to the Fourth

Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change.

Kartasapoetra, 2004. Klimatologi : Pengaruh Iklim Terhadap Tanah dan Tanaman.

Penerbit PT. Bumi Aksara Jakarta.

Kartodihardjo, H., et al. 2002. Peningkatan Kapasitas Pengelolaan DAS Ciliwung

Untuk Pengendalian Banjir di Ibukota Jakarta.

Kementrian Kehutanan, 2013. Pedoman Identifikasi Karakteristik DAS. Direktorat

Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial.

Kementrian Negara Lingkungan Hidup, 2007. Rencana Aksi Nasional dalam

Menghadapi Perubahan Iklim. Jakarta, Nopember 2007.

Kementrian Negara Lingkungan Hidup, 2012. Konvensi-Konvensi Tentang

Perubahan Iklim. Jakarta, 22 April 2012.

Komaruddin, 2008. Penilaian Tingkat Bahaya Erosi di Sub Daerah Aliran Sungai

Cileungsi, Bogor. Jurnal Agrikultura. Volume 19 Nomor 3. ISSN 0853-2885.

Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Bandung.

Lembaga Penelitian Unpad, 1994. Aspek Sosial Ekonomi Dalam Pengelolaan DAS

Terpadu. Ddalam Lokarya Pencaran Pengelolaan DAS Terpadu Ditjen RRL

Departemen Kehutanan, Cisarua 24-25 Maret 1994.

Manan, S. 1992. Perkembangan Hidrologi Hutan dan Pembangunan Hutan

Berwawasan Lingkungan di Indonesia. Makalah Simposium 25 Tahun

Perkembangan Hidrologi di Indonesia . LIPI-Puslitbang Pengairan

Departemen Pekerjaan Umum Jakarta.

Mario, Ketut., 2004. Arahan Penggunaan Lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS)

Banyumala, Buleleng. Bumi Lestari Jurnal Lingkungan Hidup Volume 4

Nomor 1 Februari 2004. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lemlit Unud,

Denpasar.

Naylor, R.L., Battisti, D.S. Vimont, D.J., Falcon, W.P. and Burke, M.B. 2007.

Assessing risks of climate variability and climate change for Indonesian rice

agriculture. Proceeding of the National Academic of Science. 114:7752-7757.

Page 124: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

257

Rahayu, Widodo RH, van Noordwijk M, Suryadi I dan Verbist B. 2009. Monitoring

Air di Daerah Aliran Sungai. Bogor, Indonesia. World Agroforestry Center –

Southeast Asia Regional Office. 104 p.

Setyarso, A., 1999. Analisis Kebijaksanaan Pemanfaatan Sumber Daya Alam.

Makalah pada Lokakarya Nasional Kebijaksanan Pengelolaan DAS, Bogor.

Sejati, K. 2011. Pemanasan Global, Pangan dan Air. Masalah, Solusi dan Perubahan

Konstelasi Geopolitik Dunia. Gajah Mada University Press.

Sodiq, 2013. Pemanasan Global. Dampak Terhadap Kehidupan Manusia dan Usaha

Penanggulangannya. Penerbit Graha Ilmu Yogyakarta.

Sugiono, 1999. Metode Penelitian Bisnis. Penerbit CV. Alfabeta, Bandung.

Suwedi, N. 2005. Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Dampak Pemanasan

Global. Jurnal Teknologi Lingkungan. Vol.6 No.2. Pusat Pengkajian dan

Penerapan Teknologi Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan

Teknologi.

Tan. K. H. 1991. Dasar-Dasar Kimia Tanah. Terjemahan Goenadi. D.H. Gajah Mada

University Press. Yogyakarta.

Tjasjono, 1995. Klimatologi Umum. Penerbit ITB Bandung.

Wardhana, W. 2010. Dampak Pemanasan Global. Penerbit Andi, Yogyakarta.

Wibowo, S., 2003. Kebijakan Pengelolaan DAS Bersama Masyarakat. Surili,

Bandung.

Wibowo, S., 2004. Masalah Degradasi Lahan dan Upaya Rehabilitasi Hutan dan

Lahan. Prosiding Kongres Nasional V Masyarakat Konservasi Tanah dan Air

Indonesia dan Seminar Degradasi Hutan dan Lahan. Yogyakarta, 10 – 11

Desember 2004

Page 125: PENGELOLAAN DAS TUKAD PAKERISAN BERKELANJUTAN …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/03/Pengelolaan-Das-Tukad... · I Ketut Sumantra, MP dan Dr. Deden Ismail, MS 1. Pendahuluan

258