PENGARUH TEMPERATUR AGING TERHADAP SIFAT FISIS...
Transcript of PENGARUH TEMPERATUR AGING TERHADAP SIFAT FISIS...
PENGARUH TEMPERATUR AGING TERHADAP
SIFAT FISIS DAN MEKANIS PADUAN Al-Cu
TUGAS AKHIR
Diajukan untuk memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Teknik
Jurusan Teknik Mesin
Disusun oleh :
Sukendro Eko Pranolo
NIM : 005214042
PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN
JURUSAN TEKNIK MESIN
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2007
THE EFFECT OF AGING TEMPERATURE ON THE
PHYSICAL AND MECHANICAL PROPERTIES OF
Al-Cu ALLOY
FINAL PROJECT
Presented as Partial Fulfillment of the Requirements
To Obtain the Sarjana Teknik Degree
In Mechanical Engineering
By :
Sukendro Eko Pranolo
Student Number : 005214042
MECHANICAL ENGINEERING STUDY PROGRAM
MECHANICAL ENGINEERING DEPARTMENT
SCIENCE AND TECHNOLOGY FACULTY
SANATA DHARMA UNIVERSITY
YOGYAKARTA
2007
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan bahwa dalam Tugas Akhir ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam
naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Yogyakarta, 25 Juli 2007
Sukendro Eko Pranolo
v
Halaman Persembahan
Kegagalan atau keberhasilan duniawi bukanlah
tujuan yang penting. Kadang-kadang kegagalan
adalah keberhasilan, sebaliknya keberhasilan
adalah kegagalan. Kita harus menilainya dengan
mata kebijaksanaan.
Semua Jerih Payah Kupersembahkan Untuk :
Keluargaku Tercinta
Teman - Teman
Sahabat
Orang yang Kukasihi
Almamaterku Sanata Dharma
"As we go on.. We remember... All the times, we had together... As our
lives change...come whatever We will still be friends 4-Ever "
Graduation - 208 community -
vi
INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh temperatur aging terhadap sifat fisis dan mekanis dari paduan aluminium tembaga (Al-Cu). Bahan utama pada penelitian ini adalah paduan aluminium tembaga (Al-Cu) yang didapatkan dari pelek motor bekas. Bahan utama ini kemudian dicor ulang dan diberi tembaga (Cu) dengan kadar Cu diharapkan sekitar 4%. Bahan selanjutnya di aging pada waktu 36 jam, dengan variasi temperatur aging 150ºC, 175ºC, 200ºC, 220ºC. Pengujian yang dilakukan meliputi : pengujian kekerasan, pengujian tarik, pengamatan struktur mikro, dan bentuk patahan. Hasil dari penelitian ini memperlihatkan bahwa temperatur aging berpengaruh pada struktur mikro dari paduan aluminium tembaga (Al-Cu) yakni menjadi lebih rapat. Kekerasan meningkat sekitar 30% yaitu terjadi pada paduan aluminium tembaga (Al-4%Cu) yang diaging selama 36 jam pada temperatur 200ºC. Kekerasan mula mula : 71,12 BHN dan kekerasan setelah diaging dengan suhu 200ºC yaitu 92,99 BHN. Sedangkan kekuatan tarik turun sekitar 15,4% yaitu dari kekuatan tarik mula-mula sebesar 15 kg/mm2 ke kekuatan tarik setelah di aging dengan suhu 200ºC sebesar 13 kg/mm2.
vii
KATA PENGANTAR
Suatu perjalanan panjang dalam hidup akan segera kutempuh. Siap atau
tidak harus segera dihadapi karena sang waktu tidak akan pernah mau menunggu
sampai segala sesuatunya siap.
Ditempat ini aku datang, di tempat ini pula aku harus beranjak dari segala
bentuk ketergantungan yang selama ini sungguh merasuk di jiwaku. Aku mulai
berjalan sesuai dengan jalan yang kumau, mewarnai dunia dengan warna yang
kumau, dengan berbekal segala ilmu dari para Mahaguru.
Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Kasih Raja Segala Manusia
atas berkat dan bimbingan-Nya sehingga tugas akhir ini terselesaikan dengan
baik, untuk mencapai derajat strata satu pada Program Studi Teknik Mesin,
Fakultas Teknik, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Dalam kurun waktu perjalanan selama kurang lebih 7 tahun di kota yang
sarat dengan segala nuansa romantisme dan kenangan, banyak pihak yang
mewarnai persinggahan hidupku yang sementara ini. Untuk itu dalam kesempatan
ini ijinkanlah saya untuk menyampaikan rasa terima kasih kepada :
1. Allah SWT yang selalu menyertai, dan selalu memberikan kesempatan
kepada penulis untuk selalu berubah menjadi lebih baik dan mempunyai arti
dalam kehidupan ini.
2. Keluarga tercinta di Lampung, Papa, Mama, adik-adikku, Andi, Merry yang
selalu mendukung dan mengharapkan kelulusan ini.
3. Bapak Ir. Greg. Heliarko, SJ., SS., B.ST., MA., M.Sc. selaku Dekan
Fakultas Teknik Universitas Sanata Dharma.
4. Budi Sugiharto, S.T., M.T., selaku Ketua Jurusan Teknik Mesin Universitas
Sanata Dharma
5. Bapak Ir. YB Lukiyanto, M.T., selaku Dosen Pembimbing angkatan 2000.
6. Bapak I Gusti Ketut Puja, S.T,. M.T., selaku Dosen Pembimbing Tugas
Akhir.
viii
7. Bapak Doddy Purwadianto, S.T., M.T., selaku Dosen Pembimbing mata
kuliah Kerja Praktek.
8. Bapak Budi Setyahandana, S.T., M.T., selaku Dosen Pembimbing mata
kuliah Rancang Bangun Mesin.
9. Segenap karyawan dan laboran FT USD, Mas Martono, Mas Intan, Mas
Ronny dan yang lainnya, terima kasih untuk kerjasamanya selama ini.
10. I Gede Sinar Bawa teman seperjuangan dalam penggarapan Tugas Akhir.
11. Sayangku Ratna Listy sang kekasih tercinta, terima kasih atas kasih sayang
dan dorongan serta perhatiannya yang tak akan pernah terlupa.
12. Teman-temanku “Wawan, Topek, Rohmat, Ridwan, Ruben, Andri, Adhi.
Ari” walaupun tidak membantu tapi mereka selalu ada disaat susah maupun
senang.
13. Rekan-rekan Tugas Akhir yang telah berbagi suka dan duka serta pendorong
dalam penyelesaian Tugas Akhir ini : Ikana Ebda Kurniawan, Ramala,
Bendot, Yuris, Rois, dll.
14. Rekan-rekan Teknik Seluruhnya.
15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Akhir kata teriring dengan harapan dari penulis semoga tugas akhir ini dapat
berguna sebagai masukan bagi pembaca dan semua pihak yang membutuhkan.
Yogyakarta, Agustus 2007
Sukendro Eko P Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .................................. v
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................... vi
INTISARI ....................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR.................................................................................... viii
DAFTAR ISI................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR...................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xv
DAFTAR LAMBANG ................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah.............................................................................. 2
1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................... 2
1.4. Batasan Masalah ............................................................................... 3
BAB II DASAR TEORI.............................................................................. 4
2.1. Sejarah Pengecoran............................................................................ 4
2.2. Proses pengecoran.............................................................................. 6
2.2.1. Perencanaan pengecoran..................................................... 6
2.2.2. Pencairan logam.................................................................. 10
2.2.3. Pembuatan cetakan.............................................................. 11
2.3. Alumunium dan Paduannya............................................................... 14
2.3.1 Produksi Aluminium........................................................... 14
2.3.2. Aluminium Murni ............................................................... 17
2.3.3. Paduan Aluminium ............................................................. 19
2.3.4. Pengaruh Unsur Paduan Terhadap Aluminium .................. 24
2.4. Aging.................................................................................................. 28
2.5. Tinjauan Pustaka................................................................................ 29
x
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ................................................. 30
3.1. Diagram Alir ...................................................................................... 30
3.2. Jenis Penelitian................................................................................... 31
3.2. Metode Penelitian .............................................................................. 31
3.4. Data yang Dikumpulkan .................................................................... 32
3.5. Pelaksanaan Pengecoran .................................................................... 33
3.5.1. Bahan coran ........................................................................ 33
3.5.2. Alat-alat yang digunakan .................................................... 33
3.5.3. Proses peleburan logam ...................................................... 34
3.5.4. Pelepasan hasil coran .......................................................... 36
3.6. Pembuatan Benda Uji ........................................................................ 37
3.7. Peralatan Pengujian............................................................................ 40
3.8. Proses Aging ...................................................................................... 41
3.9. Pengujian Hasil Coran ....................................................................... 42
3.9.1. Pengujian Tarik................................................................... 42
3.9.2. Pengujian Kekerasan........................................................... 45
3.9.3. Pengamatan Struktur Mikro ............................................... 47
3.9.4. Pengamatan Struktur Makro .............................................. 50
3.9.5. Pengujian Komposisi Kimia ............................................... 50
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .......................... 52
4.1. Persiapan Pengecoran ........................................................................ 52
4.1.1. Perhitungan Bahan Coran ................................................... 52
4.1.2. Perbandingan Komposisi Coran ......................................... 53
4.2. Data Pengecoran ................................................................................ 54
4.3. Pengujian Tarik.................................................................................. 55
4.4. Pengujian Kekerasan.......................................................................... 58
4.5. Pengamatan Struktur Mikro............................................................... 59
4.6. Pengamatan Makro ............................................................................ 64
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 67
5.1. Kesimpulan ........................................................................................ 67
5.2. Saran .................................................................................................. 69
xi
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 70
LAMPIRAN.................................................................................................... 71
xii
DAFTAR GAMBAR
2.1. Tanur Krus ............................................................................................. 10
2.2. Bagian-Bagian Sistem Saluran dalam Cetakan...................................... 14
2.3. Mikrostruktur pada Aging...................................................................... 29
3.1. Burner dan Tangki Minyak Bertekanan serta Kompresor ..................... 34
3.2. Kowi dan Tungku Tanah Liat ................................................................ 34
3.3. Cetakan Logam dilengkapi Baut dan Tang Penjepit.............................. 35
3.4. Mesin Milling......................................................................................... 37
3.5. Mesin Sekrap ......................................................................................... 38
3.6. Bentuk dan Geometri Spesimen Benda Uji Tarik.................................. 39
3.7. Oven....................................................................................................... 41
3.8. Mesin Uji Tarik...................................................................................... 43
3.9. Mesin uji kekerasan "Brinell Hardness Tester MOD 100 MR"............. 47
3.10. Proses Pengamatan Struktur Mikro ....................................................... 48
3.11. Mikroskop Mikro dilengkapi dengan Kamera ....................................... 49
3.12. Mesin uji komposisi (Spektrometer)...................................................... 51
4.1. Hasil waktu pembekuan Al-Si-Cu ......................................................... 55
4.2. Hasil pengujian kekuatan tarik............................................................... 56
4.3. Hasil pengujian regangan....................................................................... 57
4.4. Hasil pengujian kekerasan ..................................................................... 58
4.5. Struktur Mikro Al-Si cor ulang.............................................................. 60
4.6. Struktur Mikro Al-Si-4% Cu cor ulang ................................................. 60
4.7. Struktur Mikro Al-Si-4%Cu aging T=150ºC......................................... 60
4.8. Struktur Mikro Al-Si-4%Cu aging T=175ºC......................................... 61
4.9. Struktur Mikro Al-Si-4%Cu aging T=200ºC......................................... 61
4.10. Struktur Mikro Al-Si-4%Cu aging T=220ºC ........................................ 61
4.11. Struktur Mikro Al-Si setelah dietsa ...................................................... 62
4.12. Struktur Mikro Al-Si-4% Cu cor ulang setelah dietsa .......................... 62
4.13. Struktur Mikro Al-Si-4%Cu aging T=150ºC setelah dietsa.................. 62
xiii
4.14. Struktur Mikro Al-Si-4%Cu aging T=175ºC setelah dietsa.................. 63
4.15. Struktur Mikro Al-Si-4%Cu aging T=200ºC setelah dietsa.................. 63
4.16. Struktur Mikro Al-Si-4%Cu aging T=220ºC setelah dietsa.................. 63
4.17. Struktur Makro Al-Si cor ulang (benda uji ke 3) .................................. 64
4.18. Struktur Makro Al-Si-4%Cu, Aging T=150ºC (benda uji ke 2) ........... 65
4.19. Struktur Makro Al-Si-4%Cu, Aging T=175ºC (benda uji ke 3) ........... 65
4.20. Struktur Makro Al-Si-4%Cu, Aging T=200ºC (benda uji ke 4) ........... 65
4.21. Struktur Makro Al-Si-4%Cu, Aging T=220ºC (benda uji ke 1) ........... 66
xiv
DAFTAR TABEL
2.1. Sifat-sifat fisik Aluminium ..................................................................... 18
2.2. Sifat-sifat mekanik Aluminium............................................................... 19
3.1. Dimensi Benda Uji Tarik yang Digunakan............................................. 39
3.2. Pemilihan Diameter Penetrator Uji Kekerasan Brinell ........................... 46
4.1. Komposisi Bahan Coran Paduan Al-Cu ................................................. 54
4.2. Data yang diperoleh pada Pengecoran Paduan Al-Cu ............................ 54
4.3. Data Pengujian Tarik .............................................................................. 57
4.4. Data Pengujian Regangan ....................................................................... 58
4.5. Data Pengujian kekerasan ....................................................................... 59
xv
DAFTAR NOTASI LAMBANG
A = Luas penampang ................................................................................ mm2
t = Tebal .................................................................................................. mm
l = Lebar.................................................................................................. mm
σ = Kekuatan tarik..................................................................................... kg/mm2
P = Beban.................................................................................................. kg/mm2
Lo = Panjang ukur mula-mula .................................................................... mm
L = Panjang ukur akhir ............................................................................. mm
ρ = Massa jenis ...................................................................................... kg/mm3
ΔL = Pertambahan panjang......................................................................... mm
ε = Regangan............................................................................................ %
v = Volume .............................................................................................. mm3
m = Massa ................................................................................................. kg
BHN = Angka kekerasan binell...................................................................... kg/mm2
D = Diameter bola penetrator ................................................................... mm
d = Diameter bekas injakan...................................................................... mm
xvi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada zaman sekarang ini pemanfaatan barang-barang usang atau barang
rongsokan sangat maju pesat, terlebih pada barang yang mempunyai kemampuan
untuk dibentuk kembali. Aluminium merupakan salah satu bahan yang paling
diminati, selain sifatnya yang tahan terhadap korosi, kekuatan aluminium juga
baik. Sifat aluminium tersebut juga dapat diperbaiki dengan memadukan unsur
lain dengan cara pengecoran. Pemanfaatan aluminium sudah banyak hasilnya,
salah satunya adalah pelek untuk kendaraan bermotor, tetapi untuk mendapatkan
komposisi yang baik harus dilakukan penelitian.
Pada penelitian kali ini akan dibahas mengenai pemanfaatan aluminium
bekas yang mungkin hasil dari penelitian ini dapat digunakan. Aluminium yang
digunakan didapat dari pelek motor yang akan ditambahkan dengan unsur
tembaga (Cu). Unsur tembaga (Cu) yang akan ditambahkan adalah 2%, dimana
setelah dipadukan akan dilakukan perlakuan ”aging” dengan variasi suhu 150°C.
175°C, 200°C, san 220°C dengan waktu 36 jam. Proses aging ini dilakukan
berdasarkan buku Pengetahuan Bahan Teknik, karangan Prof. Ir. Tata Surdia. Dan
dilakukan di Laboratorium Ilmu Logam, Universitas Sanata Dharma. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mendapatkan paduan yang baik dengan pemanfaatan
barang bekas.
1
2
1.2. Rumusan Masalah
Penelitian ini meneliti pengaruh temperatur Aging terhadap sifat fisis dan
mekanis hasil coran paduan Al-Si dengan tembaga (Cu), yang mana Al-Si
diperoleh dari peleg motor, dengan komposisi kadar Al sebanyak 91,35% dan Si
sebanyak 1,9%. Coran yang ingin dibuat dan diteliti terdiri dari dua jenis coran,
yaitu :
1. Coran Aluminium paduan
2. Paduan coran Al dengan Tembaga (4%)
Hasil dari setiap coran akan dibandingkan dan dilihat akibat pengaruh temperatur
aging yang dilakukan terhadap hasil coran, diperkirakan akan membuat paduan
Al-4%Cu akan menjadi lebih kuat, kekerasan bahannya akan meningkat dan
mempermudah proses pengerjaan mesin .
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah untuk mengetahui pengaruh
dari temperatur aging pada paduan Al-Cu terhadap sifat fisis dan mekanis, yaitu:
1. Pengujian tarik (tegangan dan regangan) hasil coran
2. Pengujian kekerasan Brinell
3. Pengamatan struktur mikro hasil coran
4. Pengamatan makro hasil coran
3
1.4. Batasan Masalah
Agar penelitian ini tidak terlalu luas dan tetap berada dalam jangkauan
penulis, maka perlu adanya batasan masalah. Dalam penelitian tentang “ pengaruh
waktu aging terhadap sifat fisis dan mekanis paduan Al-Cu”, penulis memberikan
batasan-batasan supaya penulisan ini tidak terlalu luas serta mengenai sasaran
yang dituju. Pembatasan penulisan adalah sebagai berikut :
1. Bahan yang akan diteliti adalah Al-Cu maka bahan-bahan
lainnya hanya akan dibahas sekilas saja.
2. Pengecoran aluminium menggunakan cetakan yang terbuat dari
logam (permanent moulding), maka bentuk cetakan yang lainya
tidak akan dibahas di sini
3. Tidak adanya penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh
kecacatan yang terjadi pada penelitian karena penulis lebih
menitik beratkan pada aspek pengaruh waktu aging terhadap
hasil coran
4. Pengujian hasil coran dilakukan sesuai standar yang ada dan
umum dipakai
5. Pengujian porositas dan berat jenis tidak dibahas dalam
penelitian ini.
BAB II
DASAR TEORI
2.1. Sejarah Pengecoran
Coran dibuat dari logam yang dicairkan, dituang ke dalam cetakan,
kemudian dibiarkan mendingin dan membeku. Oleh karena itu sejarah pengecoran
dimulai ketika manusia mengetahui bagaimana mencairkan logam dan bagaimana
membuat cetakan. Hal itu terjadi kira-kira 4000 sebelum Masehi, sedangkan tahun
yang pasti tidak diketahui. Awal penggunaan logam adalah ketika manusia
membuat perhiasan atau perak tempaan, dan kemudian membuat senjata atau
mata bajak dengan menempa tembaga. Hal itu dimungkinkan karena logam-logam
ini terdapat di alam dalam keadaan murni, sehingga dengan mudah dapat
menempanya. Kemudian secara kebetulan manusia menemukan tembaga mencair,
selanjutnya mengetahui cara untuk menuang logam cair ke dalam cetakan, dengan
demikian untuk pertama kalinya manusia dapat membentuk coran yang rumit,
umpamanya perabot rumah, perhiasan atau hiasan makam. Coran tersebut dibuat
dari perunggu yaitu suatu paduan tembaga, timah dan timbal yang titik-cairnya
lebih rendah dari tembaga.
Pengecoran perunggu pertama kali dilakukan di Mesopotamia kira-kira
3000 tahun sebelum Masehi, teknik ini diteruskan ke Asia Tengah, India dan
Cina. Penerusan ke Cina kira-kira 2000 tahun sebelum Masehi, dan dalam zaman
Cina kuno semasa Yin, yaitu kira-kira 1500-1000 tahun sebelum Masehi. Pada
4
5
masa itu tangki-tangki besar yang halus dibuat dengan cara dicor.Sementara itu
teknik pengecoran Mesopotamia juga diteruskan ke Eropa, dan dalam tahun 1500-
1400 sebelum Masehi barang-barang sepeti mata bajak, pedang, mata tombak,
perhiasan, tangki, dan perhiasan makan dibuat di Spanyol, Swiss, Jerman, Austria,
Norwegia, Denmark, Swedia, Inggris dan Prancis. Teknik pengecoran perunggu
di India dan Cina diteruskan ke Jepang dan Asia Tenggara, sehingga Jepang
banyak arca-arca Budha dibuat antara tahun 600 dan 800.
Penggunaan besi dimulai dengan penempaan, sama halnya dengan
tembaga. Orang-orang Asiria dan Mesir mempergunakan perkakas besi dalam
tahun 2800-2700 sebelum Masehi. Kemudian di Cina dalam tahun 800-700
sebelum Masehi, ditemukan cara membuat coran dari besi kasar yang mempunyai
titik-cair rendah dan mengandung fosfor tinggi dengan mempergunakan tanur
beralas datar. Teknik produksi ini kemudian diteruskan ke Negara-negara di
sekitar Laut Tengah. Di Yunani 600 tahun sebelum Masehi, arca-arca raksasa
Epaminondas atau Hercules, berbagai senjata, dan perkakas dibuat dengan jalan
pengecoran. Di India zaman itu pengecoran besi kasar dilakukan dan diekspor ke
Mesir dan Eropa. Walaupun demikian baru pada abat ke 14 saja pengecoran besi
kasar dilakukan secara besar-besaran, yaitu ketika Jerman dan Itali meningkatkan
tanur beralas datar yang primitif itu menjadi tanur tiup berbentuk silinder, di mana
pencairan dilakukan dengan jalan meletakan biji besi dan arang batu berselang-
seling. Produk-produk yang dihasilkan pada waktu itu adalah : meriam, peluru
meriam, tungku, pipa, dan lain-lain. Cara pengecoran pada zaman itu ialah
menuangkan secara langsung logam cair yang didapat dari biji besi ke dalam
6
cetakan. Kokas ditemukan di Inggris pada abad 18, yang kemudian di Prancis
disahkan agar kokas dapat dipakai untuk mencairkan kembali besi kasar dalam
tanur kecil pada pembuatan coran. Kemudian tanur yang serupa dengan tanur
kupola yang ada sekarang dibuat di Inggris, dan cara pencairan besi kasar yang
dilakukan sama dengan yang dilakukan pada saat sekarang. Walaupun sejak masa
kuno baja dipakai dalam bentuk tempaan, namun sejak H. Bessemer atau W.
Siemens sajalah telah diusahakan untuk membuat baja dari besi kasar, dan coran
baja diproduksi pada akhir pertengahan abad 19. Coran paduan aluminium dibuat
pada akhir abad 19 dengan cara pemurnian dengan elektrolisa ditemukan.
2.2. Proses Pengecoran
2.2.1. Perencanaan Pengecoran
Proses pengecoran meliputi: pembuatan cetakan, persiapan dan peleburan
logam, penuangan logam cair ke dalam cetakan, pembongkaran coran,
pembersihan dan proses daur ulang pasir cetakan, dan hasilnya disebut coran.
Berdasarkan proses pencetakan dan bahan cetakannya, pengecoran dibedakan
menjadi :
1. Pengecoran menggunakan cetakan pasir (Sand Mold).
2. Pengecoran menggunakan cetakan pasir dengan pengikat
khusus.
3. Pengecoran menggunakan cetakan dengan model lilin
(Investment Molding).
4. Pengecoran dengan cetakan logam (Permanent Molding).
7
5. Pengecoran dengan penuangan cetak (Die Casting).
Coran dibuat dari logam yang dicairkan dan dituang ke dalam cetakan,
kemudian dibiarkan dingin dan membeku. Untuk mencairkan logam digunakan
bermacam-macam tanur, memilih tanur yang tepat bisa mempercepat pengecoran.
Oleh karena itu sebelum membuat coran harus dibuat perencanaan yang matang
untuk mencapai keberhasilan akan hasil coran. Adapun perencanaan proses
pengecoran adalah sebagai berikut :
1. Penentuan pola
Pola adalah tiruan benda coran (tidak sama dengan benda coran,
baik dari bahan maupun ukurannya). Perbedaan pola dengan
benda coran diakibatkan oleh beberapa alasan, yaitu :
• Benda coran pasti menyusut.
• Benda coran bukan produk akhir, masih melalui proses
permesinan.
• Bentuk pola biasanya terjadi penirusan yang dimaksudkan
untuk mempermudah pengangkatan coran dari cetakan.
Pola dibuat dengan proses permesinan secara langsung pada
cetakan logam, yaitu dengan memakai mesin milling.
2. Menetapkan kup, drag, dan permukaan pisah
Untuk mendapatkan hasil coran yang baik penentuan kup, drag,
dan permukaan pisah harus memperhatikan ketentuan dibawah
ini :
8
• Pola harus mudah dikeluarkan dari cetakan. Permukaan
pisah harus satu bidang, pada dasarnya kup dibuat agak lebih
dangkal.
• Penempatan inti harus mudah. Tempat inti dalam cetakan
utama harus ditentukan dengan teliti.
• Sistim saluran harus dibuat sempurna untuk mendapatkan
aliran logam cair yang optimal.
• Terlalu banyak permukaan pisah akan mengambil banyak
waktu dalam proses pembuatan cetakan.
3. Penentuan penambahan penyusutan
Untuk menentukan tambahan penyusutan digunakan mistar
susut, adanya tambahan penyusutan karena coran menyusut pada
waktu pembekuan dan pendinginan. Besarnya penyusutan
tergantung dari : bahan coran, bentuk coran, tempat, tebalnya
coran.
4. Penuangan logam cair.
Setelah peleburan logam dan cetakan sudah siap, maka proses
penuangan logam cair dapat dilaksanakan. Hal-hal yang harus
diperhatikan dalam proses penuangan, yaitu :
• Pengeringan ladel. Ladel yang digunakan harus benar-benar
kering, sebab jika tidak benar-benar kering bisa menurunkan
temperatur logam cair sehimgga dapat nmenimbulkan cacat
pada coran.
9
• Pembuangan terak. Sebelum penuangan, terak yang ada di
atas cairan logam yang ada dalam ladel harus dibuang.
Supaya pada saat penuangan tidak ikut ke dalam cetakan.
• Temperatur penuangan. Temperatur logam cair harus dijaga
agar logam cair tidak cepat membeku dan untuk
mendapatkan coran berkualitas tinggi.
• Waktu penuangan. Penuangan harus dilakukan dengan
tenang, capat dan cermat.
5. Pembongkaran cetakan
Pembongkaran cetakan dilakukan untuk mengetahui hasil coran.
Pembongkaran cetakan dengan cara memukul cetakan hingga
coran lepas dari cetakan.
6. Pemeriksaan hasil coran
Tujuan dari pemeriksaan coran adalah :
• Penyempurnaan teknis. Cacat pada coran harus dideteksi
sebaik mungkin sehingga dapat dengan cepat dilakukan
penyempurnaan teknis dan selanjutnya kualitas coran
tersebut dapat dipelihara.
• Memlihara kualitas. Kualitas hasil coran harus tetap
dipertahankan, karena akan berpengaruh langsung pada
konsumen. Pemeriksaan yang kontinyu dimaksudkan untuk
mengawasi coran yang mengalami kegagalan dalam
pengecoran.
10
2.2.2. Pencairan logam
Untuk mencairkan logam dapat menggunakan berbagai macam tanur.
Pada umumnya dapur kupola atau tanur frekuensi rendah dipergunakan untuk besi
cor, tanur busur listrik atau tanur induksi frekuensi tinggi untuk baja tuang, dan
tanur krus untuk paduan tembaga atau coran paduan ringan karena tanur-tanur ini
dapat menghasilkan logam cair yang baik dan ekonomis untuk logam-logam
tersebut. Karena pengecoran yang akan dilakukan menggunakan aluminium yang
termasuk logam paduan ringan sebagai bahan dasar maka tanur yang dibahas
hanya tanur krus saja. Berikut gambar penampang tanur krus.
Gambar 2.1 Tanur Krus Tampak Atas (kiri) dan Tampak Samping (kanan)
Peleburan dengan krus besi cor dan krus karbon dilakukan sebagai berikut.
Pertama diisikan sekrap , kemudian logam baru dan paduan dasar. Magnesium
harus ditenggelamkan ke dasar cairan dengan mempergunakan alat yang khusus
seperti alat untuk pemberi fosfor. Magnesium yang tenggelam kemudian mencair
sedangkan magnesium yang terapung akan hilang karena oksidasi.
11
Untuk menghemat waktu peleburan dan mengurangi kehilangan karena
oksidasi, lebih baik memotong logam menjadi potongan kecil yang kemudian
dipanaskan. Kalau bahan sudah mulai mencair, fluks harus ditambahkan untuk
mencegah oksidasi dan absorpsi gas. Selama pencairan permukaan harus ditutup
dengan fluks dan cairan diaduk pada jangka waktu tertentu untuk mencegah
segregasi.
2.2.3. Pembuatan cetakan
Cetakan biasanya dibuat dengan jalan memadatkan pasir. Pasir yang
dipakai kadang-kadang pasir alam atau pasir buatan yang mengandung tanah
lempung. Cetakan pasir mudah dibuat dan tidak mahal asal dipakai pasir yang
cocok, kadang-kadang dicampurkan juga pengikat khusus, umpamanya air kaca,
semen, resin furan, resin fenol atau minyak pengering karena pengunaan zat-zat
tersebut dapat memperkuat cetakan. Tentu saja penggunaan zat-zat tersebut
mahal, sehingga perlu memilih dengan mempertimbangkan bentuk, bahan dan
jumlah produk hasil coran.
Dalam pengecoran menggunakan cetakan dari pasir. Cetakan dibuat
dalam rangka cetak (flask) yang terdiri atas dua bagian, bagian atas disebut Kup
dan bagian bawah disebut Drag. Belahan pola diletakkan diatas papan kayu yang
rata, drag diletakkan di atas papan kemudian diisi penuh pasir dan ditekan keras.
Bila pasir kurang padat cetakannya mudah rusak pada waktu pengerjaan atau
rusak akibat aliran logam cair. Bila terlalu padat, gas dan uap sulit menguap, hal
ini dapat mengakibatkan cacat pada benda cor. Drag dan kup dipasang jadi satu
12
sesudah diberi grafit, kegunaan grafit adalah untuk mencegah melekatnya pasir
dari kedua bagian cetakan dan memperhalus permukaan hasil cor. Penampang
saluran masuk dekat cetakan jangan terlalu besar untuk memudahkan
pematahannya dan untuk memudahkan penyusutan aluminium, pada kup juga
biasanya dibuat saluran cadangan atau riser (penambah).
Fungsi saluran masuk perlu dirancang dengan mempertimbangkan faktor-faktor
berikut ini :
1. Aliran logam hendaknya memasuki rongga cetakan dekat
dasarnya dengan turbulensi seminimal mungkin, khususnya pada
benda tuang yang berukuran kecil
2. Pengikisan dinding saluran masuk dan permukaan rongga
cetakan harus ditekan dengan mengatur aliran logam cair
3. Aliran logam cair yang masuk harus diatur sedemikian rupa
sehingga terjadi solidifikasi yang terarah. Solidifikasi hendaknya
dimulai dari permukaan cetakan ke arah logam cair sehingga
selalu ada logam cair cadangan untuk menutupi kekurangan
akibat penyusutan
4. Usahakan kotoran dan partikel asing tidak dapat masuk ke dalam
rongga cetakan
Dalam sebuah cetakan terdapat sistem saluran yang berfungsi sebagai
jalan untuk logam cair ke dalam cetakan. Saluran turun berfungsi untuk
mengalirkan logam cair ke dalam cetakan. Selain itu ada saluran penambah yang
berfungsi untuk menambahkan logam cair pada saat logam cair membeku.
13
Besarnya penambahan tergantung pada besar kecilnya penyusutan. Adapun
urutan-urutan dari sistem saluran adalah :
1. Cawan tuang
Cawan tuang adalah penerima pertama yang menerima logam
cair langsung dari ladel. Cawan ini biasanya berbentuk corong,
cawan ini harus mempunyai kontruksi yang tidak dapat
melewatkan kotoran/terak yang terbawa logam cair dari ladel.
Cawan tuang tidak boleh terlalu dangkal, perbandingan
kedalaman dan diameter yang terlalu kecil akan menjadi pusaran
yang akan menampung kotoran/terak sisa pada logam cair,
sehingga tidak ikut masuk kedalam cetakan.
2. Saluran turun
Saluran turun saluran yang pertama membawa logam cair dari
cawan tuang kedalam pengalir dan saluran masuk. Saluran ini
dibuat tegak lurus dengan irisan yang berupa lingkaran, biasanya
irisannya sama dari atas sampai bawah atau sebaliknya. Saluran
turun dibuat dengan melubangi cetakan dengan mempergunakan
satu batang atau dengan memasang bumbung tahan panas.
3. Pengalir
Pengalir adalah saluran yang membawa logam cair dari saluran
turun kebagian-bagian pada cetakan. Bagian ini mempunyai
irisan seperti trapesium atau setengah lingkaran karena mudah
14
dibuat pada permukaan pisah. Pengalir lebih baik dibuat sebesar
mungkin, karena untuk memperlambat pendinginan logam cair.
4. Saluran masuk
Saluran masuk adalah saluran yang mengisikan logam cair dari
pengalir kedalam rongga cetakan. Saluran masuk dibuat dengan
irisan yang lebih kecil dari pada pengalir. Bentuk irisan biasanya
berupa bujur sangkar, trapesium, segitiga, atau setengah bola
yang membesar ke arah rongga cetakan.
Gambar 2.2 Bagian-Bagian Sistem Saluran dalam Cetakan
2.3. Aluminium Dan Paduannya
2.3.1. Produksi Aluminium
Aluminium diproduksi dari bauksit yang merupakan campuran mineral
gibbsite [Al(OH)3], diaspore [AlO(OH)] dan mineral lempung seperti kaulinit
[Al2Si2O5(OH)4]. Proses produksi aluminium dari bauksit meliputi dua tahap,
yaitu : proses pengolahan alumina (Al2O3) dan proses elektrolisa alumina menjadi
15
aluminium. Kedua proses tersebut merupakan proses awal terbentuknya
aluminium. Proses pengolahan bauksit menjadi alumina melalui suatu rangkaian
proses yang disebut proses Bayer. Bauksit dimasukan ke dalam larutan NaOH dan
alumina didalamnya membentuk sodium alumina.
Al2O3 + 2NaOH → 2NaAlO2 + H2O (160˚ - 170˚ C)
Setelah pemisahan sodium aluminat dari zat cair lainnya, lalu
didinginkan secara perlahan sampai temperature 25˚- 35˚ C untuk mengendapkan
aluminium hidroksida [Al(OH)3] menurut reaksi.
NaAlO2 + 2H2O → Al(OH)3 + NaOH
Kemudian Al(OH)3 dicuci dan selanjutnya dipanaskan sampai temperatur
1100˚ - 1200˚C untuk menghasilkan aluminium oksida (Al2O3) menurut reaksi
berikut. 2Al(OH)3 → Al2O3 + 3H2O
Alumina yang diperoleh melalui proses pengolahan bauksit, diproses lagi secara
elektrolisa pada temperatur tinggi dengan proses Hall-Herlout karena alumina
mempunyai titik leleh yang tinggi (2000˚C), maka alumina tersebut dilarutkan ke
dalam cairan cryolite (Na3AlF6) yang bertindak sebagai elektrolit sehingga titik
leleh menjadi lebih rendah (1000˚C).
Aluminium merupakan logam non-ferro yang banyak digunakan karena
memiliki sifat-sifat yang baik, yaitu :
1. Kerapatan (density).
Berat jenis dari suatu Aluminium adalah 2700 kg/m3.
2. Tahan terhadap korosi (corrosion resistance).
16
Salah satu ciri dari logam non ferro adalah jika suatu logam non
ferro mempunyai kerapatan yang tinggi maka daya tahan
terhadap korosi yang dimiliki logam tersebut juga semakin baik.
Hal tersebut tidak berlaku untuk aluminium, walaupun
aluminium merupakan alah satu jenis logam non ferro. Karena
aluminium memiliki lapisan atau selaput tipis oksida transparan
dan jenuh terhadap oksigen di seluruh permukaan. Lapisan
tersebut dapat mengendalikan laju korosi serta sekaligus
melindungi lapisan di bawahnya.
3. Sifat mekanis (mechanical properties).
Aluminium mempunyai sifat mekanis yang sebanding dengan
paduan bukan besi (non ferrous alloy) juga beberapa jenis baja.
Adapun sifat mekanis tersebut adalah kekuatan tarik, dan
kekerasan.
4. Penghantar panas dan listrik yang baik (heat and electrical
conductivity).
Aluminium mempunyai daya hantar listrik yang tinggi. Daya
hantar listrik yang dimiliki aluminium adalah sekitar 65% dari
daya hantar tembaga. Dalam hal ini digunakan Al dengan
kemurnian 99,0%. Selain sifat-sifat di atas, aluminium juga
mempunyai sifat anti magnet.
17
5. Tidak beracun (nontoxicity).
Aluminium merupakan bahan yang tidak beracun. Maka dari itu
aluminium sering digunakan sebagai bahan pembungkus atau
kaleng makan dan minuman. Hal ini disebabkan reaksi kimia
antara makanan dan minuman dengan aluminium tidak
menghasilkan zat beracun yang dapat membahayakan manusia.
6. Sifat mampu bentuk (formability).
Sifat mampu bentuk aluminium yang baik memungkinkan
aluminium dapat dibuat menjadi lembaran tipis atau plat. Sifat
mampu bentuk ini disebut juga mampu tempa (malleability).
7. Titik lebur rendah.
Titik lebur aluminium adalah ± 660 ºC sehingga aluminium
sangat baik untuk proses penuangan dengan waktu peleburan
relatif singkat dan dengan biaya operasi relatif murah.
2.3.2. Aluminium Murni
Alumnium didapat dalam keadaan cair dengan elektrolisa, pada
umumnya mencapai kemurnian 99,85 % berat. Dengan mengelektrolisa kembali
dapat dicapai kemurnian 99,99 %.
18
Berikut ini merupakan tabel dari beberapa sifat fisik dari Allumunium:
Tabel 2.1 Sifat-sifat fisik aluminium
Kemurnian Al (%) Sifat-sifat
99,996 >99,0
Massa jenis (20ºC) 2,6989 2,71
Titik cair 660,2 653-657
Panas jenis (cal/gr ºC) (100ºC) 0,2226 0,2297
Hantaran listrik (%) 64,94 59 (dianil)
Tahanan listrik koefisien temperatur (/ºC) 0,00429 0,0115
Koefisien pemuaian (20-100ºC) 61086,23 −× 6105,23 −×
Jenis kristal, konstanta kisi Fcc, α=4,013
kX
Fcc, α=4,04
kX
Catatan : fcc : face centered cubic = kubik berpusat muka
19
Berikut ini daftar sifak-sifat mekanik Allumunium :
Tabel 2.2 Sifat-sifat mekanik aluminium
Kemurnian Al (%)
99,996 >99,0
Sifat-sifat
Dianil 75% dirol dingin Dianil H18
Kekuatan tarik (kg/mm²) 4,9 11,6 9,3 16,9
Kekuatan mulur (0,2%)
(kg/mm²)
1,3 11,0 3,5 14,8
Perpanjangan (%) 48,8 5,5 35 5
Kekerasan Brinell 17 27 23 44
Catatan : fcc : face centered cubic = kubik berpusat muka
Sumber : Surdi T, Saito S : Pengetahuan Bahan Teknik, hal : 134
2.3.3. Paduan Aluminium
Penggunaan aluminium murni terbatas pada aplikasi yang tidak terlalu
mengutamakan faktor kekuatan, seperti : penghantar panas dan listrik,
perlengkapan bidang kimia, lembaran (plat) dan sebagainya. Salah satu usaha
yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kekuatan aluminium adalah dengan
proses pengerasan regangan, tetapi cara ini tidak senantiasa memuaskan bila
tujuan utamanya adalah untuk menaikan kekuatan bahan. Pada perkembangan
selanjutnya peningkatan kekuatan aluminium dapat dicapai dengan penambahan
unsur-unsur paduan ke dalam aluminium. Unsur-unsur yang biasa dipakai dalam
paduan aluminium adalah : tembaga (Cu), mangan (Mn), silikon (Si), magnesium
20
(Mg), seng (Zn), dan lain sebagainya, serta sifat lainnya seperti mampu cor dan
mampu mesin juga bertambah baik. Dengan demikian penggunaan aluminium
paduan lebih luas dibandingkan dengan aluminium murni. Paduan aluminium
diklasifikasikan dalam berbagai standar oleh berbagai negara di dunia. Saat ini
klasifikasi yang sangat terkenal dan sangat sempurna adalah standar Aluminium
Association di Amerika (AA) yang didasarkan atas standar terdahulu dari Alcoa
(Aluminium Company of America). Paduan aluminium diklasifikasikan menjadi
dua kelompok umum, yaitu : paduan aluminium tuang/cor (cast aluminium alloys)
dan paduan aluminium tempa (wrought aluminium alloys). Setiap kelompok
tersebut dibagi lagi menjadi dua kategori, yaitu dengan perlakuan panas (heat
treatable alloys) dan paduan tanpa perlakuan panas (non heat treatable alloys).
Struktur mikro paduan aluminium (berhubungan erat dengan sifat-sifat
mekanisnya) terutama tergantung pada laju pendinginan saat pengecoran
dilakukan. Laju pendinginan ini tergantung pada jenis cetakan yang digunakan.
Dengan cetakan logam, laju pendinginan akan berlangsung lebih cepat
dibandingkan dengan cetakan pasir sehingga struktur logam cor yang dihasilkan
akan lebih halus dan menyebabkan peningkatan sifat mekanisnya. Berikut ini
adalah beberapa contoh aluminium paduan:
1. Paduan Al-Cu.
Paduan Al-Cu sangat jarang digunakan karena tingkat
kecairannya jelek. Sebagai coran dipergunakan paduan yang
mengandung 4 – 5 %Cu, ternyata dari fasanya paduan ini
mempunyai daerah luas dari pembekuannya, penyusutan yang
21
besar, resiko besar pada kegetasan panas dan mudah terjadi
retakan pada coran. Paduan ini juga memiliki sifat-sifat mekanis
dan mampu mesin yang baik sedangkan mampu cor bahan ini
agak jelek. Adanya Si sangat berguna untuk mengurangi
keadaan itu dan penambahan Ti sangat efektif untuk
memperhalus butir, dan juga dapat memperbaiki mempu cornya.
Dengan perlakuan panas pada coran dapat dibuat bahan yang
mempunyai kekuatan tarik yang sangat tinggi.
2. Paduan Al-Si, Al-Si-Mg, dan Al-Si-Cu.
Paduan Al-Si merupakan paduan aluminium yang paling banyak
digunakan dengan kadar Si bervariasi dari 5 – 20 %.
Kebanyakan paduan ini memiliki struktur mikro eutektik atau
hypoeutektik (komposisi eutektik 12,7 % Si). Paduan ini
mempunyai visikositas yang baik dan tahan terhadap korosi serta
memiliki mampu cor yang baik, sehingga dipakai untuk elemen-
elemen utama mesin. Paduan ini relatif ringan, koefisien
pemuaian rendah, penghantar panas dan listrik yang baik. Bila
Paduan ini dicor, akan mempunyai sifat mekanis yang rendah
karena butiran-butiran Si cukup besar, sehingga pada saat
pengecoran perlu ditambahkan natrium untuk membuat kristal
halus dan memperbaiki sifat-sifat mekanisnya, tetapi cara ini
tidak efektif untuk coran tebal. Sifat-sifat mekanik paduan Al-Si
dapat diperbaiki dengan menambahkan Mg, Cu, atau Mn, dan
22
selanjutnya diperbaiki dengan perlakuan panas. Penambahan
unsur Mg ( 0,3 - 1 % ) pada paduan Al-Si akan menghasilkan
peningkatan cukup besar terhadap sifat-sifat mekanisnya. Dalam
hal ini unsur Mg meningkatkan respon terhadap perlakuan panas
bahan. Peningkatan tersebut karena adanya presipitasi Mg2Si.
Penambahan unsur Cu ( 3 – 5 %) pada paduan AL-Si dapat juga
meningkatkan sifat-sifat mekanis paduan. Paduan AL-Si-Cu,
dengan komposisi Si mendekati komposisi eutektik, dapat
digunakan pada suhu tinggi dengan koefisien muai panjang
relatif kecil. Paduan ini banyak digunakan untuk bahan piston
mesin motor bakar (internal combustion engine). Duralumin
merupakan salah satu paduan popular dari Al dengan komposisi
standar Al – 4 % Cu – 0,5 % Mg – 0,5 % Mn. Bila kandungan
unsur Mg ditingkatkan sehingga komposisi standarnya berubah
menjadi Al – 4,5 % Cu – 1,5 % Mg – o,5 % Mn dinamakan
paduan duralumin super.
3. Paduan Al-Mg.
Paduan aluminium dengan kadar Mg sekitar 4 – 10 %
mempunyai ketahanan korosi dan sifat-sifat mekanis yang baik.
Paduan ini mempunyai kekuatan tarik di atas 300 Mpa dan
perpanjangan di atas 12 % setelah perlakuan panas. Paduan Al-
Mg (disebut juga hidronalium) dipakai untuk bagian-bagian dari
alat-alat industri kimia, kapal laut, kapal terbang yang
23
membutuhkan daya tahan yang baik terhadap korosi. Paduan ini
mempunyai daya tahan yang sangat baik terhadap korosi dalam
air laut dan udara dengan kadar garam relatif tinggi. Paduan Al
dengan 2 – 3 % Mg dapat dengan mudah ditempa, dirol dan
diekstrusi. Paduan Al dengan 4,5 % Mg setelah dianil
merupakan paduan cukup kuat dan mudah dilas. Paduan ini
banyak dipakai sebagai bahan tangki LNG.
4. Paduan Al-Mn.
Mangan (Mn) merupakan unsur yang memperkuat aluminium
tanpa mengurangi ketahanan terhadap korosi, dan dipakai untuk
membuat paduan tahan korosi.
5. Paduan Al-Mg-Zn.
Aluminium menyebabkan keseimbangan biner semu dengan
senyawa antar logam Mg-Zn dan kelarutannya menurun apabila
temperaturnya turun. Telah diketahui sejak lama bahwa paduan
sistem ini dapat dibuat keras sekali dengan penuaan setelah
perlakuan pelarutan. Paduan bersifat keras dan getas oleh korosi
tegangan. Paduan tersebut dinamakan ESD (duralumin super
ekstra).
6. Paduan Aluminium Tahan Panas.
Paduan Al-Cu-Ni-Mg mempunyai kekuatan konstan sampai
suhu 300˚C sehimgga paduan ini banyak dipakai untuk piston
atau tutup silinder. Paduan Al-Si-Cu-Ni-Mg mempunyai
24
koefisien muai rendah dan tahan terhadap suhu tinggi sehingga
paduan ini banyak dipakai untuk piston.
2.3.4. Pengaruh Unsur Paduan Terhadap Aluminium
Dalam coran aluminium unsur-unsur paduan sangat mempengaruhi hasil
dari coran aluminium tersebut, ada yang memberi pengaruh baik dan ada juga
yang memberikan pengaruh kurang baik. Berikut ini adalah pengaruh unsur-unsur
pada paduan aluminium.
1 Unsur silikon (Si)
• Pengaruh positif yang ditimbulkan unsur silikon (Si), yaitu :
− Mempermudah proses pengecoran.
− Meningkatkan daya tahan terhadap korosi.
− Memperbaiki sifat-sifat atau karakteritik coran.
• Pengaruh negatif yang ditimbulkan unsur silikon (Si), yaitu :
− Penurunan keuletan bahan terhadap beban kejut.
− Hasil cor akan rapuh jika kandungan Si terlalu tinggi.
2. Unsur tembaga (Cu)
• Pengaruh positif yang ditimbulkan unsur tembaga (Cu),
yaitu:
− Meningkatkan kekerasan bahan.
− Memperbaiki kekuatan tarik.
− Mempermudah proses pengerjaan mesin.
25
• Pengaruh negatif yang ditimbulkan unsur tembaga (Cu),
yaitu :
− Menurunkan daya tahan terhadap korosi.
− Mengurangi keuletan bahan.
− Mengurangi mampu bentuk dan mampu rol.
3. Unsur mangan (Mn)
• Pengaruh positif yang ditimbulkan unsur mangan (Mn),
yaitu :
− Meningkatkan kekuatan dan daya tahan pada
temperatur tinggi.
− Meningkatkan daya tahan terhadap korosi.
− Mengurangi pengaruh buruk unsur besi.
• Pengaruh negatif yang ditimbulkan unsur mangan (Mn),
yaitu :
− Menurunkan kemampuan penuangan.
− Meningkatkan kekasaran butiran partikel.
4. Unsur magnesium (Mg)
• Pengaruh positif yang ditimbulkan unsur magnesium (Mg),
yaitu :
− Mempermudah proses penuangan.
− Meningkatkan kemampuan pengerjaan mesin.
− Meningkatkan daya tahan terhadap korosi.
− Meningkatkan kekuatan mekanis.
26
− Menghaluskan butiran kristal secara efektif.
− Meningkatkan ketahanan terhadap beban kejut/impak.
• Pengaruh negatif yang ditimbulkan unsur magnesium (Mg),
yaitu :
− Meningkatkan kemungkinan timbulnya cacat pada
hasil coran.
5. Unsur nikel (Ni)
• Pengaruh yang ditimbulkan unsur nikel (Ni), yaitu :
− Meningkatkan kekuatan dan ketahanan bahan pada
temperatur tinggi.
− Menurunkan pengaruh buruk unsur Fe dalam paduan.
− Meningkatkan daya tahan terhadap korosi.
6. Unsur besi (Fe)
• Pengaruh positif yang ditimbulkan unsur besi (Fe), yaitu :
− Mencegah terjadinya penempelan logam cair pada
cetakan selama proses penuangan.
• Pengaruh negatif yang ditimbulkan unsur besi (Fe), yaitu :
− Penurunan sifat mekanis.
− Penurunan kekuatan tarik.
− Timbulnya bintik keras pada hasil cor.
− Peningkatan cacat porositas.
27
7 Unsur seng (Zn)
• Pengaruh positif yang ditimbulkan unsur seng (Zn), yaitu :
− Meningkatkan sifat mampu cor..
− Mempermudah dalam pembentukan.
− Meningkatkan keuletan bahan.
− Meningkatkan kekuatan terhadap beban kejut.
• Pengaruh negatif yang ditimbulkan unsur seng (Zn), yaitu :
− Menurunkan ketahanan korosi.
− Menurunkan pengaruh baik dari unsur besi (Fe).
− Menimbulkan cacat rongga udara.
8 Unsur titanium (Ti)
• Pengaruh positif yang ditimbulkan titanium (Ti), yaitu :
− Meningkatkan kekuatan hasil cor pada temperatur
tinggi.
− Memperhalus butiran kristal dan permukaan.
− Mempermudah proses penuangan.
• Pengaruh negatif yang ditimbulkan titanium (Ti), yaitu :
− Menaikan viskositan logam cair
− Mengurangi fluiditas logam cair.
28
2.4. Aging
Aging yaitu proses pemanasan kembali logam menurut waktu pada suhu
yang tidak terlalu tinggi untuk menghilangkan dislokasi akibat presipitasi partikel
dengan deformasi partikel sehingga paduan mengalami penguatan.
Proses aging bertujuan untuk mengeraskan dan membentuk keseragaman
struktur bahan. Bahan dipanaskan sampai pada temperatur hampir menyentuh titik
ubah, kemudian dibiarkan dengan waktu tertentu. Kekerasan dan keseragaman
struktur dapat diperoleh tergantung pada lamanya proses pemanasan. Pendinginan
dilakukan perlahan-lahan pada suhu kamar.
Ada 2 macam aging, yaitu :
a). Natural Aging, yaitu aging pada temperatur kamar ( Room Treatment)
b). Artificial Aging, yaitu aging pada temperatur antara 15% s/d 25% dari
perbedaan temperatur kamar dan temperatur solution heat treatment.
Ada 2 metode utama untuk meningkatkan kekuatan dan kekerasan pada
paduan, yaitu : pengerjaan dingin dan perlakuan panas. Proses perlakuan panas
yang terpenting untuk paduan non logam adalah pengerasan penuaan atau
pengerasan presipitasi. Dalam menerapkan perlakuan panas ini, diagram
kesetimbangan harus menunjukan daya larut padat parsial. Seperti itu, yang ada
daya larut lebih besar pada temperatur lebih tinggi dibanding temperatur lebih
rendah.
29
Gambar 2.3. mikrostruktur pada aging (a) Setelah pendinginan
perlahan-lahan. (b) Setelah pemanasan dan pendinginan cepat. (c) Setelah Aging.
2.5. Tinjauan Pustaka
Menurut penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya (Gerardus, 2002)
Pengaruh penambahan unsur paduan pada aluminium menghasilkan :
1. Paduan Al-Ag-Mg.
Beberapa pengaruh yang ditimbulkan akibat penambahan unsur
Mg yaitu : dapat meningkatkan kekuatan tarik, menambah nilai
kekerasan menjadi tinggi, butiran kristal mrnjadi lebih rapat hal
ini berpengaruh terhadap sifat mekanis bahan. Sedangkan
penambahan unsur Ag akan memperlambat waktu pembekuan.
2. Paduan Al-Cu-Ag.
Pengaruh unsur Ag dapat menurun kekuatan tariknya dan angka
kekerasannya juga menurun, tetapi unsur Ag membuat paduan
tersebut menjadi lebih padat hal ini disebabkan oleh lamanya
waktu pembekuan ditunjukan oleh angka porositas yang
semakin menurun.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Diagram Alir
Diagram alir penelitian pengecoran dapat digambarkan sebagai berikut :
Pengadaan bahan coran
• Proses pengecoran ulang Aluminium paduan
• Proses pengecoran Al+2%Cu
Pengujian benda uji
Uji komposisi
Pembuatan benda uji 1. Benda uji tarik 2. Benda uji kekerasan
Pengambilan Data hasil penelitian
Analisa data penelitian
Kesimpulan
Referensi
Aging dengan waktu 36 jam dengan variasi suhu 150°C,
175°C, 200°C, 220°C
Uji komposisi
30
31
3.2 Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan merupakan studi kasus dan bersifat deskriptif
kualitatif, yaitu suatu penelitian terhadap obyek tertentu dan kesimpulan yang
diambil hanya terbatas pada obyek yang diteliti berdasarkan hasil analisa data
yang telah dilakukan. Dalam hal ini obyek yang diteliti adalah pengaruh
temperature aging terhadap sifat fisis dan mekanis paduan Al-Cu. Sedangkan
sebagai bahan perbandingan digunakan paduan Aluminium yang dicor ulang.
3.3 Metode Penelitian
Metode yang digunakan untuk memperoleh data-data atau informasi
yang dibutuhkan dalam penelitian dibagi menjadi 3 tahap utama, yaitu :
1. Tahap persiapan
Tahap ini merupakan tahap perumusan masalah yang akan
diangkat menjadi topik dalam penulisan, pengumpulan pustaka
sebagai sumber informasi yang mendukung penelitian, dan
penentuan batasan masalah agar penelitian tidak menyimpang
dari topik rencana.
2. Tahap penelitian
Dalam penelitian ini digunakan beberapa metode penelitian,
dengan harapan untuk mencapai hasil seobyektif mungkin, yaitu:
• Penelitian pendahuluan
Yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk mengetahui
keadaan dan sifat-sifat bahan sebelum diadakan pengecoran.
32
• Pelaksanaan penelitian
Yaitu penelitian yang dilakukan setelah penelitian
pendahuluan selesai dilakukan dan pada tahap ini mulai
dilakukan penelitian terhadap pengaruh temperature aging
terhadap Al-Si-Cu yang sesungguhnya.
3. Penelitian Kepustakaan
Suatu penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan landasan
teori mengenai masalah yang akan diteliti. Dasar-dasar teoritis
diperoleh dari membaca literatur-literatur, jurnal dan sebagainya
yang ada sangkut pautnya dengan masalah yang diteliti.
3.4 Data yang Dikumpulkan
Data yang dikumpulkan untuk penelitian ini meliputi :
1. Data pengecoran logam
2. Data dan grafik pengujian tarik
3. Data pengujian kekerasan Brinell
4. Data dan gambar pemotretan struktur mikro dan makro
5. Data komposisi kimia.
33
3.5 Pelaksanaan Pengecoran
3.5.1 Bahan Coran
Bahan yang digunakan dalam pengecoran ini adalah aluminium paduan
yang didapat dari peleg kendaraan bermotor, untuk Tembaga (Cu) yang
digunakan berasal dari Kawat kabel listrik rumah tangga.
3.5.2 Alat-alat yang digunakan
Alat-alat yang digunakan dalam proses pengecoran antara lain :
1. Tangki kompor minyak bertekanan + selang bahan bakar
2. Burner
3. Kompresor
4. Tang penjepit
5. Tungku dan kowi tanah liat
6. Thermokopel
7. Stopwatch
8. Kunci ring 14
9. Kapur (mencegah hasil coran menempel ke cetakan)
10. Cetakan logam + baut pengunci ukuran ring 14
11. Palu, gergaji tangan , dan kikir
34
3.5.3 Proses peleburan logam
Mula-mula pelek dipotong menjadi bagian kecil-kecil menggunakan
gergaji agar dapat mempermudah dalam proses peleburan. Setelah dipotong-
potong aluminium kemudian dimasukkan dalam kowi yang berada di dalam
tungku yang sebelumnya sudah dipanaskan dengan burner.
Gambar 3.1 Burner dan Tangki Minyak Bertekanan serta Kompresor
Gambar 3.2 Kowi dan Tungku Tanah Liat
Aluminium mempunyai titik lebur sekitar 754° C. Setelah aluminium mencair/
melebur, potongan Tembaga (Cu) dengan prosentase 2% dapat dimasukkan,
kemudian diaduk hingga seluruh bahan mencair dan menjadi satu, cetakan logam
disiapkan untuk melakukan proses penuangan (dicatat lama waktu penuangannya)
35
kemudian coran ditunggu sampai logam cair membeku/mengeras (dicatat waktu
pembekuannya).
Gambar 3.3 Cetakan Logam dilengkapi Baut dan Tang Penjepit
Prosedur Pengecoran secara lebih jelas adalah sebagai berikut :
1. Aluminium paduan dipotong-potong dan ditimbang menurut
komposisinya
2. Tembaga (Cu) ditimbang masing-masing komposisinya
3. Bahan bakar berupa solar disiapkan bersama corong pengisian
4. Mula-mula tangki kompor minyak + burner di isi solar
secukupnya lalu diberi tekanan angin dengan memakai
kompresor
5. Cetakan dilabur dengan kapur supaya hasil coran tidak
menempel pada cetakan lalu disiapkan untuk pengecoran.
6. Kowi diletakan sedemikian rupa pada tungku yang sudah
dipasangi burner
7. Api dihidupkan dan dicari yang paling baik nyalanya (dilakukan
penyetelan nyala api burner)
36
8. Pada saat kowi mulai memanas bahan cor dimasukkan kurang
lebih 5 menit dari pengapian sempurna
9. Setelah aluminium mencair sekitar 18 menit Tembaga dapat
dimasukan.
10. Agar bahan paduan tercampur dan melebur dengan baik kowi
ditutup supaya panas yang dihasilkan sesuai
11. Sekitar 2 menit semua bahan sudah melebur menjadi satu
12. Saat inilah kowi dapat diambil dari tungku dengan menggunakan
tang penjepit untuk selanjutnya dituangkan ke dalam cetakan
logam yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu
13. Dalam penuangan membutuhkan waktu kurang lebih sekitar 8
detik
14. Tunggu sampai logam cair membeku sekitar 24 detik baru
cetakan dibongkar.
3.5.4 Pelepasan hasil coran
Karena cetakan menggunakan cetakan logam yang tetap, maka proses
pelepasannya dilakukan dengan cara memisahkan bagian kup dan drag dengan
cara melepas baut-baut yang menyatukan kedua bagian tadi. Cetakan kemudian
dipukul-pukul hingga coran terlepas dari cetakan, barulah setelah lepas dilakukan
pembersihan dan pembuangan bekas lubang saluran turun dan keluar
menggunakan gergaji tangan dan kikir, setelah itu baru dilanjutkan pada proses
selanjutnya yaitu proses pembentukan benda uji.
37
3.6 Pembuatan Benda Uji
Hasil coran yang berupa plat kotak dengan ukuran 150 mm × 150 mm ×
5 mm kemudian dihaluskan dan diratakan dengan menggunakan mesin milling
hingga dicapai ketebalan yang sudah ditentukan yaitu antara 3 - 4,5 mm
(disesuaikan dengan kemampuan mesin uji tarik yang akan digunakan).
Gambar 3.4 Mesin Milling
Selanjutnya hasil coran dipotong menjadi enam bagian dengan
menggunakan mesin sekrap, ukuran potongan disesuaikan dengan bentuk
pengujian tarik, pembuatan fillet kembali dilakukan dengan mesin milling dengan
menggunakan cutter dengan diameter 16 mm.
38
Gambar 3.5 Mesin Sekrap
Langkah-langkah Pembuatan Benda Uji dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Meratakan permukaan benda kerja menggunakan mesin
frais/milling hingga diperoleh tebal benda uji antara 3 – 4,5 mm
2. Membuat batang-batang benda uji, dengan lebar batang benda uji
22 mm dengan menggunakan mesin sekrap kemudian difinishing
dengan menggunakan mesin frais/milling hingga rata
3. Pembuatan benda uji dengan menggunakan standar ASTM
(American Standart for Testing Materials ) seperti tertera pada
tabel 3.1, dengan urutan perhitungan sebagai berikut :
39
Untuk benda uji berupa lembaran/plat
5,4/ =AoLo (1)
atau
AoLo ×= 5,4
dengan;
twAo ×= (3)
Ao = luas permukaan benda uji w = tebal benda uji
t = lebar benda uji Lo = panjang ukur
Tabel 3.1 Dimensi Benda Uji Tarik (Dietier, 1986, hal 296)
(Sumber ; Dieter.G.E, Djaprie.S, : Metalurgi Mekanik Jilid I, hlm 296)
Jenis Benda Uji Amerika Serikat Inggris Raya Jerman
(ASTM) Sebelum 1962 Sekarang
Lembaran (Lo/√Ao) 4,5 4,0 5,65 11,3
Bulatan (Lo/Do) 4,0 3,54 5,0 10,0
Gambar 3.6 Bentuk dan Geometri Benda Uji Tarik
Sisa dari potongan plat akan dipakai untuk melakukan pengujian kekerasan
brinnel, foto mikro, foto makro, dan uji komposisi.
40
3.7 Peralatan Pengujian
Peralatan yang digunakan dalam proses pengujian antara lain :
1. Mesin uji tarik dengan kemampuan uji 1 ton (1000 kg), milik
Laboratorium Ilmu Logam Jurusan Teknik Mesin Universitas
Sanata Dharma, Yogyakarta
2. Mesin uji kekerasan "Brinell hardness tester MOD 100 MR"
milik Laboratorium Ilmu Logam Jurusan Teknik Mesin
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
3. Lup mikrometer untuk mengukur bekas injakan (kekerasan
Brinell)
4. Mikroskop merek Union buatan Jepang, untuk mengetahui
struktur mikro bahan
5. Kamera Nikon FM 2 dengan film berwarna ASA 200, untuk
pemotretan struktur mikro
6. Gelas ukur dan timbangan digital
7. Jangka sorong
8. Amplas tahan air ukuran kehalusan 200, 400, 800, 1000
9. Autosol, kain, batu hijau, stopwatch, dan millimeter blok
41
3.8 PROSES AGING
Dalam pelaksanaan proses aging, benda uji dipanaskan dengan empat
variasi suhu yaitu 150°C, 175°C, 200C, dan 220C. benda uji dipanaskan selama
36 jam.
Perlakuan aging menggunakan oven standart milik laboraturium ilmu
logam universitas sanata dharma. Sebelum benda uji dimasukkan ke dalam oven,
terlebih dahulu dilakukan proses finishing. Tujuannya agar panas yang diterima
oleh benda uji bisa merata.
Dalam proses aging suhu maksimal dan minimal harus tidak lebih dari 10°C
(±10°C).
Gambar 3.7 Oven
42
3.9 Pengujian Hasil Coran
3.9.1 Pengujian Tarik
Pengujian tarik merupakan salah satu jenis pengujian destruktif (pengujian
yang sifatnya merusak benda uji). Pengujian tarik dilakukan dengan jalan
memberikan beban tarik pada benda uji secara perlahan-lahan sampai putus. Batas
mulur, kekuatan tarik, perpanjangan, pengecilan luas diukur dalam pengujian ini.
Pelaksanaan pengujian adalah sebagai berikut :
a. Untuk langkah pertama ukuran-ukuran benda uji dan nomor
benda uji dicatat.
b. Kemudian benda uji dipasang pada grip (penjepit) atas dan
bawah pada mesin uji, dan dinaikkan atau turunkan grip bawah
dengan kecepatan sedang sehingga penjepitan benda uji dalam
posisi yang tepat. kedudukan benda uji betul-betul vertikal dan
setelah itu kedua penjepit dikencangkan secukupnya saja
c. Power printer hidupkan dan kertas milimeter blok dipasang pada
printer
d. Mesin dijalankan dan angka yang ditampilkan pada data display
dicatat sampai benda uji patah.
43
Gambar 3.8 Mesin Uji Tarik
Beban tarik yang bekerja pada benda uji akan menimbulkan pertambahan
panjang disertai pengecilan penampang benda uji. Dari data yang diperoleh dari
pengujian tarik kita dapat melakukan perhitungan untuk cari nilai dari tegangan
maksimum dan regangan dari benda uji tersebut, perhitungan dilakukan dengan
menggunakan rumus berikut ini :
1. Kekuatan Tarik :
2max kg/mm o
u AP
=σ (4)
dengan : P.Max = gaya maksimum (kg)
Ao = luas penampang mula-mula (mm2)
44
2. Regangan :
00
0 %100LLx
LLL Δ
=−
=ε x 100% (5)
dengan : Lo = panjang ukur awal/sebelum pengujian(mm)
L = panjang ukur akhir/sesudah pengujian (mm)
Δ L = pertambahan panjang (mm)
Semakin besar panjang ukur semakin besar pula nilai regangan karena
pertambahan panjang akan semakin besar dan rumus dari regangan sendiri
berbanding lurus dengan perubahan panjang dan berbanding terbalik dengan
panjang ukur awal benda uji. Percobaan tarik diadakan untuk hampir semua
bahan, oleh karena dengan demikian kita dapat memperoleh kesimpulan dari
sifat-sifat mekanik sebagai berikut
1. Kekuatan tarik adalah ukuran untuk kekuatan suatu bahan. Suatu
bahan dengan kekuatan tarik yang lebih tinggi kita sebut lebih
kuat. Suatu bahan dengan kekuatan tarik yang lebih rendah kita
sebut lebih lemah
2. Regangan adalah ukuran untuk sifat dapat dibentuk dari suatu
bahan. Suatu bahan dengan regangan yang lebih besar kita sebut
lebih dapat dibentuk. Bahan dengan regangan yang lebih kecil
kita sebut kurang dapat dibentuk
45
3.9.2 Pengujian Kekerasan
Pengujian kekerasan yaitu untuk mengetahui kekerasan bahan yang
merupakan ukuran ketahanan terhadap deformasi plastis. Pengujian dilakukan
dengan pengujian Brinell. Cara pengukuran kekerasannya adalah bola baja
berdimeter 5 mm, ditekankan ke permukaan bagian dari benda uji dengan beban
tertentu. Kemudian diameter bekas injakan penetrator diukur dengan
menggunakan alat ukur optik. Cara Brinell ini dilakukan dengan penekanan
sebuah bola (penetrator) yang terbuat dari baja krom ke permukaan benda uji
Tekanan yang digunakan berupa gaya tekan statis. Permukaan yang diuji harus
bersih dan rata. Setelah gaya tekan ditiadakan pada benda uji akan terdapat bekas
injakan penetrator, kemudian diameter bekas injakan tadi diukur secara teliti
untuk dipakai dalam perhitungan uji kekerasan. Kekerasan ini disebut
“Kekerasan Brinell” yang disingkat dengan HB atau BHN (Brinell Hardness
Number). Besarnya harga kekerasan brinell dapat dihitung dengan rumus sebagai
berikut :
HB = )(
222 dDDD
P−−π
2mmkg (6)
dengan :
P = gaya yang bekerja pada penetrator (kg)
D = diameter penetrator (mm)
d = diameter bekas injakan (mm)
Bola Brinell tidak boleh terdeformasi saat pengujian benda uji. Bola
Brinell mempunyai standar dengan diameter (D). Saat pengujian Brinell ini, perlu
46
diperhatikan beban tekan (P), diameter bola dan jenis logam uji. Besar beban yang
bekerja tergantung pada diameter bola dan jenis benda uji. Diameter penetrator
yang digunakan tergantung pada tabel benda uji. Diameter penetrator yang sering
digunakan adalah sebagai berikut:
Tabel 2.3 Pemilihan Diameter Penetrator
Tebal benda uji (mm) Diameter penetrator 1 - 3 D = 2,5 3 - 6 D = 5 > 6 D = 10
HB rata-rata 2D
P Bahan
160 30 Baja, besi cor 160 - 80 10 kuningan 80 - 20 5 Aluminium, tembaga
52 =DP 102 =
DP 302 =
DP
Diameter penetrator (D = mm) Gaya (kg)
2,5 31,25 62,5 187,5 5 125 250 750 10 500 1000 3000
Langkah – langkah pelaksanaan pengujian
1. Permukaan pada benda uji harus dibersihkan dan dihaluskan
dengan amplas supaya permukaannya rata dan halus.
2. Setelah itu harus menentukan diameter penetrator dan besarnya
gaya penekanan.
3. Penekanan injektor dilakukan dengan cara memutar hendel
penekan, hingga mencapai gaya penekanan yang diinginkan,
47
lama penekanan diukur dengan stopwatch selama 30 detik
Pengujian ini dilakukan hingga mendapat 3 bekas injakan dengan
tempat yang berbeda.
4. Benda uji yang telah selesai diuji dipindahkan dari alat uji untuk
diamati besarnya lubang bekas penetrator dengan lup
mikrometer.
5. Data yang ada dari hasil pengujian yang dilakukan dicatat dan
dihitung harga kekerasan untuk tiap benda uji.
Gambar 3.9 Mesin uji kekerasan "Brinell Hardness Tester MOD 100 MR"
3.9.3 Pengamatan Struktur Mikro
Dalam pengujian ini kualitas bahan ditentukan dengan mengamati
struktur benda uji dengan menggunakan mikroskop, disamping itu dapat pula
mengamati cacat dan bagian yang tidak teratur. Struktur mikro dari suatu bahan
dapat diketahui dengan cara memfoto yang sudah dietsa. Pengamatan struktur
48
mikro dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari sifat-sifat logam dan akibat
dari perlakuan panas dengan mikroskop, serta memeriksa struktur logam. Bila
cahaya yang dipantulkan masuk ke dalam lensa mikroskop metal, permukaan
akan tampak terlihat dengan jelas. Bila berkas dipantulkan dan tidak mengenai
lensa, daerah itu akan tampak hitam. Batas butir akan tampak seperti mengelilingi
setiap butir dan cahaya tidak dipantulkan ke dalam lensa. Jadi batas butir tampak
seperti garis-garis hitam. Pada gambar berikut akan tampak arah pemantulan
cahaya.
A- contoh sedang diamati
B- tampilan contoh di okuler
Gambar 3.10 Pemantulan cahaya pada benda
49
Prosedur Pengujian :
1. Permukaan benda uji dihaluskan dan dibersihkan pada sisinya
sehingga permukaan tersebut rata dan sejajar dengan
menggunakan amplas mulai dari yang kasar sampai amplas yang
halus.
2. Benda uji tersebut digosok dengan autosol hingga permukaannya
mengkilat, kemudian benda uji cuci dengan air kemudian
keringkan.
3. Benda uji dipasang di bawah mikroskop, dan lensa diatur dengan
perbesaran 50× dan gambarnya amati dan ambil dengan kamera.
4. Gambar yang difoto sebelum benda uji dietsa ini nantinya akan
digunakan untuk perhitungan porositas bahan.
5. Benda uji dietsa dengan menggunakan larutan NaOH 50%.
6. Setelah itu benda uji dimasukan ke dalam cairan alkohol untuk
menetralkan bahan etsa kemudian dilap dan dikeringkan.
7. Benda uji dipasang di bawah mikroskop, dan lensa diatur dengan
perbesaran 50× dan 100× dan masing-masing gambarnya amati
dan ambil dengan kamera.
Gambar 3.11 Mikroskop Mikro dilengkapi dengan Kamera
50
3.9.4 Pengamatan Makro
Pengamatan struktur makro bertujuan untuk mengetahui bagaimana
bentuk penampang patahan dari dari benda uji tarik dan juga untuk mengetahui
porositas secara visual. Cara pengamatan struktur makro adalah dengan memfoto
bentuk patahan dari benda uji tarik secara vertikal dan horisontal.
3.9.5 Pengujian Komposisi Kimia
Pengujian komposisi kimia adalah untuk mengetahui apakah komposisi
kimia dari benda coran sesuai dengan yang diharapkan. Dengan dimikian kita
dapat mengetahui seberapa banyak unsur paduan yang larut ke dalam coran.
Jalanya pengujian komposisi kimia dalah sebagai berikut :
1. Nyalakan semua peralatan pendukung dan sambungkan dengamn
arus listrik dan tunggu beberapa saat sampai spektrometer siap
melakukan pengujian.
2. Setelah spektrometer siap, pilih program yang akan diuji.
3. Lakukan standarisasi benda uji.
4. Setelah selesai distandarisasi, lakukan pengujian pada sampel
benda uji.
5. Lakukan analisa sampel benda uji :
• Letakan sampel benda uji pada dudukan kerja, kemudian
tekan start pada alat dimana analisa sampel mulai
dilakukan, penekanan sampel jangan dilepas sampai bunyi
spark terdengar.
51
• Lakukan penembakan minimal 4 kali pada tempat yang
berbeda.
• Setiap selesai penembakan lakukan pembersihan pada pin
penembakan.
• Print out hasil uji komposisi kimia didapatkan.
6. Proses analisa selesai.
Gambar 3.12 Mesin Uji Komposisi
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam pengujian paduan aluminium ini, penambahan unsur Tembaga
yang diberikan sebesar 4%. Sebagaimana sudah dibahas pada bab II, penambahan
unsur tembaga memiliki sifat-sifat mekanis dan mampu mesin yang baik
sedangkan mampu cor bahan ini agak jelek. Adanya Si sangat berguna untuk
mengurangi keadaan itu dan unsur Si sangat efektif untuk memperhalus butir, dan
juga dapat memperbaiki mempu cornya. Dengan perlakuan panas pada coran
dapat dibuat bahan yang mempunyai kekuatan tarik yang sangat tinggi.Tembaga
dapat berpengaruh pada sifat mampu cor, meningkatkan keuletan bahan,
meningkatkan kekuatan. Penambahan variasi Cu dan perlakuan panas ini adalah
untuk mengetahui perubahan sifat-sifat fisis dan mekanisnya.
4.1. Persiapan Pengecoran
4.1.1. Perhitungan Bahan Coran
Sebelum dilakukan pengecoran terlebih dahulu diadakan perhitungan
untuk menentukan berat dan jumlah bahan coran yang dibutuhkan. Perhitungan
dilakukan dengan cara menghitung volume cetakan yang akan digunakan
kemudian hasil perhitungan dibandingkan dengan massa jenis dari bahan coran
yang paling banyak digunakan atau dengan kata lain bahan coran utama.
Perhitungan ini dilakukan untuk mencegah kurangnya bahan coran (logam
cair) atau berlebihnya bahan coran, dengan adanya perhitungan bahan ini akan
52
53
didapat berat bahan coran yang sesuai tentu saja dengan memperhitungkan faktor
koreksi dan penyusutan logam, baik pada waktu pembekuan maupun pada waktu
peleburan. Dari perhitungan maka diambil berat bahan coran yang digunakan
pada setiap proses pengecoran sebesar 500 gram, pemilihan ini bertujuan untuk
memudahkan proses perhitungan komposisi bahan coran yang akan digunakan.
4.1.2. Perbandingan Komposisi Bahan Coran
Coran yang akan diteliti terdiri dari lima jenis coran, yaitu :
1. Coran Al mula-mula tanpa perlakuan aging.
2. Paduan Coran Aluminium dan Tembaga (2%) yang diberi perlakuan
Aging pada waktu 36 jam dengan variasi suhu 150°C.
3. Paduan Coran Aluminium dan Tembaga (2%) yang diberi perlakuan
Aging pada waktu 36 jam dengan variasi suhu 175°C.
4. Paduan Coran Aluminium dan Tembaga (2%) yang diberi perlakuan
Aging pada waktu 36 jam dengan variasi suhu 200°C.
5. Paduan Coran Aluminium dan Tembaga (2%) yang diberi perlakuan
Aging pada waktu 36 jam dengan variasi suhu 220°C.
54
Setelah diketahui berat bahan yang akan digunakan maka dapat kita simpulkan
perbandingan komposisinya pada tabel 4.1 sebagai berikut :
Tabel 4.1. Komposisi Bahan Coran Paduan Al-Cu Presentase (%) Bahan (gram)
Coran ke- Al paduan Cu Al paduan Cu 1 100% - 500 - 2 98% 2% 490 10 3 98% 2% 490 10 4 98% 2% 490 10 5 98% 2% 490 10
4.2. Data Pengecoran
Data pengecoran yang diambil meliputi :
1. waktu peleburan
2. waktu penuangan
3. waktu pembekuan
4. suhu penuangan
Data pengecoran secara lengkap dapat dilihat pada tabel 4.2 dibawah ini :
Tabel 4.2. Data yang diperoleh pada Pengecoran Paduan Al - Cu
Suhu penuangan
(oC) Waktu Peleburan
(menit) waktu Penuangan
(detik)
Waktu Pembekuan
(detik)
Al mula-mula 680 15 2.42 30 Al-4%Cu (corI) 739 16.37 2.61 35 Al-4%Cu (corII) 739 15.19 3 45 Al-4%Cu (corIII) 710 15.03 4 45 Al-4%Cu (corIV) 733 14 4 45 Al-4%Cu (corV) 769 16.57 4 47
55
Hasil pencatatan waktu pembekuan dapat kita lihat pada diagram dibawah ini :
Diagram Waktu Pembekuan
30
41,67
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
Al-Si (100%) Al-Si-2%Cu
Wak
tu (d
etik
)
Gambar 4.1. Diagram Waktu Pembekuan Paduan Al-Si-Cu
Dapat kita lihat dari gambar 4.1. diagram waktu pembekuan (solidification time)
bahwa waktu pembekuan semakin meningkat setelah ditambahkan dengan
Tembaga (Cu) sebanyak 2%. Hal ini terjadi karena penambahan unsur Tembaga
(Cu) memperlambat proses pembekuan.
4.3. Pengujian Tarik
Dalam pelaksanaan pengujian tarik ini, setiap variasi benda uji
menggunakan lima buah spesimen dengan variasi Cu 4 % yang di aging selama
36 jam dengan suhu 150°C, 175°C dan 220°C. Dari kelima spesimen yang telah
diuji itu kemudian ditentukan rata-ratanya, sehingga dengan melakukan pengujian
tarik ini akan diperoleh harga rata-rata kekuatan tarik dan persentase regangan.
Dari hasil pengujian tarik didapatkan grafik seperti di bawah ini.
56
σ
14,976
14,398
15,17
13,4313,14
12
12,5
13
13,5
14
14,5
15
15,5
Mula-mula T = 150°C T = 175°C T = 200°C T = 220°C
Waktu aging 36 jam
Gambar 4.2. Hasil Pengujian Kekuatan Tarik 1
Dari gambar grafik kekuatan tarik diatas dapat dilihat bahwa kekuatan
tarik terbesar terdapat pada paduan Al - 4%Cu dengan perlakuan aging pada suhu
175°C, karena padaproses ini ikatan strukturnya lebih maksimal. Kekuatan
tariknya mencapai 15,7 kg/mm2. Setelah benda mula-mula diberi perlakuan aging
kekuatan tariknya mengalami beberapa variasi penurunan dan peningkatan,
dimana kekuatan tarik terbesar terjadi setelah dilakukan aging pada T = 175°C
yaitu sebesar 15,7 kg/mm2, dan kekuatan tarik terkecil terjadi pada T = 220°C
yaitu sebesar 13,14 kg/mm2.
57
Besarnya kekuatan tarik dari seluruh variasi dapat dilihat pada tabel 4.3
berikut (seperti terlihat pada lampiran hal 73) :
Tabel 4.3 Tabel kekuatan tarik
Paduan & Perlakuan Kekuatan Tarik (σ u ), kg/mm2
Mula-mula
Al-4% Cu T = 150°C
Al-4% Cu T = 175°C
Al-4% Cu T = 200°C
Al-4% Cu T = 220°C
14,98
14,40
15,17
13,43
13,14
Selain menghasilkan kekuatan tarik yang bervariasi, penambahan Cu dan
perlakuan aging juga menyebabkan nilai persentase regangan yang bervariasi.
Dari Gambar 4.3 dapat dilihat bahwa regangan terbesar terdapat pada paduan Al
mula-mula tanpa penambahan Cu dan tanpa perlakuan aging dan regangan
terkecil terdapat pada paduan Al-4% Cu yang diaging pada suhu 200°C dengan
waktu 36 jam.
4.5
1.541.22
0.83
1.62
0 0.5
1 1.5
2 2.5
3 3.5
4 4.5
5
Mula-mula T = 150°C T = 175°C T = 200°C T = 220°C
ε
Waktu aging 36 jam
Gambar 4.3 Hasil Pengujian Regangan
58
Dari grafik regangan diatas, dapat disimpulkan bahwa ragangan tertinggi
terjadi pada benda mula-mula tanpa perlakuan aging dan tanpa penambahan unsur
Cu. Dan setelah ditambah dengan unsur Cu dan dilakukan proses aging, regangan
akan turun. Ini disebabkan karena unsur Cu dan perlakuan aging bersifat
menurunkan regangan tarik dan mengeraskan paduan. Seperti terlihat dalam tabel
4.4 berikut.
Tabel 4.4 Tabel regangan
Paduan & perlakuan Regangan Total (%)
Mula-mula
Al-4% Cu T = 150°C
Al-4% Cu T = 175°C
Al-4% Cu T = 200°C
Al-4% Cu T = 220°C
4,50
1,54
1,22
0,83
1,62
4.4. Pengujian Kekerasan
71.12 72.57
90.7179.79
92.99
79.68
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
100
mula-mula cor ulang T = 150°C T = 175°C T = 200°C T = 220°C
HB
Waktu aging 36 jam
Gambar 4.4 Grafik Pengujian Kekerasan
59
Pada pengujian kekerasan ini dilakukan dengan cara memberikan
penekanan dengan bola identor pada setiap variasi dengan alat uji kekerasan.
Setiap variasi diberikan 3 kali penekanan pada tempat yang berbeda, tekanan yang
diberikan sebesar 125 kg. Dari Gambar 4.3 dapat dilihat bahwa paduan Al-4% Cu
dengan aging 200oC selama 36 jam merupakan paduan yang paling keras setelah
diuji kekerasan. Angka kekerasannya mencapai 92,99 BHN. Benda awal yang
mengalami pengecoran ulang engalami kenaikan kekerasan dibanding dengan
paduan mula-mula. Besarnya paduan pada masing-masing variasi dapat dilihat
pada tabel 4.5 berikut ini (seperti terlihat pada lampiran hal 77) :
Tabel 4.5 Tabel pengujian kekerasan
Paduan BHN
Mula-mula
Cor ulang
Al-Si-2% Cu T = 150°C
Al-Si-2% Cu T = 175°C
Al-Si-2% Cu T = 200°C
Al-Si-2% Cu T = 220°C
71,12
72,57
90,71
79,79
92,99
79,68
4.5. Pengamatan Struktur Mikro
Pengamatan struktur mikro bertujuan untuk mengamati perubahan besar
butir yang terjadi pada setiap variasi coran. Pengamatan struktur mikro dilakukan
pada benda uji standart dan yang sudah dietsa, adapun fungsi etsa adalah untuk
mengkorosi permukaan benda uji supaya strukturnya jadi lebih jelas.
60
Gambar 4.5. Al-Si cor ulang
200 μm
200 μm
Gambar 4.6. Al-Si-4% Cu
200 μm
Gambar 4.7. Al-Si 4% Cu aging T = 150oC
61
200 μm
Gambar 4.8. Al-Si 4% Cu aging T = 175oC
200 μm
Gambar 4.9. Al-Si 4% Cu aging T = 200oC
200 μm
Gambar 4.10. Al-Si 4% Cu aging T = 220oC
62
Gambar 4.11. Al-Si setelah di etsa
Gambar 4.12. Al-Si 4% Cu cor ulang setelah di etsa
100 μm
100 μm
100 μm
Gambar 4.13. Al-Si 4% Cu aging T = 150oC setelah dietsa
63
Gambar 4.14. Al-Si 4% Cu aging T = 175oC setelah dietsa
100 μm
100 μm
Gambar 4.15. Al-Si 4% Cu aging T = 200oC setelah dietsa
100 μm
Gambar 4.16. Al-Si 4% Cu aging T = 220oC setelah dietsa
64
Dari gambar-gambar di atas dapat dilihat bahwa pada setiap variasi
memiliki struktur mikro yang berbeda-beda. Pada benda mula-mula struktur lebih
merata, ini menyebabakan kekuatan tarik baik tetapi kekerasannya menurun. Lain
halnnya dengan benda mula-mula yang mengalami proses pengecoran ulang,
dapat dilihat bahwa bentuk butirannya tidak sama satu dengan yang lainnya, ada
yang berbentuk oval ada juga yang berbentuk bulat besarnya pun tidak sama
antara satu dengan yang lainnya. Sedangkan untuk paduan AL-4%Cu dengan
aging 175oC strukturnya oval dan agak besar, ini menyebabkan kekuatan tariknya
baik, dan pada paduan AL-4%Cu dengan aging 200oC strukturnya lebih rapat ini
menyebabkan kekerasanya baik.
4.6. Pengamatan Makro
Gambar 4.17 cor ulang Al-Si (benda uji ke 3)
65
Gambar 4.18 Al-Si-4% Cu Aging T=150°C (benda uji ke 2)
Gambar 4.19 Al-Si-4% Cu Aging T=175°C (benda uji ke 3)
Gambar 4.20 Al-Si-4% Cu Aging T=200°C (benda uji ke 4)
66
Gambar 4.21 Al-Si-4% Cu Aging T=220°C (benda uji ke 1)
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa pada setiap benda uji pada
bagian patahan ukurannya mengecil dan juga jika dilihat dari bentuk patahannya
yang tidak beraturan menandakan bahwa paduan Al-4%Cu ini merupakan benda
yang ulet dan keras. Pada bagian patahan ukuran yang mengecil disebabkan oleh
gaya tarik dari mesin uji tarik itu sendiri.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Dari hasil-hasil pengujian yang telah dilakukan dan dari hasil tinjauan terhadap
beberapa pustaka yang ada, disimpulkan sebagai berikut:
1. Kekuatan tarik tertinggi yang dihasilkan yaitu pada paduan coran Al - 4%
Cu yang diaging dengan suhu 175oC selama 36 jam sebesar 15,17 kg/mm2,
sedangkan kekuatan tarik terendah yaitu pada paduan coran Al - 4% Cu
yang diaging dengan suhu 220oC selama 36 jam sebesar 13,14 kg/mm2.
Prosentase regangan terendah pada paduan coran Al - 4% Cu yang diaging
pada suhu 150oC dengan waktu 36 jam yaitu sebesar 0,15 %. Sedangkan
prosentase regangan tertinggi terjadi pada paduan Al mula-mula yang
besarnya 4,50 %.
2. Pengaruh proses aging adalah meningkatkan kekerasan pada paduan. Nilai
kekerasan tertinggi terdapat pada paduan coran Al - 4% Cu yang diaging
pada suhu 200oC dengan waktu 36 jam sebesar 90,99 kg/mm2. sedangkan
nilai kekerasan terendah terjadi pada paduan mula-mula sebelum dicor
ulang, yaitu sebesar 71,12 kg/mm2.
3. Pada struktur mikro terlihat bahwa proses aging memberi perubahan pada
struktur dan kerapatan butiran kristal yang sangat berpengaruh terhadap
sifat mekanis bahan.
67
68
4. Pada pengamatan struktur makro dapat disimpulkan bahwa pengaruh
temperatur aging dapat membuat benda uji menjadi lebih ulet, karena pada
daerah sekitar patahan penempangnya menjadi lebih kecil.
69
5.5. Saran
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti dapat memberikan beberapa
saran dan pendapat sebagai berikut:
1. Pelaksanaan pengecoran sebaiknya dilakukan didalam ruang tertutup agar
pengaturan api yang digunakan untuk mencairkan logam lebih fokus dan
tidak terganggu dengan adanya hembusan angin yang akan mengakibatkan
api tidak fokus pada kowi dan terjadi pemborosan bahan bakar, serta
dengan adanya angin juga akan mempercepat laju pendinginan logam cair
pada waktu akan dituang kedalam cetakan yang dapat mengakibatkan
pembekuan logan cair terlalu cepat sehingga dapat menimbulkan cacat
berupa retak maupun porositas yang tinggi pada coran.
2. Selang pada kompressor sudah terlalu pendek dan aus sehingga perlu
diganti dengan yang baru agar tidak mengganggu proses peleburan logam
ketika perlu ditambahkan udara kedalam tabung.
3. Tungku tanah liat yang digunakan sebaiknya dibuat agak tebal sehingga
dapat mencegah pelepasan panas yang cepat, hal ini akan mempercepat
peleburan logam dan pecahnya tungku.
4. Bahan bakar untuk burner sebaiknya menggunakan solar, walaupun
harganya lebih mahal dibandingkan minyak tanah tetapi proses peleburan
logam akan berlangsung lebih cepat dan efisien, hal ini terjadi akibat kalor
jenis solar yang tinggi bila dibandingkan dengan kalor jenis minyak tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Dieter, G, E., 1990, Metalurgi Mekanik, alih bahasa oleh Sriati Djapri, edisi
ketiga, Erlangga, Jakarta. Surdia, T., Saibo, S., 1981, Pengetahuan Bahan Teknik, PT Pradnya Paramita,
Jakarta. Surdia Tata, Kenji Chijiiwa., 1976. Pengetahuan Bahan Teknik, PT Pradnya
Paramita, Jakarta. Harry, T., 2006. Sifat Fisis Dan Mekanis Paduan Al-Ag-Mg, Skripsi, Jurusan
Teknik Mesin, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Gerardus, J., 2006. Pengaruh Penambahan Perak (Ag) Terhadap Perubahan Sifat Fisis Dan Mekanis Coran Aluminium Tembaga (Al-Cu), Skripsi, Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
70
71
1. Perhitungan
A. Perhitungan Bahan Coran
1. Volume Coran :
V1 = p × l × t
= 150 mm × 150 mm × 5 mm
= 112.500 mm3
2. Volume Lubang Tuang :
V2 = td×⎟
⎠⎞
⎜⎝⎛×
2
2π
= 202
33 2
×⎟⎠⎞
⎜⎝⎛×π
= 17.105,972 mm3
3. Volume Lubang Masuk :
V3 = td×⎟
⎠⎞
⎜⎝⎛×
2
2π
= 202
20 2
×⎟⎠⎞
⎜⎝⎛×π
= 6.283,185 mm3
4. Volume Penambah (Riser) :
V4 = ⎥⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡⎟⎠⎞
⎜⎝⎛××
2
243 dπ
= ⎥⎥⎦
⎤
⎢⎢⎣
⎡⎟⎠⎞
⎜⎝⎛××
2
225
43 π
= 368,155 mm3
72
5. Volume Total :
Vtotal = V1 + V2 +V3 +V4
= (112.500 + 17.105,972 + 6.283,185 + 368,155) mm3
= 136.257,312 mm3
6. Digunakan Alumunium sebagai bahan perbandingan coran, karena
Aluminium merupakan bahan coran utama, maka perhitungannya
adalah sebagai berikut :
vm
=ρ vm ×= ρ
totalALAL vm ×= ρ
= 2,7 × 10-6 kg/mm3 × 136.257,312 mm3
= 0,368 kg = 368 gram
B. Data dari penelitian pengujian tarik
Perhitungan Pembuatan Benda Uji
a. Luas penampang daerah pengujian
ltAo ×=
b. Panjang daerah pengujian
AoLo ×= 5,4
Data Spesimen Benda Uji pada Pengujian Tarik
Tebal Benda Uji
(mm) Lebar Benda Uji
(mm) Ao = t × l
(mm2) Lo = 4,5 x √a
(mm2)
Al Si 100% 4 15 60 34,85
Al-Si-Cu2% aging 150°C 4 10 40 28,46
Al-Si-Cu2% aging 175°C 4 10 40 28,46
Al-Si-Cu2% aging 200°C 4 13 52 32,45
Al-Si-Cu2% aging 220°C 4 13 52 32,45
73
Perhitungan Kekuatan Tarik
a. Paduan Al mula-mula :
No. Benda Uji F.Mak (kg)
A (mm2) σ (kg/mm2)
1 956,40 60 15,940 2 960,10 60 16,001 3 922,40 60 15,373 4 751,70 60 12,530 5 902,40 60 15,040
Nilai rata-rata Kekuatan Tarik = 14,976 kg/mm2
b. Paduan Coran Al - 2% Cu aging 150°C
No. Benda Uji F.Mak (kg)
A (mm2) σ (kg/mm2)
1 521,50 40 13,04 2 498,90 40 13,47 3 795,20 40 19,88 4 592,60 40 14,82 5 471,20 40 11,78
Nilai rata-rata Kekuatan Tarik = 14,398 kg/mm2
74
c. Paduan Coran Al - 4% Cu aging 175°C
No. Benda Uji F.Mak (kg)
A (mm2) σ (kg/mm2)
1 615,80 40 15,39 2 627,40 40 15,68 3 682,90 40 17,07 4 611,20 40 15,28 5 497,20 40 12,43
Nilai rata-rata Kekuatan Tarik = 15,17 kg/mm2
d. Paduan Coran Al - 4% Cu aging 200°C
No. Benda Uji F.Mak (kg)
A (mm2) σ (kg/mm2)
1 705,40 52 13,565 2 588,80 52 11,320 3 695,30 52 13,370 4 778,70 52 14,975 5 723,90 52 13,920
Nilai rata-rata Kekuatan Tarik = 13,43 kg/mm2
e. Paduan Coran Al - 4% Cu aging 220°C
No. Benda Uji F.Mak (kg)
A (mm2) σ (kg/mm2)
1 821,3 52 15,79 2 698,9 52 13,44 3 844,2 52 16,23 4 599,4 52 11,53 5 453,1 52 8,71
Nilai rata-rata Kekuatan Tarik = 13,14 kg/mm2
75
Perhitungan Regangan
a. Cor ulang Al-Si :
No benda ΔL (mm) Lo (mm) ε (%) 1 1,30 34,85 3,7
2 1,80 34,85 5,1
3 1,90 34,85 5,4
4 1,15 34,85 3,2
5 1,70 34,85 4,8
Nilai rata-rata Regangan = 4,50 %
b. Paduan Coran Al-4%Cu aging 150°C
No benda ΔL (mm) Lo (mm) ε (%) 1 0,25 28,46 0,88
2 0,50 28,46 1,75
3 0,55 28,46 1,93
4 0,35 28,46 1,23
5 0,55 28,46 1,93
Nilai rata-rata Regangan = 1,544 %
c. Paduan Coran Al-4%Cu aging 175°C
No benda ΔL (mm) Lo (mm) ε (%) 1 0,40 28,46 1,40
2 0,45 28,46 1,58
3 0,35 28,46 1,23
4 0,20 28,46 0,70
5 0,35 28,46 1,23 Nilai rata-rata Regangan = 1,228 %
76
d. Paduan Coran Al-4%Cu aging 200°C
No benda ΔL (mm) Lo (mm) ε (%)
1 0,20 32,45 0,62
2 0,25 32,45 0,77
3 0,25 32,45 0,77
4 0,30 32,45 0,92
5 0,35 32,45 1,07
Nilai rata-rata Regangan = 0,83 %
e. Paduan Coran Al-4%Cu aging 220°C
No benda ΔL (mm) Lo (mm) ε (%) 1 0,60 32,45 1,85
2 0,48 32,45 1,48
3 0,50 32,45 1,54
4 0,70 32,45 2,16
5 0,36 32,45 1,11
Nilai rata-rata Regangan = 1,628 %
77
C. Pengujian Kekerasan Brinell
Syarat-syarat pengambilan data bekas injakan pada pengujian kekerasan
Brinell adalah :
- Diameter Minimum bekas injakan :
DD ×= 25,0min
= 1,25 mm 525,0 ×=
- Diameter Maksimum bekas injakan :
DD ×= 5,0max
= 2,5 mm 55,0 ×=
Melalui perhitungan diperoleh :
Gaya Tekan (kg) Diameter Injector (mm) π (Phi) BHN(kg/mm2)
Al Si 100% 125 5 22/7 71,12
Al Si Cu4% 125 5 22/7 72,57
Al-Si-Cu4% aging 150°C 125 5 22/7 90,71
Al-Si-Cu4% aging 175°C 125 5 22/7 79,79
Al-Si-Cu4% aging 200°C 125 5 22/7 92,99
Al-Si-Cu4% aging 220°C 125 5 22/7 79,68
Perhitungan pengujian kekerasan menggunakan metode Brinell :
1. Coran Al Si 100%
d1 = 1,46 mm BHN = 73,04 kg/mm2
d2 = 1,48 mm BHN = 71,08 kg/mm2
d3 = 1,50 mm BHN = 69,23 kg/mm2
Rata-Rata BHN = 71,12 kg/mm2
78
2. Paduan Al Si Cu 4%
d1 = 1,50 mm BHN = 69,23 kg/mm2
d2 = 1,46 mm BHN = 73,04 kg/mm2
d3 = 1,44 mm BHN = 75,46 kg/mm2
Rata BHN = 72,576 kg/mm2
3. Paduan Paduan Coran Al-Si-Cu4% aging 150°C
d1 = 1,32 mm BHN = 89,96 kg/mm2
d2 = 1,30 mm BHN = 92,59 kg/mm2
d3 = 1,30 mm BHN = 92,59 kg/mm2
Rata-Rata BHN = 90,71 kg/mm2
4. Paduan Paduan Coran Al-Si-Cu4% aging 175°C
d4 = 1,42 mm BHN = 77,67 kg/mm2
d5 = 1,38 mm BHN = 82,08 kg/mm2
d6 = 1,40 mm BHN = 79,62 kg/mm2
Rata-Rata BHN = 79,79 kg/mm2
5. Paduan Paduan Coran Al-Si-Cu4% aging 200°C
d7 = 1,28 mm BHN = 95,35 kg/mm2
d8 = 1,30 mm BHN = 93,67 kg/mm2
d9 = 1,32 mm BHN = 89,96 kg/mm2
Rata-Rata BHN = 92,99 kg/mm2
6. Paduan Paduan Coran Al-Si-Cu4% aging 220°C
d10 = 1,42 mm BHN = 77,34 kg/mm2
d11 = 1,38 mm BHN = 82,08 kg/mm2
79
d12 = 1,40 mm BHN = 79,63 kg/mm2
Rata-Rata BHN = 79,68 kg/mm2
D. Satuan Skala Foto :
Dari hasil pemotretan dengan ukuran kertas 3R pada perbesaran 50x dan
100x dapat dicari ukuran sebenarnya. Ukuran tersebut harus dikonversikan
terlebih dahulu dengan membandingkan foto mikro kawat tembaga
0,11mm (110 μm) pada pembesaran 50x dan 100x.
• Perbesaran 50x
Dari foto dengan perbesaran 50x, diameter kawat tembaga terukur
10 mm. Dari hasil foto mikro kawat tembaga dengan diameter 0,11
mm setara dengan 10 mm.
Perbesaran foto = x1001,0
10=
Misal = 20 mm, jarak kalibrasi = 1020 x 0,1 = 0,2 mm
Jarak yang didapat adalah 0,2 mm = 200 μm
• Perbesaran 100x
Dari foto dengan perbesaran 100x, diameter kawat tembaga terukur
20 mm. Dari hasil foto mikro kawat tembaga dengan diameter 0,11
mm setara dengan 20 mm.
Perbesaran foto = x2001,0
20=
Misal = 20 mm, jarak kalibrasi = 2020 x 0,1 = 0,1 mm
Jarak yang didapat adalah 0,1 mm = 100 μm
80
♦ Gambar Grafik pengerasan pada proses aging:
Berikut adalah gambar grafik pengerasan dua tahap dari paduan Al-4%Cu
dimana variasi waktu aging diperoleh dari grafik dibawah ini.
Gambar L.1 Grafik pengerasan dua tahap dari paduan Al-4%Cu (Tata Surdia,2000 ,hlm.133)
Berdasarkan grafik diatas, adapun variasi temperatur aging yang saya pilih adalah
150ºC, 175ºC, 200ºC, 220ºC dengan waktu 36 jam.
81
2. Lampiran Gambar
Grafik Pengujian Tarik :
1. Coran Al mula-mula
P (kg)
ΔL (mm)
Gambar L.2.1. Kurva kekuatan tarik benda uji 1
ΔL (mm)
P (kg)
Gambar L.2.2. Kurva kekuatan tarik benda uji 2
82
P (kg)
ΔL (mm)
Gambar L.2.3. Kurva kekuatan tarik benda uji 3
P (kg)
ΔL (mm) Gambar L.2.4. Kurva kekuatan tarik benda uji 4
83
P (kg)
ΔL (mm)
Gambar L.2.5. Kurva kekuatan tarik benda uji 5
2. Paduan Coran Al - 4% Cu aging T = 150oC
P (kg)
ΔL (mm)
Gambar L.2.6. Kurva kekuatan tarik benda uji 1
84
P (kg)
ΔL (mm) Gambar L.2.7. Kurva kekuatan tarik benda uji 2
P (kg)
ΔL (mm) Gambar L.2.8. Kurva kekuatan tarik benda uji 3
85
P (kg)
ΔL (mm)
Gambar L.2.9. Kurva kekuatan tarik benda uji 4
P (kg)
ΔL (mm)
Gambar L.2.10. Kurva kekuatan tarik benda uji 5
86
3. Paduan Coran Al - 4% Cu aging T = 175oC
ΔL (mm)
P (kg)
Gambar L.2.11. Kurva kekuatan tarik benda uji 1
P (kg)
ΔL (mm)
Gambar L.2.12. Kurva kekuatan tarik benda uji 2
87
P (kg)
ΔL (mm) Gambar L.2.13. Kurva kekuatan tarik benda uji 3
P (kg)
ΔL (mm)
Gambar L.2.14. Kurva kekuatan tarik benda uji 4
88
P (kg)
ΔL (mm)Gambar L.2.15. Kurva kekuatan tarik benda uji 5
4. Paduan Coran Al - 4% Cu aging T = 200oC
P (kg)
ΔL (mm)
Gambar L.2.16. Kurva kekuatan tarik benda uji 1
89
P (kg)
ΔL (mm)
Gambar L.2.17. Kurva kekuatan tarik benda uji 2
P (kg)
ΔL (mm) Gambar L.2.18. Kurva kekuatan tarik benda uji 3
90
P (kg)
ΔL (mm)Gambar L.2.19. Kurva kekuatan tarik benda uji 4
P (kg)
ΔL (mm)Gambar L.2.20. Kurva kekuatan tarik benda uji 5
91
5. Paduan Coran Al - 4% Cu aging T = 220oC
P (kg)
ΔL (mm)
Gambar L.2.21. Kurva kekuatan tarik benda uji 1
P (kg)
ΔL (mm) Gambar L.2.22. Kurva kekuatan tarik benda uji 2
92
P (kg)
ΔL (mm) Gambar L.2.23. Kurva kekuatan tarik benda uji 3
P (kg)
ΔL (mm)
Gambar L.2.24. Kurva kekuatan tarik benda uji 4
93
P (kg)
ΔL (mm)Gambar L.2.25. Kurva kekuatan tarik benda uji 5
94
Data hasil uji komposisi sebelum ditambah 2 % Cu
95
96
Data uji komposisi setelah ditambah 2% Cu
97