PENGARUH PENAMBAHAN ANTIOKSIDAN GSH · PDF filekumulus oosit dihilangkan, ... RUMPUT07,...
Transcript of PENGARUH PENAMBAHAN ANTIOKSIDAN GSH · PDF filekumulus oosit dihilangkan, ... RUMPUT07,...
i
PENGARUH PENAMBAHAN ANTIOKSIDAN GSH
(GLUTATHIONE) TERHADAP TINGKAT PEMATANGAN
OOSIT SAPI BALI SECARA IN VITRO
SKRIPSI
OLEH
ANDI FAUSIAH
I 111 10 265
PROGRAM STUDI PRODUKSI TERNAK
JURUSAN PRODUKSI TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
ii
PENGARUH PENAMBAHAN ANTIOKSIDAN GSH
(GLUTATHIONE) TERHADAP TINGKAT PEMATANGAN
OOSIT SAPI BALI SECARA IN VITRO
Oleh:
ANDI FAUSIAH
I 111 10 265
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada
Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin
PROGRAM STUDI PRODUKSI TERNAK
JURUSAN PRODUKSI TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
SKRIPSI
iii
PERNYATAAN KEASLIAN
1. Yang bertandatangan di bawah ini :
Nama : Andi Fausiah
NIM : I 111 10 265
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa ;
a. Karya skripsi yang saya tulis adalah asli
b. Apabila sebagian atau seluruhnya dari karya skripsi, terutama dalam Bab Hasil
dan Pembahasan, tidak asli atau plagiasi maka bersedia dibatalkan dan
dikenakan sanksi akademik yang berlaku.
2. Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat dipergunakan seperlunya.
Makassar, Mei 2014
TTD
Andi Fausiah
iv
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Penelitian : Pengaruh Penambahan Antioksidan GSH
(Glutathione) Terhadap Tingkat Pematangan
Oosit Sapi Bali Secara In Vitro
Nama : Andi Fausiah
No. Pokok : I 111 10 265
Program Studi : Produksi Ternak
Jurusan : Produksi Ternak
Fakultas : Peternakan
Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui oleh:
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
Prof.Dr.Ir.H.Abd. Latief Toleng, M.Sc Dr. Muhammad Yusuf, S.Pt
NIP. 19540602 197802 1 001 NIP. 19700725 199903 1 001
Dekan Fakultas Peternakan Ketua Jurusan Produksi Ternak
Prof. Dr. Ir. Syamsuddin Hasan, M.Sc Prof. Dr. Ir. Sudirman Baco, M. Sc
NIP. 19520923 197903 1 002 NIP. 19641231 198903 1 025
Tanggal Lulus : 12 Mei 2014
v
ABSTRAK
Andi Fausiah (I 111 10 265) Pengaruh Penambahan Antioksidan GSH (Glutathione)
terhadap Tingkat Pematangan Oosit Sapi Bali Secara In Vitro. Dibawah bimbingan Abd.
Latief Toleng Sebagai Pembimbing Utama dan Muhammad Yusuf Sebagai
Pembimbing Anggota.
Ovarium sapi betina dari RPH (Rumah Potong Hewan) dapat dimaturasi secara in
vitro. Namun demikian, dalam maturasi tersebut, memungkinkan terjadinya ROS
(Reactive Oxygen Species). Oleh karena itu, penambahan antioksidan GSH (Glutathione)
diharapkan mengurangi efek tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh
tingkat pematangan oosit sapi Bali secara in vitro dengan penambahan GSH
(Glutathione). Penelitian menggunakan metode eksperimental laboratorium berdasarkan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan (Tanpa penambahan, Penambahan
GSH (Glutathione) 5 µl/ml, 10 µl/ml dan 20 µl/ml). Koleksi oosit dilakukan dengan
menyayat folikel yang terdapat pada permukaan ovarium. Pematangan oosit dilakukan
pada medium maturasi dalam inkubator CO2 5%, dengan temperatur 38,5oC. Sel-sel
kumulus oosit dihilangkan, kemudian difiksasi, dan selanjutnya dilakukan pengamatan
dibawah mikroskop. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan GSH
(Glutathione) tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap tingkat persentase kematangan
oosit yang mencapai M-II. Dapat disimpulan bahwa level GSH 5 µl/ml sampai 20 µl/ml
tidak mempengaruhi tingkat pematangan oosit sapi Bali.
Kata Kunci : Ovarium, Sapi Bali, Antoksidan, Glutathione, Metaphase I, Metaphase-II.
vi
ABSTRACT
Andi Fausiah (I 111 09 265) Effect of Antioxidant Glutathione on the in vitro
Maturation Rate of oocytes Bali Cows. Supervised by Abd. Latief Toleng as Main
Supervisor Muhammad Yusuf as Co-supervisor.
The ovaries of cows from slaughterhouse can be matured in vitro. However, in
the maturation, allowing the occurrence of ROS (Reactive Oxygen Species). Therefore,
the addition of the antioxidant GSH (glutathione) is expected to reduce this effect. This
study aimed to examine the effect of in vitro oocyte maturation rate of Bali cows by
addition of GSH (glutathione). The study was using experimental laboratory methods
based on completely randomized design (CRD) with 4 treatments (without the addition of
GSH, addition of GSH (glutathione) 5 mL / mL, 10 mL / mL and 20 mL / mL).
Collection of oocytes was conducted by slicing the follicle on the surface of the ovary.
Maturation of oocytes was performed on the maturation medium in the incubator of 5%
CO2, with a temperature of 38.5°C. Cumulus cells of oocyte were removed, fixated, and
then observed under a microscope. The results of this study showed that addition of GSH
(glutathione) had no significant effect (P>0.05) on the percentage of oocytes at the level
of maturity reaching M-II. It can be concluded that the level of GSH 5 mL / mL to 20 mL
/ mL did not affect the rate of maturation of oocytes Bali cows.
Keywords: Ovaries, Bali cows, Antioxidant, Glutathione, Metaphase I, Metaphase-II.
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena rahmat dan
hidayah-Nya sehingga Tugas Akhir / Skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi
dengan judul “Pengaruh Penambahan Antioksidan GSH (Glutathione)
Terhadap Tingkat Pematangan Oosit Sapi Bali Secara In Vitro”. Sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Peternakan
Universitas Hasanuddin, Makassar.
Pada kesempatan ini penulis menghantur ucapan terima kasih dan
penghargaan setinggi-tingginya dengan penuh rasa hormat kepada:
1. Secara khusus penulis mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada Prof.Dr.Ir.H.Abd. Latief Toleng, M.Sc selaku Pembimbing
Utama dan Dr. Muhammad Yusuf, S.Pt selaku Pembimbing Anggota, atas
segala bantuan dan keikhlasannya untuk memberikan bimbingan, nasehat dan
saran sejak awal penelitian sampai selesainya penulisan skripsi ini.
2. Pada kedua orang tua, ayahanda Andi Mudirman dan ibunda Dra.
Rahmatiah tercinta, Adik-adikku Tercinta Andi Alfriadi, Andi Fajar Alam,
Andi Nurul Amsari, dan Andi Nurul Aulia. Serta keluarga besarku yang
terus mendidik dan mendukung baik materil maupun moril, dan atas segala
limpahan doa, kasih sayang, kesabaran, pengorbanan, dan segala bentuk
motivasi yang telah diberikan tanpa henti kepada penulis.
3. Prof. Dr. Ir. H. Ambo Ako, M.Sc. selaku Dosen dan Ibu sekaligus wali Hj
Andi Nurmiati S.Pd yang telah membantu selama penulis duduk dibangku
viii
perkuliahan dan senantiasa memberikan nasehat yang sangat berarti bagi
penulis.
4. Dr. Muhammad Yusuf S.Pt, selaku Penasehat Akademik penulis yang telah
bersedia meluangkan waktunya selama penulis duduk dibangku perkuliahan
dan senantiasa memberikan motivasi dan nasehat yang sangat berarti bagi
penulis kurang lebih 4 tahun.
5. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada bapak Prof.Dr.Ir. H. Herry Sonjaya, DEA, DES selaku direktur
PKP sekaligus Dosen yang telah banyak membantu penulis dalam
melaksanakan penelitian.
6. Secara khusus penulis mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada bapak Hasbi, S.Pt, M.Si dan ibu Sri Gustina, S.Pt, M.Si
yang telah mengajarkan teknik mengkultur oosit sapi Bali secara in vitro dan
membantu kami dalam penelitian ini.
7. Prof. Dr. Ir. H. Sudirman Baco, M. Sc selaku Ketua Jurusan Produksi
Ternak beserta seluruh dosen dan staf Jurusan Produksi Ternak atas segala
bantuan kepada penulis selama menjadi mahasiswa.
8. penulis mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar- besarnya kepada ibu
Prof.Dr.Ir Hj. Sahari Banong, M.S, yang telah banyak membantu penulis
pada saat seminar hasil.
9. Bapak Prof.Dr.Ir. H. Basit Wello, M.Sc, Prof.Dr. Ir.H. Herry Sonjaya,
DEA, DES. dan Prof. Rr. Sri Rachma Aprilita B., M. Sc. Ph. D, selaku
ix
pembahas yang telah banyak memberikan masukan dalam proses perbaikan
skripsi
10. Prof. Dr. Ir. Syamsuddin Hasan, M. Sc selaku Dekan Fakultas Peternakan
Universitas Hasanuddin, dan Bapak wakil Dekan I, II, III, yang telah
menyediakan fasilitas kepada penulis selama menjadi mahasiswa.
11. Semua Dosen-Dosen Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin yang telah
memberi ilmunya kepada penulis.
12. LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) selaku Lembaga yang
memberikan bantu baik alat maupun bahan yang menunjang dalam penelitian
ini.
13. Dikti (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi) yang telah memberikan
beasiswa bidik misi
14. Bapak Direktur Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Tamangapa,
Makassar, terkhusus kepada Pak Syarir, Om Firman dan para pegawai
RPH yang telah membantu kami untuk mendapatkan bahan utama yaitu
Ovarium Sapi Bali.
15. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan sepenelitian
Andi Mutmainna, Rahmi Syamsuddin, dan Ahmad Mujahid yang telah
mencurahkan segenap tenaga dan perhatiannya, sekali lagi terima kasih
banyak yang sebesar-besarnya.
16. Kepada Sahabat-sahabatku yang tercinta, Tenri, Inna, Wheny, Nurmi, Lili.
Ceceng, Selalu menemani setiap saat.
x
17. kepada Saudari-Saudariku yang terbaik Tenri, Weny, Inna, Nurmi, Lili,
Rahmi, dhian, Che-ceng, Vhivi, Risna, Putri, Ifha, Kiki, Linda, Evhi, dan
Maya dan Saudara-saudaraku yang terbaik Alam, Rian, Chiwank, Irsan,
Aldes, Aidil, Yafet, Ibnu, Herman, April, Ai, Yogi, Nawir, Farid dan
Sudirman. terkhusus Angkatan 2010 “L10N” yang telah membantu baik
material maupun moril,
18. Serta tak lupa pula menghanturkan banyak terima kasih kepada teman-teman
MATADOR dan SITUASI 2010, dan kepada para senior terutama
RUMPUT07, BAKTERI 08, MERPATI 09, dan Semua pihak yang tidak
dapat penulis sebut satu persatu, terima kasih atas bantuannya.
19. Kepada Teman-teman KKN Gel 85 Desa Tamuku, Kec. Bone-bone. Kab.
Luwu Utara. Aulia Hasana, Andi Nujummuniswah, Andi Ika Angriaeni,
Adrian Mansur, Kak Agusriandi, Ayu Desiana, Ayu, dan Fitriahyang
telah membantu baik material maupun moril, selama penulis melaksanakan
KKN
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan tapi
penulis membuka diri terhadap kritik dan saran yang membangundemi
kesempurnaan skripsi ini dan demi kemajuan ilmu pengetahuan nantinya.Akhir
kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua terutama bagi diri
penulis sendiri. Amin
Makassar, Mei 2014
Penulis
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL .............................................................................. i
HALAMAN JUDUL ................................................................................. ii
PERNYATAAN KEASLIAN ................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ............................................................................... vii
DAFTAR ISI .............................................................................................. viii
DAFTAR TABEL ..................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. x
PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 4
A. Ovarium Secara Umum ................................................................. 4
B. Folikulogenesis .............................................................................. 5
C. Pematangan Oosit In Vitro ............................................................ 7
D. Antioksidan Glutathione ................................................................ 9
E. Peranan Medium Maturasi............................................................. 10
MATERI DAN METODE PENELITIAN .............................................. 13
Waktu & Tempat Penelitian ................................................................. 13
Materi Penelitian .................................................................................. 13
Prosedur Penelitian ............................................................................. 13
Analisis Data ........................................................................................ 16
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tingkat Pematangan Oosit In Vitro ..................................................... 18
xii
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan .......................................................................................... 23
Saran .................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 24
LAMPIRAN ............................................................................................... 28
DOKUMENTASI ...................................................................................... 38
RIWAYAT HIDUP
xiii
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
Teks
1. Tingkat Khualitas Oosit ..................................................................... 13
2. Histogram Rata-rata Pematangan Oosit Sapi Bali dengan
Penambahan Antioksidan Glutathion .................................................. 18
3. Tingkat Pematangan Inti Oosit ........................................................... 19
1
PENDAHULUAN
Data menunjukkan bahwa pada tahun 2010 jumlah impor daging mencapai
120.000 ton melampaui target yang ditetapkan pemerintah sebanyak 76.000 ton
(Djumena, 2011). Kondisi ini disebabkan karena penurunan jumlah populasi
ternak lokal yang belum mampu memenuhi kebutuhan di dalam negeri.
Kebutuhan konsumsi daging nasional cenderung meningkat setiap tahunnya. Oleh
karena itu dibutuhkan peningkatan populasi ternak lokal seperti sapi Bali
kecukupan penyediaan bibit, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Bibit yang
baik umumnya dapat menghasilkan keturunan dan produktivitas yang tinggi.
Peningkatan produktivitas ternak dapat dilakukan dengan berbagai macam cara,
salah satunya adalah dengan menerapkan bioteknologi reproduksi seperti
Inseminasi Buatan (IB), Transfer Embrio (TE) dan Produksi Embrio In vitro
(PEIV).
Produksi Embrio In-vitro (PEIV) adalah salah satu assisted reproductive
technologi (ART) yang terdiri atas yang terdiri atas in vitro maturation (IVM) in
vitro fertilization (IVF) dan in vitro cultur (Rahman et al., 2008; Hegab et al.,
2009) dengan teknik PEIV hewan-hewan yang fungsi reproduksinya tidak dapat
berfungsi dengan normal materi genetiknya masih dapat di selamatkan.
Keberhasilan Produksi Embrio In vitro (PEIV) ditentukan oleh sistem yang
digunakan yaitu sistem PEIV yaitu dilakukan pada kondisi temperatur 38,5oC dan
5 % CO2 serta kelembapan yang tinggi. Apabila hal tersebut tidak ada maka akan
terjadi reactive oxygen species (ROS) seperti radikal bebas. Radikal bebas
merupakan kelompok molekul kimia yang tidak stabil dan sangat reaktif dengan
2
satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan, sehingga untuk memperoleh
pasangan elektronnya senyawa ini bereaksi dengan atom atau molekul lain seperti
asam lemak tidak jenuh, protein, asam nukleat atau lipopolisakarida. Dalam
keadaan normal radikal bebas mempunyai peran positif dalam fungsi fisiologis
yaitu membantu dalam proses proliferasi dan diferensiasi sel, tetapi
keberadaannya dalam jumlah berlebihan dapat menimbulkan efek negatif, maka
dari itu untuk menghambat pembentukan radikal bebas dibutuhkan antioksidan
seperti glutathione.
Glutatione (GSH) mempunyai peranan yang penting dalam pematangan
oosit. Proses dari pematangan sitoplasma oosit melibatkan sejumlah peristiwa
molekuler, termasuk dalam sintesis komponen-komponen biokimia, protein
phosphorilasi dan pengaktifan lintasan-lintasan metabolisme tertentu (Eppig,
1996; Krisher and Bavister, 1998). Fungsi GSH (Glutathione) didalam oosit
sebagian besar berhubungan dengan antioksidan dan perlindungan terhadap
aktivitas ROS yang toksik.
Menurut Wijaya 2001 glutathione adalah antioksidan primer yang bekerja
dengan cara mencegah pembentukan radikal bebas baru. Antioksidan glutathione
ini mengubah radikal bebas yang ada menjadi molekul yang kurang mempunyai
dampak negatif. Hal inilah yang melatarbelakangi dilakukannya penelitian
bagaimana pengaruh penambahan level GSH (glutathione) terhadap tingkat
pematangan oosit sapi bali.
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh tingkat pematangan
oosit sapi Bali secara in vitro dengan penambahan GSH (glutathione). Kegunaan
3
penelitian adalah memberikan informasi kepada peneliti tentang pengaruh tingkat
pematangan oosit sapi Bali secara in vitro dengan penambahan GSH (glutathione).
4
TINJAUAN PUSTAKA
A. Ovarium Secara Umum
Ovarium merupakan organ reproduksi primer ternak betina yang
mempunyai dua fungsi dasar yaitu sebagai organ eksokrin yang memproduksi sel
telur dan sebagai organ endokrin yang memproduksi hormon kelamin betina yaitu
estrogen dan progesterone (Hafez, 1987;Toelihere, 1977).
Ovarium mempunyai ukuran dan bentuk yang bervariasi tergantung
spesies dan siklus birahi. Pada domba dan kambing ovarium berbentuk oval
(Nalbandov,1976; Hafez,1987). Ovarium terdiri dari dua bagian medulla dan
korteks, bagian medulla terdiri dari jaringan ikat fibroelastik yang tidak teratur,
sistem saraf dan pembuluh darah yang masuk ke dalam ovarium melalui hilus.
Sedangkan pada bagian korteks terdapat folikel pada berbagai tahap
perkembangan sel telur dan produksi hormon (Hafez,1987 ;Toelihere,1977).
Perkembangan folikel ovarium pada sapi ditandai dengan adanya
gelombang pertumbuhan folikel ovarium. Satu gelombang didefinisikan sebagai
suatu proses pertumbuhan folikel yang sinkron dari beberapa folikel kecil. Dari
kelompok folikel kecil tersebut, salah satu diantaranya akan terseleksi dan tumbuh
menjadi folikel dominan, sedangkan folikel lainnya akan terhenti pertumbuhannya
dan menuju atresi. Setelah mencapai ukuran maksimal, folikel dominan juga akan
mengalami atresi dan regresi. Atresi dari folikel dominan akan menyebabkan
pertumbuhan gelombang folikel baru. Selama periode siklus estrus terjadi dua
sampai tiga gelombang folikel. Pada gelombang yang kedua folikel dominannya
5
akan menjadi folikel ovulatori sedangkan folikel dominan dari gelombang ketiga
akan mengalami ovulasi. Gelombang pertumbuhan folikel terjadi bukan hanya
selama siklus estrus, namun juga telah terjadi sebelum pubertas, selama
kebuntingan dan selama periode post partus (Rasbi dan Vinton,2001).
B. Folikulogenesis
Folikulogenesis adalah proses perubahan yang ditandai dengan adanya
perubahan proliferasi dan differensiasi komponen sel pada folikel. Dinamika
folikel terjadi selama folikel merupakan perubahan tahap perkembangan folikel
mulai dari folikel primordial sampai folikel tersier termaksud perubahan ekspresi
mRNA yang mengkode reseptor GnRH, horm on steroid dan diikuti seleksi
folikel. Perkembangan folikel akan menyediakan lingkungan yang optimal untuk
maturasi oosit sehingga siap untuk fertilisasi.
Folikulogenesis berhubungan dengan perkembangan sekelompok folikel
dengan berbagai tahap perkembangan, kemudian sejumlah folikel akan terseleksi
untuk berkembang lebih lanjut (Armstrong and webh, 1997). Folikulogenesis
dapat dibagi menjadi tiga tahap:
1. Rekrutmen, tahap pertumbuhan pool folikel yang cepat. Pertumbuhan ini
terjadi dari folikel primordial menjadi folikel primer dan folikel sekunder.
2. Seleksi, proses penseleksian folikel untuk pertumbuhan lebih lanjut menjadi
folikel subordinat.
3. Dominasi, proses perkembangan folikel dominan yang cepat dan
perkembangan folikel subordinat akan tertekan oleh folikel dominan. Dominasi
folikel dan penghambatan pertumbuhan folikel subordinat disebabkan oleh
6
meningkatnya follicle growth inhibiting factor (FGIF) yang diproduksi oleh
folikel dominan. FGIF akan menghambat proliferasi sel granulosa yang
menstimulasi FSH dan aktivitas aromatase, selain itu juga menghambat
vaskularisasi folikel subordinat.
Selain hormon, proses folikulogenesis dikontrol oleh faktor endokrim atau
paraktrim seperti growth factor misalnya insulin-like growth factor (IGF),
Transforming Growth factor (TGF ), Fibroblast Growth Factor (FGF) dan
Epidermal Growth Factor (EGF). IGF berfungsi untuk menstimulasi proliferasi
dan diferensiasi sel granulosa dan sel theca.
Hormon gonadtropin pada level seluler TGF berperan untuk
menghambat fragmen sel granulosa dan sel theca FGF akan menstimulasi
proliferasi sel theca, menghambat stimulasi FSH yang menginduksi ekspresi
reseptor LH pada sel granulosa, dan mereduksi ikatan IGF pada jaringan techa.
FGF bersama Extra Celluler Matrix (ECM) dapat mengatur stabilitas dan
penggabungan Growth Factor (Amstrong dan Webh, 1997).
Menurut McGee dan Hsueh (2000), ada dua tahap utama yang terjadi pada
perkembangan folikel yaitu initial recruitment dan cyclic cecruitment. initial
recruitment adalah perkembangan folikel yang berlangsung terus-menerus mulai
dari pembentukan folikel sampai sebelum masa pubertas. Perkembangan ini
terjadi pada folikel tahap primordial, dimana perkembangan folikel tidak
mempengaruhi hormon gonadtropin. Folikel akan berkembang dari berkembang
akan mengalami dormansi. Oosit mulai tumbuh namun perkembangan tidak
mencapai germinal vesicle breakdown (GVBD). Sedangkan cyclic recruitment
7
dimulai setelah masuk masa pubertas. Perkembangan terjadi pada folikel tahap
antral dimana perkembangan telah dipengaruhi oleh FSH dan LH. Folikel yang
tidak berkembang akan mengalami atresi. Oosit berkembang sempurna dari
mampu mencapai tahap germinal vesicle breakdown (GVBD).
Folikel primordial terdiri atas satu oosit primer yang dibungkus oleh
selapis sel folikel pipih yang saling melekat melalui desmosom, kemudian dilapisi
oleh sebuah membran basal yang merupakan batas antara folikel avaskular dan
stroma di sekitarnya. Selama siklus birahi, terjadi perubahan struktur dari folikel-
folikel sampai akhirnya mencapai folikel de graff, perkembangan folikel
melibatkan perubahan pada sel-sel folikel, oosit primer dan stroma di sekitar.
C. Pematangan Oosit In Vitro
Secara umum oosit hewan mamalia harus mengalami dua hal yaitu
pematangan inti dan pematangan sitoplasma untuk dapat mengalami proses
fertilisasi dan perkembangan embrio. Pematangan inti meliputi berbagai
perubahan kronologis tahapan meiosis sedangkan pematangan sitoplasma
merupakan penambahan kompetensi biologis oosit yang meliputi berbagai
perubahan struktur dan biokimia di dalam sel yang memungkinkan oosit untuk
mengekspresikan potensi perkembangannya setelah fertilisasi dan mampu
mendukung pembentukan dan perkembangan embrio preimplantasi (Gordon,
2003), ditandai dengan sejumlah kriteria termaksud organisasi sitoskeletal dari
oosit seperti migrasi kortika granula ke oolemma, peningkatan mitokondria dan
lipid droplet, akan menyebabkan perubahan susunana paratus golgi dan
8
keberadaan retikulum endoplasmik granular, aktivitas maturation promoting
factor (MPF) dan metabolisme oosit (Rahman dkk., 2008).
Kriteria lain yang juga sering digunakan sebagai indikator pematangan
adalah pematangan sel-sel kumulus yang dinilai berdasarkan ekspansi sel-sel
kumulus, kriteria ini sering digunakan karena adanya indikasi yang kuat antara
dinamika ekspansi sel-sel kumulus pada oosit dari hewan tertentu dengan
morfologi yang normal kemampuan untuk difertilisasi dan kemampuan
perkembangan oosit setelah difertilisasi (Setiadi, 2001).
Sel-sel kumulus berperan penting dalam proses pematangan oosit secara in
vitro (Setiadi, 2002), yang selanjutnya juga akan mempengaruhi kualitas embrio
yang dihasilkan. Apabila sel-sel kumulus dilepaskan sebelum maturasi, maka akan
terjadi kelambatan dalam proses pematangan oosit atau bahkan tidak terjadi
pematangan. Kehadiran sel-sel kumulus sangat berperan penting dalam proses
transkripsi dan sintesis protein sebelum terjadinya germinal vesicle breakdown
(GVBD) pada oosit sapi dan domba (Trounson, 1992). Oosit yang memiliki sel-
sel kumulus menunjukkan perkembangan yang lebih baik dibandingkan dengan
oosit yang telah dihilangkan sel kumulusnya terlebih dahulu (Bilodeau-Goeseels
and Panich, 2002).
Sama halnya secara in vivo, pematangan inti dan pematangan sitopasma
memerlukan untuk menjamin fertilisasi normal dan perkembangan embrio in
vitro. Walaupun demikian perubahan sitoplasma selama pematangan oosit masih
sulit untuk di evaluasi. Pematangan secara tidak langsung ditentukan oleh inti dan
9
struktur kromatin dan atau kemampuan dari oosit untuk difertilisasi. Tahapan
pematangan inti sitoplasma.
Proses pematangan inti berhubungan dengan aktivitas sintesis RNA,
ditandai dengan perubahan inti dari fase diploten ke metafase II. Membran inti
akan mengadakan penyatuan dengan veskel membentuk germinal vesikel (GV)
dan kemudian akan mengalami pelepasan membran inti membentuk germinal
vesicle breakdown (GVBD) setelah terbentuk GVBD terbentuk kromsom
dibungkus oleh mirotubulus dan mikrofilamen yang sangat mempengaruhi
keberhasilan pembelahan meiosis. Oosit yang telah mengalami GVBD selanjutnya
akan mencapai tahap metaphase I (MI, pada oosit sapi metaphase I terjadi setelah
12-14 jam inkubasi dan diikuti oleh tahap anaphase (AI) dan telophase (TI) yang
berlangsung relatif singkat (14-18 jam) setelah inkubasi (Chohan and Hunter
2003), lebih lanjut akan mencapai tahap metaphase II (MII) yang ditandai dengan
terbentuknya badan kutub I sebagai oosit matang yang siap untuk difertilisasi
(Bawshe,et al., 1994).
D. Antioksidan Glutathione
Glutathione merupakan salah satu antioksidan primer yang bekerja dengan
cara mencegah pembentukan radikal bebas baru dan mengubah radikal bebas ada
menjadi molekul yang kurang berbahaya sebelum radikal bebas tersebut
mempunyai kesempatan untuk bereaksi (Werdhany, 1999).
Glutathione adalah tripeptida (tiga protein dalam satu molekul) yaitu
cystein, glutamin acid, dan glycin. Glutathione secara alami terdapat dan
diproduksi dalam tubuh (Anonim, 2010). Menurut (Murray et, al.,2009)
10
Glutathione peroksidase adalah enzim yang mengandung selenium sebagai
komponen dasarnya, sehingga digolongkan dalan selenoprotein. Enzim
glutathione peroksidase terdiri dari 4 atom selenium yang terikat sebagai
selenocystein. Glutation peroksidase dapat membentuk pertahanan terhadap
oksidan atau radikal bebas didalam tubuh dan mencegah kerusakan sel dengan
cara mengkatalisa peroksida menjadi air dan oksigen. Karena kemampuannya
inilah maka enzim ini disebut sebagai antioksidan. Enzim glutathione peroksidase
banyak terdapat di hepar, ginjal otot, dan plasma, terutama pada sitosol dan
mitokondria.
Glutathione aktif di dalam fungsi oosit, termasuk dalam memelihara
morfologi meiotik spidel. Glutathione melindungi spidel terhadap kerusakan
oksidatif dan berperan dalam mendukung pembentukan zigot yang normal
(Zuelke et al., 1997)
Konsentrasi GSH (Glutathione) didalam oosit meningkat selama proses
metaphase II (MII). Secara umum konsentrasi GSH (Glutathione) di dalam oosit-
oosit yang diovulasikan (MII) adalah kira-kira dua kali lebih tinggi dibandingkan
di dalam oosit pada tahap germinal vesicle (GV). Dalam oosit hamster konsentrasi
GSH dari 1,0 pmol/oosit pada tahap GV menjadi 1,62 oosit pada tahap MII
(Zuelke,et al., 2003).
11
E. Peranan Medium Maturasi
Pada proses pematangan oosit secara in vitro dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya medium dan lingkungan penyimpanan (incubator) medium
maturasi tidak hanya berpengaruh terhadap proses pematangan tetapi berpengaruh
juga terhadap pembuahan dan perkembangan embrio. Oleh karena itu berbagai
metode pematangan oosit telah diaplikasikan dengan penambahan berbagai
hormon serta aplikasi system cultur pada medium (Setiadi, 2002).
TCM-199 merupakan medium kompleks yang banyak digunakan untuk
pematangan in vitro. Medium ini terdiri atas garam Earl, buffer yang mengandung
N-(2 hydroxyethil)-piperazine-N-(2-ethanesulphonic acid), HEPES, sodium
bikarbonat, disuplementasi dengan piruvat, laktat, asam amino, vitamin, purin,
serum, estradiol, hormone GnRH (FSH dan LH), mineral dan glukosa yang dapat
membantu proses transformasi inti (Sirard dan Blodin, 1996)
TCM-199 umumnya digunakan untuk pematangan oosit sapi secara in
vitro, karena mengandung glutamine dan glukosa. Hal tersebut dimaksudka,
dengan cukupnya konsentrasi glukosa dan glutamine pada media bebas serum,
maka FSH dapat menyebabkan terjadinya ekspansi sel-srl kumulus secara in vitro
(Calder, et al., 2013). Glutamine digunakan sebagai sumber energy untuk
memetabolisme sel dan pembentukan blastosis (Yang et al, 1995).
Medium yang digunakan untuk pematangan oosit dapat memberikan
pengaruh tidak hanya untuk proses pematangan oosit tetapi juga untuk
perkembangan embrio. Berdasarkan komposisi bahan penyusunan medium yang
12
biasa digunakan untuk proses produksi embrio in vitro dapat dibedakan menjadi
medium sederhana seperti whitten medium, brinster medium, whitten dan biggers,
human tubal fluid (HTF), chatot ziomex and bavister (CZB), dan potassium
Pada umumnya medium maturasi disuplementasi dengan hormon GnRH
(Folicle stimulatin hormone/FSH dan Luteinizing hormon/LH) dan estradiol yang
dilaporkan dapat meningkatkan angka pematangan oosit secara nyata (Keskintepe
et al., 1994;Izquierdo et al., 1998).
Hormon gonadotropin merupakan regulator utama untuk pematangan inti
oosit hewan mamalia secara in vitro estradiol mungkin terlibat dalam pematangan
sitoplasma dengan menstimulasi DNA polymerase dan diduga meningkatkan
sintesis faktor pertumbuhan pronukleus jantan. Dengan adanya estradiol pada
pematangan oosit dapat meningkatkan produksi blastosit secara nyata (Pawse and
Totey, 2003). Penambahan hormon GnRH dalam medium maturasi dapat
meningkatkan kualitas oosit dan kemampuan perkembangan dengan perubahan
proses metabolisme (Zuelke, 1993).
13
MATERI DAN METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Terpadu, Gedung Pusat
Kegiatan Penelitian (PKP), Universitas Hasanuddin pada bulan Desember 2013
sampai Januari 2014.
Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan adalah ovarium sapi Bali yang diperoleh dari
Rumah Potong Hewan (RPH) Tamangapa, Kota Makassar, provinsi Sulawesi
Selatan. Oosit diseleksi berdasarkan keadaan sitplasma yang homogen dan sel-sel
kumulus yang kompak (Gambar 1). Bahan-bahan yang digunakan antara lain
medium transportasi ovarium, aceto orcein 2 %, asam asetat 25 %, ethanol absole,
alcohol 70 % tissue, mineral oil (Sigma Chemical Co. St. Louis MO, USA), Kcl
0,7% enzim hyaluronidase (Sigma, USA) 0,25%, kuteks bening, paraffin dan
vaselin (1:10).
Gambar 2. Oosit dengan sitoplasma yang homogeny dan sel kumulus yang
kompak: O:Oosit : SK : Sel kumulus
14
Alat yang digunakan adalah incubator, mikroskop (ZEISS, image A2 :
Axio Cam HRc), Syringe (10 ml), scalpel, petri dish, gelas kimia, labu enlemeyer,
freezer, timbangan analitik, kaca objek, kaca penutup, pipet tetes, mikropipet,
cawan petri dan gunting bedah.
Materi Penelitian
a. Rancangan Penelitian
Penelitian menggunakan metode eksperimental laboratorium berdasarkan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan dengan
susunan sebagai berikut :
T0: Kontrol
T1 : Medium maturasi dengan Penambahan GSH (Glutathione) 5 µl/ml
T2 : Medium maturasi dengan Penambahan GSH (Glutathione) 10 µl/ml
T3 : Medium maturasi dengan Penambahan GSH (Glutathione) 20 µl/ml
b. Prosedur Penelitian
Koleksi oosit. Ovarium sapi segar dikumpulkan di rumah potong hewan
dan dibawa ke laboratorium dengan larutan 0,9% NaCl ditambah 100 IU/ml
penicillin dan 100 µ/ml streptomycin sulfate. Koleksi oosit dilakukan dengan
menyayat/mencacah (slicing) folikel yang ada di permukaan ovarium sehingga
cairan folikel keluar. Selanjutnya dilakukan pembilasan (flushing) dengan
penyemprotan NaCl 0,9% menggunakann syringe ke dalam folikel bekas sayatan
15
diharapkan oosit juga ikut keluar. Selanjutnya oosit diseleksi menggunakan
mikroskop (hanya oosit dengan keadaan sitoplasma yang homogen dan dikelilingi
≥ 3 lapis sel kumulus yang digunakan), Kemudian ditampung dalam petri dish
yang berisi media phosphate buffered saline (PBS; Gibco, Grand Island, NY,
USA) yang disuplementasi dengan Fetal Bovine Serum (FBS; Gibco, Grand
Island, NY, USA) 10%. Oosit hasil koleksi dicuci dalam medium koleksi yang
terdiri atas PBS ditambah 10% FBS dan medium maturasi masing-masing dua
kali, selanjutnya dilakukan maturasi dalam tissue culture medium (TCM) 199
(Sigma, USA) ditambahkan FBS 10%, 10 IU/ml pregnant mare serum
gonadotrophin (PMSG) (Intergonan, Intervet Deutschland GmbH), 10 IU/ml
human chorionic gonadotrophin (hCG) (Chorulon, Intervet international B.V.
Boxmeer-Holland) dan 50 µg/ml gentamycin (Sigma, USA).
Pematangan oosit in vitro. Oosit yang terseleksi dan telah melalui dua
kali pencucian dengan beberapa media, pematangan oosit dilakukan dalam
medium maturasi yang telah diequilibrasi dengan membuat empat tetesan (drop)
pada petri dish (50 µL/drop) dan ditutup dengan mineral oil (Sigma Chemical Co.
St. Louis MO, USA) dalam inkubator CO2 5%, temperature 38,5 oC selama 24
jam.
Evaluasi tingkat pematangan inti oosit. Oosit yang telah dimaturasi
dibersihkan dari sel-sel kumulusnya (denudase) dengan batuan enzim
hyaluronidase (Sigma, USA) 0,25% dengan cara dipipet berulang-ulang
menggunakan pipet berdiameter yang sesuai dengan ukuran oosit. Oosit yang
telah bebas dari sel kumulusnya diletakkan pada drop Kcl 0.7% diatas kaca objek,
16
lalu difiksi dengan kaca penutup yang memiliki bantalan parafin dan vaselin (1:9)
pada keempat sudutnya. Preparat oosit yang telah jadi, difiksasi pada ethanol dan
asetat dengan perbandingan (3:1) selama 3-4 hari pada temperatur kamar. Setelah
difiksasi preparat direndam terlebih dahulu dalam larutan ethanol absolute selama
satu jam. Kemudian preparat dikeringkan menggunakan tissuese belum diwarnai
dengan acetoorcein 2% selama 5 menit. Kemudian zat pewarna dibersihkan
dengan asam asetat 25% dan keempat sisi kaca penutup diberi larutan kuteks
bening untuk selanjutnya dilakukan pengamatan dibawah mikroskop Axio cam.
c. Parameter yang diamati
Pengamatan tingkat pematangan oosit dilakukan dengan menghitung jumlah
oosit pada setiap tahap perkembangan meiosis, meliputi fase germinal vesicle
(GV) ditandai dengan adanya membrane intidan nucleolus terlihat jelas ditepi,
fase germinal vesicle breaking down (GVBD) ditandai dengan robeknya membran
inti sehingga nukleus tidak terlihat jelas, fasemetaphase–I (M-I) ditandai dengan
adanya kromosom homolog yang berpasangan dan berderet di bidang equator,
pada fase metaphase-II (M-II) ditandai adanya badan kutub I dan susunan
kromosom yang sama dengan tahap M-I.
Analisis Data
Tingkat kematangan oosit dianalisis menggunakan Rancangan Acak
lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan. Data penelitian dianalisis
dengan analysis of variance (ANOVA) dan apabila terdapat perbedaan diantara
perlakuan dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT) (Steel &Torrie 1981).
17
Data diolah menggunakan software SPSS 18.0 for windows. Dengan model
matematika sebagai berikut :
Yij = µ + ᴛi + ɛi
i = 1,2,3,4
j = 1,2,3,4
Keterangan :
Yij= Hasil pengamatan dari tingkat pematangan oosit dengan konsentrasi
GSH (Glutation) ke-i dengan ulangan ke-j
µ = Rata-rata pengamatan
ᴛi = Pengaruh konsentrasi GSH (Glutathione) ke-i
ɛ = Pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
18
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tingkat Pematangan Oosit In Vitro
Pematangan oosit merupakan salah satu tahap penting dalam produksi
embrio in vitro, Tingkat pematangan dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya oosit yang digunakan. Dapat dilihat pada gambar 2
Gambar 2. Histogram rata-rata pematangan oosit sapi bali dengan penambahan
antioksidan GSH (glutathione)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan GSH dalam medium
maturasi tidak berpengaruh (P>0,05) terhadap tingkat pematangan inti oosit sapi
bali yang mencapai tahap metaphase II. Hal inilah yang mengidentifikasi bahwa
penambahan GSH (Glutathione) dalam medium maturasi yang digunakan tidak
memberi pengaruh tetapi dapat meningkatkan jumlah oosit yang mencapai tahap
metaphase II. Selain itu diduga bahwa medium maturasi yang digunakan cocok
untuk mendukung proses pematangan oosit in vitro sehingga konsentrasi GSH
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
GV GVBD MI MII
Rat
a-ra
ta (
%)
Tingkat Kematangan Oosit sapi Bali
Kontrol
5 µl
10 µl
20 µl
19
intraseluler yang disintesis selama proses pematangan dapat melindungi oosit
terhadap stress oksidatif dan aktivitas ROS yang toksik yang di tandai dengan
tingginya jumlah oosit yang mencapai MII.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua oosit yang dimatangakan
telah melaui proses meiosis yang ditunjukkan dengan perubahan status inti oosit
dari tahap GV menjadi GVBD hingga menjadi tahap Metaphase II (Gambar 3).
Gambar 3: a. GV (Germinal Vesicle), b. GVBD (Germinal Vesicle Breakdown), c. MI
(Metaphase I), d. MII (Metaphase II).
Konsentrasi GSH (glutathione) didalam oosit meningkat selama proses
pematangan dan mencapai level puncak pada tahap metaphase II (MII). Secara
umum konsentrasi GSH didalam oosit-oosit yang diovulasikan MII adalah kira-
A B
C D
20
kira dua kali lebih tinggi dibandingkan didalam oosit pada tahap Germinal vesicle
(GV).
Penambahan 20 µl GSH dalam medium maturasi dapat meningkatkan
tingkat pematangan oosit dibanding tanpa penambahan dan penambahan 5 µl dan
10 µl. Konsentrasi GSH pada proses pematangan oosit in vitro mencerminkan
tingkat pematangan sitoplasma, dimana sitoplasma oosit berperan dalam proses
pembentukan pronukleus dimulai dari pemecahan ikatan disulfida membran inti
yang dilanjutkan dengan inisiasi dekondensasi kromosom (Funahashi et al., 1994).
Penambahan 20 µl GSH (gluthatione) lebih optimal dalam medium
maturasi disebabkan karena selama proses pematangan oosit mengalami berbagai
perubahan baik pada inti maupun sitoplasma. Pematangan oosit merupakan
tahapan awal yang paling krusial dalam menentukan keberhasilan produksi
embrio in vitro (PEIV), sehingga diperlukan perlindungan terhadap struktur sel
selama proses pematangan yang sangat menentukan kemampuan pengembangan
oosit lebih lanjut. Proses perubahan tersebut diantaranya aktivitas sintesis RNA
hal ini sesuai dengan pendapat (Ghohan and Hunter 2003), perubahan inti dari
tahap diploten prophase meiosis I ke metaphase II, dimana oosit yang mencapai
tahap MII dan adanya polar bodi I merupakan oosit matang dan siap untuk di
fertilisasi.
Gluthatione adalah suatu thiol tripeptida (y-glutamylcysteinylglycine)
yang merupakan komponen sulphydryl non protein yang mempunyai peranan
penting dalam detoksifikasi dan antioksidan seperti memelihara kondisi redoks
21
intraseluler dan melawan stress oksidatif yang terdapat dalam dua bentuk yaitu
untuk mereduksi (GSH) dan bentuk mengoksidasi (GSSG) (Luberda, 2005).
Gluthatione berperan dalam memelihara morfologi meiotik spidel, melindungi
spidel terhadap kerusakan oksidatif dan mendukung pembentukan zigot yang
normal. Metioik spidel merupakan komponen sel yang tidak terlibat langsung
dalam proses metabolisme, tetapi berperan sangat penting dalam proses
pematangan inti dan pematangan sitoplasma (Zuelke, et al., 1997).
Menurut (Zuelke, et al., 2003) menjelaskan bahwa pada oosit yang matang
GSH mempunyai peran yang penting dalam pembentukan pronukleus jantan
setelah fertilisasi. (Maedomari, et al., 2007) melaporkan bahwa GSH yang
terdapat pada sitoplasma oosit berperan dalam proses pembentukan pronukleus
dimulai dari pemecahan ikatan disulfida membrane inti yang dilanjutkan dengan
inisiasi dekondensasi kromosom.
Menurut Luberda (2005) menjelaskan bahwa gluthatione adalah suatu
reservoir alami yang dapat dengan cepat digunakan oleh sel-sel sebagai
pertahanan melawan stress oksidatif. Lebih lanjut dijelaskan bahwa gluthatione
memberi perlindungan terhadap kerusakan oksidatif. Gluthatione melindungi
terhadap reactive oxygen species (ROS) dengan cara difasilitasi oleh interaksi
dengan enzim-enzim seperti gluthatione peroksidase dan gluthatione reduktase.
Tingkat pematangan oosit secara in vitro juga sangat dipengaruhi oleh
kualitas oosit yang digunakan. Pada penelitian ini oosit yang digunakan diseleksi
berdasarkan keadaan sitoplasma yang homogen dan dan sel-sel cumulus yang
22
kompak, sehingga oosit yang digunakan diusahakan seragam dan dianggap
mempunyai kompotensi perkembangan yang sama. Sel-sel kumulus berperan
penting dalam proses pematangan oosit secara in vitro (Setiadi 2002), yang
selanjutnya juga akan mempengaruhi khualitas embrio yang dihasilkan. Apabila
sel-sel kumulus dilepaskan sebelum pematangan, maka akan terjadi kelambatan
dalam proses pematangan oosit atau bahkan tidak terjadi pematangan.
Komunikasi antara oosit dan sel-sel kumulus berperang penting dalam proses
pematangan oosit dan perkembangan oosit lebih lanjut selama in vitro cultur
(IVC). sehingga oosit yang digunakan diusahakan seragam dan dianggap
mempunyai kompotensi perkembangan yang sama.
23
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penambahan GSH (Gluthatione) dalam medium maturasi tidak
berpengaruh terhadap pematangan oosit.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut penambahan antioksidan dengan
GSH (Glutathione) konsentrasi yang lebih tinggi atau perlu menggunakan
antioksidan lain.
24
DAFTAR PUSTAKA
Amstrong, M and Webh 1997, A Handbook of Human Resource Management,
Elex Media Komputindo, Jakarta.
Anonim, 2010. Glutathione Master Antioksidan. http: // mariarina.wordpress.com
/2010/10/03/glutathione-master-of-antioxidants/ di akses
tanggal 01 November 2013.
Bilodeau-Goeseels, S. and Panich P., 2002. Effects of oocyte quality on
development and transcriptional activity in early bovine
embryos. Anim. Reprod. Sci. 71 (3-4):143-155
Calder, M.D., A.N. Caveney, L.C., Smith and A.J., Watson. 2003.
Responsiveness of bovine cumulus-oocyte complexes
(COC) to porcine and recombinant human FSH, and the
effect of COC quality on gonadotrophin receptor and Cx43
marker gene mRNA during maturation in vitro. Reprod.
Biol, Endoc., 1:1-12
Chohan, K.R., Hunter A.G. 2003. Meiotic competence of bovine fetal oocytes
following in vitro maturation. Anim Reprod Sci 76:43-51
Djumena, dan Erlanggga. 2011 5,89JutaWajibPajakTakPatuh. Diakses 1
November 2013 dari World Wide Web: Http://nasional
.kompas.com/read/2011/03/07/054923/5.89
juta.wajib.pajak.tak.patuh
Eppig, J.J., 1996. Coordination of nuclear and cytoplasmic oocyte maturation in
eutherian mammals. Reprod. Fert. Dev. 8:485-489.
Funahashi H, Cantley T.C., Stumpf T.T., Terlouw S.L., 1994, Use of low-salt
culture medium with elevated oocyte glutathione levels and
enhance male pronuclear formation after in vitro fertization.
Biol Repro 51:633-639.
Gordon, I., 2003. Laboratory production of cattle embryos. Dublin:
CABInternational. pp 30-142; 277-290.
Hafez, E.S.E.,1987, Reproduction in farm animals. Ed ke-5. Philadelphia:Lea and
Febiger.Pp;7-205
Hegab, A.O., A.E. Montasser, A.M. Hamman, E.M.A. Abu El-Naga, and S.M.
Zaabel. 2009. Improving in vitro maturation and cleavage
rates of buffalo oocytes. Anim, Reprod. 6(2):416-421.
25
Izquierdo, D.P., Villamediana, M.T., Paramio. 1999 Effect of culture media on
embryo development from prepubertal goat IVM-IVF
oocytes.theriogenology 52:847-861
Karyadi, D. Muhilal, 1990. Kecukupan Gizi yang Dianjurkan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Keskintepe, L. G.M., Darwish, A.T., Kenimer, B.G., Brackett, 1994. Term
development of caprine embryos derived from immature
oocytes in vitro theriogenology 42:527-535
Krisher, R.L., Bavister, D.B. 1998. Responses of oocytes and embryos to the
culture environment. Theriogenology 49:103-114.
Luberda Z, 2005. The role of glutathione in mamalia gametes. Biol Reprod 5(1):5-
17
Maedomari, N.K., et al, 2007, Cytoplasmic glutathione regulated by cumulus cell
during porcine maturation affects fertilization and
embryonic development in vitro. Theriogenology 67:983-
993
McGee E.A.A.J.W.Hsue, 2000 Initial and recruitment of ovarium follicles,
Endocrinol Rev 21:200-214
Murray R.K., Granner D.K., Rodwell V.W., 2006. Dalam Nanda Wulandari, Leo
Rendy, Linda Dwijayanthi, Liena, Frans Dany, Luqman
Yanuar Rachman (Ed). Biokimia Harper edisi 27. Jakarta:
EGC, hlm. 582 – 583
Nalbandov, A.V., 1976. Reproductive Physiology ofMammals and Birds. Penerbit
Universitas Indonesia Jakarta.
Pawshe, C.H., Palanisamy A, Taneja M, Jain S.K. Totey. 1996. Comparison of
various maturation treatment on in vitro maturation of goat
oocytes and their early emdryonic development and cell
number. Theriology 46:971-982
Rahman, Anma, R.B., Abdulla, W.E., Wan Khadijah, 2008. Goat embryo
development following in vitro maturation and
intracytoplasmic sperm injection accordding to oocyte
grading. Proceeding of 11 th Biological Sciences Grauate
Conference; Bangkok, Thailand. 15-17 Des 2006, pp:143-
143
26
Setiadi M.A., 2001. Tinjauan mekanisme pemekaran sel-sel kumulus oosit pada
kondisi in vivo dan in vitro: suatu review. Media veteriner
8(3):66-69.
Setiadi M.A., 2002. Effect of co-culture with follicle shell on cumulus expansion
and nuclear maturation porcine oocytes in vitro. Reprotech
1 (2): 87-91
Sirard M.A., and Blondin P, 1996. Oocyte Maturation and IVF in Cattle. Anim
Reprod, Sci, 442:417-426
Staigmiller R.B., and Moor R.M., 1984. Effect of follicle cell on the maturation
and depelopment compotence of ovine oocytes outside the
folicle, Gamete Resea 9:221-229
Steel, R.G.D., dan J.H. Torrie 1993 Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu
Pendekatan Biometric. Alih bahasa: B. Sumantri. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Toelihere, 1977.Reproduction in farm animals 7 th Ed Philadelphia: Lea and
Febiger. Pp 68-81.
Trounson, A., 1992. The production of ruminant embrio in vitro. J. Anim. Reprod
Sci., 28 : 125-134
Wijaya S.I.B.S. Widjanarko dan Susanto, 2001. Ekstraksi dan karakterisasi
pigmen dari kulit buah rambutan (Nephelium lappaceum)
var. Binjai. BIOSAIN. Universitas Brawijaya, Malang 1(2)
Werdhany, W.I . 1999 . Efektivitas Penambahan a-Tokoferol Di Dalam Pengencer
Tris dan Susu Skim Terhadap Kualitas Semen Kambing
Peranakan Etawah. Thesis Pascasarjana IPB-Bogor.
Yang Z, Wang W, Yu S, 2008. Effects of different activation protocols on
preimplantation development, appotosis and ploidy of
bovine pathenogenetic embriyos. Anim Reprod Sci 105:292-
301
Zuelke, K.A., Brackett, B.G. 1993. Luteinizig hormone enhance in viro
maturation of bovine oocytes with and without protein
supplementation boil reprod 43:784-787
Zuelke K.A., Jones D.P., Perreault S.D., 1997. Glutathione oxidation is associates
with altered microtubule function and disrupted fertilization
in mature hamster oocytes. Biol Reprod 57:1413-1420
27
Zuelke K.A., S.C. Jeffay, R.M., Zucker, S.D., Perreault, 2003. Glutathione (GSH)
concentrations vary with the cell cycle in maturing hamster
oocytes,zygotes and pre-implantation stage embryos. Mol
Reprod Dev 64:106-112.
28
LAMPIRAN
PERLAKUAN ULANGAN PEMATANGAN INTI
TOTAL GV GVBD M I M II
KONTROL 1
1 2 7 10 70,00
2
2 7 9 77,78
3
1 2 6 9 66,67
4
1 1 6 8 75,00
5 µl 1
1 2 6 9 66,67
2
2 7 9 77,78
3
1 1 6 8 75,00
4
1 1 6 8 75,00
10 µl 1
2 7 9 77,78
2
2 6 8 75,00
3
1 2 7 10 70,00
4
1 1 7 9 77,78
20 µl 1
1 1 6 8 75,00
2
1 8 9 88,89
3
1 1 6 8 75,00
4
2 8 10 80,00
29
Perlakuan Jumlah Oosit Tingkat Kematangan (%)
GV GVBD MI MII
Kontrol 36 0 3(8,33) 7(19,44) 26(72,3)
5 µl 34 0 3(8,82) 6(17,65) 25(73,53)
10 µl 36 0 2(5,56) 7(19,44) 27(75)
20 µl 35 0 2(5,71) 5(14,29) 28(80)
Descriptive Statistics
Dependent Variable: GVBD
PERLAKUAN Mean Std. Deviation N
1 8.4028 5.69444 4
2 .0000 .00000 4
3 11.5278 1.21081 4
4 9.0278 6.05403 4
Total 7.2396 5.84828 16
30
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: GVBD
Source Type III Sum of
Squares
df Mean Square F Sig.
Corrected Model 301.403a 3 100.468 5.697 .012
Intercept 838.585 1 838.585 47.550 .000
PERLAKUAN 301.403 3 100.468 5.697 .012
Error 211.632 12 17.636
Total 1351.620 16
Corrected Total 513.035 15
a. R Squared = .587 (Adjusted R Squared = .484)
PERLAKUAN
Dependent Variable: GVBD
PERLAKUAN Mean Std. Error 95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
1 8.403 2.100 3.828 12.978
2 .000 2.100 -4.575 4.575
3 11.528 2.100 6.953 16.103
4 9.028 2.100 4.453 13.603
31
Multiple Comparisons
Dependent Variable: GVBD
(I) PERLAKUAN (J) PERLAKUAN Mean
Difference
(I-J)
Std. Error Sig. 95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
LSD
1
2 8.4028* 2.96951 .015 1.9328 14.8728
3 -3.1250 2.96951 .313 -9.5950 3.3450
4 -.6250 2.96951 .837 -7.0950 5.8450
2
1 -8.4028* 2.96951 .015 -14.8728 -1.9328
3 -11.5278* 2.96951 .002 -17.9978 -5.0578
4 -9.0278* 2.96951 .010 -15.4978 -2.5578
3
1 3.1250 2.96951 .313 -3.3450 9.5950
2 11.5278* 2.96951 .002 5.0578 17.9978
4 2.5000 2.96951 .416 -3.9700 8.9700
4
1 .6250 2.96951 .837 -5.8450 7.0950
2 9.0278* 2.96951 .010 2.5578 15.4978
3 -2.5000 2.96951 .416 -8.9700 3.9700
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 17.636.
*. The mean difference is significant at the .05 level.
32
GVBD
PERLAKUAN N Subset
1 2
Student-Newman-Keulsa,b
2 4 .0000
1 4 8.4028
4 4 9.0278
3 4 11.5278
Sig. 1.000 .560
Duncana,b
2 4 .0000
1 4 8.4028
4 4 9.0278
3 4 11.5278
Sig. 1.000 .337
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 17.636.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000.
b. Alpha = .05.
33
Descriptive Statistics
Dependent Variable: Metaphase_I
PERLAKUAN Mean Std. Deviation N
1 19.2361 4.61131 4
2 20.1389 6.15932 4
3 16.8056 5.05372 4
4 14.0278 4.03496 4
Total 17.5521 5.11918 16
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Metaphase_I
Source Type III Sum of
Squares
df Mean Square F Sig.
Corrected Model 90.022a 3 30.007 1.188 .356
Intercept 4929.210 1 4929.210 195.173 .000
PERLAKUAN 90.022 3 30.007 1.188 .356
Error 303.067 12 25.256
Total 5322.299 16
Corrected Total 393.089 15
a. R Squared = .229 (Adjusted R Squared = .036)
34
PERLAKUAN
Dependent Variable: Metaphase_I
PERLAKUAN Mean Std. Error 95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
1 19.236 2.513 13.761 24.711
2 20.139 2.513 14.664 25.614
3 16.806 2.513 11.331 22.280
4 14.028 2.513 8.553 19.503
Descriptive Statistics
Dependent Variable: Metaphase_II
PERLAKUAN Mean Std. Deviation N
1 72.3611 4.97680 4
2 79.8611 6.15932 4
3 71.6667 4.08248 4
4 76.9444 2.42161 4
Total 75.2083 5.39728 16
35
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Metaphase_II
Source Type III Sum of
Squares
df Mean Square F Sig.
Corrected Model 181.250a 3 60.417 2.835 .083
Intercept 90500.694 1 90500.694 4247.033 .000
PERLAKUAN 181.250 3 60.417 2.835 .083
Error 255.710 12 21.309
Total 90937.654 16
Corrected Total 436.960 15
a. R Squared = .415 (Adjusted R Squared = .268)
PERLAKUAN
Dependent Variable: Metaphase_II
PERLAKUAN Mean Std. Error 95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
1 72.361 2.308 67.332 77.390
2 79.861 2.308 74.832 84.890
3 71.667 2.308 66.638 76.696
4 76.944 2.308 71.916 81.973
36
Multiple Comparisons
Dependent Variable: Metaphase_II
(I) PERLAKUAN (J) PERLAKUAN Mean Difference
(I-J)
Std. Error Sig. 95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
LSD
1
2 -7.5000* 3.26414 .040 -14.6119 -.3881
3 .6944 3.26414 .835 -6.4175 7.8064
4 -4.5833 3.26414 .186 -11.6953 2.5286
2
1 7.5000* 3.26414 .040 .3881 14.6119
3 8.1944* 3.26414 .027 1.0825 15.3064
4 2.9167 3.26414 .389 -4.1953 10.0286
3
1 -.6944 3.26414 .835 -7.8064 6.4175
2 -8.1944* 3.26414 .027 -15.3064 -1.0825
4 -5.2778 3.26414 .132 -12.3897 1.8342
4
1 4.5833 3.26414 .186 -2.5286 11.6953
2 -2.9167 3.26414 .389 -10.0286 4.1953
3 5.2778 3.26414 .132 -1.8342 12.3897
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 21.309.
*. The mean difference is significant at the .05 level.
37
Metaphase_II
PERLAKUAN N Subset
1 2
Student-Newman-Keulsa,b
3 4 71.6667
1 4 72.3611
4 4 76.9444
2 4 79.8611
Sig. .109
Duncana,b
3 4 71.6667
1 4 72.3611
4 4 76.9444 76.9444
2 4 79.8611
Sig. .149 .389
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 21.309.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000.
b. Alpha = .05.
38
DOKUMENTASI
a. Pengambilan sampel Ovarium di RPH
b. Melakukan slicing(Pencacahan)
39
c. Pengamatan dan Pembuatan Medium Maturasi
d. Fiksasi dan Pewarnaan
33
RIWAYAT HIDUP
Andi Fausiah (I 111 10 265), lahir di Palopo pada tanggal 10
Juli 1992. Penulis merupakan anak Pertama dari Lima
bersaudara dari pasangan Andi Mudirman dan Dra.
Rahmatiah. Penulis memulai jenjang pendidikan pada tahun
1998 di Sekolah Dasar Negeri 274 Mattirowalie Kota Palopo
dan selesai pada tahun 2004, kemudian melanjutkan
pendidikan pada MTsN Model Palopo dan selesai pada tahun 2007, dan melanjutkan
pendidikan di Madrasah Aliyah Negri Palopo dan selesai pada tahun 2010. Penulis
melanjutkan pendidikan disalah satu perguruan tinggi tepatnya di Universitas
Hasanuddin pada tahun 2010 melalui jalur SMPTN dan diterima di Fakultas
Peternakan, jurusan Produksi Ternak. Selama kuliah penulis menjadi asisten di
Laboratorium Ilmu Reproduksi Ternak dan menjadi pengurus di Himpunan
Mahasiswa Produksi Ternak (HIMAPROTEK) tahun 2013-2014.