Pengantar Pendidikan Tugas Makalah(Arif)
-
Upload
chantia-hiruma -
Category
Documents
-
view
33 -
download
0
Transcript of Pengantar Pendidikan Tugas Makalah(Arif)
POKOK-POKOK PIKIRAN TENTANG
PENGELOLAAN OPERASIONAL PENDIDIKAN BERBASIS
MASYARAKAT
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Pengantar Pendidikan
Yang dibina oleh Bapak Tri Atmaji
Oleh
Arif Mafatia Karim (209531429326)
Emha Fathoni Al’amien (109531429166)
Sona Tungga Siswanto (209531429321)
Bagus Eka Krisna (209531429322)
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK ELEKTRO
DESEMBER 2009
REVISI PTE’ 09
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YME karena
limpahan rahmat, ridho dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan sebaik-baiknya, juga kareana diberi kemudahan yang
membantu kami dalam menyelesaikan beberapa masalah yang sempat
menghambat proses penulisan makalah kami.
Dalam proses penulisan makalah ini, kami mengucapkan terima kasih atas
segala bantuan dan dukungan, khususnya kepada:
1. Bpk. Tri Atmadji selaku dosen pembimbing dalam penulisan makalah ini.
2. Seluruh teman-teman kami yang turut memberikan dukungan.
Di dalam makalah ini kami mengkaji mengenai “POKOK-POKOK PIKIRAN
TENTANG PENGELOLAAN OPERASIONAL PENDIDIKAN BERBASIS
MASYARAKAT”
Penulis menyadari masih adanya kekurangan baik dari segi isi maupun
segi penulisan. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat kami
harapkan untuk kemajuan karya kami yang akan datang.
Semoga kita senantiasa diberikan kekuatan dan kemampuan oleh Allah
SWT dalam melaksanakan tugas dan kewajiban secara obyektif, dengan harapan
segala aktifitas kita senantiasa dicatat oleh Allah SWT sebagai amal yang baik.
Amin . . .
Hormat kami,
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seminar Nasional tentang Strategi Pengelolaan Pendidikan Dasar dan
Menengah yang diselenggaraka dalam rangka Peringatan Hari Pendidikan
Nasional atau Hardiknas, sungguh sangat tepat. Peringatan Hardiknas secara
tidak langsung, atau kebetulan, diawali munculnya harapan baru dengan
dicanangkannya Visi Indonesia 2030 yang cukup optimistik. Kalau kita tidak
cukup optimistik, Visi Indonesia 2030 itu bisa kita anggap sebagai cetusan cita-
cita bangsa. Atau bisa juga dianggap sebagai cita-cita bangsa yang diprediksi, atau
“lebih aman” bisa dianggap sebagai cita-cita yang diimpikan. Namun, kalau lebih
optimistik, dan visi itu dianggap bukan impian, minimal bisa dianggap sebagai
“arahan” untuk mencapai cita-cita bangsa pada tahun 2030. Kalau Visi itu
dianggap sebagai “arahan cita-cita bangsa”, maka cita-cita itu hanya bisa terwujud
apabila ada perhatian, komitmen dan prioritas yang tinggi terhadap bidang
pendidikan. Dengan kata lain, suksesnya impian yang tertuang dalam visi itu
mengharuskan bidang pendidikan dan pelatihan, dalam limabelas tahun pertama,
antara sekarang sampai tahun 2015, kita semua bekerja keras mempersiapkan
sumber daya manusia yang bermutu dan dinamik. Sukses impian itu tergantung
kemampuan bangsa ini mempersiapkan pendidikan dan lapangan kerja yang
memadai agar anak-anak bangsa, setelah belajar dan berlatih dengan tekun, bisa
bekerja dan menghasilkan sesuatu dengan baik. Dengan persiapan itu, harapannya
pada limabelas tahun yang kedua, antara tahun 2015 sampai tahun 2030, setiap
anak bangsa mampu memberikan sumbangan nyata agar cita-cita yang tertuang
dalam Visi Indonesia tahun 2030 bisa terwujud dan seluruh keluarga Indonesia
berkembang menjadi keluarga sejahtera (haryonosuyono, 2007)
Dari naskah Visi Indonesia 2030 yang dikembangkan Indonesia Forum
beberapa waktu lalu dinyatakan bahwa perekonomian Indonesia yang mengantar
visi itu akan dimotori oleh sektor jasa. Biarpun visi tahun 2030 itu pada awalnya
diantar oleh sektor industri, tetapi setelah tahun 2015 sektor jasa akan menjadi
penyumbang yang terbesar. Sektor pertanian yang dewasa ini cukup dominan
secara bertahap akan menurun peranannya. Namun karena sistem pertanian makin
menggunakan tehnologi modern, tingkat produktifitas bidang pertanian akan tetap
tinggi dan bisa memberikan sumbangan positif pada kesejahteraan petani. Untuk
mempersiapkan tenaga-tenaga penggerak di sektor industri dan jasa yang
diharapkan mulai memainkan peran signifikan pada tahun 2025, bidang
pendidikan dan pelatihan harus bekerja keras menghasilkan sumber daya manusia
yang bermutu dan terampil. Karena itu arah bidang pendidikan, khususnya
pendidikan anak-anak muda, harus makin dipacu tidak saja sampai pada tingkat
sekolah menengah pertama atau SMP, tetapi lebih tinggi lagi sampai pada tingkat
sekolah menengah atas atau SMA dan perguruan tinggi. Dalam limabelas tahun
kedua keseimbangan pendidikan anak perempuan pada tingkat SMA perlu dipacu
agar makin banyak anak perempuan bisa melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi
dan mempersiapkan diri menjadi pemimpin dibidang industri dan jasa. Lebih dari
itu, anak-anak muda tidak saja belajar dalam bidang ilmu tetapi harus pula mahir
dalam berbagai ketrampilan yang segera bisa mengantar setiap anak muda siap
bekerja di bidang industri dan jasa.(haryonosuyono, 2007)
Untuk mencapai pengembangan penduduk yang berkualitas seperti itu
dihadapi minimal tiga jenis tantangan yang harus dijinakkan agar upaya yang
dirancang dan dikembangkan secara operasional di lapangan tidak saja memenuhi
kebutuhan sesaat tetapi juga mampu menyiapkan bangsa ini untuk masa depan
yang makin sejahtera. Ketiga tantangan itu meliputi tantangan globalisasi yang
harus bisa dimanfaatkan secara maksimal. Tantangan budaya nasional, yang tidak
perlu disesali atau dirombak, tetapi justru dikembangkan untuk mendukung
aspirasi baru yang perlu dipacu agar membawa bangsa ini tetap jaya sepanjang
masa. Hampir diseluruh provinsi dihadapi tantangan kependudukan yang berbeda
dengan tantangan di tahun 1970-an karena akibat transisi penduduk yang cepat.
Tantangan internal atau tantangan birokrasi yang mungkin saja bersifat struktural
yang harus disesuaikan dengan jiwa reformasi untuk mengantar seluruh anak
bangsa sejajar dengan bangsa-bangsa maju lainnya. Untuk mengatasi berbagai
tantangan tersebut diperlukan strategi operasinal yang dituangkan dalam program
dan kegiatan dengan komitmen dan dukungan yang memadai untuk mewujudkan
masyarakat adil dan makmur yang kita cita-citakan. Komitmen itu harus disertai
dukungan anggaran yang memadai sehingga prioritas pendidikan dapat
dilaksanakan dengan baik. Dukungan operasional itu meliputi dukungan budaya
peduli pendidikan, dukungan pendidikan peduli pada masyarakat, dukungan
jaringan industri dan jasa peduli pendidikan, penggunaan kriteria pokok atau
indikator untuk mengarahkan penduduk menjadi penduduk berkualitas serta
pedoman pengelolaan operasinal pendidikan dasar yang bisa dijadikan pegangan
untuk mengembangkan program pendidikan yang komprehensif bagi generasi
muda yang diharapkan merangsang pertumbuhannya menjadi penduduk
berkualitas .(haryonosuyono, 2007)
Berdasarkan latar belakng di atas maka penulis menyusun makalah yang berjudul
“Pokok-pokok pikiran tentang pengelolaan operasional pendidikan berbasis
Masyarakat “
B. Masalah atau Topik Bahasan
Untuk mencapai pengembangan penduduk yang berkualitas seperti itu,
terdapat beberapa jenis tantangan yang harus dijinakkan agar upaya yang
dirancang dan dikembangkan secara operasional di lapangan tidak saja memenuhi
kebutuhan sesaat tetapi juga mampu menyiapkan bangsa ini untuk masa depan
yang makin sejahtera. Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumusan masalah
makalah ini adalah: 1) bagaimanakah tantangan globalisasi yang dihadapai bangsa
bisa dimanfaatkan secara maksimal. 2) bagaimanakah pengembangan strategi
operasionalisasi pendidikan berbasis masyarakat
C. Tujuan Penulisan Makalah
Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka tujuan penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut : 1) untuk mencari alternatif pemecahan tentang tantangan
globalisasi yang dihadapai bangsa guna dimanfaatkan secara maksimal. 2) untuk
mencari strategi pengembangan operasionalisasi pendidikan berbasis masyarakat
BAB II
ISI
Tantangan Yang Dihadapi Bangsa
Dalam suasana globalisasi yang sangat dahsyat dan dinamis dewasa ini
bangsa Indonesia menghadapi berbagai tantangan yang silih berganti, bahkan
kadang satu dan lainnya saling bersinergy dan menyebabkan bangsa ini seakan
tidak mampu menghadapinya. Sumber daya manusia, mulai dari pemimpin
sampai rakyatnya di pedesaan, yang kepandaian dan ketrampilannya terbatas,
seakan nampak bodoh tidak bisa menyelesaikan masalah yang menghambat
kemajuan bangsa sehingga membuat masyarakat sangat kecewa.
Akibatnya tantangan globalisasi itu seakan menimbulkan prasangka bahwa
segala yang datang dari luar tidak baik dan perlu ditentang dengan
mempertahankan budaya lama, termasuk budaya yang pada zaman ini tidak cocok
lagi dan perlu disegarkan. Kombinasi penerimaan nilai baru dan penyegaran
budaya ini biasanya jarang terjadi karena anggapan atas tata nilai yang keliru dan
tidak kontekstual.
Secara singkat tantangan-tantangan itu adalah sebagai berikut :
A.Tantangan Globalisasi
Kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah
universal. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar
definisi kerja (working definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang
melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses
sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di
dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau
kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan
budaya masyarakat. Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah
proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang
memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini,
globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuknya yang paling mutakhir.
Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia
dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing.
Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia,
bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama
(wikipedia,2009)
Menurut Emil Salim (1990:8:9) terdapat empat bidang kekuatn gelombang
globalisasi yang paling kuat dan menonjol daya dobraknya , yakni bidang-bidang
IPTEK, ekonomi, lingkungan hidup dan pendidikan.. Arus globalisasi, utamanya
dalam bidang budaya, politik, ekonomi dan tehnologi berjalan dengan kecepatan
yang sangat tinggi. Batasan-batasan tata nilai dan organisasi kemasyarakatan
mendapat limpahan arus baru melalui globalisasi yang sangat dahsyat dan
menyebar dengan kekuatan daya tarik yang sangat dominan. Masyarakat yang
sederhana, sopan dan lemah lembut di banyak negara berkembang, termasuk di
Indonesia, yang mempunyai dan menghargai budaya hidup damai, gotong royong
dan peduli terhadap sesamanya, mendadak tergiur sistem nilai baru yang sangat
membesar-besarkan individualisme dan kehidupan materialisme yang tinggi.
Sendi-sendi kehidupan yang tenang dan damai, dengan munculnya budaya
globalisasi yang kadang membingungkan disertai berkembangnya tehnologi yang
terapannya dalam masyarakat sekilas mempermudah kehidupan sederhana yang
semula dirasa berat, mampu menarik perhatian dan minat masyarakat. Banyak
anggota masyarakat memberikan respon positif dengan mengorbankan segala-
galanya. Mereka beralih kepada kehidupan modern dengan persiapan yang sangat
terbatas. Terperosok, putus asa dan biasanya malu untuk mundur. Tidak jarang
keputusasaan seperti itu berakhir dengan kekecewaan.
Mereka yang selamat mengatasi globalisasi muncul sebagai kelas
menengah dan atas baru yang dengan gigih membawa anak bangsa lainnya untuk
bergelut dan menangkap kesempatan baru yang terbuka. Tetapi ada pula yang
gagal, sebagian yang tidak lagi mengenal asal usulnya. Mereka lupa dan makin
tidak peduli terhadap sesama anak bangsa. Mereka bertingkah seperti bukan
warga yang berasal dari negara dan nenek moyangnya. Mereka muncul
kepermukaan dengan menganut sistem nilai baru yang untuk sebagian dianggap
aneh dan membingungkan.
B. Tantangan Budaya
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah,
yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-
hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris,
kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah
atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata
culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa
Indonesia.(wordpress,2009)
Tantangan budaya adalah tantangan yang akan dan dapat dihadapi oleh
suatu lingkungan budaya tatkala berkomunikasi dengan berbagai lingkungan
budaya yang lain yang memuat nilai yang berbeda, dalam situasi dan kondisi
perubahan sosial yang semakin pesat dan global, misalnya: 1) pribadi dengan
pribadi 2) antarunit kerja suatu organisasi 3) organisasi dengan organisasi 4)
pusat dengan daerah 5) Negara dengan Negara, bangsa dengan bangsa
(shelmi,2009)
Perubahan yang mendadak itu oleh masyarakat umum merupakan kejutan
yang tidak lagi bisa dipersiapkan sebagai proses ajustment atau penyesuaian
melalui pelatihan atau upaya lainnya. Sebagian sebenarnya tidak perlu terjadi
kalau saja masyarakat tanggap terhadap apa yang sedang berubah di sekitarnya.
Namun budaya malas dan nrimo muncul dalam sikap dan tingkah laku enggan
belajar. Budaya ini bisa juga muncul karena adanya rasa malu bertanya.
Masyarakat merasa mampu untuk melakukan penyesuaian sendiri dan enggan
untuk bertanya, apalagi belajar kepada mereka yang dianggap tidak sebanding.
Akhirnya sebagian tertinggal jauh dan sukar untuk berubah. Padahal masyarakat
luas berubah dan tidak peduli terhadap mereka yang tertinggal. Masyarakat yang
enggan berubah atau enggan mengikuti pelatihan akan tertinggal dari mayarakat
barunya. Masyarakat semacam itu biasanya bersifat kaku dan merasa sanggup
melakukan perubahan sendiri. Budaya malu atau bahkan di beberapa kalangan
menjadi budaya malas itu biasanya diselimuti dengan alasan ingin bertahan pada
peninggalan nenek moyang atau alasan lain yang dianggap mulia. Kadang-kadang
budaya malu itu disebabkan karena penduduk atau masyarakat pada umumnya
malas untuk berubah. Kemalasan ini ditutupi dengan penolakan untuk
mempersiapkan diri terhadap perubahan jaman. Sikap yang seakan seperti budaya
itu merugikan banyak kalangan. Bisa menimbulkan konotasi bahwa budaya ini
menjadikan suatu bangsa dianggap lamban dan tidak sanggup menerima
perubahan yang terjadi di sekitarnya. Kecepatan antar suku di suatu negara seperti
Indonesia bisa saja berkembang menimbulkan disparitas kemajuan. Solusinya bisa
sederhana, yaitu melalui pendidikan dan pelatihan yang tujuannya tidak saja
mengandalkan pendadaran fisik tetapi juga pengembamgam sikap mental yang
diharapkan bisa memperkecil disparitas yang mungkin timbul karena persepsi
yang salah dalam menanggapi perubahan budaya yang berkembang.
(haryonosuyono,2009)
C. Tantangan Kependudukan
Jumlah penduduk dapat meningkat, stabil atau menurun. Indikator dari
perubahan penduduk ini adalah tingkat kelahiran, kematian dan migrasi.
Komposisi penduduk merupakan suatu konsep yang mengacu pada susunan
penduduk menurut kriteria tertentu, seperti jenis kelamin, usia, pekerjaan, suku
bangsa, dan pendidikan. (insan.ngeblogs.com,2009)
Berkat keberhasilan program KB, Kesehatan dan pembangunan lainnya
selama empatpuluh tahun terakhir, penduduk Indonesia mengalami transisi
demografi yang sangat cepat. Transisi yang di negara-negara maju biasanya
berlangsung antara 100 sampai 150 tahun, di Indonesia berlangsung hanya dalam
waktu satu generasi. Transisi mengakibatkan penduduk dibawah usia 15 tahun
seakan akan berhenti berkembang. Sebaliknya penduduk yang sebelumnya sangat
besar jumlahnya pada usia tersebut karena pelayanan kesehatan yang makin baik
tumbuh menjadi penduduk diatas usia 15 tahun dan menggantikan penduduk
sebelumnya dengan kelipatan dua sampai tigakali lipat jumlah sebelumnya.
Akibatnya penduduk usia 15 sampai 65 tahun membengkak sampai dua atau tiga
kali lipat sehingga apabila mendapat bekal pendidikan sebelumnya dan
memperoleh kesempatan kerja yang menguntungkan bisa menjadi pendukung
penduduk yang lebih muda dan tidak bertambah jumlahnya. Ini berarti bahwa
dengan penduduk dewasa yang lebih besar dukungan untuk menyekolahkan anak-
anaknya sesungguhnya bertambah baik. Begitu juga sarana yang harus disediakan.
Kalau setiap tahun ada tambahan anggaran untuk menyempurnakan sarana
pendidikan maka kualitas pendidikan bisa bertambah baik. (haryonosuyono,2007)
D. Tantangan Internal
Tantangan kependudukan yang memberi peluang lebih banyak untuk
mengirim anak ke sekolah yang bertambah mutunya tidak selalu mulus karena ada
tantangan internal dalam lingkungan bidang pendidikan. Tantangan internal itu
terkait dengan adanya jalur birokrasi yang biasa lamban menerima adanya
perubahan. Tantangan birokrasi umumnya menghalangi timbulnya perubahan
karena bisa merugikan kalangan yang tidak mau belajar atau sudah mapan pada
kedudukannya. Tantangan internal harus diatasi dengan komitmen pimpinan yang
tinggi dan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap bidang pendidikan dan
pelatihan dalam menyiapkan tenaga kerja yang siap tempur.
Dalam pendekatan birokrasi yang kaku bisanya munculnya suatu
perubahan sukar sekali diterima dan ditegakkan. Alasan klasiknya adalah
ketidakpastian. Alasan lain adalah ketakutan akan hilangnya kepercayaan yang
bisa berakibat fatal terhadap keutuhan birokrasi yang telah lama dikembangkan.
Dari gambaran diatas nampak sekali peran bidang pendidikan dan pelatihan dalam
mengatasi kelambanan dan sekaligus menangkap peluang baru yang makin
terbuka dalam alam globalisasi dewasa ini. (haryonosuyono,2007)
Operasionalisasi Pendidikan Berbasis Masyarakat
Pemanfaatan tata nilai baru yang pro pemberdayaan, peningkatan mutu
dan pembangunan masyarakat mandiri yang sejahtera memerlukan
operasionalisasi bidang pendidikan secara luas. Bidang pendidikan tidak saja
harus menyiapkan anak didik menjadi manusia berkualitas, tetapi harus aktif
membantu masyarakat mengembangkan budaya baru yang menempatkan manusia
sebagai titik sentral pembangunan. Mendambakan manusia berkualitas dan
menghargai manusia sebagai pelaku dan sekaligus bisa menikmati hasil
pembangunan dengan baik.
Perlu sinergy yang manis antara modal manusia, modal alam dan fisik
serta modal sosial budaya yang dimiliki masyarakat luas. Sinergy ini harus diolah
dan tidak bisa dibiarkan berkembang bebas. Tantangan globalisasi demikian kuat
sehingga kalau tidak secara sadar dilakukan upaya untuk membangun sinergy pro
pendudikan untuk anak bangsa, bisa saja kekuatan manusia, sumber daya alam
dan fisik serta modal sosial budaya yang selama ini menjadi kekuatan perekat dan
dinamika masyarakat kita justru beralih menjadi pembunuh persatuan dan
kesatuan bangsa serta cita-cita masyarakat adil makmur dan sejahtera yang selama
ini diperjuangkan.
Agar upaya meningkatkan peran bidang pendidikan memberikan peran
yang maksimal, tanpa berpretensi merubah sistem pendidikan yang telah
diputuskan oleh pemerintah, bidang pendidikan perlu diarahkan bukan saja
mendidik anak didik yang sekolah, tetapi juga berperan memberdayakan orang
tua atau minimal calon orang tua dalam memahami delapan fungsi utama
keluarga. Delapan fungsi utama keluarga itu adalah fungsi agama, budaya, cinta
kasih, perlindungan, kesehatan dan reproduksi, pendidikan, ekonomi dan cinta
lingkungan.
Sejalan dengan pikiran itu diatas, ada dua komitmen budaya yang
sinergynya perlu dikembangkan, yaitu pendidikan peduli masyarakat dan
masyarakat, termasuk industri dan jasa, yang peduli pendidikan. Dibawah ini
diuraikan gagasan-gagasan pokok, yang bisa disempurnakan sesuai kondisi, dan
dapat dikembangkan atau diterapkan untuk meningkatkan hasil akhir yang
diharapkan, yaitu berupa anak didik yang bisa menyelesaikan sekolahnya dengan
hasil optimal, sekaligus memberi bekal menghadapi perubahan dan akhirnya
hidup bahagia dan sejahtera. (haryonosuyono,2007)
A. Menyiapkan Budaya Masyarakat Peduli Pendidikan
Untuk mengembangkan budaya masyarakat peduli pendidikan, berbagai
program dan kegiatan sosialisasi yang bersifat luas perlu dikembangkan.
Pengembangan pendidikan dasar dan menengah tidak cukup dengan menyediakan
gedung sekolah, perlengkapan sekolah dan guru serta rekrutmen calon siswa yang
baik dan bermutu. Program komunikasi, informasi dan edukasi bagi masyarakat
luas perlu dikemas dan dilaksanakan dengan baik secara terpadu. Ada tiga
komponen pokok yang perlu berjalan berbarengan. Pertama gedung dan peralatan
sekolah yang memadai. Kedua, guru dan fasilitas mengajar yang baik. Dan ketiga,
masyarakat pro pendidikan yang dengan penuh perhatian menyerahkan anak-
anaknya untuk sekolah dengan dukungan yang memadai.
Dengan program KIE yang dikemas dengan baik masyarakat dapat
diyakinkan bahwa kegiatan pendidikan adalah kegiatan pemberdayaan bernuansa
dan berbasis manusia yang partisipasinya harus dilakukan dengan rajin, tidak
dapat diwakilkan karena diharapkan menghasilkan pengikutnya menjadi anak
yang cerdas, beriman, berbudi pekerti luhur, terampil, innovatif serta tanggap
terhadap perubahan. Karena proses ini berjangka panjang maka upaya tersebut
dimulai dari saat yang sangat dini misalnya dengan mengajak para orang tua
untuk mengajak anak-anak mulai saat masih berusia dibawah lima tahun
bergabung dalam kegiatan Bina Keluarga Balita atau BKB. Apabila di suatu desa
dikembangkan lembaga Pendidikan Anak Dini Usia atau PADU, sebaiknya anak-
anak dibawah usia lima tahun diikut sertakan.
Apabila suatu keluarga karena alasan tertentu tidak dapat mengikut
sertakan anak-anak balitanya dalam kegiatan BKB, hendaknya diusahakan agar
keluarga lain yang lebih mampu dapat memberi bantuan agar anak balita itu bisa
bergabung dalam kegiatan BKB atau masuk dalam PADU. Dukungan pada
pendidikan dini itu bukan sekedar mengirim anak balita ke sekolah atau kegiatan
pendidikan pra sekolah, tetapi suatu upaya yang intinya merangsang kepedulian
setiap keluarga betapa pentingnya pendidikan yang setinggi-tingginya untuk
setiap anak, termasuk dan terutama anak perempuan, agar mempunyai masa depan
yang sejahtera. Cakupan anak yang bersekolah harus menjadi ukuran awal
membangun budaya masyarakat peduli pendidikan tersebut. Cakupan yang tinggi
merupakan syarat awal dari pengembangan budaya universal masyarakat peduli
pendidikan dan mutu masa depan bangsa. (haryonosuyono,2007)
Untuk pengembangan budaya ini secara luas, diluar bidang pendidikan
formal perlu diupayakan pemupukan cinta sekolah melalui berbagai kegiatan.
Sebagai contoh sederhana, kegiatan menimbang balita untuk mengetahui apakah
seorang balita itu sehat dan pertumbuhannya normal bisa dirangsang dengan
sistem lomba. Balita yang sehat dan menunjukkan kenaikan berat badan dengan
baik diberikan hadiah yang menarik. Hadiah untuk lomba semacam ini, biarpun
anak balita belum bisa membaca, disediakan berupa buku bacaan. Tujuannya
adalah agar setiap ibu atau bapaknya, atau saudaranya, membacakan buku itu
untuk anak balita yang menang dalam lomba. Pembacaan buku yang menarik
akan merangsang orang tua dan anak-anaknya makin cinta kepada buku dan
akhirnya cinta sekolah, cinta pendidikan.
Kebiasaan cinta sekolah tersebut perlu dipupuk sampai usia yang lebih
dewasa. Pendekatannya tentu harus makin menarik biarpun tidak harus makin
rumit. Anak-anak muda perlu dibiasakan membaca atau menulis cerita yang
menarik. Cerita-cerita yang menarik diusahakan bukan saja ditonton di televisi
tetapi juga ditulis dan diterbitkan sebagai buku. Karena itu kebiasaan menulis
kegiatan sehari-hari secara rapi dan meramunya menjadi cerita menarik, bahkan
kalau mungkin menjadi bahan pendidikan, bisa menciptakan masyarakat yang
cerdas dan berpikir sistematis. Cara berpikir seperti ini merupakan bagian penting
dari pengembangan masyarakat yang cerdas dan siap menghadapi perubahan.
Masyarakat terdidik sanggup mempergunakan gelombang perubahan karena
globalisasi sebagai pemicu masyarakat untuk makin maju dan modern dengan
isian peradaban luhur.
Kebiasaan mencatat dan membuat buku harian dan menghasilkan kisah
yang menarik tentang diri sendiri, keluarga, masyarakat dan budaya sekeliling
bisa menjadi pengantar dari pengembangan masyarakat modern dengan
ketrampilan tinggi serta marak dengan budaya saling peduli sesama anak bangsa.
Apalagi kalau rasa peduli sesama itu diwujudkan tidak saja dalam sikap, tulisan,
atau sekedar wacana, tetapi dimunculkan sebagai tingkah laku saling menghargai
diantara sesama anak bangsa. Bangsa ini tidak saja mempunyai budaya peduli
pendidikan sejak saat dini tetapi menjadi bangsa yang berkualitas, utuh dan tahan
banting.
B. Menyiapkan Budaya Jaringan Pendidikan Peduli Masyarakat
Kalau masyarakat diharapkan peduli terhadap pendidikan, maka
sebaliknya juga harus diupayakan agar pembangunan dibidang pendidikan di
Indonesia menghasilkan munculnya budaya baru Jaringan Pendidikan yang peduli
terhadap masyarakat sekitarnya. Karena itu upaya mendidik anak muda bangsa
tidak boleh dilepaskan dari masyarakatnya. Anak-anak didik di sekolah tidak
menjadi bagian yang tidak tersentuh oleh masyarakat sekitarnya, tetapi justru
menyatu, ikut peduli dan menggarap segala persoalan yang merisaukan
masyarakatnya dan ikut prihatin dan berusaha mencari penyelesaiannya bersama
masyarakat sekitarnya.
Karena itu Kepala Sekolah, guru dan seluruh pengurus lembaga
pendidikan sesering mungkin mengadakan pertemuan dengan keluarga siswa di
sekitarnya. Membahas persoalan yang timbul atau tumbuh di masyarakatnya.
Anak-anak didik mulai di sekolah dasar dilatih bercerita dan menulis banyak
tentang desanya, sawah dan ladang yang luas, sistem penggarapan pertanian dan
peternakan, belajar mengubah hal-hal yang dirasa kurang baik menjadi makin
marak dan menarik. Kerja sesudah sekolah menjadi latihan mengembangkan
keindahan lingkungan dan mengubah yang tidak bermanfaat menjadi makin
menarik dan menguntungkan.
Pada tingkat sekolah menengah pertama, masalah-masalah yang hidup di
sekitar desa digubah menjadi cerita menarik yang bisa saja dikirim ke surat kabar
dan majalah untuk menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya diri yang makin
tinggi. Kepada anak-anak diperkenalkan keadaan sekitar yang luas, bergelar indah
dari desa ke kecamatan dan selanjutnya belajar mengenal kabupaten serta
lingkungan yang ada. Kebanggaan akan kampung halaman, kecamatan dan
kabupaten atau kotanya bisa membekas untuk mengembangkan cita-cita cinta
tanah air di masa depan.
Pada tingkat sekolah menengah atas, kebiasaan menulis tentang keadaan
sekitar itu ditambah lagi dengan menulis tentang keluarga dan permasalahan yang
mereka alami. Membahas keluarga lain yang menjadi tetangganya. Dan akhirnya
membahas masyarakat yang lebih luas. Pengenalan daerah dengan segala
persoalan yang dihadapi keluarga itu diharapkan menghidupkan empati dan saling
peduli diantara sesama.
Tingkatan yang lebih tinggi lagi bagi setiap sekolah adalah bahwa anak-
anak didiknya tidak saja mengenal pelajaran atas dasar buku-buku yang mungkin
diseragamkan secara nasional, tetapi bisa membaca situasi yang nyata di
lapangan. Kalau hal ini dilakukan, sekolah akan mendapat keuntungan ganda.
Pertama, anak didik mahir melihat secara wajar apa yang sedang terjadi. Dan
kedua, sekolah dan jaringannya makin dicintai masyarakat karena ternyata
mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap masyarakat dan persoalan yang
dihadapi. Sekolah dinilai peduli terhadap masyarakat disekitarnya.
(haryonosuyono,2007)
C. Menyiapkan Jaringan Industri dan Jasa Peduli Pendidikan
Perhatian pada masyarakat yang mulai dikembangkan pada tingkat sekolah
menengah pertama diteruskan dengan lebih bermakna pada jaringan pendidikan
sekolah menengah atas. Apabila kedekatan sekolah dengan masyarakat ditata
dengan baik, setiap sekolah mengembangkan komite sekolah bukan saja untuk
urusan sekolah, tetapi bagaimana membawa pendidikan makin dekat kepada
masyarakatnya, maka bidang industri dan jasa di sekitar sekolah, atau di desa
yang sama, atau di kecamatan dan kabupaten/kota yang sama, akan lebih mudah
diajak makin peduli terhadap bidang pendidikan. Kepedulian ini bukan saja
karena sekolah mendidik anak-anak karyawan suatu pabrik, atau suatu industri,
tetapi karena kepedulian itu akan mendorong sekolah untuk makin akrab terhadap
usaha industri dan jasa yang berkembang di sekitarnya.
Kedekatan jaringan industri dan jasa kepada dunia pendidikan bukan saja
karena mereka memberi bantuan peralatan atau hibah alat laboratorium, tetapi
karena bidang industri dan jasa berkepentingan untuk ikut mengarahkan
kebutuhan pasar yang tumbuh di sekitarnya. Karena pasar di bidang industri dan
jasa akan menjadi sangat dominan di masa depan, tidak salah kalau anak-anak
muda sejak saat dini, yaitu saat di bangku SLTA sudah diajak akrab dengan kedua
bidang yang akan menjadi dominan tersebut.
Anak-anak muda diajak belajar dalam sistem dengan disiplin tinggi,
bergaul dengan jajaran karyawan yang mungkin saja datang dari segala suku di
tanah air, agama yang berbeda-beda, asal usul yang beragam, dan bahasa serta
tingkah laku yang juga berbeda-beda. Anak-anak makin mahir belajar geografi
karena kenalannya di bidang industri dan jasa beragam asal usulnya. Anak-anak
belajar menahan diri karena mereka bergaul dengan karyawan tua yang mungkin
saja pendidikannya rendah tetapi pengalamannya jauh lebih matang. Banyak hal
yang tidak ada di sekolah bisa dipelajari karena anak-anak langsung berhadapan
dengan guru yang tidak mengajar tetapi bekerja keras dalam suatu proses industri
yang hasilnya bukan saja dinilai dengan skore A, atau B, atau 50 atau 100. Tetapi
produk yang dihasilkannya harus laku jual dan membawa untung. Kalau produk
itu tidak digarap dengan baik dan penuh kasih sayang, produk itu tidak akan laku
jual, pabriknya bangkrut dan karyawannya terpaksa kena PHK, keluarganya akan
hidup sengsara. (haryonosuyono,2007)
Kepedulian industri dan jasa akan pendidikan bisa membantu
memperlancar upaya menghasilkan karyawan masa depan yang sejak sangat muda
sudah mulai belajar disiplin dan menghargai karya nyata yang tidak saja
menyambung kelangsungan usaha tetapi mengantar seluruh jajaran industri
dengan produk yang lebih baik, lebih laku jual dan menguntungkan semua pihak.
Dari sudut industri dan jasa, bidang pendidikan harus dipandang sebagai investasi
sumber daya manusia yang sangat penting. Masa depan industri dan jasa serta
keberlangsungan perusahaan akan sangat tergantung tidak saja pada tenaga yang
dihasilkan jajaran pendidikan, tetapi juga budaya cinta usaha dan jasa yang
memungkinkan tumbuhnya suasana berusaha yang menguntungkan.
Sinergy yang kuat dari dua arus besar seperti diuraikan diatas tidak cukup
hanya ada pada tingkat penentu kebijaksanaan di tingkat pusat tetapi harus
“mendarat” atau tercermin dalam tingkah laku di kalangan rakyat banyak. Untuk
mengembangkan sinergy tersebut pada tingkat akar rumput, biarpun mungkin saja
sifatnya sementara, perlu dikembangkan Pos-pos Pemberdayaan Keluarga atau
Posdaya yang berperan sebagai katalisator untuk mempersatukan kepentingan
kalangan pendidikan dan masyarakat luas yang saling menguntungkan.
Keberhasilan sinergy tersebut diukur bukan dari nilai hasil ujian akhir para
siswa tetapi dengan ukuran indeks pengembangan manusia (IPM), atau human
development index (HDI). Indeks tersebut ukuran pokoknya mengacu pada
tingkat kesehatan yang tinggi dan menghasilkan usia harapan hidup yang panjang,
partisipasi pendidikan yang tinggi dan menghasilkan rata-rata lamanya mengikuti
pendidikan formal yang panjang, serta kemampuan ekonomi penduduk yang
diukur dari pendapatan atau partisipasi penduduk dalam wirausaha.
(haryonosuyono,2007)
D. Penggunaan Indikator Pengembangan Mutu Manusia dan MDGs
Millennium Development Goals atau MDGs, yang disepakati para anggota
PBB lima tahun lalu dalam sebuah KTT global yang kemudian melahirkan
Millennium Declaration, adalah suatu inisiatif global untuk mengurangi jumlah
orang miskin di dunia menjadi separuhnya pada tahun 2015. MDGs memiliki
delapan tujuan (goals) dan 18 target yang harus dicapai oleh negara-negara
berkembang dan juga negara-negara maju. ( digilib.ampl.or.id)
Selama ini upaya meningkatkan mutu manusia melalui bidang pendidikan
di Indonesia diukur dengan standar dan penilaian yang dikaitkan dengan apa yang
diberikan atau maksimum apa yang diterima oleh murid-murid di sekolahnya.
Jarang sekali, atau mungkin tidak pernah, ukuran itu dikaitkan dengan standar
mutu manusia yang diukur dengan standar-standar mutu manusia yang ditetapkan
dan diterima secara global.
Mutu anak didik yang bersekolah dan lulus dari suatu sekolah biasanya
diukur mutunya dari jumlah atau prosentase siswa yang lulus dengan nilai hasil
ujian akhir yang menggembirakan. Anak-anak muda itu jarang dikaitkan dengan
ukuran mutu manusia yang bersifat global seperti Indeks Pengembangan Manusia
(IPM) atau Human Development Index (HDI). Ukuran ini berbeda dengan ukuran
hasil pendidikan di sekolah yang diambil dari hasil ujian, baik ujian sekolah
maupun ujian nasional. Ukuran mutu menurut nilai hasil ujian ini bagus karena
mengukur daya tangkap dan kemampuan siswa menerima pelajaran di sekolah.
Namun ukuran ini belum dikaitkan dengan ukuran makro sebagai bagian dari
mutu manusia Indonesia secara umum. Oleh karena itu ada baiknya ukuran yang
sifatnya mikro tersebut disesuaikan dengan ukuran makro yang bersifat global
seperti HDI atau IPM. Lebih dari itu anak-anak muda dan pencapaian hasil
pemberdayaan atau pendidikannya diukur sejauh mana memberi kontribusi pada
upaya mencapai sasaran Millennium Development Goals (MDGs).
(haryonosuyono,2007)
Ukuran IPM atau HDI utamanya mengacu pada tiga indikator pokok yaitu
panjangnya usia harapan hidup, lamanya seseorang mengikuti pendidikan formal
dan kemampuan ekonomi penduduk yang diukur dari indikator daya beli masing-
masing penduduk tersebut. Ukuran pencapai target dan sasaran MDGs mengacu
pada delapan sasaran pokok yang meliputi indikator pengentasan kemiskinan,
kesehatan, pendidikan, kemampuan ekonomi dan keseimbangan lingkungan dan
kerjasama internasional. Penggunaan indikator untuk ukuran-ukuran IPM, HDI,
atau MDGs tersebut merupakan pedoman yang bersifat global yang akan
menempatkan penduduk Indonesia dalam posisi menurut ukuran indikator
internasional. (haryonosuyono,2007)
E. Pengelolaan Operasinal Pendidikan Dasar
Pendidikan umum yang selama ini mendominasi pelayanan pendidikan di
tanah air idealnya dikembangkan dan diarahkan menjadi pendidikan kejuruan
untuk melayani maraknya industrialisasi dan pengembangan jasa pelayanan yang
bakal memberi nilai tambah yang tinggi pada masa tigapuluh tahun yang akan
datang. Namun karena membangun sekolah kejuruan perlu persiapan dan
memakan waktu lama serta dana yang besar, maka dapat ditempuh jalan pintas
dengan mengubah pengelolaan Operasional Pendidikan Dasar.
Pengembangan anak didik dengan kemampuan untuk mengambil prakarsa
dalam pemeliharaan kesehatan agar berumur panjang, mengusahakan agar bisa
sekolah setinggi-tingginya dan akhirnya menyiapkan diri untuk bisa bekerja
dengan nilai tambah yang memadai, merupakan syarat awal dari pengembangan
mutu manusia yang indikatornya adalah IPM atau HDI. Pencapaian oleh setiap
penduduk atas indikator-indikator tersebut menjauhkan setiap lulusan sekolah dari
ukuran kelulusan, tetapi pada kualitasnya untuk berumur panjang, sekolah
setinggi-tingginya dan bisa bekerja dengan upah yang memadai atau menjadi
pengusaha yang menghasilkan untung yang besar.
Karena keluarga kurang mampu mempunyai kesempatan yang terbatas
untuk memenuhi kreteria tersebut daitas, maka seperti halnya bidang
pembangunan lainnya, bidang pendidikan harus memberi perhatian dan prioritas
tinggi, kalau perlu dengan “sistem jemput bola”, atau “menyediakan bangku
khusus” untuk anak-anak keluarga kurang mampu. Utamanya keluarga muda yang
mempunyai anak antara umur 0 – 14 tahun, atau keluarga muda dengan anak
antara umur 15 – 24 tahun. Pendidikan umum luar sekolah dengan tekanan khusus
pada pelatihan ketrampilan diberikan kepada keluarga dengan anak-anak dewasa
usia 25 – 35 tahun. (haryonosuyono,2007)
Sistem jemput bola atau penyediaan bangku khusus itu harus
mencerminkan keberpihakan karena tanpa memihak akan sukar sekali mencapai
keadilan yang dapat diwujudkan sebagai hasil akhir pendidikan yang bersaing
secara ketat. Keluarga kurang mampu akan selalu kalah bersaing karena kondisi di
luar sekolah yang tidak mungkin mereka penuhi.
Pendidikan harus dimulai dari saat yang sangat dini dengan disertai
kampanye secara besar-besaran agar tidak saja orang tua anak sadar, tetapi
masyarakat umum memberi penghargaan terhadap budaya sekolah sejak usia
sangat dini. Kalau perlu, disamping pendidikan anak dini usia formal, masyarakat
diberi kesempatan mengembangkan forum-forum tambahan seperti Taman
Pendidikan Al Qur’an (TPA), kegiatan Posyandu, Bina Keluarga Balita,
Penimbangan Balita, kegiatan bermain sesama anak balita lain di luar sekolah.
Agar keikhlasan itu tumbuh menjadi budaya yang banyak diimpikan para orang
tua, anak-anak itupun diberi kesempatan mempelajari agama dan budi pekerti
luhur dengan contoh-contoh konkrit yang melegakan semua pihak.
Kegiatan anak balita itu diramu dengan ramah misalnya dengan banyak
mengadakan lomba dengan hadiah menarik. Hadiah itu berupa buku bacaan yang
isinya menyenangkan. Pemberian penghargaan berupa buku itu bukan untuk
dibaca anak-anak balita yang belum bisa membaca tetapi dibaca oleh ibu dan
banpaknya, atau saudaranya yang lebih dewasa. Tujuannya sekaligus adalah
membangun budaya cinta buku, cinta sekolah, dan mengerti tingkah laku
kepahlawanan dan peduli sesama anak bangsa. Ketertarikan pada buku, baik bagi
orang tua atau anaknya, akan menghasilkan budaya peduli pendidikan yang tinggi.
Perhatian kepada anak-anak usia 5 – 24 tahun itu harus diramu tidak saja datang
dari orang tua tetapi juga harus menjadi daya tarik tersendiri bagi para pemimpin
sehingga para pemimpin menaruh perhatian pada pelayanan dan fasilitas
pendidikan yang disediakan untuk anak-anak yang sedang tumbuh dewasa
tersebut. Dengan perhatian itu diharapkan program pembangunan seperti
informasi tentang gizi dan lainnya makin difokuskan untuk keluarga dengan anak-
anak yang sedang sekolah. Kalau gizi keluarga mendapat perhatian, otomatis gizi
anak-anaknya akan mendapat perhatian yang sama. Disinilah bidang pendidikan
ikut memberi arah pembangunan dengan sasaran yang lebih tepat.
Perhatian yang besar perlu ditujukan kepada anak-anak diatas usia 12 – 13
tahun, yaitu usia 13 – 24 tahun, usia SMP dan SMA. Karena anak-anak tersebut
menginjak dewasa, maka setiap sekolah harus sering mendatangkan tenaga medis
dan para medis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman tentang kesehatan
reproduksi dan hal-hal lain yang mulai muncul pada anak-anak menjelang masa
puber. Undangan kepada tenaga medis dan para medis memberi kesan adanya
keterpaduan antara sekolah dan masyarakat serta sekaligus memperkenalkan
sekolah dengan dunia nyata di pedesaan.(google.co.id)
Perhatian yang tinggi perlu diberikan terhadap pengaruh narkoba dan
hubungan seksual diluar nikah karena pengaruh budaya yang makin bebas dan
terbuka. Penyakit-penyakit seperti HIV/AIDS atau lainnya yang banyak
menyerang anak muda perlu dijelaskan oleh tenaga yang kompoten bukan sekedar
sebagai ilmu pengetahuan tetapi juga bahaya yang mengancam setiap siswa.
Lebih dari itu karena pendidikan kejuruan mahal dan masih langka, bisa
ditempuh pendekatan terobosan. Pada pendidikan umum ditambahkan mata
pelajaran ketrampilan mulai pada tingkat sekolah menengah umum pertama
(SMP) dan pada sekolah menengah umum atas (SMA). Masyarakat dan industri
jasa di sekitar sekolah, di pabrik dan perusahaan industri, di pasar dan tempat-
tempat pelayanan jasa di desa dan di kota, diajak menyatu menjadi wahana
pendidikan ketrampilan anak-anak muda yang sedang sekolah. Sekolah yang
biasanya membatasi dirinya dengan dinding-dinding tebal, dalam arti kiasan,
“dijebol” agar sekolah menyatu dengan masyarakat, industri dan pelayanan jasa
yang ada di sekitarnya. Anak-anak didik ditugaskan untuk magang dan belajar
sambil bekerja pada perusahaan-perusahaan, kontar atau perorangan. Mereka
betul-betul bekerja dan tidak pura-pura bekerja.
Anak-anak muda diajak berkenalan dengan persoalan yang ada dalam
masyarakat sehingga bisa menjadi pendobrak untuk pemeliharaan kesehatan
bersama rakyat sehingga penduduk berumur panjang. Anak sekolah diberikan
pelajaran yang menarik dan berguna untuk hidupnya di masa depan sehingga
mereka sekolah setinggi-tingginya karena bermanfaat untuk bekal membangun
masa depan yang sejahtera. Mulai usia yang sangat dini anak-anak diajak bekerja
bersama masyarakat sehingga menjadikan kegiatan kerja menjadi bagian hidup
yang harus diikuti untuk mengembangkan keluarga yang sejahtera di masa depan.
Arahan ini sekaligus menjadikan proses pendidikan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari proses pemberdayaan manusia yang luas dan berkelanjutan.
Ukuran keberhasilan upaya ini tidak saja pada indikator hasil pendidikan tetapi
juga bagaimana anak didik dan lulusan itu bisa merangsang suksesnya
pengukuran seperti IPM atau pencapaian sasaran-sasaran MDGs.(google.co.id)
Secara operasional anak-anak muda siswa SMP dan SMA menyatu dengan
masyarakatnya dan belajar serta bekerja keras menyatu dengan ahli-ahli yang
terampil pada usaha-usaha yang ada pada industri dan perdagangan yang ada di
desanya. Anak-anak muda itu tidak saja belajar di bangku sekolah dengan
mempelajari materi-materi pendidikan baku, tetapi juga “dipaksa” dengan disiplin
tinggi untuk ikut menggarap pengembangan industri kecil dan pelayanan jasa
dengan cara yang makin profesional dari rumah tangga atau industri dan jasa yang
ada di sekitar sekolah atau di desanya.
Kemampuan intelektual terhadap materi-materi yang diberikan di sekolah
dipadukan dengan ketrampilan yang diperoleh dalam pendidikan dan pelatihan
ketrampilan di luar sekolah. Hasil penggemblengan di luar sekolah tersebut
dihargai dengan sertifikasi yang berharga. Dengan cara ini setiap lulusan SMP dan
SMA sekaligus mengantongi dua macam sertifikat, pertama, tanda lulus sekolah
umum, dan kedua, tanda sudah memiliki ketrampilan tertentu yang dapat
dipergunakan sebagai syarat untuk mulai bekerja sebagai tenaga profesional.
Masyarakat yang bersedia menjadi bagian dari lembaga pendidikan anak
bangsa seperti ini diberikan pelatihan tertentu bagaimana cara mendampingi anak
didik dalam memperoleh ketrampilan yang diperlukannya untuk menjamin hidup
yang sejahtera di masa depan. Waktu sampai tahun 2015 sejak saat ini dianggap
cukup untuk menjadikan sekolah-sekolah umum masa kini menjadi sekolah
kejuruan (tanpa dinding) yang mendidik siswa sebagai pekerja yang ulet dan
menghasilkan nilai tambah yang tinggi. Perusahaan atau perorangan yang bersedia
menjadi bagian dari sistem pendidikan seperti ini diberikan kemudahan untuk
mendapatkan modal dari bank sehingga makin lama makin menjadi usaha modern
yang peka dan siap menjadi pendamping anak-anak didik menyiapkan
ketrampilan yang dibutuhkan.
Apabila fasilitas di sekitar sekolah sudah jenuh, maka fasilitas industri
kecil di desa dapat diperluas dengan dukungan anak-anak didik setelah pulang
sekolah. Dengan cara demikian diharapkan akan tumbuh industri kecil di
pedesaan, sekaligus meningkatkan industri berbasis hasil pertanian. Bidang
pertanian makin modern tetapi tenaga muda di desa tidak perlu harus “migrasi” ke
kota. Dengan berbekal pendidikan dan keterampilan anak-anak muda desa bisa
merubah pola kerja mereka dengan baik karena munculnya industri dengan basis
sumber daya pedesaan, atau industri berbasis local resourses.
Kelebihan tenaga yang masih ada dipersiapkan dengan baik untuk bekerja
dalam bidang jasa yang wilayah kerjanya tidak saja di desa, atau di kota dekat
desanya, tetapi juga di wilayah lain di selur`uh Indonesia, atau bahkan
dipersiapkan menjadi tenaga terdidik dan terlatih untuk memenuhi keperluan
tenaga terampil di manca negara. Apabila pasar tenaga kerja dalam negeri belum
berkembang, atau sudah jenuh, tenaga terdidik pedesaan yang telah dilatih
keterampilan diarahkan dan disiapkan sebagai tenaga terdidik untuk tugas kerja di
luar negeri.
Tenaga tersebut adalah andalan yang memiliki ketrampilan yang bisa
menghasilkan nilai tambah tinggi. Hasil remintance atau uang yang dikirim anak-
anak muda ke desanya dijadikan modal investasi bagi usaha pertanian dan industri
pedesaan oleh keluarganya yang masih tinggal di desa.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Visi Indonesia tahun 2030 bagi bidang pendidikan bukan saja merupakan
ramalan yang akan terjadi, tetapi justru harus dianggap dan dijadikan cambuk,
landasan semangat serta dijadikan pedoman arah yang harus diikuti dengan baik.
Visi Indonesia tahun 2030 kalau dibaca sebagai pedoman dapat dipergunakan
untuk mempersiapkan tenaga kerja yang cerdas, bermutu dan terampil. Visi ini
memprediksi, atau lebih tepat “meminta kerjasama” berbagai sektor terkait agar
bersama-sama berupaya menyediakan modal manusia yang bermutu dan bisa
mengejar berkembangnya modal alam dan fisik serta ikut memelihara dan
menyegarkan modal sosial yang berbudaya.
SARAN
Pemerintah harus merealisasikan program-program terbaiknya dalam
rangka meningkatkan mutu pendidikan bangsa Indonesia secara maksimal dan
terkoordinasi dengan baik.Tentunya harus ada pengawasan extra ketat dari
Pemerintah dan Badan-badan terkait supaya tidak ada penyalahgunaan jabatan
dan tindakan yang merugikan pendidikan itu sendiri.
Masyarakat juga harus kritis dan menjadi kontrol dari setiap program yang
dilakukan pemerintah khususnya program peningkatan mutu pendidikan yang
baik.Jadi,semua pihak harus bekerja sama sehingga stiap program yang dijalankan
berjalan dengan baik dan sesuai harapan.InsyaAllah.
DAFTAR RUJUKAN
Suyono,Haryono. 2007. Pokok-Pokok Pikiran Tentang Pengelolaan Operasional
Pendidikan Berbasis Masyarakat, (Online), (http://www.haryonosuyono.com/
,diakses 7 Oktober 2009)
Tirtaraharjda,dkk.2005.Pengantar Pendidikan.Jakarta:Rineka Cipta Jakarta.
Shelmi .2008.Tantangan Budaya, (Online), (http://shelmi.wordpress.com/2008/05/07
/tantangan-budaya/,diakses 7 Oktober 2009)
(http://id.wikipedia.org/, diakses 7 Desember 2009)
Insan.2009.Kependudukan, (Online),(.http://insan.ngeblogs.com/kependudukan-generasi-
dan-pembangunan-berkelanjutan-pengertian-dan-kajian-kependudukan/, diakses 7
Desember 2009)
(http://digilib.ampl.or.id , diakses 7 Desember 2009)
(http://www.google.co.id, diakses 7 Desember 2009)