PENGANTAR -...
Transcript of PENGANTAR -...
PENGANTAR
Semua tingkah laku dan tindakan yang dilakukan oleh seorang individu
dipengaruhi oleh emosi yang ada dalam dirinya. Hurlock (1980) menyatakan bahwa
emosi sangat berpengaruh dalam penyesuaian sosial dan pribadi seseorang. Melalui
emosi seseorang belajar untuk merubah perilaku agar dapat menyesuaikan diri
dengan tuntutan dan ukuran sosial. Selain itu emosi merupakan sebuah bentuk
komunikasi, yang berarti bahwa seseorang dapat mengenal jenis perasaan orang lain
melalui perubahan fisik dan mimik wajah yang menyertai emosi (Hurlock, 1994).
Perkembangan emosi berkaitan erat dengan perkembangan fisik dan mental
seseorang. Pada remaja yang sedang mengalami fase peralihan dari masa kanak-
kanak menuju masa dewasa, perkembangan emosi adalah suatu hal yang dinamis
yang bergantung kepada faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan remaja
(Sulaeman, 1995). Emosi dapat berkembang dengan baik apabila remaja tumbuh di
lingkungan yang kondusif, sebaliknya perkembangan emosi dapat terhambat apabila
remaja tumbuh di lingkungan yang buruk (Jerslid, 1965).
Perkembangan pengendalian emosi pada remaja berkaitan dengan kematangan
emosinya. Remaja dikatakan telah mencapai kematangan emosi apabila remaja tidak
meledakkan emosinya dihadapan orang lain, tetapi menunggu saat yang tepat untuk
mengungkapkan emosinya dengan cara yang lebih bisa diterima. Remaja sudah dapat
berpikir kritis terlebih dulu sebelum bereaksi secara emosional. Ketika kematangan
emosional sudah dicapai maka remaja dapat mengendalikan atau mengontrol
emosinya sehingga respon emosional yang dimunculkan tepat sasaran atau dengan
kata lain sesuai dengan situasi yang dihadapinya (Hurlock, 1973).
Kematangan emosi dan kontrol emosi adalah dua hal yang mempengaruhi
munculnya respon emosional seseorang. Schneiders (1964) menyatakan bahwa
seseorang dapat memberikan respon emosional yang tepat dan sesuai dengan stimulus
yang diterima apabila orang tersebut memiliki kesehatan emosi yang baik sehingga
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Menurut Finkelor (Sujarwo, 1972)
seseorang yang dinyatakan sehat emosinya memiliki beberapa tanda, yaitu menyadari
kelebihan dan kekurangannya, mengenal reaksi-reaksi emosinya terhadap orang lain
dan situasi, mengetahui seberapa banyak tekanan-tekanan luar yang
mempengaruhinya, dan mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan
sifat-sifat itu.
Akan tetapi tidak semua remaja mengalami kematangan emosional tepat pada
waktunya. Remaja yang belum mempunyai kematangan emosi, ketika dihadapkan
pada situasi yang sulit akan terganggu emosinya sehingga tidak dapat menyelesaikan
masalahnya (Hurlock, 1973). Ketidakmampuan menyelesaikan masalah mendorong
remaja untuk melakukan hal-hal negatif, diantaranya mengonsumsi alkohol dan obat-
obatan terlarang (Sarwono, 2002).
Berdasarkan laporan tahunan Badan Narkotika Nasional (BNN) diketahui
bahwa kasus penyalahgunaan napza yang dilakukan oleh remaja atau kalangan
pelajar dalam kurun waktu lima tahun terakhir terus meningkat (Kompas online,
2007). Hasil survei yang dilakukan oleh BNN (Kompas online, 2007), menunjukkan
bahwa kelompok yang paling banyak mengonsumsi narkoba adalah kalangan
mahasiswa (9,9 persen), pelajar SLTA (4,8 persen), dan pelajar SLTP (1,4 persen).
Penelitian yang dilakukan oleh Hawari (Gunawan, 2006) menemukan bahwa
pada umumnya pecandu napza mulai mencoba menggunakan napza sejak usia 13 - 17
tahun. Tetapi ada juga yang sudah mengenal napza sejak usia sembilan tahun. Hal ini
berarti ketergantungan terhadap napza telah dimulai sejak individu berusia remaja.
Pendapat serupa diungkapkan oleh Soeweno (Alfiatin, 2001), bahwa mayoritas
pecandu napza adalah remaja usia 15 – 20 tahun. .
Remaja pecandu napza akan mengalami dampak buruk akibat
penyalahgunaan napza. Dampak buruk yang ditimbulkan akibat penyalahgunaan
napza meliputi dampak fisik, psikologis, kognitif, dan sosial. Zat-zat psikoaktif yang
terkandung dalam napza memberikan efek ketergantungan secara fisik dan mental
bagi pecandu sehingga dirinya tidak dapat mengendalikan perilakunya lagi untuk
menggunakan zat tersebut (Maslim, 2002).
Salah satu dampak psikologis yang disebabkan oleh penyalahgunaan napza
adalah munculnya Gangguan Mental Organik (GMO) yaitu gangguan mental dan
perilaku sebagai akibat terganggunya fungsi sinyal penghantar saraf
(neurotransmitter) pada sel-sel susunan saraf pusat (Hawari, 2004). GMO
mengakibatkan kesehatan emosi remaja pecandu terganggu sehingga memunculkan
emosi-emosi negatif seperti mudah marah, perasaan putus asa, merasa rendah diri,
dan depresi. Akibat dari terganggunya kesehatan emosi tersebut akan terjadi
perubahan perilaku pada remaja pecandu napza antara lain, merosotnya prestasi
belajar atau bekerja yang semula baik menjadi tidak produktif, perubahan perilaku
dari semula berperilaku santun menjadi liar dan tidak bermoral, tidak mematuhi tata
tertib dan peraturan, dan tidak menjalankan ibadah agama (Hawari, 2004).
Menurut Soewadi (Alfiatin, 2001), penyalahgunaan napza pada remaja
mengakibatkan terganggunya kesehatan emosi sehingga membuat mereka mudah
kecewa, tidak puas dengan kehidupannya, emosi menjadi tidak stabil dan gampang
marah. Meningkatnya kasus perkelahian antar pelajar adalah salah satu contoh dari
bentuk gangguan kesehatan emosi tersebut (Kompas online, 2007). Perkelahian
pelajar terjadi karena remaja pecandu napza tidak dapat mengontrol emosinya.
Dampak psikologis lain yang diakibatkan oleh penyalahgunaan napza adalah
timbulnya perasaan takut yang berlebihan dan kecurigaan (paranoid) bagi pecandu,
munculnya halusinasi dan delusi, dan euforia yaitu perasaan gembira yang berlebihan
(Gunawan, 2006). Munculnya emosi negatif seperti ini menandai bahwa saat dibawah
pengaruh napza maka kesehatan emosi remaja pecandu menjadi terganggu.
Bastaman (1995) berpendapat bahwa emosi yang tidak sehat akan membuat
manusia mengalami kehampaan hidup, selalu berkeluh kesah, putus asa, serba bosan,
merasa jenuh dengan pekerjaannya, malas dan tidak pernah merasakan kenikmatan
atas prestasi yang mereka capai. Emosi yang tidak sehat juga meningkatkan resiko
bagi pecandu napza untuk mengalami perasaan putus asa, depresi, kecewa dengan
keadaan dirinya, dan kehilangan semangat untuk sembuh (Hawari, 2004).
Ketergantungan terhadap napza harus segera disembuhkan untuk
mengembalikan kesehatan emosi remaja pecandu napza. Ada bermacam-macam cara
yang dapat dilakukan untuk menyembuhkan ketergantungan napza. Salah satunya
dengan melakukan metode Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT) yang
diadaptasi dari terapi agama (religious therapy) dan dikembangkan dengan
memperhatikan aspek-aspek pada terapi kognitif (cognitive therapy) dan terapi
tingkah laku (behavioral therapy).
Metode yang digunakan dalam CBRT adalah metode talqin, dzikir, shalat
wajib dan sunnah, serta mandi taubat.. Dzikir diyakini dapat mempercepat proses
penyembuhan penyakit. Penelitian di rumah sakit jiwa Taif (Saudi Arabia)
menunjukkan bahwa 100 orang pasien ketergantungan napza dapat disembuhkan
dengan metode terapi agama, yaitu dengan berdoa, berdzikir, serta menjalankan
shalat lima waktu (Hawari, 2004). Penelitian ini diperkuat oleh hasil survey oleh
majalah TIME dan CNN tahun 1996 (Hawari, 2004) yang menyatakan bahwa lebih
dari 70 pasien mengalami proses penyembuhan yang lebih cepat karena memiliki
keimanan yang kuat kepada Tuhan dan selalu melakukan doa dan dzikir.
Hawari (2004) mengungkapkan dalam penelitiannya terhadap remaja pasien
ketergantungan napza bahwa minat pasien terhadap agama rendah bahkan boleh
dikatakan tidak ada sama sekali, hal ini amat berbeda dengan kelompok kontrol yaitu
bukan pasien ketergantungan napza. Kesimpulan yang dapat dipetik adalah bahwa
remaja yang tingkat religiusitasnya rendah mempunyai resiko lebih tinggi terlibat
penyalahgunaan napza.
Hasil dari terapi dan rehabilitasi dengan menggunakan metode psikoreligius
menunjukkan bahwa jumlah penderita napza yang dirawat ulang (re-hospitalisasi)
dapat ditekan dari angka 43,9% menjadi 12,21% dan bila penderita napza itu setelah
menjalani terapi taat menjalankan ibadah agama (shalat dan dzikir) maka angka
kekambuhan hanya 6,83%, sedangkan yang tidak menjalankan ibadah agamanya
angka kekambuhan mencapai 71,67% (Hawari, et.al., 2004).
Penelitian Darajat (1993) tentang terapi agama untuk menyembuhkan
penyakit gangguan jiwa dengan cara membaca al-Qur’an juga menunjukkan hasil
yang sama. Sebagian besar pasien mengalami proses penyembuhan yang lebih cepat
setelah mengikuti terapi tersebut. Posisi duduk yang tenang dihadapan al-Qur’an dan
membaca setiap ayatnya, memberikan perasaan tenang, dan jiwa yang damai dan
tentram bagi pasien. Keadaan yang tenang dan jiwa yang tentram memberikan
pengaruh teraputik yang penting dalam meredakan syaraf yang timbul akibat berbagai
gangguan emosional yang menyebabkan terganggunya kesehatan emosi (Najati,
1985).
Najati (1985) mengungkapkan lebih lanjut bahwa keadaan tenang dan santai
merupakan sarana yang sering digunakan oleh para ahli psikoterapi modern dalam
menyembuhkan berbagai penyakit jiwa, termasuk ketergantungan terhadap zat-zat
psikoaktif atau napza. Dzikir, doa, shalat, dan membaca al-Qur’an adalah rangkaian
kegiatan ibadah yang jika dilakukan secara rutin akan menjadi latihan terbaik untuk
belajar bersikap tenang.
Proses pembelajaran dan latihan untuk menjalankan ibadah secara rutin dapat
disebut sebagai bagian dari terapi tingkah laku karena akan membentuk sebuah
perilaku baru yaitu rutinitas beribadah. Pada umumnya seseorang yang telah
mempelajari sikap dan keadaan tenang dapat melepaskan diri dari ketegangan syaraf
yang timbul akibat terganggunya kesehatan emosi seseorang tersebut. Perasaan
tenang dan tentram akan mempengaruhi pola pikir seseorang dalam mengatasi
masalah, hal ini berarti proses terapi agama apabila dikaitkan dengan terapi tingkah
laku akan mempengaruhi fungsi kognitif seseorang.
Terapi psikoreligius dalam bentuk berdoa dan berzikir mempunyai nilai
psikoterapeutik lebih tinggi daripada psikoterapi psikiatrik konvensional. Seseorang
yang sedang menderita kecanduan terhadap napza selain berobat secara medik bila
disertai dengan berdoa dan berdzikir akan meningkatkan kekebalan terhadap zat-zat
adiktif, menimbulkan harapan (optimisme), pemulihan rasa percaya diri, dan
meningkatkan kemampuan mengatasi penderitaan di saat sakaw, sehingga akan
mempercepat proses penyembuhan (Hawari, 2002).
Metode Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT) sangat berkaitan erat
dengan relaksasi, yang merupakan perpaduan antara meditasi dan yoga. Meditasi
yang digunakan dengan metode CBRT bernaung pada agama Islam dengan bacaan-
bacaan dzikir yang dapat kita rasakan melalui nafas dan pikiran, dan melalui
serangkaian kegiatan lain yang termasuk dalam metode pelatihan CBRT. Berdasarkan
beberapa uraian diatas maka peneliti menyimpulkan bahwa metode CBRT yang
dilakukan dalam proses penyembuhan ketergantungan napza bagi remaja pecandu
napza diyakini dapat memberikan ketenangan jiwa sekaligus menjaga kesehatan
emosi pecandu.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kesehatan Emosi Remaja Pecandu Napza
1. Pengertian Kesehatan Emosi Remaja Pecandu Napza
a) Pengertian Kesehatan Emosi
Sebelum membahas mengenai kesehatan emosi remaja pecandu napza,
penulis akan menguraikan pengertian kesehatan emosi dari beberapa pendapat ahli.
Menurut Morgan (1986) kesehatan emosi merupakan keadaan emosi seseorang
dimana ketika mendapat rangsang-rangsang emosional dari luar tidak menimbulkan
gangguan emosional, seperti depresi dan kecemasan. Hal itu disebabkan karena
individu dapat mengendalikan dirinya dengan baik. Kesehatan emosi individu dapat
dilihat dari perilaku kesehariannya yang tampak pada proses interaksi sosial antar
individu.
Kesehatan emosi dapat dijaga dengan cara mengekspresikan perasaan dan
gejolak emosi yang ada dalam diri kita. Kesehatan emosi juga dapat terwujud apabila
kita dapat mengelola emosi dengan baik dan mengekspresikannya secara tepat (Albin,
1986). Guilford (1959) mengatakan kesehatan emosi adalah suatu keadaan emosi
seseorang yang mudah bergerak untuk menyesuaikan diri antara dirinya dengan
lingkungan sekitar, sehingga apabila orang tersebut mendapat rangsang emosi dari
luar dirinya, tidak menunjukkan ketegangan emosional. Ketegangan emosi dapat
menyebabkan depresi, kurang semangat, kebingungan, kehilangan kepercayaan pada
diri sendiri dan kesadaran terganggu, sehingga orang tidak dapat berpikir secara
subjektif.
Sehubungan dengan kesehatan emosi, Hurlock (1973) mengatakan bahwa
kesehatan emosi memiliki beberapa kriteria. Kriteria pertama, yaitu kontrol emosi
yang secara sosial dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Individu yang emosinya
sehat dapat mengontrol ekspresi emosi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial,
atau dapat melepaskan dirinya dari belenggu energi mental dan fisik yang terpendam
dengan cara yang dapat diterima oleh lingkungan sosialnya.
Kriteria kedua adalah pemahaman diri. Individu yang memiliki emosi sehat
mampu belajar untuk mengetahui besarnya kontrol yang dibutuhkan untuk
memuasakan kebutuhan-kebutuhannya, menyesuaikan diri dengan harapan-harapan
sosial, serta bersikap emapati yang tinggi terhadap orang lain. Kriteria ketiga adalah
penggunaan fungsi kritis mental. Individu yang sehat emosinya dapat menilai situasi
secara kritis sebelum memberikan responnya secara emosional, kemudian individu
tersebut mengetahui cara yang tepat untuk menghadapi situasi itu. Hurlock (1973)
juga menambahkan perlunya keterbukaan diri (self- disclosure) dan asertivitas untuk
mencapai kesehatan emosi.
McKinney (1950) memberikan definisi kesehatan emosi, ditinjau dari ciri-
cirinya. Dia mengatakan bahwa individu yang mempunyai kesehatan emosi adalah
individu yang mampu mengontrol emosinya, bersikap mandiri, tidak egosentris, dan
memiliki kemasakan seksual.
Berdasarkan beberapa uraian mengenai kesehatan emosi dari para ahli diatas,
penulis menyimpulkan bahwa kesehatan emosi adalah suatu keadaan emosi seseorang
dimana ketika mendapatkan rangsangan dari luar dirinya, orang tersebut dapat
memberikan respon emosional yang sesuai dengan situasi yang dihadapi, mampu
mengontrol emosi sehingga tidak terjadi ketegangan emosional, serta dapat
menampilkan respon emosional yang tidak berlebihan.
b) Faktor-faktor Kesehatan Emosi
Schneiders (1964) mengemukakan bahwa kesehatan emosi didukung oleh tiga
faktor kesehatan emosi dan penyesuaian emosi yang terdiri dari, yaitu (1)
Kematangan emosi (2) Kontrol emosi (3) Adekuasi emosi.
1) Kematangan Emosi
Kematangan emosi adalah kemampuan seseorang untuk menampilkan respon
emosional yang sesuai dengan rangsangan yang diterima. Kematangan emosi
menuntut adanya suatu perkembangan yang memadai sehingga mampu menjadi dasar
penyesuaian yang baik. Seseorang yang matang emosinya mampu bereaksi secara
emosional sesuai dengan tingkat perkembangan kepribadiannya.
Seorang anak kecil akan menangis, merengek, memukul, atau mengumpat
ketika dia tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Perilaku tersebut
disebabkan karena emosinya yang belum matang dan tidak tahu cara mengatasinya.
Apabila hal ini dilakukan oleh orang dewasa, maka dapat dikatakan bahwa emosi
orang tersebut belum matang atau kekanak-kanakan.
Seseorang yang belum matang emosinya juga dapat dilihat dari sikap-
sikapnya, antara lain tetap bergantung kepada orangtua walaupun sudah dewasa,
mempunyai rasa iri terhadap nasib baik orang lain, merasa takut berada di tempat
yang gelap, serta menertawakan kemalangan yang menimpa orang lain.
McKinney (1950) mengatakan bahwa seseorang yang emosinya matang akan
belajar menerima kritik, mampu menangguhkan respon-responnya, dan memiliki
saluran sosial bagi energi emosinya seperti bermain, mengembangkan hobi, dan
sebagainya.
2) Kontrol Emosi
Kontrol emosi ini adalah kemampuan seseorang untuk mengatur dan
mengendalikan emosi. Kontrol emosi yang kurang, maupun yang berlebihan akan
menghambat penyesuaian sosial. Sikap dan perilaku individu yang menunjukkan
kurangnya kontrol emosi, antara lain kemarahan yang meledak-ledak yang
ditunjukkan dengan perilaku emosional, seperti membanting barang, memukul orang
lain, atau berkelahi.
Kontrol emosi berlebihan yang disertai dengan perkembangan emosi yang
kurang memadai dan adanya pengalaman traumatik dapat menyebabkan emosi
menjadi dingin atau kaku. Keadaan ini akan menghambat penyesuaian diri dan
kesehatan mental seseorang. Orang yang mempunyai sifat psikopatik yang tidak
dapat merasakan simpati dan penyesalan, atau orang yang dingin dalam hal seksual
merupakan contoh dari keadaan emosi yang kaku tersebut.
3) Adekuasi Emosi
Adekuasi emosi adalah kemampuan seseorang untuk menampilkan respon
emosional dengan kadar yang tepat, tidak berlebihan ataupun kurang. Respon emosi
ini menyangkut isi emosi atau macamnya emosi, arah emosi atau kepada siapa emosi
itu ditujukan.
Emosi ada yang adekuat dan ada juga yang tidak adekuat. Emosi yang adekuat
ditunjukkan dengan sikap yang sesuai dengan harapan-harapan sosial, seperti sikap
suka menolong, ramah, dan menghormati orang lain. Sebaliknya emosi yang tidak
adekuat ditunjukkan dengan sikap apatis, tidak mau mencintai, tidak suka menolong,
tidak mau menerima bantuan, memiliki selera humor yang buruk, dan adanya
perasaan bermusuhan yang kuat.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kesehatan emosi
memiliki tiga faktor, yaitu kematangan emosi, kontrol emosi, dan adekuasi emosi.
Kematangan emosi berkaitan dengan sikap reaksi emosi yang dewasa sesuai dengan
tingkat perkembangan kepribadiannya. Kontrol emosi berkaitan dengan kemampuan
individu dalam mengatur atau mengendalikan emosinya. Sedangkan adekuasi emosi
berkaitan dengan isi dan arah dari respon-respon emosional.
c) Kesehatan Emosi Remaja Pecandu Napza
Remaja pecandu napza adalah individu yang berada dalam fase peralihan dari
kehidupan masa kanak-kanak ke masa dewasa (Sulaeman, 2005), yang sedang
berkembang dalam aspek biologis, kognitif dan sosial emosional (Santrock, 2003),
dan dalam fase peralihan itu individu tersebut mengalami ketergantungan fisik dan
psikologis terhadap suatu obat bius (Chaplin, 2002), diantaranya narkotika, alkohol,
psikotropika, dan zat-zat adiktif lainnya atau biasa disingkat napza (Sugito, 2004).
Remaja pecandu napza memiliki karakteristik tertentu yang membedakan
perilakunya dengan remaja normal atau bukan pecandu napza. Adapun karakteristik
remaja pecandu napza menurut Karsono (2004), antara lain : (1) Adanya perubahan
tingkah laku yang tiba-tiba, baik dirumah maupun di sekolah, lingkungan keluarga,
dan teman sebaya, (2) Munculnya perilaku marah yang tidak terkendali, (3)
Pembangkangan terhadap disiplin, (4) Sering menipu orang lain, (5) Berat badan
menurun secara drastis, (6) Suka melamun dan berhalusinasi, (7) Munculnya
perilaku suka mencuri, (8) Sering membolos dan tidak dapat berkonsentrasi ketika
menerima pelajaran, (9) Daya tahan tubuh menurun, (10) Melakukan perilaku seks
bebas.
Penyalahgunaan napza dapat menyebabkan remaja mengalami gangguan
emosional sehingga membuat mereka mudah kecewa, tidak puas dengan
kehidupannya, emosi menjadi tidak stabil dan gampang marah (Soewadi dalam
Alfiatin, 2001).
Berdasarkan pengertian dan karakteristik remaja pecandu napza dan
pengertian kesehatan emosi di pembahasan sebelumnya maka penulis menyimpulkan
bahwa kesehatan emosi remaja pecandu napza adalah suatu keadaan emosi seseorang
yang berada dalam fase peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, yang
sedang mengalami ketergantungan fisik dan psikologis terhadap napza sehingga
menyebabkan kesehatan emosinya terganggu akibat penyalahgunaan napza tersebut.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Emosi
Menurut Young (1950) faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan emosi
antara lain :
a) Faktor Lingkungan
Keadaan lingkungan dapat mempengaruhi keadaan emosi seseorang. Yang
dimaksud dengan faktor lingkungan ialah lingkungan dimana individu itu hidup,
termasuk didalamnya lingkungan keluarga dan masyarakat. Keadaan keluarga yang
tidak harmonis dan penuh konflik, akan menimbulkan perasaan tidak bahagia dan
ketidaktentraman pada anggota keluarga.
Seorang anak yang cukup mendapat perhatian dan kasih sayang dari
orangtuanya akan mempunyai rasa aman. Perasaan ini akan membantunya dalam
menghadapi problem-problemnya dan dalam usahanya mempertahankan
keseimbangan emosinya. Sebaliknya seseorang yang berasal dari keluarga yang tidak
bahagia, kurang kasih sayang, kurang rasa aman, mengakibatkan proses menuju
kesehatan emosinya terhambat.
Begitu pula lingkungan sosial yang tidak mendukung dan tidak memberikan
rasa aman seperti banyak terjadinya kasus tindak kriminalitas, misalnya pembunuhan,
perampokan, pemerkosaan, dan sebagainya akan mengganggu kesehatan emosi
individu.
b) Faktor Pengalaman
Faktor pengalaman sangat berpengaruh pada kesehatan emosi seseorang.
Pengalaman yang tidak menyenangkan apabila selalu terulang akan menyebabkan
perkembangan emosi terganggu. Sebagai contoh yaitu orang yang mengalami
penganiayaan oleh orangtuanya, orang yang mengalami pelecehan seksual, atau orang
yang menderita penyakit sejak kecil. Orang-orang tersebut memerlukan waktu yang
lama untuk memantapkan emosinya.
Gejala yang muncul bisa pula sebaliknya, orang yang sudah terbiasa dengan
pengalaman-pengalaman negatif menjadi tahan banting dengan guncangan yang
dialaminya. Emosinya tetap stabil dalam kondisi apapun. Kebahagiaan tidak akan
membuat emosinya meluap-luap, kesedihanpun akan dihadapinya dengan tegar.
c) Faktor Individu
Yang dimaksud dengan faktor individu yaitu kepribadian yang dimiliki oleh
seseorang. Seseorang yang mempunyai ketahanan mental yang kuat, apabila
menghadapi masalah akan dapat menyesuaikan diri sehingga masalah itu tidak
mengganggu kesehatan emosinya. Sedangkan orang yang mempunyai mental yang
lemah akan cepat merasa putus asa sehingga kesehatan emosinya dapat terganggu.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kesehatan emosi dapat
dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu faktor lingkungan, faktor pengalaman, dan faktor
individu. Faktor lingkungan adalah tempat dimana individu tinggal, termasuk
didalamnya lingkungan keluarga dan masyarakat. Faktor pengalaman meliputi
peristiwa atau kejadian-kejadian yang dialami oleh individu semasa hidupnya.
Sedangkan faktor individu berkaitan dengan karakter dan bentuk kepribadian individu
tersebut.
B. Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT)
1. Pengertian Terapi
Sebelum membahas mengenai Cognitive Behavioral Religious Therapy
(CBRT), penulis akan menjelaskan pengertian dari terapi terlebih dahulu. Terapi
adalah pemberian satu perlakuan, perawatan, dan pengobatan yang langsung
ditujukan pada penyembuhan suatu kondisi secara patologi ( Chaplin, 2000). Menurut
Corey (2005) terapi merupakan suatu rangkaian proses penyembuhan terhadap
penyakit fisik maupun psikis, yang dapat dilakukan secara medis (klinis), agama
(religius), ataupun psikologis.
2. Bentuk-bentuk Terapi
Terapi-terapi psikologis dapat dilakukan dalam berbagai metode, tergantung
kepada pendekatan teori yang digunakan dan disesuaikan dengan kondisi subyek
yang akan menjalani terapi (Corey, 2005). Jenis-jenis terapi yang sering digunakan
oleh para terapis psikologi adalah, sebagai berikut :
a) Terapi Kognitif (Cognitive Therapy)
Terapi kognitif adalah sebuah terapi psikologis yang menganalisis pikiran-
pikiran seseorang dan mengubah pikiran yang bersifat destruktif menjadi pikiran
positif sehingga membuat hidup seseorang menjadi lebih efektif (Semiun, 2006).
Terapi kognitif mengungkapkan bahwa tingkah laku-tingkah laku dan emosi-emosi
yang bermasalah disebabkan oleh proses pikiran dan kepercayaan yang salah
(Semiun, 2006). Terapi kognitif dapat diaplikasikan dalam berbagai jenis, antara lain:
1. Terapi Rasional Emotif (TRE)
Terapi Rasional Emotif (TRE) diperkenalkan oleh Albert Ellis pada tahun
1950, dengan tujuan untuk menangani orang yang mengalami kesulitan dalam
mengendalikan emosi (Semiun, 2006). TRE adalah aliran psikoterapi yang
berlandaskan asumsi bahwa manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk berpikir
rasional dan jujur maupun untuk berpikir irasional dan jahat (Corey, 2005). Dalam
TRE ini terapis berperan dalam membantu klien untuk membebaskan diri dari
gagasan yang tidak logis dan untuk belajar gagasan-gagasan yang logis sebagai
penggantinya (Corey, 2005)..
2. Terapi Kognitif Beck
Terapi kognitif ini ditemukan oleh Aaron Beck pada tahun 1967. Perbedaan
terapi kognitif Beck dengan TRE adalah Beck memilih pendekatan yang jauh lebih
aktif dengan klien-kliennya dan berusaha secara langsung berkonfrontasi dengan
mengubah tingkah laku-tingkah laku yang ada kaitannya dengan kognisi-kognisi
yang negatif. Bentuk perlakuan yang diberikan dalam terapi ini adalah dengan
diberikannya tugas-tugas pekerjaan rumah yang menghendaki klien untuk mencatat
pikiran dan respons-respons emosionalnya (Semiun, 2006).
b) Terapi Tingkah Laku (Behavioral Therapy)
Terapi tingkah laku atau biasa disebut modifikasi tingkah laku adalah penerapan
secara sistematis teknik-teknik yang diambil dari prinsip-prinsip belajar
(pengondisian dan teori belajar sosial) untuk membantu orang-orang melakukan
tingkah laku yang adaptif (Semiun, 2006). Berlandaskan pada teori belajar, terapi
tingkah laku adalah pendekatan-pendekatan terhadap konseling dan psikoterapi yang
berurusan dengan pengubahan tingkah laku (Corey, 2005).
Terapi tingkah laku pada umumnya dilakukan berdasarkan teori classical
conditioning dan teori operant conditioning oleh terapis-terapis tingkah laku seperti
Pavlov, Skinner, dan Watson. Teknik classical conditioning dan operant conditioning
biasanya digunakan untuk menangani masalah-masalah klinis seperti gangguan
makan, penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan terlarang, kecanduan merokok, dan
kelainan orientasi seksual (Kazdin, 2001). Menurut Semiun (2006) secara singkat
proses dalam terapi ini dapat dijelaskan dalam paradigma berikut :
? SN (berpasangan dengan) ? ST ? membangkitkan ? RB
? SN ? menjadi ? SK? menimbulkan ? RK
Keterangan : 1. SN : Stimulus Netral 2. ST : Stimulus Tak Terkondisi 3. RB : Respons Bawaan 4. SK : Stimulus Terkondisi 5. RK : Respons Terkondisi
c) Terapi Agama (Religious Therapy)
Terapi agama adalah sebuah metode terapi yang dikembangkan berdasarkan
suatu keyakinan atau kepercayaan pada ajaran atau syariat suatu agama, yang
digunakan sebagai metode terapi untuk menunjang terapi medis pada masalah-
masalah klinis seperti penyalahgunaan obat-obatan terlarang dan ketergantungan
alkohol (Hawari, 2004).
Terapi agama menekankan pada aspek keimanan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, dan dilaksanakan dengan cara melaksanakan ibadah-ibadah agama secara rutin
dalam proses penyembuhan penyakit (Hawari, 2004). Bentuk terapi agama yang
umum dilakukan di Indonesia untuk menangani masalah penyalahgunaan napza
adalah dengan menggunakan metode dzikir, shalat wajib dan sunnah serta mandi
taubat (hydro therapy) (Haryanto. 1999).
3. Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT)
a) Pengertian Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT)
Pada penelitian ini penulis menggabungkan ketiga metode terapi diatas
menjadi sebuah metode terapi baru yang dinamakan Cognitive Behavioral Religious
Therapy (CBRT). CBRT adalah sebuah metode terapi yang bertujuan untuk merubah
fungsi kognitif atau cara berpikir seseorang yang tidak rasional menjadi pikiran
rasional, merubah tingkah laku seseorang yang maladaptif menjadi perilaku adaptif,
dan dilaksanakan dengan menggunakan metode terapi agama antara lain dengan
metode talqin, dzikir, shalat wajib dan sunnah, serta mandi taubat.. CBRT akan
digunakan untuk menangani masalah penyalahgunaan napza yang menggangu
kesehatan emosi pada subyek penelitian ini.
b) Aspek-aspek Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT)
Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT) memiliki dua aspek yang terdiri
dari:
a) Perubahan fungsi kognitif
Perubahan fungsi kognitif dalam pelatihan CBRT menekankan pada
perubahan fungsi kognitif negatif menjadi fungsi kognitif yang positif, atau dengan
kata lain merubah keyakinan atau pikiran-pikiran subyek yang tidak rasional dan
tidak tepat menjadi suatu keyakinan yang rasional dan tepat (Semiun, 2006).
Keyakinan subyek yang tidak rasional dalam penelitian ini ditunjukkan pada
pemikiran bahwa masalah-masalah yang dialami dalam hidupnya dapat diatasi atau
dilupakan dengan mengonsumsi napza. Keyakinan yang tidak rasional ini dalam
penelitian akan dirubah menjadi keyakinan yang rasional bahwa mengonsumsi napza
tidak akan dapat mengatasi masalah namun justru semakin menambah masalah bagi
diri subyek.
b) Perubahan tingkah laku
Pelatihan CBRT menekankan pada aspek perubahan tingkah laku dari tingkah
laku yang maladaptif seperti kebiasaan mengonsumsi napza menjadi perilaku yang
adaptif yaitu terbebas dari ketergantungan terhadap napza. Selain itu dalam CBRT ini
setiap subyek akan dilatih untuk melaksanakan ibadah agama secara rutin sehingga
membentuk sebuah perilaku baru yang berdampak positif bagi perkembangan jiwa
subyek penelitian. Salah satu dampak positif yang ditimbulkan dari perilaku rutin
beribadah yaitu dapat mengurangi resiko subyek untuk menyalahgunakan napza
kembali karena telah timbul kesadaran pada diri subyek untuk menaati ajaran agama
atau dalam ilmu psikologi disebut kesadaran beragama (religion consciousness).
C. Pengaruh Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT) Terhadap
Kesehatan Emosi Remaja Pecandu Napza
Penyalahgunaan napza memberikan pengaruh yang buruk terhadap remaja,
antara lain dapat menyebabkan remaja mengalami gangguan emosional sehingga
membuat mereka mudah kecewa, tidak puas dengan kehidupannya, emosi menjadi
tidak stabil dan gampang marah (Soewadi dalam Alfiatin, 2001).
Akibat dari terganggunya kesehatan emosi bagi remaja pecandu adalah
menjadi mudah tersinggung, berperilaku agresif, kontrol emosi menurun, dan muncul
perasaan gelisah atau cemas tanpa alasan yang jelas (Hawari, 2004). Terganggunya
kesehatan emosi membuat remaja tidak dapat mengendalikan amarahnya sehingga
cenderung berperilaku agresif dan bersikap antisosial dengan lingkungan sekitarnya
(Gunawan, 2006).
Remaja pecandu napza mengalami kesulitan dalam mengendalikan emosinya
saat berada di bawah pengaruh napza (Hawari, 2004). Dari beberapa uraian diatas
dapat disimpulkan bahwa tingkat kontrol emosi pada remaja pecandu napza rendah
sehingga remaja tersebut menampilkan respon emosional yang tidak adekuat,
misalnya berperilaku agresif dan munculnya perasaan cemas dan gelisah tanpa
penyebab yang jelas.
Metode-metode yang diterapkan dalam Cognitive Behavioral Religious
Therapy (CBRT) diadaptasi dari terapi agama (religious therapy) dan dikembangkan
dengan memperhatikan aspek-aspek pada terapi kognitif (cognitive therapy) dan
terapi tingkah laku (behavioral therapy). Terapi psikoreligius dalam bentuk berdoa
dan berzikir mempunyai nilai psikoterapeutik lebih tinggi daripada psikoterapi
psikiatrik konvensional. Seseorang yang sedang menderita kecanduan terhadap napza
selain berobat secara medik bila disertai dengan berdoa dan berdzikir akan
meningkatkan kekebalan terhadap zat-zat adiktif, menimbulkan harapan (optimisme),
pemulihan rasa percaya diri, dan meningkatkan kemampuan mengatasi penderitaan di
saat sakaw, sehingga akan mempercepat proses penyembuhan (Hawari, 2002).
Metode pertama yang digunakan dalam CBRT adalah metode talqin. Talqin
merupakan langkah awal dari rangkaian proses terapi. Talqin adalah proses
pengenalan materi-materi dzikir dan pemberian pemahaman mengenai pentingnya
menjalankan ibadah-ibadah agama dan manfaatnya bagi kehidupan manusia. Tujuan
dari metode talqin ini adalah merubah pola pikir dan persepsi remaja pecandu napza
terhadap penyalahgunaan napza, sehingga muncul kesadaran bahwa perilau yang
selama ini dilakukan adalah tidak benar. Kesadaran dalam proses talqin ini adalah
kesadaran pada tahap awal dalam tahapan perubahan fungsi kognitif, sehingga perlu
dimantapkan dengan melakukan serangkaian kegiatan selanjutnya.
Metode kedua adalah dzikir. Dzikir diyakini dapat memberikan ketenangan
jiwa (Al Badr dalam Dodi, 2002). Jiwa yang tenang membuat seseorang lebih mudah
mengendalikan emosinya. Hal ini bila dikaitkan dengan masalah penyalahgunaan
napza berarti bahwa seorang remaja pecandu akan lebih mudah mengendalikan
emosinya apabila dia melakukan dzikir karena dengan berdzikir jiwanya menjadi
lebih tenang.
Dzikir dengan penghayatan penuh, seperti halnya mekanisme emosi,
memberikan sinyal pada syaraf simpatetis dan parasimpatetis yang merangsang organ
tubuh memberi reaksi-reaksi faal tertentu, misalnya getaran pada jantung, kulit
(galvania skin response) dan cucuran air mata yang dinikmati. Emosi positif yang
memancar dalam bentuk dzikir mampu memblokade emosi-emosi negatif dan
mengalihkannya menjadi emosi positif (Hude, 2006).
Remaja yang mengalami ketergantungan napza akan merasakan keinginan
dan dorongan yang tak tertahankan untuk mengonsumsi narkoba (Gunawan, 2006).
Zat adiktif yang terkandung dalam narkoba akan memberikan rangsangan (stimulus)
kepada otak dan memberikan reaksi-reaksi dalam kelenjar dan organ tubuh, sehingga
muncul reaksi fisik tertentu atau biasa disebut sakaw (Hawari, 2004). Pada umumnya
ketika tubuh memberikan reaksi-reaksi tersebut pecandu akan segera mengonsumsi
napza agar terhindar dari rasa sakit akibat sakaw.
Dorongan untuk mengonsumsi napza dapat disebut sebagai dorongan atau
emosi negatif. Emosi negatif dapat dialihkan menjadi emosi positif dengan
melakukan dzikir. Emosi positif yang muncul setelah berdzikir antara lain perasaan
tenang, tentram, bahagia, tidak merasa putus asa, dan tidak gampang marah (Hude,
2006).
Metode ketiga adalah shalat, baik shalat wajib maupun shalat sunnah. Saboe
(Haryanto, 1999) mengungkapkan bahwa manfaat yang diperoleh dari gerakan-
gerakan shalat tidak sedikit artinya bagi kesehatan jasmaniah dan dengan sendirinya
membawa efek pula pada kesehatan rohaniah. Menurut Ancok (Haryanto, 1999) ada
empat terapeutik yang terdapat dalam shalat, antara lain : aspek olahraga, meditasi,
auto sugesti, dan aspek kebersamaan.
Shalat yang diterapkan dalam CBRT adalah shalat berjamaah yang
dilaksanakan secara bersama-sama. Ancok (Haryanto, 1999) menjelaskan bahwa
aspek kebersamaan ini mempunyai nilai terapeutik, yaitu akan menghindarkan
seseorang dari rasa terisolir, terpencil, atau tidak tergabung dalam kelompok. Seorang
remaja pecandu napza yang kesehatan emosinya terganggu akan lebih rentan
mengalami emosi-emosi negatif dibandingkan dengan remaja normal (Hawari, 2004).
Metode yang terakhir adalah mandi taubat (hydro therapy). Menurut Effendy
(Haryanto, 1999) dunia kedokteran mengenal ”Hukum Baruch dan Hidroterapi”.
Teori atau hukum ini mengatakan bahwa air memiliki daya penenang jika suhu air
sama dengan suhu kulit, sedangkan bila suhu lebih rendah atau lebih tinggi akan
memiliki daya stimulasi atau merangsang.
Metode mandi yang dilakukan dalam pelatihan CBRT dilakukan pada dini
hari dan dengan keadaan suhu udara yang dingin, hal ini akan menyebabkan
pembuluh darah kulit menyempit. Su’dan (Haryanto, 1999) mengungkapkan bahwa
penyempitan pembuluh ini akan memperlancar aliran darah ke otak, jantung, paru-
paru, hati, dan ginjal sehingga organ-organ tersebut memperoleh darah lebih banyak
daripada biasanya. Dengan demikian kerja hati lebih lancar, yaitu memusnahkan
racun narkotik yang ada dalam tubuh.
Ketika racun-racun narkotik didalam tubuh sudah dapat dimusnahkan, maka
dampak-dampak negatif dari ketergantungan napza seperti perasaan gelisah, mudah
marah, putus asa, hingga perasaan sakit akibat sakaw juga dapat dihilangkan. Manfaat
lain dari mandi taubat adalah memberikan efek kesegaran pada tubuh seseorang
sehingga menstimulasi otak untuk menerima rangsangan yang lebih banyak dan
meningkatkan daya konsentrasi seseorang sehingga remaja pecandu napza yang akan
menjalani rangkaian kegiatan CBRT akan lebih mudah memusatkan perhatian pada
kegiatan pelatihan. Hal ini menunjukkan bahwa metode mandi taubat secara tidak
langsung membantu proses pemulihan kesehatan mental pada remaja pecandu napza.
D. Hipotesis
Ada pengaruh Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT) terhadap
kesehatan emosi remaja pecandu napza.
METODE PENELITIAN
A. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah remaja pecandu napza yang sedang menjalani
rehabilitasi narkoba dengan cara terapi religius di Pondok Inabah XIX Suryalaya.
Pemilihan subjek dengan menggunakan metode purposive sampling, yaitu pemilihan
kelompok subyek didasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dianggap
berkaitan erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah ada sebelumnya.
Adapun karakteristik subyek dalam penelitian ini adalah :
1. Subjek sedang menjalani rehabilitasi narkoba dengan cara terapi agama atau
terapi religius.
2. Subjek berjenis kelamin laki-laki.
3. Subjek berusia 13 - 21 tahun.
4. Subjek telah mengonsumsi napza minimal satu tahun.
B. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini pengukuran pretest dan posttest adalah dengan
menggunakan metode skala angket sebagai metode pengumpulan data untuk
mengungkap kesehatan emosi subyek. Skala pengukuran yang akan digunaan pada
penelitian ini disusun dengan model skala Likert. Cara yang dilakukan untuk
memperoleh data adalah dengan membagikan angket kuesioner kepada peserta terapi.
Skala pengukuran yang akan digunakan pada penelitian ini adalah skala
kesehatan emosi yang disusun oleh penulis berdasarkan teori Schneiders (1964).
Tingkat kesehatan emosi diketahui dari total skor yang diperoleh individu atas
jawaban yang diberikan dalam skala tersebut. Faktor-faktor kesehatan emosi yang
akan diukur adalah sebagai berikut :
5. Kematangan emosi (kemampuan individu memunculkan respon emosi yang
sesuai dengan rangsangan yang diterima).
6. Kontrol emosi (kemampuan individu mengatur emosinya).
7. Adekuasi emosi (kemampuan individu untuk menampilkan respon emosional
yang tidak berlebihan).
C. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah paired
sample t-test. Analisa akan dilakukan pada skor pretest kelompok eksperimen dan
skor posttestnya. Analisa data dilakukan dengan menggunakan program SPSS 12,0
for Windows.
HASIL PENELITIAN
A. Hasil Penelitian
1. Hasil Uji Asumsi
Uji asumsi yang dipakai dalam penelitian ini adalah uji normalitas. Data yang
digunakan dalam uji asumsi adalah data pre test kesehatan emosi. Dari hasil uji
normalitas diperoleh koefisien K-SZ = 0.411 dengan p = 0.996 (p > 0.05). Hasil uji
normalitas tersebut menunjukkan bahwa data kesehatan emosi terdistribusi atau
tersebar dengan normal.
2. Uji Hipotesis
Uji hipotesis dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah ada
perbedaan tingkat kesehatan emosi sebelum dan sesudah pelatihan. Uji hipotesis
dalam penelitian ini menggunakan uji-t. Uji perbedaan dilakukan dengan melihat skor
pre test dengan skor post test.
Berdasarkan perhitungan statistik deskriptif menunjukkan bahwa terjadi
perubahan skor mean pada responden yaitu skor mean sebelum mengikuti pelatihan
Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT) sebesar 19.80 dan setelah mengikuti
pelatihan Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT) sebesar 22.04. Uji
hipotesis menunjukkan nilai t = - 3.208 artinya nilai t mutlak atau selisih rata-rata =
3.208 dengan nilai p = 0.004 (p<0,01). Hasil ini menunjukkan bahwa ada perbedaan
antara selisih skor pre test dengan skor post test.
3. Analisis Tambahan
Analisis tambahan yang dilakukan dalam penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui perbedaan pengaruh Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT)
terhadap kesehatan emosi pada masing-masing kelompok responden. Kelompok
responden dibagi berdasarkan kategori skor mean pada pre test, kategori tersebut
dibagi menjadi tiga, yaitu : kategori tinggi, sedang, dan rendah.
a. Analisis tambahan pada kelompok responden kategori tinggi
Berdasarkan hasil uji t, pada responden kategori tinggi mengalami perubahan
nilai mean sebelum mengikuti pelatihan sebesar 23.75 dan setelah mengikuti
pelatihan sebesar 23.13. Pada uji t menunjukkan nilai t = 0.523 dengan nilai p =
0.617 (p>0.05). Hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan
antara selisih skor pre test dengan skor post tes pada responden kategori tinggi.
b. Analisis tambahan pada kelompok responden kategori sedang.
Berdasarkan hasil uji t, pada responden kategori sedang mengalami perubahan
nilai mean sebelum mengikuti pelatihan sebesar 19.08 dan setelah mengikuti
pelatihan sebesar 21.85. Pada uji t menunjukkan nilai t mutlak = 4.012 dengan nilai p
= 0.002 (p>0.05). Hasil ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara
selisih skor pre test dengan skor post tes pada responden kategori sedang.
c. Analisis tambahan pada kelompok responden kategori rendah
Berdasarkan hasil uji t, pada responden kategori sedang mengalami perubahan
nilai mean sebelum mengikuti pelatihan sebesar 14.25 dan setelah mengikuti
pelatihan sebesar 20.50. Pada uji t menunjukkan nilai t mutlak = 9.934 dengan nilai p
= 0.002 (p>0.05). Hasil ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara
selisih skor pre test dengan skor post tes pada responden kategori rendah.
B. Pembahasan
Hasil analisis dari data-data yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan
bahwa hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini terbukti melalui nilai mutlak t =
3.028 dengan nilai p = 0.006 (p<0,01). Hasil ini menunjukkan bahwa ada perbedaan
antara selisih skor pre test dengan skor post test. Artinya Cognitive Behavioral
Religious Therapy (CBRT) terbukti dapat meningkatkan kesehatan emosi pada
responden.
Peningkatan kesehatan emosi responden dapat dilihat dari skor mean pre test
yang lebih rendah (19.80) dibandingkan dengan skor mean post test yang lebih tinggi
(22.04). Perbedaan nilai skor mean pre test dengan skor mean post test menunjukkan
bahwa kesehatan emosi responden setelah mengikuti pelatihan Cognitive Behavioral
Religious Therapy (CBRT) mengalami peningkatan dibandingkan dengan sebelum
mengikuti pelatihan.
Schneiders (1964) mengatakan bahwa seseorang yang kontrol emosinya
kurang menunjukkan perilaku emosional yang tidak terkontrol misalnya kemarahan
yang meledak-ledak, berperilaku agresif, dan senang berkelahi. Hurlock (1973)
berpendapat bahwa individu yang emosinya stabil dapat mengontrol ekspresi emosi
yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial, atau dapat melepaskan dirinya dari
belenggu energi mental dan fisik yang terpendam dengan cara yang dapat diterima
oleh lingkungan sosialnya.
Responden yang belum menjalani sesi Cognitive Behavioral Religious
Therapy (CBRT) pada umumnya memiliki tingkat kesehatan emosi yang rendah, hal
ini ditunjukkan dengan munculnya perilaku agresif akibat kurangnya kontrol emosi
pada responden. Masing-masing responden menunjukkan sikap mudah tersinggung
dan gampang marah sehingga sering terjadi pertengkaran antara sesama responden
yang diawali dengan masalah sepele. Setelah mengikuti Cognitive Behavioral
Religious Therapy (CBRT) tingkat kesehatan emosi meningkat sehingga subjek
menunjukkan perilaku yang lebih tenang dan tidak agresif, serta dapat mengendalikan
emosinya.
Metode dzikir berkaitan erat dengan metode relaksasi yang merupakan
perpaduan antara meditasi dan yoga. Dzikir dapat membuat hati seseorang menjadi
lebih tentram dan jiwanya menjadi lebih tenang (Hawari, 2004). Jiwa yang tenang
akan membuat remaja pecandu napza dapat mengendalikan emosinya sehingga tidak
memunculkan reaksi emosional yang berlebihan. Menurut Schneiders (1964)
seseorang yang dapat menampilkan reaksi emosional yang sesuai dengan rangsangan
yang diterima atau dengan kata lain tidak berlebihan berarti mempunyai kematangan
emosi yang baik.
Schneiders (1964) mengatakan bahwa emosi yang tidak adekuat ditunjukkan
dengan sikap apatis, tidak perduli terhadap orang lain, tidak suka menolong, tidak
mau menerima bantuan, memiliki selera humor yang buruk, dan adanya perasaan
bermusuhan yang kuat. Sebaliknya emosi yang adekuat ditunjukkan dengan sikap
yang sesuai dengan harapan-harapan sosial, seperti sikap suka menolong, ramah, dan
menghormati orang lain.
Shalat yang diterapkan dalam CBRT adalah shalat berjamaah yang
dilaksanakan secara bersama-sama. Ancok (Haryanto, 1999) menjelaskan bahwa
aspek kebersamaan ini mempunyai nilai terapeutik, yaitu akan menghindarkan
seseorang dari rasa terisolir, terpencil, atau tidak tergabung dalam kelompok.
Pada awal pelatihan, masing-masing responden tidak bertegur sapa dan bersikap
mengacuhkan orang lain. Sikap ketidakpedulian yang ditampilkan oleh responden
menyebabkan tidak terciptanya interaksi sosial. Setelah mengikuti empat kali sesi
pelatihan Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT), sebagian responden
saling bertegur sapa dan mulai bercakap-cakap. Perubahan sikap responden sebelum
dan setelah mengikuti pelatihan Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT)
menunjukkan bahwa reaksi emosional responden yang tidak adekuat dapat berubah
menjadi reaksi emosional yang adekuat setelah mengikuti pelatihan Cognitive
Behavioral Religious Therapy (CBRT).
Hasil analisis tambahan pada masing-masing kelompok responden
berdasarkan kategori skor mean pre test menunjukkan bahwa pada responden
kategori tinggi tidak ada perbedaan antara selisih skor mean pre test dan post test, hal
ini terlihat dari nilai t = 0.523 dengan nilai p = 0.617 (p>0.05). Hasil ini berarti bahwa
pelatihan Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT) tidak mempunyai
pengaruh terhadap responden yang mempunyai tingkat kesehatan emosi tinggi sejak
pelatihan belum dimulai.
Pada responden kategori sedang dan rendah pelatihan Cognitive Behavioral
Religious Therapy (CBRT) memberikan hasil yang sebaliknya. Berdasarkan hasil
analisis tambahan diketahui bahwa ada perbedaan skor mean pre test dan skor mean
post test pada kedua kategori responden, dengan nilai t mutlak = 4.012 dengan nilai p
= 0.002 (p>0.05) untuk responden kategori sedang, dan nilai t mutlak = 9.934 dengan
nilai p = 0.002 (p>0.05) untuk responden kategori rendah. Hasil ini menunjukkan
bahwa Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT) memberikan pengaruh yang
signifikan bagi kesehatan emosi pada kedua kategori responden. Responden yang
mempunyai tingkat kesehatan emosi sedang dan rendah sebelum mengikuti pelatihan,
mengalami peningkatan pada kesehatan emosinya setelah mengikuti pelatihan.
Kelemahan pada penelitian ini terletak pada tidak terkontrolnya faktor-faktor
lain yang dapat mempengaruhi kondisi subyek, sehingga sulit untuk memastikan
apakah perubahan tingkah laku subyek adalah murni dari hasil pelatihan Cognitive
Behavioral Religious Therapy (CBRT) atau disebabkan oleh faktor-faktor lain yang
tidak dikontrol dalam penelitian.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan tingkat kesehatan emosi
subjek penelitian sebelum dan sesudah Cognitive Behavioral Religious Therapy
(CBRT) dilaksanakan. Hal ini berarti bahwa CBRT dapat meningkatkan kesehatan
emosi. Jadi hipotesis yang menyatakan ada pengaruh Cognitive Behavioral Religious
Therapy (CBRT) terhadap kesehatan emosi pada remaja pecandu napza dapat
diterima.
Berdasarkan hasil analisis tambahan diperoleh :
1. Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT) tidak mempunyai pengaruh
terhadap kesehatan emosi pada responden yang masuk dalam kategori tingkat
kesehatan emosi tinggi
2. Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT) mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap kesehatan emosi pada responden yang masuk dalam
kategori tingkat kesehatan emosi sedang.
3. Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT) mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap kesehatan emosi pada responden yang masuk dalam
kategori tingkat kesehatan emosi rendah.
B. Saran
Bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian mengenai Cognitive
Behavioral Religious Therapy (CBRT), disarankan untuk melakukan observasi dan
wawancara dengan masing-masing subyek penelitian. Observasi dan wawancara
tersebut diharapkan dapat mengungkap faktor-faktor lain yang mempengaruhi kondisi
subjek yang tidak dikontrol dalam penelitian. Selain itu Cognitive Behavioral
Religious Therapy (CBRT) sebaiknya dipersiapkan secara matang agar hambatan-
hambatan yang muncul saat pelaksanaan terapi dapat diatasi dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Albin, R.S. 1986. Emosi. Bagaimana Mengenal, Menerima dan Menyerahkannya.
Yogyakarta : Kanisius
Alfiatin, T. 2001. Persepsi Terhadap Diri dan Lingkungan pada Remaja
Penyalahguna NAPZA. Psikologika No 12 tahun VI
Azwar, S. 2003. Reliabilitas san Validitas. Yogyakarta. Pustaka Pelajar
Bastaman, H.D. 1995. Integrasi Psikologi dengan Islam. Menuju Psikologi Islami.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar & Yayasan Insan Kamil.
Chaplin, J.P. 1989. Kamus Lengkap Psikologi. Terjemahan : Kartini Kartono. Jakarta
: CV. Rajawali.
Corey, G. 2005. Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi. Bandung : PT Refika
Aditama.
Feldman, R.S. 2005. Understanding Psychology. 7th edition. New York : Mc Graw
Hill Companies Inc.
Goleman, D.1995. Emotional Intelligence. Sydney : Bantam Books.
Goleman, D. 1999. Kecerdasan Emosi. Alih Bahasa T, Hermaya. Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama.
Guilford, J. P. 1959. The Nature of Human Intelligence. New York : Mc Graw Hill
Comp. Inc
Gunawan, W. 2006. Keren Tanpa Narkoba. Jakarta : PT Grasindo.
Haryanto, S. 1999. Terapi Religius Korban Penyalahgunaan NAPZA. Buletin
Psikologi. Thun VII, No 1. Yogyakarta
Hawari, D. 2002. Dimensi Religi dalam Praktek Psikiatri dan Psikologi. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI
Hawari, D. 2004. Al-Qur’an. Ilmu Kedokteran dan Kesehatan Jiwa. Yogyakarta :
Dana Bakti Prima Yasa
Hude, M. D. 2006. Emosi. Penjelasan Religio-Psikologis Tentang Emosi Manusia di
dalam Al-Qur’an. Jakarta : Erlangga
Hurlock, E. B. 1973. Adolescene Development. Tokyo: Mc Graw Hill. Kogakusha,
Ltd
Kazdin, A. A. 2001. Behaviour Modification. In Applied Settings. 6th edition. Canada
: Wadsworth.
NN. Terus Meningkat Pelajar SD yang Menggunakan Narkoba.
http://www.kompas.com. 22/ 11/ 2007.
NN. Meresahkan, Maraknya Narkoba di Kalangan Pelajar.
http://www.kompas.com. 22/ 11/ 2007.
NN. Sekolah Sudah Jadi Sarang Narkoba. http://www.kompas.com. 22/ 11/ 2007.
Maslim, R. 2002. Diagnosis Gangguan Jiwa. Rujukan Ringkas dari PPDGJ III.
Jakarta
Mc. Kinney, F. 1950. Psychology of Personal Adjusment. 2nd edition. London : John
Wiley and Sons, Inc
Morgan, C.T. 1986. Introduction to Psychology. 7th ed. New York : Mc Graw Hill
Companies Inc.
Rinaldi, Dr. Kolom Dr Rinaldi. Proses Kekambuhan Napza. http://www.kompas.com.
22/ 11/ 2007.
Santrock, J.W. 2003. Adolescence. Edisi VI. Jakarta : Erlangga.
Sarwono, S.W. 2002. Psikologi Remaja. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Schneiders, A. A. 1964. Personal Adjusment and Mental Health. New York : Holt,
Rinehart and Winston
Semiun, Y. 2006. Kesehatan Mental. Jilid 3. Yogyakarta : Kanisius.
Shihab, M.Q. 2006. Wawasan Al-Qur’an tentang Zikir dan Doa. Jakarta : Lentera
Hati.
Strongman, K.T. 2003. The Psychology of Emotion. From Everyday Live to Theory.
5th edition. Singapore : John Wiley and sons Inc.
Sulaeman, D. 1995. Psikologi Remaja. Dimensi-dimensi Perkembangan. Bandung :
Mandar Maju.
Young, P. T. 1950. Emotion in Man and Animal. New York : Mc Graw Hill